OPTIMASI PEMANFAATAN RUANG KAWASAN KONSERVASI GILI SULAT - GILI LAWANG KABUPATEN LOMBOK TIMUR SITTI HILYANA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "OPTIMASI PEMANFAATAN RUANG KAWASAN KONSERVASI GILI SULAT - GILI LAWANG KABUPATEN LOMBOK TIMUR SITTI HILYANA"

Transkripsi

1 OPTIMASI PEMANFAATAN RUANG KAWASAN KONSERVASI GILI SULAT - GILI LAWANG KABUPATEN LOMBOK TIMUR SITTI HILYANA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

2 ABSTRACT SITTI HILYANA. Optimizing The Utilization Space of Gili Sulat-Gili Lawang Protected Area in East Lombok District. Under the direction of Achmad Fahrudin, Fredinan Yulianda and Dietriech G. Bengen. Various economic activities underway and arround Gili Sulat-Gili Lawang protected area seriously impacted coral reef and seagrass ecosystems degradation. The aims of this research are to evaluate zoning of marine protected area, assess land suitability for multiple uses, the determine carryng capacity, and the optimize land utilization of marine protected area. Data and information were collected participatively using questioner and the field survey for assesing the biophysics characteristics of the Gili Sulat-Gili Lawang protected area. The methods used consist the Geographic Information System (GIS) for suitability analysis; carrying capacity analysis using ecosystem utilitied, dinamic model for optimizing space and management sustainability with multidimension scalling analysis. The results show that marine protected area zone of Gili Sulat- Gili Lawang by using ecology, social and economic criteria was divided by three zoning these are no-take zone, limited use zone and other use zone. The condition of mangroves vegetation, live coral and seagrass are categorized from poor to good. Development activities that suitable for limited uses are demersal and pelagic fisheries and coastal tourism ha and 9.31 ha are suitable for scuba diving, snorkeling and coastal tourism with the capacity of tourism are 150 person/day and 120 person/day respectively. While the suitable for mangrove tourism was 23,04 ha with 230 person/day tourism capacity. Based on multidimension scaling approach and its priorites scale of priorities, the alternatives policies of marine protected area development are local wisdom improvement, supporting infrastructure and conservation fee policies. Key words : optimize, management, conservation area, Gili Sulat - Gili Lawang Islands

3 RINGKASAN SITTI HILYANA. Optimasi Pemanfaatan Ruang Kawasan Konservasi Gili Sulat- Gili Lawang Kabupaten Lombok Timur. Dibimbing oleh Achmad Fahrudin, Fredinan Yulianda dan Dietriech G. Bengen. Gili Sulat - Gili Lawang merupakan Kawasan Konservasi Laut Daerah di Kabupaten Lombok Timur. Kawasan ini memiliki potensi sumberdaya yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai peruntukan.meningkatnya kebutuhan masyarakat serta kurangnya pengetahuan masyarakat tentang fungsi sumberdaya menyebabkan tekanan terhadap ekosistem semakin meningkat dan mengancam eksistensi dan keberlanjutan sumberdaya. Disisi lain terjadi konflik kepentingan antar sektor, sehingga berimplikasi pada pengelolaan kawasan tidak efektif. Salah satu konsep pengelolaan kawasan konservasi yang konsisten mengedepankan kelestarian sumberdaya dan ekonomi masyarakat lokal adalah konsep pengembangan ekowisata bahari yang diintegrasikan dengan perikanan. Tujuan umum penelitian ini adalah menganalisis optimasi pemanfaatan ruang kawasan konservasi berbasis daya dukung, sehingga pengelolaannya dapat berkelanjutan. Secara khusus penelitian bertujuan untuk mengevaluasi penetapan kawasan dan penataan zona kawasan konservasi berdasarkan kriteria kesesuaian dan daya dukung kawasan dengan mempertimbangkan aspek ekologi, ekonomi dan sosial serta mengkaji keberlanjutan pengelolaan kawasan konservasi. Penelitian dilakukan di KKLD G.Sulat-G.Lawang pada bulan Mei sampai Oktober Jenis dan sumber data yang digunakan adalah data primer bersumber dari pengukuran langsung (insitu), observasi dan wawancara dengan responden dari berbagai unsur yaitu nelayan, wisatawan, pengusaha wisata, masyarakat lokal dan staf pemerintah. Data sekunder diperoleh dari studi pustaka dari instansi terkait. Karakteristik sumberdaya dianalisis dengan pendekatan analisis potensi, Sedangkan karakteristik ekonomi dan sosial dianalisis dengan metode deskriptif dan TEV. Analisis kesesuaian kawasan untuk berbagai pemanfaatan (perikanan dan ekowisata) menggunakan metode analisis spasial dengan SIG, sedangkan untuk mengestimasi daya dukung kawasan dianalisis dengan perhitungan daya dukung kawasan. Metode yang digunakan untuk mengevaluasi efektifitas pengelolaan kawasan konservasi berdasarkan dimensi ekologi, ekonomi, sosial dan kelembagaan menggunakan Soft Ware Rapfish 2.1. Metode analisis dinamik spasial dan Stella 9.0 digunakan untuk menentukan pengelolaan kawasan yang optimal. Hasil analisis evaluasi penataan Zona KKLD G.Sulat-G.Lawang menunjukkan bahwa penataan zona didasarkan pada pertimbangan kriteria ekologis tanpa pertimbangan ekonomi dan sosial. Hasil analisis penataan zona menunjukkan luas KKLD G.Sulat-G.Lawang 3.166,92 ha terdiri dari terdiri dari zona inti 193,83 ha, zona pemanfaatan terbatas 143,33 ha, zona rehabilitasi seluas 93,11 ha dan zona perairan lainnya seluas 1726 ha. Berdasarkan karakteristik ekologi dan sosial ekonomi budaya menunjukkan kawasan G.Sulat-G.Lawang memiliki potensi relatif besar untuk pengembangan perikanan karang dan ekowisata. Hasil analisis kesesuaian lahan, luas lahan yang sesuai untuk pengembangan perikanan karang 108 ha, wisata selam 108 hektar, wisata snorkeling 93,11 ha dan wisata mangrove 1010,65 ha. Analisis Daya Dukung menunjukkan luasan terumbu karang untuk wisata selam 10,8 ha dengan jumlah kunjungan 6900 orang/tahun atau 150 orang/hari,

4 wisata snorkeling 9,31 ha dengan jumlah kunjungan 5520 orang/tahun atau 120 orang/hari, wisata mangrove 23,4 ha dengan jumlah kunjungan orang/tahun atau 230 orang/hari, sedangkan perikanan karang 108 ha, dengan jumlah produksi kg/tahun atau 90 kg/hari. Hasil analisis daya dukung gabungan menunjukkan bahwa untuk kegiatan wisata jumlah kunjungan orang per tahun dengan nilai produk wisata Rp per tahun, penyerapan tenaga kerja sebesar HOK per tahun. Sedangkan untuk perikanan karang jumlah produksi ikan karang sebesar 174 ton per tahun dengan nilai produksi sebesar Rp dan penyerapan tenaga kerja HOK per tahun. Optimasi pengelolaan kawasan G.Sulat-G.Lawang dapat dilakukan dengan menerapkan kebijakan terpadu antara program konservasi sumberdaya mangrove,terumbu karang dan lamun, peningkatan penyerapan tenaga kerja, pelibatan masyarakat lokal dan peningkatan infrastruktur penunjang kegiatan perikanan dan ekowisata. Indeks keefektifan pengelolaan kawasan konservasi (ikb) menunjukkan nilai 62.94%, berarti bahwa hasil penilaian terhadap 38 atribut dengan 4 dimensi pengelolaan menunjukkan pengelolaan kawasan berada pada kategori cukup efektif (ikb berkisar 34,98%-62,94%). Pengelolaan kawasan untuk kepentingan perikanan dan ekowisata termasuk kategori cukup efektif pelaksanaannya ditinjau dari dimensi ekologi, kategori cukup efektif dalam mengatasi masalah sosial dan ekonomi, dan kurang efektif pengelolaannya ditinjau dari dimensi kelembagaan. Beberapa atribut penting yang mempengaruhi nilai efektivitas pengelolaan kawasan konservasi G.Sulat-G.Lawang adalah penataan batasbatas zona secara jelas, keberadaan lembaga dan aturan-aturan adat dalam pengelolaan kawasan, serta penyediaan infrastruktur penunjang. Kata Kunci: optimasi, pengelolaan, kawasan konservasi, Gili Sulat-Gili Lawang.

5 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan luas ,19 km 2 memiliki potensi sumberdaya hayati laut yang tinggi. Luas laut ,04 Km 2, sedangkan luas daratan meliputi areal seluas ,15 Km 2. Perairan laut tersebut mengelilingi garis pantai sepanjang km, dan di dalamnya terdapat berbagai ekosistem seperti mangrove, padang lamun dan terumbu karang serta berbagai jenis ikan dengan luas terumbu karang km 2. Dengan demikian perlu usaha untuk melestarikan keanekaragaman hayati melalui upaya konservasi kawasan. Berdasarkan Undang-Undang No 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, maka kawasan konservasi ditetapkan pada berbagai ekosistem termasuk perairan laut. Melalui peraturan dan perundangan tersebut, pengaturan konservasi tidak hanya melarang, membatasi dan menjadikan sumberdaya pesisir dan laut bersifat ekslusif bagi masyarakat. Pengaturan konservasi juga mengutamakan perbaikan ekosistem pesisir yang nantinya diharapkan dapat meningkatkan nilai tangkapan ikan selain peningkatan kualitas ekosistem pesisir juga menjadi daya tarik wisatawan sehingga dapat menjadi sumber mata pencaharian alternatif masyarakat. Adanya program Kementerian Kelautan Republik Indonesia tentang pencapaian target luas kawasan konservasi di Indonesia 10 juta hektar ditahun 2010, 15,5 juta hektar di tahun 2015 dan 20 juta hektar di tahun 2020 telah mendorong Pemerintah Daerah untuk mengalokasikan wilayah kewenangannya sebagai kawasan konservasi. Salah satu implementasi program di Provinsi Nusa Tenggara Barat dilakukan melalui penetapan KKLD Gili Sulat dan Gili Lawang pada tahun 2004 berdasarkan SK Bupati Lombok Timur No /452/KP/2004 yang dikoordinasi secara terpadu oleh Dinas Perikanan dan Kelautan dengan berbagai instansi terkait lain. Gili Sulat Gili Lawang (disebut G.Sulat-G.Lawang) merupakan dua buah pulau kecil tidak berpenduduk yang di dominasi oleh ekosistem mangrove dan terdapat beberapa jenis satwa endemik, ikan karang, terumbu karang dan padang lamun. Luas mangrove di G.Sulat ha, dan di G.Lawang ha, sedangkan luas terumbu karang di G.Sulat ha dan di G.Lawang

6 ha. Luas lamun di G.Sulat ha dan di G.Lawang ha. Dengan kondisi perairan yang masih bersih, keanekaragaman hayati dengan endemitas tinggi, bentang alam yang indah, serta letak geografis yang strategis menjadikan kawasan G.Sulat-G.Lawang memiliki potensi yang cukup besar terutama untuk pengembangan ekowisata, sehingga kawasan tersebut cukup potensial sebagai sumber ekonomi baik untuk pendapatan daerah maupun untuk kesejahteraan masyarakat sekitar. Permasalahan KKLD G.Sulat-G.Lawang adalah kedua pulau ini telah ditetapkan sebagai hutan lindung oleh Kementerian Kehutanan berdasarkan hasil TGHK tahun Di lain pihak Kementerian Kelautan dan Perikanan menetapkan sebagai KKLD tahun Tanggal 22 Oktober 2009, Menteri Kehutanan mengukuhkan kembali sebagai hutan lindung berdasarkan SK Menhut No 598/Menhut II/ 2009 (Lampiran 1). Hal ini berimplikasi pada tumpang tindihnya kewenangan pengelolaan kawasan. Permasalahan lain yang perlu mendapat perhatian serius adalah penetapan zona dalam kawasan hanya mempertimbangkan kriteria ekologi tanpa mempertimbangkan kriteria sosial dan ekonomi, padahal masyarakat secara turun temurun menggantungkan hidupnya pada sumberdaya dalam kawasan jauh sebelum kawasan tersebut ditetapkan sebagai hutan lindung maupun sebagai KKLD. Kondisi ini tidak sejalan dengan apa yang diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah No 17 tahun 2007 yang merupakan turunan UU 27 tahun 2007, bahwa tujuan penetapan kawasan konservasi perairan yaitu melindungi dan melestarikan sumber daya ikan serta tipe-tipe ekosistem penting untuk menjamin keberlanjutan fungsi ekologisnya, mewujudkan pemanfaatan sumber daya ikan dan jasa lingkungan secara berkelanjutan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan konservasi. Dengan terbitnya PP No. 60 Tahun 2007 memberikan peluang dan dukungan secara politik pada setiap daerah untuk memperbaiki pengelolaan kawasan konservasi yang telah ada. Berkaitan dengan adanya kewenangan dua sektor dalam pengelolaan kawasan G.Sulat-G.Lawang, maka dalam pengembangannya memerlukan pengelolaan secara terintegrasi. Disamping itu diperlukan evaluasi penataan zona berdasarkan kriteria kesesuaian ekologi, ekonomi dan sosial. Oleh karena itu pengelolaan kawasan konservasi G.Sulat- G.Lawang dilakukan dengan menggunakan konsep pengelolaan yang mampu

7 3 mengakomodir kebutuhan masyarakat sekitar melalui suatu model pengelolaan kawasan berbasis kesesuaian dan daya dukung. Dalam mengimplementasikan konsep tersebut perlu diawali oleh kajian ilmiah tentang optimasi pemanfaatan ruang kawasan konservasi G.Sulat-G.Lawang Kabupaten Lombok Timur Perumusan Masalah Ketika perkembangan ilmu pengetahuan dan partisipasi masyarakat semakin meningkat, disadari bahwa konservasi tidak mungkin dapat berhasil dan berkelanjutan tanpa mengakomodir kepentingan social ekonomi masyarakat. Masyarakat mulai kritis menuntut agar masyarakat diberikan akses dalam memanfaatkan sumberdaya termasuk pada kawasan konservasi. Pengakuan hak-hak masyarakat, kepentingan perikanan berkelanjutan dan sharing kewenangan pengelolaan kawasan antara pusat dan daerah menjadi tuntutan dan salah satu tolok ukur pertimbangan pembangunan konservasi berbasis masyarakat. Sejak G.Sulat-G.Lawang ditetapkan sebagai Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) tahun 2004 berdasarkan SK Bupati Lombok Timur No /452/KP/2004, sampai saat ini pengelolaannya belum efektif, bersifat sektoral dan pemanfaatan bersifat destruktif oleh masyarakat karena alasan ekonomi dan minimnya pengetahuan masyarakat tentang arti penting ekosistem. Alasan lainnya adalah penataan zona yang ada hanya mempertimbangkan aspek ekologis. Atas dasar permasalahan tersebut, pengembangan KKLD G.Sulat-G.Lawang dilakukan dengan pengelolaan yang mampu mengakomodir kepentingan sosial ekonomi masyarakat yang memanfaatkan, melalui suatu model pengelolaan kawasan berbasis kesesuaian dan daya dukung. Dengan pola pengembangan yang demikian, diharapkan permasalahan pengembangan G.Sulat-G.Lawang dapat diatasi, mengingat dalam konteks pengelolaan kawasan konservasi ada tiga prinsip utama yang perlu dilakukan yaitu fishing right, insentif teknis, sosial dan ekonomi serta pengelolaan sumberdaya. Konsep ini seiring dengan konsep pembangunan berkelanjutan yang menekankan pada tiga pilar yaitu pilar ekonomi menekankan pada pendapatan yang berbasis penggunaan sumberdaya yang efisien, pilar ekologi menekankan pentingnya perlindungan keanekaragaman hayati yang memberikan kontribusi pada keseimbangan ekosistem, dan pilar sosial

8 4 menekankan pemeliharaan kestabilan sistem sosial budaya meliputi penghindaran konflik keadilan baik antar maupun dalam suatu generasi. Untuk menjamin keberhasilan pengembangan kawasan konservasi tidak cukup dengan hanya mengklaim suatu area sebagai kawasan konservasi perairan yang ditandai dengan adanya dokumen atau surat keputusan. Banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan suatu kawasan konservasi perairan sehingga untuk mencapai hal tersebut bukanlah hal yang mudah. Menurut Salm et al 2000, bahwa kesuksesan dari suatu kawasan konservasi perairan adalah adanya suatu kerangka hukum, penerimaan masyarakat pesisir, dukungan sistem manajemen yang baik dan efektif, dan adanya batasan daerah yang jelas. Mengingat permasalahan dalam pengelolaan G.Sulat-G.Lawang yang bersifat multiuse, dimana masyarakat sejak bertahun-tahun dan secara turun temurun menjadikan sumberdaya dalam kawasan sebagai sumber mata pencaharian utama, adanya persoalan kewenangan multi sektor, dan di sisi lain kepentingan Pemeritah Daerah Kabupaten Lombok Timur dalam kebijakan yang dituangkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah tahun 2010 sebagai kawasan wisata bahari, maka perlu dilakukan evaluasi penataan zona didalamnya dengan mempertimbangkan kriteria ekologi, ekonomi dan sosial sebagaimana diatur dalam Permen No 17 tahun 2008 sebagai turunan UU 27 tahun 2007 tentang kawasan konservasi perairan.untuk mendukung pemanfaatan ruang kawasan yang paling optimal, perlu dilakukan analisis kesesuaian lahan dan daya dukung kawasan. Sebagai konsekuensi dari kawasan konservasi, maka setiap aktivitas yang akan dikembangkan harus berbasis kesesuaian dan daya dukung kawasan sehingga secara ekologis kualitas sumberdaya dapat terjaga keberlanjutannya, disamping memberikan kontribusi ekonomi yang menguntungkan serta dapat menjamin peningkatan kesejahteraan masyarakat secara sosial. Untuk menuju pada pengelolaan KKLD G.Sulat-G.Lawang berbasis kesesuaian lahan dan daya dukung, terdapat empat pertanyaan besar yang akan dijawab melalui penelitian ini, yaitu : 1. Apakah penetapan kawasan konservasi dan zona di dalamnya sudah mempertimbangkan kriteria kesesuaian kawasan konservasi perairan?

9 5 2. Bagaimana kesesuaian dan daya dukung lahan dalam pemanfaatan kawasan konservasi? 3. Bagaimana pemanfaatan ruang kawasan berbasis daya dukung yang paling optimal? 4. Apakah pengelolaan kawasan berbasis daya dukung tersebut dapat berkelanjutan? 1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menyusun skenario pemanfaatan ruang yang paling optimal berbasis konservasi di KKLD Gili Sulat-Gili Lawang Kabupaten Lombok Timur. Tujuan khusus penelitian adalah : 1) Mengevaluasi kriteria kesesuaian penetapan sub zona di KKLD Gili Sulat-Gili Lawang; 2) Menganalisis kesesuaian dan daya dukung lahan di kawasan konservasi Gili Sulat-Gili Lawang; 3) Menganalisis optimasi pemanfaatan ruang kawasan Gili Sulat-Gili Lawang berbasis daya dukung dan 4) Menganalisis keberlanjutan pengelolaan kawasan konservasi Gili Sulat-Gili Lawang berbasis daya dukung. Hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat bagi : 1) Ilmu pengetahuan, hasil penelitian digunakan sebagai acuan dalam pengembangan model alokasi sumberdaya di kawasan konservasi secara berkelanjutan; 2) Masyarakat, sebagai gambaran dalam menentukan seberapa besar pemanfaatan sumberdaya dapat dikembangkan secara optimal; dan 3) Pemerintah, digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam perumusan kebijakan pengelolaan kawasan konservasi bagi Pemerintah Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat serta Provinsi lainnya yang memiliki areal kawasan konservasi Kerangka Pemikiran Pembangunan pulau kecil memerlukan pendekatan khusus karena memiliki keterbatasan sumberdaya alam, ekonomi dan budaya, sehingga tidak banyak pilihan dalam pembangunannya, seperti pengembangan pulau secara terbatas atau sebagai kawasan konservasi. Keterbatasan ini memberikan pilihan model pengelolaan pulau kecil berbasis daya dukung, sehingga diharapkan dapat memberikan prioritas pengelolaan yang lebih terarah dan berkelanjutan.

10 6 Dalam perencanaan pengelolaan pulau kecil, prioritas pembangunan sumberdaya manusia sangat penting selain sumberdaya alamnya, karena terkait dengan keberlanjutan pengelolaan pulau serta kesejahteraan masyarakat setempat. Dalam pengembangan kawasan konservasi cukup banyak kendala yang dihadapi, namun bukan berarti kawasan konservasi tidak dapat dikembangkan, melainkan pola pembangunannya harus mengikuti kaidah ekologis, sehingga tingkat pemanfaatan tidak boleh melebihi daya dukung kawasan. Dampak negatif pembangunan hendaknya ditekan seminimal mungkin sesuai dengan kemampuan daya dukung. Selain itu setiap kegiatan yang akan dikembangkan harus memenuhi skala ekonomi yang optimal dan menguntungkan serta sesuai dengan budaya lokal (Bengen 2002). Pola pembangunan wilayah pulau kecil dengan pendekatan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) suatu wilayah kepulauan secara ekologis memerlukan empat persyaratan (Dahuri 1998). Pertama setiap kegiatan pembangunan harus ditempatkan pada lokasi yang secara biofisik sesuai. Persyaratan ini dapat dilakukan dengan membuat peta kesesuaian (land suitability). Kedua jika memanfaatkan sumberdaya dapat pulih, maka tingkat pemanfaatannya tidak boleh melebihi potensi lestari stok ikan tersebut. Ketiga jika membuang sampah di pulau (biodegradable) tidak melebihi kapasitas asimilasi lingkungan pulau tersebut. Keempat jika akan memodifikasi bentang alam suatu pulau harus sesuai dengan pola hidrodinamika setempat dan prosesproses alami lainnya (design with nature). G.Sulat-G.Lawang merupakan pulau sangat kecil tidak berpenduduk dan didominasi ekosistem mangrove, disamping ekosistem terumbu karang dan padang lamun yang dalam proses pemanfaatannya selama ini telah mengakibatkan perubahan-perubahan terhadap ekosistemnya, seperti penebangan hutan mangrove serta rusaknya terumbu karang. G.Sulat-G.Lawang merupakan kawasan konservasi laut daerah, dimana banyak pihak yang berkepentingan dalam pemanfaatannya, sehingga perlu dilakukan kajian tentang Optimasi Pemanfaatan Ruang Kawasan. Untuk melakukan kegiatan ini dibuat skema tahapan analisis optimasi pemanfaatan ruang kawasan konservasi seperti berikut :

11 7 1. Pemanfaatan kawasan konservasi berbasis daya dukung dimulai dari pemahaman tentang kondisi biofisik ekosistem, sosial budaya, ekonomi dan pemanfatan kawasan yang sesuai. 2. Setelah menyusun kriteria biofisik untuk membuat peta kesesuaian lahan, perlu diketahui potensi sumberdaya bio-geofisik kawasan. Pengukuran potensi sumberdaya berkaitan dengan seberapa besar pemanfaatan yang dapat dilakukan dan berapa besar sumberdaya yang dapat dieksploitasi sehingga tidak melebihi daya dukungnya. 3. Dalam menentukan kesesuaian lahan didasarkan pada analisis daya dukung (ekologi, ekonomi dan sosial) dan analisis biofisik. Beberapa pendekatan untuk menentukan analisis tersebut seperti parameter kualitas lingkungan perairan (fisika, kimia dan biologi), potensi mangrove, terumbu karang dan lamun. 4. Hasil beberapa analisis yang dilakukan seperti analisis kesesuaian lahan, analisis potensi sumberdaya alam dan analisis multikriteria,memberikan prioritas pemanfaatan ruang kawasan berbasis kesesuaian dan daya dukung. G.Sulat-G.Lawang memiliki sumberdaya alam yang dalam proses pengembangannya harus mengikuti kaidah-kaidah sebagai kawasan konservasi. Beberapa karakteristik G.Sulat-G.Lawang seperti pemanfaatan secara intens oleh masyarakat, kesulitan dalam meningkatkan skala ekonomi, sehingga pemanfaatannya harus melalui perencanaan yang tepat. Oleh karena itu pemanfaatan kawasan G.Sulat-G.Lawang harus melalui proses analisis potensi berdasarkan kesesuaian kawasan dan daya dukung. Hasil analisis berbagai aspek di atas digabungkan dengan analisis kesesuaian pemanfaatan dan analisis multikriteria untuk pengelolaan kawasan, sehingga diharapkan pemanfaatannya dapat dilakukan secara berkelanjutan. 1.5.Hipotesis Dari uraian latar belakang, tujuan dan permasalahan yang ada maka hipotesis yang dapat diajukan adalah : Pemanfaatan ruang berbasis kesesuaian lahan dan daya dukung dapat menentukan keberlanjutan pengelolaan kawasan konservasi G.Sulat-G.Lawang.

12 8 Diagram alir kerangka pemikiran kajian optimasi pemanfaatan ruang kawasan konservasi G.Sulat-G.Lawang dapat dilihat pada Gambar 1 berikut : KAWASAN KONSERVASI GILI SULAT - GILI LAWANG KKLD GILI SULAT - GILI LAWANG SK BUPATI No /452/KP/2004 PENETAPAN KAWASAN LINDUNG GILI SULAT- GILI LAWANG (SK Menhut, 1994) PENGUKUHAN HUTAN LINDUNG (SK Menhut No : 598/Menhut II/ 2009) KESESUAIAN EKOLOGIS? YA TIDAK DAYA DUKUNG EKOLOGIS ASPEK EKONOMI, SOSIAL, KELEMBAGAAN EVALUASI KESESUAIAN EKOLOGIS OPTIMASI PEMANFATAN RUANG KAWASAN ANALISIS KEBERLANJUTAN EKOLOGI EKONOMI SOSIAL ARAHAN PEMANFAATAN RUANG KKLD Gili Sulat-Gili Lawang KELEMBAGAAN Gambar 1. Kerangka Pendekatan Penelitian

13 Penelitian Terdahulu Tabel berikut ini menguraikan beberapa penelitian yang sudah dilakukan di lokasi G.Sulat-G.Lawang. Tabel 1. Penelitian yang telah dilakukan di G.Sulat-G.Lawang No Author Tahun Judul 1. Tri Ari Setyastuti Tesis Program Studi SPL Sekolah Pascasarjana IPB, BRKP Tim Peneliti, Syamsul Agus Bahri Tesis Program Studi SPL Sekolah Pascasarjana IPB, Sitti Hilyana, dkk Penyusunan Masterplan Mangrove se Nusa Tenggara Barat, Yayasan Laut Biru Cofish Project, P3L Unram Dislutkan Kabupaten Lotim, 2009 Kajian Pengelolaan Hutan Mangrove Berbasis Masyarakat di Desa Sambelia, Kab. Lombok Timur NTB Kajian Potensi Sumberdaya Pesisir dan Laut Penilaian Ekologi Ekonomi Sumberdaya Wilayah Pesisir di Sambelia Kecamatan sambelia, Kabupaten Lombok Timur. Identifikasi Tingkat Kekritisan Ekosistem Mangrove di Kawasan Konservasi Gili Sulat- Gili Lawang Penyusunan Aturan Pengelolaan SDPL berbasis Masyarakat. Identifikasi Kondisi Terumbu Karang di kawasan Sambelia Kabupaten Lombok Timur 1.7. Novelty (Kebaruan) Penelitian Disertasi ini memiliki kebaruan pada konsepnya yaitu menghasilkan : 1. Model pemanfaatan ruang kawasan konservasi berbasis daya dukung 2. Model integrated multi sektor dalam pengelolaan kawasan konservasi

14 10 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil. Beller et al. (1990) mendefinisikan Pulau Kecil sebagai pulau dengan luas < km 2 dan mempunyai penduduk < jiwa. Fakland (1991) menyatakan pulau kecil adalah suatu wilayah yang memiliki luas tidak lebih dari 2000 km 2 dan lebarnya tidak lebih dari 10 km, sedangkan definisi untuk pulau sangat kecil yaitu wilayah yang memiliki luas tidak lebih dari 100 km 2 dan lebar tidak lebih dari 3 km ( UNESCO 1991). Kepmen Kelautan dan Perikanan No. 41/2000 tentang Pedum Pengelolaan PPK, bahwa pulau kecil adalah pulau yang ukuran luasnya < km 2 dengan jumlah penduduk < jiwa. Sedangkan untuk pulau dengan ukuran <2.000 km 2 terdapat pedoman khusus menyangkut kegiatan ekonomi sesuai dengan ukuran pulau, mencakup kegiatan konservasi sumberdaya alam, budidaya laut, pariwisata bahari, usaha penangkapan ikan berkelanjutan, industri teknologi tinggi non-ekstraktif, pendidikan dan penelitian, dan lain sebagainya. Ukuran pulau kecil ini kemudian ditegaskan sebagai pulau dengan ukuran <2000 km 2 pada peraturan perundangan terbaru yaitu Perpres No 78 tahun 2005 tentang Pengelolaan PPK Terluar. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tidak ada definisi yang baku tentang PPK selain luas lahan dan populasi menjadi indikator utama definisi tersebut (Adrianto 2006). Arahan pengelolaan PPK diperuntukan bagi kegiatan berbasis konservasi, artinya pemanfaatan untuk berbagai kegiatan yang bersifat eksploratif-destruktif tidak diperkenankan, karena PPK memiliki sejumlah kendala dan karakteristik yang sangat berbeda dengan pulau besar (mainland). Atas dasar karakteristiknya, maka arahan peruntukan dan pemanfaatannya berupa kegiatan yang memanfaatkan potensi sumberdaya PPK, seperti perikanan tangkap, budidaya laut, dan pariwisata (Bengen 2002 dalam Maanema 2003). Kebijakan pengelolaan PPK harus berbasis kondisi dan karakteristik biogeofisik serta sosial ekonomi, mengingat peran dan fungsi kawasan sangat penting baik bagi kehidupan ekosistem laut maupun ekosistem daratan (mainland) Fauzi dan Anna (2002). Salah satu cara yang diterapkan adalah menetapkan Daerah Perlindungan Laut (DPL), dengan maksud melindungi sumberdaya perikanan, pelestarian genetik dan plasma nutfah serta mencegah rusaknya bentang alam (Salm et al dalam Maanema 2003).

15 11 Tabel 2. Kriteria umum untuk penentuan pemanfaatan pulau-pulau kecil No Kriteria Uraian 1. Sosial a. Diterimanya secara sosial, berarti : didukung oleh masyarakat lokal, adanya nilai-nilai lokal untuk melakukan konservasi SDA, adanya kebijakan pemerintah setempat untuk menetapkan Daerah Perlindungan Laut (DPL). b. Kesehatan masyarakat, berarti : mengurangi pencemaran dan berbagai penyakit, mencegah terjadinya area kontaminasi. c. Rekreasi, berarti : dapat digunakan untuk kegiatan rekreasi, masyarakat lokal dapat memanfaatkan manfaat dengan berkembangnya kegiatan rekreasi. d. Budaya, berarti : adanya nilai-nilai agama, sejarah dan budaya lainnya yang mendukung adanya DPL. e. Estetika, berarti : adanya bentang laut dan bentang alam yang indah, keindahan ekosistem dan keanekaragaman jenis memberikan nilai tambah untuk rekreasi. f. Konflik kepentingan, berarti :pengembangan DPL akan membawa efek positif pada masyarakat lokal. g. Keamanan, berarti : dapat melindungi masyarakat dari berbagai kemungkinan bahaya badai, ombak, arus, dan bencana lainnya. h. Aksesibilitas, berarti : memiliki akses dari daratan dan lautan. i. Penelitian dan pendidikan, berarti : memiliki berbagai ekosistem yang dapat dijadikan objek penelitain dan pendidikan. j. Kepedulian masyarakat, berarti : masyarakat ikut berperan aktif dalam melakukan kegiatan konservasi. 2. Ekonomi a. Memiliki spesies penting, berarti : area yang dilindungi memiliki spesies yang bernilai ekonomi, misalnya terumbu karang, mangrove, dan estuaria. b. Memiliki nilai penting untuk kegiatan perikanan, berarti : area perlindungan dapat dijadikan untuk menggantungkan hidup para nelayan, area perlindungan merupakan daerah tangkapan. c. Ancaman terhadap alam, berarti : adanya ancaman dari aktifitas manusia, adanya ancaman dari kegiatan merusak seperti pengeboman, penggunaan alat tangkap tidak ramah lingkungan, daerah yang perlu dikelola untuk menjaga kelestariannya. d. Keuntungan ekonomi, berarti : adanya dampak positif bagi ekonomi setempat. e. Pariwisata, berarti : merupakan area yang potensial dikembangkan untuk pariwisata. 3. Ekologi a. Keanekaragaman hayati, berarti : memiliki kekayaan keanekaragaman ekosistem spesies. b. Kealamiahan, berarti : tidak mengalami kerusakan, masih dalam keadaan alami. c. Ketergantungan, berarti : berbagai spesies sangat tergantung pada area ini, proses-proses ekologi sangat bergantung pada daerah ini. d. Keterwakilan, berarti : area yang akan ditentukan mewakili berbagai tipe habitat, ekosistem, geologikal, dan berbagai karakteristik alam lainnya. e. Keunukan, berarti : memiliki spesies yang unik, memiliki spesies yang endemik, memiliki spesies yang hampir punah. f. Produktifitas, berarti : produktifitas area akan memberikan kontribusi untuk berbagai spesies dan manusia. g. Vulnerabilitas, berarti : area ini memiliki fungsi perlindungan dari berbagai ancaman bencana. 4. Regional a. Tingkat kepentingan regional, berarti : mewakili karakteristik regional setempat baik itu alamnya, proses ekologi, maupun budayanya, merupakan daerah migrasi beberapa spesies, memberikan kontribusi untuk pemeliharaan berbagai spesies. b. Tingkat kepentingan sub-regional, berarti : memiliki dampak positif terhadap subregional, dapat dijadikan perbandingan dengan subregional yang tidak dijadikan DPL. Sumber : Bengen (2002) ; Salm et al (2000) in Maanema (2003)

16 12 Beberapa persoalan ekologi yang terjadi di kawasan pesisir pulau-pulau kecil merupakan akibat terlampauinya daya dukung karena eksploitasi sumberdaya, seperti penebangan mangrove akan menyebabkan hilangnya fungsi ekologis, walaupun memberikan kontribusi secara ekonomi tetapi hanya dalam waktu tertentu. Alrasjid 1988 dalam Dahuri et al 1998, bahwa ekosistem mangrove mampu menghasilkan sekitar 9m 3 kayu/ha/tahun. Adanya keterbatasan PPK, maka pengelolaannya berdasarkan penzonasian dan berbasis daya dukung. Penzonasian dilakukan berdasarkan kriteria yang terkait satu sama lain sehingga pengelolaannya dilakukan secara terpadu. Kriteria zonasi pulau kecil (Bengen 2002) yaitu : 1) Ekologi meliputi : keanekaragaman hayati, didasarkan pada keragaman atau kekayaan ekosistem, habitat, komunitas dan jenis biota; kealamian, didasarkan pada tingkat degradasi; ketergantungan, didasarkan pada tingkat ketergantungan spesies pada lokasi atau tingkat dimana ekosistem bergantung pada proses-proses ekologi yang berlangsung dilokasi; keunikan, didasarkan pada keberadaan suatu spesies endemik atau yang hampir punah; integritas, didasarkan pada tingkat dimana lokasi merupakan suatu unit fungsional dari entitas ekologis; produktivitas, didasarkan pada tingkat dimana proses-proses produktif dilokasi memberikan manfaat bagi biota atau manusia; kerentanan, didasarkan pada kepekaan lokasi terhadap degradasi oleh pengaruh alam maupun aktivitas manusia. 2) Ekonomi meliputi : spesies penting, didasarkan pada tingkat dimana spesies penting komersial tergantung pada lokasi; kepentingan perikanan, didasarkan pada jumlah nelayan yang tergantung pada lokasi dan ukuran hasil perikanan; bentuk ancaman, didasarkan pada luasnya perubahan pola pemanfaatan yang mengancam keseluruhan nilai lokasi bagi manusia; manfaat ekonomi, didasarkan pada tingkat perlindungan lokasi berpengaruh pada ekonomi lokal dalam jangka panjang; pariwisata, didasarkan pada nilai keberadaan atau potensi lokasi untuk pengembangan pariwisata. 3) Sosial-budaya meliputi : penerimaan sosial, didasarkan pada tingkat dukungan masyarakat; kesehatan masyarakat, didasarkan pada keberadaan kawasan dapat membantu mengurangi pencemaran atau penyakit yang berpengaruh pada kesehatan masyarakat; budaya, didasarkan pada nilai sejarah, agama, seni atau nilai budaya lain di lokasi;

17 13 estetika, didasarkan pada nilai keindahan lokasi; konflik kepentingan, didasarkan dimana kawasan dapat berpengaruh pada aktivitas masyarakat lokal; keamanan, didasarkan pada tingkat bahaya dari lokasi bagi manusia karena adanya arus kuat, ombak besar dan hambatan lainnya; aksesibilitas, didasarkan pada tingkat kemudahan mencapai lokasi; apresiasi masyarakat, didasarkan pada tingkat dimana monitoring, penelitian, pendidikan, atau pelatihan dapat berkontribusi pada pengetahuan nilai-nilai lingkungan dan tujuan konservasi Kawasan Konservasi Kawasan yang dilindungi (protected area) adalah suatu areal yang secara khusus diperuntukan bagi perlindungan dan pemeliharaan keanekaragaman hayati dan budaya, dikelola melalui upaya yang legal atau upaya efektif lainnya IUCN (1994). Definisi Kawasan Konservasi di Indonesia tertuang dalam UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, mengadopsi dari World Conservation Strategy (IUCN 1980), yakni konservasi didefinisikan sebagai manajemen biosphere secara berkelanjutan untuk memperoleh manfaat bagi generasi sekarang dan yang akan datang. Dalam penentuan suatu ekosistem menjadi daerah perlindungan dan pelestarian ditentukan oleh kebutuhan untuk melindungi ekosistem. Berdasarkan pendekatan ekologis, apabila ekologis tidak terpenuhi maka akan menyebabkan kerusakan kawasan yang dijadikan sebagai daerah perlindungan. Ada dua konsep dasar dalam menentukan batasan ekologis dalam upaya perlindungan kawasan terumbu karang, yaitu (1) Habitat yang harus dimasukkan kedalam kawasan perlindungan dan (2) Luas daerah yang harus dilindungi (Salm and Clark 1982). Menurut Westmacott et al 2000, bahwa konservasi memegang peranan penting bagi pelestarian dan pengelolaan terumbu karang, dengan cara : (a) melindungi daerah terumbu karang yang tidak rusak dan sebagai sumber larva serta alat untuk membantu pemulihan, (b) melindungi daerah bebas dari dampak manusia dan sesuai sebagai substrat karang dan pertumbuhan kembali, (c) memastikan bahwa terumbu karang tetap menopang keberlangsungan kebutuhan masyarakat sekitar termasuk untuk kegiatan perikanan dan wisata. Alcala (1988) dan Roberts (1995), bahwa pengembangan kawasan konservasi laut dalam luasan kecil pada suatu wilayah menunjukkan peningkatan

18 14 yang cukup berarti pada produktivitas perikanan disekitarnya, seperti pada tiga pulau di Philipina, diperoleh produksi perikanan antara metrik ton (mt)/km 2 /tahun sebelum dibangun KKL. White (1989) di Pulau Sumilon hasil produksi perikanan sebesar mt/km 2 /tahun sebelum ada KKL, setelah dibangun KKL hasil tangkapan meningkat menjadi 36 mt/km 2 /tahun. Produksi KKL kembali menurun 20 mt/km 2 /tahun ketika pengelolaan KKL mengalami masalah. White (1989), bahwa KKL merupakan area recruitment bagi ikan karang yang bergerak pada kawasan terumbu karang di dalam dan diluar KKL. Hutomo dan Suharti (1998) melaporkan bahwa terumbu karang dapat memberikan manfaat langsung berupa hasil laut sebanyak 25 ton/ha/tahun. Keanekaragaman species digunakan sebagai indikator stabilitas lingkungan. Selain itu, species itu sendiri penting karena fungsinya bertindak dalam menimbulkan jasa ekologis yang bernilai ekonomis. Keanekaragaman secara fungsional menentukan ketahanan (resilience) ekosistem atau sensitivitas ekosistem (Holling et al 1996). Jumlah species dan komposisi species ikan merupakan indikator integritas biotik ekosistem perairan (Karr 2002). Menurut Keputusan Presiden Nomor 32 tahun 1990 dalam DKP (2002) terdapat 4 (empat) kategori kawasan lindung yaitu : (1) Kawasan yang memberikan Perlindungan bagi kawasan bawahannya meliputi: Kawasan hutan lindung yaitu kawasan hutan yang terletak di pesisir dan telah ditetapkan sebagai Hutan Lindung (Perda RTRW); Kawasan bergambut yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut yang berfungsi mengendalikan faktor hidrologi wilayah dan melindungi ekosistem yang khas; dan Kawasan resapan air atau sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS) (2) Kawasan perlindungan setempat meliputi: Kawasan sempadan pantai yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi pantai, minimal 100 meter dari pasang tertinggi ke arah darat; Kawasan sekitar mata air atau DAS. Pada daerah pesisir, kawasan mata air yang perlu dilindungi terutama yang terdapat di pulau-pulau kecil; (3) Kawasan suaka alam dan cagar budaya, Kawasan Perlindungan terhadap kawasan suaka alam dilakukan untuk melindungi keanekaragaman biota, ekosistem tertentu, gejala dan keunikan alam bagi kepentingan plasma nutfah, ilmu pengetahuan dan pembangunan pada umumnya. Kawasan

19 15 Suaka Alam dan Cagar Budaya adalah Kawasan Cagar Alam, Suaka Margasatwa, Kawasan Taman Nasional dan Kawasan Taman Wisata Alam yang dapat ditemukan di wilayah daratan dan perairan pesisir. (4) Kawasan rawan bencana alam, perlindungan terhadap kawasan rawan bencana alam dilakukan untuk melindungi manusia dan kegiatannya dari bencana yang disebabkan oleh faktor alam dan faktor manusia. Kawasan konservasi didasarkan atas kategori IUCN (1980): Strict Nature Reserve/Wilderness Area (kawasan cadangan alam/hutan belantara); National Park (Taman Nasional); Natural Monument Area (Kawasan Monumen Alam); Kawasan yang dilindungi untuk komponen alami tertentu yang khas dan unik karena kelangkaan wilayah dan jenis biotanya, kualitas estetikanya atau kepentingan budaya; Habitat/Species Management Area (kawasan pengelolaan habitat/ species tertentu); Kawasan lindung yang dikelola untuk kegiatan konservasi. Pada kawasan ini terdapat unsur intervensi manusia; Landscape/Seascape Protected Area (kawasan perlindungan bentang alam/ bentang laut), kawasan yang dilindungi dengan tujuan konservasi bentang alam dan bentang laut; Managed Resources Protected Area (kawasan perlindungan bagi pengelolaan sumberdaya); dan Kawasan lindung yang dikelola untuk keberlanjutan pemanfaatan ekosistem dan sumberdaya pesisir. Kawasan konservasi di wilayah pesisir, laut dan pulau-pulau kecil memiliki fungsi (Agardy 1997; Barr et al dalam Bengen 2002): (1) Melindungi keanekaragaman hayati serta struktur, fungsi dan integritas ekosistem; dapat berkonstribusi untuk mempertahankan keanekaragaman hayati pada semua tingkatan trophik dari ekosistem, melindungi hubungan jaringan makanan, dan proses-proses ekologis dalam suatu ekosistem. (2) Meningkatkan hasil perikanan; dapat melindungi daerah pemijahan, pembesaran dan mencari makanan; meningkatkan kapasitas reproduksi dan stok sumberdaya ikan. (3) Menyediakan tempat rekreasi dan pariwisata; dapat menyediakan tempat untuk kegiatan rekreasi yang bernilai ekologis dan estetika. (4) Memperluas pengetahuan dan pemahaman tentang ekosistem; dapat meningkatkan pemahaman dan kepedulian masyarakat terhadap ekosistem pesisir, laut dan pulau-pulau kecil.

20 16 (5) Memberikan manfaat sosial ekonomi bagi masyarakat pesisir; dapat membantu masyarakat dalam mempertahankan basis ekonominya melalui pemanfaatan sumberdaya dan jasa-jasa lingkungan secara berkelanjutan Penzonasian Kawasan Konservasi Kawasan Konservasi Prairan didefinisikan sebagai kawasan perairan yang dilindungi, dikelola dengan sistem zonasi untuk mewujudkan pengelolaan sumberdaya ikan dan lingkungannya secara berkelanjutan. Pengertian KKP menurut UU 31/2004 tentang perikanan serta perubahannya (UU 45/2009) dan PP no 60/2007 tentang konservasi sumberdaya ikan, paling tidak memuat dua hal penting yang menjadi paradigma baru dalam pengelolaan konservasi. Pertama, Pengelolaan KKP diatur dengan sistem zonasi. Empat pembagian zona yang dapat dikembangkan didalam KKP yakni zona inti, zona perikanan berkelanjutan, zona pemanfaatan dan zona lainnya. Zona perikanan berkelanjutan tidak pernah dikenal dan diatur dalam regulasi pengelolaan kawasan konservasi menurut Undang-Undang No 5 tahun 1990 dan PP 58/1998. Kedua, dalam hal kewenangan, pengelolaan kawasan konservasi yang selama ini menjadi kewenangan pemerintah pusat, Berdasarkan Undang-Undang 27/2007 dan PP 60/2007 serta Permen Men KP No 02/2009, pemerintah daerah diberi kewenangan dalam mengelola kawasan konservasi diwilayahnya. Hal ini sejalan dengan mandat UU 32/2004 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU no 12/2008 tentang pemerintahan daerah terkait pengaturan pengelolaan wilayah laut dan konservasi. Penetapan KKP merupakan salah satu upaya konservasi ekosistem yang dapat dilakukan terhadap semua ekosistem, yaitu terhadap satu atau beberapa tipe ekosistem penting untuk dikonservasi berdasarkan kriteria ekologis, ekonomi dan sosial budaya. Konservasi saat ini telah menjadi tuntutan dan kebutuhan yang harus dipenuhi sebagai harmonisasi atas kebutuhan ekonomi masyarakat dan keinginan untuk terus melestarikan sumberdaya yang ada bagi masa depan. Data direktorat konservasi kawasan dan jenis ikan (KKJI) menyebutkan bahwa sampai akhir tahun 2010 tercatat 13,9 juta hektar kawasan konsrrvasi perairan laut di Indonesia. Salm dan Clark (1982), pemilihan Marine Protected Area bergantung pada tujuan pembentukannya yaitu: (1) tujuan sosial, pengembangannya untuk

21 17 rekreasi, pendidikan dan penelitian serta peninggalan sejarah dan situs budaya, kriterianya ditekankan pada faktor keselamatan; (2) tujuan ekonomi, perhatian utama pada perlindungan wilayah pesisir, pemeliharaan perikanan atau pengembangan wisata dan industri yang sesuai, kriteria ditekankan pada intensitas eksploitasi sumberdaya, memiliki potensi nilai ekonomi dari sumberdaya serta tingkat ancaman terhadap sumberdaya yang ada; dan (3) tujuan ekologi, seperti pemeliharaan keragaman genetik, proses ekologis, pemulihan kembali species, kriteria ditekankan pada keunikan, keragaman dan sifat alamiah lokasi. Zonasi merupakan salah satu metode pengelolaan wilayah pesisir (Clark 1974). Zonasi mempunyai dua tujuan yaitu pencegahan kerusakan dan kemudahan pengaturan. Zonasi diharapkan dapat mengurangi konflik antar pengguna sumberdaya dan lingkungan sehinga keberlanjutan pembangunan dapat tercpai. Secara umum sangat sedikit alasan ekologis yang dijadikan dasar untuk menentukan batas dan zonasi kawasan konservasi, karena selama ini batas kawasan konservasi didasarkan pada karakteristik geologis kawasan, batas administratif atau faktor biaya. Tidak ada aturan baku yang menetapkan ukuran optimal dan rancangan dari suatu kawasan konservasi, yakni : kategori disagregasi (sekelompok kawasan konservasi yang berukuran kecil), dan kategori agregasi (suatu kawasan konservasi yang berukuran besar). Setiap kategori ukuran memiliki keunggulan sendiri. Kawasan konservasi yang berukuran kecil dapat mendukung kehidupan lebih banyak jenis biota dengan relung yang berbeda-beda, serta tidak merusak semua kawasan konservasi secara bersamaan bila terdapat bencana. Kawasan konservasi yang berukuran besar menuntut adanya zonasi kawasan untuk dapat mendukung pengelolaan yang efektif bagi berbagai pemanfaatan secara berkelanjutan. Dengan adanya zonasi maka pemanfaatan sumberdaya alam dapat dikontrol secara efektif guna mencapai sasaran dan tujuan kawasan konservasi. Pengelolaan zona dalam kawasan konservasi didasarkan pada luasnya berbagai pemanfaatan sumberdaya kawasan. Aktivitas di dalam setiap zona ditentukan oleh tujuan kawasan konservasi, sebagaimana ditetapkan dalam rencana pengelolaan. Secara umum zona-zona di suatu kawasan konservasi dapat dikelompokkan atas 3 (tiga) zona (Budiharsono 2006) :

22 18 (1) Zona inti Habitat di dalam zona ini memiliki nilai konservasi yang tinggi, sangat rentan terhadap gangguan atau perubahan, hanya dapat mentolerir sangat sedikit aktivitas manusia. Zona inti harus dikelola dengan tingkat perlindungan yang tinggi serta tidak dapat diijinkan adanya aktivitas eksploitasi. (2) Zona penyangga Merupakan zona transisi antara zona inti (zona konservasi) dengan zona pemanfaatan. Penyangga di sekeliling zona inti ditujukan untuk menjaga zona inti dari berbagai aktivitas pemanfaatan yang dapat mengganggu dan melindungi zona inti dari pengaruh eksternal, bersifat lebih terbuka, tapi tetap dikontrol dan beberapa pemanfaatan masih dapat diijinkan. (3) Zona pemanfaatan Zona pemanfaatan masih memiliki nilai konservasi tertentu, tetapi dapat mentolerir berbagai tipe pemanfaatan oleh manusia dan layak bagi beragam kegiatan eksploitasi yang diijinkan dalam suatu kawasan konservasi. Penzonasian tersebut ditujukan untuk membatasi tipe-tipe habitat penting untuk perlindungan keanekaragaman hayati dan konservasi sumberdaya ekonomi sebagaimana sasaran kawasan konservasi di wilayah pesisir. Menurut Salm (2000), bahwa daerah perlindungan laut dapat membantu mewujudkan tiga tujuan utama dari konservasi sumberdaya alam (IUCN 1980) yaitu : (1) mempertahankan proses ekologi yang penting dan sistem pendukung kehidupan; (2) mempertahankan keanekaragaman genetik dan; (3) Menjamin pemanfaatan spesies dan ekosistem yang berkelanjutan. Kawasan konservasi perairan dapat berperan dalam mempertahankan biodiversity, genetic diversity, ekosistem dan proses ekologi, menjamin pemanfaatan sumberdaya berkelanjutan; melindungi spesies ekonomis; mengembalikan stok yang hilang; pendidikan dan penelitian; memberikan perlindungan dari bencana alam; menjadi tujuan rekreasi dan pariwisata; dan memberikan keuntungan sosial dan ekonomi. Pengelolaan kawasan konservasi berdasarkan pada sistem zonasi yang ada di dalamnya meliputi zona inti, zona perikanan berkelanjutan, zona pemanfaatan dan zona lainnya. Pada zona inti, umumnya diberlakukan no-take zone atau penutupan area dari berbagai macam kegiatan eksploitasi. Pembuktian ilmiah sudah cukup kuat menyatakan bahwa KKP dengan suatu kawasan no-take zone yang cukup substansial di dalamnya menyebabkan

23 19 peningkatan biomas ikan, ukuran ikan yang lebih besar, dan komposisi spesies yang lebih alami. Misalnya KKP di St. Lucia yang terdiri dari 5 KKP yang berukuran kecil, diketahui telah meningkatkan hasil tangkapan nelayan tradisional antara 40-90%, sementara kawasan perlindungan laut di Merrit Island National Wildlife Refuge (Florida) telah meningkatkan persediaan jumlah dan ukuran ikan bagi pemancing rekreasional di perairan sekitarnya sejak tahun 1970 an (Robert and Hawkins 2000 dalam Wiadnya et al. 2005). Mekanisme peningkatan biomas dan ukuran individu ikan ekonomis penting di dalam zona inti dapat memberikan manfaat bagi perikanan komersial di sekitarnya melalui: (1) penyebaran ikan muda dan dewasa dari dalam kawasan larang-ambil ke wilayah perikanan di sekitarnya, spill-over, (2) ekspor telur dan larva yang bersifat planktonik dari wilayah larang-ambil ke wilayah perikanan di sekitarnya, dan (3) mencegah hancurnya perikanan tangkap secara keseluruhan jika pengelolaan perikanan di luar zona inti mengalami kegagalan. Selain dapat mempertahankan kondisi ekosistem, zona inti juga dimaksudkan agar induk ikan karang mempunyai daerah agregasi sehingga fertilisasi lebih banyak terjadi. Dengan demikian maka terjadi peningkatan rekruitmen dan penyebaran juvenile ikan ke luar zona inti. Oleh sebab itu, manfaat kawasan konservasi perairan lebih terlihat pada organism sedentary. Keuntungan lain dari KKP dibanding alat pengelolaan perikanan seperti pengaturan usaha, pengaturan kuota dan alat tangkap adalah bahwa pengaruh penutupan wilayah di dalam kawasan bisa menjadi penjelasan yang cukup tajam kepada para pihak, khususnya jika penutupan wilayah tersebut mencakup wilayah pemijahan atau pendederan (Wiadnya et al. 2005). Pengelolaan kawasan konservasi secara terintegrasi bertujuan untuk mencapai pembangunan yang berkelanjutan serta perlindungan atas habitat dan sumberdaya alam. Dalam arti, skema pengelolaan membutuhkan penyatuan dalam hal dimensi ekologi, ekonomi, sosial budaya, politik dan kelembagaan. Dimensi ekologi mensyaratkan: a) aktivitas harus didasari perimbangan ekologi dan perencanaan spatial serta perencanaan penggunaan lahan merupakan puncak aktivitas yang sangat penting; b) kegiatan yang ada saat ini dan di masa mendatang harus terencana dan dikelola agar limbah yang dihasilkan di bawah kapasitas asimilasi; c) sumberdaya alam yang dapat diperbaharui tidak dieksploitasi di atas kapasitas regenerasi. Dimensi sosial-ekonomi dan budaya, pembangunan harus menyediakan kebutuhan dasar manusia dan pelayanannya

24 20 dalam kerangka kapasitas regenerasi ekosistem asli. Dimensi sosial politik, aktivitas masa depan harus menjamin pengikutsertaan masyararakat dan bentuk partisipasi aktif pada setiap pengambilan keputusan. Dimensi kelembagaan, instansi pemerintah bertanggung jawab dalam integrasi dan koordinasi pembangunan dengan undang-undang maupun peraturan yang menjamin pelaksanaan yang bijaksana setiap aktivitas pembangunan yang dijalankannya (Cincin-Sain et al. 2002) Konservasi dan Pariwisata Bahari Konservasi dan pariwisata bahari merupakan kegiatan yang saling menunjang sehingga dari segi ruang dan waktu dapat dipadukan. Pariwisata bahari memerlukan keaslian dan keindahan flora dan fauna yang sebagian berasal dari kawasan konservasi, sebaliknya kawasan konservasi terlindungi apabila masuk dalam kawasan pariwisata. Halim (1998), pengelolaan kawasan konservasi laut memerlukan zona tertentu untuk menunjang mata pencaharian masyarakat pesisir maupun kegiatan lainnya sesuai azas kelestarian. Pengelolaan disadari tiga aspek konservasi : perlindungan ekosistem penyangga kehidupan; pengawetan plasma nutfah, dan pelestarian pemanfaatan. Kawasan Konservasi Laut (KKL) telah menunjukkan manfaat yang berarti berupa peningkatan biomas. Hasil studi Halpern (2003), menunjukkan bahwa secara rata-rata, kawasan konservasi telah meningkatkan kelimpahan (abundance) sebesar dua kali lipat, sementara biomas ikan dan keaneka ragaman hayati meningkat tiga kali lipat. Peningkatan kelimpahan dan biomass ini mengakibatkan pula peningkatan terhadap produksi perikanan (jumlah tangkap dan rasio tangkap per unit upaya atau CPUE). Beberapa studi menunjukan bahwa kawasan konservasi telah meningkatkan rasio CPUE dalam kisaran 30-60% dari kondisi sebelum kawasan konservasi. Sementara itu dari sisi riil effort (jumlah trip), studi di Apo Island. Philippine dan George Bank di Amerika Serikat, telah menunjukan penurunan yang berarti. Hasil studi yang dipublikasikan pada jurnal ilmiah tanggal 5 Juli 2002, menyatakan bahwa perancangan kawasan laut larang ambil menjadi penting untuk menjamin hasil perikanan dalam jangka panjang karena penutupan tersebut mampu melestarikan variasi genetis, dilihat dari parameter ukuran ikan dan tingkat pertumbuhan, disebabkan karena pada situasi dieksploitasi, nelayan

25 21 secara selektif memilih ikan yang berukuran besar dan tidak memilih yang berukuran kecil dan tidak produktif (MPA News 2002). Dampak konservasi bagi pengelola yaitu: (1) Kawasan Konservasi Laut menyediakan alasan ekonomi bagi perlindungan secara tegas terhadap tempat yang diketahui dan potensial sebagai tempat-tempat pemijahan, (2) Taman Nasional Komodo (TNK), tempat pemijahan tersebut secara nyata mempunyai nilai ekonomi setara dengan nilai rekreasi dari fungsi taman nasional secara keseluruhan, dan (3) usaha-usaha perlindungan menyeluruh yang konsisten dengan melindungi daerah penangkapan di mana sebagian besar rumah tangga tergantung pada wilayah di luar lokasi TNK (Ruitenbeek 2001). Keuntungan yang nyata telah dibuktikan di beberapa tempat dimana terumbu karang sudah dilindungi dengan baik, termasuk pada beberapa lokasi sebagai berikut: Netherlands Antilles (Taman Nasional Laut Bonaire), dimana pariwisata selam meningkat; the Seychelles (Taman Nasional Laut Ste. Anne), dimana taman nasional digunakan baik oleh turis maupun penduduk setempat untuk berenang, berlayar, snorkeling, selam, dan perjalanan perahu beralas kaca; Fiji (Tai Island), dimana hasil tangkapan nelayan kecil meningkat, kegiatan pariwisata berkembang pesat, dan pemegang hak penangkapan tradisional (eksklusif) dilibatkan dalam pengelolaan resort dan penyewaan perahu; Cozumel Island (Mexican Caribbean) dimana terjadi peningkatan jumlah wisatawan lokal dan manca negara yang datang untuk menyaksikan melimpahnya ikan-ikan karang; dan Kenya (Taman Nasional dan Cagar Alam Malindi/Watamu), dimana pariwisata menghasilkan pendapatan melalui tiket masuk, biaya pemandu dan biaya camping, penyewaan perahu dan peralatannya, serta hotel. Keuntungan tidak langsung dengan adanya permintaan terhadap lapangan pekerjaan di hotelhotel, sebagai pemandu dan pengemudi perahu (McNeely et al. 1994). Penurunan hasil tangkap secara global dilaporkan oleh FAO (2002), 47% stok mengalami eksploitasi penuh, 15-18% stok mengalami over-eksploitasi, dan 9% stok telah terdeplesi. Gomez (1999) menyatakan bahwa di Asia tenggara, seluruh perairan pesisir sampai 15 km dari darat mengalami overfishing. Di Indonesia, Fauzi dan Anna (2002) menunjukkan sumberdaya ikan di perairan Pantai Utara Jawa telah terdepresiasi sebesar 20 milyar rupiah per tahun. Untuk terumbu karang, di kawasan Indonesia menunjukkan bahwa proporsi yang terdegradasi meningkat dari 10-50% (Hopley dan Suharsono 2000). Walaupun terumbu karang di wilayah Indonesia Timur masih dalam kondisi lebih baik daripada di Indonesia Barat, namun kondisinya menurun dalam laju yang cukup

26 22 tinggi. Berdasarkan studi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), hanya 10% terumbu karang di wilayah timur Indonesia dalam kondisi sangat baik (excellent) tutupan lebih dari 50% terumbu karang hidup, sisanya 31,8% diklasifikasikan dalam kondisi buruk (25% tutupan terumbu karang hidup), (Hopley dan Suharsono 2000). Prinsip dari konservasi adalah spill over effect atau dampak limpahan dimana pada kawasan yang dilindungi, stok ikan akan tumbuh dengan baik dan limpahan dari pertumbuhan ini akan mengalir ke wilayah di luar kawasan yang kemudian dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan tanpa mengurangi sumber pertumbuhan di daerah yang dilindungi. Konservasi memiliki banyak manfaat yang signifikan yang akan membantu pengelolaan sumberdaya kelautan dalam jangka panjang. Li (2000) merinci manfaat KKL sebagai berikut: manfaat biogeografi, keaneka ragaman hayati, perlindungan terhadap spesies endemic dan spesies langka, perlindungan terhadap spesies yang rentan dalam masa pertumbuhan, pengurangan mortalitas akibat penangkapan,peningkatan produksi pada wilayah yang berdekatan, perlindungan pemijahan, manfaat penelitian, ekoturisme, pembatasan hasil samping ikan juvenil (juvenile by catch) dan peningkatan produktifitas perairan (productivity enchancement) Penataan Ruang (Zonasi) Zonasi adalah sistem pembentukan wilayah daratan atau perairan untuk dialokasikan pada penggunaan yang spesifik; pembagian wilayah khusus ke dalam beberapa zona dimana tiap zona direncanakan untuk penggunaan atau kumpulan penggunaan khusus (Clark 1977). Zonasi merupakan proses pengaturan membagi wilayah secara geografis ke dalam sub wilayah, dimana tiap sub wilayah dirancang untuk penggunaan khusus. Kay dan Alder 2005, zonasi didasarkan pada konsep pemisahan dan pengontrolan pemanfaatan yang tidak sesuai secara spasial, yang diterapkan dalam berbagai situasi dan dapat dimodifikasi untuk disesuaikan dengan berbagai lingkungan ekologi, sosial ekonomi dan politik. Sebagian ahli berpendapat bahwa zonasi adalah pembagian kawasan (lindung dan budidaya) berdasarkan potensi dan karakteristik sumberdaya alam untuk kepentingan perlindungan dan pelestarian serta pemanfaatan guna memenuhi kebutuhan manusia secara berkelanjutan. Penataan ruang merupakan kegiatan yang cukup kompleks karena bersifat multi sektor, multi proses dan multi disiplin. Aspek yang

27 23 harus dikaji dalam pennataan ruang pesisir dan PPK, yaitu aspek ekologi (biofisik), sosial ekonomi, budaya dan kebijakan. Dalam kaitan dengan sistem pengelolaannya, penataan sistem zonasi Taman Nasional yaitu pembagian ruang berdasarkan peruntukan dan kepentingan pengelolaan, seperti zona inti, zona pemanfaatan dan zona lainnya sesuai peruntukannya. Pada prinsipnya, sistem zonasi adalah pengaturan ruang untuk mengatur jenis kegiatan manusia di dalam kawasan, sehingga dapat saling mendukung dan diharapkan dapat mengakomodasi semua kegiatan masyarakat di sekitar kawasan. UU No. 27 Tahun 2007 tentang pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil, pemerintah telah mengatur bahwa pemanfaatan PPK dan perairan di sekitarnya dilakukan berdasarkan kesatuan ekologis dan ekonomi secara menyeluruh dan terpadu dengan pulau besar di dekatnya serta diprioritaskan untuk salah satu atau lebih kepentingan: konservasi; pendidikan dan pelatihan; penelitian dan pengembangan; budidaya laut; pariwisata; usaha perikanan dan kelautan dan industri perikanan secara lestari; pertanian organik, dan/atau; peternakan. Kebijakan KKL merupakan bagian dari kebijakan pembangunan wilayah pesisir, laut dan PPK, karena itu arah kebijakan mencapai pembangunan yang optimal dan berkelanjutan, sehingga diperlukan arahan kebijakan pengelolaan secara terpadu sesuai pendapat Stephen B. Olsen (2002) bahwa pengelolaan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan dilakukan secara menyeluruh dalam merencanakan serta memanfaatkannya secara optimal dan berkelanjutan. Pengelolaan tersebut dilakukan secara kontinyu dan dinamis dengan mempertimbangkan aspek sosial-ekonomi-budaya dan aspirasi pengguna, daya dukung lingkungan pesisir, serta konflik kepentingan dalam pemanfaatan sumberdaya Daya Dukung Lingkungan Daya dukung (carrying capacity) didefinisikan sebagai intensitas penggunaan maksimum terhadap sumberdaya alam yang berlangsung secara terus menerus tanpa merusak alam ( Pearce dan Kirk 1986). Kapasitas lingkungan adalah satu konsep kunci pada ide dari pembangunan berkelanjutan (GESAMP 2001),karena itu harus tertuju pada beberapa inisiatif mendisain untuk meningkatkan pengembangan berkelanjutan. Pengertian kapasitas lingkungan (kapasitas asimilasi) adalah satu hak milik dari lingkungan dan

28 24 kemampuan untuk mengakomodasi satu aktivitas tertentu tanpa mengakibatkan dampak yang tidak dapat diterima. Kapasitas atau daya dukung lingkungan dapat menaksir dampak kumulatif atau dampak kombinasi dan tingkatan yang layak (acceptable level) dari perubahan lingkungan yang sesuai dengan tujuan manajemen lingkungan. Dengan mengestimasi kapasitas total, maka pemanfaatan lingkungan yang berbeda-beda (akuakultur, pemanfaatan lain dan komponen ekosistem alami) dapat dialokasikan. Menurut Bengen (2002), konsep daya dukung didasarkan pada pemikiran bahwa lingkungan memiliki kapasitas maksimum untuk mendukung pertumbuhan suatu organisme. Konsep ini dikembangkan untuk mencegah kerusakan atau degradasi sumberdaya alam dan lingkungan. Daya dukung dapat dinaikkan kemampuannya oleh manusia dengan memasukkan dan menambahkan ilmu dan teknologi kedalam suatu lingkungan. Namun peningkatan daya dukung lingkungan memiliki batas-batas dimana pada keadaan tertentu cenderung sulit atau tidak ekonomis lagi bahkan tidak mampu lagi dinaikkan kemampuannya karena akan terjadi kerusakan pada sumberdaya. Penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang tidak bijaksana justru akan menghancurkan daya dukung lingkungan. Di alam dikenal the law of limiting factors, yang menyatakan adanya batas minimum dan maksimum dalam alam (Gambar 2). Diluar batas toleransi ini, akan terjadi kerusakan sumberdaya alam dan ekosistem, bahkan berpeluang untuk terjadinya kehancuran sumberdaya dan ekosistem. Disamping itu, daya dukung tidak hanya dilakukan dalam penilaian aspek fisik dan ekologis saja tetapi juga digunakan dalam memperkirakan nilai daya dukung sosial, misalnya penilaian terhadap terjadinya perubahan perilaku sosial sumberdaya alam dan lingkungan adalah penting untuk menentukan bentuk pengelolaan terhadap sumberdaya terutama dalam tujuan menjaga, mengendalikan, dan melestarikan lingkungan. Kenaikan Daya Dukung Daya Dukung Rusak Minimum Limits Maksimum Limits Faktor-Faktor Lingkungan Daya Dukung Rusak Gambar 2.The Law of Limiting Factors dari daya dukung (Suratmo 1992 dalam Rauf, 2007)

29 25 Daya dukung lingkungan sangat erat kaitannya dengan kapasitas asimilasi dari lingkungan yang menggambarkan jumlah limbah yang dapat dibuang kedalam lingkungan tanpa menyebabkan polusi. Bengen (2002) Daya Dukung dapat dibedakan atas : 1. Daya Dukung Ekologis, dinyatakan sebagai tingkat maksimum penggunaan suatu kawasan atau ekosistem, baik berupa jumlah maupun kegiatan yang diakomodasikan di dalamnya, sebelum terjadi suatu penurunan kualitas ekologis kawasan atau ekosistem. Kawasan yang menjadi perhatian utama dalam penilaian daya dukung ekologis adalah jenis kawasan atau ekosistem yang tidak dapat pulih, seperti berbagai ekosistem lahan basah (wetland) antara lain rawa. Pendekatan ekologis, digunakan untuk menentukan indikator kerusakan ekosistem atau lingkungan akibat kegiatan manusia pada suatu kawasan yang antara lain dapat digambarkan oleh adanya berbagai kerusakan seperti pada vegetasi, habitat satwa, degradasi tanah, kerusakan visual objek wisata alam dan berbagai bentuk vandalisme lainnya. Walaupun demikian, penerapan teknologi pencegah dampak negatif terhadap lingkungan dapat meningkatkan daya dukung ekologis atau dapat mencegah penurunan kualitas ekosistem atau lingkungan suatu tempat. 2. Daya Dukung Fisik, merupakan jumlah maksimum penggunaan atau kegiatan yang dapat diakomodasikan dalam kawasan tanpa menyebabkan kerusakan atau penurunan kualitas kawasan tersebut secara fisik. Kawasan yang telah melampaui kondisi daya dukungnya secara fisik, antara lain dapat dilihat dari tingginya tingkat erosi, pencemaran lingkungan terutama udara dan air sungai/ permukaan, banyaknya sampah kota, suhu kota yang meningkat, konflik sosial yang terjadi pada masyarakat karena terbatasnya fasilitas umum, atau pemadatan tanah yang terjadi pada tempat-tempat rekreasi. Terlampauinya daya dukung fisik suatu kawasan akan berdampak (negatif) tidak saja terhadap aspek fisiknya tetapi juga terhadap aspek-aspek lainnya yaitu aspek-aspek sosial, ekonomi, dan juga ekologis. 3. Daya Dukung Ekonomi, merupakan tingkat produksi (skala usaha) yang memberikan keuntungan maksimum dan ditentukan oleh tujuan usaha secara ekonomi. Dalam hal ini digunakan parameter kelayakan usaha secara ekonomi.

30 26 4. Daya Dukung Sosial, merupakan gambaran dari persepsi seseorang dalam menggunakan ruang pada waktu yang bersamaan, atau persepsi pemakai kawasan terhadap kehadiran orang lain secara bersama dalam memanfaatkan suatu area tertentu. Konsep ini berkenaan dengan tingkat confortability atau kenyamanan dan apresiasi pemakai kawasan karena terjadinya atau pengaruh over-crowding pada suatu kawasan. Daya dukung sosial suatu kawasan dinyatakan sebagai batas tingkat maksimum, dalam jumlah dan tingkat penggunaan dalam suatu kawasan dimana dalam kondisi yang telah melampaui batas daya dukung ini akan menimbulkan penurunan dalam tingkat dan kualitas pengalaman atau kepuasan pengguna (pemakai) pada kawasan tersebut. Terganggunya pola, tatanan atau sistem kehidupan dan sosial budaya (indvidu, kelompok) pemakai ruang tersebut, yang dapat dinyatakan sebagai ruang sosialnya, juga merupakan gambaran telah terlampauinya batas daya dukung sosial ruang tersebut. Disamping dampak yang mengganggu kenyamanan atau kepuasan pemakai kawasan, dampak negatif lanjutan dapat terjadi misalnya menurunnya spesies biota di suatu kawasan. Dengan demikian, tahapan untuk menetapkan atau menentukan daya dukung pulau kecil adalah : menetapkan batas-batas, vertikal, horisontal terhadap garis pantai pulau kecil sebagai suatu unit pengelolaan, menghitung luasan wilayah pulau kecil yang dikelola, mengalokasikan zona wilayah menjadi tiga yaitu, zona preservasi, zona konservasi dan zona pemanfaatan, dan menyusun tata ruang pembangunan pada zona konservasi dan zona pemanfaatan. Kemudian melakukan penghitungan potensi dan distribusi sumberdaya alam dan jasa lingkungan yang tersedia, misalnya stock assesment sumberdaya perikanan, potensi hutan mangrove, pengkajian ketersediaan air tawar, pengkajian tentang kapasitas asimilasi dan pengkajian tentang permintaan internal terhadap sumberdaya alam dan jasa lingkungan Daya Dukung sebagai Dasar Penentuan Peruntukan Lahan Soerianegara (1978), menyatakan bahwa untuk mengetahui daya dukung lahan atau lingkungan, harus diperhitungkan semua potensi yang ada di wilayah yang bersangkutan dan faktor kendala yang mempengaruhi potensi tersebut dalam jangka panjang. Tanda-tanda dilampauinya daya dukung lingkungan

31 27 adalah adanya kerusakan lingkungan. Selanjutnya dikatakan bahwa untuk populasi manusia batasan daya dukung adalah jumlah individu yang dapat didukung oleh luas sumberdaya dan lingkungan. Dalam upaya pengembangan dan pemanfaatan sumberdaya alam, faktor daya dukung lahan/lingkungan merupakan faktor yang harus dipertimbangkan. Hal ini didasarkan pada pemahaman bahwa sumberdaya alam dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan apabila dikelola dengan tetap memperhatikan daya dukung lahan dan lingkungannya. Untuk menerapkan konsep daya dukung lahan dalam pengembangan kawasan pesisir dan PPK diperlukan dua faktor pendukung, yaitu: konsumsi perkapita terhadap sumberdaya dan dukungan yang diperlukan manusia, serta kemampuan manusia mengendalikan dan mengelola sumberdaya alam yang sedang dimanfaatkan. Salah satu ukuran utama untuk mempertahankan kelestarian, keberadaan atau optimisasi manfaat dari suatu sumberdaya alam dan lingkungan adalah dengan melakukan penilaian terhadap daya dukungnya. Konsep daya dukung ini, awalnya dikembangkan dan digunakan untuk mempelajari pertumbuhan populasi dalam suatu unit ekosistem. Contoh dari penilaian yang umum dilakukan terhadap perhitungan daya dukung ini adalah perhitungan terhadap ecological capacity (jumlah individu yang dapat didukung oleh suatu habitat). Tujuan utama dari penilaian ini adalah untuk mempertahankan atau melestarikan potensi sumberdaya alam dari areal tersebut pada batas-batas penggunaan yang diperkenankan atau yang dimungkinkan. Nilai yang dihasilkan dari perhitungan atau pendekatan daya dukung dari sumberdaya alam dan lingkungan adalah penting untuk menentukan bentukbentuk pengelolaan terhadap sumberdaya tersebut terutama untuk menjaga, mengendalikan, dan melestarikan lingkungan. Penilaian yang sistematik terhadap sumberdaya alam dan lingkungan yang menjadi dasar dari kehidupan manusia dan mahluk hidup lainnya dilakukan terutama untuk mengetahui potensinya. Dengan pendekatan ini maka akan dapat diketahui kapasitas dari suatu kawasan atau ekosistem yang dinilai, yang selanjutnya akan dapat merupakan ukuran dan/atau nilai pendugaan terhadap kualitas sumberdaya alam dan lingkungan. Mengingat rentannya ekosistem PPK, pemerintah melakukan pembatasan kegiatan yang sudah terbukti menimbulkan dampak negatif yang

32 28 luas,baik secara ekologis maupun sosial. Pemerintah hanya mengizinkan pengelolaan PPK untuk konservasi dan mariculture yang lestari Keberlanjutan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Keberlanjutan (sustainability) dijadikan salah satu tujuan pengelolaan ekosistem pesisir karena hal ini telah diamanatkan dalam Deklarasi yang dihasilkan oleh United Nations Conference on Enviornment and Development yang diselenggarakan di Rio de Janeiro, Brasil, pada tahun Pembangunan berkelanjutan mensyaratkan keserasian antara laju kegiatan pembangunan dengan daya dukung (carrying capacity) lingkungan alam untuk menjamin tersedianya aset sumber daya alam dan jasa-jasa lingkungan (environmental services) yang minimal sama untuk generasi mendatang (Bengen 2004). Suatu kegiatan pembangunan dinyatakan berkelanjutan, apabila kegiatan pembangunan secara ekonomis, ekologis dan sosial politik bersifat berkelanjutan. Berkelanjutan secara ekonomis berarti bahwa kegiatan pembangunan harus dapat membuahkan pertumbuhan ekonomi, pemeliharaan kapital (capital maintenance), dan penggunaan semberdaya serta investasi secara efisien. Berkelanjutan secara ekologis mengandung arti, bahwa kegiatan dimaksud harus dapat mempertahankan integritas ekosistem, memelihara daya dukung lingkungan, dan konservasi sumberdaya alam termasuk keanekaragaman hayati (biodiversity), sehingga diharapkan pemanfaatan sumberdaya dapat berkelanjutan (Cicin-Sain dan Knecht 1998). Keanekaragaman spesies digunakan sebagai indikator stabilitas lingkungan (De Santo, 2000). Selain itu, spesies penting karena fungsinya bertindak dalam menimbulkan atau memunculkan jasa ekologis yang memang bernilai ekonomis bagi manusia (Perrings et al 2003). Keanekaragaman spesies secara fungsional menentukan ketahanan (resilience) ekosistem atau sensitivitas ekosistem (Holling et al 2002). Jumlah spesies dan komposisi spesies ikan merupakan dua dari beberapa indikator integritas biotik ekosistem perairan (Karr 2002). Integritas biotik adalah suatu ekosistem yang berubah baik secara struktur maupun secara fungsional akibat aktivitas manusia (Hocutt 2001). Oakerson (1992), mengajukan tiga alasan pentingnya melakukan kajian hubungan antara atribut-atribut tersebut dengan keberlanjutan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut adalah sebagai berikut:

33 29 1. Sumberdaya perikanan termasuk terumbu karang memiliki kapasitas relatif dalam mendukung usaha nelayan secara simultan tanpa adanya benturan di antara mereka atau adanya dampak yang merugikan bagi nelayan tertentu yang timbul karena nelayan lain menangkap ikan dalam jumlah yang lebih banyak. 2. Analisis sifat ekologi harus diarahkan untuk menentukan secara akurat faktor-faktor pembatas sumberdaya utama adalah potensi dan jenis serta mobilitasnya di dalam kawasan yang dikelola. 3. Derajat aksesibilitas terhadap sumberdaya. Keterbatasan potensi sumberdaya berarti bahwa akses terhadap sumberdaya sulit dan mahal. Oleh karena itu tindakan seseorang untuk berhenti memanfaatkan sumberdaya merupakan sesuatu yang jarang terjadi. Begitu seseorang sudah memiliki akses dan berada dalam proses pemanfaatan sumberdaya, akan sulit baginya untuk berhenti melakukannya. Oleh karena itu, sumberdaya terumbu karang dimanfaatkan secara bersamasama dalam suatu bentuk kompetisi di antara pengguna. Dengan demikian, ada saling ketergantungan di antara pengguna. Aksi seseorang akan memberi dampak kepada yang lain dan selanjutnya membuat orang lain melakukan aksi serupa. Jadi interaksi di antara pengguna cenderung menjurus kepada pertentangan atau konflik di antara mereka. Christie et al, (2003), bahwa dukungan seluruh pemangku kepentingan wilayah pesisir merupakan faktor penting terhadap keberlanjutan program. Konflik kepentingan, atau bahkan hanya konflik persepsi, di antara konsituen akan memelihara ketidakpuasan di antara mereka apabila tidak diambil langkahlangkah proaktif. Ketidak puasan di antara satu konstituen atau lebih, apabila tidak diselesaikan dengan cara yang bijak, bisa mengakibatkan terancamnya keberlanjutan kegiatan pengelolaan sumberdaya pesisir karena mereka akan melanggar kesepakatan atau peraturan yang ada dan disepakati. Proses perencanaan dan pengambilan keputusan yang inklusif, transparan, dan didukung oleh pengetahuan ilmiah dirancang untuk mencapai beberapa keluaran penting yang berpengaruh terhadap keberlanjutan pengelolaan sumberdaya pesisir. Keluaran-keluaran dari proses perencanaan dan pengambilan keputusan ini sejalan dengan yang dianggap sebagai 6 (enam) parameter keberlanjutan pengelolaan sumberdaya pesisir oleh Bengen (2003) sebagai berikut: (1) sesuai dengan kebijakan-kebijakan setempat, baik kebijakan

34 30 formal maupun informal; (2) sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat setempat; (3) didukung oleh ketersediaan sumberdaya manusia dan kelembagaan; (4) keterlibatan aktif stakeholder; (5) memiliki rencana dan program yang jelas; (6) memiliki dampak terhadap lingkungan termasuk sosial budaya dan ekonomi masyarakat setempat. Keenam faktor ini tentu akan lebih lengkap dengan tambahan faktor ketujuh (7) dukungan informasi ilmiah. Batas-batas spasial sumberdaya terumbu karang menentukan skala minimum suatu tatanan pengelolaan sumberdaya itu sendiri. Berdasarkan batas geografis suatu sumberdaya dapat ditentukan batas-batas fisik lainnya, terutama yang berkaitan dengan teknologi pemanfaatan sumberdaya. Dimensi teknologi diperlukan secara khusus di daerah dimana pemanfaatan langsung terhadap terumbu karang merupakan bagian yang dominan. Di kawasan pesisir umumnya mata pencaharian penduduk yang dominan adalah pemanfaatan sumberdaya laut, seperti perikanan, karena itu dimensi teknologi sebaiknya dipertimbangkan secara khusus (Susilo, 2003). Dimensi teknologi mencerminkan seberapa jauh penggunaan teknologi dapat meminimumkan resiko kegagalan keberlanjutan pemanfaatan terumbu karang. Dimensi sosial ekonomi elemen utamanya meliputi aspek permintaan (demand) dan penawaran (supply) komoditas yang dihasilkan dari sumberdaya yang dikelola. Dimensi sosial ekonomi seperti harga dan struktur pasar merupakan insentif atau disinsentif bagi terbentuknya suatu tatanan kelembagaan pengelolaan terumbu karang serta derajat kepatuhan masyarakat terhadap tatanan tersebut. Hal ini karena disamping sebagai kegiatan yang berbasis sumberdaya alam (natural resourcebased activity), terumbu karang merupakan kegiatan ekonomi yang berbasis pasar (market-based activity) Multidimensional Scaling Tujuan pendekatan multidimensional scaling yang digunakan disini adalah untuk melihat keragaan (performance) pengelolaan kawasan konservasi di tinjau dari dimensi ekologi, ekonomi, sosial dan kelembagaan yang selanjutnya dapat digunakan sebagai pedoman untuk mengevaluasi akuntabilitas dan keberlanjutan pengelolaan kawasan konservasi. Analisis multidimensional scaling (MDS) digunakan untuk mempresentasikan similaritas/ disimilaritas antar pasangan individu dan karakter/variabel (Young et al 1987). Sickle (1997) menyatakan bahwa MDS

35 31 dapat mempresentasikan metode ordinasi secara efektif. MDS adalah metode ordinasi dengan basis jarak antar obyek/point dalam dua atau tiga dimensi. Dalam evaluasi kondisi sumberdaya pesisir, masing-masing kategori yang terdiri dari beberapa atribut di skor. Skor secara umum di rangking antara 0 sampai 2. Hasil skor dimasukan ke dalam tabel matrik dengan I baris yang mempresentasikan pengelolaan kawasan konservasi dan J kolom yang mempresentasikan skor atribut. Data didalam matrik tersebut adalah data interval yang menunjukan skoring baik dan buruk. Skor data tersebut kemudian dinormalkan untuk meminimalkan stress (Davison dan Skay 1991). Analisis MDS merupakan salah satu metode multivariate yang dapat menangani data yang non-metrik. Metode ini juga dikenal sebagai salah satu metode ordinasi dalam ruang (dimensi) yang diperkecil (ordination in reduced space). Ordinasi sendiri merupakan proses yang berupa plotting titik obyek (posisi) di sepanjang sumbu yang disusun menurut hubungan tertentu (ordered relationship) atau dalam sebuah sistem grafik yang terdiri dari dua atau lebih sumbu (Legendre dan Legendre 1983). Melalui metode ordinasi, keragaman (dispersion) multidimensi dapat diproyeksikan di dalam bidang yang lebih sederhana dan mudah dipahami. Metode ordinasi juga memungkinkan peneliti memperoleh banyak informasi kuantitatif dari nilai proyeksi yang dihasilkan. Pendekatan MDS telah banyak digunakan untuk analisis ekologis, seperti yang dilakukan oleh Alder et al (2001) untuk mengevaluasi kondisi perikanan tangkap dengan berbagai tipe variabel yang berbasis jarak. Pendekatan ini juga telah dikembangkan untuk analisis lingkungan dimana salah satu metode yang digunakan adalah metode MDS (Nikjkamp et al 1980 dalam Susilo (2003) Nilai Ekonomi Sumberdaya Nilai ekonomi diterminologikan sebagai Total Economic Value (TEV) yang merupakan penjumlahan dari nilai ekonomi berbasis pemanfaatan /penggunaan (Use Value = UV) dan nilai ekonomi bukan berbasis pemanfaatan /penggunaan (Non Use Value = NUV) terdiri dari nilai-nilai penggunaan langsung (Direct Use Value = DUV), nilai ekonomi penggunaan tidak langsung (Indirect Use Value = IUV), nilai pilihan (Option Value = OP). Sedangkan nilai ekonomi berbasis bukan pada pemanfaatan (NUV) terdiri dari dua komponen yaitu nilai pewarisan (Bequest Value = BV) dan nilai keberadaan ( Existence Value = EV). Tipologi Nilai Ekonomi Total ( Pearce and Turner, 1980; Pearce and Moran, 1994; Barton, 1994; Barbier, 1994) seperti berikut :

36 32 Total Economic Value (TEV) Use Value (UV) Non Use Value (NUV) Direct Use Value (DUV) Indirect Use Value (IUV) Option Value (OV) Bequest Value (BV) Existence Value (EV) Dimana : TEV = Nilai ekonomi total adalah nilai-nilai yang terkandung dalam suatu sumberdaya alam, baik nilai guna maupun nilai fungsional yang harus diperhitungkan dalam menyusun kebijakan pengelolaannya sehingga alokasi dan alternatif penggunaannya dapat ditentukan secara benar dan mengenai sasaran. UV = Nilai berbasis pemanfaatan atau nilai yang diperoleh atas pemanfaatan langsung sumberdaya alam dan lingkungan, termasuk pemanfaatan secara komersial atas barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam. NUV = Nilai berbasis bukan pemanfaatan DUV = Nilai ekonomi yang diperoleh dari pemanfaatan langsung dari sebuah sumberdaya/ ekosistem IUV = Nilai ekonomi yang diperoleh dari pemanfaatan tidak langsung dari sebuah sumberdaya/ ekosistem. OV = Nilai ekonomi yang diperoleh dari potensi pemanfaatan langsung maupun tidak langsung dari sebuah sumberdaya/ekosistem di masa datang dengan asumsi sumberdaya tersebut tidak mengalami kemusnahan atau kerusakan yang permanen. BV = Nilai ekonomi yang diperoleh dari manfaat pelestarian (perlindungan dan pengawetan) sumberdaya/ekosistem untuk kepentingan generasi masa datang untuk mengambil manfaat dari sumberdaya/ekosistem tersebut. EV = Nilai ekonomi yang diperoleh dari sebuah persepsi bahwa keberadaan (existence) dari sebuah sumberdaya/ekosistem itu ada, terlepas dari apakah sumberdaya/ekosistem tersebut dimanfaatkan atau tidak. Nilai ini berkaitan dengan nilai religius yang melihat adanya hak hidup pada setiap komponen sumberdaya alam.

37 Pengembangan Sistem Dinamik Sistem adalah suatu gugus dari elemen penting yang berhubungan dan terorganisir untuk mencapai suatu tujuan (Manetsch dan Park 1979 dalam Eriyanto 2007). Pemikiran sistem selalu mencari keterpaduan antar bagian melalui pemahaman yang utuh, diperlukan suatu krangka fikir baru sebagai pendekatan sistem. Dalam pendekatan sistem umumnya ditandai oleh dua hal, yaitu : 1) mencari semua faktor penting yang dalam mendapatkan solusi yang baik untuk menyelesaikan masalah, dan 2) dibuat suatu model kuantitatif untuk membantu keputusan secara rasional. Untuk bekerja secara sempurna sistem mempunyai delapan unsur meliputi : 1) metodologi untuk perencanaan dan pengelolaan, 2) suatu tim yang multidisipliner, 3) pengorganisasian, 4) disiplin untuk bidang yang non kuantitatif, 5) teknik model matematik, 6) teknik simulasi, 7) teknik optimasi, dan 8) aplikasi komputer (Eriyatno 1998). Perilaku sistem diartikan sebagai status sistem dalam suatu periode waktu tertentu, dimana perubahan status sistem diamati melalui dinamika outputnya. Status sistem dapat berkeadaan transien yaitu adanya perubahan output di setiap satuan waktu atau keadaan berkeseimbangan (steady state) yaitu adanya keseimbangan aliran masuk dan keluar. Status sistem juga berkaitan dengan apakah tertutup dimana interaki dengan lingkungan sangat kecil sehingga diabaikan, dan atau terbuka dimana paling sedikit satu elemennya berinteraksi dengan lingkungannya. Dalam kenyataan sistem tertutup tidak pernah ada, hanya ada dalam anggapan dan kajian analisis (Muhamadi, Aminullah, dan Soesilo 2001). Berdasarkan sifatnya sistem dibagi menjadi dua yaitu sistem dinamis dan sistem statis (Djoyomartono dan Pramudya 1983 dalam Kholil 2005). Sistem dinamik memiliki sifat yang berubah menurut waktu. Sistem dinamik ditandai dengan adanya time delay yang menggambarkan ketergantungan out put terhadap variabel input pada periode waktu tertentu. Sedangkan sistem statis adalah sistem yang nilai out putnya tidak tergantung pada nilai inputnya. Karakteristik pendekatan sistem adalah : 1) kompleks, dimana interaksi antar elemen cukup rumit, 2) dinamis, dalam arti faktor yang ada berubah menurut waktu dan ada pendugaan ke masa depan, dan 3) probabilistik, yaitu diperlukannya fungsi peluang dalam inferensi kesimpulan maupun rekomendasi (Eriyatno 1999 dan Kholil 2005). Pendekatan sistem menekankan pada tiga filosofi dikenal dengan SHE, yaitu Sibernetik (goal oriented), Holistik dan Efektivitas. Sibernetik artinya dalam penyelesaian permasalahan tidak berorientasi pada problem oriented, tetapi lebih

38 34 ditekankan pada apa tujuan dari penyelesaian masalah. Efektivitas, sistem yang telah dikembangkan harus dapat dioperasikan. Oleh karena itu sistem harus merepresentasikan kondisi nyata yang sebenarnya terjadi dan holistik merepresentasikan penyelesaian permasalahan secara utuh, menyeluruh dan terpadu. Sistem dinamik merupakan sebuah pendekatan yang menyeluruh dan terpadu yang mampu menyederhanakan masalah yang rumit tanpa kehilangan esensi atau unsur utama dari obyek yang menjadi perhatian (Muhamadi 2001). Metodologi sistem dinamik dibangun atas dasar tiga latar belakang disiplin yaitu manajemen tradisionial, teori umpan baik atau cybernetic dan simulasi komputer. Validasi model sistem dinamik adalah suatu proses membangun kepercayaan pada kegunaan model sebagai alat bantu analisis dan perancangan kebijakan. Dalam proses validasi, sebuah model tidak akan dapat dinyatakan valid secara absolut, jika tidak terdapat bukti bahwa model dapat merepresetasikan suatu realita dengan benar-benar mirip secara absolut, sehingga dengan melakukan proses pengujian model sistem dinamik terhadap bukti-bukti empiris akan meningkatkan kepercayaan seseorang terhadap model. Pengujian terhadap model sistem dinamik dibagi menjadi tiga kategori : 1. Validasi struktur, yaitu pengujian relasi antar variabel yang ada di dalam model dan disesuaikan dengan keadaan pada sistem yang sebenarnya. 2. Validasi perilaku, yaitu pengujian terhadap kecukupan struktur model dengan melakukan penilaian terhadap perilaku yang dihasilkan model. 3. Validasi implikasi kebijakan, yaitu pengujian terhadap perilaku model terhadap berbagai rekomendasi kebijakan. Menurut Kholil (2005), pengembangan model dinamik terdiri dari 4 tahap, yaitu : 1) Tahap seleksi konsep dan variabel, dilakukan pemilihan konsep dan variabel yang memiliki relevansi cukup nyata terhadap model yang dikembangkan. Dengan kerangka system thinking dilakukan pemetaan cognitif map, bertujuan mengembangkan model abstrak dari keadaan yang sebenarnya. dilanjutkan dengan penelaahan teliti dan mendalam terhadap asumsi, serta konsistensinya terhadap variabel dan parameter berdasarkan hasil diskusi dengan pakar. Variabel yang tidak konsisten dan kurang relevan dibuang. 2) Konstruksi Model (tahap pengembangan model), model abstrak yang telah dikembangkan, direpresentasikan kedalam model dinamiknya dengan bantuan software Stella Research 9.02 berbasis sistem operasi Windows.

39 35 3) Tahap analisis sensitivitas, untuk mengetahui variabel mana yang mempunyai pengaruh nyata terhadap model, sehingga perubahan variabel tersebut akan mempengaruhi model secara keseluruhan. Variabel-variabel yang kurang (tidak) berpengaruh dalam model dihilangkan dan sebaliknya perhatian dapat difokuskan pada variabel kunci. 4) Analisis Kebijakan, dilakukan dengan memberikan perlakuan khusus terhadap model melalui intervensi struktural atau fungsional, tujuannya untuk mendapatkan alternatif kebijakan terbaik berdasarkan simulasi model. Diagram input-output merepresentasikan input lingkungan, input terkendali dan tak terkendali, output dikehendaki dan tak dikehendaki, serta manajemen pengendalian. Sedangkan parameter rancangan sistem dipresentasikan sebagai kotak gelap (black box) pada tengah diagram, yang menunjukkan terjadinya proses transformasi input menjadi output. Diagram inputoutput desain dalam sistem pengelolaan kawasa konservasi. Input tak Terkendali Input Output yang Diinginkan Proses Input Terkontrol UMPAN BALIK Output yang Tak Diinginkan Gambar 3. Diagram Input-Output Sistem (Hartisari 2007) Integrasi dengan Metode GIS Untuk mengintegrasikan (memadukan) antara sub model ekologi, sub model ekonomi dan sub model sosial dalam model pengelolaan kawasan konservasi dapat digunakan dengan metode Sistem Informasi Geografi (SIG). Konsep dasar SIG merupakan suatu sistem yang mengorganisir perangkat keras (hardware), perangkat lunak (software), dan data, serta dapat mendayagunakan sistem penyimpanan, pengolahan maupun analisis data secara simultan, sehingga diperoleh informasi yang berkaitan dengan aspek keruangan. SIG juga merupakan manajemen data spasial dan non-spasial yang berbasis komputer, dengan tiga karakteristik dasar, yaitu (1) mempunyai fenomena aktual yang

40 36 berhubungan dengan topik permasalahanatau tujuannya, (2) merupakan suatu kejadian di suatu lokasi dan (3) mempunyai dimensi waktu (Purwadhi 1994). Ketiga karakteristik tersebut saling terkait satu sama lain. Fenomena aktual sebagai variable data non-lokasi erat hubungannya dengan lokasi terjadinya. Data lokasi dan non-lokasi saling berkaitan, dimana fenomena aktual dapat berupa SDA atau SDM, serta berhubungan dengan letak dan kapan terjadinya. Data lokasi mempunyai koordinat posisi lintang dan bujur, merupakan unsur yang terlihat seperti jalan, sungai, area, dan menunjukkan topologi (letak, bentuk, luas, batas) obyek. Non-lokasi mempunyai variable sesuai dengan tema (tanah, penduduk). Dimensi waktu menunjukkan kapan data diambil. Kurun waktu digunakan untuk analisis perubahan yang terjadi. Berdasarkan hal tersebut SIG mempunyai karakteristik sebagai perangkat pengelolaan basis data (Data Base Management System = DBMS), sebagai perangkat analisis keruangan (spatial analysis), sekaligus proses komunikasi dalam pengambilan keputusan. Keunikan SIG dibandingkan sistem pengelolaan basis data lainnya adalah kemampuannya untuk menyajikan informasi spasial dan non-spasial secara bersama-sama. SIG merupakan sistem informasi yang bersifat terpadu, karena data yang dikelola adalah data spasial. Dalam SIG data grafis diatas peta dapat disajikan dalam dua model data spasial yaitu model raster dan model vektor. Model data vektor menyajikan data grafis berupa titik, garis, dan poligon dalam struktur format vektor. Struktur data vektor adalah suatu cara membandingkan informasi garis dan areal kedalam bentuk satuan data yang mempunyai besaran, arah dan keterkaitan (Dahuri et al 1998). Model data raster menyajikan data berupa hexagos, irreguler triangles, grids. Format raster menyajikan obyek dalam bentuk rangkaian cell atau elemen gambar. Daya tarik utama SIG adalah bersifat terkomputerisasi yang dapat dimanfaatkan oleh berbagai instansi disebabkan : a) Kemudahan memperbaharui dan memperbaiki data, b) Kemampuan menghasilkan produk yang sesuai dengan keperluan, c). Kemampuan mengintegrasikan berbagai data termasuk data digital dan data penginderaan jauh, d) Potensial untuk pemetaan perubahan melalui program pemantauan dan kemampuannya mengintegrasikan permodelan. Penyajian model data geografis dapat berupa data spasial dan deskriptif. Data spasial dengan formatnya, berupa titik, garis dan poligon untuk dua dimensi, dan permukaan untuk data tiga dimensi, sedangkan data deskriptif merupakan atribut dari data spasial. Data diskriptif dapat disajikan dalam format anotasi, tabel dan uraian hasil pengukuran yang memberi penjelasan pada data simbol dalam peta.

41 37 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei sampai Oktober 2010, di KKLD G.Sulat-G.Lawang Kabupaten Lombok Timur, seperti Gambar 4 berikut : Gambar 4. Lokasi Penelitian Pemanfaatan Ruang KKLD G.Sulat-G.Lawang Metode penelitian menggunakan metode survai dengan penekanan pada eksplorasi dan eksplanasi hubungan antar faktor ekologi dan sosial ekonomi. Dalam kerangka penelitian survai, pemilihan indikator yang relevan dengan tujuan penelitian menjadi sangat penting. Pemilihan indikator bersifat dinamik mencakup indikator references (reference indicators) dan indikator kritis (critical indicators) untuk sistem ekologi dan sosial ekonomi di G.Sulat-G.Lawang Tahapan Penelitian Tahapan penelitian ini meliputi kegiatan inventarisasi data, pengumpulan data, analisis, dan sintesis yang masing-masing dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Tahap Identifikasi Kondisi Eksisting G.Sulat-G.Lawang, meliputi pengumpulan data/informasi menyangkut kondisi potensi sumberdaya dan jasa lingkungan, bentuk pemanfaatan ruang, batas-batas zona serta pemasalahan yang ada.

42 38 2. Tahap Evaluasi Zona yaitu penetapan zona berdasarkan kriteria kesesuaian di kawasan konservasi, meliputi zona inti, zona pemanfaatan terbatas dan zona lainnya yang menghasilkan peta batas-batas zona dan sub zona. 3. Tahap Analisis meliputi analisis kesesuaian lahan dan daya dukung yang menghasilkan peta kesesuaian lahan pemanfaatan kawasan konservasi. Analisis ekonomi menyangkut analisis valuasi ekonomi sumberdaya. Analisis sosial menyangkut jumlah serapan tenaga kerja dalam setiap pemanfaatan. 4. Tahap Penilaian Optimasi Pemanfaatan Ruang yang menghasilkan peta optimasi pemanfaatan ruang kawasan yang paling optimal. 5. Tahap Analisis Keberlanjutan Pengelolaan Kawasan Konservasi yang menghasilkan atribut-atribut yang berpengaruh dalam pengelolaan kawasan secara berkelanjutan. 6. Penyusunan Arahan Pemanfaatan Ruang yang menghasilkan rekomendasi model pengelolaan kawasan konservasi secara berkelanjutan. Tahapan-tahapan tersebut membentuk alur kegiatan penelitian yang akan dilakukan sebagaimana terlihat pada Gambar 5 berikut : Data Spasial Data Pemanfaatan Sumberdaya Zonasi KKLD Analisis Kesesuaian Ekologis Analisis Daya Dukung Analisis Optimasi Analisis Daya Dukung Gambar 5. Tahapan Kegiatan Penelitian

43 Metode Penelitian Sumber Data dan Prosedur Penelitian Data primer meliputi data biofisik dan sosial ekonomi, dilakukan melalui observasi langsung di lapangan. Pengumpulan data ekologi menggunakan pendekatan in-situ dengan metode sampling bio-ekologis untuk parameter kawasan konservasi. Data sosial ekonomi menggunakan teknik cluster random sampling pada tingkat unit rumahtangga dan non probability sampling untuk unit desa. Pendekatan partisipatif juga dilakukan untuk mengeksplorasi harapan masyarakat sekitar kawasan dengan teknik Focus Group Discussion (FGD) Karakteristik Biofisik dan Sosial Ekonomi Parameter biofisik dan sosial ekonomi yang diamati adalah : Tabel 3. Jenis data biofisik yang diukur No. Parameter Stasiun Baku Alat/Metode Keterangan I...XIV mutu *) A. Fisika-Kimia 1. BOD 5 (mg/l) 10 Titrasi Lab 2. COD (mg/l) - Titrasi Lab 3. Oksigen terlarut >5 DO meter Insitu (mg/l) 4. Amonia (mg/l) 2 Spektrofotometer Lab 5. ph phmeter In situ 6. Salinitas ( o /oo) Alami Refraktometer In situ 7. Suhu ( o C) Alami Termometer Insitu 8. Kekeruhan (NTU) 5 Turbidimeter Insitu B. Biologi/Non-biologi 1. Tutupan terumbu karang (%) 2. Kerapatan dan Luasan mangrove 3. Luasan pantai - Meteran/Line Intercept Transect In situ /Data sekunder - Meteran/Transek In situ/data garis sekunder - Meteran In situ berpasir (m 2 ) 4. Jenis ikan - - Data Sekunder C. Hidrooseanografi 1. Kecerahan (m) > 6 Secchi disk In situ 2. Pasang surut (m) - - Data 3. Kecepatan arus (cm/det) - Layang-Layang Arus, kompas dan Stopwach - Tali penduga & meteran Sekunder In situ 4. Kedalaman air (m) In situ Keterangan: *) = Baku Mutu Wisata Bahari (Kepmen Negara LH No. 51 Tahun 2004).

44 40 Tabel 4. Jenis data sosial ekonomi dan kelembagaan N o KOMPONEN DATA Karakteristik sosial dan budaya masyarakat Operasional usaha wisata bahari ATRIBUT Pemanfaatan SDA, partisipasi masyarakat dalam pengelolaan wisata bahari, persepsi dan perilaku masyarakat terhadap wisatawan, pengetahuan tentang ekowisata, jumlah dan pertumbuhan penduduk, konflik, etnis, nilai budaya lokal, dan kualitas hidup masyarakat. Profil usaha wisata bahari, modal dan biaya operasional, harga produk wisata, permintaan dan penawaran produk wisata, upah & tenaga kerja, promosi, cottage/hotel, manajemen wisata, dermaga, sarana penunjang, peralatan wisata, keselamatan, jenis dan penanganan limbah. Kelembagaan Regulasi Gili sulat-gili Lawang, aturan formal, pembagian peran stakeholders terkait (pemerintah, swasta dan masyarakat), aturan adat/kelompok, lembaga ekonomi, regulasi usaha wisata, izin tinggal, infrastruktur penunjang, penegakan hukum Profil Wisatawan Karakteristik personal wisatawan, perjalanan turis dan motivasi berkunjung ke G. Sulat-G. Lawang, persepsi dan perilaku wisatawan, penilaian ekonomi terhadap obyek wisata dan biaya yang dikeluarkan, penilaian terhadap pelayanan dan ketersediaan infrastruktur, dan jumlah wisatawan SUMBER/METODE PENGUMPULAN DATA Data primer dan sekunder Wawancara dan studi literatur Data primer Wawancara dan pengamatan Data primer dan sekunder Wawancara dan studi literatur Data primer dan sekunder Wawancara No KOMPONEN DATA SEKUNDER Cara Analisis SUMBER 1 Citra Landsat 7 ETM+ P.106/R.064 (liputan terakhir) 2 Peta Peta Rupa Bumi Peta Topografi Peta Batimetri Peta LPI Peta Wilayah Administratif Peta Pemanfaatan Lahan 3 Buku Laporan RTRW, Propeda, Renstra, Administrasi dan Pemerintahan, Kebijakan Pembangunan Sektoral dan data lainnya yang terkait Arc. View. 3.3 Arc. View. 3.3 BTIC/LAPAN Bakosurtanal Dishidros TNI-AL, Bappeda Kab Lombok Timur Bappeda, BPS, Instansi Terkait Sumber data sosial ekonomi diperoleh melalui wawancara langsung dengan responden menggunakan daftar pertanyaan (kuesioner) dan peralatan visual. Kelompok contoh dalam penelitian ini meliputi kelompok nelayan,

45 41 pengelola wisata, wisatawan asing, masyarakat lokal, dan pegawai instansi yang terkait dengan pengelolaan kawasan konservasi, Dinas Perikanan dan Kelautan, Dinas Kehutanan, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata dan instansi terkait lainnya Metode Pengambilan Data Primer dan Sekunder Kebutuhan data primer biofisk dan sebaran sumberdaya menggunakan visual survey serta pengukuran langsung dilapangan Penentuan Titik Pengamatan Lokasi pengambilan contoh vegetasi mangrove dilakukan dengan menentukan stasiun atau titik pengamatan secara konseptual berdasarkan keterwakilan lokasi kajian. Gambar 6. Titik Stasiun Pengamatan Lamun

46 42 Pengambilan data lamun dilakukan dengan transek yang berbeda tergantung panjang garis pantai dengan metode RAS dan Fix Position, dilakukan di sepanjang pantai G.Sulat mulai ujung utara sampai sisi barat, sedangkan di G.Lawang mulai dari sisi barat sampai ke utara pulau. Gambar 7. Titik Stasiun Pengamatan Terumbu Karang Pengambilan data terumbu karang dilakukan terhadap karang hidup dan karang mati sesuai dengan kategori life form, menggunakan metode Line Intercept Transect (LIT) /garis menyinggung. Penggunaan metode transek garis menyinggung, roll meter yang digunakan sepanjang 50 m dibentangkan sejajar garis pantai pada kedalaman yang telah ditentukan. Koloni karang keras dan tipe substrat lain serta biota yang menyinggung roll meter yang dimasukkan sebagai data. Data yang di ambil adalah pertumbuhan (life form) tipe substrat dasar,

47 43 genus karang dan tipe substrat di daerah yang diamati. Data yang diambil dari metode ini adalah persen penutupan karang keras (% coverage of hard coral) dan tipe substrat dasar serta jenis dan jumlah genus karang keras (hard coral) yang ditemukan, menggunakan kategori menurut Gomes dan Yap (1998). Pengambilan data mangrove dilakukan dengan menggunakan perhitungan Nilai Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) merupakan suatu index untuk mengetahui tingkat kehijauan suatu areal atau menentukan tingkat persentase penutupan lahan (Yin dan William, 1997). NDVI dari citra Landsat dihitung dengan formula ((B4 B3)/B4 + B3), dimana B4 dan B3 adalah nilai reflectan dari band 4 (near infra red, ) dan band 3 (red). Untuk mengetahui nilai NDVI setiap lokasi mangrove. Hasil penentuan lokasi mangrove tahap sebelumnya dioverlay dengan nilai NDVI. Gambar 8. Titik Stasiun Pengamatan Mangrove

48 44 Data sosial ekonomi menggunakan metode survei melalui teknik wawancara, dibantu daftar pertanyaan terstruktur (kuesioner). Metode pengambilan contoh menggunakan metode acak berlapis/stratifikasi, yaitu pengambilan contoh dari populasi yang telah disekat menjadi beberapa kelompok, dimana pengambilan contoh pada setiap kelompok dilakukan dengan acak sederhana (Bengen, 2000). Kelompok contoh dalam penelitian ini meliputi kelompok perikanan karang, pariwisata, masyarakat nelayan, dan pegawai dari instansi yang terkait menggunakan metode purposive sampling atau dengan cara penunjukan langsung terhadap contoh dengan pertimbangan keterwakilan contoh. Total contoh (n) ditentukan dengan menggunakan persamaan (Scheaffer, et.al., 1986; Bengen, 2000) : n L i 1 2 N D 2 N 2 i w i L i 1 i N i 2 i Jumlah responden pada setiap kelompok ditentukan melalui persamaan : dimana : 2 B D = 2 4N B = N N i n i n o 2 = t s / 2( n ) _ = o X 2 s n o n i n L i 1 Ni = total populasi (orang) = total populasi per lapisan ke-i (orang) = jumlah contoh pada setiap lapisan (orang) = jumlah contoh pada survei awal (orang) n j 1 ( x ij x ) n 1 i i 2 N i i c i i c i = simpangan baku contoh pada lapisan ke-i w i = fraksi pengamatan yang dialokasikan pada lapisan ke-i (n i = nw i ). c i = dimisalkan biaya yang harus dikeluarkan untuk pengamatan satu unit di lapisan ke-i

49 45 Data sekunder dikumpulkan dari berbagai sumber yang relevan dengan penelitian, dipilih secara terstruktur dari tingkat desa, kecamatan, kabupaten, provinsi hingga tingkat pusat dengan beragam institusi yang terkait dengan tujuan penelitian. Data sekunder juga diperoleh melalui penelurusan penelitian yang bersumber dari Instansi terkait seperti: Dinas Pariwisata Provinsi/Kabupaten, Dinas Kehutanan Provinsi/Kabupaten, Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi/Kabupaten, Badan Pusat Statistik (BPS) Propinsi/Kabupaten, Bappeda Propinsi/Kabupaten, Bakosurtanal, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) serta Perguruan Tinggi berupa laporan hasil-hasil studi dan penelitian yang sudah ada Analisis Data Identifikasi Kondisi Ekisting KKLD G.Sulat-G.Lawang Analisis data mangrove dilakukan dengan cara pengelompokan berdasarkan kepadatan vegetasi mangrove dengan menggunakan kriteria persentase penutupan basal area atau kerapatan pohon persatuan luas. Tabel 5. Kriteria Kerapatan Vegetasi Mangrove Kepadatan Kriteria Penutupan (%) Kerapatan Padat Baik >75 >1500 Sedang Sedang Jarang Rusak < 50 <1000 Sumber : KLH, 2000 Analisis data terumbu karang dilakukan dengan pengelompokan berdasarkan lifeform menurut kriteria kondisi yaitu baik, sedang dan rusak (Suharsono, 2001). Tabel 6. Kriteria Penutupan Lifeform Terumbu Karang Kriteria Penutupan Lifeform (%) Baik >75 Sedang Rusak < 50 Sumber : Suharsono, 2001 Estimasi potensi ikan dengan melakukan sensus ikan pada transek sepanjang 50 meter dan mengestimasi total biomas ikan pada transek, kemudian mengalikan dengan luas areal terumbu karang yang disurvei.

50 46 Kerusakan dan status lamun ditetapkan berdasarkan persentase luas area kerusakan dan luas tutupan lamun yang hidup. Tabel 7. Kriteria Kerusakan Lamun Tingkat Kerusakan Luas Area Kerusakan Tinggi 50% Sedang 30% - 49,9% Rendah < 29,9 % Sumber : DKP (2009) Tabel 8. Status Lamun Kondisi Penutupan Baik Kaya/sehat 60% Rusak Kurang sehat 30% - 59,9 % Miskin < 29,9 % Sumber : DKP (2009) Analisis Kesesuaian Zonasi Arahan pemanfaatan ruang G.Sulat-G.Lawang menurut RTRW Kabupaten Lombok Timur tahun 2010 adalah sebagai kawasan pengembangan ekowisata. Oleh karena itu analisis kesesuaian yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu menilai kesesuaian kawasan yang dikaitkan dengan arahan kebijakan Pemerintah Daerah yang tertuang dalam RTRW dengan mempertimbangkan kriteria kesesuaian ekologi, ekonomi dan sosial sehingga dilakukan evaluasi penetapan kawasan beserta sub zona didalamnya dengan mempertimbangkan parameter berdasarkan tingkat kepentingan/bobot yang paling dibutuhkan. Matriks Kesesuaian Kawasan Konservasi Laut (Yulianda, 2006) dapat dilihat pada lampiran 1. dengan kriteria penilaian sebagai berikut : KRITERIA EKOLOGI terdiri dari atribut : 1. Keanekaragaman Hayati 1.1. Ekosistem :1)Terumbu karang; 2) Lamun ;3) Mangrove, dan 4) Laguna Skor 3 : bila terdapat 4 ekosistem Skor 2 : bila terdapat 2-3 ekosistem Skor 1 : bila terdapat 1 ekosistem

51 Jenis Karang (Life Form) Skor 3 : bila terdapat > 10 life form Skor 2 : bila terdapat 6 9 life form Skor 1 : bila terdapat < 5 life form 1.3. Jenis Ikan Karang Skor 3 : bila terdapat > 120 jenis Skor 2 : bila terdapat jenis Skor 1 : bila terdapat < 61 jenis 1.4. Jenis Lamun Skor 3 : bila terdapat > 5 jenis Skor 2 : bila terdapat 4 5 jenis Skor 1 : bila terdapat 1 3 jenis 1.5. Jenis Mangrove Skor 3 : bila terdapat > 5 jenis Skor 2 : bila terdapat 4 5 jenis Skor 1 : bila terdapat 1-3 jenis 2. Kealamian 2.1. Kondisi Terumbu Karang Skor 3 : bila tutupan karang % Skor 2 : bila tutupan karang 51 74% Skor 1 : bila tutupan karang < 50% 2.2. Kondisi Pantai Skor 3 : Tidak terdapat abrasi pantai (< 10%) Skor 2 : Abrasi pantai 10-50% Skor 1 : Abrasi pantai > 50% 3. Keunikan / kelangkaan jenis (1) Sebagai habitat satwa (burung atau penyu) (2) Memiliki bentuk tubir terumbu karang dengan kemiringan 90 derajat (3) Memiliki rugosity, seperti goa-goa, alur-alur, dll. (4) Memiliki spesies langka atau dilindungi Skor 3 : bila terdapat semua komponen keunikan Skor 2 : bila terdapat 2-3 komponen Skor 1 : bila terdapat satu komponen 4. Kerentanan Pulau 4.1. Status pulau Skor 3 : tidak berpenduduk Skor 2 : berpenduduk sementara Skor 1 : berpenduduk

52 Keterbukaan terhadap Samudera Pasifik Skor 3: terbuka dari semua sisi Skor 2: 50% terbuka Skor 1: 25% terbuka 5. Keterkaitan Pulau Skor 3 : terdapat lebih dari 3 pulau dalam gugusan Skor 2 : terdapat 2 3 pulau dalam gugusan Skor 1 : pulau bukan bagian dari gugus pulau KRITERIA EKONOMI terdiri dari atribut : 1. Spesies Penting (1) Terdapat ikan pelagis ekonomis penting (2) Terdapat ikan karang (kelompok target dan hias) (3) Terdapat moluska ekonomis penting (kerang, siput, gurita) (4) Terdapat ekhinodermata (teripang) (5) Terdapat krustase ekonomis penting (lobster & kepiting) (6) Terdapat rumput laut ekonomis penting Skor 3: bila memenuhi 5-6 komponen Skor 2: bila memenuhi 3 4 komponen Skor 1: bila memenuhi 1 2 komponen 2. Kepentingan Perikanan (1) Sebagai daerah penangkapan ikan pelagis (2) Sebagai daerah penangkapan ikan karang (3) Sebagai daerah penangkapan siput dan gurita (4) Sebagai daerah penangkapan lobster (5) Sebagai daerah penangkapan teripang (6) Sebagai daerah perikanan budidaya Skor 3 : bila memenuhi 5-6 kriteria Skor 2 : bila memenuhi 3 4 kriteria Skor 1 : bila memenuhi 1 2 kriteria 3. Bentuk Ancaman (1) Penggunaan bom atau sianida (2) Penggunaan jangkar perahu (3) Penggunaan belo (tongkat pendorong perahu) (4) Penggunaan tuba Skor 3 : bila memenuhi hanya 1 kriteria Skor 2 : bila memenuhi 2 3 kriteria Skor 1 : bila memenuhi semua kriteria

53 49 4. Pariwisata (1) Terdapat wisata bahari (2) Terdapat wisata pantai (3) Terdapat wisata sejarah/budaya Skor 3: bila terdapat semua komponen Skor 2: bila terdapat 2 komponen Skor 1: bila terdapat satu komponen KRITERIA SOSIAL terdiri dari atribut : 1. Tingkat Dukungan Masyarakat : (1) Pemerintah desa (2) Tokoh adat (3) Tokoh agama (4) LSM (5) Masyarakat Skor 3 : bila terdapat dukungan semua komponen Skor 2 : bila terdapat tiga hingga empat dukungan Skor 1 : bila terdapat satu hingga dua dukungan 2. Tempat Rekreasi (1) Terdapat daratan pantai luas (2) Terdapat perairan pantai tenang (3) Tempat lautan yang tenang 3. Budaya Skor 3: bila terdapat ketiga komponen Skor 2: bila terdapat dua komponen Skor 1: bila terdapat satu komponen (1) Memiliki sejarah (2) Memiliki nilai budaya dan seni (3) Memiliki agama 4. Estetika Skor 3: bila terdapat semua komponen Skor 2: bila terdapat dua komponen Skor 1: bila terdapat satu komponen (1) Bentuk pulau (2) Keanekaragaman ekosistem tinggi (3) Keanekaragaman habitat tinggi (4) Keanekaragaman jenis biota (5) Habitat satwa burung

54 50 Skor 3: bila terdapat semua komponen Skor 2: bila terdapat 3-4 komponen Skor 1: bila terdapat 1 2 komponen 5. Konflik Kepentingan (1) Perorangan (2) Marga (kelompok) (3) Masyarakat adat Skor 1 : bila lokasi memenuhi semua komponen Skor 2 : bila lokasi memenuhi dua komponen Skor 3 : bila lokasi memenuhi satu komponen 6. Keamanan (1) Aman sepanjang musim (2) Aman pada musim barat atau timur Skor 1: Sepanjang musim Skor 2: Salah satu musim Skor 1: Tidak aman sepanjang musim 7. Aksesibilitas Keterkaitan dengan ketersediaan alat transport laut Skor 3 : Tersedia alat transport umum regular Skor 2 : Tersedia alat transport masyarakat Skor 1 : Menyewa alat transport masyarakat 8. Kepedulian masyarakat (1) Kegiatan penelitian (2) Kegiatan pengawasan (monitoring) (3) Kegiatan pendidikan atau pelatihan Skor 3: Bila memenuhi semua kriteria Skor 2: Bila memenuhi 2 kriteria Skor 1: Bila memenuhi hanya 1 kriteria 9. Penelitian dan Pendidikan (1) Penelitian dan pendidikan oleh pemerintah (2) Penelitian dan pendidikan skala projek (3) Penelitian dan pendidikan oleh perguruan tinggi (4) Penelitian dan pendidikan oleh LSM Skor 3: Bila memenuhi semua kriteria Skor 2: Bila memenuhi 2 3 kriteria Skor 1: Bila memenuhi hanya 1 kriteria

55 51 KRITERIA KELEMBAGAAN terdiri dari atribut : 1. Keberadaan lembaga sosial Skor 3: Terdapat lebih dari 2 lembaga sosial Skor 2 : Terdapat 1 lembaga sosial Skor 1 : Tidak ada lembaga sosial 2. Dukungan infrastruktur sosial Skor 3: Terdapat lebih 1 infrastruktur sosial Skor 2: Terdapat 1 infrastruktur sosial Skor 1: Tidak ada dukungan infrastruktur sosial 3. Dukungan Pemerintah Skor 3: Dukungan pemerintah pusat dan daerah Skor 2: Dukungan pemerintah pusat atau daerah Skor 1: Tidak ada dukungan pemerintah Evaluasi kriteria kesesuaian zona didasarkan pada nilai perhitungan skor dibuat dalam persen dengan cara total skor dari nilai masing-masing atribut dibagi dengan total skor maksimum dikalikan 100%. Dengan menggunakan teknik interval kelas (skor), zonasi KKLD dibagi atas tiga zona, yaitu: Zona Inti Zona inti diperuntukan bagi perlindungan mutlak habitat dan populasi ikan, serta alur migrasi biota laut; perlindungan ekosistem pesisir yang unik dan/ atau rentan terhadap perubahan; perlindungan situs budaya/ adat tradisional; penelitian dan/atau pendidikan. Kategori Zona Inti apabila memenuhi nilai perhitungan atau skor 80%. Zona Pemanfaatan Terbatas Zona Pemanfaatan terbatas yaitu zona yang diperuntukkan bagi perlindungan habitat dan populasi sumberdaya ikan dan lingkungannya, untuk kegiatan pariwisata dan rekreasi, penelitian dan pengembangan, dan/atau pendidikan. Kategori Zona Perikanan Berkelanjutan (pemanfaatan langsung) apabila memenuhi nilai atau skor 50% - < 60%, sedangkan pemanfaatan tidak langsung nilai perhitungan 60% - < 79%.

56 52 Zona Lainnya Zona Lainnya merupakan zona diluar zona inti, zona pemanfaatan terbatas yang karena fungsi dan kondisinya ditetapkan sebagai zona tertentu antara lain zona rehabilitasi, zona perikanan berkelanjutan, dan sebagainya. Kategori Zona Pemanfaatan khusus, apabila nilai perhitungan < 50% Analisis Kesesuaian Ekologis Ananlisis kesesuaian lahan kawasan konservasi untuk berbagai peruntukan seperti pengembangan perikanan karang, wisata selam dan wisata mangrove dilakukan dengan teknik yang dikemukakan oleh Hardjowigeno dan Widiatmaka (2001) yaitu : Pertama, penetapan persyaratan (parameter dan kriteria), pembobotan dan skoring. Parameter yang menentukan mendapat bobot paling besar, sedangkan kriteria yang sesuai diberi skor tertinggi. Kedua, penilaian peruntukan lahan ditentukan berdasarkan total hasil perkalian bobot (B) dan Skor (S) dibagi dengan total nilai bobot-skor dilkalikan 100. Ketiga, pembagian kelas lahan dan nilainya, dibagi dalam tiga kelas berikut : S1 = Sesuai (Moderately Suitable) dengan nilai 66, %, dimana lahan tidak memiliki pembatas yang besar untuk pengelolaan yang diberikan atau hanya memiliki pembatas yang secara tidak nyata berpengaruh terhadap kegiatan atau produksi hasil. S2 = Sesuai bersyarat (Marginally Suitable),dengan nilai %, kelas ini lahan memiliki faktor pembatas yang lebih besar untuk mempertahankan tingkat pengelolaan yang harus diterapkan. Faktor pembatas akan mengurangi aktivitas atau produksi dan keuntungan atau lebih meningkatkan masukan yang diperlukan. S3 = Tidak sesuai (Not Suitable) dengan nilai 0 < %, pada kelas ini lahan mempunyai faktor pembatas permanen yang mencegah segala kemungkinan penggunaan lahan yang lestari dalam jangka panjang. Keempat, membandingkan nilai lahan dengan nilai masing-masing kelas lahan, sehingga kelas kesesuaian lahan untuk penggunaan tertentu diperoleh. Kelima, penentuan kesesuaian pemanfaatan dilakukan dengan bantuan Geographic Information System (GIS) menggunakan Arc Info ver dan ArcView ver. 3.3.

57 Daerah Tangkapan Ikan Karang Kesesuaian lahan untuk daerah tangkapan ikan karang dianalisis menggunakan persyaratan, pembobotan dan skoring disajikan pada tabel berikut : Tabel 9. Matriks Kesesuaian Lahan Untuk Perikanan Karang SKOR KESESUAIAN NO PARAMETER BOBOT SESUAI (SKOR 2) TIDAK SESUAI (SKOR 1) 1 Kecerahan(m) 5 > 8 < 8 2 Topograpi dasar Perairan 5 landaicuram landai 3 Kedalaman Perairan (m) 5 >5 < 5 4 Perubahan cuaca 2 jarang sering 5 KondisiTerumbu Karang 2 baik buruk 6 Sumber pencemaran 3 Tidak ada banyak 7 Kelimpahan ikan target (ind/350 m) 5 >150 < 150 Sumber : Modifikasi Soselisa (2006) Lahan Pengembangan Wisata Selam Kesesuaian lahan untuk areal wisata selam dianalisis menggunakan persyaratan, pembobotan dan skoring yang disajikan pada tabel 10. Tabel 10. Matriks Kesesuaian untuk Wisata Selam No Parameter Bobot KELAS KESESUAIAN DAN SKOR 1. Tutupan karang hidup (%), S1 (Skor 3) S2 (Skor 2) S3 (Skor 1) <75 < Genus karang 3 > < 7 3. Genus ikan karang 2 > < Kecerahan perairan (%) 2 > <50 5. Kecepatan arus (m/dt) 2 < 0.1 > > 0,5 6. Kedalaman terumbu karang (m) > & 3 - < 5 Sumber: a = Davis and Tisdell 1995; b=davis and Tisdell 1996; c = Hutabarat et al.2009; d = Supriharyono 2007; e = Barnes and Hughes 2004; f = devantier &Turak 2004 < 3 & > 30

58 Lahan Pengembangan Wisata Snorkeling Kesesuaian lahan untuk areal wisata senorkeling dianalisis menggunakan persyaratan, pembobotan dan skoring yang disajikan pada tabel 11. Tabel 11. Matriks Kesesuaian untuk Wisata Snorkeling No Parameter Bobot KELAS KESESUAIAN DAN SKOR S1 (SKOR 3) S2 (SKOR 2) S3 (SKOR 1) 1. Tutupan karang hidup (%) 3 > < Genus karang 3 > < 6 3. Kecerahan perairan (%) 2 > < Genus ikan karang 2 > < Kecepatan arus (cm/dt) 2 < 0.1 > > Kedalaman terumbu karang (m) > 3 5 > 5 & <1 7. Lebar hamparan datar karang (m) 1 > < 20 Sumber: a=davis and Tisdell 1995;;b=Hutabarat et al.2009; c=supriharyono 2007; d=barnes and Hughes 2004; e = Marine National Park Division Lahan Pengembangan Wisata Mangrove Kesesuaian lahan untuk areal wisata mangrove dianalisis menggunakan persyaratan, pembobotan dan skoring yang disajikan pada tabel 12. Tabel 12. Matriks Kesesuaian Lahan untuk Wisata Mangrove NO PARAMETER BOBOT 1 Ketebalan mangrove(m) 2 Kerapatan mangrove (100 m 2 ) KELAS KESESUAIAN DAN SKOR S1 (SKOR 3) S2 (SKOR 2) S3 (SKOR 1) 5 > < 50 4 > < 5 atau > 25 3 Jenis mangrove (sp) 4 > Jenis biota 3 Ikan, Udang, Kepiting, Moluska, Reptil, Burung. Ikan, Moluska Salah satu biota air 5 Tinggi Pasut (m) < > 5 6 Jarak dari kawasan lainnya (m) Sumber : Modifikasi Yulianda (2007). 2 > < 300

59 Analisis Daya Dukung Lingkungan Analisis daya dukung lingkungan ditujukan untuk menganalisis jumlah maksimum pemanfaatan dalam suatu kawasan tanpa mengganggu keseimbangan ekosistem tersebut. Gangguan keseimbangan akibat kerusakan biofisik secara langsung dan tidak langsung melalui pencemaran. Berdasarkan sumber gangguan ekosistem tersebut, maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kawasan yang rentan terhadap kerusakan langsung Analisis Daya Dukung Kawasan Untuk mengukur daya dukung setiap kegiatan pemanfaatan disesuaikan dengan parameter fisika, kimia dan biologi perairan, maka kegiatan pemanfaatan dilakukan melalui penentuan daya dukung kawasan berikut (Yulianda 2007) : DDK K Lp Lt Wt Wp Dimana : DDK = Daya Dukung Kawasan; K = Potensi ekologis persatuan unit area; Lp = Luas area atau panjang area yang dapat dimanfaatkan; Lt = Unit area untuk kategori tertentu; Wt = waktu yang disediakan oleh kawasan untuk kegiatan Potensi Sumberdaya Ikan Karang Analisis (estimasi) potensi sumberdaya perikanan karang dilakukan melalui beberapa tahapan : Pertama, penghitungan jumlah ikan karang pada tali transek sepanjang (2x 50)m dengan lebar ke kiri kanan 2,5 m ( English et al. 1994). Kedua, penghitungan kepadatan ikan dengan metode Misra (1978) yaitu : d A c (ekor/hektar) Dimana : d = kepadatan c = jumlah ikan yang terhitung dalam pengamatan A = Luas daerah pengamatan = konversi hektar ke meter

60 56 Ketiga, penghitungan kelimpahan stok digunakan persamaan : Bo d L Dimana : Bo = kelimpahan stok (ekor); d = kepadatan; L = Luas daerah pengamatan Keempat, penghitungan potensial yield digunakan rumus Gulland (1975) : Py Bo M c Dimana : Py = potensial yield (ekor/tahun) Bo = kelimpahan stok (ekor) M = koefiisien kematian alami C = konstanta Kelima, penghitungan MSY optimal = (0,5 x Py) x 0,8 dimana 0,8 adalah konstanta precautionary approach dari MSY Daya Dukung Wisata Bahari Estimasi daya dukung wisata bahari mengikuti ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1994 tentang pengusahaan pariwisata alam di zona pemanfaatan taman nasional dan taman wisata alam yakni 10 % dari luas zona pemanfaatan. Berdasarkan pertimbangan tersebut, Hutabarat et al. (2009) membuat suatu formulasi dalam menghitung daya dukung kawasan untuk kegiatan wisata bahari di kawasan konservasi, yakni: DDW 0. 1 K LpWt LtWp Dimana : DDW = Daya dukung kawasan untuk ekowisata K = Maksimum wisatawan per satuan unit area Lp = Luas area atau panjang area yang dapat dimanfaatkan Lt = Unit area untuk kategori tertentu Wt = Waktu yang disediakan kawasan untuk kegiatan wisata per hari Wp = Waktu yang dihabiskan oleh pengunjung untuk setiap kegiatan tertentu Nilai maksimum wisatawan (K) per satuan unit area (Lt) untuk setiap kategori wisata bahari disajikan pada Tabel 13.

61 57 Tabel 13. Potensi maksimum wisatawan per unit area per kategori wisata Jenis Kegiatan K (orang) Unit Area (Lt) Keterangan Wisata Selam m 2 Setiap 2 org dalam 100 m x 10 m Wisata Snorkling m 2 Setiap 1 org dalam 100 m x 3 m Wisata Mangrove m 2 Dihitung panjang track, setiap 1 org sepanjang 100 m Sumber: Hutabarat et al.(2009); devantier and Turak (2004). Nilai konstanta waktu dalam sehari yang diperlukan oleh setiap wisatawan dalam melakukan kegiatan wisata bahari, dimana nilai ini merupakan hasil wawancara terhadap seluruh turis per kategori wisata. Tabel 14. Waktu yang digunakan untuk setiap kegiatan wisata No. Kegiatan Waktu yang dibutuhkan Wp-(jam) Total waktu 1 hari Wt-(jam) 1. Selam Snorkeling Wisata mangrove 2 8 Sumber : Modifikasi dari devantier and Turak (2004) dan Hutabarat et al. (2009) Analisis Nilai Manfaat Sumberdaya Analisis ini merupakan kelanjutan dari hasil identifikasi manfaat dan nilai manfaat pada tahap pengumpulan data kategori ekonomi yang menggunakan kuesioner. Pada tahap ini dilakukan kuantifikasi nilai manfaat sehingga diperoleh total nilai manfaat sumberdaya. Metode valuasi setiap manfaat sumberdaya yang digunakan adalah sebagai berikut : a. Transfer Manfaat (Benefit transfer) Kuantifikasi nilai ini menggunakan metode transfer manfaat pada fungsi hutan mangrove sebagai konservasi, nilai keanekaragaman mangrove dan nilai keanekaragaman terumbu karang.

62 58 b. Biaya Kompensasi (Compensation cost) Kuantifikasi nilai ini menggunakan metode biaya kompensasi yang dikeluarkan untuk melaksanakan kegiatan pelestarian dan perlindungan sumberdaya dalam kawasan G.Sulat-G.Lawang. c. Biaya pencegahan kerusakan (Damage avoided cost) Kuantifikasi nilai ini menggunakan metode biaya pencegahan kerusakan jika terjadi kehilangan fungsi tersebut. d. Harga pasar (Market price) Kuantifikasi nilai ini menggunakan metode harga pasar dari kayu bakar dan biota sekitar mangrove dan terumbu karang. e. Biaya pengganti (Replacement cost) Kuantifikasi nilai ini menggunakan metode biaya pengganti untuk membangun bangunan penahan abrasi dan perlindungan pantai. f. Pasar pengganti (Surrogate market) Kuantifikasi nilai ini menggunakan metode pasar pengganti dengan mengungkapkan nilai dari suatu perbaikan nyata dari kualitas lingkungan. g. Penilaian berdasarkan preferensi Kuantifikasi nilai ini dilakukan dengan menduga hubungan antara kesediaan untuk membayar (WTP) atau kesediaan menerima (WTA). Kuantifikasi nilai menggunakan teknik valuasi yang bersifat partisipatif berupa penilaian langsung oleh responden yang telah ditetapkan. Estimasi WTP dan WTA menggunakan pendekatan Total Kesediaan Membayar atau Total Kesediaan Menerima dari para konsumen. Analisis total ekonomi dengan metoda Valuasi Ekonomi, dengan formula berikut : TEV UV NUV Dimana : TEV = Total Economic Value (nilai ekonomi total) UV = Use Value (nilai manfaat) NUV = Non Use Value (bukan nilai manfaat)

63 59 Nilai manfaat (use value) merupakan nilai yang diperoleh atas pemanfaatan langsung sumberdaya alam dan lingkungan, termasuk pemanfaatan secara komersial atas barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam. Nilai manfaat dapat diformulasikan sebagai berikut : UV DUV IUV OV Dimana : UV = Use Value (nilai manfaat) DUV = Direct Use Value (nilai manfaat langsung) IUV = Indirect Use Value (nilai manfaat tidak langsung) OV = Option Value (nilai pilihan) Nilai manfaat langsung (direct use value) merujuk langsung pada konsesi sumberdaya alam, sedangkan nilai manfaat tidak langsung (indirect use value) merujuk pada nilai yang dirasakan secara tidak langsung dari barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam dan lingkungan. Nilai pilihan (option value) merupakan nilai yang menunjukan pilihan seorang individu untuk membayar dalam melestarikan sumberdaya alam bagi pengguna lainnya dimasa mendatang. Komponen bukan nilai manfaat (non use value) adalah nilai yang diberikan kepada sumberdaya alam atas keberadaannya meskipun tidak digunakan secara langsung, sulit diukur karena didasarkan pada preferensi terhadap lingkungan bukan pengamatan langsung, dengan formulasi berikut : NUV BV EV QOV Dimana : NUV = Non Use Value (bukan nilai manfaat) BV = Bequest Value (nilai pewarisan) EV = Existence Value (nilai keberadaan) QOV = Quasi Option Value (nilai pilihan untuk menghindari kerusakan yang irreversible) Nilai keberadaan (existence value) adalah penilaian yang diberikan dengan terpeliharanya sumberdaya alam dan lingkungan, nilai pewarisan (bequest value) diartikan sebagai nilai yang diberikan oleh generasi kini dengan menyediakan atau mewariskan sumberdaya alam dan lingkungan kepada generasi mendatang, nilai pilihan untuk menghindari kerusakan yang irreversible (quasi option value) mengandung makna ketidak-pastian, dimana nilainya merujuk pada nilai barang

64 60 dan jasa dari sumberdaya alam yang mungkin timbul akibat ketidak-pastian permintaan dimasa mendatang. Untuk pengembangan ekowisata bahari, analisis ekonomi menggunakan pendekatan penawaran dan permintaan. Pendekatan permintaan wisata merupakan pendekatan yang digunakan untuk menganalisis besarnya permintaan wisata bahari oleh wisatawan yang dibatasi oleh biaya perjalanan wisata, pendapatan wisatawan, perubahan harga dan faktor lain. Pendekatan permintaan ini dianalisis dengan mengukur besarnya kemampuan membayar (Willingness to Pay, WTP) oleh wisatawan dalam melaksanakan kegiatan wisata bahari. Metode yang digunakan untuk mengestimasi WTP didekati dengan menilai total kesediaan membayar atau total kesediaan menerima dari konsumen. Mengacu FAO (2000), nilai setiap konsumen dapat secara langsung diperoleh dari hasil perhitungan nilai tengah mengikuti formula sebagai berikut : Keterangan : MWT ( P / A) 1/10 MWT(P/A) = nilai tengah WTP atau WTA. Jumlah sampel 10 responden dan yi adalah besaran WTP / WTA yang diberikan responden ke-i. Apabila sebaran WTP /WTA terlalu ekstrim, maka disarankan mengganti teknik nilai tengah dari rata-rata menjadi nilai median. Setelah mengetahui tingkat WTP/WTA yang dihasilkan perindividu persamaan diatas maka total nilai ekonomi sumberdaya berdasarkan preferensi secara sederhana dapat dilakukan dengan menggunakan formula 10 i 1 yi dari TB WTP / A i P 2010 Keterangan : TB adalah total benefit, WTP/A adalah nilai WTP/WTA perindividu dan P adalah total populasi di lokasi penelitian pada tahun 2010 Maksimum jumlah (daya dukung ekonomi) wisatawan yang berkunjung ke G.Sulat-G.Lawang dan harga maksimum yang dapat dibayarkan diperoleh dengan menyeimbangkan antara fungsi penawaran dengan fungsi permintaan produk ekowisata bahari (Supply = Demand).

65 Analisis Sosial Daya dukung sosial untuk pengembangan perikanan karang dan ekowisata bahari dihitung dengan menilai jumlah penyerapan tenaga kerja per unit usaha, didasarkan pada kebutuhan tenaga kerja dalam satu periode produksi (1 tahun). diformulasikan sebagai berikut : t n KTK t 1 UK/PE Dimana : KTK = Kebutuhan tenaga kerja (fungsi dari jumlah kunjungan atau unit usaha ( U) K = rata-rata beban kerja E = waktu kerja efektif setiap tenaga kerja P = selang waktu dalam satu siklus produksi Analisis Optimasi Pemanfaatan Model yang dibangun dalam kajian pemanfaatan ruang kawasan konservasi G.Sulat-G.Lawang secara optimal adalah sistem dinamik yang memanfaatkan software Stella.9.0. dan Geographycal Information System (GIS). Sistem dinamik dikembangkan sebagai alat analisis dalam pengambilan kebijakan untuk memformulasikan pemanfaatan ruang kawasan konservasi secara berkelanjutan dengan mempertimbangkan aspek ekologi, ekonomi dan sosial yang disesuaikan dengan kondisi kawasan dan mengacu pada beberapa parameter ilmiah dari hasil penelitian dan referensi terkait. GIS dalam penelitian ini adalah: 1) analisis proximity, yaitu pembuatan buffer/coverage baru berupa zona inti, pemanfaatan terbatas daan zona lainnya dari coverage input (titik, garis, poligon), 2) analisis spasial/overlay, yaitu proses tumpang tindih coverage, dilakukan untuk menganalisis dan mengidentifikasi hubungan spasial (keruangan dan informasinya) yang digunakan untuk mencari wilayah yang diinginkan berdasarkan kriteria yang disetujui. Aplikasi model SIG digunakan dalam beragam sistem pendukung keputusan (Barlett 1999). SIG sebagai dasar pemodelan spasial untuk pengelolaan sumberdaya alam digunakan untuk mengekspresikan unit spasial, interaksinya dan bagaimana besaran serta lokasi unit spasial tersebut berpengaruh dan mempengaruhi kondisi variable state seperti biomassa, populasi dan sebagainya. Pemodelan yang memasukkan aspek wilayah dinamis

66 62 yang aktif dimana pengembangan setiap wilayah dilakukan secara terpisah dan khusus (isolated) dengan mempertimbangkan perubahan-perubahan yang ada pada wilayah yang berdekatan (Camara et al. 1976). Model dinamik spasial yang dibangun dengan pendekatan GIS meliputi data biologi dan oceanografi dari literatur yang ada untuk menggambarkan area studi dalam bentuk matrik sel grid 2 dimensi (Pitcher et al. 2002; Pitcher et al. 2007). Selanjutnya dioverlay dengan data kesesuaian lahan dan interaksi spasial wilayah pengamatan yang direpresentasikan sebagai sel grid zona adaptif pemanfaatan kawasan. Dengan memasukan model optimasi ruang yang dikombinasikan dengan GIS serta komponen kebijakan yang mengatur pemanfaatan ruang berbasis kawasan menghasilkan peta kawasan yang adaptif (adaptive zoning). Analisis spasial digunakan untuk mengintegrasikan semua komponen aspek yang diamati berdasarkan distribusi dan pengalokasian lahan sesuai kondisi lapangan Analisis Keberlanjutan Análisis keberlanjutan pemanfaatan ruang kawasan konservasi G.Sulat- G.Lawang dilakukan dengan pendekatan Multidimensional Scaling (MDS) yang disebut RAP-KK yang merupakan pengembangan dari metode RAPFISH yang digunakan untuk menilai status keberlanjutan perikanan tangkap (Pitcher TJ dan D.Preikshot 2001; Kavanagh, P and Tony J. Pitcher. 2004). Analisis keberlanjutan dinyatakan dalam Indeks Keberlanjutan Perikanan Karang (ikb- PK), Indeks Keberlanjutan Wisata Selam (ikb-ws), Indeks Keberlanjutan Wisata Snorkeling (ikb-wsk), Indeks Keberlanjutan Wisata Mangrove (ikb-m). Analisis dilakukan melalui tiga tahapan: A. Penentuan atribut Penentuan atribut perikanan karang dan ekowisata bahari yang mencakup empat dimensi pengelolaan, yaitu dimensi ekologi, ekonomi, sosial dan kelembagaan. Pada setiap dimensi dipilih atribut yang mewakili dimensi yang bersangkutan untuk digunakan sebagai indikator tingkat keberlanjutan dari dimensi tersebut. Atribut pada setiap dimensi dipilih yang secara kuat mewakili dimensi yang bersangkutan dan tidak tumpang tindih dengan atribut lain.

67 63 B. Pembuatan Skor Pemberian skor atau peringkat dilakukan pada atribut yang teridentifikasi berdasarkan tujuan pengelolaan potensi kawasan. Mengacu pada teknik RAPFISH (Pitcher and Preikshot 2001; Susilo 2003), skor yang diberikan berupa nilai buruk yakni mencerminkan kondisi yang paling tidak menguntungkan dalam pengelolaan kawasan dan nilai baik yakni mengkondisikan pengelolaan kawasan yang paling menguntungkan. Diantara dua nilai yang ekstrim ini terdapat satu atau lebih nilai antara. Mengacu pada pendekatan yang digunakan oleh Good et al. (1999) dan Heershman et al. (1999), maka jumlah peringkat yang diberikan secara konsisten pada setiap atribut yang dievaluasi sebanyak tiga yakni nilai buruk skor 0, nilai antara skor 1, niilai baik skor 2 seperti terlihat pada Lampiran 2. C. Analisis Keberlanjutan Analisis keberlanjutan pengelolaan kawasan dilakukan untuk melihat atribut yang paling sensitif memberikan kontribusi terhadap indeks efektivitas pengelolaan di wilayah kajian. Peran masing-masing atribut terhadap nilai ikb-kk dianalisis dengan attribute leveraging, sehingga terlihat perubahan ordinasi apabila atribut tertentu dihilangkan dari analisis. Pengaruh setiap atribut dalam bentuk perubahan Root Mean Square (RMS) ordinasi khususnya pada sumbu-x.

68 64 4. KONDISI EKSISTING KAWASAN G.SULAT- G.LAWANG 4.1 Aspek Lingkungan (Ekologi) Kawasan G.Sulat-G.Lawang, terletak di sebelah timur bagian utara Pulau Lombok. Secara administratif termasuk wilayah Desa Sambelia, Kecamatan Sambelia, Kabupaten Lombok Timur, Provinsi Nusa Tenggara Barat. G.Sulat- G.Lawang berjarak sekitar 1 mil dari Selat Alas menuju Selat Makasar dan Laut Jawa. Obyek wisata kawasan ini adalah berupa pantai pasir putih, ekosistem terumbu karang dan mangrove. Atraksi wisata berenang, snorkeling, selam, berjemur (sun bathing), dayung (boating), dan perahu layar (sailling). G.Sulat- G.Lawang merupakan pulau kecil terletak di sebelah timur pesisir Mentareng, Lepeloang dan Sugian. Antara G.Sulat-G.Lawang dengan pulau Lombok dipisahkan oleh Selat Sugian dengan batimetri hingga 10 m. Pulau-pulau ini dibentuk oleh endapan aluvial, mempunyai relief rendah dan dibentuk oleh aluvial berlumpur, ditumbuhi oleh mangrove. Di sekitar lepas pantai kedua pulau terdapat hamparan terumbu karang. Pantai barat dari pulau ini relatif lebih landai dibandingkan dengan pantai timur. Kedua pulau ini kemungkinan terbentuk dari endapan Gunung berapi Rinjani. Kawasan konservasi Laut Daerah G.Sulat-G.Lawang ditetapkaan berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Lombok Timur nomor 10 tahun 2006 tentang konservasi laut daerah pasal 6 point (1)a. KKLD G.Sulat G.Lawang meliputi perairan G.Sulat dan G.Lawang di bagian utara Selat Alas dengan luas ha, terdiri atas dua zona inti, zona penyangga dan zona pemanfaatan. Zona Inti I di Gili Lawang dengan batas-batas sebagai berikut : Sebelah Barat Utara : 08 o.16.42,0 LS dan 116 o 41 42,5 BT Sebelah Barat Selatan : 08 o 17 28,6 LS dan 116 o 41 15,9 BT Sebelah Timur Utara : 08 o 18 27,5 LS dan 116 o 43 03,1 BT Sebelah Timur Selatan : 08 o 18 41,0 LS dan 116 o 42 34,7 BT Zona Inti II di G.Sulat dengan batas-batas sebagai berikut : Sebelah Barat Utara : 08 o.18.34,2 LS dan 116 o 43 12,7 BT Sebelah Barat Selatan : 08 o 18 55,0 LS dan 116 o 42 39,3 BT Sebelah Timur Utara : 08 o 20 25,3 LS dan 116 o 45 02,7 BT Sebelah Timur Selatan : 08 o 20 53,4 LS dan 116 o 44 50,8 BT

69 65 Zona penyangga meliputi : Sebelah Barat Utara : 08 o.16.28,5 LS dan 116 o 41 38,8 BT Sebelah Barat Selatan : 08 o 17 33,6 LS dan 116 o 41 03,7 BT Sebelah Timur Utara : 08 o 20 18,6 LS dan 116 o 45 14,3 BT Sebelah Timur Selatan : 08 o 21 06,9 LS dan 116 o 44 55,0 BT Iklim Iklim dipengaruhi oleh musim, umumnya pergantian musim di Kabupaten Lombok Timur berlangsung dua kali yaitu Musim Barat pada bulan Oktober- Maret dan Musim Timur pada bulan April-September. Iklim di daerah ini tergolong iklim tropis basah dengan curah hujan rata-rata 71.8 mm/bulan dan jumlah hari hujan berkisar 64 hari pada tahun Berdasarkan pencatatan Subdin Pengairan Dinas PU Pemukiman dan Prasarana Wilayah Kabupaten Lombok Timur pada tahun 2009, khusus untuk Kabupaten Lombok Timur curah hujan sekitar 770 mm dengan rataan mm/bulan, jumlah hari hujan 74 hari dan puncak curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Juni. Sedangkan untuk kecamatan Sambelia jumlah curah hujan adalah 414 mm dengan jumlah hari hujan 107. Jumlah hari hujan tertinggi terjadi bulan Februari dan Desember tetapi curah hujan tertinggi terjadi bulan Maret. Rincian jumlah curah hujan di Kabupaten Lombok Timur tahun memperlihatkan pada tahun 2005 curah hujan relatif lebih rendah dibandingkan curah hujan tahun yang lain. Diantara data curah hujan selama enam tahun, curah hujan tertinggi terjadi pada tahun 2005, berpuluh kali lipat tingginya dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Curah hujan tertinggi cenderung terjadi pada Januari, Februari dan Desember. Sedangkan curah hujan rendah terjadi pada bulan Agustus, September, Oktober dan November, bahkan pada September tahun 2007, 2008 dan 2009 tidak ada curah hujan sama sekali. Hal ini menunjukkan bahwa curah hujan berhubungan dengan musim, yang ditunjukkan curah hujan rendah terjadi pada musim timur/kemarau. Jumlah hari hujan setiap bulan juga berpengaruh terhadap kondisi perairan. Rincian hari hujan dalam enam tahun terakhir, jumlah hari hujan tertinggi pada tahun 2007, jauh lebih tinggi dari pada tahun-tahun yang lainnya. Sedangkan frekuensi hari hujan umumnya tinggi pada bulan Januari, Februari dan Desember dan cenderung rendah pada bulan Agustus, September, Oktober dan November. Informasi tentang jumlah curah hujan, jumlah hari hujan dan

70 Desember November Oktober September Agustus Juli Juni Mei April Maret Februari Januari

71 67 aerasi, transportasi nutrien dan pengadukan air. Pengadukan air ini berperan untuk menghindari fluktuasi suhu yang besar (Atmadja dan Sulistijo, 1997). Kecepatan arus yang terjadi di perairan Sambelia pada musim Timur berkisar antara m/detik. Dinamika kecepatan arus berbeda sesuai dengan lokasi titik sampling. Semakin jauh lokasinya ke arah laut semakin tinggi kecepatan arus dan sebaliknya semakin mendekati pantai semakin berkurang kecepatan arus Parameter Kualitas Air Kualitas air merupakan salah satu penentu utama dalam menetukan daya dukung perairan terhadap berbagai kegiatan. Kualitas air yang rendah akan menyebabkan daya dukung perairan juga rendah. Hasil pengukuran kualitas perairan dilokasi penelitian ditunjukkan sebagai berikut: Kecerahan Perairan Kecerahan perairan menentukan jumlah intensitas sinar matahari yang masuk ke perairan. Kemampuan penetrasi sinar matahari sangat ditentukan oleh warna perairan, kandungan bahan organik maupun anorganik tersuspensi, kepadatan plankton, jasad renik dan detritus. Faktor pembatas proses fotosintesa di perairan adalah kekeruhan karena berpengaruh terhadap penetrasi cahaya matahari, disamping itu kekeruhan merupakan gambaran sifat optik dari suatu air yang ditentukan berdasarkan banyaknya sinar (cahaya) yang dipancarkan dan diserap oleh partikel-partikel yang ada dalam air (Boyd 1988). Salah satu penyebab kekeruhan adalah zat-zat organik yang terurai, jasad-jasad renik, lumpur dan tanah liat atau zat-zat koloid yaitu zat-zat terapung yang mudah mengendap. Selanjutnya Effendi (2003), peningkatan nilai kekeruhan pada perairan dangkal dan jernih sebesar 25 Nephelometric Turbidity Unit (NTU) dapat mengurangi 13%-50% produktivitas primer. Kondisi kecerahan daerah penelitian tergolong sangat tinggi, yakni berkisar antara m. Semakin jauh ke arah laut semakin tinggi tingkat kecerahan perairan. Di beberapa titik sampling terdapat kekeruhan terutama pada daerah yang lebih dekat dengan pantai, hal ini dapat terlihat pada kondisi kecerahan yang paling rendah yaitu hanya 0.2 m. Kecerahan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kedalaman penetrasi cahaya di dalam laut, selain absorpsi cahaya itu sendiri oleh air (Nybakken 1988). Tingkat kecerahan di kelompokkan

72 68 ke dalam tiga kategori, yakni sangat sesuai meter, sesuai bersyarat meter dan tidak sesuai jika kecerahan sudah di bawah 0.60 meter. (Puslitbangkan 1991; Hidayat 1994; Sulistijo 1996; Efendi 2004; FAO 2008) Salinitas. Salinitas diketahui juga merupakan faktor pembatas kehidupan binatang karang. Salinitas air laut rata-rata di daerah tropis adalah sekitar 35 o / oo, dan binatang karang hidup subur pada kisaran salinitas sekitar o / oo (Kinsman, 2004). Namun pengaruh salinitas terhadap kehidupan binatang karang sangat bervariasi tergantung pada kondisi perairan laut setempat dan/atau pengaruh alam, seperti run-off, badai, hujan, sehingga kisaran salinitas bisa sampai 17,5-52,5 o / oo (Vaughan, 1999; Wells, 1994). Bahkan seringkali salinitas di bawah minimum dan di atas maksimum tersebut karang masih bisa hidup, seperti tercatat di perairan Pantai Bandengan, Jepara Jawa Tengah salinitas nol permil (0 o / oo ) untuk beberapa jam pada waktu air surut yang menerima limpahan air sungai (Supriharyono, 2000) dan di laguna Turneffe atoll, British Honduras yang salinitasnya mencapai 70 o / oo (Smith, 1993). Daya tahan terhadap salinitas setiap jenis karang tidak sama. Contoh Kinsman (1994) mendapatkan bahwa Acropora dapat bertahan pada salinitas 40 o / oo hanya beberapa jam di West Indies, akan tetapi Porites dapat tahan dengan salinitas sampai 48 o / oo. Hasil pengukuran di lapangan diperoleh data salinitas yang berkisar antara Salinitas rendah terdapat pada daerah sekitar muara sungai dan semakin ke tengah perairan salinitas semakin tinggi. Salinitas pada wilayah perairan G.Sulat-G.Lawang penting untuk diperhatikan perubahannya karena banyaknya aliran sungai yang bermuara pada perairan tersebut. Sepanjang 21 km garis pantai terdapat 11 muara sungai dan khusus untuk wilayah kajian, pada dua kecamatan tersebut mengalir 10 sungai sehingga pada musim hujan salinitas turun sangat rendah khususnya pada muara sungai dan bagian permukaan perairan Suhu Suhu perairan berpengaruh terhadap pola kehidupan organisme perairan. Pengaruh suhu yang utama adalah mengontrol penyebaran hewan dan tumbuhan. Suhu mempengaruhi secara langsung aktifitas organisme seperti

73 69 pertumbuhan dan metabolime bahkan menyebabkan kematian organisme, sedangkan pengaruh tidak langsung adalah meningkatnya daya akumulasi berbagai zat kimia dan menurunkan kadar oksigen dalam air. Suhu perairan G.Sulat-G.Lawang antara C. Perbedaan suhu diantara titik sampling tidak berbeda jauh, hanya sekitar 2.2 C, suhu tertinggi terdapat di sekitar pantai. Suhu secara tidak langsung berhubungan dengan kedalaman, makin dangkal perairan maka cenderung semakin cepat terjadi perubahan suhu sebab dengan sumber panas yang sama, perairan dangkal yang memiliki volume air yang lebih kecil akan lebih cepat panas. Fenomena ini juga terjadi di perairan Sambelia dimana perairan di dekat pantai yang lebih dangkal memiliki suhu yang lebih tinggi dibandingkan dengan perairan yang lebih dalam. Nontji (1987), menyebutkan bahwa suhu air di perairan nusantara berkisar antara C dan suhu di dekat pantai lebih tinggi dibandingkan dengan suhu di laut lepas. Suhu perairan merupakan salah satu faktor penting dalam mempelajari gejala fisika perairan karena dapat mempengaruhi kehidupan hewan dan tumbuhan pada perairan (Nontji 2003) Derajat Keasaman (ph) Hasil pengukuran ph di perairan pesisir G.Sulat-G.Lawang, berkisar antara Pada daerah sekitar muara sungai ph perairan relatif lebih tinggi dibandingkan dengan lokasi lainnya. Umumnya daerah muara sungai mempunyai ph lebih rendah akibat penguraian bahan organik yang biasanya menumpuk pada dasar muara sungai. Hal ini berarti bahwa pada daerah muara sungai tidak terjadi penumpukan dan penguraian bahan organik yang bersifat asam. Kemungkinan hal ini terjadi karena wilayah kajian adalah perairan terbuka yang mempunyai waktu pembilasan (flushing time) relatif cepat sehingga bahan organik tidak sempat menumpuk pada muara sungai sudah mengalami pembilasan. Data substrat dasar juga menunjang penjelasan ini sebab pada muara sungai di wilayah pesisir Sambelia, substrat dasar umumnya berupa karang, pecahan karang dan pasir lumpur (bahan organic). Setiap organisme membutuhkan kondisi ph tertentu untuk kelangsungan hidupnya Oksigen terlarut oksigen adalah salah satu gas terlarut yang memegang peranan penting untuk menunjang kehidupan organime dalam proses respirasi dan metabolisme

74 70 sel. Clark (1977) menyatakan bahwa Dissolved Oxygen (DO) optimum moluska berkisar antara 4,1 6,6 ppm dengan batas minimal tolerasi adalah 4 ppm. Tabel 15. Kondisi Oseanografi dan Kualitas Air di G.Sulat-G.Lawang, 2010 Stasiun Salini tas (ppt) DO ph Kecera han (m) Substrat Suhu ( C) Kec. Arus (m/det) Tinggi Gelombng (m) Kedal aman (m) L-1 27,7 2,8 6,82 0,20 Karang 32,0 0,1667 0,05 1,0 L-2 27,4 4,16 7,83 0,23 batu karang L-3 27,4 4,56 7,93 0,26 Pecahan Karang 31,5 0,119 0,05 5,0 32,7 0,109 0,10 4,5 L-4 26,7 4,9 7,30 0,28 Pasir 32,2 0,177 0,17 6,0 L-5 28,9 3,63 7,38 0,25 Pasir 29,5 0,153 0,03 1,0 L-6 29,6 3,89 7,40 1,31 karang 30,7 0,104 0,10 4,5 L-7 29,3 3,60 7,70 1,35 karang 30,0 0,110 0,03 4,5 S-1 29,1 4,12 8,14 1,31 pasir 30,0 0,263 0,02 6,0 berlumpur S-2 30,2 3,81 7,02 1,41 Lumpur 29,8 0,360 0,03 7,5 S-3 30,7 3,71 7,99 1,34 Lumpur 29,9 0,297 0,03 10,5 S-4 30,6 3,42 7,66 2,80 Pecahan Karang S-5 30,3 3,69 7,12 2,89 pasir berlumpur 30,9 0,400 0,30 18,0 30,4 0,556 0,35 18,0 S-6 30,3 3,88 7,23 2,83 Berlumpur 30,5 0,362 0,37 19,0 S-7 30,4 3,77 7,01 2,90 pecahan karang 30,0 0,416 0,37 19,5 S-8 30,3 3,51 7, karang 29,9 0,320 0,45 21, Substrat Dasar Substrat dasar perairan G.Sulat-G.Lawang umumnya terdiri dari karang, pecahan karang dan pasir sebagian kecil berlumpur. Substrat dasar berhubungan dengan kecerahan perairan. Substrat yang berupa lumpur apabila kedalamannya rendah gampang teraduk oleh arus dan gelombang sehingga menyebabkan kekeruhan. Selanjutnya kekeruhan bisa menghambat penetrasi cahaya matahari yang sangat dibutuhkan penyelam dalam melakukan aktivitasnya. Karena itu untuk kegiatan selam dilakuakn pada lokasi yang tidak terlalu dalam dengan tingkat kecerahan tinggi, disyaratkan substrat dasarnya berupa karang, pecahan karang, pasir atau campuran ke tiganya.

75 Sedimentasi. Sedimentasi merupakan masalah yang umum di daerah tropis, pengembangan di daerah pantai dan aktivitas-aktivitas manusia lainnya, seperti pengerukan, pertambangan, pengeboran minyak, pembukaan hutan, aktivitas pertanian, dapat membebaskan sedimen (terrigenoua sediments) ke perairan pantai atau ke daerah terumbu karang. Akvitas pertanian, pembukaan lahan dan pengolahan tanah di daratan lainnya biasanya membebaskan sedimen melalui larian permukaan (run-off). Sedimen yang dibebaskan oleh aktivitas-aktivitas ini cukup tinggi, yaitu dapat mencapai mg/cm/hari, seperti yang tercatat di sebelah 12 timur Florida, Amerika Serikat (Reed, 1981 dalam Supriharyono, 2000). Disamping jenis sedimen tersebut, ada pula sedimen lain, yang dikenal dengan carbonate sedimen, yaitu sedimen yang berasal dari erosi karangkarang, baik secara fisik ataupun biologis (bioerosion). Bioerosi biasanya dilakukan oleh hewan laut seperti bulu babi, ikan, bintang laut, dan sebagainya Kedalaman. Hasil pengukuran kedalaman perairan G.Sulat-G.Lawang adalah dari 1m hingga 248 meter. Kedalaman tertinggi cenderung berada pada perairan sebelah utara kawasan dan perairan yang dangkal berada pada bagian selatan. Kedalaman berhubungan dengan penetrasi cahaya matahari ke dalam perairan yang dibutuhkan untuk pertumbuhan karang dan aktivitas penyelaman. Pada perairan yang dalam, pertumbuhan karang kurang ideal sebab kurangnya proses fotosintesa bagi pertumbuhan karang Aspek Sosial-Budaya Penduduk Penduduk merupakan faktor produksi dalam memanfaatkan potensi sumberdaya perairan. Jumlah penduduk Kecamatan Sambelia jiwa terdiri dari laki-laki sebanyak jiwa dan perempuan sebanyak jiwa pada tahun Diantara jumlah penduduk tersebut terdapat penduduk usia kerja sebanyak jiwa yang terdiri dari laki-laki jiwa dan perempuan jiwa. Mata pencaharian penduduk Kecamatan Sambelia sebagian besar nelayan tangkap dan pedagang, tukang batu, buruh bangunan, pegawai negeri sipil dan penjual makanan (BPS Kecamatan Sambelia dalam Angka 2009).

76 Pendidikan Pendidikan merupakan salah satu penentu kualitas sumberdaya manusia termasuk nelayan. Selain itu pendidikan formal maupun nonformal merupakan modal dasar bagi nelayan untuk dapat mengakses informasi melalui berbagai media sehingga memudahkan mereka menyerap suatu perubahan atau inovasi yang berhubungan dengan perilaku. Kemampuan dan keterampilan untuk berfikir dan bertindak dalam kehidupan sehari-hari, sangat ditentukan oleh faktor pendidikan yang dimiliki. Pendidikan merupakan proses pengetahuan, keterampilan maupun sikap yang dapat dilakukan secara terencana sehingga diperoleh perubahan dalam meningkatkan taraf hidup (Slamet,2003) Kualitas sumberdaya manusia di Kecamatan Sambelia dilihat dari tingkat pendidikan tergolong rendah. Penduduk usia 10 ke atas yang tidak sekolah atau belum pernah sekolah persentasenya cukup tinggi, yakni 19.43%, Sekolah Dasar 8.36 %, Sekolah Menengah Pertama 4.77 %, Sekolah Menengah Atas 3.14%, Perguruan Tinggi 1.19% dan tidak bersekolah lagi 63.10%. Jika diasumsikan bahwa penduduk yang tidak sekolah atau belum pernah sekolah tidak bisa baca tulis latin berarti angka buta huruf di Kecamatan Sambelia cukup tinggi, minimal 19.43%. Lebih dari 50% penduduk yang tidak sekolah adalah perempuan, yakni orang dan laki-laki orang. Selain angka yang tidak sekolah cukup tinggi, angka drop out pun sangat tinggi mencapai 63.10%. Namun angka drop out ini tidak dirinci pada tiap jenjang pendidikan, namun drop out perempuan lebih besar dibanding laki-laki Kesehatan Kesehatan merupakan salah satu indikator tingkat kesejahteraan masyarakat. Semakin tinggi tingkat kesejahteraan masyarakat semakin tinggi derajat kesehatannya. Masyarakat yang sejahtera berarti kebutuhan primernya telah terpenuhi, termasuk aspek kesehatan. Kesehatan di Kecamatan Sambelia diarahkan agar pelayanan kesehatan meningkat lebih luas, lebih merata dan lebih terjangkau oleh masyarakat sehingga dapat menghasilkan derajat kesehatan masyarakat yang lebih tinggi, pada akhirnya setiap orang bisa hidup lebih produktif secara sosial maupun secara ekonomis.

77 Kelembagaan Cooley dalam Soemardjan dan Soemardi (1964) mendefinisikan lembaga sebagai suatu norma dan tata cara yang bersifat tetap. Menurut Kartodiharjo et Al. (1999), kelembagaan merupakan suatu sistem yang kompleks, rumit, abstrak, yang mencakup idiologi, hukum adat-istiadat, aturan, kebiasaan yang tidak terlepas dari lingkungan. Kelembagaan mengatur apa yang dilarang dikerjakan oleh individu maupun kelompok. Oleh karena itu kelembagaan adalah instrumen yang mengatur hubungan antara individu. Sesuai dengan rumusan tersebut di atas, kelembagaan yang dimaksud adalah kelembagaan modern berupa Perda maupun kelembagaan tradisional yang berupa aturan adat dan kehidupan sosial masyarakat. Kelembagaan yang berhubungan langsung dengan kegiatan pengelolaan kawasan konservasi berupa Peraturan Pemerintah dan aturan lokal. Peraturan dalam bentuk Rencana Pengelolaan kawasan konservasi laut daerah adalah aturan dalam hal zonasi Sedangkan aturan lokal yang ada dan disepakati oleh masyarakat sekitar Gili Sulat-Gili Lawang yakni Komunitas Dua Pulau, yang bertugas dalam pengaturan dan pangawasan kedua pulau Kondisi Biologis Perairan Kondisi Mangrove G.Sulat-G.Lawang. Kawasan G.Sulat-G.Sulat ditetapkan sebagai hutan lindung dengan luas G.Sulat 663,50 ha dan G.Lawang 423,36 ha berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.416/KPTS-II/1999. Hampir keseluruhan G.Sulat ditumbuhi vegetasi mangrove (Setyastuti, 2002). Pada sisi pulau yang berhadapan dengan daratan besar, kerapatan mangrove sangat lebat dengan formasi terdepan jenis Rhizophora mucronata, tipe substrat berpasir dan pecahan karang. Diwilayah ini juga ditemukan tumbuhan asosiasi mangrove seperti Sesuvium portulacastrum dan beberapa jenis lain yang belum teridentifikasi. Sedangkan sisi luar pulau, formasi terluar adalah jenis Sonneratia alba, Bruguiera gymnorhiza dengan kerapatan rendah dan diameter batang rata-rata sekitar 90 cm. Di G.Lawang, sisi dalam pulau dijumpai areal yang tidak ditumbuhi mangrove dengan luas antara ,0 hektar, ditumbuhi rumput dan asosiasi mangrove. Pada sisi dalam pulau terdapat kerusakan mangrove yang diakibatkan oleh sambaran petir. Kondisi vegatasi sisi dalam pulau hampir sama

78 Luar Gili 4 Kampir Bele Menanga dua Todak Penanean Tanjak Mukur Luar Gili 3 Luar Gili 2 Luar Gili Pegatan 2 Pegatan 1 Landi No. Famili Jenis 1. Rhizophoraceae 1. Rhizophora mucronata 2. R. apiculata 3. R stylosa 4. Bruguiera gymnorhiza 5. Ceriops decandra 2. Sonneratiaceae 1. Sonneratia alba

79 Pekaje Selang Batu Mandi 3 Batu Mandi 2 Menan ga Kapal Foto Gili Pondok Kecil Ujung Pondok Jaga Luar Gili

80 76 Ceriops decandra (Yellow Mangrove), Jenis ini menempati posisi bagian tengah yaitu dengan daerah yang relatif kering dan basah saat pasang. Jenis ini hanya dijumpai di G.Lawang pada sisi bagian dalam pulau. Kategori vegetasi adalah permukaan kulit halus, umumnya berwarna coklat dan menggelembung di bagian pangkal. Daunnya hijau mengkilap dan sering memiliki pinggiran melingkar kedalam. Bentuknya bulat telur dengan ujung membundar. Famili Sonneratiaceae Sonneratia alba (Mangrove apple), Jenis ini dikenal dengan nama pedada atau perepat. Pohonnya selalu hijau, kayu berwarna putih tua hingga coklat dengan celah logitudinal yang halus. Akarnya muncul kepermukaan sebagai akar napas dan berbentuk kerucuk tumpul. Buahnya seperti bola atau buah apel, ujung bertangkai dan bagian dasar terbungkus kelopak bunga. Sonneratia alba dijumpai pada formasi tengah hidup diantara jenis Rhizophora dan Bruguiera, sedang pada sisi luar pulau tumbuh pada formasi depan bersama jenis Bruguiera dengan kategori pohon berdiameter 90 cm dengan ketinggian lebih dari 20 meter, tumbuh pada daerah pasir berlumpur dan pecahan karang Kerapatan Jenis Vegetasi mangrove pada kedua pulau didominasi jenis Rhizophora mucronata pada formasi terluar, sedang pada bagian luar Gili didominasi Sonneratia alba dan Briguiera gymnorhiza. Secara visual, vegetasi mangrove yang berhadapan dengan daratan terdiri dari pohon-pohon muda di formasi depan, tinggi rata-rata 3-5 meter. Pada bagian lahan kering ditumbuhi jenis asosiasi mangrove berupa Sesuvium portulacastrum. Kerapatan Pohon I Laandi 0.18 II Pegatan III Pegatan 2 IV Luar Gili V Luar Gili 2 VI Luar Gili 3 VII Tanja Mukur Gambar 12. Kondisi Kerapatan Mangrove G.Sulat

81

82 78 Wilayah Pantai, dapat ditunjukkan dari kerapatan kanopi (cover density). Kerusakan berat, estimasi kerapatan kanopi < 50 %, Kerusakan sedang, estimasi kerapatan kanopi % dan kriteria tidak rusak estimasi kerapatan kanopinya > %. Tabel 17. Kondisi Vegetasi Mangrove di G.Sulat Stasi un Jenis dominan Kerapat an Pohon Jenis INP tertinngi Tinggi Rataan (m) Ø Batang (cm) Tutupan (%) I Rhizophora mucronata 0.18 R mucronata II Rhizophora mucronata 0.17 R mucronata III Bruguiera gymnorhiza 0.09 B gymnorhiza IV Bruguiera gymnorhiza 0.08 B gymnorhiza V Rhizophora mucronata 0.10 R mucronata VI Rhizophora mucronata 0.07 R mucronata VII Rhizophora mucronata 0.05 R mucronata VIII Rhizophora mucronata 0.05 R mucronata IX Bruguiera gymnorhiza 0.12 B gymnorhiza X Rhizophora mucronata 0.08 R mucronata XI Rhizophora mucronata 0.04 R mucronata Rhzophora mucronata R mucronata Kerapatan vegetasi mangrove di G.Lawang /100 m 2 ( /ha). Berdasarkan kriteria baku kerusakan mangrove, maka komunitas mangrove di kawasan ini tergolong jarang hingga baik atau sedang. Untuk kategori anakan kerapatannya / 25 m 2., kategori semai kerapatannya 0 4 / m 2. Kerapatan jenis tertinggi adalah Rhizophora mucronata 600 indvidu/ha. Tabel 18. Kondisi Vegetasi Mangrove di G.Lawang Stasiu n Jenis dominan Kerapatan Pohon (100m 2 ) INP tertinggi Tinggi Rata 2 (m) Ø Batang (cm) I Rhizophora mucronata 0.10 R mucronata II Rhizophora mucronata 0.05 R Mucronata III Bruguiera gymnorhiza 0.09 B gymnorhiza IV Rhizophora mucronata 0.10 R mucronata V Rhizophora mucronata 0.11 R mucronata VI Rhizophora mucronata 0.03 R mucronata VII Rhizophora mucronata 0.10 R mucronata VIII Rhizophora mucronata 0.05 R mucronat IX Rhizophora mucronata 0.07 R mucronata R mucronata Tutu pan (%) Kondisi Ekosistem Padang Lamun di G.Sulat-G.Lawang Padang Lamun di G.Sulat Hasil kajian tim peneiti BRKP (2004), dijumpai 7 spesies lamun sesuai urutan dominansinya yaitu Thalassia hemprichii, Enhalus acoroides, Cymodocea

83 79 rotundata, Syringodium isoetifolium, Cymodocea serrulata, Halodule pinifolia dan Halophila ovalis. Tidak dijumpai areal pantai di kawasan ini karena ekosistem lamun langsung berbatasan dengan mangrove. Vegetasi lamun sangat padat dengan persentase tutupan % dengan luas sekitar 100 hektar. Dua species yang tumbuh dominan yaitu Thalassia hemprichii dan Enhalus acoroides. Distribusi lamun dari batas mangrove sampai batas terumbu karang dimana lamun sudah tidak ditemukan antara meter, sedangkan batas antara mangrove sampai batas tubir sekitar 100 meter. Dengan demikian hampir separuh dari rataan terumbu ditumbuhi lamun. Daerah yang berbatasan dengan mangrove didominasi Enhalus acoroides. Arus air dasar sangat keras terutama pada saat pergantian pasang surut sehingga daun lamun Enhalus acoroides,thalassia hemprichii dan C.rotundata kurus memanjang. Ditemukan jenis Enhalus acoroides dengan kerapatan agak jarang, ukuran daun panjang, saat surut terendah lamun masih terendam air. kedalaman substrat mencapai 50 cm. Enhalus acoroides tumbuh homogen dengan kepadatan tegakan per meter. Persentase tutupan berkisar %. Pada sisi barat G.Sulat dikenal dengan Menanga Dua Todak yang artinya muara yang mempunyai 2 jalan masuk untuk perahu Padang Lamun di G.Lawang Areal selatan G.Lawang kondisi arus yang cukup kuat, jenis lamun yang ditemukan Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, Syringodium isoetifolium dan Cymodocea rotundata, C. serrulata dan Halophila ovalis. Sedangkan jenis lamun yang dominan adalah Thalassia hemprichii, Enhalus acoroides dan Cymodocea rotundata. Lamun jenis Enhalus acoroides ukuran daunnya relatif panjang antara cm, jenis Cymodocea serrulata dan Halophila ovalis sangat jarang ditemukan. H. ovalis tidak dapat tumbuh survive karena tertutup kanopi dari seagrass lainnya sehingga penetrasi cahaya tidak dapat menembus daunnya. Hal ini menunjukkan bahwa saat surut terendah perairan masih cukup dalam. Persentase tutupan antara %. Di daerah yang berada dekat muara airnya agak keruh kehijauan. Lamun yang tumbuh Enhalus acoroides (tipe vegetasi homogen). Substrat cukup tebal dengan komposisi pasir dan lumpur. Pada saat surut kedalaman air masih tinggi. Tipe vegetasi heterogen,ditemukan 6 species lamun dengan persentase tutupan

84

85 81 karang massive, dengan persentase tutupan karang hidup antara 5-90 %. Genus karang yang ditemukan di perairan G.Sulat-G.Lawang adalah: Acropora, Stylophora, Montipora, Astreopora, Herpolitha, Sandalolitha, Fungia, Leptoseris, Pavona, Pachyseries, Pseudosiderastrea, Turbinaria, Physogyra, Plerogyra, Cyphastrea, Diploastrea, Echinopora, Favia, Favites, Goniastrea, Montastrea, Oulophyllia, Platygyra, Ctenactis, Fungia, Heliofungia, Podabacia, Seriatopora, Psammacora, Hydnophora, Lobophyllia, Mussa, Symphyllia, Galaxea, Pectinia, Stylophora, Goniopora, dan Porites Terumbu Karang di G.Sulat Terumbu karang yang terdapat di G.Sulat terletak di sekeliling pulau dengan keragaman dan kondisi yang sangat bervariasi. Kondisi karang yang sangat baik dijumpai di perairan bagian selatan dan kondisi baik dijumpai diperairan bagian utara pulau. Kondisi terumbu karang pada bagian selatan pulau sangat baik karena letaknya berhadapan dengan daratan besar sehingga mudah dipantau dan dijaga oleh masyarakat setempat. Pengeboman dan berbagai aktifitas yang merusak oleh nelayan tidak terjadi di wilayah ini sehingga keberadaan berbagai jenis karang cukup melimpah, didominasi oleh kelompok karang seriatopora histrix dengan tingkat tutupan karang hidup mencapai 90 %. Pada bagian utara pulau kondisi perairan cukup baik dengan tingkat kecerahan perairan mencapai 15 meter. Pada kedalaman tersebut kondisi terumbu karang cukup baik, namun pada perairan yang dangkal sekitar 5 meter terjadi sedikit kerusakan akibat berbagai aktifitas yang tidak ramah lingkungan. Hal seperti ini dapat terjadi karena letaknya yang menghadap keluar dan sulit diawasi oleh masyarakat setempat. Namun demikian karena jenis karang yang dominan di wilayah ini adalah karang massive maka kondisi kerusakannya terlihat sangat sedikit. Jenis karang massive umumnya tahan dan mampu bertahan hidup terhadap beberapa kegiatan yang tidak bertanggungjawab seperti pengeboman, aktifitas jangkar perahu dan berbagai benturan fisik lainnya. Tingkat penutupan karang hidup di wilayah ini terutama pada kedalaman 15 meter mencapai 70 %. Pada bagian barat G.Sulat kondisi terumbu karang termasuk dalam kategori rusak, diindikasikan oleh banyaknya patahan karang yang membentuk gundukan dengan hamparan yang luas serta banyaknya populasi Diadema

86 82 sitosum yang merupakan salah satu spesies indicator kerusakan karang. Tingkat penutupan karang hidup di wilayah ini hanya mencapai 5 %. Hampir semua patahan karang yang ada telah diselimuti oleh algae yang tebal dan sebagian patahan karang tersebut telah ikut terbenam dalam dasar perairan. Ini menunjukkan bahwa aktifitas pengrusakan karang terjadi dalam bentuk aksi fisik berupa pengeboman dan kegiatan yang tidak bertanggung jawab ini terjadi pada masa lalu. Seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat mengenai penyelamatan lingkungan, kondisi terumbu karang di wilayah ini semakin membaik, kondisi ini juga didukung oleh terbentuknya kawasan konservasi laut daerah sehingga ekosistem terumbu karang akan semakin terjaga. Pada bagian timur pulau kondisi perairan kurang mendukung untuk pertumbuhan karang. Selain karena aktifitas gelombang yang tinggi, juga disebabkan oleh tingkat kecerahan perairan 1 meter dengan tingkat sedimentasi yang cukup tinggi. Akibatnya kondisi terumbu karang di wilayah ini tergolong rusak dengan tingkat tutupan karang hidup hanya mencapai 20 %. Demikian juga hamparan terumbu karang yang terdapat di G.Lawang terletak di sekeliling pulau dengan keragaman dan kondisi yang bervariasi. Kondisi karang sangat baik dapat dijumpai di perairan bagian barat dengan tingkat tutupan karang hidup 90%, dan kondisi baik dapat dijumpai diperairan bagian utara pulau. Kondisi terumbu karang dengan kategori sangat baik disebabkan karena kondisi perairan di wilayah ini cukup mendukung pertumbuhan karang diantaranya kecerahan perairan yang mencapai 15 meter serta sirkulasi air yang masih baik. Terumbu karang membutuhkan sinar matahari untuk aktivitas zooxanthellae dan membutuhkan sirkulasi air laut yang lancar untuk mengangkut bahan makanan berupa zooplankton yang dibutuhkan oleh polip karang. Pada bagian utara pulau, kondisi terumbu karang tergolong kategori baik dengan tingkat tutupan karang hidup mencapai 70%. Hamparan terumbu karang di wilayah ini tumbuh membentang luas karena didukung oleh kualitas perairan berupa sirkulasi air laut dan tingkat kecerahan yang cukup baik. Terumbu karang di wilayah ini berhadapan langsung dengan samudra yang luas sehingga suplai nutrien yang diperoleh cukup besar dan terhindar dari polusi akibat aktifitas manusia di daratan. Pada bagian timur pulau kondisi terumbu karang tergolong dalam kategori sedang dengan tingkat tutupan karang hidup hanya 40 %. Kerusakan karang yang terjadi banyak disebabkan oleh aktifitas nelayan yang

87

88 84 Hamparan terumbu karang yang terdapat di G.Sulat seluas 178,66 hektar dan G.Lawang seluas 181,25 hektar, sehingga luas total rataan terumbu karang di kawasan konservasi adalah 359,91 hektar. Kelompok terumbu karang yang berada di G.Sulat-G.Lawang adalah acropora branching, coral massive, coral branching, coral foliose, soft coral dengan pesentase tutupan mulai dari 0-90 %. Jenis karang yang umum ditemukan di G.Sulat-G.Lawang adalah: Acropora tenuis, A. formosa, A. divaricata, A. nasuta, A. hyachintus, Porites lobata, P. lutea, Pocillopora sp, Goniastrea sp, Galaxea sp, Symphyllia sp, Seriatopora histrix, Montipora foliosa, Xenia sp. Kerusakan terumbu karang hampir terjadi disebagian besar perairan G.Sulat-G.Lawang, sehingga berpengaruh terhadap keberadaaan ikan karang konsumsi dan ikan karang hias. Ikan karang konsumsi didominasi oleh jenis ikan karang ekor kuning (seriola lalandi) dan ikan kerapu (Epinephelus polyhekadion). Kelimpahan ikan di perairan G.Lawang-G.Sulat sekitar 300 ekor/100m2. Spesies ikan yang ditemui di lokasi penelitian diantaranya adalah : Kakatua (Leptoscopus vagientis), Kepe-kepe totol (Caetodon citrenellus), Baronang (Siganus argentus), Badut (Amphiprion ocellaris), Ekor kuning (Seriola lalandi), Kerapu (Epinephelus polyphekadion), Bibir manis (Pecthorhincus orientalis), lobster (Enooplometopus daumi), maming (bulbomethopen bicolor), Bulu babi (diadema sitosum), Kima (tridacna gigas), Timun laut (Holothoria leucospilata) dan Buntal (Asthias sp). Tingkat pemanfaatan ikan karang di perairan G.Sulat-G.Lawang cukup tinggi. Alat tangkap yang umum dipergunakan nelayan untuk menangkap jenisjenis ikan karang atau ikan yang berasosiasi dengan karang adalah pancing (line), bubu (trap), muroami dan bagang. Alat tangkap ikan karang yang berkembang di kawasan perairan dangkal G.Sulat-G.Lawang adalah muroami yang dipergunakan untuk menangkap ikan ekor kuning. Selain menggunakan peralatan di atas, pola penangkapan yang dilakukan juga menggunakan bahan peledak dan potas (cyanida), walaupun pada tahun-tahun terakhir sudah mengalami penurunan. Hasil penelitian terhadap kondisi eksisting terumbu karang di beberapa titik pengamatan di perairan G.Sulat-G.Lawang menunjukkan kondisi yang masih cukup baik. Pada kedalaman rendah, kondisi terumbu karang di beberapa titik pengamatan masih cukup baik yang ditandai dengan persentase tutupan karang batu yang masih hidup mencapai 25 50% dan persentase tutupan komponen

89 Pondok Beji Gili Pekaje Labuan Pekaje Gerisak Pute Labuan Puse Labuan Nyiur Menange Bukal Takat Belanting Serambe Potongili Labuan Kapal Batu Mandi % Cover karang hidup Dominansi Spesies % non karang 0% 50% 100% Gambar 16. Persen Tutupan Karang di G.Lawang

90 86 konservasi. Oleh karena itu perlu dirancang model pemanfaatan atau pengelolaan secara berkelanjutan sehingga tujuan pengembangan wisata sebagai alternatif mata pencaharian masyarakat di lokasi dapat terwujud, akhirnya kegiatan eksploitasi terhadap sumberdaya dapat dikendalikan terutama ikan dan biota lainnya. Daerah-daerah yang telah dikembangkan menjadi kawasan wisata umumnya memiliki kondisi terumbu karang yang lebih baik. Keterlibatan masyarakat lokal dalam menjaga sumberdaya merupakan faktor penentu karena mereka menyadari bahwa nilai keindahan yang dimiliki sumberdaya memiliki nilai jual (ekonomi) yang jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan jika dieksploitasi secara tradisional, misalnya dengan menangkap ikan atau mengambil batu karang. Selain takad Belanting, kawasan terumbu karang utama berada di sekitar perairan G.Sulat. G.Sulat dengan persentase tutupan karang batu hidup berada dalam kondisi rusak berat sampai sedang (14,33 34,66%). Perairan G.Sulat, khususnya di sebelah barat, merupakan lokasi uji coba penempatan terumbu karang buatan yang dilakukan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi NTB tahun Terumbu karang buatan saat ini telah menunjukkan hasil yang cukup baik. Dari terumbu karang buatan yang berhasil diamati terlihat bahwa terumbu buatan sudah memiliki kondisi yang mirip dengan kondisi substrat yang ada di sekitar, yaitu ditumbuhi berbagai jenis biota karang seperti alga, karang lunak, dan bahkan karang batu. Dari hasil pengamatan menunjukkan bahwa terumbu karang buatan ditempatkan secara tidak teratur, tersebar tidak merata dan dengan berbagai macam posisi. Kondisi ini dapat memberikan informasi yang mendasar bagi program pembuatan dan penempatan terumbu karang buatan pada masa yang akan datang. Terumbu karang buatan yang ditempatkan dengan posisi berbeda, memperlihatkan hasil yang berbeda pula. Terumbu karang yang ditempatkan secara telungkup tampak lebih baik jika dibandingkan dengan posisi yang lain, misalnya miring dan tengadah. Beberapa terumbu karang buatan yang ditempatkan secara telungkup dijadikan sebagai habitat persembunyian berbagai jenis ikan karang. Hal ini dimungkinkan karena terumbu karang buatan yang ditempatkan secara telungkup memberikan ruang yang aman sebagai tempat persembunyian ikan dan biota lain yang memerlukan ruang persembunyian.

91 Koko Bele Labuan Belo Penanian Tanjung Ujung Tanja Ngukur Pegatan 2 Pegatan 1 Selan %Cover karang hidup Dominansi Spesies non karang 0% 20% 40% 60% 80% 100%

92 88 kondisi habitat dan waktu. Penyebaran spesies ikan di terumbu karang mempunyai kaitan erat dengan beberapa faktor, yaitu kondisi yang kompleks dari substrat, ketersediaan makanan, aliran arus dan kualitas air, kondisi gelombang, ketersediaan tempat persembunyian, penutupan karang hidup (Williams 1991), kompetisi dan predasi (termasuk oleh manusia) (Chabanet et al. 1997). Jka salah satu faktor penting di atas tidak sama maka sebagai organisma yang bersifat mobil, ikan-ikan karang akan bergerak ke tempat lain sehingga kelimpahannya di suatu lokasi juga akan berubah. Tabel 19. Tingkat keanekaragaman ikan karang di perairan G.Sulat-G.Lawang No Lokasi Jumlah Tingkat Sumber Famili Spesies Keanekaraga man (H ) 1 Takad Belanting dan ,31 2,42 Karnan Pedamekan et al. 2 Takad Belanting / G. Sulat ,85 2,53 Hasil kajian (2010) Komposisi jenis ikan yang dijumpai terdiri dari 3 (tiga) kelompok besar yaitu ikan target atau kelompok ikan yang memiliki kontribusi penting dalam kegiatan perikanan yaitu kakatua (Scaridae), baronang (Siganidae), Botana (Acanthuridae), Keling (Labridae), dan kambing-kambing (Mullidae). Dalam penelitian ini, jenis-jenis ikan target yang ditemukan populasinya tidak terlalu menonjol. Selain itu, satu famili dikenal sebagai ikan indikator yaitu Chaetodontidae (ikan kepe-kepe). Ikan ini telah banyak digunakan untuk menggambarkan kondisi terumbu karang. Dalam peneliltian kali ini, ikan yang termasuk dalam kategori ini dijumpai hampir di semua titik pengamatan. Jika dalam suatu kawasan terumbu katang banyak dijumpai ikan indikator ini, maka dapat menjadi indikasi bahwa terumbu karang di lokasi tersebut dalam kondisi yang baik. Di lokasi penelitian juga dijumpai ada kelompok ikan yang belum banyak diketahui peranannya kecuali dalam rantai makanan seperti pemakan plankton, pemakan alga, pemakan ikan, pemakan karang, dan sebagainya, misalnya ikan dari famili Pomacentridae, memiliki populasi yang sangat banyak dan ukuran tubuhnya relatif kecil. Kemunculan berbagai jenis ikan dengan warna yang sangat bervariasi menambah keindahan bawah air, sehingga merupakan aset yang bernilai

93 89 ekonomis tinggi. Beberapa jenis ikan terumbu karang diakui bahwa secara ekonomis tidak memiliki nilai yang tinggi untuk dikonsumsi, namun secara estetika nilainya sangat tinggi seperti ikan dari kelompok Pomachantidae, Chaetodontidae, dan Pomacentridae. Dari segi ukurannya ketiga kelompok ikan ini berukuran relatif kecil. Namun karena ukurannya yang kecil, warna kulitnya terang dan sangat bervariasi, dan umumnya dijumpai dalam jumlah besar (khususnya Pomacentridae), maka ketiga kelompok ikan terumbu karang ini seringkali menjadi sasaran yang diburu oleh para kolektor ikan hias. Pemburu ikan hias merupakan musuh utama bagi ikan-ikan jenis ini karena sampai saat ini belum ada aturan yang tegas yang mengatur tata cara penangkapan dan perniagaan sumber daya ini. Di samping sebagai penghasil ikan konsumsi, diperkirakan bahwa perairan Indonesia merupakan daerah terkaya akan jenisjenis ikan hias lautnya dibandingkan dengan beberapa negara penghasil ikan hias lainnya seperti Puerto Rico, Hawaii, Singapura, Filipina, Thailand, Srilanka, Kenya dan Ethiopia. Indonesia sendiri memiliki lebih kurang 253 jenis ikan hias laut (Kvalvagnes 1980). Komposisi jenis dan kelimpahan ikan terumbu karang di beberapa titik pengamatan relatif rendah. Upaya tangkap lebih dan penggunaan alat tangkap tidak ramah lingkungan telah memicu semakin menurunnya stok sumberdaya. Mengingat sumberdaya terumbu karang merupakan salah satu sumberdaya strategis, maka upaya-upaya pemanfaatan secara berkelanjutan sangat perlu dilakukan. Hal ini dapat dilakuakn melalui pola pengelolaan secara terpadu antara pihak masyarakat sebagai pengguna langsung dengan stakeholders terkait lainnya Faktor - faktor penyebab kerusakan terumbu karang Hasil pengamatan kondisi fisik sumberdaya terumbu karang yang ada di Zona Inti KKLD G.Sulat-G.Lawang menunjukkan kondisi yang sangat mengkhawatirkan. Ini dapat dilihat pada bagian barat G.Sulat maupun G.Lawang, sedangkan pada bagian antara dua Gili tersebut, utara G.Lawang dan selatan G.Sulat, timur G.Lawang dan G.Sulat secara umum kondisi fisik terumbu karang masih baik. Secara umum kondisi fisik hutan mangrove masih baik, baik di G.Lawang maupun G.Sulat. Kerusakan terumbu karang di beberapa stasiun pengamatan disebabkan oleh berbagai faktor diantaranya sedimentasi, penangkapan dengan bahan peledak, aliran drainase, penangkapan ikan dengan

94 90 sianida, pengumpulan dan pengerukan, pencemaran air, pengelolaan tempat rekreasi, dan pemanasan global. Dari faktor-faktor yang disebutkan ini maka faktor penangkapan ikan dengan bahan peledak dan pengumpulan karang untuk dijadikan bahan bangunan merupakan yang paling dominan. Hal ini dapat dilihat pada bagian utara perairan Lombok Timur, khususnya di kecamatan Pringgabaya, Labuhan Lombok dan Sambelia masyarakat masih aktif melakukan penambangan karang karena alasan ekonomi. Penerapan aturan-aturan pelarangan perusakan karang dalam bentuk awig-awig telah dilakukan, namun belum berjalan secara efektif, sehingga pelanggaran terhadap pemanfaatan sumberdaya masih terjadi Pengembangan Pariwisata Menurut Direktorat Tata Ruang Laut Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Departemen Kelautan dan Perikanan (2003) bahwa rencana detail tata ruang KKLD G.Sulat-G.Lawang terdapat salah satu yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan rekreasi Areal ini meliputi daerah dataran pesisir dan laut. Pengembangan pemanfaatan ini dapat dilakukan didaerah utara G.Lawang dan sekitarnya. Berbagai macam atraksi wisata yang dapat diperkenalkan dan dijual di KKLD ini adalah keindahan alam laut dan sumberdaya hutan mangrove, terumbu karang, aneka jenis satwa di hutan mangrove di G.Sulat. Aktivitas pariwisata di KKLD G.Sulat masih terbatas, bersifat insidental dan terbatas pada kegiatan penelitian. Kunjungan wisatawan mancanegara juga terbatas baik jumlah maupun lama waktu kunjungan ke obyek wisata di kawasan sekitar G.Sulat-G,Lawang. Wisatawan umumnya merupakan paket wisata travel skala internasional, meliputi Pulau Bali - Pulau Lombok (Mataram, Senggigi), - ke G.Matra (G. Air, G.Meno, dan G.Terawangan). Sebelum menuju obyek wisata Pulau Satonda Kabupaten Dompu wisatawan rata-rata tiga jam menikmati indahnya terumbu karang, hutan mangrove dan padang lamun yang berada di KKLD Gi.Sulat-G.Lawang. Secara umum kegiatan wisata di KKLD G.Sulat- G.Lawang masih terbatas pada pengunjung masyarakat lokal tanpa menginap dan aktivitas wisata lainnya. Rendahnya aktivitas wisata ini di akibatkan oleh masih terbatasnya sarana dan prasarana pendukung pariwisata seperti hotel, transportasi darat, transportasi laut, dan lainnya. Berbagai rencana pengembangan aktivitas pariwisata ke depan meliputi pembangunan kolam renang, pengembangan rumah masyarakat sebagai home stay (pondok wisata),

95 91 perbaikan prasarana jalan, sarana transportasi baik darat maupun laut dan sarana serta prasarana pendukung lainnya telah dituangkan dalam rencana pengelolaan KKLD G.Sulat-G.Lawang. Dari aspek kelembagaan telah terbentuk kelompok kerja pengelola pantai yaitu komunitas dua pulau. Salah satu daya tarik wisatawan di KKLD G.Sulat-G.Lawang adalah adanya terumbu karang yang masih baik dan hutan mangrove yang masih alami dapat menarik minat wisatawan untuk menikmati keindahan alamnya. Pengunjung dapat menyelam, menikmati hutan mangrove dan pantai pasir putih serta adanya marga satwa yang dapat dilihat sepanjang pantai G.Sulat- G.Lawang. Namun demikian keindahan alam KKLD G.Sulat-G.Lawang belum optimal dikunjungi oleh wisatawan baik wisman maupun wisnu. Menurut hasil survey bahwa wisatawan masih jarang berkunjung ke KKLD G.Sulat-G.Lawang mengingat rendahnya promosi, kurangnya sarana dan prasarana tansportasi laut,darat dan terbatasnya penginapan yang layak sebagai penunjang pariwisata. Kondisi transportasi laut yang menghubungkan Pulau Lombok dengan G.Sulat-G.Lawang masih didominasi oleh perahu tradisional, dua perahu untuk pengamanan KKLD G.Sulat-G.Lawang yang keduanya dalam kondisi kurang terawat. Kondisi jalan yang menghubungkan Lombok Barat dan Lombok Timur menuju KKLD G.Sulat-G.Lawang umumnya sudah memadai, akan tetapi fasilitas jalan masuk ke pantai Desa Sugian yang menjadi embrio pelabuhan sandaran perahu yang akan menuju KKLD G.Sulat-G.Lawang dalam kondisi rusak. Hasil survey menunjukkan sebagian besar wisatawan adalah pria (85%) berasal dari berbagai wilayah. Usia antara tahun (70%), tahun (14%) dan >40 tahun (16%). 90% wisatawan berkunjung secara berkelompok dengan tujuan rekreasi(76%), berpertualang (18%) dan penelitian (6%). Sebagian besar wisatawan berkunjung ke lokasi lebih dari satu kali dan menyatakan obyek wisata memiliki bentang alam yang cukup indah (81%). 19% menyatakan baru satu kali. 52% responden bersedia membayar lebih dan 43 % tidak bersedia membayar lebih, sisanya 5% tidak menjawab. Tingkat pendidikan 46% tamat SLTA dan 37% Perguruan Tinggi, dan 17% tamat SLTP dan SD. Mahasiswa (52%), pegawai negeri (32%) dan wiraswasta (10%). 38% memiliki penghasilan kurang dari Rp , 42% memiliki penghasilan antara Rp Rp per bulan dan sisanya 20% memiliki penghasilan diatas Rp per bulan.

96 92 5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1.Kesesuaian G.Sulat - G.Lawang sebagai KKLD G.Sulat-G.Lawang merupakan pulau sangat kecil memiliki luas hektar dengan perairan yang karena kondisi ekologi, ekonomi, sosial dan kelembagaan dimanfaatkan secara khusus baik secara individu maupun statusnya dalam gugus pulau. Ekosistem di kawasan ini memiliki nilai konservasi yang tinggi, rentan terhadap gangguan atau perubahan dan hanya dapat mentolerir sangat sedikit aktivitas manusia, sehingga dalam pengelolaannya memerlukan proses perencanaan yang tepat. Berdasarkan potensi keanekaragaman hayati pulau-pulau kecil, diperlukan kriteria penetapan kawasan konservasi sesuai karakteristik lokal dengan pertimbangan kriteriakriteria tertentu. Langkah awal yang harus dilakukan adalah melakukan penataan ruang dan penyusunan zonasi perairannya. Faktor penentu keberhasilan penzonasian suatu kawasan adalah apabila penyusunan zonasi dilakukan dengan pertimbangan kriteria ekologi, ekonomi, sosial dan kelembagaan (Salm et al 2000). Kriteria penetapan zonasi ekosistem dibagi dalam dua kategori yaitu kriteria pendukung dan kriteria pembatas. Kriteria pendukung kawasan konservasi terumbu karang adalah luas tutupan karang (coral cover), keanekaragaman jenis (coral diversity), keunikan hábitat, kealamian, aksesibilitas, kelangkaan jenis dan konektifitas dengan kawasan lain yang berdekatan. Sedangkan kriteria pembatasnya adalah aktifitas manusia, keamanan/keselamatan dan pencemaran. Konservasi mangrove ditetapkan berdasarkan persen tutupan basal atau ketebalan, kerapatan, jenis dan luasan mangrove, sedangkan konservasi lamun, ditetapkan berdasarkan persentase luas area kerusakan dan luas tutupan hidup. Analisis kesesuaian KKLD G.Sulat-G.Lawang dengan mempertimbangkan berbagai aspek, penting dilakukan agar tujuan pembangunan kawasan konservasi secara berkelanjutan dapat terwujud. Pemenuhan parameter ekologi, ekonomi dan sosial bertujuan untuk : (1) Mendesain pengelolaan kawasan dalam mempertahankan dan meningkatkan kualitas sumberdaya; (2) Memelihara fungsi ekologis dengan melindungi habitat hidup, tempat bertelur dan memijah biota laut, dan (3) memelihara fungsi ekonomis kawasan sehingga tercapai kelestarian sumberdaya dan produksi perikanan yang akan meningkatkan pendapatan, baik dari produksi perikanan tangkap maupun ekowisata.

97 93 Kondisi Ekosistem atau sumberdaya di kawasan konservasi G.Sulat- G.Lawang dapat dilihat pada Gambar 18, 19 dan 20. Gambar 18. Sebaran Terumbu Karang di KKLD G.Sulat-G.Lawang. Berdasarkan kriteria ekologi, stasiun Poto Gili, Pondok Kecil, Pegatan I dan stasiun Pegatan II memiliki nilai 31. Stasiun Luar Gili, Pekaje dan stasiun Luar Gili IV memiliki nilai 20. Berdasarkan kriteria ekonomi hampir semua stasiun memiliki nilai 8 9. Sedangkan kriteria sosial semua stasiun memiliki nilai 22, dan kriteria kelembagaan semua stasiun memiliki nilai 9. Secara keseluruhan stasiun Poto Gili, Pondok Kecil, Pegatan I, Landi dan stasiun Tanjak Mukur memiliki nilai total tertinggi yaitu 71 atau 81,60 %. Sedangkan nilai terendah pada

98 94 stasiun Luar Gili IV memiliki nilai 58 atau 66,66%. Stasiun Luar Gili, stasiun Pekaje dan stasiun Menanga todak memiliki nilai 59 atau 67,81%. Gambar 19. Sebaran Mangrove di KKLD G.Sulat-G.Lawang. Hasil analisis kriteria kesesuaian KKLD G.Sulat-G.Lawang terdiri atas kriteria ekologi yaitu : 1. Keanekaragaman hayati, memenuhi persyararatan kriteria kesesuaian karena keberadaan mangrove, terumbu karang, lamun dan laguna. Life form karang di G.Sulat-G.Lawang >70%, spesies ikan karang > 125 spesies, spesies lamun > 5 spesies dan spesies mangrove lebih dari 6 spesies. 2. Kealamian pulau, berkaitan dengan persen tutupan karang 60 90%, dibeberapa lokasi dalam kondisi rusak dengan tutupan karang < 30%.

99 95 3. Keunikan pulau dan kerentanan pulau juga memiliki skor cukup tinggi karena kedua pulau memiliki keunikan tersendiri sebagai pulau yang tak berpenduduk dan seluruh arealnya ditutupi vegetasi mangrove yang cukup padat. Gambar 20. Kondisi Sumberdaya Lamun di KKLD G.Sulat-G.Lawang. 4. Keterkaitan antar pulau, kedua pulau merupakan gugusan pulau-pulau disekitarnya terdapat G.Lampu, G.Petagan, G.Prama dan lain-lain. Kriteria ekonomi meliputi keberadaan spesies penting, potensi pengembangan perikanan relatif besar, ancaman hampir tidak ada, sangat berpotensi untuk pengembangan ekowisata dilihat dari kondisi mangrove, terumbu karang dan lamun serta perairan yang masih baik, dukungan

100 96 masyarakat lokal dan komunitas lainnya, aksesibilitas relatif mudah serta lokasi kawasan merupakan obyek penelitian dan pendidikan. Kriteria kelembagaan yaitu dukungan pemerintah baik pusat maupun daerah, keberadaan lembaga sosial dalam komunitas sekitar kawasan serta dukungan infrastruktur sosial. Sedangkan kriteria pembatasnya yaitu konflik antar nelayan pemancing dengan nelayan bagang dan pemanah yang melakukan penangkapan dengan cara tidak ramah lingkungan sehingga berdampak pada keberlanjutan ekosistem atau sumberdaya di kawasan konservasi Penataan Zona KKLD G.Sulat - G.Lawang Arahan pengelolaan G.Sulat-G.Lawang sesuai RP-KKLD tahun 2004 membagi zona menjadi zona inti dan zona penyangga seperti Gambar 21. Hampir seluruh kawasan perairan ditetapkan sebagai zona inti, dimana masyarakat sekitar sangat bergantung pada sumberdaya secara turun temurun. Hal ini berimplikasi pada pengelolaan yang kurang efektif karena tidak mengakomodir kepentingan masyarakat sekitar, sehingga pemanfaatan kawasan dilakukan tanpa memperhatikan batas zona. Gambar 21. Zona Kawasan KKLD G.Sulat-G.Lawang Tahun 2004

101 97 Kondisi ini bertentangan dengan tujuan konservasi seperti tertuang dalam Permen 17 tahun 2008 bahwa dalam menetapkan zona kawasan konservasi dilakukan berdasarkan pada : tujuan pembentukan kawasan konservasi, nilai kepentingan konservasi pada level ekosistem, nilai kepentingan konservasi pada level jenis, nilai kepentingan sosial, ekonomi dan budaya serta tingkat luasan kawasan konservasi dalam melindungi plasma nutfah dan interkoneksitas ekologis dari populasi, spesies dan komunitas. Penataan zona KKLD G.Sulat-G.Lawang didasarkan pada kebutuhan pengelolaan kawasan konservasi yang efektif dan dijadikan sebagai bahan revisi Dokumen Rencana Pengelolaan, sehingga kelestarian sumberdaya dapat terjaga dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat. Penentuan zona KKLD G.Sulat-G.Lawang dilakukan dengan menggunakan persentase total skor kriteria yang diperoleh dengan membandingkan total skor masing-masing kriteria dengan total skor keseluruhan dikali 100 persen. Dengan menggunakan teknik interval skor, zona kawasan konservasi dibagi tiga (3) zona yaitu : a. Zona inti memiliki interval skor 80% berada pada stasiun Poto Gili, stasiun Pondok Kecil, stasiun Pegatan I, stasiun Landi dan stasiun Tanjak Mukur dengan luas 193,83 hektar atau 44, 02 % dari luas terumbu karang dan lamun yang ada didalam kawasan. b. Zona Pemanfaatan Terbatas memiliki interval skor 68 % - 80% berada pada stasiun Pondok Jaya, Selang, Batu Mandi I, Batu Mandi II, Menanga Kapal, Pegatan II, Luar Gili I, Luar Gili II, Luar Gili III dan Kampir Bier dengan luas 143,33 atau 32,55 % terdiri dari 108 hektar terumbu karang dan 35,43 hektar lamun. c. Zona Lainnya memiliki interval skor < 67% berada pada stasiun Luar Gili, stasiun Pekaje, stasiun Menanga Todak, stasiun Luar Gili IV dan stasiun Panaean dengan luas 1.819,11 terdiri dari zona rehabilitasi terumbu karang 93,11 hektar dan perairan lainnya hektar. Untuk kawasan mangrove seluas 1010,65 diarahkan pada zona perlindungan 987,6 hektar dan pemanfaatan terbatas untuk pengembangan wisata seluas 23,05 hektar yang dimanfaatkan sebagai sarana wisata berupa jembatan (walkboad) dalam kawasan mangrove.

102 Kesesuaian Zona Inti Gambar 22. Lokasi Zona Inti KKLD G.Sulat-G.Lawang Tahun 2010 Berdasarkan hasil analisis kesesuaian dengan Sistem Informasi Geografis menggunakan software Arc View Ver.3.3, diperoleh luas perairan yang sesuai untuk zona inti adalah 143,33 hektar (32,55 % dari total luas terumbu karang dan lamun) terdiri dari 108 hektar terumbu karang dan 35,43 hektar lamun. Hasil penataan zona inti berdasarkan kriteria kesesuaian, diharapkan keberadaan ekosistem terumbu karang dan lamun beserta biotanya akan terjaga sehingga dapat menjadi lumbung proses terjadinya perkembangbiakan berbagai spesies ikan karang seperti jenis ikan target famili Lutjanidae (kakap), Lethrinidae, Scaridae (kaka tua), Labridae, Serranidae (kerapu) Acanthuridae dan Siganidae.

103 Kesesuaian Zona Pemanfaatan Terbatas Zona pemanfaatan terbatas diperuntukkan bagi perlindungan habitat dan populasi sumberdaya ikan dan lingkungannya, untuk kegiatan ekowisata, kegiatan budidaya laut dan perikanan tradisonal serta penelitian dan pengembangan, dan/atau pendidikan. Gambar 23. Zona Pemanfaatan Terbatas KKLD G.Sulat-G.Lawang Berdasarkan hasil analisis, luas zona pemanfaatan terbatas adalah 143,33 (32,55%) terdiri dari 108 hektar terumbu karang dan 35,43 hektar lamun. Zona pemanfaatan terbatas memiliki nilai konservasi tertentu, namun dapat mentolerir berbagai tipe pemanfaatan yang layak dan diijinkan dalam kawasan konservasi. Oleh karena itu dalam memanfaatkan kawasan harus mempertimbangkan daya

104 100 dukung lingkungan. Aktivitas yang diijinkan adalah penelitian, pendidikan, rekreasi dan perikanan tradisional, sedangkan yang tidak diboleh dilakukan adalah penggunaan bom dan sianida untuk penangkapan ikan dan penebaran jaring dengan perahu motor di perairan sekitar terumbu karang Kesesuaian Zona Lainnya. Zona lainnya merupakan zona diluar zona inti, zona pemanfaatan terbatas yang karena fungsi dan kondisinya ditetapkan sebagai zona tertentu antara lain zona rehabilitasi, zona perikanan berkelanjutan, dan sebagainya. Gambar 24. Lokasi Zona Rehabilitasi KKLD G.Sulat-G.Lawang

105 101 Hasil analisis diperoleh bahwa luasan untuk zona lainnya adalah 1.819,11 hektar terdiri dari zona rehabilitasi terumbu karang 93,11 hektar dan perairan lainnya hektar. Gambar 25. Lokasi Zona Perairan Lainnya KKLD G.Sulat-G.Lawang Zona Lainnya merupakan zona diluar zona inti, zona pemanfaatan terbatas yang karena fungsi dan kondisinya ditetapkan sebagai zona tertentu antara lain zona rehabilitasi, zona perikanan berkelanjutan, dan sebagainya. Kategori Zona Pemanfaatan khusus ini memiliki nilai perhitungan < 50%.

106 102 Kawasan mangrove seluas 1010,65 diarahkan pada zona perlindungan 987,6 hektar dan pemanfaatan terbatas untuk kegiatan wisata mangrove seluas 23,05 hektar untuk lokasi penataan walkboad di dalam kawasan mangrove. Gambar 26. Lokasi Zona Perlindungan KKLD G.Sulat-G.Lawang kawasan mangrove di kawasan konservasi G.Sulat-G.Lawang diarahkan untuk zona perlindungan karena kawasan ini merupakan hutan indung yang telah dikukuhkan oleh Menteri Kehutanan. Apabila pengelolaan kawasan mangrove diarahkan untuk pengembangan ekowisata, maka Pemerintah daerah harus mengajukan ijin pemanfaatan kepada Menteri Kehutanan dengan syarat tidak diperbolehkan mrubah bentang alam didalam kawasan mangrove.

107 103 Hasil penataan zona KKLD G.Sulat-G.Lawang seperti Gambar 27 berikut : Gambar 27. Hasil Penataan Zona KKLD G.Sulat-G.Lawang Tahun Analisis Kesesuaian Lahan Analisis kesesuaian lahan digunakan untuk menilai kesesuaian lahan untuk aktivitas tertentu yang didasarkan pada kriteria hasil studi literatur yang telah disesuaikan dengan karakteristik kondisi alam dan lingkungan di wilayah kajian. Hasil analisis kesesuaian lahan dalam kajian ini merupakan hasil analisis kesesuaian lahan secara eksisting.

108 Kesesuaian Lahan untuk Perikanan Karang Berdasarkan hasil analisis kesesuaian, diperoleh ruang dengan tiga kelas kesesuaian, yaitu status sesuai seluas 262,83 hektar, sesuai bersyarat 93,11 hektar, dan tidak sesuai 42,71 hektar seperti pada gambar berikut : PETA KESESUAIAN PERIKANAN KARANG KKLD G.SULAT-G.LAWANG Gambar 28. Kesesuaian Perikanan Karang di KKLD G.Sulat-G.Lawang Kerusakan terumbu karang akan berdampak pada berkurangnya jenis life form dan jenis ikan karang, sehingga kelimpahan ikan karang menjadi relatif kecil. Areal ini dapat ditingkatkan menjadi sesuai apabila dilakukan perbaikan habitat berupa rehabilitasi karang. Mengingat wilayah tersebut merupakan

109 105 kawasan konservasi, alat tangkap untuk ikan karang yang direkomendasikan adalah alat tangkap tradisional seperti pancing dan jaring insang. Ikan karang hidup pada ekosistem terumbu karang, berfungsi sebagai ikan indikator yaitu sebagai penentu kondisi terumbu karang, karena ikan karang erat hubungannya dengan kesuburan karang seperti ikan dari Famili Chaetodontidae (kepe-kepe) dan ikan target yaitu merupakan target penangkapan dikenal dengan ikan ekonomis penting atau ikan konsumsi (Terangi 2004). Kesesuaian lahan untuk perikanan karang dianalisis dengan persyaratan kedalaman perairan,topografi dasar perairan, kecerahan, perubahan cuaca, kondisi terumbu karang, pencemaran dan kelimpahan ikan target. Kecepatan arus di perairan Sambelia pada musim Timur berkisar antara m/detik, sedangkan kecerahan perairan tergolong sangat tinggi, yakni berkisar antara m. Secara ekologi perkembangan ikan karang disebabkan oleh beberapa faktor antara lain : (1) mobilitas dan ukuran ikan, umumnya tidak berpindah-pindah (sedentary) dan berukuran kecil, (2) aksesibilitas (mudah dicapai) yaitu perairannya relatif dangkal, berada di lingkungan yang hangat dan jernih dibandingkan dengan perairan yang lain, (3) skala pemanfaatan ruang yaitu ikan karang baik larva maupun dewasanya hidup di perairan yang dangkal, dekat dengan substrat yang solid dan dekat dengan daratan (Suharti 2005) Kesesuaian Lahan untuk Wisata Selam dan Snorkeling Kegiatan wisata bahari yang dapat dilakukan di G.Sulat-G.Lawang adalah menyelam dan snorkeling. Wisata selam merupakan bentuk pemanfaatan sumberdaya alam bawah laut dan dinamika air lautnya untuk kepuasan manusia yang dikembangkan dengan pendekatan konservasi laut. Daya tarik kegiatan wisata selam adalah terumbu karang yang masih baik serta keberadaan ikan di sekitar terumbu karang yang beragam jenisnya. Kesesuaian perairan untuk wisata bahari berdasarkan pertimbangan parameter kesesuaian (Bengen, 2002) seperti: kecerahan perairan, jenis terumbu karang (jumlah jenis), jenis ikan karang (jumlah jenis), kecepatan arus, kedalaman perairan, dan substrat dasar. Hasil analisis spasial menunjukkan bahwa untuk pengembangan wisata selam dan snorkeling diperoleh luas ruang dengan 3 (tiga) kelas kesesuaian

110 106 meliputi kelas sesuai seluas 262,83 hektar, sesuai bersyarat seluas 93,11 hektar dan tidak sesuai seluas 42,71 hektar. Ruang dengan kategori sesuai bersyarat dialokasikan untuk zona rehabilitasi disebabkan karena kerusakan karang akibat aktivitas pemanfaatan areal dengan menggunakan bom, sehingga tutupan karang menjadi relatif kecil (<30%). Dari enam parameter kesesuaian, hanya 2 parameter ekologi yang memenuhi persyaratan kesesuaian yakni kecerahan dan kedalaman air, sementara tutupan terumbu karang, genus karang dan jenis life form kurang memenuhi persyaratan. Kategori sesuai bersyarat dapat ditingkatkan kelasnya menjadi sesuai jika dilakukan upaya rehabilitasi sehingga dapat dinaikkan levelnya menjadi sesuai bagi peruntukan wisata selam dan snorkeling. Gambar 29. Kesesuaian Wisata Selam di KKLD G.Sulat-G.Lawang

111 107 Lokasi yang sesuai untuk kegiatan selam adalah di utara dan timur G.Lawang dan di utara dan barat G.Sulat dengan kondisi karang masih baik yaitu tutupan karang hidup sekitar 70%, namun lokasi ini direkomendasikan untuk wisata selam khusus karena arus pada stasiun tersebut cukup kuat sehingga tidak seluruh penyelam memiliki minat untuk melakukan penyelaman pada kondisi alam yang demikian. Kondisi ini sesuai apa yang dikemukakan oleh Davis and Tisdell (1995), bahwa salah satu alasan turis untuk melakukan kegiatan wisata selam adalah ketertarikan akan keunikan di bawah laut secara khusus seperti formasi geologi dan kehidupan bawah laut. Terdapat delapan stasiun pengamatan di G.Sulat yang dianalisis kesesuaiannya sebagai lokasi wisata selam. Empat stasiun dengan status sesuai, empat stasiun dengan status sesuai bersyarat. Stasiun dengan status sesuai didominasi oleh kealamiahan terumbu karang, tutupan karang serta kualitas perairan. Kecerahan perairan sangat mendukung untuk kegiatan selam, yaitu mencapai 100%. Jenis ikan yang ditemukan di sekitar terumbu karang terdiri ikan indikator seperti famili Chaetodontidae, jenis ikan target seperti dari famili Siganidae, dan jenis ikan mayor seperti dari famili Pomacentridae. Kecepatan arus cm/det. Kedalaman perairan pada lokasi berkisar antara 5-20 m walaupun ada beberapa lokasi yang memiliki kedalaman lebih dari 20 m berdasarkan peta bathimetri yang ada. Kondisi perairan yang demikian sangat sesuai untuk pengembangan wisata bahari. Disamping kecerahan perairan, kecepatan arus juga sangat menentukan kegiatan wisata selam maupun untuk ekologi terumbu karang. Menurut Jokiel dan Morrissey (1993), pergerakan arus mempengaruhi struktur komunitas dan distribusi jenis karang suatu daerah. Secara keseluruhan kondisi terumbu karang di daerah yang terbuka persentase tutupan karang relatif rendah. Arus yang kuat berkorelasi dengan meningkatnya perpindahan pecahan-pecahan karang yang dapat mengganggu proses pemulihan karang. Selain itu kecepatan arus merupakan faktor yang berhubungan dengan keselamatan penyelam. Salah satu indikator kesehatan suatu perairan adalah keberadaan terumbu karang dengan persentase tutupan karang relatif tinggi. Kategori untuk mengukur persentase penutupan karang yang sering digunakan adalah mengacu pada konsep Gomes dan Yap (1998) dengan kategori 0 24,9 % maka tergolong buruk, 25 49,9 % adalah sedang, 50 74,9 % adalah baik, dan % adalah baik sekali.

112 108 Parameter yang terkait dengan obyek terumbu karang memiliki bobot tertinggi karena faktor-faktor tersebut merupakan daya tarik utama kegiatan wisata selam, sementara persyaratan lainnya berperan dalam menunjang kesehatan ekosistem terumbu karang. Hasil kesesuaian wisata selam sangat berguna untuk menentukan destinasi penyelaman, sehingga para pemandu wisata dan wisatawan dapat melakukan perencanaan berwisata secara tepat Kesesuaian Lahan untuk Wisata Mangrove Jenis obyek wisata yang dimanfaatkan dalam kegiatan wisata mangrove yakni vegetasi mangrove, satwa (burung) dan biota menarik lainnya. Gambar 30. Kesesuaian Wisata Mangrove di KKLD Gili Sulat-Gili Lawang

113 109 Kondisi mangrove disebagian besar stasiun pengamatan menunjukkan kategori sesuai untuk pengembangan wisata mangrove, kecuali stasiun luar Gili IV, stasiun Panaean dan stasiun Tanjak Mukur termasuk kategori sesuai bersyarat karena kondisi mangrove yang mengalami tekanan terutama di bagian utara sisi luar pulau akibat aktivitas penebangan mangrove karena letak areal yang sulit dikontrol, berbeda dengan kondisi mangrove di sebelah selatan pulau masih baik karena dalam pengawasan masyarakat. Hasil analsis kesesuaian untuk wisata mangrove diperoleh ruang dengan 3 (tiga) kategori kesesuaian yaitu kelas sesuai seluas 966,85 hektar, kelas sesuai bersyarat 54,20 hektar dan tidak sesuai seluas 101,74 hektar. Hasil analisis kesesuaian untuk pengembangan wisata mangrove seperti pada Gambar 30. Hasil pengamatan lapangan menggambarkan bahwa mangrove di stasiun Landi dan stasiun Pegatan 1 memiliki nilai atau potensi paling besar dibanding stasiun lainnya, karena kondisi mangrove dengan kerapatan yang paling tinggi dan ditunjang oleh keberadaan infrastruktur penunjang wisata mangrove berupa jembatan kayu sepanjang 350 meter (dibangun oleh JICA) yang dijadikan sebagai wahana kegiatan tracking di G.Sulat. Akibat pengelolaan yang kurang baik, kondisi jembatan saat ini dalam kondisi rusak Analisis Daya Dukung Lingkungan Daya dukung Lingkungan dalam penelitian ini merupakan jumlah maksimum aktivitas yang dapat ditolelir oleh kawasan dalam waktu tertentu tanpa menimbulkan degradasi sumberdaya alam. Mengingat G.Sulat-G.Lawang merupakan kawasan konservasi, setiap aktivitas yang dilakukan tidak bersifat mass activity, ruang pemanfaatan terbatas, sehingga penentuan daya dukung kawasan harus mempertimbangkan aspek kelestarian lingkungan. Konsep inilah yang digunakan dalam menghitung daya dukung kawasan G.Sulat-G.Lawang. Dasar kajian pemanfaatan ruang menggunakan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1994 tentang pengusahaan perikanan dan pariwisata alam di zona pemanfaatan taman nasional dan taman wisata alam, maka areal yang diizinkan untuk dikelola yakni 10% dari luas zona pemanfaatan. Luas zona pemanfaatan terbatas menggunakan hasil analisis kesesuaian kawasan untuk berbagai pemanfaatan. Beberapa nilai yang dipakai dalam kajian DDK ini disesuaikan dengan kondisi dan persepsi masyarakat serta pelaku wisata di

114 110 lokasi penelitian seperti jumlah masyarakat yang beraktivitas, luasan pengembangan perikanan karang serta rata-rata waktu yang dibutuhkan untuk kegiatan wisata selam dan mangrove Daya Dukung Lahan untuk Perikanan Karang Daya dukung terumbu karang adalah kemampuan alami terumbu karang untuk mendukung kehidupan organisme, yaitu berdasarkan nilai biomasa baik tumbuhan maupun hewan dari tingkat terendah (produsen) sampai pada tingkat tertinggi (karnivora) pada satuan luas terumbu karang. Keberadaan ekosistem terumbu karang dapat menunjang berbagai kehidupan komponen organisme, salah satunya adalah komunitas ikan karang yang merupakan organisme target tangkapan nelayan. Penurunan prosentase tutupan karang menyebabkan berkurangnya keanekaragaman ikan karang, baik di area tertutup maupun area terbuka bagi penangkapan ikan. Dengan demikian meningkatnya persentase tutupan karang yang sehat menjamin keberadaan dan mendukung keanekaragaman ikan karang. Potensi ikan terumbu karang dapat mencapai ton/km²/tahun (Yulianda et al. 2009). Dengan kondisi tutupan karang yang mencapai rata-rata 70 % dengan luas kesesuaian untuk perikanan karang seluas 108 hektar atau 1,08 km², berdasarkan dugaan tersebut, maka ikan karang yang dapat diperoleh berdasarkan daya dukung karang (0,7 x 108 ha = 75,6 hektar) atau 0,756 km² adalah sebesar kg/tahun. Apabila nelayan dalam satu bulan menangkap ikan selama 14 hari, maka rata-rata ikan yang boleh ditangkap adalah 90 kg/hari Daya Dukung Lahan untuk Ekowisata Bahari Daya dukung ekologi dalam penelitian ini merupakan jumlah maksimum pengunjung yang dapat ditolelir oleh kawasan untuk waktu tertentu tanpa menimbulkan degradasi sumberdaya wisata. G.Sulat-G.Lawang merupakan kawasan konservasi, maka kegiatan wisata tidak bersifat mass tourism, ruang pengunjung sangat terbatas sehingga penentuan daya dukung kawasan mempertimbangkan aspek kelestarian lingkungan. Hasil analisis menunjukkan luasan yang sesuai untuk wisata selam adalah 262,83 ha. Namun dialokasikan untuk zona inti seluas 158,83 ha, maka kawasan yang bisa dilakukan untuk pengembangan wisata selam seluas 108 ha. Jika mengacu pada PP Nomor 18 Tahun 1994 tentang pengusahaan ekowisata di

115 111 zona pemanfaatan taman nasional dan taman wisata alam, maka areal yang diizinkan untuk dikelola yakni 10% dari luas zona pemanfaatan, sehingga luas yang dapat dimanfaatkan untuk wisata selam adalah 10,8 hektar. Yulianda (2007) mengemukakan bahwa wisata selam harus mempertimbangkan kondisi komunitas karang, karena persen tutupan karang menggambarkan kondisi dan daya dukung karang. Jika kondisi komunitas karang memiliki tutupan karang 70%, maka luas areal selam yang dapat dimanfaatkan adalah 70 % dari luas hamparan karang. Dengan demikian daya dukung karang untuk wisata selam di G.Sulat-G.Lawang sebesar (0,70 x 10,8 ha =7,5 hektar), sehingga jumlah kunjungan wisatawan penyelam yang dapat ditolerir berdasarkan perhitungan pendekatan daya dukung kawasan adalah 150 orang / hari. Untuk wisata snorkeling, lahan yang sesuai untuk pengembangannya seluas 93,11 (di zona rehabilitasi). Dengan tutupan karang 30%, maka luas areal snorkeling diterumbu karang yang dapat dimanfaatkan adalah seluas 3 ha, sehingga jumlah kunjungan yang dapat didukung oleh terumbu karang sejumlah 120 orang/hari. Sedangkan wisata mangrove, hasil analisis menunjukkan bahwa luas yang sesuai adalah 966,85 ha. Jika mengacu pada PP Nomor 18 Tahun 1994, maka areal mangrove yang dapat dimanfaatkan untuk wisata 96,68 ha. Untuk memudahkan kegiatan wisata mangrove dibutuhkan sarana walkboad didalam kawasan berupa jembatan kayu sehingga wisatawan dapat menikmati keindahan ekosistem mangrove di kedua pulau dengan panjang masing-masing di G.Lawang 9,283 km dan di G.Sulat 13,765 km, maka jumlah kunjungan yang dapat ditolerir sejumlah 230 orang/hari dengan perhitungan setiap 1 orang membutuhkan 100 m sarana walkboad. Beberapa nilai yang dipakai dalam kajian DDK disesuaikan dengan kondisi dan persepsi pelaku wisata di lokasi penelitian, misalnya rata-rata waktu yang dibutuhkan untuk kegiatan wisata selam, snorkeling dan mangrove. Tabel 20. Nilai Daya Dukung Ekowisata di KKLD G. Sulat-G.Lawang No Jenis Kategori Ekowisata Bahari Nilai DDK (orang/hari) Pemanfaatan saat ini (org/hari) Keterangan 1 Selam Dibawah daya dukung 2 Snorkeling Dibawah daya dukung 3 Mangrove Dibawah daya dukung Sumber : Data Primer Setelah Diolah 2010.

116 112 Berdasarkan kondisi pemanfaatan saat ini, kegiatan wisata bahari di saat peak season masih berada di bawah daya dukung ekologi yaitu rata-rata jumlah pengunjung 17 orang per hari sehingga masih dapat ditingkatkan kuantitasnya. Davis and Tisdell (1996) menyatakan daya dukung kegiatan wisata selam masih dapat ditingkatkan tergantung dari pengetahuan penyelam dalam berinteraksi dengan terumbu karang. Makin tinggi pengetahuan dan pengalaman menyelam seorang diver semakin rendah tingkat kerusakan terumbu karang dan jika diikuti dengan pengelolaan yang baik dapat meningkatkan daya dukung wisata selam. Zakai and Chadwick-Furman (2002) merekomendasikan upaya pengelolaan wisata selam dalam meminimalisasi kerusakan terumbu karang antara lain : (1) pembatasan jumlah penyelam per lokasi per tahun, (2) diperlukan guide untuk seluruh penyelaman, (3) transfer keterampilan bagi penyelam pemula mulai dari kawasan terumbu karang yang rentan kerusakan sampai kawasan berpasir, (4) mengalihkan tekanan penyelaman dari kawasan terumbu karang alami ke terumbu karang buatan, dan (5) pengembangan pendidikan lingkungan bagi penyelam melalui kursus keterampilan mengenai tatacara dan perintah yang dilakukan bersama selama melakukan kegiatan di bawah air Analisis Pemanfaatan Analisis Ekonomi Perikanan Karang Pemanfaatan perikanan karang dianalisis dengan menghitung pendapatan dan pengeluaran dalam kegiatan perikanan karang. Pendapatan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pendapatan yang diperoleh dari kegiatan penangkapan ikan karang selama satu tahun yaitu dari bulan Januari sampai Desember Biaya penangkapan terdiri dari biaya operasional dan biaya tetap. Biaya operasional (variable cost) adalah biaya yang dikeluarkan nelayan berhubungan langsung dengan hasil tangkapan, dimana besar kecilnya biaya operasional mempengaruhi besar kecilnya hasil tangkap, terdiri dari biaya bensin/solar, minyak tanah, spirtus, oli, tenaga kerja, dan umpan pancing. Biaya Tetap (Fixed Cost) merupakan biaya yang tidak mempengaruhi hasil tangkap atau dengan kata lain tinggi rendahnya biaya tetap tidak berdampak pada hasil tangkap yang diperoleh. Komponen biaya tetap berupa biaya penyusutan alat.

117 113 Dalam proses penangkapan terjadi fluktuasi biaya tangkap. Penurunan paling rendah terjadi bulan Agustus dan September, sedangkan tertinggi bulan April. Perbedaan biaya penangkapan per bulan tergantung dari trip dan daerah penangkapan. Data menunjukkan biaya penangkapan berkorelasi dengan meningkatnya trip penangkapan. Rata-rata biaya tangkap Rp /bulan/nelayan. Komponen tertinggi pada biaya bahan bakar 57%-80%. Jenis ikan karang yang ditangkap di G.Sulat-G.Lawang antara lain kerapu dan beberapa jenis ikan karang lainnya, menggunakan alat tangkap pancing dan bubu. Jumlah trip penangkapan rata-rata 20 trip/bulan. Rata-rata hasil tangkap kg/trip, dengan demikian hasil tangkap nelayan 250 kg/orang/bulan. Apabila harga rata-rata ikan karang Rp /kg, maka nilai hasil tangkap nelayan Rp /bulan, dimana biaya tangkap Rp /bulan, maka pendapatan bersih yang diterima nelayan sebesar Rp /orang/bulan. Berdasarkan pengamatan di lokasi penelitian, jumlah nelayan yang melakukan tangkapan ikan karang di G.Sulat-G.Lawang adalah 116 orang. Apabila rata-rata hasil tangkap nelayan per orang dalam 1 trip adalah 12,5 kg, maka jumlah ikan yang ditangkap setiap hari sebesar kg/hari diseluruh areal terumbu karang G.Sulat-G.Lawang (359,9 ha). Dengan demikian penangkapan ikan karang di kawasan G.Sulat- G.Lawang telah melampaui ambang batas, mengingat ikan karang yang boleh ditangkap sebesar 90 kg per hari pada areal terumbu karang seluas 108 hektar. Kondisi ini memerlukan penanganan yang serius, mengingat kawasan G.Sulat- G.Lawang merupakan kawasan konservasi. Jumlah nelayan yang sering melakukan aktivitas di kawasan G.Sulat-G. Lawang berasal dari dusun sekitar dan luar kawasan, seperti Desa Labu Pandan (80 orang), Pulur/Dadap (30 orang), Sugian (30 orang), Tekalok (100 orang), dan Dusun Kokok Pedik/Penjalin (50 orang). Total nelayan 290 orang. Sedangkan nelayan pemanah dari luar desa belum dapat diidentifikasi oleh peneliti. 174 orang (60%) nelayan melakukan aktivitas penangkapan menggunakan jaring dan pancing di daerah yang lebih jauh dengan menangkap jenis ikan seperti ikan cakalang, ekor kuning, kembung, ikan tenggiri dan lain-lain. Hasil tangkapan pada musim gelap bervariasi sekitar kg/bulan gelap. Perikanan tradisional ini perlu dikembangkan menjadi perikanan (nelayan modern) dengan menggunakan alat tangkap yang lebih lengkap dan kapal yang lebih besar sehingga jangkauan wilayah penangkapan lebih luas.

118 Analisis Nilai Manfaat Sumberdaya Terumbu Karang Luas terumbu karang di KKLD G.Sulat-G.Lawang adalah 359,945 ha. Pertumbuhan karang dengan persentase tutupan karang hidup sangat bervariasi, berkisar antara 5-90 %. Genus karang yang ditemukan adalah Acropora, Stylophora, Montipora, Astreopora, Herpolitha, Sandalolitha, Fungia, Leptoseris, Pavona, Pachyseries, Pseudosiderastrea, Turbinaria, Physogyra, Plerogyra, Cyphastrea, Diploastrea, Echinopora, Favia, Favites, Goniastrea, Montastrea, Oulophyllia, Platygyra, Ctenactis, Fungia, Heliofungia, Podabacia, Seriatopora, Psammacora, Hydnophora, Lobophyllia, Mussa, Symphyllia, Galaxea, Pectinia, Stylophora, Goniopora, dan Porites. Nilai Manfaat Langsung (DUV) Manfaat langsung terumbu karang G.Sulat-G.Lawang meliputi : (1) pemanfaatan untuk perikanan tangkap, (2) pemanfaatan untuk pariwisata, dan (3) pemanfaatan untuk pendidikan dan penelitian. Kuantifikasi nilai pemanfaatan perikanan tangkap batuan karang menggunakan metode harga pasar dari hasil tangkapan ikan (market price), sedangkan kuantifikasi nilai pariwisata dan penelitian/pendidikan menggunakan metode pasar pengganti dengan menilai dari suatu perbaikan kualitas lingkungan (surrogate market price). Produksi perikanan tangkap Kabupaten Lombok Timur sebesar ton per tahun pada tahun Sedangkan di Kecamatan Sambelia dan sekitar nya 576 ton. Jenis hasil tangkap adalah ikan target dari famili Lutjanidae (kakap), Lethrinidae, Scaridae (kaka tua), Labridae, Serranidae (kerapu) Acanthuridae dan Siganidae (Husni, dkk, 2010). Harga rata-rata ikan pelagis di G.Sulat- G.Lawang Rp /kg, sedangkan ikan demersal Rp /kg. Dengan demikian harga ikan selama setahun mencapai Rp Jenis alat tangkap yang digunakan adalah pancing, jala, bubu, dan bagang. Biaya pembuatan 1 unit alat tangkap berbeda-beda, hasil perhitungan biaya alat tangkap Rp /tahun. Dengan demikian manfaat terumbu karang untuk perikanan tangkap sebesar Rp Rp = Rp / tahun. Kegiatan penelitian yang telah dilakukan oleh beberapa lembaga baik institusi pemerintah, LSM maupun lembaga lainnya menunjukkan bahwa rata-

119 115 rata biaya yang dikeluarkan oleh peneliti dalam setahun sebesar Rp dengan lama tinggal 3 hari. Kegiatan pariwisata, rata-rata jumlah kunjungan 17 orang/hari atau 782 orang/tahun dengan jumlah anggaran yang dibelanjakan dilokasi penelitian sebesar Rp per orang per hari, sehingga total pengeluaran wisatawan di lokasi penelitian adalah Rp /tahun. Dengan demikian nilai manfaat langsung (DUV) terumbu karang G.Sulat-G.Lawang Rp /tahun. Nilai Manfaat Tidak Langsung (IUV) Manfaat tidak langsung dari terumbu karang adalah sebagai pelindung pantai. Kuantifikasi nilai fungsi pelindung pantai menggunakan metode biaya pengganti untuk membangun bangunan perlindungan pantai (replacement cost). Biaya membangun penahan gelombang dengan ukuran 1 m 3 menurut Aprilwati (2001) dalam Rasman (2010) sebesar Rp ,81. Dari hasil GIS diketahui panjang/ luas terumbu karang G.Sulat-G.Lawang 359,945 ha, maka nilai fungsi terumbu karang G.Sulat-G.Lawang sebagai pelindung pantai Rp ,65. Dengan demikian nilai manfaat tidak langsung (IUV) terumbu karang G.Sulat-G.Lawang sebesar Rp ,65/tahun. Nilai Pilihan (OV) Nilai pilihan adalah nilai dari keanekaragaman hayati ekosistem atau sumberdaya yang ada. Kuantifikasi nilai ini menggunakan metode transfer keuntungan dari nilai keanekaragaman terumbu karang (benefit transfer). Nilai keanekaraman (biodiversity) terumbu karang per km 2 per tahun (Cesar et al. 2000) sebesar US $ atau US $ 100 per hektar setara dengan Rp per hektar (asumsi 1 $ =Rp 9.500). Dengan luas terumbu karang G.Sulat-G.Lawang 359,945 ha, maka nilai keanekaragaman hayati (biodiversity) terumbu karang sebesar Rp dengan demikian nilai pilihan (OV) terumbu karang G.Sulat-G.Lawang adalah Rp /tahun. Nilai Pewarisan (BV) Nilai pewarisan adalah nilai kompensasi untuk menjaga atau melestarikan terumbu karang melalui program dan kegiatan perlindungan dan pengawetan. Kualifikasi nilai ini menggunakan metode biaya kompensasi yang dikeluarkan untuk melaksanakan kegiatan pelestarian dan perlindungan wilayah terumbu

120 116 karang G.Sulat-G.Lawang (Compensation cost). Biaya kegiatan selama 5 tahun yang dilaksanakan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Lombok Timur untuk melakukan rehabilitasi terumbu karang dalam bentuk terumbu buatan di kawasan G.Sulat-G.Lawang merupakan nilai kompensasi tersebut. Hasil wawancara dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi NTB, bahwa nilai terumbu buatan sebesar Rp /ha. Apabila luas Terumbu karang 359,945 ha, maka nilai pewarisan terumbu karang G.Sulat-G.Lawang sebesar Rp /tahun. Nilai Eksistensi (EV) Nilai eksistensi adalah nilai persepsi akan keberadaan (existence) dari terumbu karang G.Sulat-G.Lawang, terlepas dari apakah terumbu karang tersebut dimanfaatkan atau tidak. Dari hasil wawancara dengan responden, diperoleh nilai total kesediaaan menerima (WTA) berdasarkan nilai median dari responden sebesar Rp Dengan mengalikan nilai WTA individu engan jumlah populasi G.Sulat-G.Lawang jiwa, maka nilai eksistensi (EV) terumbu karang G.Sulat-G.Lawang Rp /tahun Berdasarkan perhitungan total penilaian diatas, maka Total Nilai Manfaat terumbu karang G.Sulat-G.Lawang sebesar Rp /tahun. Secara rinci nilai-nilai terumbu karang dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 21. Total Nilai Manfaat Terumbu Karang G.Sulat-G.Lawang No Sumberdaya Terumbu Karang Fungsi dan Manfaat Metode Nilai Manfaat Bersih (Rp/tahun) 1 Direct Use Value Perikanan Tangkap Market Price Pariwisata Surrogate Market Price Penelitian/ Surrogate Pendidikan Market Price 2 Indirect Value Perlindungan Pantai Replacement Cost 3 Option Value Keanekaragaman Benefit Hayati Transfer 4 Bequest Value DKP Compnensation cost 5 Existence Value Persepsi stakeholder (resp) WTA Total Nilai Maanfaat Terumbu Karang Sumber ; Data Primer 2010, diolah.

121 Mangrove Berdasarkan hasil SIG, diperoleh luasan mangrove di KKLD G.Sulat- G.Lawang seluas 1.010,65 ha. Laporan hasil identifikasi Departemen Kehutanan (2005), Gili Sulat-Gili Sulat ditetapkan sebagai hutan lindung berdasarkan SK Menhut No.416/KPTS-II/1999. Hampir keseluruhan G.Sulat-G.Lawang ditumbuhi oleh vegetasi mangrove didominasi oleh jenis Rhysophora mucronata, Sonneratia alba dan Bruiguiera gymnoriza. dengan kerapatan rendah-sedang, diameter batang sangat besar berkisar antara cm dan cm, tipe substrat berpasir dan pecahan karang. Kerapatan antara /100 m 2 ( pohon/ha). Dengan tingkat kerapatan tersebut maka komunitas mangrove di kawasan ini termasuk kriteria baik dan sangat padat. Merujuk Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 201 Tahun 2004 tentang Kriteria Baku Kerusakan mangrove, dimana kerapatan (pohon/ha) kriteria sangat padat (> 1500 ), baik/sedang (> < 1500) dan rusak/jarang ( < 1000). Kerapatan jenis tertinggi adalah Rhizpphora mucronata 600 pohon/ha, memiliki Indeks Nilai Penting (INP) yang tertinggi. Estimasi kerapatan kanopi berkisar antara %. Kondisi ini masuk kriteria tidak mengalami kerusakan. Mengacu pada aturan Penetapan kriteria kawasan mangrove yang rusak menurut Dit.Jend. RLPS, Departemen Kehutanan dalam buku Kriteria dan standar teknis Rehabilitasi Wilayah Pantai, dapat ditunjukkan dari kerapatan kanopi. Estimasi kerapatan kanopi < 50 % (rusak berat), kerapatan kanopi % (rusak sedang), dan kerapatan kanopinya > % (tidak rusak). Nilai Manfaat Langsung (DUV) Manfaat langsung mangrove G.Sulat-G.Lawang meliputi : (1) pemanfaatan penangkapan biota, (2) pemanfaatan untuk kayu bakar, dan (3) pemanfaatan untuk pariwisata dan penelitian. Kuantifikasi nilai pemanfaatan biota mangrove menggunakan metode harga pasar dari hasil tangkapan moluska (market price), sedangkan kuantifikasi nilai pariwisata dan penelitian/pendidikan menggunakan metode pasar pengganti dengan menilai dari suatu perbaikan kualitas lingkungan (surrogate market price). Hasil perhitungan dan analisis, bahwa nilai manfaat untuk pemanfaatan mangrove sebagai tempat mengambil biota berupa udang, kepiting, kerangkerangan dan ikan lainnya sebesar Rp /tahun, sedangkan biaya yang

122 118 dikeluarkan untuk aktivitas penangkapan/pengambilan biota bawah tegakan mangrove sebesar Rp , dengan demikian nilai manfaat langsung yang dietrima dari aktivitas penangkapan di kawasan mangrove G.Sulat-G.Lawang adalah Rp /tahun. Pemanfaatan mangrove untuk kayu bakar, data penelitian menunjukkan bahwa harga kayu bakar mangrove di G.Sulat-G.Lawang Rp 6.000/ikat (dalam 1 ikat kayu terdapat 25 ranting mangrove atau setara dengan 0,005 m 3 ). Produksi kayu bakar pada saat masyarakat masih menebang mangrove diperkirakan sekitar 5 m 3 /bulan atau 1000 ikat. Dengan demikian nilai kayu mangrove untuk kayu bakar adalah Rp Biaya yang dikeluarkan untuk pengambilan kayu sebulan 4 kali, setiap kali melakukan penebangan, biaya yang dikeluarkan Rp /bulan atau Rp /tahun. Dengan demikian manfaat mangrove G.Sulat-G.Lawang untuk kayu bakar Rp /tahun Kegiatan penelitian yang telah dilakukan oleh beberapa lembaga baik institusi pemerintah, LSM maupun lembaga lainnya menunjukkan bahwa ratarata biaya yang dikeluarkan oleh peneliti dalam setahun sebesar Rp Untuk kegiatan pariwisata, rata-rata jumlah kunjungan 20 orang/hari atau 920 orang/tahun dengan jumlah anggaran yang dibelanjakan dilokasi penelitian sebesar Rp per orang, sehingga total pengeluaran wisatawan di lokasi penelitian adalah Rp /tahun. Dengan demikian nilai manfaat langsung (DUV) mangrove G.Sulat-G.Lawang sebesar Rp /tahun. Nilai Manfaat Tidak Langsung (IUV) Manfaat tidak langsung dari mangrove G.Sulat-G.Lawang adalah : (1) sebagai penahan abrasi, dan (2) fungsi mangrove dalam mengurangi emisi dengan menyerap karbon/ melepaskan oksigen. Kuantifikasi nilai fungsi penahan abrasi dengan membangun penahan abrasi menggunakan metode biaya pengganti (replacement cost). Sedangkan nilai fungsi pengurangan emisi karbon menggunakan metode biaya pengganti kerusakan jika terjadi kehilangan fungsi tersebut (damage avoided cost). Biaya membangun penahan abrasi dengan ukuran 1 m 3 menurut Aprilwati (2001) dalam Rasman (2010) sebesar Rp ,81. Dari hasil GIS

123 119 diketahui panjang garis pantai yang terlindungi oleh mangrove sepanjang 9,783 km, dengan demikian nilai manfaat tidak langsung (IUV) mangrove G.Sulat- G.Lawang sebesar Rp /tahun. Jumlah karbon yang dapat disimpan hutan mangrove menurut Brown and Pear (1994) dalam Pearce and Moran (1994) adalah ton/ha. Dengan nilai karbon perton menurut Frankhauser (1994) sebesar US$ 20 atau Rp (asusmsi % = Rp 9.500) dan asumsi rataan karbon yang dapat disimpan oleh hutan mangrove per hektar sebesar 128 ton (1/2 (220-36)), maka nilai karbon yang daapat disimpan oleh hutan mangrove G.Sulat-G.Lawang seluas 1.010,65 ha adalah Rp /tahun. Dengan demikian nilai manfaat tidak langsung (IUV) hutan mangrove G.Sulat-G.Lawang adalah Rp = Rp /tahun. Nilai Pilihan (OV) Nilai pilihan dari hutan mangrove G.Sulat-G.Lawang adalah nilai dari keanekaragaman hayati ekosistem atau sumberdaya yang ada. Kuantifikasi nilai ini menggunakan metode transfer keuntungan dari nilai keanekaragaman terumbu karang (benefit transfer). Nilai keanekaraman (biodiversity) mangrove per kilometer persegi per tahun menurut Ruitenbeek (1991) sebesar US $ atau US $ 15 per hektar yang setara dengan Rp per hektar (asumsi 1 $ =Rp 9.500). Dengan luas hutan mangrove G.Sulat-G.Lawang 1.010,65 ha, maka nilai keanekaragaman hayati (biodiversity) mangrove sebesar Rp , dengan demikian nilai pilihan (OV) hutan mangrove G.Sulat-G.Lawang adalah Rp /tahun. Nilai Pewarisan (BV) Nilai pewarisan mangrove G.Sulat-G.Lawang adalah nilai kompensasi untuk menjaga atau melestarikan mangrove melalui program dan kegiatan perlindungan dan pengawetan. Kualifikasi nilai ini menggunakan metode biaya kompensasi yang dikeluarkan untuk melaksanakan kegiatan pelestarian dan perlindungan hutan mangrove G.Sulat-G.Lawang (Compensation cost). Biaya kegiatan selama 5 tahun yang dilaksanakan oleh Dinas Kehutanan Kab. Lombok Timur untuk melakukan rehabilitasi mangrove di kawasan G.Sulat-G.Lawang merupakan nilai kompensasi tersebut. Dari hasil wawancara dengan Dinas

124 120 Kehutanan Kabuapaten Lombok Timur, bahwa nilai mangrove sebesar Rp /ha. Apabila luas mangrove 1.010,65 ha, maka nilai pewarisan (BV) hutan mangrove G.Sulat-G.Lawang sebesar Rp /tahun Nilai Eksistensi (EV) Nilai eksistensi (EV) adalah nilai persepsi akan keberadaan (existence) hutan mangrove G.Sulat-G.Lawang, terlepas dari apakah mangrove tersebut dimanfaatkan atau tidak. Dari hasil wawancara dengan responden, diperoleh nilai total kesediaaan menerima (WTA) berdasarkan nilai median dari responden sebesar Rp Dengan mengalikan nilai WTA individu dengan jumlah populasi G.Sulat-G.Lawang jiwa, maka nilai eksistensi (EV) mangrove G.Sulat-G.Lawang Rp /tahun. Berdasarkan perhitungan total penilaian hutan mangrove diatas, maka Total Nilai Manfaat mangrove G.Sulat-G.Lawang Rp /tahun. Secara rinci nilai-nilai mangrove dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 22. Total Nilai Manfaat Hutan Mangrove G.Sulat-G.Lawang No Sumberdaya Terumbu Karang Fungsi dan Manfaat Metode Nilai Manfaat Bersih (Rp/tahun) 1 Direct Use Value Pegambilan biota Market Price Pemanfaatan kayu Market Price bakar Pariwisata Surrogate Market Price Penelitian/ Pendidikan Surrogate Market Price Indirect Value Penahan abrasi Replacement Cost Penyerap karbon Damage avoided cost 3 Option Value Keanekaragaman Benefit Hayati Transfer 4 Bequest Value Dishut Compnensation cost 5 Existence Value Persepsi stakeholder (resp) WTA Total Nilai Manfaat Mangrove Sumber ; Data Primer 2010, diolah.

125 Analisis Sosial Kajian daya dukung sosial untuk pengembangan perikanan karang dalam penelitian ini adalah total tenaga kerja (orang) atau HOK/th yang dapat diserap secara aktual dari pengembangan perikanan karang yang dipengaruhi oleh jumlah jam kerja efektif per hari, kebutuhan tenaga kerja aktual per trip, jumlah trip per bulan atau per tahun. Diasumsikan bahwa ada jumlah maksimum tenaga kerja yang terserap dengan adanya kegiatan perikanan karang di kawasan konservasi, sehingga masyarakat nelayan merasakan manfaat ekonomi dalam pengelolaan kawasan konservasi. Dalam pengelolaan kawasan konservasi, dimana salah satu peruntukan pemanfaatannya adalah pengembangan perikanan karang seluas 108 hektar akan menyerap tenaga kerja sejumlah HOK per tahun. Dasar perhitungan ini adalah apabila dalam satu bulan, nelayan melakukan aktivitas melaut sejumlah 14 trip per orang. Sedangkan jumlah nelayan sekitar kawasan yang melakukan aktivitas di dalam kawasan sejumlah 116 orang nelayan. Hasil penelitian menunjukkan 88,3% (256 orang) nelayan beranggapan bahwa pengelolaan kawasan konservasi dengan penataan zonasi didalamnya akan berdampak positif pada masa yang akan datang, karena dengan sistem zonasi (adanya alokasi untuk zona inti) akan memberi ruang bagi tempat bertelurnya ikan, sehingga akan berdampak pada hasil tangkap yang lebih besar pada masa datang. Dengan semakin besarnya jumlah hasil tangkap akan berdampak pada semakin besarnya jumlah penyerapan tenaga kerja sehingga kesejahteraan masyarakat akan meningkat. Sedangkan 11,7 % (34 orang) nelayan kurang setuju dengan penetapan zona inti dalam pengelolaan kawasan konservasi G.Sulat-G.Lawang. Mereka beranggapan bahwa dengan ditutupnya sebagian areal tangkapan selama ini berdampak pada berkurangnya hasil tangkap terutama nelayan pemanah, oleh karena itu tugas pemerintah daerah melakukan sosialisasi dan pembinaan kepada masyarakat sekitar kawasan konservasi, sehingga konflik antar nelayan maupun konflik nelayan dan pemerintah dapat diatasi. Kajian daya dukung sosial dalam pengembangan ekowisata di kawasan G.Sulat-G.Lawang dianalisis dengan memperhitungkan keberadaan tenaga kerja dan beban kerja. Penduduk yang dimaksud merupakan golongan usia produktif atau disebut sebagai tenaga kerja. Dengan demikian daya dukung sosial dalam

126 122 pengembangan ekowisata adalah junlah unit usaha dan tenaga kerja yang dapat terlibat dalam pemanfaatan kawasan konsevasi sebagak tujuan wisata. Dengan berkembangnya sektor pariwisata akan berpengaruh positif terhadap peluang dan lapangan kerja masyarakat lokal. Salah satu dampak positif pengembangan pariwisata adalah tidak hanya penyerapan tenaga kerja secara riel, namun dampak pendapatan turunan laiinya dapat dirasakan oleh masyarakat seperti usaha kerajinan, guide, dan sebagainya. Jumlah tenaga kerja dalam pengembangan ekowisata dipengaruhi oleh jumlah kunjungan wisatawan. Tenaga kerja yang dibutuhkan untuk 1 orang wisatawan adalah asumsi 3 orang yaitu untuk yang mendampingi pada saat menyelam, transportasi perahu ke lokasi dan sisanya berupa pemanfaatan jasa tenaga kerja di berbagai aktivitas. Sehingga apabila 1 orang wisatawan dapat memanfaatkan tenaga kerja sejumlah 3 HOK. Dengan kapasitas daya dukung seluas 381 orang wisatawan perhari, maka jumlah tenaga kerja yang dapat terserap sebesar HOK dalam satu kali kunjungan. Sehingga jumlah tenaga kerja yang terserap dalam setahun sebesar HOK per tahun. Oleh karena itu alternatif pengembangan ekowisata dapat dijadikan sebagai sumber matapencaharian dan pendapatan secara langsung maupun sebagai sumber lapangan kerja bagi masyarakat lokal. Daya dukung sosial juga dinilai pada tingkat penerimaan masyarakat lokal terhadap kunjungan wisatawan tanpa mengganggu kenyamanan mereka. Diasumsikan bahwa ada batasan maksimum jumlah wisatawan yang berkunjung

127 122 pengembangan ekowisata adalah junlah unit usaha dan tenaga kerja yang dapat terlibat dalam pemanfaatan kawasan konsevasi sebagak tujuan wisata. Dengan berkembangnya sektor pariwisata akan berpengaruh positif terhadap peluang dan lapangan kerja masyarakat lokal. Salah satu dampak positif pengembangan pariwisata adalah tidak hanya penyerapan tenaga kerja secara riel, namun dampak pendapatan turunan laiinya dapat dirasakan oleh masyarakat seperti usaha kerajinan, guide, dan sebagainya. Jumlah tenaga kerja dalam pengembangan ekowisata dipengaruhi oleh jumlah kunjungan wisatawan. Tenaga kerja yang dibutuhkan untuk 1 orang wisatawan adalah asumsi 3 orang yaitu untuk yang mendampingi pada saat menyelam, transportasi perahu ke lokasi dan sisanya berupa pemanfaatan jasa tenaga kerja di berbagai aktivitas. Sehingga apabila 1 orang wisatawan dapat memanfaatkan tenaga kerja sejumlah 3 HOK. Dengan kapasitas daya dukung seluas 381 orang wisatawan perhari, maka jumlah tenaga kerja yang dapat terserap sebesar HOK dalam satu kali kunjungan. Sehingga jumlah tenaga kerja yang terserap dalam setahun sebesar HOK per tahun. Oleh karena itu alternatif pengembangan ekowisata dapat dijadikan sebagai sumber matapencaharian dan pendapatan secara langsung maupun sebagai sumber lapangan kerja bagi masyarakat lokal. Daya dukung sosial juga dinilai pada tingkat penerimaan masyarakat lokal terhadap kunjungan wisatawan tanpa mengganggu kenyamanan mereka. Diasumsikan bahwa ada batasan maksimum jumlah wisatawan yang berkunjung ke G.Sulat-G.Lawang, sehingga masyarakat tidak merasa terganggu. Saveriades (2000), bahwa ketidaknyamanan seseorang dapat membatasi penerimaannya ketika orang lain masuk untuk berinteraksi (Social Carrying Capacity), walaupun secara ekologi (Biological Carrying Capacity) masih tersedia relung untuk orang tersebut masuk berinteraksi. Hasil penelitian, bahwa 72 % responden memiliki persepsi perilaku masyarakat tidak mengalami perubahan dengan keberadaan wisatawan dan 18 % menyatakan masyarakat mengalami perubahan perilaku terutama yang terkait dengan materi atau ada kecenderungan pergeseran nilai terutama cara berpakaian Optimasi Pemanfaatan Ruang G.Sulat-G.Lawang Konsep Model Sistem dinamik dikembangkan untuk memformulasikan pemanfaatan ruang kawasan konservasi secara berkelanjutan dengan mempertimbangkan aspek

128 123 ekologi, ekonomi dan sosial yang disesuaikan dengan kondisi perairan G.Sulat- G.Lawang pada berbagai skala waktu dan intensitas berbagai pemanfaatan sehingga dapat diprediksi konsekuensi atau respon dari sistem akibat intervensi manusia, karena sistem dinamik dapat digunakan untuk pendugaan dan alokasi ruang pada batas maksimum dan minimum kapasitas perairan, resiko kerusakan atau degradasi lingkungan yang lebih luas. Pemanfaatan ruang KK G.Sulat- G.Lawang diarahkan untuk berbagai pemanfaatan seperti perikanan karang dan ekowisata. Hasil analisis pada sub bab sebelumnya menunjukkan luas KKLD G.Sulat-G.Lawang 3 166,92 ha terdiri dari zona inti 193,83 ha, zona pemanfaatan terbatas 143,33 ha dan zona lainnya 1 819,11 ha (zona rehabilitasi 93,11 ha dan perairan lainnya ha). Berdasarkan kesesuaian lahan, zona pemanfaatan terbatas diarahkan untuk pengembangan wisata selam seluas 10,80 ha, wisata mangrove 23,04 ha, perikanan karang 97,20 ha, dan wisata snorkeling seluas 2,4 ha (di zona rehabilitasi). Penilaian kesesuaian pemanfaatan lahan untuk berbagai pemanfaatan didasarkan pada penilaian kriteria ekologis sedangkan optimasi pemanfaatan ruang kawasan menggunakan pendekatan dimensi ekologi, ekonomi dan sosial. Konsep yang dibangun adalah model dinamik yang terdiri dari 2 sub model yaitu : Sub Model Perikanan Karang Merupakan sub model yang terdiri dari komponen daya dukung terumbu karang dan populasi ikan karang. Ikan karang merupakan input, sedangkan komponen lainnya adalah penerimaan bersih dari kegiatan perikanan karang yang menunjukkan hasil atau pendapatan total dari sub model perikanan karang (Gambar 31) Sub Model Ekowisata Merupakan sub model yang mewakili ekologi dan pariwisata terdiri dari komponen yang menjadi input yaitu : daya dukung terumbu karang dan daya dukung mangrove sebagai yang berpengaruh terhadap jumlah wisatawan dalam sub model ekowisata (Gambar 32).

129 124 MODEL PERIKANAN KARANG Akumulasi Penerimaan Lj pertumb ikan karang Skenario Pop Ikan Karang Lj Pengurangan PK Harga Prod ikan karang Tambahan Penerimaan LUAS TRB KARAN Lj tumbuh karang Pertambahan ikan karang Hsl Tangkap ikan krng perahu Biaya Tetap PK jaring dan pancing Pengurangan ikan karang Penyusutan alat penerimaan ikan karang Biaya Perikanan Karang Biaya variabel PK Pendapatan Bersih PK Umpan pancing BBM TK ikan karang Total Penerimaan Pendapatan Total Wisata LUAS TRB KARANG Lj Degradasi karang Pertambahan Tutupan Karang Pengurangan Luas tutupan karang Skenario Luas Karang Terumbu Karang Gambar 31. Struktur Sub Model Perikanan Karang

130 125 Lj Pertumbuhan mangrove Luas Mangrove Penambahan Luas Mangrove LUAS TRB KARAN Indirect Value Mangrove LUAS MANGROVE Pengurangan TEV Karang Direct Value Karang Total SD Wisata TEV Mangrove Indirect value Mangrove Total Pop Wismn Mangrove Pop Wisman Mangrove WTP Wisatawan Penerimaan ekowisata Direct Value Mangrove Total Pop Wisman terumbu Pop Wisman Terumbu Total Pop Wisman SUB MODEL EKOWISATA Infrastr Biaya Wisata Pendapatan Bersih ekowisata Promosi Fee Konserv usaha wisata Lj Peningkatan kunj wisatawan jumlh TK wisata Pajak Wisata Pop Wisman Upah akomodasi Penerimaan ekowisata Upah TK Wisata Pendapatan Total Wisata Upah Guide Fraks Jlh Penddk Upah Transport Pendptan Masy Lokal Lj Pnerimaan Masy Penambahan Wisatawan Laju pertambahan penambahan penduduk Jumlh Penduduk Lj Penebangan Gambar 32. Struktur Sub Model Ekowisata

131 126 Langkah awal pengembangan model pengelolaan KK G.Sulat-G.Lawang adalah: (1) merumuskan model secara matematis; (2) memasukkan nilai-nilai parameter yang diperoleh pada analisis sebelumnya ke dalam model yang dibangun; dan (3) melakukan analisis model. Penyusunan dan analisis skenario optimasi pengelolaan kawasan konservasi didasarkan pada model dasar yang telah dibangun serta memilih skenario yang terbaik untuk diaplikasikan. Nilai-nilai atribut yang digunakan dalam menganalisis keberlanjutan pengelolaan kawasan konservasi yang paling optimal merupakan hasil kajian literatur, hasil analisis karakteristik sumberdaya, kesesuaian lahan dan analisis daya dukung kawasan. Kajian yang merupakan fokus penelitian adalah pengembangan perikanan karang dan ekowisata dengan variabel : (a) luas lahan maksimun, (b) tingkat kunjungan berdasarkan kemampuan daya dukung lingkungan, (c) kemampuan penyerapan tenaga kerja, dan (d) peningkatan hasil (penerimaan) dari pemanfaatan lahan. Sedangkan nilai-nilai atribut yang digunakan untuk membangun dan menganalisis model pemanfaatan G.Sulat-G.Lawang dapat dilihat pada Lampiran 3. Nilai level (stock), variabel driving, auxiliary dan konstanta yang tercantum pada lampiran 3 dapat dijelaskan sebagai berikut : Atribut Pada Sub Model Ekowisata Atribut yang berfungsi sebagai stok dalam dimensi ekowisata yaitu sumberdaya karang. Nilai awal (initial) level diperoleh dari hasil analisis kesesuaian dan daya dukung terumbu karang 10,8 ha dan mangrove 23,04 ha. Laju pertumbuhan karang (0.03) dan degradasi terumbu karang (0.02) (Karnan, 2009). Laju degradasi mangrove diperoleh dari data citra satelit (0,05). Fee konservasi (0,04) diperoleh dari penerimaan per wisatawan. Peningkatan potensi sumberdaya alam sebagai faktor produksi utama di kawasan konservasi harus dibarengi dengan peningkatan kualitas SDM, dimana pendidikan memegang peranan penting karena berkaitan dengan kemampuan masyarakat dalam eksploitasi sumberdaya termasuk kemampuan mempengaruhi pengembangan ekowisata. Kualitas SDM dan tingkat daya dukung lingkungan berpengaruh terhadap pendapatan masyarakat dari kegiatan ekowisata. Nilai awal (initial) penerimaan masyarakat dari kegiatan ekowisata diperkirakan Rp Nilai ini diperoleh dari upah tenaga kerja wisata selama setahun dengan upah Rp per bulan, penerimaan masyarakat dari hasil perikanan karang Rp ,67 per bulan. Kontribusi usaha

132 127 wisata bagi penerimaan daerah berbentuk pajak usaha (0.75) yang dibayarkan per tahun diperoleh dari 25 % pembayaran biaya akomodasi per wisatawan. Harga produk yang diterima dari wisatawan adalah besarnya penerimaan usaha wisata sebelum dikurangi biaya infrastruktur dan promosi serta pajak usaha yang diperoleh dari kunjungan wisatawan selama menginap di lokasi yaitu rata-rata Rp Dari total penerimaan per wisatawan 1.55% merupakan bagian dari upah tenaga kerja dan 3.45% penerimaan usaha turunan pendukung ekowisata. Tax 0,15 merupakan persentase pajak usaha yang diberlakukan pemerintah daerah terhadap seluruh usaha perhotelan dan restoran untuk satu orang per kunjungan di wilayah Kabupaten Lombok Timur, dimana 25 % dari penerimaan pajak dialokasikan untuk konservasi sumberdaya, sisanya (75 %) merupakan penerimaan daerah dari sektor pariwisata Atribut Pada Sub Model Perikanan Karang Atribut yang berfungsi sebagai stok dalam dimensi perikanan karang yaitu hasil tangkap ikan karang. Nilai awal (initial) level diperoleh dari hasil analisis kesesuaian diperoleh daya dukung karang untuk perikanan (97,20 ha). Laju pertambahan produksi (0.10) dan laju pengurangan produksi (0,50). Peningkatan produksi perikanan karang di kawasan konservasi dibarengi dengan peningkatan perlindungan habitat berupa recovery karang dan pengaturan alat tangkap serta penguasaan teknologi memegang peranan sangat penting. Pengusaan teknologi tidak hanya berkaitan dengan kemampuan masyarakat dalam eksploitasi sumberdaya alam namun teknologi juga memegang peranan penting dalam meningkatkan pendapatan dari aktivitas nelayan Penyusunan Skenario Pemanfaatan Ruang Kawasan Konservasi Penyusunan skenario dalam model pengelolaan kawasan konservasi ditujukan untuk memilih alternatif rencana kebijakan yang memungkinkan ditempuh dalam menyelesaikan masalah yang dapat terjadi di kemudian hari berdasarkan kondisi saat ini. Prosedur operasional yang dapat dilakukan dalam penyusunan skenario pengelolaan melalui simulasi model yakni berdasarkan kondisi (nilai) aktual yang diperoleh dari analisis basis model pada setiap level (stok), dan nilai koefisien parameter yang dibangun pada setiap dimensi. Beberapa skenario yang dilakukan dalam sistem dinamik adalah :

133 128 Skenario 1. Model Pemanfaatan Ruang G.Sulat-G.Lawang kondisi Eksisting Skenario 2. Model Pemanfaatan Ruang G.Sulat-G.Lawang kondisi Optimum Skenario 3. Model Pemanfaatan Ruang G.Sulat-G.Lawang kondisi Maksimum Hasil simulasi dari beberapa skenario yang digunakan sebagai berikut : Skenario 1. Pemanfaatan Ruang G.Sulat - G.Lawang berdasarkan Kondisi Eksisting G.Sulat-G.Lawang memiliki potensi perikanan yang cukup tinggi, hampir 10% dari total penduduk menjadikan sumberdaya dalam kawasan sebagai mata pencaharian utama, namun cara memanfaatkan sumberdaya mengundang konflik baik antar nelayan dari dalam dan luar kawasan maupun nelayan dengan pemerintah. Menurut Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Lombok Timur (2009), jumlah unit alat tangkap ikan di Kecamatan Sambelia adalah 238 unit. Dari jumlah alat tangkap tersebut, jumlah hasil tangkap terbesar dicapai oleh nelayan bagang. Selain menangkap ikan konsumsi, nelayan juga banyak menangkap ikan hias langka karena bernilai ekonomi cukup tinggi, sementara kegiatan pariwisata belum berkembang secara optimal sehingga belum mampu memberikan kontribusi bagi pendapatan daerah dan masyarakat sekitar. Sampai saat ini pemanfaatan kawasan belum efektif, penangkapan ikan karang dilakukan di seluruh areal terumbu karang tanpa memperhatikan zona inti. Jumlah nelayan yang melakukan aktivitas penagkapan ikan karang 116 orang nelayan, dengan jumlah hasil tangkap rata-rata kg/hari. Berdasarkan hasil wawancara, penangkapan dilakukan 20 trip/bulan dengan rata-rata hasil tangkap 250 kg/bulan. Apabila harga hasil tangkap Rp /kg, maka pendapatan yang diterima nelayan Rp /bulan, sedangkan pengeluaran untuk penangkapan Rp /bulan, maka penerimaan setiap nelayan Rp /bulan. Dilihat dari potensi perikanan di G.Sulat-G.Lawang sebesar ton/tahun atau rata-rata 130 kg/ha/tahun, maka penangkapan ikan karang selama ini telah mengalami tangkap lebih. Kondisi ini merupakan persoalan yang sangat serius dan harus segera diatasi agar sumberdaya di kawasan konservasi dapat berkelanjutan. Mengingat luasan kawasan yang relatif kecil dengan rasio pemanfaatan yang relatif besar maka keberlanjutan sumberdaya terumbu karang mengalami ancaman kerusakan yang serius. Hal ini didukung oleh hasil kajian Karnan 2009, yang mengemukakan bahwa terjadinya kerusakan karang di perairan Lombok

134 129 Timur akibat pemanfaatan dengan cara tidak ramah lingkungan sehingga luasan dan tutupan karang mengalami pengurangan yang relatif besar yaitu sekitar 93,11 hektar terumbu karang telah mengalami kerusakan dengan kondisi tutupan karang di bawah 30%. Hasil simulasi kondisi saat ini sampai 20 tahun kedepan dapat dilihat pada grafik hasil simulasi berikut : 1 : D D K A R A N G 2 : D D M A N G R O V E 3 : D D E K O N O M I 4 : D D S O S I A L 5 : P o p W is m a n 1 : : 0 3 : 5 e , 1 4 : : : : : 2. 5 e : : : : : : : P a g e 1 Y e a r s 2 : J u n Gambar 33. Kondisi Sumberdaya pada pengelolaan kondisi eksisting Gambar diatas menunjukkan bahwa pola pemanfaatan saat ini (kondisi eksisting) dari dimensi ekologi menunjukkan 20 tahun kedepan kondisi terumbu karang mengalami penurunan akibat pemanfaatan tak terkendali oleh masyarakat walaupun secara ekonomi penerimaan masyarakat meningkat. Hal ini berpengaruh terhadap keberlanjutan kawasan konservasi dan dalam jangka panjang berdampak pada semakin menurunnya jumlah kunjungan wisatawan akibat nilai obyek wisata yang semakin menurun. Oleh karena dari dimensi ekologi terdapat 2 (dua) atribut sensitif yang mempengaruhi indeks keefektifan pengelolaan kawasan konservasi yakni daya dukung mangrove dan daya dukung terumbu karang untuk kegiatan ekowisata. Kedua atribut ini terkait langsung dengan eksistensi kawasan konservasi, sehingga setiap perubahan luasan berdampak pada perikanan karang dan kualitas obyek wisata. Hasil analisis basis model pengelolaan kawasan konservasi menunjukkan bahwa dalam jangka panjang terjadi penurunan luasan obyek ekowisata seiring dengan peningkatan kunjungan wisatawan dan tingkat eksploitasi masyarakat yang tidak mempertimbangkan kelestarian lingkungan sehingga diperlukan kebijakan untuk meningkatkan kualitas tutupan karang dengan program perbaikan habitat. Hasil analisis basis model dimensi ekonomi, menunjukkan trend peningkatan kunjungan wisatawan menyebabkan peningkatan ekonomi masyarakat dan penyerapan tenaga kerja, namun peningkatan tersebut dalam

135 130 jangka panjang dapat menurunkan kualitas sumberdaya termasuk obyek ekowisata. Diversifikasi produk ekowisata juga sangat penting mengingat adanya potensi ekowisata alternatif (wisata pantai dan memancing) dan meningkatkan kesesuaian kawasan untuk kegiatan ekowisata bahari (wisata selam dan mangrove). Sedangkan tingkat penyerapan tenaga kerja terjadi pada kegiatan ekowisata karena semakin meningkatnya jumlah kunjungan wisatawan. Agar pengelolaan G.Sulat-G.Lawang semakin efektif, perlu pelibatan masyarakat lokal sebagai tenaga kerja dalam berbagai aktivitas yang akan dikembangkan seperti guide, transportasi, akomodasi dan usaha turunan lainnya untuk menghindari terjadinya konflik sosial dalam masyarakat. PETA PEMANFAATAN SUMBERDAYA Gambar 34. Pemanfatan Ruang KK G.Sulat-G.Lawang Pada Kondisi Eksisting

136 131 Selain untuk perikanan, G.Sulat-G.Lawang juga dimanfaatkan untuk kegiatan pariwisata dengan potensi pengembangan yang relatif besar ditunjang oleh keberadaan sumberdaya mangrove dan terumbu karang. Namun sampai saat ini jumlah kunjungan wisatawan rendah dan bersifat insidental dengan lama tinggal relatif pendek yaitu rata-rata 1 3 hari. Hasil survey menunjukkan pada bulan Juli September jumlah kunjungan wisatawan rata-rata 17 orang per hari. Pengeluaran per wisatawan Rp /hari dengan alokasi untuk akomodasi Rp yang dialokasikan bagi pemilik home stay Rp ,-, kas Desa Sugian Rp dan Rp untuk kelompok yang melakukan konservasi. Sedangkan Rp untuk konsumsi dan kebutuhan lainnya. Hasil wawancara dengan masyarakat, manfaat wisata saat ini belum dirasakan oleh masyarakat lokal karena jumlah serapan tenaga kerja untuk kegiatan wisata rendah, usaha turunan wisata belum berkembang, akibatnya masyarakat memiliki persepsi bahwa pariwisata kurang memberi manfaat secara ekonomi. Rendahnya kunjungan wisatawan disebabkan oleh kurangnya promosi dan dukungan infrastruktur penunjang wisata kurang memadai, seperti transportasi menuju lokasi, homestay, dan lain sebagainya. Tabel 23. Pemanfaatan Eksisting KK G.Sulat-G. Lawang No Jenis Pemanfatan Produksi /thn Harga (Rp) Nilai Prod (Rp)/th 1 Perikanan Karang kg Wisata Selam 782 orang Wisata Snorkeling 920 orang Wisata Mangrove 920 orang Total Nilai Produksi Sumbet : Data Primer diolah, 2010 Dengan pola pemanfaatan eksisting, pendapatan masyarakat cenderung rendah, karena itu pemerintah perlu membuat kebijakan pemanfaatan kawasan konservasi yang ramah lingkungan dengan memberikan ruang pemanfatan bagi masyarakat seperti pengembangan perikanan karang secara ramah lingkungan dan pengembangan ekowisata dengan berbagai kategori mengingat potensi relatif besar. Dengan memanfaatkan jasa lingkungan disertai perencanaan dan manajemen yang baik, maka manfaat riel kawasan akan dirasakan masyarakat maupun pemerintah daerah, karena akan mempegaruhi jumlah penyerapan tenaga kerja, pendapatan dan kesejahteraan masyarakat lokal.

137 132 Skenario 2. Pemanfaatan Ruang G.Sulat-G.Lawang pada Kondisi Optimum Berdasarkan karakteristik ekologi perairan terkait dengan kondisi ekosistem terumbu karang, mangrove, lamun dan kualitas perairan laut serta karakteristik sosial budaya (ekonomi masyarakat, kegiatan usaha dan kelembagaan) menunjukkan kawasan G.Sulat-G.Lawang memiliki potensi besar untuk pengembangan kegiatan perikanan dan ekowisata. Berdasarkan analisis kesesuaian lahan dan perhitungan daya dukung, luas pemanfaatan optimal yang dapat dialokasikan untuk berbagai kegiatan seperti pada Tabel 24. Tabel 24. Luas Pemanfaatan Optimal Kawasan G.Sulat-G.Lawang Kesesuaian Lahan kawasan konservasi laut Luas Area (ha) Persentase (%) Zona inti 193,83 6,20 Zona Pemanfaatan Terbatas - Wisata selam - Wisata Snorkeling - Wisata Mangrove - Perikanan Karang Zona Lainnya - Zona Perlindungan - Zona Rehabilitasi - Perairan lain 10,80 9,30 23,40 97,20 987,60 93, ,34 0,02 0,74 2,96 31,57 2,98 55,20 Total 3.166,92 100,00 Sumber : hasil olah data primer, 2010 Hasil analisis terhadap basis model pengelolaan kawasan konservasi G.Sulat-G.Lawang dan simulasi kondisi sampai 20 tahun ke depan disajikan pada Gambar 35 berikut : 1 : D D K A R A N G 2 : D D M a n g ro v e 3 : D D E K O N O M I 4 : D D S O S I A L 5 : P o p W is m a n 1 : : : : : : : : : : : : : : : P a g e 1 Y e a rs 3 : J u n Gambar 35 Kondisi Sumberdaya pada pengelolaan kondisi optimum

138 133 Hasil simulasi skenario 2 memperlihatkan implikasi skenario optimum dari terintegrasi tiga dimensi adalah daya dukung terumbu karang dan mangrove, upaya konservasi sumberdaya dan infrastruktur. Peningkatan kunjungan wisatawan terkait dengan penggunaan dana konservasi, peningkatan upah dan harga produk wisata, kenyamanan masyarakat dan perbaikan infrastruktur penunjang kegiatan ekowisata akan meningkatkan jumlah wisatawan sampai mencapai daya dukung. Secara umum, atribut yang berpengaruh dalam peningkatan kunjungan wisatawan adalah kenyamanan berwisata bagi wisatawan dan sumber nafkah bagi masyarakat lokal. Selain itu, efektivitas penggunaan dana konservasi dapat meningkatkan luas kawasan obyek wisata secara langsung yang ditunjang oleh diversifikasi kegiatan ekowisata dan kualitas infrastruktur penunjang yang dimiliki. Gambar 36. Pemanfatan Ruang KK G.Sulat-G.Lawang pada kondisi Optimum

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan luas 49 307,19 km 2 memiliki potensi sumberdaya hayati laut yang tinggi. Luas laut 29 159,04 Km 2, sedangkan luas daratan meliputi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang

TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang 4 TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang Ruang (space) dalam ilmu geografi didefinisikan sebagai seluruh permukaan bumi yang merupakan lapisan biosfer, tempat hidup tumbuhan, hewan dan manusia (Jayadinata

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau-pulau kecil memiliki potensi pembangunan yang besar karena didukung oleh letaknya yang strategis dari aspek ekonomi, pertahanan dan keamanan serta adanya ekosistem

Lebih terperinci

KRITERIA KAWASAN KONSERVASI. Fredinan Yulianda, 2010

KRITERIA KAWASAN KONSERVASI. Fredinan Yulianda, 2010 KRITERIA KAWASAN KONSERVASI Fredinan Yulianda, 2010 PENETAPAN FUNGSI KAWASAN Tiga kriteria konservasi bagi perlindungan jenis dan komunitas: Kekhasan Perlindungan, Pengawetan & Pemanfaatan Keterancaman

Lebih terperinci

3. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

3. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 3. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 3.1 Kerangka Pemikiran Pembangunan pulau kecil menjadi kasus khusus disebabkan keterbatasan yang dimilikinya seperti sumberdaya alam, ekonomi dan kebudayaannya. Hal

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil.

2. TINJAUAN PUSTAKA Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil. 10 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil. Beller et al. (1990) mendefinisikan Pulau Kecil sebagai pulau dengan luas < 10.000 km 2 dan mempunyai penduduk < 500.000 jiwa. Fakland (1991)

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Natuna memiliki potensi sumberdaya perairan yang cukup tinggi karena memiliki berbagai ekosistem laut dangkal yang merupakan tempat hidup dan memijah ikan-ikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar yang diperkirakan memiliki kurang lebih 17 504 pulau (DKP 2007), dan sebagian besar diantaranya adalah pulau-pulau kecil

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di Dunia, yang terdiri dari 17.508 pulau dan garis pantai sepanjang 95.181 km (terpanjang ke empat di Dunia setelah Canada,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 101111111111105 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki sumberdaya alam hayati laut yang potensial seperti sumberdaya terumbu karang. Berdasarkan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia yang merupakan pusat dari segitiga terumbu karang (coral triangle), memiliki keanekaragaman hayati tertinggi di dunia (megabiodiversity). Terumbu karang memiliki

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Tual adalah salah satu kota kepulauan yang ada di Provinsi Maluku dengan potensi sumberdaya kelautan dan perikanan yang cukup melimpah serta potensi pariwisata yang

Lebih terperinci

Oleh: Ir. Agus Dermawan, M.Si. Direktur Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan

Oleh: Ir. Agus Dermawan, M.Si. Direktur Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan Oleh: Ir. Agus Dermawan, M.Si. Direktur Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan DIREKTORAT KONSERVASI KAWASAN DAN JENIS IKAN DIREKTORAT JENDERAL KELAUTAN, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL KEMENTERIAN KELAUTAN DAN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan adanya kecenderungan menipis (data FAO, 2000) terutama produksi perikanan tangkap dunia diperkirakan hanya

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang selain merupakan sumber alam yang penting artinya bagi

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu bentuk pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan adalah melalui pengembangan kegiatan wisata bahari. Berbicara wisata bahari, berarti kita berbicara tentang

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.30/MEN/2010 TENTANG RENCANA PENGELOLAAN DAN ZONASI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.30/MEN/2010 TENTANG RENCANA PENGELOLAAN DAN ZONASI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.30/MEN/2010 TENTANG RENCANA PENGELOLAAN DAN ZONASI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengembangan pulau pulau kecil merupakan arah kebijakan baru nasional dibidang kelautan. Berawal dari munculnya Peraturan Presiden No. 78 tahun 2005 tentang Pengelolaan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pulau-Pulau Kecil 2.1.1 Karakteristik Pulau-Pulau Kecil Definisi pulau menurut UNCLOS (1982) dalam Jaelani dkk (2012) adalah daratan yang terbentuk secara alami, dikelilingi

Lebih terperinci

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI Indikator Perkuliahan Menjelaskan kawasan yang dilindungi Menjelaskan klasifikasi kawasan yang dilindungi Menjelaskan pendekatan spesies Menjelaskan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan, memiliki 18 306 pulau dengan garis pantai sepanjang 106 000 km (Sulistiyo 2002). Ini merupakan kawasan pesisir terpanjang kedua

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir dan laut merupakan daerah dengan karateristik khas dan bersifat dinamis dimana terjadi interaksi baik secara fisik, ekologi, sosial dan ekonomi, sehingga

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Indonesia merupakan negara maritim dengan garis pantai sepanjang 81.290 km dan luas laut termasuk Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas 5,8 juta km 2 (Dahuri et al. 2002).

Lebih terperinci

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 32 TAHUN 1990 (32/1990) Tanggal : 25 JULI 1990 (JAKARTA) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang dan asosiasi biota penghuninya secara biologi, sosial ekonomi, keilmuan dan keindahan, nilainya telah diakui secara luas (Smith 1978; Salm & Kenchington

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah teritorial Indonesia yang sebagian besar merupakan wilayah pesisir dan laut kaya akan sumber daya alam. Sumber daya alam ini berpotensi untuk dimanfaatkan bagi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut Menurut UU No. 26 tahun 2007, ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara,

Lebih terperinci

Ir. Agus Dermawan, MSi -DIREKTUR KONSERVASI DAN TAMAN NASIONAL LAUT-

Ir. Agus Dermawan, MSi -DIREKTUR KONSERVASI DAN TAMAN NASIONAL LAUT- Ir. Agus Dermawan, MSi -DIREKTUR KONSERVASI DAN TAMAN NASIONAL LAUT- Direktorat Konservasi dan Taman Nasional laut Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Kementerian Kelautan dan Perikanan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 14 TAHUN 2006

PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 14 TAHUN 2006 PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 14 TAHUN 2006 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI LAUT DAERAH DAN PENATAAN FUNGSI PULAU BIAWAK, GOSONG DAN PULAU CANDIKIAN Menimbang : a. DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Wilayah pesisir pulau kecil pada umumnya memiliki panorama yang indah untuk dapat dijadikan sebagai obyek wisata yang menarik dan menguntungkan, seperti pantai pasir putih, ekosistem

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pariwisata Pulau-Pulau Kecil Konsep Wisata Bahari

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pariwisata Pulau-Pulau Kecil Konsep Wisata Bahari 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pariwisata Pulau-Pulau Kecil 2.1.1. Konsep Wisata Bahari Salah satu pemanfaatan pulau kecil yang berpotensi dikembangkan adalah pemanfaatan untuk pariwisata. Agar ekosistem pulau-pulau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. positif yang cukup tinggi terhadap pendapatan negara dan daerah (Taslim. 2013).

BAB I PENDAHULUAN. positif yang cukup tinggi terhadap pendapatan negara dan daerah (Taslim. 2013). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pariwisata memiliki peran yang semakin penting dan memiliki dampak positif yang cukup tinggi terhadap pendapatan negara dan daerah (Taslim. 2013). Dengan adanya misi

Lebih terperinci

Kawasan Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil

Kawasan Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Kebijakan dan Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil DISAMPAIKAN OLEH Ir. Agus Dermawan, M.Si DIREKTUR KONSERVASI DAN TAMAN NASIONAL LAUT SEKOLAH TINGGI PERIKANAN JAKARTA,

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem terumbu karang mempunyai keanekaragaman biologi yang tinggi dan berfungsi sebagai tempat memijah, mencari makan, daerah pengasuhan dan berlindung bagi berbagai

Lebih terperinci

MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.33/MEN/2002 TENTANG ZONASI WILAYAH PESISIR DAN LAUT UNTUK KEGIATAN PENGUSAHAAN PASIR LAUT

MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.33/MEN/2002 TENTANG ZONASI WILAYAH PESISIR DAN LAUT UNTUK KEGIATAN PENGUSAHAAN PASIR LAUT KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.33/MEN/2002 TENTANG ZONASI WILAYAH PESISIR DAN LAUT UNTUK KEGIATAN PENGUSAHAAN PASIR LAUT MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan atau negara maritim terbesar di dunia. Berdasarkan publikasi yang ada mempunyai 17.504 pulau dengan garis pantai sepanjang

Lebih terperinci

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR Oleh: HERIASMAN L2D300363 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK

Lebih terperinci

PENANGANAN TERPADU DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DI WILAYAH PESISIR, LAUTAN DAN PULAU

PENANGANAN TERPADU DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DI WILAYAH PESISIR, LAUTAN DAN PULAU PENANGANAN TERPADU DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DI WILAYAH PESISIR, LAUTAN DAN PULAU Zonasi Wilayah Pesisir dan Lautan PESISIR Wilayah pesisir adalah hamparan kering dan ruangan lautan (air dan lahan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan, telah dikenal memiliki kekayaan alam, flora dan fauna yang sangat tinggi. Kekayaan alam ini, hampir merata terdapat di seluruh wilayah

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Eksploitasi sumberdaya pesisir dan laut dalam dekade terakhir ini menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat, bahkan telah mendekati kondisi yang membahayakan kelestarian

Lebih terperinci

KAJIAN PROSPEK DAN ARAHAN PENGEMBANGAN ATRAKSI WISATA KEPULAUAN KARIMUNJAWA DALAM PERSPEKTIF KONSERVASI TUGAS AKHIR (TKP 481)

KAJIAN PROSPEK DAN ARAHAN PENGEMBANGAN ATRAKSI WISATA KEPULAUAN KARIMUNJAWA DALAM PERSPEKTIF KONSERVASI TUGAS AKHIR (TKP 481) KAJIAN PROSPEK DAN ARAHAN PENGEMBANGAN ATRAKSI WISATA KEPULAUAN KARIMUNJAWA DALAM PERSPEKTIF KONSERVASI TUGAS AKHIR (TKP 481) Oleh : GITA ALFA ARSYADHA L2D 097 444 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA

Lebih terperinci

PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL. SUKANDAR, IR, MP, IPM

PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL. SUKANDAR, IR, MP, IPM PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL SUKANDAR, IR, MP, IPM (081334773989/cak.kdr@gmail.com) Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Sebagai DaerahPeralihan antara Daratan dan Laut 12 mil laut

Lebih terperinci

6 PEMBAHASAN 6.1 Dukungan Potensi Sumberdaya Hayati Laut dan Ekosistemnya

6 PEMBAHASAN 6.1 Dukungan Potensi Sumberdaya Hayati Laut dan Ekosistemnya 6 PEMBAHASAN 6.1 Dukungan Potensi Sumberdaya Hayati Laut dan Ekosistemnya Salah satu parameter yang berpengaruh bagi pengembangan kawasan konservasi laut adalah kandungan potensi kekayaan bawah laut yang

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dan terletak di garis khatulistiwa dengan luas daratan 1.910.931,32 km 2 dan memiliki 17.504 pulau (Badan Pusat Statistik 2012). Hal

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU MENTERI KEHUTANAN,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagai sebuah negara yang sebagian besar wilayahnya terdiri atas lautan, Indonesia memiliki potensi sumberdaya perikanan yang potensial untuk dikembangkan sebagai salah

Lebih terperinci

dan (3) pemanfaatan berkelanjutan. Keharmonisan spasial mensyaratkan bahwa dalam suatu wilayah pembangunan, hendaknya tidak seluruhnya diperuntukkan

dan (3) pemanfaatan berkelanjutan. Keharmonisan spasial mensyaratkan bahwa dalam suatu wilayah pembangunan, hendaknya tidak seluruhnya diperuntukkan KERANGKA PEMIKIRAN Dasar teori yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada konsep pembangunan berkelanjutan, yaitu konsep pengelolaan dan konservasi berbasis sumberdaya alam serta orientasi perubahan

Lebih terperinci

DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN DIREKTORAT JENDERAL KELAUTAN, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DIREKTORAT KONSERVASI DAN TAMAN NASIONAL LAUT

DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN DIREKTORAT JENDERAL KELAUTAN, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DIREKTORAT KONSERVASI DAN TAMAN NASIONAL LAUT DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN DIREKTORAT JENDERAL KELAUTAN, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DIREKTORAT KONSERVASI DAN TAMAN NASIONAL LAUT POTENSI SUMBER DAYA HAYATI KELAUTAN DAN PERIKANAN INDONESIA 17.480

Lebih terperinci

92 pulau terluar. overfishing. 12 bioekoregion 11 WPP. Ancaman kerusakan sumberdaya ISU PERMASALAHAN SECARA UMUM

92 pulau terluar. overfishing. 12 bioekoregion 11 WPP. Ancaman kerusakan sumberdaya ISU PERMASALAHAN SECARA UMUM ISU PERMASALAHAN SECARA UMUM Indonesia diposisi silang samudera dan benua 92 pulau terluar overfishing PENCEMARAN KEMISKINAN Ancaman kerusakan sumberdaya 12 bioekoregion 11 WPP PETA TINGKAT EKSPLORASI

Lebih terperinci

RENCANA AKSI KEBIJAKAN KELAUTAN INDONESIA

RENCANA AKSI KEBIJAKAN KELAUTAN INDONESIA Lampiran Surat Nomor: Tanggal: RENCANA AKSI KEBIJAKAN KELAUTAN INDONESIA 2016 2019 PENANGGUNGJAWAB: KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN NO. SASARAN TARGET/ A. BATAS MARITIM, RUANG LAUT, DAN DIPLOMASI

Lebih terperinci

OLEH : DIREKTUR KONSERVASI KAWASAN DAN JENIS IKAN DITJEN KELAUTAN, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN JAKARTA, SEPTEMBER

OLEH : DIREKTUR KONSERVASI KAWASAN DAN JENIS IKAN DITJEN KELAUTAN, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN JAKARTA, SEPTEMBER OLEH : DIREKTUR KONSERVASI KAWASAN DAN JENIS IKAN DITJEN KELAUTAN, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN JAKARTA, SEPTEMBER 2010 Mandat Pengelolaan dan Konservasi SDI Dasar Hukum

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.02/MEN/2009 TENTANG TATA CARA PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.02/MEN/2009 TENTANG TATA CARA PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.02/MEN/2009 TENTANG TATA CARA PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

Lebih terperinci

VOLUNTARY NATIONAL REVIEW (VNR) TPB/SDGs TAHUN 2017 TUJUAN 14 EKOSISTEM LAUTAN

VOLUNTARY NATIONAL REVIEW (VNR) TPB/SDGs TAHUN 2017 TUJUAN 14 EKOSISTEM LAUTAN VOLUNTARY NATIONAL REVIEW (VNR) TPB/SDGs TAHUN 2017 TUJUAN 14 EKOSISTEM LAUTAN Voluntary National Review (VNR) untuk Tujuan 14 menyajikan indikator mengenai rencana tata ruang laut nasional, manajemen

Lebih terperinci

Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya

Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya 1 Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya PENDAHULUAN Wilayah pesisir merupakan ruang pertemuan antara daratan dan lautan, karenanya wilayah ini merupakan suatu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

I. PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara 88 I. PENDAHULUAN Kawasan pesisir memerlukan perlindungan dan pengelolaan yang tepat dan terarah. Keseimbangan aspek ekonomi, sosial dan lingkungan hidup menjadi tujuan akhir yang berkelanjutan. Telah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, terdiri dari lebih 17.000 buah pulau besar dan kecil, dengan panjang garis pantai mencapai hampir

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan merupakan sumberdaya alam anugerah Tuhan Yang Maha Kuasa yang tidak terhingga nilainya bagi seluruh umat manusia. Sebagai anugerah, hutan mempunyai nilai filosofi yang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Pulau Madura merupakan wilayah dengan luas 15.250 km 2 yang secara geografis terpisah dari Pulau Jawa dan dikelilingi oleh selat Madura dan laut Jawa. Sebagai kawasan yang

Lebih terperinci

Definisi dan Batasan Wilayah Pesisir

Definisi dan Batasan Wilayah Pesisir Definisi dan Batasan Wilayah Pesisir Daerah peralihan (interface area) antara ekosistem daratan dan laut. Batas ke arah darat: Ekologis: kawasan yang masih dipengaruhi oleh proses-proses laut seperti pasang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan di daerah tropika yang terdiri dari 17.504 buah pulau (28 pulau besar dan 17.476 pulau kecil) dengan panjang garis pantai sekitar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Potensi geografis yang dimiliki Indonesia berpengaruh terhadap pembangunan bangsa dan negara. Data Kementerian Kelautan dan Perikanan tahun 2011 menunjukkan bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut. Menurut Suprihayono (2007) wilayah pesisir merupakan wilayah pertemuan antara daratan dan laut,

Lebih terperinci

19 Oktober Ema Umilia

19 Oktober Ema Umilia 19 Oktober 2011 Oleh Ema Umilia Ketentuan teknis dalam perencanaan kawasan lindung dalam perencanaan wilayah Keputusan Presiden No. 32 Th Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Kawasan Lindung

Lebih terperinci

Keputusan Kepala Bapedal No. 56 Tahun 1994 Tentang : Pedoman Mengenai Dampak Penting

Keputusan Kepala Bapedal No. 56 Tahun 1994 Tentang : Pedoman Mengenai Dampak Penting Keputusan Kepala Bapedal No. 56 Tahun 1994 Tentang : Pedoman Mengenai Dampak Penting Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Menimbang : Bahwa untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun

Lebih terperinci

VIII PENGELOLAAN EKOSISTEM LAMUN PULAU WAIDOBA

VIII PENGELOLAAN EKOSISTEM LAMUN PULAU WAIDOBA 73 VIII PENGELOLAAN EKOSISTEM LAMUN PULAU WAIDOBA Pengelolaan ekosistem wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Kecamatan Kayoa saat ini baru merupakan isu-isu pengelolaan oleh pemerintah daerah, baik

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengembangan pulau-pulau kecil (PPK) di Indonesia masih belum mendapatkan perhatian yang cukup besar dari pemerintah. Banyak PPK yang kurang optimal pemanfaatannya.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang merupakan bagian dari ekosistem laut yang penting dan memiliki peran strategis bagi pembangunan Indonesia saat ini dan dimasa mendatang. Indonesia

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Isu konservasi sumberdaya hayati menjadi salah satu bagian yang dibahas dalam Agenda 21 pada KTT Bumi yang diselenggarakan di Brazil tahun 1992. Indonesia menindaklanjutinya

Lebih terperinci

PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI

PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI Oleh Pengampu : Ja Posman Napitu : Prof. Dr.Djoko Marsono,M.Sc Program Studi : Konservasi Sumberdaya Alam Dan Lingkungan Sekolah Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada Jogjakarta,

Lebih terperinci

ARAHAN PENGEMBANGAN KAWASAN TAMAN HUTAN RAYA NGARGOYOSO SEBAGAI OBYEK WISATA ALAM BERDASARKAN POTENSI DAN PRIORITAS PENGEMBANGANNYA TUGAS AKHIR

ARAHAN PENGEMBANGAN KAWASAN TAMAN HUTAN RAYA NGARGOYOSO SEBAGAI OBYEK WISATA ALAM BERDASARKAN POTENSI DAN PRIORITAS PENGEMBANGANNYA TUGAS AKHIR ARAHAN PENGEMBANGAN KAWASAN TAMAN HUTAN RAYA NGARGOYOSO SEBAGAI OBYEK WISATA ALAM BERDASARKAN POTENSI DAN PRIORITAS PENGEMBANGANNYA TUGAS AKHIR Oleh : AGUSTINA RATRI HENDROWATI L2D 097 422 JURUSAN PERENCANAAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Provinsi Nusa Tenggara Barat terdiri dari dua pulau besar, yaitu Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa serta dikelilingi oleh ratusan pulau-pulau kecil yang disebut Gili (dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dalam bentuk negara

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dalam bentuk negara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dalam bentuk negara kepulauan yang memiliki sekitar 17.508 pulau dan panjang garis pantai lebih dari 81.000

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang merupakan salah satu ekosistem di wilayah pesisir yang kompleks, unik dan indah serta mempunyai fungsi biologi, ekologi dan ekonomi. Dari fungsi-fungsi tersebut,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. besar sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil, disisi lain masyarakat yang sebagian

BAB I PENDAHULUAN. besar sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil, disisi lain masyarakat yang sebagian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu Negara kepulauan, yang memiliki potensi besar sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil, disisi lain masyarakat yang sebagian besar bertempat

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Ecotouris, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi ekowisata. Ada

TINJAUAN PUSTAKA. Ecotouris, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi ekowisata. Ada TINJAUAN PUSTAKA Ekowisata Ecotouris, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi ekowisata. Ada juga yang menterjemahkan sebagai ekowisata atau wisata-ekologi. Menurut Pendit (1999) ekowisata terdiri

Lebih terperinci

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG PENCADANGAN KAWASAN TERUMBU KARANG PASIR PUTIH SEBAGAI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN SITUBONDO BUPATI SITUBONDO, Menimbang

Lebih terperinci

berbagai macam sumberdaya yang ada di wilayah pesisir tersebut. Dengan melakukan pengelompokan (zonasi) tipologi pesisir dari aspek fisik lahan

berbagai macam sumberdaya yang ada di wilayah pesisir tersebut. Dengan melakukan pengelompokan (zonasi) tipologi pesisir dari aspek fisik lahan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Indonesia adalah negara bahari dan negara kepulauan terbesar di dunia dengan keanekaragaman hayati laut terbesar (mega marine biodiversity) (Polunin, 1983).

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN KONSERVASI LAUT

PENGEMBANGAN KONSERVASI LAUT PENGEMBANGAN KONSERVASI LAUT (Mewujudkan Kawasan Suaka Perikanan Nasional Perairan Laut Sawu dan Sekitarnya) Direktur Konservasi dan Taman Nasional Laut Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau

Lebih terperinci

Konservasi Lingkungan. Lely Riawati

Konservasi Lingkungan. Lely Riawati 1 Konservasi Lingkungan Lely Riawati 2 Dasar Hukum Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber

Lebih terperinci

MANAGEMENT OF THE NATURAL RESOURCES OF SMALL ISLAND AROUND MALUKU PROVINCE

MANAGEMENT OF THE NATURAL RESOURCES OF SMALL ISLAND AROUND MALUKU PROVINCE MANAGEMENT OF THE NATURAL RESOURCES OF SMALL ISLAND AROUND MALUKU PROVINCE (Environmental Study of University of Pattimura) Memiliki 1.340 pulau Pulau kecil sebanyak 1.336 pulau Pulau besar (P. Seram,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang wilayah negara kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. masyarakat serta desakan otonomi daerah, menjadikan tuntutan dan akses masyarakat

I PENDAHULUAN. masyarakat serta desakan otonomi daerah, menjadikan tuntutan dan akses masyarakat I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seiring dengan laju pertumbuhan penduduk dan perubahan kondisi sosial masyarakat serta desakan otonomi daerah, menjadikan tuntutan dan akses masyarakat dalam pemanfaatan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. dan juga nursery ground. Mangrove juga berfungsi sebagai tempat penampung

PENDAHULUAN. dan juga nursery ground. Mangrove juga berfungsi sebagai tempat penampung PENDAHULUAN Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia kaya dan beranekaragam sumberdaya alam. Satu diantara sumberdaya alam di wilayah pesisir adalah ekosistem mangrove. Ekosistem mangrove merupakan ekosistem

Lebih terperinci

PRINSIP DASAR PENGELOLAAN KONSERVASI

PRINSIP DASAR PENGELOLAAN KONSERVASI PRINSIP DASAR PENGELOLAAN KONSERVASI Fredinan Yulianda, 2010 Lima prinsip dasar Pengelolaan Konservasi 1. Proses ekologis seharusnya dapat dikontrol 2. Tujuan dan sasaran hendaknya dibuat dari sistem pemahaman

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keberadaan pulau-pulau kecil yang walaupun cukup potensial namun notabene memiliki banyak keterbatasan, sudah mulai dilirik untuk dimanfaatkan seoptimal mungkin. Kondisi

Lebih terperinci

DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL PEDOMAN INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS MANGROVE

DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL PEDOMAN INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS MANGROVE DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL PEDOMAN INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS MANGROVE JAKARTA, MEI 2005 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekosistemnya. Pada Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi

BAB I PENDAHULUAN. ekosistemnya. Pada Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. oleh bangsa Indonesia dan tersebar di seluruh penjuru tanah air merupakan modal

BAB I PENDAHULUAN. oleh bangsa Indonesia dan tersebar di seluruh penjuru tanah air merupakan modal BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Potensi sumber daya alam hutan serta perairannya berupa flora, fauna dan ekosistem termasuk di dalamnya gejala alam dengan keindahan alam yang dimiliki oleh bangsa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perubahan iklim (Dudley, 2008). International Union for Conservation of Nature

BAB I PENDAHULUAN. perubahan iklim (Dudley, 2008). International Union for Conservation of Nature BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan konservasi mempunyai peran yang sangat besar terhadap perlindungan keanekaragaman hayati. Kawasan konservasi juga merupakan pilar dari hampir semua strategi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Selat Lembeh merupakan suatu kawasan khas yang terletak di wilayah Indonesia bagian timur tepatnya di Kota Bitung, Provinsi Sulawesi Utara dengan berbagai potensi sumberdaya

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA www.bpkp.go.id PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pulau Pombo merupakan salah satu Pulau di Provinsi Maluku yang ditetapkan sebagai kawasan konservasi sumber daya alam dengan kategori Kawasan Suaka Alam, dengan status

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ikan) yang cukup tinggi, namun jika dibandingkan dengan wilayah

BAB I PENDAHULUAN. ikan) yang cukup tinggi, namun jika dibandingkan dengan wilayah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai salah satu Kabupaten yang paling banyak memproduksi Ikan, komoditi perikanan di Kabupaten Kupang merupakan salah satu pendukung laju perekonomian masyarakat,

Lebih terperinci

Melestarikan habitat pesisir saat ini, untuk keuntungan di esok hari

Melestarikan habitat pesisir saat ini, untuk keuntungan di esok hari Melestarikan habitat pesisir saat ini, untuk keuntungan di esok hari Kesejahteraan masyarakat pesisir secara langsung terkait dengan kondisi habitat alami seperti pantai, terumbu karang, muara, hutan mangrove

Lebih terperinci

TINJAUAN ASPEK GEOGRAFIS TERHADAP KEBERADAAN PULAU JEMUR KABUPATEN ROKAN HILIR PROPINSI RIAU PADA WILAYAH PERBATASAN REPUBLIK INDONESIA - MALAYSIA

TINJAUAN ASPEK GEOGRAFIS TERHADAP KEBERADAAN PULAU JEMUR KABUPATEN ROKAN HILIR PROPINSI RIAU PADA WILAYAH PERBATASAN REPUBLIK INDONESIA - MALAYSIA TINJAUAN ASPEK GEOGRAFIS TERHADAP KEBERADAAN PULAU JEMUR KABUPATEN ROKAN HILIR PROPINSI RIAU PADA WILAYAH PERBATASAN REPUBLIK INDONESIA - MALAYSIA Tito Latif Indra, SSi, MSi Departemen Geografi FMIPA UI

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan jumlah pulau sebanyak 13.466 dan garis pantai sepanjang 95.18 km, memiliki potensi sumberdaya alam dan jasa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pendahuluan 1. Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pendahuluan 1. Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan sebagai sebuah ekosistem mempunyai berbagai fungsi penting dan strategis bagi kehidupan manusia. Beberapa fungsi utama dalam ekosistem sumber daya hutan adalah

Lebih terperinci