BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR"

Transkripsi

1 BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR A. Kajian Pustaka 1. Novel a. Pengertian Novel Novel merupakan salah satu jenis dari karya sastra fiksi berbentuk prosa. Prosa berasal dari kata orate provorsa yang berarti uraian langsung, cerita langsung, atau karya sastra yang menggunakan bahasa terurai. Hal itu tentu saja berbeda dengan puisi yang menggunakan bahasa yang dipadatkan maupun drama yang menggunakan bahasa dialog. Sedangkan fiksi berasal dari kata fictio yang berarti membentuk, membuat, atau mengadakan. Fiksi bisa juga diartikan sebagai hasil khayalan atau sesuatu yang sebenarnya tidak ada, merujuk dari kata asalnya fiction. Prosa melukiskan realita imajinatif karena imajinasi selalu terikat pada realitas, sedangkan realitas tak mungkin lepas dari imajinasi (Rokhmansyah, 2014: 31). Dalam cerita fiksi, pengarang mengolah dunia imajinasinya dengan dunia kenyataan yang dihadapi atau kenyataan sosial budaya. Pengalaman manusia yang dipaparkan adalah pengalaman manusia di sekitar penulis, sehingga oleh pembaca (pendengar) akan dihayati sebagai pengalaman mereka sendiri. Dunia yang dialami penulis cerita telah diolah oleh visi penulis tentang kehidupan (Brooks dalam Waluyo, 2011: 2). Sebutan novel berasal dari bahasa Itali novella yang berarti sebuah barang baru yang kecil dan kemudian diartikan sebagai cerita pendek dalam bentuk prosa (Abrams dalam Nurgiyantoro, 2012: 9). Novel sebagai sebuah karya fiksi menawarkan sebuah dunia, dunia yang berisi model kehidupan yang diidealkan, dunia imajiner yang dibangun melalui berbagai unsur intrinsiknya seperti peristiwa, plot, tokoh dan penokohan, latar, sudut pandang, dan lain-lain yang kesemuanya tentu saja juga bersifat imajiner. Waluyo (2011: 5) berpendapat bahwa secara etimologis, kata novel berasal dari novellus yang berarti baru. Jadi, sebenarnya memang novel adalah bentuk karya sastra cerita fiksi yang paling baru. 7

2 8 Sedangkan Tarigan (1993: 164) menyatakan bahwa novel adalah suatu cerita dengan suatu alur, cukup panjang mengisi satu buku atau lebih, yang menggarap kehidupan pria dan perempuan yang bersifat imajinatif. Novel menggambarkan kehidupan manusia secara luas dan diperoleh dari kehidupan pengarang itu sendiri maupun orang lain, baik dari lingkungan maupun masyarakat di sekitarnya. Melalui novel, pengarang menawarkan berbagai permasalahan manusia dan kemanusiaan, hidup dan kehidupan setelah menghayati berbagai permasalahan tersebut dengan penuh kesungguhan. Hasil penghayatan tersebut diungkapkannya melalui sarana fiksi atau prosa naratif yang bersifat imajinatif, namun biasanya mengandung kebenaran yang mendramatisasikan hubungan-hubungan antarmanusia. Karya sastra yang berupa novel pertama kali lahir di Inggris dengan judul Pamella yang terbit pada tahun Pada awalnya, novel Pamella merupakan bentuk catatan harian seorang pembantu rumah tangga yang kemudian berkembang mnejadi bentuk prosa fiksi yang kita kenal saat ini (Tarigan, 1993: 164). Novel dalam kesustraan Indonesia adalah novellet dalam sastra Inggris, sedangkan novel dalam sastra Inggris adalah roman dalam sastra Indonesia. Hal ini kadang sering membingungkan masyarakat dalam penyebutannya. Beberapa ahli teori sastra mengatakan bahwa novel mengungkapkan suatu konsentrasi kehidupan pada suatu saat yang tegang dan pemusatan kehidupan yang tegas, sedangkan roman menggambarkan kronik kehidupan yang lebih luas yang biasanya melukiskan peristiwa dari masa kanak-kanak sampai dewasa dan meninggal dunia (Semi, 1993: 32). Dalam penelitian ini, novel yang dimaksud oleh penulis adalah novellet dalam sastra Inggris. Adapun untuk panjangnya, Tarigan (1993: 165) lebih lanjut menjelaskan bahwa novel mengandung kata-kata berkisar antara buah, jikalau kita pukul ratakan sehalaman kertas kuarto jumlah barisnya ke bawah 35 buah dan jumlah katanya dalam satu baris 10 buah maka jumlah kata dalam satu halaman adalah 35x10 = 350 buah. Selanjutnya, dapat kita maklumi bahwa novel yang paling pendek itu harus terdiri minimal lebih dari 100 halaman. Lebih lanjut,

3 9 Tarigan mengutip pernyataan Brooks bahwa ciri-ciri novel antara lain: (1) novel bergantung pada tokoh; (2) novel menyajikan lebih dari satu impresi; (3) novel menyajikan lebih dari satu efek; dan (4) novel menyajikan lebih dari satu emosi. Nurgiyantoro (2012: 16) membedakan novel menjadi dua jenis, yakni novel populer dan novel serius. 1) Novel Popular Novel popular adalah novel yang popular pada masanya dan banyak penggemarnya, khususnya pembaca di kalangan remaja. Ia menampilkan masalah-masalah yang aktual dan selalu menzaman, namun hanya sampai tingkat permukaan. Novel popular tidak menampilkan permasalahan kehidupan secara lebih intens, tidak berusaha meresapi hakikat kehidupan. Sebab, jika demikian halnya, novel popular akan menjadi berat, berubah menjadi novel serius, dan boleh jadi akan ditinggalkan oleh pembacanya. Stanton (dalam Nurgiyantoro, 2012: 19) menjelaskan novel popular lebih mudah dibaca dan lebih mudah dinikmati karena ia memang semata-mata menyampaikan cerita. Ia tidak berpotensi mengejar efek estetis, melainkan memberikan hiburan langsung dari aksi ceritanya. Masalah yang diceritakan pun ringan-ringan, tetapi aktual dan menarik, yang terlihat hanya pada masalah yang itu-itu saja: cinta asmara dengan model kehidupan yang berbau mewah. Kisah percintaan antara pria tampan dan wanita cantik mampu membuai pembaca remaja yang memang sedang mengalami masa peka untuk itu dan barangkali dapat untuk sejenak melupakan kepahitan hidup yang dialaminya secara nyata. 2) Novel Serius Novel serius adalah novel yang tidak bersifat mengabdi kepada selera pembaca dan memang pembaca novel jenis ini lebih sedikit jika dibandingkan dengan pembaca novel populer. Novel serius berusaha mengungkapkan sesuatu yang baru dengan cara pengucapan yang juga baru. Novel serius mengambil realitas kehidupan ini sebagai model, kemudian menciptakan sebuah dunia baru lewat penampilan cerita dan tokoh-tokoh dalam situasi yang khusus. Novel ini menuntut aktivitas pembaca untuk mengoperasikan daya intelektualnya. Pembaca dituntut untuk ikut mengkonstruksi duduk persoalan masalah dan

4 10 hubungan antartokoh. Novel serius di samping memberikan hiburan, juga terimplisit tujuan memberikan pengalaman yang berharga kepada pembaca, atau paling tidak, mengajaknya untuk meresapi dan merenungkan secara lebih sungguh-sungguh tentang permasalahan yang dikemukakan. Dari penjabaran di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa novel merupakan prosa kompleks yang menghadirkan problematika kehidupan beberapa tokoh yang mengalami perubahan nasib dalam cerita. Novel menghadirkan perkembangan peristiwa, perkembangan dan perubahan watak tokoh, serta situasi yang rumit. b. Unsur Pembangun Novel Sebuah novel merupakan sebuah totalitas, suatu kemenyeluruhan yang bersifat artistik. Sebagai sebuah totalitas, novel mempunyai bagian-bagian, unsurunsur yang berkaitan satu dengan yang lain secara erat dan saling menguntungkan. Unsur pembangun novel yang membentuk totalitas itu secara tradisional dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yakni unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Unsur intrinsik yaitu unsur yang membangun karya sastra dari dalam karya sastra itu sendiri. Unsur-unsur inilah yang menyebabkan karya sastra hadir sebagai karya sastra, unsur-unsur yang secara faktual akan dijumpai jika orang membaca karya sastra. Sedangkan unsur ektrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra, tetapi secara tidak langsung memengaruhi bangunan atau sistem organisme karya sastra. Secara lebih khusus ia dapat dikatakan sebagai unsur-unsur yang memengaruhi jalinan cerita sebuah karya sastra, namun tidak ikut menjadi bagian di dalamnya. 1) Unsur Intrinsik a) Tema Setiap cerita fiksi mempunyai dasar atau tema yang merupakan sasaran tujuan. Tema adalah gagasan pokok dalam suatu cerita fiksi, termasuk novel. Kenney (dalam Waluyo, 2011: 7) menyebut tema sebagai the meaning of the story. Definisi ini dipandang Kenney kurang jelas dan operasional. Oleh karena itu, ia memberikan penjelasan dengan; Theme is not closely approach the meaning of the moral of the story, it is not the subject, it is not what people have

5 11 in mind when they speak of what the story really menas. Tema juga not what the story illustrate. Untuk membedakan tema dan amanat cerita, dapat dinyatakan bahwa tema bersifat objektif, lugas, dan khusus, sedangkan amanat cerita bersifat subjektif, kias, dan umum. Nurgiyantoro (2012: 68), mengatakan bahwa tema dapat dipandang sebagai dasar cerita atau gagasan dasar umum sebuah karya novel. Gagasan dasar umum inilah yang dipergunakan untuk mengembangkan cerita. Tema merupakan makna keseluruhan yang didukung cerita. Pada umumnya, tema tidak dilukiskan, paling tidak pelukisan yang secara langsung atau khusus. Eksistensi atau kehadiran tema terimplisit dan merasuki keseluruhan cerita dan inilah yang menyebabkan kecilnya kemungkinan pelukisan secara langsung tersebut. Hal inilah yang menyebabkan tidak mudahnya penafsiran tema. Stanton (dalam Nurgiyantoro, 2012: 87) menjelaskan dalam usaha menemukan dan menafsirkan tema sebuah novel secara lebih khusus dan rinci, ada sejumlah kriteria yang dapat diikuti seperti berikut. (1) Penafsiran tema sebuah novel hendaknya mempertimbangkan tiap detil cerita yang menonjol. (2) Penafsiran tema sebuah novel hendaknya tidak bersifat bertentangan dengan tiap detil cerita. (3) Penafsiran tema sebuah novel hendaknya tidak mendasarkan diri pada buktibukti yang tidak dinyatakan baik secara langsung maupun tak langsung dalam novel yang bersangkutan. (4) Penafsiran tema sebuah novel haruslah mendasarkan diri pada bukti-bukti yang secara langsung ada dan/atau yang disarankan dalam cerita. Adapun tema cerita dalam novel dapat diklasifikasikan menjadi lima jenis, yaitu: (1) tema yang bersifat fisik, menyangkut inti cerita yang bersangkut paut dengan kebutuhan fisik manusia, misalnya tentang cinta, perjuangan mencari nafkah, hubungan perdagangan, dan sebagainya; (2) tema organik, menyangkut hubungan antarmanusia, misalnya penipuan, masalah keluarga, problem politik, ekonomi, adat, tatacara, dan sebagainya; (3) tema sosial, berkaitan dengan problem kemasyarakatan; (4) tema egoik (reaksi pribadi), berkaitan dengan protes

6 12 pribadi kepada ketidakadilan, kekuasaan yang berlebihan, dan pertentangan individu; (5) tema divine (ketuhanan), menyangkut renungan yang bersifat religius hubungan manusia dengan sang Khalik. b) Penokohan dan Perwatakan Tokoh cerita (character) menurut Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2012: 165) adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif atau drama yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan. Adapun pemaknaan kepribadian tokoh dilakukan berdasarkan kata-kata (verbal) dan tingkah laku lain (nonverbal). Istilah penokohan pengertiannya lebih luas daripada tokoh dan perwatakan sebab ia sekaligus mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan, dan bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca. Tokoh dalam cerita menempati posisi strategis sebagai pembawa dan penyampai pesan, amanat, moral, atau sesuatu yang sengaja ingin disampaikan kepada pembaca. Waluyo (2011: 19-20) membagi tokoh menjadi beberapa bagian yakni: (1) tokoh protagonis, adalah tokoh yang mendukung jalannya cerita sebagai tokoh yang mendatangkan simpati atau tokoh baik; (2) tokoh antagonis, adalah tokoh yang menentang arus cerita atau yang menimbulkan perasaan antipati para diri pembaca; (3) tokoh sentral, adalah tokoh yang kemunculannya mendominasi dalam cerita; (4) tokoh bawahan atau tokoh sampingan, adalah tokoh yang dijadikan latar belakang dalam cerita; (5) tokoh wirawan, yang berarti tokoh penting (termasuk sentral) tetapi bukan tokoh protagonis dan antagonis. Lebih lanjut, Waluyo mengutip pendapat Shanon Ahmad yang membagi jenis tokoh atau watak menjadi dua, yakni tokoh bulat (round character) dan tokoh pipih (flat character). Tokoh bulat adalah tokoh yang berwatak unik dan tidak bersifat hitam putih.watak tokoh jenis ini tidak segera dapat ditafsirkan oleh pembaca karena pelukisan watak tidak sederhana. Setiap manusia ada unsut baik dan buruknya, ada unsur jahat dan baiknya, dan berbagai watak yang lainnya.

7 13 Sedangkan tokoh pipih adalah tokoh yang wataknya sederhana, tokoh jahat selalu jahat dan tokoh baik sempurna dengan kebaikannya tanpa cela. Dalam menggambarkan watak tokoh, pengarang mempertimbangkan tiga dimensi watak, yaitu dimensi psikis (kejiwaan), dimensi fisik (jasmaniah), dan dimensi sosiologis (latar belakang kekayaan, pangkat, dan jabatan). Watak dari segi psikis merupakan faktor utama yang terpenting dalam penggambran watak atau temperamen tokoh, apakah tokoh itu baik hati, penyabar, murah hati, dermawan, pemaaf, ataukah ia pemberang, sombong, pemarah, berhati jahat, pendengki, pendendam, garang, ganas, dan sebagainya. Watak dari segi fisiologis atau keadaan fisik dapat dikaitkan dengan umur, ciri fisik, penyakit, keadaan diri, dan sebagainya. Adapun watak dari segi sosiologis melukiskan suku, jenis kelamin, kekayaan, kelas sosial, pangkat/kedudukan, dan profesi atau pekerjaan. Teknik pelukisan tokoh dalam suatu karya sastra, Nurgiyantoro (2012: 195) menjelaskan ada dua teknik, yakni tenik ekspositori dan teknik dramatik. (1) Teknik Ekspositori (Teknik Analitis) Pelukisan tokoh cerita dengan teknik ini dilakukan dengan memberikan deskripsi, uraian, atau penjelasan secara langsung. Tokoh cerita hadir dan dihadirkan oleh pengarang ke hadapan pembaca secara tidak berbelit-belit, melainkan begitu saja dan langsung disertai deskripsi kediriannya yang mungkin berupa sikap, sifat, watak, tingkah laku, atau bahkan juga ciri fisiknya. Dalam suatu karya fiksi sering dijumpai informasi kedirian tokoh lebih dulu kita terima secara lengkap. Hal semacam ini biasanya terdapat pada tahap perkenalan. Pengarang tak hanya memperkenalkan latar dan suasana dalam rangka menyituasikan pembaca, melainkan juga data-data kedirian tokoh cerita. (2) Teknik Dramatik Penampilan tokoh cerita dalam teknik dramatik artinya mirip dengan yang ditampilkan pada drama, yakni dilakukan secara tidak langsung. Pengarang tidak mendeskripsikan secara eksplisit sifat dan sikap serta tingkah laku tokoh. Pengarang membiarkan para tokoh untuk menunjukkan kediriannya sendiri melalui berbagai aktivitas yang dilakukan, baik secara verbal lewat kata maupun nonverbal melalui tindakan atau tingkah laku dan juga melalui peristiwa yang

8 14 terjadi. Dalam karya fiksi yang baik, kata-kata, tingkah laku, dan kejadiankejadian yang diceritakan tak sekedar menunjukkan perkembangan plot saja, melainkan juga menunjukkan sifat kedirian masing-masing tokoh pelakunya. Dengan cerita itu, cerita akan menjadi efektif, berfungsi ganda, dan sekaligus menunjukkan keterkaitan yang erat antara berbagai unsur fiksi. Penggambaran tokoh secara dramatik dapat dilakukan dengan sejumlah teknik sebagai berikut. (a) Teknik cakapan Percakapan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh cerita biasanya juga dimaksudkan untuk menggambarkna sifat-sifat tokoh yang bersangkutan. (b) Teknik tingkah laku Teknik tingkah laku menyaran pada tindakan yang bersifat nonverbal (fisik). Apa yang dilakukan orang dalam wujud tindakan dan tingkah laku dapat dipandang sebagai reaksi tanggapan, sifat, dan sikap yang mencerminkan sifat-sifat kediriannya. (c) Teknik pikiran dan perasaan Pikiran, perasaan, dan apa yang dipikirkan serta dirasakan oleh tokoh dalam banyak hal akan mencerminkan sifat-sifat kediriannya. Bahkan pada hakikatnya, pikiran dan perasannyalah yang kemudian diejawantahkan menjadi tingkah laku verbal dan nonverbal. (d) Teknik arus kesadaran Arus kesadaran merupakan teknik narasi yang berusaha menangkap pandangan dan aliran proses mental tokoh, di mana tanggapan indera bercampur dengan kesadaran dan ketidaksadaran pikiran, perasaan, ingatan, harapan, dan asosiasi-asosiasi acak. (e) Teknik reaksi tokoh Teknik reaksi tokoh dimaksudkan sebagai reaksi tokoh terhadap suatu kejadian, masalah, keadaan, kata, sikap tingkah laku orang lain, dan sebagainya yang berupa rangsangan dari luar diri tokoh yang berangkutan. (f) Teknik reaksi tokoh lain

9 15 Reaksi tokoh-tokoh lain dimaksudkan sebagai reaksi yang diberikan tokoh lain terhadap tokoh utama atau tokoh yang dipelajari kediriannya yang berupa pandangan, pendapat, sikap, komentar, dan lain-lain. (g) Teknik pelukisan Suasana latar sekitar tokoh juga sering dipakai untuk melukiskan kediriannya. Pelukisan suasana latar dapat lebih mnegintensifkan sifat kedirian tokoh. (h) Teknik pelukisan fisik. Keadaan fisik seseorang sering berkaitan dengan keadaan kejiwaannya atau paling tidak pengarang sengaja mencari dan mneghubungkan adanya keterkaitan itu. Misalnya, bibir tipis menyaran pada sifat ceriwis dan bawel. Dalam sebuah karya fiksi, biasanya pengarang menggunakan berbagai teknik itu secara bergantian dan saling mengisi, walau ada perbedaan frekuensi penggunaan masing-maisng teknik. c) Alur/Plot Alur atau plot sering juga disebut kerangka cerita, yaitu jalinan cerita yang disusun dalam urutan waktu yang menunjukan hubungan sebab dan akibat serta memiliki kemungkinan agar pembaca menebak-nebak peristiwa yang akan datang. Dalam alur/plot dikenal istilah Law of Plot (Kenney dalam Waluyo, 2011: 15). Law of Plot terdiri dari plausibility, surprise, suspense, unity, subplot, dan ekspresi. Plausibility (kebolehjadian) artinya rangkaian cerita itu bukanlah khayalan semata, namun mungkin terjadi di dalam dunia nyata ini. Surprise (kejutan) artinya bahwa pembaca tidak dapat memperkirakan bagaimana rangkaian cerita itu terjadi, sehingga pembaca terus ingin mengikuti bagaimana jalan cerita berikutnya. Adapun suspense merangsang pembaca untuk mengikuti jalan cerita berikutnya karena daya tarik yang diciptakan pengarang. Selanjutnya adalah unity (kesatuan), artinya rangkaian kejadian yang disusun harus membentuk kesatuan yang padu. Subplot secara erat berhubungan dengan plot induknya, mungkin juga plot yang lainnya merupakan bagian cerita sebagai

10 16 penjelas. Sedangkan ekspresi artinya rangkaian kejadian haruslah diekspresikan dengan baik sehingga bermakna dalam cerita itu. Nurgiyantoro (2012: ) mengutip pernyataan Tasrif yang membedakan tahapan plot mnejadi lima bagian. Kelima tahapan itu adalah sebagai berikut. (1) Tahap Situation (Tahap Penyituasian) Tahap ini merupakan tahap pembukaan cerita, pemberian informasi awal, dan lain-lain yang terutama berfungsi untuk melandastumpui cerita yang dikisahkan pada tahap berikutnya. (2) Tahap Generating Circumtances (Tahap Pemunculan Konflik) Tahap ini merupakan tahap awal munculnya konflik. Konflik itu sendiri akan berkembang atau dikembangkan menjadi konflik-konflik pada tahap berikutnya. (3) Tahap Rising Action (Tahap Peningkatan Konflik) Pada tahap ini, konflik yang telah dimunculkan pada tahap sebelumnya semakin berkembang dan dikembangkan kadar intensitasnya. Peristiwaperistiwa dramatik yang menjadi inti cerita bersifat semakin mencengkam dan menegangkan. Konflik-konflik yang terjadi internal, eksternal, maupun keduanya, pertentangan-pertentangan, benturan-benturan antarkepentingan, masalah, dan tokoh yang mengarah ke klimaks semakin tak dapat dihindari. (4) Tahap Climax (Tahap Klimaks) Pada tahap ini, konflik atau pertentangan-pertentangan yang terjadi yang dialami tokoh pada cerita mencapai titik intensitas puncak. Klimaks sebuah cerita akan dialami oleh tokoh utama yang berperan sebagai pelaku dan penderita terjadinya konflik utama. (5) Tahap Denouement (Tahap Penyelesaian) Pada tahap ini, konflik yang telah mnecapai klimks diberi penyelesaian, ketegangan dikendorkan. Konflik-konflik yang lain, sub-subkonflik, atau konflik-konflik tambahan juga diberi jalan keluar sehingga cerita bisa diakhiri. Tahap ini bersesuaian dengan tahap akhir.

11 17 Pada prinsipnya, ada tiga jenis alur, yaitu (1) alur garis lurus atau alur progresif atau alur konvensional, (2) alur flashback atau alur sorot balik atau alur regresif, dan (3) alur campuran yang memakai alur garis lurus dan alur flashback sekaligus dalam ceita fiksi. d) Latar/Setting Latar/setting adalah aspek yang ada alam ceita yang berkaitan dengan waktu, tempat, suasana, fisik, sosiologis, dan aspek psikis. Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2012: 216) menyebut latar sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan. Latar memberikan pijakan cerita secara konkret dan jelas. Hal ini penting untuk memberikan kesan realistis kepada pembaca. Dengan demikian, pembaca merasa dipermudah untuk mengoperasikan daya imajinasinya. Fungsi setting adalah untuk mempertegas watak pelaku, memberikan tekanan pada tema cerita, memperjelas tema yang disampaikan, metafora bagi situasi psikis pelaku, sebagai pemberi atmosfer (kesan), dan memperkuat posisi plot. Setting berkaitan dengan pengadeganan, latar belakang, waktu cerita, dan waktu penceritaan. Nurgiyantoro membedakan latar ke dalam tiga unsur pokok, yaitu latar tempat, latar waktu, dan latar sosial. (1) Latar Tempat Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi.unsur tempat yang digunakan mungkin berupa tempat-tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu, mungkin juga lokasi tertentu tanpa nama yang jelas. (2) Latar Waktu Latar waktu berhubungan dengan masalah kapan terjadinya peristiwaperistiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah kapan tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah. Latar waktu juga

12 18 harus dikaitkan dengan latar tempat sebab pada kenyataannya memang saling berkaitan. (3) Latar Sosial Latar sosial menyaran pada hal-hal yang berkaitan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang cukup kompleks. Ia dapat berupa kebiasaan hidup, adatistiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, dan lain-lain. Latar sosial juga berhubungan dengan status sosial tokoh yang bersangkutan, misalnya rendah, menengah, atau atas. Dalam kaitannya dengan latar, terdapat istilah anakronisme, yakni ketidaksesuain urutan (perkembangan) waktu dalam sebuah cerita. Ketidaksesuaian antara waktu cerita dengan waktu sejarah biasanya berupa penggunaan dua waktu yang berbeda masa berlakunya dalam satu waktu pada sebuah karya fiksi. Penyebab anakronisme mungkin berupa masuknya waktu lampau ke dalam cerita yang berlatar waktu kini, atau sebaliknya masuknya waktu kini ke dalam cerita yang berlatar waktu lampau. e) Sudut Pandang (Point of View) Sudut pandang atau pusat pengisahan adalah tempat pencerita dalam hubungannya dengan cerita yang digunakan pengarang untuk melihat kejadian cerita secara utuh untuk memperoleh totalitas cerita. Sudut pandang (point of view) menyaran pada cara sebuah cerita dikisahkan. Ia merupakan cara atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca (Abrams dalam Nurgiyantoro, 2012: 248). Sudut pandang pada hakikatnya merupakan strategi, teknik, siasat yang secara sengaja dipilih pengarang untuk mengemukakan gagasan dan ceritanya. Shipley (dalam Waluyo, 2011: 25) menyebutkan ada 2 jenis sudut pandang, yaitu internal point of view dan external point of view. Internal point of view dibagi menjadi 4 macam, yaitu: (1) tokoh yang bercerita, (2) pencerita

13 19 menjadi salah seorang pelaku, (3) sudut pandang akuan, dan (4) pencerita sebagai tokoh sampingan dan bukan tokoh hero. Sedangkan external point of view dibagi menjadi 2 jenis, yakni gaya diaan dan penampilan gagasan dari luar tokohtokohnya. Adapun Nurgiyantoro memperjelas pendapart Shipley dengan membagi macam-macam jenis sudut pandang, menjadi 3 sebagai berikut. (1) Sudut Pandang Persona Ketiga: Dia Dalam pengisahan cerita yang menggunakan sudut pandang persona ketiga gaya dia, narator adalah seseorang yang berada di luar cerita yang menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut nama atau kata gantinya (ia, dia, mereka). Nama-nama tokoh cerita, khususnya yang utama terus menerus disebut sebagai variasi dalam penggunaan kata ganti. Sudut pandang dia dibedakan menjadi dua golongan berdasarkan tingkat kebebasan dan keterikatan pengarang terhadap bahan ceritanya, yakni dia mahatahu dan dia terbatas/dia sebagai pengamat. (a) Dia mahatahu Dalam sudut pandang ini, cerita dikisahkan dari sudut dia namun pengarang (narator) dapat menceritakan apa saja hal-hal yang menyangkut tokoh dia tersebut. Narator mengetahui segalanya, ia bersifat mahatahu (omniscient). Ia mengetahui berbagai hal tentang tokoh, peristiwa, dan tindakan, termasuk motivasi yang melatarbelakanginya. (b) Dia terbatas dan dia sebagai pengamat Dalam sudut pandang dia terbatas, seperti halnya dalam dia mahatahu, pengarang melukiskan apa yang dilihat, didengar, dialami, dipikir, dan dirasakan oleh tokoh cerita, namun terbatas hanya pada seorang tokoh saja. (2) Sudut Pandang Persona Pertama: Aku Dalam pengisahan cerita mneggunakan sudut pandang orang pertama aku, narator adalah seseorang yang ikut terlibat dalam cerita. Ia adalah si aku, tokoh yang berkisah, mengisahkan kesadaran dirinya sendiri, self consciousness, mengisahkan peristiwa dan tindakan yang diketahui, dilihat, didengar, dialami, dan dirasakan, serta sikapnya terhadap orang (tokoh) lain

14 20 kepada pembaca. Sudut pandang persona pertama dapat dibedakan ke dalam dua golongan berdasarkan peran dan kedudukan si aku dalam cerita, yakni aku sebagai tokoh utama dan aku sebagai tokoh tambahan. (a) Aku tokoh utama Dalam sudut pandang ini, si aku mengisahkan berbagai peristiwa dan tingkah laku yang dialaminya, baik yang bersifat batiniah dalam diri sendiri, maupun fisik hubungannya dengan sesuatu yang diluar dirinya. Si aku menjadi fokus, pusat kesadaran, dan pusat cerita. (b) Aku tokoh tambahan Dalam sudut pandang ini, tokoh aku muncul bukan sebagai tokoh utama, melainkan sebagai tokoh tambahan (first person peripheral). Tokoh aku hadir untuk membawakan cerita kepada pembaca, sedangkan tokoh cerita yang dikisahkan itu kemudian dibiarkan untuk mengisahkan sendiri berbagai pengalamannya. Dalam hal ini, tokoh aku hanya sebagai saksi. (3) Sudut pandang campuran Penggunaan sudut pandang yang bersifat campuran di dalam sebuah novel mungkin berupa penggunaan sudut pandang persona ketiga dengan teknik dia mahatahu dan dia sebagai pengamat atau persona pertama dengan teknik aku sebagai tokoh utama dan aku sebagai tokoh tambahan (saksi). f) Amanat Sebuah karya fiksi ditulis oleh pengarang untuk menawarkan model kehidupan yang diidealkan. Melalui cerita, sikap, dan tingkah laku tokoh-tokoh, pembaca diharapkan dapat mengambil hikmah dari pesan-pesan moral yang disampaikan dan diamanatkan. Moral dalam sastra dapat dipandang sebagai amanat, pesan, message (Nurgiyantoro, 2012: 322). Amanat biasanya memberikan manfaat dalam kehidupan secara praktis (Sudjiman, 1988: 4). Amanat merupakan sesuatu yang ingin disampaikan oleh pengarang kepada pembaca, merupakan makna yang terkandung dalam sebuah karya, yakni makna yang disarankan lewat cerita. Dalam sebuah novel, amanat

15 21 tersembunyi dalam cerita secara tersirat dan pembaca yang menyimpulkan amanat tersebut. Namun, ada juga yang disampaikan secara langsung dan terkesan ditonjolkan pengarang. Bentuk penyampaian pesan moral yang ditonjolkan secara langsung identik dengan cara pelukisan watak tokoh yang bersifat uraian, telling atau penjelasan expository. Sedangkan bentuk penyampaian pesan moral secara tak langsung sejalan dengan teknik ragam showing. Hal-hal yang ditampilkan dalam cerita adalah peristiwa-peristiwa, konflik, sikap, dan tingkah laku para tokoh dalam menghadapi peristiwa atau konflik itu, baik yang terlihat dalam tingkah laku verbal, fisik, maupun yang hanya terjadi dalam pikiran dan perasaannya. 2) Unsur Ekstrinsik a) Latar Sosial Budaya Latar sosial budaya dapat diketahui jika diketahui latar tempat dan waktu dalam suatu karya sastra. Latar sosial budaya yang mewakili kelompok masyarakat tertentu turut memengaruhi cerita novel. Novel yang ditulis oleh pengarang tidak lepas dari keadaan sosial budaya pengarang terhadap cerita yang disampaikan. Dengan menyampaikan cerita sesuai latar belakang pengarang akan terjadi kesinambungan cerita. b) Biografi Penulis Biografi dapat juga dianggap studi yang sistematis tentang psikologi pengarang dan proses kreatif. Berpijak dari pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa seseorang dapat menganalisis karya sastra menggunakan biografi pengarang sebagai salah satu sumber yang mendukung dan sumber yang dapat dipertanggungjawabkan.

16 22 2. Kajian Stilistika a. Pengertian Stilistika Stilitika adalah bidang kajian yang mempelajari dan memberikan deskripsi sistematis tentang gaya bahasa (Aminuddin, 1995: 3). Stilistika dalam penelitian bertujuan untuk menemukan bukti-bukti linguistik yang merupakan penggunaan gaya bahasa pengarang dalam karya sastra. Dengan bukti-bukti tersebut, selanjutnya dapat ditemukan adanya fungsi estetis dan kandungan maknanya. Sependapat dengan Aminuddin, Ratna (2009: 3) mengatakan bahwa stilistika (stylistic) adalah ilmu tentang gaya, sedangkan stil (style) adalah cara-cara yang khas bagaimana segala sesuatu diungkapkan dengan cara tertentu, sehingga tujuan yang dimaksudkan dapat dicapai secara maksimal. Pada mulanya, istilah style atau gaya bahasa lebih terbatas pada persoalan bahasa dalam karya sastra. Paling tidak, dibedakan antara gaya sastra dengan gaya nonsastra. Gaya nonsastra berhubungan dengan fungsi tertentu dan bersifat sosiologis, dapat berupa bahasa pergaulan resmi, bahasa ilmu, baahsa surat kabar, dan bahasa sehari-hari. Gaya style menurut Chapman dan Junus (dalam Al Ma ruf, 2009: 43) diartikan sebagai register yang lazim dibahas dalam Sosiolinguistik. Style ditandai oleh ciri-ciri formal kebahasaan seperti pilihan kata, struktur kalimat, bentuk-bentuk bahasa figuratif, penggunaan kohesi, dan lain-lain (Nurgiyantoro, 2012: 276). Keraf (2002: 113) berpendapat bahwa gaya bahasa merupakan cara pengungkapan pikiran melalui bahasa khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian pengarang. Mengkaji gaya bahasa memungkinkan pembaca untuk menilai pribadi, karakter, dan kemampuan pengarang yang menggunakan bahasa itu. Senada dengan pendapat di atas, Al-Ma ruf menyatakan bahwa style gaya bahasa adalah cara mengungkapkan gagasan dan perasaan dengan bahasa khas sesuai dengan kreativitas, kepribadian, dan karakter pengarang untuk mencapai efek tertentu, yakni efek estetik atau efek kepuitisan dan efek penciptaan makna. Gaya bahasa dalam karya sastra berhubungan erat dengan ideologi dan latar sosiokultural pengarangnya.

17 Adapun fungsi gaya bahasa dalam sebuah karya sastra sebenarnya memiliki banyak fungsi, antara lain sebagai alat untuk: 1) meninggikan selera, artinya dapat meningkatkan minat pembaca/pendengar untuk mengikuti apa yang disampaikan pengarang/pembicara; 2) memengaruhi atau meyakinkan pembaca/pendengar, artinya dapat membuat pembaca semakin yakin dan mantap terhadap apa yang disampaikan pengarang/pembicara; 3) menciptakan keadaan perasaan hati tertentu, artinya dapat membawa pembaca hanyut dalam suasana hati tertentu, seperti kesan baik atau buruk, perasaan dikemukakan pengarang; dan 4) memperkuat efek terhadap gagasan yang disampaikan pengarang dalam karya sastranya. Lebih lanjut, Junus juga mengatakan bahwa hakikat stilistika adalah studi mengenai pemakaian bahasa dalam karya sastra. Stilistika dipakai sebagai ilmu gabung, yakni linguistik dan ilmu sastra. Paling tidak, studi stilistika dilakukan oleh seorang linguis, tetapi menaruh perhatian terhadap sastra atau sebaliknya. Dalam aplikasinya, seorang linguis bekerja dengan menggunakan data pemakaian bahasa dalam karya sastra dengan melihat keistimewaan bahasa sastra. Dengan demikian, stilistika dapat dipahami sebagai aplikasi teori linguistik pada pemakaan bahasa dalam sastra. Al-Ma ruf (2009: 12) menjelaskan hakikat stilistika secara lebih lengkap sebagai berikut: Stilistika merupakan ilmu yang mengkaji wujud pemakaian bahasa dalam karya sastra yang meliputi seluruh pemberdayaan potensi bahasa, keunikan dan potensi bahasa serta gaya bunyi, pilihan kata, kalimat, wacana, citraan, hingga bahasa figuratif. Agar ranah kajian tidak terlalu luas, kajian stilistika lazim dibatasi pada karya sastra tertentu dengan memerhatikan preferensi penggunaan kata atau struktur bahasa, mengamati antarhubungan pilihan itu untuk mengidentifikasi ciri-ciri stilistika (stylistic feature) yang membedakan karya, pengarang, aliran, atau periode tertentu dengan karya, pengarang, aliran, atau periode lainnya. 23

18 24 Adapun tujuan kajian stilistika dalam kedudukannya sebagai teori dan pendekatan penelitian karya sastra yang berorientasi linguistik, Al-Ma ruf menjelaskan sebagai berikut. 1) Stilistika menghubungkan perhatian kritikus sastra dalam apresiasi estetik dengan perhatian linguis dalam deskripsi linguistik. 2) Stilistika menelaah bagaimana unsur-unsur bahasa ditempatkan dalam menghasilkan pesan-pesan aktual lewat pola-pola yang digunakan dalam sebuah karya sastra. 3) Stilistika menghubungkan intuisi-intuisi tentang makna-makna dengan polapola bahasa dalam teks (sastra) yang dianalisis. 4) Stilistika menuntun pemahaman yang lebih baik terhadap makna yang dikemukakan pengarang dalam karyanya dan memberikan apresiasi yang lebih terhadap kemampuan bersastra pengarangnya. 5) Stilistika untuk menemukan prinsip-prinsip artistik yang mendasari pemilihan bahasa seorang pengarang, sebab setiap penulis memiliki kualitas individual masing-masing. 6) Kajian stilistika akan menemukan kiat pengarang dalam memanfaatkan kemungkinan yang tersedia dalam bahasa sebagai sarana pengungkapan makna dan efek estetik bahasa. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa stilistika merupakan cabang ilmu yang mengkaji tentang penggunaan gaya bahasa oleh pengarang suatu karya sastra untuk menciptakan efek estetika sesuai kekhasan pengarang berdasarkan latar belakangnya yang bertujuan untuk mencari fungsi estetik karya sastra dan mencari bukti-bukti linguistik. b. Aspek-aspek Stilistika dalam Kajian Karya Sastra 1) Gaya Kata (diksi) Diksi adalah pilihan kata. Diksi dapat diartikan sebagai pilihan kata-kata yang dipilih oleh pengarang dalam karyanya guna menciptakan efek makna tertentu. Kata merupakan unsur bahasa yang esensial dalam karya sastra. Katakata yang dikombinasikan dengan kata-kata lain dalam berbagai variasi mampu

19 25 menggambarkan bermacam-macam ide, angan, dan perasaan. Dalam konteks ini pengertian denotasi dan konotasi tidak boleh diabaikan. Denotasi ialah arti lugas yang sesuai dengan kamus, sedangkan konotasi ialah arti kias yang diasosiasikan atau disarankannya (Al-Ma ruf: 2009: 49) Keraf (2002: 21) menjelaskan, kata merupakan suatu unit dalam bahasa yang memiliki stabilitas intern dan mobilitas posisional, yang berarti ia memiliki komposisi tertentu (entah fonologis maupun morfologis) dan memiliki distribusi yang bebas. Dalam kegiatan berkomunikasi, kata merupakan suatu jaringan untuk memahami apa yang dikatakan dari penutur kepada mitra tuturnya. Diksi bukan hanya dipergunakan untuk menyatakan kata mana yang perlu untuk mengungkapkan suatu gagasan, tetapi juga meliputi persoalan gaya bahasa, ungkapan-ungkapan, dan sebagainya. Gaya bahasa bertalian dengan ungkapanungkapan individual atau karakteristik tertentu yang memiliki nilai artistik yang tinggi. Dalam penciptaan karya sastra terdapat banyak diksi yang digunakan. Menurut Al-Maruf (2009: 53) diksi berupa kata konotatif, kata konkret, kata sapaan khas dan nama diri, kata serapan, kata asing, kata vulgar, dan kata dengan objek realitas alam. Penjelasan dari jenis kata-kata tersebut adalah sebagai berikut. a) Kata konotatif adalah kata yang mengandung makna komunikatif yang terlepas dari makna harfiahnya yang didasarkan atas perasaan dan/atau pikiran pengarang atau persepsi pengarang tentang sesuatu yang dibahasakan. b) Kata konkret ialah kata yang dapat dilukiskan dengan tepat. Kata konkret mengandung makna yang merujuk kepada pengertian langsung atau memiliki makna harfiah. Kata konkret bertujuan untuk membantu pembaca membayangkan secara jelas peristiwa atau keadaan yang dilukiskan pengarangnya. c) Kata khas nama diri (sapaan) adalah salah satu diksi yang menarik untuk dikaji dalam karya sastra, nama diartikan sebagai kata yang memiliki fungsi sebagai sebutan untuk penunjuk seseorang atau identitasnya. Nama diri berkaitan erat dengan sistem tanda atau lambang.

20 26 d) Kata serapan merupakan kata asing yang telah diserap menjadi kosakata bahasa Indonesia. Kata serapan adalah kata yang diambil atau dipungut dari bahasa lain, baik bahasa asing maupun basa daerah, baik mengalami adaptasi struktur, tulisan dan lafal, maupun tidak dan sudah dikategorikan sebagai kosakata bahasa Indonesia. e) Kata asing adalah kata yang berasal dari bahasa asing dan belum diserap ke dalam bahasa Indonesia. f) Kata vulgar adalah penyebutan secara ilmiah untuk kata yang kasar atau kata kampungan. Kata vulgar merupakan kata-kata yang tidak intelek, kurang beradab, dipandang tidak etis, dan melanggar sopan santun di kalangan masyarakat intelek dan terpelajar. Kata vulgar tabu untuk diucapkan di masyarakat. g) Kata dengan objek realitas alam adalah kata yang memanfaatkan realitas alam sebagai bentukan kata tertentu yang memiliki arti. 2) Gaya Kalimat (Sintaksis) Gaya kalimat ialah penggunaan suatu kalimat untuk memeroleh efek tertentu, misalnya inversi, gaya kalimat tanya, perintah, dan elips. Demikian pula karakteristik, panjang-pendek, struktur, dan proporsi sederhana-majemuknya termasuk gaya kalimat. Begitu juga dengan sarana retorika yang berupa kalimat hiperbola, paradoks, klimaks, antiklimaks, antitesis, dan koreksio (Pradopo dalam Al-Ma ruf, 2010: 36). Al-Ma ruf (2009: 58) menjelaskan bahwa sebuah gagasan atau pesan (struktur batin) dapat diungkapkan dalam berbagai bentuk kalimat (struktur lahir) yang berbeda-beda struktur dan kosakatanya. Hal itu karena dalam sastra, pengarang memiliki kebebasan penuh dalam mengkreasikan bahasa (licensia poetica) guna mencapai efek tertentu, adanya bentuk penyimpangan kebahasaan, termasuk penyimpangan struktur kalimat merupakan hal yang wajar. Penyiasatan struktur kalimat itu dapat bermacam-macam wujudnya, mungkin berupa pembalikan, pemendekan, pengulangan, penghilangan unsur tertentu, dan sebagainya. Ada pula penyimpangan kalimat seperti penggunaan konjungsi di

21 27 awal kalimat guna memperoleh efisiensi dan menekankan pesan tertentu. Semua itu dimaksudkan pengarang untuk mencapai efek estetis tertentu di samping juga untuk menekankan gagasan tertentu. Berdasarkan struktur kalimatnya, terdapat berbagai sarana retorika yang bisa digunakan pengarang dalam menulis karya sastra, antara lain sebagai berikut. a) Klimaks Gaya bahasa klimaks diturunkan dari kalimat yang bersifat periodik. Klimaks adalah semacam gaya bahasa yang mengandung urutan-urutan pikiran yang semakin meningkat kepentingannya dari gagasan-gagasan sebelumnya. Contoh: Sastrawan mempunyai waktu yang cukup panjang untuk memilih, merenungkan bahkan menciptakan cara-cara baru dan bentuk-bentuk tertentu dalam penyampaian maksudnya. Mereka juga mempunyai kebebasan yang luas untuk menyimpang dari tulisan biasa. b) Antiklimaks Antiklimaks adalah gaya bahasa yang merupakan acuan yang gagasangagasannya diurutkan dari yang terpenting berturut-turut ke gagasan yang kurang penting. Contoh: Ketua pengadilan negeri itu adalah seorang yang kaya, pendiam, dan tidak terkenal namanya. c) Paralelisme Paralesisme adalah gaya bahasa yang berusaha mencapai kesejajaran dalam pemakaian kata-kata atau frasa-frasa yang menduduki fungsi yang sama dalam bentuk gramatikal yang sama. Contoh: Bukan saja perbuatan KKN itu harus dikutuk, tetapi juga harus diberantas. d) Antitesis Antitesis adalah gaya bahasa yang mengandung gagasan-gagasan yang bertentangan dengan menggunakan kata-kata atau kelompok kata yang berlawanan. Contoh: Hingga kini kusimpan engkau mesra dalam lubuk hatiku, tetapi mulai kini engkau kuenyahkan jauh-jauh bagai musuh yang kejam.

22 28 e) Repetisi Repetisi adalah perulangan bunyi, suku kata, kata atau bagian kalimat yang dianggap penting untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai. Repetisi seperti halnya paralesisme dan antithesis, lahir dari kalimat yang berimbang. Contoh: Atau maukah kau pergi bersama serangga-serangga tanah, pergi bersama kecoak-kecoak, pergi bersama mereka yang menyusupi tanah, menyusupi alam? f) Aliterasi Aliterasi adalah semacam gaya bahasa yang berwujud perulangan konsonan yang sama. Biasanya digunakan dalam puisi, kadang-kadang dalam prosa, untuk perhiasan atau untuk penekanan. Contoh: Takut titik lalu tumpah. Keras-keras kerak kena air lembut juga. g) Asonansi Asonansi adalah semaca gaya bahasa yang berwujud perulangan bunyi vokal yang sama. Digunakan dalam puisi dan prosa untuk memperoleh efek penekanan atau sekedar keindahan. Contoh: Ini muka penuh luka siapa punya. Kura-kura dalam perahu, pura-pura tidak tahu. h) Anastrof (Inversi) Anastrof atau inversi adalah semacam gaya retoris yang diperoleh dengan pembalikan susunan kata yang biasa dalam kalimat. Contoh: Bersorak-sorak orang di tepi jalan memukul bermacam-macam bunyibunyian melalui gerbang dihiasi bunga dan panji berkibar. i) Apofasis atau Preterisio Apaofasis atau disebut juga preterisio merupakan sebuah gaya di mana penulis atau pengarang menegaskan sesuatu, tetapi tampaknya menyangkal. Berpura-pura membiarkan sesuatu berlalu, tetapi sebenarnya ia menekankan hal itu. Berpura-pura melindungi atau menyembunyikan sesuatu, tetapi sebenarnya memamerkannya. Contoh:

23 29 Saya tidak mau mnegungkapkan dalam forum ini bahwa saudara telah mneggelapkan ratusan juta rupiah uang negara. j) Apostrof Apostrof adalah semacam gaya yang berbentuk pengalihan amanat dari para hadirin kepada sesuatu yang tidak hadir. Cara ini biasanya digunakan oleh orator klasik. Dalam pidato yang disampaikan kepada semua massa, sang orator secara tiba-tiba mengarahkan pembicaraannya langsung kepada sesuatu yang tidak hadir, kepada mereka yang sudah meninggal, atau kepada barang atau objek khayalan atau sesuatu yang abstrak sehingga nampaknya ia tidak berbicara kepada hadirin. Contoh: Hai kamu semua yang menumpahkan darahmu untuk tanah air tercinta ini, berilah agar kami dapat mengenyam keadilan dan kemerdekaan seperti yang pernah kamu perjuangkan. k) Asidenton Asidenton adalah suatu gaya yang berupa acuan, bersifat padat dan mampat di mana beberapa kata, frasa, atau klausa yang sederajat tidak dihubungkan dengan kata sambung. Bentuk-bentuk itu biasanya dipisahkan saja dengan koma, seperti ucapan terkenal dari Julius Caesar: veni, vedi, vici, saya datang, saya lihat, saya menang. Perhatikan pula contoh berikut: Dan kesesakan, kepedihan, kesakitan, seribu derita detik-detik penghabisan orang melepaskan nyawa. l) Polisidenton Polisidenton adalah suatu gaya yang merupakan kebalikan dari asidenton. Bebeerapa kata, frasa, atau klausa yang berurutan dihubungkan satu sama lain dengan kata-kata sambung. Contoh: Dan ke manakah burung-burung yang gelisah dan tak berumah serta tak menyerah pada gelap dan dingin yang bakal merontokkan bulu-bulunya? m) Kiasmus Kiasmus (chiasmus) adalah semacam acuan atau gaya bahasa yang terdiri dari dua bagian, baik frasa atau klausa, yang sifatnya berimbang, dan

24 30 dipertentangkan satu sama lain, tetapi susunan frasa atau klausanya itu terbalik bila dibandingkan dengan frasa atau klausa lainnya. Contoh: Semua kesabaran kami sudah hilang, lenyap sudah ketekunan kami untuk melanjutkan usaha itu. n) Elipsis Elipsis adalah suatu gaya yang berwujud menghilangkan suatu unsur kalimat yang dengan mudah dapat diisi atau ditafsirkan sendiri oleh pembaca atau pendengar, sehingga struktur gramatika atau kalimatnya memenuhi pola yang berlaku. Contoh: Masih kau tidak percaya bahwa dari segi fisik engkau tak apa-apa, badanmu sehat; tetapi psikis o) Eufimisme Eufimisme atau eufifmismus diturunkan dari kata Yunani euphimizein yang berarti mempergunakan kata-kata dengan arti yang baik atau tujuan yang baik. Sebagai gaya bahasa, eufimisme adalah semacam acuan berupa ungkapan-ungkapan yang tidak menyinggung perasaan orang, atau ungkapanungkapan yang halus untuk menggantikan acuan-acuan yang mungkin dirasakan menghina, menyinggung perasaan atau menyugestikan sesuatu yang tidak menyenangkan. Contoh: Ayah sudah taka da di tengah-tengah mereka. (mati) Pikiran sehatnya semakin merosot saja akhir-akhir ini. (gila) Sayang sekali anak-anaknya tidak ada yang secerdas ayahnya. (bodoh) p) Litotes Litotes adalah semacam gaya bahasa yang dipakai untuk menyatakan sesuatu dengan tujuan merendahkan diri. Sesuatu hal dinyatakan kurang dari keadaan sebenarnya atau suatu pikiran yang dinyatakan dengan menyangkal lawan katanya. Contoh: Apa yang kami hadiahkan ini sebenarnya tidak ada artinya sama sekali bagimu. Hanya sejumlah ini yang mampu kami sumbangkan kepada warga di desa ini.

25 31 q) Histeron Proteron Histeron proteron atau biasa disebut juga hyperbaton adalah semacam gaya bahasa yang merupakan kebalikan dari sesuatu yang logis atau kebalikan dari sesuatu yang wajar, misalnya menempatkan sesuatu yang terjadi kemudian pada awal peristiwa. Contoh: Kereta melaju dengan cepat di depan kuda yang menariknya. Bila ia sudah berhasil mendaki karang terjal itu, sampailah ia di tepi pantai yang luas dan pasirnya yang putih. r) Pleonasme dan Tautologi Pada dasarnya pleonasme atau tautologi adalah acuan yang menggunakan kata-kata lebih banyak daripada yang diperlukan untuk menyatakan satu pikiran atau gagasan. Walaupun secara praktis kedua istilah itu disamakan saja, namun ada yang ingin membedakan keduanya. Suatu acuan disebut pleonasme bila kata yang berlebihan itu dihilangkan, artinya tetap utuh. Sebaliknya, acuan itu disebut tautologi kalau kata yang berlebihan itu sebenarnya mengandung perulangan dari sebuah kata yang lain. Contoh: Saya telah mendengar hal itu dengan telinga saya sendiri. (Pleonasme: semua acuan itu tetap utuh dengan makna yang sama walaupun dengan menghilangkan kata dengan telinga saya ) Ia tiba jam malam waktu setempat. (Tautologi: kata berlebihan itu sebenarmya mengulang kembali gagasan' yang sudah disebut sebelumnya, yaitu malam sudah tercakup dalam jam ) s) Perifrasis Perifrasis adalah gaya yang mirip dengan pleonasme, yaitu menggunakan kata lebih banyak dari yang diperlukan. Perbedaannya terletak dalam hal bahwa kata-kata berlebihan itu sebenarnya dapat diganti dengan satu kata saja. Contoh: Ia telah beristirahat dengan damai. (mati/meninggal) Jawaban dari permintaan saudara adalah tidak. (ditolak) t) Prolepsis atau Antisipasi

26 32 Prolepsis atau antisipasi adalah semacam gaya bahasa di mana orang menggunakan lebih dahulu kata-kata atau sebuah kata sebelum peristiwa atau gagasan sebenarnya terjadi. Misalnya dalam mendeskripsikan peristiwa pesawat terbang, sebelum sampai pada peristiwa kecelakaan itu sendiri, penulis sudah mempergunakan kata pesawat yang sial itu. Padahal kesialan itu baru terjadi kemudian. Contoh lain: Kedua orang itu bersama calon pembunuhnya segera meninggalkan tempat itu. Pada pagi yang naas itu, ia mengendarai sebuah sedan biru. u) Erotesis atau Pertanyaan Retoris Erotesis atau pertanyaan retoris adalah semacam pertanyaan yang digunakan dalam pidato atau tulisan dengan tujuan untuk mencapai efek yang lebih mendalam dan penekanan yang wajar, sama sekali tidak menghendaki adanya suatu jawaban. Gaya ini biasanya dipergunakan sebagai salah satu alat yang efektif oleh para orator. Dalam pertanyaan retoris terdapat asumsi bahwa hanya ada satu jawaban yang mungkin. Contoh: Rakyatkah yang harus menanggung akibat semua korupsi dan manipulasi di negara ini? v) Silepsis dan Zeugma Silepsis dan zeugma adalah gaya di mana orang menggunakan dua konstruksi rapatan dengan menghubungkan sebuah kata dengan dua kata lain yang sebenarnya hanya salah satunya yang mempunyai hubungan dengan kata pertama. Dalam silepsis, konstruksi yang digunakan itu secara gramatikal benar, tetapi secara semantik tidak benar. Contoh: Ia sudah kehilangan topi dan semangatnya. Konstruksi yang lengkap dalam kehilangan topi dan kehilangan semangat, yang satu memiliki makna denotasional, yang lain memiliki makna kiasan. Dalam zeugma, kata yang dipakai untuk membawahi kata berikutnya, sebenarnya hanya cocok untuk salah satu darinya, baik secara logis maupun secara gramatikal. Contoh:

27 33 Ia menundukkan kepala dan badannya untuk memberi hormat kepada kami. w) Koreksio atau Epanortesis Koreksio atau epanortesis adalah suatu gaya yang berwujud, mula-mula menegaskan sesuatu, tetapi kemudian memperbaikinya. Contoh: Sudah empat kali saya mengunjungi tempat itu, ah bukan, sudah lima kali. x) Hiperbola Hiperbola adalah semacam gaya bahasa yang mengandung suatu pernyataan yang berlebihan dengan membesar-besarkan suatu hal. Contoh: Suaranya keras mengguntur menguasai suasana rapat akbar itu. y) Paradoks Paradoks adalah semacam gaya bahasa yang mengandung pertentangan yang nyata dengan fakta-fakta yang ada. Paradoks dapat juga berarti semua hal yang menarik perhatian karena kebenarannya. Contoh: Ia mati kelaparan di tengah-tengah kekayaannya yang berlimpah-limpah. z) Oksimoron Oksimoron berasal dari kata okys yang berarti tajam dan moros yang berarti gila atau tolol. Oksimoron adalah suatu acuan yang berusaha untuk menggabungkan kata-kata untuk mencapai efek yang bertentangan. Dapat juga dikatakan, oksimoron adalah gaya bahasa yang mengandung pertentangan dengan mempergunakan kata-kata yang berlawanan dalam frasa yang sama, dan sebab itu sifatnya lebih padat dan tajam dari paradoks. Contoh: Itu sudah menjadi rahasia umum. 3) Gaya Wacana Unsur stilistika ketiga yang dikaji dalam karya sastra (novel) adalah gaya wacana. Wacana adalah satuan bahasa yang terlengkap dan tertinggi atau terbesar di atas kalimat atau klausa dengan koherensi dan kohesi tinggi yang berkesinambungan yang mempunyai awal dan akhir yang nyata, disampaikan secara lisan atau tertulis (Tarigan dalam Setiawan, 2006: 2). Wacana menyaran pada aturan-aturan dan kebiasaan-kebiasaan yang mendasari penggunaan bahasa,

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Pendekatan

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Pendekatan BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Pendekatan Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Pendekatan kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilakan penelitian data dan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. berjudul Citra Perempuan dalam Novel Hayuri karya Maria Etty, penelitian ini

BAB II LANDASAN TEORI. berjudul Citra Perempuan dalam Novel Hayuri karya Maria Etty, penelitian ini 12 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Penelitian Sejenis Penelitian lain yang membahas tentang Citra Perempuan adalah penelitian yang pertama dilakukan oleh Fitri Yuliastuti (2005) dalam penelitian yang berjudul

Lebih terperinci

MENU UTAMA UNSUR PROSA FIKSI PENGANTAR PROSA FIKSI MODERN

MENU UTAMA UNSUR PROSA FIKSI PENGANTAR PROSA FIKSI MODERN ENCEP KUSUMAH MENU UTAMA PENGANTAR PROSA FIKSI MODERN UNSUR PROSA FIKSI CERPEN NOVELET NOVEL GENRE SASTRA SASTRA nonimajinatif Puisi - esai - kritik - biografi - otobiografi - sejarah - memoar - catatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra adalah salah satu bentuk karya seni yang pada dasarnya merupakan sarana menuangkan ide atau gagasan seorang pengarang. Kehidupan manusia dan pelbagai

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat,

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat, BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Sosiologi dan Sastra Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat, sedangkan objek ilmu-ilmu kealaman adalah gejala alam. Masyarakat adalah

Lebih terperinci

intrinsiknya seperti peristiwa, plot, tokoh, latar, sudut pandang, dan lain-lain yang semuanya bersifat imajinatif. Novel adalah karya fiksi yang

intrinsiknya seperti peristiwa, plot, tokoh, latar, sudut pandang, dan lain-lain yang semuanya bersifat imajinatif. Novel adalah karya fiksi yang 1 PENDAHULUAN Karya sastra adalah salah satu bentuk karya seni yang pada dasarnya merupakan sarana menuangkan ide atau gagasan seorang pengarang. Kehidupan manusia dan berbagai masalah yang dihadapinya

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Nellasari Mokodenseho dan Dian Rahmasari. Untuk lebih jelasnya akan diuraikan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Nellasari Mokodenseho dan Dian Rahmasari. Untuk lebih jelasnya akan diuraikan BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Relevan Sebelumnya Dari beberapa penelusuran, tidak diperoleh kajian yang relevan sebelumnya dengan penelitian ini. Adapun penelitian yang hampir sama adalah penelitian

Lebih terperinci

BAHAN PELATIHAN PROSA FIKSI

BAHAN PELATIHAN PROSA FIKSI BAHAN PELATIHAN PROSA FIKSI Ma mur Saadie SASTRA GENRE SASTRA nonimajinatif - esai - kritik - biografi - otobiografi - sejarah - memoar - catatan harian Puisi imajinatif Prosa Fiksi Drama GENRE SASTRA

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kemampuan Menurut Moeliono (2002:701) kemampuan adalah kesanggupan, kecakapan, kekuatan. Selanjutnya Menurut Moenir (2001:16) kemampuan berasal dari kata dasar mampu yang jika

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Secara etimologis psikologi berasal dari bahasa Yunani Psyche dan logos.

BAB II LANDASAN TEORI. Secara etimologis psikologi berasal dari bahasa Yunani Psyche dan logos. 7 BAB II LANDASAN TEORI E. Pengertian Psikologi Secara etimologis psikologi berasal dari bahasa Yunani Psyche dan logos. Psyche artinya jiwa dan logos berarti ilmu. Dalam Bahasa Indonesia dikenal dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (fiction), wacana naratif (narrative discource), atau teks naratif (narrativetext).

BAB I PENDAHULUAN. (fiction), wacana naratif (narrative discource), atau teks naratif (narrativetext). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Karya sastra adalah sebuah karya imajiner yang bermedia bahasa dan memiliki nilai estetis. Karya sastra juga merupakan sarana untuk mengungkapkan ide, gagasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bahasa dan sastra memiliki hubungan yang erat. Kekuatan sastra berada pada kekuatan dan cara pengarang menggunakan bahasa. Melalui bahasa, seorang pengarang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pada jiwa pembaca. Karya sastra merupakan hasil dialog manusia dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. pada jiwa pembaca. Karya sastra merupakan hasil dialog manusia dengan 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra merupakan hasil imajinasi manusia yang dapat menimbulkan kesan pada jiwa pembaca. Karya sastra merupakan hasil dialog manusia dengan problematika yang

Lebih terperinci

RAGAM TULISAN KREATIF. Muhamad Husni Mubarok, S.Pd., M.IKom

RAGAM TULISAN KREATIF. Muhamad Husni Mubarok, S.Pd., M.IKom RAGAM TULISAN KREATIF C Muhamad Husni Mubarok, S.Pd., M.IKom HAKIKAT MENULIS Menulis merupakan salah satu dari empat aspek keterampilan berbahasa. Menulis merupakan kemampuan menggunakan pola-pola bahasa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Secara etimologis kata kesusastraan berasal dari kata su dan sastra. Su berarti

BAB I PENDAHULUAN. Secara etimologis kata kesusastraan berasal dari kata su dan sastra. Su berarti BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara etimologis kata kesusastraan berasal dari kata su dan sastra. Su berarti baik dan sastra (dari bahasa Sansekerta) berarti tulisan atau karangan. Dari pengertian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. metaforis, lokalitas merupakan sebuah wilayah tempat masyarakatnya secara

BAB I PENDAHULUAN. metaforis, lokalitas merupakan sebuah wilayah tempat masyarakatnya secara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Lokalitas dalam bahasa menunjukan identitas budaya yang dipakai dalam konteks sebuah komunitas bahasa dalam hal ini masyakat Minangkabau. Lokalitas dalam konteks

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN Pada bagian ini akan diuraikan secara berturut-turut: simpulan, implikasi, dan saran A. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan pada bab sebelumnya, dapat

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN KAJIAN PUSTAKA

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN KAJIAN PUSTAKA BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN KAJIAN PUSTAKA 2.1 Konsep Konsep merupakan aspek penting dalam penelitian. Konsep berfungsi untuk menghindari kegiatan penelitian dari subjektifitas peneliti serta mengendalikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan sebuah cerita fiksi atau rekaan yang dihasilkan lewat proses kreatif dan imajinasi pengarang. Tetapi, dalam proses kreatif penciptaan

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Penelitian ini melibatkan beberapa konsep, antara lain sebagai berikut: 2.1.1 Gambaran Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008:435), gambaran

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. suatu karya seni yang berhubungan dengan ekspresi dan keindahan. Dengan kata

BAB II LANDASAN TEORI. suatu karya seni yang berhubungan dengan ekspresi dan keindahan. Dengan kata BAB II LANDASAN TEORI Seperti yang telah disebutkan dalam bab pendahuluan bahwa sastra adalah suatu karya seni yang berhubungan dengan ekspresi dan keindahan. Dengan kata lain, kegiatan sastra itu merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan hasil kreasi manusia yang indah, di dalamnya

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan hasil kreasi manusia yang indah, di dalamnya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan hasil kreasi manusia yang indah, di dalamnya terdapat daya kreatif dan daya imajinasi. Kedua kemampuan tersebut sudah melekat pada jiwa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI. 2.1 Tinjauan Pustaka Dewi Lestari adalah salah seorang sastrawan Indonesia yang cukup

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI. 2.1 Tinjauan Pustaka Dewi Lestari adalah salah seorang sastrawan Indonesia yang cukup BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI 2.1 Tinjauan Pustaka Dewi Lestari adalah salah seorang sastrawan Indonesia yang cukup diperhitungkan karya-karyanya dan dianggap sebagai pengarang produktif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Karya sastra merupakan hasil cipta, rasa dan karsa manusia, selain memberikan hiburan juga sarat dengan nilai, baik nilai keindahan maupun nilai- nilai ajaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bahasa merupakan induk dari seluruh disiplin ilmu. Pengetahuan sebagai hasil proses belajar manusia baru tampak nyata apabila dikatakan, artinya diungkapkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan hasil kreasi sastrawan melalui kontemplasi dan refleksi setelah menyaksikan berbagai fenomena kehidupan dalam lingkungan sosialnya. Fenomena

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sastra merupakan tulisan yang bernilai estetik dengan kehidupan manusia sebagai

I. PENDAHULUAN. Sastra merupakan tulisan yang bernilai estetik dengan kehidupan manusia sebagai 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sastra merupakan tulisan yang bernilai estetik dengan kehidupan manusia sebagai objeknya dan bahasa sebagai mediumnya. Menurut Esten (2000: 9), sastra merupakan pengungkapan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan seni yang bermediumkan bahasa dan dalam proses terciptanya melalui intensif, selektif, dan subjektif. Penciptaan suatu karya sastra bermula

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra merupakan suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya, dengan medium bahasa. Sebagai

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. yang representatif dalam suatu alur atau suatu keadaan yang agak kacau atau kusut.

BAB II LANDASAN TEORI. yang representatif dalam suatu alur atau suatu keadaan yang agak kacau atau kusut. BAB II LANDASAN TEORI A. Konsep. 1. Pengertian Novel. Novel atau sering disebut sebagai roman adalah suatu cerita prosa yang fiktif dalam panjang yang tertentu, yang melukiskan para tokoh, gerak serta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. khususnya bahasa Indonesia sebagai salah satu mata pelajaran yang penting dan

BAB I PENDAHULUAN. khususnya bahasa Indonesia sebagai salah satu mata pelajaran yang penting dan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembelajaran bahasa merupakan salah satu aspek yang penting dalam kehidupan manusia. Kemampuan berbahasa seseorang dapat menunjukkan kepribadian serta pemikirannya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembelajaran karakter menjadi orientasi pengajaran di sekolah saat ini. Sebagai aspek kepribadian, karakter merupakan cerminan dari kepribadian secara utuh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sastra sebagai cabang dari seni, yang keduanya unsur integral dari

BAB I PENDAHULUAN. Sastra sebagai cabang dari seni, yang keduanya unsur integral dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sastra sebagai cabang dari seni, yang keduanya unsur integral dari kebudayaan. Usianya sudah cukup tua. Kehadiran hampir bersamaan dengan adanya manusia. Karena ia diciptakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengarang serta refleksinya terhadap gejala-gejala sosial yang terdapat di

BAB I PENDAHULUAN. pengarang serta refleksinya terhadap gejala-gejala sosial yang terdapat di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Karya sastra lahir di tengah-tengah masyarakat sebagai hasil imajinasi pengarang serta refleksinya terhadap gejala-gejala sosial yang terdapat di sekitarnya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan hasil kreasi yang diciptakan oleh sastrawan melalui kontemplasi dan suatu refleksi setelah menyaksikan berbagai fenomena kehidupan dalam

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Dalam pembahasan bab ini, peneliti akan memaparkan sekaligus memberikan

I. PENDAHULUAN. Dalam pembahasan bab ini, peneliti akan memaparkan sekaligus memberikan 1 I. PENDAHULUAN Dalam pembahasan bab ini, peneliti akan memaparkan sekaligus memberikan mengenai latar belakang penelitian mengenai gaya bahasa dalam kumpulan puisi Doa Untuk Anak Cucu karya W.S. Rendra

Lebih terperinci

KEMAMPUAN MENULIS CERPEN BERDASARKAN PENGALAMAN SISWA DI SMP NEGERI 17 KOTA JAMBI

KEMAMPUAN MENULIS CERPEN BERDASARKAN PENGALAMAN SISWA DI SMP NEGERI 17 KOTA JAMBI KEMAMPUAN MENULIS CERPEN BERDASARKAN PENGALAMAN SISWA DI SMP NEGERI 17 KOTA JAMBI Pada hakikatnya belajar bahasa adalah belajar berkomunikasi. Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia diarahkan untuk meningkatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Bahasa Karya Sastra

BAB I PENDAHULUAN  A. Bahasa Karya Sastra BAB I PENDAHULUAN Karya sastra merupakan hasil kreasi sastrawan melalui kontemplasi dan refleksi setelah menyaksikan berbagai fenomena kehidupan dalam lingkungan sosialnya. Fenomena kehidupan itu beraneka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagaimana dikatakan Horatio (Noor, 2009: 14), adalah dulce et utile

BAB I PENDAHULUAN. sebagaimana dikatakan Horatio (Noor, 2009: 14), adalah dulce et utile BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karya sastra merupakan struktur dunia rekaan, artinya realitas dalam karya sastra adalah realitas rekaan yang tidak sama dengan realitas dunia nyata. Karya sastra itu

Lebih terperinci

BAB 2 GAYA BAHASA IKLAN

BAB 2 GAYA BAHASA IKLAN BAB 2 GAYA BAHASA IKLAN 2.1 Gaya Bahasa 2.1.1 Pengertian Gaya Bahasa Gaya bahasa adalah pemanfaatan atas kekayaan bahasa seseorang dalam bertutur atau menulis, pemakaian ragam tertentu untuk memperoleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Darma Persada

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Darma Persada 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sastra atau kesusastraan adalah pengungkapan dari fakta artistik dan imajinatif sebagai perwujudan kehidupan manusia dan masyarakat melalui bahasa, sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sastra adalah karya fiksi yang merupakan hasil kreasi berdasarkan luapan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sastra adalah karya fiksi yang merupakan hasil kreasi berdasarkan luapan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sastra adalah karya fiksi yang merupakan hasil kreasi berdasarkan luapan emosi yang spontan yang mampu mengungkapkan aspek estetik baik yang berdasarkan aspek kebahasaan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Sastrawan yang dicetak pun semakin banyak pula dengan ide-ide dan karakter. dengan aneka ragam karya sastra yang diciptakan.

BAB 1 PENDAHULUAN. Sastrawan yang dicetak pun semakin banyak pula dengan ide-ide dan karakter. dengan aneka ragam karya sastra yang diciptakan. BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karya sastra merupakan hasil kreasi sastrawan melalui kontemplasi dan refleksi setelah menyaksikan berbagai fenomena kehidupan dalam lingkungan sosialnya. Fenomena kehidupan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dilukiskan dalam bentuk tulisan. Sastra bukanlah seni bahasa belaka, melainkan

BAB I PENDAHULUAN. dilukiskan dalam bentuk tulisan. Sastra bukanlah seni bahasa belaka, melainkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra merupakan sebuah ungkapan pribadi manusia. Ungkapan tersebut berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, semangat, dan keyakinan dalam suatu kehidupan, sehingga

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA BERFIKIR, DAN HIPOTESIS TINDAKAN

BAB II KAJIAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA BERFIKIR, DAN HIPOTESIS TINDAKAN 9 BAB II KAJIAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA BERFIKIR, DAN HIPOTESIS TINDAKAN Pada bab ini akan diuraikan empat hal pokok yaitu: (1) kajian pustaka, (2) landasan teori, (3) kerangka berpikir, dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bahasa siswa, karena siswa tidak hanya belajar menulis, membaca,

BAB I PENDAHULUAN. bahasa siswa, karena siswa tidak hanya belajar menulis, membaca, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Dasar (SD) menjadi sebuah proses belajar bahasa yang berada pada fase paling penting bagi penguasaan bahasa siswa, karena siswa

Lebih terperinci

II. LANDASAN TEORI. dan pengenalan yang tepat, pertimbangan, penilaian dan pernyataan yang

II. LANDASAN TEORI. dan pengenalan yang tepat, pertimbangan, penilaian dan pernyataan yang II. LANDASAN TEORI 2.1.Kemampuan Mengapresiasi Cerpen 2.1.1 Pengertian Apresiasi Secara leksikal, appreciation apresiasi mengacu pada pengertian pemahaman dan pengenalan yang tepat, pertimbangan, penilaian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra bersumber dari kenyataan yang berupa fakta sosial bagi masyarakat sekaligus sebagai pembaca dapat

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra bersumber dari kenyataan yang berupa fakta sosial bagi masyarakat sekaligus sebagai pembaca dapat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra bersumber dari kenyataan yang berupa fakta sosial bagi masyarakat sekaligus sebagai pembaca dapat memberikan tanggapannya dalam membangun karya sastra.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dikaruniai berbagai kelebihan dibandingkan dengan ciptaan lainnya. Karunia itu

BAB I PENDAHULUAN. dikaruniai berbagai kelebihan dibandingkan dengan ciptaan lainnya. Karunia itu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia adalah makhluk hidup ciptaan Tuhan Yang Maha Esa dan dikaruniai berbagai kelebihan dibandingkan dengan ciptaan lainnya. Karunia itu berupa akal, cipta, rasa,

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Untuk mendeskripsikan dan menganalisis kajian penelitian ini harus ada teori

BAB II LANDASAN TEORI. Untuk mendeskripsikan dan menganalisis kajian penelitian ini harus ada teori BAB II LANDASAN TEORI Untuk mendeskripsikan dan menganalisis kajian penelitian ini harus ada teori pendukungnya antara lain; hakekat pendekatan struktural, pangertian novel, tema, amanat, tokoh dan penokohan,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. penelitian ini, batasan masalah, rumusan masalah, tujuan, manfaat dan definisi

BAB 1 PENDAHULUAN. penelitian ini, batasan masalah, rumusan masalah, tujuan, manfaat dan definisi 1 BAB 1 PENDAHULUAN Pada bab 1, peneliti akan memaparkan hal-hal yang melatarbelakangi penelitian ini, batasan masalah, rumusan masalah, tujuan, manfaat dan definisi operasional. 1.1 Latar Belakang Masalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keinginan, memberikan saran atau pendapat, dan lain sebagainya. Semakin tinggi

BAB I PENDAHULUAN. keinginan, memberikan saran atau pendapat, dan lain sebagainya. Semakin tinggi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa memiliki peranan yang sangat signifikan dalam kehidupan sehari-hari. Tanpa adanya bahasa, manusia tidak dapat mengungkapkan perasaan, menyampaikan keinginan,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kajian pustaka adalah paparan atau konsep-konsep yang mendukung pemecahan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kajian pustaka adalah paparan atau konsep-konsep yang mendukung pemecahan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kepustakaan Yang Relevan Dalam menyusun sebuah karya ilmiah sangat diperlukan kajian pustaka. Kajian pustaka adalah paparan atau konsep-konsep yang mendukung pemecahan masalah

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. bagaimana unsur cerita atau peristiwa dihadirkan oleh pengarang sehingga di dalam

BAB II KAJIAN TEORI. bagaimana unsur cerita atau peristiwa dihadirkan oleh pengarang sehingga di dalam BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Drama Sebagai Karya Fiksi Sastra sebagai salah satu cabang seni bacaan, tidak hanya cukup dianalisis dari segi kebahasaan, tetapi juga harus melalui studi khusus yang berhubungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berarti di dalamnya bernuansakan suasana kejiwaan sang pengarang, baik

BAB I PENDAHULUAN. berarti di dalamnya bernuansakan suasana kejiwaan sang pengarang, baik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra merupakan hasil ungkapan kejiwaan seorang pengarang, yang berarti di dalamnya bernuansakan suasana kejiwaan sang pengarang, baik suasana pikir maupun

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORITIS. Penelitian tentang Kemampuan Siswa Kelas VIII SMP Negeri 1 Telaga

BAB II KAJIAN TEORITIS. Penelitian tentang Kemampuan Siswa Kelas VIII SMP Negeri 1 Telaga BAB II KAJIAN TEORITIS 2.1 Kajian Relevan Sebelumnya Penelitian tentang Kemampuan Siswa Kelas VIII SMP Negeri 1 Telaga Mendeskripsikan Alur Novel Remaja Terjemahan Tahun Ajaran 2013 belum ada. Namun, ada

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari buku-buku pendukung yang relevan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari buku-buku pendukung yang relevan BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kepustakaan Yang Relevan Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari buku-buku pendukung yang relevan dengan judul skripsi, buku-buku yang digunakan dalam pengkajian ini adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. imajinatif peran sastrawan dan faktor-faktor yang melingkupi seorang sastrawan

BAB I PENDAHULUAN. imajinatif peran sastrawan dan faktor-faktor yang melingkupi seorang sastrawan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra adalah karya kreatif dan imajinatif dengan fenomena hidup dan kehidupan manusia sebagai bahan bakunya. Sebagai karya yang kreatif dan imajinatif

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP DAN LANDASAN TEORI

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP DAN LANDASAN TEORI BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP DAN LANDASAN TEORI Pada bab ini penulis akan memaparkan beberapa penelitian sebelumnya,konsep dan landasan teori yang digunakan dalam penelitian ini. Pertama-tama penulis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Unsur utama karya sastra adalah bahasa, baik bahasa lisan maupun tulisan.

BAB I PENDAHULUAN. Unsur utama karya sastra adalah bahasa, baik bahasa lisan maupun tulisan. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Unsur utama karya sastra adalah bahasa, baik bahasa lisan maupun tulisan. Hubungan bahasa dan sastra dikatakan seperti dua sisi mata uang, keduanya tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekspresi dan kegiatan penciptaan. Karena hubungannya dengan ekspresi, maka

BAB I PENDAHULUAN. ekspresi dan kegiatan penciptaan. Karena hubungannya dengan ekspresi, maka BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sastra merupakan seni dan karya yang sangat berhubungan erat dengan ekspresi dan kegiatan penciptaan. Karena hubungannya dengan ekspresi, maka karya sastra

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjelaskan bahwa puisi berasal dari bahasa Yunani poeima membuat atau

BAB I PENDAHULUAN. menjelaskan bahwa puisi berasal dari bahasa Yunani poeima membuat atau BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Puisi merupakan bentuk karya sastra yang sangat populer di kalangan masyarakat sampai saat ini. Puisi digemari oleh semua lapisan masyarakat, karena kemajuan masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tentang kisah maupun kehidupan sehari-hari. Seseorang dapat menggali,

BAB I PENDAHULUAN. tentang kisah maupun kehidupan sehari-hari. Seseorang dapat menggali, 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Karya sastra adalah hasil imajinasi manusia yang dapat menimbulkan kesan pada jiwa pembaca. Karya sastra merupakan ungkapan pikiran dan perasaan, baik tentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. karya sastra yang bersifat imajinasi (fiksi) dan karya sastra yang bersifat non

BAB I PENDAHULUAN. karya sastra yang bersifat imajinasi (fiksi) dan karya sastra yang bersifat non BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Karya sastra berdasarkan sifatnya dibagi menjadi dua macam sifat yaitu, karya sastra yang bersifat imajinasi (fiksi) dan karya sastra yang bersifat non imajinasi

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI 2.1 Kajian Pustaka Novel Cinta Brontosaurus karya Raditya Dika belum pernah dijadikan objek penelitian sebelumnya. Oleh karena itu, penulis memberikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melalui cipta, rasa, dan karsa manusia. Al-Ma ruf (2009: 1) menjelaskan

BAB I PENDAHULUAN. melalui cipta, rasa, dan karsa manusia. Al-Ma ruf (2009: 1) menjelaskan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan salah satu bentuk seni yang diciptakan melalui cipta, rasa, dan karsa manusia. Al-Ma ruf (2009: 1) menjelaskan karya sastra merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Seorang pengarang karya sastra tentu mempunyai berbagai ciri khas dalam

BAB I PENDAHULUAN. Seorang pengarang karya sastra tentu mempunyai berbagai ciri khas dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Mengetahui dan mengerti maksud sebuah tulisan merupakan tujuan utama dalam membaca karya sastra. Karya sastra dibuat oleh pengarang karena adanya maksud atau

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK PEMAKAIAN GAYA BAHASA DALAM WACANA STIKER KENDARAAN BERMOTOR (TINJAUAN SOSIOLINGUISTIK)

KARAKTERISTIK PEMAKAIAN GAYA BAHASA DALAM WACANA STIKER KENDARAAN BERMOTOR (TINJAUAN SOSIOLINGUISTIK) KARAKTERISTIK PEMAKAIAN GAYA BAHASA DALAM WACANA STIKER KENDARAAN BERMOTOR (TINJAUAN SOSIOLINGUISTIK) SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan dalam Mendapatkan Gelar S-1 Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia,

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI 10 BAB II LANDASAN TEORI Bab ini berisi tentang struktural sastra dan sosiologi sastra. Pendekatan struktural dilakukan untuk melihat keterjalinan unsur-unsur intrinsik yang membangun karya sastra itu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sastra menurut Wellek dan Warren adalah suatu kegiatan kreatif sebuah karya seni (2013: 3). Hal tersebut dikuatkan dengan pendapat Semi bahwa sastra adalah suatu bentuk

Lebih terperinci

DIKSI DALAM NOVEL SAAT LANGIT DAN BUMI BERCUMBU KARYA WIWID PRASETYO OLEH INDRAWATI SULEMAN

DIKSI DALAM NOVEL SAAT LANGIT DAN BUMI BERCUMBU KARYA WIWID PRASETYO OLEH INDRAWATI SULEMAN 1 DIKSI DALAM NOVEL SAAT LANGIT DAN BUMI BERCUMBU KARYA WIWID PRASETYO OLEH INDRAWATI SULEMAN UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO FAKULTAS SASTRA DAN BUDAYA JURUSAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN

Lebih terperinci

BAB II STYLE GAYA BAHASA DAN STILISTIKA

BAB II STYLE GAYA BAHASA DAN STILISTIKA BAB II STYLE GAYA BAHASA DAN STILISTIKA A. Style Gaya Bahasa Kata style (bahasa Inggris) berasal dari kata Latin stilus yang berarti alat (berujung tajam) yang dipakai untuk menulis di atas lempengan lilin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengidentifikasi diri (Chaer, 2007:33). Oleh karena itu, bahasa merupakan hal

BAB I PENDAHULUAN. mengidentifikasi diri (Chaer, 2007:33). Oleh karena itu, bahasa merupakan hal BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer yang digunakan oleh para anggota kelompok sosial untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasi diri (Chaer,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan sebuah karya fiksi yang berisi imajinasi seorang

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan sebuah karya fiksi yang berisi imajinasi seorang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karya sastra merupakan sebuah karya fiksi yang berisi imajinasi seorang pengarang dalam memaparkan berbagai permasalahan-permasalahan dan kejadian-kejadian dalam kehidupan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wellek dan Warren (1993:14) bahasa adalah bahan baku kesusastraan, seperti

BAB I PENDAHULUAN. Wellek dan Warren (1993:14) bahasa adalah bahan baku kesusastraan, seperti BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karya sastra merupakan hasil karya cipta manusia yang mengandung daya imajinasi dengan menggunakan bahasa sebagai medianya. Menurut Wellek dan Warren (1993:14) bahasa

Lebih terperinci

ANALISIS GAYA BAHASA PADA LIRIK LAGU EBIT G. ADE SKRIPSI. Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan. Guna Mencapai Derajat Sarjana S-1

ANALISIS GAYA BAHASA PADA LIRIK LAGU EBIT G. ADE SKRIPSI. Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan. Guna Mencapai Derajat Sarjana S-1 ANALISIS GAYA BAHASA PADA LIRIK LAGU EBIT G. ADE SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana S-1 Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah Diajukan oleh : EMA WIDIYAS

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP DAN LANDASAN TEORI

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP DAN LANDASAN TEORI BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP DAN LANDASAN TEORI Dalam bab ini peneliti akan memaparkan tentang peneliti penelitian sebelumnya, konsep dan landasan teori. Peneliti penelitian sebelumnya berisi tentang

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. curahan perasaan pribadi, (2) susunan sebuah nyanyian (Moeliono (Peny.), 2003:

BAB II LANDASAN TEORI. curahan perasaan pribadi, (2) susunan sebuah nyanyian (Moeliono (Peny.), 2003: 6 BAB II LANDASAN TEORI A. Pengertian Lirik Lagu Sebagai Genre Sastra Lirik mempunyai dua pengertian yaitu (1) karya sastra (puisi) yang berisi curahan perasaan pribadi, (2) susunan sebuah nyanyian (Moeliono

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menulis. Menurut Tarigan (2008:21) Proses menulis sebagai suatu cara. menerjemahkannya ke dalam sandi-sandi tulis.

BAB I PENDAHULUAN. menulis. Menurut Tarigan (2008:21) Proses menulis sebagai suatu cara. menerjemahkannya ke dalam sandi-sandi tulis. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bahasa merupakan alat yang digunakan untuk berkomunikasi. Kita dapat menyatakan pendapat, perasaan, gagasan yang ada di dalam pikiran terhadap orang lain melalui

Lebih terperinci

Gaya Bahasa dalam Karangan Bahasa Jawa Siswa Kelas VI SDN 2 Carat Kecamatan Kauman Kabupaten Ponorogo Tahun Pelajaran 2011/2012

Gaya Bahasa dalam Karangan Bahasa Jawa Siswa Kelas VI SDN 2 Carat Kecamatan Kauman Kabupaten Ponorogo Tahun Pelajaran 2011/2012 1 Gaya Bahasa dalam Karangan Bahasa Jawa Siswa Kelas VI SDN 2 Carat Kecamatan Kauman Kabupaten Ponorogo Tahun Pelajaran 2011/2012 Tisa Rahayu Vitiana 1 Sumadi 2 Dwi Sulistyorini 2 Universitas Negeri Malang,

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA. bahasa yang digunakan untuk memahami hal-hal yang lain (KBBI, 2003: 588).

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA. bahasa yang digunakan untuk memahami hal-hal yang lain (KBBI, 2003: 588). BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep dan Landasan Teori 2.1.1 Konsep Konsep adalah pemikiran rancangan suatu karya dasar yang ada di luar bahasa yang digunakan untuk memahami hal-hal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kata merupakan bentuk atau unit yang paling kecil dalam bahasa yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kata merupakan bentuk atau unit yang paling kecil dalam bahasa yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kata merupakan bentuk atau unit yang paling kecil dalam bahasa yang mengandung konsep atau gagasan tertentu. Dalam kegiatan komunikasi, katakata dijalin satukan

Lebih terperinci

MODUL BAHASA INDONESIA CERITA PENDEK

MODUL BAHASA INDONESIA CERITA PENDEK YAYASAN WIDYA BHAKTI SEKOLAH MENENGAH ATAS SANTA ANGELA TERAKREDITASI A Jl. Merdeka No. 24 Bandung 022. 4214714 Fax.022. 4222587 http//: www.smasantaangela.sch.id, e-mail : smaangela@yahoo.co.id 043 URS

Lebih terperinci

BAB IV KESIMPULAN. Peristiwa yang terjalin dalam novel Nagabonar Jadi 2 terbentuk menjadi

BAB IV KESIMPULAN. Peristiwa yang terjalin dalam novel Nagabonar Jadi 2 terbentuk menjadi BAB IV KESIMPULAN 4.1 Kesimpulan Peristiwa yang terjalin dalam novel Nagabonar Jadi 2 terbentuk menjadi alur maju serta hubungan kausalitas yang erat. Hal ini terlihat pada peristiwaperistiwa yang memiliki

Lebih terperinci

ANALISIS NILAI MORAL DALAM NOVEL 5 CM KARYA DONNY DHIRGANTORO DAN SKENARIO PEMBELAJARANNYA DI KELAS XI SMA

ANALISIS NILAI MORAL DALAM NOVEL 5 CM KARYA DONNY DHIRGANTORO DAN SKENARIO PEMBELAJARANNYA DI KELAS XI SMA ANALISIS NILAI MORAL DALAM NOVEL 5 CM KARYA DONNY DHIRGANTORO DAN SKENARIO PEMBELAJARANNYA DI KELAS XI SMA Oleh: Ady Wicaksono Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Adywicaksono77@yahoo.com Abstrak: Tujuan

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB 3 METODE PENELITIAN BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian Setelah terkumpul landasan teoretis dan kerangka berpikir pada bab sebelumnya, maka langkah selanjutnya adalah metode. Metode digunakan untuk menyederhanakan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Penelitian tentang kajian struktural-genetik belum ada yang meneliti di Kampus

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Penelitian tentang kajian struktural-genetik belum ada yang meneliti di Kampus BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Penelitian yang Relevan Sebelumnya Penelitian tentang kajian struktural-genetik belum ada yang meneliti di Kampus Universitas Negeri Gorontalo, khususnya pada Jurusan Bahasa dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. persoalan yang melingkupinya. Persoalan-persoalan ini bila disatukan tidak hanya

BAB I PENDAHULUAN. persoalan yang melingkupinya. Persoalan-persoalan ini bila disatukan tidak hanya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia sebagai mahluk sosial karena manusia tidak akan bisa hidup sendiri. Manusia dalam menjalani kehidupannya selalu dihadapkan pada berbagai persoalan yang melingkupinya.

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI. nilai-nilai moral terhadap cerita rakyat Deleng Pertektekkendengan menggunakan kajian

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI. nilai-nilai moral terhadap cerita rakyat Deleng Pertektekkendengan menggunakan kajian BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI 2.1 Kajian Pustaka Sepanjang pengamatan peneliti, tidak ditemukan penelitian yang membahas nilai-nilai moral terhadap cerita rakyat Deleng Pertektekkendengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra adalah ungkapan pribadi seorang penulis yang berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat, keyakinan dalam suatu bentuk gambaran kehidupan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra merupakan bagian dari kehidupan manusia, yang berkaitan dengan memperjuangkan kepentingan hidup manusia. Sastra merupakan media bagi manusia untuk berkekspresi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam bab pendahuluan ini akan diberikan gambaran mengenai latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam bab pendahuluan ini akan diberikan gambaran mengenai latar belakang 1 BAB I PENDAHULUAN Dalam bab pendahuluan ini akan diberikan gambaran mengenai latar belakang penelitian. Ruang lingkup penelitian dibatasi pada unsur intrinsik novel, khususnya latar dan objek penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa merupakan unsur terpenting dalam kehidupan manusia. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa merupakan unsur terpenting dalam kehidupan manusia. Hal ini 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bahasa merupakan unsur terpenting dalam kehidupan manusia. Hal ini mengajar bahwa bahasa sebagai alat komunikasi. Komunikasi ada hubungan antara individu yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. emosi yang spontan yang mampu mengungkapkan aspek estetik, baik yang

BAB I PENDAHULUAN. emosi yang spontan yang mampu mengungkapkan aspek estetik, baik yang BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Sastra merupakan wahana komunikasi kreatif dan imajinatif. Sastra lahir karena dorongan keinginan dasar manusia untuk mengungkapkan diri, apa yang telah dijalani

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari banyak karya sastra yang muncul, baik berupa novel, puisi, cerpen, dan

BAB I PENDAHULUAN. dari banyak karya sastra yang muncul, baik berupa novel, puisi, cerpen, dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan karya sastra di Indonesia saat ini cukup pesat. Terbukti dari banyak karya sastra yang muncul, baik berupa novel, puisi, cerpen, dan drama. Hasil

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. 1. Analisis Gaya Bahasa pada Lirik Lagu Grup Band Noah dalam Album Seperti Seharusnya (Edi Yulianto, 2015)

BAB II LANDASAN TEORI. 1. Analisis Gaya Bahasa pada Lirik Lagu Grup Band Noah dalam Album Seperti Seharusnya (Edi Yulianto, 2015) 8 BAB II LANDASAN TEORI A. Penelitian yang Relevan Penelitian yang relevan memberikan pemaparan mengenai penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Penelitian sejenis yang peneliti temukan dalam bentuk

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. dalam bentuk cerita. Kata novel berasal dari bahasa Italia yaitu novella yang

BAB II KAJIAN PUSTAKA. dalam bentuk cerita. Kata novel berasal dari bahasa Italia yaitu novella yang BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Seluk Beluk Novel Novel adalah sebuah karya fiksi prosa yang ditulis secara naratif, biasanya dalam bentuk cerita. Kata novel berasal dari bahasa Italia yaitu novella yang dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan wujud dari pengabdian perasaan dan pikiran pengarang yang muncul ketika ia berhubungan dengan lingkungan sekitar. Sastra dianggap sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Secara etimologi sastra berasal dari bahasa sanskerta, sas artinya mengajar,

BAB I PENDAHULUAN. Secara etimologi sastra berasal dari bahasa sanskerta, sas artinya mengajar, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Secara etimologi sastra berasal dari bahasa sanskerta, sas artinya mengajar, memberi petunjuk atau intruksi, tra artinya alat atau sarana sehingga dapat disimpulkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tulisan yang menggunakan bahasa sebagai media pengantar dan memiliki

BAB I PENDAHULUAN. tulisan yang menggunakan bahasa sebagai media pengantar dan memiliki 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan hasil karya manusia, baik lisan maupun tulisan yang menggunakan bahasa sebagai media pengantar dan memiliki nilai estetika yang dominan

Lebih terperinci