Pendidikan Melalui Seni Kria

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Pendidikan Melalui Seni Kria"

Transkripsi

1 Pendidikan Melalui Seni Kria Oleh Zakarias S. Soeteja* ) Seni Kependidikan dan non kependidikan Pendidikan melalui seni (education through arts) pada judul tulisan ini pada dasarnya merujuk pada konsepsi art education atau lebih dikenal sebagai seni yang digunakan dalam pendidikan atau seni sebagai sarana untuk mencapai tujuan pendidikan. Seni dalam kategori ini dikenal juga dengan istilah seni kependidikan, untuk membedakannya dengan kegiatan seni non kependidikan. Walaupun istilah yang terakhir lebih dikenal dikalangan perguruan tinggi eks IKIP yang berubah bentuk menjadi Universitas, dimana perubahan ini membawa konsekuensi pembukaan program studi non kependidikan. Istilah non kependidikan mungkin tidak terlampau tepat, karena memberikan kesan seolah-olah tidak bersifat mendidik padahal bagaimanapun juga penyelenggaranya tetap melalui suatu proses pendidikan. Istilah non kependidikan ini sebenarnya lebih tepat untuk menunjukkan posisi materi dan proses pembelajaran yang tidak mempersiapkan peserta didiknya untuk menjadi seorang pendidik (guru). Selanjutnya dalam tulisan ini, istilah seni kependidikan akan digunakan untuk menggantikan istilah pendidikan seni yang merujuk pada praktek pembelajaran seni dalam institusi pendidikan yang berorientasi pada pencapaian tujuan pendidikan secara umum. Dengan demikian nama cabang seni yang ditambahkan pada istilah seni kependidikan seperti seni rupa kependidikan, seni kria kependidikan, seni tari kependidikan atau seni musik kependidikan, secara otomatis Z. S. Soeteja, Pendidikan Melalui Seni Kria 1

2 menunjuk pada praktek pembelajaran seni seperti telah disebukan di atas. Banyak pihak, khususnya ahli pendidikan dalam bidang seni, mungkin kurang setuju dengan istilah seni kependidikan yang digunakan dalam tulisan ini karena istilah pendidikan seni yang dipadankan dari istilah art education dalam bahasa Inggris lebih umum digunakan sebagai nama bidang studi atau kajian yang menunjukkan praktek pembelajaran seni dalam dunia pendidikan. Berkenaan dengan pokok bahasan dalam tulisan ini tentang pendidikan melalui seni kria, maka seni kria kependidikan yang dimaksud tidak lain adalah seni kria yang digunakan dalam praktek pendidikan (pembelajaran) di sekolah umum sebagai sarana atau alat (tolls) untuk mencapai tujuan pendidikan secara umum. Hal ini harus dibedakan dengan tujuan penyelenggaraan pendidikan seni kria di sekolah-sekolah kejuruan yang secara tegas mengupayakan lulusannya menjadi tenaga ahli dalam salah satu bidang kekriaan. Sebagai sebuah alat (tolls) atau sebagai medium untuk mencapai tujuan pendidikan secara umum, seni kria kependidikan ini pada dasarnya lebih digunakan untuk mengembangkan potensi kepribadian dan kecerdasan emosional peserta didik dari pada potensi keterampilan berkarya seninya an sich. Dengan kata lain dalam penyelenggaraannya di sekolah umum, para pendidik lebih menekankan pada proses pembelajaran dari pada hasil. Posisi ini secara paradigmatik mungkin saja menimbulkan perdebatan bahkan di kalangan ahli pendidikan seni sekalipun. Hal in terbukti dengan munculnya pandangan yang sedikit bertentangan berkaitan dengan tujuan penyelenggaraan praktek pendidikan seni di sekolah umum. Para penganut DBAE (Discipline Base Art Education) menganggap penekanan pada pengembangan kepribadian dan kecerdasan emosi peserta didik semata akan melemahkan perkembangan atau mereduksi esensi seni sebagai sebuah disiplin ilmu. Perbedaan pandangan ini tentunya berpengaruh terhadap bentuk penyelenggaraannya di sekolah. Menurut mereka pendekatan untuk Z. S. Soeteja, Pendidikan Melalui Seni Kria 2

3 mengembangkan potensi kepribadian dan kecerdasan emosional jangan sampai mengabaikan upaya untuk mempelajari disiplin ilmu seni. Chapman (1978:17) mengemukakan pentingnya mempelajari ilmu seni rupa di samping tujuan pengembangan pribadi. Para penganut pendekatan ini berkeyakinan bahwa disiplin ilmu seni perlu di kuasai oleh siswa dengan pendekatan yang sistematis. Isi pendekatan disiplin seni kemudian diarahkan pada empat disiplin utamanya yaitu estetika, sejarah, dan kreasi seni. Kurikulum yang digunakan disusun secara sistematis dan berkelanjutan serta mengacu pada konteks lokal. Melalui pendekatan ini anak diharapkan mampu menyerap dan menanggapi berbagai aspek seni, mengapresiasi seni sebagai bentuk pengalaman manusia yang penting, berkarya seni, memahami persoalan seni serta menilai kualitas artistik. Penyelenggaraan seni kependidikan di Indonesia bagaimanapun juga dipengaruhi pemikiran pendekatan-pendekatan di atas. Sejak awal penyelenggaraan praktek seni dalam pendidikan modern di Indonesia, secara filosofis, penyusunan kurikulum seni kependidikan mengikuti perkembangan tersebut. Khususnya seni rupa, praktek pembelajaran seni kependidikan ini sangat diwarnai filosofi atau paragdima Seni Rupa Modern Barat. Hal ini tidak bisa disalahkan karena sebagian besar pakar (ahli seni dan pendidik seni) penyusun kurikulum seni rupa kependidikan dibesarkan dalam tradisi ini. Walaupun dalam realitanya pelaksanaan di sekolah nyaris tidak berubah secara signifikan. Para pendidik lebih disibukkan dengan pengaturan materi dan alokasi jam pelajaran. Pertanyaan mendasar, terlepas dari pendekatan apa yang dominan dalam penyusunan kurikulum seni kependidikan ini, adalah untuk apa dan mengapa seni diajarkan di sekolah umum? Jawaban dari pertanyaanpertanyaan inilah yang pada akhirnya mempengaruhi paradigma para penyusun kurikulum seni kependidikan, para pendidik seni dan praktek pembelajaran seni yang mereka lakukan sehari-hari di sekolah. Berdasarkan jawaban ini pulalah kita dapat melihat keunikan (kalau Z. S. Soeteja, Pendidikan Melalui Seni Kria 3

4 tidak mau disebut kerancuan) posisi seni kria dalam peta pendidikan umum di Indonesia. Kerajinan, Keterampilan dan Kria Dalam perjalanan penyelenggaraan pendidikan di Indonesia, istilah kerajinan, keterampilan dan terakhir kria muncul dengan makna yang relatif berbeda tetapi dengan beberapa praktek yang nyaris tidak berbeda bahkan persis sama. Persis seperti semboyan the three muskaterrs one for all, all for one, ketiga aspek tersebut ada dalam praktek Seni Kria Kependidikan (SKK). Lihat saja judul mata pelajaran Seni Budaya dan Keterampilan (SBK) di Sekolah Dasar dalam kurikulum 2006 atau Kerajinan Tangan dan Kesenian (Kertakes/KTK) dalam kurikulum Kerajinan Tangan berubah menjadi Keterampilan dan Kesenian menjadi Seni Budaya. Pada tingkat sekolah menengah (SMP dan SMA) posisi ini dipisahkan dalam dua mata pelajaran yang berbeda yaitu mata pelajaran Seni Budaya dan mata pelajaran Keterampilan. Jika pada tingkat SD antara keterampilan dan kesenian seolah olah menjadi satu kesatuan, pada tingkat sekolah menengah justru dipisahkan. Anehnya, beberapa materi dalam kesenian juga terdapat dalam mata pelajaran keterampilan. Dalam mata pelajaran keterampilan tersebut beberapa praktek atau materi yang terdapat dalam mata pelajaran kesenian di sebut juga sebagai kerajinan. Dalam kurikulum sebelumnya bahkan muncul pula istilah prakarya yang maknanya kurang lebih sama dengan kerajinan tangan. Perbedaan orientasi menjadi salah satu sebab mengapa sebuah materi pelajaran terdapat dalam dua mata pelajaran yang berbeda. Yang satu lebih menekankan pada aspek apresiasi dan ekspresi sedangkan yang lainnya lebih menekankan pada aspek keterampilan (vokasional). Walaupun demikian, pada kenyataanya kesan tumpang-tindih dalam prakteknya tetap terjadi. Kondisi ini bisa jadi merugikan bagi perkembangan kria tetapi sekaligus juga menguntungkan. Dari segi Z. S. Soeteja, Pendidikan Melalui Seni Kria 4

5 pemahaman mungkin saja membingungkan, tetapi dari segi praktek justru menguntungkan karena alokasi waktu yang tersedia menjadi lebih banyak. Atau sebaliknya dari segi pemahaman mungkin menguntungkan karena disampaikan dalam dua mata pelajaran atau lebih, tetapi dari segi praktek justru merugikan karena guru mereduksi hanya pada satu mata pelajaran saja. Harus diakui kondisi ini tidak terlepas dari tumbuh dan berkembangnya konsep seni, kria dan kerajinan yang digunakan oleh para pakar penyusun dan pengembang kurikulum seni kependidikan. Bagaimana tidak, sebagian dari para pakar tersebut adalah juga para praktisi dan ilmuwan yang dalam kesehariannya memiliki paradigma yang berbeda terhadap ketiga konsepsi tersebut. Hal ini tidak dapat disalahkan karena wacana yang melingkupi ketiga konsep tersebut sangat terbuka untuk reinterpretasi. Dengan demikian tidaklah mengherankan jika kita membaca naskah kurikulum seni kependidikan saat ini juga sangat terbuka untuk ditafsirkan dan dikembangkan oleh guru. Pengaruh pemikiran posmodern dalam dunia seni rupa yang mendorong tumbuh dan berkembangnya pemikiran dan praktek seni rupa Kontemporer menjadi salah satu faktor penting yang menyebabkan konsepsi seni, kria dan kerajinan menjadi sangat terbuka. Berbagai konsepsi memungkinkan untuk diterima atau ditolak secara argumentatif logis bahkan secara intuitif sekalipun. Dalam berbagai seminar tentang kria, perbedaan cara penulisan kria dengan kriya, perbedaan penafsiran terhadap istilah kria dengan kerajinan tangan, seni kria dengan kria seni, seni rupa Kontemporer dengan kria Kontemporer adalah beberapa contoh peristilahan yang tidak kunjung usai diperdebatkan. Padahal jawabannya seringkali sangat sederhana, seperti pembedaan cara penulisan kria dan kriya, konon hanya karena istilah kria dianggap lebih irit dalam menggunakan huruf(?). Dalam pembelajaran praktek seni kria di sekolah, perbedaan paradigma dan konsepsi tentang kria ini mungkin tidak terlalu Z. S. Soeteja, Pendidikan Melalui Seni Kria 5

6 mengemuka, tetapi dalam pembelajaran teori (apresiasi), perbedaan ini menimbulkan dilematis bagi para guru yang menyampaikannya. Jika disampaikan dikhawatirkan akan membingungkan peserta didik (karena sebagian gurunya juga tidak paham), tidak disampaikan juga tidak mungkin karena menjadi kewajiban materi dalam kurikulum. Sebagai contoh adalah materi kria keramik, kria batik dan kria anyam. Ketiga materi ini kerap muncul dengan bentuk yang nyaris sama dalam pembelajaran seni rupa maupun keterampilan atau kerajinan. Bagi para pendidik seni di sekolah, perbedaan pengertian terhadap istilah-istilah tersebut sebenarnya dapat dijembatani dengan domain yang menjadi tujuan pembelajarannya. Jika mata pelajaran keterampilan lebih menekankan pada aspek psikomotor maka pelajaran seni rupa (seni budaya) seyogianya lebih menekankan pada aspek kognitif dan afektif. Artinya, kegiatan praktek dalam pembelajaran seni rupa pada dasarnya lebih ditujukan untuk meningkatkan dan mendorong potensi diri siswa di kedua wilayah tersebut. Hal ini sesuai dengan asumsi dan konsepsi pendidikan melalui seni yang tidak menuntut siswa untuk menjadi seorang perupa profesional. Adapun pengembangan minat dan bakat seni rupa yang dimiliki siswa dapat dilakukan dalam kegiatan kokulikuler atau ekstra kulikuler. Pendidikan dan Seni Kria Seperti telah diuraikan di atas, melihat kesejajaran konsepnya dengan konsep seni kependidikan secara umum, maka seni kria kependidikan pada hakekatnya merupakan proses pembentukan manusia melalui seni kria. Pendidikan secara umum berfungsi untuk mengembangkan kemampuan setiap siswa (peserta didik) menemukan pemenuhan dirinya (personal fulfillment) dalam hidup, untuk mentransmisikan warisan budaya, memperluas kesadaran sosial dan sebagai jalan untuk menambah pengetahuan. Tujuan seni kria Z. S. Soeteja, Pendidikan Melalui Seni Kria 6

7 kependidikan seyogianya sejalan dengan fungsi dari pendidikan secara umum tersebut. Program seni kria kependidikan di sekolah memfasilitasi siswa menyediakan peluang untuk pemenuhan dirinya melalui pengalaman apresiasi dan berkarya seni kria berdasarkan sesuatu yang dekat dengan kehidupan dan dunianya (dunia siswa). Melalui seni kria kependidikan, siswa dapat melakukan studi tentang warisan artistik, memberikan pengetahuan tentang seni kria sebagai salah satu bentuk yang paling signifikan dari pencapaian prestasi manusia. Demikian pula dengan kesadaran terhadap peran sosial seni kria di masyarakat hal ini sangat esensial ketika siswa akan mempelajari norma estetik yang berlaku di lingkungannya. Dengan kata lain, siswa akan menemukan seni kria sebagai sesuatu yang penuh arti, otentik dan relevan dalam kehidupannya. Pengalaman siswa di sekolah diharapkan dapat memberi inspirasi yang berguna bagi mereka untuk melanjutkan pendidikannnya hingga menjadi mahluk dewasa. Tujuan pendidikan melalui program seni kria akan memelihara perilaku tersebut sehingga menjadi lebih esensial membentuk kemadirian belajar seumur hidup, walaupun tujuan jangka pendek (di lingkungan sekolah) mungkin terfokus pada kegiatan belajar untuk mempelajari tentang seni kria dan atau melalui seni kria. 1. Tujuan Dasar Seni kria kependidikan Seni kria kependidikan di sekolah umum diberikan dengan berbagai tujuan. Walaupun demikian, berbagai tujuan tersebut didasari oleh keyakinan bahwa seni kria membentuk kepekaan siswa sejak pertama kali mereka mengalaminya sebagai tanggapan untuk dan dalam kehidupan. Dua buah model pengalaman tersebut (ekspresi dan tangapan) adalah saling berhubungan dan saling melengkapi. Keduanya merupakan keseimbangan yang penting dan dibutuhkan, menjadi tujuan dasar seni kria kependidikan dalam rangka pemenuhan diri, pemahaman Z. S. Soeteja, Pendidikan Melalui Seni Kria 7

8 terhadap warisan artistik dan studi aspek sosial untuk memahami peran seni kria di masyarakat. a. Pemenuhan diri (Personal fulfillment) Untuk menemukan pemenuhan dirinya melalui seni kria, siswa butuh belajar bagaimana kehidupan mereka dapat diperkaya dengan berkreasi dan menanggapi bentuk-bentuk seni kria. Para siswa akan menikmati manipulasi dan rekayasa berbagai material seni kria dan dengan bimbingan mereka dapat memproduksi karya yang memiliki kekuatan serta kejujuran ekspresi. Dalam pembelajaran seni kria aktivitas ekspresi bebas dan keberhasilan yang untung-untungan harus ditinggalkan karena hal tersebut sangat miskin dengan ukuran-ukuran belajar. Pengalaman kreatif melalui media seni kria perlu di rencanakan dengan seksama agar tidak menjadi eksperimen tanpa tujuan. Walaupun anak memperoleh pengalaman sensasional dalam diri yang sangat kuat, dari membentuk sesuatu, yang mengekspresikan sesuatu tentang dirinya, menemukan ekspresi diri yang jujur dan asli tidaklah mudah. Anak mungkin pada suatu saat akan mengalami sakit hati atau frustasi karena ketidak mampuan untuk mengkomunikasikan apa yang dirasakan, dilihat, diketahui dan dibayangkannya. Salah satu bentuk praktek seni kria yang penuh kedisiplinan, ketelitian dan kehati-hatian dapat dijadikan sarana untuk melatih ketahanan terhadap rasa sakit hati dan frustasi tersebut, disamping potensi untuk membuat gagasan dan perasaan menjadi hidup. Untuk berfungsi secara ekspresif (sebagai media ekspresi), bentuk dan praktek seni kria harus dikreasikan agar menyerupai perasaan dan imajinasi dari pengalaman yang berguna bagi pengembangan diri. b. Memahami warisan artistik (Understanding the artistic heritage) Seni kria kependidikan, khususnya kria tradisional, berpotensi membangun kesadaran dan pemahaman anak terhadap warisan artistik sebagai bagian yang signifikan dari warisan kebudayaan secara Z. S. Soeteja, Pendidikan Melalui Seni Kria 8

9 keseluruhan. Hal itu termasuk tanggapan terhadap karya pengrajin dan kriyawan baik masa lalu maupun masa kini, demikian pula kontribusi orang-orang yang memelihara dan menginterpretasikan karya seni kria seperti kolektor, kurator, kritikus, dan guru. Warisan artistik mungkin tidak secara langsung memiliki arti personal untuk siswa kecuali hal tersebut berkaitan dengan kehidupannya secara pribadi. Keterkaitan ini haruslah eksplisit, fokus terhadap proses dan bersifat kontekstual, sehingga tidak sekedar mengumpulkan dan menghafalkan fakta (sejarah) seperti kronologis, nama, tanggal dan judul karya. Benang merah yang menghubungkannya dapat terjadi bila disadari bahwa siswa seperti juga masyarakat (pengrajin/kriawan) pada awalnya menemukan banyak problem untuk memvisualisasikan gagasannya. Siswa membangun ide dari pengalamannya sendiri, interpretasi gagasan dalam bentuk visual dan menggunakan media dalam berkarya seni kria untuk menemukan ekspresinya sendiri. Ketika hubungan ini terjadi, siswa tidak hanya memiliki basis personal untuk membandingkan karya yang dibuat oleh masyarakat tetapi juga menjadi alasan yang kuat untuk meyakini bahwa tindakan mereka adalah asli seperti halnya karya seni. Tujuan dari aspek ini sejalan dengan tujuan ekspresi komunal yang mempelajari bagaimana masyarakat berkespresi dan mengkreasi gagasannya untuk menghasilkan sebuah karya seni kria. Siswa juga belajar warisan artistik masa lampau dari berbagai sudut pandang orang-orang yang memiliki kemampuan dalam menanggapi karya seni kria seperti kritikus, guru seni, kolektor atau kurator. Mereka memberikan pengalaman bagaimana mendeskripsikan dan menginterpretasikan karyaseni kria, mengartikan, mempersepsikan dan memberikan penilaian terhadapnya. Selanjutnya siswa juga akan belajar bahwa kegiatan berkarya seni kria bukan hanya untuk dirinya sendiri tetapi juga untuk orang lain yang tertarik untuk menggunakan, memiliki, melihat, mendengar atau menanggapinya. Melalui seni kria, Z. S. Soeteja, Pendidikan Melalui Seni Kria 9

10 fungsi pakai mungkin menjadi salah satu aspek penting yang harus dipertimbangkan siswa. c. Memahami peran seni kria dalam masyarakat Melalui seni kria kependidikan siswa diajak untuk memahami peran seni kria dalam masyarakat. Seperti yang kita lihat, masyarakat atau kebudayaan sebagian diidentifikasi melalui berbagai bentuk kesenian yang dikreasikannya. Siswa dapat menjadi peduli terhadap bentuk-bentuk kesenian tersebut sebagai makna yang kuat dari ekspresi sosial, tidak hanya pada masyarakatnya sendiri, tetapi juga kebudayaan dan bentuk kesenian pada masyarakat yang lain. Penggambaran aspek sosial dari seni kria dapat menjadi dasar bagi siswa untuk memahami lingkungannya. Tujuan dari aspek pemahaman sosial dalam seni kria kependidikan adalah mempelajari bagaimana bentuk-bentuk karya seni kria yang asli dalam masyarakat, bagaimana kualitas sebuah karya seni kria mampu mengekspresikan nilai sosial dan bagaimana media digunakan untuk mengekspresikan nilai-nilai sosial tersebut. Dengan mempelajari bagaimana masyarakat menanggapi bentuk-bentuk seni kria dalam lingkungannya atau dalam kebudayaan lainnya, siswa dapat belajar untuk menjadikannya sebagai kebiasaan untuk menghargai lingkungan yang dekat dengan dirinya maupun lingkungan lain yang kurang dikenalnya. Hal ini berarti memberikan keterampilan dasar untuk mampu beradaptasi dalam berbagai lingkungan sosial. Ekspresi dan tanggapan berkaitan erat dalam pengalaman seni. Disamping untuk pemenuhan diri, memahami warisan artistik dan aspek sosial seni kria dalam masyarakat, tujuan seni kria kependidikan harus memfokuskan pula terhadap dasar proses pengembangan manusia yang meliputi: pengembangan gagasan dan penemuan, penggunaan media, persepsi, interpretasi dan penilaian terhadap karya seni kria itu sendiri. Dasar proses pengembangan manusia ini melalui seni kria kependidikan Z. S. Soeteja, Pendidikan Melalui Seni Kria 10

11 di sekolah di kembangkan untuk mendukung kemampuan-kemampuan di luar seni kria, berintegrasi dalam berbagai area belajar lainnya. Pembelajaran Seni kria Lintas Kurikulum. Pokok pembelajaran melalui seni kria pada dasarnya menyertakan pengembangan kompetensi lintas kurikulum (cross-curricular priority) seperti literasi, kemampuan dalam matematika, lifeskills (kecakapan hidup) dan membangun suatu perspektif terhadap masa depan. 1. Literasi (Literacy) Literasi adalah suatu praktek sosial yang menggunakan bahasa untuk berpikir dan membuat arti dalam kebudayaan. Praktek ini meliputi pembacaan dan penulisan, berbicara dan mendengarkan, mengamati dan membentuk, yang dikombinasikan dalam multimodal teks pada sebuah wilayah konteks dimana berpikir kritis (critical thinking) juga dilibatkan dalam praktek ini. Melalui pembelajaran literasi, para siswa mencari dan dengan kritis menilai informasi serta membuat pilihan. Keterampilan literasi ini berpotensi menjadikannya pebelajar yang mandiri (independent learners). Literasi kritik dikembangkan dengan mempertanyakan praktek-praktek budaya, sosial dan politis dalam pembicaraan, tulisan, visual, pendengaran, kinestetik dan berbagai teks yang berhubungan dengan seni kria. Para siswa mempelajari hubungan antara konteks dan audiens dari semua teks itu. Para siswa mulai memahami pengaruh literasi tersebut, bagaimana orang-orang memandang diri mereka, identitas mereka dan lingkungan mereka serta bagaimana semua itu tervisualisasikan dalam bentuk karya seni kria. Para siswa menjadi literat terhadap sistem simbol yang digunakan di dalam berbagai bentuk seni kria untuk menyampaikan makna menggunakan teknologi yang tersedia saat ini dan di masa yang akan datang. Z. S. Soeteja, Pendidikan Melalui Seni Kria 11

12 Para siswa menggunakan keterampilan literasi untuk mengkomunikasikannya dalam berbagai aktivitas seni kria. Mereka menggunakan konvensi bahasa sesuai dengan aturan yang berlaku dan belajar kosa kata seni kria yang spesifik untuk menginterpretasikan, mengkomunikasikan dan menyelidiki pemikiran imajinatif, perasaan dan pemahamannya. Para siswa belajar untuk mempertimbangkan tujuan dan pembaca teks dan bagaimana pertimbangan tersebut mempengaruhi pilihan mereka terhadap bentuk, kosa kata dan elemen-elemen struktural lainnya. Ketika para siswa mengembangkan literasi kritisnya, mereka akan mampu memperjelas gagasan, membenarkan pendapat dan keputusan, mencari dan dengan kritis menilai informasi. Para siswa akan memahami bahwa, sebagai konsumen dan produsen, mereka saling berhubungan, memposisikan dirinya dan orang lain dengan teks (karya seni kria). Pada waktu yang sama, seni kria kependidikan memberikan kontribusi tertentu kepada pengembangan literasi berbahasa. Awal pengalaman dalam representasi dunia fisik, gagasan dan perasaan melalui gambaran, bunyi dan gerak memberikan suatu kontribusi penting kepada pengembangan pemahaman yang semakin abstrak dan penggunaan lambang dalam membaca dan menulis. Menggabungkannya dalam aktivitas seni kria membantu siswa mengembangkan konsep mereka, kapasitas untuk memfokuskan pada hambatan bunyi, serta kepekaan terhadap pola dan irama. Selama sekolah, melalui pelajaran seni kria para siswa dilibatkan untuk menciptakan dan mengekspresikan gagasan dan perasaan setidaknya dalam bentuk tulisan, percakapan dan visual secara terpisah, atau dikombinasikan sebagai multi teks. Melalui pengalaman ini para siswa mengembangkan kemampuan untuk mendengarkan dan melihat dengan penuh perhatian dan untuk bekerja secara metafora. Mereka mengembangkan kemampuan lisan, aural dan memori kinestetik dan kepekaan terhadap kata-kata. Mereka mengeksplorasi berbagai format Z. S. Soeteja, Pendidikan Melalui Seni Kria 12

13 ekspresi sebagai cara bagaimana membuat makna dan belajar untuk mencari makna yang berlapis dalam teks. Para siswa juga menjadi literat dalam sistem simbol berbagai bentuk seni kria. Mereka belajar untuk mengkomunikasikan makna melalui memilih, mengkombinasi dan memanipulasi tulisan, berbicara, unsur-unsur visual, melalui indera pendengar dan kinestetik (seperti warna, gestur, irama dan ruang) ke dalam format yang sesuai dengan konteks tertentu. Para siswa menggunakan pengembangan pemahaman mereka terhadap unsur-unsur dan bentuk dalam seni kria untuk mengenali, menginterpretasi dan mengekspresikannya dalam kondisi tertentu serta mengalaminya secara imajinatif. Untuk mendorong, dan mencerminkan, pengalaman seni kria berperan dalam pengembangan literasi, para siswa di latih untuk: (a) bereksperimen dengan, menguji, mencerminkan dan menggunakan suatu tingkatan bahasa, sistem simbol, format dan teknologi untuk mengekspresikan gagasan, perasaan dan pengalaman mereka; (b) mendekonstruksi, merekonstruksi, menginterpretasikan dan mengkreasikan percakapan, tulisan, visual, kinestetik, auditori dan berbagai perasaan yang terdapat dalam teks; (c) mengembangkan suatu kapasitas untuk memahami berbagai makna yang bentuk dan pesannya disampaikan secara terbuka atau tersembunyi; (d) mempertimbangkan audiens dan tujuan dalam membangun, mempertunjukkan, mengatur dan mencerminkan dengan kritis karya seni kria yang mempunyai suatu fungsi komunikatif; (e) mengekspresikan, merundingkan, mengkonstruksi, mengkomunikasikan dan menginterpretasikan makna dalam hubungan dengan konteks budaya, sosial dan historis di mana karya seni kria diciptakan dan dihadirkan; (f) menciptakan, menginterpretasikan dan merekam tanda, notasi, gambar dan lambang yang digunakan dalam berbagai disiplin seni kria dan (g) menerapkan pemahaman sebagai partisipan di dalam teks seperti halnya pendengar, dan pembaca sebuah teks. Z. S. Soeteja, Pendidikan Melalui Seni Kria 13

14 2. Kemampuan dalam angka (Numeracy) Kemampuan dalam angka meliputi disposisi dan praktek yang dengan teliti, efisien dan wajar menghadapi tuntutan situasi sehari-hari yang menyertakan nomor, jumlah, ruang, dan pengukuran. Keterampilan dalam angka dikembangkan melalui seni kria seperti saat para siswa memecahkan permasalahan dengan menerapkan teknik dan konsep mengenai ruang dan perhitungan. Para siswa mendukung kemampuan dalam matematika dengan menghadirkan motif-motif simbolik, objekobjek khayal atau riil. Secara khusus, seni kria menggunakan visual, konsep kinestetik dan temporal dari ruang serta pola angka. Penerapan motif hias tradisional pada karya seni kria kerap kali menuntut kemampuan dalam angka tersebut. Dengan menggunakan, dan merefleksikannya dalam aktivitas seni kria para siswa dapat mengembangkan kemampuan di dalam matematika. Dengan demikian berpeluang untuk mengembangkan pemahaman konsep bahwa seni kria dan matematika saling membutuhkan dan saling melengkapi. Sebagai contoh, siswa mencoba menggunakan konsep ukuran panjang, bentuk simetris, dan sistem perbandingan atau pengukuran lainnya yang digunakan dalam budayanya ketika beraktivitas seni kria. Menyatakan kemampuan dan kepekaan terhadap angka melalui seni kria mungkin tidak terlihat secara langsung sebagai kemampuan dasar dalam matematika. Secara praktis keterampilan matematika digunakan dalam aktivitas seni kria berkaitan dengan kegiatan perencanaan (desain), melalui hitungan, ukuran, grafik, pemetaan dan mengkalkulasi atau saat mengidentifikasi, membuat dan menggunakan pola serta urutan. Z. S. Soeteja, Pendidikan Melalui Seni Kria 14

15 3. Kecakapan Hidup (Lifeskills ) Lifeskills atau kecakapan hidup adalah suatu istilah yang digunakan untuk menguraikan gabungan pengetahuan, proses, keterampilan dan sikap yang penting bagi orang-orang untuk berfungsi pada kehidupan mereka sekarang atau saat menghadapi perubahan peran hidup dan situasi di masa datang. Hal tersebut dapat dilakukan dengan mengidentifikasi sedikitnya empat satuan lifeskills yang memungkinkan para siswa untuk mengambil bagian dalam peran hidup. Lifeskills dan hubungannya dengan peran hidup meliputi: (a) keterampilan pengembangan pribadi tumbuh dan berkembang sebagai individu; (b) keterampilan sosial hidup bersama dan berhubungan dengan orang lain; (c) keterampilan mengatur diri sendiri mengatur sumber daya dan (d) keterampilan sebagai warga negara menerima dari dan berkontribusi kepada masyarakat lokal, nasional dan global. Dengan mengikutsertakan, dan merefleksikannya dalam aktivitas seni kria, para siswa dapat mengembangkan setiap kemampuan lifeskills ini pada situasi masyarakat yang berbeda-beda. a. Keterampilan Pengembangan pribadi (personal development skills). Melalui keterampilan ini para siswa diharapkan dapat mengidentifikasi dan mengembangkan bakat dan minatnya, mengenali kelemahan dan kekuatan individu, mengenali sudut pandang pribadi, sikap, kepercayaan dan nilai-nilai, menyadari gagasan, gambaran dan perasaan, mengembangkan pengetahuan, keterampilan, proses dan kesadaran estetik serta mengembangkan kepercayaan dan keyakinan diri sendiri. b. Keterampilan Sosial (Social skills). Keterampilan sosial diajarkan kepada para siswa agar dapat bekerja dengan cara kerja sama dan kolaboratif ke arah sasaran bersama serta mengkomunikasikan gagasan secara efektif di dalam maupun lintas Z. S. Soeteja, Pendidikan Melalui Seni Kria 15

16 budayanya. Keterampilan ini membiasakan sikap untuk berbagi sumber daya, mengembangkan dan menggunakan strategi mengatasi berbagai konflik yang terjadi di masyarakat serta belajar dari kenyataan dan situasi seperti kehidupan sebenarnya. c. Keterampilan mengatur diri (Self-management skills). Pendidikan dalam aspek ini mengajarkan para siswa untuk mampu mengembangkan keterampilan metakognitif, mengambangkan pandangan yang berbeda, pemikiran kreatif dan menerapkan strategi pemecahan masalah. Para siswa juga dilatih untuk mengembangkan kesadaran yang berhubungan dengan perasaan (sensory awareness) dan kemampuan perseptual, membangkitkan, memanipulasi, menyimpan, menyajikan dan mengakses informasi. Keterampilan mengatur diri diharapkan dapat mengembangkan sikap kecenderungan untuk selalu mencoba sesuatu yang baru, merumuskan tujuan dan mengembangkan jalan yang dapat dikerjakan untuk merealisasikannya, mengambil nilai resiko sebagai kesempatan belajar serta kemampuan mengatur sumber daya dengan bertanggung jawab pribadi, lokal, nasional dan global. d. Keterampilan Kewarganegaraan (Citizenship skills). Melalui keterampilan sebagai warganegara, para siswa dilatih untuk mengakui adanya praktek budaya dalam bentuk seni kria dari suatu lingkup masyarakat yang berbeda, membuat keputusan atas dasar pemahaman dan penghargaan keanekaragaman budaya dan etika serta mengembangkan keterampilan advokasi pada tingkatan kolektif maupun pribadi. 4. Perspektif Masa depan Suatu perspektif masa depan melibatkan praktek dan disposisi yang mendorong ke arah identifikasi tentang kemungkinan, yang lebih berpeluang dan lebih disukai individu untuk membagi bersama kehidupan Z. S. Soeteja, Pendidikan Melalui Seni Kria 16

17 di masa depan. Suatu perspektif masa depan memimpin ke arah pengertian yang mendalam dan pemahaman tentang pemikiran di depan dan peran individu dalam menggolongkan, mengharapkan dan menetapkan apa yang disukainya di masa depan. Para siswa dengan suatu perspektif masa depan mempunyai suatu disposisi untuk mengambil tanggung jawab keputusan dan tindakan yang dilakukannya. Mereka diberdayakan untuk berpartisipasi secara optimis dalam proses inovasi, recovery dan pembaruan sosial. Pengetahuan dan pengertian yang mendalam tentang masa lalu dan saat ini mendorong kearah pertimbangan konsekwensi tindakan pribadi dan kolektif di masa depan. Konsep masa depan menyediakan suatu basis untuk berpikir tentang, dan mengambil tanggung jawab dalam membuat keputusan dan tindakan. Pendekatan perspektif masa depan melalui seni kria kependidikan mendorong para siswa agar mampu mengembangkan dan memprediksi masa depan lewat sudut pandang pribadi melalui bentuk-bentuk, sistem simbol dan proses seni. Para siswa diharapkan dapat berkembang dan bertindak dalam cakupan kapasitas humanis, melalui imajinasi, intuisi dan pandangan ke depan dengan mengeksplorasi dan meng komunikasikan persepsi tentang masa depan Melalui seni kria kependidikan para siswa di ajarkan unutuk memahami dan empati dengan pesan-pesan yang mengkomunikasikan perspektif masa depan pada karya seni kria masa lampau dan masa kini dari berbagai kultur. Melalui seni kria kependidikan para siswa juga belajar untuk memahami bagaimana karya seni kria yang mempengaruhi, dan dipengaruhi oleh, lingkungan, konteks dan tujuan. Para siswa menyelidiki konsekwensi dan dampak yang diakibatkan teknologi pada individu, masyarakat global dan lokal, dan terutama lingkungan mereka dengan tujuan untuk membayangkan dan menciptakan masa depan yang lebih baik. Z. S. Soeteja, Pendidikan Melalui Seni Kria 17

18 Prespektif masa depan yang di bangun melalui seni kria kependidikan melatih siswa untuk mengembangkan dan menggunakan pemikiran kreatif dan lateral, dalam pengambilan keputusan, pemecahan masalah, refleksi, sehingga memperoleh pengertian mendalam yang bersifat optimistik mencakup hal yang tak diduga atau diprediksi sebelumnya. Kritis terhadap visi masa depan sebagaimana yang diekspresikan dalam karya seni kria, menunjukkan kemampuan membayangkan kontribusi diri mereka sendiri yang dapat mendukung masa depan kehidupan budayanya. Aspek Belajar dan Pelajar dalam Seni kria kependidikan 1. Belajar dengan Seni kria (Learning with Crafts) Pembelajaran melalui seni kria meliputi segala hal yang berhubungan dengan aspek perasaan dan estetika, aspek kognitif, fisik dan relasi sosial. a. Estetika dan belajar yang berhubungan dengan perasaan Estetika dapat diuraikan sebagai pengetahuan yang berhubungan dengan perasaan dan mengacu pada penggunaan pikiran untuk belajar, merasa dan bereaksi terhadap ciptaan manusia dan lingkungan di dalam seni kria. Pengalaman estetik meliputi aspek produktif dan tanggapan termasuk aspek pertimbangan serta pilihan. Para siswa dilibatkan dalam proses pemahaman tentang perannya sebagai peserta belajar dan belajar di mana mereka memilih unsur-unsur, komponen, konsep dan bentuk. Mereka kemudian memilih, mengkombinasikan, memanipulasi, mengerjakan lagi dan menekankan unsur-unsur ini untuk menyatakan gagasan, perasaan dan makna tertentu. Z. S. Soeteja, Pendidikan Melalui Seni Kria 18

19 Keterlibatan di dalam pengalaman seni kria mendorong siswa untuk berinteraksi dengan aspek perasaan yang berhubungan dengan dunia mereka. Akal sehat yang berhubungan dengan aspek kognitif, secara fisik dan afektif, memungkinkan para siswa untuk mengembangkan suatu pemahaman estetik dari kultur mereka sendiri dan dari kultur yang lain. Para siswa bisa merasakan, menikmati, bereaksi dan membuat pertimbangan tentang pengalaman mereka serta mengembangkan diskriminasi dan kesadaran yang berhubungan dengan perasaan mereka. Proses ini berperan untuk mengkonstruksi sesuatu yang estetik secara pribadi dan membantu perkembangan kesadaran kritis tentang nilai-nilai estetik di dalam dan lintas budaya serta berbagai kelompok sosial. b. Belajar Kognitif Belajar kognitif dalam seni kria bertujuan mengembangkan keterampilan berpikir kompleks. Keterampilan ini merupakan bagian penting dari aspek yang digunakan dalam semua disiplin ilmu atau pada salah satu disiplin seni. Cara belajar ini memungkinkan para siswa untuk mengembangkan kemampuan intuitif, kreatif, imajinatif dan keterampilan riset untuk memecahkan masalah. Keterampilan ini meliputi kemampuan untuk merasa, meneliti, mencerminkan, membuat pertimbangan, dekonstruksi dan mensintesis informasi dari berbagai sumber untuk menghasilkan gagasan. Para siswa menjadi terbiasa dan belajar untuk mengendalikan serta menggunakan, teknik, sistem simbol dan proses yang merupakan aktivitas inti dari masingmasing disiplin seni. Kemampuan ini secara integral mendukung kepada tujuan pendidikan yang lebih luas dan sangat menonjol di antara kemampuan kecakapan hidup dimana para siswa akan memerlukannya. Z. S. Soeteja, Pendidikan Melalui Seni Kria 19

20 c. Pembelajaran Fisik Dimensi fisik dalam area pembelajaran seni kria berfungsi untuk mengembangkan memori otot, keterampilan motorik kasar dan halus. Dimensi ini mengembangkan pula kemampuan koordinasi dan kesadaran mengenai ruang melalui pengalaman seperti permainan, bergerak, mempertunjukan dan menggunakan peralatan. Dimensi fisik merupakan aspek belajar yang penting meliputi keikutsertaan dalam aktivitas praktis sesuai kemampuan siswa, dimana para siswa tersebut memperoleh keterampilan fisik dan teknik yang relevan dalam suatu disiplin seni. Pelajaran fisik dapat juga melibatkan pengulangan dan praktek gerakan-gerakan atau pola-pola tertentu untuk mengembangkan kemampuan kontrol dan penguasaan. d. Pembelajaran Sosial Sebagai karya yang bersifat komunal, melalui seni kria masyarakat dapat saling terkoneksi misalnya melalui kegiatan perayaan, upacara adat dan upacara keagamaan. Ketika para siswa mengambil bagian dalam praktek seni kria yang ada di masyarakat, mereka mengembangkan suatu pemahaman tentang dinamika masyarakat dalam konteks budaya, sosial, ekonomi dan historis tertentu serta berbagi makna sosial yang diproduksi dan dihargai oleh kelompok masyarakat tersebut. Melalui kegiatan dan pengalaman ini, para siswa mengembangkan keterampilan interaktif, kepercayaan sosial, pemahaman dinamika kelompok dan kemampuan untuk bermusyawarah dalam kelompok ketika mereka bekerja ke arah suatu tujuan bersama. Kegiatan ini akan mendidik siswa untuk memahami perasaan mereka sendiri dan orang lain, tanggapan secara emosional seperti halnya ketika mereka terlibat dalam dan merefleksikan sebuah pengalaman seni. Kondisi ini membawa mereka ada dalam situasi yang memungkinkan untuk berempati dengan yang lain, berbagi Z. S. Soeteja, Pendidikan Melalui Seni Kria 20

21 kegembiraan, mengenadalikan frustrasi dan mengekspresikan perasaan dan gagasan ketika menciptakan produk seni kria. 2. Pendekatan yang berpusat pada pebelajar Pendekatan yang berpusat pada pebelajar atau learner-centred approach adalah suatu pendekatan kepada belajar-mengajar yang memandang belajar sebagai konstruksi makna dan pengajaran yang aktif, sebagai tindakan untuk memandu dan memfasilitasi belajar. Pendekatan ini mempertimbangkan pengetahuan sebagai sesuatu yang secara konstan mengubah dan membangun pengalaman utama. Suatu pendekatan learner-centred menyediakan peluang bagi para siswa untuk berlatih kritis melalui pemikiran kreatif dalam memecahkan masalah dan mengambil keputusan. Pendekatan ini melibatkan penggunaan keterampilan dan kemampuan memproses melalui daya ingat, aplikasi, analisa, sintesa, ramalan dan evaluasi. Semua ini berperan untuk peningkatan dan pengembangan pemahaman konseptual. Suatu pendekatan learner-centred juga mendorong para siswa untuk merefleksikan dan memonitor pemikiran mereka ketika mereka akan membuat keputusan dan mulai bertindak. Aktivitas dalam berkarya seni kria harus disesuaikan secara konstan untuk menemukan kemampuan, kebutuhan dan minat individu maupun kelompok siswa. Hal ini berarti menyediakan sejumlah waktu, ruang atau material berbeda serta menawarkan tingkat dan jenis dukungan yang berbeda pada para siswa. Sebagai contoh, karena sesuatu hal yang secara geografis mengisolasi para siswa, fokus pembelajaran mungkin pada aktivitas seni kria yang tidak memerlukan interaksi tatap muka secara reguler dengan rekan sebaya. Para siswa diijinkan terlibat dalam pengalaman seni kria dengan jalan berbeda atau aneka pilihan yang dibuat dari berbagai bidang pilihan sedemikian rupa sehingga pelajaran tetap relevan dan penuh arti. Mereka tetap mempunyai Z. S. Soeteja, Pendidikan Melalui Seni Kria 21

22 berbagai peluang untuk mengambil bagian dalam aktivitas belajar sehingga dapat mempertunjukkan apa yang mereka ketahui dan apa yang dapat dilakukan dengan apa yang mereka ketahui. Pendekatan ini melibatkan para siswa dan guru dalam perancangan pelajaran dan penilaian yang memerlukan negosiasi dan bersifat fleksibel. 3. Kemitraan dengan Komunitas Seni kria dapat menciptakan kebersamaan di antara para siswa, anggota sekolah, masyarakat sekitar dan komunitas seni. Kemitraan ini melibatkan siswa dalam pendekatan dengan banyak orang, pengalaman dan konteks. Beberapa siswa dapat mengakses manfaat pribadi melalui pengalaman seni kria yang ada di masyarakat seperti halnya pengalaman belajar yang diciptakan di sekolah. Mengembangkan kemitraan dengan pihak yang menawarkan keikutsertaan dalam berbagai program seni kria memungkinkan untuk menghubungkan pelajaran di dalam sekolah dengan realitas yang ada dimasyarakat. Kemitraan juga menyediakan peluang untuk menginformasikan kepada masyarakat tentang pendidikan dalam dan melalui aktivitas seni kria. Dengan asumsi sumber daya masyarakat dan sekolah berbeda, aktivitas belajar siswa dapat diperkaya dengan membangun kemitraan dengan orang lain pihak yang terlibat dalam seni kria. Orang tua, anggota masyarakat, organisasi (asosiasi) kriawan, kriawan lokal, para guru serta para pemilik dan pekerja industri kria dapat memberi dukungan dengan berbagi kegiatan, pengalaman, keahlian, dan keterampilan. Kemitraan dengan komunitas dapat juga memperkaya aktivitas pelajaran yang ditawarkan pada siswa dengan menyediakan akses ke peralatan, fasilitas, industri, dan kegiatan seni kria di masyarakat. Pengertian yang bermakna terhadap praktek seni kria dapat disajikan melalui pengalaman kriawan dalam program sekolah, karya seni kria Z. S. Soeteja, Pendidikan Melalui Seni Kria 22

23 yang asli dan ruang aktivitas seni kria di luar kelas, ruang publik dan ruang virtual. Kegiatan ini berharga bagi para siswa dan anggota masyarakat karena memiliki peluang untuk berinteraksi dan berkolaborasi pada proyek seni kria dalam situasi belajar di kehidupan nyata. Penghargaan dan pemahaman tentang keaneka ragaman budaya dan sifat alami saling berhubungan antara seni kria dan budaya dieksplorasi dengan jalan yang penuh makna. Hal ini ditingkatkan melalui representasi praktek seni kria dan kriawan tradisional yang lahir dari budaya asli yang ada di masyarakat ke dalam lingkungan sekolah. Kemitraan dengan masyarakat pedalaman dan penduduk asli misalnya, menyediakan peluang belajar yang cukup esensial bagi siswa. Masyarakat semacam ini umumnya mempunyai kultur dengan suatu orientasi lisan dan pendekatan holistik kepada transmisi pengetahuan budaya. Ekspresi dari identitas budaya, sejarah, hukum, hubungan dengan alam dan sistem kekerabatan melalui suatu variasi makna artistik menyediakan pengalaman belajar yang kaya bagi para siswa. Untuk menciptakan dan memelihara kemitraan dengan masyarakat pedalaman atau penduduk asli, pihak sekolah dan peserta belajar harus menghormati protokol dan prosedur yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Efektivitas dari proses pembelajaran melalui program kemitraan ini, dapat dilakukan dengan mencari pembimbing (guidance) dari penduduk lokal, organisasi dan anggota masyarakat yang relevan. PENUTUP Melalui paparan sederhana di atas dapat terpetakan peran dan manfaat seni kria dalam dunia pendidikan umum. Terlepas dari fenomena tumbuh dan berkembangnya penciptaan seni kria yang mengarah pada produk pemenuhan kebutuhan praktis dan penciptaan karya seni kria yang mengarah pada tujuan ekspresi pribadi, pada Z. S. Soeteja, Pendidikan Melalui Seni Kria 23

24 dasarnya kedua orientasi ini dapat digunakan sebagai sarana pendidikan. Kekayaan budaya kria tradisi yang dimiliki bangsa Indonesia seyogianya merupakan kekayaan materi pembelajaran Seni Budaya yang dapat dieksplorasi oleh para siswa maupun para pendidik seni di sekolahsekolah umum. Menggunakan seni kria dalam pendidikan di sekolah umum tidak saja berfungsi meningkatkan kemampuan praktis dalam berkarya seni kria, tetapi seperti telah disampaikan di atas, memiliki pula potensi laten untuk menumbuhkembangkan potensi-potensi peserta didik secara optimum menjadi manusia dewasa yang utuh. Kesadaran terhadap kebermanfaatan seni kria dalam penyelenggaraan pendidikan umum ini seharusnya secara eksplisit menjadi bingkai kurikulum dalam penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan calon pendidik seni rupa di Indonesia. Pada gilirannya para pendidik ini akan mentransformasikan pengetahuannya kepada anak didiknya sehingga pencapaian tujuan pendidikan untuk menjadikan manusia Indonesia seutuhnya yang memiliki jati diri dan rasa keindonesiaan dan bukan lagi menjadi harapan dan angan-angan semata. Bandung, Agustus 2008 DAFTAR PUSTAKA Boyd, Janis, Myth, Misconceptions, Problems, and Issues in Arts Education Quensland Studies Authority. terdapat dalam diakses 24 April 2004 Caldwell, Barbara A., dan Dake, Deniss M., (2000), The Changing Face of Art Education dalam School Arts Vol. 99 Maret Davis Publication Inc. Z. S. Soeteja, Pendidikan Melalui Seni Kria 24

25 Chapman, Laura H., (1978), Approach to Art in Education, New York: Harcourt Brace Jovanovich Cunliffe, Leslie, (1998), Art and Art Education As A Cognitive Proses and the National Curriculum, dalam Burden, Robert dan Williams, Marion, (ed.), 1998, Thinking Through The Curriculum, USA, Kanada: Routledge. De Bono, Edward, (1991), Berpikir Lateral, Sutoyo (terj.), Jakarta: Erlangga. Dorn, Charles M., (1993), Art as Intelligent Activity, dalam Jurnal Arts Education Policy Review. Vol. 95. Issue Duncum, Paul, 2001, Theoretical Foundations for an Art Education of Global Culture and Principles for Classroom Practice dalam International Journal of Education and The Arts V.2 No Juni Emery, Lee, (1998), The Arts, A Statement On the Arts As A Key Learning Area Of The School Curriculum, Paper Prepared for Queensland School Curriculum Council, Department Of Language, Literacy and Arts Education the University Of Melbourne. Feeney, Stephanie, (2002), Art as a Way of Learning [TM]: Exploration Learning, dalam Jurnal Childhood Education Vol.72, Issue.2, Association for Children Education International. Ferguson, Winnie J. dan Owen, Luisa L., (1993), Art Appreciation: The Learning Disabled Look, Talk and Create, dalam Majalah School Arts, Volume 92. No. 9, May 1993, Davis Publication Inc Johnson, Mia, (1997), Teaching Children to Value Art and Artists, dalam Jurnal Phi Delta Kappan. Vol. 78, Issue.6, Phi Delta Kappan Kavolis, Vytautas, History On Art s Side Social Dynamic In Efflorescences, Cornel University Press, Itacha, New York, Perrin, Stephanie, (1994), Education in the Arts Is an Education for Life dalam Jurnal Phi Delta Kappan. Vol. 75, Issue.6, Phi Delta Kappan QSCC, (2002), The Arts, Year 1-10 Syllabus, Quensland: QSA Quensland, tersedia dalam di akses 27 April 2004 Read, H. (1958) Education Through Art. London: Faber and Faber Wachowiak, F and Clements R., (1993). Emphasis Art, A Qualitative Art Program for Elementary and Midle Schools. Fifth Edition. New York: Harper Collins College Publishers. Z. S. Soeteja, Pendidikan Melalui Seni Kria 25

26 Yampolsky, P. (2001) Konsep Pendidikan Apresiasi Seni Nusantara. Makalah, disampaikan pada Seminar dan Lokakarya Nasional Pendidikan Seni April 2001 di Jakarta. * ) Zakarias S. Soeteja, S,Pd., M.Sn., alumni Pendidikan Seni Rupa UPI dan Program Pascasarjana ISI Yogyakarta, Staf Pengajar Jurusan Pendidikan Seni Rupa, Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas Pendidikan Indonesia. Z. S. Soeteja, Pendidikan Melalui Seni Kria 26

Fungsi Apresiasi dan Kritik dalam Pendidikan Seni Rupa

Fungsi Apresiasi dan Kritik dalam Pendidikan Seni Rupa Kegiatan Pembelajaran 3 Fungsi Apresiasi dan Kritik dalam Pendidikan Seni Rupa A. Apresiasi dalam Pendidikan Seni Rupa Salah satu aspek pembelajaran yang cukup penting dalam pendidikan seni rupa adalah

Lebih terperinci

PENDIDIKAN SENI PROSES PEMBENTUKAN MELALUI SENI. Zakarias S. Soeteja

PENDIDIKAN SENI PROSES PEMBENTUKAN MELALUI SENI. Zakarias S. Soeteja PENDIDIKAN SENI PROSES PEMBENTUKAN MELALUI SENI Zakarias S. Soeteja Pendidikan Seni pada hakekatnya merupakan proses pembentukan manusia melalui seni. berfungsi untuk mengembangkan kemampuan setiap anak

Lebih terperinci

BAB III ANALISIS. Komunitas belajar dalam Tugas Akhir ini dapat didefinisikan melalui beberapa referensi yang telah dibahas pada Bab II.

BAB III ANALISIS. Komunitas belajar dalam Tugas Akhir ini dapat didefinisikan melalui beberapa referensi yang telah dibahas pada Bab II. BAB III ANALISIS Sesuai dengan permasalahan yang diangkat pada Tugas Akhir ini, maka dilakukan analisis pada beberapa hal sebagai berikut: 1. Analisis komunitas belajar. 2. Analisis penerapan prinsip psikologis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. daya manusia yang berkualitas, berkarakter dan mampu berkompetensi dalam

BAB I PENDAHULUAN. daya manusia yang berkualitas, berkarakter dan mampu berkompetensi dalam 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan memegang peranan penting dalam mempersiapkan sumber daya manusia yang berkualitas, berkarakter dan mampu berkompetensi dalam perkembangan ilmu

Lebih terperinci

SILABUS DAN SATUAN ACARA PERKULIAHAN. Mata Kuliah : Pendidikan Seni Rupa. Kode Mata Kuliah : SKS : 3 (Tiga) Oleh : Ira Rengganis, S.Pd., M.

SILABUS DAN SATUAN ACARA PERKULIAHAN. Mata Kuliah : Pendidikan Seni Rupa. Kode Mata Kuliah : SKS : 3 (Tiga) Oleh : Ira Rengganis, S.Pd., M. SILABUS DAN SATUAN ACARA PERKULIAHAN Mata Kuliah : Pendidikan Seni Rupa Kode Mata Kuliah : GD106 SKS : 3 (Tiga) Oleh : Ira Rengganis, S.Pd., M.Sn PRODI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR JURUSAN PEDAGOGIK FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupannya, tiap individu senantiasa menghadapi masalah, dalam

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupannya, tiap individu senantiasa menghadapi masalah, dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupannya, tiap individu senantiasa menghadapi masalah, dalam skala sempit maupun luas, sederhana maupun kompleks. Kesuksesan individu sangat ditentukan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Model pembelajaran berbasis masalah (Problem-based Learning), adalah model

II. TINJAUAN PUSTAKA. Model pembelajaran berbasis masalah (Problem-based Learning), adalah model II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pembelajaran Berbasis Masalah Model pembelajaran berbasis masalah (Problem-based Learning), adalah model pembelajaran yang menjadikan masalah sebagai dasar atau basis bagi siswa

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 278 BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Pada bab ini dikemukakan kesimpulan dari temuan-temuan terpenting dalam penelitian, dan rekomendasi tindak lanjut bagi penelitian berikutnya. Perlu diketahui bahwa

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN. Pada bab V ini akan disajikan pembahasan pada produk final hasil

BAB V PEMBAHASAN. Pada bab V ini akan disajikan pembahasan pada produk final hasil BAB V PEMBAHASAN Pada bab V ini akan disajikan pembahasan pada produk final hasil pengembangan, di mana wujud akhir dari produk yang dikembangkan setelah direvisi perlu dikaji secara objektif dan tuntas.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan suatu bangsa dan negara hendaknya sejalan dengan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan suatu bangsa dan negara hendaknya sejalan dengan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pembangunan suatu bangsa dan negara hendaknya sejalan dengan pembangunan dan peningkatan sumber daya manusia. Peningkatan sumber daya manusia dapat dilakukan

Lebih terperinci

A. LATAR BELAKANG MASALAH

A. LATAR BELAKANG MASALAH BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Salah satu tujuan pembelajaran matematika pada sekolah menengah atas adalah siswa memiliki kemampuan memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Enok Ernawati, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Enok Ernawati, 2013 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 41 Tahun 2007 mengenai standar proses untuk satuan pendidikan dasar dan menengah menekankan bahwa paradigma

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kemampuan berpikir kreatif dan komunikasi serta teknologi yang maju

BAB I PENDAHULUAN. Kemampuan berpikir kreatif dan komunikasi serta teknologi yang maju BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Kemampuan berpikir kreatif dan komunikasi serta teknologi yang maju merupakan suatu hal yang sangat urgen dalam masyarakat modern, karena dapat membuat manusia

Lebih terperinci

MATA KULIAH PENDIDIKAN SENI RUPA (GD106)

MATA KULIAH PENDIDIKAN SENI RUPA (GD106) SILABUS MATA KULIAH PENDIDIKAN SENI RUPA (GD106) Disusun oleh: MAMAN TOCHARMAN,M.Pd. PROGRAM PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR JURUSAN PEDAGOGIK FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA 2010

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Global Monitoring report, (2012) yang dikeluarkan UNESCO menyatakan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. Global Monitoring report, (2012) yang dikeluarkan UNESCO menyatakan bahwa 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Salah satu permasalahan pendidikan yang menjadi prioritas untuk segera dicari pemecahannya adalah masalah kualitas pendidikan, khususnya kualitas pembelajaran.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sumber daya manusia merupakan faktor penting dalam membangun suatu

BAB I PENDAHULUAN. Sumber daya manusia merupakan faktor penting dalam membangun suatu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sumber daya manusia merupakan faktor penting dalam membangun suatu bangsa. Penduduk yang banyak tidak akan menjadi beban suatu negara apabila berkualitas, terlebih

Lebih terperinci

KURIKULUM TINGKAT SATUAN PENDIDIKAN (KTSP)

KURIKULUM TINGKAT SATUAN PENDIDIKAN (KTSP) KTSP Perangkat Pembelajaran Sekolah Menengah Pertama (SMP)/Madrasah Tsanawiyah (MTs) PERANGKAT PEMBELAJARAN STANDAR KOMPETENSI DAN KOMPETENSI DASAR Mata Pelajaran Satuan Pendidikan Kelas/Semester : Seni

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembelajaran merupakan kunci keberhasilan sumber daya manusia untuk

BAB I PENDAHULUAN. Pembelajaran merupakan kunci keberhasilan sumber daya manusia untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembelajaran merupakan kunci keberhasilan sumber daya manusia untuk mengikuti perkembangan zaman. Pembelajaran memiliki peran serta mendidik siswa agar menjadi manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesamaan, perbedaan, konsistensi dan inkonsistensi. tahu, membuat prediksi dan dugaan, serta mencoba-coba.

BAB I PENDAHULUAN. kesamaan, perbedaan, konsistensi dan inkonsistensi. tahu, membuat prediksi dan dugaan, serta mencoba-coba. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Matematika mempunyai peranan sangat penting dalam perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK). Matematika juga dapat menjadikan siswa menjadi manusia

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORITIS TENTANG HASIL BELAJAR SISWA PADA PEMBELAJARAN BILANGAN BULAT

BAB II KAJIAN TEORITIS TENTANG HASIL BELAJAR SISWA PADA PEMBELAJARAN BILANGAN BULAT 8 BAB II KAJIAN TEORITIS TENTANG HASIL BELAJAR SISWA PADA PEMBELAJARAN BILANGAN BULAT A. Metode Kerja Kelompok Salah satu upaya yang ditempuh guru untuk menciptakan kondisi belajar mengajar yang kondusif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Proses pembelajaran merupakan aktivitas yang paling utama dalam proses pendidikan di sekolah. Pembelajaran matematika merupakan suatu proses belajar mengajar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di era dengan kemajuan teknologi informasi yang sangat pesat, kehidupan sehari-hari tidak pernah lepas dari matematika. menurut Steen (2001) bahwa abad ke-21

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI 6 BAB II LANDASAN TEORI A. Pembelajaran Matematika Matematika (dari bahasa Yunani: mathēmatiká) adalah studi besaran, struktur, ruang, dan perubahan. Para matematikawan mencari berbagai pola, merumuskan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memunculkan persaingan yang cukup tajam, dan sekaligus menjadi ajang seleksi

BAB I PENDAHULUAN. memunculkan persaingan yang cukup tajam, dan sekaligus menjadi ajang seleksi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kehidupan masyarakat yang cenderung bersifat terbuka memberi kemungkinan munculnya berbagai pilihan bagi seseorang dalam menata dan merancang kehidupan masa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian Muhamad Nurachim, 2015

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian Muhamad Nurachim, 2015 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Sekolah sebagai salah satu lembaga formal memiliki tugas dan wewenang menyelenggarakan proses pendidikan. Kegiatan belajar mengajar merupakan kegiatan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Matematika adalah sesuatu yang sangat penting untuk dipelajari, karena

BAB I PENDAHULUAN. Matematika adalah sesuatu yang sangat penting untuk dipelajari, karena 1 BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Matematika adalah sesuatu yang sangat penting untuk dipelajari, karena matematika merupakan dasar dari mata pelajaran lain yang saling berkesinambungan. Namun,

Lebih terperinci

PEMAHAMAN KONSEP DAN KOMUNIKASI MATEMATIK DENGAN PEMBELAJARAN KOOPERATIF CO-OP CO-OP

PEMAHAMAN KONSEP DAN KOMUNIKASI MATEMATIK DENGAN PEMBELAJARAN KOOPERATIF CO-OP CO-OP PEMAHAMAN KONSEP DAN KOMUNIKASI MATEMATIK DENGAN PEMBELAJARAN KOOPERATIF CO-OP CO-OP Mardiana Abstraksi Pembelajaran kooperatif Co-op Co-op. Model pembelajaran ini pada dasarnya menekankan pentingnya siswa

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Kata media berasal dari bahasa latin yaitu medium yang secara harfiah berarti

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Kata media berasal dari bahasa latin yaitu medium yang secara harfiah berarti BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Media Kartu Bergambar 2.1.1 Pengertian Media Kartu Bergambar Kata media berasal dari bahasa latin yaitu medium yang secara harfiah berarti perantara. Dengan demikian media dapat

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Model Problem Based Learning dikembangkan oleh Barrows sejak tahun

II. TINJAUAN PUSTAKA. Model Problem Based Learning dikembangkan oleh Barrows sejak tahun II. TINJAUAN PUSTAKA A. Model Pembelajaran Berbasis Masalah Model Problem Based Learning dikembangkan oleh Barrows sejak tahun 1970-an. Model Problem Based Learning berfokus pada penyajian suatu permasalahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Bahasa Indonesia secara umum mempunyai fungsi sebagai alat komunikasi sosial. Pada dasarnya bahasa erat kaitannya dengan kehidupan manusia. Manusia sebagai anggota

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dedi Abdurozak, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dedi Abdurozak, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Matematika sebagai bagian dari kurikulum di sekolah, memegang peranan yang sangat penting dalam upaya meningkatkan kualitas lulusan yang mampu bertindak atas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Nobonnizar, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Nobonnizar, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bicara tentang matematika tidak lepas dari bagaimana kesan siswa terhadap matematika itu sendiri, banyak yang menyukainya tapi tidak sedikit pula yang tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pesatnya komunikasi dan interaksi global telah menempatkan bahasa

BAB I PENDAHULUAN. Pesatnya komunikasi dan interaksi global telah menempatkan bahasa 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pesatnya komunikasi dan interaksi global telah menempatkan bahasa Inggris sebagai salah satu media yang mutlak kebutuhannya. Tanpa kemampuan berbahasa Inggris

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Di dalam dunia yang terus berubah dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) yang pesat, manusia dituntut memiliki kemampuan berpikir kritis, sistematis,

Lebih terperinci

2015 PEMBELAJARAN TARI KREASI UNTUK MENINGKATKAN MINAT BELAJAR PADA SISWA KELAS VIII DI SMPN 45 BANDUNG

2015 PEMBELAJARAN TARI KREASI UNTUK MENINGKATKAN MINAT BELAJAR PADA SISWA KELAS VIII DI SMPN 45 BANDUNG BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Berhasilnya suatu proses kegiatan belajar mengajar itu dapat tercermin salah satunya dari minat belajar siswa mengikuti proses kegiatan tersebut. Sejalan

Lebih terperinci

METODE PEMBELAJARAN BAHASA SASTRA Prosedur dan Kultur. Meyridah SMAN Tambang Ulang, Tanah Laut

METODE PEMBELAJARAN BAHASA SASTRA Prosedur dan Kultur. Meyridah SMAN Tambang Ulang, Tanah Laut METODE PEMBELAJARAN BAHASA SASTRA Prosedur dan Kultur Meyridah SMAN Tambang Ulang, Tanah Laut merydah76@gmail.com ABSTRAK Tulisan ini bertujuan memberikan kontribusi pemikiran terhadap implementasi pembelajaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. emosional peserta didik dan merupakan penunjang keberhasilan dalam

BAB I PENDAHULUAN. emosional peserta didik dan merupakan penunjang keberhasilan dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bahasa memiliki peran sentral dalam perkembangan intelektual, sosial dan emosional peserta didik dan merupakan penunjang keberhasilan dalam mempelajari semua bidang

Lebih terperinci

sendiri dari hasil pengalaman belajarnya.

sendiri dari hasil pengalaman belajarnya. 1 BAB I PENDAHAULUAN Dalam bab ini akan diuraikan tentang Latar Belakang Masalah, Identifikasi Masalah, Batasan Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, dan Manfaat Penelitian. 1.1 Latar Belakang Masalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan daya pikir manusia. Perkembangan teknologi dan informasi

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan daya pikir manusia. Perkembangan teknologi dan informasi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Matematika sebagai ilmu universal yang mendasari perkembangan teknologi modern, mempunyai peran penting dalam berbagai disiplin ilmu dan mengembangkan daya pikir manusia.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Interaksi pendidikan berfungsi membantu pengembangan seluruh potensi, kecakapan

BAB I PENDAHULUAN. Interaksi pendidikan berfungsi membantu pengembangan seluruh potensi, kecakapan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan interaksi antara pendidik dengan peserta didik, untuk mencapai tujuan pendidikan, yang berlangsung dalam lingkungan pendidikan. Interaksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kehidupan manusia tidak pernah lepas dari bahasa. Bahasa merupakan sarana untuk berkomunikasi antarsesama manusia. Bahasa sebagai sarana komunikasi dapat berupa

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Leli Nurlathifah, 2015

PENDAHULUAN. Leli Nurlathifah, 2015 1 BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan zaman menuntut disiapkannya penerus bangsa yang siap menghadapi berbagai tantangan. Individu yang siap adalah individu yang sukses

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masalah besar dalam bidang pendidikan di Indonesia yang banyak. diperbincangkan, diantaranya adalah rendahnya mutu pendidikan yang

BAB I PENDAHULUAN. Masalah besar dalam bidang pendidikan di Indonesia yang banyak. diperbincangkan, diantaranya adalah rendahnya mutu pendidikan yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masalah besar dalam bidang pendidikan di Indonesia yang banyak diperbincangkan, diantaranya adalah rendahnya mutu pendidikan yang tercermin dari rendahnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu dampak globalisasi adalah perkembangan Teknologi, Informasi dan Komunikasi (TIK) atau Information and Communication

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu dampak globalisasi adalah perkembangan Teknologi, Informasi dan Komunikasi (TIK) atau Information and Communication 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Era globalisasi ditandai dengan perubahan paradigma masyarakat dari lokal menjadi global. Masyarakat awalnya hanya berinteraksi dalam suatu kelompok tertentu, tetapi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Matematika adalah salah satu ilmu pengetahuan dasar dan memberikan andil yang sangat besar dalam kemajuan bangsa. Pernyataan ini juga didukung oleh Kline (Suherman,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan cara mencari

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan cara mencari BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Pada dasarnya Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis untuk menguasai kumpulan pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Suci Primayu Megalia, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Suci Primayu Megalia, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan upaya penting untuk mencerdaskan Sumber Daya Manusia (SDM). Salah satu upaya itu adalah dengan adanya pendidikan formal maupun informal yang di

Lebih terperinci

II. KAJIAN PUSTAKA. Efektivitas dalam bahasa Indonesia merujuk pada kata dasar efektif yang diartikan

II. KAJIAN PUSTAKA. Efektivitas dalam bahasa Indonesia merujuk pada kata dasar efektif yang diartikan II. KAJIAN PUSTAKA A. Tinjauan Pustaka 1. Efektivitas Pembelajaran Efektivitas dalam bahasa Indonesia merujuk pada kata dasar efektif yang diartikan ada efeknya, akibatnya, pengaruhnya, kesannya, atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah mutu menjadi sorotan utama dalam dunia pendidikan dalam beberapa tahun terakhir ini. Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi memberikan dampak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan suatu negara. Tanpa pendidikan suatu negara akan tertinggal jauh

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan suatu negara. Tanpa pendidikan suatu negara akan tertinggal jauh BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembukuan Undang-Undang Dasar 1945, secara fundamental merupakan pernyataan dan tekad untuk membangun bangsa. Salah satu wujud nyata yang harus ditempuh dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang IPA merupakan pengetahuan yang sistematis dan tersusun secara teratur, berlaku umum (universal) dan berupa kumpulan data hasil observasi dan eksperimen (Carin dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Ika Citra Wulandari, 2015

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Ika Citra Wulandari, 2015 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang banyak digunakan dan dimanfaatkan untuk menyelesaikan permasalahan pada hampir semua mata pelajaran yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembelajaran matematika di sekolah harus dapat menyiapkan siswa untuk memiliki kemampuan komunikasi matematik dan pemecahan masalah sebagai bekal untuk menghadapi

Lebih terperinci

BELAJAR DI ERA DIGITAL: BAHASA INGGRIS BERBASIS LOKALITAS MELALUI MEDIA SOSIAL SEBAGAI LANGKAH ANTISIPATIF MENYONGSONG 0 KM JAWA

BELAJAR DI ERA DIGITAL: BAHASA INGGRIS BERBASIS LOKALITAS MELALUI MEDIA SOSIAL SEBAGAI LANGKAH ANTISIPATIF MENYONGSONG 0 KM JAWA BELAJAR DI ERA DIGITAL: BAHASA INGGRIS BERBASIS LOKALITAS MELALUI MEDIA SOSIAL SEBAGAI LANGKAH ANTISIPATIF MENYONGSONG 0 KM JAWA Winda Candra Hantari, Ali Imron Abstrak Perubahan kecil dalam sebuah konteks

Lebih terperinci

2015 MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS DAN LOGIS MATEMATIS SERTA KEMANDIRIAN BELAJAR SISWA SMP MELALUI LEARNING CYCLE 5E DAN DISCOVERY LEARNING

2015 MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS DAN LOGIS MATEMATIS SERTA KEMANDIRIAN BELAJAR SISWA SMP MELALUI LEARNING CYCLE 5E DAN DISCOVERY LEARNING BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Matematika merupakan ilmu yang berperan penting dalam kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK), sehingga perkembangan matematika menjadi sesuatu yang

Lebih terperinci

Prosiding Seminar Nasional Prodi Teknik Busana PTBB FT UNY Tahun 2005 PENERAPAN PEMBELAJARAN KONSTRUKTIVISME DALAM MATA KULIAH PENGETAHUAN TEKSTIL

Prosiding Seminar Nasional Prodi Teknik Busana PTBB FT UNY Tahun 2005 PENERAPAN PEMBELAJARAN KONSTRUKTIVISME DALAM MATA KULIAH PENGETAHUAN TEKSTIL PENERAPAN PEMBELAJARAN KONSTRUKTIVISME DALAM MATA KULIAH PENGETAHUAN TEKSTIL Widihastuti Dosen Program Studi Teknik Busana Fakultas Teknik UNY widihastuti@uny.ac.id; twidihastutiftuny@yahoo.com ABSTRAK

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan. I.1 Latar Belakang

Bab I Pendahuluan. I.1 Latar Belakang Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang Aktivitas kolaborasi memberikan dampak yang signifikan dalam usaha kolektif manusia. Aktivitas ini mendapatkan perhatian yang sangat besar dari sejumlah besar area

Lebih terperinci

Keberhasilan suatu proses pembelajaran dipengaruhi oleh beberapa komponen. Dalam prosesnya, siswa dituntut untuk meningkatkan kompetensinya dengan

Keberhasilan suatu proses pembelajaran dipengaruhi oleh beberapa komponen. Dalam prosesnya, siswa dituntut untuk meningkatkan kompetensinya dengan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan merupakan suatu komponen penting dalam mentransformasi pengetahuan, keahlian, dan nilai-nilai akhlak dalam pembentukan jati diri bangsa. Pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan. Pendidikan merupakan bagian terpenting di dalam kehidupan.

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan. Pendidikan merupakan bagian terpenting di dalam kehidupan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menghadapi tantangan era globalisasi saat ini diperlukan sumber daya manusia yang handal yang memiliki pemikiran kritis, sistematis, logis, kreatif, dan kemauan kerjasama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Afifudin, 2013

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Afifudin, 2013 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) berkaitan dengan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Nurningsih, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Nurningsih, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembelajaran matematika tidak hanya mengharuskan siswa sekedar mengerti materi yang dipelajari saat itu, tapi juga belajar dengan pemahaman dan aktif membangun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah kebutuhan pokok dalam menciptakan sumber daya

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah kebutuhan pokok dalam menciptakan sumber daya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah kebutuhan pokok dalam menciptakan sumber daya manusia yang bermutu dan dapat diandalkan dalam kemajuan bangsa. Pendidikan merupakan investasi

Lebih terperinci

MODEL GROUP MAPPING ACTIVITY (GMA) DALAM PEMBELAJARAN MEMBACA

MODEL GROUP MAPPING ACTIVITY (GMA) DALAM PEMBELAJARAN MEMBACA MODEL GROUP MAPPING ACTIVITY (GMA) DALAM PEMBELAJARAN MEMBACA Rasional Pengajaran membaca dalam bahasa, termasuk dalam bahasa Sunda, kini telah berkembang. Namun khususnya dalam pengajaran membaca, hasil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Diantaranya, Kurikulum 1964, Kurikulum 1974, Kurikulum 1984, Kurikulum

BAB I PENDAHULUAN. Diantaranya, Kurikulum 1964, Kurikulum 1974, Kurikulum 1984, Kurikulum 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sejak awal kemerdekaan hingga sekarang, Indonesia telah memberlakukan enam kurikulum sebagai landasan pelaksanaan pendidikan secara nasional. Diantaranya,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Biologi berasal dari bahasa yunani, yaitu dari kata bios yang berarti

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Biologi berasal dari bahasa yunani, yaitu dari kata bios yang berarti BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pembelajaran Biologi Biologi berasal dari bahasa yunani, yaitu dari kata bios yang berarti kehidupan dan logos yang berarti ilmu. Jadi biologi adalah cabang ilmu pengetahuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kunci penting dalam menghadapi tantangan di masa depan. Menurut Hayat dan

BAB I PENDAHULUAN. kunci penting dalam menghadapi tantangan di masa depan. Menurut Hayat dan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penguasaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) saat ini menjadi kunci penting dalam menghadapi tantangan di masa depan. Menurut Hayat dan Yusuf (2010) setiap warga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Untuk menghadapi tantangan zaman yang dinamis, berkembang semakin

BAB I PENDAHULUAN. Untuk menghadapi tantangan zaman yang dinamis, berkembang semakin BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Untuk menghadapi tantangan zaman yang dinamis, berkembang semakin maju diperlukan sumber daya manusia yang memiliki keterampilan intelek tingkat tinggi yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai mahluk yang diberikan kelebihan oleh Allah swt dengan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai mahluk yang diberikan kelebihan oleh Allah swt dengan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan salah satu kebutuhan pokok dalam kehidupan manusia yang berpikir bagaimana menjalani kehidupan dunia ini dalam rangka mempertahankan hidup

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Yunus Abidin, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Yunus Abidin, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Sejalan dengan perkembangan paradigma dunia tentang makna pendidikan, pendidikan dihadapkan ada sejumlah tantangan yang semakin berat. Salah satu tantangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Keterampilan seseorang dalam melakukan komunikasi sangat tergantung

BAB I PENDAHULUAN. Keterampilan seseorang dalam melakukan komunikasi sangat tergantung BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keterampilan seseorang dalam melakukan komunikasi sangat tergantung pada kemampuan dan keterampilannya dalam berbahasa. Keterampilan berbahasa terdiri dari empat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Prinsip pendidikan seni dan budaya meliputi pengembangan dimensi

BAB I PENDAHULUAN. Prinsip pendidikan seni dan budaya meliputi pengembangan dimensi BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Prinsip pendidikan seni dan budaya meliputi pengembangan dimensi kepekaan rasa, peningkatan apresiasi, dan pengembangan kreativitas. Struktur kurikulum pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Herman S. Wattimena,2015

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Herman S. Wattimena,2015 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tujuan pembelajaran dalam pendidikan sains seperti yang diungkapkan Millar (2004b) yaitu untuk membantu peserta didik mengembangkan pemahamannya tentang pengetahuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Proses pembelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Menengah Kejuruan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Proses pembelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Menengah Kejuruan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Proses pembelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) diarahkan untuk meningkatkan kemampuan siswa berkomunikasi dalam bahasa Indonesia dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan suatu aspek kehidupan yang sangat mendasar bagi pembangunan suatu bangsa dan negara. Dengan adanya pendidikan maka akan tercipta suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Putri Hidayati, 2013

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Putri Hidayati, 2013 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Era globalisasi menyajikan berbagai perubahan dan tantangan yang sangat kompleks di setiap sendi kehidupan. Untuk menghadapi tantangan ini, manusia harus berupaya meningkatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Proses pembelajaran matematika membutuhkan sejumlah kemampuan. Seperti dinyatakan dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP, 2006) bahwa untuk menguasai

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. A. Hakikat Model Pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) 1. Pengertian Contextual Teaching and Learning (CTL)

BAB II KAJIAN TEORI. A. Hakikat Model Pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) 1. Pengertian Contextual Teaching and Learning (CTL) 10 BAB II KAJIAN TEORI A. Hakikat Model Pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) 1. Pengertian Contextual Teaching and Learning (CTL) Menurut Suprijono Contextual Teaching and Learning (CTL)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Secara nasional, pendidikan merupakan sarana yang dapat mempersatukan setiap warga negara menjadi suatu

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Secara nasional, pendidikan merupakan sarana yang dapat mempersatukan setiap warga negara menjadi suatu 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Secara nasional, pendidikan merupakan sarana yang dapat mempersatukan setiap warga negara menjadi suatu bangsa. Melalui pendidikan setiap peserta didik difasilitasi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berlandaskan pada kurikulum satuan pendidikan dalam upaya meningkatkan. masyarakat secara mandiri kelak di kemudian hari.

BAB I PENDAHULUAN. berlandaskan pada kurikulum satuan pendidikan dalam upaya meningkatkan. masyarakat secara mandiri kelak di kemudian hari. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan formal merupakan upaya sadar yang dilakukan sekolah dengan berlandaskan pada kurikulum satuan pendidikan dalam upaya meningkatkan kemampuan kognitif,

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perancangan 1. Penjelasan Judul Perancangan Pendidikan PAUD saat ini sangatlah penting, sebab merupakan pendidikan dasar yang harus diterima anak-anak. Selain itu untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu cabang matematika yang diajarkan di sekolah adalah Geometri. Dari sudut pandang psikologi, geometri merupakan penyajian abstraksi dari pengalaman

Lebih terperinci

Modul 3 PPG-Konten Kurikulum 1

Modul 3 PPG-Konten Kurikulum 1 C. Hakikat Seni Anak Usia Dini Seni mewakili perasaan dan persepsi tentang dunia anak. Seorang anak menggambar dan menulis untuk mengatur gagasan dan membangun makna dari pengalamannya (Baghban, 2007).

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Belajar dan Pembelajaran 1. Pengertian Belajar dan Pembelajaran Istilah belajar sudah dikenal luas di berbagai kalangan walaupun sering disalahartikan atau diartikan secara pendapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang termasuk dalam aspek kebudayaan, sudah dapat dirasakan oleh

BAB I PENDAHULUAN. yang termasuk dalam aspek kebudayaan, sudah dapat dirasakan oleh BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Seni budaya merupakan penjelmaan rasa seni yang sudah membudaya, yang termasuk dalam aspek kebudayaan, sudah dapat dirasakan oleh orang banyak dalam rentang perjalanan

Lebih terperinci

BAB IV PROSES PENGEMBANGAN MODEL PENILAIAN OTENTIK DALAM PEMBELAJARAN MEMBACA PEMAHAMAN

BAB IV PROSES PENGEMBANGAN MODEL PENILAIAN OTENTIK DALAM PEMBELAJARAN MEMBACA PEMAHAMAN BAB IV PROSES PENGEMBANGAN MODEL PENILAIAN OTENTIK DALAM PEMBELAJARAN MEMBACA PEMAHAMAN Dalam bab ini diuraikan proses pengembangan model penilaian otentik dalam pembelajaran membaca pemahaman yang telah

Lebih terperinci

RENCANA PEMBELAJARAN

RENCANA PEMBELAJARAN RENCANA PEMBELAJARAN Oleh : LOEKISNO CHOIRIL WARSITO A. ORIENTASI KURIKULUM 2004 Kurikulum 2004 yang lazim dinamakan sebagai kurikulum berbasis kompetensi (KBK) pada dasarnya berorientasi pada kompetensi

Lebih terperinci

Dewasa ini komputer telah dan akan menjadi bagian dari kehidupan masyarakat

Dewasa ini komputer telah dan akan menjadi bagian dari kehidupan masyarakat SOFTWARE DERIVE SEBAGAI MINDTOOLS DALAM BELAJAR MATEMATIKA DI PERGURUAN TINGGI F a h i n u Program Studi Pendidikan Matematika Jurusan PMIPA FKIP Universitas Haluoleo Kendari ABSTRAK Artikel ini membahas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Globalisasi saat ini telah melanda dunia. Dunia yang luas seolah-olah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Globalisasi saat ini telah melanda dunia. Dunia yang luas seolah-olah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Globalisasi saat ini telah melanda dunia. Dunia yang luas seolah-olah sudah menjadi sempit. Interaksi antar manusia dalam wujud tertentu sudah tidak dapat dibatasi

Lebih terperinci

BERMAIN SEBAGAI SARANA PENGEMBANGAN KREATIVITAS ANAK USIA DINI

BERMAIN SEBAGAI SARANA PENGEMBANGAN KREATIVITAS ANAK USIA DINI BERMAIN SEBAGAI SARANA PENGEMBANGAN KREATIVITAS ANAK USIA DINI Asep Ardiyanto PGSD FIP Universitas PGRI Semarang ardiyanto.hernanda@gmail.com Abstrak Bermain bagi anak usia dini adalah sesuatu yang sangat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kegiatan pembelajaran yang dibangun oleh guru dan siswa adalah kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. Kegiatan pembelajaran yang dibangun oleh guru dan siswa adalah kegiatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kegiatan pembelajaran yang dibangun oleh guru dan siswa adalah kegiatan yang bertujuan. Sebagai kegiatan yang bertujuan, maka segala sesuatu yang dilakukan guru

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP. A. Kesimpulan. a. Langer terkesan dengan pengembangan filsafat ilmu yang berangkat

BAB VI PENUTUP. A. Kesimpulan. a. Langer terkesan dengan pengembangan filsafat ilmu yang berangkat 226 BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan atas hasil penelitian yang diperoleh dan pembahasan yang telah dilakukan peneliti, sampailah pada akhir penelitian ini dengan menarik beberapa kesimpulan sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembelajaran merupakan suatu kombinasi yang tersusun meliputi unsur-unsur

BAB I PENDAHULUAN. Pembelajaran merupakan suatu kombinasi yang tersusun meliputi unsur-unsur 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembelajaran merupakan suatu kombinasi yang tersusun meliputi unsur-unsur manusiawi, material, fasilitas, perlengkapan, dan prosedur yang saling memengaruhi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kreativitas menurut para ahli psikologi penjelasannya masih berbeda-beda

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kreativitas menurut para ahli psikologi penjelasannya masih berbeda-beda 9 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kreativitas Kreativitas menurut para ahli psikologi penjelasannya masih berbeda-beda sesuai sudut pandang masing-masing. Menurut Semiawan kreativitas adalah suatu kemampuan untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pendidikan dan pembelajaran merupakan suatu proses yang diarahkan untuk mengembangkan potensi manusia agar mempunyai dan memiliki kemampuan nyata dalam perilaku kognitif,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. (Undang-undang No.20 Tahun 2003: 1). Pendidikan erat kaitannya dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. (Undang-undang No.20 Tahun 2003: 1). Pendidikan erat kaitannya dengan BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan kondisi belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi-potensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan dan perubahan yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat,

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan dan perubahan yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan dan perubahan yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh perubahan global, seperti

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORETIK. a. Pengertian Kemampuan Komunikasi Matematis

BAB II KAJIAN TEORETIK. a. Pengertian Kemampuan Komunikasi Matematis BAB II KAJIAN TEORETIK A. Deskripsi Konseptual 1. Kemampuan Komunikasi Matematis a. Pengertian Kemampuan Komunikasi Matematis Agus (2003) komunikasi dapat didefinisikan sebagai proses penyampaian makna

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. dua orang atau lebih sehingga pesan yang dimaksud dapat dipahami. Untuk

II. TINJAUAN PUSTAKA. dua orang atau lebih sehingga pesan yang dimaksud dapat dipahami. Untuk II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kemampuan Komunikasi matematis Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdiknas, 2005: 585) disebutkan bahwa komunikasi merupakan pengiriman dan penerimaan pesan atau atau berita antara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia dan masyarakat Indonesia yang maju, modern, dan sejajar dengan

BAB I PENDAHULUAN. manusia dan masyarakat Indonesia yang maju, modern, dan sejajar dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tujuan pembangunan nasional Indonesia menyatakan perlunya masyarakat melaksanakan program pembangunan nasional dalam upaya terciptanya kualitas manusia dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Dilihat dari perspektif filsafat ilmu, paradigma Pendidikan Bahasa Indonesia berakar pada pendidikan nasional yang mengedepankan nilai-nilai persatuan bangsa.

Lebih terperinci