BAB V. STRATEGI PENGEMBANGAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN APL BM DI KABUPATEN ADMINISTRASI KEPULAUAN SERIBU, DKI JAKARTA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB V. STRATEGI PENGEMBANGAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN APL BM DI KABUPATEN ADMINISTRASI KEPULAUAN SERIBU, DKI JAKARTA"

Transkripsi

1 BAB V. STRATEGI PENGEMBANGAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN APL BM DI KABUPATEN ADMINISTRASI KEPULAUAN SERIBU, DKI JAKARTA ABSTRACT Low community s participation in CB MPA management in Kepulauan Seribu caused by low community s organization capacity and community s motivation in performing their role as primary stakeholder. The effort to improved community s participation in co management practice or CB MPA implementation in Kepulauan Seribu should be constructed fair resource management concept by ensuring equal sharing of burden and benefit between different user groups. In practice, strategy of community s participation improvement can be done by revitalize CB MPA regulation, develop two ways communication program, optimize extension service and provide limited communal right in managing fish shelter productive area as incentives to fisher community who willing to participate in securing CB MPA in Kepulauan Seribu. Key words: strategy, community s participation, limited-communal right ABSTRAK Rendahnya partisipasi masyarakat dalam pengelolaan APL BM di Kepulauan Seribu terutama disebabkan oleh rendahnya kapasitas organisasi dan motivasi masyarakat. Upaya untuk mengembangkan partisipasi masyarakat dalam praktek pengelolaan bersama atau implementasi program APL BM di Kepulauan Seribu harus dibangun berdasarkan konsep manajemen sumberdaya alam yang menjamin keadilan dalam mendistribusikan beban dan manfaat program pada kelompok kelompok pemanfaat dengan kepentingan berbeda yang ada di dalam masyarakat. Dalam tataran praksis, strategi pengembangan partisipasi tersebut terutama dilakukan dengan merevitalisasi peraturan pengelolaan, memperbaiki kinerja pendekatan komunikasi program dan layanan penyuluhan serta memberikan hak kelola terbatas pada kawasan produksi fish shelter kepada masyarakat sebagai kompensasi atas kesediaannya berpartisipasi dalam program APL BM. Kata kunci : strategi, partisipasi masyarakat, hak pengelolaan terbatas PENDAHULUAN Selama dekade terakhir ini, telah terjadi perubahan secara global dalam pendekatan pengelolaan perikanan menuju pada suatu pengertian akan pentingya arti partisipasi masyarakat dan pengambilan keputusan secara bersama dalam pengelolaan perikanan. Pendekatan ini dikenal dengan istilah ko manajemen, yang merupakan sebuah tipe pengelolaan yang dicirikan dengan adanya interaksi yang menjadi isu sentral antara pemerintah dan masyarakat pengguna sumberdaya perikanan, melalui kesepakatan kesepakatan yang dibangun dan pembagian peran dan tanggung jawab masing-masing pihak. Dengan kata lain, ko manajemen merupakan sebuah alternatif pengelolaan perikanan yang menjanjikan yang dapat meningkatkan efektivitas dari pengelolaan perikanan itu sendiri (Hartoto dkk., 2009). 93

2 94 Daerah Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat (DPL BM) merupakan pendekatan yang umum diterapkan pada program pengelolaan sumberdaya perikanan kelautan di dunia, terutama di negara berkembang yang memiliki hamparan ekosistem terumbu karang (Pomeroy dan Rivera Guieb, 2006). Pengembangan DPL di Filipina dan Pasifik Selatan terbukti secara efektif melindungi ekosistem terumbu karang serta meningkatkan sumberdaya dan produksi perikanan di sekitar DPL (Christie dan Dequit, 2002). Daerah Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat (DPL BM) merupakan upaya masyarakat untuk mempertahankan dan menjaga kualitas sumberdaya perikanan kelautan berbasis ekosistem terumbu karang. Secara umum, tujuan dari penerapan DPL BM adalah untuk (1) memelihara fungsi ekologis dengan melindungi habitat tempat hidup dan memijah biota laut dan (2) memelihara fungsi sosial ekonomi bagi masyarakat yang tinggal kawasan pesisir, sehingga terjadi keberlanjutan produktifitas sumberdaya yang pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan masyarakat (Coremap, 2008). Namun demikian, tidak seluruh sistem kawasan konservasi laut dapat mencapai tujuan pengelolaannya. Kebanyakan sistem sistem tersebut mengalami kegagalan dalam praktek dan keberlanjutannya. Kawasan konservasi laut dapat berfungsi efektif jika berada pada lokasi yang tepat secara ekologis serta dikelola dengan konsep dan praktek penyelenggaraan yang benar. Keberhasilan kawasan konservasi laut juga terkait dengan sistem dan kapasitas kelembagaan masyarakat pengelola (Jameson et al.., 2002). Hasil penelitian Faiza (2011) menunjukkan bahwa tingkat keberlanjutan pengelolaan Areal Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat (APL BM) di Kelurahan Pulau Harapan, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu berada dalam kategori rendah. Kriteria keberlanjutan pengelolaan yang rendah tersebut berkaitan dengan pengaruh aspek sosial ekonomi dan budaya, aspek kebijakan dan aspek kelembagaan masyarakat pengelola. Berdasarkan uraian tersebut, tujuan penelitian dirumuskan sebagai berikut : (1) mengidentifikasi sikap masyarakat terhadap pengelolaan APL BM di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu saat ini, (2) menganalisis hubungan antara sikap masyarakat dengan pengalaman berpartisipasi dalam pengelolaan APL BM dan (3) merancang strategi pengembangan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan APL BM di masa yang akan datang. METODE PENELITIAN Rancangan Penelitian Penelitian ini dirancang sebagai penelitian survei eksplanatori yang bersifat menjelaskan fenomena, fakta fakta dan gejala yang ada pada suatu tempat serta mencari keterangan yang faktual tentang berbagai hal tersebut dengan menguji model teoritiknya (Nazir, 1985; Singarimbun dan Effendi, 2006). Penelitian dilaksanakan di lima kelurahan yang memiliki program APL BM, Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Populasi penelitian ini adalah seluruh individu yang memanfaatkan secara langsung sumberdaya perikanan kelautan berbasis ekosistem terumbu karang sebagai sumber utama penghidupannya (pimary stakeholders) di lokasi penelitian. Responden ditentukan dengan tehnik acak proporsional (proportional random sampling) sehingga terpilih 206 orang.

3 95 Data primer dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner yang dibuat berdasarkan skala Likert berskala empat. Data sekunder dikumpulkan melalui analisis dokumen serta publikasi dari lembaga terkait. Untuk melihat sejauh mana peubah peubah saling berbeda pada masing masing lokasi penelitian digunakan analisis uji beda Tuckey dan untuk menganalisis hubungan peubah peubah serta menyusun strategi optimalisasi model empirik penelitian digunakan analisis SEM (Structural Equation Modelling). Kerangka Berpikir Penelitian Allport (Mar at, 1984) mendefinisikan sikap sebagai keadaan dan kesiapan mental yang terorganisasi melalui pengalaman yang secara langsung dan dinamis mempengaruhi respon seseorang terhadap semua obyek atau situasi yang mempunyai hubungan dengan dirinya. Dalam sikap terkandung suatu penilaian emosional yang dapat berupa suka atau tidak suka, setuju, atau tidak setuju dan sebagainya. Suatu sikap mempunyai komponen, yaitu (Mar at, 1984) : (1) komponen kognitif, yaitu seseorang yang bersikap perlu memiliki pengetahuan mengenai obyek sikapnya, terlepas dan apakah pengetahuannya tersebut benar, salah, lengkap, tidak lengkap dan sebagainya; (2) komponen afektif, komponen ini merupakan komponen yang paling penting. Seseorang yang bersikap akan mempunyai pemaknaan sebagai hasil evaluasi emosional (setuju, tidak setuju) mengenai obyek sikapnya dan (3) komponen konatif, bahwa suatu sikap tidak lengkap hanya dengan pengetahuan dan evaluasi emosional tetapi juga memiliki kecenderungan individu dalam bertingkah laku/merespon yang bersifat lebih permanen. Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa sikap adalah perasaan, pikiran dan kecenderungan individu bertingkah laku/merespon yang kurang lebih bersikap permanen terhadap sesuatu yang dinyatakan dengan persetujuan atau ketidaksetujuan, perasaan senang atau tidak senang dan sejenisnya terhadap pengelolaan APL BM saat ini. Model adalah representasi suatu fenomena nyata maupun abstrak, dengan menonjolkan unsur unsur terpenting fenomena tersebut. Model digunakan sebagai alat untuk menjelaskan fenomena (Mulyana, 2001). Model merupakan konstruksi teoritis yang dituangkan dalam bentuk diagram atau persamaan sehingga dapat mempermudah dalam menganalisis masalah meskipun pada umumnya tidak pernah sempurna dan final. Model bersifat :(1) dinamik : artinya bersifat responsif dan adaptif terhadap segala bentuk perubahan serta hubungan di antara berbagai komponen yang ada dalam model harus saling mendukung dan (2) probabilitas: artinya memberikan peluang bagi pengembangan yang lebih maksimal (Kusnendi, 2008). Strategi, dalam konteks organisasi dinyatakan sebagai program umum untuk pencapaian tujuan tujuan organisasi (Handoko, 1997). Strategi menurut Sudjana (2000) merupakan pola umum tentang keputusan atau tindakan. Strategi harus dipahami sebagai rencana atau kehendak yang mendahului dan mengendalikan kegiatan. Strategi, dengan demikian, adalah suatu pola yang direncanakan dan ditetapkan secara sengaja untuk melakukan kegiatan atau tindakan. Mangkuprawira (2003) menyatakan bahwa strategi adalah cara mengerjakan sesuatu untuk mencapai tujuan tertentu. Sama halnya dengan sifat model, strategi menurut Soetomo (2008) bersifat dinamis dan aktualisasinya banyak ditentukan oleh faktor waktu dan tempat.

4 96 Berdasarkan uraian tersebut di atas maka disusun kerangka penelitian sebagai berikut (Gambar 9). Gambar 9. Kerangka Pemikiran Penelitian Sikap dan Strategi Pengembangan Masyarakat dalam Pengelolaan Areal Pengelolaan Laut Berbasis Masyarakat (APL BM) di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, DKI Jakarta Hipotesis Penelitian Berdasarkan tujuan dan kerangka berpikir penelitian maka hipotesis penelitian adalah sikap masyarakat terhadap pengelolaan APL BM saat ini dipengaruhi secara nyata oleh pengalaman berpartisipasi. Model hipotetik penelitian dijabarkan menjadi persamaan struktural : (1) Y2 = Model sikap masyarakat Y2 = β4.1 Y1 + ζ4 PEMBAHASAN Sikap Masyarakat terhadap Pengelolaan APL BM Saat Ini Secara umum, sikap responden yang ditemukan pada penelitian saat ini adalah sikap yang menunjukkan persetujuan rendah, baik terhadap penilaian aspek perbaikan status sumberdaya setelah diterapkannya program APL BM maupun terhadap konsep pengelolaan APL BM yang diteapkan saat ini. Sebaran sikap masyarakat tersebut selengkapnya disajikan pada tabel 26. Sikap Masyarakat terhadap Penilaian Status Sumberdaya Saat Ini Sebagian besar responden (57,2 %) menunjukkan persetujuan yang rendah terhadap penilaian bahwa telah terjadi perbaikan status sumberdaya perikanan sebagai dampak diterapkan program APL BM. Sikap ini juga diperkuat dengan persetujuan yang rendah terhadap pernyataan bahwa telah terjadi penurunan aktivitas pemanfaatan sumberdaya perikanan kelautan yang bersifat merusak dan melanggar peraturan sejak diterapkannya program APL BM. Beberapa responden yang merupakan tokoh masyarakat nelayan menyebutkan bahwa kegiatan ekowisata bahari dapat menyebabkan kerusakan terumbu karang karena wisatawan sering berdiri menginjak dan berjalan di atas karang. Selain itu juga diduga bahwa kegiatan pengambilan bibit dari alam pada usaha budidaya karang komersial tidak memiliki pengawasan yang ketat sehingga

5 97 sulit untuk dikendalikan dampaknya terhadap ekosistem terumbu karang. Di sisi lain, para tokoh nelayan tersebut juga tidak memungkiri masih digunakannya cara cara yang merusak lingkungan dalam operasi penangkapan ikan seperti penggunaan muroami serta indikasi penggunaan potas pada nelayan ikan hias dan nelayan ikan konsumsi. Secara statistik terdapat perbedaan signifikan pada persetujuan responden terhadap peningkatan status sumberdaya menjadi lebih baik sebagai dampak dari penerapan program APL BM di pada Kelurahan Pulau Tidung dibandingkan dengan keempat kelurahan lainnya. Nilai rataan persetujuan pada kelurahan tersebut merupakan yang tertinggi dan melebihi nilai rataan keseluruhan. Pada kelurahan tersebut, masyarakat menilai telah terjadi peningkatan kualitas sumberdaya yang ditandai dengan meningkatnya hasil tangkapan dan semakin banyaknya wisatawan yang datang berkunjung untuk melihat keindahan ekosistem terumbu karang di sekitar wilayah pulau mereka. Tabel 26. Sebaran Sikap Masyarakat terhadap Pengelolaan APL BM saat ini Y.2. Sikap Masyarakat terhadap pengelolaan APL BM Panggang (%) Harapan (%) Kelurahan Kelapa (%) Tidung (%) Pari (%) Total % Y Persetujuan responden terhadap terjadinya perbaikan status sumberdaya sebagai dampak penerapan program APL BM (rentang kelas : skor 2 8) Rendah 61,8 66,7 64,1 25,3 68,3 57,2 (skor 1 3) Sedang 32,7 23,8 29,1 52,6 25,4 32,7 (skor 4 6) Tinggi 5,5 9,5 6,8 22,1 6,3 10,1 (skor 7 8) Rataan skor persetujuan perbaikan sb.daya 3,3 3,1 3,2 5,3 3,1 3,4 Y Persetujuan responden terhadap konsep pengelolaan APL BM yang diterapkan saat ini (rentang kelas : skor 10 40) Rendah (skor 10 19) 67,3 76,2 84,1 30,0 68,3 65,8 Sedang (skor 20 29) Tinggi (skor 30 40) Rataan skor persetujuan konsep Sumber : data primer, diolah 18,2 13,8 9,1 54,2 25,4 24,1 14,5 10,0 6,8 15,8 6,3 10,1 19,7 18,5 18,2 24,2 19,9 19,9 Sikap Masyarakat terhadap Konsep Pengelolaan APL BM Saat Ini Sebagian besar responden (65,8 %) menunjukkan persetujuan yang rendah terhadap konsep pengelolaan program APL BM yang diterapkan saat ini. Sikap responden ini ditunjukkan terutama pada aspek peraturan zonasi dan jenis aktivitas yang diijinkan pada zonasi tersebut. Hampir keseluruhan responden menunjukkan ketidaksetujuan terhadap interpretasi peraturan yang mengijinkan masuknya aktivitas aktivitas untuk kepentingan komersial selain dari aktivitas untuk kepentingan konservasi yang dilakukan pada areal inti perlindungan. Hal

6 98 ini dianggap sebagai tindakan yang bertentangan dengan prinsip awal perlindungan total pada zona inti sebagai upaya untuk menyediakan kondisi yang memungkinkan ekosistem memulihkan diri secara alamiah dengan segera. Selain itu, pembiaran atas masuknya aktivitas komersial pada zona inti dianggap sebagai kebijakan yang tidak memenuhi rasa keadilan bagi kelompok pemanfaat nelayan tangkap yang sudah berkorban kehilangan fishing ground potensial mereka. Mayoritas responden menolak usulan untuk memperluas areal perlindungan inti dengan alasan bahwa saat ini yang menjadi prioritas program adalah penegakan aturan yang menjadi kesepakatan bersama dibandingkan dengan memperluas wilayah areal inti. Penegakan aturan ini juga meliputi pemberian tanda batas dan papan informasi yang jelas tentang aturan yang berlaku pada masing masing zona. Responden juga menilai bahwa saat ini lebih baik untuk memperkuat kemampuan sumberdaya manusia dan sistem kelola serta otoritas organisasi masyarakat pengelola APL BM sehingga mampu menjalankan perannya sebagai fasilitator secara handal dan obyektif bagi kelompok kelompok pemanfaat sumberdaya dengan kepentingan yang berbeda yang ada di Kepulauan Seribu. Responden juga menyatakan bahwa pendekatan komunikasi program dan layanan penyuluhan sebagai sub sistem pendukung dalam implementasi program APL BM memiliki peran yang penting dan karenanya perlu diadakan langkah langkah perbaikan untuk meningkatkan kinerjanya. Secara statistik terdapat perbedaan signifikan pada persetujuan responden konsep program APL BM yang diterapkan saat ini pada responden di Kelurahan Pulau Tidung dibandingkan dengan keempat kelurahan lainnya. Pada Kelurahan Pulau Tidung, masyarakat menilai konsep pengelolaan APL BM yang diterapkan di wilayah kelurahan mereka telah sesuai dengan kepentingan bersama dan berjalan dengan konsisten. Pengaruh Partisipasi pada Pembentukan Sikap Masyarakat Dari hasil analisis SEM diperoleh persamaan struktural dan diagram jalur faktor yang mempengaruhi peubah sikap masyarakat terhadap pengelolaan APL BM saat ini (X5) sebagai berikut : Y2 = 0,95 Y1 ; R² = 0,90 (Persamaan 4) Keterangan : Y1 = Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan APL BM Y2 = Sikap Masyarakat terhadap Pengelolaan APL BM saat ini Gambar 10. Diagram Jalur Faktor Faktor yang Mempengaruhi Sikap Masyarakat dalam Pengelolaan APL BM Saat ini.

7 Dari Gambar 10 dan Persamaan 4 tersebut diperoleh informasi obyektif bahwa nilai R² = 0,90 menandakan bahwa pengaruh peubah Partisipasi Masyarakat pada Pengelolaan APL BM (Y1) terhadap peubah Sikap Masyarakat pada Pengelolaan APL BM saat ini (Y2) saat ini adalah sebesar 0,90 atau 90 % dan sisanya 10 % dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini. Mengacu pada Gambar 10 dan Persamaan 4 di atas maka secara statistik peubah bebas partisipasi masyarakat (Y1) yang diusulkan atau dirancang dalam hipótesis 4 terbukti memiliki pengaruh nyata terhadap sikap masyarakat terhadap pengelolaan APL BM saat ini (Y2). Artinya, pengalaman berpartisipasi masyarakat dalam pengelolaan APL BM memberikan pengaruh signifikan pada pembentukan sikap masyarakat terhadap keberlanjutan pengelolaan APL BM di masa yang akan datang. Pengalaman berpartisipasi memuaskan yang dirasakan masyarakat dalam pengelolaan APL BM akan memberikan pengaruh pada pembentukan sikap yang positip pada masyarakat. Sikap tersebut menyangkut persetujuan terhadap perbaikan status sumberdaya saat ini sebagai dampak penerapan APL BM dan persetujuan terhadap konsep program APL BM yang diterapkan saat ini. Kedua persetujuan tersebut merupakan faktor faktor yang menentukan bagaimana tingkat keberlanjutan implementasi program APL BM di wilayah Kepulauan Seribu. Pengalaman partisipasi yang memuaskan adalah bagaimana proses partisipasi melibatkan seluruh kelompok dan lapisan dalam masyarakat serta terjadi pada semua tahapan partisipasi. Demikian pula sebaliknya, jika masyarakat merasakan pengalaman partisipasi yang tidak memuaskan dalam berpartisipasi mengelola sumberdaya perikanan kelautan melalui penerapan program APL BM maka akan sikap yang kemudian terbentuk akan menunjukkan persetujuan yang rendah, baik pada aspek penilaian terhadap perbaikan kualitas sumberdaya dan terutama pada aspek persetujuan terhadap konsep pengelolaan yang dijalankan saat ini. Persetujuan yang rendah tersebut akan berpengaruh terhadap rendahnya tingkat keberlanjutan program pada siklus kegiatan berikutnya. Hal ini sejalan dengan pendapat Cernea (1988) terdapat tiga hal penting dalam menilai partisipasi masyarakat dalam suatu kegiatan berjalan dengan baik atau tidak, yaitu : (1) siapa saja yang terlibat dalam kegiatan tersebut, apakah seluruh masyarakat atau kelompok-kelompok tertentu saja, (2) apa bentuk partisipai yang dilakukan masyarakat, apakah partisipasi terjadi pada seluruh tahapan partisipasi atau pada salah satu tahapan; perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan, dan penilaian, serta (3) bagaimana terjadinya partisipasi, apakah secara sadar, terpaksa, atau ikut ikutan. Pendapat tersebut berkaitan dengan temuan penelitian dari Richard et al. (Reed, 2008) yang menyatakan bahwa pengalaman berpartisipasi dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan akan mempengaruhi proses pembentukan sikap masyarakat dengan tingkat kepercayaan yang tinggi jika partisipasi dipersepsikan berjalan dengan tranparan dan mempertimbangkan klaim klaim perbedaan kepentingan yang ada di dalam masyarakat. Berdasarkan analisis SEM, indikator partisipasi masyarakat dalam pengelolaan APL BM yang berpotensi paling besar untuk membentuk sikap positip masyarakat terhadap pengelolaan APL BM saat ini adalah partisipasi masyarakat pada tahapan merencanakan kegiatan. Semakin tinggi partisipasi 99

8 100 masyarakat dalam merencanakan kegiatan pengelolaan APL BM maka akan semakin positip sikap masyarakat terhadap pengelolaan APL BM saat ini. Keterlibatan masyarakat dalam merencanakan kegiatan akan menghasilkan rasa memiliki (sense of belonging) dan rasa bertanggung jawab (sense of responsibility) terhadap kegiatan di dalam individu dan kelompok kelompok masyarakat karena keputusan keputusan tersebut adalah refleksi dari kebutuhan yang dirasakan bersama oleh masyarakat sendiri. Sebaliknya apabila proses penyusunan kesepakatan pada tahapan perencanaan kegiatan tidak melibatkan masyarakat secara intens dan dirasakan tidak merefleksikan kebutuhan kelompok masyarakat pemanfaat maka akan keputusan tersebut akan memiliki daya ikat yang rendah. Temuan ini sejalan dengan pendapat Ife dan Toseriero (2006) yang menyatakan bahwa proses pembuatan keputusan dalam partisipasi perlu mengakomodasi peran dan kepentingan masyarakat sehingga masyarakat memiliki kendali terhadap sumberdaya dan institusi. Temuan penelitian menunjukkan bahwa kegiatan pemanfataan dan pengelolaan sumberdaya perikanan kelautan dijalankan dengan perencanaan yang tidak sistematis. Pada skala rumahtangga (level mikro), hampir keseluruhan masyarakat menjalankan usaha perikanannya hanya berdasarkan pengalaman dan intuisi saja serta tidak pernah dituangkan dalam bentuk tertulis. Masyarakat menganggap usaha perikanan tangkap yang dijalankan bukanlah usaha yang rumit dan sudah mereka kelola dalam waktu yang lama. Untuk lingkup perencanaan pengelolaan sumberdaya perikanan kelautan pada level yang lebih tinggi melalui implementasi program APL BM di wilayah kelurahannya sendiri (level meso) maupun di keseluruhan wilayah Kepulauan Seribu (level makro) yang menjadi ruang interaksi dari banyak kelompok kepentingan, masyarakat juga menyatakan mereka tidak pernah terlibat atau dilibatkan. Masyarakat menyatakan tidak pernah atau jarang mendapat undangan dari pihak pemerintah (Suku Dinas Perikanan Pertanian Kabupaten dan Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu) atau organisasi masyarakat pengelola untuk mengikuti pertemuan dalam rangka merencanakan program kerja pengelolaan APL BM. Masyarakat sering bertanya apakah ada atau tidak pertemuan reguler dan pertemuan khusus dalam rangka merencanakan program kerja APL BM di level kebijakan tingkat kelurahan dan kabupaten. Masyarakat memandang penting diselenggarakannya pertemuan untuk perencanaan program kerja APL BM yang melibatkan mereka karena dapat menjadi wadah untuk menyampaikan aspirasi dan pertanyaan yang berkaitan dengan hak dan kewajiban mereka sebagai kelompok pemanfaat sumberdaya perikanan kelautan di wilayah Kepulauan Seribu. Pertemuan tersebut juga diharapkan mampu dijadikan forum urun rembug dalam menghasilkan kesepakatan kesepakatan pemanfaatan sumberdaya yang memenuhi rasa keadilan sekaligus menjaga kelestarian lingkungan. Beberapa kelompok masyarakat juga mengemukakan bahwa kehadiran mereka dalam proses perencanaan kegiatan berjalan dengan semu dan tidak lebih sebagai upaya untuk meraih legitimasi simbolik pada program pengelolaan sumberdaya dengan paradigma berbasis masyarakat. Jika pun pada pertemuan tersebut dihasilkan kesepakatan kesepakatan yang memuat aspirasi masyarakat, pada tahapan selanjutnya kesepakatan kesepakatan tersebut tidak pernah dikuatkan dengan tindakan formalisasi atau legalisasi keputusan sehingga

9 101 memiliki kekuatan hukum yang mengikat dan dapat dimintakan pertanggungjawabannya. Indikator kedua dari partisipasi masyarakat dalam pengelolaan APL BM yang berpotensi membentuk sikap positip masyarakat terhadap pengelolaan APL BM saat ini adalah partisipasi dalam melakukan evaluasi kegiatan. Semakin terlibat masyarakat dalam mengevaluasi kegiatan maka akan semakin positip sikap mereka terhadap pengelolan APL BM saat ini. Tahapan partisipasi mengevaluasi kegiatan adalah tahapan penting dalam mengkaji tingkat efektivitas pelaksanaan program. Tahapan tersebut akan membantu masyarakat dan pengelola program untuk mengenali hambatan dan keunggulan yang dimiliki sebagai bahan untuk memperbaiki desain program pada siklus kegiatan berikutnya. Demikian pula sebaliknya bila pada tahapan partisipasi dalam mengevaluasi kegiatan tidak berjalan dengan baik maka sulit diharapkan terbentuk partisipasi yang tinggi pada pada siklus program berikutnya. Serupa dengan tahapan perencanaan kegiatan, partisipasi masyarakat pada tahapan mengevaluasi kegiatan juga berada pada tingkat rendah. Masyarakat menyatakan tidak ada pertemuan reguler dan formal yang dimanfaatkan sebagai forum bersama dalam mengkaji keberhasilan atau kegagalan pengelolaan program APL BM. Pertanyaan pertanyaan mendasar pada masyarakat tentang permasalahan lapangan yang berkembang dalam penerapan program APL BM juga tidak menemukan saluran yang memuaskan. Hambatan komunikasi tersebut kemudian menyebabkan masyarakat memanfaatkan forum pertemuan apapun yang bisa mereka hadiri untuk menyampaikan ketidakpuasan yang mereka rasakan. Indikator tahapan partisipasi masyarakat berikutnya yang memberikan dampak nyata pada proses pembentukan sikap masyarakat terhadap pengelolaan APL BM adalah indikator menikmati hasil partisipasi. Semakin masyarakat merasakan hasil yang bermanfaat dari kegiatan pengelolaan APL BM maka akan semakin meningkatkan sikap positip masyarakat terhadap pengelolaan APL BM saat ini. Temuan penelitian menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat pada tahapan menikmati hasil kegiatan masih tergolong rendah. Kelompok masyarakat sumberdaya tradisional yang merupakan kelompok masyarakat mayoritas belum merasakan peningkatan produktifitas yang diikuti dengan peningkatan pendapatan yang signifikan sebagai dampak dari penerapan program APL BM. Sementara itu kelompok pemanfaat dengan pekerjaan pemanduan ekowisata bahari menyebutkan mereka merasakan manfaat yang signifikan dari program APL BM. Partisipasi dalam memanfaatkan hasil kegiatan pada nelayan tangkap belum dikembangkan prosesnya sampai kepada kegiatan pengolahan hasil tangkapan yang berpotensi memberi nilai tambah yang signifikan. Indikator terakhir dari partisipasi masyarakat dalam pengelolaan APL BM yang berpengaruh pada sikap masyarakat terhadap pengelolaan APL BM adalah partisipasi dalam melaksanakan kegiatan pengelolaan APL BM. Semakin tinggi keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan APL BM maka dampaknya pada sikap masyarakat terhadap pengelolaan APL BM akan semakin positip. Hasil penelitian menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat pada tahapan melaksanakan hasil kegiatan masih tergolong rendah. Hal ini diindikasikan terutama oleh masih banyaknya aktivitas lain selain aktivitas sumberdaya yang

10 102 dilakukan beragam kelompok pemanfaat di areal inti perlindungan. Begitu pula dengan pola pemanfaatan sumberdaya pada areal pemnfaatan yang memang diizinkan dengan aturan tertentu. Pada saat penelitian dilakukan tidak ditemukan kegiatan pemanfaatan sumberdaya dengan menggunakan bom ikan, tetapi beberapa tokoh masyarakat mensinyalir bahwa masih ada kelompok kelompok nelayan yang menggunakan potas dalam kegiatannya. Tokoh masyarakat juga mensinyalir masih terjadi kegiatan pengambilan karang alam yang tidak terkontrol, baik untuk diperdagangkan secara langsung maupun untuk keperluan pembibitan. Berbagai dugaan pelanggaraan tersebut terus berkembang menjadi prasangka negatif di antara kelompok masyarakat dan menjadi faktor yang menghambat pembentukan sikap yang menyetujui pemberlakuan program APL BM pada periode selanjutnya. Rendahnya kinerja partisipasi masyarakat pada semua tahapan pada keseluruhan rangkaian kegiatan menunjukkan bahwa kegiatan pengelolaan sumberdaya perikanan kelautan melalui penerapan program APL BM di wilayah Kepulauan Seribu belum mampu membangun sikap positif dalam mewujudkan paradigma pembangunan berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan seharusnya mengandung unsur unsur peningkatan produktivitas sumberdaya, adanya distribusi dan pemerataan manfaat bagi seluruh masyarakat, perlindungan atau pelestarian sumberdaya alam dan partisipasi masyarakat secara menyeluruh yang berlangsung dalam jangka waktu yang panjang dari generasi ke generasi, sebagaimana dikemukakan oleh Ascher dan Healy (Soetomo, 2008). Model dan Strategi Pengembangan Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan APL BM Berdasarkan temuan penelitian melalui analisis deskriptif dan analisis SEM pada bab pembahasan sebelumnya (Bab 3) diketahui bahwa kinerja sebagian besar peubah tergolong dalam kategori rendah dan ditemukan peubah peubah mana yang mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat pemanfaat sumberdaya perikanan kelautan dalam pengelolaan program APL BM. Dengan demikian, dapat ditentukan peubah peubah mana yang perlu mendapatkan prioritas untuk diperbaiki, yang dituangkan dalam rancangan model pengembangan partisipasi masyarakat dalam mengelola APL BM di Kepulauan Seribu (Gambar 9), yang dilanjutkan dengan mengoperasionalisasikan model tersebut menjadi strategi pengembangan partisipasi masyarakat dalam mengelola APL BM. Perumusan model dan strategi pengembangan partisipasi masyarakat dalam mengelola sumberdaya perikanan kelautan melalui implementasi program APL BM dengan demikian disusun dengan mempertimbangkan realitas/fakta empirik yang diperoleh dari analisis deskriptif dan analisis inferensia dengan pendekatan SEM. Model Pengembangan Partisipasi Masyarakat Model pengembangan partisipasi masyarakat dalam mengelola sumberdaya secara partispatif atau berbasis masyarakat yang diusulkan memperlihatkan bahwa tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan APL BM didukung secara langsung oleh tingkat kemampuan organisasi masyarakat dan tingkat motivasi masyarakat untuk berpartisipasi. Pada tahapan sebelumnya, tingkat kemampuan organisasi masyarakat dalam pengelolaan APL BM dan tingkat motivasi masyarakat untuk berpartisipasi dipengaruhi secara langsung oleh

11 103 kualitas program pengelolaan APL BM. Terlihat pula bahwa tingkat partisipasi masyarakat dalam mengelola APL BM mempengaruhi proses pembentukan sikap yang memuat persetujuan terhadap pengelolaan APL BM saat ini, yang kemudian berperan dalam mewujudkan kerberlanjutan pelaksanaan program di masa yang akan datang. Model pengembangan partisipasi masyarakat dalam mengelola sumberdaya perikanan kelautan secara lestari melalui program APL BM dirancang dengan pendekatan masukan (input), proses (process), keluaran (output) dan hasil (outcome), dengan berpedoman pada model teoritis yang telah teruji melalui analisis SEM. Masukan dalam model pengembangan partisipasi masyarakat terdiri dari aspek kualitas program pengelolaan APL BM yang terdiri dari indikator kualitas kesesuaian konsep program, pendekatan komunikasi program dan intensitas peran penyuluhan sebagai fasilitator, edukator dan advokator. Tahap selanjutnya dalam model pengembangan partisipasi masyarakat dalam mengelola APL BM adalah proses pengembangan kapasitas sumberdaya manusia dan kelembagaan masyarakat dengan tujuan untuk meningkatkan kemampuan organisasi masyarakat pengelola APL BM serta mendorong masyarakat agar lebih termotivasi untuk berpartisipasi dan kemudian mau mempertahankan partisipasinya tersebut. Kemampuan organisasi masyarakat pengelola APL BM yang perlu ditingkatkan meliputi: (1) kemampuan manajerial, (2) kemampuan sosial dan (3) kemampuan teknis. Motivasi masyarakat yang perlu diperhatikan agar berfungsi mendorong dan dan mempertahankan partisipasinya terefleksi dalam bentuk: (1) motivasi untuk melestarikan sumberdaya perikanankelautan, (2) motivasi untuk meningkatkan pendapatan rumah tangga dan (3) motivasi untuk mendapatkan pengakuan atas kredibilitas dalam mengelola sumberdaya. Tahap akhir adalah hasil yang ingin dicapai adalah terjadi pengembangan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan APL BM. Berdasarkan temuan penelitian pada saat ini, partisipasi sudah berjalan pada keseluruhan tahapan kegiatan tetapi intensitasnya masih rendah dan pasif atau belum berjalan dengan optimal. Oleh karena itu, partisipasi yang dimaksudkan dalam model pengembangan partisipasi masyarakat dalam mengelola APL BM adalah adalah partisipasi menyeluruh mulai dari (1) perencanaan, (2) pelaksanaan, (3) pemanfaatan atau menikmati hasil, dan (4) pemantauan dan penilaian kegiatan dengan intensitas keterlibatan yang tinggi dan tidak semu. Dampak yang diharapkan dari partisipasi masyarakat dalam mengelola APL adalah terbentuknya sikap positif dalam pengelolaan APL BM di masa yang akan datang yang akan berujung pada pengembangan kesejahteraan masyarakat dan lestarinya sumberdaya perikanan kelautan di Kepulauan Seribu.

12 104 Model pengembangan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan APL BM di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu disajikan pada Gambar 11. I N P U T Pendekatan Komunikasi Program Kesesuaian Konsep Program Intensitas Peran Penyuluhan Kualitas Program Pengelolaan APL BM P R O C E S S Kemampuan Organisasi Masyarakat dalam Pengelolaan APL BM Motivasi Masyarakat dalam Pengelolaan APL BM O U T P U T Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan APL BM O U T C O M E Sikap Masyarakat terhadap Pengelolaan APL BM : Sikap thd Status Sumberdaya Saat ini Sikap thd Konsep Pengelolaan Saat ini Gambar 11. Model Pengembangan Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan APL BM di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu Model Pengembangan Partisipasi Masyarakat Melalui Dukungan Kemampuan Organisasi Masyarakat Kemampuan yang dimiliki organisasi masyarakat yang meliputi kemampuan teknis, kemampuan manajerial dan kemampuan sosial akan memberikan dukungan pada pengembangan partisipasi masyarakat dalam mengelola APL BM. Oleh karena kemampuan organisasi masyarakat pengelola

13 105 APL BM pada saat ini masih bersifat sangat terbatas, maka kemampuan tersebut perlu dibenahi dan ditingkatkan kualitasnya. Kemampuan teknis dalam bidang konservasi perlu ditingkatkan agar organisasi masyarakat dapat mengelola secara lingkungan biofisik sumberdaya perikanan kelautan dengan baik. Materi berupa pengetahuan dan keterampilan teknik pemulihan dan pemeliharaan ekosistem terumbu karang perlu ditingkatkan penguasaannya kepada pengurus organisasi masyarakat pengelola, demikian pula dengan pengetahuan dan tehnik pemanfaatan sumberdaya perikanan kelautan yang ramah lingkungan pada aktivitas penangkapan ikan, budidaya karang dan usaha ekowisata bahari yang menjadi sumber penghidupan masyarakat. Kemampuan manajerial organisasi masyarakat sangat penting untuk ditingkatkan agar organisasi masyarakat mampu melakukan pengelolaan sumberdaya organisasi dan sumberdaya sosial dengan manajemen yang baik dan bertanggungjawab mulai dari perencanaan sampai dengan penilaian kegiatan. Pengembangan kemampuan sosial organisasi masyarakat pengelola APL BM perlu dilakukan sehingga mampu berperan dengan baik dalam membangun jaringan kerjasama di antara kelompok pemanfaat sumberdaya dengan kepentingan berbeda dan dengan pemangku kepentingan lain dari luar lingkungan komunitasnya. Pengembangan kemampuan organisasi masyarakat terutama dilakukan dengan melakukan revitalisasi konsep pengelolaan APL BM dan penguatan aspek legalitas organisasi serta memperbaiki pendekatan komunikasi program dengan masyarakat sebagai subyek utama pengelola sumberdaya. Berdasarkan temuan penelitian, ketiga aspek tersebut adalah faktor faktor yang sangat mempengaruhi kemampuan organisasi masyarakat dalam menjalankan perannya sebagai fasilitator program. Selain itu, pengembangan kemampuan masyarakat juga dilakukan dengan meningkatkan intensitas peran penyuluh perikanan-kelautan sebagai fasilitator, edukator dan advokator. Penyuluh perikanan diharapkan lebih intens dalam membantu organisasi masyarakat pengelola APL BM dan anggota masyarakat sehingga kualitas kemampuan organisasi masyarakat dan anggota masyarakat terus meningkat / berkembang menjadi lebih baik. Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam pembangunan perikanan kelautan, keberadaan penyuluh merupakan ujung tombak di lapangan dalam membangun sumberdaya manusia atau kelembagaan masyarakat karena kegiatan penyuluh bersentuhan langsung dengan masyarakat. Keberadaan penyuluh harus memberikan makna yang berarti bagi kehidupan masyarakat. Apabila organisasi masyarakat dan masyarakat membutuhkan bimbingan, arahan dan informasi dari penyuluh maka penyuluh sebagai ujung tombak pembangunan harus selalu siap memberikan bantuan sesuaibdengan kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu menjadi penting untuk memperbaiki intensitas peran penyuluhan perikanan kelautan agar upaya pengembangan sumberdaya manusia atau kelembagaan masyarakat dapat tercapai secara optimal.

14 106 Model Pengembangan Partisipasi Masyarakat Melalui Dukungan Motivasi untuk Berpartisipasi Motivasi merupakan keinginan atau kemauan yang kuat dalam diri individu sebagai anggota masyarakat yang berfungsi dalam mendorong, mengarahkan dan mempertahankan partisipasi masyarakat dalam mengelola sumberdaya secara lestari. Dukungan motivasi memberikan pengaruh yang kuat terhadap pengembangan partisipasi masyarakat dalam mengelola APL BM. Dalam model ini dukungan motivasi meliputi motivasi untuk melestarikan sumberdaya, motivasi untuk meningkatkan pendapatan rumahtangga dan motivasi untuk mendapatkan pengakuan atas kredibilitas dalam mengelola sumberdaya. Keinginan/kemauan untuk melestarikan sumberdaya berkaitan dengan ikatan emosional masyarakat dengan keberadaan sumberdaya perikanan kelautan di sekitar mereka selama masa hidupnya dan keinginan untuk mewariskan keberadaan sumberdaya tersebut sebagai bekal hidup anak cucu di masa yang akan datang. Keinginan/kemauan untuk meningkatkan pendapatan berkaitan dengan sejauhmana masyarakat terpacu untuk berpartisipasi dalam mengelola sumberdaya perikanan kelautan dengan tujuan memperoleh penghasilan yang lebih baik untuk memenuhi kebutuhan dan kemudian meningkatkan kesejahteraan rumah tangganya. Produktifitas sumberdaya yang meningkat adalah salah satu cara untuk meningkatkan pendapatan keluarga, disamping dapat pula diupayakan melalui upaya pengolahan produk perikanan untuk meraih nilai tambah. Kontribusi pendapatan keluarga dari pemanfaatan sumberdaya perikanan kelautan adalah sumber penghidupan utama bagi hampir keseluruhan masyarakat di Kepulauan Seribu, sehingga hal tersebut akan banyak mempengaruhi proses pengambilan keputusan individu dan kelompok dalam berpartisipasi mengelola sumberdaya. Pada dasarnya masyarakat memiliki kesadaran bahwa kesinambungan perekonomian keluarga dalam jangka panjang lebih penting dibandingkan dengan keuntungan yang tinggi tetapi dalam waktu yang singkat. Motivasi melestarikan sumberdaya perikanan kelautan juga dilandasi oleh kesadaran bahwa keberadaan sumberdaya alam tersebut penting untuk menjaga bagi keberlanjutan nilai nilai sosial budaya setempat. Motivasi untuk mendapatkan pengakuan atas kredibilitas dalam mengelola sumberdaya perikanan kelautan merupakan unsur dukungan yang penting karena merupakan perwujudan aktualisasi individu dan kelompok masyarakat yang ingin membuktikan bahwa selama ini mereka juga memiliki kemampuan untuk mengelola sumberdaya dengan baik. Hal ini mengandung arti bahwa pada dasarnya masyarakat memiliki potensi kemampuan yang memadai untuk mengelola program APL BM dengan baik. Strategi Pengembangan Partisipasi Masyarakat Dalam Pengelolaan APL BM Untuk mengoptimalisasikan operasional model pengembangan partisipasi masyarakat dalam mengelola APL BM maka diperlukan strategi. Strategi pengembangan partisipasi masyarakat dalam mengelola APL BM merupakan jabaran operasional dari model pengembangan partisipasi masyarakat dalam mengelola APL BM yang telah dirumuskan melalui kajian deduktif dan pengujian secara empiris melalui analisis structural equation modelling (SEM).

15 107 Dari pengertian pengertian tersebut, dapat diformulasikan bahwa strategi pengembangan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya perikanan kelautan melalui program APL BM di Kepulauan Seribu merupakan rumusan kebijakan berupa rencana tindakan secara umum untuk mengembangkan partisipasi masyarakat. Strategi pengembangan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan APL BM memberikan arahan terpadu bagi berbagai pihak terkait dalam upaya pencapaian tujuan pihak pihak tersebut serta pedoman dalam memanfaatkan berbagai sumberdaya yang digunakan untuk mencapai tujuan pembangunan perikana kelautan secara adil dan berkelanjutan. Rumusan strategi pengembangan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan APL BM yang dirancang berdasarkan temuan penelitian adalah : (1) meningkatkan kemampuan organisasi masyarakat mengelola APL BM (2) meningkatkan motivasi masyarakat agar berpartisipasi dalam mengelola APL BM Strategi pengembangan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan APL BM melalui dukungan kemampuan organisasi masyarakat pengelola dan motivasi masyarakat bertujuan agar masyarakat dan kelembagaan di dalamnya tetap mau dan mampu mempertahankan untuk kemudian mengembangkan partisipasinya. Untuk meningkatkan kemampuan organisasi masyarakat pengelola dan memotivasi masyarakat agar tetap berpartisipasi dalam mengelola APL BM kemudian disusun kegiatan pokok yang merupakan langkah-langkah strategis. Langkah langkah strategis dirancang dengan mempertimbangkan fakta empiris besarnya pengaruh suatu aspek terhadap aspek lainnya. Jalur pengaruh yang lebih besar diprioritaskan untuk dilaksanakan terlebih dahulu, yaitu : (1) Strategi pengembangan kemampuan organisasi masyarakat dalam pengelolaan APL BM Strategi pertama sebagai upaya meningkatkan partisipasi masyarakat dalam mengelola APL BM adalah meningkatkan kemampuan organisasi masyarakat dalam menjalankan perannya sebagai fasilitator program. Dengan kemampuan yang sesuai dengan kaidah kaidah pengelolaan sumberdaya alam secara lestari maka keberlanjutan program akan dapat ditingkatkan. Langkahlangkah strategis yang dilakukan adalah : a. Memperkuat aspek legalitas kewenangan organisasi masyarakat pengelola APL BM berupa pengesahan otoritas pengelolaan dan revitalisasi peraturan menyangkut zonasi serta aktivitas pemanfaatan yang diijinkan di dalamnya. Selama ini, organisasi masyarakat pengelola APL BM di Kepulauan Seribu belum mampu melaksanakan perannya sebagai fasilitator program dengan baik karena tidak memiliki kepastian wewenang hukum dalam menyusun dan menegakkan kesepakatan kesepakatan yang dibuat. Kesepakatan kesepakatan pengelolaan sumberdaya harus direvitalisasi pelaksanaannya sesuai dengan tujuan pokok program dan harus memenuhi rasa keadilan di antara kelompok kelompok pemanfaat di dalam masyarakat. Proses revitalisasi kelembagaan peraturan pengelolaan APL BM tersebut juga harus diikuti dengan peningkatan kinerja komunikasi program dalam bentuk penyelenggaraan forum forum dialog publik yang menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama pengelolaan sumberdaya.

16 108 b. Meningkatkan dan memperkuat kemampuan (pengetahuan, sikap dan keterampilan) masyarakat yang meliputi kemampuan teknis, kemampuan manajerial dan kemampuan sosial. Kemampuan teknis yang perlu ditingkatkan terutama meliputi teknik survei dan penilaian status sumberdaya, tehnik tranplantasi karang dan pemanfaatan sumberdaya perikanan secara ramah lingkungan. Kemampuan manajerial yang perlu ditingkatkan meliputi manajemen alokasi sumberdaya, kemampuan administrasi, pembiayaan dan pelaporan program, kemampuan identifikasi potensi sosial ekonomi serta kemampuan untuk merencanakan pengembangan kapasitas internal/sumberdaya manusia pengurus organisasi. Kemampuan sosial yang dikembangkan meliputi kemampuan komunikasi publik, kemampuan mediasi serta negosiasi untuk mendorong kerja sama dan memediasi konflik yang berkembang. Pengembangan kemampuan organisasi masyarakat pengelola APL BM sangat penting dilaksanakan agar terbangun kapasitas organisasi yang memberi dampak pada pengembangan pemenuhan peran sosialnya. Pengembangan kapasitas di sini termasuk meningkatnya kapasitas organisasi untuk merespon berbagai tantangan yang muncul di kemudian hari. (2) Pengembangan motivasi masyarakat agar tetap berpartisipasi dalam pengelolaan APL BM Strategi kedua untuk meningkatkan partisipasi petani dalam mengelola APL BM adalah dengan meningkatkan motivasi masyarakat agar tetap berpartisipasi dalam mengelola APL BM. Kelompok masyarakat yang termotivasi akan memiliki energi yang cukup dan bekerja secara terarah serta sekuat tenaga mempertahankan partisipasinya tersebut. Langkah langkah strategis yang dilakukan adalah: a. Meningkatkan koordinasi dan kerjasama antara perencanaan pembangunan nasional dan pengembangan wilayah di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. Koordinasi perencanaan dan pelaksanaan pembangunan nasional melalui otoritas konservasi pada Balai Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu dan otoritas pengembangan daerah secara administratif pada Pemerintah Daerah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu perlu ditata kembali secara harmonis sehingga dapat berjalan efektif dan tidak tumpang tindih. Penyelarasan ini diharapkan mampu menjawab permasalahan yang ada di tingkat akar rumput yaitu pemahaman tentang konsep dasar tata ruang penggunaan wilayah/kawasan laut. Konsep paduserasi antara program kerja Taman Nasional Kepulauan Seribu dan RTRWK (Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten) harus disusun dalam kerangka integrasi konservasi ekosistem dan pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat dengan mencermati kondisi obyektif biofisik dan dinamika sosio kultural yang ada, termasuk di dalam kawasan APL BM. Penataan ini semakin penting untuk dipahami dan dilakukan karena aktivitas pemanfaatan sumberdaya berkembang menjadi semakin kompleks dengan tumbuhnya kelompok kelompok pemanfaat baru dengan kepentingan yang berbeda. Perbedaan kepentingan ini berpotensi menimbulkan konflik di tingkat akar rumput bila tidak dikelola dengan baik.

17 109 Perkembangan dunia usaha ekowisata bahari dan budidaya karang komersial yang cukup pesat di Kepulauan Seribu saat ini menunjukkan kemajuan pembangunan di satu sisi, sekaligus menunjukkan perlunya penataan ruang yang mensinergiskan perkembangan tersebut dengan kebutuhan kelompok kelompok pemanfaat lain. Secara pokok, penyelarasan ini harus mempertimbangkan keberlanjutan tiga fungsi pokok sumberdaya yaitu fungsi ekonomi/produksi, fungsi ekologi dan fungsi sosial b. Menyediakan kesempatan/peluang bagi masyarakat agar dapat terus terlibat dalam pengelolaan APL BM dalam arti yang lebih luas. Pemahaman bahwa program konservasi sebagai tindakan pembatasan akses pemanfaatan sumberdaya pada kawasan tertentu tanpa upaya pengimbang untuk memperbaiki akses pemanfaatan sumberdaya pada bagian wilayah yang lain masih cukup kuat tertanam pada pemikiran mayoritas masyarakat. Masyarakat menghendaki bahwa tindakan pembatasan akses terhadap zona inti perlindungan sebagai bank ikan dan terumbu karang juga harus diikuti oleh upaya perbaikan ekosistem pada zona pemanfaatan pada wilayah yang lain sehingga produktivitas sumberdaya tetap dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat. Upaya penyediaan kesempatan/peluang tersebut dapat diwujudkan dalam bentuk pemberian kewenangan atau hak kelola terbatas kepada masyarakat untuk mengelola dan memanfaatkan fish shelter sebagai unit produksi perikanan di dalam zona pemanfaatan APL BM. Pemberian hak kelola terbatas pada fish shelter berfungsi untuk memenuhi kebutuhan hidup dalam jangka pendek dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, terutama pada masa menunggu pulihnya kualitas lingkungan. Strategi pemberian hak kelola terbatas ini juga berfungsi sebagai media belajar secara inetgratif bagi masyarakat untuk mengelola sumberdaya. Masyarakat juga berlatih menyelesaikan permasalahan permasalahan yang tumbuh di dalam sistem sosialnya. Pemberian hak kelola terbatas tersebut tidak dimaksudkan sebagai bentuk baru pembatasan akses pada pemanfaatan sumberdaya, tetapi sebagai insentif yang diberikan kepada masyarakat atas kesediaannya berpartisipasi aktif pada program konservasi. Pemberian wewenang terbatas untuk mengelola fish shelter tersebut sebaiknya dilakukan dengan penguatan aspek legalitas dan kapasitas kelembagaan sehingga masyarakat semakin memiliki keyakinan akan kredibilitas mereka. Penguatan aspek legal ini juga bertujuan untuk meminimalkan peluang salah urus dalam praktek penyelenggaraannya. Kewajiban pihak pemerintah adalah memberikan bimbingan dan arahan dalam bentuk dukungan teknis, pelayanan, pembiayaan dan pengadaan sarana prasarana. Di dalam formula strategi ini juga harus dibentuk unsur pengawasan yang mewakili kepentingan bersama agar tidak terjadi kegiatan pengelolaan yang tidak bertanggung jawab dan justru mengakibatkan rusaknya sumberdaya perikanan kelautan. Strategi pemberian hak kelola terbatas ini sesuai dengan pendapat Mary Mellor (Dobson dan Eckersley, 2006) yang merekomendasikan pemberian hak

18 110 pengelolaan sumberdaya kepada komunitas (communal right) untuk mencapai keberlanjutan ekosistem. (3) Peningkatan intensitas peran penyuluhan dalam pengelolaan APL BM Pengembangan kemampuan dan motivasi masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengelolaan APL BM memerlukan intervensi proporsional dari pihak luar masyarakat masyarakat, baik dari pihak unsur pemerintah maupun organisasi non pemerintah. Fungsi intervensi tersebut bukan untuk menciptakan ketergantungan, namun lebih bersifat sebagai fasilitasi pembangunan untuk mendorong tumbuh kembangnya inisiatif, kreativitas serta kemandirian masyarakat. Bentuk intervensi yang dilakukan adalah dengan menyelenggarakan pendidikan non formal penyuluhan baik dalam bentuk pelatihan maupun pendampingan. Pengembangan intensitas peran penyuluhan perlu dilakukan agar interaksi antara penyuluh, organisasi pengelola dan kelompok masyarakat pemanfaat berfungsi sebagai proses pembelajaran bersama yang diharapkan berujung pada pengembangan kemampuan organisasi dan kelompok masyarakat pemanfaat dalam mengelola APL BM. Temuan penelitian menunjukkan bahwa pendidikan non formal berupa pelatihan dan pendampingan terkait dengan pengelolaan APL BM dirasakan sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Hanya saja, pada prakteknya layanan penyuluhan ini belum berjalan dengan efektif. Potensi lain yang ditemukan pada penelitian ini adalah jaringan kerja penyuluhan perikanan terkait dengan pengelolaan APL BM yang sudah terbangun cukup baik meskipun memiliki banyak keterbatasan. Harus diakui bahwa upaya pengembangan kualitas kemampuan organisasi dan motivasi masyarakat melalui instrumen pendidikan non formal penyuluhan merupakan investasi yang hasilnya tidak dapat dilihat secara langsung, namun baru dapat dilihat dan dinikmati dalam jangka panjang beberapa tahun ke depan. Penyuluhan adalah investasi sosial yang akan meningkatkan efektivitas pelaksanaan pembangunan pada jangka panjang. Langkah-langkah strategis yang dilakukan dalam upaya pengembangan intensitas peran penyuluh perikanan kelautan adalah: a. Penguatan status eksistensi kelembagaan penyuluhan perikanan kelautan secara fungsional pada skema pembangunan daerah dan secara struktural pada organisasi pemerintahan daerah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. Kejelasan eksistensi gugus organisasi dan deskripsi tugas unit pelaksana penyuluhan perikanan kelautan ini diperlukan karena selama ini petugas penyuluh berasal dari unit/gugus tugas pemerintah pusat melalui program penyuluhan yang bersifat kontrak dan temporer. Kondisi ini menyebabkan pelaksanan kegiatan penyuluhan perikanan kelautan di Kepulauan Seribu memiliki keterbatasan organisasional yang tinggi. b. Pengembangan kemampuan penyuluh perikanan kelautan, meliputi kemampuan untuk memfasilitasi organisasi masyarakat dalam membangun konsensus, mengembangkan dinamika kelompok serta memanfaatkan sumberdaya alam dan sosial yang dimiliki masyarakat. Kemampuan mendidik yang perlu dikembangkan adalah kemampuan mendidik secara partisipatif meliputi mendiagnosis kebutuhan belajar masyarakat, merumuskan tujuan pembelajaran dalam pendidikan non formal, merancang dan merumuskan materi belajar, mengelola proses belajar dan

METODE PENELITIAN Rancangan Penelitian Kerangka Berpikir Penelitian

METODE PENELITIAN Rancangan Penelitian Kerangka Berpikir Penelitian BAB IV. FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN AREAL PERLINDUNGAN LAUT BERBASIS MASYARAKAT (APL BM) DI KABUPATEN ADMINISTRASI KEPULAUAN SERIBU, DKI JAKARTA ABSTRACT In

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki lebih kurang 17.508 pulau dengan sekitar 6.000 di antaranya merupakan pulau yang berpenduduk. Indonesia

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Eksploitasi sumberdaya pesisir dan laut dalam dekade terakhir ini menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat, bahkan telah mendekati kondisi yang membahayakan kelestarian

Lebih terperinci

BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR

BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR 5.1. Visi dan Misi Pengelolaan Kawasan Konservasi Mengacu pada kecenderungan perubahan global dan kebijakan pembangunan daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kota Jambi RPJMD KOTA JAMBI TAHUN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kota Jambi RPJMD KOTA JAMBI TAHUN BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan proses perubahan kearah yang lebih baik, mencakup seluruh dimensi kehidupan masyarakat suatu daerah dalam upaya meningkatkan kesejahteraan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan adanya kecenderungan menipis (data FAO, 2000) terutama produksi perikanan tangkap dunia diperkirakan hanya

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang merupakan salah satu ekosistem di wilayah pesisir yang kompleks, unik dan indah serta mempunyai fungsi biologi, ekologi dan ekonomi. Dari fungsi-fungsi tersebut,

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu bentuk pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan adalah melalui pengembangan kegiatan wisata bahari. Berbicara wisata bahari, berarti kita berbicara tentang

Lebih terperinci

PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 15 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN KOORDINASI PENYULUHAN

PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 15 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN KOORDINASI PENYULUHAN - 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 15 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN KOORDINASI PENYULUHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TIMUR,

Lebih terperinci

KESIMPULAN DAN SARAN

KESIMPULAN DAN SARAN 221 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Tingkat partisipasi petani sekitar hutan dalam mengelola hutan kemiri rakyat tergolong rendah dan bersifat parsial atau tidak ideal, di mana hanya dua tahapan partisipasi

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki wilayah perairan yang luas, yaitu sekitar 3,1 juta km 2 wilayah perairan territorial dan 2,7 juta km 2 wilayah perairan zona ekonomi eksklusif (ZEE)

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan luas 49 307,19 km 2 memiliki potensi sumberdaya hayati laut yang tinggi. Luas laut 29 159,04 Km 2, sedangkan luas daratan meliputi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas laut dan jumlah pulau yang besar. Panjang garis pantai Indonesia mencapai 104.000 km dengan jumlah

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem terumbu karang mempunyai produktivitas organik yang tinggi. Hal ini menyebabkan terumbu karang memilki spesies yang amat beragam. Terumbu karang menempati areal

Lebih terperinci

PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN

PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN Lampiran Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.16/Menhut-II/2011 Tanggal : 14 Maret 2011 PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pedoman

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.150, 2011 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. PNPM Mandiri. Pedoman. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.16/MENHUT-II/2011 TENTANG PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagai sebuah negara yang sebagian besar wilayahnya terdiri atas lautan, Indonesia memiliki potensi sumberdaya perikanan yang potensial untuk dikembangkan sebagai salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. besar sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil, disisi lain masyarakat yang sebagian

BAB I PENDAHULUAN. besar sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil, disisi lain masyarakat yang sebagian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu Negara kepulauan, yang memiliki potensi besar sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil, disisi lain masyarakat yang sebagian besar bertempat

Lebih terperinci

USULAN PENDEKATAN DAN METODOLOGI RENCANA KERJA DAN JADWAL KEGIATAN CALON TENAGA AHLI PEMASARAN PARTISIPATIF

USULAN PENDEKATAN DAN METODOLOGI RENCANA KERJA DAN JADWAL KEGIATAN CALON TENAGA AHLI PEMASARAN PARTISIPATIF USULAN PENDEKATAN DAN METODOLOGI RENCANA KERJA DAN JADWAL KEGIATAN CALON TENAGA AHLI PEMASARAN PARTISIPATIF Nama Alamat : Ronggo Tunjung Anggoro, S.Pd : Gendaran Rt 001 Rw 008 Wonoharjo Wonogiri Wonogiri

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Pulau Madura merupakan wilayah dengan luas 15.250 km 2 yang secara geografis terpisah dari Pulau Jawa dan dikelilingi oleh selat Madura dan laut Jawa. Sebagai kawasan yang

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.30/MEN/2010 TENTANG RENCANA PENGELOLAAN DAN ZONASI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.30/MEN/2010 TENTANG RENCANA PENGELOLAAN DAN ZONASI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.30/MEN/2010 TENTANG RENCANA PENGELOLAAN DAN ZONASI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan sub-sektor perikanan tangkap merupakan bagian integral dari pembangunan kelautan dan perikanan yang bertujuan untuk : (1) meningkatkan kesejahteraan masyarakat

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Wilayah pesisir pulau kecil pada umumnya memiliki panorama yang indah untuk dapat dijadikan sebagai obyek wisata yang menarik dan menguntungkan, seperti pantai pasir putih, ekosistem

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. manusia terutama menyangkut kegiatan sosial dan ekonomi. Peranan sektor

I. PENDAHULUAN. manusia terutama menyangkut kegiatan sosial dan ekonomi. Peranan sektor I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pariwisata merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia terutama menyangkut kegiatan sosial dan ekonomi. Peranan sektor pariwisata bagi suatu negara

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem terumbu karang mempunyai keanekaragaman biologi yang tinggi dan berfungsi sebagai tempat memijah, mencari makan, daerah pengasuhan dan berlindung bagi berbagai

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan pesisir merupakan daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut. Kawasan pesisir merupakan ekosistem yang kompleks dan mempunyai nilai sumberdaya alam yang tinggi.

Lebih terperinci

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN SALINAN BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PATI, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

BUPATI BANGKA TENGAH

BUPATI BANGKA TENGAH BUPATI BANGKA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA TENGAH NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN TERUMBU KARANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA TENGAH, Menimbang : a. bahwa ekosistem

Lebih terperinci

VII PRIORITAS STRATEGI PENGEMBANGAN EKOWISATA TN KARIMUNJAWA

VII PRIORITAS STRATEGI PENGEMBANGAN EKOWISATA TN KARIMUNJAWA VII PRIORITAS STRATEGI PENGEMBANGAN EKOWISATA TN KARIMUNJAWA 7.1 Kerangka Umum Analytical Network Process (ANP) Prioritas strategi pengembangan TN Karimunjawa ditetapkan berdasarkan pilihan atas variabel-variabel

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Tual adalah salah satu kota kepulauan yang ada di Provinsi Maluku dengan potensi sumberdaya kelautan dan perikanan yang cukup melimpah serta potensi pariwisata yang

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan yang terletak di dalam wilayah perairan Indo West Pacific (Hutomo & Moosa, 2005). Terumbu karang adalah salah satu ekosistem penting

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2015 TENTANG PEMBERDAYAAN NELAYAN KECIL DAN PEMBUDIDAYA-IKAN KECIL

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2015 TENTANG PEMBERDAYAAN NELAYAN KECIL DAN PEMBUDIDAYA-IKAN KECIL PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2015 TENTANG PEMBERDAYAAN NELAYAN KECIL DAN PEMBUDIDAYA-IKAN KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah teritorial Indonesia yang sebagian besar merupakan wilayah pesisir dan laut kaya akan sumber daya alam. Sumber daya alam ini berpotensi untuk dimanfaatkan bagi

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 66 TAHUN 2015 TENTANG PELESTARIAN CAGAR BUDAYA PROVINSI JAWA TIMUR

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 66 TAHUN 2015 TENTANG PELESTARIAN CAGAR BUDAYA PROVINSI JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 66 TAHUN 2015 TENTANG PELESTARIAN CAGAR BUDAYA PROVINSI JAWA TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TIMUR, Menimbang Mengingat : a.

Lebih terperinci

Analisis Pengelolaan Wilayah Pesisir Berbasis Masyarakat

Analisis Pengelolaan Wilayah Pesisir Berbasis Masyarakat Analisis Pengelolaan Wilayah Pesisir Berbasis Masyarakat Henny Mahmudah *) *) Dosen Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Islam Lamongan email : henymahmudah@gmail.com Abstrak Wilayah pesisir

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG BADAN KOORDINASI PENYULUHAN PERTANIAN, PERIKANAN DAN KEHUTANAN PROVINSI SUMATERA SELATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumatera Barat memiliki kawasan hutan yang luas. Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.35/Menhut-II/2013 tanggal 15 Januari 2013 tentang perubahan atas

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Isu-isu tentang pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam, seperti air, tanah, hutan dan kelautan-perikanan, merupakan topik yang semakin penting dalam kajian akademik,

Lebih terperinci

Tantangan Ke Depan. 154 Tantangan Ke Depan

Tantangan Ke Depan. 154 Tantangan Ke Depan 5 Tantangan Ke Depan Pemahaman ilmiah kita terhadap ekosistem secara umum, khususnya pada ekosistem laut, mengalami kemajuan pesat dalam beberapa dekade terakhir. Informasi tentang pengelolaan ekosistem

Lebih terperinci

KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS

KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS 55 KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS Kerangka Berpikir Sebagai badan, suatu peran tidak dapat tumbuh dan berkembang sendiri tanpa adanya partisipasi masyarakat. Selain sebagai institusi ekonomi, peran juga

Lebih terperinci

GUBERNUR MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN TELUK DI PROVINSI MALUKU

GUBERNUR MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN TELUK DI PROVINSI MALUKU 1 GUBERNUR MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN TELUK DI PROVINSI MALUKU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR MALUKU, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

11 KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PERIKANAN PELAGIS KEBERLANJUTAN KOTA TERNATE

11 KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PERIKANAN PELAGIS KEBERLANJUTAN KOTA TERNATE 257 11 KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PERIKANAN PELAGIS KEBERLANJUTAN KOTA TERNATE 11.1 Pendahuluan Perikanan tangkap merupakan salah satu aktivitas ekonomi yang sangat kompleks, sehingga tantangan untuk memelihara

Lebih terperinci

PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN KOLABORATIF TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA. Frida Purwanti Universitas Diponegoro

PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN KOLABORATIF TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA. Frida Purwanti Universitas Diponegoro PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN KOLABORATIF TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA Frida Purwanti Universitas Diponegoro Permasalahan TNKJ Tekanan terhadap kawasan makin meningkat karena pola pemanfaatan

Lebih terperinci

STANDAR DAN KRITERIA REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN I. BATASAN SISTEM REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN

STANDAR DAN KRITERIA REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN I. BATASAN SISTEM REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN STANDAR DAN KRITERIA REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN I. BATASAN SISTEM REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN Rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) merupakan bagian dari sistem pengelolaan hutan dan lahan, yang ditempatkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar yang diperkirakan memiliki kurang lebih 17 504 pulau (DKP 2007), dan sebagian besar diantaranya adalah pulau-pulau kecil

Lebih terperinci

Mengingat ketentuan-ketentuan yang relevan dari Konvensi Perserikatan Bangsa- Bangsa tentang Hukum Laut tanggal 10 Desember 1982,

Mengingat ketentuan-ketentuan yang relevan dari Konvensi Perserikatan Bangsa- Bangsa tentang Hukum Laut tanggal 10 Desember 1982, PERSETUJUAN PELAKSANAAN KETENTUAN-KETENTUAN KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA TENTANG HUKUM LAUT TANGGAL 10 DESEMBER 1982 YANG BERKAITAN DENGAN KONSERVASI DAN PENGELOLAAN SEDIAAN IKAN YANG BERUAYA TERBATAS

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove bagi kelestarian sumberdaya perikanan dan lingkungan hidup memiliki fungsi yang sangat besar, yang meliputi fungsi fisik dan biologi. Secara fisik ekosistem

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24/KEPMEN-KP/2014 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24/KEPMEN-KP/2014 TENTANG KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24/KEPMEN-KP/2014 TENTANG KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN NUSA PENIDA KABUPATEN KLUNGKUNG DI PROVINSI BALI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

Analisis Pengelolaan Wilayah Pesisir Berbasis Masyarakat. Yessy Nurmalasari Dosen Luar Biasa STMIK Sumedang

Analisis Pengelolaan Wilayah Pesisir Berbasis Masyarakat. Yessy Nurmalasari Dosen Luar Biasa STMIK Sumedang Analisis Pengelolaan Wilayah Pesisir Berbasis Masyarakat Yessy Nurmalasari Dosen Luar Biasa STMIK Sumedang Abstrak Sumber daya pesisir dan lautan merupakan potensi penting dalam pembangunan masa depan,

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir dan laut Indonesia merupakan wilayah dengan potensi keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Sumberdaya pesisir berperan penting dalam mendukung pembangunan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap orang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 101111111111105 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki sumberdaya alam hayati laut yang potensial seperti sumberdaya terumbu karang. Berdasarkan

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN 51 III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Teori Selama ini, pengelolaan sumberdaya perikanan cenderung berorientasi pada pertumbuhan ekonomi semata dengan mengeksploitasi sumberdaya perikanan secara besar-besaran

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap orang berhak hidup

Lebih terperinci

Nama WAKATOBI diambil dengan merangkum nama. ngi- wangi, Kaledupa. dan Binongko

Nama WAKATOBI diambil dengan merangkum nama. ngi- wangi, Kaledupa. dan Binongko OU MATAHORA BANK IKAN UNTUK PERIKANAN BERKELANJUTAN DI DESA MATAHORA KECAMATAN WANGI-WANGI SELATAN KABUPATEN WAKATOBI Oleh : Anggun Ciputri Pratami (8220) Dian Ekawati (8224) Musriani (8242) SMA Negeri

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengelolaan Lingkungan Hidup Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2015 TENTANG PEMBERDAYAAN NELAYAN KECIL DAN PEMBUDIDAYA-IKAN KECIL

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2015 TENTANG PEMBERDAYAAN NELAYAN KECIL DAN PEMBUDIDAYA-IKAN KECIL PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2015 TENTANG PEMBERDAYAAN NELAYAN KECIL DAN PEMBUDIDAYA-IKAN KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

LAMPIRAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PROBOLINGGO NOMOR : 07 TAHUN 2013 BAB I PENDAHULUAN

LAMPIRAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PROBOLINGGO NOMOR : 07 TAHUN 2013 BAB I PENDAHULUAN LAMPIRAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PROBOLINGGO NOMOR : 07 TAHUN 2013 Rencana Pembangunan TANGGAL Jangka : 11 Menengah JUNI 2013 Daerah BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Perencanaan pembangunan memainkan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG LARANGAN PENGAMBILAN KARANG LAUT DI WILAYAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Cagar Biosfer Cagar biosfer adalah suatu kawasan meliputi berbagai tipe ekosistem yang ditetapkan oleh program MAB-UNESCO untuk mempromosikan konservasi keanekaragaman hayati

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Era reformasi saat ini telah banyak perubahan dalam berbagai bidang

BAB I PENDAHULUAN. Era reformasi saat ini telah banyak perubahan dalam berbagai bidang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Era reformasi saat ini telah banyak perubahan dalam berbagai bidang pembangunan dan pemerintahan. Perubahan dalam pemerintahan adalah mulai diberlakukannya

Lebih terperinci

VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove

VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN 8.1. Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove Pendekatan AHP adalah suatu proses yang dititikberatkan pada pertimbangan terhadap faktor-faktor

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.38/MEN/2004 TENTANG PEDOMAN UMUM PENGELOLAAN TERUMBU KARANG MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN,

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.38/MEN/2004 TENTANG PEDOMAN UMUM PENGELOLAAN TERUMBU KARANG MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN, KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.38/MEN/2004 TENTANG PEDOMAN UMUM PENGELOLAAN TERUMBU KARANG MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN, Menimbang : a. bahwa sumberdaya terumbu karang dan ekosistemnya

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau-pulau kecil memiliki potensi pembangunan yang besar karena didukung oleh letaknya yang strategis dari aspek ekonomi, pertahanan dan keamanan serta adanya ekosistem

Lebih terperinci

BAB II VISI, MISI, TUJUAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN

BAB II VISI, MISI, TUJUAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN BAB II VISI, MISI, TUJUAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN A. Visi Visi yang telah ditetapkan oleh Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Pelalawan adalah Menjadi Fasilitator dan Penggerak Ekonomi Masyarakat Perikanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut menjadi isu yang sangat penting untuk

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut menjadi isu yang sangat penting untuk 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut menjadi isu yang sangat penting untuk diperhatikan. Karena akhir-akhir ini eksploitasi terhadap sumberdaya pesisir dan laut

Lebih terperinci

BAB VIII STRATEGI DAN PROGRAM PEMBERDAYAAN FAKIR MISKIN

BAB VIII STRATEGI DAN PROGRAM PEMBERDAYAAN FAKIR MISKIN 111 BAB VIII STRATEGI DAN PROGRAM PEMBERDAYAAN FAKIR MISKIN Sekalipun pelaksanaan P2FM-BLPS di Kabupaten Bogor mengalami berbagai kendala, namun program tersebut sangat mendukung kebijakan pemberdayaan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH NO. 07 TAHUN 2013 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH (RPJMD) KABUPATEN PROBOLINGGO TAHUN

PERATURAN DAERAH NO. 07 TAHUN 2013 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH (RPJMD) KABUPATEN PROBOLINGGO TAHUN PEMERINTAH KABUPATEN PROBOLINGGO PERATURAN DAERAH NO. 07 TAHUN 2013 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH (RPJMD) KABUPATEN PROBOLINGGO TAHUN 2013-2018 JL. RAYA DRINGU 901 PROBOLINGGO SAMBUTAN

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Natuna memiliki potensi sumberdaya perairan yang cukup tinggi karena memiliki berbagai ekosistem laut dangkal yang merupakan tempat hidup dan memijah ikan-ikan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA SALATIGA DAFTAR INFORMASI PUBLIK RINGKASAN RENCANAA KERJA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KOTA SALATIGAA TAHUN 2017

PEMERINTAH KOTA SALATIGA DAFTAR INFORMASI PUBLIK RINGKASAN RENCANAA KERJA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KOTA SALATIGAA TAHUN 2017 PEMERINTAH KOTA SALATIGA DAFTAR INFORMASI PUBLIK RINGKASAN RENCANAA KERJA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KOTA SALATIGAA TAHUN 2017 1 PERENCANAAN KINERJA A. Perencanaan Stratejik Badan Perencanaan

Lebih terperinci

6 KESIMPULAN DAN SARAN

6 KESIMPULAN DAN SARAN 6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Permasalahan konflik perikanan tangkap di perairan Kalsel ditinjau dari tipologi konflik terdiri dari (1) yuridiksi perikanan terjadi pada kasus daerah tangkap disebabkan

Lebih terperinci

BAB VIII KESIMPULAN, SARAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN. (1). Potensi sumberdaya di kawasan pesisir Taman Konservasi Laut Olele.

BAB VIII KESIMPULAN, SARAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN. (1). Potensi sumberdaya di kawasan pesisir Taman Konservasi Laut Olele. 303 BAB VIII KESIMPULAN, SARAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 8.1. Kesimpulan (1). Potensi sumberdaya di kawasan pesisir Taman Konservasi Laut Olele. Berdasarkan hasil penelitian, keberadaan sumberdaya dan potensi

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif yang di dukung dengan

BAB III METODOLOGI. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif yang di dukung dengan 33 BAB III METODOLOGI 3.1 Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif yang di dukung dengan metode dengan informan, dan observasi. Data tentang karakteristik masyarakat lokal, tingkat,

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di Dunia, yang terdiri dari 17.508 pulau dan garis pantai sepanjang 95.181 km (terpanjang ke empat di Dunia setelah Canada,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Keberadaan industri ekstraksi secara langsung maupun tidak. langsung akan mempengaruhi kondisi ekonomi, sosial-budaya dan

I. PENDAHULUAN. Keberadaan industri ekstraksi secara langsung maupun tidak. langsung akan mempengaruhi kondisi ekonomi, sosial-budaya dan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keberadaan industri ekstraksi secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi kondisi ekonomi, sosial-budaya dan lingkungan masyarakat yang berada di sekitar

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI A. KESIMPULAN Berdasarkan pembahasan penelitian pada bab sebelumnya, maka dalam bab ini akan dikemukakan beberapa kesimpulan yang pada dasarnya merupakan jawaban

Lebih terperinci

KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS

KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS Kerangka Berpikir Keberadaan hutan perlu dijaga agar tidak mengalami degradasi baik secara kualitas maupun kuantitas. Keberadaan masyarakat sekitar hutan yang pada umumnya

Lebih terperinci

BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG

BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 15 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengenai hal tersebut menuai pro dan kontra. Kuswijayanti (2007) menjelaskan

BAB I PENDAHULUAN. mengenai hal tersebut menuai pro dan kontra. Kuswijayanti (2007) menjelaskan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada 2001, pembahasan mengenai penetapan Gunung Merapi sebagai kawasan taman nasional mulai digulirkan. Sejak saat itu pula perbincangan mengenai hal tersebut menuai

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem perikanan pantai di Indonesia merupakan salah satu bagian dari sistem perikanan secara umum yang berkontribusi cukup besar dalam produksi perikanan selain dari perikanan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan berkelanjutan telah menjadi komitmen masyarakat dunia. Pada saat ini, beberapa negara maju maupun negara berkembang termasuk Indonesia, telah menerima konsep

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.08/MEN/2009 TENTANG

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.08/MEN/2009 TENTANG PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.08/MEN/2009 TENTANG PERAN SERTA DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL MENTERI KELAUTAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kawasan konservasi di Indonesia baik darat maupun laut memiliki luas

BAB I PENDAHULUAN. Kawasan konservasi di Indonesia baik darat maupun laut memiliki luas BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan konservasi di Indonesia baik darat maupun laut memiliki luas lebih dari 28 juta hektar yang kini menghadapi ancaman dan persoalan pengelolaan yang sangat berat.

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 20 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 20 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 20 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT, Menimbang : a. bahwa Daerah Aliran Sungai merupakan

Lebih terperinci

Sekretariat Jenderal KATA PENGANTAR

Sekretariat Jenderal KATA PENGANTAR RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) SEKRETARIAT JENDERAL 2014 KATA PENGANTAR Sesuai dengan INPRES Nomor 7 Tahun 1999, tentang Akuntabilits Kinerja Instansi Pemerintah yang mewajibkan kepada setiap instansi pemerintah

Lebih terperinci

III KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Nilai Ekonomi Taman Nasional Alam seisinya memiliki nilai ekonomi yang dapat mendatangkan manfaat bagi kesejahteraan manusia. Nilai ekonomi ini dapat diperoleh jika alam dilestarikan

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KOTA BEKASI

BERITA DAERAH KOTA BEKASI BERITA DAERAH KOTA BEKASI NOMOR : 42 2012 SERI : E PERATURAN WALIKOTA BEKASI NOMOR 42 TAHUN 2012 TENTANG BADAN KOORDINASI PENATAAN RUANG DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BEKASI, Menimbang

Lebih terperinci

PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN AREAL PERLINDUNGAN LAUT BERBASIS MASYARAKAT DI KABUPATEN ADMINISTRASI KEPULAUAN SERIBU, DKI JAKARTA

PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN AREAL PERLINDUNGAN LAUT BERBASIS MASYARAKAT DI KABUPATEN ADMINISTRASI KEPULAUAN SERIBU, DKI JAKARTA Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Areal Perlindungan Laut... (Erwiantono, Siti A., Pang S. Asngari, Rilus A. Kinseng) PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN AREAL PERLINDUNGAN LAUT BERBASIS MASYARAKAT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan beribu

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan beribu 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan beribu pulau yang terletak di antara dua benua, yaitu Benua Asia dan Benua Australia serta dua samudera,

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN MAROS. NOMOR : 05 Tahun 2009 TENTANG KEHUTANAN MASYARAKAT DI KABUPATEN MAROS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN MAROS. NOMOR : 05 Tahun 2009 TENTANG KEHUTANAN MASYARAKAT DI KABUPATEN MAROS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA SALINAN PERATURAN DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN MAROS NOMOR : 05 Tahun 2009 TENTANG KEHUTANAN MASYARAKAT DI KABUPATEN MAROS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MAROS Menimbang : a. bahwa guna meningkatkan

Lebih terperinci

BAB X PEMBANGUNAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP

BAB X PEMBANGUNAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP BAB X PEMBANGUNAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP A. UMUM Berbagai kebijakan dan program yang diuraikan di dalam bab ini adalah dalam rangka mendukung pelaksanaan prioritas pembangunan nasional yang

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG LARANGAN PENGAMBILAN KARANG LAUT DI WILAYAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

BUPATI POLEWALI MANDAR PERATURAN BUPATI POLEWALI MANDAR NOMOR 49 TAHUN 2012

BUPATI POLEWALI MANDAR PERATURAN BUPATI POLEWALI MANDAR NOMOR 49 TAHUN 2012 BUPATI POLEWALI MANDAR PERATURAN BUPATI POLEWALI MANDAR NOMOR 49 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA ZONASI RINCI KAWASAN MINAPOLITAN KABUPATEN POLEWALI MANDAR TAHUN 2012-2016 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

Perbaikan Tata Kelola Kehutanan yang Melampaui Karbon

Perbaikan Tata Kelola Kehutanan yang Melampaui Karbon Perbaikan Tata Kelola Kehutanan yang Melampaui Karbon Platform Bersama Masyarakat Sipil Untuk Penyelamatan Hutan Indonesia dan Iklim Global Kami adalah Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penyelamatan Hutan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tingginya laju kerusakan hutan tropis yang memicu persoalan-persoalan

I. PENDAHULUAN. Tingginya laju kerusakan hutan tropis yang memicu persoalan-persoalan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tingginya laju kerusakan hutan tropis yang memicu persoalan-persoalan lingkungan telah mendorong kesadaran publik terhadap isu-isu mengenai pentingnya transformasi paradigma

Lebih terperinci

PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA. Bab II

PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA. Bab II Bab II PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Daerah, setiap satuan kerja perangkat Daerah, SKPD harus menyusun Rencana

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN MUKOMUKO

PEMERINTAH KABUPATEN MUKOMUKO SALINAN PEMERINTAH KABUPATEN MUKOMUKO PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUKOMUKO NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN MUKOMUKO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MUKOMUKO,

Lebih terperinci