POLA SEBARAN TITIK PANAS (HOTSPOT) DAN KETERKAITANNYA DENGAN PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN (Studi Kasus : Provinsi Kalimantan Barat)

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "POLA SEBARAN TITIK PANAS (HOTSPOT) DAN KETERKAITANNYA DENGAN PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN (Studi Kasus : Provinsi Kalimantan Barat)"

Transkripsi

1 1 POLA SEBARAN TITIK PANAS (HOTSPOT) DAN KETERKAITANNYA DENGAN PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN (Studi Kasus : Provinsi Kalimantan Barat) HANNA ADITYA JANUARISKY A PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

2 2 RINGKASAN HANNA ADITYA JANUARISKY. Pola Sebaran Titik panas (hotspot) dan Keterkaitannya dengan Perubahan Penggunaan Lahan (Studi Kasus Provinsi Kalimantan Barat). Dibimbing oleh KOMARSA GANDASASMITA dan M. ARDIANSYAH Penggunaan lahan merupakan wujud nyata dari aktivitas manusia pada suatu lahan. Penggunaan lahan sangat dinamis karena mengalami perubahan dari suatu penggunaan lahan menjadi penggunaan lahan lainnya. Teknik tebang bakar merupakan metode umum yang telah lama diaplikasikan dalam pembukaan lahan terutama dalam membuka hutan. Sedangkan dalam lahan pertanian, pembakaran biasanya dilakukan dalam penyiapan lahan sebelum tanam. Permasalahan yang muncul adalah penggunaan api dalam aktivitas membuka hutan dan penyiapan lahan seringkali tidak terkendali sehingga justru menyebabkan kebakaran hutan/lahan yang meluas. Indikator kebakaran hutan/lahan yang telah banyak digunakan di berbagai negara adalah dengan mendeteksi titik panas yang berasal dari pantauan satelit NOAA-AVHRR. Titik panas hanya memberikan sedikit informasi apabila tidak didukung oleh analisa dan interpretasi lanjutan. Provinsi Kalimantan Barat adalah salah satu wilayah dengan kemunculan titik panas terbanyak selain Provinsi Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan. Melalui rilis yang disebar pertengahan Agustus 2011 lalu, Kemenhut menetapkan target pengurangan hotspot sebesar 20% per tahun dari rata-rata tahun hingga tahun 2014 di Pulau Kalimantan, Sumatera, dan Sulawesi. Berdasarkan hasil analisis distribusi spasial titik panas diketahui bahwa Kabupaten Sintang dan Kabupaten Ketapang merupakan wilayah yang memiliki titik panas terbanyak sedangkan pada Kota Pontianak dan Kota Singkawang hampir jarang dijumpai kemunculan titik panas. Kemunculan titik panas paling banyak ditemukan pada penggunaan lahan berupa kebun campuran, hal ini dikarenakan aktivitas penyiapan lahan sebelum tanam yang dilakukan pada penggunaan lahan kebun campuran. Sementara itu, berdasarkan hasil analisis distribusi temporal sebaran titik panas diketahui bahwa titik panas memiliki pola kemunculan yang sama disetiap tahun. Jumlah titik panas yang terpantau oleh

3 3 satelit NOAA mencapai jumlah maksimum ketika memasuki musim kemarau dengan curah hujan yang rendah seperti bulan Juli dan bulan Agustus. Kemunculan titik panas tersebut akan semakin banyak jumlahnya ketika terjadinya fenomena iklim El-Nino seperti yang terjadi pada tahun 2002, 2004, 2006 dan Berdasarkan hasil interpretasi citra Landsat TM yang diakuisisi tahun 2000, 2005 dan 2010 diperoleh 13 jenis penggunaan lahan. Perubahan penggunaan lahan yang terjadi selama rentang waktu tahun 2000 hingga tahun 2005 sebesar 1,89% dimana yang paling banyak terjadi adalah perubahan penggunaan lahan terbuka menjadi semak belukar. Sedangkan selama rentang waktu tahun 2005 hingga tahun 2010 terjadi perubahan penggunaan lahan sebesar 1,99% dimana yang paling mendominasi adalah perubahan penggunaan lahan semak belukar menjadi perkebunan yaitu sebesar 19,82% dari total perubahan penggunaan lahan yang terjadi. Terdapat keterkaitan antara kemunculan titik panas yang kontinyu dengan perubahan penggunaan lahan yang terjadi. Kemunculan titik panas yang kontinyu bisa terjadi dalam jangka waktu yang panjang dan jangka waktu yang relatif singkat. Tetapi kemunculannya yang terus menerus selama rentang waktu tertentu menyebabkan terjadinya perubahan penggunaan lahan. Dalam hal ini terjadi perubahan penggunaan lahan hutan menjadi penggunaan lahan perkebunan. Kata kunci : Titik panas, kebakaran hutan/lahan, perubahan penggunaan lahan, Sistem Informasi Geografis (SIG)

4 4 SUMMARY HANNA ADITYA JANUARISKY. The Distribution Pattern of Heat Points (hotspots) and its Association with Land Use Change (A Case Study of West Kalimantan Province). Supervised by KOMARSA GANDASASMITA and M. ARDIANSYAH Land use is a real form of human activities on a land. The using of land is very dynamic because it changes from one current land use to another land use. Slash and burn is a method that has long been applied to open the forest. Whereas in agriculture, burning is usually done in the land preparation before planting. The problem that occurred is the use of fire in the activities of clearing and preparing land often uncontroll, so that it caused forest fire expanded. The indicator of forest or land fire that has been widely used is many countries is to detect hotspot which come from NOAA-AVHRR satellite. The hotspot only gives a little information if its not supported by analysis and interpretation. West Kalimantan province is the region with the highest appearance of hotspot. With release on half Agustus 2011, Kemenhut says that decreasing hotspot must be 20% from average to 2014 in Kalimantan, Sumatera and Sulawesi. Based on the analysis of hotspot distribution is known that Sintang and Ketapang district are region which has the largest hotspot, while in Pontianak and Singkawang City almost rare appearance of hotspot. Mixed garden is landuse which have many hotspot due to land preparation before planting activity. Based on temporal distribution of hotspot analysis, its known that the hotspot has same pattern in every year. The number of hotspot which is monitored by NOAA satellite reach the maximum number when entering dry season with low rainfall such as July and August. The appearance of hotspot will increase when the climate phenomenon such as El-Nino happened in the year 2002, 2004, 2006 and Based on the interpretation of Landsat TM on 2000, 2005 and 2010 obtained 13 land use type. West Kalimantan province was dominated by mixture garden, bog and forest. The result shows that land use change from open land to

5 5 the bush for about 1,89% during While during , change from bush to the plantation mostly happened for about1,99%. There are relationship between hotspot which is continued with land use change. Appearance of hotspot which is continued could happened in long or short periode and it will cause the change of forest to become plantation. Keyword : Hotspot, fire of forest, landuse change, Geographical Information System (GIS)

6 6 POLA SEBARAN TITIK PANAS (HOTSPOT) DAN KETERKAITANNYA DENGAN PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN (Studi Kasus : Provinsi Kalimantan Barat) HANNA ADITYA JANUARISKY A SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

7 7 Judul Penelitian Nama NRP : Pola Sebaran Titik panas (hotspot) dan Keterkaitannya dengan Perubahan Penggunaan Lahan (Studi Kasus Provinsi Kalimantan Barat) : Hanna Aditya Januarisky : A Menyetujui, Pembimbing I Pembimbing II Dr.Ir. Komarsa Gandasasmita, M. Sc NIP Dr. Ir. Muhammad Ardiansyah NIP Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan Dr. Ir. Syaiful Anwar, M.Sc NIP Tanggal Lulus :

8 8 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 24 Januari Penulis merupakan putri kedua dari pasangan Bapak Wahyu dan ibu Nelwati. Penulis memulai pendidikan formal pertama di Taman Kanak-Kanak (TK) Mesra Bogor yang diselesaikan pada tahun Kemudian penulis melanjutkan pendidikan ke Sekolah Dasar Negeri Bangka IV Bogor dan lulus pada tahun Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan di SLTP Negeri 3 Bogor dan berhasil menyelesaikan pendidikan pada tahun Pada tahun 2007 penulis berhasil menyelesaikan pendidikan di Sekolah Menegah Atas (SMA) Negeri 6 Bogor. Pada tahun 2007, penulis berhasil diterima sebagai mahasiswi Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama mengikuti perkuliahan, penulis terlibat dalam kepengurusan Himpunan Mahasiswa Ilmu Tanah periode 2009/2010 sebagai staff divisi Hubungan Luar dan Alumni. Selain itu, penulis pun aktif menjadi asisten praktikum mata kuliah Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra 2010/2011 dan 2011/2012, asisten praktikum mata kuliah Geomorfologi dan Analisis landskap tahun 2010/2011, asisten praktikum mata kuliah Sistem Informasi Geografi pada tahun 2010/2011. Pada masa perkuliahan penulis pernah tergabung dalam beberapa kepanitian yaitu MPKMB Patriot 45, U-cup 2009, MPD Masif 45, Seminar Nasional Soil dan Palm oil 2009, Soildarity 2009, Seminar Nasional Soil Disaster and Remote Sensing 2010.

9 ii KATA PENGANTAR Puji dan syukur ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini. Penelitian ini berjudul Pola Sebaran Titik Panas (hotspot) dan Keterkaitannya dengan Perubahan Penggunaan Lahan (Studi Kasus Provinsi Kalimantan Barat) Skripsi ini merupakan hasil penelitian sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian dari Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat untuk menambah kekayaan ilmu pengetahuan pembacanya. Penulis menyadari bahwa dalam meyelesaikan skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada : 1. Dr.Ir. Komarsa Gandasamita, M.Sc selaku Pembimbing Akademik dan juga Pembimbing Skripsi Utama yang telah memberikan perhatian, bimbingan, saran, dan dukungannya kepada penulis. 2. Dr. Ir. Muhammad Ardiansyah Selaku pembimbing II yang memberikan motivasi dan masukan bagi penulis dalam kegiatan penelitian dan penulisan skripsi ini. 3. Dr. Khursatul Munibah, M.Sc selaku dosen penguji yang telah memberikan masukan bagi penulis dalam penulisan skripsi. 4. Mamah tersayang, Ayah tersayang, Kakakku tersayang yang senantiasa selalu memberikan do a, kasih sayang, perhatian, dukungan moral dan spiritual yang sangat sangat berlimpah kepada penulis. 5. Sodara-sodara SOIL 44!!! kalian yang terhebat!!! bangga menjadi bagian kalian. Terima kasih telah menjadi sebuah kisah klasik untuk masa depan. 6. Wanita wanita tidak penting (Astria hernisa, Setia Wahyu Cahyaningsih, Reyna prachmayandini, Juniska Muria Sarinigpuri). Terima kasih atas

10 iii dukungan, canda tawa, tolong menolong, bahu membahu selama masa perkuliahan hingga menyelesaikan skripsi ini. 7. Sodara-sodara bagian penginderaan jauh dan informasi spasial : Aulia Bahadhori, Kriswindya Tasha, Farid Ridwan, Melinda R, Ika Puspitasari, Herdian Priambodo, Rhoma Purnanto, Herdianto Eka, Adi Yudha, Savitri Agrianti. 8. Kaka Manda, Ajeng Septianti, Andri Firmansyah, Ka Ivong, Ka Linda, Riska, Chisi, Mbak Nurul dan mereka mereka yang saya repotkan dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini. 9. Semua pihak yang turut membantu kegiatan penelitian dan penyusunan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Bogor, Maret 2012 Hanna Aditya Januarisky

11 xii xi DAFTAR ISI DAFTAR ISI..... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... xi xiii xiv BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Tujuan Penelitian. 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Titik Panas Peran Satelit NOAA-AVHRR dalam Mengindikasi Kebakaran Hutan Mekanisme Penentuan Titik Panas Metode Sederhana Metode Algoritme Kontekstual Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kebakaran Hutan dan Lahan Bahan Bakar Cuaca Waktu Citra Satelit Landsat TM Interpretasi Citra Penggunaan Lahan Perubahan Penggunaan Lahan Sistem Informasi Geografis (SIG) BAB III METODOLOGI PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Jenis dan Sumber Data Metode Penelitian Tahap Persiapan dan Pengumpulan Data 19

12 xiii xii Tahap Pengolahan dan Pemrosesan Awal Data Tahap Analisis Data Spasial BAB IV KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN Letak Geografis Wilayah Topografi Wilayah Kondisi Iklim dan Cuaca Kependudukan Jenis Tanah Anggaran dan Pendapatan Daerah BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Kepadatan Titik Panas Distribusi Spasial Jumlah Titik Panas Berdasarkan Wilayah Kabupaten/kota Distribusi Spasial Titik Panas Berdasarkan Penggunaan Lahan Distribusi Temporal Titik Panas Hubungan Antara Titik Panas dengan Curah Hujan Penggunaan Lahan Tahun 2000, Tahun 2005 dan Tahun Perubahan Penggunaan Lahan Provinsi pada Periode Tahun dan Tahun Inkonsistensi Penggunaan Lahan Tahun 2010 dengan Peruntukan Fungsi Kawasan Hutan Keterkaitan Titik Panas dengan Perubahan Penggunaan Lahan.. 50 BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA... 54

13 xiv xiii No. DAFTAR TABEL Teks Halaman 1. Karakteristik Masing-Masing Band pada Citra Landsat TM Unsur-unsur dalam Interpretasi Citra Jenis dan Sumber Data yang Digunakan dalam Penelitian Jumlah Titik Panas Masing-masing Wilayah Kabupaten Lampiran 1. Data Penggunaan Lahan Tahun Data Penggunaan Lahan Tahun Data Penggunaan Lahan Tahun Data Perubahan Penggunaan Lahan Tahun Data Perubahan Penggunaan Lahan Tahun Data Sebaran Titik Panas pada Masing-masing Penggunaan Lahan Data Curah Hujan Provinsi Kalimantan Barat Data Curah Hujan dan Titik Panas Tahun 2005 Hingga Tahun

14 vii xiv DAFTAR GAMBAR No. Halaman Teks 1. Satelit NOAA-AVHRR 6 2. Metode Deteksi Titik Panas dengan Algoritme Kontekstual Peta Lokasi Penelitian Diagram Alir Penelitian Peta Batas Administrasi Jumlah Titik Panas Tahun Titik Panas Pada Masing-masing Penggunaan Lahan Selama Tahun 2000 hingga Tahun Sebaran Titik Panas Bulanan Hubungan Curah Hujan dan Titik Panas Penggunaan Lahan Tahun 2000, Tahun 2005 dan Tahun Peta Penggunaan Lahan Tahun Peta Penggunaan Lahan Tahun Peta Penggunaan Lahan Tahun Perubahan Luasan Penggunaan Lahan Tahun Perubahan Luasan Penggunaan Lahan Tahun Perubahan Penggunaan Lahan Tahun Perubahan Penggunaan Lahan Tahun Peta Peruntukkan Fungsi Kawasan Hutan Persentase Luas Fungsi Kawasan Hutan Persentase Ketidaksesuaian Penggunaan Lahan Eksisting dengan Peruntukan Kawasan Cagar Alam, Taman Nasional Taman Wisata Alam, Suaka Alam... 48

15 xv viii 21. Ketidaksesuaian Peruntukkan Fungsi Kawasan Hutan Lindung (HL) dengan Penggunaan Lahan Eksisting 22. Ketidaksesuaian Peruntukkan Fungsi Kawasan Hutan Produksi dengan Penggunaan Lahan Eksisting Lampiran 10. Peta Sebaran Titik Panas Tahun Peta Sebaran Titik Panas Tahun Peta Sebaran Titik Panas Tahun Peta Sebaran Titik Panas Tahun Peta Sebaran Titik Panas Tahun Peta Sebaran Titik Panas Tahun Peta Sebaran Titik Panas Tahun Peta Sebaran Titik Panas Tahun Peta Sebaran Titik Panas Tahun Peta Sebaran Titik Panas Tahun Peta Sebaran Titik Panas Tahun Peta Sebaran Titik Panas Tahun Kemunculan Titik Panas yang Kontinyu dan Penambahan Luas Areal Perkebunan (a) Kemunculan Titik Panas yang Kontinyu dan Penambahan Luas Areal Perkebunan (b)

16 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lahan adalah suatu hamparan ekosistem daratan yang peruntukannya untuk usaha dan atau kegiatan ladang dan atau kebun bagi masyarakat. Dalam penggunaan lahan ini manusia berperan sebagai pengatur ekosistem, yaitu dengan menyingkirkan komponen-komponen yang dianggapnya tidak berguna ataupun dengan mengembangkan komponen yang diperkirakan akan menunjang penggunaan lahannya (Mather, 1986; Gandasasmita, 2001). Dengan kata lain penggunaan lahan merupakan wujud nyata dari aktivitas manusia pada suatu lahan dan penggunaan lahan bersifat dinamis tergantung dari kondisi sekitar lahan tersebut berada. Berbagai metode pembukaan lahan telah dipraktekkan. Teknik tebang bakar (slash and burn) merupakan metode yang umum dan telah lama diaplikasikan dalam pembukaan lahan (Van Noordwijk, 2001). Alasan utama penggunaan teknik slash and burn karena dianggap lebih murah, cepat dan praktis dibandingkan dengan teknik tanpa bakar. Selain itu, masyarakat masih menilai bahwa abu sisa pembakaran dapat meningkatkan kesuburan tanah. Di lahan pertanian, pembakaran seringkali dilakukan terutama dalam aktivitas penyiapan lahan. Tetapi permasalahan yang terjadi apabila pembakaran dilakukan tidak terkendali dapat menyebabkan kebakaran hutan/ lahan yang luas. Salah satu cara untuk mengetahui kejadian kebakaran hutan/lahan dapat memanfaatkan informasi titik panas (hotspot) yang dipantau menggunakan satelit National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA). Titik panas adalah indikator kebakaran hutan yang mendeteksi suatu lokasi yang memiliki suhu relatif tinggi dibandingkan suhu sekitarnya (Permenhut, 2009). Namun perlu diperhatikan bahwa jumlah titik panas yang terpantau tidak selalu menggambarkan jumlah kebakaran yang sebenarnya, tetapi kemunculan titik panas dapat merupakan indikasi awal. Titik panas hanya akan memberikan informasi yang sedikit apabila tidak dilakukan interpretasi dan analisis lanjutan. Salah satu teknologi yang dapat dimanfaatkan untuk interpretasi lanjutan mengenai titik panas adalah Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis

17 2 (SIG). Menurut Chuvieco and Salas (1996) SIG merupakan alat yang cocok untuk memetakan distribusi data spasial dari bahaya kebakaran hutan/lahan. SIG dapat juga memadukan secara spasial beberapa variabel bahaya seperti vegetasi, topografi, dan sejarah kebakaran. Kalimantan Barat adalah salah satu wilayah dengan kemunculan titik panas tertinggi selain Provinsi Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan. Kemunculan titik panas yang tinggi ini mengindikasikan tingginya kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Provinsi Kalimantan Barat. Setiap tahun sebagian besar wilayah Kalimantan Barat selalu diselimuti kabut asap tebal yang berasal dari kegiatan pembakaran lahan atau kebakaran hutan dan lahan. Aktivitas pembakaran ini dilakukan oleh masyarakat setempat dalam penyiapan lahan untuk kegiatan pertanian. Kabut asap yang ditimbulkan akibat kegiatan pembakaran lahan ini tidak hanya menurunkan kualitas udara di tingkat lokal tetapi turut andil dalam menurunkan kualitas udara di tingkat nasional bahkan regional ASEAN. Seperti yang dikatakan Gubernur Kalimantan Barat Christiandy Sanjaya bahwa kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Kalimantan Barat menghasilkan asap dan sering mendapat komplain dari negara tetangga yaitu Malaysia dan Singapura, sehingga perlunya dilakukan pengendalian kebakaran hutan/lahan secara efektif agar kemunculan titik panas dapat dikurangi (Wartapedia, 2011). Melalui rilis yang disebar pertengahan Agustus 2011 lalu, Kemenhut menetapkan target pengurangan hotspot sebesar 20% per tahun dari rata-rata tahun hingga tahun 2014 di Pulau Kalimantan, Sumatera, dan Sulawesi (Prasetyo, 2011). Penurunan hotspot ini akan dapat dicapai dengan memfokuskan pengendalian kebakaran hutan/lahan pada wilayah penyumbang jumlah titik panas tertinggi setiap tahunnya. Selain itu, pengendalian ditingkatkan pada waktu dimana aktivitas pembakaran lahan paling sering terjadi. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai distribusi spasial dan distribusi temporal kemunculan titik panas sehingga pengendalian kebakaran hutan/lahan dapat dilakukan secara efektif.

18 3 1.2 Tujuan Penelitian a. Mendeskripsikan distribusi spasial dan distribusi temporal titik panas b. Menganalisis perubahan penggunaan lahan selama rentang tahun 2000 hingga tahun 2010 c. Menganalisis keterkaitan sebaran titik panas dengan perubahan penggunaan lahan

19 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Titik Panas Titik panas (hotspot) adalah indikator kebakaran hutan yang mengindikasikan suatu lokasi yang memiliki suhu relatif tinggi dibandingkan suhu disekitarnya. Definisi tersebut tertulis dalam pasal 1 angka 9 Permenhut No.P 12//P Menhut-II/2009. Titik panas dapat dideteksi dengan satelit NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration) yang dilengkapi sensor AVHRR (Advanced Very Hight Resulation Radiometer). Sensor AVHRR bekerja berdasarkan pancaran energi thermal dari objek yang diamati dari suatu areal yang bersuhu 42 C. Satelit ini sering digunakan untuk pendeteksian wilayah tersebut karena salah satu sensornya yang dapat membedakan suhu permukaan di darat atau di laut. Kelebihan lain adalah seringnya satelit-satelit tersebut mengunjungi tempat yang sama dua kali sehari siang dan malam, keuntungan lainnya adalah harga yang murah (Fire Fight South East Asia, 2002 dalam Wardani, 2004). Sebuah titik panas dapat mencerminkan sebuah areal yang mungkin terbakar sebagian atau seluruhnya karena itu tidak menunjukkan secara pasti seberapa besar areal yang terbakar. Jumlah titik panas dapat sangat bervariasi dari suatu pengukuran selanjutnya tergantung dari waktu pengukuran pada hari itu (aktivitas api berkurang pada malam hari dan paling tinggi pada sore hari), cuaca (sensor yang digunakan tidak dapat menembus awan dan asap) dan organisasi apa yang memberikan data tersebut (tidak terdapat standar ambang batas temperatur atau suhu untuk mengidentifikasikan titik panas) (Fire Fight South East Asia,2002 dalam Wardani, 2004). Titik panas hanya memberikan sedikit informasi apabila tidak didukung oleh analisa dan interpretasi lanjutan. Kelompok titik panas dan atau titik panas yang berjumlah besar dan berlangsung secara terus menerus adalah indikator yang baik untuk kebakaran. Data titik panas bermanfaat apabila dikombinasikan dengan informasi-informasi lainnya. Kesalahan bias atau geografi dari sebuah titik panas dapat sampai sejauh 3 km (Fire Fight South East Asia, 2002 dalam Wardani, 2004).

20 5 2.2 Peran Satelit NOAA-AVHRR dalam Mengindikasi Kebakaran Hutan Pemanfaatan data satelit ini merupakan sarana yang potensial untuk mendeteksi atau memantau terjadinya kebakaran hutan karena selain memiliki sensor yang peka terhadap wilayah dengan temperatur yang tinggi, juga dapat meliput daerah yang sangat luas x 1500 km 2 serta dapat mengirimkan data minimal satu kali dalam sehari (Departemen Kehutanan, 1989). NOAA AVHRR (National Oceanic and Atmospheric Administration Advanced Very High Resolution Radiometer) adalah satelit cuaca milik Amerika Serikat yang di desain untuk memperoleh informasi tentang hidrologi, kelautan dan studi studi iklim untuk kepentingan meteologi, yang mampu merekam tempat yang sama 2 kali per hari. Dengan kata lain perekaman dilakukan dalam 12 jam sekali. Pada sensor AVHRR, CH 3 (3,55-3,93 µm) terletak dekat maksimum spektral untuk emisi radiatif suatu objek pada suhu ±800 K (suhu tipikal dari kebakaran alang-alang). Sementara CH 4 (10,3-11,3) dan CH 5 (11,5 12,5) terletak dengan maksimum spektral untuk suhu lingkungan yang normal. Sebagai akibatnya kebakaran alang-alang dengan suhu ±800 K, CH 3 akan menerima energi yang lebih banyak dibandingkan CH 4. Suatu pixel yang mempunyai permukaan suhu yang uniform 300 K, rata-rata energi pada CH 3 dan 4 adalah 0,442 x 9,68 W m -2 µm -1 sr -1 dengan asumsi emisifitas = 1. Untuk pixel yang mempunyai suhu berbeda, misal 800 K dan 300 K, energi pada CH 3 dan 4 adalah 670,0 dan 49,92 W m -2 µm -1 sr -1. (Purbawaseso, 2004). Satelit NOAA dibuat dan diluncurkan oleh NASA (National Aeronautics And Space Administration-USA) yang bertujuan untuk pemantauan iklim dan cuaca serta untuk pendeteksian kebakaran yang terjadi. Satelit yang beroperasi (NOAA 12, 16 dan 17) mengunjungi tempat yang sama sebanyak dua kali dalam sehari yaitu siang dan malam. Dengan demikian data yang dihasilkan cukup aktual (near real time) dan sangat bermanfaat bagi tim pemadam kebakaran untuk mengetahui informasi lokasi kebakaran sehingga tindakan pemadaman dapat dilakukan dengan tepat dan segera (Solichin, 2004).

21 6 Gambar 1. Satelit NOAA-AVHRR 2.3 Mekanisme Penentuan Titik Panas Titik panas di permukaan bumi ditentukan dengan menghitung temperature pada kanal 3 (l= 3.8m) dan kanal 4 (l= 10.8m). Konversi suhu yang disebut temperature brightness dari fluxs radiance yang diterima sensor satelit didasarkan oleh formulasi Planck dengan mempertimbangkan nilai Lj yaitu radiance pada kanal ke j dengan satuan Wm -3 sr 1. Karena data yang dipancarkan satelit dalam bentuk digital yang disebut radiometer count, maka konversi Lj dari radiometer count dapat dilakukan melalui persamaan linier sebagai berikut : Lj = Gj DNj + Ij Keterangan : Gj = koefisien Gain DNj = radiometer count Ij = Intercept untuk kanal j=3 dan kanal j= 4 Oleh Singh (1984) konversi temperatur kecerahan dari radiasi yang dikembangkan dengan persamaan sebagai berikut : Tbj = Dengan a dan b adalah suatu konstanta (Musawijaya et al., 2001). Data inilah yang kemudian mengalami proses ekstraksi infomasi, untuk menghasilkan kordinat titik panas. Untuk penentuan kordinat titik panas dapat dilakukan dengan 2 metode yaitu metode sederhana dan metode algoritme kontekstual Metode Sederhana Deteksi titik panas dengan metode sederhana, dilakukan dengan menetapkan batas nilai ambang (threshold value) suhu kecerahan tertentu, pada

22 7 matriks citra tersebut. Jika nilai suhu kecerahan suatu pixel yang ada pada citra tersebut lebih besar atau sama dengan nilai ambang, maka pixel tersebut merupakan titik panas, dan sebaliknya jika nilai suhu kecerahan pada pixel tersebut kurang dari nilai ambang, maka pixel tersebut bukan merupakan titik panas. Dalam bentuk Logika Boolean pernyataan diatas dinyatakan dengan : IF nilai citra > α THEN nilai citra = titik panas ELSE nilai citra= bukan titik panas dimana : nilai citra = suhu kecerahan saluran yang digunakan α = nilai ambang (310 K, 315 K, 321 K dll) Nilai ambang bukanlah suatu nilai yang kaku, tetapi dapat diubah-ubah sesuai dengan kondisi iklim atau daerah yang dideteksi. Kelebihan cara ini adalah pada kesederhanaan proses perhitungannya, sehingga waktu pemrosesannya bisa lebih singkat. Kelemahannya adalah tidak bisa mengeliminasi efek kilau surya. Karena saluran 3 pada sensor AVHRR pada kondisi-kondisi tertentu dapat menimbulkan efek kilau surya, misalnya jika sudut perekamannya terlalu rendah dan mengenai objek air Metode Algoritme Kontekstual Metode ini dikembangkan untuk mengatasi kelemahan yang terjadi pada deteksi dengan menggunakan metode sederhana. Jika pada metode sederhana yang digunakan hanya satu saluran saja, maka pada metode algoritme kontekstual ini digunakan semua saluran NOAA-AVHRR. Secara garis besar metode titik panas adalah seperti yang tersaji pada Gambar 2. Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa prinsip metode ini juga menerapkan nilai-nilai ambang, namun nilai ambang ini diterapkan untuk beberapa saluran sekaligus. Pertama, citra NOAA-AVHRR dipilah menjadi dua obyek yaitu daratan atau air, dengan menggunakan NDVI, selanjutnya yang diproses adalah obyek daratan saja. Dari obyek daratan tersebut, kemudian dipilahkan obyek awan. Obyek daratan yang sudah terpilahkan dari obyek awan, kemudian dideteksi obyek-obyek yang dianggap merupakan tanah kering panas. Hasil dari proses deteksi ini adalah titik panas yang sudah tereliminasi dari obyek

23 8 air, awan dan tanah kering panas. Disamping penggunaan nilai ambang pada proses bagian akhir diterapkan algoritme kontekstual (spasial). Hal ini dikarenakan walaupun titik panas yang terdeteksi sudah di eleminasi dari pengaruh air, awan, dan tanah kering panas. Namun terkadang titik panas yang terdeteksi meliputi areal yang sangat luas. Dalam kenyataan hal ini sulit sekali terjadi peristiwa kebakaran hutan dalam satu areal yang luas dan terbakar sekaligus, karena kecenderungan dari kebakaran hutan adalah jika sudah mencapai luasan yang cukup luas, maka bagian tengah hutan yang terbakar sudah padam. Tujuan dari penerapan algoritme ini adalah untuk mendeteksi titik panas dalam luasan yang masuk akal, untuk dianggap sebagai kebakaran hutan (Hiroki dan Dwi, 1999). Gambar 2. Metode Deteksi Titik Panas dengan Algoritme Kontekstual 2.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kebakaran Hutan dan Lahan Purbawaseso (2004) memaparkan faktor-faktor yang dapat menimbulkan kebakaran hutan sebagai berikut : Bahan Bakar 1. Ukuran Bahan Bakar Semakin halus bahan bakar itu menunjukkan bahan bakar tersebut akan lebih mudah mengering jika terkena cahaya matahari tetapi bahan bakar halus akan

24 9 lebih mudah dalam menyerap air akibat dari luas permukaan yang besar. Sehingga, dari sifat tersebut dapat diketahui bahwa apabila nyala api mengenai bahan bakar yang halus maka api akan terbakar dengan cepat tetapi cepat pula padam. 2. Susunan Bahan Bakar Bahan bakar yang terdapat di alam dapat tersusun secara horizontal maupun vertikal. Susunan horizontal akan berpengaruh terhadap luasan penyebaran kebakaran. Sedangkan susunan vertikal akan mempengaruhi ukuran dan kemampuan nyala api. 3. Volume Bahan Bakar Volume bahan bakar akan menunjukkan intensitas besarnya kebakaran sehingga dapat pula digunakan untuk memprediksi kerusakan yang terjadi. 4. Jenis Bahan Bakar Beberapa jenis bahan bakar yang terdapat di hutan adalah serasah lantai hutan, serasah tebangan tumbuhan bawah, kanopi, rumputan, semak, alang-alang, gelagah, gambut, resam, batang melapuk tergeletak, batang melapuk berdiri 5. Kandungan Air Bahan Bakar Kandungan air akan berpengaruh terhadap kemudahan bahan bakar menyala serta kecepatan menyebarnya api Cuaca 1. Angin Angin akan menurunkan kelembapan udara sehingga mempercepat pengeringan bahan bakar serta memperbesar ketersediaan oksigen sehingga api dapat berkobar dan merambat cepat. 2. Suhu Suhu yang tinggi akan mempercepat bahan bakar mengering sehingga lebih rentan terhadap kebakaran. 3. Curah Hujan Curah hujan tinggi akan menyebabkan bahan bakar akan mengandung kadar air tinggi serta mempengaruhi kelembapan udara lingkungan sekitar yang menjadi lebih tinggi sehingga akan sulit terjadi kebakaran.

25 10 4. Keadaan Air Tanah Faktor air tanah akan terlihat pengaruhnya pada kebakaran lahan gambut. Pada musim kemarau, kondisi air tanah bisa menurun sehingga menyebabkan permukaan air tanah juga menurun sehingga menyebabkan lapisan atas gambut menjadi kering. 5. Kelembapan Nisbi Kelembapan udara yang tinggi akan mempengaruhi kandungan air bahan bakar, dimana bahan bakar tersebut akan menyerap air dari udara yang lembab tersebut sehingga bahan bakar menjadi sulit untuk terbakar Waktu Dalam hal ini, waktu terkait dengan kondisi cuaca yang menyertainya. Pada waktu siang hari, umumnya kondisi cuaca yang terjadi adalah kelembapan udara yang rendah, suhu udara tinggi dan angin bertiup kencang, sedangkan pada waktu malam hari kondisi cuaca umumnya justru sebaliknya yaitu kelembapan udara tinggi, suhu udara rendah dan angin bertiup lebih kencang. Menurut Hamzah (1985) dalam Triani (1995), faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap luasnya areal yang terbakar adalah masa kemarau yang terlalu panjang. Sebagian besar hujan yang dihasilkan oleh penurunan suhu pada arus udara yang naik pada lereng pegunungan atau oleh adanya perbedaan pemanasan lokal antara satu tempat dengan tempat yang lainnya. Keadaan tersebut masing-masing akan menimbulkan sirkulasi udara untuk mencapai keseimbangan hingga memungkinkan memberikan dampak pola cuaca lokal. 2.5 Citra Satelit Landsat TM Dalam beberapa hal, Landsat-7 ETM+ memiliki karakteristik yang lebih baik dibandingkan citra NOAA AVHRR. Selain memiliki resolusi spasial yang lebih bagus (30 m x 30 m), Citra Landsat TM juga memiliki resolusi spektral yang lebih baik yang mencakup semua gelombang pendek (visible light) dan infra merah (NIR, MIR, dan TIR). Lebar sapuan (scanning) dari sistem landsat TM sebesar 185 km, yang direkam pada tujuh saluran panjang gelombang dengan rincian; 3 saluran panjang gelombang tampak, 3 saluran panjang gelombang inframerah dekat, dan 1 saluran panjang gelombang termal (panas). Karakteristik

26 11 masing-masing saluran panjang gelombang pada Citra Landsat dapat dilihat pada Tabel 1 berikut : Tabel 1. Karakteristik Masing-masing Band pada Citra Landsat TM Band Panjang Gelombang (µm) Karakteristik Penetrasi tubuh air, pemetaan pantai, pembeda vegetasi-tanah dan analisis penggunaan lahan Mengukur puncak pantulan hijau vegetasi untuk membedakan vegetasi dan penilaian kesuburan Untuk penyerapan klorofil, memperkuat kontras antara kenampakan vegetasi dan bukan vegetasi dan membantu dalam penentuan spesies tumbuhan Berguna untuk menentukan tipe vegetasi, dan biomassa vegetasi, dan memperkuat kontras antara tanaman tanah dan tubuh air dan pembeda kelembapan tanah Untuk penentuan jenis tanaman, kandungan air vegetasi dan kondisi kelembapan tanah Sensitif terhadap gangguan vegetasi, pemisahan kelembapan tanah dan untuk klasifikasi vegetasi serta untuk gejala lain yang berhubungan dengan panas Sangat berguna sebagai pembeda tipe mineral dan batuan (Sumber : Lillesand dan Kiefer, 1997) 2.6 Interpretasi Citra Interpretasi citra merupakan kegiatan mengkaji foto udara atau citra dengan maksud untuk mengidentifikasi objek tersebut (Estes dan Simonett, 1975 dalam Sutanto, 1986). Kunci interpretasi citra mempunyai sembilan unsur yaitu rona/warna, ukuran, bentuk, tekstur, pola, tinggi, bayangan, situs, asosiasi. Fungsi dari masing-masing unsur interpretasi citra dapat dilihat pada Tabel 2 berikut :

27 12 Tabel 2. Unsur-unsur dalam Interpretasi Citra Unsur Interpretasi Rona Warna Ukuran Bentuk Tekstur Bayangan Pola Keterangan Menunjukkan adanya tingkatan keabuan yang teramati pada foto udara hitam putih dan dapat diwujudkan dengan nilai densitas cara logaritmik antara hitam dan putih, dengan berpedoman pada skala keabuan. Warna dapat dipresentasikan terhadap 3 unsur (hue, value, chroma), dan mengelompokkannya dalam berbagai kelas. Perbedaan warna pada kertas cetakan atau transparansi lebih mudah dikenali daripada perbedaan rona pada foto udara hitam putih Memiliki dua aspek dan biasanya memerlukan sebuah streoskop untuk pengamatan tiga dimensional. Ukuran objek bermanfaat dalam pengenalan objek tertentu seperti pohon tua, dewasa, muda, pohon anakan, dan semak Bentuk dan ukuran sering berasosiasi sangat erat. Bentuk menunjuk pada konfigurasi umum suatu objek sebagaimana terekam pada citra penginderaan jauh Perbedaan tekstur dapat dikenali pada semua skala foto udara dengan resolusi spasial citra satelit yang semakin satelit. Tekstur merupakan frekuensi perubahan rona dalam citra foto udara Berasosiasi dengan bentuk dan tinggi objek Merupakan sebuah karakteristik makro yang digunakan untuk mendeskripsikan tata ruang pada citra, termasuk didalamnya pengulangan kenampakan-kenampakan alami. Sering berasosiasi dengan geologi, topografi, tanah, iklim, dan komunitas tanaman

28 13 Tabel 2 lanjutan. Situs Asosiasi Tinggi Menjelaskan tentang posisi muka bumi dari citra yang diamati dalam kaitannya dengan kenampakkan disekitarnya atau berkonotasi terhadap gabungan faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi karakteristik makro objek Menunjuk suatu komunitas objek yang memiliki keseragaman tertentu atau beberapa objek yang berdekatan secara erat dimana masing-masing membentuk keberadaan yang lainnya Unsur pengenalan objek yang paling penting pada foto udara 2.7 Penggunaan Lahan Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan atau Lahan, yang dimaksud dengan lahan adalah suatu hamparan ekosistem daratan yang peruntukannya untuk usaha dan atau kegiatan ladang dan atau kebun bagi masyarakat. Sedangkan menurut Perda Provinsi Kalimantan Barat Nomor 6 Tahun 1998 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran Hutan dan Lahan, lahan adalah suatu areal diluar kawasan hutan, baik yang bervegetasi (alang-alang, semak belukar, tanaman budidaya dan lain-lain) maupun yang tidak bervegetasi yang diperuntukan bagi pembangunan dibidang Pertanian, Perkebunan, Kehutanan, Transmigrasi, Pertambangan dan lain-lain. Lahan adalah suatu konsep yang dinamis. Lahan merupakan tempat bagi berbagai ekosistem tetapi lahan juga merupakan bagian dari ekosistem-ekosistem tersebut. Lahan juga merupakan konsep geografis karena dalam pemanfaatannya selalu terkait dengan ruang atau lokasi tertentu, sehingga karakteristiknya juga akan sangat berbeda tergantung lokasinya. Dengan demikian kemampuan atau daya dukung lahan akan berbeda dari satu tempat ke tempat lainnya. (Vink, 1975; Gandasasmita, 2001) Penggunaan lahan adalah setiap bentuk campur tangan manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik materil maupun spritual (Vink, 1975; Supriyati, 2006). Dalam penggunaan lahan ini manusia berperan

29 14 sebagai pengatur ekosistem, yaitu dengan menyingkirkan komponen-komponen yang dianggapnya tidak berguna ataupun dengan mengembangkan komponen yang diperkirakan akan menunjang penggunaan lahannya (Mather, 1986; Gandasasmita, 2001). 2.8 Perubahan Penggunaan Lahan Rustiadi et al (2006) mengemukakan bahwa alih fungsi lahan seringkali memiliki permasalahan-permasalahan yang terkait satu sama lain, sehingga tidak bersifat independent dan tidak dapat dipecahkan dengan pendekatan-pendekatan yang integrative. Permasalahan-permasalahan tersebut berupa: (1) efisiensi alokasi dan distribusi sumberdaya dari sudut ekonomi, (2) keterkaitannya dengan masalah pemerataan dan penguasaan sumberdaya, dan (3) keterkaitannya dengan proses degradasi dan kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Tipe penggunaan lahan sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain faktor manusia, dan lingkungan fisik lahan tersebut. a) Faktor Manusia Dalam hal ini terkait pada kualitas dan kuantitas manusianya. Kualitas manusia dapat dinilai dari umur, kepribadian, dan pendidikan serta segala sesuatu yang menentukan kualitas diri manusia tersebut dalam menentukan keputusan (Mather, 1986). Sedangkan kuantitas manusia terkait dengan jumlah penduduk. Peningkatan jumlah penduduk yang semakin tinggi, berdampak pada tekanan populasi yang semakin besar, dan hal ini merupakan pendorong utama terhadap perubahan lahan pertanian di negara berkembang. b) Faktor Fisik Lingkungan Faktor fisik lingkungan yang mempengaruhi pola penggunaan lahan adalah elevasi, lereng, keadaan tanah, ketersediaan air, dan faktor iklim. Faktor lereng dan ketinggian tempat mempunyai hubungan yang erat dengan kelembapan tanah dan suhu, oleh karena itu sangat berperan dalam proses pelapukan dan perkembangan tanah. Peranan elevasi berpengaruh terhadap peluang untuk pengairan, sedangkan lereng terkait dengan kemudahan pengelolaannya dan kelestarian lingkungan. Tanah

30 15 berhubungan dengan fungsinya sebagai sumber hara, yang paling sering dimodifikasi agar penggunaan lahan yang diterapkan mendapatkan hasil yang maksimal (Gandasasmita, 2001) Sistem Informasi Geografis (SIG) Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah suatu sistem informasi yang dirancang untuk bekerja dengan data yang bereferensi spasial atau berkoordinat geografi. Dengan kata lain, SIG adalah suatu sistem basis data dengan kemampuan khusus untuk data yang bereferensi spasial bersamaan dengan seperangkat operasi kerja (Barus dan Wiradisastra, 2000). Komponen utama SIG dapat dibagi dalam tiga komponen, yaitu : 1) komponen keras, meliputi peralatan pemasukan data, peralatan untuk menyimpan dan pengolahan, dan peralatan mencetak hasil, 2) komponen perangkat lunak, meliputi persiapan dan pemasukan data, manajemen, penyimpanan, dan pemanggilan data, manipulasi data dan analisis, dan pembuatan produk SIG, dan 3) komponen organisasi. Keuntungan memakai SIG adalah kemampuannya dalam memelihara data dalam bentuk digital. Data ini lebih padat dibanding dalam bentuk peta, cetak, tabel atau bentuk konvensional lainnya. Dengan dipakainya sistem komputer maka bila diperlukan, data dalam jumlah besar dapat dipanggil dengan kecepatan yang jauh lebih tinggi dan biaya per unit yang lebih rendah dari cara manual. Demikian pula dalam hal kemampuan memanipulasi data spasial dan mengaitkannya dengan informasi atribut dan mengintegrasikannya dengan berbagai tipe data dalam suatu analisis (Barus dan Wiradisastra, 2000). Dalam hal pengintegrasian data penginderaan jauh ke dalam SIG, hal yang perlu dipahami adalah SIG dapat bekerja dengan dua model data yaitu data raster berupa grid atau pixel (picture element) contohnya citra satelit atau gambar/ citra hasil scanning, dan vektor berupa titik, garis, polygon yang biasanya merupakan hasil digitasi. Sistem Informasi Geografis (SIG) menyajikan informasi keruangan beserta atributnya terdiri dari beberapa komponen utama yaitu (Susanto, 1995) : 1) Masukan data merupakan proses pemasukan data pada komputer (dari peta tematik seperti peta jenis tanah), data statistik, data hasil analisis

31 16 penginderaan jauh (data hasil pengolahan citra digital penginderaan jauh), dan lain-lain. 2) Penyiapan data dan pemanggilan kembali ialah penyimpanan data pada komputer dan pemanggilan kembali dengan cepat (penampilan pada layar monitor dan dapat ditampilkan/ cetak pada kertas). 3) Manipulasi data dan analisis ialah kegiatan yang dapat melakukan berbagai macam perintah (misalnya overlay antara dua tema peta, dan sebagainya). 4) Pelaporan data adalah dapat menyajikan data dasar (database), data hasil pengolahan data dari model menjadi bentuk peta atau data tabular.

32 17 III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini mengambil lokasi di Provinsi Kalimantan Barat. Provinsi Kalimantan Barat terletak di bagian barat pulau Kalimantan atau di antara garis 2 08 LU dan 3 02 LS serta di antara BT dan BT. Provinsi Kalimantan Barat terbagi menjadi 14 wilayah Kabupaten/kota yaitu Kabupaten Sambas, Kabupaten Bengkayang, Kabupaten Landak, Kabupaten Pontianak, Kabupaten Sanggau, Kabupaten Ketapang, Kabupaten Sintang, Kabupaten Kapuas Hulu, Kabupaten Sekadau, Kabupaten Melawi, Kabupaten Kayong utara, Kabupaten kubu Raya, Kota Pontianak, Kota Singkawang. Persiapan data dan pengolahan citra secara digital dilakukan di Bagian Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, IPB, Bogor. Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan April 2011 sampai bulan Desember Gambar 3. Peta Lokasi Penelitian

33 Jenis dan Sumber data Data yang digunakan untuk mendukung penelitian ini disebutkan pada tabel di bawah ini: Tabel 3. Jenis dan Sumber Data yang Digunakan dalam Penelitian No Jenis Data Sumber Data 1 Citra Landsat path/row : 119/60, 120/61, 120/62, 122/61, 120/59, 120/60, 121/59, 121/60, 121/61, 121/62, 122/59, 122/60 yang diakuisisi tahun 2000, 2005, 2010 Usgs.glovis.gov 2 Data Titik Panas (hotspot) Badan Kementrian Lingkungan Hidup yang bersumber dari citra satelit NOAA 3 Data Curah Hujan tahun 2000 hingga tahun 2010 Provinsi Kalimantan dari 5 stasiun meteorologi yaitu Sta. meteorologi Supadio Pontianak, Sta. meteorologi Susilo Sintang, Sta. meteorologi Nangapinoh, Sta. meteorologi Paloh, Sta. meteorologi Putussibau Badan Meteorologi dan Geofisika Pusat 4 Peta Fungsi Kawasan Hutan Badan Pembangunan Daerah (Bappeda) 5 Data Jumlah Penduduk Kalimantan Barat dalam Angka Tahun 2010 Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah perangkat lunak Erdas Imagine 9.2, ArcView GIS 3.3, ArcGIS 9.3, Microsoft Office Word, Microsoft Office Excell, Microsoft Access.

34 Metode Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan SIG. Secara garis besar penelitian ini terdiri dari tiga tahap kegiatan, yaitu : (1) tahap persiapan dan pengumpulan data, (2) tahap pengolahan dan pemrosesan awal data, (3) tahap analisis data. Secara ringkas tahapan penelitian disajikan pada Gambar Tahap Persiapan dan Pengumpulan Data Tahap ini meliputi kegiatan mempersiapkan penelitian, dengan melakukan studi literatur untuk mendapatkan teori yang mendukung kegiatan penelitian. Langkah ini dilakukan dengan mencari dan membaca buku-buku, jurnal, maupun penelitian terdahulu yang berkaitan dengan obyek penelitian. Selain studi literatur, tahap ini juga merupakan tahap pengumpulan data-data penunjang penelitian seperti pengumpulan data titik panas, citra satelit Landsat, batas administratif, data curah hujan, data peruntukkan fungsi kawasan hutan, data jumlah penduduk Tahap Pengolahan dan Pemrosesan Awal Data Tahap pengolahan data dari citra Landsat TM mencakup mengunduh citra untuk wilayah penelitian, penggabungan band (layer stacking), pembuatan mosaic citra, pemotongan citra (cropping), koreksi geometrik, dan interpretasi visual. Sementara pemrosesan data meliputi pengolahan data titik panas. 1. Proses mengunduh citra Pengunduhan citra Landsat dilakukan di URL Seluruh Provinsi Kalimantan Barat dicakup oleh 12 scene dan diunduh scene per scene. Citra Landsat yang diunduh adalah citra dengan path/row: 119/60, 120/61, 120/62, 122/61, 120/59, 120/60, 121/59, 121/60, 121/61, 121/62, 122/59, 122/ Penggabungan band (layer stacking) Proses menggabungkan masing masing band pada citra Landsat kecuali band 6 agar dapat dilakukan kombinasi band sehingga mempermudah dalam melakukan interpretasi penggunaan lahan. 3. Penggabungan citra (mosaic) Proses menggabungkan band adalah menggabungkan sejumlah band dari citra yang sama (lokasi dan akusisi) dalam 1 (satu) file.

35 20 4. Pemotongan citra (subset ) Pemotongan citra dilakukan agar hanya diperoleh cakupan wilayah lokasi penelitian dengan memotong citra terhadap batas administrasi wilayah, sehingga citra Landsat yang digunakan hanya terbatas pada wilayah provinsi Kalimantan Barat. 5. Koreksi Geometrik Koreksi geometrik atau rektifikasi bertujuan untuk mengurangi distorsi geometrik citra seperti pengaruh rotasi bumi, kelengkungan bumi, kecepatan scanning dari beberapa sensor yang tidak normal. Hal ini menyebabkan posisi citra tidak sama dengan posisi geografis yang sebenarnya. Untuk ini diperlukan koreksi geometrik agar antara citra yang digunakan memiliki kordinat yang sama dengan kordinat sesungguhnya di permukaan bumi. 6. Interpretasi Visual Interpretasi citra visual dapat didefinisikan sebagai aktivitas visual untuk mengkaji citra yang menunjukkan gambaran muka bumi yang tergambar di dalam citra tersebut untuk tujuan identifikasi obyek dan menilai maknanya. Tahapan dalam melakukan interpretasi visual yaitu deteksi dan digitasi. Pengenalan obyek dalam tahapan interpretasi visual dilakukan dengan memperhatikan karakteristik dari kenampakan obyek di citra. Hal ini dapat dilakukan dengan memperhatikan unsur interpretasi yaitu rona/warna, bentuk, ukuran, tekstur, pola, bayangan, site, asosiasi. Tahap pemrosesan data berikutnya adalah pengolahan data titik panas. Data titik panas berupa data tabular hasil pantauan satelit NOAA-AVHRR diubah kedalam bentuk vektor sehingga dapat ditampilkan dan dianalisis secara spasial. Proses pengubahan data titik panas tersebut dilakukan menggunakan perangkat lunak ArcGIS 9.3. Transformasi data tabular menjadi data vektor tersebut dilakukan dengan memetakan data titik panas sesuai dengan koordinat letak geografisnya, sehingga didapatkan distribusi spasial sebaran titik panas. Jumlah titik panas dalam masing-masing bulan diperoleh dengan melakukan pengolahan data titik panas menggunakan perangkat lunak Microsoft excel.

36 Tahap Analisis Data Spasial Pengolahan data spasial dilakukan dengan metode tumpang tindih data vektor. Analisis perubahan penggunaan lahan dilakukan dengan tumpang tindih antara data vektor penggunaan lahan tahun 2000, tahun 2005 dan tahun 2010 sehingga dari tahapan ini dapat diketahui perubahan penggunaan lahan yang terjadi selama rentang waktu 10 tahun tersebut. Untuk melihat pola sebaran titik panas juga dilakukan tumpang-tindih data vektor titik panas setiap periode tahun dengan perubahan penggunaan lahan, sehingga dapat diketahui keterkaitan sebaran titik panas dengan perubahan penggunaan lahan yang terjadi.

37 Gambar 4. Diagram Alir Penelitian 22

38 23 IV. KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Letak Geografis Wilayah Provinsi Kalimantan Barat terletak di bagian barat pulau Kalimantan atau diantara garis 2 08 LU dan 3 02 LS serta diantara BT dan BT pada peta bumi. Berdasarkan letak geografis yang spesifik ini, maka daerah Kalimantan Barat tepat dilalui oleh garis khatulistiwa (garis lintang 0 ) tepatnya di atas Kota Pontianak. Karena pengaruh letak ini pula, maka Kalimantan Barat adalah salah satu daerah tropik dengan suhu udara cukup tinggi serta diiringi kelembaban yang tinggi. Pembagian wilayah administrasi Provinsi Kalimantan Barat tergambar dibawah ini : Gambar 5. Peta Batas Administrasi

39 24 Ciri-ciri spesifik lainnya adalah bahwa wilayah Kalimantan Barat termasuk salah satu provinsi di Indonesia yang berbatasan langsung dengan negara asing, yaitu dengan Negara Bagian Sarawak, Malaysia Timur. Bahkan dengan posisi ini, maka daerah Kalimantan Barat ini merupakan satu-satunya provinsi di Indonesia yang secara resmi telah mempunyai akses jalan darat untuk masuk dan keluar dari negara asing. Hal ini dapat terjadi karena antara Kalimantan Barat dan Sarawak telah terbuka jalan darat antar negara dari Pontianak-Entikong-Kuching (Sarawak, Malaysia) sepanjang sekitar 400 km dan dapat ditempuh sekitar enam sampai delapan jam perjalanan. Batas-Batas wilayah selengkapnya adalah : Utara (Sarawak, Malaysia) Selatan (Laut Jawa dan Kalimantan Tengah) Timur (Kalimantan Timur) Barat (Laut Natuna dan Selat Karimata). Terdapat lima kabupaten yang langsung berhadapan dengan negara jiran yaitu : Kabupaten Sambas, Bengkayang, Sanggau, Kapuas Hulu yang membujur sepanjang pegunungan Kalingkang-Kapuas Hulu. 4.2 Topografi Wilayah Sebagian besar wilayah Kalimantan Barat adalah merupakan daratan berdataran rendah dengan luas sekitar km2 atau 7,53 persen dari luas Indonesia atau 1,13 kali luas pulau Jawa. Wilayah ini membentang lurus dari Utara ke Selatan sepanjang lebih dari 600 km dan sekitar 850 km dari Barat ke Timur. Dilihat dari besarnya wilayah, maka Kalimantan Barat termasuk provinsi terbesar keempat di Indonesia. Secara umum, daratan Kalimantan Barat merupakan dataran rendah dan mempunyai ratusan sungai yang aman bila dilayari, sedikit berbukit yang menghampar dari Barat ke Timur sepanjang Lembah Kapuas serta Laut Natuna/Selat Karimata. Sebagian daerah daratan ini berawa-rawa bercampur gambut dan hutan mangrove. Wilayah daratan ini diapit oleh dua jajaran pegunungan yaitu, Pegunungan Kalingkang/Kapuas Hulu di Bagian Utara dan Pegunungan Schwaner di Selatan sepanjang perbatasan dengan povinsi Kalimantan Tengah.

40 Kondisi Iklim dan Cuaca Faktor yang merupakan ciri umum bagi suatu daerah dataran rendah di daerah tropis adalah suhu udara yang relatif panas atau tinggi, sedangkan khusus daerah Kalimantan Barat suhu yang tinggi ini diikuti pula dengan kelembapan udara yang tinggi. Berdasarkan catatan empiris dari Stasiun Meteorologi Supadio Pontianak yang meliputi Stasiun Meteorologi (SM) Supadio Pontianak, SM Pangsuma Putussibau, SM Paloh Sambas, SM Susilo Sintang, SM Nanga Pinoh Melawi dan Stasiun Klimatologi Siantan Kabupaten Pontianak, umumnya suhu udara di daerah Kalbar cukup normal namun bervariasi, yaitu rata-rata sekitar 26 C sampai dengan 28 C. 4.4 Kependudukan Jumlah penduduk Provinsi Kalimantan Barat tahun 2009 diperkirakan berjumlah sekitar 4,32 juta jiwa (angka proyeksi), dimana sekitar 2,18 juta jiwa berjenis kelamin laki-laki dan 2,14 juta jiwa adalah perempuan. Luas wilayah Provinsi Kalimantan Barat sebesar Km 2 atau lebih besar dari Pulau Jawa, maka kepadatan penduduk Kalimantan Barat baru sekitar 29 Jiwa per kilometer persegi. Kondisi ini tentunya kurang menguntungkan dalam rangka percepatan pembangunan wilayah khususnya menyangkut pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) dengan segala potensi dan keragamannya. Persebaran penduduk Kalimantan Barat tidak merata antar wilayah kabupaten/kota,kecamatan, desa/kelurahan, maupun antar wilayah kawasan pantai bukan pantai atau perkotaan dan pedesaan. Misalnya daerah pesisir yang mencakup Kabupaten Sambas, Kabupaten Bengkayang, Kabupaten Pontianak, Kabupaten Ketapang, Kabupaten Kayong Utara, Kabupaten Kubu Raya dan Kota Singkawang yang dihuni oleh hampir 50 persen dari total penduduk Kalimantan Barat dengan kepadatan mencapai 38 jiwa lebih. Sebaliknya tujuh kabupaten lain (bukan pantai) selain Kota Pontianak secara rata-rata tingkat kepadatan penduduknya relatif lebih jarang. Kabupaten Kapuas Hulu dengan luas wilayah km 2 atau sekitar 20,33 persen dari luas wilayah Kalimantan Barat hanya dihuni rata-rata 6 (enam) jiwa per kilometer persegi, sedangkan Kota Pontianak

41 26 yang luasnya kurang dari satu persen (107,80 km 2 ) dihuni oleh rata-rata sekitar jiwa per kilometer persegi. 4.5 Jenis tanah Dilihat dari tekstur tanahnya, maka sebagian besar daerah Kalimantan Barat terdiri dari jenis tanah PMK (Podsolik Merah Kuning) yang meliputi areal sekitar 10,5 juta hektar atau 17,28 persen dari luas daerah yang 14,7 juta hektar. Berikutnya tanah organosol, gley, humus dan tanah alluvial sekitar 2,0 juta hektar atau 10,29 persen yang terhampar di seluruh Dati II, namun sebagian besar terdapat di Kabupaten daerah pantai. 4.6 Anggaran dan Pendapatan Daerah Perubahan penerimaan daerah, tentunya akan membawa dampak pada bergeraknya roda perekonomian. Hal ini terjadi karena ada besar-kecilnya angaran pendapatan dan belanja daerah amat berpengaruh terhadap kegiatan perekonomian masyarakat. Anggaran yang berimbang dapat menjamin stabilitas perekonomian, dibanding anggaran defisit atau surplus. Karena itu realisasi penerimaan dan pengeluaran Propinsi dan Kabupaten/Kota perlu dipantau dan dievaluasi. Realisasi Penerimaan Propinsi Kalimantan Barat pada tahun anggaran 2009 mengalami kenaikan sebesar 103,693 milyar rupiah atau naik sebesar 7,03 persen dari tahun Dari komponen penerimaan, yang mengalami kenaikan tertinggi adalah komponen dana perimbangan, yang mencapai 12,19 persen dan lain-lain pendapatan daerah yang sah 24,48 persen. Realisasi pengeluaran, khususnya untuk belanja pegawai naik 14,56 persen dari 287,833 milyar rupiah tahun 2008 naik menjadi 329,735 milyar rupiah pada tahun 2009.

42 27 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Kepadatan Titik Panas Berdasarkan data titik panas yang terpantau dari satelit NOAA-AVHRR dapat diketahui bahwa selama rentang waktu dari tahun 2000 hingga tahun 2011, pada daerah Kalimantan Barat selalu dijumpai kemunculan titik panas dengan kepadatan yang tidak sama setiap tahunnya seperti terlihat pada Gambar Tahun Gambar 6. Jumlah Titik Panas Tahun Jumlah titik panas tahunan pada tahun 2000 hingga tahun 2011 yaitu tahun 2000 (972 titik), tahun 2001 (1.617 titik), tahun 2002 (4.043 titik), tahun 2003 (1.522 titik), tahun 2004 (2.366 titik), tahun 2005 (1.505 titik), tahun 2006 (6.521 titik), tahun 2007 (394 titik), tahun 2008 (1.584 titik), tahun 2009 (7.291 titik), tahun 2010 (1.763 titik), tahun 2011 (1.222 titik). Berdasarkan data tersebut dapat diketahui bahwa pada tahun 2002, 2004, 2006 dan 2009 titik panas yang terpantau oleh satelit NOAA pada wilayah Kalimantan Barat mencapai jumlah diatas titik per tahun atau dapat dikatakan tinggi jika dibandingkan dengan kemunculan titik panas pada tahun lainnya. Hal ini diduga berkaitan dengan fenomena anomali iklim yaitu El-Nino yang menyebabkan kekeringan. Intensitas kebakaran akan semakin tinggi apabila terjadi peristiwa El Nino Southern Oscillation/ENSO seperti yang terjadi pada tahun 2002, 2004, 2006, dan 2009 (Suwarsono et.al,

43 ). Berdasarkan kondisi tersebut maka perlu di waspadai peningkatan jumlah kemunculan titik panas pada waktu yang diprediksi akan terjadinya fenomena El- Nino. 5.2 Distribusi Spasial Titik Panas Berdasarkan Wilayah Kabupaten/kota Sebaran titik panas yang terjadi di Provinsi Kalimantan Barat selama tahun 2000 hingga tahun 2010 menunjukkan bahwa Wilayah yang memiliki titik panas terbanyak setiap tahunnya adalah tahun 2000 (Kabupaten Sintang), tahun 2001 (Kabupaten Sintang), tahun 2002 (Kabupaten Ketapang), tahun 2003 (Kabupaten Ketapang), tahun 2004 (Kabupaten Ketapang), tahun 2005 (Kabupaten Sambas), tahun 2006 (Kabupaten Ketapang), tahun 2007 (Kabupaten Sambas), tahun 2008 (Kabupaten Sanggau), tahun 2009 (Kabupaten Ketapang), tahun 2010 (Kabupaten Sintang), tahun 2011 (Kabupaten Ketapang). Tabel 4 menyajikan jumlah titik panas masing-masing wilayah kabupaten. Berdasarkan data tersebut diketahui bahwa Kabupaten Ketapang dan Kabupaten Sintang merupakan wilayah yang menyumbangkan jumlah titik panas terbanyak. Hal ini ditandai dengan jumlah titik panas yang terjadi pada kedua wilayah tersebut seringkali berada di peringkat 3 besar. Sedangkan Kota Pontianak dan Kota Singkawang adalah wilayah dengan kemunculan titik panas terendah bahkan jarang sekali ditemukan kemunculan titik panas. Hal ini dapat disebabkan karena kedua wilayah tersebut merupakan wilayah perkotaan yang berkembang, sehingga aktivitas masyarakat yang dapat memicu kemunculan titik panas dapat dihindari. Kemunculan titik panas di Kabupaten Ketapang yaitu pada tahun 2000 sebanyak 138 titik (14,20% dari jumlah total titik panas yang terjadi di Provinsi Kalimantan Barat selama tahun 2000) sedangkan di tahun 2001 titik panas muncul 240 titik (14,84%). Kemunculan titik panas di 3 tahun berikutnya yakni tahun 2002, 2003 dan 2004 berada pada peringkat pertama yakni berturut-turut sebesar 1699 titik (42,02%), 511 titik (33,57%), 911 titik (38,50%). Pada tahun 2005 terdapat 148 titik (9,8%) dan di tahun 2006 sebanyak 2325 titik (35,65%). Sedangkan pada tahun 2007 hanya terdapat 32 titik (8,12%) dan di tahun 2008 terdapat sebanyak 218 titik (13,76%). Pada tahun berikutnya yakni tahun 2009, kemunculan titik panas di Kabupaten Ketapang menjadi yang terbanyak kembali

44 29 dibandingkan wilayah lainnya yaitu sebanyak 1364 titik (18,70%). Di tahun 2010 diketahui terdapat 195 titik (11,06%) dan di tahun 2011 terdapat 215 titik (17,59%). Wilayah lainnya yang juga memiliki kemunculan titik panas terbanyak adalah Kabupaten Sintang. Pada tahun 2000 terdapat kemunculan titik panas sebanyak 242 titik atau 24,89% dari jumlah total titik panas yang terdapat di Provinsi Kalimantan Barat selama tahun Tahun berikutnya yaitu pada tahun 2001, Kabupaten Sintang masih menempati peringkat 1 wilayah dengan kemunculan titik panas paling banyak yaitu sebesar 390 titik (24,11%). Pada tahun 2002 ditemukan sebanyak 575 titik (14,22%) dan di tahun 2003 sebanyak 364 titik (23,91%). Selama tahun 2002 hingga tahun 2007, wilayah ini menempati peringkat kedua dalam kemunculan titik panas. Untuk tahun 2004 terdapat 497 titik (21%), tahun 2005 terdapat 306 titik (20,33%), tahun 2006 terdapat 1013 titik (15,53%), dan tahun 2007 terdapat 24 titik (18,78%). Pada tahun 2008 dan tahun 2009, wilayah ini tidak menempati peringkat 3 besar dalam kemunculan titik panas. Pada tahun 2008 terdapat 807 titik (5,61%) dan di tahun 2009 terdapat 324 titik (11,06%). Di tahun 2011 terdapat 93 titik (7,61%). Dari ke 14 wilayah kabupaten/kota yang terdapat di Provinsi Kalimantan Barat diketahui bahwa Kota Pontianak dan Kota Singkawang merupakan wilayah dengan kemunculan titik panas terendah. Pada Kota Pontianak hanya ditemukan kemunculan titik panas di tahun 2010 dan tahun 2011 sebanyak tidak lebih dari 2 titik panas. Sementara itu di Kota Singkawang lebih banyak dijumpai adanya kemunculan titik panas tetapi dalam jumlah yang relatif sedikit. Pada tahun 2001 (2 titik), tahun 2002 (4 titik), tahun 2003 (4 titik), tahun 2005 (2 titik), tahun 2006 (15 titik), tahun 2008 (9 titik), tahun 2009 (18 titik), tahun 2010 (3 titik), tahun 2011 (2 titik). Untuk lebih lengkapnya, peta sebaran titik panas Provinsi Kalimantan Barat tahun 2000 hingga tahun 2010 dapat dilihat pada Lampiran 9 hingga Lampiran 20

45 30 Kabupaten Tahun 2000 Tahun 2001 Tahun 2002 Tahun 2003 Tahun 2004 Tahun 2005 Tahun 2006 Jumlah Titik Panas Tahun 2007 Tahun 2008 Tahun 2009 Tahun 2010 Tahun 2011 Kabupaten Bengkayang Kabupaten Kapuas Hulu Kabupaten Kayong Utara Kabupaten Ketapang Kabupaten Kubu Raya Kabupaten Landak Kabupaten Melawi Kabupaten Pontianak Kabupaten Sambas Kabupaten Sanggau Kabupaten Sekadau Kabupaten Sintang Kota Singkawang Kota Pontianak 1 2 Grand Total Tabel 4. Jumlah Titik Panas Masing-masing Wilayah Kabupaten Keterangan Peringkat 1 Peringkat 2 Peringkat 3 30

46 Distribusi Spasial Titik Panas Berdasarkan Penggunaan Lahan Kemunculan titik panas pada Provinsi Kalimantan Barat terdapat pada penggunaan lahan berupa hutan, kebun campuran, mangrove, pemukiman, perkebunan, pertambangan, rawa, sawah, semak belukar, tanah terbuka, dan tubuh air. Selama rentang waktu tahun 2000 hingga tahun 2010 diketahui bahwa jumlah titik panas paling banyak ditemukan pada penggunaan lahan berupa kebun campuran. Sebaran titik panas pada masing-masing penggunaan lahan secara lengkap tersaji pada Gambar Gambar 7. Titik Panas Pada Masing-masing Penggunaan Lahan Selama Tahun 2000 hingga Tahun 2010 Secara keseluruhan selama tahun 2000 hingga tahun 2010, kemunculan titik panas paling banyak ditemukan pada penggunaan lahan kebun campuran yaitu sebanyak titik. Kebun campuran merupakan penggunaan lahan kebun yang terdiri atas campuran vegetasi antara tanaman tahunan yang menghasilkan buah-buahan dan sayuran serta tanaman semusim. Kemunculan titik panas pada penggunaan lahan kebun campuran terjadi diakibatkan dari aktivitas penyiapan lahan. Penggunaan lahan lainnya yang juga ditemukan kemunculan titik panas terbanyak adalah pada penggunaan lahan berupa rawa. Pada penggunaan lahan rawa ditemukan sebanyak titik. Hutan rawa adalah hutan yang tumbuh dan berkembang pada tempat yang selalu tergenang air tawar atau secara musiman

47 32 tergenang air tawar. Berkembangnya sektor perkebunan dan pertanian di Provinsi Kalimantan Barat mengakibatkan sulitnya mencari lahan untuk kegiatan perladangan. Hal ini menyebabkan sebagian masyarakat mulai beralih memanfaatkan hutan rawa untuk areal pertanian, terutama lahan gambut. Masalah yang timbul adalah sebagian masyarakat masih menggunakan teknik pembakaran untuk membuka areal pertanian, sehingga mengakibatkan terjadinya kemunculan titik panas. Pada semak belukar ditemukan adanya kemunculan titik panas sebanyak titik. Semak belukar adalah tumbuhan perdu yang mempunyai cabang kayu kecil dan rendah. Kemunculan titik panas sangat rawan terjadi pada semak belukar terutama di musim kemarau. Hal ini dikarenakan menumpuknya serasah gulma terutama pakis-pakisan sehingga apabila ada api sedikit saja dapat menimbulkan kebakaran hebat. Peristiwa ini tentunya akan memicu kemunculan titik panas. Hal yang menarik adalah ditemukannya kemunculan titik panas pada penggunaan lahan tubuh air/sungai. Pada kenyataannya titik panas yang biasanya diindikasikan sebagai peristiwa kebakaran hutan/lahan, tidak mungkin dapat ditemukan pada tubuh air. Kondisi ini menunjukkan kelemahan dari penggunaan data titik panas pada Citra NOAA. Menurut Hiroki dan Dwi (1999), hal ini dikarenakan adanya efek kilau matahari misalnya dikarenakan sudut perekaman yang terlalu rendah dan mengenai obyek air sehingga menyebabkan nilai pantulan menjadi tinggi hampir sama dengan nilai pancaran. Apabila penentuan titik panas menggunakan metode sederhana, maka energi pantulan air menjadi tinggi sehingga akan terekam oleh sensor AVHRR sebagai nilai pancaran dan terklasifikasikan sebagai titik panas. 5.4 Distribusi Temporal Titik Panas Sebaran titik panas masing-masing bulan selama rentang waktu tahun 2000 hingga tahun 2010 dapat dilihat pada Gambar 8. Berdasarkan gambar tersebut terlihat bahwa jumlah titik panas di awal tahun terbilang masih berada dalam intensitas yang rendah. Kemunculan titik panas mulai menunjukkan peningkatan di bulan Juli hingga mencapai puncak di bulan Agustus. Hal ini dinilai terkait dengan musim kemarau yang mencapai puncaknya di bulan Agustus

48 33 sehingga menyebabkan titik panas yang terpantau mencapai angka yang maksimal. Selanjutnya, pada bulan berikutnya yakni di bulan September jumlah titik panas mengalami penurunan dikarenakan kondisi iklim mulai memasuki musim penghujan kembali. Pola semacam ini terus berulang di setiap tahunnya. Selain hal tersebut, kemunculan titik panas yang tinggi di bulan Agustus terkait dengan aktivitas pertanian tanaman semusim masyarakat Kalimantan Barat. Berdasarkan hasil penelitian Sunanto tahun 2008 di Kecamatan Rasau Jaya Kabupaten Kubu Raya menyebutkan bahwa sistem pertanian yang diterapkan di wilayah ini adalah sistem pertanian ekstensif, termasuk masih digunakannya penyiapan lahan dengan cara dibakar untuk tanaman padi. Tanaman padi biasa dilakukan pada saat menjelang musim hujan sekitar bulan September, sedangkan penyiapan lahan dilakukan satu bulan sebelumnya yakni bulan Agustus. Aktivitas penyiapan lahan tersebut dapat memicu kemunculan titik panas sebagai indikasi adanya aktivitas pembakaran hutan/lahan Tahun Gambar 8. Sebaran Titik Panas Bulanan

49 Hubungan Antara Titik Panas dengan Curah Hujan Analisis dilakukan menggunakan data curah hujan rata-rata bulanan pada 5 titik stasiun meteorologi. Agar mewakili keterkaitan antara titik panas dengan curah hujan maka dilakukan buffer sejauh 100 km dari stasiun meteorologi. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa kemunculan titik panas paling banyak terjadi pada bulan Agustus. Curah hujan yang terjadi pada bulan Agustus merupakan curah hujan paling rendah dibanding dengan curah hujan yang terjadi di bulan lainnya. Pada pemaparan berikut akan disampaikan kondisi curah hujan dengan banyaknya titik panas yang terjadi selama 5 periode pengamatan yaitu tahun 2005 hingga tahun 2010 Pada tahun 2005, titik panas paling sering muncul di bulan Agustus dengan kondisi curah hujan intensitas rendah. Titik panas yang muncul sebanyak 583 titik dengan curah hujan sebesar mm/bulan. Ketika intensitas curah hujan meningkat menjadi mm/bulan mengakibatkan kepadatan titik panas yang muncul mengalami penurunan menjadi 400 titik. Pada tahun 2006, terjadi pola yang serupa. Titik panas paling banyak ditemukan pada bulan Agustus yaitu sebanyak 2061 titik dengan kondisi curah hujan paling rendah sebesar 79.8 mm/bulan. Ketika bulan berikutnya terjadi kenaikan curah hujan menjadi mm/bulan, titik panas yang terpantau hanya sebesar 621 titik. Pada tahun 2007, titik panas di bulan Agustus sebanyak 128 titik dengan kondisi curah hujan mm/bulan. Bulan berikutnya terjadi peningkatan curah hujan dan penurunan titik panas hingga akhir tahun Hal yang serupa terjadi pula di tahun 2008, titik panas terbanyak ditemukan di bulan Agustus yaitu 502 titik dengan kondisi curah hujan rendah yaitu mm/bulan. Pada tahun 2009, titik panas yang terlihat di bulan Agustus sebanyak 2602 titik dengan kondisi curah hujan 176mm/bulan. Curah hujan yang terjadi sepanjang tahun 2009 cukup rendah, hal ini terkait dengan fenomena El-Nino yang terjadi. Hal yang berbeda justru terjadi di tahun 2010, titik panas tertinggi muncul di bulan Oktober sebanyak 383 titik dengan intensitas curah hujan 344 mm/bulan atau bukan pada kondisi curah hujan yang paling rendah sepanjang tahun. Sementara pada bulan Agustus terdapat 246 titik dengan curah hujan 333 mm/bulan. Curah hujan paling rendah terjadi pada awal tahun dengan kondisi

50 35 kemunculan titik panas terendah pula. Untuk data yang lebih lengkap dapat dilihat pada Lampiran 8. Berdasarkan pemaparan diatas dapat diketahui bahwa terdapat hubungan yang berbanding terbalik antara kemunculan titik panas dengan curah hujan. Seperti yang terlihat pada Gambar 9, titik panas mengalami kemunculan yang maksimum ketika kondisi curah hujan yang rendah dan mulai memasuki musim kemarau seperti pada bulan Agustus. Intensitas kemunculan titik panas mulai mengalami penurunan ketika memasuki musim penghujan dengan curah hujan yang meningkat. Menurut Pasaribu dan Friyatno tahun 2006, kebakaran hutan selalu terjadi di bulan Agustus dikarenakan masyarakat Kalimantan Barat sudah selesai menebas semak yang biasanya dilakukan selama sekitar 40 hari, yaitu sekitar bulan April dan Mei dan sejak bulan Juni semak yang di tebas mulai mengering. Pada periode tersebut sedang terjadi musim kemarau yang sangat terik dan panas, sehingga mendorong masyarakat untuk membakar semak belukar atau rumput/serasah yang sudah ditebas sebelumnya. Jika pembakaran sudah dimulai, maka terjadilah rentetan kebakaran yang tidak diharapkan dan seringkali tidak terkendali terutama pada lahan-lahan tidur yang kepemilikannya tidak terdata. T i t i k P a n a s Titik Panas Curah Hujan C u r a h H u j a n 0 0 Tahun Gambar 9. Hubungan Curah Hujan dan Titik Panas

51 Penggunaan Lahan Tahun 2000, Tahun 2005, dan Tahun 2010 Pada tahun 2000, penggunaan lahan yang dominan di provinsi Kalimantan Barat adalah kebun campuran yang mencakup luasan 39,03 % atau ha dan penggunaan lahan hutan yang mencakup luasan 33,46% atau ha. Penggunaan lahan yang mendominasi lainnya adalah rawa sebesar 13,67% atau sebesar ha. Sedangkan penggunaan lahan lainnya hanya terdapat dengan masing-masing proporsi < 10 % dari total luas penggunaan lahan yaitu mangrove (0,99 %), pemukiman (0,10%), perkebunan (2,89%), pertambangan (0,08%), sawah (1,96%), semak belukar (5,39%), tambak (0,04%), tanah terbuka (1,12%), tegalan/ladang (0,04%) dan tubuh air (1,24%). Pada tahun 2005, penggunaan lahan kebun campuran masih mendominasi wilayah penelitian sebesar 38,87% atau ha dan penggunaan lahan hutan 33,36% atau sebesar ha. Penggunaan lahan yang mendominasi lainnya adalah rawa sebesar 13,46% atau sebesar ha. Sedangkan penggunaan lahan lainnya hanya terdapat dengan masing-masing proporsi < 10 % dari total luasan penggunaan lahan yaitu mangrove (0,96%), pemukiman (0,10%), perkebunan (3,50%), pertambangan (0,08%), sawah (1,98%), semak belukar (5,31%), tambak (0,05%), tegalan/ladang (0,04%) dan tubuh air (1,24%). Pada tahun 2010, penggunaan lahan kebun campuran masih mendominasi wilayah penelitian sebesar 38,94% atau ha dan penggunaan lahan hutan 32,98% atau sebesar ha. Kemudian penggunaan lahan rawa sebesar 12,74% atau sebesar ha. Sedangkan penggunaan lahan lainnya hanya terdapat dengan masing-masing proporsi < 10 % dari total luasan penggunaan lahan yaitu mangrove (0,96%), pemukiman (0,10%), perkebunan (4.86%), pertambangan (0,08%), sawah (2.09%), semak belukar (4,95%), tambak (0,06%), tegalan/ladang (0,04%) dan tubuh air (1,24%). Gambar 10 menunjukkan persentase masing-masing penggunaan lahan selama tahun 2000, 2005 dan Penggunaan lahan pada daerah penelitian didominasi oleh kebun campuran, hutan, dan rawa pada rentang waktu dari tahun 2000 hingga tahun Penggunaan lahan sebagai kebun campuran terdapat sebesar 32.98% dari total luasan provinsi Kalimantan Barat. Penggunaan lahan terluas lainnya adalah penggunaan lahan hutan. Provinsi Kalimantan Barat

52 37 memiliki kawasan hutan yang luas setelah Papua, Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah. Dari ke 14 kabupaten yang terdapat di cakupan wilayah penelitian, penggunaan lahan hutan paling banyak ditemukan di Kabupaten Kapuas Hulu yaitu sebesar 45,23% dari total luasan hutan secara keseluruhan. Hal ini dikarenakan pada wilayah Kapuas Hulu banyak areal yang ditetapkan peruntukkannya sebagai hutan lindung, hutan produksi terbatas, hutan produksi. Bahkan di bagian timur batas provinsi Kalimantan Barat terdapat Taman Nasional Betung Kehirun. Kenampakan Taman Nasional pada citra satelit Landsat akan terklasifikasi sebagai penggunaan lahan hutan. Hal sebaliknya terjadi di Kota Pontianak dan Kota Singkawang, pada wilayah perkotaan seperti ini justru tidak ditemukan penggunaan lahan hutan. Penggunaan Lahan Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2000 Tahun 2005 Tahun Gambar 10. Penggunaan Lahan Tahun 2000, 2005 dan 2010 Penggunaan lahan pemukiman hanya terdapat di beberapa wilayah yaitu Kabupaten Kubu Raya, Kota Singkawang, Kabupaten Ketapang, Kabupaten Kapuas Hulu, Kabupaten Sambas, Kabupaten Sintang, Kota Singkawang. Penggunaan lahan pemukiman hanya 0,09% dari total luasan wilayah Provinsi Kalimantan Barat. Penggunaan lahan pemukiman yang sedikit tersebut dapat mengindikasikan bahwa jumlah penduduk yang mendiami Provinsi Kalimantan Barat pun berada pada angka yang rendah. Hal ini sesuai dengan data yang

53 38 diperoleh dari BPS tahun 2010 bahwa jumlah penduduk Provinsi Kalimantan Barat hanya sekitar 4,32 juta jiwa dengan luas provinsi sebesar Km2. Berdasarkan informasi tersebut dapat disimpulkan bahwa kepadatan penduduk Kalimantan Barat hanya sekitar 29 Jiwa/km2. Kondisi ini kurang menguntungkan dalam rangka percepatan pembangunan wilayah khususnya menyangkut pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) dengan segala potensi dan keragamannya. Penggunaan lahan semak belukar, tanah terbuka, rawa merupakan penggunaan lahan yang ditemukan menyebar hampir di keseluruhan Kabupaten. Berbeda dengan mangrove dan tambak yang hanya dapat ditemukan di daerah pinggiran pantai yaitu Kabupaten Ketapang, Kabupaten Pontianak, Kabupaten Kayong Utara, Kabupaten Sambas, Kabupaten Kubu Raya. Badan air/sungai merupakan penggunaan lahan dengan luasan yang dianggap tetap meski memiliki luasan yang berbeda pada masing masing tahun pengamatan. Hal ini dikarenakan volume badan air/sungai sangat dipengaruhi oleh intensitas hujan sebagai sumber utama ketersedian airnya. Peta penggunaan lahan pada tahun 2000, 2005 dan 2010 dapat dilihat pada gambar berikut : Gambar 11. Peta Penggunaan Lahan Tahun 2000

54 39 Gambar 12. Peta Penggunaan Lahan Tahun 2005 Gambar 13. Peta Penggunaan Lahan Tahun 2010

55 Perubahan Penggunaan Lahan pada Periode Tahun dan Tahun Pada penelitian ini dilakukan pemantauan terhadap penggunaan lahan provinsi Kalimantan barat selama rentang waktu 10 tahun dari tahun 2000 hingga tahun Interpretasi visual dilakukan menggunakan citra landsat tahun 2000, 2005 dan Hasil interpretasi dapat menghasilkan peta penggunaan lahan masing-masing tahun, setelah dilakukan tumpang tindih antara ketiga tahun tersebut dapat diperoleh hasil perubahan penggunaan lahan. Selama rentang waktu tahun 2000 hingga tahun 2005, luasan penggunaan lahan perkebunan mengalami peningkatan sebesar ha. Hal ini pun terjadi kembali pada rentang waktu tahun 2005 hingga tahun 2010, areal perkebunan luasannya bertambah sebesar ha. Hal ini dapat dikarenakan semakin berkembangnya perkebunan di Kalimantan Barat sehingga masyarakat cenderung melakukan alih fungsi lahan menjadi perkebunan. Gubernur Kalimantan Barat Drs.Cornelius, MH mengatakan bahwa pemerintah daerah provinsi Kalimantan Barat memang mendorong perkembangan sektor perkebunan terutama pengembangan komoditi unggul seperti sawit, karet, kakao, lada, kopi dan lainnya. Berkembangnya sektor perkebunan diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat (Humasprov, 2011). Penambahan masingmasing luasan penggunaan pada tahun 2000 hingga tahun 2005 dapat dilihat pada Gambar Gambar 14. Perubahan Luasan Penggunaan Lahan Tahun

56 41 Penggunaan lahan lainnya yang mengalami peningkatan luas yang cukup besar adalah sawah. Luas sawah bertambah sebesar ha dari tahun 2000 ke tahun 2005 dan kembali bertambah luasannya di tahun 2010 sebesar ha. Peningkatan luas suatu penggunaan lahan pasti akan diimbangi dengan penurunan luas penggunaan lahan lainnya. Seperti telah dikemukakan bahwa penggunaan lahan perkebunan dan sawah terus mengalami peningkatan selama 10 tahun terakhir, maka hal sebaliknya justru terjadi pada penggunaan lahan hutan, rawa, kebun campuran, semak belukar dan tanah terbuka. Penggunaan lahan hutan mengalami konversi menjadi penggunaan lahan lain sebesar di tahun 2005 dan mengalami penurunan luasan kembali di tahun 2010 sebesar ha. Hal menarik adalah penggunaan lahan kebun campuran mengalami penurunan luas sebesar ha di tahun 2005 tetapi mengalami peningkatan luas kembali di tahun 2010 yaitu seluas ha. Sedangkan semak belukar mengalami penurunan luas sebesar ha di selang waktu tahun 2000 hingga tahun 2005 dan kembali mengalami penurunan luas sebesar ha di rentang tahun 2005 hingga tahun Sama halnya dengan tanah terbuka yang kehilangan luas sebesar ha di tahun 2005 dan kembali mengalami penyusutan luas menjadi ha. Perubahan penggunaan lahan yang paling banyak terjadi selama rentang waktu tahun 2000 hingga tahun 2005 adalah tanah terbuka menjadi semak belukar seluas ha dan perubahan juga terjadi dari semak belukar menjadi tanah terbuka seluas ha. Pada selang waktu tahun 2005 hingga tahun 2010 perubahan banyak terjadi pada penggunaan lahan rawa menjadi perkebunan seluas ha, semak belukar menjadi perkebunan seluas ha dan hutan menjadi perkebunan seluas ha. Penambahan masing-masing luasan penggunaan pada tahun 2005 hingga tahun 2010 dapat dilihat pada Gambar 15.

57 Gambar 15. Perubahan Luasan Penggunaan Lahan Tahun Gambar 16 menunjukkan perubahan penggunaan lahan yang terjadi selama tahun 2000 hingga tahun Pada tahun 2000 hingga tahun 2005 hanya terjadi perubahan penggunaan lahan sebesar 1,89% dari luas total provinsi Kalimantan Barat. Berdasarkan gambar tersebut terlihat bahwa perubahan lahan yang paling banyak terjadi adalah penggunaan lahan dari tanah terbuka menjadi semak belukar sebesar ha atau 18,19% dari perubahan penggunaan lahan yang terjadi. Perubahan penggunaan lahan terbesar lainnya adalah semak belukar menjadi tanah terbuka yaitu sebesar ha atau sebesar 11,59% dari perubahan penggunaan lahan yang terjadi. Perubahan penggunaan lahan ini tidak sengaja dilakukan oleh masyarakat, hanya saja perubahan penggunaan lahan terjadi akibat banyak lahan yang dibiarkan terlantar. Selain itu, terdapat pula perubahan penggunaan lahan kebun campuran yang mengalami konversi lahan menjadi perkebunan yaitu sebesar ha atau 9,53%. Perubahan penggunaan lahan yang selanjutnya banyak terjadi dari tahun 2000 hingga tahun 2005 adalah perubahan penggunaan lahan dari semak belukar menjadi perkebunan yaitu sebesar ha atau sebesar 9%.

58 Gambar 16. Perubahan Penggunaan Lahan Tahun Gambar 17 menunjukkan perubahan penggunaan lahan yang terjadi selama tahun 2005 hingga tahun Pada tahun 2005 hingga tahun 2010 terjadi perubahan penggunaan lahan sebesar 1,99% dari total luas Provinsi Kalimantan Barat. Perubahan penggunaan lahan yang paling banyak terjadi adalah perubahan penggunaan lahan rawa menjadi perkebunan yaitu seluas ha atau 21,64% dari total luasan perubahan penggunaan lahan yang terjadi. Perubahan penggunaan lahan semak belukar menjadi perkebunan dan hutan menjadi perkebunan mendominasi pula selama tahun 2005 hingga tahun 2010 dengan persentase masing-masing sebesar 19,82% dan 17,31%. Berdasarkan data tersebut dapat diketahui bahwa selama rentang tahun 2005 hingga tahun 2010, sektor perkebunan berkembang cukup pesat di Provinsi Kalimantan Barat. Hal ini dapat terlihat dari besarnya luasan penggunaan lahan yang mengalami konversi lahan menjadi penggunaan lahan berupa perkebunan. Penggunaan lahan perkebunan bertambah dengan disertai penurunan luas penggunaan lahan kebun campuran, rawa, semak belukar, hutan.

59 Gambar 17. Perubahan Penggunaan Lahan Tahun Inkonsistensi Penggunaan Lahan Tahun 2010 dengan Peruntukkan Fungsi Kawasan Hutan Kalimantan Barat merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang masih memiliki luasan hutan cukup besar. Disebutkan dalam pasal 4 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 10 Tahun 2010 bahwa kawasan hutan meliputi kawasan hutan yang memiliki fungsi pokok sebagai hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi. Peta peruntukkan fungsi kawasan hutan dapat dilihat pada Gambar 18. Kawasan hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasaan pengawetan keanekaragaman meliputi kawasan suaka alam (cagar alam dan suaka margasatwa) dan kawasan pelestarian alam (taman nasional, taman wisata alam, taman hutan raya, taman buru). Berdasarkan peta peruntukan fungsi kawasan hutan, provinsi Kalimantan Barat menetapkan seluas 9,39 % dari total luasan provinsi Kalimantan Barat sebagai taman nasional, taman wisata alam, cagar alam dan suaka margasatwa. Kawasan hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara

60 45 kesuburan tanah. Sebesar 16% luasan provinsi Kalimantan Barat ditetapkan sebagai hutan lindung. Areal yang ditetapkan sebagai hutan lindung tidak diperbolehkan untuk di konversi menjadi penggunaan lahan lainnya. Gambar 18. Peta Peruntukkan Fungsi Kawasan Hutan Kawasan hutan produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan. Berdasarkan hasil perhitungan data atribut peta fungsi kawasan hutan maka dapat diketahui bahwa sebesar 16% dari total luasan provinsi Kalimantan Barat ditetapkan fungsinya sebagai kawasan hutan produksi. Hutan produksi terbagi menjadi dua yaitu hutan produksi terbatas (HPT) dan hutan produksi yang dapat di konversi (HPK). Menurut PP No 10 tahun 2010 hutan produksi terbatas adalah kawasan hutan dengan faktor-faktor kelas lereng, jenis tanah, dan intensitas hujan setelah masing-masing dikalikan dengan angka penimbang mempunyai jumlah nilai antara , di luar kawasan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan pelestarian alam, dan taman buru. Sedangkan yang di maksud hutan produksi yang dapat di konversi adalah kawasan hutan yang secara ruang dicadangkan untuk digunakan bagi pembangunan di luar

61 46 kegiatan kehutanan. Sebesar masing-masing 16% areal ditetapkan peruntukannya sebagai HPT dan HPK. Gambar 19 menunjukkan persentase luas fungsi kawasan hutan. Berdasarkan gambar tersebut terlihat bahwa fungsi kawasan Area penggunaan lain (APL) ditetapkan sebesar 39%. Hal ini dikarenakan wilayah Kalimantan Barat memiliki potensi yang sangat tinggi untuk dikembangkannya penggunaan lahan berupa perkebunan, lahan pertanian, tambak bahkan pertambangan. Sedangkan sebesar 61% luas areal provinsi Kalimantan Barat masih ditetapkan sebagai kawasan hutan baik berupa hutan lindung, hutan produksi, taman nasional, suaka alam, taman wisata alam, cagar alam. Hal ini dimaksudkan agar berkembangnya perkebunan dan area penggunaan lain tidak mengganggu keberadaan ekosistem hutan yang harus dilestarikan. Suaka Alam 39% 0.89% 1% 2% 3% 7% 0.21% 16% 16% 16% Taman Wisata Alam Sungai Cagar Alam Hutan Produksi dapat di Konversi Taman Nasional Hutan Lindung Hutan Produksi dapat di Konversi Hutan Produksi Terbatas Area Penggunaan Lain Gambar 19. Persentase Luas Fungsi Kawasan Hutan Setelah melakukan tumpang tindih antara peta penggunaan lahan eksisting dengan peta peruntukkan fungsi kawasan hutan, dapat diketahui bahwa sebesar 20% dari total luas provinsi Kalimantan Barat tidak sesuai antara penggunaan lahan eksisting dengan rencana peruntukkan fungsi kawasan hutan. Berdasarkan Gambar 20 terlihat bahwa pada kawasan hutan konservasi yakni cagar alam, suaka alam, taman nasional, taman wisata alam terdapat ketidaksesuaian penggunaan lahan saat ini dengan perencanaan yang telah dibuat.

62 47 Cagar Alam merupakan suatu ekosistem yang memiliki suatu kekhasan sehingga ekosistem tersebut perlu dilindungi. Terdapat 4 cagar alam di provinsi Kalimantan Barat yaitu CA. GN Nyiut Penrinsen, CA. GN. Raya Pasi, CA Mandor dan CA. Kendawangan. Karena ekosistem di dalamnya baik flora maupun fauna terlindungi, maka pada kawasan cagar alam sangat kecil sekali kemungkinan terjadinya perubahan penggunaan lahan. Ketidaksesuaian penggunaan lahan cagar alam paling banyak terjadi pada penggunaan lahan sebagai kebun campuran yaitu sebesar ha atau 0,2% dari total luas wilayah. Selain cagar alam, terdapat pula peruntukkan kawasan untuk suaka alam (SA). Seperti halnya cagar alam, suaka alam pun memiliki ekosistem yang terlindungi sehingga akan sangat minim terjadinya perubahan. Hal ini dapat terlihat bahwa penggunaan lahan yang terdapat pada suaka alam adalah penggunaan lahan hutan dan semak belukar. Penyimpangan penggunaan lahan eksisting dengan rencana peruntukkan ruang pun terjadi sedikit sekali pada areal tersebut. Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Taman Nasional didefinisikan sebagai kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Taman Nasional yang berada di provinsi Kalimantan Barat yaitu TN Danau Sentarum, TN Bukit Baka-Bukit Raya, TN Gunung Palung, TN Betung Kerihun. Ketidaksesuaian peruntukkan kawasan taman nasional paling banyak menjadi penggunaan lahan berupa kebun campuran yaitu sebesar ha atau sebesar 0,1%. Terdapat pula ketidaksesuaian peruntukkan taman nasional menjadi penggunaan lahan berupa sawah, semak belukar dan tanah terbuka dengan persentase luasan tidak lebih dari 0,1 %. Perencanaan pemanfaatan kawasan hutan juga mengatur peruntukkan kawasan Taman Wisata alam (TWA). Pada provinsi Kalimantan Barat terdapat 6 kawasan yang ditetapkan sebagai TWA yaitu TWA. GN. Asuansang, TWA Belimbing, TWA. GN. Dungan, TWA. Melintang, TWA. GN. Kelam, HW.

63 48 Baning. Dari keseluruhan kawasan TWA, hampir semua kawasan berada pada penggunaan lahan sebagai hutan baik hutan primer maupun hutan mangrove. Persentase Ketidaksesuaian Penggunaan Lahan dengan RTRW Kawasan Hutan Konservasi No Penggunaan Lahan 1 CA-->kebun campuran 2 CA-->pertambangan 3 CA-->semak belukar 4 CA-->tanah terbuka 5 SA-->hutan 6 SA-->semak belukar 7 TN-->kebun campuran 8 TN-->sawah 9 TN-->semak belukar 10 TN-->tanah terbuka 11 TWA-->kebun campuran 12 TWA-->perkebunan 13 TWA-->tambak 14 TWA-->tanah terbuka Gambar 20. Persentase Ketidaksesuaian Penggunaan Lahan Eksisting dengan Peruntukan Kawasan Cagar Alam, Taman Nasional, Taman Wisata Alam, Suaka Alam Menurut undang-undang RI no 41/1999 hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem peyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir. Untuk itu, wilayah yang telah ditetapkan sebagai hutan lindung sebaiknya dipertahankan penggunaanya sebagai hutan. Tetapi nyatanya terdapat seluas ha peruntukkan lahan sebagai hutan lindung yang justru dimanfaatkan sebagai area penggunaan lahan lain. Walaupun demikian, kawasan hutan yang tetap dipertahankan peruntukkannya sebagai hutan lindung baik sebagai hutan primer, hutan mangrove dan hutan rawa jauh lebih besar yaitu seluas ha. Ketidaksesuaian penggunaan lahan eksisting dengan peruntukkan fungsi kawasan hutan lindung ergambar secara lengkap pada Gambar 21.

64 Gambar 21. Ketidaksesuaian Peruntukkan Fungsi Kawasan Hutan Lindung (HL) dengan Penggunaan Lahan Eksisting Hutan produksi adalah hutan yang dapat dikelola untuk menghasilkan sesuatu yang bernilai ekonomi. Berdasarkan hasil analisis terdapat seluas ha atau sebesar 16,1% terjadi ketidaksesuaian peruntukkan fungsi kawasan hutan produksi yang dimanfaatkan sebagai area penggunaan lain yaitu sebagai kebun campuran, perkebunan, sawah, semak belukar, tanah terbuka. Berdasarkan Gambar 22 terlihat bahwa ketidaksesuaian paling banyak terjadi pada penggunaan lahan kebun campuran yang berada pada kawasan hutan produksi. Sebesar ha atau sebesar 7% terjadinya ketidaksesuaian penggunaan lahan kebun campuran pada kawasan hutan produksi. Akan tetapi penggunaan lahan hutan, hutan mangrove dan hutan rawa terdapat sebesar ha pada peruntukkan fungsi kawasan hutan produksi Gambar 22. Ketidaksesuaian Peruntukkan Fungsi Kawasan Hutan Produksi dengan Penggunaan Lahan Eksisting

65 Keterkaitan Sebaran Titik Panas dengan Perubahan Penggunaan Lahan Keterkaitan titik panas dengan perubahan penggunaan lahan ditandai oleh banyaknya titik panas secara terus menerus setiap tahun pada suatu kawasan. Salah satu kasus yang terjadi adalah kemunculan titik panas yang terus-menerus di Kabupaten Bengkayang pada akhir tahun 2004 dan awal tahun Sebelum ditemukan adanya kemunculan titik panas, penggunaan lahan pada lokasi tersebut adalah hutan, hutan rawa, dan perkebunan. Jumlah titik panas pada areal tersebut terbilang rendah selama tahun 2000 hingga awal tahun 2004, bahkan pada bulan Agustus dimana jumlah titik panas biasanya terpantau maksimum tidak terlihat adanya titik panas. Pada bulan Juni tahun 2004 tampak kemunculan titik panas sebanyak 65 titik ketika memasuki musim kemarau. Titik panas selanjutnya ditemui pada lokasi yang berpindah-pindah dan pada bulan Agustus terdapat 22 titik. Bulan berikutnya yakni bulan September hingga Desember, tidak ada titik panas di sekitar areal hutan tersebut. Hal ini terjadi karena kondisi iklim yang telah memasuki awal musim penghujan. Titik panas kembali muncul sebanyak 20 titik di bulan Januari tahun berikutnya. Selanjutnya, titik panas muncul selama 2 bulan berturut-turut dengan jumlah yang cukup besar yakni 52 titik di bulan Februari, 84 titik di bulan Maret. Memasuki bulan Juli titik panas kembali tampak di areal sekita hutan rawa tersebut berjumlah 35 titik, dan meningkat jumlahnya di bulan Agustus menjadi 85 titik. Akhir bulan September tahun 2005 terpantau sebanyak 9 titik. Titik panas yang terpantau secara relatif singkat selama rentang waktu hanya satu tahun ternyata diikuti oleh terjadinya penambahan luas areal perkebunan sebesar ha. Pola perkebunan yang terbentuk hampir serupa dengan pola kemunculan titik panas selama bulan Juni tahun 2004 hingga bulan September tahun Setelah adanya konversi penggunaan lahan hutan menjadi penggunaan lahan perkebunan, pada areal tersebut tidak ditemukan adanya sebaran titik panas. Titik panas justru tampak di sekitar areal perkebunan tersebut yakni pada penggunaan lahan rawa. Pada bulan Juli tahun 2006 terjadi kemunculan titik panas pada penggunaan lahan rawa sebanyak 21 titik. Satu bulan setelahnya, yakni di bulan Agustus 2006 ditemukan kembali titik panas sebanyak 7 titik. Pada bulan Oktober di tahun yang sama jumlah titik panas terlihat sebanyak 5 titik. Di

66 51 awal tahun berikutnya, tidak terlihat adanya kemunculan titik panas. Titik panas kembali muncul di bulan Agustus tahun 2007 sebanyak 8 titik. Intensitas sebaran titik panas pada areal hutan rawa tersebut tidak sebesar sebaran titik panas yang ditemukan sebelumnya, tetapi kemunculan titik panas yang terus-menerus di areal yang sama menyebabkan terjadinya perubahan penggunaan lahan. Hal ini terbukti dengan bertambahnya luas penggunaan lahan perkebunan yaitu sebesar ha dalam waktu yang singkat. Secara lebih lengkap, kemunculan titik panas dan perubahan penggunaan lahan yang terjadi dapat dilihat pada Lampiran 21. Berdasarkan pemaparan tersebut dapat diketahui bahwa kemunculan titik panas yang terjadi pada penggunaan lahan hutan dan hutan rawa tersebut menyebabkan bertambahnya areal perkebunan sebesar ha. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa kemunculan titik panas yang terus menerus (kontinyu) pada suatu areal dapat menyebabkan terjadinya perubahan penggunaan lahan. Dalam kasus ini, perubahan penggunaan lahan yang terjadi adalah perubahan penggunaan lahan hutan dan hutan rawa menjadi perkebunan. Perubahan penggunaan lahan terjadi dalam kurun waktu yang relatif cukup singkat. Lampiran 22 menyajikan contoh kasus lain yang dapat menunjukkan bahwa kemunculan titik panas yang kontinyu mengakibatkan adanya perubahan penggunaan lahan. Sebelum ditemukan adanya kemunculan titik panas, penggunaan lahan pada areal tersebut adalah hutan, hutan rawa dan perkebunan. Pada tahun 2005, luas perkebunan yang terdapat pada kawasan tersebut sebesar ha. Kemunculan titik panas pertama kali tampak sekitar bulan Maret tahun 2007 sebanyak 21 titik. Sebaran titik panas tersebut terjadi pada penggunaan lahan berupa hutan dan hutan rawa. Pada bulan berikutnya, titik panas kembali terlihat sebanyak 6 titik. Secara berturut-turut, kemunculan titik panas terpantau sejak bulan Maret tahun 2007 hingga bulan Agustus tahun Kemunculannya di bulan Mei terpantau sebanyak 4 titik dan di bulan Juni sebanyak 6 titik. Memasuki bulan Juli, sebaran titik panas mulai meningkat yakni sebanyak 8 titik. puncak kemunculannya terjadi di bulan Agustus yaitu sebanyak 20 titik. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, bulan Agustus adalah waktu dimana intensitas kemunculan titik panas paling maksimal.

67 52 Ketika memasuki musim penghujan di bulan September tidak ditemukan adanya kemunculan titik panas hingga akhir tahun. Titik panas kembali terlihat di bulan Januari sebanyak 11 titik. Tiga bulan setelahnya tidak diketahui ada kemunculan titik panas. Sebarannya baru terlihat di bulan Mei sebanyak 36 titik, bulan Juni sebanyak 7 titik dan di bulan Agustus sebanyak 4 titik. Pada tahun 2008 tersebut, kemunculan titik panas paling banyak di areal tersebut justru ditemukan di bulan Mei. Kemunculan titik panas tidak tampak selama kurun waktu hampir setahun, dan mulai terlihat kembali di bulan April tahun 2009 sebanyak 2 titik. Sebulan setelahnya terlihat sebanyak 6 titik dan di bulan Juni sebanyak 6 titik. Titik panas kembali terlihat sebanyak 6 titik di bulan Juli, 20 titik di bulan Agustus dan di bulan September sebanyak 7 titik. Setelah kemunculannya di bulan September tahun 2009, tidak ditemukan adanya kemunculan titik panas kembali. Pada areal tersebut terlihat adanya perubahan penggunaan lahan hutan/hutan rawa menjadi perkebunan. Luasan areal perkebunan bertambah sebesar ha. Walaupun kepadatan titik panas yang terpantau tidak sebanyak yang terjadi pada kasus sebelumnya, tetapi kemunculannya yang kontinyu dalam jangka waktu yang lebih lama dapat menyebabkan terjadinya perubahan penggunaan lahan.

68 53 VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan 1. Sebaran temporal titik panas menunjukkan bahwa titik panas mengalami kemunculan maksimum pada bulan Agustus dimana curah hujan pada kondisi yang rendah. Berdasarkan sebaran spasial titik panas diketahui bahwa pada penggunaan lahan berupa kebun campuran paling banyak dijumpai kemunculan titik panas. Hal ini dikarenakan aktivitas penyiapan lahan yang dilakukan pada penggunaan lahan kebun campuran. 2. Perubahan penggunaan lahan yang terjadi selama rentang waktu tahun 2000 hingga tahun 2005 sebesar 1,89% dimana yang paling banyak terjadi adalah perubahan penggunaan lahan terbuka menjadi semak belukar. Sedangkan selama rentang waktu tahun 2005 hingga tahun 2010 terjadi perubahan penggunaan lahan sebesar 1,99% dimana yang paling mendominasi adalah perubahan penggunaan lahan semak belukar menjadi perkebunan yaitu sebesar 19,82% dari total perubahan penggunaan lahan yang terjadi. 3. Terdapat keterkaitan antara kemunculan titik panas yang kontinyu dengan perubahan penggunaan lahan yang terjadi. Kemunculan titik panas yang kontinyu bisa terjadi dalam jangka waktu yang panjang dan jangka waktu yang relatif singkat. Tetapi kemunculannya yang kontinyu menyebabkan terjadinya perubahan penggunaan lahan hutan menjadi penggunaan lahan perkebunan. 6.2 Saran Perlu dilakukannya penelitian lebih lanjut dengan memperkecil cakupan wilayah penelitian sehingga dapat mengkombinasikan faktor fisik, faktor ekonomi dan faktor sosial penyebab aktivitas pembakaran lahan yang dapat memicu kemunculan titik panas.

69 54 DAFTAR PUSTAKA Barus, B dan U. S. Wiradisastra Sistem Informasi Geografi Sarana Manajemen Sumberdaya. Laboratorium Penginderaan Jauh dan Kartografi. Jurusan Tanah. Fakultas Pertanian. IPB. Bogor. BPS Kalimantan Barat dalam Angka. Badan Pusat Statistik, Provinsi Kalimantan Barat Kalimantan Barat dalam Angka. Badan Pusat Statistik, Provinsi Kalimantan Barat. Chuvieco, E. and F.J. Salas Mapping the Spatial Distribution of Forest Fire Danger Using GIS. Int. Jour. Geographical Information System. Vol. 10(3),p Fire Fight South East Asia Pengadilan Pelaku Kebakaran Hutan dan Lahan : Sebuah Studi Kasus Mengenai Proses Hukum di Riau Indonesia. Fire Fight South East Asia. WWF. IUCN. European Union. Gandasasmita, K Analisis Penggunaan Lahan Sawah dan Tegalan di Daerah Aliran Sungai Cimanuk Hulu, Jawa Barat. Program Studi Ilmu Tanah. Program Pascasarjana. IPB. Disertasi. Hiroki, I dan P, Dwi Hasil Penggunaan Citra Satelit NOAA-AVHRR dan Himawari untuk Deteksi Hot Spot di Stasiun Bumi Satelit NOAA- AVHRR/Himawari FFPMP. Di dalam : Suratmo, F.G, dan Husaeni, E.A, dan Jaya, N.S Pengendalian Kebakaran Hutan. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Hlm Humasprov Kalbar Dorong Sektor Perkebunan. g%20sektor%20perkebunan&op=7&view=global [diakses tanggal 1 Februari 2012]. Lillesand, T.M. dan R.W. Kiefer Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra. Cetakan Ketiga. Yogyakarta : Gajah Mada University Press. Mather, A.S Land Use. London. Longman. Musawijaya, M. et al Pemantauan Titik Panas Indikator Kebakaran Hutan/Lahan di Pulau Jawa, Sumatera dan Kalimantan. [diakses tanggal 27 Maret 2012]. Pasaribu, S. M. dan S. Friyatno Memahami Penyebab Kebakaran Hutan dan Lahan Serta Upaya Penanggulangannya : Kasus di Provinsi Kalimantan Barat. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Badan Litbang Pertanian : Bogor.

70 55 Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 12 Tahun Tentang Pengendalian Kebakaran Hutan. Jakarta. Menteri Kehutanan. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 4 Tahun Tentang Pengendalian Kerusakan dan atau Pencemaran Lingkungan Hidup. Jakarta. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 10 Tahun Tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan. Jakarta. Prasetyo, S Kebakaran Hutan Tak Kunjung Sirna. Harapan.co.id_Kebakaran%20Hutan%20Tak%20Kunjung%20Sirna. [diakses tanggal 20 September 2011]. Purbowaseso, B Pengendalian Kebakaran Hutan. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Solichin Hotspot Tidak Selalu Titik Kebakaran. Newletter Hotspot. South Sumatra Forest Fire Management Project. Uni Eropa. Pemprov Sumsel. Departemen Kehutanan. Sutanto Penginderaan Jauh Jilid I. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press. Sunanto Peran Serta Masyarakat dalam Pencegaahan dan Penanggulangan Kebakaran Lahan (Studi Kasus kelompok Peduli Api di Kecamatan rasau Jaya Kabupaten Kubu Raya Provinsi Kalimantan Barat). Program Magister Ilmu Lingkungan. Program Pasca Sarjana. Universitas diponegoro. Tesis. Susanto, P Aplikasi Sistem Informasi Geografis untuk Pengelolaan Perkebunan Besar. Institut Teknologi Surabaya Sukolilo. Surabaya. Suwarsono., F. Yulianto., Parwati dan T. Suprapto Analisis Persebaran Titik Panas (hotspot) Indikasi Kebakaran Hutan dan Lahan di Wilayah Kalimantan Sepanjang Tahun Berita Inderaja Volume IX, No.16 Tahun 2010, LAPAN Jakarta. Rustiadi, E., S. Hadi dan W.M. Ahmad Kawasan Agropolitan Konsep pembanguan Desa-Kota Berimbang. Cetakan Pertama. Crestpent Press. Bogor. Triani, W Keterkaitan Kebakaran dengan Faktor-Faktor Iklim di KPH Banyuwangi Selatan Perum Perhutani Unit II Jawa Timur. Jurusan Manajemen Hutan. Fakultas Kehutanan IPB. Skripsi. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Jakarta. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun Tentang Kehutanan. Jakarta.

71 56 Van Noordwijk, M., P.M Susswein, T.P. Tomick, C, Diaw, and S. Vosti Land use practices in the humid tropics and introduction to ASB benchmark areas. International centre for Research in Agroforestry Southeast Asian Regional Research Programme, Bogor, Indonesia. Wardani, S.F Studi Tentang Sebaran Titik Panas (hotspot) Bulanan Sebagai Penduga Terjadinya Kebakaran Hutan dan Lahan di propinsi Sumatera Selatan. Skripsi. Jurusan Manajemen Hutab, Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Wartapedia Kalbar : Koordinasi Upaya Atasi Kebakaran Hutan. [diakses tanggal 20 September 2011].

72 LAMPIRAN 57

73 Lampiran 1. Data Penggunaan Lahan Tahun 2000 (dalam hektar) Grand Total htn kc mgrv pmkm pkbn tmbng rw swh Sb tbk tb tgl sng Kabupaten Bengkayang Kabupaten Kapuas Hulu Kabupaten Kayong Utara Kabupaten Ketapang Kabupaten Kubu Raya Kabupaten Landak Kabupaten Melawi Kabupaten Pontianak Kabupaten Sambas Kabupaten Sanggau Kabupaten Sekadau Kabupaten Sintang Kota Pontianak Kota Singkawang Grand Total Keterangan : htn=hutan, kc=kebun campuran, mgrv=mangrove, pmkm=pemukiman, pkbn=perkebunan, tmbng=pertambangan, rw=rawa, swh=sawah, sb=semak belukar, tbk=tambak, tb=tanah terbuka, tgl=tegalan/ladang, sng=sungai 58

74 Lampiran 2. Data Penggunaan Lahan Tahun 2005 (dalam hektar) Grand Total Htn Kc Mgrv Pmkm pkbn tmbng rw swh sb tbk tb tgl sng Kabupaten Bengkayang Kabupaten Kapuas Hulu Kabupaten Kayong Utara Kabupaten Ketapang Kabupaten Kubu Raya Kabupaten Landak Kabupaten Melawi Kabupaten Pontianak Kabupaten Sambas Kabupaten Sanggau Kabupaten Sekadau Kabupaten Sintang Kota Pontianak Kota Singkawang Grand Total Keterangan : htn=hutan, kc=kebun campuran, mgrv=mangrove, pmkm=pemukiman, pkbn=perkebunan, tmbng=pertambangan, rw=rawa, swh=sawah, sb=semak belukar, tbk=tambak, tb=tanah terbuka, tgl=tegalan/ladang, sng=sungai 59

75 60 Lampiran 3. Data Penggunaan Lahan Tahun 2010 (dalam hektar) htn Kc mgrv pmkm pkbn tmbng rw swh sb tbk tb tgl sng Kabupaten Bengkayang Kabupaten Kapuas Hulu Kabupaten Kayong Utara Kabupaten Ketapang Kabupaten Kubu Raya Kabupaten Landak Kabupaten Melawi Kabupaten Pontianak Kabupaten Sambas Kabupaten Sanggau Kabupaten Sekadau Kabupaten Sintang Kota Pontianak Kota Singkawang Grand Total Grand Total Keterangan : htn=hutan, kc=kebun campuran, mgrv=mangrove, pmkm=pemukiman, pkbn=perkebunan, tmbng=pertambangan, rw=rawa, swh=sawah, sb=semak belukar, tbk=tambak, tb=tanah terbuka, tgl=tegalan/ladang, sng=sungai

76 61 Lampiran 4. Data Perubahan Penggunaan Lahan Tahun (dalam hektar) Penggunaan Lahan (ha) hutan kebun campuran mangrove pemukiman perkebunan pertambangan rawa hutan kebun campuran mangrove pemukiman perkebunan pertambangan rawa sawah 415 semak belukar tambak tanah terbuka tegalan/ladang tubuh air Grand Total

77 62 Lampiran 4 lanjutan. Penggunaan Lahan (ha) sawah semak belukar tambak tanah terbuka tegalan/ladang tubuh air Grand Total hutan kebun campuran mangrove pemukiman perkebunan pertambangan rawa sawah semak belukar tambak tanah terbuka tegalan/ladang tubuh air Grand total

78 63 Lampiran 5. Data Perubahan Penggunaan Lahan Tahun (dalam hektar) Penggunaan lahan (ha) hutan kebun campuran mangrove pemukiman perkebunan pertambangan rawa hutan kebun campuran mangrove pemukiman perkebunan pertambangan rawa sawah semak belukar tambak tanah terbuka tegalan/ladang tubuh air Grand Total

79 64 Lampiran 5 lanjutan. Penggunaan lahan (ha) sawah semak belukar tambak tanah terbuka tegalan/ladang tubuh air Grand Total hutan kebun campuran mangrove pemukiman perkebunan pertambangan rawa sawah semak belukar tambak tanah terbuka tegalan/ladang tubuh air Grand Total

80 65 Lampiran 6. Data Sebaran Titik Panas pada Masing-masing Penggunaan Lahan Penggunaan Lahan Tahun 2001 Tahun 2002 Tahun 2003 Tahun 2004 Tahun 2005 Tahun 2006 Jumlah Titik Panas Tahun 2007 Tahun 2008 Tahun 2009 Tahun 2010 hutan kebun campuran mangrove pemukiman perkebunan pertambangan rawa sawah semak belukar tanah terbuka tegalan/ladang tubuh air

81 66 Lampiran 7. Data Curah Hujan Provinsi Kalimantan Barat DATA CURAH HUJAN (mm) STA.METEOROLOGI SUPADIO PONTIANAK TAHUN JAN PEB MAR APR MEI JUN JUL AGT SEP OKT NOP DES DATA CURAH HUJAN (mm) STA. METEOROLOGI SUSILO SINTANG TAHUN JAN PEB MAR APR MEI JUN JUL AGT SEP OKT NOP DES DATA CURAH HUJAN (mm) STA. MET NANGAPINOH TAHUN JAN PEB MAR APR MEI JUN JUL AGT SEP OKT NOP DES

82 DATA CURAH HUJAN (mm) STA. MET PALOH TAHUN JAN PEB MAR APR MEI JUN JUL AGT SEP OKT NOP DES DATA CURAH HUJAN (mm) STA. METEOROLOGI PUTUSIBAU TAHUN JAN PEB MAR APR MEI JUN JUL AGT SEP OKT NOP DES

83 68 Lampiran 8. Data Curah Hujan dan Titik Panas Tahun 2005 hingga Tahun 2010 Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agst Sep Okt Nov Des Curah hujan Tahun 2005 Tahun 2006 Tahun 2007 Tahun 2008 Tahun 2009 Tahun 2010 Jumlah titik panas Curah hujan Jumlah titik panas Curah hujan Jumlah titik panas Curah hujan Jumlah titik panas Curah hujan Jumlah titik panas Curah hujan Jumlah titik panas

84 69 Lampiran 9. Peta Sebaran Titik Panas Tahun 2000 Lampiran 10. Peta Sebaran Titik Panas Tahun 2001

85 70 Lampiran 11. Peta Sebaran Titik Panas Tahun 2002 Lampiran 12. Peta Sebaran Titik Panas Tahun 2003

86 71 Lampiran 13. Peta Sebaran Titik Panas Tahun 2004 Lampiran 14. Peta Sebaran Titik Panas Tahun 2005

87 72 Lampiran 15. Peta Sebaran Titik Panas Tahun 2006 Lampiran 16. Peta Sebaran Titik Panas Tahun 2007

88 73 Lampiran 17. Peta Sebaran Titik Panas Tahun 2008 Lampiran 18. Peta Sebaran Titik Panas Tahun 2009

89 74 Lampiran 19. Peta Sebaran Titik Panas Tahun 2010 Lampiran 20. Peta Sebaran Titik Panas Tahun 2011

90 Sebaran titik panas bulan Juni Tahun 2004 hingga bulan September Tahun 2005 pada penggunaan lahan tahun Penggunaan lahan awal sebelum adanya sebaran titik panas Penggunaan Lahan Tahun 2000 Bulan Juni Tahun 2004 Bulan Agustus Tahun 2004 Bulan Januari Tahun 2005 Bulan Februari Tahun 2005 Bulan Maret Tahun 2005 Bulan Juli Tahun 2005 Bulan Agustus Tahun 2005 Bulan September Tahun 2005 Penggunaan Lahan Tahun 2005 Lampiran 21. Kemunculan Titik Panas yang Kontinyu dan Perubahan Penggunaan Lahan (a)

91 76 Penggunaan Lahan Tahun 2005 Bulan Juli tahun 2006 Bulan Agustus tahun 2006 Bulan Oktober Tahun 2006 Bulan Agustus Tahun 2007 Bulan Mei Tahun 2008 Penggunaan lahan setelah sebaran titik panas berhenti Lampiran 21. lanjutan Penggunaan Lahan Tahun 2010 Sebaran titik panas bulan Juli tahun 2006 hingga bulan Mei tahun 2008 pada penggunaan lahan tahun 2005

92 77 Penggunaan lahan awal sebelum adanya sebaran titik panas Penggunaan Lahan Tahun 2005 Bulan Maret Tahun 2007 Bulan April Tahun 2007 Bulan Mei Tahun 2007 Bulan Juni Tahun 2007 Bulan Juli Tahun 2007 Bulan Agustus Tahun 2007 Bulan Januari Tahun 2008 Bulan Februari Tahun 2008 Bulan April Tahun 2008 Bulan Mei Tahun 2008 Bulan Juni Tahun 2008 Bulan Agustus 2008 Lampiran 22. Kemunculan Titik Panas yang Kontinyu dan Penambahan Luas Areal Perkebunan (b)

93 78 Bulan April Tahun 2009 Bulan Mei Tahun 2009 Bulan Juni Tahun 2009 Bulan Juli Tahun 2009 Bulan Agustus Tahun 2009 Bulan September Tahun 2009 Sebaran titik panas bulan Maret Tahun 2007 hingga bulan September Tahun 2009 pada penggunaan lahan tahun 2005 Penggunaan lahan setelah sebaran titik panas berhenti Penggunaan Lahan Tahun 2010 Lampiran 22. lanjutan

TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Titik Panas

TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Titik Panas 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Titik Panas Titik panas (hotspot) adalah indikator kebakaran hutan yang mengindikasikan suatu lokasi yang memiliki suhu relatif tinggi dibandingkan suhu disekitarnya. Definisi

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN 17 III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini mengambil lokasi di Provinsi Kalimantan Barat. Provinsi Kalimantan Barat terletak di bagian barat pulau Kalimantan atau di antara

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan 2.1.1 Pengertian Lahan Pengertian lahan tidak sama dengan tanah, tanah adalah benda alami yang heterogen dan dinamis, merupakan interaksi hasil kerja

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. non hutan atau sebaliknya. Hasilnya, istilah kebakaran hutan dan lahan menjadi. istilah yang melekat di Indonesia (Syaufina, 2008).

TINJAUAN PUSTAKA. non hutan atau sebaliknya. Hasilnya, istilah kebakaran hutan dan lahan menjadi. istilah yang melekat di Indonesia (Syaufina, 2008). 3 TINJAUAN PUSTAKA Kebakaran hutan didefenisikan sebagai suatu kejadian dimana api melalap bahan bakar bervegetasi, yang terjadi didalam kawasan hutan yang menjalar secara bebas dan tidak terkendali di

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 27 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Kepadatan Titik Panas Berdasarkan data titik panas yang terpantau dari satelit NOAA-AVHRR dapat diketahui bahwa selama rentang waktu dari tahun 2000 hingga tahun 2011, pada

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebakaran Hutan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.1 Definisi dan Tipe Kebakaran Hutan dan Lahan Kebakaran hutan adalah sebuah kejadian terbakarnya bahan bakar di hutan oleh api dan terjadi secara luas tidak

Lebih terperinci

IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi

IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi 31 IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi Waktu yang dibutuhkan untuk melaksanakan penelitian ini adalah dimulai dari bulan April 2009 sampai dengan November 2009 yang secara umum terbagi terbagi menjadi

Lebih terperinci

Gambar 7. Lokasi Penelitian

Gambar 7. Lokasi Penelitian III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini mengambil lokasi Kabupaten Garut Provinsi Jawa Barat sebagai daerah penelitian yang terletak pada 6 56'49''-7 45'00'' Lintang Selatan

Lebih terperinci

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian 22 METODOLOGI Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kota Sukabumi, Jawa Barat pada 7 wilayah kecamatan dengan waktu penelitian pada bulan Juni sampai November 2009. Pada lokasi penelitian

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian METODE Waktu dan Tempat Penelitian

PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian METODE Waktu dan Tempat Penelitian PENDAHULUAN Latar Belakang Kejadian kebakaran wilayah di Indonesia sudah menjadi peristiwa tahunan, khususnya di Pulau Sumatera dan Kalimantan. Pada tahun 2013 kebakaran di Pulau Sumatera semakin meningkat

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang.

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang. III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-Oktober 2010. Lokasi penelitian di Kota Palembang dan Laboratorium Analisis Spasial Lingkungan, Departemen Konservasi Sumberdaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumatera Utara memiliki luas total sebesar 181.860,65 Km² yang terdiri dari luas daratan sebesar 71.680,68 Km² atau 3,73 % dari luas wilayah Republik Indonesia. Secara

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Kekeringan

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Kekeringan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kekeringan Kekeringan (drought) secara umum bisa didefinisikan sebagai kurangnya persediaan air atau kelembaban yang bersifat sementara secara signifikan di bawah normal atau volume

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Lahan gambut merupakan salah satu tipe ekosistem yang memiliki kemampuan menyimpan lebih dari 30 persen karbon terestrial, memainkan peran penting dalam siklus hidrologi serta

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI BAB III LANDASAN TEORI 3.1. Profil Provinsi Kalimantan Barat Posisi Provinsi Kalimantan Barat terletak 20 08 LU dan 30 05 LS dan antara 1080 30 BT dan 1140 10 BT. Berdasarkan letak geografis yang spesifik,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan Lahan adalah suatu wilayah daratan yang ciri-cirinya menerangkan semua tanda pengenal biosfer, atsmosfer, tanah geologi,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 11 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan selama dua bulan yaitu bulan Juli-Agustus 2010 dengan pemilihan lokasi di Kota Denpasar. Pengolahan data dilakukan di Laboratorium

Lebih terperinci

PEMETAAN DAERAH RAWAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI KABUPATEN TOBA SAMOSIR PROVINSI SUMATERA UTARA SKRIPSI

PEMETAAN DAERAH RAWAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI KABUPATEN TOBA SAMOSIR PROVINSI SUMATERA UTARA SKRIPSI PEMETAAN DAERAH RAWAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI KABUPATEN TOBA SAMOSIR PROVINSI SUMATERA UTARA SKRIPSI Oleh MAYA SARI HASIBUAN 071201044 PROGRAM STUDI MANAJEMEN HUTAN DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : NDVI=(band4 band3)/(band4+band3).18 Nilai-nilai indeks vegetasi di deteksi oleh instrument pada

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Lahan dan Penggunaan Lahan 2.2 Perubahan Penggunaan Lahan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Lahan dan Penggunaan Lahan 2.2 Perubahan Penggunaan Lahan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Lahan dan Penggunaan Lahan Lahan adalah suatu lingkungan fisik yang meliputi tanah, iklim, relief, hidrologi, dan vegetasi, dimana faktor-faktor tersebut mempengaruhi

Lebih terperinci

ANALISIS PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN KABUPATEN TOBA SAMOSIR SKRIPSI. Oleh : PUTRI SINAMBELA /MANAJEMEN HUTAN

ANALISIS PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN KABUPATEN TOBA SAMOSIR SKRIPSI. Oleh : PUTRI SINAMBELA /MANAJEMEN HUTAN ANALISIS PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN KABUPATEN TOBA SAMOSIR SKRIPSI Oleh : PUTRI SINAMBELA 071201035/MANAJEMEN HUTAN DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2011 LEMBAR PENGESAHAN

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

III. METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan sejak Juli 2010 sampai dengan Mei 2011. Lokasi penelitian terletak di wilayah Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat. Pengolahan

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Letak dan Luas. Komponen fisik

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Letak dan Luas. Komponen fisik KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN Letak dan Luas Daerah penelitian mencakup wilayah Sub DAS Kapuas Tengah yang terletak antara 1º10 LU 0 o 35 LS dan 109 o 45 111 o 11 BT, dengan luas daerah sekitar 1 640

Lebih terperinci

RINGKASAN MATERI INTEPRETASI CITRA

RINGKASAN MATERI INTEPRETASI CITRA Lampiran 1 Ringkasan Materi RINGKASAN MATERI INTEPRETASI CITRA 1 Pengertian Intepretasi Citra Inteprtasi Citra adalah kegiatan menafsir, mengkaji, mengidentifikasi, dan mengenali objek pada citra, selanjutnya

Lebih terperinci

ANALISA DAERAH POTENSI BANJIR DI PULAU SUMATERA, JAWA DAN KALIMANTAN MENGGUNAKAN CITRA AVHRR/NOAA-16

ANALISA DAERAH POTENSI BANJIR DI PULAU SUMATERA, JAWA DAN KALIMANTAN MENGGUNAKAN CITRA AVHRR/NOAA-16 ANALISA DAERAH POTENSI BANJIR DI PULAU SUMATERA, JAWA DAN KALIMANTAN MENGGUNAKAN CITRA AVHRR/NOAA-16 Any Zubaidah 1, Suwarsono 1, dan Rina Purwaningsih 1 1 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN)

Lebih terperinci

DISTRIBUSI HUTAN ALAM DAN LAJU PERUBAHANNYA MENURUT KABUPATEN DI INDONESIA LUKMANUL HAKIM E

DISTRIBUSI HUTAN ALAM DAN LAJU PERUBAHANNYA MENURUT KABUPATEN DI INDONESIA LUKMANUL HAKIM E DISTRIBUSI HUTAN ALAM DAN LAJU PERUBAHANNYA MENURUT KABUPATEN DI INDONESIA LUKMANUL HAKIM E14101043 DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 RINGKASAN LUKMANUL HAKIM.

Lebih terperinci

1 BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemanfaatan penggunaan lahan akhir-akhir ini semakin mengalami peningkatan. Kecenderungan peningkatan penggunaan lahan dalam sektor permukiman dan industri mengakibatkan

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA TITIK PANAS DENGAN PERUBAHAN PENUTUPAN/PENGGUNAAN LAHAN (Studi Kasus: Kabupaten Kapuas, Provinsi Kalimantan Tengah) MERINA JAYANTIKA

HUBUNGAN ANTARA TITIK PANAS DENGAN PERUBAHAN PENUTUPAN/PENGGUNAAN LAHAN (Studi Kasus: Kabupaten Kapuas, Provinsi Kalimantan Tengah) MERINA JAYANTIKA HUBUNGAN ANTARA TITIK PANAS DENGAN PERUBAHAN PENUTUPAN/PENGGUNAAN LAHAN (Studi Kasus: Kabupaten Kapuas, Provinsi Kalimantan Tengah) MERINA JAYANTIKA DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS

Lebih terperinci

Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997

Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997 LAMPIRAN Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997 17 Lampiran 2. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 2006 18 Lampiran 3. Peta sebaran suhu permukaan Kodya Bogor tahun

Lebih terperinci

11/25/2009. Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi. Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I

11/25/2009. Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi. Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi Ukuran Hubungan antar obyek Informasi spasial dari obyek Pengambilan data fisik dari

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. Gambar 2. Peta Orientasi Wilayah Penelitian. Kota Yogyakarta. Kota Medan. Kota Banjarmasin

III. METODOLOGI. Gambar 2. Peta Orientasi Wilayah Penelitian. Kota Yogyakarta. Kota Medan. Kota Banjarmasin III. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan mulai dari bulan Maret sampai bulan November 2009. Objek penelitian difokuskan pada wilayah Kota Banjarmasin, Yogyakarta, dan

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di daerah Daerah Aliran Sungai (DAS) Cipunagara dan sekitarnya, Jawa Barat (Gambar 1). DAS Cipunagara berada dibawah pengelolaan

Lebih terperinci

ANALISIS KELEMBABAN TANAH PERMUKAAN MELALUI CITRA LANDSAT 7 ETM+ DI WILAYAH DATARAN KABUPATEN PURWOREJO

ANALISIS KELEMBABAN TANAH PERMUKAAN MELALUI CITRA LANDSAT 7 ETM+ DI WILAYAH DATARAN KABUPATEN PURWOREJO ANALISIS KELEMBABAN TANAH PERMUKAAN MELALUI CITRA LANDSAT 7 ETM+ DI WILAYAH DATARAN KABUPATEN PURWOREJO Usulan Penelitian Untuk Skripsi S-1 Program Studi Geografi Disusun Oleh: Sediyo Adi Nugroho NIM:

Lebih terperinci

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN PERTEMUAN 10 SUMBERDAYA LAHAN Sumberdaya Lahan Lahan dapat didefinisikan sebagai suatu ruang di permukaan bumi yang secara alamiah dibatasi oleh sifat-sifat fisik serta bentuk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebakaran Hutan 2.1.1 Pengertian dan Proses Terjadinya Kebakaran Kebakaran hutan secara umum didefinisikan sebagai kejadian alam yang bermula dari proses reaksi secara cepat

Lebih terperinci

Nilai Io diasumsikan sebagai nilai R s

Nilai Io diasumsikan sebagai nilai R s 11 Nilai Io diasumsikan sebagai nilai R s, dan nilai I diperoleh berdasarkan hasil penghitungan nilai radiasi yang transmisikan oleh kanopi tumbuhan, sedangkan nilai koefisien pemadaman berkisar antara

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 7 HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum dan Distribusi Titik Panas (hotspot)provinsi Jambi Provinsi Jambi secara geografis terletak antara 0 o 45-2 o 45 LS dan 101 o 104 o 55 BT, terletak di tengah Pulau Sumatera

Lebih terperinci

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Spektral Citra yang digunakan pada penelitian ini adalah Citra ALOS AVNIR-2 yang diakuisisi pada tanggal 30 Juni 2009 seperti yang tampak pada Gambar 11. Untuk dapat

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan mulai bulan Febuari 2009 sampai Januari 2010, mengambil lokasi di Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Pengolahan dan Analisis

Lebih terperinci

ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH

ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH 01. Teknologi yang terkait dengan pengamatan permukaan bumi dalam jangkauan yang sangat luas untuk mendapatkan informasi tentang objek dipermukaan bumi tanpa bersentuhan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa. penyusunan rencana kehutanan. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan

TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa. penyusunan rencana kehutanan. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan TINJAUAN PUSTAKA KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan) Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa perencanaan kehutanan meliputi inventarisasi hutan, pengukuhan kawasan hutan, penatagunaan kawasan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian III. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Lokasi yang dipilih untuk penelitian ini adalah Kabupaten Indramayu, Jawa Barat (Gambar 1). Penelitian dimulai dari bulan Juli 2010 sampai Januari

Lebih terperinci

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik 5. PEMBAHASAN Penginderaan jauh mempunyai peran penting dalam inventarisasi sumberdaya alam. Berbagai kekurangan dan kelebihan yang dimiliki penginderaan jauh mampu memberikan informasi yang cepat khususnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dewasa ini perkembangan fisik penggunaan lahan terutama di daerah perkotaan relatif cepat dibandingkan dengan daerah perdesaan. Maksud perkembangan fisik adalah penggunaan

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata Kunci: kebakaran hutan, penginderaan jauh, satelit Landsat, brightness temperature

ABSTRAK. Kata Kunci: kebakaran hutan, penginderaan jauh, satelit Landsat, brightness temperature ABSTRAK Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki hamparan hutan yang luas tidak terlepas dengan adanya masalah-masalah lingkungan yang dihasilkan, khususnya kebakaran hutan. Salah satu teknologi yang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. lahan dengan data satelit penginderaan jauh makin tinggi akurasi hasil

TINJAUAN PUSTAKA. lahan dengan data satelit penginderaan jauh makin tinggi akurasi hasil 4 TINJAUAN PUSTAKA Makin banyak informasi yang dipergunakan dalam klasifikasi penutup lahan dengan data satelit penginderaan jauh makin tinggi akurasi hasil klasifikasinya. Menggunakan informasi multi

Lebih terperinci

PENGARUH PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN TERHADAP DEBIT LIMPASAN PADA SUB DAS SEPAUK KABUPATEN SINTANG KALIMANTAN BARAT

PENGARUH PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN TERHADAP DEBIT LIMPASAN PADA SUB DAS SEPAUK KABUPATEN SINTANG KALIMANTAN BARAT PENGARUH PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN TERHADAP DEBIT LIMPASAN PADA SUB DAS SEPAUK KABUPATEN SINTANG KALIMANTAN BARAT Ria Rosdiana Hutagaol 1 dan Sigit Hardwinarto 2 1 Faperta Jurusan Kehutanan Universitas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Evapotranspirasi Potensial Standard (ETo)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Evapotranspirasi Potensial Standard (ETo) xviii BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Evapotranspirasi Potensial Standard (ETo) Evapotranspirasi adalah jumlah air total yang dikembalikan lagi ke atmosfer dari permukaan tanah, badan air, dan vegetasi oleh

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penggunaan Lahan Lahan (land) adalah lingkungan fisik yang terdiri dari iklim, relief, tanah, air dan vegetasi serta benda yang ada diatasnya sepanjang ada pengaruhnya terhadap

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 9. Peta Orientasi Wilayah Kecamatan Beji, Kota Depok

METODE PENELITIAN. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 9. Peta Orientasi Wilayah Kecamatan Beji, Kota Depok III. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kecamatan Beji sebagai pusat Kota Depok, Jawa Barat yang berbatasan langsung dengan Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Penelitian

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Data 3.3 Tahapan Pelaksanaan

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Data 3.3 Tahapan Pelaksanaan 15 BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Juli sampai dengan April 2011 dengan daerah penelitian di Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi, dan Kabupaten Cianjur,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Suhu Permukaan Suhu permukaan dapat diartikan sebagai suhu terluar suatu obyek. Untuk suatu tanah terbuka, suhu permukaan adalah suhu pada lapisan terluar permukaan tanah. Sedangkan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman (Tahura

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman (Tahura III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman (Tahura WAR). Berdasarkan administrasi pemerintahan Provinsi Lampung kawasan ini berada

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM PENGINDERAAN JAUH KOMPOSIT BAND CITRA LANDSAT DENGAN ENVI. Oleh: Nama : Deasy Rosyida Rahmayunita NRP :

LAPORAN PRAKTIKUM PENGINDERAAN JAUH KOMPOSIT BAND CITRA LANDSAT DENGAN ENVI. Oleh: Nama : Deasy Rosyida Rahmayunita NRP : LAPORAN PRAKTIKUM PENGINDERAAN JAUH KOMPOSIT BAND CITRA LANDSAT DENGAN ENVI Oleh: Nama : Deasy Rosyida Rahmayunita NRP : 3513100016 Dosen Pembimbing: Nama : Prof.Dr.Ir. Bangun Muljo Sukojo, DEA, DESS NIP

Lebih terperinci

menunjukkan nilai keakuratan yang cukup baik karena nilai tersebut lebih kecil dari limit maksimum kesalahan rata-rata yaitu 0,5 piksel.

menunjukkan nilai keakuratan yang cukup baik karena nilai tersebut lebih kecil dari limit maksimum kesalahan rata-rata yaitu 0,5 piksel. Lampiran 1. Praproses Citra 1. Perbaikan Citra Satelit Landsat Perbaikan ini dilakukan untuk menutupi citra satelit landsat yang rusak dengan data citra yang lainnya, pada penelitian ini dilakukan penggabungan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Pengolahan Awal Citra (Pre-Image Processing) Pengolahan awal citra (Pre Image Proccesing) merupakan suatu kegiatan memperbaiki dan mengoreksi citra yang memiliki kesalahan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : fungsi hidrologis, sosial ekonomi, produksi pertanian ataupun bagi

TINJAUAN PUSTAKA. Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : fungsi hidrologis, sosial ekonomi, produksi pertanian ataupun bagi TINJAUAN PUSTAKA Defenisi Lahan Kritis Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : a. Lahan yang tidak mampu secara efektif sebagai unsur produksi pertanian, sebagai media pengatur tata air, maupun

Lebih terperinci

Gregorius Anung Hanindito 1 Eko Sediyono 2 Adi Setiawan 3. Abstrak

Gregorius Anung Hanindito 1 Eko Sediyono 2 Adi Setiawan 3. Abstrak ANALISIS PANTAUAN DAN KLASIFIKASI CITRA DIGITAL PENGINDRAAN JAUH DENGAN DATA SATELIT LANDASAT TM MELALUI TEKNIK SUPERVISED CLASSIFICATION (STUDI KASUS KABUPATEN MINAHASA TENGGARA, PROVINSI SULAWESI UTARA)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan seluruh satuan lahan yang menunjang kelompok vegetasi yang didominasi oleh pohon segala ukuran, dieksploitasi maupun tidak, dapat menghasilkan kayu

Lebih terperinci

PEMANASAN BUMI BAB. Suhu dan Perpindahan Panas. Skala Suhu

PEMANASAN BUMI BAB. Suhu dan Perpindahan Panas. Skala Suhu BAB 2 PEMANASAN BUMI S alah satu kemampuan bahasa pemrograman adalah untuk melakukan kontrol struktur perulangan. Hal ini disebabkan di dalam komputasi numerik, proses perulangan sering digunakan terutama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebakaran hutan merupakan fenomena yang sering terjadi di Indonesia (Stolle et al, 1999) yang menjadi perhatian lokal dan global (Herawati dan Santoso, 2011). Kebakaran

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR FISIK YANG MEMPENGARUHI PRODUKTIVITAS PADI SAWAH DENGAN APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR FISIK YANG MEMPENGARUHI PRODUKTIVITAS PADI SAWAH DENGAN APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS ANALISIS FAKTOR-FAKTOR FISIK YANG MEMPENGARUHI PRODUKTIVITAS PADI SAWAH DENGAN APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (Studi Kasus di Kabupaten Bogor, Jawa Barat) RANI YUDARWATI PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebakaran hutan dan Lahan 2.1.1 Pengertian dan Proses Terjadinya Kebakaran Hutan dan Lahan Kebakaran hutan oleh Brown dan Davis (1973) dalam Syaufina (2008) didefinisikan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya 5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penutupan Lahan dan Perubahannya Penutupan lahan menggambarkan konstruksi vegetasi dan buatan yang menutup permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

Lebih terperinci

ANALISIS LAJU DEFORESTASI HUTAN BERBASIS SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (STUDI KASUS PROVINSI PAPUA)

ANALISIS LAJU DEFORESTASI HUTAN BERBASIS SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (STUDI KASUS PROVINSI PAPUA) ANALISIS LAJU DEFORESTASI HUTAN BERBASIS SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (STUDI KASUS PROVINSI PAPUA) La Ode Muh. Yazid Amsah 1, Drs. H. Samsu Arif, M.Si 2, Syamsuddin, S.Si, MT 2 Program Studi Geofisika Jurusan

Lebih terperinci

ANALISIS TUTUPAN LAHAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT HAYCKAL RIZKI H.

ANALISIS TUTUPAN LAHAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT HAYCKAL RIZKI H. ANALISIS TUTUPAN LAHAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT HAYCKAL RIZKI H. DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

ANALISISPERUBAHAN TUTUPAN LAHAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI WAMPU, KABUPATEN LANGKAT, SUMATERA UTARA

ANALISISPERUBAHAN TUTUPAN LAHAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI WAMPU, KABUPATEN LANGKAT, SUMATERA UTARA 1 ANALISISPERUBAHAN TUTUPAN LAHAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI WAMPU, KABUPATEN LANGKAT, SUMATERA UTARA SKRIPSI Oleh : EDRA SEPTIAN S 121201046 MANAJEMEN HUTAN PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS KEHUTANAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

VARIASI SPASIAL DAN TEMPORAL HUJAN KONVEKTIF DI PULAU JAWA BERDASARKAN CITRA SATELIT GMS-6 (MTSAT-1R) YETTI KUSUMAYANTI

VARIASI SPASIAL DAN TEMPORAL HUJAN KONVEKTIF DI PULAU JAWA BERDASARKAN CITRA SATELIT GMS-6 (MTSAT-1R) YETTI KUSUMAYANTI VARIASI SPASIAL DAN TEMPORAL HUJAN KONVEKTIF DI PULAU JAWA BERDASARKAN CITRA SATELIT GMS-6 (MTSAT-1R) YETTI KUSUMAYANTI DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bab ini berisi tentang latar belakang, tujuan, dan sistematika penulisan. BAB II KAJIAN LITERATUR

BAB I PENDAHULUAN. Bab ini berisi tentang latar belakang, tujuan, dan sistematika penulisan. BAB II KAJIAN LITERATUR BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Citra yang direkam oleh satelit, memanfaatkan variasi daya, gelombang bunyi atau energi elektromagnetik. Selain itu juga dipengaruhi oleh cuaca dan keadaan atmosfer

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE 13 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan mulai bulan Februari 2010 sampai Februari 2011 yang berlokasi di Daerah Aliran Sungai (DAS) Cipunagara dan sekitarnya, Kabupaten

Lebih terperinci

MITIGASI BENCANA KERUSAKAN LAHAN

MITIGASI BENCANA KERUSAKAN LAHAN Meraih masa depan berkualitas bersama Sekolah Pascasarjana IPB MITIGASI BENCANA KERUSAKAN LAHAN Ketua Program Studi / Koordinator Mayor: Baba Barus, Dr Staf Pengajar : Atang Sutandi, Dr Baba Barus, Dr

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM WILAYAH

BAB IV GAMBARAN UMUM WILAYAH BAB IV GAMBARAN UMUM WILAYAH A. Kondisi Umum Provinsi Kalimantan Barat Setelah era reformasi yang menghasilkan adanya otonomi daerah, maka daerah administrasi di Provinsi Kalimantan Barat yang telah mengalami

Lebih terperinci

Gambar 1.1 Siklus Hidrologi (Kurkura, 2011)

Gambar 1.1 Siklus Hidrologi (Kurkura, 2011) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Air merupakan kebutuhan yang mutlak bagi setiap makhluk hidup di permukaan bumi. Seiring dengan pertambahan penduduk kebutuhan air pun meningkat. Namun, sekarang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o o LU. (perhitungan luas menggunakan perangkat GIS).

TINJAUAN PUSTAKA. Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o o LU. (perhitungan luas menggunakan perangkat GIS). TINJAUAN PUSTAKA Daerah Aliran Sungai (DAS) Besitang Sekilas Tentang DAS Besitang Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o 45 04 o 22 44 LU dan 97 o 51 99 o 17 56 BT. Kawasan DAS Besitang melintasi

Lebih terperinci

SENSOR DAN PLATFORM. Kuliah ketiga ICD

SENSOR DAN PLATFORM. Kuliah ketiga ICD SENSOR DAN PLATFORM Kuliah ketiga ICD SENSOR Sensor adalah : alat perekam obyek bumi. Dipasang pada wahana (platform) Bertugas untuk merekam radiasi elektromagnetik yang merupakan hasil interaksi antara

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA Perilaku Kebakaran Perilaku kebakaran dapat didefenisikan sebagai cara dimana api di alam berkembang, bagaimana bahan bakar terbakar, perkembangan nyala api dan penyebaran api dan

Lebih terperinci

Sistem Infornasi Geografis, atau dalam bahasa Inggeris lebih dikenal dengan Geographic Information System, adalah suatu sistem berbasis komputer yang

Sistem Infornasi Geografis, atau dalam bahasa Inggeris lebih dikenal dengan Geographic Information System, adalah suatu sistem berbasis komputer yang Sistem Infornasi Geografis, atau dalam bahasa Inggeris lebih dikenal dengan Geographic Information System, adalah suatu sistem berbasis komputer yang digunakan untuk mengolah dan menyimpan data atau informasi

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran Ruang Lingkup Penelitian

METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran Ruang Lingkup Penelitian METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran Dalam rangka perumusan kebijakan, pembangunan wilayah sudah seharusnya mempertimbangkan pelaksanaan pembangunan yang berkelanjutan. Penelitian ini dilakukan atas dasar

Lebih terperinci

Mendeteksi Kebakaran Hutan Di Indonesia dari Format Data Raster

Mendeteksi Kebakaran Hutan Di Indonesia dari Format Data Raster Tugas kelompok Pengindraan jauh Mendeteksi Kebakaran Hutan Di Indonesia dari Format Data Raster Oleh Fitri Aini 0910952076 Fadilla Zennifa 0910951006 Winda Alvin 1010953048 Jurusan Teknik Elektro Fakultas

Lebih terperinci

III. METODOLOGI Waktu dan Lokasi Penelititan

III. METODOLOGI Waktu dan Lokasi Penelititan 10 III. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Lokasi Penelititan Kegiatan penelitian ini dilakukan di laboratorium dan di lapangan. Pengolahan citra digital dan analisis data statistik dilakukan di Bagian Perencanaan

Lebih terperinci

ix

ix DAFTAR ISI viii ix x DAFTAR TABEL Tabel 1.1. Emisivitas dari permukaan benda yang berbeda pada panjang gelombang 8 14 μm. 12 Tabel 1.2. Kesalahan suhu yang disebabkan oleh emisivitas objek pada suhu 288

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan dari bulan Juli sampai September 2011 di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Pengolahan data dilakukan di Laboratorium Analisis Lingkungan

Lebih terperinci

DETEKSI SEBARAN TITIK API PADA KEBAKARAN HUTAN GAMBUT MENGGUNAKAN GELOMBANG-SINGKAT DAN BACKPROPAGATION (STUDI KASUS KOTA DUMAI PROVINSI RIAU)

DETEKSI SEBARAN TITIK API PADA KEBAKARAN HUTAN GAMBUT MENGGUNAKAN GELOMBANG-SINGKAT DAN BACKPROPAGATION (STUDI KASUS KOTA DUMAI PROVINSI RIAU) TESIS DETEKSI SEBARAN TITIK API PADA KEBAKARAN HUTAN GAMBUT MENGGUNAKAN GELOMBANG-SINGKAT DAN BACKPROPAGATION (STUDI KASUS KOTA DUMAI PROVINSI RIAU) TRI HANDAYANI No. Mhs. : 125301914 PROGRAM STUDI MAGISTER

Lebih terperinci

ANALISIS PERUBAHAN TUTUPAN VEGETASI BERDASARKAN NILAI NDVI DAN FAKTOR BIOFISIK LAHAN DI CAGAR ALAM DOLOK SIBUAL-BUALI SKRIPSI

ANALISIS PERUBAHAN TUTUPAN VEGETASI BERDASARKAN NILAI NDVI DAN FAKTOR BIOFISIK LAHAN DI CAGAR ALAM DOLOK SIBUAL-BUALI SKRIPSI ANALISIS PERUBAHAN TUTUPAN VEGETASI BERDASARKAN NILAI NDVI DAN FAKTOR BIOFISIK LAHAN DI CAGAR ALAM DOLOK SIBUAL-BUALI SKRIPSI Oleh : Ardiansyah Putra 101201018 PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak pada pertemuan 3 (tiga) lempeng tektonik besar yaitu lempeng Indo-Australia, Eurasia dan Pasifik. Pada daerah pertemuan

Lebih terperinci

Sistem Informasi Geografis (SIG) Geographic Information System (SIG)

Sistem Informasi Geografis (SIG) Geographic Information System (SIG) Sistem Informasi Geografis (SIG) Geographic Information System (SIG) 24/09/2012 10:58 Sistem (komputer) yang mampu mengelola informasi spasial (keruangan), memiliki kemampuan memasukan (entry), menyimpan

Lebih terperinci

DINAMIKA PENGGUNAAN LAHAN DAN PERKEMBANGAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DI KABUPATEN KUBU RAYA DAN SANGGAU TAHUN

DINAMIKA PENGGUNAAN LAHAN DAN PERKEMBANGAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DI KABUPATEN KUBU RAYA DAN SANGGAU TAHUN DINAMIKA PENGGUNAAN LAHAN DAN PERKEMBANGAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DI KABUPATEN KUBU RAYA DAN SANGGAU TAHUN 1990-2013 Land Use Dynamics and Development of Oil Palm Plantation in Kubu Raya and Sanggau Regencies

Lebih terperinci

PEMANFAATAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) UNTUK PENATAGUNAAN LAHAN DI DAS ULAR SUMATERA UTARA

PEMANFAATAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) UNTUK PENATAGUNAAN LAHAN DI DAS ULAR SUMATERA UTARA 1 PEMANFAATAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) UNTUK PENATAGUNAAN LAHAN DI DAS ULAR SUMATERA UTARA SKRIPSI Oleh: Yan Alfred Sigalingging 061201030 Manajemen Hutan PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Banjir 2.2 Tipologi Kawasan Rawan Banjir

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Banjir 2.2 Tipologi Kawasan Rawan Banjir II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Banjir Banjir merupakan salah satu fenomena alam yang sering terjadi di berbagai wilayah. Richard (1995 dalam Suherlan 2001) mengartikan banjir dalam dua pengertian, yaitu : 1)

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Status administrasi dan wilayah secara administrasi lokasi penelitian

TINJAUAN PUSTAKA. Status administrasi dan wilayah secara administrasi lokasi penelitian TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Umum Lokasi Penelitian Status administrasi dan wilayah secara administrasi lokasi penelitian berada di kecamatan Lhoknga Kabupaten Aceh Besar. Kecamatan Lhoknga mempunyai 4 (empat)

Lebih terperinci

ISTILAH DI NEGARA LAIN

ISTILAH DI NEGARA LAIN Geografi PENGERTIAN Ilmu atau seni untuk memperoleh informasi tentang obyek, daerah atau gejala dengan jalan menganalisis data yang diperoleh dengan menggunakan alat tanpa kontak langsung terhadap obyek

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh didefinisikan sebagai proses perolehan informasi tentang suatu obyek tanpa adanya kontak fisik secara langsung dengan obyek tersebut (Rees, 2001;

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Interpretasi Visual Penggunaan Lahan Melalui Citra Landsat Interpretasi visual penggunaan lahan dengan menggunakan citra Landsat kombinasi band 542 (RGB) pada daerah penelitian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kebakaran Hutan 1. Definisi dan Tipe Kebakaran Hutan dan Lahan Kebakaran hutan adalah suatu kejadian dimana api melalap bahan bakar bervegetasi yang terjadi di kawasan hutan

Lebih terperinci

III METODOLOGI. 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

III METODOLOGI. 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan selama 9 bulan (Maret - November 2009), dan obyek penelitian difokuskan pada tiga kota, yaitu Kota Padang, Denpasar, dan Makassar.

Lebih terperinci

Perhitungan Potensi Energi Angin di Kalimantan Barat Irine Rahmani Utami Ar a), Muh. Ishak Jumarang a*, Apriansyah b

Perhitungan Potensi Energi Angin di Kalimantan Barat Irine Rahmani Utami Ar a), Muh. Ishak Jumarang a*, Apriansyah b Perhitungan Potensi Energi Angin di Kalimantan Barat Irine Rahmani Utami Ar a), Muh. Ishak Jumarang a*, Apriansyah b a Program Studi Fisika, FMIPA Universitas Tanjungpura, b Program Studi Ilmu Kelautan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bahan organik merupakan komponen tanah yang terbentuk dari jasad hidup (flora dan fauna) di tanah, perakaran tanaman hidup maupun mati yang sebagian terdekomposisi

Lebih terperinci

PEMETAAN POHON PLUS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT DENGAN TEKNOLOGI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS. Oleh MENDUT NURNINGSIH E

PEMETAAN POHON PLUS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT DENGAN TEKNOLOGI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS. Oleh MENDUT NURNINGSIH E PEMETAAN POHON PLUS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT DENGAN TEKNOLOGI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS Oleh MENDUT NURNINGSIH E01400022 DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

Pengertian Sistem Informasi Geografis

Pengertian Sistem Informasi Geografis Pengertian Sistem Informasi Geografis Sistem Informasi Geografis (Geographic Information System/GIS) yang selanjutnya akan disebut SIG merupakan sistem informasi berbasis komputer yang digunakan untuk

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM DAN OBYEK PENELITIAN

BAB IV GAMBARAN UMUM DAN OBYEK PENELITIAN BAB IV GAMBARAN UMUM DAN OBYEK PENELITIAN A. Kondisi Umum Provinsi Kalimantan Barat Provinsi Kalimantan Barat terletak di bagian barat pulau Kalimantan atau di antara garis 2 0 08 LU serta 3 0 02 LS serta

Lebih terperinci