BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN. V.1. Kesimpulan. a. Rerata berat testis tikus Wistar model DM tipe 2 yang diberi kuersetin tidak

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN. V.1. Kesimpulan. a. Rerata berat testis tikus Wistar model DM tipe 2 yang diberi kuersetin tidak"

Transkripsi

1 89 BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN V.1. Kesimpulan a. Rerata berat testis tikus Wistar model DM tipe 2 yang diberi kuersetin tidak lebih besar dibadingkan dengan tikus model DM tipe 2 yang tidak diberi kuersetin. b. Rerata kadar MDA jaringan testis tikus Wistar model DM tipe 2 yang diberi kuersetin 5mg/kgBB lebih rendah dibandingkan dengan tikus model DM tipe 2 yang tidak diberi kuersetin. c. Gambaran histologis jaringan testis tikus Wistar yang diberi kuersetin 5mg/kgBB lebih baik dibandingkan dengan yang tidak diberi kuersetin.. V.2. Saran Diperlukan pengkajiian lebih lanjut mengenai mekanisme terjadinya stres oksidatif dan mekanisme kuersetin menghambat proses stres oksidatif pada jaringan testis. V.3. Ringkasan V.3.1. Latar Belakang Diabetes mellitus (DM) adalah penyakit degeneratif yang merupakan salah satu masalah kesehatan di dunia. DM merupakan penyakit kelainan sistem endokrin utama yang dapat menimbulkan kematian (Hamden et al., 2009). Pada tahun 2000,

2 90 terdapat sekitar150 juta orang menderita diabetes di seluruh dunia dengan prediksi jumlah ini akan meningkat pada tahun 2025 (Zimmet et al, 2004). Diabetes Mellitus merupakan penyakit metabolik ditandai dengan adanya perubahan homeostasis karbohidrat yaitu hiperglikemia akibat kekurangan sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya. Kelalaian ini berakibat pada terganggunya metabolisme karbohidrat, protein dan lipid. Hiperglikemia kronis dari DM disertai dengan kerusakan, disfungsidan kegagalan pada organ terutama mata, ginjal, dan pembuluh darah(ada, 2012).DM juga mempengaruhi fungsi dari sistem reproduk spria. Kondisi hiperglikemia berkaitan erat dengan meningkatnya kerusakan jaringan dan gangguan fungsi organ reproduksi (Amaral et al., 2008). Testis merupakan salah satu jaringan yang peka terhadap peningkatan ROS. Akumulasi ROS dalam testis dapat menyebab kerusakan struktur dan fungsi sel-sel fungsional didalamnya (Diemer et al., 2009). Perubahan patologis pada siatem reproduksi pria akibat DM antara lain perubahan pada sel Leydig, tubulus seminiferus, tunika albugeniadan testis (Karaca et al.,2015). Peningkatan insidensi DM mellitus berhubungan dengan peningkatan insiden dari disfungsi ereksi, hipogonadisme dan infertilitas (Irisawa et al., 1966). Komplikasi DM pada organ reproduksi pria telah banyak ditemukan baik pada penderita maupun hewan coba. Komplikasi yang terjadi ini akibat munculnya gangguan aksis hyphotalamo-hypophyseo-gonadal system yang ditandai dengan penurunan kadar Luteinizing Hormone (LH). Komplikasi ini juga menyebabkan berbagai macam disfungsi seksual berupa disfungsi testikular, penurunan potensi fertilitas dan ejakulasi retrogade (Amaral et al., 2008).

3 91 Komplikasi ini juga mengakibatkan gangguan spermatogenesis berupa penurunan jumlah dan kualitas sperma. Selain itu terjadi degenerasi dan apoptosis sel-sel germinal (Cai et al., 2000). Pada beberapa penelitian disebutkan kerusakan suatu organ berasosiasi dengan peningkatan rective oxygen species (ROS) dari suatu organ. Hiperglikemia menyebabkan peningkatan ROS yang akan mengaktifkan jalur polyol, advanced glycation end products (AGEs), Protein Kinase C(PKC) dan jalur heksosamin. Keempat jalur ini akan menyebabkan kerusakan sel (Brownlee, 2005). ROS diproduksi secara terus menerus di dalam mitokondria sel. Peningkatan ROS terjadi akibat ketidakseimbangan antara produksi dan pembersihannya ( scavenging) oleh antioksidan endogen yang menyebabkan gangguan fungsi fisologis (Sikka, 1996). Stres oksidatif memainkan peran pada terjadinya komplikasi DM. Pada DM peroksidasi lipid yang diinduksi oleh glikasi protein dan autooksidasi glukosa dapat menyebabkan terbentuknya radikal bebas. Radikal bebas utama antara lain Superoksida( O 2 - ), hydroksil (OH - ) danperoksil (LOO - ). Free radikal bebas ini dapat menyebabkan kerusakan DNA, glikasi dan modifikasi reaksi protein, dan modifikasi oksidasi lipid pada penderita diabetes. Kerusakan akibat radikal bebas ini dapat diukur dengan pengukuran level MDA sebagai produk dari peroksidasi lipid. Peningkatan ROS pada penderita DM menyebabkan gangguan testikular (Amaral et al, 2008).

4 92 Diabetes melitus memerlukan manajemen yang baik, salah satunya dengan melakukan manajemen pada asupan makanan. Prinsip yang dapat dilakukan dalam manajemen asupan makanan yaitu mencapai dan mempertahankan kadar glukosa darah dalam keadaan optimal; mengurangi faktor resiko penyakit kardiovaskular termasuk dislipidemia dan hipertensi; serta asupan nutrisi yang seimbang (IDF, 2005). Selain itu, penelitian klinis telah membuka pengetahuan baru mengenai peran stres oksidatif dalam komplikasi DM. Hal ini mendorong pendekatan inovatif dan berbeda yang memungkinkan penggunaan terapi antioksidan. Antioksidan ini dapat mengurangi stres oksidatif pada penderita DM serta menangkap radikal bebas (Widowati, 2008). Kuersetin merupakan kelompok senyawa flavonol dari 6 subkelas senyawa flavonoid. Flavonoid adalah kelompok senyawa pada tanaman yang memiliki struktur molekul flavon yang sama. Senyawa flavinoid dapat berupa aglikan, glikosida dan derivat dari metilasi ( Lakhanpa let.al., 2007). Flavonoid termasuk senyawa fitoestrogen yang banyak digunakan dalam memperbaiki disfungsi vaskular (Nilsson et al., 2001;Chen et al., 1990).Molekul flavon terdiri atas 3 cincin dengan gugus hidroksil (OH) yang terikat pada salah satu cincin.substitusi pada molekul ini menghasilkan berbagai subkelas flavonoid dan senyawa yang berbeda.flavonol banyak ditemukan pada sayur dan buah-buahan (Kelly, 2011).

5 93 V.3.2. Tinjauan Pustaka Diabetes mellitus (DM) merupakan suatu kelainan metabolik kronik ditandaidenganhiperglikemia menetap akibat gangguan sekresi insulin, sensitivitas insulin atau kelainan pada keduanya(codario, 2005). Berdasarkan etiologi DM dibagi dalam empat kelompok yaitu DM tipe 1, DM tipe 2, DM pada kehamilan dan DM tipe lain (genetik, infeksi atau obat). Klasifikasi DM menurut WHO Study Group tahun 1985 (Alberti et al., 1997) adalah : a. Berdasarkan gejala klinis dibagi menjadi: DM tipe I atau insulin-dependent diabetes mellitus (IDDM), DM tipe II atau non insulin-dependent diabetes mellitus (NIDDM) dengan obesitas dan tanpa obesitas. b. DM dengan malnurisi ( Malnutrition Related Diabetic Mellitus (MRDM)) yang disebabkan oleh kurang gizi, kelainan pankreas dan kekurangan protein dalam pankreas. c. DM secara medis dibagi menjadi : DM terkait sindrom tertentu seperti penyakit pankreas atau gangguan hormonal yang disebabkan oleh zat kimia atau kelainan genetik. d. Gangguan toleransi glukosa (GTG) yang ditandai oleh tidak obesitas atau obesitas terkait sindrom genetik atau penyakit keturunan. e. DM gestasional yaitu kelainan hiperglikemi yang terjadi pada saat kehamilan dan sebelum hamil kadar gula darah normal. DM tipe 2 merupakan DM yang paling sering terjadi, populasinya terus bertambah dan dinyatakan sebagai epidemi global (ADA, 2011). DM tipe 2 atau dikenal

6 94 sebagai non insulin-dependent diabetes mellitus merupakan suatu kelainan yang ditandai dengan resistensi insulin dan defisisensi insulin relatif akibat disfungsi sel beta pankreas. Insulin memegang peranan penting metabolisme, terutama melalui perannya dalam meregulaasi lebih dari 150 gen yang berperan dalam regulasi metabolisme. Insulin disekresi sebagai respon terhadap peeningkatan glukosa darah.akan tetapi peran insulin gtidak hanya terkait pada metabolisme karbohidrat.insulin juga berperan dalam ketekaitan ( interrelationship) metabolisme karbohidrat, lipid dan protein.(nelson dan Cox, 2008). Resistensi insulin pada DM tipe 2 dapat terjadi di tingkat reseptor atau dislah satu jalur sinyal interaksi insulin dengan reseptor. Pada DM tipe 2 jarang terjadi defek kualitatoif ataupun kuantitatif pada reseptor insulin. Polimorfisme pada insulin receptor substrat1 (IRS-1) diperkirakan berhubungan dengan intoleransi glukosa dan meningkatkan kemungkinan bahwa polimorfisme dalam berbagai molekul reseptor dapat menyebabkan resistensi insulin. Patogenesis resistensi insulin terutama diduga karena defek sinyal PI-3-Kinase yang menurunkan translokasi GLUT4 pada membran plasma. Asam lemak bebas menurunkan ambilan glukosa pada adiposit dan otot serta meningkatkan pengeluaran glukosa dari hepar yang dapat meningkatkan resistensi insulin (Thevenod, 2008). Stres oksidatif karena peningkatan ROS di mitokondria merupakan salah salah satu penyebab terjadinya resistensi insulin. Stres oksidatif akan mengganggu jalur sinyal insulin melalui status reduksi oksidasi yang tidak seimbang (Shrada and Sisodia, 2010). Komplikasi diabetes merupakan penyebab kesakitan dan kematian. Keadaan hiperglikemia kronik menyeababkan komplikasi baik mikro maupun makrovaskuler. Komplikasi DM pada organ reproduksi pria telah banyak ditemukan baik pada penderita (Sugiri, 2007; Evans et a., 2002) maupun pada hewan

7 95 coba wright et al., 1982; Navarro et al., 2010). Perubahan patologik jaringan testis dalam keadaan DM ditemukan pada tunika albugenia, tubulus seminiferus dan jaringan ikat intersisial dan sel-sel-leydig. Perubahan patologis ini berupa edema, kongesti, hemoragi, dan nekrosis jaringan testis ( Ozdemiret al., 2009).Fungsi reproduksi pada pria dapat dibagi menjadi tiga subdivisi utama : pertama, spermatogenesis, yang berarti hanya pembentukan sperma ; kedua, kinerja kegiatan seksual pria ; dan ketiga, pengaturan fungsi reproduksi pria oleh berbagai hormon. Fungsi reproduksi ini disertai oleh pengaruh hormon kelamin pria terhadap organ kelamin tambahan pria, pada metabolisme sel, pada pertumbuhan, dan pada fungsi tubuh yang lain (Guyton and Hall, 2008). Fungsi testis selain tempat sintesis hormon adalah tempat terjadinya spermatogenesis. Spermatogenesis adalah proses komplek yang diregulasi oleh faktor endokrin dan faktor parakrin testiskular. Spermatogenesis terjadi pada tubulus seminiferus dalam lobulus testis. Spermatogenesis dimulai saat pubertas. Proses spermatogenesis dimulai dari proses proliferasi dan diferensiasi spermatogonia menjadi spermatozoa. Tahapan ini dimulai dari diferensiasi stem cell spermatogonia dan dilanjutkan pada tahap spermatogonia serta meosis spermatosit untuk membentuk round spermatid. Spermatogenesis dapat dibagi menjadi tiga fase yaitu (a) proliferasi mitosis untuk menghasilkan sel dalam jumlah banyak (spermatositogenesis), (b) pembelahan meiosis untuk menghasilkan sel yang bebeda secara genetik (spermatidogenesis), (c) transformasi round spermatid menjadi struktur komplek spermatozoa (spermiogenesis) (Sadler, 2010; 2004; Huleilel and lunenfeld, 2004; Tienhoven, 1983). Pada manusia spermatogenesis membutuhkan waktu sekitar hari hanya untuk pematangan testikular dari spermatozoa. Spermatozoa memerlukan waktu sekitar

8 hari untuk transit di epididimis. Secara keseluruhan spermatozoa memerlukan hari untuk matang dan saat diejakulasikan mampu dalam proses fertilisasi (Guyton and Hall, 2008). Stres oksidatif pada jaringan testikular akan menyebabkan beragai gangguan seperti hipospermatogenesis akibat meningkatnya apoptosis sel-sel germinal (Turner et al., 2008). Stres oksidatif pada sistem reproduksi berakibat pada jumlah dan kualitas sperma. Tingkat ROS pada cairan semen yang tinggi mempunyai efek toksik terhadap kualitas dan fungsi sperma. Tingginya produksi ROS pada cairan semen berkaitan dengan penurunan motolitas sperma, gangguan reaksi akrosom, dan hilangnya fertilitas dari sperma. Gangguan-gangguan akibat peningkatan ROS dipengaruhi pada sifat, jumlah dan lama paparan ROS. Kerusakan akibat tingginya ROS juga disebabkan oleh faktor lingkungan seperti tekanan oksigen, suhu, serta konsentrasi komponen molekul sperti ion, protein dan ROS scavenger (Agarwal and Saleh, 2002). Konsentrasi hidrogen peroksida yang rendah tidak mempengaruhi motilitas dari sperma akan tetapi menekan kompetensi sperma selama fusi oosit dan sperma (Aitken et al., 1993). Penurunan motilitas merupakan akibat dari peroksidasi lipid (LPO) membran plasma yang kemudian mempengaruhi axonemal protein phosphorilation dan immobilisasi sperma (De Lamirande and Gagnon, 1999). Dari berbagai penelitian menunjukkan kuersetin mempunya berbagai fungsi antara lain sebagai anti bakteri, antiviral, anti karsinogen, anti inflamasi (Naidu, 2012).Selain itu kuersetin mempunyai efek antioksidan dan antinoceptif (pain -relieving) (Kelly, 2011). Kuersetin merupakan flavonol yang bersifat antioksidan dan antiinflamasi yang mampu menghambat pembentukan ROS pada sistem reproduksi sebagai penyebab kerusakan testikular yang

9 97 berakibat penurunan kualitas sperma dan kadar tertosteron intratestikular (Taepongsorat et al., 2008). Glibenklamid merupakan Obat Hipoglikemik Oral (OHO) golongan sulfonilurea yang hanya digunakan untuk mengobati individu dengan DM tipe II. Obat golongan ini menstimulasi sel beta pankreas untuk melepaskan insulin yang tersimpan. Mekanisme kerja obat golongan sulfonilurea dengan cara menstimulasi pelepasan insulin yang tersimpan (storedinsulin) dan meningkatkan sekresi insulin akibat rangsangan glukosa (Soegondo, 2005). Efek samping OHO golongan sulfonilurea umumnya ringan dan frekuensinya rendah, antara lain gangguan saluran cerna dan gangguan susunan syaraf pusat. Golongan sulfonilurea cenderung meningkatkan berat badan.bila pemberian dihentikan, obat akan bersih dari serum sesudah 36 jam (Soegondo, 2005). Glibenklamid mempunyai efek antioksidan. Akan tetapi sebuah penelitian yg membendingkan efek kuersetin dan metformin pada penderita DM tipe 2 menyebutkan bahwa glibenklamid tidak signifikan dalam menurunkan kadar MDA (Abdulkadir and Thanoon, 2012). Selain itu penelitian lain menyebutkan bahwa glibenklamid mempunyai efek toksik pada berbagai organ termasuk organ reproduksi (Adaramoye et al., 2012). V.3.3. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental murni dengan desain post test only control group design, membandingkan kelompok tikus DM tipe 2 yang diberi kuersetin, kuersetin-glibenklamid, glibenklamid, tikus DM (kontrol positif), dan tikus sehat (kontrol negatif).

10 98 Hewan coba sebanyak 45 ekor tikus Wistar jantan dengan usia 8-10 minggu dan berat g dimasukkan ke dalam kandang plastik serta dilakukan adaptasi selama 1 minggu di Laboratorium PAU UGM kemudian dibagi dalam 9 kelompok.pakan yang digunakan selama masa adaptasi adalah AIN93 M modifikasi.pemberian pakan diberikan secara bertahap dengan pakan standar. Setelah adaptasi hewan dicoba dipuasakan selama 12 jam ( overnight). Setelah 12 jam, diukur kadarglukosa darah puasa. Tikus diambil 2 ekor secara acak pada setiap kelompok.jika tikusnya sehat, untuk kelompok 2-7 diinduksi DM tipe 2. Tikus diinjeksi STZ secara i.p dengan dosis 60 mg/kg BB yang dilarutkan dalam 3 mlbuffer sitrat ph 4,5 dingin. Setelah 15 menit pemberian STZ, tikus diinjeksina secara i.p dengan dosis 120 mg/kg BB yang dilarutkan dalam 3 ml larutan NaCl 0,9%. Untuk mengonfirmasi DM, kadar glukosa darah puasa diperiksa pada hari ke-7 setelah penyuntikan STZ-NA.Kadar glukosa darah puasa diukur dengan metode glucose oxidase-peroxidase (GOD-PAP) menggunakan spektrofotometer. Tikus dinyatakan diabetes apabilakadar glukosa darah puasa 126 mg/dl (Barik et al., 2008). Untuk mengantisipasi terjadi hiperlikemi pada tikus pasca induksi STZ- NA, disiapkan larutan dekstrosa 5%.Jika glukosa darah sewaktu (GDS) <60 mg/dl),diberikan larutan dekstrosa 5% agar tidak terjadi kematian tikus akibat hiperglikemi.kuersetin dan glibenklamid diberikan kepada K3, K4, K5, K6, dan K7, K8 dan K9 setiap hari selama 28 hari per-sondase (Czerny et al., 2000). Dosis yang diberikan pada K3 kuersetin 5 mg/kg BB, K4 kuersetin 20 mg/kg BB, K5 kuersetin 80

11 99 mg/kg BB, K6 pemberian kuersetin 5 mg/kg BB dan glibenklamid 5 mg/kg BB, dan K7 kelompok diberi kuersetin 20mg/kg BB dan glibenklamid 5 mg/kgbb,k9 pemberian glibenklamid 5 mg/kg BB. Kuersetin diberikan dalam 2 ml Na-CMC 0,5% untuk semua perlakuan. Untuk K1 dan K2 diberikan larutan vehicle Na-CMC 0,5% tanpa kuersetin. Glukosa darah puasa diukur pada hari ke-21 pemberian kuersetin untuk mengontrol efek kuersetin. Setelah 35 hari pemberian kuersetin, dilakukan pengukuran kadar glukosa darah puasa, dekapitasi dan pengukuran pengambilan organ testis. Preparat histologist dibuat dengan metode parafin serta pewarnaan menggunakan larutan Mayer s Hemotoxylin Eosin dengan tahapan sebagai berikut. 1. Fiksasi Fiksasi dilakukan dengan merendam preparat ke dalam larutan Neutral buffered formalin (NBF) minimal selama 48 jam. 2. Washing (pencucian) Dari larutan formalin dicuci dengan larutan alkohol 70% I (30 menit) dan larutan alkohol 70% II (30 menit) untuk menghilangkan larutan fiksatif. 3. Dehidrasi Dehidrasi dilakukan menggunakan alkohol secara bertingkat, berfungsi untuk menarik air yang masih terdapat di dalam jaringan.proses ini dilakukan dengan merendam sampel jaringan ke dalam alkohol 80%, 90% dan 100% I dan II masingmasing selama 30 menit.

12 Clearing (penjernihan) Penjernihan berfungsi untuk menarik alkohol (dealkoholisasi) sehingga pre parat tampak transparan. Penjernihan dilakukan secara bertahap dengan urutan alkohol : xylol = 3 : 1 selama 30 menit, alkohol : xylol = 1 : 1 selama 30 menit. Alkohol : xylol = 1 : 3 selama 30 menit, xylol murni 1 selama 30 menit dan xylol murni II selama 30 menit. 5. Infliltrasi parafin Infiltrasi parafin dilakukan dengan urutan xylol : parafin = 3 : 1 selama 30 menit, xylol : parafin = 1 : 1 selama 30 menit, xylol : parafin = 1 : 3 selama 30 menit, parafin murni I selama 30 menit dan parafin II selama 30 menit. Titik cair parafin yang digunakan adalah C dan proses ini dilakukan di dalam inkubator pada suhu C. 6. Embedding Pewarnaan jaringan pada parafin yaitu dengan menyiapkan cetakan dari kotak kotak karton, kemudian cetakan karton diisi dengan parafin cair.parafin cair yang ada dalam cetakan diletakkan sesaat di atas balok es sehingga bagian bawah dari parafin tersebut agak memadat.preparat dimasukkan ke dalam parafin cair pada cetakan karton dan diatur letaknya sesuai dengan tujuan pengirisan, kemudian pada permukaan parafin diletakkan kayu pemegang ( holder) yang sudah diberi kode sesuai dengan nomor kode sampel/spesimen.parafin lalu diletakkan kembali di atas balok es sehingga parafin membeku secara sempurna. 7. Sectioning (pengirisan)

13 101 Bidang permukaan balok parafin yang mengandung preparat dapat dikurangi panjang dan lebarnya sebelum dilakukan pengirisan, sehingga organ berada 3-5 mm dari tepi. Holder (pemegang) dipasang pada rotary microtome dan diiris dengan ketebalan 6 um. 8. Afixing (penempelan irisan jaringan pada gelas benda) Pita irisan ditempelkan, pita irisan dicelupkan dalam air hangat supaya dalam penempelan irisan rapi dan tidak berkerut.penempelan diatur sedemikian rupa sehingga pada setiap object glass tertempel beberapa irisan. Sampel kemudian dikeringkan di dalam temperatur ruang (± 25 o C) selama 24 jam agar preparat dapat melekat lebih baik. Irisan yang telah menempel pada object glass disimpan dalam kotak penyimpanan bila pewarnaan tidak dilakukan secara langsung. 9. Staining (pewarnaan irisan jaringan) Lakukan deparafinasi (penghilangan parafin yang terdapat dalam jaringan) sebelum pewarnaan, dengan cara preparat yang telah dilekatkan pada gelas benda dicelupkan dalam xylol murni 2 x 5 menit. Lalu lakukan rehidrasi dalam larutan alkohol bertingkat yang terdiri atas alkohol absolut (100%) 2x, alkohol 90%, alkohol 80%, alkohol 70% masing-masing 30 celupan dan akuades 30 celupan hingga tampak jernih. Sampel yang sudah dideparafinasi dan direhidrasi, direndam dalam larutan Mayer s Hematoxylin selama 10 menit kemudian dicuci dengan air mengalir selama 1 menit. Selanjutnya jaringan dicelupkan dalam air Scott selama 8-10 celupan, diikuti pencucian dalam air mengaalir selama 1 menit. Sampel kemudian dicelupkan ke dalam larutan Eosin selama 2 menit dan

14 102 dicuci beberapa saat dalam air mengalir dan selanjutnya didehidrasi dalam larutan alkohol bertingkat mulai dari 70%, 80%, 90%, 100% 2x masing-masing 30 celupan. Sampel dijernihkan dalam larutan xylol murni 2 x 2 menit dan ditutup dengan gelas penutup menggunakan perekat entelan new. 10. Labelling Sedian histologis yang telah diwarnai dan ditututp dengan entelan new kemudian diberi label sesuai dengan nomor kode sampel. 11. Pengamatan Sediaan histologis tersebut kemudian diamati menggunakan mikroskop cahaya dengan perbesaran 100x dan 400x. Hasil pengamatan difoto menggunakan kamera yang dihubungkan dengan mikroskop.berat jaringan testis yang telah dipisahkan dari jaringan sekitarnya. Berat testis kanan dan kiri ditimbang dengan menggunakan timbangan digital dan dinyatakan dalam gram. Diameter tubulus seminiferus dan tebal lapisan tubulus seminiferus diukur dengan mengambil gambar tubulus seminiferus dari preparat sediaan jaringan testis menggunakan optilab. Hasil foto tubulus seminiferus diukur dengan Obtilab Image Raster dan akan muncul tampilan skala. Pangkal ruler signer diposisikan pada

15 103 membran basalis salah satu tepi tubulus seminiferus dan diarahkan ke sisi tubulus seminiferus sisi seberang. Apabila tubulus seminiferus tidak berbentuk bulat utuh maka untuk mendapatkan nilai diameter tubulus seminiferus panjang kedua sisi diamater terpanjang dan diameter terpendek dibagi dua. Tebal lapisan tubulus seminiferus diukur dengan mengarahkan ruler dari membran basal ke arah lumen. Untuk menghitung sel-sel spermatogenik, preparat jatingan testis tikus Wistar diletakkan pada meja objek mikroskop dan diamati dengan lensa ojektif perbesaran 400X. Kemudian sel-sel spermatogenik dihitung menggunakan counter. penghitungan jumlah spermatogonium, spermatosit primer dan spermatid yang terdapat pada tubulus seminiferus pada 5 lapang pandang. Spermatogonium terdapat ditepi membrana basalis dengan inti oval dan kromatin berbentuk granula kecil. Spermatosit primer lebih mudah dan jelas diamati karena sel lebih besar, sitoplasma dan inti besar. Spermatid berupa sel yang berbentuk panjang menuju kearah lumen dari tubulus seminiferus Pemeriksaan kadar MDA testis dilakukan dengan metode TBARS. Sebanyak 1 gram jaringanh testis dihancurkan kemudian di campur dengan 9,0 ml KCl 1,15% dalam teflon Potter-Elvehjem homogenizer. Homogenat testis sebanyak 0,2 ml ditambahkan 0,2 ml sodium dodecyl sulfat 8,1 % dan larutan asam asetat 20 % sebanyak 1,5 ml kemudian ditambahkan NaOH sanpai ph 3,5 dan 0,8 % larutan thiobarbituric acid sebanyak 1,5 ml. Campuran tersebut diecerkan dengan air hingga volumenya 4,0 ml dan dipanaskan pada suhu 95 o C selama 60 menit. Kemudian didinginkan dan ditambahkan 1 ml air dan 5,0 campuran butanol dan piridin. Campuran disentrifugasi pada kecepatan 4000 rpm selama 10 menit. Lapisan organik diambil dan absorbannya dibaca dengan spektrofotometer dengan panjang gelombang

16 nm. Sebagai standar dipakai 1,1,3,3-tetramethoypropan. Nilai TBARS dinyatakan dalam nmol/ml. Pemeriksaan kadar MDA testis dilakukan dengan metode TBARS. Sebanyak 1 gram jaringanh testis dihancurkan kemudian di campur dengan 9,0 ml KCl 1,15% dalam teflon Potter-Elvehjem homogenizer. Homogenat testis sebanyak 0,2 ml ditambahkan 0,2 ml sodium dodecyl sulfat 8,1 % dan larutan asam asetat 20 % sebanyak 1,5 ml kemudian ditambahkan NaOH sanpai ph 3,5 dan 0,8 % larutan thiobarbituric acid sebanyak 1,5 ml. Campuran tersebut diecerkan dengan air hingga volumenya 4,0 ml dan dipanaskan pada suhu 95 o C selama 60 menit. Kemudian didinginkan dan ditambahkan 1 ml air dan 5,0 campuran butanol dan piridin. Campuran disentrifugasi pada kecepatan 4000 rpm selama 10 menit.lapisan organik diambil dan absorbannya dibaca dengan spektrofotometer dengan panjang gelombang 532nm. Sebagai standar dipakai 1,1,3,3-tetramethoypropan. Nilai TBARS dinyatakan dalam nmol/ml. Data dari hasil penelitian akan dianalisis menggunakan program analisis statistik. Data diuji normalitasnya kemudian apabila data terdistribusi normal maka dilakukan menggunakan uji statistik ANOVA.Jika analisis ANOVA menunjukkan hasil yang signifikan atau perbedaan yang bermakna antara kelompok secara statsitik yaitu dengan nilai p < 0,05 maka dilanjutkan dengan post hoc tests Highest Significant Difference (HSD) untuk mengetahui tingkat perbedaan antara kelompok. Jika data tidak terdistribusi normal diuji dengan Kruskal Wallis

17 105 V.3.4. Hasil dan Pembahasan Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh kuersetin terhadap sistem reproduksi tikus model DM tipe II. Penelitian ini dilakukan pada 45 tikus Wistar jantan yang dibagi kedalam 9 kelompok yaitu normal ( K1), DM tipe 2 ( K2), perlakuan kuersetin mg/kgbb ( K3), kuersetin 20mg/kgBB ( K4), kuersetin 80mg/kgBB ( K5), kombinasi kuersertin 5mg/kgBB dengan glibenklamid ( K6), kombinasi kuersertin 20mg/kgBB dengan glibenklamid ( K7), kombinasi kuersertin 80mg/kgBB dengan glibenklamid (K8), dan glibenklamid 5mg/kgBB (K9). Berdasarkan hasil uji Post Hoc Highest Significance Difference (HSD) perbedaan bermakna berat testis ditemukan antara kelompok glibenklamide 5 mg/kgbb dengan kelompok normal, DM, perlakuan kuersetin 5mg/kgBB, dan kombinasi kuersetin 5mg/kgBB dengan glibenklamid 5mg/kgBB (p<0,05). Sedangkan perbedaan berat testis antar kelompok yang lain tidak menunjukkan perbedaan bermakna (p>0,05). Hal ini berarti bahwa pemberian glibenklamid 5mg/kgBB memberikan efek samping terhadap berat testis dibandingkan kondisi normal. Kelompok DM mempunya rerata berat testis paling tinggi. Berdasarkan penelitian ini didapatkan berat rerata tertinggi testis terdapat pada kelompok DM. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan dengan hasil penelitian sebelumnya. DM menyebabkan terjadinya kerusakan testikuler dan epididimis, penurunan berat testis, penurunan diameter tubulus seminiferus, peningkatan jumlah tubulus seminiferus yang kosong dan peningkatan densitas vaskuler (cai et al., 2000; Arikawe et al., 2012). Penelitian Navaro et al. (2010) mengenai efek diabetes pada kesuburan tikus Sprague dawley menunjukkan

18 106 penurunan berat testis dan berat epididimis, peningkatan secara signifikan teratozoospermia, penurunan testosteron serum dan penuruna tubulus seminiferus (Navaro et al., 2010). Pengukuran berat testis sebenarnya tidak dapat menjadi acuan terjadinnya kerusakan. Yang perlu diukur dari berat testis adalah berat testis sebelum dan sesudah terjadinya DM. Kadar MDA diukur dalam satuan nmol/ml. Hasil rerata rerata kadar MDA tertinggi pada kelompok diabetes yaitu (8,05±0,38 nmol/ml), diikuti kelompok kombinasi kuersetin 5mg/kgBB dengan glibenklamid 5mg/kgBB (5,30±0,22nmol/mL), kuersetin 20mg/kgBB (4,74±0,66nmol/mL), kombinasi kuersetin 20mg/kgBB dengan glibenklamid 5 mg/kgbb (4,48±0,28nmol/mL), kuersetin 80mg/kgBB (4,03±0,12nmol/mL), kombinasi kuersetin 80mg/kgBB dengan glibenklamid 5 mg/kgbb (3,43±1,21nmol/mL), kuersetin 5mg/kgBB (3,08±0,17nmol/mL), dan glibenklamid 5mg/kgBB (2,79±0,38nmol/mL). Reratakadar MDA terendah pada kelompok normal (2,05±0,41 yaitu nmol/ml). Berdasarkan hasil uji Post Hoc Highest Significance Difference (HSD) tidak terdapat perbedaan bermakna kadar MDA antar kelompok normal dengan kuersetin 5mg/kgBB dan glibenklamid 5mg/kgBB (p>0,05) yang berarti bahwa pemberian kuersetin 5mg/kgBB dan glibenklamid 5mg/kgBB memberikan efek terbaik dalam penurunan kadar MDA. Hal ini sesuai dengan penelitian chugh et al. (2001) yang menyatakan bahwa glibenklamid dengan dosis 5 mg/kgbb selama 4 minggu dapat menurunkan kadar MDA. Mekanisme glibenklamid dalam menurunkan peroksidasi lipid adalah dengan kemampuannya menurunkan hiperglikemi (Chugh et al., 2001).

19 107 Kuersetin dapat menurunkan peroksidasi lipid karena kemampuannya menangkap radikal bebas secara langsung maupun kemampuannya dalam membantu peningkatan aktivitas enzim-enzin antioksidan (Kelly, 2011). Kelompok DM berbeda bermakna dengan semua kelompok perlakuan yang lain (p<0,05) yang berarti pemberian kuersetin, glibenklamid, maupun kombinasi memberikan efek yang lebih baik dibandingkan pada kelompok diabetes yang tidak diberikan perlakuan. Dari penelitian ini juga diketahui bahwa kombinasi kuersetin dan glibenklamid tidak lebih baik dalam menurunkan kadar MDA testis jika dibandingkan dengan perlakuan kuersetin atau glibenklamid saja. Antioksidan kimiawi seperti kuersetin seperti pedang mata dua. Pertama saat bahan tereduksi menjadi radikal, maka derivat radikalnya juga terbentuk. Akibatnya radikal tidak stabil yang terbentuk dapat menyebabkan reaksi berantai. Kedua, bahan yang tereduksi dapat mereduksi oksigen menjadi superoksida atau peroksida yang merupakan peroksida hidroksil dalam reaksi autoksidasi (Kurnia et al., 2011). Dari hasil pengukuran kadar MDA dapat diketahui bahwa kuersetin maupun glibenklamid mempunyai pengaruh dalam menurunkan kadar MDA. Glibenklamid sebagai obat yang sering digunakan oleh penderita diabetes mempunyai efek antioksidan (Abduldulkadir, 2012). Proses spermatogenesis dan produksi testosteron terjadi di testis. Kapsula testis teridiri dari tiga lapisan yaitu tunika vaginalis, tunika albuginea, dan tunika vaskulosa (terdiri dari kapsul testikular).perluasan tunika albuginea berupa septumseptum fibrosa membentuk sekitar 250 lobulus piramidalis yang masing-masing

20 108 membentuk tubulus seminiferus. Tubulus seminiferus beranastomose dengan tubulus seminiferus didekatnya. Tubulus seminiferus pada orang dewasa normal tersusun dari sel-sel Sertoli dan sel epitel, memiliki diameter µm, rata-rata µm, tebal sel germinal 80 µm dan tebal lamina propia 8µm. Epitel germinal pada tubulus seminiferus terdiri dari sel-sel yang dalam perkembangannya berdeferensiasi meliputi spermatogonia, spermatosit primer, spermatosit sekunder, dan spermatid (Holstein et al., 2003). Pada penelitian ini diketahui bahwa rerata diameter tubulus seminiferus tertinggi pada kelompok DM ( 314,31±42,48 µm), diikuti kelompok kuersetin 5mg/kgBB yaitu (310,42±34,35µm), kuersetin 20mg/kgBB (261,09±27,81µm), kuersetin 80mg/kgBB (244,96±26,53µm), kombinasi kuersetin 5mg/kgBB dengan glibenklamid 5mg/kgBB (234,84±28,06µm), normal (225,50±14,62µm), kombinasi kuersetin 80mg/kgBB dengan glibenklamid 5mg/kgBB (221,53±24,72µm), kombinasi kuersetin 20mg/kgBB dengan glibenklamid 5mg/kgBB (179,77±20,08µm). Sedangkan kelompok glibenklamid memiliki rerata diameter tubulus seminiferus terendah (153,38±26,78µm). Rerata tebal epitel tubulus seminiferus tertinggi pada kelompok normal (88,98±16,83µm), diikuti kelompok kuersetin 5mg/kgBB yaitu (74,44±18,41µm), kombinasi kuersetin 5mg/kgBB dengan glibendklamid 5mg/kgBB (68,34±14,57), kuersetin 5mg/kgBB (68,32±9,01µm), DM(62,38±10,45µm), kuersetin 80mg/kgBB (48,44±14,69), glibenklamid 5mg/kgBB (37,72±9,96), kombinasi kuersetin 20mg/kgBB dengan glibenklamid 5mg/kgBB (24,66±10,88µm). Sedangkankelompok kombinasi kuersetin 80

21 109 mg/kgbb glibenklamid 5mg/kgBB memiliki rerata tebal epitel tubulus seminiferus terendah (12,26±12,98µm). Penurunan diameter tubulus seminiferus dan penurunan tebal lapisan epitel tubulus seminiferus dapat diasumsikan sebagai akibat dari terganggunya proses spermatogenesis. Sel-sel spermatogenik yang menyusun sebagian besar tubulus seiniferus mengalami penurunan jumlahnya akibat nekrosis ataupun degenerasi selsel pada tubulus seminiferus. Berdasarkan penelitian ini diketahui bahwa jumlah spermatogonium tertinggi pada kelompok normal (25,60±3,78), diikuti kelompok kuersetin 5mg/kgBB yaitu (23,00±3,24), glibenklamid (17,00±2,34), kuersetin 20mg/kgBB (12,20±3,56), DM (11,60±3,36), kombinasi kuersetin 5mg/kgBB dengan glibendklamid 5mg/kgBB (9,00±2,00), kuersetin 80 mg/kgbb (8,80±2,28), kombinasi kuersetin 20mg/kgBB dengan glibenklamid 5mg/kgBB (6,00±4,15). Sedangkankelompok kombinasi kuersetin 80 mg/kgbb glibenklamid 5mg/kgBB memiliki jumlah spermatogonium terendah (4,60±4,15).Rerata spermatosit primer tertinggi terdapat pada kelompok tikus Wistar normal (K1) yaitu 34,60±3,71, diikuti kelompok pemberian kuer setin 5mg/kgBB (31,20±7,66), kuersetin 5mg/kgBB dengan glibenklamid 5mg/kgBB (19,00±8,60), kuersetin 20mg/kgBB (18,20±5,07), kelompok DM (15,40±6,07). Sedangkan kelompok kuersetin 80mg/kgBB, kombinasi kuersetin 80mg/kgBb dengan glibenklamid 5mg/kgBB, dan kuersetin 20mg/kgBB dengan glibenklamid 5 mg/kgbb tidak memiliki spermatosit primer. Berdasarkan hasil uji Post Hoc Highest Significance Difference (HSD) tidak terdapat perbedaan bermakna spermatosit antar kelompok normal dengan kuersetin

22 110 5mg/kgBB (p>0,05) dan berbeda bermakna dengan kelompok lainnya (p<0,05). Sedangkan kelompok diabetes tidak berbeda bermakna dengan kuersetin 20mg/kgBB, kombinasi kuersetin 5mg/kgBB dengan glibenklamid, dan glibenklamid dan berbeda bermakna dengan perlakuan yang lain (p<0,0 5). Pemberian kuersetin 5mg/kgBB memberikan efek terbaik terhadap spermatosit primer yaitu tidak menunjukkan perbedaan bermakna dengan kelompok normal. Pada Penelitian ini juga diketahui bahwa rerata jumlah spermatid tertinggi pada kelompok normal (61,80±3,70), diikuti kelompok kuersetin 5mg/kgBB (56,20±5,26), kuersetin 20mg/kgBB (11,00±5,09), DM(6,80±2,77), dan glibenklamid (1,20±1,30) sedangkan kelompok kuersetin 80mg/kgBB dan kombinasi kuersetin dengan glibenklamid 5mg/kgBB tidak memiliki spermatid. Dari penelitian ini dapat diketahui bahwa pemberian kuersetin 5 mg/kgbb mempunyai efek lebih baik terhadap struktur histologis tubulus seminiferus pada jaringan testis tikus Wistar. Hal ini dapat diketahui dengan diameter, tebal tubulus seminiferus dan sel spermatogenik didalam tubulus seminiferus. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian kuersetin 5 mg/kgbb mempunyai pengaruh paling baik terhadap perlindungan kerusakan jaringan testis. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa pemberian kuersetin dengan dosis lebih tinggi menyebabkan kerusakan jaringan testis yang lebih buruk. Tubulus seminiferus terdiri dari sejumlah besar sel-sel epitel germinal yang disebut spermatogonia, terletak dalam 2-3 lapisan sepanjang batas luar epitel tubulus. Spermatogonia terus menerus berproliferasi untuk memperbanyak diri dan berdeferensiasia melalui tahap-tahap perkembangan tertentu untuk menghasilkan

23 111 spermatozoa. Gambaran histologi testis tikus normal (K1) dapat dilihat adanya asosiasi sel-sel spermatogenik tersusun berlapis sesuai dengan tingkat perkembangannya menuju kearah lumen yaitu spermatogonia, spermatosit, spermatid, lumen tampak penuh. Ini menunjukkan lumen terisi dengan sel-sel spermatozoa baik yang msih menempel pada sel-sel sertoli maupun yang telah mengalami spermiogenesis. Dari gambaran ini dapat diketahui bahwa proses spermatogenesis terjadi dengan baik. Gambaran histologi pada testis tikus Wistar model DM tipe 2 dapat diketahui bahwa masih terlihat adanya sel-sel spermatogenik akan tetapi lumen tubulus tampak longgar. Hal ini menunjukkan terganggunya proses spermatogenesis. Pemberian kuersetin dengan dosis 5 mg/kgbb dapat diketahui bahwa terjadi perbaikan struktur tubulus seminiferus dan masih dapat dilihat sususan sel-sel spermatogenik. Akan tetapi peningkatan dosis pemberian kuersetin dan perlakuan kombinasi kuersetin dan glibenklamid tidak memeperbaiki struktur histologi jaringan testis. Hal ini dapat dilihat dari gambaran histologi tubulus seminiferus pada perlakuan pemberian kuersetin 20mg/kgBB, pemberian kuersetin 80mg/kgBB dan kombinasi kuersetin dan glibenklamid yaitu tubulus seminiferus tampak sangat longgar (kosong). Pada kelompok perlakuan pemberian glibenklamid 5 mg/kgbb dapat diketahui bahwa susunan sel-sel tidak teratur dan banyak terdapat fasa darah dan menyempitnya bagian intersisisal dari testis. Hal ini disebabkan efek toksik dari glibenklamid yang dapat menyebabkan injury pada jaringan testis. Kerusakan jaringan testis akibat glibenklamid terutama dimediasi oleh peningkatan peroksidasi lipid dan penurunan status antioksidan (Adaramoye et al., 2012).

24 112 Efek dari penelitian Diabetes dan STZ pada fertilitas pria antara lain menyebutkan bahwa terjadi perubahan pada jaringan testikuler berupa perubahan struktur dan diamter tubulus seminiferus, dan peningkatan jumlah tubulus seminiferus yang kosong pada jaringan testis (Navaro et al., 2010). Senyawa toksik dan stres oksidatif dapat menyebabkan kerusakan jaringan testis. Perubahan-perubahan mikroskopik pada testis akibat stres oksidatif dan senyawa toksik antara lain edema. kongesti, hemoragi, dan nekrosis. Penelitian Shahat et al., (2009) menyebutkan bahwa kerusakan jaringan testis akibat stres oksidatif yaitu nekrosis dan sloughing dari lapisan epitel tubulus seminiferus, dilatasi tubulus seminiferus, atropi, fibrosis jaringan intersisial dan infiltrassi sel mononuklear inflamatori (Shahat et al., 2009). Penelitian Adaramoye et al (2012) yang membandingkan efek toksik pada metformin dan glibenklamid pada berbagai organ pada tikus Wistar menyebutkan bahwa terjadi nekrosis pada sel-sel tubulus seminiferus pada kelompok pemberian glibenklamid 5mg/kgBB. Glibenklamid menyebabkan disfungsi testikuler yang terutama diakibatkan peningkatan peroksidasi lipid dan penurunan antioksidan status pada testis (Adaramoye et al., 2012). Senyawa toksik dapat merusak jaringan testis dengan cara menembus sawar darah testis dan menurunkan jumlah sel-sel spermatogenik secara langsung melalui jalur hormonal juga akibat dari kerusakan dan kematian sel pada jaringan testis akibat senyawa toksik yang bersifat pro-oksidan. Pro-oksidan yang masuk kedalam jaringan menyebabkan ketidak seimbangan pro-oksidan dan antioksidan sehingga terjadi stres oksidatif. Stres oksidatif akibat paparan senyawa toksik akan menyebabkan apoptosis padasel spermatogenik di tubulus seminiferus dan

25 113 meningkatkan rasio BAX. Protein BAX ini akan menekan BCL-2 pada membran mitokondria sehingga terjadi perubahan permeabilitas dari membar mitokondria. Perubahan ini mengakibatkan terjadinya pelepasan Cytokrom-C ke sitosol dan kemudian Cytokrom-C di sitosol ini akan mengaktivasi Apaf-1 yang selanjutnya kan mengaktivasi cascade caspase yang kemudian mengakibatkan deoxyribonuclease (DNAse) aktif dan DNAse yang aktif akan menembus membran inti dan merusak DNA sehingga DNA sel rusak atau terjadi fragmentasi. Akibat dari DNA fragmentasi ini sel-sel akan mengalami kematian sel. Kematian sel-sel menyebabkan atresia dan berkurangnya sel-sel germinal ( Yildiz et al., 1998). DM yang ditandai dengan tingginya kadar glukosa menyebabkan terjadinya autooksidasi dan memberikan efek lanjut terbentuknya radikal bebas karena produksi ROS yang berlebihan pada mitokondria dan penurunan antioksidan (Giacco and Brownlee, 2010). Kadar ROS yang berlebihan ini menyebabkan keruskan protein, lipid dan DNA. Penimbunan ROS pada testis akan merusak struktur dan fungsi sel yang ada dalam testis (Evans et al., 2002). Peningkatan ROS akibat hiperglikemia dapat terjadi melalui beberapa jalur yaitu peningkatan produksi advance glycation end product (AGE) dan aktivasi reseptor AGE (RAGE), aktivasi jalur poliol sorbitol, aktivasi jalur protein kinase c dan aktivasi jalur heksosamin (Cade, 2008). Semua jalur ini pada akhirnya akan memicu stres oksidatif (Ahmed, 2005). Malidis et al., (2009) melaporkan adanya peningkatan akumulasi AGE dan RAGE pada testis, epididimis dan sperma pada penderita DM. Ikatan AGE-RAGE dapat mempercepat terbentuknya ROS yang kemudian akan mengkatifkan faktor transkripsi nuclear factor (NF-kB). Ekspresi NF-kB merupakan suatu sinyal

26 114 apoptosis dalam sel yang berperan penting dalam menimbulkan kerusakan jaringan dan organ. Sel-sel fungsional dalam testis merupakan sel-sel yang sangat peka terhadap perubahan yang diakibatkan proses stres oksidatif (Diemer et al., 2003). Kerusakan ini ditandai dengan berkurangnya sel-sel fungsional dalam testis (Ballester et al., 2004). V.3.5. Kesimpulan Dari penelitian ini dapat disimpulkan:1) Rerata berat testis tikus Wistar model DM tipe 2 yang diberi kuersetin tidak lebih besar dibadingkan dengan tikus model DM tipe 2 yang tidak diberi kuersetin. 2) Rerata kadar MDA jaringan testis tikus Wistar model DM tipe 2 yang diberi kuersetin 5mg/kgBB lebih rendah dibandingkan dengan tikus model DM tipe 2 yang tidak diberi kuersetin. 3) Gambaran histologis jaringan testis tikus Wistar yang diberi kuersetin 5mg/kgBB lebih baik dibandingkan dengan yang tidak diberi kuersetin.

BAB I. PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Diabetes mellitus (DM) adalah penyakit degeneratif yang merupakan salah

BAB I. PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Diabetes mellitus (DM) adalah penyakit degeneratif yang merupakan salah 1 BAB I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Diabetes mellitus (DM) adalah penyakit degeneratif yang merupakan salah satu masalah kesehatan di dunia. DM merupakan penyakit kelainan sistem endokrin utama yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Infertilitas adalah ketidak mampuan untuk hamil setelah sekurang-kurangnya

I. PENDAHULUAN. Infertilitas adalah ketidak mampuan untuk hamil setelah sekurang-kurangnya 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Infertilitas adalah ketidak mampuan untuk hamil setelah sekurang-kurangnya satu tahun berhubungan seksual, sedikitnya empat kali seminggu tanpa kontrasepsi (Straight,

Lebih terperinci

PEMBAHASAN. 6.1 Efek Pelatihan Fisik Berlebih Terhadap Spermatogenesis Mencit. Pada penelitian ini, data menunjukkan bahwa kelompok yang diberi

PEMBAHASAN. 6.1 Efek Pelatihan Fisik Berlebih Terhadap Spermatogenesis Mencit. Pada penelitian ini, data menunjukkan bahwa kelompok yang diberi 1 BAB VI PEMBAHASAN 6.1 Efek Pelatihan Fisik Berlebih Terhadap Spermatogenesis Mencit Pada penelitian ini, data menunjukkan bahwa kelompok yang diberi pelatihan fisik berlebih selama 35 hari berupa latihan

Lebih terperinci

BAB VI PEMBAHASAN. salam dapat menurunkan ekspresi kolagen mesangial tikus Sprague dawley DM.

BAB VI PEMBAHASAN. salam dapat menurunkan ekspresi kolagen mesangial tikus Sprague dawley DM. 73 BAB VI PEMBAHASAN 6.1. Uji pendahuluan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ekstrak etanol daun salam dapat menurunkan ekspresi kolagen mesangial tikus Sprague dawley DM. Agar diperoleh

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Hasil Penelitian Pengaruh ekstrak jahe terhadap jumlah spermatozoa mencit yang terpapar 2-ME

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Hasil Penelitian Pengaruh ekstrak jahe terhadap jumlah spermatozoa mencit yang terpapar 2-ME BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian 4.1.1 Pengaruh ekstrak jahe terhadap jumlah spermatozoa mencit yang terpapar 2-ME Telah dilakukan penelitian pengaruh ekstrak jahe terhadap jumlah spermatozoa

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. digunakan dalam penelitian ini yaitu tikus putih (Rattus norvegicus) Penelitian ini

BAB III METODE PENELITIAN. digunakan dalam penelitian ini yaitu tikus putih (Rattus norvegicus) Penelitian ini BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan enam perlakuan dan empat ulangan. Hewan coba yang digunakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Secara global, prevalensi penderita diabetes melitus di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Secara global, prevalensi penderita diabetes melitus di Indonesia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Secara global, prevalensi penderita diabetes melitus di Indonesia menduduki peringkat keempat di dunia dan prevalensinya akan terus bertambah hingga mencapai 21,3 juta

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Penggunaan rokok sebagai konsumsi sehari-hari kian meningkat. Jumlah

I. PENDAHULUAN. Penggunaan rokok sebagai konsumsi sehari-hari kian meningkat. Jumlah I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penggunaan rokok sebagai konsumsi sehari-hari kian meningkat. Jumlah konsumen rokok di Indonesia menduduki peringkat ketiga terbesar di dunia setelah Cina dan India. Tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada tahun 2007 menjadi 2,1 pada tahun 2013 (Riskesdas, 2013). Hasil riset tersebut

BAB I PENDAHULUAN. pada tahun 2007 menjadi 2,1 pada tahun 2013 (Riskesdas, 2013). Hasil riset tersebut BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Menurut Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 yang diselenggarakan oleh Departemen Kesehatan RI, rerata prevalensi diabetes di Indonesia meningkat dari 1,1 pada tahun

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. dibagi menjadi kelompok kontrol dan perlakuan lalu dibandingkan kerusakan

BAB III METODE PENELITIAN. dibagi menjadi kelompok kontrol dan perlakuan lalu dibandingkan kerusakan BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian yang dilakukan adalah penelitian eksperimental laboratorik. Penelitian dilakukan dengan memberikan perlakuan pada sampel yang telah dibagi menjadi

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Zoologi Biologi FMIPA. Universitas Lampung untuk pemeliharaan, pemberian perlakuan, dan

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Zoologi Biologi FMIPA. Universitas Lampung untuk pemeliharaan, pemberian perlakuan, dan 16 III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Zoologi Biologi FMIPA Universitas Lampung untuk pemeliharaan, pemberian perlakuan, dan pengamatan. Proses

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hormon testosteron merupakan bagian penting dalam. kesehatan pria. Testosteron memiliki fungsi utama dalam

BAB I PENDAHULUAN. Hormon testosteron merupakan bagian penting dalam. kesehatan pria. Testosteron memiliki fungsi utama dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hormon testosteron merupakan bagian penting dalam kesehatan pria. Testosteron memiliki fungsi utama dalam proses spermatogenesis dan pembentukan karakteristik seksual

Lebih terperinci

BAB VI PEMBAHASAN Pengaruh pemberian ekstrak etanol daun salam terhadap kadar GDS. absolut (DM tipe 1) atau secara relatif (DM tipe 2).

BAB VI PEMBAHASAN Pengaruh pemberian ekstrak etanol daun salam terhadap kadar GDS. absolut (DM tipe 1) atau secara relatif (DM tipe 2). 53 BAB VI PEMBAHASAN 6.1. Pengaruh pemberian ekstrak etanol daun salam terhadap kadar GDS Diabetes melitus (DM) merupakan gangguan metabolik kronik, progresif dengan hiperglikemia sebagai tanda utama karena

Lebih terperinci

UJI ANTIDIABETES SECARA IN VIVO. Dwi Handayani Ni Luh Sukeningsih

UJI ANTIDIABETES SECARA IN VIVO. Dwi Handayani Ni Luh Sukeningsih UJI ANTIDIABETES SECARA IN VIVO Dwi Handayani Ni Luh Sukeningsih PENGERTIAN DIABETES Diabetes melitus keadaan hiperglikemia kronik disertai berbagai kelainan metabolik akibat gangguan hormonal, yang menimbulkan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh ekstrak etanol biji labu kuning terhadap jumlah spermatozoa mencit yang diberi 2-ME

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh ekstrak etanol biji labu kuning terhadap jumlah spermatozoa mencit yang diberi 2-ME BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian 4.1.1 Pengaruh ekstrak etanol biji labu kuning terhadap jumlah spermatozoa mencit yang diberi 2-ME Hasil pengamatan pengaruh ekstrak etanol biji labu kuning

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya (American Diabetes

BAB I PENDAHULUAN. sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya (American Diabetes BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Diabetes Melitus (DM) adalah merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Badan Federasi Diabetes Internasional (IDF) memperkirakan

BAB I PENDAHULUAN. Badan Federasi Diabetes Internasional (IDF) memperkirakan 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Badan Kesehatan Dunia (WHO) memprediksi pada tahun 2030 jumlah penyandang diabetes mellitus di dunia mencapai 388 juta dan di Indonesia mencapai sekitar 21,3 juta.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian pengaruh ekstrak daun sirsak (Annona muricata L.) terhadap

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian pengaruh ekstrak daun sirsak (Annona muricata L.) terhadap BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian pengaruh ekstrak daun sirsak (Annona muricata L.) terhadap kadar glukosa darah dan histologi pankreas tikus (Rattus norvegicus) yang diinduksi

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN. STZ merupakan bahan toksik yang dapat merusak sel ß pankreas secara langsung.

BAB V PEMBAHASAN. STZ merupakan bahan toksik yang dapat merusak sel ß pankreas secara langsung. BAB V PEMBAHASAN STZ merupakan bahan toksik yang dapat merusak sel ß pankreas secara langsung. Mekanisme diabetogenik STZ adalah alkilasi DNA oleh STZ melalui gugus nitroourea yang mengakibatkan kerusakan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Laboratorium Penelitian dan Pengujian Terpadu 4 (LPPT 4) Universitas

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Laboratorium Penelitian dan Pengujian Terpadu 4 (LPPT 4) Universitas A. Hasil Penelitian BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Penelitian dilakukan pada hewan uji tikus putih yang diperoleh dari Laboratorium Penelitian dan Pengujian Terpadu 4 (LPPT 4) Universitas Gadjah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Diabetes mellitus (DM) merupakan penyakit metabolik yang berlangsung kronik progresif, dengan manifestasi gangguan metabolisme glukosa dan lipid, disertai oleh komplikasi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Diabetes melitus adalah penyakit tidak menular yang bersifat kronis dan

BAB 1 PENDAHULUAN. Diabetes melitus adalah penyakit tidak menular yang bersifat kronis dan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes melitus adalah penyakit tidak menular yang bersifat kronis dan jumlah penderitanya terus meningkat di seluruh dunia seiring dengan bertambahnya jumlah populasi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes mellitus ( DM ) merupakan gangguan kesehatan yang ditandai oleh keadaan hiperglikemia akibat gangguan sekresi insulin ( Powers, 2005 ). DM merupakan salah

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Desain Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan pada penelitian ini adalah penelitian eksperimental murni dengan rancangan penelitian post test only with control group

Lebih terperinci

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. Senyawa 2-Methoxyethanol (2-ME) tergolong senyawa ptalate ester (ester

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. Senyawa 2-Methoxyethanol (2-ME) tergolong senyawa ptalate ester (ester BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan Infertilitas merupakan masalah yang memiliki angka kejadian yang cukup besar di Indonesia. Penyebab infertilitas pria dipengaruhi oleh banyak faktor,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Proses penuaan merupakan rangkaian proses yang terjadi secara alami

BAB I PENDAHULUAN. Proses penuaan merupakan rangkaian proses yang terjadi secara alami BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Proses penuaan merupakan rangkaian proses yang terjadi secara alami setelah manusia mencapai usia dewasa di mana seluruh komponen tubuh berhenti berkembang dan mulai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Jumlah penderita diabetes mellitus (DM) di Indonesia menurut World Health

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Jumlah penderita diabetes mellitus (DM) di Indonesia menurut World Health BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jumlah penderita diabetes mellitus (DM) di Indonesia menurut World Health Organizaton (WHO) pada tahun 2000 diperkirakan sekitar 4 juta orang, jumlah tersebut diperkirakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ketidakmampuan sel tubuh yang memiliki reseptor insulin untuk mengoksidasi

BAB I PENDAHULUAN. ketidakmampuan sel tubuh yang memiliki reseptor insulin untuk mengoksidasi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian DM (Diabetes mellitus) merupakan kelainan metabolik terjadi ketidakmampuan sel tubuh yang memiliki reseptor insulin untuk mengoksidasi karbohidrat akibat

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN. Semarang, Laboratorium Sentral Fakultas Kedokteran Universitas

BAB 3 METODE PENELITIAN. Semarang, Laboratorium Sentral Fakultas Kedokteran Universitas BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1. Ruang Lingkup Penelitian 3.1.1. Lingkup Tempat Penelitian ini telah dilakukan di Laboratorium Biologi Universitas Negeri Semarang, Laboratorium Sentral Fakultas Kedokteran

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental murni dengan post

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental murni dengan post 23 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental murni dengan post test only group design. Penelitian eksperimental bertujuan untuk mengetahui kemungkinan

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN. untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak Etanol Pegagan terhadap

BAB V PEMBAHASAN. untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak Etanol Pegagan terhadap BAB V PEMBAHASAN Penelitian ini adalah penelitian eksperimental laboratorik yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak Etanol Pegagan terhadap gambaran histopatologis testis tikus yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Diabetes diturunkan dari bahasa Yunani yaitu diabetes yang berarti pipa air melengkung (syphon). Diabetes dinyatakan sebagai keadaan di mana terjadi produksi urin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Infertilitas adalah salah satu masalah kesehatan utama dalam hidup, dan

BAB I PENDAHULUAN. Infertilitas adalah salah satu masalah kesehatan utama dalam hidup, dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Infertilitas adalah salah satu masalah kesehatan utama dalam hidup, dan sekitar 30% infertilitas disebabkan faktor laki-laki (Carlsen et al., 1992; Isidori

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes mellitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemi yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kerja insulin, atau kedua-duanya (American Diabetes Association, 2005).

BAB I PENDAHULUAN. kerja insulin, atau kedua-duanya (American Diabetes Association, 2005). BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Diabetes milletus (DM) merupakan suatu penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia kronis yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, defek kerja insulin,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 25 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini merupakan penelitian eksperimen. Penelitian eksperimen adalah penelitian yang dilakukan dengan mengadakan manipulasi terhadap objek

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes Melitus (DM) atau lebih dikenal dengan sebutan kencing manis merupakan suatu kelompok penyakit metabolic dengan karateristik hiperglikemia. DM terjadi karena

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Desain Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan pada penelitian ini adalah penelitian eksperimental murni dengan rancangan penelitian pre and post test with control group

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Alkohol jika dikonsumsi mempunyai efek toksik pada tubuh baik secara langsung

BAB I PENDAHULUAN. Alkohol jika dikonsumsi mempunyai efek toksik pada tubuh baik secara langsung BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Alkohol jika dikonsumsi mempunyai efek toksik pada tubuh baik secara langsung maupun tidak langsung (Panjaitan, 2003). Penelitian yang dilakukan (Foa et al., 2006)

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 45 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Penelitian Penelitian mengenai efektifitas seduhan daun kersen (Muntingia calabura L.) terhadap kadar Malondialdehid (MDA) pada tikus Diabetes Melitus yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perekonomiannya telah mengalami perubahan dari basis pertanian menjadi

BAB I PENDAHULUAN. perekonomiannya telah mengalami perubahan dari basis pertanian menjadi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang perekonomiannya telah mengalami perubahan dari basis pertanian menjadi industri. Salah satu karakteristik dari

Lebih terperinci

Nama, Spesifikasi dan Kegunaan Bahan Penelitian No. Nama Bahan Spesifikasi Kegunaan 1. Larva ikan nilem hasil kejut panas

Nama, Spesifikasi dan Kegunaan Bahan Penelitian No. Nama Bahan Spesifikasi Kegunaan 1. Larva ikan nilem hasil kejut panas Lampiran 1. Spesifikasi Bahan Nama, Spesifikasi dan Kegunaan Bahan Penelitian No. Nama Bahan Spesifikasi Kegunaan 1. Larva ikan nilem hasil kejut panas Berumur 30, 60, 90, dan 120 hari Hewan uji 2. Pakan

Lebih terperinci

Waktu dan Tempat Penelitian Materi Penelitian Metode Penelitian Pembuatan Tikus Diabetes Mellitus Persiapan Hewan Coba

Waktu dan Tempat Penelitian Materi Penelitian Metode Penelitian Pembuatan Tikus Diabetes Mellitus Persiapan Hewan Coba Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli 2007 sampai dengan bulan Juli 2008 di Laboratorium Bersama Hewan Percobaan Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. intervensi), Kelompok II sebagai kontrol positif (diinduksi STZ+NA),

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. intervensi), Kelompok II sebagai kontrol positif (diinduksi STZ+NA), BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian Penelitian ini menggunakan tikus jantan strain Sprague dawley dengan berat badan > 150 gram dan umur 2 bulan. Sebanyak 30 tikus diadaptasi selama 3 hari,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental menggunakan Rancangan

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental menggunakan Rancangan BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Perlakuan di kelompokkan menjadi 4 kelompok dengan ulangan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini bersifat eksperimental laboratorik. Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini bersifat eksperimental laboratorik. Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta. BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini bersifat eksperimental laboratorik. B. Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. diinduksi aloksan, dengan perlakuan pemberian ekstrak Buah Jambu Biji (Psidium

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. diinduksi aloksan, dengan perlakuan pemberian ekstrak Buah Jambu Biji (Psidium BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian penurunan kadar glukosa darah tikus diabetes yang diinduksi aloksan, dengan perlakuan pemberian ekstrak Buah Jambu Biji (Psidium guajava L.) secara oral menggunakan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. penelitian eksperimental murni dengan rancangan post test control group

BAB III METODE PENELITIAN. penelitian eksperimental murni dengan rancangan post test control group BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Desain penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah penelitian eksperimental murni dengan rancangan post test control group design. B. Subyek Penelitian

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental murni dengan the

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental murni dengan the 16 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental murni dengan the post test only group design. Penelitian eksperimental bertujuan untuk mengetahui kemungkinan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. rancangan percobaan post-test only control group design. Pengambilan hewan

BAB III METODE PENELITIAN. rancangan percobaan post-test only control group design. Pengambilan hewan BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Jenis penelitian ini adalah eksperimental laboratorium, dengan rancangan percobaan post-test only control group design. Pengambilan hewan uji sebagai sampel

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Klasifikasi diabetes mellitus menurut ADA (2005) antara lain diabetes mellitus

BAB I PENDAHULUAN. Klasifikasi diabetes mellitus menurut ADA (2005) antara lain diabetes mellitus BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes mellitus merupakan suatu kelainan metabolisme pada tubuh yang dicirikan dengan kadar gula yang tinggi atau hiperglikemia akibat kelainan sekresi insulin, kerja

Lebih terperinci

Sistem Reproduksi Pria meliputi: A. Organ-organ Reproduksi Pria B. Spermatogenesis, dan C. Hormon pada pria Organ Reproduksi Dalam Testis Saluran Pengeluaran Epididimis Vas Deferens Saluran Ejakulasi Urethra

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes melitus (DM) adalah sindroma yang disebabkan oleh kekurangan insulin baik absolut maupun relatif. DM, secara klinik dikarakterisasi oleh gejala intoleransi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Asam urat telah diidentifikasi lebih dari dua abad yang lalu akan tetapi beberapa aspek patofisiologi dari hiperurisemia tetap belum dipahami dengan baik. Asam urat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masalah utama dalam dunia kesehatan di Indonesia. Menurut American. Diabetes Association (ADA) 2010, diabetes melitus merupakan suatu

I. PENDAHULUAN. masalah utama dalam dunia kesehatan di Indonesia. Menurut American. Diabetes Association (ADA) 2010, diabetes melitus merupakan suatu 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes melitus (DM) merupakan penyakit kronis yang masih menjadi masalah utama dalam dunia kesehatan di Indonesia. Menurut American Diabetes Association (ADA) 2010,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. dengan rancangan post test dan controlled group design pada hewan uji.

BAB III METODE PENELITIAN. dengan rancangan post test dan controlled group design pada hewan uji. BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Model penelitian ini adalah eksperimental murni yang dilakukan dengan rancangan post test dan controlled group design pada hewan uji. B. Populasi dan Sampel

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. 1) DM tipe I atau Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM) Adanya kerusakan sel β pancreas akibat autoimun yang umumnya

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. 1) DM tipe I atau Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM) Adanya kerusakan sel β pancreas akibat autoimun yang umumnya BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diabetes Mellitus Diabetes mellitus adalah suatu kelompok berbagai macam kelainan yang ditandai dengan tingginya kadar glukosa darah. 14 Gejala khasnya adalah poliuri, polifagi,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. I = 1,2,...t dan j = 1,2,...r. Y ij = Pengamatan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j. µ = Pengaruh rataan umum.

HASIL DAN PEMBAHASAN. I = 1,2,...t dan j = 1,2,...r. Y ij = Pengamatan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j. µ = Pengaruh rataan umum. 11 Analisis Lipid Peroksida Hati Pengukuran kadar lipid peroksida hati dilakukan pada akhir perlakuan. Sebanyak 1-2 gram hati disimpan dalam larutan NaCl 0.9% dingin. Hati segar tersebut dibuat 10% b/v

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental yang menggunakan

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental yang menggunakan 37 BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental yang menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) dengan 5 perlakuan 5 ulangan, perlakuan yang digunakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di masa modern ini, alkohol merupakan minuman yang sangat tidak asing lagi dikalangan masyarakat umum. Kebiasaan masyarakat mengkonsumsi alkohol dianggap dapat memberikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes Melitus (DM) merupakan penyakit kelainan metabolisme yang disebabkan kurangnya hormon insulin. Kadar glukosa yang tinggi dalam tubuh tidak seluruhnya dapat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada tahun 200 SM sindrom metabolik yang berkaitan dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lipid, dan protein, diberi nama diabetes oleh Aretaeus, yang kemudian dikenal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. internal dan faktor eksternal. Salah satu faktor internal yang berpengaruh pada

BAB I PENDAHULUAN. internal dan faktor eksternal. Salah satu faktor internal yang berpengaruh pada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Infertilitas merupakan salah satu masalah penting bagi setiap orang. Infertilitas pada pria berkaitan erat dengan spermatogenesis. Proses ini dipengaruhi oleh dua faktor

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. karbon pewangi (P3), dan kontrol (K) masing-masing terdiri atas 7 tikus.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. karbon pewangi (P3), dan kontrol (K) masing-masing terdiri atas 7 tikus. 46 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. GAMBARAN UMUM PENELITIAN Peneliti menggunakan tikus putih (Rattus norvegicus) galur Wistar jantan yang berumur 1 bulan sebagai subyek penelitian ini. Jumlah sampel tikus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Keseimbangan dalam fisiologi sangat penting bagi semua mekanisme

BAB I PENDAHULUAN. Keseimbangan dalam fisiologi sangat penting bagi semua mekanisme 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keseimbangan dalam fisiologi sangat penting bagi semua mekanisme tubuh, termasuk dalam mekanisme keseimbangan kadar glukosa darah yang berperan penting dalam aktifitas

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan teknologi memberikan pengaruh terhadap berbagai aspek dalam kehidupan masyarakat. Salah satunya adalah pola hidup masyarakat yang saat ini cenderung tidak

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBASAN BAB IV HASIL DAN PEMBASAN 4.1 Pengaruh Infusa Daun Murbei (Morus albal.) Terhadap Jumlah sel pyramid Hipokampus Tikus Putih (Rattus norvegicus) Model Diabetes Melitus Kronis yang Diinduksi Aloksan. Berdasarkan

Lebih terperinci

bio.unsoed.ac.id III. METODE PENELITIAN A. Materi, Lokasi, dan Waktu Penelitian 1. Materi Penelitian

bio.unsoed.ac.id III. METODE PENELITIAN A. Materi, Lokasi, dan Waktu Penelitian 1. Materi Penelitian III. METODE PENELITIAN A. Materi, Lokasi, dan Waktu Penelitian 1. Materi Penelitian Materi yang diteliti adalah ikan nilem ( Osteochilus hasselti C. V.), pada tahap perkembangan juvenil berumur 13 minggu

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian yang berjudul Pengaruh Pemberian Ekstrak Daun Jati Belanda

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian yang berjudul Pengaruh Pemberian Ekstrak Daun Jati Belanda BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Penelitian yang berjudul Pengaruh Pemberian Ekstrak Daun Jati Belanda (Guazuma ulmifolia Lamk.) Terhadap Berat Badan, Berat Testis, dan Jumlah Sperma Mencit

Lebih terperinci

BAB 4 METODE PENELITIAN

BAB 4 METODE PENELITIAN BAB 4 METODE PENELITIAN 4.1 Ruang lingkup penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah Ilmu Kedokteran Forensik dan Ilmu Patologi Anatomi. 4.2 Tempat dan waktu penelitian Penelitian dilaksanakan selama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjadi tantangan dalam bidang kesehatan di beberapa negara (Chen et al., 2011).

BAB I PENDAHULUAN. menjadi tantangan dalam bidang kesehatan di beberapa negara (Chen et al., 2011). 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes tipe 2 merupakan kelainan heterogen yang ditandai dengan menurunnya kerja insulin secara progresif (resistensi insulin), yang diikuti dengan ketidakmampuan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Diabetes mellitus (DM) merupakan penyakit kronis yang dapat

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Diabetes mellitus (DM) merupakan penyakit kronis yang dapat I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes mellitus (DM) merupakan penyakit kronis yang dapat disebabkan karena faktor genetik, kekurangan produksi insulin oleh sel beta pankreas, maupun karena ketidakefektifan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Angka pengguna telepon seluler (ponsel) atau handphone di Indonesia

I. PENDAHULUAN. Angka pengguna telepon seluler (ponsel) atau handphone di Indonesia 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Angka pengguna telepon seluler (ponsel) atau handphone di Indonesia semakin meningkat tiap tahunnya. Penelitian yang dilakukan oleh Roy Morgan Research di Australia

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Penelitian Kandang Hewan Coba Laboratorium Histopatologi

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Penelitian Kandang Hewan Coba Laboratorium Histopatologi BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli 2010 sampai April 2011 bertempat di Kandang Hewan Laboratorium dan Laboratorium Histopatologi, Departemen Klinik, Reproduksi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemajuan perkembangan teknologi sangat mempengaruhi gaya hidup masyarakat, salah satu dampak negatifnya ialah munculnya berbagai penyakit degeneratif seperti Diabetes

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes mellitus (DM) adalah suatu penyakit atau sekumpulan gejala yang ditandai oleh peningkatan kadar glukosa darah (hiperglikemik) akibat dari kelainan metabolisme

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bahwa, penderita diabetes mellitus di Indonesia pada tahun 2013 yang

BAB I PENDAHULUAN. bahwa, penderita diabetes mellitus di Indonesia pada tahun 2013 yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) (2013) menunjukkan bahwa, penderita diabetes mellitus di Indonesia pada tahun 2013 yang terdiagnosis dokter mencapai 1,5%

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes melitus (DM) yang dikenal sebagai kencing manis adalah penyakit metabolik kronik yang dapat berdampak gangguan fungsi organ lain seperti mata, ginjal, saraf,

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian ini meliputi bidang Ilmu Gizi, Farmakologi, Histologi dan Patologi

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian ini meliputi bidang Ilmu Gizi, Farmakologi, Histologi dan Patologi BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Ruang Lingkup Penelitian Anatomi. Penelitian ini meliputi bidang Ilmu Gizi, Farmakologi, Histologi dan Patologi 4.2 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian akan dilaksanakan

Lebih terperinci

Lampiran 1. Surat Rekomendasi Persetujuan Kode Etik Penelitian Kesehatan

Lampiran 1. Surat Rekomendasi Persetujuan Kode Etik Penelitian Kesehatan 43 Lampiran 1. Surat Rekomendasi Persetujuan Kode Etik Penelitian Kesehatan 43 44 Lampiran 2. Data Berat Badan Mencit Setelah Dipaparkan Asap Rokok Total Rata-rata Berat Notasi Badan Mencit K 309.17 34.35±1.23

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1.Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Riset Kimia Universitas Pendidikan Indonesia dan Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor pada

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan. menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 5 perlakuan 5

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan. menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 5 perlakuan 5 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 5 perlakuan 5 ulangan, perlakuan yang digunakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kemajuan, termasuk di bidang kedokteran, salah satunya adalah ilmu Anti Aging

BAB I PENDAHULUAN. kemajuan, termasuk di bidang kedokteran, salah satunya adalah ilmu Anti Aging BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini perkembangan ilmu pengetahuan semakin mengalami kemajuan, termasuk di bidang kedokteran, salah satunya adalah ilmu Anti Aging Medicine (AAM) atau disebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Diabetes Melitus (DM) merupakan salah satu penyakit degeneratif, yang memerlukan waktu dan biaya terapi yang tidak sedikit. Penyakit ini dapat membuat kondisi tubuh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes melitus (DM) adalah kumpulan gejala penyakit degeneratif kronis yang disebabkan karena kelainan metabolisme karbohidrat akibat kekurangan hormon Insulin baik

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. orang pada tahun 2030 (Patel et al., 2012). World Health Organization (WHO)

BAB I. PENDAHULUAN. orang pada tahun 2030 (Patel et al., 2012). World Health Organization (WHO) BAB I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Diabetes melitus (DM) merupakan salah satu penyakit dengan insidensi yang cukup tinggi di masyarakat. Saat ini diperkirakan 170 juta orang di dunia menderita DM dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pernah mengalami masalah infertilitas ini semasa usia reproduksinya dan

I. PENDAHULUAN. pernah mengalami masalah infertilitas ini semasa usia reproduksinya dan I. PENDAHULUAN Infertilitas merupakan suatu masalah yang dapat mempengaruhi pria dan wanita di seluruh dunia. Kurang lebih 10% dari pasangan suami istri (pasutri) pernah mengalami masalah infertilitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes Mellitus (DM) adalah suatu sindrom klinis kelainan metabolik yang ditandai oleh adanya hiperglikemia yang disebabkan oleh defek sekresi insulin, defek kerja

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. semakin meningkat. Prevalensi DM global pada tahun 2012 adalah 371 juta dan

I. PENDAHULUAN. semakin meningkat. Prevalensi DM global pada tahun 2012 adalah 371 juta dan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Diabetes melitus (DM) merupakan salah satu kelainan endokrin yang sekarang banyak dijumpai (Adeghate, et al., 2006). Setiap tahun jumlah penderita DM semakin meningkat.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes mellitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi akibat sekresi insulin yang tidak adekuat, kerja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. DM yaitu DM tipe-1 dan DM tipe-2. Diabetes tipe-1 terutama disebabkan

BAB I PENDAHULUAN. DM yaitu DM tipe-1 dan DM tipe-2. Diabetes tipe-1 terutama disebabkan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Ulkus diabetikum (UD) adalah luka terbuka pada permukaan kulit yang disebabkan oleh adanya komplikasi kronik berupa mikroangiopati dan makroangiopati akibat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Diabetes atau peningkatan kadar glukosa dalam darah merupakan penyakit seumur hidup dan kian hari makin populer dengan tingkat kematian yang tinggi. Diabetes mellitus

Lebih terperinci

BAB VI PEMBAHASAN. Kadar trigliserida dan kolesterol VLDL pada kelompok kontrol

BAB VI PEMBAHASAN. Kadar trigliserida dan kolesterol VLDL pada kelompok kontrol 44 BAB VI PEMBAHASAN 6.1. Kadar Trigliserida dan Kolesterol VLDL Kadar trigliserida dan kolesterol VLDL pada kelompok kontrol pertama yaitu kelompok yang tidak diberikan diet tinggi fruktosa dan air seduh

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Nilai Karbohidrat dan Kalori Ransum, Madu dan Kayu Manis

HASIL DAN PEMBAHASAN. Nilai Karbohidrat dan Kalori Ransum, Madu dan Kayu Manis HASIL DAN PEMBAHASAN Nilai Karbohidrat dan Kalori Ransum, Madu dan Kayu Manis Hasil perhitungan konsumsi karbohidrat, protein, lemak dan sumbangan kalori dari karbohidrat, protein dan lemak dari ransum,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. glukosa darah tinggi (hiperglikemia) yang diakibatkan adanya gangguan pada sekresi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. glukosa darah tinggi (hiperglikemia) yang diakibatkan adanya gangguan pada sekresi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Diabetes melitus (DM) adalah penyakit metabolik yang ditandai dengan kadar glukosa darah tinggi (hiperglikemia) yang diakibatkan adanya gangguan pada sekresi insulin,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kelebihan kadar glukosa dalam darah. Pengobatan diabetes melitus dapat

BAB I PENDAHULUAN. kelebihan kadar glukosa dalam darah. Pengobatan diabetes melitus dapat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes melitus merupakan penyakit kronik dimana penderita mengalami kelebihan kadar glukosa dalam darah. Pengobatan diabetes melitus dapat dilakukan secara medis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau

Lebih terperinci

Penyakit diabetes mellitus digolongkan menjadi dua yaitu diabetes tipe I dan diabetes tipe II, yang mana pada dasarnya diabetes tipe I disebabkan

Penyakit diabetes mellitus digolongkan menjadi dua yaitu diabetes tipe I dan diabetes tipe II, yang mana pada dasarnya diabetes tipe I disebabkan BAB 1 PENDAHULUAN Diabetes mellitus (DM) merupakan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein yang ditandai dengan kondisi hiperglikemia (Sukandar et al., 2009). Diabetes menurut WHO (1999) adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Merokok merupakan suatu masalah kesehatan pada masyarakat dan merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Merokok merupakan suatu masalah kesehatan pada masyarakat dan merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Merokok merupakan suatu masalah kesehatan pada masyarakat dan merupakan ancaman besar bagi kesehatan di dunia (Emmons, 1999). Merokok memberikan implikasi terhadap

Lebih terperinci