KEMISKINAN DAN KEBIJAKAN PENANGGULANGANNYA DI KAWASAN BARAT DAN TIMUR INDONESIA SRI WAHYUNI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KEMISKINAN DAN KEBIJAKAN PENANGGULANGANNYA DI KAWASAN BARAT DAN TIMUR INDONESIA SRI WAHYUNI"

Transkripsi

1 KEMISKINAN DAN KEBIJAKAN PENANGGULANGANNYA DI KAWASAN BARAT DAN TIMUR INDONESIA SRI WAHYUNI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kemiskinan dan Kebijakan Penanggulangannya di Kawasan Barat dan Timur Indonesia adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Juni 2011 Sri Wahyuni H

3 ABSTRACT SRI WAHYUNI: Poverty and Its Reduction Policy in the Western and Eastern Indonesia. Under supervision of M. PARULIAN HUTAGAOL and RATNA WINANDI. Reducing poverty is one of goals on the national development. In the effort of poverty reduction, government has run several programs. But, poverty is not reduced. It means that these programs have not effectively reduce poverty because it is homogenous for all regions. The purpose of this study: (1). Identify the factors that affect poverty in the Western and Eastern Indonesia, (2) Formulate poverty prevention policies in the Western and Eastern Indonesia. The methods which used are: descriptive and panel data analysis. Result of this study: (1). The are similarities causes of poverty in the Western and Eastern Indonesia, it is unemployment. (2). This study also shows that causes of poverty in the Western and Eastern Indonesia is different. Poverty in the Western Indonesia caused high population density especially in Java and Bali with education remains low and is predominately dependent on primary agricultural sector as the main source of livelihood. Poverty in the Eastern Indonesia caused lack of populations and inadequate availability of infrastructure. The difference may be the cause of poverty as proof that poverty reduction programs that are not effectively tackling poverty homogeneous. (3). Poverty reduction programs in the Western Indonesia can be done with transmigration and agro-industry business development, while in the Eastern Indonesia by increasing the number of population and infrastructure. Keywords: poverty reduction, Western Indonesia, Eastern Indonesia, panel data analysis, policy.

4 RINGKASAN SRI WAHYUNI: Kemiskinan dan Kebijakan Penanggulangannya di Kawasan Barat dan Timur Indonesia. Dibimbing oleh M. PARULIAN HUTAGAOL dan RATNA WINANDI. Kemiskinan merupakan salah satu masalah dalam proses pembangunan nasional. Kemiskinan di Indonesia masih cukup tinggi yaitu sebesar 14,15 persen atau sekitar 32 juta penduduk pada tahun Berbagai program penanggulangan kemiskinan telah dilakukan dan dikembangkan oleh pemerintah. Namun kenyataan menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan tetap tinggi. Beberapa kelemahan dari program-program tersebut, antara lain: pertama, program yang sifatnya bantuan bukan solusi yang tepat karena hanya menyembuhkan sementara, tidak menghilangkan kemiskinan. Kedua, kebijakan diambil didasarkan pada asumsi bahwa kemiskinan bersifat homogen di setiap daerah, sehingga kebijakan pemerintah kurang mempertimbangkan keragaman penyebab dan karakteristik kemiskinan daerah. Akibatnya, program yang dilaksanakan kurang sesuai dengan prioritas penanganan dan kebutuhan masyarakat miskin setempat (TNP2K 2010). Berdasarkan uraian tersebut, penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan berdasarkan wilayah yaitu Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia, (2) merumuskan kebijakan yang diharapkan lebih efektif menurunkan kemiskinan di kedua kawasan tersebut. Data yang digunakan meliputi kemiskinan, jumlah penduduk, jumlah pekerja sektor pertanian, pengangguran, UMP, jumlah penduduk menurut jenjang pendidikan, PDRB perkapita dan data lainnya yang relevan. Sebagian besar data bersumber dari BPS. Kemiskinan dalam penelitian ini menggunakan konsep BPS. Cakupan analisis 26 provinsi yang terbagi dalam Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia dengan periode penelitian Pengolahan data menggunakan software Microsoft Excel dan Eviews 6. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat kesamaan penyebab kemiskinan di Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia adalah pengangguran. Hasil ini mempunyai implikasi bahwa program penanggulangan kemiskinan yang berbasis bantuan bukan solusi yang tepat karena yang dibutuhkan masyarakat adalah lapangan pekerjaan. Selain itu, penelitian ini juga menghasilkan temuan adanya perbedaan penyebab kemiskinan di kedua kawasan. Kemiskinan di Kawasan Barat Indonesia disebabkan oleh kepadatan penduduk yang tinggi terutama di Pulau Jawa dan Bali dengan tingkat pendidikan penduduk masih rendah dan sebagian besar penduduk masih mengandalkan sektor pertanian primer sebagai mata pencaharian utama. Kemiskinan di Kawasan Timur Indonesia disebabkan kurangnya penduduk yang berarti tenaga kerja rendah dan kurangnya ketersediaan fasilitas publik seperti infrastruktur jalan dan listrik. Ketersediaan infrastruktur yang rendah akan menghambat pertumbuhan ekonomi dan penurunan kemiskinan. dengan demikian program penanggulangan kemiskinan yang bersifat homogen tidak efektif mengatasi kemiskinan. Perbedaan penyebab kemiskinan tersebut dapat sebagai bukti bahwa program penanggulangan kemiskinan yang bersifat homogen tidak efektif menanggulangi kemiskinan.

5 Kebijakan transmigrasi sebaiknya dilakukan untuk pemerataan penduduk, pengurangan pengangguran, meningkatkan kesempatan kerja dan peningkatan pembangunan baik di daerah asal maupun daerah tujuan. Berkaitan dengan sektor pertanian, pengurangan jumlah pekerja sektor pertanian di Kawasan Barat Indonesia harus dilakukan karena jumlahnya yang melimpah sementara lahan semakin sempit membuat penambahan jumlah pekerja pertanian tidak lagi memberikan nilai tambah tetapi justru akan menurunkan produktivitasnya. Pengembangan usaha agroindustri akan sangat bermanfaat, dimana banyaknya pekerja pertanian dapat dialihkan menjadi pekerja di usaha agroindustri. Berkembangnya usaha tersebut akan menambah lapangan pekerjaan sehingga dapat mempekerjakan banyak tenaga kerja dan pengangguran dapat berkurang. Di sisi yang lain, usaha agroindustri akan menguntungkan banyak pihak, antara lain petani, pengusaha dan pekerjanya. Terkait dengan kualitas sumberdaya manusia, seyogyanya kebijakan pemerintah tidak hanya mewajibkan masyarakat untuk menempuh pendidikan sampai pada level pendidikan dasar. Pemberian beasiswa bagi masyarakat miskin perlu ditingkatkan sampai jenjang SMU agar setelah lulus dapat memasuki dunia kerja dengan bekal pengetahuan dan keterampilan. Pengetahuan dan keteampilan dapat meningkatkan produktivitas kerja mereka yang selanjutnya dapat memperbaiki kondisi perekonomiannya, meningkatkan kesejahteraanya dan rantai kemiskinan bisa terputus. Pada Kawasan Timur Indonesia, prioritas kebijakan seyogyanya lebih difokuskan pada penambahan jumlah penduduk. Penambahan jumlah penduduk diharapkan dapat memberikan tambahan input tenaga kerja bagi aktivitas produksi yang ada, menciptakan lapangan kerja yang baru dan meningkatkan pembangunan. Terkait dengan aktivitas ekonomi di Kawasan Timur Indonesia, kegiatan pertanian masih menjadi prioritas. Menurut hasil pengamatan, penambahan jumlah tenaga kerja pertanian akan meningkatkan marginal product of labor pertanian dan akan meningkatkan outputnya sehingga bisa memberikan tambahan penghasilan bagi masyarakatnya dan kemiskinan menurun. Keterbatasan sumberdaya manusia, modal fisik, keterisolasian dan kurangnya akses terhadap pelayanan publik dan infrastruktur di Kawasan Timur Indonesia menyebabkan peluang-peluang ekonomi menjadi terbatas pula. Intervensi pemerintah sangat diperlukan terutama membangun infrastruktur agar aktivitas ekonomi meningkat dan memberikan kemudahan bagi masyarakat dalam mengakses pelayanan publik. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan di Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia terbukti berbeda. Maka dari itu dalam upaya menanggulangi kemiskinan dibutuhkan kebijakan yang berbeda pula. Saran yang dapat dipertimbangkan adalah kebijakan untuk mengatasi masalah kemiskinan di Kawasan Barat Indonesia harus lebih ditekankan pada transmigrasi dan pengembangan usaha berbasis agroindustri. Pada Kawasan Timur Indonesia, kebijakan untuk mengatasi masalah kemiskinan lebih difokuskan pada penambahan penduduk dan pembangunan infrastruktur. Kata kunci: kemiskinan, Kawasan Barat Indonesia, Kawasan Timur Indonesia, analisis regresi data panel, rumusan kebijakan

6 Hak Cipta milik IPB, Tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

7 KEMISKINAN DAN KEBIJAKAN PENANGGULANGANNYA DI KAWASAN BARAT DAN TIMUR INDONESIA SRI WAHYUNI Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

8 Tesis Nama NRP : Kemiskinan dan Kebijakan Penanggulangannya di Kawasan Barat dan Timur Indonesia : Sri Wahyuni : H Disetujui Komisi Pembimbing Dr. Ir. M. Parulian Hutagaol, M.Sc Ketua Dr. Ratna Winandi, M.S Anggota Diketahui Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Ir. Nunung Nuryartono, M.Si Dr. Ir. Dahrul Syah, M. Sc, Agr. Tanggal Ujian: 23 Juni 2011 Tanggal Lulus:

9 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Heru Margono, M.Sc

10 PRAKATA Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas ijin dan ridho-nya penulis mampu menyelesaikan penyusunan tesis ini. Tema yang dipilih untuk penelitian ini adalah Kemiskinan dan Kebijakan Penanggulangannya di Kawasan Barat dan Timur Indonesia, yang pelaksanaannya dimulai pada Bulan November Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. M. Parulian Hutagaol, M.Sc selaku ketua komisi pembimbing dan Ibu Dr. Ratna Winandi, MS selaku anggota komisi pembimbing atas bimbingan dan arahan yang telah diberikan dalam menyusun tesis ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dr. Heru Margono, M,Sc atas kesediaannya menjadi penguji luar komisi dan Tanti Novianti, M.Si selaku perwakilan Program Studi Ilmu Ekonomi. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada para dosen pengajar dan pengelola Program Studi Ilmu Ekonomi Sekolah Pascasarjana IPB. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Kepala Badan Pusat Statistik dan Direktur Kependudukan dan Ketenagakerjaan yang telah memberikan kesempatan dan dukungan untuk melanjutkan pendidikan Program Magister pada Program Studi Ilmu Ekonomi di Sekolah Pasca Sarjana IPB. Secara khusus penulis menyampaikan terima kasih yang tak terkira kepada Tri Purwanto (suami), Ikhlas Hanif Muttaqin (anak pertama), Aisyah Azka Rosyida (anak kedua), Fathiya Salma Hafizha (anak ketiga) dan seluruh keluarga yang telah memberikan dukungan yang luar biasa, berupa moril dan materiil dari awal perkuliahan hingga penyelesaian tesis ini. Akhirnya, besar harapan penulis agar tesis ini dapat menghasilkan penelitian yang bermanfaat dan memberikan kontribusi bagi pembangunan di Indonesia khususnya dalam menanggulangi kemiskinan serta bermanfaat bagi dunia pendidikan. Bogor, Juni 2011 Penulis, Sri Wahyuni

11 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Klaten, Jawa Tengah pada tanggal 21 Juni 1977 dari ayah Matnorejo dan ibu Ruki. Penulis merupakan anak kedua dari lima bersaudara. Penulis telah menikah dengan Tri Purwanto dan dikaruniai tiga orang anak: Ikhlas Hanif Muttaqin, Aisyah Azka Rosyida dan Fathiya Salma Hafizha. Penulis menamatkan sekolah dasar pada SDN Jiwo lulus tahun 1990, kemudian melanjutkan ke SMPN 1 Wedi lulus pada tahun Pada tahun yang sama diterima di SMAN 2 Klaten dan lulus pada tahun 1996, kemudian melanjutkan ke Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (STIS) Jakarta dan berhasil menamatkan Program Diploma IV pada tahun Setelah lulus dari STIS, penulis bekerja sebagai staf bidang sosial Badan Pusat Statistik Provinsi Riau sampai dengan tahun Pada tahun 2008 hingga sekarang penulis bekerja di Badan Pusat Statistik sebagai staf subdit Demografi. Pada tahun 2009 penulis menyelesaikan program alih jenjang S1 di Departemen Ilmu Ekonomi FEM dan melanjutkan kuliah S2 Magister Ilmu Ekonomi IPB melalui program beasiswa yang diberikan oleh Badan Pusat Statistik.

12 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... xiii xiv xvi I PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup... 8 II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN Definisi Kemiskinan Indikator Kemiskinan Penyebab Kemiskinan Faktor-faktor yang Memengaruhi Kemiskinan Jumlah Penduduk Jumlah Pekerja Sektor Pertanian Tingkat Pendidikan Upah Minimum Provinsi (UMP) PDRB perkapita Pengangguran Infrastruktur Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan Kerangka Pemikiran Hipotesis Penelitian III METODE PENELITIAN Jenis dan Sumber Data... 31

13 3.2 Analisis Deskriptif Analisis Regresi Data Panel Pemilihan Model Terbaik Uji Asumsi Evaluasi Model Spesifikasi Model Penelitian Definisi Operasional IV GAMBARAN UMUM Penduduk Penduduk Miskin Persentase Penduduk Miskin Indeks Kedalaman Kemiskinan Indeks Keparahan Kemiskinan Pendidikan Pekerja Sektor Pertanian Pengangguran Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) perkapita Infrastruktur V HASIL DAN PEMBAHASAN Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kemiskinan Rumusan Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan Rumusan Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan di Kawasan Barat Indonesia... Rumusan Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan di Kawasan Timur Indonesia VI KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA

14 DAFTAR TABEL 1. Kerangka identifikasi autokorelasi Persentase penduduk di Pulau Jawa dan kepadatan penduduk menurut pulau, Tahun Perkembangan garis kemiskinan provinsi, Indeks kedalaman kemiskinan (P 1 ) menurut provinsi, tahun Indeks keparahan kemiskinan menurut provinsi, Panjang jalan dan persentasenya menurut kondisi dan provinsi di Indonesia tahun Energi listrik PLN yang terjual di Indonesia menurut provinsi tahun 1991, 1999 dan Hasil estimasi persamaan faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan di Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia periode Perkembangan nilai tukar petani (NTP) di Indonesia tahun

15 DAFTAR GAMBAR 1. Perkembangan persentase penduduk miskin di Indonesia periode Kerangka pemikiran Perkembangan pertumbuhan penduduk di Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia, Perkembangan angka beban tanggungan di Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia tahun Perkembangan angka kemiskinan di Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia, Persentase penduduk menurut ijazah tertinggi yang dimiliki di Kawasan Barat Indonesia, Persentase penduduk menurut ijazah tertinggi yang dimiliki di Kawasan Timur Indonesia, Perkembangan pekerja sektor pertanian di Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia, Perkembangan angka pengangguran terbuka di Indonesia, Perkembangan PDRB perkapita di Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia, PDRB perkapita menurut provinsi tahun Perkembangan indeks gini di Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia, Perkembangan PDRB perkapita per bulan dan garis kemiskinan di Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia, Perkembangan infrastruktur jalan di Kawasan Barat Indonesia, PDRB perkapita sektor pertanian di Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia, Perkembangan angka beban tanggungan di Kawasan Barat Indonesia periode

16 17. Perkembangan angka pekerja lulusan SMP di Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia, Perkembangan kontribusi sektor-sektor ekonomi dalam pembentukan PDRB di Kawasan Barat Indonesia, Perkembangan kontribusi sektor-sektor ekonomi dalam pembentukan PDRB di Kawasan Timur Indonesia, Tingkat pengangguran terbuka menurut tingkat pendidikan di Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia, Perkembangan upah minimum provinsi dan indeks harga konsumen di Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia, Perkembangan rata-rata UMP perkapita per bulan dan garis kemiskinan di Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia, Angka kepadatan penduduk di Kawasan Barat Indonesia, Angka kepadatan penduduk di Kawasan Timur Indonesia, Uji normalitas error term pada model faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan di Kawasan Barat Indonesia Uji normalitas error term pada model faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan di Kawasan Timur Indonesia

17 DAFTAR LAMPIRAN 1. Hasil penguijian antara fixed effect dengan pooled least square (Uji Chow) untuk model faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan di Kawasan Barat Indonesia Hasil penguijian antara fixed effect dengan random effect (Uji Hausman) untuk model faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan di Kawasan Barat Indonesia Hasil estimasi untuk model faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan di Kawasan Barat Indonesia Uji asumsi homoskedastisitas dengan White-test pada model faktorfaktor yang memengaruhi kemiskinan di Kawasan Barat Indonesia Uji normalitas pada model faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan di Kawasan Barat Indonesia Hasil penguijian antara fixed effect dengan pooled least square (Uji Chow) untuk model faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan di Kawasan Timur Indonesia Hasil penguijian antara fixed effect dengan random effect (Uji Hausman) untuk model faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan di Kawasan Timur Indonesia Hasil estimasi untuk model faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan di Kawasan Timur Indonesia Uji asumsi homoskedastisitas dengan White-test pada model faktorfaktor yang memengaruhi kemiskinan di Kawasan Timur Indonesia Uji normalitas pada model faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan di Kawasan Timur Indonesia

18 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemiskinan merupakan salah satu masalah dalam proses pembangunan ekonomi. Permasalahan kemiskinan dialami oleh setiap negara, baik negara maju maupun negara berkembang. Kemiskinan menjadi isu dunia yang banyak diminati oleh para peneliti karena jumlahnya yang besar dan dampak yang ditimbulkannya sangat buruk bagi kehidupan masyarakat. World Bank (2004) melaporkan bahwa seperempat penduduk dunia dewasa ini tergolong miskin. Kemiskinan di Indonesia jika dihitung berdasarkan standar hidup minimum dengan pengeluaran per kapita per hari US$ 2, maka penduduk yang tergolong miskin mencapai 59,99 persen (World Bank 2007). Menurut Yudhoyono dan Harniati (2007), kemiskinan mempunyai dampak menurunkan kualitas hidup, menimbulkan beban sosial ekonomi masyarakat, menurunkan kualitas sumberdaya manusia, dan menurunkan ketertiban umum. Selain sebagai permasalahan nasional, kemiskinan menjadi permasalahan dunia yang menarik perhatian bagi banyak negara untuk segera mencari solusi penanggulangannya. Kepedulian dunia dalam upaya menanggulangi kemiskinan diwujudkan dengan diselenggarakannya Deklarasi Millenium (Millenium Declaration) pada bulan September 2000 yang diikuti oleh 189 negara anggota PBB termasuk Indonesia. Deklarasi tersebut menyepakati 8 tujuan pembangunan millenium atau yang lebih dikenal dengan Millenium Development Goals (MDGs). Delapan tujuan tersebut antara lain: (1) menanggulangi kemiskinan dan kelaparan; (2) mencapai pendidikan dasar untuk semua kalangan; (3) mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan; (4) menurunkan angka kematian anak; (5) meningkatkan kesehatan ibu; (6) memerangi HIV/AIDS, malaria, dan penyakit menular lainnya; (7) memastikan keberlanjutan lingkungan hidup; (8) membangun kemitraan global untuk pembangunan. Dalam MDGs, penanggulangan kemiskinan dan kelaparan menjadi tujuan pertama target pembangunan. Target yang ingin dicapai adalah menurunkan angka kemiskinan hingga 50 persen pada tahun 2015 dengan didasarkan pada angka kemiskinan tahun Pada tahun 1990 angka kemiskinan di Indonesia

19 sebesar 15,10 persen, maka pada tahun 2015 diharapkan menjadi 7,50 persen (sekitar 13,10 juta penduduk). Keseriusan pemerintah dalam upaya mencapai target penurunan kemiskinan tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) yang menunjukkan bahwa salah satu sasaran pembangunan ekonomi nasional adalah mempercepat penurunan tingkat kemiskinan hingga 8-10 persen pada akhir 2014, sehingga diharapkan pada tahun 2015 target MDGs bisa tercapai. Badan Pusat Statistik (2009) menunjukkan bahwa dari tahun persentase penduduk miskin Indonesia menurun drastis dari 40,10 persen menjadi 17,47 persen. Pada masa ini Indonesia dianggap sebagai salah satu negara yang telah berhasil menurunkan kemiskinan dengan persentase penurunan yang cukup tinggi, yaitu 22,63 persen (sekitar 20,19 juta penduduk). Keberhasilan menurunkan kemiskinan itu ternyata tidak bertahan lama, ketika Indonesia dilanda krisis ekonomi pada pertengahan tahun 1997 hingga 1998 angka kemiskinan meningkat hingga mencapai angka 24,23 persen (49,5 juta penduduk). Saat krisis itu terjadi, kondisi perekonomian sangat buruk, sektor moneter dan riil mengalami goncangan (shock), pertumbuhan ekonomi turun hingga -13,13 persen, banyak terjadi PHK, dan harga barang kebutuhan pokok melonjak. Semua ini menyebabkan daya beli penduduk semakin menurun, penduduk kesulitan memenuhi kebutuhannya sehingga peningkatan jumlah penduduk miskin tak terelakkan lagi. Setelah krisis ekonomi berakhir secara perlahan angka kemiskinan mulai turun meskipun masih berfluktuasi. Pada periode angka kemiskinan menurun, namun meningkat lagi pada tahun Peningkatan angka kemiskinan ini disebabkan oleh naiknya harga barang-barang kebutuhan pokok sebagai dampak dari naiknya harga bahan bakar minyak yang ditetapkan pemerintah pada tahun Pada periode angka kemiskinan kembali menurun hingga mencapai 14,15 persen pada tahun Perkembangan persentase penduduk miskin di Indonesia disajikan pada Gambar 1.

20 Sumber: BPS, Statistik Indonesia, Gambar 1 Perkembangan persentase penduduk miskin di Indonesia periode Keragaman antar daerah merupakan ciri khas Indonesia. Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia (KTI) merupakan dua kawasan yang telah ditetapkan pemerintah dengan tujuan untuk mengefektifkan programprogram pembangunan. Pembentukan kedua kawasan tersebut didasari adanya beberapa perbedaan, antara lain kondisi geografis, kondisi ekonomi, kondisi sosial, kondisi kemiskinan dan berbagai perbedaan lainnya. Beragamnya perbedaan tersebut tentunya harus disikapi oleh pemerintah dengan kebijakan yang berbeda dalam berbagai hal, termasuk dalam menanggulangi kemiskinan. Berdasarkan Gambar 1, kemiskinan lebih banyak dialami oleh penduduk yang tinggal di Kawasan Timur Indonesia. Pada tahun 2000 angka kemiskinan di Kawasan Timur Indonesia sebesar 24,15 persen sedangkan di Kawasan Barat Indonesia sebesar 18,02 persen. Secara perlahan angka ini cenderung menurun hingga tahun 2009 mencapai angka 15,90 persen di Kawasan Timur Indonesia dan 13,73 persen di Kawasan Barat Indonesia. Perbedaan kemiskinan yang terjadi antar kawasan di Indonesia dimungkinkan karena akar masalah yang menjadi faktor penyebab kemiskinan di setiap kawasan berbeda. Sebagai ilustrasi, kemiskinan di Jawa yang merupakan bagian dari Kawasan Barat Indonesia cenderung berasal dari involusi pertanian dan ledakan penduduk, sehingga banyak keluarga miskin di pulau ini yang tidak lagi memiliki aset dan hanya mengandalkan sektor pertanian dengan lahan yang

21 relatif kecil sebagai mata pencaharian utama (Geertz 1963). Sementara itu, Papua yang merupakan bagian dari Kawasan Timur Indonesia mempunyai aset dalam bentuk hamparan tanah yang luas dan sumberdaya alam yang melimpah dengan jumlah penduduk yang relatif kecil. Tingginya penduduk miskin di Papua menunjukkan bahwa kekayaan alam yang mereka miliki tidak dapat dinikmati oleh semua rakyat. Kurangnya kemampuan penduduk dalam mengelola aset-aset tersebut menjadikan sebagian besar aset itu dikuasai oleh pihak asing yang cenderung sulit untuk diakses oleh masyarakat setempat. 1.2 Perumusan Masalah Pada masa pemerintahan orde baru, strategi penurunan kemiskinan lebih ditekankan pada pembangunan ekonomi yang mengutamakan tingginya angka pertumbuhan ekonomi. Ini dikarenakan keyakinan para pembuat kebijakan dan perencana pembangunan akan adanya trickle down effect (Tambunan 2003). Pertumbuhan ekonomi diharapkan dapat memberikan manfaat bagi semua kalangan masyarakat, terutama masyarakat miskin melalui penciptaan lapangan kerja. Lapangan kerja yang lebih banyak dapat memperluas kesempatan kerja bagi penduduk miskin sehingga dapat meningkatkan kesejahteraannya dan mampu keluar dari kemiskinan. Fakta memperlihatkan bahwa trickle down effect yang diinginkan tidak tercapai. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak diikuti oleh ketersediaan kesempatan kerja yang memadai sehingga tingkat kemiskinan sulit turun. Mempertimbangkan keadaan ini maka strategi pembangunan mulai diubah, tidak hanya mengejar pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan tetapi juga berorientasi pada peningkatan kesejahteraan rakyat (Tambunan 2006). Rakyat yang sejahtera bisa tercapai jika pembangunan ekonomi memperhatikan semua golongan masyarakat, terutama golongan masyarakat miskin. Untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin maka beberapa program penanggulangan kemiskinan diimplementasikan pemerintah dengan cara memenuhi hak-hak dasar warga negara secara layak, meningkatkan kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat miskin, penguatan kelembagaan sosial ekonomi masyarakat serta melaksanakan percepatan pembangunan daerah tertinggal.

22 Menurut Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K 2010), terdapat empat strategi penanggulangan kemiskinan yang dilaksanakan pemerintah, antara lain: (1) Memperbaiki program perlindungan sosial. Program ini dimaksudkan untuk membantu individu dan masyarakat menghadapi goncangan (shocks) sehingga apabila terjadi musibah tidak sampai jatuh miskin. Program tersebut berupa bantuan sosial untuk melindungi mereka yang tidak miskin agar tidak jatuh miskin, dan bagi penduduk miskin tidak semakin miskin. (2) Meningkatkan akses pelayanan dasar. Pelayanan dasar tersebut meliputi akses terhadap pelayanan pendidikan, kesehatan, air bersih dan sanitasi, serta pangan dan gizi. Tujuan dari program ini adalah untuk meringankan biaya yang harus ditanggung masyarakat miskin untuk mendapatkan pelayanan publik. Harapannya adalah akan terjadi peningkatan kualitas sumberdaya manusia (human capital) sehingga akan meningkatkan produktivitas kerja mereka sehingga memungkinkan mereka untuk menghasilkan pendapatan yang lebih tinggi dan mampu keluar dari kemiskinan. (3) Pemberdayaan kelompok masyarakat miskin. Pemberdayaan ini sangat penting mengingat kemiskinan juga disebabkan oleh ketidakadilan dan struktur ekonomi yang tidak berpihak kepada masyarakat miskin. Hasilhasil pembangunan tidak terdistribusi secara merata di semua kalangan masyarakat sehingga mereka tidak ikut menikmati hasil pembangunan tersebut. Ironisnya, sering proses pembangunan itu justru membuat mereka semakin tersisihkan dan menjadi semakin miskin baik secara fisik maupun sosial. (4) Pembangunan yang inklusif. Maksudnya adalah pembangunan yang dapat memberikan manfaat kepada seluruh rakyat. Pertumbuhan ekonomi harus mampu menciptakan lapangan kerja produktif dalam jumlah besar, selanjutnya diharapkan terdapat multiplier effect pada peningkatan pendapatan mayoritas penduduk, peningkatan taraf hidup, sehingga kemiskinan berkurang.

23 Implementasi dari program-program tersebut diwujudkan melalui beberapa pendekatan antara lain pendekatan sektoral, regional, kelembagaan dan kebijakan khusus. Beberapa program yang telah dilaksanakan antara lain Inpres Desa Tertinggal (IDT), Jaring Pengaman Sosial (JPS), Bantuan Langsung Tunai (BLT), Program Pengembangan Kecamatan (PPK), Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP), Beras untuk rakyat miskin (Raskin) dan berbagai program yang melibatkan unsur kelembagaan. Program-program tersebut dilakukan oleh pemerintah dengan harapan persoalan kemiskinan dapat diatasi, namun kenyataan menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan tetap tinggi. Ini dapat diartikan bahwa kebijakan-kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah belum cukup efektif dalam mengentaskan kemiskinan. Ada beberapa kelemahan dari program-program tersebut, antara lain: pertama, program yang berbasis bantuan tidak mendidik dan bukan solusi yang tepat karena sifatnya hanya menyembuhkan sementara, tidak menghilangkan kemiskinan. Dampak lainnya adalah timbul kecemburuan sosial dari masyarakat yang tidak mendapatkannya, sehingga keributan terjadi di berbagai daerah. Lebih lanjut, kebijakan semacam ini sangat rentan untuk diselewengkan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab, sehingga bantuan menjadi salah sasaran. Contohnya program BLT, Raskin, dan lainnya. Kedua, kebijakan diambil didasarkan pada asumsi bahwa kemiskinan bersifat homogen di setiap daerah, sehingga kebijakan dan program yang dilakukan kurang mempertimbangkan keragaman sebab dan karakteristik kemiskinan daerah. Semua inisiatif program berasal dari pemerintah pusat, begitu juga dengan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis implementasi program selalu dibuat seragam tanpa memperhatikan karakteristik masyarakat miskin di setiap daerah. Akibatnya, program yang dilaksanakan kurang sesuai dengan prioritas penanganan dan kebutuhan masyarakat miskin setempat (TNP2K 2010). Beberapa kelemahan program-program penanggulangan kemiskinan juga diungkapkan Menko Kesra (2005), yaitu: (1) pembangunan terlalu berorientasi pada pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan kurang memperhatikan pemerataan, (2) ada kecenderungan penekanan pada aspek sektoral dan kekuatan sektoral, (3) kurang memperhatikan persoalan-persoalan kemiskinan yang multidimensi,

24 (4) cenderung terfokus pada sifat kedermawanan dalam menanggulangi kemiskinan, (5) pemerintah terlalu memonopoli dalam upaya menanggulangi kemiskinan dan (6) kurang memahami akar penyebab kemiskinan. Berbagai kritik terhadap program penanggulangan kemiskinan menunjukkan bahwa beberapa aspek perlu diperhatikan dalam menanggulangi kemiskinan di setiap kawasan. Aspek-aspek tersebut mencakup aspek sosial, ekonomi, budaya, politik serta aspek waktu dan ruang. Faktor-faktor penyebab kemiskinan perlu terlebih dahulu diperhatikan agar kebijakan penanggulangan kemiskinan sesuai dengan kondisi wilayah dan masyarakat di setiap wilayah. Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia merupakan dua kawasan yang telah dibentuk pemerintah Indonesia sejak tahun Kawasan Barat Indonesia meliputi 14 provinsi, yaitu Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, D.I. Yogyakarta, Jawa Timur dan Bali. Kawasan Timur Indonesia meliputi 12 provinsi, yaitu Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT), Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Maluku dan Papua. Jika dilihat dari aspek ekonomi, seperti tercermin dalam indikator tingginya PDRB, ternyata tidak dengan sendirinya berimplikasi pemerataan pertumbuhan yang seimbang antara Kawasan Barat dan Timur Indonesia. Perkembangan antar daerah memperlihatkan kecenderungan bahwa daerah-daerah di Kawasan Barat Indonesia umumnya mengalami perkembangan ekonomi lebih cepat dibandingkan dengan daerah di Kawasan Timur Indonesia. Demikian juga dari aspek sosial, seperti kualitas sumberdaya manusia, ketersediaan fasilitas publik, kuantitas dan kualitas infrastruktur di Kawasan Barat Indonesia relatif lebih baik dibandingkan dengan Kawasan Timur Indonesia. Terkait dengan masalah kemiskinan di kedua kawasan tersebut, rumusan kebijakan penanggulangan kemiskinan yang didasarkan pada beragamnya akar permasalahan yang menjadi faktor penyebab kemiskinan di masing-masing kawasan menjadi menarik untuk diteliti. Harapannya program-program ini dapat dijadikan pertimbangan bagi pemerintah dalam mengatasi masalah kemiskinan

25 sehingga kemiskinan bisa secara efektif diturunkan. Lebih lanjut, pemerintah bisa lebih selektif dalam mengalokasikan anggaran penurunan kemiskinan berdasarkan prioritas kebutuhan di setiap daerah. Berdasarkan uraian tersebut, perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Faktor-faktor apa yang memengaruhi kemiskinan di Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia? 2. Kebijakan seperti apa yang dibutuhkan, sehingga bisa lebih efektif menurunkan kemiskinan di Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia? 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan uraian pada latar belakang dan perumusan masalah, maka penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan di Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia. 2. Merumuskan kebijakan yang diharapkan lebih efektif menurunkan kemiskinan di Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia. 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah memberikan informasi mengenai faktorfaktor yang memengaruhi kemiskinan di Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia dan merumuskan kebijakan penanggulangan kemiskinan yang didasarkan pada faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan di setiap kawasan. Penelitian ini juga diharapkan bisa dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi pemerintah dalam mengambil kebijakan untuk mengentaskan kemiskinan. 1.5 Ruang lingkup Penelitian ini meliputi dua hal, yaitu: pertama, memberikan informasi mengenai faktor-faktor yang memengaruhi tingkat kemiskinan. Kedua, merumuskan kebijakan penanggulangan kemiskinan yang didasarkan pada faktorfaktor yang memengaruhi kemiskinan di Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia.

26 Analisis dilakukan di setiap kawasan dengan periode analisis Data yang digunakan berupa data sekunder, yaitu data kemiskinan, jumlah penduduk, jumlah pekerja pertanian, tingkat pendidikan penduduk, PDRB perkapita, pengangguran, infrastruktur jalan dan listrik serta data-data pendukung yang relevan dengan penelitian. Data bersumber dari Badan Pusat Statistik, Departemen Pertanian serta sumber-sumber lainnya.

27 Halaman ini sengaja dikosongkan

28 II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Definisi Kemiskinan Definisi kemiskinan telah mengalami perluasan, seiring dengan semakin kompleksnya faktor penyebab, indikator maupun permasalahan lain yang melingkupinya. Kemiskinan tidak lagi hanya dianggap sebagai dimensi ekonomi melainkan telah meluas hingga dimensi sosial, kesehatan, pendidikan dan politik. Pada dasarnya definisi kemiskinan dapat dilihat dari dua sisi, yaitu: a) Kemiskinan absolut Kemiskinan yang dikaitkan dengan perkiraan tingkat pendapatan dan kebutuhan yang hanya dibatasi pada kebutuhan pokok atau kebutuhan dasar minimum yang memungkinkan seseorang untuk hidup secara layak. Dengan demikian kemiskinan diukur dengan membandingkan tingkat pendapatan orang dengan tingkat pendapatan yang dibutuhkan untuk memperoleh kebutuhan dasarnya yakni makanan, pakaian dan perumahan agar dapat menjamin kelangsungan hidupnya. b) Kemiskinan relatif Kemiskinan dilihat dari aspek ketimpangan sosial, karena ada orang yang sudah dapat memenuhi kebutuhan dasar minimumnya tetapi masih jauh lebih rendah dibanding masyarakat sekitarnya (lingkungannya). Semakin besar ketimpangan antara tingkat penghidupan golongan atas dan golongan bawah maka akan semakin besar pula jumlah penduduk yang dapat dikategorikan miskin, sehingga kemiskinan relatif erat hubungannya dengan masalah distribusi pendapatan. Sayogyo (1978) menguraikan konsep kemiskinan dengan membedakan antara daerah perdesaan dan perkotaan. Mereka disebut miskin apabila mempunyai pendapatan per kapita kurang dari 320 kg beras di desa dan kurang dari 480 kg beras di kota. Kelemahan dari konsep ini kurang mempertimbangkan adanya peningkatan kebutuhan pokok yang lain, yang tentunya ikut berubah dengan meningkatnya pendapatan. Selain itu, uraian konsep kemiskinan di atas hanya mencakup kebutuhan makan, belum terhitung kebutuhan nonmakanan seperti sandang, pendidikan, kesehatan dan kebutuhan lainnya.

29 Pada tahun 1979, Friedman mendefinisikan kemiskinan sebagai kurangnya kesempatan untuk mengakumulasikan aset-aset produktif, organisasi sosial dan politik yang mampu mewujudkan kepentingan umum, sosialisasi yang dapat memberikan kesempatan untuk bekerja, informasi dan pendidikan serta teknologi yang menjadi tuntutan hidup. Pada waktu yang sama, Scott mengartikan kemiskinan dari sudut pandang pendapatan, baik dalam bentuk materi maupun nonmateri. Scott mengemukakan tiga definisi kemiskinan. Pertama, kemiskinan merupakan buruknya kondisi seseorang karena kurangnya pendidikan, kesehatan dan transportasi. Hal ini mengakibatkan kemampuan dan produktivitas kerja menurun sehingga pendapatan yang diperoleh tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kedua, definisi miskin yang disebabkan karena kurangnya aset produktif seseorang, seperti uang, tanah, rumah dan fasilitas lainnya. Ketiga, kemiskinan didefinisikan sebagai kondisi kehidupan seseorang atau masyarakat yang tidak dipenuhi kebutuhan nonmaterinya, seperti hak kebebasan, hak untuk memperoleh pekerjaan yang layak, hak untuk merdeka dan kebutuhan nonmateri lainnya. Kesimpulannya, kemiskinan bisa dipandang sebagai suatu keadaan yang kompleks, tidak hanya berkenaan dengan tingkat pendapatan, tetapi juga dari aspek sosial, lingkungan bahkan keberdayaan dan tingkat partisipasinya. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), penduduk miskin yaitu penduduk yang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar minimum makanan dan non makanan. Besarnya nilai pengeluaran (dalam rupiah) untuk memenuhi kebutuhan dasar minimum makanan dan non makanan tersebut disebut garis kemiskinan. Nilai garis kemiskinan yang digunakan mengacu pada kebutuhan minimum kilo kalori per kapita per hari ditambah dengan kebutuhan minimum non makanan yang merupakan kebutuhan dasar seseorang yang meliputi kebutuhan dasar untuk papan, sandang, sekolah, transportasi, serta kebutuhan rumahtangga dan individu yang mendasar lainnya. Pada penelitian ini, konsep kemiskinan mengacu pada konsep yang telah dibuat oleh BPS. Selain BPS, ada beberapa instansi juga menetapkan kriteria kemiskinan, antara lain: BKKBN (Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional), World Bank dan UNDP (United Nations for Development Programs). BKKBN menetapkan kemiskinan berdasarkan kriteria keluarga pra sejahtera (pra KS) dan

30 keluarga sejahtera I (KS I). World Bank menetapkan kemiskinan berdasarkan pada pendapatan per orang per hari. Biasanya ukuran yang digunakan US$ 1 atau US$ 2. Penduduk dengan penghasilan dibawah nilai nominal tersebut dikategorikan sebagai penduduk miskin. 2.2 Indikator Kemiskinan Penghitungan kemiskinan yang dilakukan BPS didasarkan pada garis kemiskinan (GK). GK dihitung berdasarkan rata-rata pengeluaran makanan dan non makanan per kapita pada kelompok referensi (reference population) atau penduduk kelas marjinal, yaitu mereka yang hidupnya dikategorikan berada sedikit di atas perkiraan awal GK. Perkiraan awal GK ini dihitung berdasarkan GK periode sebelumnya yang diinflate/dideflate dengan inflasi/deflasi. GK dibagi ke dalam dua bagian yaitu Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM). BPS setiap tahun menetapkan garis kemiskinan berdasarkan susenas panel/modul konsumsi dengan informasi tambahan hasil Survei Paket Komoditi Kebutuhan Dasar (SPKKD) yang dipakai untuk memperkirakan proporsi dari pengeluaran masing-masing komoditi pokok bukan makanan. Pada tahun 1995 BPS telah melaksanakaan SPKKD untuk penghitungan jumlah penduduk miskin tahun Karena hasil SPKKD tahun 1995 sudah tidak relevan lagi maka pada tahun 2004 BPS kembali melaksanakan SPKKD untuk menghitung jumlah penduduk miskin tahun 2004 sampai sekarang. Pemilihan jenis barang dan jasa non makanan mengalami perkembangan dan penyempurnaan dari tahun ke tahun disesuaikan dengan perubahan pola konsumsi penduduk. Pada periode sebelum tahun 1993 terdiri dari 14 komoditi di perkotaan dan 12 komoditi di perdesaan. Sementara itu sejak tahun 1996 terdiri dari 27 sub kelompok (51 jenis komoditi) di perkotaan dan 25 sub kelompok (47 jenis komoditi) di perdesaan. Penghitungan jumlah dan persentase penduduk miskin provinsi dibedakan menurut perkotaan dan perdesaan berdasarkan GK (GKM + GKNM) yang juga dibedakan menurut perkotaan dan perdesaan. Penghitungan indikator kemiskinan didasarkan pada formula yang di sarankan oleh Foster-Greer-Thorbecke (1984) sebagai berikut:

31 P 1 n q i 1 keterangan: = 0, 1, 2 z q n y i = garis kemiskinan z y z i = rata-rata pengeluaran perkapita sebulan penduduk yang berada dibawah garis kemiskinan ( i=1, 2, 3,, q), y i < q = banyaknya penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan = jumlah penduduk Jika =0 maka diperoleh Head Count Index (P 0 ); =1 adalah Poverty Gap Index (P 1 ); dan =2 merupakan ukuran Poverty Severity Index (P 2 ). (1) The incident of poverty atau Head count index (HCI) adalah ukuran kemiskinan jika pada formula Foster-Greer-Thorbecke nilai samadengan nol, sehingga: P 0 q n Penghitungan ini menunjukkan persentase dari populasi yang hidup dalam keluarga dengan pengeluaran konsumsi per kapita dibawah garis kemiskinan. (2) The depth of poverty atau poverty gap merupakan kedalaman/jurang kemiskinan jika pada formula Foster-Greer-Thorbecke nilai samadengan satu, sehingga: P 1 1 n q i 1 z y z i Ukuran ini menggambarkan dalamnya kemiskinan, yakni perbedaan jarak rata-rata pendapatan orang miskin dari garis kemiskinan. Poverty gap index berguna untuk mengetahui seberapa banyak sumberdaya (uang) yang dibutuhkan untuk mengentaskan kemiskinan melalui transfer uang (cash transfer) yang ditujukan kepada orang miskin dengan sempurna. Misalkan poverty gap = 0,3 maka cash transfer yang diperlukan untuk menghapus kemiskinan adalah sebesar 30 persen dari garis kemiskinan. Semakin tinggi nilai indeks ini semakin besar rata-rata kesenjangan pengeluaran penduduk miskin terhadap garis kemiskinan atau dengan kata lain semakin tinggi nilai indeks

32 menunjukkan kehidupan ekonomi penduduk miskin semakin terpuruk (3) Squared poverty gap atau poverty severity index adalah ukuran yang menggambarkan keparahan kemiskinan. Jika pada formula Foster-Greer- Thorbecke nilai samadengan dua, sehingga: P 2 1 n q i 1 z y z i 2 Indeks ini menggambarkan ketimpangan diantara orang miskin. Sampai batas tertentu squared poverty gap dapat memberikan gambaran mengenai penyebaran pengeluaran diantara penduduk miskin, dan dapat juga digunakan untuk mengetahui intensitas kemiskinan. 2.3 Penyebab Kemiskinan Jhingan (2004), mengemukaan tiga ciri utama negara berkembang yang menjadi penyebab dan sekaligus akibat yang saling terkait pada kemiskinan. Pertama, prasarana dan sarana pendidikan yang tidak memadai sehingga menyebabkan tingginya jumlah penduduk buta huruf dan tidak memiliki ketrampilan ataupun keahlian. Ciri kedua, sarana kesehatan dan pola konsumsi buruk sehingga hanya sebahagian kecil penduduk yang bisa menjadi tenaga kerja produktif dan yang ketiga adalah penduduk terkonsentrasi di sektor pertanian. Mawardi (2004) menyebutkan ada enam kategori yang menyebabkan kemiskinan, antara lain: 1. Ketidakberdayaan Faktor ketidakberdayaan merupakan faktor di luar kendali masyarakat miskin, yang mencakup aspek ketersediaan lapangan pekerjaan, tingkat biaya/harga (baik barang konsumsi, sarana produksi, maupun harga jual produksi), kebijakan pemerintah, sistem adat, lilitan hutang, keamanan, dan takdir/kodrat. Aspek takdir ini merupakan bentuk kepasrahan dari masyarakat miskin karena kondisi kemiskinan yang mereka alami sudah sedemikian rupa sehingga timbullah sikap apatis dan mereka menganggap bahwa hanya mukjizat Tuhan yang bisa mengubah keadaan.

33 2. Kekurangan materi Yang termasuk dalam kategori kekurangan materi adalah kepemilikan atau tidak memiliki berbagai macam aset, seperti rumah, tanah, modal kerja, warisan, serta rendahnya penghasilan karena upah atau hasil panen yang rendah. Faktor kekurangan materi merupakan faktor penyebab kemiskinan yang dominan selain faktor ketidakberdayaan. 3. Keterkucilan Faktor keterkucilan terkait dengan hambatan fisik dan nonfisik dalam mengakses kesempatan meningkatkan kesejahteraan, antara lain karena lokasi yang terpencil, prasarana transportasi yang buruk, tingkat pendidikan dan keterampilan yang rendah, akses terhadap kredit, pendidikan, kesehatan, irigasi dan air bersih tidak ada/kurang memadai. 4. Kelemahan fisik Yang termasuk dalam faktor kelemahan fisik antara lain: kondisi kesehatan, kemampuan kerja, kurang makan dan gizi, dan masalah sanitasi. Pada umumnya kondisi kesehatan yang buruk dianggap lebih penting sebagai penyebab kemiskinan dibandingkan faktor ketidakmampuan bekerja. 5. Kerentanan Faktor kerentanan mencerminkan kondisi ketidakstabilan atau guncangan yang dapat menyebabkan turunnya tingkat kesejahteraan. Didalamnya mencakup aspek pemutusan hubungan kerja (PHK), pekerjaan tidak tetap, masalah dalam produksi, bencana alam dan musibah dalam keluarga. 6. Sikap dan perilaku Kebiasaan buruk atau sikap yang cenderung menghambat kemajuan masuk dalam kategori ini. Didalamnya mencakup kurangnya upaya untuk bekerja, tidak bisa mengatur uang atau boros, masalah ketidakharmonisan keluarga, serta kebiasaan berjudi/mabuk. Smeru (2001) menyampaikan delapan penyebab dasar kemiskinan, antara lain: (1) kegagalan kepemilikan terutama tanah dan modal, (2) keterbatasan bahan kebutuhan dasar, sarana dan prasarana, (3) adanya kecenderungan kebijakan yang diambil pemerintah bias perkotaan dan bias sektor, (4) sistem yang kurang mendukung dan perbedaan kesempatan antar masyarakat, (5) perbedaan

34 sumberdaya manusia dan perbedaan sektor ekonomi (tradisional versus modern), (6) produktivitas dan tingkat pembentukan modal yang rendah, (7) budaya hidup yang cenderung dikaitkan dengan kemampuan seseorang dalam mengelola sumberdaya alam dan lingkungan, dan (8) tata kelola pemerintahan yang belum baik. Selanjutnya, Suryawati (2005) menyampaikan beberapa penyebab kemiskinan perdesaan, antara lain: (1) Natural assets, mencakup tanah dan air. Sebagian besar masyarakat desa hanya menguasai lahan yang relatif kecil sebagai mata pencahariannya. (2) Human assets, yakni kualitas sumberdaya manusia di perdesaan masih rendah dibandingkan dengan masyarakat perkotaan. (3) Physical assets, masih rendahnya akses masyarakat ke infrastruktur dan pelayanan umum antara lain jalan, listrik dan telekomunikasi. (4) Financial assets, yakni tabungan yang masih kecil dan keterbatasan akses untuk memperoleh modal usaha. (5) Social assets, lebih kepada pengaruh politik. Pada tahun 2006, Papilaya dan Sugihen meneliti tentang akar dan strategi pengentasan kemiskinan di tiga kabupaten/kota yang terletak di Provinsi Gorontalo. Dari hasil penelitian mereka dinyatakan bahwa akar penyebab kemiskinan yang paling menentukan yaitu kurang produktifnya perilaku rumahtangga miskin dan kurang normatifnya perilaku elit. Secara kualitatif, kurang produktifnya perilaku rumahtangga miskin terlihat dari perilaku seperti perilaku hedonis, konsumtif, ketergantungan, suka berhutang, apatis dan fatalis. Sementara itu, kurang normatifnya perilaku elit dapat terlihat pada perilaku mencari keuntungan (rent seeking behavior) pelaksana program kemiskinan seperti yang diungkapkan oleh rumahtangga miskin pada waktu diskusi kelompok terfokus (FGD). Disamping itu, perilaku mengutamakan keluarga dekat (nepotisme) dan perilaku pilih kasih (favoritisme).

35 2.4 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kemiskinan Beberapa variabel yang memengaruhi kemiskinan adalah sebagai berikut: Jumlah Penduduk Sumberdaya manusia merupakan faktor penting dalam pertumbuhan ekonomi, namun tidak semata-mata tergantung dari jumlah penduduknya saja, tetapi lebih ditekankan pada efisiensi dan produktivitas dari penduduk tersebut. Jumlah penduduk yang terlalu banyak atau kepadatan penduduk yang terlalu tinggi akan menjadi penghambat pembangunan ekonomi di negara berkembang. Pendapatan per kapita yang rendah dan tingkat pembentukan modal yang rendah semakin sulit bagi negara berkembang untuk menopang ledakan jumlah penduduk. Sekalipun output meningkat sebagai hasil teknologi yang lebih baik dan pembentukan modal, peningkatan ini akan ditelan oleh jumlah penduduk yang terlalu banyak. Alhasil, tidak ada perbaikan dalam laju pertumbuhan nyata perekonomian. (Jhingan 2003) Pada tahun 2008 Jhingan mengemukakan pengaruh buruk pertumbuhan penduduk yang tinggi terhadap perekonomian yang dalam hal ini pendapatan per kapita. Pertumbuhan penduduk cenderung memperlambat pendapatan per kapita melalui tiga cara, yaitu: 1) ia memperberat beban penduduk pada lahan; 2) ia menaikkan barang konsumsi karena kekurangan faktor pendukung untuk menaikkan penawaran mereka; 3) memerosotkan akumulasi modal, karena dengan tambah anggota keluarga, biaya meningkat. Kondisi ini akan semakin parah apabila persentase anak-anak pada keseluruhan penduduk tinggi, karena anakanak hanya menghabiskan dan tidak menambah produk, dan jumlah anak yang menjadi tanggungan keluarga lebih besar daripada jumlah mereka yang menghasilkan, sehingga pendpatan per kapita menjadi rendah. Siregar dan Wahyuniarti (2007) dalam penelitiannya Dampak Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Penurunan Jumlah Penduduk Miskin menghasilkan temuan bahwa peningkatan jumlah populasi penduduk sebesar 1000 orang akan meningkatkan jumlah penduduk miskin sebanyak 249 orang. Penemuan yang sama diperoleh Suparno (2010) yang menunjukkan bahwa peningkatan jumlah penduduk terbukti meningkatkan jumlah kemiskinan di Indonesia.

36 2.4.2 Jumlah Pekerja Sektor Pertanian Sektor pertanian merupakan sumber mata pencaharian utama bagi sebagian besar penduduk Indonesia yang mayoritas tinggal di perdesaan. Dari tahun 2000 hingga 2008, sekitar 40 persen angkatan kerja nasional melakukan aktivitas ekonomi di sektor pertanian (BPS 2008). Seiring dengan maraknya isu indudtrialisasi dan alih fungsi lahan pertanian menjadi perumahan menyebabkan lahan pertanian mengalami pengurangan, bahkan semakin banyak pula penduduk yang tidak mempunyai lahan sama sekali. Semakin berkurang lahan pertanian maka produktivitas pertanian turun sehingga output pertanian juga turun, dan dampaknya adalah terjadinya penurunan pendapatan petani. Jika pendapatan petani berkurang maka sulit bagi mereka untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, sehingga kemiskinan bertambah. Menurut Arsyad (2010), satu faktor penyebab kemiskinan di sektor pertanian adalah rendahnya produktivitas di sektor tersebut dan hal ini salah satunya disebabkan oleh distribusi lahan pertanian yang semakin timpang. Ketimpangan penguasaan lahan pertanian terjadi di Indonesia sudah sejak lama. Program land reform dilaksanakan pada pertengahan tahun 1960-an oleh pemerintahan pada masa itu, namun program ini tidak berhasil mengatasi masalah ketimpangan penguasaan lahan ini seiring dengan perubahan sistem politik dan ekonomi pada masa rezim orde baru. Sebuah realita menunjukkan bahwa pertanian di Indonesia didominasi oleh petani kecil (petani gurem). Petani gurem adalah petani dengan luas lahan garapan kurag dari 0,5 ha. Pada tahun 1983, jumlah petani gurem sekitar 46,2 persen dari keseluruhan petani. Duapuluh tahun kemudian, yaitu tahun 2003, jumlah petani gurem meningkat menjadi 56,4 persen. Salah satu sebab rendahnya produktivitas pertanian adalah rendahnya tingkat pendidikan petani dan buruh tani relatif rendah. Menurut teori pertumbuhan endogen, pendidikan merupakan pendorong meningkatnya output melalui peningkatan produktivitas pekerja karena sumberdaya manusia yang berkualitas. Pada tahun 2003, sekitar 31,62 persen petani di Indonesia tidak pernah mengenyam pendidikan formal, dan sebagian besar tinggal di perdesaan.

37 Petani yang berpendidikan dasar sekitar 44,98 persen, dan hanya sekitar 1,69 persen petani yang pernah menempuh pendidikan di perguruan tinggi (BPS 2003). Nurkse (Arsyad 2010) dalam satu konsepnya mengenai lingkaran kemiskinan, menyebutkan bahwa timbulnya lingkaran setan kemiskinan disebabkan kurangnya akses dalam pembentukan modal. Lembaga perbankan yang ada di Indonesia masih kurang menjangkau petani kecil. Petani yang paling sering mendapatkan kredit adalah petani pemilik lahan, misalnya pemilik lahan kelapa sawit. Kurangnya modal menyebabkan petani kecil sulit untuk mengembangkan usahanya, sehingga pendapatan yang diterimanya sulit untuk meningkat. Akibatnya, kemiskinan di sektor pertanian cenderung persistent dan sulit untuk diturunkan Tingkat Pendidikan Pendidikan berfungsi sebagai driving force atau daya penggebrak transformasi masyarakat untuk memutus rantai kemiskinan. Pendidikan membantu menurunan kemiskinan melalui efeknya pada produktivitas tenaga kerja dan melalui jalur manfaat sosial, maka pendidikan merupakan sebuah tujuan pembangunan yang penting bagi bangsa (World Bank 2005). Pendidikan sebagai sarana untuk memperoleh wawasan, ilmu pengetahuan dan keterampilan agar peluang kerja lebih terbuka dan upah yang didapat juga lebih tinggi. Rahman (2006) menemukan adanya hubungan positif antara tingkat pendidikan dengan upah/gaji yang diterima oleh pekerja. Menurut teori pertumbuhan endogen yang dipelopori oleh Lucas dan Romer (1996), pendidikan merupakan salah satu faktor pendorong pertumbuhan ekonomi. Pendidikan menjadi sarana untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia yang nantinya menghasilkan tenaga kerja yang lebih produktif. Tenaga kerja yang mempunyai produktivitas tinggi akan menghasilkan output yang lebih banyak sehingga secara agregat akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Andersson et.al (2005) dalam penelitiannya yang berjudul Determinants of Poverty in Lao PDR menyatakan bahwa pendidikan seseorang sebagai salah satu determinan konsumsi per kapita. Suparno (2010) menemukan bahwa rata-rata lama sekolah yang menunjukkan tingkat pendidikan masyarakat mampu

38 menurunkan tingkat kemiskinan di Indonesia. Masyarakat yang berpendidikan tinggi akan mempunyai keterampilan dan keahlian, sehingga dapat meningkatkan produktivitasnya. Peningkatan produktivitas akan meningkatkan output perusahaan, peningkatan upah pekerja, peningkatan daya beli masyarakat sehingga akan mengurangi kemiskinan Upah Minimum Provinsi (UMP) Kebijakan upah minimum di Indonesia tertuang dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor : Per-01/Men/1999 dan UU Ketenagakerjaan No. 13 tahun Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor : Per-01/Men/1999 tentang Upah Minimum adalah upah bulanan terendah yang terdiri dari upah pokok termasuk tunjangan tetap. Yang dimaksud dengan tunjangan tetap adalah suatu jumlah imbalan yang diterima pekerja secara tetap dan teratur pembayarannya, yang tidak dikaitkan dengan kehadiran ataupun pencapaian prestasi tertentu. Dalam rangka mewujudkan penghasilan yang layak bagi pekerja, perlu ditetapkan upah minimum dengan mempertimbangkan peningkatan kesejahteraan pekerja tanpa mengabaikan peningkatan produktivitas dan kemajuan perusahaan serta perkembangan perekonomian pada umumnya. Upah minimum merupakan upah terendah yang diterima karyawan/pekerja yang masa kerjanya dibawah satu tahun. Bagi yang bekerja lebih dari satu tahun, maka upah yang diterima diatur oleh peraturan perusahaan dengan sistem pengupahan yang telah disepakati antara pengusaha dan serikat pekerja perusahaan. Penetapan upah minimum kabupaten/kota harus tetap berdasarkan kesepakatan tripartit antara buruh, pengusaha, dan pemerintah. Fungsi upah minimum pada dasarnya sebagai jaring pengaman terhadap pekerja atau buruh agar tidak diekspolitasi dalam bekerja sehingga penentuannya tetap melibatkan pemerintah. Tujuan utama ditetapkannya upah minimum adalah memenuhi standar hidup minimum seperti untuk kesehatan, efisiensi, dan kesejahteraan pekerja. Upah minimum adalah usaha untuk mengangkat derajat penduduk berpendapatan rendah, terutama pekerja miskin. Semakin meningkat tingkat upah minimum akan meningkatkan pendapatan masyarakat sehingga kesejahteraan juga meningkat dan terbebas dari kemiskinan (Kaufman 2000). Beberapa hal yang menjadi bahan

39 pertimbangan termasuk meningkatkan kesejahteraan para pekerja tanpa menafikkan produktifitas perusahaan dan kemajuannya, termasuk juga pertimbangan mengenai kondisi ekonomi secara umum Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) perkapita Pro poor growth menurut Kakwani, et al. (2004) yaitu pertumbuhan ekonomi yang lebih memberikan keuntungan atau manfaat bagi penduduk miskin dan memberikan kesempatan untuk memperbaiki keadaan ekonominya. Jika ini terjadi maka akan berdampak semakin banyak penduduk miskin yang mengalami peningkatan pendapatan dan mampu keluar dari kemiskinan. Pertumbuhan ekonomi yang pro poor akan terwujud jika pertumbuhan ekonomi lebih banyak dihasilkan dari partisipasi ekonomi penduduk miskin. Hal ini berdampak pada tingkat kemiskinan yang semakin mengecil. Beberapa pendapat mengenai keterkaitan antara pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kemiskinan seperti diuraikan Todaro dan Smith (2006). Pendapat pertama, pertumbuhan yang cepat berakibat buruk pada kaum miskin. Hal ini terjadi karena kaum miskin akan tergilas dan terpinggirkan oleh perubahan struktural pertumbuhan modern. Pendapat kedua, di kalangan pembuat kebijakan, pengeluaran publik yang digunakan untuk menanggulangi kemiskinan akan mengurangi dana yang dapat digunakan untuk untuk mempercepat pertumbuhan. Pendapat ketiga, kebijakan untuk mengurangi kemiskinan bukan memperlambat laju pertumbuhan, dengan argumen sebagai berikut: 1. Kemiskinan membuat kaum miskin tidak punya akses terhadap sumber daya, menyekolahkan anaknya, tidak punya peluang berinvestasi sehingga akan memperlambat pertumbuhan perkapita. 2. Data empiris menunjukkan kaum kaya di negara miskin tidak mau menabung dan berinvestasi di negara mereka sendiri. 3. Kaum miskin memiliki standar hidup seperti kesehatan, gizi dan pendidikan yang rendah sehingga menurunkan tingkat produktivitas. 4. Peningkatan pendapatan kaum miskin akan mendorong kenaikan permintaan produk lokal, sementara golongan kaya cenderung mengkonsumsi barang impor.

40 5. Penurunan kemiskinan secara masal akan menciptakan stabilitas sosial dan memperluas partisipasi publik dalam proses pertumbuhan. Berbagai kebijakan pembangunan ekonomi seharusnya diterapkan dengan mempertimbangkan kepentingan seluruh elemen masyarakat, agar seluruh elemen masyarakat dapat berperan aktif dalam proses pertumbuhan ekonomi termasuk penduduk miskin. Peningkatan peran serta penduduk miskin dapat dilakukan dengan lebih memberdayakan penduduk miskin melalui perbaikan sumber daya manusia (pendidikan dan kesehatan) dan peningkatan akses terhadap sumber daya faktor produksi Pengangguran Pengangguran adalah seseorang yang tergolong angkatan kerja dan ingin mendapat pekerjaan tetapi belum dapat memperolehnya. Menurut The National Anti-Poverty Strategy (NAPS 1999), berdasarkan penelitian yang telah dilakukannya di Ireland menyatakan bahwa pengangguran merupakan penyebab terbesar terjadinya kemiskinan. Keterkaitan antara pengangguran dengan kemiskinan sangat kuat. Pada tahun 1994, lebih dari setengah dari total keluarga di Ireland dipimpin oleh kepala keluarga yang tidak mempunyai pekerjaan. Sukirno (2004), menyatakan bahwa efek buruk dari pengangguran adalah berkurangnya tingkat pendapatan masyarakat yang pada akhirnya mengurangi tingkat kemakmuran/kesejahteraan. Kesejahteraan masyarakat yang turun karena menganggur akan meningkatkan peluang mereka terjebak dalam kemiskinan karena tidak memiliki pendapatan. Apabila pengangguran di suatu negara sangat buruk, maka akan timbul kekacauan politik dan sosial dan ini mempunyai efek yang buruk pada kesejahteraan masyarakat dan prospek pembangunan ekonomi dalam jangka panjang. Suparno (2010) menemukan bahwa banyaknya pengangguran akan berdampak pada peningkatan kemiskinan di Indonesia Infrastruktur Pertumbuhan ekonomi yang pro poor haruslah terwujud dalam upaya untuk menurunkan kemiskinan. Dalam teori pertumbuhan endogen, salah satu faktor yang menentukan pertumbuhan ekonomi adalah kapital. Wujud dari kapital sangat

41 beragam, dan penyediaan infrastruktur merupakan bentuk kepedulian pemerintah dalam berinvestasi untuk meningkatkan pembangunan ekonomi yang diharapkan dapat menurunkan angka kemiskinan. Infrastruktur jalan sangat mendukung aktivitas ekonomi. Infrastruktur jalan yang bagus dapat meningkatkan mobilitas penduduk dan barang yang menghubungkan satu pusat aktivitas dengan pusat aktivitas lain di area yang berbeda. Penemuan Dercon dan Krishnan (1998), menyatakan bahwa faktorfaktor yang menyebabkan perubahan tingkat kemiskinan adalah rumah tangga dengan modal manusia dan fisik yang lebih besar, serta akses jalan yang lebih baik memiliki tingkat kemiskinan yang lebih rendah. Menurut Malmberg et. al (1997), infrastruktur jalan memiliki dampak pada pertumbuhan ekonomi baik di sektor pertanian maupun bukan pertanian, dan menciptakan kesempatan ekonomi bagi penduduk desa secara keseluruhan, termasuk yang miskin. Penelitian Khandker (1989) menemukan bahwa investasi pemerintah di jalan memiliki efek positif atas hasil panen, pekerja bukan pertanian di desa, dan upah petani dan semuanya itu menguntungkan penduduk miskin. Kwon pada tahun 2001 pernah meneliti mengenai peran infrastruktur jalan desa dalam mengurangi kemiskinan di Indonesia. Penelitiannya didasari fakta bahwa penduduk miskin pada umumnya terkonsentrasi di pedesaan dan cenderung terisolasi dengan daerah lainnya. Dengan demikian mobilitas mereka terbatas sehingga menyebabkan mereka tidak dapat berpartisipasi dari berbagai kesempatan tenaga kerja yang timbul dari proses pertumbuhan. Kurangnya infrastruktur jalan akan meningkatkan biaya produksi pertanian dan akibatnya menurunkan keuntungan mereka. Jika hal ini tidak segera diatasi maka sulit bagi mereka untuk keluar dari kemiskinan. Infrastruktur jalan mengurangi kemiskinan melalui dua cara, yaitu dampak langsung (its own effect) dan dari dampak pada peningkatan kinerja variabel lainnya (the through-effect). Dampak langsung terlihat ketika pembangunan jalan berlangsung yaitu tambahan lapangan pekerjaan yang dapat meningkatkan pendapatan penduduk, meningkatkan hubungan antara produsen dan konsumen, pencari kerja dengan yang mempekerjakan. Dampak tak langsung dapat dijelaskan bahwa infrastruktur jalan dapat meningkatkan kinerja pasar input dan

42 pasar barang, sehingga hal ini akan mengurangi ongkos produksi. Ongkos produksi yang murah akan menjadikan harga barang lebih murah, sehingga daya beli masyarakat meningkat dan kemiskinan akan berkurang. Selain jalan, ketersediaan infrastruktur listrik akan berpengaruh pada perekonomian dan pendapatan penduduk. Pengaruh infrastruktur listrik terhadap pendapatan penduduk miskin pernah di teliti oleh Balisacan, et al (2002) di Philipina dan Songco (2002) di Bangladesh. Hasil penelitian mereka adalah listrik secara positif memengaruhi pendapatan penduduk miskin melalui transmisi tidak langsung (pertumbuhan ekonomi) dan transmisi langsung (produktivitas dan upah). Fan. et al (2002) menghasilkan temuan bahwa listrik secara signifikan berkontribusi pada pertumbuhan sektor non pertanian di perdesaan di China yang mengarah pada penurunan kemiskinan dengan elatisitas sebesar 0,42. Listrik memiliki peranan yang besar pada upaya pengurangan kemiskinan, setiap Yuan yang digunakan untuk pembangunan listrik, maka mampu mengangkat orang miskin keluar dari kemiskinannya sebesar 2,3 orang. Menurut Baliscanan, et al. (2002) bahwa listrik merefleksikan akses terhadap teknologi yang berkontribusi secara langsung terhadap kemiskinan dengan meningkatnya lapangan kerja dan pendapatan dari penduduk miskin di Indonesia. Namun, dalam laporan evaluasi Bank Dunia, banyak rumah tangga dengan tingkat kemiskinan ekstrim yang memilih untuk tidak menggunakan jaringan listrik yang tersedia (Ali dan Pernia 2003). 2.5 Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan Meski mayoritas penduduk Indonesia pada tahun 1960-an dan 1970-an tergolong miskin, upaya penanggulangan kemiskinan tidak secara eksplisit dicantumkan dalam tujuan pembangunan lima tahunan (Pelita I hingga V), antara tahun 1969 dan Baru pada tahun 1994, pada permulaan Pelita VI, pemerintah secara tegas mengidentifikasi sasaran upaya penanggulangan dan penghapusan kemiskinan. Dalam upaya ini, pemerintah menggunakan pendekatan langsung dan tidak langsung. Terdapat empat program utama yang dilakukan dengan pendekatan

43 langsung, yakni: (i) Inpres Desa Tertinggal (IDT); (ii) Program Pembangunan Kesejahteraan Keluarga (Takesra/Kukesra); (iii) Program Peningkatan Pendapatan Petani dan Nelayan Kecil (P4K); (iv) Program kembar, yaitu Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) dan Program Pengembangan Kecamatan (PPK). Lebih lanjut, upaya dan program penanggulangan kemiskinan dilakukan pemerintah pusat dan daerah, seperti yang dituangkan dalam lima pilar penanggulangan kemiskinan antara lain (1) perluasan kesempatan, ditujukan menciptakan kondisi dan lingkungan ekonomi, politik dan sosial, (2) pemberdayaan masyarakat, dilakukan untuk mempercepat kelembagaan sosial, politik, ekonomi, dan budaya masyarakat dan memperluas partisipasi masyarakat miskin, (3) peningkatan kapasitas, dilakukan untuk pengembangan kemampuan dasar dan kemampuan berusaha, (4) perlindungan sosial, dilakukan untuk memberikan perlindungan dan rasa aman bagi kelompok rentan dan masyarakat miskin, dan (5) kemitraan regional, dilakukan untuk pengembangan dan menata ulang hubungan dan kerjasama lokal, regional, nasional dan internasional guna mendukung pelaksanaan ke -4 strategi di atas. Keseriusan pemerintah dalam menangani masalah kemiskinan tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) yang menyebutkan bahwa salah satu sasaran pembangunan ekonomi nasional adalah mempercepat penurunan tingkat kemiskinan hingga 8-10 persen pada akhir Untuk mencapainya, serangkaian kebijakan dan berbagai macam program aksi anti kemiskinan dirancang dan diimplementasikan sebagai upaya untuk membantu meringankan beban ekonomi rakyat miskin. Pada tahun 2005 pemerintah meluncurkan Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan dengan membentuk Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK) yang terdiri dari TKPK Nasional, TKPK Provinsi, dan TKPK Kabupaten/Kota. Tugas TKPK yaitu melakukan koordinasi kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan serta koordinasi pengendalian pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan antar departemen. Langkah selanjutnya, pada tanggal 25 Februari 2010 ditetapkan Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2010 tentang Percepatan Penanggulangan Kemiskinan. Untuk

44 melaksanakan percepatan penanggulangan kemiskinan dibentuk Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) yang diketuai oleh Wakil Presiden. Pemerintah melakukan berbagai langkah konsolidasi yang diwujudkan dalam 3 paket bantuan program untuk penduduk miskin dan hampir miskin, Paket bantuan program tersebut adalah sebagai berikut: 1. Paket Bantuan Program I: Bantuan dan Perlindungan Sosial. Paket bantuan ini ditujukan untuk perlindungan dan pemenuhan hak atas pendidikan, kesehatan, pangan, sanitasi dan air bersih. Paket ini diwujudkan dalam bentuk beras miskin (raskin), Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas yang dulunya disebut Askeskin), BOS (Bantuan Operasional Sekolah), PKH (Program Keluarga Harapan) dan BLT (Bantuan Langsung Tunai). 2. Paket Bantuan Program II: Pemberdayaan Masyarakat (PNPM Mandiri) yang bertujuan untuk memberikan perlindungan dan pemenuhan hak atas berpartisipasi, kesempatan kerja dan berusaha, tanah, SDA dan LH, dan perumahan. 3. Paket Bantuan Program III: Pemberdayaan Usaha Mikro dan Kecil (UMK- UR) yang bertujuan untuk perlindungan dan pemenuhan hak atas kesempatan berusaha dan bekerja, dan SDA dan LH. Beberapa program pengentasan kemiskinan yang telah diaplikasikan mencakup beberapa bidang. Kebijakan dibidang usaha misalnya PNPM Mandiri dan Kredit Usaha Rakyat bertujuan agar pendapatan rakyat miskin meningkat. Bantuan dibidang kesehatan berupa pemberian kartu Jamkesmas tujuannya agar rakyat miskin bisa mendapatkan pelayanan kesehatan secara layak tanpa harus membayar mahal. Selanjutnya program dana BOS dan beasiswa bagi siswa dari keluarga tidak mampu. Program Bantuan Langsung Tunai (BLT) diberikan kepada rumah tangga miskin bertujuan untuk mengurangi beban pengeluaran rumah tangga miskin akibat kenaikan harga-harga barang setelah subsisdi BBM dikurangi. Program raskin bertujuan agar penduduk miskin tetap dapat mengkonsumsi beras dengan harga yang terjangkau. Kemudian kebijakan konversi bahan bakar

45 minyak tanah ke gas dengan memberikan kompor beserta tabung gas kepada rumah tangga miskin karena pemerintah akan mengurangi subsidi minyak tanah untuk dialihkan pada bantuan lainnya seperti dana BOS. 2.6 Kerangka Pemikiran Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia merupakan dua kawasan yang memiliki perbedaan kondisi sosial eknomi. Kondisi sosial ekonomi yang berbeda menyebabkan faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan kedua kawasan tersebut juga berbeda. Pertanyaannya adalah: (1) bagaimana kondisi sosial ekonomi di Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia?; (2) faktorfaktor apa saja yang memengaruhi kemiskinan di Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia?; (3) kebijakan seperti apa yang dibutuhkan untuk menanngialngi kemiskinan di Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, pertama dilakukan analisis deskriptif yang menggambarkan kondisi umum di Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia. Langkah selanjutnya adalah mengidentifikasi dan menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan di kedua kawasan. Lebih lanjut, memberikan uraian penyebab perbedaan kemiskinan di kedua kawasan dan merumuskan kebijakan yang diharapkan lebih efektif menanggulangi kemiskinan di setiap kawasan. Secara sederhana, kerangka pemikiran dalam penelitian ini sajikan dalam Gambar 2.

46 Permasalahan: 1) Kemiskinan beragam di setiap kawasan; 2) Program penanggulangan kemiskinan homogen di setiap kawasan Kemiskinan di KBI dan KTI Deskripsi wilayah dan kondisi kemiskinan KBI dan KTI Faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan di KBI dan KTI Regresi data panel Analisis perbedaan faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan di KBI dan KTI Rumusan kebijakan penanggulangan kemiskinan di KBI dan KTI Gambar 2 Kerangka pemikiran. 2.7 Hipotesis Penelitian Hipotesis yang disusun dalam penelitian ini adalah: 1. Faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan diduga berbeda antara kawasan Barat dan Timur Indonesia sehingga program kebijakan penanggulangan kemiskinan yang homogen tidak efektif menurunkan kemiskinan. 2. Jumlah penduduk, jumlah tenaga kerja sektor pertanian, jumlah penduduk lulusan setingkat SMP dan pengangguran diduga akan berpengaruh positif terhadap peningkatan kemiskinan di Kawasan Barat Indonesia. Jumlah penduduk lulusan setingkat SMU, jumlah penduduk lulusan setingkat perguruan tinggi (PT), UMP, PDRB perkapita, infrastruktur jalan dan listrik diduga akan mempunyai

47 pengaruh negatif pada peningkatan kemiskinan di Kawasan Barat Indonesia. 3. Jumlah penduduk lulusan setingkat SMP, jumlah penduduk lulusan setingkat perguruan tinggi dan pengangguran diduga akan mempunyai pengaruh positif pada peningkatan kemiskinan di Kawasan Timur Indonesia. Jumlah penduduk, jumlah pekerja sektor pertanian, jumlah penduduk lulusan setingkat SMU, UMP, PDRB perkapita, infrastruktur jalan dan listrik diduga akan berpengaruh negatif pada peningkatan kemiskinan di Kawasan Timur Indonesia. 4. Kebijakan penanggulangan kemiskinan di Kawasan Barat Indonesia diduga akan lebih difokuskan pada pemindahan penduduk (transmigrasi) dari Pulau Jawa-Bali ke Pulau Sumatera atau Kawasan Timur Indonesia. Kebijakan penanggulangan kemiskinan di Kawasan Timur Indonesia diduga akan lebih diperhatikan dari sisi ketersediaan infrastruktur dan tempat layanan publik yang memadai.

48 III. METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang berasal dari berbagai instansi pemerintah terutama Badan Pusat Statistik. Data yang digunakan antara lain angka kemiskinan, jumlah penduduk, jumlah pekerja sektor pertanian, tingkat pendidikan, UMP, PBRB perkapita, pengangguran, infrastruktur serta data-data lainnya yang relevan dengan penelitian. Periode yang diteliti mulai tahun 2000 sampai dengan Pengolahan data dalam penelitian ini menggunakan software Excel dan Eviews 6. Software Excel digunakan untuk membuat tabel dan grafik demi menunjang analisis deskriptif. Program Eviews 6 digunakan untuk membuat analisis regresi data panel mengenai faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan. 3.2 Analisis Deskriptif Analisis deskriptif disajikan dalam bentuk tabel dan grafik untuk memudahkan pemahaman dan penafsiran. Analisis deskriptif pada penelitian ini digunakan untuk memberikan gambaran kondisi sosial dan ekonomi Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur dan ulasan rumusan kebijakan penanggulangan kemiskinan di masing-masing kawasan. 3.3 Analisis Regresi Data Panel Untuk mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan digunakan analisis regresi data panel. Penggunaan data panel dimaksudkan untuk mengkombinasikan antara data cross section dan data time series sehingga jumlah observasi menjadi banyak. Marginal effect dari peubah penjelas dapat dilihat dari dua dimensi, yaitu individu dan waktu sehingga parameter yang diestimasi akan lebih akurat dibandingkan dengan model lain. Baltagi (2005) mengungkapkan bahwa penggunaan data panel memberikan banyak keuntungan, antara lain:

49 1. Mampu mengontrol heterogenitas individu. Dengan metode ini estimasi yang dilakukan dapat secara eksplisit memasukkan unsur heterogenitas individu. 2. Dapat memberikan data yang informatif, mengurangi kolinearitas antar peubah, meningkatkan derajat bebas dan lebih efisien. 3. Lebih baik untuk studi dynamics of adjustment. Karena berkaitan dengan observasi cross section yang berulang, maka data panel lebih baik dalam mempelajari perubahan dinamis. 4. Lebih baik dalam mengidentifikasi dan mengukur efek yang secara sederhana tidak dapat diatasi dalam data cross section saja atau data time series saja. Selain manfaat yang diperoleh dengan penggunaan panel data, metode ini juga memiliki keterbatasan di antaranya adalah: 1. Masalah dalam desain survei panel, pengumpulan dan manajemen data. Masalah yang umum dihadapi diantaranya: cakupan (coverage), nonresponse, kemampuan daya ingat responden (recall), frekuensi dan waktu wawancara. 2. Distorsi kesalahan pengamatan (measurement errors). Measurement errors umumnya terjadi karena respon yang tidak sesuai. 3. Masalah selektivitas (selectivity) yang mencakup hal-hal berikut: a. Self-selectivity : permasalahan yang muncul karena data-data yang dikumpulkan untuk suatu penelitian tidak sepenuhnya dapat menangkap fenomena yang ada. b. Nonresponse : permasalahan yang muncul dalam panel data ketika ada ketidaklengkapan jawaban yang diberikan oleh responden (sampel rumahtangga). c. Attrition : jumlah responden yang cenderung berkurang pada survei lanjutan yang biasanya terjadi karena responden pindah, meninggal dunia atau biaya menemukan responden yang terlalu tinggi 4. Dimensi waktu (time series) yang pendek. Jenis panel mikro biasanya mencakup data tahunan yang relatif pendek untuk setiap individu.

50 5. Cross-section dependence. Sebagai contoh, apabila macro panel dengan unit analisis negara atau wilayah dengan deret waktu yang panjang mengabaikan cross-country dependence akan mengakibatkan inferensi yang salah (misleading inference). Analisis data panel dibedakan menjadi dua macam yaitu statis dan dinamis. Analisis data panel dinamis, regressor-nya mengandung lag variabel dependentnya, sedangkan pada analisis data panel statis tidak. Penelitian ini menggunakan analisis data panel statis sehingga pembahasannya dibatasi untuk analisis statis saja. Secara umum, terdapat dua pendekatan dalam metode data panel, yaitu Fixed Effect Model (FEM) dan Random Effect Model (REM). Keduanya dibedakan berdasarkan ada atau tidaknya korelasi antara komponen error dengan peubah bebas (Baltagi 2005; Widarjono 2009) Misalkan diberikan persamaan regresi data panel sebagai berikut: y it a i X it k it dimana: y it : nilai dependent variable untuk setiap unit individu i pada periode t dimana i = 1,, n dan t = 1,, T a i : unobserved heterogenity β k : matriks koefisien regresi, k = 1,..., K dimana K = jumlah variabel bebas X it : nilai variabel bebas yang terdiri dari sejumlah K variabel. Pada one way, komponen error dispesifikasikan dalam bentuk: it u i it dimana: i : efek individu (time invariant) 2 u : disturbance yang besifat acak ( u ~ N(0, ) ) it Untuk two way, komponen error dispesifikasikan dalam bentuk: u it i t it it u dimana: t : efek waktu (individual invariant)

51 Pada pendekatan one way komponen error hanya memasukkan komponen error yang merupakan efek dari individu ( i ). Pada two way telah memasukkan efek dari waktu ( t ) ke dalam komponen error, u it diasumsikan tidak berkorelasi dangan X it. Jadi perbedaan antara FEM dan REM terletak pada ada atau tidaknya korelasi antara i dan t dengan X it. (1) Fixed Effect Model (FEM) dengan FEM digunakan ketika efek individu dan efek waktu mempunyai korelasi X it atau memiliki pola yang sifatnya tidak acak. Asumsi ini membuat komponen error dari efek individu dan waktu dapat menjadi bagian dari intecept. Untuk one way komponen error: y it a i X u i it it Sedangkan untuk two way komponen error: y it a X u i i t it it Penduga FEM dapat dihitung dengan beberapa teknik, yaitu Pooled Least Square (PLS), Within Group (WG), Least Square Dummy Variable (LSDV), dan Two Way Error Component Fixed Effect Model. (2) Random Effect Model (REM) dengan REM digunakan ketika efek individu dan efek waktu tidak berkorelasi X it atau memiliki pola yang sifatnya acak. Keadaan ini membuat komponen error dari efek individu dan efek waktu dimasukkan ke dalam error. Untuk one way komponen error: y it a i X u it it i Untuk two way komponen error: y it a i X u it it i t

52 Asumsi dasar yang harus dipenuhi dalam model REM adalah sebagai berikut: 0 E E u it i 2 u 2 it i u 0 E untuk semua i dan t i x it 2 2 i x it E untuk semua i dan t 0 E untuk semua i, t, dan j u it j Dimana untuk: One way error component: Two way error component: i i i i t 0 E u u untuk i j dan t s it js 0 E untuk i j i j Dari semua asumsi di atas, yang paling penting adalah 0 E. i x it Pengujian asumsi ini menggunakan HAUSMAN test. Uji hipotesis yang digunakan adalah: H 0 : E 0 Tidak ada korelasi antara komponen error dengan i x it peubah bebas H 1 : E 0 Ada korelasi antara komponen error dengan peubah bebas H i x it ' ˆ ˆ 1 2 M M ˆ ˆ ~ k REM FEM FEM REM REM dimana M : matriks kovarians untuk parameter Jika H > k : derajat bebas FEM ˆ : matriks koefisien regresi hasil estimasi 2 tabel maka komponen error mempunyai korelasi dengan peubah bebas dan artinya model yang valid digunakan adalah FEM. Penduga REM dapat dihitung dengan dua cara yaitu pendekatan Between Estimator (BE) dan Generalized Least Square (GLS).

53 3.3.1 Pemilihan Model Terbaik Pemilihan model yang digunakan dalam sebuah penelitian perlu dilakukan berdasarkan pertimbangan statistik. Hal ini ditujukan untuk memperoleh dugaan yang efisien. Untuk memutuskan apakah akan menggunakan fixed effect atau random effect menggunakan uji Haussman. Hausman test dilakukan dengan hipotesis sebagai berikut: H 0 : E(τ i x it ) = 0 atau REM adalah model yang tepat H 1 : E(τ i x it ) 0 atau FEM adalah model yang tepat Sebagai dasar penolakan H 0 maka digunakan statistik Hausman dan membandingkannya dengan Chi square. Jika nilai χ 2 statistik hasil pengujian lebih besar dari χ 2 tabel, maka cukup bukti untuk melakukan penolakan terhadap H 0 sehingga pendekatan yang digunakan adalah fixed effect, begitu juga sebaliknya Uji Asumsi Setelah kita memutuskan untuk menggunakan suatu model tertentu (FEM atau REM), maka kita dapat melakukan uji asumsi. (1) Uji Homoskedastisitas Salah satu asumsi yang harus dipenuhi dalam persamaan regresi adalah bahwa taksiran parameter dalam model regresi bersifat BLUE (Best Linier Unbiased Estimate) maka var (u i ) harus sama dengan σ 2 (konstan), atau semua residual atau error mempunyai varian yang sama. Kondisi itu disebut dengan homoskedastisitas. Sedangkan bila varian tidak konstan atau berubah-ubah disebut dengan heteroskedastisitas. Untuk mendeteksi adanya heteroskedastisitas dapat menggunakan metode White test. Uji ini pertama kali diperkenalkan oleh White pada tahun Statistik uji white menyebar menurut sebaran Khi-kuadrat dengan derajat bebas jumlah variabel bebas (χ 2 (α;db)). Secara manual, uji ini dilakukan dengan meregresi residual kuadrat (e 2 ) dengan variabel bebas. Dapatkan nilai R 2, kemudian

54 dapatkan nilai Obs*R-squared. Kriteria yang digunakan adalah apabila Obs*Rsquared lebih besar dari χ 2 (α;db) maka dapat disimpulkan terdapat heteroskedastisitas dalam model. Cara lain untuk mendeteksi adanya heteroskedastisitas dalam model dapat juga menggunakan hasil estimasi dengan General Least Square (Cross section Weights) yaitu dengan membandingkan sum square Resid pada Weighted Statistics dengan sum square Resid unweighted Statistics. Jika sum square Resid pada Weighted Statistics lebih kecil dari sum square Resid unweighted Statistics, maka terjadi heteroskedastisitas dalam model (Greene, 2002). (2) Uji Autokorelasi Autokorelasi adalah korelasi yang terjadi antar observasi dalam satu peubah atau korelasi antar error masa yang lalu dengan error masa sekarang. Uji autokorelasi yang dilakukan tergantung pada jenis data dan sifat model yang digunakan. Autokorelasi dapat memengaruhi efisiensi dari estimatornya. Untuk mendeteksi adanya korelasi serial adalah dengan melihat nilai Durbin Watson (DW). Untuk mengetahui ada/tidaknya autokorelasi, maka dilakukan dengan membandingkan DW-statistiknya dengan DW-tabel (Widarjono 2009). Tabel 1 Kerangka identifikasi autokorelasi Nilai statistik d Hasil 4 dl < d < 4 Ada autokorelasi negatif 4 du < d < 4- dl Tidak ada keputusan 2 < d < 4 du Tidak ada autokorelasi du < d < 2 dl < d < du Tidak ada autokorelasi Tidak ada keputusan 0 < d < dl ada autokorelasi positif Sumber: Widarjono 2009 Keterangan: d = Statistik Durbin Watson ; dl = nilai kritis batas bawah ; du = nilai kritis batas atas

55 3.3.3 Evaluasi Model (1) Uji-F Uji-F digunakan untuk melakukan uji hipotesis koefisien (slope) regresi secara bersamaan. Jika nilai probabilitas F-statistic < taraf nyata, maka tolak H 0 dan itu artinya minimal ada satu peubah bebas yang berpengaruh nyata terhadap peubah terikat, dan berlaku sebaliknya. (2) Uji-t Setelah melakukan uji koefisien regresi secara keseluruhan, maka langkah selanjutnya adalah menghitung koefisien regresi secara individu dengan menggunakan uji-t. Jika terdapat model regresi data panel sebagai berikut: y it a i X it k it Hipotesis pada uji-t adalah : H 0 : β k = 0 H 1 : β k 0 Jika t-hitung > t-tabel maka H 0 ditolak yang berarti peubah bebas secara statistik nyata pada taraf nyata yang telah ditetapkan dalam penelitian, dan berlaku hal yang sebaliknya. Jika nilai probabilitas t-statistic < taraf nyata, maka tolak H 0 dan berarti bahwa peubah bebas nyata secara statistik. (3) Koefisien Determinasi (R 2 ) Koefisien determinasi (Goodness of Fit) merupakan suatu ukuran yang penting dalam regresi, karena dapat menginformasikan baik atau tidaknya model regresi yang terestimasi. Nilai R 2 mencerminkan seberapa besar variasi dari peubah terikat Y dapat diterangkan oleh peubah bebas X. Jika R 2 = 0, maka variasi dari Y tidak dapat diterangkan oleh X sama sekali; jika R 2 = 1, artinya bahwa variasi dari Y secara keseluruhan dapat diterangkan oleh X.

56 (3) Uji Normalitas Uji normalitas dilakukan untuk memeriksa apakah error term mendekati distribusi normal atau tidak. Jika asumsi normalitas tidak terpenuhi maka prosedur pengujian menggunakan statistik t menjadi tidak sah. Uji normalitas error term dilakukan dengan menggunakan uji Jarque Bera. Berdasarkan nilai probabilitas Jarque Bera yang lebih besar dari taraf nyata 5%, maka dapat disimpulkan bahwa error term terdistribusi dengan normal Spesifikasi Model Penelitian Model dalam penelitian ini mengacu model yang telah digunakan oleh Siregar dan Wahyuniarti (2007) dengan dilakukan modifikasi sebagai berikut: No. Model acuan Model Penelitian 1 Semua variabel dalam bentuk asli Semua variabel dalam bentuk logaritma natural (LN) 2. Terdapat 9 variabel bebas, yaitu: Terdapat 10 variabel bebas, yaitu: a. Jumlah penduduk a. Jumlah penduduk b. Share pertanian terhadap PDRB b. Jumlah pekerja sector pertanian c. Persentase lulusan sekolah c. Jumlah penduduk lulusan setingkat menengah pertama SMP d. Persentase lulusan sekolah d. Jumlah penduduk lulusan setingkat menengah atas SMU e. Persentase lulusan pendidikan e. Jumlah penduduk lulusan diatas diploma SMU f. Share industri terhadap PDRB f. Upah Minimum Provinsi g. PDRB g. PDRB perkapita h. Inflasi h. Pengangguran i. Dummy Krisis i. Infrastruktur jalan j. Infrastruktur listrik Model regresi panel diaplikasikan di Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia. Model diaplikasikan dalam bentuk logaritma natural untuk mendapatkan nilai dugaan elastisitas dari setiap variabel bebas. Secara

57 umum, definisi elastisitas yaitu daya kepekaan variabel tidak bebas terhadap perubahan yang terjadi pada variabel bebas. berikut: Model regresi panel yang digunakan dalam penelitian adalah sebagai LN_MISKIN it = β 0 + β 1 LN_PDDK it + β 2 LN_TANI it + β 3 LN_SMP it + β 4 LN_SMU it + β 5 LN_PT it + β 6 LN_UMP it + β 7 LN_PDRBKPT it + β 8 LN_NGANGGUR it + Β 9 LN_JLN it + β 10 LN_LISTRIK it + ε it Keterangan: i : provinsi t : tahun LN : Logaritma natural MISKIN : Jumlah penduduk miskin β 0 : Unobserved heterogenity β k : Elastisitas dugaan ; k = 1,2,...,10 PDDK : Jumlah penduduk TANI : Jumlah pekerja sektor pertanian SMP : Jumlah lulusan setingkat SMP SMU : Jumlah lulusan setingkat SMU PT : Jumlah lulusan setingkat Diploma ke atas UMP : Upah Minimum Provinsi PDRBKPT : PDRB atas dasar harga konstan tahun 2000 dibagi jumlah penduduk pertengahan tahun NGANGGUR : Jumlah pengangguran terbuka JALAN : Panjang jalan/kendaraan LISTRIK : Energi listrik terjual/banyaknya rumah tangga ε : Komponen Error Definisi Operasional Pada bab 2 telah dijelaskan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kemiskinan. Berdasarkan faktor-faktor tersebut, berikut definisi operasional beberapa variabel yang digunakan dalam penelitian berdasarkan konsep BPS. 1 Jumlah penduduk miskin adalah jumlah penduduk yang mempunyai pengeluaran perkapita per bulan dibawah garis kemiskinan. Jumlah penduduk miskin dihitung dengan satuan ribu orang. 2 Jumlah penduduk menyatakan semua orang yang berdomisili di wilayah teritorial selama 6 bulan atau lebih dan atau mereka yang berdomisili kurang dari 6 bulan tetapi bertujuan menetap. Jumlah penduduk dihitung dengan satuan ribu orang.

58 3 Bekerja di sektor pertanian adalah melakukan pekerjaan dengan maksud memperoleh atau membantu memperoleh pendapatan atau keuntungan dan lamanya bekerja paling sedikit 1 jam secara terus menerus dalam seminggu yang lalu (termasuk pekerja keluarga tanpa upah yang membantu dalam suatu usaha/kegiatan ekonomi) pada lapangan usaha pertanian. Jumlah pekerja sektor pertanian dihitng dalam satuan ribu orang. 4 Tingkat pendidikan adalah jenjang pendidikan yang telah ditempuh penduduk sampai lulus dan mendapatkan bukti kelulusan berupa ijazah/sttb. 5 Upah minimum provinsi adalah upah minimum yang telah ditetapkan pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja. Nilai upah minimum disepakati oleh serikat buruh, pengusaha dan pemerintah. Satuan yang upah minimum provinsi adalah ribu rupiah. 6 PDRB perkapita adalah penjumlahan seluruh komponen nilai tambah bruto yang mampu diciptakan oleh sektor-sektor ekonomi atas berbagai aktivitas produksinya yang dihitung berdasarkan harga konstan tahun 2000, dibagi dengan jumlah penduduk pertengahan tahun. Satuan PDRB perkapita adalah juta rupiah. 7 Pengangguran terbuka adalah angkatan kerja yang sedang mencari pekerjaan. Pengangguran dihitung dalam satuan ribu orang. 8 Infrastruktur jalan adalah panjang jalan total (satuan km). Panjang jalan merupakan gabungan jalan negara, provinsi, dan kabupaten/kota yang berada di provinsi tersebut. Dalam penelitian ini infrastruktur jalan merupakan rasio antara panjang jalan dengan jumlah kendaraan. 9 Infrastruktur listrik adalah total energi listrik dari PLN yang terjual (satuan GWh) dibagi dengan jumlah rumahtangga.

59 Halaman ini sengaja dikosongkan

60 IV. GAMBARAN UMUM 4.1. Penduduk Indonesia menghadapi masalah jumlah penduduk yang besar dan distribusinya yang tidak merata di setiap wilayah. Penduduk yang besar justru akan menjadi beban dalam pembangunan daripada sebagai modal pembangunan. Perkembangan penduduk Indonesia selama periode terus menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Berdasarkan data proyeksi jumlah penduduk Indonesia tercatat sekitar 230,63 juta jiwa pada tahun Jumlah ini meningkat bila dibandingkan keadaan tahun 2002 dan 2005 yang masing-masing berjumlah 205,13 juta jiwa dan 219,40 juta jiwa (BPS 2009). Berdasarkan kawasan, pada periode komposisi penduduk yang tinggal di Kawasan Barat Indonesia masih lebih dari 80 persen dari seluruh penduduk Indonesia, sedangkan proporsi penduduk yang tinggal di Kawasan Timur Indonesia sangat kecil yaitu berkisar persen. Terjadinya ketimpangan proporsi penduduk akan menimbulkan masalah yang berkaitan dengan kemasyarakatan, daya dukung serta daya tampung lingkungan/wilayah. Selain itu, persoalan penyediaan lapangan kerja juga turut menambah deretan persoalan yang harus dipikirkan penyelesaiannya. Selama periode proporsi penduduk di Kawasan Barat Indonesia sedikit mengalami penurunan dari 81,37 persen pada tahun 2000 menjadi 80,96 persen pada tahun 2005, kemudian menurun lagi menjadi 80,65 persen pada tahun Sebaliknya proporsi penduduk yang tinggal di Kawasan Timur Indonesia meningkat dari 18,63 persen pada tahun 2000 menjadi 19,04 persen pada tahun 2005, dan terus meningkat menjadi 19,35 persen pada tahun Perubahan komposisi penduduk ini bisa disebabkan oleh dua hal yaitu pertama, adanya perpindahan penduduk atau migrasi dari Kawasan Barat Indonesia ke Kawasan Timur Indonesia. Kedua, pertumbuhan penduduk di Kawasan Timur Indonesia lebih tinggi daripada Kawasan Barat Indonesia. Untuk lebih jelasnya, berikut disajikan perkembangan pertumbuhan penduduk di Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia.

61 Sumber: BPS, data proyeksi penduduk 2009 (diolah) Gambar 3 Perkembangan pertumbuhan penduduk di Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia, Berdasarkan kepadatannya, wilayah yang tergabung di Kawasan Barat Indonesia memiliki angka kepadatan penduduk yang jauh lebih tinggi daripada wilayah yang tergabung di Kawasan Timur Indonesia. Di Pulau Jawa dengan luas kurang dari 7 persen dari seluruh luas wilayah daratan Indonesia, dihuni sekitar 57,99 persen dari jumlah seluruh penduduk Indonesia. Kepadatan penduduk di pulau ini terus meningkat, dimana pada tahun 2000 angka kepadatan penduduknya 938 jiwa per km 2 meningkat menjadi 996 jiwa per km 2 pada tahun 2005 dan tahun 2009 mencapai lebih dari 1000 jiwa per km 2 (BPS 2009). Sementara itu, pulau-pulau yang ada di Kawasan Timur Indonesia memiliki angka kepadatan penduduk sangat rendah. Berdasarkan hasil SP 2000, Pulau Kalimantan memilki angka kepadatan penduduk 22 jiwa per km 2 berdasarkan hasil proyeksi penduduk tahun 2009, angka kepadatan penduduknya sedikit meningkat menjadi 26 jiwa per km 2. Maluku dan Papua adalah wilayah yang sangat jarang penduduk. Pada tahun 2000 kedua wilayah ini hanya mempunyai angka kepadatan penduduk 8 jiwa per km 2, dan selama 10 tahun hanya sedikit peningkatannya yaitu menjadi 10 jiwa per km 2 pada tahun (BPS 2009). Secara detail, angka kepadatan penduduk menurut pulau disajikan pada tabel berikut. dan

62 Tabel 2 Persentase penduduk di Pulau Jawa dan kepadatan penduduk menurut pulau, tahun Tahun % Penduduk di Pulau Jawa Sumatera Jawa Kepadatan Penduduk (jiwa/km 2 ) Bali & Nusa Tenggara Kalimantan Sulawesi Maluku dan Papua (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) , , , Sumber: BPS, Hasil SP 2000, SUPAS 2005 dan proyeksi penduduk 2009 Selanjutnya, permasalahan kependudukan yang dialami Indonesia adalah struktur umur yang masih tergolong muda, dimana proporsi penduduk usia dibawah 15 tahun masih cukup tinggi. Berdasarkan hasil SP 2000, proporsi penduduk usia 0-14 tahun cukup tinggi yaitu 30,7 persen dan pada tahun 2009 menurun menjadi 27,0 persen. Sementara itu, penduduk usia lanjut (65 tahun keatas) proporsinya sedikit meningkat dari 4,7 persen pada tahun 2000 menjadi 5,1 persen pada tahun Tingginya persentase penduduk usia muda dan lanjut usia akan menambah penduduk yang tidak produktif, dimana kelompok penduduk tidak produktif akan menggantungkan hidupnya pada kelompok penduduk usia produktif (15-64 tahun). Struktur penduduk akan memengaruhi angka beban tanggungan (dependency ratio). Pada tahun 2000, setiap 100 orang penduduk usia produktif Kawasan Timur Indonesia menanggung sekitar 55 penduduk usia tidak produktif. Selama sepuluh tahun angka ini turun, yaitu setiap 100 orang penduduk usia produktif Kawasan Timur Indonesia menanggung sekitar 47 orang penduduk usia tidak produktif. Berdasarkan kawasan, angka beban tanggungan di Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia sama-sama cenderung menurun. Pada tahun 2000, angka beban tanggungan di Kawasan Barat Indonesia sekitar 53,33 persen menurun menjadi 45,78 persen di tahun Pada Kawasan Timur Indonesia juga terjadi penurunan, yaitu dari 60,93 persen pada tahun 2000

63 menjadi 49,26 persen tahun Secara detail, perkembangan angka beban tanggungan disajikan pada gambar berikut. Sumber: BPS, Proyeksi penduduk Indonesia (diolah) Gambar 4 Perkembangan angka beban tanggungan di Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia tahun Penduduk Miskin Persentase Penduduk Miskin Dalam penelitian ini, definisi penduduk miskin menggunakan konsep BPS. Penghitungan jumlah dan persentase penduduk miskin atau Head Count Index (P 0 ) dilakukan dengan pendekatan garis kemiskinan. Garis kemiskinan adalah nilai uang yang harus dikeluarkan seseorang dalam memenuhi kebutuhan hidup minimumnya, yaitu kebutuhan hidup minimum makanan (konsumsi pengeluaran perkapita per bulan yang setara dengan 2100 kilokalori perkapita per hari) ditambah dengan nilai kebutuhan minimum konsumsi bukan makanan. Penduduk dikategorikan miskin bila pengeluaran perkapita perbulan makanan dan bukan makanan berada di bawah garis kemiskinan. BPS setiap tahun menetapkan garis kemiskinan berdasarkan susenas panel/modul konsumsi dengan informasi tambahan hasil Survei Paket Komoditi Kebutuhan Dasar (SPKKD) yang dipakai untuk memperkirakan proporsi dari pengeluaran masing-masing komoditi pokok bukan makanan. Pada tahun 1995 BPS telah melaksanakan SPKKD untuk penghitungan jumlah penduduk miskin tahun Karena

64 hasil SPKKD tahun 1995 sudah tidak relevan lagi maka pada tahun 2004 BPS kembali melaksanakan SPKKD untuk menghitung jumlah penduduk miskin tahun 2004 sampai sekarang. Setiap tahun besarnya garis kemiskinan berubah disesuaikan dengan perkembangan harga paket komoditi yang menjadi acuan dalam penentuan garis kemiskinan. Sejak tahun 1998 jumlah komoditi dasar makanan yang menjadi acuan ada sejumlah 52 jenis komoditi makanan (padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur dan susu, sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak dan lemak, dan lain-lain). Paket komoditi kebutuhan dasar bukan makanan diwakili oleh 51 jenis komoditi di perkotaan dan 47 jenis komoditi di perdesaan. Perkembangan nilai garis kemiskinan di setiap provinsi disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Perkembangan garis kemiskinan menurut provinsi, (Rupiah) Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah D.I. Yogyakarta Jawa Timur Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Maluku Papua Sumber : BPS, Data dan Informasi Kemiskinan, Persentase penduduk miskin di Indonesia selama periode mengalami penurunan yang cukup berarti yaitu dari 18,95 persen pada tahun 2000 menjadi 14,15 persen pada tahun Berdasarkan kawasan, angka kemiskinan

65 di Kawasan Barat Indonesia sebesar 18,02 persen pada tahun 2000, sedangkan di Kawasan Timur Indonesia sebesar 24,15 persen. Secara perlahan angka ini cenderung menurun hingga tahun 2009 mencapai angka 13,73 persen di Kawasan Barat Indonesia dan 15,90 persen di Kawasan Timur Indonesia. Secara lengkap, perkembangan angka kemiskinan di Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia disajikan pada gambar berikut. Sumber: BPS, berbagai tahun terbitan (diolah) Gambar 5 Perkembangan angka kemiskinan di Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia, Perbedaan angka kemiskinan antara Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia dapat disebabkan oleh beberapa hal, pertama adanya perbedaan pertumbuhan ekonomi antara Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia dimana ekonomi tumbuh lebih cepat di Kawasan Barat Indonesia daripada di Kawasan Timur Indonesia. Kedua, adanya perbedaan garis kemiskinan, dimana kawasan yang mempunyai garis kemiskinan lebih tinggi akan berpeluang untuk mempunyai angka kemiskinan yang lebih tinggi. Ketiga, perbedaan kondisi geografis. Kondisi geografis sangat mempengaruhi perilaku penduduk, penduduk yang tinggal di daerah terpencil dan terisolasi akan mengalami kesulitan untuk mengakses layanan publik seperti pendidikan dan kesehatan. Akibatnya, kualitas sumberdaya manusia di daerah-daerah terpencil akan rendah dan produktivitas mereka juga rendah. Rendahnya produktivitas kerja akan berdampak pada rendahnya upah atau pendapatan yang mereka terima sehingga mereka akan kesulitan memenuhi kebutuhan hidup secara layak dan kemiskinan akan sulit untuk diturunkan.

66 4.2.2 Indeks Kedalaman Kemiskinan Indeks kedalaman kemiskinan atau poverty gap index (P 1 ) merupakan kedalaman/jurang kemiskinan. Ukuran ini menggambarkan dalamnya kemiskinan, yakni ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin dari garis kemiskinan. Poverty gap index berguna untuk mengetahui besarnya sumberdaya (uang) yang dibutuhkan untuk mengentaskan kemiskinan dengan target sasaran yang sempurna. Semakin tinggi nilai indeks ini semakin besar rata-rata kesenjangan pengeluaran penduduk miskin terhadap garis kemiskinan atau dengan kata lain semakin tinggi nilai indeks menunjukkan kehidupan ekonomi penduduk miskin semakin terpuruk. Sesungguhnya ukuran ini belum realistis karena belum mempertimbangkan biaya operasional dan faktor penghambat. Selain itu, penghitungan indeks ini tidak mempertimbangkan ketimpangan pengeluaran diantara penduduk miskin. Meskipun demikian, kedalaman kemiskinan dapat digunakan sebagai informasi bagi pemerintah terkait dengan anggaran yang akan dialokasikan untuk mengentaskan kemiskinan. Indeks kedalaman kemiskinan di Kawasan Barat Indonesia dalam periode menunjukkan kecenderungan menurun. Pada tahun 2005 rata-rata indeks tersebut sebesar 2,67 turun menjadi 2,06 pada tahun Keadaan ini mengindikasikan bahwa dalam periode besarnya rata-rata kesenjangan pengeluaran penduduk miskin terhadap garis kemiskinan semakin mengecil. Jika pada tahun 2005 jumlah cash transfer yang dibutuhkan untuk menanggulangi kemiskinan sebesar 267 persen dari garis kemiskinan, maka pada tahun 2009 menurun menjadi 206 persen dari garis kemiskinan. Sementara kondisi kedalaman kemiskinan di Kawasan Timur Indonesia cukup berfluktuasi. Tercatat bahwa indeks kedalaman kemiskinan pada tahun 2005 sebesar 3,99 kemudian meningkat menjadi 4,46 dan 4,37 pada tahun 2006 dan Tahun 2008 dan 2009 kondisinya cukup membaik dimana indeks kedalaman kemiskinan menurun menjadi 3,88 dan 3,43. Ini dapat diartikan bahwa cash transfer yang dibutuhkan untuk menanggulangi kemiskinan di Kawasan Timur Indonesia pada tahun 2008 sebesar 388 persen dari garis kemiskinan,

67 menurun menjadi 343 persen dari garis kemiskinan pada tahun Jika dibandingkan menurut kawasan, indeks kedalaman kemiskinan di Kawasan Timur Indonesia lebih besar dari indeks kedalaman kemiskinan di Kawasan Barat Indonesia. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa jarak rata-rata pengeluaran penduduk miskin di Kawasan Barat Indonesia dengan garis kemiskinan lebih dekat jika dibandingkan dengan jarak rata-rata pengeluaran penduduk miskin terhadap garis kemiskinan di Kawasan Timur Indonesia. Hal ini juga mengindikasikan bahwa besarnya sumberdaya yang dibutuhkan untuk menanggulangi kemiskinan di Kawasan Timur Indonesia lebih besar daripada Kawasan Barat Indonesia. Berikut disajikan perkembangan indeks kedalaman kemiskinan periode Tabel 4 Indeks kedalaman kemiskinan (P 1 ) menurut provinsi, tahun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 5,83 5,28 5, ,88 Sumatera Utara 2,21 2,52 2, ,78 Sumatera Barat 1,92 2,04 1, ,52 Riau 1,53 1,43 2, ,57 Jambi 1,81 1,95 1, ,92 Sumatera Selatan 3,83 3,44 3, ,32 Bengkulu 4,04 4,06 4, ,26 Lampung 4,10 4,62 3, ,45 DKI Jakarta 0,78 0,75 0, ,54 Jawa Barat 1,97 2,28 2, ,09 Jawa Tengah 3,51 3,69 3, ,89 D.I. Yogyakarta 4,03 4,12 3, ,35 Jawa Timur 3,53 3,94 3, ,83 Bali 1,07 0,74 0, ,82 KBI 2,67 2,70 2,68 2,41 2,06 Nusa Tenggara Barat 4,45 4,30 5, ,72 Nusa Tenggara Timur 5,91 5,74 4, ,47 Kalimantan Barat 2,44 2,47 1, ,29 Kalimantan Tengah 1,77 1,68 1, ,94 Kalimantan Selatan 1,09 1,28 0, ,80 Kalimantan Timur 2,44 2,77 1, ,41 Sulawesi Utara 2,48 2,87 1, ,38 Sulawesi Tengah 4,18 4,54 4, ,57 Sulawesi Selatan 2,50 2,33 2, ,03 Sulawesi Tenggara 4,16 4,07 4, ,56 Maluku 5,87 7,51 6, ,84 Papua ,89 KTI Sumber: BPS, Data dan Informasi Kemiskinan, Dilihat menurut provinsi, DKI Jakarta mempunyai angka indeks kedalaman kemiskinan terendah (0,54) dan Nanggroe Aceh Darussalam mempunyai indeks kedalaman kemiskinan tertinggi (3,88). Hal ini diduga kondisi ekonomi di DKI

68 Jakarta lebih baik dibandingkan dengan kondisi ekonomi di Nanggroe Aceh Darussalam. Perekonomian yang baik akan memberikan peluang-peluang kerja yang lebih banyak bagi penduduk, sehingga penduduk akan lebih mudah mendapatkan pekerjaan, memperoleh upah dan meningkatkan kesejahteraannya. Dengan denikian, meskipun nilai garis kemiskinan di DKI Jakarta lebih tinggi dibandingkan di Aceh, penduduk miskin di DKI Jakarta lebih sejahtera dari sisi ekonomi dibandingkan dengan penduduk miskin di Aceh. Pada Kawasan Timur Indonesia, provinsi yang mempunyai indeks kedalaman kemiskinan tertinggi adalah Provinsi Papua (9,89) dan terendah Provinsi Kalimanatan Selatan (0,88). Kondisi kemiskinan di Papua sungguh menyedihkan, dimana jauhnya kesenjangan pengeluaran penduduk terhadap garis kemiskinan menunjukkan tingkat kesejahteraan penduduk miskin yang sangat rendah. Ini sungguh ironis, kekayaan alam yang melimpah tidak memberikan manfaat bagi kesejahteraan hidup masyarakatnya secara maksimal. Terdapat ketidakadilan, kekayaan alam dikuasai oleh perusahaan asing dan hanya sebagian penduduk saja yang bisa ikut menikmati hasilnya yaitu orang-orang yang ikut terlibat dalam pengelolaannya. Sementara itu sebagian penduduk yang lainnya mengalami keterpurukan ekonomi, mereka hidup dalam kemiskinan yang kondisinya sangat memprihatinkan. Terpuruknya kondisi kemiskinan di Papua seharusnya menjadi perhatian bagi para pengambil kebijakan baik level daerah maupun pusat Indeks Keparahan Kemiskinan Indeks keparahan kemiskinan atau Poverty Severity Index (P 2 ) menunjukkan ketimpangan pengeluaran diantara penduduk miskin. Semakin tinggi nilai indeks keparahan kemiskinan berarti semakin tinggi ketimpangan pengeluaran di antara penduduk miskin. Ukuran ini tidak digunakan secara luas karena tidak mudah dalam menginterpretasikannya (World Bank 2002 dalam BPS 2005). Indeks keparahan kemiskinan di Kawasan Barat Indonesia menunjukkan kecenderungan menurun, tercatat sebesar 0,75 pada tahun 2005 dan 0,70 pada tahun Penurunan ini dapat diartikan kesenjangan pengeluaran diantara penduduk miskin semakin berkurang, atau tingkat kesejahteraan penduduk miskin menunjukkan arah yang semakin merata dari tahun

69 Jika dibahas berdasarkan provinsi, Aceh menduduki posisi pertama di Kawasan Barat Indonesia sebagai daerah dengan indeks keparahan kemiskinan tertinggi. Daerah yang memiliki indeks keparahan kemiskinan terendah adalah DKI Jakarta. Secara rinci, perkembangan indeks keparahan kemiskinan dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Indeks keparahan kemiskinan menurut provinsi, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 1,85 1,48 1, ,46 Sumatera Utara 0,60 0,69 0, ,63 Sumatera Barat 0,52 0,56 0, ,43 Riau 0,37 0,40 0, ,55 Jambi 0,44 0,53 0, ,29 Sumatera Selatan 1,11 0,92 1, ,85 Bengkulu 1,14 1,12 1, ,32 Lampung 1,19 1,30 1, ,12 DKI Jakarta 0,20 0,19 0, ,15 Jawa Barat 0,51 0,62 0, ,70 Jawa Tengah 0,93 0,94 1, ,87 D.I. Yogyakarta 1,17 1,11 1, ,04 Jawa Timur 0,99 1,09 1, ,88 Bali 0,25 0,17 0, ,29 KBI Nusa Tenggara Barat 1,21 1,17 1, ,08 Nusa Tenggara Timur 1,72 1,63 1, ,51 Kalimantan Barat 0,64 0,64 0, ,46 Kalimantan Tengah 0,47 0,46 0, ,29 Kalimantan Selatan 0,25 0,32 0, ,26 Kalimantan Timur 0,73 0,82 0, ,46 Sulawesi Utara 0,71 0,82 0, ,44 Sulawesi Tengah 1,20 1,33 1, ,30 Sulawesi Selatan 0,61 0,61 0, ,58 Sulawesi Tenggara 1,21 1,07 1, ,00 Maluku 1,57 2,60 1, ,63 Papua 3,54 4,97 3, ,89 KTI Sumber: BPS, Data dan Informasi Kemiskinan, Sementara itu, indeks keparahan kemiskinan di Kawasan Timur Indonesia cukup berfluktuasi. Pada tahun 2005 indeks keparahan kemiskinan sebesar 1,18 kemudian meningkat menjadi angka 1,40 selama dua tahun berturut-turut yaitu tahun 2006 dan Pada tahun 2008 indeks ini menurun dengan angka 1,20 namun meningkat lagi menjadi 1,36 pada tahun Kondisi ini mengindikasikan bahwa perekonomian di Kawasan Timur Indonesia belum stabil, sehingga jika ada gejolak (shock) dampaknya akan cepat dirasakan oleh penduduk miskin. Pada bulan september tahun 2005 pemerintah menetapkan kenaikan harga

70 bahan bakar minyak (BBM) dan kebijakan ini berdampak pada melonjaknya harga barang-barang kebutuhan pokok. Kenaikan harga jelas akan menurunkan daya beli penduduk khususnya penduduk miskin, sehingga hal ini akan memperlebar kesenjangan pengeluaran diantara penduduk miskin. Dari duabelas provinsi yang ada di Kawasan Timur Indonesia, Papua merupakan daerah dengan indeks keparahan kemiskinan tertinggi dan Provinsi Kalimantan Selatan memiliki indeks keparahan kemiskinan terendah. 4.3 Pendidikan Masalah yang dihadapi negara-negara berkembang, khususnya Indonesia adalah kualitas sumberdaya manusia masih rendah yang digambarkan dengan rendahnya indeks pembangunan manusia (human development index). Pada periode , indeks pembangunan manusia hanya berkisar antara 64,6 hingga 69,4. Secara internasional, pada tahun Indeks Pembangunan Manusia Indonesia menempati peringkat 107 di dunia atau naik satu peringkat dibanding tahun yang memposisikan Indonesia pada peringkat 108. Upaya pembangunan sumberdaya manusia dapat dilakukan melalui investasi disektor pendidikan. Pendidikan diselenggarakan sebagai upaya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan menjadi langkah untuk meningkatkan kesejahteraan hidup warga negara. Peningkatan derajat pendidikan diprioritaskan sebagai upaya untuk mengurangi kemiskinan. Dalam kaitannya pendidikan dan kemiskinan, Suparno (2010) menemukan bahwa rata-rata lama sekolah yang menunjukkan tingkat pendidikan masyarakat mampu menurunkan tingkat kemiskinan di Indonesia. Masyarakat yang berpendidikan tinggi akan mempunyai keterampilan dan keahlian, sehingga dapat meningkatkan produktivitas. Peningkatan produktivitas akan meningkatkan output perusahaan, peningkatan upah pekerja, peningkatan daya beli masyarakat sehingga akan mengurangi kemiskinan. Mengingat pentingnya pendidikan tersebut, pemerintah memprioritaskan pembangunan dibidang pendidikan. Keseriusan pemerintah dalam memajukan pendidikan tertera dalam Pasal 28 C ayat (1) Amandemen UUD 1945 dan pasal 31 UUD Pasal 31 Ayat 1 menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak

71 untuk mendapatkan pendidikan, sedangkan dalam Ayat 3 pemerintah mewajibkan setiap warga negara untuk mengikuti program pendidikan dasar 9 tahun dan pemerintah wajib membiayainya. Dalam upaya peningkatan mutu pendidikan, pemerintah menyusun Undang- Undang No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Penerapan dari undang-undang tersebut antara lain diwujudkan dalam program dana BOS dan beasiswa bagi siswa dari keluarga tidak mampu. Program BOS bertujuan membebaskan biaya pendidikan bagi siswa tidak mampu, dan meringankan beban siswa lainnya agar semua siswa memperoleh layanan pendidikan dasar yang lebih bermutu sampai tamat SD dan SMP, sedangkan beasiswa untuk siswa tidak mampu diberikan dari jenjang pendidikan dasar sampai dengan perguruan tinggi. Langkah pemerintah dalam pembiayaan pendidikan diwujudkan dengan memprioritaskan anggaran pendidikan sekurangkurangnya 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Terkait dengan masalah kemiskinan di Indonesia, jumlah penduduk miskin mayoritas berpendidikan rendah. BPS (2008) melaporkan bahwa 46,56 persen penduduk miskin berpendidikan tidak tamat SD, sedangkan yang tamat SD sebesar 34,13 persen. Selanjutnya persentase penduduk miskin dengan pendidikan SMP, SMU dan diatas SMU masing-masing sebesar 10,74 persen; 8,10 persen dan 0,47 persen. Kualitas pendidikan dapat dilihat dari jumlah penduduk berdasarkan pendidikan tertinggi yang ditamatkan. Secara umum, pendidikan penduduk di Kawasan Barat Indonesia masih tergolong rendah. Berdasarkan pendidikan yang ditamatkan, sebagian besar penduduk hanya lulus SD. Pada tahun 2000, penduduk yang lulus SD di sebesar 33,38 persen. Pada tahun 2009, angka ini menunjukkan tren yang menurun (Gambar 6).

72 Sumber: BPS, Susenas Kor (diolah) Gambar 6 Persentase penduduk menurut ijazah tertinggi yang dimiliki di Kawasan Barat Indonesia, Kondisi pendidikan di Kawasan Timur Indonesia tidak jauh beda dengan Kawasan Barat Indonesia, mayoritas penduduk masih berpendidikan SD. Pada tahun 2000, persentase penduduk lulus SD sebesar 29,94 persen dan cenderung menurun hingga angka 27,21 persen pada tahun Sumber: BPS, Susenas Kor (diolah) Gambar 7 Persentase penduduk menurut ijazah tertinggi yang dimiliki di Kawasan Timur Indonesia, Pekerja Sektor Pertanian Sektor pertanian merupakan sumber mata pencaharian utama bagi sebagian besar penduduk Indonesia yang mayoritas tinggal di perdesaan. Dari tahun 2000 hingga 2008, sekitar 40 persen angkatan kerja nasional melakukan akawasan Timur Indonesiavitas ekonomi di sektor pertanian (BPS 2008). Seiring dengan maraknya isu indudtrialisasi dan alih fungsi lahan pertanian menjadi perumahan

73 menyebabkan lahan pertanian mengalami pengurangan, bahkan semakin banyak pula penduduk yang tidak mempunyai lahan sama sekali. Pada tahun persentase penduduk yang bekerja di sektor pertanian cenderung menurun. Di Kawasan Barat Indonesia, persentase penduduk yang bekerja di sektor pertanian menurun dari 41,97 persen pada tahun 2000 menjadi 36,47 persen pada tahun Pada Kawasan Timur Indonesia, persentase penduduk yang bekerja di sektor pertanian masih lebih dari 50 persen. Perbedaan terjadi antara Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia, diduga disebabkan oleh: pertama, lapangan kerja yang ada di Kawasan Timur Indonesia sebagian besar bergerak di sektor pertanian. Kedua, kondisi geografis dan ketersediaan sarana infrastruktur yang belum memadai sehingga membuat sektor selain pertanian sedikit mengalami kesulitan dalam untuk berkembang. Berikut disajikan gambar perkembangan pekerja sektor pertanian di Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia. Sumber: BPS, Sakernas (diolah) Gambar 8 Perkembangan pekerja sektor pertanian di Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia, Pengangguran Pengangguran adalah seseorang yang tergolong angkatan kerja dan ingin mendapat pekerjaan tetapi belum dapat memperolehnya. Masalah pengangguran menyebabkan tingkat pendapatan nasional dan tingkat kemakmuran masyarakat tidak mencapai potensi maksimal.

74 Pengangguran di Kawasan Barat Indonesia maupun di Kawasan Timur Indonesia pada tahun mengalami fluktuasi dengan arah yang hampir sama. Di Kawasan Barat Indonesia, pada periode angka pengangguran meningkat dari 6,30 persen menjadi 11,47 persen. Demikian juga di Kawasan Timur Indonesia, angka pengangguran mengalami peningkatan dari 5,19 persen pada tahun 2000 hingga 10,08 persen pada tahun Kenaikan ini diduga akibat kondisi perekonomian yang belum stabil dan kebijakan pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak yang berdampak pada meningkatnya biaya produksi perusahaan, sehingga keuntungan yang diperoleh berkurang. Untuk mempertahankan keuntungan yang didapat banyak perusahaan yang memutuskan untuk mengurangi biaya produksi, yang salah satunya adalah biaya tenaga kerja. Keputusan ini berdampak pada pemutusan hubungan kerja bagi sejumlah pekerja dan akibatnya angka pengangguran meningkat. Sumber: Sakernas, (diolah) Gambar 9 Perkembangan angka pengangguran terbuka di Indonesia, Pada periode angka pengangguran menurun, diduga karena kondisi ekonomi yang sudah mulai stabil atau pertumbuhan ekonomi yang mulai meningkat. Peningkatan pertumbuhan ekonomi akan mengurangi pengangguran. Pertumbuhan ekonomi ditandai dengan meningkatnya output produksi, dengan bertambahnya output kebutuhan tenaga kerja juga akan meningkat sehingga perekrutan tenaga kerja baru dilakukan. Semakin banyak angkatan kerja yang masuk ke dunia kerja maka angka pengangguran akan berkurang.

75 Berdasarkan Gambar 9, dapat dipaparkan bahwa terjadi perbedaan angka pengangguran antara Kawasan Barat Indonesia dengan Kawasan Timur Indonesia. Pengangguran di Kawasan Barat Indonesia lebih tinggi daripada di Kawasan Timur Indonesia. Tingginya pengangguran di Kawasan Barat Indonesia diduga disebabkan oleh jumlah penduduk yang besar sehingga pertumbuhan lapangan kerja tidak dapat mengimbangi pertumbuhan angkatan kerja. Selain itu, lapangan kerja untuk tenaga kerja terdidik belum memadai. Sejumlah penduduk yang berpendidikan tinggi akan memilih pekerjaan yang sesuai dengan bidang pendidikannya dan berharap pendapatan yang akan diterima sesuai dengan pengorbanan yang telah dikeluarkan sewaktu sekolah. Jika mereka belum mendapatkan pekerjaan yang diharapkan, sebagian dari mereka akan memilih menganggur sehingga berdampak pada bertambahnya angka pengangguran di Indonesia. 4.6 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) perkapita Tujuan utama dari pembangunan ekonomi adalah meningkatkan kesejahteraan penduduk. PDRB perkapita lazim digunakan untuk mengukur keberhasilan pembangunan ekonomi. Dengan menggunakan PDRB perkapita, ketimpangan pembangunan antar daerah menjadi lebih terukur dan dapat dibandingkan. Menurut Tambunan (2001), PDRB perkapita dianggap tinggi jika nilainya di atas 2 juta rupiah dan dianggap rendah jika nilainya di bawah 2 juta rupiah. Pertumbuhan PDRB perkapita tinggi jika di atas 3 persen, dan rendah jika di bawah 3 persen. Selama periode PDRB perkapita Indonesia mengalami peningkatan. Menurut BPS (2009), PDRB perkapita Indonesia pada tahun 2000 tercatat sekitar 6.656,7 ribu rupiah. Jumlah ini meningkat bila dibandingkan dengan rata-rata pendapatan perkapita pada tahun 2005 dan 2009, masing-masing sebesar 7.999,4 ribu rupiah dan 8.974,7 ribu rupiah. Berdasarkan kawasan, Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia mempunyai nilai PDRB perkapita di atas 2 juta rupiah. Ini berarti kedua kawasan tersebut mempunyai nilai PDRB perkapita dalam kategori tinggi. Jika dibandingkan, PDRB perkapita penduduk di Kawasan Barat Indonesia lebih tinggi

76 daripada di Kawasan Timur Indonesia pada periode Namun setelah tahun 2005, PDRB perkapita di Kawasan Timur Indonesia lebih unggul daripada di Kawasan Barat Indonesia. Tingginya PDRB perkapita di Kawasan Barat Indonesia mengindikasikan bahwa perekonomian di Indonesia bagian barat secara relatif lebih baik daripada Indonesia bagian timur. Secara rinci, perbandingan PDRB perkapita antara Kawasan Barat Indonesia dengan Kawasan Timur Indonesia disajikan dalam gambar berikut. Sumber: BPS, berbagai tahun terbitan (diolah) Gambar 10 Perkembangan PDRB perkapita di Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia, Jika dibandingkan antar provinsi, Jakarta menduduki posisi pertama di Kawasan Barat Indonesia maupun nasional. Pada tahun 2009, nilai PDRB perkapita DKI Jakarta sebesar Rp ,00. Besarnya PDRB perkapita di DKI Jakarta menunjukkan bahwa perekonomian di ibukota negara jelas lebih baik dibandingkan dengan provinsi lainnya. Pusat aktivitas ekonomi ada di ibukota dengan segala fasilitas pendukungnya seperti kemajuan infrastruktur, fasilitas umum yang mendukung majunya sumberdaya manusia dan fasilitas lainnya. Provinsi yang mempunyai nilai PDRB perkapita terendah adalah Nusa Tenggara Timur dengan angka Rp ,00. Nusa Tenggara Timur merupakan salah satu daerah yang relatif tertinggal di Kawasan Timur Indonesia. Rendahnya nilai PDRB perkapita menunjukkan bahwa perekonomian yang ada relatif belum maju dibandingkan dengan provinsi lainnya. Perhatian pemerintah untuk

77 memajukan ekonomi di Nusa Tenggara Timur sangat penting agar perekonomian bisa lebih maju, kesempatan kerja lebih banyak, pengangguran dapat berkurang dan kesejahteraan penduduk dapat ditingkatkan. Sumber: BPS, Statistik Indonesia, 2009 Gambar 11 PDRB perkapita menurut provinsi tahun Infrastruktur Infrastruktur merupakan faktor penting dalam memajukan kondisi sosial dan ekonomi suatu wilayah. Ketersediaan infrastruktur sangat dibutuhkan oleh suatu wilayah untuk melancarkan aktivitas ekonomi dan mobilitas penduduknya. Daerah akan cepat maju jika didukung oleh kuantitas dan kualitas infrastruktur yang memadai. Namun sebaliknya, keterbatasan infrastruktur akan menyebabkan suatu wilayah terisolir dari wilayah lainnya. Keterisolasian tersebut menyebabkan roda perekonomian sulit bergerak dan penduduknya terbelenggu dalam kemiskinan. Dalam penelitian ini, infrastruktur yang digunakan adalah infrastruktur jalan dan listrik. Ketergantungan masyarakat terhadap ketersediaan jalan sangat besar jika dibandingkan dengan modal infrastruktur transportasi lainnya. Ketersediaan fasilitas jalan yang memadai bukan hanya dari segi kualitas saja, melainkan juga dari kemudahan masyarakat menggunakan jalan tersebut (aksesibilitas). Aksesibilitas yang rendah dapat menimbulkan kemacetan di manamana yang pada akhirnya menghambat dalam distribusi barang-jasa dan mobilitas penduduk.

78 Berdasarkan jenis permukaannya, jalan dapat diklasifikasikan menjadi jalan aspal, kerikil, tanah dan lainnya. Panjang jalan beraspal merupakan yang terpanjang dibandingkan jenis permukaan yang lain, yaitu 56,94 persen dari total panjang jalan. Jalan dengan permukaan kerikil 21,6 persen, permukaan tanah 17,58 persen dan jalan dengan permukaan lainnya sekitar 3,86 persen. Tabel 6 Panjang jalan dan persentasenya menurut kondisi dan provinsi di Indonesia tahun 2009 No Provinsi Baik dan Sedang Rusak dan Rusak Berat Jumlah Panjang Persentase Panjang Persentase (Km) (Km) (%) (Km) (%) 1 D.I. Aceh 11, , ,873 2 Sumatera Utara 21, , ,448 3 Sumatera Barat 10, , ,737 4 Riau 19, , ,681 5 Jambi 6, , ,372 6 Sumatera Selatan 15, , ,705 7 Bengkulu 3, , ,625 8 Lampung 10, , ,003 9 DKI Jakarta 4, , , Jawa Barat 21, , , Jawa Tengah 21, , , D.I. Yogyakarta 3, , , Jawa Timur 31, , , Bali 5, , , Nusa Tenggara Barat 4, , , Nusa Tenggara Timur 11, , , Kalimantan Barat 8, , , Kalimantan Tengah 8, , , Kalimantan Selatan 6, , , Kalimantan Timur 9, , , Sulawesi Utara 6, , , Sulawesi Tengah 8, , , Sulawesi Selatan 24, , , Sulawesi Tenggara 7, , , Maluku 7, , , Papua 9, , ,485 Indonesia 298, , ,337 Sumber: BPS, Statistik Perhubungan 2008 (diolah) Jumlah jalan paling panjang di Indonesia berada di Provinsi Sulawesi Selatan, yang mencapai kilometer, disusul oleh Provinsi Jawa Timur ( kilometer) dan Sumatera Utara ( km). Provinsi dengan panjang jalan paling rendah yaitu DI Yogyakata yaitu kilometer dan DKI Jakarta dengan panjang hanya kilometer. Apabila dilihat menurut kualitasnya, jalan di Indonesia masih kurang memadai karena masih banyak jalan yang

79 rusak ringan dan rusak berat seperti ditunjukkan pada Tabel 6. Panjang jalan yang mengalami kerusakan pada tahun 2009 yaitu sebesar 37,25 persen. Provinsi yang memiliki persentase jalan yang rusak tertinggi yaitu Papua, Bengkulu dan Sulawesi Tengah, masing-masing sebesar 59,39 persen; 58,09 persen dan 51,73 persen. Hal ini perlu mendapat perhatian karena jalan yang rusak dan tidak berkualitas akan menghambat aktivitas sosial dan ekonomi penduduk di wilayah tersebut. Selain tingkat panjang jalan dan kualitas jalan, kinerja jalan juga dapat diukur dengan tingkat mobilitas, tingkat mobilitas merupakan ukuran kemudahan dalam berpindah yang berhubungan erat dengan kemacetan (degree of saturation). Tingkat mobilitas diukur dengan rasio panjang jalan bermotor dibagi dengan jumlah kendaraan. Semakin tinggi nilai ini menggambarkan semakin padat kendaraan dan semakin menuju kemacetan. Hal ini disebabkan penambahan panjang jalan lebih rendah dibandingkan dengan penambahan kendaraan bermotor, misalnya di DKI Jakarta dengan pertumbuhan panjang jalan rata-rata per tahun hanya 2 persen dan pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor mencapai 11 persen. Hal ini perlu mendapat perhatian yang serius karena adanya keterbatasan daya dukung suatu wilayah sehingga jika tingkat mobilitas terlalu rendah maka akan menimbulkan kemacetan dan dapat mengganggu kegiatan ekonomi sehingga pada akhirnya akan menghambat pertumbuhan ekonomi. Selanjutnya, listrik merupakan salah satu bentuk energi terpenting dalam perkembangan kehidupan manusia, baik untuk kegiatan rumah tangga, pendidikan, kesehatan, usaha, industri maupun kegiatan lainnya. Listrik mempunyai korelasi yang kuat dengan kegiatan ekonomi terutama untuk sektor industri yang harus menggunakan teknologi dan mesin yang memerlukan listrik untuk menjalankan produksinya. Secara nasional, penjualan energi listrik terus meningkat dari tahun ke tahun. Selama kurun waktu , pertumbuhan rata-rata energi listrik PLN yang terjual sebesar 6,09 persen setiap tahunnya. Peningkatan penjualan energi listrik tertinggi terjadi pada tahun 2004 dengan pertumbuhan mencapai 10,68 persen dan yang terendah terjadi pada tahun 2002 yang pertumbuhannya hanya

80 sebesar 3,60 persen. Penjualan energi listrik pada tahun 2009 mencapai ,99 GWh, meningkat sebesar 4,75 persen dibandingkan tahun 2008 yang mencapai ,71 GWh. Tabel 7 Energi listrik PLN yang terjual di Indonesia menurut provinsi tahun 2000, 2005 dan 2009 Energi yang terjual (GWh) Rata-rata No Provinsi pertumbuhan per tahun (%) 1 D.I. Aceh 506,31 698, ,45 11,20 2 Sumatera Utara 3646, , ,9 5,92 3 Sumatera Barat 1214, , ,52 5,79 4 Riau 1378, , ,84 10,86 5 Jambi 338,12 523,14 594,9 7,00 6 Sumatera Selatan 1309, , ,55 9,96 7 Bengkulu 173,11 252,74 387,37 9,41 8 Lampung , ,03 11,20 9 DKI Jakarta 18517, , ,62 5,72 10 Jawa Barat 22069, , ,07 5,23 11 Jawa Tengah 7763, , ,34 6,46 12 D.I. Yogyakarta 945, ,2 1688,86 6,93 13 Jawa Timur 13135, , ,18 5,45 14 Bali 1431, , ,65 7,81 15 Nusa Tenggara Barat 309,37 451,94 688,91 9,39 16 Nusa Tenggara Timur 185,74 258,53 382,71 8,44 17 Kalimantan Barat 627,75 841, ,65 7,04 18 Kalimantan Tengah 270,4 350,29 518,67 8,11 19 Kalimantan Selatan 780,61 983, ,21 5,73 20 Kalimantan Timur 931,1 1425, ,67 8,45 21 Sulawesi Utara 515,78 701,28 991,76 7,63 22 Sulawesi Tengah 201,75 318,62 428,35 8,79 23 Sulawesi Selatan 1480, , ,99 7,48 24 Sulawesi Tenggara 153,23 236,02 348,4 9,62 25 Maluku 129,5 311,39 422,95 14,66 26 Papua 288,99 429,53 661,44 9,65 Indonesia 79155, , ,99 6,09 Sumber: Statistik Listrik PLN , BPS (diolah)

81 Halaman ini sengaja dikosongkan.

82 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kemiskinan Analisis data panel digunakan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan di Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia. Analisis data panel dilakukan dengan menggunakan data 14 provinsi di Kawasan Barat Indonesia dan 12 provinsi di Kawasan Timur Indonesia pada kurun waktu 2000 sampai Pemilihan model regresi terbaik dilakukan untuk mendapatkan hasil estimasi yang baik. Proses ini dilakukan dalam dua tahap, yaitu membandingkan pooled model dengan fixed effects model kemudian dilanjutkan dengan membandingkan fixed effects model dengan random effect model. Pada tahap pertama, untuk membandingkan pooled model dengan fixed effects model digunakan uji Chow, sedangkan pada tahap kedua untuk membandingkan fixed effects model dengan random effect model digunakan uji Hausman. Berdasarkan hasil uji Chow, baik di Kawasan Barat Indonesia maupun Kawasan Timur Indonesia secara signifikan Ho (pooled model) ditolak atau terdapat heterogenitas individu pada model. Ini ditunjukkan dengan nilai p-value < 0,05. Jika dalam model terdapat heterogenitas individu maka fixed effects model akan memberikan hasil yang lebih baik jika dibandingkan pooled model. Setelah dihasilkan fixed effects model pada langkah pertama, maka langkah selanjutnya membandingkan antara fixed effects model dan random effects model dengan uji Hausman. Statistik uji Hausman mengikuti distribusi statistik Chi-Square dengan derajat bebas sebanyak jumlah variabel bebas. Hasil uji Hausman untuk kedua kawasan menunjukkan nilai p-value (probabilita) < 0,05, hal ini berarti persamaan faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan memiliki heterogenitas individu tetapi tidak secara random. Dengan demikian fixed effects model lebih sesuai digunakan. Asumsi yang harus dipenuhi dalam persamaan regresi adalah varian error harus sama dengan σ 2 (konstan), atau semua error mempunyai varian yang sama yang disebut dengan homoskedastisitas. Berdasarkan hasil estimasi, ditemukan adanya heteroskedastisitas pada model. Untuk mengatasi pelanggaran asumsi ini,

83 estimasi dilakukan dengan General Least Square (GLS). Estimasi yang dilakukan dengan fixed effect GLS menunjukkan hasil yang lebih baik dibandingkan fixed effect OLS. Model yang diestimasi dengan fixed effect GLS lebih banyak menghasilkan parameter yang signifikan dan nilai adjusted R 2 yang lebih tinggi dibanding dengan fixed effect OLS. Selanjutnya, asumsi model bebas dari autokorelasi. Keputusan ada atau tidaknya autokorelasi dalam model dapat diketahui dari nilai Durbin-Watson. Hasil regresi menunjukkan nilai DW-Statistik < dl sehingga dapat disimpulkan terdapat autokorelasi positif dalam model. Untuk mengatasi adanya autokorelasi dapat dilakukan dengan metode GLS dengan memberikan weights: White Cross Section. Hasil estimasi yang diperoleh dengan metode ini menunjukkan perbaikan jika dibandingkan dengan metode fixed effect GLS. Selain asumsi homoskedastisitas dan autokorelasi, uji normalitas dilakukan dalam model. Uji normalitas digunakan untuk menguji apakah residual mengikuti distribusi normal atau tidak. Hasil estimasi menunjukkan model faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan di kedua kawasan mempunyai nilai residual berdistribusi normal. Ini dapat diketahui dari nilai probabilita Jarque-Bera sebesar 0, untuk model di Kawasan Barat Indonesia dan 0, untuk model di Kawasan Timur Indonesia. Nilai probabilita Jarque-Bera lebih besar dari 0,05 sehingga dapat diperoleh kesimpulan nilai residual berdistribusi normal. Setelah dilakukan pengujian dan diperoleh model dan metode yang paling sesuai, maka dilakukan estimasi dari persamaan tersebut. Estimasi dilakukan dengan metode fixed effect: white cross section. Estimasi dilakukan untuk mengetahui besarnya elastisitas dari setiap variabel bebas (independent variable) terhadap variabel tidak bebas (dependent variable). Variabel tidak bebas yaitu jumlah penduduk miskin, sedangkan variabel bebas meliputi jumlah penduduk, jumlah pekerja sektor pertanian, jumlah penduduk lulusan setingkat SMP, jumlah penduduk lulusan setingkat SMU, jumlah penduduk lulusan setingkat diploma ke atas (PT), Upah Minimum Provinsi (UMP), PDRB perkapita atas dasar harga konstan tahun 2000, pengangguran, infrastruktur jalan dan listrik. Berikut disajikan hasil estimasi faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan di Kawasan Barat dan Timur Indonesia.

84 Tabel 8 Hasil estimasi persamaan faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan di Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia periode Variabel bebas Variabel tidak bebas: ln_jumlah penduduk miskin (LN_MISKIN) Kawasan Barat Indonesia Kawasan Timur Indonesia C 0, ,38942*** ( ) ( ) LN_PDDK 0,872849** -0,780270** ( ) ( ) LN_TANI 0,035444*** -0,053490*** ( ) ( ) LN_SMP 0,229980*** 0,115384** ( ) ( ) LN_SMU -0,339294*** -0,210970*** ( ) ( ) LN_PT -0, ,192987** ( ) ( ) LN_UMP -0, ,050989** ( ) ( ) LN_PDRBKPT -0,086516*** -0, ( ) ( ) LN_NGANGGUR 0,149808** 0,038834* ( ) ( ) LN_JLN -0, ,034814*** ( ) ( ) LN_LISTRIK -0, ,172140** ( ) ( ) Adjusted R Square 0, , Prob (F-Statistik) 0, , Keterangan : angka dalam kurung menunjukkan standard error * : signifikan pada taraf nyata 10 persen ** : signifikan pada taraf nyata 5 persen *** : signifikan pada taraf nyata 1 persen Hasil estimasi menunjukkan nilai probabilita F-statistik < 0,05 dan ini dapat diartikan bahwa variabel-variabel bebas pada model mampu menjelaskan keragaman jumlah penduduk miskin pada taraf nyata (α) 5 persen. Nilai Adjusted R-squared (koefisien determinan) untuk model di Kawasan Barat Indonesia diperoleh angka sebesar 0,991 yang menunjukkan bahwa variabel bebas di dalam model mampu menjelaskan 99,1 persen variasi variabel endogen secara baik.

85 Sementara itu, nilai Adjusted R-squared (koefisien determinan) untuk model di Kawasan Timur Indonesia diperoleh angka sebesar 0,984 yang menunjukkan bahwa variabel bebas di dalam model mampu menjelaskan 98,4 persen variasi variabel endogen secara baik. Berdasarkan hasil estimasi, terlihat bahwa ada kesamaan penyebab kemiskinan di Kawasan Barat dan Timur Indonesia, yaitu pengangguran. Pengangguran secara signifikan berpengaruh pada peningkatan jumlah penduduk miskin di Kawasan Barat maupun Timur Indonesia. Pada Kawasan Barat Indonesia, tingkat elastisitas pengangguran sebesar 0,14 yang artinya peningkatan pengangguran sebesar 1 persen akan meningkatkan jumlah penduduk miskin 0,14 persen, ceteris paribus. Sementara itu, tingkat elastisitas pengangguran di Kawasan Timur Indonesia sebesar 0,03 yang berarti peningkatan pengangguran sebesar 1 persen akan meningkatkan jumlah penduduk miskin sebesar 0,03 persen, ceteris paribus. Antara pengangguran dengan kemiskinan memang saling terkait. Pengangguran menjadi beban perekonomian, dimana mereka tidak menghasilkan pendapatan namun secara rutin mengeluarkan biaya guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Untuk memenuhi kebutuhannya mereka menggunakan hasil kerja orang lain, sehingga mengurangi pendapatan perkapita. Jika pendapatan perkapita menurun akibatnya tingkat kesejahteraan juga menurun dan kemiskinan meningkat. Pengangguran akan berpengaruh pada nasib generasi berikutnya. Jika dalam suatu rumah tangga banyak anggota rumah tangga yang menganggur atau bekerja dengan gaji rendah, maka rumah tangga tersebut akan mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan rumahtangganya secara layak dan memadai. Kondisi ini akan menggiring mereka hidup dalam kemiskinan. Kesulitan keuangan yang hadapi menyebabkan rumah tangga tersebut tidak dapat memenuhi kebutuhan gizi dan pendidikan bagi anak-anaknya. Akibatnya, anak-anak mereka hanya berpendidikan rendah dimana pada masa yang akan datang mereka akan kesulitan bersaing di dunia kerja. Pada akhirnya anak-anak dari rumah tangga tersebut akan bekerja dengan gaji yang rendah sehingga lingkaran kemiskinan sulit untuk diputuskan. Hasil penelitian ini sejalan dengan beberapa penelitian sebelumnya,

86 antara lain: NAPS (1999), Sukirno (2004) dan Suparno (2010) yang menyatakan bahwa peningkatan pengangguran menyebabkan peningkatan kemiskinan. Karena pengangguran menjadi penyebab kemiskinan, maka masalah pengangguran harus segera diatasi untuk mencegah semakin meningkatnya kemiskinan di kedua kawasan. Salah satu cara yang harus ditempuh untuk menurunkan pengangguran adalah dengan meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang dicerminkan dengan peningkatan PDRB perkapita. Secara teori, peningkatan pertumbuhan ekonomi akan diikuti dengan peningkatan jumlah lapangan pekerjaan. Lapangan pekerjaan yang tercipta akan memperbesar peluang para penganggur untuk bekerja sehingga tidak menganggur lagi. Dengan demikian kenaikan pertumbuhan ekonomi (PDRB perkapita) akan memberikan manfaat bagi penduduk untuk meningkatkan kesejahteraannya. Hal ini didukung dengan hasil estimasi yang menunjukkan peningkatan PDRB perkapita akan menurunkan kemiskinan baik di Kawasan Barat maupun Timur Indonesia. Berdasarkan hasil regresi, PDRB perkapita secara signifikan memengaruhi penurunan kemiskinan di Kawasan Barat Indonesia dengan nilai elastisitas sebesar -0,08 yang artinya setiap kenaikan PDRB perkapita 1 persen maka akan menurunkan kemiskinan sebesar 0,08 persen, ceteris paribus. Pengaruh PDRB perkapita terhadap penurunan penduduk miskin relatif kecil karena faktor-faktor produksi yang belum terdistribusi dengan baik antara lain lahan dan aset produktif lainnya. Lahan dan aset produktif lainnya lebih banyak dikuasai oleh golongan masyarakat kaya sehingga keuntungan atau tambahan pendapatan lebih banyak dinikmati oleh mereka daripada masyarakat miskin. Maka dari itu, dalam menanggulangi kemiskinan diperlukan peningkatan pertumbuhan ekonomi yang lebih melibatkan peran serta masyarakat miskin agar lebih memberikan manfaat peningkatan kesejahteraan bagi mereka. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Abustan (2010) yang menyatakan bahwa peningkatan PDRB per kapita akan berdampak pada penurunan kemiskinan. Berbeda dengan Kawasan Barat Indonesia, hasil estimasi pada Kawasan Timur Indonesia menunjukkan bahwa kenaikan PDRB perkapita berdampak pada penurunan kemiskinan namun tidak signifikan. Hal ini diduga distribusi pendapatan yang tidak merata menyebabkan peningkatan PDRB perkapita tidak

87 terlalu berarti bagi penduduk miskin karena kenaikan pendapatan lebih banyak dirasakan oleh penduduk tidak miskin. Semakin tidak meratanya distribusi pendapatan di Kawasan Timur Indonesia ditunjukkan dengan kenaikan indeks gini, dimana terlihat pada Gambar 12 indeks gini di Kawasan Timur Indonesia cenderung meningkat dan semakin lebih besar dibandingkan dengan indeks gini di Kawasan Barat Indonesia. Ini mengindikasikan bahwa ketimpangan pendapatan di Kawasan Timur Indonesia relatif lebih besar daripada di Kawasan Barat Indonesia. Sumber: BPS, berbagai tahun terbitan (diolah) Gambar 12 Perkembangan indeks gini di Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia, Selain indeks gini, tidak meratanya distribusi pendapatan dapat dilihat dari perbandingan antara PDRB perkapita per bulan dengan garis kemiskinan. PDRB perkapita per bulan diperoleh dengan cara PDRB perkapita per tahun dibagi duabelas bulan. Besarnya PDRB perkapita per bulan menunjukkan pengeluaran rata-rata setiap penduduk di suatu wilayah. Semakin tinggi nilai PDRB perkapita menunjukkan rata-rata kesejahteraan penduduk meningkat, dan sebaliknya nilai PDRB per kapita yang rendah menunjukkan tingkat kesejahteraan penduduk masih rendah. Sementara itu, nilai garis kemiskinan menunjukkan besarnya biaya yang dibutuhkan setiap individu untuk memenuhi kebutuhan dasar minimum. Berikut disajikan perkembangan garis kemiskinan dan PDRB perkapita per bulan di Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia.

88 Sumber: BPS, Statistik Indonesia, (diolah). Gambar 13 Perkembangan PDRB perkapita per bulan dan garis kemiskinan di Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia, Pada periode besarnya PDRB perkapita per bulan jauh lebih besar daripada garis kemiskinan baik di Kawasan Barat Indonesia maupun di Kawasan Timur Indonesia. Data ini menunjukkan bahwa pengeluaran penduduk Indonesia sangat timpang, dimana dengan garis kemiskinan yang jauh dibawah PDRB perkapita per bulan ternyata penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan sangat banyak (sekitar 32 juta jiwa). Ini berarti tingginya PDRB perkapita per bulan lebih banyak dimiliki oleh golongan penduduk berpenghasilan tinggi, sedangkan penduduk golongan penghasilan rendah tidak banyak mendapatkan manfaat dari peningkatan PDRB perkapita. Hal ini dapat dijadikan perhatian para pengambil kebijakan bahwa pertumbuhan ekonomi penting untuk ditingkatkan, namun pemerataan pendapatan juga perlu ditingkatkan agar kemiskinan tidak terus meningkat. Terdapat kesamaan cara meningkatkan pertumbuhan ekonomi di Kawasan Barat dan Timur Indonesia, yaitu dengan membangun infrastruktur. Dalam penelitian ini, variabel infrastruktur yang digunakan meliputi dua jenis yakni infrastruktur jalan dan infrastruktur listrik. Kedua jenis infrastruktur tersebut merupakan infrastruktur dasar (basic infrastructure) yang ketersediaannya akan sangat membantu masyarakat dalam melakukan aktivitas ekonomi. Infrastruktur jalan dihitung berdasarkan panjang jalan per jumlah kendaraan. Pada Kawasan Barat Indonesia, pengaruh infrastruktur jalan terhadap kemiskinan secara statistik

89 tidak signifikan. Jika dilihat data infrastruktur jalan di Kawasan Barat Indonesia maka rasio antara panjang jalan dengan kendaraan semakin kecil dan akibatnya terjadi kemacetan. Kemacetan menyebabkan kelancaran mobilitas manusia dan barang terganggu sehingga efisiensi dari penggunaan jalan berkurang. Opportunity cost dari menggunakan jalan jadi semakin mahal, kemahalan yang ditanggung lebih dikarenakan waktu dan tenaga yang terkuras. Oleh karena itu, perlu mendapat perhatian yang serius karena kemacetan dapat mengganggu kegiatan investasi sehingga pada akhirnya akan menghambat pertumbuhan ekonomi dan penurunan kemiskinan. Sumber: BPS, berbagai tahun terbitan (diolah) Gambar 14 Perkembangan infrastruktur jalan di Kawasan Barat Indonesia, Berbeda dengan di Kawasan Timur Indonesia, infrastruktur jalan secara signifikan berpengaruh terhadap penurunan kemiskinan. Nilai elastisitasnya sebesar -0,03 yang artinya jika terjadi kenaikan infrastruktur jalan (panjang jalan per jumlah kendaraan) sebesar 1 persen, maka akan menurunkan kemiskinan 0,03 persen, ceteris paribus. Agar kontribusi jalan terhadap peningkatan output dan penurunan kemiskinan semakin meningkat maka pemerintah perlu lebih menggiatkan pembangunan jalan terutama untuk daerah-daerah terpencil dan pedalaman yang biasanya menjadi kantong kemiskinan. Ketersediaan infrastruktur jalan yang memadai di daerah-daerah tersebut merupakan prasyarat utama karena akan lebih memudahkan penduduk untuk akses terhadap pelayanan kesehatan, pendidikan, informasi dan pasar. Dengan kondisi jalan yang semakin baik akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pada gilirannya kemiskinan akan semakin berkurang.

90 Jenis infrastruktur kedua adalah infrastruktur listrik. Dalam penelitian ini, infrastruktur listrik didefinisikan sebagai jumlah energi listrik yang terjual per rumah tangga. Pada Kawasan Barat Indonesia pengaruh infrastruktur listrik tidak signifikan dalam mempengaruhi kemiskinan. Hal ini dimungkinkan ketersediaan listrik bagi rumahtangga di Kawasan Barat Indonesia sudah cukup memadai sehingga peningkatannya hanya akan memberikan efek marginal yang kecil bagi penurunan penduduk miskin. Namun di Kawasan Timur Indonesia sebaliknya, infrastruktur listrik berpengaruh negatif terhadap jumlah penduduk miskin. Berdasarkan hasil estimasi, tingkat elastisitasnya -0,17 yang artinya setiap kenaikan energi listrik yang terjual per rumah tangga sebesar 1 persen akan menurunkan jumlah penduduk miskin sebesar 0,17 persen, ceteris paribus. Listrik merupakan salah satu bentuk energi terpenting dalam perkembangan kehidupan manusia, baik untuk kegiatan rumah tangga, pendidikan, kesehatan, usaha, industri maupun kegiatan lainnya. Ketersediaan energi listrik sangat berguna untuk konsumsi rumahtangga antara lain sebagai sumber penerangan, sumber energi bagi sejumlah peralatan rumah tangga. Selain sebagai konsumsi rumah tangga, energi listrik sangat berperan meningkatkan efisiensi biaya produksi pada sektor industri pengolahan. Efisiensi biaya produksi akan berdampak positif pada perusahaan maupun masyarakat. Jika biaya produksi murah maka biaya yang harus dikeluarkan perusahaan untuk proses produksi menjadi lebih sedikit sehingga perusahaan akan menetapkan harga barang produksinya juga murah. Harga barang yang murah akan meningkatkan daya beli masyarakat, kesejahteraan akan meningkat dan kemiskinan akan semakin turun. Pembangunan infrastruktur akan memudahkan para pelaku ekonomi dalam melakukan aktivitas ekonomi, tidak terkecuali bagi para petani. Pertanian merupakan sektor ekonomi yang masih mendominasi kegiatan perekonomian di Kawasan Barat maupun Timur Indonesia. Keterkaitan pekerja pertanian dengan kemiskinan menunjukkan hasil yang berbeda antara Kawasan Barat dengan Timur Indonesia. Hasil estimasi menunjukkan bahwa banyaknya pekerja pertanian di Kawasan Barat Indonesia menjadi salah satu faktor yang memengaruhi peningkatan kemiskinan. Ini artinya peningkatan pertumbuhan ekonomi yang pro

91 poor di Kawasan Barat Indonesia tidak lagi terfokus pada penambahan pekerja sektor pertanian, namun lebih kepada pengolahan hasil-hasil pertanian. Berdasarkan hasil estimasi, elastisitas jumlah penduduk miskin terhadap jumlah pekerja sektor pertanian yaitu 0,03 yang berarti peningkatan jumlah pekerja sektor pertanian 1 persen dapat meningkatkan jumlah penduduk miskin sebesar 0,03 persen, ceteris paribus. Pengaruh positif dari jumlah pekerja sektor pertanian terhadap jumlah penduduk miskin mengindikasikan bahwa pembenahan kinerja sektor pertanian perlu dilakukan. Hasil estimasi ini sesuai dengan fakta bahwa sebagian besar penduduk miskin bekerja di sektor pertanian. Sektor pertanian merupakan sektor tradisional yang banyak dipengaruhi faktor alam, berteknologi rendah dan tenaga kerja yang melimpah dengan lahan yang semakin sempit sehingga produktivitasnya rendah. Suparno (2010) menyebutkan bahwa selama periode manfaat pertumbuhan sektor pertanian lebih banyak dinikmati penduduk tidak miskin daripada penduduk miskin. Menurutnya, proses redistribusi pendapatan di sektor pertanian belum maksimal sehingga peningkatan ketidakmerataan pendapatan di sektor pertanian masih menyebabkan peningkatan tingkat kemiskinan. Selain itu, tingkat kemiskinan di sektor pertanian juga disebabkan oleh relatif rendahnya harga hasil produk pertanian. Hasil produk pertanian mempunyai nilai jual yang rendah di pasaran. Hasil pertanian sebagai bahan input bagi sektor lain dapat diperoleh dengan harga yang relatif murah, namun tidak demikian dengan harga output industri. Harga barang-barang konsumsi hasil industri senantiasa mengalami kenaikan sementara harga output pertanian relatif konstan. Akibatnya, pendapatan riil petani tidak menunjukkan peningkatan bahkan cenderung menurun. Semakin rendahnya pendapatan petani dapat dilihat dari nilai tukar petani yang cenderung menurun dari tahun ke tahun. Pendapatan petani yang semakin rendah dapat diartikan bahwa petani makin tidak sejahtera. Berikut disajikan perkembangan nilai tukar petani Indonesia.

92 Tabel 9 Perkembangan nilai tukar petani (NTP) di Indonesia Tahun Tahun Bulan (1) (2) (3) (4) (5) (6) Januari 110,70 109,40 119,93 104,50 108,67 Februari 108,65 109,48 120,83 103,08 108,38 Maret 108,00 110,08 118,45 103,70 106,13 April 106,18 110,25 118,78 103,65 106,18 Mei 106,85 110,98 119,83 103,98 100,16 Juni 106,03 105,80 116,15 104,58 100,64 Juli 106,45 106,28 116,43 105,88 101,71 Agustus 106,13 104,60 114,48 106,95 102,00 September 106,25 103,50 116,63 106,61 101,69 Oktober 106,35 104,30 118,15 104,50 99,20 Nopember 107,18 103,95 125,45 104,33 98,36 Desember 107,38 102,63 127,28 103,63 98,99 Rata-rata 107,18 106,77 119,37 104,62 102,68 Sumber : Suparno (2010). Ket. pada tahun (1993=100) dan pada tahun (2003=100). Terdapat perbedaan pengaruh banyaknya pekerja pertanian terhadap kemiskinan di Kawasan Barat dengan Timur Indonesia. Jika di Kawasan Barat Indonesia peningkatan pekerja pertanian akan meningkatkan penduduk miskin, namun di Kawasan Timur Indonesia tidak demikian, peningkatan jumlah pekerja sektor pertanian justru akan menurunkan kemiskinan. Berdasarkan hasil estimasi, nilai elastisitas jumlah penduduk miskin terhadap jumlah pekerja pertanian di Kawasan Timur Indonesia sebesar -0,05 yang artinya peningkatan jumlah pekerja pertanian sebesar 1 persen akan menurunkan jumlah penduduk miskin 0,05 persen. Melihat pengaruh negatif dari jumlah pekerja sektor pertanian terhadap jumlah penduduk miskin maka sektor pertanian menjadi salah satu faktor penting yang harus diperhitungkan dalam mengambil kebijakan untuk menanggulangi kemiskinan di Kawasan Timur Indonesia. Hasil pengamatan ini sesuai dengan teori pembangunan yang menyebutkan bahwa sektor pertanian merupakan penggerak pembangunan (engine of growth) baik dari segi penyedian bahan baku, kesempatan kerja, bahan pangan, serta sebagai daya beli bagi produk yang dihasilkan oleh sektor lain. Secara alamiah pembangunan harus didukung oleh berkembangnya sektor pertanian yang kuat baik segi penawaran maupun dari segi permintaan. Dengan kuatnya sektor pertanian dipandang dari sisi penawaran

93 maupun di sisi permintaan maka pertanian akan mampu mendukung dan membuat jalinan dengan sektor kegiatan ekonomi lain. Terjadinya perbedaan pengaruh jumlah pekerja sektor pertanian terhadap jumlah penduduk miskin antara Kawasan Barat dan Timur Indonesia sangat logis. Jika dilihat data jumlah penduduk yang bekerja di sektor pertanian di kedua kawasan tersebut (Gambar 8), jumlah pekerja pertanian di Kawasan Barat Indonesia jauh lebih banyak dibandingkan di Kawasan Timur Indonesia. Lahan pertanian yang semakin sempit di Kawasan Barat Indonesia akan semakin sulit menampung banyaknya pekerja pertanian, sehingga bertambahnya jumlah pekerja tidak lagi meningkatkan produk marginal tapi justru menurunkannya. Dampaknya adalah pendapatan perkapita pekerja pertanian semakin menurun, kesejahteraan menurun dan kemiskinan akan sulit untuk diturunkan. Pada Kawasan Timur Indonesia dengan luas wilayah mencapai 67 persen dari luas wilayah nasional tentu lahan pertanian masih terbentang luas. Kesempatan kerja di sektor pertanian masih terbuka lebar dan penambahan tenaga kerja akan meningkatkan produktivitasnya. Dengan fakta ini maka sangat rasional jika penambahan pekerja sektor pertanian di Kawasan Timur Indonesia akan meningkatkan produktivitas pertanian sehingga output pertanian meningkat, kesejahteraan petani meningkat dan kemiskinan menurun. Argumen di atas diperkuat dengan data PDRB per kapita sektor pertanian di Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia. Menurut Gambar 15 terlihat bahwa PDRB per kapita sektor pertanian di Kawasan Timur Indonesia lebih tinggi daripada di Kawasan Barat Indonesia. Tingginya PDRB perkapita sektor pertanian di Kawasan Timur Indonesia banyak ditopang oleh subsektor kehutanan dan perkebunan yang secara relatif mempunyai nilai jual yang lebih tinggi dibandingkan subsektor lainnya. Dari tahun PDRB per kapita sektor pertanian di Kawasan Timur Indonesia cenderung meningkat, sedangkan di Kawasan Barat Indonesia cenderung menurun.

94 Sumber: BPS, Statistik Indonesia (diolah) Gambar 15 PDRB perkapita sektor pertanian di Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia, Untuk meningkatkan perekonomian dan penanggulangan kemiskinan tidak terlepas dari peran penduduk. Pada Kawasan Barat Indonesia, nilai elastisitas jumlah penduduk sebesar 0,87 mempunyai arti setiap kenaikan 1 persen jumlah penduduk maka akan meningkatkan jumlah penduduk miskin sebesar 0,87 persen, ceteris paribus. Hasil estimasi ini sesuai dengan hipotesis bahwa pertumbuhan jumlah penduduk memberikan pengaruh positif terhadap pertumbuhan jumlah penduduk miskin. Pada tahun 2008, Jhingan mengemukakan pengaruh buruk pertumbuhan penduduk yang tinggi terhadap perekonomian yang dalam hal ini pendapatan per kapita. Pertumbuhan penduduk cenderung memperlambat pendapatan per kapita melalui tiga cara, yaitu: 1) ia memperberat beban penduduk pada lahan; 2) ia menaikkan barang konsumsi karena kekurangan faktor pendukung untuk menaikkan penawaran mereka; 3) memerosotkan akumulasi modal, karena dengan tambah anggota keluarga, biaya meningkat. Kondisi ini akan semakin parah apabila persentase anak-anak pada keseluruhan penduduk tinggi, karena anak-anak hanya menghabiskan dan tidak menambah produk, dan jumlah anak yang menjadi tanggungan keluarga lebih besar daripada jumlah mereka yang menghasilkan, sehingga pendpatan per kapita menjadi rendah. Nilai elastisitas jumlah penduduk menunjukkan angka terbesar jika dibandingkan dengan variabel bebas lainnya. Ini mengindikasikan bahwa pertumbuhan jumlah penduduk di Kawasan Barat Indonesia menjadi faktor utama tingginya angka kemiskinan. Luas Kawasan Barat Indonesia yang hanya sekitar

95 32,24 persen dari wilayah nasional dihuni oleh sekitar 80,65 persen penduduk. Banyaknya penduduk menyebabkan persaingan dalam memperoleh pekerjaan semakin kuat, sementara lapangan kerja terbatas. Penduduk yang kalah dalam persaingan akan menganggur atau bekerja dengan pendapatan yang rendah, sehingga keduanya akan berdampak pada bertambahnya kemiskinan. Selain itu, penduduk di Kawasan Barat Indonesia didominasi oleh penduduk non produktif, ini ditunjukkan dengan besarnya angka beban ketergantungan di Kawasan Barat Indonesia yang masih tinggi. Tingginya angka beban tanggungan akan mengurangi pendapatan per kapita yang diterima oleh setiap penduduk, sehingga berakibat pada tingginya angka kemiskinan. Sementara itu, variabel jumlah penduduk di Kawasan Timur Indonesia mempunyai nilai elastisitas sebesar -0,78 yang artinya peningkatan jumlah penduduk 1 persen akan menurunkan jumlah penduduk miskin sebesar 0,78 persen, ceteris paribus. Secara tradisional, pertumbuhan penduduk akan menyebabkan kenaikan tenaga kerja dan akan memberikan pengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Hal ini berarti: (1) semakin banyak jumlah angkatan kerja berarti semakin banyak pasokan tenaga kerja dan akan meningkatkan jumlah output, dan (2) semakin banyak jumlah penduduk akan meningkatkan potensi pasar domestik (Arsyad, 2010). Teori pertumbuhan ekonomi klasik yang dikemukakan oleh Adam Smith (Dornbusch et.al, 2008) menyatakan bahwa salah satu faktor yang menentukan pertumbuhan ekonomi adalah perkembangan penduduk. Penduduk yang bertambah akan memperluas pasar dan perluasan pasar akan meningkatkan spesialisasi dalam perekonomian. Selanjutnya spesialisasi akan meningkatkan produktivitas tenaga kerja sehingga meningkatkan upah dan keuntungan. Dengan demikian, proses pertumbuhan akan berlangsung sampai seluruh sumberdaya termanfaatkan. Seperti di Kawasan Barat Indonesia, nilai elastisitas jumlah penduduk di Kawasan Timur Indonesia menunjukkan angka terbesar jika dibandingkan dengan variabel bebas lainnya. Ini mengindikasikan bahwa pertumbuhan jumlah penduduk di Kawasan Timur Indonesia menjadi faktor utama untuk menurunkan angka kemiskinan. Teori pertumbuhan neoklasik yang dikenal dengan model pertumbuhan Solow menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi terjadi karena

96 dipengaruhi secara positif oleh peningkatan modal (melalui tabungan dan investasi) dan peningkatan kuantitas dan kualitas tenaga kerja (pertumbuhan jumlah penduduk dan perbaikan pendidikan) dan peningkatan teknologi, dengan asumsi: 1. Diminishing return to scale bila input tenaga kerja dan modal digunakan secara parsial dan constant return to scale bila digunakan secara bersamasama. 2. Perekonomian berada pada keseimbangan jangka panjang (full employment). Pengaruh pertumbuhan penduduk terhadap jumlah penduduk miskin di Kawasan Timur Indonesia berbeda dengan di Kawasan Barat Indonesia. Jika pertumbuhan penduduk di Kawasan Barat Indonesia akan meningkatkan kemiskinan, namun di Kawasan Timur Indonesia justru sebaliknya. Jika dilihat angka kepadatan penduduk dari kedua kawasan tersebut, angka kepadatan penduduk di Kawasan Timur Indonesia jauh lebih rendah daripada di Kawasan Barat Indonesia. Angka kepadatan penduduk di Kawasan Barat Indonesia lebih dari 250 penduduk/km 2, sedangkan di Kawasan Timur Indonesia kurang dari 50 penduduk/km 2. Sumber: BPS, berbagai tahun terbitan (diolah) Gambar 16 Perkembangan angka kepadatan penduduk di Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia periode Penduduk dapat berperan optimal sebagai sumberdaya manusia yang berkualitas dalam usaha memajukan perekonomian dan menanggulangi kemiskinan jika diberikan bekal pendidikan dan keterampilan yang memadai. Dalam penelitian ini, tingkat pendidikan penduduk disajikan dalam tiga variabel, yaitu jumlah penduduk lulusan setingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP),

97 setingkat Sekolah Menengah Umum (SMU) dan setingkat Perguruan Tinggi (PT). Jumlah lulusan SMP di Kawasan Barat Indonesia mempunyai tingkat elastisitas sebesar 0,22 yang artinya setiap kenaikan 1 persen jumlah lulusan SMP akan meningkatkan jumlah penduduk miskin sebesar 0,22 persen, ceteris paribus. Pada Kawasan Timur Indonesia, elastisitasnya sebesar 0,11 berarti setiap kenaikan 1 persen jumlah lulusan SMP akan meningkatkan jumlah penduduk miskin sebesar 0,11 persen, ceteris paribus. Pengaruh positif lulusan SMP terhadap kemiskinan terjadi di Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia, dengan signifikansi taraf nyata(α) 0,05. Ini artinya bahwa kebijakan pemerintah yang mewajibkan setiap warga untuk menempuh pendidikan dasar 9 tahun belum optimal dalam menjawab permasalahan tingginya angka kemiskinan nasional. Selain itu, fenomena tersebut mengindikasikan bahwa sebagian besar kesempatan kerja yang tersedia baik di Kawasan Barat Indonesia maupun Kawasan Timur Indonesia tidak sesuai untuk tenaga kerja lulusan SMP. Penduduk yang lulus SMP sebaiknya melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, sebab jika tidak maka yang terjadi adalah penambahan pengangguran atau jika bekerja maka mereka biasanya bekerja sebagai pekerja kasar atau buruh serabutan dengan pendapatan yang relatif rendah. Pendapatan yang rendah tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan secara layak sehingga jika hal ini terus terjadi maka akan menambah jumlah penduduk miskin di Indonesia. Berikut disajikan perkembangan jumlah pekerja lulusan SMP di Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia. Sumber: Sakernas, berbagai tahun terbitan (diolah) Gambar 17 Perkembangan angka pekerja lulusan SMP di Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia tahun

98 Berdasarkan Gambar 17 dapat dikemukakan bahwa jumlah pekerja lulusan SMP hampir sama antara Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia. Dilihat perkembangannya, jumlah pekerja lulusan SMP di Kawasan Barat Indonesia cenderung meningkat dari tahun Pada Kawasan Timur Indonesia pada tahun cenderung meningkat, namun pada tahun cenderung menurun. Dari kedua kawasan tersebut, jumlah pekerja lulusan SMP lebih dari 15 persen. Selanjutnya adalah jumlah lulusan SMU. Di Kawasan Barat Indonesia, tingkat elastisitas jumlah penduduk lulusan setingkat SMU terhadap jumlah penduduk miskin sebesar -0,33 artinya setiap kenaikan 1 persen jumlah lulusan setingkat SMU akan menurunkan jumlah penduduk miskin sebesar 0,33 persen, ceteris paribus. Pada Kawasan Timur Indonesia, tingkat elastisitasnya sebesar - 0,21 artinya setiap kenaikan 1 persen jumlah lulusan setingkat SMU akan menurunkan jumlah penduduk miskin sebesar 0,21 persen, ceteris paribus. Hasil ini sesuai dengan hipotesis dan teori pertumbuhan endogen. Pendidikan dapat meningkatkan kualitas sumberdaya manusia melalui perannya dalam meningkatkan pengetahuan, keahlian dan ketrampilan seseorang. Peningkatan pengetahuan dan keahlian akan mendorong peningkatan produktivitas kerja dan meningkatkan output sehingga secara agregat perekonomian akan lebih maju. Secara teoritis peningkatan perekonomian akan memberikan manfaat bagi masyarakat, antara lain peningkatan kesempatan kerja, turunnya pengangguran, harga barang kebutuhan lebih murah dan semuanya ini akan meningkatkan kesejahteraan penduduk sehingga kemiskinan akan menurun. Jika tingkat pendidikan penduduk dikaitkan dengan kontribusi sektor-sektor ekonomi dalam pembentukan PDRB di Kawasan Barat Indonesia, maka sektor industri pengolahan menduduki posisi teratas. Kinerja sektor industri pengolahan memerlukan keahlian dan keterampilan tertentu yang sulit didapatkan pada jenjang pendidikan dasar. Pendidikan setingkat SMU lebih cocok bekerja di sektor ini karena dari sisi pengetahuan dan ilmu yang didapat dari bangku sekolah cukup untuk melamar pekerjaan di perusahaan yang bergerak di sektor industri pengolahan. Pihak perusahaan akan sulit menerima pegawai yang hanya lulus pendidikan dasar, sehingga semakin tinggi dominasi industri pengolahan dalam

99 perekonomian maka penduduk yang hanya lulus pendidikan dasar akan semakin sulit untuk mendapatkan pekerjaan di sektor formal. Ini didukung dengan hasil estimasi yang menunjukkan hasil semakin besar lulusan SMP maka kemiskinan justru akan meningkat. Sumber: BPS, Statistik Indonesia, (diolah) Gambar 18 Perkembangan kontribusi sektor-sektor ekonomi dalam pembentukan PDRB di Kawasan Barat Indonesia, Selanjutnya, secara umum perekonomian di Kawasan Timur Indonesia didominasi oleh sektor pertambangan dan pertanian. Kedua sektor ini mempunyai kontribusi tertinggi dan relatif stabil setiap tahunnya. Terlihat pada Gambar 18, sebagian besar sektor-sektor ekonomi mengalami peningkatan kontribusi dalam pembentukan PDRB kecuali sektor industri pengolahan. Pangsa industri pengolahan mengalami penurunan tajam pada periode Penurunan pangsa ini diduga karena peningkatan pangsa sektor-sektor lainnya dalam pembentukan PDRB. Meskipun demikian output industri pengolahan cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Untuk lebih meningkatkan perekonomian di Kawasan Timur Indonesia, input tenaga kerja ahli dan terampil sangat dibutuhkan mengingat masih banyaknya lahan yang belum termanfaatkan. Lahan yang banyak dapat dijadikan modal untuk menciptakan lapangan pekerjaan bagi penduduk. Berdasarkan hasil pengamatan, peningkatan jumlah penduduk lulusan SMU akan membantu Kawasan Timur Indonesia dalam menurunkan kemiskinan.

100 Sumber: BPS, berbagai tahun terbitan (diolah) Gambar 19 Perkembangan kontribusi sektor-sektor ekonomi dalam pembentukan PDRB di Kawasan Timur Indonesia, Beberapa ahli ekonomi mengembangkan teori pembangunan yang didasarkan pada kapasitas produksi tenaga manusia di dalam proses pembangunan, dikenal dengan istilah Investment in Human Capital (Hidayat, 2003). Teori ini berpendapat bahwa cara yang paling efektif dan efisien dalam melakukan pembangunan nasional terletak pada peningkatan kemampuan masyarakatnya. Teori human capital mengasumsikan bahwa pendidikan formal merupakan instrumen penting untuk menghasilkan masyarakat yang memiliki produktivitas yang tinggi. Menurut teori ini pertumbuhan dan pembangunan memiliki dua syarat, yaitu adanya pemanfaatan teknologi tinggi secara efisien, dan adanya sumber daya manusia yang dapat memanfaatkan teknologi yang ada. Sumber daya manusia seperti itu dihasilkan melalui proses pendidikan. Hal inilah yang menyebabkan teori human capital percaya bahwa investasi dalam pendidikan sebagai investasi dalam meningkatkan produktivitas masyarakat, karena pendidikan dapat menyiapkan tenaga-tenaga yang siap bekerja. Elastisitas jumlah penduduk miskin terhadap human capital relatif besar jika dibandingkan dengan variabel lainnya. Ini mengindikasikan bahwa pendidikan merupakan faktor penting dalam penanggulangan kemiskinan. Kebijakan pemerintah dengan mencanangkan wajib belajar 9 tahun belum cukup untuk meningkatkan kehidupan yang lebih baik. Peningkatan level pendidikan sampai jenjang SMU dibutuhkan agar penduduk dapat memperoleh pekerjaan yang layak

101 dengan pendapatan yang cukup untuk memenuhi kebutuhannya sehingga angka kemiskinan bisa turun. Tingkat pendidikan selanjutnya adalah jumlah penduduk lulusan setingkat PT. Pengaruh jumlah lulusan setingkat PT terhadap jumlah penduduk miskin tidak signifikan di Kawasan Barat Indonesia tetapi signifikan di Kawasan Timur Indonesia. Berdasarkan tanda koefisiennya, jumlah penduduk lulusan PT di Kawasan Barat Indonesia akan menurunkan kemiskinan, sedangkan di Kawasan Timur Indonesia tidak, peningkatannya justru akan meningkatkan kemiskinan. Tingkat elastisitas jumlah penduduk miskin terhadap jumlah penduduk lulusan setingkat PT sebesar 0,19 yang artinya setiap kenaikan 1 persen jumlah penduduk lulusan setingkat PT akan meningkatkan jumlah penduduk miskin sebesar 0,19 persen di Kawasan Timur Indonesia, ceteris paribus. Perbedaan terjadi antara Kawasan Barat Indonesia dengan Kawasan Timur Indonesia. Hal ini dimungkinkan adanya perbedaan kesempatan kerja yang tersedia di kedua kawasan tersebut. Jika di Kawasan Barat Indonesia kesempatan kerja yang ada mampu menampung tenaga kerja lulusan PT dan bisa memberikan pendapatan yang layak bagi mereka. Namun di Kawasan Timur Indonesia mungkin tidak, banyaknya lulusan PT di Kawasan Timur Indonesia kurang termanfaatkan dengan baik di dunia kerja sehingga yang terjadi adalah timbulnya pengangguran terdidik atau jika mereka bekerja maka pekerjaan yang dilakukan tidak sesuai dengan bidang pendidikan yang telah mereka tempuh. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya pengangguran terdidik di Indonesia seperti tertera pada Gambar 20. Sumber: BPS, Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia, Agustus 2009 (diolah) Gambar 20 Tingkat Pengangguran Terbuka menurut Tingkat Pendidikan di Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia, 2009.

102 Berdasarkan Gambar 20, terlihat bahwa tingkat pengangguran terbuka paling kecil pada angkatan kerja berpendidikan kurang dari SD kemudian lebih tinggi di tingkat SD, SMP, dan SMU. Pada tingkat pendidikan perguruan tinggi angka pengangguran sedikit lebih rendah daripada tingkat pendidikan SMU. Kecenderungan ini terjadi baik di Kawasan Barat Indonesia maupun Kawasan Timur Indonesia. Jika dibandingkan antara kedua kawasan tersebut, tingkat pengangguran di Kawasan Barat Indonesia lebih tinggi daripada di Kawasan Timur Indonesia pada level pendidikan kurang dari SD sampai dengan level pendidikan SMU. Padatnya penduduk di Kawasan Barat Indonesia menjadikan kawasan ini mengalami kesulitan dalam menyeimbangkan antara pertumbuhan angkatan kerja dengan pertumbuhan kesempatan kerja. Pesatnya pertambahan angkatan kerja jika tidak didukung dengan pertumbuhan kesempatan kerja yang memadai akan menyebabkan tingkat pengangguran semakin meningkat. Pada level pendidikan PT tingkat pengangguran di Kawasan Barat Indonesia lebih rendah daripada di Kawasan Timur Indonesia. Hal ini mengindikasikan bahwa Kawasan Barat Indonesia lebih mampu memberikan kesempatan kerja bagi angkatan kerja lulusan PT daripada di Kawasan Timur Indonesia. Pesatnya aktivitas ekonomi di sektor industri pengolahan di Kawasan Barat Indonesia akan memberikan peluang yang lebih besar bagi angkatan kerja lulusan PT untuk mendapatkan pekerjaan. Pada Kawasan Timur Indonesia, angkatan kerja lulusan PT akan mengalami kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan. Peluang untuk menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) masih menjadi idola bagi para lulusan PT karena kesempatan kerja di bidang lainnya masih terbatas. Selain itu, pendapatan PNS di Kawasan Timur Indonesia relatif lebih tinggi dibandingkan di Kawasan Barat Indonesia karena beberapa tunjangan diberikan untuk menyesuaikan dengan tingkat harga kebutuhan pokok yang lebih tinggi daripada di Kawasan Barat Indonesia. Tingginya pengangguran dan kemiskinan di Kawasan Barat dan Timur Indonesia tidak terlepas dari rendahnya upah yang diterima pekerja. Untuk mengatasi masalah ini pemerintah daerah menetapkan besarnya upah minimum

103 yang dikenal dengan upah minimum regional (UMR) atau upah minimum provinsi (UMP) dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan pekerja. Berdasarkan hasil estimasi di Kawasan Barat Indonesia, UMP berpengaruh pada penurunan kemiskinan, namun tidak signifikan. Nilai upah minimum yang semakin meningkat kurang berarti bagi penambahan kesejahteraan pekerja jika nilai inflasi (IHK) juga meningkat. Secara nominal, pendapatan meningkat namun secara riil pendapatan pekerja belum tentu meningkat. Inilah salah satu faktor yang menyebabkan tingkat upah tidak terlalu berpengaruh terhadap kemiskinan di Kawasan Barat Indonesia. Sumber: BPS, berbagai tahun terbitan (diolah) Gambar 21 Perkembangan upah minimum provinsi dan indeks harga konsumen di Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia tahun Pada Kawasan Timur Indonesia, UMP secara signifikan mempengaruhi jumlah penduduk miskin dengan nilai elastisitas sebesar -0,05 artinya setiap kenaikan 1 persen UMP akan menurunkan jumlah penduduk miskin sebesar 0,05 persen, ceteris paribus. Jika dibandingkan antara Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia, baik secara riil maupun nominal tingkat upah minimum di Kawasan Timur Indonesia lebih tinggi daripada di Kawasan Barat Indonesia. Ini dapat dilihat dari perkembangan upah minimum dan besarnya IHK di kedua wilayah tersebut. Angka IHK relatif sama perkembangannya, tetapi upah nominal di Kawasan Timur Indonesia meningkat lebih tinggi daripada di Kawasan Barat Indonesia sehingga secara riil upah lebih tinggi di Kawasan Timur Indonesia daripada Kawasan Barat Indonesia.

104 Jika diasumsikan semua pekerja yang menerima UMP mempunyai rumahtangga maka besarnya UMP dibagi dengan rata-rata anggota rumah tangga disebut dengan rata-rata UMP perkapita per bulan. Dibandingkan dengan besarnya garis kemiskinan, rata-rata UMP perkapita per bulan jauh dibawah garis kemiskinan baik di Kawasan Barat Indonesia maupun di Kawasan Timur Indonesia seperti tertera pada Gambar 22. Peningkatan UMP akan berdampak pada peningkatan kesejahteraan dan peningkatan daya beli pekerja sehingga akan membantu mereka untuk secara layak memenuhi kebutuhan dasar rumahtangganya dan pada gilirannya akan menurunkan kemiskinan, khususnya penduduk miskin yang bekerja di sektor formal. Sumber: BPS, berbagai publikasi, (diolah) Gambar 22 Perkembangan rata-rata UMP perkapita per bulan dan garis kemiskinan di Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia, Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Card dan Krueger (1994) serta Addison dan Blackburn (1999) yang menemukan hasil bahwa peningkatan upah minimum akan meningkatkan penduduk yang bekerja, menurunkan kemiskinan dan perekonomian akan membaik. Hal yang sama ditemukan oleh Matthew Chesnes (2001) dari penelitiannya mengenai pengaruh upah minimum terhadap kemiskinan di Amerika. Ia menyatakan bahwa upah minimum mempunyai pengaruh negatif terhadap kemiskinan. Namun demikian, perlu diperhatikan bahwa peningkatan UMP tidak selalu berdampak pada peningkatan kesejahteraan pekerja. UMP yang meningkat akan

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemiskinan merupakan salah satu masalah dalam proses pembangunan ekonomi. Permasalahan kemiskinan dialami oleh setiap negara, baik negara maju maupun negara berkembang.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Definisi Kemiskinan Definisi kemiskinan telah mengalami perluasan, seiring dengan semakin kompleksnya faktor penyebab, indikator maupun permasalahan lain

Lebih terperinci

RINGKASAN DATA DAN INFORMASI KEMISKINAN PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR 2016 ISSN : 2528-2271 Nomor Publikasi : 53520.1702 Katalog : 3205008.53 Jumlah halaman : viii + 24 halaman Ukuran : 21 cm x 14,5 cm

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA MARET 2009

PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA MARET 2009 BADAN PUSAT STATISTIK BADAN PUSAT STATISTIK No. 43/07/Th. XII, 1 Juli 2009 PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA MARET 2009 Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada di bawah Garis Kemiskinan di Indonesia

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator keberhasilan pembangunan suatu negara. Pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami perubahan yang cukup berfluktuatif. Pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pendapatan perkapita diharapkan masalah-masalah seperti pengangguran, kemiskinan, dan

BAB I PENDAHULUAN. pendapatan perkapita diharapkan masalah-masalah seperti pengangguran, kemiskinan, dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada awalnya upaya pembangunan Negara Sedang Berkembang (NSB) diidentikkan dengan upaya meningkatkan pendapatan perkapita. Dengan meningkatnya pendapatan perkapita diharapkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara di dunia, terutama negara sedang berkembang. Secara umum

BAB I PENDAHULUAN. negara di dunia, terutama negara sedang berkembang. Secara umum BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kemiskinan (poverty) merupakan masalah yang dihadapi oleh seluruh negara di dunia, terutama negara sedang berkembang. Secara umum kemiskinan dipahami sebagai keadaan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini akan dijelaskan lebih mendalam tentang teori-teori yang menjadi dasar dari pokok permasalahan yang diamati. Selain itu akan dikemukakan hasil penelitian terdahulu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masalah kompleks yang telah membuat pemerintah memberikan perhatian khusus

I. PENDAHULUAN. masalah kompleks yang telah membuat pemerintah memberikan perhatian khusus 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang. Kemiskinan merupakan isu sentral yang dihadapi oleh semua negara di dunia termasuk negara sedang berkembang, seperti Indonesia. Kemiskinan menjadi masalah kompleks yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada sebuah ketidakseimbangan awal dapat menyebabkan perubahan pada sistem

BAB I PENDAHULUAN. pada sebuah ketidakseimbangan awal dapat menyebabkan perubahan pada sistem BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perencanaan merupakan sebuah upaya untuk mengantisipasi ketidak seimbangan yang terjadi yang bersifat akumulatif, artinya perubahan yang terjadi pada sebuah ketidakseimbangan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kebijakan pembangunan merupakan persoalan yang kompleks, karena

I. PENDAHULUAN. Kebijakan pembangunan merupakan persoalan yang kompleks, karena I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebijakan pembangunan merupakan persoalan yang kompleks, karena melibatkan seluruh sistem yang terlibat dalam suatu negara. Di negara-negara berkembang modifikasi kebijakan

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA MARET 2008

PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA MARET 2008 BADAN PUSAT STATISTIK No. 37/07/Th. XI, 1 Juli 2008 PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA MARET 2008 Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah Garis Kemiskinan) di Indonesia pada bulan Maret 2008 sebesar

Lebih terperinci

ANALISIS PERTUMBUHAN PENDUDUK, PERTUMBUHAN EKONOMI, PENDIDIKAN DAN PENGANGGURAN TERHADAP KEMISKINAN DI JAWA TENGAH TAHUN SKRIPSI

ANALISIS PERTUMBUHAN PENDUDUK, PERTUMBUHAN EKONOMI, PENDIDIKAN DAN PENGANGGURAN TERHADAP KEMISKINAN DI JAWA TENGAH TAHUN SKRIPSI ANALISIS PERTUMBUHAN PENDUDUK, PERTUMBUHAN EKONOMI, PENDIDIKAN DAN PENGANGGURAN TERHADAP KEMISKINAN DI JAWA TENGAH TAHUN 2008-2015 SKRIPSI Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara. Menurut Bank Dunia (2000) dalam Akbar (2015), definisi kemiskinan adalah

BAB I PENDAHULUAN. negara. Menurut Bank Dunia (2000) dalam Akbar (2015), definisi kemiskinan adalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kemiskinan merupakan permasalahan pokok yang dialami oleh semua negara. Menurut Bank Dunia (2000) dalam Akbar (2015), definisi kemiskinan adalah kehilangan kesejahteraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya setiap negara di dunia memiliki tujuan utama yaitu

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya setiap negara di dunia memiliki tujuan utama yaitu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada umumnya setiap negara di dunia memiliki tujuan utama yaitu meningkatkan taraf hidup atau mensejahterakan seluruh rakyat melalui pembangunan ekonomi. Dengan kata

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Terwujudnya Indonesia yang Sejahtera, Demokratis, dan Berkeadilan

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Terwujudnya Indonesia yang Sejahtera, Demokratis, dan Berkeadilan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014 telah menggariskan bahwa Visi Pembangunan 2010-2014 adalah Terwujudnya Indonesia yang Sejahtera, Demokratis,

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN KREDIT DAN KONSUMSI RUMAH TANGGA DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT DHONA YULIANTI

ANALISIS KETERKAITAN KREDIT DAN KONSUMSI RUMAH TANGGA DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT DHONA YULIANTI ANALISIS KETERKAITAN KREDIT DAN KONSUMSI RUMAH TANGGA DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT DHONA YULIANTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

DINAMIKA PERTUMBUHAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN

DINAMIKA PERTUMBUHAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN IV. DINAMIKA PERTUMBUHAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN 4.1 Pertumbuhan Ekonomi Bertambahnya jumlah penduduk berarti pula bertambahnya kebutuhan konsumsi secara agregat. Peningkatan pendapatan diperlukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu isi deklarasi milenium Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu isi deklarasi milenium Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu isi deklarasi milenium Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang pembangunan dan kemiskinan (United Nations Millenium Declaration (2000) seperti dikutip dalam Todaro

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kemiskinan Analisis data panel digunakan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan di Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN PENCAPAIAN

PERKEMBANGAN PENCAPAIAN BAGIAN 2. PERKEMBANGAN PENCAPAIAN 25 TUJUAN 1: TUJUAN 2: TUJUAN 3: TUJUAN 4: TUJUAN 5: TUJUAN 6: TUJUAN 7: Menanggulagi Kemiskinan dan Kelaparan Mencapai Pendidikan Dasar untuk Semua Mendorong Kesetaraan

Lebih terperinci

BAB II JAWA BARAT DALAM KONSTELASI NASIONAL

BAB II JAWA BARAT DALAM KONSTELASI NASIONAL BAB II JAWA BARAT DALAM KONSTELASI NASIONAL 2.1 Indeks Pembangunan Manusia beserta Komponennya Indikator Indeks Pembangunan Manusia (IPM; Human Development Index) merupakan salah satu indikator untuk mengukur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. multidimensi, yang berkaitan dengan aspek sosial, ekonomi, budaya, dan aspek. hidupnya sampai suatu taraf yang dianggap manusiawi.

BAB I PENDAHULUAN. multidimensi, yang berkaitan dengan aspek sosial, ekonomi, budaya, dan aspek. hidupnya sampai suatu taraf yang dianggap manusiawi. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemiskinan merupakan masalah dalam pembangunan yang bersifat multidimensi, yang berkaitan dengan aspek sosial, ekonomi, budaya, dan aspek lainnya. Kemiskinan juga didefinisikan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. penelitian terdahulu yang berkaitan dengan yang akan diteliti.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. penelitian terdahulu yang berkaitan dengan yang akan diteliti. BAB II TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini akandibahas mengenai teori yang menjadi dasar pokok permasalahan. Teori yang akan dibahas dalam bab ini meliputi definisi kemiskinan, Produk Domestik Regional Bruto

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Kemiskinan merupakan hal klasik yang belum tuntas terselesaikan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Kemiskinan merupakan hal klasik yang belum tuntas terselesaikan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemiskinan merupakan hal klasik yang belum tuntas terselesaikan terutama di Negara berkembang, artinya kemiskinan menjadi masalah yang dihadapi dan menjadi perhatian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perubahan besar dalam struktur sosial, sikap-sikap mental yang sudah terbiasa

I. PENDAHULUAN. perubahan besar dalam struktur sosial, sikap-sikap mental yang sudah terbiasa I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan proses multidimensional yang melibatkan perubahan besar dalam struktur sosial, sikap-sikap mental yang sudah terbiasa dan lembaga nasional

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik (BPS, 2009).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik (BPS, 2009). BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Tinjauan Teori 2.1.1 Kemiskinan Kemiskinan adalah kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang tidak mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA MARET 2010

PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA MARET 2010 BADAN PUSAT STATISTIK No. 45/07/Th. XIII, 1 Juli 2010 PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA MARET 2010 JUMLAH PENDUDUK MISKIN MARET 2010 MENCAPAI 31,02 JUTA Jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kemiskinan yang akurat dan tepat sasaran. Data kemiskinan yang baik dapat

BAB I PENDAHULUAN. kemiskinan yang akurat dan tepat sasaran. Data kemiskinan yang baik dapat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah kemiskinan merupakan salah satu persoalan mendasar yang menjadi pusat perhatian pemerintah di negara manapun. Salah satu aspek penting untuk mendukung strategi

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. lumpuhnya sektor-sektor perekonomian dunia, sehingga dunia dihadapkan bukan

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. lumpuhnya sektor-sektor perekonomian dunia, sehingga dunia dihadapkan bukan BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Krisis ekonomi global lebih dari 12 tahun yang lalu telah mengakibatkan lumpuhnya sektor-sektor perekonomian dunia, sehingga dunia dihadapkan bukan hanya dengan upaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masalah kemiskinan menjadi persoalan serius yang di hadapi oleh banyak

BAB I PENDAHULUAN. Masalah kemiskinan menjadi persoalan serius yang di hadapi oleh banyak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah kemiskinan menjadi persoalan serius yang di hadapi oleh banyak negara di dunia, karena dalam negara maju pun terdapat penduduk miskin. Kemiskinan identik dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada September 2000 sebanyak 189 negara anggota PBB termasuk

BAB I PENDAHULUAN. Pada September 2000 sebanyak 189 negara anggota PBB termasuk BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada September 2000 sebanyak 189 negara anggota PBB termasuk Indonesia, sepakat untuk mengadopsi deklarasi Millenium Development Goals (MDG) atau Tujuan Pertumbuhan

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA SEPTEMBER 2012

PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA SEPTEMBER 2012 BADAN PUSAT STATISTIK No. 06/01/Th. XVI, 2 Januari 2013 PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA SEPTEMBER 2012 JUMLAH PENDUDUK MISKIN SEPTEMBER 2012 MENCAPAI 28,59 JUTA ORANG Pada bulan September 2012, jumlah penduduk

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang Masalah. Pembangunan adalah kenyataan fisik sekaligus keadaan mental (state

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang Masalah. Pembangunan adalah kenyataan fisik sekaligus keadaan mental (state BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Pembangunan adalah kenyataan fisik sekaligus keadaan mental (state of mind) dari suatu masyarakat yang telah melalui kombinasi tertentu dari proses sosial,

Lebih terperinci

Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Riau pada Maret 2016 adalah 515,40 ribu atau 7,98 persen dari total penduduk.

Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Riau pada Maret 2016 adalah 515,40 ribu atau 7,98 persen dari total penduduk. No. 35/07/14 Th. XVII, 18 Juli 2016 TINGKAT KEMISKINAN RIAU MARET 2016 Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Riau pada Maret 2016 adalah 515,40 ribu atau 7,98 persen dari total penduduk. Jumlah penduduk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang lebih baik dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan. Pembangunan

I. PENDAHULUAN. yang lebih baik dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan. Pembangunan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan sebagai suatu proses berencana dari kondisi tertentu kepada kondisi yang lebih baik dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan. Pembangunan tersebut bertujuan

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN JUMLAH PENDUDUK MISKIN DAN FAKTOR PENYEBABNYA

PERKEMBANGAN JUMLAH PENDUDUK MISKIN DAN FAKTOR PENYEBABNYA PERKEMBANGAN JUMLAH PENDUDUK MISKIN DAN FAKTOR PENYEBABNYA The Development of Total Poor Population and Its Causing Factor Sunaryo Urip Badan Pusat Statistik Jl. Sutomo, Jakarta Pusat ABSTRACT There is

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Utara. Series data yang digunakan dari tahun

BAB III METODE PENELITIAN. Utara. Series data yang digunakan dari tahun BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang berasal dari Badan Pusat Statistik Republik Indonesia dan BPS Provinsi Maluku Utara.

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA SEPTEMBER 2011

PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA SEPTEMBER 2011 BADAN PUSAT STATISTIK No. 06/01/Th. XV, 2 Januari 2012 PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA SEPTEMBER 2011 JUMLAH PENDUDUK MISKIN SEPTEMBER 2011 MENCAPAI 29,89 JUTA ORANG Jumlah penduduk miskin (penduduk dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk mengembangkan kegiatan ekonominya sehingga infrastruktur lebih banyak

BAB I PENDAHULUAN. untuk mengembangkan kegiatan ekonominya sehingga infrastruktur lebih banyak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan merupakan serangkaian usaha dalam suatu perekonomian untuk mengembangkan kegiatan ekonominya sehingga infrastruktur lebih banyak tersedia, perusahaan

Lebih terperinci

5. PROFIL KINERJA FISKAL, PEREKONOMIAN, DAN KEMISKINAN SEKTORAL DAERAH DI INDONESIA

5. PROFIL KINERJA FISKAL, PEREKONOMIAN, DAN KEMISKINAN SEKTORAL DAERAH DI INDONESIA 86 5. PROFIL KINERJA FISKAL, PEREKONOMIAN, DAN KEMISKINAN SEKTORAL DAERAH DI INDONESIA Profil kinerja fiskal, perekonomian, dan kemiskinan sektoral daerah pada bagian ini dianalisis secara deskriptif berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan. Kemiskinan telah membuat pengangguran semakin bertambah banyak,

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan. Kemiskinan telah membuat pengangguran semakin bertambah banyak, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan Kemiskinan telah membuat pengangguran semakin bertambah banyak, inflasi juga naik dan pertumbuhan ekonomi melambat. Kemiskinan yang terjadi dalam suatu

Lebih terperinci

Kemiskinan di Indonesa

Kemiskinan di Indonesa Kemiskinan di Indonesa Kondisi Kemiskinan Selalu menjadi momok bagi perekonomian dunia, termasuk Indonesia Dulu hampir semua penduduk Indonesia hidup miskin (share poverty), sedangkan sekarang kemiskinan

Lebih terperinci

Halaman ini sengaja dikosongkan

Halaman ini sengaja dikosongkan Halaman ini sengaja dikosongkan PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Pengaruh Faktor Kultural Terhadap Kemiskinan di Provinsi Nusa Tenggara Timur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu tujuan pembangunan nasional adalah meningkatkan kinerja. perekonomian agar mampu menciptakan lapangan kerja dan menata

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu tujuan pembangunan nasional adalah meningkatkan kinerja. perekonomian agar mampu menciptakan lapangan kerja dan menata BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu tujuan pembangunan nasional adalah meningkatkan kinerja perekonomian agar mampu menciptakan lapangan kerja dan menata kehidupan yang layak bagi seluruh

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Proses pembangunan memerlukan Gross National Product (GNP) yang tinggi

I. PENDAHULUAN. Proses pembangunan memerlukan Gross National Product (GNP) yang tinggi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Proses pembangunan memerlukan Gross National Product (GNP) yang tinggi dan pertumbuhan ekonomi yang cepat. Di banyak negara syarat utama bagi terciptanya penurunan kemiskinan

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI SOSIAL EKONOMI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

BAB IV KONDISI SOSIAL EKONOMI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR BAB IV KONDISI SOSIAL EKONOMI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Per Kapita dan Struktur Ekonomi Tingkat pertumbuhan ekonomi Provinsi Nusa Tenggara Timur dalam lima tahun terakhir

Lebih terperinci

Katalog BPS :

Katalog BPS : Katalog BPS : 3205011.32 BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI JAWA BARAT PERKEMBANGAN TINGKAT KEMISKINAN JAWA BARAT SEPTEMBER 2016 Katalog BPS : 3205011.32 No. Publikasi : 32520.1701 Ukuran Buku : 18,2 cm

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. membangun infrastruktur dan fasilitas pelayanan umum. pasar yang tidak sempurna, serta eksternalitas dari kegiatan ekonomi.

I. PENDAHULUAN. membangun infrastruktur dan fasilitas pelayanan umum. pasar yang tidak sempurna, serta eksternalitas dari kegiatan ekonomi. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan yang dilakukan oleh setiap pemerintahan terutama ditujukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, pemerataan distribusi pendapatan, membuka kesempatan kerja,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kemiskinan merupakan fenomena umum yang terjadi pada banyak

BAB I PENDAHULUAN. Kemiskinan merupakan fenomena umum yang terjadi pada banyak BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kemiskinan merupakan fenomena umum yang terjadi pada banyak negara di dunia dan menjadi masalah sosial yang bersifat global. Hampir semua negara berkembang memiliki

Lebih terperinci

Visi, Misi Dan Strategi KALTIM BANGKIT

Visi, Misi Dan Strategi KALTIM BANGKIT Awang Faroek Ishak Calon Gubernur 2008-2013 1 PETA KABUPATEN/KOTA KALIMANTAN TIMUR Awang Faroek Ishak Calon Gubernur 2008-2013 2 BAB 1. PENDAHULUAN Kalimantan Timur (Kaltim) merupakan propinsi terluas

Lebih terperinci

STRATEGI MENSINERGIKAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT DENGAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH

STRATEGI MENSINERGIKAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT DENGAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH STRATEGI MENSINERGIKAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT DENGAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH (Kasus Program Community Development Perusahaan Star Energy di Kabupaten Natuna dan Kabupaten Anambas) AKMARUZZAMAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Oleh karena itu, pembangunan merupakan syarat mutlak bagi suatu negara.

BAB I PENDAHULUAN. Oleh karena itu, pembangunan merupakan syarat mutlak bagi suatu negara. BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pembangunan merupakan suatu alat yang digunakan untuk mencapai tujuan negara, dimana pembangunan mengarah pada proses untuk melakukan perubahan kearah yang lebih baik.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia. Seiring perkembangan zaman tentu kebutuhan manusia bertambah, oleh

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia. Seiring perkembangan zaman tentu kebutuhan manusia bertambah, oleh BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perekonomian merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Seiring perkembangan zaman tentu kebutuhan manusia bertambah, oleh karena itu perekonomian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan aspek sosial, ekonomi, budaya, dan aspek lainnya yang menjadi masalah

BAB I PENDAHULUAN. dengan aspek sosial, ekonomi, budaya, dan aspek lainnya yang menjadi masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemiskinan merupakan masalah yang bersifat multidimensional yang berkaitan dengan aspek sosial, ekonomi, budaya, dan aspek lainnya yang menjadi masalah dalam pembangunan.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. orang untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka yaitu sandang, pangan, dan papan.

I. PENDAHULUAN. orang untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka yaitu sandang, pangan, dan papan. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kemiskinan adalah kondisi dimana ketidakmampuan seseorang atau sekelompok orang untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka yaitu sandang, pangan, dan papan. Masalah kemiskinan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kemajuan suatu negara sangat tergantung pada jumlah penduduk

BAB I PENDAHULUAN. Kemajuan suatu negara sangat tergantung pada jumlah penduduk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemajuan suatu negara sangat tergantung pada jumlah penduduk miskinnya. Semakin banyak jumlah penduduk miskin, maka negara itu disebut negara miskin. Sebaliknya semakin

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK

BERITA RESMI STATISTIK Profil Kemiskinan Provinsi Bengkulu September 2017 No. 06/01/17/Th. XII, 2 Januari 2018 BERITA RESMI STATISTIK PROVINSI BENGKULU Profil Kemiskinan Provinsi Bengkulu September 2017 Persentase Penduduk Miskin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Determinan kemiskinan..., Roy Hendra, FE UI, Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Determinan kemiskinan..., Roy Hendra, FE UI, Universitas Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kemiskinan merupakan masalah dalam pembangunan yang bersifat multidimensi. Kemiskinan merupakan persoalan kompleks yang terkait dengan berbagai dimensi yakni sosial,

Lebih terperinci

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK NUSA TENGGARA BARAT MARET 2017 MENINGKAT

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK NUSA TENGGARA BARAT MARET 2017 MENINGKAT BADAN PUSAT STATISTIK BADAN PUSAT STATISTIK No.46/07/52/Th.I, 17 Juli 2017 TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK NUSA TENGGARA BARAT MARET 2017 MENINGKAT GINI RATIO PADA MARET 2017 SEBESAR 0,371 Pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pembangunan pada dasarnya merupakan suatu proses multidimensional

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pembangunan pada dasarnya merupakan suatu proses multidimensional BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pembangunan pada dasarnya merupakan suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap masyarakat, dan institusi-institusi

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN PROVINSI SUMATERA BARAT MARET 2017

PROFIL KEMISKINAN PROVINSI SUMATERA BARAT MARET 2017 No. 38/07/13/Th. XX/17 Juli 2017 PROFIL KEMISKINAN PROVINSI SUMATERA BARAT MARET 2017 Garis Kemiskinan (GK) selama - Maret 2017 mengalami peningkatan 3,55 persen, yaitu dari Rp.438.075 per kapita per bulan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kemiskinan adalah masalah bagi negara-negara di dunia terutama pada negara yang

I. PENDAHULUAN. Kemiskinan adalah masalah bagi negara-negara di dunia terutama pada negara yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kemiskinan adalah masalah bagi negara-negara di dunia terutama pada negara yang sedang berkembang. Bagi Indonesia yang merupakan salah satu negara berkembang yang ada di

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Manusia adalah kekayaan bangsa yang sesungguhnya. Tujuan utama dari

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Manusia adalah kekayaan bangsa yang sesungguhnya. Tujuan utama dari 1 BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Manusia adalah kekayaan bangsa yang sesungguhnya. Tujuan utama dari pembangunan adalah menciptakan lingkungan yang memungkinkan bagi rakyatnya untuk menikmati umur

Lebih terperinci

Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Riau pada Maret 2017 adalah 514,62 ribu jiwa atau 7,78 persen dari total penduduk.

Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Riau pada Maret 2017 adalah 514,62 ribu jiwa atau 7,78 persen dari total penduduk. No. 32/07/14/Th. XVIII, 17 Juli 2017 TINGKAT KEMISKINAN RIAU MARET 2017 Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Riau pada Maret 2017 adalah 514,62 ribu jiwa atau 7,78 persen dari total penduduk. Jumlah penduduk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pembangunan ekonomi, pertumbuhan ekonomi, dan teori konvergensi.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pembangunan ekonomi, pertumbuhan ekonomi, dan teori konvergensi. BAB II TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai teori yang menjadi dasar dari pokok permasalahan yang diamati. Teori yang dibahas dalam bab ini terdiri dari pengertian pembangunan ekonomi,

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI MALUKU TAHUN 2013

PROFIL KEMISKINAN DI MALUKU TAHUN 2013 No., 05/01/81/Th. XV, 2 Januari 2014 Agustus 2007 PROFIL KEMISKINAN DI MALUKU TAHUN 2013 RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk yang pengeluaran per bulannya berada di bawah Garis Kemiskinan) di Maluku

Lebih terperinci

KETERKAITAN WILAYAH DAN DAMPAK KEBIJAKAN TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN WILAYAH DI INDONESIA. Oleh: VERALIANTA BR SEBAYANG

KETERKAITAN WILAYAH DAN DAMPAK KEBIJAKAN TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN WILAYAH DI INDONESIA. Oleh: VERALIANTA BR SEBAYANG KETERKAITAN WILAYAH DAN DAMPAK KEBIJAKAN TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN WILAYAH DI INDONESIA Oleh: VERALIANTA BR SEBAYANG SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pembangunan ekonomi dapat diartikan sebagai suatu proses yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pembangunan ekonomi dapat diartikan sebagai suatu proses yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi dapat diartikan sebagai suatu proses yang menyebabkan pendapatan per kapita penduduk suatu masyarakat meningkat dalam jangka panjang. Definisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dihadapi oleh negara-negara berkembang adalah disparitas (ketimpangan)

BAB I PENDAHULUAN. dihadapi oleh negara-negara berkembang adalah disparitas (ketimpangan) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah salah satu negara yang berkembang, masalah yang sering dihadapi oleh negara-negara berkembang adalah disparitas (ketimpangan) distribusi pendapatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menyebabkan GNP (Gross National Product) per kapita atau pendapatan

I. PENDAHULUAN. menyebabkan GNP (Gross National Product) per kapita atau pendapatan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Secara umum pembangunan ekonomi didefinisikan sebagai suatu proses yang menyebabkan GNP (Gross National Product) per kapita atau pendapatan masyarakat meningkat dalam periode

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI SULAWESI BARAT SEPTEMBER 2016

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI SULAWESI BARAT SEPTEMBER 2016 BPS PROVINSI SULAWESI BARAT No. 05/01/76/Th.XI, 3 Januari 2017 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI SULAWESI BARAT SEPTEMBER 2016 JUMLAH PENDUDUK MISKIN sebesar 146,90 RIBU JIWA (11,19 PERSEN) Persentase penduduk

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA SEPTEMBER 2016

PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA SEPTEMBER 2016 No. 05/01/Th. XX, 3 Januari 2017 PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA SEPTEMBER 2016 PERSENTASE PENDUDUK MISKIN SEPTEMBER 2016 SEBESAR 10,70 PERSEN Pada bulan September 2016, jumlah penduduk miskin (penduduk

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Jumlah Persentase (Juta) ,10 15,97 13,60 6,00 102,10 45,20. Jumlah Persentase (Juta)

BAB 1 PENDAHULUAN. Jumlah Persentase (Juta) ,10 15,97 13,60 6,00 102,10 45,20. Jumlah Persentase (Juta) BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Fenomena kemiskinan telah berlangsung sejak lama, walaupun telah dilakukan berbagai upaya dalam menanggulanginya, namun sampai saat ini masih terdapat lebih dari 1,2

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi menunjukkan proses pembangunan yang terjadi di suatu daerah. Pengukuran pertumbuhan ekonomi suatu daerah dapat dilihat pada besaran Pendapatan Domestik

Lebih terperinci

PEMODELAN PERSENTASE PENDUDUK MISKIN KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI JAWA TENGAH MENGGUNAKAN REGRESI DATA PANEL

PEMODELAN PERSENTASE PENDUDUK MISKIN KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI JAWA TENGAH MENGGUNAKAN REGRESI DATA PANEL PEMODELAN PERSENTASE PENDUDUK MISKIN KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI JAWA TENGAH MENGGUNAKAN REGRESI DATA PANEL SKRIPSI Disusun Oleh : NARISHWARI ARIANDHINI 24010211140105 JURUSAN STATISTIKA FAKULTAS SAINS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam bab ini membahas secara berurutan tentang latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam bab ini membahas secara berurutan tentang latar belakang BAB I PENDAHULUAN Dalam bab ini membahas secara berurutan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan hipotesis. A. Latar Belakang Masalah. Kemiskinan seringkali

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. terbukti PBB telah menetapkan Millenium Development Goals (MDGs). Salah

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. terbukti PBB telah menetapkan Millenium Development Goals (MDGs). Salah BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Dewasa ini, masalah kemiskinan telah menjadi masalah internasional, terbukti PBB telah menetapkan Millenium Development Goals (MDGs). Salah satu tujuan yang ingin dicapai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkesinambungan dengan tujuan mencapai kehidupan yang lebih baik dari

BAB I PENDAHULUAN. berkesinambungan dengan tujuan mencapai kehidupan yang lebih baik dari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses yang dilaksanakan secara berkesinambungan dengan tujuan mencapai kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya. Tujuan utama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kultural, dengan tujuan utama meningkatkan kesejahteraan warga bangsa secara

BAB I PENDAHULUAN. kultural, dengan tujuan utama meningkatkan kesejahteraan warga bangsa secara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan proses yang berkesinambungan yang mencakup seluruh aspek kehidupan masyarakat, termasuk aspek sosial, ekonomi, politik dan kultural, dengan tujuan

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. dihadapi oleh semua negara di dunia. Amerika Serikat yang tergolong sebagai

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. dihadapi oleh semua negara di dunia. Amerika Serikat yang tergolong sebagai BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Sharp et al. (1996) mengatakan kemiskinan merupakan masalah yang dihadapi oleh semua negara di dunia. Amerika Serikat yang tergolong sebagai negara maju dan merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. oleh si miskin. Penduduk miskin pada umumya ditandai oleh rendahnya tingkat

BAB I PENDAHULUAN. oleh si miskin. Penduduk miskin pada umumya ditandai oleh rendahnya tingkat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kemiskinan merupakan situasi serba kekurangan yang terjadi bukan dikehendaki oleh si miskin. Penduduk miskin pada umumya ditandai oleh rendahnya tingkat pendidikan,

Lebih terperinci

BAB 12. PENANGGULANGAN KEMISKINAN KELUARGA DI INDONESIA. Oleh: Herien Puspitawati Tin Herawati

BAB 12. PENANGGULANGAN KEMISKINAN KELUARGA DI INDONESIA. Oleh: Herien Puspitawati Tin Herawati BAB 12. PENANGGULANGAN KEMISKINAN KELUARGA DI INDONESIA Oleh: Herien Puspitawati Tin Herawati Kondisi Kemiskinan di Indonesia Isu kemiskinan yang merupakan multidimensi ini menjadi isu sentral di Indonesia

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI SULAWESI BARAT MARET 2016

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI SULAWESI BARAT MARET 2016 BPS PROVINSI SULAWESI BARAT No. 42/07/76/Th. X, 18 Juli 2016 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI SULAWESI BARAT MARET 2016 JUMLAH PENDUDUK MISKIN MARET 2016 SEBANYAK 152,73 RIBU JIWA Persentase penduduk miskin

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Kemiskinan merupakan masalah klasik yang belum tuntas terselesaikan

BAB 1 PENDAHULUAN. Kemiskinan merupakan masalah klasik yang belum tuntas terselesaikan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kemiskinan merupakan masalah klasik yang belum tuntas terselesaikan terutama di negara berkembang, artinya kemiskinan menjadi masalah yang dihadapi dan menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dimanfaatkan oleh program pembangunan nasional ( Propenas ) yakni di

BAB I PENDAHULUAN. dimanfaatkan oleh program pembangunan nasional ( Propenas ) yakni di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Salah satu proses prioritas pembangunan nasional sebagaimana dimanfaatkan oleh program pembangunan nasional ( Propenas ) 2005-2009 yakni di bidang sumber daya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat dan institusiinstitusi

BAB I PENDAHULUAN. perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat dan institusiinstitusi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses menuju perubahan yang diupayakan suatu negara secara terus menerus dalam rangka mengembangkan kegiatan ekonomi dan taraf

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional. Pembangunan nasional dapat dikatakan berhasil apabila

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional. Pembangunan nasional dapat dikatakan berhasil apabila BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesejahteraan masyarakat Indonesia merupakan suatu cita-cita dari pembangunan nasional. Pembangunan nasional dapat dikatakan berhasil apabila dapat menyelesaikan masalah-masalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kemiskinan merupakan suatu kondisi bukan hanya hidup dalam

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kemiskinan merupakan suatu kondisi bukan hanya hidup dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kemiskinan merupakan suatu kondisi bukan hanya hidup dalam kekurangan uang dan tingkat pendapatan rendah, tetapi juga banyak hal lain seperti tingkat kesehatan,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam melakukan analisis tentang pembangunan ekonomi yang terjadi pada suatu negara ataupun daerah. Pertumbuhan

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI IMPOR KACANG KEDELAI NASIONAL PERIODE

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI IMPOR KACANG KEDELAI NASIONAL PERIODE ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI IMPOR KACANG KEDELAI NASIONAL PERIODE 1987 2007 OLEH TRI PURWANTO H14094001 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

Lebih terperinci

KEMISKINAN DAN UPAYA PENGENTASANNYA. Abstrak

KEMISKINAN DAN UPAYA PENGENTASANNYA. Abstrak KEMISKINAN DAN UPAYA PENGENTASANNYA Abstrak Upaya pengentasan kemiskinan di Indonesia telah menjadi prioritas di setiap era pemerintahan dengan berbagai program yang digulirkan. Pengalokasian anggaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang penting dilakukan suatu Negara untuk tujuan menghasilkan sumber daya

BAB I PENDAHULUAN. yang penting dilakukan suatu Negara untuk tujuan menghasilkan sumber daya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan manusia merupakan salah satu syarat mutlak bagi kelangsungan hidup bangsa dalam rangka menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas. Menciptakan pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. Pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan merupakan indikator penting untuk

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. Pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan merupakan indikator penting untuk 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan merupakan indikator penting untuk melihat keberhasilan pembangunan suatu negara. Setiap negara akan berusaha keras untuk mencapai

Lebih terperinci

ANALISIS PENGARUH INFRASTRUKTUR EKONOMI DAN SOSIAL TERHADAP PRODUKTIVITAS EKONOMI DI INDONESIA OLEH KRISMANTI TRI WAHYUNI H

ANALISIS PENGARUH INFRASTRUKTUR EKONOMI DAN SOSIAL TERHADAP PRODUKTIVITAS EKONOMI DI INDONESIA OLEH KRISMANTI TRI WAHYUNI H ANALISIS PENGARUH INFRASTRUKTUR EKONOMI DAN SOSIAL TERHADAP PRODUKTIVITAS EKONOMI DI INDONESIA OLEH KRISMANTI TRI WAHYUNI H14094021 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atau struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penduduk merupakan suatu hal yang penting karena merupakan modal dasar dalam pembangunan suatu wilayah. Sukirno (2006) mengatakan penduduk dapat menjadi faktor pendorong

Lebih terperinci

Pemanfaatan DATA Statistik Dalam Perencanaan Pembangunan Daerah

Pemanfaatan DATA Statistik Dalam Perencanaan Pembangunan Daerah BADAN PUSAT STATISTIK Kabupaten Bandung Pemanfaatan DATA Statistik Dalam Perencanaan Pembangunan Daerah Soreang, 1 Oktober 2015 Ir. R. Basworo Wahyu Utomo Kepala BPS Kabupaten Bandung Data adalah informasi

Lebih terperinci

Mengurangi Kemiskinan Melalui Keterbukaan dan Kerjasama Penyediaan Data

Mengurangi Kemiskinan Melalui Keterbukaan dan Kerjasama Penyediaan Data Mengurangi Kemiskinan Melalui Keterbukaan dan Kerjasama Penyediaan Data Disampaikan oleh: DeputiMenteri PPN/Kepala Bappenas Bidang Kependudukan dan Ketenagakerjaan pada Peluncuran Peta Kemiskinan dan Penghidupan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mewujudkan kemakmuran masyarakat yaitu melalui pengembangan. masalah sosial kemasyarakatan seperti pengangguran dan kemiskinan.

BAB I PENDAHULUAN. mewujudkan kemakmuran masyarakat yaitu melalui pengembangan. masalah sosial kemasyarakatan seperti pengangguran dan kemiskinan. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses yang terintegrasi dan komprehensif dari perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian yang tidak terpisahkan. Di samping mengandalkan

Lebih terperinci