BAB I PENDAHULUAN. Indonesia, sampai dengan Desember tahun 2014 adalah ,98

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. Indonesia, sampai dengan Desember tahun 2014 adalah ,98"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Luas daratan kawasan hutan berdasarkan rekapitulasi Keputusan Menteri Kehutanan tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan Indonesia, sampai dengan Desember tahun 2014 adalah ,98 hektar atau sekitar 64,38% dari luas daratan Indonesia (Statistik Kemen LHK, 2014). Kondisi tersebut telah mengalami banyak penurunan antara lain disebabkan oleh degradasi dan deforestasi yang mengakibatkan hilang atau berkurangnya kegunaan atau potensi kegunaan lahan untuk mendukung kehidupan (Barrow, 1991). Tingginya tingkat kerusakan hutan berdasarkan hasil analisis Forest Watch Indonesia (FWI, 2015) dalam tiga periode yakni 2 juta hektar pertahun selama kurun waktu ; 1,5 juta hektar pertahun selama ; dan 1,1 juta hektar pertahun pada periode Kerusakan hutan dimaksud terjadi pada seluruh fungsi kawasan hutan termasuk pada kawasan hutan konservasi. Berdasarkan data statistik kehutanan (2014) luas kawasan hutan konservasi adalah ,27 hektar, dimana lahan ini terbagi menjadi taman nasional, suaka margasatwa, cagar alam, taman buru, dan taman wisata alam. Permasalahan yang sering muncul dalam kawasan hutan konservasi adalah konsep pengelolaan yang sangat sentralistik dan bersifat top-down. Penguasaan sumberdaya hutan menjadi sumberdaya alam milik 1

2 negara telah mengarah pada: (1) lemahnya kapasitas monitoring dan kontrol institusi negara terutama pada sumberdaya yang berskala luas, dan (2) pemanfaatan sumberdaya yang terjebak pada kondisi de facto open access serta kecenderungan para pihak berlomba memanfaatkan sumberdaya alam sebesar-besarnya untuk kepentingan masing-masing (Rustiadi, 2005). Permasalahan pengelolaan sumberdaya hutan disebabkan oleh banyaknya kepentingan dalam pengelolaan, baik kepentingan masyarakat, swasta dan pemerintah yang saling berkaitan satu sama lain (Awang, 2003) sehingga kerusakan hutan tidak dapat dihindari. Lebih dalam lagi, kerusakan hutan yang terjadi di Indonesia saat ini merupakan kelanjutan dari kisah kompleksitas dan ruwetnya masalah pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya hutan di tiga era sekaligus yaitu era krisis ekonomi berkepanjangan, era reformasi dan era desentralisasi yang setengah hati (Iskandar dan Nugraha, 2004). Penggunaan kawasan hutan non-prosedural merupakan salah satu penyumbang terhadap kerusakan hutan Indonesia saat ini, seperti halnya permasalahan penggunaan kawasan hutan yang terjadi pada Suaka Margasatwa Balai Raja (SMBR) di Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 173/Kpts- II/1986 tentang Penunjukan Kawasan Hutan Provinsi Riau, luas kawasan SMBR ± hektar dimana di dalamnya memiliki potensi keanekaragaman jenis flora dan fauna. Penunjukan kawasan tersebut 2

3 bertujuan sebagai upaya perlindungan dan pelestarian Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus). Namun berdasarkan fakta yang ada potensi alam di kawasan hutan konservasi SMBR dari tahun ke tahun semakin berkurang. Hal ini diketahui dari kondisi penutupan lahan hutan yang semakin menurun yaitu pada tahun 1986 tutupan hutan sekitar hektar berubah menjadi 200 hektar pada tahun 2015 (Kompas, 2015). Keadaan tersebut diindikasi sebagai akibat dari aktivitas manusia dalam bentuk penggunaan kawasan hutan non-prosedural, bahkan sampai pada pendirian aset-aset bernilai yang sifatnya permanen. Penggunaan kawasan hutan non-prosedural tersebut merupakan penggunaan kawasan hutan tanpa memiliki legalitas hukum di bidang kehutanan (Khan et al. 2010). Beberapa aktivitas illegal penggunaan kawasan hutan di dalam SMBR diduga berupa kegiatan usaha migas, perambahan dan penguasaan lahan oleh banyak pihak. Berbagai aktivitas tersebut dipicu oleh terbukanya akses menuju kawasan SMBR, sehingga mengancam terhadap keberlangsungan habitat Gajah Sumatera. Penggunaan kawasan hutan yang tidak terkendali sebagaimana dikemukakan oleh Rositter (1996) dapat mengarahkan pada inefisiensi pemanfaatan sumber daya alam, rusaknya sumber daya lahan, kemiskinan dan masalah sosial lainnya. Terkait dengan kebijakan penggunaan kawasan hutan, sesuai dengan UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, dan UU Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan 3

4 Pemberantasan Perusakan Hutan bahwa penggunaan kawasan hutan di dalam kawasan hutan konservasi tidak diperkenankan. Sehubungan dengan peraturan tersebut, berdasarkan data dan informasi penggunaan kawasan hutan, sampai dengan saat ini tidak terdapat Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) di dalam kawasan SMBR (Kemen LHK, 2015). Permasalahan penggunaan kawasan hutan pada kawasan SMBR merupakan permasalahan yang dilematis, pada satu sisi pemerintah mewajibkan IPPKH untuk setiap penggunaan kawasan hutan namun pada sisi lain peraturan perundang-undangan melarang kegiatan penggunaan kawasan hutan di dalam kawasan hutan konservasi. Tidak berhenti pada permasalahan tersebut, keberadaan historis dari suatu kawasan disinyalir cenderung diabaikan oleh pemerintah terutama dalam pengambilan kebijakan penunjukkan dan penetapan kawasan hutan SMBR. Tiga pilar pembangunan berkelanjutan (ekonomi, sosial-budaya, dan ekologi - UNCED, 1992) seharusnya menjadi salah satu bahan pertimbangan bagi pemerintah dalam mengambil sebuah kebijakan terlebih pada obyek vital yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Menyikapi kondisi tersebut di atas, maka perlu dilakukan pengkajian tentang Analisis Penggunaan Kawasan Hutan Suaka Margasatwa Balai Raja (SMBR) Provinsi Riau. 4

5 1.2 Perumusan Masalah Bottcher et al. (2009) mendefinsikan deforestasi sebagai kegiatan konversi lahan hutan ke non-hutan yang dilakukan secara langsung oleh aktivitas manusia. Dampak fisik yang ditimbulkan oleh adanya aktivitas manusia di dalam kawasan hutan menyebabkan terjadinya konversi lahan dan hilangnya fungsi kawasan hutan. Terjadinya konversi lahan secara drastis di dalam kawasan hutan SMBR diduga merupakan salah satu dampak dari aktivitas penggunaan kawasan hutan oleh berbagai pihak yang masih dipertanyakan legalitasnya bahkan sampai pada pendirian asetaset bernilai. Keberadaan jalan yang membelah kawasan menjadi beberapa bagian menyebabkan terbukanya akses ke dalam SMBR sehingga diindikasi mendorong terjadinya penggunaan kawasan hutan dan penguasaan lahan yang dilakukan oleh berbagai pihak. Selanjutnya berbagai kebijakan pemerintah yang dilematis semakin memperkeruh permasalahan yang berada di dalam kawasan SMBR. Tentu saja hal-hal tersebut mengancam terhadap keberlangsungan SMBR. Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan di atas, beberapa rumusan masalah yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Apa saja tipologi penutupan lahan yang terjadi di dalam kawasan SMBR selama 25 tahun (time series tahun 1990, 2000, 2010, 2015)? 5

6 2. Apa saja permasalahan penggunaan kawasan hutan terkait dengan perubahan tipologi penutupan lahan di dalam SMBR? 3. Apa saja strategi yang bisa ditawarkan terhadap penyelesian permasalahan penggunaan kawasan hutan di dalam SMBR? 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan pada rumusan masalah yang disampaikan, tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah : 1. Mengetahui tipologi penutupan lahan yang terjadi di dalam kawasan SMBR selama 25 tahun (time series tahun 1990, 2000, 2010, 2015). 2. Mengidentifikasi permasalahan penggunaan kawasan hutan terkait dengan perubahan tipologi penutupan lahan di dalam SMBR. 3. Merumuskan strategi yang bisa ditawarkan terhadap penyelesian permasalahan penggunaan kawasan hutan di dalam SMBR. 1.4 Batasan Penelitian Penelitian ini dibatasi pada analisis tipologi penutupan lahan yang terjadi di dalam kawasan SMBR selama 25 tahun (time series tahun 1990, 2000, 2010, 2015). Selanjutnya dilakukan kajian deskriptif terhadap permasalahan penggunaan kawasan hutan terkait dengan perubahan tipologi penutupan lahan tersebut di atas, serta menyusun rumusan strategi yang bisa ditawarkan dalam penyelesaian permasalahan penggunaan kawasan hutan di dalam SMBR. 6

7 1.5 Penelitian Terdahulu Penelitian mengenai permasalahan penggunaan kawasan hutan di dalam kawasan hutan konservasi yang dilatarbelakangi dengan perubahan penutupan lahan selama 25 tahun terakhir (time series tahun 1990, 2000, 2010, 2015) belum pernah dilakukan di dalam SMBR, Provinsi Riau. Beberapa penelitian terdahulu yang terkait dengan permasalahan penggunaan, pemanfaatan kawasan hutan serta permasalahan sosial pada kawasan hutan konservasi sudah pernah diteliti oleh peneliti-peneliti sebelumnya. Ditinjau dari sisi kebaharuan penelitian, selain terjadi pembaharuan lokasi, penelitian ini juga berupaya untuk mengetahui bentuk tipologi perubahan penutupan lahan yang terjadi di dalam kawasan SMBR selama 25 tahun dan mengidentifikasi permasalahan penggunaan kawasan hutan terkait terkait dengan perubahan tipologi penutupan lahan di dalam SMBR. Lebih lanjut, hasil dari penelitian ini berupa penawaran strategi dan rekomendasi dalam rangka penyelesaian masalah penggunaan kawasan hutan berdasarkan fakta dan sejarah SMBR. 7

8 Tabel 1.1 Beberapa Penelitian Terdahulu Terkait dengan Penggunaan Kawasan Hutan SMBR Penulis Judul Tujuan Metode Kesimpulan Gerard E.b Wambrauw (2004) Kajian Kerusakan Lingkungan Akibat Aktivitas Masyarakat Dalam Pemanfaatan Kawasan Hutan Konservasi Taman Wisata Alam Gunung Meja di Kabupaten Manokwari- Papua Mengkaji berbagai aktivitas masyarakat dalam pemanfaatan potensi sumber daya alam, kerusakan lingkungan dan persebarannya dalam kawasan hutan tersebut Metode deskriptif dengan teknik observasi Luas kerusakan hutan Suaka Margasatwa Kateri sebesar 1.516,05 hektar (32,26%), yang tersebar mengikuti jalur jalan, pemukiman dan ditengah hutan. Kerusakan hutan ini disebabkan karena aktivitas perambahan yang dilakukan oleh penduduk pendatang (warga baru) dan penduduk lokal, untuk permukiman, perladangan dan pengambilan kayu Ferdinand Muti Un (2007) Kajian kerusakan hutan konservasi Suaka Margasatwa Kateri di Kabupaten Belu Propinsi NTT Mengkaji kerusakan kawasan hutan konservasi Suaka Margasatwa dengan cara mengetahui kondisi dan luas sebaran kerusakan, mengetahui faktor penyebab terjadinya kerusakan, serta mengetahui dampak kerusakan hutan terhadap sumber daya air dan pengurangan populasi satwa liar serta vegetasi Survei terhadap sumber mata air, vegetasi penyusun dan satwa liar serta 60 responden Kepala Keluarga sebagai sampel dari 574 Kepala Keluarga Penyebab terjadinya kerusakan kawasan hutan adalah rendahnya tingkat sosial dan perekonomian rumah tangga, baik penduduk lokal maupun pendatang, tuntutan kebutuhan ekonomi rumah tangga yang mendesak dari penduduk pendatang, kecemburuan sosial penduduk lokal terhadap penduduk pendatang, dan lunturnya budaya/kearifan lokal yang berlaku pada daerah kajian, sehingga pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab memanfaatkannya untuk merusak hutan Selma Sasmitaningdyah (2009) Kajian kerusakan zona rehabilitasi Taman Nasional Meru Betiri Jember Jawa Timur Mengkaji kerusakan vegetasi di Zona Rehabilitasi Taman Nasional Meru Betiri berdasarkan kelimpahan Mengkaji kerusakan lingkungan fisik di Zona Survei instansional dan survei lapangan Daerah yang mengalami kerusakan vegetasi paling tinggi pada Andongrejo Erosi yang terjadi pada lahan di daerah penelitian di kawasan zona rehabilitasi rata-rata melebihi erosi yang diperbolehkan Faktor sosial ekonomi rendah, perambahan 8

9 Manahan Simangunsong (2010) Dina Hidayana (2011) Kelola konflik kawasan konservasi Suaka Margasatwa Danau Pulau Besar dan Danau Bawah di Kabupaten Siak Propinsi Riau Kajian Konflik di Kawasan Hutan Konservasi: Studi Kasus Taman Nasional Gunung Halimun Salak Rehabilitasi Taman Nasional Meru Betiri dengan mengevaluasi bahaya erosi. Mengkaji faktor penyebab kerusakan lingkungan di Zona Rehabilitasi Taman Nasional Meru Betiri Memberikan alternatif strategi pengelolaan lingkungan pada Zona Rehabilitasi Taman Nasional Meru Betiri Mendapatkan penjelasan tentang konflik dan penyebab terjadinya konflik dalam pengelolaan kawasan konservasi Suaka Margasatwa DPBDB Memperoleh penjelasan bagaimana konflik dapat dikelola agar lebih baik dan bermanfaat bagi pengelola, swasta dan masyarakat lokal untuk menjaga kelestarian kawasan konservasi ini Meneliti lebih jauh pengelolaan hutan negara yang sarat dengan persoalan yang belum tuntas, terutama konflik yang berkisar di dalam kawasan hutan Mengetahui perbedaan pola konflik dan upaya resolusi Metode kualitatif Metode kualitatif tinggi, pengetahuan tentang manfaat dan fungsi zona rehabilitasi rendah, pengetahuan dampak erosi sedang menjadi penyebab kerusakan lingkungan yang berada di Desa Andongrejo Alternatif tindakan konservasi tanah diutamakan dengan cara vegetasi Pemberian izin kepada pihak PT. Bumi Siak Pusako/ PT. Pertamina Hulu untuk melakukan penambangan minyak di dalam kawasan konservasi Suaka Margasatwa DPBDB dengan komitmen menjaga aspek lingkungan disekitar wilayah pertambanagan dan diwajibkan untuk melakukan reklamasi serta menjaga dan melestarikan ekosistem hutan Kementerian Kehutanan hendaknya melakukan revisi terhadap UU No. 5 Tahun 1990, secara khusus pada pasal 19 dan pasal 21, serta UU No. 41 Tahun 1999 PT. Bumi Siak Pusako/ PT. Pertamina Hulu hendaknya menghindari limbah minyak yang dapat mencemari air DPBDB dan meningkatkan ekonomi melalui pemberdayaan masyarakat lokal secara rutin maupun berkala Benang kusut pengelolaan hutan Indonesia tidak terlepas dari ketidakseriusan dan ketidaksiapan aparat dalam menangani persoalan-persoalan yang menyangkut perbedaan persepsi konservasi, batasan kewenangan dan tanggung jawab antar instansi/lembaga (negara) klaim kepemilikan maupun akses terhadap 9

10 Ida Harwati (2012) Thomas M. A. Dethan Konflik Lingkungan Dan Resolusinya di Taman Nasional Bukit Dua Belas Provinsi Jambi Konflik di Kawasan Konservasi: Studi Terhadap Konflik Perambahan Kawasan yang dilakukan Kementerian Kehutanan terhadap dua jenis masyarakat yang berbeda tersebut Memetakan, mendokumentasi kan karakter konflik yang berkaitan dengan pengelolaan (proses terjadinya, apa, siapa, dan dimana saja) di TNBD Mendeskripsikan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya konflik Mengetahui efektivitas resolusi konflik yang dilakukan dalam rangka penyelesaian konflik Memahami konflik yang terjadi antara pengelola kawasan Suaka Margasatwa Kateri dengan warga Deskriptif kualitatif dengan mengkategorisasikan data dan informasi ke dalam tema-tema yang diperoleh melalui in-depth interview, dengan narasumber yang dipilih secara purposive dan snowball Deskriptif analisis sumber daya hutan Disparitas akibat otonomi daerah yang semakin menyuburkan egosektoral dan disharmoni Pemerintah Pusat dan Daerah maupun antar instansi Pemerintah Kelemahan mendasar terletak pada kemampuan komunikasi Pemerintah dalam mensosialisasikan itikad baik konservasi sebagai bagian penting yang menjadi tanggung jawab bersama dan memerlukan dukungan setiap individu masyarakat, khususnya di wilayah dimaksud Diseminasi pengetahuan dan etika lingkungan perlu diwacanakan dan diformulasikan dalam bentuk kesepahaman yang disepakati multi stakeholder Konflik-konflik yang terjadi di TNBD merupakan konflik ikutan yang mencerminkan ketidakpuasan rakyat terhadap kebijakan negara dan terganggunya kepentingan stakeholders dalam pemanfaatan kawasan TNBD dan kawasan penyangganya Resolusi konflik yang dilakukan belum mendapatkan hasil maksimal karena belum menyelesaikan akar permasalahan penyebab konflik Konflik lingkungan di TNBD merefleksikan adanya kebijakan negara yang tidak sesuai diterapkan di suatu wilayah, dan terjadinya perubahan identitas serta pelemahan nilai-nilai kearifan lokal suatu masyarakat dalam pemanfaatan lingkungan Konflik yang terjadi di Suaka Margasatwa Kateri, status kawasan telah ada jauh sebelum adanya masyarakat yang merambah. Pada kawasan Suaka 10

11 (2015) Suaka Margasatwa Kateri Oleh Warga Masyarakat Bekas Pengungsi Timor- Timur Di Kabupaten Malaka Provinsi Nusa Tenggara Timur Nur Muhammad Daru S (2015) Kajian Konflik Penambangan Pasir di Taman Nasional Gunung Merapi (Jurang Jero Kab. Magelang Provinsi Jawa Tengah) Pasca Erupsi 2010 masyarakat bekas pengungsi Timor-Timur pada kawasan konservasi Suaka Margasatwa Kateri Menemukan resolusi dalam pengelolaan kawasan hutan dan penanganan konflik serupa dibidang Konservasi kehutanan Menjelaskan dan memahami tentang keberagaman kepentingan stakeholder dalam mengakses sumber daya pasir pasca erupsi 2010 Menjelaskan dinamika konflik kepentingan antar stakeholder dalam penambangan pasir Terumuskannya resolusi konflik antar stakeholder dalam pengelolaan konflik penambangan pasir di Jurang Jero Margsatwa Kateri ini, sejak awal perambahan telah dilakukan tindakantindakan baik persuasif, koersif sampai penegakan hukum/ litigasi tetapi belum mampu untuk menyelesaikan masalah ini secara permanen Resolusi yang dilakukan untuk mengeluarkan masyarakat bekas pengungsi Timor-Timur dari kawasan Suaka Margasatwa Kateri dan penyelesaian secara permanen maka Pemerintah harus menyediakan lahan garapan bagi mereka disekitar lokasi resettlement mereka Deskriptif kualitatif Terjadi perbedaan kepentingan dalam konflik penambangan pasir di Jurang Jero antara kebutuhan survival masyarakat yang didorong oleh kepentingan ekonomi pihak swasta dalam eksploitasi dengan upaya konservasi alam pihak pengelola TNGM. Alternatif penyelesaian masalah yang bisa dilakukan :a. Membangun ruang dialog/komunikasi antar stakeholder terkait dalam hal regulasi pemanfaatan pasir dalam rangka mitigasi ataupun pengelolaan sungai di Jurang Jero yang melibatkan partisipasi masyarakat sekitar dengan cara manual dengan memperhatikan kelestarian lingkungan. b. Penerapan konsep pengelolaan kolaborasi di dalam taman nasional dengan melibatkan partisipasi masyarakat sekitar dalam pemanfaatan kawasan dan menggali potensi desa guna menunjang kesejahteraan masyarakat dengan mengedepankan konservasi. 11

12 1.6 Manfaat Penelitian Penelitian ini merupakan salah satu upaya untuk mengetahui permasalahan penggunaan kawasan hutan terkait dengan perubahan tipologi penutupan lahan di dalam SMBR selama 25 tahun (time series tahun 1990, 2000, 2010, 2015), serta merumuskan strategi yang bisa ditawarkan terhadap penyelesaian permasalahan penggunaan kawasan hutan tersebut. Secara lebih rinci penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi beberapa pihak, yaitu: 1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi literatur baru dalam studi empiris berdasarkan pada fakta yang ditemukan di lapangan terkait dengan penggunaan kawasan hutan di dalam SMBR. 2. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu bahan evaluasi dan rekomendasi bagi pihak pemerintah maupun pihak swasta untuk menentukan kebijakan dalam pengelolaan dan penataan sumber daya di dalam kawasan hutan dengan tidak mengabaikan peraturan perundangan yang berlaku. 12

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Taman Nasional Gunung Merapi merupakan kawasan hutan tropis pegunungan yang terletak pada gunung berapi yang masih aktif berada di wilayah Yogyakarta dan Jawa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan modal dasar bagi pembangunan berkelanjutan untuk kesejahteraan

BAB I PENDAHULUAN. merupakan modal dasar bagi pembangunan berkelanjutan untuk kesejahteraan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu aset penting bagi negara, yang juga merupakan modal dasar bagi pembangunan berkelanjutan untuk kesejahteraan masyarakat. Hutan sebagai sumberdaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Bagi manusia, lahan sangat dibutuhkan dalam menjamin kelangsungan hidup

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Bagi manusia, lahan sangat dibutuhkan dalam menjamin kelangsungan hidup BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan merupakan salah satu sumberdaya alam yang sangat dibutuhkan. Bagi manusia, lahan sangat dibutuhkan dalam menjamin kelangsungan hidup seperti untuk membangun

Lebih terperinci

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR Oleh: HERIASMAN L2D300363 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK

Lebih terperinci

BAB V P E N U T U P. konservasi Suaka Margasatwa Kateri di Kabupaten Malaka, dimana lebih dari

BAB V P E N U T U P. konservasi Suaka Margasatwa Kateri di Kabupaten Malaka, dimana lebih dari BAB V P E N U T U P 5.1 Kesimpulan Perambahan sebagai salah satu penyebab terbesar kerusakan hutan di Indonesia dapat dibuktikan dengan kerusakan hutan yang terjadi kawasan konservasi Suaka Margasatwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidup Indonesia terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat. Kaedah

BAB I PENDAHULUAN. hidup Indonesia terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat. Kaedah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kaedah dasar yang melandasi pembangunan dan perlindungan lingkungan hidup Indonesia terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat. Kaedah dasar ini selanjutnya

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. yang berada di wilayah pesisir seperti Desa Dabong. Harahab (2010: )

BAB I. PENDAHULUAN. yang berada di wilayah pesisir seperti Desa Dabong. Harahab (2010: ) BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan hutan lindung seperti ekosistem mangrove memiliki peran cukup penting bagi masyarakat yang tinggal berdampingan dengan ekosistem tersebut karena umumnya masyarakat

Lebih terperinci

Laporan Penelitian Implementasi Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 dalam Penanggulangan Pembalakan Liar

Laporan Penelitian Implementasi Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 dalam Penanggulangan Pembalakan Liar Laporan Penelitian Implementasi Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 dalam Penanggulangan Pembalakan Liar Ketua : Marfuatul Latifah, S.H.I, L.LM Wakil Ketua : Sulasi Rongiyati, S.H., M.H. Sekretaris : Trias

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU MENTERI KEHUTANAN,

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM MENTERI KEHUTANAN, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Undang-Undang Konservasi No. 5 Tahun 1990, sumberdaya alam hayati adalah unsur-unsur hayati di alam yang terdiri dari sumberdaya alam nabati (tumbuhan) dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kawasan Konservasi Kawasan konservasi dalam arti yang luas, yaitu kawasan konservasi sumber daya alam hayati dilakukan. Di dalam peraturan perundang-undangan Indonesia yang

Lebih terperinci

PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV

PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV xxxxxxxxxx Kurikulum 2006/2013 Geografi K e l a s XI PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan memiliki kemampuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, salah satu pengelompokan hutan berdasarkan fungsinya adalah hutan konservasi. Hutan konservasi merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan aslinya (Hairiah, 2003). Hutan menjadi sangat penting

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan aslinya (Hairiah, 2003). Hutan menjadi sangat penting BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan kesatuan flora dan fauna yang hidup pada suatu kawasan atau wilayah dengan luasan tertentu yang dapat menghasilkan iklim mikro yang berbeda dengan keadaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bawah tanah. Definisi hutan menurut Undang-Undang No 41 Tahun 1999 tentang

BAB I PENDAHULUAN. bawah tanah. Definisi hutan menurut Undang-Undang No 41 Tahun 1999 tentang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan sumber daya alam yang menyimpan kekayaan keanekaragaman hayati dan sumber daya alam lain yang terdapat di atas maupun di bawah tanah. Definisi hutan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 tahun 1999, hutan adalah

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 tahun 1999, hutan adalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 tahun 1999, hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan

Lebih terperinci

Konservasi Lingkungan. Lely Riawati

Konservasi Lingkungan. Lely Riawati 1 Konservasi Lingkungan Lely Riawati 2 Dasar Hukum Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perubahan iklim (Dudley, 2008). International Union for Conservation of Nature

BAB I PENDAHULUAN. perubahan iklim (Dudley, 2008). International Union for Conservation of Nature BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan konservasi mempunyai peran yang sangat besar terhadap perlindungan keanekaragaman hayati. Kawasan konservasi juga merupakan pilar dari hampir semua strategi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan (UU RI No. 41

BAB I PENDAHULUAN. lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan (UU RI No. 41 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tentang. sumber daya alam. Pasal 2 TAP MPR No.IX Tahun 2001 menjelaskan

BAB I PENDAHULUAN. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tentang. sumber daya alam. Pasal 2 TAP MPR No.IX Tahun 2001 menjelaskan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan salah satu sumber daya alam hayati yang memiliki banyak potensi yang dapat diambil manfaatnya oleh masyarakat, Pasal 33 ayat (3) Undang- Undang Dasar 1945 menyebutkan

Lebih terperinci

Pembangunan KSDAE di Eko-Region Papua Jakarta, 2 Desember 2015

Pembangunan KSDAE di Eko-Region Papua Jakarta, 2 Desember 2015 Pembangunan KSDAE di Eko-Region Papua Jakarta, 2 Desember 2015 Papua terdiri dari Provinsi Papua Barat dan Provinsi Papua dengan luas total 42,22 juta ha merupakan provinsi terluas dengan jumlah penduduk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dari penunjukan kawasan konservasi CA dan SM Pulau Bawean adalah untuk

I. PENDAHULUAN. dari penunjukan kawasan konservasi CA dan SM Pulau Bawean adalah untuk I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Suaka Alam Pulau Bawean ditunjuk dengan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 76/Kpts/Um/12/1979 tanggal 5 Desember 1979 meliputi Cagar Alam (CA) seluas 725 ha dan Suaka

Lebih terperinci

KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA ANI MARDIASTUTI JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR Kawasan Konservasi Indonesia UURI No 5 Tahun 1990 Konservasi

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Indonesia dengan harapan memerikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi rakyat

BAB I. PENDAHULUAN. Indonesia dengan harapan memerikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi rakyat BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan beserta keanekaragaman hayati yang terkandung di dalamnya merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang diamanahkan kepada bangsa Indonesia dengan harapan memerikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Taman Nasional Kerinci Seblat

BAB I PENDAHULUAN. penunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Taman Nasional Kerinci Seblat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurut Undang-Undang No. 05 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya (KSDHE), Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Banteng (Bos javanicus) merupakan salah satu jenis satwa liar yang dilindungi menurut Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa

Lebih terperinci

RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI TAHUN

RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI TAHUN RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI TAHUN 05-09 Prof. DR. M. Bismark, MS. LATAR BELAKANG Perlindungan biodiversitas flora, fauna dan mikroorganisme menjadi perhatian dunia untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengenai hal tersebut menuai pro dan kontra. Kuswijayanti (2007) menjelaskan

BAB I PENDAHULUAN. mengenai hal tersebut menuai pro dan kontra. Kuswijayanti (2007) menjelaskan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada 2001, pembahasan mengenai penetapan Gunung Merapi sebagai kawasan taman nasional mulai digulirkan. Sejak saat itu pula perbincangan mengenai hal tersebut menuai

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. masyarakat serta desakan otonomi daerah, menjadikan tuntutan dan akses masyarakat

I PENDAHULUAN. masyarakat serta desakan otonomi daerah, menjadikan tuntutan dan akses masyarakat I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seiring dengan laju pertumbuhan penduduk dan perubahan kondisi sosial masyarakat serta desakan otonomi daerah, menjadikan tuntutan dan akses masyarakat dalam pemanfaatan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang selain merupakan sumber alam yang penting artinya bagi

Lebih terperinci

PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI

PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI Oleh Pengampu : Ja Posman Napitu : Prof. Dr.Djoko Marsono,M.Sc Program Studi : Konservasi Sumberdaya Alam Dan Lingkungan Sekolah Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada Jogjakarta,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Habitat merupakan lingkungan tempat tumbuhan atau satwa dapat hidup dan berkembang biak secara alami. Kondisi kualitas dan kuantitas habitat akan menentukan komposisi,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dapat dimanfaatkan oleh manusia. Sumberdaya hutan yang ada bukan hanya hutan produksi, tetapi juga kawasan konservasi.

Lebih terperinci

Hutan di Indonesia memiliki peran terhadap aspek ekonomi, sosial maupun. (Reksohadiprodjo dan Brodjonegoro 2000).

Hutan di Indonesia memiliki peran terhadap aspek ekonomi, sosial maupun. (Reksohadiprodjo dan Brodjonegoro 2000). I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan di Indonesia memiliki peran terhadap aspek ekonomi, sosial maupun budaya. Namun sejalan dengan pertambahan penduduk dan pertumbuhan ekonomi, tekanan terhadap sumberdaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Menteri Kehutanan No. 134/Menhut-II/2004 tentang Perubahan fungsi

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Menteri Kehutanan No. 134/Menhut-II/2004 tentang Perubahan fungsi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Taman Nasional (TN) Gunung Merapi ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. 134/Menhut-II/2004 tentang Perubahan fungsi Kawasan Hutan Lindung, Cagar

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sumberdaya alam seperti air, udara, lahan, minyak, ikan, hutan dan lain - lain merupakan sumberdaya yang esensial bagi kelangsungan hidup manusia. Penurunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 101111111111105 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki sumberdaya alam hayati laut yang potensial seperti sumberdaya terumbu karang. Berdasarkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki hutan tropis terbesar di dunia. Luas kawasan hutan di Indonesia saat ini mencapai 120,35 juta ha. Tujuh belas persen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kegiatan yang mengancam eksistensi kawasan konservasi (khususnya

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kegiatan yang mengancam eksistensi kawasan konservasi (khususnya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Manusia dan kawasan konservasi memiliki korelasi yang kuat. Suatu kawasan konservasi memiliki fungsi ekologi, ekonomi, dan sosial sedangkan manusia memiliki peran

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan berkelanjutan telah menjadi komitmen masyarakat dunia. Pada saat ini, beberapa negara maju maupun negara berkembang termasuk Indonesia, telah menerima konsep

Lebih terperinci

KERUSAKAN LAHAN AKIBAT PERTAMBANGAN

KERUSAKAN LAHAN AKIBAT PERTAMBANGAN KERUSAKAN LAHAN AKIBAT PERTAMBANGAN Oleh: Dini Ayudia, M.Si. Subbidang Transportasi Manufaktur Industri dan Jasa pada Bidang Perencanaan Pengelolaan SDA & LH Lahan merupakan suatu sistem yang kompleks

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Luas hutan Indonesia sebesar 137.090.468 hektar. Hutan terluas berada di Kalimantan (36 juta hektar), Papua (32 juta hektar), Sulawesi (10 juta hektar) Sumatera (22 juta

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara tropis yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi, baik flora maupun fauna yang penyebarannya sangat luas. Hutan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.326, 2015 KEHUTANAN. Hutan. Kawasan. Tata Cara. Pencabutan (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5794). PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove bagi kelestarian sumberdaya perikanan dan lingkungan hidup memiliki fungsi yang sangat besar, yang meliputi fungsi fisik dan biologi. Secara fisik ekosistem

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan menurut fungsi pokoknya dibagi menjadi tiga yaitu hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi (Dephut, 2009). Hutan konservasi sendiri didefinisikan kawasan

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb.

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb. KATA PENGANTAR Assalamu alaikum wr.wb. Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan buku Penghitungan Deforestasi Indonesia Periode Tahun 2009-2011

Lebih terperinci

Disampaikan Pada Acara :

Disampaikan Pada Acara : Disampaikan Pada Acara : Balancing Spatial Planning, Sustainable Biomass Production, Climate Change and Conservation (Menyeimbangkan Penataan Ruang, Produksi Minyak Sawit Berkelanjutan, Perubahan Iklim

Lebih terperinci

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 32 TAHUN 1990 (32/1990) Tanggal : 25 JULI 1990 (JAKARTA) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu sumberdaya alam yang banyak dimiliki di Indonesia adalah hutan. Pembukaan hutan di Indonesia merupakan isu lingkungan yang populer selama dasawarsa terakhir

Lebih terperinci

TAMBANG DI KAWASAN HUTAN LINDUNG

TAMBANG DI KAWASAN HUTAN LINDUNG TAMBANG DI KAWASAN HUTAN LINDUNG http://www.sindotrijaya.com I. PENDAHULUAN Hutan tropis Indonesia sangat kaya flora dan fauna serta kekayaan alam lainnya, termasuk mineral dan batubara. Dengan kawasan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau I. PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Indonesia memiliki hutan mangrove terluas di dunia yakni 3,2 juta ha (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau besar mulai dari Sumatera,

Lebih terperinci

I. 0PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. 0PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. 0PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya alam baik hayati maupun non-hayati sangat besar peranannya bagi kelangsungan hidup manusia. Alam memang disediakan untuk memenuhi kebutuhan manusia di bumi,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) merupakan salah satu penghasil batubara terbesar di Indonesia. Deposit batubara di Kalimantan Timur mencapai sekitar 19,5 miliar ton

Lebih terperinci

Mata Pencaharian Penduduk Indonesia

Mata Pencaharian Penduduk Indonesia Mata Pencaharian Penduduk Indonesia Pertanian Perikanan Kehutanan dan Pertambangan Perindustrian, Pariwisata dan Perindustrian Jasa Pertanian merupakan proses untuk menghasilkan bahan pangan, ternak serta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. positif yang cukup tinggi terhadap pendapatan negara dan daerah (Taslim. 2013).

BAB I PENDAHULUAN. positif yang cukup tinggi terhadap pendapatan negara dan daerah (Taslim. 2013). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pariwisata memiliki peran yang semakin penting dan memiliki dampak positif yang cukup tinggi terhadap pendapatan negara dan daerah (Taslim. 2013). Dengan adanya misi

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009

Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009 Contributor : Doni Prihatna Tanggal : April 2012 Posting : Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009 Pada 19 Januari 2012 lalu, Presiden Republik Indonesia mengeluarkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerahkan kepada bangsa Indonesia merupakan kekayaan yang wajib disyukuri, diurus, dan dimanfaatkan secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan wilayah di Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang sangat pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan dengan dua

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian

Lebih terperinci

TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIT PELAKSANA TEKNIS KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM MENTERI KEHUTANAN,

TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIT PELAKSANA TEKNIS KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM MENTERI KEHUTANAN, PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P. 02/Menhut-II/2007 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIT PELAKSANA TEKNIS KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM MENTERI KEHUTANAN, Menimbang : a. bahwa Keputusan Menteri Kehutanan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan fauna yang tersebar diberbagai wilayah di DIY. Banyak tempat tempat

BAB I PENDAHULUAN. dan fauna yang tersebar diberbagai wilayah di DIY. Banyak tempat tempat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Daerah Istimewa Yogyakarta terkenal dengan kota pelajar dan kota budaya, selain itu Daerah Istimewa Yogyakarta juga dikenal sebagai daerah pariwisata ini dibuktikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kawasan konservasi merupakan suatu kawasan yang dikelola dan dilindungi dalam rangka pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan. Penetapan status sebuah kawasan menjadi

Lebih terperinci

Penyelamatan Ekosistem Sumatera Dalam RTR Pulau Sumatera

Penyelamatan Ekosistem Sumatera Dalam RTR Pulau Sumatera Penyelamatan Ekosistem Sumatera Dalam RTR Pulau Sumatera 1 2 3 Pendahuluan (Sistem Perencanaan Tata Ruang - Kebijakan Nasional Penyelamatan Ekosistem Pulau Sumatera) Penyelamatan Ekosistem Sumatera dengan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekosistemnya. Pada Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi

BAB I PENDAHULUAN. ekosistemnya. Pada Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Pada

Lebih terperinci

Peta Jalan Penyelamatan Ekosistem Sumatera 2020 Dalam RTR Pulau Sumatera

Peta Jalan Penyelamatan Ekosistem Sumatera 2020 Dalam RTR Pulau Sumatera Peta Jalan Penyelamatan Ekosistem Sumatera 2020 Dalam RTR Pulau Sumatera Jakarta, 29 Juli 2011 1 2 3 Progress Legalisasi RTR Pulau Sumatera Konsepsi Tujuan, Kebijakan, Dan Strategi Rtr Pulau Sumatera Muatan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM MENTERI KEHUTANAN, Menimbang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sumber daya yang kita miliki terkait dengan kepentingan masyarakat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sumber daya yang kita miliki terkait dengan kepentingan masyarakat BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori Pengelolaan sumber daya alam, khususnya hutan yang berkelanjutan dimasa kini telah menjadi keharusan, dimana keberadaan serta keberlangsungan fungsi sumber daya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang harus dilindungi keberadaannya. Selain sebagai gudang penyimpan

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang harus dilindungi keberadaannya. Selain sebagai gudang penyimpan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang sangat bermanfaat bagi manusia. Hutan merupakan ekosistem yang menjadi penyangga kehidupan manusia yang harus dilindungi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut FAO (2007) Indonesia memiliki kawasan mangrove yang terluas

BAB I PENDAHULUAN. Menurut FAO (2007) Indonesia memiliki kawasan mangrove yang terluas 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Menurut FAO (2007) Indonesia memiliki kawasan mangrove yang terluas di dunia sekitar 19% dari total hutan mangrove dunia, dan terluas se-asia Tenggara sekitar 49%

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hampir separuh wilayah daratnya berupa hutan. Untuk itu pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. Hampir separuh wilayah daratnya berupa hutan. Untuk itu pemerintah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Republik Indonesia adalah sebuah negara yang kaya akan hutan. Hampir separuh wilayah daratnya berupa hutan. Untuk itu pemerintah berupaya memaksimalkan fungsi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sedangkan kegiatan koleksi dan penangkaran satwa liar di daerah diatur dalam PP

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sedangkan kegiatan koleksi dan penangkaran satwa liar di daerah diatur dalam PP I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia memiliki banyak potensi objek wisata yang tersebar di seluruh pulau yang ada. Salah satu objek wisata yang berpotensi dikembangkan adalah kawasan konservasi hutan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Laswell dan Kaplan (1970) mengemukakan bahwa kebijakan merupakan suatu program yang memroyeksikan tujuan, nilai, dan praktik yang terarah. Kemudian Dye (1978) menyampaikan

Lebih terperinci

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan 29 BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN 3.1. Kerangka Berpikir Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan ekosistem laut. Mangrove diketahui mempunyai fungsi ganda

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumber daya alam dan lingkungan tidak pernah lepas dari kepentingan seperti kepentingan negara, pemilik modal, rakyat maupun kepentingan lingkungan itu sendiri (Handayani,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. ada di Indonesia. Kebutuhan akan kawasan konservasi sebagai kawasan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. ada di Indonesia. Kebutuhan akan kawasan konservasi sebagai kawasan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Taman Nasional merupakan salah satu bentuk kawasan konservasi yang ada di Indonesia. Kebutuhan akan kawasan konservasi sebagai kawasan yang disisihkan untuk masa depan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia dianugerahi oleh Tuhan Yang Maha Esa kekayaan sumber daya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia dianugerahi oleh Tuhan Yang Maha Esa kekayaan sumber daya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia dianugerahi oleh Tuhan Yang Maha Esa kekayaan sumber daya alam hayati yang melimpah. Sumber daya alam hayati di Indonesia dan ekosistemnya mempunyai

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.378, 2010 KEMENTERIAN KEHUTANAN. Kawasan Hutan. Fungsi. Perubahan.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.378, 2010 KEMENTERIAN KEHUTANAN. Kawasan Hutan. Fungsi. Perubahan. BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.378, 2010 KEMENTERIAN KEHUTANAN. Kawasan Hutan. Fungsi. Perubahan. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P. 34/Menhut -II/2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki tanah air yang kaya dengan sumber daya alam dan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki tanah air yang kaya dengan sumber daya alam dan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia memiliki tanah air yang kaya dengan sumber daya alam dan ekosistemnya. Potensi sumber daya alam tersebut semestinya dikembangkan dan dimanfaatkan sebesar-besarnya

Lebih terperinci

Strategi rehabilitasi hutan terdegradasi

Strategi rehabilitasi hutan terdegradasi Strategi rehabilitasi hutan terdegradasi Kajian sistem pengelolaan dan rehabilitasi IUPHHK restorasi ekosistem Kajian Sistem Pengelolaan dan Rehabilitasi IUPHHK Restorasi Ekosistem Strategi Rehabilitasi

Lebih terperinci

Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Banyuasin

Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Banyuasin 2.1 Tujuan Penataan Ruang Tujuan penataan ruang wilayah kabupaten merupakan arahan perwujudan ruang wilayah kabupaten yang ingin dicapai pada masa yang akan datang (20 tahun). Dengan mempertimbangkan visi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. margasatwa, kawasan pelestarian alam seperti taman nasional, taman wisata alam,

I. PENDAHULUAN. margasatwa, kawasan pelestarian alam seperti taman nasional, taman wisata alam, 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kawasan konservasi terdiri dari kawasan suaka alam termasuk cagar alam dan suaka margasatwa, kawasan pelestarian alam seperti taman nasional, taman wisata alam, dan taman

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. hutan harus dilakukan dengan tetap memelihara kelestarian, keharmonisan, dan

BAB I. PENDAHULUAN. hutan harus dilakukan dengan tetap memelihara kelestarian, keharmonisan, dan BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan sebagai karunia Tuhan memang diperuntukkan bagi manusia sehingga harus dimanfaatkan atau diambil manfaatnya. Di sisi lain dalam mengambil manfaat hutan harus

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan Tahura Wan Abdul Rachman di Propinsi Lampung adalah salah satu kawasan yang amat vital sebagai penyangga kehidupan ekonomi, sosial dan ekologis bagi masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dalam bentuk negara

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dalam bentuk negara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dalam bentuk negara kepulauan yang memiliki sekitar 17.508 pulau dan panjang garis pantai lebih dari 81.000

Lebih terperinci

PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER

PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Undang-undang No.41 Tahun 1999 hutan memiliki fungsi

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Undang-undang No.41 Tahun 1999 hutan memiliki fungsi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurut Undang-undang No.41 Tahun 1999 hutan memiliki fungsi konservasi, fungsi lindung dan fungsi produksi. Hutan dengan fungsi lindung yaitu hutan sebagai satu kesatuan

Lebih terperinci

Studi Kelayakan Pengembangan Wisata Kolong Eks Tambang Kabupaten Belitung TA LATAR BELAKANG

Studi Kelayakan Pengembangan Wisata Kolong Eks Tambang Kabupaten Belitung TA LATAR BELAKANG 1.1 LATAR BELAKANG Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel) merupakan salah satu daerah penghasil sumber daya alam khususnya tambang. Kegiatan penambangan hampir seluruhnya meninggalkan lahan-lahan terbuka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penegakan hukum yang lemah, dan in-efisiensi pelaksanaan peraturan pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. penegakan hukum yang lemah, dan in-efisiensi pelaksanaan peraturan pemerintah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumber daya hutan di Indonesia saat ini dalam kondisi rusak. Penyebabnya adalah karena over eksploitasi untuk memenuhi kebutuhan industri kehutanan, konversi lahan

Lebih terperinci

PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA. Bab II

PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA. Bab II Bab II PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Daerah, setiap satuan kerja perangkat Daerah, SKPD harus menyusun Rencana

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan adanya kecenderungan menipis (data FAO, 2000) terutama produksi perikanan tangkap dunia diperkirakan hanya

Lebih terperinci

KAJIAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KAWASAN LINDUNG MENJADI KAWASAN BUDIDAYA

KAJIAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KAWASAN LINDUNG MENJADI KAWASAN BUDIDAYA KAJIAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KAWASAN LINDUNG MENJADI KAWASAN BUDIDAYA (Studi Kasus: Kawasan sekitar Danau Laut Tawar, Aceh Tengah) TUGAS AKHIR Oleh: AGUS SALIM L2D

Lebih terperinci

sebagai Kawasan Ekosistem Esensial)

sebagai Kawasan Ekosistem Esensial) UU No 5 tahun 1990 (KSDAE) termasuk konsep revisi UU No 41 tahun 1999 (Kehutanan) UU 32 tahun 2009 (LH) UU 23 tahun 2014 (Otonomi Daerah) PP No 28 tahun 2011 (KSA KPA) PP No. 18 tahun 2016 (Perangkat Daerah)

Lebih terperinci