KAJIAN EKOPNOMI DAN EKOLOGI PEMANFAATAN EKOSISTEM MANGROVE PESISIR TONGKE-TONGKE KABUPATEN SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN RUSDIANAH

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KAJIAN EKOPNOMI DAN EKOLOGI PEMANFAATAN EKOSISTEM MANGROVE PESISIR TONGKE-TONGKE KABUPATEN SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN RUSDIANAH"

Transkripsi

1 KAJIAN EKOPNOMI DAN EKOLOGI PEMANFAATAN EKOSISTEM MANGROVE PESISIR TONGKE-TONGKE KABUPATEN SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN RUSDIANAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006

2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kajian Ekonomi dan Ekologi Pemanfaatan Ekosistem Mangrove di Pesisir Tongke-Tongke Kabupaten Sinjai Provinsi Sulawesi Selatan adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Februari 2006

3 ABSTRACT The ecosystem of mangrove forest at the coastal area of Tongke-Tongke, Sinjai Regency, South Sulawesi Provence, which is the result of the community s self effort, is feared to face degradation as a result of the demand of local community for livehold, there for this research was intended to a) determine the economic value of the mangrove ecosystem at Tongke-tongke, b) analyze the suitability of the mangrove area particularly for fish pond, and c) determine the socio-economic condition of the local community. Te area suitability for fish pond was determined on the basis of the water quality, soil quality and areasupporting resources by analysis of Geografic Information System (GIS) and factorial discriminant analysis. The data of socio-economy was obtained by interviews of quistionnaires with 84 respondents. To examine the effect of socioeconomic factors, a multivariate analysis of the principal component (PCA) and linear multiple regression analysis were employed. The result of the research showed that the area was highly suitable for fish and shrimp ponds, and scenario 1 (natural condition of mangrove) was the most profitable alternative management. Result of economic benefit analysis on mangrove determine that the highest proportion for total economic value of mangrove ecosystem was indirect benefit with value Rp ,00/year or 96,67 %, furthermore the existence benefit was Rp ,00/year or 2,21 % and the indirect benefit was Rp ,00/year or 1,02 %, while choice benefit value was Rp ,00 /year or only 0,10 % from total benefit value. Individuals with a big number of family numbers tended to have a big number of workers, high income and expenses, too. The family income is affected by the number of family number, independent ratio, and type of jobs; where expense is influenced by the umber of family member and independent ratio. Key words : mangrove, community, Tonge-tongke, self effort, land suitability, community s socio-economic

4 Hak cipta milik Rusdianah, tahun 2006 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin dari Institut Pertanian Bogor, Sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, foto copy, micro film, dan sebagainya

5 KAJIAN EKONOMI DAN EKOLOGI PEMANFAATAN EKOSISTEM MANGROVE DI PESISIR TONGKE-TONGKE KABUPATEN SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN RUSDIANAH Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Departemen Sumberdaya Pesisir dan Laut SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

6 PRAKATA Puji syukur dan terima kasih kepada Allah SWT karena dengan rahmat dan karunianya semata sehingga penulisan tesis ini dapat diselesaikan dengan baik, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains (MSi) pada Sekolah Pascasarjana, Departemen Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut, Institut Pertanian Bogor (IPB). Penelitian menyangkut Kajian Ekonomi dan Ekologi Pemanfaatan Ekosistem Mangrove di Pesisir Tongke-Tongke Kabupaten Sinjai Provinsi Sulawesi Selatan merupakan ide penulis untuk dapat memberikan masukan bagi para pengambil keputusan dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan di Sulawesi Selatan khususnya di Kabupaten Sinjai. Akhirnya penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, walaupun demikian semoga tesis ini dapat dijadikan bahan informasi dan masukan bagi pihak yang membutuhkan dan menjadi awal penulisan yang lebih baik dan lebih sempurna. Lebih jauh agar sumberdaya hutan mangrove di Desa Tongke-Tongke Kabupaten Sinjai Provinsi Sulawesi Selatan dikelola dengan baik, arif dan bijaksana serta dijaga kelestariannya sehingga dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan. Bogor, Februari 2006 Rusdianah

7 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kampung Baru, Kabupaten Pinrang Provinsi Sulawesi Selatan pada tanggal 27 Nopember 1976, merupakan anak pertama dari 3 bersaudara pasangan Bapak H. Abd. Aziz. A. Pasangkai dan Ibu Hj. A. Dala. A. Cangka. Riwayat pendidikan mulai dari pendidikan tingkat Sekolah Dasar (SD) tamat tahun 1989 dari SD Negeri 40 Wakka Kabupaten Pinrang, tamat SMP Negeri 1 Pinrang tahun 1992, dan tamat SMA Negeri 1 Pinrang tahun Penulis memperoleh gelar Sarjana Pertanian tahun 2000 dari Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin di Makassar. Pada tahun 2001 mengikuti pendidikan pada Sekolah Pascasarjana Departemen Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut (SPL), Institut Pertanian Bogor.

8 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... v DAFTAR GAMBAR... vi DAFTAR LAMPIRAN... vii 1 PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang... 1 Perumusan Masalah... 2 Tujuan Penelitian TINJAUAN PUSTAKA... 5 Wilayah Pesisir... 5 Hutan mangrove... 9 Ekosistem Tambak Aplikasi SIG untuk Kesesuaian Tambak Parameter Kesesuaian Lahan Valuasi Ekonomi Sumberdaya Wilayah Pesisir METODOLOGI Lokasi Penelitian Jenis dan Sumber Data Penentuan Responden Variabel dan Cara Pengukurannya Analisis Data Analisis Karakteristik Sosial Ekonomi GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Letak Geografis dan Administrasi Topografi, Iklim dan Tanah Sumberdaya Alam Sumberdaya Manusia Sarana Umum Sarana Pendidikan Sarana Pemerintahan Sumberdaya Sosial Sumberdaya Ekonomi Barang dan Jasa Sejarah Hutan Mangrove Tongke-Tongke HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Ekologi Sumberdaya Wilayah Pesisir Analisis Ekonomi Analisis Karakteristik Sosial Ekonomi... 68

9 Peraturan, Kebijakan dan Kelembagaan Bahasan Komprehensif KESIMPULAN DAN SARAN DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

10 DAFTAR TABEL Halaman 1 Ikhtisar Dampak Kegiatan Manusia Pada Ekosistem Mangrove Kesesuaian Lahan untuk Lokasi Pertambakan Berdasarkan Kandungan Unsur Hara dan Fisika Tanah Tolak Ukur dan Daya Dukung Pantai untuk Pertambakan Parameter Kualitas Air dan Tanah Jenis Data Fisik Data Ekonomi Matrik Kesesuaian Lahan Untuk Tambak Matriks Data Model Analisis Faktorial Diskriminan Kesesuaian Lahan untuk Lokasi Pertambakan Berdasarkan Kandungan Unsur Hara dan Fisika Tanah Tolak Ukur dan Daya Dukung Lahan Pantai untuk Pertambakan Matrik Analisis Karakteristik Sosial Ekonomi Luas Penanaman Mangrove Tiap Tahun di Kabupaten Sinjai Manfaat Langsung Ekosistem Mangrove Manfaat Tidak Langsung Ekosistem Mangrove Jenis dan Manfaat Ekosistem Mangrove di Tongke-Tongke Nilai Ekonomi Total Ekosistem Hutan Mangrove di Kawasan Pesisir Tongke-Tongke Berdasarkan Masing-Masing Manfaat Hasil Analisis Skenario 1 sampai dengan Skenario

11 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Komponen Sistem Informasi Geografis Peta Lokasi Penelitian Diagram Alir Kerangka Pendekatan Studi Peta Kesesuaian Lahan Tambak di Tongke-Tongke Hasil Analisis Tekstur Tanah di daerah Tongke-Tongke Grafik Hubungan antara % Variance dengan Komponen Korelasi Variabel Pada Sumbu Utama (F1) dan Kedua (F2) Distribusi Individu Pada Sumbu Utama (F1) dan Kedua (F2) Korelasi Variabel Pada Sumbu Utama Pertama (F1) dan Ketiga (F3) Distribusi Individu Pada Sumbu Utama Pertama (F1) dan Ketiga (F3). 73

12 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Peta Penggunaan Lahan di Tongke-Tongke Peta Sebaran Mangrove di Tongke-Tongke Peta Sebaran Tambak di Tongke-Tongke Kesesuaian Lahan Tambak di Tongke-Tongke Probabilitas Analsisis Diskriminan Air Nilai Mean (Nilai Tengah) Analsisis Air Probabilitas Analisis Diskriminan Tanah Nilai Mean (Nilai Tengah) Analisis Tanah Hubungan BO dengan Kesuburan Tanah Hubungan Antara Kandugan Nitrogen dengan Kesuburan Tanah Nilai Manfaat Langsung Rekapitulasi Usaha Budidaya Tambak Rekapitulasi Budidaya Rumput Laut Rekapitulasi Usaha Penangkapan Kepiting Rekapitulasi Usaha Penangkapan Kelelawar Rekapitulasi Usaha Pengumpul Kayu Bakar Nilai Manfaat Tidak Langsung Nilai Manfaat Pilihan Nilai Manfaat Keberadaan Hasil Analisis Skenario Hasil Analisis Skenario Hasil Analisis Skenario Hasil Analisis Skenario Diagonalisasi dan Komponen Utama Faktor Variabel Korelasi (Factor Loadings) Matriks Korelasi Nilai Kontribusi Variabel Nilai Kontribusi Individu Hasil Analisis Regresi Linier Berganda

13 PENDAHULUAN Latar Belakang Wilayah pesisir beserta sumberdaya alamnya memiliki arti penting bagi pembangunan ekonomi bangsa Indonesia yang dapat dilihat dari dua aspek: Pertama, secara sosial ekonomi karena; (a) sekitar 60% penduduk Indonesia hidup di wilayah pesisir; (b) sebagian besar kota (kota provinsi dan kabupaten) terletak di kawasan pesisir; (c) kontribusi sektor kelautan terhadap PDB nasional sekitar 20,06% pada tahun 1998; dan (d) industri kelautan (coastal industries) menyerap lebih dari 16 juta tenaga kerja secara langsung (Kusumastanto, 2000). Kedua, secara biofisik, karena; (a) Indonesia memiliki garis pantai terpanjang di dunia setelah Kanada (sekitar km); (b) sekitar 75% dari wilayahnya merupakan wilayah perairan (sekitar 5.8 juta km 2 termasuk ZEEI); (c) Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan jumlah pulau sekitar pulau; dan (d) memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi (Dahuri et al., 1996). Hutan mangrove sebagai salah satu sumberdaya yang terdapat di daerah pasang surut di wilayah pesisir dengan luas kurang lebih 8,6 juta hektar yang menyebar di wilayah Indonesia mempunyai nilai ekonomis dan ekologis tinggi yang sangat menentukan dan menunjang tingkat perkembangan sosial dan perekonomian masyarakat pesisir. Secara ekologis hutan mangrove mempunyai peranan yang sangat penting bagi perlindungan wilayah pesisir, pantai dan pulau-pulau kecil dari ancaman abrasi pantai, pencegah instrusi air laut, peredam gelombang dan angin badai, penyangga terjadinya sedimentasi, penjamin rantai makanan kehidupan biota laut, penghasil sejumlah besar detritus terutama berasal dari daun dan dahan pohon mangrove yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan makanan bagi para pemakan detritus dan sebagian lagi diuraikan secara bakterial menjadi mineral-mineral hara yang berperan dalam penyuburan tanah.

14 Berbagai produksi dari hutan mangrove memberikan nilai ekonomi seperti kayu, arang, sumber pangan, bahan kosmetika, bahan pewarna dan penyamak kulit, ikan, lebah, dll. Selanjutnya, hutan mangrove sebagai habitat fauna dan tempat pemijahan berbagai jenis ikan dan udang, diharapkan dapat mendukung bertambahnya produksi perikanan lepas pantai dan budidaya tambak. Ekosistem mangrove yang merupakan ekosistem unik wilayah pesisir dengan tingkat kesuburan, keanekaragaman biota dan nilai estetika yang tinggi, juga rentan terhadap kerusakan apabila kurang bijaksana dalam pengelolaannya. Dengan demikian setiap konservasi atau eksploitasi yang dilakukan akan berdampak terhadap ekosistem mangrove yang membawa resiko kepada lingkungan maupun sosial masyarakat setempat. Oleh karena itu kajian pengelolaan mangrove sangat penting dalam perencanaan dan pengembangan suatu kawasan pesisir yang berkelanjutan. Perumusan Masalah Ditengah semakin parahnya kerusakan lingkungan pesisir pantai terutama hutan mangrove di tanah air khususnya Sulawesi Selatan akibat ulah manusia, masyarakat Tongke-Tongke Kelurahan Samataring Kecamatan Sinjai Timur Kabupaten Sinjai, Provinsi Sulawesi Selatan, sejak tahun 1984, melaksanakan upaya-upaya penyelamatan lingkungan hidup pantai dengan penanaman mangrove secara swadaya. Hingga tahun 1999 hutan mangrove secara swadaya masyarakat Tongke-Tongke telah mencapai luas areal 786 Ha. Atas kesuksesan tersebut, Presiden RI menyerahkan penghargaan Kalpataru kepada kelompok Tani Pelestari Lingkungan ACI Tongke-Tongke pada tahun Namun berkembangnya kawasan pesisir Tongke-Tongke yang diiringi dengan pertumbuhan jumlah penduduk dewasa ini, maka berbagai kegiatan yang bertujuan mengembangkan potensi ekonomi juga semakin pesat, sehingga ekosistem hutan mangrove di wilayah ini dikhawatirkan mengalami tekanan untuk memenuhi kehidupan masyarakat setempat dimana luasan mangrove pada saat ini hanya 34,78 Ha. Aspek sosial ekonomi merupakan faktor pendorong dan penyebab berbagai konflik kepentingan antara kegiatan produksi dengan upaya

15 konservasi lingkungan, yang lebih mengutamakan pencapaian keuntungan semaksimal mungkin dalam jangka pendek dan pada akhirnya akan menyebabkan pengaruh terhadap kerusakan ekosistem di wilayah pesisir khususnya ekosistem mangrove di kawasan tersebut. Hal ini mengingat kepemilikan mangrove di wilayah Tongke-Tongke ini ditentukan berdasarkan siapa yang menanam dia mendapatkan hak mangrove di atasnya, tentunya termasuk lahan yang ditanami mangrove, termasuk tanah timbul yang merupakan dampak terikatnya lumpur oleh mangrove. Pola pembatasan kepemilikan jelas sekali ditentukan oleh masyarakat dengan menggunakan jarak antara pemilik satu dengan pemilik lainnya. Kepemilikan mangrove ini bisa diperjualbelikan, sehingga saat ini kepemilikan mangrovepun tidak merata karena orang kaya bisa membeli dan mendominasinya. Masalah yang timbul dari keberadaan mangrove dan kepemilikan adalah adanya ketidakpuasan para pemilik mangrove, karena walaupun mereka yang menanam namun tidak boleh memanfaatkan lahan di atasnya, kecuali mendapatkan ijin dari Kecamatan dan Dinas Kehutanan berdasarkan Perda No.8 Tahun 1999 tentang Pelestarian, Pengelolaan dan Pemanfaatan Hutan Mangrove. Padahal sejak awal pemerintah tidak pernah terlibat dalam upaya penanaman mangrove. Berdasarkan uraian di atas dapat dirumuskan masalah penelitian, yaitu akibat terjadinya tekanan aktifitas manusia terhadap keberadaan ekosistem mangrove khususnya konversi hutan mangrove menjadi lahan tambak karena adanya hak kepemilikan, maka dikhawatirkan berpengaruh terhadap fungsi ekologi dan ekonomi dari ekosistem mangrove yang ada di Tongke-Tongke. Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan yang ada, penelitian ini bertujuan : 1. Menganalisis kesesuaian lahan mangrove untuk tambak di daerah Tongketongke. 2. Mengetahui nilai manfaat ekonomi ekosistem mangrove. 3. Mengetahui kondisi sosial ekonomi masyarakat setempat.

16 Adapun manfaat dari penelitian ini diharapkan : 1. Memberikan pemahaman tentang pentingnya pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir khususnya hutan mangrove dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir melalui suatu pendekatan ekologi-ekonomi. 2. Sebagai masukan kepada para perencana, pengambil keputusan dan pelaku pembangunan lainnya dalam pemanfaatan dan pengelolaan hutan mangrove yang optimal dan berkelanjutan.

17 TINJAUAN PUSTAKA Wilayah Pesisir Definisi dan Batasan Wilayah Pesisir Definisi wilayah pesisir hingga saat ini belum ada yang baku, namun demikian terdapat kesepakatan umum di dunia wilayah pesisir adalah suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan. Apabila ditinjau dari garis pantai (coast line) maka wilayah pesisir memiliki dua macam batas (boundaries), yaitu batas yang sejajar garis pantai (long shore) dan batas yang tegak lurus dengan garis pantai (cross shore) (Dahuri et al., 1996). Definisi wilayah pesisir yang digunakan di Indonesia adalah daerah peralihan antara daratan dan lautan; batas ke arah darat meliputi kawasan yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut dan intrusi arus laut, sedangkan ke arah laut meliputi perairan laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alamiah di darat seperti aliran air sungai, dan dampak kegiatan manusia di darat seperti sedimentasi dan pencemaran (Dahuri et al., 1996). Sorensen dan McCreary (1990), mengemukakan bahwa terdapat beberapa alternatif pilihan yang dapat dijadikan acuan bagi negara-negara di dunia dalam menentukan batasan wilayah yang tegak lurus garis pantai. Pada saat ekstrim (tipe-1) menetapkan bahwa suatu wilayah pesisir merupakan wilayah peralihan antara daratan dan lautan yang sangat luas, ke arah laut mencakup batas terluar dari zona ekonomi ekslusif suatu negara, yaitu 200 mil laut (320 km) dari batas paling darat paparan benua (continental shelf), dan ke arah darat meliputi hulu dari suatu DAS (Daerah Aliran Sungai) atau pengaruh iklim lautan seperti angin laut. Pada ekstrim lainnya (tipe-7) menetapkan, bahwa suatu wilayah pesisir hanya merupakan wilayah peralihan antara daratan dan lautan yang sempit, ke arah laut meliputi batas terluar dari laut teritorial (12 mil laut dari garis pantai pada saat surut terendah), dan ke arah darat mencakup batas paling hulu dari geomorfologi lahan pantai; seperti hutan mangrove. Secara ekologis, batas ke arah laut dari wilayah pesisir adalah mencakup daerah perairan laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alamiah (seperti

18 aliran air tawar dari sungai maupun run-off) maupun kegiatan manusia (seperti pencemaran dan sedimentasi) yang terjadi di daratan. Sementara itu, batas ke arah darat adalah mencakup daerah daratan yang masih dipengaruhi oleh proses-proses kelautan, seperti jangkauan pengaruh pasang surut, salinitas air laut, dan angin laut. Untuk kepentingan pengelolaan, batas ke arah darat dari suatu wilayah pesisir dapat ditetapkan dalam dua macam, yaitu wilayah perencanaan (planning zone) dan batas untuk wilayah pengaturan (regulation zone) atau pengelolaan keseharian (day to day management). Batas wilayah perencanaan sebaiknya meliputi seluruh daerah daratan dimana terdapat kegiatan manusia (pembangunan) yang dapat menimbulkan dampak secara nyata terhadap lingkungan dan sumberdaya di wilayah pesisir dan lautan, sehingga batas wilayah perencanaan lebih luas dari wilayah pengaturan. Dalam wilayah day to day management, pemerintah atau pihak pengelola memiliki kewenangan penuh untuk mengeluarkan atau menolak izin kegiatan pembangunan. Sementara itu, bila kewenangan semacam ini berada di luar batas wilayah pengaturan (regulation zone), maka akan menjadi tanggung jawab bersama antara instansi pengelola wilayah pesisir dalam regulation zone dengan instansi/lembaga yang mengelola daerah hulu atau laut lepas (Dahuri et al., 1996). Pengelolaan Wilayah Pesisir Keunikan wilayah pesisir dan beragamnya sumberdaya yang ada, mengisyaratkan pentingnya pengelolaan wilayah tersebut untuk dikelola secara terpadu. Konsep pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu merupakan salah satu syarat untuk mencapai pembangunan yang optimal dan berkelanjutan. Dimana pembangunan berkelanjutan adalah suatu strategi pemanfaatan ekosistem alamiah sedemikian rupa, sehingga kapasitas fungsionalnya untuk memberikan manfaat bagi kehidupan umat manusia tidak rusak. Selanjutnya dikatakan bahwa secara garis besar konsep pembangunan berkelanjutan memiliki empat dimensi, yaitu: (1) ekologis, (2) sosial-ekonomi-budaya, (3) sosial politik, dan (4) hukum dan kelembagaan (Bengen, 2000a).

19 Clark (1996), menyatakan bahwa perencanaan dan pengelolaan wilayah pesisir terpadu adalah pengkajian sistematis tentang sumberdaya pesisir dan laut dan potensinya, alternatif-alternatif pemanfaatannya serta kondisi ekonomi dan sosial untuk memilih dan mengadopsi cara-cara pemanfaatan pesisir yang paling baik untuk memenuhi kebutuhan masyarakat sekaligus mangamankan sumberdaya tersebut untuk masa depan Sedangkan Dahuri et al. (1996), mendefinisikan konsep pengelolaan wilayah terpadu adalah suatu pendekatan pengelolaan wilayah pesisir yang melibatkan dua atau lebih ekosistem, sumberdaya, dan kegiatan pemanfaatan secara terpadu guna mencapai pembangunan wilayah pesisir secara berkelanjutan, dimana keterpaduan dalam konsep ini mengandung tiga dimensi, yaitu sektoral, bidang ilmu dan keterkaitan ekologis. Keterpaduan secara sektoral berarti bahwa perlu ada koordinasi tugas, wewenang dan tanggung jawab antar sektor atau instansi pemerintah pada tingkat pemerintah tertentu (horizontal integration); dan antar tingkat pemerintah mulai dari tingkat desa, kecamatan, kabupaten, provinsi, sampai tingkat pusat (vertical integration). Keterpaduan sudut pandang keilmuan mensyaratkan bahwa di dalam pengelolaan wilayah pesisir hendaknya dilaksanakan atas dasar pendekatan interdisiplin ilmu (interdisciplinary approaches), yang melibatkan bidang ilmu: ekonomi, ekologi, teknik, sosiologi, hukum, dan lainnya yang relevan. Ini wajar karena wilayah pesisir pada dasarnya terdiri dari sistem sosial dan sistem alam yang terjalin secara kompleks dan dinamis. Bengen (2000a), mengemukakan alasan pentingnya pengelolaan wilayah pesisir : (1) secara empiris terdapat keterkaitan ekologis (hubungan fungsional) baik antar ekosistem di dalam kawasan pesisir maupun antara kawasan pesisir dengan lahan atas atau laut lepas, (2) dalam suatu kawasan pesisir, biasanya terdapat lebih dari dua macam sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang dapat dikembangkan untuk kepentingan pembangunan, (3) dalam suatu kawasan pesisir, pada umumnya terdapat lebih dari satu kelompok masyarakat (orang) yang memiliki keahlian dan preferensi bekerja yang berbeda, (4) secara ekologis dan ekonomis pemanfaatan tunggal kawasan umumnya sangat rentan terhadap

20 perubahan internal maupun eksternal yang menjurus pada kegagalan usaha, dan (5) kawasan pesisir pada umumnya merupakan milik bersama (common property resources) yang dapat dimanfaatkan semua orang (open access). Dampak Pemanfaatan Sumberdaya Wilayah Pesisir Sorensen et al. (1990), mengemukakan bahwa dalam setiap pemanfaatan sumberdaya di wilayah pesisir dan lautan dapat saling mempengaruhi dan menimbulkan dua jenis dampak terhadap lingkungan yaitu dampak positif dan dampak negatif. Dampak negatif yang terjadi akibat pemanfaatan sumberdaya pesisir adalah sebagai berikut : (1) kerusakan dan degradasi sumberdaya yang ada di wilayah pesisir. Pemanfaatan sumberdaya alam akan mengakibatkan kerusakan. Tingkat kerusakan bergantung pada upaya yang dilakukan untuk memulihkan atau menanggulangi dan mengendalikan kerusakan; (2) pencemaran tanah, air dan udara. Penambangan, pengangkutan dan pengelolaan sumberdaya di wilayah pesisir dapat mencemari tanah, air dan udara. Pencemaran tersebut akan mengganggu kelangsungan hidup makhluk hidup termasuk manusia di kawasan tersebut; (3) konflik sosial. Dapat terjadi karena kepentingan manusia terganggu. Kegiatan pertambangan misalnya cukup mengganggu kepentingan manusia, bukan saja akibat pencemaran dan bising yang dirasakan masyarakat tetapi juga kerusakan jalan atau mungkin desa menjadi terisolir. Sebaliknya kualitas lingkungan juga menentukan kelangsungan suatu kegiatan, artinya lingkungan yang rusak dapat menyebabkan suatu usaha tidak dapat beroperasi, misalnya pemanfaatan sumberdaya alam hutan mangrove untuk usaha tambak. Pembangunan tambak hendaknya tidak membabat habis hutan mangrove, tetapi mempertahankan sebagian hutan mangrove sebagai jalur atau sabuk hijau (greenbelt). Dalam hubungannya dengan tambak, sabuk hijau antara lain berfungsi untuk mencegah terjadinya abrasi daratan pantai oleh gelombang air laut. Dengan dipertahankannya hutan mangrove, maka tambak akan aman dari abrasi gelombang laut.

21 Hutan Mangrove Deskripsi Ekosistem Hutan Mangrove Hutan mangrove merupakan suatu formasi hutan yang berperan sebagai penyambung (interface) antara ekosistem daratan dengan ekosistem lautan karena peranannya inilah hutan mangrove dikategorikan sebagai ekosistem yang unik (Hadi et al., 2001). Mangrove adalah suatu ekosistem di wilayah pesisir yang mempunyai produktivitas tinggi (Murachman et al., 2000). Merupakan ekosistem pantai yang selalu atau secara teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut tetapi tidak terpengaruh oleh iklim. Menurut Nybakken (1992), hutan mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin, tumbuh pada substrat tanah berlumpur/berpasir dan variasinya, serta salinitas yang bervariasi. Selanjutnya Bengen (2001a), menyatakan hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa spesis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur. Komunitas vegetasi ini umumnya tumbuh pada daerah intertidal dan supratidal yang cukup mendapat aliran air, dan terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat, sehingga banyak ditemukan pantai-pantai teluk yang dangkal, estuaria, delta, dan daerah pantai yang terlindung. Hutan mangrove merupakan sumberdaya alam daerah tropika yang mempunyai manfaat ganda baik aspek ekologi maupun sosial ekonomi. Besarnya peranan hutan mangrove atau ekosistem mangrove bagi kehidupan dapat diketahui dari banyaknya jenis hewan, baik yang hidup di perairan, di atas lahan maupun di tajuk-tajuk pohon mangrove serta ketergantungan manusia terhadap hutan mangrove tersebut (Sugiarto dan Ekariyanto, 1996).

22 Karakteristik Hutan Mangrove a. Zonasi Hutan Mangrove Jenis-jenis pohon mangrove cenderung tumbuh dalam zona-zona atau jalurjalur. Berdasarkan hal tersebut, hutan mangrove dapat dibagi kedalam beberapa mintakat (Zona), yaitu Sonneratia, avicennia (yang menjorok ke laut), Rhizophora, Bruguiera, Ceriops dan asosiasi Nypa. Pembagian zona tersebut mulai dari yang paling kuat mengalami pengaruh angin dan ombak, yakni zone terdepan yang digenangi air berkadar garam tinggi dan ditumbuhi pohon pioner (misalnya Sonneratia, Sp.) dan di tanah lebih padat tumbuh Avicennia. Makin dekat ke darat makin tinggi letak tanah dan dengan melalui beberapa zone peralihan akhirnya sampailah pada bentuk klimaks. Pada endapan seperti lumpur yang kokoh, lebih umum terdapat Avicennia marina, sedang pada lumpur yang lebih lunak diduduki Avicennia alba. Dibelakang zone-zone ini Bruguiera cylindrica tercampur dengan Rhizophora apiculata, R.. mucronata, B. Parviflora, dan Xylocarpus granatum (yang puncak tajuknya dapat mencapai meter). Hutan mangrove yang paling jauh dari laut sering merupakan tegakan murni. Zonasi tersebut berbeda dari suatu tempat ke tempat lainnya tergantung dari keadaan tempatnya (Hadi et al., 2001). b. Habitat Sebagai daerah peralihan antara laut dan darat ekosistem mangrove mempunyai gradien sifat lingkungan yang tajam. Pasang surut air laut menyebabkan terjadinya pergoyangan beberapa faktor lingkungan yang besar, terutama suhu dan salinitas. Karena itu hanya jenis-jenis tumbuhan dan binatang yang memiliki toleransi yang besar terhadap perubahan ekstrim faktor-faktor fisik itu dapat bertahan dan berkembang di hutan mangrove. Kenyataaan ini menyebabkan keanekaragaman jenis biota mangrove kecil saja, akan tetapi kepadatan populasi masing-masing jenis umumnya besar (Murachman et al., 2000). Meskipun habitat hutan mangrove bersifat khusus, setiap jenis biota laut di dalamnya mempunyai kisaran ekologi tersendiri dan masing-masing mempunyai

23 relung khusus, hal ini menyebabkan terbentuknya berbagai macam komunitas dan bahkan zonasi, sehingga komposisi jenis berbeda dari satu tempat ke tempat lain. Faktor utama yang mengakibatkan adanya Ecological Preference berbagai jenis adalah kombinasi faktor-faktor tersebut berikut ini : 1. Tipe tanah Keras atau lembek, kandungan pasir dan liat dalam berbagai perbandingan 2. Salinitas Variasi harian dan nilai rata-rata pertahun secara kasar sebanding dengan frekuensi, kedalaman dan jangka waktu genangan. 3. Ketahanan jenis terhadap arus dan ombak 4. Kombinasi perkecambahan dan pertumbuhan semai dalam hubungannya dengan amplitudo ekologi jenis-jenis terhadap tiga faktor di atas (Santoso dalam Hadi et al., 2001). Fungsi Ekologis Hutan mangrove Fungsi ekologis hutan mangrove (Bengen, 2001b) : Sebagai peredam gelombang dan angin badai, pelindung pantai dan abrasi, penahan lumpur dan perangkap sedimen yang diangkut oleh aliran air permukaan. Sebagai penghasil sejumlah detritus, terutama yang berasal dari daun dan dahan pohon mangrove yang rontok. Sebagian dari detritus ini dapat dimanfaatkan sebagai bahan makanan bagi para pemakan detritus, dan sebagian lagi diuraikan secara bakterial menjadi mineral-mineral hara yang berperan dalam penyuburan perairan. Sebagai daerah asuhan (nursery ground), daerah mencari makanan (feeding ground) dan daerah pemijahan (spawning ground) bermacam biota perairan (ikan, udang, kerang-kerangan, dsb) baik yang hidup di perairan pantai maupun lepas pantai.

24 Pemanfaatan Hutan Mangrove a. Arang Jenis tumbuhan mangrove yang baik untuk bahan baku arang adalah dari anggota famili Rhizophoraceae (Rhizophora apiculata, Rhizophora mucronata, Bruguiera gymnorrhiza). Di Asia arang kayu mangrove terkenal dengan kualitasnya yang bagus setelah oak (Jepang) dan arang onshu (Cina). Produksi arang mangrove Indonesia pada tahun 1998 kira-kira ton, sebagian besar di ekspor ke jepang dan Taiwan melalui Malaysia dan Singapura. Harga FOB ekspor arang yaitu : US$ 1.000/10 ton, sedangkan harga pasar lokal cukup bervariasi Rp.350,- sampai Rp. 400,-/kg (Batu Ampar- Kalimantan barat). Jumlah ekspor arang mangrove pada tahun 1993 adalah Kg dengan harga US$ (Rp ,-) (Santoso dalam Hadi et al., 2001) b. Kayu Bakar Jenis tumbuhan yang bagus untuk arang juga sangat baik untuk kayu bakar, karena menghasilkan panas yang tinggi dan awet. Namun demikian jenis lainnya juga dimanfaatkan, seperti ; Api-api (Avicennia spp), pidada/bogem (Sonneratia sp). Harga jual kayu bakar di pasar desa Rp ,-/m 3 (Jawa Timur), di Segara Anakan-Cilacap harganya Rp ,-/m 3 (kayu campuran, 1998). Setiap m 3 kayu bakar mangrove cukup untuk memasak selama 1 bulan kehidupan 1 keluarga (orangtua dan 3 anak). Satu batang kayu bakar mangrove dengan diameter 8 cm dan panjang 50 cm cukup untuk satu kali masak nasi untuk 5 orang angggota keluarga. (Santoso dalam Hadi et al., 2001). c. Bahan Bangunan Jenis bahan bangunan yang sering menggunakan kayu mangrove (Bruguiera gymnorrhiza, Rhizophora apiculata, Rhizophora mucronata) adalah kaso, papan, tiang pancang.

25 Pemukiman penduduk di daerah pesisir sering menggunakan kayu mangrove. Harga kaso Rp ,-/batang berdiameter 4-5 cm dengan panjang 3-4 meter (Santoso dalam Hadi et al., 2001). d. Chip Pada umumnya hutan mangrove yang dialokasikan untuk produksi chip dikelola dalam bentuk konsesi Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Sistem silvikultur yang dipergunakan dalam melakukan pengusahaan hutan mangrove untuk produksi chip adalah SK. Dirjen Kehutanan Nomor 60/Kpts/DJ/I/1978 dengan sistem tebang pilih, rotasi 30 tahun, pohon yang ditebang berdiameter > 10 cm, ditinggalkan jumlah pohon induk 40 batang/ha (diameter > 20 cm), melakukan penanaman pada bekas tebangan, mempertahankan green belt atau sempadan pantai/sungai/anak sungai. Pada tahun 1998, jumlah chip yang diproduksi lebih kurang ton yang sebagian besar diekspor ke Korea dan Jepang. Harga chip di pasar internasional lebih kurang US$ 40/ton. Chip mangrove mampu bersaing dengan chip lainnya (Acassia mangium), karena harganya lebih murah (biaya transportasi lewat air lebih murah). Untuk dapat memproduksi chip secara lestari perlu luas hutan mangrove yang cukup luas dengan potensi yang baik (Santoso dalam Hadi et al., 2001). e. Tanin Tanin adalah ekstrak dari kulit kayu tertentu, seperti Rhizophora apiculata, Rhizophora mucronata, Xylocarpus granatum. Konsentrasi ekstrak cair biasa disebut Katch diekspor dalam jumlah besar dan digunakan untuk menyamak produk kulit (sepatu, tas dan lain-lain). Bahan itu sekarang tidak diekspor lagi, karena diganti dengan bahan-bahan kimia. Masyarakat nelayan di Indonesia sering menggunakan kulit kayu mangrove untuk bahan baku pewarna jaring, dengan cara mencelupkan pada cairan hasil rebusan kulit kayu mangrove. Di Okinawa Jepang, tanin mangrove digunakan dalam industri kerajinan lokal sebagai bahan pencelup kain (dikenal dengan pencelup mangrove-zome )

26 dengan harga 2-10 ribu yen ( Rp ,- - Rp ,-) (Santoso dalam Hadi. et al., 2001). f. Nipah Tanaman nypah (Nypa fructicans) adalah jenis tanaman dalam gugusan ekosistem mangrove yang banyak dimanfaatkan masyarakat setempat, yaitu: daunnya untuk atap rumah (tahan sampai 5 tahun), daun yang muda (pucuk/janur) merupakan bahan baku daun rokok, buah yang masih muda dapat dimakan langsung (es buah nipah, manisan buah nipah, atau dimakan langsung), buah yang tua (dipergunakan sebagai bahan baku kue wajit), malainya dapat dimanfaatkan sebagai penghasil nira atau gula nipah. Harga atap daun nipah di Samarinda-Kaltim (Rp. 600,-/keping), Cilacap- Jawa Tengah (Rp. 300,-/keping), di Provinsi Riau (Rp. 200,-/keping). Harga gula nipah (rasanya agak masin) di Cilacap sekitar Rp ,-/Kg (November 1999) (Santoso dalam Hadi et al., 2001). g. Obat-Obatan Beberapa jenis tumbuhan mangrove dapat digunakan sebagai obat tradisional. Air rebusan Rhizophora apiculata dapat digunakan sebagai astringent, Kulit Rhizophora mucronata untuk menghentikan pendarahan, air rebusan Ceriops tagal dapat digunakan sebagai antiseptik untuk luka, air rebusan Xylocarpus granatum dicampur dengan tepung beras sebagai bedak muka anti gatal, dsb. (Santoso dalam Hadi et al., 2001). Dampak Pemanfaatan Hutan mangrove Pemanfaatan mangrove yang tidak memperhatikan kelestariannya akan memberikan dampak yang fatal terhadap lingkungan. Dampak kegiatan akibat pengelolaan mangrove dapat di lihat pada Tabel 1.

27 Tabel 1. Ikhtisar Dampak Kegiatan Manusia pada Ekosistem Mangrove Kegiatan Tebang habis. Pengalihan aliran air tawar, misalnya pada pembangunan irigasi. Konversi menjadi lahan pertanian, perikanan, pemukiman, dan lainlain. Pembuangan sampah cair. Pembuangan sampah padat. Pencemaran minyak tumpahan. Penambangan dan ekstraksi mineral, baik di dalam hutan maupun di daratan sekitar hutan mangrove. Sumber : Bengen ( 2001a) Dampak potensial Berubahnya komposisi tumbuhan mangrove. Tidak berfungsinya daerah mencari makanan dan pengasuhan. Peningkatan salinitas hutan mangrove. Menurunnya tingkat kesuburan hutan. Mengancam regenerasi stok ikan dan udang di perairan lepas pantai yang memerlukan hutan mangrove. Terjadi pencemaran laut oleh bahan pencemar yang sebelumnya diikat oleh substrat hutan mangrove. Pendangkalan perairan pantai. Erosi garis pantai dan intrusi garam. Penurunan kandungan oksigen terlarut, timbul gas H 2 S. Kemungkinan terlapisnya pneumatofora yang mengakibatkan matinya pohon mangrove Kematian pohon mangrove. Kerusakan total ekosistem mangrove, sehingga memusnahkan fungsi ekologis hutan mangrove (daerah mencari makanan, asuhan). Pengendapan sedimen ysng dapat mematikan pohon mangrove

28 Ekosistem Tambak Ekosistem tambak merupakan salah satu ekosistem buatan di wilayah pesisir. Keberadaan areal pertambakan pada umumnya merupakan hasil konversi dari hutan mangrove. Konversi hutan mangrove menjadi lahan tambak dapat dilakukan melalui dua cara yaitu sistem tambak terbuka dan sistem hutan tambak (Nur, 1997). Sistem tambak terbuka adalah suatu sistem pertambakan dimana hutan mangrove seluruhnya ditebang, sehingga areal pertambakan terbuka dari lingkungannya, baik lingkungan laut maupun lingkungan darat. Sistem ini secara teknis praktis dilakukan, tetapi secara ekologi sangat merugikan lingkungannya karena akan mengakibatkan terganggunya mata rantai utama jaringan makanan biota akuatik dan dapat menimbulkan pencemaran. Hutan tambak adalah suatu pola mempertahankan hutan mangrove dalam daerah pertambakan. Bentuk dari hutan tambak dapat berupa sistem tumpang sari/empang parit (silvofishery) atau tambak terbuka di belakang sabuk hijau mangrove. Sistem tambak tumpang sari adalah suatu sistem pertambakan yang mengkombinasikan konservasi hutan mangrove dengan pembukaan lahan tambak (Nur, 1997). Rasyid dalam Nur (1997), mendefinisikan tambak tumpang sari sebagai suatu penanaman yang dipakai dalam rangka merehabilitasi hutan mangrove. Selanjutnya dikatakan tambak tumpang sari memberikan tiga keuntungan, yaitu (1) mengurangi biaya penanaman, (2) meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar hutan mangrove, (3) menjamin kelestarian hutan mangrove. Dari segi ekologis, tambak tumpang sari akan menjamin kesinambungan fungsi hutan mangrove, sehingga terdapat keseimbangan antara ekosistem terestrial dan ekosistem laut. Menurut Sukardjo dalam Nur (1997), keuntungan tambak tumpang sari secara sosial ekonomi adalah (1) menyediakan kesempatan kerja bagi masyarkat, (2) meningkatkan pendapatan masyarakat, (3) peningkatan gizi masyarakat, (4) mempertahankan ekosistem mangrove, (5) bagi pihak pemerintah biaya pemeliharaan dan penanaman relatif kecil.

29 Aplikasi Sistem Informasi Geografis (SIG) untuk Kesesuaian Lahan Tambak Sistem informasi geografis (SIG) adalah suatu sistem informasi yang khusus. Informasi tersebut dijabarkan dari interpretasi data yang mewakili secara simbolis dari unsur-unsur di muka bumi. Representasi muka bumi secara simbolis adalah peta-peta maupun citra yang direkam melalui sensor. Oleh karena itu, SIG dikatakan juga sebagai suatu sistem yamg menyangkut informasi yang mengacu pada lokasi di muka bumi (Rais, 1996) dan menurut Aronoff (1989), SIG merupakan suatu sistem berbasis komputer yang mempunyai empat kemampuan untuk menangani data bereferensi geografis, yaitu: pemasukan data, pengelolaan data (penyimpanan dan pemanggilan), pemanipulasian dan analisis data, serta keluaran (output). Berikut ini penggambaran komponen-komponen yang ada dalam SIG. Sumber data yang diperlukan untuk proses dalam SIG dapat dibagi menjadi tiga kategori yaitu: (1) data lapangan. Data ini diperoleh dari pengukuran di lapangan seperti ph, salinitas dan lain sebagainya; (2) data peta. Data ini merupakan informasi yang telah terekam pada peta kertas atau film, dikonversikan ke dalam bentuk digital, dan bila terekam dalam bentuk peta maka tidak diperlukan lagi data lapangan, kecuali untuk pengecekan kebenarannya; (3) data citra penginderaan jauh. Citra penginderaan jauh yang berupa foto udara atau radar dapat diinterpretasikan terlebih dahulu sebelum dikonversi ke dalam bentuk digital, sedangkan citra yang diperoleh dari satelit yang sudah dalam bentuk digital dapat langsung digunakan setelah dilakukan koreksi (Paryono, 1994). Sistem Informasi Geografi (SIG) Sistem Pengelolaan Basis Data (Data Base Management System) Masukan (Input) Penyimpanan (Storage) Basis Data Spasial Manipulasi Analisis Permodelan (Modelling) Penyajian (Output) Gambar 1. Komponen Sistem Informasi Geografis

30 Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan suatu teknik berbasis komputer yang dapat menampilkan dan mengelola data spasial, data yang mengandung lokasi geografi dari kenampakan-kenampakan bumi, yang disertai dengan informasi tertentu yang menggambarkan keadaan permukaan bumi tersebut, dari fenomena geografis untuk dianalisa guna keperluan pengambilan keputusan. Sajian informasi yang dihasilkan berupa kajian data spasial secara digital, sehingga dapat membantu pengguna jasa melakukan analisis berbagai gejala keruangan secara tepat guna. Menurut Purwadi (1998), SIG dapat diaplikasikan untuk pengaturan tata ruang pengelolaan wilayah pesisir dan lautan, misalnya untuk menduga potensi wilayah pariwisata, potensi wilayah perikanan tangkap, potensi wilayah budidaya tambak dan budidaya laut, dan potensi wilayah pembangunan pelabuhan. Selain itu juga bisa digunakan untuk melihat perubahan penggunaan lahan di wilayah pesisir. Parameter Kesesuaian lahan Kesesuaian lahan pesisir untuk pertambakan secara umum ditentukan oleh kualitas air, kualitas tanah dan daya dukung lahan pantai. Faktor-faktor tersebut selain berpengaruh terhadap produktivitas tambak dan teknologi yang dapat diterapkan di tambak, juga sebagai faktor pembatas. Untuk kualitas air, pemerintah telah menetapkan mutu air untuk kebutuhan budidaya biota laut melalui Keputusan Mentri Kependudukan dan Lingkungan Hidup Nomor : 02/MEN-KLH/1988. Poernomo (1991), secara spesifik menentukan persyaratan kualitas air, kualitas tanah dan daya dukung lahan pantai: Tabel 2. Kesesuaian Lahan untuk Lokasi Pertambakan Berdasarkan Kandungan Unsur Hara dan Fisika Tanah No. Parameter Nilai 1. Tekstur Liat berpasir 2. PH 6,0 7,0 3. Bahan organik 1,67 7,00 (C organik 4 20%) 4. Karbon 3 5 % 5. Nitrogen 0,4 0,7 % (N total > 20 mg/l)

31 Kalsium Magnesium Kalium Natrium Fosfor Pirit 5,0 20,0 me/100 g (>1.200 mg/l) 1,5 8,0 me/100g (>500 mg/l) 0,5 1,0 me/100g (>500 mg/l) 0,7 1,0 me/100g mg/l < 2% Sumber : Poernomo, 1991 Tabel 3. Tolak Ukur dan Daya Dukung Lahan Pantai Untuk Pertambakan Tolak Ukur Daya Dukung Tinggi Sedang Rendah 1. Tipe pantai Terjal, karang berpasir, terbuka 2. Tipe grs pantai Konsistensi tanah stabil Terjal, karang berpasir atau sedikit berlumpur, terbuka Konsistensi tanah stabil Sangat landai, berlumpur tebal, berupa teluk atau laguna Konsistensi tanah sangat stabil 3. Arus perairan Kuat Sedang Lemah 4.Amplitudo pasang surut tanah dm 8 11 dm dan dm < 8 dm dan > 29 dm 5. Elevasi Dapar dicari cukup pada saat rataan pasang tinggi, dan dapat dikeringkan total pada saat rataan surut rendah Dapat dicari cukup pada saat pasang tinggi, dan dapat dikeringkan total pada saat surut rendah Dibawah rataan surut terendah

32 6. Kualitas tanah Tekstur sandy clay, sandy clay loam, tidak bergambut, tidak berpirit 7. Air tawar Dekat sungai dengan mutu dan jumlah air memadai Tekstur sandy clay, sandy clay loam, kandungan pirit rendah Dekat sungai dengan mutu dan jumlah air memadai Tekstur lumpur atau lumpur pasir, bergambut, kandungan pirit tinggi Dekat sungai tetapi tingkat siltasi tinggi atau air bergambut 8. Sabuk hijau Memadai Memadai Tipis tanpa sabuk hijau 9. Curah hujan < mm mm > mm Sumber : Poernomo, Evaluasi Ekonomi Sumberdaya Wilayah Pesisir Analisis manfaat dan biaya (Cost Benefit Analysis-CBA) merupakan salah satu alat (tool) dalam pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir. Menurut Barber dalam Barton (1994), terdapat tiga kategori pendekatan penilaian ekonomi sumberdaya wilayah pesisir, yaitu : (1) Impact analysis, yaitu penilaian kerusakan yang diakibatkan oleh suatu kegiatan pada wilayah pesisir, khususnya berupa dampak lingkungan, (2) Partial valuation, yaitu suatu penilaian alternatif suatu sumberdaya, yang bertujuan untuk mendapatkan pilihan terbaik dalam pemanfaatan sumberdaya wilayah pesisir, dan (3) Total valuation, yaitu penilaian ekonomi secara total dari ekosistem pesisir. Menurut Munasinghe and Lutz dalam Barton (1994) dikatakan ada 4 (empat) kriteria yang digunakan dalam evaluasi kebijakan, yaitu (1) Net Present Value (NPV), (2) Internal Rate of Return

33 (IRR), (3) Benefit Cost (BC). CBA banyak digunakan dalam partial valuation bertujuan untuk memilih alternatif terbaik dalam pemanfaatan sumberdaya wilayah pesisir. Menurut Hufschmidt dalam Fahrudin (1996), terdapat sejumlah pendekatan terhadap analisis dampak pada sistem alami sebagai berikut : a) Evaluasi kualitatif hubungan empiris, analisisnya hanya menggunakan arah dari pengaruh yang diketahui atau hanya tergantung pada asumsi ekologis yang kuat karena kurangnya ketersediaan data. b) Bentuk CBA yang mencakup identifikasi 2 (dua) atau (3) sumberdaya komersil dan interaksi pemanfaatannya, serta mendesain strategi pengelolaan optimal untuk satu atau seluruh pemanfaatannya. c) Bentuk CBA yang mencakup prosedur penilaian utama dari pemanfaatan sumberdaya secara tradisional. Dalam penerapannya akan menjadi agak rumit bila terdapat banyak barang-barang yang tidak diperdagangkan, bila harga lokal barang-barang tersebut tidak sesuai dengan nilainya atau bila terjadi penyesuaian sosial ekonomi yang rumit dalam substitusi antar barang. d) Bentuk CBA yang mencakup analisis yang lebih luas dari barang-barang dan jasa-jasa utama yang tidak dan dapat diperdagangkan dalam wilayah tertentu. Penggunaan CBA dalam bentuk yang paling rumit adalah untuk mengembangkan strategi pembangunan optimal dari seluruh komponen sumberdaya. e) Cakupan yang paling luas adalah menangkap seluruh manfaat dan biaya tanpa peduli dari mana asalnya. Paling sesuai bila kontribusi investasi atau kebijakan mencakup yang berasal dari luar negeri. Dixon dan Hufscmidt dalam Barton (1994), pengukuran manfaat dan biaya dalam analisis ekonomi lingkungan secara sederhana dirumuskan sebagai berikut: NPV = Bd + Be Cd Ce Cp Dimana : NPV = Nilai sekarang bersih Bd = Manfaat langsung Be = Manfaat eksternalitas atau lingkungan

34 Cd = Biaya langsung Ce = Biaya eksternalitas atau lingkungan Cp = Biaya perlindungan lingkungan Dalam pendekatan total valuation dilakukan penilaian ekonomi secara menyeluruh dari sumberdaya pesisir adalah Nilai Ekonomi Total (Total Economic Value TEV), merupakan jumlah dari nilai pemanfaatan (Use value) dan nilai non-pemanfaatan total (Non Use value). Nilai pemanfaatan total adalah jumlah dari total penggunaan langsung dan tak langsung serta imbalan resikonya. Nilai non-pemanfaatan terdiri dari nilai kuasi pilihan (Quasi Option value), nilai waris (Beque Value) dan nilai keberadaan (Existence Value). Bell dan Cruz Trinidad dalam Fauzi (1999), menghitung aspek manfaat dan biaya (benefit and cost) baik secara ekonomi maupun secara ekologis terhadap dua strategi yang dihadapi pemerintah Equador, yakni: (1) konservasi mangrove dan (2) eksploitasi yang lestari. Tujuan yang ingin dicapai dari studi mereka adalah bagaimana memperoleh manfaat bersih (net benefit) yang maksimum (Total Economic Value) dengan kendala ketersediaan lahan, tenaga kerja, ketersediaan benur, dan permintaan terhadap benur, dan permintaan terhadap produk (demand). Selanjutnya dikatakan dalam menganalisis TEV, membagi manfaat dan biaya dari potensi kegunaan mangrove kedalam tiga komponen yakni konservasi, kelestarian eksploitasi dan konversi. Menurut Dahuri dalam Paryono (1999), dalam pelaksanaan penilaian ekonomi suatu wilayah pesisir dan laut untuk habitat pesisir dan laut pada dasarnya terdiri dari 3 (tiga) langkah utama, yaitu (1) identifikasi terhadap fungsi-fungsi dan manfaat dari keragaman hayati, (2) menilai fungsi-fungsi dan manfaat dalam bentuk uang (secara moneter), dan (3) menilai total keuntungan bersih dari seluruh fungsi dan manfaat ekosistem

35 METODOLOGI Lokasi dan Waktu Penelitian Kegiatan penelitian ini dilaksanakan di Tongke-Tongke Kelurahan Samataring Kecamatan Sinjai Timur Kabupaten Sinjai, Provinsi Sulawesi Selatan yang berlangsung dari bulan April sampai dengan bulan Agustus Tongke- Tongke ini merupakan kawasan pesisir yang memiliki sumberdaya hutan mangrove cukup besar dengan berbagai aktivitas pengelolaan di dalamnya. Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian.

36 Jenis dan Sumber Data Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan melalui pengumpulan jawaban yang diberikan oleh responden melalui kuesioner, dan observasi langsung di lapangan. Sedangkan data sekunder dikumpulkan melalui studi berbagai pustaka, baik dari hasil-hasil penelitian terdahulu maupun tulisan-tulisan lainnya yang relevan dengan permasalahan yang diteliti dan melalui laporan instansi terkait. Hal ini sesuai Kusmayadi dan Endar (2000), mendefinisikan data primer adalah data yang dikumpulkan dari sumber pertama melalui wawancara, tes, observasi, dan lainlain, sedangkan data sekunder adalah data yang dikumpulkan dari bahan pustaka atau hasil penelitian orang lain yang berhubungan dengan penelitian tersebut atau membeli dari pihak pengumpul. Biofisik Data biofisik yang dikumpulkan meliputi ; (1) parameter kualitas air dan tanah yang dilakukan pengukuran di lapangan (Tabel 4), (2) kondisi hutan mangrove (Tabel 5), (3) kondisi tambak (Tabel 5), (4) pemanfaatan ekosistem mangrove (Tabel 6). Tabel 4. Parameter Kualitas Air dan Tanah No. Parameter Jenis Data Satuan Alat 1. Air - Suhu - Primer - 0 C - Termometer - Salinitas - Primer - permil - Refractometer - Do - Primer - mg/l - Multites-kit - ph - Primer - - ph Meter - Amonia - Primer - mg/l - Multites-kit - Nitrit - Primer - mg/l - Multites-kit 2. Tanah - Jenis tanah - ph - Sekunder - Primer BRLKT Wil. 9 - Soil Tester

37 Tabel 5. Jenis Data Fisik No. Data Jenis Satuan Sumber Data Luasan mangrove Luas tambak Luas per jenis tambak Jumlah penduduk Mata pencaharian Vol. kayu bakar mangrove Vol. hasil perjenis tambak Vol. hasil perikanan pantai. Peta tata ruang Peta Desa Data penunjang lainnya Sekunder Sekunder Primer Sekunder Sekunder Primer Primer Primer Sekunder Sekunder Sekunder Hektar Hektar Hektar Jiwa Jenis m 3 /ha/tahun kg/tahun kg/tahun BRLKT Wil.9 Diskanlut Responden Monografi desa Monografi desa Responden Responden Responden BRLKT Wil.9 Kantor desa Pustaka Ekonomi Pengumpulan data ekonomi menggunakan metode survei, yaitu metode yang bertujuan untuk mengumpulkan sejumlah variabel biaya dan manfaat melalui wawancara dengan menggunakan kuisioner. Data-data tersebut dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Data Ekonomi No. Data Jenis Satuan Nilai kayu bakar mangrove Nilai keberadaan mangrove Nilai hsl. Per.Empang parit Nilai Hasil Bud. Sistem kurungan Nilai hasil perikanan pantai Nilai input empang parit Nilai input hsl Bud. Sistem Kurungan Data penunjang lainnya Primer Primer Primer Primer Primer Primer Primer Sekunder Rp/m 3 Rp/ha/tahun Rp/ha/tahun Rp/ha/tahun Rp/ha/tahun Rp/ha/tahun Rp/ha/tahun - Sumber data Responden Responden Responden Responden Responden Responden Responden Pustaka

38 Penentuan Responden Penentuan responden dilakukan dengan stratifikasi acak (stratified random sampling) pada alternatif lokasi yang terpilih (Bengen, 2000b). Responden disekat/dilapis ke dalam beberapa kelompok berdasarkan jenis mata pencaharian (petambak, petani, dan nelayan) dan dari setiap lapisan diambil sampel/responden dengan pengambilan contoh acak sederhana. Jumlah responden ditentukan dengan menggunakan Formula Slovin (Bengen, 2002), yaitu : N n = 2 1+ Ne dimana : n = ukuran contoh N = ukuran populasi e = Nilai kritis (batas ketelitian) yang diinginkan (% kelonggaran ketidaktelitian karena kesalahan pengambilan contoh), ditentukan 10% bila jumlah populasi lebih dari 100 jiwa pada satu kelompok mata pencaharian dan 20 % bila jumlah populasi kurang dari 100 jiwa pada satu kelompok mata pencaharian. Variabel dan Cara Pengukurannya Penilaian ekonomi sumberdaya mangrove dilakukan dalam 3 (tiga) tahap, yaitu (1) identifikasi fungsi dan manfaat dari masing-masing ekosistem (ekosistem mangrove, dan tambak), (2) kuantifikasi seluruh fungsi dan manfaat kedalam nilai uang, dan (3) mendesain strategi atau alternatif pengelolaan ekosistem hutan mangrove di wilayah pesisir yang optimal dan berkelanjutan.

39 Identifikasi Fungsi dan Manfaat a. Ekosistem Mangrove Penilaian ekonomi ekosistem hutan mangrove menggunakan pendekatan penilaian parsial (partial valuation), yaitu penjumlahan dari manfaat langsung, manfaat tidak langsung dan manfaat keberadaan hutan mangrove mangadopsi dari nilai ekonomi total (Ruitenbeek, 1991; Barton, 1994) sebagai berikut : 1) Manfaat Langsung (Direct Use Value DUV ) Manfaat langsung adalah manfaat yang langsung dapat diperoleh dari ekosistem mangrove. DUV = ML 1 + ML 2 + ML 3 + ML 4 + ML 5 + +ML n dimana : DUV = Manfaat langsung ML 1 = Manfaat kayu bakar ML 2 = Manfaat budidaya udang dan ikan ML 3 = Manfaat kepiting ML 4 = Manfaat kelelawar ML 5 = Manfaat budidaya rumput laut 2) Manfaat Tidak Langsung (Inderect Use value IUV) Manfaat tidak langsung adalah manfaat yang tidak langsung diperoleh dari ekosistem mangrove, yakni manfaat fisik sebagai penahan intrusi dan manfaat biologis sebagai penjaga kestabilan siklus makanan. IUV = MTL 1 + MTL 2 + +MTL n dimana : IUV = Manfaat tidak langsung MTL 1 = Manfaat tidak langsung penahan abrasi MTL 2 = Manfaat tidak langsung penjaga siklus makanan 3) Manfaat eksistensi (Existensi Value EV) Manfaat eksistensi adalah manfaat yang dirasakan oleh masyrakat atas keberadaan dan terpeliharanya ekosistem mangrove yang terlepas dari manfaat yang diambil daripadanya. Nilai ekonomi keberadaan (fisik) ekosistem mangrove yang dimaksud adalah nilai keinginan membayar (wilingness to pay atau WTP) dari kelompok masyarakat. EV = ( ME ) n i= 1 1 / N

40 dimana : EV = Manfaat eksistensi ME 1 = Manfaat eksistensi responden ke-1 N = Jumlah responden b. Ekosistem Tambak Penilaian ekosistem tambak hanya dilakukan terhadap manfaat langsung, yaitu hasil budidaya tambak. Kuantifikasi Seluruh Manfaat dan Fungsi Kedalam Nilai Uang a. Nilai Pasar Pendekatan nilai pasar digunakan untuk komoditas yang langsung dapat diperdagangkan seperti kayu, ikan, udang, dll. Pendekatan ini digunakan untuk merupiahkan manfaat langsung. Nilai yang dipergunakan dalam analisis finansial adalah nilai nominal yang berlaku pada saat penelitian. b. Harga Tidak Langsung Pendekatan ini digunakan apabila mekanisme pasar gagal memberikan nilai pada komponen sumberdaya, yaitu merupiahkan manfaat dan fungsi tidak langsung. c. Contingent Valuation Method Pendekatan ini digunakan untuk mengetahui keinginan membayar (willingnes to pay atau WTP) dari sekelompok masyarakat terhadap eksistensi dari ekosistem mangrove. Untuk mengetahui nilai manfaat ini akan digunakan survey dengan mengajukan dua model pertanyaan (1) terbuka, responden diberikan kebebasan untuk menentukan nilai rupiah, dan (2) pilihan berganda, responden memilih salah satu nilai rupiah yang telah ditentukan.

41 Analisis Data Data yang diperoleh ditabulasikan dan dikelompokkan berdasarkan jenisnya untuk dijadikan data base, kemudian data tersebut akan dianalisis secara deskriptif dan disajikan dalam bentuk tabel, gambar, grafik serta perhitungan matematik. Ekologi a. Evaluasi Kesesuaian Lahan untuk Tambak Untuk menentukan kesesuaian lahan sebagai kawasan tambak, dapat dilakukan dengan mengintegrasikan beberapa kumpulan data (dataset) yang menjadi parameter penilaian kesesuaian lahan. Proses pemasukan dan pengolahan data ke dalam basis data meliputi beberapa tahap, yaitu: 1. Memasukkan data ke dalam bentuk worksheet. Pada analisis menggunakan Sistem Informasi Geografi (SIG), data tersebut harus memiliki referensi geografi berdasarkan koordinat bumi atau memakai referensi batas administrasi desa. 2. Digitasi peta analog dengan cara digitasi screen to screen. Data/peta yang akan didigitasi terlebih dahulu di scane kemudian dilakukan koreksi geografis. Setelah itu dilakukan proses digitasi yang bertujuan mengubah format data dari yang bersifat analog menjadi digital untuk keperluan analisis selanjutnya. Data yang dihasilkan dari proses ini terdiri dari dua bentuk, yaitu spasial dan attribute. 3. Image Processing, bertujuan untuk mengekstrak informasi yang terkandung dalam hasil rekaman satelit sehingga diperoleh keluaran berupa citra terkoreksi dan terklasifikasi. Adapun tahapannya meliputi proses pemulihan citra (koreksi radiometrik dan geometrik), penajaman dan klasifikasi citra. Indeks data dari sumber lain, merupakan kegiatan penyeragaman berbagai bentuk format data input ke dalam satu format data Arc View 3.2. (format data vektor dan format data shp). Dengan teknik overlay dan parameter yang telah

42 ditetapkan, akan dapat dihasilkan kriteria kesesuaian lahan berdasarkan indeks dan skor tertentu. Kriteria kesesuaian lahan tersebut : 1. Sangat Sesuai (highly suitable), yaitu apabila lahan tidak mempunyai pembatas yang berarti untuk mempertahankan tingkat pengelolaan yang harus diterapkan atau tidak berarti terhadap produksinya. 2. Sesuai (suitable), yaitu apabila lahan mempunyai pembatas yang berpengaruh terhadap wilayah budidaya. Faktor pembatas ini akan meningkatkan masukan dan tingkatan perlakuan yang diperlukan. 3. Tidak Sesuai, jika lahan mempunyai faktor pembatas cukup berat sehingga mencegah kemungkinan penggunaannya. Tabel 7. Matrik Kesesuaian Lahan untuk Tambak No Parameter Bobot Kelas Kesesuaian Lahan Sangat Sesuai Skor Sesuai Skor Tidak Sesuai 1 Jarak dari 10 <2000 m >4000 pantai 4000 m m 2 Jarak dari 5 < 500 m >2000 sungai m m Skor Mangrove 10 < > Tekstur 30 Lempung 10 tanah berpasir 5 Penggunaan Lahan 10 Liat berpasir atau lempung berpasir 5 Rawa, hutan belukar 30 Hutan lainnya 20 Karang ber lumpur 20 Hutan bakau 6 Slope % % 20 >10 % 10 Sumber: Poernomo, b. Analisis Faktorial Diskriminan Untuk mendeterminasi karakteristik kualitas air dan ph tanah antar pola budidaya, jenis tambak dan lokasi penelitian, digunakan suatu pendekatan analisis statistik multivariabel yang didasarkan pada Analisis Faktorial Diskriminan di tiga lokasi dengan tiga titik pengambilan contoh dengan masing-masing tiga kali ulangan.

43 Tujuan dari analisis ini untuk menguji apakah terdapat perbedaan nyata antar grup yang ditentukan oleh sejumlah variabel kuantitatif dan mendeterminasi variabel-variabel yang paling mengkarakteristikkan perbedaan (Bengen, 2000b) dengan model sebagai berikut : Tabel 8. Matriks Data Model Analisis Faktorial Diskriminan Observasi n n n 2 Variabel Grup X 1 X 2 X 3 X 4 X 5 X 11 X 21 X 31 X 41 X 51 1 X 12 X 22 X 32 X 42 X X 1n1 X 2n1 X 3n1 X 4n1 X 5n1 1 X 11 X 21 X 31 X 41 X 51 X 12 X 22 X 32 X 42 X X 1n2 X 2n2 X 3n2 X 4n2 X 5n1 X 11 X 21 X 31 X 41 X 51 X 12 X 22 X 32 X 42 X X 1n2 X 2n2 X 3n2 X 4n2 X 5n Untuk menguji apakah ada perbedaan yang nyata antar grup digunakan uji sebagai berikut: T 2 Hotelling = pseudo F F hitung = [(C 1 p + 1)/p] (T 2 /C 1 ) F tabel = F (p, C 1 p + 1) dimana : C 1 = n 1 + n 2 2 P = Banyaknya variabel (X 1... X n ) = Kualitas air tambak X 1 G 1 G 2 G 3 = Suhu, X 2 = ph, X 3 = Salinitas, X 4 = DO, X 5 = ph Tanah = Tambak kawasan mangrove, pola budidaya dan dusun = Tambak parit, pola budidaya dan dusun = Tambak darat (luar kawasan mangrove), pola budidaya dan dusun n = Jumlah observasi dari masing-masing grup

44 Jika F hitung > F tabel, maka terdapat perbedaan yang nyata karakteristik kualitas air dan ph tanah antar grup. Sedangkan untuk mengetahui kelayakan atau kesesuaian bagi keperluan kegiatan pemanfaatan mangrove, dilakukan dengan analisis komparatif, yaitu membandingkan antara data kualitas air hasil pengamatan dengan baku mutu kualitas air dan kesesuaian lahan berikut : Tabel 9. Kesesuaian Lahan untuk Lokasi Pertambakan Berdasarkan Kandungan Unsur Hara dan Fisika Tanah No. Parameter Nilai Tekstur PH Bahan organik Karbon Nitrogen Kalsium Magnesium Kalium Natrium Fosfor Pirit Liat berpasir 6,0 7,0 1,67 7,00 (C organik 4 20%) 3 5 % 0,4 0,7 % (N total > 20 mg/l) 5,0 20,0 me/100 g (>1.200 mg/l) 1,5 8,0 me/100g (>500 mg/l) 0,5 1,0 me/100g (>500 mg/l) 0,7 1,0 me/100g mg/l < 2% Sumber: Poernomo (1991) Tabel 10. Tolak Ukur dan Daya Dukung Lahan Pantai Untuk Pertambakan Tolak Ukur Daya Dukung Tinggi Sedang Rendah 1. Tipe pantai Terjal, karang berpasir, terbuka 2. Tipe grs pantai Konsistensi tanah stabil Terjal, karang berpasir Sangat landai, atau sedikit berlumpur tebal, berlumpur, terbuka berupa teluk atau laguna Konsistensi tanah Konsistensi tanah stabil sangat stabil 3. Arus perairan Kuat Sedang Lemah 4.Amplitudo pasang dm 8 11 dm dan < 8 dm dan > 29 dm

45 surut tanah dm 5. Elevasi Dapat dicari cukup Dapat dicari cukup Dibawah rataan pada saat rataan pada saat pasang surut terendah pasang tinggi, dan tinggi, dan dapat dapat dikeringkan dikeringkan total pada total pada saat saat surut rendah rataan surut rendah 6. Kualitas tanah Tekstur sandy clay, Tekstur sandy clay, Tekstur lumpur atau sandy clay loam, sandy clay loam, lumpur pasir, tidak bergambut, kandungan pirit bergambut, tidak berpirit rendah kandungan pirit tinggi 7. Air tawar Dekat sungai dengan Dekat sungai dengan Dekat sungai tetapi mutu dan jumlah air mutu dan jumlah air tingkat siltasi tinggi memadai memadai atau air bergambut 8. Sabuk hijau Memadai Memadai Tipis tanpa sabuk hijau 9. Curah hujan < mm mm > mm Sumber: Poernomo (1991). Analisis Ekonomi Penetapan alternatif pemanfaatan dan pengelolaan ekosistem hutan mangrove yang optimal dan berkelanjutan dilakukan dengan menggunakan analisis manfaat dan biaya (Cost benefit Analysis) sebagai berikut : a. Nilai Sekarang bersih (Net Present Value NPV) NPV atau nilai sekarang bersih adalah jumlah nilai sekarang dari manfaat bersih. Kriteria keputusan yang lebih baik adalah nilai NPV yang positif dan meletakkan alternatif yang mempunyai NPV tertinggi pada tingkat pertama. Secara matematik, Net present Value dapat disajikan sbagai berikut : NPV = n t = 0 ( B C ) /(1 + r) t dimana : B t = Manfaat proyek pada tahun ke-t C t = Biaya proyek pada tahun ke-t t t

46 R = Discount rate n = Umur ekonomis proyek b. Benefit Cost ratio (BCR) BCR adalah rasio jumlah nilai sekarang dari manfaat dan biaya. Kriteria alternatif yang layak adalah BCR > 1 (satu) dan meletakkan alternatif yang mempunyai BCR tertinggi pada tingkat pertama. Secara matematik, BCR dapat disajikan sebagai berikut : n t t BCR = { B /(1 + r) }/{ C /( 1 + r) } t = 0 t n t t = 0 dimana : B t = Manfaat proyek pada tahun ke-t C t = Biaya proyek pada tahun ke-t r = Discount rate n = Umur ekonomis proyek Analisis Karakteristik Sosial Ekonomi Analisis Komponen Utama (Principal Components Analysis) Untuk melihat pengaruh dari faktor-faktor keadaan sosial masyarakat (umur, lama pendidikan formal, jumlah anggota keluarga, jumlah tenaga kerja, jenis pekerjaan, pendapatan, pengeluaran, kondisi tempat tinggal, fasilitas tempat tinggal) digunakan analisis statistik multivariabel yang didasarkan pada analisis komponen utama (Principal Components Analysis,PCA) (Bengen, 2000b). Analisis komponen utama (PCA) merupakan metode statistik deskriptif yang bertujuan untuk menampilkan data dalam bentuk grafik dan informasi maksimum yang terdapat dalam suatu matrik data. Matrik data yang dimaksud terdiri dari variabel sebagai kolom dan observasi/dusun sebagai baris. Analisis ini juga digunakan untuk mereduksi suatu gugus variabel yang berukuran besar dan saling berkorelasi. Pada prinsipnya analisis komponen utama menggunakan jarak Euclidean (jumlah kuadrat perbedaan antara individu/baris dengan variabel/kolom yang berkoresponden) pada data. d 2 p ( ) ( ) 2 2 i i' = Xij Xi j, j = 1 Dimana : i dan i = baris j = indeks kolom

47 Semakin kecil jarak Euclidean antara variabel maka semakin mirip karakteristiknya. Demikian pula sebaliknya semakin besar jarak Euclidean antara variabel, maka semakin berbeda karakteristiknya/keterdekatannya. Berdasarkan hasil analisis PCA maka akan diketahui ada tidaknya perbedaan atau kemiripan karakteristik sosial ekonomi masyarakat di lokasi penelitian. Tabel 11. Matrik Analisis Karakteristik Sosial Ekonomi No. Observasi 1 Observasi 1 2 Observasi 2 3 Observasi n.. Variabel X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 X8 X9 Keterangan: X1 = Umur (tahun) X6 = Pendapatan/PDPT(Rp/bulan) X2 = Pendidikan (tahun) X7 = Pengeluaran/PENG(Rp/bulan) X3 = Jumlah Anggota Keluarga/JAK(orang) X8 = Kondisi Tempat Tinggal X4 = Jumlah Tenaga Kerja/JTK(orang) X9 = Fasilitas Tempat Tinggal X5 = Jenis Pekerjaan/JPK(juragan, petani tambak, sawi) Setelah mengetahui variabel sosial ekonomi yang mengkarakteristikkan setiap kelompok, maka selanjutnya dilakukan analisis regresi linier berganda. Analisis Regresi Linear Berganda. Analisis regresi linear berganda dalam penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui besarnya kepentingan faktor-faktor pendorong terhadap indeks kesejahteraan masyarakat Tongke-tongke.

48 Dalam memperhitungkan hubungan antara faktor pendorong terhadap indeks kesejahteraan masyarakat perlu dibuat suatu persamaan regresi mengenai bentuk hubungan, yang dinyatakan dalam fungsi sebagai berikut : Y i = a + b 1 X 1 + b 2 X 2 + b 3 X 3 + b i D + e Keterangan : Y1 = Pendapatan (Rp/bulan) Y2 = Pengeluaran (Rp/bulan) X 1 = Pendidikan (tahun) X 2iiiiiii =i Jumlah anggota keluarga (orang) X 3 = Independen Ratio = Jumlah Anggota Keluarga non Angkatan Kerja Jumlah Anggota Keluarga Angkatan Kerja D = Jenis Pekerjaan, dengan menggunakan peubah dummy D1 = 1 : Petani Tambak D2 = 1 : Sawi D1 = 0, D2 = 0 : Juragan a = Intersep b i = Slope, kecenderungan suatu faktor X i terhadap indeks kesejahteraan Y. e = error term Dalam membuat suatu keputusan ada tidaknya pengaruh suatu faktor terhadap indeks kesejahteraan, maka digunakan beberapa uji statistik yaitu uji t dan uji F. Uji t untuk melihat pengaruh tiap faktor X terhadap Y, sedangkan uji F untuk melihat pengaruh faktor X secara bersama-sama terhadap Y. a. Uji t Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui seberapa jauh masing-masing faktor (X i ) atau faktor dummy (sebagai variabel bebas) mempengaruhi indeks kesejahteraan (Y) (sebagai variabel tidak bebas). Pengujiannya adalah: H o : b i = 0 (faktor X i tidak mempengaruhi Y) H i ; b i 0 (faktor X i mempengaruhi Y)

49 Dalam melihat pengaruh faktor X terhadap Y digunakanlah uji t. Rumus perhitungan uji t adalah : t hitung bi b = SE 0 Keterangan: b i, = Slope faktor X i b 0 = Slope Konstanta SE = Standard Error SE = i= 1 n n i= 1 ( Y i n 2 ( X i Y ) i X ) i Keterangan : Y i = Nilai Y pada saat i Y i = Nilai Y hasil regresi pada saat i X i = Nilai X pada saat i X i = Nilai X hasil regresi pada saat i n = Jumlah contoh (Sumber: Walpole, 1993) Pengambilan Keputusan untuk Uji t Suatu faktor X mempunyai pengaruh terhadap Y, jika nilai t hitung lebih besar t tabel atau nilai probabilitas hitung lebih kecil dari α (α=5%). Pengaruh disini berarti bahwa terjadi penolakan terhadap H0. Sedangkan kebalikannya terjadi jika nilai t hitung lebih kecil t tabel atau nilai probabilitas hitung lebih besar dari α (α=5%), yang menunjukan faktor X tidak mempunyai pengaruh terhadap Y.

50 t hitung > t tabel atau P value < α ; Tolak H0 t hitung < t tabel atau P value > α ; Terima H0 b. Uji F Pengujian ini dilakukan untuik mengetahui faktor-faktor (X i ) secara bersamaan (simultan) terhadap indeks kesejahteraan (Y). Pengujian ini adalah : H o : b 1 = b 2 = b 3 = b 4 = b 5 = 0 (Semua faktor X i tidak mempengaruhi Y) H 1 : b i 0 (Sekurang-kurangnya ada satu X i yang mempengaruhi Y) Rumus Uji F adalah: F = JKK k( n 1) JKG k 1 Keterangan : JKK JKG = Jumlah kuadrat untuk nilai tengah kolom = Jumlah kuadrat galat K = Jumlah faktor yang dianalisis n = Jumlah contoh Pengambilan Keputusan untuk Uji F Suatu faktor X akan mempengaruhi Y secara bersama-sama dapat dilihat dari nilai F hitung. Jika F hitung lebih besar dari F tabel, maka minimal ada satu X yang mempengaruhi Y. Sedangkan jika F hitung lebih kecil dari F tabel, maka dipastikan tidak ada satupun X yang mempengaruhi Y. Jika dijabarkan lebih lanjut; F hitung < F tabel maka Ho diterima, artinya faktor X secara bersama tidak berpengaruh nyata terhadap Y F hitung > F tabel maka Ho ditolak, artinya minimal ada satu faktor X yang berpengaruh nyata terhadap Y c. Asumsi Dalam Metode Regresi Linier Berganda

51 Menurut Steel and Torrie (1993), dalam membuat suatu persamaan regresi linier berganda diperlukan beberapa asumsi mendasar. Asumsi tersebut antara lain: 1. Multikolinieritas Kolinier ganda (Multikolinierity) merupakan hubungan linier yang sama kuat antara peubah-peubah bebas dalam persamaan regresi berganda. Adanya kolinier berganda ini menyebabkan pendugaan koefisien menjadi tidak stabil (Chaterjee, 1977). Pendeteksian terjadinya suatu kolinier ganda, dapat dilihat pada hasil VIF (Variance Inflation Factors). Nilai VIF ini diperoleh dari persamaan : VIF 1 = 1 2 R j Keterangan : R 2 j = Koefisien determinasi dari regresi peubah bebas ke-j dengan semua peubah lainnya. Nilai VIF yang lebih besar dari 10 menunjukkan bahwa peubah tersebut berkolinier ganda (Myers, 1990). Adanya kolinier ganda dalam model akan mengakibatkan (Jollite, 1986) : 1. Penduga koefisien regresinya menjadi tidak nyata walaupun nilai R 2 j nya tinggi. 2. Nilai-nilai dengan koefisien regresi menjadi sangat sensitif terhadap perubahan data. 3. Dengan metode kuadrat terkecil, penduga koefisien regresi mempunyai simpangan baku yang sangat besar. 2. Autokorelasi Uji autokorelasi digunakan untuk melihat kebebasan data. Kebebasan disini berarti data untuk suatu periode tertentu tidak dipengaruhi oleh data sebelumnya. Salah satu metode untuk menguji autokorelasi ini adalah Metode Durbin Watson. Rumus metode ini adalah :

52 D n i i= 1 = n ( e ei 1) i= 1 Keterangan : e 2 i 2 e i = Selisih nilai Y pada periode i e i-1 = Selisih nilai Y pada periode sebelumnya (Sumber: Santoso, 1999) 3. Kenormalan Data Kenormalan data diperlukan dalam analisis regresi berganda, hal ini disebabkan metode ini merupakan salah satu metode analisis parametrik. Kenormalan diketahui melalui sebaran regresi yang merata disetiap nilai. Salah satu metode yang digunakan untuk menguji kenormalan data adalah Metode Kosgomorov Smirnov. Dalam Metode Kosgomorov Smirnov, penerimaan H0 mengindikasikan bahwa data yang dianalisis tersebar normal. Rumus Uji Kosgomorov Smirnov adalah : 2 χ 2 ( m n) = 4 ( D Max ) ( m + n) Keterangan : m = Kelompok data 1 n = Kelompok data 2 D = Perbedaan maksimal kelompok data (Sumber: Santoso, 1999) 4. Homoskedastisitas /Homogenitas Data Uji Homoskedastisitas ini pada dasarnya menyatakan bahwa nilai-nilai Y bervariasi dalam satuan yang sama. Untuk menguji asumsi ini, dibuat plot antara standarized residual dengan faktor X. Jika tidak terdapat suatu pola dalam plot tersebut maka dikatakan bahwa data tersebut homogen (Santoso, 1999).

53 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Letak Geografis dan Administrasi Daerah pesisir timur Kabupaten Sinjai yang terdiri dari dua kecamatan, yaitu Kecamatan Sinjai Utara dan Sinjai Timur. Secara geografis terletak antara ' 50 " '47 " BT dan ' 00 " '00" LS. Luas wilayah lebih kurang 819,96 Km 2 dengan panjang garis pantai 17 Km. Wilayah administratif pemerintahan Kabupaten Sinjai terdiri dari 8 kecamatan, 13 kelurahan, 55 desa, dan 259 lingkungan/dusun dengan luas wilayah Km 2, atau 1,29 persen dari luas wilayah daratan Provinsi Sulawesi Selatan dengan batas wilayah: Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Bone Sebelah timur berbatasan dengan Teluk Bone Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Gowa Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Bulukumba Desa Tongke-tongke yang terletak di Kecamatan Sinjai Timur Kabupaten Sinjai adalah sebuah desa yang berada pada bagian Barat Teluk Bone. Lokasi ini dilalui oleh dua buah sungai, yaitu sungai Baringeng dan sungai Tui yang membawa sedimen dari Gunung Bawakaraeng hingga ke pesisir pantai, sehingga tanah yang berada pada kawasan tersebut merupakan campuran antara pasir dan lumpur sungai. Secara administratif Desa Tongke-tongke merupakan sebuah desa yang berada pada wilayah Kecamatan Sinjai Timur, Kabupaten Sinjai yang berjarak sekitar 20 km dari Balanipa (ibukota Kabupaten Sinjai) yang dapat dijangkau dengan menggunakan kendaraan bermotor dalam waktu 30 menit. Daerah yang memiliki luas 2,25 km 2, secara umum merupakan kawasan konservasi hutan mangrove dan daerah pertanian.

54 Topografi, Iklim, dan Tanah Secara topografi terdiri dari gunung, perbukitan, daratan, dan pantai dengan ketinggian 0 40 m. Daerah pesisir dengan ketinggian dibawah 25 m diatas permukaan laut dengan kemiringan 0 2 %. Secara klimatologi Kabupaten Sinjai terletak pada posisi iklim musim timur dimana bulan basah terjadi antara bulan April Oktober dan bulan kering Oktober April. Pola hujan sangat dipengaruhi oleh pasat tenggara. Periode hujan daerah ini terjadi dua kali yakni periode Maret/April hingga Juni/Juli dengan curah hujan dapat mencapai mm/bulan dan periode Desember Januari dengan curah hujan mencapai mm/bulan. Temperatur udara berkisar 22 0 C 32 0 C. Jenis tanah yang ditemukan yaitu tanah latosol yang memiliki lapisan tanah yang sangat tipis dengan singkapan-singkapan batu kapur. Sumber Daya Alam Karakteristik wilayah Desa Tongke-tongke terdiri dari 3 (tiga) wilayah, yaitu pegunungan, dataran rendah, dan lautan. Sumberdaya alam di wilayah pegunungan di Dusun Baccara dan Bentenge berupa kawasan hutan campuran serta mata air yang terletak di Supanda Dusun Bentenge. Di wilayah dataran rendah, potensi yang dimiliki secara umum adalah lahan pertanian berupa sawah tadah hujan seluas 1603,9 are yang terbagi di Dusun Maroangin seluas 188 are, Dusun Baccara seluas are, dan Dusun Bentenge seluas 1026,9 are. Selain lahan pertanian juga terdapat lahan perkebunan yang terletak di Dusun Baccara dan Bentenge. Luas lahan tambak/empang 54 ha meliputi Dusun Cempae 32 ha, Dusun Babana 8 ha, Dusun Maroangin 4 ha, Dusun Baccara 5 ha, dan Dusun Bentenge 5 ha, disamping itu terdapat disatu daerah aliran sungai yang melintasi Dususn Maroangin dan Dusun Baccara.

55 Wilayah pesisir pantai dan lautan Desa Tongke-tongke yang terletak di perairan teluk Bone, saat ini luasan hutan mangrove yang tersebar di 5 (lima) Dusun mencapai 34,78 ha. Keberadaan ekosistem mangrove yang tumbuh di sepanjang pesisir maupun di sisi pematang tambak/empang sangat dikenal karena keberhasilan masyarakat secara swadaya dalam melakukan penyelamatan dan pelestarian hutan mangrove dan sangat dirasakan manfaatnya bukan hanya sebagai pelindung dan penyangga wilayah pesisir akan tetapi menjadi suatu kebanggaan dan setidaknya telah mengangkat dan mengharumkan nama Kabupaten Sinjai umumnya dan Desa Tongke-tongke karena pada tahun 1995 berhasil mendapatkan kalpataru bidang penyelamatan lingkungan. Potensi sumberdaya alam lainnya, yaitu berupa tanaman yang sering dimanfaatkan antara lain bambu yang dapat ditemukan di Dusun Baccara dan Dusun Bentenge, batu kerikil untuk bahan bangunan di Dusun Maroangin serta tanah untuk penimbunan di 5 Dusun. Sedangkan fauna yang sering ditemukan antara lain kelelawar yang biasa hidup di kawasan Mangrove dan binatang ternak antara lain ayam, itik, kambing, sapi, kerbau, dan kuda. Sementara nelayan melakukan pemanfaatan sumberdaya berupa biota laut antara lain kepiting, benur, nener, udang, biri, tiram, dan beberapa jenis ikan antara lain ikan sunu, baronang, banding, mujahir, cakalang, bua-bua, terbang, dan teri. Potensi lain yang kini mulai dikembangkan dan dibudidayakan oleh beberapa masyarakat adalah rumput laut. Sumberdaya Manusia Jumlah penduduk Desa Tongke-tongke sebanyak jiwa yang masuk ke dalam 614 kepala keluarga (KK), dengan penyebaran di Dusun Babana berjumlah 977 orang, Dusun Maroangin 544 orang, Dusun Baccara 566 orang, Dusun Bentenge 490 orang dan Dusun Cempae 665 orang. Jenis pekerjaan dibagi menjadi 19 jenis pekerjaan dan 4 kategori, yaitu penduduk yang melakukan pengelolaan alam, pelayanan jasa, pegawai, dan pedagang. Diantaranya sebagai berikut : 1. Nelayan, terdapat di Dusun Babana sebanyak 250 orang, Dusun Maroangin 255 orang, Dusun Baccara 10 orang, Dusun Bentenge 15 0rang sedangkan

56 Dusun Cempae sebanyak 300 orang sehingga jumlah keseluruhannya 785 orang. Dusun Babana, Maroangin, dan Cempae merupakan daerah pesisir pantai sehingga sebagian besar pekejaan adalah nelayan. 2. Petani sawah berada di Dusun Babana berjumlah 8 orang, Dusun Maroangin 20 orang, Dusun Baccara 75 orang, Dusun Bentenge 40 orang, dan Dusun Cempae 7 orang sehingga jumlah keseluruhan 148 orang. Dusun Baccara dan Bentenge merupakan daerah dataran rendah sehingga banyak yang bekerja sebagai petani sawah. 3. Petambak, berada di Dusun Babana sebantak 24 orang, Dusun Maroangin 18 orang, Dusun Baccara 10 orang, dan Dusun Cempae 100 orang sehingga jumlah keseluruhan 152 orang. 4. Pengasapan ikan/pengasinan berada di Dusun Babana dan Cempae masingmasing 10 orang sedangkan Dusun Maroangin dan Bentenge tidak ada, sehingga jumlah keseluruhan sebanyak 20 orang. Kegiatan pengasapan ikan/pengasinan adalah merupakan kegiatan yang dilakukan oleh kaum wanita. 5. Tukang Batu, Dusun Babana sebanyak 2 orang, Dusun Maroangin 2 orang, Dusun Baccara 1 orang, Dusun Bentenge 3 orang, dan Dusun Cempae 2 orang, jumlah keseluruhannya 11 orang. Sedikitnya para pekerja tukang batu karena rumah yang ada di desa Tongke-tongke adalah rumah panggung. 6. Mubaligh, terdapat merata di seluruh Dusun, yaitu Dusun Babana 5 orang, Dusun Bentenge 3 orang Dusun Maroangin 1 orang, Baccara 2 orang, dan Cempae 5 orang jumlah keseluruhan 16 orang. Sarana Umum Untuk mempermudah kehidupannya maka Desa Tongke-tongke telah memiliki berbagai sarana umum, yaitu saluran air yang masuk ke dalam tambak di dusun Baccara, Dusun Maroangin, Dusun Babana, dan Dusun Bentenge masingmasing 2 unit sedangkan untuk Dusun Cempae 5 unit. Kalau dilihat dari jumlah luas tambak maka seharusnya dusun Babana memiliki saluran air tambak yang memadai untuk mengantisipasi keluar masuk air, baik air laut maupun air hujan sehingga sangat perlu penataan kembali.

57 Mengenai selokan/got, Tongke-tongke memiliki selokan air/got sekitar meter, dimana 150 meter di Dusun Maroangin, Dusun Babana meter, dan Dusun Cempae sepanjang 650 meter, kesemuanya baik hanya saja rata-rata tergenang karena tersumbat oleh sampah-sampah buangan masyarakat. Desa Tongke-tongke memiliki sarana dan prasarana yang cukup diantaranya adalah gorong-gorong di Dusun Baccara ( 3 berfungsi dan 3 rusak), banyaknya gorong-gorong di Dusun ini karena berdekatan dengan sungai dan berada di bawah lereng-lereng gunung dan dipisah jalan raya. Di Dusun Maroangin terdapat 4 buah (3 yang baik 1 rusak), yang dilalui oleh saluran air laut yang masuk ke tambak. Di Dusun Bentenge terdapat 5 buah semuanya rusak, keberadaannya karena berada di lereng-lereng gunung dan dipisahkan dengan jalan raya sehingga air dari gunung mengalir dari atas gunung ke jalan raya. Jembatan yang dibuat oleh kelompok ACI di Dusun Cempae 1 unit dibangun di tengah-tengah hutan Mangrove memanjang keluar ke laut sebagai tempat jalanjalan untuk melihat hutan bakau dan kelelawar serta satwa lainnya yang ada di hutan Mangrove namun jembatan ini belum rampung. Dua buah mesjid terdapat di Dusun Baccara yang semua berfungsi untuk tempat shalat Jum at, terdapatnya dua mesjid di Dusun Baccara karena jumlah penduduknya lebih banyak dibandingkan dengan Dusun-Dusun lainnya. Dusun Maroangin dan Dusun Babana masing-masing mempunyai sebuah mesjid yang berfungsi. Dusun Cempae terdapat juga sebuah mesjid, namun saat ini dalam renovasi dan berfungsi sementara di Dusun Bentenge terdapat 2 buah namun salah satunya dalam keadaan rusak. Sarana air bersih di Desa Tongke-tongke belum dijangkau oleh PDAM namun pemerintah telah membuat tempat-tempat penampungan air tiap-tiap dusun, dengan pengisian oleh PDAM dengan kapasitas masing-masing liter. Dusun Baccara memiliki sebuah bak penampungan air dan berfungsi dengan baik, di Dusun Maroangin terdapat 5 buah, Dusun Babana terdapat 4 buah, Dusun Cempae 7 buah sedangkan Dusun Bentenge memiliki 4 buah yang semuanya berfungsi baik. Untuk mempermudah sarana transportasi di Desa Tongke-tongke memiliki jalan raya desa (aspal) yang tersebar dan berfungsi dengan baik, yaitu di Dusun

58 Baccara 1,5 Km, Dusun Babana 500 meter, Cempae 400 meter, dan Dusun Bentenge 1 Km, sementara di Dusun Maroangin sepanjang 750 m namun 5 m dalam kondisi rusak. Jalanan/lorong yang menggunakan Pain Blok dan masih dalam keadaan baik terdapat di Dusun Baccara sejumlah 6 buah (3 buah dapat dilalui mobil, 3 lainnya untuk pejalan kaki), Dusun Maroangin sepanjang 150 meter, Dusun Cempae 650 meter sementara di Dusun Babana dari meter, 40 meter diantaranya dalam keadaan rusak sedangkan di Dusun Bentenge semuanya lorong dalam keadaan rusak. Mengenai keberadaan baruga hanya satu terdapat di Dusun Cempae. Baruga yaitu tempat pertemuan masyarakat Tongke-tongke dan setiap tamu yang datang untuk melihat-lihat hutan Mangrove, itupun sudah mulai rusak, dulu pernah ada bangunan (bantuan dari pusat) yang diberikan sebagai tempat penelitian dan pengembangan hutan Mangrove namum Pemda sinjai mendirikannya di kota sehingga Baruga itu tidak berfungsi sebagaimana mestinya, padahal seharusnya didirikan di Desa Tongke-tongke. Gudang pupuk 1 unit di Dusun Baccara, sudah rusak dan tidak difungsiksn lagi. Masyarakat Desa Tongke-tongke sebagian besar mata pencahariannya adalah sebagai nelayan, oleh karena itu Pemerintah membangun 1 buah Tempat Pelelangan Ikan (TPI) yang berada di Dusun Babana di muara sungai Baringan, namun belum difungsikan secara maksimal. Tempat Pengeringan Coklat (buah) terdapat sebuah di Dusun Bentenge dalam kondisi bagus. Sarana Pendidikan Sekolah Dasar (SD) tersedia dalam bentuk permanen sejumlah 2 buah, yaitu di Dusun Baccara dan Dusun Babana, hanya saja mereka masih kekurangan tenaga pengajar. Disamping SD, Tongke-tongke juga mempunyai sebuah sekolah agama berupa pesantren permanen, yang berada di dusun Baccara. Sedangkan Sekolah Taman Kanak-Kanak dan TPA ada dua buah yakni berada di Dusun Baccara dan Dusun Babana, semuanya berfungsi dengan bangunan semi permanen.

59 Sarana Pemerintahan Kantor Desa Tongke-tongke sementara ini dibangun di atas lahan seluas 10 x 15 meter, yakni berada di dusun Babana, karena dusun ini dianggap sebagai pusat pemerintahan desa. Untuk kebutuhan pertanian, terdapat sebuah Kantor Balai Penyuluhan Pertanian di dusun Bentenge yang dibangun sebelum pemekaran, dan saat itu masih milik pemerintah kecamatan. Sumberdaya Sosial Dalam melaksanakan pembangunan perlu diperhatikan masalah sumberdaya sosial, karena potensi ini merupakan salah satu potensi yang mampu menjaga keutuhan dan kebersamaan masyarakat, baik dalam menghadapi pengaruh dari luar maupun untuk mengatasi permasalahan di dalam. Desa Tongke-tongke memiliki kemampuan sosial yang cukup potensial, seperti lembaga-lembaga di tingkat desa. Pemerintahan desa untuk sementara ini dalam pembenahan, Desa Tongketongke terdiri dari 5 (Lima) dusun, yakni Dusun Baccara yang terdiri dari 2 Rukun Warga (RW) dan 6 Rukun Tetangga (RT), Dusun Babana (1 RW, 3 RT), Dusun Bentenge (1 RW, 3 RT), Dusun Maroangin (1 RW, 2 RT), dan Dusun Cempae (2 RW, 4 RT). Kelompok Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) terdapat masingmasing satu kelompok di Dusun Baccara, Dusun Bentenge, dan Dusun Cempae. Sedangkan di Dusun Maroangin terdapat 2 kelompok, serta di Dusun Babana 3 kelompok. Desa Tongke-tongke memiliki 5 buah Posyandu, masing-masing berada di tiap dusun, yang aktif melakukan imunisasi/penimbangan setiap bulan, hanya saja tenaga medisnya terbatas. Sementara badan legislatif di tingkat desa, yaitu Badan Perwakilan Desa (BPD) sebagai wadah penyalur aspirasi masyarakat mempunyai pengurus sebanyak 11 orang dengan peranan membuat peraturan-peraturan desa. Desa juga memiliki Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD). Semua lembaga desa semuanya mempunyai pengurus dan mencoba aktif membantu desa dengan menjalankan tugas sesuai fungsinya masing-masing.

60 Aktifitas keagamaan sangat tinggi, ini terlihat di setiap dusun memiliki masjid dengan pengurus remaja masijd yang aktif melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan, seperti pengajian, tadarrusan, lomba hapal Surah-surah pendek bagi anak-anak, lomba adzan, dan lomba pidato setiap tahun. Desa Tongke-tongke juga mempunyai organisasi-organisasi kepemudaan seperti Persatuan Sepak (PS) Bola Aku Cinta Indonesia, PS Harapan Jaya, Persatuan Tenis Meja Laba-laba, Persatuan Bulu Tangkis Mario Riawo, bola volley serta karang taruna, kesemuanya ini aktif di bidangnya masing-masing. Khususnya tenis meja, Desa Tongke-tongke selalu menjadi juara di tingkat kabupaten dan mewakili Kabupaten Sinjai di Tingkat Provinsi. Sementara kelompok arisan terdiri dari beberapa kelompok yaitu satu kelompok arisan PKK di tingkat desa, kelompok arisan ibu-ibu rumah tangga yang tersebar di empat dusun yaitu, Dusun Baccara (2 kel.), di Dusun Bentenge (1 kel.), Dusun Morangin (1 kel.), Dusun Babana (4 kel.), dan Dusun Cempae (2 kel.). Selain itu terdapat juga kelompok arisan anak-anak yang tersebar di Dusun Baccara (1 kel), Dusun Maroangin (2 kel.), Dusun Babana (2 kel.), semua kelompok arisan berjalan dengan aktif. Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) yang ada di Desa Tongke-tongke terdiri dari KSM Aku Cinta Indonesia (ACI) bergerak masalah pengelolaan hutan mangrove, KSM Tulung Mario pengasapan ikan di Dusun Babana, KSM Sipakainge penjual barang campuran (kebutuhan rumah tangga) di Dusun Maroangin, KSM Sipatuo penjualan ikan mentah di Dusun Cempae, Kerukunan Keluarga Tiga Nenek semacam ikatan kekerabatan keluarga di Dusun Cempae, kelompok nelayan terdapat di tiga dusun, yaitu Dusun Maroangin, Dusun Babana, dan Dusun Cempae, kelompok petani tambak hanya terdapat di Dusun Bentenge, Kelompok Akar Laut di Dusun Babana, Kelompok Samaturu di Dusun Cempae, Kelompok Nelayan Masban di Dusun Babana. Sumberdaya Ekonomi Potensi sumber daya ekonomi di Desa Tongke-tongke, dapat dilihat dengan cara melakukan pendataan barang dan yang masuk serta barang dan jasa yang dikeluarkan. Data ini akan memberikan gambaran tingkat kebutuhan dan

61 kemampuan Desa Tongke-tongke dalam memenuhi kebutuhan sendiri maupun kebutuhan pasar bagi pihak luar. Uraian di bawah menunjukkan tingkat hubungan potensi ekonomi desa. Barang dan Jasa Nelayan adalah pekerjaan yang paling banyak digeluti masyarakat karena lokasinya merupakan wilayah pesisir. Nelayan yang ada di Tongke-tongke terbagi atas (1) nelayan kecil yang hanya menggantungkan hidupnya di laut sekitar Sinjai dan (2) nelayan besar (penongkol) yang biasanya menangkap ikan di daerah Flores dan Jawa dengan waktu berbulan-bulan. Kebutuhan nelayan antara lain : pancing, kawat, tasi/nilon ukuran 50, pukat, perahu, mesin (Mitsubishi, Kubota, Yanmar, Honda), es balok, dan kili-kili. Pemenuhan kebutuhan tersebut biasanya setiap satu kali melaut sekitar 15 hari sekali. Sebagian besar pemenuhan kebutuhan tersebut dipenuhi dari Pasar Sentral Sinjai yang merupakan urat nadi perekonomian di Kabupaten Sinjai. Uraian tersebut menunjukkan bahwa tingkat kebutuhan masyarakat nelayan begitu tinggi dari pihak luar untuk melakukan pekerjaannya, serta diperlukan modal besar untuk sekali melaut, sehingga terkadang nelayan sangat menggantungkan hidupnya kepada kepada tengkulak sebelum mereka melaut. Sejarah Hutan Mangrove Tongke-Tongke Kondisi hutan mangrove di pesisir Timur Sinjai pada tahun 1985 dalam keadaan rusak, dan pantai timur dalam keadaan terbuka. Pada saat itu angin kencang, ombak besar menghantam tempat permukiman nelayan di pantai tersebut. Lumpur di pantai dan muara sungai mencapai kedalaman 0,50 meter dan masyarakat merasakan penderitaan. Dengan keadaan ini muncul pemikiran dari tokoh-tokoh masyarakat untuk melaksanakan penanaman mangrove jenis Rhizophora secara swadaya.

62 Tabel 12. Luas Penanaman Mangrove Tiap Tahun di Kabupaten Sinjai Tahun Penanaman (Ha) , , , , , , , , , , , , , Penyulaman Sumber Data: Dinas PKT Kab.Sinjai,1999 Hutan mangrove di Tongke-Tongke yang merupakan swadaya masyarakat setempat, sehingga partisipasi masyarakat dalam pelestarian hutan mangrove tersebut sangat baik. Hal ini didukung dengan kebijakan pemerintah daerah yang telah mengeluarkan PERDA No. 8 Tahun 1999 tentang Pelestarian, Pengelolaan, dan Pemanfaatan Hutan Mangrove. Penetapan kebijakan pelarangan penebangan hutan mangrove oleh pemerintah bertujuan agar hutan mangrove yang ada saat ini dijaga keberadaannya agar tetap lestari guna kepentingan masyarakat setempat. Sebelum kebijakan pemerintah daerah menetapkan pelarangan penebangan hutan mangrove swadaya masyarakat di Tongke-Tongke, terlebih dahulu telah diterapkan aturan lokal melalui penetapan sebagian lahan mangrove masyarakat sebagai Hutan Kesepakatan Desa yang tidak boleh diganggu dan dijamah oleh siapapun. Masyarakat setempat sudah tidak lagi memanfaatkan mangrovenya secara bebas. Kemudian tahun 1999, pemerintah daerah menetapkan kebijakan pelarangan penebangan mangrove yang diatur dalam Perda No. 8 Tahun Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat telah menerima kebijakan tersebut. Indikasi keefektifan kebijakan pemerintah berjalan dengan baik adalah: (1) masyarakat tidak lagi mengganggu ekosistem mangrove yang ada, walaupun mangrove tersebut miliknya. Mereka hanya memanfaatkan ranting-ranting kayu dan kayu mangrove yang sudah mati alami, (2) masyarakat menyadari sepenuhnya

63 manfaat hutan mangrove sebagai bagian dari hidupnya, (3) masyarakat mempertahankan ekosistem mangrove dari gangguan luar yang mengancam kepunahannya sejak adanya kesepakatan hutan desa hingga ditetapkannya kebijakan pemerintah. Pemerintah daerah menetapkan kebijakan lebih bersifat strategi dalam penyelamatan lingkungan pantai dari amukan ombak, hempasan badai, dan abrasi pantai. Pemerintah daerah sangat memahami kepentingan dan kebutuhan masyarakat terhadap kebutuhan hutan mangrove yang telah berhasil dilestarikan, yang saat ini telah berfungsi secara ekologi (melindungi pantai dari abrasi), biologi (tempat berbagai biota air), dan ekonomi (penjualan kayu bakar dari hasil pemangkasan secara terbatas, penjualan bibit/buah Mangrove, dan penjualan kulit batang serta ranting-ranting kecil). Keberadaan vegetasi mangrove ini berpengaruh terhadap kelestarian lingkungan khususnya kawasan pesisir, karena fungsi ekologisnya. Jika kawasan mangrove di Tongke-Tongke dipertahankan tanpa mengabaikan manfaat lain yang dapat diperoleh dari keberadaan vegetasi mangrove tersebut antara lain sebagai kawasan tambak maka diharapkan dapat dicapai suatu keuntungan ekonomi dan kelestarian kawasan pesisir.

64 HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Ekologi Sumberdaya Wilayah Pesisir Kesesuaian Lahan Analisis kesesuaian lahan pesisir Tongke-Tongke difokuskan pada peruntukan tambak. Analisis didasarkan atas faktor parameter pembatas untuk peruntukan tambak ditinjau dari aspek biofisik. Analisis ini dimaksudkan untuk menilai lahan pesisir Tongke-Tongke apakah secara biofisik sesuai bagi peruntukan tambak. Hasil analisis kesesuaian tambak dikelompokkan ke dalam kategori (kelas), yaitu Sangat Sesuai (S1), Sesuai (S2), dan Tidak Sesuai (N1). Berdasarkan hasil analisis spasial dengan menggunakan pendekatan Sistem Informasi Geografis (SIG) dengan metode overlay diperoleh hasil evaluasi kesesuaian lahan untuk peruntukan tambak dengan masing-masing kategori, yaitu kategori Sangat Sesuai meliputi areal seluas 32,74 ha yang terdistribusi pada 2 dusun yaitu Dusun Cempae dan Dusun Babana. Lokasi sesuai meliputi areal seluas 29,17 ha yang terdistribusi di Dusun Maroangin dan Dusun Bentenge. Sedangkan sisanya (352,09 ha) merupakan areal dengan kategori tidak sesuai yang menyebar di keempat wilayah tersebut terutama di Dusun Bentenge. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa luas lahan untuk kategori Sangat Sesuai, dan Sesuai tidak berbeda jauh, sedangkan kategori Tidak Sesuai relatif lebih besar dibandingkan kategori lainnya. Dengan demikian total lahan yang potensial untuk dikembangkan menjadi kawasan pertambakan adalah sekitar 14,95 % atau 61,91 ha. Penyebaran lokasi dari setiap kategori bagi peruntukan tambak dapat dilihat pada gambar 4, sedangkan data dari setiap kategori disajikan pada lampiran 4.

65 Gambar 4. Peta Kesesuaian Lahan Tambak di Tongke-tongke Sumberdaya Air a. Sumber Air untuk Budidaya Menurut modifikasi dari Purwadhi (1998), sistem penelitian kesesuaian lahan untuk kawasan tambak meliputi jarak dari pantai, jarak dari sungai, aksesabilitas, tekstur tanah, penggunaan lahan, dan slope, maka dapat dikatakan bahwa tambak yang dikembangkan di Tongke-Tongke adalah sesuai. Artinya lahan tambak budidaya tidak mempunyai pembatas yang berarti untuk mempertahanakan tingkat pengelolaan yang harus diterapkan. Pembatas tersebut antara lain keberadaan air tawar. Jarak dari pantai merupakan salah satu parameter penting dalam menentukan tingkat kesesuaian pengembangan tambak. Hal ini berkaitan dengan

66 ketersediaan air untuk pengairan tambak dengan salinitas yang sesuai. Sumber air yang digunakan untuk tambak harus tersedia sepanjang tahun baik air tawar maupun air laut. Parameter lain yang ikut berperan dalam ketersediaan air untuk tambak adalah jarak dari sungai yang berkaitan dengan ketersediaan air tawar, tetapi untuk lokasi penelitian hal ini tidak menjadi faktor yang sangat menentukan karena salinitas air yang diperoleh dari laut telah memenuhi kriteria budidaya tambak. Sungai yang berpotensi sebagai sumber air tawar untuk kebutuhan budidaya adalah sungai Salo Baringang. Sungai ini masih dipengaruhi oleh pasang surut, sehingga airnya bisa berfungsi ganda, yaitu sebagai sumber air tawar sekaligus sebagai sumber air asin pada waktu pasang. Dari sumber air yang ada di lokasi penelitian sampai saat ini belum ada yang berpotensi mencemari areal pertambakan, tapi yang perlu mendapatkan perhatian adalah adanya sisa pakan dan kotoran udang/ikan yang dibuang melalui saluran dan masuk kembali ke dalam tambak pada saat pemasukan air pasang bila air yang dibuang tersebut belum sampai terbuang ke laut, sehingga masuk kembali ke dalam tambak. Selain itu sumber pencemaran yang berasal dari air sawah pada waktu pemberantasan hama, terutama pada petak-petak tambak yang berdekatan dengan persawahan. Oleh karena itu perlu dilakukan penataan dan pengaturan air tambak. b. Kualitas Air Tambak Banyak faktor yang mempengaruhi daya dukung tambak salah satu diantaranya adalah kualitas air tambak. Kualitas air tambak sangat penting dan menentukan keberhasilan budidaya udang maupun ikan. Kualitas air tambak dapat berpengaruh positif atau negatif, berpengaruh positif bila kualitas air masih dalam kisaran nilai kandungan yang masih dapat diterima oleh tubuh udang atau ikan, sedangkan pengaruh negatif terjadi bila kualitas air tersebut di luar kisaran ambang batas dari yang dapat diterima oleh udang atau ikan. Kualitas air dapat dijadikan salah satu parameter dalam penentuan tingkat kelayakan atau kesesuaian tambak.

67 Dalam pembangunan ekonomi di wilayah pesisir diperlukan input dari ekosistem seperti tanah, air dan lain sebaginya yang akan menghasilkan output berupa barang dan jasa serta eksternalitas yang dilepaskan ke ekosistem. Dengan demikian ekosistem (kualitas air dan ph tanah) tambak akan mempengaruhi manfaat dan biaya usaha budidaya ikan dan udang di tambak. Kualitas air dan ph tanah tambak sangat dipengaruhi oleh kualitas air di luar tambak. Faktor eksternal yang berpengaruh terhadap kegiatan budidaya ikan/udang adalah limbah yang berasal dari kegiatan pertanian di lahan atas, seperti budidaya tanaman pangan (padi dan palawija). Dalam kegiatan tersebut tidak terlepas dari penggunaan bahan kimia berupa pestisida dan insektisida. Kondisi ini dapat dipastikan akan berpengaruh negatif terhadap kegiatan budidaya ikan/udang, karena areal pertambakan berada di wilayah pesisir (hilir) berbatasan langsung dengan areal pertanian yang berada diatasnya (hulu). Hasil analisis faktorial diskriminan menunjukkan adanya perbedaan sangat nyata (α =0,01) pada kualitas air antara tambak di kawasan mangrove (DK1), Tambak Parit (Silvofishery) (DK2), dan tambak darat (DK3) (Lampiran 2).. Variabel yang paling mengkarakteristikkan perbedaan adalah DO, Amoniak (NH 3 ), Derajat keasaman (ph), dan Suhu. Oksigen Terlarut (DO) dalam air sangat menentukan kehidupan udang dan ikan dalam budidaya, karena rendahnya kadar oksigen terlarut dapat berpengaruh terhadap fungsi biologis dan lambatnya pertumbuhan, bahkan dapat mengakibatkan kematian. Fungsi oksigen di dalam tambak selain untuk pernapasan organisme, juga untuk mengoksidasi bahan organik yang ada di dasar tambak. Dari hasil analisis diskriminan diperoleh oksigen terlarut sangat berpengaruh nyata terhadap kualitas air tambak (Lampiran 5), dimana DO DK1 lebih berpengaruh dibanding DO DK2 dan DO DK2 lebih berpengaruh dibanding DO DK3 (Lampiran 6). DO yang diperoleh masih dalam batas toleransi kehidupan udang/ikan yang dipelihara dalam tambak, karena DO dalam air yang baik untuk kehidupan udang dan ikan tidak boleh kurang dari 3 ppm, bahkan untuk budidaya intensif dengan padat penyebaran ekor per Ha kandungan oksigen yang optimal berkisar antara 5 sampai 10 ppm (Direktorat Jenderal

68 Pengairan Dinas Pekerjaan Umum Pengairan Provinsi Daerah Tingkat 1 Sulawesi- Selatan, 1998). NH 3 pada DK1 lebih berpengaruh dibanding NH 3 pada DK2 dan NH 3 pada DK2 lebih berpengaruh dibanding NH 3 pada DK3. Namun konsentrasi NH 3 yang terdapat pada ketiga (3) jenis tambak tersebut sudah bersifat racun/berbahaya bagi udang/ikan karena kandungan NH 3 dalam air maksimal 0,002 ppm. Adanya konsentrasi NH 3 yang tinggi sangat wajar karena pengaturan air tidak dilakukan secara baik untuk menjaga kualitas air dalam tambak, dengan cara mengganti air yang baru. Penggantian air ini sangat penting untuk meningkatkan kandungan oksigen dan menghilangkan bahan-bahan beracun. ph air dari ketiga (3) jenis tambak tersebut berpengaruh sangat nyata (Lampiran 5), tetapi karena rendah sehingga kurang layak untuk usaha budidaya udang walaupun masih dalam batas kisaran yang dapat ditolerir oleh bandeng. Berdasarkan Keputusan Menteri KLH Nomor : 02/MEN-KLH/1988 tentang baku mutu air laut untuk budidaya perikanan ph berkisar antara 6-9. Sedangkan ph untuk budidaya udang berkisar antara 7,5 8,7 dengan optimum 8,0 8,5 (Poernomo, 1992). Rendahnya ph air tambak pada lokasi penelitian disebabkan oleh penguraian bahan organik yang terakumulasi di dasar tambak pada waktu digunakan untuk budidaya sebelumnya terutama pada tambak silvofishery, sehingga terjadi pelepasan ion H + yang akan mempengaruhi derajat keasaman air tambak. Untuk meningkatkan ph dapat dilakukan dengan cara (1) pembuangan bahan organik yang terdapat di dasar tambak khususnya pada pelataran tambak, karena selama ini yang dikeruk hanya parit/caren sedangkan pelataran tidak pernah dikeruk, (2) penggantian air sesering mungkin, (3) budidaya ikan, sehingga bahan organik yang ada pada dasar tambak menjadi sumber makanan ikan, dan (4) pengapuran. Suhu berpengaruh sangat nyata terhadap kualitas air pada ketiga (3) jenis tambak yang dimaksud (Lampiran 5). Suhu air tersebut masih dalam batas toleransi dimana suhu yang dapat diterima untuk kehidupan udang berkisar antara 18 0 C sampai 35 0 C sedangkan suhu optimal berkisar antara 25 0 C sampai 30 0 C (Direktorat Jenderal Pengairan Dinas Pekerjaan Umum Pengairan Provinsi Daerah Tingkat I Provinsi Sulawesi Selatan, 1998). Suhu pada DK1 dan DK2 lebih

69 rendah dibandingkan pada suhu DK3 (Lampiran 6) karena kedua jenis tambak tersebut berada pada kawasan mangrove dimana pohon-pohon mangrove menghalangi intensitas cahaya matahari yang masuk ke permukaan air tambak. Kualitas Tanah Berdasarkan hasil pengamatan secara visual menunjukkan bahwa sifat tanah masih homogen baik pada areal tambak, areal mangrove maupun pada areal dekat pemukiman. Vegetasi yang tumbuh di pesisir Tongke-Tongke didominasi oleh tumbuhan mangrove. Warna tanah kelihatan agak hitam kecoklatan dan tidak berbau busuk, serta tanah agak kompok atau padat. Menurut Direktorat Jenderal Pengairan Dinas Pekerjaan Umum Pengairan Provinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan (1998), bahwa parameter yang sangat berpengaruh terhadap kualitas tanah adalah tekstur tanah, ph, dan kesuburan tanah. a. Tekstur Tanah Parameter mengenai tekstur tanah sangat berperan dalam menentukan apakah tanah tersebut memenuhi persyaratan untuk dijadikan sebagai areal pertambakan. Hasil analisis tekstur tanah di areal pertambakan di desa Tongke- Tongke disajikan pada Gambar 5. Berdasarkan gambar 5 menunjukkan bahwa tanah di areal penelitian adalah liat berpasir dan lempung berpasir. Tanah jenis ini cukup baik untuk pembuatan kontruksi pematang dan saluran irigasi karena selain tidak mudah lonsor dan bocor juga mampu menahan air. Hal ini sesuai dengan modifikasi dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan dan Poernomo (1992), bahwa berdasarkan parameter material dasar perairan maka tekstur liat berpasir atau liat lempung berpasir sangat sesuai untuk lahan tambak. Sedangkan hubungannya dengan kesuburan tanah pertumbuhan kelekap tergolong lebat, selain itu jika dikeringkan mudah retak-retak dan keras.

70 Gambar 5. Hasil Analisis Tekstur Tanah di Daerah Tongke-Tongke b. Derajat Keasaman Tanah Dari hasil analisis diskriminan tanah diperoleh derajat keasaman tanah (ph) yang sangat berpengaruh nyata (α = 0,01) terhadap kualitas tanah tambak di daerah Tongke-Tongke (Lampiran 7). Nilai ph tersebut berada pada kisaran yang cocok untuk budidaya tambak (udang/ikan) (Lampiran 8). Hal ini sesuai dengan pendapat Mujiman dan Suyanto (1989) yang menyatakan bahwa ph atau derajat keasaman tanah yang baik untuk tambak ialah 7,5 8,5. c. Kesuburan Tanah 1. Kandungan Bahan Organik (C-Organik) Berdasarkan hasil analisis diskriminan menunjukkan bahwa kandungan bahan organik tidak berpengaruh nyata terhadap kesuburan tanah di ketiga (3) jenis tambak yang ada di Tongke-Tongke (Lampiran 7). Kandungan bahan

71 organiknya tergolong sangat rendah (Lampiran 8 dan Lampiran 9), sehingga tanah tambak yang ada di lokasi penelitian tidak dapat menunjang kegiatan budidaya udang/ikan, sehingga perlu dilakukan penambahan bahan/pupuk organik. 2. Kandungan Nitrogen Dari hasil analisis diskriminan tanah diperoleh bahwa kandungan nitrogen berpengaruh nyata (α = 0,05) terhadap kesuburan tanah pada ketiga (3) jenis tambak di Tongke-Tongke (Lampiran 7), tetapi kandungan bahan nitrogen yang ada tergolong sangat rendah (Lampiran 8) yang berarti tanah tersebut tidak subur dan tidak cocok untuk budidaya udang/ikan, sehingga untuk meningkatkan kandungan nitrogen dalam tanah perlu dilakukan pemupukan. Hubungan antara kandungan nitrogen dan kesuburan tanah tambak dapat dilihat pada Lampiran Kandungan Unsur Makro Kandungan unsur makro dalam tanah yang sering menjadi indikator kesuburan tanah seperti Ca dan Mg. Hasil analisis menunjukkan bahwa kandungan unsur makro tidak berpengaruh nyata terhadap kesuburan tanah pada ketiga (3) jenis tambak di Tongke-Tongke (Lampiran 7). Kandungan unsur makro di dalam tanah ketiga jenis tambak tersebut tergolong rendah (Lampiran 8). Ketersediaan unsur makro akan berpengaruh langsung terhadap udang maupun lingkungannya, misalnya pada unsur Ca berpengaruh langsung pada waktu udang ganti kulit (moulting) maupun kualitas udang. 4. Kapasitas Tukar Kation (KTK) Unsur KTK sangat penting dalam budidaya tambak, karena dapat menentukan kemampuan tanah untuk mengabsorbsi elektrolit-elektrolit seperti NH 4, Sulfida dan unsur-unsur yang sebagian besar bersifat racun bagi udang atau organisme air lainnya. Dari hasil analisis diperoleh nilai KTK tanah tidak berpengaruh nyata terhadap kesuburan tanah pada ketiga (3) jenis tambak di Tongke-Tongke (Lampiran 7). Nilai KTK tanah tersebut tergolong rendah (Lampiran 8), artinya perairan tambak mempunyai kemampuan yang rendah untuk mengabsorpsi dan menetralisir bahan beracun sehingga perairan mudah tercemar.

72 Hal ini sesuai dengan Direktorat Jenderal Pengairan Dinas Pekerjaan Umum Pengairan Provinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan (1998), bahwa bila nilai KTK tanah < 40 me/100gr, berarti tanah tersebut berkemampuan rendah untuk mengabsorbsi elektrolit sehingga perairan tersebut mudah tercemar. Analisis Ekonomi Analisis Manfaat Hutan Mangrove Menurut Barton (1994), bahwa penilaian ekonomi ekosistem mangrove dapat menggunakan pendekatan Penilaian Ekonomi Total (Total Economi Valuation), yaitu penjumlahan dari manfaat langsung, manfaat tidak langsung, manfaat pilihan, dan manfaat keberadaan hutan mangrove mengadopsi dari nilai ekonomi total. a. Nilai Manfaat Langsung (Direct Use Value) Saenger et al. (1983) dan Hamilton and Snedaker (1984), menyatakan bahwa ekosistem mangrove memiliki fungsi dan manfaat baik langsung maupun tidak langsung yang besar seperti yang disajikan pada Tabel 13 dan Tabel 14. Tabel 13. Manfaat Langsung Ekosistem Mangrove No Manfaat Langsung Produk 1 Energi Kayu bakar untuk pemanasan, pengasapan, dan pengeringan ikan 2 Bahan Bangunan Bahan bangunan kontruksi berat, bantalan rel kereta api, tiang/balok bangunan, lantai, kapal, bahan papan buatan (cjipboard) dsb 3 Perikanan Gagang pancing, pelampung, tanin untuk pengawetan jaring, tempat bertelur, dan pembesaran ikan/udang/kepiting 4 Pertanian Kompos/mulsa 5 Makanan dan Minuman Gula, alkohol, minyak makan, teh pengganti, buah dan dedaunan, pembungkus rokok, obat 6 Rumah Tangga Perabotan, perekat, mainan, dsb 7 Produksi Kulit dan Tekstil Serat buatan, bahan pencelup kain, tanin untuk pengawetan bahan kulit 8 Produksi Kertas Berbagai jenis kertas 9 Lain-lain Peti kemas Sumber : Saenger et al. (1983) dan Hamilton and Snedaker (1984) Tabel 14. Manfaat Tidak Langsung Ekosistem Mangrove Kegunaan Produk

73 1 Berbagai Jenis Ikan Kecil Makanan, pupuk 2 Crustacea (Udang, Makanan Kepiting, dll) 3 Mollusca (Kerang dsb) Makanan 4 Lebah Madu, lilin 5 Burung Makanan, rekreasi 6 Mamalia Kulit, makanan, rekreasi 7 Reptil Makanan, rekreasi Sumber: Saenger et al. (1983) dan Hamilton and Snedaker (1984) Berdasarkan hal di atas maka hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa ekosistem mangrove di Tongke-Tongke memiliki potensi besar yang tersebar pada areal seluas 34,78 ha dengan beberapa manfaat seperti pada Tabel 15. Tabel 15. Jenis dan Manfaat Ekosistem Mangrove di Tongke-Tongke No Jenis Manfaat Manfaat 1 Manfaat Langsung Perikanan, Kepiting, Kelelawar, dan Kayu bakar 2 Manfaat Tidak Langsung Penahan abrasi, dan penjaga siklus makanan Sumber: Hasil Analisis Data Primer. Manfaat langsung yang dapat diukur nilainya berdasarkan hasil identifikasi dari lokasi adalah tambak udang, ikan dan rumput laut, penangkapan kepiting, penangkapan kelelawar, dan kayu/ranting untuk bahan bakar. Metode yang digunakan dalam penaksiran manfaat langsung adalah pendekatan langsung berdasarkan nilai pasar. Pendekatan ini menghitung jenis jumlah produk langsung yang dapat dinikmati oleh masyarakat dari hutan mangrove dikalikan dengan harga pasar yang berlaku dari setiap unit produksi. Nilai manfaat untuk usaha budidaya tambak udang dan bandeng diperlukan biaya tetap (pipa, jaring, kantong/poro, dan basket) dan biaya variabel (bibit, pupuk, racun, obat-obatan) sebesar rata-rata Rp ,-/ha/tahun dengan produksi rata-rata Rp ,-/ha/th sehingga keuntungan yang diperoleh ratarata Rp ,-/ha/th. Sedangkan untuk budidaya rumput laut diperoleh keuntungan rata-rata Rp ,-/ha/th dengan biaya tetap (tempat pengeringan, basket, pipa) dan biaya variabel (bibit, pupuk, dan racun) sebesar rata-rata Rp ,-/ha/th dengan produksi rata-rata ,-/ha/th. Nilai manfaat kepiting yang diperoleh dari keberadaan hutan mangrove di Tongke-Tongke yaitu produksinya rata-rata Rp ,-/ha/th dengan biaya

74 tetap (jaring, bubuh, kantong/poro) dan biaya variabel (minyak tanah, lampu teplok) rata-rata Rp ,-/ha/th, sehingga diperoleh keuntungan sebesar ratarata Rp ,-/ha/th. Nilai manfaat kelelawar ini diperoleh keuntungan rata-rata Rp ,- /ha/th dengan produksi rata-rata Rp ,-/ha/th dan biaya tetap (senter, kantong/poro) dan biaya variabel (jaring, bambu, baterei, tali dan upah untuk tenaga kerja) sebesar rata-rata Rp ,-/ha/th. Penangkapan kelelawar di Tongke -Tongke diatur dengan kebijakan pemerintah Kabupaten Sinjai untuk menjaga kelestarian hutan mangrove dan kelangsungan hidup kelelawar yang ada dengan tetap memperhatikan kepentingan masyarakat setempat. Peraturan pemerintah dalam hal ini diatur pertama kali dengan Surat Bupati No. 300/LNG/SET perihal Izin Penangkapan Kelelawar yang dikeluarkan pada tanggal 13 Januari 2003, dimana pada saat itu populasi kelelawar yang menjadikan hutan mangrove sebagai habitatnya telah berfungsi sebagai hama karena merusak mangrove yang ada. Dan pada tanggal 20 Oktober 2003 Surat Bupati No. 522/848/SET perihal Pemberhentian Penangkapan Kelelawar kembali dikeluarkan guna tetap menjaga kelestarian kelelawar. Potensi kayu bakar, ranting-ranting/kayu mangrove masih merupakan salah satu sumber energi bagi sebagian masyarakat. Hasil wawancara dengan 84 responden menunjukkan 53,54 % memanfaatkan mangrove untuk kayu bakar dengan 30,95% untuk keperluan sendiri dan 22,62% untuk keperluan sendiri dan dijual. Namun setelah adanya kesepakatan pencanangan hutan kesepakatan desa pada tahun 1987 dan kebijakan pemerintah melalui Perda No. 8 tahun 1999 tentang Pelestarian, Pengelolaan, dan Pemanfaatan hutan Bakau, dimana pada pasal 13 disebutkan bahwa di luar kawasan terkendali merupakan kawasan larangan penebangan mangrove. Maka berdasarkan hal tersebut sebagian masyarakat hanya memanfaatkan ranting-ranting kayu mangrove dari hasil pemangkasan dan kayu mangrove yang sudah mati untuk digunakan sebagai kayu bakar secara terbatas. Pemasaran kayu bakar juga terbatas pada lingkungan pemukiman penduduk, dan hanya dipasarkan apabila ada pesta perkawinan atau hajatan yang memerlukan kayu bakar lebih.

75 Potongan-potongan kayu bakar berdiameter 3-4 cm dan panjang 0,5 m dengan batang/ikat dengan harga Rp. 1000,-/ikat. Pendapatan masyarakat dari hasil penjualan kayu bakar tidak menentu tergantung dari banyaknya ranting dan kayu mati yang ada pada mangrove miliknya. Dari hasil analisis diperkirakan volume produksi yang dimanfaatkan masyarakat untuk kayu bakar adalah berkisar 6443 ikat/ha/th yang bernilai rata-rata Rp ,-/ha/th. Untuk lebih jelasnya, maka rekapitulasi manfaat dan biaya untuk masingmasing produk langsung hutan mangrove per hektar per tahun dari hasil analisis dapat dilihat pada lampiran b. Nilai Manfaat Tidak Langsung (Inderect Use Value) Ekosistem mangrove di kawaan pesisir Tongke-Tongke memiliki 2 jenis manfaat tidak langsung, yaitu (a) manfaat langsung fisik/penahan abrasi air laut, dan (b) manfaat langsung biologis sebagai tempat pemijahan dan asuhan serta penyedia bahan pakan organik bagi udang dan ikan. Metode yang digunakan dengan pendekatan tidak langsung adalah metode penggantian. Menurut PT. Diagram (1994) dalam Pusat Penelitian Lingkungan Hidup (1995), bahwa biaya pembangunan break water diperkirakan Rp ,-/m 3, dan ukuran break water yang dibangun dengan kedalaman 6 m dan lebar penampang 5 m dengan bentuk memanjang mengikuti garis pantai. Biaya pembangunan break water jika dihubungkan dengan tingkat inflasi nasional pada saat penelitian dilakukan diasumsikan rata-rata sebesar 4,25 dengan demikian maka biaya akan mengalami peningkatan sebesar Rp ,-/m 3 (asumsi : penyebaran manfaat merata pada seluruh luasan mangrove), luas hutan mangrove di kawasan pesisir Tongke-Tongke adalah 34,78 ha atau 3478 m 2. Sehingga berdasarkan data tersebut dapat diperkirakan manfaat ekosistem mangrove sebagai penahan abrasi air laut, yaitu sebesar Rp ,-/10 tahun atau Rp ,-/tahun. Nilai manfaat tidak langsung biologis sebagai penyedia pakan organik bagi udang menggunakan pendekatan metode regresi luasan mangrove dan produksi udang (Naamin, 1990) sebagai berikut : Y = 16, , X

76 Dimana: Y = Produksi udang (kg) X = Luasan hutan mangrove (Ha) Luas hutan mangrove di kawasan pesisir Tongke-Tongke adalah 34,78 ha, dari luas tersebut dapat diperoleh produksi udang yang dihasilkan yaitu sebesar 16,298 kg/tahun. Apabila dikalikan dengan harga jual pakan udang dan kebutuhan pakan untuk 1 kg udang, maka diperoleh nilai manfaat tidak langsung hutan mangrove sebagai penyedia pakan. Apabila harga pakan udang di Sinjai rata-rata Rp ,- /kg, dimana kebutuhan pakan udang untuk setiap1 kg adalah 1,5 kg, maka nilai manfaat tidak langsung hutan mangrove sebagai penyedia pakan adalah Rp /th. Sehingga dari kedua hasil analisis tersebut diperoleh nilai manfaat tidak langsung hutan mangrove pesisir Tongke-Tongke adalah sebesar Rp /th (Lampiran 17). c. Nilai Manfaat Pilihan Manfaat pilihan ekosistem hutan mangrove di kawasan pesisir Tongke- Tongke menggunakan pendekatan nilai manfaat dari keanekaragaman (Biodiversity). Manfaat pilihan ini adalah nilai dari keanekaragaman hayati (biodiversity) dari ekosistem mangrove seperti yang dikemukakan oleh Ruitenbeek (1991), bahwa nilai biodiversity hutan mangrove di Indonesia adalah US$ 1500/km 2 /tahun atau US $ 15/ha/tahun. Nilai manfaat pilihan dihitung berdasarkan perubahan nilai tukar antara US$ dengan rupiah pada saat penelitian. Dengan nilai rata-rata Rp.8.500,-/US$ maka diperoleh nilai manfaat pilihan ekosistem mangrove sebesar.rp ,-/ha/tahun. Atas dasar perhitungan ini maka manfaat pilihan bersih dari ekosistem mangrove di kawasan pesisir TongkeTongke yaitu sebesar Rp ,-/tahun (Lampiran 18). d. Nilai Manfaat Keberadaan (Existance Value) Pendekatan yang digunakan dalam menghitung manfaat keberadaan hutan mangrove di kawasan pesisir Tongke-Tongke adalah menggunakan Contingent Value Methode (CVM). Pemilihan responden dilakukan secara purposive sampling (acak sengaja). Jumlah responden yang diambil adalah 84 orang yang dipilih berdasarkan pertimbangan klasifikasi mata pencaharian (nelayan, petani

77 tambak, penjual ikan, pedagang, dan pegawai) dan lama pendidikan (12 17 tahun, 7 11 tahun, dan 0 6 tahun). Secara umum teknik pendekatan ini dilakukan dengan menggunakan tiga metode pertanyaan yang saling melengkapi, yaitu pertanyaan setuju atau tidak, pertanyaan terbuka dan pertanyaan pilihan. Dari hasil wawancara diketahui bahwa pengetahuan masyarakat tentang fungsi dan manfaat hutan mangrove sangat dipengaruhi oleh lama pendidikan responden yang 7 tahun keatas cenderung akan memberikan nilai keberadaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan responden yang lama pendidikannya 7 tahun kebawah. Begitu juga mata pencaharian responden juga berpengaruh terhadap pemberian nilai keberadaan hutan mangrove, dimana responden yang bermata pencaharian sebagai petani tambak dan nelayan juga cenderung memberikan nilai keberadaan yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan responden yang bermata pencaharian lain. Jawaban responden terhadap nilai manfaat hutan mangrove berkisar antara Rp ,-/ha Rp ,-/ha. Masyarakat yang lama pendidikannya 7 tahun ke atas dan bermata pencaharian nelayan dan petani tambak memberikan nilai rata-rata Rp ,-/ha Rp ,-/ha. Sedangkan 5 orang responden tidak bersedia membayar atas keberadaan hutan mangrove, karena mereka berpendapat bahwa hutan mangrove di Tongke-Tongke mempunyai manfaat dan fungsi yang sangat penting sehingga tidak bisa dinilai dengan uang. Berdasarkan Lampiran 19 dapat diambil kesimpulan bahwa nilai keberadaan ekosistem mangrove rata-rata sebesar Rp ,-/ha/tahun, sehingga nilai eksistensi hutan mangrove di kawasan pesisir Tongke-Tongke dengan luas 34,78 ha adalah Rp /th. e. Nilai Manfaat Total Hutan mangrove Nilai Ekonomi Total ekosistem hutan mangrove di kawasan pesisir Tongke-Tongke adalah sebesar Rp ,-/tahun yang merupakan hasil penjumlahan dari manfaat langsung, manfaat tidak langsung, manfaat pilihan, dan manfaat keberadaan.

78 Tabel 16. Nilai Ekonomi Total Ekosistem Hutan Mangrove Di Kawasan Pesisir Tongke-Tongke Berdasarkan Masing-Masing Manfaat No Jenis Manfaat Nilai Total (Rp/Tahun) Persentase 1 Manfaat langsung % 2 Manfaat tidak langsung % 3 Manfaat pilihan % 4 Manfaat keberadaan % Nilai Manfaat Total % Sumber : Hasil Analisis Data Primer, 2004 Berdasarkan Tabel 16 di atas, maka yang memberikan proporsi paling tinggi terhadap nilai ekonomi total ekosistem mangrove tersebut adalah manfaat tidak langsung dengan nilai sebesar Rp ,-/tahun atau 96,67%, kemudian manfaat keberadaan sebesar Rp ,-/tahun atau 2,21% dan manfaat langsung sebesar Rp ,-/tahun atau 1,02%, sedangkan manfaat pilihan memberikan nilai sebesar Rp ,-/tahun atau hanya 0,10 % dari total nilai manfaat. Alternatif Skenario Pengelolaan (Cost Benefit Analysis) Data nilai manfaat ekonomi hutan mangrove di kawasan pesisir Tongke- Tongke Kabupaten Sinjai digunakan sebagai dasar aplikasi alternatif pengelolaan hutan mangrove secara berkelanjutan, sehingga disusun 4 skenario yang dianalisa dengan menggunakan teknik analisa manfaat untuk memperoleh nilai Net Present Value (NPV), sebagaimana disajikan pada Tabel 17. Tabel 17. Hasil Analisis Skenario 1 sampai dengan Skenario 4 Skenario NPV (Rp) BCR ,- 4, ,- 3, ,- 1, ,- 1,50

79 a. Skenario 1 Skenario 1 diasumsikan bahwa kondisi hutan mangrove di lokasi penelitian masih utuh atau belum ada konversi menjadi tambak dengan luas 88,78 ha. Hal ini bertujuan untuk mempermudah perhitungan konversi hutan mangrove menjadi lahan tambak atau sebaliknya. Hasil analisis ekonomi pada skenario ini diperoleh nilai NPV sebesar Rp ,- dengan BC Ratio sebesar 4,83 (Lampiran 20). Artinya kondisi ini sangat hemat biaya namun memperoleh manfaat bersih yang besar. b. Skenario 2 Skenario 2 adalah kondisi existing yang menggambarkan kondisi pada saat ini, dimana luas mangrove yang dikonversi menjadi lahan tambak adalah 54 ha (60,8 % dari total mangrove pada kondisi alami). Hasil analisis Cost Benefit Analysis (CBA) dengan jangka waktu 10 tahun menghasilkan NPV sebesar Rp ,- dengan BC Ratio sebesar 3,04 (Lampiran 21). Dibandingkan dengan skenario 1, maka terjadi penurunan nilai manfaat langsung, tidak langsung, manfaat pilihan dan manfaat eksistensi pada skenario 2 ini yang setara dengan luas hutan mangrove yang telah dikonversi menjadi tambak, tetapi memperoleh manfaat langsung dari tambak. Nilai NPV dan BCR yang lebih kecil dibandingkan skenario 1, berarti skenario 1 lebih menguntungkan dibandingkan skenario 2. c. Skenario 3 Skenario 3 merupakan alternatif pemanfaatan luas lahan yang diasumsikan sangat sesuai untuk lahan tambak (32,74 ha) dan kondisi hutan mangrove pada saat penelitian (34,78 ha). Komponen jenis manfaat dan biaya lainnya sama seperti pada skenario 2. Hasil analisis CBA dengan discount rate sebesar 12 % dan jangka waktu 10 tahun menunjukkan bahwa skenario 1 dan skenario 2 lebih menguntungkan, dimana pada skenario 3 ini nilai NPVnya hanya sebesar Rp ,- dengan BC Ratio sebesar 1,68 (Lampiran 22).

80 d. Skenario 4 Skenario ini juga merupakan alternatif pemanfaatan luas lahan namun diasumsikan sesuai untuk lahan tambak (29,17 ha) dan kondisi hutan mangrove di lokasi pada saat penelitian (34,78 ha). Hasil analisis CBA dengan discount rate sebesar 12 % dan jangka waktu 10 tahun diperoleh nilai NPV pada skenario ini sebesar Rp ,- dengan BC Ratio sebesar 1,50 (Lampiran 23) Ini berarti bahwa skenario 1, skenario 2, dan skenario 3 lebih menguntungkan dibandingkan skenario 4. Berdasarkan hasil analisis keempat skenario tersebut di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa skenario 1 merupakan skenario paling optimal. Namun demikian, pemilihan salah satu skenario alternatif pengelolaan dalam aplikasinya di lapangan tidak cukup hanya mempertimbangkan aspek ekonomi semata, tetapi masih harus memperhatikan aspek terkait lainnya secara menyeluruh dengan tetap memperhatikan kepentingan masyarakat. Oleh karena itu beberapa skenario yang memiliki keunggulan dari aspek ekonomi masih perlu dianalisis kelemahan dan kelebihannya dari aspek teknis, sosial, dan kelestarian ekosistem mangrove. Analisis Karakteristik Sosial Ekonomi Analisis Komponen Utama /Principal Components Analysis (PCA) Analisis karakteristik sosial ekonomi masyarakat pesisir Tongke-Tongke dengan menggunakan Analisis Komponen Utama (PCA) ini didasarkan atas 9 variabel, yaitu umur, lama pendidikan formal (PDDK), jumlah anggota keluarga (JAK), jumlah tenaga kerja (JTK), jenis pekerjaan (JPK), pendapatan (PDPT), pengeluaran rumah tangga (PENG), kondisi tempat tinggal (KTT), dan fasilitas tempat tinggal (FTT). Analisis ini dilakukan dengan pengambilan data terhadap 84 reseponden di empat dusun, yaitu dusun Babana, Maroangin, Cempae, dan Bentenge dengan hanya mengambil empat (4) sumbu utama berdasarkan hasil analisis pada Gambar 6.

81 Hubungan antara % Variance dengan Komponen % Variance Komponen Gambar 6. Grafik Hubungan antara % Variance dengan Komponen Bengen (2000 b), menyatakan bahwa salah satu fase terpenting untuk dapat menginterpretasi hasil yang diperoleh adalah menentukan sumbu yang digunakan dengan cara : (a) eigenvalue lebih besar dari satu (1), (b) menetapkan suatu dasar persentase informasi untuk dipresentasikan (lebih dari 70 %), (c) atau dengan hanya mengambil sumbu-sumbu pertama sebelum adanya penurunan inersi secara drastis. Hasil Analisis Komponen Utama (PCA) memperlihatkan bahwa ragam pada sumbu utama pertama hingga keempat mencapai 72,3 %. Hal ini berarti 72,3 % dari data hasil analisis dapat diterangkan hingga sumbu utama keempat. Komponen utama pertama hingga keempat secara berurutan memiliki akar ciri: 2,5562: 1,5324: : 0,8276 yang menjelaskan masing-masing 28,40 %, 17,03 %, 14,08 %, dan 9,20 % keragaman dari gugus data (Lampiran 24). Korelasi antara variabel dengan sumbu utama dapat dilihat pada lingkaran korelasi, yaitu dengan koordinat variabel atau representasi variabel pada sumbu utama yang ditunjukkan dengan jauh dekatnya variabel tersebut dengan sumbu utama. Semakin dekat variabel dengan sumbu utama semakin besar pula korelasi. Sementara interpretasi dari setiap variabel tersebut dapat dilihat dengan melihat sebaran individu pada sumbu utama.

82 Projection of the variables on the factor-plane ( 1 x 2) 1.0 PDDK 0.5 Factor 2 : 18.32% JPK KTT FTT PDPT PENG JAK JTK UMUR Factor 1 : 31.16% Active Gambar 7. Korelasi Variabel pada Sumbu Utama Pertama (F1) dan Kedua (F2) Pada Gambar 7, variabel jumlah anggota keluarga, jumlah tenaga kerja, pendapatan, dan pengeluaran memiliki kontribusi terbesar dalam pembentukan sumbu utama pertama (JAK = 0,17 ; JTK = 0,13, PDPT = 0,18 dan PENG = 0,20). Variabel umur, pendidikan, dan fasilitas tempat tinggal memberikan kontribusi terbesar terhadap pembentukan sumbu utama kedua (Umur = 0,27, PDDK = 0,28, dan FTT = 0,17). Kondisi tempat tinggal adalah variabel yang berkontribusi dalam pembentukan sumbu utama ketiga (KTT = 0,36). Sedangkan jenis pekerjaan merupakan pembentuk sumbu utama keempat (JPK = 0,27). Hasil analisis PCA secara lengkap untuk setiap variabel dapat dilihat pada Lampiran 24. Variabel pendidikan, umur, dan fasilitas tempat tinggal sebagai pembentuk sumbu utama kedua, memiliki korelasi negatif. Artinya individu yang memiliki umur yang tua cenderung memiliki fasilitas tempat tinggal yang bagus, namun mempunyai tingkat pendidikan yang rendah (Lampiran 26).

83 Variabel jumlah anggota keluarga, jumlah tenaga kerja, pendapatan, dan pengeluaran sebagai pembentuk sumbu utama pertama memiliki korelasi positif yang erat, artinya individu yang memiliki jumlah anggota keluarga yang banyak juga mempunyai jumlah tenaga kerja, pendapatan, dan pengeluaran yang tinggi, dan sebaliknya. Variabel pengeluaran yang berkorelasi positif dengan pendapatan menunjukkan bahwa besarnya pendapatan yang diterima oleh keluarga mempengaruhi pengeluaran, dimana semakin besar pendapatan yang diterima cenderung mengakibatkan pengeluaran yang besar pula (Lampiran 26). Interpretasi variabel pendidikan yang berkorelasi negatif dengan variabel umur dan fasilitas tempat tinggal sebagai pembentuk sumbu kedua dapat dilihat pada Gambar 8 dan Lampiran 28 (individu nomor = Dusun Babana; = Dusun Maroangin; = Dusun Cempae; dan = Dusun Bentenge). Pada Gambar 8 dan Lampiran 28 terlihat bahwa sekitar 50 % responden dari Dusun Bentenge, dan 26,32% responden dari Dusun Cempae yang terdistribusi pada bidang faktorial 1. Hal ini berarti sekitar 26,32 % responden Dusun Cempae dan 50 % responden Dusun Bentenge memiliki umur yang tua (> 51 tahun) dan mempunyai fasilitas tempat tinggal yang bagus, namun tingkat pendidikannya rendah (0-5 tahun). Sebaliknya pada bidang faktorial 3, terdistribusi sekitar 33,33 % responden Dusun Maroangin, dan 30% responden Dusun Babana. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sekitar 33,33 % responden Dusun Maroangin, dan 30% responden Dusun Babana memiliki umur yang muda (24 37 tahun) dan tingkat pendidikan yang tinggi (>11 tahun), tetapi fasilitas tempat tinggalnya tidak bagus. Interpretasi variabel jumlah anggota keluarga, jumlah tenaga kerja, pendapatan dan pengeluaran sebagai pembentuk sumbu utama pertama dapat dilihat pada Gambar 7 pada bidang faktorial 4, terlihat bahwa 28,57% individu Dusun Maroangin, 26,67 % individu Dusun Babana terdistribusi pada bidang tersebut. Hal ini berarti 28,57% individu Dusun Maroangin, dan 26,67 % individu Dusun Babana memiliki jumlah anggota keluarga dan jumlah tenaga kerja yang banyak (JAK = orang dan JTK = 3 4 orang) serta tingkat pendapatan ( > Rp ,-/bulan) dan pengeluaran (> Rp ,-/bulan) yang tinggi. Sebaliknya pada bidang faktorial 2 terdistribusi sekitar 47 % individu dari Dusun

84 Cempae dan 30 % individu dari Dusun Babana, artinya sekitar 47 % individu dari Dusun Cempae dan 30 % individu dari Dusun Babana mempunyai jumlah anggota keluarga dan jumlah tenaga kerja yang sedikit (JAK = 2 6 orang dan JTK = 1 2 orang) serta tingkat pendapatan dan pengeluaran yang rendah (pendapatan = Rp ,-/bulan Rp ,-/bulan dan pengeluaran = Rp ,/bulan Rp ,-/bulan). Berdasarkan sebaran individu pada bidang faktorial 1 dan 3 dari Gambar 10 terdapat sekitar 56,67 % individu Dusun Babana, 47, 62 % individu Dusun Maroangin, 63,16 % individu Dusun Cempae dan 28,57 % individu Dusun Bentenge yang memiliki umur (38 51 tahun), dan tingkat pendidikan (6 11 tahun), dan fasilitas tempat tinggal yang sedang. Hal yang sama untuk bidang faktorial 2 dan 4, sebagian besar individu Dusun Babana (43,33 %), Dusun Maroangin (52,38 % ), Dusun Cempae (36,84), dan Dusun Bentenge (71,43%) memiliki jumlah anggota keluarga (7 11 orang), jumlah tenaga kerja (3 4 orang), tingkat pendapatan (Rp ,-/bulan Rp ,-/bulan) dan tingkat pengeluaran (Rp ,-/bulan - Rp ,-/bulan) yang masuk kategori sedang. 5 Projection of the cases on the factor-plane ( 1 x 2) Cases with sum of cosine square >= 0.00 Factor 2: 18.32% Factor 1: 31.16% Active Gambar 8. Distribusi Individu pada Sumbu Utama (F1) dan Kedua (F2)

85 Variabel kondisi tempat tinggal sebagai pembentuk sumbu ketiga terlihat pada bidang faktorial 1 pada Gambar 9 dan 10 berikut: 1.0 Projection of the variables on the factor-plane ( 1 x 3) 0.5 Factor 3 : 13.56% FTT JPK PDDK KTT UMUR PDPT JAK PENG JTK Factor 1 : 31.16% Active Gambar 9. Korelasi Variabel pada Sumbu Utama Pertama (F1) dan ketiga (F3) 4 Projection of the cases on the factor-plane ( 1 x 3) Cases with sum of cosine square >= 0.00 Factor 3: 13.56% Factor 1: 31.16% Active

86 Gambar 10. Distribusi Individu pada Sumbu Utama Pertama (F1) dan ketiga (F3) Berdasarkan Gambar 10 di atas terdapat 50 % individu Dusun Bentenge dan 26,67 % Dusun Babana yang tersebar pada bidang faktorial 1. Hal ini berarti terdapat sekitar 50 % individu Dusun Bentenge dan 26,67 % Dusun Babana yang memiliki kondisi tempat tinggal yang layak. Sebaliknya, pada bidang faktorial 3 terdapat sekitar 38,10 % individu Dusun Maroangin dan 26,32 % Dusun Cempae. Artinya 38,10 % individu Dusun Maroangin dan 26,32 % individu Dusun Cempae yang mempunyai kondisi tempat tinggal yang tidak layak. Variabel pendapatan dan jenis pekerjaan sebagai pembentuk sumbu utama keempat terlihat pada bidang faktorial keempat, dimana 23,81 % individu Dusun Maroangin dan 21,05 % individu Dusun Cempae terdistribusi pada bidang tersebut yang berarti individu Dusun Maroangin (23,81 %) dan individu Dusun Cempae (21,05 %) mempunyai jenis pekerjaan (Juragan) yang berpendapatan tinggi (>Rp ,-/bulan. Sedangkan individu Bentenge (28,57 %) dan individu Babana (26,67 %) yang tersebar pada bidang faktorial 2 mempunyai jenis pekerjaan (Sawi) yang menghasilkan pendapatan yang rendah (Rp ,- /bulan Rp ,-/bulan). Jenis pekerjaan yang menghasilkan pendapatan yang masuk dalam kategori sedang terlihat pada bidang faktorial 4 dan 2. Individu yang tersebar pada bidang tersebut adalah individu Dusun Babana (60 %), individu Dusun Maroangin (57,14 %), individu Dusun Cempae (52,63%) dan individu Dusun Bentenge (57,14). Artinya 60 % individu Dusun Babana, 57,14 % individu Dusun Maroangin, 52,63% individu Dusun Cempae dan 57,14 % individu Dusun Bentenge mempunyai pekerjaan yang berpenghasilan sedang (Rp ,- /bulan Rp ,-/bulan). Analisis Regresi Linear Berganda Berdasarkan hasil analisis PCA (Lampiran 24), maka dilakukan analisis regresi linear berganda untuk mengetahui besarnya kepentingan faktor-faktor pendorong (pendidikan, jumlah anggota keluarga, independen ratio, dan jenis pekerjaan) terhadap indeks kesejahteraan masyarakat Tongke-tongke (pendapatan dan pengeluaran).

87 Hasil analisis menunjukkan bahwa variabel yang berpengaruh nyata (α = 0,05) terhadap pendapatan adalah jumlah anggota keluarga (0,014), independen ratio (0,018), dan jenis pekerjaan (0,026). Sedangkan variabel yang berpengaruh nyata terhadap pengeluaran adalah jumlah anggota keluarga dan independen ratio. Tabel 18. Hasil Analisis Regresi Linier Berganda Parameter Terikat (Y) Parameter Bebas (X) Probability (α) Pendidikan 0,364 Jumlah Anggota Keluarga 0,014 Pendapatan Independen Rasio 0,018 Jenis Pekerjaan 1 0,026 Jenis Pekerjaan 2 0,247 Pendidikan 0,457 Jumlah Anggota Keluarga 0,000 Pengeluaran Independen Rasio 0,071 Jenis Pekerjaan 1 0,289 Jenis Pekerjaan 2 0,689 Kebijakan, Peraturan dan Kelembagaan Kebijakan pemerintah daerah Kabupaten Sinjai terhadap pengelolaan ekosistem mangrove di kawasan pesisir Tongke-tongke tertuang dalam Perda No. 8 Tahun 1999 tentang Pelestarian, Pengelolaan, dan Pemanfaatan Hutan Mangrove. Keefektifan kebijakan pemerintah ini menurut berbagai instansi sebagai berikut: Bappeda Menurut Bappeda Kabupaten Sinjai (2003), bentuk penetapan kebijakan berupa larangan penebangan hutan mangrove pada lahan mangrove milik masyarakat yang telah dikembangkan dan dilestarikannya. Dan pemerintah daerah tetap memberikan fasilitas-fasilitas yang dibutuhkan dalam pelestarian hutan mangrove tersebut.

88 Bapedalda dan Pertambangan Menurut Bapedalda dan Pertambangan Kabupaten Sinjai (2003), bentuk penetapan kebijakan adalah ditetapkannya Perda No. 8 Tahun 1999 tentang Pelestarian, Pengelolaan, dan Pemanfaatan Hutan Mangrove. Alasan pemerintah daerah menetapkan kebijakan pelarangan penebangan hutan mangrove adalah : (1) agar tetap terjaganya fungsi perlindungan terhadap abrasi pantai dan rembesan air laut, (2) apabila dibiarkan melakukan penebangan, maka yang merasakan dampaknya adalah masyarakat di kawasan hutan mangrove itu sendiri. Dinas Perkebunan dan Kehutanan Menurut Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Sinjai (2003), bentuk penetapan kebijakan adalah pada prinsipnya bukan larangan penebangan, namun hanya pengendalian dan pengaturan. Alasan pemerintah daerah menetapkan kebijakan pelarangan hutan mangrove adalah : (1) agar tetap dipertahankan ekosistem hutan bakau yang dapat dibagi atas dua zonasi yaitu zonasi konservasi dan zonasi budidaya, (2) zonasi budidaya dapat dikembangkan empang parit. Dinas Kelautan dan Perikanan Menurut Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sinjai ditetapkannya Perda No. 8 Tahun 1999 tentang Pelestarian, Pengelolaan, dan Pemanfaatan Hutan Mangrove. Alasan pemerintah daerah menetapkan kebijakan pelarangan penebangan hutan mangrove adalah : (1) untuk perbaikan ekosistem pesisir melalui konservasi hutan mangrove, (2) agar tetap terjaga kelestarian hutan mangrove melalui pengaturan mangrove yang dikelola secara swadaya. Yayasan Tumbuh Mandiri Indonesia (YTMI) Makassar Menurut YTMI 2003, bentuk kebijakan pemerintah daerah adalah ditetapkannya Perda No. 8 Tahun 1999 Pelestarian, Pengelolaan, dan Pemanfaatan Hutan Mangrove.

89 Alasan pemerintah daerah menetapkan pelarangan penebangan hutan mangrove adalah hutan mangrove yang ada saat ini dijaga keberadaannya agar tetap lestari guna kepentingan masyarakat nelayan dan kepentingan ilmu pengetahuan. Sebelum pemerintah daerah menetapkan pelarangan penebangan hutan mangrove swadaya masyarakat di Tongke-Tongke, terlebih dahulu telah diterapkan aturan lokal melalui penetapan sebagian lahan mangrove masyarakat sebagai Hutan Kesepakatan Desa yang tidak boleh diganggu dan dijamah oleh siapapun. Masyarakat setempat sudah tidak lagi memanfaatkan mangrovenya secara bebas, kemudian tahun 1999, pemerintah daerah menetapkan kebijakan pelarangan penebangan mangrove yang diatur dalam Perda No. 8 tahun Hal ini nampak bahwa masyarakat telah menerima kebijakan pemerintah tersebut. Indikasi keefektifan kebijakan pemerintah berjalan dengan baik adalah : (1) masyarakat tidak lagi mengganggu ekosistem hutan mangrove, walaupun hutan mangrove tersebut adalah miliknya, namun masyarakat hanya memanfaatkan ranting-ranting kayu dan kayu bakau yang sudah mati alami, (2) masyarakat setempat menyadari sepenuhnya manfaat hutan mangrove sebagai bagian dari hidupnya, (3) masyarakat mempertahankan ekosistem hutan mangrove dari gangguan luar yang mengancam kepunahan hutan mangrove sejak adanya kesepakatan hutan desa hingga dikeluarkannya kebijakan pemerintah. Pemerintah daerah menetapkan kebijakan lebih bersifat strategi dalam penyelamatan lingkungan pantai dari amukan ombak dan hembasan badai serta abrasi pantai. Pemerintah daerah sangat memahami kepentingan dan kebutuhan masyarakat terhadap keberadaan hutan mangrove yang telah berhasil dilestarikan, yang saat ini telah berfungsi secara ekologi dan ekonomi. Fungsi ekologi seperti pelindung dari abrasi pantai, penghasil sejumlah besar detritus, dan sebagai daerah asuhan, daerah mencari makan, dan daerah pemijahan bermacam biota yang hidup di kawasan hutan mangrove tersebut. Sedangkan fungsi ekonomi seperti pemasaran kayu bakar dari hasil pemangkasan secara terbatas. Pemerintah juga memahami jerih payah mereka melestarikan mangrove secara swadaya, namun apabila kepentingan dan keinginan masyarakat dibiarkan

90 memanfaatkan hutan mangrove tanpa perencanaan yang akurat, maka tidak menutup kemungkinan ekosistem hutan mangrove kembali terdegradasi. Salah satu pertimbangan pemerintah daerah yang lain dalam menetapkan kebijakan pelarangan penebangan hutan mangrove ini adalah mengacu kepada Keputusan Presiden RI Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung. Pada pasal 26 disebutkan bahwa perlindungan pantai berhutan dilakukan untuk melestarikan hutan mangrove sebagai ekosistem mangrove dan tempat berkembangbiaknya berbagai biota laut, disamping sebagai perlindungan pantai dan pengikisan air laut serta pelindung usaha budidaya dibelakangnya. Pada umumnya masyarakat Tongke-Tongke menerima kebijakan pemerintah daerah atas larangan penebangan mangrove di lahan mangrove yang mereka lestarikan. Pada sisi lain masyarakat juga merasa diintervensi dalam hal kepentingan, mereka ingin memanfaatkan mangrove miliknya namun terbentur pada aturan pemerintah yang telah menetapkan kebijakan pelarangan penebangan mangrove, kemudian masyarakat merasa kehilangan kebutuhan yang sangat esensial bagi kehidupannya, dimana selama ini masyarakat telah bersusah payah membangun dan melestarikan mangrove secara swadaya tanpa bantuan pemerintah namun tidak dapat dipetik hasilnya. Masyarakat akhirnya menyadari bahwa kebijakan pemerintah daerah yang telah menetapkan larangan penebangan mangrove tersebut juga ada manfaatnya. Apabila masyarakat dibiarkan melakukan penebangan, maka hutan mangrove akan kembali rusak dan akibatnya akan mengancam kembali kehidupan masyarakat itu sendiri. Masyarakat juga menyadari dan memahami bahwa bukan karena adanya kebijakan pemerintah tersebut sehingga masyarakat tidak memanfaatkan mangrovenya, namun lebih menyadari betapa pentingnya keberadaan ekosistem mangrove sebagai penyangga (buffer zone) terhadap ancaman abrasi pantai, gelombang tzunami, dan hempasan badai pada suatu waktu akan terjadi lagi pada masa datang. Mengingat hal tersebut, maka nampak masyarakat Tongke- Tongke mengelola hutan mangrove secara swadaya masyarakat dengan sistem kesepakatan pengelolaan, dimana masyarakat tetap memanfaatkan kayu bakar dari hasil pangkasan pemeliharaan, pengelolaan hutan mangrove sebagai wana wisata bahari, dan pemerintah daerah sebagai unsur pengawas.

91 Indikator efektifnya suatu kebijakan yang diterapkan terletak pada unsur pengelola yang menjalankan fungsi dan perannya, hal ini terlihat berjalan efektif sejak diberlakukannya hutan kesepakatan desa tahun 1987, dimana masyarakat tidak diperkenankan memanfaatkan mangrovenya dalam skala luas, namun dalam bentuk pemanfaatan terbatas. Aturan adat dalam suatu tatanan masyarakat sangat dijunjung tinggi termasuk aturan pemanfaatan mangrove secara tradisional adalah sangat terjaga pemanfaatannya dimasa lampau dibandingkan aturan pemerintah. Sejak diberlakukannya kesepakatan hutan desa 1987 dan kebijakan pemerintah daerah melalui Perda Nomor 8 tahun 1999, penebangan hutan mangrove swadaya masyarakat umumnya tidak terjadi. Kelembagaan Keberadaan mangrove telah menghasilkan berbagai kelompok sosial yang menjadi salah satu modal dalam pengembangan mangrove. Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) yang ada di Tongke-tongke dan berhubungan dengan keberadaan mangrove terdiri dari KSM Aku Cinta Indonesia (ACI) berada di tingkat desa yang mempunyai kegiatan di bidang lingkungan khususnya pengelolaan hutan bakau; Kerukunan Keluarga Tiga Nenek (semacam ikatan kekerabatan keluarga) yang terdiri dari kelompok nelayan, kelompok petani tambak, dan kelompok Akar Laut. Bertambahnya kelompok sosial juga secara terus menerus membuat gesekan antara kelompok dan antar individu di dalam kelompok, hal ini digunakan untuk membuat kestabilan sosial. Berbagai konflik terhadap kelompok ACI muncul dari masyarakat terutama dari Dusun Babana dan Dusun Cempae terhadap kepemimpinan Pak Tayyeb, karena dianggap tidak melakukan transparansi dalam pengelolaan dana. Selain itu, sejak berdirinya ACI, belum pernah dilakukan pembaharuan (tidak ada kaderisasi). Akibatnya pada tahun 2001, ACI melakukan perubahan dengan ketua baru Bapak H.Alimuddin. Namun masih ada ketidakpuasan masyarakat terhadap ACI baru karena prosesnya yang dianggap tidak demokratis. Kondisi ACI baru ternyata sampai saat ini juga tidak memberikan kepuasan kepada masyarakat karena diketahui bahwa selama terbentuk, sama

92 sekali tidak ada kegiatan yang dilakukan ACI. Sehingga muncul kecenderungan adanya upaya untuk membuat kelompok mangrove lain di dusun Cempae. Kondisi sosial dipengaruhi oleh pola kekerabatan, kedekatan lokasi, patront-client ekonomi, dan kinerja kelembagaan. Pola ini mengakibatkan terjadinya konflik tersembunyi antara ACI Pak Tayyeb dan ACI Pak Alimuddin. Namun posisi Pak Alimuddin sebagai orang terkaya di Tongketongke yang menimbulkan ketergantungan ekonomi menjadi patront-client menyebabkan masyarakat tidak berani bersuara secara langsung. Padahal anggota menganggap bahwa selama menjabat sebagai ketua tidak ada kegiatan yang dilakukan ACI. Bahasan Komprehensif Secara ekologis, potensi lahan di wilayah pesisir Tongke-tongke diperoleh tingkat kesesuaian yang tinggi bagi peruntukan tambak berdasarkan analisis spasial dengan menggunakan pendekatan Sistem Informasi Geografis (SIG) dan analisis faktorial diskriminan. Kesesuaian lahan yang tinggi untuk tambak ini jika dikelola secara bijaksana, akan memberikan manfaat yang optimal baik secara ekologi maupun ekonomi. Hal ini ditunjukkan dari hasil analisis ekonomi yang dilakukan diperoleh nilai manfaat langsung untuk budidaya tambak diperoleh BC Ratio sebesar 3,97 (Lampiran 12), artinya keberadaan budidaya tambak yang ada di Tongke-tongke sangat menguntungkan. Namun demikian pengelolaan hutan mangrove yang ada harus mempertimbangkan karakteristik kawasan pesisir Tongke-tongke, baik secara ekologi, ekonomi, maupun kondisi sosial masyarakat setempat. Secara ekonomi dan sosial budaya, maka masyarakat setempat adalah masyarakat pesisir yang langsung terkait dengan berbagai aktifitas pemanfaatan hutan mangrove Tongke-tongke dengan pemahaman yang baik, dimana masyarakat lokasi penelitian umumnya memiliki mata pencaharian sebagai nelayan dan petambak, yang menunjukkan adanya keterkaitan yang erat antara masyarakat dengan lingkungannya. Pemahaman yang tinggi dari masyarakat terhadap hubungan antara mata pencaharian mereka dengan keberadaan

93 mangrove di Pesisir Tongke-tongke merupakan suatu hal yang sangat mendukung dalam upaya pengelolaan hutan mangrove secara berkelanjutan. Dari aspek sosial ekonomi yang perlu dicermati adalah keterbatasan masyarakat memanfaatkan hutan mangrove guna meningkatkan kesejahteraan mereka. Hal ini tentunya menjadi faktor pembatas bagi pengelolaan sumberdaya hutan mangrove secara berkelanjutan. Kondisi ini dikhawatirkan memberikan dampak negatif terhadap upaya-upaya pengelolaan hutan mangrove yang berkelanjutan, yang diakibatkan keterpaksaan. Berdasarkan hasil Cost Benefit Analysis menunjukkan bahwa skenario 1 (kondisi hutan mangrove di lokasi penelitian masih utuh atau belum ada yang dikonversi menjadi tambak) paling menguntungkan dibandingkan skenario yang lain, dimana nilai BC Rationya sebesar 4,83 (Lampiran 21). Artinya kondisi ini sangat hemat biaya namun memperoleh manfaat bersih yang besar. Hal ini sejalan dengan analisis manfaat hutan mangrove yang menggunakan pendekatan Penilaian Ekonomi Total diperoleh hasil bahwa yang memberikan proporsi paling tinggi terhadap nilai ekonomi total ekosistem mangrove tersebut adalah manfaat tidak langsung sebesar 96,67%. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka pemanfaatan ekosistem mangrove harus melalui pelibatan aktif stakeholders, dan penyediaan mekanisme partisipasi yang transparan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan tetap berdasar pada karakteristik dan daya dukung kawasan hutan mangrove tersebut, sehingga diperlukan alokasi yang proporsional apabila akan dikonversi jadi tambak mengingat fungsi ekologi dari hutan mangrove di Tongke-tongke sangat tinggi.

94 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Hasil analisis kesesuaian lahan yang difokuskan pada peruntukan tambak adalah : kategori Sangat Sesuai meliputi 7,91 % dari luas lahan keseluruhan yang terdistribusi pada 2 dusun yaitu Dusun Cempae dan Dusun Babana; kategori Sesuai seluas 7,04 % dari luas lahan keseluruhan yang terletak di Dusun Maroangin dan Dusun Bentenge, kategori Tidak Sesuai seluas 85,05 % dari luas lahan keseluruhan menyebar di keempat wilayah dusun tersebut terutama di Dusun Bentenge. Sedangkan hasil analisis faktorial diskriminan menunjukkan parameter kualitas air dan tanah pada tambak di kawasan mangrove, tambak parit, dan tambak darat secara umum berada dalam pada kualitas cukup baik dan mampu mendukung usaha budidaya bandeng, walaupun mengalami fluktuasi tetapi masih dalam kisaran yang dapat ditolerir oleh bandeng. 2. Hasil analisis ekonomi ekosistem mangrove menunjukkan bahwa yang memberikan proporsi paling tinggi terhadap nilai ekonomi total ekosistem mangrove adalah manfaat tidak langsung sebesar 96,67% dan skenario 1 (alternatif pengelolaan mangrove dalam kondisi alami) merupakan skenario paling optimal, namun demikian pemilihan salah satu skenario alternatif pengelolaan dalam aplikasinya di lapangan tidak cukup hanya mempertimbangkan aspek ekonomi semata, tetapi masih harus memperhatikan aspek terkait lainnya secara menyeluruh dengan tetap memperhatikan kepentingan masyarakat. Oleh karena itu beberapa skenario yang memiliki keunggulan dari aspek ekonomi masih perlu dianalisis kelemahan dan kelebihannya dari aspek teknis, sosial, dan kelestarian ekosistem mangrove. 3. Analisis sosial ekonomi masyarakat Tongke-tongke menunjukkan bahwa individu yang mempunyai jumlah anggota keluarga, juga cenderung mempunyai jumlah tenaga kerja, pendapatan, dan pengeluaran yang tinggi pula. Sedangkan yang mempengaruhi pendapatan masyarakat adalah jumlah

95 anggota keluarga, independen ratio, dan jenis pekerjan, dan yang mempengaruhi pengeluaran adalah jumlah anggota keluarga dan independen ratio. Saran 1. Diperlukan program peningkatan pendapatan nelayan melalui mata pencaharian alternatif, sehingga masyarakat tidak menggantungkan hidupnya pada ekosistem mangrove yang pada akhirnya mendorong mereka melakukan kegiatan yang dapat merusak kelestarian mangrove mengingat tingginya nilai eksistensi dari mangrove tersebut. 2. Peningkatan kualitas sumberdaya manusia melalui pendidikan baik formal maupun non formal dalam rangka peningkatan sumberdaya masyarakat tentang pentingnya kelestarian ekosistem wilayah pesisir, sehingga pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dapat dilakukan secara optimal dan berkelanjutan sesuai konsep pembangunan yang berkelanjutan khusunya ekosistem mangrove. 3. Diperlukan penelitian lanjutan mengenai kemampuan daya dukung hutan mangrove Tongke-tongke untuk mengoptimalkan produktivitas lahan sekaligus untuk mempertimbangkan keberlanjutan pengelolaannya.

96

97 Lampiran 1. Peta Penggunaan Lahan di Tongke-Tongke

98 Lampiran 2. Peta Sebaran Mangrove di Tongke-Tongke

99 Lampiran 3. Peta Sebaran Tambak di Tongke-Tongke

KAJIAN EKOPNOMI DAN EKOLOGI PEMANFAATAN EKOSISTEM MANGROVE PESISIR TONGKE-TONGKE KABUPATEN SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN RUSDIANAH

KAJIAN EKOPNOMI DAN EKOLOGI PEMANFAATAN EKOSISTEM MANGROVE PESISIR TONGKE-TONGKE KABUPATEN SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN RUSDIANAH KAJIAN EKOPNOMI DAN EKOLOGI PEMANFAATAN EKOSISTEM MANGROVE PESISIR TONGKE-TONGKE KABUPATEN SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN RUSDIANAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Wilayah Pesisir. Definisi dan Batasan Wilayah Pesisir

TINJAUAN PUSTAKA. Wilayah Pesisir. Definisi dan Batasan Wilayah Pesisir TINJAUAN PUSTAKA Wilayah Pesisir Definisi dan Batasan Wilayah Pesisir Definisi wilayah pesisir hingga saat ini belum ada yang baku, namun demikian terdapat kesepakatan umum di dunia wilayah pesisir adalah

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. pada iklim tropis dan sub tropis saja. Menurut Bengen (2002) hutan mangrove

TINJAUAN PUSTAKA. kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. pada iklim tropis dan sub tropis saja. Menurut Bengen (2002) hutan mangrove II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Mangrove 1. Pengertian Hutan Mangrove Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis dan sub tropis, yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove mampu tumbuh

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar didunia yang memiliki 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang ± 81.000 km dan luas sekitar 3,1 juta km 2.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kerusakan hutan mangrove di Indonesia, kini semakin merata ke berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Kerusakan hutan mangrove di Indonesia, kini semakin merata ke berbagai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kerusakan hutan mangrove di Indonesia, kini semakin merata ke berbagai wilayah di Nusantara. Kerusakan hutan mangrove ini disebabkan oleh konversi lahan menjadi areal

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Mangrove. kemudian menjadi pelindung daratan dan gelombang laut yang besar. Sungai

TINJAUAN PUSTAKA. A. Mangrove. kemudian menjadi pelindung daratan dan gelombang laut yang besar. Sungai II. TINJAUAN PUSTAKA A. Mangrove Mangrove adalah tanaman pepohonan atau komunitas tanaman yang hidup di antara laut dan daratan yang dipengaruhi oleh pasang surut. Habitat mangrove seringkali ditemukan

Lebih terperinci

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN CILACAP

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN CILACAP PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN CILACAP PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR : 17 TAHUN 2001 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE DI KAWASAN SEGARA ANAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA BUPATI CILACAP,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut. Menurut Suprihayono (2007) wilayah pesisir merupakan wilayah pertemuan antara daratan dan laut,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atas pulau, dengan garis pantai sepanjang km. Luas laut Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. atas pulau, dengan garis pantai sepanjang km. Luas laut Indonesia BAB I PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari atas 17.508 pulau, dengan garis pantai sepanjang 81.000 km. Luas laut Indonesia sekitar 3,1

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN Latar Belakang...

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN Latar Belakang... DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... x xiii xv xvi I. PENDAHULUAN... 1 1.1. Latar Belakang... 1 1.2. Rumusan Masalah... 5 1.3.Tujuan dan Kegunaan Penelitian...

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar

Lebih terperinci

1. Pengantar A. Latar Belakang

1. Pengantar A. Latar Belakang 1. Pengantar A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar yang memiliki sekitar 17.500 pulau dengan panjang sekitar 81.000, sehingga Negara kita memiliki potensi sumber daya wilayah

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang km, yang merupakan

BAB I. PENDAHULUAN. pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang km, yang merupakan BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara tropis berbentuk kepulauan dengan 17.500 pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang 81.000 km, yang merupakan kawasan tempat tumbuh hutan

Lebih terperinci

Mangrove menurut Macnae (1968) merupakan perpaduan

Mangrove menurut Macnae (1968) merupakan perpaduan 1 2 Mangrove menurut Macnae (1968) merupakan perpaduan antara bahasa Portugis mangue dan bahasa Inggris grove. Menurut Mastaller (1997) kata mangrove berasal dari bahasa Melayu kuno mangi-mangi untuk menerangkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia memiliki mangrove terluas di dunia (Silvus et al, 1987; Primack et al,

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia memiliki mangrove terluas di dunia (Silvus et al, 1987; Primack et al, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Ekosistem mangrove di dunia saat ini diperkirakan tersisa 17 juta ha. Indonesia memiliki mangrove terluas di dunia (Silvus et al, 1987; Primack et al, 1998), yaitu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekologis yaitu untuk melakukan pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery

BAB I PENDAHULUAN. ekologis yaitu untuk melakukan pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove adalah suatu lingkungan yang memiliki ciri khusus yaitu lantai hutannya selalu digenangi air, dimana air tersebut sangat dipengaruhi oleh pasang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan pesisir dan laut merupakan sebuah ekosistem yang terpadu dan saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi pertukaran materi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut.

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem yang kompleks terdiri atas flora dan fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut. Ekosistem mangrove

Lebih terperinci

PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAROS NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG PELESTARIAN, PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN HUTAN MANGROVE

PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAROS NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG PELESTARIAN, PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN HUTAN MANGROVE SALINAN PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAROS NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG PELESTARIAN, PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN HUTAN MANGROVE DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MAROS, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. baik bagi pesisir/daratan maupun lautan. Selain berfungsi secara ekologis,

BAB I PENDAHULUAN. baik bagi pesisir/daratan maupun lautan. Selain berfungsi secara ekologis, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem yang sangat vital, baik bagi pesisir/daratan maupun lautan. Selain berfungsi secara ekologis, ekosistem mangrove memiliki

Lebih terperinci

DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL PEDOMAN INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS MANGROVE

DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL PEDOMAN INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS MANGROVE DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL PEDOMAN INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS MANGROVE JAKARTA, MEI 2005 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kerusakan fisik habitat wilayah pesisir dan lautan di Indonesia mengakibatkan penurunan kualitas ekosistem. Salah satunya terjadi pada ekosistem mangrove. Hutan mangrove

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Mangrove

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Mangrove 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Mangrove Mangrove atau biasa disebut mangal atau bakau merupakan vegetasi khas daerah tropis, tanamannya mampu beradaptasi dengan air yang bersalinitas cukup tinggi, menurut Nybakken

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai kawasan pesisir yang cukup luas, dan sebagian besar kawasan tersebut ditumbuhi mangrove yang lebarnya dari beberapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Hutan mangrove merupakan hutan yang tumbuh pada daerah yang berair payau dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Hutan mangrove memiliki ekosistem khas karena

Lebih terperinci

SUMBERDAYA ALAM WILAYAH PESISIR

SUMBERDAYA ALAM WILAYAH PESISIR SUMBERDAYA ALAM WILAYAH PESISIR EDI RUDI FMIPA UNIVERSITAS SYIAH KUALA Ekosistem Hutan Mangrove komunitas vegetasi pantai tropis yang didominasi oleh beberapa spesies pohon mangrove yang mampu untuk tumbuh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pantai sekitar Km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat potensial.

BAB I PENDAHULUAN. pantai sekitar Km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat potensial. 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Indonesia sebagai suatu negara kepulauan dengan panjang garis pantai sekitar 81.000 Km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat potensial. Salah satu ekosistem

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis

PENDAHULUAN. pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis PENDAHULUAN Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem yang memiliki peranan penting dalam pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis kondisi dan keberadaannya. Beberapa

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. garis pantai sepanjang kilometer dan pulau. Wilayah pesisir

PENDAHULUAN. garis pantai sepanjang kilometer dan pulau. Wilayah pesisir PENDAHULUAN Latar belakang Wilayah pesisir merupakan peralihan ekosistem perairan tawar dan bahari yang memiliki potensi sumberdaya alam yang cukup kaya. Indonesia mempunyai garis pantai sepanjang 81.000

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 13.466 pulau dengan garis pantai sepanjang 99.023 km 2 (Kardono, P., 2013). Berdasarkan UNCLOS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tempat dengan tempat lainnya. Sebagian warga setempat. kesejahteraan masyarakat sekitar saja tetapi juga meningkatkan perekonomian

BAB I PENDAHULUAN. tempat dengan tempat lainnya. Sebagian warga setempat. kesejahteraan masyarakat sekitar saja tetapi juga meningkatkan perekonomian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara yang sangat kaya raya akan keberagaman alam hayatinya. Keberagaman fauna dan flora dari dataran tinggi hingga tepi pantai pun tidak jarang

Lebih terperinci

PENANGANAN TERPADU DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DI WILAYAH PESISIR, LAUTAN DAN PULAU

PENANGANAN TERPADU DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DI WILAYAH PESISIR, LAUTAN DAN PULAU PENANGANAN TERPADU DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DI WILAYAH PESISIR, LAUTAN DAN PULAU Zonasi Wilayah Pesisir dan Lautan PESISIR Wilayah pesisir adalah hamparan kering dan ruangan lautan (air dan lahan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Desa Dabong merupakan salah satu desa di Kecamatan Kubu, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat yang memiliki hamparan hutan mangrove yang cukup luas. Berdasarkan Surat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan garis pantai sepanjang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan garis pantai sepanjang BAB I PENDAHULUAN 1.1.LatarBelakang Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan garis pantai sepanjang 95.181 km terdiri dari sumber daya alam laut dan pantai yang beragam. Dengan kondisi iklim dan substrat

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut

TINJAUAN PUSTAKA. lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut TINJAUAN PUSTAKA Hutan Manggrove Hutan mangrove oleh masyarakat Indonesia dan negara Asia Tenggara lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut Kusmana dkk (2003) Hutan mangrove

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau I. PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Indonesia memiliki hutan mangrove terluas di dunia yakni 3,2 juta ha (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau besar mulai dari Sumatera,

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Ekosistem mangrove tergolong ekosistem yang unik. Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem dengan keanekaragaman hayati tertinggi di daerah tropis. Selain itu, mangrove

Lebih terperinci

KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI)

KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI) 1 KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI) Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Kawasan pesisir Teluk Bone yang terajut oleh 15 kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara dan membentang sepanjang kurang lebih 1.128 km garis pantai

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Kata mangrove berasal dari bahasa Melayu manggi-manggi, yaitu nama

TINJAUAN PUSTAKA. Kata mangrove berasal dari bahasa Melayu manggi-manggi, yaitu nama TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Mangrove Kata mangrove berasal dari bahasa Melayu manggi-manggi, yaitu nama yang diberikan kepada mangrove merah (Rhizopora spp.). Nama mangrove diberikan kepada jenis tumbuh-tumbuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. antara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. antara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik mempunyai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan yang secara geografis terletak di antara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik mempunyai keanekaragaman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove,

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Dalam suatu wilayah pesisir terdapat beragam sistem lingkungan (ekosistem). Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove, terumbu karang,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem mangrove adalah suatu sistem yang terdiri atas berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem mangrove adalah suatu sistem yang terdiri atas berbagai BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Ekosistem mangrove adalah suatu sistem yang terdiri atas berbagai tumbuhan, hewan, dan mikrobia yang berinteraksi dengan lingkungan di habitat mangrove (Strategi Nasional

Lebih terperinci

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan 29 BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN 3.1. Kerangka Berpikir Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan ekosistem laut. Mangrove diketahui mempunyai fungsi ganda

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dengan garis pantai lebih dari 8.100 km serta memiliki luas laut sekitar 5,8 juta km2 dan memiliki lebih dari 17.508 pulau, sehingga

Lebih terperinci

Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang. berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur. Komunitas vegetasi ini

Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang. berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur. Komunitas vegetasi ini II. TINJAIJAN PliSTAKA Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa spesies pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan hidup. Oleh karena adanya pengaruh laut dan daratan, dikawasan mangrove terjadi interaksi kompleks

Lebih terperinci

Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya

Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya 1 Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya PENDAHULUAN Wilayah pesisir merupakan ruang pertemuan antara daratan dan lautan, karenanya wilayah ini merupakan suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yaitu mendapatkan makanan, suhu yang tepat untuk hidup, atau mendapatkan

BAB I PENDAHULUAN. yaitu mendapatkan makanan, suhu yang tepat untuk hidup, atau mendapatkan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap makhluk hidup yang berada di suatu lingkungan akan saling berinteraksi, interaksi terjadi antara makhluk hidup dengan makhluk hidup itu sendiri maupun makhluk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. kesempatan untuk tumbuhan mangrove beradaptasi (Noor dkk, 2006). Hutan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. kesempatan untuk tumbuhan mangrove beradaptasi (Noor dkk, 2006). Hutan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kondisi lingkungan yang ekstrim seperti tanah yang tergenang akibat pasang surut laut, kadar garam yang tinggi, dan tanah yang kurang stabil memberikan kesempatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan di daerah tropika yang terdiri dari 17.504 buah pulau (28 pulau besar dan 17.476 pulau kecil) dengan panjang garis pantai sekitar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Potensi wilayah pesisir dan laut Indonesia dipandang dari segi. pembangunan adalah sebagai berikut ; pertama, sumberdaya yang dapat

BAB I PENDAHULUAN. Potensi wilayah pesisir dan laut Indonesia dipandang dari segi. pembangunan adalah sebagai berikut ; pertama, sumberdaya yang dapat 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Potensi wilayah pesisir dan laut Indonesia dipandang dari segi pembangunan adalah sebagai berikut ; pertama, sumberdaya yang dapat diperbaharui seperti perikanan

Lebih terperinci

V. KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG KAWASAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT

V. KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG KAWASAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT V. KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG KAWASAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT 5.1 Kesesuaian Kawasan Budidaya Rumput Laut Keberhasilan suatu kegiatan budidaya rumput laut sangat ditentukan oleh faktor lahan perairan, oleh

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari PENDAHULUAN Latar Belakang ndonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 17 508 pulau dan panjang garis pantainya kira-kira 81 000 kin serta wilayah laut pedalaman dan teritorialnya

Lebih terperinci

VI. SIMPULAN DAN SARAN

VI. SIMPULAN DAN SARAN 135 VI. SIMPULAN DAN SARAN A. SIMPULAN Komposisi spesies mangrove di Pulau Kaledupa, Derawa, dan Pulau Hoga Taman Nasional Wakatobi sebanyak 20 spesies mangrove sejati dan tersebar tidak merata antar pulau.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membentang dari Sabang sampai Merauke yang kesemuanya itu memiliki potensi

BAB I PENDAHULUAN. membentang dari Sabang sampai Merauke yang kesemuanya itu memiliki potensi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan Negara kepulauan yang memiliki garis pantai yang terpanjang di dunia, lebih dari 81.000 KM garis pantai dan 17.508 pulau yang membentang

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove merupakan ekosistem pesisir yang terdapat di sepanjang pantai tropis dan sub tropis atau muara sungai. Ekosistem ini didominasi oleh berbagai jenis

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir dan laut Indonesia merupakan wilayah dengan potensi keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Sumberdaya pesisir berperan penting dalam mendukung pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kerusakan sehingga perlu dijaga kelestariannya. Hutan mangrove adalah

BAB I PENDAHULUAN. kerusakan sehingga perlu dijaga kelestariannya. Hutan mangrove adalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove (bakau) merupakan suatu bentuk ekosistem yang mempunyai keragamanan potensi serta memberikan manfaat bagi kehidupan manusia baik secara langsung maupun

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang . 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan mangrove adalah hutan yang terdapat di wilayah pesisir yang selalu atau secara teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut tetapi tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai perairan laut yang lebih luas dibandingkan daratan, oleh karena itu Indonesia dikenal sebagai negara maritim. Perairan laut Indonesia kaya akan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah teritorial Indonesia yang sebagian besar merupakan wilayah pesisir dan laut kaya akan sumber daya alam. Sumber daya alam ini berpotensi untuk dimanfaatkan bagi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkaitan erat. Selain keunikannya, terdapat beragam fungsi yang dapat dihasilkan

BAB I PENDAHULUAN. berkaitan erat. Selain keunikannya, terdapat beragam fungsi yang dapat dihasilkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan mangrove merupakan ekosistem yang unik karena terdapat pada daerah peralihan (ekoton) antara ekosistem darat dan laut yang keduanya saling berkaitan erat. Selain

Lebih terperinci

V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE

V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE Berdasarkan tinjauan pustaka yang bersumber dari CIFOR dan LEI, maka yang termasuk dalam indikator-indikator ekosistem hutan mangrove berkelanjutan dilihat

Lebih terperinci

PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL. SUKANDAR, IR, MP, IPM

PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL. SUKANDAR, IR, MP, IPM PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL SUKANDAR, IR, MP, IPM (081334773989/cak.kdr@gmail.com) Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Sebagai DaerahPeralihan antara Daratan dan Laut 12 mil laut

Lebih terperinci

berbagai macam sumberdaya yang ada di wilayah pesisir tersebut. Dengan melakukan pengelompokan (zonasi) tipologi pesisir dari aspek fisik lahan

berbagai macam sumberdaya yang ada di wilayah pesisir tersebut. Dengan melakukan pengelompokan (zonasi) tipologi pesisir dari aspek fisik lahan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Indonesia adalah negara bahari dan negara kepulauan terbesar di dunia dengan keanekaragaman hayati laut terbesar (mega marine biodiversity) (Polunin, 1983).

Lebih terperinci

IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 38 IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Letak Hutan Mangrove di Tanjung Bara termasuk dalam area kawasan konsesi perusahaan tambang batubara. Letaknya berada di bagian pesisir timur Kecamatan Sangatta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan yang rentan terhadap dampak perubahan iklim. Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang termasuk rawan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil 1. Keragaman Vegetasi Mangrove Dari hasil pengamatan yang dilakukan pada 20 plot yang masing-masing petak ukur 5x5 m, 10x10 m dan 20x20 m diketahui bahwa vegetasi mangrove

Lebih terperinci

TINJUAN PUSTAKA. Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal

TINJUAN PUSTAKA. Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal TINJUAN PUSTAKA Ekosistem Mangrove Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal woodland, vloedbosschen, dan hutan payau (bahasa Indonesia), selain itu, hutan mangrove oleh masyarakat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Tentang Mangrove 2.1.1. Pengertian mangrove Hutan mangrove secara umum didefinisikan sebagai hutan yang terdapat di daerah-daerah yang selalu atau secara teratur tergenang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang khusus terdapat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang khusus terdapat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang khusus terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut (Tjardhana dan Purwanto,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan mangrove di DKI Jakarta tersebar di kawasan hutan mangrove Tegal Alur-Angke Kapuk di Pantai Utara DKI Jakarta dan di sekitar Kepulauan Seribu. Berdasarkan SK Menteri

Lebih terperinci

Avicenia sp. ( Api-Api ) Rhizophora sp( Bakau ) Nypa sp. ( Nipah ) Bruguiera sp. ( Lacang ) Sonneratia sp. ( Pedada )

Avicenia sp. ( Api-Api ) Rhizophora sp( Bakau ) Nypa sp. ( Nipah ) Bruguiera sp. ( Lacang ) Sonneratia sp. ( Pedada ) Mangal komunitas suatu tumbuhan Hutan Mangrove adalah hutan yang tumbuh di daerah pantai, biasanya terletak didaerah teluk dan muara sungai dengan ciri : tidak dipengaruhi iklim, ada pengaruh pasang surut

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Menurut Tomlinson(1986), mangrove merupakan sebutan umum yang digunakan

I. PENDAHULUAN. Menurut Tomlinson(1986), mangrove merupakan sebutan umum yang digunakan I. PENDAHULUAN Mangrove adalah tumbuhan yang khas berada di air payau pada tanah lumpur di daerah pantai dan muara sungai yang dipengaruhi pasang surut air laut. Menurut Tomlinson(1986), mangrove merupakan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULUNGAN,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULUNGAN, PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE DI KAWASAN MUARA SUNGAI DAN PANTAI DALAM WILAYAH KABUPATEN BULUNGAN Menimbang : DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove

VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN 8.1. Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove Pendekatan AHP adalah suatu proses yang dititikberatkan pada pertimbangan terhadap faktor-faktor

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan, memiliki 18 306 pulau dengan garis pantai sepanjang 106 000 km (Sulistiyo 2002). Ini merupakan kawasan pesisir terpanjang kedua

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di sepanjang garis pantai tropis sampai sub-tropis yang memiliki fungsi istimewa di suatu lingkungan yang mengandung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. wilayah perbatasan antara daratan dan laut, oleh karena itu wilayah ini

BAB I PENDAHULUAN. wilayah perbatasan antara daratan dan laut, oleh karena itu wilayah ini BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dengan jumlah pulau sekitar 17.508 pulau dan panjang pantai kurang lebih 81.000 km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat besar,

Lebih terperinci

dan (3) pemanfaatan berkelanjutan. Keharmonisan spasial mensyaratkan bahwa dalam suatu wilayah pembangunan, hendaknya tidak seluruhnya diperuntukkan

dan (3) pemanfaatan berkelanjutan. Keharmonisan spasial mensyaratkan bahwa dalam suatu wilayah pembangunan, hendaknya tidak seluruhnya diperuntukkan KERANGKA PEMIKIRAN Dasar teori yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada konsep pembangunan berkelanjutan, yaitu konsep pengelolaan dan konservasi berbasis sumberdaya alam serta orientasi perubahan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN BAB I Latar Belakang

PENDAHULUAN BAB I Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut yang tergenang oleh air laut, komunitasnya dapat bertoleransi terhadap air garam, dan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. terpengaruh pasang surut air laut, dan didominasi oleh spesies pohon atau semak

TINJAUAN PUSTAKA. terpengaruh pasang surut air laut, dan didominasi oleh spesies pohon atau semak TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Hutan Mangrove Ekosistem mangrove adalah suatu sistem di alam tempat berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia

PENDAHULUAN. terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki hutan mangrove terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia dan hidup serta tumbuh berkembang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

I. PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara 88 I. PENDAHULUAN Kawasan pesisir memerlukan perlindungan dan pengelolaan yang tepat dan terarah. Keseimbangan aspek ekonomi, sosial dan lingkungan hidup menjadi tujuan akhir yang berkelanjutan. Telah

Lebih terperinci

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan wilayah yang memberikan kontribusi produksi perikanan yang sangat besar dan tempat aktivitas manusia paling banyak dilakukan; bahkan menurut

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Hutan

PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Hutan PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa jenis pohon bakau yang mampu

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang dan asosiasi biota penghuninya secara biologi, sosial ekonomi, keilmuan dan keindahan, nilainya telah diakui secara luas (Smith 1978; Salm & Kenchington

Lebih terperinci

KAJIAN DAMPAK PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR KOTA TEGAL TERHADAP ADANYA KERUSAKAN LINGKUNGAN (Studi Kasus Kecamatan Tegal Barat) T U G A S A K H I R

KAJIAN DAMPAK PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR KOTA TEGAL TERHADAP ADANYA KERUSAKAN LINGKUNGAN (Studi Kasus Kecamatan Tegal Barat) T U G A S A K H I R KAJIAN DAMPAK PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR KOTA TEGAL TERHADAP ADANYA KERUSAKAN LINGKUNGAN (Studi Kasus Kecamatan Tegal Barat) T U G A S A K H I R Oleh : Andreas Untung Diananto L 2D 099 399 JURUSAN PERENCANAAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam penggunaan sumberdaya alam. Salah satu sumberdaya alam yang tidak terlepas

BAB I PENDAHULUAN. dalam penggunaan sumberdaya alam. Salah satu sumberdaya alam yang tidak terlepas BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara berkembang yang terus menerus melakukan pembangunan nasional. Dalam mengahadapi era pembangunan global, pelaksanaan pembangunan ekonomi harus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang kaya. Hal ini sesuai dengan sebutan Indonesia sebagai negara kepulauan

BAB I PENDAHULUAN. yang kaya. Hal ini sesuai dengan sebutan Indonesia sebagai negara kepulauan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negara Indonesia terkenal memiliki potensi sumberdaya kelautan dan pesisir yang kaya. Hal ini sesuai dengan sebutan Indonesia sebagai negara kepulauan (archipelagic

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. didarat masih dipengaruhi oleh proses-proses yang terjadi dilaut seperti

PENDAHULUAN. didarat masih dipengaruhi oleh proses-proses yang terjadi dilaut seperti 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Wilayah pesisir bukan merupakan pemisah antara perairan lautan dengan daratan, melainkan tempat bertemunya daratan dan perairan lautan, dimana didarat masih dipengaruhi oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tertentu dan luasan yang terbatas, 2) Peranan ekologis dari ekosistem hutan

BAB I PENDAHULUAN. tertentu dan luasan yang terbatas, 2) Peranan ekologis dari ekosistem hutan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove memiliki sifat khusus yang berbeda dengan ekosistem hutan lain bila dinilai dari keberadaan dan peranannya dalam ekosistem sumberdaya alam, yaitu

Lebih terperinci

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan yang hidup di lingkungan yang khas seperti daerah pesisir.

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan yang hidup di lingkungan yang khas seperti daerah pesisir. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove adalah tipe hutan yang khas terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Mangrove banyak dijumpai di wilayah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karena berada di dekat pantai, mangrove sering juga disebut hutan pantai, hutan

BAB I PENDAHULUAN. Karena berada di dekat pantai, mangrove sering juga disebut hutan pantai, hutan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem yang terdapat di antara daratan dan lautan. Karena berada di dekat pantai, mangrove sering juga disebut hutan pantai, hutan pasang surut,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang-surut

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang selain merupakan sumber alam yang penting artinya bagi

Lebih terperinci

DAMPAK POLA PENGGUNAAN LAHAN PADA DAS TERHADAP PRODUKTIVITAS TAMBAK DI PERAIRAN PESISIR LAMPUNG SELATAN

DAMPAK POLA PENGGUNAAN LAHAN PADA DAS TERHADAP PRODUKTIVITAS TAMBAK DI PERAIRAN PESISIR LAMPUNG SELATAN SEMINAR NASIONAL PERIKANAN DAN KELAUTAN 2016 Pembangunan Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional Bandar Lampung, 17 Mei 2016 DAMPAK POLA PENGGUNAAN LAHAN PADA DAS TERHADAP PRODUKTIVITAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dalam bentuk negara

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dalam bentuk negara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dalam bentuk negara kepulauan yang memiliki sekitar 17.508 pulau dan panjang garis pantai lebih dari 81.000

Lebih terperinci