DAMPAK KEBIJAKAN SUBSIDI HARGA BAHAN BAKAR MINYAK TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN DAN KEMISKINAN DI INDONESIA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "DAMPAK KEBIJAKAN SUBSIDI HARGA BAHAN BAKAR MINYAK TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN DAN KEMISKINAN DI INDONESIA"

Transkripsi

1 VI. DAMPAK KEBIJAKAN SUBSIDI HARGA BAHAN BAKAR MINYAK TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN DAN KEMISKINAN DI INDONESIA Hasil Validasi Model Hasil estimasi Model Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak Indonesia yang digunakan dalam penelitian ini divalidasi (simulasi dasar) untuk periode Program validasi model dapat dilihat pada Lampiran 7. Validasi menggunakan indikator statistik yaitu Root Mean Squares Percent Error (RMSPE) untuk mengukur penyimpangan hasil prediksi dari nilai aktual setiap variabel endogen dan statistik Theil s Inequality Coefficient (U). Selain itu digunakan dekomposisi U-Theil, yaitu proporsi bias (UM), proporsi keragaman (US), dan proporsi covarians (UC). Hasil validasi model dapat dilihat pada Lampiran 8. Hasil validasi tersebut memperlihatkan dari 76 persamaan, terdapat 61 persamaan yang memiliki nilai RMSPE lebih kecil dari 50 persen dan 15 persamaan memiliki nilai RMSPE diatas 50 persen. Nilai RMSPE yang lebih dari 50 persen umumnya terjadi pada persamaan-persamaan identitas. Hal ini terjadi karena error variabel endogen terakumulasi pada persamaan identitas tersebut, seperti pada persamaan ekspor bersih, gap fiskal, tingkat pertumbuhan ekonomi, dan inflasi. Selain itu, nilai RMSPE yang lebih dari 50 persen juga terjadi pada persamaan subsidi harga BBM dan subsidi BBM karena nilainya berfluktuasi mengikuti naik turunnya harga dunia minyak mentah. Sebagian besar nilai statistik U mendekati nol, yaitu 63 persamaan mempunyai nilai statistik U lebih kecil dari 20 persen dan 13 persamaan

2 213 mempunyai nilai U lebih besar dari 20 persen. Nilai U-Theil tertinggi adalah yaitu pada persamaan tingkat pertumbuhan ekonomi yang merupakan persamaan identitas dengan nilai proporsi bias (UM) kecil yaitu Dilihat dari komponen statistik U, terlihat bahwa proporsi bias (UM) dan proporsi keragaman (US) mendekati nol, dan proporsi covarians (UC) mendekati satu. Dengan demikian, jika dilihat secara keseluruhan, maka model yang dibangun cukup valid digunakan untuk melakukan simulasi peramalan dampak perubahan faktor eksternal dan kebijakan Hasil Skenario Simulasi Periode Peramalan Tahun Program dan hasil peramalan variabel endogen tanpa perubahan faktor eksternal dan kebijakan (nilai dasar variabel endogen per tahun) pada periode peramalan , dapat dilihat pada Lampiran 9 dan Lampiran 10. Dalam penelitian ini dilakukan 8 simulasi yang terdiri dari 1 simulasi perubahan faktor eksternal, 4 simulasi perubahan kebijakan, dan 3 simulasi merupakan gabungan perubahan faktor eksternal dan kebijakan. Program simulasi kebijakan peramalan dapat dilihat pada Lampiran 11. Sebagai contoh, ditampilkan pula hasil Simulasi 8 pada Lampiran 12. Hasil simulasi kebijakan peramalan yang lengkap disajikan pada Lampiran Simulasi Kenaikan Harga Dunia Minyak Mentah 5 Persen Ketersediaan energi di suatu negara seringkali dikaitkan dengan pertumbuhan ekonomi negara itu. Apakah ketersediaan energi menjadi penyebab terjadinya pertumbuhan ekonomi atau pertumbuhan ekonomi mengakibatkan tingginya permintaan akan energi? Hal ini dijawab oleh Afiatno (2006) yang menemukan bahwa konsumsi energi dan pertumbuhan ekonomi memiliki

3 214 hubungan multivariat dua arah, yaitu konsumsi energi berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan ekonomi mempengaruhi konsumsi energi. Karena keduanya memiliki hubungan kuat yang timbal balik, maka pemerintah harus berhati-hati dalam mengendalikan konsumsi energi karena mempunyai dampak yang luas, biayanya besar, dan dapat berpotensi menurunkan tingkat pertumbuhan ekonomi. Pengendalian konsumsi suatu barang dapat menggunakan mekanisme harga, yang dilakukan dengan pengenaan pajak atau subsidi. Minyak mentah memiliki peranan sangat penting dalam perekonomian dunia (Barsky and Kilian, 2004). Pergerakan naik turun harga dunia minyak tidak hanya semata-mata disebabkan oleh mekanisme penawaran dan permintaan (Krichene, 2005), tetapi juga disebabkan oleh faktor-faktor keamanan dan spekulasi perdagangan minyak mentah. Minyak mentah dan produk turunannnya, hingga saat ini, masih menjadi sumber energi utama di negara-negara berkembang dan negara maju. Meskipun untuk pembangkit listrik sudah banyak digunakan sumber energi alternatif seperti energi nuklir, air, atau gas alam, namun untuk kebutuhan di sektor transportasi masih disuplai utamanya dari energi minyak mentah dan produk turunannya. Begitu pentingnya sumber energi minyak mentah dan produk turunannya ini sebagai sumber energi utama, sehingga fluktuasi harganya berpengaruh terhadap kegiatan perekonomiannya. Raymond and Rich (1997) menemukan bahwa fluktuasi harga dunia minyak mentah memberikan kontribusi atas rendahnya tingkat pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat. Yunchang (1996) menemukan bahwa pergerakan harga dunia minyak mentah berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi negara Taiwan. Dampak dari fluktuasi harga

4 215 dunia minyak mentah tidak hanya negatif terhadap negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Taiwan, tetapi juga terhadap perekonomian Indonesia. Bahkan untuk beberapa kasus, Indonesia mengalami dampak yang lebih berat karena beban subsidi energi BBM. Hingga saat ini masih sulit bagi pemerintah untuk melepaskan subsidi BBM ketika harga dunia minyak mentah meningkat. Borenstein, et al. (1997) menemukan dalam penelitiannya bahwa harga gasoline (di Indonesia setara dengan premium) berfluktuasi secara asimetri terhadap harga dunia minyak mentah. Ketika harga dunia minyak mentah naik maka harga gasoline dengan segera menyesuaikan diri, apabila harga dunia minyak mentah turun maka harga gasoline tidak segera turun. Penyesuaian harga gasoline yang asimetri ini dibantah oleh Bachmeier and Griffin (2003), yang dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa pergerakan harga gasoline simetri terhadap harga dunia minyak mentah. Penyesuaian harga gasoline segera terjadi ketika harga dunia minyak mentah berfluktuasi. Di Indonesia, subsidi energi BBM tidak hanya berkaitan dengan kemampuan daya beli masyarakat dan kemiskinan, tetapi telah menjadi komoditas politik. Soebiakto (1988) dalam disertasinya menyimpulkan bahwa fluktuasi harga dunia minyak mentah menimbulkan dampak ketidakpastian terhadap perekonomian Indonesia. Hal ini terjadi karena ketergantungan yang tinggi dari penerimaan ekspor minyak mentah, yang sangat dipengaruhi oleh harga dunia minyak mentah dan nilai tukar rupiah. Soebiakto juga menemukan bahwa setiap penurunan harga dunia minyak mentah US$1 per barrel akan mengakibatkan penurunan belanja pemerintah US$32 juta, peningkatan defisit neraca pembayaran US$10 juta, dan peningkatan hutang eksternal US$145 juta, demikian pula

5 216 sebaliknya. Penghitungan Soebiakto belum memperhitungkan penambahan subsidi harga ketika harga jual eceran BBM konstan. Karena itu sangat penting untuk mengetahui dampak dari kenaikan harga dunia minyak mentah sebesar 5 persen terhadap perekonomian Indonesia, besaran subsidi harga BBM, dan dampak terhadap jumlah orang miskin di Indonesia, yang disajikan pada Tabel 52. Subsidi harga BBM ternyata sangat elastis terhadap perubahan harga dunia BBM. Hal ini berarti bahwa setiap kenaikan harga dunia BBM akan sangat direspon oleh pemerintah melalui kenaikan subsidi harganya. Dari hasil estimasi parameter persamaan subsidi harga premium, sebagai contoh, setiap kenaikan harga dunia premium US$1 per barrel akan mengakibatkan kenaikan subsidi harga premium sebesar Rp per liter, dan sebaliknya. Responsifnya subsidi harga terhadap pergerakan harga dunia minyak mentah memberikan indikasi bahwa pemerintah Indonesia cenderung mempertahankan harga jual eceran BBM pada tingkat harga yang berlaku. Hal ini sejalan dengan upaya pemerintah untuk meredam gejolak perekonomian dunia, yang salah satunya dapat berasal dari harga dunia minyak mentah, agar tidak mempengaruhi perekonomian domestik. Meskipun subsdi harga sangat responsif terhadap fluktuasi harga dunia minyak mentah, namun ternyata harga jual eceran BBM mengalami kenaikan yang lebih besar dibandingkan dengan kenaikan subsidi harganya. Hal ini antara lain disebabkan oleh ketersediaan anggaran yang cenderung menurun sebesar persen, yang tampaknya membatasi kemampuan pemerintah dalam memberikan respon subsidi yang sesuai, sehingga terjadi kenaikan harga jual eceran BBM yang melampaui kenaikan subsidi harganya.

6 217 Tabel 52. Dampak Kebijakan Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak terhadap Kinerja Perekonomian dan Kemiskinan di Indonesia Periode Peramalan Tahun Nilai Simulasi (persen) Variabel Uraian Dasar PNWJPR Penawaran Premium (Ribu Liter) PNWJSL Penawaran M.Solar (Ribu Liter) PNWJKR Penawaran M.Tanah (Ribu Liter) PNWJLG Penawaran Elpiji (Ribu Kilogram) PNWJBM Penawaran BBM (Ribu Liter) KOSJPRT Kons. Premium di Transport. (Rb Lt) KOSJPR Konsumsi Premium (Ribu Liter) KOSJSLT Kons. M.Solar di Transport. (Rb Lt) KOSJSLI Kons. M.Solar di Industri (Rb Lt) KOSJSLK Kons. M.Solar di RT & Kom. (Rb Lt) KOSJSL Konsumsi Minyak Solar (Rb Lt) KOSJKRT Kons. M.Tanah di Transport. (Rb Lt) KOSJKRI Kons. M.Tanah di Industri (Rb Lt) KOSJKRK Kons. M.Tanah di RT & Kom. (Rb Lt) KOSJKR Konsumsi Minyak Tanah (Ribu Liter) KOSJLGI Kons. Elpiji di Industri (Rb Kg) KOSJLGK Kons. Elpiji di RT & Kom. (Rb Kg) KOSJLG Konsumsi Elpiji (Ribu Kilogram) KOSCPR Konsumsi Premium (Miliar Rp) KOSCSL Konsumsi Minyak Solar (Miliar Rp) KOSCKR Konsumsi Minyak Tanah (Miliar Rp) KOSCLG Konsumsi Elpiji (Miliar Rp) KOSCBM Konsumsi BBM (Miliar Rp) HJECPR Harga Jual Eceran Premium (Rp/Lt) HJECSL Harga Jual Eceran M.Solar (Rp/Lt) HJECKR Harga Jual Eceran M.Tanah (Rp/Lt) HJECLG Harga Jual Eceran Elpiji (Rp/Kg) IMPJPR Jumlah Impor Premium (Ribu Liter) IMPJSL Jumlah Impor M.Solar (Ribu Liter) IMPJKR Jumlah Impor M.Tanah (Ribu Liter) IMPRPR Impor Premium (Miliar Rp) IMPRSL Impor Minyak Solar (Miliar Rp) IMPRKR Impor Minyak Tanah (Miliar Rp) IMPBBM Impor Bahan Bakar Minyak (Miliar Rp) EKSJLG Jumlah Ekspor Elpiji (Ribu Kg) EKSRLG Ekspor Bahan Bakar Minyak (Miliar Rp) BOTBBM Ekspor Bersih BBM (Miliar Rp) SUBHPR Subsidi Harga Premium (Rupiah/Liter) SUBHSL Subsidi Harga M.Solar (Rupiah/Liter) SUBHKR Subsidi Harga M.Tanah (Rupiah/Liter) SUBHLG Subsidi Harga Elpiji (Rp/Kg)

7 Tabel 52. Lanjutan Variabel Uraian Nilai Dasar 218 Simulasi (persen) SUBRPR Subsidi Premium (Miliar Rp) SUBRSL Subsidi Minyak Solar (Miliar Rp) SUBRKR Subsidi Minyak Tanah (Miliar Rp) SUBRLG Subsidi Elpiji (Miliar Rp) SUBBBM Subsidi Bahan Bakar Minyak (Miliar Rp) REVTAX Penerimaan Pajak (Miliar Rp) REVDDN Penerimaan DN Pemerintah (Miliar Rp) FISCGP GAP Fiskal (Miliar Rp) KOSNBM Konsumsi Non-BBM (Miliar Rp) KOSNAS Konsumsi Nasional (Miliar Rp) INVRMG Investasi MIGAS (Miliar Rp) INVNMG Investasi Non-MIGAS (Miliar Rp) INVEST Investasi Nasional (Miliar Rp) GOVENS Belanja Non-Subsidi BBM (Miliar Rp) GOVEXP Belanja Pemerintah (Miliar Rp) IMPNBM Impor Non-BBM (Miliar Rp) IMPORT Impor Nasional (Miliar Rp) EKSNBM Ekspor Non-BBM (Miliar Rp) EKSPOR Ekspor Nasional (Miliar Rp) GDPNAS GDP Nasional (Miliar Rp) MONEYS Jumlah Penawaran Uang (Miliar Rp) MONEYD Jumlah Permintaan Uang (Miliar Rp) NTUKRR Nilai Tukar (Rp/US$) CPINDX Indeks Harga Konsumen (indeks) INTRIL Tingkat Suku Bunga (persen) LABORS Jlh. Penawaran Tenaga Kerja (Juta Jiwa) LABORD Jlh. Permintaan Tenaga Kerja (Juta Jiwa) UMRNAS Upah Minimum Nasional (Rb Rp/Bulan) UNEMPL Jumlah Pengangguran (Juta Jiwa) INFLSI Tingkat Inflasi Domestik (%/Tahun) NETEKS Ekspor Bersih Nasional (Miliar Rp) GROWTH Tingkat Pertumbuhan Ekonomi (%/Thn) JOVDES Jumlah Penduduk Miskin Desa (Jt Jiwa) JOVKOT Jumlah Penduduk Miskin Kota (Jt Jiwa) POVERT Tingkat Penduduk Miskin Nasional (%) Keterangan: Simulasi 1 Harga Dunia Minyak Mentah naik 5 persen Simulasi 2 Penerimaan Dalam Negeri Pemerintah naik 10 persen Simulasi 3 Pengurangan Subsidi Harga Premium, Minyak Solar, Minyak Tanah, dan Elpiji Simulasi 4 Konversi Minyak Tanah ke Elpiji Simulasi 5 Pengurangan Subsidi Harga Premium, Minyak Solar, dan Konversi Minyak Tanah ke Elpiji Simulasi 6 Simulasi (1) + Simulasi (2) + Simulasi (5) Simulasi 7 Simulasi (1) + Simulasi (2) + Simulasi (5) + Realokasi Anggaran sebesar Rp Miliar. Simulasi 8 Simulasi (1) + Simulasi (2) + Simulasi (5) + Indek Harga Konsumen naik 5 persen + Realokasi Anggaran sebesar Rp Miliar.

8 219 Kenaikan harga jual eceran BBM, sesuai dengan hukum penawaran dan permintaan, akan menurunkan konsumsinya. Kenaikan harga jual eceran premium sebesar persen mengakibatkan penurunan konsumsi premium di sektor transportasi sebesar persen. Hal ini sesuai dengan konsumsi premium di sektor transportasi yang tidak elastis terhadap harganya, sebesar dalam jangka pendek. Secara umum kenaikan harga jual eceran BBM akan menurunkan tingkat konsumsi masing-masing. Fenomena penurunan tingkat konsumsi energi BBM, memiliki dampak yang luas dan berpotensi mengurangi tingkat pertumbuhan ekonomi. Hal ini sebagaimana yang ditemukan oleh Afiatno (2006) bahwa terdapat hubungan timbal balik antara konsumsi energi dengan pertumbuhan ekonomi. Dari simulasi ini jelas terlihat bahwa penurunan konsumsi BBM, sebagai akibat dari kenaikan harga jual ecerannya, berdampak pada penurunan GDP nasional persen dan penurunan tingkat pertumbuhan ekonomi sebesar persen. Salah satu faktor yang membuat GDP nasional turun adalah menurunnya ekspor bersih, yang diakibatkan oleh tingginya harga beli minyak mentah dunia. Ketika harga dunia minyak mentah meningkat, konsumsi energi yang tidak elastis terhadap harganya, membutuhkan devisa yang lebih besar untuk membiayai impornya. Peningkatan nilai impor yang besar ini pada akhirnya membuat neraca perdagangan menjadi defisit dan GDP nasional menjadi negatif. Selanjutnya penurunan jumlah penawaran uang yang lebih besar dari permintaannya, akan berdampak pada peningkatan tingkat suku bunga sebesar persen. Hal ini ikut memberikan andil terhadap penurunan investasi nasional sebsear persen.

9 220 Selanjutnya simulasi ini memberikan dampak terhadap kenaikan tingkat inflasi sebesar persen. Penelitian Hasan, Sugema, dan Ritonga (2005) menunjukkan bahwa peningkatan inflasi berakibat pada penurunan pendapatan riil masyarakat. Penurunan pendapatan riil masyarakat, jika terjadi pada masyarakat yang berada pada dan sekitar garis kemiskinan, akan menyebabkan mereka jatuh pada kelompok orang miskin. Pada tingkat inflasi tersebut, jumlah penduduk miskin perdesaan meningkat persen dan penduduk miskin perkotaan meningkat persen, sehingga tingkat penduduk miskin nasional meningkat sebesar persen. Peningkatan penduduk miskin ini juga dipengaruhi oleh semakin besarnya angka pengangguran yang meningkat persen sebagai dampak dari penurunan investasi nasional. Meningkatnya pengangguran mengakibatkan semakin berkurangnya pendapatan yang biasanya diterima oleh pekerja, sehingga hal ini berpotensi juga mengurangi pendapatan riil masyarakat. Selain pengangguran yang meningkat, juga tingkat upah nasional mengalami penurunan sebesar persen. Keempat hal diatas, yaitu belanja pemerintah dan upah nasional yang berkurang, inflasi dan pengangguran yang meningkat, secara bersama-sama mengakibatkan penurunan pendapatan riil masyarakat, sehingga semakin banyak penduduk yang masuk dalam kategori penduduk miskin. Simulasi Kenaikan Penerimaan Dalam Negeri Pemerintah 10 Persen Instrumen kebijakan fiskal bersama-sama dengan kebijakan moneter seringkali dilakukan pemerintah dalam rangka menjaga momentum pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Sebagian komponen kebijakan moneter merupakan domain kewenangan Bank Indonesia seperti target inflasi dan menjaga kestabilan nilai tukar rupiah. Dalam prakteknya Bank Indonesia selalu melakukan koordinasi

10 221 dengan pemerintah dalam rangka menjalankan kewenangannya. Berbeda dengan kebijakan moneter, maka kebijakan fiskal merupakan domain utama kewenangan pemerintah yang dalam pelaksanannya seringkali harus dikonsultasikan dengan para wakil rakyat. Sehingga kebijakan fiskal di Indonesia, sebagaimana juga kebijakan fiskal di negara lain, merupakan produk dari suatu proses politik. Secara garis besar komponen dari kebijakan fiskal adalah alokasi anggaran untuk pos-pos atau kegiatan tertentu, sumber-sumber dan target penerimaan dalam negeri dan luar negeri, asumsi-asumsi makro yang mendasari perhitungan penerimaan dan belanja, serta besaran dari belanja itu sendiri. Dalam rangka mempertahankan momentum pertumbuhan ekonomi pada tahun-tahun paska reformasi, pemerintah berupaya meningkatkan besaran belanja negara dengan sumber pendanaan dari dalam negeri. Besarnya utang luar negeri dan dalam negeri pemerintah telah membebani anggaran belanja negara melalui pos pembayaran cicilan pokok dan bunga. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari kebijakan pemerintah pada masa sebelumnya yang mengandalkan sumber pembiayaan dari luar negeri atau pinjaman dalam negeri untuk menutup defisit anggaran. Belajar dari pengalaman, saat ini pemerintah berupaya untuk lebih mengutamakan sumber-sumber pembiayaan dalam negeri dengan mengoptimalkan penerimaan pajak dan bukan pajak. Komponen terbesar dari penerimaan pajak adalah pajak penghasilan. Saat ini pemerintah telah melakukan upaya-upaya ekstensifikasi dan intensifikasi penarikan pajak penghasilkan melalui sosialisasi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang harus dimiliki oleh setiap warganegara. Penerimaan bukan pajak antara lain bersumber dari keuntungan Badan Usaha Milik Negara,

11 222 hasil penjualan asset yang dimiliki negara seperti penjualan saham BUMN, dan pungutan lainnya. Dalam beberapa tahun terakhir (Departemen Keuangan, 2009b), strategi kebijakan fiskal lebih diarahkan untuk memberikan stimulus fiskal dengan tetap memperhatikan langkah-langkah konsolidasi fiskal guna mewujudkan APBN yang sehat dan berkelanjutan. Langkah konsolidasi fiskal ditempuh melalui optimalisasi sumber-sumber penerimaan negara, peningkatan efisiensi dan efektivitas belanja negara, serta pemilihan alternatif pembiayaan yang tepat untuk meminimalkan resiko keuangan di masa mendatang. Optimalisasi sumber-sumber penerimaan negara dapat ditempuh melalui peningkatan penerimaan dari pajak dan bukan pajak. Reformasi kebijakan dan administrasi perpajakan ditempuh melalui: (1) perubahan paket undang-undang perpajakan, kepabeanan, dan cukai, (2) peningkatan pengawasan terhadap wajib pajak dan pengawasan internal terhadap petugas pajak, (3) peningkatan kapasitas sumber daya manusia, (4) perbaikan sistem informasi dan teknologi, dan (5) modernisasi perpajakan. Penerimaan dalam negeri terdiri dari penerimaan pajak dan penerimaan negara bukan pajak. Penerimaan pajak mengalami kenaikan sangat signifikan pada tahun 2005, 2006, 2007, 2008, dan 2009 yaitu berturut-turut Rp triliun, Rp triliun, Rp triliun, Rp triliun, dan Rp triliun atau rata-rata persen per tahun pada periode tersebut. Penerimaan pajak pada tahun 2009 mencapai 13.6 persen dari PDB nasional. Sementara penerimaan negara bukan pajak mengalami kenaikan cukup besar pada tahun 2005, 2006, 2007, 2008, dan 2009 yaitu berturut-turut Rp triliun, Rp triliun, Rp triliun, Rp triliun, dan Rp triliun atau rata-rata persen

12 223 per tahun pada periode tersebut. Penerimaan negara bukan pajak pada tahun 2009 mencapai 4.9 persen dari PDB nasional. Fluktuasi penerimaan negara bukan pajak lebih banyak disebabkan oleh fluktuasi harga dunia minyak mentah dan nilai tukar rupiah. Secara umum penerimaan dalam negeri pemerintah mengalami kenaikan rata-rata sebesar persen per tahun pada periode Peningkatan penerimaan dalam negeri pemerintah dimaksudkan untuk memberikan fiscal space atau ruang fiskal 32 yang lebih besar pada pemerintah untuk dapat digunakan pada program-program yang muncul mendadak namun sangat mendesak untuk segera diselesaikan, tanpa mengganggu rencana program yang sudah ada. Peningkatan penerimaan dalam negeri pemerintah sebesar 10 persen, sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 52, ditujukan untuk menciptakan ruang fiskal apabila ditengah tahun anggaran berjalan terjadi kenaikan kebutuhan anggaran seperti kenaikan harga dunia minyak mentah. Simulasi tunggal ini dilakukan untuk mengetahui dampak dari peningkatan ruang fiskal terhadap kinerja perekonomian, gap fiskal yaitu selisih antara penerimaan dalam negeri dengan belanja negara, dan terhadap kemiskinan. Kenaikan penerimaan dalam negeri pemerintah, yang memperbesar ruang fiskal, ternyata dimanfaatkan pemerintah untuk meningkatkan anggaran subsidi BBM sebesar persen dan anggaran diluar subsidi BBM sebesar persen. Besarnya peningkatan anggaran non-subsidi dibandingkan dengan anggaran subsidi, tampaknya disebabkan oleh kebutuhan belanja non-subsidi yang 32 Fiscal space atau ruang fiskal menurut Heller, 2005 dalam Departemen Keuangan, 2009b adalah ketersediaan ruang yang cukup pada anggaran pemerintah untuk menyediakan sumber daya tertentu dalam rangka mencapai suatu tujuan tanpa mengancam kesinambungan posisi keuangan pemerintah. Konsep fiscal space terutama mengacu kepada kemampuan anggaran pemerintah untuk menambah pengeluarannya tanpa menyebabkan terjadinya fiscal insolvency. Untuk menciptakan fiscal space dapat dilakukan berbagai cara antara lain peningkatan penerimaan pajak, memangkas belanja yang kurang prioritas, dan menambah hibah atau pinjaman.

13 224 lebih besar sementara kebutuhan belanja subsidi BBM relatif konstan. Relatif konstannya kebutuhan belanja subsidi BBM dikarenakan relatif konstannya harga dunia minyak mentah. Sebagai dampak dari meningkatnya anggaran subsidi BBM, maka anggaran subsidi harga BBM mengalami peningkatan. Subsidi harga minyak solar meningkat paling besar yaitu persen. Secara umum, peningkatan subsidi harga BBM akan menurunkan harga jual eceran BBM rata-rata sebesar 1.93 persen, dimana penurunan terbesar pada harga jual eceran minyak tanah sebesar persen. Dampak selanjutnya dari penurunan harga jual eceran BBM adalah peningkatan konsumsinya rata-rata sebesar 0.34 persen. Peningkatan konsumsi energi, seperti yang disampaikan oleh Siddiqui (2004) berhubungan erat dengan potensi pertumbuhan ekonomi yang membaik. Hal ini terlihat dari meningkatnya GDP nasional sebesar persen dan tingkat pertumbuhan ekonomi sebesar persen. Ditinjau dari pasar uang, kebijakan ini diperkirakan akan memberikan dampak yang positif bagi sektor keuangan dengan menciptakan suku bunga yang relatif rendah. Rendahnya tingkat suku bunga menciptakan iklim yang kondusif bagi perekonomian untuk merangsang tingkat investasi agar lebih besar lagi. Selain itu juga perlu disadari bahwa rendahnya tingkat suku bunga perbankan akan mengakibatkan terjadinya pergeseran modal dari sistem perbankan ke pasar modal yang diharapkan dapat memberikan keuntungan lebih besar. Pergeseran investasi ke pasar modal akan semakin menggairahkan sistem perekonomian dan memperkuat landasan ekonomi pasar di Indonesia. Modal yang diperoleh dari pasar modal dapat digunakan oleh pengusaha untuk melakukan kegiatan investasi

14 225 lanjutan. Sehingga penurunan tingkat suku bunga riil pada sistem perbankan memiliki dua keuntungan sekaligus. Pertama adalah semakin murahnya biaya pinjaman uang (cost of money) dari sistem perbankan sehingga merangsang pengusaha untuk berinvestasi. Kedua, menurunnya tingkat suku bunga riil di sektor perbankan akan membuat deposan mengalihkan uang dari perbankan ke pasar modal. Peningkatan transaksi di pasar modal akan semakin menggairahkan jual beli saham di pasar modal dan sekaligus memperbesar peluang pengusaha dalam memanfaatkan dana berlimpah di pasar modal. Penawaran uang akan naik sebesar persen dan permintaan uang akan naik sebesar persen. Hal ini mengakibatkan tingkat suku bunga mengalami penurunan sebesar persen. Selain itu, kebijakan ini mampu memberikan dampak positif bagi perekonomian, yang terlihat dari penurunan jumlah penduduk miskin perdesaan sebesar persen dan penduduk miskin perkotaan sebesar persen, sehingga tingkat penduduk miskin nasional mengalami penurunan sebesar persen. Besarnya penurunan angka kemiskinan tidak bisa dilepaskan dari pengaruh positif peningkatan belanja pemerintah, penurunan pengangguran, serta penurunan harga jual eceran elpiji, yang sangat penting bagi konsumsi energi masyarakat perkotaan. Simulasi Pengurangan Subsidi Harga Premium, Minyak Solar, Minyak Tanah, dan Elpiji Alokasi belanja subsidi energi yaitu subsidi BBM dan listrik cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, yaitu dari 2.15 persen dari PDB pada tahun 2002 menjadi 6.68 persen dari PDB pada tahun Subsidi memiliki dua sisi yang berbeda. Di satu pihak subsidi sangat diperlukan oleh masyarakat ketika terjadi krisis atau lonjakan harga barang-barang kebutuhan primer. Salah satu ciri

15 226 barang kebutuhan primer adalah tidak elastisnya permintaan barang tersebut terhadap harganya, selain juga sulit atau tidak ada barang substitusinya. Kenaikan harga barang primer, sebagai contoh barang primer adalah BBM, cenderung akan menurunkan kemampuan daya beli dan kualitas hidup masyarakat. Untuk itu, diperlukan peran pemerintah dalam menjaga stabilitas harga barang primer melalui mekanisme pajak atau subsidi. Minyak tanah adalah sumber energi utama rumahtangga di banyak negara Asia. Karena itu subsidi minyak tanah masih lazim diberikan di beberapa negara Asia, seperti Turkmenistan, Bhutan, India, dan Indonesia (Shikha Jha, et al., 2009). Di pihak lain, belanja subsidi merupakan belanja non-discretionary spending atau belanja wajib seperti halnya pembayaran biaya bunga dan hutang pokok pinjaman. Belanja subsidi ini cenderung meningkat dan akan berpotensi mengganggu keberlanjutan anggaran pemerintah. Hal ini seterusnya akan dapat mengurangi kepercayaan terhadap ekonomi Indonesia yang dapat mengakibatkan terjadinya capital flight dan melemahnya mata uang rupiah. Jika nilai tukar rupiah melemah maka harga barang-barang domestik akan ikut melonjak karena tingginya porsi barang-barang impor dalam perekonomian Indonesia. Inflasi yang tinggi akan meningkatkan beban perekonomian rakyat, melemahnya daya beli masyarakat, pertumbuhan ekonomi terganggu, pengangguran dan kemiskinan akan meningkat. Dampak lain dari peningkatan beban subsidi adalah berkurangnya fiscal space dan sekaligus juga berkurangnya kesempatan pemerintah untuk melaksanakan berbagai program penting dalam rangka peningkatan kesejahteraan rakyat dalam bentuk program-program pengentasan kemiskinan dan pembangunan prasarana lainnya.

16 227 Menyadari hal-hal diatas, pemerintah melakukan upaya kebijakan antara lain berupa penyesuaian harga BBM, konversi minyak tanah ke elpji, efisiensi PT Pertamina melalui pengurangan biaya distribusi dan margin (faktor alpha), pengendalian konsumsi BBM, serta pemanfaatan energi alternatif (Departemen Keuangan, 2009b). Penyesuaian harga BBM merupakan salah satu pilihan kebijakan yang dapat dilakukan baik ketika harga dunia minyak mentah meningkat, nilai tukar rupiah merosot, atau pemerintah berupaya mengurangi beban APBN melalui penghematan subsidi BBM. Pengurangan subsidi harga dilakukan dengan mengurangi porsi subsidi harga terhadap harga keekonomian masing-masing jenis BBM. Porsi subsidi harga premium yang semula persen dari harga keekonomiannya, diturunkan menjadi persen. Porsi subsidi harga minyak solar yang semula persen dari harga keekonomiannya, diturunkan menjadi persen. Porsi subsidi harga minyak tanah yang semula persen dari harga keekonomiannya, diturunkan menjadi persen. Porsi subsidi harga elpiji yang semula persen dari harga keekonomiannya, diturunkan menjadi persen. Dampak dari pengurangan subsidi harga BBM dapat dilihat pada Tabel 52. Ditinjau dari sisi pasar BBM, kebijakan ini berdampak pada peningkatan harga-harga BBM. Peningkatan harga tertinggi terjadi pada minyak tanah sebesar persen. Peningkatan harga ini berdampak pada penurunan tingkat konsumsi, yang tertinggi adalah konsumsi minyak tanah yang turun sebesar persen. Penurunan tingkat konsumsi energi, seperti yang dikemukakan oleh Afiatno (2006), memiliki pengaruh terhadap tingkat kegiatan perekonomian pada umumnya.

17 228 Siddiqui (2004) meneliti hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan konsumsi energi di Pakistan periode Peningkatan penawaran energi pada harga yang terjangkau sangat penting bagi pertumbuhan ekonomi. Pengaturan harga energi agar terjangkau masyarakat dilakukan melalui deregulasi. Kenaikan harga energi akan mengurangi permintaan energi, dan akibatnya akan menurunkan pertumbuhan ekonomi. Karena itu kebijakan mengenai harga energi, khususnya harga jual eceran BBM, harus mempertimbangkan dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi. Lamech and O Sullivan (2002) dalam Siddiqui (2004) menekankan pentingnya peran energi dalam upaya pengentasan kemiskinan. Strategi pengentasan kemiskinan harus terkait dengan upaya perluasan akses terhadap energi, menerapkan strategi fiskal berkelanjutan, mengurangi ketergantungan pada anggaran negara dalam rangka melaksanakan kebijakan energi, dan kebijakan fiskal yang ketat untuk mengoptimalkan penggunaan energi. Hasil simulasi peramalan kebijakan ini mengakibatkan dampak negatif terhadap perkembangan perekonomian pada umumnya. Kondisi ini terlihat dari menurunnya investasi dan ekspor bersih serta penurunan besaran GDP nasional. Penurunan GDP nasional tampaknya diakibatkan oleh penurunan konsumsi energi sehingga pertumbuhan ekonomi mengalami perlambatan. Selanjutnya, perrmintaan uang mengalami penurunan lebih cepat dari penawarannya, sehingga mengakibatkan tingkat suku bunga meningkat sebesar persen. Peningkatan suku bunga mengakibatkan investasi baik investasi migas maupun investasi non-migas mengalami penurunan. Penyediaan kesempatan kerja yang menyerap pencari kerja, sangat ditentukan oleh besarnya

18 229 investasi dalam negeri. Oleh karena penurunan investasi juga berdampak pada penurunan permintaan tenaga kerja, maka jumlah tenaga kerja yang tidak terserap pada lapangan kerja mengalami peningkatan sebesar persen. Kenaikan harga-harga BBM berdampak pada peningkatan biaya transportasi dan biaya transaksi pada umumnya, sehingga inflasi mengalami peningkatan sebesar persen, dimana pada saat yang bersamaan tingkat upah nasional turun sebesar persen. Kombinasi dari tingginya inflasi, penurunan tingkat upah nasional, dan penurunan belanja pemerintah mengakibatkan jumlah penduduk miskin perdesaan dan perkotaan mengalami peningkatan sehingga tingkat penduduk miskin nasional naik persen. Meskipun simulasi kebijakan ini berdampak kurang baik bagi perekonomian, namun penurunan subsidi harga telah mampu mengurangi defisit anggaran pemerintah melalui penurunan subsidi BBM sebesar persen. Penurunan subsidi ini disebabkan oleh penurunan anggaran subsidi harga yang diikuti oleh penurunan jumlah konsumsinya. Artinya dengan kebijakan ini pemerintah berhasil melakukan penghematan anggaran belanja sebagai akibat dari penurunan subsidi BBM sebesar Rp miliar. Penghematan ini selanjutnya juga berhasil menurunkan gap fiskal pemerintah sebesar Rp miliar. Penghematan belanja negara merupakan suatu peluang bagi pemerintah memperbesar fiscal space atau menetapkan kebijakan realokasi anggaran bagi pos anggaran yang memerlukan penambahan dana seperti pembangunan prasarana dan pengentasan kemiskinan. Khusus pada tahun fiskal 2009, strategi kebijakan fiskal pemerintah antara lain: (1) pengendalian (capping) subsidi BBM dan listrik, dan (2) reformulasi dana perimbangan dengan memasukkan beban subsidi BBM

19 230 dan subsidi pupuk sebagai variabel penerimaan dalam negeri (PDN) dalam perhitungan Dana Alokasi Umum (Departemen Keuangan, 2009b). Simulasi Konversi Minyak Tanah ke Elpiji Dalam rangka menciptakan kebijakan fiskal yang sehat dan sustainable, pemerintah berusaha mengendalikan beban anggaran subsidi. Pada tahun fiskal 2009, langkah-langkah penghematan subsidi energi yang dilakukan pemerintah antara lain meliputi percepatan dan perluasan program konversi BBM ke elpiji (Departemen Keuangan, 2009b). Dalam penelitian ini, konversi BBM ke elpiji dilakukan dengan menaikkan harga jual eceran minyak tanah dan pada saat bersamaan menurunkan harga jual eceran elpiji, melalui pengurangan atau penambahan subsidi harganya. Apabila harga jual eceran minyak tanah meningkat, maka sesuai mekanisme pasar, jumlah permintaannya akan menurun sehingga terjadi penghematan volume konsumsi minyak tanah. Minyak tanah yang dihemat atau dikurangi konsumsinya akan digantikan oleh elpiji yang harga jual ecerannya diturunkan. Pengurangan subsidi harga minyak tanah dilakukan dengan mengurangi porsi subsidi harga minyak tanah terhadap harga keekonomiannya, yang semula persen menjadi persen. Penambahan subsidi harga elpiji dilakukan dengan meningkatkan porsi subsidi harga elpiji terhadap harga keekonomiannya, yang semula persen menjadi persen. Tabel 52 menyajikan dampak dari simulasi program konversi minyak tanah ke elpiji. Seperti yang sudah diperkirakan sebelumnya, penurunan subsidi minyak tanah mengakibatkan harga minyak tanah meningkat sebesar persen, sementara harga elpiji mengalami penurunan sebesar persen. Dengan

20 231 demikian diharapkan bahwa jumlah konsumsi minyak tanah akan turun yang kemudian akan digantikan oleh konsumsi elpiji yang harga jual ecerannya turun. Dalam kenyataannya, jumlah konsumsi minyak tanah mengalami penurunan sebesar persen, sementara jumlah konsumsi elpiji mengalami kenaikan sebesar persen. Dampak dari simulasi kebijakan ini sangat dirasakan oleh rumahtangga yang kebutuhan energi memasaknya berasal dari minyak tanah. Menurut BPS, (2008a), kebutuhan energi untuk memasak rumahtangga Indonesia tahun 2007 berasal dari kayu bakar persen, minyak tanah persen, dan elpiji persen. Transformasi penyediaan energi dari minyak tanah ke elpiji sangat dirasakan oleh penduduk miskin perkotaan karena keterbatasan alternatif energi memasak yaitu minyak tanah dan elpiji, sementara penduduk miskin perdesaan memiliki alternatif yang lebih luas yaitu minyak tanah, elpiji, dan kayu bakar. Karena itu jelas terlihat bahwa simulasi ini membawa dampak peningkatan jumlah orang miskin di perkotaan yang lebih besar dibandingkan dengan peningkatan jumlah orang miskin di perdesaan. Penduduk miskin di perkotaan lebih sensitif terhadap dampak negatif program konversi minyak tanah ke elpiji, dibandingkan dengan penduduk miskin di perdesaan. Hasil simulasi ini ternyata mampu menurunkan volume konsumsi dan subsidi minyak tanah berturut-turut persen dan persen, yang pada saat bersamaan menaikkan volume konsumsi dan subsidi elpiji berturut-turut persen dan persen. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa simulasi kebijakan ini menurunkan subsidi BBM persen atau penghematan sebesar Rp miliar dan pengurangan gap fiskal sebesar Rp miliar.

21 232 Simulasi kebijakan ini berdampak pada penurunan GDP nasional sebesar persen. Penurunan GDP nasional disumbang sebagian besar oleh penurunan belanja nasional sebesar persen, yang disebabkan oleh penurunan belanja subsidi. Selanjutnya tingkat pertumbuhan ekonomi mengalami penurunan sebesar persen. Dampak kurang baik terhadap perekonomian, selain berasal dari penurunan belanja negara, kemungkinan besar juga berasal dari penurunan konsumsi energi minyak tanah yang lebih besar dibandingkan dengan kenaikan konsumsi elpiji. Hasil simulasi menunjukkan bahwa konsumsi minyak tanah turun sebesar kiloliter yang kemudian dikompensasi oleh kenaikan konsumsi elpiji sebesar ton. Pada faktor substitusi , penurunan konsumsi minyak tanah sebesar itu harus dikompensasi dengan tambahan konsumsi elpiji sebanyak ton atau terdapat selisih hampir 1 juta ton elpiji. Karena tidak seluruh pengurangan konsumsi minyak tanah dapat dikompensasi oleh elpiji, ada kemungkinan sebagian masyarakat mengurangi tingkat konsumsi energinya atau kembali menggunakan kayu bakar. Kedua hal ini yang kemungkinan besar memberikan sumbangan terhadap penurunan kegiatan perekonomian nasional. Konversi minyak tanah ke elpiji berdampak pada peningkatan biaya transportasi dan biaya transaksi pada umumnya, sehingga inflasi mengalami peningkatan sebesar persen, dimana pada saat yang bersamaan tingkat upah nasional turun sebesar persen. Kombinasi dari tingginya inflasi, penurunan 33 Menggunakan asumsi bahwa pola konsumsi rumahtangga akan minyak tanah dan elpiji pada periode peramalan sama dengan pola konsumsi tahun 2007, maka kiloliter minyak tanah mensuplai persen rumahtangga dan ton elpiji mensuplai persen rumahtangga. Apabila kebutuhan persern rumahtangga dipenuhi dari minyak tanah, maka diperlukan sekitar (0.1057/0.3657) * kiloliter = kiloliter minyak tanah yang setara dengan ton elpiji. Jadi faktor substitusi minyak tanah terhadap elpiji adalah ( / ) = Artinya, untuk menggantikan ton elpiji dibutuhkan sekitar kiloliter minyak tanah.

22 233 tingkat upah nasional, dan penurunan belanja pemerintah mengakibatkan jumlah penduduk miskin perdesaan dan perkotaan mengalami peningkatan sehingga tingkat penduduk nasional naik sebesar persen. Simulasi Kombinasi Pengurangan Subsidi Harga Premium dan Minyak Solar dengan Konversi Minyak Tanah ke Elpiji Dalam APBN tahun fiskal 2009 (Departemen Keuangan, 2009b), pemerintah berusaha menekan peningkatan konsumsi BBM. Beberapa upaya yang akan dilakukan pemerintah antara lain adalah: (1) mempercepat program konversi bahan bakar minyak rumahtangga ke elpiji, (2) memanfaatkan energi alternatif seperti batubara, gas bumi, panas bumi, air, dan bahan bakar nabati, (3) mengendalikan konsumsi BBM bersubsidi melalui kebijakan fiskal dan nonfiskal. Dalam rangka menjabarkan kebijakan peramalan tersebut, simulasi ini melakukan program konversi minyak tanah ke elpiji dan pengendalian konsumsi BBM bersubsidi melalui kebijakan fiskal. Dengan asumsi bahwa premium banyak dikonsumsi oleh masyarakat golongan menengah atas, maka subsidi harganya diturunkan lebih besar dibandingkan dengan subsidi harga minyak solar. Sementara minyak solar, yang seringkali dikaitkan dengan kegiatan usaha dan industri, penurunan subsidi harganya lebih kecil dibandingkan dengan premium. Hal ini dimaksudkan agar kenaikan harga jual eceran premium lebih besar dibandingkan dengan kenaikan harga jual eceran minyak solar, sedemikian sehingga harga jual eceran minyak solar relatif masih lebih terjangkau dibandingkan dengan premium. Dengan demikian, subsidi harga premium dikurangi dari semula persen menjadi persen dari harga keekonomiannya, subsidi harga minyak solar dikurangi dari semula persen menjadi persen dari harga keekonomiannya,

23 234 subsidi harga minyak tanah dikurangi dari semula persen menjadi persen dari harga keekonomiannya, dan subsidi harga elpiji ditambah dari semula persen menjadi persen dari harga keekonomiannya. Hasil simulasi kebijakan peramalan ini dapat dillihat pada Tabel 52. Dalam rangka mendukung program konversi minyak tanah ke elpiji, simulasi kebijakan peramalan ini menaikkan harga jual eceran minyak tanah luar biasa tinggi yaitu persen. Di lain pihak, meskipun harga jual eceran elpiji diturunkan agar konsumsinya meningkat, namun penurunan harga jual ecerannya relatif kecil yaitu persen. Hasil simulasi ini mengurangi jumlah konsumsi premium, minyak solar, dan minyak tanah. Jumlah konsumsi premium dan minyak solar berkurang masing-masing sebesar dan persen. Sementara jumlah konsumsi minyak tanah berkurang persen atau kiloliter yang dikompensasi dengan penambahan elpiji sebesar persen atau ton. Jumlah kompensasi elpiji masih jauh dari yang diharapkan dan tidak sebanding dengan pengurangan minyak tanah. Karena itu diperkirakan ada rumahtangga yang mengurangi jumlah konsumsi energinya atau melakukan substitusi sumber energi dari minyak tanah ke kayu bakar atau sumber energi lainnya. Simulasi peramalan kebijakan ini berdampak kurang baik bagi perekonomian. Hal ini diindikasikan oleh penurunan investasi nasional, penurunan net ekspor, dan GDP nasional. Sebagai akibat dari penurunan belanja subsidi, maka anggaran belanja negara mengalami penurunan cukup besar yaitu persen, yang selanjutnya mengurangi GDP nasional sebesar persen. Dari segi pandangan kebijakan moneter, penurunan GDP nasional mampu

24 235 menurunkan permintaan uang sedemikian sehingga tingkat suku bunga mengalami peningkatan sebesar persen. Besarnya biaya uang akan mengakibatkan investor mengurangi kegiatan investasinya, baik investasi di sektor migas maupun non-migas. Penurunan GDP nasional memiliki arti lain dari pandangan sektor riil yaitu mengindikasikan kurangnya gairah pengusaha meningkatkan produksi karena lemahnya daya serap konsumen dan berkurangnya investasi baru. Kedua hal ini berdampak pada penurunan permintaan tenaga kerja dan juga penurunan upah. Penurunan permintaan tenaga kerja, pada kondisi penawaran tenaga kerja relatif konstan, berdampak pada peningkatan jumlah pengangguran sebesar persen. Kombinasi dari peningkatan pengangguran, penurunan belanja anggaran negara, penurunan upah nasional, tingginya inflasi, yang meskipun dinetralisasi dengan penurunan harga jual eceran elpiji, membawa dampak pada peningkatan jumlah penduduk miskin perdesaan sebesar persen dan penduduk miskin perkotaan sebesar persen, sehingga tingkat penduduk miskin nasional meningkat sebesar persen. Pengurangan subsidi BBM cenderung mengakibatkan dampak kurang baik bagi perekonomian. Namun disisi lain terlihat bahwa pengurangan subsidi memberikan dampak positif berupa penciptaan ruang fiskal yang lebih besar dan kesempatan realokasi anggaran pada pos-pos kegiatan yang sangat membutuhkan. Penempatan anggaran pada ruang fiskal menjadi sangat penting karena besarnya ketidakpastian perekonomian dunia dan juga sebagai dampak dari globalisasi. Globalisasi telah mendekatkan kepentingan antar negara dan menciptakan ketergantungan sangat tinggi antar negara, terutama negara-negara yang memiliki

25 236 hubungan dagang yang penting. Gejolak politik, keamanan, sosial, bahkan moneter yang memiliki dampak terhadap nilai tukar, inflasi, atau pasar saham di suatu negara akan menjalar dengan cepat ke negara mitra dagangnya. Krisis keuangan subprime mortgage di Amerika Serikat pada tahun 2008 telah memicu ketidakstabilan dunia, dimana nilai tukar dan pasar saham Indonesia sempat mengalami penurunan. Ketidakstabilan eksternal tersebut ditambah dengan masalah-masalah internal seperti gejolak politik dan penataan kehidupan demokrasi, mengharuskan pemerintah bersikap hati-hati dalam melakukan kebijakan fiskal. Dalam kerangka inilah ruang fiskal menjadi sangat penting peranannya dalam menjaga momentum pembangunan. Dibandingkan dengan simulasi 4, maka simulasi peramalan ini mampu mengurangi subsidi dalam jumlah yang lebih besar, karena premium dan minyak solar juga berkurang subsidinya. Subsidi harga premium dan minyak solar berkurang berturut-turut sebesar persen atau Rp. 686 per liter dan persen atau Rp. 296 per liter. Subsidi harga minyak tanah berkurang sebesar persen atau Rp per liter, dan subsidi harga elpiji meningkat sebesar persen atau Rp. 376 per kilogram. Kombinasi dari penurunan subsidi harga dengan penurunan jumlah konsumsi mengakibatkan subsidi berkurang dalam jumlah yang besar atau terjadi penghematan subsidi BBM sebesar Rp miliar. Selanjutnya penghematan yang berasal dari penurunan belanja subsidi BBM mampu memberikan tambahan ruang fiskal bagi anggaran belanja negara sebesar Rp miliar.

26 237 Simulasi Kombinasi Kenaikan Harga Dunia Minyak Mentah 5 Persen, Peningkatan Penerimaan Dalam Negeri Pemerintah 10 Persen, Pengurangan Subsidi Harga Premium dan Minyak Solar, dan Konversi Minyak Tanah ke Elpiji Dalam rangka mengatasi dampak kenaikan harga dunia minyak mentah terhadap kestabilan anggaran belanja negara, pemerintah melakukan berbagai upaya. Dari sisi penerimaan, upaya yang dilakukan antara lain berupa pengoptimalan penerimaan negara, intensifikasi perpajakan, peningkatan produksi migas (lifting), dan pencarian sumber-sumber penerimaan lain. Dari sisi pengeluaran, upaya pemerintah antara lain melakukan penghematan belanja, penjadwalan pelaksanaan proyek-proyek yang tidak terlalu penting, penjadwalan pembayaran hutang dalam negeri atau luar negeri, dan terakhir adalah peningkatan harga jual eceran BBM. Simulasi peramalan ini, sebagaimana yang dapat dilihat pada Tabel 52, merupakan kombinasi simulasi 1 + simulasi 2 + simulasi 5. Simulasi ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah kebijakan peningkatan penerimaan dalam negeri dapat mengatasi dampak dari kebijakan pengurangan subsidi BBM yang dilakukan ketika harga dunia minyak mentah meningkat. Kebijakan pengurangan subsidi BBM, di satu pihak, telah mengakibatkan dampak kurang baik bagi perekonomian. Hal ini terutama dikarenakan pengurangan subsidi berakibat pada penurunan anggaran belanja negara yang selanjutnya akan cenderung menyebabkan kontraksi perekonomian. Dalam rangka mengatasi penurunan anggaran belanja negara, simulasi ini meningkatkan penerimaan dalam negeri pemerintah. Peningkatan penerimaan dalam negeri tidak hanya akan menambah anggaran belanja negara, tetapi juga akan memperbaiki gap fiskal karena sumber pendanaannya berasal dari dalam

SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 273 VII. SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 7.1. Simpulan Berdasarkan hasil analisis deskripsi, estimasi, dan simulasi peramalan dampak kebijakan subsidi harga BBM terhadap kinerja perekonomian, kemiskinan,

Lebih terperinci

BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN

BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN Perkembangan ekonomi makro bulan Oktober 2004 hingga bulan Juli 2008 dapat diringkas sebagai berikut. Pertama, stabilitas ekonomi tetap terjaga

Lebih terperinci

V. HASIL ESTIMASI MODEL SUBSIDI HARGA BAHAN BAKAR MINYAK INDONESIA

V. HASIL ESTIMASI MODEL SUBSIDI HARGA BAHAN BAKAR MINYAK INDONESIA 173 V. HASIL ESTIMASI MODEL SUBSIDI HARGA BAHAN BAKAR MINYAK INDONESIA Hasil estimasi Model Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak Indonesia, dibahas secara rinci untuk setiap persamaan. Model yang digunakan

Lebih terperinci

BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN

BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN I. Ekonomi Dunia Pertumbuhan ekonomi nasional tidak terlepas dari perkembangan ekonomi dunia. Sejak tahun 2004, ekonomi dunia tumbuh tinggi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun memberikan dampak pada

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun memberikan dampak pada 1 I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997-1998 memberikan dampak pada keuangan Indonesia. Berbagai peristiwa yang terjadi pada masa krisis mempengaruhi Anggaran Pendapatan

Lebih terperinci

BAB III ASUMSI-ASUMSI DASAR DALAM PENYUSUNAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (RAPBD)

BAB III ASUMSI-ASUMSI DASAR DALAM PENYUSUNAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (RAPBD) BAB III ASUMSI-ASUMSI DASAR DALAM PENYUSUNAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (RAPBD) 3.1. Asumsi Dasar yang Digunakan Dalam APBN Kebijakan-kebijakan yang mendasari APBN 2017 ditujukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kesinambungan fiskal (fiscal sustainability) merupakan kunci dari kebijakan

BAB I PENDAHULUAN. Kesinambungan fiskal (fiscal sustainability) merupakan kunci dari kebijakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesinambungan fiskal (fiscal sustainability) merupakan kunci dari kebijakan fiskal pemerintah. Pada dasarnya, kebijakan fiskal mempunyai keterkaitan yang erat dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan di negara-negara berkembang akan melaju secara lebih mandiri

I. PENDAHULUAN. Pembangunan di negara-negara berkembang akan melaju secara lebih mandiri 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan di negara-negara berkembang akan melaju secara lebih mandiri apabila pembangunan itu sebagian besar dapat dibiayai dari sumber-sumber penerimaan dalam negeri,

Lebih terperinci

1. Tinjauan Umum

1. Tinjauan Umum 1. Tinjauan Umum Perekonomian Indonesia dalam triwulan III-2005 menunjukkan kinerja yang tidak sebaik perkiraan semula, dengan pertumbuhan ekonomi yang diperkirakan lebih rendah sementara tekanan terhadap

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia bukanlah negara pengekspor besar untuk minyak bumi. Cadangan dan produksi minyak bumi Indonesia tidak besar, apalagi bila dibagi dengan jumlah penduduk. Rasio

Lebih terperinci

BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN

BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN Sejak pertengahan tahun 2006, kondisi ekonomi membaik dari ketidakstabilan ekonomi tahun 2005 dan penyesuaian kebijakan fiskal dan moneter yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sembilan persen pertahun hingga disebut sebagai salah satu the Asian miracle

I. PENDAHULUAN. sembilan persen pertahun hingga disebut sebagai salah satu the Asian miracle I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini peranan minyak bumi dalam kegiatan ekonomi sangat besar. Bahan bakar minyak digunakan baik sebagai input produksi di tingkat perusahaan juga digunakan untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kebijakan fiskal merupakan salah satu kebijakan dalam mengatur kegiatan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kebijakan fiskal merupakan salah satu kebijakan dalam mengatur kegiatan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebijakan fiskal merupakan salah satu kebijakan dalam mengatur kegiatan ekonomi secara makro, di samping kebijakan fiskal juga terdapat kebijakan moneter yang merupakan

Lebih terperinci

VII. SIMPULAN DAN SARAN

VII. SIMPULAN DAN SARAN VII. SIMPULAN DAN SARAN 7.1. Simpulan Hasil analisis menunjukkan bahwa secara umum dalam perekonomian Indonesia terdapat ketidakseimbangan internal berupa gap yang negatif (defisit) di sektor swasta dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 2. untuk mencapai tingkat kestabilan harga secara mantap. 3. untuk mengatasi masalah pengangguran.

BAB I PENDAHULUAN. 2. untuk mencapai tingkat kestabilan harga secara mantap. 3. untuk mengatasi masalah pengangguran. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan jangka panjang yang dilaksanakan di Indonesia bertujuan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur dengan mengacu pada Trilogi Pembangunan (Rochmat Soemitro,

Lebih terperinci

BAB V. Kesimpulan dan Saran. 1. Guncangan harga minyak berpengaruh positif terhadap produk domestik

BAB V. Kesimpulan dan Saran. 1. Guncangan harga minyak berpengaruh positif terhadap produk domestik BAB V Kesimpulan dan Saran 5. 1 Kesimpulan 1. Guncangan harga minyak berpengaruh positif terhadap produk domestik bruto. Indonesia merupakan negara pengekspor energi seperti batu bara dan gas alam. Seiring

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pertumbuhan ekonomi dunia saat ini adalah sangat lambat. Banyak faktor yang menyebabkan hal tersebut terjadi. Salah satunya adalah terjadinya krisis di Amerika.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Saat ini, perekonomian Indonesia diliput banyak masalah. Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. Saat ini, perekonomian Indonesia diliput banyak masalah. Permasalahan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Saat ini, perekonomian Indonesia diliput banyak masalah. Permasalahan tersebut muncul dari faktor internal maupun faktor eksternal. Namun saat ini, permasalahan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 29 TAHUN 2002 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 2003 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

Ringkasan eksekutif: Di tengah volatilitas dunia

Ringkasan eksekutif: Di tengah volatilitas dunia Ringkasan eksekutif: Di tengah volatilitas dunia Perlambatan pertumbuhan Indonesia terus berlanjut, sementara ketidakpastian lingkungan eksternal semakin membatasi ruang bagi stimulus fiskal dan moneter

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. fenomena yang relatif baru bagi perekonomian Indonesia. perekonomian suatu Negara. Pertumbuhan ekonomi juga diartikan sebagai

BAB I PENDAHULUAN. fenomena yang relatif baru bagi perekonomian Indonesia. perekonomian suatu Negara. Pertumbuhan ekonomi juga diartikan sebagai BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan perekonomian dunia dewasa ini ditandai dengan semakin terintegrasinya perekonomian antar negara. Indonesia mengikuti perkembangan tersebut melalui serangkaian

Lebih terperinci

Perkembangan Perekonomian dan Arah Kebijakan APBN 2014

Perkembangan Perekonomian dan Arah Kebijakan APBN 2014 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Perkembangan Perekonomian dan Arah Kebijakan APBN 2014 Jakarta, 10 Juni 2014 Kunjungan FEB UNILA Outline 1. Peran dan Fungsi APBN 2. Proses Penyusunan APBN 3. APBN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam suatu periode tertentu, baik atas dasar harga berlaku maupun atas

BAB I PENDAHULUAN. dalam suatu periode tertentu, baik atas dasar harga berlaku maupun atas BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator keberhasilan pembangunan suatu negara, terutama untuk negara-negara yang sedang berkembang. Peningkatan kesejahteraan

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahan Bakar Minyak (BBM) merupakan komoditas penentu kelangsungan perekonomian suatu negara. Hal ini disebabkan oleh berbagai sektor dan kegiatan ekonomi di Indonesia

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN TRIWULAN PEREKONOMIAN INDONESIA Keberlanjutan ditengah gejolak. Juni 2010

PERKEMBANGAN TRIWULAN PEREKONOMIAN INDONESIA Keberlanjutan ditengah gejolak. Juni 2010 PERKEMBANGAN TRIWULAN PEREKONOMIAN INDONESIA Keberlanjutan ditengah gejolak Juni 2010 viii Ringkasan Eksekutif: Keberlanjutan di tengah gejolak Indonesia terus memantapkan kinerja ekonominya yang kuat,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang lebih baik dengan mengubah penerimaan dan pengeluaran pemerintah

I. PENDAHULUAN. yang lebih baik dengan mengubah penerimaan dan pengeluaran pemerintah I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebijakan fiskal merupakan salah satu kebijakan ekonomi untuk mengendalikan keseimbangan makroekonomi dan mengarahkan kondisi perekonomian ke arah yang lebih baik dengan

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2003 TENTANG PAKET KEBIJAKAN EKONOMI MENJELANG DAN SESUDAH BERAKHIRNYA PROGRAM KERJASAMA DENGAN INTERNATIONAL MONETARY FUND PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sehubungan dengan fenomena shock ini adalah sangat menarik berbicara tentang

BAB I PENDAHULUAN. Sehubungan dengan fenomena shock ini adalah sangat menarik berbicara tentang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Guncangan (shock) dalam suatu perekonomian adalah suatu keniscayaan. Terminologi ini merujuk pada apa-apa yang menjadi penyebab ekspansi dan kontraksi atau sering juga

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM HARGA MINYAK DUNIA DAN KONDISI PEREKONOMIAN NEGARA-NEGARA ASEAN+3

IV. GAMBARAN UMUM HARGA MINYAK DUNIA DAN KONDISI PEREKONOMIAN NEGARA-NEGARA ASEAN+3 IV. GAMBARAN UMUM HARGA MINYAK DUNIA DAN KONDISI PEREKONOMIAN NEGARA-NEGARA ASEAN+3 4.1 Perkembangan Harga Minyak Dunia Pada awal tahun 1998 dan pertengahan tahun 1999 produksi OPEC turun sekitar tiga

Lebih terperinci

faktor yang dimiliki masing-masing negara, antara lain sistem ekonomi, kualitas birokrasi. Sistem ekonomi yang dianut oleh suatu negara akan

faktor yang dimiliki masing-masing negara, antara lain sistem ekonomi, kualitas birokrasi. Sistem ekonomi yang dianut oleh suatu negara akan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keberhasilan pembangunan suatu negara sangat ditentukan oleh berbagai faktor yang dimiliki masing-masing negara, antara lain sistem ekonomi, ketersediaan sumber daya, teknologi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Sebagai negara berkembang, Indonesia membutuhkan dana yang tidak

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Sebagai negara berkembang, Indonesia membutuhkan dana yang tidak BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sebagai negara berkembang, Indonesia membutuhkan dana yang tidak sedikit jumlahnya di dalam pembangunan nasional. Dalam konteks pembangunan nasional maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Amerika Serikat. Hal ini sangat mempengaruhi negara-negara lain karena

BAB I PENDAHULUAN. Amerika Serikat. Hal ini sangat mempengaruhi negara-negara lain karena 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar belakang masalah Pada tahun 2008 terjadi krisis global dan berlanjut pada krisis nilai tukar. Krisis ekonomi 2008 disebabkan karena adanya resesi ekonomi yang melanda Amerika

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO DAN REALISASI APBN SEMESTER I 2009

PERKEMBANGAN ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO DAN REALISASI APBN SEMESTER I 2009 PERKEMBANGAN ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO DAN REALISASI APBN SEMESTER I 2009 I. ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO 1. Pertumbuhan Ekonomi Dalam UU APBN 2009, pertumbuhan ekonomi Indonesia ditargetkan sebesar 6,0%.

Lebih terperinci

Catatan Atas Harga BBM: Simulasi Kenaikan Harga, Sensitivitas APBN dan Tanggapan terhadap 3 Opsi Pemerintah

Catatan Atas Harga BBM: Simulasi Kenaikan Harga, Sensitivitas APBN dan Tanggapan terhadap 3 Opsi Pemerintah Catatan Atas Harga BBM: Simulasi Kenaikan Harga, Sensitivitas APBN dan Tanggapan terhadap 3 Opsi Pemerintah I. Pendahuluan Harga Minyak Indonesia atau Indonesian Crude Price (ICP) merupakan salah satu

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN INDONESIA. negara selain faktor-faktor lainnya seperti PDB per kapita, pertumbuhan ekonomi,

BAB IV GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN INDONESIA. negara selain faktor-faktor lainnya seperti PDB per kapita, pertumbuhan ekonomi, BAB IV GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN INDONESIA 4.1 Perkembangan Laju Inflasi di Indonesia Tingkat inflasi merupakan salah satu indikator fundamental ekonomi suatu negara selain faktor-faktor lainnya seperti

Lebih terperinci

VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN

VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN 1994-2003 6.1. Hasil Validasi Kebijakan Hasil evaluasi masing-masing indikator

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. saat ini. Sekalipun pengaruh aktifitas ekonomi Indonesia tidak besar terhadap

BAB I PENDAHULUAN. saat ini. Sekalipun pengaruh aktifitas ekonomi Indonesia tidak besar terhadap BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Small open economic, merupakan gambaran bagi perekonomian Indonesia saat ini. Sekalipun pengaruh aktifitas ekonomi Indonesia tidak besar terhadap perekonomian dunia,

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH Kerangka ekonomi makro daerah akan memberikan gambaran mengenai kemajuan ekonomi yang telah dicapai pada tahun 2010 dan perkiraan tahun

Lebih terperinci

BAB II PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO TAHUN

BAB II PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO TAHUN BAB II PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO TAHUN 2002 2004 Bab perkembangan ekonomi makro tahun 2002 2004 dimaksudkan untuk memberi gambaran menyeluruh mengenai prospek ekonomi tahun 2002 dan dua tahun berikutnya.

Lebih terperinci

INDONESIA PADA GUBERNUR BANK PANITIA ANGGARAN SEMESTER

INDONESIA PADA GUBERNUR BANK PANITIA ANGGARAN SEMESTER PANDANGAN GUBERNUR BANK INDONESIA PADA RAPAT KERJA PANITIA ANGGARAN DPR RI MENGENAI LAPORAN SEMESTER I DAN PROGNOSIS SEMESTER II APBN TA 2006 2006 Anggota Dewan yang terhormat, 1. Pertama-tama perkenankanlah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Kebutuhan manusia selalu berkembang sejalan dengan tuntutan zaman, tidak

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Kebutuhan manusia selalu berkembang sejalan dengan tuntutan zaman, tidak BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kebutuhan manusia selalu berkembang sejalan dengan tuntutan zaman, tidak sekedar memenuhi kebutuhan hayati saja, namun juga menyangkut kebutuhan lainnya seperti

Lebih terperinci

International Monetary Fund UNTUK SEGERA th Street, NW 15 Maret 2016 Washington, D. C USA

International Monetary Fund UNTUK SEGERA th Street, NW 15 Maret 2016 Washington, D. C USA Siaran Pers No. 16/104 International Monetary Fund UNTUK SEGERA 700 19 th Street, NW 15 Maret 2016 Washington, D. C. 20431 USA Dewan Eksekutif IMF Menyimpulkan Konsultasi Pasal IV 2015 dengan Indonesia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tetap rendah. Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization)

I. PENDAHULUAN. tetap rendah. Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization) 26 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Subsidi menurut ilmu ekonomi adalah bantuan keuangan dari pemerintah untuk membantu sektor industri atau bisnis guna menjaga harga barang atau jasa tetap rendah. Organisasi

Lebih terperinci

VI. DAMPAK GUNCANGAN EKSTERNAL TERHADAP MAKROEKONOMI INDONESIA

VI. DAMPAK GUNCANGAN EKSTERNAL TERHADAP MAKROEKONOMI INDONESIA 69 VI. DAMPAK GUNCANGAN EKSTERNAL TERHADAP MAKROEKONOMI INDONESIA 6.1 Dinamika Respon Business Cycle Indonesia terhadap Guncangan Eksternal Impulse Response Function (IRF) digunakan untuk menganalisis

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perubahan yang menakjubkan ketika pemerintah mendesak maju dengan

I. PENDAHULUAN. perubahan yang menakjubkan ketika pemerintah mendesak maju dengan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Selama tiga dekade terakhir, perekonomian Indonesia sudah mengalami perubahan yang menakjubkan ketika pemerintah mendesak maju dengan melakukan kebijakan deregulasi.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. dan permintaan BBM, sejarah subsidi BBM, subsidi energi di negara lain, serta. studi terdahulu tentang subsidi BBM dan kemiskinan.

TINJAUAN PUSTAKA. dan permintaan BBM, sejarah subsidi BBM, subsidi energi di negara lain, serta. studi terdahulu tentang subsidi BBM dan kemiskinan. 43 II. TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini akan dijelaskan pengertian subsidi, kondisi pasar penawaran dan permintaan BBM, sejarah subsidi BBM, subsidi energi di negara lain, serta studi terdahulu tentang subsidi

Lebih terperinci

BEBAN SUBSIDI BBM DALAM APBN TAHUN 2013

BEBAN SUBSIDI BBM DALAM APBN TAHUN 2013 BEBAN SUBSIDI BBM DALAM APBN TAHUN 2013 I. PENDAHULUAN Dalam Undang-undang No.19 Tahun 2012 tentang APBN 2013, anggaran subsidi BBM dialokasikan sebesar Rp193,8 triliun meningkat Rp56,4 triliun bila dibandingkan

Lebih terperinci

ANALISA PERUBAHAN NILAI TUKAR RUPIAH TERHADAP DOLLAR AMERIKA DALAM RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA PERUBAHAN TAHUN 2014

ANALISA PERUBAHAN NILAI TUKAR RUPIAH TERHADAP DOLLAR AMERIKA DALAM RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA PERUBAHAN TAHUN 2014 ANALISA PERUBAHAN NILAI TUKAR RUPIAH TERHADAP DOLLAR AMERIKA DALAM RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA PERUBAHAN TAHUN 2014 Pendahuluan Akibat dari krisis ekonomi yang dialami Indonesia tahun

Lebih terperinci

IV. FLUKTUASI MAKROEKONOMI INDONESIA

IV. FLUKTUASI MAKROEKONOMI INDONESIA 49 IV. FLUKTUASI MAKROEKONOMI INDONESIA 4.1 Produk Domestik Bruto (PDB) PDB atas dasar harga konstan merupakan salah satu indikator makroekonomi yang menunjukkan aktivitas perekonomian agregat suatu negara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 merupakan. dampak lemahnya fundamental perekonomian Indonesia.

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 merupakan. dampak lemahnya fundamental perekonomian Indonesia. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 merupakan dampak lemahnya fundamental perekonomian Indonesia. Pada satu sisi Indonesia terlalu cepat melakukan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Grafik 1.1 Perkembangan NFA periode 1997 s.d 2009 (sumber : International Financial Statistics, IMF, diolah)

BAB 1 PENDAHULUAN. Grafik 1.1 Perkembangan NFA periode 1997 s.d 2009 (sumber : International Financial Statistics, IMF, diolah) BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dalam beberapa dekade terakhir, perekonomian Indonesia telah menunjukkan integrasi yang semakin kuat dengan perekonomian global. Keterkaitan integrasi ekonomi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. menyediakan sarana dan prasarana,baik fisik maupun non fisik. Namun dalam

PENDAHULUAN. menyediakan sarana dan prasarana,baik fisik maupun non fisik. Namun dalam PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bangsa Indonesia mempunyai cita cita yang luhur sebagaimana tertuang dalam Pembukuan UUD Tahun 1945 adalah untuk memajukan kesejahteraan umum menuju masyarakat adil dan makmur

Lebih terperinci

Analisis Asumsi Makro Ekonomi RAPBN 2011

Analisis Asumsi Makro Ekonomi RAPBN 2011 Analisis Asumsi Makro Ekonomi RAPBN 2011 Nomor. 30/AN/B.AN/2010 0 Bagian Analisa Pendapatan Negara dan Belanja Negara Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN SETJEN DPR-RI Analisis Asumsi Makro Ekonomi

Lebih terperinci

ANALISIS KEBIJAKAN FISKAL/KEUANGAN DAN EKONOMI MAKRO TAHUN 2010

ANALISIS KEBIJAKAN FISKAL/KEUANGAN DAN EKONOMI MAKRO TAHUN 2010 ANALISIS KEBIJAKAN FISKAL/KEUANGAN DAN EKONOMI MAKRO TAHUN 2010 Penyusun: 1. Bilmar Parhusip 2. Basuki Rachmad Lay Out Budi Hartadi Bantuan dan Dukungan Teknis Seluruh Pejabat/Staf Direktorat Akuntansi

Lebih terperinci

Analisis Asumsi Makro Ekonomi RAPBN Nomor. 01/ A/B.AN/VI/2007 BIRO ANALISA ANGGARAN DAN PELAKSANAAN APBN SETJEN DPR RI

Analisis Asumsi Makro Ekonomi RAPBN Nomor. 01/ A/B.AN/VI/2007 BIRO ANALISA ANGGARAN DAN PELAKSANAAN APBN SETJEN DPR RI Analisis Asumsi Makro Ekonomi RAPBN 2008 Nomor. 01/ A/B.AN/VI/2007 Asumsi Dasar dan Kebijakan Fiskal 2008 Sesuai dengan ketentuan UU Nomor 17 Tahun 2003, Pemerintah Pusat diwajibkan untuk menyampaikan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi suatu negara di satu sisi memerlukan dana yang relatif besar.

I. PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi suatu negara di satu sisi memerlukan dana yang relatif besar. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi suatu negara di satu sisi memerlukan dana yang relatif besar. Sementara di sisi lain, usaha pengerahan dana untuk membiayai pembangunan tersebut

Lebih terperinci

ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV

ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV - 2009 263 ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV - 2009 Tim Penulis

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Globalisasi dan liberalisasi ekonomi telah membawa pembaharuan yang

I. PENDAHULUAN. Globalisasi dan liberalisasi ekonomi telah membawa pembaharuan yang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Globalisasi dan liberalisasi ekonomi telah membawa pembaharuan yang sangat cepat dan berdampak luas bagi perekonomian, baik di dalam negeri maupun di tingkat dunia

Lebih terperinci

Perekonomian Suatu Negara

Perekonomian Suatu Negara Menteri Keuangan RI Jakarta, Maret 2010 Perekonomian Suatu Negara Dinamika dilihat dari 4 Komponen= I. Neraca Output Y = C + I + G + (X-M) AS = AD II. Neraca Fiskal => APBN Total Pendapatan Negara (Tax;

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 mengakibatkan

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 mengakibatkan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan indikator yang sangat penting dalam perekonomian setiap negara, baik di negara maju maupun di negara berkembang. Krisis ekonomi yang terjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. minyak dunia yang turun, dollar yang menguat dan revolusi shale gas oleh Amerika

BAB I PENDAHULUAN. minyak dunia yang turun, dollar yang menguat dan revolusi shale gas oleh Amerika BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekonomi dunia saat ini berada pada posisi tiga kejadian penting yaitu harga minyak dunia yang turun, dollar yang menguat dan revolusi shale gas oleh Amerika Serikat.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Sebagai negara yang menganut sistem perekonomian terbuka,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Sebagai negara yang menganut sistem perekonomian terbuka, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Sebagai negara yang menganut sistem perekonomian terbuka, seperti Indonesia serta dalam era globalisasi sekarang ini, suatu negara tidak terlepas dari kegiatan

Lebih terperinci

Kondisi Perekonomian Indonesia

Kondisi Perekonomian Indonesia KAMAR DAGANG DAN INDUSTRI INDONESIA Kondisi Perekonomian Indonesia Tim Ekonomi Kadin Indonesia 1. Kondisi perekonomian dunia dikhawatirkan akan benar-benar menuju jurang resesi jika tidak segera dilakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebijakan fiskal secara keseluruhan. Indikator kerentanan fiskal yang dihadapi adalah meningkatnya

BAB I PENDAHULUAN. kebijakan fiskal secara keseluruhan. Indikator kerentanan fiskal yang dihadapi adalah meningkatnya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemerintah di seluruh dunia pada dasarnya dihadapkan dengan kerentanan fiskal. Hemming (2000) mendefinisikan kerentanan fiskal adalah ketika pemerintah gagal dalam

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Berdasarkan estimasi yang telah dilakukan maka diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Hasil uji Impulse Response Function menunjukkan variabel nilai

Lebih terperinci

BAB III PERUBAHAN KERANGKA EKONOMI DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III PERUBAHAN KERANGKA EKONOMI DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III PERUBAHAN KERANGKA EKONOMI DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH 3.1. Kerangka Ekonomi Rancangan Kerangka Ekonomi Daerah merupakan kerangka implementatif atas pelaksanaan RKPD Kabupaten Sijunjung Tahun

Lebih terperinci

ANALISA TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan III

ANALISA TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan III ANALISA TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran,Triwulan III - 2005 135 ANALISA TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan III - 2005 Tim Penulis

Lebih terperinci

SUBSIDI BBM DALAM ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA

SUBSIDI BBM DALAM ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA SUBSIDI BBM DALAM ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA I. PENDAHULUAN Bahan Bakar Minyak (BBM) merupakan salah satu input di dalam meningkatkan ekonomi masyarakat dan pada gilirannya akan mempengaruhi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Hal ini dilakukan karena penerimaan pemerintah yang berasal dari pajak tidak

I. PENDAHULUAN. Hal ini dilakukan karena penerimaan pemerintah yang berasal dari pajak tidak 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemerintah dalam menggunakan pinjaman baik dari dalam maupun dari luar negeri merupakan salah satu cara untuk menutupi defisit anggaran yang terjadi. Hal ini dilakukan

Lebih terperinci

Subsidi dan Tata Kelola Keuangan Negara: Inefektif dan Manipulatif

Subsidi dan Tata Kelola Keuangan Negara: Inefektif dan Manipulatif Subsidi dan Tata Kelola Keuangan Negara: Inefektif dan Manipulatif Drs. Anthony Budiawan, CMA Rektor Institut Binis dan Informatika Indonesia (IBII) Direktur Eksekutif Indonesia Institute for Financial

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman Daftar Isi... i Daftar Tabel... v Daftar Grafik... vii

DAFTAR ISI. Halaman Daftar Isi... i Daftar Tabel... v Daftar Grafik... vii Daftar Isi DAFTAR ISI Halaman Daftar Isi... i Daftar Tabel... v Daftar Grafik... vii BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Umum... 1.2 Realisasi Semester I Tahun 2013... 1.2.1 Realisasi Asumsi Dasar Ekonomi Makro Semester

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO DAN REALISASI APBN SAMPAI DENGAN 31 AGUSTUS 2009

PERKEMBANGAN ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO DAN REALISASI APBN SAMPAI DENGAN 31 AGUSTUS 2009 PERKEMBANGAN ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO DAN REALISASI APBN SAMPAI DENGAN 31 AGUSTUS 2009 I. ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO 1. Pertumbuhan Ekonomi Dalam UU APBN 2009, pertumbuhan ekonomi Indonesia ditargetkan

Lebih terperinci

NOTA KEUANGAN DAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA PERUBAHAN TAHUN ANGGARAN 2012 REPUBLIK INDONESIA

NOTA KEUANGAN DAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA PERUBAHAN TAHUN ANGGARAN 2012 REPUBLIK INDONESIA NOTA KEUANGAN DAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA PERUBAHAN TAHUN ANGGARAN 2012 REPUBLIK INDONESIA Daftar Isi DAFTAR ISI Daftar Isi... Daftar Tabel... Daftar Grafik... Daftar Boks... BAB

Lebih terperinci

RINGKASAN APBN TAHUN 2017

RINGKASAN APBN TAHUN 2017 RINGKASAN APBN TAHUN 2017 1. Pendahuluan Tahun 2017 merupakan tahun ketiga Pemerintahan Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla untuk mewujudkan sembilan agenda priroritas (Nawacita)

Lebih terperinci

Executive Summary Model Makro APBN: Dampak Kebijakan APBN terhadap Beberapa Indikator utama Pembangunan

Executive Summary Model Makro APBN: Dampak Kebijakan APBN terhadap Beberapa Indikator utama Pembangunan Executive Summary Model Makro APBN: Dampak Kebijakan APBN terhadap Beberapa Indikator utama Pembangunan Sebagai negara yang menganut sisitem perekonomian terbuka maka sudah barang tentu pertumbuhan ekonominya

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PENGUATAN SEKTOR RIIL DI INDONESIA Kamis, 16 Juli 2009

KEBIJAKAN PENGUATAN SEKTOR RIIL DI INDONESIA Kamis, 16 Juli 2009 KEBIJAKAN PENGUATAN SEKTOR RIIL DI INDONESIA Kamis, 16 Juli 2009 Â Krisis keuangan global yang melanda dunia sejak 2008 lalu telah memberikan dampak yang signifikan di berbagai sektor perekonomian, misalnya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi suatu negara sangat ditunjang oleh indikator tabungan dan investasi domestik yang digunakan untuk menentukan tingkat pertumbuhan dan pembangunan ekonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari keadaan ekonomi negara lain. Suatu negara akan sangat tergantung dengan

BAB I PENDAHULUAN. dari keadaan ekonomi negara lain. Suatu negara akan sangat tergantung dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kehidupan ekonomi suatu negara pada dewasa ini tidak dapat dipisahkan dari keadaan ekonomi negara lain. Suatu negara akan sangat tergantung dengan negara lain

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH Rancangan Kerangka Ekonomi Daerah menggambarkan kondisi dan analisis statistik Perekonomian Daerah, sebagai gambaran umum untuk situasi perekonomian Kota

Lebih terperinci

Menyoal Efektifitas APBN-P 2014 Mengatasi Perlambatan Ekonomi

Menyoal Efektifitas APBN-P 2014 Mengatasi Perlambatan Ekonomi Diskusi Dwi Bulanan INDEF Menyoal Efektifitas APBN-P 2014 Mengatasi Perlambatan Ekonomi Selasa, 20 Mei 2014 INDEF 1 Diskusi Dwi Bulanan INDEF Menyoal Efektifitas APBN-P 2014 Mengatasi Perlambatan Ekonomi

Lebih terperinci

ANALISIS Perkembangan Indikator Ekonomi Ma kro Semester I 2007 Dan Prognosisi Semester II 2007

ANALISIS Perkembangan Indikator Ekonomi Ma kro Semester I 2007 Dan Prognosisi Semester II 2007 ANALISIS Perkembangan Indikator Ekonomi Makro Semester I 2007 Dan Prognosisi Semester II 2007 Nomor. 02/ A/B.AN/VII/2007 Perkembangan Ekonomi Tahun 2007 Pada APBN 2007 Pemerintah telah menyampaikan indikator-indikator

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara berkembang yang sedang membangun, membutuhkan dana yang cukup besar untuk membiayai pembangunan.

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara berkembang yang sedang membangun, membutuhkan dana yang cukup besar untuk membiayai pembangunan. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia sebagai negara berkembang yang sedang membangun, membutuhkan dana yang cukup besar untuk membiayai pembangunan. Penanaman modal dapat dijadikan sebagai

Lebih terperinci

Ringkasan eksekutif: Tekanan meningkat

Ringkasan eksekutif: Tekanan meningkat Ringkasan eksekutif: Tekanan meningkat Laju pertumbuhan ekonomi Indonesia masih tetap kuat tetapi tekanan semakin meningkat Indikator ekonomi global telah sedikit membaik, harga komoditas telah mulai meningkat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. internasional tidak bisa lepas dari hal-hal yang sedang dan akan berlangsung di

BAB I PENDAHULUAN. internasional tidak bisa lepas dari hal-hal yang sedang dan akan berlangsung di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia sebagai negara yang menganut sistem perekonomian terbuka, keadaan dan perkembangan perdagangan luar negeri serta neraca pembayaran internasional tidak

Lebih terperinci

Ringkasan eksekutif: Penyesuaian berlanjut

Ringkasan eksekutif: Penyesuaian berlanjut Ringkasan eksekutif: Penyesuaian berlanjut Indonesia sedang mengalami penyesuaian ekonomi yang cukup berarti yang didorong oleh perlemahan neraca eksternalnya yang membawa perlambatan pertumbuhan dan peningkatan

Lebih terperinci

BAB II PROSPEK EKONOMI TAHUN 2005

BAB II PROSPEK EKONOMI TAHUN 2005 BAB II PROSPEK EKONOMI TAHUN 2005 A. TANTANGAN DAN UPAYA POKOK TAHUN 2005 Meskipun secara umum pertumbuhan ekonomi semakin meningkat dan stabilitas moneter dalam keseluruhan tahun 2004 relatif terkendali,

Lebih terperinci

BAB III PROSPEK EKONOMI TAHUN 2004

BAB III PROSPEK EKONOMI TAHUN 2004 BAB III PROSPEK EKONOMI TAHUN 2004 Bab ini membahas prospek ekonomi Indonesia tahun 2004 dalam dua skenario, yaitu skenario dasar dan skenario dimana pemulihan ekonomi berjalan lebih lambat. Dalam skenario

Lebih terperinci

BAB 3 KERANGKA EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN

BAB 3 KERANGKA EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN BAB 3 KERANGKA EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN Kerangka Ekonomi Makro dan Pembiayaan Pembangunan pada Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2006 disempurnakan untuk memberikan gambaran ekonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai alat untuk mengumpulkan dana guna membiayai kegiatan-kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. sebagai alat untuk mengumpulkan dana guna membiayai kegiatan-kegiatan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan disegala bidang harus terus dilakukan oleh pemerintah untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Untuk melaksanakan pembangunan, pemerintah tidak bisa

Lebih terperinci

BAB II PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO TAHUN

BAB II PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO TAHUN BAB II PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO TAHUN 2004 2006 Bab mengenai perkembangan ekonomi makro tahun 2004 2006 merupakan kerangka ekonomi makro (macroeconomic framework) yang dimaksudkan untuk memberi gambaran

Lebih terperinci

Mencari Harga BBM Yang Pantas Bagi Rakyat Indonesia

Mencari Harga BBM Yang Pantas Bagi Rakyat Indonesia SEMINAR NASIONAL Mencari Harga BBM Yang Pantas Bagi Rakyat Indonesia ENNY SRI HARTATI Auditorium Kampus Institut Bisnis dan Informatika Kwik Kian Gie Rabu, 24 September 2014 INSTITUTE FOR DEVELOPMENT OF

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH 3.1. Arah Kebijakan Ekonomi Daerah Kondisi perekonomian Kota Ambon sepanjang Tahun 2012, turut dipengaruhi oleh kondisi perekenomian

Lebih terperinci

VII. HASIL SIMULASI DAN PEMBAHASAN ALTERNATIF KEBIJAKAN. Bab ini akan membahas penerapan model ekonometrika melalui analisis

VII. HASIL SIMULASI DAN PEMBAHASAN ALTERNATIF KEBIJAKAN. Bab ini akan membahas penerapan model ekonometrika melalui analisis VII. HASIL SIMULASI DAN PEMBAHASAN ALTERNATIF KEBIJAKAN Bab ini akan membahas penerapan model ekonometrika melalui analisis simulasi beberapa alternatif kebijakan dengan tujuan untuk mengevaluasi perkembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan perkembangan ekonomi internasional yang semakin

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan perkembangan ekonomi internasional yang semakin BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sejalan dengan perkembangan ekonomi internasional yang semakin pesat, dimana kebutuhan ekonomi antar negara juga semakin saling terkait, telah meningkatkan

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2005 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2004 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 2005 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembukaan Undang-Undang Dasar Pembangunan Nasional difasilitasi oleh

BAB I PENDAHULUAN. pembukaan Undang-Undang Dasar Pembangunan Nasional difasilitasi oleh BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pajak merupakan penerimaan negara terbesar yang dipergunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan salah satunya untuk pembangunan nasional. Perubahan yang semakin

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2005 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2004 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 2005 DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara berkembang yang sedang fokus terhadap

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara berkembang yang sedang fokus terhadap BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara berkembang yang sedang fokus terhadap pembangunan nasional. Salah satu strategi pembangunan nasional indonesia yaitu melakukan pemerataan

Lebih terperinci

BIRO ANALISA ANGGARAN DAN PELAKSANAAN APBN SETJEN DPR RI INEFISIENSI BBM

BIRO ANALISA ANGGARAN DAN PELAKSANAAN APBN SETJEN DPR RI INEFISIENSI BBM INEFISIENSI BBM Kenaikan harga minyak yang mencapai lebih dari US$100 per barel telah memberikan dampak besaran alokasi dalam APBN TA 2012. Kondisi ini merupakan salah satu faktor yang mendorong pemerintah

Lebih terperinci

KRISIS EKONOMI DI INDONESIA MATA KULIAH PEREKONOMIAN INDONESIA

KRISIS EKONOMI DI INDONESIA MATA KULIAH PEREKONOMIAN INDONESIA KRISIS EKONOMI DI INDONESIA MATA KULIAH PEREKONOMIAN INDONESIA Definisi Krisis ekonomi : Suatu kondisi dimana perekonomian suatu negara mengalami penurunan akibat krisis keuangan Krisis keuangan/ moneter

Lebih terperinci