BAB III AKIBAT HUKUM APABILA PENANGGUNG TERBUKTI TELAH MELANGGAR PRINSIP UTMOST GOOD FAITH Pelanggaran Prinsip Utmost Good Faith oleh Penanggung

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB III AKIBAT HUKUM APABILA PENANGGUNG TERBUKTI TELAH MELANGGAR PRINSIP UTMOST GOOD FAITH Pelanggaran Prinsip Utmost Good Faith oleh Penanggung"

Transkripsi

1 41 BAB III AKIBAT HUKUM APABILA PENANGGUNG TERBUKTI TELAH MELANGGAR PRINSIP UTMOST GOOD FAITH 3. 1 Pelanggaran Prinsip Utmost Good Faith oleh Penanggung Prinsip itikad terbaik merupakan hal yang sangat esensial dalam perjanjian asuransi. Prinsip ini sangat penting karena perjanjian asuransi merupakan perjanjian yang membutuhkan rasa percaya satu sama lain yang sangat besar. Hal ini dikarenakan karena penanggung harus menanggung sesuatu yang bukan merupakan miliknya, sedangkan tertanggung mempercayakan sesuatu yang merupakan miliknya kepada orang lain untuk dijaga dan membayar sejumlah premi. Itikad baik ini tidak hanya diberlakukan bagi pihak tertanggung, pihak tertanggung juga diwajibkan untuk memiliki prinsip ini dalam melakukan perjanjian. Ada beberapa perbuatan yang dianggap telah melanggar prinsip itikad baik yaitu: Misrepresentation : suatu pernyataan yang tidak benar (false statement of fact) mengenai suatu fakta atau keadaan yang mempengaruhi seseorang menjadi mau mengadakan perjanjian 42 memiliki prinsip ini dalam melakukan perjanjian. Sebelum menyatakan jika perbuatan tersebut merupakan misrepresentation maka terdapat beberapa syarat yang dipenuhi seperti pernyataan harus mengenai suatu fakta., dilakukan oleh satu pihak, harus bersifat material fakta tersebut, 41 Hilda Yunita Sabrie, Pembayaran Klaim Asuransi Jiwa Akibat Tertanggung Bunuh Diri, Yuridika, Volume 26 No 1, Januari-April diakses pada 04 Agustus 2015

2 42 mempengaruhi terjadinya kontrak, menimbulkan kerugian / kerugian pada pihak dalam kontrak. 43 Misrepresentation ini dibagi menjadi 2 jenis yaitu : a. Innocent Misrepresentation yang artinya kurangtelitian dalam menyampaikan fakta-fakta materiil (penting), yang disebabkan oleh kurangnya pengetahuan tertanggung atas fakta-fakta tersebut, sehingga tidak ada faktor kesengajaan.; b. Fraudulent Misrepresentation yang artinya adalah suatu perbuatan yang dengan sengaja mengurangi penjelasan mengenai fakta-fakta materiil yang seharusnya disampaikan; 2. Non-Disclosure yaitu perbuatan para pihak yang tidak menyampaikan suatu fakta tertanggung tidak menyampaikan suatu fakta karena ia mengira fakta tersebut tidak materiil (penting); 3. Concealment yaitu seandainya menutupi fakta-fakta materiil yang seharusnya diberitahukan kepada penanggung. Itikad baik tidak memiliki konsep yang jelas dan rinci. Itikad baik biasanya terdapat secara tersirat dalam putusan-putusan hakim, doktrin-doktrin. Dalam perundang-undangan di Indonesia tidak terdapat konsep yang jelas mengenai prinsip itikad baik. Dalam Undang-undang Nomor 40 Tahun 2014 juga tidak menyebut mengenai itikad baik secara langsung namun lebih kepada hak dan kewajiban tertanggung serta penanggung. Secara sederhana itikad baik dapat dilihat dari sikap jujur para pihak dalam pembuatan dan dalam pelaksanaannya. Jujur yang dimaksud 43 ibid

3 43 adalah baik penanggung maupun tertanggung bersikap tanpa tipu muslihat, tanpa ada upaya untuk mengganggu pihak yang lain maupun tanpa ada niat untuk melakukan perbuatan diluar kesepakatan. Apabila terjadi pelanggaran prinsip utmost good faith maka perjanjian itu akan batal demi hukum karena syarat subjektif tidak terpenuhi karena para pihak tidak pernah melakukan kesepakatan. Kesepakatan seharusnya terjadi apabila kedua pihak menemukan adanya persamaan kehendak. Namun ketika prinsip itikad baik dilanggar maka salah satu pihak menghendaki adanya perbuatan tidak baik dan menyebabkan perjanjian dapat dibatalkan. Dalam sengketa asuransi tertanggung yang biasanya memiliki posisi yang lebih lemah. Penanggung dapat menggunakan alasan tidak adanya itikad baik jika sengketa terjadi. Disisi lain juga terdapat pengertian innocent misrepresentation dimana ketidaktahuan calon tertanggung mengenai ketentuan pemberian informasi kepada penanggung dapat menjadi perbuatan itikad buruk. Maka dari itu perusahaan asuransi serta agen yang ditunjuk harus menjelaskan secara rinci mengenai program asuransi beserta ketentuannya. Pasal 31 (1) Undang-undang Nomor 40 Tahun 2014 menentukan Agen Asuransi, Pialang Asuransi, Pialang Reasuransi, dan Perusahaan Perasuransian wajib menerapkan segenap keahlian, perhatian, dan kecermatan dalam melayani atau bertransaksi dengan Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta terutama agen asuransi yang langsung berinteraksi dengan calon tertanggung diwajibkan untuk memiliki informasi yang cukup mengenai program asuransi yang

4 44 akan ditawarkan. Agen asuransi juga dianggap melanggar prinsip itikad baik apabila : Tidak menjelaskan luas jaminan dan hak-hak tertanggung atau hanya menjelaskan sebagian karena menganggap tertanggung telah mengetahuinya; 2. Tidak menjelaskan luas jaminan atau hak-hak tertanggung atau hanya menjelaskan sebagian dengan tujuan memperolhe premi yang besar tapi resiko yang dijamin kecil. Dalam kasus yang ada dalam Putusan Mahkamah Agung nomor 1093 K/Pdt/2010 dijelaskan bahwa pengisian terhadap seluruh persyaratan asuransi dilakukan oleh Ny. Sri Suryanti Asiyah, SE pada saat almarhumah melaksanakan kerja di BPD Papua dengan didampingi oleh sdr. A. Ghafur selaku agen. Berdasarkan fakta tersebut ketika melakukan underwriting asuransi jiwa almahumah telah mengisi formulir yang menjadi sumber informasi seperti surat permintaan asuransi jiwa SPAJ), surat keterangan kesehatan, laporan agen serta laporan pemerikasaan kesehatan kepada agen selaku wakil PT. Asuransi Jiwasraya dengan maksud agar PT. Asuransi Jiwasraya dapat menilai dan memperkirakan resiko yang mungkin dapat diambil Selain itu persyaratan asuransi baru dapat ditandatangani oleh Ny. Sri. Suryanti Asiyah setelah dilakukan pengecekan secara menyeluruh yang dilakukan oleh agen penanggung. Jika dikemudian hari terdapat informasi yang dianggap penanggung belum diberitahukan maka penanggung tidak dapat menolak membayar klaim dengan dasar melanggar itikad baik. Apabila penanggung menyatakan tidak mengetahui 44 Zahry Vandawati Chumaida, opcit,, h. 148

5 45 almarhumah pernah menjalani operasi pengangkatan payudara, hal tersebut tidak mungkin terjadi. Operasi yang dijalani oleh almarhumah merupakan operasi pengangkatan payudara yang disebut dengan Masektomi. Masektomi dibagi menjadi 3 jenis yaitu: Mastektomi Total atau Sederhana: Dalam operasi ini seluruh payudara diangkat, tetapi tidak termasuk kelenjar getah bening di bawah lengan atau jaringan otot di bawah payudara. Kadang-kadang kedua buah payudara diangkat, terutama bila dilakukan mastektomi untuk mencegah terjadinya kanker. 2. Mastektomi radikal termodifikasi: Operasi ini melibatkan pengangkatan seluruh payudara serta beberapa kelenjar getah bening di bawah lengan. Ini adalah operasi yang paling umum untuk wanita dengan kanker payudara yang seluruh payudaranya diangkat. 3. Mastektomi radikal: Ini adalah operasi besar di mana ahli bedah menghapus seluruh payudara, kelenjar getah bening di bawah ketiak (aksila), dan otot dinding dada di bawah payudara. Dari ketiga jenis operasi tersebut semua memiliki resiko yang sama yaitu adanya jaringan parut bekas luka. Dengan kata lain jika terjadi pemeriksaan secara menyeluruh bekas operasi tersebut dapat dilihat dengan kasat mata. Bekas operasi tersebut hanya dapat dihilangkan atau dikurangi dengan melakukan operasi bedah plastic, sedangkan almarhumah tidak pernah diketahui atau diduga melakukan operasi 45 diakses pada 05 Agutus 2015

6 46 bedah plastik. Penanggung tidak dapat membuktikan jika tertanggung telah melakukan itikad buruk. Seperti yang penulis telah jelaskan diatas apabila salah satu pihak melanggar prinsip Good Faith maka perjanjian tersebut tidak memenuhi syarat subjektif dimana perjanjian tersebut dapat dibatalkan. Perjanjian yang batal tersebut dianggap tidak ada dan keadaan harus dikembalikan seperti sedia kala. Pasal 1266 BW selanjutnya juga menjelaskan apabila pembatalan tersebut terjadi karena adanya wanprestasi maka pembatalan perjanjian tersebut tidak dapat dilakukan begitu saja. Pembatalan tersebut harus dilakukan dengan persetujuan hakim. Hal ini dilakukan untuk melindungi pihak yang prestasinya tidak terpenuhi. Demikian pula dengan perjanjian asuransi antara tertanggung Ny. Sri Suryanti Asiyah, SE dan penanggung PT. Asuransi Jiwasraya yang diwakili oleh agennya A. Ghafur, perjanjian kedua pihak dimintakan pembatalannya dan hakim menyatakan untuk menolak pembatalan dan menyatakan jika perjanjian sah. Putusan tersebut menjadikan perjanjian kedua belah pihak masih berlaku dan kedua belah pihak tetap melaksanakan prestasi yang telah disepakati keduanya. Prestasi menurut Abdulkadir Muhammad adalah kewajiban yang harus dipenuhi oleh debitur dalam setiap perikatan. Pemenuhan prestasi adalah hakekat dari suatu perikatan 46 Menurut Pasal 1234 BW prestasi dapat berupa ada beberapa jenis yaitu memberikan sesuatu, tidak melakukan sesuatu dan melakukan sesuatu. 46 Abdulkadir Muhammad, opcit, h.21

7 47 Dalam kasus ini baik pihak tertanggung maupun tertanggung memiliki prestasi memberikan sesuatu yaitu sejumlah uang sebagai premi bagi pihak tertanggung dan bagi pihak penanggung memberikan sejumlah uang sebagai bentuk perlindungan yang diberikan oleh tertanggung kepada ahli warisnya yang dititipkan kepada penanggung. Almahumah sebagai penanggung telah melakukan prestasinya membayar premi kepada penanggung, namun penanggung menolak membayarkan sejumlah uang kepada ahli waris tertanggung bahkan setelah terjadi evenemen seperti yang diperjanjikan sebelumnya. Hal itu menunjukkan bahwa penanggung telah melakukan wanprestasi karena tidak melakukan prestasi yang ada dalam perjanjian. Menurut Pasal 1233 BW perjanjian mengikat sama kuatnya dengan undang-undang (pacta sun servanda) Perbuatan penanggung yang melakukan wanprestasi dan merugikan tertanggung dapat meminta ganti rugi kepada pihak yang melakukan wanprestasi. Pasal 1243 BW, menentukan penggantian biaya, rugi dan juga bunga karena tidak dipenuhinya suatu perikatan barulah mulai diwajibkan apabila si berutang, setelah ia dinyatakan lalai dalam memenuhi perikatannya tetap melalaikannya atau jika sesuatu yang harus diberikan atas dibuatnya hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya. Ahli waris almarhumah telah menerbitkan somasi tertanggal 10 Septemeber 2008 namun penanggung tetap menolak membayar kepada pihak tertanggung. Berdasarkan hal pihak ahli waris tertanggung menggungat penanggung dengan alasan wanprestasi.

8 Penyelesaian Sengketa yang Dapat Dilakukan Apabila Terjadi Sengketa Asuransi. Dalam setiap perjanjian selalu terdapat potensi adanya sengketa. Ketika terciptanya sebuah perjanjian maka hak dan kewajiban para pihak mulai diberlakukan, saat salah satu pihak menolak untuk melaksanakan kewajibannya maka pihak yang berhak atas kewajiban tersebut akan menutut haknya sehingga terjadilah sengketa. Pada sengketa perjanjian asuransi biasanya terjadi ketika pihak penanggung menolak untuk membayar klaim ketika pihak tertanggung terkena evenemen. Selain hal tersebut juga ada beberapa hal yang dapat menyebabkan sengketa asuransi seperti keterlambatan pembayaran premi, risiko penyebab terjadinya kerugian (proximate cause) tidak dijamin dalam polis asuransi, nilai pertanggungan tidak penuh (under insurance dan pelanggaran terhadap prinsip itikad baik berupa misrepresentation atau non-disclosure fakta material.. Penyelesaian sengketa asuransi dapat dilakukan dengan 3 cara pertama adalah melalui mediasi, pengadilan dan arbitrase. Dalam polis diwajibkan untuk mencamtumkan tentang bagaimana cara penyelesaian sengketa yang mungkin akan timbul dikemudian hari. Klausa ini diwajibkan untuk dicantumkan dalam perjanjian sesuai dengan ketentuan KMK442/KMK.06/ Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI) Salah satu upaya penyelesaian sengketa yang dapat dilakukan oleh tertanggung adalah dengan meminta bantuan Badan Mediasi Asuransi Indonesia 47 Zahry Vandawati Chumaidah, Opcit, h. 335

9 49 (BMAI) sebagai salah satu lembaga penyelesaian sengketa alternatif. Badan Mediasi Indonesia merupakan badan independen yang tidak memiliki keterkaitan dengan lembaga penyelesian sengketa lainnya. Badan ini secara khusus didirikan untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi dalam usaha asuransi. BBMAI bersifat imparsial karena dibentuk dengan tujuan untuk memberikan perlindungan hukum bagi konsumen asuransi, meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada perasuransian dan dapat mendukung perasuransian yang lebih baik pada masa yang akan datang, 48 jadi BMAI tidak hanya berpihak kepada konsumen asuransi sebagai pihak tertanggung namun juga kepada perusahaan asuransi sebagai pihak penanggung. Dalam menyelesaikan sengketa BMAI tidak berfungsi sebagai pihak yang memberikan nasehat hukum namun lebih sebagai penengah perselisihan diantara kedua pihak yang bersengketa. BMAI memberikan pelayanan untuk menyelesaikan sengketa antara perusahaan asuransi dan tertanggung atau pemegang polis, mediator, ajudikator dan arbiter. 49 Tidak semua sengketa dapat ditangani oleh BMAI berdasarkan Pasal 2 peraturan BMAI ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, 50 yaitu 1. Semua bentuk sengketa dari pihak yang mempunyai kepentingan atas suatu jaminan polis asuransi yang berkaitan dengan ganti rugi atau manfaat asuransi; 48 Tioma Roniuli Hariandja, Penyelesaian Sengketa Asuransi Melalui Badan Mediasi Asuransi Indonesia,Tesis, Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, tahun 2007,h diakses pada tanggal 18 Juli Tioma Ronjuli Hariandja, Opcit, h. 52

10 50 2. Pemohon pihak yang berkepentingan; 3. Pihak yang terlibat sengketa merupakan pihak yang tunduk pada yuridiksi BMAI karena terdaftar sebagai anggota BMAI; 4. Sengketa yang timbul dari permasalahan berkaitan dengan hubungan pemohon dan anggota; 5. Lingkup sengketa yang diajukan harus berada dalam yuridiksi BMAI sejak didirikan; 6. Anggota tidak dapat menyelesaikan secara langsung dengan pemohon sesuai dengan tuntuntan dalam jangka waktu 30 hari sejak disampaikan keberatan oleh pemohon kepada anggota; 7. Jumlah untutan ganti rugi atau polis yang dipersengketakan untuk kurang dari 500 juta untuk kerugian dan 300 juta untuk asuransi jiwa dan jaminan sosial; 8. Sengketa yang belum pernah diajukan pemohon kepada anggota sehingga kedua pihak belum pernah menyelesaikannya sendiri akan dikembalikan kembali kepada para pihak untuk dipertimbangkan agar dapat melakukan menyelesaikan sendiri terlebih dahulu; 9. Lingkup daerah yuridiksi BMAI hanya mencakup sengketa terhadap aktifitas anggota atau perwakilan yang melakukan kegiatan usaha dalam wilayah republik Indonesia. BMAI memiliki beberapa cara dalam menyelesaikan sengketanya yaitu :

11 51 1. Mediasi adalah penyelesaian sengketa yang melibatkan pihak ketiga sebagai penengah.menurut Suyud Margono mediasi mengandung unsur-unsur: 51 a. Proses penyelesaian sengketa berdasarkan perundingan b. Pihak ketiga yang menengahi disebut mediator. Mediator terlibat dan diterima para pihak yang bersengketa didalam proses; c. Mediator tidak memiliki kewenangan untuk membuat keputusan selama perundingan; d. Tujuan mediasi adalah untuk mencapai atau menghasilkan kesepakatan yang dapat diterima pihak-pihak yang bersengketa 2. Ajudikasi adalah cara selanjutnya yang dapat dilakukan para pihak yang bersengketa apabila dalam mediasi tidak menemukan kesepakatan. Mediator akan meminta persetujuan kepada ketua BMAI untuk melanjutkan ke ajudikasi namun para pihak dapat menolak dan mencari cara penyelesaian sengketa lainnya. Sebaliknya para anggota tidak berhak untuk menolak melanjutkan sengketa ke ajudikasi sekalipun anggota tidak hadir dalam persidangan. 3. Arbitrase Menurut Undang-Undang No.30/1999 tentang Arbitrase, Pasal 1 ayat (1): "Arbitrase merupakan cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa". Penyelesaian sengketa ini 51 Purwanto, Efektifitas Penerapan Alternative Dispute Resolution (ADR) Pada Penyelesian Sengketa Bisnis Asuransi di Indonesia, Jurnal Risalah Hukum nomor 1, Juni 2005, h 11-12

12 52 dilakukan dengan cara para pihak menyerahkan kepada pihak ketiga yang netral untuk memutuskan sengketa. Hal yang membedakan dengan pengadilan adalah arbitrase ini bersifat tertutup sehingga kerahasiaan dan nama baik para pihak yang bersengketa tetap terjaga Pengadilan Negeri Banyak dari sengketa yang timbul dari perjanjian asuransi berakhir di Pengadilan. Hal ini disebabkan karena masyarakat menilai bahwa pengadilan memiliki kekuatan yang lebih besar dalam memaksa pihak lawan untuk memenuhi kewajibannya. Sengketa asuransi yang masuk dalam pengadilan akan masuk pada hukum perdata dimana para pihak yang bersengketa berharap jika pihak lawan dapat dipaksa untuk melakukan kewajibannya. Penyelesaian sengketa di pengadilan memiliki kekurangan seperti proses yang lama karena para pihak dapat melakukan upaya hukum apabila putusan pengadilan dianggap tidak adil. Upaya hukum ini dapat berlangsung dari Pengadilan Tinggi hingga Mahkamah Agung, setelah diputus oleh Mahkamah Agung pun para pihak masih dapat mengajukan Peninjauan Kembali. Proses yang dilalui sangat lama sehingga biaya yang dikeluarkan juga besar. Hal kedua yang menjadi kelemahan penyelesaian sengketa di pengadilan adalah sifatnya yang terbuka. Berbeda dengan penyelesaian sengketa alternatif Penyelesaian Sengketa Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Mengenai Perlindungan Konsumen

13 53 Dalam perjanjian perasuransian penanggung disebut dengan pelaku usaha dan tertanggung disebut dengan konsumen. Pasal 251 lebih berpihak kepada penanggung sedangkan tertanggung memiliki posisi yang lebih lemah. Pasal 251 selalu menjadi alasan bagi penanggung untuk menolak membayar klaim, oleh karena itu undang-undang nomor 8 tahun 1999 mengenai perlindungan konsumen memberikan dasar hukum bagi konsumen untuk mempertahankan haknya. Dalam Pasal 23 undang-undang perlindungan konsumen menyatakan Pelaku usaha yang menolak dan atau tidak memberi tanggapan dan atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen dapat digugat melalui badan penyelesaian sengketa konsumen atau mengajukan di badan peradilan ditempat kedudukan konsumen. Dalam Pasal 45 Undang-undang perlindungan konsumen.disebutkan bahwa konsumen dapat menggugat pelaku usaha melalui jalur pengadilan maupun non pengadilan. Undang-undang nomor 8 tahun 1999 mengenai perlindungan konsumen menyediakan sebuah badan yang diberi kewenangan untuk menyelesaikan sengketa yang bernama Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen yang selanjutnya akan disebut dengan BPSK. Tugas dan kewenangan BPSK diuraikan dalam Pasal 52 undang undang penyelesaian konsumen yang meliputi: a. Melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara melalui Mediasi atau arbitrase atau konsiliasi; b. Memberikan konsultasi perlindungan konsumen; c. Melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku;

14 54 d. Melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan dalam Undang-undang ini; e. Menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari konsumen tentang f. Terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen; g. Melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen; h. Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen; i. Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap Undang-undang ini; j. Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud pada huruf g dan huruf h, yang tidak bersedia k. Memenuhi panggilan badan penyelesaian sengketa konsumen; l. Mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan; m. Memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak konsumen; n. Memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;

15 55 o. Menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan Undang-undang ini Penyelesaian Sengketa Berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK. 07/2013 Mengenai Perlindungan Konsumen Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai lembaga pengawas usaha peransurasian juga memberikan peraturan untuk menjamin perlindungan kepada konsumen yang terdapat dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1 POJK.07/2013. Dalam aturan ini prinsip itikad baik menjadi hal yang sangat mendasar, hal ini terdapat dalam Pasal 3 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1 POJK. 07/2013 mengenai perlindungan Konsumen Pasal 3 menyebutkan bahwa Pelaku Jasa Keuangan berhak untuk memastikan adanya itikad baik dari konsumen dengan cara mendapatkan informasi dan/atau dokumen mengenai Konsumen yang akurat, jujur, jelas dan tidak menyesatkan. Disisi lain dalam pasal 4 Peraturan OJK Nomor 1 POJK. 07/2013 Pelaku Jasa Keuangan juga wajib untuk melakukan itikad baik dengan cara menyediakan dan/atau menyampaikan informasi mengenai produk dan layanan yang akurat jujur jelas dan tidak menyesatkan serta memberikan penjelasan kepada konsumen mengenai hak dan kewajiban yang akan didapatkan oleh konsumen. Pada saat setelah terjadi perjanjian maka berdasarkan Pasal 32 dan 33 Peraturan Jasa Keuangan Nomor 1 POJK. 07/2013 Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib memiliki dan melaksanakan mekanisme pengaduan bagi konsumen tanpa

16 56 menarik biaya apapun dan wajib memberitahukan mekanisme penjelasan tersebut kepada konsumen. Apabila dikemudian hari konsumen menemukan adanya pengaduan yang berindikasi sengketa antara Pelaku Usaha Keuangan, pengaduan yang berindikasi adanya pelanggaran ketentuan Perundang-undangan oleh Pelaku Jasa Keuangan, maka berdasarkan ketentuan Pasal 40 (3) Peraturan Jasa Keuangan mengenai Perlindungan Konsumen, konsumen berhak untuk mengadukan kepada Anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keungan yang membidangi edukasi dan perlindungan Konsumen. Pengaduan konsumen harus memenuhi beberapa persyaratan agar dapat diproses oleh pihak OJK dan difasilitasi agar sengketa tersebut dapat diselesaikan. Pasal 41 Peraturan Jasa Keuangan Nomor 1 POJK. 07/2013 menjelaskan antara lain: 1) Konsumen mengalami kerugian finansial yang ditimbulkan oleh: a) Pelaku Usaha Jasa Keuangan di bidang Perbankan, Pasar Modal, Dana Pensiun, Asuransi Jiwa, Pembiayaan, Perusahaan Gadai, atau Penjaminan, paling banyak sebesar Rp ,00 (lima ratus juta rupiah); b) Pelaku Usaha Jasa Keuangan di bidang asuransi umum paling banyak sebesar Rp ,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah); 2) Konsumen mengajukan permohonan secara tertulis disertai dengan dokumen pendukung yang berkaitan dengan pengaduan; 3) Pelaku Usaha Jasa Keuangan telah melakukan upaya penyelesaian pengaduan namun Konsumen tidak dapat menerima penyelesaian tersebut atau telah

17 57 melewati batas waktu sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini; 4) Pengaduan yang diajukan bukan merupakan sengketa sedang dalam proses atau pernah diputus oleh lembaga arbritrase atau peradilan, atau lembaga mediasi lainnya; 5) Pengaduan yang diajukan bersifat keperdataan 6) Pengaduan yang diajukan belum pernah difasilitasi oleh Otoritas Jasa Keuangan; dan 7) Pengajuan penyelesaian pengaduan tidak melebihi 60 (enam puluh) hari kerja sejak tanggal surat hasil penyelesaian Pengaduan yang disampaikan Pelaku Usaha Jasa Keuangan kepada Konsumen. Apabila telah memenuhi syarat dalam pasal selanjutnya dijelaskan bahwa OJK akan memfasilitasi penyelesaian sengketa dengan cara menunjuk fasilitator dan mempertemukan konsumen dengan Pelaku Jasa Keuangan untuk mengkaji ulang permasalahan secara mendasar dalam rangka memperoleh kesepakatan penyelesaian. Apabila kedua pihak sepakat untuk memulai proses fasilitasi maka sesuai dengan Pasal 44 POJK Nomor 1 POJK. 07/2013 mengenai perlindungan konsumen kesepakatan tersebut akan dituangkan kedalam perjanjian fasilitasi yang memuat kesepakatan untuk memilih penyelesaian pengaduan yang difasilitasi oleh Otoritas Jasa Keuangan dan persetujuan untuk patuh dan tunduk pada aturan fasilitasi yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan.

18 58 Pelaksanaan fasilitasi sampai dengan ditandatanganinya akta kesepakatan dilakukan dengan jangka waktu maksimal 30 hari kerja sejak Konsumen dan Pelaku Usaha Jasa Keuangan menandatangani Perjanjian Fasilitasi dan dapat diperpanjang sampai dengan 30 hari kerja. Pada pasal 46 POJK mengenai perlindungan konsumen kedua belah pihak menemukan maupun tidak menemukan kesepakatan maka hal tersebut harus dituangkan dalam berita acara hasil fasilitasi Otoritas Jasa Keuangan yang ditandatangani oleh Konsumen dan Pelaku Usaha Jasa Keuangan.

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB III PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP TERTANGGUNG ASURANSI MIKRO KETIKA TERJADI PERISTIWA TIDAK PASTI

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB III PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP TERTANGGUNG ASURANSI MIKRO KETIKA TERJADI PERISTIWA TIDAK PASTI BAB III PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP TERTANGGUNG ASURANSI MIKRO KETIKA TERJADI PERISTIWA TIDAK PASTI 3.1 Tanggung Jawab Para Pihak Dalam Asuransi Mikro Asuransi adalah perjanjian timbal balik yang menimbulkan

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR: 1/POJK.07/2013 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN SEKTOR JASA KEUANGAN

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR: 1/POJK.07/2013 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN SEKTOR JASA KEUANGAN OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR: 1/POJK.07/2013 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN SEKTOR JASA KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR TAHUN 2013 TENTANG LEMBAGA ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DI SEKTOR JASA KEUANGAN

RANCANGAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR TAHUN 2013 TENTANG LEMBAGA ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DI SEKTOR JASA KEUANGAN OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR TAHUN 2013 TENTANG LEMBAGA ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DI SEKTOR JASA KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

Dokumen Perjanjian Asuransi

Dokumen Perjanjian Asuransi 1 Dokumen Perjanjian Asuransi Pada prinsipnya setiap perbuatan hukum yang dilakukan para pihak dalam perjanjian asuransi perlu dilandasi dokumen perjanjian. Dari dokumen tersebut akan dapat diketahui berbagai

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.12, 2014 KEUANGAN. OJK. Sengketa. Penyelesaian. Alternatif. Lembaga. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5499) PERATURAN OTORITAS JASA

Lebih terperinci

2016, No MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA PERUSAHAAN PIALANG ASURANSI, PERUSAHAAN PIALAN

2016, No MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA PERUSAHAAN PIALANG ASURANSI, PERUSAHAAN PIALAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.303, 2016 KEUANGAN OJK. Asuransi. Reasuransi. Penyelenggaraan Usaha. Kelembagaan. Perusahaan Pialang. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

KEPUTUSAN BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA NOMOR : KEP 02/BAPMI/ TENTANG PERATURAN DAN ACARA BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA

KEPUTUSAN BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA NOMOR : KEP 02/BAPMI/ TENTANG PERATURAN DAN ACARA BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA KEPUTUSAN BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA NOMOR : KEP 02/BAPMI/11.2009 TENTANG PERATURAN DAN ACARA BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL III - 1 III - 2 Daftar Isi BAB I KETENTUAN UMUM III-9 BAB II TATACARA PENYELESAIAN PERSELISIHAN

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN. REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 350/MPP/Kep/12/2001 TENTANG PELAKSANAAN TUGAS DAN WEWENANG

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN. REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 350/MPP/Kep/12/2001 TENTANG PELAKSANAAN TUGAS DAN WEWENANG KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 350/MPP/Kep/12/2001 TENTANG PELAKSANAAN TUGAS DAN WEWENANG BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN

Lebih terperinci

OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 69 /POJK.05/2016 TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA PERUSAHAAN ASURANSI, PERUSAHAAN ASURANSI SYARIAH, PERUSAHAAN REASURANSI,

Lebih terperinci

BAHAN KULIAH ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG Match Day 11 PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN

BAHAN KULIAH ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG Match Day 11 PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN BAHAN KULIAH ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG Match Day 11 PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN A. Pengertian dan Bentuk-bentuk Sengketa Konsumen Perkembangan di bidang perindustrian dan perdagangan telah

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA; Menimbang

Lebih terperinci

BAB III KEKUATAN PUTUSAN BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN DALAM PRAKTEK

BAB III KEKUATAN PUTUSAN BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN DALAM PRAKTEK BAB III KEKUATAN PUTUSAN BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN DALAM PRAKTEK A. Penyelesaian Sengketa Oleh Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen 1. Ketentuan Berproses Di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen

Lebih terperinci

PERATURAN LEMBAGA ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN INDONESIA NOMOR: 01/LAPSPI-PER/2017 TENTANG PERATURAN DAN PROSEDUR MEDIASI

PERATURAN LEMBAGA ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN INDONESIA NOMOR: 01/LAPSPI-PER/2017 TENTANG PERATURAN DAN PROSEDUR MEDIASI PERATURAN LEMBAGA ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN INDONESIA NOMOR: 01/LAPSPI-PER/2017 TENTANG PERATURAN DAN PROSEDUR MEDIASI PENGURUS LEMBAGA ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN INDONESIA

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 1/POJK.07/2014 TENTANG LEMBAGA ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DI SEKTOR JASA KEUANGAN

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 1/POJK.07/2014 TENTANG LEMBAGA ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DI SEKTOR JASA KEUANGAN OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 1/POJK.07/2014 TENTANG LEMBAGA ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DI SEKTOR JASA KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

BAB I KETENTUAN UMUM. Pasal 1

BAB I KETENTUAN UMUM. Pasal 1 LAMPIRAN : Keputusan Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia Nomor : Kep-04/BAPMI/11.2002 Tanggal : 15 Nopember 2002 Nomor : Kep-01/BAPMI/10.2002 Tanggal : 28 Oktober 2002 PERATURAN DAN ACARA BADAN ARBITRASE

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa hubungan industrial yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan

Lebih terperinci

TUGAS KELOMPOK HUKUM ASURANSI

TUGAS KELOMPOK HUKUM ASURANSI TUGAS KELOMPOK HUKUM ASURANSI NAMA: GITTY NOVITRI (2013200009) VICKY QINTHARA (2013200108) PRINCESSA YASSENIA ANI KAROLINA (2013200108) KELAS: B DOSEN: TETI MARSAULINA, S.H., LL.M. 2016 0 I. KASUS POSISI

Lebih terperinci

DAFTAR ISI Peraturan Mediasi KLRCA

DAFTAR ISI Peraturan Mediasi KLRCA DAFTAR ISI Peraturan Mediasi KLRCA Bagian I PERATURAN MEDIASI KLRCA Bagian II SKEMA Bagian III UU MEDIASI 2012 Bagian IV PANDUAN PERATURAN MEDIASI KLRCA 2 Pusat untuk Arbitrase Regional Kuala Lumpur Peraturan

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR: 1/POJK.07/2013 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN SEKTOR JASA KEUANGAN

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR: 1/POJK.07/2013 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN SEKTOR JASA KEUANGAN OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR: 1/POJK.07/2013 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN SEKTOR JASA KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 23 /POJK.05/2015 TENTANG PRODUK ASURANSI DAN PEMASARAN PRODUK ASURANSI

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 23 /POJK.05/2015 TENTANG PRODUK ASURANSI DAN PEMASARAN PRODUK ASURANSI OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 23 /POJK.05/2015 TENTANG PRODUK ASURANSI DAN PEMASARAN PRODUK ASURANSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER

Lebih terperinci

3 Lihat UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa. Keuangan (Bab VI). 4 Lihat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No.

3 Lihat UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa. Keuangan (Bab VI). 4 Lihat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. FUNGSI DAN PROSEDUR KERJA LEMBAGA ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN 1 Oleh : Putri Ayu Lestari Kosasih 2 ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menjelaskan aturan hukum beserta

Lebih terperinci

Anggota Dewan Komisioner Bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen adalah seorang Anggota Dewan Komisioner yang membidangi edukasi dan perlindun

Anggota Dewan Komisioner Bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen adalah seorang Anggota Dewan Komisioner yang membidangi edukasi dan perlindun Yth. 1. Pengurus Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di sektor jasa keuangan; dan 2. Pengurus Asosiasi di sektor jasa keuangan di tempat. SALINAN SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 54 /SEOJK.07/2016

Lebih terperinci

DAFTAR ISI PERATURAN MEDIASI KLRCA SKEMA UU MEDIASI 2012 PANDUAN PERATURAN MEDIASI KLRCA. Peraturan Mediasi KLRCA. Bagian I. Bagian II.

DAFTAR ISI PERATURAN MEDIASI KLRCA SKEMA UU MEDIASI 2012 PANDUAN PERATURAN MEDIASI KLRCA. Peraturan Mediasi KLRCA. Bagian I. Bagian II. DAFTAR ISI Peraturan Mediasi KLRCA Bagian I PERATURAN MEDIASI KLRCA Bagian II SKEMA Bagian III UU MEDIASI 2012 Bagian IV PANDUAN PERATURAN MEDIASI KLRCA 2 Pusat untuk Arbitrase Regional Kuala Lumpur Bagian

Lebih terperinci

NOMOR: 08/LAPSPI- PER/2015 TENTANG PERATURAN DAN PROSEDUR AJUDIKASI PERBANKAN INDONESIA

NOMOR: 08/LAPSPI- PER/2015 TENTANG PERATURAN DAN PROSEDUR AJUDIKASI PERBANKAN INDONESIA PERATURAN LEMBAGA ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN INDONESIA NOMOR: 08/LAPSPI- PER/2015 TENTANG PERATURAN DAN PROSEDUR AJUDIKASI PENGURUS LEMBAGA ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN INDONESIA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa berdasarkan peraturan perundang-undangan yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hubungan industrial

Lebih terperinci

Yth. Direksi/Pengurus Pelaku Usaha Jasa Keuangan, baik yang melaksanakan kegiatan usahanya secara konvensional maupun secara syariah,

Yth. Direksi/Pengurus Pelaku Usaha Jasa Keuangan, baik yang melaksanakan kegiatan usahanya secara konvensional maupun secara syariah, -1- Yth. Direksi/Pengurus Pelaku Usaha Jasa Keuangan, baik yang melaksanakan kegiatan usahanya secara konvensional maupun secara syariah, di Tempat. SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 2/SEOJK.07/2014

Lebih terperinci

PERATURAN BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA NOMOR: 03/BAPMI/ TENTANG PERATURAN DAN ACARA ADJUDIKASI

PERATURAN BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA NOMOR: 03/BAPMI/ TENTANG PERATURAN DAN ACARA ADJUDIKASI PERATURAN BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA NOMOR: 03/BAPMI/12.2014 TENTANG PERATURAN DAN ACARA ADJUDIKASI PENGURUS BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA Menimbang : a. bahwa persengketaan di bidang

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 24 /POJK.04/2016 TENTANG AGEN PERANTARA PEDAGANG EFEK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 24 /POJK.04/2016 TENTANG AGEN PERANTARA PEDAGANG EFEK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA - 1 - OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 24 /POJK.04/2016 TENTANG AGEN PERANTARA PEDAGANG EFEK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS

Lebih terperinci

BAB III TANGGUNG GUGAT BANK SYARIAH ATAS PELANGGARAN KEPATUHAN BANK PADA PRINSIP SYARIAH

BAB III TANGGUNG GUGAT BANK SYARIAH ATAS PELANGGARAN KEPATUHAN BANK PADA PRINSIP SYARIAH BAB III TANGGUNG GUGAT BANK SYARIAH ATAS PELANGGARAN KEPATUHAN BANK PADA PRINSIP SYARIAH 3.1 Kegagalan Suatu Akad (kontrak) Kontrak sebagai instrumen pertukaran hak dan kewajiban diharapkan dapat berlangsung

Lebih terperinci

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 8/5/PBI/2006 TENTANG MEDIASI PERBANKAN GUBERNUR BANK INDONESIA,

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 8/5/PBI/2006 TENTANG MEDIASI PERBANKAN GUBERNUR BANK INDONESIA, PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 8/5/PBI/2006 TENTANG MEDIASI PERBANKAN GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang Mengingat : a. bahwa penyelesaian pengaduan nasabah oleh bank tidak selalu dapat memuaskan nasabah

Lebih terperinci

Undang Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2000 Tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu

Undang Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2000 Tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu Undang Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2000 Tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk memajukan industri

Lebih terperinci

FAQ ATAS PERATURAN OJK TENTANG LEMBAGA ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA (LAPS) DI SEKTOR JASA KEUANGAN

FAQ ATAS PERATURAN OJK TENTANG LEMBAGA ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA (LAPS) DI SEKTOR JASA KEUANGAN FQ TS PERTURN OJK TENTNG LEMBG LTERNTIF PENYELESIN SENGKET (LPS) DI SEKTOR JS KEUNGN NO. Q & 1. Q pakah yang dimaksud dengan lembaga alternatif penyelesaian sengketa di sektor jasa keuangan? OJK menetapkan

Lebih terperinci

OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 28 /POJK.05/2015 TENTANG PEMBUBARAN, LIKUIDASI, DAN KEPAILITAN PERUSAHAAN ASURANSI, PERUSAHAAN ASURANSI SYARIAH,

Lebih terperinci

OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR /POJK.07/2017

OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR /POJK.07/2017 OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR /POJK.07/2017 TENTANG LAYANAN PENGADUAN KONSUMEN DI SEKTOR JASA KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN

Lebih terperinci

BAB 4 ANALISIS PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KREDIT YANG DIBAKUKAN OLEH PT. BANK X

BAB 4 ANALISIS PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KREDIT YANG DIBAKUKAN OLEH PT. BANK X 44 BAB 4 ANALISIS PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KREDIT YANG DIBAKUKAN OLEH PT. BANK X 4.1 Kedudukan Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Perjanjian yang akan dianalisis di dalam penulisan skripsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan manusia selalu terdapat kejadian kejadian yang tidak dapat

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan manusia selalu terdapat kejadian kejadian yang tidak dapat 1 BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Dalam kehidupan manusia selalu terdapat kejadian kejadian yang tidak dapat diperkirakan sebelumnya. Kejadian yang tidak dapat diperkirakan yang dapat menimpa manusia

Lebih terperinci

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 01 TAHUN Tentang PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 01 TAHUN Tentang PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 01 TAHUN 2008 Tentang PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. Bahwa mediasi merupakan salah satu proses penyelesaian

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa hubungan industrial

Lebih terperinci

S U R A T E D A R A N. Kepada SEMUA BANK DAN NASABAH BANK DI INDONESIA

S U R A T E D A R A N. Kepada SEMUA BANK DAN NASABAH BANK DI INDONESIA No. 8/14/DPNP Jakarta, 1 Juni 2006 S U R A T E D A R A N Kepada SEMUA BANK DAN NASABAH BANK DI INDONESIA Perihal: Mediasi Perbankan ----------------------- Sehubungan dengan telah dikeluarkannya Peraturan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekayaan budaya dan etnis bangsa

Lebih terperinci

2017, No Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara

2017, No Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1035, 2017 OMBUDSMAN. Laporan. Penerimaan, Pemeriksaan, dan Penyelesaian. Pencabutan. PERATURAN OMBUDSMAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2017 TENTANG TATA CARA PENERIMAAN,

Lebih terperinci

BAB II KEPUTUSAN PENANGGUNG UNTUK MEMBATALKAN SECARA SEPIHAK DIKAITKAN DENGAN PELANGGARAN PRINSIP UTMOST GOOD FAITH

BAB II KEPUTUSAN PENANGGUNG UNTUK MEMBATALKAN SECARA SEPIHAK DIKAITKAN DENGAN PELANGGARAN PRINSIP UTMOST GOOD FAITH 13 BAB II KEPUTUSAN PENANGGUNG UNTUK MEMBATALKAN SECARA SEPIHAK DIKAITKAN DENGAN PELANGGARAN PRINSIP UTMOST GOOD FAITH 2.1 Ketentuan Sahnya Perjanjian Asuransi Syarat sah perjanjian pada umumnya telah

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 73 /POJK.05/2016 TENTANG TATA KELOLA PERUSAHAAN YANG BAIK BAGI PERUSAHAAN PERASURANSIAN

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 73 /POJK.05/2016 TENTANG TATA KELOLA PERUSAHAAN YANG BAIK BAGI PERUSAHAAN PERASURANSIAN OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 73 /POJK.05/2016 TENTANG TATA KELOLA PERUSAHAAN YANG BAIK BAGI PERUSAHAAN PERASURANSIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

07/LAPSPI- PER/2015 TENTANG PERATURAN DAN PROSEDUR MEDIASI PERBANKAN INDONESIA

07/LAPSPI- PER/2015 TENTANG PERATURAN DAN PROSEDUR MEDIASI PERBANKAN INDONESIA PERATURAN LEMBAGA ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN INDONESIA NOMOR: 07/LAPSPI- PER/2015 TENTANG PERATURAN DAN PROSEDUR MEDIASI PENGURUS LEMBAGA ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN INDONESIA

Lebih terperinci

NOMOR: 10/LAPSPI- PER/2015 TENTANG KODE ETIK MEDIATOR/AJUDIKATOR/ARBITER PERBANKAN INDONESIA

NOMOR: 10/LAPSPI- PER/2015 TENTANG KODE ETIK MEDIATOR/AJUDIKATOR/ARBITER PERBANKAN INDONESIA PERATURAN LEMBAGA ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN INDONESIA NOMOR: 10/LAPSPI- PER/2015 TENTANG KODE ETIK MEDIATOR/AJUDIKATOR/ARBITER PENGURUS LEMBAGA ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ditentukan oleh manusia. Salah satu cara untuk mengurangi risiko tersebut di

BAB I PENDAHULUAN. ditentukan oleh manusia. Salah satu cara untuk mengurangi risiko tersebut di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kehidupan dan kegiatan manusia, pada hakikatnya mengandung berbagai hal yang menunjukkan sifat hakiki dari kehidupan itu sendiri. Sifatsifat hakiki yang dimaksud di

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG

RANCANGAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG RANCANGAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR /POJK.05/ TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA PERUSAHAAN PIALANG ASURANSI, PERUSAHAAN PIALANG REASURANSI, DAN PERUSAHAAN PENILAI KERUGIAN ASURANSI DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

DAFTAR ISI Peraturan Arbitrase KLRCA

DAFTAR ISI Peraturan Arbitrase KLRCA DAFTAR ISI Peraturan Arbitrase KLRCA Bagian I PERATURAN ARBITRASE KLRCA (Direvisi pada tahun 2013) Bagian II PERATURAN ARBITRASE UNCITRAL (Direvisi pada tahun 2010) Bagian III SKEMA Bagian IV PEDOMAN UNTUK

Lebih terperinci

PERATURAN LEMBAGA ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA NOMOR: 09/LAPSPI- PER/2015 TENTANG PERATURAN DAN PROSEDUR ARBITRASE

PERATURAN LEMBAGA ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA NOMOR: 09/LAPSPI- PER/2015 TENTANG PERATURAN DAN PROSEDUR ARBITRASE PERATURAN LEMBAGA ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN INDONESIA NOMOR: 09/LAPSPI- PER/2015 TENTANG PERATURAN DAN PROSEDUR ARBITRASE PENGURUS LEMBAGA ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN INDONESIA

Lebih terperinci

file://\\ \web\prokum\uu\2004\uu htm

file://\\ \web\prokum\uu\2004\uu htm Page 1 of 38 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hubungan industrial

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN RANCANGAN PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN

RANCANGAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN RANCANGAN PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN BATANG TUBUH PENJELASAN RANCANGAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR /POJK.05/2015 TENTANG PEMBUBARAN, LIKUIDASI, DAN KEPAILITAN PERUSAHAAN ASURANSI, PERUSAHAAN ASURANSI SYARIAH, PERUSAHAAH REASURANSI,

Lebih terperinci

BAB III KLAUSULA BAKU PADA PERJANJIAN KREDIT BANK. A. Klausula baku yang memberatkan nasabah pada perjanjian kredit

BAB III KLAUSULA BAKU PADA PERJANJIAN KREDIT BANK. A. Klausula baku yang memberatkan nasabah pada perjanjian kredit BAB III KLAUSULA BAKU PADA PERJANJIAN KREDIT BANK A. Klausula baku yang memberatkan nasabah pada perjanjian kredit Kehadiran bank dirasakan semakin penting di tengah masyarakat. Masyarakat selalu membutuhkan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Teks tidak dalam format asli. LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.6,2004 KESRA Pemerintah Pusat. Pemerintah Daerah.Tenaga Kerja. Ketenagakerjaan. Perjanjian

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 243, 2000 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4045) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 T a h u n Tentang Desain Industri

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 T a h u n Tentang Desain Industri Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 T a h u n 2 000 Tentang Desain Industri DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk memajukan industri yang mampu

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk memajukan industri yang mampu bersaing

Lebih terperinci

Yth. 1. Direksi Perusahaan Asuransi; dan 2. Direksi Perusahaan Asuransi Syariah, di tempat.

Yth. 1. Direksi Perusahaan Asuransi; dan 2. Direksi Perusahaan Asuransi Syariah, di tempat. Yth. 1. Direksi Perusahaan Asuransi; dan 2. Direksi Perusahaan Asuransi Syariah, di tempat. SALINAN SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 32 /SEOJK.05/2016 TENTANG SALURAN PEMASARAN PRODUK ASURANSI

Lebih terperinci

BAB III LEMBAGA ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA ASURANSI JIWA. 3.1 Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa

BAB III LEMBAGA ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA ASURANSI JIWA. 3.1 Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa BAB III LEMBAGA ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA ASURANSI JIWA 3.1 Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa 3.1.1 Pengertian Alternatif Penyelesaian Sengketa Dalam Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor

Lebih terperinci

PENUNJUK UNDANG-UNDANG PERSEROAN TERBATAS

PENUNJUK UNDANG-UNDANG PERSEROAN TERBATAS PENUNJUK UNDANG-UNDANG PERSEROAN TERBATAS 1 tahun ~ keharusan Perseroan menyesuaikan ketentuan Undang-undang ini Pada saat Undang-undang ini mulai berlaku, Perseroan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana

Lebih terperinci

BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN

BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN Oleh : FAUZUL A FAKULTAS HUKUM UPN VETERAN JAWA TIMUR kamis, 13 April 2011 BAHASAN Keanggotaan Badan Penyelesaian sengketa konsumen Tugas dan wewenang badan penyelesaian

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No. 5499 KEUANGAN. OJK. Sengketa. Penyelesaian. Alternatif. Lembaga. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 12) PENJELASAN PERATURAN OTORITAS JASA

Lebih terperinci

2 Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negar

2 Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negar No.396, 2014 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEUANGAN. OJK. Reksa Dana. Penjual. Agen. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5653) PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN

Lebih terperinci

PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DI KPPU KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA

PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DI KPPU KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DI KPPU KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan transparansi dan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.127, 2016 KEUANGAN OJK. Efek. Perantara. Agen. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5896). PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 24

Lebih terperinci

BAB III PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEMBELI UNIT KONDOTEL. Dalam perspektif hukum perjanjian, sebagaimana diketahui perikatan yang

BAB III PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEMBELI UNIT KONDOTEL. Dalam perspektif hukum perjanjian, sebagaimana diketahui perikatan yang BAB III PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEMBELI UNIT KONDOTEL 1. Hak- hak dan kewajiban dari pembeli unit kondotel Dalam perspektif hukum perjanjian, sebagaimana diketahui perikatan yang dilahirkan dari perjanjian

Lebih terperinci

OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR /POJK.04/2015 TENTANG AGEN PEMASARAN EFEK

OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR /POJK.04/2015 TENTANG AGEN PEMASARAN EFEK OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR /POJK.04/2015 TENTANG AGEN PEMASARAN EFEK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan : pembelian efek yang ditawarkan oleh emiten di Pasar Modal

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan : pembelian efek yang ditawarkan oleh emiten di Pasar Modal BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan : 1. Keterkaitan antara Prospektus dan Prinsip Keterbukaan dalam rangka Penawaran Umum yang membuka peluang investasi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b, perlu dibentuk Undang-Undang tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu. UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2000

Lebih terperinci

*12398 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 32 TAHUN 2000 (32/2000) TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

*12398 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 32 TAHUN 2000 (32/2000) TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Copyright (C) 2000 BPHN UU 32/2000, DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU *12398 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 32 TAHUN 2000 (32/2000) TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PROSEDUR PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

PROSEDUR PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL HUKUM PERBURUHAN (PERTEMUAN XII) PROSEDUR PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL copyright by Elok Hikmawati 1 Perselisihan Hubungan Industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk memajukan industri

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Berdasarkan analisis di atas penulis akan memberikan kesimpulan dari

BAB V PENUTUP. Berdasarkan analisis di atas penulis akan memberikan kesimpulan dari BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN Berdasarkan analisis di atas penulis akan memberikan kesimpulan dari identifikasi masalah dalam sub sub bab sebelumnya, dijelaskan sebagai berikut: 1. Perkembangan transaksi

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR: 1/POJK.07/2013 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN SEKTOR JASA KEUANGAN

PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR: 1/POJK.07/2013 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN SEKTOR JASA KEUANGAN OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR: 1/POJK.07/2013 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN SEKTOR JASA KEUANGAN I. UMUM Pasal 4 UU OJK menyebutkan bahwa

Lebih terperinci

DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU. Perhatikan desain-desain handphone berikut:

DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU. Perhatikan desain-desain handphone berikut: DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU Perhatikan desain-desain handphone berikut: 1 1. Pengertian Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2000 tentang SIRKUIT TERPADU (integrated

Lebih terperinci

1 / 25 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Y A Y A S A N Diubah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PERATURAN BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA NOMOR: 04/BAPMI/ TENTANG PERATURAN DAN ACARA ARBITRASE

PERATURAN BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA NOMOR: 04/BAPMI/ TENTANG PERATURAN DAN ACARA ARBITRASE PERATURAN BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA NOMOR: 04/BAPMI/12.2014 TENTANG PERATURAN DAN ACARA ARBITRASE PENGURUS BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA Menimbang : a. bahwa persengketaan di antara

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 11/POJK.05/2014 TENTANG PEMERIKSAAN LANGSUNG LEMBAGA JASA KEUANGAN NON-BANK

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 11/POJK.05/2014 TENTANG PEMERIKSAAN LANGSUNG LEMBAGA JASA KEUANGAN NON-BANK OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 11/POJK.05/2014 TENTANG PEMERIKSAAN LANGSUNG LEMBAGA JASA KEUANGAN NON-BANK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN Menimbang: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama ini dilakukan

Lebih terperinci

PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 39/POJK.04/2014 TENTANG AGEN PENJUAL EFEK REKSA DANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 39/POJK.04/2014 TENTANG AGEN PENJUAL EFEK REKSA DANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 39/POJK.04/2014 TENTANG AGEN PENJUAL EFEK REKSA DANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk memajukan industri

Lebih terperinci

BAB VII PERADILAN PAJAK

BAB VII PERADILAN PAJAK BAB VII PERADILAN PAJAK A. Peradilan Pajak 1. Pengertian Keputusan adalah suatu penetapan tertulis di bidang perpajakan yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang berdasarkan peraturan perundang-undangan

Lebih terperinci

PERATURAN BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA NOMOR: 01/BAPMI/ TENTANG PERATURAN DAN ACARA PENDAPAT MENGIKAT

PERATURAN BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA NOMOR: 01/BAPMI/ TENTANG PERATURAN DAN ACARA PENDAPAT MENGIKAT PERATURAN BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA NOMOR: 01/BAPMI/12.2014 TENTANG PERATURAN DAN ACARA PENDAPAT MENGIKAT PENGURUS BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA Menimbang : a. bahwa perbedaan pendapat

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 244, 2000 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4046) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.649, 2013 KOMISI INFORMASI. Sengketa Informasi Publik. Penyelesaian. Prosedur. Pencabutan. PERATURAN KOMISI INFORMASI NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG PROSEDUR PENYELESAIAN

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN. TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN. TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR.... TAHUN. TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembangunan nasional

Lebih terperinci

Batang Tubuh Penjelasan Tanggapan TATA KELOLA PERUSAHAAN YANG BAIK BAGI PERUSAHAAN PERASURANSIAN

Batang Tubuh Penjelasan Tanggapan TATA KELOLA PERUSAHAAN YANG BAIK BAGI PERUSAHAAN PERASURANSIAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR /POJK.05/2016 TENTANG TATA KELOLA PERUSAHAAN YANG BAIK BAGI PERUSAHAAN PERASURANSIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Batang

Lebih terperinci

PERATURAN BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA NOMOR: 02/BAPMI/ TENTANG PERATURAN DAN ACARA MEDIASI

PERATURAN BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA NOMOR: 02/BAPMI/ TENTANG PERATURAN DAN ACARA MEDIASI PERATURAN BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA NOMOR: 02/BAPMI/12.2014 TENTANG PERATURAN DAN ACARA MEDIASI PENGURUS BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA Menimbang : a. bahwa persengketaan antara Para

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1997 TENTANG PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI [LN 1997/93, TLN 3720]

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1997 TENTANG PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI [LN 1997/93, TLN 3720] UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1997 TENTANG PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI [LN 1997/93, TLN 3720] Bagian Kedua Ketentuan Pidana Pasal 71 (1) Setiap Pihak yang melakukan kegiatan Perdagangan

Lebih terperinci

UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa berdasarkan

Lebih terperinci

BADAN ARBITRASE NASIONAL INDONESIA

BADAN ARBITRASE NASIONAL INDONESIA BADAN ARBITRASE NASIONAL INDONESIA PERATURAN BANI TENTANG PERATURAN DAN ACARA MEDIASI DAN MED-ARB [Cetakan ke-1, 2016] DAFTAR ISI PERATURAN BADAN ARBITRASE NASIONAL INDONESIA NOMOR: PER-03/BANI/09/2016

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Republik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sengketa yang terjadi diantara para pihak yang terlibat pun tidak dapat dihindari.

BAB I PENDAHULUAN. sengketa yang terjadi diantara para pihak yang terlibat pun tidak dapat dihindari. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pesatnya pertumbuhan ekonomi di Indonesia dapat melahirkan berbagai macam bentuk kerjasama di bidang bisnis. Apabila kegiatan bisnis meningkat, maka sengketa

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN TEORITIS. Undang-Undang No 9 Tahun 1999 berjudul Undang-Undang tentang Perlindungan

BAB III TINJAUAN TEORITIS. Undang-Undang No 9 Tahun 1999 berjudul Undang-Undang tentang Perlindungan BAB III TINJAUAN TEORITIS A. Pengertian Perlindungan Konsumen Undang-Undang No 9 Tahun 1999 berjudul Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen dan bukan Undang-Undang tentang Konsumen. menyebutkan pengertianpengertian

Lebih terperinci

Jl. Jend. Ahmad Yani No.30 KARAWANG Telp. (0267) Fax. (0267) P U T U S A N

Jl. Jend. Ahmad Yani No.30 KARAWANG Telp. (0267) Fax. (0267) P U T U S A N BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN ( B P S K ) KABUPATEN KARAWANG Jl. Jend. Ahmad Yani No.30 KARAWANG 41315 Telp. (0267) 8490995 Fax. (0267) 8490995 P U T U S A N Nomor : / BPSK KRW / VIII / 2013 Tanggal

Lebih terperinci

BAB II MEKANISME PERMOHONAN PENYELESAIAN DAN PENGAMBILAN PUTUSAN SENGKETA KONSUMEN. A. Tata Cara Permohonan Penyelesaian Sengketa Konsumen

BAB II MEKANISME PERMOHONAN PENYELESAIAN DAN PENGAMBILAN PUTUSAN SENGKETA KONSUMEN. A. Tata Cara Permohonan Penyelesaian Sengketa Konsumen BAB II MEKANISME PERMOHONAN PENYELESAIAN DAN PENGAMBILAN PUTUSAN SENGKETA KONSUMEN A. Tata Cara Permohonan Penyelesaian Sengketa Konsumen Konsumen yang merasa hak-haknya telah dirugikan dapat mengajukan

Lebih terperinci

BAB IV KEKUATAN HUKUM MEMORANDUM OF UNDERSTANDING DALAM PERJANJIAN BERDASARKAN BUKU III BURGERLIJKE WETBOEK

BAB IV KEKUATAN HUKUM MEMORANDUM OF UNDERSTANDING DALAM PERJANJIAN BERDASARKAN BUKU III BURGERLIJKE WETBOEK BAB IV KEKUATAN HUKUM MEMORANDUM OF UNDERSTANDING DALAM PERJANJIAN BERDASARKAN BUKU III BURGERLIJKE WETBOEK A. Kekuatan Hukum Memorandum Of Understanding dalam Perjanjian Berdasarkan Buku III Burgerlijke

Lebih terperinci