II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Sampah 2.2. Pengelolaan Sampah dan Permasalahannya
|
|
- Ridwan Setiawan
- 7 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 8 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Sampah Pengertian sampah yang umum digunakan di Indonesia mengikuti konsep dari Lembaga Penelitian Universitas Indonesia (2003) yakni sampah merupakan limbah padat atau setengah padat yang berasal dari kegiatan manusia yang terdiri dari bahan organik dan anorganik, dapat dibakar dan tidak dapat dibakar, yang tidak termasuk kotoran manusia. Sedangkan Tchobanoglous (1997) menyatakan bahwa sampah intinya adalah benda sisa yang tidak dipakai dan harus dibuang. Arconin 2007, mendefinisikan sampah sebagai limbah padat yang terdiri dari zat organik dan anorganik yang dianggap tidak berguna lagi dan harus dikelola agar tidak membahayakan lingkungan dan melindungi investasi pembangunan. Pembahasan sampah selalu dikaitkan dengan sumber, komposisi, dan karakteristiknya. Hal ini penting karena berkaitan dengan teknis operasional pengelolaan dan pengolahan sampah di suatu wilayah, khususnya dalam menentukan sistem yang tepat dan fasilitas yang diperlukan. Dilihat dari sumbernya, Peavy, Rowe, dan Tchobanoglous (1986) membagi menjadi 4 kelompok: sampah yang berasal dari pemukiman, sampah komersial, sampah industri, dan sampah alami. Sampah pemukiman merupakan jumlah terbesar dari total timbulan sampah di kota-kota besar. Jumlah dan kepadatan sampah sangat dipengaruhi oleh kondisi geografis, iklim, jumlah penduduk, jumlah fasilitas komersial dan industri, status sosial masyarakat dan pola konsumsi. Menurut Peavy et al (1985) status sosial dan keragaman aktivitas masyarakat juga mempengaruhi karakteristik timbulan sampah. Masyarakat dengan status sosial yang tinggi cenderung menghasilkan sampah yang lebih besar daripada masyarakat yang status sosialnya lebih rendah Pengelolaan Sampah dan Permasalahannya Pengelolaan sampah adalah serangkaian kegiatan yang melaksanakan pewadahan sampah, pengumpulan sampah, pemindahan sampah, pengangkutan sampah, pengolahan sampah, serta pembuangan akhir sampah. Tujuan
2 9 pengelolaan sampah adalah untuk mengubah sampah menjadi bentuk yang tidak mengganggu dan menekan volume, sehingga mudah diatur. Menurut Clark (1977) banyak cara yang dapat ditempuh dalam pengelolaan sampah di antaranya yang dianggap terbaik hingga sekarang adalah sistem penimbunan dan pemadatan secara berlapis (sanitary landfill) untuk mencegah sampah tidak terekspos lebih dari 24 jam. Apabila air permukaan terserap ke dalam lapisan tanah, melalui lapisan sampah, maka akan terbentuk cairan yang disebut lindi (leachete) yang mengandung padatan terlarut dan zat lain sebagai hasil perombakan bahan organik oleh mikroorganisme tanah. Air lindi tersebut meresap ke lapisan tanah atas dan akhirnya masuk ke dalam air tanah. Menurut Slamet (1994), pengelolaan sampah dapat dilihat mulai dari sumbernya sampai pada tempat pembuangan akhir. Usaha pertama adalah mengurangi sumber sampah dari segi kuantitas maupun kualitasnya dengan meningkatkan pemeliharaan dan kualitas barang, meningkatkan efisiensi penggunaan bahan baku, dan meningkatkan penggunaan bahan yang dapat terurai secara alami. Semua usaha ini memerlukan kesadaran dan peran masyarakat. Selain itu, Notoatmojo (1997) menambahkan bahwa cara-cara pengelolaan sampah yang baik, bukan saja untuk kepentingan kesehatan saja, melainkan juga untuk keindahan lingkungan, antara lain dengan: 1. Pengumpulan dan pengangkutan sampah. Pengumpulan sampah menjadi tanggung jawab masing-masing rumah tangga atau institusi yang menghasilkan sampah. Oleh sebab itu, mereka harus membangun tempat khusus untuk mengumpulkan sampah. Kemudian dari tempat pengumpulan, sampah diangkut ke TPS dan selanjutnya ke TPA. 2. Pemusnahan dan pengolahan sampah. Pemusnahan dan atau pengolahan sampah padat ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain sebagai berikut: a. Ditanam (landfill), yaitu pemusnahan sampah dengan membuat lubang di tanah, kemudian sampah dimasukkan dan ditimbun dengan tanah. b. Dibakar (incenerator), yaitu pemusnahan sampah dengan jalan membakar di dalam tungku pembakaran (incenerator).
3 10 c. Diolah menjadi pupuk kompos (composting), yaitu pengolahan sampah menjadi pupuk kompos, khususnya untuk sampah organik. Sistem pengelolaan sampah yang banyak dilakukan saat ini adalah sistem sanitary landfill. Sistem ini didukung berbagai kegiatan yang memperhatikan aspek kesehatan lingkungan seperti pemasangan geomembran dan geotekstile sebagai dasar konstruksi, drainase air lindi, ventilasi, cover soil, dan lain lain. Sistem ini memang dapat meminimalkan timbulnya bau, penyakit, dan kerusakan lingkungan, tetapi memiliki risiko yang tidak dapat dihindarkan seperti terbentuknya gas metan, H 2 S, NH 3, dan air lindi (leachete). Perpindahan gas dan air lindi dari landfill ke lingkungan sekitarnya akan menyebabkan dampak yang serius pada lingkungan, misalnya timbulnya ledakan-ledakan akibat konsentrasi gas metan yang tinggi di udara, kerusakan pada tanaman akibat gas H 2 S dan NH 3 yang merusak sistem pernafasan tanaman, bau yang tidak sedap, pencemaran air dan tanah dan efek pemanasan global (Ibnu Umar, 2009) Kebijakan Pengolahan Sampah di Provinsi DKI Jakarta Institusi atau lembaga pengelola yang menangani kebersihan di Provinsi DKI saat ini dilaksanakan oleh tiga institusi, yaitu instansi pemerintah, masyarakat, dan swasta. Pihak yang berpartisipasi dalam tahap pengumpulan, pengangkutan, pengolahan sampai pembuangan akhir adalah pihak swasta. Pengelolaan TPST dilaksanakan oleh Dinas Kebersihan Provinsi DKI melalui Unit Pelaksana Teknis TPST, yang terdiri dari (1) seksi operasional; (2) seksi sarana dan prasarana; (3) seksi STA; (4) seksi keamanan dan ketertiban; (5) Kasubag tata usaha. Pola umum penanganan sampah Dinas Kebersihan Provinsi DKI Jakarta didasarkan pada: 1. Master Plan Penanganan Kebersihan Provinsi DKI Jakarta Pola umum penanganan sampah adalah kumpul angkut buang (musnahkan melalui sistem sanitary landfill). 2. Review Master Plan yang dituangkan dalam action plan Berdasarkan Review Master Plan yang dituangkan dalam action plan terdapat satu sub sistem yang disebut Intermediate Treatment Fasility (ITF) yang akan
4 11 dibangun di setiap daerah pelayanan. Fungsi ITF ini adalah untuk mereduksi jumlah sampah sebelum residunya dibuang ke TPST Aspek Hukum Pelaksanaan pembuangan sampah ke TPST Bantargebang dilakukan atas dasar kerjasama antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan Pemerintah Kota Bekasi, sebagai penguasa teritori. Dasar hukum yang melandasi kerjasama beroperasinya TPA Bantargebang adalah sebagai berikut: 1. Perjanjian kerjasama antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan Pemerintah Kota Bekasi Nomor 96 Tahun 1999 serta Nomor 168 Tahun 1999 Tanggal 31 Desember 1999 tentang Pengolahan Sampah dan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah di Kecamatan Bantargebang, Kota Bekasi. 2. Perjanjian kerjasama antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan Pemerintah Kota Bekasi Nomor 127 Tahun 2000 serta Nomor 227 Tahun 2000 Tanggal 17 Oktober 2000 tentang Addendum Pertama. 3. Perjanjian kerjasama antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan Pemerintah Kota Bekasi Nomor 22 Tahun 2002 serta Nomor 41 Tahun 2002 Tanggal 31 Januari 2002 tentang Addendum Kedua Perjanjian Kerjasama Pengolahan Sampah dan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah di Kecamatan Bantar Gebang, Kota Bekasi. 4. Perjanjian kerjasama antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan Pemerintah Kota Bekasi Tanggal 02 Juli 2004, dalam Perjanjian Tambahan (Addendum) Kedua atas Perjanjian Kerjasama antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan Pemerintah Kota Bekasi tentang Pemanfaatan Lahan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah Bantar Gebang, Kota Bekasi sebagai tempat pembuangan dan Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) dengan menerapkan teknologi modern yang ramah lingkungan. 5. Perjanjian Tambahan (Addendum) Kedua atas Perjanjian Kerjasama antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan Pemerintah Kota Bekasi tentang Pemanfaatan Lahan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah Bantar Gebang, Kota Bekasi sebagai Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) tanggal 03 Juli 2007.
5 12 6. Perjanjian Kerjasama Pengoperasian TPST Bantargebang antara Pemerintah Kota Bekasi dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Nomor 07/Tahun 2009 tanggal 03 Juli Aspek Lingkungan Kebijakan dan peraturan yang berlaku dalam pengelolaan TPA adalah Undang-undang tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup Nomor 23 Tahun 1997 dan Undang-undang No. 18 Tahun 2008, yaitu Undang-undang mengenai Persampahan. Kegiatan TPA menurut dokumen AMDAL diperkirakan akan mempengaruhi komponen fisik-kimia, biologi, sosial ekonomi, dan kesehatan masyarakat. Namun dengan pemantauan yang dilakukan secara berkala, permasalahan tersebut bisa ditekan. Berikut ini adalah uraian dampak dari kegiatan operasional TPA Bantargebang. 1. Penurunan kualitas udara akibat meningkatnya kandungan debu yang disebabkan oleh pengangkutan, pembongkaran, dan penumpukan sampah. Dampak ini dapat dikelola dengan melakukan penyiraman berkala di jalan penghubung, pengaturan kecepatan kendaraan, penghijauan, dan melengkapi operator alat berat dengan APD. 2. Peningkatan kebisingan yang disebabkan oleh pengangkutan, pembongkaran dan penumpukan sampah. Dampak ini dapat dikelola dengan memelihara alat berat sehingga kondisi baik dan tidak bising, membuat daerah penyangga, sabuk hijau, dan taman, dan melengkapi operator dengan APD. 3. Penurunan kualitas air permukaan (Sungai Ciketing & Sungai Sumur Batu). 4. Penurunan kualitas air tanah yang disebabkan oleh leachete. Dampak ini dapat dikelola dengan melapisi dinding landfill dengan geotekstil, membangun sistem perpipaan di dasar landfill untuk menampung leachete, melakukan cover soil, dan membangun Instalasi Pengolahan Air Sampah (IPAS). 5. Gangguan pada habitat biota air yang disebabkan oleh pencemaran air oleh leachete. Dampak ini dikelola dengan cara-cara seperti yang duraikan pada nomor 4.
6 13 6. Meningkatnya peluang usaha dan kesempatan kerja dengan adanya akivitas pembongkaran sampah di TPA khususnya bagi pemulung. Dampak ini dikelola dengan memberikan kesempatan kerja kepada para pemulung, melakukan pengaturan terhadap para pemulung, bekerjasama dengan Kanwil Depkop dan PKK untuk membentuk koperasi pemulung di TPA. 7. Penurunan kesehatan masyarakat di sekitar lokasi TPA yang disebabkan oleh tumpukan sampah yang menjadi wadah vektor penyakit berkembang biak. Dampak ini dikelola dengan menyemprotkan desifektan secara berkala, melakukan cover soil, melengkapi pekerja TPA dengan APD, dan melakukan kerjasama dengan Kanwil dan Dinas Kesehatan DKI Jakarta dalam mengevaluasi kesehatan. 8. Timbulnya keresahan dan konflik sosial terutama masyarakat pemulung yang disebabkan oleh persaingan dan perebutan lahan kerja antar kelompok pemulung. Dampak ini dapat dikelola dengan memberikan kesempatan yang sama kepada kelompok-kelompok pemulung yang bekerja di TPA, membina mereka untuk saling bekerja sama, melembagakan peraturan kerja untuk menertibkan pemulung. 9. Peningkatan kepadatan lalu lintas dan kemacetan akibat kegiatan pengangkutan sampah ke TPA. Dampak ini dapat dikelola dengan membuat jalan penghubung alternatif ke TPA, melengkapi rambu-rambu lalu lintas, meningkatkan efisiensi dan efektivitas kerja guna menghindari antrean armada yang panjang, melakukan perbaikan, pemeliharaan, dan penggantian alat berat yang sudah tua, dan menambah karyawan TPA. 10. Peningkatan peluang terjadinya kecelakaan kerja akibat aktivitas pemulung di TPA. Dampak ini dapat dikelola dengan menerapkan aturan yang ketat terhadap pemulung untuk bekerja dengan tertib, membuat tanda-tanda larangan bekerja bagi pemulung pada titik-titik yang berbahaya, menentukan titik-titik tertentu pembongkaran sampah, sehingga para pemulung dan operator alat berat tidak saling terganggu. 11. Berkurangnya nilai estetika akibat aktivitas pemulung sampah yang membangun gubuk-gubuk dan penumpukan sampah di lahan pemukiman mereka dan di sepanjang jalan masuk ke TPA. Dampak ini dapat dikelola
7 14 dengan menata lokasi penumpukan sampah para pemulung dan membuat tanda-tanda larangan menumpuk sampah dan membangun gubuk pada lokasi tertentu terutama di pinggir jalan penghubung. 12. Timbulnya persepsi positif masyarakat terhadap keberadaan dan aktivitas TPA Bantargebang akibat tersedianya peluang usaha dan lapangan kerja. Dampak ini dapat dikelola dengan melaksanakan upaya-upaya pengelolaan lingkungan dari berbagai aspek dengan baik dan konsisten. 13. Penuhnya TPA Bantargebang sebelum habis usia operasionalnya akibat jumlah sampah yang masuk melebihi kapasitas. Dampak ini dapat dikelola dengan mempercepat pembangunan TPA Sampah Ciangir Tangerang, mengkonversi sampah menjadi kompos, melakukan diversifikasi sampah yang dimanfaatkan oleh pemulung dan sortasi (pemilahan) sampah. (Sumber: Dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan TPA Bantargebang, Lihat juga Lampiran 1, 2, dan 3) 2.6. Sanitary Landfill Terminologi sanitary landfill kali pertama digunakan pada tahun 1930-an, yang berarti memapatkan sampah padat dengan menggunakan alat berat dan kemudian melapisinya dengan tanah. Praktik ini bahkan sudah digunakan di dalam kebudayaan Yunani tahun yang lalu, hanya tanpa pemapatan. Saat ini metode ini merupakan pilihan yang paling populer, dibandingkan dengan daur ulang, insinerasi, dan pengomposan, karena kesederhanaan dan versatilitasnya. Sebagai contoh, metode ini tidak sensitif terhadap bentuk, ukuran, ataupun berat suatu materi sampah; jauh berbeda dengan pengomposon dan insinerasi yang membutuhkan sampah dalam bentuk seragam atau memiliki kandungan kimia yang seragam. Ada tiga prosedur dasar dalam pelaksanaan sanitary landfill, yaitu menyebarkan sampah padat secara berlapis; memapatkannya semaksimal mungkin; dan menutupnya dengan tanah pada sore hari. Metode ini meminimalkan perkembangbiakan tikus dan serangga di TPST, mengurangi ancaman kebakaran tak terduga, mengurangi bau, mencegah perkembangan vektor penyakit seperti lalat, dan media untuk pertumbuhan vegetasi.
8 15 Ada tiga tahapan dekomposisi di dalam sebuah landfill. Pertama fase aerobik. Sampah padat yang dapat diuraikan secara biologis bereaksi dengan O 2 dan membentuk CO 2 dan H 2 O. Temperatur pada tahap ini meningkat 16.7 o C lebih tinggi dari lingkungan. Asam lemah terbentuk di dalam air dan berbagai mineral terlarut di dalamnya. Tahap selanjutnya adalah fase aerobik, di dalamnya mikroorganisme yang tidak membutuhkan oksigen menguraikan sampah menjadi hidrogen, amonia, karbondioksida, dan asam anorganik. Pada tahap ketiga, dengan didukung oleh jumlah air yang cukup dan suhu yang hangat, akan dihasilkan gas metan. Perbandingan kasar gas CO 2 dan metana yang dihasilkan tahap ini adalah 50:50. Gas CO 2 memiliki berat jenis lebih besar dari udara sehingga cenderung tinggal di dasar landfill, sedangkan gas metan yanh berat jenisnya lebih ringan cenderung naik ke permukaan landfill, dan bisa terbakar bila tidak dikendalikan. Sistem pengendalian produksi gas metan berlangsung pasif maupun aktif. Pada sistem pasif, gas metan dilepaskan ke udara secara alami dengan membuat lubang ventilasi. Pada sistem aktif, diterapkan sebuah mekanisme yang dapat berupa sumur recovery, pipa pengumpul gas, pembakar gas, atau penampung gas. Menurut El-fadel et al. (1997) dan Samorn et al. (2002) hendaknya TPA dioperasikan dengan sistem sanitary landfill yang dilengkapi dengan instalasi recovery gas, sistem pengolahan dan pengumpulan gas, penghalang hidrolik seperti ekstraksi dan sumur pantauan, sumur relief dan parit drainase sebagai sistem pengumpulan air lindi, yang akan mempercepat proses pembusukan. Tempat Pemusnahan Akhir (TPA) Sampah Bantargebang dengan luas Ha (efektif untuk pembuangan sampah 89.3 Ha) sudah menggunakan metode sanitary landfill, tetapi sejak 5 Desember 2009 pengelolanya yang baru, yaitu PT. Godang Tua Jaya joint operation dengan PT. Navigat Organic Energy Indonesia, menawarkan konsep baru, yaitu kombinasi antara sistem sanitary landfill dan teknologi modern yang ramah lingkungan. Kombinasi ini diharapkan menjadikan TPST Bantargebang sebagi pusat industri daur ulang sampah yang akan menghasilkan produk-produk bermanfaat seperti: pupuk kompos, biji plastik dan produk-produk turunannya, serta listrik. (Lihat mekanisme pemusnahan sampah di TPST Bantargebang pada halaman selanjutnya.)
9 16 TPA SUMBER SAMPAH RUMAH TINGGAL PASAR TEMPORER DIPERGU NAKAN KEMBALI TPS MEKANISME PEMUSNAHAN SAMPAH DI TPA SANITARY LANDFILL BANTAR GEBANG STASIUN TRANSFER PENIM - BANGAN PROSES PEMUSNAHAN SAMPAH DI TPA PEMBONG - KARAN PENYEBAR AN/ PEMADATAN PENGENDALIAN GAS METAN PENUTUPAN HARIAN/ BERKALA TPA PENUTUPAN AKHIR PD. Pasar JAYA KOMER SIAL INDUSTRI MEMPERO- LEH DATA BERAT. SAMPAH YG DIANGKUT, DARI SUM- BERNYA PENURUNAN SAMPAH ANTARA LAIN MENGGUNA- KAN EXCA- VATOR PERATAAN SAMPAH DGN BULDOZER DAN PEMADATAN DENGAN COMPACTOR PENUTUPAN SAMPAH DNG TANAH, KETEBALAN RATA-RATA 15 cm DENGAN TA- NAH, SETE- LAH MEN - CAPAI KE - TINGGIAN YG DIREN - CANAKAN B3 JALAN DIOLAH SENDIRI P P L I PENYALURAN AIR SAMPAH INSTALASI PENGOLAHAN AIR SAMPAH (IPAS) Gambar 2. Mekanisme Pemusnahan Sampah
10 17 Prosedur sanitary landfill di TPA meliputi pekerjaan konstruksi, drainase, operasional penutupan sampah dengan tanah merah (cover soil), pembuatan jalan precast, penghijauan, pembuatan ventilasi dan pengelolaan air bersih. Konstruksi sanitary landfill, terdiri dari: a. Pembentukan muka tanah, yaitu untuk mengalirkan air lindi maupun air hujan menuju saluran yang direncanakan, maka pada permukaan tanahnya dibentuk kemiringan 5%. b. Pelapisan kedap air, yaitu untuk mencegah masuknya air lindi ke dalam tanah, maka dasar timbunan sampah diberi lapisan impermeable seperti geotextile atau geomembrane. c. Pengumpulan dan pengolahan air lindi Pengelolaan Sampah Secara Terpadu Pengelolaan sampah secara terpadu pada intinya adalah memadukan 3 cara pengolahan sampah, yaitu: pengomposan (composting), mendaur ulang (recycling), dan melakukan pembakaran (combusting), dengan melibatkan masyarakat (Tchobanoglous, 1993). Proses pengomposan dilakukan terhadap sampah organik biasanya dilakukan dengan bantuan mikroorganisme, baik dalam keadaan aerob maupun anaerob. Sedangkan daur ulang (recycling) dilakukan terhadap sampah anorganik seperti plastik, kertas, dan logam. Sampah sisa dari kedua proses ini dibakar melalui incenerator. Pengelolaan sampah secara terpadu ini dapat mereduksi sampah sampai 96%. Sisa pembakaran berupa residu hanya tinggal 4%, dan residu yang berbentuk abu ini dapat dimanfaatkan sebagai bahan bangunan. Keberhasilan pengelolaan sampah secara terpadu tergantung dari partisipasi masyarakat, sebagai penghasil utama sampah. Partisipasi masyarakat ini dapat berupa pemilahan antara sampah organik dan anorganik dalam proses pewadahan di sumber sampah, atau melalui pembuatan kompos dalam skala individu dan mengurangi penggunaan barang (material), Bebasari, Menurut Kholil (2005), untuk menghindari ketergantungan pada lahan, penanganan sampah kota harus dilakukan pada upaya pengurangan di sumber dengan pendekatan 3 R ( reduce, reuse, dan recycle ), dan pengolahan di TPS secara terpadu berbasis zero waste dengan sistem 3 R + 1 (reduce, reuse, recycle
11 18 dan inceneration). Hasil simulasi model yang dilakukan menunjukkan bahwa dengan sistem penanganan terpadu berbasis zero waste di TPS dapat mereduksi volume sampah sampai 96 % 98 %, dan mereduksi biaya operasional sampai 65.9 % PRA dan FGD PRA ( Participatory Rural Appraisal ) PRA adalah suatu metode pendekatan yang digunakan dalam melakukan pengkajian/penilaian/penelitian untuk memahami keadaan desa/wilayah/lokalitas tertentu dengan melibatkan partisipasi masyarakat. Melalui PRA tim peneliti bersama masyarakat bisa secara cepat dan sistematis mengumpulkan informasi untuk: (a) analisis umum tentang topik khusus yang perlu penilaian; (b) studi kelayakan; (c) mengidentifikasi dan memprioritaskan proyek tertentu; dan (d) mengevaluasi proyek/program yang dilaksanakan di pedesaan (Bhandori, 2003). Menurut Robert Chambers, orang yang mengembangkan metode PRA, metode dan teknik dalam PRA terus berkembang, sehingga sangat sulit untuk memberikan definisi final tentang PRA. Menurutnya PRA merupakan metode dan pendekatan pembelajaran mengenai kondisi dan kehidupan desa/wilayah/lokalitas dari, dengan dan oleh masyarakat sendiri dengan catatan: (1) pengertian belajar, meliputi kegiatan menganalisis, merancang dan bertindak; (2) PRA lebih cocok disebut metode-metode atau pendekatan-pendekatan (bersifat jamak) daripada metode dan pendekatan (bersifat tunggal); dan (3) PRA memiliki beberapa teknik yang bisa kita pilih, sifatnya selalu terbuka untuk menerima cara-cara dan metodemetode baru yang dianggap cocok. Teknik-teknik yang banyak dipakai meliputi: mengkaji data sekunder, observasi langsung, wawancara semi-struktur, FGD (focus group discussions), metode social rating, analysis group discussion (AGD), innovation assessment, mapping, transects, seasonal calendar, profil historis, analisis kehidupan sosial, pengamatan terlibat, membuat diagram-diagram, dan mengumpulkan kategorikategori lokal, istilah lokal dan sebagainya. Sedangkan perangkat yang digunakan meliputi: triangulasi, tim multidisiplin, belajar bersama masyarakat, analisis on the spot, dan menjaga bias selama studi berlangsung. Melalui PRA para peneliti
12 19 dapat merasakan dampak serta memperkuat kemampuan teknis dari penilaian yang sudah dilakukan oleh masyarakat sendiri. Prinsip-prinsip dasar Participatory Rural Appraisal (PRA) terdiri dari: 1. Prinsip mengutamakan yang terabaikan (keberpihakan) Prinsip ini mengutamakan masyarakat yang terabaikan agar memperoleh kesempatan untuk memiliki peran dan mendapat manfaat dari program pembangunan. Keberpihakan ini lebih pada upaya untuk mencapai keseimbangan perlakuan terhadap berbagai golongan yang terdapat di suatu masyarakat, mengutamakan golongan paling miskin agar kehidupannya meningkat. 2. Prinsip pemberdayaan (penguatan) masyarakat Pendekatan PRA bermuatan peningkatan kemampuan masyarakat, kemampuan itu ditingkatkan dalam proses pengkajian keadaan, pengambilan keputusan dan penentuan kebijakan, sampai pada pemberian penilaian dan koreksi kepada kegiatan yang berlangsung. 3. Prinsip masyarakat sebagai pelaku dan orang luar sebagai fasilitator PRA menempatkan masyarakat sebagai pusat dari kegiatan pembangunan. Orang luar juga harus menyadari perannya sebagai fasilitator. Fasilitator perlu memiliki sikap rendah hati serta kesedian untuk belajar dari masyarakat dan menempatkan mereka sebagai narasumber utama dalam memahami keadaan masyarakat itu. Pada tahap awal peran orang luar lebih besar, namun seiring dengan berjalannya waktu diusahakan peran itu bisa berkurang dengan mengalihkan prakarsa kegiatan PRA pada masyarakat itu sendiri. 4. Prinsip saling belajar dan menghargai perbedaan Salah satu prinsip dasarnya adalah pengakuan akan pengalaman dan pengetahuan tradisional masyarakat. Hal ini bukan berarti bahwa masyarakat selamanya benar dan harus dibiarkan tidak berubah. Pengalaman dan pengetahuan masyarakat serta pengetahuan orang luar harusnya saling melengkapi dan sama nilainya, dan proses PRA sebaiknya dipandang sebagai ajang komunikasi antara kedua sistem pengetahuan itu agar melahirkan sesuatu yang lebih baik. 5. Prinsip santai dan informal Kegiatan PRA diselenggarakan dalam suasana yang bersifat luwes, terbuka, tidak memaksa dan informal. Situasi ini akan menimbulkan hubungan
13 20 akrab, karena orang luar akan berproses masuk sebagai anggota masyarakat, bukan sebagai tamu asing yang oleh masyarakat harus disambut secara resmi. 6. Prinsip triangulasi Salah satu kegiatan PRA adalah usaha mengumpulkan dan menganalisis data atau informasi secara sistematis bersama masyarakat. Untuk mendapatkan informasi yang kedalamannya bisa diandalkan kita dapat menggunakan triangulasi yang merupakan bentuk pemeriksaan dan pemeriksaan ulang (check and recheck) informasi. Triangulasi dilakukan melalui penganekaragaman keanggotaan tim (keragaman disiplin ilmu atau pengalaman), penganekaragaman sumber informasi (keragaman latar belakang golongan masyarakat, keragaman tempat, jenis kelamin) dan penganekeragaman teknik. 7. Prinsip mengoptimalkan hasil Prinsip mengoptimalkan atau memperoleh hasil informasi yang tepat guna menurut metode PRA adalah: a. Lebih baik kita "tidak tahu apa yang tidak perlu kita ketahui" (ketahui secukupnya saja) b. Lebih baik kita "tidak tahu apakah informasi itu bisa disebut benar seratus persen, tetapi diperkirakan bahwa informasi itu cenderung mendekati kebenaran" (daripada kita tahu sama sekali) 8. Prinsip orientasi praktis PRA berorientasi praktis, yaitu pengembangan kegiatan. Oleh karena itu dibutuhkan informasi yang sesuai dan memadai agar program yang dikembangkan bisa memecahkan masalah dan meningkatkan kehidupan masyarakat. Perlu diketahui bahwa PRA hanyalah sebagai alat atau metode yang dimanfaatkan untuk mengoptimalkan program-program yang dikembangkan bersama masyarakat. 9. Prinsip keberlanjutan dan selang waktu Metode PRA bukanlah kegiatan paket yang selesai setelah kegiatan penggalian informasi dianggap cukup dan orang luar yang memfasilitasi kegiatan keluar dari desa. PRA merupakan metode yang harus dijiwai dan dihayati oleh lembaga dan para pelaksana lapangan agar problem yang mereka akan
14 21 kembangkan secara terus menerus berlandaskan pada prinsip-prinsip dasar PRA yang mencoba menggerakkan potensi masyarakat. 10. Prinsip belajar dari kesalahan Terjadinya kesalahan dalam kegiatan PRA adalah suatu yang wajar, yang terpenting bukanlah kesempurnaan dalam penerapan, melainkan penerapan yang sebaik-baiknya sesuai dengan kemampuan yang ada. Kita belajar dari kekurangan-kekurangan atau kesalahan yang terjadi, agar pada kegiatan berikutnya menjadi lebih baik. 11. Prinsip terbuka Prinsip terbuka menganggap PRA sebagai metode dan perangkat teknik yang belum selesai, sempurna, dan pasti benar. Diharapkan bahwa teknik tersebut senantiasa bisa dikembangkan sesuai dengan keadaan dan kebutuhan setempat. Sumbangan dari mereka yang menerapkan dan menjalankannya di lapangan untuk memperbaiki konsep, pemikiran maupun merancang teknik baru yang akan sangat berguna dalam mengembangkan metode PRA FGD ( Focus Group Discussion ) Focus Group Discussion (FGD) merupakan metode khusus untuk mengorganisasi diskusi atau serangkaian diskusi. Pada FGD, diskusi difokuskan pada pertanyaan-pertanyaan spesifik. Topik FGD dapat berupa isu lingkungan, pengembangan teknologi, akseptabilitas program atau produk, atau cara mengembangkan pelayanan masyarakat (Kreuger, 1988; Stewart & Shamdasani, 1992). FGD bentuk penelitian kualitatif di mana kelompok masyarakat menyampaikan sikap, komsep, gagasan, atau solusi dari topik yang didiskusikan. FGD merupakan alat untuk mengumpulkan data kualitatif melalui forum diskusi. Topik dibahas dalam bentuk kelompok interaktif di mana setiap peserta bebas menyampaikan gagasan. Moderator harus dapat mengumpulkan informasi indepth tentang topik yang dibahas dari peserta (Budiharsono et al., 2006). Manfaat FGD adalah untuk memperoleh informasi tentang masyarakat, penduduk, organisasi, produk, atau jasa. Informasi tersebut mencakup: kebutuhan, sejarah, concerns, reaksi, persepsi, perlilaku, dan/atau masalah. FGD juga
15 22 digunakan untuk: 1) pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam merespons suatu program, metode, kebijakan, produk, dan jasa; 2) identifikasi masalah, kendala, biaya, atau manfaat. stimulasi creative thinking seperti solusi optimal, peluang, keterkaitan atau identifikasi dampak potensial; 3) menentukan prioritas atau batasan masalah; 4) memperoleh informasi yang lebih mendalam; 5) memperoleh gambaran budaya atau kelompok sosial yang lebih akurat; 6) melibatkan audiens baru; dan 7) memperoleh feedback lebih cepat (Morgan, 1997). Keunggulan FGD antara lain: 1) FGD memberikan penjelasan lebih, bukana hanya pada apa yang peserta pikirkan, melainkan juga mengapa mereka berpikir seperti itu; 2) Dapat mengungkapkan konsensus atau keragaman kebutuhan peserta, pengalaman, keinginan, dan asumsi; 3) Memungkinkan interaksi kelompok sehingga peserta dapat membangun konsep atau pandangan yang komprehensif lebih mendalam dari setiap ide, bukan hanya dari pandangan individual; 4) Komentar yang tidak terduga dan perspektif baru dapat ditelusuri dengan mudah; 5) Moderator dan peserta dapat mengekspresikan perasaannya secara langsung. Kelemahan FGD antara lain: 1) sampel yang sedikit sehingga memungkinkan tidak representatif; 2) semua peserta harus hadir di tempat dan waktu yang sama, hal ini sulit jika peserta berada pada cakupan wilayah yang berjauhan; 3) dapat memperoleh data kualitatif yang sangat banyak sehingga menyulitkan untuk analisis data; 4) informasi yang dikumpulkan lebih bias karena interpretasi subjektif dibanding metode kuantitatif; 5) individu yang banyak bicara dapat mendominasi diskusi. Pandangan dari peserta yang asertif kadang sulit diperoleh; dan 6) kualitas diskusi dan manfaat informasi yang diperoleh sangat bergantung pada kemampuan moderator.
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan dan perkembangan suatu kota dapat menimbulkan efek negatif terhadap lingkungan. Salah satu efek negatif tersebut adalah masalah lingkungan hidup yang disebabkan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN Latar Belakang
1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN Pesatnya pertambahan penduduk menyebabkan meningkatnya berbagai aktivitas sosial ekonomi masyarakat, pembangunan fasilitas kota seperti pusat bisnis, komersial dan industri,
Lebih terperinciPEMILIHAN DAN PENGOLAHAN SAMPAH ELI ROHAETI
PEMILIHAN DAN PENGOLAHAN SAMPAH ELI ROHAETI Sampah?? semua material yang dibuang dari kegiatan rumah tangga, perdagangan, industri dan kegiatan pertanian. Sampah yang berasal dari kegiatan rumah tangga
Lebih terperinciPENGELOLAAN PERSAMPAHAN
PENGELOLAAN PERSAMPAHAN 1. LATAR BELAKANG PENGELOLAAN SAMPAH SNI 19-2454-1991 tentang Tata Cara Pengelolaan Teknik Sampah Perkotaan, mendefinisikan sampah sebagai limbah yang bersifat padat, terdiri atas
Lebih terperinci1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sampah merupakan sisa-sisa aktivitas manusia dan lingkungan yang sudah tidak diinginkan lagi keberadaannya. Sampah sudah semestinya dikumpulkan dalam suatu tempat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Jakarta adalah ibukota dari Indonesia dengan luas daratan 661,52 km 2 dan tersebar
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Jakarta adalah ibukota dari Indonesia dengan luas daratan 661,52 km 2 dan tersebar ±110 pulau di wilayah Kepulauan Seribu. Jakarta dipadati oleh 8.962.000 jiwa (Jakarta
Lebih terperinciPENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 11 TAHUN 2017 TENTANG RETRIBUSI PELAYANAN PERSAMPAHAN/KEBERSIHAN
PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 11 TAHUN 2017 TENTANG RETRIBUSI PELAYANAN PERSAMPAHAN/KEBERSIHAN I. UMUM Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah mengamanatkan perlunya
Lebih terperinciPERATURAN DESA SEGOBANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA DESA SEGOBANG,
PERATURAN DESA SEGOBANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA DESA SEGOBANG, Menimbang Mengingat : a. bahwa lingkungan hidup yang baik merupakan hak asasi
Lebih terperinciQANUN KABUPATEN BIREUEN NOMOR 15 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN NAMA ALLAH YANG MAHA KUASA BUPATI BIREUEN,
QANUN KABUPATEN BIREUEN NOMOR 15 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN NAMA ALLAH YANG MAHA KUASA BUPATI BIREUEN, Menimbang : a. bahwa pengelolaan sampah memerlukan suatu
Lebih terperinciPENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah Bantar Gebang mempunyai areal seluas 108 ha. Luas areal kerja efektif kurang lebih 69 ha yang dibagi dalam lima zona, masing-masing
Lebih terperinciIV. HASIL DAN PEMBAHASAN
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KOMPOSISI DAN KARAKTERISTIK SAMPAH KOTA BOGOR 1. Sifat Fisik Sampah Sampah berbentuk padat dibagi menjadi sampah kota, sampah industri dan sampah pertanian. Komposisi dan jumlah
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KOTA TANGERANG NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TANGERANG,
PERATURAN DAERAH KOTA TANGERANG NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TANGERANG, Menimbang : a. bahwa dengan adanya pertambahan penduduk dan pola konsumsi
Lebih terperinciBAB 1 : PENDAHULUAN. dan pengelolaan yang berkelanjutan air dan sanitasi untuk semua. Pada tahun 2030,
BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Upaya kesehatan lingkungan berdasarkan Sustainable Development Goals (SDGs) tahun 2030 pada sasaran ke enam ditujukan untuk mewujudkan ketersediaan dan pengelolaan
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA,
MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 54 TAHUN 2017 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH DAN ZAT KIMIA PENGOPERASIAN PESAWAT UDARA DAN BANDAR UDARA DENGAN
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Manusia dalam menjalani aktivitas hidup sehari-hari tidak terlepas dari
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia dalam menjalani aktivitas hidup sehari-hari tidak terlepas dari keterkaitannya terhadap lingkungan. Lingkungan memberikan berbagai sumberdaya kepada manusia dalam
Lebih terperinciPROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI KATINGAN NOMOR : 3 TAHUN 2016 TENTANG
PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI KATINGAN NOMOR : 3 TAHUN 2016 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PENGELOLAAN SAMPAH RUMAH TANGGA DAN SAMPAH SEJENIS SAMPAH RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA
Lebih terperinci- 2 - II. PASAL DEMI PASAL. Pasal 9. Cukup jelas. Pasal 2. Pasal 3. Cukup jelas. Pasal 4. Cukup jelas. Pasal 5. Cukup jelas. Pasal 6. Cukup jelas.
PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 0000 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH RUMAH TANGGA DAN SAMPAH SEJENIS SAMPAH RUMAH TANGGA I. UMUM Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang
Lebih terperinciBAB I. PENDAHULUAN. Pengelolaan lingkungan hidup merupakan bagian yang tak terpisahkan
BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengelolaan lingkungan hidup merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pembangunan kota. Angka pertumbuhan penduduk dan pembangunan kota yang semakin meningkat secara
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Masalah sampah memang tidak ada habisnya. Permasalahan sampah sudah
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah sampah memang tidak ada habisnya. Permasalahan sampah sudah menjadi persoalan serius terutama di kota-kota besar, tidak hanya di Indonesia saja, tapi di seluruh
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. Manusia dalam aktivitasnya tidak terlepas dari kebutuhan terhadap ruang
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sampah Manusia dalam aktivitasnya tidak terlepas dari kebutuhan terhadap ruang untuk memanfaatkan sumberdaya alam dan lingkungan. Sadar atau tidak dalam proses pemanfaatan sumberdaya
Lebih terperinciTimbulan sampah menunjukkan kecenderungan kenaikan dalam beberapa dekade ini. Kenaikan timbulan sampah ini disebabkan oleh dua faktor dasar, yaitu 1)
Pengelolaan Sampah Timbulan sampah menunjukkan kecenderungan kenaikan dalam beberapa dekade ini. Kenaikan timbulan sampah ini disebabkan oleh dua faktor dasar, yaitu 1) perubahan populasi, 2) perubahan
Lebih terperinciBUPATI KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG
BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH RUMAH TANGGA DAN SAMPAH SEJENIS SAMPAH RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI
Lebih terperinciKAJIAN PELUANG BISNIS RUMAH TANGGA DALAM PENGELOLAAN SAMPAH
ABSTRAK KAJIAN PELUANG BISNIS RUMAH TANGGA DALAM PENGELOLAAN SAMPAH Peningkatan populasi penduduk dan pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kuantitas sampah kota. Timbunan sampah yang tidak terkendali terjadi
Lebih terperinciIII. METODE KAJIAN 3.1. Kerangka Pemikiran
III. METODE KAJIAN 3.1. Kerangka Pemikiran Sebagai sebuah kota besar yang juga berfungsi sebagai Ibukota Negara dan berbagai pusat kegiatan lainnya Jakarta sudah seharusnya menyediakan segala sarana dan
Lebih terperinciBAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. diperoleh peneliti yaitu dari Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kota
BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Data yang diperoleh dalam penelitian ini bersumber dari instansi yang terkait dengan penelitian, melaksanakan observasi langsung di Tempat Pembuangan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Air lindi atau lebih dikenal dengan air limbah sampah merupakan salah satu sumber pencemaran lingkungan yang sangat potensial. Air lindi akan merembes melalui tanah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan dan pertumbuhan kota metropolitan di beberapa negara berkembang telah menimbulkan permasalahan dalam hal pengelolaan sampah (Petrick, 1984). Saat ini
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pertambahan penduduk dan aktivititas masyarakat di daerah perkotaan makin
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertambahan penduduk dan aktivititas masyarakat di daerah perkotaan makin meningkat seiring dengan kemajuan teknologi, yang juga akan membawa permasalahan lingkungan.
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1992
LAMPIRAN III UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1992 TENTANG PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN Pasal 1 (1.1) Rumah adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan
Lebih terperinciBUPATI POLEWALI MANDAR
BUPATI POLEWALI MANDAR PERATURAN DAERAH KABUPATEN POLEWALI MANDAR NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN PERSAMPAHAN DAN KEBERSIHAN KOTA KABUPATEN POLEWALI MANDAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DI KABUPATEN JEPARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEPARA.
PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DI KABUPATEN JEPARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEPARA., Menimbang : a. bahwa pertambahan penduduk dan perubahan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. biasanya disertai dengan perkembangan teknologi yang sangat pesat.
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Secara umum perkembangan jumlah penduduk yang semakin besar biasanya disertai dengan perkembangan teknologi yang sangat pesat. Perkembangan tersebut membawa
Lebih terperinciKERANGKA PENDEKATAN TEORI. manusia yang beragam jenisnya maupun proses alam yang belum memiliki nilai
II. KERANGKA PENDEKATAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Pengertian Sampah Sampah merupakan barang sisa yang sudah tidak berguna lagi dan harus dibuang. Berdasarkan istilah lingkungan untuk manajemen, Basriyanta
Lebih terperinciA. Penyusunan Rencana Induk Sistem Pengelolaan Air Limbah Kabupaten Kubu Raya
Lampiran E: Deskripsi Program / Kegiatan A. Penyusunan Rencana Induk Sistem Pengelolaan Air Limbah Kabupaten Kubu Raya Nama Maksud Penyusunan Rencana Induk Sistem Pengelolaan Air Limbah Kabupaten Kubu
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. PPK Sampoerna merupakan Pusat Pelatihan Kewirausahaan terpadu yang
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang PPK Sampoerna merupakan Pusat Pelatihan Kewirausahaan terpadu yang dibangun di atas lahan seluas 27 Ha di Dusun Betiting, Desa Gunting, Kecamatan Sukorejo, Kabupaten
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA Pengertian Model
TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Model Pemodelan merupakan suatu aktivitas pembuatan model. Secara umum model memiliki pengertian sebagai suatu perwakilan atau abstraksi dari sebuah objek atau situasi aktual.
Lebih terperinciTEKNIK PENGELOLAAN SAMPAH DI TPA PIYUNGAN SEBAGAI SUMBER BELAJAR PENGELOLAAN LIMBAH PADAT *) Oleh : Suhartini **) Abstrak
TEKNIK PENGELOLAAN SAMPAH DI TPA PIYUNGAN SEBAGAI SUMBER BELAJAR PENGELOLAAN LIMBAH PADAT *) Oleh : Suhartini **) Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui teknik pengelolaan sampah di TPA Piyungan
Lebih terperinciB P L H D P R O V I N S I J A W A B A R A T PENGELOLAAN SAMPAH DI PERKANTORAN
B P L H D P R O V I N S I J A W A B A R A T PENGELOLAAN SAMPAH DI PERKANTORAN 1 Sampah merupakan konsekuensi langsung dari kehidupan, sehingga dikatakan sampah timbul sejak adanya kehidupan manusia. Timbulnya
Lebih terperinciTPST Piyungan Bantul Pendahuluan
TPST Piyungan Bantul I. Pendahuluan A. Latar belakang Perkembangan teknologi yang semakin maju dan kemegahan zaman mempengaruhi gaya hidup manusia ke dalam gaya hidup yang konsumtif dan serba instan. Sehingga
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. ditanggung alam karena keberadaan sampah. Sampah merupakan masalah yang
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lingkungan yang kotor merupakan akibat perbuatan negatif yang harus ditanggung alam karena keberadaan sampah. Sampah merupakan masalah yang dihadapi hampir seluruh
Lebih terperinciPENDAHULUAN Latar Belakang
PENDAHULUAN Latar Belakang Meningkatnya laju konsumsi dan pertambahan penduduk Kota Palembang mengakibatkan terjadinya peningkatan volume dan keragaman sampah. Peningkatan volume dan keragaman sampah pada
Lebih terperinciBagaimana Solusinya? 22/03/2017 PENGELOLAAN SAMPAH ORGANIK RUMAH TANGGA DI KOTA CIAMIS PENGERTIAN SAMPAH
SOSIALISASI DAN PELATIHAN PENGELOLAAN SAMPAH RUMAH TANGGA DI KOTA CIAMIS Nedi Sunaedi nedi_pdil@yahoo.com PENGERTIAN SAMPAH Suatu bahan yang terbuang dari sumber aktivitas manusia dan/atau alam yang tidak
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dipancarkan lagi oleh bumi sebagai sinar inframerah yang panas. Sinar inframerah tersebut di
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pancaran sinar matahari yang sampai ke bumi (setelah melalui penyerapan oleh berbagai gas di atmosfer) sebagian dipantulkan dan sebagian diserap oleh bumi. Bagian yang
Lebih terperinciLEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 7 TAHUN 2012 SERI E.3 PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 7 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 7 TAHUN 2012 SERI E.3 PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 7 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI CIREBON, Menimbang
Lebih terperinciBERITA NEGARA. KEMENTERIAN NEGARA LINGKUNGAN HIDUP Sampah rumah tangga. Raperda. Pedoman. PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
No.933, 2011 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN NEGARA LINGKUNGAN HIDUP Sampah rumah tangga. Raperda. Pedoman. PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2011
Lebih terperinciFasilitas Pengolahan Sampah di TPA Jatibarang Semarang
LANDASAN PROGRAM PERENCANAAN DAN PERANCANGAN ARSITEKTUR Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Teknik Fasilitas Pengolahan Sampah di TPA Jatibarang Semarang Dosen Pembimbing
Lebih terperinciBUPATI LUWU TIMUR PROPINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH RUMAH TANGGA DAN
BUPATI LUWU TIMUR PROPINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH RUMAH TANGGA DAN SAMPAH SEJENIS SAMPAH RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG
Lebih terperinciSAMPAH SEBAGAI SUMBER DAYA
SAMPAH SEBAGAI SUMBER DAYA I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Permasalahan Masalah sampah sebagai hasil aktivitas manusia di daerah perkotaan memberikan tekanan yang besar terhadap lingkungan, terutama
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DI KABUPATEN PASURUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DI KABUPATEN PASURUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PASURUAN, Menimbang Mengingat : a. bahwa pertambahan penduduk
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP REPUBLIK INDONESIA,
S A L I N A N PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG PEDOMAN MATERI MUATAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH RUMAH TANGGA DAN SAMPAH
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian sampah Sampah adalah barang yang dianggap sudah tidak terpakai dan dibuang oleh pemilik/pemakai sebelumnya, tetapi bagi sebagian orang masih bisa dipakai jika dikelola
Lebih terperinciPengelolaan Emisi Gas pada Penutupan TPA Gunung Tugel di Kabupaten Banyumas. Puji Setiyowati dan Yulinah Trihadiningrum
Pengelolaan Emisi Gas pada Penutupan TPA Gunung Tugel di Kabupaten Banyumas Puji Setiyowati dan Yulinah Trihadiningrum Jurusan Teknik Lingkungan FTSP, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya * email:
Lebih terperinciBUPATI BANGKA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA BARAT NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN PERSAMPAHAN DAN KEBERSIHAN
BUPATI BANGKA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA BARAT NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN PERSAMPAHAN DAN KEBERSIHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA BARAT, Menimbang : a. bahwa
Lebih terperinciBAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang
BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jumlah penduduk Indonesia yang besar dengan tingkat pertumbuhan yang tinggi mengakibatkan bertambahnya volume sampah. Di samping itu, pola konsumsi masyarakat memberikan
Lebih terperinci1. Pendahuluan ABSTRAK:
OP-26 KAJIAN PENERAPAN KONSEP PENGOLAHAN SAMPAH TERPADU DI LINGKUNGAN KAMPUS UNIVERSITAS ANDALAS Yenni Ruslinda 1) Slamet Raharjo 2) Lusi Susanti 3) Jurusan Teknik Lingkungan, Universitas Andalas Kampus
Lebih terperinciDINAS KEBERSIHAN DAN PERTAMANAN KABUPATEN KARANGANYAR
DINAS KEBERSIHAN DAN PERTAMANAN KABUPATEN KARANGANYAR PENINGKATAN KESADARAN MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN SAMPAH RUMAH TANGGA 1. Latar Belakang Sampah yang menjadi masalah memaksa kita untuk berpikir dan
Lebih terperinciPENGELOLAAN EMISI GAS PADA PENUTUPAN TPA GUNUNG TUGEL DI KABUPATEN BANYUMAS
PENGELOLAAN EMISI GAS PADA PENUTUPAN TPA GUNUNG TUGEL DI KABUPATEN BANYUMAS Puji Setiyowati* dan Yulinah Trihadiningrum Jurusan Teknik Lingkungan FTSP, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya * email:
Lebih terperinciLEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
No.188, 2012 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LINGKUNGAN HIDUP. Sampah. Rumah Tangga. Pengelolaan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5347) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK
Lebih terperinciH. DOUGLAS J. MANURUNG
OPTIMASI PENGELOLAAN LINGKUNGAN TERPADU BERKELANJUTAN TPST BANTARGEBANG, KOTA BEKASI H. DOUGLAS J. MANURUNG SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Lebih terperinciPEMERINTAH KABUPATEN BANGKA TENGAH
PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA TENGAH SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA TENGAH NOMOR 20 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN PERSAMPAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA TENGAH, Menimbang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN I.1
BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Kota Yogyakarta sekarang ini sudah menjadi penarik tersendiri bagi penduduk luar Kota Yogyakarta dengan adanya segala perkembangan di dalamnya. Keadaan tersebut memberikan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sampah pada dasarnya merupakan suatu bahan yang terbuang atau dibuang dari suatu sumber hasil aktivitas manusia maupun proses-proses alam yang tidak mempunyai nilai
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KOTA SERANG NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SERANG,
PERATURAN DAERAH KOTA SERANG NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SERANG, Menimbang: Mengingat: a. bahwa dalam rangka mewujudkan lingkungan yang baik
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah persampahan kota hampir selalu timbul sebagai akibat dari tingkat kemampuan pengelolaan sampah yang lebih rendah dibandingkan jumlah sampah yang harus dikelola.
Lebih terperinciFasilitas Pengolahan Sampah di TPA Jatibarang Semarang
TUGAS AKHIR 108 Periode Agustus Desember 2009 Fasilitas Pengolahan Sampah di TPA Jatibarang Semarang Oleh : PINGKAN DIAS L L2B00519O Dosen Pembimbing : Ir. Abdul Malik, MSA Jurusan Arsitektur Fakultas
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dari semua pihak, karena setiap manusia pasti memproduksi sampah, disisi lain. masyarakat tidak ingin berdekatan dengan sampah.
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Masalah sampah merupakan fenomena sosial yang perlu mendapat perhatian dari semua pihak, karena setiap manusia pasti memproduksi sampah, disisi lain masyarakat
Lebih terperinciPOLEMIK PENGELOLAAN SAMPAH, KESENJANGAN ANTARA PENGATURAN DAN IMPLEMENTASI Oleh: Zaqiu Rahman *
1 POLEMIK PENGELOLAAN SAMPAH, KESENJANGAN ANTARA PENGATURAN DAN IMPLEMENTASI Oleh: Zaqiu Rahman * Naskah diterima: 25 November 2015; disetujui: 11 Desember 2015 Polemik Pengelolaan Sampah Masalah pengelolaan
Lebih terperinciVII. PEMBAHASAN UMUM 7.1. Visi Pengelolaan Kebersihan Lingkungan Berkelanjutan
VII. PEMBAHASAN UMUM 7.1. Visi Pengelolaan Kebersihan Lingkungan Berkelanjutan TPA Bakung kota Bandar Lampung masih belum memenuhi persyaratan yang ditentukan, karena belum adanya salahsatu komponen dari
Lebih terperinciTEKNOLOGI TEPAT GUNA PENGOLAHAN SAMPAH ANORGANIK
TUGAS SANITASI MASYARAKAT TEKNOLOGI TEPAT GUNA PENGOLAHAN SAMPAH ANORGANIK Disusun Oleh : KELOMPOK Andre Barudi Hasbi Pradana Sahid Akbar Adi Gadang Giolding Hotma L L2J008005 L2J008014 L2J008053 L2J008078
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kurang tepat serta keterbatasan kapasitas dan sumber dana meningkatkan dampak
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pertumbuhan industri dan urbanisasi pada daerah perkotaan dunia yang tinggi meningkatkan volume dan tipe sampah. Aturan pengelolaan sampah yang kurang tepat
Lebih terperinciPemberdayaan Masyarakat Rumpin Melalui Pengolahan Sampah Organik Rumah Tangga
Pemberdayaan Masyarakat Rumpin Melalui Pengolahan Sampah Organik Rumah Tangga Oleh : Dra. MH. Tri Pangesti, M.Si. Widyaiswara Utama Balai Diklat Kehutanan Bogor Pendahuluan Desa Rumpin merupakan salah
Lebih terperinciPENGAMBILAN DAN PENGUKURAN CONTOH TIMBULAN DAN KOMPOSISI SAMPAH BERDASARKAN SNI (STUDI KASUS: KAMPUS UNMUS)
PENGAMBILAN DAN PENGUKURAN CONTOH TIMBULAN DAN KOMPOSISI SAMPAH BERDASARKAN SNI 19-3964-1994 (STUDI KASUS: KAMPUS UNMUS) Dina Pasa Lolo, Theresia Widi Asih Cahyanti e-mail : rdyn_qyuthabiez@yahoo.com ;
Lebih terperinciBAB VI PENGELOLAAN SAMPAH 3R BERBASIS MASYARAKAT DI PERUMAHAN CIPINANG ELOK. menjadi tiga macam. Pertama, menggunakan plastik kemudian
BAB VI PENGELOLAAN SAMPAH 3R BERBASIS MASYARAKAT DI PERUMAHAN CIPINANG ELOK 6.1. Pewadahan Sampah Pewadahan individual Perumahan Cipinang Elok pada umumnya dibagi menjadi tiga macam. Pertama, menggunakan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Timur. Letak tersebut berada di Teluk Lampung dan diujung selatan pulai
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Secara geografis Kota Bandar Lampung terletak pada kedudukan 5 0 20 sampai dengan 5 0 30 lintang Selatan dan 105 0 28 sampai dengan 105 0 37 bujur Timur.
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian sampah Sampah adalah barang yang dianggap sudah tidak terpakai dan dibuang oleh pemilik/pemakai sebelumnya, tetapi bagi sebagian orang masih bisa dipakai jika dikelola
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kerjasama antar pemerintah daerah merupakan suatu isu yang perlu diperhatikan saat ini, mengingat perannya dalam menentukan perekonomian lokal maupun nasional. Hal
Lebih terperinciBAB IV STRATEGI PENGEMBANGAN SANITASI
BAB IV STRATEGI PENGEMBANGAN SANITASI Perumusan strategi dalam percepatan pembangunan sanitasi menggunakan SWOT sebagai alat bantu, dengan menganalisis kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman pada tiap
Lebih terperinciINVENTARISASI SARANA PENGELOLAAN SAMPAH KOTA PURWOKERTO. Oleh: Chrisna Pudyawardhana. Abstraksi
INVENTARISASI SARANA PENGELOLAAN SAMPAH KOTA PURWOKERTO Oleh: Chrisna Pudyawardhana Abstraksi Pengelolaan sampah yang bertujuan untuk mewujudkan kebersihan dan kesehatan lingkungan serta menjaga keindahan
Lebih terperinciVI. PENGELOLAAN, PENCEMARAN DAN UPAYA PENINGKATAN PENGELOLAAN SAMPAH PASAR
VI. PENGELOLAAN, PENCEMARAN DAN UPAYA PENINGKATAN PENGELOLAAN SAMPAH PASAR 6.1. Pengelolaan Sampah Pasar Aktivitas ekonomi pasar secara umum merupakan bertemunya penjual dan pembeli yang terlibat dalam
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. aktivitas manusia dan hewan yang berupa padatan, yang dibuang karena sudah
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Sampah Sampah didefinisikan sebagai semua buangan yang dihasilkan dari aktivitas manusia dan hewan yang berupa padatan, yang dibuang karena sudah tidak berguna atau
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengelolaan lingkungan hidup tidak bisa dipisahkan dari sebuah pembangunan. Angka pertumbuhan penduduk dan pembangunan kota yang makin meningkat drastis akan berdampak
Lebih terperinciBUPATI POLEWALI MANDAR
BUPATI POLEWALI MANDAR PERATURAN BUPATI POLEWALI MANDAR NOMOR 42 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN KEBERSIHAN DAN LINGKUNGAN OLEH PEMERINTAH, SWASTA DAN MASYARAKAT BUPATI POLEWALI MANDAR, Menimbang : a. bahwa
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dan kualitas sampah yang dihasilkan. Demikian halnya dengan jenis sampah,
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kehidupan manusia dengan segala aktivitasnya pastilah tidak terlepas dengan adanya sampah, karena sampah merupakan hasil efek samping dari adanya aktivitas
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU
PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU NOMOR 5 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH Bagian Hukum Setda Kabupaten Ogan Komering Ulu PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU NOMOR 5 TAHUN 2009
Lebih terperinciPERAN GENDER DALAM MENANGANI PERMASALAHAN SAMPAH. Oleh : Tri Harningsih, M.Si
PERAN GENDER DALAM MENANGANI PERMASALAHAN SAMPAH Oleh : Tri Harningsih, M.Si ABSTRAK Sampah pada dasarnya merupakan suatu bahan yang terbuang atau dibuang dari suatu sumber hasil aktivitas manusia maupun
Lebih terperinciPERINGATAN HARI LINGKUNGAN HIDUP
36 PERINGATAN HARI LINGKUNGAN HIDUP 37 EKSPOSE P1 ADIPURA TAHUN 2017 / 2018 21 38 39 KOORDINASI PENYAMBUTAN PENGHARGAAN TENTANG LINGKUNGAN HIDUP Merupakan kegiatan untuk memberikan apresiasi kepada masyarakat
Lebih terperinciPEMERINTAH KABUPATEN JOMBANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PEMERINTAH KABUPATEN JOMBANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JOMBANG, Menimbang : a. bahwa pertambahan penduduk
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 81 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH RUMAH TANGGA DAN SAMPAH SEJENIS SAMPAH RUMAH TANGGA
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 81 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH RUMAH TANGGA DAN SAMPAH SEJENIS SAMPAH RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. lingkungan. Pada satu sisi pertambahan jumlah kota-kota modern menengah dan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Peningkatan jumlah penduduk yang diikuti oleh perubahan gaya hidup masyarakat telah memunculkan berbagai indikasi yang mengarah pada krisis lingkungan. Pada
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertambahan jumlah penduduk, perubahan pola konsumsi masyarakat, peningkatan konsumsi masyarakat dan aktivitas kehidupan masyarakat di perkotaan, menimbulkan bertambahnya
Lebih terperinciBUPATI HULU SUNGAI UTARA
BUPATI HULU SUNGAI UTARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA NOMOR 16 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI HULU SUNGAI UTARA, Menimbang : a. bahwa dengan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. masih dioperasikan secara open dumping, yaitu sampah yang datang hanya dibuang
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sampah merupakan permasalahan cukup pelik yang dihadapi oleh seluruh negara di dunia. Begitu pula dengan di Indonesia terutama di kota besar dan metropolitan, masalah
Lebih terperinciBAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Dalam pembangunaan kesehatan menuju Indonesia sehat ditetapkan enam
BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam pembangunaan kesehatan menuju Indonesia sehat ditetapkan enam program pembangunan kesehatan masyarakat salah satunya adalah program lingkungan sehat, perilaku
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Manusia dan lingkungan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Manusia dan lingkungan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dan saling terkait antar satu dengan lainnya. Manusia membutuhkan kondisi lingkungan yang
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sampah Sampah merupakan zat- zat atau benda-benda yang sudah tidak terpakai lagi, baik berupa bahan buangan yang berasal dari rumah tangga maupun dari pabrik sebagai sisa industri
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mengalami proses pembangunan perkotaan yang pesat antara tahun 1990 dan 1999, dengan pertumbuhan wilayah perkotaan mencapai 4,4 persen per tahun. Pulau Jawa
Lebih terperinciBUPATI BONDOWOSO PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONDOWOSO NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DI KABUPATEN BONDOWOSO
BUPATI BONDOWOSO PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONDOWOSO NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DI KABUPATEN BONDOWOSO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BONDOWOSO, Menimbang : a. bahwa dalam
Lebih terperinciE. Manfaat Penelitian 1. Memberikan informasi mengenai sistem pengelolaan sampah yang dilakukan di
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sampah merupakan salah satu masalah yang perlu mendapat perhatian yang serius. Sampah dari tahun ke tahun terus meningkat seiring dengan laju pertumbuhan jumlah
Lebih terperinciBAB III STUDI LITERATUR
BAB III STUDI LITERATUR 3.1 PENGERTIAN LIMBAH PADAT Limbah padat merupakan limbah yang bersifat padat terdiri dari zat organic dan zat anorganik yang dianggap tidak berguna lagi dan harus dikelola agar
Lebih terperinciLEMBARAN DAERAH KOTA SALATIGA NOMOR 5 TAHUN 2015 PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA SALATIGA NOMOR 5 TAHUN 2015
SALINAN LEMBARAN DAERAH KOTA SALATIGA NOMOR 5 TAHUN 2015 PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA SALATIGA NOMOR 5 TAHUN 2015 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH RUMAH TANGGA DAN SAMPAH SEJENIS SAMPAH RUMAH TANGGA
Lebih terperinci