BAB I PENDAHULUAN. Ketuhanan Yang Maha Esa, yang berarti negara Indonesia adalah negara yang

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. Ketuhanan Yang Maha Esa, yang berarti negara Indonesia adalah negara yang"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pancasila adalah dasar negara Indonesia. Sila pertama Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, yang berarti negara Indonesia adalah negara yang menempatkan agama sebagai sendi utama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal tersebut kemudian dinyatakan secara tegas dalam Konstitusi UUD 1945 khususnya Pasal 29 ayat (1) yang berbunyi: Negara berdasar atas Ketuhanan yang Maha Esa yang kemudian ditegaskan lebih lanjut dalam Pasal 29 ayat (2) yang berbunyi: Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. 1 Dengan demikian kebebasan beragama merupakan salah satu hak yang paling asasi di antara hak-hak asasi, karena kebebasan beragama itu langsung bersumber kepada martabat manusia sebagai makluk ciptaan Tuhan. 2 Dengan demikian negara harus menjamin kemerdekaan bagi setiap orang untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu. Pemeluk agama memerlukan kebebasan beragama dalam menjalankan ibadah menurut agama dan kepercayaannya masing-masing. Kebebasan beragama 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terbitan Fokus Media, Bandung. 2 Oemar Seno Adji, Hukum Pidana Pengembangan, Jakarta: Erlangga, 1985, hlm. 96.

2 merupakan salah satu hak asasi manusia (human rights) 3 yang bersifat non- derogable rights 4 dan dijamin oleh berbagai instrumen hak asasi manusia (HAM) baik tingkat internasional 5 maupun nasional. 6 Pembatasan terhadap hak asasi manusia hanya dapat dilakukan dan berdasarkan undang-undang demi menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. 7 3 Menurut Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, pengertian hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara, hukum dan pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. 4 Pasal 28I ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 j.o Pasal 4 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menegaskan bahwa : hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak-hak manusia yang termasuk kategori non-derogable rights yaitu hak-hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan-keadaan apapun dan oleh siapapun, termasuk Negara. 5 Beberapa instrumen internasional mengenai kebebasan beragama adalah Pasal 18, Pasal 26, dan Pasal 29 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia ; Pasal 18 Kovenan Internasional Hak- Hak Sipil dan Politik ; Pasal 13 Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya; Pasal 1 Deklarasi Penghapusan Segala Bentuk Intoleransi Diskrimasi Berdasarkan Agama dan Kepercayaan; Pasal 14, Pasal 29, Pasal 30 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Anak. Instrumen internasional mengenai kebebasan beragama tersebut telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia. 6 Beberapa instrumen nasional mengenai kebebasan beragama adalah UUD NRI Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik, dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Rasial dan Etnik. 7 Pasal 28J ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

3 Meskipun pembatasan terhadap hak asasi manusia dapat dilakukan melalui undang-undang, akan tetapi untuk kategori non-derogable rights tidak dapat dilakukan pembatasan dalam keadaan apapun dan oleh siapapun. 8 Konstitusi Negara Indonesia yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah salah satu instrumen pemenuhan hak asasi manusia yaitu mengatur mengenai perlindungan terhadap kebebasan beragama di Indonesia yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E, Pasal 28I ayat (1) dan (2), Pasal 29 ayat (2). Disamping setiap orang memiliki hak-hak asasi yang harus dilindungi, maka dia juga mengemban kewajibankewajiban asasi yang harus dilaksanakan, sebagaimana diatur dalam Pasal 28J ayat (1) dan (2) UUD NRI Tahun Kebebasan memeluk agama atau kepercayaan dan menjalankan ibadah menurut agama atau kepercayaannya itu merupakan kaidah pribadi (forum internum) sedangkan ketertiban dan kedamaian hidup bersama merupakan kaidah antar pribadi (forum eksternum). 10 Dalam kehidupan bermasyarakat sering terjadi perbenturan antara kepentingan kaidah pribadi dengan kaidah antar pribadi yang 8 Pasal 73 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menegaskan bahwa : Hak dan kebebasan yang diatur dalam undang-undang ini hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan undang-undang, semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa. Dalam penjelasan Pasal 73 ini lebih dipertegas bahwa pembatasan yang dimaksud dalam pasal ini tidak berlaku terhadap hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi (non-derogable rights) dengan memperhatikan Penjelasan Pasal 4 dan Pasal 9, dan yang dimaksud dengan kepentingan bangsa adalah untuk keutuhan bangsa dan bukan merupakan kepentingan penguasa. 9 Pasal ini mewajibkan setiap orang (human obligations) untuk menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, dan dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. 10 Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Perihal Kaidah Hukum, Bandung : Penerbit Alumni, 1982, hlm.16.

4 mengakibatkan terjadinya konflik dalam masyarakat. Oleh karena itulah, dibutuhkan kaidah hukum dalam bentuk peraturan untuk mengatur masyarakat demi terciptanya kesejahteraan dan ketertiban sosial sebab manusia tidak akan dapat hidup hanya dengan kaidah-kaidah pribadi tanpa diatur juga oleh kaidah antar pribadi. Oleh karena pentingnya hubungan antara kebebasan beragama dengan ketertiban umum itu, maka negara melakukan pembatasan terhadap tindakantindakan yang dianggap menodai atau menghina agama lain yang dapat memicu konflik dalam kehidupan bermasyarakat. Melalui Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama j.o Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1965 Tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden sebagai Undang-Undang Penodaan Agama, maka diadakanlah kriminalisasi terhadap penyalahgunaan dan/atau penodaan agama di Indonesia, sehingga pelanggaran terhadap kaidan ini dianggap sebagai tindak pidana dan negara dapat menjatuhkan pidana. Dengan demikian, kepentingan agama yang awalnya merupakan kepentingan pribadi atau kaidah pribadi berubah menjadi kepentingan publik atau kaidah antar pribadi dan lebih jauh lagi menjadi kaidah sosial. Undang-Undang Penodaan Agama ini merupakan instrumen hukum pidana yang berlaku saat ini (ius constitutum) untuk menghukum tindak pidana penodaan agama di Indonesia. Penjelasan umum undang-undang tersebut menjelaskan bahwa undang-undang tersebut dikeluarkan berdasarkan pertimbangan bahwa timbulnya aliran-aliran/organisasi-organisasi kepercayaan

5 masyarakat yang bertentangan dengan ajaran agama. Ajaran pada aliran/organisasi kepercayaan tersebut banyak yang menimbulkan hal-hal yang melanggar hukum, memecah persatuan nasional dan menodai agama. Pada kenyataannya, aliran/organisasi tersebut pada akhirnya bertambah banyak dan berkembang kearah yang membahayakan agama-agama yang ada. Penerapan Undang-Undang Penodaan Agama ternyata dikritik oleh berbagai pandangan yang menganggap bahwa undang-undang ini sudah tidak efektif lagi diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat sekarang. Undang-Undang Penodaan Agama ini sering mengandung kata-kata yang tidak jelas dan sukar didefinisikan, sehingga cenderung terjadi kesalahan pemahaman dan penerapan yang berlebihan. Pasal 1 Undang-Undang Penodaan Agama dan penjelasannya menyebutkan Terhadap badan/aliran kebatinan, Pemerintah berusaha menyalurkannya kearah pandangan yang sehat dan kearah ke-tuhanan Yang Maha Esa yang menunjukkan bahwa Pemerintah telah masuk ke dalam ranah eksistensi spiritual yang merupakan forum internum. Sampai saat ini, sudah banyak terpidana karena tindak pidana penodaan agama di Indonesia. Beberapa di antaranya yaitu 11 Arswendo Atmawiloto (5 tahun), H.B. Jassin (1 tahun penjara dengan masa 2 tahun masa percobaan), Mas ud Simanungkalit (3 tahun), Yusman Roy (2 tahun), Lia Eden (2 tahun), Abdurrahman (3 tahun), Ahmad Musadeq (4 tahun), dan berbagai putusan pengadilan lainnya. Dalam pertimbangan hukum putusan tersebut, tidak ada kesamaan atau kesesuaian mengenai definisi penodaan agama yang layak 11 Sumber Wahid Institute pada diunduh pada hari Rabu 27 Februari 2012 pukul WIB.

6 dijadikan acuan untuk memutus kasus-kasus penodaan agama di masa yang akan datang untuk dapat menjamin kepastian hukum. Kasus-kasus yang berkembang di Indonesia menunjukkan bahwa tujuan pemidanaan yang hendak dicapai melalui undang-undang ini dapat dikatakan belum tercapai. Dengan kata lain, kebijakan hukum pidana yang diterapkan melalui undang-undang ini untuk melindungi kepentingan agama, menanggulangi tindak pidana penodaan agama, dan memenuhi tujuan pemidanaan, sampai saat ini masih menyisakan berbagai persoalan. Di negara Indonesia, negara tidak memiliki otoritas keagamaan (Theokrasi) dan negara Indonesia juga bukanlah negara sekuler murni. Dalam hal ini, kaitannya dengan Undang-Undang Penodaan Agama akan menimbulkan berbagai pertanyaan. Mengenai penafsiran sesuatu agama, maka tafsiran atas ajaran mana yang akan dipilih? Kegiatan keagamaan yang seperti apa yang sesuai dan yang menyimpang dari ajaran agama? Tak kalah pentingnya, dari aspek hukum pidana juga muncul pertanyaan. Apakah kebijakan hukum pidana dalam menentukan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama sebagai tindak pidana sudah tepat dikategorikan sebagai kejahatan? Apakah pemidanaan terhadap penodaan agama sudah memenuhi tujuan pemidanaan? Apakah secara substansi Undang-Undang Penodaan Agama masih relevan diterapkan pada masa sekarang ini? Apakah hukum pidana dalam menanggulangi penodaan agama dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) Tahun 2008 sudah tepat?

7 Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk mengangkat judul Analisis Kebijakan Hukum Pidana Dalam Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama Dalam Rangka Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia. B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah penulis paparkan, penulis memilih beberapa hal yang menjadi permasalahan dalam penulisan skripsi ini. Adapun permasalahan yang akan dibahas, antara lain: 1. Bagaimana pengaturan terhadap tindak pidana penodaan agama di Indonesia? 2. Bagaimana kebijakan hukum pidana dalam RKUHP untuk Mencegah dan/atau Menanggulangi Tindak Pidana Penodaan Agama? C. Tujuan Penulisan Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan dari penulisan skripsi ini, antara lain: 1. Untuk mengetahui pengaturan terhadap tindak pidana penodaan agama di Indonesia. 2. Untuk mengetahui bagaimana kebijakan hukum pidana dalam RKUHP untuk Mencegah dan/atau Menanggulangi Tindak Pidana Penodaan Agama.

8 D. Manfaat Penulisan 1. Secara teoritis, kiranya kehadiran skripsi ini mampu mampu memberikan sumbangan pemikiran dan pengembangan ilmu hukum pidana khususnya mengenai kebijakan hukum pidana dalam menanggulangi tindak pidana penodaan agama. Kiranya skripsi ini juga mampu memenuhi hasrat keingintahuan para pihak yang ingin ataupun sedang mendalami pengetahuan mengenai tindak pidana penodaan agama, baik itu mahasiswa, akademisi, maupun masyarakat luas. 2. Secara praktis, manfaat dari skripsi ini dapat memberikan informasi hukum kepada semua kalangan, terutama penegak hukum tentang kebijakan hukum pidana dalam menanggulangi tindak pidana terhadap kepentingan agama, serta memberikan masukan bagi para pengambil kebijakan di bidang penegakan hukum terhadap tindak pidana kepentingan agama, dalam hal pembentukan dan penerapan undang-undang pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama. E. Keaslian Penulisan Untuk mengetahui orisinalitas penulisan, sebelum melakukan penulisan skripsi berjudul ANALISIS KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG NO 1/PNPS/1965 TENTANG PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN DAN/ATAU PENODAAN AGAMA DALAM RANGKA PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA, terlebih

9 dahulu melakukan penelusuran terhadap berbagai judul skripsi yang tercatat pada Fakultas Hukum. Perpustakaan Fakultas Hukum melalui surat tertanggal 28 Oktober 2011 (terlampir) menyatakan ada satu judul yang memiliki sedikit kesamaan. Adapun judul skripsi tersebut adalah Analisis Hukum dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Penistaan Agama (Islam) di Indonesia yang ditulis oleh Ismuhadi / Surat dari Perpustakaan Fakultas Hukum tersebut kemudian dijadikan dasar bagi Ibu Liza Erwina, S.H, M.Hum. (sekretaris Departemen Hukum Pidana) untuk menerima judul yang diajukan oleh penulis, karena substansi yang terdapat dalam skripsi ini dinilai berbeda dengan juduljudul di atas. Penulisan skripsi ini juga menelusuri berbagai judul karya ilmiah melalui media internet, dan sepanjang penelusuran yang penulis lakukan, belum ada penulis lain yang pernah mengangkat topik tersebut. Sekalipun ada, hal itu adalah diluar sepengetahuan dan tentu saja substansinya berbeda dengan substansi dalam skripsi ini. Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah murni hasil pemikiran Penulis yang didasarkan pada pengertian-pengertian, teori-teori, dan aturan hukum yang diperoleh melalui referensi media cetak maupun media elektronik. Oleh karena itu, dapat dinyatakan bahwa skripsi ini adalah karya asli penulis dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

10 F. Tinjauan Kepustakaan Penulisan skripsi ini berkisar tentang Analisis Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Undang-Undang No 1/PNPS/1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama Dalam Rangka Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia. Adapun Tinjauan Kepustakaan tentang skripsi ini, adalah sebagai berikut : 1. Kebijakan Hukum Pidana Kebijakan Hukum Pidana biasa disebut dengan Politik Hukum Pidana. Politik Hukum pidana merupakan upaya menentukan ke arah mana pemberlakuan hukum pidana Indonesia di masa yang akan datang dengan melihat penegakannya saat ini. Marc Ancel, pernah menyatakan bahwa modern criminal science terdiri dari tiga komponen yaitu criminology, criminal law, dan penal policy. Dikemukakannya, penal policy adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya pembuat undang-undang tetapi kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga kepada pelaksana putusan pengadilan. 12 Sudarto menyatakan untuk melaksanakan Politik Hukum Pidana berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Dengan kata lain, melaksanakan Politik Hukum Pidana berarti usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang 12 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2005, hlm 21.

11 sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa yang akan datang. 13 Politik Hukum Pidana adalah garis kebijakan untuk menentukan : (a) seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu dilakukan perubahan atau diperbaharui, (b) apa yang dapat diperbuat untuk mencegah ter jadinya kejahatan, (c) cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan hukum pidana harus dilaksanakan. 14 Pengertian Politik Hukum Pidana sebagaimana yang dikemukan di atas dapat disimpulkan, bahwa Politik Hukum Pidana adalah upaya menentukan ke arah mana pemberlakuan hukum pidana yang akan datang dengan melihat dan menyesuaikan keadaan penegakan hukum pada saat ini. 2. Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 Tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama merumuskan mengenai tindak pidana terhadap kepentingan agama. Ada dua delik yang diatur dalam undang-undang ini, yaitu delik penyelewengan agama dan delik anti agama. Delik penyelewengan agama adalah perbuatan-perbuatan menafsirkan atau melakukan kegiatan agama yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama. Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 merumuskannya sebagai berikut : 13 Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, Jakarta : Gramedia Widiasarana Indonesia, 2008, hlm Barda Nawawi Arief, Op.Cit., hlm. 28.

12 Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu. Perumusan dalam delik penyelewengan agama, ada dua hal yang perlu dianalis, yaitu pengertian penafsiran dan perbuatan. Persoalan utamanya adalah bahwa pokok-pokok ajaran yang menjadi ukuran penyimpangan tidak dapat menjadi alasan suatu tindakan hukum tanpa membenahi pemerintah, secara langsung atau tidak langsung, dengan otoritas keagamaan yang terlalu besar. Delik anti agama terbagi dalam dua hal yaitu delik penodaan agama dan delik menganjurkan agar orang tidak menganut suatu agama. Perbuatan melanggar ketentuan ini diancama dengan pidana maksimal lima tahun penjara. Pasal 4 Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 merumuskannya sebagai berikut : Pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana diadakan pasal baru yang berbunyi sebagai berikut : Pasal 156a Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barangsiapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan : a. Yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalah-gunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; b. Dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersedikan ke-tuhanan Yang Maha Esa. Penggunaan sarana hukum pidana terhadap tindak pidana penyalahgunaan dan/atau penodaan agama tetap diakomodir dalam Rancangan KUHP

13 (RKUHP) Tahun 2008, dan bahkan diatur dalam bab tersendiri yaitu Bab VII Tindak Pidana terhadap Agama dan Kehidupan Beragama. Dalam RKUHP 2008, Tindak Pidana terhadap Agama meliputi Penghinaan terhadap Agama (Pasal 341, Pasal 342, Pasal 343, Pasal 344) dan Penghasutan untuk Meniadakan Keyakinan terhadap Agama, sedangkan Tindak Pidana terhadap Kehidupan Beragama dan Sarana Ibadah meliputi gangguan terhadap penyelenggaraan ibadah dan keagamaan (Pasal 346, Pasal 347) dan perusakan tempat ibadah (Pasal 348). 3. Pembaharuan Hukum Pidana Pembaharuan Hukum Pidana (penal reform) termasuk dalam bidang kebijakan hukum pidana (penal policy) yang merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy), kebijakan penanggulangan kejahatan (criminal policy) dan kebijakan sosial (social policy). Usaha pembaharuan hukum pidana ini, tidak saja identik dengan pembaharuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), melainkan pembaharuan hukum pidana lebih bersifat komprehensif dari pembaharuan dalam bidang struktur, kultur dan materi hukum. 15 Menurut Sudarto, pembaharuan hukum pidana yang menyeluruh itu harus meliputi pembaharuan 15 Barda Nawawi Arief menyatakan, bahwa tidak ada artinya hokum pidana (KUHP) diperbaharui apabila tidak dipersiapkan atau tidak disertai dengan perubahan ilmu hukum pidananya. Dengan kata lain, criminal law reform atau legal substance reform harus disertai pula dengan pembaharuan ilmu ilmu pengetahuan tentang hukum pidananya. Bahkan harus disertai pula dengan pembaharuan budaya hukum masyarakat (legal structure reform). Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998, halaman 133.

14 hukum pidana material, hukum pidana formal dan hukum pelaksanaan pidana. 16 Pembaharuan Hukum Pidana harus dilakukan dengan cara pendekatan kebijakan, sehingga pembaharuan hukum pidana harus pula berorientasi pada pendekatan nilai. 17 Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa upaya melakukan pembaharuan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan yang meliputi : Kebijakan untuk memperbaharui substansi hukum (legal substance) dalam rangka mengefektifkan penegakan hukum; 2. Kebijakan untuk memberantas atau menanggulangi kejahatan dalam rangka perlindungan masyarakat; 3. Kebijakan untuk mengatasi masalah sosial dan masalah kemanusiaan dalam rangka mencapai dan menunjang tujuan nasional yaitu social defence dan social welfare; 4. Upaya peninjauan dan penilaian kembali pokok pemikiran, ide-ide dasar, nilai-nilai filosofik, sosio politik dan sosio cultural yang melandasi kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan hukum pidana. G. Metode Penelitian Diperlukan metode penelitian sebagai suatu tipe cara secara sistematis yang dipergunakan dalam penelitian dan penilaian skripsi ini, yang pada akhirnya 16 Sudarto, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, BPHN Simposium Pembaharuan Hukum Pidana Nasional, Bandung : Binacipta, 1986, hlm Barda Nawawi Arief, Op.Cit., hlm Ibid, hlm 26.

15 bertujuan mencapai keilmiahan dari penulisan skripsi ini. Dalam penulisan skripsi ini, metode yang dipakai adalah sebagai berikut: 1. Pendekatan Penelitian Penulis menggunakan metode pendekatan yuridis normatif atau penelitian hukum kepustakaan atau penelitian hukum doktrinal yang dapat diartikan sebagai penelitian hukum dengan cara meneliti bahan pustaka dan bahan sekunder. 19 Metode penelitian hukum normatif pada penulisan skripsi ini menggunakan beberapa penelitian hukum yaitu penelitian terhadap asas-asas hukum, dan penelitian untuk menemukan hukum in concreto. Penelitian terhadap asas-asas hukum dilakukan terhadap norma-norma hukum yaitu yang merupakan patokan-patokan untuk bertingkah laku yang terdapat dalam bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder 20. Asas-asas hukum yang dimaksud dapat dibedakan menjadi asas hukum konstiutif dan asas hukum regulatif dimana kedua asas ini merupakan landasan dasar pembentukan hukum yang mengikat dan berkeadilan. Penelitian hukum in concreto yang dilakukan adalah untuk menemukan hukum yang sesuai untuk diterapkan in concreto guna menyelesaikan suatu permasalahan 21 yaitu hukum yang sesuai dalam menanggulangi tindak pidana penodaan agama. 19 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta : Rajawali Press, 2007, hlm Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesiam Jakarta, hlm Ibid, hlm. 22.

16 2. Jenis dan Sumber Data Penelitian Yuridis Normatif menggunakan jenis data sekunder sebagai data utama. Data sekunder adalah data yang didapat tidak secara langsung dari objek penelitian. Peneliti mendapat data yang sudah jadi yang dikumpulkan oleh pihak lain dengan berbagai cara atau metode, baik secara komersial maupun nonkomersial 22. Data sekunder yang dipakai penulis adalah sebagai berikut : 1) Bahan-bahan hukum primer Yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, antara lain : a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana); c) Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama j.o Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 Tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden sebagai Undang-Undang; d) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia; e) Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara No. 140/PUU-VII/2009 mengenai Pengujian terhadap Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. 22 Diambil dari diakses pada tanggal 13 November 2011 Pukul WIB.

17 2) Bahan-bahan hukum sekunder Berupa buku-buku yang berkaitan dengan judul skripsi, artikel-artikel, hasil-hasil penelitian, laporan-laporan dan sebagainya yang diperoleh baik melalui media cetak maupun media elektronik. 3) Bahan-bahan hukum tersier Yaitu bahan-bahan penunjang yang memberikan informasi tentang bahan primer dan sekunder. Bahan hukum tersier lebih dikenal dengan bahan acuan di bidang hukum atau bahan rujukan di bidang hukum, misalnya abstrak perundang-undangan, biografi hukum, direktori pengadilan, ensiklopedia hukum, kamus hukum, dan lain-lain. 3. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data dari penulisan skripsi ini dilakukan melalui teknik studi pustaka (literature research) dan juga melalui bantuan media elektronik, yaitu internet. Untuk memperoleh data dari sumber ini penulis memadukan, mengumpulkan, menafsirkan, dan membandingkan buku-buku dan arti-arti yang berhubungan dengan judul skripsi. 4. Analisis Data Pada penelitian hukum normatif yang menelaah data sekunder, maka biasanya penyajian data dilakukan sekaligus dengan analisanya 23. Metode analisis data yang dilakukan penulis adalah analisa kualitatif, yaitu dengan : 23 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Depok: Universitas Indonesia Press, 1994, hlm. 69.

18 a. Mengumpulkan bahan hukum primer, sekunder, dan tertier yang relevan dengan permasalahan yang terdapat dalam penelitian ini. b. Melakukan pemilahan terhadap bahan-bahan hukum relevan tersebut di atas agar sesuai dengan masing-masing permasalahan yang dibahas. c. Mengolah dan menginterpretasikan data guna mendapatkan kesimpulan dari permasalahan. d. Memaparkan kesimpulan, yang dalam hal ini adalah kesimpulan kualitatif, yaitu kesimpulan yang dituangkan dalam bentuk pernyataan dan tulisan. H. Sistematika Penulisan Pembahasan dan Penyajian suatu penelitian harus terdapat keteraturan agar terciptanya karya ilmiah yang baik. Maka dari itu, penulis membagi skripsi ini dalam beberapa bab yang saling berkaitan satu sama lain, karena isi dari skripsi ini bersifat berkesinambungan antara bab yang satu dengan bab yang lainnya. Adapun sistematika penulisan yang terdapat dalam skripsi ini adalah sebagai berikut : BAB I: PENDAHULUAN Pada bab ini dikemukakan tentang Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan Penulisan, Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penulisan dan Sistematika Penulisan. BAB II: PENGATURAN TENTANG TINDAK PIDANA PENODAAN AGAMA

19 Pada bagian pertama akan mengemukakan pengaturan tindak pidana penodaan agama dalam Hukum Indonesia. Pada bagian kedua akan menyajikan kelemahan rumusan tindak pidana penodaan agama dalam Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965. BAB III KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA PENODAAN AGAMA Pada bagian pertama akan mengemukakan tentang Kebijakan Hukum Pidana. Pada bagian kedua akan mengemukakan Perumusan Tindak Pidana Penodaan Agama dalam RKUHP Tahun 2008 serta Tujuan Pemidanaan pada RKUHP Tahun BAB V PENUTUP Pada bab terakhir ini, akan dikemukakan kesimpulan dari bagian awal hingga bagian akhir penulisan yang merupakan ringkasan dari substansi penulisan skripsi ini, dan saran-saran yang penulis ciptakan dalam kaitannya dengan masalah yang dibahas.

I. PENDAHULUAN. seseorang (pihak lain) kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagai

I. PENDAHULUAN. seseorang (pihak lain) kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagai I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemberantasan tindak pidana korupsi saat ini telah berjalan dalam suatu koridor kebijakan yang komprehensif dan preventif. Upaya pencegahan tindak pidana korupsi

Lebih terperinci

Ringkasan Putusan.

Ringkasan Putusan. Ringkasan Putusan Sehubungan dengan sidang pembacaan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 140/PUU-VII/2009 tanggal 19 April 2010 atas Undang- Undang Nomor 1/PNPS/Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menurut Barda Nawawi Arief, pembaharuan hukum pidana tidak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menurut Barda Nawawi Arief, pembaharuan hukum pidana tidak 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menurut Barda Nawawi Arief, pembaharuan hukum pidana tidak hanya menyangkut masalah substansinya saja, akan tetapi selalu berkaitan dengan nilai-nilai yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan. Pasal 28E Undang-Undang Dasar 1945 selanjutnya disebut dengan

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan. Pasal 28E Undang-Undang Dasar 1945 selanjutnya disebut dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila menempatkan agama pada kedudukan dan peranan yang penting, serta menjadi sasaran dalam pembangunan. Pasal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya buku Dei delitti e delle pene/on crimes and Punishment (Pidana

BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya buku Dei delitti e delle pene/on crimes and Punishment (Pidana A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Lahirnya buku Dei delitti e delle pene/on crimes and Punishment (Pidana dan pemidanaan) karya Cesare Beccaria pada tahun 1764 yang menjadi argumen moderen pertama dalam

Lebih terperinci

PEMIDANAAN TINDAK PIDANA PENODAAN AGAMA (STUDI KASUS DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA)

PEMIDANAAN TINDAK PIDANA PENODAAN AGAMA (STUDI KASUS DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA) PEMIDANAAN TINDAK PIDANA PENODAAN AGAMA (STUDI KASUS DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA) SKRIPSI Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Syarat-syarat Guna Mencapai derajat Sarjana Hukum Dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Negara Indonesia sebagai negara yang berdasarkan Pancasila dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Negara Indonesia sebagai negara yang berdasarkan Pancasila dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia sebagai negara yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 berusaha untuk benar-benar menjunjung tinggi hak asasi manusia, negara akan menjamin

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dari masyarakat yang masih berbudaya primitif sampai dengan masyarakat yang

I. PENDAHULUAN. dari masyarakat yang masih berbudaya primitif sampai dengan masyarakat yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kejahatan merupakan suatu masalah yang ada di dalam kehidupan masyarakat, baik dari masyarakat yang masih berbudaya primitif sampai dengan masyarakat yang berbudaya modern

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Upaya penanggulangan tindak pidana dikenal dengan istilah kebijakan kriminal

TINJAUAN PUSTAKA. Upaya penanggulangan tindak pidana dikenal dengan istilah kebijakan kriminal II. TINJAUAN PUSTAKA A. Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Upaya penanggulangan tindak pidana dikenal dengan istilah kebijakan kriminal yang dalam kepustakaan asing sering dikenal dengan berbagai istilah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pidana bersyarat merupakan suatu sistem pidana di dalam hukum pidana yang

BAB I PENDAHULUAN. Pidana bersyarat merupakan suatu sistem pidana di dalam hukum pidana yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pidana bersyarat merupakan suatu sistem pidana di dalam hukum pidana yang berlaku di Indonesia. Hukum pidana tidak hanya bertujuan untuk memberikan pidana atau nestapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertama, hal Soerjono Soekanto, 2007, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cetakan

BAB I PENDAHULUAN. Pertama, hal Soerjono Soekanto, 2007, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cetakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara hukum pada dasarnya bertujuan untuk mencapai kedamaian hidup bersama, yang merupakan keserasian antara ketertiban dengan ketentraman.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. eksistensi negara modern, dan oleh karena itu masing-masing negara berusaha

BAB I PENDAHULUAN. eksistensi negara modern, dan oleh karena itu masing-masing negara berusaha BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum sebagai subsistem sosial menempati posisi penting dalam eksistensi negara modern, dan oleh karena itu masing-masing negara berusaha membangun sistem hukum

Lebih terperinci

HAK MANTAN NARAPIDANA SEBAGAI PEJABAT PUBLIK DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA

HAK MANTAN NARAPIDANA SEBAGAI PEJABAT PUBLIK DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA HAK MANTAN NARAPIDANA SEBAGAI PEJABAT PUBLIK DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA Oleh: Yeni Handayani * Naskah diterima : 29 September 2014; disetujui : 13 Oktober 2014 Indonesia adalah negara yang berdasar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita

BAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap anak adalah bagian dari penerus generasi muda yang merupakan faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita perjuangan bangsa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan wujud penegakan hak asasi manusia yang melekat pada diri. agar mendapatkan hukuman yang setimpal.

BAB I PENDAHULUAN. merupakan wujud penegakan hak asasi manusia yang melekat pada diri. agar mendapatkan hukuman yang setimpal. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Segala bentuk kekerasan yang dapat mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang harus dapat ditegakkan hukumnya. Penghilangan nyawa dengan tujuan kejahatan, baik yang disengaja

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Fenomena penyalahgunaan dan peredaran narkotika merupakan persoalan

I. PENDAHULUAN. Fenomena penyalahgunaan dan peredaran narkotika merupakan persoalan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Fenomena penyalahgunaan dan peredaran narkotika merupakan persoalan internasional, regional dan nasional. Sampai dengan saat ini, penyalahgunaan narkotika di seluruh

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Pendekatan yang digunakan dalam pembahasan penulisan penelitian ini adalah

III. METODE PENELITIAN. Pendekatan yang digunakan dalam pembahasan penulisan penelitian ini adalah 38 III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah Pendekatan yang digunakan dalam pembahasan penulisan penelitian ini adalah secara yuridis normatif, yaitu dengan cara melihat dan menelaah perbandingan asas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masing-masing wilayah negara, contohnya di Indonesia. Indonesia memiliki Hukum

I. PENDAHULUAN. masing-masing wilayah negara, contohnya di Indonesia. Indonesia memiliki Hukum I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pidana denda merupakan salah satu jenis pidana yang telah lama diterima dan diterapkan dalam sistem hukum di berbagai negara dan bangsa di dunia. Akan tetapi, pengaturan

Lebih terperinci

Kejahatan merupakan bayang-bayang peradaban manusia, bahkan lebih maju dari peradaban

Kejahatan merupakan bayang-bayang peradaban manusia, bahkan lebih maju dari peradaban A. Latar Belakang Kejahatan merupakan bayang-bayang peradaban manusia, bahkan lebih maju dari peradaban manusia itu sendiri, maka kejahatanpun berkembang bahkan lebih maju dari peradaban manusia itu sendiri.

Lebih terperinci

I.PENDAHULUAN. Pembaharuan dan pembangunan sistem hukum nasional, termasuk dibidang hukum pidana,

I.PENDAHULUAN. Pembaharuan dan pembangunan sistem hukum nasional, termasuk dibidang hukum pidana, I.PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembaharuan dan pembangunan sistem hukum nasional, termasuk dibidang hukum pidana, merupakan salah satu masalah besar dalam agenda kebijakan /politik hukum Indonesia.Khususnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tepatnya pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik

BAB I PENDAHULUAN. tepatnya pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang menganut paham nomokrasi bahkan semenjak negara Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Paham nomokrasi adalah sebuah paham yang menempatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perilaku manusia sangat dipengaruhi oleh segala aspek kehidupan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perilaku manusia sangat dipengaruhi oleh segala aspek kehidupan yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perilaku manusia sangat dipengaruhi oleh segala aspek kehidupan yang ada di sekitarmya, seperti aspek ekonomi, sosial, politik, budaya, bahkan juga faktor

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Anak adalah amanat sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa

I. PENDAHULUAN. Anak adalah amanat sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak adalah amanat sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa harus kita jaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat mengakibatkan perubahan kondisi sosial

I. PENDAHULUAN. kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat mengakibatkan perubahan kondisi sosial I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia adalah salah satu negara berkembang yang sedang mengalami proses pembangunan. Proses pembangunan tersebut dapat menimbulkan dampak sosial positif yaitu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Anak merupakan amanat dari Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya

BAB I PENDAHULUAN. Anak merupakan amanat dari Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak merupakan amanat dari Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Di tangan mereka peranperan strategis

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Penyalahgunaan izin tinggal merupakan suatu peristiwa hukum yang sudah sering

I. PENDAHULUAN. Penyalahgunaan izin tinggal merupakan suatu peristiwa hukum yang sudah sering 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyalahgunaan izin tinggal merupakan suatu peristiwa hukum yang sudah sering terjadi di dalam tindak pidana keimigrasian. Izin tinggal yang diberikan kepada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kekerasan. Tindak kekerasan merupakan suatu tindakan kejahatan yang. yang berlaku terutama norma hukum pidana.

BAB I PENDAHULUAN. kekerasan. Tindak kekerasan merupakan suatu tindakan kejahatan yang. yang berlaku terutama norma hukum pidana. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan globalisasi dan kemajuan teknologi yang terjadi dewasa ini telah menimbulkan dampak yang luas terhadap berbagai bidang kehidupan, khususnya di bidang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan olehnya dapat di pertanggung jawabkan dihadapan hukum.

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan olehnya dapat di pertanggung jawabkan dihadapan hukum. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Republik Indonesia adalah negara hukum sebagaimana termuat dalam pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 (selanjutnya disebut UUD RI 1945).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bertumbukan, serang-menyerang, dan bertentangan. Pelanggaran artinya

BAB I PENDAHULUAN. bertumbukan, serang-menyerang, dan bertentangan. Pelanggaran artinya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kondisi lalu lintas di jalan raya semakin padat, bahkan bisa dibilang menjadi sumber kekacauan dan tempat yang paling banyak meregang nyawa dengan sia-sia. Kecelakaan

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT DENGAR PENDAPAT UMUM PANJA RUU KUHP KOMISI III DPR-RI DENGAN KEPALA BPHN, PBNU, MUHAMMADIYAH, KWI, PGI, PUBI, PHDI DAN PROF.DR. FRANS MAGNIS SUSENO DALAM RANGKA PEMBAHASAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara merupakan sebuah kesatuan wilayah dari unsur-unsur negara, 1 yang

BAB I PENDAHULUAN. Negara merupakan sebuah kesatuan wilayah dari unsur-unsur negara, 1 yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara merupakan sebuah kesatuan wilayah dari unsur-unsur negara, 1 yang didalamnya terdapat berbagai hubungan dari sebuah masyarakat tertentu yang berlangsung

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Pendekatan yang digunakan dalam pembahasan penulisan penelitian ini adalah

III. METODE PENELITIAN. Pendekatan yang digunakan dalam pembahasan penulisan penelitian ini adalah 48 III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah Pendekatan yang digunakan dalam pembahasan penulisan penelitian ini adalah secara yuridis normatif, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara melihat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia adalah Negara yang berdiri berlandaskan Pancasila

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia adalah Negara yang berdiri berlandaskan Pancasila BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah Negara yang berdiri berlandaskan Pancasila yang dimana dalam sila pertama disebutkan KeTuhanan Yang Maha Esa, hal ini berarti bahwa Negara

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perbuatan menurut Simons, adalah berbuat (handelen) yang mempunyai sifat gerak aktif, tiap

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perbuatan menurut Simons, adalah berbuat (handelen) yang mempunyai sifat gerak aktif, tiap II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Perbuatan dan Sifat melawan Hukum I. Pengertian perbuatan Perbuatan menurut Simons, adalah berbuat (handelen) yang mempunyai sifat gerak aktif, tiap gerak otot yang dikehendaki,

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR.. TAHUN. TENTANG PERLINDUNGAN UMAT BERAGAMA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR.. TAHUN. TENTANG PERLINDUNGAN UMAT BERAGAMA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR.. TAHUN. TENTANG PERLINDUNGAN UMAT BERAGAMA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: Mengingat: a. Bahwa setiap manusia,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perdagangan orang (human traficking) terutama terhadap perempuan dan anak

I. PENDAHULUAN. Perdagangan orang (human traficking) terutama terhadap perempuan dan anak 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perdagangan orang (human traficking) terutama terhadap perempuan dan anak merupakan pengingkaran terhadap kedudukan setiap orang sebagai makhluk ciptaan Tuhan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. 1. Jenis penelitian Dilihat dari sifat permasalahannya, jenis penelitian ini tergolong dalam jenis

BAB III METODE PENELITIAN. 1. Jenis penelitian Dilihat dari sifat permasalahannya, jenis penelitian ini tergolong dalam jenis BAB III METODE PENELITIAN berikut: Metode penelitian yang akan peneliti gunakan dalam penelitian ini adalah sebagai 1. Jenis penelitian Dilihat dari sifat permasalahannya, jenis penelitian ini tergolong

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul. Pidana Penjara Seumur Hidup (selanjutnya disebut pidana seumur hidup)

BAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul. Pidana Penjara Seumur Hidup (selanjutnya disebut pidana seumur hidup) BAB I PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Judul Pidana Penjara Seumur Hidup (selanjutnya disebut pidana seumur hidup) merupakan bagian dari pidana pokok dalam jenis-jenis pidana sebagaimana diatur pada Pasal

Lebih terperinci

Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan Oleh Rumadi Peneliti Senior the WAHID Institute Disampaikan dalam Kursus HAM untuk Pengacara Angkatan XVII, oleh ELSAM ; Kelas Khusus Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. aka dikenakan sangsi yang disebut pidana. mempunyai latar belakang serta kepentingan yang berbeda-beda, sehingga dalam

BAB I PENDAHULUAN. aka dikenakan sangsi yang disebut pidana. mempunyai latar belakang serta kepentingan yang berbeda-beda, sehingga dalam BAB I PENDAHULUAN A. Permasalahan Dalam kehidupan bermasyarakat, tidak lepas dari kaidah hukum sebagai pedoman tingkah laku masyarakat. Aturan atau kaidah hukum tersebut berlaku bagi seluruh masyarakat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Undang Dasar 1945 Pasal 29 Ayat (2) disebutkan, bahwa Negara menjamin

I. PENDAHULUAN. Undang Dasar 1945 Pasal 29 Ayat (2) disebutkan, bahwa Negara menjamin I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Agama berfungsi sangat penting dalam kehidupan manusia, baik manusia pribadi, maupun manusia sebagai penduduk suatu Negara. Secara konstitutif, jaminan kebebasan kehidupan

Lebih terperinci

Hak Beribadah di Indonesia Oleh: Yeni Handayani * Naskah diterima: 4 Agustus 2015; disetujui: 6 Agustus 2015

Hak Beribadah di Indonesia Oleh: Yeni Handayani * Naskah diterima: 4 Agustus 2015; disetujui: 6 Agustus 2015 Hak Beribadah di Indonesia Oleh: Yeni Handayani * Naskah diterima: 4 Agustus 2015; disetujui: 6 Agustus 2015 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) menyebut istilah basic human rights (hak-hak asasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. karna hukum sudah ada dalam urusan manusia sebelum lahir dan masih ada

I. PENDAHULUAN. karna hukum sudah ada dalam urusan manusia sebelum lahir dan masih ada I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum tidak bisa dipisahkan dengan masyarakat sebagai kumpulan manusia, karna hukum sudah ada dalam urusan manusia sebelum lahir dan masih ada sesudah meninggal.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan makmur yang merata baik materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar

Lebih terperinci

Bab IV Penutup. A. Kebebasan Berekspresi sebagai Isi Media

Bab IV Penutup. A. Kebebasan Berekspresi sebagai Isi Media Bab IV Penutup A. Kebebasan Berekspresi sebagai Isi Media Keberadaan Pasal 28 dan Pasal 28F UUD 1945 tidak dapat dilepaskan dari peristiwa diratifikasinya Universal Declaration of Human Rights (UDHR) 108

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. juga dapat menyengsarakan dan menghancurkan suatu negara. Dampak korupsi bagi negara-negara dengan kasus korupsi berbeda-beda bentuk,

I. PENDAHULUAN. juga dapat menyengsarakan dan menghancurkan suatu negara. Dampak korupsi bagi negara-negara dengan kasus korupsi berbeda-beda bentuk, 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Korupsi dewasa ini sudah semakin berkembang baik dilihat dari jenis, pelaku maupun dari modus operandinya. Masalah korupsi bukan hanya menjadi masalah nasional

Lebih terperinci

Ringkasan Putusan.

Ringkasan Putusan. Ringkasan Putusan Sehubungan dengan sidang pembacaan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 10-17-23/PUU-VII/2009 tanggal 25 Maret 2010 atas Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi, dengan hormat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hukum merupakan suatu alat negara yang mempunyai tujuan untuk. menertibkan, mendamaikan, dan menata kehidupan suatu bangsa demi

BAB I PENDAHULUAN. Hukum merupakan suatu alat negara yang mempunyai tujuan untuk. menertibkan, mendamaikan, dan menata kehidupan suatu bangsa demi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum merupakan suatu alat negara yang mempunyai tujuan untuk menertibkan, mendamaikan, dan menata kehidupan suatu bangsa demi tercapainya suatu keadilan dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pencurian tersebut tidak segan-segan untuk melakukan kekerasan atau. aksinya dinilai semakin brutal dan tidak berperikemanusiaan.

BAB I PENDAHULUAN. pencurian tersebut tidak segan-segan untuk melakukan kekerasan atau. aksinya dinilai semakin brutal dan tidak berperikemanusiaan. BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Bentuk klasik perbuatan pidana pencurian biasanya sering dilakukan pada waktu malam hari dan pelaku dari perbuatan pidana tersebut biasanya dilakukan oleh satu

Lebih terperinci

MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR XVII /MPR/1998

MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR XVII /MPR/1998 MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA -------------- KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR XVII /MPR/1998 TENTANG HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kelompok masyarakat, baik di kota maupun di desa, baik yang masih primitif

BAB I PENDAHULUAN. kelompok masyarakat, baik di kota maupun di desa, baik yang masih primitif BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan paling sempurna. Dalam suatu kelompok masyarakat, baik di kota maupun di desa, baik yang masih primitif maupun yang sudah modern

Lebih terperinci

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN. Untuk menjawab rumusan masalah yang dikemukakan penulis, berdasarkan

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN. Untuk menjawab rumusan masalah yang dikemukakan penulis, berdasarkan 81 BAB III KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Untuk menjawab rumusan masalah yang dikemukakan penulis, berdasarkan uraian pembahasan diatas dapat diperoleh simpulan sebagai berikut : 1. Penerapan ketentuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atas hukum (Rechtsstaat), tidak berdasar atas kekuasaan semata

BAB I PENDAHULUAN. atas hukum (Rechtsstaat), tidak berdasar atas kekuasaan semata BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara berdasarkan atas hukum, penegasan ini secara konstitusional terdapat dalam penjelasan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun

Lebih terperinci

hukum terhadap tindak pidana pencurian, khususnya pencurian dalam keluarga diatur

hukum terhadap tindak pidana pencurian, khususnya pencurian dalam keluarga diatur I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tindak pidana pencurian dapat diproses melalui penegakan hukum. Penegakan hukum terhadap tindak pidana pencurian, khususnya pencurian dalam keluarga diatur didalam ketentuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Fenomena minuman keras saat ini merupakan permasalahan yang cukup

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Fenomena minuman keras saat ini merupakan permasalahan yang cukup 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Fenomena minuman keras saat ini merupakan permasalahan yang cukup berkembang di kalangan masyarakat. Konsumen minuman keras tidak hanya orang dewasa melainkan juga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sudikno dalam bukunya yang berjudul Mengenal Hukum menyatakan. bahwa:

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sudikno dalam bukunya yang berjudul Mengenal Hukum menyatakan. bahwa: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah bahwa: Sudikno dalam bukunya yang berjudul Mengenal Hukum menyatakan Hukum pada umumnya diartikan sebagai keseluruhan peraturan kaidah dalam kehidupan bersama,

Lebih terperinci

Wacana Pasal Penghinaan Presiden atau Wakil Presiden Dalam RUU KUHP Oleh: Zaqiu Rahman * Naskah diterima: 28 Agustus 2015; disetujui: 31 Agustus 2015

Wacana Pasal Penghinaan Presiden atau Wakil Presiden Dalam RUU KUHP Oleh: Zaqiu Rahman * Naskah diterima: 28 Agustus 2015; disetujui: 31 Agustus 2015 Wacana Pasal Penghinaan Presiden atau Wakil Presiden Dalam RUU KUHP Oleh: Zaqiu Rahman * Naskah diterima: 28 Agustus 2015; disetujui: 31 Agustus 2015 Pasal Penghinaan Presiden atau Wakil Presiden Dalam

Lebih terperinci

MODUL VII HAK AZAZI MANUSIA

MODUL VII HAK AZAZI MANUSIA MODUL VII HAK AZAZI MANUSIA Pengertian Hak Azazi Manusia Hak asasi Manusia adalah hak-hak yang telah dipunyai seseorang sejak ia dalam kandungan. HAM berlaku secara universal Dasar-dasar HAM tertuang dalam

Lebih terperinci

POLITIK HUKUM PIDANA DALAM PERSPEKTIF PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA

POLITIK HUKUM PIDANA DALAM PERSPEKTIF PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA POLITIK HUKUM PIDANA DALAM PERSPEKTIF PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA Oleh : Wahab Ahmad, S.HI., SH (Hakim PA Tilamuta, Dosen Fakultas Hukum UG serta Mahasiswa Pasca Sarjana Fakultas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang sekarang diberlakukan di

I. PENDAHULUAN. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang sekarang diberlakukan di I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang sekarang diberlakukan di Indonesia adalah KUHP yang bersumber dari hukum kolonial Belanda (Wetboek van Strafrecht) yang pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat

BAB I PENDAHULUAN. Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat bermacam-macam definisi Hukum, menurut P.Moedikdo arti Hukum dapat ditunjukkan pada cara-cara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang memiliki peranan strategis dan mempunyai ciri-ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan pengarahan dalam rangka menjamin

BAB I PENDAHULUAN. yang memiliki peranan strategis dan mempunyai ciri-ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan pengarahan dalam rangka menjamin BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak adalah bagian generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa, yang memiliki peranan

Lebih terperinci

I. METODE PENELITIAN

I. METODE PENELITIAN I. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasari pada metode sistematika dan pemikiran-pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Hukum merupakan seperangkat aturan yang diterapkan dalam rangka menjamin

I. PENDAHULUAN. Hukum merupakan seperangkat aturan yang diterapkan dalam rangka menjamin 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum merupakan seperangkat aturan yang diterapkan dalam rangka menjamin kepastian hukum, ketertiban dan perlindungan masyarakat, sehingga berbagai dimensi hukum

Lebih terperinci

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI PENGADAAN BARANG DAN JASA. Nisa Yulianingsih 1, R.B. Sularto 2. Abstrak

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI PENGADAAN BARANG DAN JASA. Nisa Yulianingsih 1, R.B. Sularto 2. Abstrak KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI PENGADAAN BARANG DAN JASA Nisa Yulianingsih 1, R.B. Sularto 2 Abstrak Penelitian ini mengkaji mengenai kebijakan hukum pidana terutama kebijakan formulasi

Lebih terperinci

PEMBERLAKUAN ASAS RETROAKTIF DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA

PEMBERLAKUAN ASAS RETROAKTIF DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA PEMBERLAKUAN ASAS RETROAKTIF DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA Oleh : Pande I Putu Cahya Widyantara A. A. Sri Indrawati Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT Assessing criminal law,

Lebih terperinci

PENETAPAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1965 TENTANG PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN DAN/ATAU PENODAAN AGAMA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENETAPAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1965 TENTANG PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN DAN/ATAU PENODAAN AGAMA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PENETAPAN PRESIDEN NOMOR 1 TAHUN 1965 TENTANG PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN DAN/ATAU PENODAAN AGAMA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka pengamanan Negara dan Masyarakat, cita-cita Revolusi Nasional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada mulanya terdapat tiga alternatif lembaga yang digagas untuk diberi kewenangan melakukan pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang memiliki derajat yang sama dengan yang lain. untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran. Dalam Pasal 2 Undang-undang

BAB I PENDAHULUAN. yang memiliki derajat yang sama dengan yang lain. untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran. Dalam Pasal 2 Undang-undang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia merupakan makhluk Tuhan yang paling mulia yang mempunyai harkat dan martabat yang melekat didalam diri setiap manusia yang harus dilindungi dan dijunjung tinggi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Anak bukanlah untuk dihukum tetapi harus diberikan bimbingan dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Anak bukanlah untuk dihukum tetapi harus diberikan bimbingan dan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak bukanlah untuk dihukum tetapi harus diberikan bimbingan dan pembinaan,sehingga anak tersebut bisa tumbuh menjadi anak yang cerdas dan tanpa beban pikiran

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan lembaga penegak hukum. Dalam hal ini pengembangan pendekatan terhadap

I. PENDAHULUAN. dan lembaga penegak hukum. Dalam hal ini pengembangan pendekatan terhadap I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap sistem hukum menunjukan empat unsur dasar, yaitu : pranata peraturan, proses penyelenggaraan hukum, prosedur pemberian keputusan oleh pengadilan dan lembaga

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. merupakan peraturan-peraturan yang harus ditaati oleh setiap masyarakat agar

I. PENDAHULUAN. merupakan peraturan-peraturan yang harus ditaati oleh setiap masyarakat agar 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum pada dasarnya bersifat mengatur atau membatasi setiap tindakan yang dilakukan oleh setiap masyarakat (individu). Pada garis besarnya hukum merupakan peraturan-peraturan

Lebih terperinci

Memutus Rantai Pelanggaran Kebebasan Beragama Oleh Zainal Abidin

Memutus Rantai Pelanggaran Kebebasan Beragama Oleh Zainal Abidin Memutus Rantai Pelanggaran Kebebasan Beragama Oleh Zainal Abidin Saat ini, jaminan hak asasi manusia di Indonesia dalam tataran normatif pada satu sisi semakin maju yang ditandai dengan semakin lengkapnya

Lebih terperinci

KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 93 Tahun 2016 NOMOR : KEP-043/A/JA/02/2016 NOMOR : 223-865 Tahun 2016 TENTANG

Lebih terperinci

MAKALAH. HAM dan Kebebasan Beragama. Oleh: M. syafi ie, S.H., M.H.

MAKALAH. HAM dan Kebebasan Beragama. Oleh: M. syafi ie, S.H., M.H. TRAINING OF TRAINER (TOT) PENGEMBANGAN PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA BAGI GADIK SATUAN PENDIDIKAN POLRI Hotel Jogjakarta Plaza, 21 24 Maret 2016 MAKALAH HAM dan Kebebasan Beragama Oleh: M. syafi ie, S.H.,

Lebih terperinci

2017, No Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011

2017, No Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 No.1690, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKUMHAM. Materi Muatan HAM dalam pembentukan Peraturan Perundang-ndangan. Pedoman. PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yaitu masalah pidana yang diancamkan terhadap pelanggaran tertentu 2. Topik

BAB I PENDAHULUAN. yaitu masalah pidana yang diancamkan terhadap pelanggaran tertentu 2. Topik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara tegas menuliskan bahwa negara Indonesia adalah Negara Hukum. Salah satu prinsip penting negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. setelah melalui proses pemeriksaan dan pemutusan perkaranya, akan merasa

BAB I PENDAHULUAN. setelah melalui proses pemeriksaan dan pemutusan perkaranya, akan merasa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Para pencari keadilan yang berperkara di pengadilan, biasanya setelah melalui proses pemeriksaan dan pemutusan perkaranya, akan merasa kurang tepat, kurang adil

Lebih terperinci

Kebijakan Kriminal, Penyalahgunaan BBM Bersubsidi 36

Kebijakan Kriminal, Penyalahgunaan BBM Bersubsidi 36 Kebijakan Kriminal, Penyalahgunaan BBM Bersubsidi 36 KEBIJAKAN KRIMINAL PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN BAHAN BAKAR MINYAK (BBM) BERSUBSIDI Oleh : Aprillani Arsyad, SH,MH 1 Abstrak Penyalahgunaan Bahan Bakar

Lebih terperinci

diperjanjikan dan adanya suatu hubungan di peratas (dienstverhoeding), yaitu

diperjanjikan dan adanya suatu hubungan di peratas (dienstverhoeding), yaitu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perjanjian kerja merupakan awal dari lahirnya hubungan industrial antara pemilik modal dengan buruh. Namun seringkali perusahaan melakukan pelanggaran terhadap ketentuan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mengisi kemerdekaan dengan berpedoman pada tujuan bangsa yakni menciptakan

I. PENDAHULUAN. mengisi kemerdekaan dengan berpedoman pada tujuan bangsa yakni menciptakan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kemerdekaan bangsa Indonesia merupakan peninggalan yang tidak ternilai harga dari para pejuang terdahulu. Sebagai generasi penerus bangsa selayaknya jika kita mengisi

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Arief, Barda Nawawi Berbagi Aspek Kebijakan Penegakan Pembangunan Hukum Pidana. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung.

DAFTAR PUSTAKA. Arief, Barda Nawawi Berbagi Aspek Kebijakan Penegakan Pembangunan Hukum Pidana. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. DAFTAR PUSTAKA Arief, Barda Nawawi. 1998. Berbagi Aspek Kebijakan Penegakan Pembangunan Hukum Pidana. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. Moeljatno. 1996. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Bumi Aksara. Jakarta.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara hukum yang memiliki konstitusi tertinggi dalam

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara hukum yang memiliki konstitusi tertinggi dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara hukum yang memiliki konstitusi tertinggi dalam tata urutan perundang-undangan yaitu Undang-Undang Dasar 1945. Undang- Undang dasar 1945 hasil

Lebih terperinci

Catatan Koalisi Perempuan Indonesia terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 46/PUU-XIV/2016

Catatan Koalisi Perempuan Indonesia terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 46/PUU-XIV/2016 Catatan Koalisi Perempuan Indonesia terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 46/PUU-XIV/2016 DPR & PRESIDEN PERLU MEMPERHATIKAN PERTIMBANGAN HUKUM MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MERUMUSKAN PASAL KESUSILAAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pancasila itu mencangkup sila atau prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. Pancasila itu mencangkup sila atau prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di Indonesia dasar filosofis yang dimaksudkan itulah yang biasa disebut sebagai Pancasila yang berati lima sila atau lima prinsip dasar untuk mencapai atau mewujudkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar Dalam hal ini selain sumber daya alam, faktor

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar Dalam hal ini selain sumber daya alam, faktor BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pelaksanaan pembangunan nasional dalam sektor ketenagakerjaan ini dimaksudkan untuk mencapai cita-cita dan tujuan bangsa Indonesia yaitu mewujudkan masyarakat

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I No.5952 KOMUNIKASI. INFORMASI. Transaksi. Elektronik. Perubahan. (Penjelasan atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 251) PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum (equality

BAB I PENDAHULUAN. adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum (equality 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan bahwa Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechstaat) tidak berdasar atas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dilindungi oleh Undang-Undang. Hal ini terdapat pada Pasal 28 UUD 1945 yang

I. PENDAHULUAN. dilindungi oleh Undang-Undang. Hal ini terdapat pada Pasal 28 UUD 1945 yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebebasan untuk mengeluarkan pendapat dalam kehidupan negara demokratis, dilindungi oleh Undang-Undang. Hal ini terdapat pada Pasal 28 UUD 1945 yang menyatakan

Lebih terperinci

PENJATUHAN PIDANA PENJARA BAGI TERDAKWA PENYALAHGUNAAN NARKOBA

PENJATUHAN PIDANA PENJARA BAGI TERDAKWA PENYALAHGUNAAN NARKOBA PENJATUHAN PIDANA PENJARA BAGI TERDAKWA PENYALAHGUNAAN NARKOBA Diajukan Untuk Memenuhi dan Melengkapi Persyaratan Dalam Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Strata Satu (S1) Bidang Ilmu Hukum Oleh : MUHAMMAD

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berhak untuk mendapat perlakuan yang sama di hadapan hukum (equality before

BAB I PENDAHULUAN. berhak untuk mendapat perlakuan yang sama di hadapan hukum (equality before BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah Negara hukum yang semua warga negaranya berhak untuk mendapat perlakuan yang sama di hadapan hukum (equality before the law). Pasal 1

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. peraturan-peraturan yang harus ditaati oleh setiap masyarakat agar keseimbangan

I. PENDAHULUAN. peraturan-peraturan yang harus ditaati oleh setiap masyarakat agar keseimbangan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum pada dasarnya bersifat mengatur atau membatasi setiap tindakan yang dilakukan oleh setiap masyarakat (individu). Pada garis besarnya hukum merupakan peraturan-peraturan

Lebih terperinci

I.PENDAHULUAN. Pembaharuan dan pembangunan sistem hukum nasional, termasuk dibidang hukum pidana,

I.PENDAHULUAN. Pembaharuan dan pembangunan sistem hukum nasional, termasuk dibidang hukum pidana, I.PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembaharuan dan pembangunan sistem hukum nasional, termasuk dibidang hukum pidana, merupakan salah satu masalah besar dalam agenda kebijakan /politik hukum Indonesia.Khususnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan

BAB I PENDAHULUAN. Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-nya yang wajib dihormati,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana Kekuasaan kehakiman merupakan badan yang menentukan dan kekuatan kaidahkaidah hukum positif dalam konkretisasi oleh hakim melalui

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) semakin besar pengaruhnya

I. PENDAHULUAN. Kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) semakin besar pengaruhnya 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) semakin besar pengaruhnya bagi kehidupan masyarakat Indonesia dewasa ini. Kemajuan tersebut antara lain dalam

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana perjudian merupakan suatu tindak pidana biasa yang mempunyai

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana perjudian merupakan suatu tindak pidana biasa yang mempunyai 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana perjudian merupakan suatu tindak pidana biasa yang mempunyai dampak serius dalam kelompok tindak pidana kesusilaan. Saat ini perjudian telah berkembang

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci