Enny SOEPRAPTO 18 Januari 2006

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Enny SOEPRAPTO 18 Januari 2006"

Transkripsi

1 Enny SOEPRAPTO 18 Januari 2006 PERKEMBANGAN HUKUM HAK ASASI MANUSIA INTERNASIONAL (THE DEVELOPMENT OF INTERNATIONAL HUMAN RIGHTS LAW)* # Pokok Pengajar Hukum Hak Asasi Manusia di Fakultas Hukum Negeri dan Swasta di Indonesia Tahap II diselenggarakan atas kerja sama Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universites Islam Indonesia (Pus-HAM UII) Yogyakarta dengan Norwegian Centre for Human Rights (NCHR). Oslo, Norwegia, Hotel Jogja Plaza, Yogyakarta, Januari jf-a-r

2 DAFTAR ISI i. Pendahuluan...1 II. Perkembangan selama III. Perkembangan selama A. Piagam PBB B. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) :... 4 C. Instrumen "turunan" DUHAM (1) Instrumen hukum internasional mengenai hak asasi dan kebebasan fundamental (2) Instrumen hukum internasional menge nai hak asasi dan kebebasan fundamental yang bersifat tematis... 7 (A) Instrumen yang dibuat antara 10 Desember 1948 dan 16 Desember (B) Instrumen yang dibuat sesudah 16 Desember D. "Hukum lunak" ("Soft-laws")... 9 IV. Perkembangan sejak Konferensi Sedunia tentang HAM, V. Kejahatan menurut hukum internasional...13 A. Piagam Tribunal Militer Internasional, B. Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida, C. Pasal 15 ayat 1 KIHSP D. Statuta Tribunal Kriminal Internasional untuk Bekas Yugoslavia, E. Statuta Tribunal Internasional untuk Rwanda, F. Statuta [Roma] Mahkamah Pidana Inter nasional, G. Karakteristik umum kejahatan yang termasuk yurisdiksi pengadilan internasional sejak TMI 1945 sampai dengan ICC VI. Catatan penutup Catatan akhir...22

3 Enny SOEPRAPTO 18 Januari 2006 PERKEMBANGAN HUKUM HAK ASASI MANUSIA INTERNASIONAL (THE DEVELOPMENT OF INTERNATIONAL HUMAN RIGHTS LAW) * I. PENDAHULUAN 1. Meskipun tidak menggunakan istilah "fundamental human rights" (hak manusia yang asasi) atau "human rights and fundamental freedoms" (hak manus 1 ia"dan kebebasan asasi) sebagaimana yang kita kenal sejak 1945, 1 melainkan istilah "rights" (hak), atau "liberties" (kebebasan), atau "droits de 1'homme et du citoyen" (hak manusia dan warga negara), konsep hak asasi dan kebebasan fundamental, yang di Indonesia dikenal sebagai "hak asasi manusia" dengan akronimnya "HAM", sebagai konsep hak dan kebebasan yang melekat pada diri manusia yang harus dihormati dan dilindungi, lahir di tingkat nasional, khususnya di Inggris, Amerika Serikat, dan Prancis, pada abad ke-17 dan ke-18 dengan dikeluarkannya instrumen HAM nasional dalam bentuk peraturan perundang-undangan nasional atau instrumen deklaratif yang memuat ketentuan atau yang meagenai HAM, yakni: (a) Bill of Rights (judul lengkapnya berbunyi "An Act Declaring the Rights and Liberties of the Subjects and Settling the Succession of the Crown'") di Inggris pada 1688; (b) Virginia Declaration of Rights (yang disusun George Mason sebulan sebelum dikeluarkannya Declaration of Indepen= dence) di Amerika Serikat pada 1776; (c) Declaration of Independence (yang disusun Thomas Jefferson) di Amerika Serikat pada 1776; (d) Declaration des Droits de l'homme et du Citoyen di Prancis pada 1789; dan (e) Bill of Rights di Amerika Serikat pada Pada abad ke-19 konsep penghormatan dan perlindungan HAM mulai berkembang di tingkat internasional, artinya dianut oleh komunitas bangsa-bangsa dalam hubungan antara mereka, sebagaimana dapat dilihat dari perkembangan berikut: (a) Pengutukan praktik perbudakan dalam Traktat 3 Perdamaian Paris, yang ci5uat ole" Inggris daa Prancis pada 1814; 3 # Pokok-pokok paparan pada Pelatihan Hukum Hak Asasi Manusia untuk Dosen Pengajar Hukum Hak Asasi Manusia di Fakultas Hukum Negeri dan Swasta di Indonesia Tahap II diselenggarakan atas kerja sama Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (Pus-HAM UII) Yogyakarta dengan Norwegian Centre for Human Rij~hts (NCHR) Oslo, Norwegia, Hotel Jogja Plaza, Yogyakarta, Januari if-a-r

4 (b) Pembentukan (.omite International de la Croix Rouge - CICR) (International Committee of the Red Cross - ICRC) (Komite Internasional Palang Merah - KIPM) pada 1863, yang memprakarsai penyusunan Convention for the Amelioration of the Wounded in Armies in the Field (Konvensi bggi Perbaikan Orang yang Luka dalam Tentara di Darat), II. PERKEMBANGAN SELAMA dapat dianggap sebagai tahun dimulainya penerimaan komunitas internasional bahwa penghormatan dan perlindungan hak asasi dan kebebasan fundamental manusia merupakan kewajiban komunitas internasional menurut hukum internasional, terutama dengan dibentuknya Liga Bangsa-Bangsa (LBB) (League of Nations) 4. Beberapa hal yang dapat dianggap sebagai perkembangan pengakuan komunitas internasional bahwa hak asasi dan kebebasan fundamental merupakan masalah internasional dan bahwa perlindungan hak asasi dan kebebasan fundamental merupakan masalah hukum internasional dapat dicatat, antara lain, sebagai berikut: (a) Pasal 22 Kovenan LBB yang mewajibkan negara-negara pemegang mandat wilayah yang ditempatkan di bawah mandat LBB (yakni wilayah "bekas jajahan yang belum mampu berdiri sendiri dalam kondisi berat dunia modern") untuk menjamin kebebasan keyakinan dan agama dan, dalam hubungan ini, dibentuknya Komisi Mandat Permanen guna mempelajari laporan yang harus dibuat oleh negara-negara pemegang mandat; (b) Pasal 23 Kovenan LBB yang menetapkan keharusan diperlakukannya rakyat wilayah-wilayah mandat secara adil; (c) Persetujuan Perdamaian 1919 dengan negara-negara Eropa Timur dan nagara-negara Balkan yang memuat ketentuan tentang perlindungan minoritas dan yang dalam kerangka pelaksanannya ketentuan-ketentuan tersebut diawasi oleh LBB dan di mana pihakpihak golongan minoritas yang merasa dilanggar haknya dapat mengajukan petisi kepada LBB; (d) Bagian XIII Traktat Versailles yang menetapkan dibentuknya Organisasi Perburuhan Internasional (OPI) (International Labour Organization) (ILO), yang bertujuan, antara lain, untuk memajukan standar yang lebih baik bagi kondisii kerja serta dukungan pada hak berserikat; (e) Diangkatnya Komisaris Tinggi untuk Pengungsi (Friedtjof Nansen) dan dibentuknya Kantor Internasional Nansen untuk Pengungsi (Nansen International Office for Refugees), yang bertugas melindungi hak asasi dan kebebasan fundamental pengungsi. 5. Kekejaman rezim Nazi Jerman sebelum, dan lebih-lebih, sejak dilancarkannya Perang Dunia II pada 1939, menanamkan keyakinan pada bangsa-bangsa yang menentang rezim ini mengenai pentingnya penghormatan hak asasi dan kebebasan fundamental bagi umat manusia secara keseluruhan. Ketetapan demikian sudah diambil jauh sebelum usainya Perang Dunia II, yakni ketika pada 1 Januari 1942, di Washington, D.C., Amerika Serikat, 26 bangsa yang melawan Kekuatan Poros (Axis Powers) menandatangani Deklarasi Perserikatan Bangsa-

5 Bangsa (PBB), yang menyatakan dalam preambulnya, antara lain, tentang "esensialnya mempertahankan hidup, kebebasan, kemerdekaan dan kebebasan agama, dan melindungi hak [asasi] manusia serta keadilan dalam wilayah mereka sendiri dan juga di negeri lain". III. PERKEMBANGAN SELAMA Kurun waktu ini ditetapkan berdasarkan pertimbangan bahwa 1945 adalah tahun berakhirnya Perang Dunia II, terbentuknya PBB, mulainya era baru hubungan antarbangsa yang ditandai, terutama, oleh niat bersama untuk mempertahankan perdamaian dan keamanan internasional, menyelesaikan persengketaan antarnegara secara damai, dekolonisasi sebagai perwujudan pengakuan hak bangsa-bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri, upaya komunitas internasional untuk memajukan penghormatan dan perlindungan hak asasi dan kebebasan fundamental dengan lahirnya DUHAM 1948 serta dua instrumen utama mengenai hak asasi dan kebebasan fundamental, yakni Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (KIHESB) (1966) dan: - Kovenan - Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (KIHSP) (1966) - yang tersebut dua terakhir merupakan instrumen internasional yang mengikat secara hukum -, lahirnya instrumen-instrumen internasional "turunan" DUHAM 1948 dan/atau KIHESB 1966 dan/atau KHISP 1966, baik yang mengikat secara hukum maupun yang bersifat anjuran ("soft laws"), namun yang, pada kurun waktu yang sama, juga ditandai o eh ketegangan-ketegangan hubungan antarbangsa karena "perang dingin" yang, pada gilirannya, berpengaruh pada upaya komunitas internasional untuk memajukan penghormatan dan perlindungan hak asasi dan kebebasan fundamental secara universal adalah tahun berakhirnya "perang dingin" yang disusul oleh bubarnya pakta pertahanan salah satu kelompok negara yang semula terlibat dalam "perang dingin", disintegrasi Uni Soviet, demokratisasi negara-negara di Eropa Timur, beralihnva penganutan banyak negara dari ekonomi terencana ke ekonomi liberal, dan mengemukanya perhatian dan kepentingan komunitas internasional pada upaya pemajuan dan perlindungan hak asasi dan kebebasan fundamental di semua negara di dunia. A. PIAGAM PBB Piagam PBB,.yang diterima oleh lima puluh bangsa dalam pertemuan mereka di San Francisco, Amerika Serikat, pada 25 April-25 Juni 1945 mengukuhkan Deklarasi PBB 1942 (lihat supra, para 5) dalam paragraf preambuler kedua, Pasal 1 ayat 3, Pasal 55 huruf c, dan Pasal 56, yang masing-masing berbunyi sebagai berikut: (a) Paragraf preambuler kedua: "untuk menegaskan kepercayaan [kami] dalam hak manusia yaiig asasi, dalam martabat dan nilai orang [sebagai] manusia, dalam persamaan hak laki-laki dan perempuan serta persamaan hak bangsa besar dan kecil;..."; (b) Pasal 1 ayat 3: "3. Untuk mencapai kerja sama internasional dalam pemecahan permasalahan yang bersifat ekonomis, sosial, kultural, atau humaniter, dan dalam pemajuan dan pendorongan penghormatan hak manusia dan kebebasan asasi bagi semua tanpa perbedaan mengenai ras, jenis kelamin, atau agama;...";

6 (c) Pasal 55 huruf c: "c. penghormatan universal dan ketaatan pada hak manusia dan kebebasan asasi bagi semua tanpa perbedaan mengenai ras, jenis kelamin, dan agama."; (d) Pasal 56: "Semua Anggota berikrar untuk mengambil tindakan bersama dan terpisah dengan kerja sama dengan Organisasi [PBB] demi tercapainya maksud sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 55.". 8. Piagam PBB adalah sebuah instrumen internasional yang mengikat secara hukum negara-negara yang mengesahkannya. Oleh karena itu, ketentuanketentuan Piagam sebagaimana disebut dalam para 7(a)-(d) di atas, yang merupakan ketentuan hukum HAM internasional, harus dihormati, ditaati dan dilaksanakan oleh negara-negara pihak padanya, artinya negara-negara anggota PBB, sebagai kewajiban menurut hukum internasional. 9. Dengan ketentuan-ketentuan sebagaimana dikutip dalam supra, para 7(a)-(d) Piagam PBB 1945, pada hakikatnya, sudah mengawali penggarisan sebagian prinsip hak asasi dan kebebasan fundamental, yakni prinsip nondiskriminatif, yang dalam perkembangannya akan menjadi salah satu prinsip dasar instrumeninstrumen hak asasi dan kebebasan fundamental, baik instrumen internasional maupun peraturan perundang-undangan nasional. B. DEKLARASI UNIVERSAL HAK ASASI MANUSIA (DUHAM) Upaya komunitas internasional untuk memantapkan pengakuan, penghormatan, dan perlindungan hak asasi dan kebebasan fundamental mencapai kulminasinya pada 10 Desember 1948 dengan diterima dan diproklamasikannya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) (Universal Dec'aration of Human Rights) (UDHR) oleh Majelis Umum (MU) PBB. DUHAM 1948 merupakan "katalog" hak asasi dan kebebasan fundamental manusia dan yang terdiri atas tiga puluh pasal, dalam garis besarnya menetapkan hak dan kewajiban yang harus diakui dan dihormati oleh semua bangsa secara universal serta kewajiban yang harus dipenuhi oleh setiap orang. Hak dan kebebasan manusia yang tercantum dalam DUHAM 1948 dapat dikelompokkan dalam dua bidang besar, yakni: (a) Hak sipil dan politik (Pasal 3-Pasal 21); dan (b) Hak ekonomi, sosial, dan budaya (Pasal 22-27). 11. Pasal-pasal lainnya, yakni Pasal 28 menetapkan hak setiap orang yang bersifat umum, yakni hak atas tata sosial dan internasional yang menjamin terwujudnya hak dan kebebasan yang ditetapkan dalam DUHAM 1948, Pasal 29 menetapkan kewajiban setiap orang dalam hubungan dengan pelaksanaan hak dan kebebasan yang diatur dalam Pasal 1-Pasal 28, sedangkan Pasal 30 merupakan ketentuan "pengaman" yang menetapkan bahwa DUHAM 1948 tidak boleh ditafsirkan sebagai memberikan negara, kelompok, atau orang mana pun hak untuk menjalankan kegiatan atau melakukan tindak yang bertujuan menghancurkan hak dan kebebasan mana pun yang diatur dalam DUHAM 1948.

7 12. DUHAM 1948 memang bukan instrumen yang mengikat secara hukum per se, namun beberapa ketentuannya merupakan prinsip umum hukum (general principles of law) (perhatikan Pasal 38 ayat 1.c Statuta Mahkamah Internasional) atau mempunyai bobot hukum internasional kebiasaan, karena menjadi rujukan banyak instrumen internasional yang mengikat' - secara-hukum yang mengatur dan/atau menjabarkan secara lebih rinci aspek tertentu hak asasi dan/atau kebebasan fundamental tertentu yang termaktub pokoknya dalam DUHAM 1948, serta diterimanya secara luas dan digunakannya DUHAM 1948 oleh komunitas bangsa-bangsa sebagai tolok ukur perilaku negara galam hubungannya dengan hak asasi dan kebebasan fundamental. 6 C. INSTRUMEN "TURUNAN" DUHAM Sebagaimana dikemukakan sebe'.umnya, DUHAM 1948 bukanlah, stricto sensu, instrumen internasional yuridis melainkan instrumen internasional deklaratif yang memuat "katalog" hak asasi dan kebebasan fundamental yang harus dihormati dan dilindungi oleh semua bangsa secara universal (lihat supra, para 10 dan para 12). Agar ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam DUHAM 1948 mempunyai daya ikat secara hukum, maka ketentuan-ketentuan itu harus ditransformasikan dan dirinci dalam instrumen-instrumen hukum internasional mengenai hak asasi dan kebebasan fundamental. Maksud ini diupayakan oleh komunitas bangsa-bangsa, khususnya PBB, dengan mensponsori disusunnya instrumen-instrumen demikian yang dapat dibagi dalam dua jenis, yakni: (a) Pertama, instrumen-instrumen hukum internasional mengenai hak asasi dan kebebasan fundamental yang bersifat umum, dasar, dan induk; dan (b) Kedua, instrumen-instrumen hukum internasional mengenai hak asasi dan kebebasan fundamental yang bersifat tematis, artinya yang mengatur tema.hak asasi dan/atau kebebasan fundamental tertentu. (1) Instrumen hukum internasional mengenai hak asasi dan kebebasan fundamental yang bersifat umum, dasar, dan induk 14. Upaya komunitas internasional, khususnya PBB, guna menyusun instrumen hukum internasional mengenai hak asasi dan kebebasan fundamental telah berlangsung melalui proses parijang berikut: (a) Pada 1948 MUPBB meminta Komisi HAM PBB untuk menyusun rancangan kovenan, jadi instrumen yuridis, mengenai HAM beserta rancangan tindak pelaksanaannya; (b) (i) Pada 1949 MUPBB menerima sebuah resolusi yang menyatakan bahwa "penikmatan kebebasan sipil,dan politik serta kebebasan ekonomi, sosial, dan budaya bersifat berkaitan dan saling bergantung" (huruf tebal oleh penulis); (ii) Selaras dengan pernyataan ini MUPBB memutuskan memasukkan ke dalam rancangan kovenan [yang harus disusun oleh Komisi HAM PBB] dua pokok, yakni: Pertama: hak ekonomi, sosial, dan budaya; dan Kedua: pengakuan persamaan laki-laki dan perempuan dalam hak-hak tersebut, sebagaimana dinyatakan dalam Piagam PBB;

8 (c) Pada 1952, 4engan resolusi 543(VI) 5 Februari 1952, MUPBB memutuskan pokok-pokok berikut: (i) meminta Komisi HAM PBB untuk merancang dua kovenan, yakni: pertama, kovenan yang akan mengatur hak ekonomi, sosial dan budaya; dan kedua, kovenan yang akan mengatur hak sipil dan politik; (ii) agar kovenan itu dapat diterima dan dibuka bagi penandatanganan secara serentak untuk menekankan kesatuan tujuan kedua kovenan tersebut, meminta (Komisi HAM PBB) untuk memasukkan sebanyak mungkin ketentuan yang sama dal;am kedua kovenan itu: (d) Pada 1953 dan 1954 Komisi HAM PBB menyelesaikan dua rancangan kovenan sebagaimana diminta dan dikehendaki oleh MUPBB (lihat huruf (c) di atas); (e) Pada 1954 MUPBB memutuskan untuk mempublikasikan rancangan naskah kedua kovenan itu seluas mungkin agar pemerintah-pemerintah dapat mernpelajarinya secara mendalam dan agar publik dapat menyampaikan opininya secara bebas. Untuk maksud ini MUPBB merekomendasikan agar Komisi Ketiga MUPBB (Sosial, Humaniter, dan Budaya) membahas kedua rancangan naskah kovenan tersebut; (f) Pada 1955 Komisi Ketiga MUPBB memulai pembahasan rancangan naskah dua kovenan sebagaimana dimaksud dalam huruf (c) di atas. Namun, baru pada 1966, atau sebelas tahun kemudian, rancangan naskah final kedua instrumen tersebut dapat diselesaikan, yakni: (i) Rancangan Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya; dan (ii) Rancangan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik; (g) Selain menyelesaikan naskah final kedua rancangan Kedua kovenan tersebut dalam huruf (f) di atas, pada 1966 itu juga, Komisi Ketiga MUPBB, menyelesaikan pula penyusunan naskah Rancangan Protokol Opsional pada Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, yang menetapkan mekanisme internasional bagi penanganan komunikasi yang disampaikan oleh indi-vidu yang mengaku menjadi korban pelanggaran hak yang tercantum.dalam Kovenan Internasionall tentang Hak Sipil dan Politik; (h) Akhirnya, pada 16 Desember 1966, dengan resolusi 2200A(XXI), MUPBB menerima (adopted) ketiga instrumen hukum internasional mengenai hak asasi dan kebebasan fundamental tersebut huruf (f) dan (g) di atas. 15. Demikianlah perjalanan panjang proses penyusunan Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (KIHESB) serta Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (KIHSP). Kedua kovenan ini, yang merupakan instrumen hukum internasional mengenai hukum internasional di bidang hak asasi dan kebebasan fundamental, yang -. merupakan transformasi ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam DUHAM 1948 yang bersifat deklaratif menjadi ketentuan-ketentuan yuridis serta dalam format yang lebih rinci, serta yang merupakan instrumen internasional tentang hak asasi dan kebebasan fundamental yang bersifat umum, dasar, dan induk, bersama dengan DUHAM 1948, lazim disebut sebagai "International Bill of Human Rights" (Undang-undang Internasional Hak Manusia).

9 (2) Instrumen hukum internasional mengenai hak asasi dan kebebasan fundamental yang bersifat tematis (A) Instrumen yang dibuat antara 10 Desember 1948 dan 16 Desember Sementara PBB melakukan upaya penyusunan instrumen hukum internasional yang akan mentransformasikan ketentuan-ketentuan deklaratif yang tercandum dalam DUHAM 1948 menjadi ketentuanketentuan yuridis yang bersifat umum, dasar, dan induk yang, sebagaimana dideskripsikan dalam supra, para 14-16, berlangsung melalui proses negosiasi yang sulit dan berlangsung dalam waktu yang sangat lama, demi kebutuhan praktis dan mendesak, pada masa yang bersamaan PBB juga mensponsori pembuatan instrumen hukum internasional guna mentransformasikan dan menjabarkan tema deklaratif tertentu DUHAM 1948 menjadi ketentuan-ketentuan yang mengikat secara yuridis. Sejak diproklamasikannyq. DUHAM 1948 sampai [sebelum] diterimanya KIHESB 1966 dan KIHSP 1966 telah dibuat 'tujuh instrumen hukum internasional mengenai hak dan/atau kebebasan fundamental yang bersifat tematis sebagai tersebut di bawah ini, yang dalam paragraf-paragraf preambulnya (jadi dalam konsideransnya) masin--mas 7 tng merujuk, antara lain, merujuk ketentuan tertentu DUHAM 1948: 7 (a) Konvensi mengenai Status Pengungsi (diterima pada 28 Juli 1951 oleh Konferensi PBB (dari) Wakil-Wakil Berkuasa Penuh tentang Status Pengungsi dan Orang Tanpa Kewarganegaraan yang diselenggarakan berdasarkan resolusi MUPBB 429(V) tertanggal 14 DEsember 1950); (b) Konvensi tentang Hak Politik Perempuan (dibuka untuk penadatangan dan ratifikasi oleh resolusi MUPBB 640(VII) tertanggal 20 Desember 1952); (c) Konvensi tentang Status Orang Tanpa Kewarganegaraan (diterima pada 28 September 1954 oleh Konferensi Wakil-wakil Berkuasa Penuh yang diselenggarakan resolusi Dewan Ekogomi dan Sosial [PBB] 526A(XVII) tertanggal 26 April 1954); 8 (d) Konvensi Tambahan tentang Penghapusan Perbudakan, Perdagangan Budak, dan Lembaga serta Praktik yang Serupa dengan Perbudakan (diterima pada 7 September 1956 oleh Konferensi Wakil-wakil Berkuasa Penuh yang diselenggarakan berdasarkan resolusi Dewan " V conomi dan Sosial [PBB] 608(XXI) tertanggal 30 April 1956); 9 (e) Konvensi tentang Kewarganegaraan Perempuan [yang] Kawin (dibuka untuk penandatanganan dan ratifikasi oleh resolusi MUPBB 1040(XI) tertanggal 29 Januari 1957); (f) Konvensi tentang Persetujuan untuk Perkawinan, Usia Minimum bagi Perkawinan, dan Pendaftaran Perkawinan (dibuka untuk penandatangan dan ratifikasi oleh resolusi MUPBB 1763A tertanggal 7 November 1962); (g) Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (diterima dan dibuka untuk penandatanganan dan ratifikasi oleh MUPBB dengan resolusi 2106A(XX) tertanggal 21 Desember 1965).

10 17. Tersebut dalam para 16(a)-(g) di atas adalah tujuh instrumen hukum internasional mengenai hak asasi dan kebebasan fundamental yang bersifat tematis, artinya yang mengatur tema hak asasi dan/atau kebebasan fundamental tertentu, yang merujuk ketentuan tertentu dalam DUHAM 1948 dan yang mentransformasikannya menjadi ketentuan yuridis yang dibuat setelah diproklamasikannya DUHAM (10 Desember 1948) dan sebelum diterimanya Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (16 Desember 1966) dan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (16 Desember 1966). (B) Instrumen yang dibuat sesudah 16 Desember Desember 1966 adalah tanggal diterimanya dua instrumen hukum internasional mengenai hak asasi dan kebebasan fundamental yang, sebagaimana disebut dalam supra, para 15, bersifat umum (artinya mencakup semua hak asasi dan kebebasan fundamental), dasar (artinya menetapkan halhal. yang sangat pokok dan konseptual), dan induk (artinya merupakan~hnkuth - internasional mengenaihak asasi dan kebebasan fundamental yang dapat menjadi rujukan utama, disamping instrumen deklaratif DUHAM 1948 yang dapat dianggap sebagai hukum internasional kebiasaan, bagi penyusunan instrumeninstrumen internasional lain, baik yang bersifat mengikat secara hukum maupun yang bersifat rekomendatif ("soft laws"), aspek atau tema tertentu hak asasi dan/atau kebebasan fundamental secara lebih rinci, sebagai penjabaran ketentuan-ketentuan yang bersifat umum dan pokok yang tercantum dalam KIHESP dan/atau KIHSP. 19. Sampai dibuatnya kertas ini, telah dibuat, setidak-tidaknya, tiga instrumen hukum internasional "turunan" KIHESP dan/atau KIHSP, yang paragraf-paragraf preambulernya merujuk pokok-pokok tertentu KIHESB dan/atau KIHSP (dan juga Piagam PBB dan/atau DUHAM). Ketiga instrumen termaksud adalah sebagai berikut: (a) Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (diterima dan dibuka untuk penandatanganan, ratifikasi, dan_ Aksesi oleh MUP.BB dengan resolusi 34/180 tertanggal 18 Desember 1979); (b) Konvensi menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat (diterima dan dibuka untuk penandatanganan, ratifikasi, dan aksesi oleh MUPBB dengan resolusi 39/46 tertanggal 10 Desember 1984); (c) Konvensi tentang Hak Anak (diterima dan dibuka untuk penandatanganan, ratifikasi, dan aksesi dengan resolusi 44/25 tertanggal 20 November-1989). D. "HUKUM LUNAK" ("SOFT. LAWS") 20. Instrumen internasional yang sering disebut "hukum lunak" ("soft laws") adalah instrumen internasional mengenai atau yang berkenaan dengan hak asasi dan/atau kebebasan fundamental yang tidak tertuang dalam instrumen yur:l_dis (seperti,perjanjian internasional, konvensi, kovenan, persetujuan, statuta, atau protokol yang harus diratifikasi atau diaksesi oleh negara yang berkehendak menjadi pihak padanya dan yang mengikat secara hukum) melainkan yang tertuang dalam instrumen yang berbentuk lain yang tidak mengikat secara hukum melainkan [hanya] bersifat seruan atau rekomendasi. Meskipun tidak mengikat

11 secara yuridis, ketentuan-ketentuan yang termuat dalam "hukum lunak" dapat dijadikan pedoman atau acuan para pejabat negara atau pihak yang berkepentingan yang bukan pejabat negara dalam menjalankan tugas dan fungsi masing-masing dan/atau dapat ditransformasikan menjadi peraturan perundangundangan nasional yang mengikat secara hukum dan/atau peraturan lain yang bersifat petunjuk pelaksanaan tugas. 21. "Hukum lunak" tersebut pada umumnya tertuang dalam instrumen internasional (deklarasi, ketentuan, prinsip, pedoman, dan sebagainya) dan yang diterima dan/atau diproklamasikan oleh MUPBB, atau badan PBB lainnya, badan khusus, atau konferensi internasional yang penyelenggaraannya disponsori oleh PBB. Di bawah ini dicatat sebagian "hukum lunak" termaksud dari demikian banyak "hukum lunak", khususnya yang pembuatannya disponsori oleh PBB ("hukum lunak" yang berkenaan dengan administrasi pengadilan saja dan yang pembuatannya disponsori oleh PBB berjumlah enam belas). 22. Karena terlampau banyak untuk disebut semua, di bawah ini hanya dicatat sejumlah "hukum lunak" yang dapat dianggap sebagai "turunan" KIHESB dan/atau KIHSP (karena dibuat sesudah dibuatnya kedua kovenan ini pada 16 Desember 1966 dan dirujuknya pokok-pokok relevan kedua instrumen tersebut dalani paragrafparagraf preambuler dan/atau ketentuan-ketentuan operatif "hukum lunak"), terutama', yang berkenaan dengan administrasi peradilan: (a) Dekiarasi tentang Perlindungan Perempuan dan Anak dalam Situasi Darurat dan Konflik Bersenjata (diproklamasikan oleh MUPBB dengan resolusi 3318(XXIX) - tertanggal 14 Desember 1974); (b) Standar Minimum Ketentuan bagi Perlakuan Orang yang Dipenjarakan (diterima oleh Kongres PBB I tentang Pencegahan Kejahatan dan Perlakuan terhadap Pelaku Kejahatan, Jenewa, 1955, dan disetujui oleh Dewan Ekonomi dan Sosial [PBB] dengan resolusi 663C(XXIV) tertanggal 31 Juli 1957 dan 2076(LXII) tertanggal 13 Mei 1977; (c) Kode Perilaku Pejabat Penegak Hukum (diterima oleh MUPBB dengan resolusi 34/169 tertanggal 17 Desember 1979); (d) Dekiarasi tentang Penghapusan Segala Bentuk Ketidaktoleransian dan Diskriminasi yang Didasarkan pada Agama atau Kepercayaan (diproklamasikan oleh MUPBB tertanggal 25 November 1981); (e) Penjagaan (Safeguards) untuk Menjamin Perlindungan Hak Orang yang Menghadapi Hukuman Mati (diterima oleh Dewan Ekonomi dan Sosial [PBB] dengan resolusi 1984/50 tertanggal 25 Mei 1984); (f) Ketentuan Standar Minimum Perserikatan Bangsa-Bangsa bagi Pengadministrasian Peradilan Anak ("Ketentuan Beijing") (diterima oleh MUPBB dengan resolusi 40/33 tertanggal 29 November 1985); (g) Prinsip Dasar tentang Independensi Peradilan (diterima oleh Kongres PBB VII tentang Pencegahan Kejahatan dan Perlakuan terhadap Pelaku Kejahatan, Milan, 26 Agustus-6"September 1985 dan dikukuhkan oleh MUPBB dengan resolusi 40/32 tertanggal 29 November 1985 dan 40/146 tertanggal 13 Desember 1985); (h) Dekiarasi tentang Prinsip Sosial dan Legal mengenai Perlindungan dan Kesejahteraan Anak, dengan Rujukan Khusus pada Penempatan

12 Pengangkatan dan Adopsi secara Nasional dan Internasional) (diterima MUPBB dengan resolusi 41/85 tertanggal 3 Desember 1986); (i) Kumpulan Prinsip bagi Perlindungan Semua Orang yang Berada dalam Penahanan atau Pemenjaraan dalam Bentuk Apa pun (diterima oleh MUPBB dengan resolusi 43/173 tertanggal 9 Desember 1988); (j) Prinsip Dasar bagi Perlakuan terhadap Orang yang Dipenjarakan (diterima oleh MUPBB dengan resol.usi 45/111 tertanggal 14 Desember 1990); (k) Prinsip Dasar tentang Penggunaan Kekuatan dan Senjata Api oleh Pejabat Penegak Hukum (diterima oleh Kongres PBB VIII tentang Pencegahan Kejahatan dan Perlakuan terhadap Pelaku Kejahatan, Havana, Kuba, 27 Agustus-7 September 1990); (1) Prinsip Dasar tentang Peran Pengacara (diterima oleh Kongres PBB VIII tentang Pencegahan Kejahatan dan Perlakuan terhadap Pelaku Kejahatan, Havana, Kuba, 27 Agustus-7 September 1990); (m) Pedoman Perserikatan Bangsa-Bangsa bagi Pencegahan Kejahatan Anak ("Pedoman Riyadh") *(diterima dan diproklamasikan oleh MUPBB dengan resolusi 45/112 tertanggal 14 Desember 1990); (n) Ketentuan Perserikatan Bangsa-Bangsa bagi Perlindungan Anak yang Diambil Kebebasannya (diterima oleh MUPBB dengan resolusi 45/113 tertanggal 14 Desember 1990); (o) Deklarasi tentang Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa (diterima oleh MUPBB dengan resolusi 47/133 tertanggal 18 Desember 1992); (p) Deklarasi tentang Hak Orang yang Termasuk Minoritas Rumpun Bangsa atau Etnis, Keagamaan, dan Bahasa (diterima oleh MUPBB dengan resolusi 47/135 tertanggal 18 Desember 1992). 23. "Hukum lunak" yang disebut dalam para 22 di atas hanya nieliputi sebagai "hukum lunak" yang berkenaan dengan pengadministrasian peradilan dan yang berkenaan dengan beberapa tema lain hak asasi dan kebebasan fundamental. "Hukum lunak" yang menyangkut tema lain, seperti tema yang berkenaan dengan tema kesejahteran, kemajuan, dan pembangunan sosial, tidak disebut, untuk menghindari terlampau panjangnya daftar. Di samping itu, sudah tentang masih terdapat banyak "hukum lunak" yang dibuat sesudah 1992 yang juga tidak disebut dalam para 22 di atas karena pertimbangan yang sama. 10 IV. PERKEMBANGAN SEJAK adalah tahun yang dapat dianggap sebagai tahun berakhirnya "perang dingin", karena pada 1989 itulah diruntuhkannya tembol Berlin yang merupakan lambang "perang dingin". Berakhirnya "perang dingin" membawa implikasi perkembangan politis drastis di Eropa Timur, terutama dengan dibubarkannya Pakta Warsawa, disintegrasi Uni Soviet yang mengakibatkan republikrepublik yang semula menjadi komponen Uni Soviet memisahkan diri dan menjadi negara-negara merdeka, serta ditinggalkannya sosialisme sebagai landasan

13 politik dan ekonomi oleh negaraneggara.di Eropa Timur. Sepanjang yang menyangkut hak asasi dan kebebasan fundamental dapat dicatat perkembangan berikut yang berlangsung di tingkat nasional dan internasional: (a) Di tingkat nasional dapa - dicatat pemberian perhatian terhadap pernghormatan dan perlindungan hak asasi dan kebebasan fundamental terutama di negara-negara yang sebelumnya menganut sistem sosialisme; dan (b) Di tingkat internasional meningkatnya penekanan pada permasalahan hak asasi inanusia dan kebebasan fundamental dalam hubungan antarbangsa. 25. Pergeseran juga terjadi dalam hubungan bilateral antara negara-negara Barat dan negara-negara berkembang. Selama "perang dingin" perhatian negaranegara Barat terhadap permasalahan hak asasi dan kebebasan fundamental sering ditundukkan pada kepentingan dalam hubunngan dengan "perang dingin", yakni berpihaknya negara yang bersangkutan pada Barat, meskipun rekaman jejak (track records) penghormatan dan perlindungan hak asasi dan kebebasan fundamental negara yang bersangkutan tidak baik. 26. Sangat meningkatnya perhatian komunitas internasional pada komitmen guna menghormati dan melindungi hak asasi dan kebebasan fundamental juga tercermin dalam meningkat drastisnya jumlah negara yang menjadi pihak pada KIHESB 1966 dan KIHSP 1966 sebagaimana dapat dicatat sebagai berikut: (a) Sampai 1990 (atau 24 tahun sejak dibuatnya kedua kovenan tersebut): (i) Jumlah negara pihak pada KIHESB: 91; (ii) Jumlah negara pi.hak pada KIHSP: 99; (b) Pertambahan negara yang menjadi pihak selama kurun waktu waktu (atau selama 14 tahun): (i) Pada KIHESB: 61 (sehingga jumlah negara pihak pada KIHESB menjadi 152 pada 2005); (ii) Pada KIHSP: 56 (sehingga jumlah negara pihak pada KIHSP menjadi 155 pada 2005). KONFERENSI SEDUNIA TENTANG HAM, Indikasi lain yang menunjukkan bahwa hak asasi dan kebebasan fundamental tidak lagi merupakan pertikaian (contention) hubungan Barat-Timur khususnya (setelah berakhirnya "perang dingin") dan mengemukanya hak asasi dan kebebasan fundamental dalam hubungan internasional secara keseluruhan adalah terselenggaranya Konferensi Sedunia tentang. HAM (World Conference on Human Rights) di Wina pada Juni Konferensi Sedunia 1933 tersebut, yang menghasilkan Deklarasi dan Program Aksi Vienna (Vie.nna Declaration and Programme of Action), yang terdiri atas 16 paragra - f preambuler, 39 pasal Deklarasi, dan 100 pasal Program Aksi, menetapkan beberapa pokok tersebut di bawah ini yang sangat dasar sifatnya dalam perkembangan penghormatan dan perlindungan hak asasi dan kebebasan

14 fundamental: (a) Penegasan tanggung jawab semua negara, sesuai dengan Piagam PBB, untuk mengembangkan dan mendorong penghormatan hak manusia dan kebebasan fundamental bagi semua, tanpa pembedaan ras, jenis kelamin, bahasa, atau agaria (paragraf preambuler kelima); (b) Penegasan bahwa semua HAM adalah universal (universal), tidak terbagi (indivisable), saling bergantung (interdependent), dan saling berkait (interrelated) (Pasal 5 Deklarasi). 29. Benar bahwa dokumen Wina tersebut dalam para 28 di atas bukan dokumen yuridis sehingga negara-negara tidak terikat padanya. Namun demikian, dokumen Wina tersebut mempunyai arti politis yang sangat penting bagi kerja sama internasional guna meni_ngkatkan penghormatan dan perlindungan hak asasi dan kebebasan fundamental. Signifikansi dua pokok dokumen Wina yang dikutip dalam para 28 di atas adalah sebagai berikut: (a) Penegasan yang tersebut pertama mengingatkan semua negara akan tanggung jawabnya menurut hukum internasional untuk mengembangkan dan mendorong penghormatan hak asasi dan kebebasan fundamental di wilayah kekuasannya masing-masing tanpa diskriminasi; (b) Penegasan kedua yang mengakhiri polemik tentang klaim adanya nilai-nilai regional yang tidak harus sama satu dengan lainnya. Pokok tersebut dalam para 28(b) di atas jelas-jelas menegaskan pendirian komunitas internasional sifat-sifat HAM, yakni universalitas, tidak terbagi, saling bergantung, dan saling be rkait. V. KEJAHATAN MENURUT HUKUM INTERNASIONAL 30. Memang, sampai sekarang, tidak ada instrumen internasional yang memuat definisi "kejahatan menurut hukum internasional" (crimes under international law) atau "kejahatan internasional" (international crimes). Meskipun demikian, pengertian konsep ini, yaitu konsep bahwa suatu kejahatan dianggap sebagai kejahatan menurut hukum internasional atau kejahatan internasional, dapat dilakukan dengan mengidentifikasi karakteristik kejahatan yang bersangkutan serta konsep hukum internasional dan kesepakatan komunitas internasional dalam penanganan kejahatan demikian. Pengidentifikasian demikian dapat dilakukan dengan menyimak berbagai instrumen yuridis sejak Piagam Tribunal Militer Internasional (Charter of the International Military Tribunal) 8 Agustus 1945 (yang juga dikenal publik dengan sebutan "Piagam Tribunal Nuerenberg", karena sidang-sidangnya yang diadakan di Nuerenberg, Jerman) sampai Statuta (Roma) Mahkamah Pidana Internasional ([Rome] Statute of the International - Criminal Court) 17 Juli 1998 sertacesepatcatan komunitas internasional, terutama PBB dalam penanganan kejahatan yang bersangkutan.

15 A. PIAGAM TRIBUNAL MILITER INTERNASIONAL, Piagam Tribunal Militer Internasional (TMI) yang.t dilampirkan pada Persetujuan bagi Penuntutan dan Penghukuman Penjahat Perang Utama (dari) Poros Eropa (Agreement for the Prosecution and Punishment of the Major War Criminals od the European Axis), yang dibuat di London pada 8 Agustus 1945 (jadi sebelum adanya Piagam PBD 24 Oktober 1945), menetapkan, antara lain, pokbkpokok berikut: (a) Pemberlakuan. Piagam TMI secara retroaktif: Meskipun tidak expressis verbis, penetapan kewenangan TMI untuk mengadili dan menghukum penjahat perang utama (dari) Poros Eropa pada hakikatnya menetapkan pemberlakuan retroaktif Piagam TMI, karena augaan kejahatan yang dilakukan yang bersangkutan berlangsung selama Perang Dunia II sudah berakhir pada 7 Mei 1945 (di kawasan Eropa; di kawasan Asia-Pasifik pada 14 Agustus 1945); (chapeau, kalimat pertama); (b) Tanggung jawab individual: Piagam TMI mengintroduksikan konsep baru, meskipun berlingkup terbatas, yakni konsep individu sebagai subjek hukum internasional dengan menetapkan bahwa kejahatan yang berada di bawah yurisdiksi TMI merupakan tanggung jawab individual pelaku yang bersangkutan (chapeau, kalimat kedua) dan, sesuai dengan konsep ini, terdakwa yang bertindak berdasarkan perintah pemerintah atau atasannya tidak membebaskannva dari tanggung jawab (namun dapat dipertimbangkan dalam peringanan hukuman (Pasal 8); (c) Jenis kejahatan yang termasuk yurisdiksi TMI: Tanpa menyebutnya sebagai kejahatan menurut hukum internasional atau kejahatan internasional, tiga jenis atau kategori kejahatan tersebut di bawah ini dinyatakan sebagai ll jenis atau kategori kejahatan yang termasuk yurisdiksi TMI: (i) Kejahatan terhadap perdamaian (crimes against peace); (ii) Kejahatan perang (war crimes); dan (iii) Kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity); (d) Posisi resmi terdakwa tidak membebaskannya dari tanggung jawab: Posisi resmi terdakwa, baik sebagai kepala negara maupun sebagai pejabat yang bertangg'ing jawab dalam suatu instansi pemerintahan tidak akan dipertimbangkan sebagai alasan pembebasan tanggung jawab atau peringanan hukuman (Pasal 7). B. KONVENSI TENTANG PENCEGAHAN DAN PENGHUKUMAN KEJAHATAN GENOSIDA, Konvensi ini, yang disetujui dan diusulkan oleh MUPBB untuk ditandatangani, iratifikasi, atau diaksesi dengan resolusi 260A(III) tertanggal 9 Desember 1948, merujuk dalam salah satu paragraf preambulernya (paragraf preambuler pertama) resolusi MUPBB 96(I) tertanggal 11 Desember 1946 yang menyatakan

16 bahwa "genosida adalah kejahatan menurut hukum internasional, (huruf tebal oleh penulis) bertentangan dengan semangat dan tujuan Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan dikutuk oleh dunia beradab". 33. Dengan demikian dapat dicatat bahwa resolusi MUPBB 96(I) tertanggal 11 Desember 1946 itulah instrumen internasional yang riencerminkan sikap komunitas internasional yang menyatakan bahwa genosida adalah "kejahatan menurut hukum internasional". C. PASAL 15 AYAT 2 KIHSP Pasal 15 ayat 2, yang merupakan ketentuan pengecualian terhadap konsep legalitas atau nonretroaktivitas yang tercantum dalam ayat 1, menyatakan dapat diadili dan dihukumnya seseorang karena melakukan suatu perbuatan atau tidak melakukan perbuatan (omission) yang, pada saat dilakukannya perbuatan itu, perbuatan tersebut adalah perbuatan pidana "menurut prinsip umum hukum yang diakui oleh komunitas bangsa-bangsa" (huruf tebal oleh penulis). Pasal 15 ayat 2 KIHSP berbunyi selengkapnya sebagai berikut: "2. Tidak sesuatu pun dalam pasal ini boleh mengganggu pengadilan dan penghukuman seseorang karena suatu tindak atau karena tidak melakukan suatu tindak yang, pada saat dilakukan atau tidak dilakukannya tindak tersebut, adalah tindak pidana menurut prinsip umum hukum yang diakui oleh komunitas bangsa-bangsa." ("2. Nothing in this article sdhall prejudice the trial and punishment of any person for any act or omission which, at the time when it was committed, was criminal according to the general principles of law recognized by the community of nations.'). 34. Pasal 15 ayat 2 KIHSP tersebut, pada hakikatnya, membenarkan diberlakukannya secara retroaktif ketentuan hukum pidana dengan ketentuan bahwa perbuatan yang bersangkutan, pada waktu dilakukan, merupakan perbuatan pidana menurut prinsip umum-hukum yang diakui oleh komunitas bangsa-bangsa. Konsep ini mengukuhkan penerapan retroaktif Piagam TMI 1945, karena berbagai tindak yang termasuk salah satu jenis atau kategori kejahatan yang termasuk yurisdiksi TMI, seperti perang agresi dan perang dengan melanggar perjanjian internasional (kejahatan terhadap perdamaian), pelanggaran hukum dan kebiasaan perang (kejahatan perang), serta pembunuhan, pemusnahan, pembudakan, deportasi, tindak tak manusiawi lain terhadap penduduk sipil, persekusi atas dasar politis, rasial, atau keagamaan (kejahatan terhadap kemanusiaan), merupakan tindak yang oleh komunitas bangsa-bangsa diakui sebagai bersifat pidana, kapan pun tindak itu dilakukan. D. STATUTA TRIBUNAL KRIMINAL INTERNASIONAL UNTUK BEKAS YUGOSLAVIA, Sebagaimana halnya Tribunal Nuerenberg (International Military Tribunal), 1945 dan Tribunal militer Tokyo (International Military Tribunal for the Far East),1948

17 Tribunal untuk Bekas Yugoslavia juga diberi nama Tribunal lnternasional dengan nama lengkap Tribunal Kriminal untuk Bekas Yugoslavia (International Criminal Tribunal for Former Yugoslavia - ICTY), yang diputuskan pembentukannya oleh Dewan Keamanan PBB (DKPBB) pada 1993 (resolusi S/RES/808 (1993) tertanggal 22 Februari 1993 dan yang statutanya diterima oleh DKPBB pada 1993 itu juga (resolusi S/RES/827 (1993) tertanggal 25 Mei 1993). 33. Resolusi DKPBB S/RES/808 tertanggal 22 Februari 1993 yeng memutuskan pembentukan ICTY menetapkan "penuntutah(,orang yang bertanggung jawab atas pelanggaran berat hukum humaniter internasional yang dilakukan di wilayah bekas Yugoslavia sejak 1991" (huruf tebal oleh penulis). Kewenangan demikian dinyatakan [lagi] dalam Statuta ICTY yang diterima oleh DKPBB dengan resolusi S/RES/827 (1993 tertanggal 25 Mei 1993 (lihat para 32 di atas), yakni dalam Pasal 1 yang berjudul "Kewenangan Tribunal Internasional". 34. Selanjutnya, Pasal 2-Pasal 5 menetapkan jenis atau kategori kejahatan yang termasuk "kekuasaan" (power) ICTY, yakni: (a) Pelanggaran berat Konvensi-konvensi Jenewa 1949 (Grave breaches of the Geneva Convenstions of 1949) (Pasal 2); (b) Pelanggaran hukum atau kebiasaan perang (Violations of the laws or customs of war) (Pasal 3); (c) Genosida (Genocide) (Pasal 4); dan (d) Kejahatan terhadap kemanusiaan (Crimes against humanity) dalam hal''perbuatan [pidana] yang termasuk kategori kejahatan terhadap kemanusiaan ini dilakukan dalam konflik bersenjata (Pasal 5). 35. Ditafsirkan secara ketat, mandat ICTY sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 Statutanya, sesungguhnya hanya meliputi kategori kejahatan sebagaimana tersebut dalam para 34(a) (pelanggaran berat Konvensi-konvensi Jenewa. 1949) dan 34(b) di atas (pelanggaran hukum atau kebiasaan perang), karena keduanya inilah yang merupakan pelanggaran berat hukum humaaiter internasional (serious violations of international humanitarian law). Dengan demikian, di samping pelanggaran berat hukum humaniter internasional, ICTY diberi kewenangan juga menangani kategori kejahatan yang bukan merupakan pelanggaran (berat) hukum humaniter internasional melainkan pelanggaran (berat) hukum HAM internasional, i.c. genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. 36. Sebagaimana halnya dengan Statuta Tribunal Nuerenbetg1945 dan Tribunal Tokyo 1946, Statuta ICTY juga berlaku retroaktif, karena meliput kejahatan yang terjadi di wilayah bekas Yugoslavia sejak 1991 (lihat Pasal 1), padahal Statuta ICTY baru berlaku sejak 25 Mei 1993 (lihat supra, para 32). 37. Konsep tanggung jawab [kriminal] individual, yang diintroduksikan oleh Statuta TMI 1945 dan Tribunal Tokyo 1946, juga dianul oleh Statuta ICTY 1993 (lihat Pasal 7).

18 E. STATUTA TRIBUNAL INTERNASIONAL UNTUK RWANDA, Keputusan DKPBB untuk membentuk dan menerima Statuta Tribunal Internasional untuk Rwanda (yang nama lengkapnya "International Criminal Tribunal for the Prosecution of Persons Responsible for Genocide and Other Serious Violations of International Humanitarian Law Committed in the Territory of Rwanda and Rwndan citizens responsible for genocide and other such violations committed in the territory of neighbouring States, between 1 January 1994 and 31 December 1994 dengan akronim "resmi" "The International Tribunal for Rwanda" namun yang lebih terkenal dengan "ICTR" sebagai akronim "International Criminal Tribunal for Rwanda diambil pada 8 November 1994 dengan resolusi S/RES/ Baik dari resolusi DKPBB tentang pembentukan dan penerimaan Statuta ICTY dan dari Statuta ICTR itu sendiri dapat dicatat beberapa karakteristik berikut yang, beberapa di antaranya, juga menjadi ciri Statuta TMI 1945 dan Statuta ICTY 1993: (a) Pemberlakuan retroaktif instrumen hukum yang bersangkutan: Pemberlakuan retroaktif Statuta ICTR dapat dicatat hal bahwa instrumen yuridis ini diterima oleh DKPBB pada 8 Nr.vember 1994 (lihat para 38 di atas) sedangkan peristiwa yangrtermasuk yurisdiksi ICTR,adalah pelanggaran yang sebagian besar waktu terjadi sebelum 8 November 1994, yakni yang terjadi antara 1 Januari 1994 sampai dengan 31 Desember 1994; (b) Kewenangan ICTR mencakup dua jenis atau dua kategori kejahatan, yakni, pertama, pelanggaran berat hukum humaniter internasional (lihat paragraf operatif 1 resolusi DKPBB S/RES/955) dan, kedua, jenis kejahatan yang tidak termasuk kategori pelanggaran berat hukum humaniter internasional melainkan yang sudah dinyatakan sebagai kejahatan menurut hukum internasional, i.c. genosida (lihat paragraf operatif 1 resolusi S/RES/955 dan Pasal 1 Statuta) dan yang pernah termasuk yurisdiksi pengadilan internasional sebelumnya (TMI 1945 dan/atau ICTY 1993), yakni genosida (lihat para operatif 1 resolusi S/RES/955 serta Pasal 1 Statuta (pelanggaran berat hukum humaniter internasional), Pasal 2 (genosida), dan Pasal 3 (kejahatan terhadap kemanusiaan); (c) Penetapan konsep yang juga sudah diterapkan oleh TMI 1945 dan ICTY 1993, yakni konsep tanggung jawab pidana individual (individual criminal responsibility). F. STATUTA [ROMA] MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL, Disponsori oleh PBB, di Roma, Italia, pada 15 Juni sampai dengan 17 Juli 1998, diselenggarakan Konferensi Diplomatik PBB untuk membentuk sebuah mahkamah pidana internasional yang bersifat independen dan permanen dengan yurisdiksi terhadap "kejahatan paling berat yang menjadi urusan komunitas internasional secara keseluruhan" (the most serious crimes of concern to the internationai community as a whole).

19 41. Akhirnya, pada 17 Juli 1998, konferensi yang dihadiri menerima instrumen hukum internasional yang menjadi dasar pembentukan mahkamah pidana internasional sebagaimana disebut dalam para 40 di atas dengan nama Statuta [Roma] Mahkamah Pidana Internasional [Rome Statute of tha International Criminal Court - ICC), yang mulai berlaku pada 1 Juli Anfara ICC dan tribunal-tribunal internasional ad hoc yang pernah dibentuk atau yang'masih berfungsi (TMI 1945, Tribunal Toyko 1948, ICTY 1993, dan ICTR 1994) dapat dicatat perbedaan dan persamaan berikut: (a) ICC bersifat ermanen, sedangkan tribunal-tribunal internasional ad hoc yang dibentuk atau pernah dibentuk sebelumnya bersifat sementara; (b) Akta konstitutif, i.c. Statuta, ICC berlaku untuk kejahatan yang termasuk yurisdiksi ICC yang terjadi setelah [mulai] berlakunya Statutanya, jadi terhitung mulai 1 Juli 2002, dan tidak berlaku atau tidak dapat diberlakukan secara retroaktif sebagaimana halnya akta-akta konstitutif tribunal-tribunal internasional yang dibentuk atau pernah dibentuk sebelumnya; (c) Akta konstitutif ICC tertuang dalam instrumen hukum internasional, i.c perjanjian internasional, yang untuk menjadi pihak padanya, negara-negara yang bersangkutan harus melakukan dua tindak, yakni,,pertama, di tingkat nasional, dengan mengesahkannya menurut prosedur konstitusionalnya masing-masing dan, kedua, dengan menimpankan piagam ratifikasi, penerimaan, persetujuan,"atau aksesi (Persetujuan London 8 Agustus 1945 yang menetapkan dan melampirkan Piagam TMI - lihat supra, para 31 -, meskipun juga berhentuk perjanjian internasional namun disetujui oleli negara-negara pembuat dan negara-negara pihaknya untuk mulai berlaku sejak penandatanganannya, yakni 8 Agustus Statuta ICTY 1993 dan Statuta ICTR 1994 ditetapkan oleh DKPBB dengan resolusi, jadi tidak dalam bentuk perjanjian internasional yang memerlukan proses pengesahan di tingkat nasional serta proses ratifikasi, penerimaan, persetujuan, atau aksesi di tingkat internasional. Meskipun demikian, semua anggota PBB dituntut untuk mematuhi keputusan DKPBB); (d) Penegasan bahwa setiap negara berkewajiban untuk menerapkan yurisdiksi pidana terhadap mereka yang bertanggung jawab atas kejahatan internasional (pernyataan demikian tidak ada dalam instrumen konstitutif tribunal-tribunal internasional ad hoc yang ada atau pernah ada sebelumnya); (e) ICC bersifat melengkapi (complementary) yurisdiksi pidana nasional (sama halnya dengan yang tersebut (d) di atas); (f) Kategori atau jenis kejahatan yang termasuk yurisdikdiksi ICC sebagaimana disebut dalam batang tubuh Statutanya diklasifikasikan sebagai "kejahatan paling berat yang menjadi urusan komunitas internasional secara keseluruhan" (the most serious crimes of concern to the international community as a whole) ((fialam instrumen konstitutif TMI 1945, ICTY 1993, dan ICTR 1994 hanya disebut kategori atau jenis kejahatan yang termasuk yurisdiksi masing-masing tanpa mengklasifikannya secara umum); (g) Kategori atau jenis kejahatan yang termasuk yurisdikdiksi ICC sebagaian sama dengan yang termasuk dalam yurisdiksi TMI 1945, ICTY 1993, dan/atau ICTR Empat kategori atau (i) Kejahatan genosida (juga termasuk dalam Statuta ICTY 1993 dan Statuta ICTR 1994 (lihat supra, para 34 dan para 39(b) ); (ii) Kejahatan terhadap kemanusiaan (juga termasuk dalam Piagam TMI 1945, Statuta ICTY, dan Statuta ICTR 1994); (iii) Kejahatan perang (juga termasuk dalam mandat TMI 1945, ICTY 1993 (dengan istilah "pelanggaran hukum dan kebiasaan perang), tetapi tidak

20 termamandat ICTR 1994 (mengenai mandat yang menyangkut pelanggaran bera' hukum humaniter internasional Statuta ICTR 1994 menujuk secara khusus [pelanggaran] Pasal 3 yang sama pada Konvensikonvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan II, 1977); (iv) Kejahatan dgresi (tidak termasuk mandat TMI 1945, ICTY 1993, atau ICTR 1994); (h) Penetapan konsep tanggung jawab kriminal individial (yang juga dianut oleh TMI 1945, ICTY 1993, dan ICTR 1994). G. KARAKTERIS1'1K UMUM KEJAHATAN YANG TERMASUK YURISDIKSI PENGADILAN INTERNASIONAL SEJAit TMr 1945 SAMPAT DENGAN ICC Dari instrumen konstitutif pengadilan-pengadilan internasional yang pernah ada atau yang ada sejak 1945 (TMI 1945, ICTY 1993, ICTR 1994, ICC 1998) sebagaimana dirujuk dalam supra, para dan para 35-42, dapat dicatat karakteristik umum mengenai kewenangan pengadilan-pengadilan internasional tersebut, khususnya yang.._berkenaan dengan.. yurisdiksi materiil (ratione materiae), yurisdiksi personal (ratione personae), yurisdiksi temporal (ratione temporis), dan kewajiban komunitas internasional sebagai berikut: (a) Yurisdiksi materiil: Jenis atau kategori kejahatan yang termasuk yurisdiksi pengadilanpengadilan internasional tersebut adalah jenis atau kategori kejahatan yang niat, bentuk tindak, dan akibatnya mengguncang secara sangat dalam hati nurani manusia yang beradab dan yang dipandang sebagai kepentingan komunitas internasional secara l eseluruhan untuk menuntut dan menghukum pelakunya, yakni: (i) Kejahatan terhadap perdamaian; (ii) Kejahatan perang; (iii) Pelanggaran berat hukum humaniter internasional; (iv) Kejahatan genosida; (v) Kejahatan terhadap kemanusiaan; (b) Yurisdiksi personal: Dikukuhkannya konsep tanggung jawab kriminal individual dalam hal terjadinya kejahatan sebagaimana disebut dalam huruf (a) d1i atas; (c) Yurisdiksi temporal: Dapat diberlakukannya secara retroaktif ketentuan yang relevan untuk kasus tertentu melalui pengadilan internasional yang bersifat ad hoc, bukan yang bersifat permanen; (d) Kewajiban negara: Kewajiban penuntutan dan penghukuman pelaku kejahatan sebagaimana tersebut dalam huruf (a) di atas merupakan kewajiban semua negara (erga omnes). 44. Meskipun hanya kejahatan genosida yang oleh MUPBB secara eksplisit diklasifikasikan sebagai "kejahatan menurut hukum internasional" (resolusi 96(I) tertanggal 11 Desember 1946

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA)

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON CIVIL AND POLITICAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK) DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Maksud, Tujuan dan Kerangka Penulisan Buku...3 BAGIAN I BAB I EVOLUSI PEMIKIRAN DAN SEJARAH PERKEMBANGAN HAK ASASI MANUSIA...

DAFTAR ISI. Maksud, Tujuan dan Kerangka Penulisan Buku...3 BAGIAN I BAB I EVOLUSI PEMIKIRAN DAN SEJARAH PERKEMBANGAN HAK ASASI MANUSIA... Daftar Isi v DAFTAR ISI DAFTAR ISI...v PENGANTAR PENERBIT...xv KATA PENGANTAR Philip Alston...xvii Franz Magnis-Suseno...xix BAGIAN PENGANTAR Maksud, Tujuan dan Kerangka Penulisan Buku...3 BAGIAN I BAB

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2005 TENTANG (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2005 TENTANG (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON CIVIL AND POLITICAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK) DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 119, 2005 AGREEMENT. Pengesahan. Perjanjian. Hak Sipil. Politik (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA)

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA)

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2005 TENT ANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON CIVIL AND POLITICAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK) DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN. tuntutan. Jadi peradilan internasional diselenggarakan untuk mencegah pelaku

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN. tuntutan. Jadi peradilan internasional diselenggarakan untuk mencegah pelaku 55 BAB III KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Setelah diuraikan dalam bab-bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa Peradilan internasional baru akan digunakan jika penyelesaian melalui peradilan nasional

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2005 TENT ANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON CIVIL AND POLITICAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK) DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON CIVIL AND POLITICAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK) DENGAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hukum Humaniter Internasional bertujuan untuk memanusiawikan perang agar korban

BAB I PENDAHULUAN. Hukum Humaniter Internasional bertujuan untuk memanusiawikan perang agar korban BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Hukum Humaniter Internasional bertujuan untuk memanusiawikan perang agar korban akibat perang seminimal mungkin dapat dikurangi. Namun implementasinya,

Lebih terperinci

INTERNATIONAL MILITARY TRIBUNAL NUREMBERG

INTERNATIONAL MILITARY TRIBUNAL NUREMBERG PENGADILAN HAM A. INTERNATIONAL MILITARY TRIBUNAL (IMT) NUREMBERG B. INTERNATIONAL MILITARY TRIBUNAL FOR THE FAR EAST (IMTFE TOKYO C. INTERNATIONAL TRIBUNAL FOR THE PROSECUTION OF PERSONS RESPONSIBLE FOR

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 1999 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION ON THE ELIMINATION OF ALL FORMS OF RACIAL DISCRIMINATION 1965 (KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PENGHAPUSAN

Lebih terperinci

4/8/2013. Mahkamah Pidana Internasional

4/8/2013. Mahkamah Pidana Internasional Mahkamah Pidana Internasional Sekilas tentang Mahkamah Pidana Internasional (ICC) Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court - ICC) didirikan berdasarkan Statuta Roma tanggal 17 Juli 1998,

Lebih terperinci

MENEGAKKAN TANGGUNG JAWAB MELINDUNGI: PERAN ANGGOTA PARLEMEN DALAM PENGAMANAN HIDUP WARGA SIPIL

MENEGAKKAN TANGGUNG JAWAB MELINDUNGI: PERAN ANGGOTA PARLEMEN DALAM PENGAMANAN HIDUP WARGA SIPIL MENEGAKKAN TANGGUNG JAWAB MELINDUNGI: PERAN ANGGOTA PARLEMEN DALAM PENGAMANAN HIDUP WARGA SIPIL Resolusi disahkan oleh konsensus* dalam Sidang IPU ke-128 (Quito, 27 Maret 2013) Sidang ke-128 Inter-Parliamentary

Lebih terperinci

Konvensi Internasional mengenai Penindasan dan Penghukuman Kejahatan Apartheid

Konvensi Internasional mengenai Penindasan dan Penghukuman Kejahatan Apartheid Konvensi Internasional mengenai Penindasan dan Penghukuman Kejahatan Apartheid disetujui dan terbuka untuk penandatanganan dan ratifikasi oleh Resolusi Majelis Umum 3068 (XXVIII) 30 November 1973 Negara-negara

Lebih terperinci

Pokok-pokok Isi Protokol Opsional pada Konvensi Menentang Penyiksaan

Pokok-pokok Isi Protokol Opsional pada Konvensi Menentang Penyiksaan 1 Pokok-pokok Isi Protokol Opsional pada Konvensi Menentang Penyiksaan I.PENDAHULUAN Konvensi menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat

Lebih terperinci

Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida

Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida Disetujut dan diusulkan untuk penandatanganan dan ratiftkasi atau aksesi dengan resolusi Majelis Umum 260 A (HI), 9 December 1948 Negara-negara

Lebih terperinci

Bab IX MEKANISME PENEGAKAN HUKUM HUMANITER

Bab IX MEKANISME PENEGAKAN HUKUM HUMANITER Bab IX MEKANISME PENEGAKAN HUKUM HUMANITER 9.1. Perkembangan Dalam Hukum Humaniter Salah satu aspek penting dari suatu kaidah hukum yaitu mengenai penegakannya (law enforcement). Suatu perangkat hukum

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN Y ANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN Y ANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1998 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION AGAINST TORTURE AND OTHER CRUEL, INHUMAN OR DEGRADING TREATMENT OR PUNISHMENT (KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.324, 2013 KEMENTERIAN PERTAHANAN. Hukum. Humaniter. Hak Asasi Manusia. Penyelenggaraan Pertahanan Negara. Penerapan. PERATURAN MENTERI PERTAHANAN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK SIPIL DAN POLITIK 1 MUKADIMAH

KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK SIPIL DAN POLITIK 1 MUKADIMAH KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK SIPIL DAN POLITIK 1 MUKADIMAH Negara-negara Pihak pada Kovenan ini, Menimbang bahwa, sesuai dengan prinsip-prinsip yang diproklamasikan pada Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa,

Lebih terperinci

ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM

ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM Diadopsi oleh Resolusi Sidang Umum PBB No. 34/169 Tanggal 17 Desember 1979 Pasal 1 Aparat penegak hukum di setiap saat memenuhi kewajiban yang ditetapkan oleh

Lebih terperinci

Tujuan pendirian Negara Indonesia tertuang dalam Pembukaan UUD 1945:

Tujuan pendirian Negara Indonesia tertuang dalam Pembukaan UUD 1945: Jakarta 14 Mei 2013 Tujuan pendirian Negara Indonesia tertuang dalam Pembukaan UUD 1945: a. Pertama, dimensi internal dimana Negara Indonesia didirikan dengan tujuan untuk melindungi segenap Bangsa Indonesia

Lebih terperinci

PENGADILAN PIDANA INTERNASIONAL

PENGADILAN PIDANA INTERNASIONAL PENGADILAN PIDANA INTERNASIONAL PENGADILAN PIDANA INTERNASIONAL AD HOC IMT NUREMBERG IMT TOKYO ICTY ICTR SIERRA LEONE CAMBODIA TIMOR TIMUR / INDONESIA IMT - NUREMBERG NOVEMBER 1945 SEPTEMBER 1946 22 TERDAKWA

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA I. UMUM Bahwa hak asasi manusia yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945, Deklarasi Universal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara-negara lain yang yang diderita oleh banyak orang di negara-negara lain

BAB I PENDAHULUAN. negara-negara lain yang yang diderita oleh banyak orang di negara-negara lain BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Praktek penyelenggaran negara dewasa ini berkembang ke arah demokrasi dan perlidungan Hak Asasi Manusaia (HAM). Masalah HAM mengemuka pada setiap kehidupan penyelenggaraan

Lebih terperinci

Hak Beribadah di Indonesia Oleh: Yeni Handayani * Naskah diterima: 4 Agustus 2015; disetujui: 6 Agustus 2015

Hak Beribadah di Indonesia Oleh: Yeni Handayani * Naskah diterima: 4 Agustus 2015; disetujui: 6 Agustus 2015 Hak Beribadah di Indonesia Oleh: Yeni Handayani * Naskah diterima: 4 Agustus 2015; disetujui: 6 Agustus 2015 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) menyebut istilah basic human rights (hak-hak asasi

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1998 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION AGAINST TORTURE AND OTHER CRUEL, INHUMAN OR DEGRADING TREATMENT OR PUNISHMENT (KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia, Copyright (C) 2000 BPHN UU 5/1998, PENGESAHAN CONVENTION AGAINST TORTURE AND OTHER CRUEL, INHUMAN OR DEGRADING TREATMENT OR PUNISHMENT (KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN

Lebih terperinci

PERANGKAT HAK ASASI MANUSIA LEMBAR FAKTA NO. 1. Kampanye Dunia untuk Hak Asasi Manusia

PERANGKAT HAK ASASI MANUSIA LEMBAR FAKTA NO. 1. Kampanye Dunia untuk Hak Asasi Manusia PERANGKAT HAK ASASI MANUSIA LEMBAR FAKTA NO. 1 Kampanye Dunia untuk Hak Asasi Manusia 1 KEPEDULIAN INTERNASIONAL TERHADAP HAK ASASI MANUSIA Kepedulian Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) terhadap kemajuan

Lebih terperinci

PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA

PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA Negara-Negara Pihak pada Protokol ini, Didorong oleh dukungan penuh terhadap Konvensi tentang Hak-Hak Anak, yang

Lebih terperinci

Hak Asasi Manusia dan Negara Hukum

Hak Asasi Manusia dan Negara Hukum Hak Asasi Manusia dan Negara Hukum Indonesia merupakan negara yang ikut dalam Deklarasi HAM, berimplikasi terhadap revisi Hukum melalui amandemen UUD 1945 dengan ditambahkannya Bab XA tentang HAM yang

Lebih terperinci

POKOK-POKOK HUKUM HAK ASASI MANUSIA INTERNASIONAL

POKOK-POKOK HUKUM HAK ASASI MANUSIA INTERNASIONAL Seri Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007 POKOK-POKOK HUKUM HAK ASASI MANUSIA INTERNASIONAL Rudi. M Rizki, SH, LLM Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat Jl Siaga II No 31 Pejaten Barat, Jakarta 12510

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2000 TENTANG PENGESAHAN ILO CONVENTION NOMOR 182 CONCERNING THE PROHIBITION AND IMMEDIATE ACTION FOR ELIMINATION OF THE WORST FORMS OF CHILD LABOUR (KONVENSI

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan kesimpulan dari pembahasan di atas mengenai. perlindungan pihak ICRC ditinjau dari Konvensi Jenewa 1949 dan

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan kesimpulan dari pembahasan di atas mengenai. perlindungan pihak ICRC ditinjau dari Konvensi Jenewa 1949 dan BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan kesimpulan dari pembahasan di atas mengenai perlindungan pihak ICRC ditinjau dari Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol tambahannya serta sumber hukum lain yang menguatkan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 1 TAHUN 2000 (1/2000) TENTANG PENGESAHAN ILO CONVENTION NOMOR 182 CONCERNING THE PROHIBITION AND IMMEDIATE ACTION FOR ELIMINATION OF THE WORST FORMS OF CHILD

Lebih terperinci

INSTRUMEN INTERNASIONAL HAK ASASI MANUSIA

INSTRUMEN INTERNASIONAL HAK ASASI MANUSIA INSTRUMEN INTERNASIONAL HAK ASASI MANUSIA HAM MERUPAKAN BAGIAN DARI HUKUM INTERNASIONAL SUMBER HUKUM INTERNASIONAL: (Pasal 38.1 Statuta Mahkamah Internasional) Konvensi internasional; Kebiasaan internasional

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 29 TAHUN 1999 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION ON THE ELIMINATION OF ALL FORMS OF RACIAL DISCRIMINATION 1965 (KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PENGHAPUSAN SEGALA BENTUK DISKRIMINASI

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI KEJAHATAN KEMANUSIAAN SEBAGAI BENTUK PELANGGARAN HAM BERAT MENURUT HUKUM INTERNASIONAL

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI KEJAHATAN KEMANUSIAAN SEBAGAI BENTUK PELANGGARAN HAM BERAT MENURUT HUKUM INTERNASIONAL BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI KEJAHATAN KEMANUSIAAN SEBAGAI BENTUK PELANGGARAN HAM BERAT MENURUT HUKUM INTERNASIONAL A. Pengertian Kejahatan Kemanusiaan Kejahatan terhadap kemanusiaan pertama kali muncul

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 1999 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION ON THE ELIMINATION OF ALL FORMS OF RACIAL DISCRIMINATION 1965 (KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PENGHAPUSAN

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LAMBANG PALANG MERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LAMBANG PALANG MERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG LAMBANG PALANG MERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia

Lebih terperinci

MAKALAH INDONESIAN HUMAN RIGHTS LEGISLATION. Oleh: Ifdhal Kasim Ketua Komnas HAM RI, Jakarta

MAKALAH INDONESIAN HUMAN RIGHTS LEGISLATION. Oleh: Ifdhal Kasim Ketua Komnas HAM RI, Jakarta PEMERKUATAN PEMAHAMAN HAK ASASI MANUSIA UNTUK HAKIM SELURUH INDONESIA Hotel Santika Makassar, 30 Mei 2 Juni 2011 MAKALAH INDONESIAN HUMAN RIGHTS LEGISLATION Oleh: Ifdhal Kasim Ketua Komnas HAM RI, Jakarta

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. 1. Yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional dalam Pasal 17 Statuta Roma

BAB V PENUTUP. 1. Yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional dalam Pasal 17 Statuta Roma BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional dalam Pasal 17 Statuta Roma merupakan wujud dari Prinsip Komplemeter dari badan yudisial tersebut. Pasal tersebut mengatur terhadap

Lebih terperinci

UNOFFICIAL TRANSLATION

UNOFFICIAL TRANSLATION UNOFFICIAL TRANSLATION Prinsip-prinsip Siracusa mengenai Ketentuan Pembatasan dan Pengurangan Hak Asasi Manusia (HAM) dalam Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik Annex, UN Doc E / CN.4 /

Lebih terperinci

BAB 5 PENUTUP. 5.1.Kesimpulan

BAB 5 PENUTUP. 5.1.Kesimpulan 99 BAB 5 PENUTUP 5.1.Kesimpulan Berbagai macam pernyataan dari komunitas internasional mengenai situasi di Kosovo memberikan dasar faktual bahwa bangsa Kosovo-Albania merupakan sebuah kelompok yang memiliki

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNASIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHT (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2005 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2005 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON CIVIL AND POLITICAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK) DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 57, 1999 KONVENSI. TENAGA KERJA. HAK ASASI MANUSIA. ILO. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik

Lebih terperinci

Norway, di Yogyakarta tanggal September 2005

Norway, di Yogyakarta tanggal September 2005 HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL DAN KEJAHATAN PERANG Dipresentasikan oleh : Fadillah Agus Disampaikan dalam Training, Training Hukum HAM bagi Dosen Pengajar Hukum dan HAM di Fakultas Hukum pada Perguruan

Lebih terperinci

K111 DISKRIMINASI DALAM PEKERJAAN DAN JABATAN

K111 DISKRIMINASI DALAM PEKERJAAN DAN JABATAN K111 DISKRIMINASI DALAM PEKERJAAN DAN JABATAN 1 K 111 - Diskriminasi dalam Pekerjaan dan Jabatan 2 Pengantar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) merupakan merupakan badan PBB yang bertugas memajukan

Lebih terperinci

HAK AZASI MANUSIA. Materi Perkuliahan Ilmu Politik FH Unsri. Vegitya Ramadhani Putri, MA, LLM

HAK AZASI MANUSIA. Materi Perkuliahan Ilmu Politik FH Unsri. Vegitya Ramadhani Putri, MA, LLM HAK AZASI MANUSIA Materi Perkuliahan Ilmu Politik FH Unsri Latar Historis dan Filosofis (1) Kepentingan paling mendasar dari setiap warga negara adalah perlindungan terhadap hak-haknya sebagai manusia.

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN OLEH TERORIS,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1999 TENTANG PENGESAHAN ILO CONVENTION NO. 111 CONCERNING DISCRIMINATION IN RESPECT OF EMPLOYMENT AND OCCUPATION (KONVENSI ILO MENGENAI DISKRIMINASI DALAM

Lebih terperinci

INSTRUMEN HUKUM MENGENAI HAM

INSTRUMEN HUKUM MENGENAI HAM INSTRUMEN HUKUM MENGENAI HAM Materi Perkuliahan HUKUM & HAM ke-6 INSTRUMEN HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI HAM Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa Universal Declaration of Human Rights, 1948; Convention on

Lebih terperinci

c. Menyatakan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27

c. Menyatakan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 RINGKASAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 006/PUU- IV/2006 TENTANG UNDANG-UNDANG NOMOR 27 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI TANGGAL 7 DESEMBER 2006 1. Materi muatan ayat, Pasal dan/atau

Lebih terperinci

Konvensi Munisi Tandan (CCM) tahun 2008

Konvensi Munisi Tandan (CCM) tahun 2008 Konvensi Munisi Tandan (CCM) tahun 2008 Perangkat Ratifikasi International Committee of the Red Cross 19 Avenue de la Paix, 1202 Geneva, Switzerland T +41 22 734 6001 F+41 22 733 2057 www.icrc.org KETAATAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA 1

KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA 1 KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA 1 MUKADIMAH Negara-Negara Pihak pada Kovenan ini, Menimbang bahwa, sesuai dengan prinsip-prinsip yang diproklamasikan dalam Piagam Perserikatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan pelaksanaan HAM lebih banyak dijadikan objek power game diantara blokblok

BAB I PENDAHULUAN. dan pelaksanaan HAM lebih banyak dijadikan objek power game diantara blokblok BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Promosi dan proteksi Hak Asasi Manusia (HAM) boleh dikatakan telah menjadi agenda internasional. Jika sebelumnya, selama lebih dari 40 tahun, ide dan pelaksanaan HAM

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT PANJA KOMISI III DPR-RI DENGAN KEPALA BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL (BPHN) DALAM RANGKA PEMBAHASAN DIM RUU TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA ---------------------------------------------------

Lebih terperinci

Telah menyetujui sebagai berikut: Pasal 1. Untuk tujuan Konvensi ini:

Telah menyetujui sebagai berikut: Pasal 1. Untuk tujuan Konvensi ini: LAMPIRAN II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

PEDOMAN TENTANG PERANAN PARA JAKSA. Disahkan oleh Kongres Perserikatan Bangsa-Bangsa. Kedelapan. Tentang Pencegahan Kejahatan dan Perlakukan terhadap

PEDOMAN TENTANG PERANAN PARA JAKSA. Disahkan oleh Kongres Perserikatan Bangsa-Bangsa. Kedelapan. Tentang Pencegahan Kejahatan dan Perlakukan terhadap PEDOMAN TENTANG PERANAN PARA JAKSA Disahkan oleh Kongres Perserikatan Bangsa-Bangsa Kedelapan Tentang Pencegahan Kejahatan dan Perlakukan terhadap Pelaku Kejahatan Havana, Kuba, 27 Agustus sampai 7 September

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara hukum ( rechtsstaat) dan bukan

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara hukum ( rechtsstaat) dan bukan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara hukum ( rechtsstaat) dan bukan sebagai negara yang berdasarkan atas kekuasaan ( machtsstaat). Tidak ada institusi

Lebih terperinci

Bab 3 Hak Asasi Manusia A. Pengertian HAM, HAM adalah hak dasar yang dimilki manusia sejak manusia dilahirkan. Ada dan melekat pada diri setiap

Bab 3 Hak Asasi Manusia A. Pengertian HAM, HAM adalah hak dasar yang dimilki manusia sejak manusia dilahirkan. Ada dan melekat pada diri setiap Bab 3 Hak Asasi Manusia A. Pengertian HAM, HAM adalah hak dasar yang dimilki manusia sejak manusia dilahirkan. Ada dan melekat pada diri setiap manusia dan bersifat Universal B. Jenis jenis HAM -Menurut

Lebih terperinci

BAB III INSTRUMEN INTERNASIONAL PERLINDUNGAN HAM PEREMPUAN

BAB III INSTRUMEN INTERNASIONAL PERLINDUNGAN HAM PEREMPUAN BAB III INSTRUMEN INTERNASIONAL PERLINDUNGAN HAM PEREMPUAN A. Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women 1. Sejarah Convention on the Elimination of All Discrimination Against

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2000 TENTANG PENGESAHAN ILO CONVENTION NO.182 CONCEMING THE PROHIBITION AND IMMEDIATE ACTION FOR THE ELIMINATION OF THE WORST FORMS OF CHILD LABOUR (KONVENSI

Lebih terperinci

MAKALAH. Pengadilan HAM dan Hak Korban Pelanggaran Berat HAM. Oleh: Eko Riyadi, S.H., M.H.

MAKALAH. Pengadilan HAM dan Hak Korban Pelanggaran Berat HAM. Oleh: Eko Riyadi, S.H., M.H. TRAINING RULE OF LAW SEBAGAI BASIS PENEGAKAN HUKUM DAN KEADILAN Hotel Santika Premiere Hayam Wuruk - Jakarta, 2 5 November 2015 MAKALAH Pengadilan HAM dan Hak Korban Pelanggaran Berat HAM Oleh: Eko Riyadi,

Lebih terperinci

KONVENSI INTERNASIONAL PENGHAPUSAN SEGALA BENTUK DISKRIMINASI RAS

KONVENSI INTERNASIONAL PENGHAPUSAN SEGALA BENTUK DISKRIMINASI RAS KONVENSI INTERNASIONAL PENGHAPUSAN SEGALA BENTUK DISKRIMINASI RAS Disetujui dan dibuka bagi penandatanganan dan ratifikasi oleh Resolusi Majelis Umum 2106 A (XX) 21 Desember 1965 Berlaku 4 Januari 1969

Lebih terperinci

Dikdik Baehaqi Arif

Dikdik Baehaqi Arif Dikdik Baehaqi Arif dik2baehaqi@yahoo.com PENGERTIAN HAM HAM adalah hak- hak yang secara inheren melekat dalam diri manusia, dan tanpa hak itu manusia Idak dapat hidup sebagai manusia (Jan Materson) PENGERTIAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENDANAAN TERORISME,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 22 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Penahanan Aung San Suu Kyi 1. Pengertian Penahanan Penahanan merupakan proses atau perbuatan untuk menahan serta menghambat. (Kamus Besar Bahasa Indonesia: 2006),

Lebih terperinci

I. UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan

I. UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

Pendidikan Kewarganegaraan

Pendidikan Kewarganegaraan Modul ke: 09 Dosen Fakultas Fakultas Ilmu Komunikasi Pendidikan Kewarganegaraan Berisi tentang Hak Asasi Manusia : Sukarno B N, S.Kom, M.Kom Program Studi Hubungan Masyarakat http://www.mercubuana.ac.id

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1999 TENTANG PENGESAHAN ILO CONVENTION NO. 111 CONCERNING DISCRIMINATION IN RESPECT OF EMPLOYMENT AND OCCUPATION (KONVENSI ILO MENGENAI DISKRIMINASI DALAM

Lebih terperinci

PROTOKOL OPSIONAL PADA KONVENSI TENTANG HAK ANAK TENTANG KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA

PROTOKOL OPSIONAL PADA KONVENSI TENTANG HAK ANAK TENTANG KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA 1 PROTOKOL OPSIONAL PADA KONVENSI TENTANG HAK ANAK TENTANG KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA Ditetapkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa Pada tanggal 25 Mei 2000 Negara-negara Pihak

Lebih terperinci

HUKUMAN MATI dari SISI HAK ASASI MANUSIA. Roichatul Aswidah, Jakarta, 18 Agustus 2016

HUKUMAN MATI dari SISI HAK ASASI MANUSIA. Roichatul Aswidah, Jakarta, 18 Agustus 2016 HUKUMAN MATI dari SISI HAK ASASI MANUSIA Roichatul Aswidah, Jakarta, 18 Agustus 2016 Keterangan tertulis Komnas HAM di hadapan MK, 2 Mei 2007 Kesimpulan: Konstitusi Indonesia atau UUD 1945, secara tegas

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN

Lebih terperinci

KONVENSI HAK ANAK (HAK-HAK ANAK)

KONVENSI HAK ANAK (HAK-HAK ANAK) KONVENSI HAK ANAK (HAK-HAK ANAK) Konvensi Hak Anak (KHA) Perjanjian yang mengikat secara yuridis dan politis antara berbagai negara yang mengatur hal-hal yang berhubungan dengan Hak Anak Istilah yang perlu

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1999 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1999 TENTANG Menimbang : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1999 TENTANG PENGESAHAN ILO CONVENTION NO. 111 CONCERNING DISCRIMINATION IN RESPECT OF EMPLOYMENT AND OCCUPATION (KONVENSI ILO MENGENAI DISKRIMINASI

Lebih terperinci

Protokol Tambahan Konvensi Hak Anak Terkait Keterlibatan Anak Dalam Konflik Bersenjata

Protokol Tambahan Konvensi Hak Anak Terkait Keterlibatan Anak Dalam Konflik Bersenjata Protokol Tambahan Konvensi Hak Anak Terkait Keterlibatan Anak Dalam Konflik Bersenjata 12 Februari 2002 Negara-negara yang turut serta dalam Protokol ini,terdorong oleh dukungan yang melimpah atas Konvensi

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP. 1. Imunitas Kepala Negara dalam Hukum Internasional. Meski telah diatur dalam hukum internasional dan hukum kebiasaan

BAB VI PENUTUP. 1. Imunitas Kepala Negara dalam Hukum Internasional. Meski telah diatur dalam hukum internasional dan hukum kebiasaan BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan 1. Imunitas Kepala Negara dalam Hukum Internasional Meski telah diatur dalam hukum internasional dan hukum kebiasaan internasional, penegakan hukum terhadap imunitas kepala

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGESAHAN ILO CONVENTION NO. 105 CONCERNING THE ABOLITION OF FORCED LABOUR (KONVENSI ILO MENGENAI PENGHAPUSAN KERJA PAKSA) DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

Tentang Pengadilan HAM Internasional 1

Tentang Pengadilan HAM Internasional 1 Tentang Pengadilan HAM Internasional 1 Agung Yudhawiranata, S.IP., LL.M. 2 Pengantar Statuta dan praktek pengadilan Tokyo, Nuremberg, ICTY, ICTR, dan Statuta Roma adalah sumber hukum internasional terpenting

Lebih terperinci

PROKLAMASI TEHERAN. Diproklamasikan oleh Konferensi Internasional tentang Hak-hak Asasi Manusia di Teheran pada tanggal 13 Mei 1968

PROKLAMASI TEHERAN. Diproklamasikan oleh Konferensi Internasional tentang Hak-hak Asasi Manusia di Teheran pada tanggal 13 Mei 1968 PROKLAMASI TEHERAN Diproklamasikan oleh Konferensi Internasional tentang Hak-hak Asasi Manusia di Teheran pada tanggal 13 Mei 1968 Konferensi Internasional tentang Hak-hak Asasi Manusia, Sesudah bersidang

Lebih terperinci

PROTOKOL OPSIONAL PERTAMA PADA KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK SIPIL DAN POLITIK 1

PROTOKOL OPSIONAL PERTAMA PADA KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK SIPIL DAN POLITIK 1 PROTOKOL OPSIONAL PERTAMA PADA KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK SIPIL DAN POLITIK 1 Negara-negara Pihak pada Protokol ini, Menimbang bahwa untuk lebih jauh mencapai tujuan Kovenan Internasional tentang

Lebih terperinci

Tanggung Jawab Komando Dalam Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia Oleh : Abdul Hakim G Nusantara

Tanggung Jawab Komando Dalam Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia Oleh : Abdul Hakim G Nusantara Tanggung Jawab Komando Dalam Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia Oleh : Abdul Hakim G Nusantara Impunitas yaitu membiarkan para pemimpin politik dan militer yang diduga terlibat dalam kasus pelanggaran

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENDANAAN TERORISME,

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 129 TAHUN 1998 TENTANG RENCANA AKSI NASIONAL HAK-HAK ASASI MANUSIAINDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 129 TAHUN 1998 TENTANG RENCANA AKSI NASIONAL HAK-HAK ASASI MANUSIAINDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 129 TAHUN 1998 TENTANG RENCANA AKSI NASIONAL HAK-HAK ASASI MANUSIAINDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa bangsa Indonesia sebagai bagian

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGESAHAN ILO CONVENTION NO. 105 CONCERNING THE ABOLITION OF FORCED LABOUR (KONVENSI ILO MENGENAI PENGHAPUSAN KERJA PAKSA) DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

III. Pengaturan terhadap Aparatur Penegak Hukum dan Pembatasan Penggunaan Kekerasan

III. Pengaturan terhadap Aparatur Penegak Hukum dan Pembatasan Penggunaan Kekerasan DAFTAR ISI I. Instrumen Internasional Hak Asasi Manusia 1. Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia 2. Kovenan Internasional Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya 3. Kovenan Internasional

Lebih terperinci

KEKUASAAN HUBUNGAN LUAR NEGERI PRESIDEN (FOREIGN POWER OF THE PRESIDENT) Jumat, 16 April 2004

KEKUASAAN HUBUNGAN LUAR NEGERI PRESIDEN (FOREIGN POWER OF THE PRESIDENT) Jumat, 16 April 2004 KEKUASAAN HUBUNGAN LUAR NEGERI PRESIDEN (FOREIGN POWER OF THE PRESIDENT) Jumat, 16 April 2004 1. Ketentuan UUD 1945: a. Pra Amandemen: Pasal 11: Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat

Lebih terperinci

Modul ke: Hak Asasi Manusia. Fakultas. Rusmulyadi, M.Si. Program Studi.

Modul ke: Hak Asasi Manusia. Fakultas. Rusmulyadi, M.Si. Program Studi. Modul ke: Hak Asasi Manusia Fakultas Rusmulyadi, M.Si. Program Studi www.mercubuana.ac.id Pengertian HAM Hak asasi manusia (HAM) adalah hak yang melekat pada diri manusia, dan tanpa hak-hak itu manusia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2000 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2000 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2000 TENTANG PENGESAHAN ILO CONVENTION NO. 182 CONCERNING THE PROHIBITION AND IMMEDIATE ACTION FOR THE ELIMINATION OF THE WORST FORMS OF CHILD LABOUR ( KONVENSI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang. mengemban tugas mengelola dan memelihara alam semesta dengan penuh

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang. mengemban tugas mengelola dan memelihara alam semesta dengan penuh BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang mengemban tugas mengelola dan memelihara alam semesta dengan penuh ketaqwaan dan penuh tanggung jawab untuk

Lebih terperinci

Negara Hukum. Manusia

Negara Hukum. Manusia Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia Negara hukum / Rule of Law / Rechtsstaat yang bersumber dari pengalaman demokrasi konstitusional di Eropa Negara demokrasi adalah negara hukum, namun negara hukum belum

Lebih terperinci

UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan

UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan PENJELASAN ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL

Lebih terperinci

Sejarah Konvensi menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia telah diadopsi ole

Sejarah Konvensi menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia telah diadopsi ole Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia I Made Agung Yudhawiranata Dermawan Mertha Putra Sejarah Konvensi menentang Penyiksaan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA)

Lebih terperinci