KAJIAN BIOFISIK LAHAN HUTAN MANGROVE DI KABUPATEN ACEH TIMUR ISWAHYUDI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KAJIAN BIOFISIK LAHAN HUTAN MANGROVE DI KABUPATEN ACEH TIMUR ISWAHYUDI"

Transkripsi

1 KAJIAN BIOFISIK LAHAN HUTAN MANGROVE DI KABUPATEN ACEH TIMUR ISWAHYUDI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008

2 DAFTAR ISI DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN xi xv xvii xix I II PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Hipotesis... 3 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi dan Pengertian Hutan Deskripsi Hutan Mangrove Ekosistem Mangrove Fungsi dan Manfaat Mangrove Jenis-jenis Mangrove Faktor-faktor Lingkungan untuk Pertumbuhan Mangrove Fisiografi Pantai Iklim Cahaya Curah Hujan Suhu Udara Angin Pasang Surut Gelombang dan Arus Salinitas Oksigen Terlarut Tanah Nutrien Proteksi Zonasi Penyebaran Mangrove Sistem Informasi Geografis dan Penginderaan Jauh... 15

3 III METODELOGI PENELITIAN 3.1. Kerangka Pemikiran Penelitian Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat Metode Penelitian Pelaksanaan Penelitian Persiapan Pengumpulan Data Teknik Pengambilan Sampel Data sifat kimia tanah dan air Data vegetasi mangrove Analisa Laboratorium Tanah Kualitas Air Pengolahan dan Analisa Data Analisis Kondisi Hutan Mangrove Analisis Sifat Kimia Tanah dan Air Pengolahan Parameter Kekritisan Lahan Tutupan Lahan Kerapatan Tajuk Analisis Kekritisan Lahan Mangrove Pemodelan Spasial Tingkat Kekritisan Lahan 29 IV KEADAAN UMUM WILAYAH 4.1. Iklim Curah Hujan Suhu Arah dan Kecepatan Angin Kelautan (Oceanografi) Pasang Surut Batimetri Arus V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Kondisi Ekosistem Mangrove... 40

4 5.2. Sruktur Komunitas Mangrove Kerapatan Relatif Spesies Mangrove Frekuensi Relatif Spesies Mangrove Dominansi Relatif Spesies Mangrove Nilai Penting Spesies Mangrove Indeks Nilai Penting Mangrove Berdasarkan Posisi pada Masing-masingStasiun Penelitian Sintesis Hubungan Indeks Nilai Penting Mangrove dengan 50 Stasiun Penelitian dan Posisi Pengambilan Sampel Hubungan antara Sifat Kimia Tanah dengan Ekosistem Mangrove C-organik N-total P-Tersedia K-tersedia Mg-dd Na-dd KTK Salinitas Sintesis Hubungan Sifat-sifat Kimia Tanah dengan Ekosistem Mangrove Hubungan antara Sifat-sifat Fisika Tanah dengan Ekosistem Mangrove Persen Pasir Persen Debu Persen Liat Sintesis Hubungan Sifat-sifat Fisika Tanah dengan Ekosistem Mangrove Hubungan antara Sifat-sifat Kimia Air dengan Ekosistem Mangrove Amonia Fosfat DHL BOD COD 74

5 5.10. Sintesis Hubungan Sifat-sifat Kimia Air dengan Ekosistem Mangrove Pembahasan Umum Hubungan Sifat Biofisik Terhadap Ekosistem Mangrove Analisa Citra Jenis Tutupan Lahan Kerapatan Tajuk Ketahanan Tanah Terhadap Abrasi Tingkat Kekritisan Lahan Mangrove Arahan Pengembangan Mangrove Tujuan Pengembangan Pengelolaan Mangrove Kesesuaian Terhadap Peraturan Perundangan Kelayakan Terhadap Lingkungan Kelayakan Teknis.. 98 VI SIMPULAN DAN SARAN 6.1. SIMPULAN SARAN DAFTAR PUSTAKA 101

6 DAFTAR TABEL Tabel 1 Parameter, metode dan alat yang digunakan dalam analisis 25 kualitas tanah... Tabel 2 Parameter, metode dan alat yang digunakan dalam analisis 25 kualitas air... Tabel 3 Kriteria, bobot dan skor penilaian untuk penentuan tingkat 30 kekritisan lahan mangrove dengan bantuan teknologi GIS dan Inderaja... Tabel 4 Banyaknya curah hujan dan hari hujan di Kabupaten Aceh 30 Timur tahun Tabel 5 Suhu wilayah penelitian dan sekitarnya, tahun Tabel 6 Arah dan kecepatan angin di wilayah penelitian dan sekitarnya 35 tahun Tabel 7 Tipe pasang surut di sekitar perairan aceh bagian utara dan 36 timur... Tabel 8 Jenis-jenis tumbuhan mangrove yang ditemukan di lokasi 40 penelitian... Tabel 9 Distribusi Spesies Mangrove. 41 Tabel 10 Analisis mangrove srata pohon berdasarkan stasiun penelitian.. 42 Tabel 11 Analisis mangrove srata belta berdasarkan stasiun penelitian Tabel 12 Indeks Nilai Penting pada masing-masing Zona mangrove srata 48 pohon pada ketiga stasiun penelitian... Tabel 13 Indeks Nilai Penting pada masing-masing Zona mangrove srata 49 belta pada ketiga stasiun penelitian... Tabel 14 Indeks Nilai Penting tertinggi famili mangrove srata pohon dan 51 belta pada masing-masing posisi di ketiga stasiun penelitian... Tabel 15 Uji beda rata-rata C-organik Tabel 16 Uji beda rata-rata N-total Tabel 17 Uji beda rata-rata P-tersedia.. 57 Tabel 18 Uji beda rata-rata K-tersedia.. 58 Tabel 19 Uji beda rata-rata Mg tanah Tabel 20 Uji beda rata-rata Na tanah Tabel 21 Uji beda rata-rata KTK Tabel 22 Uji beda rata-rata salinitas Tabel 23 Uji beda rata-rata persen pasir... 65

7 Tabel 24 Uji beda rata-rata persen debu Tabel 25 Uji beda rata-rata persen liat Tabel 26 Uji beda rata-rata Amonia Tabel 27 Uji beda rata-rata fosfat Tabel 28 Uji beda rata-rata DHL Tabel 29 Uji beda rata-rata BOD 74 Tabel 30 Uji beda rata-rata COD Tabel 31 Luas setiap jenis tutupan lahan di Kabupaten 79 Aceh Timur... Tabel 32 Kategori kerapatan tajuk berdasarkan nilai NDVI untuk setiap 83 lokasi di wilayah Kabupaten Aceh Timur... Tabel 33 Jenis tekstur dirinci per kecamatan di sepanjang pantai wilayah 86 Kabupaten Aceh Timur... Tabel 34 Hasil penilaian kekritisan ekosistem mangrove di wilayah Kabupaten Aceh Timur.. 91

8 DAFTAR GAMBAR Gambar 1 Zonasi penyebaran hutan mangrove Gambar 2 Kerangka pemikiran penelitian Gambar 3 Gambar 4 Gambar 5 Gambar 6 Peta stasiun pengambilan contoh tanah, air dan analisis vegetasi mangrove... Transek garis dengan petak zona dari pinggir perairan ke arah darat untuk pengambilan contoh tanah, air dan analisis vegetasi mangrove. Skema letak petak contoh dalam jalur pada setiap posisi pengambilan sampel... Tahap Analisa Data Landsat untuk pembuatan peta tutupan lahan dan peta kerapatan mangrove Gambar 7 Pemodelan Spasial Tingkat Kekritisan Lahan 30 Gambar 8 Prediksi pasut bulan maret 2005 di wilayah aceh Gambar 9 Gambaran umum batimetri di kawasan perairan aceh Gambar 10 Pola dan kecepatan arus permukaan Selat Malaka bulan januari sampai desember... Gambar 11 Nilai rata-rata C-organik pada masing-masing stasiun dan zona penelitian... Gambar 12 Gambar 13 Nilai rata-rata N-total pada masing-masing stasiun dan zona penelitian... Nilai rata-rata P-tersedia pada masing-masing stasiun dan zona penelitian... Gambar 14 Nilai rata-rata K-tersedia pada masing-masing stasiun dan zona penelitian... Gambar 15 Nilai rata-rata Mg-dd pada masing-masing stasiun dan zona penelitian... Gambar 16 Gambar 17 Gambar 18 Nilai rata-rata Na-dd pada masing-masing stasiun dan zona penelitian... Nilai rata-rata KTK pada masing-masing stasiun dan zona penelitian... Nilai rata-rata salinitas pada masing-masing stasiun dan zona penelitian

9 Gambar 19 Gambar 20 Gambar 21 Gambar 22 Gambar 23 Gambar 24 Gambar 25 Gambar 26 Gambar 27 Gambar 28 Nilai rata-rata persen pasir pada masing-masing stasiun dan zona penelitian... Nilai rata-rata persen debu pada masing-masing stasiun dan zona penelitian... Nilai rata-rata persen liat pada masing-masing stasiun dan zona penelitian... Nilai rata-rata Amonia pada masing-masing stasiun dan zona penelitian... Nilai rata-rata fosfat pada masing-masing stasiun dan zona penelitian... Nilai rata-rata DHL pada masing-masing stasiun dan zona penelitian... Nilai rata-rata BOD pada masing-masing stasiun dan zona penelitian... Nilai rata-rata DO pada masing-masing stasiun dan zona penelitian... Peta jenis tutupan lahan Kabupaten Aceh Timur Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam... Peta batas hutan mangrove Kabupaten Aceh Timur Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam A Gambar 29 Gambar 30 Gambar 31 Peta tingkat kerapatan tajuk Kabupaten Aceh Timur Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Peta ketahanan tanah terhadap abrasi di Kabupaten Aceh Timur Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam... Peta kekritisan mangrove Kabupaten Aceh Timur Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Gambar 32 Lahan mangrove kategori rusak.. 89 Gambar 33 Pembuatan arang mangrove skala rumah tangga. 89 Gambar 34 Pekerjaan land clearing hutan mangrove.. 90 Gambar 35 Lahan mangrove kategori rusak 91 Gambar 36 Lahan mangrove kategori tidak rusak. 92 Gambar 37 Gambar 38 Kegiatan penghijauan dengan mangrove jenis Rhizophora mucronata Sumber benih mangrove yang dibudidayakan masyarakat di Kecamatan Bireum Bayeun

10 DAFTAR LAMPIRAN 1. Kriteria penilaian sifat kimia tanah (Puslittanak, 1993) Hasil analisis tanah daerah penelitian Anova C-organik Anova N-total Anova Na-dd Anova Mg-dd Anova P-tersedia Anova KTK Anova K-tersedia Anova salinitas Hasil analisis fisika tanah daerah penelitian Anova persen pasir Anova persen debu Anova persen liat Hasil analisis air daerah penelitian Anova amonia Anova fosfat Anova salinitas Anova BOD Anova COD Hubungan sifat kimia tanah dengan ekosistem mangrove pada masingmasing posisi. 22 Hubungan sifat fisika tanah dengan ekosistem mangrove pada masingmasing posisi. 23 Hubungan sifat kimia air dengan ekosistem mangrove pada masing-masing posisi

11 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada wilayah pesisir dapat dijumpai berbagai ekosistem, seperti hutan mangrove, rawa payau, padang lamun, rumput laut, dan terumbu karang. Ekosistem tersebut berperan sebagai penyedia sumber daya alam dan sebagai sistem penyangga kehidupan. Di antara ekosistem di wilayah pesisir yang penting dan perlu diperhatikan adalah hutan mangrove. Hutan mangrove adalah suatu ekosistem habitat daerah pantai yang harus dipertahankan keberadaannya. Pengkajian terhadap ekosistem hutan mangrove memberikan pelajaran bahwa ekosistem ini mutlak diperlukan dan harus dapat dijamin kelangsungan hidupnya, atau kalau tidak maka keseimbangan berbagai komponen kehidupan di daerah pantai tersebut sampai ke laut di sekitarnya juga akan mengalami gangguan dari yang ringan sampai kerusakan parah, bahkan dapat mengancam hilangnya kehidupan suatu spesies fauna tertentu. Kerusakan pada koloni tanaman mangrove tidak dapat tergantikan dengan jenis tanaman lain yang tidak bersifat toleran pada air laut dan iklim daerah tropis yang panas Luas ekosistem mangrove akhir-akhir ini terus menurun. Jika dihitung luas totalnya di Indonesia, maka hutan mangrove telah mengalami penurunan dari ha pada sekitar tahun 1982 menjadi sekitar ha pada tahun 1990, yang berarti luas penutupan menurun sampai 50 % (Istomo, 1992). Berdasarkan hasil pendataan oleh Departemen Kehutanan (2002, dalam Kusmana, 2005) potensi sumberdaya mangrove di Indonesia mencapai 3,64 juta hektar di dalam kawasan hutan dan sekitar 5,46 juta hektar di luar kawasan hutan. Tetapi kondisi hutan mangrove saat ini mengalami kerusakan (terdegradasi) dan penyusutan luas yang cukup tinggi. Kerusakan sumberdaya mangrove saat ini diperhitungkan mencapai 70%, tidak terkecuali akibat bencana tsunami tahun 2004 lalu di pesisir Aceh. Pada kenyataanya telah terjadi kerusakan mangrove yang sangat parah di daerah-daerah pantai yang padat penduduknya seperti di pantai utara Pulau Jawa. Kerusakan yang timbul umumnya bukan kerusakan sebagai akibat alami seperti badai dan erosi karena gelombang melainkan karena intervensi kegiatan manusia. Dampak kerusakan hutan bakau bisa datang dari masyarakat setempat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dengan memanfaatkan pohon bakau secara langsung atau bisa dari pihak lain, baik kaum pemodal atau pihak

12 2 pemerintah sendiri yang melakukan konversi lahan hutan menjadi lahan usaha sektor lain atau pembangunan prasarana pantai. Mangrove merupakan formasi tumbuhan pantai yang khas di sepanjang pantai tropis dan subtropis yang terlindung. Formasi mangrove merupakan formasi yang tumbuh pada ekosistem di antara daratan dan lautan. Pertumbuhan mangrove terpengaruh oleh air laut (pasang) dan air tawar serta endapan debu (silt) dari erosi daerah hulu sebagai bahan pendukung substratnya. Air pasang memberi nutrisi bagi hutan dan air sungai yang kaya mineral memperkaya sedimen dan rawa tempat mangrove tumbuh. Dengan demikian bentuk hutan mangrove dan keberadaannya ditentukan oleh pengaruh darat dan laut (FAO, 1985). Pada saat ini pemerintah menggiatkan program rehabilitasi hutan mangrove yang ada di seluruh kawasan pantai Indonesia. Usaha rehabilitasi lahan mangrove ini diawali dengan inventarisasi dan identifikasi tingkat kekritisan lahan mangrove yang ada. Zonasi di hutan mangrove merupakan tanggapan terhadap perubahan dari lamanya waktu penggenangan, salinitas tanah, tersedianya sinar matahari, aliran pasang surut dan aliran air tawar. Hal ini berarti bahwa zonasi dalam hutan mangrove tergantung kepada keadaan tempat tumbuh spesifik yang berbeda dari satu tempat ke tempat lain. Zonasi juga menggambarkan tahapan suksesi yang terjadi sejalan dengan perubahan tempat tumbuh. Tempat tumbuh hutan mangrove memang selalu berubah sebagai akibat laju pengendapan atau pengikisan. Daya adaptasi dari tiap jenis tumbuhan mangrove terhadap keadaan tempat tumbuh akan menentukan komposisi jenis tiap spesies (Istomo, 1992). Zonasi hutan mangrove berbeda di satu tempat dengan tempat lain, secara umum dari arah laut ke darat di tumbuhi oleh Avicennia spp., dan Sonneratia spp., kemudian Bruguiera spp., dan Xylocarpus spp., dan dekat daerah transisi antara kawasan mangrove dengan daratan rendah biasa ditumbuhi oleh Nypa fruticans dan beberapa spesies palem. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap petumbuhan dan perkembangan hutan mangrove antara lain adalah faktor geologi dan ekologi. Bahan-bahan yang dideposisikan, air dan iklim merupakan faktor-faktor utama, proses selanjutnya berlangsung proses suksesi, sehubungan dengan perubahan yang terjadi pada habitatnya. Pada akhirnya akan tercapai klimaks dan akan

13 3 terbentuk zonasi dari jenis-jenis mangrove yang berkembang pada daerah tersebut. Perubahan secara berangsur pada habitatnya yaitu perubahan yang disebabkan berubahnya deposit oleh perubahan waktu, akan diikuti oleh proses suksesi pada jenis mangrove yang mampu bertahan. Proses perubahan deposit pada habitat mangrove berarti proses perubahan sifat-sifat tanah hutan mangrove tersebut termasuk sifat fisik dan kimianya. Dengan demikian maka tercapainya suatu klimaks tidak dapat terlepas dari sifat-sifat tanah yang dimiliki habitat mangrove. Oleh karena itu mempelajari sifat-sifat tanah yang dimiliki tiap zona mangrove merupakan upaya yang sangat penting. Apabila dapat diperoleh hubungan antara sifat-sifat tanah dengan jenis mangrovenya, maka hal ini akan membuka jalan bagi upaya-upaya perbaikan hutan mangrove di pesisir pantai, antara lain dalam konteks penelitian ini di Kabupaten Aceh Timur Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Mengidentifikasi dan menginventarisasi jenis-jenis mangrove di Kabupaten Aceh Timur. 2. Mempelajari hubungan antara sifat-sifat biofisik dengan ekosistem mangrove. 3. Memetakan kerusakan hutan mangrove di Kabupaten Aceh Timur Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang berkompeten untuk melestarikan atau mengembangkan kawasan mangrove di Kabupaten Aceh Timur, Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam Hipotesis Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah dominansi jenis mangrove di sebabkan oleh adanya sifat-sifat biofisik yang berbeda.

14 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi dan Pengertian Hutan Hutan secara konsepsional yuridis dirumuskan di dalam Pasal 1 Ayat (1) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Menurut Undangundang tersebut, Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungan, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan. Dari definisi hutan yang disebutkan, terdapat unsur-unsur yang meliputi : a. Suatu kesatuan ekosistem b. Berupa hamparan lahan c. Berisi sumberdaya alam hayati beserta alam lingkungannya yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. d. Mampu memberi manfaat secara lestari. Keempat ciri pokok dimiliki suatu wilayah yang dinamakan hutan, merupakan rangkaian kesatuan komponen yang utuh dan saling ketergantungan terhadap fungsi ekosistem di bumi. Eksistensi hutan sebagai subekosistem global menenpatikan posisi penting sebagai paru-paru dunia (Zain, 1996). Sedangkan kawasan hutan lebih lanjut dijabarkan dalam Keputusan Menteri Kehutanan No. 70/Kpts-II/2001 tentang Penetapan Kawasan Hutan, perubahan status dan fungsi kawasan hutan, yaitu wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Dari definisi dan penjelasan tentang kawasan hutan, terdapat unsur-unsur meliputi : a. Suatu wilayah tertentu b. Terdapat hutan atau tidak tidak terdapat hutan c. Ditetapkan pemerintah (menteri) sebagai kawasan hutan d. Didasarkan pada kebutuhan serta kepentingan masyarakat. Dari unsur pokok yang terkandung di dalam definisi kawasan hutan, dijadikan dasar pertimbangan ditetapkannya wilayah-wilayah tertentu sebagai kawasan hutan. Kemudian, untuk menjamin diperolehnya manfaat yang sebesarbesarnya dari hutan dan berdasarkan kebutuhan sosial ekonomi masyarakat serta berbagai faktor pertimbangan fisik, hidrologi dan ekosistem, maka luas

15 5 wilayah yang minimal harus dipertahankan sebagai kawasan hutan adalah 30 % dari luas daratan. Berdasarkan kriteria pertimbangan pentingnya kawasan hutan, maka sesuai dengan peruntukannya menteri menetapkan kawasan hutan menjadi : a. Wilayah yang berhutan yang perlu dipertahankan sebagai hutan tetap b. Wilayah tidak berhutan yang perlu dihutankan kembali dan dipertahankan sebagai hutan tetap. Pembagian kawasan hutan berdasarkan fungsi-fungsinya dengan kriteria dan pertimbangan tertentu, ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah RI No. 34 tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan Pasal 5 ayat (2), sebagai berikut : a. Kawasan Hutan Konservasi yang terdiri dari kawasan suaka alam (cagar alam dan Suaka Margasatwa), Kawasan Pelestarian Alam (Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam), dan Taman Buru. b. Hutan Lindung c. Hutan Produksi 2.2. Deskripsi Hutan Mangrove Berdasarkan surat keputusan Direktur Jendral Kehutanan No.60/Kpts/DJ/I/1978, yang dimaksud dengan hutan mangrove adalah tipe hutan yang terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai yang terpengaruh oleh pasang surut air laut, yaitu tergenang pada saat pasang dan bebas dari genangan pada saat surut. Menurut Kusmana (1995) perkataan mangrove berasal dari kombinasi antara istilah dari bahasa Portugis mangau dan bahasa Inggris grove. Dalam bahasa Inggris kata mangrove dikatakan untuk komunitas tumbuhan yang hidup di laut, atau setiap tumbuhan yang berasosiasi dengannya. Sedangkan dalam bahasa Portugis, kata mangrove digunakan untuk setiap individu tumbuhan yang tumbuh di laut, dan kata mangal untuk menunjukkan komunitas tumbuhan yang terdiri atas jenis-jenis mangrove. Hutan mangrove juga merupakan suatu tipe hutan tropis yang dipengaruhi pasang surut air laut. Hutan mangrove merupakan hutan tropis yang umumnya tumbuh di daerah pantai, merupakan jalur hijau, yang terdapat di teluk-teluk, delta-delta, muara sungai dan sampai menjorok kearah pedalaman garis pantai. Habitat

16 6 mangrove seringkali ditemukan di tempat pertemuan antara muara sungai dan air laut yang kemudian menjadi pelindung daratan dari gelombang laut yang besar. Sungai mengalirkan air tawar untuk mangrove dan pada saat pasang, pohon mangrove dikelilingi oleh air garam atau air payau. Kelompok pohon di daerah mangrove bisa terdiri atas suatu jenis pohon tertentu saja atau sekumpulan komunitas pepohonan yang dapat hidup di air asin. Hutan mangrove biasa ditemukan di sepanjang pantai daerah tropis dan subtropis, antara 32 0 Lintang Utara dan 38 0 Lintang Selatan (The Nature Conservacy, 2003). Hutan mangrove merupakan ekosistem yang kompleks terdiri atas flora dan fauna daerah pantai, hidup sekaligus di habitat daratan dan air laut, antara batas air pasang dan surut. Ekosistem ini berperan dalam melindungi garis pantai dari erosi, gelombang laut dan angin topan. Tanaman mangrove berperan juga sebagai buffer (perisai alam) dan menstabilkan tanah dengan menangkap dan memerangkap endapan material dari darat yang terbawa air sungai. Hutan mangrove tumbuh subur dan luas di daerah delta dan aliran sungai yang besar dengan muara yang lebar. Di pantai yang tidak ada sungainya, daerah mangrovenya sempit. Hutan mangrove mempunyai toleransi besar terhadap kadar garam dan dapat berkembang di daratan bersalinitas tinggi di mana tanaman biasa tidak dapat tumbuh (The Nature Conservacy, 2003). Istilah mangrove tidak selalu diperuntukkan bagi kelompok spesies dengan klasifikasi taksonomi tertentu saja, tetapi dideskripsikan mencakup semua tanaman tropis yang bersifat halophytic atau toleran terhadap garam. Tanaman ini mampu tumbuh di tanah basah lunak, habitat air laut dan terkena fluktuasi pasang surut. Tanaman tersebut mempunyai cara reproduksi dengan mengembangkan buah vivipar yang bertunas (seed germination) semasa masih berada pada pohon induknya. Daerah hutan mangrove dunia yang diperkirakan seluas ha, 25 % nya meliputi garis pantai kepulauan Karibia dan sampai 75 % meliputi daerah pantai lainnya seperti di kawasan Amerika Selatan dan Asia. Di Indonesia sendiri luas hutan mangrove diperkirakan meliputi areal sekitar 4,25 juta ha atau sekitar 27 % luas mangrove di dunia. Sayangnya kondisi hutan mangrove yang ada saat ini setengahnya telah mengalami kerusakan (The Nature Conservacy, 2003).

17 Ekosistem Mangrove Tanaman mangrove adalah khas daerah tropis yang hidupnya hanya berkembang baik pada temperatur dari 19 0 sampai 40 0 C, dengan toleransi fluktuasi tidak lebih dari 10 0 C. Berbagai jenis tanaman mangrove yang tumbuh di bibir pantai dan merambah tumbuh menjorok ke zona berair laut, merupakan suatu ekosistem yang khas. Khas karena bertahan hidup di dua zona transisi antara daratan dan lautan, sementara tanaman lain tidak mampu bertahan. Kumpulan berbagai jenis pohon yang seolah menjadi garda depan garis pantai tersebut secara kolektif disebut hutan mangrove. Hutan mangrove memberikan perlindungan kepada berbagai organisme lain baik hewan darat maupun hewan air untuk hidup. Hutan mangrove menangkap dan mengumpulkan sedimen yang terbawa arus pasang surut dari daratan lewat aliran sungai. Hutan mangrove selain melindungi pantai dari gelombang dan angin merupakan tempat yang dipenuhi pula oleh kehidupan lain seperti mamalia, amfibi, reptil, burung, kepiting, ikan, primata, serangga dan sebagainya. Selain menyediakan keanekaragaman hayati (bio-diversity), ekosistem mangrove juga sebagai plasma nutfah (genetic pool) dan menunjang keseluruhan sistem kehidupan di sekitarnya. Habitat mangrove merupakan tempat mencari makan (feeding ground) bagi hewan-hewan tersebut dan sebagai tempat mengasuh dan membesarkan (nursery ground), tempat bertelur dan memijah (spawning ground) dan tempat berlindung yang aman bagi berbagai juvenil dan larva ikan serta kerang (shellfish) dari predator (Cooper, et al., 1995) Fungsi dan Manfaat Mangrove Fungsi mangrove menurut Kusmana, et al., (2005), dikategorikan dalam tiga macam fungsi, yaitu fungsi fisik, fungsi biologis (ekologis) dan fungsi ekonomis. Fungsi-fungsi ini secara lebih rinci disajikan dibawah ini. Fungsi Fisik - Menjaga garis pantai dan tebing sungai dari erosi/abrasi agar tetap stabil. - Mempercepat perluasan lahan - Mengendalikan intrusi air laut - Melindungi daerah di belakang mangrove dari hempasan gelombang dan angin kencang - Mengolah limbah organik

18 8 Fungsi Biologis/Ekologis - Tempat mencari makan (feeding ground), tempat memijah (spawning ground) dan tempat berkembang biak (nursery ground) berbagai jenis ikan, udang, kerang dan biota laut lainnya. - Tempat bersarang berbagai jenis satwa liar terutama burung - Sumber plasma nutfah Fungsi Ekonomis - Hasil hutan berupa kayu - Hasil hutan bukan kayu seperti madu, obat-obatan, minuman dan makanan, tanin dan lain-lain - Lahan untuk kegiatan produksi pangan dan tujuan lain (pemukiman, pertambangan, industri, infrasruktur, transportasi, rekreasi dan lain-lain. Sumberdaya mangrove yang berpotensi dimanfaatkan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat dapat dilihat dari dua tingkatan, yaitu tingkat ekosistem mangrove secara keseluruhan dan tingkat komponen ekosistem sebagai primary biotic component (Talbot and Wilkinson, 2001) Jenis-jenis Mangrove Di dunia dikenal banyak jenis mangrove yang berbeda-beda. Sampai saat ini tercatat telah dikenali sebanyak sampai dengan 24 famili dan antara 54 sampai dengan 75 spesies, berdasarkan pendapat berbagai pakar (Tomlinson, 1986 dan Field, 1995). Asia merupakan daerah yang paling tinggi keanekaragaman dan jenis mangrovenya. Di Thailand terdapat sebanyak 27 jenis mangrove, di Ceylon ada 32 jenis, dan terdapat sebanyak 41 jenis di Filipina. Di benua Amerika hanya memiliki sekitar 12 spesies mangrove, sedangkan Indonesia disebutkan memiliki sebanyak tidak kurang dari 89 jenis pohon mangrove, atau paling tidak menurut FAO terdapat sebanyak 37 jenis (FAO, 1985). Dari berbagai jenis mangrove tersebut, yang hidup di daerah pasang surut, tahan air garam dan berbuah vivipar terdapat sekitar 12 famili. Dari berbagai jenis mangrove di Indonesia, jenis mangrove yang banyak ditemukan antara lain adalah jenis api-api (Avicennia sp.), mangrove (Rhizophora sp.), tancang (Bruguiera sp.), dan bogem atau pedada (Sonneratia sp.). Jenisjenis mangrove tersebut adalah kelompok mangrove yang menangkap, menahan endapan dan menstabilkan tanah habitatnya. Jenis api-api atau di dunia dikenal sebagai black mangrove mungkin merupakan jenis terbaik dalam proses

19 9 menstabilkan tanah habitatnya karena penyebaran benihnya mudah, toleransi terhadap temperartur tinggi, cepat menumbuhkan akar pernafasan (akar pasak) dan sistem perakaran di bawahnya mampu menahan endapan dengan baik. Mangrove besar, mangrove merah atau Red mangrove (Rhizophora spp.) merupakan jenis kedua terbaik. Jenis-jenis tersebut dapat mengurangi dampak kerusakan terhadap arus, gelombang besar dan angin Faktor-faktor Lingkungan untuk Pertumbuhan Mangrove Sruktur, fungsi, komposisi, distribusi spesies, dan pola pertumbuhan mangrove sangat tergantung pada faktor-faktor lingkungan. Menurut Kusmana et al., (2005), beberapa faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap pertumbuhan mangrove diuraikan di bawah ini Fisiografi Pantai Topografi pantai merupakan faktor penting yang mempengaruhi karakteristik struktur mangrove, khususnya komposisi spesies, distribusi spesies dan ukuran serta luas hutan mangrove. Semakin datar pantai dan semakin besar pasang surut, maka semakin lebar hutan mangrove yang akan tumbuh Iklim Cahaya Umumnya tanaman mangrove membutuhkan intensitas cahaya matahari tinggi dan penuh, sehingga zona pantai tropis merupakan habitat ideal bagi mangrove. Kisaran intensitas cahaya optimal untuk pertumbuhan mangrove adalah kkal/m 2 /hari. Pada saat masih kecil (semai) tanaman mangrove memerlukan naungan. Kusmana et al., 2005, menyatakan bahwa : 1. Intensitas cahaya 50% dapat meningkatkan daya tumbuh bibit Rhizopora mucronata dan Rh. apiculata. 2. Intensitas cahaya 75% mempercepat pertumbuhan bibit Bruguiera gymnorrhiza. 3. Intensitas cahaya 75% meningkatkan pertumbuhan tinggi bibit Rh. mucronata, Rh. apiculata dan B. gymnorrhiza.

20 Curah Hujan Curah hujan mempengaruhi faktor lingkungan seperti suhu air dan udara, salinitas, air permukaan tanah dan air tanah yang berpengaruh pada daya tahan spesies mangrove. Umumnya hutan mangrove di Indonesia terdapat pada iklim dengan curah hujan tahunan dan bulanan yang tinggi, dalam hal ini mangrove tumbuh subur di daerah dengan curah hujan rata-rata mm/tahun. Hal ini dapat mencegah akumulasi garam-garam tanah, sehingga hutan mangrove tumbuh subur dan berkembang dengan baik. Menurut Kartawinata and Waluyo (1977), hutan mangrove di Indonesia berkembang pada iklim A, B, C, dan D dengan nilai Q yang bervariasi mulai 0 sampai dengan 73,7 %, berdasarkan klasifikasi Schmidt - Ferguson (1951) Suhu Udara Suhu berperan penting dalam proses fisiologis seperti fotosintesis dan respirasi. Kusmana (1993, dalam Kusmana et al., 2005) menyatakan bahwa hutan mangrove yang terdapat di bagian timur pulau Sumatera tumbuh pada suhu rata-rata bulanan dengan kisaran dari 26,3 0 C pada bulan Desember sampai dengan 28,7 O C. Hutcing and Saenger (1987) mendapatkan kisaran suhu optimum untuk pertumbuhan beberapa jenis tumbuhan mangrove. Avicennia marina tumbuh baik pada suhu C, sedangkan pada Rh. stylosa, Ceriops spp., Excoecaria agallocha dan Lumnitzera racemosa pertumbuhan daun segar tertinggi dicapai pada suhu o C. Suhu optimum untuk pertumbuhan Bruguiera spp. adalah 27 0 C, Xylocarpus spp. berkisar antara O c dan X. granatum pada suhu 28 O C. Pertumbuhan mangrove yang baik memerlukan suhu rata-rata minimal lebih besar dari 20 0 C dan perbedaan suhu musiman tidak melebihi 5 0 C, kecuali di Afrika Timur dimana perbedaan suhu musiman mencapai 10 0 C (Hutcing and Saenger, 1987) Angin Angin berpengaruh terhadap gelombang dan arus pantai, yang dapat menyebabkan abrasi dan mengubah sruktur mangrove, meningkatkan evapontranspirasi. Angin yang kuat dapat menghalangi pertumbuhan dan menyebabkan karakteristik fisiologis abnormal, namun demikian diperlukan untuk proses polinasi dan penyebaran benih tanaman (Kusmana et al., 2005).

21 Pasang Surut Pasang surut menentukan zonasi komunitas flora dan fauna mangrove. Durasi pasang surut berpengaruh besar terhadap perubahan salinitas pada areal mangrove. Perubahan tingkat salinitas pada saat pasang merupakan salah satu faktor yang membatasi distribusi spesies mangrove, terutama distribusi horizontal. Pada areal yang selalu tergenang hanya Rh. Mucronata yang tumbuh baik, sedang Bruguiera spp. Dan Xylocarpus spp. jarang akan tumbuh pada lokasi yang arusnya tenang (Kusmana et al., 2005) Gelombang dan Arus Gelombang pantai (dipengaruhi angin) merupakan penyebab penting abrasi dan suspensi sedimen. Pada pantai berpasir dan berlumpur, gelombang dapat membawa partikel pasir dan sedimen laut. Partikel besar atau kasar akan mengendap, terakumulasi membentuk pantai berpasir. Mangrove akan tumbuh pada lokasi yang arusnya tenang (Kusmana et al., 2005) Salinitas Salinitas air dan salinitas tanah rembesan merupakan faktor penting dalam pertumbuhan, daya tumbuh dan zonasi spesies mangrove. Tumbuhan mangrove tumbuh subur di daerah estuaria dengan salinitas ppt. Beberapa spesies dapat tumbuh di daerah dengan salinitas sangat tinggi. Di Australia dilaporkan A. Marina dan E. Agallocha dapat tumbuh di daerah dengan salinitas maksimum 63 ppt., Ceriops spp. 72 ppt., Sonneratia spp. 44 ppt., Rh. Apiculata 65 ppt dan Rh. Stylosa 74 ppt. Mangrove merupakan vegetasi yang bersifat salt-tolerant bukan saltdemanding, oleh karenanya mangrove dapat tumbuh secara baik di habitat air tawar. Kebanyakan mangrove tumbuh di habitat maritim mungkin disebabkan oleh beberapa faktor sebagai berikut : (a) penyebaran biji/propagul mangrove terbatas oleh daya jangkau pasang surut, (b) anakan mangrove kalah bersaing dengan tumbuhan darat, dan (c) mangrove dapat mentoleransi kadar garam (Kusmana et al., 2005) Oksigen Terlarut Tanah pada hutan mangrove berlumpur dan jenuh dengan air, sehingga kandungan oksigennya rendah atau bahkan dapat dikatakan tidak mengandung oksigen. Oksigen terlarut sangat penting bagi eksistensi flora dan fauna

22 12 mangrove (terutama dalam proses fotosintesis dan respirasi) dan percepatan dekomposisi serasah sehingga konsentrasi oksigen terlarut berperan mengontrol distribusi dan pertumbuhan mangrove. Konsentrasi oksigen terlarut bervariasi menurut waktu, musim, kesuburan tanah dan organisme akuatik. Konsentrasi oksigen terlarut harian tertinggi dicapai pada siang hari dan terendah pada malam hari. Aksornkoae et al., (1978) mendapatkan konsentrasi oksigen terlarut di hutan mangrove 1,7-3,4 mg/l, lebih rendah dibanding di luar hutan mangrove yang besarnya 4,4 mg/l Tanah Hutan mangrove di Indonesia berkembang dengan baik di daerah-daerah pantai berlumpur, di muara sungai-sungai berlumpur, terpengaruh pasang surut, dan umumnya pada garis pantai yang landai, terlindung dari hempasan ombak yang besar. Mangrove juga dapat tumbuh di tanah lempung yang pejal, kompak (firm clay soil, seperti Bruguiera spp.) gambut (peat, seperti Kandelia), berpasir (sandy soil, seperti Rhizophora stylosa), dan bahkan tanah berkoral yang kaya akan detritus, walaupun tidak terlampau baik perkembangannya (seperti Pemphis aciluda) (Sukardjo dan Ahmad, 1982). Jenis tanah pada hutan mangrove umumnya alluvial biru sampai coklat keabu-abuan. Tanah ini berupa tanah lumpur kaku dengan persentase liat yang tinggi, bervariasi dari tanah liat biru yang kompak dengan sedikit atau tanpa bahan organik, sampai tanah dengan lumpur coklat hitam yang mudah lepas karena banyak mengandung pasir dan bahan organik (Kristijono, 1977). Tanah-tanah hutan mangrove umumnya kaya akan bahan organik, dan mempunyai nilai nitrogen yang tinggi (Soerianegara, 1971). Secara umum tanah hutan mangrove termasuk tanah alluvial hydromorf. Tanah ini memiliki tingkat perkembangan muda dan tergolong dalam ordo Entisol (Soil Survey Staff, 1999) Nutrien Nutrien mangrove dibagi atas nutrien inorganik dan detritus organik. Nutrien inorganik penting adalah N dan P (jumlahnya sering terbatas), serta K, Mg, dan Na (selalu cukup). Sumber nutrien inorganik adalah hujan, aliran permukaan, sedimen, air laut dan bahan organik yang terdegradasi. Detritus organik adalah nutrien organik yang berasal dari bahan-bahan biogenik melalui beberapa tahap degradasi mikrobial. Detritus organik berasal dari authochthonous (fitoplankton, diatom, bakteri, algae, sisa organisme dan kotoran

23 13 organisme) dan allochthonous (partikular dari air limpasan sungai, partikel tanah dari pantai dan laut) (Kusmana et al., 2005) Proteksi Mangrove berkembang baik pada daerah pesisir yang terlindung dari gelombang yang kuat yang dapat menghempaskan anakan mangrove. Daerah yang dimaksud dapat berupa laguna, teluk, estuaria, delta, dan lain-lain. Beberapa ahli ekologi mangrove berpendapat bahwa faktor-faktor lingkungan yang paling berperan dalam pertumbuhan mangrove adalah tipe tanah, salinitas, drainase dan arus yang semuanya diakibatkan oleh tinggi rata-rata muka laut (Kusmana et al., 2005) Zonasi Penyebaran Mangrove Zonasi dalam hutan mangrove tergantung kepada keadaan tempat tumbuh spesifik, yang berbeda-beda dari suatu tempat ke tempat lain. Variasi keadaan tempat tumbuh pada hutan mangrove ditentukan oleh keadaan tanah, salinitas, penggenangan, arus pasang surut, laju pengendapan dan pengikisan. Zonasi juga menggambarkan tahapan suksesi yang terjadi sejalan dengan perubahan tempat tumbuh, dimana tempat tumbuh hutan mangrove memang selalu berubah, terutama akibat laju pengendapan/pengikisan. Daya adaptasi tiap jenis terhadap keadaan tempat tumbuh akan menentukan komposisi jenis tiap zonasi. Sebagaimana lazimnya pada kebanyakan zonasi hutan mangrove, semakin jauh jarak dari laut, komunitas dalam satu zona menggantikan komunitas yang lain sampai tercapai komunitas peralihan menjadi hutan rawa, air tawar atau komunitas hutan pedalaman. Tidak semua formasi mangrove mempunyai batasbatas zona yang jelas. Derajat perubahan habitat, baik alami atau gangguan manusia, dan keadaan geomorfologi maupun fisiologi lingkungan setempat akan mempengaruhi zonasi hutan mangove. Sering ditemukan pada suatu hutan mangrove hanya merupakan satu asosiasi beberapa jenis pohon mangrove (tanpa zonasi) atau bahkan satu jenis. Zonasi-zonasi hutan mangrove yang mempunyai batas yang jelas dan mudah dikenali, menurut Bunt dan Williams (1981, dalam Istomo, 1992) dapat terjadi sekurang-kurangnya oleh dua sebab: (1) situasi bila asosiasi vegetasi yang berdekatan hanya sedikit atau tidak mempunyai pertalian keturunan

24 14 floristik, walaupun tumbuh dalam kondisi lingkungan yang sama (variasi berkesinambungan), dan (2) situasi yang menunjukkan gradien lingkungan dalam suatu tingkat yang memungkinkan perubahan mendadak antar asosiasi vegetasi yang mempunyai pertalian (variasi tak sinambung). Jadi perubahan vegetasi dapat bersinambungan, tak bersinambungan, atau kombinasi keduanya. Di lapangan flora mangrove umumnya tumbuh membentuk zonasi mulai dari pinggir pantai sampai pedalaman daratan. Zonasi yang terbentuk bisa berupa zonasi yang sederhana (satu zonasi, zonasi campuran) dan zonasi yang kompleks (beberapa zonasi) tergantung pada kondisi lingkungan mangrove yang bersangkutan. Beberapa faktor lingkungan yang penting dalam mengontrol zonasi adalah : 1. Pasang surut yang secara tidak langsung mengontrol dalamnya muka air (water table) dan salinitas air dan tanah. Secara langsung arus pasang surut dapat menyebabkan kerusakan terhadap anakan. 2. Tipe tanah yang secara langsung menentukan tingkat aerasi tanah, tingginya muka air dan drainase. 3. Kadar garam tanah dan air yang berkaitan dengan toleransi spesies terhadap kadar garam 4. Cahaya yang berpengaruh terhadap pertumbuhan anakan dari spesies intoleran seperti Rhizophora, Avicennia dan Sonneratia. Anwar et al. (1984), berpendapat bahwa hutan mangrove dapat dibagi atas lima bagian berdasarkan frekuensi air pasang. Zonasi penyebaran hutan mangrove disajikan pada Gambar 1. Bagian pertama (yang terdekat ke laut) digenangi oleh setiap pasang naik, dan bagian kelima (yang terjauh dari laut) hanya digenangi bila air pasang yang luar biasa. Zona-zona tersebut ditumbuhi oleh tipe-tipe vegetasi yang berbeda-beda dan komposisi jenis pohon dalam setiap zona tergantung pada jarak relatif dari sungai dan laut. Zonasi yang lengkap pada mangrove adalah : a. Zona yang terdekat dengan laut yang dikuasai oleh Avicennia spp dan Sonneratia spp, tumbuh pada lumpur lembek dengan kandungan organik yang tinggi. Avicennia marina tumbuh pada substrak berliat yang agak keras, sedangkan A. alba tumbuh pada susbtrak yang agak lembek. b. Zona yang tumbuh pada liat dan cukup keras serta dicapai oleh beberapa air pasang. Zona ini sedikit lebih tinggi yang biasanya didominasi oleh Bruguiera cylindrica.

25 15 c. Kearah daratan lagi, zona yang dikuasai oleh Rhizophora mucronata dan R. apiculata. Jenis R. mucronata lebih banyak dijumpai pada kondisi yang agak basah dan lumpur yang agak dalam. Pohon-pohon dapat tumbuh setinggi m, pohon lain yang juga terdapat pada hutan ini mencakup Bruguiera parviflora dan Xylicarpus granatum. d. Hutan yang dikuasai oleh Bruguiera parviflora kadang-kadang di jumpai tanpa jenis pohon lainnya. Hutan ini juga terdapat dimana pohohn Rhizophora telah ditebang. e. Hutan mangrove paling belakang dikuasai oleh Bruguiera gymnorhiza. Peralihan antara hutan ini dan hutan daratan ditandai oleh adanya Lumnitzera racemosa. Xylocarpus moluccensis. Intsia bijuga, Ficus retusa, rotan, pandan, nibung pantai (Oncosperma tigilaria). Zona-zona ini tidak terlalu nyata terutama di hutan terganggu oleh manusia. Di hutan mangrove terganggu pakis piai (Acrosticum aureum) sangat umum dan padat. Sumber : Anwar et al. (1984) Gambar 1. Zonasi Penyebaran Hutan Mangrove 2.8. Sistem Informasi Geografis dan Penginderaan Jauh Sebagai alat dalam proses pengambilan keputusan yang komprehensif, SIG memegang peranan penting karena mempunyai kemampuan untuk melakukan pemprosesan dan penyimpanan data spasial dan data atribut. Fungsi dalam pemprosesan dan penyimpanan tersebut membedakan SIG dengan sistem informasi manajemen yang lain. SIG merupakan teknologi informasi, hal ini memungkinkan untuk mengintegrasikan dengan teknologi geografi yang bervariasi seperti penginderaan jauh, Global Positioning System (GPS),

26 16 Computer Aided Design (CAD), kartografi digital, dan fasilitas manajemen. Teknologi geografi ini dapat diintegrasikan dengan teknik analitik dan pengambilan keputusan. SIG dapat dikatakan sebagai suatu sistem pendukung untuk pengambilan keputusan yang melibatkan data spasial bereferensi, dalam pemecahan masalah lingkungan. Cara yang ditempuh adalah dengan memasukkan, menyimpan dan menganalisis data dalam SIG yang harus mencerminkan bahwa informasi akan digunakan untuk analisis khusus atau pengambilan keputusan. Analisis data penginderaan jauh memerlukan data rujukan seperti peta tematik, data statistik dan data lapangan. Hasil analisa yang diperoleh berupa informasi bentang lahan, jenis penutup lahan, kondisi lokasi dan kondisi sumberdaya daerah yang diindera. Informasi tersebut bagi para pengguna dapat dimanfaatkan untuk membantu proses pengambilan keputusan dalam mengembangkan daerah tersebut. Air, vegetasi dan tanah merupakan unsur unsur mendasar penutupan lahan karena ketiganya memiliki kurva pantulan spektral yang khas. Karakteristik reflektan dari objek permukaan bumi (air, tanah, vegetasi) dapat digunakan sebagai dasar dalam pemilihan citra penginderaan jauh yang digunakan untuk interpretasi objek. Data penginderaan jauh dapat berupa citra (imagery), grafik dan data numerik. Data tersebut dapat dianalisis untuk mendapatkan informasi tentang objek, daerah atau fenomena yang diteliti. Proses penterjemahan data menjadi informasi disebut analisis atau interpretasi data. Apabila proses interpretasi digunakan secara digital dengan bantuan komputer maka disebut interpretasi digital. (Faizal dan Amran, 2005). Identifikasi obyek dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh dilaksanakan dengan beberapa pendekatan antara lain; karakteristik spektral citra, visualisasi, floristik, geografi dan phsygonomik (Hartono, dalam Faizal dan Amran, 2005). Khususnya pada sistem satelit (citra satelit) lebih banyak didasarkan atas karakteristik spektral. Obyek yang berbeda akan memberikan pantulan spektral yang berbeda pula, bahkan obyek yang sama dengan kondisi dan kerapatan yang berbeda akan memberikan nilai spektral yang berbeda. (Swain dalam Faizal dan Amran, 2005). Ekosistem mangrove adalah salah satu obyek yang bisa di indentifikasi dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh. Letak geografi ekosistem

27 17 mangrove yang berada pada daerah peralihan darat dan laut memberikan efek perekaman yang khas jika dibandingkan obyek vegetasi darat lainnya. Efek perekaman tersebut sangat erat kaitannya dengan karakteritik spektral ekosistem mangrove, hingga dalam identifikasi memerlukan suatu transformasi tersendiri. Pada umumnya untuk deteksi vegetasi digunakan transformasi indeks vegetasi (Danoedoro, 1996). Indeks vegetasi merupakan suatu algoritma yang diterapkan terhadap citra satelit, untuk menonjolkan aspek kerapatan vegetasi ataupun aspek lain yang berkaitan dengan kerapatan, misalnya biomassa, Leaf Area Index (LAI), konsentrasi klorofil. Atau lebih praktis, indeks vegetasi adalah merupakan suatu transformasi matematis yang melibatkan beberapa saluran sekaligus untuk menghasilkan citra baru yang lebih representatif dalam menyajikan aspek-aspek yang berkaitan dengan vegetasi (Danoedoro, 1996). Untuk mendapatkan kerapatan vegetasi yang menutupi lahan dibuat suatu citra yang mempresentasikan keberadaan vegetasi pada lahan tersebut yang disebut dengan citra NDVI (Normalized Difference Vegetation Index). Pada dasarnya citra yang diperoleh dari transformasi NDVI adalah citra monokromatis. Namun demikian, untuk memperoleh tampilan yang lebih baik dan mendapatkan informasi kelas tutupan lahan dilakukan proses density slicing. Kerapatan vegetasi di suatu lokasi dapat dideteksi dengan tampilan degradasi warna putih pada citra NDVI. Semakin gelap warna hijau yang ditampilkan citra pada suatu lokasi menunjukkan bahwa intensitas vegetasi di lokasi tersebut semakin tinggi dan sebaliknya bila obyek diperlihatkan dengan degradasi warna hijau yang lebih terang (Mardani, 2002).

28 18 III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Kerangka Pemikiran Penelitian Habitat mangrove yang terdapat di wilayah pesisir Kabupaten Aceh Timur tinggal sedikit dan kondisinya memprihatinkan. Akibat tingginya aktivitas manusia di wilayah pesisir, diperkirakan keberadaan habitat mangrove ini mengalami degradasi dan kualitasnya semakin menurun. Berbagai isu penting di wilayah pesisir Kabupaten Aceh Timur, seperti pencemaran perairan, sampah, reklamasi pantai, konversi lahan mangrove menjadi peruntukan lain, dan sebagainya, diduga menjadi penyebab utama hilangnya habitat-habitat tersebut. Kondisi khas kawasan pesisir meniscayakan perlunya pemetaan yang jelas mengenai jenis mangrove yang ditanam, karena jika jenisnya tidak tepat hal itu berakibat pada gagalnya penanaman mangrove, yang tujuannya adalah merehabilitasi kawasan yang telah rusak dan tanaman yang mati sejak awal ditanam Sebagai awal penelitian ini, dilakukan pengumpulan data berkaitan dengan kondisi lokasi penelitian. Selanjutnya dilakukan survei untuk menentukan lokasi penelitian. Kemudian dilakukan pengumpulan data berkaitan dengan kondisi hutan mangrove di lokasi penelitian, meliputi potensi biofisik yang berkaitan dengan biologi (vegetasi) dan data fisik (iklim, kelautan, tanah dan air). Dari data yang terkumpul ditentukan kriteria biofisik daerah penelitian untuk hutan mangrove. Selanjutnya dilakukan analisis masalah terhadap sifat-sifat biofisik yang mempengaruhi pembentukan zonasi mangrove dan pemilihan jenis mangrove untuk lokasi penelitian. Langkah terakhir adalah merekomendasikan pengembangan mangrove pada setiap zona berdasarkan sifat-sifat biofisik lokasi penelitian. Langka-langkah ini dapat disusun dalam suatu diagram alir pemikiran penelitian seperti disajikan pada Gambar 2.

29 19 Peta Lokasi - Citra Landsat - Peta Rupa Bumi - Peta Penggunaan Lahan Survei Awal Penentuan Lokasi Kondisi Vegetasi Sifat-sifat Tanah Sifat-sifat Air Kriteria Biofisik Daerah Penelitian Analisis Masalah : - Mengidentifikasi dan menginventarisasi jenis-jenis mangrove di Kabupaten Aceh Timur. - Mempelajari hubungan antara sifat-sifat biofisik dengan ekosistem mangrove - Memetakan kerusakan hutan mangrove di Kabupaten Aceh Timur. Rekomendasi Pengembangan Mangrove Gambar 2. Kerangka Pemikiran Penelitian 3.2. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Aceh Timur, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Data lapangan diambil pada bulan Nopember Desember 2006, sedangkan analisis tanah dilakukan di Laboratorium Kimia dan Kesuburan Tanah, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah citra Landsat 7 ETM+, Peta Penutupan dan Penggunaan Lahan tahun 2003 wilayah Kabupaten Aceh Timur, Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Peta Rupa Bumi Kabupaten Aceh Timur, lembar pengumpulan data, seperangkat kamera, Global Positioning

30 20 System (GPS), alat-alat survei tanah dan survei vegetasi. Analisis sifat-sifat tanah di laboratorium menggunakan bahan dan alat analisis di laboratorium Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode diskriptif dengan teknik survai yaitu pengamatan kondisi fisik dan pengambilan sampel tanah, air, pengamatan kondisi vegetasi serta analisis tanah dan air di laboratorium. Pengambilan sampel tanah, air dan vegetasi mangrove dilakukan pada 3 stasiun berdasarkan posisi relatif terhadap laut. Ketiga stasiun penelitian ini terletak di pesisir pantai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut setiap hari. Peta stasiun pengambilan contoh tanah, air dan analisis vegetasi mangrove disajikan pada Gambar 3. Stasiun I (Kecamatan Nurussalam) dan stasiun III (Kecamatan Idi Rayeuk) berada pada daerah muara sungai, dimana pengaruh air laut dan air tawar berfluktuatif atau bisa sama dominannya tergantung dari pasang surut dan masukan aliran air tawar. Posisi stasiun II (Kecamatan Darul Aman) berada langsung di pinggir pantai dimana secara umum dominasi air laut lebih besar daripada air tawar Adapun parameter yang diteliti adalah sebagai berikut : a. Faktor fisika tanah yaitu tekstur tanah. b. Faktor kimia tanah yaitu : C- Organik, N - total, P- tersedia, K-tersedia, Mg-dd, Na-dd, salinitas dan KTK. c. Faktor kimia air yaitu : salinitas, Kebutuhan Oksigen Kimia (COD), Kebutuhan Oksigen Biologi (BOD), Amonia total, dan fosfat. d. Faktor vegetasi mangrove : jumlah pohon, diameter pohon, tinggi pohon, jumlah belta, diameter dan tinggi belta. e. Inventarisasi Sumberdaya lahan Mangrove menggunakan data Landsat 7 ETM Pelaksanaan Penelitian Secara umum tahapan pelaksanaan penelitian mencakup tahap-tahap : persiapan, pengumpulan data, pengamatan lapangan dan pengambilan sampel, Analisis sampel tanah dan air di laboratorium, analisa data, pembahasan dan penarikan kesimpulan.

31 Persiapan Tahap ini adalah sebagai langkah awal untuk mengetahui gambaran umum lokasi dan mempersiapkan proposal penelitian sebagai kerangka dasar pelaksanaan lapangan. Hal-hal yang dipersiapkan sebelum pelaksanaan survai lapangan meliputi : a) Studi kepustakaan, peta dan data-data yang berhubungan dengan lokasi penelitian b) Penyusunan proposal penelitian c) Persiapan peta lokasi penelitian sebagai dasar dalam penentuan titiktitik pengambilan sampel tanah, air, pengamatan vegetasi dan kondisi fisik d) Persiapan peralatan dan bahan survai Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan meliputi : a) Data primer, yaitu data yang didapat langsung dari hasil pengamatan di lapangan yaitu data kondisi fisik lingkungan, pengamatan vegetasi, data dari hasil analisis tanah dan air yang dilakukan di laboratorium. b) Data sekunder, yaitu studi kepustakaan (literatur), data iklim (curah hujan, suhu, arah dan kecepatan angin, pasang surut air laut) yang di dapat dari Dinas Pertanian Kabupaten Aceh Timur dan Dinas Hidrooseanografi TNI-AL dan data-data lain yang menunjang untuk penelitian.

32 Gambar 3. Peta Stasiun Pengambilan Contoh Tanah, Air dan Analisis Vegetasi Mangrove Kabupaten Aceh Timur Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

33 Teknik Pengambilan Sampel Transek garis dengan petak zona dari pinggir perairan ke arah darat untuk pengambilan contoh tanah, air, dan analisis vegetasi mangrove pada setiap stasiun disajikan pada Gambar 4. Perairan posisi A posisi A posisi A posisi A 100 m posisi B posisi B posisi B Posisi/Petak Contoh posisi B 100 m Transek Garis posisi C posisi C posisi C posisi C posisi D posisi D posisi D posisi D Transek 1 Transek 2 Transek 3 Transek 4 Darat Gambar 4. Transek Garis dengan petak zona dari pinggir perairan ke arah darat untuk pengambilan contoh tanah, air dan analisis vegetasi mangrove. Keempat transek dibuat di setiap stasiun. Stasiun I terletak di Kecamatan Nurussalam, Stasiun II di Kecamatan Darul Aman dan stasiun III di Kecamatan Idi Rayeuk. Posisi zona di setiap stasiun penelitian adalah sebagai berikut : Posisi A (posisi depan, pada posisi relatif lebih dekat dengan laut atau muara). Untuk mempermudah pengertian, dalam teks pembahasan selanjutnya posisi ini akan disebut sebagai posisi A (depan). Posisi B (posisi tengah, kawasan di belakang posisi A). Posisi ini selanjutnya akan disebut posisi B (tengah).

34 24 Posisi C (posisi belakang, kawasan di belakang posisi B). Posisi ini selanjutnya akan disebut posisi C (belakang). Posisi D (posisi transisi, kawasan di atas posisi C atau yang berdekatan dengan hutan daratan dan ditandai dengan tumbuhan nipah). Posisi ini selanjutnya akan disebut posisi D (transisi, darat) Data sifat kimia tanah dan air. Untuk mengetahui sifat kimia tanah dan air, sampel tanah dan air diambil berdasarkan grid. Dengan interval jarak antara titik sampel 100 m, teknik sampling yang digunakan adalah teknik sistematis. Untuk setiap titik pengamatan sampel tanah diambil pada kedalaman 0 20 cm, sedangkan untuk pengambilan sampel air diambil air permukaannya saja. Kemudian kedua jenis sampel ini dianalisis di laboratorium Data vegetasi mangrove Pada titik pengamatan yang ditentukan, kemudian di buat petak-petak berukuran 10 m x 10 m tegak lurus pantai untuk pelaksanaan pengamatan vegetasi. Sifat atau parameter vegetasi yang ditetapkan di lapang meliputi jumlah pohon (diameter > 10 cm), jumlah belta (diameter 2-10 cm). Ukuran petak contoh untuk setiap tingkatan tumbuhan pada setiap posisi pengambilan sampel ditetapkan sebagaimana disajikan pada Gambar 5. Gambar 5. Skema letak petak contoh dalam jalur pada setiap posis pengambilan sampel Keterangan gambar : B-1 : Petak coba untuk belta (5 mx 5 m), pada satuan contoh sekunder kesatu. C-2 : Petak coba untuk pohon (10 m x 10 m), pada satuan contoh sekunder kesatu.

35 Analisa Laboratorium Tanah Sifat-sifat tanah yang dianalisis di laboratorium meliputi sifat fisik dan sifat kimianya. Parameter, metode dan alat yang digunakan dalam analisis kualitas tanah di sajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Parameter, metode dan alat yang digunakan dalam analisis kualitas tanah No. Jenis Analisis Satuan Metoda Analisis 1 Kimia Tanah N-Total % Kjeldahl P- tersedia ppm Bray 1 K-tersedia me/100g NH 4 OAC ph 7,0 titrasi Mg-dd me/100g NH 4 OAC ph 7,0 titrasi Na-dd me/100g NH 4 OAC ph 7,0 titrasi Kadar C-organik % Walkey and Black Salinitas tanah mmhos DHL/ EC meter KTK me/100g NH 4 OAC ph 7,0 titrasi 2 Fisika Tanah Tekstur % Pipet Kualitas Air Contoh air dianalisis di laboratorium untuk mengetahui kualitas air. Parameter, metode dan alat yang digunakan dalam analisis kualitas air di sajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Parameter, metode dan alat yang digunakan dalam analisis kualitas air No. Jenis Analisis Satuan Metoda Analisis 1 Salinitas Air 0 / 00-2 Oksigen terlarut ppm Titrasi Winkler 3 BOD ppm Spektrofotometri 4 Amonia total ppm Destilasi NGO 5 Fosfat ppm Spektrofotometri 3.8. Pegolahan dan Analisa Data Analisis Kondisi Hutan Mangrove Kualitas hutan mangrove di Kabupaten Aceh Timur diukur dengan membuat transek pada 3 (tiga) lokasi. Dari setiap lokasi dibuat transek berukuran 10 m x 10 m dan kemudian diukur parameter berupa jenis mangrove, keliling, tinggi tegakan, dan jumlah tegakan. Dari data vegetasi tersebut dihitung Frekuensi Relatif (FR), Kerapatan Relatif (KR) dan Dominansi Relatif (DR). Penjumlahan ketiga nilai tersebut merupakan Indeks Nilai Penting (INP) dari spesies yang ada di masing-masing stasiun.

36 26 Dari hasil pengamatan data lapangan, data mengenai vegetasi dianalisa dengan melakukan penghitungan terhadap besaran-besaran sebagai berikut: Kerapatan = Jumlah individu Luas petak contoh K suatu jenis Kerapatan relatif (KR) = x 100% K total seluruh jenis Frekuensi = Sub petak ditemukan suatu jenis Seluruh sub petak contoh F suatu spesies Frekuensi relatif (FR) = x 100% F seluruh spesies Dominansi = Luas bidang dasar suatu spesies Luas petak contoh D suatu spesies Dominasi relatif (DR) = x 100% D seluruh spesies Indeks Nilai Penting (INP) = KR + FR + DR Analisis Sifat Kimia Tanah dan Air Setelah semua data yang diperoleh dari hasil uji laboratorium didapatkan, selanjutnya dilakukan analisis data. Analisis data dilakukan menggunakan Rancangan Acak Kelompok yang terdiri dari dua faktor : faktor pertama adalah stasiun penelitian ( I, II dan III) dan faktor kedua adalah posisi pengambilan sampel (A, B, C dan D). Dengan demikian terdapat 12 kombinasi yang diulang sebanyak 4 kali sehingga terdapat 48 satuan pengambilan sampel. Disusun dengan model linier menurut Mattjik dan Sumertajaya (2002), adalah : Yijk = μ+αi+βj + Kk + (αβij)+εijk Dimana : Yijk = Nilai pengamatan dari stasiun ke- i dan ke- j pada kelompok ke-k μ = Nilai Tengah Umum αi = Pengaruh additif stasiun ke-i βj = Pengaruh additif stasiun ke-j Kk = Pengaruh additif posisi ke-k (αβij) = Interaksi antara stasiun ke-i dan stasiun ke-j Εijk = Galat dari stasiun ke-i dan stasiun ke-j pada posisi ke-k

37 27 Data yang diperoleh dianalisis dengan analisis varian (anova), bila terdapat perbedaan yang nyata dan sangat nyata (signifikan) maka dilanjutkan dengan Uji Beda Nyata Jujur atau BNJ α 0,05 (Hanafiah, 1997). Pengujian statistik selanjutnya yang dilakukan dengan stepwise regression dimaksudkan untuk menetapkan sifat-sifat kimia tanah yang mempengaruhi pertumbuhan mangrove pada masing-masing posisi. Jumlah pohon merupakan parameter vegetasi yang digunakan untuk pengujian pertumbuhan Pengolahan Parameter Kekritisan Lahan Analisis kekritisan lahan mangrove dilakukan dengan menggunakan teknologi GIS, sedangkan untuk parameter tutupan/penggunaan lahan dan tingkat kerapatan mangrove diturunkan dari data penginderaan jauh. Secara skematis, tahap kegiatan penilaian tersebut dijelaskan pada Gambar 6. Citra Landsat Koreksi geometrik dan radiometrik NDVI Interprestasi Kriteria kerapatan tajuk Digit on screen Peta kerapatan mangrove Peta penutupan lahan Gambar 6. Tahap Analisa Data Landsat untuk pembuatan peta tutupan lahan dan peta kerapatan mangrove Penafsiran citra dilakukan untuk mendapatkan kelas penutupan lahan sesuai dengan pembagian kelas dan kodefikasi penutupan lahan yang dikeluarkan oleh Badan Planologi Kehutanan (23 kelas). Penafsiran citra dilakukan dengan metode manual, yaitu dengan cara interpretasi berdasarkan kenampakan warna objek. Selain kenampakan warna, pengenalan objek dapat

38 28 dilakukan dengan pendekatan letak, bentuk, ukuran, pola penyebaran, tekstur, struktur, site (letak terhadap lingkungan) dan asosiasi (faktor lain yang berhubungan). Unsur-unsur di atas dalam kegiatan penafsiran citra sering disebut sebagai kunci interpretasi. Penggunaan kunci interpretasi tergantung pada kerumitan pengenalan objek, semakin rumit akan membutuhkan semakin banyak kunci pengenalannya, sehingga hasil yang didapat akan mendekati kebenaran di lapangan. Kunci interpretasi dapat dikenali pada setiap kenampakan citra dengan menggunakan metode digitation on screen akan lebih memudahkan pengenalan kunci interpretasinya, sehingga akan mendapatkan klasifikasi yang sesuai dengan kebenaran di lapangan. Hal yang perlu diperhatikan dalam proses interpretasi citra dengan cara digitation on screen adalah penggunaan zooming monitor harus selalu konstan pada skala yang dikehendaki. Perbesaran atau pengecilan skala pada monitor hanya dilakukan untuk melihat kenampakan menyeluruh atau detil objek, namun saat delineasi skala harus konstan Tutupan/ Penggunaan Lahan Interpretasi tutupan lahan menggunakan metode on screen digitation. Metode tersebut digunakan karena obyek yang ditafsir berkorelasi kuat dengan obyek air, sehingga pantulan air sangat mempengaruhi pantulan obyek mangrove. Dalam kondisi demikian penafsiran secara visual akan lebih menguntungkan karena unsur subyektivitas penafsir akan dibantu dengan pemahaman kunci penafsiran. Obyek yang akan diinterpretasi dalam pekerjaan ini adalah tutupan lahan dan tingkat kerapatan tajuk (1) Klasifikasi obyek akan mengikuti kaidah klasifikasi Baplan-Dephut (Ditjen RLPS, Dephut, 2005). Dasar penafsiran dan delineasinya adalah pengenalan obyek berdasarkan kunci penafsiran seperti; warna, tone, letak/site, asosiasi, bentuk, dan pola. Delineasi dilakukan dengan cara on screen digitation. (2) Kodefikasi Jenis Tutupan Lahan akan mengikuti kaidah kodefikasi yang telah dibuat oleh Baplan-Dephut. Kodefikasi dimaksudkan untuk memudahkan dalam proses analisis secara digital dengan SIG.

39 Kerapatan Tajuk Kerapatan tajuk diduga dengan analisis NDVI (Normalized Defference Vegetation Index). Prinsip kerja analisis NDVI adalah dengan mengukur tingkat intensitas kehijauan. Intensitas kehijauan pada Citra Landsat berkorelasi dengan tingkat kerapatan tajuk vegetasi. Untuk deteksi tingkat kehijauan pada Citra Landsat, yang berkorelasi dengan kandungan klorofil daun, maka saluran yang baik digunakan adalah saluran inframerah dan merah. Oleh sebab itu dalam formula NDVI digunakan kedua saluran tersebut. Adapun formula yang digunakan pada NDVI adalah sebagai berikut: NDVI = DN Saluran 4 DN Saluran 3 DN Saluran 3 + DN Saluran 4 KET: - Saluran 3 : Merah - Saluran 4 : Inframerah Klasifikasi kerapatan tajuk mangrove ditentukan berdasarkan rentang nilai NDVI hasil perhitungan. Jumlah klasifikasi kerapatan mengacu pada buku Pedoman Inventarisasi dan Identifikasi Mangrove yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial Departemen Kehutanan tahun Pemodelan Spasial Tingkat Kekritisan Lahan Analisis ini dilakukan mengacu pada Pedoman Inventarisasi dan Identifikasi Mangrove (Ditjen RLPS, Dephut, tahun 2005). Kriteria penentuan tingkat kekritisan lahan mangrove dengan teknologi GIS dan inderaja adalah sebagai berikut: 1. Tipe penggunaan lahan, dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori, yaitu: 1) hutan (kawasan berhutan), 2) tambak tumpangsari dan perkebunan, dan 3) areal non-vegetasi hutan (pemukiman, industri, tambak nontumpangsari, sawah, dan tanah kosong). 2. Kerapatan tajuk, dimana berdasarkan nilai NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) dapat diklasifikasikan menjadi: kerapatan tajuk lebat, kerapatan tajuk sedang, dan kerapatan tajuk jarang. 3. Ketahanan tanah terhadap abrasi, yang dapat diperoleh dari peta land system dan Peta Tanah. Berdasarkan tingkat kepekaan terhadap erosi, jenis-jenis tanah dapat dikategorikan menjadi tiga kategori, yaitu: jenis tanah tidak peka erosi (tekstur lempung), jenis tanah peka erosi (tekstur pasir berlempung), dan jenis tanah sangat peka erosi (tekstur pasir).

40 30 Secara skematis, tahap kegiatan pemodelan spasial tingkat kekritisan lahan dijelaskan pada Gambar 7. JPL Kt Kta Citra Landsat NDVI NDVI Overlay = JPL + Kt + KTa Peta penutupan lahan Klasifikasi Kriteria kerapatan tajuk Tingkat Kekritisan Lahan Mangrove Gambar 7. Pemodelan Spasial Tingkat Kekritisan Lahan Secara ringkas, kriteria, bobot dan skor penilaian tersebut dapat disajikan seperti pada Tabel 3. Tabel 3. Kriteria, bobot dan skor penilaian untuk penentuan tingkat kekritisan lahan mangrove dengan bantuan teknologi GIS dan Inderaja NO. KRITERIA BOBOT SKOR PENILAIAN 1 Jenis penggunaan lahan (Jpl) 45 a. 3: hutan (kawasan berhutan) b. 2: tambak tumpangsari, perkebunan c. 1: pemukiman, industri, tambak nontumpangsari, sawah, tanah kosong 2 Kerapatan tajuk (Kt) 35 a. 3: kerapatan tajuk lebat (70 100%, atau 0,43 NDVI 1,00) b. 2: kerapatan tajuk sedang (50 69%, atau 0,33 NDVI,42) c. 1: kerapatan tajuk jarang (< 50%, atau -1,0 NDVI 0,32) 3 Ketahanan tanah terhadap abrasi (Kta) 20 a. 3: jenis tanah tidak peka erosi (tekstur lempung) b. 2: jenis tanah peka erosi (tekstur lempung berpasir) c. 1: jenis tanah sangat peka erosi (tekstur pasir) Sumber: Pedoman Inventarissi dan Identifikasi Mangrove, Dephut (2005) Catatan: skor 1 = jelek, 2 = sedang dan 3 = bagus.

41 31 Berdasarkan Tabel 3, Total Nilai Skoring (TNS) dihitung dengan rumus sebagai berikut: TNS = (Jp1 x 45) + (Kt x 35) + Kta x 20) Dari total nilai skoring (TNS), selanjutnya dapat ditentukan tingkat kekritisan lahan mangrove sebagai berikut : 1. Nilai : rusak berat 2. Nilai : rusak 3. Nilai : tidak rusak Hasil analisis tingkat kekritisaan lahan mangrove dengan parameter terkoreksi selanjutnya dipetakan dan dibuat Tabel Hasil Reskoring.

42 IV. KEADAAN UMUM WILAYAH 4.1. Iklim Iklim merupakan salah satu faktor yang sangat mempengaruhi ekosistem mangrove, terutama terhadap perkembangan tumbuhan dan perubahan faktorfaktor fisik, seperti tanah dan air. Iklim berpengaruh terhadap pertumbuhan mangrove melalui cahaya, curah hujan, suhu, dan angin. Umumnya hutan mangrove di Indonesia terdapat pada iklim dengan curah hujan tahunan dan bulanan yang tinggi, hal ini dapat mencegah akumulasi garam-garam tanah, sehingga hutan mangrove tumbuh subur dan berkembang dengan baik Curah Hujan Jumlah, lama dan distribusi curah hujan merupakan faktor penting yang mengatur perkembangan dan distribusi tumbuhan mangrove. Selain itu curah hujan mempengaruhi faktor lingkungan lain seperti udara dan suhu air, salinitas air permukaan dan air tanah. Sebaliknya curah hujan mempengaruhi ketahanan hidup dari spesies mangrove. Data meteorologi wilayah setempat diperoleh dari Dinas Pertanian Kabupaten Aceh Timur. Berdasarkan klasifikasi iklim Schmidt - Ferguson (1951), wilayah studi memiliki tipe iklim D dengan perbandingan relatif bulan basah dan bulan kering sebesar 66,7% (Tabel 4). Curah hujan tahunan rata-rata pada tahun 2003 adalah 151 mm/tahun dan tahun 2004 adalah 139 mm/tahun dan rata-rata jumlah hari hujan 75 hari/tahun. Rata-rata jumlah hari hujan bulanan pada Tahun 2004 adalah 8 hari/bulan. Jumlah hari hujan terbesar terjadi pada bulan September sebesar 16 hari/bulan, sedangkan curah hujannya rendah (135 mm/hari). Sedangkan jumlah hari hujan terkecil terjadi pada tahun 2004 adalah bulan Maret, April, dan Juni yaitu 5 hari/bulan. Curah hujan harian maksimum terjadi bulan Oktober (273 mm) dan Desember (264 mm). Curah hujan harian minimum terjadi bulan April (32 mm) dan Mei (60 mm).

43 33 Tabel 4. Banyaknya Curah Hujan dan Hari Hujan di Kabupaten Aceh Timur Tahun BULAN curah hari curah hari curah hari curah hari curah hari hujan hujan hujan hujan hujan hujan hujan hujan hujan hujan (mm) (hari) (mm) (hari) (mm) (hari) (mm) (hari) (mm) (hari) Januari 31,0 2 50, , Februari 21,0 2 18,0 1 75, , ,00 7 Maret 25,0 2 82, , , ,00 5 April 55,0 1 85, , , ,00 5 Mei ,0 3 83, , ,00 8 Juni 20,0 2 28, , , ,00 5 Juli 30,0 1 62, , , ,00 8 Agustus 22, , , , ,00 12 September 47, , , , ,00 16 Oktober 92, , , , ,00 8 November 153, , , , ,00 12 Desember 14, , , , ,00 12 Jumlah 532, , , , , Rata-Rata , Sumber : Dinas Pertanian Kabupaten Aceh Timur, Dilihat dari faktor curah hujan dan tipe iklim, wilayah Kabupaten Aceh Timur sesuai untuk pertumbuhan mangrove, karena memiliki curah hujan tahunan sebesar 1470 mm/tahun (Tabel 4) dan tipe iklim D. Umumnya mangrove tumbuh dengan baik pada daerah yang mempunyai curah hujan sebesar mm/tahun. Meskipun demikian, mangrove dapat juga ditemukan pada daerah yang bercurah hujan tinggi, yaitu 4000 mm/tahun yang tersebar lebih dari satu periode 8 10 bulan pertahun (Aksornkoae, 1993). Menurut Kartawinata and Waluyo (1977), hutan mangrove di Indonesia berkembang pada iklim A, B, C dan D dengan nilai Q yang bervariasi mulai 0 sampai dengan 73,7 % (Schmidt Fergusson, 1951) Suhu Suhu merupakan faktor penting didalam proses fisiologis tumbuhan mangrove, seperti fotosintesis dan respirasi. Data suhu lokasi penelitian disajikan pada Tabel 4. Suhu udara bulan Desember sampai Februari menunjukkan nilai rata-rata adalah 26,3 0 C, suhu maksimum 32,4 0 C, suhu minimum 22,4 0 C.Pada bulan Juni, suhu rata-rata sebesar 27,3 0 C, maksimum 32,8 0 C dan minimum 23,1 0 C. Pada bulan Juli, suhu rata-rata 26,6 0 C, maksimum 32,4 0 C dan minimum 23,3 0 C pada bulan September, dan Oktober, suhu rata-rata, maksimum dan minimum kurang lebih sama dengan yang terjadi pada bulan Juli dan Agustus. Pada bulan November suhu rata-rata 26,8 0 C, maksimum 30 0 C dan minimum 23,1 0 C.

44 34 Tabel 5. Suhu Wilayah Penelitian dan Sekitarnya, Tahun 2004 Bulan Suhu ( O C) Rata-rata Maksimum Minimum Januari 25,7 30,2 27,7 Februari 26,0 30,7 22,4 Maret 26,3 31,0 22,7 April 26,7 32,0 23,2 Mei 26,6 31,8 24,0 Juni 27,0 32,3 23,3 Juli 26,6 32,4 23,3 Agustus 27,0 31,8 22,8 September 26,1 30,6 22,8 Oktober 26,8 30,8 22,7 November 25,6 29,9 22,7 Desember 25,2 29,1 22,4 Sumber : Dinas Pertanian Kabupaten Aceh Timur, 2005 Hutchings dan Saenger (1987) dalam Istomo (1992) menyatakan bahwa Avicennia marina yang ada di Australia memproduksi daun baru pada suhu C dan bila lebih tinggi suhunya, maka laju produksi daun baru akan lebih rendah. Sedangkan untuk Rhizophora stylosa, Ceriops spp., Excoacaria aggalocha dan Lumnitzera spp., laju tertinggi produksi daun baru pada suhu C, untuk Bruguiera spp., pada suhu 27 0 C, Xylocarpus spp., pada suhu C, dengan pengecualian Xylocarpus granantum (28 0 C). Berdasarkan Tabel 5, didapatkan bahwa suhu rata-rata tahun 2004 di wilayah Kabupaten Aceh Timur adalah sebesar 26,3 0 C. Dengan kisaran suhu demikian, wilayah Kabupaten Aceh Timur sesuai untuk syarat tumbuh mangrove. Hal ini didukung oleh pernyataan Soerianegara dan Kusmana (1993) bahwa hutan mangrove yang terdapat di bagian timur pulau Sumatera tumbuh pada suhu rata-rata bulanan dengan kisaran dari 26,3 0 C pada bulan Desember sampai dengan 28,7 O C. Kennish (1990) juga menyatakan bahwa mangrove tumbuh subur pada kondisi daerah tropik yang bersuhu diatas 20 0 C. Diperkirakan bahwa suhu rata-rata di daerah tropis merupakan habitat yang terbaik bagi tumbuhan mangrove (Aksornkoae, 1993) Arah dan Kecepatan Angin Angin merupakan faktor yang berpengaruh terhadap ekosistem mangrove, melalui aksi gelombang dan arus didaerah pantai. Hal ini mengakibatkan terjadinya erosi pantai dan perubahan sruktur ekosistem mangrove.

45 35 Kecepatan angin rata-rata antara bulan Desember sampai Februari menunjukan bahwa arah angin umumnya kearah timur (40%) dengan kecepatan 3 m/detik atau lebih. Pada bulan Maret, April dan Mei angin umumnya bertiup kearah utara, sebagian besar kearah timur. Kecepatan angin maksimum 10 knot atau lebih, umumnya berkecepatan 5-10 knot. Pada bulan September, Oktober dan November, arah angin umumnya ke utara dengan kecepatan antara 0-5 knot, dan sebagian besar lagi kearah timur laut dan timur dengan kecepatan pada umumnya 2,5-5 knot. Kecepatan lebih dari 10 knot sekali-sekali bertiup kearah timur dan barat laut. Angin yang kuat memungkinkan untuk menghalangi pertumbuhan mangrove dan menyebabkan karakteristik fisiologis yang tidak normal (Aksornkoae, 1993). Data arah dan kecepatan angin di daerah penelitian dan sekitarnya disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Arah dan Kecepatan Angin di Wilayah Penelitian dan Sekitarnya Tahun 2004 Bulan Kecepatan Angin Arah Angin (m/det) Arah Dominan 3 atau lebih Timur 40 % Timur Laut 10 % Timur 25 % Desember, Januari, Februari Timur Laut 18 % 1,5-2 Timur 10 % Timur Laut 10 % Utara 10 % 3 atau lebih Timur 5 % Timur Laut 10 % Maret, April, Mei Utara 7 % 1 2 Timur 10 % Timur Laut 18 % Utara 25 % Timur 12 % Juni, Juli, Agustus 3 atau lebih Timur Laut 40 % Utara 23 % Barat Daya 15 % Timur 15 % Timur Laut 18 % Utara 20 % September, Oktober, November 3 atau lebih Tengara 12 % Timur 15 % Timur Laut 10 % Utara 20 % Sumber : Dinas Pertanian Kabupaten Aceh Timur, Rata-rata kecepatan angin di daerah penelitian adalah 3 m/detik, angin akan mempengaruhi terjadinya gelombang dan arus laut. Angin yang terjadi berguna sebagai agen polinasi dan diseminasi biji sehingga membantu terjadinya proses reproduksi tumbuhan mangrove di daerah penelitian.

46 Kelautan (Oceanografi) Pasang Surut Di daerah pantai, pasang menentukan pambagian zona tumbuhan dan komunitas hewan yang ditemukan diantara mangrove. Lama pasang sangat mempengaruhi perubahan salinitas di daerah mangrove. Salinitas air menjadi sangat tinggi saat pasang naik, dan menurun selama pasang surut. Perubahan salinitas air oleh pasang merupakan salah satu faktor pembatas distribusi spesies secara horizontal di mangrove, khususnya yang dipengaruhi oleh pasang campuran. Pasang surut merupakan gerakan naik turunya permukaan laut sebagai akibat dari gaya tarik benda angkasa terutama bulan dan matahari terhadap massa air bumi. Tetapi karena perairan Indonesia umumya sempit dan dangkal, maka pembangkitan pasang tidak dapat terjadi langsung. Pasang di sekitar lokasi penelitian merupakan rambatan pasang (cooscilating tides) dari pasang yang terjadi di Samudera Pasifik dan Samudera Hindia. Secara kuantitatif tipe pasut dapat ditentukan dengan perbandingan antara amplitude komponen pasut tunggal utama dan amplitude komponen pasut ganda utama, yang disebut sebagai bilangan Formzahl (F). Jika F berada dalam kisaran : < 0,25 : Pasut bertipe ganda 0,25 1,50 : Pasut bertipe campuran dengan tipe ganda yang dominan 1,51 3,00 : Pasut bertipe campuran dengan tipe tunggal yang dominan >3,0 : Pasut bertipe tunggal Tipe pasang surut di sekitar perairan Aceh bagian utara dan timur disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Tipe pasang surut di sekitar perairan Aceh bagian utara dan timur Lokasi O 1 K 1 M 2 S 2 Nilai F Blanglancang Sumber: Dishidros TNI-AL (2004) Perhitungan bilangan Formzall (F) dengan persamaan sebagai berikut: AO1+ AK F = = = 0,16 AM 2 + AS

47 37 Dari hasil perhitungan untuk kawasan Aceh bagian utara dan timur (Blanglancang) diperoleh besarnya F = 0,16. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada lokasi studi memiliki karakteristik pasang surut bertipe ganda. Grafik ramalan pasut untuk bulan Maret 2005 di Blanglancang, disajikan pada Gambar 8. Gambar 8. Prediksi pasut bulan Maret tahun 2005 di wilayah Aceh bagian utara dan timur Berdasarkan tipe pasut didaerah penelitan maka dapat disimpulkan bahwa jenis mangrove yang sesuai adalah dari jenis Avicennia spp, Sonneratia spp, Rhizophora spp dan Bruguiera spp. Hutan mangrove yang dipengaruhi oleh pasang diurnal berbeda sruktur dan kesuburannya dari mangrove yang dipengaruhi pasang semi diurnal, dan berbeda juga dengan mangrove yang dipengaruhi oleh pasang campuran (Aksornkoae, 1993) Batimetri Kawasan Aceh yang terletak di ujung paling barat dari pulau Sumatra dikelilingi oleh perairan, dimana di sebelah utara dibatasi oleh Selat Malaka, di sebelah barat dan selatan oleh Samudera Hindia. Secara umum, perairan laut yang mengelilingi kawasan Aceh adalah perairan laut yang dalam. Gambaran umum batimetri di kawasan perairan Aceh disajikan pada Gambar 9. Di pantai Aceh sebelah utara dan timur yang berhadapan dengan Selat Malaka, dasar laut relatif curam dengan skala yang berkisar antara 2% - 40 % untuk kedalaman sampai dengan 200 m. Dengan kelandaian 2% berarti kedalaman akan bertambah 2 m setiap bergerak secara mendatar ke arah laut pada jarak 100 m.

48 38 Gambar 9. Gambaran umum batimetri di kawasan perairan Aceh Arus Sebagian besar arus terjadi bersamaan dengan pasang, angin dan gelombang. Perairan Selat Malaka dipengaruhi oleh dua jenis arus, yaitu arus pasang surut dan arus bukan pasang surut. Arus bukan pasang surut yaitu arus karena pengaruh angin (wind driep currents), arus karena perbedaan densitas (dynamic currents) dan arus sungai (fresh water run off). Di Selat Malaka kedua jenis arus tersebut terjadi secara bersamaan. Di beberapa daerah pada waktu-waktu tertentu arus pasang surut lebih dominan, dan di daerah lainnya arus bukan pasang surut yang dominan. Arus mencapai kecepatan nol (tidak ada arus) pada saat permukaan laut berada pada titik terendah dan titik tertinggi. Diantara kedua titik tersebut arus berangsur menjadi cepat, dan mencapai kecepatan maksimum pada saat permukaan laut berada pada pertengahan kedua titik tersebut. Arus pasang umumnya dari utara dan tenggara dan arus surut mengarah dari selatan ke barat laut dengan kecepatan rata-rata 0,2 knot dan maksimum 1,7 knot. Pola dan kecepatan arus permukaan Selat Malaka bulan Januari sampai Desember disajikan pada Gambar 10. Arus yang terjadi di daerah penelitian dapat merubah struktur dan fungsi ekosistem mangrove. Lokasi penelitan memiliki arus yang kecil, hal ini karena posisi daerah penelitian yang berada di daerah selat. Arus yang cukup besar biasanya hutan mangrove mengalami abrasi sehingga terjadi pengurangan

49 39 luasan hutan. Arus yang tidak terlalu besar di daerah penelitian juga berpengaruh langsung terhadap distribusi spesies misalnya buah atau semai Rhizophora terbawa arus sampai menemukan substrat yang sesuai untuk menancap dan akhirnya tumbuh. Arus di daerah penelitian juga berpengaruh tidak langsung terhadap sedimentasi pantai dan pembentukan padatan-padatan pasir di muara sungai. Terjadinya sedimentasi dan padatan-padatan pasir ini merupakan substrat yang baik untuk menunjang pertumbuhan mangrove. Arus mempengaruhi daya tahan organisme akuatik melalui transportasi nutrien-nutrien penting dari mangrove ke laut. Nutrien-nutrien yang berasal dari hasil dekomposisi serasah maupun yang berasal dari runoff daratan dan terjebak di hutan mangrove akan terbawa oleh arus dan gelombang ke laut pada saat surut. Musim Timur Sumber : Purwandani (2002) Musim Barat Gambar 10. Pola dan Kecepatan Arus Permukaan Selat Malaka bulan Januari sampai Desember.

50 40 BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Kondisi Ekosistem Mangrove Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa vegetasi mangrove di lokasi penelitian disusun oleh 7 jenis, yakni Bruguiera cylindrica, Excoecaria agallocha, Rhizophora apiculata, R. mucronata, R. stylosa, Sonneratia alba dan Sonneratia ovata. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan, secara keseluruhan tercatat 3 famili dari 7 jenis vegetasi mangrove yang ditemukan di lokasi penelitian. Jenisjenis tumbuhan mangrove yang ditemukan di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 8. Tabel 8. Jenis-jenis tumbuhan mangrove yang ditemukan dilokasi penelitian. No Famili Spesies 1 Rhizophoraceae Rhizophora apiculata Rhizophora mucronata Rhizophora stylosa Bruguiera gimnorrhiza 2 Sonneratiaceae Sonneratia alba Sonneratia ovata 3 Euphorbiaceae Excoecaria agallocha Dari sajian tabel tersebut di atas terlihat bahwa jenis-jenis dari famili Rhizophoraceae sangat dominan ditemukan di lokasi penelitian. Dilihat dari kelompok jenis yang ada, berdasarkan pendapat Watson (1928 dalam Kusmana, 1997) maka terdapat dua golongan yang menyusun kelompok-kelompok ini, yaitu kelompok utama (famili Rhizophoraceae dan Sonneratiaceae) dan kelompok tambahan (famili Euphorbiaceae ). Pada tabel 9 ditampilkan distribusi jenis-jenis mangrove pada 3 stasiun penelitian. Pada stasiun I ditemukan 7 jenis mangrove yaitu Bruguiera ghymnorhirza, Rhizophora apiculata, Rhizophora stylosa, Rhizophora mucronata, Sonneratia alba, Sonneratia ovata dan Excoecaria agallocha sedangkan untuk stasiun II ditemukan 6 jenis mangrove yaitu Bruguiera ghymnorhirza, Rhizophora apiculata, Rhizophora stylosa, Rhizophora mucronata, Sonneratia alba, Sonneratia ovata dan Excoecaria agallocha. Pada stasiun III hanya ditemukan 4

51 41 jenis mangrove yaitu Rhizophora apiculata, Sonneratia alba dan Excoecaria agallocha. Distribusi jenis-jenis mangrove di daerah penelitian secara umum relatif sama. Hanya ada tiga jenis yang menunjukkan perbedaan distribusi, dimana jenis Rhizophora stylosa hanya ditemukan pada stasiun I (Nurussalam) serta jenis Bruguiera gimnorrhiza dan Rhizophora mucronata hanya ditemukan pada stasiun II dan III. Tabel 9. Distribusi Spesies Mangrove No Spesies Stasiun I (Nurussalam) Stasiun II (Darul Aman) Stasiun III (Idi Rayeuk) 1 Bruguiera gimnorrhiza * * - 2 Rhizophora mucronata * * - 3 Rhizophora stylosa * Rhizophora apiculata * * * 5 Sonneratia alba * * * 6 Sonneratia ovata * * * 7 Excoecaria agallocha * * * Ket : * : Ditemukan - : Tak ditemukan 5.2. Sruktur Komunitas Mangrove Jumlah jenis mangrove pada srata pohon yang terdapat di stasiun I (Nurussalam), II (Darul Aman) dan III (Idi Rayeuk) masing-masing terdiri dari 7, 6 dan 4 jenis. Analisis mangrove srata pohon berdasarkan stasiun penelitian disajikan pada Tabel 10. Sedangkan jumlah jenis mangrove pada srata belta yang terdapat di stasiun I (Nurussalam), II (Darul Aman) dan III (Idi Rayeuk) masing-masing terdiri dari 7, 6 dan 5 jenis. Analisis mangrove srata belta berdasarkan stasiun penelitian disajikan pada Tabel Kerapatan Relatif Spesies Mangrove Kerapatan relatif spesies mangrove srata pohon pada stasiun I (Nurussalam), jenis dengan kerapatan relatif tinggi adalah Rhizophora apiculata dan Rhizophora mucronata dengan kerapatan relatif 22,85 %, sedangkan untuk nilai rendah adalah jenis Rhizophora stylosa dengan nilai kerapatan relatif 1,4 %.

52 42 Pada stasiun II (Darul Aman), jenis dengan kerapatan relatif tinggi adalah Rhizophora apiculata dengan kerapatan relatif 26,01 %, sedangkan untuk nilai rendah adalah jenis Sonneratia alba dengan kerapatan relatif 11,38 %. Pada stasiun III (Idi Rayeuk), jenis dengan kerapatan relatif tinggi adalah Excoecaria agallocha dengan kerapatan relatif 38,88 %, sedangkan untuk nilai rendah adalah jenis Sonneratia ovata dengan kerapatan relatif 8,33 %. Tinggi atau rendahnya kerapatan relatif spesies mangrove disuatu lokasi penelitian dipengaruhi oleh jumlah ditemukannya jenis dalam daerah penelitian. Semakin banyak suatu jenis, maka kerapatan relatifnya semakin tinggi. Dari perbandingan nilai kerapatan relatif pada ketiga stasiun penelitian, didapati jenis Rhizophora mucronata, Rhizophora apiculata dan Excoecaria agallocha memiliki kerapatan relatif lebih tinggi pada stasiun I (Nurussalam), II (Darul Aman) dan III (Idi Rayeuk). Keadaan ini menunjukkan bahwa secara relatif jenis Rhizophora mucronata, Rhizophora apiculata dan Excoecaria agallocha berjumlah lebih banyak dalam luasan daerah penelitian dibandingkan dengan jenis yang lain pada stasiun I (Nurussalam), II (Darul Aman) dan III (Idi Rayeuk). Tabel 10. Analisis mangrove srata pohon berdasarkan stasiun penelitian Stasiun I (Nurussalam) No Jenis KR (%) FR (%) DR (%) INP 1 B. gimnorrhiza 18,56 17,85 14,55 49,97 2 E. agalocha 9,28 10,71 9,50 29,50 3 R. apiculata 22,85 21,42 31,31 75,58 4 R. mucronata 22,85 21,42 24,06 68,33 5 R. stylosa 1,42 3,57 2,22 7,21 6 S. ovata 9,28 7,14 9,53 25,95 7 S. alba 15,72 17,85 9,83 43,41 Jumlah Stasiun II (Darul Aman) 1 B. gimnorrhiza 18,69 22,42 13,72 53,82 2 E. agalocha 12,19 17,85 11,97 42,02 3 R. apiculata 26,01 25,00 45,43 96,45 4 R. mucronata 14,63 10,71 9,50 34,85 5 S. ovata 17,07 14,28 8,36 39,72 6 S. alba 11,38 10,71 11,02 33,12 Jumlah Stasiun III (Idi Rayeuk) 1 E. agalocha 38,88 40,00 27,91 106,80 2 R. apiculata 16,66 10,00 26,60 53,26 3 S. ovata 8,33 10,00 2,87 21,21 4 S. alba 36,11 40,00 42,60 118,71 Jumlah Kerapatan relatif spesies mangrove srata belta pada stasiun I (Nurussalam), jenis dengan kerapatan relatif tinggi adalah Rhizophora

53 43 mucronata dengan kerapatan relatif 30,83 %, sedangkan untuk nilai rendah adalah jenis Sonneratia ovata dengan nilai kerapatan relatif 0,01 %. Pada stasiun II (Darul Aman), jenis dengan kerapatan relatif tinggi adalah Sonneratia alba dengan kerapatan relatif 40,27 %, sedangkan untuk nilai rendah adalah jenis Sonneratia ovata dengan kerapatan relatif 4,16 %. Pada stasiun III (Idi Rayeuk), jenis dengan kerapatan relatif tinggi adalah Rhizophora mucronata dengan kerapatan relatif 31,06 %, sedangkan untuk nilai rendah adalah jenis Excoecaria agallocha dan Sonneratia alba dengan kerapatan relatif 16,50 %. Kerapatan pada suatu ekosistem mangrove berpengaruh pada biota yang berasosiasi didalamnya. Dalam Skilleter and Warren (1999), ekosistem mangrove digunakan sebagai tempat perlindungan biota yang hidup didalamnya seperti ikan dan moluska. Kerapatan vegetasi mangrove dalam suatu ekosistem memberikan perlindungan terhadap biota yang menempati tempat ini dari faktor alam dan hewan predator. Hal ini membuat ekosistem mangrove sering digunakan sebagai tempat memijah dan mengasuh bagi berbagai organisme yang berasosiasi didalamnya. Hal ini dibuktikan oleh Crowder and Cooper (1979, 1982) dalam Spitzer, et al (1999) yang menyatakan bahwa kepadatan makropita memengaruhi pertumbuhan ikan. Pertumbuhan ini dipengaruhi oleh hewan predator dan pemanfaatan yang berlebihan. Melihat akan kedua studi diatas maka dapat disimpulkan bahwa kerapatan mempunyai manfaat tak langsung yang berarti bagi organisme yang ada didalamnya Frekuensi Relatif Spesies Mangrove Frekuensi relatif spesies mangrove srata pohon, nilai dari frekuensi relatif dapat menggambarkan penyebaran suatu spesies yang ada pada satu ekosistem. Frekuensi relatif spesies yang ditemukan pada stasiun I (Nurussalam) berkisar antara 3,57 % hingga 21,42 %. Pada stasiun II (Darul Aman) nilai frekuensi relatif spesies berkisar antara 10,71 % hingga 25,00 %. Sedangkan pada stasiun III (Idi Rayeuk) frekuensi relatif spesies berkisar antara 10,00 % hingga 40,00 %. Nilai frekuensi relatif tertinggi ditemukan pada stasiun III yaitu pada spesies Excoecaria agallocha dan Sonneratia alba dengan nilai 40,00 % dan terendah ditemukan di stasiun I (Nurussalam) yaitu pada spesies Rhizophora stylosa dengan nilai 3,57 %. Pada stasiun I (Nurussalam), jenis dengan nilai frekuensi spesies tinggi adalah Rhizophora apiculata dan Rhizophora mucronata dengan nilai 21,42 %,

54 44 sedangkan untuk nilai frekuensi spesies rendah adalah jenis Rhizophora stylosa (3,57 %). Nilai frekuensi spesies tinggi pada stasiun II (Darul Aman) adalah jenis Rhizophora apiculata dengan nilai 25,00 %, sedangkan untuk nilai frekuensi spesies rendah adalah jenis Rhizophora mucronata dan Sonneratia alba (10,71 %). Pada stasiun III (Idi Rayeuk), jenis dengan nilai frekuensi spesies tinggi adalah Excoecaria agallocha dan Sonneratia alba dengan nilai 40,00 %, sedangkan untuk nilai frekuensi spesies rendah adalah jenis Rhizophora apiculata dan Sonneratia alba (10,00 %). Nilai frekuensi dipengaruhi oleh jumlah petak dimana ditemukannya jenis mangrove. Frekuensi spesies tinggi di stasiun I (Nurussalam) yaitu jenis Rhizophora apiculata dan Rhizophora mucronata serta terendah jenis Rhizophora stylosa. Hal ini dimungkinkan karena Rhizophora apiculata dan Rhizophora mucronata memiliki jumlah yang banyak dibandingkan dengan jenis lain meskipun diameter pohonnya kecil. Sedangkan frekuensi spesies rendah pada jenis Rhizophora stylosa yang jumlahnya sedikit. Frekuensi spesies tinggi di stasiun II (Darul Aman) yaitu jenis Rhizophora apiculata dan rendah adalah jenis Rhizophora mucronata dan Sonneratia alba. Frekuensi spesies tinggi di stasiun III (Idi Rayeuk) yaitu jenis Excoecaria agallocha dan Sonneratia alba dan rendah adalah jenis Rhizophora apiculata dan Sonneratia alba. Dari perbandingan frekuensi spesies di ketiga stasiun penelitian, terlihat bahwa frekuensi spesies lebih dipengaruhi oleh jumlah jenis daripada ukuran diameter pohon. Jumlah jenis yang banyak dapat terjadi karena jenis tersebut dapat tumbuh dan berkembang pada kondisi lingkungan yang baik, ataupun kurangnya aktivitas pemanfaatan oleh manusia. Frekuensi relatif spesies mangrove srata belta pada stasiun I (Nurussalam), jenis dengan nilai frekuensi spesies tinggi adalah Rhizophora mucronata dengan nilai 27,77 %, sedangkan untuk nilai frekuensi spesies rendah adalah jenis Sonneratia ovata (0,01 %). Nilai frekuensi spesies tinggi pada stasiun II (Darul Aman) adalah jenis Sonneratia alba dengan nilai 39,28 %, sedangkan untuk nilai frekuensi spesies rendah adalah jenis Rhizophora mucronata dan Sonneratia ovata (3,57 %). Pada stasiun III (Idi Rayeuk), jenis dengan nilai frekuensi spesies tinggi adalah Rhizophora mucronata dengan nilai 27,77 %, sedangkan untuk nilai frekuensi spesies rendah adalah jenis Rhizophora apiculata, Bruguiera gimnorrhiza dan Sonneratia alba (16,66 %).

55 45 Tabel 11. Analisis mangrove srata belta berdasarkan stasiun penelitian Stasiun I (Nurussalam) No Jenis KR (%) FR (%) DR (%) INP (%) 1 B. gimnorrhiza 24,22 22,22 14,72 61,11 2 E. agalocha 12,50 16,66 17,78 46,95 3 R. apiculata 9,16 11,11 21,62 41,89 4 R. mucronata 30,83 27,77 28,91 87,52 5 R. stylosa 7,50 5,55 0,01 13,05 6 S. ovata 0,01 0,01 4,23 4,23 7 S. alba 15,83 16,66 12,70 45,20 Jumlah Stasiun II (Darul Aman) 1 B. gimnorrhiza 12,49 17,85 14,55 44,91 2 E. aggalocha 19,44 21,42 0,01 40,87 3 R. apiculata 8,33 7,14 0,01 15,47 4 R. mucronata 15,27 10,71 42,40 68,39 5 S. ovata 4,16 3,57 4,922 12,66 6 S. alba 40,27 39,28 38,11 117,67 Jumlah Stasiun III (Idi Rayeuk) 1 B. gimnorrhiza 17,47 16,66 26,64 60,78 2 E. aggalocha 16,50 22,22 7,77 46,50 3 R. apiculata 18,44 16,66 16,99 52,11 4 R. mucronata 31,06 27,77 28,87 87,71 5 S. alba 16,50 16,66 19,71 52,88 Jumlah Dominansi Relatif Spesies Mangrove Dominansi relatif spesies mangrove srata pohon, pada stasiun I (Nurussalam), jenis dengan nilai dominasi spesies tinggi adalah Rhizophora apiculata dengan nilai 31,31 %, sedangkan untuk nilai dominasi spesies rendah adalah jenis Excoecaria agallocha (9,50 %). Nilai dominansi spesies tinggi pada stasiun II (Darul Aman) adalah jenis Rhizophora apiculata dengan nilai 45,43 %, sedangkan untuk nilai dominansi spesies rendah adalah jenis Sonneratia ovata (8,36 %). Pada stasiun III (Idi Rayeuk), jenis dengan nilai dominansi spesies tinggi adalah Sonneratia alba dengan nilai 42,60 %, sedangkan untuk nilai dominansi spesies rendah adalah jenis Sonneratia ovata (2,87 %).

56 46 Dominasi relatif spesies mangrove srata belta, pada stasiun I (Nurussalam), jenis dengan nilai dominansi spesies tinggi adalah Rhizophora mucronata dengan nilai 28,91%, sedangkan untuk nilai dominansi spesies rendah adalah jenis Rhizophora stylosa (0,01 %). Nilai dominansi spesies tinggi pada stasiun II (Darul Aman) adalah jenis Rhizophora mucronata dengan nilai 42,40 %, sedangkan untuk nilai dominansi spesies rendah adalah jenis Excoecaria agallocha dan Rhizophora apiculata (0,01 %). Pada stasiun III (Idi Rayeuk), jenis dengan nilai dominansi spesies tinggi adalah Rhizophora mucronata dengan nilai 28,87 %, sedangkan untuk nilai dominansi spesies rendah adalah jenis Excoecaria agallocha (7,77 %). Jenis yang dominan memiliki produktivitas yang besar dimana dalam menentukan suatu jenis vegetasi dominan yang perlu diketahui adalah diameter batang (Odum, 1994). Jenis dan umur dari pohon sangat menentukan besarnya diameter batang yang mempengaruhi dominasi relatif, selain itu faktor alam dan ketersedian nutrien di ekosistem mangrove juga merupakan salah satu faktor pendukungnya. Penutupan relatif yang kecil yang terlihat pada beberapa jenis diakibatkan karena jenis-jenis tersebut oleh masyarakat sering digunakan dalam keperluan sehari-hari Nilai Penting Spesies Mangrove Indeks nilai penting (INP) yang ada pada suatu ekosistem mangrove akan menggambarkan pengaruh dan peranan suatu jenis dalam suatu komunitas. Baik tidaknya pertumbuhan mangrove dalam suatu komunitas dapat dilihat dari analisis kondisi vegetasinya yang menunjukkan besar kecilnya peranan suatu spesies terhadap komunitas yang ada. Keadaan ini dapat dilihat dalam nilai indeks penting. Nilai Penting spesies mangrove srata pohon pada stasiun I (Nurussalam), jenis yang memiliki indeks nilai penting tinggi adalah Rhizophora apiculata (75,60%). Jenis dengan indeks nilai penting sedang adalah Rhizophora mucronata (63,34 %), Bruguiera gimnorrhiza (49,97) dan Sonneratia alba (43,60 %), sedangkan empat jenis yang lain mempunyai indeks nilai penting rendah. Pada stasiun II (Darul Aman), jenis yang memiliki indeks nilai penting tinggi adalah Rhizophora apiculata (96,45 %). Jenis dengan indeks nilai penting sedang adalah Excoecaria agallocha (42,02 %), Bruguiera gimnorrhiza (53,82) dan Sonneratia ovata (39,72 %), sedangkan tiga jenis mangrove yang lain

57 47 mempunyai indeks nilai penting rendah. Pada stasiun III (Idi Rayeuk), jenis dengan indeks nilai penting tinggi adalah Sonneratia alba (118,72 %) dan Excoecaria agallocha (106,80 %). Jenis yang memiliki indeks nilai penting sedang adalah Rhizophora apiculata (53,27 %). Sedangkan Sonneratia ovata merupakan jenis mangrove yang mempunyai indeks nilai penting rendah. Nilai Penting spesies mangrove srata belta pada pada stasiun I (Nurussalam), jenis yang memiliki indeks nilai penting tinggi adalah Rhizophora mucronata (87,53 %). Jenis dengan indeks nilai penting sedang adalah B. gimnorrhiza (61,11%), E. agallocha (46,95 %), S. alba (45,21 %) dan R. apiculata (41,89 %), sedangkan dua jenis yang lain mempunyai indeks nilai penting rendah. Pada stasiun II (Darul Aman), jenis yang memiliki indeks nilai penting tinggi adalah S. alba (45,21 %), jenis dengan indeks nilai penting sedang adalah Rhizophora mucronata (87,71 %), B. gimnorrhiza (61,11%), E. agallocha (46,95 %). Empat jenis yang lain memiliki indeks nilai penting sedang. Pada stasiun III (Idi Rayeuk), jenis yang memiliki indeks nilai penting tinggi adalah Sonneratia alba (117,67 %). Jenis dengan indeks nilai penting sedang adalah Rhizophora mucronataa (68,39 %). Sedangkan lima jenis yang lain merupakan jenis mangrove yang mempunyai indeks nilai penting rendah. Rendahnya INP pada jenis tertentu mengindikasikan bahwa jenis ini kurang mampu bersaing dengan lingkungan yang ada disekitarnya serta jenis lainnya. Rendahnya ketahanan terhadap gejala alam serta besarnya eksploitasi mengakibatkan jenis-jenis tersebut berkurang dari tahun ke tahun. Dalam Tokuyama dan Arakaki (1988) penurunan jumlah vegetasi pada beberapa jenis mangrove sepanjang Sungai Nakama di Jepang dikarenakan beberapa jenis mangrove tidak mampu bertahan akibat adanya pencemaran Indeks Nilai Penting Mangrove Berdasarkan Posisi pada Masingmasing Stasiun Penelitian Berdasarkan hasil analisis didapatkan bahwa pada jenis mangrove srata pohon menunjukkan pada stasiun I (Nurussalam), pada posisi A (depan), B (tengah) dan D (transisi) jenis mangrove yang dominan adalah famili Rhizophoraceae, sedangkan pada posisi C (belakang) jenis mangrove yang dominan dari famili Euphorbiaceae. Pada stasiun II (Darul Aman), pada posisi A (depan), C (belakang) dan D (transisi) jenis mangrove dominan adalah famili

58 48 Rhizophoraceae, sedangkan pada posisi B (tengah) jenis mangrove yang dominan adalah famili Sonneratiaceae. Pada stasiun III (Idi Rayeuk), pada posisi A (depan), B (tengah) dan D (transisi) jenis mangrove yang dominan adalah famili Rhizophoraceae. Sedangkan pada posisi C (belakang) jenis mangrove yang dominan adalah famili Sonneratiaceae. Indeks Nilai Penting pada masing-masing posisi mangrove srata pohon pada ketiga stasiun penelitian disajikan pada Tabel 12. Tabel 12. Indeks Nilai Penting pada masing-masing posisi mangrove srata pohon pada ketiga stasiun penelitian. Stasiun I (Nurussalam) Posisi No. Nama Famili INP (%) A 1 Euphorbiaceae (Depan) 2 Rhizophoraceae B 1 Rhizophoraceae (Tengah) 2 Euphorbiaceae 18.4 C 1 Rhizophoraceae (Belakang) 2 Soneratiaceae D 1 Soneratiaceae (Transisi) 2 Rhizophoraceae 61.8 Jumlah 300 Stasiun II (Darul Aman) Posisi No. Nama Famili INP (%) A 1 Euphorbiaceae 19,32 (Depan) 2 Rhizophoraceae 55,67 B 1 Rhizophoraceae 26,95 (Tengah) 2 Sonneratiaceae 35,53 3 Euphorbiaceae 12,50 C (Belakang) D (Transisi) 1 Rhizophoraceae 66,24 2 Euphorbiaceae 8,33 1 Rhizophoraceae 41,40 2 Sonneratiaceae 31,85 Jumlah 300 Stasiun III (Idi Rayeuk) Posisi No. Nama Famili INP (%) A (Depan) 1 Rhizophoraceae 38,07 B (Tengah) C (Belakang) D (Transisi) 2 Sonneratiaceae 36,92 1 Rhizophoraceae 39,21 2 Sonneratiaceae 29,23 1 Sonneratiaceae 58,75 2 Rhizophoraceae 16,24 1 Rhizophoraceae 52,46 2 Sonneratiaceae 22,54 Jumlah 300

59 49 Indeks Nilai Penting pada masing-masing posisisi mangrove srata belta pada ketiga stasiun penelitian disajikan pada Tabel 13. Berdasarkan hasil analisis didapatkan pada stasiun I (Nurussalam), pada posisi A (depan), B (tengah) dan D (transisi) jenis mangrove yang dominan adalah famili Rhizophoraceae, sedangkan pada posisi C (belakang) jenis mangrove yang dominan dari famili Euphorbiaceae. Pada stasiun II (Darul Aman) posisi A (depan), C (belakang) dan D (transisi) jenis mangrove dominan adalah famili Rhizophoraceae, sedangkan pada posisi B (tengah) jenis mangrove yang dominan adalah famili Sonneratiaceae. Pada stasiun III (Idi Rayeuk), pada posisi A (depan), B (tengah) dan D (transisi) jenis mangrove yang dominan adalah famili Rhizophoraceae. Sedangkan pada posisi C (belakang) jenis mangrove yang dominan adalah famili Sonneratiaceae. Tabel 13. Indeks Nilai Penting pada masing-masing posisi mangrove srata belta pada ketiga stasiun penelitian Stasiun I (Nurussalam) Posisi No. Famili INP (%) A 1 Euphorbiaceae 11,93 (Depan) 2 Rhizophoraceae 51,52 B 1 Rhizophoraceae 56,59 (Tengah) 2 Euphorbiaceae 18,40 C 1 Rhizophoraceae 30,22 (Belakang) 2 Euphorbiaceae 39,17 D 1 Euphorbiaceae 13,05 (Transisi) 2 Rhizophoraceae 61,80 Jumlah 300 Stasiun II (Darul Aman) Posisi No. Nama Jenis INP (%) A 1 Euphorbiaceae 19,32 (Depan) 2 Rhizophoraceae 55,67 B 1 Rhizophoraceae 26,95 (Tengah) 2 Sonneratiaceae 35,53 3 Euphorbiaceae 12,50 C (Belakang) D (Transisi) 1 Rhizophoraceae 66,24 2 Euphorbiaceae 8,33 1 Rhizophoraceae 41,40 2 Sonneratiaceae 31,85 Jumlah 300

60 50 Tabel 13. Lanjutan Stasiun III (Idi Rayeuk) Posisi No. Nama Jenis INP (%) A 1 Rhizophoraceae 38,07 (Depan) 2 Sonneratiaceae 36,92 B 1 Rhizophoraceae 39,21 (Tengah) 2 Sonneratiaceae 29,23 C (Belakang) 1 Sonneratiaceae 58,75 2 Rhizophoraceae 16,24 D (Transisi) 1 Rhizophoraceae 52,46 2 Sonneratiaceae 22,54 Jumlah 300 Berdasarkan Tabel 12 dan 13 diatas dapat diketahui bahwa jenis mangrove yang dominan di ketiga stasiun penelitian baik dalam srata pohon maupun belta adalah famili Rhizophoraceae, Sonneratiaceae dan Euphorbiaceae. Secara umum komunitas hutan, termasuk hutan mangrove memiliki karakteristik fisiognomi yaitu dinamakan sesuai dengan jenis yang dominan berada di suatu kawasan. Misalnya di suatu kawasan berhutan mangrove yang dominan adalah jenis Rhizophora spp, maka hutan tersebut dinamakan hutan mangrove Rhizophora Sintesis Hubungan Indeks Nilai Penting Mangrove dengan Stasiun Penelitian dan Posisi Pengambilan Sampel. Untuk mengetahui keadaan penguasaan spesies vegetasi dalam suatu masyarakat tumbuhan di habitatnya, dipergunakan Indeks Nilai Penting (INP). Semakin tinggi nilai INP suatu spesies maka semakin besar peran spesies tersebut dalam komunitasnya. Indeks Nilai Penting tertinggi mangrove pada stasiun I (Nurussalam), stasiun III (Idi Rayeuk) posisi A (Depan), B (Tengah) dan D (Transisi), stasiun II (Darul Aman) posisi A (Depan), C (Belakang) dan D (Transisi) untuk srata pohon dan belta adalah famili Rhizophoraceae. Sedangkan untuk stasiun I (Nurussalam), stasiun III (Idi Rayeuk) posisi C (Belakang), stasiun II (Darul Aman) posisi B (Tengah) untuk srata pohon dan belta adalah famili Sonneratiaceae.

61 51 Tabel 14. Indeks Nilai Penting tertinggi famili mangrove srata pohon dan belta pada masing-masing posisi di ketiga stasiun penelitian. Stasiun Posisi Srata Pohon Srata Belta Famili I (Nurussalam) A (Depan) Rhizophoraceae Rhizophoraceae B (Tengah) Rhizophoraceae Rhizophoraceae C (Belakang) Sonneratiaceae Sonneratiaceae D (Transisi) Rhizophoraceae Rhizophoraceae II (Darul Aman) A (Depan) Rhizophoraceae Rhizophoraceae B (Tengah) Sonneratiaceae Sonneratiaceae C (Belakang) Rhizophoraceae Rhizophoraceae D (Transisi) Rhizophoraceae Rhizophoraceae III (Idi Rayeuk) A (Depan) Rhizophoraceae Rhizophoraceae B (Tengah) Rhizophoraceae Rhizophoraceae C (Belakang) Sonneratiaceae Sonneratiaceae D (Transisi) Rhizophoraceae Rhizophoraceae Berdasarkan analisis vegetasi pada srata pohon dan belta hanya terdapat tiga famili yaitu Rhizophoraceae, Sonneratiaceae dan Euphorbiaceae. Famili Rhizophoraceae paling mendominasi dalam hutan mangrove tersebut. Dalam pengkajian suatu vegetasi, kerapatan populasi seringkali merupakan ciri populasi yang pertama kali mendapatkan perhatian. Pengaruh suatu populasi terhadap komunitas dan ekosistem tidak hanya bergantung kepada spesies dari organisasi yang terlibat tetapi bergantung juga pada jumlah atau kerapatan populasi (Odum, 1993). Dalam hal ini, dapat diketahui bahwa pada pertumbuhan srata pohon dan belta, Rhizophoraceae memberikan pengaruh yang besar terhadap komunitasnya jika dibandingkan Sonneratiaceae dan Euphorbiaceae. Kerapatan vegetasi srata pohon ini dapat dikatakan rendah karena jumlah spesies sangat sedikit. Demikian halnya dengan frekuensi relatif, nilai frekuensi relatif yang besar pada Rhizophoraceae menunjukkan bahwa famili ini memiliki penyebaran yang paling luas pada srata pohon dan belta dibandingkan dengan famili lainnya. Keanekaragaman mangrove di daerah penelitian dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor yang paling berpengaruh dalam keanekaragaman adalah faktor-faktor pembatas fisika-kimia dan kompetisi interspesies. Keanekaragaman spesies cenderung akan rendah dalam ekosistem-ekosistem yang secara fisik terkendalli (yakni yang menjadi sasaran faktor pembatas fisika-kimia yang kuat) dan tinggi dalam ekosistem yang diatur secara biologi. Keanekaragaman kecil terdapat pada daerah dengan lingkungan yang ekstrem. Pada ketiga daerah penelitian terdapat adanya indikasi kerusakan habitat mangrove akibat kegiatan manusia, hal ini diperkuat oleh banyaknya lahan-lahan mangrove di daerah

62 52 penelitian yang sudah ditebang dan tidak dimanfaatkan dengan baik terlebih adanya lahan-lahan bekas tambak yang dibiarkan begitu saja. Dengan memperhatikan keanekaragaman dalam komunitas dapat diperoleh gambaran tentang kedewasaan organisasi suatu komunitas, makin tinggi organisasi di dalam suatu komunitas maka keadaannya juga lebih mantap, selain itu dengan keanekaragaman yang stabil, masing-masing jenis akan berkesempatan untuk dapat melangsungkan daur kehidupan yang lebih teratur, efisien dan produktif. Keseragaman di stasiun I (Nurussalam) dan II (Darul Aman) menunjukkan bahwa komposisi spesies mangrove lebih seragam dibandingkan dengan stasiun III (Idi Rayeuk). Hal ini nampak lebih jelas bahwa di stasiun I (Nurussalam) dan II (Darul Aman) sebarannya lebih merata dilihat dari banyaknya spesies yang ditemukan di jalur tersebut bila dibandingkan dengan stasiun III (Idi Rayeuk). Semakin kecil nilai keseragaman akan semakin kecil pula keseragaman suatu populasi, artinya penyebaran jumlah individu setiap spesies mendominasi populasi tersebut. Semakin besar keseragaman maka populasi menunjukkan keseragaman, sehingga dapat dikatakan bahwa jumlah individu setiap spesies dapat dikatakan sama atau tidak jauh berbeda. Dominasi suatu spesies berbanding terbalik dengan keanekaragaman suatu spesies. Jika keanekaragaman mangrove tinggi maka dominasinya rendah oleh karena itu keanekaragaman di stasiun I (Nurussalam) dan II (Darul Aman) yang tinggi mempunyai dominasi yang rendah bila dibandingkan dengan stasiun III (Idi Rayeuk). Keberadaan hutan mangrove yang ada di lokasi penelitian sangatlah mempunyai fungsi dan manfaat yang besar bagi keberadaan masyarakat pesisir. Fungsi bioekologi adalah dengan adanya hutan mangrove maka rantai pakan dan keberadaan komponen ekosistem hutan mangrove akan tetap terjaga. Hasil-hasil lain yang diharapkan dari keberadaan hutan mangrove yang sebagai produsen dalam rantai pakan memberikan kontribusi dalam mempertahankan keberadaan populasi ekosistem lainnya. Keberadaan fauna akuatik yang terdapat di ekosistem hutan mangrove akan tetap terjaga kelestariannya. Namun, bila keberadaan hutan mangrove tersebut rusak maka akan terputuslah rantai akan yang ada di ekosistem hutan mangrove tersebut. Dari segi fungsi fisik maka keberadaan hutan mangrove adalah sebagai perlindungan garis pantai dan pencegah abrasi terhadap garis pantai.

63 Hubungan antara Sifat Kimia Tanah dengan Ekosistem Mangrove. Hasil analisis sifat-sifat tanah dari ketiga stasiun penelitian merupakan gambaran tentang kesuburan dan potensi wilayah yang diteliti. Sifat-sifat tanah tersebut merupakan parameter untuk diuji pengaruhnya terhadap terbentuknya posisi mangrove. Analisis dilakukan terhadap 8 sifat kimia tanah. Sifat-sifat tanah tersebut meliputi C-organik, N, P tersedia, K tersedia, Mg, Na, KTK dan salinitas. Hasil pengukuran parameter sifat kimia tanah disajikan pada Lampiran C-organik Gambar 11 menunjukkan grafik nilai rata-rata C-organik pada masingmasing stasiun dan posisi penelitian. Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 3) menunjukkan bahwa stasiun penelitian dan interaksi antara stasiun penelitian dan posisi berbeda sangat nyata dalam hal nilai C-organik. Sedangkan posisi terhadap laut berbeda nyata dalam hal nilai C-organik. C-organik (%) IA IB IC ID IIA IIB IIC IID IIIA IIIB IIIC IIID Stasiun dan Posisi Gambar 11. Nilai rata-rata C-organik pada masing-masing stasiun dan posisi penelitian. Nilai rata-rata C-organik tertinggi terdapat pada stasiun II posisi A sebesar 2,47 % dan terendah pada stasiun I posisi C sebesar 0,81 %, termasuk dalam kriteria sangat rendah sampai sangat tinggi. Hasil uji lanjut hubungan stasiun penelitian dan posisi mangrove terhadap nilai C-organik disajikan pada Tabel 15.

64 54 Tabel 15. Uji beda rata-rata C-organik Stasiun A (Depan) B (Tengah) Posisi C (Belakang) D (Transisi) I (Nurussalam) 1.46 d 1.36 e 0.81 f 1.94 c II (Darul Aman) 2.47 a 1.31 de 2.17 b 2.38 a III (Idi Rayeuk) 2.18 b 2.05 bc 1.60 cd 1.19 e BNJ 5 % 0.17 Keterangan : angka rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama berarti tidak berbeda nyata pada taraf uji BNJ 5%. Tabel 15 menunjukkan bahwa stasiun III posisi A mempunyai rata-rata P-tersedia paling tinggi namun tidak berbeda nyata dibandingkan dengan stasiun III posisi B dan D. Sedangkan stasiun III posisi A berbeda nyata dengan stasiun I dan II posisi A, B, C, D dan stasiun III posisi C Tingginya kandungan C-organik pada stasiun III posisi A, B dan D disebabkan pada posisi ini vegetasi mangrove yang menyusunnya adalah famili Rhizophoraceae dan famili Soneratiaceae yang kaya akan bahan organik. Tingginya C-organik di posisi ini juga dipengaruhi oleh akumulasi sedimen dan bahan organik baik dari daratan maupun lautan. Menurut Foth (1978) faktorfaktor yang mempengaruhi jumlah dan penyebaran bahan organik antara lain mencakup iklim, vegetasi, kondisi drainase, pengerjaan tanah dan tekstur tanah. Menurut Wiradinata (1992) kandungan C-organik pada kawasan mangrove sangat dipengaruhi oleh kondisi vegetasinya. Hasil penelitian Wiradinata (1992) menemukan kadar C-organik yang sangat rendah pada posisi Avicennia yang vegetasinya tumbuh jarang N-total Gambar 12 menunjukkan grafik nilai rata-rata N-total pada masingmasing stasiun dan posisi penelitian. Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 4) menunjukkan bahwa stasiun penelitian, posisi dan interaksi antara stasiun penelitian dan posisi terhadap laut berbeda sangat nyata dalam hal nilai N-total.

65 55 N-total (%) IA IB IC ID IIA IIB IIC IID IIIA IIIB IIIC IIID Stasiun dan Posisi Gambar 12. Nilai rata-rata N-total pada masing-masing stasiun dan posisi penelitian Nilai rata-rata N-total tertinggi terdapat pada Stasiun II posisi D sebesar 0,61 % dan terendah pada stasiun I posisi C sebesar 0,08 %. Nilai ini termasuk dalam kriteria sangat rendah sampai sedang. Hasil uji lanjut hubungan stasiun penelitian dan posisi mangrove terhadap nilai N-total disajikan pada Tabel 16. Tabel 16. Uji beda rata-rata N-total Posisi Stasiun A (Depan) B (Tengah) C (Belakang) D (Transisi) I (Nurussalam) 0.12 b 0.12 b 0.08 b 0.15 b II (Darul Aman) 0.16 b 0.16 b 0.14 b 0.61 a III (Idi Rayeuk) 0.16 b 0.14 b 0.12 b 0.09 b BNJ 5% 0.05 Keterangan : angka rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama berarti tidak berbeda nyata pada taraf uji BNJ 5%. Tabel 16 menunjukkan bahwa stasiun II posisi D mempunyai rata-rata N- total paling tinggi dan berbeda nyata dibandingkan dengan Stasiun I dan III Posisi A, B, C, D dan Stasiun II posisi A, B dan C. Tingginya N-total pada stasiun II posisi D berkorelasi dengan tingginya C-organik pada posisi ini. Serasah mangrove memiliki kontribusi potensi unsur hara C, N dan P yang lebih besar bila dibandingkan dengan serasah pada posisi yang lain. Hal ini disebabkan oleh tingginya produktivitas serasah di stasiun II posisi D dibandingkan dengan stasiun dan posisi yang lainnya serta diduga karena substrat mangrove di stasiun II posisi D juga lebih banyak mendapatkan unsur hara dari kolom air melalui mekanisme pasang yang selanjutnya akan dimanfaatkan oleh tumbuhan mangrove hingga terjadinya guguran serasah. Eong et al., 1982, menyatakan bahwa unsur-unsur hara yang ada didalam kolom

66 56 air juga dapat dimanfaatkan oleh tumbuhan mangrove melalui penetrasi air laut yang juga mengandung unsur hara di saat pasang. Ketersediaan unsur N-total sangat terpengaruh oleh kualitas bahan organik yang masuk ke dalam tanah. Jumlah N-total di dalam tanah tinggi karena tingginya kandungan C-organik yang merupakan sumber N (Wiradinata, 1992). Ketersediaan N tanah sangat tergantung dari bahan organik tanah sebagai sumber utamanya. Tanah-tanah di daerah pantai mempunyai ph yang tinggi, hal ini karena adanya pengaruh dari air laut. Jasad renik yang menjalankan penyematan N udara dan nitrifikasi bekerja dengan baik dalam suasana basa P-tersedia Gambar 13 menunjukkan grafik nilai rata-rata P-tersedia pada masingmasing stasiun dan posisi penelitian. Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 5) menunjukkan bahwa stasiun penelitian dan interaksi antara stasiun penelitian dan posisi berbeda sangat nyata dalam hal nilai P-tersedia. Sedangkan posisi terhadap laut tidak berbeda nyata dalam hal nilai P-tersedia. P-tersedia (ppm) IA IB IC ID IIA IIB IIC IID IIIA IIIB IIIC IIID Stasiun dan Posisi Gambar 13. Nilai rata-rata P-tersedia pada masing-masing stasiun dan posisi penelitian Nilai rata-rata P-tersedia tertinggi terdapat pada stasiun III posisi A sebesar 8,95 ppm dan terendah pada stasiun I posisi B sebesar 4,28 ppm. Nilai ini termasuk dalam kriteria sangat rendah sampai rendah. Hasil uji lanjut hubungan stasiun penelitian dan posisi mangrove terhadap nilai P-tersedia disajikan pada Tabel 17.

67 57 Tabel 17. Uji beda rata-rata P-tersedia Stasiun A (Depan) B (Tengah) Posisi C (Belakang) D (Transisi) I (Nurussalam) 4.63 e 4.28 e 5.18 d 5.15 d II (Darul Aman) 7.28 b 6.25 c 6.50 c 6.14 c III (Idi Rayeuk) 8.95 a 8.33 a 6.58 c 8.53 a BNJ 5 % 0.68 Keterangan : angka rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama berarti tidak berbeda nyata pada taraf uji BNJ 5%. Tabel 17 menunjukkan bahwa stasiun III posisi A mempunyai rata-rata P- tersedia paling tinggi namun tidak berbeda nyata dibandingkan dengan stasiun III posisi B dan D. Sedangkan stasiun III posisi A berbeda nyata dengan stasiun I dan II posisi A, B, C, D dan Stasiun III posisi C. Menurut Moormann dan Pons (1974), kadar fosfat tersedia biasanya rendah sampai sangat rendah pada tanah-tanah mangrove. Hal ini berhubungan dengan kadar bahan organik yang rendah, sehingga cadangan P tersedia juga rendah. Sanchez (1976) menyatakan tinggi rendahnya tingkat ketersediaan P dalam tanah mineral dikendalikan oleh komposisi mineral dan sifat-sifat kimia tanah seperti : ph tanah, kadar Fe dan Al-terlarut, Ca-tersedia, bahan organik, aktivitas mikroorganisme tanah dan status lengas tanah. Menurut Kim (1982) jerapan P tidak terbatas hanya pada kondisi masam, tetapi terjadi juga dengan mudah pada tanah yang bereaksi alkalin. Banyak tanah alkalin mengandung Ca 2+ dalam jumlah yang tinggi dan dapat dipertukarkan dan sering mengendap sebagai Ca 3 (PO 4 ) K-tersedia Gambar 14 menunjukkan grafik nilai rata-rata K-tersedia pada masingmasing stasiun dan posisi penelitian. Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 6) menunjukkan bahwa stasiun penelitian dan interaksi antara stasiun penelitian dan posisi berbeda sangat nyata dalam hal nilai K-tersedia. Sedangkan posisi terhadap laut berbeda nyata dalam hal nilai K-tersedia.

68 58 K-tersedia (me/100 g) IA IB IC ID IIA IIB IIC IID IIIA IIIB IIIC IIID Stasiun dan Posisi Gambar 14. Nilai rata-rata K-tersedia pada masing-masing stasiun dan posisi penelitian Nilai rata-rata K-tersedia tertinggi terdapat pada stasiun I posisi B sebesar 1.34 me/100g dan terendah pada stasiun I dan II posisi C sebesar 0,77 me/100g. Hasil uji lanjut hubungan stasiun penelitian dan posisi mangrove terhadap nilai K- tersedia disajikan pada Tabel 18. Tabel 18. Uji beda rata-rata K-tersedia Posisi Stasiun A (Depan) B (Tengah) C (Belakang) D (Transisi) I (Nurussalam) 0.92 d 0.90 d 0.77 e 1.03 c II (Darul Aman) 0.92 d 0.90 d 0.77 e 1.03 c III (Idi Rayeuk) 1.34 a 0.98 c 1.18 b 1.21 b BNJ 5 % 0.07 Keterangan : angka rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama berarti tidak berbeda nyata pada taraf uji BNJ 5%. Tabel 18 menunjukkan bahwa stasiun III posisi A mempunyai rata-rata K-tersedia paling tinggi. Stasiun II posisi C tidak berbeda nyata dengan Stasiun II posisi D. Sedangkan stasiun I posisi D tidak berbeda nyata dengan stasiun II dan III posisi D dan B. Air laut yang selalu mengenanggi posisi mangrove pada saat pasang surut terjadi akan mempengaruhi kation tertukar dalam tanah. Karena kation bawaan air laut didominasi oleh Na dan K, maka tanah mangrove kaya kedua unsur hara tersebut Mg-dd Gambar 15 menunjukkan grafik nilai rata-rata Mg-dd pada masing-masing stasiun dan posisi penelitian. Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 7)

69 59 menunjukkan bahwa stasiun penelitian dan interaksi antara stasiun penelitian dan posisi berbeda sangat nyata dalam hal nilai Mg-dd. Sedangkan posisi terhadap laut berbeda nyata dalam hal nilai Mg-dd. Mg-dd (me/100 g) IA IB IC ID IIA IIB IIC IID IIIA IIIB IIIC IIID Stasiun dan Posisi Gambar 15. Nilai rata-rata Mg-dd pada masing-masing stasiun dan posisi penelitian Nilai rata-rata Mg-dd tertinggi terdapat pada stasiun II posisi A (paling dekat dengan laut) sebesar 10,39 me/100 g dan terendah pada stasiun III posisi D (paling dekat dengan darat) sebesar 5,68 me/100 g. Hasil uji lanjut hubungan stasiun penelitian dan posisi mangrove terhadap nilai Mg-dd disajikan pada Tabel 19. Tabel 19. Uji beda rata-rata Mg-dd Stasiun A (Depan) B (Tengah) Posisi C (Belakang) D (Transisi) I (Nurussalam) 7.96 c 7.55 c 6.16 de 7.79 c II (Darul Aman) a 9.07 b 9.12 b a III (Idi Rayeuk) 9.08 b 6.93 d 6.71 d 5.68 e BNJ 5 % 0.66 Keterangan : angka rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama berarti tidak berbeda nyata pada taraf uji BNJ 5%. Tabel 19 menunjukkan bahwa stasiun II posisi A mempunyai rata-rata Mg tanah paling tinggi namun tidak berbeda nyata dibandingkan dengan stasiun II posisi D. Sedangkan stasiun II posisi A berbeda nyata dengan stasiun I dan III posisi A, B, C, D dan Stasiun II posisi B dan C. Tingginya Mg-dd pada stasiun ini disebabkan oleh letak posisi A yang lebih dekat dari arah datangnya arus pasang air laut yang menjadi sumber Mg.

70 Na-dd Gambar 16 menunjukkan grafik nilai rata-rata Na-dd pada masing-masing stasiun dan posisi penelitian. Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 8) menunjukkan bahwa interaksi antara stasiun penelitian dan posisi berbeda sangat nyata dalam hal nilai Na-dd. Sedangkan stasiun penelitian dan posisi terhadap laut tidak berbeda nyata dalam hal nilai Na-dd. Na-dd (me/100 g) IA IB IC ID IIA IIB IIC IID IIIA IIIB IIIC IIID Stasiun dan Posisi Gambar 16. Nilai rata-rata Na-dd pada masing-masing stasiun dan posisi penelitian Nilai rata-rata Na-dd tertinggi terdapat pada Stasiun II posisi C sebesar 20,04 me/100 g dan terendah pada stasiun I posisi B sebesar 10,36 me/100 g. Tergolong sangat tinggi. Hasil uji lanjut hubungan stasiun penelitian dan posisi mangrove terhadap nilai Na-dd disajikan pada Tabel 20. Tabel 20. Uji beda rata-rata Na-dd Stasiun A (Depan) B (Tengah) Posisi C (Belakang) D (Transisi) I (Nurussalam) a b a a II (Darul Aman) a a a a III (Idi Rayeuk) a b b a BNJ 5 % 7.83 Keterangan : angka rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama berarti tidak berbeda nyata pada taraf uji BNJ 5%. Tabel 20 menunjukkan bahwa stasiun II posisi C mempunyai rata-rata Na tanah lebih tinggi namun tidak berbeda nyata dengan stasiun I posisi A, C, D, stasiun II posisi A, B, D dan stasiun III posisi A dan D. Sedangkan stasiun II posisi C berbeda nyata dengan stasiun I posisi B dan stasiun III posisi B dan C. Air laut merupakan sumber Na, tingginya kandungan Na-dd pada semua posisi didaerah penelitian disebabkan adanya pengaruh pasang surut air laut.

71 61 Janes (2005) menyatakan bahwa timbunan dari air asin dan endapan yang asin pada daerah yang dekat pantai telah meninggalkan tanah dengan garam yang larut dalam jumlah yang banyak dan ion Na + yang tertukarkan dapat mengganggu pertumbuhan tanaman KTK Gambar 17 menunjukkan grafik nilai rata-rata KTK pada masing-masing stasiun dan posisi penelitian. Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 9) menunjukkan bahwa stasiun penelitian, posisi dan interaksi antara stasiun penelitian dan posisi terhadap laut berbeda sangat nyata dalam hal nilai KTK. KTK (me/100 g) IA IB IC ID IIA IIB IIC IID IIIA IIIB IIIC IIID Stasiun dan Posisi Gambar 17. Nilai rata-rata KTK pada masing-masing stasiun dan posisi penelitian. Nilai rata-rata KTK tertinggi terdapat pada Stasiun I posisi B sebesar me/100 g dan terendah pada stasiun III posisi D sebesar me/100 g. Tergolong sangat rendah sampai sedang. Hasil uji lanjut hubungan stasiun penelitian dan posisi mangrove terhadap nilai KTK disajikan pada Tabel 21. Tabel 21. Uji beda rata-rata KTK Stasiun A (Depan) B (Tengah) Posisi C (Belakang) D (Transisi) I (Nurussalam) a a 12.64d 11.69de II (Darul Aman) 17.84c 16.87c 16.26c b III (Idi Rayeuk) bc 13.22d 12.57d 10.52e BNJ 5 % 1.94 Keterangan : angka rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama berarti tidak berbeda nyata pada taraf uji BNJ 5%.

72 62 Tabel 21 menunjukkan bahwa stasiun I posisi B mempunyai rata-rata KTK paling tinggi namun tidak berbeda nyata dengan stasiun I posisi A. Sedangkan stasiun I posisi B berbeda nyata dengan Stasiun I posisi C dan D, stasiun II dan III Posisi A, B, C dan D. KTK tergolong rendah, hal ini disebabkan tekstur tanah pada semua posisi di ketiga stasiun penelitian didominasi fraksi pasir. Frasksi pasir umumnya mempunyai KTK rendah karena muatan negatif pada fraksi ini lebih kecil sehingga kemampuannya untuk mempertukarkan kation juga lebih rendah. Rendahnya KTK menunjukkan bahwa tanah mangrove di lokasi penelitian mempunyai kemampuan memegang hara rendah Salinitas Gambar 18 menunjukkan grafik nilai rata-rata salinitas pada masingmasing stasiun dan posisi penelitian. Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 10) menunjukkan bahwa stasiun penelitian, posisi dan interaksi antara stasiun penelitian dan posisi terhadap laut berbeda sangat nyata dalam hal nilai salinitas. Salinitas (0/00) IA IB IC ID IIA IIB IIC IID IIIA IIIB IIIC IIID Stasiun dan Posisi Gambar 18. Nilai rata-rata salinitas pada masing-masing stasiun dan posisi penelitian. Nilai rata-rata salinitas tertinggi terdapat pada stasiun I dan II posisi A sebesar % o dan terendah pada stasiun III posisi D sebesar 5.88% o. Hasil uji lanjut hubungan stasiun penelitian dan posisi mangrove terhadap nilai salinitas disajikan pada Tabel 22.

73 63 Tabel 22. Uji beda rata-rata salinitas Posisi Stasiun A (Depan) B (Tengah) C (Belakang) D (Transisi) I (Nurussalam) a bc 8.14d b II (Darul Aman) a bc 8.14d b III (Idi Rayeuk) 10.15bc 8.96c 7.68d 5.88e BNJ 5 % 0.75 Keterangan : angka rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama berarti tidak berbeda nyata pada taraf uji BNJ 5%. Tabel 22 menunjukkan bahwa stasiun I dan II posisi A mempunyai ratarata salinitas paling tinggi dan berbeda nyata dengan stasiun I dan II posisi B, C dan D dan stasiun III posisi A, B, C dan D. Tingginya salinitas pada stasiun I dan II posisi A disebabkan letak stasiun ini paling dekat dengan datangnya air laut pada waktu pasang surut terjadi. Sebaliknya posisi D pada semua stasiun penelitian merupakan posisi paling belakang dan terjauh dari laut. Meskipun begitu pengaruh pasang surut air laut masih ada. Mangrove hidup pada kisaran salinitas 5 30 % 0. Salinitas berperan penting dalam distribusi dari jenis, pertumbuhan dan produktivitas dari hutan mangrove (Twiley and Cha, 1958). Mangrove secara umum dapat hidup pada daerah yang mempunyai kadar salinitas yang tinggi dibandingkan tanaman non mangrove, tetapi toleransi juga berbeda diantara jenis mangrove. Sebagai contoh R. Mucronata semaian bibit melakukan secara lebih baik pada kadar salinitas 30 % 0, tetapi R. apiculata melakukan secara lebih baik pada salinitas 15 % 0 (Kathiresan and Thangam, 1990). Sonneratia alba berkembang dalam perairan antara 2 % 0-18 % 0 tetapi Sonneratia lanceolata hanya berkembang pada kisaran salinitas sampai 2 % 0 (Pidsley and Ball, 1995) Sintesis Hubungan Sifat-sifat Kimia Tanah dengan Ekosistem Mangrove Pengujian statistik selanjutnya yang dilakukan dengan stepwise regression (Lampiran 21), dimaksudkan untuk menetapkan sifat-sifat kimia tanah yang mempengaruhi pertumbuhan mangrove pada masing-masing posisi. Jumlah pohon merupakan parameter vegetasi yang digunakan untuk pengujian pertumbuhan. Hasil pengujian disajikan pada uraian berikut.

74 64 Sifat-sifat kimia tanah yang mempengaruhi pembentukan posisi mangrove di daerah penelitian adalah Mg-dd, N-total dan P-tersedia. Sifat kimia tanah yang mempengaruhi terbentuknya posisi A ádalah Mg-dd dalam persamaan regresi posisi A = -22,03 + 3,8 Mg-dd dengan R 2 = 0,441. Dengan demikian maka peningkatan Mg-dd berpengaruh positif terhadap terbentuknya posisi A. Hasil pengujian statistik menunjukkan bahwa tidak ada sifat kimia tanah yang secara nyata mempengaruhi terbentuknya posisi B dan C. Sifat tanah yang mempengaruhi terbentuknya posisi D ádalah kandungan P-tersedia dan N-total dalam persamaan regresi posisi D = -10, ,91 P- tersedia + 67 N-total dengan R 2 = 0,394. Meningkatnya P-tersedia dan N-total pada posisi ini akan berpengaruh baik terhadap perkembangan posisi D Hubungan antara Sifat Fisika Tanah dengan Ekosistem Mangrove. Analisis dilakukan terhadap sifat tekstur tanah. Sifat-sifat tanah tersebut meliputi persen pasir, persen liat dan persen debu. Hasil pengukuran parameter sifat fisika tanah disajikan pada Lampiran Persen Pasir Gambar 19 menunjukkan grafik nilai rata-rata persen pasir pada masingmasing stasiun dan posisi penelitian. Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 12) menunjukkan bahwa stasiun penelitian dan interaksi antara stasiun penelitian dan posisi berbeda sangat nyata dalam hal nilai persen pasir. Sedangkan posisi tidak berbeda nyata dalam hal nilai persen pasir. Pasir (%) IA IB IC ID IIA IIB IIC IID IIIA IIIB IIIC IIID Stasiun dan Posisi Gambar 19. Nilai rata-rata persen pasir pada masing-masing stasiun dan posisi penelitian.

75 65 Tabel 23 menunjukkan bahwa stasiun I posisi C mempunyai rata-rata pasir paling tinggi dan berbeda nyata dengan stasiun II dan III posisi A, B, C dan D, stasiun I posisi A, B dan D. Tabel 23. Uji beda rata-rata persen pasir Posisi Stasiun A (Depan) B (Tengah) C (Belakang) D (Transisi) I (Nurussalam) b b a cd II (Darul Aman) e cd d e III (Idi Rayeuk) d d cd c BNJ 5 % 6.54 Keterangan : angka rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama berarti tidak berbeda nyata pada taraf uji BNJ 5%. Nilai rata-rata persen pasir tertinggi terdapat pada stasiun I posisi C sebesar 73,07 % dan terendah pada stasiun II posisi D sebesar 24,20 %. Hasil uji lanjut hubungan stasiun penelitian dan posisi mangrove terhadap persen pasir disajikan pada Tabel 23. Tingginya persen pasir akan menyebabkan rendahnya KTK tanah dan besarnya kehilangan air melalui tanah, khusunya posisi mangrove yang jarang bervegetasi. Selain itu tingginya kandungan pasir juga akan menyebabkan tingginya laju abrasi pantai, sehingga akan menyebabkan terbawanya unsur hara yang terdapat pada sedimen tanah yang sangat diperlukan oleh ekosistem mangrove Persen Debu Gambar 20 menunjukkan grafik nilai rata-rata persen debu pada masingmasing stasiun dan posisi penelitian. Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 13) menunjukkan bahwa stasiun penelitian dan interaksi antara stasiun penelitian dan posisi berbeda sangat nyata dalam hal nilai persen debu. Sedangkan posisi tidak berbeda nyata dalam hal nilai persen debu.

76 66 Debu (%) IA IB IC ID IIA IIB IIC IID IIIA IIIB IIIC IIID Stasiun dan Posisi Gambar 20. Nilai rata-rata persen debu pada masing-masing stasiun dan posisi penelitian. Nilai rata-rata persen debu tertinggi terdapat pada stasiun II posisi A sebesar % dan terendah pada stasiun I posisi C sebesar 22,58 %. Hasil uji lanjut hubungan stasiun penelitian dan posisi mangrove terhadap persen debu disajikan pada Tabel 24. Tabel 24. Uji beda rata-rata persen debu Posisi Stasiun A (Depan) B (Tengah) C (Belakang) D (Transisi) I (Nurussalam) e e e c II (Darul Aman) a c b a III (Idi Rayeuk) b a c d BNJ 5 % 3.79 Keterangan : angka rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama berarti tidak berbeda nyata pada taraf uji BNJ 5%. Tabel 24 menunjukkan bahwa stasiun II posisi A mempunyai rata-rata debu paling tinggi namun tidak berbeda nyata dengan stasiun II posisi D dan stasiun III posisi B. namun berbeda nyata dengan stasiun I posisi A, B, C dan D, stasiun II B dan C, stasiun III posisi A, C dan D Persen Liat Gambar 21 menunjukkan grafik nilai rata-rata persen liat pada masingmasing stasiun dan posisi penelitian. Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 14) menunjukkan bahwa stasiun penelitian dan interaksi antara stasiun penelitian dan posisi berbeda sangat nyata dalam hal nilai persen liat. Sedangkan posisi tidak berbeda nyata dalam hal nilai persen liat.

77 67 Liat (%) IA IB IC ID IIA IIB IIC IID IIIA IIIB IIIC IIID Stasiun dan Posisi Gambar 21. Nilai rata-rata persen liat pada masing-masing Stasiun dan posisi penelitian. Nilai rata-rata persen liat tertinggi terdapat pada stasiun III posisi A sebesar 30,79 % dan terendah pada stasiun I posisi C sebesar 4,36 %. Hasil uji lanjut hubungan stasiun penelitian dan posisi mangrove terhadap persen liat disajikan Tabel 25. Tabel 25. Uji beda rata-rata persen liat Posisi Stasiun A (Depan) B (Tengah) C (Belakang) D (Transisi) I (Nurussalam) d d 4.36 e bc II (Darul Aman) b c ab a III (Idi Rayeuk) a b b c BNJ 5 % 2.83 Keterangan : angka rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama berarti tidak berbeda nyata pada taraf uji BNJ 5%. Tabel 25 menunjukkan bahwa stasiun III posisi A mempunyai rata-rata liat paling tinggi namun tidak berbeda nyata dengan stasiun II posisi C dan D. sedangkan stasiun III posisi A berbeda nyata dengan stasiun I posisi A, B, C dan D, stasiun II posisi A dan B, stasiun III posisi B, C dan D. Menurut Tee dalam Mansur (1997), tekstur tanah sangat mempengaruhi jenis tumbuhan yang hidup diatasnya. Rhizophora, Avicennia dan Bruguiera umumnya tumbuh pada tanah dengan kadar fraksi liat di atas 65%. Substrat yang menghampari lahan mangrove bekas tambak di lokasi penelitian memiliki kadar fraksi liat kurang dari 65% yang ternyata berbeda dengan kisaran tersebut. Berdasarkan uraian di atas, kadar fraksi liat pada lahan mangrove di ketiga stasiun penelitian tidak memenuhi kadar yang umumnya ditumbuhi oleh

78 68 vegetasi mangrove tersebut di atas. Hal ini dapat mengindikasikan adanya degradasi kemampuan substrat atau habitat mangrove untuk menopang terjadinya proses regenerasi alami vegetasi mangrove secara berkelanjutan atau bahkan proses regenerasi alami vegetasi mangrove berlangsung dalam waktu yang lama melewati kisaran waktu tahun yang lazim dibutuhkan pada umumnya oleh semua habitat mangrove dapat memulihkan kondisinya secara alami Sintesis Hubungan Sifat-sifat Físika dengan Ekosistem Mangrove Pengujian statistik selanjutnya yang dilakukan dengan stepwise regression (Lampiran 22), dimaksudkan untuk menetapkan sifat-sifat físika tanah yang mempengaruhi pertumbuhan mangrove pada masing-masing posisi. Jumlah pohon merupakan parameter vegetasi yang digunakan untuk pengujian pertumbuhan. Hasil pengujian disajikan pada uraian berikut. Sifat-sifat físika tanah yang mempengaruhi pembentukan posisi di daerah penelitian adalah kandungan persen debu dan liat. Sifat físika tanah yang mempengaruhi terbentuknya posisi A ádalah persen debu dan liat dalam persamaan regresi posisi A = 0, ,65 debu 0,51 liat dengan R 2 = 0,715. Dengan demikian maka peningkatan persen debu dan penurunan persen liat pada posisi ini berpengaruh positif terhadap terbentuknya posisi A. Hasil pengujian statistik menunjukkan bahwa tidak ada sifat físika tanah yang secara nyata mempengaruhi terbentuknya posisi B, C dan D. Dahuri dkk (1996) menyatakan bahwa mangrove dapat hidup pada berbagai substrat seperti tanah berpasir, lempung dan berbatu. Sumber lumpur yang baik pada hutan mangrove adalah tanah vulkanis. Hal ini dapat dipahami bahwa secara umum substrat/sedimen yang menghampari hutan mangrove didominasi oleh kelompok sedimen piroklastik atau sedimen vulkanik yang merupakan hasil dari aktivitas gunung berapi dengan warna sedimen hitam dan abu-abu. Sedangkan sedimen biogenous yang berwarna putih berupa pecahan karang dan cangkang moluska. Berkenaan dengan pengangkutan dan pengendapan sedimen, Selley (1988) menyatakan bahwa secara umum proses pengendapan sedimen dapat digunakan untuk memahami baik transportasi maupun pengendapan sedimen termasuk peran air, angin es dan gravitasi. Menurut Black (1985), partikel yang berukuran lebih besar memiliki berat yang lebih besar dibandingkan dengan

79 69 partikel yang berukuran kecil, dimana pergerakan air yang sangat lambat hanya dapat mengangkut sedimen yang berukuran kecil atau halus. Sama halnya dengan partikel yang terendap dengan cara tersuspensi merupakan fungsi dari ukuran partikel dan kecepatan air pada saat partikel-partikel tersebut tersuspensi. Pasir lebih dahulu terendap sedangkan debu ditransportasaikan lebih jauh sebelum terendap dan debu yang sangat halus akan tersuspensi sampai dengan jangka waktu tertentu sebelum diendapkan. Triatmodjo (1999) menginformasikan bahwa substrat/sedimen yang berada di daerah pantai (perairan pantai, muara sungai, estuari, teluk) adalah sedimen kohesif dengan diameter butiran sangat kecil, yaitu dalam beberapa mikron. Sifat-sifat sedimen lebih tergantung pada gaya-gaya permukaan (gaya tarik dan gaya tolak) daripada gaya berat. Lebih lanjut diinformasikan bahwa pantai berlumpur terjadi di daerah pantai dimana terdapat banyak muara sungai yang membawa sedimen suspensi dalam jumlah besar ke laut. Selain itu kondisi gelombang di pantai tersebut relatif tenang sehingga tidak mampu membawa sedimen ke perairan laut lepas. Sedimen yang tersuspensi dapat menyebar pada suatu daerah pantai yang luas sehingga membentuk pantai yang luas, datar dan dangkal Hubungan antara Sifat-sifat Kimia Air dengan Ekosistem Mangrove. Anilisis dilakukan terhadap 5 sifat kimia air. Sifat-sifat air tersebut meliputi Amonia, fosfat, DHL, BOD dan COD. Hasil pengukuran parameter kimia air, disajikan pada Lampiran Amonia Gambar 22 menunjukkan grafik nilai rata-rata amonia pada masingmasing stasiun dan posisi penelitian. Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 16) menunjukkan bahwa stasiun penelitian dan interaksi antara stasiun penelitian dan posisi berbeda sangat nyata dalam hal nilai amonia. Sedangkan posisi berbeda nyata dalam hal nilai amonia.

80 Amonia (mg/l) IA IB IC ID IIA IIB IIC IID IIIA IIIB IIIC IIID Stasiun dan Posisi Gambar 22. Nilai rata-rata amonia pada masing-masing stasiun dan posisi penelitian. Nilai rata-rata amonia tertinggi terdapat pada stasiun II posisi C sebesar 1,36 mg/l dan terendah pada stasiun I posisi D sebesar 0,31 mg/l. Hasil uji lanjut hubungan stasiun penelitian dan posisi mangrove terhadap nilai amonia disajikan pada Tabel 26. Tabel 26. Uji beda rata-rata Amonia Posisi Stasiun A (Depan) B (Tengah) C (Belakang) D (Transisi) I (Nurussalam) 1.06 bc 0.97 cd 0.87 d 0.31 a II (Darul Aman) 1.26 ab 0.97 cd 1.36 a 1.26 ab III (Idi Rayeuk) 1.06 b 0.87 d 0.97 cd 1.06 bc BNJ 5 % 0.10 Keterangan : angka rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama berarti tidak berbeda nyata pada taraf uji BNJ 5%. Tabel 26 menunjukkan bahwa stasiun II posisi C mempunyai rata-rata amonia paling tinggi namun tidak berbeda nyata dengan stasiun I posisi D, stasiun II posisi A dan D. Sedangkan stasiun II posisi C berbeda nyata dengan stasiun I posisi A, B, dan C, stasiun II posisi B dan stasiun III posisi A, B, C dan D. Amonia merupakan bahan toksik bagi organisme perairan dan umumnya ditemukan dalam jumlah sedikit dalam perairan yang tidak tercemar. Pencemaran oleh limbah domestik, pertanian dan industri dapat meningkatkan kandungan amonia (Kusmana, et al., 2005). Secara alami, amonia terdapat dalam konsentrasi kecil, dimana amonia dapat terbentuk dari proses deaminasi senyawa organik yang mengandung nitrogen, dan dari hidrolisis urea. Menurut Patrick (1960), dan Boto and

81 71 Wellington (1984), kandungan amonia dalam suatu perairan sebaiknya tidak + melampaui 1,5 mg/l. Melihat hasil rata-rata nilai NH 4 yang diperoleh, maka nilai tersebut masih berada dibawah ambang batas Fosfat Gambar 23 menunjukkan grafik nilai rata-rata fosfat pada masing-masing stasiun dan posisi penelitian. Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 17) menunjukkan bahwa posisi dan interaksi antara stasiun penelitian dan posisi berbeda sangat nyata dalam hal nilai fosfat. Sedangkan stasiun penelitian berbeda nyata dalam hal nilai fosfat. Fosfat (mg/l) IA IB IC ID IIA IIB IIC IID IIIA IIIB IIIC IIID Stasiun dan Posisi Gambar 23. Nilai rata-rata fosfat pada masing-masing stasiun dan posisi penelitian. Nilai rata-rata fosfat tertinggi terdapat pada stasiun II posisi C sebesar 0,56 mg/l dan terendah pada stasiun I, II dan III posisi A sebesar 0,24 mg/l. Hasil uji lanjut hubungan stasiun penelitian dan posisi mangrove terhadap nilai fosfat disajikan pada Tabel 27. Tabel 27. Uji beda rata-rata fosfat Posisi Stasiun A (Depan) B (Tengah) C (Belakang) D (Transisi) I (Nurussalam) 0.24 d 0.40 b 0.31 c 0.31 c II (Darul Aman) 0.24 d 0.40 b 0.56 a 0.31 c III (Idi Rayeuk) 0.24 d 0.32 c 0.32 c 0.33 c BNJ 5 % 0.03 Keterangan : angka rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama berarti tidak berbeda nyata pada taraf uji BNJ 5%.

82 72 Tabel 27 menunjukkan bahwa stasiun II posisi C mempunyai rata-rata fosfat paling tinggi dan berbeda nyata dengan stasiun I dan III posisi A, B, C dan D, stasiun II posisi A, B dan D. Secara umum kandungan unsur hara fosfat daerah penelitian yang berada pada kisaran 0,24 mg/l 0,56 mg/l termasuk yang mempunyai tingkat kesuburan yang tinggi. Tingginya kandungan fosfat pada stasiun II posisi C diduga dipengaruhi oleh hasil eksresi zooplanton dan hewan akuatik serta masukan bahan organik dari serasah tumbuhan mangrove. Fosfat merupakan unsur yang penting terutama bagi pertumbuhan fitoplankton dan ortofosfat merupakan bentuk fosfat terlarut yang dapat digunakan oleh fitoplankton. Menurut Yoshimura dalam (Susana, 2005), ketiga stasiun tersebut termasuk kedalam perairan dengan tingkat kesuburan tinggi DHL Gambar 24 menunjukkan grafik nilai rata-rata DHL pada masing-masing stasiun dan posisi penelitian. Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 18) menunjukkan bahwa stasiun penelitian dan interaksi antara stasiun penelitian dan posisi berbeda sangat nyata dalam hal nilai DHL. Sedangkan posisi berbeda nyata dalam hal nilai DHL. DHL (mg/l) IA IB IC ID IIA IIB IIC IID IIIA IIIB IIIC IIID Stasiun dan Posisi Gambar 24. Nilai rata-rata DHL pada masing-masing Stasiun dan posisi penelitian. Nilai rata-rata DHL tertinggi terdapat pada stasiun II posisi D sebesar 50,28% o dan terendah pada stasiun I dan III posisi C sebesar 28,14 % o. Hasil uji lanjut hubungan stasiun penelitian dan posisi mangrove terhadap nilai DHL disajikan pada Tabel 28.

83 73 Tabel 28. Uji beda rata-rata DHL Posisi Stasiun A (Depan) B (Tengah) C (Belakang) D (Transisi) I (Nurussalam) bc c d c II (Darul Aman) a ab b a III (Idi Rayeuk) bc c d c BNJ 5 % 3.69 Keterangan : angka rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama berarti tidak berbeda nyata pada taraf uji BNJ 5%. Tabel 28 menunjukkan bahwa stasiun II posisi D mempunyai rata-rata DHL paling tinggi namun tidak berbeda nyata dengan stasiun II posisi A dan D. Sedangkan stasiun II posisi D berbeda nyata dengan stasiun I posisi A, B, C dan D, stasiun II posisi C dan stasiun III posisi A, B, C dan D BOD Gambar 25 menunjukkan grafik nilai rata-rata BOD pada masing-masing stasiun dan posisi penelitian. Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 19) menunjukkan bahwa stasiun penelitian, posisi dan interaksi antara stasiun penelitian dan posisi berbeda sangat nyata dalam hal nilai BOD. 2 BOD (mg/l) IA IB IC ID IIA IIB IIC IID IIIA IIIB IIIC IIID Stasiun dan Posisi Gambar 25. Nilai rata-rata BOD pada masing-masing stasiun dan posisi penelitian. Nilai rata-rata BOD tertinggi terdapat pada stasiun I posisi D sebesar 1,84 mg/l dan terendah pada stasiun III posisi A sebesar 0,04 mg/l tergolong sangat rendah sampai dengan rendah. Hasil uji lanjut hubungan stasiun penelitian dan posisi mangrove terhadap nilai BOD dapat dilihat pada Tabel 29.

84 74 Tabel 29. Uji beda rata-rata BOD Stasiun A (Depan) B (Tengah) Posisi C (Belakang) D (Transisi) I (Nurussalam) 0.66 ef 0.46 f 0.93 d 1.84 a II (Darul Aman) 0.72 e 1.21 c 1.47 b 0.77 e III (Idi Rayeuk) 0.04 g 0.52 f 0.81 d 0.51 f BNJ 5 % 0.17 Keterangan : angka rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama berarti tidak berbeda nyata pada taraf uji BNJ 5%. Tabel 29 menunjukkan bahwa stasiun I posisi D mempunyai rata-rata BOD paling tinggi dan berbeda nyata dengan stasiun I posisi A, B dan C, stasiun II dan III posisi A, B, C dan D. Tingginya nilai BOD pada stasiun I posisi D diduga akibat masukan bahan organik dari luar maupun dari dalam perairan mangrove. Misalnya pengaruh pencemaran dari buangan air tambak, karena letak stasiun ini yang paling dekat dengan daratan. Nilai BOD dapat dijadikan sebagai petunjuk tingkat pencemaran suatu perairan. Menurut Lee Wang and Kuo (1978), dalam Hidayat (1999), kandungan BOD < 3 mg/l tergolong perairan tidak tercemar. Seluruh posisi pada ketiga stasiun penelitian tergolong kedalam perairan yang tidak tercemar COD Gambar 26 menunjukkan grafik nilai rata-rata COD pada masing-masing stasiun dan posisi penelitian. Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 20) menunjukkan bahwa stasiun penelitian dan interaksi antara stasiun penelitian dan posisi berbeda sangat nyata dalam hal nilai COD. Sedangkan posisi tidak berbeda nyata dalam hal nilai COD. COD (mg/l) IA IB IC ID IIA IIB IIC IID IIIA IIIB IIIC IIID Stasiun dan Posisi Gambar 26. Nilai rata-rata COD pada masing-masing stasiun dan posisi penelitian.

85 75 Nilai rata-rata COD tertinggi terdapat pada stasiun II posisi B sebesar 6,27 mg/l dan terendah pada stasiun III posisi D sebesar 2,92 mg/l tergolong rendah. Hasil uji lanjut hubungan stasiun penelitian dan posisi mangrove terhadap nilai COD dapat dilihat pada Tabel 30. Tabel 30. Uji beda rata-rata COD Stasiun A (Depan) B (Tengah) Posisi C (Belakang) D (Transisi) I (Nurussalam) 4.64 cd 4.05 d 5.13 b 4.84 c II (Darul Aman) 4.41d 6.27 a 4.39 d 4.31 d III (Idi Rayeuk) 4.64 cd 3.71 e 3.36 e 2.92 f BNJ 5 % 0.28 Keterangan : angka rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama berarti tidak berbeda nyata pada taraf uji BNJ 5%. Tabel 30 menunjukkan bahwa stasiun II posisi B mempunyai rata-rata COD paling tinggi dan berbeda nyata dengan stasiun I dan III posisi A, B, C dan D, stasiun II posisi A, C dan D. Tingginya nilai COD pada stasiun II posisi B mengindikasikan bahwa kandungan oksigen terlarut dalam air di posisi ini tinggi. Secara umum rendahnya COD pada daerah penelitian dipengaruhi oleh salinitas yang tinggi. Simpson dan Guntur (1956) dalam Goldman and Horne (1983), mengatakan bahwa kenaikan salinitas yang tinggi berpengaruh terhadap oksigen terlarut, dimana kadar garam yang tinggi akan mengurangi ruang bagi oksigen untuk larut dalam air. COD merupakan faktor penting bagi keberadaan tumbuhan dari hewan mangrove, khususnya dalam respirasi dan fotosintesis. Disamping itu COD juga penting dalam proses dekomposisi sampah pada ekosistem mangrove. Rendahnya kandungan COD disebabkan karena oksigen digunakan dalam proses dekomposisi sampah oleh mikroorganisme yang ada disekitar ekosistem mangrove sehingga COD perairan rendah. COD merupakan salah satu faktor yang mengontrol komposisi spesies, distribusi dan pertumbuhan (Aksornkoae, 1993).

86 Sintesis Hubungan Sifat-sifat Kimia Air dengan Ekosistem Mangrove Pengujian statistik selanjutnya yang dilakukan dengan stepwise regression (Lampiran 23), dimaksudkan untuk menetapkan sifat-sifat kimia air yang mempengaruhi pertumbuhan mangrove pada masing-masing posisi. Jumlah pohon merupakan parameter vegetasi yang digunakan untuk pengujian pertumbuhan. Hasil pengujian disajikan pada uraian berikut. Sifat-sifat kimia air yang mempengaruhi pembentukan posisi di daerah penelitian adalah NH + 4 dan BOD. Hasil pengujian statistik menunjukkan bahwa tidak ada sifat kimia air yang secara nyata mempengaruhi terbentuknya posisi A dan B. + Sifat kimia air yang mempengaruhi terbentuknya posisi C ádalah NH 4 dan BOD dalam persamaan regresi posisi C = -2, ,3 NH ,3 BOD dengan R 2 = 0,538. Dengan demikian maka peningkatan NH + 4 dan BOD pada posisi ini berpengaruh positif terhadap terbentuknya posisi C. + Sifat kimia air yang mempengaruhi terbentuknya posisi D ádalah NH 4 dalam persamaan regresi posisi D = 6, ,0 NH + 4 dengan R 2 = 0,238. Dengan demikian maka peningkatan NH + 4 pada posisi ini berpengaruh positif terhadap terbentuknya posisi D Pembahasan Umum Hubungan Sifat Biofisik Terhadap Ekosistem Mangrove Secara umum sifat-sifat kimia dan fisika tanah dan air yang paling berpengaruh terhadap ekosistem mangrove dilokasi penelitian adalah N-total, P- tersedia, Mg-dd, persen debu, persen liat, NH + 4 dan BOD. Posisi A dipengaruhi oleh Mg-dd, persen debu dan liat. Rendahnya Mg-dd dan persen debu serta tingginya persen liat pada posisi ini sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan vegetasi mangrove. Peningkatan Mg-dd dan persen debu serta penurunan persen liat akan berpengaruh positif terhadap pembentukan zonasi pada posisi ini. Zonasi ini disusun oleh Rhizophoraceae yang berasosiasi dengan Sonneratiaceae, Sonneratiaceae merupakan mangrove yang kaya bahan organik. Hasil pengujian statistik menunjukkan bahwa tidak ada sifat kimia dan físika tanah dan air yang secara nyata mempengaruhi terbentuknya posisi B.

87 77 Posisi B berbatasan langsung dengan posisi A yang terletak pada pinggir pantai. Posisi B merupakan posisi transisi dari posisi A. Zonasi ini disusun oleh Sonneratiaceae. Posisi C dipengaruhi oleh NH + 4 dan BOD. Posisi ini disusun oleh Rhizophoraceae. Peningkatan NH4+ dan BOD berpengaruh positif terhadap terbentuknya zonasi Rhizophoraceae. Posisi D dipengaruhi oleh P-tersedia, N-total dan NH + 4. Rendahnya N- total dan NH + 4 pada posisi ini disebabkan posisi ini merupakan posisi yang disusun oleh mangrove campuran, yang merupakan asosiasi antara Rhizophoraceae dan Euphorbiaceae, dimana sumbangan bahan organik dari serasah jumlahnya sedikit. Sedangkan rendahnya kandungan P-tersedia disebabkan oleh tidak seringnya posisi ini terjangkau oleh pasang surut air laut. Dengan demikian maka peningkatan P-tersedia, N-total dan NH + 4 berpengaruh positif terhadap terbentuknya posisi Rhizophoraceae dan Euphorbiaceae Analisa Citra Jenis Tutupan Lahan Penutupan lahan merupakan istilah yang berkaitan dengan jenis kenampakan vegetasi dan penggunaan ruang yang ada di permukaan bumi. Menurut Lo (1995), satu faktor penting untuk menentukan kesuksesan pemetaan penutupan lahan terletak pada skema pemilihan klasifikasi yang tepat dirancang untuk suatu tujuan tertentu. Skema klasifikasi yang baik harus sederhana di dalam menjelaskan setiap kategori penutupan lahan. Jenis tutupan lahan mangrove di wilayah Kabupaten Aceh Timur berdasarkan interprestasi citra maupun secara terestris dapat diklasifikasikan menjadi tiga tipe tutupan lahan yaitu hutan (kawasan berhutan), tambak tumpangsari, perkebunan dan pemukiman/industri (tambak non-tumpangsari, sawah dan tanah kosong). Proses klasifikasi dilakukan berdasarkan data citra Landsat ETM (Land Satelite Enhanched Thematic Mapper) serta data pendukung dari lapangan. Klasifikasi dilakukan dua tahap, yaitu klasifikasi tak terbimbing (unsupervised classification) dan klasifikasi terbimbing (supervised classification). Klasifikasi tak terbimbing dilakukan sebelum kegiatan cek lapangan (ground check) dilaksanakan. Peta hasil klasifikasi ini selanjutnya dijadikan pedoman dalam kegiatan cek lapangan. Klasifikasi terbimbing (supervised classification)

88 78 menggunakan training area berdasarkan titik GPS. Pengambilan titik-titik didasarkan pada tipe penutupan lahan yang terdapat pada lahan mangrove Kabupaten Aceh Timur. Pemilihan kelompok atau kelas-kelas informasi dilakukan dengan membuat daerah contoh yang mewakili tiap kategori dari tiga klasifikasi yang telah ditentukan sebelumnya. Interpretasi citra dilakukan secara visual. Pikselpiksel yang telah diketahui jenis tutupannya di lapangan dikelompokkan sesuai kelas klasifikasinya. Tiap piksel pada serangkaian data citra dibandingkan terhadap tiap kategori. Perbandingan tersebut dikerjakan secara numerik dengan menggunakan satu diantara berbagai strategi yang berbeda-beda untuk memudahkan interpreter dalam memisahkan piksel yang mempunyai nilai kategori yang berbeda. Piksel-piksel tersebut kemudian diberi nama pada atribut sesuai dengan nama kategori yang mewakilinya. Pengujian antar contoh kelas perlu dilakukan untuk menghindari pengulangan tiap piksel yang mempunyai nilai yang sama. Setelah semua kategori telah terwakili oleh daerah contoh maka dihasilkan data statistik yang akan digunakan untuk proses penghitungan komputer untuk menentukan kelas klasifikasi seluruh daerah penelitian. Apabila daerah contoh telah mewakili seluruh kelas klasifikasi, proses klasifikasi akan berjalan dengan lancar. Kunci keberhasilan tersebut adalah rincian dari kategori tutupan yang dapat dipisahkan secara spektral. Hasil akhir dari proses klasifikasi citra untuk lahan mangrove Kabupaten Aceh Timur diperoleh data luasan per penutupan lahan. Berikut ini akan disajikan tipe tutupan lahan Kabupaten Aceh Timur tahun 2005 berikut dengan luasnya. Untuk memudahkan dalam melakukan analisis, maka data disajikan dalam bentuk tabel seperti Tabel 31. Peta Jenis tutupan lahan mangrove dan batasan hutan di wilayah Kabupaten Aceh Timur disajikan pada Gambar 27 dan 28. Berdasarkan interpretasi citra Landsat 7 ETM+ tahun 2005, tipe penutupan lahan yang terluas adalah tambak tumpangsari dan perkebunan yang terdiri dari hutan mangrove bercampur dengan tegakan hutan lain dan hutan mangrove yang bercampur dengan tambak. Betapa tidak, penutupan lahan tambak tumpangsari dan perkebunan yang terdiri dari hutan mangrove bercampur dengan tegakan hutan lain dan hutan mangrove yang bercampur dengan tambak merupakan penutupan lahan yang memiliki luas yang terbesar di seluruh kecamatan. Adapun luasnya adalah, ha yang menempati 64,15 % dari luas total kawasan lahan hutan mangrove. Kecamatan

89 79 yang memiliki luas tambak tumpangsari dan perkebunan dalam jumlah yang besar (lebih dari ha), adalah Pante Bidari dan Sungai Raya. Adapun luas penutupan lahannya adalah ha dan ha. Hal ini berarti Kecamatan Pante Bidari dan Sungai Raya menyumbang sebagian besar dari luas total tambak tumpangsari dan perkebunan yang terdapat di lahan hutan mangrove Kabupaten Aceh Timur. Kecamatan lain mempunyai luas penutupan lahan dalam jumlah yang kecil dan merata. Adapun kisarannya adalah dibawah ha. Tabel 31. Luas setiap jenis tutupan lahan mangrove di Kabupaten Aceh Timur Tahun Kategori Jenis Tutupan Lahan (ha) Pemukiman/ Hutan Tambak industri (tambak nontumpangsari, (kawasan tumpangsari, Jumlah No Kecamatan berhutan) perkebunan. sawah, tanah (ha) kosong) 1 Banda Alam Bireum Bayeun Darul Aman Idi Rayeuk Julok Nurusalam Pante Bidari Peudawa Peureulak Peureulak Barat Peureulak Timur Rantau Selamat Ranto Peureulak Simpang Ulim Sungai Raya Jumlah

90 Gambar 27. Peta Jenis Tutupan/ Penggunaan Lahan Kabupaten Aceh Timur Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

91 Gambar 28. Peta Landsystem Kabupaten Aceh Timur Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam

92 Gambar 28. Peta Batas Hutan Mangrove Kabupaten Aceh Timur Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

93 82 Tipe tutupan lahan yang memiliki wilayah terluas kedua adalah pemukiman/industri (tambak non-tumpangsari, sawah, tanah kosong). Adapun luasnya adalah ha atau bila dipersentasekan adalah sebesar 24,76 %. Kecamatan yang memiliki luas penutupan lahan pemukiman/industri yang terbesar adalah Pante Bidari. Adapun luas penutupan lahannya adalah ha. Hal ini berarti Kecamatan Pante Bidari menyumbang sebagian besar dari luas total pemukiman/industri yang terdapat di lahan hutan mangrove Kabupaten Aceh Timur. Kecamatan lain mempunyai luas penutupan lahan dalam jumlah yang kecil dan merata. Adapun kisarannya adalah dibawah ha. Hutan (kawasan berhutan) merupakan tipe tutupan lahan yang memiliki luas penutupan lahan yang terkecil yang terdapat di lahan hutan mangrove Kabupaten Aceh Timur tahun Adapun luasnya adalah ha atau bila dipersentasekan sebesar 11,10 %. Kecamatan yang memiliki luas penutupan lahan Hutan (kawasan berhutan) yang terbesar adalah Bireum Bayeun dengan luas ha, Rantau Selamat dengan luas 1,190 ha dan Pante Bidari dengan luas ha Kerapatan Tajuk Berikut ini akan disajikan data kerapatan tajuk mangrove Kabupaten Aceh Timur tahun 2005 berikut dengan luasnya. Untuk memudahkan dalam melakukan analisis, maka data disajikan dalam bentuk tabel seperti Tabel 32. Peta kerapatan tajuk mangrove di wilayah Kabupaten Aceh Timur disajikan pada Gambar 29. Data tipe penutupan lahan dijadikan dasar dalam penentuan kerapatan tajuk mangrove. Kerapatan tajuk di Kabupaten Aceh Timur diklasifikasikan menjadi 3 klas yaitu kerapatan jarang, kerapatan sedang dan kerapatan tajuk rapat. Hasil perhitungan luas kerapatan tajuk di Kabupaten Aceh Timur bahwa klas yang paling luas yaitu klas kerapatan jarang merupakan kerapatan tajuk yang memiliki luas yang terbesar di seluruh kecamatan. Adapun luasnya adalah, ha. Kecamatan yang memiliki luas kerapatan tajuk dalam jumlah yang besar adalah Pante Bidari. Adapun luas kerapatan tajuknya adalah ha. Luas kerapatan tajuk yang memiliki wilayah terluas kedua adalah kerapatan sedang. Adapun luasnya adalah ha. Kecamatan yang memiliki luas kerapatan tajuk yang terbesar adalah Bireum Bayeun. Adapun luas kerapatan tajuknya adalah ha. Hal ini berarti Kecamatan Bireum Bayeun

94 83 menyumbang sebagian besar dari luas total kerapatan tajuk sedang yang terdapat di lahan hutan mangrove Kabupaten Aceh Timur. Kecamatan lain mempunyai luas penutupan lahan dalam jumlah yang kecil dan merata. Adapun kisarannya adalah dibawah ha. Sedangkan klas kerapatan tajuk rapat tidak ditemui pada semua wilayah Kabupaten Aceh Timur. Hal ini mengindikasikan bahwa lahan hutan mangrove di Kabupaten Aceh Timur telah mengalami kerusakan/gangguan. Tabel 32. Kategori kerapatan tajuk berdasarkan nilai NDVI untuk setiap lokasi di wilayah Kabupaten Aceh Timur Kerapatan Tajuk Berdasarkan No. Kecamatan Selang Nilai NDVI Jumlah (ha) Jarang Sedang Rapat 1 Banda Alam Bireum Bayeun Darul Aman Idi Rayeuk Julok Nurusalam Pante Bedari Peudawa Peureulak Peureulak Barat Peureulak Timur Rantau Selamat Ranto Peureulak Simpang Ulim Sungai Raya Jumlah Ketahanan Tanah terhadap Abrasi Ketahanan tanah terhadap abrasi menggambarkan tingkat kepekaan tanah terhadap pengaruh abrasi. Ekosistem mangrove merupakan ekosistem yang khas yang tumbuh di wilayah pesisir. Kecepatan angin, pasang surut dan arus sangat mempengaruhi ekosistem mangrove. Rata-rata kecepatan angin di daerah penelitian adalah 3 m/detik, angin akan mempengaruhi terjadinya gelombang dan arus laut. Arus yang terjadi di daerah penelitian dapat merubah struktur dan fungsi ekosistem mangrove. Arus yang cukup besar biasanya hutan mangrove mengalami abrasi sehingga terjadi pengurangan luasan hutan.

95 Gambar 29. Peta tingkat kerapatan tajuk Kabupaten Aceh Timur Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

96 85 Wilayah pesisir Kabupaten Aceh Timur memilki tiga jenis tekstur tanah, yaitu tekstur lempung, campuran (lempung berpasir) dan pasir. Tekstur lempung diklasifikasikan tidak peka terhadap abrasi, sedangkan tekstur campuran (lempung berpasir) diklasifikasikan peka terhadap abrasi dan tekstur pasir diklasifikasikan sangat peka terhadap abrasi. Berikut ini akan disajikan data tekstur tanah pada setiap jenis penggunaan lahan mangrove di setiap wilayah di Kabupaten Aceh Timur berikut dengan luasnya. Untuk memudahkan dalam melakukan analisis, maka data disajikan dalam bentuk tabel seperti Tabel 33. Peta ketahanan tanah terhadap abrasi di wilayah Kabupaten Aceh Timur disajikan pada Gambar 30. Data land system dijadikan dasar dalam penentuan ketahanan tanah terhadap abrasi. Tekstur tanah di Kabupaten Aceh Timur diklasifikasikan menjadi 3 jenis yaitu tekstur lempung, lempung berpasir dan pasir. Hasil perhitungan luas tekstur tanah di Kabupaten Aceh Timur bahwa klas tekstur yang paling luas yaitu klas lempung yang tidak peka abrasi, merupakan tekstur yang memiliki luas yang terbesar di seluruh kecamatan. Adapun luasnya adalah, ha atau bila dipersentasekan adalah sebesar 52,25%. Kecamatan yang memiliki tekstur lempung berpasir dalam jumlah yang besar adalah Pante Bidari. Adapun luas teksturnya adalah ha. Luas tekstur tanah yang memiliki wilayah terluas kedua adalah (lempung berpasir) yang agak peka abrasi. Adapun luasnya adalah ha atau bila dipersentasekan adalah sebesar 33,91%. Kecamatan yang memiliki tekstur tanah lempung dalam jumlah yang besar adalah Pante Bidari dan Bireum Bayeun. Adapun luas teksturnya masing-masing adalah ha dan ha. Tekstur pasir dan sangat peka abrasi merupakan jenis tekstur yang memiliki luas yang terkecil yang terdapat di lahan hutan mangrove Kabupaten Aceh Timur tahun Adapun luasnya adalah 9,983 ha atau bila dipersentasekan sebesar 13,84 %. Kecamatan yang memiliki luas sebaran tekstur tanah pasir tertinggi adalah Idi Rayeuk dengan luas ha dan Kecamatan Banda Alam dan Darul Aman masing-masing dengan luas ha dan ha.

97 86 Tabel 33. Jenis tekstur dirinci per kecamatan di sepanjang pantai wilayah Kabupaten Aceh Timur. Jenis Tekstur No. Kecamatan Lempung Jumlah Lempung Pasir Berpasir 1 Banda Alam Bireum Bayeun Darul Aman Idi Rayeuk Julok Nurussalam Pante Biedari Peudawa Peureulak Peureulak Barat Peureulak Timur Rantau Selamat Ranto Peureulak Simpang Ulim Sungai Raya Jumlah Sumber : Analisis Peta Land System

98 Gambar 30. Peta Ketahanan Tanah Terhadap Abrasi Kabupaten Aceh Timur Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

99 Tingkat Kekritisan Lahan Mangrove Lahan hutan mangrove di Kabupaten Aceh Timur dari tahun-ketahun semakin berkurang luasannya. Hal ini disebabkan berubahnya fungsi kawasan lahan hutan mangrove menjadi lahan pertanian, sementara luas kawasan pertanian berubah juga fungsinya (terkonversi) menjadi areal pemukiman. Di sisi lain masalah jumlah penduduk di kawasan Kabupaten Aceh Timur semakin meningkat. Dari fenomena tersebut kita dapat melihat bahwa kebutuhan akan lahan untuk beraktivitas maupun untuk bermukim akan semakin tinggi seiring makin tingginya pertambahan jumlah penduduk. Perubahan penggunaan lahan yang disebabkan oleh fenomena alam dan aktifitas manusia tersebut akan menyebabkan degradasi lahan. Tanpa adanya usaha perbaikan, lahan yang ada akan semakin menurun kualitasnya dan pada akhirnya akan menjadi lahan kritis di Kabupaten Aceh Timur. Secara umum lahan kritis merupakan salah satu indikator adanya degradasi (penurunan kualitas) lingkungan sebagai dampak dari berbagai jenis pemanfaatan sumber daya lahan yang kurang bijaksana. Dalam penelitian ini tingkat kekritisan lahan mangrove ditentukan berdasarkan penggabungan jumlah dari tiga kriteria, yaitu Jenis tutupan lahan (Jpl), Kerapatan tajuk (Kt), dan Ketahanan tanah terhadap abrasi (Kta). Berikut ini akan disajikan data tingkat kekritisan lahan mangrove di Kabupaten Aceh Timur berikut dengan luasnya. Untuk memudahkan dalam melakukan analisis, maka data disajikan dalam bentuk tabel seperti Tabel 34. Peta Kekritisan mangrove Kabupaten Aceh Timur Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam disajikan pada Gambar 31. Tingkat kekritisan lahan di Kabupaten Aceh Timur diklasifikasikan menjadi 3 kategori kerusakan yaitu rusak berat, rusak dan tidak rusak. Hasil perhitungan tingkat kekritisan lahan mangrove di Kabupaten Aceh Timur bahwa kategori kerusakan yang paling luas yaitu kategori rusak berat, merupakan kategori kerusakan yang memiliki luas yang terbesar di seluruh kecamatan. Adapun luasnya adalah, ha atau bila dipersentasekan adalah sebesar 49,85 %. Kecamatan yang memiliki kategori rusak berat dalam jumlah yang besar adalah Pante Bidari. Adapun luas kerusakkanya adalah ha. Kerusakan lahan mangrove dalam kategori rusak berat yang terdapat di Kecamatan Pante Bidari disajikan pada Gambar 32.

100 89 Gambar 32. Lahan mangrove kategori rusak berat Gambar 32 menunjukkan lahan mangrove yang telah di konversi menjadi areal perkebunan kelapa sawit. Hutan mangrove yang secara alami terdapat di sebagian besar wilayah Kabupaten Aceh Timur merupakan salah satu lhutan mangrove terbaik yang dimiliki oleh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Bahkan ada beberapa pendapat yang menyatakan bahwa hutan mangrove Aceh Timur merupakan hutan mangrove terbaik di Indonesia. Namun, sejak awal tahun 1980an dengan dikeluarkannya izin HPH kepada beberapa perusahaan dalam pengelolaan hutan mangrove yang merupakan bahan baku untuk pembuatan arang (sebagian untuk di ekspor) telah menyebabkan terjadinya kerusakan ekosistem hutan mangrove secara berkala. Perusahaan yang memegang izin HPH juga memperkerjakan masyarakat wilayah pesisir Kabupaten Aceh Timur diperusahaannya didalam pembuatan arang mangrove. Pembuatan arang mangrove skala rumah tangga yang dilakukan oleh masyarakat di Kabupaten Aceh Timur pada saat ini disajikan pada Gambar 33. Gambar 33. Pembuatan arang mangrove skala rumah tangga.

101 90 Hal ini diperparah lagi dengan masuknya perusahaan-perusahaan yang mengkonversi hutan mangrove menjadi areal budidaya tambak udang yang diusahakan secara intensif. Pada akhir tahun 1990an banyak perusahaan yang meninggalkan areal HPH dan areal tambak udang. Hal ini terjadi selain karena tidak menguntungkan lagi secara ekonomis (hutan mangrove sudah rusak sehingga tidak ada lagi bahan baku untuk pembuatan arang dan udangnya banyak yang diserang penyakit), juga disebabkan oleh situasi keamanan yang tidak kondusif. Maka semakin banyak juga hutan mangrove yang telah berubah menjadi areal terbuka akibat dari perbuatan oknum-oknum yang memanfaatkan situasi tidak kondusifnya keamanan untuk memperkaya diri sendiri tanpa mengindahkan arti pentingnya hutan mangrove. Apalagi permintaan ekspor arang mangrove dari negara tetangga (Malaysia dan Singapura) semakin tinggi. Pada awal tahun 2000an, seiring dengan kondusifnya keamanan di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam pada umumnya dan Kabupaten Aceh Timur pada khususnya telah mengundang kembali perusahaan-perusahaan luar daerah untuk mencari keuntungan sesaat dengan cara membeli izin untuk mengkonversi kembali hutan mangrove menjadi perkebunan kelapa sawit. Hal ini didorong oleh faktor sangat sesuainya kelapa sawit tumbuh di sebagian besar wilayah Kabupaten Aceh Timur, juga disebabkan semakin sempitrnya areal perkebunan kelapa sawit di daerah lain dan tingginya harga CPO dipasaran dunia. Land clearing hutan mangrove menjadi areal perkebunan kelapa sawit disajikan pada Gambar 34. Gambar 34. Pekerjaan land clearing hutan mangrove (Latar belakang alat berat/ Becko).

102 91 Tabel 34. Hasil penilaian kekritisan ekosistem mangrove di wilayah Kabupaten Aceh Timur. Luas (ha) Setiap Tingkat Kekritisan No Kecamatan Tidak Total Rusak Rusak Berat Rusak 1 Banda Alam Bireum Bayeun Darul Aman Idi Rayeuk Julok Nurussalam Pante Beudari Peudawa Peureulak Peureulak Barat Peureulak Timur Rantau Selamat Ranto Peureulak Simpang Ulim Sungai Raya Jumlah Sumber : Hasil interpretasi citra satelit landsat tahun Luas kategori kerusakan yang memiliki wilayah terluas kedua adalah rusak. Adapun luasnya adalah ha atau bila dipersentasekan adalah sebesar 39,71 %. Kecamatan yang memiliki kategori rusak dalam jumlah yang besar adalah Pante Bidari. Adapun luas kerusakannya adalah ha. Kerusakan lahan mangrove dalam kategori rusak yang terdapat di Kecamatan Pante Bidari disajikan pada Gambar 35. Gambar 35. Lahan mangrove kategori rusak Kategori kerusakan lahan hutan mangrove dalam kriteria tidak rusak merupakan jenis kerusakan yang memiliki luas terkecil yang terdapat di lahan

103 92 hutan mangrove Kabupaten Aceh Timur. Adapun luasnya adalah ha atau bila dipersentasekan sebesar 10,43 %. Kecamatan yang memiliki kategori tidak rusak dalam jumlah yang besar adalah Bireum Bayeun dan Rantau Selamat. Adapun luasnya adalah ha dan ha. Kerusakan lahan mangrove dalam kategori tidak rusak yang terdapat di Kecamatan Bireum Bayeun disajikan pada Gambar 36. Gambar 36. Lahan mangrove kategori tidak rusak Rehabilitasi lingkungan yang dilakukan berupa penghijauan kawasan pesisir sebagai green belt yang dilakukan oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Aceh Timur, beberapa lembaga lokal yang bekerjasama dengan lembaga asing maupun lokal melalui penglibatan masyarakat secara aktif dan pasif. Kegiatan penghijauan pesisir yang dilakukan berupa penanaman mangrove, dan tanaman pantai lainnya. Gambar 37. Kegiatan penghijauan dengan mangrove jenis Rhizopora mucronata

104 93 Gambar 37 menunjukkan kegiatan penghijauan dengan mangrove dari jenis Rhizopora mucronata pada lahan bekas tambak. Kegiatan penghijauan pesisir diharapkan dapat menahan laju abrasi, intrusi air laut, dan sebagai pelindung kawasan pemukiman dari hembusan angin laut. Fungsi penting vegetasi pantai sangat dirasakan oleh masyarakat saat vegetasi tersebut rusak. Hembusan angin yang membawa udara panas dari arah laut sangat dirasakan oleh masyarakat terutama pada musim angin barat (Juli-November). Musim tersebut hembusan angin kencang dari Selat Malaka menerjang kawasan Kabupaten Aceh Timur wilayah pesisir tanpa ada penghalang. Pada musim ini gelombang laut oleh angin dapat mencapai ketinggian + 3 meter. Rehabilitasi lingkungan terutama kegiatan rehabilitasi mangrove pada umumnya dilakukan dengan penanaman mangrove jenis Rhizophora sp. Pengamatan lapangan menunjukkan bahwa jenis Rhizophora yang ditanam berasal dari jenis Rhizopora mucronata. Pemilihan jenis ini selain ketersediaan bibit yang relatif mudah juga didasarkan pada kondisi substrat pasir berlumpur dan kemampuan tumbuh jenis ini yang tinggi. Tanpa disadari kegiatan rehabilitasi mangrove telah mengarah kepada monospecies. Kondisi ini dalam jangka pendek dapat memberikan keuntungan terhadap ekosistem mengingat pertumbuhan mangrove jenis Rhizopora sp lebih cepat dan daya adaptasi yang tinggi terhadap lingkungan dibandingkan dengan mangrove jenis lainya. Dalam jangka panjang dikhawatirkan terjadi pengurangan spesies mangrove alami akibat dominansi satu jenis tanaman. Kekhawatiran lainnya adalah rentannya mangrove rehabilitasi terhadap serangan hama akibat sistem monospecies. Disarankan kepada pelaku rehabilitasi untuk menanam mangrove dari berbagai jenis sesuai dengan kesesuaian lahan untuk lokasi penanaman.

105 Gambar 31. Peta kekritisan mangrove Kabupaten Aceh Timur Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

106 Arahan Pengembangan Mangrove Tujuan Pengembangan Pengelolaan Mangrove Tujuan pengelolaan mangrove adalah agar dapat diperoleh fungsi dan manfaatnya secara maksimal dan berkelanjutan, sesuai dengan sifat dan karakteristiknya dengan mempertimbangkan aspek ekonomi, sosial dan ekologinya. Sesuai dengan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan bahwa pemerintah bertanggungjawab dalam pengelolaan yang berasaskan manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan dan keterpaduan. Karakteristik wilayah di wilayah Kabupaten Aceh Timur yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan mangrove antara lain sebagai berikut: 1) Kawasan pesisir Aceh Timur merupakan daerah strategis, seiring dengan pemekaran Kabupaten ini dan dipindahkannya pusat pemerintahan ke Kecamatan Idi Rayeuk yang merupakan kawasan pesisir. Dimana pusat kegiatan perekonomian, pembangunan imprastruktur dan sebagian besar penduduk banyak terpusat di daerah pesisir. 2) Kebutuhan lahan di kawasan pesisir sangat tinggi terutama untuk lokasi lahan usaha, di mana lahan yang merupakan habitat mangrove sebagian besar telah dikonversi menjadi tambak, pemukiman, pembangunan imprastruktur dan sarana prasaran umum lainnya. 3) Tambak merupakan mata pencaharian utama bagi sebagian masyarakat pesisir dan memberikan kontribusi terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD). Lahan mangrove di wilayah Kabupaten Aceh Timur, sebagian besar atau seluas ha rusak berat dan seluas ha rusak. Sedangkan yang tidak rusak hanya ha. Tujuan pengelolaan mangrove adalah agar dapat diperoleh fungsi dan manfaatnya secara maksimal dan berkelanjutan, sesuai dengan sifat dan karakteristiknya. Upaya pengelolaan tersebut adalah dalam bentuk rehabilitasi lahan mangrove yang telah rusak dan konservasi sisa hutan mangrove. Agar pengelolaan mangrove lebih optimal, maka pola pengelolaan perlu dilakukan pengkajian lebih dalam, antara lain analisis permasalahan, kesesuaian terhadap peraturan perundangan yang berlaku, kelayakan terhadap lingkungan dan kelayakan teknis serta meperhatikan faktor penyebab kerusakannya.

107 Kesesuaian Terhadap Peraturan Perundangan Kerusakan lahan mangrove di kabupaten Aceh Timur telah menimbulkan kekhawatiran banyak pihak serta dampak buruk yang ditimbulkannya telah banyak dirasakan oleh masyarakat. Peraturan perundangan yang terkait dengan penataan ruang, status kepemilikan dan pemanfaatan lahan mangrove belum diimplementasikan. Kerusakan hutan mangrove tersebut sebagian besar telah dikonversi terutama menjadi tambak, pemukiman, dan lahan usaha lainnya tanpa mengalokasikan lahan mangrove untuk tujuan perlindungan yang memadai. Sejalan dengan UU No. 24 Tahun 1992 tentang penataan ruang dan dengan memperhatikan karakteristik dan kondisi ekologi dan sosial ekonomi wilayah, maka kondisi yang diharapkan dalam pengelolaan lahan mangrove adalah tercapainya pemanfaatan ruang yang berkualitas untuk mewujudkan keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia. Untuk mewujudkan kondisi yang diharapkan tersebut, hal prinsip yang harus diperhatikan adalah kebijakan penataan ruang dan pola pemanfaatan lahan mangrove dengan mengacu kepada peraturan perudangan yang berlaku, antara lain: 1. UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan khususnya Pasal 3, asas dan tujuan penyelenggaraan kehutanan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan dengan: Mengoptimalkan aneka fungsi hutan yang meliputi fungsi konservasi, fungsi lindung, dan fungsi produksi untuk mencapai manfaat lingkungan, sosial, budaya, dan ekonomi, yang seimbang dan lestari; Meningkatkan daya dukung daerah aliran sungai; Meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dan keberdayaan masyarakat secara partisipatif, berkeadilan, dan berwawasan lingkungan sehingga mampu menciptakan ketahanan sosial dan ekonomi serta ketahanan terhadap akibat perubahan eksternal; dan Menjamin distribusi manfaat yang berkeadilan dan berkelanjutan. 2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, khusunya Pasal 9 yang menyebutkan: Setiap pemegang hak atas tanah dan hak pengusahaan di perairan dalam wilayah sistem penyangga kehidupan wajib menjaga

108 97 kelangsungan fungsi perlindungan wilayah tersebut; dan Dalam rangka pelaksanaan perlindungan sistem penyangga kehidupan, Pemerintah mengatur serta melakukan tindakan penertiban terhadap penggunaan dan pengelolaan tanah dan hak pengusahaan di perairan yang terletak dalam wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan. 3. Berkaitan dengan perambahan wilayah pesisir oleh masyarakat sekitar telah diatur dalam PP No. 8 Tahun 1953 dan perlu juga diperhatikan UU No. 51 Tahun 1960, tentang larangan untuk menggunakan tanah atau muka bumi bagi setiap orang yang tidak memiliki ijin yang sah dari penguasa tanah tersebut. UU No. 1 Tahun 1960 melarang penggunaan secara liar bagi muka bumi dalam wujud tahapan manapun baik itu masih berwujud tanah yang tergenang air secara berkala, ataupun yang sudah berwujud tanah padat. Dengan adanya UU No. 51 Tahun 1960 itu, Pemerintah Daerah berwenang mengambil tindakan yang perlu apabila ada pelanggaran-pelanggaran hukum seperti tersebut di atas yang dapat diimplementasikan dalam Perda. 4. Salah satu kebijakan strategis yang dikeluarkan Pemerintah adalah Keputusan Presiden (Keppres) No. 32 Tahun 1990 tentang pengelolaan kawasan lindung. Di dalam Keppres tersebut disebutkan bahwa untuk daerah pantai selebar 130 kali perbedaan pasang surut tertinggi yang diukur dari garis pantai terendah ditetapkan sebagai jalur hijau (green belt) Kelayakan Terhadap Lingkungan Pengelolaan lahan mangrove melalui rehabilitasi lahan mangrove yang kritis dapat memberikan dampak positif terhadap lingkungan yang pada gilirannya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dampak positif dari kegiatan rehabilitasi mangrove terutama: 1. Melindungi daratan dari pengaruh buruk hidrodinamika seperti gelombang laut yang menimbulkan abrasi, intrusi dan pengaruh iklim laut. 2. Memperbaiki ekosistem perairan yang telah banyak mengalami kerusakan oleh pencamaran akibat kerusakan lingkungan di daerah hulu.

109 98 3. Memperbaiki habitat fauna aquatik (ikan, udang dan reftil) terutama yang bernilai ekonomi maupun fauna terrestrial seperti jenis-jenis burung yang semakin menurun jumlah jenis maupun populasinya. 4. Berpotensi untuk perluasan daratan yang disebabkan banyaknya potensi sedimen/endapan lumpur, di mana vegetasi mangrove yang secara floristik mempunyai sifat perakaran yang dapat berkembang secara extensif yang mampu berperan sebagai sediment trapp (perangkap sedimen) Kelayakan Teknis Rehabilitasi lahan mangrove dari aspek teknis layak dilaksanakan hampir di seluruh wilayah pesisir Kabupaten Aceh Timur, dengan kriteria sebagai berikut: 1. Berdasarkan identifikasi terhadap faktor fisik dan kimia tanah dan air, hutan mangrove di wilayah Kabupaten Aceh Timur sesuai untuk pengembangan jenis-jenis seperti Rhizophora apiculata, Rhizophora mucronata, Rhizophora stylosa, Bruguiera gimnorrhiza, Excoecaria agallocha, Sonneratia ovata dan Sonneratia alba. 2. Ketersedian sumber benih, terutama untuk jenis Rhizophora apiculata, Rhizophora mucronata, Rhizophora stylosa, Bruguiera gimnorrhiza, Excoecaria agallocha, Sonneratia ovata dan Sonneratia alba cukup tersedia. Ketersediaan sumber benih di Kabupaten Aceh Timur di sajikan pada Gambar 38. Gambar 38. Sumber benih mangrove yang dibudidayakan masyarakat di Kecamatan Bireum Bayeun

KAJIAN BIOFISIK LAHAN HUTAN MANGROVE DI KABUPATEN ACEH TIMUR ISWAHYUDI

KAJIAN BIOFISIK LAHAN HUTAN MANGROVE DI KABUPATEN ACEH TIMUR ISWAHYUDI KAJIAN BIOFISIK LAHAN HUTAN MANGROVE DI KABUPATEN ACEH TIMUR ISWAHYUDI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 DAFTAR ISI DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN xi xv

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai kawasan pesisir yang cukup luas, dan sebagian besar kawasan tersebut ditumbuhi mangrove yang lebarnya dari beberapa

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Kata mangrove berasal dari bahasa Melayu manggi-manggi, yaitu nama

TINJAUAN PUSTAKA. Kata mangrove berasal dari bahasa Melayu manggi-manggi, yaitu nama TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Mangrove Kata mangrove berasal dari bahasa Melayu manggi-manggi, yaitu nama yang diberikan kepada mangrove merah (Rhizopora spp.). Nama mangrove diberikan kepada jenis tumbuh-tumbuhan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Kata mangrove diduga berasal dari bahasa Melayu manggi-manggi, yaitu

TINJAUAN PUSTAKA. Kata mangrove diduga berasal dari bahasa Melayu manggi-manggi, yaitu 6 TINJAUAN PUSTAKA Pengetian Mangrove Kata mangrove diduga berasal dari bahasa Melayu manggi-manggi, yaitu nama yang diberikan kepada mangrove merah (Rhizopora spp.). Nama Mangrove diberikan kepada jenis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. antara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. antara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik mempunyai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan yang secara geografis terletak di antara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik mempunyai keanekaragaman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Hutan mangrove merupakan hutan yang tumbuh pada daerah yang berair payau dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Hutan mangrove memiliki ekosistem khas karena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. batas pasang surut air disebut tumbuhan mangrove.

BAB I PENDAHULUAN. batas pasang surut air disebut tumbuhan mangrove. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kata mangrove dipakai sebagai pengganti istilah kata bakau untuk menghindari salah pengertian dengan hutan yang melulu terdiri atas Rhizophora spp., (Soeroyo.1992:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pantai sekitar Km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat potensial.

BAB I PENDAHULUAN. pantai sekitar Km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat potensial. 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Indonesia sebagai suatu negara kepulauan dengan panjang garis pantai sekitar 81.000 Km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat potensial. Salah satu ekosistem

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN 18 III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Kerangka Pemikiran Penelitian Habitat mangrove yang terdapat di wilayah pesisir Kabupaten Aceh Timur tinggal sedikit dan kondisinya memprihatinkan. Akibat tingginya aktivitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut.

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem yang kompleks terdiri atas flora dan fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut. Ekosistem mangrove

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai perairan laut yang lebih luas dibandingkan daratan, oleh karena itu Indonesia dikenal sebagai negara maritim. Perairan laut Indonesia kaya akan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Mangrove Hutan mangrove adalah hutan yang terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai dan dipengaruhi oleh gerakan pasang surut perpaduan antara air sungai dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Tentang Mangrove 2.1.1. Pengertian mangrove Hutan mangrove secara umum didefinisikan sebagai hutan yang terdapat di daerah-daerah yang selalu atau secara teratur tergenang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. garis pantai sepanjang kilometer dan pulau. Wilayah pesisir

PENDAHULUAN. garis pantai sepanjang kilometer dan pulau. Wilayah pesisir PENDAHULUAN Latar belakang Wilayah pesisir merupakan peralihan ekosistem perairan tawar dan bahari yang memiliki potensi sumberdaya alam yang cukup kaya. Indonesia mempunyai garis pantai sepanjang 81.000

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Mangrove. kemudian menjadi pelindung daratan dan gelombang laut yang besar. Sungai

TINJAUAN PUSTAKA. A. Mangrove. kemudian menjadi pelindung daratan dan gelombang laut yang besar. Sungai II. TINJAUAN PUSTAKA A. Mangrove Mangrove adalah tanaman pepohonan atau komunitas tanaman yang hidup di antara laut dan daratan yang dipengaruhi oleh pasang surut. Habitat mangrove seringkali ditemukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yaitu mendapatkan makanan, suhu yang tepat untuk hidup, atau mendapatkan

BAB I PENDAHULUAN. yaitu mendapatkan makanan, suhu yang tepat untuk hidup, atau mendapatkan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap makhluk hidup yang berada di suatu lingkungan akan saling berinteraksi, interaksi terjadi antara makhluk hidup dengan makhluk hidup itu sendiri maupun makhluk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kerusakan hutan mangrove di Indonesia, kini semakin merata ke berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Kerusakan hutan mangrove di Indonesia, kini semakin merata ke berbagai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kerusakan hutan mangrove di Indonesia, kini semakin merata ke berbagai wilayah di Nusantara. Kerusakan hutan mangrove ini disebabkan oleh konversi lahan menjadi areal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekologis yaitu untuk melakukan pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery

BAB I PENDAHULUAN. ekologis yaitu untuk melakukan pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove adalah suatu lingkungan yang memiliki ciri khusus yaitu lantai hutannya selalu digenangi air, dimana air tersebut sangat dipengaruhi oleh pasang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia

PENDAHULUAN. terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki hutan mangrove terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia dan hidup serta tumbuh berkembang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atas pulau, dengan garis pantai sepanjang km. Luas laut Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. atas pulau, dengan garis pantai sepanjang km. Luas laut Indonesia BAB I PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari atas 17.508 pulau, dengan garis pantai sepanjang 81.000 km. Luas laut Indonesia sekitar 3,1

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan yang disebut sumberdaya pesisir. Salah satu sumberdaya pesisir

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan yang disebut sumberdaya pesisir. Salah satu sumberdaya pesisir BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan pesisir dan laut di Indonesia memegang peranan penting, karena kawasan ini memiliki nilai strategis berupa potensi sumberdaya alam dan jasajasa lingkungan yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekosistem Hutan Mangrove Ekosistem hutan mangrove adalah suatu sistem di alam tempat berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut. Menurut Suprihayono (2007) wilayah pesisir merupakan wilayah pertemuan antara daratan dan laut,

Lebih terperinci

Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang. berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur. Komunitas vegetasi ini

Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang. berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur. Komunitas vegetasi ini II. TINJAIJAN PliSTAKA Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa spesies pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem mangrove adalah suatu sistem yang terdiri atas berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem mangrove adalah suatu sistem yang terdiri atas berbagai BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Ekosistem mangrove adalah suatu sistem yang terdiri atas berbagai tumbuhan, hewan, dan mikrobia yang berinteraksi dengan lingkungan di habitat mangrove (Strategi Nasional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhannya bertoleransi terhadap salinitas (Kusmana, 2003). Hutan mangrove

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhannya bertoleransi terhadap salinitas (Kusmana, 2003). Hutan mangrove 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut, terutama di pantai berlindung, laguna, dan muara sungai yang tergenang pada saat pasang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut

TINJAUAN PUSTAKA. lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut TINJAUAN PUSTAKA Hutan Manggrove Hutan mangrove oleh masyarakat Indonesia dan negara Asia Tenggara lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut Kusmana dkk (2003) Hutan mangrove

Lebih terperinci

1. Pengantar A. Latar Belakang

1. Pengantar A. Latar Belakang 1. Pengantar A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar yang memiliki sekitar 17.500 pulau dengan panjang sekitar 81.000, sehingga Negara kita memiliki potensi sumber daya wilayah

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan mangrove di DKI Jakarta tersebar di kawasan hutan mangrove Tegal Alur-Angke Kapuk di Pantai Utara DKI Jakarta dan di sekitar Kepulauan Seribu. Berdasarkan SK Menteri

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar didunia yang memiliki 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang ± 81.000 km dan luas sekitar 3,1 juta km 2.

Lebih terperinci

EVALUASI KEKRITISAN LAHAN HUTAN MANGROVE DI KABUPATEN ACEH TIMUR

EVALUASI KEKRITISAN LAHAN HUTAN MANGROVE DI KABUPATEN ACEH TIMUR EVALUASI KEKRITISAN LAHAN HUTAN MANGROVE DI KABUPATEN ACEH TIMUR Rini Fitri 1 dan Iswahyudi 2 ABSTRACT Degradation of land in mangrove forest is the main problem of coastal area in East Aceh District,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar

Lebih terperinci

KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI)

KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI) 1 KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI) Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai

Lebih terperinci

Mangrove menurut Macnae (1968) merupakan perpaduan

Mangrove menurut Macnae (1968) merupakan perpaduan 1 2 Mangrove menurut Macnae (1968) merupakan perpaduan antara bahasa Portugis mangue dan bahasa Inggris grove. Menurut Mastaller (1997) kata mangrove berasal dari bahasa Melayu kuno mangi-mangi untuk menerangkan

Lebih terperinci

DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL PEDOMAN INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS MANGROVE

DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL PEDOMAN INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS MANGROVE DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL PEDOMAN INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS MANGROVE JAKARTA, MEI 2005 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Secara keseluruhan daerah tempat penelitian ini didominasi oleh Avicennia

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Secara keseluruhan daerah tempat penelitian ini didominasi oleh Avicennia BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi umum daerah Wonorejo Kawasan mangrove di Desa Wonorejo yang tumbuh secara alami dan juga semi buatan telah diputuskan oleh pemerintah Surabaya sebagai tempat ekowisata.

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Hutan

PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Hutan PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa jenis pohon bakau yang mampu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tempat dengan tempat lainnya. Sebagian warga setempat. kesejahteraan masyarakat sekitar saja tetapi juga meningkatkan perekonomian

BAB I PENDAHULUAN. tempat dengan tempat lainnya. Sebagian warga setempat. kesejahteraan masyarakat sekitar saja tetapi juga meningkatkan perekonomian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara yang sangat kaya raya akan keberagaman alam hayatinya. Keberagaman fauna dan flora dari dataran tinggi hingga tepi pantai pun tidak jarang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Potensi wilayah pesisir dan laut Indonesia dipandang dari segi. pembangunan adalah sebagai berikut ; pertama, sumberdaya yang dapat

BAB I PENDAHULUAN. Potensi wilayah pesisir dan laut Indonesia dipandang dari segi. pembangunan adalah sebagai berikut ; pertama, sumberdaya yang dapat 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Potensi wilayah pesisir dan laut Indonesia dipandang dari segi pembangunan adalah sebagai berikut ; pertama, sumberdaya yang dapat diperbaharui seperti perikanan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. dipengaruhi pasang surut air laut. Tumbuhan mangrove memiliki kemampuan

TINJAUAN PUSTAKA. dipengaruhi pasang surut air laut. Tumbuhan mangrove memiliki kemampuan TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Mangrove Mangrove didefinisikan sebagai formasi tumbuhan daerah litoral yang khas di pantai daerah tropis dan sub tropis yang terlindung, hutan yang tumbuh terutama pada tanah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. baik bagi pesisir/daratan maupun lautan. Selain berfungsi secara ekologis,

BAB I PENDAHULUAN. baik bagi pesisir/daratan maupun lautan. Selain berfungsi secara ekologis, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem yang sangat vital, baik bagi pesisir/daratan maupun lautan. Selain berfungsi secara ekologis, ekosistem mangrove memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I 1.1. Latar Belakang PENDAHULUAN Hutan berperan penting dalam menjaga kesetabilan iklim global, vegetasi hutan akan memfiksasi CO2 melalui proses fotosintesis. Jika hutan terganggu maka siklus CO2

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Ekosistem mangrove adalah ekosistem yang unik karena terjadi perpaduan

TINJAUAN PUSTAKA. Ekosistem mangrove adalah ekosistem yang unik karena terjadi perpaduan TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Mangrove Ekosistem mangrove adalah ekosistem yang unik karena terjadi perpaduan antara habitat-habitat yang bertentangan. Untuk menghadapi lingkungan yang unik ini maka makhluk

Lebih terperinci

SUMBERDAYA ALAM WILAYAH PESISIR

SUMBERDAYA ALAM WILAYAH PESISIR SUMBERDAYA ALAM WILAYAH PESISIR EDI RUDI FMIPA UNIVERSITAS SYIAH KUALA Ekosistem Hutan Mangrove komunitas vegetasi pantai tropis yang didominasi oleh beberapa spesies pohon mangrove yang mampu untuk tumbuh

Lebih terperinci

PROPOSAL PENELITIAN PENYIAPAN PENYUSUNAN BAKU KERUSAKAN MANGROVE KEPULAUAN KARIMUNJAWA

PROPOSAL PENELITIAN PENYIAPAN PENYUSUNAN BAKU KERUSAKAN MANGROVE KEPULAUAN KARIMUNJAWA PROPOSAL PENELITIAN PENYIAPAN PENYUSUNAN BAKU KERUSAKAN MANGROVE KEPULAUAN KARIMUNJAWA TAHUN 2017 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis

PENDAHULUAN. pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis PENDAHULUAN Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem yang memiliki peranan penting dalam pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis kondisi dan keberadaannya. Beberapa

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 13.466 pulau dengan garis pantai sepanjang 99.023 km 2 (Kardono, P., 2013). Berdasarkan UNCLOS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan di daerah tropika yang terdiri dari 17.504 buah pulau (28 pulau besar dan 17.476 pulau kecil) dengan panjang garis pantai sekitar

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Perencanaan Lanskap. berasal dari kata land dan scape yang artinya pada suatu lanskap terdapat

TINJAUAN PUSTAKA. A. Perencanaan Lanskap. berasal dari kata land dan scape yang artinya pada suatu lanskap terdapat II. TINJAUAN PUSTAKA A. Perencanaan Lanskap Lanskap dapat diartikan sebagai bentang alam (Laurie, 1975). Lanskap berasal dari kata land dan scape yang artinya pada suatu lanskap terdapat hubungan totalitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan hidup. Oleh karena adanya pengaruh laut dan daratan, dikawasan mangrove terjadi interaksi kompleks

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kata mangrove dilaporkan berasal dari kata mangal yang menunjukkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kata mangrove dilaporkan berasal dari kata mangal yang menunjukkan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ekosistem Mangrove 2.1.1. Definisi. Kata mangrove dilaporkan berasal dari kata mangal yang menunjukkan komunitas suatu tumbuhan. Ada juga yang menyebutkan bahwa mangrove berasal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan garis pantai sepanjang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan garis pantai sepanjang BAB I PENDAHULUAN 1.1.LatarBelakang Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan garis pantai sepanjang 95.181 km terdiri dari sumber daya alam laut dan pantai yang beragam. Dengan kondisi iklim dan substrat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. luar biasa ini memberikan tanggung jawab yang besar bagi warga Indonesia untuk

BAB I PENDAHULUAN. luar biasa ini memberikan tanggung jawab yang besar bagi warga Indonesia untuk BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia dan juga memiliki keragaman hayati yang terbesar serta strukturnya yang paling bervariasi. Mangrove dapat tumbuh

Lebih terperinci

4 KERUSAKAN EKOSISTEM

4 KERUSAKAN EKOSISTEM 4 KERUSAKAN EKOSISTEM 4.1 Hasil Pengamatan Lapangan Ekosistem Mangrove Pulau Weh secara genetik merupakan pulau komposit yang terbentuk karena proses pengangkatan dan vulkanik. Proses pengangkatan ditandai

Lebih terperinci

PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAROS NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG PELESTARIAN, PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN HUTAN MANGROVE

PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAROS NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG PELESTARIAN, PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN HUTAN MANGROVE SALINAN PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAROS NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG PELESTARIAN, PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN HUTAN MANGROVE DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MAROS, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, bahwa mangrove merupakan ekosistem hutan, dengan definisi hutan adalah suatu ekosistem hamparan lahan berisi sumber daya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di sepanjang garis pantai tropis sampai sub-tropis yang memiliki fungsi istimewa di suatu lingkungan yang mengandung

Lebih terperinci

Teknologi penanaman jenis mangrove dan tumbuhan pantai pada tapak khusus

Teknologi penanaman jenis mangrove dan tumbuhan pantai pada tapak khusus Teknologi penanaman jenis mangrove dan tumbuhan pantai pada tapak khusus TEKNIK PENANAMAN MANGROVE PADA DELTA TERDEGRADASI DI SUMSEL Teknik Penanaman Mangrove Pada Delta Terdegradasi di Sumsel Teknik Penanaman

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kata mangrove diduga berasal dari bahasa Melayu manggi - manggi,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kata mangrove diduga berasal dari bahasa Melayu manggi - manggi, BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Ekosistem Kata mangrove diduga berasal dari bahasa Melayu manggi - manggi, yaitu nama yang diberikan kepada mangrove merah (Rhizophora spp). Nama mangrove diberikan

Lebih terperinci

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN CILACAP

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN CILACAP PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN CILACAP PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR : 17 TAHUN 2001 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE DI KAWASAN SEGARA ANAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA BUPATI CILACAP,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 33 ayat (2)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 33 ayat (2) PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan pesisir dan laut merupakan sebuah ekosistem yang terpadu dan saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi pertukaran materi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang khusus terdapat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang khusus terdapat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang khusus terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut (Tjardhana dan Purwanto,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia perkiraan luas mangrove sangat beragam, dengan luas

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia perkiraan luas mangrove sangat beragam, dengan luas BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di Indonesia perkiraan luas mangrove sangat beragam, dengan luas garis pantai yang panjang + 81.000 km (Kementerian Negara Lingkungan Hidup, 2007), ada beberapa yang

Lebih terperinci

VI. SIMPULAN DAN SARAN

VI. SIMPULAN DAN SARAN 135 VI. SIMPULAN DAN SARAN A. SIMPULAN Komposisi spesies mangrove di Pulau Kaledupa, Derawa, dan Pulau Hoga Taman Nasional Wakatobi sebanyak 20 spesies mangrove sejati dan tersebar tidak merata antar pulau.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan yang rentan terhadap dampak perubahan iklim. Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang termasuk rawan

Lebih terperinci

APLIKASI PENGINDERAAN JAUH UNTUK PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE SEBAGAI SALAH SATU SUMBERDAYA WILAYAH PESISIR (STUDI KASUS DI DELTA SUNGAI WULAN KABUPATEN DEMAK) Septiana Fathurrohmah 1, Karina Bunga Hati

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN Latar Belakang...

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN Latar Belakang... DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... x xiii xv xvi I. PENDAHULUAN... 1 1.1. Latar Belakang... 1 1.2. Rumusan Masalah... 5 1.3.Tujuan dan Kegunaan Penelitian...

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu hutan mangrove yang berada di perairan pesisir Jawa Barat terletak

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu hutan mangrove yang berada di perairan pesisir Jawa Barat terletak 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu hutan mangrove yang berada di perairan pesisir Jawa Barat terletak di Cagar Alam Leuweung Sancang. Cagar Alam Leuweung Sancang, menjadi satu-satunya cagar

Lebih terperinci

Avicenia sp. ( Api-Api ) Rhizophora sp( Bakau ) Nypa sp. ( Nipah ) Bruguiera sp. ( Lacang ) Sonneratia sp. ( Pedada )

Avicenia sp. ( Api-Api ) Rhizophora sp( Bakau ) Nypa sp. ( Nipah ) Bruguiera sp. ( Lacang ) Sonneratia sp. ( Pedada ) Mangal komunitas suatu tumbuhan Hutan Mangrove adalah hutan yang tumbuh di daerah pantai, biasanya terletak didaerah teluk dan muara sungai dengan ciri : tidak dipengaruhi iklim, ada pengaruh pasang surut

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang km, yang merupakan

BAB I. PENDAHULUAN. pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang km, yang merupakan BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara tropis berbentuk kepulauan dengan 17.500 pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang 81.000 km, yang merupakan kawasan tempat tumbuh hutan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bantu yang mampu merangsang pembelajaran secara efektif dan efisien.

BAB I PENDAHULUAN. bantu yang mampu merangsang pembelajaran secara efektif dan efisien. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan proses yang kompleks, namun kompleksitasnya selalu seiring dengan perkembangan manusia. Melalui pendidikan pula berbagai aspek kehidupan

Lebih terperinci

V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE

V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE Berdasarkan tinjauan pustaka yang bersumber dari CIFOR dan LEI, maka yang termasuk dalam indikator-indikator ekosistem hutan mangrove berkelanjutan dilihat

Lebih terperinci

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

IV HASIL DAN PEMBAHASAN DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL... i LEMBAR PENGESAHAN... ii BERITA ACARA... PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH... iv PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI SKRIPSI... v ABSTRAK... vi ABSTRACT... vii RINGKASAN...

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove,

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Dalam suatu wilayah pesisir terdapat beragam sistem lingkungan (ekosistem). Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove, terumbu karang,

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang . 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan mangrove adalah hutan yang terdapat di wilayah pesisir yang selalu atau secara teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut tetapi tidak

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pulau Dudepo merupakan salah satu pulau kecil berpenduduk yang berada

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pulau Dudepo merupakan salah satu pulau kecil berpenduduk yang berada 27 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian Pulau Dudepo merupakan salah satu pulau kecil berpenduduk yang berada di Kabupaten Gorontalo Utara, Provinsi Gorontalo yang terletak pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tertentu dan luasan yang terbatas, 2) Peranan ekologis dari ekosistem hutan

BAB I PENDAHULUAN. tertentu dan luasan yang terbatas, 2) Peranan ekologis dari ekosistem hutan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove memiliki sifat khusus yang berbeda dengan ekosistem hutan lain bila dinilai dari keberadaan dan peranannya dalam ekosistem sumberdaya alam, yaitu

Lebih terperinci

Analisa Kesehatan Mangrove Berdasarkan Nilai Normalized Difference Vegetation Index Menggunakan Citra ALOS AVNIR-2

Analisa Kesehatan Mangrove Berdasarkan Nilai Normalized Difference Vegetation Index Menggunakan Citra ALOS AVNIR-2 Analisa Kesehatan Mangrove Berdasarkan Nilai Normalized Difference Vegetation Index Menggunakan Citra ALOS AVNIR-2 Tyas Eka Kusumaningrum 1) dan Bangun Muljo Sukojo 2) Jurusan Teknik Geomatika, Fakultas

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. merupakan salah satu peran penting mangrove dalam pembentukan lahan baru. Akar mangrove mampu mengikat dan menstabilkan substrat

TINJAUAN PUSTAKA. merupakan salah satu peran penting mangrove dalam pembentukan lahan baru. Akar mangrove mampu mengikat dan menstabilkan substrat TINJAUAN PUSTAKA Hutan mangrove Kemampuan mangrove untuk mengembangkan wilayahnya ke arah laut merupakan salah satu peran penting mangrove dalam pembentukan lahan baru. Akar mangrove mampu mengikat dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang tidak dapat pulih (seperti minyak bumi dan gas serta mineral atau bahan

BAB I PENDAHULUAN. yang tidak dapat pulih (seperti minyak bumi dan gas serta mineral atau bahan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir dan lautan Indonesia terkenal dengan kekayaan dan keanekaragaman sumberdaya alamnya, baik sumber daya yang dapat pulih (seperti perikanan, hutan mangrove

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh TINJAUAN PUSTAKA Hutan Mangrove Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh disepanjang garis pantai tropis sampai sub tropis yang memilkiki fungsi istimewa di suatu lingkungan yang mengandung

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove merupakan ekosistem pesisir yang terdapat di sepanjang pantai tropis dan sub tropis atau muara sungai. Ekosistem ini didominasi oleh berbagai jenis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekosistem lamun, ekosistem mangrove, serta ekosistem terumbu karang. Diantara

BAB I PENDAHULUAN. ekosistem lamun, ekosistem mangrove, serta ekosistem terumbu karang. Diantara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang sebagian besar wilayahnya merupakan perairan dan terletak di daerah beriklim tropis. Laut tropis memiliki

Lebih terperinci

Hasil dan Pembahasan

Hasil dan Pembahasan IV. Hasil dan Pembahasan A. Hasil 1. Keanekaragaman vegetasi mangrove Berdasarkan hasil penelitian Flora Mangrove di pantai Sungai Gamta terdapat 10 jenis mangrove. Kesepuluh jenis mangrove tersebut adalah

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. kestabilan pantai, penyerap polutan, habitat burung (Bismark, 1986). Kemampuan mangrove untuk mengembangkan wilayahnya ke arah laut

TINJAUAN PUSTAKA. kestabilan pantai, penyerap polutan, habitat burung (Bismark, 1986). Kemampuan mangrove untuk mengembangkan wilayahnya ke arah laut 4 TINJAUAN PUSTAKA Deskripsi Umum Hutan Mangrove Hutan mangrove merupakan ekosistem hutan dengan faktor fisik yang ekstrim, seperti habitat tergenang air dengan salinitas tinggi di pantai dan sungai dengan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kelompok Umur Pertumbuhan populasi tiram dapat dilihat berdasarkan sebaran kelompok umur. Analisis sebaran kelompok umur dilakukan dengan menggunakan FISAT II metode NORMSEP.

Lebih terperinci

JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 5, Nomor 3, Tahun 2016, Halaman Online di :

JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 5, Nomor 3, Tahun 2016, Halaman Online di : JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 5, Nomor 3, Tahun 2016, Halaman 301-308 Online di : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jose KAJIAN PERUBAHAN LUAS VEGETASI MANGROVE MENGGUNAKAN METODE NDVI CITRA LANDSAT

Lebih terperinci

EKOSISTEM LAUT DANGKAL EKOSISTEM LAUT DANGKAL

EKOSISTEM LAUT DANGKAL EKOSISTEM LAUT DANGKAL EKOSISTEM LAUT DANGKAL Oleh : Nurul Dhewani dan Suharsono Lokakarya Muatan Lokal, Seaworld, Jakarta, 30 Juni 2002 EKOSISTEM LAUT DANGKAL Hutan Bakau Padang Lamun Terumbu Karang 1 Hutan Mangrove/Bakau Kata

Lebih terperinci

Oleh. Firmansyah Gusasi

Oleh. Firmansyah Gusasi ANALISIS FUNGSI EKOLOGI HUTAN MANGROVE DI KECAMATAN KWANDANG KABUPATEN GORONTALO UTARA JURNAL Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Guna Menempuh Ujian Sarjana Pendidikan Biologi Pada Fakultas Matematika

Lebih terperinci

IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 38 IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Letak Hutan Mangrove di Tanjung Bara termasuk dalam area kawasan konsesi perusahaan tambang batubara. Letaknya berada di bagian pesisir timur Kecamatan Sangatta

Lebih terperinci

PENDAHULUAN BAB I Latar Belakang

PENDAHULUAN BAB I Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut yang tergenang oleh air laut, komunitasnya dapat bertoleransi terhadap air garam, dan

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Mangrove

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Mangrove 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Mangrove Mangrove atau biasa disebut mangal atau bakau merupakan vegetasi khas daerah tropis, tanamannya mampu beradaptasi dengan air yang bersalinitas cukup tinggi, menurut Nybakken

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. wilayah perbatasan antara daratan dan laut, oleh karena itu wilayah ini

BAB I PENDAHULUAN. wilayah perbatasan antara daratan dan laut, oleh karena itu wilayah ini BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dengan jumlah pulau sekitar 17.508 pulau dan panjang pantai kurang lebih 81.000 km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat besar,

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang merupakan bagian dari ekosistem laut yang penting karena menjadi sumber kehidupan bagi beraneka ragam biota laut. Di dalam ekosistem terumbu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhannya bertoleransi terhadap garam (Kusman a et al, 2003). Hutan

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhannya bertoleransi terhadap garam (Kusman a et al, 2003). Hutan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut, terutama di pantai yang terlindung, laguna dan muara sungai yang tergenang pada

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. daratan dengan ekosistem lautan. Oleh karena itu, ekosistem ini mempunyai

TINJAUAN PUSTAKA. daratan dengan ekosistem lautan. Oleh karena itu, ekosistem ini mempunyai 5 TINJAUAN PUSTAKA Mangrove merupakan suatu formasi hutan yang tumbuh di daerah pasang surut, lantai hutannya tergenang pada saat pasang dan bebas dari genangan pada saat surut. Ekosistem mangrove merupakan

Lebih terperinci

KAJIAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE DI TELUK YOUTEFA KOTA JAYAPURA ABSTRAK

KAJIAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE DI TELUK YOUTEFA KOTA JAYAPURA ABSTRAK KAJIAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE DI TELUK YOUTEFA KOTA JAYAPURA Kartini V.A. Sitorus 1, Ralph A.N. Tuhumury 2 dan Annita Sari 3 1 Mahasiswa S1 Program Studi Budidaya Perairan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Ekosistem mangrove tergolong ekosistem yang unik. Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem dengan keanekaragaman hayati tertinggi di daerah tropis. Selain itu, mangrove

Lebih terperinci