HASIL DAN PEMBAHASAN
|
|
- Djaja Rachman
- 7 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 19 HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam penelitian ini, pengambilan data primer dilakukan di 3 (tiga) kecamatan dari tiap kabupaten sebagai wilayah sampling. Pemilihan kecamatan didasarkan pada kriteria wilayah dengan populasi ternak yang tinggi, mempunyai tingkat kejadian brucellosis yang tinggi dan kemudahan akses menuju wilayah tersebut. Berdasarkan kriteria tersebut, kecamatan Tasifeto Barat, Laenmanen dan Malaka Timur merupakan wilayah yang dipilih untuk pengambilan sampel (kuesioner) di Kabupaten Belu, sedangkan di Kabupaten Kupang dilakukan di kecamatan Kupang Timur, Kupang Barat dan Amarasi Barat. Sejumlah 20 orang peternak dari tiap-tiap kecamatan dipilih sebagai responden secara purposif random sampling. Tabel 4 di bawah ini menyajikan daerah sebaran pengambilan sampel (kuesioner). Tabel 4 Daerah sebaran pengambilan sampel (kuesioner) Kabupaten Kecamatan Desa Jumlah (n) Belu Tasifeto Barat Naekasa 5 Bakustulama 15 Laenmanen Triumanu 4 Tesa 6 Kapitan Meo 7 Neotroi 3 Malaka Timur Nomponi 5 Kusa 15 Total 60 Kupang Kupang Timur Merdeka 6 Oesao 1 Naibonat 1 Manusak 2 Nunkurus 10 Kupang Barat Oenesu 5 Oenaek 1 Batakte 1 Manulai I 5 Kuanheum 5 Oematnunu 3 Amarasi Barat Merbaun 3 Niurbaun 4 Teunbaun 3 Erbaun 8 Toobaun 2 Total 60 Profil Peternakan Sapi Bali di Kabupaten Belu dan Kabupaten Kupang Berdasarkan hasil survei sekitar 81,6% responden (n = 49) di Kabupaten Belu dan 88,3% responden (n = 53) di Kabupaten Kupang menjadikan usaha
2 20 ternak sapi bali sebagai pekerjaan sampingan, sedangkan pekerjaan utama mereka adalah bertani. Di Kabupaten Belu, 12,06% responden (n=7) tidak pernah menempuh pendidikan formal (sekolah), 55% responden (n=33) mempunyai pendidikan terakhir SD, 18,96% responden (n=11) mempunyai pendidikan terakhir SMP, 10,34% responden (n=6) mempunyai pendidikan terakhir SMA dan 5,17% responden (n=3) mempunyai pendidikan terakhir akademi/universitas. Sedangkan di Kabupaten Kupang, 61,6% responden (n=37) mempunyai pendidikan terakhir SD, 18,3% responden (n=11) mempunyai pendidikan terakhir SMP, 15% responden (n=9) mempunyai pendidikan terakhir SMA dan 5% responden (n=3) mempunyai pendidikan terakhir akademi/universitas. Tujuan utama dari pemeliharaan ternak adalah sebagai investasi/ tabungan. Selain itu, ternak dipelihara untuk keperluan lain seperti : upacara adat, simbol status sosial dan untuk keperluan konsumsi. Pemeliharaan ternak dilakukan secara ekstensif. Pada pagi hari ternak digembalakan dan pada siang atau sore hari dibawa kembali ke kandang atau diikat di dekat rumah (untuk peternak yang tidak mempunyai kandang). Kandang umumnya terbuat dari batu yang disusun menyerupai pagar ataupun dari kayu maupun bambu. Perkawinan ternak terjadi secara alami. Pada musim kering, ternak diberikan pakan tambahan berupa rumput atau hijauan yang berasal dari kebun milik peternak sendiri. Kotoran ternak atau pupuk kandang dimanfaatkan oleh peternak sebagai pengganti pupuk buatan untuk memupuk tanaman di lahan kebun atau tegalan yang mereka miliki. Di Kabupaten Belu seluruh responden yang diwawancarai (n = 60) memanfaatkan kotoran ternak sebagai pupuk kandang. Di Kabupaten Kupang 86,6% responden (n=52) memanfaatkan kotoran ternak untuk memupuk tanaman di ladang, sedangkan 13,3% responden (n=8) memanfaatkan kotoran ternak sebagai biogas penghasil energi listrik. Berdasarkan hasil survei, baik di Kabupaten Belu maupun Kabupaten Kupang, pemanfaatan ternak sebagai tenaga pembajak tidak lagi dilakukan karena umumnya petani peternak sudah mempunyai mesin pembajak sendiri. Penjualan ternak umumnya dilakukan melalui pedagang perantara yang mengambil langsung ke peternak ataupun dengan cara dijual ke pasar pada saat hari pasaran. Kadangkala ternak dijual dengan cara ditukar dengan babi (babi tersebut digunakan untuk upacara adat).
3 21 Rata-rata tingkat kelahiran sapi bali di Pulau Timor adalah 62,8±10% dengan kisaran 45-89% dan angka kematian anak sapi di bawah umur 1 tahun berkisar antara 3-30% pada lokasi semi intensif. Di lokasi ekstensif, tingkat kelahiran berkisar antara 57,1-77,4% dengan tingkat kematian anak sapi di bawah umur 1 tahun sebesar 3%. Rata-rata jarak beranak pada sapi Bali adalah 15 bulan. Waktu beranak pertama pada lokasi semi intensif adalah 32±5,3 bulan dan di lokasi ekstensif pada umur 47 bulan. Angka kematian sapi Bali dewasa adalah 3,1% dan angka kematian dalam kelompok (herd) adalah 4,9% (Bakry et al. 1994). Thalib (2002) mengatakan bahwa angka kematian prasapih pada sapi Bali di Provinsi Nusa Tenggara Timur berkisar antara 15-50%, sedangkan angka kematian sapi dewasa adalah 1%. Menurut Geong et al. (1994), angka kematian anak sapi Bali di Pulau Timor yang berumur di bawah 6 bulan mencapai 19%. Frekuensi kelahiran sapi bali di NTT tertinggi (41,3±18,9%) terjadi pada bulan April sampai dengan akhir Juni (dari permulaan sampai pertengahan musim kemarau). Kemudian disusul pada permulaan Juli sampai akhir September (dari pertengahan sampai akhir musim kemarau) mempunyai frekuensi kelahiran 39,8±15,9%. Frekuensi kelahiran yang rendah secara signifikan terjadi pada awal Oktober sampai akhir Desember (akhir musim kemarau dan awal musim hujan) yaitu rata-rata 14,0±18,0% dan dari Januari sampai akhir Maret (dari pertengahan sampai akhir musim hujan) yaitu 5,0±5,8% (Bakry et al. 1994). Menurut Geong (1999), pada desa tertular (infected village), jumlah anak yang dilahirkan dari sapi-sapi seropositif lebih sedikit (29,1% pada tahun 1995 dan 25% pada tahun 1996) dibandingkan sapi-sapi seronegatif (48,5% pada tahun 1995 dan 51,6% pada tahun 1996). Pada tahun 1995, secara signifikan lebih sedikit anak (48,6%) yang lahir dari sapi-sapi seronegatif di 10 desa tertular brucellosis (infected village) dibandingkan dari sapi-sapi seronegatif (58,2%) dari 3 desa tidak tertular brucellosis (non infected village). Demikian juga pada tahun 1996, yaitu 51,6% pada desa tertular dan 56,8% desa tidak tertular (Geong 1999). Tidak terdapat perbedaan calving rate yang signifikan antara kelompok yang divaksin dan yang tidak divaksin dari hasil pengamatan pada desa yang berbeda. Calving rate pada kelompok yang divaksinasi antara 38,3 68,3% sedangkan pada kelompok yang tidak divaksin antara 39,3-65,8% (Geong 1999).
4 22 Makka (1989) mengatakan bahwa tingkat kelahiran (calving rate) akibat brucellosis pada sapi potong di Sulawesi Selatan adalah 56,13% sedangkan angka kematian anak sapi (calf mortality rate) adalah 19,79%, tingkat infertilitas mencapai 12,84% dan tingkat abortus 26,5%. Prakiraan Potensi dan Nilai Ekonomis Pupuk Kandang Komponen pupuk kandang terdiri dari faeces, urine, rumput kering atau jerami dan air dengan perbandingan yang sangat beragam. Prakiraan potensi dan nilai ekonomis pupuk kandang dapat memberikan gambaran mengenai potensi pupuk kandang yang dapat digunakan pada lahan-lahan kering, lahan produktif pertanian, areal budidaya tambak dan kontribusi haranya serta jumlah substitusi pupuk buatan yang diperoleh. Dengan demikian dapat diketahui potensi ekonomisnya yang cukup tinggi selain secara tidak langsung telah mendukung pembangunan yang berkelanjutan dengan memanfaatkan bahan organik (Suharyanto dan Rinaldi 2001). Pupuk kandang tersebut merupakan komponen output yang penting dan untuk menilainya direfleksikan sebagai opportunity cost. Penilaian opportunity cost yaitu dengan menghitung nilai setara pupuk buatan. Penghitungan nilai ekonomis pupuk kandang di Kabupaten Belu dan Kabupaten Kupang dengan menggunakan metode penghitungan menurut Suharyanto dan Rinaldi (2001) disajikan pada Lampiran 17. Diketahui nilai ekonomis pupuk kandang pada tahun 2009 di di Kabupaten Belu adalah setara pupuk buatan Rp ,- dan di Kabupaten Kupang adalah setara pupuk buatan Rp ,- Berdasarkan hasil penghitungan tersebut, maka diketahui bahwa setiap ekor sapi di Kabupaten Belu dan Kabupaten Kupang menghasilkan pupuk kandang yang mempunyai nilai ekonomis setara pupuk buatan Rp ,- per tahun. Kajian Biaya Manfaat Pengendalian dan Pemberantasan Brucellosis Metode pengukuran ekonomi yang digunakan dalam kajian biaya manfaat ini menggunakan partial analysis yang dicerminkan dengan ukuran-ukuran NPV, B/C ratio dan IRR. Kajian dilakukan secara prospektif selama 10 tahun. Kajian biaya manfaat terhadap suatu program/proyek dilakukan dengan terlebih dahulu menentukan asumsi yang digunakan. Asumsi untuk koefisien
5 23 teknis, yaitu parameter produksi maupun reproduksi dari suatu peternakan seperti tingkat kelahiran (calving rate), tingkat kematian anak (calf mortality rate), tingkat kematian dewasa (adult mortality rate), tingkat afkir (culling rate), prosentase pejantan (terhadap betina) digunakan untuk melakukan proyeksi jumlah populasi ternak. Proyeksi jumlah populasi ternak merupakan unsur pokok dalam menganalisa suatu program/proyek yang berkaitan dengan peternakan (Gittinger 1986). Pada penelitian ini, asumsi yang digunakan merupakan kompilasi dari data primer, data sekunder serta literatur. Kabupaten Belu. Kabupaten Belu merupakan daerah tertular berat (prevalensi > 2%) dan program pengendalian dilakukan dengan vaksinasi dan potong bersyarat. Menurut Ditkeswan (2001), vaksinasi harus dilakukan secara massal dan serentak di semua lokasi sasaran dengan target 100% dari populasi sapi betina wajib vaksinasi sampai prevalensi turun menjadi 2%. Pada tahun kedua dan seterusnya, vaksinasi hanya dilakukan pada ternak betina muda dan yang belum tervaksin pada tahun sebelumnya. Pengambilan sampel darah untuk pengujian brucellosis dilakukan 2 tahun setelah vaksinasi dan mencakup 100 % populasi dan semua reaktor dilakukan potong bersyarat (Disnak Prov. NTT 2009). Prevalensi brucellosis di Kabupaten Belu pada tahun 2009 dengan uji CFT adalah 14,5% (Lake 2010) dan populasi sapi betina dewasa sejumlah ekor. Dengan demikian dapat diperkirakan jumlah reaktor pada tahun 2009 adalah ekor. Tabel 5 di bawah ini menyajikan realisasi potong bersyarat tahun Berdasarkan tabel tersebut diketahui belum seluruh reaktor dapat dilakukan potong bersyarat, dan rata-rata realisasi potong bersyarat terhadap reaktor selama 5 tahun ( ) adalah 133 ekor atau 2,12% dari total perkiraan jumlah reaktor dikarenakan keterbatasan dana kompensasi. Tabel 5. Realisasi potong bersyarat di Kabupaten Belu tahun Tahun Jumlah Sampel (ekor) Jumlah Positif (ekor) Realisasi Potong Bersyarat (ekor) Rata-rata 133 Sumber : Disnak Prov. NTT
6 24 Kajian biaya manfaat pengendalian brucellosis di Kabupaten Belu dilakukan terhadap 2 alternatif program yaitu : Program A : Program yang dilakukan sekarang yaitu vaksinasi dengan cakupan rata-rata 57 % dari populasi ternak betina wajib vaksinasi dan potong bersyarat (secara terbatas). Vaksinasi brucellosis di Kabupaten Belu dilakukan sejak tahun 1994, dengan demikian kegiatan vaksinasi yang dilaksanakan sekarang adalah tahap konsolidasi dengan target wajib vaksinasi diasumsikan populasi anak betina dan muda betina. Tabel 6 di bawah ini menyajikan data cakupan vaksinasi brucellosis di Kabupaten Belu tahun , dengan rata-rata cakupan vaksinasi sebesar 57%. Tabel 6. Cakupan vaksinasi brucellosis di Kabupaten Belu Tahun Populasi betina Realisasi % Realisasi Anak Muda Total (ekor) Rata-rata 57 Sumber : Disnak Kab. Belu, data diolah. Dengan Program A, yaitu dilakukan vaksinasi terhadap 57% populasi ternak betina wajib vaksinasi dan potong bersyarat secara terbatas terhadap 2,12% reaktor, calving rate diasumsikan terjadi kenaikan sebesar 1% per tahun dari asumsi calving rate awal sebesar 57%. Calf mortality rate diasumsikan menurun sebesar 1% per tahun dari asumsi calf mortality rate awal sebesar 19%. Tingkat kematian dewasa diasumsikan sebesar 3%. Berdasarkan data tahun , rata-rata total biaya pemberantasan untuk Program A adalah Rp ,00 dan rata-rata populasi sapi betina adalah ekor, sehingga dapat dihitung biaya pemberantasan untuk tiap ekor adalah Rp ,00
7 25 Program B : Program Intensif yaitu vaksinasi dengan cakupan ratarata 80% dari populasi ternak betina wajib vaksinasi dan potong bersyarat secara terbatas. Dengan Program B, yaitu dilakukan vaksinasi dengan cakupan rata-rata 80% dari populasi ternak betina wajib vaksinasi dan potong bersyarat secara terbatas terhadap 2,12% reaktor, calving rate diasumsikan terjadi kenaikan sebesar 2% per tahun dari asumsi calving rate awal sebesar 57%. Calf mortality rate diasumsikan menurun sebesar 2% per tahun dari asumsi calf mortality rate awal sebesar 19%. Tingkat kematian dewasa diasumsikan sebesar 3%. Pelaksanaan Program B bertujuan untuk menurunkan prevalensi. Hal ini sesuai dengan pendapat Berman (1981) bahwa vaksinasi terhadap sekurang-kurangnya 70% dari populasi secara signifikan akan mengurangi prevalensi brucellosis. Erasmus (1995) mengatakan bahwa vaksinasi sekurang-kurangnya 80% dari populasi betina dapat menurunkan prevalensi brucellosis secara signifikan. Perbedaan antara Program A dan Program B terletak pada cakupan vaksinasi (pada Program A cakupan vaksinasi 57%). Berdasarkan data tahun , biaya vaksinasi per ekor adalah Rp ,00 meliputi biaya pembelian vaksin dan biaya operasional vaksinasi. Populasi sapi betina wajib vaksinasi pada tahun tersebut sejumlah ekor. Dengan dilaksanakannya Program B, maka populasi betina wajib vaksinasi adalah sejumlah ekor. Pada Program A, populasi betina yang tervaksin sejumlah ekor, maka jika dibandingkan dengan Program B terdapat selisih ekor dan ini kemudian diperhitungkan sebagai tambahan biaya pemberantasan (Rp ,00). Sehingga total biaya pemberantasan pada Program B adalah Rp ,00 dan biaya pemberantasan untuk tiap ekor adalah Rp ,00 Komponen input penghitungan laba kotor (gross margin) peternakan sapi Bali di Kabupaten Belu disajikan pada Tabel 7. Tabel 7 Asumsi yang digunakan sebagai input penghitungan laba kotor (gross margin) peternakan sapi Bali di Kabupaten Belu Asumsi Calving rate 57% Tingkat kematian anak (calf mortality rate) 19% Tingkat kematian dewasa (adult mortality rate) 3% Culling rate 10% Prosentase pejantan 22% Satuan
8 26 Bobot badan Jantan Betina 0-1 tahun 83 kg 68 kg 1-2 tahun 165 kg 128 kg 2-3 tahun 240 kg 180 Kg >3 tahun 300 kg 225 kg Harga berat hidup Rp ,00/kg Komisi 5% Biaya kesehatan Rp ,00/ekor Tenaga kerja Rp /hari/10 ekor Lainnya Rp ,00 Dari hasil penghitungan laba kotor (gross margin) yang tersaji pada Tabel 8 diketahui laba kotor peternakan sapi Bali di Kabupaten Belu pada tahun 2009 sebesar Rp ,00. Besarnya laba kotor tersebut untuk tahun berikutnya dapat berubah, yang besarnya tergantung pada parameter produksi yang dipengaruhi oleh program pengendalian yang dilaksanakan. Tabel 8 Penghitungan laba kotor (gross margin) peternakan sapi Bali di Kabupaten Belu USAHA PETERNAKAN : Sapi Bali (breeding replacements) Unit Usaha : sapi betina induk PENDAPATAN Satuan Harga Satuan Jumlah (Rp) Penjualan Ternak & Produk Asal Ternak - Jantan muda 9.970, Dara 1.947, Afkir jantan (dijual) 950, Afkir betina induk (dijual) 5.462, Tenaga ternak Pupuk kandang TOTAL PENDAPATAN (A) BIAYA VARIABEL Penggantian Ternak - Pejantan 950, Betina induk 0, Komisi 5% Pemeliharaan - Biaya kesehatan Tenaga kerja /hari/10 ekor - Lain-lain 5.000/ekor Pakan 0 Transportasi & pemasaran TOTAL BIAYA VARIABEL (B) GROSS MARGIN (A-B)
9 27 Kajian biaya manfaat terhadap Program A dan Program B dilakukan dengan membandingkan keadaan tanpa program pengendalian. Dengan tidak dilakukannya program pengendalian (tanpa program), calving rate diasumsikan menurun 1% per tahun dari asumsi calving rate awal sebesar 57% menjadi 48% pada tahun ke-10. Calf mortality rate diasumsikan meningkat sebesar 0,5 % setiap tahun dari asumsi calf mortality rate awal sebesar 19% menjadi 24% pada tahun ke-10. Tingkat kematian dewasa rate diasumsikan sebesar 3% per tahun. Pada Program A, calving rate diasumsikan terjadi kenaikan sebesar 1% per tahun dari asumsi calving rate awal sebesar 57%. Calf mortality rate diasumsikan menurun sebesar 1% per tahun dari asumsi calf mortality rate awal sebesar 19%. Tingkat kematian dewasa diasumsikan sebesar 3%. Dari sudut pandang epidemiologi, pelaksanaan Program A belum mampu menurunkan prevalensi secara signifikan. Program A hanya mampu mempertahankan prevalensi berada pada kisaran tahun-tahun sebelumnya. Hal ini sesuai dengan hasil survey oleh Dartini et al. (2004), bahwa program vaksinasi di Kabupaten Belu diketahui dapat menekan penyebaran brucellosis di lapangan. Berdasarkan kajian terhadap hasil pelaksanaan Program A tersebut di atas, maka pada penelitian ini Program B yang diusulkan dimaksudkan dapat tercapai penurunan prevalensi yang serendah-rendahnya. Pada Program B, calving rate diasumsikan terjadi kenaikan sebesar 2% per tahun dari asumsi calving rate awal sebesar 57%. Calf mortality rate diasumsikan menurun sebesar 2% per tahun dari asumsi calf mortality rate awal sebesar 19%. Tingkat kematian dewasa diasumsikan sebesar 3%. Berdasarkan proyeksi arus kas (cash flow) secara prospektif selama 10 tahun pada keadaan tanpa program, laba kotor akan menurun setiap tahun. Pada Program A & Program B, terdapat peningkatan laba kotor sesuai dengan peningkatan populasi sapi dari tahun ke tahun sebagai efek dari peningkatan calving rate dan penurunan calf mortality rate dari masing-masing pelaksanaan program (Program A dan Program B). Dari hasil proyeksi laba kotor kumulatif pada tahun ke-10, Program B mempunyai laba kotor yang lebih tinggi (Rp ,00) daripada Program A (Rp ,00). Hasil kajian biaya manfaat terhadap Program A dan Program B disajikan pada Tabel 9. Program A dan Program B masing-masing memiliki nilai NPV
10 28 positif, B/C ratio > 1 dan nilai IRR yang menunjukkan bahwa dari sudut pandang ekonomi kedua program layak untuk dilaksanakan. Tabel 9 Hasil Kajian Biaya Manfaat terhadap Program A dan Program B di Kabupaten Belu Kriteria Diskonto Program A Program B Net Present Value 15 % Rp Rp (NPV) 20 % Rp Rp Benefit Cost Ratio 15 % 3,06 3,88 B/C ratio 20 % 2,80 3,55 Internal Rate of Return 333% 476% (IRR) Pada tahun ke-10, Program B mempunyai NPV yang lebih besar dibandingkan Program A, yaitu NPV Program B sebesar Rp ,00 dan NPV Program A sebesar Rp ,00 pada tingkat diskonto 15%. Pada tingkat diskonto 20% pada tahun ke-10, NPV kedua program masih menunjukkan nilai positif, yaitu NPV Program B sebesar Rp ,00 dan NPV Program A sebesar Rp ,00. B/C ratio Program B (3,88) menunjukkan nilai yang lebih tinggi dibandingkan Program A (3,54) pada tingkat diskonto 15%. B/C ratio masih menunjukkan nilai >1 pada tingkat diskonto 20% yaitu 2,80 pada Program A dan 3,55 pada Program B. Dengan mengkombinasikan antara sudut pandang ekonomi, yaitu hasil penghitungan biaya manfaat (NPV, B/C ratio dan IRR) dan sudut pandang epidemiologi, maka Program B merupakan alternatif yang paling layak dan paling tepat dilaksanakan. Dari sudut pandang ekonomi, Program B memiliki NPV lebih tinggi dan B/C ratio lebih besar dibandingkan Program A, demikian pula untuk IRR. Dari sudut pandang epidemiologi, dengan dilaksanakannya Program B yang memiliki cakupan vaksinasi terhadap brucellosis yang lebih tinggi dibandingkan Program A, diharapkan dapat tercipta populasi ternak yang kebal terhadap brucellosis (herd immunity), sehingga dapat mengurangi transmisi penyakit antar ternak, yang kemudian akan berdampak pada penurunan prevalensi. Kabupaten Kupang. Prevalensi brucellosis di Kabupaten Kupang pada tahun 2009 adalah 2% berdasarkan hasil uji CFT (Perwitasari 2010) dan kegiatan pemberantasan yang dilakukan adalah potong bersyarat (test and slaughter). Perkiraan jumlah reaktor pada tahun 2009 adalah 2% dari populasi
11 29 sapi betina dewasa. Menurut Disnak Kab. Kupang (2009a), populasi sapi betina dewasa adalah 47,86% dari total populasi sapi. Kajian biaya manfaat pemberantasan brucellosis di Kabupaten Kupang dilakukan terhadap 2 alternatif program yaitu : Program A : Program yang dilaksanakan sekarang di Kabupaten Kupang. Jumlah populasi sapi di Kabupaten Kupang pada tahun 2009 dihitung dengan menggunakan metode yang dikemukakan oleh Sudardjat (2004), yaitu dengan menambahkan angka populasi pada tahun 2008 dengan rata-rata kenaikan populasi pada tahun-tahun sebelumnya (tahun 2006 dan tahun 2007) Dengan metode penghitungan tersebut, maka angka populasi sapi di Kabupaten Kupang pada tahun 2009 adalah ekor. Dengan demikian dapat diperkiraan jumlah populasi betina dewasa adalah ekor dan perkiraan jumlah reaktor adalah ekor. Rata-rata realisasi potong bersyarat pada tahun adalah 32 ekor yaitu sekitar 2,15% dari total perkiraan jumlah reaktor. Dengan menggunakan data pada Tabel 10, jika program dilaksanakan selama 6 tahun dapat diasumsikan total reaktor yang dipotong adalah 12,9% dari jumlah reaktor keseluruhan. Sehingga pada akhir tahun ke-6, program ini masih menyisakan sekitar reaktor (87,1% dari jumlah reaktor) yang harus dipotong. Reaktor yang belum dipotong tersebut merupakan sumber penularan yang potensial. Tabel 10 Realisasi potong bersyarat di Kabupaten Kupang tahun Tahun Jumlah Sampel (ekor) Jumlah Positif (ekor) Realisasi Potong Bersyarat (ekor) Rata-rata Sumber : Disnak Prov. NTT Pada Program A, calving rate diasumsikan terjadi kenaikan sebesar 0,5% per tahun dari asumsi calving rate awal sebesar 60%. Calf mortality rate diasumsikan menurun sebesar 0,5% per tahun dari asumsi calf mortality rate awal sebesar 19%. Tingkat kematian dewasa diasumsikan sebesar 3%. Biaya pemberantasan brucellosis di Kabupaten Kupang tahun 2009 yang bersumber dari Pusat, APBD I dan APBD II adalah Rp ,00. Dengan
12 30 demikian, rata-rata biaya pemberantasan untuk tiap ekor sapi pada Program A adalah Rp ,00 Program B : Program Intensif (pemotongan seluruh reaktor secara bertahap selama 6 tahun ) di Kabupaten Kupang. Program B adalah potong bersyarat terhadap seluruh reaktor (100%). Dengan menggunakan asumsi yang sama pada Program A dimana perkiraan jumlah reaktor secara keseluruhan adalah ekor (tahun 2009), maka jika kegiatan potong bersyarat dilakukan selama 6 tahun berturut-turut dan untuk mencapai 0 reaktor pada akhir tahun ke- 6, maka tiap tahun dilakukan potong bersyarat terhadap 248 ekor (16,5%). Pelaksanaan Program B diharapkan dapat mengurangi jumlah reaktor secara signifikan, sehingga dapat mencegah terjadinya reinfeksi. Pada Program B, pelaksanaan pemotongan bersyarat pada tiap tahun pelaksanaan program (sampai tahun ke-6) lebih tinggi dibandingkan pada Program A, yaitu terdapat selisih 216 ekor. Berdasarkan data dari Disnak Kab. Kupang (2009b), biaya pembelian reaktor adalah Rp ,00 per ekor, sehingga terdapat selisih biaya pemberantasan Rp ,00 yang diperhitungkan sebagai biaya tambahan pemberantasan. Dengan demikian total biaya pemberantasan adalah Rp ,00. Dengan demikian dapat dihitung rata-rata biaya pemberantasan untuk tiap ekor sapi adalah Rp ,00 Keogh et al. (1981) mengatakan bahwa, sejak dimulainya program test and slaughter secara intensif di New South Wales, dan berdasarkan hasil uji terhadap lebih dari 85% populasi pada tahun 1981 prevalensi turun menjadi dibawah 2% dari prevalensi awal pada tahun 1976 sebesar 2,9%. Dengan Program B, calving rate diasumsikan terjadi kenaikan sebesar 3% per tahun dari asumsi calving rate awal sebesar 60%. Calf mortality rate diasumsikan menurun sebesar 1,5% per tahun dari asumsi calf mortality rate awal sebesar 19%. Tingkat kematian dewasa diasumsikan sebesar 3%. Komponen input penghitungan laba kotor (gross margin) peternakan sapi Bali di Kabupaten Kupang disajikan pada Tabel 11.
13 31 Tabel 11 Asumsi yang digunakan sebagai input penghitungan laba kotor (gross margin) peternakan sapi Bali di Kabupaten Kupang Asumsi Satuan Calving rate 60% Calf mortality rate (tingkat kematian anak) 19% Tingkat kematian dewasa 3% Culling rate 10% Prosentase pejantan 30% Bobot badan Jantan Betina 0-1 tahun 83 kg 68 kg 1-2 tahun 165 kg 128 kg 2-3 tahun 240 kg 181 Kg >3 tahun 300 kg 225 kg Harga berat hidup Rp ,00/kg Komisi 5% Biaya kesehatan Rp ,00/ekor Tenaga kerja Rp /hari/10 ekor Lainnya Rp ,00 Berdasarkan penghitungan laba kotor (Tabel 12), diketahui bahwa peternakan sapi Bali di Kabupaten Kupang pada tahun 2009 mempunyai laba kotor sebesar Rp Tabel 12 Penghitungan laba kotor (gross margin) peternakan sapi Bali di Kabupaten Kupang USAHA PETERNAKAN : Sapi Bali (breeding replacements) Unit Usaha : sapi betina induk PENDAPATAN Satuan Harga Satuan Jumlah (Rp) Penjualan Ternak & Produk Asal Ternak - Jantan muda , Dara 4.256, Culling jantan (dijual) 2.231, Culling betina induk (dijual) 9.406, Tenaga ternak Pupuk kandang TOTAL PENDAPATAN (A) BIAYA VARIABEL Penggantian Ternak - Pejantan 2.231, Betina induk 0, Komisi 5% Pemeliharaan - Biaya kesehatan Tenaga kerja /hari/10 ekor - Lain-lain 5.000/ekor
14 32 Pakan 0 Transportasi & pemasaran TOTAL BIAYA VARIABEL (B) GROSS MARGIN (A-B) Kajian biaya manfaat pemberantasan brucellosis di Kabupaten Kupang dilakukan terhadap 2 alternatif program (Program A dan Program B), dengan calving rate awal diasumsikan sebesar 60%. Pada keadaan tanpa program, calving rate diasumsikan terjadi penurunan sebesar 1% per tahun dari asumsi calving rate awal sebesar 60%. Calf mortality rate diasumsikan meningkat sebesar 0,5% per tahun dari calf mortality rate awal sebesar 19%. Tingkat kematian dewasa diasumsikan sebesar 3%. Laba kotor kumulatif untuk Program A pada proyeksi tahun ke-10 adalah Rp ,00 sedangkan Program B mempunyai laba kotor yang lebih tinggi yaitu Rp ,00. Pada keadaan tanpa program, laba kotor adalah paling rendah yaitu Rp ,00. Hasil penghitungan biaya manfaat pelaksanaan Program A dan Program B di Kabupaten Kupang disajikan pada Tabel 13. Dari hasil penghitungan, kedua program memiliki NPV positif, B/C ratio > 1 dan IRR yang lebih besar daripada tingkat diskonto (tingkat diskonto 15% maupun 20%). Hal ini menunjukkan bahwa dari sudut pandang ekonomi kedua program layak untuk dilaksanakan. Tabel 13 Hasil Kajian Biaya Manfaat terhadap Program A dan Program B di Kabupaten Kupang Kriteria Diskonto Program A Program B Net Present Value 15 % Rp Rp (NPV) 20 % Rp Rp Benefit Cost Ratio 15% 2,80 1,58 B/C ratio 20 % 2,58 1,50 Internal Rate of Return 671% 272% (IRR) Program A memberikan perbandingan manfaat dan biaya (B/C ratio) yang lebih besar dibandingkan Program B baik pada tingkat diskonto 15% maupun 20%. Program A juga memberikan return yang lebih besar dibandingkan dengan Program B, untuk setiap rupiah yang diinvestasikan. Dalam hal ini, investasi yang ditanamkan pada Program A (Rp ,00 / ekor betina) lebih kecil daripada investasi yang ditanamkan pada Program B (Rp ,00 / ekor betina).
15 33 Meskipun Program B memberikan tingkat pengembalian yang lebih kecil dibandingkan Program A, akan tetapi pada akhir pelaksanaan program, Program B memberikan hasil netto (net benefit) yang lebih besar dibandingkan Program A. Hal ini dikarenakan pelaksanaan Program B memberikan pendapatan yang lebih besar sebagai dampak dari pelaksanaan program yang menaikkan tingkat kelahiran dan menurunkan tingkat kematian anak. Pada tahun ke-10 pelaksanaan program, Program B mempunyai NPV yang lebih tinggi dibandingkan Program A pada tingkat diskonto 15% maupun 20%. Pada tingkat diskonto 15%, NPV Program A sebesar Rp ,00 dan NPV Program B sebesar Rp ,00. Pada tingkat diskonto 20%, NPV NPV Program A sebesar Rp ,00 dan NPV Program B sebesar Rp ,00. Dengan mempertimbangkan ketiga kriteria kelayakan program (NPV, B/C ratio dan IRR), maka Program A lebih layak dilaksanakan di Kabupaten Kupang dibandingkan dengan Program B. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Brigham dan Houston (2007) yang mengatakan bahwa adakalanya perbedaan skala program dapat mempengaruhi besarnya NPV maupun IRR, yang mana pada program dengan skala kecil dengan cost of capital yang kecil, dapat mempunyai NPV yang kecil dan IRR yang besar, sedangkan program dengan skala besar dengan cost of capital yang besar, mempunyai NPV yang besar dan IRR yang kecil. Akan tetapi, jika dilihat dari sudut pandang epidemiologi, pelaksanaan Program A masih menyisakan reaktor yang belum terpotong pada akhir tahun pelaksanaan program. Reaktor yang belum terpotong ini merupakan sumber infeksi yang sangat potensial. Sedangkan pada Program B, pada akhir pelaksanaan program, Program B memberikan manfaat yang lebih besar dibandingkan Program A, baik secara finansial maupun non finansial. Manfaat finansial yaitu meningkatnya pendapatan peternak yang juga akan meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). Sedangkan manfaat non finansial yaitu terhindarnya masyarakat dari zoonosis karena brucellosis. Putt et al. (1987) mengatakan bahwa segala keputusan yang menyangkut kemungkinan suatu program untuk dilaksanakan, tidak bisa diambil dari segi ekonomi semata-mata, tetapi ada hal-hal lain yang perlu dipertimbangkan, misalnya dari segi teknis oleh ahli yang membidangi. Dalam hal yang menyangkut program pengendalian dan pemberantasan penyakit hewan,
16 34 diperlukan penyesuaian dengan kebijaksanaan dan sasaran yang ditetapkan dalam bidang peternakan pada umumnya dan bidang kesehatan hewan pada khususnya. Dengan mempertimbangkan hal-hal tersebut di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa Program B merupakan program yang paling tepat untuk dilaksanakan di Kabupaten Kupang.
HASIL DAN PEMBAHASAN
13 HASIL DAN PEMBAHASAN Sumber Daya Ternak Sapi dan Kerbau Sebanyak empat puluh responden yang diwawancarai berasal dari empat kecamatan di Kabupaten Sumbawa yaitu : Kecamatan Moyo Hilir, Lenangguar, Labuan
Lebih terperinciLampiran 1. Arus Kas Tanpa Program Pengendalian Brucellosis di Kabupaten Belu
Lampiran 1. Arus Kas Tanpa Program Pengendalian Brucellosis di Kabupaten Belu tahun 1 tahun 2 tahun 3 tahun 4 tahun 5 tahun 6 tahun 7 tahun 8 tahun 9 tahun 10 Pendapatan Calving rate 57% 56% 55% 54% 53%
Lebih terperinciKAJIAN BIAYA MANFAAT PROGRAM PENGENDALIAN DAN PEMBERANTASAN BRUCELLOSIS DI KABUPATEN BELU DAN KABUPATEN KUPANG PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR
KAJIAN BIAYA MANFAAT PROGRAM PENGENDALIAN DAN PEMBERANTASAN BRUCELLOSIS DI KABUPATEN BELU DAN KABUPATEN KUPANG PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR YURIKE ELISADEWI RATNASARI SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN
Lebih terperinciVII ANALISIS ASPEK FINANSIAL
VII ANALISIS ASPEK FINANSIAL Aspek finansial merupakan aspek yang dikaji melalui kondisi finansial suatu usaha dimana kelayakan aspek finansial dilihat dari pengeluaran dan pemasukan usaha tersebut selama
Lebih terperinciIII OBJEK DAN METODE PENELITIAN. Rakyat (KUR) di Desa Ciporeat, Kecamatan Cilengkrang, Kabupaten Bandung.
22 III OBJEK DAN METODE PENELITIAN 3.1 Objek Penelitian Objek penelitian ini adalah usaha ternak sapi perah penerima Kredit Usaha Rakyat (KUR) di Desa Ciporeat, Kecamatan Cilengkrang, Kabupaten Bandung.
Lebih terperinciIV METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2. Jenis dan Sumber Data 4.3. Metode Pengolahan dan Analisis Data
IV METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Peternakan Domba Tawakkal, yang terletak di Jalan Raya Sukabumi, Desa Cimande Hilir No.32, Kecamatan Caringin, Kabupaten
Lebih terperinciIV. METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian
IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Peternakan Maju Bersama, Desa Cikarawang, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Pemilihan lokasi penelitian
Lebih terperinciIV METODOLOGI PENELITIAN
IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di sebuah lokasi yang berada Desa Kanreapia Kecamatan Tombolo Pao, Kabupaten Gowa, Propinsi Sulawesi Selatan. Pemilihan lokasi
Lebih terperinciIII. METODE PENELITIAN
17 III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Usaha Kecil Menengah (UKM) pengolahan pupuk kompos padat di Jatikuwung Innovation Center, Kecamatan Gondangrejo Kabupaten
Lebih terperinciVII. PEMBAHASAN ASPEK FINANSIAL
VII. PEMBAHASAN ASPEK FINANSIAL 7.1. Proyeksi Arus Kas (Cashflow) Proyeksi arus kas merupakan laporan aliran kas yang memperlihatkan gambaran penerimaan (inflow) dan pengeluaran kas (outflow). Dalam penelitian
Lebih terperinciTabel 1 Daya tahan Brucella abortus pada berbagai kondisi lingkungan (Crawford et al. 1990). Terkena sinar matahari langsung Tanah : tanah kering
4 TINJAUAN PUSTAKA Kabupaten Belu Letak Geografis, Topografi dan Iklim. Kabupaten Belu adalah salah satu kabupaten dari lima kabupaten/kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur yang terletak di daratan Timor
Lebih terperinciAnalisis Sensitivitas Usahatani Pembibitan Sapi Potong di Kabupaten Sleman
Sains Peternakan Vol. 5 (1), Maret 2007: 16-22 Analisis Sensitivitas Usahatani Pembibitan Sapi Potong di Kabupaten Sleman S. Emawati Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret Jl.
Lebih terperinciIII. METODE PENELITIAN. Tanaman kehutanan adalah tanaman yang tumbuh di hutan yang berumur
47 III. METODE PENELITIAN A. Konsep Dasar dan Definisi Operasional Konsep dasar dan definisi operasional mencakup pengertian yang digunakan untuk mendapatkan dan menganalisis data sesuai dengan tujuan
Lebih terperinciRINGKASAN EKSEKUTIF DASLINA
RINGKASAN EKSEKUTIF DASLINA, 2006. Kajian Kelayakan dan Skala Ekonomi Usaha Peternakan Sapi Potong Dalam Rangka Pemberdayaan Peternak (Studi Kasus Di Kawasan Budidaya Pengembangan Sapi Potong Kabupaten
Lebih terperinciIII. METODE PENELITIAN
III. METODE PENELITIAN 3.1. Kerangka Pemikiran Penelitian Kerangka pemikiran penelitian ini diawali dengan melihat potensi usaha yang sedang dijalankan oleh Warung Surabi yang memiliki banyak konsumen
Lebih terperinciIII. METODE PENELITIAN
17 III. METODE PENELITIAN 3.1. Kerangka Pemikiran Gula merah tebu merupakan komoditas alternatif untuk memenuhi kebutuhan konsumsi gula. Gula merah tebu dapat menjadi pilihan bagi rumah tangga maupun industri
Lebih terperinciLampiran 1. Kuisioner Penelitian Desa : Kelompok : I. IDENTITAS RESPONDEN 1. Nama : Umur :...tahun 3. Alamat Tempat Tinggal :......
LAMPIRAN 50 Lampiran 1. Kuisioner Penelitian Desa : Kelompok : I. IDENTITAS RESPONDEN 1. Nama :... 2. Umur :...tahun 3. Alamat Tempat Tinggal :... 4. Pendidikan Terakhir :.. 5. Mata Pencaharian a. Petani/peternak
Lebih terperinciIII. KERANGKA PEMIKIRAN
III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Studi Kelayakan Proyek Proyek adalah suatu keseluruhan aktivitas yang menggunakan sumber-sumber untuk mendapatkan kemanfaatan (benefit),
Lebih terperinciIV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2 Jenis dan Sumber Data 4.3 Metode Penentuan Narasumber
IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di peternakan milik Bapak Sarno yang bertempat di Desa Citapen, Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor, Jawa barat. Pemilihan lokasi
Lebih terperinciANALISIS POTENSI KERBAU KALANG DI KECAMATAN MUARA WIS, KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA, KALIMANTAN TIMUR
ANALISIS POTENSI KERBAU KALANG DI KECAMATAN MUARA WIS, KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA, KALIMANTAN TIMUR LUDY K. KRISTIANTO, MASTUR dan RINA SINTAWATI Balai Pengkajian Teknologi Pertanian ABSTRAK Kerbau bagi
Lebih terperinciAnalisis Investasi Usahatani Pembibitan Sapi Peranakan Limousine di Kabupaten Sleman
Sains Peternakan Vol. 6 (2), September 2008: 22-30 ISSN 1693-8828 Analisis Investasi Usahatani Pembibitan Sapi Peranakan Limousine di Kabupaten Sleman Shanti Emawati 1), Rini Widiati 2) dan I Gede Suparta
Lebih terperinciKAJIAN MENGURANGI ANGKA KEMATIAN ANAK DAN MEMPERPENDEK JARAK KELAHIRAN SAPI BALI DI PULAU TIMOR. Ati Rubianti, Amirudin Pohan dan Medo Kote
KAJIAN MENGURANGI ANGKA KEMATIAN ANAK DAN MEMPERPENDEK JARAK KELAHIRAN SAPI BALI DI PULAU TIMOR Ati Rubianti, Amirudin Pohan dan Medo Kote Latar Belakang Angka kematian anak sapi yg masih cukup tinggi
Lebih terperinciLingkup Kegiatan Adapun ruang lingkup dari kegiatan ini yaitu :
PROJECT DIGEST NAMA CLUSTER : Ternak Sapi JUDUL KEGIATAN : DISEMINASI INOVASI TEKNOLOGI pembibitan menghasilkan sapi bakalan super (bobot lahir > 12 kg DI LOKASI PRIMA TANI KABUPATEN TTU PENANGGUNG JAWAB
Lebih terperinciBAB XVI KEGIATAN AGRIBISNIS
SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN AGRIBISNIS TERNAK RIMUNANSIA BAB XVI KEGIATAN AGRIBISNIS KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT JENDERAL GURU DAN TENAGA KEPENDIDIKAN
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Gorontalo. Terdiri dari 18 Kecamatan, 191 Desa, dan 14 Kelurahan. Letak
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Keadaan Umum Wilayah Penelitian Kabupaten Gorontalo memiliki letak yang sangat strategis sebagai pusat akses lintas daerah karena posisinya berada di titik tengah wilayah
Lebih terperinciIII. METODE PENELITIAN. A. Konsep Dasar dan Bahan Batasan Operasional. Konsep dasar dan defenisi opresional mencakup pengertian yang
III. METODE PENELITIAN A. Konsep Dasar dan Bahan Batasan Operasional Konsep dasar dan defenisi opresional mencakup pengertian yang dipergunakan untuk mendapatkan dan menganalisis data sesuai dengan tujuan
Lebih terperinciIV METODE PENELITIAN. 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di peternakan kambing perah Prima Fit yang terletak di Desa Cibuntu, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat.
Lebih terperinciMETODOLOGI PENELITIAN. (Purposive) dengan alasan daerah ini cukup representatif untuk penelitian yang
IV. METODOLOGI PENELITIAN 4.1. Tempat dan Waktu Penelitian Pengambilan data dilakukan pada bulan Februari sampai dengan bulan Maret 2011, bertempat di Desa Cikarawang, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor,
Lebih terperinciVII. ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL
VII. ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL Pada penelitian ini dilakukan analisis kelayakan finansial untuk mengetahui kelayakan pengusahaan ikan lele, serta untuk mengetahui apakah usaha yang dilakukan pada kelompok
Lebih terperinciIII. METODE PENELITIAN
III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Nogosari, Kabupaten Boyolali pada tanggal 16 Desember 2015 sampai 29 Januari 2016. B. Desain Penelitian Metode dasar
Lebih terperinciIII. METODE PENELITIAN. mandiri, baik satu variabel atau lebih (independen) tanpa membuat perbandingan
III. METODE PENELITIAN A. Metode Dasar Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analisis yaitu penelitian yang dilakukan untuk mengetahui nilai variabel mandiri, baik
Lebih terperinciBAB III KERANGKA PEMIKIRAN
BAB III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Definisi Proyek Kegiatan proyek dapat diartikan sebagai satu kegiatan sementara yang berlangsung dalam jangka waktu terbatas, dengan alokasi
Lebih terperinciOPTIMALISASI USAHA PENGGEMUKAN SAPI DI KAWASAN PERKEBUNAN KOPI
OPTIMALISASI USAHA PENGGEMUKAN SAPI DI KAWASAN PERKEBUNAN KOPI Pita Sudrajad, Muryanto, dan A.C. Kusumasari Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah E-mail: pitosudrajad@gmail.com Abstrak Telah
Lebih terperinciIV. METODE PENELITIAN
IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian kelayakan Usaha pembenihan dan pembesaran ikan lele Sangkuriang dilakukan di Perusahaan Parakbada, Katulampa, Kota Bogor, Provinsi Jawa
Lebih terperinciIV METODE PENELITIAN
IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Dian Layer Farm yang terletak di Kampung Kahuripan, Desa Sukadamai, Kecamatan Darmaga, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Pemilihan
Lebih terperinciIV. METODOLOGI PENELITIAN. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan
IV. METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Pulau Panggang, Kecamatan Kepulauan Seribu Utara, Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta. Pemilihan lokasi
Lebih terperinciVIII. ANALISIS FINANSIAL
VIII. ANALISIS FINANSIAL Analisis aspek finansial bertujuan untuk menentukan rencana investasi melalui perhitungan biaya dan manfaat yang diharapkan dengan membandingkan antara pengeluaran dan pendapatan.
Lebih terperinciMETODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu 4.2. Jenis dan Sumber Data 4.3. Metode Pengumpulan Data
IV METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian dilakukan di Usaha Mi Ayam Bapak Sukimin yang terletak di Ciheuleut, Kelurahan Tegal Lega, Kota Bogor. Lokasi penelitian diambil secara sengaja (purposive)
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. 1 Sapi 0,334 0, Kerbau 0,014 0, Kambing 0,025 0, ,9 4 Babi 0,188 0, Ayam ras 3,050 3, ,7 7
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Salah satu aktivitas ekonomi dalam agribisnis adalah bisnis peternakan. Agribisnis bidang ini utamanya dilatarbelakangi oleh fakta bahwa kebutuhan masyarakat akan produk-produk
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN. bahwa Kabupaten Kendal merupakan salah satu kabupaten yang memiliki
15 BAB III METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Kendal, dengan pertimbangan bahwa Kabupaten Kendal merupakan salah satu kabupaten yang memiliki populasi kambing Jawarandu yang tinggi
Lebih terperinciBAB IV KERANGKA PEMIKIRAN
23 BAB IV KERANGKA PEMIKIRAN 4.1 Kerangka Pemikiran Teoritis 4.1.1 Studi Kelayakan Usaha Proyek atau usaha merupakan kegiatan yang dilakukan untuk mendapatkan manfaat (benefit) dengan menggunakan sumberdaya
Lebih terperinciIV. METODOLOGI. merupakan salah satu daerah pertanian produktif di Kabupaten Majalengka.
IV. METODOLOGI 4.1. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Sukahaji, Kabupaten Majalengka. Pemilihan lokasi ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa Kecamatan Sukahaji merupakan salah satu
Lebih terperinciIV. METODE PENELITIAN
IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Pulau Panggang, Kelurahan Pulau Panggang, Kecamatan Kepulauan Seribu Utara, Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu, DKI
Lebih terperinciANALISIS BIAYA MANFAAT DAN STRATEGI PENGENDALIAN ANTRAKS DI PULAU SUMBAWA PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT ERWIN KUSBIANTO
ANALISIS BIAYA MANFAAT DAN STRATEGI PENGENDALIAN ANTRAKS DI PULAU SUMBAWA PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT ERWIN KUSBIANTO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 ii PERNYATAAN MENGENAI TESIS
Lebih terperinciANALISIS COST-BENEFIT
ANALISIS COST-BENEFIT USAHA RAKYAT DAN PENGARUHNYA TERHADAP PENINGKATAN KESEMPATAN KERJA (STUDI KASUS PADA PROGRAM SAPI BERGULIR DI DESA ARJANGKA, KECAMATAN PRINGGARATA, KABUPATEN LOMBOK TENGAH) Juwita
Lebih terperinciIV. METODE PENELITIAN
IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di PT Mekar Unggul Sari, Kabupaten Bogor. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive) dengan alasan
Lebih terperinciANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL
VII ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL Pada penelitian ini dilakukan analisis kelayakan finansial untuk mengetahui kelayakan pengusahaan ikan lele phyton, serta untuk mengetahui apakah usaha yang dilakukan pada
Lebih terperinci6 ANALISIS KELAYAKAN USAHA PENGOLAHAN SURIMI
6 ANALISIS KELAYAKAN USAHA PENGOLAHAN SURIMI 6.1 Pendahuluan Industri surimi merupakan suatu industri pengolahan yang memiliki peluang besar untuk dibangun dan dikembangkan. Hal ini didukung oleh adanya
Lebih terperinciOleh: Rodianto Ismael Banunaek, peternakan, ABSTRAK
PENDEKATAN ANALISIS SWOT DALAM MANAJEMEN PEMELIHARAAN SAPI BALI PROGRAM BANTUAN SAPI BIBIT PADA TOPOGRAFI YANG BERBEDA DI KABUPATEN TIMOR TENGAH SELATAN NTT Oleh: Rodianto Ismael Banunaek, peternakan,
Lebih terperinciMETODE PENELITIAN. yang dikeluarkan selama produksi, input-input yang digunakan, dan benefit
III. METODE PENELITIAN Penelitian ini bersifat kuantitatif, yang banyak membahas masalah biayabiaya yang dikeluarkan selama produksi, input-input yang digunakan, dan benefit yang diterima, serta kelayakan
Lebih terperinciMETODE PENELITIAN. menganalisis data yang berhubungan dengan penelitian atau mencakup. yang berhubungan dengan tujuan penelitian.
III. METODE PENELITIAN A. Konsep Dasar dan Batasan Operasional Konsep dasar dan batasan operasional merupakan pengertian dan petunjuk mengenai variabel yang akan diteliti, serta penting untuk memperoleh
Lebih terperinciIV METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2. Jenis dan Sumber Data 4.3. Metode Pengolahan dan Analisis Data
IV METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Restoran Pastel and Pizza Rijsttafel yang terletak di Jalan Binamarga I/1 Bogor. Pemilihan tempat penelitian ini dilakukan
Lebih terperincipengembangan KERBAU KALANG SUHARDI, S.Pt.,MP Plasmanutfah Kalimantan Timur
pengembangan KERBAU KALANG SUHARDI, S.Pt.,MP Plasmanutfah Kalimantan Timur Latar Belakang 1. Kebutuhan konsumsi daging cenderung mengalami peningkatan sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk Indonesia
Lebih terperinciIV METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Metode Pengumpulan Data
IV METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan pada Laboratorium Percontohan Pabrik Mini Pusat Kajian Buah Tropika (LPPM PKBT) yang berlokasi di Tajur sebagai sumber informasi
Lebih terperinciMETODE PENELITIAN. ini yang dianalisis adalah biaya, benefit, serta kelayakan usahatani lada putih yang
III. METODE PENELITIAN A. Metode Dasar Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analisis, yang merupakan suatu metode penelitian yang ditujukan untuk menggambarkan
Lebih terperinciVII. ANALISIS KELAYAKAN ASPEK FINANSIAL
VII. ANALISIS KELAYAKAN ASPEK FINANSIAL Analisis finansial dilakukan untuk melihat sejauh mana Peternakan Maju Bersama dapat dikatakan layak dari aspek finansial. Untuk menilai layak atau tidak usaha tersebut
Lebih terperinciII. KERANGKA PEMIKIRAN
II. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis Kerangka pemikiran teoritis merupakan kumpulan teori yang digunakan dalam penelitian. Teori-teori ini berkaitan erat dengan permasalahan yang ada
Lebih terperinciPOTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK SAPI DI LAHAN PERKEBUNAN SUMATERA SELATAN
Lokakarya Pengembangan Sistem Integrasi Kelapa SawitSapi POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK SAPI DI LAHAN PERKEBUNAN SUMATERA SELATAN ABDULLAH BAMUALIM dan SUBOWO G. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian
Lebih terperinciMelinda Al Masyhur Mahasiswa Peternakan, Abdul Hamid Arsyad, Syamsul Bahri
EVALUASI PROGRAM PENGEMBANGAN SAPI POTONG MELALUI BANTUAN SOSIAL TERNAK DI KABUPATEN GORONTALO ABSTRAK Melinda Al Masyhur, Abdul Hamid Arsyad, Syamsul Bahri, Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat
Lebih terperinciMETODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober sampai dengan Desember 2014.
II. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober sampai dengan Desember 2014. Tempat Pengambilan sampel harga pokok produksi kopi luwak dilakukan di usaha agroindustri
Lebih terperinciANALISIS FINANSIAL UNIT PENAMPUNGAN SUSU DI KUD TANI WILIS KECAMATAN SENDANG KABUPATEN TULUNGAGUNG
ANALISIS FINANSIAL UNIT PENAMPUNGAN SUSU DI KUD TANI WILIS KECAMATAN SENDANG KABUPATEN TULUNGAGUNG Financial Analysis In Fresh Milk Collecting Unit Of Tani Wilis Dairy Cooperatives At Sendang Sub District
Lebih terperinciBudidaya Sapi Potong Berbasis Agroekosistem Perkebunan Kelapa Sawit ANALISIS USAHA Seperti telah dikemukakan pada bab pendahuluan, usaha peternakan sa
Kelayakan Usaha BAB V KELAYAKAN USAHA Proses pengambilan keputusan dalam menentukan layak tidaknya suatu usaha sapi potong dapat dilakukan melalui analisis input-output. Usaha pemeliharaan sapi potong
Lebih terperinciIV. METODE PENELITIAN
IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Peternakan Agrifarm, yang terletak di desa Cihideung Udik Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Pemilihan lokasi
Lebih terperinciANALISIS HASIL USAHA TERNAK SAPI DESA SRIGADING. seperti (kandang, peralatan, bibit, perawatan, pakan, pengobatan, dan tenaga
VI. ANALISIS HASIL USAHA TERNAK SAPI DESA SRIGADING A. Ketersediaan Input Dalam mengusahakan ternak sapi ada beberapa input yang harus dipenuhi seperti (kandang, peralatan, bibit, perawatan, pakan, pengobatan,
Lebih terperinciLampiran 1. Asumsi, Koefisien teknis dan Koefisien harga
58 Lampiran 1. Asumsi, Koefisien teknis dan Koefisien harga No Asumsi Volume Satuan 1 Dara bunting 4 bulan 4 Ekor 2 Bangunan Kandang Sapi 115,4 m2 3 Gudang Pakan 72 m2 4 Lahan 210 m2 5 Lahan kebun rumput
Lebih terperinciSISTEM PEMELIHARAAN TERNAK KERBAU DI PROPINSI JAMBI
SISTEM PEMELIHARAAN TERNAK KERBAU DI PROPINSI JAMBI BUSTAMI dan ENDANG SUSILAWATI Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi ABSTRAK Ternak kerbau mempunyai nilai sejarah kebudayaan masyarakat Jambi. Pada
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. hal ini dikarenakan munculnya kesadaran dari masyarakat mengenai pentingnya
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertanian organik kini mulai menjadi peluang baru dalam usaha pertanian, hal ini dikarenakan munculnya kesadaran dari masyarakat mengenai pentingnya mengonsumsi makanan,
Lebih terperinciIII KERANGKA PEMIKIRAN
III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Teori Manfaat dan Biaya Dalam menganalisa suatu usaha, tujuan analisa harus disertai dengan definisi-definisi mengenai biaya-biaya dan manfaat-manfaat.
Lebih terperinciNomor : Nama pewancara : Tanggal : KUESIONER PETERNAK SAPI BALI DI DESA PA RAPPUNGANTA KABUPATEN TAKALAR, SULAWESEI SELATAN
LAMPIRAN Lampiran 1. Form Kuesioner Wawancara Peternak Nomor : Nama pewancara : Tanggal : KUESIONER PETERNAK SAPI BALI DI DESA PA RAPPUNGANTA KABUPATEN TAKALAR, SULAWESEI SELATAN I. Identitas Responden
Lebih terperinciMETODE PENELITIAN. (2012) penelitian deskriptif adalah metode pencarian fakta dengan interpretasi
III. METODE PENELITIAN Penelitian tentang analisis kelayakan usahatani salak nglumut di Gapoktan Ngudiluhur dilakukan di Desa Kaliurang, Kecamatan Srumbung, Kabupaten Magelang. Penelitian ini menggunakan
Lebih terperinciIII. METODOLOGI PENELITIAN
46 III. METODOLOGI PENELITIAN A. Konsep Dasar dan Batasan Operasional Konsep dan batasan operasional merupakan pengertian dan petunjuk mengenai variabel yang akan diteliti untuk memperoleh dan menganalisis
Lebih terperinciIII. KERANGKA PEMIKIRAN
III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Studi Kelayakan Proyek Proyek adalah kegiatan-kegiatan yang dapat direncanakan dan dilaksanakan dalam suatu bentuk kesatuan dengan mempergunakan
Lebih terperinciKERANGKA PEMIKIRAN. Pada bagian ini akan dijelaskan tentang konsep dan teori yang
III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Konseptual Pada bagian ini akan dijelaskan tentang konsep dan teori yang berhubungan dengan penelitian studi kelayakan usaha pupuk kompos pada Kelompok Tani
Lebih terperinciDAFTAR ISI... SAMPUL DALAM. PERNYATAAN KEASLIAN KARYA SKRIPSI.. ABSTRACT... RINGKASAN... HALAMAN PERSETUJUAN.. TIM PENGUJI.. RIWAYAT HIDUP.
DAFTAR ISI ISI SAMPUL DALAM. PERNYATAAN KEASLIAN KARYA SKRIPSI.. ABSTRACT... ABSTRAK RINGKASAN... HALAMAN PERSETUJUAN.. TIM PENGUJI.. RIWAYAT HIDUP. KATA PENGANTAR. DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR
Lebih terperinciII TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perkembangan Domba di Indonesia
II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perkembangan Domba di Indonesia Daging domba merupakan salah satu sumber protein hewani yang cukup digemari oleh masyarakat Indonesia, disamping produk daging yang berasal dari
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Bergesernya pola hidup masyarakat secara global yang semakin hari
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Bergesernya pola hidup masyarakat secara global yang semakin hari semakin menginginkan pola hidup yang sehat, membuat adanya perbedaan dalam pola konsumsi
Lebih terperinciPENGANTAR EKONOMI VETERINER
PENGANTAR EKONOMI VETERINER Drh. Hj. Fitri Nursanti Poernomo, MSc, MBA. FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR PRINSIP EKONOMI DALAM KESEHATAN HEWAN Ekonomi selalu berhubungan dengan alokasi
Lebih terperinciIII. METODOLOGI PENELITIAN
36 III. METODOLOGI PENELITIAN A. Konsep Dasar dan Defenisi Operasional Konsep dasar dan defenisi operasional mencakup pengertian yang digunakan untuk memperoleh data dan melakukan analisis sehubungan dengan
Lebih terperinciV. PROFIL PETERNAK SAPI DESA SRIGADING. responden memberikan gambaran secara umum tentang keadaan dan latar
V. PROFIL PETERNAK SAPI DESA SRIGADING A. Karakteristik Responden Responden dalam penelitian ini adalah peternak yang mengusahakan anakan ternak sapi dengan jumlah kepemilikan sapi betina minimal 2 ekor.
Lebih terperinciV. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
V. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN A. Kesimpulan Secara umum kinerja produksi ternak sapi dan kerbau di berbagai daerah relatif masih rendah. Potensi ternak sapi dan kerbau lokal masih dapat ditingkatkan
Lebih terperinciBAB V KESIMPULAN DAN SARAN
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Pada akhirnya setelah penulis melakukan penelitian langsung ke perusahaan serta melakukan perhitungan untuk masing-masing rumus dan mencari serta mengumpulkan
Lebih terperinciIV. METODE PENELITIAN
IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di perusahaan peternakan sapi perah di CV. Cisarua Integrated Farming, yang berlokasi di Kampung Barusireum, Desa Cibeureum, Kecamatan
Lebih terperinciIII KERANGKA PEMIKIRAN
III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1 Studi Kelayakan Proyek Proyek merupakan suatu kegiatan untuk membangun sistem yang belum ada. Sistem dibangun dahulu oleh proyek, kemudian dioperasionalkan
Lebih terperinciII ASPEK PASAR DAN PEMASARAN
I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seiring perkembangan jaman dimana masyarakat mulai sadar akan pentingnya kebutuhan pangan yang harus terpenuhi. Salah satu faktor yang paling di lirik oleh masyarakat
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif
BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus dan data yang digunakan menggunakan kuantitatif
Lebih terperinciVII. ANALISIS FINANSIAL
VII. ANALISIS FINANSIAL Usaha peternakan Agus Suhendar adalah usaha dalam bidang agribisnis ayam broiler yang menggunakan modal sendiri dalam menjalankan usahanya. Skala usaha peternakan Agus Suhendar
Lebih terperinciIII. METODE PENELITIAN. Proses produksi kopi luwak adalah suatu proses perubahan berbagai faktor
III. METODE PENELITIAN A. Konsep Dasar dan Batasan Operasional Konsep dasar dan batasan operasional ini mencakup semua pengertian yang digunakan untuk memperoleh data yang akan dianalisis sesuai dengan
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA Peternakan Sapi Potong di Indonesia
TINJAUAN PUSTAKA Peternakan Sapi Potong di Indonesia Sapi lokal memiliki potensi sebagai penghasil daging dalam negeri. Sapi lokal memiliki kelebihan, yaitu daya adaptasi terhadap lingkungan tinggi, mampu
Lebih terperinciBAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Rancabungur, Desa Pasirgaok, Bogor,
26 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Rancabungur, Desa Pasirgaok, Bogor, Provinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi ini dilakukan dengan pertimbangan
Lebih terperinciIII. METODOLOGI PENELITIAN
16 III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Kerangka Pemikiran Usaha pengembangan kerupuk Ichtiar merupakan suatu usaha yang didirikan dengan tujuan untuk memanfaatkan peluang yang ada. Melihat dari adanya peluang
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Keadan Umum Lokasi Penelitian 1. Sejarah Singkat Lokasi Penelitian Pada tahun 2003 Desa Salilama dimekarkan menjadi tiga desa, dimana Salilama bagian selatan berdiri menjadi
Lebih terperinciIII. KERANGKA PEMIKIRAN. Menurut Kadariah (2001), tujuan dari analisis proyek adalah :
III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1 Analisis Kelayakan Investasi Pengertian Proyek pertanian menurut Gittinger (1986) adalah kegiatan usaha yang rumit karena penggunaan sumberdaya
Lebih terperinciIII. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Lampung Timur. Lokasi penelitian
36 III. METODOLOGI PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Lampung Timur. Lokasi penelitian dipilih secara purposive (sengaja) dengan pertimbangan bahwa daerah
Lebih terperinciV. HASIL DAN PEMBAHASAN. sampai dengan 30 tahun tergantung dengan letak topografi lokasi buah naga akan
V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Analisis Kelayakan Usahatani Buah Naga Buah naga merupakan tanaman tahunan yang sudah dapat berbuah 1 tahun sampai dengan 1,5 tahun setelah tanam. Buah naga memiliki usia produktif
Lebih terperinciBAB IV METODE PENELITIAN. dan data yang diperoleh. Penelitian ini disusun sebagai penelitian induktif yaitu
BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Jenis/Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif kuantitatif karena dalam pelaksanaannya meliputi data, analisis dan interpretasi tentang arti
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. Terletak LU dan LS di Kabupaten Serdang Bedagai Kecamatan
TINJAUAN PUSTAKA Geografi Desa Celawan a. Letak dan Geografis Terletak 30677 LU dan 989477 LS di Kabupaten Serdang Bedagai Kecamatan Pantai Cermin dengan ketinggian tempat 11 mdpl, dengan luas wilayah
Lebih terperinciIV METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2. Data dan Instrumentasi 4.3. Metode Pengumpulan Data
IV METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian mengambil tempat di kantor administratif Koperasi Peternak Sapi Bandung Utara (KPSBU) Jawa Barat yang berlokasi di Kompleks Pasar Baru Lembang
Lebih terperinciANALISIS FINANSIAL USAHA AGRIBISNIS PETERNAKAN SAPI DAGING (SUATU STUDI KASUS) RINGKASAN
ANALISIS FINANSIAL USAHA AGRIBISNIS PETERNAKAN SAPI DAGING (SUATU STUDI KASUS) I. G. P. BAGUS SUASTINA 1 DAN I. G. NGURAH KAYANA 2 1. Jurusan Ekonomi Umum, Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi 45 Mataram, Lombok,
Lebih terperinciIV METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu 4.2. Metode Pengambilan Responden 4.3. Desain Penelitian
IV METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan di Desa Blendung, Kecamatan Purwadadi, Kabupaten Subang, Provinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi ini ditentukan secara sengaja (purposive)
Lebih terperinciIII. KERANGKA PEMIKIRAN
III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoretis Kerangka pemikiran teoretis merupakan suatu penalaran peneliti yang didasarkan pada pengetahuan, teori, dalil, dan proposisi untuk menjawab suatu
Lebih terperinci