BAB 2 KAJIAN PUSTAKA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB 2 KAJIAN PUSTAKA"

Transkripsi

1 BAB 2 KAJIAN PUSTAKA 2.1 Empati Pengertian Empati Empati, secara harfiah, dalam bahasa Yunani, yaitu empatheia, dapat diartikan sebagai kekuatan untuk memahami hal di luar diri kita atau juga memiliki makna tersirat yang berarti perasaan batiniah (Woodruff, 2007). Definisi lain menyebutkan bahwa empati merupakan kapasitas mengambil peran orang lain dan mengadopsi perspektif orang lain yang kemudian dihubungkan dengan diri sendiri (Eisenberg, 2000). Empati, atau terkadang disebut sebagai Theory of Mind, juga di definiskan sebagai atribut dalam pikiran kita untuk memahami kondisi mental diri sendiri dan orang lain dengan cara menafsirkan, memprediksi, dan menjelaskan perilaku yang mendalam seperti memahami niat, keyakinan, ataupun keinginan (Zahavi, 2014). Sedangkan, menurut Blair (2007), empati adalah reaksi emosional; antara reaksi pengamat kepada kondisi afeksi individu lain. Teori lain yang juga mendukung, menjelaskan bahwa empati terdiri dari Empati kognitif yang mana individu merepresentasikan kondisi 9

2 mental orang lain, dan juga respons emosional kepada orang lain yang kongruen/ sama dengan reaksi emosional orang lain (Blair, 2007). Jadi, dari uraian-uraian tersebut, bisa dikatakan bahwa empati adalah kemampuan kognitif untuk memahami kondisi mental dan emosional orang lain. Walaupun, empati telah dijelaskan sebagai suatu fungsi kognitif, berbeda dengan Hoffman (2000) yang juga menjelaskan bahwa aspek afektif dalam empati juga sangat penting. Dalam bukunya yang berjudul Empathy and Moral Development (2000), menjelaskan bahwa empati adalah respon afektif yang mewakilkan perasaan orang lain. Menurutnya, empati merupakan keterlibatan dalam suatu proses psikologis yang membuat seseorang memiliki perasaan yang lebih kongruen/sama dengan mengintegrasikan situasi diri sendiri dari situasi orang lain (Hoffman, 2000). Teori lain yang juga mendukung, menjelaskan bahwa empati terdiri dari Empati kognitif yang mana individu merepresentasikan kondisi mental orang lain, dan juga respons emosional kepada orang lain yang kongruen/ sama dengan reaksi emosional orang lain (Blair, 2007). Sama halnya dengan Eisenberg (2000), bahwa ia juga menyatakan bahwa empati adalah sebuah respon afektif yang berasal dari penangkapan atau pemahaman keadaan emosi atau orang lain, dan yang mirip dengan perasaan orang lain; empati juga sebagai kemampuan 10

3 untuk meletakkan diri sendiri dalam posisi orang lain dan mampu menghayati pengalaman orang lain Faktor yang Mempengaruhi Empati Menurut Hoffman (1987), faktor-faktor yang empengaruhi seseorang menerima dan memberi empati adalah sebagai berikut : 1. Sosialisasi. Sosialisasi dapat mempengaruhi empati melalui permainan-permainan yang memberikan peluang kepada anak untuk mengalami sejumlah emosi, membantu untuk lebih berpikir dan memberikan perhatian kepada orang lain, serta lebih terbuka terhadap kebutuhan orang lain sehingga akan meningkatkan kemampuan berempatinya; 2. Mood dan Feeling. Apabila seseorang dalam situasi perasaan yang baik, maka dalam berinteraksi dan menghadapi orang lain ia akan lebih baik dalam menerima keadaan orang lain; 3. Proses belajar dan Identifikasi. Dalam proses belajar, seorang anak membutuhkan respon-respon khas, dari situasi yang khas, yang disesuaikan dengan pengaturan yang dibuat oleh orang tua atau orang yang mengendalikan lainnya. 4. Situasi atau Tempat. Pada situasi tertentu seseorang dapat berempati lebih baik dibandingkan dengan situasi 11

4 yang lain. Hal ini disebabkan situasi dan tempat yang berbeda dapat memberikan suasana yang berbeda pula. Suasana yang berbeda inilah yang dapat meninggirendahkan empati seseorang; 5. Pengasuhan. Lingkungan yang berempati dari suatu keluarga sangat membantu seseorang dalam menumbuhkan empati dalam dirinya. Seseorang yang dibesarkan dalam lingkungan rumah yang penuh cacian dan makian serta persoalan dapat dipastikan akan menumbuhkan empati buruk pula dalam diri seseorang Jenis-jenis Empati Para teoritikus kontemporer seperti Eisenberg (2000) dan Hoffman (2000) menyatakan bahwa empati terdiri atas dua aspek, diantaranya : 1. Aspek Kognitif Aspek kognitif sangat berhubungan dengan kemampuan seseorang untuk merepresentasikan keadaan mental orang lain, seperti pikiran orang lain, keinginan, niat, dan pengetahuan orang lain sehingga aspek kognitif memungkinkan seseorang mampu untuk menjelaskan dan memprediksikan tingkah laku seseorang (Blair, 2007). Hal ini menjelaskan bahwa proses kognitif 12

5 sangat berperan penting dalam proses empati (Hoffman, 2000). Hoffman mendefinisikan komponen kognitif sebagai kemampuan untuk memperoleh kembali pengalaman masa lalu dari memori dan kemampuan untuk memproses informasi semantik melalui pengalamanpengalaman. Eisenberg & Strayer (1987) menyatakan bahwa salah satu yang paling mendasar pada proses empati adalah pemahaman adanya perbedaan antara individu (perceiver) dan orang lain (Baron & Wheelwright, 2004). Dengan kata lain, adanya pemisahan antara perspektif sendiri, menghubungkan keadaan mental orang lain dan menyimpulkan isi dari kondisi mental mereka, serta mengingat kembali ketika hal yang sama terjadi (Baron & Wheelwright, 2004). Dalam proses kognitif, para ahli telah mengungkapkan bahwa terdapat sejumlah proses kognitif yang dilibatkan dalam empati. Dimana proses kognitif tersebut dijelaskan mulai dari tingkatan mekanisme kognitif sederhana sampai pada proses yang lebih kompleks (Davis, 1996; Hoffman, 2000). Tingkatan tersebut antara lain: (1) differentiation of the self from others (Eisenberg & Strayer, 1987); (2) the 13

6 differentiation of emotional state (Feshbach, 1978); (3) social referencing and emotional meaning (Eisenberg, 1986); (4) kemampuan untuk membedakan dan labeling different emotional states (Feshbach, 1978); dan (5) cognitive role taking ability (Hoffman, 2000). a. Differentiation of self from others Membedakan diri dengan yang lainnya, dimaksudkan sebagai membagikan respon emosional yang merefleksikan perasaan-perasaan orang lain sebagaimana perasaannya sendiri. b. The differentiation of emotional states Tingkatan ini merupakan tingkatan dimana seseorang mampu untuk mengenali dan mengingat bentuk-bentuk emosi yang berbeda-beda yang didasarkan pada perasaan dan bersifat situasional. c. Social referencing and emotional meaning Tingkatan ini merujuk kepada penelitian Eisenberg, dkk. (1997), yang menyatakan bahwa referensi sosial mulai muncul pada tahun usia anak. dimana ekspresi emosional orangtua menjadi penuntun atau contoh perilaku anak di dalam sejumlah situasi yang berbeda-beda, termasuk dalam berinteraksi dengan orang lain. 14

7 d. Labeling different emotional states Merujuk kembali pada penelitian Eisenberg, dkk. (1997), anak-anak sudah mampu menunjukkan sikap emosi dasar sesuai tanggapan si anak terhadap situasi yang ada di depannya. e. Cognitive role taking ability Menurut Hoffman (2000), cognitive role taking ability adalah tingkatan tertinggi dalam empati kognitif. Dimana kemampuan ini menempatkan diri sendiri ke dalam situasi orang lain dalam rangka untuk mengetahui secara tepat pikiran-pikiran dan atau perasaan orang tersebut. Sehingga, dibutuhkan kedalaman kognitif untuk mampu memahami perasaan-perasaan orang lain. Hoffman (2000) menyatakan terdapat dua tipe role taking, yaitu self focused yang berpusat pada diri sediri, dengan membayangkan dirinya sendiri berada pada kondisi orang lain dan merefleksikan bagaimana dia akan merasakan hal yang sama pada kondisi yang sedang dialami oleh orang tersebut; dan other focused, dimana seseorang memusatkan perhatiannya pada sifat-sifat dan situasi orang lain, sehingga dia bisa memastikan kondisi-kondisi 15

8 perasaan dan pikiran orang lain. Kedua bentuk roletaking tersebut pada tahap awal berguna untuk memproyeksikan diri (the self), dan kemudian memasuki perspektif orang lain. 2. Aspek Afektif Pada dasarnya, empati adalah sebuah pengalaman afektif (Hoffman, 2000). Respons emosional yang seolah-olah terjadi pada diri sendiri merupakan pusat dari pengalaman empati, dan proses-proses empati kognitif untuk mendukung atau menuju pengalaman afektif (Hoffman, 2000). Dalam aspek afektif, dibagi menjadi empat jenis empati afektif, yaitu: (1) perasaan pada pengamat harus sesuai dengan orang yang diamati; (2) perasaan pada pengamat sesuai dengan kondisi emosional orang lain namun dengan cara yang lain; (3) pengamat merasakan emosi yang berbeda dari emosi yang dilihatnya, disebut juga sebagai empati kontras; (4) perasaan pada pengamat harus menjadi satu untuk memberikan perhatian atau kasih sayang kepada penderitaan orang lain (Stotland; Sherman; Shaver; dan Batson dalam Baron & Wheelwright, 2004) Komponen-komponen dalam empati 16

9 Menurut Hoffman (1978 & 2000), proses empati yang berlaku dalam diri individu memiliki komponen-komponen di dalamnya. Dan berikut ini merupakan komponen empati yang terjadi pada individu : 1. Primitive Modes Komponen ini merupakan tingkatan yamg melibatkan proses kognitif dengan tingkat pemahaman yang sedikit. Tingkatan ini dibagi menjadi 3 jenis, yaitu : a. Mimicry (peniruan) Disebut sebagai peniruan emosi yang dilakukan oleh observer secara otomatis atau tidak dengan dibuat-buat. Biasanya berupa ekspresi wajah, suara, dan posisi tubuh; b. Classical conditioning Merupakan suatu cara dapat memunculkan respon empati degan cepat dan secara otomatis. Dalam hal ini, respon yang diberikan dari proses pembelajaran pada pengalaman masa lalu, yang memberikan pengaruh pada pengalaman saat ini. Kurang lebih seperti tinbal balik perasaan; c. Direct association Merupakan suatu proses yang berlaku apabila individu melihat situasi yang melibatkan emosi dan 17

10 perasaan kemudian mengingatkan si individu tersebut mengenai masa lalu nya. 2. Mature Modes Tingkatan ini melibatkan proses kognitif dengan tingkat pemahaman yang lebih tinggi dan matang. Biasanya tingkatan ini berkembang sesuai dengan perkembangan bahasa dan aspek kognitif individu. Tingkatan ini dibagi menjadi 2 jenis, yaitu : a. Languange mediated association Individu yang berada dalam jenis ini, biasanya mencetuskan empatinya melalui bahasa. Walaupun emosinya tidak dimunculkan secara langsung, namun melalui caranya berbicara, perasaan si individu akan terlihat. Melalui medium bahasa, individu akan membutuhkan kemampuan kognitif yang lebih tunggi berupa penafsiran bahasa dan proses memberikan penjelasan. b. Role taking Disebut juga sebagai pengambilan peranan, merupakan penggambaran perasaan empati yang berlaku apabila individu mengambil alih peranan melalui sudut pandang orang lain. Dalam role taking ini pun, dibagi menjadi 2 jenis, yaitu : 18

11 Self focused. Yaitu membayangkan seolah-olah dirinya sendiri yang mengalami permasalahan tersebut. Other focused. Yaitu membayangkan apa yang akan dialami oleh individu yang terlibat dalam situasi tersebut atau yang dialami oleh kebanyakan orang Tahap perkembangan empati Menurut Hoffman (2000), terdapat empat tahapan perkembangan empati, antara lain : 1. Global empathy Empati ini biasanya akan dirasakan oleh semua orang ketika diletakkan dalam sebuah situasi yang sama ketika ia baru saja dilahirkan. Empati ini tidak dapat dibedakan antara perspektif diri dan orang lain. Biasanya empati ini dialami oleh anak-anak yang baru lahir. 2. Egosentic empathy Empati ini terdapat pada anak yang berusia 6 bulan sampai dengan usia 1 tahun. Anak biasanya belum merasakan adanya ketakutan terhadap orang lain dan masih memiliki perspektif yang sama dengan orang lain. Anak masih belum mampu membedakan emosi 19

12 diri dan emosi orang lain tetapi tidak lagi dipengaruhi oleh emosi orang lain. Ketika seorang anak melihat emosi orang lain, mereka akan mengambilnya sebagai emosi miliknya kemudian berkelakuan seolah-olah dirinya sendiri yang mengalami situasi tersebut. 3. Empathy for another feelings Anak yang berusia 2 atau 3 tahun sudah mulai untuk mengambil peran yang telah ada, seperti merespon isyarat dari orang lain dengan berbagai respon emosi. Seorang anak akan mulai mengenal adanya perbedaan antara setiap individu termasuk emosi yang ia miliki dengan emosi yang orang lain miliki. 4. Empathy for another condition Setelah melewati tahapan anak-anak, seorang anak memasuki usia preadolescense. Biasanya seorang anak akan memiliki kesadaran tentang kehidupannya yang terjadi dalam sehari-hari. Mulanya, seorang anak akan memahami bahwa adanya perbedaan antara dirinya dengan orang lain ketika dihadapkan oleh situasi yang berbeda, maka akan mengasilkan emosi dan respon yang berbeda. Selain itu, kesadaran anak akan hal tersebut juga akan memberikan pemahaman baru, bahwa setiap respon 20

13 dalam situasi yang berbeda akan memberikan emosi yang berbeda pula kemudian menilai perasaan orang lain dengan menganalisis situasi yang terlibat atas seseorang secara konteks maupun hal yang melatarbelakangi Theory of Mind dalam Empati Theory of Mind (ToM) mengacu pada kemampuan kognitif yang menyimpulkan mengenai minat, niat, dan keyakinan bahwa diri sendiri dan orang lain memiliki keunikannya tersendiri ( Martin, dkk., 2013). Theory of Mind merupakan termasuk dalam bagian keterampilan berempatik, dimana ia berbicara mengenai sesuatu yang lebih luas lagi yang meliputi aspek emosional yang merupakan hasil dari penyimpulan atas pengalaman-pengalaman emosional yang lainnya (William & Wilkins, 2014). Beberapa ahli melihat empati sebagai proses kognitif yang menekankan kemampuan untuk terlibat dalam proses kognitif dengan perspektif psikologis individu lainnya (Wiliam & Wilkins, 2014). Proses inilah yang disebut sebagai ToM afektif atau ToM afektif kognitif (Wiliam & Wilkins, 2014). 21

14 Dengan kata lain, empati kognitif menggambarkan situasi dimana subjek merupakan individu aktif yang secara sengaja untuk melangkah di luar diri dan menjadi pengalaman yang lain (Wiliam & Wilkins, 2014). Wiliam & Wilkins (2014) telah membuat skema untuk memahami antara Empati dengan ToM, berikut adalah skemanya : Empati Empati Kognitif Empati Emosi ToM Kognitif ToM Afektif Simulasi Dalam skema tersebut, menurut Wiliam & Wilkins (2014), Empati terdiri dari Empati kognitif dan Emosioanl Empati (Empati Emosi). Empati kognitif adalah proses empati yang melibatkan proses kognitif untuk pengambilan persepsi antara diri dengan orang lain. Empati kognitif dibagi lagi menjadi ToM kognitif, yaitu melibatkan bagaimana individu untuk memahami niat, hasrat, dan keyakinan orang lain; sedangkan ToM afektif melibatkan individu untuk berpikir mengenai perasaan orang lain. 22

15 Sedangkan empati emosi merupakan simulasi dari individu untuk membedakan atas pengalaman yang terjadi pada dirinya dengan orang lain sehingga hal itulah yang membuatnya berbeda dengan orang lain; selain itu, empati emosi melalui proses simulasi, juga termasuk kedalam komponen motor dan persepsi atau bisa dikatakan sebagai resonansi empati (Wiliam & Elkins, 2014). 2.2 Skizofrenia Pengertian Skizofrenia Skizofrenia merupakan suatu deskripsi sindrom dengan variasi penyebab dan perjalanan penyakit (tidak selalu bersifat kronis) yang luas, serta sejumlah akibat yang tergantung pada perimbangan pengaruh genetik, dan sosial-budaya (PPDGJ III, 2002). Durand & Barlow (2014) menyatakan bahwa skizofrenia adalah sindrom kompleks dan memiliki dampak buruk bagi orang yang terkena maupun keluarga orang dengan skizofrenia tersebut; dimana gangguan ini dapat mengganggu persepsi, cara berpikir, berbicara, dan gerakan. Skizofrenia juga merupakan sebuah sindroma kompleks yang mau tak mau menimbulkan efek merusak pada kehidupan penderita maupun anggota-anggota keluarganya (Durand & Barlow, 2014). Sedangkan menurut Levine & Levine (2009), skizofrenia adalah gangguan otak yang 23

16 ditandai dengan berbagai macam gejala, yang mempengaruhi cara suatu individu untuk berpikir dan bertindak. Gejala skizofrenia terlihat saat Orang Dengan Skizofrenia mengalami kesulitan untuk membedakan mana yang nyata dan tidak nyata; mereka tidak dapat sepenuhnya mengontrol emosi dan sulit berpikir logis; dan mereka memiliki kesulitan untuk berhubungan sosial; mereka juga terkadang mendapatkan halusinasi sehingga banyak perilaku aneh yang muncul dalam setiap tindakan mereka yang disebabkan oleh pikiran-pikiran mereka (Levine & Levine, 2009). Menurut Cancro & Lehmann (2000), Orang Dengan Skizofrenia kronis, cendrung menunjukkan penampilan fisik yang terabaikan. Mereka menunjukkan pribadi yang mencoba untuk menarik diri dari lingkungan masyarakat. Mereka dapat menunjukkan emosional dengan orang lain, namun memiliki kesulitan dalam mengkomunikasikan emosionalnya, sehingga orang lain cenderung sulit untuk mengerti apa yang ingin disampaikan oleh Orang Dengan Skizofrenia. Cancro & Lehmann, 2000). Cancro & Lehmann (2000), menjelaskan bahwa ciri umum pasien skizofrenia yaitu hilangnya batasan ego dalam diri mereka. Pasien skizofrenia mengalami kesulitan untuk menentukan dalam menempatkan diri kepada lingkungan luar. Hal inilah yang sering 24

17 membuat mereka rentan dalam menyalahartikan peristiwa eksternal yang terjadi pada mereka.. Davison (2004) menjelaskan Skizofrenia lebih rinci lagi, ia mengatakan bahwa ciri-ciri dari masing-masing tie skizofrenia yaitu: 1) Skizofrenia paranoid seperti memiliki perasaan curiga, dan cenderung bermusuhan, dsb.; 2) Skizofrenia katatonik dengan ciri seperti patung, tidak makan, tidak minum, dsb.; 3) Skizofrenia tidak terorganisasi seperti perilaku kacau, pembicaraan yang tidak koheren, halusinasi, afek datar/ tidak sesuai. Adapun yang termasuk ke dalam spektrum skizofrenia diantaranya adalah gangguan skizoafektif, gangguan delusional, Brief Psychotic Disorder, Shared Psychotic Disorder, gangguan psikotik, dan gangguan psikotik yang lainnya. (DSM V, 2013) Gejala-gejala Skizofrenia Skizofrenia umumnya ditandai oleh distorsi pikiran dan persepsi yang mendasar dan khas, oleh afek yang tidak wajar (inappropriate) atau tumpul (blunted). Pikiran, perasaan dan perbuatan yang paling intim/mendalam sering terasa diketahui oleh orang lain, dan waham-waham yang timbul, yang menjelaskan bahwa kekuatan alami dan supranatural yang sedang bekerja mempengaruhi pikiran dan perbuatan penderita dengan cara-cara yang sering tidak masuk akal. Individu mungkin menganggap dirinya sebagai pusat segalanya yang terjadi. 25

18 Halusinasi, terutama auditorik, biasa dijumpai dan mungkin memberi komentar tentang perilaku pikiran individu penderita. Indikator preskizofrenia antara lain ketidakmampuan seseorang mengekspresikan emosi: wajah dingin, jarang tersenyum, acuh tak acuh. Penyimpangan komunikasi: pasien sulit melakukan pembicaraan terarah, kadang menyimpang atau berputar-putar. Gangguan atensi: penderita tidak mampu memfokuskan, mempertahankan, atau memindahkan atensi. Gangguan perilaku: menjadi pemalu, tertutup, menarik diri secara sosial, tidak bisa menikmati rasa senang, menantang tanpa alasan jelas, mengganggu dan tidak disiplin (WHO, 1993). Sedangkan menurut PPDGJ III (2002), ditandai oleh penyimpangan yang fundamental dan karakteristik dari pikiran dan persepsi, serta oleh afek yang tidak wajar dan tumpul. Kesadaran yang jernih dan kemampuan intelektual biasanya tetap terpelihara, walaupun kemunduran kognitif tertentu dapat berkembang kemudian. Definisi lain menurut DSM V, menjelaskan bahwa skizofrenia adalah gangguan yang berlangsung selama minimal 6 bulan atau setidaknya 1 bulan gejala aktif seperti delusi, halusinasi, bicara tidak tteratur, dan perilaku tidak teratur atau katatonik. Menurut Durand & Barlow (2014), dalam bukunya yang berjudul Psikologi Abnormal menjelaskan bahwa skizofrenia 26

19 memiliki gejala positif, gejala negatif, dan gejala-gejala disorganisasi: 1. Gejala Positif Gejala positif meliputi manifestasi-manifestasi yang lebih aktif dari perilaku abnormal, atau ekses atau distorsi dari perilaku normal; ini termasuk delusi dan halusinasi (Amerian Psychiatric Association, 2013). a. Delusi Keyakinan yang oleh kebanyakan anggota masyarakat dianggap sebagai misinterpretasi terhadap realitas disebut delusi. Karena pentingnya delusi dalam skizofrenia, delusi dianggap sebagai ciri dasar kegilaan (Jaspers, 1963). Misalnya, jika ada yang menganggap tupai adalah alien yang dikirim ke Bumi untuk misi mata-mata, maka ia akan dianggap delusional. b. Halusinasi Halusinasi dianggap sebagai pengalaman kejadian sensorik tanpa input dari lingkungan sektira. Seperti merasa seseorang memanggil nama kita, lalu kita tidak menemukan seorangpun disekitar kita. 2. Gejala Negatif 27

20 Gejala-gejala negatif melibatkan defisit dalam perilaku abnormal, misalnya dalam hal pembicaraan dan motivasi. a. Avolisi Merupakan ketidakmampuan untuk memulai atau mempertahanan berbagai macam kegiatan. Orang dengan skizofrenia menunjukkan minat rendah untuk melakukan sesuatu, bahkan fungsi dasar sehari-hari, termasuk kesehatan pribdi. b. Alogia Mengacu pada relatif ketiadaan pembicaraan. Orang dengan alogia mungkin merespons pertanyaan dengan jawaban pendek yang isinya terbatas dan mungkin tampak tidak tertarik untuk bercakapcakap. c. Anhedonia Anhedonia merupakan ketiadaan perasaan senang. Seperti halnya beberapa macam gangguan suasana perasaan, anhedonia memberikan isyarat sikap tidak peduli terhadap kegiatan yang biasanya dianggap menyenangkan. d. Pendataran Afek 28

21 Pendataran afek merupakan salah satu ciri bagi penderita skizofrenia, dimana penderita skizofrenia tidak bisa memberikan renspon emosional secara aktif, walaupun kita dapat mengajak mereka berbicara. 3. Gejala-gejala disorganisasi Mungkin, gejala skizofrenia yang paling sedikit diteliti dan paling sedikit diketahui adalah disorganized symptoms (gejala-gejala disorganisasi). Gejala ini mmeliputi berbagai macam perilaku eratik yang mempengaruh pembicaraan, perilaku motorik, dan reaksi emosional. Davison (2004) juga menjabarkan episode-episode pada penderita skizfrenia, antara lain : 1. Fase Prodormal, yaitu fase penurunan. Ditandai dengan berkurangnya minat dalam aktivitas sosial, kesulitan memenuhi tanggung jawab, kurang peduli penampilan, perilaku aneh, penurunan performa kerja, dan melantur; 2. Fase Akut, yaitu perilaku semakin aneh. Ditandai dengan menimbun makanan, samah, bicara sendiri, halusinasi, dan waham; 29

22 3. Fase Residual, yaitu perilaku kembali pada tingkat sebelumnya. Ditandai dengan perasaan apatis, kesulitan berpikir, kesulitan berbicara jelas, dan menympan ide yang tidak biasa Etiologi Kebanyakan ilmuan berpikir bahwa skizofrenia disebabkan karena terdapat masalah dalam perkembangan otak yang menghasilkan ketidakseimbangan neurokimia meskipun tidak ada yang sepenuhnya mengerti bagaimana hal itu dapat berkembang di dalam otak seseorang (Levine & Levine, 2009). Kaplan & Sadock (2000) menduga bahwa penyebab dari skizofrenia adalah faktor genetik; faktor biologis seperti tingginya tingkat dopamin, serotonin, dan neuroimunovirologis. Selain itu, penyebab skizofrenia bisa juga disebabkan karena adanya efek dari zat adiktif, dan juga oleh faktor lingkungan walaupun belum mampu sepenuhnya dijelaskan oleh para peneliti (Tsuang, 2000). Namun berdasarkan referensi yang peneliti temukan, bahwa skizofrenia disebabkan oleh beberapa faktor, seperti faktor selama masa perkembangan, disebabkan karena adanya pengaruh genetik, pengaruh neurobiologis, serta pengaruh psikososial. (Durand & Barlow, 2014) 1. Faktor Perkembangan 30

23 Skizofrenia pada umumnya muncul pada usia dewasa awal. (Durand & Barlow, 2014). Karena, mungkin saja, bahwa terjadinya kerusakan otak pada periode perkembangan awal (berdasarkan penelitian dari McNeil, Cantor-Grae, dan Weinberger, 2001 dalam Durand & Barlow, 2014). 2. Faktor Genetik Skizofrenia melibatkan lebih dari satu gen, dimana hal ini dinamakan quantitative trait loci. Oleh karena itu, semakin banyaknya jumlah anggota keluarga, maka kemungkinan individu dapat terkena skizofrenia pun akan besar (Levinsonn, dkk., 1998; Plomin, Owen, dan McGuffi, 1994, dalam Durand & Barlow, 2014). Hal itulah yang mengklarifikasikan kenapa adanya gradasi tingkat keparahan pada orang-orang yang mengalami gangguan ini (dari yang berat sampai ringan) dan mengapa resiko untuk skizofrenia semakin tinggi (Durand & Barlow, 2014). Faktor Neurobiologis Dopamin merupakan neurotransmiter pertama yang berkontribusi terhadap gejala skizofrenia, yaitu melalui jalur mesolimbik, mesokorteks, nigrostriatal, dan tuberoinfundibuler (Kaplan & Sadock, 2000). Hampir semua obat antipsikotik menyekat reseptor dopamin D 2 31

24 untuk meredakan gejala psikotik (Kaplan dan Sadock, 2000). Selain faktor dopamin, terdapat juga faktor kerusakan pada bagian otak. dimana dalam penelitian Cleghorn & Albert (1990), orang dewasa yang memiliki skizofrenia memperlihatkan defisit dalam kemampuan untuk melaksanakan tugas-tugas tertentu dan untuk memusatkan perhatian (Durand & Barlow, 2014). Yang terakhir, kemungkinan besar terdapat infeksi virus dalam diri seseorang. Walaupun masih sekedar hipotesis dan belum adanya bukti kuat yang mendukung, tetapi adanya indikasi bahwa penyakit seperti virus yang menyebabkan kerusakan otak pada janin kelak dapat mengakibatkan gejala-gejala skizofrenia, sehingga itulah yang memberikan jawaban kenapa penderita skizofrenia menunjukkan tingkah laku seperti itu (Durand & Barlow, 2014). 3. Pengaruh Psikososial Dalam bukunya, Durand & Barlow (2014) mengatakan bahwa skizofrenia juga bisa disebabkan karena adanya stressor atau pemicu stress, sehingga menjadi pemicu skizofrenia. Dan apabila penderita skizofrenia telah dinyatakan sembuh, akan ada kemungkinannya mereka 32

25 dapat mengalami kekambuhan (relaps). Seperti penelitian yang dilakukan oleh Ventura, dkk. (2000), menunjukkan hasil bahwa kejadian hidup yang stres dapat meningkatkan depresi di kalangan penderita skizofrenia, yang pada gilirannya mungkin memberikan kekambuhan (Durand & Barlow, 2014). Selain karena adanya pemicu stress, faktor keluarga pun akan menyebabkan seseorang menjadi penderita skizofrenia. Berdasarkan teori dari Fromm-Reichman (1948) yang menggunakan istilah schizophrenogenic mother, dimana istilah ini digunakan untuk mendeskripsikan tentang ibu yang memiliki sikap yang dingin, dominan, dan penolak, sehingga menjadi penyebab skizofrenia pada anak-anaknya (Durand & Barlow, 2014). Di dukung juga oleh penelitian Tsuang (2000), dalam penelitiannya dijelaskan bahwa sangat mungkin faktor lingkungan akan berinteraksi dengan faktor genetik yang kemudian menghasilkan gangguan skizofrenia. 2.3 Empati pada Skizofrenia Hal yang mendasari kenapa Orang Dengan Skizofrenia kesulitan dalam berhubungan sosial, mungkin bisa dikatakan bahwa hal itu 33

26 dikarenakan terjadinya defisit empati yang terjadi dalam diri mereka (Lee, 2007). Atau bisa jadi sebaliknya, Orang Dengan Skizofrenia mungkin saja sulit bersosialisasi karena gangguannya yang membuatnya untuk tidak mampu mewakili apa yang orang lain pikirkan dan rasakan (Stanghellini, 2000). Selain itu, Stanghellini (2000) juga melanjutkan, defisit empati mungkin mendasari gangguan fungsi sosial bagi penderita skizofrenia, misalnya menengahi pemahaman orang lain dalam interaksi sosial; mensimulasi pikiran orang dan perasaan orang lain ke dalam dirinya, hal ini bisa juga, dalam artian lain, disebut gangguan attunement intuitif, atau defisit dalam hubungan dengan orang lain. Penelitian yang dilakukan oleh Bora, dkk., (2008) juga turut menerangkan bahwa orang skizofrenia mengalami defisit empati yang bisa dikatakan parah dan memiliki kesenjangan yang serius antara diri dengan keterampilan berempatik. Maka, dalam sub bab ini, terdapat 3 aspek yang akan dibahas untuk memahami empati pada Orang Dengan Skizofrenia. Dimana aspek-aspek tersebut antara lain adalah aspek empati motorik, aspek empati afektif, dan aspek empati kognitif Aspek Empati Motorik pada Skizofrenia Menurut Hoffman (1978), aspek motorik dalam empati disebut juga sebagai Motor Mimicry, dimana konsep motor mimicry ini juga termasuk ke dalam primitif empati. Hoffman (1978), menyebutkan bahwa motor mimicry merupakan peniruan 34

27 emosi yang kemudian dimanifestasikan ke dalam bentuk afek atau ekspresi wajah, suara, atau gestur tubuh. Pada orang normal, menggunakan afek wajah untuk menunjukkan empati (mimicry), mungkin bisa dikatakan mudah (Blair, 2007). Mungkin akan menunjukkan hal yang berbeda jika dibandingkan dengan Orang Dengan Skizofrenia. Penelitian yang dilakukan oleh Germeys, dkk., (2000), menyatakan bahwa Orang Dengan Skizofrenia memiliki afek datar. Selain itu, penelitian-penelitian lainnya juga sudah menyebutkan bahwa Orang Dengan Skizofrenia memiliki defisit afek wajah, sehingga menunjukkan bahwa ekspresi mereka terlihat datar (Bozikas, dkk., 2004 & Lee, 2007). Haker & Rossler (2000), melakukan penelitian mengenai resonansi empatik pada Orang Dengan Skizofrenia, menunjukkan hasil bahwa resonansi empatik pada Orang Dengan Skizofrenia cenderung rendah. Dimana resonansi empati adalah fenomena dimana satu orang secara sadar mampu mencerminkan tindakan motorik sebagai dasar dari ekspresi emosi orang lain (Haker & Rossler, 2000). Dalam penelitiannya, Haker & Rossler (2000) merekam kegiatan pasien skizofrenia (43 orang) dan orang normal dengan jenis kelamin dan usia yang sama (45 orang). Hasilnya, individu dengan skizofrenia menunjukkan penularan empati yang lebih rendah dalam tingkah laku menguap/bosan dan tertawa. 35

28 Rendahnya tingkat penularan ini, berkorelasi dengan skizofrenia sindrom negatif dan ketidak-berfungsian fungsi sosial (Haker & Rossler, 2000). Mereka Haker & Rossler (2000) menyimpulkan bahwa gangguan resonansi adalah kecacatan bagi Orang Dengan Skizofrenia dalam kehidupan sosialnya. Lebih lanjut, penelitian dari Germeys dkk., juga kembali diperdalam oleh Horan, dkk., (2014), dimana saat dilakukan pemeriksaan fmri pada Orang Dengan Skizofrenia, Horan, dkk., menemukan bahwa terjadi kegagalan antara hubungan aktifitas saraf pada Orang Dengan Skizofrenia. Sehingga, hasil pemeriksaan itu menunjukkan bahwa Orang Dengan Skizofrenia mengalami penurunan empati dalam menunjukkan ekspresi wajah. Padahal, identifikasi afek wajah merupakan proses empati paling mendasar bagi suatu individu (Goldman, 2006) Aspek Empati Afektif pada Skizofrenia Singkatnya, empati merupakan pengalaman afektif dalam suatu individu, oleh karena itu kenapa empati masuk ke dalam aspek afektif (Hoffman, 2000). Namun, beberapa penelitian yang dilakukan pada Orang Dengan Skizofrenia menunjukkan beberapa hasil yang menyebutkan bahwa aspek empati afektif pada Orang Dengan Skizofrenia dengan individu normal cenderung berbeda. Misalnya, penelitian yang dilakukan oleh Lee (2007) yang menunjukkan hasil bahwa Orang Dengan Skizofrenia memiliki 36

29 perasaan untuk mengatur interaksi sosial yang tumpul, dan tanggapan afektif yang muncul dari situasi sosial sering tidak sesuai. Tetapi, muncul hasil penelitian yang menarik yang dilakukan oleh Corbera, dkk., (2013) melakukan penelitian untuk mengukur kognitif sosial, fungsi sosial, kualitas hidup, dan neurokognisi pada penderita skizofrenia. Hasilnya, dalam penelitian mereka Orang Dengan Skizofrenia menunjukkan tiga faktor dalam keberfungsian sosialnya, yaitu hubungan interpersonal, kognisi sosial dasar, dan empati. Dari hasil yang ditunjukkan itu, kelompok Orang Dengan Skzofrenia memiliki hubungan interpersonal dan kognisi sosial yang dasar. Namun, Orang Dengan Skizofrenia memiliki level empati yang sama dengan kelompok kontrol. Hal ini menunjukkan, secara sosial Orang Dengan Skizofrenia mungkin memiliki hubungan yang kurang lancar, namun dalam hal empati, Orang Dengan Skzofrenia memiliki tingkat empati yang sama. (Corbera, dkk., 2013). Selain itu, penelitian dari Corbera, dkk., ini pun juga turut didukung oleh beberapa penelitian lainnya. Seperti yang pernah diteliti oleh Michaels, dkk., (2014), yang menunjukkan hasil bahwa walaupun Orang Dengan Skizofrenia memiliki empati kognitif yang rendah, tetapi Orang Dengan Skizofrenia memiliki 37

30 empati afektif yang lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol (dalam hal ini, kelompok kontrol merupakan individu normal). Bahkan, penelitian lebih lanjut dengan metode yang sama, menunjukkan beberapa bukti bahwa beberapa aspek empati mungkin utuh atau memiliki tingkat responsif yang lebih tinggi pada Orang Dengan Skizofrenia (Horan, dkk., 2015). Begitupun hasil penelitian yang dilakukan oleh Lehman, dkk., (2014) yang menjelaskan bahwa Orang Dengan Skizofrenia memang menunjukkan terjadinya gangguan pada empati kognitif. Tetapi dalam lain hal, Orang Dengan Skizofrenia juga mempertahankan empati emosional atau afektif (Lehman, dkk., 2014) Aspek Empati Kognitif pada Skizofrenia Walaupun empati merupakan bagian dari aspek afektif, tetapi respons emosional yang seolah-olah terjadi pada diri sendiri merupakan pusat dari pengalaman empati, dan proses-proses kognitif untuk mendukung atau menuju pengalaman afektif (Hoffman, 2000). Oleh karena itu, aspek kognitif berperan penting dalam kemampuan individu dalam berempati (Baron & Wheelwright, 2004). Oleh karena itu, bisa dikatakan bahwa Orang Dengan Skizofrenia secara otomatis akan mengalami defisit empati pada aspek kognitifnya (Lee, 2007). 38

31 Preston & De Waal (2002) dalam penelitiannya yang mengkaji empati melalui gambaran neuro dan fungsi otak, menemukan bahwa pada individu normal: 1) bagian Amigdala, cingulata, dan orbitoforontal korteks melibatkan persepsi dan regulasi emosi; sedangkan 2) dorsolateral dan daerah prefrontal ventromedial terlibat dalam memegang dan memanipulasi informasi. Amigdala, frontal orbital, dan wilayah ventrolateral juga pernah dijelaskan oleh Blair (2007) sebagai rute-rute penyampaian informasi dalam pengelolahan emosional wilayah tersebut sebagai mediasi pada pemahaman emosional tentang objek atau bagaimana caranya memulai respon. Sedangkan, yang terjadi pada Orang Dengan Skizofrenia, bahwa mereka menunjukkan adanya penurunan aktivasi pada amigdala dan menunjukkan kurangnya aktivasi pada korteks prefrontal kiri (Gur, dkk., 2002). Bahkan, dalam penelitian yang dilakukan oleh Schaub (2013) juga turut mendukung penelitian dari Preston & De Waal. Penelitian Schaub, dkk., adalah sebuah penelitian yang membandingkan Orang Dengan Skizofrenia dengan orang yang mengalami gangguan depresif. Hasilnya, secara gambaran neuro, orang dengan gangguan depresif menunjukkan memori jangka pendek verbal dan visual, lisan, visual-motorik, pengolahan informasi fungsi visual-verbal dan perhatian selektif yang lebih 39

32 baik dibandingkan dengan Orang Dengan Skizofrenia (Schaub, 2013). Namun, penelitian yang dilakukan oleh Lee, dkk., (2006), menujukkan hasil yang berbeda: dimana dalam penelitiannya, menunjukkan bahwa bagian korteks prefrontal pada orang dengan skizofrenia episode akut mengalami perbaikan. Dalam penelitiannya, pasien Skizofrenia Episode Akut menjalani pemeriksaan fungsi otak dengan menggunakan fmri; sehingga terlihat bahwa pada bagian otak tertentu mengalami perbaikan Dimana hal itu sangat berkorelasi dengan peningkatan pemahaman dan fungsi sosial (Lee, dkk., 2006). Oleh karena itu, pola penurunan empati atau defisit empati sebenarnya tergantung pada bentuk simptom dan juga pada jenis skizofrenia tertentu, seperti: Skizofrenia dengan gangguan pada motorik (Katatonik), Disorganization, dan skizofrenia dengan halusinasi dan delusi (Lee, 2007). 40

BAB 1 PENDAHULUAN. Empati, secara harfiah, dalam bahasa Yunani, yaitu empatheia,

BAB 1 PENDAHULUAN. Empati, secara harfiah, dalam bahasa Yunani, yaitu empatheia, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Empati, secara harfiah, dalam bahasa Yunani, yaitu empatheia, dapat diartikan sebagai kekuatan untuk memahami hal di luar diri kita atau juga memiliki makna tersirat

Lebih terperinci

Modul ke: Pedologi. Skizofrenia. Fakultas PSIKOLOGI. Maria Ulfah, M.Psi., Psikolog. Program Studi Psikologi.

Modul ke: Pedologi. Skizofrenia. Fakultas PSIKOLOGI. Maria Ulfah, M.Psi., Psikolog. Program Studi Psikologi. Modul ke: Pedologi Skizofrenia Fakultas PSIKOLOGI Maria Ulfah, M.Psi., Psikolog Program Studi Psikologi www.mercubuana.ac.id SCHIZOPHRENIA Apakah Skizofrenia Itu? SCHIZOS + PHREN Gangguan jiwa dimana penderita

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Skizofrenia adalah suatu penyakit yang mempengaruhi otak dan menyebabkan timbulnya pikiran, persepsi, emosi, gerakan dan perilaku yang aneh dan terganggu. Penyakit ini

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. dengan karakteristik berupa gangguan pikiran (asosiasi longgar, waham),

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. dengan karakteristik berupa gangguan pikiran (asosiasi longgar, waham), BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA Skizofrenia adalah suatu kumpulan gangguan kepribadian yang terbelah dengan karakteristik berupa gangguan pikiran (asosiasi longgar, waham), gangguan persepsi (halusinasi), gangguan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORI

BAB II TINJAUAN TEORI 2.1 Gangguan Jiwa BAB II TINJAUAN TEORI 2.1.1 Pengertian Gangguan Jiwa Gangguan jiwa merupakan perubahan sikap dan perilaku seseorang yang ekstrem dari sikap dan perilaku yang dapat menimbulkan penderitaan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Halusinasi adalah gangguan terganggunya persepsi sensori seseorang,dimana tidak terdapat stimulus. Pasien merasakan stimulus yang sebetulnya tidak ada. Pasien merasa

Lebih terperinci

BAB II KONSEP DASAR A. PENGERTIAN. Halusinasi adalah suatu persepsi yang salah tanpa dijumpai adanya

BAB II KONSEP DASAR A. PENGERTIAN. Halusinasi adalah suatu persepsi yang salah tanpa dijumpai adanya BAB II KONSEP DASAR A. PENGERTIAN Halusinasi adalah suatu persepsi yang salah tanpa dijumpai adanya rangsang dari luar. Walaupun tampak sebagai sesuatu yang khayal, halusinasi sebenarnya merupakan bagian

Lebih terperinci

Skizofrenia. 1. Apa itu Skizofrenia? 2. Siapa yang lebih rentan terhadap Skizofrenia?

Skizofrenia. 1. Apa itu Skizofrenia? 2. Siapa yang lebih rentan terhadap Skizofrenia? Skizofrenia Skizofrenia merupakan salah satu penyakit otak dan tergolong ke dalam jenis gangguan mental yang serius. Sekitar 1% dari populasi dunia menderita penyakit ini. Pasien biasanya menunjukkan gejala

Lebih terperinci

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2010 GAMBARAN POLA ASUH

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2010 GAMBARAN POLA ASUH GAMBARAN POLA ASUH PENDERITA SKIZOFRENIA Disusun Oleh: Indriani Putri A F 100 040 233 FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2010 GAMBARAN POLA ASUH BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Lebih terperinci

GANGGUAN PSIKOTIK TERBAGI. Pembimbing: Dr. M. Surya Husada Sp.KJ. disusun oleh: Ade Kurniadi ( )

GANGGUAN PSIKOTIK TERBAGI. Pembimbing: Dr. M. Surya Husada Sp.KJ. disusun oleh: Ade Kurniadi ( ) GANGGUAN PSIKOTIK TERBAGI Pembimbing: Dr. M. Surya Husada Sp.KJ disusun oleh: Ade Kurniadi (080100150) DEPARTEMEN ILMU KEDOKTERAN JIWA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA RUMAH SAKIT JIWA PROVINSI

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 SKIZOFRENIA Skizofrenia adalah suatu gangguan psikotik dengan penyebab yang belum diketahui yang dikarakteristikkan dengan gangguan dalam pikiran, mood dan perilaku. 10 Skizofrenia

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. pengamatan terhadap suatu objek tertentu (Wahid, dkk, 2006).

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. pengamatan terhadap suatu objek tertentu (Wahid, dkk, 2006). 7 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengetahuan (Knowledge) 2.1.1 Pengertian Pengetahuan Pengetahuan adalah hasil dari mengingat suatu hal. Dengan kata lain, pengetahuan dapat diartikan sebagai mengingat suatu

Lebih terperinci

BAB II KONSEP DASAR. serta mengevaluasinya secara akurat (Nasution, 2003). dasarnya mungkin organic, fungsional, psikotik ataupun histerik.

BAB II KONSEP DASAR. serta mengevaluasinya secara akurat (Nasution, 2003). dasarnya mungkin organic, fungsional, psikotik ataupun histerik. BAB II KONSEP DASAR A. Pengertian Persepsi ialah daya mengenal barang, kwalitas atau hubungan serta perbedaan antara suatu hal melalui proses mangamati, mengetahui dan mengartikan setelah panca indranya

Lebih terperinci

GAMBARAN POLA ASUH KELUARGA PADA PASIEN SKIZOFRENIA PARANOID (STUDI RETROSPEKTIF) DI RSJD SURAKARTA

GAMBARAN POLA ASUH KELUARGA PADA PASIEN SKIZOFRENIA PARANOID (STUDI RETROSPEKTIF) DI RSJD SURAKARTA GAMBARAN POLA ASUH KELUARGA PADA PASIEN SKIZOFRENIA PARANOID (STUDI RETROSPEKTIF) DI RSJD SURAKARTA SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Mencapai Derajat Sarjana S-1 Keperawatan Disusun

Lebih terperinci

tuntutan orang tua. Hal ini dapat menyebabkan anak mulai mengalami pengurangan minat dalam aktivitas sosial dan meningkatnya kesulitan dalam memenuhi

tuntutan orang tua. Hal ini dapat menyebabkan anak mulai mengalami pengurangan minat dalam aktivitas sosial dan meningkatnya kesulitan dalam memenuhi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di dalam kehidupan sehari-hari sering ditemukan orang-orang yang memiliki gangguan komunikasi, halusinasi dan delusi yang berlebihan, salah satu diantaranya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada bab satu, telah dijelaskan mengenai latar belakang permasalahan dan tujuan dari penelitian ini. Oleh karena itu, pada bab dua akan diberikan penjelasan mengenai definisi dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Skizofrenia adalah gangguan mental yang sangat berat. Gangguan ini ditandai dengan gejala-gejala positif seperti pembicaraan yang kacau, delusi, halusinasi, gangguan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kesalahpahaman, dan penghukuman, bukan simpati atau perhatian.

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kesalahpahaman, dan penghukuman, bukan simpati atau perhatian. BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Skizofrenia merupakan suatu sindrom penyakit klinis yang paling membingungkan dan melumpuhkan. Gangguan psikologis ini adalah salah satu jenis gangguan yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dengan gejala-gejala positif seperti pembicaraan yang kacau, delusi, halusinasi,

BAB 1 PENDAHULUAN. dengan gejala-gejala positif seperti pembicaraan yang kacau, delusi, halusinasi, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Skizofrenia adalah gangguan mental yang sangat berat. Gangguan ini ditandai dengan gejala-gejala positif seperti pembicaraan yang kacau, delusi, halusinasi, gangguan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan jiwa menurut WHO (World Health Organization) adalah ketika

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan jiwa menurut WHO (World Health Organization) adalah ketika 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan jiwa menurut WHO (World Health Organization) adalah ketika seseorang tersebut merasa sehat dan bahagia, mampu menghadapi tantangan hidup serta dapat menerima

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kognitif tertentu dapat berkembang kemudian (Sadock, 2003).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kognitif tertentu dapat berkembang kemudian (Sadock, 2003). 9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Definisi Skizofrenia Skizofrenia adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan suatu gangguan psikiatrik mayor yang ditandai dengan adanya perubahan pada persepsi, pikiran,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyesuaikan diri yang mengakibatkan orang menjadi tidak memiliki. suatu kesanggupan (Sunaryo, 2007).Menurut data Badan Kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. menyesuaikan diri yang mengakibatkan orang menjadi tidak memiliki. suatu kesanggupan (Sunaryo, 2007).Menurut data Badan Kesehatan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurut Chaplin,gangguan jiwa adalah ketidakmampuan menyesuaikan diri yang mengakibatkan orang menjadi tidak memiliki suatu kesanggupan (Sunaryo, 2007).Menurut data

Lebih terperinci

Bab 5. Ringkasan. Dalam bab pertama yang berisi latar belakang penulisan skripsi ini, saya menjabarkan

Bab 5. Ringkasan. Dalam bab pertama yang berisi latar belakang penulisan skripsi ini, saya menjabarkan Bab 5 Ringkasan 5.1 Ringkasan Dalam bab pertama yang berisi latar belakang penulisan skripsi ini, saya menjabarkan tentang teori psikologi penyakit skizofrenia yang akan saya gunakan untuk membuat analisis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Manusia adalah mahluk sosial yang terus menerus membutuhkan orang lain disekitarnya. Salah satu kebutuhannya adalah kebutuhan sosial untuk melakukan interaksi sesama

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada masa sekarang ini depresi menjadi jenis gangguan jiwa yang paling sering dialami oleh masyarakat (Lubis, 2009). Depresi adalah suatu pengalaman yang menyakitkan

Lebih terperinci

PERAN DUKUNGAN KELUARGA PADA PENANGANAN PENDERITA SKIZOFRENIA

PERAN DUKUNGAN KELUARGA PADA PENANGANAN PENDERITA SKIZOFRENIA PERAN DUKUNGAN KELUARGA PADA PENANGANAN PENDERITA SKIZOFRENIA SKRIPSI Untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam mencapai derajat Sarjana S-1 Diajukan Oleh : ESTI PERDANA PUSPITASARI F 100 050 253 FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB I. Pendahuluan. 1.1 Latar belakang

BAB I. Pendahuluan. 1.1 Latar belakang 1 BAB I Pendahuluan 1.1 Latar belakang Penderita gangguan jiwa dari tahun ke tahun semakin bertambah. Sedikitnya 20% penduduk dewasa Indonesia saat ini menderita gangguan jiwa,, dengan 4 jenis penyakit

Lebih terperinci

PERSOALAN DEPRESI PADA REMAJA

PERSOALAN DEPRESI PADA REMAJA Artikel PERSOALAN DEPRESI PADA REMAJA Mardiya Depresi merupakan penyakit yang cukup mengganggu kehidupan. Saat ini diperkirakan ratusan juta jiwa penduduk di dunia menderita depresi. Depresi dapat terjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Gangguan jiwa (mental disorder) merupakan salah satu dari empat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Gangguan jiwa (mental disorder) merupakan salah satu dari empat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gangguan jiwa (mental disorder) merupakan salah satu dari empat masalah kesehatan utama di negara-negara maju, modern, industri dan termasuk Indonesia. Meskipun gangguan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORI. dengan orang lain (Keliat, 2011).Adapun kerusakan interaksi sosial

BAB II TINJAUAN TEORI. dengan orang lain (Keliat, 2011).Adapun kerusakan interaksi sosial BAB II TINJAUAN TEORI A. KONSEP DASAR 1. Pengertian Isolasi sosial adalah keadaan dimana seseorang individu mengalami penurunan atau bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain disekitarnya.

Lebih terperinci

Pengantar Psikologi Abnormal

Pengantar Psikologi Abnormal Pengantar Psikologi Abnormal NORMAL (SEHAT) sesuai atau tidak menyimpang dengan kategori umum ABNORMAL (TIDAK SEHAT) tidak sesuai dengan kategori umum. PATOLOGIS (SAKIT) sudut pandang medis; melihat keadaan

Lebih terperinci

BABI PENDAHULUAN. kehidupan individu selalu dan tidak lepas dari masalah yang ada sehingga kadangkala

BABI PENDAHULUAN. kehidupan individu selalu dan tidak lepas dari masalah yang ada sehingga kadangkala BABI PENDAHULUAN BABI PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Stres adalah fakta dalam hidup dan bagian dari kehidupan. Sepanjang kehidupan individu selalu dan tidak lepas dari masalah yang ada sehingga

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN KONSEP

BAB II TINJAUAN KONSEP BAB II TINJAUAN KONSEP A. Pengertian Menurut (Depkes RI, 2000) Waham adalah suatu keyakinan klien yang tidak sesuai dengan kenyataan, tetapi dipertahankan dan tidak dapat diubah secara logis oleh orang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. mengakibatkan perilaku psikotik, pemikiran konkret, dan kesulitan dalam

BAB 1 PENDAHULUAN. mengakibatkan perilaku psikotik, pemikiran konkret, dan kesulitan dalam BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Skizofrenia adalah suatu penyakit otak persisten dan serius yang mengakibatkan perilaku psikotik, pemikiran konkret, dan kesulitan dalam memproses informasi, hubungan

Lebih terperinci

REFERAT Gangguan Afektif Bipolar

REFERAT Gangguan Afektif Bipolar REFERAT Gangguan Afektif Bipolar Retno Suci Fadhillah,S.Ked Pembimbing : dr.rusdi Efendi,Sp.KJ kepaniteraanklinik_fkkumj_psikiatribungar AMPAI Definisi gangguan pada fungsi otak yang Gangguan ini tersifat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam pengendalian diri serta terbebas dari stress yang serius. Kesehatan jiwa

BAB I PENDAHULUAN. dalam pengendalian diri serta terbebas dari stress yang serius. Kesehatan jiwa 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan jiwa menurut UU No.36 tahun 2009 adalah "Kondisi jiwa seseorang yang terus tumbuh berkembang dan mempertahankan keselarasan, dalam pengendalian diri serta

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Efikasi Diri. Menurut Bandura (1997) Efikasi diri merupakan bagian penting dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Efikasi Diri. Menurut Bandura (1997) Efikasi diri merupakan bagian penting dalam BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Pengertian Efikasi Diri A. Efikasi Diri Menurut Bandura (1997) Efikasi diri merupakan bagian penting dalam teori sosial kognitif atau efikasi diri sebagai kepercayaan terhadap

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. Kedaruratan psikiatri adalah sub bagian dari psikiatri yang. mengalami gangguan alam pikiran, perasaan, atau perilaku yang

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. Kedaruratan psikiatri adalah sub bagian dari psikiatri yang. mengalami gangguan alam pikiran, perasaan, atau perilaku yang BAB II. TINJAUAN PUSTAKA II.1. Kedaruratan Psikiatri Kedaruratan psikiatri adalah sub bagian dari psikiatri yang mengalami gangguan alam pikiran, perasaan, atau perilaku yang membutuhkan intervensi terapeutik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan kestabilan emosional. Upaya kesehatan jiwa dapat dilakukan. pekerjaan, & lingkungan masyarakat (Videbeck, 2008).

BAB I PENDAHULUAN. dan kestabilan emosional. Upaya kesehatan jiwa dapat dilakukan. pekerjaan, & lingkungan masyarakat (Videbeck, 2008). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kesehatan jiwa merupakan suatu kondisi sehat emosional, psikologi, dan sosial, yang terlihat dari hubungan interpersonal yang memuaskan, perilaku dan koping

Lebih terperinci

LAPORAN PENDAHULUAN (LP) ISOLASI SOSIAL

LAPORAN PENDAHULUAN (LP) ISOLASI SOSIAL LAPORAN PENDAHULUAN (LP) ISOLASI SOSIAL A. Pengertian Isolasi social adalah keadaan dimana individu atau kelompok mengalami atau merasakan kebutuhan atau keinginan untuk meningkatkan keterlibatan dengan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gangguan jiwa merupakan manifestasi klinis dari bentuk penyimpangan perilaku akibat adanya distrosi emosi sehingga ditemukan ketidakwajaran dalam bertingkah laku.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan mahluk sosial, dimana untuk mempertahankan kehidupannya

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan mahluk sosial, dimana untuk mempertahankan kehidupannya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia merupakan mahluk sosial, dimana untuk mempertahankan kehidupannya manusia memerlukan hubungan interpersonal yang positif baik dengan individu lainnya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. mengakibatkan perilaku psikotik, pemikiran konkret, dan kesulitan dalam

BAB 1 PENDAHULUAN. mengakibatkan perilaku psikotik, pemikiran konkret, dan kesulitan dalam BAB 1 PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG Skizofrenia merupakan suatu penyakit otak persisten dan serius yang mengakibatkan perilaku psikotik, pemikiran konkret, dan kesulitan dalam memproses informasi, hubungan

Lebih terperinci

GANGGUAN SKIZOAFEKTIF FIHRIN PUTRA AGUNG

GANGGUAN SKIZOAFEKTIF FIHRIN PUTRA AGUNG GANGGUAN SKIZOAFEKTIF FIHRIN PUTRA AGUNG - 121001419 LATAR BELAKANG Skizoafektif Rancu, adanya gabungan gejala antara Skizofrenia dan gangguan afektif National Comorbidity Study 66 orang Skizofrenia didapati

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyimpangan dari fungsi psikologis seperti pembicaraan yang kacau, delusi,

BAB I PENDAHULUAN. penyimpangan dari fungsi psikologis seperti pembicaraan yang kacau, delusi, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Skizofrenia merupakan sekelompok reaksi psikotik yang mempengaruhi berbagai area fungsi individu, termasuk fungsi berfikir dan berkomunikasi, menerima dan menginterpretasikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut Strauss et al (2006) skizofrenia merupakan gangguan mental yang berat, gangguan ini ditandai dengan gejala gejala positif seperti pembicaraan yang kacau, delusi,

Lebih terperinci

BAB I 1.1 Latar Belakang

BAB I 1.1 Latar Belakang BAB I 1.1 Latar Belakang Gangguan jiwa yaitu suatu sindrom atau pola perilaku yang secara klinis bermakna yang berhubungan dengan distres atau penderitaan dan menimbulkan gangguan pada satu atau lebih

Lebih terperinci

SKIZOFRENIA. Ns. Wahyu Ekowati, MKep., Sp.J. Materi Kuliah Keperawatan Universitas Jenderal Soedirman (unsoed)

SKIZOFRENIA. Ns. Wahyu Ekowati, MKep., Sp.J. Materi Kuliah Keperawatan Universitas Jenderal Soedirman (unsoed) SKIZOFRENIA Ns. Wahyu Ekowati, MKep., Sp.J Materi Kuliah Keperawatan Universitas Jenderal Soedirman (unsoed) www.unsoed.ac.id 1 Tujuan Menyebutkan kembali pengertian skizofrenia Menjelaskan kembali penyebab

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. stressor, produktif dan mampu memberikan konstribusi terhadap masyarakat

BAB 1 PENDAHULUAN. stressor, produktif dan mampu memberikan konstribusi terhadap masyarakat BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sehat jiwa adalah keadaan mental yang sejahtera ketika seseorang mampu merealisasikan potensi yang dimiliki, memiliki koping yang baik terhadap stressor, produktif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengakibatkan perilaku psikotik, pemikiran konkret, dan kesulitan dalam

BAB I PENDAHULUAN. mengakibatkan perilaku psikotik, pemikiran konkret, dan kesulitan dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Skizofrenia merupakan suatu penyakit otak persisten dan serius yang mengakibatkan perilaku psikotik, pemikiran konkret, dan kesulitan dalam memproses informasi, hubungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gejala negatif merupakan suatu gambaran defisit dari pikiran, perasaan atau perilaku normal yang berkurang akibat adanya gangguan otak dan gangguan mental (Kring et

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Jepang adalah salah satu negara maju yang cukup berpengaruh di dunia saat ini. Jepang banyak menghasilkan teknologi canggih yang sekarang digunakan juga oleh negara-negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yaitu gangguan jiwa (Neurosa) dan sakit jiwa (Psikosa) (Yosep, hubungan interpersonal serta gangguan fungsi dan peran sosial.

BAB I PENDAHULUAN. yaitu gangguan jiwa (Neurosa) dan sakit jiwa (Psikosa) (Yosep, hubungan interpersonal serta gangguan fungsi dan peran sosial. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Gangguan jiwa adalah kumpulan dari keadaan-keadaan yang tidak normal, baik yang berhubungan dengan fisik, maupun dengan mental. Keabnormalan tersebut dibagi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia sebagai makhluk holistik dipengaruhi oleh lingkungan dari dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia sebagai makhluk holistik dipengaruhi oleh lingkungan dari dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia sebagai makhluk holistik dipengaruhi oleh lingkungan dari dalam dirinya maupun lingkungan luarnya. Manusia yang mempunyai ego yang sehat dapat membedakan antara

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Empati 2.1.1 Definisi Empati Empati merupakan suatu proses memahami perasaan orang lain dan ikut merasakan apa yang orang lain alami. Empati tidak hanya sebatas memasuki dan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. menyebabkan disability (ketidakmampuan) (Maramis, 1994 dalam Suryani,

BAB 1 PENDAHULUAN. menyebabkan disability (ketidakmampuan) (Maramis, 1994 dalam Suryani, BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Skizofrenia merupakan salah satu gangguan kejiwaan berat dan menunjukkan adanya disorganisasi (kemunduran) fungsi kepribadian, sehingga menyebabkan disability (ketidakmampuan)

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Gangguan jiwa adalah gangguan dalam cara berfikir (cognitive),

BAB 1 PENDAHULUAN. Gangguan jiwa adalah gangguan dalam cara berfikir (cognitive), BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Gangguan jiwa adalah gangguan dalam cara berfikir (cognitive), kemauan (volition), emosi (affective), dan tindakan (psychomotor). Dari berbagai penelitian dapat

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA TINGKAT KECEMASAN DENGAN KEMANDIRIAN PELAKSANAAN AKTIVITAS HARIAN PADA KLIEN SKIZOFRENIA DI RUMAH SAKIT JIWA DAERAH SURAKARTA SKRIPSI

HUBUNGAN ANTARA TINGKAT KECEMASAN DENGAN KEMANDIRIAN PELAKSANAAN AKTIVITAS HARIAN PADA KLIEN SKIZOFRENIA DI RUMAH SAKIT JIWA DAERAH SURAKARTA SKRIPSI HUBUNGAN ANTARA TINGKAT KECEMASAN DENGAN KEMANDIRIAN PELAKSANAAN AKTIVITAS HARIAN PADA KLIEN SKIZOFRENIA DI RUMAH SAKIT JIWA DAERAH SURAKARTA SKRIPSI Diajukan sebagai syarat untuk memperoleh Gelar S-1

Lebih terperinci

5. KESIMPULAN, DISKUSI, SARAN

5. KESIMPULAN, DISKUSI, SARAN 5. KESIMPULAN, DISKUSI, SARAN 5.1. Kesimpulan Bab ini berusaha menjawab permasalahan penelitian yang telah disebutkan di bab pendahuluan yaitu melihat gambaran faktor-faktor yang mendukung pemulihan pada

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Kesehatan jiwa merupakan

BAB 1 PENDAHULUAN. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Kesehatan jiwa merupakan 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Kesehatan jiwa merupakan suatu keadaan dimana seseorang yang terbebas dari gangguan jiwa,dan memiliki sikap positif untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi berkepanjangan juga merupakan salah satu pemicu yang. memunculkan stress, depresi, dan berbagai gangguan kesehatan pada

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi berkepanjangan juga merupakan salah satu pemicu yang. memunculkan stress, depresi, dan berbagai gangguan kesehatan pada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gangguan kesehatan mental psikiatri sebagai efek negatif modernisasi atau akibat krisis multidimensional dapat timbul dalam bentuk tekanan dan kesulitan pada seseorang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. sisiokultural. Dalam konsep stress-adaptasi penyebab perilaku maladaptif

BAB 1 PENDAHULUAN. sisiokultural. Dalam konsep stress-adaptasi penyebab perilaku maladaptif BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gangguan jiwa merupakan penyakit dengan multi kausal, suatu penyakit dengan berbagai penyebab yang bervariasi. Kausa gangguan jiwa selama ini dikenali meliputi kausa

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Gangguan jiwa (Mental Disorder) merupakan salah satu dari empat

BAB 1 PENDAHULUAN. Gangguan jiwa (Mental Disorder) merupakan salah satu dari empat BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gangguan jiwa (Mental Disorder) merupakan salah satu dari empat masalah kesehatan utama di Negara-negara maju, modern dan industri. Keempat masalah kesehatan tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. genetik, faktor organo-biologis, faktor psikologis serta faktor sosio-kultural.

BAB I PENDAHULUAN. genetik, faktor organo-biologis, faktor psikologis serta faktor sosio-kultural. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gangguan jiwa merupakan proses interaksi yang kompleks antara faktor genetik, faktor organo-biologis, faktor psikologis serta faktor sosio-kultural. Telah terbukti

Lebih terperinci

BAB 1. PENDAHULUAN. Skizofrenia merupakan suatu gangguan jiwa berat yang perjalanan

BAB 1. PENDAHULUAN. Skizofrenia merupakan suatu gangguan jiwa berat yang perjalanan BAB 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Skizofrenia merupakan suatu gangguan jiwa berat yang perjalanan penyakitnya berlangsung kronis 1, umumnya ditandai oleh distorsi pikiran dan persepsi yang mendasar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Istilah autisme sudah cukup familiar di kalangan masyarakat saat ini, karena media baik media elektronik maupun media massa memberikan informasi secara lebih

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Skizofrenia merupakan sindroma klinis yang berubah-ubah dan sangat

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Skizofrenia merupakan sindroma klinis yang berubah-ubah dan sangat BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Skizofrenia Skizofrenia merupakan sindroma klinis yang berubah-ubah dan sangat mengganggu. Psikopatologinya melibatkan kognisi, emosi, persepsi dan aspek lain dari perilaku.

Lebih terperinci

LAMPIRAN. Depresi. Teori Interpersonal Depresi

LAMPIRAN. Depresi. Teori Interpersonal Depresi LAMPIRAN Depresi Teori depresi dalam ilmu psikologi, banyak aliran yang menjelaskannya secara berbeda.teori psikologi tentang depresi adalah penjelasan predisposisi depresi ditinjau dari sudut pandang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyakit jiwa sampai saat ini memang masih dianggap sebagai penyakit yang memalukan, menjadi aib bagi si penderita dan keluarganya sendiri. Masyarakat kita menyebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. manusia, ditandai dengan perubahan-perubahan biologis, kognitif dan sosial-emosional

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. manusia, ditandai dengan perubahan-perubahan biologis, kognitif dan sosial-emosional BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja merupakan masa kehidupan yang penting dalam rentang hidup manusia, ditandai dengan perubahan-perubahan biologis, kognitif dan sosial-emosional (Santrock,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berat sebesar 4,6 permil, artinya ada empat sampai lima penduduk dari 1000

BAB I PENDAHULUAN. berat sebesar 4,6 permil, artinya ada empat sampai lima penduduk dari 1000 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Orang dianggap sehat jika mereka mampu memainkan peran dalam masyarakat dan perilaku pantas dan adaptif.organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendefeniskan kesehatan sebagai

Lebih terperinci

Teori Albert Bandura A. Latar Belakang Teori self-efficasy

Teori Albert Bandura A. Latar Belakang Teori self-efficasy Teori Albert Bandura A. Latar Belakang Teori Albert Bandura sangat terkenal dengan teori pembelajaran sosial (Social Learning Teory) salah satu konsep dalam aliran behaviorisme yang menekankan pada komponen

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Stigma Menurut Chaplin (2004) stigma adalah suatu cacat atau cela pada karakter seseorang. Sedangkan menurut Green (dalam Cholil; 1997) stigma adalah ciri negatif

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA Bab ini akan memaparkan teori teori yang berkaitan dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti. Yakni mengenai Skizofrenia. Pembahasan mengenai Skizofrenia meliputi pengertian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Jumlah orang dengan gangguan skizofrenia dewasa ini semakin. terutama di negara-negara yang sedang berkembang seperti indonesia dan

BAB I PENDAHULUAN. Jumlah orang dengan gangguan skizofrenia dewasa ini semakin. terutama di negara-negara yang sedang berkembang seperti indonesia dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Jumlah orang dengan gangguan skizofrenia dewasa ini semakin mengalami peningkatan dan menjadi masalah kesehatan masyarakat utama, terutama di negara-negara yang

Lebih terperinci

BAB II TUNJAUAN TEORI. orang lain, menghindari hubungan dengan orang lain (Rawlins, 1993)

BAB II TUNJAUAN TEORI. orang lain, menghindari hubungan dengan orang lain (Rawlins, 1993) BAB II TUNJAUAN TEORI A. PENGERTIAN Menarik diri merupakan percobaan untuk menghindari interaksi dengan orang lain, menghindari hubungan dengan orang lain (Rawlins, 1993) Menarik diri merupakan suatu keadaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan Jiwa menurut Rancangan Undang-Undang Kesehatan Jiwa tahun

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan Jiwa menurut Rancangan Undang-Undang Kesehatan Jiwa tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan Jiwa menurut Rancangan Undang-Undang Kesehatan Jiwa tahun 2012(RUU KESWA,2012) adalah kondisi yang memungkinkan perkembangan fisik, mental, dan spiritual

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kesehatan jiwa menurut Undang-Undang No. 3 Tahun 1966 merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kesehatan jiwa menurut Undang-Undang No. 3 Tahun 1966 merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kesehatan jiwa menurut Undang-Undang No. 3 Tahun 1966 merupakan suatu kondisi yang memungkinkan perkembangan fisik, intelektual dan emosional yang optimal dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. karena adanya kekacauan pikiran, persepsi dan tingkah laku di mana. tidak mampu menyesuaikan diri dengan diri sendiri, orang lain,

BAB I PENDAHULUAN. karena adanya kekacauan pikiran, persepsi dan tingkah laku di mana. tidak mampu menyesuaikan diri dengan diri sendiri, orang lain, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Gangguan jiwa merupakan suatu penyakit yang disebabkan karena adanya kekacauan pikiran, persepsi dan tingkah laku di mana individu tidak mampu menyesuaikan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ketersediaan sumber dukungan yang berperan sebagai penahan gejala dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ketersediaan sumber dukungan yang berperan sebagai penahan gejala dan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Persepsi Dukungan Sosial 2.1.1 Definisi Persepsi dukungan sosial adalah cara individu menafsirkan ketersediaan sumber dukungan yang berperan sebagai penahan gejala dan peristiwa

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. kelompok atau masyarakat yang dapat dipengaruhi oleh terpenuhinya kebutuhan dasar

BAB 1 PENDAHULUAN. kelompok atau masyarakat yang dapat dipengaruhi oleh terpenuhinya kebutuhan dasar BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan merupakan unsur terpenting dalam kesejahteraan perorangan, kelompok atau masyarakat yang dapat dipengaruhi oleh terpenuhinya kebutuhan dasar hidup seperti

Lebih terperinci

Adriatik Ivanti, M.Psi, Psi

Adriatik Ivanti, M.Psi, Psi Adriatik Ivanti, M.Psi, Psi Autism aritnya hidup sendiri Karakteristik tingkah laku, adanya defisit pada area: 1. Interaksi sosial 2. Komunikasi 3. Tingkah laku berulang dan terbatas A. Adanya gangguan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Prevalensi penderita skizofrenia sekitar 1% dari populasi orang dewasa di Amerika Serikat, dengan jumlah keseluruhan lebih dari 2 juta orang (Nevid et al.,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORI

BAB II TINJAUAN TEORI BAB II TINJAUAN TEORI A. Teori 1. Kecemasan Situasi yang mengancam atau yang dapat menimbulkan stres dapat menimbulkan kecemasan pada diri individu. Atkinson, dkk (1999, p.212) menjelaskan kecemasan merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang Masalah. Skizofrenia adalah salah satu gangguan jiwa berat yang menimbulkan beban bagi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang Masalah. Skizofrenia adalah salah satu gangguan jiwa berat yang menimbulkan beban bagi BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Skizofrenia adalah salah satu gangguan jiwa berat yang menimbulkan beban bagi pemerintah, keluarga serta masyarakat. Dalam beberapa penelitian menemukan bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. World Health Organitation (WHO) mendefinisikan kesehatan sebagai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. World Health Organitation (WHO) mendefinisikan kesehatan sebagai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang World Health Organitation (WHO) mendefinisikan kesehatan sebagai keadaan sehat fisik, mental, dan sosial, bukan semata-mata keadaan tanpa penyakit atau kelemahan. Definisi

Lebih terperinci

BAB II KONSEP TEORI. Perubahan sensori persepsi, halusinasi adalah suatu keadaan dimana individu

BAB II KONSEP TEORI. Perubahan sensori persepsi, halusinasi adalah suatu keadaan dimana individu BAB II KONSEP TEORI A. Pengertian Perubahan sensori persepsi, halusinasi adalah suatu keadaan dimana individu mengalami perubahan dalam jumlah dan pola dari stimulus yang datang internal / eksternal (Carpenito,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keadaan tanpa penyakit atau kelemahan (Riyadi & Purwanto, 2009). Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. keadaan tanpa penyakit atau kelemahan (Riyadi & Purwanto, 2009). Hal ini 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan adalah keadaan sehat fisik, mental dan sosial, bukan semata-mata keadaan tanpa penyakit atau kelemahan (Riyadi & Purwanto, 2009). Hal ini berarti seseorang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai makhluk sosial,

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai makhluk sosial, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai makhluk sosial, yaitu makhluk yang saling membutuhkan dan saling berinteraksi. Dalam interaksi antar manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan jiwa Menurut World Health Organization adalah berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan jiwa Menurut World Health Organization adalah berbagai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kesehatan jiwa Menurut World Health Organization adalah berbagai karakteristik positif yang menggabarkan keselarasan dan keseimbangan kejiwaan yang mencerminkan

Lebih terperinci

EMPATI DAN PERILAKU PROSOSIAL PADA ANAK

EMPATI DAN PERILAKU PROSOSIAL PADA ANAK EMPATI DAN PERILAKU PROSOSIAL PADA ANAK Murhima A. Kau Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Gorontalo INTISARI Proses perkembangan perilaku prososial menurut sudut pandang Social Learning Theory

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. awal, dimana memiliki tuntutan yang berbeda. Pada masa dewasa awal lebih

BAB I PENDAHULUAN. awal, dimana memiliki tuntutan yang berbeda. Pada masa dewasa awal lebih BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Mahasiswa mengalami masa peralihan dari remaja akhir ke masa dewasa awal, dimana memiliki tuntutan yang berbeda. Pada masa dewasa awal lebih dituntut suatu

Lebih terperinci

Modul ke: Psikologi Sosial I PERSEPSI SOSIAL. Fakultas Psikologi. Intan Savitri,S.P., M.Si. Program Studi Psikologi

Modul ke: Psikologi Sosial I PERSEPSI SOSIAL. Fakultas Psikologi. Intan Savitri,S.P., M.Si. Program Studi Psikologi Modul ke: 06 Setiawati Fakultas Psikologi Psikologi Sosial I PERSEPSI SOSIAL Intan Savitri,S.P., M.Si. Program Studi Psikologi Kompetensi Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan pengertian, proses serta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mental dan sosial yang lengkap dan bukan hanya bebas dari penyakit atau. mengendalikan stres yang terjadi sehari-hari.

BAB I PENDAHULUAN. mental dan sosial yang lengkap dan bukan hanya bebas dari penyakit atau. mengendalikan stres yang terjadi sehari-hari. BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Kesehatan jiwa adalah suatu kondisi dimana seorang individu dapat berkembang secara fisik, mental, spiritual, dan sosial sehingga individu tersebut menyadari

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. sendiri. Kehidupan yang sulit dan komplek mengakibatkan bertambahnya

BAB 1 PENDAHULUAN. sendiri. Kehidupan yang sulit dan komplek mengakibatkan bertambahnya 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan yang pesat dalam berbagai bidang kehidupan manusia yang meliputi bidang ekonomi, teknologi, sosial, dan budaya serta bidangbidang yang lain telah membawa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. akibat adanya kepribadian yang tidak fleksibel menimbulkan perilaku

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. akibat adanya kepribadian yang tidak fleksibel menimbulkan perilaku BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. PENGERTIAN Isolasi sosial merupakan suatu gangguan interpersonal yang terjadi akibat adanya kepribadian yang tidak fleksibel menimbulkan perilaku maladaptif dan mengganggu fungsi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Komunikasi adalah proses penyampaian gagasan, harapan, dan pesan yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Komunikasi adalah proses penyampaian gagasan, harapan, dan pesan yang BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Komunikasi 2.1.1 Pengertian Komunikasi Secara Umun Komunikasi adalah proses penyampaian gagasan, harapan, dan pesan yang disampaikan melalui lambang tertentu, mengandung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bahwa gangguan jiwa merupakan penyakit yang sulit disembuhkan, memalukan,

BAB I PENDAHULUAN. bahwa gangguan jiwa merupakan penyakit yang sulit disembuhkan, memalukan, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gangguan jiwa merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Gangguan jiwa dapat menyerang semua usia. Sifat serangan penyakit biasanya akut tetapi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pada gangguan jiwa berat dan beberapa bentuk waham yang spesifik sering

BAB 1 PENDAHULUAN. pada gangguan jiwa berat dan beberapa bentuk waham yang spesifik sering BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Waham merupakan salah satu jenis gangguan jiwa. Waham sering ditemui pada gangguan jiwa berat dan beberapa bentuk waham yang spesifik sering ditemukan pada penderita

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Berbagai permasalahan dalam kehidupan dapat memicu seseorang

BAB I PENDAHULUAN. Berbagai permasalahan dalam kehidupan dapat memicu seseorang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berbagai permasalahan dalam kehidupan dapat memicu seseorang mengalami kondisi stress dalam dirinya yang dapat menimbulkan gangguan jiwa. Temuan WHO menunjukkan,

Lebih terperinci