BAB I PENDAHULUAN. dapat dihindari oleh semua negara sebagai anggota masyarakat internasional.
|
|
- Yulia Muljana
- 7 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Liberalisasi perdagangan sudah merupakan fenomena dunia yang nyaris tidak dapat dihindari oleh semua negara sebagai anggota masyarakat internasional. Manakala ekonomi menjadi terintegrasi, harmonisasi hukum mengikutinya. Terbentuknya WTO (World Trade Organization) telah didahului oleh terbentuknya blok-blok ekonomi regional seperti Masyarakat Eropah, NAFTA, AFTA dan APEC. Tidak ada kontradiksi antara regionalisasi dan globalisasi perdagangan. Sebaliknya integrasi ekonomi global mengharuskan terciptanya blok-blok perdagangan baru. Perdagangan dengan WTO dan kerjasamanya ekonomi regional berarti mengembangkan institusi yang demokratis, memperbaharui mekanisme pasar, dan memfungsikan sistim hukum. Bagaimanapun juga karakteristik dan hambatannya, globalisasi ekonomi menimbulkan akibat yang besar sekali pada bidang hukum. Globalisasi hukum tersebut tidak hanya didasarkan kesepakatan internasional antar bangsa, tetapi juga pemahaman tradisi hukum dan budaya antara barat dan timur. 1 Sejarah perdagangan bebas internasional menunjukkan bahwa perdagangan internasional merupakan perdagangan yang fokus dalam pengembangan pasar 1 H.S. Kartadjoemena, Substansi Perjanjian GATT/WTO dan Mekanisme Penyelesaian Sengketa: Sistem, Kelembagaan, Prosedur Implementasi, Dan Kepentingan Negara Berkembang, (Jakarta : UI Press, 2000), hlm. 1.
2 terbuka. 2 Disadari bahwa perdagangan bebas akan membawa manfaat 3 yang lebih besar maka tuntutan untuk meliberalisasi perdagangan dunia semakin marak dilakukan oleh sejumlah negara dalam berbagai forum perundingan perdagangan. Pihak yang mendukung globalisasi perdagangan berpendapat bahwa globalisasi dapat menjadi motor penggerak pertumbuhan ekonomi yang selanjutnya akan meningkatkan pendapatan dan mengurangi kemiskinan. Globalisasi perdagangan juga pada dasarnya memberikan peluang bagi semua negara memperoleh manfaat berupa akses pasar yang semakin terbuka guna meningkatkan nilai dan volume perdagangan internasional, pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan masyarakat. 4 Upaya untuk meliberalisasikan perdagangan dunia yang lebih konseptual dan formal baru mendapat perhatian yang serius setelah berakhirnya Perang Dunia Ke-II dengan pembentukan General Agreement on Tariff and Trade (GATT) pada tahun 1947 yang diikuti dengan berbagai putaran perundingan dalam kerangka GATT dan putaran perundingan Uruguay Round yang berhasil membentuk World Trade Organization (WTO). Pendirian WTO ini dimaksudkan antara lain untuk membangun 2 Sejarah Perdagangan Bebas, diakses pada 02 April Terdapat lima manfaat dibukanya liberalisasi perdangan. Pertama, akses pasar lebih luas sehingga memungkinkan diperoleh efisiensi karena liberalisasi perdagangan cenderung menciptakan pusat-pusat produksi baru yang menjadi lokasi berbagai kegiatan industri yang saling menunjang sehingga biaya produksi dapat diturunkan. Kedua, iklim usaha menjadi lebih kompetitif sehingga mengurangi kegiatan yang bersifat rent seeking dan mendorong pengusaha untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi, bukan bagaiman mengharapkan mendapat fasilitas dari pemerintah. Ketiga, arus perdangan dan investasi yang lebih bebas mempermudah proses alih teknologi untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi. Keempat, perdangan yang lebih bebas memberikan signal harga yang benar sehingga meningkatkan efisiensi investasi. Kelima, dalam perdagangan yang lebih bebas kesejahteraan konsumen meningkat karena terbuka pilihan-pilihan baru. Namun untuk dapat berjalan dengan lancar, suatu pasar yang kompetitif perlu dukungan perundang-undangan yang mengatur persaingan usaha yang sehat dan melarang praktek monopoli. 4 Harum Setiawati dan Gavriyuni Amier, Kerjasama Perdagangan Multilateral, (Jakarta : Elexmedia Komputindo, 2007), hlm. 143.
3 sistem perdagangan multilateral yang terintegrasi, viable dan bertahan lama. 5 Indonesia sendiri telah meratifikasi Agreement Establishing WTO beserta ketentuanketentuannya melalui Undang-undang Nomor 7 tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia). 6 Pada dasarnya pertimbangan keuntungan ekonomi dari penurunan tarif dan perluasan akses pasar merupakan pertimbangan utama bagi Indonesia menandatangani hasil kesepakan Uruguay Round. Sistem perdagangan bebas dengan perlindungan tarif dalam kalkulasi ekonomis akan menguntungkan bagi Indonesia. Negara-negara industri maju berdasarkan kesepakatan GATT harus menurunkan tingkat tarif mereka pada kisaran 0-5 %, sedangkan Indonesia di sektor industri tidak perlu melakukan hal yang demikian. Bahwa Indonesia mendapatkan komitmen apabila diperlukan untuk meningkatkan lagi bea masuk sampai 40 %. Padahal dalam sektor industri, tarif yang dikenakan Indonesia jauh lebih rendah dari itu. Hal ini berarti bahwa Indonesia tidak perlu menurunkan proteksi tarif terhadap 5 Susanti Aryaji, Latar Belakang Kerjasama Perdagangan Internasional, ( Jakarta : Elexmedia Komputindo, 2007), hlm. 1. Bandingkan dengan tujuan WTO berdasarkan Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia yaitu untuk membentuk suatu sistem perdagangan multilateral yang terpadu, lebih bergairah dan bertahan lama meliputi Persetujuan Umum tentang Tarif dan Perdagangan, hasil-hasil dari upaya liberalisasi perdagangan sebelumnya, dan semua hasil Putaran Uruguay dari Perundingan Perdagangan Multilateral, Organisasi Perdagangan Dunia memberikan kerangka kelembagaan umum bagi pelaksanaan hubungan perdagangan diantara anggota-anggotanya dalam hal-hal yang berhubungan dengan persetujuanpersetujuan dan instrumen-instrumen hukum. 6 Bismar Nasution, Hukum Kegiatan Ekonomi I, Peraturan Tentang Jasa di Bidang Keuangan (Bank dan Non Bank) Pasca GATT-GATT s/wto Dalam Kaitannya Dengan Ketentuan Perdagangan di Indonesia, (Bandung : Books Terrace & Library, 2007), hlm. 42.
4 industri dalam negeri, atau dengan kata lain proteksi tarif sektor industri tetap berlangsung sebagaimana adanya saat ini. 7 GATT selalu mengupayakan terciptanya perdagangan bebas dunia. Prinsip suatu sistem perdagangan bebas dunia yang didasarkan pada ketentuan-ketentuan yang disepakati bersama ini cukup beralasan. Latar belakang prinsip ini tidak terlepas dari suatu konsep yang disebut dengan keunggulan komperatif (comparative advantage) seperti dikemukakan David Ricardo. Dengan kata lain, kebijakan perdagangan bebas yang melancarkan arus barang, jasa, dan produksi mau tidak mau harus mengandalkan produk yang mutu dan harganya bersaing. 8 Pada dasarnya tujuan pendirian GATT adalah menciptakan sistem perdagangan liberal dan terbuka sehingga dunia bisnis dari masing-masing negara anggota dapat bersaing secara adil (fair) dan tanpa distorsi dan menjadikan perdagangan bebas sebagai landasan perdagangan internasional untuk mencapai pertumbuhan ekonomi, pembangunan dan kesejahteraan manusia. 9 GATT hanya memperkenankan tindakan proteksi terhadap industri domestik melalui tarif (menaikkan tingkat tarif bea masuk) dan tidak melalui upaya-upaya perdagangan lainnya (non-tariff commercial measures). 10 Hal lain yang 7 Mahmul Siregar, Perdagangan Internasional dan Penanaman Modal, Studi Kesiapan Indonesia Dalam Perjanjian Investasi Multilateral, (Medan : Sekolah Pascasarjana, 2008), hlm Huala Adolf dan A. Chandrawulan, Masalah-Masalah Hukum Dalam Perdagangan Internasional, (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 1994), hlm Bismar Nasution, Hukum Kegiatan Ekonomi I, Era Globalisasi Hukum dan Ekonomi,, (Bandung : Books Terrace & Library, 2007), hlm Non-Tariff Measures (Tindakan Non-Tarif) adalah bertujuan untuk mengurangi atau menghapus berbagai hambatan perdagangan yang bersifat non-tarif, dengan tetap memperhatikan komitmen untuk mengurangi sebanyak mungkin hambatan perdagangan sejenis (Standstill and Rollback Principles).
5 menjadi ketentuan dasar GATT adalah larangan restriksi kuantitatif (quantitative restriction) 11 yang merupakan rintangan terbesar terhadap GATT. 12 GATT pada dasarnya mengakui bahwa sebuah negara mempunyai hak untuk melindungi industri dalam negerinya dengan alasan-alasan tertentu, namun satusatunya cara yang diperbolehkan adalah dengan tarif. Hambatan-hambatan selain tarif diusahakan sejauh mungkin diubah menjadi tarif, walaupun akan membuat tingkat tarif meninggi (tariffication). Pada periode pengurangan tarif berlangsung secara positif. Pengurangan ini memacu tingkat produksi dan perdagangan dunia yang pada mulanya tersendat-sendat mulai bergerak cepat. Kompetisi dan efesiensi produksi terjadi yang pada akhirnya menguntungkan masyarakat dunia dengan banyaknya pilihan barang yang murah dan berkualitas. GATT mengharapkan tarif menjadi satu-satunya alat yang digunakan oleh negara-negara anggotanya dalam melindungi industri dalam negerinya dari persaingan dengan industri luar negeri karena beberapa alasan: a. Tarif adalah mekanisme yang kelihatan, langsung mempengaruhi harga produk impor yang dipasarkan di pasar domestik; b. Tarif tidak memerlukan anggaran dari negara, sehingga intervensi negara dalam perekonomian bisa diminimalisir, sebuah dogma kaum liberal, dan anggaran negara bisa disalurkan pada bidang lain yang lebih diperlukan. 11 Restriksi Kuantitatif (quantitative restriction) misalnya adalah penetapan kuota impor atau ekspor, restriksi penggunaan lisensi impor atau ekspor, pengawasan pembayaran produk produk impor atau ekspor. 12 Huala Adolf dan A. Chandrawulan, loc.cit.
6 c. Tarif juga diharapkan bisa menjadi alat yang digunakan oleh suatu negara ketika harus membalas praktek perdagangan tidak adil yang dilakukan oleh negara anggota lainnya, walaupun sebenarnya, tarif memberikan proteksi yang kecil. Hal ini bisa dipahami karena GATT bukan hanya berkeinginan menurunkan tingkat tarif tapi juga menghilangkannya dan mengurangi, sampai pada taraf tertentu. 13 Dalam perdagangan internasional, terdapat berbagai mekanisme yang digunakan oleh suatu negara untuk melakukan pembatasan atas impor mereka. Selain menerapkan kebijakan tarif, mekanisme yang digunakan untuk membatasi impor adalah kebijakan Non-Tariff Barriers (NTBs). Selain untuk membatasi impor, penerapan kebijakan tarif dan NTBs dimaksud pula untuk melindungi produk dalam negeri dari kompetisi asing. Berbagai jenis Non-Tariff Barriers tersebut antara lain Voluntary Export Restraint (VER) 14, Certificate of Origin 15, Domestic Content Requirment 16, Impor Licenses 17, Import State Trading Enterprises (ISTEs) 18, 13 Mumu Muhajir, Non Tarif Barriers Dalam Perdagangan Internasional, diakses pada 04 April Voluntary Export Restraint (VER). Kebijakan NTBs ini dilakukan dalam bentuk kesepakatan di antara negara-negara pengekspor untuk membatasi pengapalan komoditas mereka ke negara pengimpor. Dalam beberapa kasus, suatu negara bersedia menerapkan kebijakan ini karena mereka dapat memperoleh keuntungan melalui harga yang lebih tinggi atas produk ekspor mereka di negara pengimpor. 15 Certificate of Origin (CoO). Sertifikasi ini merupakan tipe baru NTBs yang dilakukan dalam bentuk memberikan kepastian jaminan atas reputasi dan kualitas suatu produk. CoO merupakan salah satu bentuk dari subsidi biaya untuk memodifikasi kualitas investasi suatu perusahaan dan kuantitas untuk produk yang ditawarkan. 16 Domestic Content Requirement, Kebijakan NTBs ini dilakukan melalui penggunaan regulasi kandungan domestik yang bertujuan membatasi impor dan mendorong perkembangan industri domestik. Pengaturan kandungan domestik secara khusus dilakukan dengan menerapkan ketentuan prosentase tertentu dari nilai total suatu produk dapat dijual di pasar dalam negeri. Kebijakan ini umumnya diterapkan bersamaan dengan kebijakan impor substitusi untuk menggantikan produk impor.
7 Technical Barrier to Trade 19, Exchance Rate Management Policies 20, Precautionary Principle and Sanitary Barrier to Trade 21. Anggota GATTS/WTOS melalui Uruguay Round dalam kerangka negosiasi GATT/WTO telah menyepakati untuk melakukan berbagai kebijakan yang diperlukan dalam rangka mengatasi kendala tersebut. Berbagai upaya tersebut antara lain (i) kebijakan untuk menghapus penggunaan import quota dan Non-Tariff Barrier (NTBs), (ii) menurunkan tarif secara gradual, dan (iii) meningkatkan penerapan kuantitas penurunan tarif. 22 Restriksi kuantitatif terhadap ekspor dan impor dalam bentuk apapun (misalnya penetapan kuota, 17 Impor Licenses. Kebijakan ini merupakan salah satu bentuk NTBs dimana importir suatu komoditas tertentu diminta memiliki izin untuk dapat melakukan pengapalan atas barang yang akan diimpor. 18 Import State Trading Enterprises (ISTEs). ISTEs merupakan agen-agen yang dimiliki oleh pemerintah yang bertindak sebagai importir pembeli tunggal secara penuh atau sebagian atas komoditas tertentu atau satu set komoditas tertentu di pasar dunia. ISTEs ini biasanya juga bertindak sebagai monopoli di pasar domestik untuk penjualan komoditas tersebut. Kegiatan ISTEs dapat membatasi impor dalam berbagai bentuk yaitu : (i) menerapkan tarif impor secara implisit (hidden tariff) dengan membeli barang impor pada harga pasar dunia dan menawarkan komoditas tersebut dengan harga yang lebih tinggi di pasar domestik, (ii). Impor yang dilakukan ISTEs dapat dikategorikan sebagai Kuota impor atau menerapkan peraturan impor yang secara implisit berbiaya tinggi yang membuat importir lain tidak akan mendapat keuntungan. Problem utama dengan impor yang dilakukan ISTEs adalah sulitnya untuk memperkirakan dampak operasi mereka terhadap perdagangan mengingat operasi mereka yang tidak transparan. 19 Technical Barrier to Trade, Kebijakan NTBs ini dilakukan dalam bentuk penerapan peraturan teknis mengenai packaging, definisi produk, labeling dan lain-lain. Peraturan teknis ini dapat menjadi penghambat yang efektif terhadap penjualan suatu produk suatu negara ke negara yang menerapkan kebijakan ini. Peraturan ini menyalahi ketentuan WTO yang menghendaki suatu negara memperlakukan produk impor dan domestik secara sama dan tidak ada produk dari suatu sumber diuntunkan atas yang lainnya. 20 Salah satu bentuk NTBs ini diterapkan denagan menggunakan kebijakan nilai tukar untuk menghambat impor dan pada saat yang sama mendorong ekspor semua komoditas. Selain kebijakan ini, beberapa Negara juga menargetkan spesifik tipe impor mereka melalui penerapan multiple exchange rate diman importer diminta membayar nilai tukar yang berbeda untuk mata uang asing mereka bergantung pada komoditas yang diimpor. Tujuan ini adalah untuk mengurangi masalah Balance of Payment dan meningkatkan pedapatan pemerintah. 21 Precautionary Principle and Sanitary Barrier to Trade. prinsip Precautionary saat ini sering ddigunakan atau diusulkan sebagai justifikasi atas pembatasan perdagangan oleh pemerintah dalam konteks kesehatan dan lingkungan, yang terkadang sering tidak disetai bukti yang ilmiah. 22 Aswin Kootali dan Gunawan Saichu, Integrasi Ekonomi : Konsep Dasar dan Realitas, ( Jakarta : Elexmedia Komputindo, 2008), hlm. 64.
8 dumping, subsidi dan voluntary export restraints (VER), restriksi penggunaan lisensi impor atau ekspor, pengawasan pembayaran produk-produk impor atau ekspor), pada umumnya dilarang. 23 Adapun prinsip-prinsip dasar perdagangan barang yang diatur dalam GATT sebagai berikut : 1. Protection to domestic industry through tariffs. Setiap negara anggota dapat memproteksi industri dalam negerinya dari pihak asing dalam bentuk tarif. Sedangkan pembatasan kuantitas (quantitatif restrictions) seperti kuota tidak diperbolehkan kecuali dalam situasi tertentu. 2. Binding of tariff. Setiap negara anggota diminta untuk menurunkan dan menghilangkan bentuk-bentuk proteksi bagi industri dalam negeri degan cara menurunkan tarif dan menghilangkan hambatan lainnya. Tarif yang telah diturunkan diwajibkan untuk terus diturunkan dan penurunan tarif tersebut harus didaftarkan pada GATT sehingga menjadi bagian tidak terpisahkan dari GATT legal system. Penurunan tarif secara rata-rata pada awal berdirinya WTO turun menjadi : a. Negara maju dari 6,3 % menjadi 3,8 % b. Negara berkembang dari 15,3 % menjadi 12,3 % dan c. Negara transisi ekonomi dari 8,6 % menjadi 6 % 23 Wahyu Pratomo, Teori Kerjasama Perdagangan Internasional, (Jakarta : Elexmedia Komputindo, 2007), hlm. 28.
9 3. Most Favoured Nation (MFN) Treatment. Dasar dari pelaksanaan prinsip non diskriminasi ini menghendaki penentuan tarif dan persyaratan perdagangan lainnya harus diterapkan tanpa diskriminasi pada setiap negara anggota. 4. National Treatment Rule. Setiap negara anggota tidak dibenarkan mengenakan pajak lebih tinggi terhadap produk impor dibandingkan dengan pajak untuk produk domestik. 24 Namun ada beberapa pengecualian terhadap prinsip Most Favoured Nation (MFN) Treatment ini. Pengecualian tersebut yang antara lain, Pertama, perlakuan preferensi di wilayah-wilayah tertentu yang sudah ada, tetap boleh terus dilaksanakan namun tingkat batas preferensinya tidak boleh dinaikkan. Kedua, anggota-anggota GATT yang membentuk suatu Customs Union atau Free Trade Area yang memenuhi persyaratan Pasal XXIV 25 tidak harus memberikan perlakuan yang sama kepada negara anggota lainnya. Ketiga, Preferensi tarif oleh negara-negara maju kepada produk impor dari negara sedang berkembang atau negara-negara kurang beruntung (least developed) melalui fasilitas Generalised System of Preferences (sistem preferensi umum). 26 GATT juga memungkinkan negara-negara untuk memberikan 24 Bismar Nasution, op.cit., hlm Kesatuan Pabean, Wilayah Perdagangan Bebas dan persetujuan sementara dalam pembentukan Kesatuan Pabean dan FTA, harus konsisten dengan Pasal XXIV, dan harus sesuai dengan paragraph 5,6,7 dan 8 dari Kesepakatan Tentang Penafsiran Pasal XXIV Dari Peraturan Umum Tarif Dan Perdagangan 1994 (Understanding on The Interpretation of Article XXIV of The General Agreement on Tariffs And Trade 1994). Kesepakatan Tentang Penafsiran Pasal XXIV Dari Persetujuan Umum Tentang Tarip dan Perdagangan 1994, Pasal 1 yaitu : kesatuan pabean, wilayah perdagangan bebas dan persetujuan sementara dalam pembentukan kesatuan pabean dan FTA, harus konsisten dengan Pasal XXIV. 26 Herry Soetanto, Catatan Mengenai Ketentuan Asal Barang (Rules Of Origin) Dalam Perdagangan Internasional, (Jakarta : Direktorat Kerjasama Perdagangan Internasional, Departemen Perdagangan RI), hlm.1. Berakhirnya Putaran Tokyo 1979, negara-negara sepakat dan mengeluarkan
10 konsesi khusus terhadap negara-negara berkembang tanpa perlu memberikan hal yang sama untuk seluruh anggota WTO. Hal ini disebut perlakuan khusus dan berbeda (special and diffrential treatment-s&d). 27 Meskipun GATT menganut prinsip Most Favoured Nation (MFN) atau nondiscriminatory, konsep kerjasama perdagangan dalam bentuk Free Trade Area (FTA) dan Custom Union (CU) diakomodasi dalam perjanjian dan diberikan pengecualian dalam Pasal Suatu argumen yang mendukung munculnya banyak kerjasama liberalisasi perdagangan regional adalah bahwa kerjasama tersebut didasari spirit untuk mewujudkan perdagangan bebas, sama seperti spirit WTO. Spirit yang sama inilah yang diyakini menjadi pertimbangan WTO untuk mengijinkan negara-negara anggotanya terlibat dalam Free Trade Area atau pun Custom Union, meski perlakuan preferential itu sendiri bertentangan dengan non-diskriminasi dalam WTO. Seperti di ketahui pembentukan Free Trade Area atau Customs Union mencakup langkah menghilangkan tarif sesama negara anggota akan mempercepat proses liberalisasi perdagangan dunia. 29 putusan mengenai pemberian perlakuan yang lebih menguntungkan dan partisipasi yang lebih besar bagi negara sedang berkembang dalam perdagangan dunia ( enabling clause ). Keputusan tersebut mengakui bahwa negara sedang berkembang juga adalah pelaku yang permanen dalam sistem perdagangan dunia. Pengakuan ini juga merupakan dasar hukum bagi negara industri untuk memberikan GSP (Generalized System of Preferences atau sistem preferensi umum) kepada negaranegara sedang berkembang. 27 Herry Soetanto, World Trade Organizatioan (WTO) dan Negara Berkembang, ( Jakarta : Direktorat Jenderal Perdagangan Internasional, Departemen Perdagangan Republik Indonesia, 2007), hlm Rahmat Dwi Saputra, Kerjasama Perdagangan Regional, ( Jakarta : Elexmedia Komputindo, 2007), hlm Kesepakatan Tentang Peraturan Umum Tarif Dan Perdagangan 1994 Pasal XXIV tentang Kesatuan Pabean atau Wilayah Perdagangan Bebas atau persetujuan sementara dalam rangka pembentukan Kesatuan Pabean atau Wilayah Perdagangan Bebas. 29 Susanti Aryaji, op.cit., hlm. 51.
11 Salah satu yang menjadi pertimbangan suatu negara untuk melakukan Free Trade Agreement (FTA) adalah kekhawatiran kehilangan pangsa pasar yaitu kemungkinan beralihnya mitra dagang ke negara lain yang telah melakukan FTA dengan mitra dagang dagang tersebut. Hal ini dapat terjadi karena anggapan bahwa daya tarik suatu negara akan meningkat dengan menjadi anggota suatu FTA atau RTA (Regional Trade Agreement) yang mendorong antara lain terjadinya trade creation. 30 FTA adalah bentuk perjanjian perdagangan dengan preferensi yang melakukan diskriminasi terhadap pihak luar perjanjian melalui penerapan tarif dan hambatan dalam bentuk ketentuan. Untuk lebih meningkatkan kerjasama ekonomi dan perdagangan ASEAN, pada tahun 1992 disepakati permbentukan ASEAN Free Trade Area (AFTA), pada tahun yang sama saat KTT ke-5 ASEAN di Singapura tahun 1992 telah ditandatangani Framework Agreement on Enhancing ASEAN Economic Cooperation sekaligus menandai dicanangkannya ASEAN Free Trade Area (AFTA) pada tanggal 1 Januari 1993 dengan Common Effective Preferential Tariff (CEPT) sebagai mekanisme utama. Pendirian AFTA memberikan impikasi dalam bentuk pengurangan dan eliminasi tarif, penghapusan hambatan-hambatan non-tarif, AFTA diwujudkan dengan cara menghilangkan hambatan-hambatan perdagangan, berupa tarif maupun non tarif dalam waktu 15 tahun kedepan terhitung tanggal 1 Januari 1993 dengan menggunakan skema Common Effective Preferential Tariff (CEPT) sebagai mekanisme utamanya. Skema Common Effective Preferential 30 Heri Ispriyahadi dan Mutiara Sibarani, Kerjasama Perdagangan Bilateral, ( Jakarta : Elexmedia Kompetindo, 2007), hlm. 209.
12 Tariffs For ASEAN Free Trade Area ( CEPT-AFTA) merupakan suatu skema untuk mewujudkan AFTA melalui : penurunan tarif hingga menjadi 0-5%, penghapusan pembatasan kuantitatif dan hambatan-hambatan non tarif lainnya. Tujuan AFTA adalah untuk meningkatkan kerjasama ekonomi antar negara ASEAN guna mencapai pertumbuhan ekonomi dan pembangunan yang berkesinambungan bagi semua negara anggota ASEAN dimana hal tersebut sangat penting bagi pencapaian stabilitas dan kemakmuran kawasan. Tujuan strategis AFTA adalah untuk meningkatkan competitive advantage kawasan sebagai suatu kawasan unit produksi tunggal (single production unit) dan pasar tunggal (single market). Pengurangan tarif dan non-tarif negara-negara ASEAN diharapkan akan menciptakan efisiensi ekonomi yang lebih besar, peningkatan produktifitas dan daya saing. 31 ASEAN terus mengupayakan langkah-langkah untuk mewujudkan ASEAN sebagai kawasan perdangan bebas melalui pengurangan dan penghapusan hambatan perdagangan baik tarif maupun non-tarif. Karena dengan cara demikian perdagangan kawasan ASEAN diharapkan dapat meningkat karena arus barang tidak terhambat. Pada gilirannya kondisi tersebut akan menjadikan ASEAN sebagai kawasan basis produksi yang kompetitif (terutama dalam menarik investasi asing) sekaligus mewujudkan ASEAN sebagai pasar yang potensial. Skema penurunan dan pengurangan tarif dalam kerangka AFTA dilakukan melalui instrumen Common Effective Preferential Tariff (CEPT). Komoditas yang terdapat dalam skema CEPT dikelompokkan dalam suatu daftar (list) yang terdiri dari Inclusion List (IL), 31 Rahmat Dwi Saputra, op.cit., hlm 181.
13 Temporary Exclusion List (TEL), Sensitive/Highly Sensitive List (SL/HSL), dan General Exception List (GEL). Produk yang akan diliberalisasi dan diberikan atau menerima konsesi penurunan/penghapusan tarif diletakan dalam IL, sedangkan produk yang tidak termasuk dalam IL diletakkan dalam TEL, yang disusun dengan menggunakan HS hingga 8 atau 9 angka. Penggunaan HS hingga 8 atau 9 angka tersebut dimaksudkan untuk meminimalkan jumlah kelompok produk yang termasuk dalam TEL. Pada pertemuan menteri ekonomi ASEAN ke-26 tahun 1994, diputuskan daftar komoditas dalam TEL harus dikurangi secara bertahap sebesar 20 % setiap tahunnya selama lima tahun sehingga pada akhirnya kelompok barang yang berada di TEL dapat masuk dalam IL. 32 Sebagai konsekuensi legal dari keikutsertaan Indonesia dalam meratifikasi pembentukan WTO, Indonesia harus melaksanakan semua ketentuan dibawah GATT termasuk persetujuan-persetujuannya. 33 Masalah utama yang menghambat kelancaran arus barang yang melintasi suatu perbatasan negara adalah diterapkannya prosedur kepabeanan yang rumit dan berbeda-beda serta diberlakukannya berbagai macam persyaratan baik impor maupun ekspor. Untuk mengatasi masalah tersebut Worl Custom Organization (WCO) atau organisasi kepabeanan dunia dimana Indonesia merupakan salah anggotanya, telah menerapkan salah satu tujuannya, yaitu menjamin tercapainya tingkat harmonisasi dan keseragaman sistem kepabeanan yang 32 Joko Siswanto dan Aditya Rachmanto, Menuju Kawasan Bebas Aliran Barang ASEAN 2015, ( Jakarta : Elexmedia Kompetindo, 2008), hlm Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan, Pengantar Nilai Pabean, ( Jakarta : Pusdiklat Bea dan Cukai, 2005), hlm. 8.
14 memadai dalam rangka memperlancar perdagangan.pencapaian tersebut menjadi tanggung jawab the permanent technical commitee (PTC). Untuk memperlancar perdagangan pada tahun 1973 PTC telah menghasilkan the international convention on the simplication and harmonization of customs prosedures, dikenal dengan nama Kyoto Convention. Direktorat Jenderal Bea dan cukai melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan diharapkan akan mendukung perdagangan bebas. Perubahan Undang-Undang Kepabeanan tersebut lebih dipengaruhi oleh konvensi dan situasi perdagangan internasional yang menghendaki keterbukaan dan transparansi dan juga untuk menghilangkan hambatan-hambatan dalam dunia perdagangan internasional baik berupa tarif maupun yang bukan tarif. 34 B. Rumusan Permasalahan Berdasarkan latar belakang tersebut di atas maka dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimana kedudukan tarif dalam hukum perdagangan internasional menurut ketentuan-ketentuan WTO dan AFTA? 2. Bagaimana kebijakan Pemerintahan Indonesia sehubungan dengan harmonisasi tarif di lingkungan AFTA? 3. Bagaimana aturan terkait dengan peran dan kedudukan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dalam pelaksanaan dan penunjukan tarif bea masuk? 34 Ali Purwito, Reformasi Kepabeanan, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 Pengganti Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan, ( Jakarta : Graha Ilmu, 2007), hlm. 13.
15 C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui dan menganalisis kedudukan tarif dalam kebijakan perdagangan internasional menurut ketentuan WTO dan AFTA; 2. Untuk mengetahui dan menganalisis kebijakan Pemerintah Indonesia sehubungan dengan harmonisasi tarif di lingkungan AFTA; 3. Untuk mengetahui dan menganalisis peran dan kedudukan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dalam Penetapan dan penunjukan tarif bea masuk; D. Manfaat Penelitian 1. Secara Teoritis Manfaat penelitian ini adalah sebagai bahan atau data informasi di di bidang ilmu hukum, khususnya di bidang hukum perdagangan internasional bagi kalangan akademisi, untuk mengetahui dinamika perkembangan perdagangan bebas (free trade) atau liberalisasi perdagangan (trade liberalization), khususnya harmonisasi tarif bea masuk dalam perdagangan bebas regional. 2. Secara Praktis Secara praktis, pembahasan dalam tesis ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi kalangan praktisi, pemerintah, DPR dan pelaku dalam dunia bisnis yang melakukan kegiatan di bidang perdagangan internasional khususnya perdagangan bebas regional antara negara-negara ASEAN. E. Keaslian Penelitian Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan oleh peneliti dan tenaga administrasi di Sekretariat Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana
16 bahwa terdapat sejumlah tesis yang menganalisis topik yang terkait dengan perdagangan internasional dalam konteks multilateral maupun regional, antara lain : a. Penerapan Ketentuan Country of Origin Making Di Bea dan Cukai Medan, ditulis oleh Supratignya; b. Eksistensi dan Harmonisasi Kebijakan Pengamanan Perdagangan (Safeguard) Indonesia, ditulis oleh Ramziati. Tetapi penelitian tentang Ketentuan Harmonisasi Tarif Bea Masuk Dalam Rangka Menghadapi Perdagangan Bebas Regional Ditinjau dari Sudut Kepabeanan dilakukan dengan pendekatan dan perumusan masalah yang berbeda dengan beberapa tulisan terdahulu. Oleh sebab itu penelitian ini adalah asli, karena sesuai dengan asas-asas keilmuan yakni : jujur, rasional, objektif dan terbuka/trasnsparan. Sehingga penelitian ini dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya secara ilmiah dan terbuka atas masukan dan kritikan, serta saran-saran yang bersifat membangun. F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori Dalam sejarah perdagangan internasional yaitu pada Era Merkantilisme Thomas Mun dalam bukunya yang berjudul England s Treasure by Foreign berpendapat bahwa untuk meningkatkan kekayaan negara, cara yang biasa dilakukan adalah lewat perdagangan dan karena itu pedoman yang harus dipegang teguh oleh suatu negara adalah mengusahakan agar nilai ekspor ke luar negeri harus lebih besar dibandingkan dengan yang diimpor oleh negara itu. Pada Era Klasik ketika Adam
17 Smith mengeluarkan bukunya yang berjudul An Inquiry into Nature and Causes of the Wealth of Nations, yang biasa disingkat dengan Wealth of Nations, berpendapat bahwa jika suatu Negara menghendaki adanya persaingan, perdagangan bebas dan spesialisasi di dalam negeri, maka hal yang sama juga dikehendaki dalam hubungan antar bangsa. Karena hal itu ia mengusulkan bahwa sebaiknya semua negara lebih baik berspesialisasi dalam komoditi-komoditi di mana ia mempunyai keunggulan yang absolut dan mengimpor saja komoditi-komoditi lainnya. Sedangkan David Ricardo dalam bukunya The Principles of Political Economy and Taxation (1817), 35 menekankan bahwa perdagangan internasional dapat saling menguntungkan jika salah satu negara tidak usah memiliki keunggulan absolut atas suatu komoditi seperti yang diungkapkan oleh Adam Smith, namun cukup memiliki keunggulan komparatif di mana harga untuk suatu komoditi di negara yang satu dengan yang lainnya relatif berbeda. 36 Konsep perdagangan bebas saat ini tidak terlepas dari pemikiran pada era klasik tersebut, dimana GATT selalu mengupayakan terciptanya perdagangan bebas dunia. Prinsip suatu sistem perdagangan bebas dunia yang didasarkan pada ketentuanketentuan yang disepakati bersama ini tidak terlepas dari suatu konsep yang disebut dengan keunggulan komperatif (comparative advantage). Prinsip-prinsip hukum dalam GATT menginginkan perlakuan sama atas setiap produk impor maupun produk domestik. Tujuan utamanya adalah agar terciptanya perdagangan bebas yang Wahyu Pratomo, op.cit., hlm.18. Andreas Limongan, Perdagangan Internasional dan ngunankemiskinan Diakses 30 Maret 2009
18 teratur dan berdasarkan norma-norma hukum GATT. Masalah perdagangan antarnegera dihadapkan pada dua kepentingan yaitu kepentingan nasional dan kepentingan internasional. GATT berusaha untuk berkompromi antara kepentingan tersebut melalui peraturan dan pencantuman skedul tarif GATT. 37 GATT berupaya menghilangkan hambatan perdagangan internasional dengan menghilangkan hambatan berupa tarif ataupun non-tarif. Perdagangan bebas saat ini juga dilakukan melalui pengahapusan hambatan tarif dan non-tarif, tetapi GATT pada dasarnya melegalkan tarif sebagai satu-satunya instrumen bagi sebuah negara untuk melindungi industri dalam negerinya. Ada beberapa alasan penggunaan instrumen tarif dalam perdagangan internasional yakni : a. Tarif bisa menjadi alat yang digunakan oleh suatu negara ketika harus membalas praktek perdagangan tidak adil yang dilakukan oleh negara anggota lainnya, walaupun sebenarnya, tarif memberikan proteksi yang kecil. b. Tarif merupakan instrumen lebih mudah dan dapat diubah sewaktu-waktu dibandingkan dengan instrumen non-tarif. Tarif yang berbeda-beda pada setiap negara dalam perdagangan internasional akan menimbulkan distorsi pasar dan pasar tersebut juga menjadi tidak dapat di prediksi. Dalam praktek perdagangan internasional saat ini distorsi tersebut dapat berupa subsidi produksi, tarif, kuota tarif dan sebagainya. 38 Untuk menghindari 37 Syahmin A.K., Aspek-Aspek Hukum Perdagangan Internasional dalam GATT dan WTO, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2006), hlm, Executive Summary, Current State Play in WTO, (Jakarta : Departemen Luar Negeri Republik Indonesia, 2009). hlm.3.
19 distorsi dan hambatan-hambatan dalam perdagangan internasional tersebut setidaktidaknya ada bebarapa faktor yang perlu di perhatikan dalam pembaharuan hukum menuju ekonomi perdagangan internasional. Menurut Burg s mengenai hukum dan pembangunan ekonomi terdapat beberapa unsur yang harus dikembangkan supaya tidak menghambat ekonomi yaitu apakah hukum mampu menciptakan "stability", "predictability" dan "fairness". Dua hal yang pertama adalah prasyarat bagi sistem ekonomi apa saja untuk berfungsi. Termasuk dalam fungsi stabilitas (stability) adalah potensi hukum menyeimbangkan dan mengakomodasi kepentingan-kepentingan yang saling bersaing. Kebutuhan fungsi hukum untuk dapat meramalkan (predictability) akibat dari suatu langkah-langkah yang diambil khususnya penting bagi negeri yang sebagian besar rakyatnya untuk pertama kali memasuki hubungan-hubungan ekonomi melampaui lingkungan sosial yang tradisional. Aspek keadilan (fairness), seperti perlakuan yang sama dan standar pola tingkah laku Pemerintah adalah perlu untuk menjaga mekanisme pasar dan mencegah birokrasi yang berlebihan. 39 Hal yang sama juga diungkapkan J.D. Ny Hart bahwa konsep dasar pembangunan ekonomi yaitu hukum harus dapat membuat prediksi (predictability), yaitu apakah hukum itu dapat memberikan jaminan dan kepastian hukum bagi pelaku dalam memprediksi kegiatan apa yang dilakukan untuk proyeksi pengembangan ekonomi. 40 Seperti halnya tarif, GATT juga mensyaratkan negara-negara anggotanya untuk menerapkan prinsip 39 Erman Rajagukguk, Hukum Ekonomi Indonesia Memperkuat Persatuan Nasional, Mendorong Pertumbuhan Ekonomi Dan Memperluas Kesejahteraan Sosial, ( Jakarta : Universitas Indonesia), hlm Bismar Nasution, Reformasi Hukum Dalam Rangka Era Globalisasi Ekonomi, (Medan : Sekolah Pasca Sarjan Ilmu Hukum, 2008), hlm. 3.
20 transparansi. Prinsip ini pula yang menjadi kunci bagi prasyarat perdagangan yang pasti (predictable). Untuk mengakomodasi kepentingan-kepentingan yang bersaing dalam perdagangan internasional dan bagi negara berkembang yang masih berada dalam tahap awal pembangunan ekonominya dalam memasuki hubungan-hubungan perdagangan internasional dan agar dapat meramalkan langkah-langkah yang diambil dapat memperhatikan prinsip-prinsip GATT yaitu prinsip Most Favoured Nation, National Treatment dan Reciprocity dimana semua negara diperlakukan atas dasar yang sama dan semua negara menikmati keuntungan dari suatu kebijaksanaan perdagangan. Negara yang sedang berkembang juga memperoleh perlakuan yang sama dengan adanya perlakuan khusus dan berbeda (special and diffrential treatment-s&d), dimana negara-negara maju juga tidak akan meminta balasan dalam perundingan penurunan atau penghilangan tarif dan rintangan-rintangan lain terhadap perdangan negara-negara berkembang. John Rawls dalam A Theory of Justice, juga mengkonsepkan keadilan sebagai fairness dimana setiap negara berkembang yang berkehendak untuk mengembangkan kepentingan-kepentingannya dalam perdagangan internasional hendaknya juga memperoleh suatu kedudukan yang sama pada saat akan memulainya dan itu merupakan syarat yang fundamental bagi negara berkembang untuk memasuki perdagangan internasional Eman Suparman, Perjanjian Internasional Sebagai Model Hukum Bagi Pengaturan Masyarakat Global, Menuju Konvensi ASEAN Sebagai Upaya Harmonisasi Hukum, (Bandung : Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, 2000), Hlm. 30.
21 GATT dalam pasal XXIV mengakui adanya integrasi yang erat dalam bidang ekonomi melalui perdagangan yang lebih bebas. Bentuk pengelompokan dalam pasal XXIV tersebut dapat berupa custom union dan free trade area. Dalam free trade area, sekelompok negara setuju untuk menghapus tarif diantara mereka namun tetap mempertahankan tarif mereka masing-masing terhadap impor dari negara-negara di luar FTA. Agar negara anggota FTA dapat memprediksi langkah-langkah yang diambilnya dalam menghadapi perdagangan bebas maka mekanisme penurunan tarif dilakukan melalui penerapan common effective preferential tariff (CEPT) dan atas dasar prinsip MFN. Dalam penyusunan pengaturan domestik negara anggota didorong untuk merujuk standar harmonisasi internasional. Penomoran tarif akan diseragamkan (diharmonisasikan) demikian juga dengan prosedur sistem penilaian dan kepabeanan. 42 Harmonisasi hukum dapat juga digambarkan sebagai suatu upaya yang dilaksanakan dengan proses untuk membuat hukum nasional dari negara-negara anggota ASEAN mempunyai prinsip atau pun pengaturan yang sama tentang masalah yang serupa di masing-masing jurisdiksinya. Harmonisasi dalam bidang hukum merupakan salah satu tujuan penting dalam menyelenggarakan hubungan-hubungan hukum. Terlebih lagi kawasan ASEAN telah bersepakat membentuk AFTA sebagai kawasan perniagaan negara-negara di Asia Tenggara. Kerjasama bidang hukum yang berujung pada adanya harmonisasi itu penting agar hubungan-hubungan hukum yang Huala Adolf, Hukum Ekonomi Internasional, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2005), hlm.
22 diatur oleh satu negara akan sejalan atau tidak begitu berbeda dalam penerapannya dengan ketentuan yang berlaku di negara lain. 43 Harmonisasi adalah proses membawa dua atau lebih standar, peraturan teknis dan prosedur kesesuaian (conformity assessment procedures) kedalam kesesuaian satu sama lain. Harmonisasi tersebut dapat terjadi dalam dua konteks sebagai berikut : (1). Secara bilateral atau multilateral diantara negara-negara yang berbeda, dan (2). Antara negara-negara dengan organisasi-organisasi yang menetapkan standar internasional. 44 Secara historis tujuan utama harmonisasi adalah untuk integrasi ekonomi dan pengurangan hambatan-hambatan perdagangan. Secara teoritis, harmonisasi standar dan prosedur akan meningkatkan akses pasar, mengurangi biaya, meningkatkan produktivitas melalui spesialisasi atas dasar keuntungan komparatif dan menaikkan pertumbuhan secara keseluruhan. 45 Pada dasarnya ada dua macam harmonisasi, yaitu harmonisasi penuh (full harmonization) dan model kesetaraan (equivalence model). Berdasarkan harmonisasi penuh, dua negara atau lebih menyetujui untuk mengadopsi standar yang sama. Negara-negara dapat menyamakan standarnya dalam satu dari tiga cara sebagai berikut : (1). harmonisasi yang mengikat (upward harmonization), dimana negara dengan standar yang lebih rendah memperketat standarnya untuk menyamakan standar yang lebih tinggi ; (2) harmonisasi menurun (downward harmonization), 43 Eman Suparman, op.cit, hlm Alexander M. Donahue, Equivalence : Not Quite Close Enough for the International Harmonization of Environmental Standards Environmental Law, (Vol. 30 : 2000), hal Alberto Bernabe Riefkohl, To Dream the Impossible Dream : Globalization and Harmonization of Environmental Laws, Notrh Carolina Journal of International Law and Commercial Regulation, (Vol. 20 : 1995), hal. 211.
23 dimana negara dengan standar yang lebih tinggi menurunkan standarnya untuk menyamakan dengan standar yang lebih rendah ; (3) harmonisasi kompromi (compromise harmonization), dimana dua negara atau lebih memperundingkan standar baru pada tingkat menengah. 46 Model harmonisasi yang kedua adalah model kesetaraan, yang juga disebut convergence, approximation, or less-than-full harmonization. Berdasarkan model kesetaraan ini, suatu negara menyetujui untuk menerima standar negara lain yang berbeda karena setara dengan standar yang dimiliknya, tanpa sebenarnya menyamakan standar. Ketika dua negara atau lebih setuju untuk menerima standar masing-masing negara lain sebagai kesetaraan, maka mutual recognition agreement (MRA) terbentuk. Setara dalam hal ini tidak berarti sama. Negara pada intinya menyatakan bahwa standar dan sistim pengaturan negara lain sangat dekat dengan standar yang dimilikinya sehingga mempercayakan perlindungan warga negaranya dalam hal tersebut kepada negara lain. 47 Konsekuensi logis atas keikutsertaan Indonesia dalam meratifikasi GATT Agreement maupun AFTA, APEC, dan lain-lain, memberikan kewenangan yang semakin besar Kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai sebagai institusi Pemerintah untuk dapat memainkan perannya sesuai dengan lingkup tugas dan fungsi yang diemban, dimana kewenangan yang semakin besar ini pada dasarnya adalah keinginan dari para pengguna jasa internasional. Untuk mengantisipasi berbagai 46 Alexander M. Donahue, op.cit, hal Ibid., hal. 370.
24 prakarsa bilateral, regional, dan multilateral di bidang perdagangan yang semakin diwarnai oleh arus liberalisasi dan globalisasi perdagangan dan investasi, Pemerintah Indonesia melalui kebijaksanaanya telah mengesahkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang kepabeanan yang diharapkan mampu menghadapi tantangan-tantangan di era perdagangan bebas saat ini Kerangka Konsepsi Bagian kerangka konsepsi ini akan dijelaskan hal-hal yang berkenan dengan konsep yang digunakan oleh peneliti dalam penulisan Tesis ini. Konsep pada dasarnya berperan dalam penelitian Tesis ini adalah untuk menghubungkan Teori hukum dalam perdagangan internasional dan observasi mengenai ketentuan dan kebijakan pemerintah indonesia dalam menghadapi perdagangan bebas, Konsep ini juga dapat diartikan sebagai kata yang menyatakan abstraksi yang digeneralisasikan dalam hal-hal yang khusus yang biasa disebut dengan defenisi operasional. Definisi operasional ini mempunyai peranan penting dalam menghindarkan perbedaan (diskriminasi). Pengertian antara penafsiran mendua (double) atau biasa juga disebut dengan istilah debius dari suatu istilah yang dipergunakan. Dalam proses penelitian tesis ini dipergunakan juga defenisi operasional untuk memberikan pegangan bagi penulis, yakni sebagai berikut : 48 Sekilas Tentang Direktorat Jenderal Bea dan Cukai diakses 18 Mei 2009.
25 Pengertian harmonisasi berasal dari ilmu musik, yang kemudian digunakan Ilmu Seni. Dalam musik dikenal harmonisasi nada-nada dan seni berkembang harmonisasi warna-warna, kata-kata, frase dan sebagainya. Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia (1988) tidak diberikan perumusan mengenai kata harmoni atau harmonisasi. Yang ada ialah padanan kata harmoni yaitu serasi, selaras, sepadan. Dalam Collins Cobuild Dictionary (1991) ditemukan kata-kata : harmonious dan harmonize dengan penjelasan sebagai berikut : 1. A Relationship, agreement etc. That harmonius is friendly and peaceful. 2. Things which are harmonius have parts which make up an attractive whole and which are proper proportion to each other 3. When people harmonize, they agree about issue or subject in a friendly, peaceful ways;suitable, reconcile 4. If you harmonize teo things, they fit in with each other is part of a system, society etc. Beberapa unsur dapat ditarik dari perumusan-perumusan dalam beberapa kamus tersebut antara lain : 1. Adanya hal-hal yang bertentangan, kejanggalan. 2. Mencocokkan hal-hal yang bertentangan secara proporsional agar membentuk satu keseluruhan yang menarik, sebagai bagian dari satu sistem itu, atau masyarakat. 3. Terciptanya suasana persahabatan dan damai. Pada tahun 1902 Rudolf Stambler di Jerman telah mengutarakan suatu konsep bahwa tujuan atau fungsi hukum adalah harmonisasi pelbagai maksud, tujuan dan kepentingan antar individu dengan individu dan atar individu dengan masyarakat.
26 Prinsip-prinsip hukum yang adil, yang mencakup harmonisasi antara maksud tujuan serta kepentingan perorangan dan maksud tujuan serta kepentingan umum terdiri dari dua unsur yaitu : 1. Saling menghormati maksud tujuan dan kepentingan masing-masing 2. Partisipasi semua pihak dalam usaha mencapai maksud dan tujuan bersama. 49 Harmonisasi hukum dapat juga diartikan sebagai upaya/proses untuk menjadikan hukum nasional suatu negara mempunyai prinsip ataupun kaedah yang sama tentan masalah yang sama dengan negara-negara lainnya, baik secara regional maupun global. Tujuan harmonisasi hukum adalah agar hubungan-hubungan hukum yang diatur oleh suatu negara sejalan atau tidak begitu berbeda penerapannya dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku pada negara-negara lain. 50 Harmonisasi hukum dapat juga digambarkan sebagai suatu upaya yang dilaksanakan dengan proses untuk membuat hukum nasional dari negara-negara anggota ASEAN mempunyai prinsip atau pun pengaturan yang sama tentang masalah yang serupa di masing-masing jurisdiksinya. 51 Tarif, atau bea impor adalah pajak-pajak yang dikenakan atas barang-barang impor dengan tujuan utama untuk meningkatkan harga jualnya di pasar negara 49 LM. Gandhi, Harmonisasi Hukum Menuju Hukum Responsif, (Jakarta : Fakutas Hukum Universitas Indonesia, 1995), Hlm., Suhaidi, Hukum Transaksi Internasional, (Medan : Sekolah Pascasarjana Ilmu Hukum Univeristas Sumatera Utara, 2009), Hlm., Komar Kantaatmadja, Harmonisasi Hukum Negara-Negara ASEAN, Kertas Kerja Pada Simposium Nasional Aspek-aspek Hukum Kerjasama Ekonomi antara Negara-negara ASEAN dalam rangka AFTA, (Bandung : Fakultas Hukum UNPAD, 1993), Hlm. 3.
27 pengimpor dengan tujuan utama mengurangi persaingan bagi pada produsen domestik. Beberapa negara yang lebih kecil juga menggunakannya untuk meningkatkan penerimaan baik dari impor maupun ekspor. 52 Tarif juga dapat diartikan sebagai klasifikasi barang dan pembebanan bea masuk atau bea keluar. 53 Bea masuk adalah pungutan negara berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan yang dikenakan terhadap barang yang diimpor. GATT pada dasarnya mengakui bahwa sebuah negara mempunyai hak untuk melindungi industri dalam negerinya dengan alasan-alasan tertentu, namun satusatunya cara yang diperbolehkan adalah dengan tarif. Hambatan-hambatan selain tarif diusahakan sejauh mungkin diubah menjadi tarif, walaupun akan membuat tingkat tarif meninggi (tariffication). Tarif juga diharapkan bisa menjadi alat yang digunakan oleh suatu negara ketika harus membalas praktek perdagangan tidak adil yang dilakukan oleh negara anggota lainnya, walaupun sebenarnya, tarif memberikan proteksi yang kecil. Hal ini bisa dipahami karena GATT bukan hanya berkeinginan menurunkan tingkat tarif tapi juga menghilangkannya dan mengurangi, sampai pada taraf tertentu menghilangkan, regulasi pemerintah dalam bidang perdagangan. Bentuk-bentuk hambatan non tarif dalam Putaran Tokyo dan putaran-putaran perundingan GATT dan WTO antara lain : 52 Donald A. Ball, dkk., International Business, Bisnis Internasional Tantangan Persaingan Global, (Jakarta : Salemba Empat, Buku 1, Edisi 9, 2004), Hlm Pasal 1 ayat 21 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan.
28 a. Subsidi dan tindakan balasan atas subsidi; 54 b. Hambatan teknis; 55 c. Hambatan Administratif; 56 d. Government Procurement (Pembelian Negara); 57 e. Dumping dan Bea Masuk Anti Dumping; Subsidi adalah penyaluran bantuan dalam bentuk finansial yang dilakukan oleh pemerintah atau instansi publik tertentu. Subsidi disalurkan dalam rangka pembangunan ekonomi baik dalam rangka bantuan, pengembangan dan atau perlindungan suatu industri atau sektor ekonomi yang dipandang sensitif serta untuk memperkuat daya saing ekspor. Subsidi bisa berupa subsidi domestik atau juga subsidi ekspor. Subsidi ekspor dilarang oleh GATT dalam pasal VI, sedangkan bentuk subsidi lainnya ada yang diperbolehkan, diperbolehkan dengan syarat dan dilarang. 55 Putaran Tokyo mengatur hambatan non tarif jenis ini dalam Agreement on Technical Barriers to Trade atau lebih dikenal dengan standar code. Standar code ini merupakan penyempurnaan dari aturan GATT, yaitu pasal I dan III, yang mengatur tentang dilarangnya spesifikasi yang digunakan untuk melindungi industri dalam negeri; pasal IX tentang aturan dalam merk; pasal X mengatur tentang publikasi peraturan administratif yang mencakup juga standar-standar produk; pasal XI dan XX berkenaan dengan referensi umum mengenai standar dan peraturan-peraturan yang terkait. 56 Hambatan administrasi adalah hambatan yang terjadi di kepabeanan yang menyangkut penilaian pada produk impor yang masuk. Penilaian ini harus sesuai dengan kenyataan praktek dunia perdagangan dan melarang cara penentuan penilaian yang arbiter/semena-mena dan fiktif. Dikenal sebagai custom valuation. Masalah penilaian yang bertele-tele akan sangat merugikan pihak importir karena akan ada keterlambatan waktu karena barang tertahan di pelabuhan yang akan menambah beban biaya karena harus membayar lebih atas keterlambatan itu. Harga produk pun bisa berpengaruh. Penilaian di pabean ini penting untuk menentukan tingkat bea masuk barang tersebut. GATT mengaturnya dalan pasal VII. Putaran Tokyo mengenai custom valuation ini mengandung serangkaian peraturan mengenai valuasi, bersifat meluaskan dan merinci aturan valuasi yang sudah diatur dalam Pasal VII GATT. 57 Putaran Tokyo menghasilkan Code on Government Procurement dengan maksud untuk membuka terjadinya kompetisi internasional dalam hal pembelian yang dilakukan oleh suatu negara untuk pembangunan infrastruktur seperti waduk, jalan atau jembatan dan lain-lain ataupun untuk keperluan pelayanan publik. Banyak negara, terutama negara-negara maju serta para pengusahanya, yang sangat berkepentingan dengan keterbukaan tender dalam hal pembelian negara ini dan menginginkan masuk dalam perjanjian GATT karena melihat bahwa masalah ini bisa menjadi alat untuk mendiskriminasi produk dan pemasok dari luar negeri dan memproteksi industri dalam negeri yang pastinya melanggar prinsip GATT tentang Most Favoured Nation serta National Treatment. Sedangkan di lain pihak negara-negara berkembang, yang sektor pemerintahnya umumnya adalah pembeli terbesar, berkepentingan untuk tidak membuka terlalu lebar bagi masuknya tender bagi pihak asing dalam pembelian negara karena bisa menjadi stimulus bagi industri dalam negerinya untuk mendapatkan keuntungan. 58 Dumping mempunyai dua definisi. Pertama, dumping adalah praktek yang dilakukan oleh sebuah perusahaan yang menjual produk ekspornya pada harga yang lebih rendah daripada harga produk itu jika dijual di negara asalnya. Definisi dumping ini dipakai dalam Putaran Kennedy dan Putaran Tokyo mengenai anti dumping duties. Sementara definisi dumping yang disepakati dalam
PRINSIP-PRINSIP PERDAGANGAN DUNIA (GATT/WTO)
BAHAN KULIAH PRINSIP-PRINSIP PERDAGANGAN DUNIA (GATT/WTO) Prof. Sanwani Nasution, SH Dr. Mahmul Siregar, SH.,M.Hum PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM SEKOLAH PASCASARJANA USU MEDAN 2009 PRINSIP-PRINSIP
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. membuat perubahan dalam segala hal, khususnya dalam hal perdagangan. Era
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sudah menjadi hal yang wajar apabila perkembangan peradaban manusia membuat perubahan dalam segala hal, khususnya dalam hal perdagangan. Era perdagangan global yang
Lebih terperinciASEAN FREE TRADE AREA (AFTA) Lola Liestiandi & Primadona Dutika B.
ASEAN FREE TRADE AREA (AFTA) Lola Liestiandi & Primadona Dutika B. Outline Sejarah dan Latar Belakang Pembentukan AFTA Tujuan Strategis AFTA Anggota & Administrasi AFTA Peranan & Manfaat ASEAN-AFTA The
Lebih terperinciConduct dan prosedur penyelesaian sengketa. GATT terbentuk di Geneva pada tahun 1947
BAHAN KULIAH HUKUM PERNIAGAAN/PERDAGANGAN INTERNASIONAL MATCH DAY 6 GENERAL AGREEMENT on TARIFF and TRADE (GATT) A. Sejarah GATT Salah satu sumber hukum yang penting dalam hukum perdagangan internasional
Lebih terperinciLatar Belakang dan Sejarah Terbentuknya. WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO) Bagian Pertama. Fungsi WTO. Tujuan WTO 4/22/2015
WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO) Bagian Pertama Hanif Nur Widhiyanti, S.H.,M.Hum. Latar Belakang dan Sejarah Terbentuknya TidakterlepasdarisejarahlahirnyaInternational Trade Organization (ITO) dangeneral
Lebih terperinciABSTRAK. Kata kunci : WTO (World Trade Organization), Kebijakan Pertanian Indonesia, Kemudahan akses pasar, Liberalisasi, Rezim internasional.
ABSTRAK Indonesia telah menjalankan kesepakan WTO lewat implementasi kebijakan pertanian dalam negeri. Implementasi kebijakan tersebut tertuang dalam deregulasi (penyesuaian kebijakan) yang diterbitkan
Lebih terperinciBAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 4.1 Penerapan Skema CEPT-AFTA Dalam Kerjasama Perdagangan
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Penerapan Skema CEPT-AFTA Dalam Kerjasama Perdagangan Indonesia-Thailand Agreement On The Common Effective Preferential Tariff Scheme For The ASEAN Free Trade
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini perkembangan perekonomian yang sangat pesat telah. mengarah kepada terbentuknya ekonomi global. Ekonomi global mulai
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini perkembangan perekonomian yang sangat pesat telah mengarah kepada terbentuknya ekonomi global. Ekonomi global mulai terbentuk ditandai dengan berbagai peristiwa
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hubungan perdagangan antar negara yang dikenal dengan perdagangan internasional mengalami perkembangan yang pesat dari waktu ke waktu. Perdagangan internasional merupakan
Lebih terperinciMULTILATERAL TRADE (WTO), FREE TRADE AREA DI TINGKAT REGIONAL (AFTA) ATAU FREE TRADE AGREEMENT BILATERAL
MULTILATERAL TRADE (WTO), FREE TRADE AREA DI TINGKAT REGIONAL (AFTA) ATAU FREE TRADE AGREEMENT BILATERAL INDONESIA DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL (SERI 1) 24 JULI 2003 PROF. DAVID K. LINNAN UNIVERSITY OF
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. sehingga perdagangan antar negara menjadi berkembang pesat dan tidak hanya
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemenuhan kebutuhan ekonomi suatu negara saat ini tidak bisa terlepas dari negara lain. Perdagangan antar negara menjadi hal yang perlu dilakukan suatu negara. Disamping
Lebih terperinciBAB IV PEMBANGUNAN PERTANIAN DI ERA GLOBALISASI (Konsolidasi Agribisnis dalam Menghadapi Globalisasi)
BAB IV PEMBANGUNAN PERTANIAN DI ERA GLOBALISASI (Konsolidasi Agribisnis dalam Menghadapi Globalisasi) Sebagai suatu negara yang aktif dalam pergaulan dunia, Indonesia senantiasa dituntut untuk cepat tanggap
Lebih terperinciERD GANGAN INTERNA INTERN SIONA SION L
PERDAGANGAN INTERNASIONAL PIEw13 1 KEY QUESTIONS 1. Barang-barang apakah yang hendak dijual dan hendak dibeli oleh suatu negara dalam perdagangan internasional? 2. Atas dasar apakah barang-barang tersebut
Lebih terperinciPRINSIP WTO IKANINGTYAS
PRINSIP WTO IKANINGTYAS PERLAKUAN YANG SAMA UNTUK SEMUA ANGGOTA (MOST FAVOURED NATIONS TREATMENT-MFN). Prinsip ini diatur dalam pasal I GATT 1994 yang mensyaratkan semua komitman yang dibuat atau ditandatangani
Lebih terperinciPROTOCOL TO IMPLEMENT THE SIXTH PACKAGE OF COMMITMENTS UNDER THE ASEAN FRAMEWORK AGREEMENT ON SERVICES
NASKAH PENJELASAN PROTOCOL TO IMPLEMENT THE SIXTH PACKAGE OF COMMITMENTS UNDER THE ASEAN FRAMEWORK AGREEMENT ON SERVICES (PROTOKOL UNTUK MELAKSANAKAN KOMITMEN PAKET KEENAM DALAM PERSETUJUAN KERANGKA KERJA
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kegiatan bisnis yang berkembang sangat pesat. perhatian dunia usaha terhadap kegiatan bisnis
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perdagangan internasional merupakan salah satu bagian dari kegiatan ekonomi atau kegiatan bisnis yang berkembang sangat pesat. perhatian dunia usaha terhadap
Lebih terperinci1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pariwisata saat ini telah menjadi salah satu motor penggerak ekonomi dunia terutama dalam penerimaan devisa negara melalui konsumsi yang dilakukan turis asing terhadap
Lebih terperinciKEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 130 TAHUN 1998 TENTANG PENGESAHAN ASEAN AGREEMENT ON CUSTOMS (PERSETUJUAN ASEAN DI BIDANG KEPABEANAN)
KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 130 TAHUN 1998 TENTANG PENGESAHAN ASEAN AGREEMENT ON CUSTOMS (PERSETUJUAN ASEAN DI BIDANG KEPABEANAN) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa di Puket,
Lebih terperinciBAB 4 PENUTUP. 4.1 Kesimpulan
BAB 4 PENUTUP 4.1 Kesimpulan Perdagangan internasional diatur dalam sebuah rejim yang bernama WTO. Di dalam institusi ini terdapat berbagai unsur dari suatu rejim, yaitu prinsip, norma, peraturan, maupun
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Masyarakat Ekonomi ASEAN akan segera diberlakukan pada tahun 2015.
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ASEAN Ecomonic Community (AEC) atau yang lebih dikenal dengan Masyarakat Ekonomi ASEAN akan segera diberlakukan pada tahun 2015. AEC merupakan realisasi dari tujuan
Lebih terperinciBab 5 Bisnis Global P E R T E M U A N 5
Bab 5 Bisnis Global P E R T E M U A N 5 1 PENGERTIAN GLOBALISASI Globalisasi: Perekonomian dunia yang menjadi sistem tunggal yang saling bergantung satu dengan yang lainnya Beberapa kekuatan yang digabungkan
Lebih terperinciBab 5 Bisnis Global 10/2/2017 1
Bab 5 Bisnis Global 10/2/2017 1 Pengertian Globalisasi Globalisasi: Perekonomian dunia yang menjadi sistem tunggal yang saling bergantung satu dengan yang lainnya Beberapa kekuatan yang digabungkan menyulut
Lebih terperinciSEKOLAH PASCASARJANA USU MEDAN 2009
BAHAN KULIAH WORLD TRADE ORGANIZATION Prof. Sanwani Nasution, SH Dr. Mahmul Siregar, SH.,M.Hum PROGRAM STUDI ILMU HUKUM SEKOLAH PASCASARJANA USU MEDAN 2009 SEJARAH TERBENTUKNYA GATT (1) Kondisi perekonomian
Lebih terperinciPERDAGANGAN INTERNASIONAL DAN INVESTASI
BAHAN KULIAH PERDAGANGAN INTERNASIONAL DAN INVESTASI Prof. Sanwani Nasution, SH Dr. Mahmul Siregar, SH.,M.Hum PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM SEKOLAH PASCASARJANA USU MEDAN 2009 HUBUNGAN PERDAGANGAN
Lebih terperinciBAHAN KULIAH HUKUM PERDAGANGAN JASA INTERNASIONAL SEKOLAH PASCASARJANA USU MEDAN 2008
BAHAN KULIAH HUKUM PERDAGANGAN JASA INTERNASIONAL Dr. Mahmul Siregar, SH.,M.Hum Staf Pengajar Fakultas Hukum USU Jl. BungaAsoka Gg. AndalasNo. 1 AsamKumbang, Medan Cellphone : 0813 62260213, 77729765 E-mail
Lebih terperinciPERLINDUNGAN INDUSTRI DALAM NEGERI MELALUI TINDAKAN SAFEGUARD WORLD TRADE ORGANIZATION
PERLINDUNGAN INDUSTRI DALAM NEGERI MELALUI TINDAKAN SAFEGUARD WORLD TRADE ORGANIZATION Oleh : A.A. Istri Indraswari I Ketut Sudiarta Bagian Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT Protection
Lebih terperinciBAHAN KULIAH HUKUM PERNIAGAAN/PERDAGANGAN INTERNASIONAL MATCH DAY 7 WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO)
BAHAN KULIAH HUKUM PERNIAGAAN/PERDAGANGAN INTERNASIONAL MATCH DAY 7 WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO) A. Sejarah WTO World Trade Organization (WTO) adalah suatu organisasi perdagangan antarbangsabangsa dengan
Lebih terperinciSISTEM PENETAPAN NILAI PABEAN (CUSTOMS VALUATION) YANG BERLAKU DI INDONESIA
SISTEM PENETAPAN NILAI PABEAN (CUSTOMS VALUATION) YANG BERLAKU DI INDONESIA Oleh : Sunarno *) Pendahuluan Nilai pabean adalah nilai yang digunakan sebagai dasar untuk menghitung Bea Masuk. Pasal 12 UU
Lebih terperinciIII KERANGKA PEMIKIRAN
III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis Pembentukan kerangka pemikiran dalam penelitian ini didukung oleh teori-teori yang terkait dengan tujuan penelitian. Teori-teori tersebut meliputi
Lebih terperinciKETENTUAN HARMONISASI TARIF BEA MASUK DALAM RANGKA MENGHADAPI PERDAGANGAN BEBAS REGIONAL DITINJAU DARI SUDUT KEPABEANAN
KETENTUAN HARMONISASI TARIF BEA MASUK DALAM RANGKA MENGHADAPI PERDAGANGAN BEBAS REGIONAL DITINJAU DARI SUDUT KEPABEANAN TESIS Oleh JOI ARIANTO SIMORANGKIR 077005125/HK PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. artikan sebagai kesepakatan dari kedua belah pihak yaitu penjual dan pembeli
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara yang memiliki jumlah penduduk yang begitu banyak, perdagangan menjadi salah satu sumber mata pencahariannya.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. utama yang dilakukan negara untuk menjalin kerjasama perdagangan. Hal ini
BAB I PENDAHULUAN Saat ini, pembentukan Free Trade Agreement (FTA) menjadi salah satu opsi utama yang dilakukan negara untuk menjalin kerjasama perdagangan. Hal ini menjadikan evaluasi dampak terhadap
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam memenuhi kebutuhan pangan
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk yang besar menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam memenuhi kebutuhan pangan penduduknya. Oleh karena itu, kebijakan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor pertanian saat ini telah mengalami perubahan
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan sektor pertanian saat ini telah mengalami perubahan orientasi yaitu dari orientasi peningkatan produksi ke orientasi peningkatan pendapatan dan kesejahteraan.
Lebih terperinciUNIVERSITAS INDONESIA
UNIVERSITAS INDONESIA TINJAUAN YURIDIS ATAS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP INDUSTRI DALAM NEGERI MELALUI PERATURAN NASIONAL DIKAITKAN DENGAN UPAYA SAFEGUARDS DALAM WORLD TRADE ORGANIZATION T E S I S SYLVIANA
Lebih terperinciBAB V KESIMPULAN DAN SARAN
122 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN KESIMPULAN Berdasarkan pembahasan yang telah dikemukakan di dalam bab-bab sebelumnya mengenai pengaturan pengaturan technical barrier to trade sebagai salah satu perjanjian
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian Profil DJBC Kanwil Jawa Barat
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian 1.1.1 Profil DJBC Kanwil Jawa Barat Penelitian ini dilakukan di Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kanwil Jawa Barat. Objek penelitian DJBC Kanwil
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 58 TAHUN 2008 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN KERANGKA KERJA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK ISLAM PAKISTAN TENTANG KEMITRAAN EKONOMI
Lebih terperinciPENDAHULUAN. Dalam beberapa dekade belakangan ini, perdagangan internasional telah
PENDAHULUAN Latar Belakang Dalam beberapa dekade belakangan ini, perdagangan internasional telah tumbuh dengan pesat dan memainkan peranan penting dan strategis dalam perekonomian global. Meningkatnya
Lebih terperinciSISTEM PERDAGANGAN INTERNASIONAL
SISTEM PERDAGANGAN INTERNASIONAL GLOBAL TRADING SYSTEM 1. Tarif GATT (1947) WTO (1995) 2. Subsidi 3. Kuota 4. VERs 5. ad. Policy 6. PKL NEGARA ATAU KELOMPOK NEGARA NEGARA ATAU KELOMPOK NEGARA TRADE BARRIERS
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. perdagangan resiprokal antara dua mitra dagang atau lebih. RTA mencakup
BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Regional Trade Agreements (RTA) didefinisikan sebagai kerjasama perdagangan resiprokal antara dua mitra dagang atau lebih. RTA mencakup free trade agreements (FTA),
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Era globalisasi menuntut adanya keterbukaan ekonomi yang semakin luas dari setiap negara di dunia, baik keterbukaan dalam perdagangan luar negeri (trade openness) maupun
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. World Trade Organization (WTO) secara resmi berdiri pada. tanggal 1 Januari 1995 dengan disepakatinya Agreement the World
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah World Trade Organization (WTO) secara resmi berdiri pada tanggal 1 Januari 1995 dengan disepakatinya Agreement the World Trade Organization ditandatangani para
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. terhadap negara lainnya merupakan salah satu faktor penyebab semakin maraknya
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tingginya permintaan akan suatu barang dan jasa oleh suatu negara terhadap negara lainnya merupakan salah satu faktor penyebab semakin maraknya perdagangan di kancah
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. semakin penting sejak tahun 1990-an. Hal tersebut ditandai dengan. meningkatnya jumlah kesepakatan integrasi ekonomi, bersamaan dengan
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Integrasi suatu negara ke dalam kawasan integrasi ekonomi telah menarik perhatian banyak negara, terutama setelah Perang Dunia II dan menjadi semakin penting sejak tahun
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Prinsip umum perdagangan bebas adalah menyingkirkan hambatan-hambatan
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Prinsip umum perdagangan bebas adalah menyingkirkan hambatan-hambatan teknis perdagangan (technical barriers to trade) dengan mengurangi atau menghilangkan tindakan
Lebih terperinciMateri Minggu 5. Kebijakan Ekonomi & Perdagangan Internasional Pengertian, Instrumen dan Tujuan Kebijakan Ekonomi Internasional
E k o n o m i I n t e r n a s i o n a l 35 Materi Minggu 5 Kebijakan Ekonomi & Perdagangan Internasional 5.1. Pengertian, Instrumen dan Tujuan Kebijakan Ekonomi Internasional Kebijakan ekonomi internasional
Lebih terperinciSIAPA YANG DIUNTUNGKAN DALAM PERJANJIAN PERDAGANGAN BEBAS?
SIAPA YANG DIUNTUNGKAN DALAM PERJANJIAN PERDAGANGAN BEBAS? Oleh: Ahmad Syariful Jamil, S.E., M.Si Calon Widyaiswara Ahli Pertama Belum selesai proses penarikan diri Inggris dari keanggotaan Uni Eropa,
Lebih terperinciPENERAPAN PENGGUNAAN MATA UANG RUPIAH BAGI PELAKU USAHA PERDAGANGAN LUAR NEGERI
PENERAPAN PENGGUNAAN MATA UANG RUPIAH BAGI PELAKU USAHA PERDAGANGAN LUAR NEGERI Oleh Ida Ayu Reina Dwinanda I Ketut Wirawan Bagian Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT This article
Lebih terperinciKEGIATAN PEMBAHASAN PENYUSUNAN ASEAN HARMONIZED TARIFF NOMENCLATURE (AHTN) 2017
KEGIATAN PEMBAHASAN PENYUSUNAN ASEAN HARMONIZED TARIFF NOMENCLATURE (AHTN) 2017 A. Pendahuluan Klasifikasi barang adalah suatu daftar penggolongan barang yang dibuat secara sistematis dengan tujuan untuk
Lebih terperinciKebijakan Ekonomi & Perdagangan Internasional. By: Afrila Eki Pradita, S.E., MMSI
Kebijakan Ekonomi & Perdagangan Internasional By: Afrila Eki Pradita, S.E., MMSI Tindakan/ kebijakan ekonomi pemerintah, yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi komposisi, arah serta bentuk
Lebih terperinciNASKAH PENJELASAN PENGESAHAN
NASKAH PENJELASAN PENGESAHAN SECOND PROTOCOL TO AMEND THE AGREEMENT ON TRADE IN GOODS UNDER THE FRAMEWORK AGREEMENT ON COMPREHENSIVE ECONOMIC COOPERATION AMONG THE GOVERNMENTS OF THE MEMBER COUNTRIES OF
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. setiap negara bertujuan agar posisi ekonomi negara tersebut di pasar internasional
BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Penelitian Negara-negara di seluruh dunia saat ini menyadari bahwa integrasi ekonomi memiliki peran penting dalam perdagangan. Integrasi dilakukan oleh setiap negara
Lebih terperinciHAK KEKAYAAN INTELEKTUAL DAN HAK KEKAYAAN INDUSTRI (HAKI)
HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL DAN HAK KEKAYAAN INDUSTRI (HAKI) 1. Pembahasan HAKI Keberadaan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dalam hubungan antar manusia dan antar negara merupakan sesuatu yang tidak dapat dipungkiri.
Lebih terperinciRenstra Pusat Akreditasi Lembaga Sertifikasi BSN Tahun RENSTRA PUSAT AKREDITASI LEMBAGA SERTIFIKASI TAHUN
RENSTRA PUSAT AKREDITASI LEMBAGA SERTIFIKASI TAHUN 2015-2019 BADAN STANDARDISASI NASIONAL 2015 Kata Pengantar Dalam rangka melaksanakan amanat Undang-Undang No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan
Lebih terperinciPengantar Hukum WTO. Peter Van den Bossche, Daniar Natakusumah dan Joseph Wira Koesnaidi 1
Pengantar Hukum WTO Peter Van den Bossche, Daniar Natakusumah dan Joseph Wira Koesnaidi 1 PRAKATA Penulis mengucapkan terimakasih kepada Pak Adolf Warauw S.H., LL.M. dan Prof. Hikmahanto Juwana S.H., LL.M.,
Lebih terperinciBAHAN KULIAH HUKUM PERNIAGAAN/PERDAGANGAN INTERNASIONAL MATCH DAY 10
BAHAN KULIAH HUKUM PERNIAGAAN/PERDAGANGAN INTERNASIONAL MATCH DAY 10 PENANAMAN MODAL TERKAIT PERDAGANGAN INTERNASIONAL DALAM KERANGKA WTO (THE TRADE RELATED INVESTMENT MEASURES-TRIMs) A. Agreement on Trade
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. perubahan mendasar dengan menempatkan prioritas pembangunan pada bidang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia dalam melaksanakan pembangunan Nasional, perlu melakukan perubahan mendasar dengan menempatkan prioritas pembangunan pada bidang ekonomi yang mengarah
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. perekonomian nasional bagi banyak negara di dunia. Semakin terbuka suatu
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perdagangan internasional memiliki peranan penting sebagai motor penggerak perekonomian nasional bagi banyak negara di dunia. Semakin terbuka suatu negara terhadap arus
Lebih terperinciBAB V KESIMPULAN DAN SARAN
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Prinsip perluasan Uni Eropa adalah semua anggota harus memenuhi ketentuan yang dimiliki oleh Uni Eropa saat ini, antara lain menyangkut isu politik (kecuali bagi
Lebih terperinciekonomi KTSP & K-13 PERDAGANGAN INTERNASIONAL K e l a s A. Konsep Dasar Tujuan Pembelajaran
KTSP & K-13 ekonomi K e l a s XI PERDAGANGAN INTERNASIONAL Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan mempunyai kemampuan sebagai berikut. 1. Memahami tentang teori perdagangan
Lebih terperinciKEBIJAKAN EKONOMI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL
KEBIJAKAN EKONOMI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL Rikky Herdiyansyah SP., MSc Pengertian Kebijakan Ek. Internasional Tindakan/ kebijakan ekonomi pemerintah, yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi
Lebih terperinciRESUME. Liberalisasi produk pertanian komoditas padi dan. biji-bijian nonpadi di Indonesia bermula dari
RESUME Liberalisasi produk pertanian komoditas padi dan biji-bijian nonpadi di Indonesia bermula dari penandatanganan Perjanjian Pertanian (Agreement on Agriculture/AoA) oleh pemerintahan Indonesia yaitu
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Era globalisasi ekonomi yang disertai dengan pesatnya perkembangan teknologi, berdampak kepada ketatnya persaingan, dan cepatnya perubahan lingkungan usaha. Perkembangan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini, globalisasi ekonomi dan perdagangan bebas dunia merupakan dua hal yang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini, globalisasi ekonomi dan perdagangan bebas dunia merupakan dua hal yang saling mempengaruhi atau memperkuat satu dengan yang lainnya. Kedua hal tersebut pun
Lebih terperincihambatan sehingga setiap komoditi dapat memiliki kesempatan bersaing yang sama. Pemberian akses pasar untuk produk-produk susu merupakan konsekuensi l
BAB V 5.1 Kesimpulan KESIMPULAN DAN SARAN Dalam kesepakatan AoA, syarat hegemoni yang merupakan hubungan timbal balik antara tiga aspek seperti form of state, social force, dan world order, seperti dikatakan
Lebih terperinciUPAYA MENGURANGI POTENSI KERUGIAN NEGARA DARI PENYIMPANGAN IMPOR CBU
UPAYA MENGURANGI POTENSI KERUGIAN NEGARA DARI PENYIMPANGAN IMPOR CBU 1. Pendahuluan Sebagaimana diketahui bahwa tugas pokok Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan No.32
Lebih terperinciPEMASARAN HASIL PERTANIAN: Liberalisasi Perdagangan
SELF-PROPAGATING ENTREPRENEURIAL EDUCATION DEVELOPMENT PEMASARAN HASIL PERTANIAN: Liberalisasi Perdagangan Nur Baladina, SP. MP. Lab. Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya Email
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33/M-DAG/PER/8/2010
PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33/M-DAG/PER/8/2010 TENTANG SURAT KETERANGAN ASAL (CERTIFICATE OF ORIGIN) UNTUK BARANG EKSPOR INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Sebagai salah satu negara yang telah menjadi anggota World Trade
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Sebagai salah satu negara yang telah menjadi anggota World Trade Organization (WTO), Indonesia terikat untuk mematuhi ketentuan-ketentuan perdagangan internasional
Lebih terperinciMATERI PERDAGANGAN LUAR NEGERI
MATERI PERDAGANGAN LUAR NEGERI A. Definisi Pengertian perdagangan internasional merupakan hubungan kegiatan ekonomi antarnegara yang diwujudkan dengan adanya proses pertukaran barang atau jasa atas dasar
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Industri jasa konstruksi memiliki arti penting dan strategis dalam pembangunan nasional mengingat industri jasa konstruksi menghasilkan produk akhir berupa bangunan
Lebih terperinciBAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN. Wealth of Nation (Halwani & Tjiptoherijanto, 1993). Dengan adanya
58 BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN 3.1 Kerangka Berpikir Perdagangan bebas yang menjadi landasan teori perdagangan internasional dicetuskan pertama kali oleh Smith (1776) dalam
Lebih terperinciBAB V KESIMPULAN DAN SARAN. kerjasama perdagangan Indonesia dengan Thailand. AFTA, dimana Indonesia dengan Thailand telah menerapkan skema
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Dalam bab ini peneliti akan menyimpulkan hasil penelitian secara keseluruhan sesuai dengan berbagai rumusan masalah yang terdapat pada Bab 1 dan memberikan saran bagi berbagai
Lebih terperinciINTERNASIONALISASI : TEORI DAN PERKEMBANGAN. PEMASARAN INTERNASIONAL MINGGU KEDUA BY. MUHAMMAD WADUD, SE., M.Si. FAKULTAS EKONOMI UNIV.
INTERNASIONALISASI : TEORI DAN PERKEMBANGAN PEMASARAN INTERNASIONAL MINGGU KEDUA BY. MUHAMMAD WADUD, SE., M.Si. FAKULTAS EKONOMI UNIV. IGM POKOK BAHASAN TEORI POKOK PERDAGANGAN INTERNASIONAL TEORI-TEORI
Lebih terperinciBAB V KESIMPULAN. masyarakat internasional yaitu isu ekonomi perdagangan. Seiring dengan
BAB V KESIMPULAN Penelitian ini membahas salah satu isu penting yang kerap menjadi fokus masyarakat internasional yaitu isu ekonomi perdagangan. Seiring dengan berkembangnya isu isu di dunia internasional,
Lebih terperinciHUKUM PERDAGANGAN BEBAS MULTILATERAL Perdagangan Internasional Dan Lingkungan Hidup
BAHAN KULIAH HUKUM PERDAGANGAN BEBAS MULTILATERAL Perdagangan Internasional Dan Lingkungan Hidup Prof. Sanwani Nasution, SH Dr. Mahmul Siregar, SH.,M.Hum PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM SEKOLAH PASCASARJANA
Lebih terperinciPENGATURAN PERDAGANGAN BEBAS DALAM ASEAN-CHINA FREE TRADE AREAL (ACFTA) DAN IMPLEMENTASINYA DI INDONESIA
PENGATURAN PERDAGANGAN BEBAS DALAM ASEAN-CHINA FREE TRADE AREAL (ACFTA) DAN IMPLEMENTASINYA DI INDONESIA SKRIPSI Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Oleh: SRI OKTAVIANI
Lebih terperinciIII KERANGKA PEMIKIRAN
III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Teori Permintaan Permintaan adalah jumlah barang atau jasa yang rela dan mampu dibeli oleh konsumen selama periode tertentu (Pappas & Hirschey
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. secara signifikan meningkat dengan pesat, khususnya ketika ekonomi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Beberapa tahun terakhir kondisi ekonomi seperti globalisasi ekonomi, perdagangan barang selain produk seperti perdagangan jasa secara signifikan meningkat dengan pesat,
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. nasional. Badan Pusat Statistik Indonesia mencatat rata-rata penyerapan tenaga
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang sebagian besar penduduknya berusaha di bidang pertanian. Dengan tersedianya lahan dan jumlah tenaga kerja yang besar, diharapkan
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2017 TENTANG PENGESAHAN PROTOCOL AMENDING THE MARRAKESH AGREEMENT ESTABLISHING THE WORLD TRADE ORGANIZATION (PROTOKOL PERUBAHAN PERSETUJUAN MARRAKESH MENGENAI
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Menurut Tinbergen (1954), integrasi ekonomi merupakan penciptaan struktur
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurut Tinbergen (1954), integrasi ekonomi merupakan penciptaan struktur perekonomian internasional yang lebih bebas dengan jalan menghapuskan semua hambatanhambatan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. mengikuti pesatnya laju globalisasi ekonomi dunia adalah munculnya blok-blok
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Suatu fenomena yang dalam kurun waktu terakhir ini berkembang pesat mengikuti pesatnya laju globalisasi ekonomi dunia adalah munculnya blok-blok ekonomi dan perdagangan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. implikasi positif dan negatif bagi perkembangan ekonomi negara-negara
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum dan perjanjian internasional yang berkenaan dengan masalah ekonomi yang mengarah pada perdagangan bebas dapat mengakibatkan implikasi positif dan negatif bagi
Lebih terperinciii Ekonomi Internasional
Pendahuluan ii Ekonomi Internasional Daftar Isi iii EKONOMI INTERNASIONAL Oleh : Lia Amalia Edisi Pertama Cetakan Pertama, 2007 Hak Cipta 2007 pada penulis, Hak Cipta dilindungi undang-undang. Dilarang
Lebih terperinciSambutan oleh: Ibu Shinta Widjaja Kamdani Ketua Komite Tetap Kerjasama Perdagangan Internasional Kadin Indonesia
Sambutan oleh: Ibu Shinta Widjaja Kamdani Ketua Komite Tetap Kerjasama Perdagangan Internasional Kadin Indonesia Disampaikan Pada Forum Seminar WTO Tanggal 12 Agustus 2008 di Hotel Aryaduta, Jakarta Kepada
Lebih terperinciPERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP INDUSTRI DALAM NEGERI DARI PRAKTEK DUMPING
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP INDUSTRI DALAM NEGERI DARI PRAKTEK DUMPING DI BALI ( STUDY PADA DINAS PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN PROVINSI BALI ) Oleh : I Made Ferry Gunawadi I Wayan Novy Purwanto Bagian
Lebih terperinciMateri Minggu 12. Kerjasama Ekonomi Internasional
E k o n o m i I n t e r n a s i o n a l 101 Materi Minggu 12 Kerjasama Ekonomi Internasional Semua negara di dunia ini tidak dapat berdiri sendiri. Perlu kerjasama dengan negara lain karena adanya saling
Lebih terperinciAkumulasi logam mulia adalah esensial bagi kekayaan suatu bangsa. Kebijakan ekonomi: mendorong ekspor dan membatasi impor
Bisnis Internasional #2 Nofie Iman Merkantilisme Berkembang di Eropa abad ke-16 hingga 18 Akumulasi logam mulia adalah esensial bagi kekayaan suatu bangsa Kebijakan ekonomi: mendorong ekspor dan membatasi
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. dalam hal lapangan pekerjaan. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 1.
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang sebagian penduduknya bermata pencaharian di sektor pertanian. Menurut data BPS (2010), jumlah penduduk yang bekerja di sektor
Lebih terperinciBAB VI DAMPAK ASEAN PLUS THREE FREE TRADE AREA TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA
81 BAB VI DAMPAK ASEAN PLUS THREE FREE TRADE AREA TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA Negara-negara yang tergabung dalam ASEAN bersama dengan Cina, Jepang dan Rep. Korea telah sepakat akan membentuk suatu
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai negara agraris karena memiliki kekayaan alam yang berlimpah, terutama di bidang sumber daya pertanian seperti lahan, varietas serta iklim yang
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 102 TAHUN 2000 TENTANG STANDARDISASI NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 102 TAHUN 2000 TENTANG STANDARDISASI NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa dalam rangka mendukung peningkatan produktivitas, daya guna produksi,
Lebih terperinciBAB III KEBIJAKAN DAFTAR NEGATIF INVESTASI DI INDONESIA. 1. Dasar Hukum Kebijakan Daftar Negatif Investasi (DNI)
BAB III KEBIJAKAN DAFTAR NEGATIF INVESTASI DI INDONESIA A. Dasar Hukum dan Perkembangan 1. Dasar Hukum Kebijakan Daftar Negatif Investasi (DNI) Adapun dasar hukum dari kebijakan Daftar Negatif Investasi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Liberalisasi perdagangan telah menjadi fenomena dunia yang tidak bisa
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Liberalisasi perdagangan telah menjadi fenomena dunia yang tidak bisa dihindari oleh suatu negara sebagai anggota masyarakat internasional. Salah satu bentuk liberalisasi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. seluruh negara sebagian anggota masyarakat internasional masuk dalam blokblok
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Liberalisasi perdagangan kini telah menjadi fenomena dunia. Hampir di seluruh negara sebagian anggota masyarakat internasional masuk dalam blokblok perdagangan bebas
Lebih terperinci- 1 - PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 102 TAHUN 2000 TENTANG STANDARDISASI NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
- 1 - PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 102 TAHUN 2000 TENTANG STANDARDISASI NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mendukung peningkatan produktivitas, daya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. perdagangan luar negeri yang mempunyai peranan penting bagi suatu negara,
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Dalam perjalanan waktu yang penuh dengan persaingan, negara tidaklah dapat memenuhi sendiri seluruh kebutuhan penduduknya tanpa melakukan kerja sama dengan
Lebih terperinciKEDUDUKAN BILATERAL INVESTMENT TREATIES (BITs) DALAM PERKEMBANGAN HUKUM INVESTASI DI INDONESIA
KEDUDUKAN BILATERAL INVESTMENT TREATIES (BITs) DALAM PERKEMBANGAN HUKUM INVESTASI DI INDONESIA LATIF, BIRKAH Pembimbing : Prof. Dr. Muchammad Zaidun, SH., Msi INTERNATIONAL LAW ; INVESTMENT, FOREIGN KKB
Lebih terperinci