PERTANIAN Oleh: Prajogo U. Hadi Sri Hery Susilowati Muchjidin Rachmat Dewa K.S. Swastika Reny Kustiari Sri Nuryanti

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PERTANIAN Oleh: Prajogo U. Hadi Sri Hery Susilowati Muchjidin Rachmat Dewa K.S. Swastika Reny Kustiari Sri Nuryanti"

Transkripsi

1 OUTLOOK PERTANIAN Oleh: Prajogo U. Hadi Sri Hery Susilowati Muchjidin Rachmat Dewa K.S. Swastika Reny Kustiari Sri Nuryanti PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2011

2 I. PENDAHULUAN Kebijakan pembangunan pertanian lingkup Kementerian Pertanian mencakup empat subsektor yaitu Subsektor Tanaman Pangan, Subsektor Hortikultura, Subsektor Perkebunan dan Subsektor Peternakan. Target-target utama yang ingin dicapai oleh Kementan adalah: (1) Pencapaian swasembada untuk gula, kedelai dan daging sapi dan swasembada berkelanjutan untuk padi dan jagung; (2) Peningkatan diversifikasi pangan; (3) P eningkatan nilai tambah, daya saing dan ekspor; dan (4) Peningkatan kesejahteraan petani. Di tingkat makro, sasaran yang ingin dicapai mencakup PDB, neraca perdagangan, investasi pertanian, penyerapan tenaga kerja dan nilai tukar petani (Kementan, 2010). Banyak faktor yang menentukan keberhasilan pencapaian target-target tersebut diatas. Salah satu cara untuk melihat potensi pencapaian target-target tersebut adalah melakukan analisis outlook pertanian. Sehubungan dengan itu, maka tujuan kegiatan penyusunan outlook komoditas pertanian ini, sesuai dengan Surat Penugasan Kepala Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Nomor 1026/KP.440/A.9/10/2011 adalah: (1) Melakukan analisis kinerja komoditas pertanian periode ; (2) Melakukan analisis prospek komoditas pertanian jangka pendek periode dan jangka panjang periode ; dan (3) Menyusun buku Outlook Komoditas Pertanian Keluaran yang diharapkan dari analisi ini adalah satu set data dan informasi mengenai: (1) K inerja komoditas pertanian periode ; (2) Prospek komoditas pertanian jangka pendek periode dan jangka panjang periode ; dan (3) Tersusunnya buku Outlook Pertanian Analisis outlook ini dibatasi pada variabel-variabel sebagai berikut: (1) Untuk tanaman pangan, hortikultura dan perkebunan adalah luas areal, produksi, ekspor, impor, PDB, investasi dan penyerapan tenaga kerja; dan (2) Untuk peternakan.adalah populasi, jumlah pemotongan (khusus untuk ternak besar seperti sapi potong, sapi perah, kerbau dan kuda, dan ternak kecil seperti kambing, domba dan babi), produksi daging (ternak besar, ternak kecil, dan unggas), telor (ayam dan itik), dan susu, serta eks por, impor, PDB, investasi dan penyerapan tenaga kerja. Dengan adanya hasil analisia outlook ini akan dapat diketahui perkiraan perkembangan luas areal, produksi, ekspor, impor, PDB, investasi dan penyerapan tenaga kerja subsektor tanaman tanaman pangan, subsektor hortikultura, dan subsektor perkebunan, serta populasi, jumlah pemotongan, produksi daging, telor dan susu, eksporimpor, PDB, investasi dan penyerapan tenaga kerja pada subsektor peternakan.

3 II. PENDEKATAN Kegiatan penyusunan outlook komoditas pertanian ini dibatasi hanya mencakup proyeksi kuantitatif yang menyangkut produksi, PDB, neraca perdagangan, investasi, dan penyerapan tenaga kerja pertanian. Pendekatan yang digunakan untuk proyeksi produksi cukup sederhana, yaitu dengan mempertimbangkan trend ( historical trend) periode Namun trend tersebut tidak bisa digunakan begitu saja untuk memproyeksikan produksi periode dan periode karena dua alasan. Pertama, pola perkembangan produksi, dan lain-lain, selama periode mungkin bervariasi, sehingga perlu dilihat scatter diagram selama periode tersebut. Berdasarkan scatter diagram tersebut, kemudian dipilih segmen waktu terakhir yang menunjukkan perkembangan yang lebih smooth. Dengan data segmen waktu terakhir ini kemudian dihitung trendnya untuk digunakan sebagai basis proyeksi produksi periode berikutnya. Kedua, adanya faktor pembatas ekspansi produksi, utamanya ketersediaan lahan pertanian yang makin terbatas. Karena itu, dalam membuat proyeksi, perlu dibuat skenario penurunan trend setiap tahun, tergantung pada jenis komoditasnya, terlepas dari target-target pertumbuhan yang telah ditetapkan pemerintah, termasuk target laju pertumbuhan PDB sektor pertanian. Metode penghitungan trend rata-rata per tahun menggunakan persamaan semilogaritma karena dengan cara ini variasi antar tahun diperhitungkan secara statistik. Metode pertumbuhan geometric yang hanya menggunakan data awal dan akhir periode tidak digunakan karena tidak memperhitungkan variasi antar tahun. Untuk menghitung trend pada segmen waktu terpilih untuk proyeksi (misalnya ), maka hanya data dalam segmen waktu ini yang digunakan. Sementara untuk proyeksi dan digunakan pendekatan sebagai berikut: (1) Gunakan koefisien trend hasil penghitungan trend untuk segmen waktu terakhir terpilih, misalnya 5%/tahun, sebagai basis trend awal; dan (2) Kurangi trend tersebut sebesar 5% untuk trend tahun 2011 sehingga menjadi 0.95*5% = 4.75%/tahun, dan untuk tahun 2012 adalah 0.95*4.75% = 4.51%, dan seterusnya untuk tahun-tahun berikutnya. Persentase penurunan trend tersebut bisa lebih besar atau lebih kecil dari 5%, dan bisa juga dipercepat, tergantung pada kondisi masing-masing komoditas. Untuk komoditas perkebunan tanaman keras, dimana perluasan areal menggunakan areal hutan, penurunan trend akan lebih cepat pada periode dibanding periode sebelumnya karena makin banyak kritik dari dunia internasional terhadap pembukaan hutan di Indonesia untuk perkebunan. Untuk komoditas pangan dan hortikultura juga akan mengalami hal yang serupa. Trend produksi bisa saja dipercepat melalui perbaikan teknologi, namun produktivitas tanaman ada batas

4 maksimumnya sesuai dengan sifat geneticnya, sehingga trend produktivitas juga ada batasnya dan pada suatu saat produktivitas akan stagnan. Untuk membuat proyeksi PDB, perlu dibuat analisis regresi logaritma ganda terlebih dahulu dengan menggunakan data tahun , dimana total produksi menjadi variabel penjelas. Pendekatan ini mengambil logika bahwa besarnya PDB dipengaruhi oleh total produksi. Mungkin saja metode tersebut kurang tepat, karena seharusnya menggunakan jumlah nilai produksi bukan jumlah kuantitas produksi. Tetapi karena data harga produsen tidak selalu ada maka metode tersebut hanya untuk pendekatan saja sehingga penghitungan proyeksi PDB ada dasarnya, walaupun kasar (tidak diambil begitu saja dari langit). Dengan menggunakan parameter elastisitas total produksi dan laju pertumbuhan total produksi, maka proyeksi PDB dapat dihitung. Selanjutnya, kebutuhan investasi dan penyerapan tenaga kerja di masing-masing subsector dapat diperoleh dengan menghitung elastisitas investasi atau jumlah penyerapan tenaga kerja terhadap jumlah produksi dalam subsector yang bersangkutan dikalikan dengan laju pertumbuhan total produksi.

5 III. KINERJA Komoditas Pangan Perkembangan Luas Panen Tabel Perkembangan Luas Panen Komoditas Tanaman Pangan Utama di Indonesia, (ha). Tahun Padi Jagung Kedele K.Hijau K.Tanah Ubi Jalar Ubi Kayu ,793,575 3,500, , , , , , , 89,997 3,285, , , , , , ,521,166 3,109, , , , , , , 488,034 3,358, , , , , , ,922,974 3,356, , , , , , ,839,060 3,625, , , , , , ,86,430 3, , , , , , ,147,637 3, , , , , , ,327,425 4,001, , , , , , ,883,576 4,160, , , , , , ,118,120 4,133, , , , , ,047 Laju (% / th): Perkembangan Produktivitas Tabel Perkembangan Produktivitas Komoditas Tanaman Pangan Indonesia, (ku/ha). Utama di Tahun Padi Jagung Kedelai K Tanah K Hijau U Kayu U Jalar Laju (%/th)

6 Perkembangan Produksi Tabel Perkembangan Produksi Komoditas Tanaman Pangan Utama di Indonesia, (ton). Tahun Padi Jagung Kedele K. Hijau K.Tanah Ubi Jalar Ubi Kayu ,898,900 9,676,900 1,017, , ,483 1,827,687 16,089, ,460,800 9,347, , , ,770 1,749,070 17,054, ,489,700 9,654, , , ,071 1,771,642 16,913, ,137,600 10,886, , , ,000 1,991,000 18,523, ,088,500 11,252, , , ,500 1,901,800 19,424, ,151,100 11,523, , , ,300 1,896,970 19,321, ,454,937 11,609, , , ,096 1,854,238 19,986, ,157,435 13,287, , , ,089 1,886,852 12,617, ,325,925 16,317, , , ,054 1,881,761 21,756, ,398,890 17,629, , , ,527 1,947,311 21,990, ,980,670 17,844, , , ,228 2,051,046 23,918,118 Laju (%/th): Perkembangan Perdagangan Tabel Perkembangan Nilai Ekspor Komoditas Tanaman Pangan Utama di Indonesia, (US$). Tahun Beras Jagung Kedele KTanah Ubijalar UbiKayu ,129,300 4,984, ,000 2,201,862 1,888,384 10,750, ,778,871 10,500, ,000 8,216,617 1,964,629 16,627, ,584,327 3,334,000 4,508,611 6,871,834 3,721,624 10,036, ,870 5,517,000 6,303,174 9,153,232 3,821,644 3,355, ,462,186 9,074,000 6,703,110 7,655,578 5,208,844 57,345, ,087,080 9,048,000 3,152,573 14,214,662 11,113,460 12,639, ,854 4,305,603 8,405,990 10,743,155 6,259,034 16,683, ,665 18,503,000 32,049,014 5,715,626 6,197,464 43,426, ,086 28,906,247 8,252,100 14,070,293 6,593,920 35,871, ,036,774 19,219,000 8,030,426 11,050,955 6,052,634 32,371, ,460 11,235,027 5,709,300 11,544,784 4,768,308 28,595,772 Laju (%/th)

7 Tabel Perkembangan Nilai Impor Komoditas Tanaman Pangan Utama di Indonesia, (US$). Tahun Beras Jagung Kedele KTanah Ubijalar UbiKayu , , ,148,000 13,391,032 5, , , ,232,000 36,965, ,084, , , ,475,032 45,613,311 5, ,000, , , ,753,132 43,147, ,563, , , ,957,301 45,707,875 2, ,445, , , ,212,716 44,086,910 16, ,632, , , ,055,650 59,526,740 98, ,284, , , ,200,950,532 48,273, , ,822, , , ,721, ,529,656 7, ,948, , , ,702, ,108,665 49, ,912, ,442, ,623, ,387, ,694,730 40, ,643,541 Laju (%/th) Perkembangan Produk Domestik Bruto Tabel Perkembangan PDB Tanaman Pangan di Indonesia, Tahun PDB Pert PDB Pangan Kontribusi Sempit (Rp m) (Rp m) (%) , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , * 193, , Laju (%/th)

8 3.2. Komoditas Hortikultura Status Komoditas Hortikultura Tanaman hortikultura meliputi buah-buahan, sayuran, tanaman hias (florikultura), dan tanaman obat (biofarmaka). Berdasarkan Kepmentan Nomor 511/Kpts/PD.9/2006, komoditas hortikultura yang perlu ditangani adalah sebanyak 323 jenis komoditas yang terdiri dari buah-buahan 60 jenis, sayuran 80 jenis, tanaman hias 117 jenis, dan tanaman obat 66 jenis. Secara umum, komoditas hortikultura bercirikan: jenisnya sangat banyak tetapi masing-masing jenis dibutuhkan dalam jumlah yang relatif kecil, mudah rusak dan life time-nya pendek, pada umumnya dibutuhkan dalam bentuk segar, dan tergantung pada selera konsumen yang cenderung cepat berubah. Komoditas hortikultura, khususnya buah-buahan dan sayuran, merupakan komoditas strategis karena perannya dalam pencapaian Pola Pangan Harapan untuk memenuhi gizi bermutu dan berimbang. Komoditas hortikultura selain menjadi sumber karbohidrat, protein, dan lemak nabati, yang sangat penting adalah juga menjadi sumber vitamin, mineral, serat, antioksidan, senyawa yang berkhasiat obat, dan senyawa-senyawa berguna lainnya. Oleh karena itu, produk hortikultura perlu selalu tersedia setiap saat dalam jumlah yang cukup, mutu yang baik, aman dikonsumsi, harga yang terjangkau, serta mudah diakses oleh seluruh lapisan masyarakat. Masyarakat sebagai konsumen merupakan pasar yang sangat potensial, dari tahun ke tahun menunjukkan kenaikan tingkat konsumsi hortikultura. Komoditas hortikultura juga merupakan komoditas yang mempunyai nilai ekonomis yang tinggi, sehingga usaha hortikultura dapat menjadi sumber pendapatan masyarakat petani dan pelaku usaha lainnya, baik yang skala mikro, kecil, menengah maupun besar. Usaha hortikultura mempunyai keunggulan karena mempunyai nilai ekonomi tinggi, jenisnya sangat beragam, ketersedian sumber daya (alam, buatan dan manusia) dan teknolog i pendukung, serta potensi pasar di dalam negeri maupun di luar negeri yang terus meningkat Perkembangan Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Produk hortikultura buah dan sayur merupakan bahan pangan sebagai sumber utama vitamin, mineral, serat, antioksidan, dan energi yang sangat baik bagi kesehatan. Di samping dikonsumsi segar, produk buah, sayuran dan tanaman obat juga berperan sebagai bahan dasar produk olahan dalam industri pangan dan industri kesehatan. Produksi komoditas hortikultura dari tahun ke tahun cenderung meningkat khususnya pada komoditas buah, sayur, tanaman obat dan beberapa jenis tanaman hias. Peningkatan

9 produksi buah dan sayur dilatarbelakangi besarnya permintaan buah dan sayur ini akibat pertambahan penduduk, peningkatan kesadaran penduduk akan manfaat buah dan sayur bagi kesehatan serta peningkatan kesejahteraan. Upaya peningkatan produksi hortikultura dilakukan melalui perluasan area panen dan peningkatan produktivits. Dalam tahun , secara keseluruhan produksi komoditas hortikultura mengalami peningkatan dari juta ton menjadi juta ton, atau peningkatan sebesar sebesar 3,68%/tahun. Peningatan terbesar terjadi pada kelompok tanaman hias dengan laju sebesar 10.16%/th, menyusul kelompok Tanaman Obat dengan laju 5,45 %/tahun, diikuti kelompok Buah sebesar 4,98%/tahun dan kelompok sayuran sebesar 1.32 %/tahun. Peningkatan produksi buah dan sayuran terutama karena peningkatan luas panen yaitu masing masing sebesar 1.97%/tahun dan 2.25%/tahun, sementara produktivitas buah hanya meningkat 0.58%/tahun dan bahkan produktivitas sayuran menurun 1.28%/tahun. Pada tanaman obat peningkatan produksi terjadi karean kontribusi luas panen yang meningkat sebesar 2.72%/tahun dan produktivitas sebesar 2.60%/tahun. Sedangkan peningkatan Tanaman obat terjadi karena perbaikan teknologi yang mampu meningkatkan produktivitas yang tinggi yaitu sebesar 15.34%/tahun sementara luas panen cenderung menurun sebesar 11.05%/tahun (Tabel 3.2.1). Tabel Laju Pertumbuhan Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Komoditas Hortikultura Tahun (%/tahun). Komoditas Luas panen Produksi Produktivitas Buah Sayur Tanaman Obat Tanaman Hias Total Keterangan: Selengkapnya pada Lampiran sampai Lampiran Dengan produksi diatas, konsumsi buah dan sayuran masing-masing berada pada tingkat 32,59 kg dan 40,66 kg per kapita per tahun. Tingkat konsumsi tersebut masih di bawah rekomendasi Organisasi Pangan Dunia (FAO) yaitu 73 kg per kapita per tahun. Tingkat konsumsi buah dan sayuran masyarakat Indonesia relatif tertinggal dibandingkan dengan di negara-negara lainnya di Asia Tenggara, apalagi dibandingkan dengan negaranegara maju. Permintaan konsumen yang rendah mengakibatkan jumlah produksi tidak mampu didorong hingga melebihi jumlah permintaan. Oleh karena itu, konsumsi komoditas hortikultura perlu dinaikkan. Produk hortikultura umumnya dikonsumsi dalam bentuk segar,

10 namun demikian pengembangan pasar produk olahan meningkat pesat. Sejalan dengan itu permintaan bahan baku produk hortikultura untuk industri terus meningkat. Permasalahan dan tantangan yang dihadapi dalam peningkatan produksi masih beragam, yang mencakup: (1) Usaha budidaya komoditas hortikultura sebagian besar berskala mikro dan kecil, bahkan hanya diusahakan sebagai tanaman pekarangan, lokasinya terpencar, dan penerapan GAP masih sangat terbatas; (2) Kurangnya ketersediaan lahan yang dapat digunakan untuk perluasan areal tanam, dimana lahan untuk komoditas hortikultura digunakan secara tumpang sari atau bergiliran dengan tanaman pangan; (3) Sistem pengairan belum baik, dimana sebagian besar lahan hortikultura masih tergantung pada hujan; (4) Ketersediaan dan penggunaan benih bermutu varietas unggul masih terbatas; (5) Keterbatasan penyediaan dan penerapan inovasi tekologi pada prapanen dan pascapanen, dimana penelitian dan pengembangan masih kurang fokus dalam mengatasi permasalahan di dalam usaha tani hortikultura; (6) Serangan OPT masih tinggi, sistem peringatan dini belum berkembang, penerapan PHT masih terbatas, pengendalian OPT masih banyak yang menggunakan pestisida sehingga residunya dapat mengganggu kesehatan atau keamanan pangan; (7) Terjadinya perubahan iklim dan cuaca yang ekstrim; (8) Kondisi infrastruktur yang kurang memadai (jalan, sumber air, sistem irigasi dan listrik); (9) Kurangnya kemampuan SDM, baik manajerial maupun teknis dalam usaha hortikultura; dan (10) Kelembagaan pedagang belum berkembang dan pola hubungan pedagang besar menengah kecil mikro belum tertata secara baik Perkembangan Perdagangan Di pasar domestic, produk hortikultura Indonesia saat ini sebagian besar masuk ke pasar tradisional. Sementara proporsi produk buah dan sayur domestik di pasar modern masing-masing baru mencapai sekitar 21,4% dan 16,2%, namun terus tumbuh sejalan dengan berkembangnya peran pasar modern. Saat ini, setidaknya terdapat unit pasar modern dan toko yang memasarkan produk hortikultura. Kinerja perdagangan produk hortikultura dii pasar domestik tersebut dinilai belum optimal, disamping masih banyak produk dengn mutu yang belum terstandarkan. Pasokan ke pasar cenderung fluktuatif, yang sangat dipengaruhi oleh musim sehingga terjadi fluktuasi harga yang sangat tajam antar waktu. Kondisi rantai tataniaga yang panjang dan menempatkan kekuatan pedagang mengakibatkan adanya selisih margin yang besar antara harga yang diterima petani dan harga yang dibayar konsumen. Dalam perdagangan internasional, Indonesia berada pada posisi net importer yaitu nilai impor lebih besar dibanding nilai ekspor. Hal ini sejalan dengan masih relatif sangat kecilnya pangsa nilai ekspor Indonesia dibandingkan dengan pangsa pasar dunia dan

11 pertumbuhan ekspor juga lambat, sementara nilai impor tumbuh cepat yang jauh melebihi nilai ekspor. Defisit perdagangan terutama terjadi pada kelompok komoditas buah dan sayur, sementara pada tanaman obat dan tanaman hias menunjukkan surplus perdagangan, walaupun nilainya lebih kecil daripada nilai defisit perdagangan buah dan sayur. Kinerja perdagangan komoditas hortikultura terangkum dalam Tabel Tabel Neraca Perdagangan Komoditas Hortikultura, (US$ juta) Tahun Buah Sayur T. Obat T. Hias Total Sumber : Ditjen Hortikultura (2010) Perkembangan Produk Domestik Bruto Pembangunan subsektor hortikultura telah memberikan sumbangan yang cukup berarti, baik bagi sektor pertanian maupun perekonomian nasional, yang dapat dilihat dari Produk Domestik Bruto (PDB), jumlah rumah tangga yang mengandalkan sumber pendapatannya dari subsektor hortikultura, penyerapan tenaga kerja, dan peningkatan pendapatan masyarakat (Tabel 3.2.3). Tabel Perkembangan PDB Riil Subsektor Hortikultura, (Rp milyar) Tahun Buah Sayur T.Obat T. Hias Hortikultura ,865 14, ,711 39, ,886 15, ,950 43, ,168 17, ,458 50, ,819 18, ,654 53, ,512 19, ,854 56, ,341 21, ,190 61, ,124 24, ,805 68, ,618 26, ,234 74, ,892 29, ,881 84, ,974 30, ,014 85, ,809 31, ,441 89,453 Laju (%/th) Nilai PDB hortikultura terus meningkat dari tahun ke tahun. Angka PDB hortikultura tahun 2005 mencapai 61,79 trilyun rupiah atau 21.91% dari total PDB Sektor Pertanian (Ditjen Hortikultura, 2006). Pada tahun 2010, PDB subsector hortikultura diprediksikan

12 sebesar 153,22 trilyun rupiah atau menyumbang sebesar 21% terhadap PDB Sektor Pertanian yang diprediksi sebesar 737,87 trilyun rupiah. PDB subsector hortikultura terbesar di sumbang oleh komoditas buah-buahan (50,6%), disusul sayuran (29,0%), tanaman hias (5.3%) dan tanaman obat (4.1%). Pada tahun 2010, PDB subsector hortikultura diproyeksikan sebasar trilyun rupiah, atau meningkat sebasar 3.95%/tahun. Peningkatan terbesar ditunjukkan oleh kelompok tanaman obat dan tanaman hias. sebagaimana terangkum dalam Tabel Perkembangan Penyerapan Tenaga Kerja Berdasarkan hasil Sensus Pertanian (SP) tahun 2003, dari 24,9 juta rumah tangga pertanian yang ada terdapat sekitar 8,4 juta rumah tangga yang bekerja di bidang hortikultura. Jumlah ini meningkat 76,69% dibandingkan dengan SP tahun 1993 yang berjumlah 5.04 juta rumah tangga. Penyerapan tenaga kerja pertanian di subsektor hortikultura pada kegiatan on farm cenderung terus meningkat sejalan dengan berkembangnya usaha komoditas hortikultura. Rata-rata peningkatan penyerapan tenaga kerja hortikultura berkisar 5-35%/tahun. Angka penyerapan tenaga kerja tersebut mencakup lapangan kerja dalam arti luas, yang terdiri dari sektor produksi (on farm), pasca panen dan kegiatan pendukung usaha hortikultura lain seperti perbenihan, penyediaan sarana produksi (pupuk, obat-obatan, dll.), pengolahan dan pemasaran hasil. Sementara data dari Ditjen Hortikultura menunjukkan bahwa pada tahun 2004 jumlah tenaga kerja hortikultura di tingkat on-farm adalah 2,95 juta orang dan pada tahun 2010 diprediksi mencapai 4 juta orang atau meningkat 4.7%/tahun (Tabel 3.2.4). Serapan tenaga kerja terbesar berasal dari komoditas sayuran, disusul tanaman buah-buahan, tanaman obat dan tanaman hias. Tabel Penyerapan Tenaga Kerja Sub Sektor Hortikultura, ( 000 orang). Tahun Buah Sayur T. Obat T. Hias Total * Laju (%/th) Sumber : Ditjen Hortikultura (2009); *Angka Sementara

13 3.3. Subsektor Perkebunan Status Komoditas Perkebunan Komoditas perkebunan terdiri diri tanaman tahunan atau tanaman keras ( perennial crops) dan tanaman setahun/semusim ( seasonal crops). Tanaman keras utama adalah kelapa sawit, kelapa, karet, kakao, kopi, teh, cengkeh dan jambu mete, sedangkan tanaman setahun/semusim adalah tebu/gula, tembakau, lada, dan panili 1. Hampir semua jenis komoditas perkebunan tersebut, kecuali tebu/gula dan tembakau, merupakan komoditas ekspor andalan dan sumber devisa penting (net exporter) di subsektor perkebunan, bahkan di sektor pertanian. Sementara produksi komoditas tebu/gula dan tembakau masih belum cukup untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri sehingga masih perlu diimpor ( net importer). Posisi komoditas tembakau masih dilematis karena di satu sisi merupakan salah satu sumber pendapatan penting negara dari cukai tembakau dan rokok, sedangkan dari sisi lain kurang mendukung kesehatan dan bertentangan dengan konvensi tembakau dunia yang sudah diratifikasi oleh seluruh negara di dunia kecuali Indonesia Perkembangan Luas Areal dan Produksi Pola pertumbuhan luas areal dan produksi komoditas perkebunan selama ditunjukkan pada Tabel Pola pertumbuhan umumnya mengalami perubahan selama periode lima tahun terakhir ( ) dibanding selama periode lima tahun sebelumnya ( ), Kelapa sawit mengalami pertumbuhan luas areal yang spektakuler yaitu dari 4.98% menjadi 7.30% per tahun sehingga pada tahun 2010 mencapai luas lebih dari 8 juta ha, yang merupakan areal komoditas perkebunan paling luas. Pertumbuhan produksinya juga luar biasa walaupun mengalami pelambatan, yaitu dari 10.15% menjadi 8.09% sehingga produksinya pada tahun 2010 mencapai lebih dari 23.7 juta ton minyak sawit (CPO) dan minyak inti sawit (PKO). Laju pertumbuhan luas areal dan produksi yang spektakuler pada komoditas kelapa sawit tersebut disebabkan oleh kenaikan harga CPO di pasar dunia yang cepat sebagai akibat dari meningkatnya permintaan dunia akan komoditas ini dan meningkatnya harga minyak mentah ( crude oil) dunia. Insentif harga yang makin tinggi tersebut menyebabkan sebagian areal komoditas perkebunan lain dan bahkan areal komoditas pangan terkonversi menjadi areal kelapa sawit. Namun pembukaan hutan secara besar-besaran untuk perluasan areal, utamanya oleh perkebunan besar swasta, mendapatkan kritikan dari negara-negara lain karena kegiatan tersebut dapat mengganggu keseimbangan alam dunia, 1 Komoditas lain adalah pala, serat-seratan (kapas, rami, dll) dan minyak-minyakan (jarak pagar, jarak kepyar), dan lain-lain tidak dicakup dalam analisis ini karena produksinya masih sangat terbatas.

14 dimana Indonesia mempunyai peranan sangat penting dalam menjaga areal rain forest sebagai salah satu paru-paru dunia. Karena itu pada tahun 2011 dilakukan moratorium kelapa sawit untuk mengendalikan penebangan hutan guna perluasan areal kelapa sawit. Tabel Laju Pertumbuhan Luas Areal dan Produksi Komoditas Perkebunan Utama, Komoditas Luas Areal Produksi Pertumbuhan (%/tahun) Luas 2010 Pertumbuhan (%/tahun) Prod (ha) (ha) Kelapa sawit ,036, ,712,013 Kelapa ,808, ,266,448 Karet ,445, ,591,935 Kakao ,651, ,626 Kopi ,268, ,076 Cengkeh , ,807 Tebu/Gula , ,694,227 Tembakau , ,276 Lada , ,218 Teh , ,342 Panili , ,059 Jambu mete , ,081 Keterangan: Data selengkapnya ditunjukkan pada Lampiran dan Lampiran Komoditas perkebunan lainnya yang luas areal dan produksinya juga mengalami pertumbuhan sangat cepat adalah kakao, walaupun melambat selama periode dibanding selama periode Untuk luas areal, laju pertumbuhannya melambat dari 8.90% menjadi 6.63% per tahun, namun produksinya mengalami pelambatan pertumbuhan yang drastis yaitu dari 10.97% menjadi hanya 2.39% per tahun. Laju pertumbuhan luas areal yang cepat disebabkan oleh permintaan pasar dan harga dunia yang meningkat, walaupun sebagian areal kakao dikonversi menjadi areal kelapa sawit di beberapa wilayah, utamanya Sumatera. Namun masalah paling berat yang dialami komoditas kakao adalah meluasnya hama Penggerek Buah Kakao (PBK) di wilayah sentra kakao Sulawesi Selatan yang berdampak negatif terhadap pertumbuhan produksi kakao nasional selama periode Program Gerakan Nasional Kakao (Gernas Kakao) berupaya mengatasi masalah hama PBK tersebut, disamping memperbaiki mutu buah kakao rakyat yang masih rendah karena tidak dilakukan fermentasi. Jika masalah hama PBK dapat diatasi secara lebih baik, maka laju pertumbuhan produksi tersebut bisa dipacu menjadi lebih cepat lagi di masa datang. Luas areal komoditas karet hanya mengalami percepatan pertumbuhan yang marjinal pada periode , sementara produksinya mengalami pelambatan laju

15 pertumbuhan yang sangat signifikan, yaitu dari 8.33% pada periode menjadi hanya 1.22% pada periode Laju permintaan karet di pasar dunia sedikit melemah karena terjadinya resesi ekonomi di negara-negara maju seperti AS, Eropa dan Jepang, dimana laju permintaan terhadap otomotif melambat yang berdampak pada melambatnya pertumbuhan permintaan akan ban kendaraan bernotor yang bahan bakunya adalah karet alam. Luas areal kopi terus menurun, namun pertumbuhan produksinya masih positif walaupun melambat. Persaingan dengan kopi asal negara-negara lain, utamanya Brazil dan Vietnam yang mutu kopinya lebih bagus (jenis Arabika), berdampak menekan pertumbuhan produksi kopi Indonesia yang mutunya kurang bagus (jenis Robusta). Disamping itu, peranan kopi Indonesia lebih sebagai bahan pencampur (blending material) di negara - negara pengimpor seperti AS dan Eropa. Untuk komoditas tebu/gula, luas arealnya terus meningkat dengan laju yang makin cepat, yaitu dari 1.51% menjadi 2.45% per tahun. Namun pertumbuhan produksinya melambat dari 5.31% menjadi 4.43% per tahun, yang masih tergolong cukup cepat. Perkembangan yang cukup pesat ini disebabkan oleh adanya program pemerintah yaitu revitalisasi kebun tebu (utamanya program bongkar ratoon ) dan revitalisasi pabrik gula. Reviltalisasi kebun tebu telah mampu meningkatkan kandungan gula dalam nira tebu, sedangkan revitalisasi pabrik gula telah dapat memperbaiki ekstraksi nira dari tebu dan rendemen gula yang dihasilkannya. Kemunduran yang terjadi pada luas areal dan produksi komoditas teh disebabkan oleh adanya persaingan yang makin ketat dari produk-poduk teh dari luar negeri. Disamping itu, pertumbuhan yang pesat pada industri air mineral dan minuman ringan ( soft drink) lainnya juga berdampak negatif terhadap perkembangan teh nasional. Walaupun industri teh sudah mencoba mempoduksi produk-produk baru (t eh hijau, dan lain-lain), masih belum mampu mendongkak pertumbuhan produksi komoditas ini. Pertumbuhan negatif yang terjadi pada komoditas tembakau disebabkan oleh tidak adanya lagi dukungan pemerintah dalam perluasan areal, disamping turunnya permintaan akan rokok per kapita karena makin mahalnya harga rokok sebagai akibat dari cukai rokok yang makin tinggi. Karena itu banyak industri rokok yang tutup, utamanya yang berskala kecil, sehingga permintaan akan tembakau oleh industri rokok dalam negeri menurun. Bersamaan dengan itu, laju permintaan dunia akan daun dan produk tembakau juga melambat karena makin tingginya kesadaran masyarakat dunia akan bahaya asap rokok terhadap kesehatan bagi perokok aktif dan perokok pasif. Sementara laju pertumbuhan produksi teh yang negatif disebabkan oleh industri minuman pesaing berat bagi teh yang

16 tumbuh sangat pesat, disamping produk teh Indonesia di pasar dunia juga dikalahkan oleh produk teh asal negara-negara lain. Produksi tanaman perkebunan lain seperti lada, jambu mete, kapas dan panili masih tumbuh positif selama , bahkan laju peningkatan produksi kapas meningkat sangat drastis, Tabel Pangsa Produksi Komoditas Perkebunan Menurut Tipe Manajemen, Tahun 2010 (%). Komoditas Perkebunan Perkebunan Besar Rakyat Negara Swasta Total Kelapa sawit Kelapa Karet Kakao Kopi Cengkeh Tebu/Gula Tembakau Lada Teh Panili Jambu mete Sumber: Statistik Perkebunan, berbagai komoditas, Produksi beberapa komoditas perkebunan tersebut seluruhnya dihasilkan oleh Perkebunan Rakyat (PR), yaitu jambu mete, lada dan panili (Tabel 3.3.2). Sementara itu, produksi beberapa komoditas lainnya sebagian besar dihasilkan oleh PR dan sebagian kecil oleh Perkebunan Besar, yaitu kelapa, kakao, karet, kopi, cengkeh, tembakau, dan tebu/gula. Peranan Perusahaan Besar Swasta dalam memproduksi gula dan tembakau juga cukup signifikan. Komoditas yang lebih banyak diproduksi oleh perkebunan besar adalah kelapa sawit, utamanya Perkebunan Besar Swasta (PBS), dan the utamanya oleh Perkebunan Besar Negara (PBN) Perkembangan Perdagangan Produksi semua komoditas perkebunan yang disebutkan diatas diekspor ke negaranegara lain, kecuali gula yang selama ini Indonesia masih melakukan impor. Sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 3.3.3, nilai ekspor sebagian besar komoditas perkebunan selama periode 5 tahun pertama ( ) cenderung meningkat, yang bervariasi dari lambat (1.23%/tahun) sampai sangat cepat (27.38%/tahun). Sebagian besar komoditas perkebunan selama periode ini mengalami pertumbuhan nilai ekspor yang sangat cepat yang bervariasi dari 10.44% smpai dengan 27.38% per tahun. Hanya lada dan panili yang mengalami laju

17 pertumbuhan nilai ekspor yang negatif. Total nilai ekspor mengalami pertumbuhan yang sangat cepat yaitu 21.35% per tahun. Tabel Laju Pertumbuhan Nilai Ekspor dan Impor Komoditas Perkebunan Utama, Komoditas Laju (%/th) Ekspor Impor Neraca Nilai 2009 (US$ 000) Laju (%/th) Nilai 2009 (US$ 000) Nilai (US$'000) Kelapa sawit ,605, ,822 11,588, Karet ,241, ,918 3,222, Kakao ,413, ,321 1,294, Kopi , , , Kelapa , , Teh , , , Lada , , , Jambu mete , ,997 78, Cengkeh , , Panili , , Tembakau , , , Tebu , , , Total ,146, ,073,595 17,073, Keterangan: Data selengkapnya ditunjukkan pada Lampiran untuk ekspor, Lampiran untuk impor dan Lampiran untuk neraca ekspor-impor. % Pada periode 5 tahun kedua ( ), laju pertumbuhan nilai ekspor sebagian komoditas meningkat, yaitu kelapa sawit, kakao, kopi, the, tembakau dan tebu, sebagian mengalami pelambatan yaitu karet, kelapa, dan jambu mete, namun laju pertumbuhan masih tergolong cepat yaitu sekitar 6.80% sampai dengan 31.92% per tahun. Ada komoditas yang semula nilai ekspornya mengalami pertumbuhan positif berubah menjadi negatif yaitu cengkeh dan kapas. Sementara nilai ekspor panili masih menurun tetapi dengan laju yang melambat. Total nilai ekspor selama periode meningkat lebih cepat yaitu 22.23% per tahun dibanding pada periode sebesar 21.33% per tahun. Pada tahun 2009, total nilai ekspor 12 komoditas perkebunan tersebut mencapai sekitar US$ 18.1 milyar. Penyumbang nilai ekspor terbesar adalah kelapa sawit (63.95%), disusul karet (17.86%), kakao (7.79%), kopi (4.54%) dan kelapa (2.33%), sementara 8 komoditas lain hanya memberikan sumbangan nilai ekspor yang kecil ( %). Nilai impor mayoritas komoditas perkebunan sangat kecil, sangat fluktuatif dan laju pertumbuhannya selama periode jauh lebih kecil dibanding selama periode (Tabel 3.3.3). Hanya 2 komoditas yang nilai impornya besar yaitu gula dan tembakau, yang selama periode cenderung menurun untuk gula yaitu 4,29%

18 sedangkan untuk tembakau meningkat 15.18% per tahun, yang selama periode sebelumnya masing-masing meningkat 10.82% untuk gula dan 4.81% untuk tembakau. Pada tahun 2009, total nilai impor mencapai sekitar US$ 1,074 juta, yang 54.57% di antaranya adalah impor gula, 27.03% impor tembakau dan 11.11% impor kakao. Nilai impor yang besar pada gula disebabkan produksi gula belum mencukupi kebutuhan nasional. Demikian pula, nilai impor tembakau cukup besar karena untuk menutupi kekurangan bahan bakau pabrik rokok sebagai akibat kurangnya pasokan dan mahalnya harga bahan baku produksi dalam negeri, sementara harga impor lebih murah. Impor kakao masih diperlukan, utamanya sebagai bahan pencampur untuk meningkatkan mutu produk coklat (barang jadi) hasil pengolahan industri coklat. Mayoritas komoditas perkebunan merupakan penghasil devisa negara, dimana nilai perdagangan internasionalnya mempunyai surplus. Pada tahun 2009, surplus tersebut mencapai sekitar 5-11,589 juta US$ dengan persentase sekitar % dari nilai ekspornya. Sementara 2 komoditas lainnya, yaitu gula dan tembakau, mengalami defisit masing-masing US$ juta dan US$ juta. Total surplus mencapai US$ 17,074 juta. Kontribusi terbesar terhadap surplus perdagangan adalah kelapa sawit (67.87%), disusul karet (18.87%), kakao (7.58%), kopi (4.69%) dan kelapa (2.47%), sementara komoditas-komoditas lainnya kurang dari 1%. Komoditas gula dan tembakau bukan penghasil devisa melainkan penguras devisa. Daya saing suatu komoditas dapat diukur dengan berbagai indikator, yang salah satunya adalah pangsa produksi di tingkat dunia dan perkembangannya selama periode tertentu. Tabel menunjukkan bahwa 4 komoditas perkebunan Indonesia mempunyai pangsa produksi yang sangat tinggi dan meningkat pada tahun 2009 dibanding 2005 dan menempati posisi pertama di dunia di antara sekian banyak negara produsen, yaitu cengkeh, kelapa sawit, panili dan kelapa. Posisi kedua di dunia ditempati oleh karet, kakao dana lada, dimana pangsa produksi karet dan kakao Indonesia meningkat sedangkan untuk pala menurun. Posisi ke tiga, kelima, keenam, ketujuh dan kesebelas dunia diduduki oleh pala, kopi, tembakau, jambu mete, teh dan gula. Posisi Indonesia yang cukup sampai dengan sangat tinggi tersebut merupakan indikator bahwa Indonesia menempati posisi yang cukup sampai sangat penting dalam memproduksi komoditas perkebunan tersebut di dunia. Sementara pangsa produksi yang meningkat pada tahun 2009 dibanding 2005 mengindikasikan daya saing produk perkebunan Indonesia yang makin tinggi, yaitu cengkeh, kelapa sawit, kelapa, karet, kakao, dan jambu mete. Di masa datang, daya saing dan posisi Indonesia di dunia dalam memproduksi komoditas perkebunan perlu ditingkatkan atau minimal dipertahankan jangan

19 sampai turun. Program-program revitalisasi perkebunan perlu ditingkatkan dengan perencanaan dan mutu pelaksanaan yang lebih baik lagi. Tabel Posisi Indonesia dalam Produksi Komoditas Perkebunan Dunia Tahun 2005 dan Komoditas Pangsa (%) Rangking Indonesia 2009 Jumlah Negara Produsen 2009 Cengkeh Kelapa sawit Panili Kelapa Karet Kakao Lada Kopi Tembakau Jambu mete Teh Gula Perkembangan Produk Domestik Bruto Sektor pertanian dalam arti sempit terdiri dari Subsketor Tanaman Bahan Makanan, Subsektor Perkebunan dan Subsektor Peternakan. Perkembangan PDB Sektor Pertanian Sempit dan PDB Subsektor Perkebunan selama diperlihatkan pada Tabel Selama periode , laju pertumbuhan PDB Subsektor Perkebunan lebih cepat dibanding PDB Sektor Pertanian (sempit), yaitu masing-masing 3.96% dan 3.09% per tahun. Namun pada periode terjadi yang sebaliknya, yaitu masing-masing menjadi 3.65% dan 3.96% per tahun. Lebih cepatnya laju pertumbuhan PDB Sektor Pertanian disebabkan oleh program-program pembangunan pertanian oleh pemerintah yang makin terfokus kepada Subsektor Tanaman Bahan Makanan, utamanya beras, untuk mencapai swasembada dalam rangka penguatan ketahanan pangan nasional. Hal ini terbukti bahwa laju pertumbuhan PDB Subsektor Tanaman Bahan Makanan pada periode yang hampir dua kali lipat dibanding pada periode , yaitu masing-masing 4.26% dan 2.42%. Namun Subsektor Perkebunan memberikan kontribusi terhadap PDB Sektor Pertanian yang sedikit lebih tinggi yaitu dari rata-rata 20% pada periode menjadi 20.15% pada periode

20 Tabel Perkembangan PDB Sektor Pertanian dan Subsektor Perkebunan, Tahun Tahun Pertanian Sempit (Rp milyar) PDB (Rp milyar Perkebunan Pangsa (%) , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , Laju (%/th): Komoditas Peternakan Status Komoditas Peternakan Daging merupakan bahan pangan utama sumber protein hewani. Kekurangan konsumsi daging, terutama pada masa pertumbuhan, dapat menyebabkan lambatnya pertumbuhan badan dan intelegensia anak-anak. Sompotan (2011) mengungkapkan bahwa kekurangan konsumsi daging merupakan ancaman bagi kecerdasan anak. Menurut Ariani (2004), pangan dari sumber hewani merupakan salah satu kelompok pangan yang sangat berperan dalam pembentukan kualitas sumberdaya manusia. Hal ini disebabkan bahan pangan tersebut mengandung asam amino esensial, seperti lisin, dan treonin. Oleh karena itu, pangan sumber protein hewani sangat penting bagi pertumbuhan, intelegensia, dan daya tahan tubuh manusia terhadap berbagai penyakit. Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (Food and Agriculture Organization = FAO) pada tahun 2008 menetapkan bahwa konsumsi daging segar untuk hidup sehat adalah 33 kg per kapita per tahun (Sompotan, 2011). Namun data statistik dari FAO menunjukkan bahwa pada tahun 2009 konsumsi daging utama masyarakat Indonesia baru mencapai ratarata 8,62 kg per kapita per tahun, yang terdiri dari 6,17 kg daging unggas, 2,13 kg daging sapi dan kerbau, serta 0,32 kg daging kambing dan domba. Faktor utama penyebab rendahnya tingkat konsumsi daging adalah rendahnya daya beli masyarakat, sedangkan daging merupakan komoditas pangan yang harganya mahal. Faktor lain

21 adalah rendahnya produksi daging, terutama daging sapi yang berasal dari ternak dari dalam negeri. Salah satu jenis usaha ternak yang prospektif dalam memenuhi kebutuhan daging adalah peternakan ayam, terutama ayam ras, baik pedaging maupun petelur. Simatupang dan Maulana (2006) mengemukakan bahwa laju pertumbuhan peternakan ayam ras pedaging cukup pesat. Hal ini telah menjadikan daging ayam ras sebagai jenis daging yang paling banyak dihasilkan di indonesia. Pada periode , produksi daging ayam ras rata-rata ton per tahun, melampaui produksi daging sapi yang rata-rata ton per tahun dalam periode yang sama. Produksi daging ayam ras juga melampaui produksi daging unggas lainnya. Berbeda dengan produksi daging ayam yang tumbuh pesat, pertumbuhan produksi daging sapi masih memprihatinkan. Ilham (2009) mengungkapkan bahwa Indonesia menghadapi masalah lambatnya pertumbuhan produksi daging dalam negeri, terutama daging sapi. Manajemen dan teknologi pemeliharaan ternak sapi masih rendah. Menurut Ilham et al (2009), lambatnya pertumbuhan produksi daging sapi disebabkan oleh sebagian besar usaha ternak sapi merupakan usaha peternakan rakyat dengan ciri-ciri sebagai berikut: ( 1) Skala usaha kecil yaitu 2-4 ekor per peternak; (2) Hanya sebagai usaha sambilan dengan tujuan untuk tabungan; dan ( 3) Menggunakan teknologi sederhana. Rendahnya laju pertumbuhan produksi daging sapi juga diungkapkan oleh Simatupang dan Maulana (2006), yaitu bahwa dalam periode produksi daging sapi tumbuh hanya rata-rata 1,11% per tahun dan bahkan menurun tajam menjadi -0,91% per tahun dalam periode Penurunan pertumbuhan produksi daging sapi terutama disebabkan oleh menurunnya kapasitas produksi usaha ternak sapi potong secara absolut. Populasi ternak sapi potong menurun dari rata-rata 11,28 juta ekor per tahun pada periode menjadi 10,71 juta ekor per tahun pada periode Selama beberapa dekade terakhir, produksi daging dari sapi dalam negeri belum bisa memenuhi kebutuhan yang terus meningkat sejalan dengan pertumbuhan penduduk. Upaya pemenuhan kebutuhan konsumsi daging sapi dalam negeri masih dilakukan melalui impor, baik sapi hidup maupun daging sapi beku. Pada tahun 2011 tidak kurang dari 500 ribu ekor sapi hidup dan 58 ribu ton daging sapi diimpor dari luar negeri terutama dari Australia (Suhendra, 2011a; Purnomo, 2011; dan FAO, 2011). Ketergantungan pada impor daging akan sangat melemahkan kondisi ketahanan pangan nasional, terutama daging sebagai sumber protein hewani. Untuk mengurangi ketergantungan Indonesia pada daging impor, maka pemerintah Indonesia bertekad untuk mencapai swasembada daging sapi pada tahun 2014.

22 Pencanangan program swasembada daging sapi tahun 2014 dituangkan dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 19/Permentan/OT.140/2/2010 tentang Pedoman Umum Program Swasembada Daging Sapi Perkembangan Populasi dan Pemotongan Ternak Selama dekade terakhir, populasi ayam tumbuh rata-rata 5,97%/tahun selama periode dan 3,19%/tahun selama periode Meskipun pertumbuhannya menurun, pertumbuhan selama periode masih tetap tinggi yaitu rata-rata 3,69 persen per tahun (Tabel 3.4.1). Pertumbuhan yang tinggi dipacu oleh pertumbuhan populasi ayam ras pedaging ( broiler) yang berkembang pesat dengan pertumbuhan rata-rata 5,14%/tahun selama periode (Ditjennak, 2011). Tabel Perkembangan Populasi dan Pemotongan Ternak di Indonesia, Uraian Ayam Itik Sapi Potong Kerbau Kambing + Domba Populasi: Rataan Rataan Rataan Laju (%/th) 5,97 0,83-1,12-1,43 1,66 Laju (%/th) 3,19 7,40 4,91-3,16 4,39 Laju (%/th) 3,69 2,15 1,38 2,75 3,14 Pemotongan: Rataan (ekor/th) Rataan (ekor/th) Rataan (ekor/th) % Pemotongan ,42 67,36 8,51 16,03 26,26 % Pemotongan ,39 89,57 11,02 14,69 26,65 % Pemotongan ,77 77,88 9,78 15,33 26,75 Keterangan: Populasi ayam dan itik dalam ribu ekor; kerbau, sapi, dan kambing dalam ekor. Selengkapnya pada Lampiran Dalam periode yang sama, jumlah pemotongan ayam melampaui populasinya, baik pada periode maupun Ini berarti bahwa Indonesia masih mengimpor ayam hidup dari luar negeri. Impor ayam hidup bisa berupa bibit ayam (DOC) karena impor ayam hidup siap potong tidak diizinkan. Sampai saat ini pemerintah secara resmi masih melarang impor daging ayam dan ayam hidup untuk mencegah penyebaran penyakit. Namun pada tahun 2010 ada kasus temuan 4 juta ekor ayam impor dari Malaysia dan Singapura (Suhendra, 2011b). Pada periode , jumlah pemotongan ayam rata-rata 1.692,01 juta ekor per tahun. Data ini menunjukkan bahwa impor ayam hidup masih tinggi, rata-rata 445,14 juta ekor per tahun selama periode

23 Populasi itik tidak sebesar populasi ayam, yaitu rata-rata 34,32 juta ekor per tahun selama periode , yang meningkat menjadi rata-rata 36,59 juta ekor per tahun pada periode Pertumbuhan populasi itik rata-rata 0,83%/tahun selama periode dan 7,40%/tahun selama periode Berbeda dengan ayam, pemotongan itik tidak melampaui populasinya, yang mencerminkan tidak adanya impor itik hidup. Pemotongan itik rata-rata 22,87 juta ekor/tahun atau 67,36% dari populasinya selama periode , dan 32,62 juta ekor/tahun atau 89,57% dari populasinya selama periode Populasi sapi potong rata-rata adalah ,97 juta ekor/tahun pada periode dan ,02 juta ekor/tahun selama periode Dalam periode yang sama, populasi sapi potong menurun rata-rata adalah 1,12%/tahun selama dan meningkat lagi menjadi 4,91%/tahun selama periode Peningkatan ini diduga disebabkan oleh peningkatan kelahiran anak sapi (pedet) dan impor sapi induk dan bakalan, terutama dari Australia. Jumlah pemotongan sapi rata-rata 1,74 juta eko/tahun selama periode , kemudian menurun menjadi rata-rata 1,70 juta ekor/tahun selama Selama periode , pemotongan sapi rata-rata mencapai 1,72 juta ekor/tahun atau sekitar 15% dari populasinya pada periode Jika jumlah sapi yang dipotong melampaui kelahiran anak sapi dalam negeri, maka impor sapi hidup akan terus meningkat. Jika itu yang terjadi, maka swasembada daging pada tahun 2014 akan sulit dicapai. Sumber daging ruminansia besar lainnya adalah kerbau. Selama dekade terakhir ( ), populasi ternak ini rata-rata adalah 2,22 juta ekor/tahun. Populasi kerbau pada periode yang sama menurun rata-rata 2,75%/tahun. Secara absolut, jumlah kerbau yang dipotong rata-rata adalah ekor/tahun pada periode , yang merupakan 9,65% dari populasi pada periode yang sama. Meskipun persentase kerbau yang dipotong relatif kecil terhadap populasi, populasinya terus menurun. Fakta ini menunjukkan bahwa jumlah kerbau yang lahir jauh lebih kecil daripada yang dipotong. Hal ini diduga disebabkan oleh tidak adanya penerapan teknologi maju dalam pembibitan kerbau. Kerbau umumnya dipelihara secara sederhana dengan pemberian pakan hijauan seadanya (tanpa konsentrat) dan banyak yang digunakan sebagai tenaga pembajak di sawah. Selain ruminansia besar, ruminansia kecil (kambing dan domba/kado) juga merupakan salah satu jenis ternak penghasil daging. Populasi kambing dan domba rata-rata 20,53 juta ekor/tahun selama periode dan 23,91 juta ekor/tahun selama Pemotongan kedua jenis ternak ini rata-rata mencapai 5,39 juta ekor/tahun (26,26%

24 dari populasi) pada periode , dan 6,39 juta ekor/tahun (26,64 % dari populasi) pada periode Jika populasi kado betina seimbang dengan kado jantan, maka total kado yang dipotong hampir 54% dari populasi kado betina. Ini berarti bahwa untuk mempertahankan populasi kado, angka kelahiran anak kado harus mencapai 54 ekor dari tiap 100 ekor kambing-domba betina per tahun Perkembangan Produksi Daging, Susu dan Telor Daging Sejalan dengan populasi dan pemotongan ayam dan itik, produksi daging unggas rata-rata 1,06 juta ton/tahun pada periode dan 1,32 juta ton/tahun pada periode atau rata-rata 1,18 juta ton/tahun selama periode (Tabel 3.4.2). Pertumbuhan produksi daging unggas rata-rata 7,26%/tahun pada periode dan 5,19%/tahun selama periode Tabel Produksi Daging di Indonesia, (ton) Tahun Unggas Sapi & Kerbau Kado Total Rataan: Laju (%/th): ,26 2,77 3,35 5, ,19 2,01 7,79 4, ,54 1,34 4,26 4,41 Produksi daging unggas dari pemotongan dalam negeri terus meningkat, namun belum bisa memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri, sehingga Indonesia masih

25 mengimpor daging unggas. Selama periode , net impor daging unggas rata-rata mencapai ton/tahun. Produksi daging sapi dan kerbau juga meningkat dari rata-rata ton/tahun pada periode menjadi ton/tahun selama periode Selama periode , produksi daging sapi dan kerbau meningkat rata-rata 2,01%/tahun. Volume dan pertumbuhan produksi daging sapi belum mampu memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri, sehingga masih mengimpor daging sapi. Produksi daging kambing dan domba juga meningkat dari rata-rata ton/tahun selama periode menjadi ton/tahun selama periode Selama periode , pertumbuhan produksi daging kambing rata-rata 7,79%/tahun. Namun demikian, produksi daging kambing belum mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri. Untuk memenuhi kebutuhan konsumsi daging kambing dalam negeri, Indonesia masih mengimpor daging kambing. Susu dan Telur Komoditas peternakan utama yang menghasilkan susu adalah sapi perah dan kambing, namun dalam analisis outlook ini hanya akan menganalisis produk susu sapi. Secara umum kinerja pertumbuhan populasi sapi perah dan Indonesia selama dekade terakhir ini menunjukkan arah yang positif. Populasi sapi perah dan produksi susu tampak fluktuatif dengan kecenderungan yang meningkat. Populasi sapi perah dan produksi susu meningkat dengan laju pertumbuhan masingmasing sebesar 3.41% dan 6.41% persen per tahun, selama tahun (Tabel 3.4.3). Populasi sapi perah naik dari sekitar 354 ribu ekor pada 2000 menjadi 495 ribu ekor, sedangkan produksi susu meningkat dari ton pada 2000 menjadi ton pada Keberadaan koperasi susu di tingkat peternak dan lembaga persusuan secara vertical sampai ke tingkat pusat dengan GKSI (Gabungan Koperasi Susu Indonesia) diduga turut mendorong berkembangnya usaha persusuan pada periode tersebut. Namun, peternak mengeluhkan kondisi harga yang sering tidak stabil, ditambah lagi harga pakan yang cenderung meningkat setiap tahunnya dan lahan untuk rumput yang terbatas. Dalam rangka meningkatkan produksi susu dalam negeri, Pemerintah juga telah menetapkan beberapa program, antara lain memberikan Bantuan Langsung Sapi (BLS) senilai 200 Milyar rupiah kepada kelompok petani/peternak. Selain itu juga sebelumnya Pemerintah juga telah menyalurkan Kredit Usaha Pembibitan Sapi (KUPS). Program ini juga ditujukan untuk meningkatkan konsumsi susu segar oleh masyarakat, sebagaimna telah dikemukakan sebelumnya bahwa konsumsi susu per kapita Indonesia masih sangat rendah

26 sekitar 7-8 liter/tahun. Saat ini kebutuhan susu dalam negeri hanya 30% dipenuhi dari dalam negeri sedangkan 70% berasal dari impor. Hal ini menjadi tantangan Pemerintah untuk meningkatkan produksi susu lokal yang diharapkan dapat terpenuhi melalui program tersebut. Tantangan lain yang dihadapi adalah skala pengusahaan petani masih sangat kecil yaitu kurang dari empat ekor, yang idealnya adalah 8 ekor sapi per petani. Tabel Perkembangan Populasi Sapi Perah dan Ayam Petelur serta Produksi Susu dan Telur di Indonesia, Tahun Populasi Sapi Perah ( 000 ekor) Susu Produksi Susu ( 000 ton) Telur Populasi Ayam Petelur (juta ekor) Produksi Telur ( 000 ton) Laju (%/tahun) Sumber : BPS, Statistik Peternakan (berbagai terbitan), diolah Sapi perah adalah ternak penghasil susu yang dengan proses pasteurisasi dan sterilisasi maka produk susu tersebut dapat langsung dikonsumsi. Jadi permintaan akan ternak sapi perah tergantung dari permintaan produk susunya itu sendiri. Pada tahun 1979 produksi susu mencapai ton sedangkan konsumsi susu mencapai ton. Ini menunjukkan bahwa hanya 13.5% susu dalam negeri yang mampu memenuhi permintaan konsumen tersebut. Artinya 86.5 persen kekurangan susu tersebut dipenuhi dari impor susu luar negeri. Begitu pula dengan tahun-tahun berikutnya, permintaan akan susu belum mampu dipenuhi oleh produksi susu dalam negeri (Firman, 2007). Perkembangan peningkatan produksi sapi perah hingga tahun 1999 kental dengan campur tangan pemerintah, baik dalam pengaturan pemasaran,tataniaga,impor sapi perah memaksa IPS membeli susu segar koperasi dengan mengkaitkan ijin impor susu dengan penyerapan susu segar koperasi. Untuk hal ini koperasi mendapat dana dalam bentuk pengadaan bibit sapi perah impor untuk dibagikan kepada anggotanya sebagai pinjaman.

27 Peternak harus mengembalikan pinjaman dari hasil susu dan harus mengikuti semua aturan koperasi (Yusdja, 2008). Komoditas telur yang dianalisis dalam bab pembahasan ini adalah telur yang berasal dari ayam petelur ( layer). Perkembangan populasi ayam petelur dan produksi telur dapat dilihat pada Tabel di atas. Pertumbuhan produksi telur tampak lebih cepat dibandingkan dengan populasi ayam petelur pada periode , yaitu masing-masing sebesar 5.48% dan 6.65% per tahun. Ini mengimplikasikan adanya peningkatan produktivitas ayam petelur, yaitu sekitar 1.29% per tahun. Penurunan populasi ayam petelur dan produksi telur terjadi pada saat terjadi wabah flu burung. Pada 2005, populasi ayam petelur dan produksi telur mengalami penurunan masing-masing sebesar 9.69% dan 11.24% dibandigkan dengan tahun sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa terjadinya wabah flu burung sangat merugikan peternak Indonesia. Pada periode setelah wabah flu burung terjadi perbaikan populasi ayam telur dan porduksi telur. Hal ini ditunjukkan oleh laju pertumbuhan masing-masing sebesar 3.7% dan 4% per tahun. Terjadi sedikit peningkatan produktivitas ayam petelur yaitu sekitar 0.3% per tahun selama Rendahnya peningkatan produktifitas ini diduga karena harga pakan yang cenderung meningkat dari waktu ke waktu, sehingga peternak menurunkan kualitas dan kuantitas pakan Perkembangan Neraca Perdagangan Daging Seperti telah disebutkan di depan, produksi daging unggas dari pemotongan ternak dalam negeri belum mampu memenuhi konsumsi dalam negeri. Meskipun impor daging unggas selama periode menurun rata-rata 21,85%/tahun, volumenya masih tergolong tinggi, yaitu rata-rata ton/tahun (Tabel 3.4.4). Selama periode , impor daging unggas meningkat menjadi rata-rata ton/tahun dengan pertumbuhan rata-rata 3,89%/tahun. Secara keseluruhan, dalam dekade terakhir volume impor daging unggas rata-rata ton/tahun dengan pertumbuhan rata-rata -11,31%/tahun. Di sisi lain, volume ekspor daging ayam relatif sangat kecil dibandingkan dengan impor, sehingga net impor daging ayam masih relatif tinggi, yaitu rata-rata ton/tahun selama periode dan meningkat menjadi ton/tahun selama periode Pada periode , net impor daging unggas meningkat rata-rata 3,77%/tahun. Volume impor daging sapi selama dekade terakhir masih terus meningkat. Pada periode impor daging sapi rata-rata ton/tahun dengan laju pertumbuhan rata-rata -4,61%/per tahun. Pada periode , impor meningkat menjadi rata-rata

28 ton/tahun dengan laju pertumbuhan rata-rata 19,56%/tahun. Seperti halnya daging ayam, ekspor daging sapi juga relatif sangat kecil dibandingkan dengan impornya. Oleh karena itu, net impor daging sapi masih sangat besar yaitu rata-rata ton/tahun pada periode dan meningkat menjadi rata-rata ton/tahun selama periode Untuk daging kambing dan domba (kado), masih terdapat impor rata -rata 599 ton/tahun dengan pertumbuhan rata-rata 6,97%/tahun selama periode Pada periode , impor daging kado rata-rata 649 ton/tahun, namun pertumbuhannya menurun menjadi rata-rata -9,14%/tahun. Seperti halnya daging unggas dan daging sapi, volume ekspor daging kado juga sangat kecil, sehingga net impor daging kado rata-rata 523 ton/tahun pada periode dan 647 ton/tahun selama Tabel Perkembangan Neraca Perdagangan Daging di Indonesia, Tahun Impor Unggas Sapi & Kerbau Kado Ekspor Net Impor Impor Ekspor Net Impor Impor Ekspor Net Impor Rataan: Laju (%/th): ,85-51,56-21,09-4,60 5,92-4,61 6,97-22,16 8, ,89 23,15 3,77 19,52-13,58 19,56-9,14-96,84-8, Perkembangan Konsumsi Daging Dengan memanfaatkan data produksi pada Tabel dan net impor pada Tabel 3.4.4, dapat dihitung volume daging yang tersedia untuk konsumsi dalam negeri yang merupakan penjumlahan antara produksi dan net impor. Ketersediaan daging untuk konsumsi dan konsumsi per kapita disajikan pada Lampiran 3.4.3

29 Pada periode , daging unggas, daging sapi/kerbau, dan daging kado yang tersedia untuk konsumsi berturut-turut rata-rata 1,06 juta ton, ton, dan ton per tahun, sehingga ketersediaan daging untuk konsumsi rata-rata 1,54 juta ton/tahun. Dengan rataan jumlah penduduk pada peiode tersebut 217,61 juta jiwa per tahun, maka konsumsi per kapita daging unggas, daging sapi/kerbau, dan daging kado rata-rata 4,86 kg, 1,97 kg, dan 0,25 kg per tahun. Untuk semua daging, konsumsi per kapita pada periode rata-rata 7,08 kg/tahun. Pada periode , ketersediaan daging unggas, daging sapi/kerbau, dan daging kado berturut-turut rata-rata 1,32 juta ton, ton, dan ton per tahun. Dengan rataan jumlah penduduk pada periode ini 229,85 juta jiwa/tahun, maka konsumsi per kapita daging unggas, daging sapi/kerbau, dan daging kado rata-rata 5,75 kg, 2,02 kg, dan 0,28 kg per tahun. Untuk semua daging tersebut, konsumsi per kapita pada periode rata-rata 8,05 kg per tahun. Pada tahun 2009, konsumsi ketiga kelompok daging tersebut sebesar 8,58 kg per kapita (Lampiran 3.4.3). Tingkat konsumsi ini masih jauh dari sasaran yang direkomendasikan FAO, yaitu 33 kg/kapita/tahun (Sompotan, 2011). Fakta ini menunjukkan bahwa konsumsi daging masyarakat Indonesia baru mencapai 26 persen dari rekomendasi FAO. Oleh karena itu, masih diperlukan langkah-langkah strategis untuk meningkatkan produksi dan konsumsi daging penduduk Indonesia Perkembangan Produk Domestik Bruto Sumbangan sub sektor peternakan dalam pendapatan nasional bruto (PDB) selama dekade terakhir relatif kecil meskipun pada lima tahun terakhir mempunyai kecenderungan yang meningkat, seperti terlihat pada Gambar Secara nominal sumbangan sektor pertanian terhadap total PDB meningkat rata-rata 9,31%/tahun selama periode dan 22,17%/tahun selama periode Pada periode yang sama, sumbangan sektor peternakan terhadap PDB juga meningkat 8,19% dan 21,94% per tahun masingmasing selama periode dan , seperti disajikan pada Lampiran

30 Pertanian Tan Pangan Peternakan Kontribusi pd GNP (% T a h u n Gambar Kontribusi Relatif Sektor Pertanian Dalam Total PDB Indonesia, Secara relatif sumbangan sektor pertanian pada PDB rata-rata 15,26% selama dan 13,91% selama periode Sementara itu, pada periode yang sama sub sektor peternakan hanya menyumbang terhadap total PDB rata-rata 1,93% selama periode dan 1,64% selama periode Sumbangan sektor pertanian pada periode secara relatif menurun rata-rata 5,29%/tahun dan meningkat lagi ratarata 3,89%/tahun selama periode Demikian juga sumbangan sub sektor peternakan terhadap total PDB secara relatif menurun rata-rata 5,71%/tahun selama periode dan meningkat 3,85%/tahun selama periode Pertumbuhan positif kontribusi relatif sektor pertanian termasuk sub sektor peternakan terhadap total PDB pada periode mencerminkan lebih baiknya pertumbuhan sektor pertanian dibandingkan dengan sektor ekonomi lainnya dalam periode tersebut. Menurut Ilham (2007), sub sektor peternakan berpotensi untuk dijadikan sumber pertumbuhan baru pada sektor pertanian, selain karena pertumbuhannya dalam sektor pertanian, juga karena mempunyai efek pengganda yang besar, baik di hulu (industri pakan) maupun di hilir (industri pangan olahan) Perkembangan Investasi Pertanian Jenis Investasi Selama sepuluh tahun terakhir ( ), Indonesia banyak diminati investor asing (PMA) dan domestik (PMDN) untuk melakukan investasi termasuk di sektor pertanian dan perikanan. Data realisasi investasi modal asing dan dalam negeri menunjukkan bahwa nilai dan jumlah unit investasi mengalami peningkatan secara signifikan (Tabel 3.5.1).

31 Tabel Perkembangan Realisasi Nilai dan Jumlah Proyek Investasi PMA dan PMDN, PMA PMDN Tahun Nilai (US$ juta) Jumlah (unit) Nilai (Rp milyar) Jumlah (unit) , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , Laju (%/tahun) Sumber: Kementerian Pertanian (2011). Laju pertumbuhan nilai PMA dan PMDN selama kurun waktu tersebut masingmasing adalah sebesar 19% dan 21% per tahun. Jumlah proyek investasi keduanya juga cenderung meningkat rata-rata 16% dan 17% per tahun. Hal ini menunjukkan bahwa investasi di Indonesia layak secara ekonomi sehingga tetap menarik bagi investor untuk melakukan investasi walaupun pada masa krisis ekonomi global ( ) PMA dan PMDN menurun tajam dalam nilai dan jumlah proyek investasi. Perekonomian dunia berangsur pulih, sehingga nilai dan jumlah proyek investasi melonjak tajam pada tahun 2010, sehingga laju rata-rata pertumbuhan nilai dan jumlah investasi PMA dan PMDN menjadi positif kembali. Nilai PMA pada tahun 2010 meningkat hampir tiga kali lipat dibanding tahun 2007 (tahun sebelum krisis). Demikian juga dengan nilai PMDN, pada 2010 meningkat hampir dua kali lipat dari tahun Implikasi dari kinerja investasi PMA dan PMDN adalah, perekonomian Indonesia tidak mengalami dampak jangka panjang akibat krisis ekonomi global , sehingga menciptakan iklim usaha yang mendukung investasi berkembang dari sisi asal modal maupun kelompok bidang lapangan industri, sebagaimana akan dibahas dalam sub bagian 1.2.

32 Investasi Pertanian menurut Subsektor Berdasar kelompok bidang lapangan industri (Lampiran 3.5.1) dalam realisasi investasi menunjukkan bahwa PMA mempunyai lebih banyak bidang lapangan industri dibandingkan PMDN. Investor asing mengusahakan 15 bidang lapangan industri, sedangkan investor domestik hanya 11 bidang lapangan industri, namun keduanya didominasi oleh subsektor tanaman pangan, tanaman perkebunan dan peternakan (Tabel dan 3.5.3). Tabel Perkembangan Nilai Realisasi PMA menurut Subsektor Pertanian, (US$ juta). Tahun T. Pangan Hortikultura Perkebunan Peternakan ,5 0,0 64,1 13, ,9 0,0 53,1 2, ,0 0,0 0,0 10, ,7 0,0 216,5 1, ,9 0,0 159,0 20, ,7 0,0 166,9 52, ,3 0,0 346,6 18, ,3 0,0 38,3 44, ,0 147,4 4, ,0 0,0 132,5 2, ,5 0,0 736,4 4,7 Laju (%/tahun) Sumber: 3,9-16,8 25,6-0,1 Tabel Perkembangan Nilai Realisasi PMDN Menurut Subsektor Pertanian, (Rp milyar). Tahun T. Pangan Hortikultura Perkebunan Peternakan ,2 7,5 11,6 0, ,8 0,0 615,9 210, ,0 0,0 263,6 123, ,0 0,0 130,9 29, ,0 0,0 507,4 19, ,3 0, ,1 108, ,5 0, ,1 72, ,6 0, ,8 113, ,8 0, ,4 30, ,4 0, ,8 288, ,8 16, ,6 174,2 Laju (%/tahun) Sumber: 4,9 12,7 61,8 24,4

33 Dari kedua tabel tersebut dapat diketahui bahwa selama subsektor hortikultura kurang diminati investor. Kecuali investasi PMA untuk subsektor peternakan, semua investasi menunjukkan laju pertumbuhan positif. Laju pertumbuhan investasi PMA tertinggi terjadi pada subsektor perkebunan, yaitu 25,6%/tahun, disusul subsektor tanaman pangan 3,9%/tahun. Sementara itu, investasi pada subsektor peternakan cenderung menurun 0,1%/tahun. Realisasi PMA pada subsektor hortikultura menurun 16,8%/tahun. Subsektor perkebunan selain diminati oleh investor asing, juga banyak diminati oleh investor dalam negeri. Selama , PMDN pada subsektor ini meningkat 61,8%/tahun, disusul subsektor peternakan 24,4%/tahun, subsektor hortikultura 12,7%/tahun dan subsector tanaman pangan 4,9%tahun. Nilai investasi PMDN untuk subsektor hortikultura sangat rendah, namun selam cenderung naik dengan adanya investasi pada tahun 2000 dan 2010, sehingga perubahannya menghasilkan laju pertumbuhan yang besar, walaupun dalam realisasinya terdapat kekosongan investasi dari tahun (Tabel 3.5.3). Investasi pada subsektor tanaman perkebunan didominasi oleh perkebunan tanaman buah-buahan penghasil minyak ( Oleaginous), yaitu pembukaan perkebunan kelapa sawit. Dengan adanya moratorium lahan pada tahun 2011, maka dalam analisa proyeksi jangka menengah ( ) dan panjang ( ) diasumsikan bahwa akan terjadi penurunan laju pertumbuhan setiap tahun pada tahun-tahun berikutnya sebesar 5% dari tahun sebelumnya.

34 IV. PROSPEK JANGKA PENDEK ( ) 4.1. Komoditas Pangan Tabel Proyeksi jangka Menengah Komoditas Tanaman Pangan, (ton) Tahun Beras Jagung Kedele K.Tanah Ubi Jalar Ubi Kayu ,980,670 17,844, , , ,228 2,051, ,389,661 20,002, , , ,598 2,069, ,974,783 22,422, , , ,005 2,088, ,745,135 25,134, , , ,450 2,107, ,710,289 28,173,837 1,031, , ,932 2,126,758 Laju (%/th)

35 4.2. Komoditas Hortikultura Status Komoditas Hortikultura Selain berperan sebagai bahan pangan masyarakat, hortikultura juga mempunyai peranan penting dalam hal penyediaan lapangan kerja dan berusaha, penyedia bahan baku industri, kesehatan manusia, sosial budaya, dan pariwisata. Komoditas hortikultura terutama tanaman obat (biofarmaka) mempunyai peranan yang pe nting dalam menjaga dan memperbaiki kesehatan manusia. Kecenderungan masyarakat untuk back to nature dewasa ini, permintaan konsumen terhadap obat (jamu) dan suplemen makanan herbal terus meningkat di dalam negeri maupun luar negeri. Komoditas hortikultura juga sangat penting dalam kehidupan sosial budaya masyarakat, terkait dengan keindahan baik indoor maupun outdoor, acara/upacara budaya, dan kegiatan lain yang memerlukan tanaman hias, buah dan sayuran. Komoditas hortikultura juga berperan besar dalam pariwisata, antara lain menyediakan buah-buahan, sayuran, dan tanaman hias di tempat wisata, hotel, restoran/rumah makan, agrowisata, dll.. Kondisi ini memacu peningkatan kebutuhan akan obat tradisional maupun fitofarmaka. Produksi tanaman hias menunjukkan fluktuasi produksi sebagai akibat perubahan preferensi konsumen seperti halnya yang terjadi pada mode/fashion. Subsektor hortikultura harus dibangun berbasis pada kekayaan sumberdaya genetik nasional yang memiliki kespesifikan keunggulan dan cita rasa yang tidak dapat disaingi oleh produk serupa dari negara lain. Dengan mengatur pola produksi, kapasitas produksi, dan proses produksi yang ramah lingkungan akan diperoleh produk yang bersih dan berdaya saing global. Mengingat permintaan pasar meningkat pesat, maka proses produksi hortikultura akan berkembang ke lokasi baru bersamaan dengan penerapan program intensifikasi di lahan yang telah mapan. Seiring dengan membesarnya volume kegiatan usaha hortikultura di dalam negeri, dampak pengembangan subsektor ini dapat dirasakan dari peningkatan kinerja pembangunan ekonomi dari tahun ke tahun Luas Panen, Produksi Dan Produktivitas Dari potensi plasma nuftah yang dimiliki Indonesia, baru sekitar 323 komoditas hortikultura teridentifikasi mempunyai nilai ekonomi dan sekitar 70 komoditas yang tercatat sebagai data statistik di dalam negeri. Ini menunjukkan bahwa prospek pengembangan komoditas hortikultura masih dapat ditingkat, khusunya bagi pengembangan komoditas baru untuk membangun trend pasar yang berdampak terhadap penumbuhan kegiatan ekonomi di tengah masyarakat.

36 Dalam tahun umum produksi komoditas hortikultura diproyeksikan mengalami peningkatan sebesar 4.55%/tahun. Peningatan terbesar terjadi pada kelompok tanaman hias dengan laju sebesar 9.58 %/th, menyusul kelompok Tanaman Obat dengan laju 8.30%/tahun, diikuti kelompok Buah sebesar 5.65%/tahun dan kelompok sayuran sebesar 2.54%/tahun. Dengan proyeksi tersebut, maka dalam tahun 2014 produksi buah akan mencapai 21,33 juta ton, sayuran sebasar 11,44 juta ton, tanaman obat sebesar 0,61 juta ton dan tanaman hias sebesar 0,40 juta ton. Peningkatan produksi buah dan tanaman hias terutama terjadi karena peningkatan produktivitas yaitu masing masing dengan laju 3,92%/tahun dan 11,87%/tahun, semantara laju luas`areal buah sebesar 1,79%/tahun dan luas panen tanaman hias malah cenderung menurun 4.01%/tahun. Produksi sayuran dan tanaman obat terjadi karena kontribusi pertambahan luas panen yang meningat masing masing sebesar 2,42%/tahun dan 6.29%/tahun, sementara produktivitas sayuran dan tanaman obat meningkat masing masing sebesar 0,12%/tahun dan 2.17%/tahun (Tabel 4.2.1) Tabel Proyeksi Pertumbuhan Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Komoditas Hortikultura Tahun (%/tahun) Komoditas Luas Panen Produksi Produktivitas Buah Sayur Tanaman Obat Tanaman Hias Total Produk Domestik Bruto Sejalan dengan peningkatan produksi hortikultura, maka PDB juga akan meningkat. Dalam tahun 2014 PDB hortikultura diproyeksikan sebasar 103,59 trilyun rupiah atau peningkatan dengan laju 6.51%/tahun (Tabel 4.2.2). Kelompok komoditas buah akan memberikan kontribusi PDB hortikultura terbesar yaitu senilai 58.8 trilyun rupiah (56.8%), disusul kelompok sayuran sebasar 36,04 trilyun rupiah (34,8 %), kelompok tanaman hias sebasar 7,46 trilyun rupiah (7,2%) dan kelompok tanaman obat senilai 1,24 trilyun rupiah (1,2%). Dilihat dari laju pertumbuhan masing-masing, sampai dengan tahun 2014 pertumbuhan PDB terbesar terjadi pada kelompok komoditas tanaman obat sebesar 7.7%/tahun, disusul tanaman hias 6,9%/tahun, kelompok buah 6.64%/tahun dan sayuran 6.46%/tahun.

37 Tabel Proyeksi PDB Hortikultura, Tahun Buah Sayur T. Obat T. Hias Total , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,588.4 Laju (%/th) Perdagangan Globalisasi dan liberalisasi perdagangan menyebabkan semakin terintegrasinya sistem perdagangan produk-produk pertanian Indonesia ke dalam perdagangan pertanian dunia seperti: pembentukan harga dan preferensi konsumen yang semakin mengarah kepada preferensi yang bersifat universal. Dinamika yang bersifat multi-facet tersebut membawa pengaruh terhadap kinerja agribisnis hortikultura nasional dan tidak mungkin bisa dihindari, namun sekaligus memberikan peluang dan tantangan yang harus dihadapi dalam pembangunan hortikultura kedepan. Pasar komoditas akan semakin luas sejalan dengan dihapuskannya berbagai hambatan perdagangan antar negara, namun juga dapat menimbulkan masalah jika komoditas yang diproduksi secara lokal tidak mampu bersaing dengan negara lain sehingga pasar domestik semakin dibanjiri oleh komoditas impor, yang pada gilirannya akan merugikan petani. Kecenderungan tersebut tampaknya terus meningkat, yang ditandai oleh makin intensnya upaya dominasi melalui kaidah-kaidah pengintegrasian sistem ekonomi dan non ekonomi lintas negara, baik berupa pasar, perusahaan multi nasional, produksi, finansial maupun investasi, dan lain-lain ke dalam skala global bersamaan dengan nuansa persaingan antar negara yang makin tajam. Dalam jangka pendek, sampai dengan tahun 2014, perdagangan hortikultura akan menghadapi persaingan pasar dunia yang makin tajam, terutama dengan Negara satu ASEAN kawasan seperti Thailand, Malaysia dan Vietnam. Hal ini karena produk yang diperdagangkan relatif sama yaitu produk tropis. Sejalan dengan penguatan agribisnis hortikultura dalam negeri juga akan diikuti oleh meningkatnya permintaan akan produk hortikultura yang makin beragam. Pasar domestik yang besar tidak cukup dipenuhi oleh pasar produksi dalam negeri sehingga impor tidak terbendung, terutama buah dan sayuran. Pada komoditas tanaman hias akan terjdi peningkatan perdagangan sejalan dengan peningkatan kemampuan industri tanaman hias domestik, dan sejalan dengan itu ekspor

38 produk tanaman hias akan mengalami peningkatan. Pada sisi lain berkembangnya pasar dan kemampuan industri pengoalahan domestik telah menghela peningkatan produksi bahan baku tanaman obat, peningkatan kualitas produk yang dihasilkan akan menumbuhkan ekspor Penyerapan Tenaga Kerja Keberhasilan pembangunan hortikultura kedepan akan sangat ditentukan oleh kemampuan pelaku usaha hortikultura, baik yang bergerak di bidang usahatani ( on farm), maupun pasca panen, pengolahan dan pemasaran. Untuk itu kualitas sumber daya manusia hortikultura, baik pelaku usaha, maupun petugas lapang/pembina, pakar, pemerintah dan pemerhati lain menjadi unsur sentral penentu keberhasilan. Pertumbuhan usaha agribisnis hortikultura dengn sendirinya akan membuka peluang lapangan kerja baru di masyarakat. Sampai dengan tahun 2014, penyerapan tenaga kerja pada kegiatan on farm akan meningkat menjadi 4,6 juta jiwa atau peningkatan sebesar 91% dalam kurun waktu 14 tahun, atau 4.43%/tahun (Tabel 4.2.4). Apabila diperhitungkan usaha agribisnis secara keseluruhan, dengan asumsi pertumbuhan penyerapan lapangan kerja sama, maka dalam tahun 2014 agribisnis hortikultura diproyeksikan akan menyerap tenaga kerja sebesar 13.7 juta jiwa, suatu kenaikan sebesar 138% dibandingkan penyerapan tenaga kerja tahun 2003 sebesar 8.4 juta jiwa. Penyerapan tenaga kerja terbesar adalah pada usaha sayuran (71.9 %) menyusul usaha buah (27,3 %), sementara usaha tanaman obat dan tanaman hias relatif rendah (di bawah 1%). Tabel Proyeksi Penyerapan Tenaga Kerja Hortikultura Tahun (orang) Tahun Buah Sayur T. Obat T. Hhias Total , , , , , , , , , , , , , , , , , Laju (%/th) Komoditas Perkebunan Luas Areal dan Produksi Sebagian besar komoditas perkebunan diproyeksikan masih akan mengalami pertumbuhan luas areal dan produksi selama , dengan laju pertumbuhan luas

39 areal sekitar % dan laju pertumbuhan produksi sekitar % per tahun (Tabel 4.3.1). Jambu mete, kelapa sawit dan kakao masih akan mengalami pertumbuhan luas areal yang cepat, sedangkan lainnya lambat (tebu dan cegkeh) dan sangat lambat (kelapa, karet, dan lada). Tabel Proyeksi Luas Areal dan Produksi Komoditas Perkebunan Utama, Tahun Komoditas Laju (%/th) Luas Areal Luas 2014 (ha) Laju (%/th) Produksi Produksi 2014 (ton) Kelapa sawit ,892, ,165,165 Kelapa ,857, ,289,052 Karet ,486, ,777,600 Kakao ,063, ,127 Kopi ,226, ,820 Cengkeh , ,263 Tebu , ,167,811 Lada , ,171 Tembakau , ,226 Teh , ,791 Panili , ,019 Jambu mete , ,106 Keterangan: Data selengkapnya diperlihatkan pada Lampiran Untuk produksi, laju pertumbuhan yang cepat dialami oleh kelapa sawit, kakao, dan tebu, sedangkan pertumbuhan lambat terjadi pada cengkeh dan karet, dan pertumbuhan sangat lambat dialami oleh kelapa, lada dan jambu mete. Sementara itu, 4 komoditas diproyeksikan akan mengalami penurunan luas areal dan produksi, yaitu teh, kopi, panili dan tembakau, yaitu sekitar % per tahun untuk luas areal dan sekitar % per tahun untuk produksi. Luas areal dan produksi komoditas perkebunan pada tahun 2014 diproyeksikan seperti pada Tabel 4.3.1, yaitu sekitar 1,022 ha sampai 9,892,260 ha untuk luas areal dan 3,019 ton samai 33,165,165 ton untuk produksi. Lima komoditas akan tetap mendominasi luas areal, yaitu kelapa sawit, kelapa, karet, kakao dan kopi Perdagangan Nilai ekspor komoditas perkebunan utama selama diproyeksikan sebagian besar akan meningkat dan sebagian kecil menurun (Tabel 4.3.2). Komoditas yang akan meningkat nilai ekspornya adalah yang berasal dari kelapa sawit, karet, kakao, kelapa,

40 lada, jambu mete, tebu, dan cengkeh dengan laju peningkatan yang bervariasi dari %. Sementara komoditas yang menurun nilai ekspornya adalah yang berasal dari kopi, the, panili dan tembakau dengan laju penurunan yang bervariasi sekitar %. Komoditas dengan laju peningkatan nilai ekpor paling cepat adalah yang berasal dari kelapa sawit (18.54%) dan tebu (17.27%). Proyeksi nilai ekspor yang meningkat atau menurun berkorelasi dengan perkembangan produksi pada masa sebelumnya (existing). Secara total, laju peningkatan nilai ekspor diproyeksikan akan meningkat rata-rata 16.71% dan pada tahun 2014 total nilai ekpor akan mencapai sekitar US$83 milyar dengan kontribusi utama dari kelapa sawit, karet dan kakao. Tabel Proyeksi Nilai Ekspor, Nilai Impor dan Neraca Perdagangan Komoditas Perkebunan Utama, Komoditas Nilai Ekspor Nilai Impor Neraca Laju (%) Nilai 2014 (US$ 000) Laju (%) Nilai 2014 (US$ 000) Nilai 2014 (US$ 000) Kelapa sawit ,956, ,331 76,948, Karet ,721, ,892 5,705, Kakao ,157, ,192 3,110, Kopi , , , Kelapa , , Lada , , , Jambu mete , , , Teh , , , Tebu , ,000 22, Cengkeh , , Panili , , Tembakau , , , Total ,013, ,066 87,234, % Total nilai impor komoditas perkebunan selama diproyeksikan akan menurun 2.43% (Tabel 4.3.2). Komoditas-komoditas yang nilai ekspornya diproyeksikan akan meningkat, nilai impornya diproyeksikan akan menurun dan sebaliknya jika proyeksi nilai ekpornya menurun. Total nilai impor pada tahun 2014 diproyeksikan akan mencapai US$779 juta. Neraca perdagangan hampir semua komoditas perkebunan, kecuali tembakau, selama diproyeksikan akan mengalami surplus sebesar %, sedangkan tembakau mengalami deficit 83.27%. Total surplus perdagangan pada tahun 2014 diproyeksikan akan mencapai sekitar US$ 87 milyar, atau surplus 99.11%. Surplus terbesar adalah pada kelapa sawit, diikuti karet dan kakao. Ini menunjukkan bahwa mayoritas

41 komoditas perkebunan adalah pencetak devisa negara, sementara penguras devisa. tembakau adalah Produk Domestik Bruto PDB riil subsector perkebunan pada periode diproyeksikan aakn meningkat rata-rata 2.75%/tahun. Dengan laju pertumbuhan ini, maka PDB rill diproyeksikan akan meningkat dari Rp 45,887 milyar pada tahun 2009 menjadi Rp 52,641 milyar pada athun Dengan demikian, maka subsector perkebunan diharapkan akan memberikan kontribusi dalam pembentukan PDB sektor pertanian dan PDB nasional. Gambar Proyeksi PDB Riil Subsektor Perkebunan Indonesia, (Rp milyar) Komoditas Peternakan Produksi Daging Untuk prospek jangkaa pendek, tingkat pertumbuhan awal yang digunakan untuk melakukan proyeksi produksi dan konsumsi adalah pertumbuhan selama periode terakhir ( ). Selain itu, skenario ini mengasumsikan bahwa pertumbuhan produksi daging dan penduduk sejak 2010 menurun 5%/tahun dari rataan pertumbuhan , sehingga pertumbuhan tahun-tahun berikutnya tidak sama. Sedangkan pertumbuhan konsumsi per kapita diasumsikan mengikuti pertumbuhan periode Hasil proyeksi

42 produksi daging adalah seperti disajikan pada Tabel Total produksi daging pada tahun 2014 adalah sebesar 2,39 juta ton yang sebagian besar (75,41%) merupakan daging unggas, sementara daging sapi dan kerbau hanya 20,24%, dan daging kambing dan domba 4,35 persen dari total produksi daging. Tabel Proyeksi Produksi Daging di Indonesia, (ton) Tahun Unggas Sapi/Kerbau Kado Total Untuk konsumsi, pertumbuhan per kapita diasumsikan masih tetap mengikuti pertumbuhan periode , yaitu berturut-turut 4,30%, 3,01%, dan 8,55% untuk daging unggas, daging sapi dan kerbau serta daging kambing dan domba. Dengan laju pertumbuhan ini, konsumsi untuk semua jenis daging sampai tahun 2014 diproyeksikan akan melampaui proyeksi produksi. Jika rasio antara produksi dengan konsumsi dijadikan indikator swasembada, maka tidak ada satu jenis dagingpun yang mencapai swasembada sampai tahun 2014 (Tabel 4.4.1), terlebih lagi daging sapi yang dicanangkan mencapai swasembada pada tahun Dengan pertumbuhan yang hanya 2,01%/tahun selama periode dan cenderung menurun, maka tanpa terobosan yang berarti, swasembada daging sapi tidak akan pernah tercapai. Tabel Proyeksi Konsumsi dan Tingkat Swasembada Daging di Indonesia, Tahun Unggas Konsumsi Daging (ton) Tingkat Swasembada (%)* Sapi/ Sapi/ Kado Total Unggas Kado Kerbau Kerbau Total ,66 88,40 99,24 96, ,39 86,56 97,44 96, ,93 84,71 95,38 95, ,29 82,88 93,10 94, ,49 81,05 90,61 93, ,54 79,23 87,96 92,08 *) = (Produksi/Konsumsi)*100%

43 Susu dan Telur Populasi sapi perah diproyeksikan akan meningkat dari ribu ekor pada 2011 menjadi 507 ribu ekor pada tahun Sementara itu, produksi susu sapi diproyeksikan meningkat jauh lebih tinggi dibandingkan dengan populasi sapi perah, yaitu dari ribu ton pada tahun 2011 naik menjadi ribu ton pada tahun Hal ini mengimplikasikan produktifitas sapi perah diproyeksikan juga akan meningkat dari 1.87 ton/ekor naik menjadi 2.09 ton/ekor (Tabel ). Tabel Proyeksi Populasi Sapi Perah dan Ayam Petelur serta Produksi Susu dan Telur di Indonesia, Tahun Populasi Sapi Perah ( 000 ekor) Susu Produksi Susu ( 000 ton) Produktifitas (ton/ekor) Populasi Ayam Petelur (juta ekor) Telur Produksi Telur ( 000 ton) Produktifitas (kg/ekor) Sementara itu, populasi ayam petelur diproyeksikan akan meningkat dari juta ekor pada 2011 menjadi juta ekor pada 2014, dan produksi telur diproyeksikan akan meningkat lebih tinggi lagi dibandingkan dengan populasi ayam petelur, yaitu dari ribu ton pada 2011 naik menjadi ribu ton pada Hal ini mengimplikasikan bahwa produktifitas ayam petelur meningkat dengan laju pertumbuhan yang relatif besar, yaitu dari 8.42 kg/ekor pada 2011 naik menjadi 8.9 kg/ekor pada 2014 (Tabel 4.4.3) Produk Domestik Bruto PDB sub sektor peternakan diproyeksikan akan meningkat dari Rp triliun pada 2011 menjadi Rp triliun pada 2014 (Gambar 4.4.1). Agar hal ini tercapai maka pemerintah harus selalu berupaya menjaga kestabilan harga input dan harga output peternakan sehingga hal ini dapat memacu peternak untuk meningkatkan skala produksinya. Hal ini menjadi penting karena sebagian besar permintaan produk peternakan dipenuhi oleh produk impor yang pada gilirannya akan menguras devisa negara.

44 Gambar Proyeksi PDB Riil Sektor Peternakan, (Rp triliun) Investasi Pertanian Berdasar data realisasi PMA dan PMDN pertanian untuk empat subsektor, dilakukan proyeksi jangka pendek untuk periode dengan menggunakan dasar laju pertumbuhan tahun yang dikoreksi dengan tingkat penurunan sebesar 5% setiap tahun. PMA dalam jangka pendek diproyeksikan meningkat untuk subsector perkebunan sebesar 31,2%/tahun dan subsector tanaman pangan 11,1%/tahun. Sementara itu, untuk subsektor peternakan dan hortikultura kemungkinan akan turun masing-masing dengan laju rata-rata 3,2% dan 4,0% per tahun (Tabel 4.5.1). Dalam jangka pendek, moratorium lahan tidak menunjukkan pengaruh pada laju peningkatan investasi pada subsektor tanaman perkebunan. Tabel Proyeksi Jangka Pendek Nilai PMA menurut Subsektor, (US$ juta). Tahun T. Pangan Hortikultura Perkebunan Peternakan ,5 0,0 736,4 4, ,2 0,0 929,9 5, ,0 0, ,1 5, ,9 0, ,7 5, ,9 0, ,5 6,1 Laju (%/tahun) 11,1-4,0 31,2-3,2

45 Nilai PMDN dalam jangka pendek diproyeksikan akan meningkat untuk semua subsektor (Tabel 4.5.2) dan menurut laju pertumbuhan tertinggi secara berturut-turut adalah subsector perkebunan (59,8 %/tahun), subsector peternakan (18,0 %tahun), subsektor tanaman pangan (16,7 %/tahun) dan subsector hortikultura (3,0 %/tahun). Hal ini juga menunjukkan bahwa susbsektor perkebunan lebih diminati para investor, terutama untuk perkebunan tanaman penghasil minyak (Oleaginous) yaitu kelapa sawit. Apabila dalam PMA subsektor peternakan cenderung tumbuh menurun, maka dalam PMDN realisasi dan jumlah proyeknya cenderung meningkat. Hal ini sejalan dengan salah satu program pemerintah yang saat ini sedang berlangsung, yaitu Program Swasembada Daging Sapi (PSDS) Tabel Proyeksi Jangka Pendek Nilai PMDN menurut Subsektor, (Rp Milyar). Tahun T. Pangan Hortikultura Perkebunan Peternakan ,8 16, ,6 174, ,8 0, ,3 170, ,3 0, ,3 167, ,1 0, ,2 164, ,6 0, ,4 161,8 Laju (%/tahun) 16,7 3,0 59,8 18,0 Berdasarkan kelompok bidang lapangan industri, baik untuk PMA maupun PMDN menunjukkan kesamaan bahwa bidang pada subsektor tanaman yang banyak diminati adalah tanaman serealia selain padi, kacang-kacangan dan biji-bijian penghasil minyak. Untuk subsektor perkebunan adalah perkebunan tebu, tanaman semusim, tanaman penghasil minyak, tanaman bahan minuman, tanaman rempah-rempah, tanaman aromatik/penyegar, narkotika dan obat serta tanaman tahunan lainnya. Investasi pada subsektor peternakan meliputi usahaternak sapi, kerbau dan ternak lainnya.

46 V. PROSPEK JANGKA PANJANG ( ) 5.1. Komoditas Pangan Tabel Proyeksi Jangka Panjang Komoditas Tanaman Pangan, (ton) Tahun Beras Jagung Kedele K.Tanah Ubi Jalar Ubi Kayu ,710,289 28,173,837 1,031, , ,932 2,126, ,795,298 30,120,973 1,048, , ,307 2,145, ,934,170 32,202,678 1,066, , ,717 2,164, ,128,296 34,428,252 1,083, , ,164 2,183, ,379,104 36,807,639 1,101, , ,648 2,203, ,688,057 39,351,470 1,120, , ,168 2,222, ,938,228 41,935,126 1,137, , ,575 2,241, ,243,622 44,688,414 1,155, , ,017 2,261, ,605,594 47,622,472 1,173, , ,495 2,280, ,025,532 50,749,168 1,192, , ,009 2,300, ,504,859 54,081,151 1,211, , ,559 2,320, ,045,033 57,631,897 1,230, , ,145 2,340,223 Laju (%/th)

47 5.2. Komoditas Hortikultura Status Komoditas Hortikultura Pertumbuhan hortikultura kedepan dinilai mempunyai prospek yang sangat baik. Optimisme tersebut didasarkan kepada adanya potensi yang belum didayagunakan baik sumberdaya alam, genetic dan potensi pasar. Potensi pengembangan hortikultura sangat besar mencakup keanekaragaman varietas dan kondisi tanah agroklimat sangat kondusif bagi untuk kegiatan produksi berbagai jenis buah-buahan, sayuran, tanaman hias dan tanaman biofarmaka. Potensi tersebut belum didayagunakan secara optimal. Semantara itu, membaiknya kondisi perekonomian di dalam negeri dan internasional akan menumbuhkan permintaan terhadap produk hortikultura yang beragam. Kualitas hidup penduduk Indonesia tahun 2025 akan meningkat dibandingkan tahun Hal ini diikuti dengan perubahan gaya hidup dan pola konsumsi. Preferensi konsumsi penduduk akan mengarah pada pola makan sehat dengan mengurangi konsumsi karbohidrat dan memperbanyak konsumsi produk hortikultura untuk pemenuhan serat, vitamin, mineral dan penyegar stamina tubuh. Selain itu perubahan gaya hidup pun akan terjadi yang diindikasikan dengan peningkatan kebutuhan tanaman hias, khususnya untuk keindahan lingkungan sekitar. Peningkatan permintaan tersebut mendorong berkembangnya kegiatan produksi yang diikuti dengan tumbuhnya sektor pendukung di tingkat hulu dan hilir. Potensi Komoditas hortikultura mempunyai nilai ekonomis yang tinggi, sehingga usaha hortikultura dapat menjadi sumber pendapatan masyarakat petani dan pelaku usaha lainnya, baik skala mikro, kecil, menengah maupun besar. Usaha hortikultura mempunyai keunggulan karena mempunyai nilai ekonomi tinggi, jenisnya sangat beragam, ketersediaan sumber daya (alam, buatan dan manusia) dan teknologi pendukung, serta potensi pasar di dalam dan di luar negeri yang terus meningkat. Dalam tahun 2025 diprediksi agribisnis hortikultura akan berada pada tahap maju, sehingga sub sektor hortikultura akan mempunyai peran dalam ekonomi nasional, baik dalam pendapatan nasional (PDB), sumber lapangan kerja dan pendapatan masyarakat, maupun devisa. Permintaan domestik akan produk hortikultura akan meningkat cukup besar yang didasarkan pada beberapa asumsi sebagai berikut: (1) Jumlah penduduk tahun 2025 akan bertambah menjadi 285 juta jiwa; dan (2) Konsumsi produk hortikultura akan meningkat tajam sejalan dengan kondisi ekonomi Indonesia pada tahun 2025 yang akan berada pada level ekonomi sedang-menengah dengan pendapatan masyarakat Indonesia US$ 13 ribu per kapita. Proyeksi membaiknya kondisi perekonomian nasional pada tahun 2025 akan berdampak positif bagi pembangunan subsektor hortikultura di dalam negeri. Perbaikan

48 kondisi ekonomi tahun 2025 yang dipicu oleh perubahan mendasar kebijakan akan berdampak positif terhadap perbaikan iklim usaha hortikultura. Investasi hortikultura diperkirakan akan berkembang di semua lini di dalam sistem agribisnis. Di sisi lain, permintaan pasar internasional juga akan meningkat sejalan dengan membaiknya kondisi ekonomi di berbagai negara. Hal ini berdampak terhadap peningkatan peluang ekspor yang potensial sebagai penerimaan devisa negara. Akumulasi permintaan pasar domestik dan internasional perlu diantisipasi dengan peningkatan kegiatan di sektor produksi. Sejalan dengan hal tersebut, sektor-sektor pendukung juga akan tumbuh mengikuti intensitas kegiatan sektor produksi. Pada akhirnya terbangun jaringan kerja ekonomi yang bersifat lintas sektoral yang secara agregat berpengaruh terhadap pertumbuhan perekonomian nasional Luas panen, produksi dan produktivitas Berdasarkan perkiraan optimis terhadap dinamika nasional dan global, produksi hortikultura pada tahun 2025 akan meningkat menjadi 39.5 juta ton atau peningkatan sebasar 227% dibandingkan dengan kondisi pada tahun 2000 akan meningkat rata-rata 3.18%/tahun. Pertumbuhan tertinggi diproyeksikan akan terjadi pada tanaman hias dengan laju 7,19%/tahun dan tanaman obat 6.38%/tahun. Sementara produksi buah meningkat 3.59%/tahun dan sayuran 2.27%/tahun (Tabel 5.2.1). Tabel Proyeksi Laju Pertumbuhan Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Komoditas Hortikultura, Tahun (%/tahun) Komoditas` Luas panen Produksi Produktivitas Buah Sayur Tanaman Obat Tanaman Hias Total Pada tahun 2025, produksi buah diproyeksikan akan mencapai 23.8 juta ton (naik 119.4% dibanding tahun 2010), produksi sayuran juta ton (naik 135.5% dibanding tahun 2010), produksi tanaman obat 0.92 juta ton (naik 203.8% dibanding tahun 2010, dan produksi tanaman hias juta ton (naik 126.8% dibanding tahun 2010). Kenaikan produksi hortikultura terjadi karena peningkatan luas area panen dan peningkatan produktivitas. Secara keseluruhan luas panen hortikultura pada tahun akan meningkat dengan laju 1.98%/tahun. Pertumbuhan luas panen lebih cepat terjadi pada tanaman obat 5.04%/tahun, disusul Tanaman hias sebesar 2.99%/tahun, sayuran 2.17%/tahun dan buah 1.65%/tahun. Pada tahun 2025 luas tanaman buah diproyeksikan

49 seluas 23.8 juta ha; sayuran juta ha, tanaman obat 0,94 juta ha dan tanaman hias 0.64 juta hektar. Produktifitas hortikultura tahun akan meningkat dengan laju 0,71%/tahun. Laju kenaikan produktifitas paling tinggi terjadi pada tanaman hias yaitu 2.78%/tahun sejalan dengan penerapan inovasi teknologi yang cepat. Kenaikan produktifitas juga terjadi pada tanaman buah sebesar 1.99%/thun, tanaman obat 1.43%/tahun dan sayuran 0,1%/tahun. Kenaikan produksi hortikultura berarti pula kenaikan ketersediaan produk hortikultura di masyarakat, sehingga konsumsi per kapita masyarakat Indonesia akan produk hortikultura akan mengalami peningkatan. Dalam tahun konsumsi buah dan sayuran akan meningkat masing masing dari 32,6 kg/kapita/tahun dan 40,7 kg/kapita/tahun menjadi masing-masing sebesar 75 kg/kapita/tahun atau meningkat sebesar 130% untuk buah dan 84,3% untuk sayuran. Dengan kondisi demikian maka konsumsi buah dan sayuran pada tahun 2025 akan memenuhi standar minimal FAO sebesar 73 kg/kapita/tahun Produk Domestik Bruto PDB pada hortikultura tahun 2025 diproyeksikan sebesar trilyun rupiah atau peningkatan sebesar 156% dibandingkan tahun 2000 dengan laju peningkatan sebesar 4.90%/tahun (Tabel 5.2.2). Besarnya nilai PDB pada tahun 2025 tersebut merupakan 356% dibandingkan PDB tahun 2000 atau peningkatan 159% dibandingkan PDB tahun Kelompok komoditas buah akan memberikan kontribusi PDB hortikultura terbesar yaitu 56.7%, disusul kelompok sayuran 34.0%, kelompok tanaman hias 7,8% dan kelompok tanaman obat 1,2%. Tabel Proyeksi PDB Riil Subsektor Hortikultura, Tahun (Rp milyar) Tahun Buah Sayur T. Obat T. Hias Total , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,461.3 Laju (%/th)

50 Dilihat dari laju pertumbuhan masing-masing kelompok komoditas, dalam jangka panjang sampai dengan tahun 2025 pertumbuhan PDB terbesar terjadi pada kelompok komoditas tanaman obat yaitu 6kelompok sayuran 4.78%/tahun Perdagangan Dengan peningkatan produksi juga dimungkinkan terjadinya peningkatan ekspor. Dirjen Hortikultura memproyeksikan dalam tahun ekspor produk hortikultura meningkat dari US$ 297,1 juta menjadi US $ 970 juta atau peningkatan 226,5%. Sementara Impor produk hortikultura dapat ditekan, sehingga pada tahun 2025 Indonesia mencapai surplus perdagangan produk hortikultura. Peningkatan ekspor terutama didorong oleh ekspor produk tanaman hias dan tanaman obat. Pada tahun 2025, Indonesia diperkirakan akan menempati posisi kelima terbesar pemasok bunga potong di wilayah Asia setelah Jepang, China, India dan Korea Selatan. Sementara itu, pada tahun 2025 produksi tanaman obat diperkirakan akan mencapai juta ton dengan luas areal 41,9 ribu ha, yang juga akan berkontribusi dalam perdagangan hortikultura dunia Penyerapan Tenaga Kerja Peran SDM pelaku usaha akan sangat menentukan keberhasilan pembangunan hortikultura kedepan. Pengusaha/pelaku usaha pada komoditas hortikultura tersebut adalah pelaku produksi/petani, pelaku pemasaran (pedagang, pengepul, sup plier, pengecer/ retailer, dll), pelaku usaha pengolahan produk hortikultura, pelaku penyedia sarana produksi untuk komoditas hortikultura (penangkar benih, pe njual pupuk, dll.), dan lain sebagainya. Disamping itu, peran dari petugas lapang/pembina, pakar dan pemerintah juga makin penting. Pertumbuhan usaha agribisnis hortikultura akan menciptakan peluang lapangan kerja baru dari masyarakat. Pada tahun 2025 kegiatan on farm hortikultura akan menyerap tenaga kerja sebesar 6.4 juta jiwa. Penyerapan tenaga kerja terbesar adalah usaha sayuran (68.54 %) menyusul usaha buah (30.84 %), tanaman obat sebasar 0.53% dan tanaman hias 0,09% (Tabel 5.2.3). Apabila diperhitungkan usaha agribisnis secara keseluruhan, dengan asumsi pertumbuhan penyerapan lapangan kerja yang sama, maka pada tahun 2025 agribisnis hortikultura diproyeksikan akan menyerap tenaga kerja sebesar 19.7 juta jiwa atau 170% dibandingkan penyerapan tenaga kerja pada tahun 2014.

51 Tabel Proyeksi Penyerapan Tenaga Kerja Subsektor Hortikultura, Tahun (000 orang). Tahun Buah Sayur T. Obat T. Hias Total , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , Laju (%/tahun) Komoditas Perkebunan Luas Areal dan Produksi Dalam jangka panjang ( ), sebagian besar komoditas perkebunan diproyeksikan masih akan mengalami pertumbuhan luas areal dan produksi selama dengan laju pertumbuhan luas areal sekitar % dan laju pertumbuhan produksi sekitar % selama 11 tahun (Tabel 5.3.1). Kapas, kakao dan kelapa sawit masih akan mengalami pertumbuhan luas areal areal yang cepat, sementara kopi, teh, tembakau dan panili akan mengalami penurunan luas areal. Untuk produksi, laju pertumbuhan yang cepat dialami oleh kelapa sawit dan kapas, sedangkan kopi, teh, tembakau dan panili akan mengalami penurunan luas areal. Luas areal dan produksi komoditas perkebunan pada tahun 2025 diproyeksikan sekitar 1,026 ha sampai 17,155,619 ha untuk luas areal dan 2,916 ton sampai 61,198,230 ton untuk produksi. Lima komoditas akan tetap mendominasi luas areal, yaitu kelapa sawit, kelapa, kakao, karet, dan kopi. Dalam jangka panjang, komoditas perkebunan akan dihadapkan pada persaingan dengan sesama komoditas perkebunan di dalam negeri dan komoditas perkebunan negara lain di pasar dunia. Komoditas kelapa sawit, karet dan kakao masih akan tetap menjadi komoditas andalan, baik di dalam negeri maupun di pasar global. Pesaing utama Indonesia untuk kelapa sawit, yaitu Malaysia sudah ditundukkan oleh Indonesia dari segi kuantitas

52 produksi karena unggul dalam ketersediaan lahan dan tenaga kerja. Demikian pula, untuk karet, Indonesia sudah mengalahkan Malaysia dan akan mengalahkan Thailand yang saat ini masih merupakan produsen utama. Untuk kakao, pasar masih bagus dan masalahnya tinggal mengatasi hama penggerek buah kakao (PBK). Tabel Proyeksi Luas Areal dan Produksi Komoditas Perkebunan, Komoditas Laju (%/tahun) Luas Areal Luas 2025 (ha) Laju (%/tahun) Produksi Produksi 2025 (ton) Kelapa sawit ,155, ,198,230 Kelapa ,992, ,360,121 Kakao ,723, ,520,743 Karet ,598, ,052,245 Kopi ,122, ,333 Tebu , ,229,695 Cengkeh , ,942 Lada , ,658 Tembakau , ,836 Teh , ,317 Kapas , ,192 Panili , ,916 Jambu mete , , Perdagangan Nilai ekspor komoditas perkebunan utama selama diproyeksikan sebagian besar akan meningkat dan sebagian kecil menurun (Tabel 5.3.2). Komoditas yang akan meningkat nilai ekspornya adalah yang berasal dari kelapa sawit, karet, kakao, kelapa, lada, tebu (produk sampingan), jambu mete, dan cengkeh dengan laju peningkatan yang bervariasi dari % selama 11 tahun. Sementara komoditas yang menurun nilai ekspornya adalah yang berasal dari kopi, teh, panili dan tembakau dengan laju penurunan yang bervariasi sekitar % selama 11 tahun. Komoditas dengan laju peningkatan nilai ekpor paling cepat adalah yang berasal dari kelapa sawit ( %) dan tebu (226.15%). Proyeksi nilai ekspor yang meningkat atau menurun berkorelasi dengan proyeksi produksi. Secara total, laju peningkatan nilai ekspor diproyeksikan akan meningkat 213,29% selama 11 tahun dan pada tahun 2025 total nilai ekpor akan mencapai sekitar US$ milyar dengan kontribusi utama dari kelapa sawit, karet dan kakao.

53 Total nilai impor komoditas perkebunan selama diproyeksikan akan menurun rata-rata 15.91% (Tabel 5.3.2). Komoditas-komoditas yang nilai ekspornya diproyeksikan akan meningkat, nilai impornya diproyeksikan akan menurun dan sebaliknya jika proyeksi nilai ekpornya menurun. Total nilai impor pada tahun 2025 diproyeksikan akan mencapai US$768 juta. Tabel Proyeksi Nilai Ekspor, Nilai Impor dan Neraca Perdagangan Komoditas Perkebunan Indonesia, Komoditas Laju (%/th) Ekspor Impor Neraca Nilai 2025 (US$'000) Laju (%/th) Nilai 2025 (US$'000) Nilai 2025 (US$ 000) Kelapa sawit ,320, , ,313, Karet ,608, ,964 5,591, Kakao ,406, ,750 4,375, Kopi , , , Kelapa , , Lada , , , Tebu , , , Teh , ,197 88, Jambu mete , ,980 78, Cengkeh , , Panili , , Tembakau , , , Total ,511, , ,744, % Neraca perdagangan hampir semua komoditas perkebunan, kecuali tembakau, selama diproyeksikan akan mengalami surplus sebesar %, sedangkan tembakau mengalami deficit 88.30%. Total surplus perdagangan pada tahun 2025 diproyeksikan akan mencapai sekitar US$ milyar, atau surplus 99.32%. Surplus terbesar adalah pada kelapa sawit, diikuti karet dan kakao. Ini menunjukkan bahwa mayoritas komoditas perkebunan adalah pencetak devisa negara, dan hanya tembakau yang menjadi komoditas penguras devisa Produk Domestik Produk PDB riil subsektor perkebunan selama diproyeksikan akan meningkat rata-rata 1.85%/tahun, sejalan dengan proyeksi produksi perkebunan untuk periode yang sama. Sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 5.3.1, PDB riil sektor perkebunan akan meningkat dari Rp 52,641 milyar pada tahun 2014 menjadi Rp 64,709 milyar pada tahun

54 2025. Dengan demikian, maka subsector perkebunan diharapkan kontribusi dalam pembentukan PDB sektor pertanian dan PDB nasional. akan memberikan Gambar Proyeksi PDB Riil Subsektor Perkebunan Indonesia, (Rp milyar) 5.4. Komoditas Peternakann Produksi Daging Hasil proyeksi produksi daging tahun adalah seperti disajikan pada Tabel Total produksi daging pada tahun 2015 adalah sebesar 2,48 juta ton, yang terdiri dari 75,71% daging unggas, 25,05% daging sapi dan kerbau, dan 17,38% daging kambing dan domba (kado). Pada tahun 2025, total produksi daging diproyeksikan sebesar 3,26 juta ton. Kontribusi daging unggas tetap mendominasi produksi daging, bahkan meningkat menjadi 77,75%. Sementara itu, kontribusi daging sapi dan kerbau serta daging kado terhadap total produksi daging pada tahun 2025 diproyeksikan masing-masing 17,28% dan 18,93%. Untuk konsumsi, pertumbuhannya melampaui proyeksi pertumbuhan produksi, sehingga tingkat swasembada makin rendah. Dengan menggunakan rasio produksi terhadap konsumsi sebagai indikator swasembada, maka tingkat swasembada daging pada tahun 2015 dan 2025 masing-masing adalah 90.77% dan turun menjadi 73.68%. Penurunan tingkat swasembada diproyeksikan terjadi pada daging unggas, dagingg sapi dan kerbau, serta daging kambing dan domba (Tabel 5.4.2).

55 Tabel Proyeksi Produksi Daging Di Indonesia, (ton). Tahun Unggas Sapi/Kerbau Kado Total Seperti halnya dalam prospek jangka pendek, dalam prospek jangka panjangpun tanpa terobosan yang berarti dalam pembangunan sub sektor peternakan swasembada daging makin tidak tercapai. Dengan asumsi pertumbuhan produksi ternak dan penduduk yang makin menurun dan pertumbuhan konsumsi per kapita tetap, maka senjang antara produksi dengan konsumsi daging sampai tahun 2025 makin lebar, sehingga indikator tingkat swasembada makin rendah. Hal ini mengindikasikan bahwa di masa mendatang impor daging akan makin meningkat. Tabel Proyeksi konsumsi dan tingkat swasembada daging di Indonesia, Tahun Unggas Total Konsumsi Daging (ton) Tingkat Swasembada Daging (%) Sapi/ Kerbau Kado Total Unggas Sapi/ Kerbau Kado Total ,54 79,23 87,96 92, ,45 77,43 85,17 90, ,22 75,65 82,27 89, ,88 73,88 79,29 87, ,44 72,13 76,24 86, ,90 70,40 73,16 84, ,27 68,70 70,07 82, ,58 67,02 66,98 81, ,82 65,36 63,91 79, ,01 63,73 60,88 77, ,16 62,13 57,89 75, ,27 60,56 54,97 73,68 Untuk mengurangi ketergantungan pada impor daging (terutama daging sapi), beberapa alternatif kebijakan yang dibutuhkan antara lain adalah: (1) Meningkatkan skala

56 pemeliharaan ternak melalui program pembibitan sapi; (2) Memberikan bantuan kredit sapi bakalan kepada petani/peternak; (3 ) Memperbaiki menejemen pemeliharaan sapi melalui sekolah lapang peternakan sapi; dan (4) Menyediakan kredit lunak untuk sub sektor peternakan, agar petani/peternak mampu membeli sapi bakalan dan menerapkan teknologi pemeliharaan sapi, sesuai dengan teknologi yang diperoleh melalui sekolah lapang. Susu dan Telur Populasi sapi perah diproyeksikan akan tumbuh relatif lambat selama yaitu 0.47% per tahun. Dengan laju pertumbuhan tersebut, maka populasi sapi perah diproyeksikan akan meningkat pada tahun 2011 menjadi ribu ekor, lalu meningkat lagi pada tahun 2020 menjadi ribu ekor dan kemudian menjadi ribu ekor pada tahun 2025 (Tabel 5.4.3). Tabel Proyeksi Populasi Sapi Perah dan Ayam Petelur serta Produksi Susu dan Telur di Indonesia, Tahun Populasi Sapi Perah ( 000 ekor) Susu Produksi Susu Sapi ( 000 ton) Produktifitas (ton/ekor) Populasi Ayam Petelur (juta ekor) Telur Produksi Telur ( 000 ton) Produktifitas (kg/ekor) Laju (%/tahun) Sejalan dengan proyeksi populasi sapi perah tesebut, produksi susu sapi diproyeksikan akan tumbuh relatif cepat selama yaitu 2.45% per tahun. Dengan laju pertumbuhan produksi susu sapi tersebut, maka produksi susu sapi diproyeksikan akan meningkat pada tahun 2011 menjadi ribu ton, lalu meningkat lagi pada tahun 2020 menjadi ribu ton dan kemudian menjadi ribu ton pada tahun 2025.

57 Langkah ke depan yang perlu dilakukan antara lain adalah meningkatkan upaya mencegahan penyakit berbahaya bagi ternak sapi perah dan memberikan bantuan kredit kepada peternak rakyat guna pengembangan usaha. Populasi ayam petelur diproyeksikan akan tumbuh relatif cepat selama yaitu 2.96% per tahun. Dengan laju pertumbuhan populasi ayam petelur tersebut, maka populasi ayam petelur diproyeksikan akan meningkat pada tahun 2011 menjadi juta ekor, lalu meningkat lagi pada tahun 2020 menjadi juta ekor dan kemudian menjadi juta ekor pada tahun 2025 (Tabel 5.4.3). Produksi telur diproyeksikan akan tumbuh sedikit lebih cepat dibandingkan dengan populasi ayam petelur selamaa yaitu 4.31% per tahun. Dengann laju pertumbuhan produksi telur tersebut, maka produksi telur diproyeksikan akan meningkat pada tahun 2011 menjadi ribu ton, lalu meningkat lagi pada tahun 2020 menjadi ribu ton dan kemudian menjadi ribu ton pada tahun Produk Domestik Bruto PDB sub sektor peternakan diproyeksikan akan tumbuh relatif cepat selama yaitu 4.22% per tahun. Dengan laju pertumbuhan PDB sub sektor peternakan tersebut, maka PDB sub sektor peternakan diproyeksikan akan meningkat pada tahun 2011 menjadi Rp triliun, lalu meningkat lagi pada tahun 2020 menjadi Rp triliun dan kemudian menjadi Rp triliun pada tahun 2025 (Gambar 5.4.1). Gambar Proyeksi PDB Riil Subsektor Peternakan, (Rp triliun)

OUTLOOK. Oleh: Reny Kustiari Sri Nuryanti PERTANIAN

OUTLOOK. Oleh: Reny Kustiari Sri Nuryanti PERTANIAN OUTLOOK SEKTOR PERTANIAN 2014 2025 Oleh: Prajogo U. Hadi Sri Hery Susilowati Muchjidin Rachmat Dewa K.S. Swastika Reny Kustiari Sri Nuryanti PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2009 MODEL PROYEKSI JANGKA PENDEK PERMINTAAN DAN PENAWARAN KOMODITAS PERTANIAN UTAMA

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2009 MODEL PROYEKSI JANGKA PENDEK PERMINTAAN DAN PENAWARAN KOMODITAS PERTANIAN UTAMA LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2009 MODEL PROYEKSI JANGKA PENDEK PERMINTAAN DAN PENAWARAN KOMODITAS PERTANIAN UTAMA Oleh : Reni Kustiari Pantjar Simatupang Dewa Ketut Sadra S. Wahida Adreng Purwoto Helena

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang tangguh dalam perekonomian dan memiliki peran sebagai penyangga pembangunan nasional. Hal ini terbukti pada saat Indonesia

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PENGEMBANGAN MODEL PERMINTAAN DAN PENAWARAN KOMODITAS PERTANIAN UTAMA. Oleh :

LAPORAN AKHIR PENGEMBANGAN MODEL PERMINTAAN DAN PENAWARAN KOMODITAS PERTANIAN UTAMA. Oleh : LAPORAN AKHIR PENGEMBANGAN MODEL PERMINTAAN DAN PENAWARAN KOMODITAS PERTANIAN UTAMA Oleh : Nizwar Syafa at Prajogo Utomo Hadi Dewa K. Sadra Erna Maria Lokollo Adreng Purwoto Jefferson Situmorang Frans

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kontribusi positif terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto Indonesia.

I. PENDAHULUAN. kontribusi positif terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto Indonesia. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peternakan sebagai salah satu sub dari sektor pertanian masih memberikan kontribusi positif terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto Indonesia. Kontribusi peningkatan

Lebih terperinci

PRODUKSI PANGAN INDONESIA

PRODUKSI PANGAN INDONESIA 65 PRODUKSI PANGAN INDONESIA Perkembangan Produksi Pangan Saat ini di dunia timbul kekawatiran mengenai keberlanjutan produksi pangan sejalan dengan semakin beralihnya lahan pertanian ke non pertanian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat secara ekonomi dengan ditunjang oleh faktor-faktor non ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat secara ekonomi dengan ditunjang oleh faktor-faktor non ekonomi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan suatu proses perubahan yang dilakukan melalui upaya-upaya terencana untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara ekonomi dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting

I. PENDAHULUAN. Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting dalam pembangunan Indonesia. Hal ini didasarkan pada kontribusi sektor pertanian yang tidak hanya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. agraris seharusnya mampu memanfaatkan sumberdaya yang melimpah dengan

I. PENDAHULUAN. agraris seharusnya mampu memanfaatkan sumberdaya yang melimpah dengan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi yang merupakan salah satu indikator keberhasilan suatu negara dapat dicapai melalui suatu sistem yang bersinergi untuk mengembangkan potensi yang dimiliki

Lebih terperinci

Posisi Pertanian yang Tetap Strategis Masa Kini dan Masa Depan Jumat, 22 Agustus 2014

Posisi Pertanian yang Tetap Strategis Masa Kini dan Masa Depan Jumat, 22 Agustus 2014 Posisi Pertanian yang Tetap Strategis Masa Kini dan Masa Depan Jumat, 22 Agustus 2014 Sektor pertanian sampai sekarang masih tetap memegang peran penting dan strategis dalam perekonomian nasional. Peran

Lebih terperinci

KINERJA PERTUMBUHAN PDB PERTANIAN 2003 : BERADA PADA FASE PERCEPATAN PERTUMBUHAN 1)

KINERJA PERTUMBUHAN PDB PERTANIAN 2003 : BERADA PADA FASE PERCEPATAN PERTUMBUHAN 1) KINERJA PERTUMBUHAN PDB PERTANIAN 2003 : BERADA PADA FASE PERCEPATAN PERTUMBUHAN 1) Nizwar Syafa at, Sudi Mardianto, dan Pantjar Simatupang Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Jalan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sektor pertanian mempunyai peranan yang cukup penting dalam kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. Sektor pertanian mempunyai peranan yang cukup penting dalam kegiatan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian mempunyai peranan yang cukup penting dalam kegiatan perekonomian di Indonesia, hal ini dapat dilihat dari kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto

Lebih terperinci

diperoleh melalui sistem pendataan pengunjung. dilihat pada tabel

diperoleh melalui sistem pendataan pengunjung. dilihat pada tabel mengisi daftar kehadiran atau berdasar data yang diperoleh melalui sistem pendataan pengunjung. Adapun jumlah Pengunjung Perpustakaan dapat dilihat pada tabel 2.184. Tabel 2.184. Jumlah Pengunjung Perpustakaan

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I. PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Meningkatnya jumlah penduduk dan adanya perubahan pola konsumsi serta selera masyarakat kearah protein hewani telah meningkatkan kebutuhan akan daging sapi. Program

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. penyediaan lapangan kerja, pemenuhan kebutuhan konsumsi dalam negeri, bahan

I. PENDAHULUAN. penyediaan lapangan kerja, pemenuhan kebutuhan konsumsi dalam negeri, bahan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan sumberdaya alam yang melimpah, terutama pada sektor pertanian. Sektor pertanian sangat berpengaruh bagi perkembangan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan yang dititikberatkan pada pertumbuhan ekonomi berimplikasi pada pemusatan perhatian pembangunan pada sektor-sektor pembangunan yang dapat memberikan kontribusi pertumbuhan

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN

LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN PENETAPAN TARGET INDIKATOR MAKRO DALAM RANGKA PENYUSUNAN RENCANA STRATEGIS KEMENTERIAN PERTANIAN 2015-2019 Oleh Pantjar Simatupang Sri Hery Susilowati Supriyati Sri Hastuti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tahun (juta orang)

BAB I PENDAHULUAN. Tahun (juta orang) 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Meningkatnya jumlah penduduk dan adanya perubahan pola konsumsi serta selera masyarakat telah menyebabkan konsumsi daging ayam ras (broiler) secara nasional cenderung

Lebih terperinci

Prospek dan Arah Pengembangan AGRIBISNIS KEDELAI. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005

Prospek dan Arah Pengembangan AGRIBISNIS KEDELAI. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005 Prospek dan Arah Pengembangan AGRIBISNIS KEDELAI Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005 MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA SAMBUTAN MENTERI PERTANIAN Atas perkenan dan

Lebih terperinci

PERTANIAN.

PERTANIAN. PERTANIAN PERAN SEKTOR PERTANIAN DALAM KEHIDUPAN Menyediakan kebutuhan pangan penduduk Menyerap tenaga kerja Pemasok bahan baku industri Sumber penghasil devisa SUBSEKTOR PERTANIAN Subsektor tanaman pangan

Lebih terperinci

PROSPEK TANAMAN PANGAN

PROSPEK TANAMAN PANGAN PROSPEK TANAMAN PANGAN Krisis Pangan Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya menjadi hak asasi setiap rakyat Indonesia dalam mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas untuk melaksanakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia memiliki potensi alamiah yang berperan positif dalam

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia memiliki potensi alamiah yang berperan positif dalam 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki potensi alamiah yang berperan positif dalam pengembangan sektor pertanian sehingga sektor pertanian memiliki fungsi strategis dalam penyediaan pangan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dalam pembangunan sektor pertanian. Pada tahun 1997, sumbangan Produk

I. PENDAHULUAN. dalam pembangunan sektor pertanian. Pada tahun 1997, sumbangan Produk I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Subsektor peternakan merupakan salah satu sumber pertumbuhan baru dalam pembangunan sektor pertanian. Pada tahun 1997, sumbangan Produk Domestik Bruto (PDB) subsektor

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pemenuhan protein hewani yang diwujudkan dalam program kedaulatan pangan.

I. PENDAHULUAN. pemenuhan protein hewani yang diwujudkan dalam program kedaulatan pangan. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kebutuhan masyarakat terhadap sumber protein hewani semakin meningkat sejalan dengan perubahan selera, gaya hidup dan peningkatan pendapatan. Karena, selain rasanya

Lebih terperinci

Peranan Pertanian di Dalam Pembangunan Ekonomi. Perekonomian Indonesia

Peranan Pertanian di Dalam Pembangunan Ekonomi. Perekonomian Indonesia Peranan Pertanian di Dalam Pembangunan Ekonomi Perekonomian Indonesia Peran Pertanian pada pembangunan: Kontribusi Sektor Pertanian: Sektor Pertanian dalam Pembangunan Ekonomi Pemasok bahan pangan Fungsi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Nilai PDB Hortikultura Berdasarkan Harga Berlaku Tahun (Milyar rupiah)

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Nilai PDB Hortikultura Berdasarkan Harga Berlaku Tahun (Milyar rupiah) 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN Indonesia merupakan salah satu negara berkembang dengan sektor pertanian sebagai sumber mata pencaharian dari mayoritas penduduknya. Sektor pertanian adalah salah satu

Lebih terperinci

Prospek dan Arah Pengembangan AGRIBISNIS CENGKEH. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005

Prospek dan Arah Pengembangan AGRIBISNIS CENGKEH. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005 Prospek dan Arah Pengembangan AGRIBISNIS CENGKEH Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005 MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA SAMBUTAN MENTERI PERTANIAN Atas perkenan dan

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM BIDANG PERTANIAN UNTUK MEWUJUDKAN KEMANDIRIAN PANGAN DAN ENERGI BERBASIS PERTANIAN

KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM BIDANG PERTANIAN UNTUK MEWUJUDKAN KEMANDIRIAN PANGAN DAN ENERGI BERBASIS PERTANIAN KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM BIDANG PERTANIAN UNTUK MEWUJUDKAN KEMANDIRIAN PANGAN DAN ENERGI BERBASIS PERTANIAN Dr. Suswono, MMA Menteri Pertanian Republik Indonesia Disampaikan pada Seminar Nasional Universitas

Lebih terperinci

DUKUNGAN SUB SEKTOR PERKEBUNAN TERHADAP PELAKSANAAN KEBIJAKAN

DUKUNGAN SUB SEKTOR PERKEBUNAN TERHADAP PELAKSANAAN KEBIJAKAN DUKUNGAN SUB SEKTOR PERKEBUNAN TERHADAP PELAKSANAAN KEBIJAKAN INDUSTRI NASIONAL Direktur Jenderal Perkebunan disampaikan pada Rapat Kerja Revitalisasi Industri yang Didukung oleh Reformasi Birokrasi 18

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Karet di Indonesia merupakan salah satu komoditas penting perkebunan. selain kelapa sawit, kopi dan kakao. Karet ikut berperan dalam

I. PENDAHULUAN. Karet di Indonesia merupakan salah satu komoditas penting perkebunan. selain kelapa sawit, kopi dan kakao. Karet ikut berperan dalam 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Karet di Indonesia merupakan salah satu komoditas penting perkebunan selain kelapa sawit, kopi dan kakao. Karet ikut berperan dalam menyumbangkan pendapatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Permintaan pangan hewani terutama daging sapi meningkat cukup besar

I. PENDAHULUAN. Permintaan pangan hewani terutama daging sapi meningkat cukup besar 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Permintaan pangan hewani terutama daging sapi meningkat cukup besar sejalan dengan laju pertumbuhan penduduk baik pada tingkat nasional maupun wilayah provinsi. Untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pendapatan masyarakat. Sektor pertanian di Indonesia terdiri dari beberapa sub

BAB I PENDAHULUAN. pendapatan masyarakat. Sektor pertanian di Indonesia terdiri dari beberapa sub BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu sektor andalan dalam pembangunan perekonomian nasional. Peranannya sebagai menyumbang pembentukan PDB penyediaan sumber devisa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia menjadi salah satu negara yang memiliki areal perkebunan yang luas.

I. PENDAHULUAN. Indonesia menjadi salah satu negara yang memiliki areal perkebunan yang luas. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia menjadi salah satu negara yang memiliki areal perkebunan yang luas. Komoditas yang ditanami diantaranya kelapa sawit, karet, kopi, teh, kakao, dan komoditas

Lebih terperinci

REVITALISASI PERTANIAN

REVITALISASI PERTANIAN REVITALISASI PERTANIAN Pendahuluan 1. Revitalisasi pertanian dan pedesaan, merupakan salah satu strategi yang dipilih oleh Kabinet Indonesia Bersatu dalam upayanya mewujudkan pembangunan masyarakat Indonesia,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor agribisnis merupakan sektor ekonomi terbesar dan terpenting dalam perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah kemampuannya dalam menyerap

Lebih terperinci

1 Universitas Indonesia

1 Universitas Indonesia BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kedelai merupakan komoditas strategis di Indonesia karena kedelai merupakan salah satu tanaman pangan penting di Indonesia setelah beras dan jagung. Komoditas ini mendapatkan

Lebih terperinci

memberikan multiple effect terhadap usaha agribisnis lainnya terutama peternakan. Kenaikan harga pakan ternak akibat bahan baku jagung yang harus

memberikan multiple effect terhadap usaha agribisnis lainnya terutama peternakan. Kenaikan harga pakan ternak akibat bahan baku jagung yang harus I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengembangan agribisnis nasional diarahkan untuk meningkatkan kemandirian perekonomian dan pemantapan struktur industri nasional terutama untuk mendukung berkembangnya

Lebih terperinci

KEBIJAKAN DAN STRATEGI OPERASIONAL PENGEMBANGAN BIOINDUSTRI KELAPA NASIONAL

KEBIJAKAN DAN STRATEGI OPERASIONAL PENGEMBANGAN BIOINDUSTRI KELAPA NASIONAL KEBIJAKAN DAN STRATEGI OPERASIONAL PENGEMBANGAN BIOINDUSTRI KELAPA NASIONAL Gamal Nasir Direktorat Jenderal Perkebunan PENDAHULUAN Kelapa memiliki peran strategis bagi penduduk Indonesia, karena selain

Lebih terperinci

Bab 4 P E T E R N A K A N

Bab 4 P E T E R N A K A N Bab 4 P E T E R N A K A N Ternak dan hasil produksinya merupakan sumber bahan pangan protein yang sangat penting untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia. Perkembangan populasi ternak utama

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tabel 1.1. Ekspor, Impor, dan Neraca Perdagangan Komoditas Pertanian Menurut Sub Sektor, 2014 Ekspor Impor Neraca

I. PENDAHULUAN. Tabel 1.1. Ekspor, Impor, dan Neraca Perdagangan Komoditas Pertanian Menurut Sub Sektor, 2014 Ekspor Impor Neraca I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Indonesia memiliki kekayaan alam yang melimpah ruah dan beraneka ragam. Hal ini tampak pada sektor pertanian yang meliputi komoditas tanaman pangan, hortikultura, perkebunan,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang mayoritas penduduknya sebagian besar adalah petani. Sektor pertanian adalah salah satu pilar dalam pembangunan nasional Indonesia. Dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan suatu Negara yang mempunyai kekayaan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan suatu Negara yang mempunyai kekayaan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan suatu Negara yang mempunyai kekayaan yang berlimpah, dimana banyak Negara yang melakukan perdagangan internasional, Sumberdaya yang melimpah tidak

Lebih terperinci

BAB V GAMBARAN UMUM PRODUK PERTANIAN

BAB V GAMBARAN UMUM PRODUK PERTANIAN BAB V GAMBARAN UMUM PRODUK PERTANIAN 5.1 Komoditas Perkebunan Komoditi perkebunan merupakan salah satu dari tanaman pertanian yang menyumbang besar pada pendapatan nasional karena nilai ekspor yang tinggi

Lebih terperinci

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK SAPI DI LAHAN PERKEBUNAN SUMATERA SELATAN

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK SAPI DI LAHAN PERKEBUNAN SUMATERA SELATAN Lokakarya Pengembangan Sistem Integrasi Kelapa SawitSapi POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK SAPI DI LAHAN PERKEBUNAN SUMATERA SELATAN ABDULLAH BAMUALIM dan SUBOWO G. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. melalui perluasan areal menghadapi tantangan besar pada masa akan datang.

I. PENDAHULUAN. melalui perluasan areal menghadapi tantangan besar pada masa akan datang. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Upaya peningkatan produksi tanaman pangan khususnya pada lahan sawah melalui perluasan areal menghadapi tantangan besar pada masa akan datang. Pertambahan jumlah penduduk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sektor pertanian yang memiliki nilai strategis antara lain dalam memenuhi

I. PENDAHULUAN. sektor pertanian yang memiliki nilai strategis antara lain dalam memenuhi I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan subsektor peternakan merupakan bagian dari pembangunan sektor pertanian yang memiliki nilai strategis antara lain dalam memenuhi kebutuhan pangan yang terus

Lebih terperinci

PROSPEK DAN ARAH PENGEMBANGAN AGRIBISNIS JAGUNG. Edisi Kedua. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian AGRO INOVASI

PROSPEK DAN ARAH PENGEMBANGAN AGRIBISNIS JAGUNG. Edisi Kedua. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian AGRO INOVASI PROSPEK DAN ARAH PENGEMBANGAN AGRIBISNIS JAGUNG Edisi Kedua Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2007 AGRO INOVASI MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA SAMBUTAN MENTERI PERTANIAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perekonomian merupakan salah satu indikator kestabilan suatu negara. Indonesia

I. PENDAHULUAN. Perekonomian merupakan salah satu indikator kestabilan suatu negara. Indonesia I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perekonomian merupakan salah satu indikator kestabilan suatu negara. Indonesia sebagai salah satu negara berkembang, menganut sistem perekonomian terbuka, di mana lalu

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM PRODUK KELAPA SAWIT DAN BAHAN BAKAR BIODIESEL DARI KELAPA SAWIT

V. GAMBARAN UMUM PRODUK KELAPA SAWIT DAN BAHAN BAKAR BIODIESEL DARI KELAPA SAWIT V. GAMBARAN UMUM PRODUK KELAPA SAWIT DAN BAHAN BAKAR BIODIESEL DARI KELAPA SAWIT 5.1 Produk Kelapa Sawit 5.1.1 Minyak Kelapa Sawit Minyak kelapa sawit sekarang ini sudah menjadi komoditas pertanian unggulan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sektor yang mempunyai peranan yang cukup strategis dalam perekonomian

I. PENDAHULUAN. sektor yang mempunyai peranan yang cukup strategis dalam perekonomian 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu sasaran pembangunan nasional adalah pertumbuhan ekonomi dengan menitikberatkan pada sektor pertanian. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. negara dititikberatkan pada sektor pertanian. Produksi sub-sektor tanaman

I. PENDAHULUAN. negara dititikberatkan pada sektor pertanian. Produksi sub-sektor tanaman I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bagi negara berkembang seperti Indonesia landasan pembangunan ekonomi negara dititikberatkan pada sektor pertanian. Produksi sub-sektor tanaman pangan memberikan kontribusi

Lebih terperinci

Industrialisasi Sektor Agro dan Peran Koperasi dalam Mendukung Ketahanan Pangan Nasional. Kementerian Perindustrian 2015

Industrialisasi Sektor Agro dan Peran Koperasi dalam Mendukung Ketahanan Pangan Nasional. Kementerian Perindustrian 2015 Industrialisasi Sektor Agro dan Peran Koperasi dalam Mendukung Ketahanan Pangan Nasional Kementerian Perindustrian 2015 I. LATAR BELAKANG 2 INDUSTRI AGRO Industri Agro dikelompokkan dalam 4 kelompok, yaitu

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Jakarta, Juni 2013 Kepala Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian, Ir. M. Tassim Billah, MSc.

KATA PENGANTAR. Jakarta, Juni 2013 Kepala Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian, Ir. M. Tassim Billah, MSc. JUNI 2013 KATA PENGANTAR Dalam rangka menyediakan data indikator makro sektor pertanian serta hasil analisisnya, Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian pada tahun 2013 kembali menerbitkan. Indikator

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertanian merupakan sektor yang sangat penting karena pertanian berhubungan langsung dengan ketersediaan pangan. Pangan yang dikonsumsi oleh individu terdapat komponen-komponen

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Subsektor perkebunan merupakan bagian dari sektor pertanian yang memegang peranan penting bagi perekonomian nasional. Hal ini ditunjukkan dari nilai devisa yang dihasilkan.

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Lampung Selatan adalah salah satu dari 14 kabupaten/kota yang terdapat di Provinsi

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Lampung Selatan adalah salah satu dari 14 kabupaten/kota yang terdapat di Provinsi IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1. Geografi Lampung Selatan adalah salah satu dari 14 kabupaten/kota yang terdapat di Provinsi Lampung. Kabupaten Lampung Selatan terletak di ujung selatan Pulau Sumatera

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tabel 1. Hortikultura

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tabel 1. Hortikultura I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang luas dan kaya akan komoditas pertanian serta sebagian besar penduduknya adalah petani. Sektor pertanian sangat tepat untuk dijadikan sebagai

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permintaan konsumsi daging dan produk-produk peternakan dalam negeri semakin meningkat seiring dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk, peningkatan pendapatan dan daya

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki berbagai macam potensi sumber daya alam yang melimpah serta didukung dengan kondisi lingkungan, iklim, dan cuaca yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. langsung persoalan-persoalan fungsional yang berkenaan dengan tingkat regional.

BAB I PENDAHULUAN. langsung persoalan-persoalan fungsional yang berkenaan dengan tingkat regional. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perencanaan regional memiliki peran utama dalam menangani secara langsung persoalan-persoalan fungsional yang berkenaan dengan tingkat regional. Peranan perencanaan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Pertanian merupakan kegiatan pengelolaan sumber daya untuk menghasilkan bahan pangan, bahan baku untuk industri, obat ataupun menghasilkan sumber energi. Pertanian merupakan

Lebih terperinci

KINERJA NILAI TAMBAH DAN PRODUKSI SEKTOR PERTANIAN,

KINERJA NILAI TAMBAH DAN PRODUKSI SEKTOR PERTANIAN, KINERJA NILAI TAMBAH DAN PRODUKSI SEKTOR PERTANIAN, 2000-2003 Nizwar Syafa at, Supena Friyatno, Sudi Mardianto dan Suryadi Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Jalan A. Yani 70 Bogor

Lebih terperinci

II TINJAUAN PUSTAKA. Juni 2010] 6 Masalah Gizi, Pengetahuan Masyarakat Semakin Memprihatinkan. [10

II TINJAUAN PUSTAKA. Juni 2010] 6 Masalah Gizi, Pengetahuan Masyarakat Semakin Memprihatinkan.  [10 II TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan pustaka dalam penelitian ini meliputi tinjauan komoditas kedelai, khususnya peranan kedelai sebagai sumber protein nabati bagi masyarakat. Tidak hanya itu, kedelai juga ditinjau

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Jakarta, September 2013 Kepala Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian, Ir. M. Tassim Billah, MSc.

KATA PENGANTAR. Jakarta, September 2013 Kepala Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian, Ir. M. Tassim Billah, MSc. SEPTEMBER 2013 KATA PENGANTAR Dalam rangka menyediakan data indikator makro sektor pertanian serta hasil analisisnya, Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian pada tahun 2013 kembali menerbitkan Buletin

Lebih terperinci

Pengembangan Jagung Nasional Mengantisipasi Krisis Pangan, Pakan dan Energi Dunia: Prospek dan Tantangan

Pengembangan Jagung Nasional Mengantisipasi Krisis Pangan, Pakan dan Energi Dunia: Prospek dan Tantangan Pengembangan Jagung Nasional Mengantisipasi Krisis Pangan, Pakan dan Energi Dunia: Prospek dan Tantangan Anton J. Supit Dewan Jagung Nasional Pendahuluan Kemajuan teknologi dalam budidaya jagung semakin

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Jakarta, Juli 2013 Kepala Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian, Ir. M. Tassim Billah, MSc.

KATA PENGANTAR. Jakarta, Juli 2013 Kepala Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian, Ir. M. Tassim Billah, MSc. JULI 2013 KATA PENGANTAR Dalam rangka menyediakan data indikator makro sektor pertanian serta hasil analisisnya, Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian pada tahun 2013 kembali menerbitkan Buletin Bulanan.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN , , , ,3 Pengangkutan dan Komunikasi

I. PENDAHULUAN , , , ,3 Pengangkutan dan Komunikasi I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian di Indonesia merupakan sektor yang memegang peranan penting dalam perekonomian Indonesia. Sektor pertanian secara potensial mampu memberikan kontribusi

Lebih terperinci

EKSPOR IMPOR KOMODITAS PERTANIAN

EKSPOR IMPOR KOMODITAS PERTANIAN Volume V Nomor 2 Tahun 2013 BULETIN TRIWULANAN EKSPOR IMPOR KOMODITAS PERTANIAN PUSAT DATA DAN SISTEM INFORMASI PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2013 Buletin Triwulanan EKSPOR IMPOR KOMODITAS PERTANIAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Permintaan dunia terhadap pangan hewani (daging, telur dan susu serta produk

I. PENDAHULUAN. Permintaan dunia terhadap pangan hewani (daging, telur dan susu serta produk I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permintaan dunia terhadap pangan hewani (daging, telur dan susu serta produk olahannya) sangat besar dan diproyeksikan akan meningkat sangat cepat selama periode tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bruto (PDB) Indonesia, dan berperan penting dalam perekonomian nasional

BAB I PENDAHULUAN. Bruto (PDB) Indonesia, dan berperan penting dalam perekonomian nasional 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Subsektor hortikultura merupakan salah satu subsektor pertanian yang memberikan kontribusi strategis dalam menyumbang nilai Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia,

Lebih terperinci

EKSPOR IMPOR KOMODITAS PERTANIAN

EKSPOR IMPOR KOMODITAS PERTANIAN Volume V Nomor 3 Tahun 2013 BULETIN TRIWULANAN EKSPOR IMPOR KOMODITAS PERTANIAN PUSAT DATA DAN SISTEM INFORMASI PERTANIAN SEKRETARIAT JENDERAL, KEMENTERIAN PERTANIAN 2013 Buletin Triwulanan EKSPOR IMPOR

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Jumlah petani di Indonesia menurut data BPS mencapai 45% dari total angkatan kerja di Indonesia, atau sekitar 42,47 juta jiwa. Sebagai negara dengan sebagian besar penduduk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai negara agraris karena memiliki kekayaan alam yang berlimpah, terutama di bidang sumber daya pertanian seperti lahan, varietas serta iklim yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan memberikan

BAB 1 PENDAHULUAN. Sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan memberikan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap perekonomian Indonesia. Hal ini dilihat dari kontribusi sektor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penduduk Indonesia. Bagi perekonomian Indonesia kacang kedelai memiliki

BAB I PENDAHULUAN. penduduk Indonesia. Bagi perekonomian Indonesia kacang kedelai memiliki BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kedelai merupakan sumber protein nabati utama bagi sebagian besar penduduk Indonesia. Bagi perekonomian Indonesia kacang kedelai memiliki peranan yang besar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Jumlah penduduk selalu bertambah dari tahun ke tahun, hal tersebut terus

I. PENDAHULUAN. Jumlah penduduk selalu bertambah dari tahun ke tahun, hal tersebut terus I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Jumlah penduduk selalu bertambah dari tahun ke tahun, hal tersebut terus diimbangi dengan kesadaran masyarakat akan arti penting peningkatan gizi dalam kehidupan. Hal

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Tabel 1. Perkembangan PDB Hortikultura Atas Dasar Harga Berlaku di Indonesia Tahun Kelompok

PENDAHULUAN. Tabel 1. Perkembangan PDB Hortikultura Atas Dasar Harga Berlaku di Indonesia Tahun Kelompok I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Hortikultura merupakan salah satu sektor pertanian unggulan yang memiliki beberapa peranan penting yaitu dalam pemenuhan kebutuhan gizi masyarakat, peningkatan pendapatan

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Jakarta, Oktober 2013 Kepala Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian, Ir. M. Tassim Billah, MSc.

KATA PENGANTAR. Jakarta, Oktober 2013 Kepala Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian, Ir. M. Tassim Billah, MSc. OKTOBER 2013 KATA PENGANTAR Dalam rangka menyediakan data indikator makro sektor pertanian serta hasil analisisnya, Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian pada tahun 2013 kembali menerbitkan Buletin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Nainggolan K. (2005), pertanian merupakan salah satu sektor

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Nainggolan K. (2005), pertanian merupakan salah satu sektor BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Menurut Nainggolan K. (2005), pertanian merupakan salah satu sektor yang sangat dominan dalam pendapatan masyarakat di Indonesia karena mayoritas penduduk Indonesia

Lebih terperinci

Prospek dan Arah Pengembangan AGRIBISNIS JAGUNG. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005

Prospek dan Arah Pengembangan AGRIBISNIS JAGUNG. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005 Prospek dan Arah Pengembangan AGRIBISNIS JAGUNG Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005 MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA SAMBUTAN MENTERI PERTANIAN Atas perkenan dan ridho

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki sumber daya melimpah

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki sumber daya melimpah 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki sumber daya melimpah yang dimanfaatkan sebagian besar penduduk dengan mata pencaharian di bidang pertanian. Sektor pertanian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Kontribusi Tanaman Pangan Terhadap PDB Sektor Pertanian pada Tahun (Miliar Rupiah)

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Kontribusi Tanaman Pangan Terhadap PDB Sektor Pertanian pada Tahun (Miliar Rupiah) I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu penggerak bagi sistem perekonomian nasional. Sektor pertanian mengalami pertumbuhan positif dan memberikan kontribusi nyata terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tanaman pangan. Sektor tanaman pangan adalah sebagai penghasil bahan makanan

BAB I PENDAHULUAN. tanaman pangan. Sektor tanaman pangan adalah sebagai penghasil bahan makanan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian yang mempunyai peranan yang strategis dan penting adalah sektor tanaman pangan. Sektor tanaman pangan adalah sebagai penghasil bahan makanan pokok

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. oleh kelompok menengah yang mulai tumbuh, daya beli masyarakat yang

I. PENDAHULUAN. oleh kelompok menengah yang mulai tumbuh, daya beli masyarakat yang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 241 juta dengan ditandai oleh kelompok menengah yang mulai tumbuh, daya beli masyarakat yang meningkat dan stabilitas ekonomi yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peternakan merupakan salah satu sub sektor pertanian yang memiliki peranan cukup penting dalam memberikan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peternakan merupakan salah satu sub sektor pertanian yang memiliki peranan cukup penting dalam memberikan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peternakan merupakan salah satu sub sektor pertanian yang memiliki peranan cukup penting dalam memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap perekonomian negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan dasar dan pokok yang dibutuhkan oleh

BAB I PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan dasar dan pokok yang dibutuhkan oleh BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan dasar dan pokok yang dibutuhkan oleh manusia guna memenuhi asupan gizi dan sebagai faktor penentu kualitas sumber daya manusia. Salah satu

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM 4.1 Perkebunan Dunia

IV. GAMBARAN UMUM 4.1 Perkebunan Dunia IV. GAMBARAN UMUM 4.1 Perkebunan Dunia Komoditi perkebunan Indonesia rata-rata masuk kedalam lima besar sebagai produsen dengan produksi tertinggi di dunia menurut Food and agriculture organization (FAO)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam pembangunan nasional, khususnya yang berhubungan dengan pengelolaan

BAB I PENDAHULUAN. dalam pembangunan nasional, khususnya yang berhubungan dengan pengelolaan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang menjadi pusat perhatian dalam pembangunan nasional, khususnya yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor pertanian merupakan salah satu pilihan strategis untuk

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor pertanian merupakan salah satu pilihan strategis untuk I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan sektor pertanian merupakan salah satu pilihan strategis untuk menopang perekonomian nasional dan daerah, terutama setelah terjadinya krisis ekonomi yang dialami

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sapi yang meningkat ini tidak diimbangi oleh peningkatan produksi daging sapi

I. PENDAHULUAN. sapi yang meningkat ini tidak diimbangi oleh peningkatan produksi daging sapi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebutuhan konsumsi daging sapi penduduk Indonesia cenderung terus meningkat sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk Indonesia dan kesadaran masyarakat akan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Daging sapi merupakan sumber protein hewani yang bermutu tinggi dan perlu dikonsumsi untuk kebutuhan protein manusia, daging sapi digolongkan sebagai salah satu produk

Lebih terperinci

III. PANGAN ASAL TERNAK DAN PERANANNYA DALAM PEMBANGUNAN SUMBERDAYA MANUSIA

III. PANGAN ASAL TERNAK DAN PERANANNYA DALAM PEMBANGUNAN SUMBERDAYA MANUSIA III. PANGAN ASAL TERNAK DAN PERANANNYA DALAM PEMBANGUNAN SUMBERDAYA MANUSIA A. Pengertian Pangan Asal Ternak Bila ditinjau dari sumber asalnya, maka bahan pangan hayati terdiri dari bahan pangan nabati

Lebih terperinci

Tabel 1.1. Konsumsi Beras di Tingkat Rumah Tangga Tahun Tahun Konsumsi Beras*) (Kg/kap/thn)

Tabel 1.1. Konsumsi Beras di Tingkat Rumah Tangga Tahun Tahun Konsumsi Beras*) (Kg/kap/thn) I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sektor pertanian merupakan sektor penting dalam pembangunan ekonomi nasional. Peran strategis sektor pertanian digambarkan dalam kontribusi sektor pertanian dalam

Lebih terperinci

ANALISIS KINERJA EKSPOR 5 KOMODITAS PERKEBUNAN UNGGULAN INDONESIA TAHUN

ANALISIS KINERJA EKSPOR 5 KOMODITAS PERKEBUNAN UNGGULAN INDONESIA TAHUN ANALISIS KINERJA EKSPOR 5 KOMODITAS PERKEBUNAN UNGGULAN INDONESIA TAHUN 2012-2016 Murjoko Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret email: murjoko@outlook.com Abstrak Indonesia merupakan negara yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adanya keterbukaan ekonomi yang semakin luas dari setiap negara di dunia, baik. financial openness). Keuntungan dari keterbukaan

BAB I PENDAHULUAN. adanya keterbukaan ekonomi yang semakin luas dari setiap negara di dunia, baik. financial openness). Keuntungan dari keterbukaan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Arus globalisasi yang terjadi beberapa dasawarsa terakhir, menuntut adanya keterbukaan ekonomi yang semakin luas dari setiap negara di dunia, baik keterbukaan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan alam yang. melimpah dan dikenal dengan sebutan negara agraris, sehingga pertanian

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan alam yang. melimpah dan dikenal dengan sebutan negara agraris, sehingga pertanian 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan alam yang melimpah dan dikenal dengan sebutan negara agraris, sehingga pertanian merupakan sektor yang penting dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang beriklim tropis dan mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang beriklim tropis dan mempunyai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang beriklim tropis dan mempunyai keanekaragaman sumberdaya hayati yang berlimpah. Terdapat banyak sekali potensi alam yang dimiliki oleh

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan sektor pertanian memiliki peran yang strategis dalam perekonomian nasional. Peran sektor pertanian tersebut digambarkan melalui kontribusi yang nyata dalam pembentukan

Lebih terperinci

SITUASI PANGAN DAN GIZI WILAYAH (Kasus di Kabupaten Tuban) PENDAHULUAN

SITUASI PANGAN DAN GIZI WILAYAH (Kasus di Kabupaten Tuban) PENDAHULUAN SITUASI PANGAN DAN GIZI WILAYAH (Kasus di Kabupaten Tuban) P R O S I D I N G 58 Fahriyah 1*, Rosihan Asmara 1 1 Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya *E-mail ria_bgl@yahoo.com

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR Rencana Strategis Direktorat Jenderal Perkebunan

KATA PENGANTAR Rencana Strategis Direktorat Jenderal Perkebunan KATA PENGANTAR ii DAFTAR ISI iii iv v vi DAFTAR TABEL vii viii DAFTAR GAMBAR ix x DAFTAR LAMPIRAN xi xii 1 PENDAHULUAN xiii xiv I. PENDAHULUAN 2 KONDISI UMUM DIREKTOAT JENDERAL PERKEBUNAN TAHUN 2005-2009

Lebih terperinci