BAB II TINJAUAN PUSTAKA. P. Kerangka Teori. 1. Tinjauan Umum tentang Ketenagakerjaan. a. Pihak Pihak yang Terlibat dalam Ketenagakerjaan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. P. Kerangka Teori. 1. Tinjauan Umum tentang Ketenagakerjaan. a. Pihak Pihak yang Terlibat dalam Ketenagakerjaan"

Transkripsi

1 28 BAB II TINJAUAN PUSTAKA P. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum tentang Ketenagakerjaan a. Pihak Pihak yang Terlibat dalam Ketenagakerjaan 1) Pekerja/buruh Sebelum Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan berlaku, istilah yang sangat dikenal dalam hukum ketenagakerjaan adalah buruh, istilah tersebut sering digunakan sejak jaman penjajahan Belanda. Pada jaman dahulu, yang dimaksud dengan buruh adalah orang orang pekerja kasar seperti kuli, mandor, tukang dan orang orang yang melakukan pekerjaan kasar sejenisnya, sedangkan orang orang yang melakukan pekerjaan halus disebut dengan istilah pegawai atau karyawan. Dalam perkembangannya, sekarang tidak dibedakan antara buruh halus dan buruh kasar yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama tidak mempunyai perbedaan apapun, sebagaimana diusulkan oleh pemerintah, pada saat Kongres FBSI II tahun 1985, istilah buruh diupayakan diganti dengan istilah pekerja, karena istilah buruh kurang sesuai dengan kepribadian bangsa ( Lalu Husni, 2006:44). Dalam pasal 1 ayat (3) Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan disebutkan bahwa : pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Pengertian tersebut memiliki makna yang lebih luas karena dapat

2 29 mencakup semua orang yang bekerja pada siapa saja baik perorangan, persekutuan, badan hukum atau badan lainnya dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk apapun. Libertus Jehani dalam bukunya Hak hak Pekerja bila di PHK mengemukakan bahwa unsur unsur dalam pengertian pekerja adalah bekerja pada orang lain, dibawah perintah orang lain, dan mendapat upah (Libertus Jehani, 2006 : 1). Maka pekerja dapat diartikan sebagai siapapun yang bekerja pada orang lain, dibawah perintah pemilik perusahaan dan mendapatkan upah dari hasil kerjanya. 2) Pengusaha Sebelum diberlakukan Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2003tentang Ketenagakerjaan, istilah majikan sangat dikenal seperti halnya istilah buruh, namun sekarang istilah majikan tersebut tidak digunakan lagi dan diganti dengan istilah pengusaha karena konotasi majikan sebagai pihak yang selalu berada di atas sebagai lawan atau kelompok penekan buruh. Dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 1 ayat (5) disebutkan secara jelas bahwa pengusaha adalah: a). orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri; b). orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya; c). orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.

3 30 Sedangkan perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak yang mempekerjakan pekerja dengan tujuan mencari keuntungan. Pengertian pengusaha merujuk pada orangnya, sedangkan perusahaan merujuk pada bentuk usahanya. 3) Organisasi Pekerja dalam pasal 1 ayat (17) Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 disebutkan bahwa Serikat buruh/ pekerja adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk buruh/ pekerja baik di perusahaan maupun di luar perusahaan yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/ buruh serta meningkatkan kesejahteraan buruh/ pekerja dan keluarganya. Menurut RG. Kartasapoetra, yang dimaksud dengan organisasi buruh/pekerja ditanah air kita adalah organisasi yang didirikan oleh dan untuk kaum buruh/pekerja secara sukarela yang berbentuk : g) Serikat Buruh, adalah organisasi yang didirikan oleh dan untuk buruh secara sukarela, berbentuk kesatuan dan mencakup lapangan pekerjaan, serta disusun secara vertikal dari pusat sampai unit unit kerja (basis). h) Gabungan Serikat Buruh, adalah suatu organisasi buruh yang anggota anggotanya terdiri dari serikat buruh seperti diatas (Zainal Asikin, 1993:50) Berdasarkan pengertian serikat pekerja/buruh tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa tujuan dari serikat pekerja/buruh adalah memberikan perlindungan, pembelaan hak dan kepentingan

4 31 serta meningkatkan kesejahteraan yang layak bagi pekerja/buruh dan keluarganya. 4) Organisasi Pengusaha Organisasi pengusaha merupakan mitra serikat pekerja dan pemerintah dalam penanganan masalah-masalah ketenagakerjaan dan hubungan industrial. Organisasi pengusaha dapat dibentuk menurut sektor industri atau jenis usaha, mulai dari tingkat lokal sampai tingkat kabupaten, propinsi hingga tingkat pusat atau tingkat nasional (Payaman J. Simanjuntak, 2003 : 21). Organisasi pengusaha diperlukan sebagai wadah untuk mempersatukan para pengusaha dalam upaya turut serta memelihara ketenangan kerja dan berusaha, atau lebih pada hal-hal yang teknis menyangkut pekerjaan/ kepentingannya. Jadi yang dimaksud dengan organisasi pengusaha adalah wadah bagi para pengusaha untuk bergerak di bidang perekonomian dan ketenagakerjaan. Organisasi pengusaha yang ada di Indonesia adalah KADIN (Kamar Dagang dan Industri) dan APINDO (Asosiasi Pengusaha Indonesia). Pasal 105 Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 menyebutkan bahwa mengenai organisasi pengusaha menentukan sebagai berikut : a) Setiap pengusaha berhak membentuk dan menjadi anggota organisasi pengusaha. b) Ketentuan mengenai organisasi pengusaha diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan yang berlaku.

5 32 5) Pemerintah Pemerintah berperan melalui penetapan peraturan perundang-undangan untuk memberikan jaminan kepastian hak dan kewajiban para pihak.bentuk campur tangan pemerintah bisa juga terlihat dari adanya instansi-instansi yang berwenang dan mengurus soal bekerjanya tenaga kerja.instansi yang dimaksud salah satunya adalah Dinas Tenaga Kerja. Pengawasan terhadap pelaksanaan ketentuan hukum di bidang ketenagakerjaan akan menjamin pelaksanaan hak hak normatif bagi pekerja, selain itu pengawasan ketenagakerjaan juga akan dapat membidik pengusaha dan pekerja untuk selalu taat menjalankan ketentuan perundang undangan yang berlaku sehingga akan tercipta suasana kerja yang harmonis. b. Hak dan Kewajiban Pekerja 4) Hak dan Kewajiban Pekerja (a) Hak Pekerja Beberapa hak yang dimiliki oleh pekerja diantaranya adalah (F.X Djumialdji, 2008: 26-41) : (1) Mendapatkan Upah Menurut Pasal 1 Angka 30 Undang Undang Ketenagakerjaan 2003, upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan. Dengan demikian, yang dimaksud dengan upah adalah imbalan yang berupa uang dan termasuk tunjangan. Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi

6 33 penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, yaitu jumlah penerimaan atau pendapatan pekerja/buruh dari hasil pekerjaannya sehingga memenuhi kebutuhan hidup pekerja/buruh dan keluarganya secara wajar yang meliputi makanan dan minuman, sandang, pangan, pendidikan, kesehatan, rekreasi dan jaminan hari tua. Oleh karena itu, pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum. Bagi pengusaha yang tidak membayar upah minimum dapat dilakukan penangguhan. Penangguhan pelaksanaan upah minimum bagi perusahaan yang tidak mampu dimaksudkan untuk membebaskan perusahaan yang bersangkutan dari pelaksanaan upah minimum yang berlaku dalam kurun waktu tertentu. Apabila penangguhan berakhir, perusahaan wajib melaksanakan upah minimum yang berlaku saat itu, tetapi tidak wajib membayar pemenuhan ketentuan upah minimum yang berlaku pada waktu diberikan penangguhan. (2) Mendapatkan Waktu Istirahat dan Hari Libur Resmi Mengenai hal ini diatur dalam Paragraf 4 Bagian Kesatu Bab X Undang Undang Ketenagakerjaan Di situ diatur mengenai waktu istirahat dan cuti serta hari libur resmi. (3) Mendapatkan Pengaturan mengenai Tempat dan Alat Kerja Dalam pasal 86 Undang Undang Ketenagakerjaan 2003 disebutkan bahwa setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas kesehatan dan keselamatan kerja, moral dan kesusilaan dan perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai nilai agama.

7 34 Untuk melaksanakan hal tersebut diselenggarakan upaya keselamatan dan kesehatan kerja yang dimaksudkan untuk memberikan jaminan keselamatan dan meningkatkan derajat kesehatan para pekerja/buruh dengan cara pencegahan kecelakaan dan penyakit akibat kerja, pengendalian bahaya di tempat kerja, promosi kesehatan dan rehabilitasi. Di samping itu, setiap perusahaan wajib menerapkan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja yang terintergrasi dengan sistem manajemen perusahaan. Adapun yang dimaksud dengan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja adalah bagian dari sistem manajemen perusahaan secara keseluruhan yang meliputi struktur organisasi, perencanaan, pelaksanaan, tanggung jawab prosedur, proses dan sumber daya yang dibutuhkan bagi pengembangan, penerapan, pencapaian, pengkajian dan pemeliharaan kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja dalam rangka pengendalian resiko yang berkaitan dengan kegiatan kerja guna terciptanya tempat kerja yang aman, efisien dan produktif. Selanjutnya mengenai alat alat kerja diatur dalam Undang Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja. Dalam Undang Undang Tersebut, pekerja/buruh dilindungi dari bahaya dipakainya alat alat kerja maupun bahan bahan yang dipakai perusahaan. (4) Diperlakukan oleh Pengusaha dengan Baik Meskipun kewajiban ini tidak tertulis dalam perjanjian kerja, namun menurut kepatutan atau kebiasaan serta peraturan perundang undangan, seharusnya

8 35 pengusaha wajib untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Hal diatas sesuai dengan ketentuan tentang akibat dari perjanjian yang diatur dalam pasal 1339 KUHPerdata yang berbunyi : Perjanjian perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifatnya perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang undang. (5) Mendapatkan Surat Keterangan Didalam praktik, biasanya pengusaha memberi surat keterangan (referensi) tentang pekerjaan pekerja/buruh sewaktu hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha telah berakhir. Surat keterangan/surat pengalaman kerja biasanya berisi mengenai macam pekerjaan, cara melakukan pekerjaan, cara berakhirnya hubungan kerja dan lama melakukan pekerjaan. Biasanya, cara berakhirnya hubungan kerja oleh pengusaha dinyatakan dengan baik atau dengan hormat meskipun tidak baik. (b) Kewajiban Pekerja Sebaliknya karyawan juga mempunyai kewajiban terhadap perusahaan, yang berupa (F.X Djumialdji, 2008:42-43) : (1) Melakukan Pekerjaan Kewajiban untuk melakukan pekerjaan karena adanya perjanjian kerja. Perlu dketahui bahwa perjanjian kerja menurut Pasal 1 Angka 14 Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja

9 36 yang memuat syarat syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak. Pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja/buruh adalah pekerjaan yang dijanjikan dalam perjanjian kerja. Mengenai ruang lingkup pekerjaan dapat diketahui dalam perjanjian kerja atau menurut kebiasaan. Ruang lingkup pekerjaan sewaktu mulai melakukan pekerjaan sudah harus diketahui oleh pekerja/buruh sehingga pengusaha tidak memperluas ruang lingkup pekerjaan. Pekerjaan harus dikerjakan sendiri karena melakukan pekerjaan itu bersifat kepribadian artinya kerja itu melekat pada diri pribadi, sehingga apabila pekerja/buruh meninggal dunia hubungan kerja berakhir demi hukum. Oleh karena itu, pekerjaan itu tidak boleh diwakilkan atau diwariskan. (2) Menaati Tata Tertib Perusahaan Tata tertib ini merupakan disiplin dalam rangka melaksanakan pekerjaan di perusahaan. Peraturan tata tertib ini ditetapkan oleh pengusaha sebagai akibat kepemimpinan dari pengusaha. Mengenai hal ini dapat disimpulkan dari apa yang dinamakan Perjanjian Kerja. Dahulu, peraturan tata tertib perusahaan terpisah dari Peraturan Perusahaan. Sekarang, jadi satu dengan Peraturan Perusahaan. Menurut Pasal 1 Angka 20 Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, peraturan perusahaan adalah peraturan yang dibuat secara tertulis oleh pengusaha yang memuat syarat syarat kerja dan tata tertib perusahaan. Dengan demikian, kewajiban pekerja/buruh adalah menaati Peraturan Perusahaan.

10 37 (3) Bertindak sebagai pekerja/buruh yang baik Kewajiban ini merupakan kewajiban timbal balik dari pengusaha yang wajib bertindak sebagai pengusaha yang baik. Dengan demikian, pekerja/buruh wajib melaksanakan kewajibannya dengan baik seperti apa yang tercantum dalam perjanjian kerja, Peraturan Perusahaan maupun dalam Perjanjian Kerja Bersama. Di samping itu, pekerja/buruh juga wajib melaksanakan apa yang seharusnya dilakukan atau tidak dilakukan menurut peraturan perundang undangan, kepatutan maupun kebiasaan. 2. Tinjauan Umum tentang Hubungan Kerja a. Perjanjian Kerja 3) Pengertian Perjanjian Secara Umum Perjanjian menurut pasal 1313 Kitab Undang Undang Hukum Perdata adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang atau lebih. Menurut Subekti perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Dengan adanya pengertian perjanjian seperti ditentukan diatas, bisa diambil kesimpulan bahwa kedudukan antara para pihak yang mengadakan perjanjian adalah sama dan seimbang. Hal ini akan berlainan jika pengertian perjanjian tersebut dibandingkan dengan kedudukan perjanjian kerja (M. Yahya Harahap, 1986:6).

11 38 4) Pengertian Perjanjian Kerja Menurut pasal 1601a KUHPerdata, perjanjian kerja adalah perjanjian dengan mana pihak yang satu, si buruh, mengikatkan dirinya untuk dibawah perintah pihak yang lain, si majikan, untuk sesuatu waktu tertentu, melakukan pekerjaan dengan menerima upah. Dari pengertian perjanjian kerja menurut KUHPerdata, jelas bahwa hubungan antara pekerja dengan pengusaha adalah hubungan bawahan dan atasan (subordinasi), yaitu pengusaha sebagai pihak yang lebih tinggi secara sosial ekonomi yang memberikan perintah kepada pihak pekerja yang secara sosial ekonomi mempunyai kedudukan yang lebih rendah untuk melakukan pekerjaan tertentu. Sedangkan menurut pasal 1 ayat (14) Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2003 adalah perjanjian antara pekerja/ buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak. Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa menurut Undang Undang Ketenagakerjaan, perjanjian kerja bersifat umum karena menunjuk pada hubungan antara pekerja dan pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak. Selain pengertian normatif di atas, Imam Soepomo berpendapat bahwa pada dasarnya hubungan kerja yaitu hubungan buruh dan majikan terjadi setelah diadakan perjanjian oleh buruh dengan majikan dimana buruh menyatakan kesanggupannya untuk mempekerjakan buruh dengan membayar upah., perjanjian yang demikian itu disebut perjanjian kerja. Istilah perjanjian kerja menyatakan bahwa perjanjian ini mengenai kerja, yakni dengan adanya perjanjian kerja timbul salah satu pihak untuk bekerja. Jadi

12 39 berlainan dengan perjanjian perburuhan yang tidak menimbulkan hak atas dan kewajiban untuk melakukan pekerjaan tetapi memuat syarat syarat tentang perburuhan ( Imam Soepomo, 2003:70). Dari pengertian tersebut menunjukkan bahwa posisi yang satu (pekerja/buruh) adalah tidak sama dan seimbang yaitu di bawah. Apabila dibandingkan dengan posisi dari pihak majikan dengan demikian dalam melaksanakan hubungan hukum atau kerja maka posisi hukum antara kedua belah pihak jelas tidak dalam posisi yang sama dan seimbang. Jika menggunakan pasal 1313 KUHperdata, batasan pengertian perjanjian adalah suatu perbuatan dimana seseorang atau lebih mengikatkan diri pada orang lain untuk melakukan sesuatu hal. Bekerja pada pihak lainnya menunjukkan bahwa pada hubungan itu sifatnya adalah bekerja di bawah pihak lain. Sifat ini perlu dikemukakan untuk membedakan dari hubungan antara dokter misalnya dengan seseorang yang berobat dimana dokter itu melakukan pekerjaan untuk orang yang berobat namun tidak berada dibawah pimpinannya. Karena itu perjanjian antara dokter dengan orang berobat bukanlah merupakan perjanjian kerja melainkan perjanjian melakukan pekerjaan tertentu. Jadi dokter bukanlah buruh dan orang yang berobat bukanlah majikan dan hubungan antara mereka bukanlah hubungan kerja. Adanya buruh ialah hanya jika ia bekerja di bawah pimpinan pihak lainnya serta menerima upah dan adanya majikan jika ia memimpin pekerjaan yang dilakukan pihak kesatu. Hubungan buruh dan majikan tidak juga terdapat pada pemborongan pekerjaan yang ditujukan kepada hasil pekerjaan. Bedanya perjanjian pemborongan pekerjaan dengan perjanjian melakukan pekerjaan tertentu adalah bahwa pekerjaan ini tidak

13 40 melihat hasil yang dicapai. Jika orang yang berobat itu tidak menjadi sembuh bahkan akhirnya meninggal dunia, dokter itu telah memenuhi kewajibannya menurut perjanjian. Menyimak perjanjian kerja menurut KUHPerdata seperti tersebut diatas tampak bahwa ciri khas perjanjian kerja adalah di bawah perintah pihak lain. Di bawah perintah ini menunjukkan bahwa hubungan antara pekerja dengan pengusaha adalah hubungan antara bawahan dengan atasan. Pengusaha sebagai pihak yang lebih tinggi secara sosial ekonomi memberikan perintah kepada pihak pekerja/buruh yang secara sosial ekonomi memberikan perintah kepada pihak pekerja/buruh yang secara sosial ekonomi mempunyai kedudukan yang lebih rendah untuk melakukan pekerjaan tertentu. Adanya wewenang perintah inilah yang membedakan antara perjanjian kerja dengan perjanjian lainnya. Sedangkan pengertian perjanjian kerja menurut Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan sifatnya lebih umum. Dikatakan lebih umum karena hanya menunjuk pada hubungan antara pekerja dengan pengusaha yang memuat syarat syarat kerja, hak dan kewajiban pihak. Syarat kerja berkaitan dengan pengakuan terhadap serikat pekerja sedangkan hak dan kewajiban para pihak salah satunya adalah upah. Pengertian perjanjian kerja berdasarkan Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan ini tidak menyebutkan bentuk perjanjian kerja itu lisan atau tulisan, demikian juga mengenai jangka waktunya ditentukan atau tidak. 5) Unsur Perjanjian Kerja Terdapat beberapa unsur perjanjian kerja, diantaranya yaitu : a) Adanya unsur pekerjaan

14 41 Dalam pasal 1603a KUHPerdata, dicantumkan bahwa pekerjaan adalah segala perbuatan yang harus dikerjakan oleh pekerja untuk kepentingan pengusaha sesuai dengan perjanjian kerja. Pekerjaan harus dikerjakan sendiri oleh pekerja, dan hanya dengan seizin majikan dapat menyuruh orang lain. b) Adanya unsur perintah Pekerja harus tunduk pada perintah pengusaha untuk melakukan pekerjaan sesuai dengan yang diperjanjikan. Hubungan kerja dalam ketenagakerjaan berbeda dengan hubungan antara dokter dengan pasien atau pengacara dengan kliennya. c) Adanya waktu Dalam melakukan pekerjaan harus ditentukan jangka waktunya agar pengusaha tidak semena-mena dalam mempekerjakan pekerjanya.adanya jangka waktu biasanya terdapat dalam perjanjian kerja untuk pekerja kontrak. d) Adanya upah Upah harus ada dalam setiap hubungan kerja, karena upah memegang peranan penting dalam suatu hubungan kerja, bahkan dapat dikatakan bahwa upah merupakan tujuan utama orang bekerja. Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang atau bentuk lain sebagai imbalan dari pengusaha kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian, kesepakatan atau peraturan perundang undangan. 6) Syarat Sahnya Perjanjian Kerja Menurut KUHPerdata, dalam pasal 1320, syarat sahnya perjanjian secara umum adalah (Asri Wijayanti, 2009:43-45) :

15 42 a) Adanya sepakat Sepakat yang dimaksudkan adanya kesepakatan antara pihak pihak yang melakukan perjanjian. Di dalam hubungan kerja yang dijadikan dasar adalah perjanjian kerja, maka pihak pihaknya adalah pekerja dan majikan. Kesepakatan yang terjadi antara pekerja dan majikan secara yuridis haruslah bebas. Dalam arti tidak terdapat cacat kehendak yang meliputi adanya dwang, dwaling dan bedrog (penipuan, paksaan dan kekhilafan). Kenyataanya dalam hubungan kerja pekerja terutama yang unskillabour tidak secara mutlak menentukan kehendaknya. Hal ini terjadi karena pekerja hanya mempunyai tenaga yang melekat pada dirinya untuk kompensasi di dalam melakukan hubungan kerja. Pekerja tidak mempunyai kebebasan untuk memilih pekerjaan yang sesuai dengan kehendaknya apabila ia tidak mempunyai skills yang memadai. Subekti menyebutkan sepakat sebagai perizinan, yaitu kedua subjek hukum yang mengadakan perjanjian itu harus sepakat, setuju atau seia sekata mengenai hal hal pokok dari perjanjian yang diadakan itu. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu juga dikehendaki oleh pihak yang lain. Mereka menghendaki sesuatu yang sama secara timbal balik (Subekti, 1987:17) b) Kecakapan berbuat hukum Ketentuan pasal 1320 ayat (2) KUHPerdata, yaitu adanya kecakapan untuk membuat perikatan. Orang yang membuat suatu perjanjian harus cakap menurut hukum. Pada asasnya setiap orang yang sudah dewasa atau akil balig dan sehat pikirannya adalah cakap menurut hukum.

16 43 Onbekwaamheid dapat dianggap sebagai suatu cacat kehendak (wilsgebrek), tetapi dasarnya bukan suatu keadaan yang abnormal seperti pada paksaan, kesesatan dan penipuan (dwang, dwaling, debrog), akan tetapi berdasarkan undang undang sendiri yang karena beberapa hal tidak memberikan kekuatan yang normal kepada kehendak beberapa orang tertentu (Soetojo Prawirohamidjojo, 1984:146). Batasan yang diberikan undang undang terdapat dalam ketentuan Pasal 1330 KUHPerdata, yaitu tidak cakap untuk membuat persetujuan - persetujuan adalah : (1) Orang yang belum dewasa; (2) Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan; (3) Orang orang perempuan. Ketentuan Pasal 1330 KUHPerdata tersebut untuk sekarang tidak berlaku semuanya karena sejak adanya Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Berdasarkan ketentuan Pasal 31 ayat (1) yaitu hak dan kewajiban istri adalah seimbang dengan hak dan kewajiban suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. Selanjutnya ketentuan Pasal 31 ayat (2) UUP, yaitu masing masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum. Dengan demikian apabila seorang wanita dewasa yang kemudian kawin, tidak akan berakibat ia akan kehilangan status kedewasaannya. Di bidang hukum ketenagakerjaan, seseorang dikatakan dewasa apabila ia telah berusia 18 tahun. Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (3) Undang Undang Nomor 20 Tahun 1999 tentang Pengesahan Konvensi ILO No.138 mengenai usia minimum untuk diperbolehkan bekerja, yaitu usia minimum yang telah ditetapkan

17 44 ialah tidak boleh kurang dari usia tamat sekolah wajib, dan paling tidak boleh kurang dari 15 tahun. Selanjutnya berdasarkan ketentuan Pasal 3 ayat (1), yaitu usia minimum untuk diperbolehkan masuk kerja setiap jenis pekerjaan atau kerja yang karena sifatnya atau karena keadaan lingkungan di mana pekerjaan itu harus dilakukan mungkin membahayakan kesehatan, keselamatan atau moral orang muda tidak boleh kurang dari 18 tahun. Berdasarkan ketentuan diatas maka seseorang dapat bekerja apabila usianya telah 18 tahun dan apabila terpaksa maka usianya minimum adalah 15 tahun. c) Suatu hal tertentu Semua orang bebas melakukan hubungan kerja, asalkan objek pekerjaanya jelas ada, yaitu melakukan pekerjaan. d) Suatu sebab yang halal Hal ini merujuk pada objek hubungan kerja boleh melakukan pekerjaan apa saja, asalkan tidak bertentangan dengan peraturan perundang undangan, kesusilaan dan ketertiban umum. Keempat syarat tersebut bersifat kumulatif, artinya harus dipenuhi semuanya baru dapat dikatakan bahwa perjanjian tersebut sah. Syarat kemampuan kecakapan dan kemauan bebas kedua belah pihak dalam membuat perjanjian pada hukum perdata disebut syarat subjektif karena menyangkut mengenai orang yang membuat perjanjian, sedangkan syarat adanya pekerjaan yang diperjanjikan dan suatu sebab yang halal disebut syarat objektif karena menyangkut objek perjanjian. Kalau syarat objektif tidak dipenuhi oleh syarat subjektif, maka akibat dari perjanjian tersebut adalah dapat dibatalkan, pihak pihak yang tidak memberikan persetujuan secara tidak bebas, demikian juga orang tua/wali atau pengampu bagi orang yang tidak cakap membuat perjanjian dapat meminta pembatalan perjanjian itu kepada hakim. Dengan

18 45 demikian, perjanjian tersebut mempunyai ketentuan hukum belum dibatalkan oleh hakim (Lalu Husni, 2003:43) Menurut pasal 52 ayat (1) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, perjanjian kerja harus dibuat berdasar atas : a) Kesepakatan kedua belah pihak Di dalam perjanjian kerja, suatu kesepakatan terjadi kalau pihak pengusaha setuju untuk mempekerjakan tenaga kerja tersebut dengan pekerjaan tertentu yang sudah diberitahukan kepada tenaga kerja itu dan juga pekerja itu setuju untuk menerima pekerjaan itu dengan jumlah pembayaran tertentu yang telah disepakati. Mengenai hal hal lain, seperti jam kerja (kecuali untuk jam kerja malam atau di luar kebiasaan), yang sudah diatur dengan peraturan perundang undangan kiranya tidak mencakup sebagai hal yang harus disepakati dahulu agar terjadi kesepakatan (Hardijan Rusli, 2011:51). b) Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum Penjelasan pasal 52 Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum adalah para pihak yang mampu atau cakap menurut hukum untuk membuat perjanjian. Pasal 1329 KUHPErdata menyatakan bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan perikatan, jika ia oleh undang undang tidak dinyatakan tak cakap (Hardijan Rusli, 2011:53). c) Adanya pekerjaan yang diperjanjikan Pengertian perjanjian kerja menurut Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan adalah sebagai perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi

19 46 kerja yang memuat syarat syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak. Mengerjakan pekerjaan hanya merupakan kewajiban dari pekerja/buruh dan ini merupakan hak bagi pengusaha untuk menerima pekerjaan. Sedangkan hak bagi pekerja/buruh adalah menerima pembayaran uang dan ini merupakan kewajiban bagi pengusaha untuk melakukan pembayaran uang. Jadi jelas bahwa hal yang tertentu mencakup perjanjiannya harus tertentu sebagai perjanjian apa dan pokok perjanjian atau objeknya harus tertentu pula. Hal yang tertentu dalam perjanjian kerja bukanlah hanya perlu ada pekerjaan saja, tetapi ada yang lainnya, yaitu pembayaran, karena itu sungguh salah kalau menetapkan bahwa syarat sahnya perjanjian kerja hanya memerlukan pekerjaan saja (Hardijan Rusli, 2011:57) d) Pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundangundangan yang berlaku. Pasal 52 ayat (2) Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyatakan bahwa perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak yang bertentangan dengan ketentuan pasal 52 ayat (1) tentang kesepakatan dan kemampuan atau kecakapan, menjadi perjanjian yang dapat dibatalkan. Perjanjian yang dapat dibatalkan adalah suatu perjanjian yang dari semula sah atau mengikat, tetapi perjanjian tersebut dapat dimintakan pembatalannya. Sedangkan perjanjian yang batal demi hukum adalah suatu perjanjian yang dari semula tidak sah, artinya tidak pernah terjadi perikatan dari awal.

20 47 Pengertian tentang bertentangan dengan ketentuan kesepakatan dan kemampuan atau kecakapan tidak dijelaskan dalam Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan maupun dalam penjelasannya. Kalau dilihat dari pasal 52 ayat (1) undang undang tersebut, dimana mensyaratkan suatu perjanjian untuk menjadi sah haruslah ada kesepakatan dan kemampuan atau kecakapan, maka kata bertentangan dengan ketentuan pasal 52 ayat (1) itu dapat diartikan sebagai tidak ada kesepakatan dan kemampuan/kecakapan. Perjanjian yang bertentangan atau tidak ada kesepakatan, atau kemampuan/kecakapan adalah perjanjian yang dapat dibatalkan. Perjanjian yang dapat dibatalkan adalah perjanjian yang sah, tetapi perjanjian itu dapat dibatalkan, artinya sepanjang perjanjian itu tidak dibatalkan, maka perjanjian itu tetap perjanjian yang sah (Hardijan Rusli, 2011:64-65). Apabila perjanjian kerja yang dibuat itu bertentangan dengan ketentuan huruf a dan b maka akibat hukumnya perjanjian kerja itu dapat dibatalkan. Apabila bertentangan dengan ketentuan huruf c dan d maka akibat hukumnya perjanjian kerja itu adalah batal demi hukum (Asri Wijayanti, 2009:42) 7) Macam Perjanjian Kerja a) Menurut Bentuknya Perjanjian kerja dapat dibuat baik secara lisan maupun tertulis, namun dewasa ini perjanjian kerja umumnya dibuat secara tertulis, walaupun kadang-kadang masih ada yang

21 48 disampaikan secara lisan. Dalam Pasal 63 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003, hal tersebut diperbolehkan dengan syarat perjanjian kerja yang dibuat secara lisan, pengusaha wajib membuat surat pengangkatan bagi pekerja yang bersangkutan yang berisi antara lain : (1) Nama dan alamat pekerja (2) Tanggal mulai bekerja (3) Jenis pekerjaan (4) Besarnya upah Dalam perjanjian kerja tertulis harus memuat tentang jenis pekerjaan yang akan dilakukan, besarnya upah yang akan diterima dan hak serta kewajiban bagi masing-masing pihak. Secara normatif, bentuk tertulis menjamin kepastian hak dan kewajiban para pihak sehingga jika terjadi perselisihan akan sangat membantu dalam proses pembuktian (Lalu Husni, 2006 : 59). Pasal 54 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 menyebutkan bahwa perjanjian kerja tertulis memuat : (1) Nama, alamat perusahaan dan jenis usahanya (2) Nama, jenis kelamin, umur dan alamat pekerja/ buruh (3) Jabatan atau jenis pekerjaan (4) Tempat pekerjaan (5) Besarnya upah dan cara pembayarannya (6) Syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja/ buruh (7) Mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja (8) Tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat

22 49 (9) Tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja b) Perjanjian Kerja menurut jenisnya terbagi menjadi : (1) Perjanjian kerja waktu tertentu Pengertian perjanjian kerja waktu tertentu atau lebih lazim disebut dengan kesepakatan kerja tertentu ada ditemukan dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 05/Men/1986 yang berbunyi Kesepakatan Kerja Tertentu adalah kesepakatan kerja antara pekerja dengan pengusaha yang diadakan untuk waktu tertentu atau untuk pekerjaan tertentu. Dalam keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP.100/Men/VI/2004 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Tertentu disebutkan PKWT adalah perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk pekerja tertentu, berdasarkan ketentuan tersebut maka jelaslah bahwa PKWT tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap. Perjanjian kerja yang dibuat untuk waktu tertentu lazimnya disebut sebagai perjanjian kontrak atau perjanjian kerja tidak tetap. Status pekerjanya adalah pekerja tidak tetap atau kontrak. Alasan pemerintah melegalkan sistem kerja dengan PKWT adalah untuk menuntaskan masalah pengangguran. Hal ini dapat dilihat bahwa sistem PKWT baru ditemukan dalam Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, walaupun dengan batasan batasan yang tidak terlalu ketat. Pada Undang Undang sebelumnya yaitu pada Undang Undang Nomor 12 Tahun 1948

23 50 Tentang Kerja dan Undang Undang Nomor 14 Tahun 1969 Tentang Ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja, hubungan kerja tidak tetap tersebut tidak ada diatur, sebaliknya juga tidak dilarang sehingga kalau terjadi hubungan kontrak kerja dikarenakan masyarakat menggunakannya sebagai suatu kebiasaan. Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan memberikan landasan yuridis yang lebih kuat dibandingkan dengan undang undang sebelumnya. Hal ini dapat terlihat bahwa PKWT terdapat pengaturan tersendiri dalam sub bab tentang hubungan kerja, kemudian dibuatlah peraturan pelaksananya yaitu Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP.100/MEN/VI/2004. Perjanjian kerja waktu tertentu diadakan paling lama dua tahun dan hanya boleh diperpanjang satu kali untuk jangka waktu paling lama satu tahun. Pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu hanya dapat diadakan satu kali dan paling lama dua tahun. Pekerjaan dapat dikategorikan sebagai perjanjian kerja waktu tertentu apabila : (a) pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya (b) pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama tiga tahun (c) pekerjaan yang bersifat musiman (d) pekerjaan yang berkaitan dengan produk baru, kegiatan baru atau produk tambahan yang masih dalam

24 51 percobaan atau penjajakan (Pasal 59 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003). Perjanjian kerja waktu tertentu diadakan paling lama dua tahun dan hanya boleh diperpanjang satu kali untuk jangka waktu paling lama satu tahun. Pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu hanya dapat diadakan satu kali dan paling lama dua tahun. (2) Perjanjian kerja waktu tidak tertentu Perjanjian kerja waktu tidak tertentu adalah perjanjian dimana waktu berlakunya tidak ditentukan baik dalam perjanjian, undang-undang maupun dalam kebiasaan. Dalam perjanjian kerja waktu tidak tertentu dapat memberlakukan masa percobaan kepada pekerjanya asal hal tersebut dituangkan dalam perjanjian kerja tertulis atau bila perjanjian kerjanya bersifat lisan masa percobaan harus dicantumkan dalam surat pengangkatan. 8) Berakhirnya Perjanjian Kerja Perjanjian kerja waktu tidak tertentu berakhir apabila : a) Pekerja meninggal dunia b) Berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja c) Adanya putusan pengadilan dan/atau putusan/ penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang mempunyai kekuatan hukum tetap d) Adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja (Pasal 61 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003).

25 52 b. Peraturan Perusahaan Selain perjanjian kerja, ada juga peraturan yang berhubungan erat dengan hubungan kerja, yaitu peraturan perusahaan. Menurut Undangundang Nomor 13 Tahun 2003, peraturan perusahaan adalah peraturan yang dibuat secara tertulis oleh pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja dan tata tertib perusahaan. Peraturan perusahaan merupakan petunjuk teknis dari perjanjian kerja bersama maupun perjanjian kerja yang dibuat oleh pekerja/ serikat pekerja dengan pengusaha (Lalu Husni, 2006 : 79). Tetapi kewajiban membuat peraturan perusahaan tidak berlaku bagi perusahaan yang telah memiliki perjanjian kerja bersama (Pasal 108 ayat (2) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003). Masa berlaku peraturan perusahaan paling lama 2 (dua) tahun dan wajib diperbaharui setelah habis masa berlakunya (Pasal 111 ayat (3) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003). Hal ini dapat dilihat bahwa ketentuanketentuan yang tercantum dalam peraturan perusahaan yang telah berakhir masa berlakunya, tetap berlaku sampai ditandatanganinya perjanjian kerja bersama atau disahkannya peraturan perusahaan baru (Darwan Prinst, 2000 : 80). 3. Tinjauan Umum tentang Perlindungan Pekerja Sebenarnya perlindungan hukum secara umum dibedakan menjadi dua yaitu (Abdul Khakim, 2007:107) : a. Perlindungan Hukum Pasif Berupa tindakan-tindakan dari luar (selain buruh/pekerja) yang memberikan pengakuan dan jaminan dalam bentuk pengaturan dan kebijaksanaan berkaitan dengan hak pekerja. b. Perlindungan Hukum Aktif

26 53 Berupa tindakan dari pekerja yang berkaitan dengan upaya pemenuhan hak-haknya. Perlindungan hukum aktif ini dibagi menjadi dua yaitu: 1) Perlindungan hukum aktif preventif yaitu berupa hak-hak yang diberikan oleh pekerja berkaitan dengan penerapan aturan ataupun kebijaksanaan pemerintah ataupun pengusaha yang akan diambil sekiranya mempengaruhi atau merugikan hak -hak pekerja. 2) Perlindungan hukum aktif represif yaitu berupa tuntutan kepada pemerintah atau pengusaha terhadap pengaturan maupun kebijaksanaan yang telah diterapkan kepada pekerja yang dipandang menimbulkan kerugian Menurut Soepomo dalam Asikin (1993:76) perlindungan pekerja dibagi menjadi 3 (tiga) macam, yaitu : a. Perlindungan Ekonomis Yaitu suatu jenis perlindungan yang berkaitan dengan usahausaha untuk memberikan kepada pekerja/buruh suatu penghasilan yang cukup memenuhi keperluan sehari-hari baginya beserta keluarganya, termasuk dalam hal pekerja/buruh tersebut tidak mampu bekerja karena sesuatu di luar kehendaknya. Perlindungan ini disebut juga dengan jaminan sosial, termasuk didalamnya adalah : 1) Upah Peraturan ketenagakerjaan melarang pengusaha melakukan diskriminasi pemberian upah terhadap para pekerja karena jenis kelamin, suku, ras, agama juga status pekerja, misalnya sebagai pekerja kontrak. Hal hal mengenai upah bisa kita lihat dalam UU No.13 Tahun 2003 mulai dari pasal 88

27 54 s/d 98. Ketentuan ketentuan soal pengupahan tersebut kemudian diatur secara terperinci dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja yaitu KEP.49/MEN/IV/2004. Aspek yang tercakup dalam kebijakan pengupahan diantaranya meliputi upah minimum, upah kerja lembur, upah tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya, upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerja, bentuk dan cara pembayaran upah, denda dan pemotongan upah, hal hal yang dapat diperhitungkan dengan upah, struktur dan skala pengupahan yang proporsional, upah untuk pembayaran perseorangan dan upah untuk penghitungan pajak penghasilan (Libertus Jehani, 2008:15,17). 2) Tunjangan Hari Raya (THR) THR adalah hak setiap pekerja tanpa memandang statusnya apakah sebagai pekerja kontrak atau bukan. THR wajib diberikan oleh pengusaha kepada setiap pekerjanya. Pengaturan mengenai THR ini secara rinci terdapat dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI no. Per.104./MEN/1994 tentang Tunjangan Hari Raya keagamaan bagi Pekerja di Perusahaan. Dalam peraturan tersebut dikatakan bahwa THR adalah pendapatan pekerja yang wajib dibayarkan pengusaha kepada pekerja atau keluarganya menjelang hari raya keagamaan yang berupa uang atau bentuk lain (Libertus Jehani, 2008:24). 3) Jamsostek Jaminan sosial tenaga kerja (jamsostek) adalah hak setiap tenaga kerja baik pekerja tetap maupun pekerja kontrak. Jika ada pengusaha yang oleh undang undang menetapkan wajib untuk menyertakan para pekerjanya dalam program jamsostek namun

28 55 pengusaha tersebut tidak mengikutsertakan pekerjanya maka hal tersebut oleh undang undang dianggap sebagai kejahatan. Perlu diketahui bahwa jamsostek adalah suatu perlindungan bagi tenaga kerja dalam bentuk santunan berupa uang sebagai pengganti sebagian dari penghasilan yang hilang atau berkurang dan pelayanan sebagai akibat peristiwa atau keadaan yang dialami oleh tenaga kerja berupa kecelakaan kerja, sakit, hamil, bersalin, hari tua dan meninggal dunia. Kebijakan memberlakukan jamsostek tersebut diatur dalam UU No 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Libertus Jehani, 2008:31). b. Perlindungan Sosial Yaitu suatu perlindungan yang berkaitan dengan usaha kemasyarakatan, yang tujuannya memungkinkan pekerja/buruh itu mengenyam dan mengembangkan peri kehidupannya sebagai manusia pada umumnya dan khususnya sebagai anggota masyarakat dan anggota keluarga. Perlindungan ini dapat berupa : 1) pengaturan waktu kerja Setiap pengusaha wajib melaksanakan ketentuan waktu kerja yang diatur dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, kecuali bagi sektor usaha atau pekerjaan tertentu (misalnya pengeboran minyak lepas pantai, sopir angkutan jarak jauh, penerbangan jarak jauh, pekerjaan di kapal (laut) atau penebangan hutan (Pasal 77 UU No. 13 Tahun 2003). Ketentuan mengenai waktu kerja pada sektor usaha atau pekerjaan tertentu diatur dalam keputusan Menaker. Penjelasan lebih lanjut mengenai ketentuan jam kerja tersebut telah termuat dalam pasal 77 ayat (2) undang undang yang sama, yaitu :

29 56 a) 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu; atau b) 8 (delapan) jan 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5(lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu. Mempekerjakan lebih dari waktu kerja sedapat mungkin harus dihindarkan karena pekerja/buruh harus mempunyai waktu yang cukup untuk istirahat untuk memulihkan kebugarannya (Hardijan Rusli, 2011:83). 2) pengaturan mengenai pemberian waktu cuti Pengaturan mengenai cuti diatur dalam Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan diantaranya dalam Pasal 76, Pasal 80, Pasal 81, Pasal 82 dan Pasal 84. Selain dari waktu istirahat dan cuti yang ditetapkan oleh undang undang, maka pekerja/buruh tidak wajib bekerja pada hari hari libur resmi. Pengusaha dapat mempekerjakan pekerja/buruh untuk bekerja pada hari hari libur resmi bila jenis dan sifat pekerjaan tersebut harus dilaksanakan atau dijalankan secara terus menerus atau pada keadaan lain berdasarkan kesepakatan antara pekerja/buruh dengan pengusaha dan dengan kewajiban bagi pengusaha untuk membayar upah kerja lembur (Hardijan Rusli, 2011:85). 3) perlindungan terhadap pekerja anak UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM), dalam pasal 64 menyatakan bahwa setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi ekonomi dan setiap pekerjaan yang membahayakan dirinya, sehingga dapat mengganggu pendidikan, kesehatan fisik, moral, kehidupan sosial dan mental sosialnya (Hardijan Rusli, 2011:77).

30 57 Pengusaha dilarang mempekerjakan anak, kecuali bagi anak yang berumur antara 13 (tiga belas) sampai 15 (lima belas) tahun untuk : a) melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental dan sosial (pasal 68 dan 69 ayat (1) UU No.13 Tahun 2003); b) untuk mengembangkan bakat dan minat; c) khusus bagi anak yang berusia minimum 14 tahun, untuk pekerjaan yang merupakan bagian dari kurikulum pendidikan atau pelatihan yang disahkan oleh pejabat yang berwenang. 4) perlindungan terhadap pekerja perempuan Pengaturan pekerja wanita dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan telah banyak mengalami perubahan dari ketentuan yang semula melarang wanita dipekerjakan pada malam hari, kecuali sifat pekerjaan tersebut harus dikerjakan oleh wanita dengan meminta izin instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan. Dengan perkembangan zaman dan tuntutan hidup seperti sekarang ini sudah waktunya laki -laki dan wanita diberikan kesempatan yang sama untuk melakukan pekerjaan, hanya saja kerena sifat dan kodrat kewanitaanya, maka bagi pengusaha yang mempekerjakan wanita pada malam hari harus memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 76 ayat (1), (2), (3), dan (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. c. Perlindungan Teknis Yaitu suatu jenis perlindungan yang berkaitan dengan usaha-usaha untuk menjaga pekerja/buruh terhindar dari bahaya

31 58 kecelakaan yang dapat ditimbulkan oleh alat-alat kerja atau bahan yang diolah atau dikerjakan perusahaan. Perlindungan ini disebut juga dengan keamanan, kesehatan dan keselamatan kerja. keselamatan kerja merupakan rangkaian usaha untuk menciptakan suasana kerja yang aman dan tentram bagi para karyawan yang bekerja di perusahaan yang bersangkutan (Suma mur, 2005 :104). Sadjun H. Manulang berpendapat bahwa kesehatan kerja adalah bagian dari ilmu kesehatan yang bertujuan agar tenaga kerja meperoleh keadaan kesehatan yang sempurna baik fisik, mental maupun social sehingga memungkinkan dapat bekerja secara optimal (Sadjun H. Manulang, 2001:89) Menurut Suma mur, Kesehatan kerja adalah : spesialisasi dalam ilmu kesehatan / kedokteran beserta prakteknya yang bertujuan, agar pekerja / masyarakat pekerja memperoleh derajat kesehatan setinggi-tingginya, baik fisik atau mental, maupun social, dengan usaha-usaha preventif dan kuratif, terhadap penyakit-penyakit / gangguan-gangguan kesehatan yang diakibatkan factor-faktor pekerjaan dan lingkungan keja, serta terhadap penyakit-penyakit umum (Suma mur, 2005:1). Keselamatan dan Kesehatan Kerja merupakan satu upaya pelindungan yang diajukan kepada semua potensi yang dapat menimbulkan bahaya. Hal tersebut bertujuan agar tenaga kerja dan orang lain yang ada di tempat kerja selalu dalam keadaan selamat dan sehat serta semua sumber produksi dapat digunakan secara aman dan efisien (Suma mur, 2005:2). Kecelakaan kerja maksudnya adalah kecelakaan yang berhubungan dengan hubungan kerja pada suatu perusahaan.

32 59 Berhubungan dengan hubungan kerja adalah kecelakaan tersebut bersumber dari perusahaan yang umumnya disebabkan oleh faktor manusia, faktor material/bahan, faktor sumber bahaya dan faktor yang dihadapi. Dengan faktor faktor diatas merupakan kewajiban pengusaha untuk menjelaskan kepada pekerja/ buruhnya mengenai: b) kondisi dan bahaya yang dapat timbul di dalam tempat kerjanya; c) tentang semua alat pengaman dan pelindung yang ada di tiap ruang kerjanya juga cara penggunaannya; d) tentang semua alat pelindung diri bagi tenaga kerja dalam hal terjadinya bahaya; e) tentang cara dan sikap serta perlakuan yang aman dalam pelaksanaan kerja (Zaeni Asyhadie, 2008: ). Hak dan kewajiban pekerja berkaitan dengan keselamatan dan kesehatan kerja diantaranya yaitu : a) Hak pekerja (1) Meminta kepada pimpinan atau pengurus perusahaan agar dilaksanakan semua syarat keselamatan dan kesehatan kerja yang diwajibkan di tempat kerja/perusahaan yang bersangkutan. (2) menyatakan keberatan melakukan pekerjaan bila syarat keselamatan dan kesehatan kerja serta alat perlindungan diri yang diwajibkan tidak memenuhi persyaratan, kecuali dalam batas batas yang masih dapat dipertanggungjawabkan (Sendjun H. Manulang, 1990:86).

33 60 Beberapa ketentuan dalam Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan mengatur tentang kesehatan dan keselamatan kerja diantaranya adalah: (1) Pasal 86 ayat (1) yang menyatakan bahwa setiap pekerja mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas : c) Keselamatan dan kesehatan kerja d) Moral dan kesusilaan e) perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai nilai agama. (2) Pasal 86 ayat (2) yang menyatakan bahwa untuk melindungi keselamatan pekerja guna mewujudkan produktivitas kerja yang optimal diselenggarakan upaya keselamatan dan kesehatan kerja. (3) Pasal 87 ayat (1) yang menyatakan bahwa setiap perusahaan wajib menerapkan system manajemen keselamatan dan kesehatan kerja yang terintegrasi dengan system manajemen perusahaan. b) Kewajiban pekerja (1) Memberikan keterangan yang bernar bila dimintai oleh pegawai pengawas atau ahli keselamatan dan kesehatan kerja (2) Memakai alat perlindungan diri yang diwajibkan (3) Memenuhi dan mentaati persyaratan keselamatan dan kesehatan kerja yang berlaku ditempat kerja/

34 61 perusahaan yang bersangkutan (Sendjun H. Manulang, 1990:86)

35 62 B. Kerangka Pemikiran Peristiwa Hukum Peristiwa Hukum 1. Tindakan yang dilakukan PT Jogja Tugu Trans dengan merumahkan pekerja perempuan yang hamil ditinjau dari Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. 2. Implikasi keputusan Premis Mayor 1. Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. 3. KUHPerdata. 4. Kepmenakertrans RI. No Kep.224/Men/ 2003, tentang Kewajiban Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/ buruh perempuan antara pukul s/d WIB Penerapan Hukum PT Jogja Tugu Trans dalam tindakan merumahkan pekerja perempuan yang hamil tersebut ditinjau dari Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Premis Minor (Fakta Hukum) 1. Tindakan yang dilakukan PT Jogja Tugu Trans dengan merumahkan pekerja perempuan yang hamil ditinjau dari Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. 2. Implikasi keputusan PT Jogja Tugu Trans dalam tindakan merumahkan pekerja perempuan yang hamil tersebut ditinjau dari Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Konklusi : Kesesuaian tindakan PT Jogja Tugu Trans merumahkan pekerja perempuan yang hamil dan implikasinya ditinjau dari Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

36 63 Keterangan : Dalam penelitian ini, norma norma hukum in abstracto yang berfungsi sebagai premis mayor adalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan serta KUHPerdata. Sedangkan fakta fakta yang relevan dalam perkara (legal facts) yang dipakai sebagai premis minor adalah Tindakan yang dilakukan PT Jogja Tugu Trans dengan merumahkan pekerja perempuan yang hamil ditinjau dari Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan serta implikasi keputusan PT Jogja Tugu Trans dalam tindakan merumahkan pekerja perempuan yang hamil tersebut ditinjau dari Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Melalui proses silogisme akan diperolehlah sebuah konklusi atau kesimpulan, yaitu mengenai kesesuaian tindakan PT Jogja Tugu Trans merumahkan pekerja perempuan yang hamil dan implikasinya ditinjau dari Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

BAB III TINJAUAN UMUM TERHADAP PERJANJIAN KERJA SECARA YURIDIS. tegas dan kuat. Walaupun di dalam undang-undang tersebut hanya diatur

BAB III TINJAUAN UMUM TERHADAP PERJANJIAN KERJA SECARA YURIDIS. tegas dan kuat. Walaupun di dalam undang-undang tersebut hanya diatur BAB III TINJAUAN UMUM TERHADAP PERJANJIAN KERJA SECARA YURIDIS A. Tinjauan Umum Perjanjian Kerja Dengan telah disahkannya Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UUKK), maka keberadaan

Lebih terperinci

Oleh: Arum Darmawati. Disampaikan pada acara Carrier Training Preparation UGM, 27 Juli 2011

Oleh: Arum Darmawati. Disampaikan pada acara Carrier Training Preparation UGM, 27 Juli 2011 Oleh: Arum Darmawati Disampaikan pada acara Carrier Training Preparation UGM, 27 Juli 2011 Hukum Ketenagakerjaan Seputar Hukum Ketenagakerjaan Pihak dalam Hukum Ketenagakerjaan Hubungan Kerja (Perjanjian

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tenaga Kerja Indonesia (TKI) Pada Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dinyatakan bahwa, Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Peran menurut Soerjono Soekanto (1982 : 60) adalah suatu sistem kaidah kaidah yang berisikan

TINJAUAN PUSTAKA. Peran menurut Soerjono Soekanto (1982 : 60) adalah suatu sistem kaidah kaidah yang berisikan TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Peran Peran menurut Soerjono Soekanto (1982 : 60) adalah suatu sistem kaidah kaidah yang berisikan patokan patokan perilaku, pada kedudukan kedudukan tertentu dalam masyarakat,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KETENAGAKERJAAN DAN PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU (PKWT)

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KETENAGAKERJAAN DAN PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU (PKWT) BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KETENAGAKERJAAN DAN PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU (PKWT) 1.1 Tenaga Kerja 1.1.1 Pengertian Tenaga Kerja Hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum masa kerja,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TENAGA KERJA PEREMPUAN, CITY HOTEL, DAN PERJANJIAN KERJA. Adanya jaminan yang dituangkan di dalam Undang-undang Dasar

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TENAGA KERJA PEREMPUAN, CITY HOTEL, DAN PERJANJIAN KERJA. Adanya jaminan yang dituangkan di dalam Undang-undang Dasar BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TENAGA KERJA PEREMPUAN, CITY HOTEL, DAN PERJANJIAN KERJA 2.1. Tenaga Kerja Perempuan Adanya jaminan yang dituangkan di dalam Undang-undang Dasar 1945Pasal 27 ayat (2) berbunyi

Lebih terperinci

HUKUM PERBURUHAN (PERTEMUAN IV) PERJANJIAN KERJA. copyright by Elok Hikmawati

HUKUM PERBURUHAN (PERTEMUAN IV) PERJANJIAN KERJA. copyright by Elok Hikmawati HUKUM PERBURUHAN (PERTEMUAN IV) PERJANJIAN KERJA copyright by Elok Hikmawati 1 PENDAHULUAN Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJA, PERLINDUNGAN HUKUM DAN TENAGA KONTRAK

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJA, PERLINDUNGAN HUKUM DAN TENAGA KONTRAK BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJA, PERLINDUNGAN HUKUM DAN TENAGA KONTRAK 2.1 Perjanjian Kerja 2.1.1 Pengertian Perjanjian Kerja Secara yuridis, pengertian perjanjian diatur dalam Pasal 1313

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. manajemen, outsourcing diberikan pengertian sebagai pendelegasian operasi dan

BAB II KAJIAN TEORI. manajemen, outsourcing diberikan pengertian sebagai pendelegasian operasi dan BAB II KAJIAN TEORI A. Tinjauan Tentang Outsourcing 1. Pengertian Outsourcing Outsourcing dalam bidang ketenagakerjaan, diartikan sebagai pemanfaatan tenaga kerja untuk memproduksi atau melaksanakan suatu

Lebih terperinci

2.1 Pengertian Pekerja Rumah Tangga dan Pemberi Kerja

2.1 Pengertian Pekerja Rumah Tangga dan Pemberi Kerja BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEKERJA RUMAH TANGGA, PEMBERI KERJA, DAN PERJANJIAN KERJA 2.1 Pengertian Pekerja Rumah Tangga dan Pemberi Kerja 2.1.1. Pengertian pekerja rumah tangga Dalam berbagai kepustakaan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembangunan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEKERJA, PEKERJA KONTRAK, DAN HAK CUTI. 2.1 Tinjauan Umum Tentang Pekerja dan Pekerja Kontrak

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEKERJA, PEKERJA KONTRAK, DAN HAK CUTI. 2.1 Tinjauan Umum Tentang Pekerja dan Pekerja Kontrak BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEKERJA, PEKERJA KONTRAK, DAN HAK CUTI 2.1 Tinjauan Umum Tentang Pekerja dan Pekerja Kontrak 2.1.1 Pengertian pekerja Istilah buruh sudah dipergunakan sejak lama dan sangat

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI. A. Pengertian Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak. 2 Perjanjian kerja wajib

BAB III LANDASAN TEORI. A. Pengertian Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak. 2 Perjanjian kerja wajib BAB III LANDASAN TEORI A. Pengertian Perjanjian Kerja Waktu Tertentu Pengaturan perjanjian bisa kita temukan didalam buku III bab II pasal 1313 KUHPerdata yang berbunyi Perjanjian adalah suatu perbuatan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN YURIDIS PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN

BAB 2 TINJAUAN YURIDIS PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN BAB 2 TINJAUAN YURIDIS PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN 2.1 Perjanjian secara Umum Pada umumnya, suatu hubungan hukum terjadi karena suatu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perjanjian A.1 Pengertian perjanjian Perjanjian merupakan salah satu sumber perikatan, hal ini berdasarkan bahwa perikatan dapat lahir karena perjanjian dan undang undang. Sebagaimana

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP JAMINAN SOSIAL PEKERJA. 2.1 Pengertian Tenaga Kerja, Pekerja, dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP JAMINAN SOSIAL PEKERJA. 2.1 Pengertian Tenaga Kerja, Pekerja, dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP JAMINAN SOSIAL PEKERJA 2.1 Pengertian Tenaga Kerja, Pekerja, dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja 1. Pengertian Tenaga Kerja Pengertian Tenaga Kerja dapat di tinjau dari 2 (dua)

Lebih terperinci

BAB I KETENTUAN U M U M

BAB I KETENTUAN U M U M UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG K E T E N A G A K E R J A A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembangunan nasional dilaksanakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembangunan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NO. 13 TH 2003

UNDANG-UNDANG NO. 13 TH 2003 UNDANG-UNDANG NO. 13 TH 2003 BAB IX HUBUNGAN KERJA Pasal 50 Hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh. Pasal 51 1. Perjanjian kerja dibuat secara tertulis

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR NOMOR 7 TAHUN 2007 TENTANG PERLINDUNGAN BURUH/PEKERJA INFORMAL DI KABUPATEN LOMBOK TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

HUKUM KETENAGA KERJAAN BERDASARKAN UU NO 13 TAHUN 2003

HUKUM KETENAGA KERJAAN BERDASARKAN UU NO 13 TAHUN 2003 HUKUM KETENAGA KERJAAN BERDASARKAN UU NO 13 TAHUN 2003 PENGUSAHA PEMERINTAH UU NO 13 TAHUN 2003 UU KETENAGAKERJAAN PEKERJA MASALAH YANG SERING DIHADAPI PENGUSAHA - PEKERJA MASALAH GAJI/UMR MASALAH KESEJAHTERAAN

Lebih terperinci

perjanjian kerja waktu tertentu yakni terkait masalah masa waktu perjanjian yang

perjanjian kerja waktu tertentu yakni terkait masalah masa waktu perjanjian yang perjanjian kerja waktu tertentu yakni terkait masalah masa waktu perjanjian yang dibolehkan dan sifat kerja yang dapat dibuat perjanjian kerja waktu tertentu. Faktor pendidikan yang rendah dan kurangnya

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN KERJA DALAM PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA. Hubungan hukum yang terjadi antara pelaku usaha dan tenaga kerja adalah

BAB II PERJANJIAN KERJA DALAM PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA. Hubungan hukum yang terjadi antara pelaku usaha dan tenaga kerja adalah BAB II PERJANJIAN KERJA DALAM PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA A. Pengertian Perjanjian Kerja Hubungan hukum yang terjadi antara pelaku usaha dan tenaga kerja adalah hubungan kerja berdasarkan perjanjian

Lebih terperinci

HUBUNGAN KERJA DAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

HUBUNGAN KERJA DAN HUBUNGAN INDUSTRIAL HUKUM PERBURUHAN (PERTEMUAN III) HUBUNGAN KERJA DAN HUBUNGAN INDUSTRIAL copyright by Elok Hikmawati 1 HUBUNGAN KERJA Hubungan Kerja adalah suatu hubungan yang timbul antara pekerja dan pengusaha setelah

Lebih terperinci

Tujuan UUK adalah kesejahteraan tenaga kerja: Memperoleh, meningkatkan, mengembangkan kompetensi kerja.

Tujuan UUK adalah kesejahteraan tenaga kerja: Memperoleh, meningkatkan, mengembangkan kompetensi kerja. UU No. 13 / 2003 Tujuan UUK adalah kesejahteraan tenaga kerja: Kesempatan memperoleh pekerjaan. Perlakuan yang sama dari pengusaha. Memperoleh, meningkatkan, mengembangkan kompetensi kerja. Kesempatan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM TENAGA KERJA DAN HUBUNGAN KERJA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM TENAGA KERJA DAN HUBUNGAN KERJA 1 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM TENAGA KERJA DAN HUBUNGAN KERJA 2.1 Perlindungan Hukum Perlindungan hukum merupakan suatu hal yang melindungi subyek-subyek hukum melalui peraturan perundang-undangan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN [LN 2003/39, TLN 4279] Pasal 184

UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN [LN 2003/39, TLN 4279] Pasal 184 UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN [LN 2003/39, TLN 4279] BAB XVI KETENTUAN PIDANA DAN SANKSI ADMINISTRATIF Bagian Pertama Ketentuan Pidana Pasal 183 74 1, dikenakan sanksi pidana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Baik pekerjaan yang diusahakan sendiri maupun bekerja pada orang lain. Pekerjaan

BAB I PENDAHULUAN. Baik pekerjaan yang diusahakan sendiri maupun bekerja pada orang lain. Pekerjaan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan ini manusia mempunyai kebutuhan yang beranekaragam, untuk dapat memenuhi semua kebutuhan tersebut manusia dituntut untuk bekerja. Baik pekerjaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pertama disebutkan dalam ketentuan Pasal 1601a KUHPerdata, mengenai

BAB I PENDAHULUAN. pertama disebutkan dalam ketentuan Pasal 1601a KUHPerdata, mengenai 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perjanjian kerja dalam Bahasa Belanda biasa disebut Arbeidsovereenkomst, dapat diartikan dalam beberapa pengertian. Pengertian yang pertama disebutkan dalam

Lebih terperinci

*10099 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 25 TAHUN 1997 (25/1997) TENTANG KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

*10099 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 25 TAHUN 1997 (25/1997) TENTANG KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Copyright (C) 2000 BPHN UU 25/1997, KETENAGAKERJAAN *10099 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 25 TAHUN 1997 (25/1997) TENTANG KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perlindungan hukum pada dasarnya tidak membedakan antara pria dan perempuan, terutama dalam hal pekerjaan. Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dimana perlindungan tersebut menurut hukum dan undang-undang yang berlaku. Karena pada

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dimana perlindungan tersebut menurut hukum dan undang-undang yang berlaku. Karena pada BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perlindungan Hukum Di dalam Kamus Umum khususnya bidang hukum dan politik hal. 53 yang ditulis oleh Zainul Bahry, S.H., Perlindungan Hukum terdiri dari 2 suku kata yaitu: Perlindungan

Lebih terperinci

KISI-KISI HUKUM KETENAGAKERJAAN

KISI-KISI HUKUM KETENAGAKERJAAN KISI-KISI HUKUM KETENAGAKERJAAN BAB 1 PERJANJIAN KERJA 1.1. DEFINISI Pasal 1 UU No. 13/2003 14. Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja / buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NO. 13 TH 2003

UNDANG-UNDANG NO. 13 TH 2003 UNDANG-UNDANG NO. 13 TH 2003 BAB X PERLINDUNGAN, PENGUPAHAN, DAN KESEJAHTERAAN Bagian Kesatu Perlindungan Paragraf 1 Penyandang Cacat Pasal 67 1. Pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja penyandang cacat

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 1997 TENTANG KETENAGAKERJAAN [LN 1997/73, TLN 3702]

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 1997 TENTANG KETENAGAKERJAAN [LN 1997/73, TLN 3702] UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 1997 TENTANG KETENAGAKERJAAN [LN 1997/73, TLN 3702] Bagian Kedua Ketentuan Pidana Pasal 171 Barangsiapa : a. tidak memberikan kesempatan yang sama kepada

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN,PENGUPAHAN DAN KESEJAHTERAAN

PERLINDUNGAN,PENGUPAHAN DAN KESEJAHTERAAN PERLINDUNGAN,PENGUPAHAN DAN KESEJAHTERAAN (UNDANG UNDANG No : 13 TAHUN 2003) PERLINDUNGAN 1.PENYANDANG CACAT 1. ANAK 2. PEREMPUAN 3. WAKTU KERJA 4. KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA 1 1 PENYANDANG CACAT

Lebih terperinci

ETIKA BISNIS. Smno.tnh.fpub2013

ETIKA BISNIS. Smno.tnh.fpub2013 MK. ETIKA PROFESI ETIKA BISNIS Smno.tnh.fpub2013 Pengertian Etika Pengertian; Etika kata Yunani ethos, berarti adat istiadat atau kebiasaan. Etika flsafat moral, ilmu yang membahas nilai dan norma yang

Lebih terperinci

BAB II MEKANISME KERJA LEMBUR DALAM HUKUM PERBURUHAN DI INDONESIA

BAB II MEKANISME KERJA LEMBUR DALAM HUKUM PERBURUHAN DI INDONESIA BAB II MEKANISME KERJA LEMBUR DALAM HUKUM PERBURUHAN DI INDONESIA 2.1. Hakekat Diperlukannya Kerja Lembur Berbicara mengenai kerja lembur maka kita berbicara tentang suatu keadaan dan atau kegiatan bekerja

Lebih terperinci

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 31 TAHUN 2010 TENTANG PEKERJA RUMAH TANGGA

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 31 TAHUN 2010 TENTANG PEKERJA RUMAH TANGGA SALINAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 31 TAHUN 2010 TENTANG PEKERJA RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM HUKUM KETENAGAKERJAAN TENAGA KERJA, JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA

BAB II TINJAUAN UMUM HUKUM KETENAGAKERJAAN TENAGA KERJA, JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA BAB II TINJAUAN UMUM HUKUM KETENAGAKERJAAN TENAGA KERJA, JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA 2.1 Hukum Ketenagakerjaan 2.1.1 Pengertian Hukum Ketenagakerjaan Batasan pengertian hukum ketenagakerjaan, yang dulu

Lebih terperinci

GUBERNUR SUMATERA BARAT

GUBERNUR SUMATERA BARAT GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN GUBERNUR SUMATERA BARAT NOMOR 30 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN PEMBUATAN PERATURAN PERUSAHAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SUMATERA BARAT, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN TEORITIS. landasan yang tegas dan kuat. Walaupun di dalam undang-undang tersebut. pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata:

BAB III TINJAUAN TEORITIS. landasan yang tegas dan kuat. Walaupun di dalam undang-undang tersebut. pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata: BAB III TINJAUAN TEORITIS A. Tinjauan Umum Perjanjian Kerja 1. Pengertian Perjanjian Kerja Dengan telah disahkannya undang-undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UUKK) maka keberadaan perjanjian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia merupakan negara yang sedang giat-giatnya. membangun untuk meningkatkan pembangunan disegala sektor dengan tujuan

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia merupakan negara yang sedang giat-giatnya. membangun untuk meningkatkan pembangunan disegala sektor dengan tujuan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia merupakan negara yang sedang giat-giatnya membangun untuk meningkatkan pembangunan disegala sektor dengan tujuan untuk kemakmuran rakyat Indonesia.

Lebih terperinci

JURNAL HUKUM ANALISIS YURIDIS TERHADAP PERJANJIAN KERJA SECARA LISAN ANTARA PENGUSAHA DAN PEKERJA DI UD NABA JAYA SAMARINDA ABSTRAKSI

JURNAL HUKUM ANALISIS YURIDIS TERHADAP PERJANJIAN KERJA SECARA LISAN ANTARA PENGUSAHA DAN PEKERJA DI UD NABA JAYA SAMARINDA ABSTRAKSI JURNAL HUKUM ANALISIS YURIDIS TERHADAP PERJANJIAN KERJA SECARA LISAN ANTARA PENGUSAHA DAN PEKERJA DI UD NABA JAYA SAMARINDA ABSTRAKSI RISMAN FAHRI ADI SALDI. NIM : 0810015276. Analisis Terhadap Perjanjian

Lebih terperinci

PENJELASAN PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 6 TAHUN 2004 TENTANG KETENAGAKERJAAN

PENJELASAN PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 6 TAHUN 2004 TENTANG KETENAGAKERJAAN PENJELASAN PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 6 TAHUN 2004 TENTANG KETENAGAKERJAAN I. PENJELASAN UMUM Pembangunan ketenagakerjaan sebagai bagian integral dari pembangunan Daerah

Lebih terperinci

BAB II KEABSAHAN PERJANJIAN KERJA ANTARA PERUSAHAAN PENYEDIA JASA PEKERJA DENGAN PEKERJA OUTSOURCING

BAB II KEABSAHAN PERJANJIAN KERJA ANTARA PERUSAHAAN PENYEDIA JASA PEKERJA DENGAN PEKERJA OUTSOURCING 15 BAB II KEABSAHAN PERJANJIAN KERJA ANTARA PERUSAHAAN 2.1 Hubungan Hukum Antara Perusahaan Penyedia Jasa Dengan Pekerja/Buruh Hubungan hukum antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa itu sendiri

Lebih terperinci

BAB II PERLINDUNGAN HAK-HAK PEKERJA KONTRAK YANG DI PHK DARI PERUSAHAAN

BAB II PERLINDUNGAN HAK-HAK PEKERJA KONTRAK YANG DI PHK DARI PERUSAHAAN BAB II PERLINDUNGAN HAK-HAK PEKERJA KONTRAK YANG DI PHK DARI PERUSAHAAN 2.1. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu Dalam pasal 1 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Replubik Indonesia Nomor Kep.100/Men/VI/2004

Lebih terperinci

Aspek Hubungan Kerja dan Perjanjian Kerja di Indonesia. Berdasarkan UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

Aspek Hubungan Kerja dan Perjanjian Kerja di Indonesia. Berdasarkan UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Aspek Hubungan Kerja dan Perjanjian Kerja di Berdasarkan UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Hubungan Kerja Hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUBUNGAN KERJA, PERJANJIAN KERJA DAN JAMINAN SOSIAL KECELAKAAN KERJA

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUBUNGAN KERJA, PERJANJIAN KERJA DAN JAMINAN SOSIAL KECELAKAAN KERJA 23 BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUBUNGAN KERJA, PERJANJIAN KERJA DAN JAMINAN SOSIAL KECELAKAAN KERJA 2.1 Hubungan Kerja 2.1.1 Pengertian hubungan kerja Manusia selalu dituntut untuk mempertahankan hidup

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seluruh rakyat Indonesia. Berdasarkan bunyi Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. seluruh rakyat Indonesia. Berdasarkan bunyi Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 disebutkan bahwa Negara menjamin keselamatan, kesejahteraan dan kemakmuran seluruh rakyat Indonesia.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJA ANAK

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJA ANAK BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJA ANAK A. Perjanjian pada Umumnya 1. Pengertian Perjanjian Perjanjian merupakan salah satu sumber perikatan. Pasal 1233 KUHPerdata (Burgerlijke Wetboek) menyatakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu syarat keberhasilan pembangunan nasional kita adalah kualitas

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu syarat keberhasilan pembangunan nasional kita adalah kualitas 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Salah satu syarat keberhasilan pembangunan nasional kita adalah kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia. Kenyataan telah membuktikan bahwa faktor ketenagakerjaan

Lebih terperinci

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Hubungan Kerja Hubungan antara buruh dengan majikan, terjadi setelah diadakan perjanjian oleh buruh dengan majikan, dimana buruh menyatakan kesanggupannya untuk bekerja pada majikan dengan menerima upah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJA. Hubungan kerja adalah hubungan antara seseorang buruh dengan seorang

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJA. Hubungan kerja adalah hubungan antara seseorang buruh dengan seorang BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJA A. Pengertian Perjanjian Kerja Hubungan kerja adalah hubungan antara seseorang buruh dengan seorang majikan. Hubungan kerja menunjukkan kedudukan kedua belah

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN HUKUM TENTANG KEWAJIBAN PENGUSAHA DAN PEKERJA. Menurut Undang-undang No. 13 Tahun 2003 dalam passal 1 angka (2)

BAB III TINJAUAN HUKUM TENTANG KEWAJIBAN PENGUSAHA DAN PEKERJA. Menurut Undang-undang No. 13 Tahun 2003 dalam passal 1 angka (2) BAB III TINJAUAN HUKUM TENTANG KEWAJIBAN PENGUSAHA DAN PEKERJA A. Pengertian Pekerja Menurut Undang-undang No. 13 Tahun 2003 dalam passal 1 angka (2) disebutkan, tenaga kerja adalah : setiap orang yang

Lebih terperinci

Pada dasarnya, tujuan utama hukum ketenagakerjaan MAKNA PHK BAGI PEKERJA

Pada dasarnya, tujuan utama hukum ketenagakerjaan MAKNA PHK BAGI PEKERJA Bab I MAKNA PHK BAGI PEKERJA Pada dasarnya, tujuan utama hukum ketenagakerjaan adalah untuk melindungi pekerja dari segala macam eksploitasi. Hal ini didasarkan pada tinjauan filosofis, bahwa dalam sistem

Lebih terperinci

BAB II PEMBAHASAN. A. Tinjauan Umum tentang Perjanjian Kerja

BAB II PEMBAHASAN. A. Tinjauan Umum tentang Perjanjian Kerja 25 BAB II PEMBAHASAN A. Tinjauan Umum tentang Perjanjian Kerja 1. Pengertian Perjanjian Kerja Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1 ayat (14) Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang dimaksud

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembangunan nasional dilaksanakan dalam

Lebih terperinci

-2-1. Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/bu

-2-1. Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/bu LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.237, 2015 TENAGA KERJA. Pengupahan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5747). PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN

Lebih terperinci

PERATURAN WALIKOTA KOTA YOGYAKARTA NOMOR 48 TAHUN 2011 TENTANG PEKERJA RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA YOGYAKARTA,

PERATURAN WALIKOTA KOTA YOGYAKARTA NOMOR 48 TAHUN 2011 TENTANG PEKERJA RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA YOGYAKARTA, PERATURAN WALIKOTA KOTA YOGYAKARTA NOMOR 48 TAHUN 2011 TENTANG PEKERJA RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA YOGYAKARTA, Menimbang : a. bahwa hubungan kerja antara Pekerja Rumah Tangga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai karyawannya. Ditengah-tengah persaingan ekonomi secara global, sistem

BAB I PENDAHULUAN. sebagai karyawannya. Ditengah-tengah persaingan ekonomi secara global, sistem BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Fenomena buruh kontrak semakin terlihat menaik secara grafik, hampir 70 % perusahaan-perusahaan di Indonesia telah memanfaatkan tenaga kontrak ini sebagai karyawannya.

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT INTERNAL TIMUS KOMISI III DPR-RI DALAM RANGKA PEMBAHASAN RANCANGAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA --------------------------------------------------- (BIDANG HUKUM, HAM

Lebih terperinci

seperti Hak Cipta (Copyright), Merek (Trade Mark)maupun Desain

seperti Hak Cipta (Copyright), Merek (Trade Mark)maupun Desain 19 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perlindungan Hukum Rahasia Dagang 1. Penjelasan Rahasia Dagang Rahasia Dagang (Trade Secret) memegang peranan penting dalam ranah Hak Kekayaan Intelektual. Rahasia Dagang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Hakikat manusia tidak hanya sebagai makhluk individu melainkan juga

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Hakikat manusia tidak hanya sebagai makhluk individu melainkan juga BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Hakikat manusia tidak hanya sebagai makhluk individu melainkan juga makhluk sosial. Manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat bertahan hidup secara utuh tanpa

Lebih terperinci

PEMBATALAN BEBERAPA KETENTUAN DARI PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN KETENAGAKERJAAN

PEMBATALAN BEBERAPA KETENTUAN DARI PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN KETENAGAKERJAAN 1 LAMPIRAN KEPUTUSAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 560 2492 TAHUN 2015 TENTANG PEMBATALAN BEBERAPA KETENTUAN DARI PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN

Lebih terperinci

NOMOR 25 TAHUN 1997 TENTANG KETENAGAKERJAAN

NOMOR 25 TAHUN 1997 TENTANG KETENAGAKERJAAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 1997 TENTANG KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka

Lebih terperinci

KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA ( K3 ) DAN HUKUM KETENAGAKERJAAN

KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA ( K3 ) DAN HUKUM KETENAGAKERJAAN MATA KULIAH KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA ( K3 ) DAN HUKUM KETENAGAKERJAAN DOSEN : HASTORO WIDJAJANTO, SH. MH. SKS : 2 ( DUA ) TUJUAN : - MENGETAHUI HUBUNGAN ANTARA PEKERJA/BURUH DAN PEMILIK PERUSAHAAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. masing-masing memiliki cirri khusus yang membedakan dengan yang lainya, perjanjian, subjek serta obyek yang diperjanjikan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. masing-masing memiliki cirri khusus yang membedakan dengan yang lainya, perjanjian, subjek serta obyek yang diperjanjikan. 12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Perjanjian Kerja Perjanjian kerja merupakan salah satu turunan dasri perjanjian yang dimana masing-masing memiliki cirri khusus yang membedakan dengan yang lainya, yang keseluruhan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA TENTANG PERLINDUNGAN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA TENTANG PERLINDUNGAN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA 19 BAB II TINJAUAN PUSTAKA TENTANG PERLINDUNGAN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA A. Prinsip Perlindungan Kerja Perlindungan tenaga kerja sangat mendapat perhatian dalam Undang-undang No 13 Tahun 2003 Tentang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kemerdekaan berserikat, berkumpul,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Sesuai dengan Pasal 5 Undang-undang

BAB I PENDAHULUAN. guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Sesuai dengan Pasal 5 Undang-undang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam memenuhi kebutuhan hidup keseharian semua manusia yang telah memiliki usia produkuktif tentunya membutuhkan pekerjaan guna memenuhi kebutuhan hidupnya

Lebih terperinci

WALAIKOTA JAMBI PROVINSI JAMBI

WALAIKOTA JAMBI PROVINSI JAMBI SALINAN WALAIKOTA JAMBI PROVINSI JAMBI PERATURAN DAERAH KOTA JAMBI NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN TENAGA KERJA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA JAMBI, Menimbang Mengingat : a. bahwa

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TENAGA KERJA DAN HUBUNGAN KERJA. Pengertian tenaga kerja dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1969

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TENAGA KERJA DAN HUBUNGAN KERJA. Pengertian tenaga kerja dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1969 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TENAGA KERJA DAN HUBUNGAN KERJA 2.1 Pengertian Tentang Tenaga Kerja Pengertian tenaga kerja dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1969 Tentang Ketentuan Pokok Ketenagakerjaan

Lebih terperinci

BUPATI BANTUL PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 02 TAHUN 2011 TENTANG KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANTUL,

BUPATI BANTUL PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 02 TAHUN 2011 TENTANG KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANTUL, BUPATI BANTUL PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 02 TAHUN 2011 TENTANG KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANTUL, Menimbang : a. bahwa sesuai dengan peranan dan kedudukan bidang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM DAN PENGAWASAN PEKERJA PEREMPUAN MALAM HARI

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM DAN PENGAWASAN PEKERJA PEREMPUAN MALAM HARI BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM DAN PENGAWASAN PEKERJA PEREMPUAN MALAM HARI A. Tinjauan Umum tentang Perlindungan Hukum terhadap Pekerja Perempuan Malam Hari 1. Pengertian Perlindungan

Lebih terperinci

2016, No Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2003 tentang Pengesahan ILO Convention Nomor 81 Concerning Labour Inspection in Industry and Commerce

2016, No Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2003 tentang Pengesahan ILO Convention Nomor 81 Concerning Labour Inspection in Industry and Commerce No.1753, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENAKER. Pengawasan Ketenagakerjaan. PERATURAN MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENGAWASAN KETENAGAKERJAAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM SERIKT PEKERJA, PERJANJIAN KERJA, DAN PERJANJIAN KERJA BERSAMA

BAB II TINJAUAN UMUM SERIKT PEKERJA, PERJANJIAN KERJA, DAN PERJANJIAN KERJA BERSAMA BAB II TINJAUAN UMUM SERIKT PEKERJA, PERJANJIAN KERJA, DAN PERJANJIAN KERJA BERSAMA 2.1 Serikat Pekerja 2.1.1 Pengertian Serikat Pekerja Pengertian serikat pekerja/buruh menurut pasal 1 ayat 1 Undang-undang

Lebih terperinci

Undang-undang No. 21 Tahun 2000 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH

Undang-undang No. 21 Tahun 2000 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH Daftar Isi BAB I KETENTUAN UMUM I-7 BAB II ASAS, SIFAT, DAN TUJUAN I-8 BAB III PEMBENTUKAN I-10 BAB

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia, Menimbang : a. bahwa pembangunan nasional dilaksanakan dalam

Lebih terperinci

Lex Administratum, Vol. IV/No. 1/Jan/2016. Kata kunci: jamsostek, pemutusan hubungan kerja

Lex Administratum, Vol. IV/No. 1/Jan/2016. Kata kunci: jamsostek, pemutusan hubungan kerja HAK TENAGA KERJA ATAS JAMSOSTEK YANG MENGALAMI PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA 1 Oleh: Marlina T. Sangkoy 2 ABSTRAK Tujuan penelitian ini untuk mengetahui bagaimanakah Hak Tenaga Kerja atas Jamsostek yang mengalami

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia, Menimbang : a. bahwa pembangunan nasional dilaksanakan dalam

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia Menimbang : a. bahwa pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 131, 2000 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3989) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alinea ke IV, berisi tujuan negara bahwa salah satu tugas Pemerintah Negara Indonesia adalah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 21 TAHUN 2000 (21/2000) TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 21 TAHUN 2000 (21/2000) TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 21 TAHUN 2000 (21/2000) TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kemerdekaan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEKERJA DAN HAK-HAK PEREMPUAN. Istilah Pekerja/ Buruh muncul untuk menggantikan istilah Buruh pada zaman

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEKERJA DAN HAK-HAK PEREMPUAN. Istilah Pekerja/ Buruh muncul untuk menggantikan istilah Buruh pada zaman BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEKERJA DAN HAK-HAK PEREMPUAN A. Tinjauan Umum Mengenai Pekerja 1. Pengertian Pekerja, Pengusaha, dan Perusahaan Berdasarkan Pasal 1 angka 3 Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003

Lebih terperinci

Hubungan Industrial. Perjanjian Kerja; Peraturan Perusahaan; Perjanjian Kerja Bersama (PKB) Rizky Dwi Pradana, M.Si. Modul ke: Fakultas Psikologi

Hubungan Industrial. Perjanjian Kerja; Peraturan Perusahaan; Perjanjian Kerja Bersama (PKB) Rizky Dwi Pradana, M.Si. Modul ke: Fakultas Psikologi Modul ke: Hubungan Industrial Perjanjian Kerja; Peraturan Perusahaan; Perjanjian Kerja Bersama (PKB) Fakultas Psikologi Program Studi Psikologi www.mercubuana.ac.id Rizky Dwi Pradana, M.Si Daftar Pustaka

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kemerdekaan berserikat, berkumpul,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hubungan antara perusahaan dengan para pekerja ini saling membutuhkan, di. mengantarkan perusahaan mencapai tujuannya.

BAB I PENDAHULUAN. hubungan antara perusahaan dengan para pekerja ini saling membutuhkan, di. mengantarkan perusahaan mencapai tujuannya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pekerja/buruh adalah tulang punggung perusahaan adagium ini nampaknya biasa saja, seperti tidak mempunyai makna. Tetapi kalau dikaji lebih jauh akan kelihatan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2015 TENTANG PENGUPAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2015 TENTANG PENGUPAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2015 TENTANG PENGUPAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa dalam rangka melaksanakan Peraturan Kepala

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia pada hakekatnya adalah makhluk sosial sehingga mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia pada hakekatnya adalah makhluk sosial sehingga mempunyai 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia pada hakekatnya adalah makhluk sosial sehingga mempunyai kebutuhan sosial yang harus dipenuhi, oleh karena itu mereka bekerja untuk memenuhi kebutuhannya.

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 16 TAHUN 2015

GUBERNUR JAWA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 16 TAHUN 2015 SALINAN 1 GUBERNUR JAWA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 16 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN KETENAGAKERJAAN

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN DAN PENGAWASAN TENAGA KERJA

PERLINDUNGAN DAN PENGAWASAN TENAGA KERJA HUKUM PERBURUHAN (PERTEMUAN VIII) PERLINDUNGAN DAN PENGAWASAN TENAGA KERJA copyright by Elok Hikmawati 1 Penyandang Cacat Pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja penyandang cacat wajib memberikan perlindungan

Lebih terperinci

PEMBERHENTIAN KARYAWAN (Pemutusan Hubungan Kerja) PERTEMUAN 14

PEMBERHENTIAN KARYAWAN (Pemutusan Hubungan Kerja) PERTEMUAN 14 PEMBERHENTIAN KARYAWAN (Pemutusan Hubungan Kerja) PERTEMUAN 14 1 SUB POKOK BAHASAN PENGERTIAN ALASAN-ALASAN PEMBERHENTIAN PROSES PEMBERHENTIAN PASAL 153, UU PERBURUHAN NO.13/2003 PASAL 156 (KEWAJIBAN PERUSAHAAN)

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 1997 TENTANG KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 1997 TENTANG KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 1997 TENTANG KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka

Lebih terperinci

file://\\ \web\prokum\uu\2003\uu htm

file://\\ \web\prokum\uu\2003\uu htm Page 1 of 49 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia, Menimbang : a. bahwa pembangunan nasional dilaksanakan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2015 TENTANG PENGUPAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2015 TENTANG PENGUPAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2015 TENTANG PENGUPAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 97 Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memerlukan orang lain dalam hubungan saling bantu-membantu memberikan

BAB I PENDAHULUAN. memerlukan orang lain dalam hubungan saling bantu-membantu memberikan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bekerja merupakan usaha yang dilakukan oleh seseorang untuk mendapatkan penghasilan agar dapat memenuhi semua kebutuhan hidupnya. Dalam usaha untuk mendapatkan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2015 TENTANG PENGUPAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2015 TENTANG PENGUPAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2015 TENTANG PENGUPAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci