Bab II Kajian Pustaka

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Bab II Kajian Pustaka"

Transkripsi

1 Bab II Kajian Pustaka 2.1 Geologi Regional Fisiografi Van Bemmelen (1949) membagi fisiografi daerah Jawa Barat menjadi empat zona (Gambar 2.1), yaitu : Zona Dataran Pantai Jakarta (Alluvial Plains of Northern West Java) Zona Bogor (Bogor Anticlinorium) Zona Bandung (Central Depression of West Java) Zona Pegunungan Selatan Jawa Barat (Southern Mountains of West Java) Lokasi Gambar 2.1 Peta Fisiografi Jawa Barat (van Bemmelen, 1949). Berdasarkan pembagian di atas, secara fisiografis daerah penelitian termasuk ke dalam Zona Bandung. Van Bemmelen (1949) menyatakan bahwa zona ini merupakan depresi di antara gunung-gunung (intermontane depressions). Zona ini melengkung dari Pelabuhan Ratu mengikuti Lembah Cimandiri menerus ke timur melalui kota Bandung, dan berakhir di Segara Anakan di muara Sungai Citanduy, dengan lebar antara km. 8

2 Van Bemmelen (1949) menganggap Zona Bandung merupakan puncak geantiklin Jawa yang runtuh setelah pengangkatan pada akhir Tersier. Kemudian daerah rendah ini terisi oleh endapan gunungapi muda. Dalam Zona Bandung, terdapat beberapa tinggian yang terdiri dari endapan sedimen tua berumur Tersier yang menyembul di antara endapan gunungapi muda. Salah satu yang penting adalah G. Walat di Sukabumi dan Perbukitan Rajamandala di daerah Padalarang. Batas antara Zona Bandung dengan Zona Bogor yang berada di utaranya, tertutup oleh endapan seri gunungapi Kuarter (G. Kendeng, G. Gagak, G. Salak, G. Gede- Pangrango, G. Burangrang, G. Tangkuban Perahu, G. Bukittunggul, G. Calancang, dan G. Cakrabuwana). Menurut Martodjojo (1984), Zona Bandung dalam sejarah geologinya tidak dapat dipisahkan dengan Zona Bogor, kecuali oleh banyaknya puncak-puncak gunungapi yang masih aktif sampai sekarang. Batas Zona Bandung dengan Zona Pegunungan Selatan yang berada di selatannya, di beberapa tempat mudah dilihat, seperti di Lembah Cimandiri, sedangkan batas lainnya ditandai juga oleh endapan seri gunungapi Kuarter (G. Kendeng, G. Patuha, G. Tilu, G. Malabar, G. Papandayan, dan G. Cikuray). Zona Bandung yang dibatasi oleh Zona Bogor di sebelah utara dan Zona Pegunungan Selatan di sebelah selatan diperlihatkan pada Gambar 2.2. Gambar 2.2 Penampang skematik Jawa Barat dari Pantai Selatan ke Pantai Utara (van Bemmelen, 1949). 9

3 2.1.2 Stratigrafi Martodjojo (1984) telah membagi mandala sedimentasi daerah Jawa Barat menjadi tiga bagian (Gambar 2.3), yaitu : Mandala Paparan Kontinen Utara Mandala Cekungan Bogor Mandala Sedimentasi Banten Gambar 2.3 Peta Mandala Sedimentasi Jawa Barat (Martodjojo,1984). Lokasi penelitian termasuk ke dalam Mandala Cekungan Bogor. Posisi tektonik di Cekungan Bogor dari Zaman Tersier hingga Kuarter terus mengalami perubahan (Martodjojo, 1984). Cekungan Bogor yang pada Kala Eosen Tengah-Oligosen merupakan cekungan depan busur magmatik, berubah menjadi cekungan belakang busur magmatik pada Kala Miosen Awal-Pliosen. Pada rentang waktu Miosen Awal-Miosen Akhir, di Cekungan Bogor terjadi sedimentasi dengan mekanisme aliran gravitasi. Kemudian pada Kala Pliosen, sebagian dari Cekungan Bogor terangkat menjadi daratan dan merupakan jalur magmatis, dimana aktivitas volkanisme yang terjadi mengakibatkan adanya endapan-endapan gunungapi. Batuan tertua pada mandala ini berumur Eosen Awal yaitu Formasi Ciletuh. Di bawah formasi ini diendapkan kompleks Mélange Ciletuh yang merupakan olisostrom. Pada Kala Oligo-Miosen diendapkan Formasi Bayah, dan di atasnya diendapkan secara tidak selaras Formasi Batu Asih dan Formasi Rajamandala yang merupakan 10

4 endapan laut dangkal. Kedudukan Cekungan Bogor pada kala tersebut tidak dapat diidentifikasi dengan jelas. Hadirnya komponen kuarsa yang dominan pada Formasi Bayah memberikan indikasi bahwa sumber sedimentasi pada kala tersebut berasal dari daerah yang bersifat granitis, kemungkinan besar berasal dari Daratan Sunda yang berada di utara. Daerah selatan Sesar Cimandiri, pada akhir Oligo-Miosen diperkirakan masih berupa lingkungan darat. Hal ini dibuktikan dengan adanya ketidakselarasan antara sedimen Oligosen dan Miosen di lepas Pantai Cilacap. Pada Kala Miosen Awal berlangsung aktivitas gunungapi dengan batuan bersifat basalt sampai andesit yang berasal dari selatan, dan terendapkan dalam Cekungan Bogor yang pada kala tersebut merupakan cekungan belakang busur. Cepatnya penyebaran dan pengendapan rombakan deretan gunungapi ini telah mematikan pertumbuhan terumbu Formasi Rajamandala, sehingga endapan volkanik yang dikenal dengan nama Formasi Jampang dan Formasi Citarum mulai diendapkan pada lingkungan marin ini. Pada Kala Miosen Tengah, status Cekungan Bogor masih merupakan cekungan belakang busur dengan diendapkannya Formasi Saguling pada lingkungan laut dalam dengan mekanisme arus gravitasi. Pada Kala akhir Miosen Tengah mulai diendapkan Formasi Bantargadung yang dicirikan oleh endapan turbidit halus pada kipas laut dalam. Cekungan Bogor pada kala ini sudah semakin sempit menjadi suatu cekungan memanjang yang mendekati bentuk fisiografi Zona Bogor (van Bemmelen, 1949). Pada daerah ini, penurunan merupakan gerak tektonik yang dominan. Pada Kala Miosen Akhir, Cekungan Bogor masih merupakan cekungan belakang busur dengan diendapkannya Formasi Cigadung dan Formasi Cantayan pada lingkungan laut dalam dengan mekanisme arus gravitasi. Pada Kala Pliosen, Cekungan Bogor sebagian sudah merupakan daratan yang ditempati oleh puncak-puncak gunungapi yang merupakan jalur magmatis (busur volkanik). Bagian selatan daerah pegunungan selatan mengalami penurunan dan genang laut yang menghasilkan Formasi Bentang, sedangkan di bagian utara terjadi aktivitas gunungapi yang menghasilkan Formasi Beser. Pada Kala Plistosen sampai Resen, geologi Pulau Jawa sama dengan sekarang. Aktivitas gunungapi yang besar terjadi pada permulaan Plistosen yang menghasilkan Formasi Tambakan dan Endapan Gunungapi Muda, sekaligus pusat gunungapi dari selatan berpindah ke tengah Pulau Jawa yang merupakan gejala umum yang terjadi di seluruh gugusan gunungapi Sirkum Pasifik. Secara umum, stratigrafi Cekungan Bogor dapat dilihat pada Gambar

5 Gambar 2.4 Stratigrafi umum Cekungan Bogor (Martodjojo, 1984). Berdasarkan Peta Geologi Lembar Bandung (Silitonga, 1997; Gambar 2.5) lokasi penelitian merupakan daerah batuan terobosan andesit. Gambar 2.5 Peta geologi lokasi penelitian. 12

6 berikut adalah keterangan mengenai satuan batuan yang tercantum pada peta geologi daerah penelitian : Ql, endapan danau (0-125m)-lempung tufaan, batupasir tufaan, kerikil tufaan, membentuk bidang-bidang perlapisan mendatar di beberapa tempat, mengandung kongkresi-kongkresi gamping, sisa-sisa tumbuhan, moluska air tawar dan tulang-tulang binatang bertulang belakang, setempat mengandung sisipan breksi. Qyt, tufa berbatuapung-pasir tufaan, lapili, bom-bom, lava berongga dan kepingan-kepingan andesit-basal padat yang bersudut dengan banyak bongkah-bongkah dan pecahan-pecahan batuapung, berasal dari G. Tangkuban Perahu dan G. Tampomas. Pb, breksi tufaan, lava batupasir, konglomerat-breksi bersifat andesit, basal, lava, batupasir tufaan dan konglomerat, membentuk punggungpunggung tak teratur, kadang-kadang sangat curam. Mtjl, Formasi Cilanang-napal tufaan dan batu gamping masif, tersingkap di tepi Sungai Citarum dekat kampung kapek a, andesit, pada umumnya berupa andesit augit hipersten hornblende dan andesit leuko, dalam masa dasar terdapat banyak kaca dan feldspar. b, basal-basal andesit mengandung olivin, dolerite dan diorite hornblende, terdapat di sebelah barat Cimahi. d, dasit-dasit hornblende, dasit hipersten hornblende Struktur Geologi Pola struktur Jawa menurut Pulonggono dan Martodjojo (1994) dapat dibagi menjadi tiga pola kelururusan dominan (Gambar 2.6) yaitu sebagai berikut : Pola Meratus (timurlaut baratdaya) Pola Sunda (utara-selatan) Pola Jawa (barat-timur) 13

7 Gambar 2.6 Pola struktur Jawa (Pulunggono dan Martodjojo, 1994). Berdasarkan hasil studi pola struktur Jawa tersebut, Pulonggono dan Martodjojo (1994) menyimpulkan bahwa selama Paleogen dan Neogen telah terjadi perubahan tatanan tektonik di Pulau Jawa. Pola Meratus dihasilkan oleh tektonik kompresi berumur Kapur sampai Paleosen (80-52 juta tahun yang lalu). Pola ini terjadi akibat proses tektonik kompresi yaitu penunjaman Lempeng Indo Australia yang menunjam ke bawah Lempeng Eurasia. Arah tumbukan dan penunjaman antara lempeng yang menyudut menjadi penyebab utama sifat sinistral dari sesar-sesar mendatar Pola Meratus. Di Pulau Jawa, sesar-sesar ini diaktifkan kembali pada umurumur yang lebih muda. Pola Sunda (utara-selatan) dihasilkan oleh tektonik regangan. Fasa regangan ini disebabkan oleh penurunan kecepatan yang diakibatkan oleh tumbukan Benua India dan Eurasia yang menimbulkan rollback berumur Eosen-Oligsen Akhir (53-32 juta tahun yang lalu). Pola ini umumnya terdapat di bagian barat wilayah Jawa Barat dan lepas pantai utara Jawa Barat. Penujaman di selatan Jawa yang menerus ke Sumatera menimbulkan tektonik kompresi yang menghasilkan Pola Jawa. Di Jawa Tengah, hampir semua sesar di jalur Serayu Utara dan Selatan mempunyai arah yang sama, yaitu barat-timur. Pola Jawa ini menerus sampai ke Pulau Madura dan di utara Pulau Lombok. Pada Kala Miosen Awal-Pliosen, Cekungan Bogor yang Kala Eosen Tengah-Oligosen merupakan cekungan depan busur magmatik, berubah statusnya menjadi cekungan belakang busur magmatik. 14

8 Pola umum struktur Jawa Barat (Martodjojo, 1984), memperlihatkan pola Jawa dengan arah relatif barat-timur (Gambar 2.7). Struktur geologi di daerah ini berupa sesar, lipatan, kelurusan dan kekar yang dijumpai pada batuan berumur Oligo- Miosen sampai Kuarter. Sesar terdiri dari sesar geser yang umumnya berarah utara selatan dan baratlaut-tenggara. Pola lipatan yang dijumpai berupa antiklin yang berarah baratdaya-timurlaut dan barat-timur. Kelurusan yang dijumpai diduga merupakan sesar berarah baratlaut-tenggara dan baratdaya-timurlaut, umumnya melibatkan batuan berumur Kuarter. Kekar umumnya dijumpai dan berkembang baik pada batuan andesit yang berumur Oligo Miosen-Kuarter. Gambar 2.7 Pola umum struktur Jawa Barat ( Martodjojo, 1984). 2.2 Dasar Teori Pelapukan Batuan Pelapukan Batuan Pengertian pelapukan menurut Geological Society of London (1970) adalah proses ubahan atau rusaknya material batuan dan tanah di permukaan atau dekat permukaan bumi secara fisik dan secara kimia. Proses ini memperlihatkan reaksi dari mineral dan batuan terhadap kondisi lingkungan baru di mana mineral dan batuan tersebut diendapkan. Hal ini terjadi ketika lingkungan tempat mineral dan batuan terbentuk berubah menjadi suatu lingkungan dengan kesetimbangan suhu, tekanan, dan kelembaban yang baru. Proses perubahan dapat dicapai melalui dua proses utama, yaitu pelapukan fisik dan pelapukan kimia. Berlangsungnya kedua proses tersebut dapat dikatakan relatif lambat, tetapi keberadaannya dalam batuan menjadi hal yang cukup penting dari sudut pandang keteknikan (Sadisun dan Bandono, 1998). 15

9 a. Pelapukan Fisik Pelapukan fisik adalah perubahan yang terjadi pada bentuk dan volume dari batuan. Batuan yang semula mempunyai bentuk dan volume besar serta masif, hancur menghasilkan bentuk-bentuk yang lebih kecil (Gambar 2.8), tanpa disertai dengan perubahan komposisi kimia (Judson dkk., 1976). Gambar 2.8 Pelapukan fisik Beberapa contoh pelapukan fisik (Mallory dan Cargo, 1979) : Tekanan Es Pada saat suhu sangat rendah, melewati titik beku, maka air akan membeku menjadi es. Air yang membeku mempunyai volume lebih besar yaitu sekitar sembilan persen. Tekanan dari membesarnya volume ini dapat menghancurkan batuan. Unloading Perubahan fisik atau terurainya batuan yang semula masif dapat terjadi akibat hilangnya tekanan dari beban lapisan di atasnya yang semula menimbunnya akibat proses erosi. Dengan hilangnya beban maka batuan seolah-olah mendapat tekanan dari bawah, yang menjadikan rekahanrekahan sejajar permukaan. Pertumbuhan Kristal Air tanah yang mengalir melalui rekahan-rekahan batuan di bawah permukaan mengandung ion-ion yang dapat mengendap sebagai garam dan terpisah dari larutannya. Pertumbuhan kristal-kristal garam ini menekan celah-celah atau rongga antar butir pada batuan, sehingga batuan tersebut dapat hancur. Wetting and drying Tanah yang mengandung mineral lempung memiliki kemampuan yang baik untuk menyerap cairan. Tanah lempung akan mengembang ketika 16

10 cairan masuk dan akan mengkerut ketika terjadi kekeringan, selanjutnya hal ini dapat mengakibatkan proses disintegrasi. Pengaruh suhu Perbedaan suhu antara siang dan malam tidak dapat menghancurkan batuan. Batuan akan mengalami proses disintegrasi apabila temperatur di lingkungan sekitarnya berubah dengan cepat dan ekstrem. Hal ini menunjukkan bahwa faktor waktu dan perubahan suhu yang ekstrem dan secara periodiklah yang berperan. Pengaruh vegetasi Benih tumbuhan yang hidup pada celah batuan lama-kelamaan akan berkembang menjadi pohon. Akarnya akan membesar, menekan dan menerobos batuan di sekitarnya secara perlahan serta menghancurkan batuannya. b. Pelapukan kimia Pelapukan kimia merupakan proses dekomposisi kimia ataupun mineralogi penyusun batuan. Proses ini mengubah secara kimia mineral-mineral asal (origin minerals) menjadi mineral-mineral hasil ubahan (secondary minerals) (Judson dkk., 1976). Proses ini berlansung sangat lambat, tetapi dapat menurunkan ketahanan batuan terhadap pelapukan fisik (Mallory dan Cargo, 1979). Proses yang menyertai pelapukan kimia antara lain : Hidrolisis Hidrolisis yaitu reaksi yang terjadi antar mineral dengan ion air (H + dan OH - ) yang dapat menghasilkan senyawa baru dan penambahan ph. Proses ini sangat efektif terjadi dalam pelapukan mineral silikat dan alumina silikat. Oksidasi Oksidasi yaitu reaksi antara mineral dengan oksigen. Reaksi ini mengakibatkan batuan atau mineral menjadi kurang rigid dan tidak stabil. Proses ini umum dijumpai pada mineral yang mengandung besi dan aluminium yang akan memberi warna merah atau kuning. Oksidasi efektif terjadi pada daerah tropik dengan intensitas hujan dan suhu yang tinggi. 17

11 Hidrasi Hidrasi yaitu penyerapan molekul air ke dalam struktur kristal suatu mineral. Proses ini berperan dalam mempercepat dekomposisi kimia dengan cara memperbesar struktur kristal. Pelarutan Pelarutan (solution) adalah reaksi yang melibatkan banyak unsur air. Reaksi ini membentuk senyawa asam dan basa yang sangat bervariasi. Pelarutan cenderung bertambah efektif pada daerah yang beriklim panas dan basah Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pelapukan Faktor-faktor yang mempengaruhi pelapukan antara lain (Nelson, 2007) : Jenis dan struktur batuan Pengaruh pelapukan terhadap setiap mineral tidak sama. Mineral yang terbentuk pada saat awal pembentukan magma, suhu dan tekanan masih tinggi, misalnya olivin, akan lebih mudah lapuk dibandingkan dengan kuarsa yang terbentuk paling akhir pada suhu dan tekanan atmosfer. Efektivitas pelapukan dipengaruhi oleh luasnya permukaan. Batuan mempunyai banyak kekar akan lebih cepat lapuk, karena permukaan kontaknya lebih luas dari pada yang masif. Lereng Butiran-butiran mineral yang terlepas akibat pelapukan pada lereng terjal akan mudah tergelincir ke bawah terbawa hujan. Batuan segar muncul kembali untuk proses berikutnya. Demikian terus berlanjut, sehingga pelapukan makin dalam. Iklim Kelembaban dan panas dapat mempercepat reaksi kimia. Daerah beriklim tropis mempunyai kelembaban dan panas yang tinggi. Pelapukan kimia dapat berlangsung secara intensif dan dapat dijumpai sampai kedalaman 100 meter atau lebih. Sedangkan di daerah dingin dan kering, pelapukan sangat lambat dan hanya terjadi di permukaan saja. 18

12 Mahluk hidup Manusia dan binatang dapat mempercepat pelapukan. Untuk meningkatkan kualitas kehidupannya, manusia memotong bukit untuk jalan raya, penambangan dan sebagainya yang pengaruhnya adalah memperluas kontak permukaan untuk pelapukan. Binatang pembuat lubang seperti semut, cacing, dan rayap membuat lubang-lubang dan membawa galiannya ke atas permukaan. Meskipun tampak sangat kecil dan tidak langsung menghancurkan batuan dasarnya, namun dalam jangka waktu yang panjang akan terlihat pengaruhnya. Waktu Pelapukan yang terjadi di permukaan bumi terjadi sepanjang waktu geologi. Hal ini menunjukkan bahwa waktu sangat berperan penting dalam suatu pelapukan Efek Pelapukan Berikut ini adalah efek-efek yang disebabkan oleh pelapukan (Nelson, 2007) : Weathering rind Pada awal derajat pelapukan, batuan akan memperlihatkan bagian permukaan luar yang terlapukkan (weathering rind) dan bagian dalam yang masih segar. Ketebalan weathering rind akan semakin bertambah apabila pelapukan terus berlanjut. Exfoliation Eksfoliasi adalah lapisan tipis seperti kulit atau cangkang di permukaan suatu batuan yang lepas dari tubuh batuan tersebut. Eksfoliasi disebabkan oleh differential stress dalam batuan, akibat bertambahnya volume mineral-mineral sebagai hasil dari pelapukan kimia. Spheroidal weathering Batuan yang telah pecah menjadi beberapa blok-blok akibat rekahan yang intensif, akan memudahkan terjadinya pelapukan kimia. Air yang bergerak pada seluruh sisi permukaan batuan segar, menjadikan batuan segarnya makin kecil dan membulat, dilingkari pelapukannya. Gejala ini dinamakan pelapukan mengulit bawang atau spheroidal weathering. Makin luas 19

13 permukaan kontak antara batuan dan atmosfir, hidrosfir atau biosfir, pelapukan akan makin efektif Karakterisasi Derajat Pelapukan Karakterisasi derajat pelapukan merupakan salah satu faktor penting dalam penyelidikan sifat keteknikan suatu material batuan. Karakterisasi derajat pelapukan dapat dilakukan melalui penyelidikan lapangan dan pengujian laboratorium dengan tujuan untuk memperoleh suatu acuan yang dapat digunakan untuk menentukan perkembangan derajat pelapukan. Pada penelitian ini akan dilakukan karakterisasi berdasarkan karakteristik fisik andesit, analisis petrografi, dan kekuatan andesit pada setiap derajat pelapukan. Pada penelitian ini karakterisasi akan ditekankan pada pengujian kekuatan andesit dengan menggunakan rock strength classification hammer. Pengujian ini sangat sensitif terhadap pelapukan, kekerasan permukaan, kehadiran rekahan mikro, joints, dan diskontinuitas lainnya. (Williams dan Robinson, 1983; McCarrol, 1991; Sumner dan Neil, 2002 op cit. Lifton, 2005) Klasifikasi Derajat Pelapukan Di alam pelapukan berlangsung tanpa kita sadari. Segala sesuatu akan berubah, baik secara fisik maupun secara kimia, terutama yang berada dalam lingkungan atmosfer. Dari sudut pandang keteknikan keberadaan batuan lapuk seringkali menjadi kendala, seperti halnya pada pekerjaan sipil dan operasi penambangan. Batuan yang telah mengalami pelapukan secara umum akan memperlihatkan karakteristik keteknikan yang berbeda apabila dibandingkan dengan batuan segar atau tanah residu. Pendekatan melalui sudut pandang mekanika batuan dan mekanika tanah pada batuan lapuk biasanya akan memperlihatkan adanya perilaku yang khas pada karakteristik sifat keteknikannya (Sadisun dan Bandono, 1998). Pelapukan batuan umumnya akan ditunjukkan pada perubahan warna, kemas atau tekstur, struktur, perbandingan antara batuan dan tanah, serta intensitas rekahan. Perubahan lebih lanjut dapat diteliti melalui pengujian kekuatan dan analisis petrografi. Analisis petrografi bertujuan untuk mengetahui perubahan komposisi mineralogi penyusun batuan akibat pelapukan. 20

14 Sistem klasifikasi keteknikan batuan lapuk pada intinya merupakan suatu usaha untuk mengetahui adanya urutan perubahan akibat pelapukan fisik dan pelapukan kimia yang berperan secara individu atau merupakan suatu proses yang terjadi secara kombinasi (Sadisun dan Bandono, 1998). Suatu sistem klasifikasi dapat disusun berdasarkan karakterisasi setiap derajat pelapukan yang dibuat secara rinci dan sistematik. Salah satunya Chigira dan Yokoyama (2005) yang telah menyusun profil pelapukan non welded ignimbrite di selatan Kyushu, Jepang. Dearman (1978 op cit. Setiadji dkk., 2006) mengemukakan skema klasifikasi batuan lapuk yang dapat digunakan secara luas untuk tujuan keteknikan, baik pada massa maupun material batuan, dengan penyesuaian pada jenis batuan dan kondisi lingkungan batuan itu berada. Skema klasifikasi derajat pelapukan batuan menurut Dearman (1978 op cit. Setiadji dkk., 2006) adalah sebagai berikut (Tabel 2.1) Tabel 2.1 Skema klasifikasi derajat pelapukan (Dearman, 1978 op cit. Setiadji dkk., 2006) 21

15 2.3 Karakteristik Andesit Batuan beku terbentuk dari membekunya magma cair yang terdesak ke permukaan. Sesudah mencapai ke permukaan melewati rekahan-rekahan pada kulit bumi (fissure eruption) atau melalui gunung berapi (volcanic eruption), sebagian dari magma cair tersebut mendingin di permukaan bumi dan membatu. Kadang-kadang magma tersebut berhenti bergerak sebelum sampai ke permukaan bumi dan mendingin di dalam kulit bumi dan membentuk batuan beku dalam atau plutonic rocks. Bowen (1922 op cit. Judson dkk., 1976) berhasil menerangkan hubungan antara kecepatan mendingin dari magma dengan pembentukan bermacam-macam tipe batuan. Keterangan ini dikenal dengan Prinsip Reaksi Bowen yang menggambarkan urut-urutan terbentuknya mineral batuan akibat mendinginnya magma. Andesit adalah salah satu jenis batuan beku volkanik yang bersumber dari magma primer atau magma sekunder yang bersifat menengah (intermediate). Berdasarkan Hall (1987), andesit berasosiasi dengan basal, dasit, dan riolit pada daerah busur kepulauan, batas lempeng benua yang masih bergerak, dan ancient volcanism orogenic belt. Kenampakan andesit (Mottana dkk., 1977) adalah berwarna abu-abu hingga abu-abu gelap atau kehijauan, terutama ketika masa dasarnya didominasi oleh gelas. Secara umum bertekstur porfiritik, fenokrisnya berupa plagioklas dan biotit yang tertanam dalam masa dasar yang lebih halus. Masa dasar dibentuk oleh plagioklas anhedral yang hanya dapat diorientasikan pada kondisi cair dan pada umumnya terdapat xenolith. Berdasarkan Ehlers dan Blatt (1982), secara umum andesit memiliki tekstur porfiritik dan massa dasar holokristalin. Struktur batuan yang terdapat pada batuan andesit adalah vesikuler, amigdaloid, trakhitik, dan ofitik atau subofitik. Deskripsi petrografi andesit menunjukkan kehadiran plagioklas sebagai fenokris dengan komposisi rata-rata sekitar An40, bervariasi dari anortit hingga oligoklas. Plagioklas pada masa dasar berupa mikrolith yang bersifat lebih asam dari fenokrisnya. Piroksen terdiri dari diopsid augit, augit, pigeonit atau hipersten yang hadir sebagai massa dasar dan fenokris. Hornblende atau oksihornblende hadir sebagai fenokris prismatik. 22

BAB III TATANAN GEOLOGI REGIONAL

BAB III TATANAN GEOLOGI REGIONAL BAB III TATANAN GEOLOGI REGIONAL 3.1 Fisiografi Jawa Barat Van Bemmelen (1949) membagi zona fisiografi Jawa Barat menjadi empat bagian (Gambar 3.1). Pembagian zona yang didasarkan pada aspek-aspek fisiografi

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Jawa Barat dapat dikelompokkan menjadi 6 zona fisiografi yang berarah barat-timur (van Bemmelen, 1949) (Gambar 2.1). Zona-zona tersebut dari utara ke selatan yaitu:

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 GEOGRAFIS Jawa bagian barat secara geografis terletak diantara 105 0 00-108 0 65 BT dan 5 0 50 8 0 00 LS dengan batas-batas wilayahnya sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi dan Geomorfologi Regional Secara fisiografis, daerah Jawa Barat dibagi menjadi 6 zona yang berarah timur-barat ( van Bemmelen, 1949 ). Zona tersebut dari arah utara

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 FISIOGRAFI Menurut van Bemmelen (1949), fisiografi Jawa Barat dibagi menjadi enam zona, yaitu Zona Dataran Aluvial Utara Jawa Barat, Zona Antiklinorium Bogor, Zona Gunungapi

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Secara umum wilayah utara Jawa Barat merupakan daerah dataran rendah, sedangkan kawasan selatan merupakan bukit-bukit dengan sedikit pantai serta dataran tinggi.

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Secara umum Jawa Barat dibagi menjadi 3 wilayah, yaitu wilayah utara, tengah, dan selatan. Wilayah selatan merupakan dataran tinggi dan pantai, wilayah tengah merupakan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Regional Fisiografi Jawa Barat dibagi menjadi empat bagian besar (van Bemmelen, 1949): Dataran Pantai Jakarta (Coastal Plain of Batavia), Zona Bogor (Bogor Zone),

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Regional Fisiografi Jawa Barat dapat dikelompokkan menjadi 6 zona yang berarah barattimur (van Bemmelen, 1949 dalam Martodjojo, 1984). Zona-zona ini dari utara ke

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL Indonesia merupakan tempat pertemuan antara tiga lempeng, yaitu Lempeng Eurasia yang relatif diam, Lempeng Pasifik Barat yang relatif bergerak ke arah baratlaut, dan Lempeng Hindia

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografis Regional Secara fisiografis, Van Bemmelen (1949) membagi Jawa Barat menjadi 4 zona, yaitu Zona Dataran Pantai Jakarta, Zona Antiklinorium Bandung, Zona Depresi Bandung,

Lebih terperinci

GEOLOGI REGIONAL. Gambar 2.1 Peta Fisiografi Jawa Barat (van Bemmelen, 1949)

GEOLOGI REGIONAL. Gambar 2.1 Peta Fisiografi Jawa Barat (van Bemmelen, 1949) BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Fisiografi Jawa Barat menurut van Bemmelen (1949) terbagi menjadi enam zona (Gambar 2.1), yaitu : 1. Zona Gunungapi Kuarter 2. Zona Dataran Aluvial Jawa Barat Utara

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Jawa Barat Fisiografi Jawa Barat (Gambar 2.1), berdasarkan sifat morfologi dan tektoniknya dibagi menjadi empat bagian (Van Bemmelen, 1949 op. cit. Martodjojo, 1984),

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Menurut Van Bemmelen (1949), secara fisiografis dan struktural daerah Jawa Barat dapat di bagi menjadi 4 zona, yaitu Dataran Pantai Jakarta, Zona Bogor, Zona Bandung

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Secara fisiografis, van Bemmelen (1949) membagi Jawa Barat menjadi 4 bagian yaitu Dataran Pantai Jakarta, Zona Bogor, Zona Bandung, dan Zona Pegunungan Selatan Jawa

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 FISIOGRAFI JAWA BARAT Van Bemmelen (1949) membagi fisiografi Jawa Barat dibagi menjadi 4 zona, yaitu Dataran Pantai Jakarta, Zona Bogor, Zona Bandung, dan Zona Pegunungan Selatan.

Lebih terperinci

BAB II Geologi Regional

BAB II Geologi Regional BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Fisiografi Jawa Barat menurut van Bemmelen (1949) terbagi menjadi empat zona, yaitu : 1. Zona Dataran Pantai Jakarta (Coastal Plains of Batavia) 2. Zona Bogor (Bogor

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Jawa Barat Van Bemmelen (1949) membagi fisiografi Jawa Barat menjadi 4 zona, yaitu: 1. Dataran Pantai Jakarta. 2. Zona Bogor 3. Zona Depresi Tengah Jawa Barat ( Zona

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Menurut Van Bemmelen (1949), secara fisiografis dan struktural daerah Jawa Barat dapat di bagi menjadi 4 zona, yaitu Dataran Pantai Jakarta, Zona Bogor, Zona Bandung

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Van Bemmelen (1949) secara fisiografi membagi Jawa Barat menjadi 6 zona berarah barat-timur (Gambar 2.1) yaitu: Gambar 2.1. Peta Fisiografi Jawa Barat (van Bemmelen,

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL II.2 Fisiografi Regional Secara fisiografis, daerah Jawa Barat dibagi menjadi 4 zona (Gambar 2.1), pembagian zona tersebut berdasarkan sifat-sifat morfologi dan tektoniknya (van

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Menurut van Bemmelen (1949), secara fisiografis daerah Jawa Barat dibagi menjadi enam zona, yaitu Zona Dataran Aluvial Jawa Barat Utara, Zona Antiklinorium Bogor,

Lebih terperinci

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL BAB 2 GEOLOGI REGIONAL 2.1 FISIOGRAFI Secara fisiografis, daerah Jawa Barat dibagi menjadi 6 zona yang berarah timurbarat (Van Bemmelen, 1949). Zona tersebut dari arah utara ke selatan meliputi: 1. Zona

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Van Bemmelen (1949) membagi fisiografi Jawa Barat menjadi 4 bagian besar zona fisiografi (Gambar II.1) yaitu: Zona Bogor, Zona Bandung, Dataran Pantai Jakarta dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 GEOLOGI REGIONAL 2.1.1. FISIOGRAFI Secara fisiografis, daerah Jawa Barat dibagi menjadi empat zona yang berarah timurbarat (van Bemmelen, 1949). Zona tersebut dari arah utara

Lebih terperinci

BAB 2 Tatanan Geologi Regional

BAB 2 Tatanan Geologi Regional BAB 2 Tatanan Geologi Regional 2.1 Geologi Umum Jawa Barat 2.1.1 Fisiografi ZONA PUNGGUNGAN DEPRESI TENGAH Gambar 2.1 Peta Fisiografi Jawa Barat (van Bemmelen, 1949). Daerah Jawa Barat secara fisiografis

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Jawa Barat Daerah Jawa Barat memiliki beberapa zona fisiografi akibat pengaruh dari aktifitas geologi. Tiap-tiap zona tersebut dapat dibedakan berdasarkan morfologi

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL Indonesia merupakan tempat pertemuan antara tiga lempeng besar, yaitu Lempeng Eurasia yang relatif diam, Lempeng Pasifik yang relatif bergerak ke arah Barat Laut, dan Lempeng Hindia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.3 Batasan Masalah Penelitian ini dibatasi pada aspek geologi serta proses sedimentasi yang terjadi pada daerah penelitian.

BAB I PENDAHULUAN. 1.3 Batasan Masalah Penelitian ini dibatasi pada aspek geologi serta proses sedimentasi yang terjadi pada daerah penelitian. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tugas Akhir mahasiswa merupakan suatu tahap akhir yang wajib ditempuh untuk mendapatkan gelar kesarjanaan strata satu di Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Ilmu

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL 1 BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Daerah Penelitian Penelitian ini dilakukan di daerah Subang, Jawa Barat, untuk peta lokasi daerah penelitiannya dapat dilihat pada Gambar 2.1. Gambar 2.1 Peta Lokasi

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Jawa Barat Pada dasarnya Van Bemmelen (1949) membagi fisiografi Jawa Barat menjadi empat bagian (Gambar 2.1) berdasarkan sifat morfologi dan tektoniknya, yaitu: a.

Lebih terperinci

BAB II TATANAN GEOLOGI DAN HIDROGEOLOGI REGIONAL

BAB II TATANAN GEOLOGI DAN HIDROGEOLOGI REGIONAL BAB II TATANAN GEOLOGI DAN HIDROGEOLOGI REGIONAL II.1 Tektonik Regional Daerah penelitian terletak di Pulau Jawa yang merupakan bagian dari sistem busur kepulauan Sunda. Sistem busur kepulauan ini merupakan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Geografis Propinsi Jawa Tengah secara geografis terletak diantara 108 30-111 30 BT dan 5 40-8 30 LS dengan batas batas sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa, sebelah selatan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 GEOGRAFIS Propinsi Jawa Barat secara geografis terletak diantara 105 00 00-109 00 00 BT dan 5 50 00-7 50 00 LS. Secara administratif, Jawa Barat di bagian utara berbatasan dengan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 FISIOGRAFI REGIONAL Jawa barat dibagi atas beberapa zona fisiografi yang dapat dibedakan satu sama lain berdasarkan aspek geologi dan struktur geologinya.

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Fisiografi Jawa Barat dibagi menjadi enam zona berarah barat-timur (van Bemmelen, 1949). Zona-zona ini (Gambar 2.1) dari utara ke selatan yaitu: Gambar 2.1. Peta

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Regional Secara fisiografis, daerah Jawa Tengah oleh van Bemmelen, (1949) dibagi menjadi 6 zona fisiografi, yaitu: Dataran Aluvial Jawa Utara, Gunungapi Kuarter,

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Geografis Regional Jawa Tengah berbatasan dengan Laut Jawa di sebelah utara, Samudra Hindia dan Daerah Istimewa Yogyakarta di sebelah selatan, Jawa Barat di sebelah barat, dan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 FISIOGRAFI REGIONAL Kabupaten Brebes terletak di Jawa Tengah bagian baratlaut. Fisiografi Jawa Tengah berdasarkan Bemmelen (1949) terbagi atas 6 zona (Gambar 2.1), yaitu: 1.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Secara administratif, daerah penelitian termasuk dalam wilayah Jawa Barat. Secara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Secara administratif, daerah penelitian termasuk dalam wilayah Jawa Barat. Secara BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lokasi Daerah Penelitian Secara administratif, daerah penelitian termasuk dalam wilayah Jawa Barat. Secara geografis, daerah penelitian terletak dalam selang koordinat: 6.26-6.81

Lebih terperinci

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL BAB 2 GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Secara fisiografis, menurut van Bemmelen (1949) Jawa Timur dapat dibagi menjadi 7 satuan fisiografi (Gambar 2), satuan tersebut dari selatan ke utara adalah: Pegunungan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 FISIOGRAFI REGIONAL Berdasarkan kesamaan morfologi dan tektonik, Van Bemmelen (1949) membagi daerah Jawa Timur dan Madura menjadi tujuh zona, antara lain: 1. Gunungapi Kuarter

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Regional Kabupaten Brebes terletak di Jawa Tengah bagian barat. Fisiografi Jawa Tengah berdasarkan Van Bemmelen (1949) terbagi atas 6 zona (Gambar 2.1), yaitu: 1.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Fisiografi Jawa Barat Fisiografi Jawa Barat oleh van Bemmelen (1949) pada dasarnya dibagi menjadi empat bagian besar, yaitu Dataran Pantai Jakarta, Zona Bogor, Zona Bandung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Cekungan Bogor merupakan cekungan yang terisi oleh endapan gravitasi yang memanjang di tengah-tengah Provinsi Jawa Barat. Cekungan ini juga merupakan salah satu kunci

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL A. Fisiografi yaitu: Jawa Bagian Barat terbagi menjadi 4 zona fisiografi menurut van Bemmelen (1949), 1. Zona Dataran Aluvial Utara Jawa 2. Zona Antiklinorium Bogor atau Zona Bogor

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Regional Daerah penelitian berada di Pulau Jawa bagian barat yang secara fisiografi menurut hasil penelitian van Bemmelen (1949), dibagi menjadi enam zona fisiografi

Lebih terperinci

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL BAB 2 GEOLOGI REGIONAL 2.1 Struktur Regional Terdapat 4 pola struktur yang dominan terdapat di Pulau Jawa (Martodjojo, 1984) (gambar 2.1), yaitu : Pola Meratus, yang berarah Timurlaut-Baratdaya. Pola Meratus

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL II.1 Fisiografi Menurut van Bemmelen (1949), Jawa Timur dibagi menjadi enam zona fisiografi dengan urutan dari utara ke selatan sebagai berikut (Gambar 2.1) : Dataran Aluvial Jawa

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Van Bemmelen (1949), lokasi penelitian masuk dalam fisiografi

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Van Bemmelen (1949), lokasi penelitian masuk dalam fisiografi 4 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lokasi Penelitian Menurut Van Bemmelen (1949), lokasi penelitian masuk dalam fisiografi Rembang yang ditunjukan oleh Gambar 2. Gambar 2. Lokasi penelitian masuk dalam Fisiografi

Lebih terperinci

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Secara umum, daerah penelitian memiliki morfologi berupa dataran dan perbukitan bergelombang dengan ketinggian

Lebih terperinci

BAB V SINTESIS GEOLOGI

BAB V SINTESIS GEOLOGI BAB V INTEI GEOLOGI intesis geologi merupakan kesimpulan suatu kerangka ruang dan waktu yang berkesinambungan mengenai sejarah geologi. Dalam merumuskan sintesis geologi, diperlukan semua data primer maupun

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1. Fisiografi Regional Van Bemmelen (1949) membagi Pulau Sumatera menjadi 6 zona fisiografi, yaitu: 1. Zona Paparan Sunda 2. Zona Dataran Rendah dan Berbukit 3. Zona Pegunungan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Geologi Regional 2. 1. 1 Fisiografi Regional Menurut van Bemmelen (1949), secara fisiografis daerah Jawa Barat dibagi menjadi enam zona, yaitu Zona Dataran Aluvial Jawa Barat

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Secara fisiografi, Pulau Jawa berada dalam busur kepulauan yang berkaitan dengan kegiatan subduksi Lempeng Indo-Australia dibawah Lempeng Eurasia dan terjadinya jalur

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 GEOLOGI REGIONAL 2.1.1 Fisiografi Menurut Van Bemmelen (1949), secara fisiografis daerah Jawa Barat dibagi menjadi enam zona, yaitu Zona Dataran Aluvial Jawa Barat Utara, Zona

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Geografi Regional Secara geografis, Propinsi Jawa Tengah terletak di antara 108 30-111 30 BT dan 5 40-8 30 LS dengan luas wilayah 32.548 km² (25% dari luas Pulau Jawa). Jawa

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1. Fisiografi Regional Menurut van Bemmelen (1949), secara fisiografis daerah Jawa Timur dibagi menjadi enam zona fisiografis. Pembagian zona tersebut dari Utara ke Selatan meliputi

Lebih terperinci

berukuran antara 0,05-0,2 mm, tekstur granoblastik dan lepidoblastik, dengan struktur slaty oleh kuarsa dan biotit.

berukuran antara 0,05-0,2 mm, tekstur granoblastik dan lepidoblastik, dengan struktur slaty oleh kuarsa dan biotit. berukuran antara 0,05-0,2 mm, tekstur granoblastik dan lepidoblastik, dengan struktur slaty oleh kuarsa dan biotit. (a) (c) (b) (d) Foto 3.10 Kenampakan makroskopis berbagai macam litologi pada Satuan

Lebih terperinci

BAB II TATANAN GEOLOGI REGIONAL

BAB II TATANAN GEOLOGI REGIONAL BAB II TATANAN GEOLOGI REGIONAL II.1 FISIOGRAFI DAN MORFOLOGI Secara fisiografis, daerah Jawa Tengah dibagi menjadi lima zona yang berarah timur-barat (van Bemmelen, 1949). Zona tersebut dari arah utara

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sumatera terletak di sepanjang tepi Barat Daya Paparan Sunda, pada perpanjangan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sumatera terletak di sepanjang tepi Barat Daya Paparan Sunda, pada perpanjangan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Struktur Geologi Sumatera terletak di sepanjang tepi Barat Daya Paparan Sunda, pada perpanjangan Lempeng Eurasia ke daratan Asia Tenggara dan merupakan bagian dari Busur Sunda.

Lebih terperinci

BAB II TATANAN GEOLOGI

BAB II TATANAN GEOLOGI BAB II TATANAN GEOLOGI 2.1 Geologi Regional 2.1.1 Fisiografi dan Morfologi Batu Hijau Pulau Sumbawa bagian baratdaya memiliki tipe endapan porfiri Cu-Au yang terletak di daerah Batu Hijau. Pulau Sumbawa

Lebih terperinci

BAB 2 TATANAN GEOLOGI

BAB 2 TATANAN GEOLOGI BAB 2 TATANAN GEOLOGI Secara administratif daerah penelitian termasuk ke dalam empat wilayah kecamatan, yaitu Kecamatan Sinjai Timur, Sinjai Selatan, Sinjai Tengah, dan Sinjai Utara, dan temasuk dalam

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Bentukan topografi dan morfologi daerah penelitian adalah interaksi dari proses eksogen dan proses endogen (Thornburry, 1989). Proses eksogen adalah proses-proses

Lebih terperinci

BAB VI SEJARAH GEOLOGI

BAB VI SEJARAH GEOLOGI BAB VI SEJARAH GEOLOGI Sejarah geologi daerah penelitian dimulai dengan terjadinya penurunan pada Cekungan Bogor (Martodjojo, 1984) pada kala Oligosen Miosen, sehingga lingkungan daerah Cekungan Bogor

Lebih terperinci

3.2.3 Satuan lava basalt Gambar 3-2 Singkapan Lava Basalt di RCH-9

3.2.3 Satuan lava basalt Gambar 3-2 Singkapan Lava Basalt di RCH-9 3.2.2.4 Mekanisme pengendapan Berdasarkan pemilahan buruk, setempat dijumpai struktur reversed graded bedding (Gambar 3-23 D), kemas terbuka, tidak ada orientasi, jenis fragmen yang bervariasi, massadasar

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI Bentang alam dan morfologi suatu daerah terbentuk melalui proses pembentukan secara geologi. Proses geologi itu disebut dengan proses geomorfologi. Bentang

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA GEOLOGI

BAB II KERANGKA GEOLOGI BAB II KERANGKA GEOLOGI 2.1 Tatanan Geologi Daerah penelitian merupakan batas utara dari cekungan Bandung. Perkembangan geologi Cekungan Bandung tidak lepas dari proses tektonik penunjaman kerak samudra

Lebih terperinci

BAB II TATANAN GEOLOGI REGIONAL

BAB II TATANAN GEOLOGI REGIONAL BAB II TATANAN GEOLOGI REGIONAL 2.1 Geomorfologi Secara fisiografis, Jawa Tengah dibagi menjadi enam satuan, yaitu: Satuan Gunungapi Kuarter, Dataran Aluvial Jawa Utara, Antiklinorium Bogor - Serayu Utara

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Geografis Regional Secara geografis Propinsi Jawa Tengah terletak di antara 108 30-111 30 BT dan 5 40-8 30 LS dengan luas wilayah 32.548 km² (25% dari luas Pulau Jawa). Adapun

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1. Fisiografi Regional Van Bemmelen (1949) membagi Pulau Sumatera menjadi 6 zona fisiografi, yaitu: 1. Zona Jajaran Barisan 2. Zona Semangko 3. Pegunugan Tigapuluh 4. Kepulauan

Lebih terperinci

BAB V SEJARAH GEOLOGI

BAB V SEJARAH GEOLOGI BAB V SEJARAH GEOLOGI Berdasarkan data-data geologi primer yang meliputi data lapangan, dan data sekunder yang terdiri dari ciri litologi, umur dan lingkungan pengendapan, serta pola struktur dan mekanisme

Lebih terperinci

Bab II Geologi Regional

Bab II Geologi Regional BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1. Geologi Regional Kalimantan Kalimantan merupakan daerah yang memiliki tektonik yang kompleks. Hal tersebut dikarenakan adanya interaksi konvergen antara 3 lempeng utama, yakni

Lebih terperinci

Geologi Daerah Tajur dan Sekitarnya, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor Propinsi Jawa Barat Tantowi Eko Prayogi #1, Bombom R.

Geologi Daerah Tajur dan Sekitarnya, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor Propinsi Jawa Barat Tantowi Eko Prayogi #1, Bombom R. Geologi Daerah Tajur dan Sekitarnya, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor Propinsi Jawa Barat Tantowi Eko Prayogi #1, Bombom R. Suganda #2 # Fakultas Teknik Geologi, Universitas Padjadjaran Jalan Bandung-Sumedang

Lebih terperinci

BAB II STRATIGRAFI REGIONAL

BAB II STRATIGRAFI REGIONAL BAB II STRATIGRAFI REGIONAL 2.1 FISIOGRAFI JAWA TIMUR BAGIAN UTARA Cekungan Jawa Timur bagian utara secara fisiografi terletak di antara pantai Laut Jawa dan sederetan gunung api yang berarah barat-timur

Lebih terperinci

Metamorfisme dan Lingkungan Pengendapan

Metamorfisme dan Lingkungan Pengendapan 3.2.3.3. Metamorfisme dan Lingkungan Pengendapan Secara umum, satuan ini telah mengalami metamorfisme derajat sangat rendah. Hal ini dapat ditunjukkan dengan kondisi batuan yang relatif jauh lebih keras

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Geomorfologi Kondisi geomorfologi pada suatu daerah merupakan cerminan proses alam yang dipengaruhi serta dibentuk oleh proses

Lebih terperinci

dan Satuan Batulempung diendapkan dalam lingkungan kipas bawah laut model Walker (1978) (Gambar 3.8).

dan Satuan Batulempung diendapkan dalam lingkungan kipas bawah laut model Walker (1978) (Gambar 3.8). dan Satuan Batulempung diendapkan dalam lingkungan kipas bawah laut model Walker (1978) (Gambar 3.8). Gambar 3.7 Struktur sedimen pada sekuen Bouma (1962). Gambar 3.8 Model progradasi kipas bawah laut

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Morfologi Umum Daerah Penelitian Daerah penelitian berada pada kuasa HPH milik PT. Aya Yayang Indonesia Indonesia, yang luasnya

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Secara fisiografis, daerah Jawa Barat dibagi menjadi 6 zona yang berarah timur-barat (van Bemmelen, 1949). Zona tersebut dari arah utara ke selatan meliputi: 1. Zona

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ibukota Jawa Barat berada disekitar gunung Tangkuban Perahu (Gambar 1).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ibukota Jawa Barat berada disekitar gunung Tangkuban Perahu (Gambar 1). BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lokasi Daerah Penelitian Lokasi daerah penelitain berada di pulau Jawa bagian barat terletak di sebelah Utara ibukota Jawa Barat berada disekitar gunung Tangkuban Perahu (Gambar

Lebih terperinci

BAB II TATANAN GEOLOGI

BAB II TATANAN GEOLOGI BAB II TATANAN GEOLOGI Secara morfologi, Patahan Lembang merupakan patahan dengan dinding gawir (fault scarp) menghadap ke arah utara. Hasil interpretasi kelurusan citra SPOT menunjukkan adanya kelurusan

Lebih terperinci

BAB II Geomorfologi. 1. Zona Dataran Pantai Jakarta,

BAB II Geomorfologi. 1. Zona Dataran Pantai Jakarta, BAB II Geomorfologi II.1 Fisiografi Fisiografi Jawa Barat telah dilakukan penelitian oleh Van Bemmelen sehingga dapat dikelompokkan menjadi 6 zona yang berarah barat-timur (van Bemmelen, 1949 op.cit Martodjojo,

Lebih terperinci

KONTROL STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP SEBARAN ENDAPAN KIPAS BAWAH LAUT DI DAERAH GOMBONG, KEBUMEN, JAWA TENGAH

KONTROL STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP SEBARAN ENDAPAN KIPAS BAWAH LAUT DI DAERAH GOMBONG, KEBUMEN, JAWA TENGAH KONTROL STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP SEBARAN ENDAPAN KIPAS BAWAH LAUT DI DAERAH GOMBONG, KEBUMEN, JAWA TENGAH Asmoro Widagdo*, Sachrul Iswahyudi, Rachmad Setijadi, Gentur Waluyo Teknik Geologi, Universitas

Lebih terperinci

BAB III STRATIGRAFI 3. 1 Stratigrafi Regional Pegunungan Selatan

BAB III STRATIGRAFI 3. 1 Stratigrafi Regional Pegunungan Selatan BAB III STRATIGRAFI 3. 1 Stratigrafi Regional Pegunungan Selatan Stratigrafi regional Pegunungan Selatan dibentuk oleh endapan yang berumur Eosen-Pliosen (Gambar 3.1). Menurut Toha, et al. (2000) endapan

Lebih terperinci

Foto III.14 Terobosan andesit memotong satuan batuan piroklastik (foto diambil di Sungai Ringinputih menghadap ke baratdaya)

Foto III.14 Terobosan andesit memotong satuan batuan piroklastik (foto diambil di Sungai Ringinputih menghadap ke baratdaya) Foto III.14 Terobosan andesit memotong satuan batuan piroklastik (foto diambil di Sungai Ringinputih menghadap ke baratdaya) 3.2.2.1 Penyebaran Satuan batuan ini menempati 2% luas keseluruhan dari daerah

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL Cekungan Jawa Barat Utara merupakan cekungan sedimen Tersier yang terletak tepat di bagian barat laut Pulau Jawa (Gambar 2.1). Cekungan ini memiliki penyebaran dari wilayah daratan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Fisiografi Jawa Barat Secara fisiografi, van Bemmelen (1949) membagi daerah Jawa Barat menjadi empat zona (Gambar 2.1), yaitu : 1. Zona Dataran Pantai Jakarta (Alluvial Plains

Lebih terperinci

RESUME HASIL KEGIATAN PEMETAAN GEOLOGI TEKNIK PULAU LOMBOK SEKALA 1:

RESUME HASIL KEGIATAN PEMETAAN GEOLOGI TEKNIK PULAU LOMBOK SEKALA 1: RESUME HASIL KEGIATAN PEMETAAN GEOLOGI TEKNIK PULAU LOMBOK SEKALA 1:250.000 OLEH: Dr.Ir. Muhammad Wafid A.N, M.Sc. Ir. Sugiyanto Tulus Pramudyo, ST, MT Sarwondo, ST, MT PUSAT SUMBER DAYA AIR TANAH DAN

Lebih terperinci

Umur GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Umur GEOLOGI DAERAH PENELITIAN Foto 3.7. Singkapan Batupasir Batulempung A. SD 15 B. SD 11 C. STG 7 Struktur sedimen laminasi sejajar D. STG 3 Struktur sedimen Graded Bedding 3.2.2.3 Umur Satuan ini memiliki umur N6 N7 zonasi Blow (1969)

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI

BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI 4.1 Struktur Sesar Struktur sesar yang dijumpai di daerah penelitian adalah Sesar Naik Gunungguruh, Sesar Mendatar Gunungguruh, Sesar Mendatar Cimandiri dan Sesar Mendatar

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL Daerah penelitian ini telah banyak dikaji oleh peneliti-peneliti pendahulu, baik meneliti secara regional maupun skala lokal. Berikut ini adalah adalah ringkasan tinjauan literatur

Lebih terperinci

Gambar 3.6 Model progradasi kipas laut dalam (Walker, R. G., 1978).

Gambar 3.6 Model progradasi kipas laut dalam (Walker, R. G., 1978). (Satuan Breksi-Batupasir) adalah hubungan selaras dilihat dari kemenerusan umur satuan dan kesamaan kedudukan lapisan batuannya. Gambar 3.5 Struktur sedimen pada sekuen Bouma (Bouma, A. H., 1962). Gambar

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah Leuwigajah TPA Leuwigajah mulai dibangun pada tahun 1986 oleh Pemerintah Kabupaten Bandung karena dinilai cukup cocok untuk dijadikan TPA karena

Lebih terperinci

BAB II TATANAN GEOLOGI REGIONAL

BAB II TATANAN GEOLOGI REGIONAL BAB II TATANAN GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi dan Morfologi Secara fisiografis, daerah Jawa Tengah dibagi menjadi 4 zona yang berarah timur-barat (van Bemmelen, 1949). Zona tersebut dari arah utara ke

Lebih terperinci

BAB IV Kajian Sedimentasi dan Lingkungan Pengendapan

BAB IV Kajian Sedimentasi dan Lingkungan Pengendapan BAB IV KAJIAN SEDIMENTASI DAN LINGKUNGAN PENGENDAPAN 4.1 Pendahuluan Kajian sedimentasi dilakukan melalui analisis urutan vertikal terhadap singkapan batuan pada lokasi yang dianggap mewakili. Analisis

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL II.1 Fisiografi dan Morfologi Van Bemmelen (1949), membagi fisiografi Jawa Barat menjadi empat zona, yaitu Pegunungan selatan Jawa Barat (Southern Mountain), Zona Bandung (Central

Lebih terperinci

Geologi Daerah Sirnajaya dan Sekitarnya, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat 27

Geologi Daerah Sirnajaya dan Sekitarnya, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat 27 memiliki ciri-ciri berwarna abu-abu gelap, struktur vesikuler, tekstur afanitik porfiritik, holokristalin, dengan mineral terdiri dari plagioklas (25%) dan piroksen (5%) yang berbentuk subhedral hingga

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Lampung Selatan tepatnya secara geografis, terletak antara 5 o 5'13,535''-

II. TINJAUAN PUSTAKA. Lampung Selatan tepatnya secara geografis, terletak antara 5 o 5'13,535''- 4 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Lokasi Penelitian Tempat penelitian secara administratif terletak di Gunung Rajabasa, Kalianda, Lampung Selatan tepatnya secara geografis, terletak antara 5 o 5'13,535''-

Lebih terperinci

BAB II TATANAN GEOLOGI

BAB II TATANAN GEOLOGI BAB II TATANAN GEOLOGI 2.1 Geologi Regional 2.1.1 Fisiografi Thorp dkk. (1990; dalam Suwarna dkk., 1993) membagi fisiografi wilayah Singkawang, Kalimantan Barat, menjadi 5 zona fisiografi (Gambar 2.1,

Lebih terperinci