Bagian II: Memahami Mekanisme Peradilan Non-Negara: Tipologi & Proses Sengketa

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Bagian II: Memahami Mekanisme Peradilan Non-Negara: Tipologi & Proses Sengketa"

Transkripsi

1 Foto : Taufik Rinaldi Bagian II: Memahami Mekanisme Peradilan Non-Negara: Tipologi & Proses Sengketa Untuk memperdalam pemahaman mengenai non-state justice di Indonesia, bagian ini menguraikan secara terperinci tipologi dan proses sengketa. Bagian ini dibagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama memaparkan tipologi, para pelaku dan preferensi dalam penyelesaian sengketa. Bagian ini menggarisbawahi pentingnya non-state justice dalam menyelesaikan sengketa di Indonesia dan keterkaitan erat antara keadilan, konflik dan kemiskinan. Bagian kedua menguraikan proses penyelesaian sengketa informal - prosedur, norma-norma dan pendorong resolusi. Bagian ketiga menguji persinggungan antara sistem peradilan formal dan informal, mengeksplorasi kapan dan mengapa kedua sistem berinteraksi, beserta dampaknya. 11

2 A. Peradilan Non-Negara dalam Praktek: Tipologi Sengketa, Pelaku, dan Institusi Temuan Utama & Implikasi Kebijakan Tipologi Sengketa. Kriminalitas, konflik tanah, kawin/cerai dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) adalah jenis perselisihan yang paling sering terjadi. Kasus tanah merupakan yang paling sukar untuk dipecahkan dan paling rentan memicu kekerasan. Peradilan non-negara adalah forum penyelesaian sengketa utama. Kepala dan perangkat desa, tokoh masyarakat, pemuka adat dan polisi adalah pelaku yang paling sering diminta bantuan dalam hal penyelesaian sengketa. Persidangan di pengadilan dan pengacara hampir tidak libat sama sekali, bahkan untuk kasus pidana. Perempuan dan Minoritas kurang terwakili. Pelaku penyelesaian sengketa biasanya laki-laki yang berumur setengah baya atau sudah tua. Hampir tidak ada perempuan yang berperan sebagai pengambil keputusan dalam lembaga desa dan etnis minoritas juga nyaris tidak terwakilkan. Kesadaran hukum. Orang yang memahami hak mereka lebih cenderung percaya pada dan menggunakan sistem hukum formal. Ini berarti kesadaran hukum membuka pilihan dan megalihkan ketidakseimbangan kekuasaan sesuai dengan kehendak mereka. Variasi regional. Jenis sengketa dan pola resolusi berbeda-beda di seluruh Indonesia. Oleh karena itu, suatu strategi untuk menjangkau dan memperkuat peradilan non-negara perlu disesuaikan dengan kondisi lokal. Tipologi Perselisihan Sembilan puluh persen kasus yang masuk adalah kasus tanah. Kepala Desa, Tamilou, Pulau Seram, Maluku. Seperti ditunjukkan di Gambar 1, kriminalitas, konflik tanah, masalah hukum perdata (kawin, cerai dan warisan) dan KDRT secara konsisten dilaporkan oleh anggota masyarakat sebagai jenis sengketa yang paling sering terjadi pada tingkat desa selama dua tahun terakhir. Tanpa perkecualian di semua lokasi penelitian, sengketa tanah dilaporkan sebagai masalah yang paling rumit diselesaikan dan paling mungkin memicu kekerasan. Perempuan biasanya melaporkan permasalahan hukum pribadi (pernikahan, perceraian dan warisan) sebagai permasalahan hukum utama mereka. Pola umum sengketa ini dan sengketa tanah adalah persaingan atas penguasaan sumber daya yang sangat penting terhadap kesejahteraan dan ekonomi. Banyak kasus warisan dan perceraian berkaitan dengan tanah dan pembagian harta kekayaan. 12

3 Gambar 1: Sengketa yang dilaporkan terjadi di desa responden selama dua tahun terakhir Persentase Sumber: Survei GDS Walaupun tindak pidana menjadi sengketa yang paling sering terjadi secara nasional, kejadian sengketa tanah meningkat menjadi 19 persen di luar Pulau Jawa, dimana masyarakat pedesaan lebih sering berhadapan dengan perusahaan perkebunan, kehutanan dan pertambangan, sebuah sumber utama ketegangan. Tabel di bawah membandingkan angka di tingkat nasional dengan hasil di tingkat regional. Tabel 2: Konflik regional berdasarkan jenis konflik Tipe Konflik Indonesia Sumatera Jawa/Bali Kalimantan Sulawesi NTB/NTT Maluku/Papua Tindak Pidana 16,4% 15,6% 16,0% 10,9% 16,9% 24,2% 18,6% Sengketa Tanah/Gedung 13,3% 9,6% 9,2% 14,2% 17,5% 23,3% 19,5% Perselisihan Keluarga 10,9% 8,3% 11,0% 8,0% 9,8% 17,3% 15,3% Penyalahgunaan Wewenang 2,8% 1,7% 3,0% 2,4% 2,3% 4,0% 4,8% KDRT 7,6% 5,1% 6,2% 5,2% 4,1% 13,8% 19,8% Sengketa Pemilu 3,2% 1,3% 4,2% 1,8% 2,0% 2,6% 8,8% SARA 2,0% 1,2% 1,7% 1,2% 3,4% 1,9% 3,9% Sumber: Survei GDS Siapa Menyelesaikan Perselisihan? Formal Melawan Informal Masyarakat pedesaan mempunyai banyak pilihan atau jalan menuju keadilan. Sistem hukum formal adalah salah satunya, terutama di kawasan perkotaan. Namun pada umumnya pilihan ini dipandang korup, mahal, lamban, dan berjarak. Gambar 2 menunjukkan hanya 2.1 persen dari responden pernah berhubungan dengan pengadilan dalam dua tahun terakhir. Lebih lanjut, hanya 34.2 persen percaya pada keadilan formal; mayoritas tidak percaya (24.3 persen) atau tidak beropini (41.5 persen). Jadi, masyarakat menyatakan preferensi yang kuat pada penyelesaian sengketa secara informal, berdasarkan mediasi dan konsiliasi. 27 Menariknya, orang yang sadar 27 Hal ini sesuai dengan temuan dari penelitian yang sebelumnya, lihat Asia Foundation (2001) diatas n.3 dan World Bank (2004) diatas n.26. UNDP (2007) Justice for All? An Assessment of Access to Justice in Five Provinces of Indonesia Jakarta: UNDP menggatakan bahwa 58 persen masyarakat merasa puas dengan keadilan informal, berbanding dengan 28 persen untuk keadilan formal. 13

4 akan hak hukum mereka cenderung lebih sering menggunakan hukum formal dan mempercayainya. Gambar 2: Pengalaman responden dengan pengadilan, pemahaman soal hak hukum, dan kepercayaan terhadap pengadilan Pengalaman dengan Peradilan Memahami Hak-hak yang benar Percaya kepada Pengadilan 0% 20% 40% 60% 80% 100% Sumber: Survei GDS Yes No Don't know Kepada Siapa Orang-orang Meminta Bantuan? Rakyat pergi ke yang dekat dan yang mereka kenal dulu Penduduk desa, Kalimantan Tengah. Kepala desa dan Kepala dusun merupakan pilihan yang paling dituju oleh kebanyakan penduduk desa. Seperti ditunjukkan di Gambar 3, 41.1 persen dari responden mengatakan bahwa perangkat desa yang biasanya menyelesaikan masalah. Pelaku penyelesaian sengketa utama yang lain adalah pemuka agama; tokoh masyarakat dan pemimpin adat (semuanya 34,8 persen); dan polisi serta militer (27,6 persen). Sebagian besar tindak pidana berat diserahkan kepada polisi, walaupun seperti terlihat dalam Studi Kasus nomor 10 di bawah, hal itu tidak mencegah penyelesaian secara adat pada saat yang bersamaan. Pelaku lain lebih jauh dan cenderung hanya dipanggil ketika ada perselisihan yang serius, yang melintasi batas wilayah desa atau ketika perselisihan gagal diselesaikan di tingkat bawah. Untuk kasus yang melibatkan pihak luar, seperti sengketa antara masyarkat desa dan perusahaan kelapa sawit, pejabat kecamatan dan kabupaten bisa terlibat. Dominasi Laki-laki Setengah Baya Aparat desa, para pemimpin adat dan agama serta tokoh masyarakat adalah pelaku penyelesaian perselisihan yang paling populer. Kecuali kepala desa, semua biasanya ditunjuk dan tidak dipilih secara langsung oleh rakyat. Hampir semuanya laki-laki setengah baya atau sudah tua. Secara keseluruhan, 97 persen kepala desa dan 99 persen kepala dusun adalah laki-laki. Rata-rata umur kepala desa 45 tahun, dan kepala dusun 48 tahun. 28 Selama penelitian, kami hanya menemukan seorang kepala desa perempuan di Maluku, satu di Nusa Tenggara Barat, diberitahu bahwa ada seorang damang yang perempuan di Kalimantan Tengah tetapi tidak bertemu 28 Data survei GDS. 14

5 dan tidak seorangpun di Jawa Timur. Perempuan dilarang menjadi anggota lembaga adat di Sumatera Barat, jadi mereka tidak terwakili dalam Kerapatan Adat. 29 Organisasi perempuan berperan sedikit sebagai mediator, khususnya untuk sengketa yang melibatkan perempuan, tetapi mereka jarang mempunyai otoritas pengambilan keputusan. Terutama untuk sistem peradilan berbasis adat, pelaku yang menyelesaikan perselisihan hampir selalu berasal dari suku asli atau pribumi. Ini tidak berarti bahwa kelompok etnis lain selalu dilarang di Sumatera Barat, misalnya, pendatang dapat diakui menjadi anggota suku. Di beberapa wilayah di Maluku, suku non-asli membentuk marga sendiri dan mengintegrasikan diri ke dalam struktur adat setempat. Tetapi pada dasarnya peradilan adat itu bersifat eksklusif berdasarkan asal etnis. Implikasi dari ini akan diuji lebih lanjut di bagian III di bawah. Gambar 3: Pelaku Peradilan Informal dan formal yang biasa menyelesaikan sengketa Pemerintah Desa Tokoh Adat/ Masyarakat Polisi Keluarga/Teman Pemerintah Kecamatan Kurang tahu Jaksa Paralegal Pemerintah Kabupaten Pengacara LSM Sumber: Survei GDS persentase Tidak Terlihatnya Sektor Formal Sektor formal hampir tidak kelihatan. Pertanahan, kriminalitas dan masalah hukum keluarga adalah hal fundamental bagi keamanan dan kesejahteraan masyarakat biasa, tetapi para pengacara, jaksa dan pengadilan hampir tidak relevan dalam penyelesaian sengketa mereka. 30 Kepolisian aktif, seperti yang diharapkan terhadap kasus kriminal, tapi hampir sebagian besar keluhan yang dilaporkan ke polisi pada kenyataannya dimediasikan atau dikembalikan ke desa ketimbang diproses pada sistem formal. 31 Jadi, walaupun pasal 6 ayat (2) UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman menetapkan bahwa hanya pengadilan yang boleh memberikan sanksi atas tindak pidana, pelaku peradilan non-negara juga melakukan hal yang sama untuk menangani tindak pidana. 29 Perempuan diwakili melalui lembaga Bundo Kanduang, namun tidak punya peran yang nyata dalam proses mengambil putusan. 30 Sektor formal terlibat dalam 16 dari 34 kasus yang dipelajari untuk laporan ini, dengan 4 kasus berlanjut ke pengadilan. Pengacara terlibat dalam negosiasi informal di dua studi kasus dalam salah satunya untuk mengintimidasi pihak yang lebih lemah. Namun di kasus lainnya pengacara tidak memiliki peran langsung. 31 Lihat Baare, diatas n.26, hal 9. 15

6 LSM Juga Tidak Menonjol Minimnya pengakuan peran LSM, walaupun ada banyak yang aktif dalam menyelesaikan perselisihan dan advokasi di bidang seperti pertanahan, hak buruh dan perlindungan lingkungan. Hasil survei membuktikan minimnya kapasitas LSM untuk menjangkau wilayah pedesaan. Bagaimana Orang-orang Memilih Pelaku Penyelesaian Sengketa? Pilihan tentang ke mana masyarakat membawa kasus mereka umumnya bergantung pada kebiasaan pembagian tugas di antara pemimpin mereka, dan pada kapasitas dari individu-individu yang terlibat. Masalah pidana ringan yang dapat didamaikan biasanya dirujuk kepada kepala RT/RW, kepala dusun, pemuka adat atau kepala desa. Kasus perceraian atau masalah rumah tangga juga biasanya ditujukan kepada pelaku yang sama, walau terkadang pemuka agama juga mempunyai peranan. Masalah yang terkait pemerintahan desa biasanya langsung ditangani oleh kepala desa. Dalam beberapa kasus, orang melaporkan langsung ke polisi setempat. Konflik tanah biasanya dilaporkan ke kepala desa atau pemimpin adat dimana mereka sangat berpengaruh. Perselisihan besar yang melibatkan kepentingan pihak luar selalu menjadi lebih kompleks. Kasus tersebut terkadang ditangani LSM, atau dilaporkan langsung ke Camat, pemerintah kabupaten atau Badan Pertanahan Nasional. Pilihan-pilihan itu sering tergantung tidak hanya pada pembagian tugas antara pelaku, tetapi pada kemampuan masing-masing untuk memediasikan suatu masalah. Kepala desa di desa Sembuluh I di Kalimantan Tengah, sebagai contoh, tidak terlalu disukai masyarakat sehingga jarang dilibatkan dalam penyelesaian perselisihan. Di desa lainnya, polisi setempat mempunyai reputasi yang buruk. Apa yang dilakukan polisi disini? kata salah seorang penduduk. Tidak ada. Dikenal sebagai penerima uang pelicin dari pengusaha, polisi itu secara praktis bukan merupakan penengah antara masyarakat dan sistem hukum formal. Dengan demikian, satu jalan menuju keadilan sudah tertutup. Warga desa tidak berharap adanya netralitas dari mediator dalam kasus yang melibatkan keluarga atau sahabat dekat. Jelas, Pak RT lebih bersimpati kepada keluarganya, kata seorang warga desa Henda di Kalimantan Tengah. Ini adalah salah satu fakta yang mempengaruhi pilihan pelaku penyelesaian sengketa. Jadi, pihak yang bersengketa biasanya memilih pelaku penyelesaian sengketa berdasarkan kapasitas mereka untuk memecahkan sebuah perselisihan secara kasus per kasus. Kapasitas ditentukan oleh kombinasi hubungan pribadi dan kelembagaan dengan status dan keterampilan individu. Berikut ini dua contoh kasus, selain menggambarkan proses penyelesaian sengketa, juga menggambarkan bagaimana cara pemilihan pelaku untuk menyelesaikan sengketa dapat dinegosiasikan atau bisa langsung turun ke kepala desa. Studi Kasus 2: Perselisihan antara sepupu di panangguan, Jawa Timur Sengketa tanah ini antara Halim (kepala dusun) dan Amir (sepupunya Halim) terjadi pada 2001 di desa Panangguan, Kabupaten Pamekasan, Jawa Timur. Perselisihan berawal ketika Amir kembali ke Panangguan setelah pergi beberapa lama. Ketika kembali, ia mendengar bahwa seseorang telah menawarkan Halim uang Rp. 8 juta untuk tanah yg menurut dia masih kepunyaan bapaknya. Kakak Halim, Ali, menawarkan bantuan untuk menjadi penengah dalam perselisihan ini. Tiga pertemuan dilakukan di rumah Ali untuk mengklarifikasi pemilikan atas tanah tersebut. Pada pertemuan itu, tidak ada titik temu untuk menyelesaikan masalah, jadi Halim melaporkan kasus ini kepada kepala desa. Seminggu kemudian, kepala desa mengadakan rapat yang dihadiri Halim, Amir dan para saksi masing-masing. 16

7 Kepala desa kemudian menjelaskan bagaimana prosesnya berlangsung: Karena (masalah) nggak selesai pada tingkat bawah jadi dibawa ke tingkat desa. Guna menyelesaikan masalah ini, saya mengacu pada dokumen yang saya punya yang tertera nama ayah Halim. Penjelasan saksi agak membingungkan. Mereka nggak sepakat. Rupanya (tanah itu) tidak dibeli secara transparan di masa lalu. Sepertinya tanah itu dijual ketika si pemilik membutuhkan uang secara mendadak, dan akan membeli kembali kalau sudah punya uang. Harga jualnya juga murah. Pihak Amir sudah mengakui hal ini. Menurut versi Halim, tanah itu benar-benar terjual. Suasana pada pertemuan itu tegang. Amir mengancam akan melakukan kekerasan. Lalu, tanah itu kemudian saya bagikan. Saya mengembalikan sebagian kepada Amir. Saya menekan mereka juga. Apabila dia tidak menerima resolusi itu, tanah itu akan menjadi milik desa. Mereka takut. Rakyat desa mendukung proses ini. Masalah berhasil selesai. Dokumen yang dipegang kepala desa adalah dokumen tanah yang lama (Petok C) yang digunakan pada masa penjajahan Belanda. Seperti yang sering terjadi, buku itu ketinggalan zaman dan tidak bisa menentukan pemilikan. Pada akhirnya, kepala desa menggunakan kekuasaan yang dimilikinya untuk membagi tanah, didukung oleh tekanan dari masyarakat serta diwarnai ancaman kekerasan. Kasus berikutnya juga mengenai peselisihan tentang batas dan kepemilikan tanah yang diselesaikan oleh kepala desa sebagai pemegang otoritas sosial dan bukan menjalankan penerapan hukum. Studi Kasus 3: Perbatasan yang tidak jelas di Desa Souhoku, Pulau Seram, Maluku Udin dan Haryadi membeli tanah dari Among Pieters. Tanah itu terdaftar, tetapi Among tidak memberikan sertifikat ketika menjual tanah itu. Tanah itu berdekatan dengan tanah milik Minggus Tamaela. Beberapa waktu kemudian, Among meminta Udin dan Haryadi untuk menebang pohon di tanah tersebut. Setelah hal itu dilakukan, Minggus protes dan mengatakan bahwa pohon itu ada di wilayah tanah miliknya. Dia mengancam Udin dan Haryadi dengan akan mengambil tindakan kekerasan apabila tidak mengembalikan pohon yang sudah ditebang itu. Udin dan Haryadi melaporkan kasus ini kepada kepala desa (Raja). Raja dan stafnya memanggil pihak yang berselisih itu untuk bertemu di kantornya. Dia meminta Among dan Minggus untuk membayar sehingga Badan Pertanahan Nasional bisa turun dan menentukan batas dari tanah milik mereka. Keputusan ini langsung menyelesaikan masalah. Enam tahun kemudian, Udin bertengkar dengan tetangganya, Lahamaku, seputar masalah perbatasan tanah. Udin melaporkan masalah ini kepada Raja yang kemudian mengirimkan tim tanah untuk mengukur perbatasan tanah milik Udin dan Lahamaku. Tim itu menentukan bahwa tanah yang diperebutkan itu menjadi milik Udin, tapi karena Lahamaku sudah menggunakan tanah itu sejak lama, dia juga punya hak untuk membelinya. Udin tidak puas dengan keputusan itu tapi akhirnya menerima, sadar bahwa hanya sedikit alternatif bagi warga desa biasa selain menerima keputusan Raja. Dalam dua kasus di atas ini, pelaku penyelesaian sengketa menggunakan kombinasi antara pengetahuan umum, pengetahuan sejarah, tekanan komunitas dan kompromi untuk mencari penyelesaian secara damai sehingga bisa menghindari terjadinya kekerasan. Ada implikasi positif dan negatif dari pluralitas pilihan yang tersedia bagi warga desa dalam menyelesakan perselisihan. Kebebasan yang luas memberikan anggota masyakarat kemampuan untuk memilih pelaku yang mempunyai legitimasi sosial yang tepat untuk setiap tipe perselisihan. Di sisi lain, pihak yang berselisih kemungkinan tidak setuju mengenai siapa yang mempunyai otoritas untuk menyelesaiakan sebuah kasus - kalau ini terjadi sangat susah mencari konsensus. Apa yang dimaksud dengan Dewan Adat? Seperti ditulis di atas, sistem non-state justice sering merupakan mediasi secara kekeluargaan di antara keluarga dan komunitas. Akan tetapi, di beberapa lokasi, Dewan Adat berkerja dengan struktur kelembagaan dan 17

8 norma biasanya secara lisan tapi terkadang tertulis. Sistem hukum adat biasanya terorganisir, dengan struktur institusional yang menerapkan peraturan dan prosedur tertulis serta menghasilkan putusan tertulis. Berdasarkan definisinya, proses dan struktur adat adalah bervariasi dan fleksibel, tapi diagram di bawah ini disajikan sebagai contoh salah satu struktur adat di Desa Pelau, Provinsi Maluku. Gambar 4: Struktur Organisasil Majelis Adat di Desa Pelau, Kabupaten Maluku Tengah Raja Otoritas Tertinggi di Desa Saniri Negeri Pemimpin masing-masing Soa dan perangkat adat Penghulu Mesjid Pemuka Agama Islam Tuabiroko Menyediakan Informasi ke publik Wakil pemuda Perempuan Wakil Pemuda Laki-laki Juru Catat Menulis hasil Majelis Adat Soa Marga Struktur Adat ini mencakup unsur utama di komunitas Raja atau kepala desa sebagai sumber otoritas tertinggi, penghulu Islam mewakili otoritas agama dan pemimpin masing-masing Soa (suku) mewakili masyarakat secara keseluruhan. Wakil pemuda merupakan jalur komunikasi dari Raja ke pemuda di desa. Kadang-kadang mereka berperan dalam menyelesaikan perselisihan kecil yang melibatkan pemuda. Untuk peselisihan di dalam suatu keluarga atau marga, kepala marga yang bertanggungjawab atas proses penyelesaian. Ketika perselisihan lebih serius atau antar[a] marga, otoritas Raja biasanya diperlukan. Raja boleh pilih untuk bertindak sendirian atau di dewan dengan kepala soa, yang juga merupakan pengurus adat (dikenal dengan nama saniri negeri). Ketika sudah dicapai kesepakatan untuk menyelesaikan masalah, saniri negeri bertanggung jawab atas mengatur penyelenggaraan. Variasi Regional Bercermin dari keanekaragaman norma sosial di setiap lokasi yang diteliti, variasi regional yang signifikan telah ditemukan dalam hal pelaku dan lembaga penyelesaian sengketa yang digunakan oleh masyakarat, norma yang diterapkan serta kekuatan struktur institusi hukum adat dan pelaku. Pemuka agama, misalnya, memainkan peranan yang terbatas di Kalimantan Tengah, tapi justru menjadi pelaku kunci di Jawa Timur dan sebagian wilayah Lombok, dimana Kyai dan Tuan Guru sangat dihormati dan diakui sebagai tokoh pimpinan penting bagi umat Islam. Di Sumatera Barat, para pemimpin agama tergabung dalam struktur adat, seperti di Lombok, di bawah 18

9 trias politica, yaitu gabungan antara negara, adat dan agama sebagai elemen penting dalam pemerintahan desa. Kekuatan hukum adat dan tingkat intensitas masyarakat dalam pengakuan adat juga sangat bervariasi. Di Jawa Timur, lembaga dan hukum adat bukan merupakan wacana yang mengemuka, sedangkan di Sumatera Barat, NTB dan Maluku, para pemimpin adat sangat penting dalam penyelesaian sengketa. Di Kalimantan Tengah, kebangkitan adat sejak otonomi daerah hanya kuat di atas kertas saja tapi belum terealisasi di lapangan. Implikasi Dari sisi kebijakan, variasi ini memiliki dua implikasi penting. Pertama, berbagai kebijakan pemerintah nasional maupun peraturan daerah dalam memperkuat peradilan informal (non-state justice) akhir-akhir ini tidak mencakup seluruh preferensi dan pengalaman keadilan di tingkat lokal. Dengan memfokuskan pada Dewan Adat dan pemulihan struktur tradisional, mereka melewatkan, misalnya, peran sentral kyai di Jawa Timur. Mereka mengabaikan fakta bahwa perangkat adat seringkali memiliki tingkat penerimaan terbatas dari masyarakat di wilayah urban. Implikasi kedua adalah, kerangka kerja untuk menjangkau peradilan non-negara harus cukup fleksibel untuk mengakomodasi variasi regional. Juga harus cukup luas untuk menangkap keinginan masyarakat secara keseluruhan dibandingkan kelompok masyarakat tertentu saja. B. Prosedur, Norma, Sanksi dan Pendorong Penyelesaian Sengketa Apa yang kita tuju adalah suatu situasi yang win-win, sehingga semua pihak merasa seolah-olah mereka tidak dihukum atau kena sanksi melalui mediasi tersebut. Yang mereka rasakan adalah kewajiban untuk berbagi dan untuk mencapai keadilan. Tak ada yang kalah. Hasanain, Tuan Guru Muda, Lombok Barat, NTB. Temuan Utama Prosedur penyelesaian sengketa bersifat fleksibel dan cair, tapi biasanya terdiri dari proses pencarian fakta, pertimbangan secara mendalam, dan mediasi atau arbitrase ringan. Sukarela tapi seringkali tidak ada alternatif lain. Peradilan informal secara teori sifatnya sukarela, tetapi tanpa adanya alternatif lain, seringkali orang miskin terpaksa menerima keputusan yang tidak memuaskan. Pihak yang lemah juga sering dipaksa menerima proses atau hasil penyelesaian sengketa karena intimidasi atau karena takut akan kemungkinan balas dendam. Norma sosial mengalahkan norma hukum. Norma yang diterapkan kadang-kadang jelas, tetapi yang lebih sering diterapkan justru adalah norma sosial yang berdasarkan rasa keadilan setempat atau apa yang layak menurut pertimbangan pimpinan desa. Dengan demikian, hubungan sosial dan kekuasaan biasanya menentukan hasil penyelesaian sengketa informal. Sanksi-sanksi bervariasi, tapi biasanya berupa uang denda. Jumlahnya biasanya mempertimbangkan kemampuan finansial tertuduh untuk membayar. Hukuman fisik pernah terjadi, meskipun jarang. Pentingnya harmoni bisa menghasilkan impunitas. Tujuan utama penyelesaian sengketa adalah untuk memulihkan harmoni dan ketertiban sosial, tetapi faktor ini dapat mengorbankan keadilan dan hak asasi. Ini terutama terjadi pada perempuan, dimana haknya kadang-kadang dikorbankan demi menjaga kestabilan sosial dan status quo. 19

10 Bagaimana Sengketa Diselesaikan? Prosedur penyelesaian sengketa informal secara inheren bersifat fleksibel dan bervariasi. Tapi dalam banyak studi kasus yang terdokumentasi, sebuah prosedur umumnya sudah jelas, sebagaimananya digambarkan dalam diagram di bawah. Gambar 5: Penyelesaian kasus perkelahian di pasar 32 Keluhan Diterima: Kombit dan Ramses Melapor ke Polisi dan Damang Setelah tidak mendapat tanggapan efektif dari polisi, Kombit dan Ramses melapor ke damang secara lisan. Pencarian Fakta: Perangkat Adat, Saksi-saksi dan Pihak yang Bersengketa Setelah terima laporan, damang memanggil pengurus adat (yang dikenal dengan let adat) untuk diberi penjelasan mengenai insiden yang terjadi. Setelah itu dia memanggil kedua belah pihak dan para saksi secara terpisah ke rumahnya untuk menggali fakta kasus. Pengambilan keputusan/mediasi/arbitrase Ringan Damang memanggil perangkat adat untuk persidangan Dewan Adat. Dalam mengkaji fakta kasus, mereka mengacu pada buku hukum adat dan menentukan sanksi bagi Marhat. Sanksi ini disampaikan secara tertulis dalam bentuk surat perdamaian. Marhat dan Kombit kemudian dipanggil kembali oleh damang dan kedua pihak menyetujui tawaran penyelesaian yang diajukan Dewan Adat dan menandatangani surat tersebut. Penerimaan/Pemulihan/Upacara Adat Menurut adat dayak, setelah penyelesaian tercapai maka kedua pihak yang bertikai diakui sebagai anggota baru keluarga masing-masing. Ini kemudian disahkan melalui upacara adat dengan mengorbankan seekor ayam (diperlukan bila dalam perkelahian sengketa menyebabkan kucuran darah), selanjutnya dua pihak makan bersama. PENOLAKAN Penerapan Surat Perdamaian yang ditandatangani itu memperkuat penerapan penyelesaian sengketa, didukung oleh sanksi sosial. Damang tidak memiliki kekuasaan untuk menegakkan pelaksanaan sanksi, jadi, seperti dalam banyak kasus, Marhat sebagai pihak yang lebih kaya dan berkuasa hanya membayar 25 persen dari denda yang dijatuhkan. Damang tidak bertindak untuk menerapkan sanksi. Melaporkan ke Otoritas yang Lebih Tinggi/ Mediator lain atau Menghindari Konflik Dalam kasus ini, pihak yang bertikai menerima arbitrase ringan dari damang. Bila mereka menolak, bagaimanapun, pilihan Kombit adalah melaporkan ke mediator lain, otoritas yang lebih tinggi, atau sekali lagi melapor ke polisi. Alternatif terakhir adalah menyingkir - menghentikan kasus-atau meningkatkan konflik. 32 Kasus Perkelahian di Pasar ditampilkan di Pengantar. Diagram ini mempergunakan Bagan 8 dalam UNDP (2007), diatas n.27, hal

11 Proses penyelesaian kasus Perkelahian di Pasar secara umum menggambarkan proses resolusi sengketa yang sering digunakan: 1. Keluhan/keberatan diterima dalam bentuk tertulis atau, lebih sering, lisan. 2. Pencarian fakta: mediator mendiskusikan kasus secara terpisah dengan pihak yang bersengketa, saksi mata, dan tokoh masyarakat dari wilayah tinggal mereka. 3. Pertimbangan fakta kasus: bisa dilakukan sendirian, bersama dengan dewan adat, atau dalam musyawarah. Untuk kasus rumit, proses ini bisa memerlukan beberapa kali pertemuan. 4. Mediasi atau Arbitrase Ringan : Mediator mempertemukan pihak-pihak yang bertikai untuk mencoba menengahi, atau menyampaikan saran penyelesaian dan/atau sanksi. Ini bisa didasarkan pada hukum adat baik tertulis maupun lisan, hukum agama atau justru pandangan subyektif dari mediator. 5. Kesepakatan atau Penolakan: Pihak yang bertikai bisa menerima atau menolak penyelesaian yang ditawarkan. Kesepakatan kadang disertai dengan intimidasi/ancaman, keinginan untuk menghindari sistem hukum formal atau ketakutan terhadap kemungkinan balas dendam. Jika kesepakatan penyelesaian sengketa tidak tercapai, mereka beralih ke mediator lain, membawah kasus ke hukum formal atau menghentikan tuntutannya. 6. Penerapan: Kesepakatan seringkali dalam bentuk tertulis dan ditandatangani justru untuk memperkuat tekanan dalam penerapannya. Keterlibatan masyarakat dalam proses penyelesaian sengketa bisa menjadi faktor tambahan sebagai sanksi sosial. Ketakutan akan balas dendam atau proses hukum formal juga mendukung penegakkan kesepakatan itu. Pada akhirnya, bagaimanapun juga, pelaksanaan kesepakatan ini tergantung pada kemauan orang yang bersengketa. Pihak yang berkuasa sering mengabaikan hasil mediasi. Meski prosedur ini sering diikuti dalam penyelesaian sengketa informal, tidak selalu persis seperti di atas. Sebagaimana jelas ditunjukkan dalam Studi Kasus 4 di bawah, beberapa proses penyelesaian bisa berjalan sekaligus dengan melibatkan beberapa mediator berbeda. Dan seperti ditunjukkan dalam kasus Perkelahian di Pasar, sengketa maju-mundur antara sistem formal dan informal. Kadang-kadang proses penyelesaian berjalan pada jalur yang paralel atau sejajar. Ancaman melimpahkan kasus ke kepolisian atau ancaman balas dendam sering digunakan untuk mendorong penyelesaian yang cepat. Tentu saja ada variasi setempat terkait standar prosesnya. Di Madura, Jawa Timur, umum terjadi pembalasan dendam, vigilantisme dan membunuh untuk harga diri. Perkelahian berdarah satu lawan satu hingga meninggal yang dikenal di tempat itu sebagai carok diterima baik secara sosial dan kultural sebagai cara memecahkan perselisihan, terutama sekali jika harga diri dan kedudukan sosial laki-laki ditantang. Secara paradoks, ketakutan akan carok merupakan pendorong kuat untuk menyelesaikan sengketa secara damai. Hak untuk Mendengar dan Didengarkan Pihak yang bersengketa boleh menghadirkan diri, menyampaikan argumentasi mereka dan berpartisipasi secara aktif dalam proses penyelesaian sengketa informal. Tetapi ada pengecualian di Sumatera Barat, dimana mereka yang bersengketa hanya bisa menghadap Dewan Adat, sementara proses pengambilan keputusan menjadi hak eksklusif dari para pemimpin garis keturunan suku laki-laki, atau disebut mamak. Kaum perempuan tidak terwakili dalam proses ini akibatnya kepentingan mereka sering diabaikan. Proses-proses Sengketa Proses penyelesaian sengketa informal biasanya berbentuk mediasi dan konsiliasi, dan pada dasarnya bersifat sukarela. Seperti kata salah seorang pemimpin adat di Kalimantan, Masyarakat melihat damang sebagai salah 21

12 satu pemimpin lokal. Kalau mereka ingin terima kami, mereka terima. Kalau nggak mau, nggak. Walaupun bersifat sukarela dan berdasarkan pada konsensus, mekanisme ini sering menggunakan apa yang bisa disebut arbitrase ringan, dimana para pelaku atau institusi penyelesaian sengketa mengeluarkan putusan, namun persetujuan tetap berada di pihak yang bersengketa. Seperti kata Raja dari Desa Asilulu di Maluku, Raja tidak bertindak seperti pengadilan, kita pakai pendekatan kekeluargaan. Jika para pihak tidak puas, mereka bisa membawa kasusnya ke polisi atau pengadilan. Namun himbauan saya jarang tidak dipatuhi oleh para pihak yang bersengketa. Akan tetapi, sifat sukarela itu bersifat relatif. Membawa kasus ke pengadilan sebetulnya mustahil bagi sebagian besar masyarakat miskin. Demikian juga, menentang kekuasan Raja bisa berdampak buruk. Demikianlah, bagi pihak lemah khususnya, bila mereka menolak atau gagal menerapkan hasil penyelesaian sengketa informal, hampir bisa dipastikan mereka tidak akan membawa kasus itu ke pengadilan atau penguasa yang lebih tinggi, melainkan lebih untuk menghindari konflik. Kasus di bawah ini menggambarkan pendekatan yang digunakan untuk menyelesaikan sengketa dan tipe kasus yang sering terjadi. Studi Kasus 4: Warisan membawa petaka 33 Sengketa warisan antar-kampung ini melibatkan dua saudara sepupu. Sammat tinggal di Desa Palengaan Daja dan Sadirman adalah warga Desa Poreh, keduanya ada di Kabupaten Pamekasan, Jawa Timur. Sengketa ini mengenai lahan yang digarap Sardiman, tapi lahan itu berada di desa tempat tinggal Sammat. Sardiman menerima lahan itu sebagai warisan dari ayahnya, yang sebelumnya menikah dengan perempuan asal Desa Palengaan Daja. Istri ayahnya terdahulu meninggal---sebelum melahirkan anak---dan meninggalkan warisan lahan, dan selanjutnya ayah Sadirman menikah lagi, dan lahirlah Sardiman. Perempuan yang dinikahi ayah Sadirman dari Desa Palengaan Daja itu rupanya bibi dari Sammat, dan karena itu, ketika ayah Sadirman meninggal, Sammat mengklaim lahan itu menjadi haknya. Pada awalnya, Sammat mencoba mengklaim secara sepihak lahan yang disengketakan itu dengan memberi tanda berupa patok-patok. Tapi Sardiman menolak tindakan itu, sehingga Sammat melapor ke kepala desa wilayah sengketa, Desa Palengaan Daja desa tempat tinggal Sammat. Kepala desa mengundang kedua pihak ke rumahnya, tapi Sardiman menolak hadir. Salah satu saksi, Rahmat, menjelaskan apa yang terjadi: Dalam penyelesaian kasus ini semuanya ada lima kali pertemuan. Yang pertama dilakukan dirumah pak Klebun (kepala desa) tetapi tidak ada kesepakatan, kemudian pertemuan kedua dilakukan di lokasi karena Pak Klebun langsung turun ke lokasi, tetapi juga tidak diperoleh penyelesaian. Pertemuan ketiga dilakukan di Dusun Tenggina Dua. Pertemuan dilakukan di dusun ini agar dua pihak dapat hadir dalam musyawarah karena lokasi ini merupakan lokasi tengah-tengah antara pihak Palengaan Daja dan pihak Poreh. Pertemuan bertempat di rumah seorang tokoh masyarakat yang juga dulu sebagai kepala dusun. Ketika Sardiman dan para pendukungnya dari Desa Poreh datang di dusun itu, tiba-tiba mereka bersorak Carok...carok... carok...! Kedua pihak yang bersengketa ini sama-sama membawa pendukung, dan hampir semuanya membawa clurit. Kepala dusun maupun kepala desa mampu menenangkan massa, dan meyakinkan mereka agar menyerahkan senjata tajam itu. Bagaimanapun, mereka tidak mampu memfasilitasi kesepakatan. Sampai sekarang belum ada penyelesaian. Untuk waktu yang cukup lama, tanah yang disengketakan dibiarkan dan tidak terpakai. Kepala desa dua kali lagi mencoba mengadakan pertemuan, tapi dua pihak menolak hadir. Selanjutnya, Sadirman dari Desa Poreh kembali menggarap lahan itu. Saat ini status lahan tidak ditentang tapi juga belum terselesaikan. 33 Untuk kasus yang selengkapnya lihat Mohammad Said (2004), Inheritance brings Misfortune di Samuel Clark (ed.), (2004) More than just Ownership: Ten Land and Natural Resource Conflict Case Studies from East Java and Flores, Indonesian Social Development Paper No. 4, Jakarta: World Bank. 22

13 Yang agak mengejutkan, meskipun kasus warisan ini melibatkan warga beragama Islam, pemimpin agama tidak terlibat. Ini menunjukkan bahwa pihak yang bersengketa bisa memilih mediator yang paling tepat menurut mereka. Kasus ini juga menggambarkan sulitnya mencapai konsensus dan peranan kekerasan atau ancaman kekerasan dalam penyelesaian konflik. Tanpa ada penyelesaian berdasarkan dasar hukum yang jelas, kemungkinan besar perselisihan ini akan muncul kembali. Norma-norma Apa yang Diterapkan? Sistem peradilan non-negara terdiri dari beberapa sumber hukum dan norma, yang tersedia dengan tingkat yang berbeda dan dengan kekuatan berbeda pada wilayah-wilayah penelitian ini. Sumber hukum itu termasuk: (i) hukum adat; (ii) hukum keagamaan; dan (iii) hukum negara dan peraturan daerah. Di beberapa area penelitian, dua atau bahkan tiga dari sistem normatif ini sudah terintegrasi, tetapi persaingan juga muncul ketika hukum negara, agama dan adat dan prosesnya tidak konsisten. Kodifikasi Hukum Adat Makin Sering Dilakukan... Hukum adat biasanya disampaikan melalui tradisi lisan, tapi di sebagian lokasi penelitian sudah ada upaya mengkodifikasi atau membukukan hukum adat yang dilakukan pemerintah, LSM dan/atau tokoh adat setempat. Di Kalimantan Tengah, misalnya, pada tahun 1996 sekelompok LSM dan cendekiawan dari suku Dayak, bersamasama dengan Pemerintah Provinsi, mengeluarkan buku hukum adat. Buku tersebut mencakup prosedur dan sanksi untuk berbagai pelanggaran, termasuk perselingkuhan; hubungan seksual/kehamilan sebelum nikah; pembunuhan; pencurian dan perampokan; dan fitnah. 34 Seluruh damang yang berjumlah delapan orang yang kami ajak bicara selama penelitian ini mengetahui adanya buku tersebut dan mengatakan bahwa kitab itu menjadi sebagai rujukan dalam hal penyelesaian sengketa, tapi hanya seorang yang memilikinya. Seorang damang yang lain di Kalimantan Tengah juga mencoba melakukan kodifikasi hukum adat di kecamatannya dan diterbitkan tahun Beberapa kabupaten di Kalimantan Barat juga sedang menyusun buku hukum adat setempat. 36 Di Sumatera Barat, hukum adat mencakupi berbagai aspek dalam kehidupan sosial, terutama berkaitan dengan hak kepemilikan dan penggunaan tanah. Baru-baru ini beberapa nagari sudah mulai menyusun kodifikasi hukum adat melalui Peraturan Nagari. 37 Di Lombok, ada perbedaan pandangan mengenai sisi baik dan buruknya mengkodifikasi hukum adat, tetapi ada kecenderungan terhadap upaya kodifikasi adat lokal dalam bentuk peraturan desa, yang disana dikenal sebagai awig-awig Setwilda Tingkat I Kalimantan Tengah (1996) Lembaga Kedamangan dan Hukum Adat Dayak Ngaju di Propinsi Kalimantan Tengah; Palangkaraya: Pemerintah Propinsi Kalimantan Tengah. 35 Y. Nathan Ilun (2004) Mengenal Hukum Adat Makalah tidak diterbitkan, Lihat &Itemid=9, pemberitaan media dari Kabupaten Sanggau, Kalimantan Selatan tertanggal 23 Mei 2007, diakses 20 November Contohnya, Nagari Minangkabau di Kabupaten Tanah Datar telah mengeluarkan Peraturan Nagari No. 1 Tahun 2002, tentang Pemberantasan Penyakit Sosial, No. 2 Tahun 2003 tentang Ketertiban, Kebersihan dan Keindahan, serta No. 3 Tahun 2002 tentang Gotong Royong. 38 Di Desa Bentek misalnya, awig-awig dikeluarkan pada tahun 2001 meliputi pengelolaan lingkungan, kewajiban keagamaan dan kerjasama antar desa dalam pengelolaan sumber air. 23

14 Boks 1: Contoh hukum adat dari Bentek, Nusa Tenggara Barat Bentek berada di bawah kepemimpinan kepala desa yang terkenal, Kamardi. Dia seorang aktivis dan pengacara yang sering menghadiri dialog nasional mengenai masalah pemerintahan desa, adat maupun soal penyelesaian sengketa. Pada tahun 2001, Majelis Adat Bentek mengeluarkan Kitab Awig-Awig tertulis. Berisi 28 pasal, aturan itu mengatur kewajiban keagamaan, hubungan seksual pra-nikah, dan perlindungan lingkungan. Contoh pasal yang mencakup prinsip umum hingga persyaratan khusus, yang didukung dengan sanksi-sanksi, diantaranya: Pasal 3 (c): Setiap orang wajib mentaati ajaran agamanya masing-masing Pasal 6 (a): Pergaulan muda-mudi hendaknya didasarkan atas norma-norma yang berlaku baik yang tertuang dalam ajaran agama maupun adat istiadat dengan menjaga kehormatan masing-masing Pasal 9 (a): Setiap manusia berkewajiban menjaga, melestarikan keutuhan dan memanfaatkan alam secara selaras, serasi dan seimbang Pasal 10 (b): Setiap orang atau kelompok maupun badan usaha yang diberikan izin pemanfaatan Gumi paer dilarang melakukan kegiatan yang dapat menimbulkan kerusakan lingkungan. Pasal 10 (c): Setiap orang dilarang: membuka merambah kawasan hutan secara tidak syah; melakukan penebangan atau mengambil hasil hutan secara besar-besaran (bisnis); melakukan penebangan pohon dengan radius/jarah 500 meter dari tepi waduk, embung, dam, dll; 200 meter dari mata air sungai atau anak sungai. Pasal 10 (f ): Setiap orang dilarang menangkap ikan dengan menggunakan zat kimia (racun). Pasal 10 (h): Setiap orang dilarang membakar hutan. Banyak responden dari seluruh lima lokasi penelitian menyatakan pandangan bahwa dalam konteks modern, kodifikasi merupakan hal yang penting untuk legitimasi dan pengakuan dari luar terhadap hukum adat. Sementara, beberapa responden lainnya menolak kodifikasi, karena bertentangan dengan sifat hukum adat yang dinamis. Mereka juga khawatir, kodifikasi hukum adat bisa membatasi penafsiran hanya pada perorangan atau kelompok tertentu tentang isi norma-norma yang diatur, sedangkan hal itu sering diperdebatkan. Ada juga kekhawatiran yang cukup beralasan, bahwa mendefinisikan kebiasan atau tradisi termasuk proses penyelesaian sengketa dengan meniru prosedur resmi pemerintah, bisa mengurangi fleksibilitas mekanisme peradilan nonnegara....tetapi norma-norma sosial yang tidak tertulis masih dominan Akan tetapi, yang lebih sering ditemukan dari pada hukum adat tertulis adalah proses penyelesaian sengketa tanpa ada aturan atau norma yang berlaku. Perselisihan sering diselesaikan berdasarkan konsep keadilan setempat atau bahkan apa yang secara subyektif dipikirkan oleh para pemimpin lokal, tanpa mengacu pada hukum negara, agama atau adat. Pihak yang mampu mengumpulkan sebagian besar yang berwenang biasanya yang menentukan lokasi dan proses dan kemudian juga hasilnya. Jadi, walaupun ada banyak jalan menuju keadilan, secara keseluruhan proses penyelesaian sengketa informal bukan merupakan sistem yang komprehensif dan jelas, melainkan seperangkat proses yang dijalankan dan dikuasai oleh individu yang berpengaruh. Mereka menentukan struktur, proses dan norma-norma yang akan diterapkan. Apakah norma dalam bentuk tertulis atau lisan atau semata-mata didasarkan pada akal sehat, pada kenyataannya norma sosial dan kekuasaan yang biasanya menentukan hasil penyelesaian sengketa di tingkat lokal. 39 Kasus Souhoku dan Panangguan di atas adalah dua contoh dimana kepala desa berhasil mencapai kompromi untuk 39 Sebagaimana dinyatakan oleh Narayan, Interaksi warga miskin dengan tuan tanah, pengusaha, rentenir,[...] lebih diatur oleh normanorma sosial, yang mengarahkan siapa yang memiliki nilai apa dalam setiap hubungan timbal balik daripada diatur melalui hukum negara., Deepa Narayan et al (2000), Voices of the Poor, Can Anyone Hear Us?, New York: OUP, hal

15 memecahkan sengketa tanah antara teman dan saudara sepupu. Hasil yang dicapai tidak mengacu pada hukum negara atau adat atau kebenaran obyektif. Hal itu tidak relevan. Sebagaimana kata seorang Kepala Desa di Lombok, Kamardi, Yang kita upayakan adalah solusinya. Hasil penyelesaian sengketa tersebut mampu menenangkan ketegangan memberikan suatu solusi paling tidak dalam jangka pendek. Jadi, pada umumnya peradilan non-negara merupakan suatu lingkungan tanpa hukum ( delegalized environment ). Hal tersebut dapat memudahkan pencapaian hasil mediasi yang fleksibel. Tetapi tanpa ada struktur atau norma yang jelas, para pelaku penyelesaian sengketa informal memiliki wewenang yang sangat luas. Apabila norma sosial yang dominan, hubungan sosial dan kekuasaan akan menjadi faktor penentu. Kenetralan sulit ditemukan di tingkat desa dan akibatnya, jalan menuju keadilan tidak setara bagi semua orang. Pihak yang berkuasa melewati jalan yang lancar; pihak yang lemah harus menghadapi jalan yang penuh hambatan. Bahkan kalau norma dan prosedur penyelesaian sengketa sudah jelas dan dipahami dengan baik, belum tentu bisa diterapkan dengan konsisten. Penyalahgunaan dan eksploitasi sangat biasa, sebagaimana diterangkan dalam kasus berikut dari Sumatera Barat. Dalam kasus ini, lemahnya status sosial perempuan dan keinginan kepala adat untuk memberi pelajaran, mendorong tindakan pemaksaan sanksi terhadap perempuan, padahal hal itu tidak pernah terjadi sebelumnya dalam kasus yang sama. Norma sosial, bukan undang-undang, memang menentukan hasil yang dicapai. Studi Kasus 5: Penghinaan ketua adat Kedua pihak hidup bertetangga di nagari Sumpur, Sumatera Barat. Salah satunya bergelar Datuk, menunujukkan bahwa dia ketua adat. Pihak lain adalah seorang perempuan yang menikah dengan marga lain di nagari itu. Konflik meletus di antara mereka, ketika terjadi perkelahian antara anak-anak mereka, dan kemudian menyebabkan tindakan saling mengejek antar keluarga. Pada saat mengejek itu, ketua adat dipanggil dengan wa ang, (kamu) bukannya dipanggil Datuk sebagaimana mestinya. Beberapa anggota keluarga dari ketua adat itu mendengar dan kemudian melaporkan ke lembaga Kerapatan Adat Nagari (KAN), bahwa mamak mereka dihina menurut adat. Anggota KAN adalah semua ketua adat/mamak dan oleh karena itu kaum laki-laki. Selanjutnya KAN mengundang dua pihak untuk menjelaskan apa yang terjadi, kemudian membentuk tim untuk merumuskan sanksi yang tepat. Pada akhirnya perempuan itu kena denda Rp ,- untuk dibayarkan kepada KAN. Denda itu justru dibayarkan pada KAN daripada kepada korban, karena dianggap sebagai penghinaan terhadap nagari secara keseluruhan. Pihak perempuan menganggap keputusan itu tidak wajar, karena dia juga menerima penghinaan dari pihak lain, Ini bukan kali pertama Datuk dipanggil dengan sebutan wa ang oleh seseorang. Bahkan kemenakannya juga melakukannya. Tetapi sebelumnya tidak ada sanksi. Kepala Kerapatan Adat Nagari (KAN) juga menyadari kedua pihak sama-sama bersalah. Tetapi ninik mamak ingin memberi pelajaran. Pada masa ini banyak orang muda yang tidak menghormati mamak mereka. Dia juga mengakui ada kecemburuan sosial karena perempuan itu sukses dalam berbisnis dan bisa membangun rumah di nagari, sedangkan ketua adat itu masih tinggal di gubuk bambu dan penghasilannya juga tidak pasti. Pihak perempuan belum secara formal diangkat dalam kelompok suku atau marga (dalam istilah Minangkabau belum bermamak ), dan dengan begitu tidak ada mamak yang bisa mewakilinya. Secara adat dia masih orang luar atau orang asing. Jika perempuan ada mamak yang bisa mewakili dia, maka kasusnya akan langsung diselesaikan oleh para tokoh suku itu, daripada diangkat ke KAN. Berdasarkan pengalaman itu, perempuan kemudian diangkat dalam kelompok suku Datuk Basa Nan Tinggi, yang nantinya akan mewakilinya dalam kasus-kasus adat mendatang. Pada adat Sumatera Barat, tidak ada kemungkinan naik banding. Hanya perselisihan yang belum terpecahkan yang bisa naik tangga-batanggo naik, dengan begitu hanya sedikit proses check and balance dalam model peradilan ini. Tanpa akuntabilitas ke atas, perempuan ini tidak memiliki alternatif, kecuali menerima keputusan yang menurut ia tidak adil. 25

16 Sanksi-sanksi Pertautan dengan sistem-sistem peradilan non-negara seharusnya didasarkan pada konsep supremasi konstitusi. Karena itu, sanksi harus konsisten dengan hak kebebasan dari siksaan, sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 28G ayat 2 UUD Walaupun menurut hukum nasional, pengadilan memiliki wewenang eksklusif untuk mengadili kasus pidana dan kasus perdata yang mencakup hak yang dilindungi oleh perundang-undangan nasional, dalam kenyataannya para pelaku peradilan informal juga menangani dua jenis kasus itu. Penerapan sanksi melalui peradilan informal, pada dasarnya tidak membedakan antara pelanggaran pidana (kepentingan publik) dan perdata (kepentingan pribadi). Pembedaan semacam ini jarang terjadi, terutama di lingkungan masyarakat adat, dimana masalah pribadi seringkali dipahami melalui kacamata suku atau keluarga. Pemulihan kerukunan antar suku atau keluarga menjadi pendorong penyelesaian, bukan hak individu. Bentuk sanksi yang diterapkan juga ditentukan oleh kepentingan kerukunan atau harmoni komunal. Untuk perselisihan sederhana, kata maaf seringkali bisa diterima. Dalam kasus lain, pembayaran denda atau ganti rugi merupakan bentuk sanksi utama seringkali sanksi berbentuk uang ini mengandung unsur hukuman dan pembayaran kompensasi atas luka fisik atau kerusakan barang. Bila terdapat hukum adat tertulis, biasanya juga mencantumkan jumlah denda untuk setiap pelanggaran. Pada kenyataannya, ketika menentukan sanksi yang dianggap sesuai, pengurus adat biasanya bersikap fleksibel dan mempertimbangkan kemampuan keuangan dari pihak yang dianggap bersalah. Di Kalimantan Tengah, pasal 37 dari Buku Hukum Adat mencantumkan, bila pelaku yang bersalah tidak bisa membayar denda, maka dibebankan pada keluarganya. Hukuman Badan Pernah Terjadi, Tapi Jarang Hukuman fisik atau badan memang jarang, tapi masih dipraktikkan di beberapa wilayah. Di Desa Amahai, Pulau Seram, Maluku, seorang pemuda pernah dicambuk karena melempari kantor kepala desa dengan batu (Studi Kasus 21). Di Nagari Paninggahan dan Gantung Ciri, Sumatera Barat, Wali Nagari kadang-kadang mendelegasikan proses penyelesaian sengketa kecil ke organisasi pemuda, yang nanti akan memberikan sanksi berupa pukulan bagi siapa yang melanggar. Sanksi lain meliputi nasihat, atau dikeluarkan dari acara-acara adat, sampai sanksi diusir dari desa-dibuang secara adat. Tabel dibawah berisi perbandingan sanksi untuk kasus-kasus pidana tertentu berdasarkan undang-undang negara, contoh hukum adat tertulis dari Kalimantan Tengah, dan dari sebuah desa di Nusa Tenggara Barat, serta sanksi yang diterapkan dalam kasus-kasus yang dikaji dalam laporan ini. 26

17 Tabel 3: Sanksi bagi tindak pidana menurut hukum negara dan hukum adat di lokasi riset terpilih Pidana/ KUHP Adat Dayak, Adat Desa Bentek, Contoh Sanksi dari Norma Kalimantan Tengah NTB kasus yang diteliti. Pembunuhan Maksimal 15 tahun kati ramu ** Dirujuk ke polisi Rp 36 juta: Kasus 16 Pemerkosaan Maksimal 12 tahun kati ramu 49,000 Tidak ada sanksi. 100,000 UB * 4 15 tahun/rp 12 juta 300 juta jika terjadi dalam rumah tangga (UU PKDRT) Bukan tindak kriminal jika atas kesepakatan bersama. 7 9 tahun jika disertai kekerasan kati ramu, jika korban belum dewasa. Denda bervariasi antara kati ramu. Kasus 7 & 28. Rp 5 juta untuk si pria. Kasus 24 Penganiayaan Pencurian/ Perampokan Dakwaan alternatif adalah pelanggaran moralitas publik. Maksimal 32 bulan atau Rp 450,- Maksimal 32 bulan/ denda Rp 4500,- Pencurian: Maksimal 5 tahun; 9 tahun jika disertai kekerasan atau Rp 900, kati ramu 49, ,000 UB kati ramu 49, ,000 UB Rp 6 juta: Kasus 1 Permintaan Maaf: Kasus 9 Tiada sanksi: Kasus 12 Tidak ada contoh kasus Perampokan: 12 tahun, 20 tahun jika disertai kekerasan; hukuman mati jika menyebabkan korban tewas atau Rp 900,- Fitnah 9 bulan 4 tahun kati ramu 5,450 49,000 UB Permintaan maaf, Rp 300,000 dan makanan untuk seluruh penghuni desa. Kasus 5 *UB atau Uang bolong merupakan bentuk mata uang atau alat tukar menukar yang sah yang berlaku pada zaman dahulu di pulau Lombok, NTB. Sekarang dipakai sebagai ukuran sanksi adat. Pada 2006, 1000 UB = 1 ekor ayam, 1 botol minyak kelapa, satu kotak buah-buahan, kayu, atau Rp 12,000,-. ** Kati ramu adalah ukuran/takaran barang, biasanya 1 kati ramu setara dengan 6 ons. Barang bisa berupa emas atau uang. Dalam kasus pembunuhan terkenal di Palangkaraya, sanksi denda sebesar Rp 12 juta. Tapi lebih dari itu, ada hewan yang harus dikorbankan, upacara adat serta biaya penguburan yang layak. Pokoknya, sanksi bersifat luas dan fleksibel. Sebagian sanksi yang didokumentasikan dalam riset ini, termasuk mencambuk dan memukul pelanggar, berlawanan dengan perlindungan UUD terhadap larangan penyiksaan. Namun, dengan tidak adanya pengawasan yang efektif atas peradilan non-negara, sanksi seperti itu diberikan dengan impunitas. 27

18 Pendorong Resolusi: Menjaga Harmoni Yang kita upayakan adalah solusinya. Kalau mencari yang benar, tidak pernah akan selesai. Kepala Desa, Lombok, Nusa Tenggara Barat. Prinsip utama peradilan informal adalah pemulihan kerukunan. Ketertiban sosial sangat penting di masyarakat pedesaan, dimana saling ketergantungan sosial dan ekonomi sangat tinggi. Jadi, dengan sifat tidak saling berhadapan dan mengutamakan kompromi dan fleksibilitas, maka peradilan nonformal memiliki beberapa kelebihan dibanding keputusan hakim pengadilan. Di Palangkaraya, pada kasus pembunuhan (Studi Kasus 16), keluarga pelaku dan keluarga korban sudah dua kali bertemu dan berbagi makanan sejak peristiwa terjadi, dan mereka memiliki hubungan baik. Dalam Studi Kasus 4, resolusi tidak tercapai tetapi kekerasan bisa dihindari. Sebuah kasus di Desa Tanah Awu, Lombok Tengah, diselesaikan melalui adat, sedangkan keputusan Mahkamah Agung untuk kasus yang sama diabaikan masyarakat. Pada kasus Ruhua di Seram, Maluku (yang digambarkan di bawah ini), kepala desa bisa memulihkan kembali hubungan baik antara kelompok yang bertikai yang sudah melewati perbatasan desa. Tindakan yang cepat, yang didasarkan pada realitas sosial bisa mencegah meluasnya kekerasan. Studi Kasus 6: Reaksi cepat raja dan polisi mencegah kerusuhan meluas di Ruhua Halue Sunawe, seorang pemuda dari Ruhua di Pulau Seram, Maluku, pergi memetik cengkeh ke desa sebelah, Haya. Desa Haya sejak lama bermusuhan dengan desa tetangga, Tehoru. Beberapa orang dari Desa Haya mencurigai Halue berasal dari Tehoru, sehingga kemudian mereka memukuli Halue saat memetik cengkeh. Halue kemudian mengumpulkan teman-temannya dan berencana membalas dendam. Mereka menghentikan angkutan umum dari desa Haya, dan melemparinya dengan batu hingga semua kaca jendela pecah. Pemilik kendaraan melaporkan insiden itu ke kepolisian. Polisi kemudian memanggil Raja dan Sekretaris Desa, serta pihakpihak yang bertikai. Difasilitasi oleh Raja, kedua pihak itu setuju untuk saling memaafkan dan menandatangani perjanjian damai. Halue didenda Rp 500,000,- untuk mengganti kerusakan kendaraan. Dia puas dengan hasil kesepakatan, karena diproses cepat dan tanpa melalui proses pengadilan. Harmoni dan Impunitas Akan tetapi, mengutamakan kerukunan bisa mengorbankan hak asasi manusia dan keadilan perorangan. Khususnya pada komunitas yang berbasis suku, dasarnya pemulihan harmoni adalah keseimbangan hubungan komunal. Inilah yang menjadi alasan sesungguhnya, misalnya, Dewan Adat di Maluku dan Sumatera Barat terdiri atas para kepala suku. Keberadaan mereka mewakili komunitas secara keseluruhan dan mereka melihat masalah melalui kacamata komunal. Kepentingan komunal mengalahkan individu, karena harmoni antar suku menjaga stabilitas dan keamanan desa secara keseluruhan. 28

19 Studi Kasus 7: Perkosaan yang diabaikan di Desa Sepa Pada tahun 2003, perempuan berinisial P berusia 17 tahun diperkosa oleh adik suaminya sendiri di Desa Sepa, Pulau Seram, Maluku. Ketika P mengadukan kasus yang dialaminya, P malah dipukuli oleh suaminya. Perempuan itu lantas menceritakan kepada orang tuanya apa yang terjadi, kemudian hubungan antara keluarga P dan suami memanas. Muncullah ancaman-ancaman dan penghinaan. Karena merasa diancam, maka orangtua suami P mengadukan kasus ancaman ini kepada kepala desa. Namun kepala desa memutuskan untuk mengembalikan kasusnya kepada pihak ketua Adat, karena para pihak yang bersengketa merupakan anggota suku Naulu dan suku Naulu telah mempunyai mekanisme sendiri untuk menyelesaikan kasus/sengketa. Ketua adat akhirnya menggelar musyawarah. Pertemuan dihadiri kedua keluarga, saniri negeri dan kepala dusun masingmasing. Tetapi yang diselesaikan oleh mekanisme adat bukan persoalan perkosaan, melainkan peristiwa ancaman yang justru dialami oleh keluarga suami P. Oleh sebab itu, pelaku perkosaan tidak ikut dipanggil dalam musyawarah. Musyawarah diakhiri dengan penentuan denda. Kedua belah pihak baik keluarga korban maupun pelaku diwajibkan membayar denda berupa piring dan kain berang. Kasus perkosaannya diabaikan. Ketika ditanya tanggapannya atas penyelesaian kasus itu, P menjawab dengan marah, Puas? Tidak. Saya tidak puas. Kasus ini menunjukkan bahwa subyektifitas konsep harmoni itu bisa disalahgunakan dan dimanipulasi untuk mendiamkan pengaduan dari kaum lemah. Pihak atau kelompok yang terpinggirkan juga rentan dimusyawarahkan atau dipaksa untuk menerima keputusan yang tidak memuaskan. 40 Kerukunan atau ketentraman seringkali diartikan dengan mempertahankan status quo atau sikap jangan melawan pihak yang punya kekuasaan. Dalam kasus di atas, kebutuhan untuk mementingkan keharmonisan membuat hak-hak korban diturunkan ke posisi sekunder, atau bahkan tidak mendapat perhatian sama sekali. Ini juga terlihat jelas pada Studi Kasus 5 (kasus Penghinaan Ketua Adat ), dimana perempuan tanpa status sosial di desa dipaksa untuk menerima denda yang menurut ia tidak adil. Bandingkan juga dengan Studi Kasus 8 di bawah, dimana seorang anggota DPRD sanggup mengabaikan sanksi adat. Baginya, harmoni itu tidak terlalu penting. Kekuasaan dan status memberinya kebebasan untuk mengabaikan kepentingan komunal. Pola-pola Penyelesaian Sengketa Kasus-kasus Kecil Diselesaikan Secara Cepat... Kasus-kasus kecil di dalam satu desa, seperti pencurian kecil-kecilan, perkelahian antara pemuda, atau sengketa atas batas tanah atau sumber daya alam, pada umumnya mudah ditangani melalui penyelesaian secara informal. Dari empat belas kasus semacam itu yang terdokumentasi di dalam laporan ini, sebelas diantaranya bisa dipecahkan di tingkat lokal. Otoritas dan legitimasi sosial yang dimiliki pelaku penyelesaian sengketa cukup untuk mencapai resolusi.... tetapi ketika kasus yang dihadapi semakin rumit atau pihak dari luar desa turut campur tangan, peradilan informal mulai terpecah. Sebaliknya, kategori kasus lain secara konsisten sulit dipecahkan. Dari sembilan kasus perselisihan antar desa, 40 Seperti apa yang Merry telah simpulkan, Umumnya keadilan populer (popular justice) cenderung mendorong dan menguatkan kekuasaan setempat daripada merubahnya, lihat Sally Engle Merry, Sorting Out Popular Justice, dalam Sally Engle Merry & Neal Milner (ed)(1993) The Possibility of Popular Justice, Ann Arbor, Michigan: University of Michigan Press. 29

20 hanya tiga kasus yang bisa diselesaikan. Hanya satu dari tiga kasus yang melibatkan pihak luar dapat dipecahkan, dan dalam kasus ini hasil resolusi belum bisa sepenuhnya diterapkan. Ini biasanya terkait masalah tanah atau kepentingan ekonomi lain yang cukup signifikan. Kasus yang melibatkan perempuan atau kelompok etnis minoritas biasanya juga sulit dipecahkan (lihat Bab III). Dan perlu diperhatikan juga bahwa semata-mata kasus saja tidak menceritakan keseluruhan cerita banyak masalah hukum yang dialami oleh perempuan khususnya ditekan, sampai mereka diam saja dan masalahnya sama sekali diabaikan. C. Persinggungan antara Peradilan Formal dan Informal Temuan utama: 1. Interaksi antara peradilan formal dan non-formal sering terjadi. Dari 34 kasus yang dikaji, 16 kasus melibatkan pelaku sektor hukum formal dan empat kasus dibawa ke pengadilan. Interaksi ini biasanya terpicu bila kasusnya mengarah pada kekerasan, kasusnya ada kaitan dengan kepentingan ekonomi atau melibatkan kepentingan di luar desa. 2. Kepolisian menengahi hampir semua keluhan. Diskresi polisi untuk memediasikan sengketa sangat luas dan tidak terbatas; kadang-kadang akibatnya ketidakadilan dan korupsi. 3. Persinggungan kurang terdefinisikan. Pengadilan wajib mempertimbangkan hasil peradilan informal. Tapi hakim seringkali kurang memahami kebiasaan dan tradisi lokal. Wewenang peradilan informal tidak terdefinisikan, dengan konsekuensi kejahatan serius dimediasi padahal seharusnya diadili melalui jalur formal. 4. Norma-norma yang bertentangan. Norma-norma sering bertentangan. Hasil proses peradilan formal dan informal bisa berbeda untuk kasus yang sama, yang menimbulkan inkonsistensi dan ambiguitas hukum. Interaksi Antara Sistem Hukum Formal dan Informal Sering Terjadi Walaupun kebanyakan perselisihan ditangani melalui mekanisme informal, interaksi antara upaya penyelesaian formal dan informal biasa terjadi dan sungguh tidak bisa dielakkan di negara dengan sistem hukum yang bersifat pluralistis. Dari 34 kasus yang dimuat dalam laporan ini, 16 melewati mekanisme informal dan melibatkan pelaku peradilan formal. Empat kasus dibawa ke pengadilan. Oleh karena itu, kasus-kasus ini menjadi contoh yang tepat untuk mendokumentasikan dan menganalisa persinggungan antara peradilan formal dan informal. Temuan riset ini menunjukkan bahwa interaksi antara formal dan informal nampaknya muncul oleh tiga faktor utama. Pertama, kasus itu diwarnai kekerasan serius. Data konflik yang diperoleh dari surat kabar menunjukkan ketika kasus melibatkan kekerasan, keterlibatan polisi dalam penyelesaian kasus meningkat dari 27 persen ke 86 persen. Kedua, kasus yang melibatkan pihak luar, termasuk kepentingan sektor swasta atau etnis minoritas. Beberapa kasus dari Sumatera Barat menggambarkan situasi ini (lihat Kasus 13, 29, 30 dan 33). Faktor terakhir, kasus yang terkait dengan kepentingan ekonomi yang besar mungkin akan diselesaikan lewat naik banding melalui sistem formal. Kebanyakan kasus yang sudah melewati sistem informal akan masuk sistem formal melalui polisi. Data GDS (Survei Pemerintahan dan Desentralisasi) yang ditampilkan di atas menunjukkan polisi terlibat dalam 26,7 persen perselisihan, sedangkan jaksa maupun pengacara hanya 1,4 persen dan 2,4 persen masing-masing Serupa dengan hal ini, rangkaian data berbasis laporan surat kabar mengenai konflik di Jawa Timur menunjukkan 37,4 persen dari semua persengketaan melibatkan polisi, tapi hanya 7,3 persen yang sampai ke pengadilan. Lihat Patrick Barron and Joanne Sharpe (2005) Counting Conflicts: Using Newspaper Reports to Understand Violence in Indonesia, Conflict Prevention and Reconstruction Paper No. 25. Washington, DC: World Bank. 30

Masyarakat yang Tergusur: Pengusiran Paksa di Jakarta

Masyarakat yang Tergusur: Pengusiran Paksa di Jakarta September 2006 Volume 18 No. 10(C) Ringkasan Laporan Human Rights Watch, Masyarakat yang Tergusur: Pengusiran Paksa di Jakarta Versi lengkap laporan ini terdapat dalam Bahasa Inggris. Ringkasan... 1 Standar

Lebih terperinci

Masa Depan Hak-Hak Komunal atas Tanah: Beberapa Gagasan untuk Pengakuan Hukum

Masa Depan Hak-Hak Komunal atas Tanah: Beberapa Gagasan untuk Pengakuan Hukum Akses Terhadap Keadilan, Penelitian Dan Rekomendasi Kebijakan Masa Depan Hak-Hak Komunal atas Tanah: Beberapa Gagasan untuk Pengakuan Hukum Rekomendasi Kebijakan Jakarta, Desember 2010 Kerjasama antara:

Lebih terperinci

KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP SEMUA ORANG DARI TINDAKAN PENGHILANGAN SECARA PAKSA

KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP SEMUA ORANG DARI TINDAKAN PENGHILANGAN SECARA PAKSA KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP SEMUA ORANG DARI TINDAKAN PENGHILANGAN SECARA PAKSA Diadopsi pada 20 Desember 2006 oleh Resolusi Majelis Umum PBB A/RES/61/177 Mukadimah Negara-negara

Lebih terperinci

KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP SEMUA ORANG DARI TINDAKAN PENGHILANGAN SECARA PAKSA

KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP SEMUA ORANG DARI TINDAKAN PENGHILANGAN SECARA PAKSA E/CN.4/2005/WG.22/WP.1/REV.4 23 September 2005 (Diterjemahkan dari Bahasa Inggris. Naskah Asli dalam Bahasa Prancis) KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP SEMUA ORANG DARI TINDAKAN PENGHILANGAN

Lebih terperinci

UU PERLINDUNGAN KONSUMEN UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

UU PERLINDUNGAN KONSUMEN UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa pembangunan nasional bertujuan untuk

Lebih terperinci

Manajemen Sumber Daya Manusia

Manajemen Sumber Daya Manusia International Labour Organization Jakarta Manajemen Sumber Daya Manusia untuk Kerjasama dan Usaha yang Sukses Pedoman pelatihan untuk manajer dan pekerja Modul EMPAT SC RE Kesinambungan Daya Saing dan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 1999 TENTANG HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 1999 TENTANG HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 1999 TENTANG HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a b c d e bahwa manusia, sebagai makhluk ciptaan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 1999 TENTANG HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 1999 TENTANG HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 1999 TENTANG HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa manusia, sebagai mahluk ciptaan Tuhan

Lebih terperinci

HAKEKAT PERLINDUNGAN ANAK

HAKEKAT PERLINDUNGAN ANAK 1 2 Bab 1 HAKEKAT PERLINDUNGAN ANAK Apakah perlindungan anak itu? Istilah perlindungan anak (child protection) digunakan dengan secara berbeda oleh organisasi yang berbeda di dalam situasi yang berbeda

Lebih terperinci

Pedoman Penerapan Pengecualian Informasi

Pedoman Penerapan Pengecualian Informasi Pedoman Penerapan Pengecualian Informasi 1. Prinsip- prinsip Kerangka Kerja Hukum dan Gambaran Umum Hak akan informasi dikenal sebagai hak asasi manusia yang mendasar, baik di dalam hukum internasional

Lebih terperinci

Kartu Tanda Penduduk dan Akses terhadap Layanan Dasar Studi Kasus di Kabupaten Bogor dan Kabupaten Sumba Timur

Kartu Tanda Penduduk dan Akses terhadap Layanan Dasar Studi Kasus di Kabupaten Bogor dan Kabupaten Sumba Timur Kartu Tanda Penduduk dan Akses terhadap Layanan Dasar Studi Kasus di Kabupaten Bogor dan Kabupaten Sumba Timur Lidwina Inge, Stepanus Makambombu and Dewi Novirianti Abstrak Studi kasus di Kabupaten Bogor

Lebih terperinci

Bukan hanya laba. Prinsip-prinsip bagi perusahaan untuk melaksanakan tanggung jawab sosial

Bukan hanya laba. Prinsip-prinsip bagi perusahaan untuk melaksanakan tanggung jawab sosial Bukan hanya laba Prinsip-prinsip bagi perusahaan untuk melaksanakan tanggung jawab sosial Penulis Godwin Limberg Ramses Iwan Moira Moeliono Yayan Indriatmoko Agus Mulyana Nugroho Adi Utomo Bukan hanya

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2008 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2008 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2008 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa informasi merupakan kebutuhan

Lebih terperinci

Seolah Saya Bukan Manusia. Kesewenang-wenangan terhadap Pekerja Rumah Tangga Asia di Arab Saudi

Seolah Saya Bukan Manusia. Kesewenang-wenangan terhadap Pekerja Rumah Tangga Asia di Arab Saudi Seolah Saya Bukan Manusia Kesewenang-wenangan terhadap Pekerja Rumah Tangga Asia di Arab Saudi Copyright 2008 Human Rights Watch All rights reserved. Printed in the United States of America ISBN: 1-56432-354-4

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2008 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2008 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2008 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2010 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN

Lebih terperinci

PROTOKOL PEMANTAUAN UNTUK KAWASAN NILAI KONSERVASI TINGGI 5 dan 6

PROTOKOL PEMANTAUAN UNTUK KAWASAN NILAI KONSERVASI TINGGI 5 dan 6 PROTOKOL PEMANTAUAN UNTUK KAWASAN NILAI KONSERVASI TINGGI 5 dan 6 Peta partisipatif yang dibuat komunitas Karen di Chom Thong District, Thailand, dengan dukungan IMPECT, menunjukkan pola penempatan dan

Lebih terperinci

(JUVENILE JUSTICE SYSTEM) DI INDONESIA

(JUVENILE JUSTICE SYSTEM) DI INDONESIA ANALISA SITUASI SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK (JUVENILE JUSTICE SYSTEM) DI INDONESIA Disusun oleh: Purnianti Departemen Kriminologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia Mamik Sri

Lebih terperinci

UUD HAM NO. 39 TAHUN 1999 BAB I KETENTUAN UMUM. Pasal 1

UUD HAM NO. 39 TAHUN 1999 BAB I KETENTUAN UMUM. Pasal 1 UUD HAM NO. 39 TAHUN 1999 BAB I KETENTUAN UMUM Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan : Pasal 1 1. Hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikatnya dan keberadaan manusia sebagai

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Desa memiliki hak asal usul dan hak tradisional dalam

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembangunan nasional

Lebih terperinci

Akses Buruh Migran Terhadap Keadilan di Negara Asal: Studi Kasus Indonesia

Akses Buruh Migran Terhadap Keadilan di Negara Asal: Studi Kasus Indonesia MIGRANT WORKERS ACCESS TO JUSTICE SERIES Akses Buruh Migran Terhadap Keadilan di Negara Asal: Studi Kasus Indonesia Bassina Farbenblum l Eleanor Taylor-Nicholson l Sarah Paoletti Akses Buruh Migran Terhadap

Lebih terperinci

Evaluasi Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung di Kabupaten/Kota

Evaluasi Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung di Kabupaten/Kota Evaluasi Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung di Kabupaten/Kota Local leaders election directly is one of the political change and lead to two different perspectives, democracy consolidation

Lebih terperinci

KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PENGHAPUSAN SEGALA BENTUK DISKRIMINASI RASIAL SEBUAH KAJIAN HUKUM TENTANG PENERAPANNYA DI INDONESIA

KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PENGHAPUSAN SEGALA BENTUK DISKRIMINASI RASIAL SEBUAH KAJIAN HUKUM TENTANG PENERAPANNYA DI INDONESIA Seri Kursus HAM untuk Pengacara X Tahun 2005 KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PENGHAPUSAN SEGALA BENTUK DISKRIMINASI RASIAL SEBUAH KAJIAN HUKUM TENTANG PENERAPANNYA DI INDONESIA Ester Indahyani Jusuf, S.H.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa setiap orang

Lebih terperinci

Daftar Isi. Catatan Kasus Persamaan Kesempatan 1

Daftar Isi. Catatan Kasus Persamaan Kesempatan 1 Daftar Isi 3 Pendahuluan 5 Mengajukan Pengaduan ke EOC (Diagram) 6 Kasus yang Didamaikan 6 Menyelesaikan Masalah Aturan Cara Berpakaian (Diskriminasi Jenis Kelamin) 9 Hamil Bukanlah Sebuah Kejahatan (Diskriminasi

Lebih terperinci

سيادة القانون دليل للسياسيني. Negara Hukum. Panduan Bagi Para Politisi

سيادة القانون دليل للسياسيني. Negara Hukum. Panduan Bagi Para Politisi 1 سيادة القانون دليل للسياسيني Negara Hukum Panduan Bagi Para Politisi 2 Copyright The Raoul Wallenberg Institute of Human Rights and Humanitarian Law and the Hague Institute for the Internationalisation

Lebih terperinci

Berpusat beragam serta bagaimana membuat anak bermakna untuk semua. Pada Anak. Perangkat 4.1 Memahami Proses Pembelajaran dan Peserta Didik 1

Berpusat beragam serta bagaimana membuat anak bermakna untuk semua. Pada Anak. Perangkat 4.1 Memahami Proses Pembelajaran dan Peserta Didik 1 Panduan Buku ini membantu Anda memahami bagaimana konsep belajar berubah ke kelas yang berpusat pada anak. Buku ini memberikan ide-ide bagaimana menangani anak di kelas Anda dengan latar belakang dan kemampuan

Lebih terperinci

Penuntun Hidup Sehat

Penuntun Hidup Sehat Edisi Keempat Dengan Nasihat Tentang : Kesehatan Ibu dan Bayi Baru Lahir Perkembangan Anak & Pembelajaran Usia Dini Air Susu Ibu Gizi dan Pertumbuhan Imunisasi Diare Malaria HIV Perlindungan Anak dll i

Lebih terperinci

Pemajuan Pendidikan Hak Asasi Manusia (HAM) secara Nasional di Indonesia

Pemajuan Pendidikan Hak Asasi Manusia (HAM) secara Nasional di Indonesia PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA MELALUI PEMANFAATAN PERSPEKTIF AGAMA DAN TOKOH MASYARAKAT: Pemajuan Pendidikan Hak Asasi Manusia (HAM) secara Nasional di Indonesia Oleh: Mashadi Said Disunting oleh: Nancy

Lebih terperinci