QUO VADIS PEMBATALAN UNDANG-UNDANG RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL LAW MAKING TREATY OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI. Gautama Budi Arundhati.
|
|
- Surya Dharmawijaya
- 7 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 QUO VADIS PEMBATALAN UNDANG-UNDANG RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL LAW MAKING TREATY OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI Gautama Budi Arundhati Abstract The Constitutional Court of Repubic of Indonesia as the guardian of the constitution has the power to commit constitutional review if there is a law against the constitution. The treaty which derives from customary law will become law making treaty if it is ratified by states. Until now there are several treaties ratified by Indonesia. In this matter, the Constitutional Court has authority to review it even though Indonesia does not officialy declare the objection against the norm of customary law. Keywords: Law making treaty, customary law PENDAHULUAN Indonesia merupakan salah satu anggota masyarakat dunia, dan merupakan konsekuensi logis, bahwa sebagai bagian dari masyarkat dunia Indonesia memliki peran dan andil dalam memelihara perdamaian dan pemajuan masyarkat dunia. Niat dan kesadaran pemerintah dalam mengembangkan dan mempertahankan eksistensi dalam fora internasional menjadi semakin tampak nyata dengan semakin 41
2 banyaknya pejanjian internasional yang telah diratifikasi oleh Indonesia, mulai diratifikasinya perjanjian internasional dari tingkat agreement sampai dengan tingkat treaty. Telah disadari pula sebelumnya oleh the founding fathers bahwa konsekuensi dari kemerdekaan adalah memberikan tempat bagi Indonesia dalam kedudukan yang sejajar dengan bangsa lain dan salah satu manifestasinya adalah terwujud dalam hak untuk membentuk perjanjian internasional bersama dengan negara lain, sebagaimana termaktub secara tegas di dalam alinea IV pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia Dipatuhinya kaidah-kaidah hukum internasional adalah wajar karena pembentukan perangkat hukum tersebut adalah atas dasar kehendak negara-negara yang secara bebas dirumuskan dalam bernagai instrumen internasional. 1 hal ini berarti terciptanya sebuah proses dependensi negara-negara karena suatu negara akan semakin tergantung pada negara yang lain berkaitan engan kepentingan masing-masing negara dalam rangka menciptakan hubungan internasional yang damai dan harmonis. Salah satu indikator yang mendekati sempurna mengenai dependensi antar negara adalah adanya permasalahan dalam hubungan antar negara yang muncul semakin hari semakin kompleks, yang berujung pada urgensi diadakannya suatu solusi dalam menyikapi setiap permasalahan bersama yang muncul. Solusi tersebut tidak lain 1 Boer Mauna, Hukum Internasional, Pengertian,, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, (Bandung: Alumni, 2001), hlm
3 dimaksudkan untuk menghindari terjadinya gesekan kepentingan nasional dari masing-masing negara. Suatu solusi menjadi semakin konkret apabila solusi tersebut tercipta dengan didasari adanya niat baik melalui kerjasama antar negara dan diwujudkan dalam suatu naskah perjanjian yang tertulis yang telah disepakati bersama dalam kerangka penciptaan kesepahaman bersama antar negaranegara dengan tujuan terciptanya harmonisme dan perdamaian. Namun demikian, perjanjian internasional semata bukanlah merupakan satu-satunya suatu solusi yang telah tuntas secara keseluruhan, karena masih terdapat suatu mekanisme lain yaitu berupa ratifikasi dalam rangka memasukkan perjanjian internasional sebagai hukum internasional kedalam wilayah yurisdiksi nasional sampai pada tahap suatu perjanjian internasional menjadi bagian dari hukum nasional Indonesia, yaitu menjadikannya sebagai undang-undang. Masalah proses nasionalisasi hukum internasional menjadi hukum nasional belumlah dapat dikatakan telah final, karena permasalahan baru akan muncul apabila suatu kaidah hukum hasil ratifikasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat (undang-undang) tersebut harus diujikan seiring dengan munculnya permohonan uji material undang-undang terhadap undang-undang dasar oleh warga negara Indonesia melalui Mahkamah Konstitusi, karena pembatalan peraturan perundang-undangan setingkat undang-undang merupakan salah satu dari kewenangan Mahkaamah Konstitusi. A. PERMASALAHAN Dari uraian tersebut diatas, maka merupakan hal yang wajar apabila suatu saat muncul permasalahan bilamana suatu undang-undang yang merupakan undang-undang hasil ratifikasi perjanjian internasional yang berbentuk law making treaty yang berasal dari kebiasaan internasional dimohonkan untuk dibatalkan, dan kemungkinan interpretasi macam apa yang selayaknya digunakan oleh hakim. 43
4 B. PEMBAHASAN C.1. Law Making Treaty sebagai perjanjian internasional yang berasal dari Kebiasaan Internasional Perjanjian internasional, dapat diartikan sebagai suatu hukum yang mengatur hubungan antara negara-negara dan biasanya melalui penggunaan norma-norma yang disepakati secara sukarela serta mengikat negara-negara satu sama lain yang selanjutnya dituangkan dalam suatu naskah perjanjian yang secara eksplisit dinyatakan untuk disetujui oleh para pihak dalam perjanjian internasional ini dan perjanjian internasional tersebut selalu didasarkan pada sebuah konsensus yang dilandasi oleh asas pacta sunt servanda. Dasar utama pembentukan undang-undang hasil ratifikasi terdapat dalam pengaturan dalam Undang-Undang Dasar 1945, yaitu pada Pasal 5 ayat(1) Undang-Undang Dasar 1945, yaitu Presiden berhak mengajukan Rancangan Undang-Undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat, dan pasal 11 ayat (1) Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain, serta Pasal 11 ayat (2) Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undangundang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat selanjutnya Pasal 11 ayat (3) Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur dengan undang-undang. Difinisi Perjanjian Internasional menurut Ps.2 Konvensi Wina 1969 adalah Suatu persetujuan yang dibuat antara negara dalam bentuk tertulis, dan diatur oleh hukum internasional, apakah dalam instrumen tunggal atau dua atau lebih instrumen yang berkaitan dan apapun nama yang diberikan padanya treaty means an international agreement concluded between States in 44
5 written form and governed by international law, whether embodied in a single instrument or in two or more related instruments and whatever its particular designation. Selanjutnya Ps.1 ayat(3) Undang-Undang No.37 Tahun1999 Tentang Hubungan Luar Negeri, menyebutkan bahwa: Perjanjian Internasional adalah perjanjian dalam bentuk dalam bentuk dan sebutan apapun, yang diatur oleh hukum internasional dan dibuat secara tertulis oleh pemerintah Republik Indonesia dengan satu atau lebih negara, organisasi internasional atau subyek hukum internasional lainnya, serta menimbulkan hak dan kewajiban pada pemerintah Republik Indonesia yang bersifat hukum publik. Lebih jauh Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No.24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional menyebutkan bahwa Perjanjian Internasional adalah perjanjian, dalam bentuk dan nama tertentu yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik. Ditinjau dari teori dan tata cara pembentukan Undang- Undang, suatu undang-undang yang materi muatannya berasal dari Perjanjian Internasional akan serta-merta mengikat seperti Undang- Undang lainnya, dan merupakan konsekuensi terikat perjanjian adalah membuat ketentuan yang menampung apa yang diatur oleh perjanjian dalam wilayah yurisdiksi nasional. Adapun beberapa macam substansi perjanjian internasional yang memerlukan proses ratifikasi menurut Pasal 9 Undang-Undang No.24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional adalah: (1)Pengesahan dilakukan sepanjang dipersyaratkan oleh perjanjian internasional tersebut; (2)pengesahan dilakukan dengan Undang-Undang atau keputusan presiden. Selanjutnya mengenai batasan ratifikasi diatur dalam Pasal 10 Undang-Undang No.24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional, yaitu pengesahan dilakukan dengan undang-undang apabila berkenaan dengan: a.masalah politik, perdamaian, pertahanan dan keamanan negara; 45
6 b.perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah neg.ri; c.kedaulatan atau hak berdaulat negara; d.hak Asasi Manusia dan Lingkungan Hidup; e.pembentukan kaidah hukum baru; f.pinjaman dan/atau hibah luar negeri. Sedangkan diluar hal-hal tersebut, dilakukan dengan Keputusan presiden, dan memberikan salinan setiap keputusan presiden kepada Dewan Perwakilan Rakyat, hal ini diatur melalui ps.11 ayat (1)& ayat (2) Undang-Undang No.24 Tahun 2000 Tentang perjanjian Internasional. Perjanjian internasional bilamana ditinjau dari pihak yang mengadakannya adalah dilakukan oleh banyak pihak, maka konvensi tersebut dapat digolongkan sebagai perjanjian multilateral dan berdasarkan substansinya, pada umumnya termasuk kategori law making treaties, yaitu perjanjian internasional yang dapat melahirkan norma hukum internasional baru, sehingga meletakkan ketentuan-ketentuan atau kaidah baru bagi masyarakat internasional. Law making treaties are those agreements whereby states elaborate their perception of international law upon any given topic or establish new rules which are to guide them for future in their international conduct. 2 dan ciri yang melekat pada perjanjian internasional semacam ini selalu terbuka bagi negara lain yang ingin turut serta dalam perjanjian internasional tersebut. Berdasarkan tujuan pembentukannya, konvensi-konvensi yang berasal dari kebiasaan internasional adalah bertujuan untuk menyeragamkan kaidah-kaidah hukum diantara negara-negara peserta dan dalam rangka melancarkan hubungan antar negara serta merupakan salah satu upaya dalam rangka menyelesaikan permasalahan antar negara. Perjanjian semacam ini dapat dipandang sebagai hal yang penting mengingat dalam masyarakat 2 Malcolm Shaw, International Law (5 th edition),( Cambridge: Cambridge University Press,2006),hlm
7 internasional hubungan antar negara adalah sejajar atau koordinatif dan hal ini jauh berbeda dibandingkan dengan mekanisme hukum nasional dimana terdapat suatu lembaga legislatif yang merupakan lembaga pembuat hukum dan merupakan pula lembaga representatif yang mewakili rakyat. Secara hukum tidak terdapat satu penguasapun yang memiliki kewenangan menetapkan serta memaksakan ketentuan hukum dalam tataran internasional. Perjanjian internasional law making treaty sebagai hukum internasional yang terbuka bagi negara peserta yang ingin turut serta terikat dalam perjanjian tersebut, pada umumnya substansi dari perjanjian internasional semacam ini adalah berasal dari kebiasaan internasional. Kebiasaan Internasional mempersyaratkan adanya faktor legalitas, yaitu salah satunya adalah berdasarkan asumsi masing-masing negara secara subyektif, berdasarkan Opinio Iuris Sive Necessitatis, yaitu negara yang tunduk terhadap kebiasaan internasional tersebut merasa bahwa praktek tertentu dapat dipertanggung jawabkan secara hukum. Kebiasaan merupakan suatu praktek yang diikuti oleh mereka yang berkepentingan karena mereka merasa secara hukum wajib melakukannya. Opinio juris diperkenalkan sebagai suatu formula hukum dalam usaha membedakan peraturan-peraturan hukum dengan kelumrahan social semata, dan hal ini menunjuk pada keyakinan subjektif yang dipertahankan oleh negara-negara bahwa suatu praktek tertentu secara hukum dituntut daripadanya. 3 Selanjutnya apabila merujuk pada pendapat Malcolm Shaw adalah sebagai berikut: Once one has established the existence of a specified usage, it becomes necessary to consider how the state views its own behavior. Is it to be regarded as a moral or political or legal act or statement? The opinion jurist, or beliefs that state activity is legally obligatory, is the factor which turns the usage 3 Rebecca M.M. Wallace, Hukum Internasional, Terjemahan Bambang Arumanadi,(Semarang: IKIP Semarang, 1993), hlm
8 into a custom and renders it part of the rules of international law. To put it slightly differently, states will behave a certain way because they are convinced it is binding upon them to do so. 4 C2.Interpretasi Dalam Constitutional Review UU Ratifikasi Pengujian peraturan perundang-undangan setingkat undang-undang (constitutional review) adalah merupakan salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi seperti yang telah disebutkan dalam Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar1945, yaitu: Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Sehingga dalam hal kasus pengujian undang-undang yang berasal dari perjanjian internasional semacam ini adalah dimungkinkan, mengingat kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji konstitusionalitas undang-undang. Ps. 46 Kovensi Wina: apabila kesalahan tersebut dilakukan secara terang-terangan maka dapat membatalkan perjanjian yang telah dibuat. Irregularitas Formal: Bentuk perjanjian yang salah atau bertentangan dengan hukum nasional Secara umum dalam memutus suatu permohonan perkara hakim memiliki kebebasan dalam menggunakan metode penafsiran tertentu berdasarkan keyakinan hakim dalam rangka mencari hukumnya. Hal ini merupakan konsekuensi yang tidak dapat dihindari karena Hakim Mahkamah Konstitusi dalam memberikan pertimbangan dalam tiap tiap putusannya selalu harus dilandasi oleh prinsip independensi dan imparsialitas. Pencarian hukum - 4 Op.cit. hlm
9 rechtsvinding- merupakan pula hal yang mutlak dilakukan oleh hakim Mahkamah Konstitusi karena adanya asas Ius Curia Novit, yaitu asas yang menyatakan bahwa hakim dianggap tahu hukumnya, oleh karena itu hakim Mahkamah Konstitusi tidak boleh menolak suatu perkara dengan alasan tidak ada hukumnya sepanjang permohonan perkara tersebut merupakan kompetensi Mahkamah Konstitusi, hal ini bertujuan untuk menghindari non liquet. Alasan pembatalan perjanjian internasional yang telah disahkan oleh Dewan Permusyawaratan Rakyat melalui proses ratifikasi oleh mahkamah konstitusi haruslah berdasarkan intepretasi historis oleh hakim karena secara historis tiap perjanjian internasional yang berupa law making treaties merupakan suatu norma yang telah diterima oleh masyarakat internasional sebagi kebiasaan internasional terlebih dahulu, ini merupakan suatu konsekuensi dari diterimanya suatu perjanjian internasional tersebut menjadi bagian dari hukum nasional oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan perlu untuk diingat bahwa tiap-tiap perjanjian internasional yang dibuat adalah berdasarkan kehendak dan kepentingan nasional negara pihak. Dengan penafsiran menurut sejarah undang-undang hendak dicari maksud ketentuan undang-undang seperti yang dimaksud dan dikehendaki oleh pembentuk undang-undang pada waktu pembentukannya 5 Hal ini pula dapat dilihat bagaimana suatu perjanjian internasional yang bersangkutan dibuat, yaitu menetapkan suatu norma yang diharapkan dapat mengikat dan mengharmonisasikan norma tersebut pada setiap pihak secara global. 5 Tim Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, (Jakarta, Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2010), hlm
10 Interpretasi kedua yang harus digunakan yaitu interpretasi sistematis atau logis, yaitu terjadinya suatu undang-undang selalu berkaitan dengan peraturan perundang-undangan lain, dan tidak ada undang-undang yang berdiri sendiri lepas sama sekali dari keseluruhan system perundang-undangan. 6 begitu pula halnya dengan suatu perjanjian internasional yang berbentuk law making treaties yang biasanya bersumber pada kebiasaan internasional dan sebelum menjadi suatu perjanjian internasional memang telah diterima sebagai suatu norma yang mengikat, setidaknya berdasarkan opinio iuris sive necesitatis, sehingga perjanjian internasional yang berbentuk law making treaty pada substansinya telah diakui sebelumnya meskipun perjanjian internasional tersebut belumlah diperjanjikan oleh para pihak yang meratifikasinya, yaitu melalui praktek negara yang dilakukan oleh Indonesia dengan asumsi tidak adanya tentangan dari Indonesia dengan berjalannya praktek negara-negara tersebut. Lebih jauh dinyatakan dalam Vienna Convention 1969 Article 27: Internal law and observance of treaties. A party may not invoke the provisions of its internal law as justification for its failure to perform a treaty. This rule is without prejudice to article 46 dan selanjutnya diuraikan lebih lanjut dalam Article 46 Provisions of internal law regarding competence to conclude treaties 1. A State may not invoke the fact that its consent to be bound by a treaty has been expressed in violation of a provision of its internal law regarding competence to conclude treaties as invalidating its consent unless that violation was manifest and concerned a rule of its internal law of fundamental importance. 2. A violation is manifest if it would be objectively evident to any State conducting itself in the matter in accordance with normal practice and in good faith. 6 Ibid. hlm
11 Simpulan dari konvensi tersebut adalah suatu perjanjian tetap sah walaupun melanggar ketentuan konstitusi 7 C. KESIMPULAN Penolakan terhadap hukum internasional adalah tidak mungkin, karena dalam prakteknya semua tindak-tanduk negara dalam hubungan luar negerinya berpedoman dan didasarkan atas asasasas serta ketentuan yang terdapat dalam hukum internasional itu sendiri 8 sehingga praktek negara yang berdasarkan kehendak subyektif (opinio iuris sive necesitatis) merupakan faktor utama yang menentukan suatu hukum internasional diterima sebagai kebiasaan internasional, dan setelah berlaku tanpa adanya keberatan atau tentangan maka dibentuklah perjanjian internasional yang bersubstansi pada kebiasaan internasional tersebut. Konsekuensi dari diterimanya kebiasaan internasional tersebut adalah diterimanya pula perjanjian internasional yang dimaksud, sehingga pembatalan suatu undang-undang hasil ratifikasi perjanjian internasional yang berasal dari kebiasaan internasional yang biasanya dalam bentuk law making treaties adalah hamper tidak mungkin dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi, berdasarkan pertimbangan historis dan logis. 7 Op.cit, hlm Ibid, hlm
12 DAFTAR PUSTAKA Peraturan Perundang-Undangan: Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-Undang No.37 Tahun.1999 Tentang Hubungan Luar Negeri Undang-Undang No.24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional Konvensi Wina 1969 Tentang Perjanjian Internasional Literatur: Shaw, Malcolm, 2006, International Law (5 th Edition), Cambridge University Press, Cambridge, UK. Mauna, Boer, 2001, Hukum Internasional, Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, Alumni, Bandung Tim Penyusun Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, 2010, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta Wallace, Rebecca M.M (terjemahan Bambang Arumanadi), Hukum Internasional, IKIP Semarang Press, Semarang. 52
PERJANJIAN INTERNASIONAL DI ERA GLOBALISASI
PERJANJIAN INTERNASIONAL DI ERA GLOBALISASI DISUSUN OLEH : Sudaryanto, S.H., M.Hum FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS TUJUH BELAS AGUSTUS SEMARANG TAHUN 2011 BAB I PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Hukum Perjanjian
Lebih terperinciBAB 1 SUBJEK HUKUM INTERNASIONAL
BAB 1 SUBJEK HUKUM INTERNASIONAL 1.0 Pendahuluan Hukum internasional, pada dasarnya terbentuk akibat adanya hubungan internasional. Secara spesifik, hukum internasional terdiri dari peraturan-peraturan
Lebih terperinciANALISIS TENTANG PEMERINTAH DAERAH SEBAGAI PIHAK DALAM PEMBENTUKAN PERJANJIAN INTERNASIONAL
ANALISIS TENTANG PEMERINTAH DAERAH SEBAGAI PIHAK DALAM PEMBENTUKAN PERJANJIAN INTERNASIONAL Oleh: Teuku Fachryzal Farhan I Made Tjatrayasa Program Kekhususan Hukum Internasional dan Bisnis Internasional
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. yang ditimbulkan dapat menyentuh berbagai bidang kehidupan. Korupsi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di berbagai belahan dunia, korupsi selalu mendapatkan perhatian yang lebih dibandingkan dengan tindak pidana lainnya. Fenomena ini dapat dimaklumi mengingkat dampak
Lebih terperinciMATERI PERKULIAHAN HUKUM INTERNASIONAL MATCH DAY 6 PERJANJIAN INTERNASIONAL
MATERI PERKULIAHAN HUKUM INTERNASIONAL MATCH DAY 6 PERJANJIAN INTERNASIONAL A. PENDAHULUAN Dalam pergaulan dunia internasional saat ini, perjanjian internasional mempunyai peranan yang penting dalam mengatur
Lebih terperinciChapter Six. Batal dan Berakhirnya Perjanjian Internasional. Article 42 (1) Vienna Convention on Treaty
Chapter Six Batal dan Berakhirnya Perjanjian Internasional Article 42 (1) Vienna Convention on Treaty The validity of a treaty or of the consent of a State to be bound by a treaty may be impeached only
Lebih terperinciBAB IV PENUTUP. sebelumnya, penulis menyimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan uraian analisa terhadap judul dan topik pembahasan pada bab sebelumnya, penulis menyimpulkan beberapa hal sebagai berikut: 1. Pengesahan perjanjian internasional
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2009 TENTANG PENGESAHAN UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST TRANSNATIONAL ORGANIZED CRIME (KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA MENENTANG TINDAK PIDANA TRANSNASIONAL
Lebih terperinciMATERI PERKULIAHAN HUKUM INTERNASIONAL MATCH DAY 3 SUMBER-SUMBER HUKUM INTERNASIONAL
MATERI PERKULIAHAN HUKUM INTERNASIONAL MATCH DAY 3 SUMBER-SUMBER HUKUM INTERNASIONAL Sumber hukum menempati kedudukan yang sangat penting dan merupakan faktor yang menentukan dalam penyelesaian sengketa
Lebih terperinci- Dibentuk oleh suatu Perjanjian Internasional - Memiliki organ yang terpisah dari negara-negara anggotanya - Diatur oleh hukum internasional publik
BAHAN KULIAH HUKUM ORGANISASI INTERNASIONAL Match Day 6 KEPRIBADIAN HUKUM / PERSONALITAS YURIDIK / LEGAL PERSONALITY, TANGGUNG JAWAB, DAN WEWENANG ORGANISASI INTERNASIONAL A. Kepribadian Hukum Suatu OI
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang
NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK DEMOKRATIK TIMOR- LESTE TENTANG AKTIFITAS KERJA SAMA DIBIDANG PERTAHANAN
Lebih terperinciHUKUM INTERNASIONAL. Oleh : Nynda Fatmawati, S.H.,M.H.
HUKUM INTERNASIONAL Oleh : Nynda Fatmawati, S.H.,M.H. SUMBER HUKUM INTERNASIONAL Sumber: Starke (1989), Brownlie (1979), Shelton (2006), Riesenfeld (2006) Pengertian: Bahan-bahan aktual yang digunakan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. berdasarkan undang-undang atau keputusan pengadilan. Hukum internasional
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di dalam satu negara, kepentingan hukum dapat diadakan dengan berdasarkan kontrak di antara dua orang atau lebih, kesepakatan resmi, atau menurut sistem pemindahtanganan
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN OLEH TERORIS,
Lebih terperinciHUKUM PERJANJIAN. Aspek Hukum dalam Ekonomi Hal. 1
HUKUM PERJANJIAN Ditinjau dari Hukum Privat A. Pengertian Perjanjian Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain/lebih (Pasal
Lebih terperinciVolume 12 Nomor 1 Maret 2015
Volume 12 Nomor 1 Maret 2015 ISSN 0216-8537 9 77 0 21 6 8 5 3 7 21 12 1 Hal. 1-86 Tabanan Maret 2015 Kampus : Jl. Wagimin No.8 Kediri - Tabanan - Bali 82171 Telp./Fax. : (0361) 9311605 KEWENANGAN PRESIDEN
Lebih terperinciPENDIRIAN DAN PEMBUBARAN ORGANISASI INTERNASIONAL OAI 2013 ILMU ADMINISTRASI NEGARA UTAMI DEWI
PENDIRIAN DAN PEMBUBARAN ORGANISASI INTERNASIONAL OAI 2013 ILMU ADMINISTRASI NEGARA UTAMI DEWI PENDIRIAN Prasayarat berdirinya organisasi internasional adalah adanya keinginan yang sama yang jelas-jelas
Lebih terperinciRANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN KERJA SAMA PERTAHANAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH KERAJAAN ARAB SAUDI (DEFENSE COOPERATION
Lebih terperinciSUMBER HUKUM INTERNASIONAL ARIE AFRIANSYAH
SUMBER HUKUM INTERNASIONAL ARIE AFRIANSYAH PENGANTAR Pentingnya pemahaman sumber HI Sumber hukum formil dan materil Sumber HI tertulis: Psl 38 (1) Statuta ICJ Kritik terhadap sumber HI Psl. 38 (1) Statuta
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. internasional, sudah sejak lama dilakukan oleh negara-negara di dunia ini. Perjanjianperjanjian
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perwujudan atau realisasi hubungan-hubungan internasional dalam bentuk perjanjianperjanjian internasional, sudah sejak lama dilakukan oleh negara-negara di
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2009 TENTANG PENGESAHAN PROTOCOL AGAINST THE SMUGGLING OF MIGRANTS BY LAND, SEA AND AIR, SUPPLEMENTING THE UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST TRANSNATIONAL
Lebih terperinciVIENNA CONVENTION ON THE LAW OF TREATIES 1969
VIENNA CONVENTION ON THE LAW OF TREATIES 1969 Konvensi Wina 1969 terdiri dari dua bagian, yaitu bagian Pembukaan/Konsideran (Preambule) dan bagian isi (Dispositive), serta Annex dan dilengkapi dengan dua
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENDANAAN TERORISME,
Lebih terperinciLex Administratum, Vol.I/No.3/Jul-Sept/2013
PENGUJIAN TERHADAP UNDANG-UNDANG YANG MERATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL 1 Oleh : Marthina Ulina Sangiang Hutajulu 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana mekanisme
Lebih terperinciBAB VI PENDIRIAN DAN PEMBUBARAN ORGANISASI INTERNASIONAL
BAB VI PENDIRIAN DAN PEMBUBARAN ORGANISASI INTERNASIONAL I. PENDIRIAN Prasyarat berdirinya organisasi internasional adalah adanya keinginan yang sama yang jelas-jelas menguntungkan dan tidak melanggar
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENDANAAN TERORISME,
Lebih terperinciURGENSI PENGGANTIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2004 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL
URGENSI PENGGANTIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2004 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL Oleh: Yeni Handayani * Naskah diterima : 29 September 2014; disetujui : 13 Oktober 2014 Indonesia sebagai negara hukum
Lebih terperinciNOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL Menimbang: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa dalam rangka mencapai tujuan Negara
Lebih terperinciRINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 54/PUU-X/2012 Tentang Parliamentary Threshold dan Electoral Threshold
RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 54/PUU-X/2012 Tentang Parliamentary Threshold dan Electoral Threshold I. PEMOHON Partai Nasional Indonesia (PNI) KUASA HUKUM Bambang Suroso, S.H.,
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK RAKYAT CHINA TENTANG KERJA SAMA AKTIVITAS DALAM BIDANG PERTAHANAN
Lebih terperinciLEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 185, 2000 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4012) UNDANG-UNDANG REPUBLIK
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mencapai tujuan Negara
Lebih terperinciKEKUASAAN HUBUNGAN LUAR NEGERI PRESIDEN (FOREIGN POWER OF THE PRESIDENT) Jumat, 16 April 2004
KEKUASAAN HUBUNGAN LUAR NEGERI PRESIDEN (FOREIGN POWER OF THE PRESIDENT) Jumat, 16 April 2004 1. Ketentuan UUD 1945: a. Pra Amandemen: Pasal 11: Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1996 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION ON PSYCHOTROPIC SUBSTANCES 1971 (KONVENSI PSIKOTROPIKA 1971)
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1996 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION ON PSYCHOTROPIC SUBSTANCES 1971 (KONVENSI PSIKOTROPIKA 1971) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Lebih terperinciLEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.186, 2014 PENGESAHAN. Persetujuan. Kerja Sama. Industri Pertahanan. Republik Indonesia. Republik Turki. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Lebih terperinciUMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan
PENJELASAN ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL
Lebih terperinciH. BUDI MULYANA, S.IP., M.SI
H. BUDI MULYANA, S.IP., M.SI HUKUM INTERNASIONAL INTERNATIONAL LAW : 1. PUBLIC INTERNATIONAL LAW ( UNITED NATIONS LAW, WORLD LAW, LAW of NATIONS) 2. PRIVATE INTERNATIONAL LAW 2 DEFINISI "The Law of Nations,
Lebih terperinci2. Perundingan: Merupakan tahap awal yang dilakukan oleh kedua pihak yang berunding mengenai kemungkinan dibuatnya suatu perjanjian internasional.
1. Penjajakan: Merupakan tahap awal yang dilakukan oleh kedua pihak yang berunding mengenai kemungkinan dibuatnya suatu perjanjian internasional. 2. Perundingan: Merupakan tahap kedua untuk membahas substansi
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF ACTS OF NUCLEAR TERRORISM (KONVENSI INTERNASIONAL PENANGGULANGAN TINDAKAN TERORISME
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) telah melahirkan sebuah
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) telah melahirkan sebuah lembaga baru yang menjadi bagian dari kekuasaan kehakiman. Sebuah lembaga dengan kewenangan
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK RAKYAT CHINA MENGENAI BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA (TREATY BETWEEN
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK DEMOKRATIK TIMOR-LESTE TENTANG KEGIATAN KERJA SAMA DI BIDANG
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011:
34 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Judicial Review Kewenangan Judicial review diberikan kepada lembaga yudikatif sebagai kontrol bagi kekuasaan legislatif dan eksekutif yang berfungsi membuat UU. Sehubungan
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK (AGREEMENT BETWEEN THE GOVERNMENT OF THE REPUBLIC OF INDONESIA AND THE GOVERNMENT OF THE
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA PENGESAHAN UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST CORRUPTION, 2003 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, : a. bahwa dalam rangka mewujudkan
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL
UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL PRESIDEN Menimbang : a. bahwa dalam rangka mencapai tujuan Negara Republik Indonesia sebagaimana tercantum di dalam Pembukaan Undang-Undang
Lebih terperinciDAYA IKAT PERJANJIAN INTERNASIONAL TIDAK TERTULIS SEBAGI BUKTI DALAM PENYELESAIAN SENGKETA DI MAHKAMAH INTERNASIONAL
DAYA IKAT PERJANJIAN INTERNASIONAL TIDAK TERTULIS SEBAGI BUKTI DALAM PENYELESAIAN SENGKETA DI MAHKAMAH INTERNASIONAL OLEH : GRIZELDA (13/354131/PHK/7794) A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Perwujudan atau
Lebih terperinciPERTANYAAN Bagaimanakan kasus Marbury vs Madison Apa alasan John Marshall membatalkan Judiciary Act. Bagaimana pemikiran Yamin tentang Yudisial Review
MAHKAMAH KONSTITUSI DAN HUKUM ACARA PERADILAN KONSTITUSI PERTANYAAN Bagaimanakan kasus Marbury vs Madison Apa alasan John Marshall membatalkan Judiciary Act. Bagaimana pemikiran Yamin tentang Yudisial
Lebih terperinciLEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.10, 2016 AGREEMENT. Pengesahan. Republik Indonesia. Republik Polandia. Bidang Pertahanan. Kerja Sama. Persetujuan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 2008 TENTANG PENGESAHAN CHARTER OF THE ASSOCIATION OF SOUTHEAST ASIAN NATIONS (PIAGAM PERHIMPUNAN BANGSA-BANGSA ASIA TENGGARA) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA
Lebih terperinciRANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam rangka melindungi segenap
Lebih terperinciFUNGSI LEGISLASI DPR DALAM PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG
FUNGSI LEGISLASI DPR DALAM PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG Oleh Epita Eridani I Made Dedy Priyanto Bagian Hukum Pemerintahan Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRAK The House of Representatives is a real
Lebih terperinciRINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 25/PUU-XIII/2015 Pemberhentian Sementara Pimpinan KPK Karena Ditetapkan Sebagai Tersangka
RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 25/PUUXIII/2015 Pemberhentian Sementara Pimpinan KPK Karena Ditetapkan Sebagai Tersangka I. PEMOHON 1. Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK) (Pemohon I)
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF ACTS OF NUCLEAR TERRORISM (KONVENSI INTERNASIONAL PENANGGULANGAN TINDAKAN TERORISME
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2014 TENTANG
SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2014 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN TENTANG KERJA SAMA INDUSTRI PERTAHANAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK TURKI (AGREEMENT
Lebih terperinciRINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 40/PUU-XIII/2015 Pemberhentian Sementara Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi
RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 40/PUU-XIII/2015 Pemberhentian Sementara Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi I. PEMOHON Dr. Bambang Widjojanto, sebagai Pemohon. KUASA HUKUM Nursyahbani Katjasungkana,
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2001 TENTANG
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2001 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH HONGKONG UNTUK PENYERAHAN PELANGGAR HUKUM YANG MELARIKAN DIRI (AGREEMENT
Lebih terperinciRINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 85/PUU-XV/2017 Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan
RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 85/PUU-XV/2017 Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan I. PEMOHON E. Fernando M. Manullang. II. III. OBJEK PERMOHONAN Pengujian formil dan pengujian materil
Lebih terperinciRINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 65/PUU-VIII/2010 Tentang Pengajuan Saksi Yang Meringankan Tersangka/Terdakwa ( UU Hukum Acara Pidana )
RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 65/PUU-VIII/2010 Tentang Pengajuan Saksi Yang Meringankan Tersangka/Terdakwa ( UU Hukum Acara Pidana ) I. PEMOHON Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra. II. POKOK
Lebih terperinciRINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 35/PUU-XII/2014 Sistem Proporsional Terbuka
RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 35/PUU-XII/2014 Sistem Proporsional Terbuka I. PEMOHON Dewan Pengurus Pusat Partai Kebangkitan Bangsa (DPP PKB), dalam hal ini diwakili oleh Drs. H. Muhaimin Iskandar,
Lebih terperinciBAB II ASPEK HUKUM TENTANG MEMORANDUM OF UNDERSTANDING DAN PERJANJIAN
BAB II ASPEK HUKUM TENTANG MEMORANDUM OF UNDERSTANDING DAN PERJANJIAN A. Dasar Hukum Memorandum Of Understanding Berdasarkan Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 alinea keempat yang berbunyi : Kemudian daripada
Lebih terperinci3. Menurut Psl 38 ayat I Statuta Mahkamah Internasional: Perjanjian internasional adalah sumber utama dari sumber hukum internasional lainnya.
I. Definisi: 1. Konvensi Wina 1969 pasal 2 : Perjanjian internasional sebagai suatu persetujuan yang dibuat antara negara dalam bentuk tertulis, dan diatur oleh hukum internasional, apakah dalam instrumen
Lebih terperinciChapter Five. Pelaksanaan Perjanjian Internasional. Article 26 Vienna Convention on Treaty
Chapter Five Pelaksanaan Perjanjian Internasional Article 26 Vienna Convention on Treaty Every treaty in force is binding upon the parties to it and must be performed by them in good faith. Chapter Five
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK INDIA TENTANG BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA (TREATY BETWEEN
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK RAKYAT CHINA MENGENAI BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA (TREATY BETWEEN
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada mulanya terdapat tiga alternatif lembaga yang digagas untuk diberi kewenangan melakukan pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. manusia lainnya. Di dalam masyarakat bagaimanapun sederhananya, para anggota
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang. Manusia sebagai makhluk sosial selalu membutuhkan hubungan dengan manusia lainnya. Di dalam masyarakat bagaimanapun sederhananya, para anggota masyarakat membutuhkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. selanjutnya disebut UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa. berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 selanjutnya disebut UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan
Lebih terperinciNASKAH PENJELASAN PROTOCOL TO THE ASEAN CHARTER ON DISPUTE SETTLEMENT MECHANISM (PROTOKOL PIAGAM ASEAN MENGENAI MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA)
NASKAH PENJELASAN PROTOCOL TO THE ASEAN CHARTER ON DISPUTE SETTLEMENT MECHANISM (PROTOKOL PIAGAM ASEAN MENGENAI MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA) 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Protokol Piagam ASEAN
Lebih terperinciPENDAHULUAN. Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 (UUD Tahun 1945) telah melahirkan sebuah
PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 (UUD Tahun 1945) telah melahirkan sebuah lembaga baru dengan kewenangan khusus yang merupakan salah satu bentuk judicial
Lebih terperinciRINGKASAN PUTUSAN. 2. Materi pasal yang diuji: a. Nomor 51/PUU-VI/2008: Pasal 9
RINGKASAN PUTUSAN Sehubungan dengan sidang pembacaan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 51,52,59/PUU-VI/2009 tanggal 18 Februari 2009 atas Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, dengan hormat dilaporkan
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN PAPUA NUGINI (EXTRADITION TREATY BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA AND THE INDEPENDENT
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2001 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH HONGKONG UNTUK PENYERAHAN PELANGGAR HUKUM YANG MELARIKAN DIRI (AGREEMENT
Lebih terperinciRINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 32/PUU-XIV/2016 Pengajuan Grasi Lebih Dari Satu Kali
RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 32/PUU-XIV/2016 Pengajuan Grasi Lebih Dari Satu Kali I. PEMOHON 1. Su ud Rusli, (selanjutnya disebut sebagai Pemohon I); 2. H. Boyamin, (selanjutnya disebut sebagai Pemohon
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembentukan peraturan
Lebih terperinciRINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 99/PUU-XIV/2016 Korelasi Perjanjian Kerja Untuk Waktu Tertentu dan Perjanjian Kerja Untuk Waktu Tidak Tertentu
RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 99/PUU-XIV/2016 Korelasi Perjanjian Kerja Untuk Waktu Tertentu dan Perjanjian Kerja Untuk Waktu Tidak Tertentu I. PEMOHON Hery Shietra, S.H...... selanjutnya disebut
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK INDIA TENTANG BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA (TREATY BETWEEN THE
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa dalam rangka mencapai tujuan Negara Republik Indonesia sebagaimana
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. yang menyatakan bahwa permohonan pengujian materiil Undang-Undang Nomor
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Penelitian ini dilatarbelakangi oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2-3/PUU-V/2007 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika (selanjutnya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG
1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN Hukum Internasional adalah keseluruhan kaidah-kaidah dan asas-asas yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas-batas Negara-negara antara Negara dengan
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2009 TENTANG PENGESAHAN PROTOCOL TO PREVENT, SUPPRESS AND PUNISH TRAFFICKING IN PERSONS, ESPECIALLY WOMEN AND CHILDREN, SUPPLEMENTING THE UNITED
Lebih terperinciUNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang a. bahwa pembentukan peraturan
Lebih terperinciRINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 37/PUU-X/2012 Tentang Peraturan Perundang-Undangan Yang Tepat Bagi Pengaturan Hak-Hak Hakim
RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 37/PUU-X/2012 Tentang Peraturan Perundang-Undangan Yang Tepat Bagi Pengaturan Hak-Hak Hakim I. PEMOHON Teguh Satya Bhakti, S.H., M.H. selanjutnya disebut
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2009 TENTANG PENGESAHAN UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST TRANSNATIONAL ORGANIZED CRIME (KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA MENENTANG TINDAK PIDANA TRANSNASIONAL
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Pasal 1313 KUH Perdata menyatakan Suatu perjanjian
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2009 TENTANG
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap orang sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa memiliki hak-hak asasi sesuai dengan
Lebih terperinciRINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 20/PUU-X/2012 Tentang Peralihan Saham Melalui Surat Kesepakatan Bersama
RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 20/PUU-X/2012 Tentang Peralihan Saham Melalui Surat Kesepakatan Bersama I. PEMOHON Haji Agus Ali, sebagai Direktur Utama PT. Igata Jaya Perdania.
Lebih terperinciRINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 28/PUU-XIII/2015 Materi Kesehatan Reproduksi Dalam Sistem Pendidikan Nasional
RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 28/PUU-XIII/2015 Materi Kesehatan Reproduksi Dalam Sistem Pendidikan Nasional I. PEMOHON 1. dr. Sarsanto W. Sarwono, Sp.Og sebagai Pemohon I; 2. Anis Su adah sebagai
Lebih terperinciPENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL
PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL I. UMUM Dalam melaksanakan politik luar negeri yang diabdikan kepada kepentingan nasional, Pemerintah
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG
SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK KOREA TENTANG BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA (TREATY BETWEEN
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK KOREA TENTANG BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA (TREATY BETWEEN THE
Lebih terperinciI.PENDAHULUAN. Perkembangan kehidupan bersama bangsa-bangsa dewasa ini semakin tidak mengenal batas
I.PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan kehidupan bersama bangsa-bangsa dewasa ini semakin tidak mengenal batas negara dan cenderung pada terbentuknya suatu sistem global sehingga mendorong semakin
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1996 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION ON PSYCHOTROPIC SUBSTANCES 1971 (KONVENSI PSIKOTROPIKA 1971)
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1996 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION ON PSYCHOTROPIC SUBSTANCES 1971 (KONVENSI PSIKOTROPIKA 1971) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Lebih terperinciI. UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan
PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN
Lebih terperinciPERJANJIAN INTERNASIONAL DALAM SISTEM UUD 1945
Volume 04 Januari - April 2012 OPINIO JURIS PERJANJIAN INTERNASIONAL DALAM SISTEM UUD 1945 Dr. Harjono, SH., MCL Pendahuluan Konstitusi merupakan hukum tertinggi dalam penyelenggaraan ketatanegaraan suatu
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejarah institusi yang berperan melakukan kegiatan pengujian konstitusional di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap
Lebih terperinciRINGKASAN PERMOHONAN PERKARA
RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 56/PUU-XI/2013 Parlementary Threshold, Presidential Threshold, Hak dan Kewenangan Partai Politik, serta Keberadaan Lembaga Fraksi di DPR I. PEMOHON Saurip Kadi II. III.
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG
SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN PAPUA NUGINI (EXTRADITION TREATY BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA AND
Lebih terperinci