LAPORAN AKHIR EVALUASI FORMATIF PROGRAM TFCA - KALIMANTAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "LAPORAN AKHIR EVALUASI FORMATIF PROGRAM TFCA - KALIMANTAN"

Transkripsi

1 LAPORAN AKHIR EVALUASI FORMATIF PROGRAM TFCA - KALIMANTAN Oktober 2016

2 KATA PENGANTAR Evaluasi program TFCA Kalimantan merupakan upaya strategi yang dilakukan pengelola TFCA Kalimantan untuk dapat melihat kinerja program mitra yang didukung melalui siklus hibah 1 dan 2. Evaluasi ini diperlukan untuk melihat dan memastikan kesesuaian pelaksanaan kegiatan dengan perencanaan yang telah disepakati (metodologi, process, output, outcome, target), serta untuk mengukur potensi dampak konservasi yang bisa dirasakan oleh kabupaten target, masyarakat dan pemangku kepentingan lain. Hasil dari evaluasi ini sangat penting dalam melakukan pengambilan keputusan untuk perbaikan-perbaikan program, baik pada level administrasi pengelolaan proyek maupun level teknis pelaksanaan proyek. Oleh karena itu, Bumiraya Consulting mencoba untuk melakukan evaluasi ini dengan sudut pandang yang lebih luas dan analitik, yang diharapkan untuk memberikan masukan bagi pengelolaan Program TFCA Kalimantan ke depan. Sampai dengan Desember 2015, memasuki tahun ke empat implementasi TFCA Kalimantan, telah ada 9 lembaga penerima hibah siklus 1 yang memulai kegiatan sejak Juni 2014 dan 16 lembaga/konsorsium penerima hibah siklus 2 yang memulai kegiatan sejak Juni Saat ini pelaksanaan kegiatan 25 mitra tersebut telah memasuki tahun ketiga bagi mitra siklus 1 dan tahun kedua bagi mitra siklus 2, bahkan 2 mitra siklus 1 (Yayasan Penabulu dan CSF-UNMUL) telah berakhir pelaksanaan programnya pada bulan Desember 2015, dan tiga mitra siklus 1 lainnya (AOI, PRCF dan Yayasan PEKA Indonesia) yang berakhir pada bulan Mei Evaluasi ini dilaksanakan selama bulan Mei Oktober 2016, oleh Tim Bumiraya Consulting dengan mempelajari dokumen program TFCA Kalimantan, dokumen perencanaan dan laporan kemajuan mitra, dan melihat implementasi program di lapangan, dengan terlebih dahulu diawali dengan penyusunan laporan pendahuluan ini. Laporan akhir memuat: pendahuluan, kerangka evaluasi, temuan dan hasil evaluasi, kumulatif capaian program terhadap tujuan TFCA Kalimantan, serta kesimpulan dan rekomendasi. Kami sungguh merasa berbesar hati mendapat kesempatan sebagai pelaksana evaluasi ini. Untuk itu kami sampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pengelola TFCA Kalimantan atas terlaksananya kerjasama ini. Harapan kami, semoga catatan dan rekomendasi yang kami sampaikan dalam dokumen evaluasi ini benar benar dapat bermanfaat, dan dapat berkontribusi pada pelaksanaan program TFCA Kalimantan ke depan, dan juga dapat berkontribusi pada konservasi hutan di Indonesia. Yogyakarta, Oktober 2016 Bumi Raya Consulting [i]

3 Ringkasan Eksekutif Program Mitra TFCA Kalimantan Siklus Hibah I dan II telah dilaksanakan selama tiga tahun. Dalam tiga tahun perjalanan program tersebut, tentulah ada banyak capaian, dan sekaligus banyak catatan yang dapat menjadi pelajaran penting bagi implementasi TFCA Kalimantan secara keseluruhan. Secara umum, program mitra mempunyai relevansi yang kuat terhadap pencapaian semua tujuan Program TFCA Kalimantan. Walaupun demikian, dengan asumsi bahwa semua tujuan TFCA Kalimantan harus tercapai dengan proporsi yang berimbang, masih ada beberapa indikator tujuan yang dicapai dalam jumlah minimal atau belum tercapai sama sekali melalui kontribusi program mitra siklus 1 dan 2, khususnya terkait dengan perlindungan species orang utan atau specific khusus khas Kalimantan. Persoalan konversi kawasan hutan dalam skala massive menjadi perkebunan, pertambangan, dan semen merupakan resiko dengan kategori yang sangat tinggi dalam mengancam pencapaian tujuan TFCA Kalimantan. Dalam pelaksanaan program siklus 1 dan 2 yang sudah berjalan 3 tahun, persoalan ini masih terlihat sangat jelas di lapangan. Bisa dikatakan bahwa intervensi yang dilakukan belum maksimal untuk mulai meminimalkan ancaman konversi lahan ini. Pendekatan kabupaten belum memberikan hasil optimal terhadap pencapaian program TFCA Kalimantan. Sebagai sebuah program dengan rancangan awal berbasis kabupaten, TFCA Kalimantan belum melakukan strategi implementasi yang mampu menciptakan ruang-ruang sinergi antar pihak secara sitematis di kabupaten. Kolaborasi mitra dengan Pemda yang selama ini terjadi lebih pada kedekatan hubungan individual mitra dengan pemda, bukan merupakan skenario proyek TFCA secara umum. Pendekatan kabupaten ini perlu direview kembali dengan berlakunya UU 23/2014 yang mengalihkan kewenangan urusan kabupaten ke provinsi. Dalam efektivitas program secara keseluruhan rerata tingkat efektivitas program TFCA Kalimantan mencapai Sangat Efektif. Terkait efisiensi, rerata pergeseran waktu pelaksanaan kegiatan mencapai tergolong Cukup Efisien. Sementara itu, rerata penyerapan dana program yang dijalankan mitra TFCA Kalimanatan tergolong pada kategori Kesalahan Perencanaan. Pada level administrator, KEHATI sebagai administrator program mampu menjalankan fungsinya melalui Kebijakan Penyaluran Hibah yang sudah diimplementasikan pada siklus 1 dan 2. Sebagai administrator Program TFCA Kalimantan, Yayasan Kehati telah memiliki kebijakan terkait dengan penyaluran hibah, pelaksanaan penyaluran hibah, pemantauan penyaluran dana hibah, dan pelaporan dan pertanggungjawaban dana. Penilaian umum yang dilakukan [ii]

4 berdasarkan variabel yang ada, mengindikasikan bahwa tugas administrator oleh Yayasan Kehati berjalan efektif. KEHATI mengelola dan menyalurkan dana hibah TFCA Kalimantan kepada lembaga-lembaga mitra/grantee, dalam rangka melaksanakan kegiatan yang terkait dengan perlindungan keanekaragaman hayati, peningkatan mata pencaharian dan ekonomi masyarakat sekitar kawasan hutan, penurunan emisi dan dukungan pembelajaran REDD+ di kabupaten target. Hal yang dipandang perlu dilakukan untuk meningkatkan ketercapaian project TFCA Kalimantan pada tingkatan strategis adalah 1) penetapan target terukur baik dari sisi kuantitas maupun kualitas di setiap indikator tujuan program yang tercantum dalam Rencana Implementasi Plan TFCA Kalimantan Hal ini penting untuk memonitior ketercapaian tujuan program TFCA Kalimantan; 2) pengfokusan program menyentuh aspek tenurial kawasan sebagai fondasi untuk mengamankan investasi yang dilakukan dalam upaya-upaya konservasi hutan dan lahan, dan sekaligus sebagai upaya untuk mengurangi resiko kegagalan program akibat dari permasalahan konversi lahan yang massive (kelapa sawit, pertambangan, dan pembalakan liar); 3) Pengfokusan program untuk melakukan intervensi yang berkontribusi pada pencapaian program yang masih minimal, khususnya pada perlindungan spesies (khususnya populasi orangutan, monyet ekor panjang dan spesies lokal yang signifikan di Kalimantan); 4) Pengfokusan pada program yang rasional untuk memecahkan permasalahan-permasalahan perencanaan tata guna lahan yang buruk dan kebijakan yang lemah untuk mendukung upaya-upaya konservasi; 5) Protokol koordinasi dan komunikasi juga perlu dilakukan pada level provinsi, dengan keberadaan UU 23/2014. Bahkan, keberadaan UU 23/2014 sudah menuntut untuk melakukan perubahan pendekatan dari basis kabupaten ke propinsi terkait dengan kewenangan dan kebijakan program, walaupun koordinasi dengan kabupaten tetap dilakukan dalam skala pelaksanaan project di lapangan. Perubahan ke provinsi akan sangat mempermudah pelaksanaan project jika sasaran geografisnya adalah lintas kabupaten Dalam hal implementasi program, dipandang perlu untuk membangun mekanisme sinergi program mitra TFCA Kalimantan dengan Pemerintah Daerah dan para pihak terkait secara regular. Konsistensi dan komitmen para pihak, termasuk pemerintah daerah, juga menjadi faktor kunci bila dalam pelaksanaan program membutuhkan penyesuaian strategi agar implementasi lebih efektif atau merespon secara efisien bila kekurangan atau penyimpangan muncul. Terkait system manajemen program, perlu menciptakan sistem yang terintegrasi sejak perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan hingga pada evaluasi yang regular dilaksanakan. Konsistensi dan komitmen dari pihak terkait mulai Dewan Pembina sampai dengan Administrator menjadi penting untuk dibangun sehingga proses pencapaian dapat lebih terukur terutama pada tingkatan dampak yang dicapai dalam jangka panjang. [iii]

5 Daftar Isi KATA PENGANTAR... i Ringkasan Eksekutif... ii Daftar Isi...iv BAB I. PENDAHULUAN TFCA Kalimantan Data Mitra Siklus I dan II... 2 BAB II. KERANGKA EVALUASI TUJUAN LUARAN EVALUASI METODE EVALUASI Pendekatan Konsep Desain Analisis Target yang terlibat dalam evaluasi WAKTU PELAKSANAAN Tata Waktu Kegiatan BAB III. TEMUAN DAN HASIL EVALUASI RELEVANSI Relevansi Terhadap Tujuan TFCA Kalimantan Relevansi dengan Isu lain EFEKTIVITAS Efektivitas Program Mitra Efektivitas Pengelolaan Program (Administrator) EFISIENSI PROGRAM ANALISIS KEBERLANJUTAN ANALISIS RESIKO BAB IV. KUMULATIF CAPAIAN PROGRAM TERHADAP TUJUAN TFCA KALIMANTAN CAPAIAN KUNCI MITRA TFCA PKHB Berau HOB Kapuas Hulu & Mahakam Ulu KONTRIBUSI MITRA PADA TUJUAN PKHB DAN HOB Kontribusi Mitra terhadap Tujuan PKHB Kontribusi Mitra terhadap Tujuan HOB BAB V. KESIMPULAN DAN PEMBELAJARAN KESIMPULAN [iv]

6 5.1.1 Tingkatan Strategis Tingkatan Implementasi Tingkatan Pembelajaran REKOMENDASI [v]

7 BAB I. PENDAHULUAN 1.1 TFCA Kalimantan TFCA (Tropical Forest Conservation Act) Kalimantan adalah program kerja sama antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Pemerintah Amerika dalam rangka pengalihan hutang untuk kegiatan konservasi hutan, khususnya di Kalimantan berdasarkan perjanjian yang ditandatangani pada tanggal 29 September 2011, dengan The Nature Conservancy (TNC) dan Yayasan World Wide Fund for Nature- Indonesia (WWF Indonesia) sebagai Mitra pengalihan hutang /Swap Partners. Tujuan umun dari TFCA Kalimantan adalah untuk melindungi keanekaragaman hayati yang penting, meningkatkan mata pencaharian masyarakat di sekitar hutan, mengurangi emisi dan deforestasi dan degradasi hutan, dan melaksanakan program REDD+ di Indonesia. TFCA Kalimantan memfasilitasi program konservasi, perlindungan, restorasi dan pemanfaatan lestari hutan tropis di Indonesia melalui dukungan terhadap Program Karbon Hutan Berau (PKHB) di Kabupaten Berau dan Program Heart of Borneo (HOB) di Kapuas Hulu, Kutai Barat dan Mahakam Hulu. Selain itu, TFCA Kalimantan juga melakukan investasi strategis di wilayah Kalimantan lainnya. Diharapkan bahwa 80% dari dana tersebut dialokasikan secara merata antara dua program, dan bahwa 20% dari dana tersedia untuk investasi strategis di luar kabupaten sasaran. Yayasan KEHATI sebagai administrator mengelola dan menyalurkan dana hibah TFCA Kalimantan kepada Lembaga yang memenuhi syarat, untuk melaksanakan kegiatan yang terkait dengan perlindungan keanekaragaman hayati, peningkatan mata pencaharian dan ekonomi masyarakat sekitar kawasan hutan, penurunan emisi dan dukungan pembelajaran REDD+ di Kabupaten target yaitu Kapuas Hulu, Berau, Kutai Barat dan Mahakam Hulu. Sampai dengan Desember 2015, memasuki tahun ke empat implementasi TFCA Kalimantan, telah ada 9 lembaga penerima hibah siklus 1 yang memulai kegiatan sejak Juni 2014 dan 16 lembaga/konsorsium penerima hibah siklus 2 yang memulai kegiatan sejak Juni Saat ini pelaksanaan kegiatan 25 mitra tersebut telah memasuki tahun ketiga bagi mitra siklus 1 dan tahun kedua bagi mitra siklus 2, bahkan 2 mitra siklus 1 (Yayasan Penabulu dan CSF-UNMUL) telah berakhir pelaksanaan programnya pada bulan Desember 2015, dan tiga mitra siklus 1 lainnya (AOI, PRCF dan Yayasan PEKA Indonesia) yang berakhir pada bulan Mei Memperhatikan hal tersebut, untuk memastikan kesesuaian pelaksanaan kegiatan dengan perencanaan yang telah disepakati (output, outcome, target), serta untuk [1]

8 mengukur dampak konservasi terhadap kabupaten target, masyarakat dan pemangku kepentingan lain, maka administrator perlu melakukan evaluasi formatif untuk mitra penerima hibah dan juga Yayasan KEHATI sebagai administrator. Dalam rangka kegiatan evaluasi tersebut, Yayasan Kehati telah menunjuk Bumiraya Consulting melalui proses seleksi untuk melaksanakan kegiatan evaluasi formatif ini. Pasca penunjukan Bumiraya, berdasarkan saran dan komunikasi dengan tim teknis TFCA Kalimantan dan Kehati, telah dilakukan perbaikan terhadap desain evaluasi yang telah dibangun semula, disertai beberapa penambahan metode untuk mengukur perubahan terjadi. 1.2 Data Mitra Siklus I dan II TFCA Kalimantan melalui Yayasan KEHATI sebagai administrator, telah mengelola dan menyalurkan dana hibah TFCA Kalimantan kepada Lembaga yang memenuhi syarat, untuk melaksanakan kegiatan yang terkait dengan perlindungan keanekaragaman hayati, peningkatan mata pencaharian dan ekonomi masyarakat sekitar kawasan hutan, penurunan emisi dan dukungan pembelajaran REDD+ di Kabupaten target yaitu Kapuas Hulu, Berau, Kutai Barat dan Mahakam Hulu. Sampai dengan Desember 2015, memasuki tahun ke empat implementasi TFCA Kalimantan, telah ada 9 lembaga penerima hibah siklus 1 yang memulai kegiatan sejak Juni 2014 dan 16 lembaga/konsorsium penerima hibah siklus 2 yang memulai kegiatan sejak Juni Saat ini pelaksanaan kegiatan 25 mitra tersebut telah memasuki tahun ketiga bagi mitra siklus 1 dan tahun kedua bagi mitra siklus 2, bahkan 2 mitra siklus 1 (Yayasan Penabulu dan CSF-UNMUL) telah berakhir pelaksanaan programnya pada bulan Desember 2015, dan tiga mitra siklus 1 lainnya (AOI, PRCF dan Yayasan PEKA Indonesia) yang berakhir pada bulan Mei [2]

9 [3]

10 Program pada siklus 1 dan siklus 2 dapat dikelompokkan menjadi 3 kegiatan utama, yaitu 1) Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM), 2) Hasil Hutan Bukan Kayu dan Peningkatan Ekonomi, dan 3) Konservasi species dan ekosistem. Masingmasing sebaran program dan mitra-mitra untuk siklus 1 dan 2 dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 1.1. Program dan Mitra Siklus 1 Reguler TFCA Kalimantan Program Nama Proponen Judul Program Lokasi Durasi Hibah I. PKHB Operation Wallacea Trust (Bogor) Membangun Model Pengelolaan Hutan Lindung Sungai Lesan Berbasis Masyarakat Desa: Sidobangen, Merapun, Muara Lesan, Lesan Dayak. Kecamatan Kelay, Kabupaten Berau, 4,5 Tahun (Juni November 2018) Kalimantan Timur Yayasan PEKA (Bogor) 2 Tahun (Juni Mei 2016) II. HOB Yayasan BIOMA (Samarinda) Center of Social Forestry - Universitas Mulawarman (Samarinda) Aliansi Organis Indonesia (Bogor) FORINA (Bogor) Pengembangan Model Kelola Kawasan Lindung dan Wisata Alam Berbasis Masyarakat Adopsi Model Konservasi dan Pengelolaan Hutan oleh Masyarakat Lokal sebagai Alternatif dalam Memulihkan dan Meningkatkan Manfaat Ekonomi dan Ekologi Sumberdaya Hutan di Kabupaten Berau dan Kutai Barat / Mahakam Hulu Pengayaan, Penyerapan dan Konservasi Karbon secara Kemitraan (P2K3) di Kalimantan. Pengembangan Madu Hutan Organis untuk Kesejahteraan Masyarakat dan Kelestarian Hutan Tropis Kalimantan di TN Danau Sentarum dan Pesisir Sungai Kapuas di Kapuas Hulu. Konservasi Orangutan Kalimantan Pongo pygmaeus pygmaeus Berbasis Masyarakat di Koridor Taman Nasional Betung Kerihun - Taman Nasional Danau Sentarum dan Sekitarnya di Kabupaten Kapuas Hulu. Desa: Biduk-biduk, Teluk Sulaiman, Giring-giring. Kecamatan: Biduk-biduk, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur Desa : Long Gi, Long Boi, Muara Siram, Matalibaq, Long Galawang. Kecamatan: Kelay, Bongan, Long Hubung. Kabupaten Kutai Barat dan Mahakam Hulu, Kalimantan Timur Desa: Memahaq Teboq, Lutan, Datah Bilang, Long Hubung. Kecamatan: Long Hubung, Kabupaten Mahakam Ulu/Kutai Barat, Kalimantan Timur 30 Desa. Kecamatan: Selimbau, Batang Lupar, Badau, Suhaid, Jongkong, Bunut Hilir, Embaloh Hilir. Desa: Malemba, Mensiau, Labian Iraang, Labian, Sungai Ajung. Kecamatan Batang Lupar, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. 3 Tahun (Juni Mei 2017) 1,5 Tahun (Juni November 2015) 2 Tahun (Juni Mei 2016) 3 Tahun (Juni Mei 2017) [4]

11 Yayasan PRCF Indonesia Lembaga Gemawan (Pontianak) Pengembangan Hutan Desa Untuk Mendukung Upaya Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Pemanfaatan HHBK secara Berkelanjutan di Kabupaten Kapuas Hulu, Propinsi Kalimantan Barat Perlindungan Wilayah Perkebunan Karet Tradisional Rakyat di Kabupaten Kapuas Hulu Desa: Narga Yen, Sri Wangi, Narga Jemah, Tanjung. Kecamatan Hulu Gunung, Boyan Tanjung, Mentebah Desa: Nanga Ngeri, Dangkan Kota, Nanga Dangkan, Lebak Najah. Kecamatan Silat Hulu, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat 2 Tahun (Juni Mei 2016) 3 Tahun (Juni Mei 2017) Tabel 1.2. Program dan Mitra Siklus 2 Reguler TFCA Kalimantan Program Nama Proponen Judul Program Lokasi Durasi Hibah I. PKHB Perkumpulan Payo-Payo (Sulawesi Membangun dan Memperkuat Aksi Inspiratif (PERISAI) Warga Desa : Long Lamcin, Long Lamjan, Long Ayap. Kecamatan : Kelay dan 4 Tahun (Juni Mei 2019) Selatan) dalam Pengelolaan Hutan Lestari untuk Kesejahteraan Masyarakat di Kabupaten Berau Segah, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur Kelompok Study Karst Fakultas Geografi UGM (Yogyakarta) Karakterisasi dan Revitalisasi Nilai Penting Kawasan Karst Sangkulirang - Mangkaliat Area Karst Sangkulirang - Mangkalihat, Kabupaten Berau -Kutai Timur, Kalimantan Timur 3 Tahun (Juni Mei 2018) II. HOB Menapak (Berau) Forum Lingkungan Mulawarman (FLM) - Samarinda Yayasan Dian Tama (Pontianak) Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil (ASSPUK) - Jakarta Proyek Percontohan Upaya Pengurangan Deforestasi di Hutan Lindung Hulu Sungai Dumaring Berbasis Masyarakat Melalui Skema Hutan Desa PHBM di 3 Kampung Sekitarnya Membangun Model Pengelolaan Mangrove Terpadu Untuk Keberlanjutan Kehidupan di Kabupaten Berau Pelestarian Kawasan Melalui Agroforestry dan Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu sebagai Alternatif Pendapatan Masyarakat di Koridor Labian - Leboyan Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu melalui Pelestarian Tanaman Pewarna yang Berspektif Gender dan Berkelanjutan di Kabupaten Kapuas Hulu Desa: Dumaring, Sumber Mulia, Biatan Ilir. Kecamatan Talisayan - Biatan, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur Desa : Pegat Batumbuk dan Teluk Semanting Desa : Labian Iraang, Labian, Sungai Ajung. Kecamatan Batang Lupar, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat Desa : Lanjak Deras, Mensiau, Manua Sedap. Kecamatan Batang Lupar - Embaloh, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat 3 Tahun (Juni Mei 2018) 3 Tahun (Juni Mei 2018) 3 Tahun (Juni Mei 2018) 3 Tahun (Juni Mei 2018) [5]

12 Sampan Kalimantan (Pontianak) KBCF - WARSI (Samarinda) Lanting Borneo (Putussibau Utara - Kapuas Hulu) Strengthern the Management of Tembawang to Develop Community Welfare Mendukung Perlindungan di Lansekap Ekosistem Heart of Borneo (HoB) Melalui Hutan Desa di Kabupaten Mahakam Ulu dan Kutai Barat Penguatan Masyarakat dalam Pengelolaan Kawasan Koridor DAS Labian - Leboyan Melalui Pemetaan Kearifan Lokal. Desa : Selaup, Nanga Semang, Nanga Raon, Baherap. Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat Desa: Sembuan, Bermai, Mantar. Kecamatan : Nyuatan, Damai. Kabupaten Mahakam Ulu dan Kutai Barat. Kalimantan Utara - Kalimantan Timur Desa : Malemba, Kecamatan Batang Lupar, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat 3 Tahun (Juni Mei 2018) 3 Tahun (Juni Mei 2018) 2 Tahun (Juni Mei 2017) Tabel 1.3. Program dan Mitra Siklus 2 Small Grant Fund (SGF) TFCA Kalimantan Progra m Nama Proponen Judul Program Lokasi Durasi Hibah I. PKHB Perkumpulan Jaringan Model Pengelolaan Kawasan Perlindungan Desa : Tanjung Batu, Kecamatan Pulau 2 Tahun (Juni Mei 2017) Nelayan (JALA) - Berau Mangrove (KPM) Berbasis Masyarakat di Kampung Tanjung Batu Derawan, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur Lembaga Kesejahteraan Masyarakat Labuan Cermin (LEKMALAMI) - Berau Pengelolaan Kawasan Lindung dan Wisata Alam Labuan Cermin Berbasis Masyarakat Desa : Biduk-Biduk, Teluk Harapan. Kecamatan Biduk-Biduk. Berau, Kalimantan Timur 2 Tahun (Juni Mei 2017) Badan Pengelola Sumber Daya Alam Kampung Sungai Segah - Segah Perkumpulan Kerima' Puri - Berau Kanopi - Berau Developing CBFM Through SIGAP - REDD+ Approach in Segah District Pengelolaan Hutan Desa Merabu, Sebagai Model Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung yang Lestari dan Berbasis Masyarakat di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur Pengelolaan Mangrove Berbasis Masyarakat di Kampung Batu-Batu Desa : Loong Lai. Kecamatan Segah, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur Desa: Merabu, Kecamatan Kelay, Kabupaten Berau. Kalimantan Timur Desa : Batu-Batu. Kecamatan Pulau Derawan, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur 2 Tahun (Juni Mei 2017) 2 Tahun (Juni Mei 2017) 2 Tahun (Juni Mei 2017) [6]

13 II. HOB Komunitas Pariwisata Kapuas Hulu (KOMPAKH) - Putussibau Forum DAS Labian- Leboyan (Kapuas Hulu) Pengembangan Destinasi dan Media Pemasaran Ekowisata Berbasis Masyarakat di Kawasan Penyangga TNBK dan TNDS sebagai upaya Pengembangan Alternatif Ekonomi di Kabupaten Kapuas Hulu Restorasi Pinggiran DAS Labian - Leboyan di Sepanjang Desa Sungai Ajung dan Desa Labian Berbasis Masyarakat Desa : Menua Sadap. Kecamatan Embaloh Hulu, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat Desa : Labian, Sungai Ajung. Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat 2 Tahun (Juni Mei 2017) 2 Tahun (Juni Mei 2017) [7]

14 BAB II. KERANGKA EVALUASI 2.1 TUJUAN Tujuan dari evaluasi formatif TFCA Kalimantan adalah : Penilaian kinerja mitra dan administrator, serta memberikan rekomendasi kepada Dewan Pengawas terkait pelaksanaan kegiatan mitra dan pengelolaan program TFCA Kalimantan lebih lanjut. 2.2 LUARAN EVALUASI Hasil yang diharapkan dari evaluasi TFCA Kalimantan ini adalah: 1. Laporan berisi hasil evaluasi terhadap pelaksanaan kegiatan mitra dan administrator 2. Analisis pelaksanaan program TFCA-Kalimantan yang terbagi dalam tiga tingkat, yaitu: tingkat strategi, tingkat pelaksanaan, dan tingkat pembelajaran. Tingkatan strategis: a. Apakah pencapaian program pada siklus 1 dan siklus 2 mempunyai kontribusi yang kuat terhadap pencapaian indikator tujuan umum dari TFCA Kalimantan? b. Apakah kegiatan proyek pada siklus 1 dan 2 adalah rasional untuk memecahkan permasalahan yang ada (justified)? c. Apakah memberikan dampak nyata bagi perubahan yang ingin dihasilkan oleh TCFA Kalimantan, terkait konservasi hutan dan perlindungan spesies (khususnya populasi orangutan, monyet ekor panjang dan spesies lokal yang signifikan di Kalimantan), perencanaan pada level kabupaten, pengembangan kebijakan dan kelembagaan, keterlibatan para pemangku kepentingan dan lain-lain. Tingkatan implementasi: a. Yayasan Kehati sebagai administrator. Apakah Yayasan Kehati telah menjalankan fungsinya dengan baik sebagai administrator TFCA Kalimantan? b. Dalam pelaksanaan program oleh mitra. Apakah semuanya berjalan atau dilakukan dengan benar sesuai dengan ketentuan, sesuai aturan dan sesuai dengan tujuan proyek (are things being right?), yaitu: [8]

15 Sejauh mana efektivitas dalam mencapai dampak, hasil (outcome) atau luaran (output) yang diharapkan, termasuk gambaran keberhasilan serta kekurangan/kelemahan; Efisiensi dalam mengoptimalkan sumberdaya; Kepuasan penerima manfaat dan pihak terkait, termasuk pemerintah, masyarakat dan mitra lokal c. Tingkatan Pembelajaran: Apa pembelajaran yang bisa dipetik dari kegiatan yang sudah berjalan oleh masing-masing mitra? Apakah ada cara yang lebih baik sebagai alternatif? Pembelajaran apa yang bisa dipetik, termasuk untuk pelaksana proyek (mitra dan administrator), pemerintah maupun masyarakat; Apa rekomendasi terhadap kegiatan yang akan dilakukan kedepannya termasuk apakah perlu ada modifikasi hibah yaitu rekomendasi penambahan, perluasan, replikasi kegiatan atau pun fokusing pada isu dan wilayah tertentu? 2.3 METODE EVALUASI Pendekatan Konsep Secara umum, metode yang digunakan dalam evaluasi formatif ini sebenarnya telah ditentukan oleh Yayasan Kehati melalui kerangka acuan kegiatan yang ada. Sesuai dengan kerangka acuan tersebut, evaluasi ini menggunakan metode evaluasi partisipatif. Keterlibatan berbagai pihak di Yayasan Kehati sebagai perwakilan administrator dan tim teknis TFCA Kalimantan merupakan pilihan untuk menggunakan metode ini. Hal ini dipertegas dengan keharusan untuk melibatkan mitra program, termasuk kelompok masyarakat penerima manfaat, yang digambarkan dalam kerangka acuan menunjukkan bukti yang jelas untuk menggunakan metode evaluasi partisipatif. Evaluasi formatif ini dilakukan dengan pendekatan Self Assesment (penilaian mandiri). Metode ini mendorong respon yang lebih akurat dan lebih efektif dengan pelibatan subyek subyek program baik yang terlibat langsung maupun tidak langsung. Keterlibatan para pihak dalam evaluasi mendukung proyeksi terhadap validitas informasi dari subyek subyek dalam program sebagai pemasti informasi (metode triangulasi verifikasi). Sebagai bahan utama untuk melakukan pemastian informasi, maka dijalankan dengan kajian dokumen rencana dibandingkan dengan [9]

16 laporan hasil pelaksanaan / implementasi. Hasil tersebut kemudian dikembangkan dengan pengembangan informasi yang diperoleh dengan verifikasi lapangan dan informasi dari para pihak. Metode verifikasi lapangan dilakukan secara berjenjang mulai dari Administrator, Grantee, penerima manfaat program. Walaupun demikian, dengan ketersedian waktu yang terbatas, metodologi ini memiliki kekurangan dalam menganalisis masalah krusial yang terjadi di lapangan Berdasarkan pemahaman arahan desain evaluasi yang telah ditentukan di dalam kerangka acuan kegiatan (Term of References) yang ada, evaluasi dilaksanakan dengan skema yang mengikuti alur proses pada gambar 3. Secara detail tentang skema yang akan dilakukan, dijelaskan dalam tahapan kegiatan. [10]

17 Desk studi Observasi lapangan Analisis (Identifikasi Awal) (Verifikasi, Validasi, dan Evaluasi) Pelaporan Evaluasi Kinerja Program (TFCA dan Mitra) - Laporan tengah tahunan - Laporan tahunan - Dokument TFCA lainnya Review Dokumen dan Laporan Keluaran Temuan Awal Terkait dengan: - Perkembangan pelaksanaan project - Capaian dan hasil project - Permasalahan yang ada Keluaran Temuan Lapangan dan pandangan para pihak: - Perkembangan pelaksanaan project - Capaian dan hasil project - Permasalahan yang ada Relevansi proyek Efektivitas proyek Efisiensi proyek Dampak Keberlanjutan Review oleh expert (reviewer): - input expert dan klarifikasi - analisis tingkatan strategis - penyusunan rekomendasi Entry Meeting - Progrees Report Mitra - Final Report Mitra - Forest Conservation Agreement - Rencana Implementasi TFCA Standar Biaya Maksimum Kunjungan Lapangan Focus Group Discussion In-depth Interview dengan staf lapangan, para pemangku kepentingan, penerima manfaat, dan mitra Pembelajaran Keluaran DRAFT LAPORAN 1 Presentasi dan Input TFCA Kalimantan Team Keluaran Evaluasi Kinerje Administrator (pengelolaan project) Review Dokumen dan Laporan terkait fungsi administrator Keluaran - Tingkat keberhasilan pengelolaan proyek - Permasalahan yang ada Keluaran Temuan Lapangan dan pandangan para pihak: - Tingkat keberhasilan - Permasalahan yang ada Efektivitas Pembelajaran LAPORAN AKHIR EVALUASI - Penduan Kebijakan dan Prosedur Penyaluran Hibah TFCA Kalimantan - Dokumen TFCA lainnya Gambar 2.1. Skema dan Alur Evaluasi TFCA Kalimantan yang dilaksanakan [11]

18 Berdasarkan gambar diatas, secara garis besar proses evaluasi terdiri dari 4 tahap, yakni: Tahap I : Desk Studi Proses ini diawali dengan pengumpulan dokumen terkait kinerja mitra dan fungsi administrator. Beberapa dokumen yang terkait dengan kinerja mitra adalah dokumen proposal mitra, dokumen laporan tahunan mitra, dokumen laporan kemajuan mitra, dokumen laporan M&E, Rencana Program Karbon Hutan Berau (PKHB), Rencana Program Heart of Borneo (HoB) dan dokumen laporan tahunan TFCA. Dokumen yang dibutuhkan terkait pengelolaan project oleh Kehati adalah Forest Conservation Agreement (FCA), Rencana Implementasi TFCA Kalimantan, Kebijakan penyaluran hibah TFCA Kalimantan dan laporan tahunan Administrator. Pada tahapan ini, diperlukan dokumen laporan dari mitra yang telah diverifikasi oleh pengelola project untuk melihat keakuratan capaian kinerja mitra. Keluaran tahap ini adalah temuan awal berupa perkembangan pelaksanaan project, capaian kinerja berdasar indicator (target Vs actual) di masing-masing obyek evaluasi baik di tingkat kinerja mitra dan pengelolaan project oleh administrator. Tahap II: Observasi Lapangan (verifikasi, validasi, dan klarifikasi) Berangkat dari temuan awal hasil dari tahap I, maka akan dilakukan proses verifikasi, validasi, dan klarifikasi pada masing-masing aspek obyek evaluasi melalui in-depth interview; interview kelompok atau FGD. Pihak yang akan terlibat adalah pihak-pihak yang dianggap terlibat langsung dengan pelaksanaan project, yakni staf konsorsium, termasuk staf manajemen dan staf lapangan, unsur pemerintah daerah terkait (Bappeda, Dinas Kehutanan, Kesatuan Pengelolaan Hutan /KPH, Pemprov, dll), unsur lembaga kolaboratif terkait (forum, komunitasi, dll), Masyarakat penerima manfaat (masyarakat di tapak / lokasi kegiatan), pihak swasta, perguruan tinggi, dan unsur Pelaksana Teknis (UPT) Kementerian Kehutanan terkait (Balai Taman Nasional, Balai KSDA, BPDAS Keluaran tahap ini adalah temuan lapangan terhadap pelaksanaan project, capaian kinerja berdasar indicator (target Vs actual), pandangan pemerintah daerah terhadap pelaksanaan UU 23/2014, perubahan yang terjadi, dan nilai manfaat dari perubahan yang terjadi akibat dari intervensi project. Tahap III. Analisis Data dari temuan tahap 1 dan tahap 2 akan dikombinasikan untuk dianalisis untuk mengukur kinerja project pada setiap obyek evaluasi. Untuk obyek evaluasi kinerja mitra dan program akan dilakukan analisis relevansi, efektifitas, efisiensi, dampak, keberlanjutan, dan pembelajaran. Sedangkan pada obyek evaluasi pengelolaan project oleh administrator akan dilakukan analisis efektifitas dan pembelajaran. [12]

19 Keluaran dari tahap ini adalah drat 1 laporan hasil evaluasi Tahap IV: Pelaporan Presentasi temuan dan rekomendasi Tahap terakhir ini lebih merupakan pada penajaman hasil dan paparan kepada pengelola TFCA Kalimantan tentang pencapaian dan tantangan dari pelaksanaan program TFCA Kalimantan sehingga mampu memberikan kesimpulan secara umum bagaimana kinerja program dan administrator Kehati selama ini. Sebagai bagian akhir atas rentetan proses evaluasi ini akan disampaikan beberapa alternative langkah sebagai usulan rekomendasi yang dapat diambil untuk meningkatkan kinerja program TFCA Kalimantan dan administrator di masa datang Desain Analisis Analisis dilakukan untuk menilai kinerja dari pelaksanaan Program TFCA Kalimantan yang terdiri dari relevansi, efektivitas, efisiensi, keberlanjutan, dan dampak program. Selain itu, dilakukan evaluasi untuk memberikan masukan terkait potensi modifikasi hibah proyek. Analisis dijalankan berdasarkan data dan informasi yang diperoleh melalui studi dokumen (desk study) dan kaji lapangan (field study). a. Analisis Relevansi Analisis Relevansi dipergunakan untuk mengidentifikasi sejauh mana intervensi yang dilakukan konsisten dengan kebutuhan perlindungan keanekaragaman hayati (biodiversity protection), kebutuhan masyarakat (lokal), kebijakan Pemerintah, maupun Program TFCA Kalimantan. Analisis ini dilakukan dengan membandingkan capaian atau output yang dihasilkan Mitra dengan capaian atau output yang diinginkan TFCA Kalimantan dalam program design yang telah direncanakan. Jenis dokumen program design yang dibangun pada tingkat TFCA Kalimantan/Kehati dan Mitra menentukan pada tataran mana analisis relevansi dilakukan output, indikator, atau capaian kegiatan. Tabel berikut menyajikan contoh matriks analisis relevansi program yang dipergunakan dalam evaluasi ini. Tabel 2.1. Matriks Analisis Relevansi Dampak/Tujuan Program TFCA Kalimantan Output Program Mitra Indikator Capaian Kegiatan Relevan/ Tidak Relevan (Y/N) [13]

20 Tabel di atas dipergunakan sebagai alat untuk mengidentifikasi apakah capaian program mitra berkontribusi secara langsung kepada Program TFCA Kalimantan. Segenap capaian atau output program mitra beserta indikator dan capaian kegiatan diletakkan dalam kerangka pencapaian dampak/tujuan Program TFCA Kalimantan. Apabila di dalam proses pemetaan atau pengisian tabel, dijumpai output program mitra yang tidak dapat dimasukkan maka dapat dipastikan bahwa output tersebut tidak relevan dengan kerangka pencapaian tujuan Program TFCA Kalimantan secara keseluruhan. Berlandaskan matriks analisis relevansi tersebut, selanjutnya dapat dilakukan analisis tingkat relevansi, penyusunan peta relevansi, analisis koherensi, serta analisis sosial dan gender. 1) Tingkat Relevansi Dalam evaluasi ini, tingkat relevansi menggambarkan kuat-lemahnya program mitra dalam berkontribusi terhadap pencapaian tujuan Program TFCA Kalimantan secara keseluruhan. Tingkat relevansi diperoleh dengan membandingkan antara jumlah capaian atau output program mitra yang relevan dengan total jumlah capaian atau output yang direncanakan. Rumus tingkat relevansi adalah sebagai berikut: Selanjutnya, tingkat relevansi dikategorikan sebagaimana termaktub di dalam tabel di bawah ini. Tabel 2.2. Kategorisasi Tingkat Relevansi No. Kategori Relevansi Tingkat Relevansi 1 Sangat Kuat >75 % % 2 Kuat >50 % - 75 % 3 Sedang > 25 % - 50 % 4 Lemah 25% Selain capaian atau output, peta relevansi juga mampu memberikan informasi secara cepat tentang berapa capaian yang dihasilkan oleh suatu kegiatan dan memberikan kontribusi pada pencapaian tujuan program yang mana. Dengan demikian, terlihat kegiatan-kegiatan yang strategis yang mampu menghasilkan banyak capaian dan/atau memberikan dukungan bagi pencapaian lebih dari 1 (satu) tujuan program. [14]

21 2) Analisis Koherensi Analisis koherensi merupakan analisis untuk mendapatkan relevansi antara program dengan dinamika perkembangan sosial, ekonomi, politik, dan ekologi yang terjadi. Dalam evaluasi ini, analisis koherensi dijalankan dengan membandingkan capaian atau output program mitra dengan kebutuhan masyarakat/konservasi setempat dan pembangunan wilayah. Relevansi koheren diuji dengan konfirmasi langsung dengan masyarakat/stakeholders penerima manfaat dan terkena dampak. Sementara, dalam kaitan dengan pembangunan wilayah analisis dilakukan dengan membandingkannya dengan dokumen perencanaan wilayah seperti RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah). Hasil analisis disajikan secara deskriptif seperti terlihat pada tabel di bawah ini. Tabel 2.3. Analisis Koherensi Program Mitra TFCA Kalimantan Kebutuhan Masyarakat Pembangunan Wilayah Tujuan Capaian Capaian #1 Tujuan #1 Relevan --detail Tidak --detail klarifikasi-- Relevan klarifikasi-- Capaian #2 Capaian #3 Capaian #4 Tujuan #2 Capaian #5 Tidak Relevan Tujuan #3 Capaian #6 Relevan 3) Analisis Relevansi Sosial dan Gender --detail klarifikasi-- --detail klarifikasi-- Relevan Relevan --detail klarifikasi-- --detail klarifikasi-- Analisis Relevansi Sosial dan Gender adalah analisis yang dilakukan untuk melihat relevansi berbagai akibat yang ditimbulkan oleh proyek pada kelompok marjinal seperti kaum miskin, perempuan, difabel, dan lain sebagainya. Setiap proyek harus dirancang dan dijalankan dengan perspektif inklusi sosial melalui intervensiintervensi yang relevan dan efektif dalam upaya mempersempit kesenjangan sosial. Pada umumnya, faktor-faktor penyebab terjadinya kesenjangan sosial meliputi akses (access), partisipasi (participation), kontrol (control), dan manfaat (benefit). [15]

22 Relevan Akses Partisipasi Permasalahan/ Kesenjangan Sosial dan Gender INTERVENSI PROYEK Efektif/ Berhasil Kontrol Manfaat Relevan Gambar 2.2. Desain Analisis Sosial dan Gender Dalam evaluasi ini, analisis sosial dan gender diawali dengan melihat permasalahan atau kesenjangan sosial dan gender yang disasar (address) oleh proyek yang dijalankan Mitra TFCA Kalimantan. Selanjutnya, dilakukan pengelompokan (clustering) terhadap permasalahan sosial dan gender dalam 4 (empat) tipe kesenjangan gender (gender gap) yakni akses, partisipasi, kontrol, dan/atau manfaat. Berkaitan dengan kesenjangan sosial dan gender tersebut, dilihat relevansi dari setiap intervensi proyek yang telah dijalankan oleh Mitra TFCA. Apakah intervensi tersebut berhasil atau efektif dan relevan dengan permasalahan sosial dan gender yang disasar. Adapun, panduan pertanyaan yang diajukan kepada Mitra TFCA Kalimantan dan para pihak sebagai informasi primer dalam analisis sosial dan gender ini meliputi: a) Isu/permasalahan sosial dan gender apa yang disasar dalam proyek dan mengapa isu/permasalahan tersebut yang dipilih? b) Apakah ada bentuk intervensi proyek yang dilakukan untuk menjawab permasalahan sosial dan gender tersebut? Jika ada, apa bentuk intervensi proyek tersebut? c) Apakah intervensi proyek yang dijalankan tersebut berjalan dengan baik/berhasil/efektif? Apa faktor penunjang dan penghambatnya? d) Apakah intervensi proyek yang dijalankan relevan dengan permasalahan sosial dan gender yang disasar? Mengapa? Selanjutnya, informasi yang didapatkan ditabulasi dalam matriks analisis sosial dan gender sebagaimana tercantum dalam Tabel 6 di bawah ini. [16]

23 Tabel 2.4. Matriks Analisis Sosial dan Gender Detail Permasalahan/ Kesenjangan Sosial dan Gender Cluster Permasalahan atau Kesenjangan Sosial Gender Aks es Partisip asi Kont rol Manf aat Intervensi Proyek Efektif/Be rhasil Relevan b. Analisis Efektifitas Analisis efektivitas dipergunakan untuk mengidentifikasi apakah sebuah program atau kegiatan telah dijalankan dengan strategi intervensi yang tepat dan benar (doing right things). Analisis ini dilakukan dengan cara membandingkan capaian atau output yang berhasil diraih dengan capaian atau output yang direncanakan sebelumnya. Dalam evaluasi ini, sumber informasi yang dipergunakan adalah laporan TFCA Kalimantan dan Mitra yang diperbandingkan dengan program design TFCA Kalimantan dan Mitra. Analisis efektivitas program dilakukan dengan mempergunakan bantuan matriks sebagaimana terlihat pada tabel berikut. Tabel 2.5. Matriks Analisis Efektivitas Capaian/Output Program (TFCA Kalimantan/Mitra) Indikator Capaian Targetted (program design) Capaian Aktual Informasi Detail Faktor Pendukung/ Penghambat Matriks di atas menunjukkan seberapa jauh capaian atau output program berhasil diraih oleh TFCA Kalimantan dan Mitra. Untuk memberikan gambaran kinerja (performance), analisis ini juga menghitung prosentase ketercapaian output atau tingkat efektivitas program. [17]

24 Selanjutnya, tingkat efektivitas dikategorikan sebagaimana termaktub di dalam tabel di bawah ini: Tabel 2.6. Kategorisasi Tingkat Efektivitas No. Kategori Efektivitas Prosen Ketercapaian 1 Sangat Efektif >75 % % 2 Cukup Efektif >50 % - 75 % 3 Kurang Efektif > 25 % - 50 % 4 Tidak Efektif 25% Analisis efektivitas juga menyajikan faktor-faktor pendukung yang berkontribusi dalam keberhasilan pencapaian output dan faktor-faktor penghambat yang mengganggu proses pencapaian output. Selanjutnya, faktor-faktor tersebut dikaji lebih jauh dalam analisis pembelajaran program. c. Analisis Efisiensi Analisis efisiensi dipergunakan untuk mengidentifikasi apakah sebuah program atau kegiatan telah dijalankan melalui strategi intervensi yang dilakukan dengan cara yang tepat dan benar (doing things right). Efisiensi sebuah program atau kegiatan terlihat dari implementasinya yang konsisten dengan apa yang telah dirancang sebelumnya. Dalam evaluasi ini, analisis efisiensi dilakukan dengan melihat konsistensi tata waktu dan penggunaan anggaran. Sumber analisis yang dipergunakan adalah informasi penyelenggaraan program dan penyerapan anggaran yang termuat dalam laporan TFCA Kalimantan dan Mitra yang diperbandingkan dengan rancangan tata waktu dan anggaran di dalam program design TFCA Kalimantan dan Mitra. Analisis efisiensi program dilakukan dengan mempergunakan bantuan matriks sebagaimana terlihat pada tabel berikut. Tabel 2.7. Matriks Analisis Efisiensi Tata Waktu Anggaran Kegiatan Rencana Pelaksanaan Selisih (bulan) Justifikasi Perubahan Rencana Pelaksanaan Selisih (Rp) Justifikasi perubahan Total [18]

25 Efisiensi waktu yang baik terlihat apabila pelaksanaan program atau kegiatan sesuai dengan jadwal atau tata waktu yang telah disusun sebelumnya di dalam program design TFCA Kalimantan dan Mitra. Pelaksanaan program atau kegiatan yang terlambat cukup lama berkontribusi terhadap ketidak-efisienan program dari sisi waktu. Begitu pula, implementasi program atau kegiatan yang bergeser lebih cepat pun dapat berdampak pada ketidak-efisienan program. Bahkan, pergeseran waktu yang melebihi 20 % dari keseluruhan waktu program dianggap sebagai kesalahan perencanaan (planning fallacy). Selanjutnya, tingkat efisiensi waktu dikategorikan sebagaimana termaktub di dalam tabel di bawah ini. Tabel 2.8. Kategorisasi Tingkat Efisiensi Waktu Pergeseran Waktu Prosen Ketercapaian (Tingkat Efektivitas) Kategori Efisiensi > 100 % Sangat efisien 0 % - 20 % >90 % % Efisien 80 % - 90 % Cukup Efisien <80 % Tidak Efisien < 20 % Kesalahan perencanaan Sementara itu, efisiensi biaya yang baik terlihat apabila penggunaan anggaran program atau kegiatan sesuai dengan rancangan anggaran yang telah disusun sebelumnya di dalam program design TFCA Kalimantan dan Mitra. Penggunaan anggaran yang melampaui rancangan awal berkontribusi terhadap ketidakefisienan program dari sisi biaya. Begitu pula, penggunaan anggaran yang jauh di bawah rancangan pun dapat berdampak pada ketidak-efisienan program. Bahkan, penyerapan anggaran yang tidak mencapai 80 % atau melampau 120 %, dianggap sebagai kesalahan perencanaan (planning fallacy). Selanjutnya, tingkat efisiensi biaya dikategorikan sebagaimana termaktub di dalam tabel di bawah ini. Tabel 2.9. Kategorisasi Tingkat Efisiensi Biaya Penyerapan Prosen Ketercapaian Anggaran (Tingkat Efektivitas) Kategori Efisiensi > 100 % Sangat efisien 80 % % >90 % % Efisien 80 % - 90 % Cukup Efisien <80 % Tidak Efisien < 80 % atau >120% Kesalahan perencanaan [19]

26 Matriks dan kategorisasi efisiensi pada tabel-tabel di atas merupakan alat (tools) yang dipergunakan untuk membantu analisis efisiensi program. Justifikasi perubahan tata waktu dan penggunaan anggaran, menentukan kesimpulan efisien atau tidaknya sebuah program atau kegiatan dijalankan. Justifikasi perubahan tersebut dikonfirmasi dari pengelola, pelaksana, dan manajemen program. Informasi lain yang berkaitan baik mendukung ataupun tidak dari berbagai pihak yang terlibat juga menjadi faktor penimbang bagi penentuan kesimpulan oleh evaluator. d. Analisis Keberlanjutan Keberlanjutan merupakan problem terbesar yang dihadapi oleh program atau kegiatan yang didukung oleh lembaga donor. Seringkali, program atau kegiatan tersebut berhenti seiring dengan berakhirnya pendanaan dari lembaga donor. Tentu saja, hal tersebut tidak dikehendaki oleh pelaksana program, lembaga donor, dan juga stakeholders penerima manfaat. Oleh karena itu, identifikasi keberlanjutan program sangat penting dilakukan untuk memberikan masukan kepada pengelola program dalam hal ini TFCA Kalimantan dan Mitra terkait strategi pelaksanaan program ke depan. Analisis keberlanjutan menggambarkan sejauh mana program atau kegiatan dapat mengubah atau memberikan manfaat sesuai harapan ketika program atau kegiatan tersebut telah selesai dijalankan. Keberlanjutan sebuah program atau kegiatan ditandai dengan tetap berjalannya fungsi keproyekan setelah berakhirnya intervensi atau facing out. Program atau kegiatan yang memiliki tingkat keberlanjutan tinggi ditandai dengan relevansinya yang kuat terhadap situasi kekinian seperti kebutuhan masyarakat dan pembangunan wilayah dan besarnya dampak (impact) positif yang ditimbulkannya. Dalam evaluasi ini, selain relevansi kekinian yang kuat dan dampak yang signifikan keberlanjutan program diuji dengan keberadaan atribut-atribut pendukung yang mampu memberikan peluang tinggi terhadap terus dipertahankan dan dikembangkannya capaian atau output program. Atribut-atribut pendukung tersebut meliputi kebijakan (policy), kelembagaan (institution), dukungan para pihak (stakeholders), dukungan pendanaan, dan telah munculnya rencana tindak lanjut terhadap keberlanjutan capaian atau output tertentu. Analisis keberlanjutan program dilakukan dengan mempergunakan bantuan matriks sebagaimana terlihat pada tabel berikut. [20]

27 Tabel Matriks Analisis Keberlanjutan Capaian/ Output Kondisi Aktual Dampak dan Peluang Dampak Relevansi kekinian Kebijakan Atribut Pendukung Kelembagaan Stakeholders Dukungan Pendanaan Rencana Tindak Lanjut Peluang Keberlanjutan Berdasar tabel tersebut, keseluruhan informasi mengenai kondisi aktual capaian atau output, dampak dan peluang dampak, relevansi kekinian, dukungan kebijakan, dukungan kelembangan, stakeholders, dukungan pendanaan, dan keberadaan rencana tindak lanjut menjadi penimbang bagi disimpulkannya peluang atau tingkat keberlanjutan program.. e. Analisis Pembelajaran Salah satu tujuan evaluasi adalah mendapatkan pembelajaran (lesson learned) dari proses yang telah berlangsung dan dihasilkan oleh program atau kegiatan. Setiap program atau kegiatan yang dilaksanakan pasti menyisakan pembelajaran bagi pengelola, para pelaku, dan para pihak yang terkait. Pembelajaran tersebut bisa bersifat positif yang kemudian menjadi pemicu bagi gagasan perluasan capaian/output/model dan pendekatan yang dilakukan oleh program atau kegiatan. Namun demikian, pembelajaran dapat juga bersifat negatif atau korektif ketika pendekatan atau intervensi yang digunakan dalam sebuah program atau kegiatan kurang dapat memberikan hasil yang maksimal. Pembelajaran korektif tentu tidak mengulangi pendekatan atau intervensi yang sama dan mencoba menemukan alternatif pendekatan atau intervensi lain yang lebih efektif dan efisien dalam meraih capaian atau output. [21]

28 Gambar 2.3 Skema Pembelajaran dan Modifikasi Hibah Selain berdasarkan skema di atas, pembelajaran program juga didapatkan dari berbagai analisis sebelumnya. Analisis pembelajaran dilakukan melalui konfirmasi lebih detail mengenai temuan-temuan yang telah mulai muncul dari serangkaian analisis tersebut. Misalnya, analisis efektivitas program telah menemukan faktorfaktor pendukung yang berkontribusi dalam keberhasilan pencapaian output dan faktor-faktor penghambat yang mengganggu proses pencapaian output. Analisis pembelajaran juga menjadi rekomendasi bagi modifikasi hibah proyek seperti perpanjangan, replikasi, maupun penurunan skala Target yang terlibat dalam evaluasi Evaluasi formatif mengevaluasi kinerja dari Kehati sebagai Administrator dan 25 Mitra TFCA Kalimantan yang terdiri dari : 1. 9 Mitra TFCA Kalimantan siklus 1 (termasuk Yayasan Penabulu), 2. 9 Mitra TFCA Kalimantas siklus 2 reguler 3. 7 Mitra TFCA Kalimantan siklus 2 SGF Selain itu, evaluasi ini juga melibatkan para pemangku kepentingan untuk memberikan hasil yang lebih lengkap. Para pemangku kepentingan yang dilibatkan adalah: Staf konsorsium, termasuk staf manajemen dan staf lapangan Unsur Pemerintah Daerah terkait (Bappeda, Dinas Kehutanan, Kesatuan Pengelolaan Hutan /KPH, Pemprov, dll) Unsur lembaga kolaboratif terkait (forum, komunitasi, dll) Masyarakat penerima manfaat (masyarakat di tapak / lokasi kegiatan) Pihak swasta Perguruan tinggi Unsur Pelaksana Teknis (UPT) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan terkait (Balai Taman Nasional, Balai KSDA, BPDAS) [22]

29 2.4 WAKTU PELAKSANAAN Tata Waktu Kegiatan Kegiatan ini dilakukan selama 50 hari kerja dalam kurun waktu bulan Mei-Oktober Rencana dan tata waktu yang dilakukan untuk melaksanakan kegiatan ini adalah sebagai berikut: No 1 Kick off meeting Kegiatan Tata Waktu (Dalam Minggu) Mei Juni Juli Agustus September Oktober M3 M4 M1 M2 M3 M4 M1 M2 M3 M4 M1 M2 M3 M4 M1 M2 M3 M4 M1 M2 M3 2 Review documen dan Penyusunan Inception Report 3 Presentasi inception report dan entry meeting 4 Penyempurnaan dan Penyerahan Laporan Pendahuluan 5 Kunjungan Lapangan 6 Penyusunan laporan dan menyampaikan draf 7 Presentasi temuan awal 8 Perbaikan laporan dan menyampaikan draf 9 Presentasi laporan akhir 10 Perbaikan, Penyerahan dan Persetujuan Laporan akhir Rencana Pelaksanaan [23]

30 BAB III. TEMUAN DAN HASIL EVALUASI 3.1 RELEVANSI Relevansi Terhadap Tujuan TFCA Kalimantan Dalam kerangka Program TFCA Kalimantan secara utuh, pencapain output/outcome yang dihasilkan dari berbagai strategi intervensi yang dijalankan oleh Mitra harus mampu memberikan kontribusi bagi pencapaian tujuan Program TFCA Kalimantan dan indikatornya. Seperti diketahui, Program TFCA Kalimantan memiliki 4 (empat) tujuan dan 14 indikator sebagaimana termaktub pada matriks berikut ini. Tujuan Tujuan dan Indikator Program TFCA Kalimantan Indikator 1. Melindungi keanekaragaman hayati hutan yang memiliki nilai penting, spesies dan ekosistem yang langka dan terancam punah, jasa ekosistem daerah aliran sungai, konektivitas antar zona ekologi hutan, dan koridor hutan yang memiliki manfaat terhadap keanekaragaman hayati dan perubahan iklim, pada tingkatan global, nasional, dan lokal 2. Meningkatkan mata pencaharian masyarakat di sekitar hutan melalui pengelolaan sumber daya alam secara lestari dan pemanfaatan lahan masyarakat yang berorientasi emisi rendah, dengan tetap memperhatikan kaidah perlindungan hutan 3. Melaksanakan berbagai kegiatan untuk menurunkan emisi yang berasal dari deforestasi dan degradasi hutan guna mencapai pengurangan emisi yang cukup berarti disetiap Kabupaten Target dengan tetap mendukung pelaksanaan konservasi keanekaragaman hayati dan #Tambahan luasan (hektar) ekosistem hutan yang esensial dan terancam punah (termasuk karst, lahan gambut, mangrove, hutan rawa basah) di bawah pengelolaan yang efektif di Kalimantan #Meningkatnya persentase kelangsungan hidup populasi orangutan, monyet ekor panjang dan spesies lokal yang signifikan di Kalimantan #Tambahan luasan (hektar) dari wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) utama, dibawah pengelolaan yang efektif di Kalimantan #Luasan (hektar) ekosistem yang terhubung sebagai hasil dari koridor baru atau pengembangan, di bawah pengelolaan yang efektif di Kalimantan # Rumah tangga yang tergantung pada hutan yang pendapatan dan peluang mata pencahariannya meningkat (baik untuk jenis pekerjaan tetap maupun subsisten) # Tambahan luasan (hektar) area hutan dibawah pengelolaan masyarakat yang formal # Tambahan luasan (hektar) hutan lindung dengan stok karbon tinggi dengan ancaman yang tinggi atau menengah di bawah manajemen yang efektif di Kalimantan # Tambahan luasan (hektar) hutan kawasan "non-hutan" yang berhasil dipertahankan sebagai hutan alam untuk penyimpanan karbon atau direklasifikasi sebagai hutan lindung/konservasi di Kalimantan # Tambahan luasan (hektar) konsesi hutan yang ada di bawah manajemen hutan lestari di mana terdapat praktik-praktik penebangan berdampak rendah yang diterapkan di Kalimantan # Tambahan luasan (hektar) hutan produksi yang dikelola untuk [24]

31 tujuan konservasi di Kalimantan 4. Memberikan dukungan pada pertukaran ide dan berbagi pengalaman terkait pelaksanaan konservasi hutan dan program REDD+ di Indonesia serta menginformasikan perkembangan konservasi nasional dan kerangka kerja REDD+. # Model pendanaan karbon hutan lestari yang dapat direplikasi # Dokumen petikan pembelajaran, praktik pengelolaan terbaik yang didokumentasikan berdasarkan pelaksanaan proyek, dan artikel jurnal yang berhubungan dengan proyek TFCA Kalimantan # Potongan media nasional (cetak, televisi, dll) yang memberikan rincian tentang program TFCA Kalimantan # Kunjungan lapangan oleh organisasi atau para pembuat kebijakan yang tertarik dengan program TFCA Kalimantan Program TFCA Kalimantan yang telah berlangsung semenjak tahun 2014 berkolaborasi dengan 24 mitra 1 yang terbagi dalam Siklus 1, Siklus 2 Reguler, dan Siklus 2 SGF. Keseluruhan mitra bekerja pada 4 (empat) Kabupaten sasaran di Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur meliputi Kapuas Hulu, Kutai Barat, Mahakam Ulu, dan Berau. Secara umum, kontribusi mitra terhadap pencapaian tujuan Program TFCA Kalimantan tergambar pada ilustrasi berikut ini. 20 Kanopi JALA LEKMALAMIN 75% 18 BP Segah Kerima Puri MENAPAK 13 FLIM 13 58% Kanopi Payo-payo LEKMALAMIN BP Segah PEKA Kerima Puri 46% Kanopi FLIM OWT MENAPAK JALA OWT KBCF - Warsi FLIM LEKMALAMIN Kerima Puri KBCF - Warsi BIOMA PEKA MENAPAK 8 FLIM BIOMA FDLL KBCF - Warsi 7 FLIM Kanopi KSK UGM 6 Lanting Borneo KOMPAKH CSF Kerima Puri Payo-payo MENAPAK PEKA FDLL Dian Tama Lanting Borneo MENAPAK PEKA KSK UGM OWT Dian Tama SAMPAN Dian Tama FLIM OWT 4 PEKA KBCF - Warsi SAMPAN 3 ASPPUK SAMPAN PEKA KBCF - Warsi 3 MENAPAK OWT 3 SAMPAN ASPPUK Dian Tama PRCF ASPPUK OWT Lanting Borneo MENAPAK Kanopi BIOMA MENAPAK 2 PRCF 1 PRCF KOMPAKH AOI PRCF BIOMA PRCF CSF Payo-payo SAMPAN PEKA FLIM AOI FORINA FORINA FORINA GEMAWAN AOI SAMPAN GEMAWAN SAMPAN 0 OWT ASPPUK SAMPAN FORINA Goal of TFCA Kalimantan #1 Goal of TFCA Kalimantan #2 Goal of TFCA Kalimantan #3 Goal of TFCA Kalimantan #4 Protecting globally, nationally, and locally significant forest biodiversity, rare and endangered species and ecosystems, watershed ecosystem services, connectivity between forest ecological zones, and forest corridors for both biodiversity and climate change benefits 92% 22 In a manner consistent with protecting forests, enhancing the livelihoods of forestdependent communities through sustainable natural resource management and supporting low-emission community Implementing activities to reduce emissions from deforestation and forest degradation, achieving meaningful greenhouse gas emissions reductions while supporting biodiversity conservation at the district level, in each of the target districts Gambar 3.1 Diagram Kontribusi Mitra Terhadap Tujuan dan Indikator Program TFCA Kalimantan BERAU Kapuas Hulu Kubar - Mahulu Circle #1 Circle #2 Reguler Circle #2 SGF Contributing to the cross fertilization of ideas and sharing of experiences on forest conservation and REDD+ program implementation in Indonesia and informing the development of the national conservation and REDD+ program framework Berdasarkan ilustrasi tersebut, hampir seluruh mitra atau sebesar 92 % menjalankan intervensi berkaitan dengan upaya peningkatan mata pencaharian 1 Penabulu merupakan mitra ke dua puluh lima yang secara khusus bertugas memberikan asistensi teknis bagi keseluruhan mitra Program TFCA Kalimantan. [25]

32 masyarakat atau berkontribusi pada tujuan ke dua dari Program TFCA Kalimantan. Hanya FORINA dan Kelompok Studi Karst (KSK UGM) yang tidak memainkan intervensi pada lokus tersebut. Sementara, upaya perlindungan keanekaragaman hayati atau tujuan pertama dari Program TFCA Kalimantan juga dijalankan oleh sebagian besar mitra atau sebanyak 75 %. Menilik dominasi mitra pada kedua fokus intervensi tersebut TFCA Kalimantan telah memilih dan berada pada jalur yang tepat (on the right track) di dalam upaya perlindungan keanekaragaman hayati pada wilayah Heart of Borneo (HoB) dan Program Karbon Hutan Berau (PKHB). Upaya peningkatan mata pencaharian (livelihood) yang dapat secara nyata dirasakan oleh masyarakat berpotensi memberikan jaminan pada keberlanjutan perlindungan keanekaragaman hayati. Tujuan ke tiga atau upaya-upaya penurunan emisi yang berasal dari deforestasi dan degradasi hutan didukung oleh setengah jumlah mitra dengan dominasi pada Kabupaten Berau. Namun demikian, tidak satu pun mitra yang tercatat berkontribusi pada pemenuhan indikator ke empat dari tujuan ke tiga Program TFCA Kalimantan berupa #Tambahan luasan (hektar) hutan produksi yang dikelola untuk tujuan konservasi di Kalimantan. Tujuan ke empat atau pertukaran ide dan berbagi pengalaman memiliki dukungan paling minim dari mitra-mitra yang terlibat di dalam pelaksanaan Program TFCA Kalimantan. Tercatat 9 (sembilan) mitra atau sebesar 38 % bekerja pada fokus intervensi tersebut dengan dominasi pada pencapaian indikator ke dua berupa # Dokumen petikan pembelajaran, praktik pengelolaan terbaik yang didokumentasikan berdasarkan pelaksanaan proyek, dan artikel jurnal yang berhubungan dengan proyek TFCA Kalimantan. Gambar 3.2. Diagram Kontribusi Output Terhadap Pencapaian Tujuan Program TFCA Kalimantan [26]

33 Sementara itu, berdasarkan kontribusi output yang dihasilkan oleh mitra tujuan pertama Program TFCA Kalimantan memperoleh proporsi 25 %. Setidaknya 32 output yang berasal dari 18 mitra berkontribusi pada upaya perlindungan keanekaragaman hayati di wilayah target Program TFCA Kalimantan. Sumbangan output bagi pencapaian tujuan ke dua pun tercatat paling tinggi yakni sebesar 30 %. Setidaknya 38 output yang berasal dari 22 mitra memberikan dukungan pada upaya peningkatan mata pencaharian masyarakat. Dominasi kontribusi output pada pencapaian kedua tujuan tersebut menegaskan bahwa TFCA Kalimantan sangat kuat menerapkan strategi perlindungan keanekaragaman hayati tanpa menegasikan upaya peningkatan mata pencaharian masyarakat Relevansi dengan Isu lain a. Relevansi Gender Dan Inklusi Sosial Analisis relevansi gender dan inklusi sosial ini perlu diletakkan dalam kerangka program TFCA Kalimantan. Pendekatan ini membantu meminimalkan risiko bahwa gender sering hanya dianggap sebagai tempelan ataupun tambahan, yang tidak berkorelasi dengan pencapaian tujuan besar dari program. Dalam program TFCA, beberapa praktek baik yang menunjukkan posisi penting dari prinsip kesetaraan dan keadilan gender ini bisa dilacak pada beberapa hal berikut ini: - Rumusan kebijakan dan prinsip tentang kesetaraan gender dan inklusi sosial telah dihasilkan dan menjadi rujukan dalam pengembangan dan implementasi program TFCA. Dokumen yang menjadi rujukan di sini adalah dokumen Sintesis Pengaman Sosial dan Lingkungan (SES) TFCA Kalimantan. Salah satu kebijakan TFCA adalah bahwa setiap penerima hibah harus memiliki praktek terbaik, standar dan kebijakan pengaman sosial dan lingkungan, termasuk untuk mendorong kesetaraan gender dan iklusi sosial. Praktik terbaik, standar, dan kebijakan pengaman itu harus dimuat didalam Perjanjian Penerimaan Hibah - Dalam proses pengembangan program, ketika sebuah lembaga mengajukan usulan proposal, template yang dipergunakan dalam pengajuan proposal juga mencakup bagian dimana grantee diminta untuk menjelaskan, bagaimana usulan program yang diajukan oleh grantee memperhitungkan aspek kesetaraan gender. Namun demikian, praktek dari kebijakan terkait gender dan inklusi sosial yang sudah cukup kuat ini, memiliki implikasi yang beragam pada level pengembangan dan implementasi program di tingkat mitra. Analisa tentang sejauh mana integrasi gender dan sosial inilah yang diuraikan dalam sub bab ini. Bagian ini diawali dengan melihat, sejauh mana relevansi gender terhadap tujuan dan indikator program TFCA Kalimantan, dan melihat, apa sajakah isu-isu gender [27]

34 yang ada dan perlu menjadi catatan dalam pengembangan dan implementasi program TFCA. Matriks Isu-isu Gender Kunci terkait Tujuan TFCA Kalimantan Tujuan TFCA Kalimantan 1. Melindungi keanekaragaman hayati hutan yang memiliki nilai penting, spesies dan ekosistem yang langka dan terancam punah, jasa ekosistem daerah aliran sungai, konektivitas antar zona ekologi hutan, dan koridor hutan yang memiliki manfaat terhadap keanekaragaman hayati dan perubahan iklim, pada tingkatan global, nasional, dan lokal Meningkatkan mata pencaharian masyarakat di sekitar hutan melalui pengelolaan sumber daya alam secara lestari dan pemanfaatan lahan masyarakat yang berorientasi emisi rendah, dengan tetap memperhatikan kaidah perlindungan hutan Melaksanakan berbagai kegiatan untuk menurunkan emisi yang berasal dari deforestasi dan degradasi hutan guna mencapai Isu-isu Gender Kunci Akses: Terbatasnya akses perempuan dan masyarakat adat terhadap keanekaragaman hayati hutan. Hal ini diperkuat dengan rendahnya pengakuan dan dukungan bagi pengetahuan perempuan dan masyarakat adat yang sebetulnya memiliki peran penting dalam memastikan perlindungan dan keberlanjutan keanekaragaman hutan Partisipasi dan kontrol: Partisipasi dan kontrol perempuan dan masyarakat adat dalam pengambilan kebijakan terkait hutan sangat terbatas. Perempuan sering tidak nampak, bahkandi dalam kelembagaan yang memperjuangkan kelola sumber daya hutan berbasis masyarakat. Hal ini terjadi karena rendahnya keterwakilan perempuan atau anggapan cukup diwakili laki-laki sebagai kepala keluarga. Sementara masyarakat adat, sering terpinggir dalam proses kebijakan karena tidak dianggap memiliki cukup pengetahuan dan berkontribusi untuk kelola sumber daya hutan Manfaat: Rusaknya sumber daya dan keanekaragaman hayati memiliki dampak berarti bagi kehidupan masyarakat adat dan perempuan serta anak-anak dan lansia. Hal ini karena masyarakat adat memiliki ketergantungan yang tinggi pada sumber daya hutan. Sementara bagi perempuan, hal ini karena perempuan seringkali memegang peranan kunci dalam peran merawat kehidupan, seperti memastikan asupan pangan, ketersediaan air bersih, atau perawatan bagi keluarga yang sakit. Dalam situasi rendahnya akses dan kontrol masyarakat adat dan perempuan terhadap sumber daya hutan, dampak yang berlapis dari kerusakan sumber daya hutan menjadi persoalan harian yang nyata bagi perempuan dan masyarakat adat Akses Akses kepada pasar bagi produk-produk yang dihasilkan perempuan, dan masyarakat adat/ sekitar hutan, menjadi satu masalah klasik. Hal ini diperparah dengan akses kepada teknologi dan juga keuangan/ modal yang lebih terbatas. Partisipasi & Kontrol Sebetulnya, perempuan memiliki andil besar di dalam aktivitas ekonomi terkait pengelolaan sumber daya hutan. Namun masalahnya, ketika sampai pada posisi penentu pengambilan keputusan, proses peminggiran kerapkali terjadi. Sedangkan bagi masyarakat adat, kerusakan hutan juga mempersempit ruang gerak dan opsi ekonomi yang bisa dikelola oleh masyarakat adat/ sekitar hutan. Terlebih dalam kelembagaan untuk aktivitas ekonomi terkait pengelolaan sumber daya hutan, ruang mereka menjadi semakin sempit. Manfaat. Tanpa memastikan keterlibatan dan kontrol perempuan dan masyarakat adat/sekitar hutan dalam kebijakan terkait dengan hutan dan livelihood, kerusakan hutan berimplikasi serius pada kemiskinan dan rendahnya kesejahteraan perempuan serta masyarakatadat/masyarakat sekitar hutan. Hal ini makin kuat terjadi manakala konversi hutan untuk aktivitas ekstraktif berjalan dengan laju yang kencang, yang membuat hancurnya sumber-sumber pendapatan dan penghidupan perempuan dan masyarakat adat/ sekitar hutan menjadi tak terhindarkan. Akses. Terbatasnya akses perempuan dan masyarakat adat terhadap berbagai upaya penghutanan kawasan non hutan untuk penyimpanan karbon Partisipasi dan Kontrol. Rendahnya keterlibatan dan keterwakilan perempuan dan masyarakat adat [28]

35 pengurangan emisi yang cukup berarti disetiap Kabupaten Target dengan tetap mendukung pelaksanaan konservasi keanekaragaman hayati Memberikan dukungan pada pertukaran ide dan berbagi pengalaman terkait pelaksanaan konservasi hutan dan program REDD+ di Indonesia serta menginformasikan perkembangan konservasi nasional dan kerangka kerja REDD+ dalam posisi kunci pengelolaan hutan lindung dengan stok karbon tinggi dengan ancaman yang tinggi atau menengah. Akses Akses perempuan dan masyarakat adat terhadap proses pembelajaran yang bertumpu pada exchange learning antar komunitas masih terbatas Partisipasi dan Kontrol Rendahnya pengakuan dan penghargaan terhadap pengetahuan dan kontribusi perempuan dan masyarakat adat/ sekitar hutan dalam praktekpraktek pengelolaan sumber daya hutan Dengan melihat matriks di atas, dalam memastikan pencapaian keempat tujuan program TFCA, gender menjadi isu yang sangat penting. Hal ini karena, ketidakperhatian pada penyelesaian isu-isu gender yang diuraikan di atas, bisa berimplikasi pada kegagalan pencapaian tujuan program TFCA secara keseluruhan. Di sini, gender bukan hanya isu tempelan saja, karena menjadi nafas yang penting diperhatikan guna memastikan pencapaian tujuan program TFCA Kalimantan ini. Gender dalam Design dan Implementasi Program TFCA Kalimantan Beberapa intervensi yang dilakukan grantee untuk menjawab isu-isu gender pada masing-masing tujuan program TFCA antara lain adalah: Tujuan TFCA Kalimantan 1. Melindungi keanekaragaman hayati hutan yang memiliki nilai penting, spesies dan ekosistem yang langka dan terancam punah, jasa ekosistem daerah aliran sungai, konektivitas antar zona ekologi hutan, dan koridor hutan yang memiliki manfaat terhadap keanekaragaman hayati dan perubahan iklim, pada tingkatan global, nasional, dan lokal Intervensi Program untuk Menjawab Isu Gender Akses: - Memperluas akses, misalnya dengan peningkatan kapasitas untuk perempuan dan masyarakat adat terkait dengan pengetahuan baru, seperti teknologi dan revitalisasi pengetahuan lokal yang berkontribusi penting dalam upaya menjaga lingkungan. Intervensi ini tergambar dalam program yang dilakukan oleh ASPPUK di Kapuas Hulu yang menggali kembali pengetahuan, penanaman dan pengolahan pewarna alam bagi perempuan pengrajin tenun. - Revitalisasi dan penguatan pengetahuan perempuan dan masyarakat adat dalam kelola hutan, seperti menggali pengetahuan lokal tentang tanaman pewarna alam, ataupun konservasi sumber air dan tanaman hutan, seperti yang dilakukan oleh Partisipasi dan kontrol: - Mendorong keterwakilan perempuan dalam kelembagaan untuk kelola hutan berbasis masyarakat. Keterwakilan yang didorong memang masih cenderung keterwakilan deskriptif dan belum semua perempuan yang berada dalam posisi kunci berhasil membawa isu dan agenda perempuan, namun hal ini [29]

36 merupakan proses dan upaya yang dilakukan merupakan salah satu terobosan penting. - Mendorong keterwakilan perempuan dalam kelembagaan sosial seperti di tingkat kampung untuk mengawal usulanusulan perempuan. Misal, keterwakilan perempuan di tim 11 untuk pembahasan RPJMK di kampung Teluk Semanting dan Pegat Batumbuk yang difasilitasi oleh FLIM - Contoh lain adalah upaya Lekmalamin yang memfasilitasi FGD terpisah khusus untuk perempuan dalam pembahasan lahan dan kawasan hutan desa di Biduk-biduk, Berau. Hal ini menjadi solusi yang dianggap efektif karena dalam berbagai pertemuan, perempuan cenderung pasif - Di Kapuas Hulu, Lanting Borneo memfasilitasi dan mendorong masuknya perempuan dalam kelembagaan masyarakat untuk memperjuangkan Wilayah Kelola Masyarakat Adat di desa Malemba. Perempuan juga terlibat dalam rapat desa untuk pengambilan kebijakan kampung. Cairnya ruang sosial ini salah satunya dipengaruhi dengan budaya setempat di mana semua keluarga menjadi satu dalam rumah panjang (Rumah Bedang) yang membuat interaksi antar individu termasuk perempuan sangat kuat. - Di dalam program yang difasilitasi SAMPAN, LPHD Desa Bahenap dipimpin oleh seorang remaja. Program juga mendorong aturan tentang keharusan keterlibatan perempuan dalam rapat desa, dam dukungan bagi peran setara laki-laki dan perempuan dalam kelompok masyarakat. Manfaat: - Akomodasi aspirasi dan kebutuhan perempuan dan masyarakat adat dalam penentuan keputusan dan kebijakan desa terkait sumber daya hutan, khususnya dalam RPJMK. Di kampung Pegat-Batumbuk yang difasilitasi FLIM misalnya, perempuan juga mengajukan usulan dalam visi kolektif kampung untuk pengelolaan kawasan mangrove Meningkatkan mata pencaharian masyarakat di sekitar hutan melalui pengelolaan sumber daya alam secara lestari dan pemanfaatan lahan masyarakat yang berorientasi emisi rendah, dengan tetap memperhatikan kaidah perlindungan hutan Akses - Peningkatan kapasitas bagi kelompok perempuan melalui rangkaian pelatihan untuk peningkatan ekonomi perempuan ramah lingkungan, seperti pelatihan pembuatan produk daur ulang yang dilakukan oleh OWT di Merapun, Berau. Juga kegiatan peningkatan nilai tambah produk hasil perikanan yang dilakukan oleh JALA di Tanjung Batu, Berau. - Dukungan bagi perluasan akses pasar, melalui branding dan packaging produk-produk yang dihasilkan oleh perempuan - Perluasan akses permodalan dan pasar melalui kelembagaan koperasi perempuan. Hal ini dilakukan oleh ASPPUK di kabupaten Kapuas Hulu - ke kelembagaan keuangan di tingkat kampung (Badan Usaha Milik Kampung) melalui skema berkelompok Partisipasi & Kontrol: - Penguatan kelompok perempuan, melalui mekanisme berkelompok untuk penguatan ekonomi perempuan. Hal ini sebagai contoh, dilakukan oleh FLIM di Pegat Batumbuk, Berau, ataupun ASPPUK di Kabupaten Kapuas Hulu - Keterlibatan perempuan dan kaum muda dalam kelembagaan pengelolaan usaha berbasis komunitas, seperti yang dikelola melalui skema BUMK. Hal ini telah diinisiasi oleh JALA di kampung Tanjung Batu, Berau - Advokasi kepada kebijakan di tingkat kampung untuk mendorong peran kelembagan BUMK dan dukungan kebijakan [30]

37 Melaksanakan berbagai kegiatan untuk menurunkan emisi yang berasal dari deforestasi dan degradasi hutan guna mencapai pengurangan emisi yang cukup berarti disetiap Kabupaten Target dengan tetap mendukung pelaksanaan konservasi keanekaragaman hayati Memberikan dukungan pada pertukaran ide dan berbagi pengalaman terkait pelaksanaan konservasi hutan dan program REDD+ di Indonesia serta menginformasikan perkembangan konservasi nasional dan kerangka kerja REDD+ dan pendanaan kampong. Upaya ini dilakukan oleh FLIM di Pegat-Batumbuk, Berau dan juga JALA di kampung Batu, Berau - Masuknya perempuan dalam kelembagaan kelompok untuk pengelolaan hasil hutan khususnya madu yang difasilitasi oleh AOI di kabupaten Kapuas Hulu Manfaat: - Peningkatan pendapatan dan diversifikasi sumber penghidupan bagi perempuan melalui usaha-usaha ekonomi ramah lingkungan. Contohnya adalah program untuk peningkatan pendapatan perempuan melalui pembuatan dan penjualan produk daur ulang oleh OWT di Merapun, Berau - Peningkatan pendapatan perempuan melalui usaha kelompok juga difasilitasi antara lain oleh PEKA di Bidul-biduk, Teluk Sulaeman, dan Giring-giring di kabupaten Berau - Peningkatan nilai tambah produk lokal melalui dukungan pelatihan dan teknologi tepat guna, misalnya untuk pembuatan dan pemanfaatan pewarna alam untuk tenun yang dilakukan oleh ASPPUK di Kapuas Hulu - Peningkatan ekonomi perempuan melalui usaha bersama kelompok dalam pengembangan makanan olahan lokal yakni gemi cempa atau abon ikan yang dilakukan oleh Lekmalamin di Biduk-Biduk, Berau - Peningkatan pendapatan perempuan dari aktivitas pengolahan pasca panen untuk madu hutan, yang difasilitasi oleh AOI di kabupaten Kapuas Hulu Partisipasi dan kontrol: - Keterlibatan perempuan dalam kegiatan penanaman kembali hutan atau rehabilitasi lahan kritis. Beberapa mitra seperti JALA di Berau dan Lanting Borneo di Kapuas Hulu ataupun SAMPAN di belum melakukan kegiatan rehabilitasi lahan kritis, namun dalam proses perencanaan, mereka mendesign proses ini juga melibatkan perempuan di dalamnya. Manfaat: - Manfaat dari kegiatan rehabilitasi lahan termasuk dalam rehabilitasi sumber air dan juga kesehatan lingkungan dan komunitas. Hal ini masih menunggu hasil dari pelaksanaan kegiatan rehabilitasi pada point sebelumnya. Akses dan partisipasi Melibatkan perempuan dalam kegiatan pembelajaran lintas komunitas terkait dengan praktek pengelolaan hutan yang berkelanjutan. Kegiatan exchange learning yang difasilitasi oleh FLIM untuk komunitas Semanting melibatkan beberapa perempuan di dalamnya Catatan lainnya juga perlu dilihat dalam kaitan dengan peta relevansi proyek grantee terhadap tujuan program TFCA Kalimantan. Peta relevansi terkait dengan relevansi program grantee terhadap 4 tujuan TFCA menunjukkan bahwa separuh dari jumlah mitra berkontribusi untuk pencapaian tujuan ke-2, yaitu meningkatkan mata pencaharian masyarakat di sekitar hutan melalui pengelolaan sumber daya alam secara lestari dan pemanfaatan lahan masyarakat yang berorientasi emisi [31]

38 rendah, dengan tetap memperhatikan kaidah perlindungan hutan. Catatan evaluasi menunjukkan, bahwa pada pencapaian tujuan ke-2 ini, mayoritas grantee memfokuskan intervensi programnya pada kelompok perempuan. Hal ini bisa memiliki makna positif untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam sumber daya program, dan menguatkan catatan penting tentang keberhasilan program pemberdayaan ekonomi yang menyasar perempuan. Melihat beragam intervensi yang dilakukan oleh grantee, secara umum, karakter dari intervensi gender di dalam program TFCA antara lain adalah: - Intervensi di lakukan, namun analisa gender secara komperhensif untuk memetakan isu gender dan gender strategi dalam program, masih sangat terbatas dilakukan oleh grantee. Dalam dokumen proposal grantee terutama di bagian tentang bagaimana proyek mendorong kesetaraan gender, kebanyakan grantee tidak melakukan elaborasi tentang apa sajakah isu gender yang dihadapi dan apakah strategi yang dipakai untuk menjawab isu gender tersebut. - Strategi mainstreaming gender masih lebih kental di pahami sebagai mendorong partisipasi/ keterlibatan perempuan dalam kegiatan. Terdapat pemahaman yang kuat, bahwa inilah satu yang paling penting (dan bahkan mungkin dianggap sebagai cara tunggal) untuk mendorong mainstreaming gender dalam program. Sebagian grantee sudah bergerak lebih maju dengan juga mendorong masuknya perempuan dalam wilayah yang lebih strategis dalam pengambilan keputusan, namun yang melakukan inisiatif ini, jumlahnya masih sedikit. - Tidak semuanya merupakan intervensi yang bersifat programatik. Terdapat grantee yang di dalam design dan dokumen proyek tidak mengisi bagian tentang analisa gender dan sosial, namun dalam implementasi di lapangan, sangatlah menekankan keterlibatan perempuan dan mendorong kepemimpinan perempuan dalam proses pengambilan keputusan. Dengan melihat beberapa catatan tersebut di atas, evaluasi menemukan beberapa gap yang perlu menjadi perhatian ke depan dalam menguatkan strategi pengarusutamaan gender di dalam proyek, yaitu: - Apakah mendorong keterlibatan perempuan dalam pelaksanaan kegiatan secara otomatis juga mendorong relasi gender yang lebih setara? Jawaban terhadap pertanyaan ini, selayaknya diajukan dengan mengecek kembali, apakah perubahan yang dihasilkan dari melibatkan perempuan dalam kegiatan di dalam program dari perspektif perempuan itu sendiri. Pelajaran penting dari beragam program pemberdayaan dengan melibatkan perempuan dalam pelaksanaan kegiatan adalah, pendekatan ini tidak selalu berhasil, bila tidak dibarengi dengan melihat kondisi dan kebutuhan perempuan, dan di lain sisi, juga sekaligus mendorong relasi dan pembagian peran yang lebih adil antara perempuan dan laki-laki. Sebagai contoh, bilamana perempuan sudah [32]

39 sangat sibuk dengan agenda domestik, keterlibatan perempuan dalam kegiatan tanpa memperhatikan beban kerja dan kelonggaran waktu perempuan, ataupun tidak mendorong laki-laki berbagi peran domestik dengan perempuan, bisa jadi justru akan meningkatkan beban perempuan. Dalam hal ini, pengembangan dan implementasi program perlu mengkaji dan melakukan langkah perbaikan untuk menjawab, apakah yang menjadi hambatan untuk partisipasi dan keterwakilan perempuan? Tanpa menjawab pertanyaan ini, melibatkan lebih banyak perempuan bisa jadi tidak memiliki makna berarti untuk tatanan sosial yang lebih adil dan setara - Bagaimana mendorong kepemimpinan perempuan yang lebih baik dalam struktur dan proses pengambilan keputusan? Hampir semua grantee menekankan partisipasi dalam kegiatan, namun ketika sampai pada isu kepemimpinan perempuan dan mempengaruhi struktur pengambilan keputusan, hanya sedikit grantee yang melakukan hal ini. - Memanfaatkan peluang dengan perubahan kelola di tingkat lokal dimana kencang berhembus gagasan pentingnya keterlibatan dan kepemimpinan perempuan. Salah satu angin perubahan yang penting untuk dilihat adalah dengan tata kelola di tingkat desa dengan implementasi UU No 6 tahun 2014 tentang desa, yang banyak memberi peluang dengan penekanan keterlibatan dan keterwakilan perempuan. Peluang ini bisa menstimulasi dan mengakselerasi upaya mendorong kesetaraan dan keadilan gender di dalam program. - Gender seharusnya tidak diidentikkan dengan perempuan. Dalam proyek, penting untuk juga mengelaborasi, bagaimana dukungan dari kelompok arus utama (laki-laki) yang memiliki posisi menentukan dan berpengaruh untuk mendorong praktek kesetaraan dan keadilan gender. Secara strategis, keterlibatan dan dukungan laki-laki juga menjadi penting karena mereka lah yang banyak memegang posisi penentu kebijakan, dan dalam kerangka yang lebih luas, hal ini juga sejalan dengan ide gerakan mendorong kesetaraan dan keadilan di mana perubahan relasi sosial membutuhkan dukungan dan kontribusi baik laki-laki maupun perempuan. Selain keterlibatan, upaya ini juga bisa dilakukan melalui mengakomodasi kepentingan laki-laki dengan menjawab isu gender yang dihadapi oleh laki-laki, misalnya besarnya risiko terkait dengan peran mencari nafkah yang secara sosial, menjadi peran yang melekat pada laki-laki. b. Relevansi Program Mitra TFCA Kalimantan pada Pembangunan Ekonomi Hijau (Green Economy) di HOB Wilayah HOB memiliki potensi ekonomi yang bersifat ekstraktif seperti pertambangan, perkebunan, pertanian dan kehutanan serta potensi ekonomi non ekstraktif seperti jasa lingkungan dan keanekaragaman hayati. Wilayah HOB [33]

40 mencakup sekitar 23 juta hektar. Selain menopang ekonomi, wilayah HOB ditujukan untuk menjadi basis konservasi di Kalimantan, Malaysia dan Brunei Dasrussalam. Ekonomi Hijau yang difokuskan pada wilayah HOB mendasarkan pada 3 prinsip yaitu rendah emisi (low emission), efisiensi sumberdaya (natural resourcess efficiency) dan keterlibatan masyarakat (social inclusive). Prinsip prinsip tersebut terkait dengan instrumen-intrumen ekonomi untuk pengelolaan lingkungan hidup yang tersebut dalam UU no 32 tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup. Untuk mewujudkan hal tersebut maka dibutuhkan implementasi baik di tingkat operasional seperti perencanaan tata ruang, pembentukan kawasan industri terpadu, insentif praktek terbaik bagi kehutanan, pertanian, perkebunan dan pertambangan serta pengembangan energi terbarukan. Selain itu dibutuhkan juga pada tingkat sektoral seperti lisensi sertifikasi ISPO, HCVF, SVLK dan PHPL yang membatasi ruang ekstraksi pada perkebunan dan kehutanan. Termasuk didalamnya adalah pemanfaatan HHBK dan pengembangan mekanisme pembayaran jasa lingkungan (PJL). Dengan demikian, dampak ekonomi sekaligus keberlanjutan sumberdaya hutan mampu berjalan dengan baik. Beberapa mitra pelaksana program TFCA Kalimantan telah memulai mendorong jenis jenis investasi masyarakat yang berwujud investasi hijau (green investment) pada sektor kehutanan, pertanian dan perikanan peternakan sesuai dengan dimensi yang disasar. Hal tersebut sesuai dengan persyaratan aplikasi bagi setiap lembaga yang akan menjadi mitra program TFCA Kalimantan pada dokumen Kebijakan Prosedur Penyaluran Hibah pada item 2.3 Kegiatan yang dapat didanai. Hal tersebut menunjukkan konsern yang terfokus dari program TFCA Kalimantan untuk mengakomodasi kegiatan kegiatan yang memiliki afiliasi terhadap green economy meskipun lebih pada tingkatan basis lahan (land base). Sedangkan pada tingkatan energi, TFCA Kalimantan tidak memberikan dukungan. Hal penting yang kemudian tidak mendapat fasilitasi dari adanya program TFCA adalah fasilitasi fasilitasi yang dimungkinkan dapat dibangun untuk menjembatani alokasi alokasi dana untuk kegiatan lingkungan hidup dan perubahan iklim (GCF Green Climate Funds) yang saat ini telah banyak didorong oleh perbankan dan perusahaan. Beberapa jenis pendanaan hijau yang dijalankan antara lain : CSR dan Dana Reboisasi. Selain itu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan juga memiliki pendanaan hijau dengan skema tunda tebang, penanaman dan perawatan lahan kritis, simpan pinjam kelompok yang berbentuk pinjaman sangat lunak berjangka waktu 8 tahun. Sistem peminjaman adalah dengan agunan berbentuk pohon yang saat ini ditangani oleh Badan Layanan Umum milik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Fasilitasi yang dilakukan program dapat berupa workshop ataupun kegiatan sejenisnya untuk membuka akses mitra pelaksana dan penerima manfaat terhadap dukungan dukungan pendanaan hijau yang umumnya memiliki home base di Jakarta. Hal tersebut dapat menjadi jalan terbaik bagi keberlanjutan program di tingkat tapak termasuk sebagai konsekuensi atas kebijakan [34]

41 perdagangan karbon yang terhenti. Mekipun demikian, terdapat mitra mitra yang melakukan uji coba pada pelaksanaan perdagangan karbon seperti halnya yang dijalankan oleh Perkumpulan Payo-Payo di dalam rancangan kegiatannya. Mitra program TFCA Kalimantan dalam menjalankan programnya terutama pada lokus HOB memiliki panduan untuk membangun programatik yang berkorelasi dengan pembangunan ekonomi hijau. Untuk mengukur tingkat relevansi program yang dijalankan oleh mitra TFCA yang berkontribusi pada pembangunan hijau maka digunakan prinsip-prinsip ekonomi hijau diperbandingkan dengan target-target sampai dengan capaian / realisasi yang dirancang dan telah dijalankan oleh mitra TFCA Kalimantan. Hasil analisis secara umum dari mitra TFCA yang bekerja di Kalimantan Barat disajikan pada tabulasi sebagai berikut: Indikator No. Implementasi Ekonomi Hijau 1 Rendah emisi (low emission) 2 Efisiensi sumber daya (efficiency of resources) 3 Keterlibatan sosial (social engagement) Capaian/Kegiatan Program yang Berkaitan dengan Pencapaian Indikator Green Economy Model-model pengembangan ekonomi berbasis komoditas perkebunan dan pertanian yang dijalankan Pengembangan teknologi pertanian ramah lingkungan seperti pupuk organik Tambahan luasan hutan (rehabilitasi, agroforestry) Proteksi kawasan (DAS, Tembawang, Kawasan Kelola, Koridor Satwa) Bisnis bisnis masyarakat berbasis HHBK (Madu, kopi, karet, tengkawang Efisiensi lahan pemukiman dan ladang dengan usaha produktif seperti sayuran, ikan, jahe. Perhutanan sosial dalam bentuk hutan desa Ekowisata berbasis komunitas Baseline sumberdaya hutan Luasan lahan hutan yang dapat dikelola oleh masyarakat secara efektif dan berkelanjutan Perencanaan perencanaan pembangunan desa yang mengakomodir kegiatan terkait perlindungan lingkungan hidup dalam rancangannya. Peningkatan nilai tambah produk seperti pengemasan madu dan pembuatan keripik pisang Terbentuknya kelompok tani, kelompok usaha perempuan, kelompok usaha HHBK, Koperasi usaha masyarakat Pengakuan Periau sebagai kelompok sosial oleh pemerintah daerah Terbentuknya 7 LPHD Pemetaan partisipatif (Batas desa, Lokasi rehabilitasi, Kawasan lindung masyarakat) Dukungan pemerintah daerah dalam kebijakan dan fasilitasi perijinan pengelolaan Pengembangan Ekonomi Rendah Emisi Dalam pelaksanaan program TFCA Kalimantan, mitra mitra TFCA mengakomodasi kegiatan-kegiatan yang diorientasikan pada ekonomi rendah emisi yang diakomodasikan dalam bentuk-bentuk teknis yang dijalankan oleh masyarakat. [35]

42 Capaian penting pada prinsip pertama ekonomi hijau diwujudkan dalam aktvitasaktivitas ekonomi yang berkontribusi pada peningkatan serapan karbon dalam bentuk penambahan luasan lahan hutan (rehabilitasi lahan, pengkayaan tanaman, konservasi DAS) ataupun pengembangan tanaman perkebunan rakyat seperti pengusahaan kopi, perbaikan tanaman karet serta komoditas lain yang sejenis. Selain itu, mitra-mitra TFCA juga mengembangkan fasilitasi untuk perlindungan kawasan lindung, DAS dan hutan masyarakat untuk menjaga keberlanjutan serapan karbon. Beberapa mitra juga mengembangkan pendekatan untuk pengurangan emisi akibat pemakaian pupuk an organik dan pestisida kimia dengan model pertanian berbasis organik. Implementasi dari kegiatan tersebut mendapat dukungan dari masyarakat. Effisiensi Sumberdaya Alam Sebagai pendukung sektor riil masyarakat, umumnya mitra-mitra melakukan kegiatan teknis baik dalam tataran demonstrasi, fasilitasi teknis dan penyuluhan serta bantuan permodalan kepada masyarakat untuk melakukan kegiatan produksi berbasis pemanfaatan sumberdaya alam. Tipe umum produksi masyarakat yang menjadi obyek intervensi oleh mitra adalah berbasis komoditas seperti karet, kopi, tengkawang, sayuran serta pemanfaatan jasa lingkungan seperti ekowisata. Beberapa mitra telah melakukan intervensi bahkan hingga pada tataran pasar pada produk-produk komunitas seperti yang dijalankan oleh Sampan dan PRCF untuk lemak tengkawang atau yang dijalankan oleh Warsi dan Kompakh untuk ekowisata berbasis adat dan landscape serta kerajinan oleh Yayasan Diantama Beberapa mitra juga mengusahakan untuk melakukan fasilitasi bagi masyarakat dalam hal hak dan akses kelola hutan negara dalam bentuk perhutanan sosial terutama untuk skema Hutan Desa seperti yang dijalankan oleh Sampan, PRCF, Warsi. Terdapat mitra TFCA Kalimantan yang turut membangun added values bagi produk-produk seperti yang dilakukan oleh Warsi dan Dian Tama. Selain itu, beberapa mitra dalam program yang dijalankan juga membangun base data mengenai keanekaragaman hayati yang dijalankan dengan metode penilaian HCVF (PRCF) ataupun dengan metode inventarisasi hutan ( Sampan, AOI, ASSPUK, Lanting Borneo, BIOMA, FORINA dan Gemawan). Dalam melakukan efisiensi kebun pekarangan atau lahan sekitar pemukiman, mitra TFCA melakukan intervensi dalam bentuk fasilitasi-fasilitasi pengelolaan untuk mengembangkan produk atau komoditas yang memiliki ceruk pasar lebar. Jenis jenis yang dikembangkan dalam peningkatan ekonomi pekarangan tersebut lebih banyak berbentuk sayuran, Jahe, Sahang (Gemawan, Sampan) namun ada juga yang dijalankan dengan mengembangkan perikanan darat seperti yang dicapai oleh Sampan. Terdapat mitra yang memiliki spesifikasi untuk mengembangkan produk HHBK khusus seperti Madu (AOI) dan Pewarna alami (ASSPUK). Namun secara [36]

43 umum, orientasi dukungan mitra TFCA Kalimantan untuk masyarakat lebih banyak untuk penguatan produk dan pemasaran HHBK dalam aneka ragam bentuknya. Keterlibatan Sosial Dalam merancang dan mengimplementasikan programnya, seluruh mitra TFCA Kalimantan berpedoman pada metode partisipasi masyarakat dan pemangku kepentingan. Pelibatan tersebut ditujukan pada optimalisasi capaian yang hendak dituju yaitu masyarakat sebagai penerima manfaat. Selain itu pelibatan di tingkat pemangku kepentingan lain baik Pemerintah Daerah tingkat kabupaten dan tingkat Propinsi ditujukan untuk melakukan intervensi skema pembangunan dan jaminan program yang dijalankan mendapatkan perhatian dan keberlanjutan pada masa selanjutnya. Pihak pihak pemerintah yang terlibat dalam kegiatan mitra TFCA Kalimantan mulai dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Tata Ruang, Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa, Dinas Perdagangan dan Perindustrian, Penyuluh Pertanian dan Kehutanan, BAPPEDA hingga pada tataran DPRD dan Bupati. Capaian dari mitra yang dapat dijumpai sebagai fakta dari proses fasilitasi dan pelembagaan komunitas barupa terbangun dan berkembangnya kelompokkelompok tani, kelompok pembibitan/rehabilitasi, kelompok usaha perempuan, kelompok HHBK, Koperasi dan kelompok usaha madu (periau). Selain itu proses kelembagaan yang dikembangkan oleh mitra mitra TFCA juga mengakses pada tingkatan lembaga desa dengan terbangunnya perencanaan desa, perencanaan kelola hutan, perencanaan kelola periau, penetapan kawasan rehabilitasi hingga terbentuknya peraturan desa dan integrasi pengelolan lingkungan dalam RPJM Desa. Untuk melihat spesifik relevansi pembangunan hijau maka dijalankan analisa keterkaitan dengan Dimensi ekonomi hijau di Kalimantan Barat yang disajikan dalam tabel sebagai berikut: Dimensi / Dimension Tata Ruang / Spatial layout plan Kawasan Proteksi / Protected areas Kehutanan / Forestry Kegiatan Ekonomi Hijau / Green Economy Activities Finalisasi RTRW, hutan kemasyarakatan dan perlindungan daerah tangkapan air, terutama di kabupaten konservasi / Finalization of the province s Regional Spatial Layout Plan (RTRW), community forestry and province s Regional Spatial Layout Plan (RTRW), community forestry and protection of water catchment areas, especially in conservation districts Perlindungan flora dan fauna, keterhubungan seluruh kawasan proteksi / Protection of flora and fauna, connectedness of the entire protection areas Pelaksanaan RIL, sertifikasi SFM, restorasi areal konsesi hutan yang rusak / Implementation of RIL, SFM certification, restoration of damaged forest concession areas [37]

44 Perkebunan Sawit / Oil palm plantations Pertambangan / Mining Pertanian / Agriculture Energi / Energy Usaha Kehati / Biodiversity conservation Hijau Inovatif / Green innovation Ekspansi pada kawasan terdegradasi. Perkebunan lain: karet dan lada menjadi andalan masyarakat / Expansion to degraded areas; the planting of other crops such as rubber and pepper treasured as mainstay commodities by the communities Pertambangan yang bertanggung jawab, reklamasi bekas tambang (terutama batubara) / Responsible mining, reclamation of ex-mine sites (particularly coal mines) Pengembangan food estates mengacu pada prinsip-prinsip pertanian berkelanjutan / Developing food estates based on sustainable agriculture principles Pengurangan konsumsi energi domestik, peningkatan energi alternatif dan terbarukan / Reducing domestic [fossil fuel-based] energy consumption, increasing production of alternative and renewable energy Aplikasi sistem pembayaran jasa lingkungan hidup, minimisasi erosi dan sedimentasi lahan / Implementing systems of payment for environmental services, minimizing erosion and land sedimentation Pengembangan indusri rumah tangga berbasis lidah buaya dan produk turunannya / Developing household industries based on aloe vera and its derivatives Relevansi Mitra pada dimensi Tata Ruang telah dijalankan oleh beberapa mitra HOB dalam berbagai bentuk dan skala nya. Umumnya mitra TFCA melakukan intervensi terkait tata ruang untuk mendukung persoalan terkait dengan batas desa, alokasi lahan rehabilitasi, kawasan lindung masyarakat, kawasan kelola dan penetapan areal kerja perhutanan sosial. Mitra TFCA dalam melakukan pemantapan tata ruang atau yang berkontribusi pada dimensi tersebut dijalankan dengan berbagai metode baik dengan menggunakan GPS dengan ground check, penggunaan wahana tanpa awak, hingga dengan cross chek pada bagian tata ruang propinsi / kabupaten. Relevansi mitra pada dimensi kawasan lindung dijumpai pada beberapa mitra yang digunakan untuk melakukan intervensi pada konservasi hayati. Mitra mitra yang memiliki perhatian terkait kawasan lindung antara lain Warsi, PRCF dan Sampan untuk kawasan hutan Lindung dengan skema Hutan Desa, Gemawan untuk skema perlindungan kawasan budidaya masyarakat, Lanting Borneo untuk pengembangan kawasan lindung masyarakat, AOI untuk kawasan lindung lokasi lokasi madu hutan dan periau, FDLL untuk lokus area perlindungan DAS, ASSPUK untuk konteks perlindungan adat, Dian Tama dengan kawasan perlindungan adat, Forina yang ditujukan untuk pengembangan koridor Satwa seperti Orang Utan. Bentuk intervensi tersebut lebih banyak ditujukan untuk mengembangkan kepastian hak dan akses kelola masyarakat pada sumberdaya hutan pada masing masing wilayah desa. Pada Dimensi terkait dengan Kehutanan, maka seluruh mitra memiliki orientasi untuk upaya pelestarian hutan. Baik yang disusun sebagai program bentuk [38]

45 advokasi, pelatihan maupun agroforestry. Sedangkan untuk mitra yang melakukan intervensi terkait dengan dimensi Pertambangan dan Perkebunan serta Energy maka tidak ditemukan mitra yang memiliki concern pada ketiga dimensi tersebut. Sebagian besar mitra TFCA yang bekerja pada kawasan HOB melakukan intervensi yang berkontribusi pada dimensi usaha kehati dalam bentuk pemanfaatan HHBK untuk meningkatkan ekonomi masyarakat. Kegiatan-kegiatan pemanfaatan HHBK yang telah dijalankandan dicapai oleh mitra TFCA baik dalam skala investasi (penanaman) maupun skala produksi seperti pengusahaan tengkawang, karet dan madu hutan. Intervensi yang dilakukan oleh mitra-mitra TFCA dalam dimensi tersebut lebih difokuskan pada revitalisasi produk HHBK untuk dapat mengakses pasar baik dalam hak kualitas, tata cara pengemasan, hingga perlakukan pemasaran produk. Sedangkan kegiatan mitra TFCA juga membangun dimensi hijau inovatif seperti industri rumah tangga, kerajinan dan usaha ekowisata berbasis masyarakat. c. Implikasi Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Pemerintah menerbitkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah selanjutnya ditulis UU No. 23 Tahun 2014 sebagai aturan baru yang mengatur pelaksanaan pemerintahan daerah. Dalam perkembangannya, undang-undang tersebut melahirkan beberapa masalah pelaksanaan pemerintahan daerah antara pemerintah kabupaten/kota dengan pemerintah provinsi, khususnya yang berkaitan dengan pengelolaan konservasi hutan. Pembacaan singkat ini memfokuskan pada pasal per pasal yang berkaitan dengan pengelolaan konservasi hutan. Perihal tentang konservasi hutan diatur dalam Bab XVI tentang Kawasan Khusus dan Kawasan Perbatasan Negara dalam UU No. 23 Tahun Pemerintah pusat menetapkan kawasan khusus untuk penyelenggaraan fungsi pemerintahan tertentu. Salah satu kawasan khusus tersebut adalah kawasan hutan konservasi. 2 Akan tetapi, keterangan hukum atas pengelolaan kawasan hutan konservasi tidak secara detil diatur dalam undang-undang tentang pemerintahan daerah. Konsep otonomi daerah pada pokoknya adalah membuat daerah lebih aktif memberikan pelayanan kepada masyarakat. Di dalam konteks pengelolaan kawasan konservasi dimana lokasi hutan berada dalam wilayah administrasi pemerintah daerah menarik pemerintah daerah lebih dalam ke aspek kewenangan pengelolaan konservasi seharusnya menjadi opsi kebijakan yang utama dari pada tidak memberi ruang atau kewenangan sama sekali bagi pemerintah daerah untuk turut serta dalam pengelolaan konservasi, sebagaiman yang berlaku saat ini. Di samping itu, kewajiban pemerintah daerah untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat di daerahnya, khususnya yang hidup di kawasan dan sekitar kawasan 2 Lihat Pasal 360 ayat (2) huruf c UU No. 23 Tahun [39]

46 konservasi, merupakan tugas utama dibentuknya pemerintahan daerah selain juga untuk mengurus administrasi pemerintahan. Ada tiga alasan yuridis-logis atas opsi memberikan kebijakan kewenangan yang lebih besar kepada pemerintah daerah dalam pengelolaan kawasan konservasi, walau kadar dan tingkat perannya sangat terbuka untuk didiskusikan. Pertama, Pasal 18 ayat (2) UUD 1945 mengatakan, Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Ketentuan yuridis ini menjadi basis yang logis dan rasional bahwa konstitusi memberi ruang yang luas bagi pemerintah daerah untuk mengurus sendiri urusan pemerintahannya. Dengan demikian, pilihan untuk mengurangi atau bahkan menghilangkan jejak kebijakan dan kewenangan pengelolaan kawasan konservasi oleh pemerintah daerah dapat dikatakan tidak sesuai dengan konstitusi, sebagai hukum dasar negara. Kedua, Pasal 18 ayat (6) UUD 1945 menyebutkan, Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. Landasan yuridis ini menjadi pendukung dan penjamin (back-up) atas Pasal 18 ayat (2) UUD Kebijakan dan kewenangan pemerintah daerah untuk mengelola dan turut serta dalam pengelolaan kawasan konservasi dilindungi oleh peraturan perundang-undangan dalam hal ini adalah Peraturan Daerah atau peraturan lain dalam lingkup daerah. Sehingga opsi untuk memberikan kebijakan dan kewenangan dalam keturutsertaan pengelolaan kawasan konservasi kepada pemerintah daerah menemukan jalurnya. Ketiga, Pasal 10 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2014 memaparkan, Urusan pemerintahan absolut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) meliputi: a. politik luar negeri; b. pertahanan; c. keamanan; d. yustisi; e. moneter dan fiskal nasional; dan f. agama. Pasal di atas mengindikasikan bahwa urusan konservasi seharusnya tidak menjadi urusan absolut yang hanya menjadi domain pemerintah pusat, 3 tetapi juga menjadi domain penyelenggaraan urusan pemerintah daerah. UU No. 23 Tahun 2014 yang diberlakukan pada 2 Oktober 2014 membawa konsekuensi yang serius terkait dengan pengelolaan kehutanan. Peraturan tersebut menggeser kewenangan pengelolaan hutan yang sebelumnya berada di tangan 3 Meskipun dalam Pasal 10 ayat (2) UU No. 23 Tahun 2014 disampaikan bahwa penyelenggaraan urusan absolut dapat dilakukan sendiri oleh pemerintah pusat atau dilimpahkan ke instansi vertikal yang ada di daerah atau ke gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah berdasarkan asas dekonsentrasi. [40]

47 kabupaten beralih ke tangan provinsi. Pemerintah kabupaten/kota hanya diberikan kewenangan pengelolaan taman hutan raya. Terbitnya UU No. 23 Tahun 2014 membuat mitra pelaksana program TFCA mengubah pendekatannya. Misalnya, Gemawan melakukan pendekatan pengawalan kebijakan ke provinsi untuk perlindungan wilayah kelola yang prinsipnya adalah perlindungan kawasan budidaya masyarakat dari konsesi perkebunan atau tambang. Lanting Borneo, Sampan FDLL, dan PRCF lebih memproyeksikan pendekatan ke provinsi untuk mengawal kebijakan tentang perhutanan sosial. Tabel 3.2. Perubahan Kebijakan Mitra terkait Pemberlakuan UU No. 23/2014 Mitra Perhatian Isu Keterangan Gemawan Kawasan kelola masyarakat Menggagas perlindungan kelola masyarakat ke provinsi dengan tujuan peraturan daerah tentang perlindungan wilayah kelola kawasan budidaya masyarakat dari konsesi perkebunan atau tambang Lanting Borneo Perhutanan sosial Mendapatkan dukungan provinsi dan bersinergi dengan kebijakan pemerintah provinsi Sampan Perhutanan sosial Mendorong pemerintah provinsi dalam menyusun tata ruang desa diselaraskan dengan kepentingan masyarakat setempat FDLL Perhutanan sosial Mendapatkan dukungan kebijakan dari pemerintah provinsi untuk penanaman vegetasi PRCF Perhutanan sosial Mendesak pemerintah provinsi Menyelesaikan tumpang tindih perizinan Selanjutnya, UU No. 23 Tahun 2014 juga menyebabkan pemerintah kabupaten tidak cukup leluasa untuk melakukan pengawasan kehutanan. Posisi provinsi yang relatif jauh dari lokasi hutan mengakibatkan gerak provinsi yang terbatas. Di sisi lain, kabupaten tidak memiliki kewenangan untuk mengambil kebijakan atas pengawasan kehutanan. Berlakunya UU No. 23 Tahun 2014 dengan kata lain membuat pemerintah kabupaten menjadi mati suri atas pengawasan kehutanan. Koordinasi tidak cukup cepat dilakukan dalam mendukung pelaksanaan pengawasan kehutanan. Dinas Kehutanan Kabupaten tidak lagi memiliki cukup anggaran untuk melaksanakan kewenangan di bidang kehutanan pasca pemberlakuan UU No. 23 Tahun Misalnya, program hutan desa yang telah dicanangkan pada 2014 oleh pemerintah kabupaten melalui Surat Keputusan Bupati pada 2015, tidak dapat dilaksanakan dengan maksimal karena tidak tersedianya anggaran. Tidak adanya anggaran disebabkan oleh pencabutan kewenangan kabupaten akibat diterbitkannya UU No. 23 Tahun Keberadaan program TFCA sangat membantu dalam menutup sebagian anggaran kabupaten yang tidak tersedia di sektor kehutanan. 4 Hasil Wawancara dengan Ibu Krista Tala, Kepala Bidang Kehutanan Dinas Kehutanan Kutai Barat, 21 Juli [41]

48 Isu adanya eksodus PNS Dinas Kabupaten ke provinsi karena kewenangan kabupaten yang ditarik provinsi membuat PNS Dinas Kehutanan Kabupaten tidak fokus bekerja. Ditambah dengan beredarnya informasi bahwa hanya PNS kabupaten bergelar Sarjana Kehutanan saja yang dapat ditarik ke provinsi semakin memproduksi pelemahan kinerja PNS Dinas Kehutanan. 5 Inilah yang disebut mati suri Dinas Kehutanan Kabupaten akibat pemberlakuan UU No. 23 Tahun Dinas Kehutanan juga membentuk panitia persiapan untuk mengawal sektor kehutanan, khususnya pemberlakuan program hutan desa, namun hasilnya tidak tidak tentu. Mengingat Kabupaten hanya menjadi subordinat dari provinsi dalam kewenangan kehutanan berdasarkan UU No. 23 Tahun Dinas Kehutanan juga terkesan lambat merespon pengawasan kehutanan karena merasa tidak memiliki kewenangan lagi setelah dikeluarkannya UU No. 23 Tahun Pendek kata, kabupaten seperti dirugikan dengan berlakunya UU No. 23 Tahun Di sisi yang lain, meskipun diterbitkan UU No. 23 Tahun 2014, Pemerintah Provinsi juga mengalami kendala dalam merespon pemberlakuan UU No. 23 Tahun Kendala utama di lingkup manajemen dan pengawasan. Tidak mudah menampung PNS kabupaten dinas kehutanan ke provinsi karena harus disesuaikan kembali dengan beban analisis kerja bagi satuan kerja perangkat daerah. Alhasil, susunan Dinas Kehutanan provinsi harus dirombak terlebih dahulu untuk menfasilitasi masuknya PNS Dinas Kehutanan Kabupaten. Kebijakan pengawasan kehutanan juga menjadi masalah dengan berlakunya UU No. 23 Tahun Jarak yang jauh dari lokasi hutan membuat Dinas Kehutanan Provinsi harus mengatur pola pengawasan dengan cermat. Hal ini dapat diatasi hanya jika Dinas Kehutanan Provinsi mau mendelegasikan kewenangannya ke kabupaten. Sayangnya hal demikian tidak diatur dalam UU No. 23 Tahun Meski demikian, tidak tampak usaha dari Kabupaten Kutai Barat, Mahakam Ulu, dan Berau untuk melakukan uji materi Undang-Undang 23 Tahun 2014 khususnya sektor kehutanan, seperti halnya yang dilakukan oleh beberapa kabupaten dan Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia/APKASI, seperti Aceh Tengah, Tapanuli Selatan, Lampung Timur, Lampung Selatan, Cilacap, Banjarnegara, dll. Padahal, UU No. 23 Tahun 2014 belum menghapus aturan pelaksana dari undangundang tentang pemerintahan daerah sebelumnya. Artinya, ada celah yang sebenarnya dapat dimanfaatkan oleh pemerintah kabupaten dalam mengelola hutan di tengah keberlakuan UU No. 23 Tahun Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota selanjutnya ditulis PP No. 38 Tahun 2007 sebagai aturan pelaksana dari UU No Ibid. 6 Hasil Wawancara dengan Bapak Edy Supian, Kepala Seksi Pemberdayaan Masyarakat di Sekitar Hutan, Dinas Kehutanan Kutai Barat, 21 Juli [42]

49 Tahun 2004 (undang-undang pemerintahan daerah sebelum UU No. 23 Tahun 2014) memberi ruang kewenangan kepada pemerintah kabupaten dalam urusan pengelolaan hutan. Misalnya, lampiran PP No. 38 Tahun 2007 bagian AA. Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Kehutanan sub bidang Rencana Pengelolaan Dua Puluh tahunan (Jangka Panjang) Unit Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi (KPHK), menunjukkan kewenangan pemerintah kabupaten sebagaimana pada tabel di bawah ini: Sub bidang Rencana Pengelolaan Dua Puluh Tahunan (jangka panjang) Unit Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi (KPHK) Tabel 3.3. Pembagian Bidang Menurut PP No. 38 Tahun 2007 Sub sub bidang Pemerintah Provinsi Kabupaten Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan pengesahan rencana pengelolaan dua puluh tahunan (jangka panjang) unit KPHK. Pertimbangan teknis rencana pengelolaan dua puluh tahunan (jangka panjang) unit KPHK. Pertimbangan teknis rencana pengelolaan dua puluh tahunan (jangka panjang) unit KPHK. Demikian, ada gap atau jarak antarperaturan perundang-undangan yang disebabkan oleh terbitnya sebuah peraturan perundang-undangan. Khusus untuk pemerintah kabupaten, kemungkinan akan muncul post kewenangan sehingga beberapa urusan atau pertimbangan teknis yang berkaitan dengan pengelolaan hutan konservasi tidak menemukan hasilnya. Bahkan paling parah adalah tidak diurus. UU No. 23 Tahun 2014 dalam Pasal 404 menegaskan, Serah terima personel, pendanaan, sarana dan prasarana, serta dokumen sebagai akibat pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah pusat, daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota yang diatur berdasarkan undang-undang ini dilakukan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak undang-undang ini diundangkan. Artinya, urusan pengelolaan hutan yang sebelumnya ada di tangan kabupaten, harus dialihkan ke atas, ke provinsi. Dan batas akhir penyerahan urusan dari kabupaten ke provinsi untuk urusan pengelolaan kehutanan paling lambat adalah 2 Oktober 2016 karena undang-undang tersebut diundangkan pada 2 Oktober Tidak hanya itu, aturan pelaksana dari UU No. 23 Tahun 2014 juga harus diterbitkan dua tahun setelah undang-undang ini diterbitkan. 7 Sama halnya dengan penyerahan personel, pendanaan, sarana dan prasarana, serta dokumen penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang pengelolaan kehutanan dari kabupaten paling lambat harus dialihkan ke provinsi pada 2 Oktober Pasal 410 UU No. 23 Tahun [43]

50 Hanya saja, undang-undang tidak serta-merta menutup jalan bagi kabupaten dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan. Pasal 408 UU No. 23 Tahun 2014 menyatakan, Pada saat undang-undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang belum diganti dan tidak bertentangan dengan ketentuan dalam undang-undang ini. Ketentuan ini menjadi jalan keluar hukum untuk mengatasi gap antarperaturan perundang-undangan. Dengan kata lain, selama tidak ada peraturan perundang-undangan yang mencabut dan menyatakan tidak berlaku PP No. 38 Tahun 2007, maka secara hukum peraturan pemerintah tersebut masih dianggap berlaku dan memiliki kekuatan hukum. Pasal 404 Peralihan kewenangan penyelenggaraan urusan pemerintahan Pasal 410 Penerbitan aturan pelaksana Pasal 408 Pernyataan keberlakuan PUU Celah hukum Dengan bunyi Pasal 408 UU No. 23 Tahun 2014, maka pemerintah daerah kabupaten semestinya masih memiliki celah hukum untuk melaksanakan kewenangan pemerintahan dalam urusan pengelolaan hutan. Dan celah inilah yang tidak dimanfaatkan oleh Kabupaten Kutai Barat, Kabupaten Mahakam Ulu, Kabupaten Berau, dan Kabupaten Kapuas Hulu. 3.2 EFEKTIVITAS Efektivitas Program Mitra Efektivitas program diukur dengan cara membandingkan capaian atau output yang berhasil diraih dengan capaian atau output yang direncanakan sebelumnya. Secara keseluruhan, efektivitas Program TFCA Kalimantan yang dijalankan oleh 24 mitra tersaji pada matriks berikut. [44]

51 Siklus/Site Kapuas Hulu Kubar - Mahulu Berau Rerata 1 80% 57% 90% 77% 2 Reguler 71% 82% 78% 76% 16 Sangat Efektif 2 SGF 85% NA 97% 91% 6 Cukup Efektif Rerata 79% 65% 88% 81% 1 Kurang Efektif 120% 100% 80% 60% 40% 20% 0% GEMAWAN PRCF AOI FORINA ASPPUK SAMPAN Dian Tama FDLL Lanting Borneo KOMPAKH BIOMA CSF KBCF - Warsi OWT PEKA Payo-payo KSK UGM FLIM MENAPAK Kerima Puri BP Segah LEKMALAMIN JALA KANOPI NA Gambar 3.3 Diagram Efektivitas Program TFCA Kalimantan Berdasarkan ilustrasi tersebut, secara keseluruhan rerata tingkat efektivitas program TFCA Kalimantan mencapai 81 % atau Sangat Efektif. Sebanyak 16 mitra atau sebesar 67 % memiliki tingkat pencapaian output yang sangat efektif. Menapak yang bekerja pada wilayah Berau merupakan mitra dengan tingkat efektif paling tinggi yakni sebesar 100 %. Tingkat efektifitas Menapak mencapai 100% dikarenakan, berhasil mencapai semua perencanaan dengan baik. Sementara itu, sebanyak 6 mitra atau setara 25 %--menyandang peringkat efektivitas program Cukup Efektif dengan rerata sebesar 65 %. Tingkat efektivitas paling minim disandang oleh CSF yang bekerja pada wilayah Kutai Barat dan Mahakam Ulu. CSF hanya mampu meraih 45 % dari output yang seharusnya direalisasikan. Efektivitas rerata tertinggi juga terjadi pada mitra-mitra yang tergabung di dalam skema Siklus 2 SGF, yakni mencapai 91% atau Sangat Efektif. Seperti diketahui, skema ini memfasilitasi dana hibah kecil (small grant facilities) dan diperuntukkan bagi KSM Kelompok Swadaya Masyarakat setempat. Pada umumnya, KSM cenderung memasang target output yang sangat realistis sehingga berimbas pada tingginya pencapaian output dari intervensi yang dijalankan. Sementara itu, Skema [45]

52 Siklus 1 memiliki tingkat efektivitas paling rendah sebesar 77 %. Mitra yang tergabung pada siklus ini telah menuntaskan tahun ke dua pelaksanaan Program TFCA Kalimantan. Secara keseluruhan, keberhasilan efektivitas pencapaian output oleh beberapa grantee didukung oleh beberapa faktor yakni: 1. Assessmen untuk mengidentifikasin kondisi sosial masyarakat dampingan dan mengetahui apa yang dibutuhkan masyarakat di desa dampingan. Pemahaman tentang kondisi sosial ekonomi masyarakat dan tingkat kebutuhan yang terjadi dilapangan, memberikan gambaran untuk mengambil langkah-langkah strategi yang dibutuhkan dalam implementasi program di di lapangan. 2. Pendampingan. Pendampingan intensif memegang penting terhadap keberhasilan program, yang dilakukan pada kelompok tani, kelompok ibuibu dan pemerintah kampung. Hal inilah yang dilakukan oleh OWT, Kerima Puri, dan Grantee yang lain. Beberapa kiat yang harus dipegang dalam melaksanakan pendampingan adalah 1) jangan ingkar janji dan harus tulus dari sesuatu yang akan dikerjakan bersama masyarakat, karena masyarakat akan memegang janji dan kepercayaan pada program. 2) pendampingan harus bisa memberikan manfaat langsung kepada masyarakat, kelompok, maupun pemerintah kampung. 3) Pendampingan harus bisa memberikan solusi dari persoalan social yang terjadi di masyarakat. 3. Pengalaman tenaga pendamping, sangat berperan dalam menentukan strategi-strategi program yang perlu diambil, jika ada tantangan dan hambatan yang muncul di masyarakat, yang bisa kendala tercapainya project. Hal inilah yang terjadi jika membandingkan tenaga pendamping OWT yang berpengalaman dengan tenaga pendamping Payo-Payo dalam menghadapi hambatan yang hampir mirip di desa dampingan. 4. Penting sekali untuk melibatkan tokoh kunci masyarakat karena struktur social masyarakat yang masing memegang kepercayaan kepada tokoh atau pemimpin social di masyarakat, baik kelompok tani, kelompok ibu-ibu, maupun pemerintahan kampong. 5. Sebuah program pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat harus bisa memadukan dua pendekatan sekaligus, yakni pendekatan konservasi dan pendekatan ekonomi yang bisa dirasakan langsung oleh masyarakat 6. Situasi politik di kampong dan daerah yang kondunsif dalam mendukung pelaksanaan program. Terkadang situasi politik, terutama menjelang pilihan kepala kampong merupakan situasi yang tidak kondunsif yang disebabkan pecahnya masyarakat menjadi kelompok-kelompok pendukung kandidat kepala kampong. Hal ini sangat rentan terhadap konflik social di tengah masyarakat, yang bisa menghambat jalannya program. [46]

53 7. Koordinasi dan komunikasi yang terbangun bagus antara grantee dengan pihak-pihak yang berkepentingan masyarakat, pemerintah kampong, KPHL Berau Barat, maupun SKPD-SPKD terkait di kabupaten. Selain keberhasilan mencapai tujuan yang sangat efektif, beberapa grantee juga mengalami kendala untuk mencapai efektifitas tujuan project. Beberapa factor penghambat yang menjadi kendala atau tantangan yang bisa menghambat efektivitas ketercapaian program: 1. Sejarah pendampingan dan program dari LSM-LSM sebelumnya yang meninggalkan jejak tidak baik dan melahirkan trauma bagi masyarakat. Bahkan ada isu di Kampung Muara Lesan bahwa mereka dijual oleh LSM untuk mendapatkan dana. 2. Ketersediaan waktu dari pemerintah kampung dan masyarakat yang disibukan dengan kegiatan individual untuk mencari nafkah di hutan, maupun berbenturan dengan kegiatan kegiatan kampung seperti kegiatan ADK, kegiatan natal dan peringatan hari besar yang lain. Beberapa grantee belum menemukan cara untuk mencari solusi terbaik terkait kendala ini. 3. Birokrasi yang cukup lama dalam memproses pengajuan ijin penetapan areal kerja perhutanan sosial seperti hutan desa 4. Lokasi desa dampingan yang sangat jauh dan akses jalan yang sulit, dengan komunikasi yang sulit dijangkau (dengan telephon) 5. Bencana alam seperti banjir dan kebakaran hutan yang menghambat pelaksanaan kegiatan Efektivitas Pengelolaan Program (Administrator) a. Tujuan dan Ruang Lingkup Evaluasi Evaluasi ini dilakukan sebagai persyaratan (mandatory) bagi implementasi program TFCA Kalimantan dengan fokus utama melakukan penilaian terhadap pencapaian di tingkat tujuan utama (goal), outcome dan output program dilihat dari perspektif individual program yang dilaksanakan oleh grantee dan pengelolaan dana hibah oleh KEHATI sebagai administrator program. Laporan ini adalah khusus untuk menyampaikan hasil analisis evaluasi kinerja administrator baik sebagai bagian refleksi internal staf administrator (self assessment) maupun penilaian dari pihak lain, baik dari perspektif OCTM maupun lembaga-lembaga pelaksana program sebagai grantee. Penilaian kineja administrator berpegang pada beberapa variable seperti tercantum pada tabel di bawah ini: [47]

54 Tabel 3.4. Variabel Kinerja Administrator Secara keseluruhan, tujuan evaluasi kinerja administrator adalah untuk: a. Melakukan evaluasi terhadap efektifitas pelaksanaan program b. Mengumpulkan berbagai pelajaran berharga Hasil dari evaluasi ini diharapkan mampu menginspirasi para pihak untuk mengembangkan inisiatif berpijak pada beberapa hasil nyata yaitu keberhasilankeberhasilan yang dicapai dan rekomendasi pokok yang disampaikan. Oleh karena itu, draf hasil evaluasi disampaikan kepada pengelola program dan pemangku kepentingan kunci yang terlibat dalam program, untuk mengerucutkan temuan dan rekomendasi-rekomendasi tersebut, sekaligus menjadwalkan prioritas tentang apa yang perlu dan sanggup dilakukan agar hasil-hasil pokok bisa terus berlanjut dan meluas pengaruhnya. Proses presentasi draf laporan kepada pengelola dan pemangku kepentingan kunci ini juga mendiskusikan beberapa tindak-lanjut yang perlu dilakukan dalam rangka menjaga dan meluaskan semangat dan keterlibatan. b. Metode Pengumpulan Data Proses evaluasi kinerja administrator ini dilaksanakan melalui beberapa komponen. Komponen pertama adalah analisa dokumen program. Dokumen ini meliputi aspek rancangan awal program TFCA Kalimantan mulai dari nota kesepahaman (MoU), rencana implementasi sampai dengan laporan pelaksanaan masing-masing projek termasuk aspek keuangan. Keseluruhan analisa dokumen ini terefleksi di dalam Gambar 3.4 yang menampilkan peta target capaian, dimana sebagian besar adalah dokumen, yang harus dicapai per tahun oleh KEHATI sebagai administrator program. Komponen kedua, evaluator bekerja sama dengan administrator mengidentifikasi pihak-pihak yang dilibatkan dalam proses evaluasi sebagai responden untuk mengisi kuesioner yang diedarkan kemudian. Komponen ketiga, melakukan wawancara mendalam dengan narasumber yang sama dengan pihak-pihak yang terlibat di komponen proses evaluasi ini. [48]

55 Gambar 3.4. Diagram Komponen Evaluasi Kinerja Administrator Dalam prakteknya, dari keseluruhan kandidat narasumber, semua berhasil diwawancara namun sampai dengan penyusunan laporan ini, tidak semua responden mengisi kuesioner yang telah tim evaluator kirimkan. Gambaran tentang keterlibatan narasumber ini tertuang dalam table di bawah ini. Tabel 3.5. Daftar Narasumber No. Nama Lembaga Catatan OCTM 1 Lana Sari Lubis Directorate General of Ecosystem and Nature Resource Conservation, MINISTRY OF FORESTRY 2 Antonius P.Y. Djogo U.S Agency for International Development 3 Hermayani Putra Yayasan World Wide Fund for Nature-Indonesia 4 Intan Ritonga The Nature Conservation Policy Proses wawancara pada hari Senin, 18 Juli 16 dan memberikan masukan dengan mengisi kuesioner. Proses wawancara pada hari Senin, 25 Juli 16 dan memberikan masukan dengan mengisi kuesioner. Proses wawancara pada hari Minggu, 24 Juli 16 namun tidak memberikan masukan dengan mengisi kuesioner. Proses wawancara pada hari Rabu, 20 Juli 16 namun tidak memberikan masukan dengan mengisi kuesioner. [49]

56 Tim Administrator 5 6 Puspa Dewi Liman M. Abd. Syukur 7 Ines Novitasari Saragih KEHATI KEHATI KEHATI Proses wawancara pada hari Kamis, 30 Juni 16 dan memberikan masukan dengan mengisi kuesioner. Proses wawancara pada hari Rabu, 29 Juni 16 dan memberikan masukan dengan mengisi kuesioner Proses wawancara pada hari Rabu, 29 Juni 16 dan memberikan masukan dengan mengisi kuesioner Pertanyaan kunci sebagai acuan dasar dalam wawancara mendalam terbagi menjadi dua kategori analisis, yaitu: efektifitas dan pembelajaran. Berikut adalah beberapa pertanyaan dasar di kedua kriteria tersebut: Kriteria Evaluasi Efektifitas Pembelajaran Tabel 3.6. Acuan Dasar Wawancara Mendalam Pertanyaan Evaluasi 1) Sejauh mana tujuan program tercapai? 2) Sejauh mana program dapat memberikan dukungan kepada para mitra baik grantee maupun pemerinttah daerah? 3) Sejauh mana program menghasilkan perubahan positif dalam konteks HOB dan BFCP? 4) Apa faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi baik keberhasilan dan kegagalan program? Bagaimana hal tersebut terjadi? 5) Sejauh mana program berhasil melakukan advokasi untuk perubahan kebijakan? 1) Apa saja pembelajaran penting yang dapat dibagikan pada praktisi lain dalam konteks HOB dan BFCP? 2) Adakah praktek-praktek menarik yang dilakukan sepanjang program? Jika ya, bagaimana potensi replikasi dari praktek menarik ini untuk program lain di Indonesia? 3) Apa saja strategi-strategi dan pendekatan yang baik yang diterapkan didalam program? 4) Bagaimana program ini berkontribusi terhadap pengembangan/perbaikan kapasitas lembaga pelaksana (grantee)? Hasil analisis dokumen program (Diagram 3.5) menjadi dasar operasionalisasi pertanyaan kunci di atas dalam wawancara mendalam sebagai proses verifikasi tingkat ketercapaian KEHATI sebagai administrator program. Komponen verifikasi temuan lainnya adalah isian kuesioner dimana sayangnya menjadi salah satu keterbatasan proses evaluasi ini mengingat tidak semua narasumber memberikan masukan tertulisnya. [50]

57 Gambar 3.5. Diagram Daftar Target Capaian Per Tahun oleh Administrator [51]

58 c. Deskripsi Hasil Evaluasi Berdasarkan diagram daftar target capaian diatas, dapat dilihat bahwa ketersediaan dokumen pendukung yang mampu penuhi oleh KEHATI sebagai administrator setiap tahunnya adalah pada tahun 2012 sebanyak 5 dokumen, 2013 sebanyak 20 dokumen, 2014 sebanyak 2 dokumen, 2015 sebanyak 3 dokumen dan 2016 sebanyak 2 dokumen (sampai proses evaluasi dilakukan), berikut adalah prosentase ketercapaian target per tahun oleh KEHATI. Gambar 3.6. Diagram Prosentase Ketercapaian Target Dokumen Per tahun oleh Administrator Beberapa catatan kritis dari analisis di atas adalah: 1. Prosentase merujuk pada kelengkapan dokumen bukan pada kualitas substansi. 2. Kelengkapan dokumen yang ada lebih pada manajerial dan keuangan (seperti laporan keuangan, audit, kebijakan penyaluran hibah) daripada programatik yang bersifat substansi (seperti analisis situasional kabupaten, ruang lingkup dan mandat project) 3. T.A.P adalah pencapaian strategis yang tertunda dan berakibat pada tidak terpenenuhinya beberapa pencapaian hasil terutama berkaitan dengan dukungan kepada mitra (seperti asesmen peningkatan kapasitas, desain bimbingan teknis yang dibutuhkan untuk apparat pemerintah dan CSOs) 4. Tidak adanya target tahunan yang terukur dan disepakati untuk seluruh indikator dalam implemention plan TFCA. Efektivitas Dari analisa isian kuesioner yang ada, maka hasil rekapitulasinya adalah sebagai berikut: [52]

59 Tabel 3.7. Rekapitulasi Hasil Kuesioner Efektivitas Kriterias Skor Total Sangat Efektif Kebijakan penyaluran dana hibah OCTM Admin Efektif Kurang Efektif > < 7 Pelaksanaan penyaluran dana hibah Pemantauan penyaluran dana hibah Pelaporan dan pertanggungjawaban dana > < > < > < 5 Perbedaan penilaian antara OCTM dengan administrator terutama dalam konteks monitoring dan pelaporan implementasi program dana hibah mengindikasikan masih perlu ditingkatkannya pola komunikasi dan koordinasi agar lebih efektif. Akan tetapi, penilaian umum yang dilakukan berdasarkan variabel yang ada, mengindikasikan bahwa tugas administrator oleh Yayasan Kehati berjalan efektif Secara umum dengan mengacu pada 3 komponen proses evaluasi serta jawaban beberapa pertanyaan kunci dalam wawancara mendalam, maka hasilnya adalah sebagai berikut: Analisis Temuan Sudah terdapat capaian-capaian strategis yang mengarah pada indikator-indikator yang tertuang dalam rencana implementasi terutama dalam konteks penyaluran hibah. Beberapa kebijakan penyaluran hibah perlu ditegaskan kembali konsistensinya dalam pelaksanaan. Ketiadaan target terukur yang ditetapkan setiap tahunnya di masingmasing indikator menjadi kendala dalam menganalisa seberapa jauh kontribusi masing-masing projek oleh grantee. Pendekatan berbasis kabupaten juga tidak terefleksi secara utuh ke dalam strategi implementasi masing-masing grantee. Hal ini dimungkinkan terjadi karena belum tersusunnya project portfolio di tingkat kabupaten sehingga perencanaan hibah belum terstruktur menjadi bangunan besar HOB atau BFCP. Keterlambatan pembentukan TAP dan konsolidasi kebijakan program antara OC/OCTM dan administrator menjadi indikasi utama terhambatnya optimalisasi capaian program terutama dikaitkan dengan penguatan lembaga mitra baik dari sisi grantee maupun pemerintah daerah. Inisiasi adanya perubahan kebijakan pembangunan lingkungan [53]

60 Bukti-bukti yang ditemukan selama proses evaluasi untuk mendukung analisis terutama perhutanan tampak mulai dari adanya nota kesepahaman dengan komunitas, pelaku usaha sampai dengan keputusan pemerintah baik tingkat kementerian maupun daerah yang diantaranya tertuang dalam surat keputusan gubernur. Administrator sudah memiliki kebijakan penyaluran hibah, namun masih perlu dilakukan perbaikan terhadap perkembangan/dinamika seperti model penyaluran terhadap dana grant, beasiswa, prosedur pemantauan, dll. Pada siklus 1, due diligence (penilaian kapasitas dan kelayakan mitra) selalu dilakukan pada sebelum calon mitra diterima sebagai mitra TFCA Kalimantan. Due diligence memuat serangkaian pertanyaan-pertanyaan yang sangat mengorek internal dapur mitra, sehingga seringkali tidak nyaman terutama jika lembaga pada akhir keputusan dinyatakan tidak lolos. Pada siklus berikutnya, hasil due diligence tidak mempengaruhi kelolosan calon mitra, hasil due diligence digunakan bagi administrator untuk melakukan kegiatan penguatan kelembagaan grantee. Proses review dan revisi TOR tentang TAP yang berkepanjangan ( ) yang berakibat tidak sistematisnya kegiatan dukungan berupa penguatan kapasitas terutama kepada grantee. Inisiasi perubahan salah satu contohnya adalah PRCF memfasilitasi pembentukan empat Lembaga Pengelolaan Hutan (LPHD) dan Rencana kerja untuk Hutan Desa (RKHD). Analisa situasi eksternal: 1. Kesempatan a. Komitmen dari pemerintah daerah untuk bekerja sama dalam pelaksanaan program. b. Tingginya minat CSO lokal berkontribusi dalam program-program pembangunan sektor lingkungan di Kalimantan. c. KEHATI sebagai sebuah lembaga telah diterima oleh para mitra terutama di daerah, sebagai lembaga pemberi hibah (grant maker). d. Adanya potensi integrasi dengan program yang dibiayai oleh lembaga donor lain terutama yang dilaksanakan oleh lembaga yang tergabung dalam OCTM. e. Adanya ruang integrase beberapa komponen program ke dalam RPJM tingkat desa atau kampung. 2. Ancaman a. Perkembangan secara masif industri ekstraktif (pertambangan, minyak sawit, semen) dimana pada saat yang sama kurang lebih 50% dari total grantee bekerja di kawasan non tenurial. b. Adanya kesenjangan kapasitas mitra antara lembaga-lembaga yang berbasis nasional dengan lembaga-lembaga local. Analisa situasi internal: 1. Kekuatan a. Masih adanya waktu yang relatif lama (kurang lebih 5 tahin) dan tersedianya dana yang relative memadai (US$ 15,2 million) untuk [54]

61 peningkatan strategi implementasi program termasuk mitra-mitra di Siklus 3. b. Tim administrator yang memiliki kapasitas pengelolaan administrative (pelaporan, system dan prosedur serta manajemen keuangan). 2. Kelemahan a. Adanya indikasi kebutuhan peningkatan komunikasi dan koordinasi antara OC, OCTM dan administrator terutama dalam konteks Monitoring penyaluran dana hibah serta pelaporan dan akuntabilitas pengelolaan dana. b. Tertundanya pembentukan dan bekerjanya T.A.P sebagai komponen strategis program terutama dalam kaitan peningkatan kapasitas mitra baik pemerintah daerah maupun grantee. c. Ketiadaan personel yang bertanggung jawab khusus pada system monitoring dan evaluasi program. Hal ini berakibat pada kurangnya pendayagunaan data yang ada untuk peningkatan strategi iplementasi agar lebih efektif dan efisien. Penilaian Kinerja Administrator oleh Grantee Selain beberapa anggota OCTM dan administrasi kehati, tim evaluator juga telah melakukan penjaringan data kepada para grantee baik melalui wawancara mendalam atau berkelompok untuk menangkap isu yang berkembang di lapangan terkait kinerja administrator. Tema besar evaluasi pengelolaan program TFCA Kalimantan tersebut adalah: 1) Koordinasi, komunikasi dan dukungan teknis pelaksanaan program. Pola interaksi dengan mitra hanya sebatas hubungan pengelolaan dana hibah. Belum ada dukungan teknis dalam rangka perbaikan strategi implementasi. Sebagai contoh, bagaimana sebaiknya menyusun RPJM Kampung. Interaksi selama ini hanya sebatas konfirmasi pemenuhan pengumpulan laporan sebagai pra-syarat administrasi projek. Koordinasi dan komunikasi program di tingkat kabupaten perlu diperkuat baik antar CSO maupun antara pemerintah daerah dan CSO. Hal ini menjadi titik kritis pelaksanaan program terutama ketika berkaitan dengan kondisi geografis yang sangat luas. Sebagai contoh, lokasi dan jarak Kampung Biduk-biduk dengan kota kabupaten yang relatif tersebar jauh sehingga banyak memerlukan waktu. Dalam konteks dukungan teknis pelaksanaan program, saat ini tampak belum diarahkan pada pencapaian grantee sebagai sebuah lembaga yang harus tetap hidup tanpa terkungkung periode program. Membangun portfolio lembaga menjadi penting untuk menghindari posisi grantee yang hanya sebatas event [55]

62 organizer. Administrator hendaknya mampu membangun kerangka logis projek yang runtut dan memastikan bahwa tujuan akhir projek berkontribusi pada misi jangka panjang lembaga. Tim evaluator juga mencatat beberapa pola komunikasi yang kurang efektif sehingga memunculkan multi tafsir di beberapa isu, yaitu mengenai kebijakan penggunaan dana sisa program, prosedur dan tata laksana audit keuangan, prosedur beserta proses pembayaran (invoice), kesusuaian rancangan waktu antara kerangka logis projek dengan pelaksanaan riil proyek, kejelasan konsekuensi bila terdapat beberapa kegiatan tidak dilaksanakan serta prosedur dan tata laksana pengadaan barang dan jasa. Hal lain yang krusial untuk dibahas adalah penyesuaian standar biaya yang diterapkan. Standar biaya yang ditetapkan TFCA Kalimantan dirasa terlalu rendah dan tidak sesuai dengan kondisi aktual di lapangan. Sebagai misal, biaya logistik dibatasi hanya sebesar Rp , - per hari per orang dimana dengan besaran seperti ini sangat menyulitkan field assistant untuk melaksanakan kegiatan. 2) Sinergi program. Sebagai program yang dirancang melalui pendekatan Kabupaten, mekanisme sinergi antar mitra di dalam kabupaten yang sama belum terbangun. Demikian pula, tidak juga dilakukan mekanisme sinergi program mitra TFCA Kalimantan dengan Pemerintah Daerah dan para pihak terkait. Keberadaan Pokja REDD dan Pokja HOB belum bisa dimaksimalkan untuk mendukung pelaksanaan program TFCA Kalimantan. Pada prinsipnya, Pokja HOB dan Pokja REDD merupakan simpul komunikasi dan koordinasi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pemantauan/evaluasi) berbagai program baik dari SKPD maupun dari NGO terkait dengan REDD. Hanya isu saja yang membedakan keduanya, dimana Pokja HOB untuk program HOB di Kutai Barat dan Mahakam Ulu, sedangkan Pokja REDD untuk program PKHB di Berau. Secara kelembagaan, Pokja HOB dan Pokja REDD ini masih eksis karena susunan kepengurusan masih ada, tetapi kurang berjalan secara program. Terkait dengan program TFCA Kalimantan, secara institusi, tidak ada koordinasi yang dirancang antara grantee TFCA Kalimantan dengan Pokja untuk mengkoordinasikan berbagai inisiatif grantee TFCA dengan SKPD terkait. Pokja HOB dan Pokja REDD ini mempunyai modalitas untuk mengkonsolidasikan dan akses program SKPD. Kendala yang ada adalah persoalan anggaran yang tidak tersedia untuk melakukan fungsi koordinasi sehingga fungsi koordinasi dengan mitra TFCA Kalimantan tidak berjalan. [56]

63 Keberadaan Pokja HOB dan Pokja REDD sebagai lembaga multipihak juga harus mulai diperkuat untuk menjadi salah satu pilihan bentuk kelembagaan untuk mempersiapkan langkah exit strategi project TFCA Kalimantan Solusi yang bisa ditawarkan adalah TFCA Kalimantan menfasilitasi serial koordinasi pokja REDD dengan melibatkan semua mitra-mitra TFCA Kalimantan sebagai forum untuk perencanaan, evaluasi, sharing pengalaman, dan sekaligus sebagai forum untuk menginformasikan kemajuan kegiatan TFCA Kalimantan kepada pihak-pihak terkait di Kabupaten Kerjasama dengan mitra TFCA lain sangat penting untuk mendukung kegiatan teknis di lapangan. Perlu dukungan agar para grantee dan pihak terkait dapat saling bertukar pengalaman dan informasi yang kemudian mampu memunculkan inisiasi-inisiasi bersama guna mencapai perbaikan tata kelola hutan dalam konteks lebih luas. 3) Monitoring dan evaluasi. Monitoring dan evaluasi berkala yang dilakukan TFCA Kalimantan lebih cenderung mengedepankan persoalan administrasi program seperti pelaporan, administrasi keuangan, dan lain sebagainya. Mitra merasa kurang mendapatkan masukan dalam kerangka perbaikan program yang mengarah pada tindakan implementatif yang strategis untuk dijalankan sehingga intervensi program dapat lebih efektif dan efisien. Penabulu adalah lembaga penerima dana hibah dengan tujuan khusus yaitu memberikan bantuan teknis pengembangan rancangan projek termasuk manajemen keuangan grantee lainnya. Dalam prakteknya, Penabulu adalah mitra TFCA Kalimantan dimana memiliki posisi yang sejajar dengan mitra-mitra yang lain. Oleh karena itu, Penabulu tidak memiliki legitimasi untuk memaksa dalam konteks perbaikan administrasi keuangan yang dilakukan. Sehingga yang dilakukan adalah hanya bersifat saran atau rekomendasi dimana saran atau rekomendasi tersebut kadang tidak dijalankan oleh mitra sebagai grantee. 3.3 EFISIENSI PROGRAM Efisiensi sebuah program atau kegiatan terlihat dari implementasinya yang konsisten dengan apa yang telah dirancang sebelumnya. Efisiensi Program TFCA Kalimantan ini dipisahkan menjadi 2 (dua) bagian meliputi efisiensi waktu dan efisiensi biaya. Efisiensi waktu terlihat dari panjang-pendek-nya rentang pergeseran waktu pelaksanaan program apabila diperbandingkan dengan tata waktu yang direncanakan, sementara efisiensi biaya tergambar dari kondisi aktual penyerapan dana program. Secara keseluruhan, efisiensi Program TFCA Kalimantan yang dijalankan oleh 24 mitra tersaji pada matriks berikut. [57]

64 Gambar 3.7. Diagram Efisiensi Program TFCA Kalimantan Berdasarkan ilustrasi tersebut, rerata pergeseran waktu pelaksanaan kegiatan mencapai 16 %. Sebanyak 17 mitra atau sebesar 74 % mengalami pergeseran waktu di bawah 20 %. FDLL Forum DAS Labian - Laboyan yang bekerja pada wilayah Kapuas Hulu merupakan mitra dengan pergeseran waktu paling rendah yakni sebesar 0 %. Sementara itu, sebanyak 4 mitra atau setara 17 % mengalami pergeseran waktu berkategori Sedang dengan rerata sebesar 26 %. Pergeseran waktu paling besar disandang oleh CSF yang bekerja pada wilayah Kutai Barat dan Mahakam Ulu. CSF mengalami pergeseran waktu sebesar 68 % dari waktu yang direncanakan. Secara keseluruhan, dengan tingkat efektivitas sebesar 81 % dan pergeseran waktu pelaksanaan kegiatan sebesar 16 % maka efisiensi waktu pelaksanaan program TFCA Kalimantan tergolong Cukup Efisien. Hal ini banyak didukung oleh kemampuan grantee dalam hal ini tenaga pendamping dalam menjaga pelaksanaan program agar sesuai dengan perencanaan yang telah dibuat. Pendamping mencoba untuk menemukan strategi dan jalan tengah terkait tantangan ketidaktersediaan waktu dari masyarakat dan pemerintah kampong karena kesibukan sehari-hari dan kegiatan kampong. Selain itu, efisiensi waktu yang banyak didukung oleh KSM melalui siklus 2 SGF, disebabkan KSM cenderung memasang target output yang sangat realistis sehingga berimbas pada kemudahan untuk mencapainya dari intervensi yang dijalankan Sementara itu, rerata penyerapan dana program yang dijalankan mitra mencapai 75 %. Sebanyak 7 mitra atau sebesar 33 % mengalami penyerapan dana yang baik atau di dalam rentang %. SAMPAN yang bekerja pada wilayah [58]

KERANGKA ACUAN PELAKSANAAN EVALUASI AKHIR PROGRAM MITRA TFCA- SUMATERA PADA SIKLUS HIBAH 1

KERANGKA ACUAN PELAKSANAAN EVALUASI AKHIR PROGRAM MITRA TFCA- SUMATERA PADA SIKLUS HIBAH 1 KERANGKA ACUAN PELAKSANAAN EVALUASI AKHIR PROGRAM MITRA TFCA- SUMATERA PADA SIKLUS HIBAH 1 1. PENDAHULUAN Program TFCA- Sumatera merupakan program hibah bagi khususnya LSM dan Perguruan Tinggi di Indonesia

Lebih terperinci

Daftar Tanya Jawab Permintaan Pengajuan Konsep Proyek TFCA Kalimantan Siklus I 2013

Daftar Tanya Jawab Permintaan Pengajuan Konsep Proyek TFCA Kalimantan Siklus I 2013 Daftar Tanya Jawab Permintaan Pengajuan Konsep Proyek TFCA Kalimantan Siklus I 2013 1. Apakah TFCA Kalimantan? Tropical Forest Conservation Act (TFCA) merupakan program kerjasama antara Pemerintah Republik

Lebih terperinci

FOKUS PROGRAM TFCA KALIMANTAN DI KABUPATEN BERAU (PKHB) DALAM RANGKA PENDANAAN HIBAH SIKLUS 3, 2015

FOKUS PROGRAM TFCA KALIMANTAN DI KABUPATEN BERAU (PKHB) DALAM RANGKA PENDANAAN HIBAH SIKLUS 3, 2015 Lampiran. FOKUS PROGRAM TFCA KALIMANTAN DI KABUPATEN BERAU (PKHB) DALAM RANGKA PENDANAAN HIBAH SIKLUS 3, 2015 Latar Belakang TFCA Kalimantan adalah kemitraan antara Pemerintah Amerika Serikat (USG), Pemerintah

Lebih terperinci

FOKUS PROGRAM TFCA KALIMANTAN DI KABUPATEN BERAU DALAM RANGKA PENDANAAN HIBAH SIKLUS 2, 2014

FOKUS PROGRAM TFCA KALIMANTAN DI KABUPATEN BERAU DALAM RANGKA PENDANAAN HIBAH SIKLUS 2, 2014 FOKUS PROGRAM TFCA KALIMANTAN DI KABUPATEN BERAU DALAM RANGKA PENDANAAN HIBAH SIKLUS 2, 2014 Latar Belakang TFCA Kalimantan adalah kemitraan antara Pemerintah Amerika Serikat (USG), Pemerintah Indonesia

Lebih terperinci

KERANGKA ACUAN EVALUASI PERTENGAHAN PROGRAM MITRA TFCA- SUMATERA UNTUK SIKLUS HIBAH 2

KERANGKA ACUAN EVALUASI PERTENGAHAN PROGRAM MITRA TFCA- SUMATERA UNTUK SIKLUS HIBAH 2 KERANGKA ACUAN EVALUASI PERTENGAHAN PROGRAM MITRA TFCA- SUMATERA UNTUK SIKLUS HIBAH 2 1. PENDAHULUAN Program TFCA- Sumatera merupakan program hibah bagi khususnya LSM dan Perguruan Tinggi di Indonesia

Lebih terperinci

STANDAR BAKU BIAYA MAKSIMUM MEKANISME HIBAH KHUSUS

STANDAR BAKU BIAYA MAKSIMUM MEKANISME HIBAH KHUSUS SERI PANDUAN PELAKSANAAN PROGRAM 9 STANDAR BAKU BIAYA MAKSIMUM MEKANISME HIBAH KHUSUS Jakarta, 30 Mei 2014 DAFTAR ISI Bab I Pendahuluan. 1 Bab II Ketentuan Biaya Baku Standar Maksimum. 3 2.1. Honorarium

Lebih terperinci

KEBIJAKAN DAN PROSEDUR PENYALURAN HIBAH

KEBIJAKAN DAN PROSEDUR PENYALURAN HIBAH SERI PANDUAN PELAKSANAAN PROGRAM 5 KEBIJAKAN DAN PROSEDUR PENYALURAN HIBAH Jakarta, 3 Mei 2013 DAFTAR ISI I. Pendahuluan 1 II. Kebijakan Penyaluran Dana Hibah 2 2.1. Lembaga Yang Memenuhi Syarat Sebagai

Lebih terperinci

MEMBUAT HUTAN MASYARAKAT DI INDONESIA

MEMBUAT HUTAN MASYARAKAT DI INDONESIA PROGRAM HUTAN DAN IKLIM WWF LEMBAR FAKTA 2014 Praktek REDD+ yang Menginspirasi MEMBUAT HUTAN MASYARAKAT DI INDONESIA RINGKASAN Apa Pengembangan kawasan konservasi masyarakat dan pengelolaan hutan berbasis

Lebih terperinci

I. Pendahuluan... 1 Tropical Forest Conservation Act... 1 Konteks Strategis untuk TFCA Kalimantan... 1 Tujuan dari Rencana Implementasi...

I. Pendahuluan... 1 Tropical Forest Conservation Act... 1 Konteks Strategis untuk TFCA Kalimantan... 1 Tujuan dari Rencana Implementasi... Daftar Isi I. Pendahuluan... 1 Tropical Forest Conservation Act... 1 Konteks Strategis untuk TFCA Kalimantan... 1 Tujuan dari Rencana Implementasi... 4 II. Tujuan dan Indikator... 5 Tujuan Program... 5

Lebih terperinci

MENCIPTAKAN HUTAN MASYARAKAT DI INDONESIA

MENCIPTAKAN HUTAN MASYARAKAT DI INDONESIA PROGRAM HUTAN DAN IKLIM WWF LEMBAR FAKTA 2014 Praktek REDD+ yang Menginspirasi MENCIPTAKAN HUTAN MASYARAKAT DI INDONESIA RINGKASAN Apa Pengembangan kawasan konservasi masyarakat dan pengelolaan hutan berbasis

Lebih terperinci

PROGRAM HUTAN DAN IKLIM WWF

PROGRAM HUTAN DAN IKLIM WWF PROGRAM HUTAN DAN IKLIM WWF LEMBAR FAKTA 2014 GAMBARAN SEKILAS Praktik-Praktik REDD+ yang Menginspirasi MEMBERDAYAKAN MASYARAKAT MELALUI PENGUKURAN KARBON PARTISIPATIF DI INDONESIA Apa» Pengukuran karbon

Lebih terperinci

PROGRAM HUTAN DAN IKLIM WWF

PROGRAM HUTAN DAN IKLIM WWF PROGRAM HUTAN DAN IKLIM WWF LEMBAR FAKTA 2014 GAMBARAN SEKILAS Praktek-Praktek REDD+ yang Menginspirasi MEMBANGUN DASAR KERANGKA PENGAMAN KEANEKARAGAMAN HAYATI DI INDONESIA Apa» Kemitraan dengan Ratah

Lebih terperinci

KERANGKA DAN STRATEGI PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG DALAM PROGRAM KARBON HUTAN BERAU (PKHB)

KERANGKA DAN STRATEGI PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG DALAM PROGRAM KARBON HUTAN BERAU (PKHB) KERANGKA DAN STRATEGI PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG DALAM PROGRAM KARBON HUTAN BERAU (PKHB) Menimbang berbagai faktor utama yang menghambat pengelolaan hutan lindung secara efektif, maka pengelolaan hutan

Lebih terperinci

RENCANA STRATEGIS

RENCANA STRATEGIS TROPICAL FOREST CONSERVATION ACTION FOR SUMATERA RENCANA STRATEGIS 2010-2015 A. LATAR BELAKANG Pulau Sumatera merupakan salah kawasan prioritas konservasi keanekaragaman hayati Paparan Sunda dan salah

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN KLASTER INDUSTRI PARIWISATA & PERKEBUNAN DI KABUPATEN KAPUAS HULU

PENGEMBANGAN KLASTER INDUSTRI PARIWISATA & PERKEBUNAN DI KABUPATEN KAPUAS HULU SIDa.F.47 PENGEMBANGAN KLASTER INDUSTRI PARIWISATA & PERKEBUNAN DI KABUPATEN KAPUAS HULU Ramos Hutapea, MEng BADAN PENGKAJIAN DAN PENERAPAN TEKNOLOGI 2012 LATAR BELAKANG Kab. Kapuas Hulu memiliki berbagai

Lebih terperinci

Pemerintah Republik Indonesia (Indonesia) dan Pemerintah Kerajaan Norwegia (Norwegia), (yang selanjutnya disebut sebagai "Para Peserta")

Pemerintah Republik Indonesia (Indonesia) dan Pemerintah Kerajaan Norwegia (Norwegia), (yang selanjutnya disebut sebagai Para Peserta) Terjemahan ke dalam Bahasa Indonesia ini dibuat oleh Center for Internasional Forestry Research (CIFOR) dan tidak bisa dianggap sebagai terjemahan resmi. CIFOR tidak bertanggung jawab jika ada kesalahan

Lebih terperinci

Panggilan untuk Usulan Badan Pelaksana Nasional Mekanisme Hibah Khusus untuk Masyarakat Adat dan Masyarakat Lokal Indonesia November 2014

Panggilan untuk Usulan Badan Pelaksana Nasional Mekanisme Hibah Khusus untuk Masyarakat Adat dan Masyarakat Lokal Indonesia November 2014 Panggilan untuk Usulan Badan Pelaksana Nasional Mekanisme Hibah Khusus untuk Masyarakat Adat dan Masyarakat Lokal Indonesia November 2014 A) Latar Belakang Mekanisme Hibah Khusus untuk Masyarakat Adat

Lebih terperinci

Indonesia Climate Change Trust Fund Usulan Program Mitigasi Berbasis Lahan

Indonesia Climate Change Trust Fund Usulan Program Mitigasi Berbasis Lahan Indonesia Climate Change Trust Fund Usulan Program Mitigasi Berbasis Lahan Judul Kegiatan: Provinsi/Kota/Kabupaten: Lembaga Pengusul: Jenis Kegiatan: Mitigasi Berbasis Lahan A. Informasi Kegiatan A.1.

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 TENTANG PERHUTANAN SOSIAL

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 TENTANG PERHUTANAN SOSIAL PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 TENTANG PERHUTANAN SOSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN

Lebih terperinci

KEBIJAKAN DAN PROSEDUR PENYALURAN HIBAH

KEBIJAKAN DAN PROSEDUR PENYALURAN HIBAH SERI PANDUAN PELAKSANAAN PROGRAM 5 KEBIJAKAN DAN PROSEDUR PENYALURAN HIBAH Jakarta, 3 Mei 2013 DAFTAR ISI I. Pendahuluan 1 II. Kebijakan Penyaluran Dana Hibah 2 2.1. Lembaga Yang Memenuhi Syarat Sebagai

Lebih terperinci

Kepastian Pembiayaan dalam keberhasilan implementasi REDD+ di Indonesia

Kepastian Pembiayaan dalam keberhasilan implementasi REDD+ di Indonesia ISSN : 2085-787X Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SOSIAL, EKONOMI, KEBIJAKAN DAN PERUBAHAN IKLIM Jl. Gunung Batu No.

Lebih terperinci

KEBIJAKAN DAN PROSEDUR PENYALURAN HIBAH REVISI 1

KEBIJAKAN DAN PROSEDUR PENYALURAN HIBAH REVISI 1 SERI PANDUAN PELAKSANAAN PROGRAM 5 KEBIJAKAN DAN PROSEDUR PENYALURAN HIBAH REVISI 1 Jakarta, 30 Mei 2014 Daftar Isi Daftar Lampiran... i Daftar Gambar... ii Bab I Pendahuluan... 1 Bab II Kebijakan Penyaluran

Lebih terperinci

PROGRAM HUTAN DAN IKLIM WWF

PROGRAM HUTAN DAN IKLIM WWF PROGRAM HUTAN DAN IKLIM WWF LEMBAR FAKTA 2014 GAMBARAN SEKILAS Apa» Perencanaan dan pemetaan partisipatif penggunaan lahan membangun kesiapan REDD+ dan memperkuat kepemilikan lahan diantara masyarakat

Lebih terperinci

2018, No Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahu

2018, No Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahu No.89, 2018 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN-LHK. Pelaksanaan KLHS. Pencabutan. PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.69/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2017 TENTANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (Firdaus, 2012). Pembentukan wilayah pengelolaan hutan dilakukan pada

BAB I PENDAHULUAN. (Firdaus, 2012). Pembentukan wilayah pengelolaan hutan dilakukan pada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam PP No. 6 Tahun 2007 Pasal 1 angka 1, Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) diartikan sebagai wilayah pengelolaan hutan sesuai fungsi pokok dan peruntukannya, yang dapat

Lebih terperinci

Judul. Rehablitasi Lahan Dan Hutan Melalui Pengembangan Hkm Untuk Peningkatan Daya Dukung DAS Moyo Kabupaten Sumbawa Lembaga Olah Hidup (Loh)

Judul. Rehablitasi Lahan Dan Hutan Melalui Pengembangan Hkm Untuk Peningkatan Daya Dukung DAS Moyo Kabupaten Sumbawa Lembaga Olah Hidup (Loh) Judul Pelaksana Fokus Area Rehablitasi Lahan Dan Hutan Melalui Pengembangan Hkm Untuk Peningkatan Daya Dukung DAS Moyo Kabupaten Sumbawa Lembaga Olah Hidup (Loh) Mitigasi Berbasis Lahan Kerangka Presentasi

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 20 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian mengenai Studi Kelayakan Hutan Rakyat Dalam Skema Perdagangan Karbon dilaksanakan di Hutan Rakyat Kampung Calobak Desa Tamansari, Kecamatan

Lebih terperinci

PENYUSUNAN WORKPLAN & PMP. Bogor / Medan Juni 2014

PENYUSUNAN WORKPLAN & PMP. Bogor / Medan Juni 2014 PENYUSUNAN WORKPLAN & PMP Bogor / Medan Juni 2014 1 WORKPLAN AND PMP DESIGNING Hari 1 Diskusi Umum Ulasan Logframe Hari 2 Ulasan Workplan & PMP Timeline, Deliverables, Pelaksana Budget Hari 3 Menyusun

Lebih terperinci

PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN

PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN Lampiran Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.16/Menhut-II/2011 Tanggal : 14 Maret 2011 PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pedoman

Lebih terperinci

sebagai Kawasan Ekosistem Esensial)

sebagai Kawasan Ekosistem Esensial) UU No 5 tahun 1990 (KSDAE) termasuk konsep revisi UU No 41 tahun 1999 (Kehutanan) UU 32 tahun 2009 (LH) UU 23 tahun 2014 (Otonomi Daerah) PP No 28 tahun 2011 (KSA KPA) PP No. 18 tahun 2016 (Perangkat Daerah)

Lebih terperinci

halaman ini memang kosong

halaman ini memang kosong halaman ini memang kosong 3 PANDUAN PENGELOLAAN PROGRAM KONSERVASI BERBASIS PENDEKATAN EKOSISTEM PANDUAN PENGELOLAAN PROGRAM KONSERVASI BERBASIS PENDEKATAN EKOSISTEM Tim Penulis David Ardhian Paul Mario

Lebih terperinci

2013, No Mengingat Emisi Gas Rumah Kaca Dari Deforestasi, Degradasi Hutan dan Lahan Gambut; : 1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Rep

2013, No Mengingat Emisi Gas Rumah Kaca Dari Deforestasi, Degradasi Hutan dan Lahan Gambut; : 1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Rep No.149, 2013 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LINGKUNGAN. Badan Pengelola. Penurunan. Emisi Gas Rumah Kaca. Kelembagaan. PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2013 TENTANG BADAN PENGELOLA

Lebih terperinci

Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009

Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009 Contributor : Doni Prihatna Tanggal : April 2012 Posting : Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009 Pada 19 Januari 2012 lalu, Presiden Republik Indonesia mengeluarkan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2013 TENTANG BADAN PENGELOLA PENURUNAN EMISI GAS RUMAH KACA DARI DEFORESTASI, DEGRADASI HUTAN DAN LAHAN GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

PEMANFAATAN JASA KARBON HUTAN DI KAWASAN HUTAN KONSERVASI Operasionalisasi Peran Konservasi kedalam REDD+ di Indonesia

PEMANFAATAN JASA KARBON HUTAN DI KAWASAN HUTAN KONSERVASI Operasionalisasi Peran Konservasi kedalam REDD+ di Indonesia PEMANFAATAN JASA KARBON HUTAN DI KAWASAN HUTAN KONSERVASI Operasionalisasi Peran Konservasi kedalam REDD+ di Indonesia Denpasar, 14 September 2017 Internalisasi Hasil Perundingan Perubahan Iklim kedalam

Lebih terperinci

MODUL 11: PRAKTIK TERBAIK UNTUK DESAIN PROYEK. USAID Adapt Asia-Pacific

MODUL 11: PRAKTIK TERBAIK UNTUK DESAIN PROYEK. USAID Adapt Asia-Pacific MODUL 11: PRAKTIK TERBAIK UNTUK DESAIN PROYEK University of Hawaii at Manoa Institut Teknologi Bandung Siklus Proyek Policy & Strategy Pre-project discussion & activities Project Identification Pre-feasibility

Lebih terperinci

Laporan Penelitian Implementasi Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 dalam Penanggulangan Pembalakan Liar

Laporan Penelitian Implementasi Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 dalam Penanggulangan Pembalakan Liar Laporan Penelitian Implementasi Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 dalam Penanggulangan Pembalakan Liar Ketua : Marfuatul Latifah, S.H.I, L.LM Wakil Ketua : Sulasi Rongiyati, S.H., M.H. Sekretaris : Trias

Lebih terperinci

BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR

BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR 5.1. Visi dan Misi Pengelolaan Kawasan Konservasi Mengacu pada kecenderungan perubahan global dan kebijakan pembangunan daerah

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.150, 2011 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. PNPM Mandiri. Pedoman. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.16/MENHUT-II/2011 TENTANG PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL

Lebih terperinci

Profil Wilayah Heart Of Borneo

Profil Wilayah Heart Of Borneo Profil Wilayah Heart Of Borneo Dewasa ini kesadaran pentingnya aspek lingkungan dirasakan semakin meningkat, bahkan menjadi topik yang sering dibicarakan seiring dengan terjadinya berbagai gejala perubahan

Lebih terperinci

BAB IV. LANDASAN SPESIFIK SRAP REDD+ PROVINSI PAPUA

BAB IV. LANDASAN SPESIFIK SRAP REDD+ PROVINSI PAPUA BAB IV. LANDASAN SPESIFIK SRAP REDD+ PROVINSI PAPUA 4.1. Landasan Berfikir Pengembangan SRAP REDD+ Provinsi Papua Landasan berpikir untuk pengembangan Strategi dan Rencana Aksi (SRAP) REDD+ di Provinsi

Lebih terperinci

SERI PANDUAN PELAKSANAAN PROGRAM KEBIJAKAN DAN PROSEDUR PENYALURAN HIBAH REVISI 2

SERI PANDUAN PELAKSANAAN PROGRAM KEBIJAKAN DAN PROSEDUR PENYALURAN HIBAH REVISI 2 SERI PANDUAN PELAKSANAAN PROGRAM KEBIJAKAN DAN PROSEDUR PENYALURAN HIBAH REVISI 2 Jakarta, April 2015 Daftar Isi Daftar Lampiran... i Daftar Gambar... ii Bab I Pendahuluan... 1 Bab II Kebijakan Penyaluran

Lebih terperinci

Konservasi Hutan Berbasis Masyarakat dan Mitigasi Perubahan Iklim di Bentang Alam Kerinci Seblat Konsorsium Perkumpulan WALESTRA (WALESTRA, ICS &

Konservasi Hutan Berbasis Masyarakat dan Mitigasi Perubahan Iklim di Bentang Alam Kerinci Seblat Konsorsium Perkumpulan WALESTRA (WALESTRA, ICS & Judul Pelaksana Fokus Area Konservasi Hutan Berbasis Masyarakat dan Mitigasi Perubahan Iklim di Bentang Alam Kerinci Seblat Konsorsium Perkumpulan WALESTRA (WALESTRA, ICS & CFES) Mitigasi Berbasis Lahan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2013 TENTANG BADAN PENGELOLA PENURUNAN EMISI GAS RUMAH KACA DARI DEFORESTASI, DEGRADASI HUTAN DAN LAHAN GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

5. EVALUASI EFEKTIVITAS PENGELOLAAN

5. EVALUASI EFEKTIVITAS PENGELOLAAN 5. EVALUASI EFEKTIVITAS PENGELOLAAN Evaluasi efektivitas pengelolaan dilakukan dengan melakukan penilaian terhadap 4 aspek dalam siklus pengelolaan yaitu: perencanaan, masukan, proses, dan keluaran. Setiap

Lebih terperinci

FCPF CARBON FUND DAN STATUS NEGOSIASI TERKINI

FCPF CARBON FUND DAN STATUS NEGOSIASI TERKINI KONTRIBUSI NON-PARTY STAKEHOLDERS (NPS) DI KALIMANTAN TIMUR DALAM PEMENUHAN NDC FCPF CARBON FUND DAN STATUS NEGOSIASI TERKINI Niken Sakuntaladewi (niken_sakuntaladewi@yahoo.co.uk) Pusat Litbang Sosial,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENYELENGGARAAN KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENYELENGGARAAN KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENYELENGGARAAN KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang TAHURA Bukit Soeharto merupakan salah satu kawasan konservasi yang terletak di wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara dan Penajam Paser Utara dengan luasan 61.850 ha. Undang-Undang

Lebih terperinci

MAKALAH PEMBAHASAN EVALUASI KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP DI DAERAH ALIRAN SUNGAI 1) WIDIATMAKA 2)

MAKALAH PEMBAHASAN EVALUASI KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP DI DAERAH ALIRAN SUNGAI 1) WIDIATMAKA 2) MAKALAH PEMBAHASAN EVALUASI KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP DI DAERAH ALIRAN SUNGAI 1) WIDIATMAKA 2) 1) Disampaikan pada Lokakarya Nasional Rencana Pembangunan Jangka

Lebih terperinci

PERHUTANAN SOSIAL DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT YANG EFEKTIF

PERHUTANAN SOSIAL DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT YANG EFEKTIF Peran Penting Masyarakat dalam Tata Kelola Hutan dan REDD+ 3 Contoh lain di Bantaeng, dimana untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemandirian, pemerintah kabupaten memberikan modal dan aset kepada desa

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Laswell dan Kaplan (1970) mengemukakan bahwa kebijakan merupakan suatu program yang memroyeksikan tujuan, nilai, dan praktik yang terarah. Kemudian Dye (1978) menyampaikan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Pengelolaan Taman Nasional di Indonesia

II. TINJAUAN PUSTAKA Pengelolaan Taman Nasional di Indonesia II. TINJAUAN PUSTAKA 2. 1. Pengelolaan Taman Nasional di Indonesia Secara fisik, karakteristik taman nasional digambarkan sebagai kawasan yang luas, relatif tidak terganggu, mempunyai nilai alam yang menonjol,

Lebih terperinci

KERJA SAMA PEMERINTAH INDONESIA DAN JERMAN

KERJA SAMA PEMERINTAH INDONESIA DAN JERMAN KERJA SAMA PEMERINTAH INDONESIA DAN JERMAN BIRO PERENCANAAN SEKRETARIAT JENDERAL DEPARTEMEN KEHUTANAN JAKARTA, JANUARI 2007 Latar belakang Negosiasi Bilateral G-G, Oktober 2007 telah menyetujui program

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 33 TAHUN 2009 TENTANG PEDOMAN PENGEMBANGAN EKOWISATA DI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 33 TAHUN 2009 TENTANG PEDOMAN PENGEMBANGAN EKOWISATA DI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 33 TAHUN 2009 TENTANG PEDOMAN PENGEMBANGAN EKOWISATA DI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI, Menimbang : a. bahwa ekowisata merupakan potensi

Lebih terperinci

Pembangunan KSDAE di Eko-Region Papua Jakarta, 2 Desember 2015

Pembangunan KSDAE di Eko-Region Papua Jakarta, 2 Desember 2015 Pembangunan KSDAE di Eko-Region Papua Jakarta, 2 Desember 2015 Papua terdiri dari Provinsi Papua Barat dan Provinsi Papua dengan luas total 42,22 juta ha merupakan provinsi terluas dengan jumlah penduduk

Lebih terperinci

KERANGKA ACUAN KERJA (KAK) KAJIAN LINGKUNGAN DAN SOSIAL DI KPHP DAMPELAS TINOMBO PROVINSI SULAWESI TENGAH

KERANGKA ACUAN KERJA (KAK) KAJIAN LINGKUNGAN DAN SOSIAL DI KPHP DAMPELAS TINOMBO PROVINSI SULAWESI TENGAH KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI LESTARI DIREKTORAT KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI KERANGKA ACUAN KERJA (KAK) KAJIAN LINGKUNGAN DAN SOSIAL

Lebih terperinci

Pusat Penelitian Perubahan Iklim dan Kebijakan

Pusat Penelitian Perubahan Iklim dan Kebijakan ANALISIS SOSIAL BUDAYA REDD+ 2011 Penyusunan Kriteria Indikator Pemilihan Lokasi dan Strategi Keberhasilan Implementasi REDD dari Perspektif Struktur Sosial Budaya Tim Peneliti PUSPIJAK Pusat Penelitian

Lebih terperinci

Indonesia Climate Change Trust Fund Usulan Program Mitigasi Berbasis Lahan

Indonesia Climate Change Trust Fund Usulan Program Mitigasi Berbasis Lahan Indonesia Climate Change Trust Fund Usulan Program Mitigasi Berbasis Lahan Judul Kegiatan: Provinsi/Kota/Kabupaten: Lembaga Pengusul: Jenis Kegiatan: Mitigasi Berbasis Lahan A. Informasi Kegiatan A.1.

Lebih terperinci

PRISAI (Prinsip, Kriteria, Indikator, Safeguards Indonesia) Mei 2012

PRISAI (Prinsip, Kriteria, Indikator, Safeguards Indonesia) Mei 2012 PRISAI (Prinsip, Kriteria, Indikator, Safeguards Indonesia) Mei 2012 Apa saja prasyaarat agar REDD bisa berjalan Salah satu syarat utama adalah safeguards atau kerangka pengaman Apa itu Safeguards Safeguards

Lebih terperinci

Pidato kebijakan Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhyono Bogor, 13 Juni 2012

Pidato kebijakan Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhyono Bogor, 13 Juni 2012 For more information, contact: Leony Aurora l.aurora@cgiar.org Cell Indonesia: +62 (0)8111082309 Budhy Kristanty b.kristanty@cgiar.org Cell Indonesia: +62 (0)816637353 Sambutan Frances Seymour, Direktur

Lebih terperinci

Kesiapan dan Tantangan Pengembangan Sistem MRV dan RAD/REL Provinsi Sumbar

Kesiapan dan Tantangan Pengembangan Sistem MRV dan RAD/REL Provinsi Sumbar Kesiapan dan Tantangan Pengembangan Sistem MRV dan RAD/REL Provinsi Sumbar Oleh : Ir. HENDRI OCTAVIA, M.Si KEPALA DINAS KEHUTANAN PROPINSI SUMATERA BARAT OUTLINE Latar Belakang kondisi kekinian kawasan

Lebih terperinci

PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA KEHUTANAN TINGKAT KABUPATEN/KOTA

PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA KEHUTANAN TINGKAT KABUPATEN/KOTA 5 LAMPIRAN PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.36/MENHUT-II/2013 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA KEHUTANAN TINGKAT KABUPATEN/KOTA PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA KEHUTANAN TINGKAT KABUPATEN/KOTA

Lebih terperinci

Pelatihan untuk Pelatih Kelompok Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK) ditingkat Akar Rumput Mengenai Perubahan Iklim dan REDD+

Pelatihan untuk Pelatih Kelompok Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK) ditingkat Akar Rumput Mengenai Perubahan Iklim dan REDD+ Pelatihan untuk Pelatih Kelompok Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK) ditingkat Akar Rumput Mengenai Perubahan Iklim dan REDD+ 2014 Biduk- Biduk, 13-14 November 2014 1. Daftar Isi... 2 2. Latar

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN LANDAK NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA PERKEBUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LANDAK,

Lebih terperinci

BUPATI PURWOREJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH

BUPATI PURWOREJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH SALINAN BUPATI PURWOREJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURWOREJO, Menimbang: a. bahwa dalam

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN KAPUAS HULU

PEMERINTAH KABUPATEN KAPUAS HULU PEMERINTAH KABUPATEN KAPUAS HULU PERATURAN DAERAH KABUPATEN KAPUAS HULU NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN KAPUAS HULU NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PEMBENTUKAN DESA DAN

Lebih terperinci

SISTEMATIKA PENYAJIAN :

SISTEMATIKA PENYAJIAN : KEPALA BIRO PERENCANAAN PERAN LITBANG DALAM MENDUKUNG PEMBANGUNAN SEKTOR KEHUTANAN JAKARTA, 11 JULI 2012 SISTEMATIKA PENYAJIAN : 1. BAGAIMANA ARAHAN PEMBANGUNAN KEHUTANAN? 2. APA YANG SUDAH DICAPAI? 3.

Lebih terperinci

Indonesia Climate Change Trust Fund Usulan Program Adaptasi & Ketangguhan

Indonesia Climate Change Trust Fund Usulan Program Adaptasi & Ketangguhan Indonesia Climate Change Trust Fund Usulan Program Adaptasi & Ketangguhan Judul Kegiatan: Provinsi/Kota/Kabupaten: Lembaga Pengusul : Jenis Kegiatan : Adaptasi dan Ketangguhan A. Informasi Kegiatan A.1.

Lebih terperinci

PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA. Bab II

PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA. Bab II Bab II PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Daerah, setiap satuan kerja perangkat Daerah, SKPD harus menyusun Rencana

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM MENTERI KEHUTANAN, Menimbang

Lebih terperinci

-2- saling melengkapi dan saling mendukung, sedangkan peran KLHS pada perencanaan perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup bersifat menguatkan. K

-2- saling melengkapi dan saling mendukung, sedangkan peran KLHS pada perencanaan perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup bersifat menguatkan. K TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I LINGKUNGAN HIDUP. Strategis. Penyelenggaraan. Tata Cara. (Penjelasan atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 228) PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

Perbaikan Tata Kelola Kehutanan yang Melampaui Karbon

Perbaikan Tata Kelola Kehutanan yang Melampaui Karbon Perbaikan Tata Kelola Kehutanan yang Melampaui Karbon Platform Bersama Masyarakat Sipil Untuk Penyelamatan Hutan Indonesia dan Iklim Global Kami adalah Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penyelamatan Hutan

Lebih terperinci

Shared Resources Joint Solutions

Shared Resources Joint Solutions Lembar Informasi Shared Resources Joint Solutions Sawit Watch - Padi Indonesia SRJS di Kabupaten Bulungan Program dengan pendekatan bentang alam ini memilih Daerah Aliran Sungai Kayan dengan titik intervensi

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 08 TAHUN 2008 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 08 TAHUN 2008 TENTANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 08 TAHUN 2008 TENTANG PERENCANAAN, PELAKSANAAN PEMBANGUNAN, PEMANFAATAN DAN PENDAYAGUNAAN KAWASAN PERDESAAN BERBASIS MASYARAKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI TAHUN

RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI TAHUN RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI TAHUN 05-09 Prof. DR. M. Bismark, MS. LATAR BELAKANG Perlindungan biodiversitas flora, fauna dan mikroorganisme menjadi perhatian dunia untuk

Lebih terperinci

VISI ACEH YANG BERMARTABAT, SEJAHTERA, BERKEADILAN, DAN MANDIRI BERLANDASKAN UNDANG-UNDANG PEMERINTAHAN ACEH SEBAGAI WUJUD MoU HELSINKI MISI

VISI ACEH YANG BERMARTABAT, SEJAHTERA, BERKEADILAN, DAN MANDIRI BERLANDASKAN UNDANG-UNDANG PEMERINTAHAN ACEH SEBAGAI WUJUD MoU HELSINKI MISI TATA KELOLA SUMBERDAYA ALAM DAN HUTAN ACEH MENUJU PEMBANGUNAN YANG BERKELANJUTAN DAN RENDAH EMISI VISI DAN MISI PEMERINTAH ACEH VISI ACEH YANG BERMARTABAT, SEJAHTERA, BERKEADILAN, DAN MANDIRI BERLANDASKAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki lebih dari 17.000 pulau dengan panjang garis pantai mencapai 81.000 km, dan membentang antara garis

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.46/Menhut-II/2013 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.46/Menhut-II/2013 TENTANG PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.46/Menhut-II/2013 TENTANG TATA CARA PENGESAHAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG DAN KESATUAN PENGELOLAAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Isu lingkungan tentang perubahan iklim global akibat naiknya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer menjadi

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Isu lingkungan tentang perubahan iklim global akibat naiknya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer menjadi I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Isu lingkungan tentang perubahan iklim global akibat naiknya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer menjadi prioritas dunia saat ini. Berbagai skema dirancang dan dilakukan

Lebih terperinci

Tentang Hutan Kemasyarakatan. MEMUTUSKAN PEDOMAN PENGARUSUTAMAAN KEMISKINAN DALAM PELAKSANAAN HUTAN KEMASYARAKATAN BAB I KETENTUAN UMUM.

Tentang Hutan Kemasyarakatan. MEMUTUSKAN PEDOMAN PENGARUSUTAMAAN KEMISKINAN DALAM PELAKSANAAN HUTAN KEMASYARAKATAN BAB I KETENTUAN UMUM. PERATURAN BUPATI KABUPATEN SIKKA NOMOR TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PENGARUSUTAMAAN KEMISKINAN DALAM PELAKSANAAN HUTAN KEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SIKKA, Menimbang Mengingat :

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.228, 2016 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LINGKUNGAN HIDUP. Strategis. Penyelenggaraan. Tata Cara. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5941) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN MAROS. NOMOR : 05 Tahun 2009 TENTANG KEHUTANAN MASYARAKAT DI KABUPATEN MAROS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN MAROS. NOMOR : 05 Tahun 2009 TENTANG KEHUTANAN MASYARAKAT DI KABUPATEN MAROS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA SALINAN PERATURAN DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN MAROS NOMOR : 05 Tahun 2009 TENTANG KEHUTANAN MASYARAKAT DI KABUPATEN MAROS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MAROS Menimbang : a. bahwa guna meningkatkan

Lebih terperinci

Sintesis Pengaman Sosial dan Lingkungan (SES) TFCA Kalimantan

Sintesis Pengaman Sosial dan Lingkungan (SES) TFCA Kalimantan TFCA Kalimantan Sintesis Pengaman Sosial dan Lingkungan (SES) TFCA Kalimantan FCA 5.2.12: Setiap penerima hibah harus memiliki praktik terbaik, standar, dan kebijakan pengaman sosial dan lingkungan. Praktik

Lebih terperinci

DOKUMEN INFORMASI PROYEK (PID) TAHAP KONSEP. Proyek Persiapan Kesiapan Indonesia (Indonesia Readiness Preparation Project) Kawasan Regional EAP Sektor

DOKUMEN INFORMASI PROYEK (PID) TAHAP KONSEP. Proyek Persiapan Kesiapan Indonesia (Indonesia Readiness Preparation Project) Kawasan Regional EAP Sektor DOKUMEN INFORMASI PROYEK (PID) TAHAP KONSEP Laporan No.: Nama Proyek Proyek Persiapan Kesiapan Indonesia (Indonesia Readiness Preparation Project) Kawasan Regional EAP Sektor Lingkungan dan Pedesaan ID

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mendukung pertumbuhan ekonomi nasional yang berkeadilan melalui peningkatan

I. PENDAHULUAN. mendukung pertumbuhan ekonomi nasional yang berkeadilan melalui peningkatan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Konsep pembangunan sumber daya hutan sebagai sistem penyangga kehidupan merupakan orientasi sistem pengelolaan hutan yang mempertahankan keberadaannya secara lestari untuk

Lebih terperinci

SINTESA RPI 16 EKONOMI DAN KEBIJAKAN PENGURANGAN EMISI DARI DEFORESTASI DAN DEGRADASI. Koordinator DEDEN DJAENUDIN

SINTESA RPI 16 EKONOMI DAN KEBIJAKAN PENGURANGAN EMISI DARI DEFORESTASI DAN DEGRADASI. Koordinator DEDEN DJAENUDIN SINTESA RPI 16 EKONOMI DAN KEBIJAKAN PENGURANGAN EMISI DARI DEFORESTASI DAN DEGRADASI Koordinator DEDEN DJAENUDIN TARGET OUTPUT RPI 2010-2014 SINTESA OUTPUT 1: OUTPUT 2: OUTPUT 3: OUTPUT 4: OUTPUT 5: Sosial

Lebih terperinci

BAB VI PROSPEK DAN TANTANGAN KEHUTANAN SULAWESI UTARA ( KEDEPAN)

BAB VI PROSPEK DAN TANTANGAN KEHUTANAN SULAWESI UTARA ( KEDEPAN) BAB VI PROSPEK DAN TANTANGAN KEHUTANAN SULAWESI UTARA (2014 - KEDEPAN) Gambar 33. Saluran Listrik Yang Berada di dalam Kawasan Hutan 70 Kiprah Kehutanan 50 Tahun Sulawesi Utara Foto : Johanes Wiharisno

Lebih terperinci

Menerapkan Filosofi 4C APRIL di Lahan Gambut

Menerapkan Filosofi 4C APRIL di Lahan Gambut Menerapkan Filosofi 4C APRIL di Lahan Gambut Peta Jalan Lahan Gambut APRIL-IPEWG Versi 3.2, Juni 2017 Kelompok Ahli Gambut Independen (Independent Peatland Expert Working Group/IPEWG) dibentuk untuk membantu

Lebih terperinci

GUBERNUR ACEH PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG

GUBERNUR ACEH PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG GUBERNUR ACEH PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG STRATEGI DAN RENCANA AKSI PENURUNAN EMISI GAS RUMAH KACA DARI DEFORESTASI DAN DEGRADASI HUTAN ACEH DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR

Lebih terperinci

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN SALINAN BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PATI, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

Indonesia Climate Change Trust Fund Usulan Program Adaptasi & Ketangguhan

Indonesia Climate Change Trust Fund Usulan Program Adaptasi & Ketangguhan Indonesia Climate Change Trust Fund Usulan Program Adaptasi & Ketangguhan Judul Kegiatan: Provinsi/Kota/Kabupaten: Lembaga Pengusul : Jenis Kegiatan : Adaptasi dan Ketangguhan A. Informasi Kegiatan A.1.

Lebih terperinci

Proyek GCS- Tenurial. Kepastian tenurial bagi masyarakat sekitar hutan. Studi komparasi global ( )

Proyek GCS- Tenurial. Kepastian tenurial bagi masyarakat sekitar hutan. Studi komparasi global ( ) Proyek GCS- Tenurial Kepastian tenurial bagi masyarakat sekitar hutan Studi komparasi global (2014-2016) Pendahuluan Dalam beberapa tahun terakhir ini, reformasi tenurial sektor kehutanan tengah menjadi

Lebih terperinci

Kebijakan Fiskal Sektor Kehutanan

Kebijakan Fiskal Sektor Kehutanan Kebijakan Fiskal Sektor Kehutanan Prof. Dr. Singgih Riphat Badan Kebijakan Fiskal Departemen Keuangan PENYUMBANG EMISI CO 2 TERBESAR DI DUNIA Indonesia menempati urutan ke 16 dari 25 negara penyumbang

Lebih terperinci

Mempersiapkan Program Pengurangan Emisi dalam Kerangka Skema Carbon Fund

Mempersiapkan Program Pengurangan Emisi dalam Kerangka Skema Carbon Fund Mempersiapkan Program Pengurangan Emisi dalam Kerangka Skema Carbon Fund TIM PENYUSUN ER-PIN FCPF CARBON FUND Puspijak Badan Litbang Kehutanan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Usulan Awal Lokasi

Lebih terperinci

Konservasi dan Rehabilitasi Lahan dan Hutan Gambut di Area PT Hutan Amanah Lestari Barito Selatan dan Barito Timur

Konservasi dan Rehabilitasi Lahan dan Hutan Gambut di Area PT Hutan Amanah Lestari Barito Selatan dan Barito Timur Konservasi dan Rehabilitasi Lahan dan Hutan Gambut di Area PT Hutan Amanah Lestari Barito Selatan dan Barito Timur Program Skala Kecil ICCTF Tahun 2016 Universitas Muhammadiyah Palangkaraya Mitigasi Berbasis

Lebih terperinci

RENCANA KERJA 2015 DAN PENELITIAN INTEGRATIF

RENCANA KERJA 2015 DAN PENELITIAN INTEGRATIF RENCANA KERJA 2015 DAN PENELITIAN INTEGRATIF 2015-2019 PUSLITBANG PERUBAHAN IKLIM DAN KEBIJAKAN Bogor, 7 Agustus 2014 OUTLINE Visi dan Misi Rencana Kerja 2015 RPI Kontribusi Sektor Kehutanan dalam Penanganan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagian hutan tropis terbesar di dunia terdapat di Indonesia. Berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. Sebagian hutan tropis terbesar di dunia terdapat di Indonesia. Berdasarkan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagian hutan tropis terbesar di dunia terdapat di Indonesia. Berdasarkan luas, hutan tropis Indonesia menempati urutan ke tiga setelah Brasil dan Republik Demokrasi

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2010 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2010 TENTANG PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2010 TENTANG NORMA, STANDAR, PROSEDUR DAN KRITERIA PENGELOLAAN HUTAN PADA KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG (KPHL) DAN KESATUAN PENGELOLAAN

Lebih terperinci

West Kalimantan Community Carbon Pools

West Kalimantan Community Carbon Pools Progress Kegiatan DA REDD+ Mendukung Target Penurunan Emisi GRK Kehutanan West Kalimantan Community Carbon Pools Fauna & Flora International Indonesia Programme Tujuan: Pengembangan proyek REDD+ pada areal

Lebih terperinci

Kondisi Hutan (Deforestasi) di Indonesia dan Peran KPH dalam penurunan emisi dari perubahan lahan hutan

Kondisi Hutan (Deforestasi) di Indonesia dan Peran KPH dalam penurunan emisi dari perubahan lahan hutan Kondisi Hutan (Deforestasi) di Indonesia dan Peran KPH dalam penurunan emisi dari perubahan lahan hutan Iman Santosa T. (isantosa@dephut.go.id) Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumberdaya Hutan

Lebih terperinci