Analisis terhadap putusan hakim dalam kasus tindak pidana pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja (studi kasus di pengadilan negeri pacitan)

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Analisis terhadap putusan hakim dalam kasus tindak pidana pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja (studi kasus di pengadilan negeri pacitan)"

Transkripsi

1 Analisis terhadap putusan hakim dalam kasus tindak pidana pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja (studi kasus di pengadilan negeri pacitan) Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Oleh: Fajar Edy Purboyudono NIM. E FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2008 i

2 PERSETUJUAN PEMBIMBING Penulisan Hukum (Skripsi) ANALISIS TERHADAP PUTUSAN HAKIM DALAM KASUS TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN YANG DILAKUKAN DENGAN SENGAJA (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Pacitan) Disusun oleh : FAJAR EDY PURBOYUDONO NIM : E Disetujui untuk Dipertahankan Dosen Pembimbing EDY HERDYANTO, S.H., M.H. NIP ii

3 PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi) ANALISIS TERHADAP PUTUSAN HAKIM DALAM KASUS TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN YANG DILAKUKAN DENGAN SENGAJA (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Pacitan) Disusun oleh : FAJAR EDY PURBOYUDONO NIM : E Telah diterima dan di sahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Pada : Hari : Selasa Tanggal : 22 Januari 2008 TIM PENGUJI 1. Bambang S, S.H., M. Hum :. Ketua 2. Kristiyadi, S.H., M.Hum :.. Sekretaris 3. Edy Herdyanto, S.H., M.H. :.. Anggota Mengetahui : Dekan Mohammad Jamin, S.H., M.Hum NIP iii

4 MOTTO Sesungguhnya Allah tidak akan merubah suatu kaum kecuali mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri (Q.S. Ar-Ra d: 11) Barang siapa berjalan untuk menuntut ilmu, maka Allah akan memudahkan jalan baginya menuju Syorga. (HR. Bukhari Muslim) Tiada kerja keras yang sia-sia, karena hanya kerja keraslah jalan yang paling lapang untuk mencapai cita-cita (Penulis) iv

5 PERSEMBAHAN Karya tulis ini aku persembahkan kepada: 1. Ayah dan ibu tercinta yang selalu memberi doa dan kasih sayang. 2. Adik-adikku tersayang. 3. Teman-temanku yang aku banggakan. 4. almamaterku. v

6 KATA PENGANTAR Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang serta diiringi rasa syukur Alhamdulillah penulis panjatkan, penulisan hukum (Skripsi) yang berjudul ANALISIS TERHADAP PUTUSAN HAKIM DALAM KASUS TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN YANG DILAKUKAN DENGAN SENGAJA (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Pacitan) dapat penulis selesaikan. Penulisan hukum ini membahas mengenai pertimbangan-pertimbangan hakim dalam mengambil putusan tindak pidana pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja, dan kesesuaian antara putusan hakim dalam tindak pidana pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja itu dikaitkan dengan penerapan Pasal 338 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Akhir-akhir ini sering terjadi kasus tindak pidana pembunuhan. Setiap hari dalam berita di media cetak maupun media elektronik, selalu saja ada berita tentang tindak pidana pembunuhan dengan berbagai macam hal yang melatarbelakangi peristiwa pembunuhan itu. Tentunya si pelaku pembunuhan ini akan dijerat oleh hukum yang berlaku. Dalam mengambil putusan dalam tindak pidana pembunuhan, hakim yang mengadili si pelaku tentunya punya pertimbangan-pertimbangan tertentu yang menjadi dasar pertimbangan dalam mengambil putusan. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan hukum ini, maka saran serta kritik dari semua pihak sangat penulis harapkan untuk memperkaya karya tulis ini. Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan, saran, dan dorongan bagi penulis dalam menyelesaikan penulisan hukum ini. Ucapan terima kasih ini penulis sampaikan terutama kepada : vi

7 1. Bapak Moh. Jamin, S.H., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum UNS yang telah memberi izin dan kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan penulisan hukum ini. 2. Bapak Edy Herdyanto, S.H., M.H., selaku Ketua Bagian Hukum Acara Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta, sekaligus pembimbing penulisan hukum (skripsi) yang telah menyediakan waktu dan pikirannya untuk memberikan bimbingan dan arahan atas tersusunnya skripsi ini. 3. Ibu Ambar Budi Sulistyowati, S.H., M.H. selaku Pembimbing Akademik penulis selama menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan nasehat, bimbingan dan dorongan kepada penulis. 4. Bapak Jahuri Effendi, S.H., selaku Ketua Pengadilan Negeri Pacitan yang telah memberi izin penulis melakukan penelitian di Pengadilan Negeri Pacitan 5. Bapak Muh. Djauhar Setyadi, S.H., selaku Hakim Pengadilan Negeri Pacitan, terima kasih atas waktunya dan semua keterangan yang penulis perlukan demi tersusunnya skripsi ini. 6. Bapak Murtoyo, S.H., selaku Wakil Panitera Pengadilan Negeri Pacitan. 7. Bapak Walujo, selaku Wakil Sekretaris Pengadilan Negeri Pacitan, yang telah banyak membantu penulis dalam melaksanakan penelitian di Pengadilan Negeri Pacitan. 8. Bapak Widodo, selaku Panitera Muda Perdata Pengadilan Negeri Pacitan, yang telah membantu penulis dalam melaksanakan penelitian di Pengadilan Negeri Pacitan. 9. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum UNS yang telah memberikan ilmu pengetahuan umumnya dan ilmu hukum khususnya kepada penulis sehingga dapat dijadikan dasar dalam penulisan skripsi ini dan semoga dapat penulis amalkan. vii

8 10. PPH Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang berkenan memberikan kesempatan bagi penulis untuk melakukan penelitian serta menyelesaikan penulisan hukum ini. 11. Seluruh staf tata usaha dan karyawan di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang ada di bagian transit, perpustakaan, pendidikan, pengajaran dan bagian-bagian yang lain, terima kasih atas bantuannya. 12. Ayahanda Khumaidi dan Ibunda Nanik tercinta yang telah memberikan segalanya kepada penulis sehingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan dan semoga penulis dapat membalas budi jasa yang telah engkau berikan. 13. Adik-adikku tercinta, Fariz dan Rio, yang telah memberi semangat dan dorongan yang begitu besar kepada penulis. 14. Buat semua temen-temen FH UNS, Budi Andriana, Johans, Dheddy, Yunus, Ndaru, Joko, Anto, Rhisang, Itok, Yonthis, Reyan, Ayi, terima kasih buat semuanya dan semua teman-temanku Fakultas Hukum UNS angkatan 2003 yang tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu. 15. Teman-teman Kos Dewantoro, Hari, Aji, Ufo, Andi, Isa, Bento, Murto, Cangik, Nando, Niko, Wulung, Ucup, Adi, Wisnu, dan Mas Gunung, terima kasih buat semuanya. 16. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang telah membantu tersusunnya skripsi ini. Surakarta, Januari 2008 Penulis viii

9 DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PERSETUJUAN... ii HALAMAN PENGESAHAN... iii HALAMAN MOTTO... iv HALAMAN PERSEMBAHAN... v KATA PENGANTAR... vi DAFTAR ISI... DAFTAR GAMBAR... ix xi DAFTAR LAMPIRAN... xii ABSTRAK... xiii BAB I PENDAHULUAN... 1 A. Latar Belakang Masalah... 1 B. Perumusan Masalah... 4 C. Tujuan Penelitian... 4 D. Manfaat Penelitian... 5 E. Metode Penelitian... 6 F. Sistematika Penulisan Hukum BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori Tinjauan Tentang Proses Pemeriksaan Perkara Pidana 13 Di Pengadilan Tinjauan Tentang Putusan Hakim a. Pengertian Putusan Hakim b. Isi Putusan Pengadilan c. Jenis-jenis Putusan Hakim Dalam Perkara Pidana Tinjauan Tentang Tindak Pidana Pembunuhan Yang 32 Dilakukan Dengan Sengaja... a. Pengertian tindak pidana ix

10 b. Pengertian tindak pidana pembunuhan c. Pengertian kesengajaan 34 B. Kerangka Pemikiran. 37 BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Pertimbangan-pertimbangan hakim dalam mengambil putusan tindak pidana pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja.. 39 B. Kesesuaian putusan hakim dalam tindak pidana pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja dalam kaitannya dengan 75 penerapan Pasal 338 KUHP... BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan B. Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN x

11 DAFTAR GAMBAR Bagan 1. Model Analisis Interaktif 10 Bagan 2. Kerangka Pemikiran 37 xi

12 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran I Surat Izin Penelitian dari Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Lampiran II Surat Keterangan telah melakukan Penelitian dari Pengadilan Negeri Pacitan Lampiran III Salinan Putusan Pengadilan Negeri Pacitan No: 47/PID. B/2003/PN. PCT Lampiran IV Salinan Putusan Pengadilan Negeri Pacitan No: 56/Pid. B/2006/PN. Pct xii

13 ABSTRAK FAJAR EDY PURBOYUDONO, E , ANALISIS TERHADAP PUTUSAN HAKIM DALAM KASUS TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN YANG DILAKUKAN DENGAN SENGAJA (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Pacitan). Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Penulisan Hukum (Skripsi) Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pertimbangan-pertimbangan hakim dalam mengambil putusan tindak pidana pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja dan apakah putusan hakim dalam tindak pidana pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja itu sudah sesuai dengan penerapan Pasal 338 KUHP. Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif dan apabila dilihat dari tujuannya termasuk peneitian hukum normatif. Lokasi penelitian di Pengadilan Negeri Pacitan. Jenis data yang digunakan adalah data sekunder.teknik pengumpulan data yang dipergunakan yaitu melalui studi dokumen baik berupa buku-buku, peraturan perundang-undangan, dan arsip. Teknik analisis data adalah teknik analisis kualitatif dengan model interaktif. Berdasarkan penelitian ini diperoleh hasil bahwa pertimbanganpertimbangan hakim dalam mengambil putusan tindak pidana pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja antara lain: fakta-fakta yang ditemukan dalam persidangan, apakah unsur-unsur dari pasal yang didakwakan oleh penuntut umum kepada terdakwa telah terpenuhi, terdapat sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, adanya keyakinan dari hakim bahwa suatu tindak pidana benarbenar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya, apakah terdapat hal-hal yang dapat dijadikan sebagai alasan pembenar maupun alasan pemaaf yang dapat menghilangkan sifat melawan hukumnya dari perbuatan terdakwa, dan pertimbangan mengenai hal-hal yang memberatkan maupun yang meringankan terdakwa. Putusan hakim dalam tindak pidana pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja ini sudah sesuai dengan penerapan Pasal 338 KUHP, karena unsur-unsur dalam pasal 338 KUHP, yaitu unsur dengan sengaja, unsur menghilangkan, unsur nyawa, dan unsur orang lain telah terpenuhi oleh terdakwa di persidangan, sehingga hakim menjatuhkan hukuman yang setimpal terhadap terdakwa sesuai dengan perbuatan yang dilakukannya. xiii

14 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum dan tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka, sehingga dapat diartikan bahwa negara Indonesia merupakan negara demokratis yang menjunjung tinggi hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Indonesia menjamin hak asasi manusia di bidang hukum, yaitu dengan cara menjamin setiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan tanpa terkecuali. Hukum itu adalah himpunan peraturan (perintah-perintah dan larangan-larangan) yang mengurus tata tertib suatu masyarakat dan karena itu harus ditaati oleh masyarakat itu (E Utrecht dalam CST Kansil, 1989:38). Dengan adanya hukum dimaksudkan untuk menciptakan keselarasan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Negara Indonesia saat ini sedang melaksanakan pembangunan nasional yang dilaksanakan secara berkesinambungan yang meliputi seluruh bidang kehidupan, maka masyarakat Indonesia pun senantiasa mengalami perkembangan, yang seiring dengan perkembangan dan kemajuan jaman. Sebagaimana kita ketahui, masyarakat itu bersifat dinamis, yang senantiasa berkembang dari waktu ke waktu. Perkembangan ini membawa dampak atau pengaruh yang luar biasa yang dapat dirasakan oleh seluruh anggota masyarakat itu. Pada dasarnya, perkembangan masyarakat merupakan suatu gejala sosial yang bersifat umum. Perkembangan merupakan proses penyesuaian masyarakat terhadap kemajuan jaman. Bagi negara Indonesia yang merupakan negara berkembang, kemajuan tersebut membawa dampak perubahan dalam kehidupan masyarakat yang memberikan pengaruh dalam berbagai aspek kehidupan. xiv

15 Seiring dengan dilaksanakannya pembangunan nasional, maka pembangunan di bidang hukum juga dilaksanakan dengan serius, karena hukum harus bersifat dinamis mengikuti perkembangan jaman. Pembangunan di bidang hukum ini tentu saja menghadapi berbagai macam rintangan. Hal ini dapat terlihat dalam peraturan perundang-undangan yang ada. Di satu, sisi peraturan tertentu telah mengakomodir aspirasi hukum masyarakat, akan tetapi di sisi lain masih banyak peraturan yang mengalami stagnasi dan sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, maka pembangunan hukum di Indonesia perlu mendapatkan perhatian yang serius, sehingga dapat tercipta kemantapan dalam sistem hukum nasional. Apabila sistem hukum hukum nasional ini mantap, maka diharapkan akan tercipta suatu kondisi masyarakat hukum yang selaras, serasi, dan seimbang dengan adanya suatu peraturan hukum yang benar-benar mencerminkan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat, karena negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum dan tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka, sehingga segala sesuatunya harus berdasarkan hukum dan tiap warga negara wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan. Pembangunan nasional yang merupakan proses menuju modernisasi ini tentunya membawa dampak ataupun pengaruh yang sangat luas dalam masyarakat. Pengaruh pembangunan nasional terhadap kehidupan masyarakat tersebut ada dua macam, yaitu pengaruh positif, yaitu pengaruh yang mengarah pada hal-hal yang baik dan pengaruh negatif, yaitu pengaruh yang mengarah pada hal-hal yang buruk. Akhir-akhir ini banyak peristiwa yang menarik perhatian masyarakat, yaitu dengan semakin banyaknya tindak pidana yang terjadi. Salah satu tindak pidana yang sering terjadi dalam kehidupan masyarakat Indonesia adalah tindak pidana pembunuhan. Tindak pidana pembunuhan ini merupakan tindakan keji yang tidak berperikemanusiaan dan sangat xv

16 bertentangan dengan hak asasi manusia, karena pelaku pembunuhan telah merampas hak hidup dari orang yang dibunuhnya. Pasal 338 Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP) menyatakan bahwa: Barangsiapa dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain, diancam, karena pembunuhan, dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun. Di berbagai tempat, kita dapat melihat banyak terjadi kasus pembunuhan dengan berbagai sebab yang melatarbelakangi peristiwa itu. Akhir-akhir ini, hampir setiap hari kita mengetahui pemberitaan mengenai kasus pembunuhan melalui media cetak maupun media elektronik. Hal ini tentu sangat memprihatinkan, karena jenis tindak pidana pembunuhan ini sangat sering terjadi dalam masyarakat, padahal pada saat ini negara Indonesia sedang giatgiatnya melakukan reformasi hukum dan tertib hukum dalam upaya menciptakan masyarakat yang adil, makmur, tertib, aman, dan tenteram berdasarkan Pancasila. Sesuai dengan sifat hukum yang memaksa dan dapat dipaksakan, maka setiap perbuatan melawan hukum itu dapat dikenakan hukuman. Dalam perkara tindak pidana pembunuhan, maka pelaku pembunuhan apabila dalam sidang pengadilan telah terbukti secara sah dan meyakinkan, telah melakukan tindak pidana pembunuhan, maka harus mempertanggungjawabkan perbuatan yang telah dilakukannya itu di muka hukum. Hakim akan menjatuhkan pidana kepada pelaku tindak pidana pembunuhan tersebut sesuai dengan perundangundangan yang berlaku. Berangkat dari rasa keprihatinan penulis terhadap banyaknya kasus tindak pidana pembunuhan yang terjadi akhir-akhir ini, dan didorong oleh suara hati penulis untuk mengetahui pertimbangan-pertimbangan hakim dalam mengambil putusan tindak pidana pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja dan juga untuk mengetahui apakah putusan hakim dalam tindak pidana pembunuhan yang dilakukan itu sudah sesuai dengan penerapan Pasal 338 KUHP, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang lebih xvi

17 mendalam dan menuangkannya dalam penulisan skripsi ini dengan judul: ANALISIS TERHADAP PUTUSAN HAKIM DALAM KASUS TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN YANG DILAKUKAN DENGAN SENGAJA (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Pacitan) B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas maka dapat dirumuskan masalah yang akan membawa pada pembahasan yang lebih terarah dari penelitian yang dilakukan, yaitu: 1. Apa pertimbangan-pertimbangan hakim dalam mengambil putusan tindak pidana pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja? 2. Apakah putusan hakim dalam tindak pidana pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja itu sudah sesuai dengan penerapan Pasal 338 KUHP? C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut 1. Tujuan obyektif : a. Untuk mengetahui pertimbangan-pertimbangan hakim dalam mengambil putusan tindak pidana pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja. b. Untuk mengetahui putusan hakim dalam tindak pidana pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja itu apakah sudah sesuai dengan penerapan Pasal 338 KUHP. 2. Tujuan subyektif : xvii

18 a. Untuk menambah pengetahuan dan pemahaman penulis terutama mengenai teori-teori yang telah diperoleh oleh penulis selama mengikuti perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret. b. Untuk memperoleh data yang selengkap-lengkapnya sebagai bahan dalam melakukan penyusunan penulisan hukum guna memenuhi syarat untuk memperoleh gelar kesarjanaan di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret. D. Manfaat Penelitian Manfaat yang akan didapatkan yaitu 1. Manfaat Teoritis a. Untuk memberikan wawasan pengetahuan kepada masyarakat tentang hukum acara pidana keterkaitannya dengan putusan. b. Diharapkan dari hasil penelitian dapat dipakai sebagai suatu cara metode baru dalam mengadakan penelitian yang sejenis di masa yang akan datang. 2. Manfaat Praktis a. Adanya suatu harapan bahwa dari hasil penelitian yang penulis lakukan dapat memberi masukan dan sumbangan pemikiran yang bermanfaat bagi semua pihak mengenai putusan hakim, khususnya putusan hakim dalam kasus pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja. b. Bagi penulis, penelitian ini bermanfaat untuk menerapkan ilmu pengetahuan yang diperoleh selama mengikuti kuliah untuk diterapkan dalam kehidupan nyata pada bidang hukum acara khususnya mengenai analisis terhadap putusan hakim dalam kasus tindak pidana pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja. xviii

19 c. Bagi masyarakat umum, dari penelitian ini diharapkan menambah referensi dan pengetahuan di bidang hukum, khususnya mengenai analisis terhadap putusan hakim dalam kasus tindak pidana pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja. E. Metode Penelitian Dalam suatu penelitian, metodologi penelitian merupakan salah satu faktor yang penting dalam menunjang proses penyelidikan suatu permasalahan yang akan dibahas. Penelitian adalah suatu usaha untuk menemukan, mengembangkan, dan menguji kebenaran suatu pengetahuan usaha yang dilakukan dengan metode ilmiah. Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa dan konstruksi yang dilakukan secara metodologis, sistematis, dan konsekuen (Soerjono Soekanto, 1986:42). Metodologi penelitian adalah suatu cara atau jalan untuk memecahkan masalah yang ada dengan cara mengumpulkan, menyusun serta menginterpretasikan data untuk menemukan, mengembangkan, atau menguji kebenaran suatu penelitian ilmiah karena mutu atau nilai validitas dari hasil penelitian ilmiah sangat ditentukan oleh ketepatan pemilihan metode ilmiahnya. Sehingga dengan metode yang sesuai, maka penelitian dapat dilaksanakan dengan baik dan dapat mencapai hasil yang diinginkan. Adapun metodologi penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut 1. Jenis Penelitian Penelitian yang dilakukan oleh penulis ini apabila dilihat dari sumber datanya merupakan penelitian normatif. 2. Sifat Penelitian xix

20 Penelitian yang digunakan bersifat deskriptif. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang dimaksud untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang keadaan, atau hipotesa agar dapat membantu dalam memperkuat teori-teori ilmiah atau dalam kerangka menyusun teori baru (Soerjono Soekanto, 1986:10). 3. Pendekatan Penelitian Pendekatan penelitian dalam penulisan hukum ini adalah dengan menggunakan pendekatan kualitatif sesuai dengan sifat data yang ada. 4. Jenis Data Jenis data yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah data sekunder yaitu sejumlah data atau fakta atau keterangan yang digunakan oleh seseorang yang secara tidak langsung dan diperoleh melalui bahan-bahan kepustakaan, terdiri dari literatur, dokumen-dokumen, peraturan perundang-undangan yang berlaku, teori-teori dan sumber tertulis lainnya yang berkaitan dan relevan dengan masalah yang diteliti. 5. Sumber Data Sumber data yang digunakan dalam penelitian hukum normatif adalah data sekunder. Yang dimaksud sumber data sekunder adalah bahan-bahan kepustakaan yang dapat berupa dokumen putusan pengadilan, buku-buku, laporan, arsip, dan literatur yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi : a. Bahan Hukum Primer 1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang- Undang Hukum Pidana. xx

21 2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana. 3) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 jo Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. 4) Putusan Pengadilan Negeri Pacitan tentang kasus pembunuhan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, yakni Putusan Nomor : 47/Pid. B/2003/PN. Pct dan Putusan Nomor : 56/Pid. B/2006/PN. Pct. b. Bahan Hukum Sekunder Yaitu semua bahan yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer. Meliputi jurnal, buku-buku referensi, hasil karya ilmiah para sarjana, dan hasil-hasil penelitian ilmiah yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. c. Bahan Hukum Tersier Yaitu semua bahan hukum yang memberikan petunjuk terhadap bahan hukum primer dan sekunder. Meliputi bahan dari media internet, kamus, ensiklopedia, dan sebagainya. 6. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi dokumen, yaitu teknik pemgumpulan data dengan mengkaji substansi/isi dari suatu bahan hukum yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti. 7. Teknik Analisis Data xxi

22 Teknik analisis data yang digunakan oleh penulis yaitu dengan menggunakan teknik analisis kualitatif dan interaktif. Dalam metode interaktif ini, komponen reduksi data dan penyajian data dilakukan bersama dengan pengumpulan data setelah terkumpul tiga komponen tersebut akan berinteraksi unyuk mendapatkan kesimpulan dan apabila kesimpulan yang didapat dirasa kurang maka perlu adanya verifikasi dan penelitian kembali dengan mengumpulkan data di lapangan (HB. Sutopo, 2000:8) Menurut HB Sutopo komponen-komponen tersebut adalah sebagai berikut a. Reduksi data Merupakan proses seleksi, pemfokusan penyederhanaan, dan abstraksi data dari catatan lapangan yang diperoleh melalui wawancara b. Penyajian data Adalah suatu relita organisasi informasi yang memungkinkan kesimpulan penelitian yang dilakukan c. Kesimpulan dan verifikasi Dalam pengumpulan data, peneliti harus memahami arti berbagai hal yang ditemui dengan melakukan pencatatan-pencatatan, peraturanperaturan, pola-pola, pernyataan-pernyataan, dan konfigurasikonfigurasi yang mungkin, arahan sebab akibat dan proporsional kesimpulan yang diverifikasi. Ketiga komponen tersebut saling berkaitan sehingga dengan aktifitas yang dilakukan melalui siklus antara komponen-komponen akan diperoleh data yang mewakili dan sesuai dengan permasalahan yang diteliti. Sehingga apabila dianggap kurang penulis dapat atau wajib kembali melakukan pengumpulan data khusus bagi dukungan yang diperlukan. Hal tersebut tergambar dalam bagan berikut ini: xxii

23 Pengumpulan data Reduksi data Penyajian data Penarikan kesimpulan Proses analisis interaksi dimulai pada waktu pengumpulan data. Penelitian selalu memuat reduksi data dan sajian data. Setelah data terkumpul, tahap selanjutnya peneliti mulai melaksanakan usaha penarikan kesimpulan berdasarkan apa yang terdapat dalam reduksi data dan sajian data. Apabila data yang ada dalam reduksi dan sajian data kurang lengkap, maka kembali ke pengumpulan data. Sehingga antara tahap satu dan tahap yang lainnya harus terus berhubungan dengan membuat suatu siklus. F. Sistematika Penulisan Hukum Penulisan hukum (skripsi) sebagai suatu karya ilmiah dalam penulisannya harus mengikuti suatu sistematika tertentu. Guna memberi gambaran agar penulisan hukum lebih jelas, maka penulis akan mengajukan secara garis besar tentang isi dari penulisan hukum ini sehingga akan memudahkan dalam mengetahui keseluruhan isinya. Penulisan hukum ini terbagi dalam empat bab yang setiap bab terbagi dalam sub-sub bagian yang dimaksudkan untuk memudahkan pemahaman terhadap keseluruhan hasil penelitian. xxiii

24 Adapun sistematika penulisan hukum ini adalah sebagai berikut BAB I PENDAHULUAN Pada bab ini akan diuraikan mengenai pendahuluan yang terdiri dari: Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan Hukum. BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini akan diuraikan mengenai tinjauan pustaka yang terdiri dari kerangka teori dan kerangka pemikiran. Dalam kerangka teori berisi tinjauan tentang proses pemeriksaan perkara di pengadilan, tinjauan tentang putusan hakim, dan tinjauan tentang tindak pidana pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja. Sedangkan kerangka pemikiran berisi pemikiran mengenai putusan hakim di Pengadilan Negeri Pacitan dalam tindak pidana pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja. BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Bab ini merupakan penjelasan dari hasil penelitian yang diperoleh di lapangan dan pembahasan mengenai pertimbangan-pertimbangan hakim dalam mengambil putusan tindak pidana pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja dan apakah putusan hakim dalam tindak pidana pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja itu sudah sesuai dengan penerapan Pasal 338 KUHP. BAB IV PENUTUP Pada bab ini merupakan kesimpulan dan saran berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan pada bab sebelumnya. xxiv

25 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Tentang Proses Pemeriksaan Perkara Pidana Di Pengadilan Dalam pemeriksaan di persidangan ada beberapa asas yang menyangkut hukum acara pidana. Menurut CST Kansil, asas-asas hukum acara pidana tersebut antara lain, adalah: a. Perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum dengan tidak mengadakan pembedaan perlakuan (asas persamaan di muka hukum). xxv

26 b. Penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan hanya dilakukan berdasarkan perintah tertulis dari pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang dan hanya dalam hal dan dengan cara yang diatur dengan undang-undang (asas perintah tertulis dari yang berwenang). c. Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap (asas praduga tak bersalah = presumption of innocence). d. Kepada seorang yang ditangkap, ditahan, dituntut atau pun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang dan atau kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan wajib diberi ganti kerugian dan rehabilitasi sejak tingkat penyidikan dan para pejabat penegak hukum yang dengan sengaja atau karena kelalaiannya menyebabkan asas hukum tersebut dilanggar, dituntut, dipidana dan atau dikenakan hukuman administrasi (asas pemberian ganti rugi dan rehabilitasi atas salah tangkap, salah tahan, atau salah tuntut). e. Peradilan yang harus dilakukan dengan cepat, sederhana dan biaya ringan serta bebas, jujur dan tidak memihak harus diterapkan secara konsekuen dalam seluruh tingkat peradilan (asas peradilan cepat, sederhana, biaya ringan, bebas, jujur dan tidak memihak). f. Setiap orang yang tersangkut perkara wajib diberi kesempatan memperoleh bantuan hukum yang semata-mata diberikan untuk melaksanakan kepentingan pembelaan atas dirinya (asas memperoleh bantuan hukum seluas-luasnya). g. Kepada seorang tersangka, sejak saat dilakukan penangkapan dan atau penahanan selain wajib diberi tahu dakwaan dan dasar hukum apa xxvi

27 yang didakwakan kepadanya, juga wajib diberi tahu haknya itu termasuk hak untuk menghubungi dan minta bantuan penasihat hukum (asas wajib diberi tahu dakwaan dan dasar hukum dakwaan). h. Pengadilan memeriksa perkara pidana dengan hadirnya terdakwa (asas hadirnya terdakwa). i. Sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum kecuali dalam hal yang diatur dalam undang-undang (asas pemeriksaan dimuka umum). j. Pengawasan pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara pidana dilakukan oleh ketua pengadilan negeri yang bersangkutan (asas pengawasan pelaksanaan putusan). (CST Kansil, 1989: ). Setelah pengadilan negeri menerima surat dakwaan dari jaksa penuntut umum, maka langkah pertama yang dilakukan yaitu ketua pengadilan negeri setempat yang berwenang untuk memeriksa dan mengadili perkara tersebut akan menunjuk hakim yang akan menyidangkan perkara tersebut dan selanjutnya hakim yang ditunjuk tersebut menetapkan hari sidang, serta memerintahkan kepada penuntut umum supaya memanggil terdakwa dan saksi untuk datang di sidang pengadilan (Pasal 152 KUHAP). Hakim yang ditunjuk untuk menyidangkan perkara tersebut yaitu majelis hakim atau hakim tunggal. Pemanggilan terdakwa dan saksi untuk datang di sidang pengadilan dilakukan dengan menggunakan surat panggilan oleh penuntut umum secara sah dan harus telah diterima oleh terdakwa dalam jangka waktu sekurang-kurangnya tiga hari sebelum hari pelaksanaan sidang dimulai. Pada hari yang telah ditentukan tersebut, maka dilakukan sidang oleh pengadilan, langkah selanjutnya yaitu hakim ketua sidang memerintahkan xxvii

28 supaya terdakwa dipanggil masuk dalam keadaan bebas jika terdakwa tersebut dalam tahanan (Pasal 154 ayat (1) KUHAP), kemudian hakim ketua sidang menanyakan identitas terdakwa (Pasal 155 ayat (1) KUHAP) dan hakim ketua sidang meminta kepada penuntut umum untuk membacakan surat dakwaan (Pasal 155 ayat (2) huruf a KUHAP), dan apabila terdakwa belum mengerti atau belum memahami pembacaan surat dakwaan tersebut, maka atas permintaan hakim ketua sidang, penuntut umum wajib memberikan penjelasan yang diperlukan (Pasal 155 ayat (2) huruf b KUHAP). Kemudian terhadap dakwaan yang dibacakan oleh penuntut umum tersebut, maka terdakwa atau penasehat hukum terdakwa dapat mengajukan tangkisan atau perlawanan (eksepsi). Menurut I.B. Ngurah Adi, memberi batasan mengenai istilah eksepsi ini mengacu pada Pasal 156 ayat (1) KUHAP, yakni: Keberatan yang diajukan terdakwa atau penasehat hukum bahwa pengadilan tidak berwenang mengadili perkaranya atau dakwaan tidak dapat diterima atau surat-surat dakwaan harus dibatalkan. Berdasarkan hal tersebut, maka ada 3 hal yang dapat diajukan sebagai dasar eksepsi,yaitu : 1) Pengadilan tidak berwenang mengadili perkara tersebut. 2) Dakwaan tidak dapat diterima 3) Surat dakwaan batal. Eksepsi tersebut merupakan upaya hukum yang berupa tangkisan sebelum dilakukan pemeriksaan materi perkara dengan tujuan utama yaitu untuk menghindarkan diadakannya pemeriksaan yang menghasilkan putusan akhir dari pokok perkaranya. Sehingga dapat disebutkan bahwa acara pemeriksaan dalam keberatan pada dasarnya merupakan pemeriksaan persiapan, untuk menentukan apakah pemeriksaan pokok perkara dapat dilanjutkan sampai putusan akhir (Lilik Mulyadi, 2002: 85). xxviii

29 Berkaitan dengan eksepsi sebagaimana diatur dalam Pasal 156 KUHAP, maka ada kemungkinan hakim akan mengambil keputusan yang berupa : 1) Eksepsi dapat diterima Eksepsi dapat diterima berakibat pemeriksaan pokok perkara dihentikan, dengan demikian proses pemeriksaan perkara harus dihentikan. Eksepsi ini dituangkan dalam putusan sela dengan amar putusan yang menyatakan bahwa eksepsi dapat diterima dan diikuti dengan amar deklaratif sesuai dengan jenis eksepsi yang diajukan. 2) Eksepsi tidak dapat diterima Eksepsi tidak dapat diterima berkibat pemeriksaan pokok perkara dilanjutkan. Eksepsi dituangkan dalam putusan sela dengan amar putusan menyatakan bahwa eksapsi tidak dapat diterima atau menolak eksepsi. 3) Eksepsi diputuskan bersama dalam pokok perkara Jenis eksepsi ini didasarkan bahwa eksepsi baru dapat dipertimbangkan dengan seksama setelah pemeriksaan pokok perkara, seperti eksepsi mengenai nebis in idem, dakwaan dengan alasan obscuur libel, dan perkara yang diperiksa adalah perkara perdata. Jika hakim menyatakan keberatan tersebut diterima, maka perkara itu tidak diperiksa lebih lanjut, sebaliknya dalam hal tidak diterima atau hakim berpendapat hal tersebut baru dapat diputus setelah selesai pemeriksaan, maka sidang dilanjutkan (Pasal 156 ayat (2) KUHAP). Dalam hal penuntut umum berkeberatan terhadap keputusan tersebut, xxix

30 maka ia dapat mengajukan perlawanan kepada pengadilan tinggi melalui pengadilan negeri yang bersangkutan (Pasal 156 ayat (3) KUHAP). Dalam hal eksepsi tidak dapat diterima, maka pemeriksaan terhadap pokok perkara akan terus dilanjutkan. Pemeriksaan persidangan dilanjutkan maka kemudian saksi-saksi yang dipanggil dihadirkan dimuka sidang untuk didengar dan dimintai keterangannya. Saksi merupakan salah satu alat bukti yang sah menurut undang-undang. Pada umumnya alat bukti yang berupa keterangan saksi merupakan alat bukti yang utama dalam pembuktian perkara pidana. Hampir semua pembuktian pidana selalu didasarkan kepada pemeriksaan keterangan saksi. Keterangan saksi yang bernilai sebagai bukti adalah : a) Saksi melihat sendiri b) Saksi mendengar sendiri c) Saksi mengalami sendiri d) Serta menyebut alasan dari pengetahuannya itu Setelah pemeriksaan alat bukti saksi selesai, maka sesuai Pasal 183 KUHAP dilanjutkan dengan pemeriksaan alat bukti yang lain, sebab seseorang terbukti melakukan suatu tindak pidana harus didukung sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah. Setelah selesai pemeriksaan alat bukti tersebut, maka kemudian hakim akan melanjutkan dengan pemeriksaan terdakwa. Keterangan terdakwa ini harus diberikan di depan pengadilan, hal ini sesuai dengan Pasal 189 KUHAP. Prinsip mendahulukan pemeriksaan mendengar keterangan saksi terdakwa ini landasan hukumnya yaitu berpedoman pada ketentuan Pasal 160 ayat (1) huruf b KUHAP dihubungkan Pasal 184 ayat (1) KUHAP, yang menempatkan urutan alat bukti keterangan saksi pada xxx

31 urutan pertama, sedang alat bukti keterangan terdakwa ditempatkan pada urutan terakhir, dengan alasan yaitu : a) Agar terdakwa dapat mengetahui sepenuhnya gambaran peristiwa tindak pidana yang didakwakan kepadanya. b) Agar terdakwa tidak dipojokkan dalam pertanyaan yang masih belum jelas permasalahannya. Setelah selesai dilakukan pemeriksaan terdakwa, maka penuntut umum mengajukan surat tuntutan hukum (requisitoir). Atas surat tuntutan hukum (requisitoir) yang diajukan oleh penuntut umum tersebut, maka terdakwa atau penasehat hukumnya mengajukan pembelaan (pleidoi) yang merupakan pembelaan terdakwa terhadap surat tuntutan hukum (requisitoir) tersebut. Dalam membuat pleidoi ini, inti pokoknya harus cermat, teliti dan jeli dalam memahami isi dari surat dakwaan, unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan, dan hukum pembuktian. Setelah pleidoi diajukan oleh terdakwa atau penasehat hukumnya, maka penuntut umum mengajukan replik, yaitu tanggapan penuntut umum atas tangkisan terdakwa atau penasehat hukumnya. Selanjutnya terdakwa atau penasehat hukumnya mengajukan duplik, yaitu tanggapan atas replik penuntut umum. Dengan diajukan duplik, maka proses pemeriksaan persidangan dianggap telah selesai, dan proses selanjutnya yaitu putusan hakim. 2. Tinjauan Tentang Putusan Hakim a. Pengertian Putusan Hakim Putusan hakim adalah hasil musyawarah yang bertitik tolak dari surat dakwaan dengan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang pengadilan (M. Yahya Harahap, 2000:236). Dalam Pasal 1 butir 11 KUHAP disebutkan bahwa putusan pengadilan adalah xxxi

32 pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Undang-undang ini. Isi putusan pengadilan diatur dalam Pasal 25 Undang-undang Nomor 4 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa: 1) Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar putusan itu, juga harus memuat pula pasal-pasal tertentu dari peraturan-peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. 2) Tiap putusan pengadilan ditandatangani oleh ketua serta hakimhakim yang memutuskan dan panitera yang ikut bersidang. 3) Penetapan-penetapan, ikhtiar-ikhtiar rapat permusyawaratan dan berita berita acara tentang pemeriksaan sidang ditandatangani oleh ketua dan panitera. Setiap putusan hakim merupakan salah satu dari tiga kemungkinan : 1) Pemidanaan atau penjatuhan pidana dan atau tata tertib 2) Putusan bebas 3) Putusan lepas dari segala tuntutan hukum Sesudah putusan pemidanan diucapkan, hakim ketua sidang wajib memberitahu kepada terdakwa tentang apa yang menjadi haknya, yaitu : 1) Hak segera menerima atau segera menolak putusan. 2) Hak mempelajari putusan sebelum menyatakan menerima atau menolak putusan, dalam tenggang waktu yang telah ditentukan yaitu tujuh hari sesudah putusan dijatuhkan atau setelah putusan xxxii

33 diberitahukan kepada terdakwa yang tidak hadir (Pasal 196 ayat (3) jo. Pasal 233 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). 3) Hak minta penangguhan pelaksanaan putusan dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh undang-undang untuk dapat mangajukan grasi, dalam hal ia menerima putusan (Pasal 196 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana jo. Undang- Undang Grasi). 4) Hak minta banding dalam tenggang waktu tujuh hari setelah putusan dijatuhkan atau setelah putusan diberitahukan kepada terdakwa yang tidak hadir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 196 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana,Pasal 196 ayat (3) jo. Pasal 233 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. 5) Hak segera mencabut pernyataan sebagaimana dimaksud pada butir a (menolak putusan) dalam waktu seperti ditentukan dalam pasal 235 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang menyatakan bahwa selama perkara banding belum diputus oleh pengadilan tinggi, permintaan banding dapat dicabut sewaktuwaktu dan dalam hal sudah dicabut, permintaan banding dalam perkara itu tidak boleh diajukan lagi (pasal 196 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). (Andi Hamzah, 2002:279). Syarat sahnya suatu putusan hakim mempunyai peranan sangat penting artinya karena akan mempengaruhi apakah suatu putusan itu memiliki kekuatan hukum atau tidak. Dalam Pasal 195 Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana dirumuskan bahwa Semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila xxxiii

34 diucapkan di sidang yang terbuka untuk umum. Dari hal tersebut, maka dapat dilihat bahwa syarat sahnya suatu putusan hakim adalah : 1) Memuat hal-hal yang diwajibkan 2) Diucapkan dimuka sidang yang terbuka untuk umum Dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 menyebutkan bahwa pengadilan memeriksa dan memutus perkara pidana dengan hadirnya terdakwa, kecuali apabila Undang-undang menentukan lain. Sejalan dengan ketentuan tersebut Pasal 196 Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana menyebutkan bahwa: 1) Pengadilan memutuskan perkara dengan hadirnya terdakwa, kecuali dalam Undang-undang ini menentukan lain. 2) Dalam hal ini lebih dari seorang terdakwa dalam suatu perkara, putusan dapat diucapkan dengan hadirnya terdakwa yang ada. b. Isi Putusan Pengadilan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman manyebutkan bahwa peradilan dilakukan Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ketentuan tersebut menunjukkan bahwa dalam menjalankan tugasnya, Hakim tidak hanya bertanggung jawab kepada hukum, kepada dirinya sendiri dan kepada rakyat, akan tetapi juga bertanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa. Seterusnya dalam Pasal 25 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa: xxxiv

35 1) Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasardasar putusan itu, memuat pasal-pasal tertentu dari pengaturanpengaturan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. 2) Tiap putusan pengadilan ditandatangani oleh ketua serta hakim dan panitera yang ikut serta bersidang. Dalam Pasal 197 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana diatur formalitas yang harus dipenuhi suatu putusan hakim, dan berdasarkan ayat (2) pasal tersebut kalau ketentuan tersebut tidak dipenuhi, kecuali yang tersebut pada huruf g, putusan batal demi hukum. Adapun formalitas yang diwajibkan untuk dipenuhi didalam putusan hakim sebagaimana diatur dalam Pasal 197 ayat (1) dan (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana adalah : (1) Surat putusan pemidanaan memuat : a. Kepala putusan yang dituliskan berbunyi : DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA b. Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa; c. Dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan; d. Pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan kadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa; e. Tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan; f. Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan meringankan terdakwa; xxxv

36 g. Hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim kecuali perkara diperiksa oleh hakim tunggal; h. Pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah dipenuhinya semua unsur dalam tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan; i. Ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti; j. Keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau letaknya dimana kepalsuan itu, jika terdapat surat otentik yang dianggap palsu; k. Perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan; l. Hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang memutus, dan panitera. (2) Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, g, h, i, j, k, dan l pasal ini mengakibatkan putusan batal demi hukum. Dalam pelaksanaan putusan pengadilan setelah selesai proses persidangan, maka hakim mengambil putusan yang diucapkan di muka sidang yang terbuka untuk umum, maka selesai pulalah tugas hakim dalam proses penyelesaian perkara pidana. Putusan itu sekarang harus dilaksanakan dan hal itu tidak mungkin dilaksanakan sendiri oleh hakim. Putusan hakim tersebut baru dapat dilaksanakan apabila putusan itu telah mampunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde). xxxvi

37 Tugas pelaksanaan putusan hakim yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap ini dibebankan kepada penuntut umum (Jaksa) sebagaimana diatur dalam pasal-pasal berikut ini: Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman menentukan: Pelaksanaan Putusan Pengadilan tersebut dilakukan oleh jaksa. Penjabaran Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman ini dilaksanakan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang diatur dalam Pasal 270 sampai dengan 276. Pasal 270 : Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dilakukan oleh Jaksa yang untuk itu panitera mengirim surat putusan padanya. Syarat untuk menjalankan putusan hakim ialah bahwa putusan itu telah menjadi tetap tidak boleh diubah lagi, dengan pengertian segera setelah keputusan itu tidak lagi terbuka sesuatu jalan hukum pada hakim lain atau hakim itu juga untuk merubah putusan itu, seperti perlawanan verstek, naik banding, atau kasasi. Dengan demikian, selama terhadap putusan itu masih dapat dilawan, dimintakan banding maupun dimintakan kasasi, maka selama itu putusan tersebut belum menjadi tetap dan tidak dapat dilaksanakan. Suatu putusan hakim menjadi tetap, jika semua jalan hukum biasa untuk merubah putusan itu seperti perlawanan verstek, banding, dan kasasi telah digunakan, tapi ditolak oleh instansi yang bersangkutan atau putusan telah diterima oleh terpidana dan penuntut umum atau waktu yang disediakan telah lewat tanpa digunakan oleh pemohon untuk banding, kasasinya dicabut oleh yang bersangkutan. Setelah Jaksa menerima kutipan surat putusan yang telah menjadi tetap dari panitera pengadilan, maka kemudian Jaksa melaksanakan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap tersebut. xxxvii

38 Adapun putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap itu adalah : 1) Melaksanakan Pidana Pokok a) Pelaksanaan Pidana Mati Pelaksanaannya dilakukan tidak di muka umum dan menurut ketentuan Undang-Undang (Pasal 271 Kitab Undang- Undang HukumAcara Pidana) b) Pelaksanaan Hukuman Penjara Pelaksanaan pidananya itu dijalankan berturut-turut dimulai dengan pidana yang dijatuhkan terlebih dahulu. Jadi dilaksanakan berkesinambungan diantara pidana yang satu dengan yang lain (Pasal 272 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). c) Pelaksanaan Hukuman Kurungan d) Pelaksanaan Hukuman Denda Kepada terpidana diberikan jangka waktu satu bulan untuk membayar denda tersebut kecuali dalam putusan acara pemeriksaan cepat yang harus seketika dilunasi (Pasal 273 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Jika ada alasan kuat, jangka waktu tersebut dapat diperpanjang untuk paling lama satu bulan (Pasal 273 ayat (2) Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana) 2) Pelaksanaan Pidana Tambahan xxxviii

39 Pelaksanaannya dilakukan dengan pengawasan serta pengamatan yang sungguh-sungguh dan menurut ketentuan Undang-undang (Pasal 276 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) a) Pencabutan hak-hak tertentu b) Perampasan barang-barang tertentu c) Pangumuman putusan hakim Dalam pengawasan pelaksanaan putusan pengadilan, Undang- Undang Nomor 14 Tahun 1970 jo Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dalam Pasal 36 ayat (2), memberikan tugas baru bagi para hakim, yang dalam perundang-undangan sebelumnya tidak diatur. Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam perkara pidana dilakukan oleh jaksa. Dalam hal putusan pengadilan tersebut berupa perampasan kemerdekaan, maka peranan hakim sebagai pejabat yang diharapkan juga bertanggung jawab atas putusan yang dijatuhkannya, tidak terhenti pada saat menjatuhkan putusan tersebut. Hakim harus mengetahui apakuh putusan perampasan kemerdekaan yang dijatuhkan itu dilaksanakan dengan baik yang didasarkan atas asas-asas kemanusiaan serta peri keadilan, terutama dari petugas-petugas yang harus melaksanakan putusan tersebut, sehingga tercapai pada sasaran yaitu mengembalikan terpidana menjadi anggota masyarakat yang baik yang mematuhi hukum. Dengan adanya pengawasan tersebut, akan lebih mendekatkan lembaga pengadilan dengan lembaga kejaksaan dan juga dengan lembaga pemasyarakatan. Penempatan tersebut menempatkan lembaga pemasyarakatan dalam rangkaian proses pidana dan memberi tugas xxxix

40 pada hakim untuk tidak berakhir pada saat putusan pengadilan dijatuhkan olehnya. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Pasal 277 ayat (1) berbunyi : Pada setiap pengadilan harus ada hakim yang diberi tugas khusus untuk membantu ketua dalam melakukan pengawasan dan pengamatan terhadap putusan pengadilan yang menjatuhkan pidana perampasan kemerdekaan. Hakim yang bertugas khusus tersebut melakukan pengawasan dan pengamatan terhadap narapidana yang selama menjalani pidana penjara/kurungan dalam lembaga pemasyarakatan yang bersangkutan sebagai pelaksanaan dari putusan hakim pengadilan negeri tersebut, tentang kelakuan mereka masing-masing maupun tentang perlakuan dari para petugas pengasuh dari lembaga pemasyarakatan tersebut terhadap diri para narapidana yang dimaksud. Dengan turut campurnya hakim dalam pengawasan yang dimaksud, maka selain hakim akan dapat mengetahui sampai dimana putusan pengadilan itu tampak hasil buruknya pada diri masingmasing narapidana yang bersangkutan, juga penting bagi penelitian demi ketepatan yang bermanfaat bagi pemidanaan pada umumnya. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, pokok pengamatan dan pengawasan adalah sebagai berikut : a) Jaksa mengirimkan tembusan berita acara pelaksanaan putusan pengadilan yang ditandatangani olehnya, kepala lembaga pemasyarakatan, dan terpidana, kepada pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama dan panitera mencatatnya dalam register pengawasan dan pengamatan (Pasal 278 Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana). xl

41 b) Panitera mencatat dalam register pengawasan dan pengamatan. Register ini wajib dikerjakan, ditutup dan ditandatangani oleh panitera setiap hari kerja dan untuk diketahui ditandatangani juga oleh hakim pengawas dan pengamat (Pasal 279 Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana). c) Hakim pengawas dan pengamat mengadakan pengawasan guna memperoleh kepastian bahwa putusan pengadilan dilaksanakan sebagaimana mestinya. Pengamatan tersebut digunakan sebagai bahan penelitian demi ketepatan yang bermanfaat bagi pemidanaan, yang diperoleh dari perilaku para narapidana atau pembinaan lembaga pemasyarakatan serta pengaruh timbal balik terhadap narapidana selama menjalani pidananya. Pengamatan tetap dilaksanakan setelah terpidana selesai menjalani pidana (Pasal 280 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). d) Atas permintaan hakim pengawas dan pengamat kepala lembaga pemasyarakatan menyampaikan informasi secara berkala atau sewaktu-waktu tentang perilaku narapidana tertentu yang ada dalam pengamatan hakim tersebut (Pasal 281 Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana). c. Jenis-jenis Putusan Hakim Dalam Perkara Pidana Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, putusan pengadilan yang berkenaan dengan terdakwa ada tiga macam : 1) Putusan bebas (Vrijspraak). Dalam Pasal 191 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana disebutkan bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya xli

TUGAS II PENGANTAR ILMU HUKUM PENGARUH PUTUSAN PENGADILAN DALAM HUKUM

TUGAS II PENGANTAR ILMU HUKUM PENGARUH PUTUSAN PENGADILAN DALAM HUKUM TUGAS II PENGANTAR ILMU HUKUM PENGARUH PUTUSAN PENGADILAN DALAM HUKUM DISUSUN OLEH : NAMA / (NPM) : M. RAJA JUNJUNGAN S. (1141173300129) AKMAL KARSAL (1141173300134) WAHYUDIN (1141173300164) FAKULTAS :

Lebih terperinci

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan Pasal 176 Hakim dilarang menjatuhkan pidana kepada terdakwa, kecuali apabila hakim memperoleh keyakinan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum dan tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka, negara Indonesia merupakan negara demokratis yang menjunjung

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pasal 1 ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum. 1 Hal ini berarti bahwa Republik

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA

HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA 1 HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA I. Pengertian, asas & kompetensi peradilan TUN 1. Pengertian hukum acara TUN Beberapa istilah hukum acara TUN, antara lain: Hukum acara peradilan tata usaha pemerintahan

Lebih terperinci

ALUR PERADILAN PIDANA

ALUR PERADILAN PIDANA ALUR PERADILAN PIDANA Rangkaian penyelesaian peradilan pidana terdiri atas beberapa tahapan. Suatu proses penyelesaian peradilan dimulai dari adanya suatu peristiwa hukum, misalnya seorang wanita yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3) BAB I PENDAHULAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara berdasarkan hukum. Hal ini ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3) yang berbunyi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Tindak pidana korupsi diartikan sebagai penyelenggaraan atau penyalahgunaan uang negara untuk kepentingan pribadi atau orang lain atau suatu korporasi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. semua warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan. peradilan pidana di Indonesia. Sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

BAB I PENDAHULUAN. semua warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan. peradilan pidana di Indonesia. Sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara hukum yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, yang menjunjung tinggi hak asasi manusia dan semua warga negara bersama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa/

BAB I PENDAHULUAN. positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa/ BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ditinjau dari aspek yuridis maka pengertian anak dalam hukum positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa/ minderjaring, 1 orang yang di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hukum materiil seperti yang terjelma dalam undang undang atau yang

BAB I PENDAHULUAN. Hukum materiil seperti yang terjelma dalam undang undang atau yang BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Hukum materiil seperti yang terjelma dalam undang undang atau yang bersifat tidak tertulis, merupakan pedoman bagi setiap individu tentang bagaimana selayaknya berbuat

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 73, 1985 (ADMINISTRASI. KEHAKIMAN. LEMBAGA NEGARA. Mahkamah Agung. Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3316) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil.

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil. 12 A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana adalah suatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang 1. Hukum pidana sebagai peraturan-peraturan yang bersifat abstrak merupakan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.98, 2003 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 Lex Crimen, Vol.II/No.1/Jan-Mrt/2013 KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu. mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan

I. PENDAHULUAN. Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu. mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan mempertimbangkan semua bukti-bukti yang ada.

Lebih terperinci

FUNGSI DAN KEDUDUKAN SAKSI A DE CHARGE DALAM PERADILAN PIDANA

FUNGSI DAN KEDUDUKAN SAKSI A DE CHARGE DALAM PERADILAN PIDANA FUNGSI DAN KEDUDUKAN SAKSI A DE CHARGE DALAM PERADILAN PIDANA Disusun Dan Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Syarat-syarat Guna Memperoleh Derajat Sarjana Hukum Dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 76, 1981 (KEHAKIMAN. TINDAK PIDANA. Warganegara. Hukum Acara Pidana. Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana (kepada barangsiapa yang melanggar larangan tersebut), untuk singkatnya dinamakan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara kesatuan Republik Indonesia adalah negara hukum yang berlandaskan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Negara juga menjunjung tinggi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara hukum, hal ini tercantum dalam Pasal 1 ayat (3)

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara hukum, hal ini tercantum dalam Pasal 1 ayat (3) I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah Negara hukum, hal ini tercantum dalam Pasal 1 ayat (3) Undang- Undang Dasar 1945 Perubahan Ketiga. Menurut Penjelasan Umum Undang- Undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 of 24 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan atau perbuatan jahat dapat diartikan secara yuridis atau kriminologis.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana pencurian sering terjadi dalam lingkup masyarakat, yang kadang menimbulkan keresahan di tengah masyarakat. Tindak pidana pencurian dilakukan seseorang

Lebih terperinci

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sesuai dengan apa yang tertuang dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana bahwa wewenang penghentian penuntutan ditujukan kepada

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum Tentang Kejaksaan a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan Undang-undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang

I. PENDAHULUAN. Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang siapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Negara Indonesia adalah negara bardasarkan hukum bukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Negara Indonesia adalah negara bardasarkan hukum bukan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Negara Indonesia adalah negara bardasarkan hukum bukan kekuasaan belaka. Hal ini berarti bahwa Republik Indonesia ialah negara hukum yang demokratis berdasarkan

Lebih terperinci

SURAT TUNTUTAN (REQUISITOIR) DALAM PROSES PERKARA PIDANA

SURAT TUNTUTAN (REQUISITOIR) DALAM PROSES PERKARA PIDANA SURAT TUNTUTAN (REQUISITOIR) DALAM PROSES PERKARA PIDANA Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta Disusun Oleh

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kerangka Teori

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kerangka Teori BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Pengertian Penuntut Umum Ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, membedakan pengertian istilah antara Jaksa dan Penuntut Umum. Menurut ketentuan Bab

Lebih terperinci

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA SKRIPSI PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PIDANA BERSYARAT SERTA PENGAWASAN PELAKSANAANYA DALAM KASUS PEMBERIAN UPAH KARYAWAN DI BAWAH UPAH MINIMUM (STUDI KASUS DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA) Disusun

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik Indonesia adalah negara

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sistem dan mekanisme

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam Penjelasan Undang Undang Dasar 1945, telah dijelaskan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam Penjelasan Undang Undang Dasar 1945, telah dijelaskan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam Penjelasan Undang Undang Dasar 1945, telah dijelaskan bahwa Negara Indonesia merupakan negara yang berdasarkan atas hukum dan tidak berdasar atas kekuasaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum Acara Pidana adalah memberi perlindungan kepada Hak-hak Asasi Manusia dalam keseimbangannya dengan kepentingan umum, maka dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban

II. TINJAUAN PUSTAKA. wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Setiap tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang pada dasarnya orang tersebut wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban pidana

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik

Lebih terperinci

Perpajakan 2 Pengadilan Pajak

Perpajakan 2 Pengadilan Pajak Perpajakan 2 Pengadilan Pajak 12 April 2017 Benny Januar Tannawi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia 1 Daftar isi 1. Susunan Pengadilan Pajak 2. Kekuasaan Pengadilan Pajak 3. Hukum Acara 2 Susunan Pengadilan

Lebih terperinci

Lex et Societatis, Vol. V/No. 6/Ags/2017

Lex et Societatis, Vol. V/No. 6/Ags/2017 PENAHANAN TERDAKWA OLEH HAKIM BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG KITAB UNDANG- UNDANG HUKUM ACARA PIDANA 1 Oleh : Brando Longkutoy 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah

Lebih terperinci

POLA PEMBELAAN DALAM MEMBERIKAN BANTUAN HUKUM TERHADAP TERDAKWA DALAM PROSES PEMERIKSAAN DI PENGADILAN. Kuswindiarti STMIK AMIKOM Yogyakarta

POLA PEMBELAAN DALAM MEMBERIKAN BANTUAN HUKUM TERHADAP TERDAKWA DALAM PROSES PEMERIKSAAN DI PENGADILAN. Kuswindiarti STMIK AMIKOM Yogyakarta POLA PEMBELAAN DALAM MEMBERIKAN BANTUAN HUKUM TERHADAP TERDAKWA DALAM PROSES PEMERIKSAAN DI PENGADILAN Kuswindiarti STMIK AMIKOM Yogyakarta Abstraksi Sesuai dengan semangat dan ketegasan pembukaan Undang

Lebih terperinci

POLA PEMBELAAN DALAM MEMBERIKAN BANTUAN HUKUM TERHADAP TERDAKWA DALAM PROSES PEMERIKSAAN DI PENGADILAN. Kuswindiarti STMIK AMIKOM Yogyakarta

POLA PEMBELAAN DALAM MEMBERIKAN BANTUAN HUKUM TERHADAP TERDAKWA DALAM PROSES PEMERIKSAAN DI PENGADILAN. Kuswindiarti STMIK AMIKOM Yogyakarta POLA PEMBELAAN DALAM MEMBERIKAN BANTUAN HUKUM TERHADAP TERDAKWA DALAM PROSES PEMERIKSAAN DI PENGADILAN Kuswindiarti STMIK AMIKOM Yogyakarta Abstraksi Sesuai dengan semangat dan ketegasan pembukaan Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam

BAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengajuan permohonan perkara praperadilan tentang tidak sahnya penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam sidang praperadilan sebagaimana

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana

TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana 1. Hakim dan Kewajibannya Hakim dapat diartikan sebagai orang yang mengadili perkara dalam pengadilan atau mahkamah.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti Mengenai pengembalian barang bukti juga diatur dalam Pasal 46 KUHAP. Hal ini mengandung arti bahwa barang bukti selain

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penegakan hukum merupakan salah satu usaha untuk menciptakan tata tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan usaha pencegahan maupun

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCABUTANKETERANGAN TERDAKWA DALAM BERITA ACARA PEMERIKSAAAN (BAP) DAN TERDAKWA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCABUTANKETERANGAN TERDAKWA DALAM BERITA ACARA PEMERIKSAAAN (BAP) DAN TERDAKWA BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCABUTANKETERANGAN TERDAKWA DALAM BERITA ACARA PEMERIKSAAAN (BAP) DAN TERDAKWA 2.1. Pengertian Berita Acara Pemeriksaaan (BAP) Dan Terdakwa Sebelum masuk pada pengertian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtstaat) seperti

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtstaat) seperti BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtstaat) seperti yang tercantum pada pasal 1 ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Indonesia

Lebih terperinci

Toddy Anggasakti dan Amanda Pati Kawa. Abstrak

Toddy Anggasakti dan Amanda Pati Kawa. Abstrak Toddy Anggasakti dan Amanda Pati Kawa Abstrak Penelitian ini mengkaji dan menjawab beberapa permasalahan hukum,pertama, apakah proses peradilan pidana konsekuensi hukum penerapan asas praduga tidak bersalah

Lebih terperinci

DRAFT 16 SEPT 2009 PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DRAFT 16 SEPT 2009 PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DRAFT 16 SEPT 2009 PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG BANTUAN HUKUM UNTUK MASYARAKAT MISKIN

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG BANTUAN HUKUM UNTUK MASYARAKAT MISKIN SALINAN BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG BANTUAN HUKUM UNTUK MASYARAKAT MISKIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURBALINGGA,

Lebih terperinci

Penulisan Hukum ( Skripsi )

Penulisan Hukum ( Skripsi ) ANALISIS PENGAJUAN KASASI PENUNTUT UMUM TERHADAP PUTUSAN BEBAS PENGADILAN NEGERI GIANYAR DALAM PERKARA SUMPAH PALSU DAN PERTIMBANGAN HAKIM MAHKAMAH AGUNG DALAM MENJATUHKAN PUTUSAN Penulisan Hukum ( Skripsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan wujud penegakan hak asasi manusia yang melekat pada diri. agar mendapatkan hukuman yang setimpal.

BAB I PENDAHULUAN. merupakan wujud penegakan hak asasi manusia yang melekat pada diri. agar mendapatkan hukuman yang setimpal. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Segala bentuk kekerasan yang dapat mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang harus dapat ditegakkan hukumnya. Penghilangan nyawa dengan tujuan kejahatan, baik yang disengaja

Lebih terperinci

HUKUM ACARA PIDANA. Welin Kusuma

HUKUM ACARA PIDANA. Welin Kusuma HUKUM ACARA PIDANA Welin Kusuma ST, SE, SSos, SH, SS, SAP, MT, MKn, RFP-I, CPBD, CPPM, CFP, Aff.WM, BKP http://peradi-sby.blogspot.com http://welinkusuma.wordpress.com/advokat/ Alur Penanganan Perkara

Lebih terperinci

Penulisan Hukum ANALISIS TERHADAP PUTUSAN HAKIM DALAM TINDAK PIDANA PERKOSAAN (STUDI KASUS DI PENGADILAN NEGERI KLATEN)

Penulisan Hukum ANALISIS TERHADAP PUTUSAN HAKIM DALAM TINDAK PIDANA PERKOSAAN (STUDI KASUS DI PENGADILAN NEGERI KLATEN) Penulisan Hukum ANALISIS TERHADAP PUTUSAN HAKIM DALAM TINDAK PIDANA PERKOSAAN (STUDI KASUS DI PENGADILAN NEGERI KLATEN) Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Syarat-Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana

Lebih terperinci

FUNGSI MAHKAMAH AGUNG DALAM MENERIMA PENINJAUAN KEMBALI SUATU PERKARA PIDANA 1 Oleh: Eunike Lumi 2

FUNGSI MAHKAMAH AGUNG DALAM MENERIMA PENINJAUAN KEMBALI SUATU PERKARA PIDANA 1 Oleh: Eunike Lumi 2 FUNGSI MAHKAMAH AGUNG DALAM MENERIMA PENINJAUAN KEMBALI SUATU PERKARA PIDANA 1 Oleh: Eunike Lumi 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah utnuk mengetahui bagaimana prosedur pengajuan Peninjauan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Globalisasi menyebabkan ilmu pengetahuan kian berkembang pesat termasuk bidang ilmu hukum, khususnya dikalangan hukum pidana. Banyak perbuatan-perbuatan baru yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D 101 10 523 Abstrak Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechstaat), tidak berdasarkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai

Lebih terperinci

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penulisan skripsi ini dilakukan dengan menggunakan penelitian lapangan dengan

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penulisan skripsi ini dilakukan dengan menggunakan penelitian lapangan dengan IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Responden Penulisan skripsi ini dilakukan dengan menggunakan penelitian lapangan dengan wawancara terhadap sejumlah responden yang akan memberikan gambaran

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 3, 1997 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 3668) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kehidupan manusia merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang harus dijalani oleh setiap manusia berdasarkan aturan kehidupan yang lazim disebut norma. Norma

Lebih terperinci

peradilan dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa, mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Dalam hal ini, untuk

peradilan dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa, mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Dalam hal ini, untuk BAB II JENIS- JENIS PUTUSAN YANG DIJATUHKAN PENGADILAN TERHADAP SUATU PERKARA PIDANA Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman diserahkan kepada badan- badan peradilan dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa,

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN LINGGA

PEMERINTAH KABUPATEN LINGGA PEMERINTAH KABUPATEN LINGGA PERATURAN DAERAH KABUPATEN LINGGA NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG TATA CARA PENCALONAN, PEMILIHAN, PELANTIKAN DAN PEMBERHENTIAN KEPALA DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa.

BAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Alat bukti berupa keterangan saksi sangatlah lazim digunakan dalam penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi dimaksudkan untuk

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

JURIDICAL ANALYSIS VERDICT IN IMPOSING PUNISHMENT OF NARCOTIC CRIME CAPITAL PUNISHMENT BE IMPRISONMENT IN A CERTAIN TIME

JURIDICAL ANALYSIS VERDICT IN IMPOSING PUNISHMENT OF NARCOTIC CRIME CAPITAL PUNISHMENT BE IMPRISONMENT IN A CERTAIN TIME SKRIPSI ANALISIS YURIDIS PUTUSAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PEMIDANAAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA DARI PIDANA MATI MENJADI PIDANA PENJARA DALAM WAKTU TERTENTU (PUTUSAN MA NOMOR: 45 PK/Pid.Sus/2009) JURIDICAL

Lebih terperinci

Pembuktian penuntut umum dalam perkara tindak pidana korupsi oleh kejaksaan Sukoharjo. Oleh : Surya Abimanyu NIM: E BAB I PENDAHULUAN

Pembuktian penuntut umum dalam perkara tindak pidana korupsi oleh kejaksaan Sukoharjo. Oleh : Surya Abimanyu NIM: E BAB I PENDAHULUAN Pembuktian penuntut umum dalam perkara tindak pidana korupsi oleh kejaksaan Sukoharjo Oleh : Surya Abimanyu NIM: E. 1104073 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebagaimana tercantum dalam Pembukaan

Lebih terperinci

Penulis Adi Budi Raharjo E

Penulis Adi Budi Raharjo E KATA PENGANTAR Puji syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang atas limpahan nikmat-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan hukum (skripsi) dengan judul:

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik

Lebih terperinci

Penulisan Hukum. (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk. Melengkapi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Derajat Sarjana S1

Penulisan Hukum. (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk. Melengkapi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Derajat Sarjana S1 TELAAH PENERAPAN KONSEP KEADILAN RESTORATIF MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN ANAK TERHADAP PENILAIAN PEMBUKTIAN DAN PEMIDANAAN ANAK SEBAGAI TERDAKWA PELAKU PENCURIAN DALAM

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Hak asasi manusia merupakan dasar dari kebebasan manusia yang mengandung

I. PENDAHULUAN. Hak asasi manusia merupakan dasar dari kebebasan manusia yang mengandung I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hak asasi manusia merupakan dasar dari kebebasan manusia yang mengandung pengakuan terhadap harkat dan martabat manusia didalam menemukan kemerdekaan, keadilan dan perdamaian

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

Abstrak. Kata kunci: Peninjauan Kembali, Kehkilafan /Kekeliranan Nyata, Penipuan. Abstract. Keywords:

Abstrak. Kata kunci: Peninjauan Kembali, Kehkilafan /Kekeliranan Nyata, Penipuan. Abstract. Keywords: Abstrak Penelitian hukum ini bertujuan untuk mengetahui kesesuaian alasan terpidana pelaku tindak pidana penipuan dalam mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali dengan dasar adanya suatu kehilafaan hakim

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum Pidana di Indonesia merupakan pedoman yang sangat penting dalam mewujudkan suatu keadilan. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) adalah dasar yang kuat

Lebih terperinci

MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN

MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN POLTABES LOCUSNYA KOTA BESAR KEJAKSAAN NEGERI KOTA PENGADILAN NEGERI PERISTIWA HUKUM PENGADUAN LAPORAN TERTANGKAP TANGAN PENYELIDIKAN, PEYIDIKAN BAP Berdasarkan

Lebih terperinci

dengan aparatnya demi tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan harkat dan martabat manusia. Sejak berlakunya Undang-undang nomor 8 tahun 1981

dengan aparatnya demi tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan harkat dan martabat manusia. Sejak berlakunya Undang-undang nomor 8 tahun 1981 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah merupakan negara hukum yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 bukan berdasarkan atas kekuasaan semata. Indonesia

Lebih terperinci

STUDI KOMPARATIF TENTANG PERANAN NORMATIF KEJAKSAAN KEPOLISIAN DAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK) DALAM UPAYA PENANGANAN TINDAK PIDANA KORUPSI

STUDI KOMPARATIF TENTANG PERANAN NORMATIF KEJAKSAAN KEPOLISIAN DAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK) DALAM UPAYA PENANGANAN TINDAK PIDANA KORUPSI STUDI KOMPARATIF TENTANG PERANAN NORMATIF KEJAKSAAN KEPOLISIAN DAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK) DALAM UPAYA PENANGANAN TINDAK PIDANA KORUPSI SKRIPSI Disusun dan Diajukan untuk Memenuhi Tugas dan

Lebih terperinci

Undang Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang : Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana

Undang Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang : Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana Undang Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang : Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 8 TAHUN 1981 (8/1981) Tanggal : 31 DESEMBER 1981 (JAKARTA) Sumber : LN 1981/76;

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.621, 2015 JAKSA AGUNG. Diversi. Penuntutan. Pelaksanaan. Pedoman. PERATURAN JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER- 006/A/J.A/04/2015 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN DIVERSI

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN (yang telah disahkan dalam Rapat Paripurna DPR tanggal 18 Juli 2006) RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1970 TENTANG KETENTUAN-KETENTUAN POKOK KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1970 TENTANG KETENTUAN-KETENTUAN POKOK KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1970 TENTANG KETENTUAN-KETENTUAN POKOK KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Undang-undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik Indonesia adalah negara

Lebih terperinci

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu ABSTRAK Penahanan sementara merupakan suatu hal yang dipandang

Lebih terperinci

GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN

GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN NOMOR 21 TAHUN 2010 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENYIDIKAN BAGI PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH PROVINSI BANTEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANTEN,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan masyarakat dalam melaksanakan kegiatan sehari-hari. Keadaan

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan masyarakat dalam melaksanakan kegiatan sehari-hari. Keadaan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kehidupan dan kegiatan manusia pada hakikatnya mengandung berbagai hal yang menunjukkan sifat yang hakiki dari kehidupan itu sendiri. Sifat hakiki yang dimaksud disini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Oleh : Baskoro Adi Nugroho NIM. E

BAB I PENDAHULUAN. Oleh : Baskoro Adi Nugroho NIM. E Pelaksanaan peradilan tindak pidana penyalahgunaan senjata api yang dilakukan oleh anggota TNI ( studi kasus di pengadilan militer II 11 Yogyakarta ) Oleh : Baskoro Adi Nugroho NIM. E.0004107 BAB I PENDAHULUAN

Lebih terperinci

Dengan Persetujuan Bersama. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN:

Dengan Persetujuan Bersama. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, : a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

WALIKOTA SEMARANG PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA SEMARANG NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN BANTUAN HUKUM

WALIKOTA SEMARANG PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA SEMARANG NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN BANTUAN HUKUM WALIKOTA SEMARANG PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA SEMARANG NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN BANTUAN HUKUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SEMARANG, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.257, 2014 PERTAHANAN. Hukum. Disiplin. Militer. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5591) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

STANDAR PELAYANAN KEPANITERAAN PIDANA

STANDAR PELAYANAN KEPANITERAAN PIDANA STANDAR PELAYANAN KEPANITERAAN PIDANA 1. PELAYANAN PERSIDANGAN NO. JENIS PELAYANAN DASAR HUKUM 1. Penerimaan Pelimpahan Berkas. Pasal 137 KUHAP PERSYARATAN - Yang melimpahkan harus Jaksa Penuntut Umum

Lebih terperinci