BAB I PENDAHULUAN. Terorisme di dunia bukanlah merupakan hal baru, namun menjadi actual

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. Terorisme di dunia bukanlah merupakan hal baru, namun menjadi actual"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Terorisme di dunia bukanlah merupakan hal baru, namun menjadi actual terutama sejak terjadinya peristiwa World Trade Centre (WTC) di New York, Amerika Serikat pada tanggal 11 September 2001, dikenal sebagai September Kelabu, yang memakan 3000 korban. Serangan dilakukan melalui udara, tidak menggunakan pesawat tempur, melainkan menggunakan pesawat komersil milik perusahaan Amerika sendiri, sehingga tidak tertangkap oleh radar Amerika Serikat. Tiga pesawat komersil milik Amerika Serikat dibajak, dua diantaranya ditabrakkan ke menara kembar Twin Towers World Trade Centre dan gedung Pentagon. Kejadian ini merupakan isu global yang mempengaruhi kebijakan politik seluruh negara-negara di dunia, sehingga menjadi titik tolak persepsi untuk memerangi Terorisme sebagai musuh internasional. Pembunuhan massal tersebut telah mempersatukan dunia melawan Terorisme Internasional. Terlebih lagi dengan diikuti terjadinya Tragedi Bali I, tanggal 12 Oktober 2002 yang merupakan tindakan teror, menimbulkan korban sipil terbesar di dunia, yaitu menewaskan 184 orang dan melukai lebih dari 300 orang.menyadari sedemikian besarnya kerugian yang ditimbulkan oleh suatu tindak Terorisme, serta dampak yang dirasakan secara langsung oleh Indonesia sebagai akibat dari Tragedi Bom Bali I, merupakan kewajiban pemerintah untuk secepatnya mengusut tuntas Tindak Pidana Terorisme itu dengan memidana pelaku dan aktor intelektual dibalik peristiwa tersebut. Hal ini

2 menjadi prioritas utama dalam penegakan hukum. Untuk melakukan pengusutan, diperlukan perangkat hukum yang mengatur tentang Tindak Pidana Terorisme. Menyadari hal ini dan lebih didasarkan pada peraturan yang ada saat ini yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) belum mengatur secara khusus serta tidak cukup memadai untuk memberantas Tindak Pidana Terorisme, Pemerintah Indonesia merasa perlu untuk membentuk Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yaitu dengan menyusun Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) nomor 1 tahun 2002, yang pada tanggal 4 April 2003 disahkan menjadi Undang-Undang dengan nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. 1 Tindakan terorisme pada belakang ini, lebih sering dilakukan dengan cara tindakan peledakan bom yang banyak menelan korban dibanding terorisme melalui cara teror psikis, sekalipun kedua tindakan terorisme merupakan tindakan yang tidak dapat dibenarkan dan menelan korban. Dalam menghadapi ancaman maupun perang melawan terorisme, pemerintah perlu meningkatkan kewaspadaan dengan mengorganisir seluruh kekuatan untuk lebih efektif dan efisien, dan melakukan peningkatan setiap saat serta secara maksimal. Bukan hanya dalam menghadapi ancaman terorisme saja pemerintah harus lebih meningkatkan kewaspadaan, tetapi juga pada penanggulangan dan perlindungan, teutama terhadap korban tindakan terorisme pemerintah berkewajiban untuk memberikan penanggulangan dn perlindungan terorganisir dan secara maksimal, baik kesejahteraan, keamanan 1 tgl 03 februari 2010,jam WIB

3 maupun secara hukum, karena dengan membantu dan merehabilitasi para korban, memperkecil rasa takut (traumatis) masyarakat disamping meningkatkan kewaspadaan dan partisipasi masyarakat dalam melawan terorisme semakin meningkat. Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban manusia serta merupakan sebuah ancaman serius terhadap kemanusiaan dan peradaban manusia serta merupakan sebuah ancaman serius terhadap keutuhan dan kedaulatan suatu Negara. Terorisme pada saat sekarang bukan saja merupakan sesuatu kejahatan local atau nasional, tetapi sudah merupakan suatu kejahatan transnasional bahkan internasional. Terorisme yang sudah menjadi suatu kejahatan yang bersifat internasional, banyak menimbulkan ancaman atau bahaya terhadap keamanan, perdamaian dan sangat merugikan kesejahteraan masyarakat dan bangsa. Tindakan terorisme merupakan suatu tindakan yang terencana, terorganisir dan berlaku dimana saja dan kepada siapa saja. Tindakan teror bisa dilakukan dengan berbagai macam cara sesuai kehendak yang melakukan, yakni teror yang berakibat fisik dan/atau non fisik (psikis). Tindakan teror fisik biasanya berakibat pada fisik (badan) seseorang bahkan sampai pada kematian, seperti pemukulan/pengeroyokan, pembunuhan, peledakan bom dan lainnya. Non fisik (psikis) bisa dilakukan dengan penyebaran isu, ancaman, penyendaraan, menakut-nakuti dan sebagainya. Akibat dari tindakan teror, kondisi korban teror mengakibatkan orang atau kelompok orang menjadi merasa tidak aman dan dalam kondisi rasa takut (traumatis). Selain berakibat pada orang atau kelompok orang, bahkan dapat berdampak/berakibat luas

4 pada kehidupan ekonomi, politik dan kedaulatan suatu Negara. Tindakan terorisme yang sulit terdeteksi dan berdampak sangat besar itu, harus mendapat solusi pencegahan dan penanggulangannya serius baik oleh pemerintah maupun masyarakat. 2 Terorisme yang bersifat internasional merupakan kejahatan yang terorganisasi, sehingga pemerintah dan bangsa Indonesia wajib meningkatkan kewaspadaan dan bekerja sama memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.Pemberantasan tindak pidana terorisme di Indonesia tidak semata-mata merupakan masalah hukum dan penegakan hukum melainkan juga merupakan masalah sosial, budaya, ekonomi yang berkaitan erat dengan masalah ketahanan bangsa sehingga kebijakan dan langkah pencegahan dan pemberantasannyapun ditujukan untuk memelihara keseimbangan dalam kewajiban melindungi kedaulatan negara, hak asasi korban dan saksi, serta hak asasi tersangka/terdakwa. 3 Aksi terorisme dapat dilakukan oleh individu, sekelompok orang atau Negara sebagai alternatif dari pernyataan perang secara terbuka. Negara yang mendukung kekerasan terhadap penduduk sipil menggunakn istilah positif untuk kombatan mereka, misalnya antara lain paramiliter, pejuang kebebasan atau patriot. Kekerasan yang dilakukan oleh kombatan Negara, bagaimanapun lebih diterima dari pada yang dilakukan oleh teroris yang mana tidak mematuhi hukum perang dan karenanya tidak dapat dibenarkan melakukan kekerasan. Negara yang terlibat dalam peperangan juga sering melakukan kekerasan terhadap penduduk sipil dan tidak diberi label sebagai teroris. Lalu kemudian muncul istilah State Terorism, namun 2 Mudzakkir,2008,Pengkajian Hukum tentang Perlindungan Hukum bagi korban Terorisme, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI,Jakarta, hlm _02.htm,diakses tgl 09 Februari 2010,jam 19.45WIB

5 mayoritas membedakan antara kekerasan yang dilakukan oleh negara dengan terorisme, hanyalah sebatas bahwa aksi terorisme dilakukan secara acak, tidak mengenal kompromi, korban bisa saja militer atau sipil, pria, wanita, tua, muda bahkan anak-anak, kaya miskin, siapapun dapat diserang. Kebanyakan dari definisi terorisme yang ada menjelaskan empat macam kriteria, antara lain target, tujuan, motivasi dan legitmasi dari aksi terorisme tersebut. Maka dikatakan secara sederhana bahwa aksi-aksi terorisme dilatarbelakangi oleh motif-motif tertentu seperti motif perang suci, motif ekonomi, motif balas dendam dan motif-motif berdasarkan aliaran kepercayaan tertentu. Patut disadari bahwa terorisme bukan suatu ideologi atau nilai-nilai tertentu dalam ajaran agama. Ia sekedar strategi, instrumen atau alat untuk mencapai tujuan. Oleh karena itu tidak ada terorisme untuk terorisme, kecuali mungkin karena motif-motif kegilaan. 4 Indonesia tergolong negara yang sering menjadi sasaran aksi terorisme. Dapat dilihat, sudah beberapa kali terjadi aksi terorisme yang menewaskan puluhan atau bahkan ratusan nyawa. Pada saat ini, sasaran teroris yang terakhir kali adalah Hotel Ritz Carlton dan JW Marriott. Besar kemungkinan akan ada aksi-aksi berikutnya di masa yang akan datang. Uniknya, pihak yang melancarkan aksi teror ini tidak pernah secara eksplisit menyatakan motif di balik aksi mereka. Hal inilah yang menjadikan pekerjaan pemerintah relatif lebih sulit, sebab untuk menekan potensi terorisme, mau tak mau langkah pertama adalah menemukan alasan di balik aksi tersebut. Setiap aksi terorisme disertai oleh alasan yang kuat, sebab aksi ini disertai dengan pengorbanan materi dan nyawa. Jadi, mustahil bila aksi ini hanya iseng-iseng dari 4 PENCEGAHAN AKSI TERORISME MELALUI PENDEKATAN HUKUM «Politik, Sosial, Budaya Dan Gerakan Mahasiswa.htm,diakses tgl 03 februari 2010,jam 10.35WIB

6 kelompok tertentu.terdapat dua alasan utama yang mendasari munculnya aksi terorisme. Pertama, dorongan ideologi. Maka berwujud pada kebencian terhadap pihak yang menindas kelompok mereka, serta pihak-pihak yang menghalangi usaha mereka untuk mencapai tujuan. Adapun arti ideologi dalam kehidupan mereka, sehingga nyawapun rela dikorbankan guna mencapai tujuan yang diinginkan. Parahnya, gerakan ini bukan hanya berskala nasional, tapi sudah berskala internasional. Misalnya, kebencian Usama Bin Laden, yang mengaku mewakili umat Islam, terhadap Amerika Serikat (AS) mendorongnya untuk mengumandangkan perang bagi apapun dan siapapun yang berbau AS. Perang ini dilancarkan ke seluruh dunia melalui jaringanjaringan yang tersebar di sejumlah negara.bila demikian halnya, maka tugas pemerintah adalah memperketat keamanan, terutama yang menyangkut sasaran aksi terorisme ini. Selain dorongan ideologi, aksi terorisme dapat pula terjadi karena alasan ekonomi. Tekanan ekonomi yang dialami oleh teroris, terutama bagi orang yang melakukan bom bunuh diri, bisa menjadi latar belakang dipilihnya jalan untuk mengakhiri hidup.mengetahui bahwa modus operandi dari aksi-aksi terorisme adalah bom bunuh diri. Orang-orang yang melakukan aksi bom bunuh diri, terlebih dahulu didoktrin dengan ajaran-ajaran yang membenarkan aksi tersebut. Peranan orang yang melakukan bom bunuh diri ini sangatlah penting, sebab merekalah yang berkorban paling besar. Bila jaringan ini tidak bisa merekrut orang-orang yang bersedia melakukan aksi tersebut, niscaya eksistensinya akan lenyap. Namun, alasan ekonomi ini tidak selalu berbentuk tekanan yang dialami oleh pelaku, terutama yang melakukan bunuh diri, melainkan dapat pula berupa kesedihan

7 terhadap masihnya banyak orang-orang yang hidup di bawah garis kemiskinan. Ini dianggap sebagai kegagalan pemerintah, yang menganut sistem ekonomi, yang tampaknya tidak membuat rakyat sejahtera. Latar belakang tersebut merupakan salah satu alasan gerakan teroris berbalik melawan pihak-pihak yang menyebabkan ketertindasan rakyat. Diakui, tidak bisa meredam potensi yang pertama, tapi kita tetap bisa meredam potensi yang kedua. Caranya adalah dengan meningkatkan kesejahteraan rakyat secara keseluruhan. Ini memang menjadi tugas berat pemerintah, untuk mengangkat 32,5 juta rakyat Indonesia yag hidup di bawah garis kemiskinan menuju kehidupan yang layak. Apabila tetap diakui, terorisme belum tentu selesai bila urusan ekonomi sudah terpenuhi, tapi paling tidak salah satu potensinya sudah diminimalkan. 5 Terorisme sebagai suatu fenomena kehidupan, nampaknya tidak dapat begitu saja ditanggulangi dengan kebijakan penal. Hal ini karena, terorisme terkait dengan kepercayaan/ideology, latar belakang pemahaman politik dan pemaknaan atas ketidakadilan sosio-ekonomik baik local maupun internasional. Oleh karena itu, perlu sebuah pendekatan kebijakan criminal yang integral dalam arti baik penal maupun nonpenal sekaligus. Oleh karena itu, tertangkapnya para teroris tersebut maka telah terungkap fakta yang jelas dimana terorisme local telah mempunyai hubungan erat dengan jaringan terorisme global. Timbul kesadaran dan keyakinan kita bahwa perang melawan teroris mengharuskan kita untuk melakukan sinergi upaya secara komprehensif dengan pendekatan multiagency, multi internasional dan multi nasional. Untuk itu perlu ditetapkan suatu 5 terorisme.html,diakses tgl 03 februari 2010,jam WIB

8 strategi nasional dalam rangka perang melawan terorisme. 6 Tujuan skripsi ini bermaksud untuk melakukan penelitian dan menyelesaikan tugas akhir pada Fakultas Hukum dengan judul UPAYA PEMERINTAH MEMINIMALISIR AKSI TERORISME MELALUI PENDEKATAN HUKUM DAN SOSIO-KULTURAL DI INDONESIA. B. PERMASALAHAN Sesuai dengan uraian Latar belakang tersebut diatas, maka permasalahan yang akan dikemukakan adalah: 1. Bagaimana Pengaturan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia. 2. Bagaimana Kebijakan Kriminal terhadap Tindak Pidana Terorisme di Indonesia. 3. Bagaimana Penerapan Hukum dalam Tindak Pidana Terorisme studi putusan No. 2280/Pid. B/2004/PN-Mdn. C. TUJUAN dan MANFAAT PENULISAN Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, maka tujuan penulisan skripsi ini secara singkat adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui pengaturan terorisme menurut berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia ; 2. Untuk mengetahui kebijakan penegak hukum dalam pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. 6 Moch. Faisal Salam, 2005, Motivasi Tindakan Terorisme, Mandar Maju, Bandung, hlm. 2.

9 3. Untuk mengetahui penerapan hukum dalam tindak pidana terorisme. Selanjutnya, penulisan skripsi ini juga diharapkan bermanfaat untuk: 1. Manfaat secara teroritis Penulis berharap penulisan skripsi ini dapat memberikan informasi, kontribusi pemikiran dan menambah khasanah dalam bidang ilmu pengetahuan ilmu hukum pidana. Pada umumnya dan tentang tindak pidana terorisme khususnya. Sehingga diharapkan skripsi ini dapat memperkaya pembendaharaan dan koleksi karya ilmiah yang dengan hal tersebut. 2. Manfaat secara praktis untuk: Secara praktis penulis berharap agar penulisan skripsi ini dapat bermanfaat a. Memberikan kontribusi dalam sosialisasi tentang tindak pidana terorisme kepada masyarakat yang diharapkan dapat meningkat kesadaran akan perannya dalam mencegah dan memberantas tindak pidana terorisme di Indonesia. b. Memberikan kontribusi pemikiran bagi aparat penegak hukum untuk dapat meningkatkan profesionalisme dan melakukan terobosan serta inovasiinovasi dalam upaya penegakan hukum dan pemberantasan tindak pidana terorisme.

10 c. Untuk membantu memberikan pemahaman tentang efektifitas berbagai perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana terorisme agar aparat penegak hukum dan lembaga yang berwenang dapat meningkatkan upaya penerapan undang-undang tersebut lebih efektif. D. KEASLIAN PENULISAN Topik permasalahan yang telah diuraikan sebelumnya sengaja dipilih dan ditulis, oleh karena ketertarikan penulis akan para pelaku terorisme yang menjalani hukumannya didalam Lembaga Pemasyarakatan, namun terorisme tersebut juga merupakan kekerasan terorganisasi yang menempatan kekerasan sebagai kesadaran. Tentu saja hal ini banyak menimbulkan banyak pertanyaan khususnya bagi penulis sendiri dan untuk itu penulis membahas masalah ini dan berusaha untuk menjawab segala pertanyaan dan disusun dalam bentuk skripsi. Berdasarkan informasi yang ada dan dari penelusuran yang dilakukan di kepustakaan, memang banyak judul skripsi yang mengangkat masalah mengenai Terorisme namun belum ada yang membahas kebijakan kriminal dalam mencegah aksi terorisme dalam menindak pelaku terorisme di Indonesia. Dengan demikian tentu saja pembahasannya juga berbeda sehingga dapat dikatakan bahwa skripsi ini dapat dijamin keasliannya dan dapat dipertanggungjawabkan dari segi substansi. E. TINJAUAN KEPUSTAKAAN 1. Pengertian Terorisme

11 Hingga saat ini, defenisi terorisme masih menjadi perdebatan meskipun sudah ada ahli yang merumuskan dan dirumuskan didalam peraturan perundangundangan. Amerika Serikat sendiri yang pertama kali mendeklarasikan Perang melawan teroris belum memberikan defenisi yang yang gamblang dan jelas sehingga semua orang bisa memahami makna sesungguhnya tanpa dilanda keraguan, tidak merasa didiskriminasikan serta dimarjinalkan. Kejelasan defenisi ini diperlukan agar tidak terjadi salah tangkap dan berakibat merugikan kepentingan banyak pihak, disamping demi kepentingan atau target meresponsi hak asasi manusia (HAM) yang seharusnya wajib dihormati oleh semua orang beradab. Kata teroris (pelaku) dan terorisme (aksi) berasal dari kata latin terrere yang kurang lebih berarti membuat gemetar atau menggetarkan. Kata teror juga bisa menimbulkan kengerian. Tentu saja, kengerian dihati dan pikiran korbannya. Akan tetapi, hingga kini tidak ada defenisi terorisme yang bisa diterima secara universal. Pada dasarnya, istilah terorisme merupakan sebuah konsep yang memiliki konotasi yang sangat sensitive karena terorisme menyebabkan terjadinya pembunuhan dan penyengsaraan terhadap orang-orang yang tidak berdosa. Untuk memahami makna terorisme lebih jauh dan mendalam, kiranya perlu dikaji terlebih dahulu terorisme yang dikemukakan baik oleh beberapa lembaga maupun beberapa pakar ahli, yaitu : a. Terorisme Act 2000, UK., Terorisme mengandung arti sebagai penggunaan atau ancaman tindakan, dengan cirri-ciri :

12 1. Aksi yang melibatkan kekerasan serius terhadap seseorang, kerugian berat terhadap harta benda, membahayakan kehidupan seseorang, bukan kehidupan orang yang melakukan tindakan, menciptakan resiko serius bagi kesehatan atau keselamatan publik atau bagi tertentu yang didesain secara serius untuk campur tangan atau menggangu system elektronik; 2. Penggunaan atau ancaman didesain untuk mempengaruhi pemerintah atau untuk mengintimidasi publik atau bagian tertentu dari publik; 3. Penggunaan atau ancaman dibuat dengan tujuan politik, agama, atau ideology; 4. Penggunaan atau ancaman yang masuk dalam subseksi yang melibatkan senjata api dan bahan peledak. b. Menurut Konvensi PBB, Terorisme adalah segala bentuk tindak kejahatan yang ditujukan langsung kepada Negara dengan maksud menciptakan bentuk teror tehadap orang-orang tertntu atau kelompok orang atau masyarakat luas. c. Dalam Kamus Bahasa Indonesia, Terorisme adalah penggunaan kekerasan atau ancaman untuk menurunkan semangat, menakut-nakuti dan menakutkan terutama untuk tujuan politik. d. Dalam UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, bahwa terorisme adalah perbuatan melawan hukum secara sistematis dengan maksud untuk menghancurkan kedaulatan bangsa dan Negara dengan membahayakan bagi badan, nyawa, moral, harta benda dan kemerdekaan orang atau menimbulkan kerusakan umum atau suasana teror atau rasa tacit terhadap orang secara meluas, sehingga terjadi kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis, kebutuhan pokok rakyat, lingkungan hidup, moral, peradaban,

13 rahasia Negara, kebudayaan, pendidikan, perekonomian, teknologi, perindustrian, fasilitas umum, atau fasilitas internasional. 7 Sedangkan berbagai pendapat dan pandangan mengenai pengertian yang berkaitan dengn terorisme diatas dapat ditarik kesimpulan, bahwasanya terorisme adalah kekerasan terorganisir, menempatkan kekerasan sebagai kesadaran, metode berpikir sekaligus alat pencapaian tujuan. Dari berbagai pengertian diatas, menurut pendapat para ahli bahwasanya kegiatan terorisme tidak akan pernah dibenarkan karena ciri utamanya, yaitu : 1. Aksi yang digunakan menggunakan cara kekerasan dan ancaman untuk menciptakan ketakutan publik; 2. Ditujukan kepada Negara, masyarakat atau individu atau kelompok masyarakat tertentu; 3. Memerintah anggota-anggotanya dengan cara teror juga; 4. Melakukan kekerasan dengan maksud untuk mendapat dukungan dengan cara yang sistematis dan terorganisir. Sedangkan terdapat perbedaannya yaitu mengenai tujuan daripada gerakan terorisme bahwasanya ada yang mengecualikan selain dari tindakan pidana politik, tindak pidana yang berkaitan dengan tindak pidana politik, tindak pidana dengan motif politik, dan juga seperti yang ada dalam perpu terorisme yang telah berubah menjadi undang-undang. Dari berbagai pengertian tersebut semua memasukkan apa yang disebut dengan unsure kekerasan. 7 Abdul Wahid, dkk, 2004, Kejahatan Terorisme Perspektif Agama, HAM, dan Hukum, Penerbit PT. Rafika Aditama, Bandung, hlm

14 Teror sendiri memiliki defenisi umum dan hal itu sesuai dengan cirri utama diatas bahwasanya terorisme sebagai kekerasan atau ancaman kekerasan yang dilakukan untuk menciptakan rasa takut dikalangan sasaran, biasanya pemerintahan, kelompok etnis, partai politik dan sebagainya. 2. Karakteristik Terorisme Menurut Loudewijk F. Paulus, karakteristik terorisme ditinjau dari 4(empat) macam pengelompokan yaitu terdiri dari : a. Karakteristik organisasi yang meliputi : organisasi, rekrtmen,pendanaan dan hubungan internasional; b. Karakteristik Operasi yang meliputi : perencanaan, waktu, taktik dan kolusi; c. Karakteristik perilaku yang meliputi : motivasi, dedikasi, disiplin, keinginan membunuh dan keinginan menyerah hidup-hidup; d. Karakteristik sumber daya yang meliputi : latihan/kemampuan, pengalaman perorangan di bidang teknologi, persenjataan, perlengkapan dan transportasi. Motif terorisme, teroris terinspirasi oleh motif yang berbeda. Motif terorisme dapat diklarifikasikan menjadi 3(tiga) katagori yaitu : 1. Rasional; 2. Psikologi; 3. Budaya.

15 Menurut Terrorism Act 2000 UK, bahwasanya terorisme mengandung arti sebagai penggunaan atau ancaman tindakan dengan cirri-ciri yaitu: a. Aksi yang melibatkan kekeasan serius terhadap seseorang, kerugian berat terhadap harta benda, membahayakan kehidupan seseorang, bukan kehidupan orang yang melakukan tindakan, menciptakan resiko serius bagi kesehatan atau keselamatan publiktertentu bagi publik atau didesain secara serius untuk campur tangan atau menggangu system elektronik; b. Penggunaan atau ancaman didesain untuk mempengaruhi pemerintah atau untuk mengintimidasi publik atau bagian tertentu dari publik; c. Penggunaan atau ancaman dibuat dengan tujuan politik, agama atau ideology; d. Penggunaan atau ancaman yang masuk dalam subseksi yang melibatkan senjata api dan bahan peledak. Menurut Wilkinson Tipologi terorisme ada beberapa macam antara lain: a. Terorisme Epifenomenal ( teror dari bawah ) dengan cirri-ciri tak rencana rapi, terjadi dalam kontek perjuangan yang sengit; b. Terorisme Revolusioner ( teror dari bawah ) yang bertujuan revolusi atau perubahan radikal atas system yang ada dengan konspirasi, elemen para militer; c. Terorisme Sybrevolusioner ( teror dari bawah ) yang bermotifkan politis, menekan pemerintah untuk mengubah kebijakan atau hukum, perang politis dengan kelompok rival, menyingkirkan pejabat tertentu yang mempunyai ciriciri dilakukan oleh kelompok kecil, bisa juga individu, sulit diprediksi, kadang sulit dibedakan apakah psikopatologis atau criminal;

16 d. Terorisme Represif ( teror dari atas/terorisme Negara ) yang bermotifkan menindas individu atau kelompok yang tak dikehendaki oleh penindas dengan cara likuidasi dengan cirri-ciri berkembang menjadi teror massa, ada aparat teror, polisi rahasia, teknik penganiayaan, peyebaran rasa kecurigaan dikalangan rakyat, wahana untuk paranoia pemimpin. Menurut pendapat James H. Wolfe menyebutkan beberapa karakteristik terorisme sebagai berikut: a. Terorisme dapat didasarkan pada motivasi yang bersifat politis maupun nonpolitis; b. Sasaran yang menjadi objek aksi terorisme bisa sasaran sipil (supermarket, mall, sekolah, tempat ibadah, rumah sakit dan fasilitas umum lainnya) maupun sasaran non-sipil (fasilitas militer, kamp militer) c. Aksi terorisme dapat ditujukan untuk mengintimidasi atau mempengaruhi kebijakan pemerintah Negara; d. Aksi terorisme dilakukan melalui tindakan yang tidak menghormati hukum internasional atau etika internasional. 8 Kalau melihat ciri-ciri terorisme yang terdapat undang-undang pemberantasan tindak pidana terorisme pasal 6 adalah bahwa suatu perbuatan yang dilakukan dengan sengaja menggunakan kekeerasan atau ancaman kekeerasan menimbul suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersiifat masssal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya 8 Ibid.

17 nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional. 3. Bentuk-Bentuk Terorisme Ada beberapa bentuk terorisme yang dikenal, yang perlu kita bahas dari bentuk itu antara lain teror criminal dan teror politik. Kalau mengenai teror criminal biasanya hanya untuk kepentingan pribadi atau memperkaya diri sendiri. Teroris criminal bisa menggunakan cara pemerasan dan intimidasi. Mereka menggunakan kata-kata yang dapat menimbulkan ketakutan atau teror psikis. Lain halnya dengan teror politik bahwasanya teror politik tidak memilih-milih korban. Teroris politik selalu siap melakukan pembunuhan terhadap orang-orang sipil: laki-laki, perempuan, dewasa atau anak-anak dengan tanpa mempertimbangkan penilaian politik atau moral, teror politik adalah suatu fenomena social yang penting. Sedangkan terorisme politik memiliki karakteristik sebagai berikut: a. Merupakan intimidasi koersif; b. Memakai pembunuhan dan destruktif secara sistematis sebagai sarana untuk tujuan tertentu; c. Korban bukan tujuan, melainkan sarana untuk menciptakan perang urat syaraf, yakni bunuh satu orang untuk menakuti seribu orang ; d. Target aksi teror dipilih, bekerja secara rahasia, namun tujuannya adalah publisitas;

18 e. Pesan aksi itu cukup jelas, meski pelaku tidak selalu menyatakan diri secara personal; f. Para pelaku kebanyakan dimotivasi oleh idealism yang cukup keras, misalnya berjuang demi agama dan kemanusiaan, maka hard-core kelompok teror adalah fanatikus yang siap mati (Juliet Lodge, 1988:49). Kalau dilihat dari sejarahnya maka, tipologi terorisme terdiri dari beberapa bentuk yaitu: 1. Terdiri atas pembunuhan politik terhadap pejabat pemerintah itu terjadi sebelum perang dunia II; 2. Terorisme dimulai di Al-jazair ditahun limapuluhan, dilakukan oleh FLN yang mempopulerkan serangan yang bersifat acak terhadap masyarakat sipil yang tidak berdosa; 3. Terorisme muncul pada tahun enampuluhan dan terkenal dengan istilah terorisme media, berupa serangan acak atau random terhadap siapa saja dengan tujuan publisitas. Mengenai tipologi terorisme, terdapat sejumlah versi penjelasan, di antaranya tipologi yang dirumuskan oleh National Advisory Committee (komisi kejahatan nasional Amerika) dalam The Report of the Task Force of the on Disorders and Terrorism, yang mengemukakan sebagai berikut, ada beberapa bentuk terorisme yaitu:

19 1. Terorisme Politik yaitu perilaku kekerasan criminal yang dirancang guna menumbuhkan rasa ketakutan di kalangan masyarakat demi kepentingan politik; 2. Terorisme nonpolitis yakni mencoba menumbuhkan rasa ketakutan dengan cara kekerasan, demi kepentingan pribadi, misalnya kejahatan terorganisasi; 3. Quasi terorisme, digambarkan dengan dilakukan secara incidental, namun tidak memiliki muatan ideology tertentu, lebih untuk tujuan pembayaran contohnya dalam kasus pembajakan pesawat udara atau penyanderaan dimana para pelaku lebih tertarik kepada uang tebusan daripada motivasi politik; 4. Terorisme politik terbatas, diartikan sebagai teroris, yang memiliki motif politik dan ideology, namun lebih ditujukan dalam mengendalikan keadaan (Negara). Contohnya adalah perbuatan teroris yang bersifat pembunuhan balas dendam (vadetta-type executions); 5. Terorisme Negara atau pemerintahan yakni suatu Negara atau pemerintahan, yang mendasarkan kekuasaannya dengan ketakutan dan penindasan dalam mengendalikan masyarakatnya. 9 Terorisme yang dilakukan oleh Negara merupakan salah satu bentuk kejahatan yang tergolong sangat istimewa. Sebab Negara adalah suatu organisasi besar yang dipilari oleh kekuatan rakyat, namun disisi lain punya kewajiban mengatur, melindungi, dan menyejahterakan kehidupan rakyat secara material maupun non material. Tatkala Negara itu, melalui pejabat pemerintahannya terlibat dalam 9 Ibid.

20 tindakan criminal secara vertical, horizontal, regional, nasional maupun internasional, maka otomatis rakyatlah yang dikorbankan Motif dilakukannya Terorisme Tindak pidana terorisme merupakan tindak pidana yang unik, karena motif dan factor penyebab dilakukannya tindak pidana ini sangat berbeda dengan motif-motif dari tindak pidana lain. Tidak jarang, tindak pidana terorisme dilakukan berdasarkan motif-motif tertentu yang patut dihormati. A.C. Manullang menyatakan bahwa pemicu terorisme antara lain adalah pertentangan agama, ideology dan etnis serta makin melebar jurang pemisah antara kaya-miskin. Salah satu pemicu dilakukannya terorisme adalah kemiskinan dan kelaparan. Rasa takut akan kelaparan dan kemiskinan yang ekstrim akan mudah menyulut terjadinya aksi-aksi kekerasan dan konflik, yang juga merupakan lahar subur bagi gerakan terorisme.terorisme dan gerakan-gerakan radikal juga terjadi pada Negara-negara maju dan kaya. Ketidakpuasan atau sikap berbeda akibat kecemburuan social yang terus hadir dan berkembang antara kelompok yang dominan dan kelompok minoritas dan terpinggirkan (dinegara maju), serta mengalami marginalisasi secara kontinyu dalam jangka panjang akibat kebijakan pemerintah pusat, terlebih lagi karena kebijakan multilateral yang membuat kelompok marginal tersebut tidak dapat lagi mentoleransi keadaan tersebut melalui jalur-jalur formal dan legal, memotivasi mereka secara lebih kuat lagi untuk mengambil jalur alternative melalui aksi kekerasan. 10 Ibid.

21 Di samping itu, dengan mengingat latar belakang factor dan motif yang mendorong dilakukannya tindak pidana terorisme, yang notabene berbeda dengan pelaku-pelaku kejahatan konvensional, maka kebijakan legislasi perlu memperhatikan covering both side antara sisi pelaku dan korban dalam perumusan kebijakan kriminalnya. Penanggulangan terorisme akan lebih baik, apabila sebelum langkah penal ditempuh, diupayakan dahulu langkah-langkah alternative nonpenal lainnya. Andaikan saja langkah penal memang harus ditempuh, artinya diadakan kriminalisasi terhadap perbuatan terorisme sebagaimana tertuang dalam undangundang terorisme, haruslah senantiasa diadakan pertimbangan dan kajian yang lebih masak, dan komprehensif. Terorisme lebih sering dilakukan karena adanya motifmotif yang patut dihormati. Tidak jarang terorisme terkait dengan tindak pidana politik, tindak pidana dengan motif politik atau tindak pidana dengan tujuan politik (meskipun latarbelakang ini tidak diakui oleh undang-undang terorisme). 11 F. METODE PENELITIAN 1. Sifat dan bentuk penelitian Penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum normative. Langkah pertama dilakukan penelitian hukum normative yang mempergunakan data sekunder yang diperoleh dari berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan terorisme dan berbagai literature yang berkaitan dengan permasalahan dalam skripsi ini. Penulis bertujuan menemukan landasan hukum yang jelas dalam meletakkan 11 Ibid.

22 persoalan ini dalam perspektif hukum pidana khususnya yang terkait dengan kebijakan kriminal dalam mencegah aksi terorisme dalam menindak pelaku terorisme di Indonesia. 2. Data dan Sumber Data Data yang digunakan adalah data sekunder yang diperoleh dari: a. Bahan hukum primer yaitu semua dokumen peraturan yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak-pihak yang berwenang yakni berupa KUHP, Undangundang dan peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan permasalahan ini. b. Bahan hukum sekunder yaitu semua dokumen yang merupakan informasi atau hasil kajian tentang kejahatan yang berkaitan dengan tindak pidana terorisme, seperti majalah-majalah, karya tulis ilmiah tentang kejahatan yang berkaitan dengan tindak pidana terorisme dan beberapa sumber dari situs internet yang berkaitan dengan persoalan diatas. c. Bahan hukum tersier yaitu semua dokumen yang berisi konsep-konsep dan keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus, ensiklopedia, bibliografi dan lain-lain. 3. Teknik Pengumpulan Data Untuk memperoleh suatu kebenaran ilmiah dalam penulisan skripsi, maka penulis menggunakan metode pengumpulan data dengan cara studi kepustakaan (library research) yaitu mempelajari dan menganalisa secara sistematis buku-buku,

23 majalah-majalah, surat kabar, internet, peraturan perundang-undangan dan bahanbahan lain yang berhubungan dengan materi yang dibahas dalam skripsi ini. 4. Analisa Data Data sekunder yang telah diperoleh kemudian dianalisa secara kualitatif yaitu data yang diperoleh kemudian disusun secara sistematis dan selanjujtnya dianalisa secara kualitatif untuk mencapai kejelasan masalah yang akan di bahas. G. SISTEMATIKA PENULISAN Dalam penulisan skripsi ini akan dibagi menjadi 5 (lima) BAB yaitu: BAB I. PENDAHULUAN Pada bab ini merupakan bab pendahuluan yang menguraikan mengenai halhal yang berkaitan degan latarbelakang, perumusan masalah, keaslian penulisan, tujuan dan manfaat penulisan, tinjauan kepustakaan mengenai pengertian terorisme, karakteristik terorisme, bentuk-bentuk terorisme dan motif dilakukannya terorisme dan dakhiri dengan metode penelitian dan sistematika penulisan. BAB II. PENGATURAN TINDAK PIDANA TERORISME DI INDONESIA Bab ini akan membahas mengenai sejarah pengaturan tindak pidana terorisme di Indonesia dan tinjauan yuridis terhadap pengaturan tindak pidana terorisme di Indonesia yaitu tindak pidana terorisme, pertanggungjawaban tindak pidana dan sanksi pidana.

24 BAB III. KEBIJAKAN KRIMINAL DALAM TINDAK PIDANA TERORISME DI INDONESIA Bab ini akan membahas mengenai kebijakan hukum pidana (penal policy) dan kebijakan non penal (non penal policy). BAB IV. PENERAPAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA TERORISME STUDI PUTUSAN NO. 2280/Pid. B/2004/PN-Mdn. Bab ini akan membahas mengenai putusan no. 2280/Pid. B/2004/PN-Mdn yaitu kronologis, dakwaan, fakta hukum dan analisa kasus. BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN Bab ini merupakan bab penutup yang berisikan penyimpulan dari seluruh babbab yang terdapat dalam penulisan skripsi ini sebagai jawaban dari permasalahan dan kemudian dibuat saran-saran yang merupakan sumbangan pemikiran penulis terhadap permasalahan yang telah yang dikemukakan dalam skripsi ini. BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA TERORISME DI INDONESIA A. Sejarah Pengaturan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia Terorisme sesungguhnya bukanlah fenomena baru karena terorisme telah ada sejak abad ke- 19 dalam peraturan politik internasional. Terorisme pada awalnya bersifat kecil dan local dengan sasaran terpilih dan berada dalam kerangka low

BAB I PENDAHULUAN. terutama sejak terjadinya peristiwa World Trade Centre (WTC) di New York,

BAB I PENDAHULUAN. terutama sejak terjadinya peristiwa World Trade Centre (WTC) di New York, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Terorisme di dunia bukanlah merupakan hal baru, namun menjadi aktual terutama sejak terjadinya peristiwa World Trade Centre (WTC) di New York, Amerika Serikat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. serta kerugian harta benda, sehingga menimbulkan pengaruh yang tidak. hubungan Indonesia dengan dunia Internasional.

I. PENDAHULUAN. serta kerugian harta benda, sehingga menimbulkan pengaruh yang tidak. hubungan Indonesia dengan dunia Internasional. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Peristiwa pengeboman yang terjadi di Wilayah Negara Republik Indonesia telah menimbulkan rasa takut masyarakat secara luas. Mengakibatkan hilangnya nyawa serta

Lebih terperinci

BAB II KETENTUAN UMUM TENTANG TERORISME

BAB II KETENTUAN UMUM TENTANG TERORISME BAB II KETENTUAN UMUM TENTANG TERORISME A. Pengertian Terorisme Pengertian dan definisi mengenai terorisme sampai sekarang masih menjadi perdebatan meskipun sudah ada ahli yang merumuskan dan juga dirumuskan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Terorisme merupakan suatu tindak kejahatan luar biasa yang menjadi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Terorisme merupakan suatu tindak kejahatan luar biasa yang menjadi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Terorisme merupakan suatu tindak kejahatan luar biasa yang menjadi perhatian dunia dewasa ini. Bukan sekedar aksi teror semata, namun pada kenyataannya tindak

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kelompok-kelompok kelas menengah ke bawah, lebih banyak didorong oleh

I. PENDAHULUAN. kelompok-kelompok kelas menengah ke bawah, lebih banyak didorong oleh I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seluruh masyarakat yang ada di dunia ini sebenarnya mendambakan dan membutuhkan kedamaian, kecukupan dan kemakmuran. Namun, seringkali yang diperoleh adalah sebaliknya,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diperbincangkan dan dilansir media massa di seluruh dunia saat ini. Definisi terorisme

BAB I PENDAHULUAN. diperbincangkan dan dilansir media massa di seluruh dunia saat ini. Definisi terorisme BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Terorisme adalah kata dengan beragam interpretasi yang paling banyak diperbincangkan dan dilansir media massa di seluruh dunia saat ini. Definisi terorisme sampai saat

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2003 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kejahatan terorisme sudah menjadi fenomena internasional, melihat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kejahatan terorisme sudah menjadi fenomena internasional, melihat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kejahatan terorisme sudah menjadi fenomena internasional, melihat dari aksi-aksi teror yang terjadi dewasa ini seolah-olah memberi gambaran bahwa kejahatan

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN UMUM TINDAK PIDANA TERORISME

BAB III TINJAUAN UMUM TINDAK PIDANA TERORISME BAB III TINJAUAN UMUM TINDAK PIDANA TERORISME A. Pengertian Tindak Pidana Terorisme 1. Pengertian Tindak Pidana Istilah tindak pidana merupakan istilah teknis-yuridis yang berasal dari terjemahan delict

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2003 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan (Crime Against

I. PENDAHULUAN. Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan (Crime Against I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan (Crime Against Humanity), serta merupakan ancaman serius terhadap kedaulatan setiap negara karena terorisme sudah merupakan

Lebih terperinci

BAB 6 PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN TERORISME

BAB 6 PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN TERORISME BAB 6 PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN TERORISME I. PERMASALAHAN YANG DIHADAPI Peran Pemerintah dan masyarakat untuk mencegah dan menanggulangi terorisme sudah menunjukan keberhasilan yang cukup berarti,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Berawal dari aksi teror dalam bentuk bom yang meledak di Bali pada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Berawal dari aksi teror dalam bentuk bom yang meledak di Bali pada 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berawal dari aksi teror dalam bentuk bom yang meledak di Bali pada tanggal 12 oktober 2002 hingga bom yang meledak di JW Marriott dan Ritz- Carlton Jumat pagi

Lebih terperinci

PENGARUH AIPAC TERHADAP KEBIJAKAN AMERIKA SERIKAT PASCA PERISTIWA 11 SEPTEMBER 2001

PENGARUH AIPAC TERHADAP KEBIJAKAN AMERIKA SERIKAT PASCA PERISTIWA 11 SEPTEMBER 2001 PENGARUH AIPAC TERHADAP KEBIJAKAN AMERIKA SERIKAT PASCA PERISTIWA 11 SEPTEMBER 2001 Oleh: Muh. Miftachun Niam (08430008) Natashia Cecillia Angelina (09430028) ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. 1. Akibat yang ditimbulkan oleh tindak pidana terorisme antara lain:

BAB III PENUTUP. 1. Akibat yang ditimbulkan oleh tindak pidana terorisme antara lain: BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Akibat yang ditimbulkan oleh tindak pidana terorisme antara lain:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kepada bukan hanya kepentingan domestic tetapi juga kepentingan

BAB I PENDAHULUAN. kepada bukan hanya kepentingan domestic tetapi juga kepentingan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Rangkaian tindak pidana terorisme di Indonesia telah memakan korban jiwa dan ratusan orang luka-luka, termasuk kasus bom Bali tahun 2002 yang lalu. Wilayah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENDANAAN TERORISME,

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME UMUM Sejalan dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENDANAAN TERORISME,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME [LN 2002/106, TLN 4232]

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME [LN 2002/106, TLN 4232] PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME [LN 2002/106, TLN 4232] BAB III TINDAK PIDANA TERORISME Pasal 6 Setiap orang yang dengan sengaja

Lebih terperinci

UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan

UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan PENJELASAN ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam mewujudkan tujuan

Lebih terperinci

PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENDANAAN TERORISME

PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENDANAAN TERORISME PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENDANAAN TERORISME I. UMUM Sejalan dengan tujuan nasional Negara Republik Indonesia sebagaimana

Lebih terperinci

LEONARD PITJUMARFOR, 2015 PELATIHAN PEMUDA PELOPOR DALAM MENINGKATKAN WAWASAN KESANAN PEMUDA DI DAERAH RAWAN KONFLIK

LEONARD PITJUMARFOR, 2015 PELATIHAN PEMUDA PELOPOR DALAM MENINGKATKAN WAWASAN KESANAN PEMUDA DI DAERAH RAWAN KONFLIK BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Indonesia dalam interaksi berbangsa dan bernegara terbagi atas lapisanlapisan sosial tertentu. Lapisan-lapisan tersebut terbentuk dengan sendirinya sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kemajuan zaman yang semakin pesat membuat orang dapat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kemajuan zaman yang semakin pesat membuat orang dapat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kemajuan zaman yang semakin pesat membuat orang dapat berpindah dengan cepat dari satu tempat ketempat lain dan dari kemajuan zaman tersebut dapat mempengaruhi proses

Lebih terperinci

HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL KONFLIK BERSENJATA NON-INTERNASIONAL

HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL KONFLIK BERSENJATA NON-INTERNASIONAL HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL KONFLIK BERSENJATA NON-INTERNASIONAL Malahayati Kapita Selekta Hukum Internasional October 10, 2015 Kata Pengantar Syukur Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang telah

Lebih terperinci

JURNAL ILMIAH. Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat guna menempuh Sidang Ujian Sarjana dan meraih gelar Sarjana Hukum

JURNAL ILMIAH. Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat guna menempuh Sidang Ujian Sarjana dan meraih gelar Sarjana Hukum JURNAL ILMIAH KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP AKTIVITAS CYBERTERRORISM DI INDONESIA DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NO.15 TAHUN 2003 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME Diajukan untuk memenuhi

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN OLEH TERORIS,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Konflik bersenjata atau dalam bahasa asing disebut sebagai armed conflict

BAB I PENDAHULUAN. Konflik bersenjata atau dalam bahasa asing disebut sebagai armed conflict BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konflik bersenjata atau dalam bahasa asing disebut sebagai armed conflict merupakan suatu keadaan yang tidak asing lagi di mata dunia internasional. Dalam kurun waktu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat mengatasi atau mewaspadai segala bentuk perubahan sosial atau kebudayaan.

BAB I PENDAHULUAN. dapat mengatasi atau mewaspadai segala bentuk perubahan sosial atau kebudayaan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum sebagai alat kontrol sosial dalam kehidupan masyarakat dituntut untuk dapat mengatasi atau mewaspadai segala bentuk perubahan sosial atau kebudayaan. Meskipun

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2003 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : NOMOR 2 TAHUN 2002 PEMBERLAKUAN NOMOR 1 TAHUN 2002 PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME, PADA PERISTIWA PELEDAKAN BOM DI BALI TANGGAL 12 OKTOBER 2002 Menimbang : Mengingat : Menetapkan : PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat mengakibatkan perubahan kondisi sosial

I. PENDAHULUAN. kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat mengakibatkan perubahan kondisi sosial I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia adalah salah satu negara berkembang yang sedang mengalami proses pembangunan. Proses pembangunan tersebut dapat menimbulkan dampak sosial positif yaitu

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2003 PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002 PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME, MENJADI UNDANG-UNDANG DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BAB 5 PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN TERORISME

BAB 5 PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN TERORISME BAB 5 PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN TERORISME BAB 5 PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN TERORISME A. KONDISI UMUM Keterlibatan dalam pergaulan internasional dan pengaruh dari arus globalisasi dunia, menjadikan

Lebih terperinci

BAB 5 PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN TERORISME

BAB 5 PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN TERORISME BAB 5 PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN TERORISME A. KONDISI UMUM Keterlibatan dalam pergaulan internasional dan pengaruh dari arus globalisasi dunia, menjadikan Indonesia secara langsung maupun tidak langsung

Lebih terperinci

I. UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan

I. UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

"PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEREMPUANSEBAGAI KORBAN TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DI KABUPATEN LUWU TIMUR" BAB I PENDAHULUAN

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEREMPUANSEBAGAI KORBAN TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DI KABUPATEN LUWU TIMUR BAB I PENDAHULUAN "PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEREMPUANSEBAGAI KORBAN TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DI KABUPATEN LUWU TIMUR" BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini kemajuan dalam penegakan hukum mendapatkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. juga dapat menyengsarakan dan menghancurkan suatu negara. Dampak korupsi bagi negara-negara dengan kasus korupsi berbeda-beda bentuk,

I. PENDAHULUAN. juga dapat menyengsarakan dan menghancurkan suatu negara. Dampak korupsi bagi negara-negara dengan kasus korupsi berbeda-beda bentuk, 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Korupsi dewasa ini sudah semakin berkembang baik dilihat dari jenis, pelaku maupun dari modus operandinya. Masalah korupsi bukan hanya menjadi masalah nasional

Lebih terperinci

Telah menyetujui sebagai berikut: Pasal 1. Untuk tujuan Konvensi ini:

Telah menyetujui sebagai berikut: Pasal 1. Untuk tujuan Konvensi ini: LAMPIRAN II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita

BAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap anak adalah bagian dari penerus generasi muda yang merupakan faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita perjuangan bangsa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bertransformasi dalam bentuk-bentuk yang semakin canggih dan

BAB I PENDAHULUAN. bertransformasi dalam bentuk-bentuk yang semakin canggih dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan peradaban dunia selalu membawa perubahan dalam setiap sendi kehidupan tampak lebih nyata. Seiring dengan itu pula bentukbentuk kejahatan juga senantiasa

Lebih terperinci

yang tersendiri yang terpisah dari Peradilan umum. 1

yang tersendiri yang terpisah dari Peradilan umum. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menurut Undang-undang Dasar 1945 Pasal 25A Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT PANJA KOMISI III DPR-RI DENGAN KEPALA BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL (BPHN) DALAM RANGKA PEMBAHASAN DIM RUU TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA ---------------------------------------------------

Lebih terperinci

RGS Mitra 1 of 22 PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME

RGS Mitra 1 of 22 PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME RGS Mitra 1 of 22 PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor /PUU-VII/2009 Tentang UU Tindak Pidana Terorisme Tindak pidana terorisme

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor /PUU-VII/2009 Tentang UU Tindak Pidana Terorisme Tindak pidana terorisme RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor /PUU-VII/2009 Tentang UU Tindak Pidana Terorisme Tindak pidana terorisme I. PARA PEMOHON 1. Umar Abduh; 2. Haris Rusly; 3. John Helmi Mempi; 4. Hartsa Mashirul

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tercatat 673 kasus terjadi, naik dari tahun 2011, yakni 480 kasus. 1

BAB I PENDAHULUAN. Tercatat 673 kasus terjadi, naik dari tahun 2011, yakni 480 kasus. 1 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini perdagangan terhadap orang di Indonesia dari tahun ke tahun jumlahnya semakin meningkat dan sudah mencapai taraf memprihatinkan. Bertambah maraknya

Lebih terperinci

I.PENDAHULUAN. Fenomena yang aktual saat ini yang dialami negara-negara yang sedang

I.PENDAHULUAN. Fenomena yang aktual saat ini yang dialami negara-negara yang sedang I.PENDAHULUAN A. Latar Belakang Fenomena yang aktual saat ini yang dialami negara-negara yang sedang berkembang maupun negara maju sekalipun yaitu pencapaian kemajuan di bidang ekonomi dan ilmu pengetahuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap Negara dapat dipastikan harus selalu ada kekuatan militer untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap Negara dapat dipastikan harus selalu ada kekuatan militer untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap Negara dapat dipastikan harus selalu ada kekuatan militer untuk mendukung dan mempertahankan kesatuan, persatuan dan kedaulatan sebuah negara. Seperti

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT PANJA KOMISI III DPR-RI DENGAN KEPALA BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL (BPHN) DALAM RANGKA PEMBAHASAN DIM RUU TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA ---------------------------------------------------

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam mewujudkan tujuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kekerasan. Tindak kekerasan merupakan suatu tindakan kejahatan yang. yang berlaku terutama norma hukum pidana.

BAB I PENDAHULUAN. kekerasan. Tindak kekerasan merupakan suatu tindakan kejahatan yang. yang berlaku terutama norma hukum pidana. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan globalisasi dan kemajuan teknologi yang terjadi dewasa ini telah menimbulkan dampak yang luas terhadap berbagai bidang kehidupan, khususnya di bidang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. seluruh masyarakat untuk meningkatkan mutu kehidupannya, sebagaimana yang

I. PENDAHULUAN. seluruh masyarakat untuk meningkatkan mutu kehidupannya, sebagaimana yang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kondisi ketentraman dan rasa aman merupakan suatu kebutuhan mendasar bagi seluruh masyarakat untuk meningkatkan mutu kehidupannya, sebagaimana yang tertuang dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang memiliki peranan strategis dan mempunyai ciri-ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan pengarahan dalam rangka menjamin

BAB I PENDAHULUAN. yang memiliki peranan strategis dan mempunyai ciri-ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan pengarahan dalam rangka menjamin BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak adalah bagian generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa, yang memiliki peranan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masing-masing wilayah negara, contohnya di Indonesia. Indonesia memiliki Hukum

I. PENDAHULUAN. masing-masing wilayah negara, contohnya di Indonesia. Indonesia memiliki Hukum I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pidana denda merupakan salah satu jenis pidana yang telah lama diterima dan diterapkan dalam sistem hukum di berbagai negara dan bangsa di dunia. Akan tetapi, pengaturan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pemeluk agama Islam di Amerika Serikat merupakan percampuran dari beberapa kelompok etnis, bahasa, serta ideologi, baik penduduk asli Amerika Serikat, ataupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diperlukan suatu aturan hukum tertulis yang disebut pidana. Adapun dapat ditarik kesimpulan tujuan pidana adalah: 2

BAB I PENDAHULUAN. diperlukan suatu aturan hukum tertulis yang disebut pidana. Adapun dapat ditarik kesimpulan tujuan pidana adalah: 2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menurut Pasal 372 KUHP tindak pidana penggelapan adalah barang siapa dengan sengaja dan dengan melawan hukum memiliki barang yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA I. UMUM Dalam kehidupan bernegara, aspek pertahanan merupakan faktor yang sangat hakiki dalam menjamin kelangsungan

Lebih terperinci

BAB III PENGANIAYAAN YANG BERAKIBAT LUKA BERAT DALAM KUHP

BAB III PENGANIAYAAN YANG BERAKIBAT LUKA BERAT DALAM KUHP 40 BAB III PENGANIAYAAN YANG BERAKIBAT LUKA BERAT DALAM KUHP 1. Pengertian Penganiayaan yang berakibat luka berat Dalam Undang-Undang tidak memberikan perumusan apa yang dinamakan penganiayaan. Namun menurut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tujuan dari pidana itu adalah untuk mencegah timbulnya kejahatan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tujuan dari pidana itu adalah untuk mencegah timbulnya kejahatan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tujuan dari pidana itu adalah untuk mencegah timbulnya kejahatan dan pelanggaran. Sejarah hukum pidana mengungkapkan bahwa pada masa lampau terdapat sikap

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Anak adalah amanat sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa

I. PENDAHULUAN. Anak adalah amanat sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak adalah amanat sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa harus kita jaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang

Lebih terperinci

BAB IV PENUTUP. Hal itu dikarenakan kemunculannya dalam isu internasional belum begitu lama,

BAB IV PENUTUP. Hal itu dikarenakan kemunculannya dalam isu internasional belum begitu lama, BAB IV PENUTUP 4.1 Kesimpulan Dalam sejarah terorisme di abad ke-20, dikenal sebuah kelompok teroris yang cukup fenomenal dengan nama Al Qaeda. Kelompok yang didirikan Osama bin Laden dengan beberapa rekannya

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA TERORISME YANG DILAKUKAN OLEH ANAK A. PENGATURAN TINDAK PIDANA TERORISME DI INDONESIA

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA TERORISME YANG DILAKUKAN OLEH ANAK A. PENGATURAN TINDAK PIDANA TERORISME DI INDONESIA BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA TERORISME YANG DILAKUKAN OLEH ANAK A. PENGATURAN TINDAK PIDANA TERORISME DI INDONESIA 1. Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme a.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dilakukan oleh sekelompok atau suatu rumpun masyarakat. Kata tawuran

BAB I PENDAHULUAN. dilakukan oleh sekelompok atau suatu rumpun masyarakat. Kata tawuran BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tawuran merupakan suatu perkelahian atau tindak kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok atau suatu rumpun masyarakat. Kata tawuran sepertinya bagi masyarakat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang

I. PENDAHULUAN. Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang siapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. termasuk kategori kejahatan kemanusiaan (crime of humanity),apalagi

BAB I PENDAHULUAN. termasuk kategori kejahatan kemanusiaan (crime of humanity),apalagi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Terorisme merupakan suatu tindak pidana yang sangat serius ditangani oleh pemerintah,bahkan oleh dunia internasional. Aksi terorisme yang terjadi selalu menimbulkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul. Pidana Penjara Seumur Hidup (selanjutnya disebut pidana seumur hidup)

BAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul. Pidana Penjara Seumur Hidup (selanjutnya disebut pidana seumur hidup) BAB I PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Judul Pidana Penjara Seumur Hidup (selanjutnya disebut pidana seumur hidup) merupakan bagian dari pidana pokok dalam jenis-jenis pidana sebagaimana diatur pada Pasal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sehari-hari, baik di lingkup domestik (rumah tangga) maupun publik.

BAB I PENDAHULUAN. sehari-hari, baik di lingkup domestik (rumah tangga) maupun publik. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kekerasan berbasis gender merupakan fenomena sosial yang ada sejak jaman dahulu dan semakin marak akhir-akhir ini. Bahkan kekerasan berbasis gender, semakin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia berdasarkan hukum (Rechstaat), tidak berdasarkan atas

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia berdasarkan hukum (Rechstaat), tidak berdasarkan atas BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia merupakan mahkluk sosial yang artinya manusia tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup sendiri. Setiap orang memiliki kebutuhan yang berbeda, dalam memenuhi

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No. 5514 PENGESAHAN. Perjanjian. Republik Indonesia - Republik India. Bantuan Hukum Timbal Balik. Pidana. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara hukum ( rechtsstaat) dan bukan

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara hukum ( rechtsstaat) dan bukan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara hukum ( rechtsstaat) dan bukan sebagai negara yang berdasarkan atas kekuasaan ( machtsstaat). Tidak ada institusi

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. VI/No. 8/Okt/2017. Kata kunci: Tindak Pidana, Pendanaan, Terorisme.

Lex Crimen Vol. VI/No. 8/Okt/2017. Kata kunci: Tindak Pidana, Pendanaan, Terorisme. TINDAK PIDANA PENDANAAN TERORISME DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 9 TAHUN 2013 SEBAGAI TINDAK PIDANA TRANSNASIONAL YANG TERORGANISASI (TRANSNATIONAL ORGANIZED CRIME) 1 Oleh: Edwin Fernando Rantung 2 ABSTRAK

Lebih terperinci

ANCAMAN LINTAS AGAMA DAN IDEOLOGI MELALUI BOM DI TEMPAT LAHIRNYA PANCASILA

ANCAMAN LINTAS AGAMA DAN IDEOLOGI MELALUI BOM DI TEMPAT LAHIRNYA PANCASILA ANCAMAN LINTAS AGAMA DAN IDEOLOGI MELALUI BOM DI TEMPAT LAHIRNYA PANCASILA A. Abstrak Negara Indonesia kian terancam karena efek pemikiran ideologi orang luar yang ditelan mentah-mentah tanpa adanya suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perlindungan terhadap saksi pada saat ini memang sangat mendesak untuk dapat diwujudkan di setiap jenjang pemeriksaan pada kasus-kasus yang dianggap memerlukan perhatian

Lebih terperinci

No pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia, terutama hak untuk hidup. Rangkaian tindak pidana terorisme yang terjadi di wilayah Negara Ke

No pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia, terutama hak untuk hidup. Rangkaian tindak pidana terorisme yang terjadi di wilayah Negara Ke TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No. 5406 HUKUM. Pidana. Pendanaan. Terorisme. Pencegahan. Pemberantasan. Pencabutan. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 50) PENJELASAN ATAS

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kebijaksanaan ( policy) merupakan kata istilah yang digunakan sehari-hari, tetapi karena

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kebijaksanaan ( policy) merupakan kata istilah yang digunakan sehari-hari, tetapi karena II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Kebijakan Kriminal Kebijaksanaan ( policy) merupakan kata istilah yang digunakan sehari-hari, tetapi karena keterbiasaanya terdapat semacam kerancuan atau kebingungan

Lebih terperinci

PROKLAMASI TEHERAN. Diproklamasikan oleh Konferensi Internasional tentang Hak-hak Asasi Manusia di Teheran pada tanggal 13 Mei 1968

PROKLAMASI TEHERAN. Diproklamasikan oleh Konferensi Internasional tentang Hak-hak Asasi Manusia di Teheran pada tanggal 13 Mei 1968 PROKLAMASI TEHERAN Diproklamasikan oleh Konferensi Internasional tentang Hak-hak Asasi Manusia di Teheran pada tanggal 13 Mei 1968 Konferensi Internasional tentang Hak-hak Asasi Manusia, Sesudah bersidang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Anak bukanlah untuk dihukum tetapi harus diberikan bimbingan dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Anak bukanlah untuk dihukum tetapi harus diberikan bimbingan dan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak bukanlah untuk dihukum tetapi harus diberikan bimbingan dan pembinaan,sehingga anak tersebut bisa tumbuh menjadi anak yang cerdas dan tanpa beban pikiran

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (On-line), (29 Oktober 2016). 2

BAB I PENDAHULUAN. (On-line),  (29 Oktober 2016). 2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengaruh era globalisasi di segala bidang kehidupan berbangsa dan bernegara di masa kini tidak dapat terelakkan dan sudah dirasakan akibatnya, hampir di semua negara,

Lebih terperinci

PROSES PENYIDIKAN TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN SENJATA API OLEH ANGGOTA TNI di DENPOM IV/ 4 SURAKARTA

PROSES PENYIDIKAN TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN SENJATA API OLEH ANGGOTA TNI di DENPOM IV/ 4 SURAKARTA PROSES PENYIDIKAN TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN SENJATA API OLEH ANGGOTA TNI di DENPOM IV/ 4 SURAKARTA Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Syarat-syarat Guna Mencapai Derajat Sarjana Hukum

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. seseorang (pihak lain) kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagai

I. PENDAHULUAN. seseorang (pihak lain) kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagai I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemberantasan tindak pidana korupsi saat ini telah berjalan dalam suatu koridor kebijakan yang komprehensif dan preventif. Upaya pencegahan tindak pidana korupsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penjajahan mencapai puncaknya dengan di Proklamasikan Kemerdekaan. kita mampu untuk mengatur diri sendiri. 1

BAB I PENDAHULUAN. penjajahan mencapai puncaknya dengan di Proklamasikan Kemerdekaan. kita mampu untuk mengatur diri sendiri. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pergerakan bangsa Indonesia untuk membebaskan diri dari belenggu penjajahan mencapai puncaknya dengan di Proklamasikan Kemerdekaan bangsa Indonesia pada tanggal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Narkotika diperlukan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Narkotika diperlukan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Narkotika diperlukan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan dalam bidang pengobatan dan studi ilmiah sehingga diperlukan suatu produksi narkotika yang terus menerus

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. sehingga berada dalam ujung tanduk kehancuran, momentum yang tepat ini

BAB V KESIMPULAN. sehingga berada dalam ujung tanduk kehancuran, momentum yang tepat ini BAB V KESIMPULAN A. Kesimpulan Historis Kekalahan Uni Soviet dalam perang dingin membuatnya semakin lemah sehingga berada dalam ujung tanduk kehancuran, momentum yang tepat ini dimanfaatkan oleh negara-negara

Lebih terperinci

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PEMBERANTASAN TERORISME Oleh: Dr. M. Arief Amrullah, S.H., M.Hum. 1

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PEMBERANTASAN TERORISME Oleh: Dr. M. Arief Amrullah, S.H., M.Hum. 1 KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PEMBERANTASAN TERORISME Oleh: Dr. M. Arief Amrullah, S.H., M.Hum. 1 A. PENDAHULUAN Terjadinya peristiwa peledakan di Bali pada tanggal 12 Oktober 2002 yang menewaskan raturan

Lebih terperinci

: MEDIASI PENAL DALAM PENYELESAIAN TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN OLEH ANAK FAKULTAS : HUKUM UNIVERSITAS SLAMET RIYADI SURAKARTA ABSTRAK

: MEDIASI PENAL DALAM PENYELESAIAN TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN OLEH ANAK FAKULTAS : HUKUM UNIVERSITAS SLAMET RIYADI SURAKARTA ABSTRAK Judul : MEDIASI PENAL DALAM PENYELESAIAN TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN OLEH ANAK Disusun oleh : Hadi Mustafa NPM : 11100008 FAKULTAS : HUKUM UNIVERSITAS SLAMET RIYADI SURAKARTA ABSTRAK Tujuan Penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pemahaman di dalam masyarakat terhadap trafficking masih sangat. atau terendah di dalam merespon isu ini. 2

BAB I PENDAHULUAN. Pemahaman di dalam masyarakat terhadap trafficking masih sangat. atau terendah di dalam merespon isu ini. 2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Trafficking atau perdagangan manusia terutama terhadap perempuan dan anak telah lama menjadi masalah nasional dan internasional bagi berbagai bangsa di dunia, termasuk

Lebih terperinci

BAB IV KOMPARASI HUKUM POSITIF DAN HUKUM PIDANA ISLAM MENGENAI HUKUMAN PELAKU TINDAK PIDANA TERORISME

BAB IV KOMPARASI HUKUM POSITIF DAN HUKUM PIDANA ISLAM MENGENAI HUKUMAN PELAKU TINDAK PIDANA TERORISME BAB IV KOMPARASI HUKUM POSITIF DAN HUKUM PIDANA ISLAM MENGENAI HUKUMAN PELAKU TINDAK PIDANA TERORISME A. Persamaan Hukuman Pelaku Tindak Pidana Terorisme Menurut Hukum Positif dan Pidana Islam Mengenai

Lebih terperinci

ADAADNAN ABDULLA MUHAMMAD ADNAN ABDULLAH NEO KHAWARIJ MENGUNGKAP BIANG TERORISME, RADIKALISME, DAN SOLUSINYA. Diterbitkan secara mandiri

ADAADNAN ABDULLA MUHAMMAD ADNAN ABDULLAH NEO KHAWARIJ MENGUNGKAP BIANG TERORISME, RADIKALISME, DAN SOLUSINYA. Diterbitkan secara mandiri ADAADNAN ABDULLA MUHAMMAD ADNAN ABDULLAH NEO KHAWARIJ MENGUNGKAP BIANG TERORISME, RADIKALISME, DAN SOLUSINYA Diterbitkan secara mandiri melalui Nulisbuku.com NEO KHAWARIJ, MENGUNGKAP BIANG TERORISME, RADIKALISME,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia untuk mengeluarkan pendapatnya secara bebas. Hal ini tertuang dalam

BAB I PENDAHULUAN. manusia untuk mengeluarkan pendapatnya secara bebas. Hal ini tertuang dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebebasan pers merupakan salah satu dimensi hak asasi manusia, yaitu hak manusia untuk mengeluarkan pendapatnya secara bebas. Hal ini tertuang dalam undang-undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan bermasyarakat, terdapat pola-pola perilaku atau caracara

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan bermasyarakat, terdapat pola-pola perilaku atau caracara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan bermasyarakat, terdapat pola-pola perilaku atau caracara bertindak yang harus diikuti oleh semua anggota masyarakat. Pola-pola perilaku atau

Lebih terperinci

BAB II TINDAK PIDANA DESERSI YANG DILAKUKAN OLEH ANGGOTA TNI. mengenai fungsi, tugas dan tanggungjawab mereka sebagai anggota TNI yang

BAB II TINDAK PIDANA DESERSI YANG DILAKUKAN OLEH ANGGOTA TNI. mengenai fungsi, tugas dan tanggungjawab mereka sebagai anggota TNI yang BAB II TINDAK PIDANA DESERSI YANG DILAKUKAN OLEH ANGGOTA TNI Tindak pidana desersi merupakan tindak pidana militer yang paling banyak dilakukan oleh anggota TNI, padahal anggota TNI sudah mengetahui mengenai

Lebih terperinci

Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Polandia, selanjutnya disebut Para Pihak :

Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Polandia, selanjutnya disebut Para Pihak : PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK POLANDIA TENTANG KERJASAMA PEMBERANTASAN KEJAHATAN TERORGANISIR TRANSNASIONAL DAN KEJAHATAN LAINNYA Pemerintah Republik Indonesia

Lebih terperinci

NOMOR : M.HH-11.HM.03.02.th.2011 NOMOR : PER-045/A/JA/12/2011 NOMOR : 1 Tahun 2011 NOMOR : KEPB-02/01-55/12/2011 NOMOR : 4 Tahun 2011 TENTANG

NOMOR : M.HH-11.HM.03.02.th.2011 NOMOR : PER-045/A/JA/12/2011 NOMOR : 1 Tahun 2011 NOMOR : KEPB-02/01-55/12/2011 NOMOR : 4 Tahun 2011 TENTANG PERATURAN BERSAMA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI REPUBLIK INDONESIA KETUA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. informasi dan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan serta teknologi.

BAB I PENDAHULUAN. informasi dan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan serta teknologi. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Pada zaman modern sekarang ini, pertumbuhan dan perkembangan manusia seakan tidak mengenal batas ruang dan waktu karena didukung oleh derasnya arus informasi

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. banyak korban jiwa baik warga negara Indonesia maupun warga negara asing, korban jiwa

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. banyak korban jiwa baik warga negara Indonesia maupun warga negara asing, korban jiwa BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 KESIMPULAN Peristiwa terorisme pada tahun 2002 di Bali dikenal dengan Bom Bali I, mengakibatkan banyak korban jiwa baik warga negara Indonesia maupun warga negara asing,

Lebih terperinci