BAB II SEJARAH PEMERINTAHAN DESA DI BALI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II SEJARAH PEMERINTAHAN DESA DI BALI"

Transkripsi

1 BAB II SEJARAH PEMERINTAHAN DESA DI BALI 2.1. Sejarah Pemerintahan Desa Adat di Bali Secara etimologis kata desa berasal dari bahasa Sanskerta, yaitu deça, seperti Dusun, Desi, Negara, Negeri, Nagaro, Negory (Nagarom), yang berarti tanah air, tanah asal atau tanah kelahiran, tanah leluhur yang menunjuk pada satu kesatuan hidup dengan satu kesatuan norma, serta memiliki batas yang jelas. 1 Suhartono memandang desa sebagai tempat bermukim penduduk dengan peradaban yang dinilai lebih terbelakang ketimbang kota. Dijelaskan bahwa desa bercirikan bahasa ibu yang kental, tingkat pendidikan yang relatif lebih rendah, pencaharian umumnya dari sektor pertanian. 2 Desa dalam pengertian ini menunjukkan kepada suatu wilayah yang dihuni oleh penduduk yang beragama Hindu, kecuali dibeberapa kota atau desa-desa yang terletak dipinggir pantai yang penduduknya heterogen yang terdiri dari berbagai umat beragama. Desa dalam Bahasa Bali berasal dari bahasa Sansekerta yang lazim digunakan di kalangan masyarakat umat hindu di Bali. Menurut Soetardjo Kartohadikoesoemo, kata Desa atau Desi seperti juga halnya dengan kata Negara, Negeri dan Nagari berasal dari perkataan Sanskerta yang artinya tanah air, tanah asal dan tanah kelahiran. 3 Sejalan dengan hal tersebut, R.Soepomo h. 59 Denpasar, h Didik Sukirno, 2010, Pembaharuan Hukum Pemerintahan Desa, Setara Press, Malang, 2 Ibid, h I Wayan Surpha, 2004, Eksistensi Desa Adat dan Desa Dinas di Bali, Pustaka Bali Post, 44

2 45 juga menyatakan bahwa Desa yang ada sekarang di Indonesia sudah dikenal sejak jaman Hindu. Akan tetapi kapan sesungguhnya mulai didirikannya desa-desa di Bali sebagai suatu persekutuan hukum masyarakat, belumlah dapat diketahui secara pasti. 4 Pengertian Desa tersebut diatas dilihat dari perspektif geografi, dimana Desa dimaknai sebagai tempat atau daerah tempat berkumpul hidup bersama dan menggunakan lingkungan sebagai tempat untuk mempertahankan dan mengembangkan kelangsungan hidupnya. Desa yang disebut di Indonesia ini adalah jauh ada sebelum orang eropa atau bangsa lainnya datang. Desa tidak berasal dari luar Indonesia, tetapi asli dan murni Indonesia. Bali pada masa lampau merupakan suatu kerajaan yang dimuat dalam prasasti berbahasa Sanskerta yang ditemukan di Desa Pejeng, Gianyar. Salah satu prasasti tersebut berangka tahun 875 Saka atau tahun 953 Masehi yang menyebut nama Sri Walipuram. Walipuram mengandung arti bahwa Bali merupakan suatu kerajaan. 5 Menurut Korn yang menyatakan bahwa desa sebagai suatu republik yakni Republik Desa. 6 Selanjutnya dalam pelaksanaan pemerintahannya, penentuan kepemimpinan di desa tidak terbatas hanya pada pemilihan saja tetapi juga mengenal sistem rangking (ulu apad), mohon petunjuk dari Tuhan (nyanjan) dan keturunan (turunan). Pengambilan keputusan selalu merupakan kehendak bersama dan kesepakatan. 7 4 Ibid, h. 6 5 I Gusti Ngurah Tara Wiguna, 2009, Hak-Hak Atas Tanah Pada Masa Bali Kuno Abad X-XI Masehi, Udayana University Press, Denpasar, h I Made Suastawa Dharmayuda, 2001, Desa Adat Kesatuan Masyarakat Hukum Adat di Provinsi Bali, Upada Sastra, Denpasar, h. 5 7 Ibid, h. 6

3 46 Penelitian yang dilakukan oleh Korn yang monumental tentang studi hukum adat di Bali dan menghasilkan buku Het Adatrecht van Bali, membuat Desa terkenal dengan hukum-hukum adatnya. Bahkan Korn dari hasil kajiannya di Desa Tenganan, menyebutkan desa Tenganan sebagai sebuah republik desa yang memiliki otonomi kuat, dengan ungkapan De Dorpsrepubliek Tenganan Pegringsingan. 8 Desa Adat di Bali merupakan tempat tumbuh dan berkembangnya kebudayaan Bali yang di dasarkan oleh ajaran agama Hindu, masyarakat dari desa adat secara keseluruhan di bali merupakan masyarakat yang menganut agama Hindu karena Desa Adat memiliki tugas menjaga dan melestarikan Kahyangan Tiga yang merupakan tempat persembahyangan umat hindu, seperti yang dinyatakan oleh J.S. Eadas dalam bukunya yang menyatakan bahwa Balinese culture has a clear identityon Hinduism. 9 Keberagaman Desa terjadi karena adat istiadat yang juga beraneka ragam. Adat yang merupakan kebiasaan dibuat sebagai pedoman bagi anggota masyarakat berperilaku, dengan harapan agar tujuan hidup bermasyarakat tercapai. Tujuan hidup tersebut adalah antara lain kedamaian, ketentraman, keteraturan, ketertiban, kesejahteraan, dan keadilan. Apabila kebiasaan tersebut sudah terwujud, maka dibutuhkan sarana yang lebih bersifat memaksa. Sarana tersebut adalah hukum. Hukum adat dibuat untuk memaksa agar setiap anggota 8 I Gede Parimartha, 2013, Silang Pandang Desa Adat dan Desa Dinas di Bali, Udayana University Press, Denpasar, h J.S. Eades, 2003, Globalization in Southeast Asia : Local, National, and Transnational Perspective, Berghahn Books, Oxford, New York, h. 81

4 47 masyarakat mentaati, mempertahankan, melaksanakan, menjaga kelestarian nilai budaya itu, dan berlandaskan atas kebudayaan itu sendiri. 10 Kebudayaan merupakan semua hasil karya, rasa dan cipta masyarakat. Karya masyarakat menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan atau kebudayaan jasmaniah yang diperlukan oleh manusia untuk menguasai alam sekitarnya, agar kekuatan serta hasilnya dapat diabadikan untuk keperluan manusia. Kebudayaan dan masyarakat adalah dua entitas yang saling bertautan dan tidak dapat dipisahkan. Masyarakat tanpa budaya merpakan masyarakat tanpa tata kelola kehidupan, sedangkan budaya tanpa masyarakat dapat dikatakan hanya sebagai ide tanpa implementasi. 11 Setelah Indonesia merdeka yang diploklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945, maka daerah Bali merupakan bagian dari Provinsi Sunda Kecil yang diperintah oleh seorang Gubernur dan merupakan wilayah Republik Indonesia. Di Daerah Bali dikeluarkan pengumuman resmi gabungan kerajaan-kerajaan Bali No. 1 Tahun 1947 tentang Peraturan Pembentukan gabungan Kerajaan-kerajaan Bali dan badan-badannya. Kemudian pada tanggal 8 Juni 1950 dikeluarkan pengumuman resmi gabungan kerajaan-kerajaan di Bali No. 2 Tahun 1950 tentang Pembentukan Badan Pelaksana Pemerintahan Daerah Bali yang terdiri dari ketua dewan rajaraja selaku anggota satu ketua dengan empat orang anggota yang diangkat oleh dewan raja-raja sesuai dengan usul Majelis Perumusan Agung. Selanjutnya dengan Pengumuman Resmi Dewan Pemerintahan Daerah Bali No. 7/Darurat h Dominikus Rato, 2009, Pengantar Hukum Adat, LaksBang Presindo, Yogyakarta, h Suryono Soekanto, 2002, Sosiologi Suatu Pengantar, Raja Grafindo Persada, Jakarta,

5 48 tanggal 29 Nopember 1950 Perumusan Agung dibubarkan dan membentuk Dewan Perwakilan Daerah Sementara. Dewan tersebut terdiri dari sekurangkurangnya 36 anggota dan sebanyak-banyaknya 45 anggota. Pada masa kemerdekaan sistem pemerintahan desa, yaitu desa yang keberadaannya sesuai dengan asal usul dan desa yang dibentuk oleh supra desa semakin nyata. Penggunaan istilah desa adat menjadi popular dikalangan masyarakat untuk membedakannya dengan desa dinas atau desa administrasi. Pada mulanya hanya dikenal istilah desa yang selalu berarti desa adat. Tetapi semenjak istilah perbekel (Kepala wilayah keperbekelan) diganti menjadi Kepala Desa maka timbul dualisme pemakaian kata Desa. Posisi desa otonom, dapat dimengerti mendekati Desa pada tingkatan yang paling awal, yakni bahwa wujud Desa tradisional yang otonom, dan sedikit mendapat pengaruh raja, dipimpin oleh cikal-bakal pendiri Desa. Namun yang penting dari Lienfrinck, bahwa ia telah mengubah persepsi masyarakat Bali tentang diri mereka, dengan memutuskan hubungannya dengan kekuasaan atas, sejalan dengan strategi politik kolonial belanda pada masa itu. 12 Dalam pandangan masyarakat Bali, Desa dimengerti sebagai suatu tempat tinggal bersama, memiliki kekayaan desa, wilayah, warga, prajuru, dan tempattempat suci yang disebut Kahyangan Desa. Wilayah desa adat disebut payar, dan dimengerti batasan-batasannya. Kini dimengerti bahwa sebagai ciri khas Desa Adat di Bali adalah Desa yang memiliki suatu tempat persembahyangan yang disebut, Kahyangan Tiga. 12 I Gde Parimartha, 2003, Memahami Desa Adat, Desa Dinas dan Desa Pakraman, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Dalam Bidang Ilmu Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas Udayana, Denpasar, h. 15

6 49 Pada masa kolonial pemerintah Belanda tetap memegang konsep desa adat yang otonom, merdeka, statis, dan harus dipertahankan eksistensinya dari sentuhan pengaruh luar. Bersamaan dengan itu, dalam rangka memanfaatkan potensi penduduk guna memenuhi kepentingan pemerintah, sejalan dengan keadaan yang berkembang, pemerintah Belanda berusaha memasukkan pengaruhnya kedalam Desa. Pembentukan Desa baru ini tidak memperhatikan bentuk Desa lama atau Desa Adat yang sudah ada. Apakah itu mengakibatkan penggabungan bagi desa-desa lama yang kecil, atau berakibat pecahnya desa-desa adat baru di Bali. Sasarannya jelas yaitu untuk kepentingan administrasi oleh petugas pemerintah. Selanjutnya Desa baru itu disebut sebagai Desa Dinas, namun dalam surat menyurat hanya disebut Desa. Sehingga terjadi dua bentuk Desa yaitu Desa Adat dan Desa Dinas yang pada akhirnya menjadi sistem ganda dalam pemerintahan Desa di Bali. 13 Pengertian Adat di Bali mulai dikenal sejak jaman penjajahan Belanda sekitar permulaan abad ke-20 yang diartikan sebagai kebiasaan-kebiasaan yang telah melembaga di masyarakat yang berlangsung turun temurun. Demikian pula desa adat, baru dipopulerkan sejak jaman pemerintahan Belanda di Bali dan untuk membedakannya dengan Desa Dinas yang dibentuk oleh Belanda. 14 Sebelum penjajahan Belanda, di Bali telah dikenal dengan beberapa istilah yang mempunyai hubungan dengan suatu Desa Adat, yaitu sima, dresta, lekita, paswara, awig-awig atau krama dan thani. Sima berarti ketentuan tidak tertulis yang berlaku pada suatu masyarakat. Dresta yaitu pandangan suatu 13 Ibid, h I Gede Parimartha, Op. Cit, h. 31

7 50 masyarakat mengenai suatu tatakrama pergaulan hidup. Lekita artinya catatan suatu peringatan mengenai suatu kejadian di masyarakat. Paswara berarti suatu keputusan raja mengenai suatu masalah di masyarakat. Awig-awig berarti suatu ketentuan dalam masyarakat yang mengatur tata karma pergaulan hidup dalam masyarakat. Krama berarti masyarakat dan Thani berarti wilayah suatu Desa. 15 Desa Adat di Bali pada mulanya bernama Desa Krama, sedangkan anggota masyarakat penduduknya disebut Krama Desa yang sampai sekarang masih hidup dalam masyarakat Hindu di Bali. Adat yang merupakan aturan-aturan atau kebiasaan yang dianggap telah patut disepakati bersama sebagai aturan tata tertib dalam kehidupan bermasyarakat yang disertai dengan adanya sanksi yang dilaksanakan oleh Kelihan Adat. Dengan adanya sanksi adat dalam kehidupan Desa Adat di Bali, Desa Adat mempunyai hukum adat yang sebagian besar tidak merupakan hukum tertulis. Istilah Desa Adat di Bali berawal dari penelitian yang dilakukan oleh Liefrinck di Bali Utara, dari hasil penelitiannya menyatakan bahwa Desa di Bali yang sesungguhnya adalah sebuah republik kecil yang memiliki hukum atau aturan adat, dan tradisi sendiri. Susunan pemerintahan lebih bersifat demokratis, setiap anggota memiliki hak-hak hukum yang sama. Orang-orang yang ditunjuk sebagai pemimpin adalah orang yang paling lama menjadi anggota atau tetua, dan apabila terjadi perbedaan pendapat maka dilakukan dengan suara terbanyak. 16 Menurut Parimartha, dalam pandangan masyarakat Bali, Desa Adat dimengerti sebagai suatu tempat tinggal bersama, memiliki kekayaan desa, 15 I Wayan Surpha, Op. Cit, h I Wayan Wesna Astara, 2010, Pertarungan Politik Hukum Negara dan Politik Kebudayaan, Udayana University Press, Denpasar, h. 11

8 51 wilayah, warga, prajuru dan tempat-tempat suci yang disebut dengan Kahyangan Desa. Sedangkan I Gusti Raka mendefinisikan Desa Adat pada aspek keyakinan atau kepercayaan adalah kesatuan daerah di mana penduduknya bersama-sama atas tanggapan bersama melakukan ibadah dengan maksud untuk menjaga kesucian tanah Desa, serta memelihara pura-pura yang ada di Desa. Sedangkan menurut I Gede Penetje, desa-desa di Bali dapat dianggap sebagai persekutuan yang berdiri sendiri dan dapat bertindak sebagai badan hukum. 17 Desa Adat sebagai suatu komunitas sosial tradisional di Bali dapat diidentifikasikan sebagai suatu Desa Adat, apabila memenuhi ciri-ciri sebagai berikut : 18 a. Mempunyai wilayah dengan batas-batas tertentu yang jelas; b. Mempunyai anggota atau krama desa; c. Mempunyai Kahyangan Tiga atau Kahyangan Desa; d. Mempunyai otonomi baik keluar maupun kedalam; e. Mempunyai pemerintahan adat. Pengertian Desa Adat menurut Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 6 Tahun 1986 tentang Kedudukan, Fungsi dan Peranan Desa Adat Sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Dalam Provinsi Daerah Tingkat I Bali, Pasal 1 huruf e adalah Desa Adat sebagai Desa Dresta adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Provinsi Bali yang mempunyai kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat hindu secara turun temurun dalam ikatan Kahyangan Tiga 17 Ibid, Hal Ibid, h. 13

9 52 atau Kahyangan Desa yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri, serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri. Desa Adat di Bali mengalami pasang surut tergantung dari kebijakan penguasa. Hal ini terlihat dari berubahnya nama Desa Adat menjadi Desa Pakraman. Perubahan Desa Adat menjadi Desa Pakraman ini terdapat dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman. Peraturan Daerah ini mencabut Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 6 Tahun 1986 tentang Kedudukan, Fungsi dan Peranan Desa Adat Sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Dalam Provinsi Daerah Tingkat I Bali. Perubahan tersebut nampak dalam Pasal 1 angka 4 Peraturan Daerah Nomor 3 tahun 2001 tentang Desa Pakraman yang menyatakan bahwa Desa Pakraman adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Provinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan Kahyangan Tiga atau Kahyangan Desa yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri, serta berhak mengurus rumah tangga sendiri. Desa Pakraman merupakan organisasi masyarakat Hindu Bali yang berdasarkan kesatuan-kesatuan wilayah tempat tinggal bersama dan spiritual keagamaan yang paling mendasar bagi pola interaksi sosial dalam masyarakat Bali. Unsur dari Desa Pakraman adalah sebagai berikut : a. Unsur Prahyangan yaitu berupa pura atau tempat suci agama Hindu b. Unsur Pawongan yaitu warga Desa yang beragama hindu

10 53 c. Unsur Palemahan yaitu merupakan wilayah desa yang berupa karang ayahan desa dan karang guna karya. Dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman Pasal 5 menyatakan bahwa Desa Pakraman mempunyai tugas, yaitu membuat awig-awig, mengatur krama desa, mengatur pengelolaan harta kekayaan desa, bersama-sama pemerintah melaksanakan pembangunan disegala bidang terutama dibidang keagamaan, kebudayaan dan kemasyarakatan, serta membina dan mengembangkan nilai-nilai budaya Bali dalam rangka memperkaya, melestarikan, dan mengembangkan kebudayaan Nasional pada umumnya, dan kebudayaan daerah pada khususnya, berdasarkan paras poros, sagilik saguluk, dan musyawarah mufakat, dan juga mengayomi krama desa. Kewenangan yang dimiliki oleh Desa Pakraman berdasarkan Perda Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman Pasal 6 menyatakan bahwa Desa Pakraman mempunyai wewenang sebagai berikut : a. Menyelesaikan sengketa adat dan agama dalam lingkungan, wilayahnya dengan tetap membina kerukunan dan toleransi antar krama desa sesuai dengan awig-awig dan adat kebiasaan setempat; b. Turut serta menentukan setiap keputusan dalam pelaksanaan pembangunan yang ada di wilayahnya, terutama yang berkaitan dengan tri hita karana; c. Melakukan perbuatan hukum didalam dan di luar Desa Pakraman. Selain memiliki beberapa wewenang sesuai dengan ketentuan di atas, Desa Pakraman bertugas membantu pemerintah dalam melaksanakan pembangunan di segala bidang terutama di bidang keagamaan, kebudayaan, dan kemasyarakatan. Dalam konteks ini Desa Pakraman berkewajiban membina kerukunan dan toleransi antar krama desa sesuai dengan awig-awig dan adat kebiasaan setempat.

11 54 Serta Desa Pakraman turut menentukan setiap keputusan dalam pelaksanaan pembangunan yang ada diwilayahnya, terutama yang berkaitan dengan Tri Hita Karana. Pemerintahan Desa Pakraman dilakukan oleh pengurus desa pakraman yang disebut Prajuru Desa Pakraman. Sistem pemerintahan Desa Pakraman dipengaruhi oleh tipe Desa yang bersangkutan. Tipe Desa Pakraman yang ada di Bali dikelompokkan dalam tiga tipe Desa yaitu : 19 a. Desa Baliaga, yaitu desa tua di Bali yang masih kuat mempertahankan sistem kemasyarakatan asli yang dalam jaman kerajaan dulu tidak dipengaruhi oleh sistem kemasyarakatan Majapahit. b. Desa Apanaga, yaitu desa-desa yang pada jaman kerajaan dahulu sangat intensif mendapat pengaruh dari sistem kemasyarakatan Majapahit. c. Desa Anyar, yaitu desa yang timbul karena akibat dari perpindahan penduduk yang didorong oleh keinginan mencari lapangan kehidupan. Sebagai suatu masyarakat hukum adat, Desa adat memiliki tata hukum sendiri yang berdasarkan pada adat-istiadat di desa adat setempat. Tatanan hukum yang berlaku di desa adat lazim disebut sebagai awig-awig. Semua desa adat di bali memiliki awig-awig untuk mengatur Desa Adatnya. Awig-awig disusun dalam suatu dalam suatu rapat krama desa yang disebut sebagai Paruman Desa. Di masa lalu awig-awig Desa Adat tidak ditulis, setelah para prajuru desa mengenal budaya baca tulis maka awig-awig yang diputuskan dalam rapat krama atau paruman desa akhirnya di catat. Dalam Peraturan Daerah Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman, Pasal 14 menyatakan bahwa Majelis Desa Pakraman terdiri dari : 19 Wayan P. Windia dan Ketut Sudantra, 2006, Pengantar Hukum Adat Bali, Lembaga Dokumentasi dan Publikasi Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, h. 51

12 55 a. Majelis utama untuk Provinsi berkedudukan di Ibukota Provinsi; b. Majelis madya untuk Kabupaten/Kota; c. Majelis Desa untuk Kecamatan berkedudukan di Kota Kecamatan Apabila kita kembali kepada masa Orde Baru terdapat beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang desa, yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, dan Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Dalam kedua Undang- Undang tersebut belum diatur mengenai Desa Adat, meskipun Desa Adat sebenarnya telah diakui dalam Undang-Undang Dasar Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, terdapat satu Pasal yang menyatakan mengenai desa yaitu terdapat dalam Pasal 88 yang menyatakan bahwa Pengaturan tentang pemerintahan desa ditetapkan dengan Undang-Undang. Hal ini berarti bahwa akan ada undang-undang tentang Desa yang akan diundangkan setelah Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah ini. Dengan adanya amanat dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah tersebut maka ditetapkanlah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa yang diundangkan pada tanggal 1 Desember Namun tidak nampak pengaturan mengenai Desa Adat didalam Undang-Undang ini. Meskipun didalam Undang- Undang ini banyak dicantumkan adat istiadat, namun yang diatur hanyalah adat istiadatnya saja bukan kedudukan Desa Adat dalam pemerintahan desa.

13 56 Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Desa berbagai sebutan dari kesatuan masyarakat hukum yang berhak menyelenggarakan rumahtangganya sendiri yang tersebar diseluruh Indonesia dengan sebutan masing-masing yang khas tersebut dihapuskan, dan tidak lagi dipergunakan. Sehingga terdapat penyeragaman desa yang dianut dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa tersebut. Dalam perjalanan sejarah Desa Adat di Bali dipengaruhi oleh politik, sehingga untuk menghindari tergerusnya Desa Adat dari kepentingan penyeragaman Desa di Indonesia, setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, maka di Bali ditetapkan Perda Nomor 6 Tahun 1986 tentang Kedudukan, Fungsi dan Peranan Desa Adat Sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Dalam Provinsi Daerah Tingkat I Bali. Hal ini adalah untuk mempertahankan Desa Adat agar tetap eksis sebagai bagian dari sosial politik dan budaya warga Bali. Perubahan rezim dari Orde Baru ke Orde Reformasi yang mengakibatkan perubahan sistem pemerintahan dari sistem pemerintahan sentralistis ke arah desentralistis yang mengakibatkan dicabutnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah dan diganti dengan Undang- Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Munculnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah ini mengakibatkan Peraturan Daerah Bali Nomor 6 Tahun 1989 tentang Desa Adat

14 57 digantikan oleh Peraturan Daerah Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman. Seiring dengan bergulirnya reformasi dan tata pemerintahan membuat Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dirasa kurang sesuai lagi dengan perkembangan Pemerintahan di Daerah, sehingga ditetapkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam Undang-Undang ini terdapat bagian yang mengatur mengenai Desa, namun Desa yang diatur dalam undang-undang ini tidak juga mengatur mengenai Desa Adat. Setelah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ini berlaku selama sepuluh tahun dan dirasa perlu ada perubahan demi mengikuti perkembangan hukum dimasyarakat maka Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ini dicabut dan diganti dengan Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam undangundang ini peraturan mengenai desa adat tidak juga tampak, yang ada hanyalah aturan mengenai desa yang tidak diklasifikasikan Desa Adat ataukah Desa Dinas, karena peraturan mengenai Desa baik itu Desa Dinas maupun Desa Adat sudah diatur secara khusus dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Peraturan perundang-undangan mengenai Desa tersebut mengalami perubahan agar bisa mengikuti perkembangan hukum di masyarakat Desa, sehingga diundangkanlah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Pengaturan mengenai Desa Adat disini diatur dalam bagian khusus mengenai Desa Adat yaitu dalam Bab XIII.

15 58 Dalam pemerintahan Desa Adat di Bali, Desa Adat memiliki struktur dalam menjalankan pemerintahannya seperti yang dinyatakan dalam Pasal 7 Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman. Struktur pemerintahan Desa Adat adalah sebagai berikut : a. Juru Bendesa yaitu sebagai kepala Desa Adat. Bendesa disini bukanlah aparatur pemerintah, jadi Bendesa tidak digaji oleh Pemerintah. Untuk biaya hidup Bendesa serta pengurusan dan pendanaan pemerintahan Desa Adat diperoleh dari hasil iuran warga Desa Adat, harta kekayaan Desa Adat dan hasil sumbangan dari pihak ketiga. b. Petajuh/Pangliman yaitu sebagai Wakil Ketua Desa Adat. c. Penyarikan yaitu sebagai Sekretaris Desa Adat. d. Petangen/Juru Raksa yaitu sebagai Bendahara Desa Adat. e. Upa Desa adalah sebagai Pendamai dalam penyelesaian sengketa apabila ada warga masyarakat adat yang tdak puas dan menuntut hak adanya. Tempat yang digunakan untuk menyelesaikan sengketa disebut dengan Kerta Desa. f. Pacalang yaitu bertugas untuk menjaga keamanan Desa Adat, khususnya pada saat upacara adat atau upacara keamagamaan lainnya. Juru Bendesa dipilih secara demokratis oleh krama Desa Adat dalam sebuah paruman atau rapat adat. Untuk struktur dan susunannya diatur oleh awigawig desa. Awig-awig inilah yang digunakan sebagai pedoman oleh Prajuru Desa sebagai badan eksekutif dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya. Oleh karena hal tersebut, maka Prajuru Desa bertanggung jawab kepada Krama Desa,

16 59 dan pertanggungjawaban itu disampaikan melalui paruman yang bersifat demokratis. Dalam perkembangan Desa Adat itu ada kalanya datang orang-orang baru yang juga bertempat tinggal di wilayah Desa Adat setempat. Mereka juga akan menjadi anggota Desa Adat bilamana mereka diizinkan oleh krama atau warga desa adat yang bersangkutan dan sepanjang mereka mematuhi ketentuanketentuan Desa Adat itu yang antara lain ikut nyungsung pura Kahyangan Tiga milik Desa Adat yang bersangkutan. Oleh karena hal tersebut maka Desa Adat menjadi heterogen dalam arti bahwa anggota dari Desa Adat tidak hanya yang mempunyai kesamaan asal dan kesamaan nasib saja. Perkembangan dan pertumbuhan masyarakat di Bali inilah, maka muncul pandangan tentang teritorial dalam sektor pertanian yang tidak terbatas pada satu teritorial atau wilayah Desa Adat saja, melainkan mencakup wilayah beberapa Desa Adat. Kesatuan wilayah pertanian yang diatur dalam suatu tata organisasi pertanian tradisional yang disebut subak. Subak bukanlah bagian dari suatu Desa Adat melainkan merupakan suatu lembaga adat yang mengatur sistem pertanian di Bali. Hubungan Subak dengan Desa Adat adalah hubungan konsultatif dan keduanya merupakan lembaga adat. Lembaga adat adalah suatu lembaga hukum dan Desa Adat adalah suatu masyarakat hukum adat. Masyarakat hukum desa atau Desa Adat adalah sekumpulan orang yang hidup bersama berasaskan pandangan hidup, cara hidup dan sistem kepercayaan yang sama, yang menetap pada suatu tempat kediaman bersama. Masyarakat hukum Desa Adat juga melingkupi kesatuan-kesatuan kecil

17 60 yang terletak di luar wilayah Desa Adat yang sebenarnya lazim disebut dukuh atau pondok, tetapi juga tunduk pada pemimpin Desa Adat bersangkutan. 20 Susunan Desa Adat di Bali dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu Desa Adat yang terdiri dari beberapa banjar dan Desa Adat yang terdiri dari hanya satu banjar. Setiap warga Desa Adat memikul kewajiban-kewajiban yang patut untuk dilaksanakan. Kewajiban dalam hidup bermasyarakat pada dasarnya merupakan kewajiban sosial yang patut dilaksanakan oleh manusia sebagai makluk sosial yang menginginkan keserasian dan keseimbangan hidup. Secara garis besar kewajiban warga Desa Adat yaitu : 21 a. Melaksanakan ayahan desa (tugas-tugas krama desa), yaitu berupa kerja bakti membangun atau memperbaiki pura milik desa adat, menyelenggarakan upacara Dewa Yajna dan Butha Yajna di pura milik Desa, menyelenggarakan pembangunan untuk kepentingan Desa Adat. b. Wajib tunduk dan mentaati peraturan yang berlaku bagi Desa Adat yaitu berupa awig-awig baik itu tertulis maupun tidak tertulis, paswara dan sima yang berlaku. Desa adat adalah masyarakat hukum Desa Adat atau lembaga adat yang memiliki otonomi di dalam mengatur dirinya, sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Eksistensi desa adat diakui dalam sistem pemerintahan Negara Republik Indonesia. Dalam mekanisme kehidupan Desa Adat, maka warga Desa Adat mempunyai hak-hak tertentu yaitu warga Desa Adat berhak untuk memilih Kepala Desa Adat, ikut serta dalam sangkepan atau rapat Desa Adat, ikut serta dalam pemerintahan Desa Adat 20 I Wayan Surpha, 2006, Seputar Desa Pakraman dan Adat Bali, Pustaka Bali Post, Denpasar, h Ibid, h

18 61 bersama-sama dengan prajuru lainnya dan berhak dipilih sebagai prajuru dan lainnya. Di Bali perangkat Desa Adat lazimnya disebut Prajuru Desa Adat. Untuk kepentingan mengatur hubungan antara krama atau anggota Desa Adat yang satu dengan krama atau anggota Desa Adat yang lainnya, antara krama dengan lingkungan tempat tinggalnya, begitu juga hubungan antara krama dengan Tuhannya, maka dibentuklah prajuru Desa Adat. Mengenai istilah, jenis dan jumlah prajuru Desa Adat di Bali tidak seragam di tiap-tiap Desa. Berdasarkan sistem dan struktur organisasinya, desa adat di Bali dapat dibedakan atas tiga tipe yaitu Desa Apanaga yaitu desa-desa yang memakai sistem kemasyarakatan mengikuti pola tata kemasyarakatan Majapahit. Desa Bali Aga atau Bali mula yaitu desa-desa tua yang masih kuat memegang sistem serta adat istiadatnya dan sedikit terpengaruh majapahit. Desa baru yaitu Desa-desa yang timbul akibat dari perpindahan penduduk yang semula didorong oleh keinginan untuk mendapatkan lapangan penghidupan. Meskipun telah dibedakan tipe Desa di Bali namun sistem dan struktur organisasinya tidaklah seragam, karena masing-masing Desa mempunyai tata cara atau sistemnya sendiri. 22 Seperti dapat dicontohkan Perangkat Desa dari Desa Apanaga adalah Bendesa (Kepala Desa Adat), Petajuh Bendesa (wakil dari Bendesa), Penyarikan (juru tulis Bendesa), Pemangku (untuk urusan upacara agama di pura). Bagi Desa Adat yang terdiri dari beberapa banjar, maka Perangkat Desa pada masing-masing banjar yaitu Kelihan Banjar (sebagai kepala banjar), Petajuh Kelihan (wakil kelihan banjar), Penyarikan (juru tulis 22 Ibid, h

19 62 kelihan banjar), Kesinoman Banjar (juru arah). Adapun pada beberapa perangkat Desa, pada Desa Apanaga yang perangkat desanya sederhana yaitu hanya terdiri dari Bendesa dan Pemangku. Sedangkan untuk banjar, perangkat banjarnya terdiri dari Kelihan Banjar, Penyarikan dan Kesinoman Banjar. Di Bali ada tiga cara pengangkatan perangkat Desa Adat yaitu dengan pemilihan, dengan keturunan dan dengan bergilir. Dengan adanya cara seperti ini, maka tata cara pengangkatan perangkat Desa Adat di Bali adalah berbeda-beda. Bagi Desa yang terletak di daerah Bali daratan yang sudah banyak terkena pengaruh modern, pengangkatan perangkat desa adatnya didasarkan atas hasil pemilihan dari calon-calon yang diajukan dan penetapannya atas dasar suara terbanyak. Tetapi untuk Desa-desa yang terletak di daerah Bali dataran yang belum atau sangat sedikit terkena pengaruh modern, kebanyakan pengangkatan perangkat Desa Adatnya didasarkan atas keturunan. 23 Mekanisme pengangkatan perangkat Desa Adat di Bali, pada prinsipnya memakai asas Primus Interpares yaitu menampilkan seorang tokoh di lingkungan Desa Adatnya sendiri yang dipandang memiliki kemampuan atau kedewasaan dan terutama memahami seluk beluk adat-istiadatnya di desanya. Pentokohan itu didasarkan pada jasa dan wibawanya di dalam masyarakat Desa Adat atau sistem keturunan dan didasarkan atas ketuaan umur serta pengalaman. 24 Dalam menjalankan sistem pemerintahan Desa Adat di Bali menganut sistem yang tidak memisahkan antara yang diperintah dengan perangkat Desa Adat yang memerintah. Hal ini berpegang pada suatu asas, bahwa yang diperintah 23 Ibid, h Ibid, h.61

20 63 adalah juga mereka yang memerintah. Kekuasaan tertinggi terletak pada sagkepan Krama Desa atau rapat warga Desa Adat yang menghimpun semua pendapat. Sistem keanggotaan Desa Adat di Bali pada prinsipnya ada dua tipe yaitu Desa Adat yang keanggotaannya berdasarkan atas menempati tanah Desa yang disebut karang ayahan desa, dan Desa Adat yang keanggotaannya tidak didasarkan atas menempati karang ayahan desa, melainkan berdasarkan atas kehendak ingin mengorganisir diri dalam wujud suatu Desa Adat. Oleh karena hal tersebut maka terdapatlah tipe Desa Adat yaitu Desa Adat yang keanggotaannya didalam suatu Desa Adat berdasarkan atas menempati karang ayahan desa yang jumlah anggotanya sama dengan jumlah banyaknya karang ayahan desa. Anggota Desa Adat didasarkan atas seseorang yang telah berkeluarga yang bertempat tinggal di suatu wilayah Desa Adat. Untuk hal ini jumlah anggota Desa Adat atau krama ngarep tidak didasarkan atas status seseorang memikul beban kerja atau ayahan Desa Adat, melainkan atas dasar bahwa seseorang itu telah berumah tangga. Karang ayahan desa yang ditempatinya bersama-sama itu dipikul bersama beban kerjanya atau kewajibannya terhadap Desa Adat. Karena itu sistem keanggotaan Desa Adat seperti ini tidak mengenal istilah krama ngarep atau roban, karena semuanya berstatus krama ngarep. Ketentuan yang dijadikan dasar adalah setiap yang telah berkeluarga yang bertempat tinggal dalam suatu wilayah Desa Adat, wajib menjadi anggota Desa Ddat atau krama ngarep, tanpa memperhitungkan status tanah tempat tinggalnya. Suatu Desa Adat di Bali bukan saja merupakan persekutuan teritorial dan persekutuan hidup atas kepentingan bersama dalam masyarakat, namun juga

21 64 merupakan persekutuan dalam persamaan kepercayaan terhadap Tuhan. Identitas Desa Adat di Bali memiliki tiga unsur yaitu wilayah, warga masyarakat, dan Kahyangan Tiga. Dengan tercakupnya unsur ketuhanan di dalam kehidupan Desa Adat di Bali, maka Desa Adat di Bali mencakup pula pengertian sosio religious. Maka dari itu implikasi antara adat dengan agama Hindu di Bali adalah pekat sekali, sehingga sulit memisahkan secara tegas unsur-unsur adat dengan unsurunsur agama, karena adat-istiadat di Bali didasarkan oleh agama Hindu dan aktifitas agama Hindu didukung oleh adat-istiadat di masyarakat. Dalam susunan struktur organisasi dari Desa Adat terdapat Banjar. Banjar merupakan kelompok masyarakat yang lebih kecil dari Desa Adat dan menjadi bagian dari Desa Adat serta merupakan persekutuan hidup sosial, baik dalam keadaan senang maupun dalam keadaan susah. Kadang-kadang di daerah pagunungan, suatu desa yang sama dengan suatu banjar, terutama bagi desa-desa yang kecil. Maka akan didapati kelompok-kelompok sosial yang hidup di lingkungan masyarakat Bali, dimana terjadinya kelompok-kelompok sosial itu berdasarkan faktor-faktor yang akan menentukan corak serta kepentingan dari kelompok-kelompok sosial itu sendiri. Berdasarkan hal itu maka banjar adalah pengelompokan sosial yang berdasarkan persekutuan hidup setempat atau kesatuan wilayah. Keadaan banjar di Bali, dibedakan atas banjar yang besar dan banjar yang kecil menurut jumlah anggotanya. Bagi banjar yang anggotanya lebih dari 50 keluarga, biasanya digolongkan sebagai banjar besar, sedangkan banjar yang anggotanya kurang dari 50 keluarga, biasanya digolongkan sebagai banjar yang

22 65 kecil. Banjar disini dipimpin oleh kelihan banjar sedangkan tempekan dipimpin oleh kelihan tempek. Struktur organisasi banjar di Bali bervariasi, baik mengenai komposisi pengurusannya serta jumlah, maupun mengenai namanya. 25 Secara umum komposisi pengurusan Banjar di Bali yaitu Kelihan Banjar, Penyarikan atau juru tulis, lalu dibawah kelihan Banjar ada Kesinoman, tugas dari kesinoman adalah sebagai penghubung antara Kelihan Banjar dan anggotanya. Dibawah kesinoman adalah warga banjar. Bagi banjar yang besar yang terbagi atas tempektempek, maka masing-masing tempek mempunyai kelihan tempek yang dibantu oleh seorang juru arah. Dalam menentukan keanggotaan banjar ada dua sistem yang dipergunakan yaitu sistem karang ayahan dan sistem mapakuran. Dalam sistem karang ayahan mendasarkan pada aturan, bahwa tanah yang merupakan wilayah Desa Adat dimana krama banjar itu berada adalah berstatus tanah Desa atau Karang Desa. Seorang yang menempati atau bertempat tinggal didalam tanah Desa itu dikenakan ayahan desa yaitu wajib kerja untuk Desa dan juga dikenai pepeson yaitu wajib materi untuk Desa. 26 Wajib kerja dan wajib materi untuk Desa itu disebut sebagai ayahan desa, sebagai akibat dari menempati tanah Desa. Tanah desa yang menjadi tempat seperti itu disebut karang ayahan. Selain sistem karang ayahan, dikenal juga sistem mapakuren, sistem mapakuren disini adalah didasarkan pada aturan menempati tanah ayahan desa, melainkan didasarkan atas seorang yang telah berkeluarga, menurut sistem ini, 25 Ibid, h Ibid, h. 79

23 66 seorang pria yang sudah beristri, diwajibkan menjadi anggota krama banjar. 27 Apabila didalam suatu pekarangan terdapat beberapa keluarga, maka semua itu menjadi anggota krama banjar. Dengan sistem ini, maka jumlah anggota krama banjar dapat berubah-ubah. Fungsi pokok banjar adalah mewujudkan gotong royong dalam persekutuan hidup bersama di kalangan warga krama banjarnya, baik dalam keadaan suka maupun dalam keadaan duka. Selain itu banjar juga berfungsi sebagai suatu lembaga sosial yang mengatur hubungan antara sesama anggota krama banjar berdasarkan jiwa dan semangat kekeluargaan Sejarah Pemerintahan Desa Dinas di Bali Desa Dinas pada dasarnya telah ada pada masa sebelum kolonial yang disebut Perbekelan. Terbentuknya Desa Dinas dapat dilihat sebagai wujud yang dikehendaki oleh kekuasaan atas Supra Desa. Pada masa pengaruh kekuasaan Raja-raja Majapahit, pengaruh kekuasaan atas raja semakin masuk kedalam Desa. Dengan semakin mantapnya kekuasaan raja-raja itu, pengawasan terhadap rajarajapun semakin kuat. Pada masa kolonial ini juga telah dikenal adanya dualistik desa yang membagi otoritas antara struktur adat dan dinas. 28 Pemerintah Kolonial Belanda pada tahun 1903 mengumumkan undangundang desentralisasi yang menciptakan dewan-dewan lokal. Mereka mempunyai wewenang untuk membuat peraturan tentang pajak dan urusan-urusan bangunan. Untuk mengatur pedesaan, maka dikeluarkan Inlandsche Gemmente Ordonantie, yang kemudian membedakan antara Desa-desa yang ada di Pulau Jawa-Madura 27 Ibid, h James S. Davidson, Dkk, 2010, Adat Dalam Politik Indonesia, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta, h. 188

24 67 dan Desa-desa yang ada di luar pulau tersebut. Melalui model Desa Dinas, pemerintah Belanda mulai memasukkan pengaruhnya sampai ke Desa dengan memanfaatkan petugas perbekel sebagai bagian dari pemerintah resmi. 29 Dengan adanya pengaruh kekuasaan Raja-raja Majapahit (zaman gelgel) pada abad ke- 14 sampai abad ke-17, pengaruh raja semakin kuat masuk kedalam Desa. Desa-desa mulai mendapat pengawasan yang lebih nyata dari raja dengan mengirim pasek, bendesa dan muncul pula istilah perbekel (Perbakal), sebagai petugas pengawas di Desa. 30 Apabila terjadi pertentangan, perselisihan di Desa, maka raja dapat campur tangan, paling tidak menugaskan perbekel, atau punggawa. Liefrinck menyatakan bahwa perbekel, atau punggawa adalah merupakan wakil raja didaerah itu. 31 Hal ini menerangkan bahwa meskipun Desadesa tetap dipimpin oleh ketua prajurunya masing-masing, namun pengaruh raja sudah masuk sampai ke Desa. Sehingga bisa dipahami Desa sebagai wilayah berada di bawah kekuasaan raja, yang menunjukkan perannya dalam lingkungan yang lebih luas, yakni bersama-sama fungsinya yang tradisional di Desa, juga melayani kepentingan atas (raja). Dengan demikian, otonomi desa mulai mendapat pengawasan secara lebih ketat dari raja, apalagi kalau dinilai ada Desa yang ingin melawan kekuasaan raja. Untuk fungsinya seperti itu, seorang perbekel mendapatkan imbalan in natura 29 I Wayan Gede Suacana, 2013, Transformasi Demokrasi dan Otonomi Desa, Revka Petra Media, Surabaya, h I Gde Parimartha, 2003, Op. Cit, h Ibid, h. 14

25 68 (pecatu) dari raja. 32 Dari ini Nampak bahwa Desa telah menjalankan dua tugas, yaitu tugas tradisional (asli) dan tugas yang diemban dari atas (raja). Penataan wilayah kerajaan dalam arti pembagian wilayah administratif pada waktu itu terlihat sangat sederhana, hanya ada wilayah tingkat pusat dan wilayah tingkat Desa. Dari sejumlah prasasti diketahui, wilayah tingkat pusat mencakup seluruh wilayah kerajaan disebut kedatwan/kedatuan yang dapat diartikan kerajaan atau wilayah kerajaan. Sejak awal abad ke- XX Desa di Bali mendapat pengawasan dari pemerintah kolonial Belanda. Pemerintah Belanda mulai menata keberadaan Desa dengan tetap memanfaatkan petugas Perbekel sebagai bagian pemerintahan resmi. Bedanya adalah saat masa kerajaan Perbekel dipilih dan ditetapkan oleh raja, tetapi saat masa kolonial, seorang Perbekel diangkat oleh pemerintah Belanda dengan memberikan imbalan berupa uang atau gaji. 33 Desa dalam persepsi Kolonial adalah Desa dalam pengertiannya yang tradisi yang telah ada sejak lama sebagai wadah penduduk di Indonesia. Mengenai istilah dan konsep Desa Adat berawal dari penelitian Liefrinck di Bali Utara Tahun , yang menyatakan bahwa Desa di Bali yang sesungguhnya adalah republik kecil yang memiliki hukum atau aturan adat, tradisi sendiri. Susunan pemerintahan yang bersifat demokratis, setiap anggota memiliki hak-hak yang sama. Orang yang ditunjuk menjadi pimpinan adalah orang yang paling lama menjadi anggota. 34 Para tokoh masyarakat Bali yang dipercaya dikenal dengan Pasek ditempatkan di Desa-desa, sebagai tangan-tangan raja, hal itu dapat dilihat sebagai 32 Ibid, h I Gde Parimartha, Op.Cit, h Ibid, h. 15

26 69 wakil dari raja dalam rangka menanamkan pengaruhnya sampai ke Desa yang ikut sebagai pengurus Desa. Jatuhnya Gelgel dan munculnya kerajaan-kerajaan yang lebih kecil, maka pengaruh raja-raja kecil itupun sampai pula ke Desa. Meskipun tidak membentuk Desa baru, namun Desa-desa mulai mendapatkan pengawasan yang lebih nyata dari raja. Pada masa itu, sebagai wakil raja tingkat desa muncul petugas yang kemudian dikenal dengan sebutan perbekel. Dengan masuknya tugas perbekel ke Desa, dapat dilihat sebagai fungsi dari pengaruh raja dan dapat menjadi dasar dari perubahan di Desa. Liefrinck menyatakan bahwa Perbekel adalah merupakan wakil raja di daerah itu. Dalam keadaan seperti itu, apabila terjadi perselisihan di Desa, maka raja dapat ikut mencampuri, paling tidak dengan menugaskan Perbekel, atau Punggawa untuk mengatasi keadaan. Hal itu dapat memberi petunjuk bahwa meskipun Desa-desa tetap dipimpin oleh tetua, prajuru masing-masing namun pengaruh raja (supra desa) sudah masuk sampai ke Desa, dan dapat memberi pengaruh didalamnya. Kembali pada masa kolonial Belanda, dengan model Desa Dinas, pemerintah kolonial memasukkan pengaruhnya sampai ke Desa. Pemerintah Belanda mulai menata keberadaan Desa dengan tetap memanfaatkan petugas perbekel sebagai bagian dari pemerintah resmi. Bedanya adalah, pada masa kerajaan perbekel dipilih dan dietapkan oleh raja, tetapi masa kolonial seorang perbekel diangkat oleh pemerintah Belanda dengan memberikan imbalan berupa uang atau gaji. Maka dapat dilihat bahwa Desa-desa tradisional atau Desa Adat di Bali berada dibawah pengawasan dari pemerintah atasan, baik pada masa

27 70 kerajaan, maupun pemerintahan kolonial, yang akibatnya telah membatasi sifat otonomi dari pemerintah Desa. Tugas-tugas pemerintahan disini adalah merupakan penjabaran dari tugas-tugas Negara yang merupakan perwujudan dari tujuan Negara yang tercermin dari konstitusi suatu Negara. 35 Maka munculnya Desa Dinas pada masa kolonial, dan pada masa kemerdekaan hal tersebut masih dipertahankan, ini dapat dimengerti sebagai bentuk lanjutan dari keadaan sebelumnya, dan karenanya telah menjadi bagian dari warisan masyarakat Bali. Sejarah pemerintahan Desa Dinas tersebut diatas, sejatinya dapat digambarkan kedalah tiga kelompok, yaitu : 1. Zaman Kerajaan, pada masa pemerintahan kerajaan, Desa berada dibawah raja, dimana seorang Perbakal (Perbekel) yang merupakan pejabat Desa adalah berfungsi sebagai wakil raja untuk mengawasi Desa dalam kaitannya dengan penyelenggaraan pemerintahan di Desa. Perbekel tidak mencampuri urusan pemerintahan Desa dalam kegiatan adat dan agama, yang menurut Liefrinck desa merupakan republik terkecil yang memiliki aturan hukum atau budaya adatnya. 2. Zaman Penjajahan, pada masa penjajahan Hindia Belanda, Pemerintahan Hindia Belanda menggantikan posisi kerajaan atas Desadesa di Bali. Pada masa ini diperkenalkan istilah dines yang artinya dinas, kemudian muncul dan popular dengan istilah desa dinas yang mempunyai tugas dalam menjalankan urusan kedinasan sebagai wakil pemerintahan Hindia Belanda. 35 Faried Ali dan Nurlina Muhidin, 2012, Hukum Tata Pemerintahan Heteronom dan Otonom, Refika Aditama, Bandung, h.30

28 71 3. Zaman Kemerdekaan, pada masa kemerdekaan, lembaga kedinasan yang diperkenalkan pada masa pemerintahan Hindia Belanda tetap berfungsi pada pemerintahan Desa, bahkan semakin kuat dan mempunyai struktur kepengurusan sendiri. Sehingga dalam satu wilayah terdapat dua sistem pemerintahan Desa, yaitu Desa yang sesuai dengan asal usul (Desa Adat) dan Desa yang dibentuk berdasarkan kewenangan pemerintah sekarang disebut Desa Dinas atau Desa Administrasi. Keberadaan otonomi desa secara tidak langsung erat kaitannya dengan keberadaan pemerintahan desa. Karena pada selama ini otonomi desa juga mengatur ketentuan tetang keberadaan pemerintah desa yang pada saat ini terdiri dari unsur perangkat Desa dan Badan Permusyawaratan Desa. Selain itu keberadaan otonomi desa juga mengatur ketentuan tentang keberadaan otonomi desa juga terkait dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pemerintahan desa yang di Indonesia sudah lahir sejak keberadaannya di era pemerintahan Hindia Belanda sampai terbitnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Konsepsi otonomi desa tentu saja harus memperhatikan latar belakang berkembangan Desa itu sendiri. Perkembangan pemerintahan Desa di Indonesia pada perkembangannya banyak mengalami perubahan di tiap periodenya. Hal ini terkait dengan pasang surutnya pergeseran dari sistem penjajahan ke pola sentralisasi ke desentralisasi. Pola pembangunan yang sentralistik dipandang sudah tidak relevan lagi sehingga perlu pendekatan desentralistik. Dalam pendekatan desentralistik ini, pemerintah

29 72 berperan dan bertindak sebagai pengatur dan fasilitator guna membangun iklim yang kondusif dalam mewadahi proses interaksi kehidupan sosial politik dan ekonomi masyarakat. 36 Kebijakan otonomi daerah tersebut tentunya juga berimplikasi terhadap sistem administrasi pemerintahan desa. Artinya, kedudukan Desa sebagai subsistem perintahan terendah dalam sistem pemerintahan nasional di Indonesia memerlukan adaptasi dan antisipasi terhadap perkembangan tersebut. Salah satu prinsip penyelenggaraan otonomi daerah yang perlu mendapatkan perhatian adalah partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan, khususnya ditingkat Desa. Pengaturan pemerintahan Desa pada jaman orde baru menggunakan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa dengan sistem sentralistiknya, dekonsentrasi adalah menjadi tumpuannya. Komitmen yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945 kearah pemencaran melalui desentralisasi hanya sebagai sebagai slogan-slogan politik. Sehingga landasan konstitusional pemencaran kekuasaan melalui desentralisasi adalah merupakan kosa kata yang paling efektif sebagai alat dalam sistem kekuasaan yang tersentralisasi, yaitu dengan munculnya petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis secara berlebihan. Sebelum Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa ini di undangkan, desa sudah memiliki peraturan perundang-undangan yang mengaturnya, yaitu Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965 tentang Desapraja, 36 Moch Solekhan, 2014, Penyelenggaraan Pemerintahan Desa Berbasis Partisipasi Masyarakat, Setara Press, Malang, h. 27

30 73 karena undang-undang ini dirasa sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan jaman, maka undang-undang ini digantikan oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Dengan sifat Negara Kesatuan Republik Indonesia maka kedudukan pemerintahan desa sejauh mungkin diseragamkan, dengan mengindahkan keragaman keadaan Desa dan ketentuan adat istiadat yang masih berlaku untuk memperkuat pemerintahan desa agar makin mampu menggerakkan masyarakat dalam partisipasinya dalam pembangunan dan menyelenggarakan administrasi Desa yang makin meluas dan efektif serta untuk memberikan arah perkembangan dan kemajuan masyarakat yang berasaskan demokrasi Pancasila sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa Pasal 3 ayat (1) menyebutkan bahwa pemerintahan desa terdiri atas : a. Kepala Desa; b. Lembaga Musyawarah Desa. Pemerintah Desa dalam pelaksanaan tugasnya dibantu oleh perangkat Desa. Perangkat Desa terdiri atas Seretaris Desa dan Kepala Dusun. Kepala Desa diangkat oleh Bupati/Walikota atas nama Gubernur. Dari calon yang terpilih dengan masa jabatan delapan tahun terhitung sejak tanggal pelantikannya dan dapat diangkat kembali untuk satu kali masa jabatan berikutnya. Kepala Desa menjalankan hak, wewenang, dan kewajiban pimpinan pemerintah desa yaitu menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dan merupakan penyelenggara dan penanggungjawab utama di bidang pemerintahan, pembangunan dan

31 74 kemasyarakatan dalam rangka penyelenggaraan urusan pemerintahan desa, urusan pemerintahan umum termasuk pembinaan ketentraman dan ketertiban sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan menumbuhkan serta mengembangkan jiwa gotong royong masyarakat sebagai hal pokok dalam pelaksanaan pemerintahan Desa. Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintaha Desa Pasal 1 huruf a menerangkan bahwa Desa adalah suatu wilayah yang ditempati sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah Camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hak menyelenggarakan rumah tangganya dalam pengertian ini bukanlah merupakan hak otonomi, sehingga dapat di katakan bahwa dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, administrasi desa dipisahkan dari hak adat istiadat dan hak asal usul. Desa diharuskan mengikuti pola yang baku dan seragam sedangkan hak otonominya yaitu hak untuk mengatur diri sendiri, ditiadakan. Desa dalam undang-undang ini hanya satuan administratif dalam tatanan pemerintahan. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa dalam sistem pemerintahan desa saat itu memang membawa beberapa hal yang baru, mengingat undang-undang ini adalah undang-undang pertama yang mengatur mengenai Desa. Perubahan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa ini menyebabkan terjadinya beberapa perubahan yang

32 75 prinsipil dalam penyelenggaraan pemerintahan Desa di Indonesia. Beberapa perubahan tersebut antara lain : a. Secara resmi organisasi pemerintahan yang terendah dipisahkan antara yang bersifat administratif yaitu kelurahan, dengan desa yang bersifat otonom. Kebijakan tersebut mencerminkan kemauan Pemerintah Pasca 1965 yang menginginkan dilaksanakannya asas dekonsentrasi sama dan sejajar dengan azas desentralisasi. Meskipun pada zaman penjajahan Belanda melalui Indische Staatregeling 1854 Pasal 128 juga diatur kemungkinan desa yang tidak lagi memiliki otonomi atau terikat dengan hukum adat, tetapi setelah kemerdekan justru timbul keinginan yang kuat untuk mengembangkan otonomi daerah dan memelihara hukum adat sebagaimana yang tersirat dalam Pasal 18 Undang-Undang Dasar b. Untuk pertama kalinya secara nasional, pejabat dan pegawai organisasi pemerintahan yang terendah dipegang oleh pegawai negeri. Pada awal pelaksanaan ketentuan ini, pejabat-pejabat pemerintahan desa atau yang setingkat dengan itu dijadikan kelurahan, setelah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan kemudian diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil. c. Penghapusan lembaga perwakilan masyarakat desa. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, justru secara tegas meniadakan atau tidak memberi kemungkinan bagi adanya lembaga perwakilan rakyat tersebut.

EKSISTENSI DESA ADAT DAN KELEMBAGAAN LOKAL: KASUS BALI

EKSISTENSI DESA ADAT DAN KELEMBAGAAN LOKAL: KASUS BALI EKSISTENSI DESA ADAT DAN KELEMBAGAAN LOKAL: KASUS BALI Oleh : Agus Purbathin Hadi Yayasan Agribisnis/Pusat Pengembangan Masyarakat Agrikarya (PPMA) Kelembagaan Desa di Bali Bentuk Desa di Bali terutama

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN KUTAI BARAT

PEMERINTAH KABUPATEN KUTAI BARAT PEMERINTAH KABUPATEN KUTAI BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI BARAT NOMOR 24 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERDAYAAN, PELESTARIAN, PERLINDUNGAN DAN PENGEMBANGAN ADAT ISTIADAT DAN LEMBAGA ADAT DALAM WILAYAH

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG SUBAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI,

RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG SUBAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI, RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG SUBAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI, Menimbang : a. bahwa Lembaga Subak sebagai bagian dari budaya Bali merupakan organisasi

Lebih terperinci

TEMBARAN DAERAH NOMOR:3 TAHUN:1988 SERI:DNO'3 PROPINSI DAERAH TINGKAT I BALI TENTANG

TEMBARAN DAERAH NOMOR:3 TAHUN:1988 SERI:DNO'3 PROPINSI DAERAH TINGKAT I BALI TENTANG TEMBARAN DAERAH PROPINSI DAERAH TINGKAT I BALI NOMOR:3 TAHUN:1988 SERI:DNO'3 PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH TINGKAT I BALI NOMOR 06 TAHUN 1986 TENTANG KEDUDUKAN, FUNGSI DAN PERANAN DESA ADAT SEBAGAI

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG, PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG, Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 97 Peraturan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG KELEMBAGAAN MASYARAKAT ADAT LAMPUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR LAMPUNG,

PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG KELEMBAGAAN MASYARAKAT ADAT LAMPUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR LAMPUNG, PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG KELEMBAGAAN MASYARAKAT ADAT LAMPUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR LAMPUNG, Menimbang : a. bahwa adat istiadat dan Lembaga Adat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebudayaan Indonesia yang beraneka ragam terdiri dari puncak-puncak kebudayaan daerah dan setiap kebudayaan daerah mempunyai ciri-ciri khas masing-masing. Walaupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang luas, besar, dan memiliki keanekaragaman

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang luas, besar, dan memiliki keanekaragaman 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia adalah negara yang luas, besar, dan memiliki keanekaragaman akan tradisi dan budayanya. Budaya memiliki kaitan yang erat dengan kehidupan manusia, di mana

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 4 TAHUN 2012 TENTANG

PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 4 TAHUN 2012 TENTANG PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 4 TAHUN 2012 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 8 TAHUN 2002 TENTANG LEMBAGA PERKREDITAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TAPIN NOMOR 07 TAHUN 2009 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TAPIN NOMOR 07 TAHUN 2009 TENTANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN TAPIN NOMOR 07 TAHUN 2009 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN DAN MEKANISME PENYUSUNAN PERATURAN DESA, SUMBER PENDAPATAN DESA, KERJA SAMA DESA, LEMBAGA ADAT, LEMBAGA KEMASAYARATAN DAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 adalah sumber

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 adalah sumber BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 adalah sumber hukum bagi pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Proklamasi itu telah mewujudkan Negara

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN CILACAP PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR 9 TAHUN 2006

PEMERINTAH KABUPATEN CILACAP PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR 9 TAHUN 2006 PEMERINTAH KABUPATEN CILACAP PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR 9 TAHUN 2006 TENTANG PEDOMAN ORGANISASI DAN TATA KERJA PEMERINTAHAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI CILACAP Menimbang:

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 16 TAHUN 2007 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN KABUPATEN DAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 16 TAHUN 2007 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN KABUPATEN DAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG, BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 16 TAHUN 2007 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN KABUPATEN DAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG, Menimbang : a. bahwa memperhatikan Pasal

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 18 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERDAYAAN,PELESTARIAN DAN PENGEMBANGAN ADAT ISTIADAT DAN LEMBAGA ADAT

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 18 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERDAYAAN,PELESTARIAN DAN PENGEMBANGAN ADAT ISTIADAT DAN LEMBAGA ADAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 18 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERDAYAAN,PELESTARIAN DAN PENGEMBANGAN ADAT ISTIADAT DAN LEMBAGA ADAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KOTA SUKABUMI

BERITA DAERAH KOTA SUKABUMI BERITA DAERAH KOTA SUKABUMI TAHUN 2009 NOMOR 27 PERATURAN WALIKOTA SUKABUMI Tanggal : 29 Desember 2009 Nomor : 27 Tahun 2009 Tentang : PETUNJUK PELAKSANAAN PEMBENTUKAN DAN BUKU ADMINISTRASI RUKUN WARGA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi Daerah merupakan fenomena yang sangat dibutuhkan dalam era

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi Daerah merupakan fenomena yang sangat dibutuhkan dalam era BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Otonomi Daerah merupakan fenomena yang sangat dibutuhkan dalam era globalisasi, demokratisasi, terlebih dalam era reformasi. Bangsa dan negara Indonesia menumbuhkan

Lebih terperinci

BUPATI BELITUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG

BUPATI BELITUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG BUPATI BELITUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PELESTARIAN ADAT ISTIADAT DAN PEMBERDAYAAN LEMBAGA ADAT MELAYU BELITONG KABUPATEN BELITUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN KUTAI BARAT

PEMERINTAH KABUPATEN KUTAI BARAT PEMERINTAH KABUPATEN KUTAI BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI BARAT NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG PENGUKUHAN DAN PEMBINAAN MASYARAKAT HUKUM ADAT DALAM WILAYAH KABUPATEN KUTAI BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 3 TAHUN 2007 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA PEMERINTAHAN DESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 3 TAHUN 2007 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA PEMERINTAHAN DESA BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 3 TAHUN 2007 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA PEMERINTAHAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG, Menimbang : a.

Lebih terperinci

- 1 - MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA

- 1 - MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA - 1 - SALINAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2018 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DAN LEMBAGA ADAT DESA DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

ANGGARAN DASAR Tunas Indonesia Raya TIDAR

ANGGARAN DASAR Tunas Indonesia Raya TIDAR ANGGARAN DASAR Tunas Indonesia Raya TIDAR BAB I NAMA, WAKTU DAN TEMPAT KEDUDUKAN Pasal 1 1. Organisasi ini bernama TUNAS INDONESIA RAYA disingkat TIDAR, selanjutnya disebut Organisasi. 2. Organisasi ini

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR 4 TAHUN 2012 TENTANG

PERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR 4 TAHUN 2012 TENTANG PERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR 4 TAHUN 2012 TENTANG PELESTARIAN ADAT ISTIADAT DAN PEMBERDAYAAN LEMBAGA ADAT MELAYU KEPULAUAN BANGKA BELITUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

POSDAYA BERSERI DUSUN I

POSDAYA BERSERI DUSUN I CONTOH ANGGARAN DASAR POSDAYA BERSERI DUSUN I DESA BAJONG, KEC. BUKATEJA, KAB. PURBALINGGA Logo Perguruan Tinggi Logo Pemerintah Daerah MUKADIMAH Keluarga sebagai bagian integral dari Masyarakat Indonesia

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 3 TAHUN 2007 TENTANG

PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 3 TAHUN 2007 TENTANG PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 3 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 8 TAHUN 2002 TENTANG LEMBAGA PERKREDITAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI,

Lebih terperinci

WALIKOTA BANJARMASIN

WALIKOTA BANJARMASIN WALIKOTA BANJARMASIN PERATURAN DAERAH KOTA BANJARMASIN NOMOR 23 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PENYELENGGARAAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN RUKUN TETANGGA (RT) DAN RUKUN WARGA (RW) DI WILAYAH KOTA BANJARMASIN DENGAN

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 17 TAHUN 2001 TENTANG PEMBENTUKAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 17 TAHUN 2001 TENTANG PEMBENTUKAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG, PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 17 TAHUN 2001 TENTANG PEMBENTUKAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG, Menimbang : a. bahwa dengan berlakunya Undang-undang Nomor

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI JAMBI

PEMERINTAH PROVINSI JAMBI PEMERINTAH PROVINSI JAMBI PERATURAN DAERAH PROVINSI JAMBI NOMOR 5 TAHUN 2007 TENTANG LEMBAGA ADAT MELAYU JAMBI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAMBI, Menimbang : a. bahwa adat istiadat dan Lembaga

Lebih terperinci

WALIKOTA MAGELANG PERATURAN DAERAH KOTA MAGELANG NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG RUKUN TETANGGA DAN RUKUN WARGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

WALIKOTA MAGELANG PERATURAN DAERAH KOTA MAGELANG NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG RUKUN TETANGGA DAN RUKUN WARGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MAGELANG PERATURAN DAERAH KOTA MAGELANG NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG RUKUN TETANGGA DAN RUKUN WARGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MAGELANG, Menimbang : Mengingat : a. bahwa untuk meningkatkan

Lebih terperinci

GUBERNUR BALI PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG LEMBAGA PERKREDITAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI,

GUBERNUR BALI PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG LEMBAGA PERKREDITAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI, GUBERNUR BALI PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG LEMBAGA PERKREDITAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI, Menimbang : a. bahwa Lembaga Perkreditan Desa diperlukan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN PURWOREJO

PEMERINTAH KABUPATEN PURWOREJO PEMERINTAH KABUPATEN PURWOREJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR 13 TAHUN 2009 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DAN KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURWOREJO, Menimbang :

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARANGANYAR NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KARANGANYAR,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARANGANYAR NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KARANGANYAR, PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARANGANYAR NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KARANGANYAR, Menimbang Mengingat : a. bahwa Desa memiliki hak asal

Lebih terperinci

KOORDINASI ANTARA DESA DINAS DAN DESA PAKRAMAN DALAM DINAMIKA PENANGANAN TERHADAP PENDUDUK PENDATANG DI BALI

KOORDINASI ANTARA DESA DINAS DAN DESA PAKRAMAN DALAM DINAMIKA PENANGANAN TERHADAP PENDUDUK PENDATANG DI BALI KOORDINASI ANTARA DESA DINAS DAN DESA PAKRAMAN DALAM DINAMIKA PENANGANAN TERHADAP PENDUDUK PENDATANG DI BALI Oleh: A.A Gede Raka Putra Adnyana I Nyoman Bagiastra Bagian Hukum Dan Masyarakat ABSTRACT The

Lebih terperinci

CATATAN KETERANGAN PEMERINTAH TENTANG RUU DESA.

CATATAN KETERANGAN PEMERINTAH TENTANG RUU DESA. CATATAN KETERANGAN PEMERINTAH TENTANG RUU DESA. Disampaikan oleh Mendagri dalam Keterangan Pemerintah tentang RUU Desa, bahwa proses penyusunan rancangan Undang-undang tentang Desa telah berusaha mengakomodasi

Lebih terperinci

KONSEP TRI HITA KARANA DALAM SUBAK

KONSEP TRI HITA KARANA DALAM SUBAK 1 KONSEP TRI HITA KARANA DALAM SUBAK oleh Ni Putu Ika Nopitasari Suatra Putrawan Bagian Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT Tri Hita Karana is a basic concept that have been

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN MOJOKERTO

PEMERINTAH KABUPATEN MOJOKERTO PEMERINTAH KABUPATEN MOJOKERTO PERATURAN DAERAH KABUPATEN MOJOKERTO NOMOR 14 TAHUN 2006 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DI KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MOJOKERTO, Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. batas-batas wilayah dihuni oleh sejumlah penduduk dan mempunyai adat-istiadat

BAB I PENDAHULUAN. batas-batas wilayah dihuni oleh sejumlah penduduk dan mempunyai adat-istiadat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Desentralisasi dan otonomi daerah sangat berkaitan erat dengan desa dan pemerintahan desa. Desa merupakan organisasi komunitas lokal yang mempunyai batas-batas wilayah

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN JENEPONTO

PEMERINTAH KABUPATEN JENEPONTO PEMERINTAH KABUPATEN JENEPONTO PERATURAN DAERAH KABUPATEN JENEPONTO NOMOR : TAHUN 2007 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JENEPONTO Menimbang : a. bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

BUPATI LUWU UTARA PROVINSI SULAWESI SELATAN

BUPATI LUWU UTARA PROVINSI SULAWESI SELATAN BUPATI LUWU UTARA PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU UTARA NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LUWU UTARA, Menimbang :

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASIR NOMOR 3 TAHUN 2000 TENTANG PEMBERDAYAAN, PELESTARIAN, PERLINDUNGAN DAN PENGEMBANGAN ADAT ISTIADAT DAN LEMBAGA ADAT

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASIR NOMOR 3 TAHUN 2000 TENTANG PEMBERDAYAAN, PELESTARIAN, PERLINDUNGAN DAN PENGEMBANGAN ADAT ISTIADAT DAN LEMBAGA ADAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASIR NOMOR 3 TAHUN 2000 TENTANG PEMBERDAYAAN, PELESTARIAN, PERLINDUNGAN DAN PENGEMBANGAN ADAT ISTIADAT DAN LEMBAGA ADAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PASIR Mengingat

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.116, 2013 HAK ASASI MANUSIA. Organisasi Kemasyarakatan. Pendirian-Pengawasan. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5430)

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2004 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2004 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2004 TENTANG KEDUDUKAN PROTOKOLER DAN KEUANGAN PIMPINAN DAN ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2002 NOMOR 38 SERI D

BERITA DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2002 NOMOR 38 SERI D BERITA DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2002 NOMOR 38 SERI D KEPUTUSAN BUPATI BANJARNEGARA NOMOR : 449 TAHUN 2002 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN RUKUN TETANGGA DAN RUKUN WARGA DI DESA BUPATI BANJARNEGARA,

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN LAHAT

PEMERINTAH KABUPATEN LAHAT PEMERINTAH KABUPATEN LAHAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAHAT NOMOR : 01 TAHUN 2008 TENTANG PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LAHAT, Menimbang : a. bahwa batas desa

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2004 TENTANG KEDUDUKAN PROTOKOLER DAN KEUANGAN PIMPINAN DAN ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 4 TAHUN 2007 TENTANG PERANGKAT DESA LAINNYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG,

BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 4 TAHUN 2007 TENTANG PERANGKAT DESA LAINNYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG, BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 4 TAHUN 2007 TENTANG PERANGKAT DESA LAINNYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG, Menimbang : a. bahwa dengan berlakunya Undang Undang Nomor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perkawinan merupakan hal yang sakral dilakukan oleh setiap manusia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perkawinan merupakan hal yang sakral dilakukan oleh setiap manusia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan merupakan hal yang sakral dilakukan oleh setiap manusia di dunia ini, termasuk di Indonesia. Sejak dilahirkan di dunia manusia sudah mempunyai kecenderungan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Kerangka Teoritis 2.1.1 Pemerintahan Daerah Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah menyatakan bahwa, Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI LEMBARAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI NOMOR : 4 TAHUN 2007 SERI : D NOMOR : 4 PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI NOMOR 4 TAHUN 2007 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA PEMERINTAHAN DESA

Lebih terperinci

PENJELASAN UNDANG UNDANG NO. 5 TAHUN 1979 PEMERINTAHAN DESA

PENJELASAN UNDANG UNDANG NO. 5 TAHUN 1979 PEMERINTAHAN DESA PENJELASAN UNDANG UNDANG NO. 5 TAHUN 1979 TENTANG PEMERINTAHAN DESA I. UMUM 1. Yang dimaksud dengan Desa dalam judul Undang undang ini adalah Desa dan Kelurahan sebagaimana dimaksud dalarn Pasal 1 huruf

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA NOMOR 9 TAHUN 2006 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN DAN PENGGABUNGAN KELURAHAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA NOMOR 9 TAHUN 2006 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN DAN PENGGABUNGAN KELURAHAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA NOMOR 9 TAHUN 2006 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN DAN PENGGABUNGAN KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUTAI KARTANEGARA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. daerah di Indonesia. Sumatera Barat dengan sistem pemerintahan nagari yang. tersendiri yang berbeda dengan masyarakat Indonesia.

I. PENDAHULUAN. daerah di Indonesia. Sumatera Barat dengan sistem pemerintahan nagari yang. tersendiri yang berbeda dengan masyarakat Indonesia. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sumatera Barat adalah salah satu Provinsi di Indonesia yang memakai sistem pemerintahan lokal selain pemerintahan desa yang banyak dipakai oleh berbagai daerah

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT

PEMERINTAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT PEMERINTAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT Menimbang : PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT NOMOR 5 TAHUN 2008 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DI DESA / KELURAHAN DALAM KABUPATEN TANJUNG JABUNG

Lebih terperinci

BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 8 TAHUN 2007

BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 8 TAHUN 2007 BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 8 TAHUN 2007 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 14 TAHUN 2006 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN BUPATI KUDUS, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PROVINSI RIAU PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG PENETAPAN KAMPUNG ADAT DI KABUPATEN SIAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PROVINSI RIAU PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG PENETAPAN KAMPUNG ADAT DI KABUPATEN SIAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PROVINSI RIAU PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG PENETAPAN KAMPUNG ADAT DI KABUPATEN SIAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SIAK, Menimbang : a. bahwa negara mengakui dan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2005 TENTANG KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2005 TENTANG KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2005 TENTANG KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 127 ayat

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BARITO SELATAN NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PEMBERDAYAAN, PELESTARIAN DAN PENGEMBANGAN ADAT ISTIADAT DAN LEMBAGA ADAT

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BARITO SELATAN NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PEMBERDAYAAN, PELESTARIAN DAN PENGEMBANGAN ADAT ISTIADAT DAN LEMBAGA ADAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN BARITO SELATAN NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PEMBERDAYAAN, PELESTARIAN DAN PENGEMBANGAN ADAT ISTIADAT DAN LEMBAGA ADAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BARITO SELATAN,

Lebih terperinci

NOMOR 31 TAHUN 2002 TENTANG PARTAI POLITIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

NOMOR 31 TAHUN 2002 TENTANG PARTAI POLITIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2002 TENTANG PARTAI POLITIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang a. bahwa kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2002 TENTANG PARTAI POLITIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2002 TENTANG PARTAI POLITIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2002 TENTANG PARTAI POLITIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN DAERAH KOTA SURABAYA NOMOR TAHUN TENTANG

RANCANGAN PERATURAN DAERAH KOTA SURABAYA NOMOR TAHUN TENTANG RANCANGAN PERATURAN DAERAH KOTA SURABAYA NOMOR TAHUN TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN LEMBAGA PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELURAHAN, RUKUN WARGA DAN RUKUN TETANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SURABAYA,

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA TANGERANG

LEMBARAN DAERAH KOTA TANGERANG LEMBARAN DAERAH KOTA TANGERANG Nomor 3 Tahun 2011 PERATURAN DAERAH KOTA TANGERANG NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG RUKUN TETANGGA DAN RUKUN WARGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TANGERANG, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUPANG NOMOR 11 TAHUN 2001 TENTANG PEMBENTUKAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUPANG,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUPANG NOMOR 11 TAHUN 2001 TENTANG PEMBENTUKAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUPANG, PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUPANG NOMOR 11 TAHUN 2001 TENTANG PEMBENTUKAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUPANG, Menimbang : Dalam rangka upaya pemberdayaan masyarakat

Lebih terperinci

- 1 - PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 73 TAHUN 2005 TENTANG KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

- 1 - PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 73 TAHUN 2005 TENTANG KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, - 1 - PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 73 TAHUN 2005 TENTANG KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 127 ayat (1) Undang-Undang

Lebih terperinci

PP 24/2004, KEDUDUKAN PROTOKOLER DAN KEUANGAN PIMPINAN DAN ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH

PP 24/2004, KEDUDUKAN PROTOKOLER DAN KEUANGAN PIMPINAN DAN ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH Copyright (C) 2000 BPHN PP 24/2004, KEDUDUKAN PROTOKOLER DAN KEUANGAN PIMPINAN DAN ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH *40798 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 24 TAHUN 2004 (24/2004)

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR

LEMBARAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR LEMBARAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 7 2017 PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG HAK KEUANGAN DAN ADMINISTRATIF PIMPINAN DAN ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT

Lebih terperinci

BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 5 TAHUN 2007 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG,

BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 5 TAHUN 2007 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG, BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 5 TAHUN 2007 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG, Menimbang : a. bahwa dengan berlakunya Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengakuan Keberadaan Masyarakat Hukum Adat Menurut UndangUndang Nomor 41 Tahun 1999

BAB III TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengakuan Keberadaan Masyarakat Hukum Adat Menurut UndangUndang Nomor 41 Tahun 1999 BAB III TINJAUAN PUSTAKA A. Pengakuan Keberadaan Masyarakat Hukum Adat Menurut UndangUndang Nomor 41 Tahun 1999 Pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang

Lebih terperinci

BUPATI BANTUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN ORGANISASI PEMERINTAH DESA

BUPATI BANTUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN ORGANISASI PEMERINTAH DESA BUPATI BANTUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN ORGANISASI PEMERINTAH DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANTUL, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 73 TAHUN 2005 TENTANG KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 73 TAHUN 2005 TENTANG KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 73 TAHUN 2005 TENTANG KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 127 ayat (1) Undang-Undang

Lebih terperinci

WALIKOTA MADIUN SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 07 TAHUN 2013 TENTANG RUKUN TETANGGA DAN RUKUN WARGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

WALIKOTA MADIUN SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 07 TAHUN 2013 TENTANG RUKUN TETANGGA DAN RUKUN WARGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MADIUN SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 07 TAHUN 2013 TENTANG RUKUN TETANGGA DAN RUKUN WARGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MADIUN, Menimbang : a. bahwa dalam upaya meningkatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan menganut Asas

BAB I PENDAHULUAN. Negara Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan menganut Asas BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Negara Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan menganut Asas Desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, dengan memberikan kesempatan dan keleluasaan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 8 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERDAYAAN PELESTARIAN, PENGEMBANGAN ADAT ISTIADAT DAN KEDAMANGAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 8 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERDAYAAN PELESTARIAN, PENGEMBANGAN ADAT ISTIADAT DAN KEDAMANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 8 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERDAYAAN PELESTARIAN, PENGEMBANGAN ADAT ISTIADAT DAN KEDAMANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KOTAWARINGIN BARAT

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1975 TENTANG PARTAI POLITIK DAN GOLONGAN KARYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1975 TENTANG PARTAI POLITIK DAN GOLONGAN KARYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 1975 TENTANG PARTAI POLITIK DAN GOLONGAN KARYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka penyederhanaan dan pendayagunaan kehidupan politik,

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULELENG NOMOR 7 TAHUN 2006 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN DAN PERUBAHAN STATUS DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULELENG NOMOR 7 TAHUN 2006 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN DAN PERUBAHAN STATUS DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULELENG NOMOR 7 TAHUN 2006 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN DAN PERUBAHAN STATUS DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULELENG, Menimbang : a. bahwa untuk memenuhi

Lebih terperinci

BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 18 TAHUN 2017 TENTANG PEMBERDAYAAN DAN PEMBINAAN LEMBAGA ADAT

BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 18 TAHUN 2017 TENTANG PEMBERDAYAAN DAN PEMBINAAN LEMBAGA ADAT BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 18 TAHUN 2017 TENTANG PEMBERDAYAAN DAN PEMBINAAN LEMBAGA ADAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KOTABARU, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 23 TAHUN 2006 TENTANG PEMBENTUKAN BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 23 TAHUN 2006 TENTANG PEMBENTUKAN BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 23 TAHUN 2006 TENTANG PEMBENTUKAN BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEMBRANA, Menimbang : a. bahwa berdasarkan Pasal 42 ayat

Lebih terperinci

BUPATI BADUNG PROVINSI BALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DESA

BUPATI BADUNG PROVINSI BALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DESA BUPATI BADUNG PROVINSI BALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG, Meninbang : a. bahwa Negara mengakui

Lebih terperinci

PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI PANDEGLANG NOMOR 82 TAHUN 2016 TENTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PANDEGLANG,

PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI PANDEGLANG NOMOR 82 TAHUN 2016 TENTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PANDEGLANG, PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI PANDEGLANG NOMOR 82 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN RUKUN TETANGGA DAN RUKUN WARGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PANDEGLANG, Menimbang Mengingat : : bahwa

Lebih terperinci

QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 4 TAHUN 2003 TENTANG PEMERINTAHAN MUKIM DALAM PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM

QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 4 TAHUN 2003 TENTANG PEMERINTAHAN MUKIM DALAM PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 4 TAHUN 2003 TENTANG PEMERINTAHAN MUKIM DALAM PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR PROVINSI

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERUYAN NOMOR 25 TAHUN 2006 TENTANG PEMBENTUKAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN DI DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERUYAN NOMOR 25 TAHUN 2006 TENTANG PEMBENTUKAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN DI DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERUYAN NOMOR 25 TAHUN 2006 TENTANG PEMBENTUKAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN DI DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SERUYAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka pelaksanaan

Lebih terperinci

WALIKOTA MADIUN SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 07 TAHUN 2013 TENTANG RUKUN TETANGGA DAN RUKUN WARGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

WALIKOTA MADIUN SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 07 TAHUN 2013 TENTANG RUKUN TETANGGA DAN RUKUN WARGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MADIUN SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 07 TAHUN 2013 TENTANG RUKUN TETANGGA DAN RUKUN WARGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MADIUN, Menimbang : a. bahwa dalam upaya meningkatkan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN KETAPANG

PEMERINTAH KABUPATEN KETAPANG PEMERINTAH KABUPATEN KETAPANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN KETAPANG NOMOR 3 TAHUN 2007 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA PEMERINTAHAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KETAPANG,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mana masyarakat itu berada serta pergaulan masyarakatnya. 2 Kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. mana masyarakat itu berada serta pergaulan masyarakatnya. 2 Kehidupan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan adalah salah satu tahap penting dalam kehidupan manusia. Perkawinan dapat merubah status kehidupan manusia dari belum dewasa menjadi dewasa atau anak muda

Lebih terperinci

Halaman PEMBUKAAN

Halaman PEMBUKAAN Halaman - 1 - PEMBUKAAN 1. Dengan Rachmat Tuhan Yang Maha Esa, Bangsa Indonesia melalui perjuangan yang luhur telah mencapai Kemerdekaannya yang telah diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Dalam

Lebih terperinci

BUPATI GROBOGAN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN GROBOGAN NOMOR TAHUN 2015 TENTANG KEWENANGAN DAN KELEMBAGAAN DESA

BUPATI GROBOGAN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN GROBOGAN NOMOR TAHUN 2015 TENTANG KEWENANGAN DAN KELEMBAGAAN DESA BUPATI GROBOGAN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN GROBOGAN NOMOR TAHUN 2015 TENTANG KEWENANGAN DAN KELEMBAGAAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI GROBOGAN, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN BARITO UTARA

PEMERINTAH KABUPATEN BARITO UTARA PEMERINTAH KABUPATEN BARITO UTARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BARITO UTARA NOMOR 8 TAHUN 2007 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BARITO UTARA, Menimbang : a. bahwa dengan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAMBI NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAMBI NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG 1 SALINAN GUBENUR JAMBI PERATURAN DAERAH PROVINSI JAMBI NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG KEDUDUKAN PROTOKOLER DAN PELAKSANAAN HAK KEUANGAN PIMPINAN DAN ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI JAMBI GUBERNUR

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA BEKASI

LEMBARAN DAERAH KOTA BEKASI LEMBARAN DAERAH KOTA BEKASI NOMOR : 5 2015 SERI : E PERATURAN DAERAH KOTA BEKASI NOMOR 05 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN RUKUN TETANGGA DAN RUKUN WARGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan menyelenggarakan kegiatan-kegiatan keagamaan, kepercayaan kepada leluhur

BAB I PENDAHULUAN. dan menyelenggarakan kegiatan-kegiatan keagamaan, kepercayaan kepada leluhur BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Desa Adat Kuta sebagaimana desa adat lainnya di Bali, merupakan suatu lembaga adat yang secara tradisi memiliki peran dalam mengorganisasi masyarakat dan menyelenggarakan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 13 TAHUN 2010 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DAN KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 13 TAHUN 2010 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DAN KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 13 TAHUN 2010 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DAN KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEPARA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka pemberdayaan masyarakat

Lebih terperinci

QANUN ACEH NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG LEMBAGA ADAT BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR NANGGROE ACEH DARUSSALAM,

QANUN ACEH NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG LEMBAGA ADAT BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR NANGGROE ACEH DARUSSALAM, QANUN ACEH NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG LEMBAGA ADAT BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR NANGGROE ACEH DARUSSALAM, Menimbang : a. bahwa lembaga adat yang berkembang dalam

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PAMEKASAN NOMOR. TAHUN. TENTANG RUKUN TETANGGA DAN RUKUN WARGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG ESA BUPATI PAMEKASAN,

RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PAMEKASAN NOMOR. TAHUN. TENTANG RUKUN TETANGGA DAN RUKUN WARGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG ESA BUPATI PAMEKASAN, RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PAMEKASAN NOMOR. TAHUN. TENTANG RUKUN TETANGGA DAN RUKUN WARGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG ESA BUPATI PAMEKASAN, Menimbang : a. bahwa usaha untuk menumbuhkembangkan inisiatif

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2017 TENTANG HAK KEUANGAN DAN ADMINISTRATIF PIMPINAN DAN ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2017 TENTANG HAK KEUANGAN DAN ADMINISTRATIF PIMPINAN DAN ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2017 TENTANG HAK KEUANGAN DAN ADMINISTRATIF PIMPINAN DAN ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II KAMPAR HAK TANAH ULAYAT

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II KAMPAR HAK TANAH ULAYAT LEMBARAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II KAMPAR PERATURAN DAERAH KABUPATEN KAMPAR NOMOR : 12 TAHUN1999 TENTANG HAK TANAH ULAYAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI II KAMPAR Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA BARAT NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PEMBENTUKAN BADAN PERMUSYAWARATAN DESA

PERATURAN DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA BARAT NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PEMBENTUKAN BADAN PERMUSYAWARATAN DESA PERATURAN DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA BARAT NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PEMBENTUKAN BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA BARAT, Menimbang : a. bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

BUPATI ENREKANG PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN ENREKANG NOMOR 1 TAHUN 2016

BUPATI ENREKANG PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN ENREKANG NOMOR 1 TAHUN 2016 P BUPATI ENREKANG PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN ENREKANG NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN TERHADAP MASYARAKAT HUKUM ADAT DI KABUPATEN ENREKANG DENGAN

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN WONOSOBO PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOSOBO NOMOR 6 TAHUN 2008 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN DAN ATAU PENGGABUNGAN DESA

PEMERINTAH KABUPATEN WONOSOBO PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOSOBO NOMOR 6 TAHUN 2008 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN DAN ATAU PENGGABUNGAN DESA SALINAN PEMERINTAH KABUPATEN WONOSOBO PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOSOBO NOMOR 6 TAHUN 2008 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN DAN ATAU PENGGABUNGAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI WONOSOBO,

Lebih terperinci

PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN TEMANGGUNG NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN TEMANGGUNG NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN TEMANGGUNG NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TEMANGGUNG, Menimbang : a. bahwa berdasarkan Undang-Undang

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 9 TAHUN 2001 TENTANG PEMBENTUKAN BADAN PERWAKILAN DESA ( BPD ) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 9 TAHUN 2001 TENTANG PEMBENTUKAN BADAN PERWAKILAN DESA ( BPD ) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 9 TAHUN 2001 TENTANG PEMBENTUKAN BADAN PERWAKILAN DESA ( BPD ) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG, Menimbang : a. bahwa dengan berlakunya Undang-Undang

Lebih terperinci

KEPUTUSAN RAPAT ANGGOTA BANJAR DHARMA AGUNG KUPANG NOMOR : 2/KEP/R.ANGG/2013 TENTANG ANGGARAN RUMAH TANGGA BANJAR DHARMA AGUNG KUPANG

KEPUTUSAN RAPAT ANGGOTA BANJAR DHARMA AGUNG KUPANG NOMOR : 2/KEP/R.ANGG/2013 TENTANG ANGGARAN RUMAH TANGGA BANJAR DHARMA AGUNG KUPANG KEPUTUSAN RAPAT ANGGOTA BANJAR DHARMA AGUNG KUPANG NOMOR : 2/KEP/R.ANGG/2013 TENTANG ANGGARAN RUMAH TANGGA BANJAR DHARMA AGUNG KUPANG RAPAT ANGGOTA BANJAR DHARMA AGUNG KUPANG, Menimbang : a. Bahwa sadar

Lebih terperinci

BUPATI GROBOGAN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN GROBOGAN NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG KEWENANGAN DAN KELEMBAGAAN DESA

BUPATI GROBOGAN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN GROBOGAN NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG KEWENANGAN DAN KELEMBAGAAN DESA BUPATI GROBOGAN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN GROBOGAN NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG KEWENANGAN DAN KELEMBAGAAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI GROBOGAN, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci