BAB VIII PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA INDONESIA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB VIII PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA INDONESIA"

Transkripsi

1 BAB VIII PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA INDONESIA A. Latar Belakang Memburuknya situasi keamanan dan hak asasi manusia di Timor Timur pasca jajak pendapat tahun 1999 menarik perhatian dunia internasional, khususnya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), untuk mengambil tindakan yang dianggap perlu untuk memulihkan keadaan tersebut. Menurut laporan Komisi Penyidik Pelanggaran (KPP) Hak Asasi Manusia untuk Timor Timur telah terjadi beberapa pelanggaran berat hak asasi manusia di antaranya adalah pembunuhan massal, penyiksaan dan penganiayaan, penghilangan paksa, kekerasan berbasis gender, pemindahan penduduk secara paksa dan pembumihangusan. Dewan Keamanan PBB (DK PBB) kemudian mengeluarkan Resolusi Nomor 1264 Tahun 1999 yang isinya mengecam pelanggaran berat hak asasi manusia yang terjadi pasca jajak pendapat di Timor-Timur, penyerangan terhadap personil kemanusiaan nasional dan internasional, dan menderitanya rakyat sipil akibat pemindahan paksa secara besar-besaran. Oleh karena itu DK PBB meminta para pelaku pelanggaran berat hak asasi manusia tersebut mempertanggungjawabkan tindakannya di muka pengadilan. 473 Menyikapi Resolusi DK PBB tersebut yang merupakan bentuk desakan dunia internasional dan demi untuk melindungi kepentingan nasional yang lebih besar lagi, Pemerintah Indonesia akhirnya setuju untuk membentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia dengan mengundangkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tanggal 23 Nopember 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia sebagai pengganti PERPU Nomor 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia karena PERPU ini oleh DPR dianggap tidak memadai sehingga tidak disetujui sebagai undang-undang. 474 Pendirian Pengadilan 473 Pasal 25 Piagam PBB jo. Pasal 2(6) jo Pasal 49 menyatakan semua negara di dunia terikat secara hukum internasional untuk mengikuti keputusan-keputusan yang ditetapkan oleh DK PBB. Jika tidak ditaati, maka DK PBB berhak menjatuhkan sanksi kepada negara tersebut, berupa sanski ekonormi (Pasal 41), dan apabila dipandang perlu melakukan sanksi militer (Pasal 42). 474 Eddy Djunaedi Karnasudirdja, Dari Pengadilan Militer Internasional Nuremberg ke Pengadilan Hak Asasi Manusia Indonesia, PT. Tatanusa, Jakarta, 2003, hlm

2 Hak Asasi Manusia ini merupakan pelaksanaan dari Pasal 104 paragrap (1) Undang- Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. B. Pengadilan Hak Asasi Manusia Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Pengadilan Hak Asasi Manusia Indonesia adalah pengadilan khusus terhadap pelanggaran berat hak asasi manusia. Definisi pelanggaran berat hak asasi manusia dapat dilihat dalam penjelasan Pasal 104 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa pelanggaran berat hak asasi manusia adalah: pembunuhan massal (genocide), pembunuhan sewenang-wenang atau di luar putusan pengadilan (arbitrary/extra judicial killing), penyiksaan, penghilangan orang secara paksa, perbudakan, atau diskriminasi yang dilakukan secara sistematis (systematic discrimination). Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 sendiri tidak mendefinisikan pengertian istilah pelanggaran berat hak asasi manusia, melainkan hanya menyebut kategori kejahatan yang merupakan pelanggaran berat hak asasi manusia, yakni: kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan genosida Yang dimaksudkan dengan kejahatan genosida 475 adalah : setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis dan kelompok agama, dengan cara: a. membunuh anggota kelompok; b. mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggotaanggota kelompok; c. menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagian; d. memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan memaksakan kelahiran di dalam kelompok; dan e. memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain 475 Lihat Pasal 8 Undang-Undang 26 Tahun

3 Selanjutnya, yang dimaksud dengan kejahatan terhadap kemanusiaan 476 adalah: salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas dan sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil berupa: a. pembunuhan; b. pemusnahan; c. perbudakan; d. pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa; e. perampasan kemerdekaan atau perampasan secara fisik lain secara sewenangwenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional; f. penyiksaan; g. perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara; h. penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional; i. penghilangan orang secara paksa; atau j. kejahatan apartheid Definisi kedua jenis kejahatan di atas merupakan pengadopsian dari kejahatan yang merupakan yurisdiksi International Criminal Court (ICC) seperti diatur dalam Pasal 6 dan 7 Statuta Roma. 477 Statuta Roma sebagai dasar pendirian ICC telah berlaku sejak diratifikasi oleh 60 negara yakni pada tanggal 1 Juli Indonesia sendiri belum menjadi Negara Pihak ICC. Statuta Roma juga dilengkapi dengan aturan terpisah yakni Rules of Procedure and Evidence mengenai hukum acaranya serta Element of Crimes mengenai penjelasan unsur-unsur kejahatan yang merupakan yurisdiksi ICC yakni kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida. Element of Crimes ini 476 Lihat Pasal 9 Undang-Undang 26 Tahun Lihat penjelasan Pasal 7 Undang-Undang 26 Tahun

4 ditujukan untuk memberikan kesamaan pemahaman bagi hakim dan aparat penegak hukum ICC serta batasan terhadap bentuk-bentuk kejahatan yang merupakan yurisdiksi ICC. Di Indonesia sendiri, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tidak dilengkapi Element of Crimes bagi kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan genosida serta pertanggungjawaban komando, sehingga seringkali membingungkan para penegak hukum khususnya hakim ketika harus menafsirkannya sebagai suatu tindak pidana/delik yang merupakan Pelanggaran berat hak asasi manusia. Beberapa kasus di Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc untuk Timor-Timur membuktikan terdapatnya pemahaman yang berbeda-beda dari hakim ketika menafsirkan suatu perbuatan yang digolongkan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan karena referensi yang mereka gunakan pun berbeda. Selain itu, jika dicermati, terdapat begitu banyak ketidakteraturan penggunaan padanan bahasa Indonesia untuk istilah-istilah bahasa asing yang dikutip dan diserap dari instrumen internasional yang bersangkutan, dalam hal ini Rome Statute of the International Criminal Court (Statuta Roma Pengadilan Pidana Internasional), Misalnya, kata directed against civilian population diterjemahkan menjadi ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil. Penambahan kata langsung disini berimplikasi pada sulitnya menjangkau pelaku yang bukan pelaku lapangan. Selanjutnya, definisi kejahatan terhadap kemanusiaan dalam Undang-Undang 26 Tahun 2000 tidak mencantumkan ketentuan huruf (k) dalam Statuta Roma 478 yang berisi : tindakan-tindakan tidak berperikemanusiaan lain yang mempunyai sifat yang sama yang dengan sengaja menyebabkan penderitaan yang luar biasa atau luka yang serius terhadap kesehatan tubuh atau mental. Dikhawatirkan definisi kejahatan terhadap kemanusiaan dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tidak dapat mengakomodir bentuk-bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan lain yang sudah berkembang dewasa ini. Ketidakteraturan padanan bahasa Indonesia yang dikutip dari teks asli dalam hal ini Statuta Roma juga dapat terlihat dalam Pasal 42 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Tanggung Jawab Komando yang berbunyi: 478 Lihat Pasal 7 (k) Statuta Roma. 360

5 (1) Komandan militer atau seseorang yang secara efektif bertindak sebagai komandan militer dapat dipertanggungjawabkan terhadap tindak pidana yang berada di dalam jurisdiksi Pengadilan Hak Asasi Manusia, yang dilakukan pasukan yang berada di bawah komando dan pengendaliannya yang efektif atau di bawah kekuasaan dan pengendaliannya yang efektif dan tindak pidana tersebut merupakan akibat dari tidak dilakukannya pengendalian pasukan secara patut, yaitu: a. komandan militer atau seseorang tersebut mengetahui, atau atas dasar keadaan saat itu, seharusnya mengetahui bahwa pasukan tersebut sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran berta hak asasi manusia; dan b. Komandan militer atau seseorang tersebut tidak melakukan tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kekuasannya untuk mencegah atau menghentikan perbuatan tersebut atau menyerahkan pelakunya pada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan; (2) Seseorang atasan, baik polisi maupun sipil lainnya bertanggung jawab secara pidana terhadap pelanggaran berat hak asasi manusia yang dilakukan oleh bawahannya yang berada di bawah kekuasaan dan pengendaliannya yang efektif, karena atasan tersebut tidak melakukan pengendalian terhadap bawahannya secara patut dan benar a. atasan tersebut mengetahui atau secara sadar mengabaikan informasi yg secara jelas menunjukkan bahwa bawahan sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran berat hak asasi manusia; dan b. atasan tersebut tidak mengambil tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kewenangannya untuk mencegah atau menghentikan perbuatan tersebut atau menyerahkan pelakunya pada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan (penulisan huruf miring dan garis bawah oleh penulis). Pasal 42 Undang-Undang ini menggunakan istilah dapat dan menghilangkan kata secara pidana sedangkan dalam teks asli Pasal 28 (a) Statuta Roma menggunakan 361

6 istilah shall be criminally responsible yang padanan katanya adalah harus bertanggung jawab secara pidana. Hal ini dapat menimbulkan penafsiran ganda bagi kalangan penegak hukum karena dapat diartikan bahwa seorang komandan tidak selalu harus dipertanggungjawabkan secara pidana atas tindakan bawahannya. Penggunaan istilah dapat dan penghilangan kata secara pidana ini tidak sejalan dengan maksud dari Pasal 28 (a) Statuta Roma, juga dengan Pasal 42 (b) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 jo Pasal 28 (b) Statuta Roma 479. Pasal 42 adalah pasal yang penting dalam Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 karena pasal ini merupakan dasar hukum bagi komandan militer atau individu lain yang berada dalam posisi atasan atau pemegang kekuasaan komando lainnya untuk bertanggungjawab secara pidana atas kelalaian atau kegagalannya untuk melaksanakan pengendalian terhadap anak buahnya sehingga terjadi kejahatan internasional. Hampir semua terdakwa Pengadilan Hak Asasi Manusia baik Ad Hoc (untuk kasus Timor-Timur dan Tanjung Priok) serta permanen (untuk kasus Abepura) dituntut berdasarkan pasal 42 ini, karena sebagian besar dari mereka adalah seorang atasan baik sipil maupun militer. Dan dengan ketidakteraturan penggunaan padanan bahasa Indonesia dalam pasal ini, tidak mengherankan apabila sebagian besar dari mereka diputus bebas oleh Pengadilan. 480 Pengadilan Hak Asasi Manusai Indonesia berwenang untuk mengadili pelanggaran berat hak asasi manusia setelah Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 berlaku. Bagi pelanggaran berat hak asasi manusia yang terjadi sebelum Undang- Undang Nomor 26 Tahun 2000 diundangkan maka, seperti yang diatur dalam Pasal 43, dilaksanakan oleh Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc yang dibentuk dengan Keputusan Presiden berdasarkan usul Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Ini merupakan perkecualian dari azas non-retroaktif, di mana seseorang tidak dapat diadili atas hukum yang berlaku surut yakni berdasarkan undang-undang yang pada saat tindak pidana itu dilakukan belum diundangkan. 481 Dalam hal pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc harus berdasarkan usul dari DPR, Undang-Undang ini tidak 479 Rudi Rizki et al, Draft Unsur-Unsur Pertanggungjawaban Komando, The Asia Foundation & ELSAM, Jakarta, 2005, hlm.6. (tidak dipublikasilkan) 480 Lihat Lampiran. 481 Lihat Pasal 1 (1) KUHP. 362

7 menerangkan lebih lanjut mengenai prosedur yang harus ditempuh hingga akhirnya DPR mengusulkan kepada Presiden bahwa situasi tertentu merupakan pelanggaran berat hak asasi manusia. 482 Hal ini seringkali disalahtafsirkan bahwa DPR-lah yang berwenang untuk menentukan bahwa suatu peristiwa merupakan pelanggaran berat hak asasi manusia atau bukan, padahal sebagai lembaga politik DPR tidak memiliki kewenangan sebagai penyelidik yang merupakan tindakan judicial dan merupakan kewenangan Komnas HAM seperti yang diatur dalam Undang-Undang. 483 Sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 sembilan peristiwa yang diduga merupakan pelanggaran berat hak asasi manusia telah diselidiki oleh Komnas HAM. Peristiwa-peristiwa tersebut menurut urutan waktu terjadinya adalah peristiwa Tanjung Priok 1984, Peristiwa Kerusuhan Mei 1998, Peristiwa Trisakti 1998, Peristiwa Semanggi 1998, Peristiwa Semanggi 1999, Peristiwa Timor Timur 1999, Peristiwa Abepura 2000, Peristiwa Wasior , dan Peristiwa Wamena Penyelidikan peristiwa-peristiwa di atas dilakukan oleh Komnas HAM dengan membentuk tim ad hoc sebagaimana dimaksud oleh Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000, sampai dengan 2001 dengan nama Komisi Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia (KPP HAM) dan, sejak 2003, dengan nama Tim ad hoc Penyelidikan (Tim ad hoc). Liputan peristiwa yang diselidiki oleh tim ad hoc dapat mencakup hanya satu peristiwa saja (dalam hal ini KPP HAM Peristiwa Tanjung Priok 1984, KPP HAM Peristiwa Timor Timur 1999, KPP HAM Peristiwa Abepura 2000, dan Tim Ad Hoc Peristiwa Kerusuhan Mei 1998) atau lebih dari satu peristiwa 482 UU 26 Tahun 2000 hanya menjelaskan bahwa pengusulan pembentukan Pengadilan HAM ad hoc itu [harus] dilakukan oleh DPR atas dasar dugaan telah terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dibatasi pada locus delicti dan tempos delicti tertentu yang terjadi sebelum diundangkannya undang-undang ini (penjelasan Pasal 43 ayat (2)). 483 Penafsiran yang keliru ini pernah benar-benar terjadi dengan implikasi yang jauh jangkauannya (far-reaching implications), yakni dalam Peristiwa Trisakti 1998, Semanggi 1998, dan Semanggi Pada 5 Juni 2001 Komisi Paripurna Komnas HAM (Komnas HAM menurut Keputusan Presiden Nomor 50 Tahun 1993) memutuskan pembentukan Komisi Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia [Peristiwa] Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II (KPP HAM TSS). Sementara itu, Panitia Khusus (Pansus) DPR telah menetapkan bahwa dalam Peristiwa Trisakti 12 Mei 1998, Semanggi I Nomorvember 1998, dan Semanggi II September 1999 tidak terjadi Pelanggaran berat HAM sebagaimana dimaksud dalam UU 26/2000. Keputusan Pansus DPR tersebut dilaporkan kepada Badan Musyawarah (Bamus) dalam rapatnya 28 Juni 2001 dengan rekomendasi agar penanganan ketiga kasus tersebut dilakukan melalui Pengadilan Umum/Militer yang sudah dan sedang berjalan. Diambil dari Naskah Akademik Amandemen Undang-Undang Nomor 26/2000 tentang Pengadilan HAM, hlm

8 (dalam hal ini KPP HAM Trisakti 1998, Semanggi 1998, dan Semanggi 1999 serta Tim ad hoc Peristiwa Wasior dan Peristiwa Wamena 2003). 484 Kemudian sebagai kelanjutan dari penyelidikan KPP HAM Peristiwa Timor Timur dan Tanjung Priok, telah didirikan dua buah Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc. Kedua Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc tersebut dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 53 Tahun 2001 yang ditetapkan tanggal 23 April 2001 yang bertugas untuk mengadili pelanggaran berat hak asasi manusia yang terjadi di Timor-Timur pasca jajak pendapat dan Tanjung Priok pada tahun Dengan Keputusan Presiden Nomor 96 Tahun 2001 yang ditetapkan tanggal 1 Agustus 2001 telah dirubah tempus delicti dan locus delicti sehingga kewenangan Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc lebih dibatasi hanya untuk mengadili pelanggaran hak asasi manusia berat yang terjadi di Timor-Timur dalam wilayah Liquica, Dili dan Suai pada bulan April 1999 dan September 1999, dan yang terjadi di Tanjung Priok pada bulan September Sebagai tindak lanjut dari Keppres tersebut beberapa hakim Ad Hoc telah diangkat dengan Keputusan Presiden untuk mendampingi hakim Pengadilan Hak Asasi Manusia tingkat pertama, banding dan Hakim Agung di tingkat kasasi. Selain itu, untuk menindaklanjuti laporan KPP HAM untuk peristiwa Abepura tahun 2000, maka Pengadilan Hak Asasi Manusia di Makassar merupakan Pengadilan Hak Asasi Manusia permanen yang pertama yang berwenang untuk mengadili para pelaku yang diduga melakukan pelanggaran berat hak asasi manusia di Abepura. 485 Hukum Acara yang digunakan dalam Pengadilan Hak Asasi Manusia Indonesia adalah Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Namun kejahatan yang diatur dalam Undang-Undang 26 Tahun 2000 adalah extra-ordinary crimes yang berdampak secara luas baik pada tingkat nasional maupun internasional dan bukan merupakan tindak pidana yang diatur dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana (Penjelasan, I, Umum, alinea ke-8, angka 1). Dengan demikian, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 adalah lex specialis dengan konsekuensi bahwa di dalamnya terdapat ketentuan yang menyimpang dari ketentuan yang terdapat dalam KUHP, seperti HAM 484 Naskah Akademik Amandemen Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan 485 Lihat paragraf tentang tempat dan kedudukan Pengadilan HAM serta daerah hukum yang meliputi kewenangan Pengadilan HAM tersebut. 364

9 dijelaskan pada paragraph sebelumnya tentang penerapan asas retroaktif. Pasal hukum acara dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 seluruhnya berjumlah 24 Pasal (Pasal 10-Pasal 33). Diawali oleh pasal yang merupakan ketentuan umum yang menetapkan bahwa Dalam hal tidak ditentukan lain dalam undang-undang ini, hukum acara atas perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat dilakukan berdasarkan ketentuan hukum acara pidana (Pasal 10). Beberapa aturan beracara baru yang diatur dalam Undang-Undang 26 Tahun 2000 dan mengecualikan aturan yang sama dalam KUHAP, diantaranya: a. pembentukan penyelidik ad hoc, penyidik ad hoc, penuntut ad hoc, dan hakim ad hoc; b. penyelidik hanya dilakukan oleh Komnas HAM sedangkan penyidik tidak diperkenankan menerima laporan atau pengaduaan sebagaimana diatur dalam KUHAP; c. diperlukan ketentuan mengenai tenggang waktu tertentu melakukan penyidikkan, penuntutan dan pemerikasaan pengadilan; d. ketentuan mengenai korban dan saksi; Walaupun terdapat aturan-aturan baru tersebut, pada prakteknya masih terdapat aturan-aturan beracara yang tidak terakomodasi baik dalam KUHAP maupun dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 seperti misalnya dasar hukum sub poena power yang dimiliki penyelidik dalam hal ini Komnas HAM. 486 Mengingat kejahatan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 ini adalah bukan tindak pidana biasa maka selayaknya juga dibuat Hukum Acara yang khusus (seperti halnya Rules of 486 Pengalaman penyelidik, terutama dalam proses penyelidikan Peristiwa Kerusuhan Mei 1998, yang dilakukan anatara Februari 2003 dan September 2003 (sejak dikeluarkannya Surat Keputusan Ketua Komnas HAM tentang Pembentukan Tim Ad Hoc Penyelidikan Kerusuhan Mei 1998 pada 3 Februari 2003 sampai terselesaikan dan tersusunnya hasil laporan penyelidikan pada September 2003), menunjukkan ketidakberhasilan penyelidik untuk mendatangkan sejumlah perwira militer atau polisi, atau yang sudah menjalani masa pensiun, guna dimintai keterangan atau kesaksian mereka. Karena setelah dua kali dipanggil tidak juga datang, penyelidik meminta bantuan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk memanggil yang bersangkutan secara paksa. Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menolak memenuhi permintaan Tim Adhoc tersebut dengan alasan bahwa UU No. 26 Tahun 2000 tidak memberi kewenangan kepada Komnas HAM sebagai penyelidik untuk melakukan pemanggilan paksa.kewenangan Komnas HAM untuk melakukan pemanggilan paksa diberikan oleh UU No. 39 Tahun 1999 dalam rangka pemantauan (cf. Pasal 95 UU No. 39 Tahun 1999), bukan dalam rangka penyelidikan projustisia menurut UU No. 26 Tahun Diambil dari Naskah Akademik Amandemen Undang- Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, hlm

10 Procedure and Evidence ICC) yang berbeda dengan hukum acara untuk tindak pidana biasa seperti yang diatur dalam KUHAP. 487 Dalam hal penyelidikan pelanggaran berat hak asasi manusia merupakan kewenangan Komnas HAM, sedangkan penyidikan dan penuntutan dilakukan oleh Jaksa Agung berdasarkan hasil penyelidikan Komnas HAM. 488 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 memisahkan lembaga penyelidik dan lembaga penyidik dengan pertimbangan bahwa lembaga yang ditetapkan sebagai lembaga penyelidik adalah lembaga yang independen dengan maksud agar, karena independensinya ini, hasil penyelidikannya dapat dijamin objektivitasnya. Namun, seringkali terjadi perbedaan pendapat antara kedua lembaga tersebut 489 dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tidak mengatur mekanisme penyelesaiannya. Situasi demikian akan menyebabkan terhentinya proses penyelesaian planggaran berat hak asasi manusia yang bersangkutan, hal yang tidak selaras dengan upaya penegakan hukum dan keadilan. Pemeriksaan perkara di Pengadilan Hak Asasi Manusia dilaksanakan paling lama 180 hari, dan dilakukan oleh Majelis Hakim yang terdiri dari 3 hakim ad hoc dan 2 hakim karir yang diketuai oleh Hakim Pengadilan Hak Asasi Manusia. 490 Di Pengadilan Tinggi pemeriksaan dilakukan paling lama 90 hari sejak diterimanya berkas perkara, dan majelis hakim terdiri dari 3 hakim ad hoc dan 2 hakim karir. Pemeriksaan di tingkat kasasi harus diselesaikan paling lama 90 hari dengan majelis hakim yang terdiri dari 3 hakim ad hoc dan 2 hakim karir. 491 Dalam prakteknya, khususnya dalam praktek Pengadilam Hak Asasi Manusia Ad Hoc untuk Timor-Timur, hampir di setiap pemeriksaan perkara di tingkat pertama melampaui tenggang waktu yang ditentukan oleh undang-undang. 487 Hukum acara sendiri yang lengkap untuk UU No. 26 Tahun 2000 akan dapat didesain sesuai dengan sifat kejahatan luar biasa yang berdampak luas pada tataran nasional dan internasional dan yang bukan merupakan tindak pidana yang diatur dalam KUHP, dengan memanfaatkan, sebagai perbandingan, hukum acara Statuta ICTY 1993, Statuta ICTR 1994, Statuta Roma Lihat pasal Undang-Undang Nomor 26 Tahun Misalnya, terdapat suatu peristiwa yang kemudian disimpulkan penyelidik sebagai pelanggaran berat HAM sementara penyidik menyimpulkan sebaliknya sehingga penyidikan tidak diteruskan. 490 Pasal 27 Undang-Undang Nomor 26 Tahun Pasal 33 Undang-Undang Nomor 26 Tahun

11 Mengenai penetapan hakim karir Pengadilan Hak Asasi Manusia, selama ini murni menjadi kewenangan Ketua Mahkamah Agung, karena tidak ada satupun ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 yang mengaturnya. MA juga tidak menyebutkan kriteria yang diugunakannya untuk memilih hakim Pengadilan Hak Asasi Manusia. Para hakim tertentu dipanggil Mahkamah Agung untuk mengikuti program diklat, dengan rangkaian diskusi didalamnya dan tingkat keaktifan mereka dalam mengkuti diskusi tersebut yang diduga menjadi dasar terpilih/tidaknya mereka sebagai hakim Pengadilan Hak Asasi Manusia. karena itu proses penetapan Hakim karir Pengadilan Hak Asasi Manusia ini dinilai banyak kalangan berlangsung tidak transparan. 492 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 juga tidak mengatur mekanisme yang jelas mengenai penetapan hakim Ad Hoc. Satu-satunya ketentuan mengenai hal ini adalah pada pasal 28 (1) yang menyebutkan Hakim Ad Hoc diangkat dan diberhentikan oleh Presiden selaku Kepala Negara atas usul Ketua Mahkamah Agung. Rekrutmen Hakim Ad Hoc pertama tahun 1999 hanya dilakukan oleh Tim seleksi Mahkamah Agung tanpa melibatkan stake holders yang lebih luas. Hal ini dikarenakan target waktu yang sangat terbatas. Sistem rekrutmen dilaukan berdasarkan sistem penjaringan di mana wilayah penjaringan dibatasi hanya pada akademisi hak asasi manusia dari perguruan tinggi/fakultas hukum yang memiliki Pusat Studi Hak Asasi Manusia. Pengangkatan Hakim Ad Hoc dilakukan melalui Keppres Nomor 6/M Tahun Dalam Keppres tersebut juga tidak disebutkan di mana Hakim Ad Hoc akan ditempatkan, hanya disebutkan pada Pengadilan Hak Asasi Manusia tingkat pertama dan tingkat banding. Pengaturan tersebut berbeda bagi Hakim Ad Hoc pada tingkat kasasi. Jika rekrutmen Hakim Ad Hoc tingkat pertama dan banding pencalonannya diusulkan oleh Mahkamah Agung untuk kemudian diangkat oleh Presiden, pada tingkat Mahkamah Agung pengusulan calonnya dilakukan oleh DPR. Dalam Pasal 33 (4) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 disebutkan bahwa Hakim Ad Hoc di Mahkamah Agung dinagkat oleh Presiden selaku Kepala Negara atas usulan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Steering Committee Pengadilan HAM, Draft Cetak Biru Pengembangan Pengadilan Hak Asasi Manusia, hlm Ibid, hlm

12 Mengenai ketentuan pidana, bagi kejahatan yang diatur dalam pasal 8 a,b,c,d,e diancam dengan pidana mati, atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama-lamanya 25 tahun atau sekurangnya 10 tahun. Bagi kejahatan tercantum dalam pasal 9 a,b,c,d,e atau j, dipidana dengan pidana mati, atau pidana seumur hidup atau pidana penjara selama-lamanya 25 tahun atau pidana penjara paling singkat 10 tahun. Bagi kejahatan sebagaimana diatur dalam pasal 9 c atau f, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun dan paling singkat 5 tahun. Bagi kejahatan yang diatur dalam pasal 9 g, h, dan I dipidana penjara selama-lamanya 20 tahun dan paling singkat 10 tahun. 494 Adanya aturan pidana minimum dalam Undang-Undang ini memang termasuk janggal, mengingat ketentuan pidana minimum ini tidak pernah diatur dalam kovenan-kovenan internasional termasuk Statuta Roma. Dalam hal pemidaan, Pengadilan Hak Asasi Manusia baik Ad Hoc (Timor Timur dan Tanjung Priok) serta Pengadilan Hak Asasi Manusia permanen untuk Abepura memperlihatkan bahwa hampir semua terdakwa diputus bebas. 495 Pasal 11 sampai dengan 17 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 memberikan kewenangan untuk melakukan penangkapan dan penahanan terhadap tersangka pelaku pelanggaran berat hak asasi manusia dan lama waktu penahanan serta selama proses persidangan dan kasasi ke Mahkamah Agung. Undang-Undang ini mengatur mengatur mengenai batas waktu maksimal untuk melakukan penahanan sejak tahap penyidikan, penuntutan, pemeriksaan persidangan, banding dan kasasi. Dalam praktek Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad-Hoc Timor Timur, ketentuan ini tidak diterapkan, termasuk mereka yang dihukum dalam pengadilan tingkat pertama dan sedang menunggu proses banding. Tidak ditahannya para terdakwa tersebut jelas bertentangan dengan aturan dalam KUHP mengingat ancaman hukuman yang dikenakan terhadap para terdakwa tersebut adalah lebih dari lima tahun dan KUHP menyatakan bahwa: 496 Penahanan hanya dapat dikenakan terhadap tersangka/terdakwa yang melakukan tindak pidana dan/percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun/lebih 494 Lihat Bab VII Ketentuan Pidana Pasal Undang-Undang Nomor 26 Tahun Lihat Lampiran. 496 Lihat Pasal 21(4)(a) KUHP. 368

13 Tempat dan kedudukan Pengadilan Hak Asasi Manusia yaitu di daerah kabupaten atau daerah kota yang daerah hukumnya meliputi daerah hukum Pengadilan Negeri yang bersangkuta. Untuk DKI Jakarta, Pengadilan Hak Asasi Manusia berkedudukan di setiap wilayah Pengadilan Negeri yang bersangkutan. 497 Dan untuk pertama kalinya pada saat Undang-Undang ini berlaku, Pengadilan Hak Asasi Manusia dibentuk di : 1. Jakarta Pusat: mencakup wilayah DKI Jakarta, Provinsi Jawa Barat, Banten, Sumatera Selatan, Lampung, Bengkulu, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah; 2. Surabaya: mencakup wilayah Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Bali, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, NTB dan NTT 3. Makassar: mencakup Provinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Maluku, Maluku Utara dan Irian Jaya 4. Medan: mencakup wilayah Provinsi Sumatera utara, DI Aceh, Riau, Jambi, dan Sumatera Barat. Seperti yang telah disinggung di atas, hingga saat ini baru Pengadilan Hak Asasi Manusia Makassar yang telah bersidang untuk mengadili kasus pelanggaran hak asasi manusia berat di Abepura Papua. Mengenai pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia ini, muncul beberapa pertanyaan bagaimana jika kemudian dirasa dibutuhkan Pengadilan Hak Asasi Manusia selain dari 4 pengadilan tersebut, dan apakah bentuk hukum yang tepat untuk itu apakah harus menggunakan Undang-Undang atau peraturan perundang-undangan lain mengingat Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tidak memberikan penjelasan mengenai hal tersebut. 498 Sehubungan dengan pelanggaran berat hak asasi manusia, pelindungan korban dan saksi adalah salah satu masalah yang perlu diberikan perhatian yang sungguh-sungguh. Perlindungan saksi tersebut juga mencakup pemberian ganti kerugian bagi korban dan keluarganya termasuk kompensasi, restitusi dan rehabilitasi. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 telah memberikan jaminan perlindungan saksi dan korban seperti yang diatur dalam pasal 34 dan 35, di mana tata cara pelaksanaannya diatur dalam Peraturan pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 tentang perlindungan korban dan saksi bagi 497 Pasal 3 (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 26 Tahun Steering Committee Pengadilan HAM, Draft Cetak Biru Pengembangan Pengadilan Hak Asasi Manusia, PSHK, hlm

14 pelanggaran berat hak asasi manusia dan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi terhadap korban pelanggaran berat hak asasi manusia. Namun, dalam perlindungan saksi dan korban, praktek Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc untuk Timor Timur dan Tanjung Priok membuktikan masih sangat minim dan belum memadai. Misalnya, ruang sidang dapat dengan mudahnya dimasuki oleh orang-orang yang tidak berkepentingan dan tidak ada perahasiaan identitas saksi terhadap publik. 499 Alasan lainnya adalah tidak adanya safe house, perlakuan aparat terhadap korban dan saksi, kurangnya persiapan dan pengalaman aparat, dan alasan biaya sehingga banyak saksi yang tidak mau hadir ke persidangan. Akibat ketidakhadiran saksi maka kebenaran tidak terungkap dengan baik sehingga keputusan tidak memenuhi rasa keadilan. Di samping itu asas peradilan yang cepat dan hemat pun tidak tecapai karena seringnya pengunduran/perobahan jadwal persidangan akibat ketidakhadiran saksi. Mengenai kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 menyatakan bahwa setiap korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan atau ahli warisnya dapat memperoleh kempensasi, restitusi, dan rehabilitasi (Pasal 35 ayat (1)) (huruf tebal oleh penulis). Penggunaan kata dapat memberikan konsekuensi hukum bahwa kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi tidak diakui oleh Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 sebagai hak dan hanya diberikan kepada korban Pelanggaran berat hak asasi manusia atau ahli warisnya apabila dicantumkan dalam keputusan Pengadilan Hak Asasi Manusia, atau sesuai dengan tuntutan penuntut umum. Sehingga kata dapat menjadikan kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi tidak harus (huruf tebal oleh penulis) diberikan kepada korban Pelanggaran berat HAM atau ahli warisnya. Sementara itu dalam prakteknya, Pengadilan Hak Asasi Manusia Indonesia baik Ad Hoc (Timor Timur dan Tanjung Priok) maupun permanen (Abepura) belum pernah menerapkan pemberian ganti rugi baik dalam bentuk kompensasi (dari Negara), maupun restitusi (dari pelaku) kepada korban. Hal yang sama juga terjadi dalam kasus 499 Report to the Secretary General of the Commission of Expert to Review the Prosecution of Serious Violation of human Rights in Timor Leste (the then East Timor) 1999, 26 Mei 2005, hlm

15 pelanggaran berat hak asasi manusia di Abepura. Beberapa korban mengajukan permohonan kompensasi, namun karena semua terdakwa dibebaskan bahkan pelanggaran berat hak asasi manusia-pun dinyatakan tidak terbukti, maka semua korban 502 tidak diberikan kompensasi. Selain melaksanakan penghukuman bagi pelaku, pemberian kompensasi kepada korban merupakan salah satu bentuk tanggungjawab negara (state responsibility) ketika terjadi pelanggaran berat hak asasi manusia di wilayahnya. Karena itu, idealnya pemberian kompensasi ini tidak harus menunggu pelaku atau pihak ketiga tidak mampu untuk memenuhi tanggungjawabnya, namun merupakan kewajiban yang sudah melekat bagi negara. Definisi ini sebenarnya sudah diatur dalam Pasal 1 (6) Undang-Undang KKR Nomor 3 Tahun 2004, dan seharusnya definisi inilah yang diterapkan dalam praktek Pengadilan Hak Asasi Manusia kita sehingga dibebaskan atau dihukumnya terdakwa tidak akan mempengaruhi kewajiban negara untuk memberikan kompensasi bagi korban pelanggaran berat hak asasi manusia. C. Kesimpulan Pendirian Pengadilan Hak Asasi Manusia Indonesia memang tidak lepas dari tekanan masyarakat internasional kepada Pemerintah Indonesia untuk segera mengadili para pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi di Timor Timur. Pendirian Pengadilan ini merupakan salah satu bentuk usaha Indonesia untuk memenuhi kewajiban internasionalnya memaksimalkan mekanisme hukum nasional untuk menangani pelanggaran hak asasi manusia di dalam negerinya (exhaustion of local remedies). Hal ini tentu saja untuk mencegah masuknya mekanisme hukum internasional untuk mengadili warganegara Indonesia yang diduga melakukan pelanggaran berat hak asasi manusia. Karena dalam hukum internasional, pengadilan internasional tidak dapat secara serta merta menggantikan peran pengadilan nasional tanpa melewati peran pengadilan nasional suatu negara. 371

16 Namun, pendirian Pengadilan Hak Asasi Manusia Indonesia tidak berarti menutup kemungkinan dibentuknya Pengadilan Hak Asasi Manusia Internasional Ad Hoc bagi Indonesia apabila Pengadilan Hak Asasi Manusia Indonesia tidak berjalan sesuai dengan standar internasional. Ukuran-ukuran kegagalan pengadilan nasional tersebut adalah ketidakinginan mengadili dan ketidakmampuan. Hal ini berarti bahwa Indonesia harus memperlihatkan keseriusannya untuk memberikan jaminan perlindungan hak asasi manusia terhadap warganegaranya khususnya melalui mekanisme penegakan hukum hak asasi manusia di Indonesia. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa masih terdapat banyak sekali kekurangan dalam Pengadilan Hak Asasi Manusia Indonesia, baik dari segi instrumen hukum, infrastruktur serta sumber daya manusianya yang bermuara pada ketidakpastian hukum karena tidak dapat dituntaskannya proses penyelesaian pelanggaran berat hak asasi manusia. Hal ini tentu saja harus segera dibenahi selain untuk pengefektifan sistem hukum nasional Indonesia, juga untuk meminimalkan adanya celah mekanisme internasional untuk mengintervensi sistem hukum Indonesia. 372

MAKALAH INDONESIAN HUMAN RIGHTS LEGISLATION. Oleh: Ifdhal Kasim Ketua Komnas HAM RI, Jakarta

MAKALAH INDONESIAN HUMAN RIGHTS LEGISLATION. Oleh: Ifdhal Kasim Ketua Komnas HAM RI, Jakarta PEMERKUATAN PEMAHAMAN HAK ASASI MANUSIA UNTUK HAKIM SELURUH INDONESIA Hotel Santika Makassar, 30 Mei 2 Juni 2011 MAKALAH INDONESIAN HUMAN RIGHTS LEGISLATION Oleh: Ifdhal Kasim Ketua Komnas HAM RI, Jakarta

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

Undang-Undang Republik Indonesia. Nomor 26 Tahun Tentang. Pengadilan Hak Asasi Manusia BAB I KETENTUAN UMUM

Undang-Undang Republik Indonesia. Nomor 26 Tahun Tentang. Pengadilan Hak Asasi Manusia BAB I KETENTUAN UMUM Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan : 1. Hak Asasi Manusia adalah seperangkat

Lebih terperinci

MAKALAH. Pengadilan HAM dan Hak Korban Pelanggaran Berat HAM. Oleh: Eko Riyadi, S.H., M.H.

MAKALAH. Pengadilan HAM dan Hak Korban Pelanggaran Berat HAM. Oleh: Eko Riyadi, S.H., M.H. TRAINING RULE OF LAW SEBAGAI BASIS PENEGAKAN HUKUM DAN KEADILAN Hotel Santika Premiere Hayam Wuruk - Jakarta, 2 5 November 2015 MAKALAH Pengadilan HAM dan Hak Korban Pelanggaran Berat HAM Oleh: Eko Riyadi,

Lebih terperinci

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia 3 Perbedaan dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia Bagaimana Ketentuan Mengenai dalam tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia? Menurut hukum internasional, kejahatan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

UU Pengadilan Hak Asasi Manusia: Sebuah Tinjauan

UU Pengadilan Hak Asasi Manusia: Sebuah Tinjauan UU Pengadilan Hak Asasi Manusia: Sebuah Tinjauan Ifdhal Kasim Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) A. Pengantar 1. Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc untuk Timor Timur tingkat pertama telah berakhir.

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA I. UMUM Bahwa hak asasi manusia yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945, Deklarasi Universal

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN by DANIEL ARNOP HUTAPEA, S.Pd PERTEMUAN KE-3

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN by DANIEL ARNOP HUTAPEA, S.Pd PERTEMUAN KE-3 PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN by DANIEL ARNOP HUTAPEA, S.Pd PERTEMUAN KE-3 Pelanggaran HAM Menurut Undang-Undang No.39 tahun 1999 pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang

Lebih terperinci

TUGAS PANCASILA KASUS PELANGGARAN HAM DAN PENYESAIANNYA OLEH : MUKHLISIIN BUDIDAYA PERAIRAN(A)

TUGAS PANCASILA KASUS PELANGGARAN HAM DAN PENYESAIANNYA OLEH : MUKHLISIIN BUDIDAYA PERAIRAN(A) TUGAS PANCASILA KASUS PELANGGARAN HAM DAN PENYESAIANNYA OLEH : MUKHLISIIN 1504113414 BUDIDAYA PERAIRAN(A) LABORATORIUM EKOLOGI DAN MANAJEMEN LINGKUNGAN PERAIRAN FAKULTAN PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 26 TAHUN 2000 (26/2000) TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 26 TAHUN 2000 (26/2000) TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 26 TAHUN 2000 (26/2000) TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 26 TAHUN 2000 (26/2000) TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 26 TAHUN 2000 (26/2000) TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 26 TAHUN 2000 (26/2000) TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 26 TAHUN 2000 (26/2000) TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 26 TAHUN 2000 (26/2000) TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 26 TAHUN 2000 (26/2000) TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 208, 2000 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4026) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

Negara Republik Indonesia dibentuk dengan tujuan untuk melindungi segenap bangsa

Negara Republik Indonesia dibentuk dengan tujuan untuk melindungi segenap bangsa PENYELESAIAN PELANGGARAN HAM DI INDONESIA MENURUT UU NO. 26 TAHUN 2000 TENTANG PEN PENYELESAIAN PELANGGARAN HAM DI INDONESIA MENURUT UU NO. 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAM ABSTRACT DELFINA GUSMAN,

Lebih terperinci

*12269 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 26 TAHUN 2000 (26/2000) TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

*12269 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 26 TAHUN 2000 (26/2000) TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Copyright (C) 2000 BPHN UU 26/2000, PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA *12269 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 26 TAHUN 2000 (26/2000) TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat adalah pelanggaran sebagaimana dimaksud

Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat adalah pelanggaran sebagaimana dimaksud 15 Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat adalah pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini. Adapun jenis-jenis pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat, sebagai berikut: 1. Kejahatan Genosida

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS FIQH SIYASAH TERHADAP PENANGANAN PELANGGARAN BERAT HAM

BAB IV ANALISIS FIQH SIYASAH TERHADAP PENANGANAN PELANGGARAN BERAT HAM 73 BAB IV ANALISIS FIQH SIYASAH TERHADAP PENANGANAN PELANGGARAN BERAT HAM A. Analisis Penanganan Pelanggaran Berat HAM menurut Undang- Undang Nomor 26 Tahun 2000 Sebagaimana telah disinggung pada pembahasan

Lebih terperinci

PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA

PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA Seri Bahan Bacaan Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007 PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA Zainal Abidin, S.H. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat Jl Siaga II No 31 Pejaten Barat, Jakarta 12510

Lebih terperinci

NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA

NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA Menimbang: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT PANJA KOMISI III DPR-RI DENGAN KEPALA BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL (BPHN) DALAM RANGKA PEMBAHASAN DIM RUU TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA ---------------------------------------------------

Lebih terperinci

PENGANTAR HUKUM ACARA PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA. R. Herlambang Perdana Wiratraman Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, 2 Juni 2008

PENGANTAR HUKUM ACARA PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA. R. Herlambang Perdana Wiratraman Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, 2 Juni 2008 PENGANTAR HUKUM ACARA PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA R. Herlambang Perdana Wiratraman Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, 2 Juni 2008 Pokok Bahasan Apa prinsip-prinsip dan mekanisme hukum acara

Lebih terperinci

PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1999) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1999) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1999) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara hukum ( rechtsstaat) dan bukan

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara hukum ( rechtsstaat) dan bukan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara hukum ( rechtsstaat) dan bukan sebagai negara yang berdasarkan atas kekuasaan ( machtsstaat). Tidak ada institusi

Lebih terperinci

Briefing Pers Menyongsong Pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc Untuk Kasus Penghilangan Orang Secara Paksa 1997/1998

Briefing Pers Menyongsong Pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc Untuk Kasus Penghilangan Orang Secara Paksa 1997/1998 Briefing Pers Menyongsong Pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc Untuk Kasus Penghilangan Orang Secara Paksa 1997/1998 Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Jakarta, 7 November 2009 I. Pendahuluan Menjelang

Lebih terperinci

PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA

PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA Jamuan Ilmiah tentang Hukum Hak Asasi Manusia bagi Tenaga Pendidik Akademi Kepolisian Semarang Jogjakarta Plaza Hotel, 16 18 Mei 2017 MAKALAH PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA Oleh: Dr. Suparman Marzuki, S.H.,

Lebih terperinci

Undang Undang No. 26 Tahun 2000 Tentang : Pengadilan Hak Asasi Manusia

Undang Undang No. 26 Tahun 2000 Tentang : Pengadilan Hak Asasi Manusia Undang Undang No. 26 Tahun 2000 Tentang : Pengadilan Hak Asasi Manusia DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara

Lebih terperinci

Undang Undang No. 26 Tahun 2000 Tentang : Pengadilan Hak Asasi Manusia

Undang Undang No. 26 Tahun 2000 Tentang : Pengadilan Hak Asasi Manusia Undang Undang No. 26 Tahun 2000 Tentang : Pengadilan Hak Asasi Manusia DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara

Lebih terperinci

POSISI KASUS; HAMBATAN DAN PERMASALAHAN

POSISI KASUS; HAMBATAN DAN PERMASALAHAN POSISI KASUS; HAMBATAN DAN PERMASALAHAN Kasus pelanggaran HAM Berat LATAR BELAKANG Paksa reformasi 1998, nilai nilai HAM dan kewajiban pemenuhan, penghormatan dan perlindungan HAM telah menjadi menjadi

Lebih terperinci

PELANGGARAN HAM YANG BERAT. Muchamad Ali Safa at

PELANGGARAN HAM YANG BERAT. Muchamad Ali Safa at PELANGGARAN HAM YANG BERAT Muchamad Ali Safa at PELANGGARAN HAM setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak sengaja, atau kelalaian yang secara melawan

Lebih terperinci

(Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1999)

(Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1999) PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1999) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati

Lebih terperinci

Undang Undang No. 26 Tahun 2000 Tentang : Pengadilan Hak Asasi Manusia

Undang Undang No. 26 Tahun 2000 Tentang : Pengadilan Hak Asasi Manusia Undang Undang No. 26 Tahun 2000 Tentang : Pengadilan Hak Asasi Manusia DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara

Lebih terperinci

Peran Komnas Ham Dalam Pemajuan Dan Perlindungan Hak Asasi Manusia Di Indonesia 1 Oleh : Sriyana 2

Peran Komnas Ham Dalam Pemajuan Dan Perlindungan Hak Asasi Manusia Di Indonesia 1 Oleh : Sriyana 2 Peran Komnas Ham Dalam Pemajuan Dan Perlindungan Hak Asasi Manusia Di Indonesia 1 Oleh : Sriyana 2 A. Peranan Komnas HAM berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. 1. Latar

Lebih terperinci

KEPUTUSAN JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : KEP 558 /A/J.A/ 12/ 2003 TENTANG

KEPUTUSAN JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : KEP 558 /A/J.A/ 12/ 2003 TENTANG KEPUTUSAN JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : KEP 558 /A/J.A/ 12/ 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : KEP-225/A/J.A/05/2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN

Lebih terperinci

Undang Undang No. 26 Tahun 2000 Tentang : Pengadilan Hak Asasi Manusia

Undang Undang No. 26 Tahun 2000 Tentang : Pengadilan Hak Asasi Manusia Undang Undang No. 26 Tahun 2000 Tentang : Pengadilan Hak Asasi Manusia DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara

Lebih terperinci

Tanggung Jawab Komando Dalam Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia Oleh : Abdul Hakim G Nusantara

Tanggung Jawab Komando Dalam Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia Oleh : Abdul Hakim G Nusantara Tanggung Jawab Komando Dalam Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia Oleh : Abdul Hakim G Nusantara Impunitas yaitu membiarkan para pemimpin politik dan militer yang diduga terlibat dalam kasus pelanggaran

Lebih terperinci

SMA JENJANG KELAS MATA PELAJARAN TOPIK BAHASAN XII (DUA BELAS) PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN KASUS PELANGGARAN HAM

SMA JENJANG KELAS MATA PELAJARAN TOPIK BAHASAN XII (DUA BELAS) PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN KASUS PELANGGARAN HAM JENJANG KELAS MATA PELAJARAN TOPIK BAHASAN SMA XII (DUA BELAS) PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN KASUS PELANGGARAN HAM A. Substansi Hak Asasi Manusia dalam Pancasila Salah satu karakteristik hak asasi manusia

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA HAK ASASI MANUSIA YANG PALING SERIUS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA HAK ASASI MANUSIA YANG PALING SERIUS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 20 Des 2010 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA HAK ASASI MANUSIA YANG PALING SERIUS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

KAJIAN TERHADAP PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA YANG BERAT MENURUT UU NO.26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAM O L E H :

KAJIAN TERHADAP PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA YANG BERAT MENURUT UU NO.26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAM O L E H : KARYA ILMIAH KAJIAN TERHADAP PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA YANG BERAT MENURUT UU NO.26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAM O L E H : DR. WEMPIE JH. KUMENDONG, SH, MH NIP. : 19580724 1987031003 KEMENTERIAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN KOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 002/KOMNAS HAM/IX/2011 TENTANG PROSEDUR PELAKSANAAN PENYELIDIKAN PROYUSTISIA PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA YANG BERAT DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

perkebunan kelapa sawit di Indonesia

perkebunan kelapa sawit di Indonesia Problem HAM perkebunan kelapa sawit di Indonesia Disampaikan oleh : Abdul Haris Semendawai, SH, LL.M Dalam Workshop : Penyusunan Manual Investigasi Sawit Diselenggaran oleh : Sawit Watch 18 Desember 2004,

Lebih terperinci

2011, No Mengingat : d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana disebutkan di dalam huruf a, huruf b, dan huruf c di atas, perlu ditetapkan P

2011, No Mengingat : d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana disebutkan di dalam huruf a, huruf b, dan huruf c di atas, perlu ditetapkan P No.798, 2011 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA. Penyelidikan Proyustisia. Pelanggaran HAM yang Berat. Prosedur. PERATURAN KOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA

PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA Disajikan dalam kegiatan pembelajaran untuk Australian Defence Force Staff di Balai Bahasa Universitas Pendidikan Indonesia di Bandung, Indonesia 10 September 2007

Lebih terperinci

Evaluasi Kritis Atas Kelemahan UU Peradilan HAM 1

Evaluasi Kritis Atas Kelemahan UU Peradilan HAM 1 Evaluasi Kritis Atas Kelemahan UU Peradilan HAM 1 Oleh : Budi Santoso 2 Dari proses peradilan HAM ad hoc Kasus Timor Timur Pasca Jajak Pendapat yang telah berlangsung hingga sekarang ini kita telah bisa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara-negara lain yang yang diderita oleh banyak orang di negara-negara lain

BAB I PENDAHULUAN. negara-negara lain yang yang diderita oleh banyak orang di negara-negara lain BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Praktek penyelenggaran negara dewasa ini berkembang ke arah demokrasi dan perlidungan Hak Asasi Manusaia (HAM). Masalah HAM mengemuka pada setiap kehidupan penyelenggaraan

Lebih terperinci

Jenewa III, Pasal 146 Konvensi Jenewa IV tahun 1949 adalah: 1. Menetapkan undang-undang yang diperlukan untuk memberikan sanksi pidana

Jenewa III, Pasal 146 Konvensi Jenewa IV tahun 1949 adalah: 1. Menetapkan undang-undang yang diperlukan untuk memberikan sanksi pidana 2 Indonesia meratifikasi berbagai instrumen internasional tentang HAM, seperti ratifikasi Indonesia terhadap keempat Konvensi Jenewa 1949 dengan Undang- Undang Nomor 59 Tahun 1958, Konsekuensi tersebut,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam mewujudkan tujuan

Lebih terperinci

MASUKAN KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN ATAS PERUBAHAN UU NO. 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN.

MASUKAN KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN ATAS PERUBAHAN UU NO. 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN. MASUKAN KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN ATAS PERUBAHAN UU NO. 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN 26 Juni 2014 No Rumusan RUU Komentar Rekomendasi Perubahan 1 Pasal 1 Dalam Undang-Undang

Lebih terperinci

PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DAN MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL (ICC)

PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DAN MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL (ICC) PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DAN MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL (ICC) Hartanto Dosen Fakultas Hukum Universitas Widya Mataram Yogyakarta Abstract Completion toward the gross violations of human rights basically

Lebih terperinci

JAMINAN PERLINDUNGAN HAK TERSANGKA DAN TERDAKWA DALAM KUHAP DAN RUU KUHAP. Oleh : LBH Jakarta

JAMINAN PERLINDUNGAN HAK TERSANGKA DAN TERDAKWA DALAM KUHAP DAN RUU KUHAP. Oleh : LBH Jakarta JAMINAN PERLINDUNGAN HAK TERSANGKA DAN TERDAKWA DALAM KUHAP DAN RUU KUHAP Oleh : LBH Jakarta 1. PENGANTAR Selama lebih dari tigapuluh tahun, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau KUHAP diundangkan

Lebih terperinci

BAB III PENYAJIAN DATA KEJAHATAN KEMANUSIAAN DALAM DESKRIPSI UU NO. 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAM

BAB III PENYAJIAN DATA KEJAHATAN KEMANUSIAAN DALAM DESKRIPSI UU NO. 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAM 39 BAB III PENYAJIAN DATA KEJAHATAN KEMANUSIAAN DALAM DESKRIPSI UU NO. 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAM A. Deskripsi Undang Undang No. 26 Tahun 2000 1. Ketentuan Umum Ketentuan umum terdapat dalam

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN (yang telah disahkan dalam Rapat Paripurna DPR tanggal 18 Juli 2006) RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.293, 2014 POLHUKAM. Saksi. Korban. Perlindungan. Perubahan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5602) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

Dengan Persetujuan Bersama. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN:

Dengan Persetujuan Bersama. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti

Lebih terperinci

PENGADILAN HAM DI INDONESIA: PROSEDUR DAN PRAKTEK * Agung Yudhawiranata

PENGADILAN HAM DI INDONESIA: PROSEDUR DAN PRAKTEK * Agung Yudhawiranata PENGADILAN HAM DI INDONESIA: PROSEDUR DAN PRAKTEK * Agung Yudhawiranata 1. Latar belakang pembentukan Kondisi penegakan dan perlindungan hak asasi manusia semakin memprihatinkan terutama semakin maraknya

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG KOMPENSASI, RESTITUSI, DAN REHABILITASI TERHADAP KORBAN PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA YANG BERAT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

BAB III PENANGANAN PELANGGARAN BERAT HAM MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 26 TAHUN 2000

BAB III PENANGANAN PELANGGARAN BERAT HAM MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 26 TAHUN 2000 45 BAB III PENANGANAN PELANGGARAN BERAT HAM MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 26 TAHUN 2000 A. Pengertian HAM dan Pelanggaran Berat HAM Manusia oleh Tuhan Yang Maha Esa dianugerahi akal dan nurani yang memberikan

Lebih terperinci

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga 4 Perbedaan dengan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Bagaimana Ketentuan Mengenai dalam Undang Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga? Undang Undang Nomor

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN INISIATIF DPR RI

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN INISIATIF DPR RI Seri Advokasi kebijakan # Perlindungan Saksi RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN INISIATIF DPR RI Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat Jalan siaga II No 31 Pejaten

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DISTRIBUSI II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa salah satu alat

Lebih terperinci

PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DAN MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL (ICC) Zulkarnain 1 * Abstract

PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DAN MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL (ICC) Zulkarnain 1 * Abstract 1 PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DAN MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL (ICC) Zulkarnain 1 * Abstract Completion toward the gross violations of human rights basically refers to the principle of exhaustion of

Lebih terperinci

BAB 11 PENGHORMATAN, PENGAKUAN, DAN PENEGAKAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

BAB 11 PENGHORMATAN, PENGAKUAN, DAN PENEGAKAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA BAB 11 PENGHORMATAN, PENGAKUAN, DAN PENEGAKAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA I. Permasalahan yang Dihadapi Penegakan hukum sebagai salah satu indikator untuk mengukur keberhasilan pembangunan hukum sangat

Lebih terperinci

RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Sebagai UU yang Mengatur Tindak Pidana Khusus

RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Sebagai UU yang Mengatur Tindak Pidana Khusus 1 Kekerasan Seksual Sebagai UU yang Mengatur Tindak Pidana Khusus Mengapa Merupakan Aturan Khusus (Lex Specialist) dari KUHP? mengatur tindak pidana kekerasan seksual yang tidak seluruhnya diatur dalam

Lebih terperinci

Muchamad Ali Safa at INSTRUMEN NASIONAL HAK ASASI MANUSIA

Muchamad Ali Safa at INSTRUMEN NASIONAL HAK ASASI MANUSIA Muchamad Ali Safa at INSTRUMEN NASIONAL HAK ASASI MANUSIA UUD 1945 Tap MPR Nomor III/1998 UU NO 39 TAHUN 1999 UU NO 26 TAHUN 2000 UU NO 7 TAHUN 1984 (RATIFIKASI CEDAW) UU NO TAHUN 1998 (RATIFIKASI KONVENSI

Lebih terperinci

PENDAPAT HUKUM ( DISSENTING OPINION )

PENDAPAT HUKUM ( DISSENTING OPINION ) PENDAPAT HUKUM ( DISSENTING OPINION ) I. Pendahuluan 1. Mengingat sidang permusyawaratan Majelis Hakim tidak dapat dicapai mufakat bulat sebagaimana diatur di dalam pasal 19 ayat ( 5 ) Undang-Undang Nomor

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : a. bahwa salah satu alat

Lebih terperinci

PENGADILAN PIDANA INTERNASIONAL

PENGADILAN PIDANA INTERNASIONAL PENGADILAN PIDANA INTERNASIONAL PENGADILAN PIDANA INTERNASIONAL AD HOC IMT NUREMBERG IMT TOKYO ICTY ICTR SIERRA LEONE CAMBODIA TIMOR TIMUR / INDONESIA IMT - NUREMBERG NOVEMBER 1945 SEPTEMBER 1946 22 TERDAKWA

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. 1. Yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional dalam Pasal 17 Statuta Roma

BAB V PENUTUP. 1. Yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional dalam Pasal 17 Statuta Roma BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional dalam Pasal 17 Statuta Roma merupakan wujud dari Prinsip Komplemeter dari badan yudisial tersebut. Pasal tersebut mengatur terhadap

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN Hasil PANJA 12 Juli 2006 Dokumentasi KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI Hasil Tim perumus PANJA, santika 12 Juli

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB IV PENUTUP. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, Pasal 7, yang meliputi ; adalah persoalan yang serius dan extraordinary, maka juga perlu

BAB IV PENUTUP. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, Pasal 7, yang meliputi ; adalah persoalan yang serius dan extraordinary, maka juga perlu BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan Pelanggaran Ham berat sebagaimana tertuang dalam UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, Pasal 7, yang meliputi ; kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2002 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2002 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2002 TENTANG TATA CARA PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN DAN SAKSI DALAM PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA YANG BERAT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Anak bukanlah untuk dihukum tetapi harus diberikan bimbingan dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Anak bukanlah untuk dihukum tetapi harus diberikan bimbingan dan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak bukanlah untuk dihukum tetapi harus diberikan bimbingan dan pembinaan,sehingga anak tersebut bisa tumbuh menjadi anak yang cerdas dan tanpa beban pikiran

Lebih terperinci

HUKUM ACARA PERADILAN HAK ASASI MANUSIA: Pengantar

HUKUM ACARA PERADILAN HAK ASASI MANUSIA: Pengantar HUKUM ACARA PERADILAN HAK ASASI MANUSIA: Pengantar Makalah untuk Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA), IKADIN-PERADI-Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, 8 Agustus 2008 R. Herlambang Perdana

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA A. Undang Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban Undang - undang ini memberikan pengaturan

Lebih terperinci

HUKUM ACARA PERADILAN HAK ASASI MANUSIA* )

HUKUM ACARA PERADILAN HAK ASASI MANUSIA* ) HUKUM ACARA PERADILAN HAK ASASI MANUSIA* ) Oleh : HM. Kabul Supriyadhie 1. PENYELIDIKAN, PENYIDIKAN, PENANGKAPAN DAN PENAHANAN 1.1 Penyelidikan Di dalam Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000

Lebih terperinci

INTERNATIONAL MILITARY TRIBUNAL NUREMBERG

INTERNATIONAL MILITARY TRIBUNAL NUREMBERG PENGADILAN HAM A. INTERNATIONAL MILITARY TRIBUNAL (IMT) NUREMBERG B. INTERNATIONAL MILITARY TRIBUNAL FOR THE FAR EAST (IMTFE TOKYO C. INTERNATIONAL TRIBUNAL FOR THE PROSECUTION OF PERSONS RESPONSIBLE FOR

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sejak diumumkannya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Universal Declaration of

I. PENDAHULUAN. Sejak diumumkannya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Universal Declaration of I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Sejak diumumkannya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Universal Declaration of Human Rights pada tahun 1948 telah terjadi perubahan arus global di dunia internasional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hukum Humaniter Internasional bertujuan untuk memanusiawikan perang agar korban

BAB I PENDAHULUAN. Hukum Humaniter Internasional bertujuan untuk memanusiawikan perang agar korban BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Hukum Humaniter Internasional bertujuan untuk memanusiawikan perang agar korban akibat perang seminimal mungkin dapat dikurangi. Namun implementasinya,

Lebih terperinci

PEDOMAN TENTANG PERANAN PARA JAKSA. Disahkan oleh Kongres Perserikatan Bangsa-Bangsa. Kedelapan. Tentang Pencegahan Kejahatan dan Perlakukan terhadap

PEDOMAN TENTANG PERANAN PARA JAKSA. Disahkan oleh Kongres Perserikatan Bangsa-Bangsa. Kedelapan. Tentang Pencegahan Kejahatan dan Perlakukan terhadap PEDOMAN TENTANG PERANAN PARA JAKSA Disahkan oleh Kongres Perserikatan Bangsa-Bangsa Kedelapan Tentang Pencegahan Kejahatan dan Perlakukan terhadap Pelaku Kejahatan Havana, Kuba, 27 Agustus sampai 7 September

Lebih terperinci

PENGADILAN KEJAHATAN GENOSIDA DAN KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN DI INDONESIA

PENGADILAN KEJAHATAN GENOSIDA DAN KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN DI INDONESIA PENGADILAN KEJAHATAN GENOSIDA DAN KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN DI INDONESIA ENNY SOEPRAPTO O PhD Disampaikan padaacaraacara TRAINING HAK ASASI MANUSIA BAGI PENGAJAR HUKUM DAN HAM, diselenggarakan oleh

Lebih terperinci

2018, No Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014 tentang P

2018, No Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014 tentang P No.29, 2018 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEGISLATIF. MPR. DPR. DPD. DPRD. Kedudukan. Perubahan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6187) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2018 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pelanggaran hak asasi manusia

Lebih terperinci