BAB II KETENTUAN HUKUM PIDANA MATERIIL YANG BERKAITAN DENGAN TINDAK PIDANA PERIKANAN DALAM UNDANG UNDANG NOMOR 45 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II KETENTUAN HUKUM PIDANA MATERIIL YANG BERKAITAN DENGAN TINDAK PIDANA PERIKANAN DALAM UNDANG UNDANG NOMOR 45 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS"

Transkripsi

1 BAB II KETENTUAN HUKUM PIDANA MATERIIL YANG BERKAITAN DENGAN TINDAK PIDANA PERIKANAN DALAM UNDANG UNDANG NOMOR 45 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG UNDANG NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN A. Perkembangan Pengaturan Tindak Pidana Perikanan di Indonesia Sebelum Lahirnya Undang Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan 1. Peraturan yang berasal dari zaman penjajahan Sebelum Negara kita mempunyai peraturan perikanan nasional, berlaku peraturan-peraturan yang berasal dari zaman penjajahan Belanda, yaitu : 33 a) Algemeine regelen voor het visschen naar Parelschelpen, Parelmoerschelpen, Teripang en Sponesen binnen de afstand van niet meer dan drie Ealeshe zeemijlen de kusten van Nederlandsch Indei (Staatsblad Tahun 1916 Nomor 157). b) Visscherrij Bepalingen ter Bescerming van de Vitschsstand (Staatsblad tahun 1920 Nomor 396). c) Algemeene Regeling voor de Visscherij beinnen het zeegebied van ne derlandsch Indie (Staatsblad Tahun 1927 Nomor 144). 33 Gatot Supramono, op. cit., hal 6. 30

2 d) Algemeene regelen voor de jacht opwalvisschen binnen den afstand van drie zemmlijlen van de kusten van Nederlandsch Indie (Staatsblad Tahun 1927 Nomor 145). e) Ketentuan mengenai perikanan dalam Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonantie (Staatblad Tahun 1939 Nomor 442), kecuali ketentuan-ketentuan yang menyangkut acara pelaksanaan penegakan hukum di laut. Setelah Indonesia Merdeka peraturan-peraturan tersebut masih diberlakukan berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 karena sepanjang peraturan yang baru belum dibentuk, peraturan yang lama masih berlaku. 2. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan Bangsa Indonesia baru memiliki peraturan perikanan nasional setelah negaranya merdeka selama 40 tahun, dan hal itu termasuk kurun waktu yang relatif lama. Peraturan tersebut dibentuk dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan yang diberlakukan mulai tanggal 19 Juni 1985 yaitu sejak saat undang-undang diundangkan dalam Lembaran Negara Tahun 1985 No. 46 dan Tambahan Lembaran Negara No Dengan diberlakukannya UU Perikanan tersebut maka peraturanperaturan perikanan yang berasal dari zaman penjajahan di atas dinyatakan tidak berlaku lagi. 3. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan

3 Setelah berjalan lebih kurang 8 (delapan) tahun, Undang-Undang Nomor 9 Tahun diganti dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (UU Perikanan 2004) yang diundangkan dalam Lembaran Negara Tahun 2004 No. 118 dan Tambahan Lembaran Negara No. 4433, dan diberlakukan mulai tanggal 6 Oktober Adanya penggantian undangundang tersebut dilakukan dengan alas an bahwa UU Perikanan yang lama belum menanmpung semua aspek pengelolaan sumber daya ikan dan kurang mampu mengantisipasi perkembangan kebutuhan hukum serta perkembangan teknologi dalam rangka pengelolaan sumber daya ikan. Selain itu penggantian undang-undang juga merupakan konsekuensi hukum atas diratifikasinya Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut Tahun 1982 dengan UU No. 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on The Law of Sea 1982 yang menempatkan Negarra RI memiliki hak untuk memanfaatkan, konservasi, dan pengelolaan sumber daya ikan di zona ekonomi eksklusif Indonesia dan laut lepas yang dilaksanakan berdasarkan persyaratan atau standar internasional yang berlaku. Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 mengkehendaki terjaminnya penyelenggaraan pengelolaan sumber daya ikan secara optimal dan berkelanjutan yang diikuti dengan peningkatan peran pengawasan dan peran serta masyarakat. Di bidang penegakan hukum dibentuk pengadilan khusus mengenai perikanan dengan hakim yang khusus untuk mengadili perkara tersebut. Demikian pula diatur pula pejabat yang berwenang di

4 tingkat penyidikan dengan penyidik khusus dan di tingkat penuntutan dengan penuntut umum khusus di bidang perikanan. 4. Undang Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan Dalam kurun waktu 5 (lima) tahun setelah UU Perikanan 2004 diberlakukan, negara kita mengalami kemajuan pesat di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi dan kebutuhan hukum dalam rangka pengelolaan dan pemanfaatan potensi sumber daya ikan, maka Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (UU Perikanan 2009) yang diundangkan tanggal 29 Oktober 2009 dalam Lembaran Negara No.5073 dan berlaku sejak saat diundangkan. Perubahan UU Perikanan 2004 ini dilakukan karena pada kenyataannya undang-undang tersebut mempunyai kelemahan yang meliputi 3(tiga) aspek, yaitu aspek manajemen pengelolaan, aspek birokrasi, dan aspek hukum. Untuk aspek manajemen pengelolaan pengelolaan perikanan anatara lain belum terdapatnya mekanisme koordinasi antara instansi yang terkait dengan pengelolaan perikanan. Sedangkan aspek birokrasi, antara lain terjadinya perbenturan kepentingan dalam pengelolaan perikanan. Kelemahan yang terjadi pada aspek hukum, antara lain masalah penegakan hukum, rumusan sanksi, dan yurisdiksi atau kompetensi relative pengadilan negeri terhadap tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi di luar kewenangan pengadilan negeri tersebut.

5 Adapun mengenai perubahan yang diatur di dalam UU Perikanan 2009 yaitu meliputi, pertama mengenai pengawasan dan penegakan hukum yang menyangkut masalah mekanisme koordinasi antara instansi penyidik dalam penanganan penyidikan tindak pidana di bidang perikanan, penerapan sanksi pidana (pidana penjara atau denda), hukum acara terutama mengenai batas waktu pemeriksaan perkara, dan fasilitas dalam penegakan hukum di bidang perikanan, termasuk kemungkinan penerapan tindakan hukum berupa penenggelaman kapal asing yang beroperasi di wilayah pengelolaan perikanan negara RI. Untuk yang kedua, masalah pengelolaan perikanan antara lain kepelabuhan perikanan dan konservasi, perizinan, dan kesyahbandaran, dan yang ketiga mengenai perluasan yurisdiksi pengadilan perikanan sehingga mencakup seluruh wilayah pengelolaan perikanan negara RI. B. Bentuk Bentuk Tindak Pidana Perikanan Sebagaimana Diatur Dalam Undang Undang Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perikanan. Beberapa macam tindak pidana di bidang perikanan ( IUU Fishing : Illegal Fishing, Unregulated, Unreported Fisihing) dapat dibedakan atas : 1. Illegal Fishing adalah kegiatan penangkapan ikan secara illegal di perairan wilayah atau ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) suatu Negara dengan tidak memiliki izin dari Negara pantai.

6 2. Unregulated Fishing adalaha kegiatan penangkapan ikan di perairan wilayah atau ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) suatu Negara yang tidak mematuhi aturan yang berlaku di Negara tersebut. 3. Unreported Fishing adalah kegiatan penangkapan ikan di perairan wilayah atau ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) suatu Negara yang tidak dilaporkan baik operasionalnya maupun data kapal dan hasil tangkapannya. Mengenai IUU fishing (illegal, unreported and unregulated fishing), maka yang dimaksud dengan kegiatan perikanan yang dianggap melanggar hukum adalah : 1. Kegiatan yang dilakukan oleh kapal maupun asing di perairan yang berada dalam pengaturan Negara tanpa memperoleh izin ataupun bertentangan dengan hukum Negara yang bersangkutan. 2. Kegiatan yang dilakukan kapal ikan anggota suatu organisasi pengolahan perikanan regional yang melakukan pengolahan/pemanfaatan sumber daya yang bertentangan dengan aturan pengolahan dan konservasi bagi Negara Negara yang menjadi anggotanya, ataupun bertentangan dengan aturan dalam hukum internasional lainnya yang relevan. 3. Kegiatan yang bertentangan dengan hukum nasional dan kewajiban internasional termasuk kewajiban Negara Negara anggota organisasi manajemen perikanan regional. Kegiatan tindak pidana dalam bidang perikanan yang paling sering kita jumpai terjadi di wilayah pengelolaan perikanan Indonesia adalah

7 tindakan pencurian oleh kapal-kapal ikan asing mulai dari perairan ZEE Indonesia hingga masuk ke perairan kepulauan. Jenis alat tangkap yang paling banyak digunakan oleh kapal-kapal ikan asing adalah jenis trawl. Secara umum berdasarkan Pasal 103 Undang Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang perikanan, tindak pidana perikanan dibagi atas 2 (dua) jenis tindak pidana, yaitu tindak pidana kejahatan di bidang perikanan dan tindak pidana pelanggaran di bidang perikanan. Ketentuan pidana perikanan diatur secara khusus di dalam Pasal 84 sampai dengan Pasal 104 Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Ketentuan pidana tersebut merupakan tindak pidana di luar Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP) yang diatur menyimpang, karena tindak pidananya dapat menimbulkan kerusakan dalam pengelolaan perikanan yang berakibat merugikan masyarakat, bangsa dan Negara. 34 Tindak pidana dibidang perikanan yang diatur di dalam Undang- Undang tersebut hanya ada 2 (dua) macam delik yaitu delik kejahatan (misdrijven) dan delik pelanggaran (overtredingen). Disebut delik kejahatan karena perbuatan pelaku bertentangan dengan kepentingan hukum, sedangkan delik pelanggaran merupakan perbuatan yang tidak mentaati larangan atau keharusan yang ditentukan oleh penguasa Negara Marlina dan Faisal Riza, op.cit., hal Ibid hal 28.

8 Mengenai tindak pidana kejahatan di bidang perikanan diatur dalam pasal 84, 85, 86, 88, 91, 92, 93 dan Pasal 94 Undang Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, yaitu : 1. Setiap orang (nahkoda atau pemimpin kapal perikanan, ahli penangkapan ikan, dan anak buah kapal, pemilik perusahaan perikanan, penanggub jawab perusahaan perikanan atau operator kapal perikanan, pemilik perusahaan pembudidayaan ikan) dengan sengaja melakukan penangkapan ikan, kuasa pemilik perusahaan pembudidayaan ikan dengan mengguanakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, dan/atau cara dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal Dengan sengaja memiliki, menguasai, membawa dan/atau menggunakan alat penangkap ikan dan/atau alat bantu penangkan ikan yang mengganggu dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan kapal penangkap ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia. 3. Dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau kerusakan sumber daya ikan dan/atau lingkungannya. 4. Dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia membudidayakan ikan yang dapat membahayakan sumber daya ikan dan/atau lingkungan sumber daya ikan dan/atau kesehatan manusia.

9 5. Dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia membudidayakan ikan hasil rekayasa genetika yang dapat membahayakan sumber daya ikan dan/atau lingkungan sumber daya ikan dan/atau kesehatan manusia. 6. Dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia menggunakan obat-obatan dalam pembudidayaan ikan yang dapat membahayakan sumber daya ikan dan/atau lingkungan sumber daya ikan dan/atau kesehatan manusia. 7. Dengan sengaja memasukkan, mengeluarkan, mengadakan, dan/atau memelihara ikan yang merugikan masyarakat, pembudidayaan ikan, sumber daya ikan, dan/atau lingkungan sumber daya ikan ke dalam dan/atau ke luar wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia. 8. Dengan sengaja menggunakan bahan baku, bahan baku, bahan tambahan makanan, bahan penolong, dan/alat yng membahayakan kesehatan manusia dan/atau lingkungan dalam melaksanakan penanganan dan pengolahan ikan. 9. Dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan usaha perikanan di bidang penangkapan, pembudidayaan, pengangkutan, pengolahan, dan pemasaran ikan, yang tidak memiliki SIUP. 10. Memiliki dan/ atau mengoperasikan kapal penangkap ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia dan/atau di laut lepas, yang tidak memiliki SIPI.

10 11. Memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing melakukan penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia yang melakukan pengangkutan ikan dan kegiatan yang terkait yang tidak memiliki SIPI. 12. Memiliki dan/atau mengoperasikan kapal pengangkut ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia yang melakukan pengangkutan ikan atau kegiatan yang terkait yang tidak memiliki SIKPI. Mengenai tindak pidana pelanggaran di bidang perikanan diatur dalam Pasal 87, 89, 90, 95, 96, 97, 98, 99, dan Pasal 100 Undang Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, yang meliputi : 1. Dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan republic Indonesia merusak plasma nutfah yang berkaitan dengan sumber daya ikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4). 2. Setiap orang yang karena kelalainnya di wilayah pengelolaan perikanan republic Indonesia mengakibatkan rusaknya plasma nutfah yang berkaitan dengan sumber daya ikan. 3. Melakukan penanganan dan pengolahan ikan yang tidak memenuhi dan tidak menerapkan persyaratan kelayakan pengolahan ikan, system jaminan mutu, dan keamanan hasil perikanan. 4. Dengan sengaja melakukan atau pengeluaran ikan dan/atau hasil perikanan dari dan/atau ke wilayah Republik Indonesia yang tidak dilengkapai sertifikat kesehatan konsumsi manusia.

11 5. Membangun, mengimpor, atau memodifikasi kapal perikanan yang tidak mendapat persujuan terlebih dahulu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1). 6. Mengoperasikan kapal perikanan di wilayah pengelolaan perikanan republic Indonesia yang tidak mendaftarkan kapal perikanannya sebagai kapal perikanan Indonesia. 7. Nahkoda yang mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing yang tidak memiliki izin penangkapan, yang selama berada di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia tidak menyimpan alat penangkapan ikan di dalam palka. 8. Nahkoda yang mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing yang telah memiliki izin penangkapan ikan dengan 1 (satu) jenis alat penangkapan ikan tertentu pada bagian tertentu di ZEEI yang membawa alat penangkapan ikan lainnya. 9. Nahkoda yan mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing yang telah memiliki izin penangkapan ikan, yang tidak menyipmpan alat penangkapan ikan di dalam palka selama berada di luar daerah penangkapan ikan yang diizinkan di wilayah pengelolan perikanan Republik Indonesia. 10. Nahkoda kapal perikanan yang berlayar tidak memiliki surat izin berlayar kapal perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2).

12 11. Setiap orang asing yang melakukan penelitian perikanan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia yang tidak memiliki surat izin dari Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1). 12. Melanggar ketentuan yang ditetapkan sebagaimanan dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2). Tindak pidana dibidang perikanan yang termasuk delik kejahatan diatur dalam Pasal 84, Pasal 85, Pasal 86, Pasal 88, Pasal 91, Pasal 92, Pasal 94, Pasal 100A dan Pasal 100B, sedangkan yang termasuk delik pelanggaran diatur dalam Pasal 87, Pasal 89, Pasal 90, Pasal 95, Pasal 96, Pasal 97, Pasal 98, Pasal 99, Pasal 100 dan Pasal 100C. Dari ketentuan pidana yang diatur tersebut dapat digolongkan sebagai berikut : Tindak Pidana pengunaan bahan yang membahayakan kelestarian sumber daya ikan/lingkungannya. Tindak Pidana ini diatur dalam Pasal 84 Undang-Undang Perikanan yang mengatur agar orang atau perusahaan melakukan penangkapan ikan secara wajar sehingga sumber daya ikan dan lingkungan tetap sehat dan terjaga kelestariaannya. Kejahatan dalam Pasal 84 tersebut selalu berhubungan dengan ketentuan Pasal 8 Ayat 1 sampai dengan Ayat 4 yang merupakan peraturan larangan penggunaan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak atau cara lain untuk penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan yang dapat merugikan atau membahayakan sumber daya ikan dan lingkungannya. 36 Ibid.

13 Penggunaan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan lingkungan tidak saja mematikan ikan secara langsung, tetapi dapat pula membahayakan kesehatan manusia dan merugikan nelayan serta pembudi daya ikan. Apabila terjadi kerusakan sebagai akibat penggunaan bahan dan alat yang dimaksud, pengembalian keadaan semula akan membutuhkan waktu yang lama, bahkan mungkin mengakibatkan kepunahan Tindak pidana dengan sengaja menggunakan alat penangkap ikan yang merusak dan mengganggu sumber daya ikan. Pasal 85 Undang-Undang Perikanan disebutkan bahwa setiap orang yang dengan sengaja memiliki, menguasai, membawa, dan/atau menggunakan alat penangkap ikan yang mengganggudan merusak keberlanjutan sumber daya ikan di kapal penangkap ikan di wilayah pengelolaan perikanan dipidanadengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda sebanyak Rp (dua miliar rupiah). Tindak pidana tersebut hanya dapat dilakukan di perairan wilayah perikanan, dapat terjadi di laut, sungai maupun danau di kapal penangkap ikan. Jika kapalnya hanya sebagai pengangkut hasil tangkapan ikan, bukan kapal penangkap ikan. 3. Tindak pidana yang berkaitan dengan pencemaran lingkungannya. Pencemaran laut adalah masuknya atau dimasukkannya mahluk hidup, zat energi dan atau komponen lain ke dalam laut oleh kegiatan manusia atau 37 Ibid hal 29.

14 proses alam, sehingga menyebabkan lingkungan laut menjadi kurang atau tidak berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya. Menurut konvensi Marpol 73/78, sumber-sember pencemaran di laut adalah sebagai berikut : a. Pencemaran yang disebabkan oleh minyak. b. Pencemaran yang disebabkan zat cair beracun. c. Pencemaran yang disebabkan oleh zat beracun dalam kemasan. d. Pencemaran oleh kotoran (tinja). e. Pencemaran oleh sampah. f. Pencemaran oleh udara. 4. Tindak pidana pengelolaan perikanan yang merugikan masyarakat. Pengelolaan perikanan pada dasarnya wajib dilakukan dengan baik, agar memperoleh hasil yang baik. Pengelolaan perikanan dengan cara menyimpang berakibat akan merugikan masyarakat karena hasil penangkapan ikan kualitasnya kurang/tidak dapat dikonsumsi. Apabilaikan tersebut diekspor ke luar negeri juga kurang/tidak ada peminatnya. Sehubungan dengan itu terdapat larangan yang diatur dalam Pasal 16 Ayat 1 Undang-Undang Perikanan bahwa setiap orang dilarang memasukkan, mengeluarkan, mengadakan, mengedarkan, dan/atau memelihara ikan yang merugikan masyarakat, pembudidayaan ikan, sumber daya ikan, dan/atau lingkungan sumber daya ikan ke dalam dan/atau ke luar wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia. 5. Tindak pidana yang berkaitan dengan pengolahan ikan yang kurang/tidak memenuhi syarat.

15 Pengolahan hasil perikanan adalah kegiatan yang dilakukan secara bertahap, berurutan, bersih serta higienik, dan memenuhi persyaratan mutu guna mengubah bahan mentah hasil perikanan menjadi produk akhir. Sebagaimanan produk pangan lainnya, persyaratan pengolahan produk perikanan pada dasarnya harus mengikuti Good Manufacturing Practices (GMP) yaitu cara produksi pangan olahan yang baik sebagaimana diatur oleh Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 23/Men.Kes/SK/I/1978. Agar dalam pengolahan perikanan dapat diharapkan berdayaguna dan berhasil guna, maka setiap orang yang melakukan penanganan dan pengolahan ikan wajib memenuhi dan menerapkan persyaratan kelayakan pengolahan ikan, sestem jaminan mutu, dan keamanan hasil perikanan. Ketentuan mengenai persyaratan tersebut diatur dalam Pasal 20 Ayat 3 Undang-Undang Perikanan. Tujuannya adalah agar hasil perikanan tidak membahayakan atau mengakibatkan terganggunya kesehatan masyarakat. 6. Tindak pidana yang berkaitan dengan penggunaan bahan/alat yang membahayakan manusia dalam melaksanakan pengolahan ikan. Banyak diantara pengusaha di bidang perikanan yang memasarkan hasil olahannya agar awet dan penampilannya menarik pembeli, sering kali dibarengi dengan kecurangan dalam melakukan pengolahannya dengan menggunakan bahan-bahan yang bukan seharusnya digunakan untuk pengolahan ikan antara lain formalin dan pewarna pakaian. Bahan-bahan yang digunakan tersebut tergolong membahayakan kesehatan manusia.

16 Formalin adalah bahan kimia yang digunakan sebagai pengawet. Sebanrnya formalin berfungsi sebagai desinfektan, tapi salah digunakan oleh sebagian orang untuk mengawetkan ikan demi mencegah kerugian. Formalin berguna sebagai desinfektan karena membunuh sebagian besar bakteri dan jamur. Berikut ini adalah cirri-ciri ikan yang mengandung formalin : 1. Tidak rusak sampai tiga hari pada suhu kamar (25 derajat Celsius). 2. Warna insang merah tua dan tidak cemerlang, bukan merah segar. 3. Warna daging ikan putih bersih. 4. Batu menyengat, bau formalin, dan kulit terlihat cerah mengkilat. 5. Daging kenyal. 6. Lebih awet dan tidak mudah busuk walau tanpa pengawet seperti es. 7. Ikan berformalin dijauhi lalat. Tidak terasa bau amis ikan. C. Sanksi Pidana yang Dijatuhkan dalam Tindak Pidana Perikanan Menurut Undang Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan tentang Perubahan atas Undang Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Dalam kajian hukum pidana dikenal jenis sanksi yang berupa pidana (straf) dan tindakan (maatregel).satochid mengemukakan dalam M. Sholehuddin, bahwa di dalam hukum pidana juga ada sanksi yang bukan bersifat siksaan (pemberian nestapa), yang disebut dengan tindakan

17 (matregel). 38 Selain pidana (straf), seorang hakim dapat pula menjatuhkan tindakan (matregel), kepada seseorang yang terbukti bersalah telah melakukan suatu tindak pidana. Pidana didefinisikan sebagai suatu penderitaan yang sengaja dijatuhkan/diberikan negara kepada seseorang atau beberapa orang sebagai akibat hukum (sanksi) baginya atas perbuatannya yang telah melanggar larangan hukum pidana. 39 Dalam hukum pidana kita mengenal ada dua macam sistem perumusan sanksi yaitu single track system dan double track system. Pada prinsipnya aliran klasik hanya menggunakan single track system yaitu sistem sanksi tunggal berupa jenis sanksi pidana. Sistem pidana dan pemidanaan aliran klasik sangat menekankan pada pemidanaan terhadap perbuatan, bukan kepada pelakunya. Sistem pemidanaan ditetapkan secara pasti, artinya penetapan sanksi dalam undang-undang tiidak mengenal sistem peringanan atau pemberatan yang berhubungan dengan faktor usia, keadaan jiwa pelaku, kejahatan-kejahatan yang dilakukannya terdahulu maupun keadaan-keadaan khusus dari perbuatan yang dilakukan. 40 Double track system yaitu system sanksi dengan memakai dua jalur yaitu system sanksi dengan memakai dua jalur yaitu sanksi pidana dan sanksi tindakan. Double track system tidak sepenuhnya memakai satu di 38 M. sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2003, hal Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 1, Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2002, hal Skripsi Oude Putera Silalahi, PENERAPAN UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN jo. UNDANG-UNDANG NOMOR 45 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNNDANG NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN TERHADAP TINDAK PIDANAN DI BIDANG PERIKANAN (ILLEGAL FISHING), UNIVERSITAS SUMATERA UTARA, HAL 33, 26 SEPTEMBER 2015.

18 antara dua jenis sanksi tersebut dalam kedudukan yang setara. Penekanan pada kesetaraan sanksi pidanan dan sanksi tindakan dalam kerangka double track system sesungguhnya terkait dengan fakta bahwa unsut pencelaan/penderitaan (lewat sanksi pidana) dan unsure pembinaan (lewat sanksi tindakan) sama-sama penting. 41 Dalam konsep perundang-undangan yang masih menganut sistem satu jalur (single track system), penjatuhan (stelsel) sanksinya hanya meliputi pidanan (straf, punishment) yang bersifat penderitaan saja sebagai bentuk penghukuman, sedangkan dalam konsep perundang-undangan yang menganut sistem dua jalur (double track system), stelsel sanksinya mengatur dua hal sekaligus, yaitu sanksi pidana dan sanksi tindakan. Pada prinsipnya pelaku tindak pidana adalah subjek hukum, karena perbuatannya dapat dipertanggungjawabkan secara pidana. Subjek hukum adalah pendukung hak dan kewajiban, berupa orang dan badan hukum. Orang atau manusia perbuatannya dapat dipertanggungjawabkan perbuatannya sejak statusnya sebagai anak sampai dewasa. Baik KUHP dan UU No. 3 Tahun 1997 mengenal anak sebagai pelaku tindak pidana, dengan diadili di pengadilan anak. 42 Dalam perkembangannya tindak pidana yang dilakukan bukan manusia adalah korporasi. Istilah korporasi lebih luas daripada badan hukum, karena korporasi merupakan sekelompok orang baik yang berupa badan hukum atau bukan badan hukum. Dalam literatur hukum pidana, penerapan prinsip pertanggungjawaban korporasi ini telah mengalami perkembangan 41 Ibid hal Gatot Supramono. Op.cit., hal 183

19 yang demikian pesat sejalan dengan meningkatnya kejahatan korporasi itu sendiri. 43 Pada awalnya korporasi belum diakui sebagai pelaku dari suatu tindak pidana, karenanya tanggung jawab atas tindak pidana dibebankan kepada pengurus korporasi. Selanjutnya korporasi mulai diakui sebagai pelaku tindak pidana, sementara tanggung jawab atas tindak pidana masih dibebankan kepada pengurusnya. 44 Pelaku tindak pidana di bidang perikanan dengan memperhatikan ketentuan pidana dalam Pasal 84 sampai dengan Pasal 100C disebutkan adalah setiap orang. Adapun yang dimaksud dengan setiap orang adalah orang perorangan atau korporasi (Pasal 1 angka 14 UU Perikanan).Jadi dalam tindak pidana di bidang perikanan yang dapat menjadi pelakunya orang maupun korporasi. Korporasi dapat menjadi pelaku tindak pidana karena perusahaan perusahaan usahanya bergerak di bidang perikanan baik dalam bentuk badan hukum maupun bukan badan hukum seperti di atas. Andi Hamzah memberikan arti sistem pidana dan pemidanaan sebagai susunan (pidana) dan cara pemidanaan (pemidanaan). M. Sholehuddin menyatakan, bahwa masalah saksi merupakan hal yang sentral dalam hukum pidana karena seringkali menggambarkan nilai nilai social budayasuatu bangsa. Artinya, pidana mengandung tata nilai (value) dalam suatu masyarakat mengenai apa yang baik dan yang tidak baik, apa yang bermoral dan apa yang amoral serta apa yang diperbolehkan dan apa yang dilarang. Meskipun tata nilai itu sendiri ada yang bersifat universal dan abadi, tetapi dari zaman ke zama ia juga dapat bersifat dinamis. 45 Pasal 10 KUHP terjimpenerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, berbunyi : Pidana terdiri atas : 43 ibid 44 ibid 45 Mohammad Ekaputra dan Abul Khair, op.cit., hal 13

20 a. Pidana pokok 1. Pidana mati. 2. Pidana penjara. 3. Pidana kurungan. 4. Pidana denda Jika diklasifikasikan, sanksi pidana dan rumusan ancaman pidana terdapat dalam pasal pasal sebagai berikut : 1. Ancaman pidana penjara. a. Pasal 84 ayat (1),., dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp ,00 (satu miliar dua ratus juta rupiah). Perumusan ancaman pidana dalam Pasal 84 ini menggunakan perumusan ancaman pidana Kumulatif karena dalam pasal ini adanya akumulasi sanksi pidana yaitu berupa pidana penjara dan pidana denda. b. Pasal 84 ayat (2),., dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp ,00 (satu miliar dua ratus juta rupiah), Perumusan ancaman pidana dalam pasal ini sama dengan Pasal 84 ayat (1) yaitu menggunakan perumusan sanksi secara kumulatif dengan ancaman pidana berupa pidana penjara dan pidana denda. c. Pasal 84 ayat (3) dan (4),, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp ,00 (dua miliar rupiah). Perumusan ancaman pidanadalam pasal ini sama dengan Pasal 84 ayat (1) dan (2) serta Pasal 86 ayat (1) yaitu menggunakan perumusan sanksi secara kumulatif dengan ancaman pidana berupa pidana penjara dan pidana denda. d. Pasal 85,, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp ,00 (dua miliar rupiah).

21 Perumusan ancaman pidana dalam pasal ini menggunakan sistem kumulatif dengan ancaman pidana berupa pidana penjara dan pidana denda. e. Pasal 86 ayat (2), (3), (4), Pasal 88, Pasal 91,.., dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp ,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah). Perumusan ancaman pidana dalam pasal ini menggunakan sistem kumulatif dengan ancaman pidana berupa pidana penjara dan pidana denda. f. Pasal 87.., dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp ,00 (satu miliar rupiah). Perumusan ancaman pidana dalam pasal ini menggunakan sistem kumulatif dengan ancaman pidana berupa pidana penjara dan pidana denda. g. Pasal 89 dan Pasal 90,, dipidana dengan pidana penjara paling lama (1) tahun dan denda paling banyak Rp ,00 (delapan ratus juta rupiah). Perumusan ancaman pidana dalam pasal ini juga menggunakan perumusan ancaman secara kumulatif karena adanya akumulasi hukuman yaitu berupa pidana penjara dan pidana denda. h. Pasal 92,.., dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan denda paling banyak Rp ,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah). Perumusan ancaman pidana dalam pasal ini juga menggunakan perumusan ancaman secara kumulatif berupa pidana penjara dan pidana denda. i. Pasal 93 ayat (1) dan (3),., dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 9enam) tahun dan denda paling banyak Rp ,00 (dua miliar rupiah).

22 Perumusan ancaman pidana dalam pasal ini juga menggunakan perumusan sanksi secara kumulatif yaitu berupa pidana penjara dan pidana denda. j. Pasal 93 ayat (2) dan (4),, dipidana dengan penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp ,00 (dua puluh miliar rupiah). Perumusan ancaman pidana dalam pasal ini juga menggunakan perumusan sanksi secara kumulatif yaitu berupa pidana penjara dan pidana denda. k. Pasal 94, 94A, 95, 96, 98, 99 dan juga menggunakan sistem perumusan ancaman pidana secara kumulatif yaitu berupa pidana penjara dan pidana denda. l. Pasal 100B,.., dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp ,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah). Perumusan ancaman dalam pasal ini menggunakan sistem perumusan sanksi secara alternative karena terdapat pilihan jenis sanksi pidana yang diberikan berupa pidana penjara (paling lama 1 (satu) tahun) atau pidana denda (paling banyak rp ,00 (dua ratus juta rupiah)). Pada perumusan sanksi secara alternative ancaman pidana yang diberikan berupa pilihan jenis pidana tetapi pidana yang dijatuhkan hanya salah satu dari pilihan yaitu berupa pidana penjara saja atau pidana denda saja, bukan keduanya 2. Ancaman pidana denda. a. Pasal 97 ayat (1) dan (3),, dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp ,00 (lima ratus juta rupiah). Perumusan ancaman pidana dalam pasal ini menggunakan perumusan sanksi secara tunggal/imperative karena hanya terdapat satu jenis ancaman pidana saja yaitu pidana denda.

23 b. Pasal 97 ayat (2),., dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp ,00 (satu miliar rupiah). Perumusan ancaman pidana dalam pasal ini juga menggunakan perumusan sanksi secara tunggal/imperative berupa pidana denda saja. c. Pasal 100,., dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp ,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah). Perumusan ancaman pidana dalam pasal ini juga akan menggunakan perumusan sanksi secara tunggal/ Imperative berupa pidana denda. d. Pasal 100C,.., dipidana dengan pidana paling banyak Rp ,00 (seratus juta rupiah). Perumusan ancaman pidana dalam pasal ini juga menggunakan perumusan sanksi secara tunggal/ Imperative yaitu berupa pidana denda saja. Berdasarkan klasifikasi sanksi pidana dan perumusan ancaman pidana di atas, Undang Undang nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perubahan atas Undang Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan mengenal tiga sistem perumusan ancaman pidana yaitu perumusan tunggal/imperative, sistem kumulatif, dan sistem alternative. Dilihat dari segi perumusan lamanya sanksi pidana (strafmaat), Undang Undang Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perubahan atas Undang Undang Nomor 31 tahun 2004 Tentang Perikanan menganut sistem fixed/indefinitive sentence system atau sistem maksimum yaitu pemberian sanksi dibatasi oleh batas maksimum hukuman. Hal ini dapat dilihat dari maksimum lamanya pidana baik pidana penjara maupun pidana denda, dengan penggunaan kata kata paling lama/paling banyak. Sistem fixed/indefinitive sentence system ini terlihat dalam semua pasal yang mengatur mengenai ketentuan pidana, seperti Pasal 88 yang memberikan ancaman pidana berupa pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp ,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1985 TENTANG P E R I K A N A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1985 TENTANG P E R I K A N A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1985 TENTANG P E R I K A N A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: 1. bahwa perairan yang merupakan bagian terbesar wilayah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN [LN 2004/118, TLN 4433]

UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN [LN 2004/118, TLN 4433] UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN [LN 2004/118, TLN 4433] BAB XV KETENTUAN PIDANA Pasal 84 (1) Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 45 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN [LN 2009/154, TLN 5073]

UNDANG-UNDANG NOMOR 45 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN [LN 2009/154, TLN 5073] UNDANG-UNDANG NOMOR 45 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN [LN 2009/154, TLN 5073] 39. Ketentuan Pasal 85 diubah sehingga Pasal 85 berbunyi sebagai berikut:

Lebih terperinci

PENERAPAN UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN

PENERAPAN UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN PENERAPAN UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN jo. UNDANG-UNDANG NOMOR 45 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN TERHADAP TINDAK PIDANA DI

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. 1. Mengenai Perkembangan Penegakan Hukum Terhadap Kapal. Fishing (IUUF) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia.

BAB V PENUTUP. 1. Mengenai Perkembangan Penegakan Hukum Terhadap Kapal. Fishing (IUUF) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia. 161 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Menjawab rumusan masalah dalam Penulisan Hukum ini, Penulis memiliki kesimpulan sebagi berikut : 1. Mengenai Perkembangan Penegakan Hukum Terhadap Kapal Asing yang Melakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan yang sebagian besar

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan yang sebagian besar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan yang sebagian besar wilayahnya terdiri dari laut, memiliki potensi perikanan yang sangat besar dan beragam. Potensi perikanan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 118, 2004 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4433) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

Undang Undang No. 9 Tahun 1985 Tentang : Perikanan

Undang Undang No. 9 Tahun 1985 Tentang : Perikanan Undang Undang No. 9 Tahun 1985 Tentang : Perikanan Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 9 TAHUN 1985 (9/1985) Tanggal : 19 JUNI 1985 (JAKARTA) Sumber : LN 1985/46; TLN NO. 3299 DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1985 TENTANG PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1985 TENTANG PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG NOMOR 9 TAHUN 1985 TENTANG PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia, Menimbang : a. bahwa perairan yang merupakan bagian terbesar wilayah Negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia, Bentuk: UNDANG UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 9 TAHUN 1985 (9/1985) Tanggal: 19 JUNI 1985 (JAKARTA) Sumber: LN 1985/46; TLN NO. 3299 Tentang: PERIKANAN Indeks: ADMINISTRASI. PERTANIAN.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa perairan yang berada di bawah kedaulatan dan yurisdiksi

Lebih terperinci

BAB III TINDAK PIDANA PENCURIAN IKAN (ILLEGAL FISHING) SEBAGAI TINDAK PIDANA INTERNASIONAL DI PERAIRAN ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA

BAB III TINDAK PIDANA PENCURIAN IKAN (ILLEGAL FISHING) SEBAGAI TINDAK PIDANA INTERNASIONAL DI PERAIRAN ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA BAB III TINDAK PIDANA PENCURIAN IKAN (ILLEGAL FISHING) SEBAGAI TINDAK PIDANA INTERNASIONAL DI PERAIRAN ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA A. Kasus Pencurian Ikan Di Perairan Wilayah Zona Ekonomi Eksklusif

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REFUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REFUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REFUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa perairan yang berada di bawah kedaulatan dan yurisdiksi

Lebih terperinci

KEAMANAN PANGAN (UNDANG-UNDANG NO 12 TENTANG PANGAN TAHUN 2012

KEAMANAN PANGAN (UNDANG-UNDANG NO 12 TENTANG PANGAN TAHUN 2012 KEAMANAN PANGAN (UNDANG-UNDANG NO 12 TENTANG PANGAN TAHUN 2012 Pasal 69 Penyelenggaraan Keamanan Pangan dilakukan melalui: a. Sanitasi Pangan; b. pengaturan terhadap bahan tambahan Pangan; c. pengaturan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 1992 TENTANG PELAYARAN [LN 1992/98, TLN 3493]

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 1992 TENTANG PELAYARAN [LN 1992/98, TLN 3493] UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 1992 TENTANG PELAYARAN [LN 1992/98, TLN 3493] BAB XIII KETENTUAN PIDANA Pasal 100 (1) Barangsiapa dengan sengaja merusak atau melakukan tindakan apapun yang mengakibatkan tidak

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2009 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2009 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa perairan yang berada di bawah kedaulatan dan yurisdiksi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

*15365 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 31 TAHUN 2004 (31/2004) TENTANG PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

*15365 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 31 TAHUN 2004 (31/2004) TENTANG PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Copyright (C) 2000 BPHN UU 31/2004, PERIKANAN *15365 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 31 TAHUN 2004 (31/2004) TENTANG PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG P E R I K A N A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG P E R I K A N A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG P E R I K A N A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa perairan yang berada di bawah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa perairan yang berada di bawah kedaulatan dan yurisdiksi

Lebih terperinci

PELAKSANAAN TINDAKAN KHUSUS TERHADAP KAPAL PERIKANAN BERBENDERA ASING DALAM PASAL 69 AYAT (4) UU NO. 45 TAHUN 2009

PELAKSANAAN TINDAKAN KHUSUS TERHADAP KAPAL PERIKANAN BERBENDERA ASING DALAM PASAL 69 AYAT (4) UU NO. 45 TAHUN 2009 PELAKSANAAN TINDAKAN KHUSUS TERHADAP KAPAL PERIKANAN BERBENDERA ASING DALAM PASAL 69 AYAT (4) UU NO. 45 TAHUN 2009 A. UU No. 45 Tahun 2009 tentang Perikanan 1. Perkembangan UU Perikanan di Indonesia Bangsa

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 1 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG BARAT, Menimbang : a. bahwa potensi pembudidayaan perikanan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP [LN 2009/140, TLN 5059]

UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP [LN 2009/140, TLN 5059] UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP [LN 2009/140, TLN 5059] BAB XV KETENTUAN PIDANA Pasal 97 Tindak pidana dalam undang-undang ini merupakan kejahatan.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 9 TAHUN 1985 TENTANG PERIKANAN [LN 1985/46, TLN 3299]

UNDANG-UNDANG NOMOR 9 TAHUN 1985 TENTANG PERIKANAN [LN 1985/46, TLN 3299] UNDANG-UNDANG NOMOR 9 TAHUN 1985 TENTANG PERIKANAN [LN 1985/46, TLN 3299] BAB VIII KETENTUAN PIDANA Pasal 24 dimaksud dalam Pasal 2 huruf a dan huruf b 1 melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR : 515 TAHUN : 2001 SERI : C PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR 13 TAHUN 2001 TENTANG PENGENDALIAN LIMBAH

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR : 515 TAHUN : 2001 SERI : C PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR 13 TAHUN 2001 TENTANG PENGENDALIAN LIMBAH LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR : 515 TAHUN : 2001 SERI : C PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR 13 TAHUN 2001 TENTANG PENGENDALIAN LIMBAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SERANG Menimbang

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 44, 1983 (KEHAKIMAN. WILAYAH. Ekonomi. Laut. Perikanan. Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik

Lebih terperinci

LAMPIRAN 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1997 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

LAMPIRAN 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1997 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP LAMPIRAN 392 LAMPIRAN 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1997 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP 393 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1997 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN

Lebih terperinci

BAB IV. A. Pengaturan Penggunaan Sistem Pemantauan Kapal Perikanan. VMS/(Vessel Monitoring System) dihubungkan dengan Undang-

BAB IV. A. Pengaturan Penggunaan Sistem Pemantauan Kapal Perikanan. VMS/(Vessel Monitoring System) dihubungkan dengan Undang- BAB IV Mengenai Kewenangan Mengadili Atas Kasus Illegal Fishing Berdasarkan Track Record Data VMS (Vessel Monitoring System) Dihubungkan dengan Undang-Undang 45 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 1 mengatakan bahwa kekuasaan kehakiman

II. TINJAUAN PUSTAKA. tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 1 mengatakan bahwa kekuasaan kehakiman 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertimbangan dalam Putusan Hakim Hakim diberi kebebasan untuk menjatuhkan putusan dalam setiap pengadilan perkara tindak pidana, hal tersebut sesuai dengan bunyi UU No. 48 tahun

Lebih terperinci

POLICY BRIEF ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM DALAM RANGKA PEMBERANTASAN KEGIATAN PERIKANAN LIAR (IUU FISHING)

POLICY BRIEF ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM DALAM RANGKA PEMBERANTASAN KEGIATAN PERIKANAN LIAR (IUU FISHING) POLICY BRIEF ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM DALAM RANGKA PEMBERANTASAN KEGIATAN PERIKANAN LIAR (IUU FISHING) A. Pendahuluan Wilayah perairan Indonesia yang mencapai 72,5% menjadi tantangan besar bagi TNI

Lebih terperinci

Heni Susila Wardoyo, S.H., M.H

Heni Susila Wardoyo, S.H., M.H DAMPAK DARI PENERAPAN PASAL 73 UNCLOS DAN PASAL 102 UU PERIKANAN (UU NOMOR 31 TAHUN 2004 DAN UU NOMOR 45 TAHUN 2009) BERUPA LARANGAN IMPRISONMENT DAN CORPORAL PUNISHMENT TERHADAP PROSES PENEGAKAN HUKUM

Lebih terperinci

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 23 TAHUN 1997 (23/1997) Tanggal: 19 SEPTEMBER 1997 (JAKARTA)

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 23 TAHUN 1997 (23/1997) Tanggal: 19 SEPTEMBER 1997 (JAKARTA) Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 23 TAHUN 1997 (23/1997) Tanggal: 19 SEPTEMBER 1997 (JAKARTA) Sumber: LN 1997/68; TLN NO.3699 Tentang: PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1983 TENTANG ZONA EKONOMI EKSLUSIF INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1983 TENTANG ZONA EKONOMI EKSLUSIF INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1983 TENTANG ZONA EKONOMI EKSLUSIF INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : 1. bahwa pada tanggal 21 Maret 1980

Lebih terperinci

2 ekspor Hasil Perikanan Indonesia. Meskipun sebenarnya telah diterapkan suatu program manajemen mutu terpadu berdasarkan prinsip hazard analysis crit

2 ekspor Hasil Perikanan Indonesia. Meskipun sebenarnya telah diterapkan suatu program manajemen mutu terpadu berdasarkan prinsip hazard analysis crit TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI LINGKUNGAN HIDUP. Perikanan. Hasil. Jaminan Mutu. Keamanan. Sistem. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 181). PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masing-masing wilayah negara, contohnya di Indonesia. Indonesia memiliki Hukum

I. PENDAHULUAN. masing-masing wilayah negara, contohnya di Indonesia. Indonesia memiliki Hukum I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pidana denda merupakan salah satu jenis pidana yang telah lama diterima dan diterapkan dalam sistem hukum di berbagai negara dan bangsa di dunia. Akan tetapi, pengaturan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN, PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 18 TAHUN 2012 TENTANG PENGAWASAN BAHAN TAMBAHAN PANGAN DAN PEREDARAN BAHAN BERBAHAYA YANG DISALAHGUNAKAN DALAM PANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1997 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1997 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1997 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa lingkungan hidup Indonesia

Lebih terperinci

BAB III SANKSI PIDANA ATAS PENGEDARAN MAKANAN TIDAK LAYAK KONSUMSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

BAB III SANKSI PIDANA ATAS PENGEDARAN MAKANAN TIDAK LAYAK KONSUMSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN BAB III SANKSI PIDANA ATAS PENGEDARAN MAKANAN TIDAK LAYAK KONSUMSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN A. Pengedaran Makanan Berbahaya yang Dilarang oleh Undang-Undang

Lebih terperinci

Peraturan Pemerintah No. 15 Tahun 1984 Tentang : Pengelolaan Sumber Daya Alam Hayati Di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia

Peraturan Pemerintah No. 15 Tahun 1984 Tentang : Pengelolaan Sumber Daya Alam Hayati Di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia Peraturan Pemerintah No. 15 Tahun 1984 Tentang : Pengelolaan Sumber Daya Alam Hayati Di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 15 TAHUN 1984 (15/1984) Tanggal : 29

Lebih terperinci

BAB III UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2002 TENTANG HAK CIPTA. A. Profil Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta

BAB III UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2002 TENTANG HAK CIPTA. A. Profil Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta 45 BAB III UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2002 TENTANG HAK CIPTA A. Profil Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta 1. Sejarah Perkembangan Undang-Undang Hak Cipta di Indonesia Permasalahan hak

Lebih terperinci

Bab XII : Pemalsuan Surat

Bab XII : Pemalsuan Surat Bab XII : Pemalsuan Surat Pasal 263 (1) Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti

Lebih terperinci

Dengan Persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA. MEMUTUSKAN: Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP.

Dengan Persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA. MEMUTUSKAN: Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP. UU No. 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1997 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB III ANALISA HASIL PENELITIAN

BAB III ANALISA HASIL PENELITIAN BAB III ANALISA HASIL PENELITIAN A. Analisa Yuridis Malpraktik Profesi Medis Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 merumuskan banyak tindak pidana

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 1984

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 1984 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 1984 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM HAYATI DI ZONA EKONOMI EKSLUSIF INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 68, 1997 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3699)

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 68, 1997 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3699) LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 68, 1997 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3699) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1997 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN

Lebih terperinci

PETUNJUK TEKNIS PENGAWASAN PENCEMARAN PERAIRAN

PETUNJUK TEKNIS PENGAWASAN PENCEMARAN PERAIRAN PETUNJUK TEKNIS PENGAWASAN PENCEMARAN PERAIRAN KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PENGAWASAN SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.59/DJ-PSDKP/2011 TENTANG PENGAWASAN PENCEMARAN PERAIRAN DIREKTORAT PENGAWASAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2008 TENTANG PELAYARAN [LN 2008/64, TLN 4846]

UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2008 TENTANG PELAYARAN [LN 2008/64, TLN 4846] UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2008 TENTANG PELAYARAN [LN 2008/64, TLN 4846] BAB XIX KETENTUAN PIDANA Pasal 284 Setiap orang yang mengoperasikan kapal asing untuk mengangkut penumpang dan/atau barang antarpulau

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57/PERMEN-KP/2014 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR PER.30/MEN/2012 TENTANG USAHA PERIKANAN TANGKAP

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA [LN 2009/140, TLN 5059]

UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA [LN 2009/140, TLN 5059] UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA [LN 2009/140, TLN 5059] BAB XV KETENTUAN PIDANA Pasal 111 (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan,

Lebih terperinci

DISKUSI PANEL PADA RAKORNAS IUU FISHING

DISKUSI PANEL PADA RAKORNAS IUU FISHING DISKUSI PANEL PADA RAKORNAS IUU FISHING PENDEKATAN HUKUM YANG BERKEADILAN DAN MEMBERIKAN KEPASTIAN HUKUM TERHADAP NELAYAN KECIL JAKSA AGUNG MUDA TINDAK PIDANA UMUM Hotel Grand Sahid Jaya, 12 Juli 2017

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan atau perbuatan jahat dapat diartikan secara yuridis atau kriminologis.

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TABALONG TAHUN 2009 NOMOR

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TABALONG TAHUN 2009 NOMOR LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TABALONG TAHUN 2009 NOMOR 04 PERATURAN DAERAH KABUPATEN TABALONG NOMOR 04 TAHUN 2009 TENTANG PENANGKAPAN DAN PERLINDUNGAN SUMBERDAYA HAYATI DI PERAIRAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

Kata Kunci : Yurisdiksi Indonesia, Penenggelaman Kapal Asing, UNCLOS

Kata Kunci : Yurisdiksi Indonesia, Penenggelaman Kapal Asing, UNCLOS YURISDIKSI INDONESIA DALAM PENERAPAN KEBIJAKAN PENENGGELAMAN KAPAL ASING YANG MELAKUKAN ILLEGAL FISHING BERDASARKAN UNITED NATIONS CONVENTION ON THE LAW OF THE SEA Oleh : Kadek Rina Purnamasari I Gusti

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.10/MEN/2010 TENTANG TATA CARA DAN PERSYARATAN PERIZINAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERIKANAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG TINDAK PIDANA PELAYARAN DI INDONESIA. A. Pengaturan Tindak Pidana Pelayaran Di Dalam KUHP

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG TINDAK PIDANA PELAYARAN DI INDONESIA. A. Pengaturan Tindak Pidana Pelayaran Di Dalam KUHP 29 BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG TINDAK PIDANA PELAYARAN DI INDONESIA A. Pengaturan Tindak Pidana Pelayaran Di Dalam KUHP Indonesia merupakan negara maritim terbesar di dunia, yang mana hal tersebut

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 1997 TENTANG NARKOTIKA [LN 1997/67, TLN 3698]

UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 1997 TENTANG NARKOTIKA [LN 1997/67, TLN 3698] UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 1997 TENTANG NARKOTIKA [LN 1997/67, TLN 3698] BAB XII KETENTUAN PIDANA Pasal 78 (1) Barang siapa tanpa hak dan melawan hukum: a. menanam, memelihara, mempunyai dalam persediaan,

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN TENTANG TINDAK PIDANA PERIKANAN MENURUT HUKUM POSITIF DI INDONESIA

BAB II PENGATURAN TENTANG TINDAK PIDANA PERIKANAN MENURUT HUKUM POSITIF DI INDONESIA BAB II PENGATURAN TENTANG TINDAK PIDANA PERIKANAN MENURUT HUKUM POSITIF DI INDONESIA Tindak pidana perikanan diatur didalam perundang-undangan yaitu Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor

Lebih terperinci

LEMBARAN-NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN-NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN-NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 68, 1997 LINGKUNGAN HIDUP. WAWASAN NUSANTARA. Bahan Berbahaya. Limbah. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3699). UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya Bab XXII : Pencurian Pasal 362 Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26/PERMEN-KP/2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR PER.30/MEN/2012 TENTANG USAHA PERIKANAN TANGKAP

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG MATA UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG MATA UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG MATA UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara kesatuan negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1995 TENTANG KEPABEANAN [LN 1995/64, TLN 3612]

UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1995 TENTANG KEPABEANAN [LN 1995/64, TLN 3612] UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1995 TENTANG KEPABEANAN [LN 1995/64, TLN 3612] BAB XIV KETENTUAN PIDANA Pasal 102 Barangsiapa yang mengimpor atau mengekspor atau mencoba mengimpor atau mengekspor barang tanpa

Lebih terperinci

BAB IV. Pasal 46 UU No.23 tahun 1997 dinyatakan bila badan hukum terbukti melakukan tindak

BAB IV. Pasal 46 UU No.23 tahun 1997 dinyatakan bila badan hukum terbukti melakukan tindak BAB IV ANALISIS YURIDIS PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI TERHADAP TINDAK PIDANA PEMBAKARAN HUTAN PADA PENGADILAN TINGGI PEKANBARU NOMOR 235/PID.SUS/2012/PTR Tindak Pidana dan Tanggung Jawab Korporasi di Bidang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. II/No. 7/November/2013. Kata kunci: Integrated Criminal Custice System, Pidana Perikanan

Lex Crimen Vol. II/No. 7/November/2013. Kata kunci: Integrated Criminal Custice System, Pidana Perikanan INTEGRATED CRIMINAL CUSTICE SYSTEM TERHADAP SISTEM PERADILAN TINDAK PIDANA PERIKANAN 1 Oleh : Jevons Bawekes 2 A B S T R A K Penelitian ini dilakukan bertujuan untuk menggetahui apa dan bagaimanakah maksud

Lebih terperinci

GUBERNUR RIAU PERATURAN GUBERNUR RIAU NOMOR : 69 TAHUN 2012 TENTANG PENDAFTARAN DAN PENANDAAN KAPAL PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

GUBERNUR RIAU PERATURAN GUBERNUR RIAU NOMOR : 69 TAHUN 2012 TENTANG PENDAFTARAN DAN PENANDAAN KAPAL PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR RIAU PERATURAN GUBERNUR RIAU NOMOR : 69 TAHUN 2012 TENTANG PENDAFTARAN DAN PENANDAAN KAPAL PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR RIAU Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.03/MEN/2009 TENTANG PENANGKAPAN IKAN DAN/ATAU PENGANGKUTAN IKAN DI LAUT LEPAS

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.03/MEN/2009 TENTANG PENANGKAPAN IKAN DAN/ATAU PENGANGKUTAN IKAN DI LAUT LEPAS PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.03/MEN/2009 TENTANG PENANGKAPAN IKAN DAN/ATAU PENGANGKUTAN IKAN DI LAUT LEPAS MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria penataan ruang laut sesuai dengan peta potensi laut.

Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria penataan ruang laut sesuai dengan peta potensi laut. - 602 - CC. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG KELAUTAN DAN PERIKANAN 1. Kelautan 1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengelolaan sumberdaya kelautan dan ikan di wilayah laut

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 1992 TENTANG SISTEM BUDIDAYA TANAMAN [LN 1992/46, TLN 3478]

UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 1992 TENTANG SISTEM BUDIDAYA TANAMAN [LN 1992/46, TLN 3478] UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 1992 TENTANG SISTEM BUDIDAYA TANAMAN [LN 1992/46, TLN 3478] BAB X KETENTUAN PIDANA Pasal 60 (1) Barangsiapa dengan sengaja: a. mencari dan mengumpulkan plasma nutfah tidak

Lebih terperinci

QANUN KABUPATEN ACEH BESAR NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA PERIKANAN DI PERAIRAN UMUM BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

QANUN KABUPATEN ACEH BESAR NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA PERIKANAN DI PERAIRAN UMUM BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM QANUN KABUPATEN ACEH BESAR NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA PERIKANAN DI PERAIRAN UMUM BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA BUPATI ACEH BESAR, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1996 TENTANG PANGAN [LN 1996/99, TLN 3656]

UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1996 TENTANG PANGAN [LN 1996/99, TLN 3656] UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1996 TENTANG PANGAN [LN 1996/99, TLN 3656] BAB X KETENTUAN PIDANA Pasal 55 Barangsiapa dengan sengaja: a. menyelenggarakan kegiatan atau proses produksi, penyimpanan, pengangkutan,

Lebih terperinci

BAB III PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Dimuat

BAB III PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Dimuat BAB III PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI A. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Dimuat dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 1. Sanksi

Lebih terperinci

BAB III PEMIDANAAN ORANG TUA ATAU WALI DARI PECANDU NARKOTIKA DI BAWAH UMUR MENURUT UU NO. 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA

BAB III PEMIDANAAN ORANG TUA ATAU WALI DARI PECANDU NARKOTIKA DI BAWAH UMUR MENURUT UU NO. 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA 43 BAB III PEMIDANAAN ORANG TUA ATAU WALI DARI PECANDU NARKOTIKA DI BAWAH UMUR MENURUT UU NO. 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA A. Sejarah Undang-undang Narkotika Sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 9

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1964 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1963 TENTANG TELEKOMUNIKASI (LEMBARAN NEGARA TAHUN 1963 NOMOR 66) MENJADI

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. kewenangan dalam rangka menetapkan ketentuan yang berkaitan dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. kewenangan dalam rangka menetapkan ketentuan yang berkaitan dengan BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan panjang garis pantai yang mencapai 95.181 km 2, yang menempatkan Indonesia berada diurutan keempat setelah Rusia,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. resmi yang berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturan-peraturan

BAB I PENDAHULUAN. resmi yang berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturan-peraturan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Menurut J.C.T. Simorangkir, S.H dan Woerjono Sastropranoto, S.H, Hukum adalah peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia

Lebih terperinci

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PENGAWASAN SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR: KEP.59/DJ-PSDKP/2011 TENTANG

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PENGAWASAN SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR: KEP.59/DJ-PSDKP/2011 TENTANG KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PENGAWASAN SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR: KEP.59/DJ-PSDKP/2011 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENGAWASAN PENCEMARAN PERAIRAN DIREKTUR JENDERAL PENGAWASAN SUMBER DAYA KELAUTAN

Lebih terperinci

BUPATI PURWOREJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG PERBURUAN BURUNG, IKAN DAN SATWA LIAR LAINNYA

BUPATI PURWOREJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG PERBURUAN BURUNG, IKAN DAN SATWA LIAR LAINNYA SALINAN BUPATI PURWOREJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG PERBURUAN BURUNG, IKAN DAN SATWA LIAR LAINNYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURWOREJO, Menimbang : a.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LANDAS KONTINEN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LANDAS KONTINEN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG LANDAS KONTINEN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka pembangunan nasional

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA PELAKU PEMBAKARAN LAHAN

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA PELAKU PEMBAKARAN LAHAN BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA PELAKU PEMBAKARAN LAHAN Hukum merupakan sebuah instrumen yang dibentuk oleh pemerintah yang berwenang, yang berisikan aturan, larangan, dan sanksi yang bertujuan untuk mengatur

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laut Arafura merupakan salah satu bagian dari perairan laut Indonesia yang terletak di wilayah timur Indonesia yang merupakan bagian dari paparan sahul yang dibatasi oleh

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 1989 TENTANG TELEKOMUNIKASI [LN 1989/11, TLN 3391]

UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 1989 TENTANG TELEKOMUNIKASI [LN 1989/11, TLN 3391] UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 1989 TENTANG TELEKOMUNIKASI [LN 1989/11, TLN 3391] BAB IX KETENTUAN PIDANA Pasal 35 Setiap perbuatan yang dilakukan tanpa hak dan dengan sengaja untuk mengubah jaringan telekomunikasi

Lebih terperinci

Pembagian Kewenangan Dalam Penegakan Hukum Terhadap Pelanggaran Peraturan Perundang-Undangan Di Perairan Indonesia

Pembagian Kewenangan Dalam Penegakan Hukum Terhadap Pelanggaran Peraturan Perundang-Undangan Di Perairan Indonesia Pembagian Kewenangan Dalam Penegakan Hukum Terhadap Pelanggaran Peraturan Perundang-Undangan Di Perairan Indonesia Abdul Muthalib Tahar dan Widya Krulinasari Dosen Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi dan Subjek Hukum Tindak Pidana

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi dan Subjek Hukum Tindak Pidana BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi dan Subjek Hukum Tindak Pidana Korupsi 1. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Tindak pidana korupsi meskipun telah diatur

Lebih terperinci

5. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara

5. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.49/MEN/2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR PER.14/MEN/2011 TENTANG USAHA PERIKANAN TANGKAP Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia merupakan negara yang kaya akan keanekaragaman hayati yang sangat indah dan beragam, yang terlihat pada setiap penjuru pulau di Indonesia banyak

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32/PERMEN-KP/2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR 15/PERMEN-KP/2016 TENTANG KAPAL PENGANGKUT IKAN

Lebih terperinci

PERATURAN WALIKOTA DUMAI NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG PENDAFTARAN DAN PENANDAAN KAPAL PERIKANAN DI KOTA DUMAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN WALIKOTA DUMAI NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG PENDAFTARAN DAN PENANDAAN KAPAL PERIKANAN DI KOTA DUMAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN WALIKOTA DUMAI NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG PENDAFTARAN DAN PENANDAAN KAPAL PERIKANAN DI KOTA DUMAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA DUMAI, Menimbang : a. bahwa berdasarkan ketentuan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERDANG BEDAGAI NOMOR 20 TAHUN 2012 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERDANG BEDAGAI NOMOR 20 TAHUN 2012 TENTANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERDANG BEDAGAI NOMOR 20 TAHUN 2012 TENTANG PELARANGAN PENGUNAAN ALAT-ALAT TANGKAP YANG DAPAT MERUSAK HABITAT IKAN DAN BIOTA LAUT DI KABUPATEN SERDANG BEDAGAI DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana Tindak pidana merupakan suatu perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai dengan hukuman pidana.

Lebih terperinci

Bab IX : Sumpah Palsu Dan Keterangan Palsu

Bab IX : Sumpah Palsu Dan Keterangan Palsu Bab IX : Sumpah Palsu Dan Keterangan Palsu Pasal 242 (1) Barang siapa dalam keadaan di mana undang-undang menentukan supaya memberi keterangan di atas sumpah atau mengadakan akibat hukum kepada keterangan

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA KORPORASI DI BIDANG LINGKUNGAN HIDUP. A. Pengertian Tindak Pidana di Bidang Lingkungan Hidup

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA KORPORASI DI BIDANG LINGKUNGAN HIDUP. A. Pengertian Tindak Pidana di Bidang Lingkungan Hidup BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA KORPORASI DI BIDANG LINGKUNGAN HIDUP A. Pengertian Tindak Pidana di Bidang Lingkungan Hidup Untuk membahas tindak pidana lingkungan perlu diperhatikan konsep dasar tindak

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG TIMUR NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PERIZINAN USAHA PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG TIMUR NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PERIZINAN USAHA PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG TIMUR NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PERIZINAN USAHA PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KABUPATEN BELITUNG TIMUR, Menimbang : a. bahwa sebagai kekayaan

Lebih terperinci