BAB II PENGATURAN TENTANG TINDAK PIDANA PERIKANAN MENURUT HUKUM POSITIF DI INDONESIA
|
|
- Utami Indradjaja
- 7 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 BAB II PENGATURAN TENTANG TINDAK PIDANA PERIKANAN MENURUT HUKUM POSITIF DI INDONESIA Tindak pidana perikanan diatur didalam perundang-undangan yaitu Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, dan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia. 1. Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perikanan. a) Karekteristik undang-undang tentang Perikanan. Tindak pidana perikanan yang diatur menurut undang-undang ini ada 2 macam delik, yaitu : 1) Delik kejahatan ( misdrijven) 2) Delik pelanggaran (overtredingen) Kejahatan ini merupakan criminel-onrecht yaitu perbuatan yang bertentangan dengan hukum, dan juga norma-norma menurut kebudayaan dan keadilan yang ditentukan oleh Tuhan. Sedangkan pelanggaran merupakan politie onrecht yaitu perbuatan yang pada umumnya dilarang oleh peraturan penguasa atau negara Mohammad Ekaputra, Dasar-dasar hukum pidana, Usu Press, Medan, 2010, hal. 94.
2 Kriteria Delik kejahatan itu ialah delik-delik yang melanggar kepentingan hukum dan juga membahayakan secara konkrit, sedangkan pelanggaran itu hanya membahayakan secara in abstracto saja 30. Tindak pidana dibidang perikanan yang termasuk delik kejahatan diatur dalam Pasal 84, Pasal 85, Pasal 86, Pasal 88, Pasal 91, Pasal 92, Pasal 94, serta pasal 100A dan Pasal 100b, sedangkan yang termasuk delik pelanggaran diatur dalam Pasal 87, Pasal 89, Pasal 90, Pasal 95, Pasal 96, Pasal 97, Pasal 98, Pasal 99, Pasal 100 dan Pasal 100c. Tindak pidana perikanan memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang digolongkan sebagai konvensional crime. Bagi dari segi pelaku, tempat kejadian, maupun dampak yang ditimbulkan. Berdasarkan rumusan Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 jo Undang-undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan, tindak pidana perikanan secara keseluruhan sebagai berikut : 1. Menangkap ikan atau memungut ikan yang berasal dari kawasan perikanan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang. 2. Mengelola dan atau membudidayakan ikan yang berasal dari kawasan perikanan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang. 3. Mengangkut, memiliki, menguasai hasil perikanan tanpa melengkapi surat keterangan sahnya pelayaran hasil perikanan berupa ikan. 4. Membawa alat-alat atau bahan-bahan lainnya yang digunakan untuk menangkap dan atau pengelolaan perikanan di kawasan pengelolaan perikanan tanpa izin dari pejabat yang berwenang. 30 Andi Hamzah, Asas-asas hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1994, hal. 98.
3 Selanjutnya pada Pasal 84 ayat (1 sampai 4) Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 jo Undang-undang 45 Tahun 2009 tentang Perikanan, sanksi Tindak pidana perikanan sebagai berikut : 1) Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan ikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/ atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rpl ,00 (satu miliar dua ratus juta rupiah). 2) Nakhoda atau pemimpin kapal perikanan, ahli penangkapan ikan, dan anak buahkapal yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan penangkapan ikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rpl ,00 (satu miliar dua ratus juta rupiah). 3) Pemilik kapal perikanan, pemilik perusahaan perikanan, penanggung jawab perusahaan perikanan, dan/atau operator kapal perikanan yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan usaha penangkapan ikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp ,00 (dua miliar rupiah). 4) Pemilik perusahaan pembudidayaan ikan, kuasa pemilik perusahaan pembudidayaan ikan, dan/atau penanggung jawab perusahaan pembudidayaan ikan yang dengan sengaja melakukan usaha pembudidayaan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, flat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/ atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp ,00 (dua miliar rupiah).
4 Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3), ayat (4) adalah merupakan kejahatan dan juga memenuhi unsur pelanggaran. Tindak pidana sebagaimana yang dimaksud pada ayat ini apabila dilakukan oleh dan atau atas nama badan hukum atau badan usaha tuntutan pidananya dijatuhkan pada pengurusnya baik senddiri-sendiri maupun bersama-sama dikenakan sanksi pidana dengan ancaman pidana dari masing-masing dari tuntutan pidana yang dijatuhkan. Semua hasil perikanan dari kejahatan dan pelanggaran dan atau alatalat termasuk alat angkutnya yang dipergunakan untuk melakukan kejahatan atau pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini dirampas oleh negara. Sanksi Tindak pidana yang dimaksud dalam Pasal 84 ayat (1 samapi 4) Undang-undang tersebut adalah sebagai berikut : 1) Setiap orang dilarang merusak prasarana dan sarana perlindungan laut. 2) Setiap orang yang diberi izin usaha penangkapan, pengelolaan serta pembudidayaan perikanan dilarang melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan lingkungan ekosistem laut. 3) Setiap orang dilarang : a. Mengerjakan dan atau melakukan penangkapan ikan, pengelolaan, serta pembudidayaan dikawasan perairan Indonesia dengan tidak sah. b. Melakukan penangkapan ikan, pengolaan, serta pembudidayaan di kawasan perairan Indonesia sesuai dengan ketentuan batasan ZEE dengan menggunakan bahan kimia, bahan-bahan peledak. c. Melakukan kegiatan penyelidikan umum atau ekspoitasi ikan dikawasan perairan Indonesia tanpa Izin.
5 d. Membawa alat-alat dan juga bahan peledak kimia yang tidak lazim dan patut diduga akan digunakan untuk melakukan penangkapan, pengelolaan, serta pembudidayaan perikanan tanpa izin. e. Membuang bahan-bahan kimia atau pun benda-benda yang berbahaya dan dapat menyebabkan kerusakan ekosistem laut serta membahayakan keberadaan dan keberlangsungan fungsi laut di kawasan perairan. Berdasarkan bentuk dan sanksi tindak pidana perikanan tersebut, maka dapat dirumuskan unsur pokok subjek dan objeknya adalah : setiap orang dengan sengaja dan karena kelalaiannya ( Pada Pasal 84 ayat 1, ayat 2, ayat 3, ayat 4) melanggar ketentuan ( melawan hukum ). b) Jenis Hukuman Pidana dan Sistem perumusan Sanksi Pidana. 1. Jenis Hukuman Pidana Sebelum menjelaskan tentang jenis hukuman. Penulis ingin menjelaskan tentang penghukuman atau pemidanaan terlebih dahulu. Hukuman berasal dari perkataan wordt gestraft. Hukuman ini istilah yang konvensial, yang pengertiannya sangat luas dan berubah-ubah 31. Salah seorang ahli hukum yaitu Sudarto mengatakan bahwa hukuman ialah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang melanggar hukum M.Hamdan,Hukuman dan Pengecualian Hukuman menurut KUHP dan RUU KUHP,USU Press, Medan,2010,hal.6 32 Ibid.
6 Menurut Satochid Kartanegara dan pendapat-pendapat para ahli hukum terkemuka dalam hukum pidana, mengemukakan teori pemidanaan atau penghukuman dalam hukum pidana dikenal ada tiga aliran yaitu 33 : a. Absolute atau vergeldings theorieen (vergelden/imbalan) Aliran ini mengajarkan dasar daripada pemidanaan harus dicari pada kejahatan itu sendiri untuk menunjukkan kejahatan itu sebagai dasar hubungan yang dianggap sebagai pembalasan,imbalan terhadap orang yang melakukan perbuatan jahat. Oleh karena kejahatan itu menimbulkan penderitaan bagi si korban. b. Relative atau doel theorieen (maksud/tujuan) Dalam ajaran ini yang dianggap sebagai dasar hukum dari pemidanaan adalah bukan velgelding, akan tetapi tujuan dari pidana itu. Jadi aliran ini menyandarkan hukuman pada maksud dan tujuan pemidanaan itu, artinya teori ini mencari manfaat daripada pemidanaan. c. Vereningings theorieen (teori gabungan) Teori ini sebagai reaksi dari teori sebelumnya yang kurang dapat memuaskan menjawab mengenai hakikat dari tujuan pemidanaan. Menurut ajaran teori ini dasar hukum dari pemidanaan adalah terletak pada kejahatan itu sendiri, yaitu pembalasan atau siksaa, akan tetapi disamping itu diakuinya pula sebagai dasar pemidanaan itu adalah tujuan daripada hukum. Dari beberapa definisi diatas dapat kita ketahui : 1. Teori absolut atau teori pembalasan Teori ini memberikan statement bahwa penjatuhan pidana semata-mata karena seseorang telah melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana. Pidana merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang telah melakukan kejahatan. Adapun yang menjadi dasar pembenaranya dari penjatuhan pidan itu terletak pada adanya kejahatan itu sendiri. Oleh karena itu, pidana mempunyai fungsi untuk menghilangkan kejahatan tersebut. hal Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Bagian Satu, Balai Lektur Mahasiswa, Jakarta,
7 Sahetapy mengatakan bahwa teori absolut adalah teori tertua, setua sejarah manusia 34. Menurut Johanes Andenaes, mengatakan bahwa tujuan utama dari pidana adalah untuk memuaskan tuntutan keadilan, sedangkan pengaruh-pengaruh lainnya yang menguntungkan adalah hal sekunder jadi menurutnya bahwa pidanayang dijatuhkan semata-mata untuk mencari keadilan dengan melakukan pembalasan 35. Lebih lanjut immanuel kant mengatakan bahwa pidana menkhendaki agar setiap perbuatan melawan hukum harus dibalas karena merupakan suatu keharusan yang bersifat mutlak yang dibenarkan sebagai pembalasan. Oleh karena itu konsekuensinya adalah setiap pengecualian dalam pemidanaan yang bertujuan untuk mencapai tujuan tertentu selain pembalasan harus dikesampingkan. Tokoh lain yang menganut teori absolut adalah hegel, ia berpendapat bahwa pidana merupakan suatu keharusan logis sebagai konsekuensi dari adanya kejahatan. Kejahatan adalah pengingkaran terhadap ketertiban hukum suatu negara yang merupakan perwujudan dari cita-cita susila, maka pidana merupakan suatu pembalasan 36. Hugo de groot dengan mengikuti pendapat dari Phitagoras, menuliskan bahwa kita tidak seharusnya menjatuhkan suatu pidana karena seseorang telah melakukan kejahatan, akan tetapi untuk mencegah supaya orang jangan melakukan kejahatan lagi J.E Sahetapy, Victimologi Sebuah Bunga Rampai, Pustaka sinar Harapan, Jakarta, 1987, hal Muladi, Lembaga Pidana bersyarat, Alumni, Bandung, 1985, hal Ibid. 37 Djoko Prakoso, Hukum penitensier Di Indonesia, Armico,Bandung,1988,hal.20
8 2. Teori Relatif atau teori tujuan. Menurut teori ini penjatuhan pidana bukanlah sekedar untuk melakukan pembalsan atau pengimbalan. Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai nilai tetapi hanya sebagai sarana melindungi kepentingan masyarakat. Muladi dan Barda Nawawi Arief mengatakan bahwa teori ini menegaskan penjatuhan pidana bukanlah merupakan guna memuaskan tuntutan absolut dari keadilan 38. Lebih lanjut teori ini menjelaskan bahwa tujuan dari penjatuhan pidana adalah sebagai berikut 39 : a. Teori menakutkan yaitu tujuan dari pidana itu adalahuntuk menakutnakuti seseorang, sehingga tidang melakukan tindak pidana baik terhadap pelaku itu sendiri maupun terhadap masyarakat (preventif umum) b. Teori memperbaiki yaitu bahwa dengan menjatuhkan pidana akan mendidik para pelaku tindak pidana sehingga menjadi orang yang baik dalam masyarakat (preventif khusus). Sedangkan prevensi khusus, dimaksudkan bahwa pidana adalah pembaharuan yang esensi dari pidana itu sendiri. Sedangkan fungsi perlindungan dalam teori memperbaiki dapat berupa pidana pencabutan kebebasan selama beberapa waktu. Dengan demikian masyarakat terhindar dari kejahatan yang akan terjadi. Oleh karena itu pemidanaan harus memberikan pendidikan dan bekal untuk tujuan kemasyarakatan. Menurut pandangan modern, prevensi sebagai tujuan dari pidana adalah merupakan sasaran utama yang akan dicapai sebab itu tujuan pidana dimaksudkan untuk kepembinaan atau perawatan bagi terpidana, artinya dengan penjatuhan 38 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, PT.Alumni, Bandung, 1998, hal Ruslan saleh, Stelsel Pidana Indonesia, Aksara Baru, Jakarta,1983,hal.26
9 pidana itu terpidana harus di bina sehingga setelah selesai menjalani pidanany, ia akan menjadi orang yang lebih baik dari sebelum menjalani pidana Teori Gabungan Selain teori absolut dan teori relatif juga ada teori ketiga yang disebut teori gabungan. Teori muncul sebagai reaksidari teori yang sebelumnya yang kurang memuaskan menjawab mengenai tujuan dari pemidanaan. Tokoh utama yang mengajukan teori gabungan ini adalah Pellegrino Rossi ( ). Teori ini berakar pada pemikiran yang bersifat kontradiktif antara teori absolut dengan teori relatif. Teori gabungan berusaha menjelaskan dan memberikan dasar pembenaran tentang pemidanaan dari berbagai sudut pandang yaitu 41 : a. Dalam rangka menentukan benar dan atau tidaknya asas pembalasan, mensyaratkan agar setiap kesalahan harus dibalas dengan kesalahan, maka terhadap mereka telah meninjau tentang pentingnya suatu pidana dari sudut kebutuhan masyarakat dan asas kebenaran. b. Suatu tindak pidana menimbulkan hak bagi negara untuk menjatuhkan pidana dan pemidanaan merupakan suatu kewajiban apabila telah memiliki tujuan yang dikehendaki. c. Dasar pembenaran dari pidana terletak pada faktor tujuan yakni mempertahankan tertib hukum. Lebih lanjut Rossi berpendapat bahwa pemidanaan merupakan pembalasan terhadap kesalahan yang telah dilakukan, sedangkanberat ringannya pemidanaan harus sesuai dengan justice absolute (keadilan yang mutlak) yang tidak melebihi justice sosial (keadilan yang dikehendaki oleh masyarakat), sedangkan tujuan yang hendak diraih berupa 42 : 40 Djoko Prakoso, Op.Cit, hal Muladi, Op.Cit, hal Ibid.
10 a. Pemulihan ketertiban b. Pencegahan terhadap niat untuk melakukan tindak pidana. c. Perbaikan pribadi terpidana d. Memberikan kepuasan moral kepada masyarakat sesuai rasa keadilan, e. Memberikan rasa aman bagi masyarakat. Bentuk-bentuk hukuman pada dasarnya diatur dalam buku I KUHP bab ke-2 dimulai dari Pasal 10 sampai dengan Pasal 43. KUHP sebagai induk atas sumber utama hukum pidana telah merinci dan merumuskan tentang bentukbentuk pidana yang berlaku di Indonesia. Bentuk-bentuk pidana dalam KUHP disebutkan dalam pasal 10 KUHP. Pada pasal 10 KUHP ini dikenal ada dua jenis hukuman pidana yaitu pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok merupakan hukuman yang wajib dijatuhkan hakim yang terdiri dari 43 : 1) Pidana mati 2) Pidana Penjara 3) Pidana Kurungan 4) Denda Sedangkan Pidana tambahan yaitu : 1) Pencabutan hak-hak tertentu 2) Perampasan barang-barang tertentu 3) Pengumuman putusan hakim Dengan demikian di dalam Pengadilan, Hakim tidak boleh menjatuhkan hukuman pokok kecuali yang telah dirumuskan oleh KUHP. 43 Niniek Suparni, Eksistensi Pidana Denda dalam sistem Pidana Dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hal
11 Sedangkan di dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 jo Undang- Undang Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perikanan. Jenis hukuman yang dikenal hanya pidana pokok, yaitu pidana penjara dan pidana denda. Undang-undang ini tidak menggunakan pidana tambahan. Pidana penjara yang dijatuhkan sudah maksimal untuk memberikan hukuman terhadap pelaku tindak Pidana di Bidang Perikanan dan Pidana Denda yang dijatuhkan sudah cukup besar tetapi ada beberapa pasal yang memberikan denda terhadap pelaku Tindak Pidana di bidang perikanan yang tidak pantas dimana pelakunya adalah nelayan kecil. Denda yang diberikan besar sekali yang pelaku tindak pidana tersebut hanya nelayan kecil. 2. Sistem Perumusan Sanksi Pidana Ada beberapa sistem perumusan sanksi Pidana adalah sebagai berikut 44 : 1) Sistem Perumusan Tunggal Sistem perumusan ini bersifat tunggal, dimana jenis pidana dirumuskan sebagai satu-satunya pidana untuk delik yang bersangkutan. Untuk itu sistem perumusan tunggal ini dapat berupa pidana penjara, kurungan saja, atau denda saja. Sehingga sistem ini dapat dikatakan sistem definite sentence. 2) Sistem Perumusan Alternatif Sistem perumusan alternatif ini merupakan sistem dimana pidana penjara dirumuskan secara alternatif dengan jenis sanksi pidana lainnya, hal ini berdasarkan urutan-urutan jenis sanksi pidana dari terberat sampai teringan. KUHP mengenal sistem ini berupa 44 Lilik mulyadi, Bunga Rampai Hukum Pidana Prespektif, Teoritis, Dan Praktik, PT. Alumni, Bandung, 2008, hal. 293.
12 ancaman pidana penjara atau denda, sistem ini cenderung ke arah perumusan tunggal. Sistem perumusan alternatif ini, digunakan relatif lebih tinggi di luar KUHP dibanding di dalam KUHP. 3) Sistem Perumusan Kumulatif. Sistem perumusan kumulatif ini tidak ada dijumpai di KUHP. Sistem ini memiliki ancaman pidana dengan adanya kata hubung dan, seperti pidana penjara dan pidana denda. Sistem ini dikenal di dalam Peraturan perundang-undangan. 4) Sitem Perumusan Kumulatif-Alternatif. Sistem ini disebut juga dengan sistem perumusan campuran atau gabungan. Sistem ini tidak ada dijumpai di dalam KUHP, hanya dapat dijumpai di Luar KUHP. Sistem perumusan ini banyak menggunakan pidana penjara dan/atau denda. Mengandung sifat imperatif sehingga sistem ini dapat disebut sistem kumulasi tidak murni. Sedangkan di dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 jo Undang- Undang Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perikanan. Sistem perumusan yang digunakan adalah Sistem perumusan kumulatif, baik ditujukan terhadap delik kejahatan maupun delik pelanggaran. Dimana dalam sistem perumusan kumulatif diterapkan pidana penjara dan pidana denda. Dalam hal ini, pidana penjara dan pidana denda diterapkan sekaligus. Sehingga hakim harus menerapkan keduaduanya, tidak boleh salah satu.
13 2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif. a) Jenis-jenis Tindak Pidana di bidang perikanan Adapun jenis-jenis tindak pidana perikanan menurut undang-undang ini adalah : 1) Melakukan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam. Tindak pidana ini dijelaskan pada Pasal 5 undang-undang ini, yang menyebutkan bahwa setiap orang yang melakukan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam yang bertentangan dengan peraturan yang berlaku dikenakan pidana. Sumber daya alam yang dimaksud disini adalah sumber daya alam hayati dan sumber daya alam non hayati. Sumber daya alam hayati adalah semua jenis binatang dan tumbuhan termasuk bagian-bagiannya yang terdapat di dasar laut dan ruang air Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Sumber daya alam non hayati adalah unsur alam bukan sumber daya alam hayati yang terdapat di dasar laut dan tanah di bawahnya serta ruang air Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Jadi, ikan termasuk dalam kategori sumber daya alam ini. Sedangkan yang dimaksud dengan eksplorasi adalah Eksplorasi, disebut juga penjelajahan atau pencarian, adalah tindakan mencari atau melakukan penjelajahan dengan tujuan menemukan sesuatu; misalnya daerah tak dikenal, termasuk antariksa (penjelajahan angkasa), minyak bumi (eksplorasi minyak bumi), gas alam, batubara, mineral, gua, air, ataupun informasi. Eksplorasi dapat juga meliputi
14 tindakan pencarian akan pengetahuan yang tidak umum,misalnya tentang kesadaran (consciousness), cyberspace atau noosphere. Sedangkan Eksploitasi yang berarti politik pemanfaatan yang secara sewenang-wenang atau terlalu berlebihan terhadap sesuatu subyek eksploitasi hanya untuk kepentingan ekonomi semata-mata tanpa mempertimbangan rasa kepatutan, keadilan serta kompensasi kesejahteraan 45. Jadi, illegal fishing ini juga dapat kita kategorikan kegiatan eksploitasi 46. 2) Melakukan kegiatan penelitian ilmiah di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia tanpa persetujuan pemerintah Republik Indonesia. Tindak pidana ini diatur dalam pasal 7, yang mengatakan bahwa Barangsiapa melakukan kegiatan penelitian ilmiah di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia harus memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari dan dilaksanakan berdasarkan syarat-syarat yang ditetapkan oleh Pemerintah Republik Indonesia dikenakan pidana. Penelitian ilmiah yang dimaksud adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan penelitian mengenai semua aspek kelautan di permukaan air, ruang air, dasar laut, dan tanah di bawahnya di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia diakses 25 maret 2015, Pukul wib 46 Hasil wawancara Kepala Satuan Polisi Perairan, Pada tanggal 2 April 2015
15 b) Jenis hukuman Pidana dan Sistem Perumusan Sanksi Pidana. 1. Jenis hukuman pidana Dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif. Jenis hukuman pidana yang digunakan pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok yang digunakan yaitu pidana denda tetapi berdasarkan Undang-undang Nomor 31 tahun 2004 jo Undang-undang Nomor 45 Tahun 2009, Pidana denda yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang perikanan yang terdapat didalam undang-undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif tidak ada lagi atau tidak berlaku. Sedangkan yang berlaku pidana tambahan yaitu perampasan barang-barang tertentu. 2. Sistem Perumusan Sanksi Pidana. Dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif, sifat hukuman pidana bersifat tunggal. Dapat dilihat pada rumusan pasal 16 ayat 2 yang hanya mengancamkan pidana tambahan terhadap tindak pidana dalam undang-undang ini. Sifat hukuman pidana bersifat tunggal dikarenakan pidana denda dalam undang-undang ini dinyatakan tidak berlaku bagi tindak pidana di bidang perikanan. 3. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. a) Jenis-jenis Tindak Pidana dibidang Perikanan. Adapun jenis-jenis tindak pidana perikanan menurut undang-undang ini yaitu :
16 1) Melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan kawasan suaka alam. Tindak Pidana ini diatur dalam Pasal 19 yang mengatakan bahwa setiap orang yang melakukan kegiatan yang mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan kawasan suaka alam berlaku untuk di pidana. Perubahan terhadap keutuhan suaka alam yang dimaksud adalah mengurangi, menghilangkan fungsi dan luas kawasan suaka alam, serta menambah jenis tumbuhan dan satwa lain yang tidak asli. Dimana kawasan suaka adalah kawasan yang dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. 2) Mengambil, menebang, memiliki, merusak, memusnahkan, memelihara, mengangkut, memperniagakan tumbuhan yang dilindungi atau bagian-bagiannya dalam keadaan hidup atau mati dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain didalam maupun luar Indonesia. Tindak pidana ini diatur dalam Pasal 21 ayat 1 butir a dan b yaang mengatakan bahwa setiap orang dilarang untuk melakukan hal-hal yang disebutkan diatas yang melanggar peraturan maka akan dikenakan pidana. Dimana tumbuhan yang dimaksud adalah semua jenis sumber daya alam nabati, baik yang hidup didarat maupun di air.
17 3) Menangkap, membunuh, melukai, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup maupun mati dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain ke dalam maupun keluar Indonesia. Tindak Pidana ini diatur dalam Pasal 21 ayat 2 butir a,b,c,d,e yang mengatakan bahwa setiap orang dilarang melakukan hal-hal yang disebutkan diatas yang melanggar peraturan maka akan dikenakan sanksi pidana. Dimana satwa yang dimaksud adalah semua jenis sumber daya alam hewani yang hidup di darat, di air dan di udara. Dalam hal ini di air yaitu ikan. Dalam hal, melakukan praktek illegal fishing mempunyai dampak yang buruk bagi ekositem air, baik tumbuhan seperti terumbu karang, maupun satwa seperti ikan. Dalam hal melakukan hal ini illegal fishing sama saja hal nya seperti yang disebutkan diatas yaitu menangkap, membunuh, melukai, menyimpan, memiliki, memperniagakan satwa yang seharusnya dilindungi. b) Jenis Hukuman Pidana dan Sistem Perumusan Sanksi Pidana 1. Jenis hukuman Pidana Dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Jenis hukuman pidana yang digunakan pidana pokok saja. Pidana pokok yang digunakan yaitu pidana penjara, pidana kurungan dan pidana denda. Dalsam undang-undang ini tidak mengenal pidana tambahan. Pidana penjara yang diterapkan yang paling tinggi yaitu 10 tahun dan denda paling banyak Rp ( dua ratus juta rupiah) sedangkan untuk
18 pidana kurungan yaitu 1 tahun. Sanksi yang diberikan oleh undang-undang ini sudah cukup tinggi, untuk membuat pelaku tindak pidana jera untuk melakukan tindak pidana. 2. Sistem Perumusan Sanksi Pidana. Dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Sistem perumusan sanksi yang digunakan adalah kumulatif. Dapat dilihat pada rumusan pasal 40 yang mengancamkan pidana penjara, pidana kurungan, dan pidana denda. 4. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia. a) Jenis-jenis Tindak Pidana dibidang Perikanan. Adapun jenis-jenis tindak pidana perikanan menurut undang-undang ini yaitu : 1) Melakukan eksplorasi, eksploitasi dan penyelidikan ilmiah sumbersumber kekayaan alam di landas kontinen Indonesia dengan tidak mengikuti aturan undang-undang. Hal ini diatur dalam Pasal 8. Yang dimaksud dengan eksplorasi dan eksploitasi di sini adalah usaha pemanfaatan kekayaan alam, sedangkan penyelidikan ilmiah yaitupenelitian ilmiah atas kekayaan alam. Sumber kekayaan alam yang dimaksud disini adalah mineral dan sumber yang tak bernyawa lainnya didasar laut di dalam lapisan tanah dibawahnya bersama-sama dengan organisme hidup yang termasuk dalam jenis
19 sedinter.sedangkan landas kontinen yaitu dasar laut dan tanah dibawahnya. b) Jenis Hukuman Pidana dan Sistem Perumusan Sanksi Pidana 1. Jenis Hukuman Pidana Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia, Jenis hukuman pidana yang digunakan pidana pokok saja. Pidana pokok yang digunakan yaitu pidana penjara dan/atau pidana denda. 2. Sistem Perumusan Sanksi Pidana Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia, Sistem perumusan sanksi yang digunakan adalah kumulatif- alternatif. Dapat dilihat pada rumusan pasal 11 yang mengancamkan pidana penjara dan/atau pidana denda.
BAB II SISTEM PEMIDANAAN DI INDONESIA DIHUBUNGKAN DENGAN PIDANA MATI. pemidanaan harus mempunyai tujuan dan fungsi yang dapat menjaga
BAB II SISTEM PEMIDANAAN DI INDONESIA DIHUBUNGKAN DENGAN PIDANA MATI A.Tujuan Dan Fungsi Pemidanaan Negara dalam menjatuhkan pidana haruslah menjamin kemerdekaan individu dan menjaga supaya pribadi manusia
Lebih terperincihakikatnya adalah bagian integral dari pembangunan nasional yang berkelanjutan sebagai pengamalan Pancasila;
Menimbang : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa sumber
Lebih terperinciBAB III SANKSI PIDANA ATAS PENGEDARAN MAKANAN TIDAK LAYAK KONSUMSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
BAB III SANKSI PIDANA ATAS PENGEDARAN MAKANAN TIDAK LAYAK KONSUMSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN A. Pengedaran Makanan Berbahaya yang Dilarang oleh Undang-Undang
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. masing-masing wilayah negara, contohnya di Indonesia. Indonesia memiliki Hukum
I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pidana denda merupakan salah satu jenis pidana yang telah lama diterima dan diterapkan dalam sistem hukum di berbagai negara dan bangsa di dunia. Akan tetapi, pengaturan
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sumber
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 1 mengatakan bahwa kekuasaan kehakiman
18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertimbangan dalam Putusan Hakim Hakim diberi kebebasan untuk menjatuhkan putusan dalam setiap pengadilan perkara tindak pidana, hal tersebut sesuai dengan bunyi UU No. 48 tahun
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG NOMOR 41 TAHUN 1999 TENTANG KEHUTANAN [LN 1999/167, TLN 3888]
UNDANG-UNDANG NOMOR 41 TAHUN 1999 TENTANG KEHUTANAN [LN 1999/167, TLN 3888] BAB XIV KETENTUAN PIDANA Pasal 78 (1) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Menurut Roeslan Saleh (1983:75) pengertian pertanggungjawaban pidana adalah suatu yang dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap seseorang
Lebih terperinciBAB III TINDAK PIDANA PENCURIAN IKAN (ILLEGAL FISHING) SEBAGAI TINDAK PIDANA INTERNASIONAL DI PERAIRAN ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA
BAB III TINDAK PIDANA PENCURIAN IKAN (ILLEGAL FISHING) SEBAGAI TINDAK PIDANA INTERNASIONAL DI PERAIRAN ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA A. Kasus Pencurian Ikan Di Perairan Wilayah Zona Ekonomi Eksklusif
Lebih terperinciPasal 48 yang berbunyi :
41 BAB III PERSYARATAN TEKNIS DAN SANKSI HUKUM TERHADAP MODIFIKASI KENDARAAN BERMOTOR DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2009 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN A. Persyaratan Teknis Modifikasi Kendaraan
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN [LN 2004/118, TLN 4433]
UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN [LN 2004/118, TLN 4433] BAB XV KETENTUAN PIDANA Pasal 84 (1) Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan
Lebih terperinciBAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA PELAKU PEMBAKARAN LAHAN
BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA PELAKU PEMBAKARAN LAHAN Hukum merupakan sebuah instrumen yang dibentuk oleh pemerintah yang berwenang, yang berisikan aturan, larangan, dan sanksi yang bertujuan untuk mengatur
Lebih terperinciBAB III ANALISA HASIL PENELITIAN
BAB III ANALISA HASIL PENELITIAN A. Analisa Yuridis Malpraktik Profesi Medis Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 merumuskan banyak tindak pidana
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. arti yang luas dan berubah-ubah, karena istilah tersebut dapat berkonotasi dengan bidang-bidang
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban pidana 1. Pengertian Pidana Istilah pidana atau hukuman yang merupakan istilah umum dan konvensional dapat mempunyai arti yang luas dan berubah-ubah, karena istilah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul. Pidana Penjara Seumur Hidup (selanjutnya disebut pidana seumur hidup)
BAB I PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Judul Pidana Penjara Seumur Hidup (selanjutnya disebut pidana seumur hidup) merupakan bagian dari pidana pokok dalam jenis-jenis pidana sebagaimana diatur pada Pasal
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Jalan, Bagian Jalan, & Pengelompokan Jalan
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Jalan, Bagian Jalan, & Pengelompokan Jalan 1. Pengertian Jalan Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap
Lebih terperinciBAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI
20 BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI A. Undang-Undang Dasar 1945 Adapun terkait hal keuangan, diatur di dalam Pasal 23 Undang-Undang Dasar 1945, sebagaimana
Lebih terperinciKebijakan Kriminal, Penyalahgunaan BBM Bersubsidi 36
Kebijakan Kriminal, Penyalahgunaan BBM Bersubsidi 36 KEBIJAKAN KRIMINAL PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN BAHAN BAKAR MINYAK (BBM) BERSUBSIDI Oleh : Aprillani Arsyad, SH,MH 1 Abstrak Penyalahgunaan Bahan Bakar
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan
18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana Kekuasaan kehakiman merupakan badan yang menentukan dan kekuatan kaidahkaidah hukum positif dalam konkretisasi oleh hakim melalui
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. yang dilarang atau diharuskan dan diancam dengan pidana oleh undang-undang,
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana adalah suatu tindakan pada tempat, waktu dan keadaan tertentu yang dilarang atau diharuskan dan diancam dengan pidana oleh undang-undang,
Lebih terperinciBab I : Kejahatan Terhadap Keamanan Negara
Bab I : Kejahatan Terhadap Keamanan Negara Pasal 104 Makar dengan maksud untuk membunuh, atau merampas kemerdekaan, atau meniadakan kemampuan Presiden atau Wakil Presiden memerintah, diancam dengan pidana
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam Undang-
13 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Pertanggungjawaban pidana memiliki makna bahwa setiap orang yang melakukan tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Hutan dan Penguasaan Hasil Hutan. olehberbagai jenis tumbuh-tumbuhan, di antaranya tumbuhan yanh lebat dan
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Hutan dan Penguasaan Hasil Hutan Pengetahuan manusia tentang hutan dimulai sejak keberadaan manusia di muka bumi. Kita ketahui bersama bahwa permukaan bumi kita ini sebagian
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana (kepada barangsiapa yang melanggar larangan tersebut), untuk singkatnya dinamakan
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini menganut asas kesalahan sebagai salah satu asas disamping asas legalitas.
Lebih terperinciBAB III PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Dimuat
BAB III PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI A. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Dimuat dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 1. Sanksi
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan
18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia merupakan negara yang kaya akan keanekaragaman hayati yang sangat indah dan beragam, yang terlihat pada setiap penjuru pulau di Indonesia banyak
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pidana Denda dalam Pemidanaan Pasal 10 KUHP menempatkan pidana denda di dalam kelompok pidana pokok sebagai urutan terakhir atau keempat,sesudah pidana mati,pidana penjara dan pidana
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG NOMOR 45 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN [LN 2009/154, TLN 5073]
UNDANG-UNDANG NOMOR 45 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN [LN 2009/154, TLN 5073] 39. Ketentuan Pasal 85 diubah sehingga Pasal 85 berbunyi sebagai berikut:
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pidana yang berupa pembayaran sejumlah uang dinamakan pidana denda. Kedua
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum pidana di negara kita selain mengenal pidana perampasan kemerdekaan juga mengenal pidana yang berupa pembayaran sejumlah uang. Pidana yang berupa pembayaran
Lebih terperinciBAB II PENGATURAN HUKUM YANG BERKAITAN DENGAN PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN PERUSAKAN HUTAN
BAB II PENGATURAN HUKUM YANG BERKAITAN DENGAN PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN PERUSAKAN HUTAN A. Pengaturan Hukum Mengenai Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan Ditinjau Dari Undang-Undang No. 41 Tahun
Lebih terperinciLAMPIRAN 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1997 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP
LAMPIRAN 392 LAMPIRAN 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1997 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP 393 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1997 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN
Lebih terperinciBUPATI SIGI PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIGI NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DANAU LINDU
BUPATI SIGI PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIGI NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DANAU LINDU PEMERINTAH KABUPATEN SIGI TAHUN 2013 0 BUPATI SIGI PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIGI NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN. dasar dari dapat dipidananya seseorang adalah kesalahan, yang berarti seseorang
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN 2.1. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Dasar dari adanya perbuatan pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dari dapat dipidananya
Lebih terperinciBAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG TINDAK PIDANA PELAYARAN DI INDONESIA. A. Pengaturan Tindak Pidana Pelayaran Di Dalam KUHP
29 BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG TINDAK PIDANA PELAYARAN DI INDONESIA A. Pengaturan Tindak Pidana Pelayaran Di Dalam KUHP Indonesia merupakan negara maritim terbesar di dunia, yang mana hal tersebut
Lebih terperinciBUPATI PURWOREJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG PERBURUAN BURUNG, IKAN DAN SATWA LIAR LAINNYA
SALINAN BUPATI PURWOREJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG PERBURUAN BURUNG, IKAN DAN SATWA LIAR LAINNYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURWOREJO, Menimbang : a.
Lebih terperinciUndang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya
Bab XXII : Pencurian Pasal 362 Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana Tindak pidana merupakan suatu perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai dengan hukuman pidana.
Lebih terperinciBab XII : Pemalsuan Surat
Bab XII : Pemalsuan Surat Pasal 263 (1) Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti
Lebih terperinciLEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 44, 1983 (KEHAKIMAN. WILAYAH. Ekonomi. Laut. Perikanan. Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. Upaya penanggulangan tindak pidana dikenal dengan istilah kebijakan kriminal
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Upaya penanggulangan tindak pidana dikenal dengan istilah kebijakan kriminal yang dalam kepustakaan asing sering dikenal dengan berbagai istilah,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 ditegaskan bahwa Negara
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 ditegaskan bahwa Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (Rechtstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machstaat). Ini
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI DISPARITAS PUTUSAN PENGADILAN. lembaga yang berwenang kepada orang atau badan hukum yang telah
BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI DISPARITAS PUTUSAN PENGADILAN A. Pidana dan Pemidanaan 1. Pengertian Pidana Pidana merupakan suatu penderitaan yang sengaja dijatuhkan oleh lembaga yang berwenang kepada orang
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2010 TENTANG CAGAR BUDAYA [LN 2010/130, TLN 5168]
UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2010 TENTANG CAGAR BUDAYA [LN 2010/130, TLN 5168] BAB XI KETENTUAN PIDANA Pasal 101 Setiap orang yang tanpa izin mengalihkan kepemilikan Cagar Budaya sebagaimana dimaksud dalam
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG NOMOR 9 TAHUN 1985 TENTANG PERIKANAN [LN 1985/46, TLN 3299]
UNDANG-UNDANG NOMOR 9 TAHUN 1985 TENTANG PERIKANAN [LN 1985/46, TLN 3299] BAB VIII KETENTUAN PIDANA Pasal 24 dimaksud dalam Pasal 2 huruf a dan huruf b 1 melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. Penegakan Hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide kepastian
15 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Penegakan Hukum Penegakan Hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide kepastian hukum, kemanfaatan sosial dan keadilan menjadi kenyataan. Proses perwujudan
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1997 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1997 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa lingkungan hidup Indonesia
Lebih terperinciLEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 68, 1997 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3699)
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 68, 1997 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3699) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1997 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. eksistensi negara modern, dan oleh karena itu masing-masing negara berusaha
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum sebagai subsistem sosial menempati posisi penting dalam eksistensi negara modern, dan oleh karena itu masing-masing negara berusaha membangun sistem hukum
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2006 TENTANG KEPABEANAN [LN 2006/93, TLN 4661]
UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2006 TENTANG KEPABEANAN [LN 2006/93, TLN 4661] Pasal 102 Setiap orang yang: a. mengangkut barang impor yang tidak tercantum dalam manifest sebagaimana dimaksud dalam Pasal
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 1992 TENTANG SISTEM BUDIDAYA TANAMAN [LN 1992/46, TLN 3478]
UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 1992 TENTANG SISTEM BUDIDAYA TANAMAN [LN 1992/46, TLN 3478] BAB X KETENTUAN PIDANA Pasal 60 (1) Barangsiapa dengan sengaja: a. mencari dan mengumpulkan plasma nutfah tidak
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. dari masyarakat yang masih berbudaya primitif sampai dengan masyarakat yang
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kejahatan merupakan suatu masalah yang ada di dalam kehidupan masyarakat, baik dari masyarakat yang masih berbudaya primitif sampai dengan masyarakat yang berbudaya modern
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Untuk menjaga peraturan-peraturan hukum itu dapat berlangsung lurus
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan suatu negara yang berdasar atas hukum bukan berdasarkan kepada kekuasaan semata. Hal tersebut dipertegas di dalam Konstitusi
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana penggelapan di Indonesia saat ini menjadi salah satu penyebab terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai kehidupan dalam
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. tercapai, maka hukum melahirkan norma-norma yang berisikan perintah dan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Hukum diciptakan guna memelihara hak-hak manusia dan tanggung jawab manusia, entah itu sifatnya individu maupun kolektif, sebagaimana tujuan dari hukum itu
Lebih terperinciBAB II. Regulasi penerbangan yang lama yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun. itu harus mendasarkan pada ketentuan Pasal 102 ayat (1) KUHAP yang
BAB II PERBUATAN-PERBUATAN YANG TERMASUK LINGKUP TINDAK PIDANA DI BIDANG PENERBANGAN DALAM PERSPEKTIF UNDANG UNDANG RI NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN C. Perbandingan Undang-Undang Nomor 15 Tahun
Lebih terperinciBAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. mempunyai tiga arti, antara lain : 102. keadilanuntuk melakukan sesuatu. tindakansegera atau di masa depan.
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Menurut Black's Law Dictionary, tanggung jawab (liability) mempunyai tiga arti, antara lain : 102 a. Merupakan satu kewajiban terikat dalam hukum atau keadilanuntuk
Lebih terperinciKEBIJAKAN FORMULASI ASAS SIFAT MELAWAN HUKUM MATERIEL DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA
KEBIJAKAN FORMULASI ASAS SIFAT MELAWAN HUKUM MATERIEL DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA Syarifa Yana Dosen Program Studi Ilmu Hukum Universitas Riau Kepulauan Di dalam KUHP dianut asas legalitas yang dirumuskan
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. bentuk kejahatan terhadap nyawa manusia, diatur dalam Pasal 340 yang
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pembunuhan Berencana Pembunuhan dengan rencana terlebih dahulu atau disingkat pembunuhan berencana adalah pembunuhan yang paling berat ancaman pidananya dari seluruh
Lebih terperinciBab XXV : Perbuatan Curang
Bab XXV : Perbuatan Curang Pasal 378 Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. resmi yang berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturan-peraturan
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Menurut J.C.T. Simorangkir, S.H dan Woerjono Sastropranoto, S.H, Hukum adalah peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia
Lebih terperinciBAB II. kejahatan adalah mencakup kegiatan mencegah sebelum. Perbuatannya yang anak-anak itu lakukan sering tidak disertai pertimbangan akan
BAB II KEBIJAKAN HUKUM PIDANA YANG MENGATUR TENTANG SISTEM PEMIDANAAN TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA DI INDONESIA A. Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan yang Dilakukan Oleh Anak Dibawah
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. prinsip hukum acara pidana yang mengatakan peradilan dilakukan secara
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyidik berwenang melakukan penahanan kepada seorang tersangka. Kewenangan tersebut diberikan agar penyidik dapat melakukan pemeriksaan secara efektif dan efisien
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. lain, terpengaruh obat-obatan dan lain-lain. yang memiliki kekuasaan dan ekonomi yang tinggi.
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Banyak kecelakaan lalu lintas yang terjadi disebabkan oleh kelalaian pengemudi baik kendaraan roda dua maupun kendaraan roda empat. Beberapa faktor yang menyebabkan
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
1 UDANG-UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa
Lebih terperinciBAB III PIDANA BERSYARAT
36 BAB III PIDANA BERSYARAT A. Pengertian Pidana Bersyarat Pidana bersyarat yang biasa disebut dengan pidana perjanjian atau pidana secara jenggelan, yaitu menjatuhkan pidana kepada seseorang akan tetapi
Lebih terperinciBAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA
BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA A. Batasan Pengaturan Tindak Pidana Kekekerasan Fisik
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sumber
Lebih terperinciPOLICY BRIEF ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM DALAM RANGKA PEMBERANTASAN KEGIATAN PERIKANAN LIAR (IUU FISHING)
POLICY BRIEF ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM DALAM RANGKA PEMBERANTASAN KEGIATAN PERIKANAN LIAR (IUU FISHING) A. Pendahuluan Wilayah perairan Indonesia yang mencapai 72,5% menjadi tantangan besar bagi TNI
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. mendorong terjadinya krisis moral. Krisis moral ini dipicu oleh ketidakmampuan
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berkembangnya teknologi dan masuknya modernisasi membawa dampak yang cukup serius bagi moral masyarakat. Sadar atau tidak, kemajuan zaman telah mendorong terjadinya
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan atau perbuatan jahat dapat diartikan secara yuridis atau kriminologis.
Lebih terperinciPENGGUNAAN HUKUM PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG PERKAWINAN
PENGGUNAAN HUKUM PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG PERKAWINAN (Pengantar Diskusi) Oleh: Dr. M. Arief Amrullah, S.H., M.Hum. 1 A. NDAHULUAN Undang-undang tentang Perkawinan sebagaimana diatur dalam Undangundang
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1995 TENTANG KEPABEANAN [LN 1995/64, TLN 3612]
UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1995 TENTANG KEPABEANAN [LN 1995/64, TLN 3612] BAB XIV KETENTUAN PIDANA Pasal 102 Barangsiapa yang mengimpor atau mengekspor atau mencoba mengimpor atau mengekspor barang tanpa
Lebih terperinciBUPATI BANGKA TENGAH
BUPATI BANGKA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA TENGAH NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN TERUMBU KARANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA TENGAH, Menimbang : a. bahwa ekosistem
Lebih terperinciDengan Persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA. MEMUTUSKAN: Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP.
UU No. 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1997 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP [LN 2009/140, TLN 5059]
UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP [LN 2009/140, TLN 5059] BAB XV KETENTUAN PIDANA Pasal 97 Tindak pidana dalam undang-undang ini merupakan kejahatan.
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat mengakibatkan perubahan kondisi sosial
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia adalah salah satu negara berkembang yang sedang mengalami proses pembangunan. Proses pembangunan tersebut dapat menimbulkan dampak sosial positif yaitu
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME [LN 2002/106, TLN 4232]
PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME [LN 2002/106, TLN 4232] BAB III TINDAK PIDANA TERORISME Pasal 6 Setiap orang yang dengan sengaja
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. terhadap kekayaan negara maupun transnational crime menunjukkan perkembangan
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tindak pidana yang berlangsung lintas negara baik yang merupakan tindak pidana terhadap kekayaan negara maupun transnational crime menunjukkan perkembangan yang cukup signifikan
Lebih terperinciI. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian pidana yang bersifat khusus ini akan menunjukan ciri-ciri dan sifatnya yang khas
I. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Dan Unsur-Unsur Tindak Pidana Pidana pada umumnya sering diartikan sebagai hukuman, tetapi dalam penulisan skripsi ini perlu dibedakan pengertiannya. Hukuman adalah pengertian
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Pengaturan Tindak Pidana Perzinahan atau Kumpul Kebo
17 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Pengaturan Tindak Pidana Perzinahan atau Kumpul Kebo 1. Pengertian Tindak Pidana Kumpul Kebo Tindak Pidana kumpul kebo adalah perbuatan berhubungan antara laki-laki
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang,
18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana Narkotika Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan. Orang yang
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA [LN 2009/4, TLN 4959]
UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA [LN 2009/4, TLN 4959] BAB XXIII KETENTUAN PIDANA Pasal 158 Setiap orang yang melakukan usaha penambangan tanpa IUP, IPR atau IUPK
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. terkandung dalam Pasal 33 ayat (3) Undang -Undang Dasar 1945 yang
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerahkan kepada bangsa Indonesia, merupakan kekayaan alam yang tak ternilai harganya. Karena dalam mendukung
Lebih terperinciLex Administratum, Vol. IV/No. 3/Mar/2016
PERCOBAAN SEBAGAI ALASAN DIPERINGANKANNYA PIDANA BAGI PELAKU TINDAK PIDANA MENURUT KUHP 1 Oleh: Meril Tiameledau 2 ABSTRAK Penelitiahn ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui apa yang menjadi dasar
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sumber
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah negara hukum ( rechtstaats), maka setiap orang yang
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara hukum ( rechtstaats), maka setiap orang yang melakukan tindak pidana harus mempertanggungjawabkan perbuatannya melalui proses hukum.
Lebih terperinciLEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR : 515 TAHUN : 2001 SERI : C PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR 13 TAHUN 2001 TENTANG PENGENDALIAN LIMBAH
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR : 515 TAHUN : 2001 SERI : C PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR 13 TAHUN 2001 TENTANG PENGENDALIAN LIMBAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SERANG Menimbang
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. tindak pidana. Moeljatno menyatakan bahwa orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Pertangggungjawaban pidana hanya dapat terjadi jika sebelumnya seseorang telah melakukan tindak pidana. Moeljatno menyatakan bahwa orang tidak
Lebih terperinciIMPLEMENTASI HUKUMAN SEUMUR HIDUP DALAM PRAKTIK DI INDONESIA MENURUT KUHP 1 Oleh : Fitrawaty U. Husain 2
IMPLEMENTASI HUKUMAN SEUMUR HIDUP DALAM PRAKTIK DI INDONESIA MENURUT KUHP 1 Oleh : Fitrawaty U. Husain 2 A B S T R A K Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana kedudukan pidana penjara seumur
Lebih terperinciDAFTAR PUSTAKA. Arief, Barda Nawawi, Kebijakan Kriminal, op.cit, hal.2
DAFTAR PUSTAKA A. Buku Arief, Barda Nawawi, Kapita Selekta Hukum Pidana Tentang Sistem Peradilan Terpadu, Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2006. Arief, Barda Nawawi, Kebijakan Kriminal,
Lebih terperinciMEMUTUSKAN : BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sumber
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. seseorang (pihak lain) kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagai
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemberantasan tindak pidana korupsi saat ini telah berjalan dalam suatu koridor kebijakan yang komprehensif dan preventif. Upaya pencegahan tindak pidana korupsi
Lebih terperinciI. TINJAUAN PUSTAKA. suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis
I. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. Kehidupan di dunia terdapat suatu nilai-nilai mengenai apa yang dianggap baik dan
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Kriminologis 1. Pengertian Kriminologi Kehidupan di dunia terdapat suatu nilai-nilai mengenai apa yang dianggap baik dan mana yang dianggap tidak baik. Namun, masih saja
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. didasarkan atas surat putusan hakim, atau kutipan putusan hakim, atau surat
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Jaksa pada setiap kejaksaan mempunyai tugas pelaksanaan eksekusi putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dan untuk kepentingan itu didasarkan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. kali di dalam peraturan penguasa militer nomor Prt/PM-06/1957, sehingga korupsi
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejarah kehidupan hukum pidana Indonesia menyebutkan istilah korupsi pertama kali di dalam peraturan penguasa militer nomor Prt/PM-06/1957, sehingga korupsi menjadi
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
1 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG BARAT, Menimbang : a. bahwa potensi pembudidayaan perikanan
Lebih terperinciLampiran 1. Peraturan perundang-undangan terkait Pemberantasan IL di Indonesia
Lampiran 137 Lampiran 1. Peraturan perundang-undangan terkait Pemberantasan IL di Indonesia Peraturan No Perundangundangan A. Lex specialis 1 Undang-Undang 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Pasal 50 Pasal
Lebih terperinci