RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERINDUSTRIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERINDUSTRIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,"

Transkripsi

1 Draf tanggal 14 Januari 2011 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERINDUSTRIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembangunan nasional bertujuan mewujudkan suatu masyarakat adil, makmur, dan sejahtera, serta membangun manusia Indonesia seutuhnya, berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; b. bahwa arah pembangunan ekonomi nasional bertujuan tercapainya struktur ekonomi yang kokoh yang di dalamnya terdapat kemampuan dan kekuatan industri yang maju sebagai motor penggerak ekonomi yang didukung oleh kekuatan dan kemampuan sumber daya yang tangguh; c. bahwa untuk mencapai industri yang maju perlu mengarahkan pembangunan industri yang mampu berdaya saing dalam era globalisasi, melalui penguatan struktur industri yang sehat dan berkeadilan dengan pendayagunaan sumber daya yang tersedia secara optimal dan mendorong perkembangan industri ke seluruh wilayah Indonesia, dengan mengutamakan kepentingan nasional, kemandirian, berorientasi pada kerakyatan dan nilai-nilai luhur budaya bangsa; d. bahwa dalam rangka mewujudkan pembangunan industri sebagaimana dimaksud pada huruf b dan huruf c, perlu melakukan pengaturan kembali terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian; Mengingat : Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 1

2 Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN : Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERINDUSTRIAN. BAB I KETENTUAN UMUM 2 Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Perindustrian adalah tatanan dan segala kegiatan yang bertalian dengan usaha industri. 2. Industri adalah kegiatan ekonomi yang mengolah bahan baku dan atau memanfaatkan sumber daya sehingga menghasilkan produk berupa barang dan atau jasa industri yang mempunyai nilai tambah atau manfaat lebih tinggi. 3. Industri hijau adalah industri berwawasan lingkungan yang menyelaraskan pembangunan industri dengan kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mengutamakan efisiensi dan efektivitas penggunaan sumber daya alam secara berkelanjutan. 4. Industri kreatif adalah proses peningkatan nilai tambah hasil dari eksploitasi kekayaan intelektual berupa kreativitas, keahlian dan bakat individu menjadi suatu produk. 5. Bahan baku adalah bahan mentah, barang setengah jadi atau barang jadi yang dapat diolah untuk dimanfaatkan lebih lanjut pada proses industri. 6. Sumber daya adalah potensi dan kemampuan yang dapat dimanfaatkan untuk memperoleh nilai tambah, antara lain berupa sumber daya alam, sumber daya manusia, ilmu pengetahuan dan teknologi, sumber daya finansial, dan nilai-nilai budaya. 7. Jasa industri adalah usaha jasa terkait dengan kegiatan industri manufaktur antara lain penelitian dan pengembangan, rancang bangun, perekayasaan industri, pengujian dan sertifikasi, pengemasan, perbaikan dan pemeliharaan, pembuatan konten (content) dan perangkat lunak teknologi informasi.

3 8. Rancang bangun industri adalah kegiatan industri yang terkait dengan perencanaan pendirian industri/pabrik secara keseluruhan atau bagian-bagiannya. 9. Perekayasaan industri adalah kegiatan industri yang terkait dengan perancangan dan pembuatan mesin/peralatan pabrik dan peralatan industri. 10. Perusahaan industri adalah perusahaan yang melakukan kegiatan di bidang usaha industri yang dapat berbentuk perorangan, badan usaha, atau badan hukum yang berkedudukan di Indonesia. 11. Teknologi industri adalah teknologi hasil pengembangan, perbaikan, invensi, dan atau inovasi dalam bentuk teknologi proses dan teknologi produk, metode dan atau sistem yang diterapkan dalam kegiatan industri. 12. Data industri adalah fakta yang dicatat atau direkam dalam bentuk angka, huruf, gambar, peta dan atau sejenisnya yang menunjukkan keadaan sebenarnya untuk waktu tertentu, bersifat bebas nilai, dan belum diolah terkait dengan kegiatan Perusahaan Industri. 13. Data kawasan industri adalah fakta yang dicatat atau direkam dalam bentuk angka, huruf, gambar, peta dan atau sejenisnya yang menunjukkan keadaan sebenarnya untuk waktu tertentu, bersifat bebas nilai, dan belum diolah terkait dengan kegiatan perusahaan pengelolaan kawasan industri. 14. Informasi industri adalah hasil pengolahan Data Industri dan Data Kawasan Industri ke dalam bentuk tabel, grafik, kesimpulan atau narasi analisis yang memiliki arti atau makna tertentu yang bermanfaat bagi penggunanya. 15. Standar adalah ketentuan yang disusun berdasarkan konsensus semua pihak yang berkepentingan dengan memperhatikan syarat-syarat keselamatan, keamanan, kesehatan, lingkungan hidup, perlindungan konsumen, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya. 16. Standardisasi adalah proses perumusan, penetapan, penerapan, dan penyempurnaan/perubahan standar yang dilaksanakan secara tertib oleh semua pihak. 17. Standar Nasional Indonesia, yang selanjutnya disingkat SNI, adalah Standar yang berlaku secara nasional. 3

4 18. Pemerintah pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun Pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. 21. Menteri adalah menteri yang menyeleggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian. 22. Menteri terkait adalah menteri yang berdasarkan peraturan perundang-undangan berwenang melaksanakan pembinaan dan pengembangan industri tertentu. BAB II ASAS DAN TUJUAN PEMBANGUNAN INDUSTRI Bagian Kesatu Asas Pembangunan Industri Pasal 2 Pembangunan industri berasaskan demokrasi ekonomi dengan mengutamakan kepentingan nasional, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, kemandirian, pemerataan persebaran, kepastian berusaha, serta keseimbangan kemajuan dan kesatuan nasional. Bagian Kedua Tujuan Pembangunan Industri Pasal 3 Pembangunan industri bertujuan untuk: a. mewujudkan industri yang maju, mandiri, berdaya saing, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan; b. membuka kesempatan berusaha dan perluasan kesempatan kerja; 4

5 c. meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat secara berkeadilan; d. mewujudkan persaingan yang sehat serta mencegah pemusatan atau penguasaan industri oleh satu kelompok atau perorangan yang merugikan masyarakat; e. mewujudkan pemerataan pembangunan industri ke seluruh wilayah Indonesia; dan f. memperkuat dan memperkokoh ketahanan nasional. BAB III PEMBANGUNAN DAN PENGATURAN INDUSTRI Bagian Kesatu Pembangunan Industri Pasal 4 (1) Pembangunan industri dilakukan dengan memanfaatkan sumber daya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. (2) Pembangunan industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dijabarkan dalam bentuk kebijakan industri nasional yang komprehensif dan didukung oleh sektor terkait lainnya. (3) Menteri mengkoordinasikan penyusunan kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Pasal 5 Pembangunan industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dilaksanakan antara lain melalui optimalisasi: a. pemanfaatan sumber daya alam; b. pemanfaatan hasil penelitian, pengembangan dan teknologi dalam negeri; c. pemanfaatan kreativitas dan inovasi sumber daya manusia industri; d. standardisasi; e. kandungan dalam negeri; f. pengelolaan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan; g. penyebaran dan pemerataan pertumbuhan industri ke seluruh daerah; h. penguatan kemitraan antar industri dan sektor lainnya; i. pemanfaatan sumber-sumber pembiayaan; j. penyediaan infrastruktur industri; 5

6 k. penerapan Hak Kekayaan Intelektual; l. kerjasama internasional di bidang industri; m. pengamanan atas bahan baku, proses, penggunaan mesin dan peralatan, hasil produksi, limbah serta pengangkutannya; dan n. pengamanan industri dalam negeri terhadap tekanan eksternal sebagai dampak impor yang melonjak tajam dan krisis ekonomi global. Pasal 6 (1) Kebijakan industri nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) menjadi acuan bagi seluruh pemangku kepentingan dalam pembangunan industri yang sekurangkurangnya memuat: a. Bangun Industri Nasional; b. Strategi Pembangunan Industri Nasional; dan c. fasilitas dan kemudahan. (2) Kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Presiden. 6 Pasal 7 (1) Strategi Pembangunan Industri Nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b dijabarkan dalam peta panduan pembangunan dan pengembangan industri nasional. (2) Peta panduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri. Bagian Kedua Pengaturan Industri Paragraf Kesatu Industri Hijau Pasal 8 (1) Perusahaan Industri dalam melakukan kegiatan industri mengupayakan pembangunan dan pengembangan industri menuju Industri Hijau. (2) Pembangunan dan pengembangan industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui: a. perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian kegiatan industri; dan

7 b. pemberdayaan masyarakat dan atau lingkungan di sekitar perusahaan industri. (3) Pembangunan dan pengembangan industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berdampak penting terhadap lingkungan, wajib dilengkapi dengan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal). (4) Penetapan jenis industri yang wajib dilengkapi dengan amdal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan berdasarkan pertimbangan teknis dari Menteri. Pasal 9 (1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah melakukan pembinaan industri menuju Industri Hijau. (2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan rencana induk pembangunan dan pengembangan Industri Hijau yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri. (3) Pemerintah dan Pemerintahan Daerah dapat memberikan fasilitas dan kemudahan dalam mewujudkan Industri Hijau. Pasal 10 (1) Pemerintah menyusun dan menetapkan standar Industri Hijau. (2) Standar Industri Hijau sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Menteri. Pasal 11 (1) Perusahaan Industri yang mewujudkan dan mengembangkan Industri Hijau sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) diberikan sertifikat Industri Hijau. (2) Ketentuan pelaksanaan sertifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri. Pasal 12 Pemerintah dan Pemerintah Daerah memfasilitasi terciptanya sinergi antar industri dalam mengoptimalkan pemanfaatan limbah industri. 7

8 Paragraf Kedua Industri Strategis Pasal 13 (1) Industri yang penting dan strategis bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Paragraf Ketiga Bahan Baku Pasal 14 (1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah mengatur pengelolaan dan pemanfaatan bahan baku yang berasal dari sumber daya alam nasional, dengan mengutamakan kepentingan industri dalam negeri dalam rangka meningkatkan nilai tambah dalam rantai nilai produksi di dalam negeri. (2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah melakukan koordinasi untuk menjamin ketersediaan bahan baku untuk industri. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan dan pemanfaatan bahan baku sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 15 (1) Perusahaan industri wajib melakukan upaya pemanfaatan sumber daya alam secara bertanggung jawab dan efisien. (2) Upaya pemanfaatan sumber daya alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. perancangan produk dan proses produksi; b. optimalisasi pemakaian bahan baku secara efisien; c. optimalisasi penggunaan bahan baku daur ulang dan hasil samping; dan d. optimalisasi penggunaan bahan baku yang ramah lingkungan. Paragraf Keempat Energi Pasal 16 (1) Pemerintah menjamin ketersediaan pasokan energi sesuai dengan jenis dan jumlah kebutuhan kegiatan industri dalam negeri secara berkelanjutan. (2) Jenis dan jumlah kebutuhan energi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri. 8

9 Pasal 17 (1) Perusahaan Industri wajib melakukan upaya pemanfaatan energi secara bertanggung jawab dan efisien. (2) Upaya pemanfaatan energi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk industri tertentu wajib dilengkapi dengan manajemen energi. (3) Industri tertentu sebegaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Menteri. (4) Menteri dan Pemerintah Daerah melakukan pembinaan dan pengawasan atas pelaksanaan upaya pemanfaatan energi secara bertanggung jawab dan efisien sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2). Paragraf Kelima Air Baku Pasal 18 (1) Pemerintah menetapkan kebijakan tata guna air baku untuk keperluan industri. (2) Pemerintah Daerah Provinsi menyediakan peta potensi ketersediaan air baku untuk kegiatan industri dalam negeri secara berkelanjutan. (3) Kebijakan tata guna air baku untuk keperluan industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Paragraf Keenam Teknologi Industri Pasal 19 (1) Pemerintah memfasilitasi penyediaan dan pemilihan teknologi industri dalam negeri dan atau luar negeri yang diperlukan untuk pengembangan industri. (2) Penyediaan dan pemilihan teknologi industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui pengkajian teknologi dengan mempertimbangkan aspek peningkatan daya saing. 9 Pasal 20 (1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah memfasilitasi: a. penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi bidang industri, termasuk kemampuan rancang bangun dan perekayasaan industri;

10 b. penyusunan peta panduan penguasaan kemampuan teknologi prioritas; c. proses difusi dari hasil-hasil pengembangan dan penerapan teknologi bagi pengembangan industri; dan atau d. kerjasama perguruan tinggi dan lembaga riset industri dalam negeri dan luar negeri, dengan perusahaan industri dalam negeri untuk meningkatkan daya saing industri. (2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah dapat memberikan insentif dan kemudahan kepada perusahaan industri yang melakukan: a. penelitian, pengembangan dan pemanfaatan kemampuan rancang bangun dan perekayasaan industri; b. kegiatan peningkatan kemampuan dan kompetensi Sumber Daya Manusia; c. pengembangan inovasi melalui kegiatan intermediasi antara inventor pengembangan teknologi industri dan dunia bisnis; d. pengalihan teknologi, khusus bagi penanaman modal asing; dan atau e. penyediaan teknologi industri dan penguasaan teknologi khusus bagi Industri Kecil. (3) Fasilitasi, insentif, kemudahan, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diberikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pasal 21 Pemerintah membantu pengembangan dan pemanfaatan teknologi bagi Industri Kecil. Pasal 22 (1) Hasil karya penelitian dan pengembangan teknologi bidang industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) huruf a disebarluaskan kepada publik. (2) Pemerintah dapat melakukan audit terhadap teknologi industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang diterapkan pada perusahaan industri. 10

11 Paragraf Ketujuh Inovasi dan Sumber Daya Manusia Industri Pasal 23 (1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah mendorong peningkatan daya saing industri melalui pemanfaatan kreativitas dan pengembangan inovasi. (2) Hasil kreativitas dan pengembangan inovasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berupa Hak Kekayaan Intelektual dapat dimanfaatkan untuk pengembangan industri. (3) Pemanfaatan Hak Kekayaan Intelektual untuk industri kecil dapat dilakukan melalui fasilitasi, konsultasi dan atau bimbingan. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan Hak Kekayaan Intelektual sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) ditetapkan oleh Menteri. Pasal 24 Pemerintah dan Pemerintah Daerah meningkatkan sumber daya manusia industri dengan: a. memfasilitasi pembentukan dan pengembangan lembaga pendidikan dan pelatihan industri serta lembaga sertifikasi profesi Sumber Daya Manusia industri; b. memfasilitasi pembentukan dan pengembangan lembagalembaga/asosiasi profesi; dan c. menyediakan dukungan program riset bagi perguruan tinggi, pengembangan dan penguatan lembaga-lembaga riset dan lembaga-lembaga/asosiasi profesi bagi pengembangan industri. Pasal 25 (1) Menteri melakukan perencanaan, pembinaan dan pengembangan Sumber Daya Manusia industri. (2) Perencanaan pembinaan dan pengembangan Sumber Daya Manusia industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara berkoordinasi dengan Menteri yang membidangi urusan pendidikan dan Menteri yang membidangi urusan ketenagakerjaan. 11

12 Paragraf Kedelapan Standardisasi Pasal 26 (1) Menteri melakukan perencanaan, penerapan, pembinaan, pengembangan dan pengawasan SNI pada sektor industri. (2) Penetapan SNI pada sektor industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan standardisasi. (3) Pembinaan dan pengembangan SNI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara berkoordinasi dengan instansi terkait. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai perencanaan, penerapan, pembinaan, pengembangan dan pengawasan SNI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Menteri. Pasal 27 (1) Menteri berwenang untuk memberlakukan SNI secara wajib atas sebagian atau keseluruhan spesifikasi teknis dan atau parameter dalam SNI barang dan atau jasa industri. (2) Pemberlakuan SNI secara wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan aspek keselamatan, keamanan, kesehatan masyarakat, pelestarian lingkungan hidup, bahaya moralitas, dan pertimbangan ekonomis. (3) Dalam hal SNI belum ditetapkan atau tidak sesuai dengan situasi dan atau perkembangan pembangunan industri, Menteri berwenang untuk merumuskan dan memberlakukan spesifikasi teknis secara wajib. (4) Setiap orang dilarang memproduksi, mengimpor dan atau mengedarkan barang dan atau jasa industri di dalam negeri yang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan SNI atau spesifikasi teknis yang diberlakukan secara wajib. Pasal 28 (1) Penerapan SNI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) dilakukan melalui sertifikasi. (2) Sertifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Lembaga Sertifikasi Produk yang telah diakreditasi. (3) Menteri melakukan penyediaan, pembinaan dan pengembangan fasilitas dan infrastruktur sertifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2). 12

13 Pasal 29 (1) Pemerintah melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan seluruh rangkaian pemberlakuan SNI wajib dan atau spesifikasi teknis secara wajib pada sektor industri. (2) Ketentuan pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Paragraf Kesembilan Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri Pasal 30 (1) Pemerintah mengoptimalkan peningkatan penggunaan produk dalam negeri pada lembaga negara, badan usaha, dan masyarakat. (2) Produk dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi barang dan atau jasa. (3) Peningkatkan penggunaan produk dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam pengadaan barang dan atau jasa wajib bagi: a. Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah/Institusi lainnya yang sebagian atau seluruh pembiayaan bersumber dari APBN/APBD, termasuk pinjaman atau hibah dari dalam negeri atau luar negeri yang diterima oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah; b. Bank Indonesia, Badan Hukum Milik Negara dan Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah yang pembiayaannya sebagian atau seluruhnya dibebankan pada APBN/APBD; c. badan usaha swasta yang pembiayaan dan atau pekerjaannya dilakukan melalui pola kerjasama antara Pemerintah dengan Badan Usaha Swasta dan/atau menggunakan aset negara. (4) Masyarakat berperan aktif dalam upaya penggunaan dan promosi produk dalam negeri. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan produk dalam negeri diatur dengan Peraturan Pemerintah. 13

14 Paragraf Kesepuluh Penyebaran Industri Pasal 31 (1) Pemerintah menetapkan kebijakan penyebaran dan pemerataan industri ke seluruh wilayah Indonesia. (2) Kebijakan penyebaran dan pemerataan industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan mempertimbangkan: a. pendayagunaan potensi sumber daya nasional; b. pemerataan pertumbuhan industri di seluruh wilayah Indonesia; c. peningkatan daya saing industri daerah berlandaskan keunggulan dan keunikan yang dimiliki daerah; dan atau d. peningkatan nilai tambah sepanjang rantai nilai komoditi unggulan daerah. (3) Pemerintah dan Pemerintah Daerah memfasilitasi penyebaran dan pemerataan industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (4) Kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 32 (1) Pemerintah menetapkan kebijakan pembangunan, pengaturan, pembinaan, dan pengembangan kawasan industri. (2) Pembangunan dan pengembangan kawasan industri dilakukan sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Paragraf Kesebelas Kemitraan Pasal 33 Pemerintah melakukan pengembangan kemitraan industri melalui: a. penciptaan kemitraan usaha antara industri dengan pemangku kepentingan; dan b. peningkatan dan penguatan kemitraan antar industri. 14

15 Paragraf Keduabelas Pembiayaan Industri Pasal 34 (1) Pemerintah menjamin ketersediaan pembiayaan kompetitif untuk pembangunan industri nasional. (2) Pemerintah dan Pemerintahan Daerah dapat mengalokasikan pembiayaan dan atau memberikan kemudahan pembiayaan pengembangan industri. Pasal 35 (1) Dalam rangka pembiayaan kegiatan industri, dapat dibentuk lembaga pembiayaan khusus industri yang dikoordinasi oleh Menteri. (2) Pembentukan lembaga pembiayaan khusus industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai ketentuan perundang-undangan. Pasal 36 (1) Pemerintah dan Pemerintahan Daerah dapat memberikan pinjaman, hibah, atau penyertaan modal kepada perusahaan negara atau perusahaan daerah di bidang industri. (2) Pemberian pinjaman, hibah, atau penyertaan modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terlebih dahulu ditetapkan dalam APBN/APBD. Paragraf Ketigabelas Pengamanan Industri Pasal 37 (1) Perusahaan Industri wajib melakukan pengamanan atas bahan baku, proses, penggunaan mesin dan peralatan, hasil produksi, limbah serta pengangkutannya. (2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangan masing-masing melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan kewajiban pengamanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Ketentuan pelaksanaan pengamanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) serta pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri. 15

16 Pasal 38 (1) Pemerintah melakukan penyelamatan industri dan ekonomi nasional dalam hal terjadi tekanan eksternal yang mengakibatkan industri dalam negeri mengalami kerusakan/kerugian (injury) yang berdampak kepada perekonomian nasional. (2) Menteri menetapkan industri yang dapat dikategorikan sebagai industri yang mengalami kerusakan/kerugian (injury) yang berdampak kepada perekonomian nasional. Paragraf Keempatbelas Pembinaan Industri Pasal 39 (1) Kewenangan pembinaan industri berada pada Presiden yang dilaksanakan oleh Menteri. (2) Kewenangan pembinaan industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk industri tertentu dapat dilimpahkan kepada Menteri terkait. (3) Pelimpahan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 40 (1) Menteri menetapkan kriteria industri yang tertutup untuk: a. penanaman modal; b. dicadangkan bagi industri tertentu; dan c. industri yang memiliki keunikan dan warisan budaya. (2) Kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri. Pasal 41 (1) Pemerintah dan Pemerintahan Daerah melakukan pembinaan industri berdasarkan skala industri sebagai berikut: a. Industri Kecil; b. Industri Menengah; dan c. Industri Besar. (2) Skala Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan jumlah tenaga kerja. (3) Industri Kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a hanya dapat dimiliki oleh Warga Negara Indonesia. 16

17 (4) Besaran jumlah tenaga kerja untuk Industri Kecil, Industri Menengah, dan Industri Besar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Menteri. Pasal 42 Pembinaan Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) huruf a, huruf b dan huruf c dilakukan melalui: a. penguatan daya saing industri yang berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi, termasuk partisipasi efektif dalam jaringan rantai pasok; b. peningkatan kompetensi kewirausahaan dan sumber daya manusia industri; c. peningkatan kemitraan antara Industri Besar, Industri Menengah, Industri Kecil dan sektor lainnya; d. pemberian fasilitas dan atau kemudahan; e. dukungan promosi, pemasaran dan informasi; f. pengembangan kelembagaan; g. dukungan ketersediaan bahan baku; dan h. peningkatan teknologi dan standar. 17 Pasal 43 (1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah memberikan pembinaan khusus kepada Industri Kecil untuk pemberdayaan dan meningkatkan perekonomian rakyat. (2) Pembinaan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut oleh Menteri. Paragraf Kelimabelas Aparatur Pembina Industri Pasal 44 (1) Aparatur pemerintah yang bertugas melakukan pembinaan dan pengembangan industri di pusat dan di daerah harus memiliki kompetensi di bidang industri. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri. BAB IV FASILITAS INDUSTRI Pasal 45 (1) Pemerintah dan Pemerintahan Daerah memberikan fasilitas yang diperlukan dalam pembangunan dan pengembangan industri.

18 (2) Fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada industri yang: a. banyak menyerap tenaga kerja; b. termasuk dalam klaster industri prioritas; c. termasuk dalam skala prioritas tinggi; d. melakukan alih teknologi; e. merupakan industri pionir; f. memiliki daya cipta atau kreativitas berbasis nilai warisan budaya nusantara; g. berada di daerah industri terpencil, daerah tertinggal, daerah perbatasan, atau daerah lain yang dianggap perlu; h. melakukan pembangunan infrastruktur; i. menjaga kelestarian lingkungan hidup; j. mewujudkan industri hijau; k. melakukan penelitian, pengembangan dan inovasi industri; l. bermitra dengan Industri Kecil; dan atau m. menggunakan bahan baku, barang modal, mesin, atau peralatan produksi dalam negeri. (3) Industri yang memperoleh fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Menteri. Pasal 46 (1) Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) dapat diberikan fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Bumi dan Bangunan, pajak daerah dan retribusi daerah. (2) Fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 47 (1) Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) dalam melakukan impor barang modal, bahan baku dan bahan penolong untuk kegiatan industri, dapat diberikan fasilitas berupa: a. pembebasan atau pengurangan bea masuk; 18

19 b. pembebasan atau penangguhan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) untuk barang kena pajak; dan atau c. pembebasan atau pengurangan PPh. (2) Fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 48 (1) Pengembangan klaster industri prioritas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) huruf b diberikan fasilitas: a. penyediaan sumber daya manusia industrial; b. penelitian dan pengembangan barang atau jasa industri; c. promosi; d. insentif fiskal; dan atau e. insentif non-fiskal dan kemudahan lain. (2) Fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh Menteri dan Menteri terkait sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 49 Peran Pemerintah atau Pemerintah Daerah dalam melakukan pengembangan industri sebagaimana dimaksud pada Pasal 45 ayat (2) huruf f dengan: a. melakukan penataan industri pendukung; b. melakukan penataan sebaran industri yang mendukung penciptaan klaster industri dan koridor industri kreatif; c. mengembangkan sentra desain industri kreatif; d. melakukan pengembangan industri piranti keras dan piranti lunak dalam negeri sebagai penopang teknologi industri kreatif; e. memberikan pelatihan teknologi pengolahan material tepat guna dan ramah lingkungan; f. menjalin kemitraan strategis dengan negara yang sudah maju pada teknologi pengolahan; g. melakukan intensifikasi kerjasama lembaga pemerintah/swasta dengan industri kreatif khususnya dalam pemanfaatan bahan baku alternatif; h. melakukan diseminasi penggunaan sumber daya alam terbarukan dan ramah lingkungan; 19

20 i. melakukan diseminasi pengembangan produk kreatif yang berorientasi pada penghematan sumber daya alam dan ramah lingkungan; j. mendorong penelitian yang terkait dengan bahan baku sumber daya alam yang terbarukan dan ramah lingkungan dengan memperkuat koordinasi dan kolaborasi antar industri, lembaga riset pemerintah, dan pendidikan tinggi; k. memberi bantuan dukungan teknologi pengolahan bahan baku industri; l. memberi dorongan dan mengikutsertakan ikatan profesi dan asosiasi industri kreatif dalam pengembangan industri; dan m. melakukan promosi barang atau jasa industri kreatif di dalam dan luar negeri. Pasal 50 (1) Pengembangan Industri Hijau sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) huruf j diberikan fasilitas: a. insentif fiskal; b. insentif non-fiskal; dan atau c. kemudahan lain. (2) Pengembangan Industri Hijau sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) huruf j dapat diberikan fasilitas: a. penyediaan sumber daya manusia industri; b. penelitian dan pengembangan barang atau jasa industri; c. promosi; dan atau d. teknologi baru. (3) Fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diberikan oleh Menteri dan Menteri terkait sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 51 (1) Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) huruf m dalam melakukan penyerahan dalam negeri, dapat diberikan fasilitas berupa pembebasan atau penangguhan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) untuk barang kena pajak serta pembebasan atau pengurangan PPh. (2) Fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 20

21 Pasal 52 (1) Pemerintah dan Pemerintahan Daerah menjamin ketersediaan infrastruktur industri bagi pengembangan industri dan klaster industri. (2) Pengembangan infrastruktur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan tugas dan kewenangan masing-masing. Pasal 53 (1) Pemerintah memberikan insentif kepada: a. Badan Usaha yang mengoptimalkan penggunaan produk dalam negeri; b. Badan Usaha yang mengoptimalkan tingkat komponen dalam negeri atas produk yang dihasilkan; dan atau c. industri strategis yang menunjang pengembangan produksi dalam negeri. (2) Pemerintah memberikan penghargaan kepada Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah/ Institusi lainnya, Bank Indonesia, Badan Hukum Milik Negara dan Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah atau badan usaha swasta yang mengoptimalkan penggunaan produk dalam negeri. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian insentif dan penghargaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Presiden. Pasal 54 Selain fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46, Pasal 47, Pasal 48, Pasal 50 dan Pasal 51, Pemerintah dan Pemerintah Daerah dapat memberikan kemudahan kepada Perusahaan Industri. Pasal 55 (1) Pemerintah memberikan pelindungan kepada Perusahaan Industri dari gangguan eksternal yang tidak wajar. (2) Pelaksanaan dan pengawasan pelindungan terhadap industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikoordinasikan oleh Menteri dengan instansi terkait. (3) Ketentuan dan tata cara pelindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri. 21

22 Pasal 56 (1) Pemerintah dapat memberikan penghargaan kepada: a. Perusahaan Industri yang telah mewujudkan industri hijau sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) huruf j; b. lembaga negara dan badan usaha yang mengoptimalkan penggunaan produk dalam negeri; c. Perusahaan Industri yang melakukan rintisan teknologi industri; d. lembaga pendidikan dan lembaga penelitian yang menghasilkan inovasi industri; e. perorangan yang telah berhasil dalam mengembangkan industri kecil; f. perorangan yang telah berhasil mengangkat dan mengembangkan produk, motif, teknologi atau desain yang telah ditinggalkan dan terancam punah serta mempertahankan keberadaannya dalam rangka pengembangan industri nasional; g. perusahaan yang melakukan kemitraan dan pembinaan usaha dengan industri kecil untuk memperkuat dan memandirikan industri kecil; h. Gubernur/Bupati/Walikota yang mempunyai visi, komitmen, serta prestasi tinggi dalam menumbuhkembangkan industri kecil dan industri menengah di daerahnya; dan atau i. perusahaan industri kecil yang telah menerapkan teknologi modern dalam proses produksi sehingga lebih efisien, produktif, dan mempunyai nilai tambah yang lebih tinggi. (2) Menteri menetapkan lebih lanjut kriteria industri, lembaga negara, badan usaha, dan perorangan yang dapat diberikan penghargaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). BAB V PERIZINAN DAN INFORMASI INDUSTRI 22 Bagian Kesatu Perizinan Pasal 57 (1) Setiap kegiatan industri, termasuk jasa industri, wajib memiliki Izin Usaha Industri (IUI).

23 (2) Kewajiban memiliki Izin Usaha Industri untuk jasa industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berlaku bagi jasa industri tertentu. (3) Jasa industri tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Menteri. (4) Izin Usaha Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. Izin Usaha Industri Kecil (IUI Kecil); b. Izin Usaha Industri Menengah (IUI Menengah); dan c. Izin Usaha Industri Besar (IUI Besar). (5) Setiap perusahaan industri yang melakukan perluasan wajib memiliki Izin Perluasan. (6) Izin Usaha Industri dan Izin Perluasan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) berlaku sebagai izin usaha perdagangan atas barang dan atau jasa industri yang dihasilkannya. (7) Pemberian Izin Usaha Industri dan Izin Perluasan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) berada pada Menteri, Menteri terkait, Gubernur, dan Bupati/Walikota. (8) Ketentuan pemberian Izin Usaha Industri dan Izin Perluasan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) oleh pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah. Pasal 58 (1) Setiap kegiatan usaha Kawasan Industri wajib memiliki Izin Usaha Kawasan Industri (IUKI). (2) Izin Usaha Kawasan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada Perusahaan Kawasan Industri yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. (3) Setiap Perusahaan Kawasan Industri yang melakukan perluasan wajib memiliki Izin Perluasan Kawasan Industri. (4) Ketentuan dan tata cara Izin Usaha Kawasan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan Izin Perluasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah. 23

24 Bagian Kedua Informasi Industri Pasal 59 (1) Setiap Perusahaan Industri wajib menyampaikan Data Industri yang akurat, lengkap dan tepat waktu secara berkala dan atau sewaktu-waktu apabila diperlukan kepada instansi pembina industri. (2) Data Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya mencakup legalitas perusahaan, aspek kegiatan industri, aspek teknis dan upaya pelestarian lingkungan hidup. (3) Instansi Pembina Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara berkala dan atau sewaktu-waktu apabila diperlukan wajib menyampaikan hasil pengolahan Data Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sebagai Informasi Industri kepada Instansi Pembina Industri di pusat/menteri terkait. (4) Informasi Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sekurang-kurangnya mencakup jenis dan jumlah kapasitas produksi, pemasaran, aspek penggunaan dan ketersediaan bahan baku, penggunaan dan ketersediaan energi, penggunaan tenaga kerja, dan upaya pelestarian lingkungan hidup. (5) Instansi Pembina Industri di pusat/menteri terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menyampaikan hasil pengolahan Informasi Industri kepada Menteri. (6) Informasi Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (5) sekurang-kurangnya mencakup jenis dan jumlah kapasitas produksi, pemasaran, aspek penggunaan dan ketersediaan bahan baku, penggunaan dan ketersediaan energi, penggunaan tenaga kerja, dan upaya pelestarian lingkungan hidup. Pasal 60 (1) Setiap Perusahaan Kawasan Industri wajib menyampaikan Data Kawasan Industri yang akurat, lengkap dan tepat waktu secara berkala dan atau sewaktu-waktu apabila diperlukan kepada Instansi Pembina Industri di daerah. (2) Data Kawasan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya mencakup aspek legalitas perusahaan, aspek perencanan, aspek pembangunan, dan aspek pengelolaan, aspek teknis yang terkait dengan jumlah perusahaan dan kegiatan industri, kelengkapan sarana dan prasarana penunjang serta upaya pelestarian lingkungan hidup. 24

25 (3) Instansi Pembina Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di daerah secara berkala dan atau sewaktu-waktu apabila diperlukan wajib menyampaikan hasil pengolahan Data Kawasan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sebagai Informasi Industri kepada Instansi Pembina Industri di pusat. (4) Informasi Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sekurang-kurangnya mencakup aspek jenis dan jumlah kegiatan industri, aspek pengunaan dan ketersediaan energi, aspek tenaga kerja, aspek ketersediaan prasarana kawasan industri, aspek ketersediaan sarana penunjang kawasan industri, dan upaya pelestarian lingkungan hidup. (5) Instansi Pembina Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) di pusat menyampaikan Informasi Industri kepada Menteri. (6) Informasi Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (5) sekurang-kurangnya mencakup aspek jenis dan jumlah kegiatan industri, aspek pengunaan dan ketersediaan energi, aspek tenaga kerja, aspek ketersediaan prasarana kawasan industri, aspek ketersediaan sarana penunjang kawasan industri, dan upaya pelestarian lingkungan hidup. Pasal 61 (1) Penyampaian Data Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2) dan Data Kawasan Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (2) dapat dilakukan secara langsung atau tidak langsung. (2) Ketentuan mengenai bentuk, isi, dan tata cara penyampaian: a. Data Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2); b. Data Kawasan Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (2); dan c. Informasi Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (4) dan ayat (5) serta Pasal 60 ayat (4) dan ayat (5); diatur dengan Peraturan Pemerintah. 25 Pasal 62 (1) Menteri melakukan pengelolaan Informasi Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (5) dan Pasal 60 ayat (5) sebagai bahan penyediaan Informasi Industri Nasional bagi instansi pemerintah, perusahaan industri, dan pengguna publik.

26 (2) Menteri membangun dan mengembangkan Sistem Informasi Industri Nasional sebagai bagian dalam pembangunan dan pembinaan industri nasional. (3) Menteri, Menteri terkait dan Pemerintah Daerah memberikan kemudahan dalam: a. penyampaian Data Industri oleh Perusahaan Industri atau Data Kawasan Industri oleh Perusahaan Kawasan Industri dan atau Informasi Industri oleh Instansi Pembina Industri pusat dan daerah; dan b. pemberian informasi mengenai perkembangan industri kepada pengguna publik. Pasal 63 Pejabat dari instansi Pemerintah dan Pemerintah Daerah dilarang menyampaikan dan atau mengumumkan Data Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) dan Data Kawasan Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) apabila penyampaian dan atau pengumuman informasi dimaksud dapat merugikan perusahaan industri yang bersangkutan. BAB VI KELEMBAGAAN Bagian Kesatu Komite Daya Saing Industri Pasal 64 (1) Dalam rangka peningkatan daya saing industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a dibentuk Komite Daya Saing Industri Nasional dan Komite Daya Saing Industri Daerah. (2) Komite Daya Saing Industri Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diketuai oleh Presiden, dan pelaksanaan tugas sehari-hari dilaksanakan oleh Menteri (3) Keanggotaan Komite Daya Saing Industri Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas unsur pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat. (4) Organisasi, tata kerja, dan keanggotaan Komite Daya Saing Industri sebagaimana dimaksud dalam pada ayat (1) diatur dengan Keputusan Presiden. 26

27 Pasal 65 (1) Komite Daya Saing Industri Nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (2) mempunyai tugas memberikan saran dan pertimbangan kepada Presiden dalam rangka penyusunan kebijakan peningkatan daya saing industri nasional. (2) Untuk mendukung pelaksanaan operasional Komite Daya Saing Industri Nasional dibentuk Sekretariat Komite Daya Saing Industri Nasional. (3) Sekretariat Komite Daya Saing Industri Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri. (4) Biaya pelaksanaan tugas Dewan Daya Saing Industri Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebankan kepada anggaran pendapatan dan belanja negara dan sumber lain yang sesuai dengan peraturan perundangundangan. Pasal 66 (1) Menteri membentuk Komite Daya Saing Industri Daerah di setiap Provinsi. (2) Komite Daya Saing Industri Daerah sebagaimana dmaksud ayat (1) bertanggung jawab kepada Komite Daya Saing Industri Nasional. (3) Komite Daya Saing Industri Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diketuai oleh Gubernur. (4) Keanggotaan Komite Daya Saing Industri Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas unsur Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, dunia usaha, dan masyarakat. (5) Organisasi, tata kerja, dan keanggotaan Komite Daya Saing Industri Daerah sebagaimana dimaksud dalam pada ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri. Pasal 67 (1) Komite Daya Saing Industri Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) mempunyai tugas memberikan saran dan pertimbangan kepada Gubernur dalam rangka penyusunan kebijakan peningkatan daya saing industri daerah. (2) Untuk mendukung pelaksanaan operasional Komite Daya Saing Industri Daerah dibentuk Sekretariat Komite Daya Saing Industri Daerah. 27

28 (3) Sekretariat Komite Daya Saing Industri Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Gubernur. (4) Biaya pelaksanaan tugas Dewan Daya Saing Industri Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebankan kepada anggaran pendapatan dan belanja daerah dan sumber lain yang sesuai dengan peraturan perundangundangan. BAB VII PENGAWASAN Pasal 68 (1) Dalam rangka keterpaduan pembangunan industri, Menteri dan Menteri terkait sesuai dengan kewenangan masingmasing melakukan pengawasan pada instansi di pusat dan daerah terhadap penerapan: a. peraturan perundangan secara nasional yang terkait dengan industri; dan b. Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah yang terkait industri. (2) Ketentuan dan tata cara pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 28 Pasal 69 (1) Pemerintah atau Pemerintah Daerah dapat melakukan audit teknis kepada perusahaan industri yang tidak melaksanakan ketentuan Pasal 15 ayat (1) dan Pasal 17 ayat (1). (2) Pelaksanaan audit teknis industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pejabat yang mempunyai sertifikasi keahlian dan keterampilan bidang industri dari lembaga sertifikasi keahlian yang telah diakreditasi. (3) Apabila belum terdapat pejabat pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri dapat menunjuk langsung lembaga audit yang terakreditasi. (4) Pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berwenang untuk: a. memasuki lokasi yang diduga atau patut diduga digunakan sebagai tempat melakukan kegiatan usaha industri secara tidak benar; dan atau b. melakukan langkah pengamanan terhadap usaha industri dimaksud dengan melarang atau menghentikan kegiatan usaha industri untuk sementara waktu.

29 (5) Apabila dalam pelaksanaan audit teknis industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditemukan bukti awal telah terjadi tindak pidana di bidang industri, pejabat yang ditunjuk untuk melakukan audit teknis industri menyampaikan informasi kepada Penyidik Pegawai Negeri Sipil. (6) Pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib melaporkan hasil audit teknis industri kepada Menteri dan atau Instansi Pembina Industri di daerah. (7) Ketentuan dan tata cara audit teknis industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri. BAB VIII PENYIDIKAN Pasal 70 (1) Selain Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang perindustrian diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana. (2) Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berwenang: a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perindustrian; b. melakukan pemeriksaan terhadap orang atau badan hukum yang diduga melakukan tindak pidana di bidang perindustrian; c. meminta keterangan dan barang bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan peristiwa tindak pidana di bidang perindustrian; d. melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga menjadi tempat penyimpanan atau tempat diperoleh barang bukti dan menyita benda yang dapat digunakan sebagai barang bukti dalam tindak pidana di bidang perindustrian; e. meminta bantuan tenaga ahli dalam melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perindustrian; dan atau f. menyatakan saat mulainya dan dihentikannya penyidikan. 29

30 BAB IX SANKSI ADMINISTRATIF Pasal 71 (1) Setiap penanggung jawab usaha industri yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1), Pasal 17 ayat (1), Pasal 37 ayat (1), Pasal 59 ayat (1), dan Pasal 60 ayat (1) dikenakan sanksi administratif. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa: a. peringatan tertulis; b. pengumuman pelanggaran di media massa; c. pembekuan IUI dan atau Izin Perluasan; d. pencabutan IUI dan atau Izin Perluasan; e. pembekuan IUKI dan atau Izin Perluasan Kawasan Industri; atau f. pencabutan IUKI dan atau Izin Perluasan Kawasan Industri. (3) Ketentuan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 72 Setiap orang yang melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (3) dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan perundangundangan. Pasal 73 Pejabat yang melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (6) dikenakan hukuman disiplin pegawai sesuai dengan peraturan perundang-undangan. BAB X KETENTUAN PIDANA Pasal 74 (1) Setiap orang dengan sengaja melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1), Pasal 57 ayat (5), Pasal 58 ayat (1) atau Pasal 58 ayat (3) dikenakan denda sebanyakbanyaknya Rp ,00 (lima milyar rupiah) dan atau dipidana kurungan selama-lamanya 1 (satu) tahun. 30

31 (2) Setiap orang karena kelalaiannya melakukan perbuatan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1), Pasal 57 ayat (5), Pasal 58 ayat (1) atau Pasal 58 ayat (3) dikenakan denda sebanyak-banyaknya Rp ,00 (satu milyar rupiah) dan atau dipidana kurungan selama-lamanya 1 (satu) tahun. Pasal 75 (1) Pejabat yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan atau denda paling banyak Rp ,00 (seratus juta rupiah). (2) Pejabat yang karena kelalaiannya melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan atau denda paling banyak Rp ,00 (dua puluh juta rupiah). Pasal 76 (1) Setiap orang dengan sengaja melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (4) dipidana penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp ,00 (lima milyar rupiah) dengan hukuman tambahan dicabut Izin Usaha. (2) Setiap orang karena kelalaiannya melakukan perbuatan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (4) dipidana kurungan selama-lamanya 1 (satu) tahun dan atau denda sebanyak-banyaknya Rp ,00 (dua milyar rupiah). BAB XI KETENTUAN PERALIHAN Pasal 77 Pada saat Undang-Undang ini berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan perindustrian yang tidak bertentangan dengan Undang-undang ini dinyatakan tetap berlaku selama belum ditetapkan penggantinya berdasarkan Undang-Undang ini. 31

32 BAB XII KETENTUAN PENUTUP Pasal 78 Pada saat Undang-Undang ini berlaku, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3274) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 79 Peraturan pelaksanaan yang diamanatkan dalam Undang- Undang ini ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diberlakukan. Pasal 80 Undang-Undang ini mulai berlaku 1 (satu) tahun sejak tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO Diundangkan di Jakarta pada tanggal.. MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, PATRIALIS AKBAR BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN... NOMOR... 32

33 PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERINDUSTRIAN PENJELASAN UMUM Era globalisasi dan liberalisasi ekonomi telah membawa perubahan yang sangat cepat dan berdampak luas bagi perekonomian, baik di tingkat nasional maupun internasional. Dampak yang paling dirasakan adalah persaingan yang makin ketat di berbagai kegiatan ekonomi terutama di sektor industri. Untuk membangun ekonomi nasional yang tangguh di lingkungan persaingan yang ketat, sektor industri pengolahan sebagai sektor produktif penghasil nilai-tambah tinggi harus mampu berfungsi sebagai motor penggerak pertumbuhan ekonomi yang sekaligus menjadi pembentuk keunggulan-kompetitif. Oleh karena itu diperlukan kebijakan pengaturan yang lebih reformatif dan kondusif terhadap pencapaian tujuan tersebut, dengan melakukan penyempurnaan sistem peraturan perundangundangan yang telah ada. Kendati sektor industri merupakan motor penggerak pertumbuhan ekonomi nasional, tumbuh-majunya industri nasional harus tetap mampu menimbulkan manfaat sebesar-besarnya untuk kemakmuran bagi seluruh rakyat dengan tidak terongrongnya kedaulatan bangsa dan terkorbankannya kepentingan nasional, tetap terlestarikannya nilai-nilai budaya luhur bangsa yang bercirikan demokrasi ekonomi yang berorientasi kerakyatan, dengan tetap menjunjung tinggi kesatuan dan persatuan bangsa dalam rangka Negara Kesatuan Republik Indonesia serta membangun kerjasama ekonomi secara selaras dengan negara-negara lain sebagaimana diamanatkan oleh UUD Oleh karena itu UU Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian, perlu disempurnakan dari aspek penjabaran operasional amanat UUD 1945 khususnya Pasal 33 dalam pembangunan industri serta untuk mengantisipasi dinamika perubahan baik yang bersifat internal maupun eksternal. Untuk dapat menerobos dan bersaing di pasar global, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian dituntut mampu ikut menciptakan iklim usaha yang menunjang terbentuknya peningkatan daya saing sektor industri. Oleh karena itu pengaturan yang kurang menunjang upaya pembentukan daya-saing perlu dihilangkan, dengan mengganti pengaturan yang mendorong kemudahan dalam usaha. 33

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG PERINDUSTRIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG PERINDUSTRIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG PERINDUSTRIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.4, 2014 EKONOMI. Pembangunan. Perindustrian. Perencanaan. Penyelenggaraan. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5492) UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG PERINDUSTRIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG PERINDUSTRIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG PERINDUSTRIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG PERINDUSTRIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG PERINDUSTRIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG PERINDUSTRIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan masyarakat adil dan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERINDUSTRIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERINDUSTRIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERINDUSTRIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan

Lebih terperinci

PENUNJUK UNDANG-UNDANG PERINDUSTRIAN

PENUNJUK UNDANG-UNDANG PERINDUSTRIAN PENUNJUK UNDANG-UNDANG PERINDUSTRIAN 1 (satu) bulan ~ paling lama Penetapan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia Penetapan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia di bidang Industri sebagaimana

Lebih terperinci

2017, No.9 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Sarana adalah segala sesuatu yang dapat dipakai sebaga

2017, No.9 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Sarana adalah segala sesuatu yang dapat dipakai sebaga LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.9, 2017 EKONOMI. Pembangunan. Perindustrian. Sarana. Prasarana. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6016) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1984 TENTANG PERINDUSTRIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1984 TENTANG PERINDUSTRIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1984 TENTANG PERINDUSTRIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa tujuan pembangunan nasional adalah untuk mewujudkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa masyarakat adil dan makmur

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2017 TENTANG PEMBANGUNAN SARANA DAN PRASARANA INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2017 TENTANG PEMBANGUNAN SARANA DAN PRASARANA INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2017 TENTANG PEMBANGUNAN SARANA DAN PRASARANA INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.183, 2012 PERTAHANAN. Industri. Kelembagaan. Penyelenggaraan. Pengelolaan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5343) UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG PERINDUSTRIAN DAN LANGKAH-LANGKAH PENYUSUNAN PERATURAN PELAKSANAANNYA

UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG PERINDUSTRIAN DAN LANGKAH-LANGKAH PENYUSUNAN PERATURAN PELAKSANAANNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG PERINDUSTRIAN DAN LANGKAH-LANGKAH PENYUSUNAN PERATURAN PELAKSANAANNYA Disampaikan oleh Sekretaris Jenderal Dalam acara Rapat Kerja Kementerian Perindustrian tahun

Lebih terperinci

2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Industri adalah seluruh bentuk kegiatan ekonomi yang mengolah b

2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Industri adalah seluruh bentuk kegiatan ekonomi yang mengolah b LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.146, 2015 Sumber Daya Industri. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5708). PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 Tahun 2015

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2014 TENTANG STANDARDISASI DAN PENILAIAN KESESUAIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2014 TENTANG STANDARDISASI DAN PENILAIAN KESESUAIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2014 TENTANG STANDARDISASI DAN PENILAIAN KESESUAIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Pemerintah

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR. TAHUN 2014 TENTANG IZIN USAHA INDUSTRI DAN IZIN USAHA KAWASAN INDUSTRI

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR. TAHUN 2014 TENTANG IZIN USAHA INDUSTRI DAN IZIN USAHA KAWASAN INDUSTRI Draf tanggal 7-8 Juli 2014 RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR. TAHUN 2014 TENTANG IZIN USAHA INDUSTRI DAN IZIN USAHA KAWASAN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

Undang Undang No. 5 Tahun 1984 Tentang : Perindustrian

Undang Undang No. 5 Tahun 1984 Tentang : Perindustrian Undang Undang No. 5 Tahun 1984 Tentang : Perindustrian Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 5 TAHUN 1984 (5/1984) Tanggal : 29 JUNI 1984 (JAKARTA) Sumber : LN 1984/22; TLN NO. 3274 DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2014 TENTANG STANDARDISASI DAN PENILAIAN KESESUAIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2014 TENTANG STANDARDISASI DAN PENILAIAN KESESUAIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2014 TENTANG STANDARDISASI DAN PENILAIAN KESESUAIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Pemerintah Negara

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR. TAHUN. TENTANG PEMBANGUNAN SARANA DAN PRASARANA INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR. TAHUN. TENTANG PEMBANGUNAN SARANA DAN PRASARANA INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR. TAHUN. TENTANG PEMBANGUNAN SARANA DAN PRASARANA INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

2 Mengingat penyelenggaraan kegiatan standardisasi dan penilaian kesesuaian; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, hur

2 Mengingat penyelenggaraan kegiatan standardisasi dan penilaian kesesuaian; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, hur LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.216, 2014 PERDAGANGAN. Standardisasi. Penilaian Kesesuaian Perumusan. Pemberlakuan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5584) UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2014 TENTANG STANDARDISASI DAN PENILAIAN KESESUAIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2014 TENTANG STANDARDISASI DAN PENILAIAN KESESUAIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2014 TENTANG STANDARDISASI DAN PENILAIAN KESESUAIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Pemerintah

Lebih terperinci

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN :

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2002 TENTANG SISTEM NASIONAL PENELITIAN, PENGEMBANGAN, DAN PENERAPAN ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2002 TENTANG SISTEM NASIONAL PENELITIAN, PENGEMBANGAN, DAN PENERAPAN ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2002 TENTANG SISTEM NASIONAL PENELITIAN, PENGEMBANGAN, DAN PENERAPAN ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2002 TENTANG SISTEM NASIONAL PENELITIAN, PENGEMBANGAN, DAN PENERAPAN ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR. TAHUN 2014 TENTANG IZIN USAHA INDUSTRI DAN IZIN USAHA KAWASAN INDUSTRI

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR. TAHUN 2014 TENTANG IZIN USAHA INDUSTRI DAN IZIN USAHA KAWASAN INDUSTRI Draf tanggal 25-26 Agustus 2014 RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR. TAHUN 2014 TENTANG IZIN USAHA INDUSTRI DAN IZIN USAHA KAWASAN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2015 TENTANG PEMBANGUNAN SUMBER DAYA INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2015 TENTANG PEMBANGUNAN SUMBER DAYA INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2015 TENTANG PEMBANGUNAN SUMBER DAYA INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

NCA N LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 12 TAHUN 2009 PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG

NCA N LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 12 TAHUN 2009 PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG NCA N LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 12 TAHUN 2009 PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN SUMEDANG BAGIAN HUKUM SEKRETARIAT

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2009 TENTANG KETENAGALISTRIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2009 TENTANG KETENAGALISTRIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2009 TENTANG KETENAGALISTRIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2015 TENTANG PEMBANGUNAN SUMBER DAYA INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2015 TENTANG PEMBANGUNAN SUMBER DAYA INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2015 TENTANG PEMBANGUNAN SUMBER DAYA INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

BUPATI SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN SUKOHARJO

BUPATI SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN SUKOHARJO BUPATI SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN SUKOHARJO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKOHARJO, Menimbang : a. bahwa penanaman

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2009 TENTANG KETENAGALISTRIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2009 TENTANG KETENAGALISTRIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2009 TENTANG KETENAGALISTRIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembangunan nasional bertujuan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2009 TENTANG KETENAGALISTRIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2009 TENTANG KETENAGALISTRIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2009 TENTANG KETENAGALISTRIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan

Lebih terperinci

DRAFT RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG KETENAGALISTRIKAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KETENAGALISTRIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DRAFT RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG KETENAGALISTRIKAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KETENAGALISTRIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DRAFT RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG KETENAGALISTRIKAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KETENAGALISTRIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH Menimbang : DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa masyarakat adil dan makmur

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERDAYAAN USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERDAYAAN USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERDAYAAN USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TENGAH, Menimbang : a. bahwa Usaha Mikro,

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KETENAGALISTRIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KETENAGALISTRIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KETENAGALISTRIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembangunan nasional bertujuan untuk

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa masyarakat

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG TIMUR NOMOR 16 TAHUN 2013 TENTANG IZIN USAHA INDUSTRI, IZIN PERLUASAN DAN TANDA DAFTAR INDUSTRI

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG TIMUR NOMOR 16 TAHUN 2013 TENTANG IZIN USAHA INDUSTRI, IZIN PERLUASAN DAN TANDA DAFTAR INDUSTRI SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG TIMUR NOMOR 16 TAHUN 2013 TENTANG IZIN USAHA INDUSTRI, IZIN PERLUASAN DAN TANDA DAFTAR INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BELITUNG TIMUR, Menimbang

Lebih terperinci

Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN :

Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN : PRESIDEN RUPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2007 TENTANG E N E R G I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sumber daya energi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa masyarakat adil dan makmur

Lebih terperinci

BUPATI GARUT PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI GARUT PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI GARUT PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang Mengingat BUPATI GARUT, : a. bahwa penanaman modal merupakan salah

Lebih terperinci

WALIKOTA MAGELANG PERATURAN DAERAH KOTA MAGELANG NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG IZIN USAHA INDUSTRI, IZIN PERLUASAN DAN TANDA DAFTAR INDUSTRI

WALIKOTA MAGELANG PERATURAN DAERAH KOTA MAGELANG NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG IZIN USAHA INDUSTRI, IZIN PERLUASAN DAN TANDA DAFTAR INDUSTRI WALIKOTA MAGELANG PERATURAN DAERAH KOTA MAGELANG NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG IZIN USAHA INDUSTRI, IZIN PERLUASAN DAN TANDA DAFTAR INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MAGELANG, Menimbang

Lebih terperinci

WALIKOTA KENDARI PERATURAN DAERAH KOTA KENDARI

WALIKOTA KENDARI PERATURAN DAERAH KOTA KENDARI WALIKOTA KENDARI PERATURAN DAERAH KOTA KENDARI NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN PENANAMAN MODAL DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA KENDARI Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN KAYONG UTARA

PEMERINTAH KABUPATEN KAYONG UTARA PEMERINTAH KABUPATEN KAYONG UTARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN KAYONG UTARA NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG IZIN USAHA INDUSTRI, IZIN PERLUASAN DAN TANDA DAFTAR INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PENANAMAN MODAL DI PROVINSI JAWA TENGAH

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PENANAMAN MODAL DI PROVINSI JAWA TENGAH PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PENANAMAN MODAL DI PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TENGAH, Menimbang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2007 TENTANG ENERGI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2007 TENTANG ENERGI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2007 TENTANG ENERGI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa sumber daya energi merupakan kekayaan alam sebagaimana

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG IZIN USAHA INDUSTRI, IZIN PERLUASAN DAN TANDA DAFTAR INDUSTRI

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG IZIN USAHA INDUSTRI, IZIN PERLUASAN DAN TANDA DAFTAR INDUSTRI PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG IZIN USAHA INDUSTRI, IZIN PERLUASAN DAN TANDA DAFTAR INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURBALINGGA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

WALIKOTA BALIKPAPAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN DAERAH KOTA BALIKPAPAN NOMOR 12 TAHUN 2014 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH

WALIKOTA BALIKPAPAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN DAERAH KOTA BALIKPAPAN NOMOR 12 TAHUN 2014 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH WALIKOTA BALIKPAPAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN DAERAH KOTA BALIKPAPAN NOMOR 12 TAHUN 2014 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BALIKPAPAN, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 107 TAHUN 2015 TENTANG IZIN USAHA INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 107 TAHUN 2015 TENTANG IZIN USAHA INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 107 TAHUN 2015 TENTANG IZIN USAHA INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

WALIKOTA PEKALONGAN PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

WALIKOTA PEKALONGAN PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PEKALONGAN PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PEKALONGAN, Menimbang Mengingat : a. bahwa penanaman modal merupakan

Lebih terperinci

WALIKOTA BAUBAU PERATURAN DAERAH KOTA BAUBAU NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG IZIN USAHA INDUSTRI, IZIN PERLUASAN DAN TANDA DAFTAR INDUSTRI

WALIKOTA BAUBAU PERATURAN DAERAH KOTA BAUBAU NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG IZIN USAHA INDUSTRI, IZIN PERLUASAN DAN TANDA DAFTAR INDUSTRI WALIKOTA BAUBAU PERATURAN DAERAH KOTA BAUBAU NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG IZIN USAHA INDUSTRI, IZIN PERLUASAN DAN TANDA DAFTAR INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BAUBAU, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2007 TENTANG E N E R G I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2007 TENTANG E N E R G I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2007 TENTANG E N E R G I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sumber daya energi merupakan kekayaan alam sebagaimana

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT BUPATI GARUT LD. 14 2012 R PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI GARUT, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN PURBALINGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN PURBALINGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN PURBALINGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURBALINGGA, Menimbang : a. bahwa penanaman modal merupakan

Lebih terperinci

WALIKOTA PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA PASURUAN NOMOR 1 TAHUN 2014 PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

WALIKOTA PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA PASURUAN NOMOR 1 TAHUN 2014 PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA PASURUAN NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PASURUAN, Menimbang : a. bahwa guna meningkatkan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2013 NOMOR 6 SERI E

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2013 NOMOR 6 SERI E LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2013 NOMOR 6 SERI E PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANJARNEGARA,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2007 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2007 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2007 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur

Lebih terperinci

BUPATI HULU SUNGAI TENGAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

BUPATI HULU SUNGAI TENGAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN BUPATI HULU SUNGAI TENGAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI TENGAH NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN HULU SUNGAI TENGAH DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BUPATI WONOGIRI PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI NOMOR 14 TAHUN 2011 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN WONOGIRI

BUPATI WONOGIRI PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI NOMOR 14 TAHUN 2011 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN WONOGIRI 1 BUPATI WONOGIRI PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI NOMOR 14 TAHUN 2011 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN WONOGIRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI WONOGIRI, Menimbang : a. bahwa penanaman

Lebih terperinci

BUPATI CILACAP PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI CILACAP,

BUPATI CILACAP PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI CILACAP, BUPATI CILACAP PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI CILACAP, Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan pembangunan

Lebih terperinci

BUPATI JEPARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN JEPARA

BUPATI JEPARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN JEPARA SALINAN BUPATI JEPARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN JEPARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEPARA, Menimbang : a. bahwa penanaman modal

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU SELATAN NOMOR 14TAHUN 2013 TENTANG IZIN USAHA INDUSTRI, IZIN PERLUASAN DAN TANDA DAFTAR INDUSTRI

PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU SELATAN NOMOR 14TAHUN 2013 TENTANG IZIN USAHA INDUSTRI, IZIN PERLUASAN DAN TANDA DAFTAR INDUSTRI PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU SELATAN NOMOR 14TAHUN 2013 TENTANG IZIN USAHA INDUSTRI, IZIN PERLUASAN DAN TANDA DAFTAR INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI OGAN KOMERING ULU

Lebih terperinci

- 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL

- 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL - 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TIMUR, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN TENTANG SATUAN POLISI PAMONG PRAJA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN TENTANG SATUAN POLISI PAMONG PRAJA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 2004 TENTANG SATUAN POLISI PAMONG PRAJA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: Mengingat: a. bahwa masyarakat adil

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PERINDUSTRIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEMBRANA,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PERINDUSTRIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEMBRANA, SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PERINDUSTRIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEMBRANA, Menimbang : a. bahwa industri merupakan salah satu sektor pembangunan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN KAWASAN EKONOMI KHUSUS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN KAWASAN EKONOMI KHUSUS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN KAWASAN EKONOMI KHUSUS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERKEBUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERKEBUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERKEBUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BENGKALIS NOMOR 15 TAHUN 2004 TENTANG IZIN USAHA INDUSTRI, IZIN PERLUASAN DAN TANDA DAFTAR INDUSTRI

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BENGKALIS NOMOR 15 TAHUN 2004 TENTANG IZIN USAHA INDUSTRI, IZIN PERLUASAN DAN TANDA DAFTAR INDUSTRI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BENGKALIS NOMOR 15 TAHUN 2004 TENTANG IZIN USAHA INDUSTRI, IZIN PERLUASAN DAN TANDA DAFTAR INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BENGKALIS, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2009 TENTANG PENGEMBANGAN EKONOMI KREATIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Dalam rangka keterpaduan pelaksanaan pengembangan Ekonomi Kreatif, dengan ini

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2007 TENTANG E N E R G I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2007 TENTANG E N E R G I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2007 TENTANG E N E R G I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sumber daya energi merupakan kekayaan alam sebagaimana

Lebih terperinci

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN PENANAMAN MODAL

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN PENANAMAN MODAL SALINAN BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PATI, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

RANCANGAN (disempurnakan) PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUNINGAN NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN (disempurnakan) PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUNINGAN NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN (disempurnakan) PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUNINGAN NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUNINGAN, Menimbang Mengingat : a. bahwa penanaman modal

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG JASA KONSTRUKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG JASA KONSTRUKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG JASA KONSTRUKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2009 TENTANG KAWASAN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka pelaksanaan Pasal 20

Lebih terperinci

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2009 TENTANG PENGEMBANGAN EKONOMI KREATIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2009 TENTANG PENGEMBANGAN EKONOMI KREATIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2009 TENTANG PENGEMBANGAN EKONOMI KREATIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Dalam rangka keterpaduan pelaksanaan Pengembangan Ekonomi Kreatif, dengan ini

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 5 Tahun : 2012 Seri : E PERATURAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG IZIN USAHA INDUSTRI,

Lebih terperinci

RANCANGAN PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PENANAMAN MODAL DI PROVINSI JAWA TENGAH

RANCANGAN PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PENANAMAN MODAL DI PROVINSI JAWA TENGAH RANCANGAN PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PENANAMAN MODAL DI PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TENGAH,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2010 TENTANG USAHA BUDIDAYA TANAMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2010 TENTANG USAHA BUDIDAYA TANAMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2010 TENTANG USAHA BUDIDAYA TANAMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.365, 2015 INDUSTRI. Kawasan. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5806) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 142

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 7 Tahun : 2013

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 7 Tahun : 2013 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 7 Tahun : 2013 PERATURAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERIAN INSENTIF DAN KEMUDAHAN

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 127 TAHUN : 2011 SERI : E PERATURAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR 14 TAHUN 2011 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 127 TAHUN : 2011 SERI : E PERATURAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR 14 TAHUN 2011 TENTANG LEMBARAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 127 TAHUN : 2011 SERI : E PERATURAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR 14 TAHUN 2011 TENTANG KETENTUAN DAN TATA CARA PELAYANAN PEMBERIAN IZIN USAHA INDUSTRI, IZIN PERLUASAN DAN

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR...TAHUN... TENTANG USAHA PENYEDIAAN TENAGA LISTRIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI,

RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR...TAHUN... TENTANG USAHA PENYEDIAAN TENAGA LISTRIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI, RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR...TAHUN... TENTANG USAHA PENYEDIAAN TENAGA LISTRIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI, Menimbang : a. bahwa penyelenggaraan usaha penyediaan

Lebih terperinci

Dengan Persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA. MEMUTUSKAN: Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP.

Dengan Persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA. MEMUTUSKAN: Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP. UU No. 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1997 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2009 TENTANG PENGEMBANGAN EKONOMI KREATIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2009 TENTANG PENGEMBANGAN EKONOMI KREATIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2009 TENTANG PENGEMBANGAN EKONOMI KREATIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Dalam rangka keterpaduan pelaksanaan Pengembangan Ekonomi Kreatif,

Lebih terperinci

LAMPIRAN 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1997 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

LAMPIRAN 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1997 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP LAMPIRAN 392 LAMPIRAN 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1997 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP 393 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1997 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KULON PROGO

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KULON PROGO LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KULON PROGO NOMOR : 21 TAHUN : 2012 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KULON PROGO NOMOR 21 TAHUN 2012 TENTANG PERLINDUNGAN, PEMBERIAN INSENTIF DAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2017 TENTANG JASA KONSTRUKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2017 TENTANG JASA KONSTRUKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2017 TENTANG JASA KONSTRUKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN KETENAGALISTRIKAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN KETENAGALISTRIKAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN KETENAGALISTRIKAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG BARAT, Menimbang : a. bahwa tenaga listrik memiliki

Lebih terperinci

2017, No Pemajuan Kebudayaan Nasional Indonesia secara menyeluruh dan terpadu; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam hur

2017, No Pemajuan Kebudayaan Nasional Indonesia secara menyeluruh dan terpadu; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam hur No.104, 2017 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DIKBUD. Kebudayaan. Pemajuan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6055) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2017

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN KAWASAN EKONOMI KHUSUS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN KAWASAN EKONOMI KHUSUS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA www.bpkp.go.id PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN KAWASAN EKONOMI KHUSUS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN PROBOLINGGO

PEMERINTAH KABUPATEN PROBOLINGGO PEMERINTAH KABUPATEN PROBOLINGGO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PROBOLINGGO NOMOR : 01 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN PROBOLINGGO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PROBOLINGGO, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2010 TENTANG USAHA BUDIDAYA TANAMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2010 TENTANG USAHA BUDIDAYA TANAMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2010 TENTANG USAHA BUDIDAYA TANAMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KABUPATEN KULON PROGO

BERITA DAERAH KABUPATEN KULON PROGO BERITA DAERAH KABUPATEN KULON PROGO NOMOR : 47 TAHUN : 2010 SERI : E PERATURAN BUPATI KULON PROGO NOMOR 63 TAHUN 2010 TENTANG PEMBERDAYAAN KOPERASI DAN USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA BANJARBARU NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KOTA BANJARBARU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BANJARBARU,

PERATURAN DAERAH KOTA BANJARBARU NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KOTA BANJARBARU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BANJARBARU, 1 Menimbang : PERATURAN DAERAH KOTA BANJARBARU NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KOTA BANJARBARU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BANJARBARU, a. bahwa dalam rangka memacu pertumbuhan

Lebih terperinci

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 23 TAHUN 1997 (23/1997) Tanggal: 19 SEPTEMBER 1997 (JAKARTA)

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 23 TAHUN 1997 (23/1997) Tanggal: 19 SEPTEMBER 1997 (JAKARTA) Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 23 TAHUN 1997 (23/1997) Tanggal: 19 SEPTEMBER 1997 (JAKARTA) Sumber: LN 1997/68; TLN NO.3699 Tentang: PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG SATUAN POLISI PAMONG PRAJA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG SATUAN POLISI PAMONG PRAJA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG SATUAN POLISI PAMONG PRAJA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 53 TAHUN 2014 TAHUN 2014 TENTANG

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 53 TAHUN 2014 TAHUN 2014 TENTANG GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 53 TAHUN 2014 TAHUN 2014 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERDAYAAN USAHA MIKRO,

Lebih terperinci

BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG PERIZINAN USAHA BIDANG PERINDUSTRIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG PERIZINAN USAHA BIDANG PERINDUSTRIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 1 BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG PERIZINAN USAHA BIDANG PERINDUSTRIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG, Menimbang Mengingat : a. bahwa Usaha Industri

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG INDUSTRI PERTAHANAN DAN KEAMANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG INDUSTRI PERTAHANAN DAN KEAMANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Draft hasil harmonisasi 14 Okt 2011. RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG INDUSTRI PERTAHANAN DAN KEAMANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

GUBERNUR PROVINSI JAMBI PERATURAN DAERAH PROVINSI JAMBI NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG

GUBERNUR PROVINSI JAMBI PERATURAN DAERAH PROVINSI JAMBI NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG GUBERNUR PROVINSI JAMBI PERATURAN DAERAH PROVINSI JAMBI NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG PEMBERDAYAAN DAN PENGEMBANGAN KOPERASI, USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAMBI

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN TUGAS DAN WEWENANG SERTA KEDUDUKAN KEUANGAN GUBERNUR SEBAGAI WAKIL PEMERINTAH DI WILAYAH PROVINSI DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci