NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG KEKARANTINAAN KESEHATAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG KEKARANTINAAN KESEHATAN"

Transkripsi

1 NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG KEKARANTINAAN KESEHATAN 1

2 KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA TAHUN

3 KATA PENGANTAR Permasalahan kesehatan di Indonesia ke depan akan semakin kompleks dan beragam. Sebagai bagian dari masyarakat dunia, Indonesia berkewajiban melakukan upaya pencegahan terjadinya Public Health Emergency of International Concern (PHEIC) sebagaimana yang diamanatkan dalam International Health Regulations (IHR) Dalam melaksanakan amanat ini, Indonesia harus menghormati sepenuhnya martabat, hak asasi manusia dan dasar-dasar kebebasan seseorang serta penerapannya secara universal. Untuk mengoptimalkan upaya cegah tangkal terhadap penyebaran penyakit yang berpotensi menimbulkan wabah dan menimbulkan permasalahan kesehatan masyarakat dunia yang terjadi di pintu masuk dan wilayah, perlu disusun adanya Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan yang komprehensif, integratif dan efektif, mengingat Undang-Undang yang ada sekarang sudah tidak dapat menampung semua materi permaslahan saat ini. Penyusunan Rancangan Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan yang baru ini dimaksudkan untuk mengganti Undang Undang Kekarantinaan Kesehatan yang ada saat ini yaitu Undang Undang Nomor 1 Tahun 1962 tentang Karantina Laut dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1962 tentang Karantina Udara. Dalam rangka melengkapi persyaratan Rancangan Undang- Undang tentang Kekarantinaan Kesehatan yang akan diusulkan ke Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia untuk dibahas sebagai produk hukum, maka disusun argumentasi ilmiah yang berupa Naskah Akademis (NA) Rancangan Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan. i

4 Keberadaan Naskah Akademik mutlak diperlukan sebagai dasar dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang. Dalam Naskah Akademis ini akan dibahas mengenai perlunya penyusunan Rancangan Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan baik dari aspek teoritis maupun empiris pelaksanaan di lapangan. Disadari bahwa dalam penyusunan Naskah Akademik ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh sebab itu kritik, saran maupun sumbangan pemikiran yang sifatnya membangun sangat diharapkan, demi kesempurnaan Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan dimasa yang akan datang. Jakarta, 13 Mei 2015 Kepala Biro Hukum dan Organisasi, Kementerian Kesehatan Barlian, SH, M.Kes NIP ii

5 DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR.. i DAFTAR ISI iii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang. 1 B. Identifikasi Masalah.. 5 C. Tujuan dan Kegunaan Penyusunan Naskah Akademik. 5 D. Metode.. 6 BAB II KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS A. Kajian Teoritis.. 11 B. Kajian terhadap Asas Yang Terkait Dengan Penyusunan Norma C. Kajian terhadap Praktik Penyelenggaraan, Kondisi yang ada serta Permasalahan yang dihadapi. 20 D. Kajian terhadap Implikasi Penerapan Sistem Baru BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT A. Evaluasi terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1962 tentang Karantina Laut dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1962 tentang Karantina Udara B. Sinkronisasi dan Harmonisasi Ketentuan Internasional dan Peraturan Perundangundangan yang terkait dengan Kekarantinaan Kesehatan. 42 iii

6 BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS A. Landasan Filosofis. 53 B. Landasan Sosiologis.. 55 C. Landasan Yuridis 56 BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP MATERI MUATAN UNDANG-UNDANG A. Sasaran.. 58 B. Arah dan Jangkauan Pengaturan 58 C. Ruang Lingkup Materi Muatan. 59 BAB VI PENUTUP A. Simpulan 100 B. Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN.. iv

7 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Amanat yang tertuang di dalam Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pemerintah Negara Indonesia berkewajiban melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan kesejahteraan sosial. Salah satu upaya untuk mencapai hal di atas adalah melalui peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Indonesia yang merupakan negara yang sedang berkembang, memerlukan sumber daya manusia yang sehat jasmani, rohani dan sosial, sehingga dapat hidup produktif secara sosial dan ekonomi. Untuk mendapatkan manusia yang sehat diperlukan adanya perlindungan kesehatan bagi seluruh masyarakat. Sebagai negara kepulauan dengan sekitar pulau yang terdiri dari pulau besar/kecil serta memiliki posisi sangat strategis karena diapit oleh dua benua dan dua samudera serta berada pada jalur lalu-lintas dan perdagangan internasional dengan banyaknya pintu masuk ke wilayah Indonesia, maka terdapat faktor risiko untuk terjadinya penyebaran penyakit dan gangguan kesehatan. Berdasarkan hasil sensus penduduk tahun 2014, Indonesia memiliki lebih dari 240 juta orang penduduk serta menduduki posisi keempat terbesar di dunia yang tersebar di berbagai pulau dengan kepadatan yang berbeda. 1

8 Tingkat kepadatan tertinggi di pulau Jawa dan Bali, dengan status sosial ekonomi sebagian besar penduduk Indonesia tergolong rendah dibandingkan negara lain, sehingga menimbulkan masalah kesehatan, diantaranya penyebaran penyakit infeksi, status gizi kurang dan lain-lain. Permasalahan kesehatan dalam jangka panjang di Indonesia dari waktu ke waktu akan semakin kompleks. Indonesia sebagai negara kepulauan yang mempunyai letak strategis (posisi silang), berperan penting dalam lalu lintas alat angkut, orang dan barang. Meningkatnya pergerakan dan perpindahan penduduk sebagai dampak peningkatan pembangunan, serta perkembangan teknologi transportasi menyebabkan kecepatan waktu tempuh perjalanan antar negara melebihi masa inkubasi penyakit. Hal ini memperbesar risiko masuk dan keluar penyakit menular (new infection diseases, emerging infections diseases dan re-emerging diseases), dimana ketika pelaku perjalanan memasuki pintu masuk gejala klinis penyakit belum tampak. Disamping itu juga terdapat kemajuan teknologi di berbagai bidang lainnya yang menyebabkan pergeseran epidemiologi penyakit, ditandai dengan pergerakan kejadian penyakit dari satu benua ke benua lainnya, baik pergerakan secara alamiah maupun pergerakan melalui komoditas barang di era perdagangan bebas dunia yang dapat menyebabkan peningkatan faktor risiko. Dalam praktik penyelenggaraan tindakan karantina kesehatan saat ini, hanya dilakukan terhadap alat angkut, orang dan barang di pintu masuk yaitu Pelabuhan dan Bandar udara. Sedangkan kebutuhan penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan saat ini diperlukan pula pada pos lintas batas darat negara dan wilayah. 2

9 Kondisi tersebut di atas dibutuhkan mengingat potensi penyebaran penyakit potensial wabah antar negara maupun antar wilayah semakin meningkat yang dapat menimbulkan epidemi, pandemi, dan kedaruratan kesehatan masyarakat bahkan kedaruratan kesehatan masyarakat yang meresahkan dunia. Perkembangan transportasi darat, laut maupun udara sejalan dengan kemajuan teknologi dan perekonomian memicu pula pergerakan dan perpindahan orang dan barang baik antara negara maupun antar wilayah yang berdampak pada penyebaran penyakit dan faktor risikonya, sehingga penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan perlu dilakukan secara komprehensif, terintegrasi dalam rangka cegah tangkal. Sebagai bagian dari masyarakat dunia, Indonesia berkewajiban melakukan upaya pencegahan terjadinya Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang Meresahkan Dunia (Public Health Emergency of International Concern/PHEIC) sebagaimana yang diamanatkan dalam International Health Regulations (IHR) Dalam melaksanakan amanat ini Indonesia harus menghormati sepenuhnya martabat, hak asasi manusia dan dasar-dasar kebebasan seseorang serta penerapannya secara universal. International Health Regulations 2005 mengharuskan Indonesia meningkatkan kapasitas berupa kemampuan dalam surveilans dan respon cepat serta tindakan kekarantinaan dalam rangka melindungi kesehatan masyarakat dari penyakit dan/atau faktor risiko kesehatan masyarakat yang berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat pada pintu masuk (pelabuhan/ bandar udara/ Pos Lintas Batas Darat Negara) dan di wilayah. 3

10 Untuk itu diperlukan perangkat peraturan perundangundangan, organisasi dan sumber daya yang memadai berkaitan dengan kekarantinaan kesehatan dan organisasi pelaksananya. Pengaturan kekarantinaan kesehatan di Indonesia diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan yaitu Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1962 tentang Karantina Laut dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1962 tentang Karantina Udara. Ketentuan dalam undang-undang tersebut sudah tidak relevan lagi dengan kondisi saat ini. Pada sisi lain, saat undang-undang tersebut dibuat masih mengacu kepada peraturan kesehatan internasional yang disebut International Sanitary Regulations (ISR) Kemudian ISR tersebut diganti dengan International Health Regulations (IHR) 1969 dengan pendekatan epidemiologi yang didasarkan kepada kemampuan sistim surveilans epidemiologi. Pada Sidang Majelis Kesehatan Sedunia tahun 2005 menyepakati International Health Regulations (IHR) 1969 tersebut menjadi International Health Regulations (IHR) Revisi 2005 yang mulai diberlakukan pada tanggal 15 Juni Pembaharuan terhadap Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan diharapkan dapat menjadi landasan hukum yang cukup kuat untuk melakukan penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan secara terpadu dan sistematis. Dengan kondisi pengaturan kekarantinaan kesehatan yang demikian sudah waktunya dilakukan pembaharuan secara menyeluruh agar terdapat pengaturan kekarantinaan kesehatan secara terpadu dan sistematis. Untuk itu diperlukan adanya penyusunan naskah akademik Rancangan Undang-Undang tentang Kekarantinaan Kesehatan sebagai dasar bagi penyusunan draf Rancangan Undang-Undang tentang Kekarantinaan Kesehatan. 4

11 B. Identifikasi Masalah 1. Permasalahan apa yang dihadapi terkait dengan penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan di Indonesia berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1962 tentang Karantina Laut dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1962 tentang Karantina Udara? 2. Mengapa diperlukan penggantian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1962 tentang Karantina Laut dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1962 tentang Karantina Udara? 3. Apa yang menjadi pertimbangan landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis pembentukan RUU tentang Kekarantinaan Kesehatan? 4. Apa yang menjadi sasaran, ruang Lingkup, jangkauan dan arah pengaturan dari RUU tentang Kekarantinaan Kesehatan yang akan disusun? C. Tujuan dan Kegunaan Penyusunan Naskah Akademik Tujuan Penyusunan Naskah Akademik sebagai berikut: 1. Merumuskan permasalahan yang dihadapi terkait dengan kekarantinaan kesehatan di Indonesia berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1962 tentang Karantina Laut dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1962 tentang Karantina Udara. 2. Merumuskan permasalahan hukum sebagai alasan penggantian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1962 tentang Karantina Laut dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1962 tentang Karantina Udara. 5

12 3. Merumuskan pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis, yuridis pembentukan RUU Kekarantinaan Kesehatan. 4. Merumuskan sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup pengaturan, jangkauan dan arah pengaturan dalam RUU Kekarantinaan Kesehatan. Sedangkan kegunaan naskah akademik ini adalah sebagai bahan acuan dalam penyusunan Rancangan Undang- Undang tentang Kekarantinaan Kesehatan dan pengambilan kebijakan bidang kekarantinaan kesehatan. D. Metode 1. Tipe penelitian Penelitian terhadap permasalahan kekarantinaan kesehatan menggunakan metode yuridis normatif. Metode ini dilakukan melalui studi pustaka yang menelaah data sekunder berupa Peraturan Perundangundangan atau dokumen hukum lainnya, dan hasil penelitian, pengkajian, serta referensi lainnya yang berkaitan dengan masalah yang diidentifikasi. Metode yuridis normatif ini dilengkapi dengan diskusi terfokus, dan rapat dengan para pihak yang berkepentingan dalam rangka mempertajam kajian dan analisis. Para pihak yang berkepentingan antara lain kementerian/lembaga yang tugas pokok dan fungsinya berhubungan dengan penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan, keimigrasian, kepabeanan, kepelabuhanan, kebandar udaraan dan pos lintas batas darat negara, serta unsur pemerintah daerah. Di samping itu dilibatkan pula para 6

13 akademisi, pakar dibidang yang relevan serta organisasi profesi terkait. Dalam rangka menyusun pokok-pokok permasalahan, perkembangan kekarantinaan, pertahanan dan keamanan negara, dalam penelitian ini dilakukan pendekatan kajian untuk mendapatkan materi dalam rangka menyiapkan Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan. Menurut Peter Mahmud dalam bukunya yang berjudul Penelitian Hukum terdapat beberapa pendekatan yang dapat digunakan dalam penelitian hukum, yaitu pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan komparatif (comparative approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach.) 1 Dalam konteks Penelitian ini, pendekatan perundang-undangan yang dilakukan adalah dengan menelaah peraturan perundang-undangan (regeling) dan peraturan kebijakan (beleidsregel) yang bersangkut paut dengan kekarantinaan kesehatan. 2 Pendekatan komparatif dilakukan dengan membandingkan secara substanstif pengaturan dan pelaksanaan kekarantinaan kesehatan di negara Indonesia dengan pengaturan kekarantinaan kesehatan di dunia internasional. 1 Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Kencana Jakarta, Edisi I, hlm Jimly Asshiddiqie, 2006, Perihal Undang-Undang, Konstitusi Press, Jakarta, hlm.391. A. Hamid S. Attamimi, Perbedaan Antara Peraturan Perundang-Undangan dan Peraturan Kebijakan, Pidato Dies Natalis PTIK Ke - 46, Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian, Jakarta, 17 Juni

14 2. Jenis Data dan Cara Perolehannya a. Penelitian Kepustakaan Pengumpulan data dalam penelitian kepustakaan dilakukan dengan menggunakan studi dokumen, yang sumber datanya diperoleh dari: 1) Bahan hukum primer: Bahan-bahan hukum yang mengikat berupa UUD NRI Tahun 1945, peraturan perundangundangan, serta dokumen hukum lainnya yang berkaitan dengan kekarantinaan kesehatan. Peraturan perundang-undangan yang dikaji secara hierarkis sebagai berikut: a. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1962 tentang Karantina Laut; b. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1962 tentang Karantina Udara; c. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular; d. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan; e. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan; f. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji; 8

15 g. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran; h. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan; i. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan; j. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian; 2) Bahan hukum sekunder yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti risalah sidang, konvensi internasional, dokumen penyusunan peraturan yang terkait dengan penelitian ini dan hasil-hasil pembahasan dalam berbagai media dan sidang internasional terkait kekarantinaan kesehatan. 3) Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang seperti kamus hukum dan bahan lain di luar bidang hukum yang dipergunakan untuk melengkapi data penelitian. b. Penelitian Lapangan Untuk menunjang akurasi data sekunder yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan dilakukan penelitian lapangan guna memperoleh informasi langsung dari sumbernya (data primer). Informasi diperoleh melalui wawancara secara terstruktur dengan ahli terkait kekarantinaan kesehatan. Selain itu untuk mendapatkan informasi yang mendukung kebutuhan pengaturan kekarantinaan kesehatan juga dilakukan simulasi episenter pandemi dalam rangka kesiapsiagaan dan 9

16 antisipasi serta penilaian kapasitas inti dan implementasi penuh IHR (2005). 3. Analisis Data Pengolahan data dilakukan secara kualitatif. Bahanbahan hukum tertulis yang telah terkumpul diklasifikasikan sesuai dengan permasalahan yang telah diidentifikasi, kemudian dilakukan content analysis secara sistematis terhadap dokumen bahan hukum dan dikomparasikan dengan informasi narasumber, sehingga dapat menjawab permasalahan yang diajukan. Analisis data dilakukan untuk menjawab permasalahan yang akan menuju dasar dari penggantian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1962 tentang Karantina Laut dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1962 tentang Karantina Udara. 10

17 BAB II KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS A. Kajian Teoritis Teori terjadinya penyakit berkembang dari waktu ke waktu. Pada awal abad ke-19 terdapat beberapa pendapat mengenai kejadian penyakit dalam skala besar di masyarakat. Pendapat pertama 3 yang dikenal dengan teori lingkungan yang didasarkan pada teori Hiprocrates menyatakan bahwa kejadian KLB penyakit karena kualitas air dan udara karena adanya perubahan cuaca. Pendapat kedua 4 yang dituliskan oleh seorang dokter Venesia-Italia bernama Girolamo Fracastoro (1930) menyatakan bahwa kejadian penyakit ditularkan dari satu orang ke orang lain melalui zat penular (transference) yang disebut teori kontagion. Menurut teori ini sakit terjadi karena adanya proses kontak bersinggungan dengan sumber penyakit. Berdasarkan teori kontagion inilah dimulai usaha isolasi dan karantina yang dipraktekkan oleh beberapa kota di Italia dengan melakukan karantina terhadap kapal kapal yang berlayar dan kru kapal 5, selanjutnya konsep isolasi dan karantina kemudian mempunyai peranan positif dalam usaha pencegahan penyakit menular hingga saat ini. 3 Greenwood M Epidemics and Crowd Diseases: an Introduction to the study of Epidemiology in. Epidemiology Kept Simple an introduction to the Traditional and Modern Epidemiology. Gerstman B. Burt Second Edition Fracastoro G. De Contagione et Contagiosis Morbis et Eorum Curatione in. Theories of Causation; Dana Loomis and Steve Wings Oxford University Press. New York Thomas C. James; Weber J. David. Epidemiology Methods for the Study of Infectious Diseases. Oxford University Press. New York

18 Sejalan dengan kemajuan di bidang teknologi kedokteran, kuman (mikroorganisme) dianggap sebagai penyebab tunggal penyakit (Robert Koch) yang dikenal sebagai agen penyakit. Agen penyakit menular yang bervariasi dari protein yang bereplikasi sendiri (Prion), partikel sub virus (virusoid-delta hepatitis agen), virus, bakteria (Chlamidia, Rickettsia, dan Mycoplasma), fungi (ragi dan jamur), protozoa, cacing, dan ektoparasit. Setiap agen penyakit tersebut memiliki cara dan kemampuan untuk menginfeksi inang (host), berpindah ke inang lainnya, dan menyebabkan penyakit. Hubungan antara inang dan agen penyakit tersebut membentuk hubungan yang simbiotik, komensal atau parasit, hubungan ini tergantung kepada agen (agent), inang (host) dan lingkungan (environment) yang dikenal teori triangle 6. Terjadinya penularan penyakit dapat terjadi karena 1) adanya inang yang rentan, bahwa meskipun seseorang hidup dalam lingkungan penuh mikroorganisme patogen namun tetap sehat karena sudah adanya kekebalan, 2) adanya agen patogen yang mampu menyebabkan sakit dan 3) mikroorganisme patogen mempunyai reservoir sebagai tempat untuk bertahan hidup dan menggandakan diri, reservoir dimaksud diantaranya manusia, hewan dan lingkungan, serta 4) adanya jalan keluar dari reservoir dan jalan masuk ke inang yang rentan 7. Penularan dapat terjadi dengan satu atau lebih cara yaitu melalui kontak (contact), benda umum (common), udara (air borne) atau vektor (vector borne). Penularan kontak dapat terjadi secara langsung, tidak langsung maupun percikan 6 Jakson, M. General Priciples of Epidemiology in. Weber, J. David and Rutala A. William Biological Basis on Infectious Disease Epidemiology; Oxford University Press. New York Op.Cit.,Thomas. 12

19 (droplet) yang jarak kurang 1 meter. Penularan benda umum terjadi seperti melalui minuman, makanan, peralatan medis termasuk transfusi. Penularan melalui udara terjadi dalam jarak yang lebih jauh, sedangkan penularan melalui vektor terjadi melalui hewan antropoda. Namun demikian, kebanyakan jenis penyakit menular belum diketahui dengan pasti model penularannya, padahal pemahaman terhadap transmisi dari sumber infeksi ke inang sangat penting dalam menentukan upaya pengendalian yang diterapkan. Menurut H.L. Blum status derajat kesehatan masyarakat atau perorangan dipengaruhi oleh 4 (empat) faktor yaitu lingkungan, perilaku, layanan kesehatan dan keturunan. Hal ini didukung dengan konsep manajemen penyakit berbasis wilayah (Ahmadi, 2005) yang menyebutkan bahwa keterpaduan intervensi dicerminkan dalam intervensi program, baik upaya pencegahan promotif, preventif maupun kuratif dan rehabilitatif menuju ke suatu fokus penyakit yang menjadi fokus prioritas nasional maupun prioritas daerah 8. Dalam merumuskan fokus tersebut maka permasalahan kesehatan dilihat dari hulu ke hilir, mulai dari sumber penyakit, media lingkungan sebagai transmisi, simpul kependudukan, kontak manusia dengan sumber penyakit dan dampak kesehatan terhadap manusia yang dikenal dengan teori simpul. Penyebaran penyakit terutama penyakit potensial wabah semakin cepat dan meluas seiring dengan tingginya arus lalu 8 Umar Fahmi Achmadi. Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah. Penebit Buku Kompas Jakarta Cetakan

20 lintas alat angkut, orang dan barang. Hal ini menuntut adanya kewaspadaan yang perlu disikapi secara serius karena dapat menimbulkan masalah kesehatan yang lebih luas. Salah satu upaya yang diperlukan untuk meminimalisasi penyebaran penyakit adalah dengan melakukan tindakan karantina kesehatan. Untuk itu diperlukan adanya dasar hukum atau pengaturan yang memadai bagi instansi terkait untuk melakukan tindakan karantina kesehatan, karena tindakan karantina kesehatan bersifat multidisipliner dan multisektoral. Karantina kesehatan telah dilaksanakan sejak lama oleh banyak negara, bahkan sejak zaman kerajaan Romawi. Hal itu tercermin dari pengertian karantina yang didasarkan pada peristiwa yang terjadi. Kata "karantina" berasal dari bahasa latin "quadraginta" yang berarti empat puluh. Ini berasal dari lamanya waktu yang diperlukan untuk menahan kapal laut yang berasal dari negara tertular penyakit epidemis, seperti pes, demam kuning, dimana awak kapal dan penumpangnya dipaksa untuk tetap tinggal terisolasi di atas kapal yang ditahan di lepas pantai selama empat puluh hari, yaitu jangka waktu perkiraan timbulnya gejala penyakit yang dicurigai (Morschel, 1971). Definisi lain dari karantina adalah tempat dimana sebuah alat angkut (kapal laut atau pesawat udara) ditempatkan di pengisolasian atau pembatasan dalam perjalanan untuk mencegah agar suatu penyakit menular, serangga hama penyakit hewan dan lain-lain tidak menyebar. Suatu keadaan dalam masa karantina adalah suatu tempat dimana orang, binatang atau tanaman yang berpenyakit 14

21 menular diisolasi atau dalam keadaan tidak dapat melakukan perjalanan. Menurut International Health Regulations (IHR) 2005, karantina adalah pembatasan kegiatan dan/atau pemisahan seseorang yang diduga terinfeksi penyakit meski belum menunjukkan gejala penyakit dan pemisahan alat angkut atau barang yang diduga terkontaminasi dari orang dan atau barang lain sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi. Penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan dilaksanakan di pintu masuk yang merupakan tempat masuk dan keluarnya alat angkut, orang, serta barang, baik berbentuk bandar udara, pelabuhan, maupun pos lintas batas darat atau laut negara. Di samping itu diperlukan pula kekarantinaan kesehatan di wilayah mengingat potensi episenter pandemi berada di wilayah, demikian pula potensi penyebaran penyakit juga lebih besar di wilayah karena sebagian besar penduduk terancam berada di wilayah. Penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan dilakukan dengan surveilans kesehatan dan responnya dalam bentuk tindakan kekarantinaan kesehatan. Surveilans kesehatan dalam rangka kekarantinaan kesehatan merupakan suatu analisis yang dilakukan secara terus menerus dan konsisten terhadap segala bentuk ancaman terhadap kedaulatan negara melalui penyakit dan faktor risikonya, kedaruratan nuklir, dan bentuk-bentuk teror biologi dan kimia melalui pintu masuk dan wilayah, sebagai bagian dari proses perlindungan terhadap masyarakat dan kedaulatan negara. Fokus kegiatan surveilans dilakukan terhadap alat 15

22 angkut, orang, barang dan lingkungan serta wilayah yang terindikasi sebagai episenter pandemi. Tindakan kekarantinaan kesehatan merupakan kegiatan yang dilakukan dengan 1) tindakan isolasi terhadap orang dan barang, 2) tindakan karantina terhadap orang, barang, alat angkut dan lingkungan, 3) tindakan vaksinasi terhadap orang dan barang, 4) tindakan deratisasi terhadap alat angkut dan lingkungan 5) tindakan desinseksi terhadap alat angkut, lingkungan dan media lingkungan 6) tindakan desinfeksi terhadap orang, barang, alat angkut, dan media lingkungan 7) tindakan dekontaminasi terhadap orang, barang, alat angkut, dan media lingkungan dan 8) tindakan kekarantinaan kesehatan lain berdasarkan situasi dan kecenderungan epidemiologi. Tindakan karantina merupakan bagian integral dari penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan yang merupakan upaya mencegah dan menangkal keluar atau masuknya penyakit dan/atau faktor risiko kesehatan masyarakat yang berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat. Tindakan karantina tersebut bertujuan untuk melindungi masyarakat dari risiko penyebaran suatu penyakit menular, sehingga tidak menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat di suatu wilayah negara bahkan yang memungkinkan penyebaran lintas negara dan berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat yang meresahkan dunia. Tindakan karantina dilakukan dengan cara memisahkan orang, barang, alat angkut yang terpapar dengan sumber penularan dan patut diduga dan/atau tersangka (suspek). Menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang 16

23 Kesehatan, kesehatan adalah suatu keadaan sehat baik fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Dengan perkembangan kondisi lingkungan dan semakin beragamnya jenis-jenis penyakit yang harus ditangkal menyebabkan tindakan karantina kesehatan diperluas maknanya. Perluasan makna karantina kesehatan tidak terbatas pada penyakit karantina tetapi sudah meluas pada penyakit yang berpotensi menimbulkan kondisi Public Health Emergency of International Concern (PHEIC). Di samping itu perlakuan tindakan karantina pun tidak hanya terbatas pada penyakit dan faktor risiko kesehatan masyarakat yang ada di pintu masuk tetapi juga di wilayah serta pos lintas batas darat. Penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan sebagai upaya cegah tangkal masuk dan keluarnya penyakit dan faktor risikonya dilakukan melalui : a. Dari dalam negeri, diisyaratkan kemampuan utama surveilans, deteksi dini dan respon cepat mulai dari masyarakat sampai dengan tingkat nasional. Apabila dijumpai penyakit atau kejadian yang berpotensi PHEIC berdasarkan laporan dari masyarakat maka dilakukan penyelidikan epidemiologis dan respon cepat mulai tingkat puskesmas dan Kabupaten/Kota sampai tingkat pusat. Di tingkat pusat melakukan verifikasi dan koordinasi dengan Organisasi Kesehatan Dunia. Di dalam proses respon cepat yang di atas dilakukan karantina rumah, karantina wilayah, pembatasan sosial berskala besar, serta isolasi bagi kasus dan karantina di Rumah Sakit. Tindakan itu didukung juga dengan 17

24 tindakan di pintu keluar (bandar udara, pelabuhan, PLBDN). b. Dari luar negeri, diisyaratkan kemampuan utama surveilans, deteksi dini dan respon cepat dimulai dari pintu masuk (bandar udara, pelabuhan, PLBDN). Kegiatan yang dilakukan adalah surveilans rutin terhadap alat angkut, orang, barang dan lingkungan. Disamping surveilans rutin, juga harus memperhatikan informasi aktual tentang penyakit yang berpotensi PHEIC yang sedang berkembang di dalam dan luar negeri. Jika ditemukan indikasi, maka dilakukan suatu respon/intervensi berupa tindakan kekarantinaan kesehatan (tindakan karantina, tindakan isolasi, serta tindakan penyehatan). B. Kajian Terhadap Asas Yang Terkait Dengan Penyusunan Norma Tujuan dari kekarantinaan kesehatan sebagaimana diuraikan di atas adalah untuk mencegah, melindungi dan mengendalikan penyebaran penyakit lintas negara dan lintas wilayah tanpa menimbulkan gangguan yang berarti bagi lalu lintas dan perdagangan internasional maupun nasional dengan prinsip menghormati martabat, hak asasi dan kebebasan hakiki manusia. Untuk mencapai tujuan tersebut maka dalam pembuatan naskah akademik ini memuat asasasas sebagai berikut: 1. Asas perikemanusiaan, berarti bahwa penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan harus dilandasi atas perlindungan dan penghormatan pada nilai-nilai kemanusiaan yang beradab dan universal dengan tidak 18

25 membeda-bedakan suku, agama, ras, golongan, bangsa, status sosial dan gender. 2. Asas manfaat, berarti bahwa penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi perlindungan kepentingan nasional dan peningkatan derajat kesehatan masyarakat. 3. Asas pelindungan, berarti bahwa penyelenggaran kekarantinaan kesehatan harus mampu melindungi seluruh masyarakat dari penyakit yang berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan yang meresahkan dunia. 4. Asas keadilan, berarti bahwa dalam penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan harus mampu memberikan pelayanan yang adil dan merata kepada setiap orang. 5. Asas non diskriminatif, berarti bahwa dalam penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan tidak membedakan perlakuan atas dasar agama, suku, jenis kelamin, dan status sosial yang berakibat pelanggaran terhadap hak asasi manusia. 6. Asas kepentingan umum, berarti bahwa dalam penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan harus mengutamakan kepentingan umum diatas kepentingan pribadi atau golongan tertentu. 7. Asas keterpaduan, berarti bahwa dalam penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan dilakukan secara terpadu melibatkan lintas sektor. 8. Asas kesadaran hukum, berarti bahwa dalam penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan menuntut peran serta kesadaran dan kepatuhan hukum dari masyarakat. 19

26 9. Asas kedaulatan negara, berarti bahwa dalam penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan harus mengutamakan kepentingan nasional dan ikut meningkatkan upaya pengendalian kedaruratan kesehatan masyarakat yang meresahkan dunia. C. Kajian Terhadap Praktik Penyelenggaraan, Kondisi Yang Ada serta Permasalahan Yang Dihadapi Di Indonesia, praktik penyelenggaraan tindakan karantina telah dilaksanakan sejak zaman Hindia Belanda yang diatur dalam Staatsblad Nomor 277 tentang Quarantaine Ordonnantie yang ditetapkan pada tanggal 6 April 1911 dengan pengaturan pengawasan penyakit pes, kolera dan demam kuning. Selanjutnya ditetapkan pula staatsblad Nomor 298 pada tanggal 22 April 1911 tentang Epidemie Ordonantie yang merupakan bagian dalam pelaksanaan staasblad No 277 tersebut di atas. Selanjutnya pemerintah Hindia Belanda menetapkan Pilgrim Ordonnantie tahun 1922, yaitu dengan dilaksanakannya pengasingan pada suatu tempat terhadap calon Jemaah haji untuk memastikan bahwa kondisi kesehatan para calon Jemaah haji yang akan berangkat ke tanah suci bebas dari penyakit menular yang dapat berjangkit selama perjalanan maupun di negara tujuan (Arab Saudi), sehingga mengganggu kelangsungan ibadah haji. Kegiatan ini dilakukan di beberapa tempat, yaitu di Pulau Onrust di gugusan Kepulauan Seribu dan Pulau Rubiah di Wilayah Sabang. Kekarantinaan pada zaman Hindia Belanda diselenggarakan oleh Harbour Maaster. Pada awal kemerdekaan, kekarantinaan tetap dilaksanakan terhadap calon Jemaah haji sampai pada tahun 20

27 1953 WHO mengeluarkan International Sanitary Regulation (ISR) guna mengantisipasi berbagai epidemi yang berlangsung di negara-negara Eropa serta Benua Amerika dan Benua Asia, seperti penyakit pes, influenza, malaria, kolera, dan cacar. Penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan secara internasional terus berkembang sejalan dengan perkembangan penyakit menular yang potensial menimbulkan wabah. Dalam konvensi internasional yang ditetapkan melalui ISR 1953, kekarantinaan difokuskan pada upaya untuk mencegah dan menangkal (port of entry dan port d entry) melalui pintu masuk, yaitu pelabuhan dan bandar udara, sehingga dalam kekarantinaan kesehatan dikenal adanya penyakit karantina, yaitu kolera, pes, demam kuning, demam balik-balik, tifus bercak wabahi dan cacar. Seperti pada zaman Hindia Belanda, kekarantinaan di Indonesia diselenggarakan oleh otoritas bandar udara dan pelabuhan. Pada tahun 1962, Pemerintah Indonesia menetapkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1962 tentang Karantina Laut dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1962 tentang Karantina Udara, yang dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan Pelabuhan Laut dan Dinas Kesehatan Pelabuhan Udara. Dinas Kesehatan Pelabuhan tersebut merupakan unsur Departemen Kesehatan yang berada dan bertanggung jawab di bawah Kantor Wilayah Kesehatan, dengan tugas utama melaksanakan upaya cegah tangkal terhadap penyakit karantina melalui pelabuhan dan bandar udara. Sesuai perkembangan penyelenggaraan pemerintahan dengan melakukan desentralisasi, organisasi Dinas Kesehatan Pelabuhan Laut dan Udara disesuaikan menjadi Kantor Kesehatan Pelabuhan yang merupakan unit pelaksana 21

28 teknis Departemen Kesehatan yang berada dan bertanggung jawab di bawah Direktur Jenderal yang melaksanakan tugas di bidang pemberantasan penyakit menular. Praktik kekarantinaan kesehatan terus berkembang dalam kerangka tugas QIC (quarantine, immigration, custom), dengan melakukan upaya pengamatan penyakit menular, penyehatan lingkungan, serta tindakan isolasi dan karantina terhadap alat angkut, orang/pelaku perjalanan, dan barang. Upaya pengamatan penyakit menular dilakukan dengan penemuan kasus, pencegahan dengan pemberian vaksinasi sebagai prasyarat untuk memperoleh sertifikat vaksinasi internasional (ICV), dan melakukan pengawasan sanitasi terhadap alat angkut untuk memperoleh dokumen sanitasi kapal, serta pengawasan terhadap orang, barang, dan lingkungan guna mencegah kemungkinan penyebaran atau penularan penyakit di lingkungan pintu masuk. Pada dekade awal tahun 2000, dunia dikejutkan dengan munculnya jenis penyakit baru yang menimbulkan epidemi, seperti SARS dan flu burung (H5N1), sehingga WHO melakukan upaya-upaya untuk meningkatkan kemampuan kesiapsiagaan di setiap negara anggota, termasuk dalam pelaksanaan kekarantinaan. Selanjutnya, terjadi penyakit baru lagi yang belum diketahui penyebabnya, seperti ILI (influenza like illness) dan kejadian penyakit zoonosis yang muncul kembali dan menyerang manusia. Berdasarkan situasi dan kecenderungan epidemiologi khususnya kejadian penyakit menular potensial wabah, diperkirakan bahwa penyakit menular bersumber binatang dan penyakit zoonosis lainnya akan semakin menjadi ancaman kesehatan masyarakat. Indonesia sebagai negara di 22

29 wilayah tropis memiliki penyakit bersumber binatang dan/atau penyakit zoonosis yang potensial sewaktu-waktu menimbulkan kejadian luar biasa atau wabah. Penyakit menular seperti pes, antrax, rabies, leptospirosis, japanese enchepalitis telah lama endemis di Indonesia dan berkali-kali menimbulkan kejadian luar biasa, bahkan terdapat penyakit zoonosis yang dahulunya hanya menyerang primata telah menyebrang ke manusia, seperti filariasis yang ditularkan dengan perantaraan cacing mikrofilaria pahangi di Kalimantan. Di beberapa perairan Indonesia tumbuh dan berkembang sejenis ganggang merah yang pada musimmusim tertentu dapat menjadi penyebab kematian terutama pada nelayan yang mencari penghidupan di lautan. Dengan kemajuan teknologi kesehatan, jenis binatang tertentu seperti serangga, unggas, primata, dan binatang peliharaan lainnya dapat direkayasa menjadi vektor dan binatang pembawa penyakit yang potensial menimbulkan kejadian luar biasa atau wabah. Pada tahun 2005, Badan Pekerja WHO (WHA) telah menyepakati konvensi berupa International Health Regulation (IHR) Dalam konvensi ini, perhatian utama diarahkan terhadap kedaruratan kesehatan masyarakat yang meresahkan dunia (KKMMD) yang merupakan akibat dari wabah penyakit dan kejadian kesakitan atau kematian oleh agen biologi, kimia, dan nuklir (Nubika). Perhatian juga diarahkan terhadap kemungkinan terjadinya bioterorisme yang dilakukan terhadap pihak-pihak tertentu, dengan tujuan menimbulkan kekacauan, kepanikan, dan musibah massal. Pada dasarnya praktik kekarantinaan kesehatan dilaksanakan sesuai standar internasional yang ditetapkan 23

30 oleh WHO dengan kolaborasi IMO, ICAO, ILO, dan IATA, meskipun secara organisasi setiap negara diberikan kewenangan sesuai dengan hukum yang berlaku pada masing-masing negara. Filosofi kekarantinaan kesehatan pada dasarnya adalah melakukan pembatasan terhadap pelaku perjalanan, alat angkut, dan barang, serta lingkungan yang dicurigai berpotensi menjadi sumber penyebaran dan penularan penyakit serta faktor risikonya dengan prinsip minimal pembatasan dan maksimal perlindungan. Dengan munculnya penyakit baru (new emerging diseases) dan penyakit yang lama muncul kembali (reemerging diseases), baik di wilayah Indonesia maupun di luar negeri, maka upaya kekarantinaan kesehatan semakin ditingkatkan intensitasnya melalui akselerasi surveilans kesehatan guna mengidentifikasi berbagai kemungkinan penyebaran penyakit antarwilayah maupun antarnegara. Untuk meningkatkan kemampuan dalam kekarantinaan kesehatan dilakukan penataan organisasi, yaitu menetapkan organisasi baru Kantor Kesehatan Pelabuhan, dengan fokus tugas melakukan kekarantinaan dan surveilans kesehatan, pengendalian risiko lingkungan, dan upaya kesehatan lintas wilayah termasuk pelayanan kesehatan terbatas guna mengidentifikasi potensi penyebaran penyakit menular. Sebagai bagian dari masyarakat dunia, Indonesia berkewajiban melakukan upaya pencegahan terjadinya Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang Meresahkan Dunia (Public Health Emergency of International Concern/PHEIC) sebagaimana yang diamanatkan dalam International Health Regulations (IHR) Dalam melaksanakan amanat ini Indonesia harus melakukan pembaharuan secara 24

31 menyeluruh pengaturan kekarantinaan kesehatan agar terdapat pengaturan secara terpadu dan sistematis. Beberapa pokok-pokok permasalahan yang harus segera ditangani, antara lain : 1. Penyesuaian dengan IHR 2005 Pengaturan dalam Undang-Undang Karantina yang ada, masih didasarkan pada ISR tahun 1953, sementara perkembangan ketentuan internasional yang berlaku telah didasarkan pada IHR tahun Akibatnya banyak istilah atau definisi dalam Undang- Undang Karantina yang sudah tidak sesuai lagi dengan ketentuan internasional yang berlaku saat ini. Disamping itu dalam Undang-Undang Karantina belum mengakomodir materi muatan yang berkaitan dengan peningkatan core capacities di setiap pintu masuk dan keluar sebagaimana yang telah dipersyaratkan oleh IHR (2005). Core capacities tersebut meliputi adanya surveilans rutin, surveilans respon cepat, serta koordinasi dan komunikasi dalam penyelenggaraan karantina kesehatan. Dalam IHR (2005) juga dicantumkan mengenai new emerging diseases, emerging diseases dan re-emerging diseases. Hal penting terhadap new emerging diseases adalah kemampuan untuk mengidentifikasi dan antisipasi terhadap sumber penyebab, penyebab dan pola penyebarannya. Sedangkan re-emerging diseases adalah kemampuan untuk melakukan analisis terhadap kemungkinan terjadinya mutasi, resistensi dan pola penyebarannya. Selain itu dalam IHR (2005) juga mencantumkan ancaman kesehatan yang bersumber 25

32 dari kontaminasi nuklir, biologi, kimia (NUBIKA) yang berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat yang meresahkan masyarakat dunia (PHEIC). Pengamatan dan pengawasan terhadap obat, makanan, kosmetika, alat kesehatan dan bahan adiktif (OMKABA) juga merupakan bagian dari penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan. Sementara ketentuan tersebut belum diatur secara spesifik dalam Undang-Undang Karantina yang ada. Dalam praktik kekarantinaan kesehatan, untuk pengawasan OMKABA banyak negara mempersyaratkan sertifikat kesehatan dikeluarkan oleh otoritas kesehatan di pintu masuk negara (embarkasi), sebagai bentuk legalisasi dalam proses keluar masuknya barang tersebut antar negara. Apabila negara tujuan meminta sertifikat kesehatan untuk OMKABA maka otoritas karantina kesehatan menerbitkan sertifikat kesehatan atau surat keterangan kesehatan OMKABA. Untuk itu perlu adanya perubahan penetapan bukan hanya jenis penyakit karantina, tetapi juga mencakup penyakit lama yang muncul kembali (reemerging diseases), new emerging diseases dan pengaturan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya kondisi PHEIC, antara lain ancaman kesehatan yang bersumber dari kontaminasi nuklir, biologi, kimia (NUBIKA). Dalam Undang-Undang Karantina Kesehatan juga harus mencantumkan kewajiban adanya core capacities IHR

33 2. Praktik Kekarantinaan Kesehatan yang lebih komprehensif Pemerintah bertanggungjawab dalam pelaksanaan Kekarantinaan Kesehatan di pintu masuk dan wilayah. Penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan tersebut harus dilaksanakan secara terpadu dan sinergis. Namun dalam praktiknya, penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan saat ini baru dilakukan di pintu masuk, khususnya di pelabuhan dan bandar udara. Selain hal tersebut, diperlukan pula pengaturan kekarantinaan kesehatan di Pos Lintas Batas Darat Negara, zona karantina dan kekarantinaan kesehatan wilayah. a) Kekarantinaan Kesehatan Di Pos Lintas Batas Darat Negara Dalam ketentuan karantina yang berlaku saat ini, kekarantinaan kesehatan hanya dilakukan di pintu masuk dan keluar alat angkut, orang dan barang, khususnya Pelabuhan dan Bandar udara. Sementara perkembangan yang ada di pintu masuk dan keluar, terjadi pula di pos lintas batas darat negara yang berpotensi pula menjadi media penyebaran penyakit menular. Pos lintas batas darat negara seperti di pos lintas batas darat Indonesia dengan Malaysia, Indonesia dengan Papua Nugini, Indonesia dengan Timor Leste menjadi sarana lintas batas orang dan barang yang cukup intensif. Hal ini menuntut pula agar kekarantinaan kesehatan diperluas pada wilayah dan pos lintas batas darat negara. 27

34 Kondisi tersebut belum diatur dalam Undang- Undang Karantina yang ada. Untuk itu diharapkan pengaturan Undang-Undang Karantina Kesehatan yang akan datang perlu dicantumkan ketentuan mengenai kekarantinaan kesehatan di wilayah dan di pos lintas batas darat negara. b) Zona Karantina Dalam praktiknya untuk melakukan tindakan kekarantinaan kesehatan terhadap alat angkut dan muatannya diperlukan adanya zona karantina, baik di lingkungan pelabuhan maupun di bandar udara. Undang-Undang Karantina yang ada, belum mengatur keberadaan zona karantina, tetapi pelaksanaan zona karantina didasarkan pada pertimbangan epidemiologis. Keberadaan zona karantina belum dapat diimplementasikan secara optimal pada pintu masuk dan keluar alat angkut beserta muatannya. Hal itu akan menyulitkan penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan, apabila terjadi kasus penyebaran penyakit yang memerlukan tindakan kekarantinaan kesehatan. Berdasarkan hal tersebut, perlu adanya pengaturan dalam Undang-Undang Karantina yang akan datang mengenai penetapan zona karantina di setiap pintu masuk dan keluar alat angkut, orang dan barang. Dalam penetapan zona karantina baik di pelabuhan, bandar udara, atau pos lintas batas darat 28

35 negara serta di wilayah ditentukan sesuai dengan kebutuhan dan kondisi wilayah yang bersangkutan. c) Kekarantinaan Kesehatan di Wilayah Pada akhir-akhir ini sering terjadi adanya pandemi di suatu wilayah tertentu di Indonesia yang dapat menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat, misalnya ketika terjadinya pandemi Avian Influenza (H5N1) dan Swine Flu (H1N1). Untuk mencegah timbulnya penyebaran penyakit tersebut salah satunya perlu dilakukan tindakan kekarantinaan kesehatan pada wilayah yang terjangkit. Tindakan kekarantinaan kesehatan di wilayah dilaksanakan terhadap wilayah yang ditemukan kasus/sumber penularan penyakit potensial wabah agar tidak terjadi penyebaran penyakit ke wilayah lain. Sementara itu belum ada pengaturan untuk melakukan kekarantinaan kesehatan di wilayah yang terjangkit pandemi. Terkait hal tersebut perlu adanya ketentuan yang mengatur tentang pelaksanaan dan mekanisme, penetapan tindakan kekarantinaan kesehatan di wilayah, karena berhubungan dengan otonomi daerah. Pengaturan tersebut harus mampu mensinergi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan antara Pusat dengan daerah. 3. Penegakan Hukum dalam Kekarantinaan Kesehatan 29

36 Sesuai prinsip dasar kekarantinaan kesehatan adalah seminimal mungkin melakukan pembatasan dan semaksimal mungkin memberikan perlindungan terhadap orang yang diduga kontak dengan penderita atau sumber penularan lainnya. Terhadap mereka yang positif menderita penyakit dilakukan isolasi di rumah sakit yang ditunjuk untuk dilakukan penanganan, sedangkan terhadap suspek atau kontak dikenakan tindakan karantina selama dua kali masa inkubasi terpanjang dari penyakit yang diderita. Terhadap alat angkut dilakukan tindakan kekarantinaan kesehatan sesuai dengan faktor risikonya, seperti desinfeksi, disinseksi, deratisasi, dan/atau dekontaminasi. Dalam hal terjadi penyimpangan atau pelanggaran terhadap pelaksanaan kekarantinaan kesehatan, dilakukan tindakan hukum sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam praktiknya, pelanggaran terhadap penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan sering terjadi, seperti terjadinya penolakan tindakan kekarantinaan kesehatan, pemalsuan dokumen, dan pelanggaran izin kekarantinaan. Keterbatasan dukungan peraturan perundangundangan dalam penindakan terhadap pelanggaran kekarantinaan kesehatan, seperti sanksi pidana maupun sanksi administrasi yang terlalu ringan, menyebabkan berulangnya pelanggaran-pelanggaran dan tidak menimbulkan efek jera. Kondisi ini jelas memberikan dampak yang luas, seperti timbulnya penyebaran penyakit di wilayah negara, terganggunya kegiatan 30

37 ekspor-impor, kepariwisataan, dan akhirnya mengancam kondisi sosial, ekonomi, serta keamanan dan pertahanan negara. Sebagai gambaran, masuknya penyakit polio ke wilayah Indonesia (Sukabumi) dari Afrika (Nigeria) pada tahun 2005, negara harus menanggung beban untuk melindungi seluruh bayi dan anak balita agar tidak terserang penyakit polio dengan melakukan Pekan Imunisasi Nasional yang menghabiskan dana lebih dari satu trilyun Rupiah. Kejadian merebaknya MERS-CoV di Arab Saudi berpengaruh terhadap penyelenggaraan ibadah haji dan umrah karena setiap calon Jemaah perlu memperoleh perlindungan maksimal, yang memerlukan biaya negara yang besar. Sebaliknya apabila terjadi ancaman penyakit dari luar dan negara tidak melakukan tindakan untuk antisipasi, maka dapat berakibat negara mendapat peringatan (warning), seperti travel warning, penghentian ekspor-impor, yang sangat merugikan kegiatan pariwisata dan perdagangan yang jelas akan berdampak negatif terhadap devisa negara. Kondisi tersebut di atas belum dilindungi oleh hukum yang mengatur terhadap kekarantinaan kesehatan saat ini. Oleh karena itu, diperlukan payung hukum dalam bentuk undang-undang untuk melakukan pengaturan yang lebih komprehensif agar seluruh komponen negara mampu melakukan deteksi dini dan menyelenggarakan kekarantinaan kesehatan serta penanganan dampaknya secara lebih efektif dan efisien. 31

38 4. Kelembagaan Kekarantinaan kesehatan secara praktik di lapangan hanya dilaksanakan oleh unit pelaksana teknis Kementerian Kesehatan, yaitu Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP). Kewenangan KKP sebagai lembaga yang melaksanakan penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan di pintu masuk sangat terbatas. Kondisi ini juga diperberat oleh belum optimalnya koordinasi dan komunikasi antar instansi dalam pelaksanaan tugas QICP (quarantine, immigration, custom, port). Sebagai gambaran, dalam peraturan perundangundangan dijelaskan bahwa alat angkut yang datang dari luar negeri berada dalam status karantina karena berpotensi menjadi sumber penyebaran dan penularan penyakit serta faktor risikonya. Untuk itu, sesuai dengan aturan internasional, jajaran kesehatan (KKP) yang memiliki kewenangan untuk paling awal melakukan pengawasan, pengamatan, dan pemeriksaan terhadap alat angkut tersebut. Namun dalam praktik di lapangan, seringkali aturan ini tidak ditaati dan dilanggar sehingga dapat membahayakan kesehatan masyarakat dan petugas yang bersangkutan. Pada akhirnya kondisi tersebut dapat berpotensi terjadinya penyebaran penyakit yang lebih luas di wilayah negara melalui pintu masuk. Salah satu penyebab tidak berjalannya koordinasi pada tugas QICP karena KKP hanya merupakan unit pelaksana teknis yang sangat terbatas kewenangannya. Mengingat dalam pelaksanaan tugas QICP di pintu masuk dilaksanakan oleh jajaran Kementerian terkait 32

39 (unsur pusat), maka perlu dikaji organisasi kelembagaan penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan yang ada pada saat ini. Organisasi penyelenggara kekarantinaan kesehatan agar lebih efektif dan efisien, perlu dipertimbangkan sebagai berikut. a. Di pintu masuk (pelabuhan, Bandar udara, dan PLBDN), kekarantinaan kesehatan dilakukan oleh organisasi pusat di wilayah sebagai unsur perwakilan pusat dalam bentuk Kantor Wilayah. b. Di pusat sebagai unit utama Kementerian Kesehatan dalam bentuk Direktorat Jenderal untuk menyusun kebijakan teknis, NSPK, serta pengendalian dan pengawasan pelaksanaan kekarantinaan kesehatan. 5. Kondisi Sumber Daya KKP di seluruh Indonesia saat ini berjumlah 49 unit kerja, yang memiliki 304 wilayah kerja. Jumlah personel tercatat sebanyak orang. Setiap KKP sesuai dengan klasifikasi dan beban kerjanya dilengkapi dengan sarana dan prasarana berupa gedung dan bangunan, sarana operasional, dan sarana pendukung lainnya untuk kelancaran tugas kekarantinaan kesehatan. Dibandingkan dengan beban tugas yang diemban, maka kondisi sumber daya yang tersedia saat ini masih minimal. Sebagai gambaran, sumber daya manusia teknis sesuai dengan analisis beban kerja masih memerlukan kurang lebih 500 tenaga teknis fungsional, seperti dokter, perawat kesehatan masyarakat, epidemiolog kesehatan, sanitarian, dan entomolog kesehatan. 33

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR. TAHUN. TENTANG WABAH TENTANG WABAH

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR. TAHUN. TENTANG WABAH TENTANG WABAH RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR.. TAHUN.. TENTANG WABAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR. TAHUN. TENTANG

Lebih terperinci

2018, No Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 127, Tamba

2018, No Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 127, Tamba BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.11, 2018 KEMHAN. Penanggulangan Wabah Penyakit Menular. PERATURAN MENTERI PERTAHANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2017 TENTANG PENANGGULANGAN WABAH PENYAKIT MENULAR

Lebih terperinci

(tiga) tim Kunjungan Kerja yaitu ke Provinsi Kalimantan Barat, Provinsi Kepulauan Riau, dan Provinsi Nusa Tenggara Timur.

(tiga) tim Kunjungan Kerja yaitu ke Provinsi Kalimantan Barat, Provinsi Kepulauan Riau, dan Provinsi Nusa Tenggara Timur. LAPORAN KUNJUNGAN KERJA BADAN LEGISLASI DPR RI DALAM RANGKA PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG KEKARANTINAAN KESEHATAN KE PROVINSI KALIMANTAN BARAT A. PENDAHULUAN Badan Legislasi DPR RI sedang

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang International Health Regulation 2005 (IHR), World Health Organization

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang International Health Regulation 2005 (IHR), World Health Organization BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang International Health Regulation 2005 (IHR), World Health Organization (WHO) merekomendasikan kepada negara peserta antuk melakukan tidakan terhadap bagasi, kargo,

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 356/MENKES/PER/IV/2008 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA KANTOR KESEHATAN PELABUHAN

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 356/MENKES/PER/IV/2008 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA KANTOR KESEHATAN PELABUHAN CC: KKP Kelas I batam MENTERI KESEHATAN PERATURAN MENTERI KESEHATAN NOMOR 356/MENKES/PER/IV/2008 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA KANTOR KESEHATAN PELABUHAN Menimbang : a. bahwa semakin meningkatnya aktifitas

Lebih terperinci

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA LAPORAN SINGKAT RAPAT KERJA BADAN LEGISLASI DPR RI DENGAN MENTERI KESEHATAN, MENTERI PERHUBUNGAN, DAN MENTERI HUKUM DAN HAM DALAM RANGKA PEMBAHASAN RUU TENTANG

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG KLASIFIKASI KANTOR KESEHATAN PELABUHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG KLASIFIKASI KANTOR KESEHATAN PELABUHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG KLASIFIKASI KANTOR KESEHATAN PELABUHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 59 TAHUN 2016 TENTANG PEMBEBASAN BIAYA PASIEN PENYAKIT INFEKSI EMERGING TERTENTU

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 59 TAHUN 2016 TENTANG PEMBEBASAN BIAYA PASIEN PENYAKIT INFEKSI EMERGING TERTENTU PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 59 TAHUN 2016 TENTANG PEMBEBASAN BIAYA PASIEN PENYAKIT INFEKSI EMERGING TERTENTU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

NILAI STANDAR SUB UNSUR. Sub Unsur/Klasifikasi Data 1 <

NILAI STANDAR SUB UNSUR. Sub Unsur/Klasifikasi Data 1 < 2014,.127 10 LAMPIRAN I PERATURAN MENTERI KESEHATAN NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG KLASIFIKASI KANTOR KESEHATAN PELABUHAN NILAI STANDAR SUB UNSUR KLASIFIKASI KANTOR KESEHATAN PELABUHAN a. Unsur Utama Kekarantinaan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 82 TAHUN 2014 TENTANG PENANGGULANGAN PENYAKIT MENULAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 82 TAHUN 2014 TENTANG PENANGGULANGAN PENYAKIT MENULAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 82 TAHUN 2014 TENTANG PENANGGULANGAN PENYAKIT MENULAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa penyakit

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1962 TENTANG KARANTINA LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1962 TENTANG KARANTINA LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1962 TENTANG KARANTINA LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa dalam rangka pelaksanaan Undang-undang tentang Pokok-pokok Kesehatan perlu ditetapkan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 949/MENKES/SK/VIII/2004 TENTANG

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 949/MENKES/SK/VIII/2004 TENTANG PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 949/MENKES/SK/VIII/2004 TENTANG PEDOMAN PENYELENGGARAAN SISTEM KEWASPADAAN DINI KEJADIAN LUAR BIASA (KLB) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1962 TENTANG KARANTINA LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1962 TENTANG KARANTINA LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1962 TENTANG KARANTINA LAUT PRESIDEN, Menimbang : bahwa dalam rangka pelaksanaan Undang-undang tentang Pokokpokok Kesehatan perlu ditetapkan Undang-undang tentang Karantina

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 265/MENKES/SK/III/2004 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA KANTOR KESEHATAN PELABUHAN

KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 265/MENKES/SK/III/2004 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA KANTOR KESEHATAN PELABUHAN 1 KEPUTUSAN NOMOR : 265/MENKES/SK/III/2004 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA KANTOR KESEHATAN PELABUHAN Menimbang : a. bahwa peningkatan dan perkembangan peran pelabuhan laut, bandar udara dan pos lintas

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 82 TAHUN 2000 TENTANG KARANTINA HEWAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 82 TAHUN 2000 TENTANG KARANTINA HEWAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 82 TAHUN 2000 TENTANG KARANTINA HEWAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perkarantinaan hewan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.127, 2014 KEMENKES. Kantor Kesehatan. Pelabuhan. Klasifikasi. PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG KLASIFIKASI KANTOR KESEHATAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2014 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2014 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2014 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

WALIKOTA YOGYAKARTA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN WALIKOTA YOGYAKARTA NOMOR 68 TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN KESEHATAN HAJI

WALIKOTA YOGYAKARTA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN WALIKOTA YOGYAKARTA NOMOR 68 TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN KESEHATAN HAJI WALIKOTA YOGYAKARTA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN WALIKOTA YOGYAKARTA NOMOR 68 TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN KESEHATAN HAJI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA YOGYAKARTA, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2014 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2014 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2014 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.130, 2014 LINGKUNGAN HIDUP. Penyakit Hewan. Peternakan. Pengendalian. Penanggulangan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5543) PERATURAN

Lebih terperinci

2015, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 20,

2015, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 20, No.595, 2015 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMHAN. Dampak Bahaya. Agensia Biologi. Aspek Kesehatan. Penanggulangan. PERATURAN MENTERI PERTAHANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 05 TAHUN 2015 TENTANG PENANGGULANGAN

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 311/MENKES/SK/V/2009 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 311/MENKES/SK/V/2009 TENTANG KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 311/MENKES/SK/V/2009 TENTANG PENETAPAN PENYAKIT FLU BARU H1N1 (MEXICAN STRAIN) SEBAGAI PENYAKIT YANG DAPAT MENIMBULKAN WABAH MENTERI KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.127, 2013 KEMENTERIAN KESEHATAN. Keracunan Pangan. Kejadian Luar Biasa. PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG KEJADIAN LUAR BIASA

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2013 TENTANG KESEHATAN MATRA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2013 TENTANG KESEHATAN MATRA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2013 TENTANG KESEHATAN MATRA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1991 TENTANG PENANGGULANGAN WABAH PENYAKIT MENULAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1991 TENTANG PENANGGULANGAN WABAH PENYAKIT MENULAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1991 TENTANG PENANGGULANGAN WABAH PENYAKIT MENULAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa penanggulangan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Peraturan Kesehatan Internasional/International Health Regulation (IHR) tahun

BAB 1 PENDAHULUAN. Peraturan Kesehatan Internasional/International Health Regulation (IHR) tahun BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada saat ini pelabuhan tidak hanya berfungsi sebagai pintu keluar masuk barang, lebih dari itu sudah merupakan sebagai sentra industri, pusat perdagangan dan pariwisata

Lebih terperinci

WALIKOTA PADANG PROVINSI SUMATERA BARAT

WALIKOTA PADANG PROVINSI SUMATERA BARAT Menimbang WALIKOTA PADANG PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN WALIKOTA PADANG NOMOR 49 TAHUN 2015 TENTANG PENANGGULANGAN PENYAKIT MENULAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PADANG, : a. bahwa untuk

Lebih terperinci

Kampanye EN WALHI 2003

Kampanye EN WALHI 2003 1 Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 1 TAHUN 1962 (1/1962) Tanggal: 18 JANUARI 1962 (JAKARTA) Sumber: LN 1962/2; TLN NO. 2373 Tentang: KARANTINA LAUT Indeks: KARANTINA

Lebih terperinci

KEMENHAN. Satuan Kesehatan. Pengendalian. Zoonosis. Pelibatan.

KEMENHAN. Satuan Kesehatan. Pengendalian. Zoonosis. Pelibatan. No.1258, 2014 KEMENHAN. Satuan Kesehatan. Pengendalian. Zoonosis. Pelibatan. PERATURAN MENTERI PERTAHANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2014 TENTANG PELIBATAN SATUAN KESEHATAN KEMENTERIAN PERTAHANAN

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 49, 1991 (KESEHATAN. Wabah. Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3447) PERATURAN

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KEKARANTINAAN KESEHATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KEKARANTINAAN KESEHATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KEKARANTINAAN KESEHATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka pelaksanaan pembangunan

Lebih terperinci

2016, No Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1962 tentang Karantina Udara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1962 Nomor 3, Tambahan Lembaran

2016, No Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1962 tentang Karantina Udara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1962 Nomor 3, Tambahan Lembaran BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.578 2016 KEMKES. Vaksinasi Internasional. Sertifikat. Pemberian. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2016 TENTANG PEMBERIAN SERTIFIKAT

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.865, 2015 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKES. Sanitasi Kapal. Sertifikat. PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2015 TENTANG SERTIFIKAT SANITASI KAPAL DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KESEHATAN. Wabah. Penyakit. Penanggulangannya.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KESEHATAN. Wabah. Penyakit. Penanggulangannya. No.503, 2010 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KESEHATAN. Wabah. Penyakit. Penanggulangannya. PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1501/MENKES/PER/X/2010 TENTANG JENIS PENYAKIT

Lebih terperinci

*37679 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 82 TAHUN 2000 (82/2000) TENTANG KARANTINA HEWAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

*37679 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 82 TAHUN 2000 (82/2000) TENTANG KARANTINA HEWAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Copyright (C) 2000 BPHN PP 82/2000, KARANTINA HEWAN *37679 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 82 TAHUN 2000 (82/2000) TENTANG KARANTINA HEWAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a.

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1991 TENTANG PENANGGULANGAN WABAH PENYAKIT MENULAR

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1991 TENTANG PENANGGULANGAN WABAH PENYAKIT MENULAR PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1991 TENTANG PENANGGULANGAN WABAH PENYAKIT MENULAR PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa penanggulangan wabah

Lebih terperinci

WALIKOTA PEKALONGAN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 7 TAHUN 2014 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT MENULAR

WALIKOTA PEKALONGAN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 7 TAHUN 2014 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT MENULAR WALIKOTA PEKALONGAN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 7 TAHUN 2014 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT MENULAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PEKALONGAN,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat

Lebih terperinci

2015, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 2

2015, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 2 No.1866, 2015 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMTAN. Hewan. Penyakit. Pemberantasan. PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61/Permentan/PK.320/12/2015 TENTANG PEMBERANTASAN PENYAKIT HEWAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61/Permentan/PK.320/12/2015 TENTANG PEMBERANTASAN PENYAKIT HEWAN

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61/Permentan/PK.320/12/2015 TENTANG PEMBERANTASAN PENYAKIT HEWAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61/Permentan/PK.320/12/2015 TENTANG PEMBERANTASAN PENYAKIT HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.214, 2012 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LINGKUNGAN HIDUP. Peternakan. Kesehatan. Veteriner. Hewan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5356) PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1150, 2013 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KESEHATAN. Setifikat. Vaksinasi. Internasional. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 58 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kepadatan penduduk. Menurut WHO (2009), Sekitar 2,5 miliar penduduk dunia

BAB I PENDAHULUAN. kepadatan penduduk. Menurut WHO (2009), Sekitar 2,5 miliar penduduk dunia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit demam berdarah dengue (DBD) sampai saat ini merupakan masalah kesehatan masyarakat yang utama. Jumlah penderita maupun luas daerah penyebarannya semakin bertambah

Lebih terperinci

IMPLEMENTASI IHR ( 2005 ) DI INDONESIA

IMPLEMENTASI IHR ( 2005 ) DI INDONESIA IMPLEMENTASI IHR ( 2005 ) DI INDONESIA International Health Regulations ( 2005 ) Merupakan kesepakatan negara negara anggota WHO Kemampuan global dalam kewaspadaan dan deteksi dini serta respon yang adekuat

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 82 TAHUN 2000 TENTANG KARANTINA HEWAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 82 TAHUN 2000 TENTANG KARANTINA HEWAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 82 TAHUN 2000 TENTANG KARANTINA HEWAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perkarantinaan hewan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 1962 TENTANG KARANTINA UDARA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 1962 TENTANG KARANTINA UDARA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 1962 TENTANG KARANTINA UDARA PRESIDEN, Menimbang : bahwa dalam rangka pelaksanaan Undang-undang tentang Pokokpokok Kesehatan perlu ditetapkan Undang-undang mengenai Karantina

Lebih terperinci

LAPORAN SOSIALISASI RENCANA KONTIJENSI MENGHADAPI PHEIC DI PELABUHAN BUNGUS TANGGAL 26 APRIL 2017

LAPORAN SOSIALISASI RENCANA KONTIJENSI MENGHADAPI PHEIC DI PELABUHAN BUNGUS TANGGAL 26 APRIL 2017 LAPORAN SOSIALISASI RENCANA KONTIJENSI MENGHADAPI PHEIC DI PELABUHAN BUNGUS TANGGAL 26 APRIL 2017 I. Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Pelabuhan merupakan point of entry (pintu masuk) negara yang berpotensi

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PENGENDALIAN ZOONOSIS DI INDONESIA

KEBIJAKAN PENGENDALIAN ZOONOSIS DI INDONESIA KEBIJAKAN PENGENDALIAN ZOONOSIS DI INDONESIA Drg. Vensya Sitohang, M. Epid Direktur P2PTVZ, Ditjen P2P, Kementerian Kesehatan Bincang-bincang tentang PP NO 3 Tahun 2017 Jakarta, 24 Februari 2017 ZOONOSIS

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2014 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT HEWAN

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2014 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT HEWAN PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2014 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT HEWAN I. UMUM Pengaturan pengendalian dan penanggulangan Penyakit Hewan menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dilaksanakan secara bersama-sama oleh semua instansi terkait (stakeholders) bertanggung jawab di bidang jalan;

BAB I PENDAHULUAN. dilaksanakan secara bersama-sama oleh semua instansi terkait (stakeholders) bertanggung jawab di bidang jalan; BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lalu Lintas dan Angkutan Jalan mempunyai peran strategis dalam mendukung pembangunan dan integrasi nasional sebagai bagian dari upaya memajukan kesejahteraan

Lebih terperinci

BUPATI LUWU UTARA PROVINSI SULAWESI SELATAN

BUPATI LUWU UTARA PROVINSI SULAWESI SELATAN SALINAN BUPATI LUWU UTARA PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN BUPATI LUWU UTARA NOMOR 45 TAHUN 2017 TENTANG SURVEILANS BERBASIS SEKOLAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MASA ESA BUPATI LUWU UTARA, Menimbang :

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. pelabuhan terbesar di provinsi Gorontalo yang terbuka untuk perdagangan luar

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. pelabuhan terbesar di provinsi Gorontalo yang terbuka untuk perdagangan luar BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian Pelabuhan Gorontalo telah dibangun sejak tahun 1980 merupakan pelabuhan terbesar di provinsi Gorontalo yang terbuka untuk perdagangan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.665, 2013 KEMENTERIAN KESEHATAN. Hapus Tikus. Hapus Serangga. Alat Angkut. Penyelenggaraan. PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2013 TENTANG

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No.5543 LINGKUNGAN HIDUP. Penyakit Hewan. Peternakan. Pengendalian. Penanggulangan. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 130) PENJELASAN ATAS

Lebih terperinci

GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH

GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH NOMOR 22 TAHUN 2008 T E N T A N G TUGAS POKOK DAN FUNGSI DINAS KESEHATAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

2017, No Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Neg

2017, No Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Neg No.122, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMKES. TB. Penanggulangan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 67 TAHUN 2016 TENTANG PENANGGULANGAN TUBERKULOSIS DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.68, 2013 HUKUM. Keimigrasian. Administrasi. Pelaksanaan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5409) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dikembangkan potensi dan perannya untuk mewujudkan keamanan,

BAB I PENDAHULUAN. dikembangkan potensi dan perannya untuk mewujudkan keamanan, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lalu Lintas dan Angkutan Jalan mempunyai peran strategis dalam mendukung pembangunan dan integrasi nasional sebagai bagian dari upaya memajukan kesejahteraan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PANDUAN PRATIKUM KESEHATAN INTERNASIONAL DAN KARANTINA

PANDUAN PRATIKUM KESEHATAN INTERNASIONAL DAN KARANTINA PANDUAN PRATIKUM KESEHATAN INTERNASIONAL DAN KARANTINA PENDAHULUAN Gobalisasi serta semakin cepat dan singkatnya perjalanan lintas dunia untuk perdagangan, wisata, bisnis dan transportasi barang, maka

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KARANTINA HEWAN, IKAN, DAN TUMBUHAN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KARANTINA HEWAN, IKAN, DAN TUMBUHAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KARANTINA HEWAN, IKAN, DAN TUMBUHAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA 2016 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.20, 2017 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LINGKUNGAN HIDUP. Otoritas Veteriner. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6019) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa keimigrasian merupakan bagian dari perwujudan

Lebih terperinci

Kekarantinaan Kesehatan di Bandar Udara

Kekarantinaan Kesehatan di Bandar Udara Kekarantinaan Kesehatan di Bandar Udara Kasubdit Kekarantinaan Kesehatan Direktorat Surveilans dan Karantina Kesehatan Ditjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan RI DASAR HUKUM TERKAIT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pes merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri Yersinia pestis.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pes merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri Yersinia pestis. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pes merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri Yersinia pestis. Pes termasuk penyakit karantina internasional. Di Indonesia penyakit ini kemungkinan timbul

Lebih terperinci

PERATURAN WALIKOTA MALANG NOMOR 26 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, TUGAS DAN FUNGSI SERTA TATA KERJA DINAS KESEHATAN

PERATURAN WALIKOTA MALANG NOMOR 26 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, TUGAS DAN FUNGSI SERTA TATA KERJA DINAS KESEHATAN SALINAN NOMOR 26/2016 PERATURAN WALIKOTA MALANG NOMOR 26 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, TUGAS DAN FUNGSI SERTA TATA KERJA DINAS KESEHATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MALANG,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terakhir, tidak hanya menimbulkan kepanikan bagi masyarakat tetapi juga menjadi

BAB I PENDAHULUAN. terakhir, tidak hanya menimbulkan kepanikan bagi masyarakat tetapi juga menjadi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Merebaknya kasus flu burung di dunia khususnya Indonesia beberapa tahun terakhir, tidak hanya menimbulkan kepanikan bagi masyarakat tetapi juga menjadi masalah kesehatan

Lebih terperinci

RAPAT DENGAR PENDAPAT KEMENKES DENGAN PANJA KESEHATAN HAJI KOMISI IX DPR - RI

RAPAT DENGAR PENDAPAT KEMENKES DENGAN PANJA KESEHATAN HAJI KOMISI IX DPR - RI RAPAT DENGAR PENDAPAT KEMENKES DENGAN PANJA KESEHATAN HAJI KOMISI IX DPR - RI (Penjelasan ttg MERS CoV) Tanggal 27 Agustus 2013 Pengertian MERS CoV MERS CoV adalah singkatan dari Middle East Respiratory

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1996 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION ON PSYCHOTROPIC SUBSTANCES 1971 (KONVENSI PSIKOTROPIKA 1971)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1996 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION ON PSYCHOTROPIC SUBSTANCES 1971 (KONVENSI PSIKOTROPIKA 1971) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1996 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION ON PSYCHOTROPIC SUBSTANCES 1971 (KONVENSI PSIKOTROPIKA 1971) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

KEJADIAN LUAR BIASA. Sri Handayani

KEJADIAN LUAR BIASA. Sri Handayani KEJADIAN LUAR BIASA Sri Handayani Timbulnya atau meningkatnya kesakitan/kematian yang bermakna secara epidemiologis dalam kurun waktu dan daerah tertentu Timbulnya suatu penyakit/kesakitan yang sebelumnya

Lebih terperinci

BUPATI TRENGGALEK PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK NOMOR 5 TAHUN 2017 TENTANG PENANGGULANGAN PENYAKIT MENULAR

BUPATI TRENGGALEK PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK NOMOR 5 TAHUN 2017 TENTANG PENANGGULANGAN PENYAKIT MENULAR BUPATI TRENGGALEK PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK NOMOR 5 TAHUN 2017 TENTANG PENANGGULANGAN PENYAKIT MENULAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TRENGGALEK, Menimbang : a.

Lebih terperinci

LAPORAN KUNJUNGAN KERJA BADAN LEGISLASI DPR RI DALAM RANGKA PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG KEKARANTINAAN KESEHATAN KE PROVINSI JAWA TIMUR

LAPORAN KUNJUNGAN KERJA BADAN LEGISLASI DPR RI DALAM RANGKA PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG KEKARANTINAAN KESEHATAN KE PROVINSI JAWA TIMUR LAPORAN KUNJUNGAN KERJA BADAN LEGISLASI DPR RI DALAM RANGKA PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG KEKARANTINAAN KESEHATAN KE PROVINSI JAWA TIMUR I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Negara berkewajiban

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sesuai dengan Pembukaan Undang-Undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sesuai dengan Pembukaan Undang-Undang

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Demikian, semoga Pengendalian penyakit dan masalah Kesehatan yang dapat meresahkan dunia dapat ditanggulangi secara berkesinambungan.

KATA PENGANTAR. Demikian, semoga Pengendalian penyakit dan masalah Kesehatan yang dapat meresahkan dunia dapat ditanggulangi secara berkesinambungan. 1 KATA PENGANTAR Globalisasi serta semakin cepatnya dan singkatnya perjalanan lintas dunia untuk perdagangan, wisata, bisnis, dan transportasi barang maka permasalahan kesehatan lokal dapat menjadi perhatian

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KARANTINA HEWAN, IKAN, DAN TUMBUHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KARANTINA HEWAN, IKAN, DAN TUMBUHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KARANTINA HEWAN, IKAN, DAN TUMBUHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Indonesia merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1962 TENTANG KARANTINA LAUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1962 TENTANG KARANTINA LAUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1962 TENTANG KARANTINA LAUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa dalam rangka pelaksanaan Undang-undang tentang

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia, 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA Nomor 15 TAHUN 1992 TENTANG PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia, Menimbang : a. bahwa transportasi mempunyai peranan penting dan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sesuai dengan Pembukaan Undang-Undang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG OTORITAS VETERINER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG OTORITAS VETERINER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG OTORITAS VETERINER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

C. WAKTU DAN TEMPAT Kunjungan kerja ini telah dilaksanakan pada tanggal Oktober 2016 di Medan, Provinsi Sumatera Utara.

C. WAKTU DAN TEMPAT Kunjungan kerja ini telah dilaksanakan pada tanggal Oktober 2016 di Medan, Provinsi Sumatera Utara. LAPORAN KUNJUNGAN KERJA BADAN LEGISLASI DPR RI DALAM RANGKA PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG KEKARANTINAAN KESEHATAN KE PROVINSI SUMATERA UTARA 18-20 OKTOBER 2016 A. PENDAHULUAN Badan Legislasi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sesuai dengan Pembukaan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PRESIDEN NOMOR 30 TAHUN 2011 TENTANG PENGENDALIAN ZOONOSIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa sampai saat ini, Indonesia masih menghadapi permasalahan penyakit hewan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

Penanggulangan Penyakit Menular

Penanggulangan Penyakit Menular Penanggulangan Penyakit Menular Penanggulangan Penyakit Menular dilakukan melalui upaya pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan. Upaya pencegahan dilakukan untuk memutus mata rantai penularan, perlindungan

Lebih terperinci

W A L I K O T A B A N J A R M A S I N

W A L I K O T A B A N J A R M A S I N W A L I K O T A B A N J A R M A S I N PERATURAN DAERAH KOTA BANJARMASIN NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARA HAJI KHUSUS DAN UMRAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BANJARMASIN, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyakit zoonosis yang ditularkan oleh virus Avian Influenza tipe A sub tipe

BAB I PENDAHULUAN. penyakit zoonosis yang ditularkan oleh virus Avian Influenza tipe A sub tipe BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Avian Influenza (AI) atau flu burung atau sampar unggas merupakan penyakit zoonosis yang ditularkan oleh virus Avian Influenza tipe A sub tipe H5N1 dari family Orthomyxoviridae.

Lebih terperinci

QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 11 TAHUN 2003 TENTANG PENYELENGGARAAN DAN PEMBIAYAAN UPAYA KESEHATAN

QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 11 TAHUN 2003 TENTANG PENYELENGGARAAN DAN PEMBIAYAAN UPAYA KESEHATAN QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 11 TAHUN 2003 TENTANG PENYELENGGARAAN DAN PEMBIAYAAN UPAYA KESEHATAN BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR PROVINSI NANGGROE

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1046, 2013 KEMENTERIAN PERHUBUNGAN. Kebandarudaraan. Nasional. Tatanan. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR PM 69 TAHUN 2013 TENTANG TATANAN KEBANDARUDARAAN NASIONAL

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Tingginya angka kejadian Rabies di Indonesia yang berstatus endemis

BAB 1 PENDAHULUAN. Tingginya angka kejadian Rabies di Indonesia yang berstatus endemis BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tingginya angka kejadian Rabies di Indonesia yang berstatus endemis Rabies, kini menjadi tantangan bagi pencapaian target Indonesia bebas Rabies pada 2015. Guna penanggulangan

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2011 TENTANG PENGENDALIAN ZOONOSIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2011 TENTANG PENGENDALIAN ZOONOSIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2011 TENTANG PENGENDALIAN ZOONOSIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sampai saat ini,

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 36 TAHUN 2014 TENTANG

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 36 TAHUN 2014 TENTANG GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 36 TAHUN 2014 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT DI PROVINSI

Lebih terperinci