PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG KENDARAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG KENDARAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,"

Transkripsi

1 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KENDARAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 47, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, Pasal 51, Pasal 52, Pasal 53, Pasal 54, Pasal 55, Pasal 56, Pasal 57, Pasal 58, Pasal 59, Pasal 60, Pasal 61, Pasal 62, Pasal 63 Undang Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan perlu menetapkan Peraturan Pemerintah Tentang Kendaraan; Mengingat : a. Pasal 5 ayat (1) serta Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 96 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5025); MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG KENDARAAN BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan : 1. Kendaraan adalah suatu sarana angkut di jalan yang terdiri atas Kendaraan Bermotor dan Kendaraan Tidak Bermotor. 2. Kendaraan Bermotor adalah setiap Kendaraan yang digerakkan oleh peralatan mekanik berupa mesin selain Kendaraan yang berjalan di atas rel. 1

2 3. Kendaraan Tidak Bermotor adalah setiap Kendaraan yang digerakkan oleh tenaga manusia dan/atau hewan. 4. Kendaraan Bermotor Umum adalah setiap Kendaraan yang digunakan untuk angkutan barang dan/atau orang dengan dipungut bayaran. 5. Sepeda Motor adalah Kendaraan Bermotor beroda dua dengan atau tanpa rumahrumah dan dengan atau tanpa kereta samping atau Kendaraan Bermotor beroda tiga tanpa rumah-rumah. 6. Mobil Penumpang adalah Kendaraan Bermotor angkutan orang yang memiliki tempat duduk maksimal 8 (delapan) orang, termasuk untuk Pengemudi atau yang beratnya tidak lebih dari (tiga ribu lima ratus) kilogram. 7. Mobil Bus adalah Kendaraan Bermotor angkutan orang yang memiliki tempat duduk lebih dari 8 (delapan) orang, termasuk untuk Pengemudi atau yang beratnya lebih dari (tiga ribu lima ratus) kilogram. 8. Mobil Bus Gandeng adalah bus yang terdiri dari bus penarik dan gandengannya, yang gandengannya mempunyai sedikitnya 2 (dua) sumbu roda dan dilengkapi dengan alat penarik yang dapat bergerak vertikal (terhadap bus gandengan) dan mengontrol arah sumbu roda depan gandengan tetapi tidak membebani sumbu bus penarik dan memiliki lorong penghubung. 9. Mobil Bus Tempel adalah bus yang terdiri dari bus penarik dan tempelan, yang tempelannya mempunyai sedikitnya 1 (satu) sumbu roda dan dilengkapi dengan alat penarik yang dapat bergerak horizontal dan vertikal ( terhadap bus tempelan) dan membebani sumbu bus penarik. 10. Bus Tingkat adalah bus yang memiliki dua lantai dan dilengkapi tangga sebagai penghubung kedua lantai tersebut. 11. Mobil Barang adalah Kendaraan Bermotor yang digunakan untuk angkutan barang. 12. Rumah Rumah adalah bagian dari kendaraan bermotor jenis mobil penumpang atau mobil bus atau mobil barang, yang berada pada landasan berbentuk ruang muatan, baik untuk orang maupun barang. 13. Pengujian Kendaraan Bermotor adalah serangkaian kegiatan menguji dan/atau memeriksa bagian-bagian atau komponenkomponen kendaraan bermotor, kereta gandengan, dan kereta tempelan dalam rangka pemenuhan terhadap persyaratan teknis dan laik jalan. 2

3 14. Pengujian Tipe Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disebut Uji Tipe Kendaraan Bermotor adalah pengujian yang dilakukan terhadap fisik kendaraan bermotor atau penelitian terhadap rancang bangun dan rekayasa kendaraan bermotor, kereta gandengan atau kereta tempelan sebelum kendaraan bermotor tersebut dibuat dan/atau dirakit dan/atau diimpor secara massal serta kendaraan bermotor yang dimodifikasi. 15. Pengujian Berkala Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disebut Uji Berkala adalah pengujian kendaraan bermotor yang dilakukan secara berkala terhadap setiap kendaraan bermotor, kereta gandengan, dan kereta tempelan, yang dioperasikan di jalan. 16. Sertifikat Uji Tipe adalah sertifikat yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Perhubungan Darat sebagai bukti bahwa tipe kendaraan bermotor atau landasan kendaraan bermotor yang bersangkutan telah lulus uji tipe. 17. Pengesahan Rancang Bangun dan Rekayasa Kendaraan Bermotor adalah Surat pengesahan dari Pemerintah sebagai bukti bahwa rancangan kendaraan bermotor, kereta gandengan, atau kereta tempelan tersebut telah memenuhi persyaratan teknis. 18. Sertifikat Registrasi Uji Tipe adalah sertifikat yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Perhubungan Darat, sebagai bukti bahwa setiap kendaraan bermotor, landasan kendaraan bermotor, kereta gandengan, dan/atau kereta tempelan yang dibuat dan/atau dirakit dan/atau diimpor atau dimodifikasi memiliki spesifikasi teknik sama/sesuai dengan tipe kendaraan yang telah disahkan atau rancang bangun dan rekayasa kendaraan yang telah disahkan, yang merupakan kelengkapan persyaratan pendaftaran dan pengujian berkala kendaraan bermotor. 19. Modifikasi Kendaraan Bermotor adalah kendaraan bermotor yang diubah bentuk dan/atau peruntukannya yang dapat mengakibatkan perubahan spesifikasi teknik utama. 20. Uji Sampel adalah pengujian kesesuaian terhadap spesifikasi teknik terhadap seri produksi yang telah memiliki sertifikat uji tipe. 21. Kendaraan Khusus adalah Kendaraan Bermotor yang dirancang khusus yang memiliki fungsi dan rancang bangun tertentu, antara lain: a. Kendaraan Bermotor Tentara Nasional Indonesia; b. Kendaraan Bermotor Kepolisian Negara Republik Indonesia; c. Alat berat antara lain bulldozer, traktor, mesin gilas ( stoomwaltz), forklift, loader, excavator, dan crane; serta d. Kendaraan khusus penyandang cacat. 22. Kereta Gandengan adalah suatu alat yang dipergunakan untuk mengangkut barang yang seluruh bebannya ditumpu oleh alat itu sendiri dan dirancang untuk ditarik oleh kendaraan bermotor. 3

4 23. Kereta Tempelan adalah suatu alat yang dipergunakan untuk mengangkut barang yang dirancang untuk ditarik dan sebagian bebannya ditumpu oleh kendaraan bermotor penariknya. 24. Roda Pada Satu Sumbu adalah roda tunggal atau roda ganda atau beberapa roda yang dipasang simetris atau pada dasarnya simetris terhadap bidang membujur tengah kendaraan, walaupun roda-roda tersebut tidak dipasang pada satu sumbu yang sama. 25. Jumlah Berat Yang Diperbolehkan yang selanjutnya disebut JBB adalah berat maksimum kendaraan bermotor berikut muatannya yang diperbolehkan menurut rancangannya. 26. Jumlah Berat Kombinasi Yang Diperbolehkan yang selanjutnya disebut JBKB adalah berat maksimum rangkaian kendaraan bermotor berikut muatannya yang diperbolehkan menurut rancangannya. 27. Jumlah Berat Yang Diizinkan yang selanjutnya disebut JBI adalah berat maksimum kendaraan bermotor berikut muatannya yang diizinkan berdasarkan kelas jalan yang dilalui. 28. Jumlah Berat Kombinasi yang Diizinkan yang selanjutnya disebut JBKI adalah berat maksimum rangkaian kendaraan bermotor berikut muatannya yang diizinkan berdasarkan kelas jalan yang dilalui. 29. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati/walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah. 31. Menteri adalah pembantu Presiden yang memimpin kementerian negara dan bertanggung jawab atas urusan pemerintahan di bidang Jalan, bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, bidang industri, bidang pengembangan teknologi, atau bidang pendidikan dan pelatihan. Kendaraan terdiri atas: BAB II JENIS DAN FUNGSI KENDARAAN Pasal 2 a. Kendaraan Bermotor; dan b. Kendaraan Tidak Bermotor. 4

5 Pasal 3 (1) Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a dikelompokkan berdasarkan jenis: a. sepeda motor; b. mobil penumpang; c. mobil bus; d. mobil barang; dan penjelasan ayat (1) huruf d Termasuk dalam pengertian mobil barang setiap kendaraan bermotor selain dari yang termasuk dalam sepeda motor, mobil penumpang dan mobil bus. e. kendaraan khusus. (2) Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c dan huruf d, dikelompokan berdasarkan fungsi: a. Kendaraan Bermotor perseorangan; dan b. Kendaraan Bermotor umum. (3) Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dikelompokan berdasarkan peruntukan: a. kendaraan untuk angkutan orang; dan b. kendaraan untuk angkutan barang. Pasal 4 (1) Kendaraan tidak bermotor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b. dikelompokkan dalam: a. Kendaraan yang digerakkan oleh tenaga orang; dan b. Kendaraan yang digerakkan oleh tenaga hewan. (2) Kendaraan tidak bermotor yang digerakkan oleh tenaga orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, antara lain : a. sepeda; b. becak; c. kereta dorong atau kereta tarik. (3) Kendaraan tidak bermotor yang digerakkan oleh tenaga hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, antara lain : a. delman; atau b. cikar. Pasal 5 (1) Kendaraan Bermotor untuk mengangkut orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf a, dirancang dengan ruang untuk pengemudi dan ruang untuk penumpang. (2) Kendaraan Bermotor untuk mengangkut barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf b, dirancang dengan ruang untuk mengangkut orang dan ruang untuk mengangkut barang terpisah dengan penyekat atau dinding. 5

6 penjelasan ayat (2) yang dimaksud dengan ruang untuk mengangkut barang adalah berbentuk bak muatan terbuka atau bak muatan tertutup (box). Pasal 6 (1) Kendaraan Bermotor jenis sepeda motor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a, meliputi : a. Kendaraan Bermotor roda 2 (dua) dengan atau tanpa rumah-rumah; b. Kendaraan Bermotor roda 2 (dua) dengan atau tanpa kereta samping; c. Kendaraan Bermotor roda 3 (tiga) tanpa rumah-rumah. (2) Kendaraan Bermotor jenis Mobil Penumpang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b, meliputi : a. Mobil Penumpang sedan, yang memiliki 3 (tiga) ruang yang terdiri dari: 1. ruang mesin; 2. ruang pengemudi dan penumpang; 3. ruang bagasi. penjelasan terpisah secara permanen atau tidak permanen yaitu ruang mesin di bagian depan atau belakang, terpisah secara permanen atau tidak permanen ruang pengemudi dan penumpang di bagian tengah, dan ruang bagasi di bagian belakang atau depan. b. Mobil Penumpang bukan sedan yang memiliki 2 (dua) ruang yang terdiri dari: 1. ruang mesin; 2. ruang pengemudi, ruang penumpang dan/atau bagasi. penjelasan mobil penumpang bukan sedan yang memiliki 2 (dua) ruang yang dirancang terpisah secara permanen atau tidak permanen yaitu ruang mesin di bagian depan atau belakang, ruang pengemudi dan penumpang dan/atau bagasi. pengertian bukan sedan antara lain Sport Utility Vehicle, Station Wagon, Multy Purpose Vehicle, Hatch Back, All Purpose Vehicle. c. Mobil Penumpang lainnya yang dirancang untuk keperluan khusus. Penjelasan huruf c yang dimaksud dengan mobil penumpang lainnya contoh mobil ambulance, mobil jenazah. (3) Mobil Bus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf c, meliputi : a. mobil bus kecil, yang dirancang khusus, dengan jumlah berat yang diperbolehkan (JBB) lebih dari (tiga ribu lima ratus) sampai dengan (lima ribu) kilogram dan jumlah tempat duduk lebih dari 8 (delapan) orang termasuk pengemudi dan tinggi kendaraan tidak boleh lebih dari 1,7 (satu koma tujuh) kali lebar kendaraannya; 6

7 b. mobil bus sedang, yang dirancang, dengan jumlah berat yang diperbolehkan (JBB) lebih dari (lima ribu) sampai dengan (delapan ribu) kilogram, ukuran panjang keseluruhan tidak melebihi (sembilan ribu) milimeter dan ukuran lebar keseluruhan tidak melebihi (dua ribu seratus) milimeter dan tinggi kendaraan tidak boleh lebih dari 1,7 (satu koma tujuh) kali lebar kendaraannya; c. mobil bus besar, yang dirancang dengan jumlah berat yang dibolehkan (JBB) lebih dari (delapan ribu) sampai dengan ( enam belas ribu) kilogram, ukuran panjang keseluruhan kendaraan bermotor lebih dari (sembilan ribu) milimeter sampai dengan (dua belas ribu) milimeter dan ukuran lebar keseluruhan tidak melebihi (dua ribu lima ratus) milimeter dan tinggi kendaraan tidak lebih dari (empat ribu dua ratus) milimeter dan tidak boleh lebih dari 1,7 (satu koma tujuh) kali lebar kendaraannya; d. mobil bus maxi, yang dirancang dengan jumlah berat yang dibolehkan (JBB) lebih dari (enam belas ribu) kilogram sampai dengan (dua puluh empat ribu) kilogram, ukuran panjang keseluruhan lebih dari (dua belas ribu) milimeter sampai dengan (tiga belas ribu lima ratus) milimeter dan ukuran lebar keseluruhan tidak melebihi (dua ribu lima ratus) milimeter dan tinggi kendaraan tidak lebih dari (empat ribu dua ratus) milimeter dan tidak boleh lebih dari 1,7 (satu koma tujuh) kali lebar kendaraannya; e. mobil bus gandeng yang dirancang dengan jumlah berat kombinasi yang dibolehkan (JBKB) sekurang-kurangnya (dua puluh dua ribu) kilogram sampai dengan (dua puluh enam ribu) kilogram dan/atau ukuran panjang keseluruhan lebih dari (tiga belas ribu lima ratus) milimeter sampai dengan (delapan belas ribu) milimeter dan ukuran lebar keseluruhan tidak melebihi (dua ribu lima ratus) milimeter dan tinggi kendaraan tidak lebih dari (empat ribu dua ratus) milimeter dan tidak boleh lebih dari 1,7 (satu koma tujuh) kali lebar kendaraannya; f. mobil bus tempel yang dirancang dengan jumlah berat kombinasi yang dibolehkan (JBKB) sekurang-kurangnya (dua puluh dua ribu) kilogram sampai dengan (dua puluh enam ribu) kilogram dan/atau ukuran panjang keseluruhan lebih dari (tiga belas ribu lima ratus) milimeter sampai dengan (delap an belas ribu) milimeter dan ukuran lebar keseluruhan tidak melebihi (dua ribu lima ratus) milimeter dan tinggi kendaraan tidak lebih dari (empat ribu dua ratus) milimeter dan tidak boleh lebih dari 1,7 (satu koma tujuh) kali lebar kendaraannya; g. mobil bus tingkat yang dirancang dengan jumlah berat yang dibolehkan (JBB) sekurang-kurangnya (dua puluh satu ribu) kilogram sampai dengan (dua puluh empat ribu) kilogram dan/atau ukuran panjang keseluruhan sekurang-kurangnya (sembila n ribu) milimeter sampai dengan (tiga belas ribu lima ratus) milimeter, ukuran lebar keseluruhan tidak melebihi (dua ribu lima ratus) milimeter dan ukuran tinggi mobil bus tingkat tidak lebih dari (empat ribu dua ratus) milimeter. catatan: perlu dirumuskan kembali, contoh: bus kecil dengan jumlah tempat duduk maksimal 16, bus sedang dengan jumlah tempat duduk maksimal 32, bus besar 7

8 dengan jumlah tempat duduk maksimal 58...dan disesuaikan dengan RPP tentang Angkutan (4) Mobil barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf d, meliputi: a. mobil barang bak muatan terbuka; penjelasan huruf a: yang dimaksud dengan mobil barang bak muatan terbuka adalah antara lain seperti dump truck, non dump truck, flat deck, mobil barang kabin ganda. Penjelasan : yang dimaksud dengan mobil barang kabin adalah:mobil barang kabin ganda (double cabin), yang dirancang memiliki 2 (dua) baris tempat duduk pengemudi dan penumpang dengan ruang barang yang terpisah secara permanen dan/atau tidak permanen oleh dinding atau sekat; b. mobil barang bak muatan tertutup; penjelasan huruf b : yang dimaksud dengan mobil barang bak muatan tertutup adalah antara lain seperti box, wing box, box freezer, mobil barang kabin ganda.dll c. mobil barang tangki; penjelasan yang dimaksud mobil barang tangki adalah mobil yang dirancang untuk mengangkut barang cairan, barang curah, atau gas. yang dimaksud dengan mobil barang khusus adalah angkutan yang membutuhkan mobil barang yang dirancang khusus untuk mengangkut benda yang berbentuk curah, cair, dan gas, peti kemas, tumbuhan, hewan hidup, dan alat berat serta membawa barang berbahaya, antara lain: a. barang yang mudah meledak; b. gas mampat, gas cair, gas terlarut pada tekanan atau temperatur tertentu; c. cairan mudah menyala; d. padatan mudah menyala; e. bahan penghasil oksidan; f. racun dan bahan yang mudah menular; g. barang yang bersifat radioaktif; dan h. barang yang bersifat korosif. d. kendaraan untuk menarik kereta tempelan; Catatan: Perlu dijelaskan definisi kendaraan untuk menarik kereta tempelan (5) Kendaraan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat ( 1) huruf e, mempunyai fungsi dan dirancang bangun tertentu, antara lain: a. Kendaraan tank, panser, EOD (Explosive Ordinance Disposal, Commander Call Carrier, Security Barrier, kendaraan lapis baja yang digunakan untuk tempur dan kendaraan yang dirancang khusus yang dimiliki oleh; 8

9 b. Kendaraan water canon, Anti Personel Carrier (APC), EOD (Explosive Ordinance Disposal, dan Commander Call Carrier, Security Barrier, dan kendaraan taktis lainnya yang dirancang khusus dan dimiliki oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia; c. Kendaraan alat berat antara lain traktor, stoomwaltz, forklift, loader, excavator, buldozer, dan crane; d. kendaraan khusus penyandang cacat. Pasal 7 Ketentuan lebih lanjut mengenai Fungsi Kendaraan Bermotor, diatur dengan Peraturan Menteri yang bertanggung jawab dibidang Sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, kecuali kendaraan khusus milik TNI dan Polri sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (5) huruf a dan huruf b. BAB III PERSYARATAN TEKNIS DAN LAIK JALAN KENDARAAN BERMOTOR, KERETA GANDENGAN DAN KERETA TEMPELAN Bagian Kesatu Ketentuan Umum Persyaratan Teknis dan Laik Jalan Paragraf 1 Persyaratan Teknis Pasal 8 (1) Setiap Kendaraan Bermotor yang dioperasikan di Jalan harus memenuhi persyaratan teknis. (2) Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. susunan; b. perlengkapan; c. ukuran; d. karoseri; e. rancangan teknis kendaraan sesuai dengan peruntukannya; f. pemuatan; g. penggunaan; h. penggandengan Kendaraan Bermotor; dan/atau i. penempelan Kendaraan Bermotor. Pasal 9 (1) Ketentuan mengenai persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 berlaku bagi setiap jenis kendaraan bermotor yang dioperasikan di jalan kecuali huruf i untuk Kendaraan Bermotor jenis sepeda motor. 9

10 (2) Ketentuan mengenai pengecualian dan/atau penambahan terhadap pemenuhan persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1 ) dapat diberikan terhadap: a. Kendaraan Bermotor untuk orang cacat; b. Kendaraan Bermotor yang dicoba di jalan dalam rangka penelitian; c. Kendaraan Bermotor yang menggunakan teknologi baru. Pasal 10 Susunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf a terdiri atas: a. rangka landasan; b. motor penggerak; c. sistem pembuangan; d. sistem penerus daya; e. sistem roda-roda; f. sistem suspensi; g. sistem kemudi; h. sistem rem; i. sistem lampu dan alat pemantul cahaya; j. komponen pendukung. Pasal 11 (1) Setiap rangka landasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf a harus memenuhi persyaratan : a. dikonstruksi menyatu atau secara terpisah dengan badan kendaraan yang bersangkutan; b. dapat menahan seluruh beban, getaran dan goncangan kendaraan berikut muatannya, sebesar jumlah berat kendaraan yang diperbolehkan atau jumlah berat kombinasi kendaraan yang diperbolehkan; c. tahan terhadap korosi; d. dilengkapi dengan alat pengait di bagian depan dan bagian belakang kendaraan bermotor, kecuali sepeda motor. Penjelasan Ayat (1) Untuk mengetahui bahwa rangka landasan kendaraan bermotor memenuhi persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam ayat ini, dapat dilakukan melalui perhitungan-perhitungan teknis dengan menggunakan norma-norma teknologi yang telah baku, atau melalui uji konstruksi, baik dengan menggunakan peralatan uji konstruksi maupun uji jalan. (2) Rangka landasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk Kendaraan bermotor yang dirancang untuk menarik kereta gandengan atau kereta tempelan, dilengkapi dengan peralatan penarik yang dirancang khusus untuk itu. Pasal 12 (1) Rangka landasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 harus dibubuhkan nomor rangka landasan. penjelasan yang dimaksud dengan rangka landasan adalah rangka atau chassis atau landasan. 10

11 (2) Nomor rangka landasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ditempatkan secara permanen pada bagian tertentu rangka landasan dan mudah dilihat dan dibaca serta ditulis dalam bentuk embos ke dalam atau keluar. Penjelasan Ayat (2) Nomor rangka landasan kendaraan bermotor harus dibubuhkan secara permanen dan tidak dapat dihapus selama kendaraan bermotor yang bersangkutan dioperasikan di jalan. Nomor rangka landasan kendaraan bermotor tersebut merupakan identitas atau jati diri kendaraan yang bersangkutan. Oleh karena itu, untuk keperluan penulisan jati diri atau identitas kendaraan bermotor yang bersangkutan pada sertifikat regristasi, buku uji, surat tanda nomor kendaraan bermotor, dan buku pemilik kendaraan bermotor, maka setiap pembuat kendaraan bermotor melaporkan sistem penomoran dan lokasi penomoran rangka landasannya. (3) Untuk rangka landasan yang menyatu dengan badan kendaraan, nomor rangka landasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditempatkan pada bagian tertentu badan kendaraan secara permanen dan mudah dilihat serta dibaca. Penjelasan Ayat (3) Nomor rangka landasan yang dibubuhkan pada badan kendaraan bermotor harus memenuhi persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) Pasal 13 (1) Rangka landasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf a, pada saat akan dibuat melalui karoseri kendaraan bermotor harus sesuai peruntukannya. (2) Kendaraan bermotor jenis mobil penumpang dan mobil bus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) dan ayat (3) harus menggunakan rangka landasan peruntukkan angkutan orang. (3) Kendaraan bermotor jenis mobil barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf d harus menggunakan rangka landasan peruntukkan angkutan barang. (4) Kendaraan bermotor jenis kendaraan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf e dapat menggunakan rangka landasan peruntukkan angkutan barang atau angkutan orang. Pasal 14 Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan teknis konstruksi rangka landasan, konstruksi rangka landasan yang dirancang untuk menarik kereta gandengan atau kereta tempelan, konstruksi pengait kendaraan bermotor, tata cara penomoran rangka landasan diatur dengan Peraturan Menteri yang bertanggung jawab dibidang Sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. 11

12 Pasal 15 (1) Motor penggerak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf b harus memenuhi persyaratan: a. mempunyai daya untuk dapat mendaki pada jalan tanjakan dengan sudut kemiringan maksimum 8 (delapan derajat) dengan kecepatan minimum 20 (dua puluh) kilometer per jam pada segala kondisi jalan; b. motor penggerak dapat dihidupkan dari tempat duduk pengemudi; c. motor penggerak kendaraan bermotor tanpa kereta gandengan atau kereta tempelan, selain sepeda motor harus memiliki perbandingan antara daya dan berat total kendaraan berikut muatannya sekurang-kurangnya sebesar 4,50 (empat koma lima puluh) kilo Watt setiap (seribu) kilogram dari jumlah berat yang diperbolehkan (JBB) atau jumlah berat kombinasi yang diperbolehkan (JBKB); d. motor penggerak kendaraan bermotor yang digunakan untuk menarik kereta gandengan, kereta tempelan, bus tempelan dan bus gandengan selain sepeda motor, harus memiliki perbandingan antara daya dan berat total kendaraan berikut muatannya sekurang-kurangnya sebesar 5,50 ( lima koma lima puluh) kilo Watt setiap (seribu) kilogram dari jumlah berat yang diperbolehkan (JBB) atau jumlah berat kombinasi yang diperbolehkan (JBKB); e. perbandingan antara daya motor penggerak dan berat kendaraan khusus atau sepeda motor ditetapkan sesuai dengan kebutuhan lalu lintas dan angkutan serta kelas jalan; f. ketentuan sebagaimana dimaksud dalam butir b, butir c, butir d, dan butir e tidak berlaku untuk kendaraan bermotor yang dirancang dengan kecepatan tidak melebihi 25 (dua puluh lima) kilometer per jam pada jalan datar. Penjelasan huruf f: yang dimaksud dengan tidak melebihi 25 kilometer per jam adalah mengacu ke EEC No. 2002/24/EEC) (2) Motor penggerak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikelompokkan dalam beberapa jenis : a. motor bakar; penjelasan huruf a yang termasuk motor bakar adalah dengan bahan cair dan/atau gas. b. motor listrik; c. motor penggerak yang digerakan oleh gabungan 2 (dua) jenis motor penggerak di atas. Pasal 16 (1) Pada setiap motor penggerak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15, harus dibubuhkan nomor motor penggerak sesuai dengan peraturan perundangundangan. penjelasan yang dimaksud dengan motor penggerak sama dengan mesin atau engine 12

13 (2) Nomor motor penggerak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditempatkan secara permanen pada bagian tertentu motor penggerak dan mudah diidentifikasi dalam bentuk embos ke dalam atau keluar atau dalam bentuk lain. Pasal 17 (1) Sistem pembuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf c sekurangkurangnya terdiri atas manifold, peredam suara, dan pipa pembuangan. (2) Sistem pembuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan: a. dirancang dan dibuat dari bahan yang cukup kuat sehingga memenuhi ambang batas emisi gas buang dan tingkat kebisingan; b. arah pipa pembuangan harus dibuat dengan posisi yang tidak mengganggu pengguna jalan lain; penjelasan huruf b : yang dimaksud dengan pengguna jalan lain adalah termasuk orang yang sedang berdiri atau berjalan di pinggir jalan. c. gas buang dan asap dari sistem pembuangan kendaraan bermotor kecuali sepeda motor diarahkan ke atas, ke belakang atau ke sisi kanan di sebelah belakang ruang penumpang dengan sudut kemiringan tertentu terhadap garis tengah kendaraan bermotor yang menjamin keselamatan; d. asap dari hasil pembuangan tidak boleh mengarah pada tangki bahan bakar atau roda pada sumbu belakang kendaraan; e. sistem pembuangan kendaraan pengangkut bahan yang mudah terbakar, diarahkan ke arah kanan bagian depan ruang pengemudi, dan untuk mobil bus diarahkan ke arah belakang pada sisi kanan; f. pipa pembuangan tidak melebihi sisi samping atau sisi belakang kendaraan bermotor. penjelasan huruf f: yang dimaksud dengan pipa pembuangan tidak boleh melebihi sisi samping atau sisi belakang kendaraan bermotor adalah untuk menghindari terjadinya pusaran-pusaran (turbulen si) yang dapat mengakibatkan masuknya asap atau gas buang ke ruang penumpang, termasuk dalam hal ini pipa pembuangan yang tidak boleh terlalu pendek). Pasal 18 (1) Sistem penerus daya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf d harus dapat dikendalikan dari tempat duduk pengemudi. Penjelasan ayat (1) Yang dimaksud dengan sistem penerus daya, gear box, transmisi atau perseneling adalah sistem untuk meneruskan tenaga dari mesin ke roda dapat berupa : a. sistem penerus daya otomatis; b. sistem penerus daya manual; dan/atau c. sistem penerus daya kombinasi otomatis dan manual. 13

14 (2) Sistem penerus daya sebagai dimaksud pada ayat (1) harus memungkinkan kendaraan bermotor bergerak maju dengan satu atau lebih tingkat kecepatan dan memungkinkan bergerak mundur. (3) Keharusan untuk melengkapi sistem penerus daya yang memungkinkan kendaraan bermotor dapat bergerak mundur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku untuk : a. Sepeda Motor, baik dengan atau tanpa kereta samping; b. Sepeda Motor beroda tiga yang roda-rodanya dipasang semetris terhadap bidang tengah arah memanjang, yang memiliki jumlah berat yang diperbolehkan (JBB) maksimum 400 kg (empat ratus kilogram). Pasal 19 (1) Sistem roda-roda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf e terdiri atas : a. roda-roda; dan b. sumbu roda. (2) Roda-roda sebagaimana dimaksud sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, berupa pelek dan ban bertekanan serta sumbu-sumbu atau gabungan sumbu dan roda yang dapat menjamin keselamatan. Penjelasan ayat (2) : yang dimaksud dengan ban bertekanan adalah ban yang berongga yang dapat diisi dengan gas. Sumbu-sumbu roda kendaraan bermotor, kereta gandengan dan kereta tempelan harus dihitung dan dirancang atau dibuat sedemikian rupa sehingga mampu memikul beban dinamis kendaraan sebesar jumlah berat yang diperbolehkan (JBB). Untuk dapat memberikan jaminan keselamatan secara teknis terhadap penggunaan ban-ban dan pelek-pelek pada kendaraan bermotor, kereta gandengan dan kereta tempelan, besarnya beban yang diperbolehkan untuk masing-masing ukuran ban, dikaitkan dengan tekanan kerja ban, cara pemasangan, dan tingkat keausan serta kerusakannya. Dengan demikian maka dapat diketahui secara pasti, kapan ban-ban dan pelek-pelek tersebut boleh digunakan pada kendaraan dan kapan tidak boleh digunakan lagi. (3) Ban-ban bertekanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memiliki adesi yang cukup, baik pada jalan kering maupun jalan basah. Penjelasan ayat (3): Dalam hal kendaraan bermotor, kereta gandengan, atau kereta tempelan yang dirancang dan dibuat untuk mengangkut beban tertentu sebesar jumlah berat yang diperbolehkan ternyata beban pada masing-masing sumbu tunggalnya melebihi kemampuan kelas jalan yang akan dilalui, maka kendaraan tersebut harus dikonstruksi dengan menggunakan sumbu ganda atau lebih, disesuaikan dengan kelas jalan yang dilalui. (4) Ukuran roda berupa pelek dan ban-ban bertekanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang digunakan pada kendaraan bermotor harus memiliki ukuran dan kemampuan yang disesuaikan dengan Jumlah berat kendaraan bermotor berikut muatannya yang diperbolehkan. 14

15 penjelasan ayat (4) Tidak diperbolehkan mengganti roda yang tidak sesuai dengan ukuran sebagaimana dimaksud pada ayat (3). Pasal 20 (1) Rancangan sumbu dan roda dan/atau gabungan sumbu dan roda berikut rodarodanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2), harus memperhatikan kelas jalan yang akan dilalui. (2) Kendaraan bermotor, kereta gandengan dan kereta tempelan baru, harus menggunakan sumbu dan roda yang memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan. Pasal 21 Sistem suspensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf f berupa penyangga yang mampu menahan beban, getaran dan kejutan untuk menjamin keselamatan dan perlindungan terhadap jalan. penjelasan ayat (1) Kemajuan teknologi memungkinkan banyaknya jenis sistem suspensi yang dapat digunakan pada kendaraan bermotor, kereta gandengan, dan kereta tempelan. Namun demikian, belum tentu seluruh jenis sistem suspensi tersebut cocok untuk digunakan di Indonesia. Oleh karena itu, untuk kepentingan keselamatan lalu lintas dan angkutan jalan dapat ditetapkan jenis-jenis suspensi berupa penyangga yang boleh digunakan di Indonesia. Jenis penyangga antara lain berupa pegas daun, penyangga hidrolis, dan penyangga pneumatis. Pasal 22 (1) Sistem kemudi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf g meliputi: a. roda kemudi atau stang kemudi; dan b. batang kemudi. penjelasan ayat (1) : sistem kemudi yang dipasang dalam kendaraan bermotor berfungsi untuk mengendalikan arah gerak kendaraan bermotor yang bersangkutan. sistem kemudi yang dipasang dalam kendaraan bermotor berfungsi untuk mengendalikan arah gerak kendaraan bermotor yang bersangkutan. Roda kemudi digunakan untuk mobil penumpang, mobil bus, mobil barang dan kendaraan khusus, sedangkan stang digunakan untuk sepeda motor roda dua atau roda tiga. (2) Sistem kemudi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan : a. dapat digerakkan dengan tenaga yang wajar; b. perancangan, pembuatan dan pemasangan batang kemudi dan roda kemudi tidak menimbulkan bahaya bagi pengemudi. (3) Sistem kemudi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dilengkapi dengan tenaga bantu untuk dapat membantu pengemudi dalam mengendalikan kendaraan. penjelasan ayat (3): 15

16 Dengan ketentuan apabila tenaga bantu (power steering) tersebut tidak bekerja maka kendaraan bermotor tersebut harus tetap dapat dikemudikan dengan tenaga yang wajar. Sistem kemudi yang dilengkapi dengan tenaga bantu harus dapat menurunkan kinerjanya seakan akan tidak dilengkapi dengan alat bantu apabila kendaraan bermotor tersebut bergerak dengan kecepatan meningkat yang tidak sesuai dengan kecepatan normal. Pasal 23 Sistem rem sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf h berupa peralatan pengereman yang meliputi : a. rem utama; dan b. rem parkir. Pasal 24 Kendaraan Bermotor dengan transmisi otomatis (automatic transmission) harus dilengkapi dengan sistem yang dapat menurunkan putaran mesin ke kondisi yang menjamin keselamatan pada saat dilakukan pengereman. penjelasan : yang dimaksud dengan menjamin keselamatan antara lain menggunakan alat yang mengembalikan putaran mesin dalam kondisi idle (brake to idle override). Pasal 25 Rem utama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf a harus memenuhi persyaratan : a. rem utama ditempatkan dekat dengan pengemudi sehingga pengemudi dapat mengendalikan kecepatan dan memberhentikan kendaraan bermotor dari tempat duduknya tanpa melepaskan tangannya dari roda kemudi atau stang kemudi; b. bekerja pada semua roda kendaraan sesuai dengan besarnya beban pada masingmasing sumbu, baik kendaraan bermotor yang berdiri sendiri maupun kendaraan bermotor yang dirangkaikan dengan kereta gandengan atau kereta tempelan; c. dalam hal ada bagian rem utama yang tidak berfungsi, rem tersebut harus dapat bekerja sekurang-kurangnya pada roda-roda yang bersebelahan pada satu sumbu dan dapat digunakan untuk memperlambat dan menghentikan kendaraan. Pasal 26 Rem parkir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf b harus memenuhi persyaratan : a. rem parkir yang dikendalikan dari ruang pengemudi dan mampu menahan posisi kendaraan dalam keadaan berhenti baik pada jalan datar, tanjakan maupun turunan; b. dilengkapi dengan pengunci yang bekerja secara mekanis atau sistem lain sesuai perkembangan teknologi. 16

17 Pasal 27 Sistem lampu-lampu dan alat pemantul cahaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf i meliputi : a. lampu utama dekat, warna putih, atau kuning muda; b. lampu utama jauh, warna putih, atau kuning muda; c. lampu penunjuk arah, warna kuning tua dengan sinar kelap-kelip; d. lampu rem, warna merah; e. lampu posisi depan, warna putih atau kuning muda; f. lampu posisi belakang, warna merah; g. lampu mundur dengan warna putih atau kuning muda kecuali untuk sepeda motor; h. lampu penerangan tanda nomor kendaraan bermotor dibagian belakang kendaraan berwarna putih; i. lampu isyarat peringatan bahaya berwarna kuning tua dengan sinar kelap - kelip; j. lampu tanda batas secara berpasangan untuk kendaraan bermotor yang lebarnya lebih dari (dua ribu seratus) milimeter berwarna putih atau kuning muda untuk bagian depan dan berwarna merah untuk bagian belakang; k. pemantul cahaya berwarna merah secara berpasangan. Pasal 28 Lampu utama dekat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf a, dipasang secara berpasangan berjumlah 2 (dua) buah dengan syarat : a. dipasang pada bagian muka kendaraan dan harus dapat menerangi jalan pada malam hari atau cuaca gelap; b. tepi terluar permukaan penyinaran lampu utama dekat, dipasang pada ketinggian tidak melebihi (seribu dua ratus lima puluh) millimeter dari permukaan jalan dan tidak boleh melebihi 400 (empat ratus) milimeter dari sisi bagian terluar kendaraan. Pasal 29 Lampu utama jauh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf b berjumlah genap, dengan syarat : a. dipasang pada bagian muka kendaraan dan harus dapat menerangi jalan pada malam hari atau cuaca gelap; b. tepi terluar permukaan penyinaran lampu utama jauh sebagaimana dimaksud pada huruf a, dipasang pada ketinggian tidak melebihi (seribu dua ratus lima puluh) milimeter dari permukaan jalan dan tidak boleh lebih dekat ke sisi bagian terluar kendaraan dibandingkan dengan tepi terluar permukaan penyinaran lampu utama dekat. Pasal 30 Lampu penunjuk arah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf c berjumlah genap dan mempunyai sinar kelap-kelip, dengan syarat : a. dapat dilihat pada waktu siang atau malam hari oleh pengguna jalan lain; 17

18 b. dipasang pada ketinggian tidak melebihi (serib u lima ratus) milimeter di samping kiri dan kanan bagian muka kendaraan; c. dipasang pada ketinggian tidak melebihi (dua ribu seratus) milimeter di samping kiri dan kanan bagian belakang kendaraan; dan d. berjumlah sekurang-kurangnya 2 (dua) berpasangan pa da bagian muka kendaraan dan 2 (dua) berpasangan pada bagian belakang kendaraan. Pasal 31 Lampu rem sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf d berjumlah sekurangkurangnya 2 (dua) buah, dengan syarat : a. mempunyai kekuatan cahaya lebih besar dari lampu posisi belakang dan tidak menyilaukan bagi pengguna jalan lain; b. dipasang pada ketinggian tidak melebihi (dua ribu seratus) milimeter di samping kiri dan kanan bagian belakang kendaraan diukur pada ujung bagian atas lampu; c. diperbolehkan menggunakan 1 (satu) lampu rem tambahan. penjelasan huruf c : yang dimaksud dengan lampu rem tambahan yaitu antara lain seperti hi-mount stop lamp yang dipasang di bagian dalam kaca belakang, di spoiler belakang kendaraan dan sebagainya). Catatan : Sesuai dengan Ergonomis posisi mata pengendara melihat ketinggian lampu. Ketentuan UN-ECE R48 INSTALLATION OF LIGHT MAXIMUM HEIGHT mm Susunan lampu dengan ketinggian maksimum mm berbentuk vertical Lampu dengan susunan vertical, lampu paling atas adalah lampu posisi Pasal 32 Lampu posisi depan sebagaimana dimaksud pada Pasal 27 huruf e berjumlah 2 (dua), dengan syarat : a. dipasang di bagian depan; b. dapat bersatu dengan lampu utama dekat; c. dipasang pada ketinggian tidak melebihi (seribu dua ratus lima puluh) milimeter dan harus dapat dilihat pada malam hari dengan cuaca cerah dan tidak menyilaukan pengguna jalan lainnya; d. tepi terluar permukaan penyinaran lampu posisi depan, tidak melebihi 400 (empat ratus) milimeter dari sisi bagian terluar kendaraan. Pasal 33 Lampu posisi belakang sebagaimana dimaksud pada Pasal 27 huruf f berjumlah genap, dengan syarat : a. dipasang pada ketinggian tidak melebihi (dua ribu seratus) milimeter di samping kiri dan kanan bagian belakang kendaraan. dan harus dapat dilihat pada malam serta tidak menyilaukan pengguna jalan lain; b. tepi terluar permukaan penyinaran lampu posisi belakang tidak melebihi 400 (empat ratus) milimeter dari sisi bagian terluar kendaraan. 18

19 Pasal 34 Lampu mundur sebagaimana dimaksud pada Pasal 27 huruf g berjumlah 2 (dua), dengan syarat : a. dipasang pada ketinggian tidak melebihi (seribu dua ratus) milimeter di samping kiri dan kanan bagian belakang kendaraan; b. tidak menyilaukan atau mengganggu pengguna jalan lain; c. hanya menyala apabila penerus daya digunakan untuk posisi mundur; d. dilengkapi tanda bunyi mundur untuk kendaraan dengan jumlah berat yang diperbolehkan (JBB) lebih dari (tiga ribu lima ratus) kilogram. Pasal 35 Lampu penerangan tanda nomor Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf h, dipasang di bagian belakang dengan baik sehingga dapat menerangi tanda nomor kendaraan pada malam hari dengan cuaca cerah dan dapat dibaca pada jarak sekurang kurangnya 50 (lima puluh) meter dari belakang. Pasal 36 Lampu isyarat peringatan bahaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf i menggunakan lampu penunjuk arah yang menyala secara bersamaan dengan sinar kelap-kelip. Pasal 37 Lampu tanda batas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf j secara berpasangan bagi kendaraan yang memiliki lebar lebih dari (dua ribu seratus) milimeter, dengan syarat : a. dipasang di bagian depan kiri atas dan kanan atas kendaraan; dan b. dipasang di bagian belakang kiri atas dan kanan atas kendaraan. Pasal 38 Alat pemantul cahaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf k dipasang secara berpasangan dengan syarat : a. harus dapat dilihat oleh pengemudi kendaraan lain yang berada di belakangnya pada malam hari dengan cuaca cerah dari jarak sekurang-kurangnya 100 (seratus) meter apabila pemantul cahaya tersebut disinari lampu utama kendaraan dibelakangnya; b. dipasang di bagian belakang kendaraan bermotor pada ketinggian tidak melebihi (seribu lima ratus) milimeter; c. tepi bagian terluar pemantul cahaya tidak melebihi 400 (empat ratus) milimeter dari sisi terluar kendaraan; d. berbentuk segitiga untuk kendaraan gandengan dan tempelan. Pasal 39 (1) Kendaraan bermotor dapat dilengkapi dengan lampu kabut yang berjumlah paling banyak 2 (dua) buah dipasang di bagian depan kendaraan. 19

20 (2) Lampu kabut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengeluarkan cahaya berwarna putih atau kuning, dengan syarat : a. titik tertinggi permukaan penyinaran tidak melebihi titik tertinggi permukaan penyinaran dari lampu utama dekat; b. dipasang pada ketinggian tidak melebihi 800 (delapan ratus) milimeter; c. tepi terluar permukaan penyinaran lampu kabut tidak melebihi 400 (empat ratus) milimeter dari sisi terluar kendaraan; d. tidak menyilaukan atau mengganggu pengguna jalan lain pada saat digunakan. Pasal 40 Ketentuan lebih lanjut mengenai lampu lampu kendaraan bermotor dan pemantul cahaya diatur dengan Peraturan Menteri yang bertanggung jawab di bidang Sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Pasal 41 Komponen pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf j meliputi : a. pengukur kecepatan (speedometer); b. kaca spion; c. penghapus kaca kecuali sepeda motor; d. klakson; e. spakbor; dan f. bumper kecuali sepeda motor. Pasal 42 Pengukur kecepatan (speedometer) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 huruf a, dilengkapi dengan pengukur jarak dan dipasang pada tempat yang mudah dilihat oleh pengemudi, berupa alat pengukur kecepatan mekanis dan/atau alat pengukur kecepatan elektronis. Pasal 43 Kaca spion kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 huruf b, harus memenuhi syarat : a. berjumlah dua buah atau lebih; b. dibuat dari kaca atau bahan menyerupai kaca, yang terpasang sedemikian rupa sehingga dapat memberikan pandangan samping dan belakang dengan jelas. Pasal 44 (1) Penghapus kaca sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 huruf c, harus memenuhi persyaratan : a. sekurang-kurangnya berjumlah satu buah dipasang di bagian kaca depan; b. dilengkapi alat penyemprot kaca; c. digerakkan secara mekanis dan/atau elektronis. (2) Penghapus kaca sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mampu membersihkan bagian kaca depan dengan cukup luas sehingga pengemudi mempunyai pandangan yang jelas ke jalan. 20

21 Pasal 45 Klakson sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 huruf d, harus mengeluarkan bunyi paling rendah 83 (delapan puluh tiga) desibel (A) dan paling tinggi 118 (seratus delapan belas) desibel (A). catatan : tingkat suara paling rendah 83 (delapan puluh tiga) dan paling tinggi 118 (seratus delapan belas) desibel (A) akan diatur lebih lanjut sesuai dengan kategori kendaraannya. Pasal 46 (1) Spakbor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 huruf e, harus memiliki lebar paling sedikit selebar telapak ban. (2) Spakbor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mampu mengurangi percikan air atau lumpur ke belakang kendaraan, ataupun badan kendaraan. Pasal 47 (1) Bumper sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 huruf f, harus memenuhi persyaratan: a. dipasang di depan dan belakang untuk mobil penumpang, mobil bus dan mobil barang berbentuk tangki; b. dipasang di depan untuk mobil barang. (2) Bumper depan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh menonjol ke depan lebih dari 500 mm (lima ratus milimeter) melewati bagian badan kendaraan yang paling depan. Pasal 48 Ketentuan lebih lanjut mengenai komponen pendukung diatur dengan Peraturan Menteri yang bertanggung jawab di bidang Sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Pasal 49 Perlengkapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf b terdiri atas: a. sabuk keselamatan; b. ban cadangan; c. segitiga pengaman; d. dongkrak; e. pembuka roda; f. helm dan rompi pemantul cahaya bagi pengemudi Kendaraan Bermotor beroda empat atau lebih yang tidak memiliki rumah-rumah; dan g. peralatan pertolongan pertama pada kecelakaan. 21

22 Pasal 50 Setiap Kendaraan Bermotor yang dioperasikan di Jalan dilarang memasang perlengkapan yang dapat mengganggu keselamatan berlalu lintas. Pasal 51 (1) Untuk kepentingan tertentu, Kendaraan Bermotor dapat dilengkapi dengan lampu isyarat dan/atau sirene. (2) lampu isyarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas : a. Rotasi atau stasioner yaitu lampu peringatan khusus yang berkedip dengan memancarkan cahaya di sekeliling sumbu vertikal (Kategori T). b. Lampu flashing (Strobo) / direct ional flashing lamp yaitu lampu peringatan khusus yang memancarkan cahaya kedap-kedip dengan arah sudut tertentu (Kategori X). c. Bar Lengkap (complete bar) yaitu lampu peringatan khusus dengan dua atau lebih sistem optik yang memancarkan cahaya berkedip di sekeliling sumbu vertikal. Catatan : Refrensi UN-ECE R65 (3) lampu isyarat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dipasang dibagian atas kabin kendaraan sedemikian rupa sehingga dapat memancarkan cahaya secara efektif. Penjelasan : Pemasangan lampu tersebut dapat dipasang secara permanen maupun dapat dipindah-pindahkan (4) lampu isyarat sebagaimana pada ayat (2) huruf b dan c dipasang dibagian atas kabin kendaraan pada sumbu horizontal sejajar dengan bidang median longitudinal kendaraan. (5) lampu isyarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan: a. terlihat di siang hari dari jarak sedikitnya 200 (dua ratus) meter dari segala arah; b. posisi lampu yang berbentuk batang memanjang harus terpasang melintang dan diletakkan diatas atap kendaraan bagian luar. (6) Panjang lampu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b tidak boleh melebihi lebar kabin kendaraan. (7) sirene sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan: a. dapat mengeluarkan suara hee haw secara terus menerus seperti suara meratap; b. dalam keadaan darurat dapat mengeluarkan suara whooping Pasal 52 (1) Lampu isyarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 terdiri atas warna : a. merah; 22

23 b. biru; dan c. kuning. (2) Lampu isyarat warna merah atau biru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b serta sirene sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) berfungsi sebagai tanda Kendaraan Bermotor yang memiliki hak utama. (3) Lampu isyarat warna kuning sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c berfungsi sebagai tanda peringatan kepada Pengguna Jalan lain. (4) Penggunaan lampu isyarat dan sirene sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) sebagai berikut: a. lampu isyarat warna biru dan sirene digunakan untuk Kendaraan Bermotor petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia; b. lampu isyarat warna merah dan sirene digunakan untuk Kendaraan Bermotor tahanan, pengawalan Tentara Nasional Indonesia, pemadam kebakaran, ambulans, palang merah, rescue, dan jenazah; dan c. lampu isyarat warna kuning tanpa sirene digunakan untuk Kendaraan Bermotor patroli jalan tol, pengawasan sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, perawatan dan pembersihan fasilitas umum, menderek Kendaraan, dan angkutan barang khusus. Pasal 53 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penggunaan lampu isyarat dan sirene diatur dengan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pasal 54 (1) Sabuk keselamatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 huruf a wajib dipasang di tempat duduk pengemudi dan tempat duduk penumpang di samping tempat duduk pengemudi. (2) Sabuk keselamatan dapat dipasang di tempat duduk penumpang selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Sabuk keselamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus memenuhi persyaratan : a. paling sedikit berjumlah 3(tiga) jangkar untuk tempat duduk pengemudi dan tempat duduk penumpang paling pinggir di samping pengemudi serta paling sedikit berjumlah 2 (dua) jangkar untuk tempat duduk penumpang lainnya; b. tidak mempunyai tepi-tepi yang tajam yang dapat melukai pemakai; c. dipasang sedemikian sehingga tidak ada benda atau peralatan lain yang mengganggu fungsinya; d. kepala pengunci harus dapat dioperasikan dengan mudah. 23

24 Pasal 55 Ban cadangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 huruf b harus memenuhi persyaratan: a. memiliki ukuran yang sama dengan ban yang terpasang pada kendaraan tersebut; atau b. memiliki ukuran lebar tapak yang berbeda dengan ban yang terpasang pada kendaraan tersebut tetapi memiliki diameter keseluruhan sama. Penjelasan : yang dimaksud dengan ban cadangan adalah ban yang bertekanan Ban cadangan yang dimaksud huruf b hanya untuk digunakan sementara waktu (temporary spare tire) dan dilengkapi pemberian informasi dalam bahasa Indonesia (kecepatan max 60 km/jam pada sisi bagian luar pelek dan warna pelek temporary spare tire dapat berbeda dengan pelek pada ban normal (UNECE R 64) Pasal 56 (1) Segitiga pengaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 huruf c minimal berjumlah 2 (dua) buah. (2) Segitiga pengaman berwarna merah dan bersifat memantulkan cahaya (reflektif). Pasal 57 Dongkrak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 huruf d paling sedikit harus mampu mengangkat muatan sumbu sesuai dengan muatan sumbu terberat kendaraan bermotor yang digunakan. Pasal 58 Pembuka roda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 huruf e harus mampu membuka roda kendaraan bermotor yang digunakan dan tidak merusak komponen yang ada pada roda. Pasal 59 (1) Helm sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 huruf f harus memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI). (2) Rompi pemantul cahaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 huruf f harus mampu memantulkan cahaya, kuat dan tahan terhadap cuaca tertentu. (3) Setiap sepeda motor dengan atau tanpa kereta samping, wajib dilengkapi dengan helm sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk pengemudi dan penumpangnya. Pasal 60 Peralatan pertolongan pertama pada kecelakaan (P3K) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 huruf g paling sedikit terdiri dari : a. obat antiseptic; b. kain kassa (Perban); c. kapas; d. plester. 24

25 Pasal 61 Ketentuan lebih lanjut mengenai perlengkapan kendaraan diatur dengan Peraturan Menteri yang bertanggung jawab dibidang sarana dan prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Pasal 62 Ukuran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf c merupakan dimensi utama Kendaraan Bermotor yaitu panjang, lebar, tinggi, julur depan (front over hang), julur belakang (rear over hang), dan sudut pergi (departure angle). Pasal 63 (1) Ukuran Kendaraan Bermotor, dengan atau tanpa muatan harus memenuhi syarat: a. lebar tidak melebihi (dua ribu lima ratus) milimeter; Penjelasan : walaupun lebar (dua ribu lima ratus) milimeter, bukan berarti semua kendaraan boleh memiliki lebar maksimum (dua ribu lima ratus) milimeter tergantung dari lebar chassis asli dari pabrik pembuat dan hanya boleh ditambah dengan maksimal 50 milimeter ke kiri dan ke kanan Yang dimaksud dengan lebar maksimum adalah lebar terluar yang termasuk engsel-engsel, handle bak muatan. Namun tidak termasuk kaca spion di bagian luar kendaraan bermotor. b. tinggi tidak melebihi (empat ribu dua ratus) milimeter dan tidak lebih dari 1,7 (satu koma tujuh) kali lebar kendaraan; c. panjang tidak melebihi : ( dua belas ribu) milimeter untuk kendaran bermotor tanpa kereta gandengan atau kereta tempelan dan jenis mobil barang yang memiliki sumbu paling sedikit 4 (empat) sumbu; (tiga belas ribu tujuh ratus) millimeter untuk mobil bus yang memiliki paling sedikit 3 (tiga) sumbu; (delapan belas ribu) milimeter untuk Kendaraan Bermotor yang dilengkapi dengan kereta gandengan atau kereta tempelan. d. sudut pergi bagian belakang bawah kendaraan sekurang-kurangnya 8 (delapan derajat) diukur dari atas permukaan bidang atau jalan yang rata. e. jarak bebas (ground clearence) antara bagian permanen paling bawah kendaraan bermotor dengan permukaan bidang atau jalan yang rata. (2) Panjang bagian kendaraan tanpa muatan yang menjulur ke belakang dari sumbu paling belakang, maksimum 62,50 % (enam puluh dua koma lima puluh persen) dari jarak sumbunya (wheel base), sedangkan yang menjulur ke depan dari sumbu paling depan, maksimum 47,50 % (empat puluh tujuh koma lima puluh persen) dari jarak sumbunya. penjelasan ayat (2) : yang dimaksud dengan jarak sumbu (wheel base) kendaraan bermotor adalah jarak yang dihitung dari sumbu depan ke titik tengah diantara sumbu terdekat 25

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2012 TENTANG KENDARAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2012 TENTANG KENDARAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2012 TENTANG KENDARAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 48 ayat

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2012 TENTANG KENDARAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2012 TENTANG KENDARAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2012 TENTANG KENDARAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 48 ayat

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 1993 TENTANG KENDARAAN DAN PENGEMUDI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 1993 TENTANG KENDARAAN DAN PENGEMUDI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 1993 TENTANG KENDARAAN DAN PENGEMUDI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 1993 TENTANG KENDARAAN DAN PENGEMUDI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2012 TENTANG KENDARAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2012 TENTANG KENDARAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2012 TENTANG KENDARAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 48 ayat

Lebih terperinci

Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 1993 Tentang : Kendaraan Dan Pengemudi

Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 1993 Tentang : Kendaraan Dan Pengemudi Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 1993 Tentang : Kendaraan Dan Pengemudi Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 44 TAHUN 1993 (44/1993) Tanggal : 14 JULI 1993 (JAKARTA) Sumber : LN 1993/64; TLN NO.

Lebih terperinci

2 sektoral semata, namun lebih dimaksudkan untuk pencapaian tujuan penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana diuraikan di atas. Pemer

2 sektoral semata, namun lebih dimaksudkan untuk pencapaian tujuan penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana diuraikan di atas. Pemer TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 120) PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2012 TENTANG KENDARAAN I. UMUM

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2009 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN [LN 2009/96, TLN 5025]

UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2009 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN [LN 2009/96, TLN 5025] UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2009 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN [LN 2009/96, TLN 5025] BAB XX KETENTUAN PIDANA Pasal 273 (1) Setiap penyelenggara Jalan yang tidak dengan segera dan patut memperbaiki

Lebih terperinci

TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2009 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Lalu Lintas dan Angkutan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TEMANGGUNG NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PENGUJIAN BERKALA KENDARAAN BERMOTOR

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TEMANGGUNG NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PENGUJIAN BERKALA KENDARAAN BERMOTOR PERATURAN DAERAH KABUPATEN TEMANGGUNG NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PENGUJIAN BERKALA KENDARAAN BERMOTOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TEMANGGUNG, Menimbang : a. bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2009 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2009 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2009 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Lalu Lintas dan Angkutan

Lebih terperinci

2012, No MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN KENDARAAN BERMOTOR DI JALAN DAN PENINDAKAN PELANGGARAN LALU

2012, No MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN KENDARAAN BERMOTOR DI JALAN DAN PENINDAKAN PELANGGARAN LALU LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.187, 2012 TRANSPORTASI. Kendaraan Bermotor. Pelanggaran. Pemeriksaan. Tata Cara. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5346) PERATURAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2009 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Lalu Lintas dan Angkutan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 09 Tahun : 2010 Seri : E

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 09 Tahun : 2010 Seri : E LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 09 Tahun : 2010 Seri : E PERATURAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN

Lebih terperinci

KEMENTERIAN PERHUBUNGAN. Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Direktorat Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

KEMENTERIAN PERHUBUNGAN. Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Direktorat Lalu Lintas dan Angkutan Jalan KEMENTERIAN PERHUBUNGAN Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Direktorat Lalu Lintas dan Angkutan Jalan DASAR HUKUM 1. Undang-Undang Nomor : 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. 2. Peraturan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2009 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2009 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2009 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Lalu Lintas dan Angkutan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2009 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2009 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2009 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Lalu Lintas

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 80 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN KENDARAAN BERMOTOR DI JALAN DAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 80 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN KENDARAAN BERMOTOR DI JALAN DAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 80 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN KENDARAAN BERMOTOR DI JALAN DAN PENINDAKAN PELANGGARAN LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679); 3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2012 tentang Sumber Daya Man

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679); 3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2012 tentang Sumber Daya Man No.1296, 2015 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENHUB. Kendaraan Bermotor. Pengujian Berkala. Pencabutan PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : NOMOR PM 133 TAHUN 2015 TENTANG PENGUJIAN

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Kelayakan kendaraan angkutan barang dalam pelaksanaan pengangkutan di

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Kelayakan kendaraan angkutan barang dalam pelaksanaan pengangkutan di BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. Kelayakan kendaraan angkutan barang dalam pelaksanaan pengangkutan di jalan raya Terselenggaranya pengangkutan adalah konsekuensi logis dari adanya hubungan timbal balik

Lebih terperinci

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Pasal 273 (1) Setiap penyelenggara Jalan yang tidak dengan segera dan patut memperbaiki Jalan yang rusak yang mengakibatkan Kecelakaan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 80 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN KENDARAAN BERMOTOR DI JALAN DAN PENINDAKAN PELANGGARAN LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 80 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN KENDARAAN BERMOTOR DI JALAN DAN PENINDAKAN PELANGGARAN LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

WALIKOTA KUPANG PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR PERATURAN DAERAH KOTA KUPANG NOMOR 6 TAHUN 2017 TENTANG PENGUJIAN BERKALA KENDARAAN BERMOTOR

WALIKOTA KUPANG PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR PERATURAN DAERAH KOTA KUPANG NOMOR 6 TAHUN 2017 TENTANG PENGUJIAN BERKALA KENDARAAN BERMOTOR WALIKOTA KUPANG PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR PERATURAN DAERAH KOTA KUPANG NOMOR 6 TAHUN 2017 TENTANG PENGUJIAN BERKALA KENDARAAN BERMOTOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA KUPANG, Menimbang :

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN. NOMOR : 14 TAHUN 2007 KM. 74 Tahun 1990 TENTANG KENDARAAN PENGANGKUT PETI KEMAS DI JALAN

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN. NOMOR : 14 TAHUN 2007 KM. 74 Tahun 1990 TENTANG KENDARAAN PENGANGKUT PETI KEMAS DI JALAN PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : 14 TAHUN 2007 KM. 74 Tahun 1990 TENTANG KENDARAAN PENGANGKUT PETI KEMAS DI JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERHUBUNGAN, Menimbang Mengingat : a. bahwa

Lebih terperinci

WALI KOTA BALIKPAPAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN DAERAH KOTA BALIKPAPAN NOMOR 10 TAHUN 2015

WALI KOTA BALIKPAPAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN DAERAH KOTA BALIKPAPAN NOMOR 10 TAHUN 2015 WALI KOTA BALIKPAPAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN DAERAH KOTA BALIKPAPAN NOMOR 10 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PENGUJIAN KENDARAAN BERMOTOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALI KOTA BALIKPAPAN,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tio Agustian, 2014 Analisis front wheel alignment (fwa) pada kendaraan Daihatsu Gran Max Pick Up

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tio Agustian, 2014 Analisis front wheel alignment (fwa) pada kendaraan Daihatsu Gran Max Pick Up BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan Industri mobil di Indonesia ini sangatlah maju, dalam penggunaannya mobil digunakan sebagai sarana yang dapat membantu kebanyakan orang untuk memindahkan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 80 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN KENDARAAN BERMOTOR DI JALAN DAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 80 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN KENDARAAN BERMOTOR DI JALAN DAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 80 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN KENDARAAN BERMOTOR DI JALAN DAN PENINDAKAN PELANGGARAN LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

SOSIALISASI DALAM RANGKA : PERTEMUAN PENGUJI KENDARAAN BERMOTOR SELURUH INDONESIA TAHUN 2010

SOSIALISASI DALAM RANGKA : PERTEMUAN PENGUJI KENDARAAN BERMOTOR SELURUH INDONESIA TAHUN 2010 SOSIALISASI DALAM RANGKA : PERTEMUAN PENGUJI KENDARAAN BERMOTOR SELURUH INDONESIA TAHUN 2010 OLEH : DIREKTUR LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN DIREKTORAT JENDERAL PERHUBUNGAN DARAT JAKARTA, 31 MEI 2010 ANGKUTAN

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA YOGYAKARTA. (Berita Resmi Kota Yogyakarta) Nomor 2 Tahun 2001 Seri C PERATURAN DAERAH KOTA YOGYAKARTA (PERDA KOTA YOGYAKARTA)

LEMBARAN DAERAH KOTA YOGYAKARTA. (Berita Resmi Kota Yogyakarta) Nomor 2 Tahun 2001 Seri C PERATURAN DAERAH KOTA YOGYAKARTA (PERDA KOTA YOGYAKARTA) LEMBARAN DAERAH KOTA YOGYAKARTA (Berita Resmi Kota Yogyakarta) Nomor 2 Tahun 2001 Seri C PERATURAN DAERAH KOTA YOGYAKARTA (PERDA KOTA YOGYAKARTA) NOMOR 45 TAHUN 2000 (45/2000) TENTANG PENYELENGGARAAN PENGUJIAN

Lebih terperinci

BUPATI NUNUKAN PROVINSI KALIMANTAN UTARA

BUPATI NUNUKAN PROVINSI KALIMANTAN UTARA BUPATI NUNUKAN PROVINSI KALIMANTAN UTARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN NUNUKAN NOMOR 19 TAHUN 2015 TENTANG PENGUJIAN KENDARAAN BERMOTOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI NUNUKAN, Menimbang Mengingat

Lebih terperinci

Standar Keselamatan Sepeda Motor Roda Dua

Standar Keselamatan Sepeda Motor Roda Dua Standar Keselamatan Sepeda Motor Roda Dua Daftar Isi Daftar Isi.. i Prakata. ii 1. Ruang Lingkup 1 2. Acuan Normatif 1 3. Istilah Dan Definisi.. 1 4. Komponen Keselamatan 2 4.1. Peralatan.. 2 4.2. Sistem

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : PM 26 TAHUN OOOOOOOOOO TENTANG STANDAR KESELAMATAN LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : PM 26 TAHUN OOOOOOOOOO TENTANG STANDAR KESELAMATAN LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : PM 26 TAHUN 2015 2014OOOOOOOOOO TENTANG STANDAR KESELAMATAN LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERHUBUNGAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 1993 TENTANG PRASARANA DAN LALU LINTAS JALAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 1993 TENTANG PRASARANA DAN LALU LINTAS JALAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 1993 TENTANG PRASARANA DAN LALU LINTAS JALAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BEKASI

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BEKASI LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BEKASI NO : 10 2001 SERI : C PERATURAN DAERAH KABUPATEN BEKASI NOMOR : 25 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN PERTAMA ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BEKASI NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG

Lebih terperinci

BUPATI SIDOARJO PERATURAN BUPATI SIDOARJO NOMOR 54 TAHUN 2012 TENTANG

BUPATI SIDOARJO PERATURAN BUPATI SIDOARJO NOMOR 54 TAHUN 2012 TENTANG BUPATI SIDOARJO PERATURAN BUPATI SIDOARJO NOMOR 54 TAHUN 2012 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIDOARJO NOMOR 21 TAHUN 2011 TENTANG RETRIBUSI PENGUJIAN KENDARAAN BERMOTOR DENGAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG PEMERIKSAAN KENDARAAN BERMOTOR DI JALAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG PEMERIKSAAN KENDARAAN BERMOTOR DI JALAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 1993 T E N T A N G PEMERIKSAAN KENDARAAN BERMOTOR DI JALAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1992

Lebih terperinci

BUPATI BARITO UTARA PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN BARITO UTARA NOMOR 14 TAHUN 2015 TENTANG

BUPATI BARITO UTARA PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN BARITO UTARA NOMOR 14 TAHUN 2015 TENTANG BUPATI BARITO UTARA PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN BARITO UTARA NOMOR 14 TAHUN 2015 TENTANG IZIN ANGKUTAN BARANG DAN PENGOPERASIAN ALAT BERAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 1993 TENTANG PRASARANA DAN LALU LINTAS JALAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1992 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN [LN 1992/49, TLN 3480]

UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1992 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN [LN 1992/49, TLN 3480] UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1992 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN [LN 1992/49, TLN 3480] BAB XIII KETENTUAN PIDANA Pasal 54 Barangsiapa mengemudikan kendaraan bermotor di jalan yang tidak sesuai

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 1993 TENTANG PEMERIKSAAN KENDARAAN BERMOTOR DI JALAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 1993 TENTANG PEMERIKSAAN KENDARAAN BERMOTOR DI JALAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 1993 TENTANG PEMERIKSAAN KENDARAAN BERMOTOR DI JALAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang

Lebih terperinci

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG SALINAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG MODA TRANSPORTASI TRADISIONAL BECAK DAN ANDONG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2009 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2009 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN DAFTAR ISI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2009 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN BAB I KETENTUAN UMUM... 4 BAB II ASAS DAN TUJUAN... 6 BAB III RUANG LINGKUP KEBERLAKUAN UNDANG-UNDANG...

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 1993 TENTANG ANGKUTAN JALAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 1993 TENTANG ANGKUTAN JALAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 1993 TENTANG ANGKUTAN JALAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan

Lebih terperinci

BUPATI SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 19 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN

BUPATI SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 19 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN BUPATI SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 19 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKOHARJO, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

Standar Keselamatan Sepeda Motor Roda Tiga

Standar Keselamatan Sepeda Motor Roda Tiga Standar Keselamatan Sepeda Motor Roda Tiga Daftar Isi Daftar Isi.. i Prakata. ii 1. Ruang Lingkup 1 2. Acuan Normatif 1 3. Istilah Dan Definisi.. 1 4. Komponen Keselamatan 2 4.1. Peralatan.. 2 4.2. Sistem

Lebih terperinci

TATA CARA PEMERIKSAAN KENDARAAN BERMOTOR DI JALAN DAN PENINDAKAN PELANGGARAN LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN

TATA CARA PEMERIKSAAN KENDARAAN BERMOTOR DI JALAN DAN PENINDAKAN PELANGGARAN LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN TATA CARA PEMERIKSAAN KENDARAAN BERMOTOR DI JALAN DAN PENINDAKAN PELANGGARAN LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN http://images.hukumonline.com/ I. PENDAHULUAN Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah satu kesatuan

Lebih terperinci

2 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 101, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5422); 4. Peraturan Pemerintah Nomor 34

2 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 101, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5422); 4. Peraturan Pemerintah Nomor 34 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1244, 2014 KEMENHUB. Jalan. Marka. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 34 TAHUN 2014 TENTANG MARKA JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA SALATIGA NOMOR 15 TAHUN 2013 PERATURAN DAERAH KOTA SALATIGA NOMOR 15 TAHUN 2013

LEMBARAN DAERAH KOTA SALATIGA NOMOR 15 TAHUN 2013 PERATURAN DAERAH KOTA SALATIGA NOMOR 15 TAHUN 2013 LEMBARAN DAERAH KOTA SALATIGA NOMOR 15 TAHUN 2013 PERATURAN DAERAH KOTA SALATIGA NOMOR 15 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SALATIGA,

Lebih terperinci

DAFTAR BACAAN. Abdul Kadir, Muhammad. Hukum Pengangkutan Niaga. Bandung: Citra Aditya Bakti.1998.

DAFTAR BACAAN. Abdul Kadir, Muhammad. Hukum Pengangkutan Niaga. Bandung: Citra Aditya Bakti.1998. DAFTAR BACAAN BUKU Abdul Kadir, Muhammad. Hukum Pengangkutan Niaga. Bandung: Citra Aditya Bakti.1998. Andi Hamzah, Kamus Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1986. JH Niuewenhuis, Pokok-Pokok Hukum Perikatan,

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT NOMOR 3 TAHUN 2006 TENTANG PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN KELEBIHAN MUATAN ANGKUTAN BARANG DI KALIMANTAN BARAT

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT NOMOR 3 TAHUN 2006 TENTANG PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN KELEBIHAN MUATAN ANGKUTAN BARANG DI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT NOMOR 3 TAHUN 2006 TENTANG PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN KELEBIHAN MUATAN ANGKUTAN BARANG DI KALIMANTAN BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2017 NOMOR 25

BERITA DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2017 NOMOR 25 BERITA DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2017 NOMOR 25 PERATURAN BUPATI BANJARNEGARA NOMOR 25 TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN PELAYANAN TERPADU PENGUJIAN KENDARAAN BERMOTOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN DARAT NOMOR : SK.2574/AJ.403/DRJD/2017

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN DARAT NOMOR : SK.2574/AJ.403/DRJD/2017 PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN DARAT NOMOR : SK.2574/AJ.403/DRJD/2017 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN INSPEKSI KESELAMATAN LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DIREKTUR

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR. TAHUN 2010 TENTANG

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR. TAHUN 2010 TENTANG RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR. TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN KENDARAAN BERMOTOR DI JALAN DAN PENINDAKAN PELANGGARAN LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 12 TAHUN 2002 TENTANG RETRIBUSI PENGUJIAN KENDARAAN BERMOTOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 12 TAHUN 2002 TENTANG RETRIBUSI PENGUJIAN KENDARAAN BERMOTOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 12 TAHUN 2002 TENTANG RETRIBUSI PENGUJIAN KENDARAAN BERMOTOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEMBRANA, Menimbang : a. bahwa untuk mengimplementasikan

Lebih terperinci

BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG

BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 18 TAHUN 2012 TENTANG RETRIBUSI PENGUJIAN

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR. TAHUN 2010 TENTANG

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR. TAHUN 2010 TENTANG RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR. TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN KENDARAAN BERMOTOR DI JALAN DAN PENINDAKAN PELANGGARAN LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN PEKALONGAN

PEMERINTAH KABUPATEN PEKALONGAN PEMERINTAH KABUPATEN PEKALONGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PEKALONGAN NOMOR 4 TAHUN 2008 T E N T A N G PENGUJIAN KENDARAAN BERMOTOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PEKALONGAN, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

Mengenal Undang Undang Lalu Lintas

Mengenal Undang Undang Lalu Lintas Mengenal Undang Undang Lalu Lintas JAKARTA, Telusurnews Sejak Januari 2010 Undang Undang Lalu Lintas Nomor 22 Tahun 2009 sudah efektif diberlakukan, menggantikan Undang Undang Nomor 14 Tahun 1992. Namun

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN MADIUN SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MADIUN NOMOR 9 TAHUN 2010 TENTANG PENGUJIAN KENDARAAN BERMOTOR

PEMERINTAH KABUPATEN MADIUN SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MADIUN NOMOR 9 TAHUN 2010 TENTANG PENGUJIAN KENDARAAN BERMOTOR PEMERINTAH KABUPATEN MADIUN SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MADIUN NOMOR 9 TAHUN 2010 TENTANG PENGUJIAN KENDARAAN BERMOTOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MADIUN, Menimbang : a. bahwa dengan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA TARAKAN NOMOR 11 TAHUN 2002 TENTANG PENGUJIAN KENDARAAN BERMOTOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TARAKAN,

PERATURAN DAERAH KOTA TARAKAN NOMOR 11 TAHUN 2002 TENTANG PENGUJIAN KENDARAAN BERMOTOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TARAKAN, PERATURAN DAERAH KOTA TARAKAN NOMOR 11 TAHUN 2002 TENTANG PENGUJIAN KENDARAAN BERMOTOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TARAKAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka menunjang keselamatan lalu lintas

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 2 TAHUN 2005 TENTANG PENGUJIAN KENDARAAN BERMOTOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SLEMAN,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 2 TAHUN 2005 TENTANG PENGUJIAN KENDARAAN BERMOTOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SLEMAN, PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 2 TAHUN 2005 TENTANG PENGUJIAN KENDARAAN BERMOTOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SLEMAN, Menimbang : a. bahwa salah satu upaya mewujudkan jaminan keselamatan

Lebih terperinci

4. Undang Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 96, Tambahan

4. Undang Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 96, Tambahan you RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUMAS NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PENGUJIAN KENDARAAN BERMOTOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANYUMAS, Menimbang : a. bahwa dalam upaya

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 74 TAHUN 2014 TENTANG ANGKUTAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 74 TAHUN 2014 TENTANG ANGKUTAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 74 TAHUN 2014 TENTANG ANGKUTAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

BUPATI LANDAK PERATURAN BUPATI LANDAK NOMOR 27 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN RETRIBUSI PENGUJIAN KENDARAAN BERMOTOR

BUPATI LANDAK PERATURAN BUPATI LANDAK NOMOR 27 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN RETRIBUSI PENGUJIAN KENDARAAN BERMOTOR BUPATI LANDAK PERATURAN BUPATI LANDAK NOMOR 27 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN RETRIBUSI PENGUJIAN KENDARAAN BERMOTOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LANDAK, Menimbang : Mengingat : bahwa

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 4 TAHUN 2011 TENTANG

PEMERINTAH PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 4 TAHUN 2011 TENTANG SALINAN PEMERINTAH PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 4 TAHUN 2011 TENTANG PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN MUATAN LEBIH ANGKUTAN BARANG DI SULAWESI SELATAN DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

KABUPATEN CIANJUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIANJUR

KABUPATEN CIANJUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIANJUR Status:Dicabut dengan perda No.09 tahun 2012 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIANJUR NOMOR 09 TAHUN 2011 PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIANJUR NOMOR 04 TAHUN 2011 TENTANG RETRIBUSI PENGUJIAN KENDARAAN BERMOTOR

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANGKA SELATAN TAHUN 2009 NOMOR 13

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANGKA SELATAN TAHUN 2009 NOMOR 13 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANGKA SELATAN TAHUN 2009 NOMOR 13 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA SELATAN NOMOR 13 TAHUN 2009 TENTANG PENETAPAN KAWASAN TERTIB LALU LINTAS DAN PENYELENGGARAANNYA DI KABUPATEN

Lebih terperinci

GUBERNUR KEPALA DAERAH TINGKAT I JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH TINGKAT I JAWA TIMUR NOMOR 31 TAHUN 1994 TENTANG

GUBERNUR KEPALA DAERAH TINGKAT I JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH TINGKAT I JAWA TIMUR NOMOR 31 TAHUN 1994 TENTANG GUBERNUR KEPALA DAERAH TINGKAT I JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH TINGKAT I JAWA TIMUR NOMOR 31 TAHUN 1994 TENTANG PENGOPERASIAN KENDARAAN BERMOTOR DI BIDANG PENGUJIAN IZIN TRAYEK, IZIN OPERASI

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN KAPUAS

PEMERINTAH KABUPATEN KAPUAS SALINAN PEMERINTAH KABUPATEN KAPUAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN KAPUAS NOMOR 5 TAHUN 2005 T E N T A N G RETRIBUSI PENGUJIAN KENDARAAN BERMOTOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KAPUAS Menimbang :

Lebih terperinci

UU NOMOR 14 TAHUN 1992 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN BAB I KETENTUAN UMUM. Pasal 1

UU NOMOR 14 TAHUN 1992 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN BAB I KETENTUAN UMUM. Pasal 1 Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan: UU NOMOR 14 TAHUN 1992 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 1. Lalu lintas adalah gerak kendaraan, orang, dan hewan di jalan;

Lebih terperinci

PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 4 TAHUN 2012 TENTANG PENGENDALIAN KELEBIHAN MUATAN ANGKUTAN BARANG

PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 4 TAHUN 2012 TENTANG PENGENDALIAN KELEBIHAN MUATAN ANGKUTAN BARANG PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 4 TAHUN 2012 TENTANG PENGENDALIAN KELEBIHAN MUATAN ANGKUTAN BARANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TIMUR,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA, MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 108 TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN ANGKUTAN ORANG DENGAN KENDARAAN BERMOTOR UMUM TIDAK DALAM TRAYEK

Lebih terperinci

MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN BUPATI TENTANG TATA CARA PENYELENGGARAAN PENGUJIAN BERKALA KENDARAAN BERMOTOR DI KABUPATEN BULUNGAN.

MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN BUPATI TENTANG TATA CARA PENYELENGGARAAN PENGUJIAN BERKALA KENDARAAN BERMOTOR DI KABUPATEN BULUNGAN. BUPATI BULUNGAN SALINAN PERATURAN BUPATI BULUNGAN NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PENYELENGGARAAN PENGUJIAN BERKALA KENDARAAN BERMOTOR DI KABUPATEN BULUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 74 TAHUN 2014 TENTANG ANGKUTAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 74 TAHUN 2014 TENTANG ANGKUTAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 74 TAHUN 2014 TENTANG ANGKUTAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 137

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.260, 2014 PERHUBUNGAN. Transportasi. Angkutan Jalan. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5594) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA BONTANG NOMOR 8 TAHUN 2003 TENTANG PENYELENGGARAAN PENGUJIAN BERKALA KENDARAAN BERMOTOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KOTA BONTANG NOMOR 8 TAHUN 2003 TENTANG PENYELENGGARAAN PENGUJIAN BERKALA KENDARAAN BERMOTOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KOTA BONTANG NOMOR 8 TAHUN 2003 TENTANG PENYELENGGARAAN PENGUJIAN BERKALA KENDARAAN BERMOTOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BONTANG, Menimbang : a. bahwa dalam Peraturan Pemerintah

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM 61 TAHUN 1993 TENTANG RAMBU-RAMBU LALU LINTAS DI JALAN MENTERI PERHUBUNGAN,

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM 61 TAHUN 1993 TENTANG RAMBU-RAMBU LALU LINTAS DI JALAN MENTERI PERHUBUNGAN, KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM 61 TAHUN 1993 TENTANG RAMBU-RAMBU LALU LINTAS DI JALAN MENTERI PERHUBUNGAN, Menimbang : a. bahwa dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1993 tentang Prasarana

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA SELATAN

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA SELATAN PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA SELATAN NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN PENGUJIAN BERKALA KENDARAAN BERMOTOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA

Lebih terperinci

Walikota Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat

Walikota Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat - 1 - Menimbang : a. RANCANGAN Walikota Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat PERATURAN DAERAH KOTA TASIKMALAYA NOMOR 15 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN DI KOTA TASIKMALAYA

Lebih terperinci

WALIKOTA DUMAI PROVINSI RIAU PERATURAN WALIKOTA DUMAI NOMOR 15 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN PENGUJIAN DAN UJI GAS EMISI BUANG KENDARAAN BERMOTOR

WALIKOTA DUMAI PROVINSI RIAU PERATURAN WALIKOTA DUMAI NOMOR 15 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN PENGUJIAN DAN UJI GAS EMISI BUANG KENDARAAN BERMOTOR WALIKOTA DUMAI PROVINSI RIAU PERATURAN WALIKOTA DUMAI NOMOR 15 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN PENGUJIAN DAN UJI GAS EMISI BUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA DUMAI, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 79 TAHUN 2013 TENTANG JARINGAN LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 79 TAHUN 2013 TENTANG JARINGAN LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA SALINAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 79 TAHUN 2013 TENTANG JARINGAN LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TENGAH NOMOR 4 TAHUN 2001 TENTANG TERTIB PEMANFAATAN JALAN DAN PENGENDALIAN KELEBIHAN MUATAN

PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TENGAH NOMOR 4 TAHUN 2001 TENTANG TERTIB PEMANFAATAN JALAN DAN PENGENDALIAN KELEBIHAN MUATAN PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TENGAH NOMOR 4 TAHUN 2001 TENTANG TERTIB PEMANFAATAN JALAN DAN PENGENDALIAN KELEBIHAN MUATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TENGAH Menimbang:a. bahwa jalan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN KAYONG UTARA

PEMERINTAH KABUPATEN KAYONG UTARA PEMERINTAH KABUPATEN KAYONG UTARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN KAYONG UTARA NOMOR 24 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENGUJIAN KENDARAAN BERMOTOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KAYONG UTARA,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 1993 TENTANG ANGKUTAN JALAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 1993 TENTANG ANGKUTAN JALAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 1993 TENTANG ANGKUTAN JALAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace dicabut: UU 22-2009 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 49, 1992 (ADMINISTRASI. PERHUBUNGAN. Kendaraan. Prasarana. Penjelasan dalam Tambahan Lembaran

Lebih terperinci

PELAKSANAAN PEMERIKSAAN KEAMANAN/KELAYAKAN KENDARAAN

PELAKSANAAN PEMERIKSAAN KEAMANAN/KELAYAKAN KENDARAAN KODE MODUL OPKR-10-013C SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN BIDANG KEAHLIAN TEKNIK MESIN PROGRAM KEAHLIAN TEKNIK BODI OTOMOTIF PELAKSANAAN PEMERIKSAAN KEAMANAN/KELAYAKAN KENDARAAN BAGIAN PROYEK PENGEMBANGAN KURIKULUM

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN ILIR NOMOR : 08 TAHUN 2006 TENTANG PENGUJIAN KENDARAN BERMOTOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI OGAN ILIR,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN ILIR NOMOR : 08 TAHUN 2006 TENTANG PENGUJIAN KENDARAN BERMOTOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI OGAN ILIR, PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN ILIR NOMOR : 08 TAHUN 2006 TENTANG PENGUJIAN KENDARAN BERMOTOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI OGAN ILIR, Menimbang : a. bahwa salah satu upaya mewujudkan jaminan

Lebih terperinci

- 2 - Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);

- 2 - Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844); BUPATI TRENGGALEK PERATURAN BUPATI TRENGGALEK NOMOR 149 TAHUN 2011 TENTANG PENGUJIAN KENDARAAN BERMOTOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TRENGGALEK, Menimbang:a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL

BERITA DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL BERITA DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 22 Tahun : 2011 Seri : E PERATURAN BUPATI GUNUNGKIDUL NOMOR 33 TAHUN 2011 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 79 TAHUN 2013 TENTANG JARINGAN LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 79 TAHUN 2013 TENTANG JARINGAN LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 79 TAHUN 2013 TENTANG JARINGAN LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

LANGGAR ATURAN SANKSI MENUNGGU TAHAP II

LANGGAR ATURAN SANKSI MENUNGGU TAHAP II LANGGAR ATURAN SANKSI MENUNGGU TAHAP II Ada banyak hal yang termasuk kategori pelanggaran lalu lintas yang diatur dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009. Dan sudah seharusnya masyarakat mengetahui jenis

Lebih terperinci

2013, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah ser

2013, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah ser LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.193, 2013 TRANSPORTASI. Perhubungan. Lalu Lintas. Angkutan Jalan. Jaringan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5468) PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN TRENGGALEK SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG RETRIBUSI PENGUJIAN KENDARAAN BERMOTOR

PEMERINTAH KABUPATEN TRENGGALEK SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG RETRIBUSI PENGUJIAN KENDARAAN BERMOTOR PEMERINTAH KABUPATEN TRENGGALEK SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG RETRIBUSI PENGUJIAN KENDARAAN BERMOTOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TRENGGALEK, Menimbang

Lebih terperinci

PENYELENGGARAAN PENGUJIAN KENDARAAN BERMOTOR

PENYELENGGARAAN PENGUJIAN KENDARAAN BERMOTOR PERATURAN DAERAH KOTA YOGYAKARTA NOMOR 16 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN PENGUJIAN KENDARAAN BERMOTOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA YOGYAKARTA, Menimbang : a. bahwa dalam upaya menjamin

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG TAHUN 2011 S A L I N A N

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG TAHUN 2011 S A L I N A N 9 PEBRUARI 2011 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG TAHUN 2011 S A L I N A N SERI C NOMOR 16 PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 26 TAHUN 2010 TENTANG RETRIBUSI PENGUJIAN KENDARAAN BERMOTOR DENGAN RAKHMAT

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANAH LAUT TAHUN 2012 NOMOR 4

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANAH LAUT TAHUN 2012 NOMOR 4 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANAH LAUT TAHUN 2012 NOMOR 4 PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANAH LAUT NOMOR 4 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PENGUJIAN KENDARAAN BERMOTOR DI KABUPATEN TANAH LAUT DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG PENGENDALIAN MUATAN ANGKUTAN BARANG DI JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TENGAH, Menimbang

Lebih terperinci

Lampiran I Peraturan Direktur Jenderal Perhubungan Darat Nomor : SK.523/AJ.402/DRJPD/2015 Tanggal : 25 Februarai 2015

Lampiran I Peraturan Direktur Jenderal Perhubungan Darat Nomor : SK.523/AJ.402/DRJPD/2015 Tanggal : 25 Februarai 2015 Lampiran I Peraturan Direktur Jenderal Perhubungan Darat Nomor : SK.523/AJ.402/DRJPD/2015 Tanggal : 25 Februarai 2015 PEDOMAN PELAKSANAAN INSPEKSI KESELAMATAN LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN BIDANG ANGKUTAN

Lebih terperinci