BAB I PENDAHULUAN. Perdagangan orang merupakan salah satu problematika yang dihadapi

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. Perdagangan orang merupakan salah satu problematika yang dihadapi"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perdagangan orang merupakan salah satu problematika yang dihadapi komunitas internasional saat ini. Semua negara, dalam level yang berbeda-beda, dihadapkan dengan isu perdagangan orang. Dalam konteks perdagangan orang, negara dapat menjadi negara sumber, transit, tujuan, atau kombinasi dari ketiganya. Menurut UN Office on Drugs and Crime, perdagangan orang menempati posisi ketiga kejahatan internasional dengan tingkat pertumbuhan tercepat setelah perdagangan senjata dan perdagangan obat-obatan terlarang. 1 Jumlah korban perdagangan orang ini tidak dapat ditentukan secara pasti, namun diperkirakan terdapat setidaknya 2,6 juta jiwa yang terjebak dalam jaringan perdagangan orang 2 dan sedikitnya orang tiap tahunnya diselundupkan melewati lintas batas negaranya untuk tujuan eksploitasi. 3 Jumlah ini belum termasuk jumlah perdagangan manusia yang terjadi di dalam negeri. 4 1 Sixty-seventh General Assembly Third Committee Meeting, 11 Oktober 2012, Heinous, Fast-Growing Crimes of Human, Drug Trafficking Will Continue to Ravage World s Economies without Coordinated Global Action, Third Committee Told, press release, diakses melalui tanggal 1 April ILO Global Alliance Against Forced Labour, 2005, Global Report under the Follow-up to The ILO Declaration on Fundamental Principles and Rights at Work 2005, International Labour Conference 93th Session 2005, Report I(B), International Labour Office, Geneva, diakses melalui: tanggal 1 April 2014, para. 37 & United States Department of State, 12 Juni 2007, U.S. Department of State 2007 Trafficking in Persons Report, diakses melalui tanggal 1 April Angka yang dicantumkan di atas adalah berdasarkan penelitian US State Department pada tahun Angka yang didapat dari Laporan U.S. State Department dan Laporan ILO di atas merupakan data yang paling sering dikutip dalam berbagai laporan dan penelitian mengenai perdagangan orang. 4 Ibid.. 1

2 Tidak dapat dipungkiri bahwa perdagangan orang merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Manusia diperlakukan seolah-olah barang yang dapat diperjual-belikan dan dieksploitasi. Korban ditipu, diancam, dan dipaksa untuk bekerja tanpa diberikan hak-haknya sebagai pekerja. Selama dalam jeratan trafficker (pelaku tindak perdagangan orang), korban menderita ancaman dan kekerasan baik fisik, mental, dan seksual. Banyak kasus menunjukkan bahwa korban perdagangan sering kali dikurung di bawah tanah tanpa cahaya. 5 Korban kerap dipukuli hingga babak belur, dan lukanya tidak mendapat perawatan medis. 6 Kekerasan yang dialami korban perdagangan orang ini bisa dianggap setara dengan tindak penyiksaan atau perlakuan atau penghukuman kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia lainnya. 7 Solusi ideal bagi korban perdagangan orang adalah repatriasi atau pulang ke tempat asalnya agar dapat berkumpul kembali bersama keluarga dan temantemannya. Akan tetapi, dalam kasus-kasus tertentu, korban memiliki alasan-alasan yang wajar untuk menghindar pulang ke negara asalnya. Ada kalanya, sekembalinya ke rumahnya, korban mengalami pengucilan dari masyarakat akibat dianggap pernah terlibat dalam perdagangan orang, terutama jika korban merupakan korban dari perdagangan orang untuk tujuan sex. 8 Selain itu, korban yang telah lama terisolasi dari dunia luar akan kesulitan memperoleh pekerjaan 5 Human Rights Council, 15 Januari 2008, UN Special Rapporteur on Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (A/HRC/7/3), diakses melalui tanggal 1 April 2014, para Ibid. 7 Ibid. 8 Anders Lisborg dan Sine Plambech, 2009, Going Back Moving On: A Synthesis Report of The Trends And Experiences Of Returned Trafficking Victims in Thailand And The Philippines, Laporan Penelitian, ILO - HSF Project: Economic and Social Empowerment of Returned Victims of Trafficking in Thailand and the Philippines, ILO Regional Office for Asia and the Pacific, Bangkok, Thailand, diakses melalui: en/index.htm tanggal 20 April 2014, hlm.40. 2

3 yang layak, mengingat kebanyakan dari mereka tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan cukup untuk bersaing dalam pangsa kerja. 9 Akibatnya, korban justru rentan terhadap risiko re-trafficking (diperdagangkan lagi). Dalam situasi tersebut, repatriasi bukanlah pilihan yang aman bagi korban. Di sisi lain, dalam hukum internasional terdapat prinsip non-refoulement yang melarang negara untuk mengusir atau memulangkan individu asing ke negara di mana keselamatan atau kebebasan individu tersebut terancam. Keberadaan prinsip non-refoulement ini disebutkan secara eksplisit dalam 2000 Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons Especially Women and Children, supplementing the United Nations Convention against Transnational Organized Crime (selanjutnya Protokol Perdagangan Orang) 10 yang merupakan perangkat hukum internasional yang mengatur perihal perdagangan orang. Dalam Pasal 14 sub alinea (a) selengkapnya disebutkan bahwa: Nothing in this Protocol shall affect the rights, obligations and responsibilities of States and individuals under international human rights law and, in particular, where applicable, the 1951 Convention and the 1967 Protocol relating to the Status of Refugees and the principle of non-refoulement as contained therein. (Tidak ada dalam Protokol ini yang dapat mempengaruhi hak, kewajiban dan tanggung jawab Negara dan individu berdasarkan hukum internasional hak asasi manusia Internasional dan, khususnya, di mana dapat diterapkan, Konvensi 1951 dan Protokol 1967 mengenai Status Pengungsi dan prinsip nonrefoulement sebagaimana tercantum di dalamnya). 9 Ibid, hlm Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons Especially Women and Children, supplementing the United Nations Convention against Transnational Organized Crime, (Protokol Perdagangan Orang) ratifikasi dan aksesi berdasarkan General Assembly Resolution 55/25 Annex II, U.N. GAOR, UN Doc. A/45/49 tanggal 15 November 2000, berlaku mengikat sejak 25 Desember Sebanyak 161 Negara Pihak sampai dengan November 2014, diakses melalui tanggal 1 April

4 Berdasarkan rumusan Pasal tersebut berarti Protokol Perdagangan Orang mengakui dan menghormati prinsip non-refoulement. Dengan demikian, jika kepulangan korban ke negara asalnya justru berisiko membahayakan keselamatan jiwa atau kebebasan hak asasi korban, maka non-refoulement berlaku dan Negara tidak dapat mengusir atau memulangkan paksa korban. Berangkat dari fakta tersebut maka penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai hubungan antara prinsip non-refoulement dan perdagangan orang dan mengkaji penerapan prinsip non-refoulement sebagai alternatif perlindungan korban perdagangan orang yang karena alasan tertentu menolak repatriasi atau pulang ke negara asalnya. B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang menjadi fokus pembahasan dalam penelitian ini adalah bagaimana penerapan prinsip nonrefoulement sebagai alternatif perlindungan dalam konteks korban perdagangan orang yang menolak repatriasi atau pulang ke negara asalnya? C. Keaslian Penelitian Penelitian hukum ini menitik-beratkan pada penerapan prinsip non-refoulement dalam konteks korban perdagangan orang yang menolak repatriasi atau pulang ke negara asalnya. Penulisan hukum yang mengangkat isu mengenai perdagangan orang yang ada di Fakultas Hukum Gajah Mada hingga saat ini cenderung berfokus pada masalah pencegahan dan proses hukum para pelaku serta perlindungan korban 4

5 perdagangan orang secara umum. Sepanjang pengetahuan penulis, penelitian terhadap topik non-refoulement dalam kasus perdagangan orang belum dilakukan. Dengan demikian, penulis menyatakan bahwa penelitian ini murni merupakan hasil karya penulis dan keasliannya tidak dapat diragukan. D. Tujuan Penelitian Sesuai dengan rumusan masalah yang menjadi pokok pembahasan dalam penelitian ini, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penerapan prinsip non-refoulement sebagai alternatif perlindungan dalam konteks korban perdagangan orang yang menolak repatriasi atau pulang ke negara asalnya. E. Manfaat Penelitian Ada dua manfaat yang diharapkan dapat dicapai melalui penelitian ini. Manfaat pertama, yakni manfaat obyektif, adalah agar hasil penelitian ini kiranya dapat berkontribusi dalam pengembangan pengetahuan hukum internasional, khususnya dalam hal upaya perlindungan korban perdagangan orang yang menolak pulang ke negara asalnya. Manfaat kedua yang ingin dicapai adalah manfaat subyektif, yaitu hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan penulisan hukum memenuhi syarat memperoleh gelar sarjana hukum. 5

6 F. Tinjauan Pustaka Protokol Perdagangan Orang yang merupakan standar internasional dalam upaya pencegahan, pemberantasan, dan perlindungan korban perdagangan orang, memberikan batasan definisi perdagangan orang atau trafficking in person sebagai berikut: a. perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan dan penerimaan seseorang dengan cara: - ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentukbentuk lain dari pemaksaan; - penculikan; - penipuan; - kebohongan; - penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan; atau - memberi atau menerima pembayaran atau memperoleh keuntungan agar dapat memperoleh persetujuan dari seseorang yang berkuasa atas orang lain untuk tujuan eksploitasi eksploitasi termasuk paling tidak: - eksploitasi untuk melacurkan orang lain atau bentukbentuk lain dari eksploitasi seksual; - kerja atau layanan paksa; - perbudakan atau praktik-praktik serupa perbudakan; - penghambaan; - pengambilan organ tubuh b. Persetujuan korban perdagangan manusia terhadap eksploitasi yang dimaksud dalam sub-alinea (a) ini tidak akan relevan jika salah satu dari cara-cara yang dimuat dalam sub-alinea (a) digunakan; c. Perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan atau penerimaan seorang anak untuk tujuan eksploitasi dipandang sebagai perdagangan manusia sekalipun tindakan ini tidak melibatkan satu pun cara yang dikemukakan dalam sub-alinea (a) Pasal ini; d. Anak adalah setiap orang yang berumur di bawah delapan belas tahun Pasal 3 Protokol Perdagangan Orang. 6

7 Berdasarkan definisi perdagangan orang tersebut di atas, maka terdapat tiga unsur untuk menentukan apakah suatu tindak kejahatan telah memenuhi kualifikasi tindak perdagangan orang. Ketiga unsur tersebut adalah: 1. perbuatan (way) yaitu berupa perekrutan, transportasi, pemindahan, penempatan dan penerimaan orang. 2. Cara (means) melalui unsur ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk paksaan lain seperti penculikan, tipu daya, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau kedudukan rentan atau pemberian atau penerimaan pembayaran atau keuntungan untuk memperoleh persetujuan dari orang-orang. Tipu daya terjadi dalam bentuk ketidaksesuaian antara apa yang dijanjikan dan realisasinya terutama menyangkut jenis pekerjaan dan kondisi kerja, misalnya seorang wanita yang diiming-imingi akan dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga di luar negeri, sesampainya di negara tujuan justru dijadikan pelacur. 12 Penyalahgunaan kedudukan rentan (abuse of position of vulnerability) haruslah dimengerti sebagai sebuah situasi di mana seseorang tidak memiliki alternatif nyata atau yang dapat diterima, terkecuali untuk pasrah pada penyalahgunaan yang terjadi Tujuan (purpose), yaitu untuk eksploitasi, mencakup setidak-tidaknya -namun tidak terbatas pada- pelacuran, bentuk-bentuk eksploitasi 12 Supriyadi Widodo Eddyono, 2005, Perdagangan Manusia dalam Rancangan KUHP, ELSAM, Jakarta, diakses melalui tanggal 1 April 2014, hlm Ibid. 7

8 seksual lainnya, kerja paksa, perbudakan, penghambaan dan pengambilan organ tubuh. Terkait dengan persetujuan korban, Protokol Perdagangan Orang secara jelas menegaskan bahwa persetujuan korban tersebut tidak lagi berarti bilamana caracara pemaksaan atau penipuan sebagaimana diuraikan dalam definisi di atas telah digunakan. Hal ini didasarkan bahwa secara rasional, tidak ada seorang pun yang mau untuk diperdagangkan dan dieksploitasi dan diperlakukan semena-mena. Korban mungkin setuju untuk diselundupkan dan bekerja di luar negeri misalnya dalam bisnis prostitusi, namun hal itu tidak berarti bahwa korban setuju untuk bekerja dalam kondisi eksploitasi yang terjadi dalam perdagangan orang. Ketika yang menjadi korban perdagangan orang adalah seseorang yang berumur di bawah delapan belas tahun maka korban adalah seorang anak di mata Protokol Perdagangan Orang. Dalam kasus demikian, maka perbuatan perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan atau penerimaan seorang anak untuk tujuan eksploitasi sudah memenuhi kualifikasi tindak perdagangan orang tanpa perlu mempertimbangkan ada tidaknya unsur cara seperti ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk paksaan lain, penculikan, tipu daya, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau kedudukan rentan atau pemberian atau penerimaan pembayaran atau keuntungan untuk memperoleh persetujuan dari orang-orang. Kasus perdagangan orang sering kali disalah-fahami dengan kasus penyelundupan orang (human smuggling). Meskipun terdapat kemiripan antara 8

9 praktik perdagangan orang dan penyelundupan orang, namun keduanya pada dasarnya merupakan dua bentuk tindak kejahatan yang berbeda. Dalam perdagangan orang terdapat unsur ancaman, paksaaan, kekerasan, atau tipu daya, sebaliknya penyelundupan orang terjadi karena permintaan dari orang yang ingin diselundupkan. Orang yang diselundupkan dengan suka rela membayar penyelundup atau smuggler agar dapat masuk ke negara lain. Penyelundupan orang hanya memiliki tahap pemindahan atau transportasi dari negara asal ke negara tujuan. Sesampainya di negara tujuan, hubungan antara orang yang diselundupkan dengan penyelundupnya selesai. Hal ini berbeda dengan kasus perdagangan orang di mana korban mengalami ekploitasi di negara tujuan. Perbedaan lain adalah perdagangan orang dapat tejadi baik secara internal dalam negeri maupun lintas batas negara, sedangkan penyelundupan orang selalu dalam bentuk lintas batas negara. Masuknya orang-orang melalui jalur penyelundupan orang adalah ilegal. Pada umumnya orang-orang yang menggunakan jasa penyelundup untuk masuk ke negara lain mengetahui dan sadar bahwa tindakan tersebut adalah melanggar hukum. Oleh karena itu, negara-negara pada umumnya tidak memandang mereka sebagai korban, melainkan pelaku kejahatan dan oleh karena itu dapat dikenai sanksi hukum, misalnya dalam bentuk deportasi. Akan tetapi, perlu digaris-bawahi bahwa kasus penyelundupan orang dapat berubah menjadi kasus perdagangan orang, tergantung dengan ada tidaknya unsur eksploitasi yang menjadi ciri khas perdagangan orang sesampainya di negara tujuan. Telah disebutkan sebelumnya bahwa persetujuan korban dalam perdagangan orang menjadi tidak relevan jika 9

10 cara-cara pemaksaan atau penipuan telah digunakan. Contoh kasus misalnya seseorang setuju menggunakan dan membayar jasa penyelundup untuk masuk ke wilayah snegara lain. Namun sesampainya di negara tujuannya, penyelundup atau pihak lain memanfaatkan kondisi rentannya sebagai orang asing tak berdokumen dan mengeksploitasinya. Dalam situasi tersebut maka kasus yang semula adalah kasus penyelundupan orang biasa telah berubah menjadi kasus perdagangan orang. Orang tersebut, terlepas dari niatnya semula untuk menyelundup masuk ke negara lain, harus dipandang sebagai korban perdagangan orang yang berhak mendapat perlindungan. Di sisi lain, dalam hukum internasional dikenal prinsip non-refoulement. Istilah refoulement berasal dari bahasa Prancis, refouler yang berarti memukul mundur (to repel) atau mengembalikan (to drive back). 14 Maka non-refoulement secara sederhana dapat diartikan tidak boleh mengembalikan. Larangan terhadap refoulement dimuat secara eksplisit dalam Pasal 33 ayat (1) 1951 Geneva Convention Relating to the Status of Refugees (selanjutnya Konvensi Jenewa 1951) 15 yang menyebutkan: No Contracting State shall expel or return ( refouler ) a refugee in any manner whatsoever to the frontiers of territories where his [or her] life or freedom would be threatened on account of his [or her] race, religion, nationality, membership of a particular social group or political opinion 14 Lami Bertan Tokuzlu, 2006, Non-Refoulement Principle in a Changing European Legal Environment with Particular Emphasis on Turkey, a Candidate Country at the External Borders of The EU. Disertasi. Marmara Universitesi, Istambul, Turkey, diakses melalui: tanggal 20 April 2014, hlm Geneva Convention Relating to the Status of Refugees, 189 U.N.T.S. 150 diadopsi tanggal 28 Juli 1951, berlaku mengikat sejak 22 April 1954, 145 Negara Pihak sampai dengan tahun 2014, dapat diakses melalui tanggal 1 April

11 (Tidak ada Negara Pihak yang boleh mengusir atau mengembalikan (refouler) pengungsi dengan cara apa pun ke perbatasan wilayah ketika hidup atau kebebasannya akan terancam karena rasnya, agamanya, kebangsaannya, keanggotaannya dalam kelompok sosial tertentu, atau pandangan politiknya) 16 Ketentuan Pasal 33 (1) di atas mengandung konsekuensi hukum bahwa Negara-Negara Pihak dalam Konvensi Jenewa 1951 terikat untuk tidak mengusir atau memulangkan individu asing yang berada di wilayah teritorialnya ke negara di mana keselamatan jiwa dan kebebasan individu yang bersangkutan terancam atas dasar alasan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan dalam kelompok tertentu, atau opini politiknya. Penggunaan frase...in mannner whatsoever (dengan cara apa pun)... dalam Pasal 33 ayat 1 Konvensi Jenewa 1951 ini menunjukan bahwa non-refoulement berlaku pada segala bentuk pengusiran atau pemindahan paksa (forcible removal) termasuk di dalamnya deportasi, pengusiran (expulsion), ekstradisi, rendition, penolakan izin masuk, dan segala bentuk pengusiran atau pengembalian paksa lainnya. Konvensi Jenewa 1951 merupakan landasan perlindungan internasional bagi pengungsi, maka berarti hak-hak dan kewajiban yang diatur di dalamnya, termasuk pula prinsip non-refoulement, berlaku terhadap pengungsi dan pencari suaka. Pengungsi menurut Konvensi 1951 adalah individu yang berada di luar wilayah negaranya, memiliki ketakutan yang beralasan akan mengalami persekusi atau penganiayaan, karena dasar ras, agama, kebangsaan, keanggotaan dalam kelompok 16 Pasal 33 ayat (1) Konvensi Jenewa 195, cetak tebal oleh Penulis. 11

12 sosial tertentu atau opini politiknya, dan individu tersebut tidak mau pulang atau menolak pelindungan hukum dari negara asalnya. Sedangkan pencari suaka adalah individu yang mencari suaka di negara lain. Pencari suaka mungkin adalah seorang pengungsi sehingga prinsip non-refoulement menurut Konvensi Jenewa 1951 juga berlaku baginya sampai status pengungsinya ditentukan. Prinsip non-refoulement berlaku mutlak dan hanya dapat dikecualikan jika terdapat kondisi yang menggugurkan hak individu terhadap prinsip non-refoulement sebagaimana dijabarkan dalam Pasal 33 ayat (2) Konvensi Jenewa Ada pun pengecualian tersebut yaitu jika individu yang bersangkutan merupakan ancaman yang serius terhadap keamanan negara di mana ia mencari suaka atau individu tersebut telah diputuskan oleh pengadilan untuk kejahatan yang serius, dan putusan tersebut tidak dapat diajukan banding lagi, dan selanjutnya masih menjadi ancaman bagi masyarakat di negara di mana ia mencari suaka. 17 Kelemahan prinsip non-refoulement yang dimuat dalam Konvensi Jenewa 1951 tersebut adalah larangan refoulement dibatasi hanya untuk dasar alasan yang diterima Konvensi yaitu karena alasan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan dalam kelompok tertentu, atau opini politik. Untuk kasus-kasus di mana ancaman bahayanya dikarenakan alasan di luar yang disebutkan dalam Konvensi Jenewa 1951, Negara-Negara Pihak cenderung berpendapat bahwa perlindungan pengungsi tidak berlaku, sehingga individu dapat dipulangkan paksa. Dalam 17 Pasal 33 ayat (2) Konvensi Jenewa 1951 menyebutkan: The benefit of [Article 33(1)] may not, however, be claimed by a refugee whom there are reasonable grounds for regarding as a danger to the security of the country in which he [or she] is, or who, having been convicted by a final judgement of a particularly serious crime, constitutes a danger to the community of that country 12

13 perkembangannya, saat ini walaupun perlindungan pengungsi berdasarkan Konvensi Jenewa 1951 tersebut masih kaku dan terbatas pada lima dasar alasan tersebut, negara pada umumnya mempertimbangkan alasan kemanusiaan dalam menanggapi kasus-kasus klaim perlindungan pengungsi di luar alasan konvensi. Prinsip non-refoulement tidak hanya ditemukan dalam hukum perlindungan pengungsi, tetapi juga diakui dalam perangkat hukum hak asasi manusia internasional, antara lain dalam The 1984 United Nations Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (CaT), 1966 International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), dan Convention on the Rights of the Child (CRC). Hukum HAM berlaku untuk setiap orang. Oleh karena itu maka, prinsip non-refoulement yang berkembang dalam hukum HAM internasional berlaku untuk setiap orang dan tidak mengenal pembatasan alasan. Hal ini berarti sepanjang hak asasi individu yang diatur dalam perjanjian HAM tersebut dilanggar jika individu dipindahkan ke suatu negara tertentu, maka kewajiban non-refoulement akan muncul. Dengan demikian maka perlindungan dari refoulement dalam hukum HAM internasional cenderung bersifat lebih luas dari hukum pengungsi. Dalam konteks perdagangan orang, pada dasarnya korban tidak memerlukan perlindungan internasional. Korban perdagangan orang umumnya tidak meninggalkan negara asalnya dengan tujuan melarikan diri dan mencari perlindungan negara lain, melainkan karena adanya unsur paksaan, kekerasan, atau tipu daya. Dalam kasus perdagangan lintas batas negara, eksploitasi tidak terjadi di negara asal, tetapi terjadi ketika korban berada di negara tujuan. Solusi ideal bagi 13

14 korban perdagangan orang adalah repatriasi atau pulang ke negara asalnya agar bisa berkumpul lagi bersama keluarga dan teman-temannya. Terkait repatriasi korban, Protokol Perdagangan Orang mengatur bahwa ketika negara memulangkan korban perdagangan orang ke Negara Pihak di mana korban adalah warga negaranya atau ke negara di mana korban memiliki domisili tetap, pemulangan tersebut harus mempertimbangkan keselamatan korban dan status proses hukum yang tengah berlangsung, dan sebaiknya bersifat voluntary (sukarela). 18 Ketika negara mengambil langkah untuk me-repatriasi individu yang telah diidentifikasi sebagai korban perdagangan orang, negara tersebut harus menjalankan risk assessment untuk menentukan apakah repatriasi korban ke negara asalnya aman atau tidak. 19 Jika hasil dari risk assessment menunjukkan bahwa tidak ada alasan yang membahayakan korban sekembalinya ke negara asalnya, masa proses repatriasi dapat dilanjutkan. 20 Jika ditemukan bahwa repatriasi korban justru dapat membahayakan keselamatan korban, maka repatriasi hendaknya tidak dilakukan. 21 Dalam kasus-kasus tertentu, terdapat kemungkinan korban perdagangan orang mendapati dirinya dalam risiko yang membahayakan jiwa dan kebebasan hak asasinya sekembalinya ke negara asal. Misalnya dalam kasus korban yang menjadi saksi dalam proses hukum melawan trafficker-nya. Berkat kesaksian korban trafficker-nya dihukum penjara. Namun trafficker-nya merupakan bagian dari 18 Pasal 8 ayat (2) Protokol Perdagangan Orang mengatur bahwa: When a State Party returns a victim of trafficking in persons to a State Party of which that person is a national or in which he or she had, at the time of entry into the territory of the receiving State Party, the right of permanent residence, such return shall be with due regard for the safety of that person and for the status of any legal proceedings related to the fact that the person is a victim of trafficking and shall preferably be voluntary 19 United Nations Global Initiative to Fight Human Trafficking (UN.GIFT), 2008, An Introduction to Human Trafficking: Vurnerability, Impact, and Action, United Nations, New York, hlm Ibid. 21 ibid. 14

15 jaringan kejahatan yang memiliki pengaruh kuat di negara asal korban. Akibat perannya dalam menjebloskan trafficker-nya, korban menjadi target balas dendam dari jaringan tersebut. Jika jaringan trafficker tersebut memiliki sumber daya dan pengaruh untuk mewujudkan balas dendam terhadap korban, ditambah jika negara asal tidak mampu menjamin keselamatan korban, maka berarti repatriasi korban bukan pilihan yang aman bagi korban. Dalam kasus tersebut, korban memerlukan alternatif perlindungan. Dalam Protokol Perdagangan Orang disebutkan mengenai prinsip nonrefoulement yakni dalam Pasal 14 sub-alinea (a): Nothing in this Protocol shall affect the rights, obligations and responsibilities of States and individuals under international human rights law and, in particular, where applic able, the 1951 Convention and the 1967 Protocol relating to the Status of Refugees and the principle of nonrefoulement as contained therein. (Tidak ada dalam Protokol ini yang dapat mempengaruhi hak, kewajiban dan tanggung jawab Negara dan individu berdasarkan hukum internasional hak asasi manusia Internasional dan, khususnya, di mana dapat diterapkan, Konvensi 1951 dan Protokol 1967 mengenai Status Pengungsi dan prinsip non-refoulement sebagaimana tercantum didalamnya). Dengan demikian maka Protokol Perdagangan Orang mengakui dan menghormati berlakunya prinsip non-refoulement dan hukum pengungsi sebagaimana dimuat dalam Konvensi Jenewa 1951 dan Protokol Oleh Protocol Relating to the Status of Refugee, 606 U.N.T.S. 267, berlaku mengikat sejak 22 April 1954, 146 Negara Pihak sampai dengan November 2014, diakses melalui tanggal 1 April

16 karena itu, dalam situasi di mana korban perdagangan orang yang menghadapi bahaya yang mengancam keselamatan jiwa atau kebebasannya sekembalinya ke negara asalnya maka berdasarkan prinsip non-refoulement, negara tidak diperbolehkan untuk mengusir atau memulangkan paksa korban yang bersangkutan. G. Metode Penelitian Metode merupakan unsur mutlak dalam pelaksanaan penelitian. Tanpa adanya metode penelitian yang jelas, penelitian akan menjadi tidak terarah. Metode adalah rangkaian dari cara/kegiatan pelaksanaan penelitian guna memperoleh data yang akurat, lengkap serta dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah sehingga tujuan penelitian dapat tercapai. Adapun metode yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah: 1. Pendekatan dan Jenis Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menemukan keterkaitan antara prinsip nonrefoulement dengan korban perdagangan orang yang karena suatu alasan tertentu menolak untuk pulang ke negara asalnya. Dilihat dari tujuannya, penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis-normatif yaitu penelitian yang bertujuan untuk menemukan prinsip-prinsip hukum, dasar-dasar hukum, dan falsafah-falsafah hukum serta korelasinya dalam suatu gejala hukum. 16

17 Sedangkan jenis penelitian termasuk ke dalam kategori penelitian deskriptifanalitis di mana korelasi antara unsur-unsur yang harus dipenuhi oleh pengungsi dengan korban perdagangan orang dalam kasus yang diangkat digambarkan dan dianalisis secara logis dan sistematis. 2. Sumber data Sebagai penelitian yuridis-normatif, maka dalam penelitian ini digunakan data-data sekunder yang diperoleh melalui studi pustaka (library research). Datadata yang menjadi sumber penelitian ini antara lain sebagai berikut a. Primary source of international law Data-data ini merupakan data-data yang diperoleh dari sumber hukum internasional, sebagaimana yang dicantumkan dalam ketentuan Pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional yaitu berupa perjanjian internasional, kebiasaan internasional, doktrin internasional, dan yurisprudensi. Ada pun beberapa primary source of international law yang menjadi rujukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: UN Convention Relating to the Status of Refugees 1951 UN Convention Against Transnational Organized Crime 2000 The Council of Europe Convention on Action against Trafficking in Human Beings

18 UN Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons, Especially Women and Children 2000 UN Protocol Relating to the Status of Refugees 1967 b. Subsidiary source Sumber lain yang digunakan dalam penelitian ini adalah subsidiary source atau sumber tambahan berupa buku, jurnal ilmiah, artikel, makalah, lokakarya, hasil seminar, laporan atau hasil penelitian yang memberi penjelasan lebih lanjut tentang data-data dari primary source. Beberapa subsidiary source yang dirujuk dalam penelitian ini yaitu: Guidelines on International Protection: The Application of Article 1A(2) of the 1951 Convention and/or the 1967 Protocol Relating to the Status of Refugees to Victims of Perdagangan orang and Persons at Risk of Being Trafficked (7 April 2006). Office of UNHCR, Advisory Opinion on the Extraterritorial Application of Non-Refoulement Obligations under the 1951 Convention relating to the Status of Refugees and its 1967 Protocol (26 Januari 2007). Kaori Saito, International Protection for Trafficked Persons and Those Who Fear Being Trafficked, United Nations Refugee Agency Policy Development and Evaluation Service, Research Paper No. 149 (2007). 18

19 Vladislava Stoyanova, Complementary Protection for Victims of Human Trafficking under the European Convention on Human Rights, Goettingen Journal of International Law 3 (2011). Vijay Padmanabhan, To Transfer or Not to Transfer: Identifying and Protecting Human Rights Interests in Non-refoulement, 80 Fordham Law Review 73 (2011). Joint UN Commentary on the EU Directive A Human Rights-Based Approach, Prevent, Combat, Protect Human Trafficking ( November 2011). OSCE Office of the Special Representative and Co-ordinator for Combating Trafficking in Human Beings in partnership with the Ludwig Boltzmann Institute of Human Rights and the Helen Bamber Foundation, Trafficking in Human Beings Amounting to Torture and other Forms of Ill-treatment, Occasional Paper Series no. 5 (Juni 2013). 3. Teknik Pengumpulan Data Data-data dikumpulkan melalui studi pustaka. Data-data yang dicari merupakan data-data yang dianggap relevan dengan topik penelitian mengenai prinsip non-refoulement dan korban perdagangan orang yang menolak pulang ke negara asalnya. Data-data tersebut digolongkan ke dalam kategorisasi bahan hukum 19

20 masing-masing kemudian dicari persamaan dan perbedaannya untuk kemudian dianalisis lebih lanjut. Media yang dijadikan lokasi pencarian data antara lain: a. Perpustakaan Fakultas Hukum UGM b. Perpustakaan Pusat UGM c. Internet 4. Analisis Data Analisis data pada hakikatnya adalah menemukan makna yang terkandung dalam temuan data. 23 Analisis data dalam penelitian normatif menekankan pada proses penyimpulan dan dinamika hubungan antar fenomena yang diamati. 24 Dalam penelitian ini, keseluruhan data yang berhasil terkumpul kemudian dianalisis menggunakan metode deskriptif-kualitatif. Maksudnya fakta-fakta hukum yang diperoleh selama penelitian akan dijelaskan dan digambarkan secara sistematik dan akurat kemudian diteliti berdasarkan penggolongan bahan-bahan hukum yang paling relevan dengan masalah. Untuk membantu dalam proses menganalisis data, digunakan beberapa metode penafsiran, yaitu: 23 M Syamsudin, 2007, Operasionalisasi Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm Ibid, hlm

21 a. Penafsiran gramatikal yaitu menafsirkan bahan-bahan hukum yang diperoleh dengan cara menguraikannya sesuai dengan bahasa, susunan kata, atau bunyinya secara logis. b. Penafsiran sistematis yaitu penafsiran bahan-bahan hukum dengan cara menghubungkan antara bahan hukum yang satu dengan bahan hukum yang lain secara logis. Berdasarkan hasil penafsiran yang diperoleh, kemudian akan ditarik suatu kesimpulan untuk menjawab rumusan masalah yang sudah ditetapkan. Penarikan kesimpulan menggunakan metode yaitu dengan menyesuaikan hal-hal yang bersifat khusus dengan ketentuan hukum umum. 21

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perdagangan orang merupakan bentuk modern dari perbudakan manusia.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perdagangan orang merupakan bentuk modern dari perbudakan manusia. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perdagangan orang merupakan bentuk modern dari perbudakan manusia. Perbudakan adalah kondisi seseorang di bawah kepemilikan orang lain. Praktek serupa perbudakan

Lebih terperinci

BAB III DESKRIPSI ASPEK PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG

BAB III DESKRIPSI ASPEK PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG BAB III DESKRIPSI ASPEK PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG A. Deskripsi UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang 1. Sejarah Singkat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Perkembangan globalisasi sekarang ini mengakibatkan kemajuan di segala bidang, bukan saja masalah kehidupan ekonomi, tetapi telah melanda dalam kehidupan politik,

Lebih terperinci

PENERAPAN PRINSIP NON REFOULEMENT TERHADAP PENGUNGSI DALAM NEGARA YANG BUKAN MERUPAKAN PESERTA KONVENSI MENGENAI STATUS PENGUNGSI TAHUN 1951

PENERAPAN PRINSIP NON REFOULEMENT TERHADAP PENGUNGSI DALAM NEGARA YANG BUKAN MERUPAKAN PESERTA KONVENSI MENGENAI STATUS PENGUNGSI TAHUN 1951 PENERAPAN PRINSIP NON REFOULEMENT TERHADAP PENGUNGSI DALAM NEGARA YANG BUKAN MERUPAKAN PESERTA KONVENSI MENGENAI STATUS PENGUNGSI TAHUN 1951 Oleh: Titik Juniati Ismaniar Gede Marhaendra Wija Atmadja Bagian

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.984, 2012 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK. Pencegahan. Penanganan. Perdagangan Orang. Panduan. PERATURAN MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PERDAGANGAN PEREMPUAN DAN ANAK (TRAFFICKING) DI INDONESIA

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PERDAGANGAN PEREMPUAN DAN ANAK (TRAFFICKING) DI INDONESIA PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PERDAGANGAN PEREMPUAN DAN ANAK (TRAFFICKING) DI INDONESIA Oleh : ANI PURWANTI 1 I Pendahuluan Kejadian yang berkaitan dengan perdagangan perempuan dan anak perempuan yang dikenal

Lebih terperinci

ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM

ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM Diadopsi oleh Resolusi Sidang Umum PBB No. 34/169 Tanggal 17 Desember 1979 Pasal 1 Aparat penegak hukum di setiap saat memenuhi kewajiban yang ditetapkan oleh

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP BALITA SEBAGAI KORBAN PERDAGANGAN ORANG DI TINJAU DARI ASPEK VIKTIMOLOGI

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP BALITA SEBAGAI KORBAN PERDAGANGAN ORANG DI TINJAU DARI ASPEK VIKTIMOLOGI PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP BALITA SEBAGAI KORBAN PERDAGANGAN ORANG DI TINJAU DARI ASPEK VIKTIMOLOGI Oleh : Kadek Dwika Agata Krisyana Pembimbing : I Ketut Sudiarta Program Kekhususan : Hukum Pidana, Universitas

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2009 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2009 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap orang sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa memiliki hak-hak asasi sesuai dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Dewasa ini dalam pembaharuan hukum, indonesia telah melahirkan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Dewasa ini dalam pembaharuan hukum, indonesia telah melahirkan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dewasa ini dalam pembaharuan hukum, indonesia telah melahirkan beberapa peraturan, khususnya tentang hukum hak asasi manusia dan meratifikasi beberapa konvensi internasional

Lebih terperinci

Institute for Criminal Justice Reform

Institute for Criminal Justice Reform UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap orang

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2009 TENTANG PENGESAHAN PROTOCOL TO PREVENT, SUPPRESS AND PUNISH TRAFFICKING IN PERSONS, ESPECIALLY WOMEN AND CHILDREN, SUPPLEMENTING THE UNITED

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perdagangan orang (human trafficking) merupakan fenomena yang. berkembang secara global dan merupakan dampak negatif dari semakin

BAB I PENDAHULUAN. Perdagangan orang (human trafficking) merupakan fenomena yang. berkembang secara global dan merupakan dampak negatif dari semakin BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perdagangan orang (human trafficking) merupakan fenomena yang berkembang secara global dan merupakan dampak negatif dari semakin berkembangnya peradaban masyarakat.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Perdagangan Manusia untuk tenaga kerja (Trafficking in persons for labor) merupakan masalah yang sangat besar. Data Perdagangan Manusia di Indonesia sejak 1993-2003

Lebih terperinci

A. Instrumen Perlindungan Hukum PLRT

A. Instrumen Perlindungan Hukum PLRT A. Instrumen Perlindungan Hukum PLRT Perlindungan hukum merupakan perlindungan yang diberikan oleh negara terhadap warga negaranya dengan menggunakan sarana hukum atau berlandaskan pada hukum dan aturan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2009 TENTANG PENGESAHAN PROTOCOL TO PREVENT, SUPPRESS AND PUNISH TRAFFICKING IN PERSONS, ESPECIALLY WOMEN AND CHILDREN, SUPPLEMENTING THE UNITED NATIONS

Lebih terperinci

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN. tuntutan. Jadi peradilan internasional diselenggarakan untuk mencegah pelaku

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN. tuntutan. Jadi peradilan internasional diselenggarakan untuk mencegah pelaku 55 BAB III KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Setelah diuraikan dalam bab-bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa Peradilan internasional baru akan digunakan jika penyelesaian melalui peradilan nasional

Lebih terperinci

BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. HASIL PENELITIAN 1. Defenisi Human Trafficking Protokol Palermo Tahun 2000 : Perdagangan orang haruslah berarti perekrutan, pengiriman, pemindahan, menyembunyikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan bagian integral dari penghormatan Hak Asasi Manusia (HAM) sesungguhnya sudah diamanatkan oleh Undang-Undang DasarNegara

BAB I PENDAHULUAN. merupakan bagian integral dari penghormatan Hak Asasi Manusia (HAM) sesungguhnya sudah diamanatkan oleh Undang-Undang DasarNegara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Harkat dan martabat manusia merupakan sesuatu yang harus dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara. Kewajiban negara untuk menghormati, menjunjung tinggi dan

Lebih terperinci

BAB I PERLINDUNGAN HUKUM BAGI ANAK TERHADAP PRAKTIK PERDAGANGAN ANAK (TRAFFICKING) DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU

BAB I PERLINDUNGAN HUKUM BAGI ANAK TERHADAP PRAKTIK PERDAGANGAN ANAK (TRAFFICKING) DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU 1 BAB I PERLINDUNGAN HUKUM BAGI ANAK TERHADAP PRAKTIK PERDAGANGAN ANAK (TRAFFICKING) DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU A. Latar Belakang Masalah Pelanggaran dan kejahatan kemanusiaan terjadi dalam berbagai bentuk,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2009 TENTANG PENGESAHAN PROTOCOL AGAINST THE SMUGGLING OF MIGRANTS BY LAND, SEA AND AIR, SUPPLEMENTING THE UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST TRANSNATIONAL

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. asasi perempuan dan anak diantaranya dengan meratifikasi Konferensi CEDAW (Convention

BAB I PENDAHULUAN. asasi perempuan dan anak diantaranya dengan meratifikasi Konferensi CEDAW (Convention BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latarbelakang masalah Negara mempunyai tugas untuk melindungi segenap warga negaranya, hal itu tercantum pada pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, ditambah dengan isi Pancasila pasal

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2009 TENTANG PENGESAHAN PROTOCOL TO PREVENT, SUPPRESS AND PUNISH TRAFFICKING IN PERSONS, ESPECIALLY WOMEN AND CHILDREN, SUPPLEMENTING THE UNITED NATIONS

Lebih terperinci

Health and Human Rights Divisi Bioetika dan Medikolegal FK USU WHO Definition of Health Health is a state t of complete physical, mental and social well- being and not merely the absence of disease or

Lebih terperinci

PENERAPAN PRINSIP THE BEST INTEREST OF THE CHILD PADA KEHIDUPAN ANAK YANG TERPAKSA BEKERJA DI INDONESIA

PENERAPAN PRINSIP THE BEST INTEREST OF THE CHILD PADA KEHIDUPAN ANAK YANG TERPAKSA BEKERJA DI INDONESIA PENERAPAN PRINSIP THE BEST INTEREST OF THE CHILD PADA KEHIDUPAN ANAK YANG TERPAKSA BEKERJA DI INDONESIA oleh Evans Angokaming Djehadut Ni Putu Purwanti Program Kekhususan Hukum Internasional Fakultas Hukum

Lebih terperinci

Pengertian Anak dan Pentingnya Mendefinisikan Anak Secara Konsisten dalam Sistem Hukum 1 Oleh: Adzkar Ahsinin

Pengertian Anak dan Pentingnya Mendefinisikan Anak Secara Konsisten dalam Sistem Hukum 1 Oleh: Adzkar Ahsinin Bahan Bacaan: Modu 2 Pengertian Anak Pengertian Anak dan Pentingnya Mendefinisikan Anak Secara Konsisten dalam Sistem Hukum 1 Oleh: Adzkar Ahsinin A. Situasi-Situasi yang Mengancam Kehidupan Anak Sedikitnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pemahaman di dalam masyarakat terhadap trafficking masih sangat. atau terendah di dalam merespon isu ini. 2

BAB I PENDAHULUAN. Pemahaman di dalam masyarakat terhadap trafficking masih sangat. atau terendah di dalam merespon isu ini. 2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Trafficking atau perdagangan manusia terutama terhadap perempuan dan anak telah lama menjadi masalah nasional dan internasional bagi berbagai bangsa di dunia, termasuk

Lebih terperinci

Sejarah Konvensi menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia telah diadopsi ole

Sejarah Konvensi menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia telah diadopsi ole Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia I Made Agung Yudhawiranata Dermawan Mertha Putra Sejarah Konvensi menentang Penyiksaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Perdagangan perempuan dan anak (trafficking) telah lama terjadi di muka

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Perdagangan perempuan dan anak (trafficking) telah lama terjadi di muka BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perdagangan perempuan dan anak (trafficking) telah lama terjadi di muka bumi ini dan merupakan tindakan yang bertentangan dengan harkat dan martabat manusia, dan telah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. makhluk sosial, sejak dalam kandungan sampai dilahirkan anak. mempunyai hak atas hidup dan merdeka serta mendapat perlindungan baik

BAB I PENDAHULUAN. makhluk sosial, sejak dalam kandungan sampai dilahirkan anak. mempunyai hak atas hidup dan merdeka serta mendapat perlindungan baik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kehidupan anak-anak merupakan cerminan kehidupan bangsa dan negara, oleh karena itu kehidupan anak-anak yang diwarnai dengan keceriaan merupakan cermin suatu

Lebih terperinci

MAKALAH. Mengenal Konvensi-konvensi. Oleh: M. Syafi ie, S.H., M.H.

MAKALAH. Mengenal Konvensi-konvensi. Oleh: M. Syafi ie, S.H., M.H. Jamuan Ilmiah tentang Hukum Hak Asasi Manusia bagi Tenaga Pendidik Akademi Kepolisian Semarang Jogjakarta Plaza Hotel, 16 18 Mei 2017 MAKALAH Mengenal Konvensi-konvensi Oleh: M. Syafi ie, S.H., M.H. TRAINING

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. orang/manusia bukan kejahatan biasa (extra ordinary), terorganisir

BAB I PENDAHULUAN. orang/manusia bukan kejahatan biasa (extra ordinary), terorganisir BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perdagangan orang (human trafficking) merupakan bentuk perbudakan secara modern, terjadi baik dalam tingkat nasional dan internasional. Dengan berkembangnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melakukan mobilisasi atau perpindahan tanpa batas yang menciptakan sebuah

BAB I PENDAHULUAN. melakukan mobilisasi atau perpindahan tanpa batas yang menciptakan sebuah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Globalisasi membuka kesempatan besar bagi penduduk dunia untuk melakukan mobilisasi atau perpindahan tanpa batas yang menciptakan sebuah integrasi dalam komunitas

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP TENAGA KERJA ASAL INDONESIA TERKAIT TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG BERDASARKAN HUKUM NASIONAL DAN HUKUM INTERNASIONAL *

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP TENAGA KERJA ASAL INDONESIA TERKAIT TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG BERDASARKAN HUKUM NASIONAL DAN HUKUM INTERNASIONAL * PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP TENAGA KERJA ASAL INDONESIA TERKAIT TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG BERDASARKAN HUKUM NASIONAL DAN HUKUM INTERNASIONAL * Oleh Adi Suhendra Purba T. ** Putu Tuni Cakabawa Landra

Lebih terperinci

INSTRUMEN HUKUM MENGENAI HAM

INSTRUMEN HUKUM MENGENAI HAM INSTRUMEN HUKUM MENGENAI HAM Materi Perkuliahan HUKUM & HAM ke-6 INSTRUMEN HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI HAM Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa Universal Declaration of Human Rights, 1948; Convention on

Lebih terperinci

Hak Beribadah di Indonesia Oleh: Yeni Handayani * Naskah diterima: 4 Agustus 2015; disetujui: 6 Agustus 2015

Hak Beribadah di Indonesia Oleh: Yeni Handayani * Naskah diterima: 4 Agustus 2015; disetujui: 6 Agustus 2015 Hak Beribadah di Indonesia Oleh: Yeni Handayani * Naskah diterima: 4 Agustus 2015; disetujui: 6 Agustus 2015 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) menyebut istilah basic human rights (hak-hak asasi

Lebih terperinci

PRINSIP NON-REFOULEMENT DAN PENERAPANNYA DI INDONESIA. Jun Justinar

PRINSIP NON-REFOULEMENT DAN PENERAPANNYA DI INDONESIA. Jun Justinar PRINSIP NON-REFOULEMENT DAN PENERAPANNYA DI INDONESIA Jun Justinar Abstrak Dari sudut pandang negara penerima, pengungsian merupakan masalah kemanusiaan yang dapat berdampak pada bidang keamanan, ekonomi

Lebih terperinci

THE REASON OF INDONESIA NOT RATIFIED REFUGEE CONVENTION 1951 AND LEGAL PROTECTION FOR REFUGEES IN INDONESIA

THE REASON OF INDONESIA NOT RATIFIED REFUGEE CONVENTION 1951 AND LEGAL PROTECTION FOR REFUGEES IN INDONESIA 1 THE REASON OF INDONESIA NOT RATIFIED REFUGEE CONVENTION 1951 AND LEGAL PROTECTION FOR REFUGEES IN INDONESIA Yahya Sultoni, Setyo Widagdo S.H., M.Hum., Herman Suryokumoro S.H., M.S., Law Faculty of Brawijaya

Lebih terperinci

STATUS TENTARA ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA

STATUS TENTARA ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA 1 STATUS TENTARA ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA I Gede Adhi Supradnyana I Dewa Gede Palguna I Made Budi Arsika Program Kekhususan Hukum Internasional dan Bisnis Internasional Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. antara Negara Penerima dengan United Nations High Commissioner for

BAB I PENDAHULUAN. antara Negara Penerima dengan United Nations High Commissioner for BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengungsi dan pencari suaka kerap kali menjadi topik permasalahan antara Negara Penerima dengan United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) sebagai mandat

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2009 TENTANG PENGESAHAN PROTOCOL AGAINST THE SMUGGLING OF MIGRANTS BY LAND, SEA AND AIR, SUPPLEMENTING THE UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST TRANSNATIONAL

Lebih terperinci

GUBERNUR NUSA TENGGARA TIMUR

GUBERNUR NUSA TENGGARA TIMUR GUBERNUR NUSA TENGGARA TIMUR PERATURAN GUBERNUR NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR 19 TAHUN 2008 TENTANG PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR 14 TAHUN 2008 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA)

Lebih terperinci

Perdagangan dan Eksploitasi Manusia di Indonesia

Perdagangan dan Eksploitasi Manusia di Indonesia 0 P a g e 1 Perdagangan dan Eksploitasi Manusia di Indonesia Perdagangan manusia (atau yang biasa disebut dalam udang-undang sebagai perdagangan orang) telah terjadi dalam periode yang lama dan bertumbuh

Lebih terperinci

PERLAKUAN DISKRIMINASI TERHADAP ETNIS ROHINGYA OLEH MYANMAR DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL

PERLAKUAN DISKRIMINASI TERHADAP ETNIS ROHINGYA OLEH MYANMAR DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL PERLAKUAN DISKRIMINASI TERHADAP ETNIS ROHINGYA OLEH MYANMAR DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL Oleh: Gita Wanandi I Made Pasek Diantha I Made Budi Arsika Program Kekhususan Hukum Internasional dan Bisnis

Lebih terperinci

SANKSI PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG (HUMAN TRAFFICKING) DI INDONESIA

SANKSI PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG (HUMAN TRAFFICKING) DI INDONESIA SANKSI PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG (HUMAN TRAFFICKING) DI INDONESIA Oleh I. Gst. Ayu Stefani Ratna Maharani I.B. Putra Atmadja Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT

Lebih terperinci

merupakan masalah klasik yang telah menjadi isu internasional sejak lama. Sudah berabad-abad negara menerima dan menyediakan perlindungan bagi warga

merupakan masalah klasik yang telah menjadi isu internasional sejak lama. Sudah berabad-abad negara menerima dan menyediakan perlindungan bagi warga 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengungsi internasional merupakan salah satu hal yang masih menimbulkan permasalahan dunia internasional, terlebih bagi negara tuan rumah. Negara tuan rumah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang berdasarkan atas hukum, hal ini telah diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, yaitu Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat internasional.permasalahan pengungsimenjadi perhatian khusus

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat internasional.permasalahan pengungsimenjadi perhatian khusus BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengungsi menjadi salah satu isu global yang banyak dibicarakan oleh masyarakat internasional.permasalahan pengungsimenjadi perhatian khusus dari dunia internasional

Lebih terperinci

PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA SEHUBUNGAN DENGAN PERDAGANGAN MANUSIA (ANAK)

PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA SEHUBUNGAN DENGAN PERDAGANGAN MANUSIA (ANAK) NAMA : HARLO PONGMERRANTE BIANTONG NRS : 094 PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA SEHUBUNGAN DENGAN PERDAGANGAN MANUSIA (ANAK) Dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM disebutkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ECPAT USA, Statistics(daring), <http://www.ecpatusa.org/statistics/>, diakses 22 Juni

BAB I PENDAHULUAN. ECPAT USA, Statistics(daring), <http://www.ecpatusa.org/statistics/>, diakses 22 Juni BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perdagangan wanita dan anak-anak dengan tujuan eksploitasi seks komersial merupakan salah satu kejahatan yang berkembang pesat di dunia. The Declaration and Agenda for

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang memiliki derajat yang sama dengan yang lain. untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran. Dalam Pasal 2 Undang-undang

BAB I PENDAHULUAN. yang memiliki derajat yang sama dengan yang lain. untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran. Dalam Pasal 2 Undang-undang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia merupakan makhluk Tuhan yang paling mulia yang mempunyai harkat dan martabat yang melekat didalam diri setiap manusia yang harus dilindungi dan dijunjung tinggi

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS TENTANG PENGATURAN-PENGATURAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA. Oleh: Nurul Hidayati, SH. 1.

TINJAUAN YURIDIS TENTANG PENGATURAN-PENGATURAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA. Oleh: Nurul Hidayati, SH. 1. TINJAUAN YURIDIS TENTANG PENGATURAN-PENGATURAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA Oleh: Nurul Hidayati, SH. 1 Abstraksi Perdagangan manusia di Indonesia merupakan suatu fenomena yang luar biasa

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.324, 2013 KEMENTERIAN PERTAHANAN. Hukum. Humaniter. Hak Asasi Manusia. Penyelenggaraan Pertahanan Negara. Penerapan. PERATURAN MENTERI PERTAHANAN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN PENGUNGSI SURIAH KORBAN GERAKAN NEGARA ISLAM IRAK AN SURIAH DI NEGARA-NEGARA EROPA. Oleh : Nandia Amitaria

PERLINDUNGAN PENGUNGSI SURIAH KORBAN GERAKAN NEGARA ISLAM IRAK AN SURIAH DI NEGARA-NEGARA EROPA. Oleh : Nandia Amitaria PERLINDUNGAN PENGUNGSI SURIAH KORBAN GERAKAN NEGARA ISLAM IRAK AN SURIAH DI NEGARA-NEGARA EROPA Oleh : Nandia Amitaria Pembimbing I : Prof. Dr. I Made Pasek Diantha, SH.,MH Pembimbing II : I Made Budi

Lebih terperinci

HAK ANAK DALAM KETENAGAKERJAAN

HAK ANAK DALAM KETENAGAKERJAAN 1 HAK ANAK DALAM KETENAGAKERJAAN Saya akan mengawali bab pertama buku ini dengan mengetengahkan hak pekerja yang berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap anak-anak dalam dunia ketenagakerjaan. Sebagaimana

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PENGESAHAN OPTIONAL PROTOCOL TO THE CONVENTION ON THE RIGHTS OF THE CHILD ON THE SALE OF CHILDREN, CHILD PROSTITUTION AND CHILD PORNOGRAPHY

Lebih terperinci

PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA

PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA Disajikan dalam kegiatan pembelajaran untuk Australian Defence Force Staff di Balai Bahasa Universitas Pendidikan Indonesia di Bandung, Indonesia 10 September 2007

Lebih terperinci

Pokok-pokok Isi Protokol Opsional pada Konvensi Menentang Penyiksaan

Pokok-pokok Isi Protokol Opsional pada Konvensi Menentang Penyiksaan 1 Pokok-pokok Isi Protokol Opsional pada Konvensi Menentang Penyiksaan I.PENDAHULUAN Konvensi menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1998 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION AGAINST TORTURE AND OTHER CRUEL, INHUMAN OR DEGRADING TREATMENT OR PUNISHMENT (KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN Y ANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN Y ANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1998 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION AGAINST TORTURE AND OTHER CRUEL, INHUMAN OR DEGRADING TREATMENT OR PUNISHMENT (KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dipersiapkan sebagai subjek pelaksana cita-cita perjuangan bangsa. Berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. dipersiapkan sebagai subjek pelaksana cita-cita perjuangan bangsa. Berdasarkan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembicaraan tentang anak dan perlindungannya tidak akan pernah berhenti sepanjang sejarah kehidupan, karena anak adalah generasi penerus bangsa yang dipersiapkan sebagai

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia, Copyright (C) 2000 BPHN UU 5/1998, PENGESAHAN CONVENTION AGAINST TORTURE AND OTHER CRUEL, INHUMAN OR DEGRADING TREATMENT OR PUNISHMENT (KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG EKPLOISTASI PEKERJA ANAK. A. Pengaturan Eksploitasi Pekerja Anak dalam Peraturan Perundangundangan

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG EKPLOISTASI PEKERJA ANAK. A. Pengaturan Eksploitasi Pekerja Anak dalam Peraturan Perundangundangan BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG EKPLOISTASI PEKERJA ANAK A. Pengaturan Eksploitasi Pekerja Anak dalam Peraturan Perundangundangan di Indonesia 1. Undang-Undang 2.1 Undang-Undang nomor 20 tahun 1999 Undang-Undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PENGESAHAN OPTIONAL PROTOCOL TO THE CONVENTION ON THE RIGHTS OF THE CHILD ON THE SALE OF CHILDREN, CHILD PROSTITUTION AND CHILD PORNOGRAPHY

Lebih terperinci

INSTRUMEN HUKUM INTERNASIONAL HAK ASASI MANUSIA

INSTRUMEN HUKUM INTERNASIONAL HAK ASASI MANUSIA INSTRUMEN HUKUM INTERNASIONAL HAK ASASI MANUSIA Malahayati Kapita Selekta Hukum Internasional October 24, 2015 Kata Pengantar Syukur Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kekuatan

Lebih terperinci

PENGANTAR KONVENSI HAK ANAK

PENGANTAR KONVENSI HAK ANAK Seri Bahan Bacaan Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007 PENGANTAR KONVENSI HAK ANAK Supriyadi W. Eddyono, S.H. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat Jl Siaga II No 31 Pejaten Barat, Jakarta 12510 Telp

Lebih terperinci

BAB II UNITED NATION HIGH COMISSIONER FOR REFUGEES (UNHCR) DAN PENANGANAN MASALAH PENGUNGSI

BAB II UNITED NATION HIGH COMISSIONER FOR REFUGEES (UNHCR) DAN PENANGANAN MASALAH PENGUNGSI BAB II UNITED NATION HIGH COMISSIONER FOR REFUGEES (UNHCR) DAN PENANGANAN MASALAH PENGUNGSI Organisasi internasional atau lembaga internasional memiliki peran sebagai pengatur pengungsi. Eksistensi lembaga

Lebih terperinci

LEMBAR FAKTA TENTANG EKSPLOITASI SEKS KOMERSIL DAN PERDAGANGAN ANAK

LEMBAR FAKTA TENTANG EKSPLOITASI SEKS KOMERSIL DAN PERDAGANGAN ANAK LEMBAR FAKTA TENTANG EKSPLOITASI SEKS KOMERSIL DAN PERDAGANGAN ANAK Fakta Angka global : Ada sekitar 1.2 juta anak diperdagangkan setiap tahunnya Kebanyakan (anak-anak laki-laki dan perempuan) diperdagangkan

Lebih terperinci

HAK AZASI MANUSIA DAN PENEGAKAN SUPREMASI HUKUM

HAK AZASI MANUSIA DAN PENEGAKAN SUPREMASI HUKUM HAK AZASI MANUSIA DAN PENEGAKAN SUPREMASI HUKUM Oleh : ANI PURWANTI, SH.M.Hum. FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2008 PENGERTIAN HAM HAM adalah hak yang melekat pada diri manusia yang bersifat

Lebih terperinci

TANGGUNG JAWAB NEGARA TERHADAP PENGUNGSI (REFUGEE) DALAM HUKUM INTERNASIONAL FITRIANI / D

TANGGUNG JAWAB NEGARA TERHADAP PENGUNGSI (REFUGEE) DALAM HUKUM INTERNASIONAL FITRIANI / D TANGGUNG JAWAB NEGARA TERHADAP PENGUNGSI (REFUGEE) DALAM HUKUM INTERNASIONAL FITRIANI / D 101 09 550 ABSTRAK Pada hakikatnya negara/pemerintah memiliki tanggung jawab untuk melindungi setiap warga negaranya.

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA)

Lebih terperinci

Jalan Diponegoro No. 22 Telepon : (022) Faks. (022) Bandung

Jalan Diponegoro No. 22 Telepon : (022) Faks. (022) Bandung PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR 27 TAHUN 2010 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PUSAT PELAYANAN TERPADU PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN ANAK PROVINSI JAWA

Lebih terperinci

INSTRUMEN INTERNASIONAL HAK ASASI MANUSIA

INSTRUMEN INTERNASIONAL HAK ASASI MANUSIA INSTRUMEN INTERNASIONAL HAK ASASI MANUSIA HAM MERUPAKAN BAGIAN DARI HUKUM INTERNASIONAL SUMBER HUKUM INTERNASIONAL: (Pasal 38.1 Statuta Mahkamah Internasional) Konvensi internasional; Kebiasaan internasional

Lebih terperinci

STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA PERDAGANGAN MANUSIA DALAM KUHP DAN UU RI NO 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG

STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA PERDAGANGAN MANUSIA DALAM KUHP DAN UU RI NO 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA PERDAGANGAN MANUSIA DALAM KUHP DAN UU RI NO 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG SKRIPSI Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA)

Lebih terperinci

PERADILAN PIDANA ANAK DI INDONESIA DAN INSTRUMEN INTERNASIONAL PERLINDUNGAN ANAK SERTA PENERAPANNYA

PERADILAN PIDANA ANAK DI INDONESIA DAN INSTRUMEN INTERNASIONAL PERLINDUNGAN ANAK SERTA PENERAPANNYA PERADILAN PIDANA ANAK DI INDONESIA DAN INSTRUMEN INTERNASIONAL PERLINDUNGAN ANAK SERTA PENERAPANNYA Penulis: Dr. Nandang Sambas, S. H., M.H. Edisi Pertama Cetakan Pertama, 2013 Hak Cipta 2013 pada penulis,

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. kriminalitas namun perdagangan anak juga menyangkut tentang pelanggaran terhadap

BAB V PENUTUP. kriminalitas namun perdagangan anak juga menyangkut tentang pelanggaran terhadap BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Eksploitasi seksual komersial anak merupakan sebuah bentuk pelanggaran HAM yang terjadi pada anak. Salah satu contoh eksploitasi seksual komersial anak tersebut adalah perdagangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Ini merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Di masa lalu,

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Ini merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Di masa lalu, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perdagangan perempuan dan anak (trafiking) telah lama terjadi di muka bumi ini dan merupakan tindakan yang bertentangan dengan harkat dan martabat manusia. Ini merupakan

Lebih terperinci

BAB III INSTRUMEN INTERNASIONAL PERLINDUNGAN HAM PEREMPUAN

BAB III INSTRUMEN INTERNASIONAL PERLINDUNGAN HAM PEREMPUAN BAB III INSTRUMEN INTERNASIONAL PERLINDUNGAN HAM PEREMPUAN A. Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women 1. Sejarah Convention on the Elimination of All Discrimination Against

Lebih terperinci

SEPUTAR MANAJEMEN BENCANA [BERBASIS HAK]

SEPUTAR MANAJEMEN BENCANA [BERBASIS HAK] WORKSHOP FIKIH KEBENCANAAN MAJELIS TARJIH DAN TAJDID PIMPINAN PUSAT MUHAMMADIYAH Yogyakarta, 27 Syakban 1435 H / 25 Juni 2014 M SEPUTAR MANAJEMEN BENCANA [BERBASIS HAK] Eko Teguh Paripurno Masyarakat Penanggulangan

Lebih terperinci

KONVENSI HAK ANAK : SUATU FATAMORGANA BAGI ANAK INDONESIA?

KONVENSI HAK ANAK : SUATU FATAMORGANA BAGI ANAK INDONESIA? 48 Konvensi Hak Anak: Suatu Fatamorgana Bagi Anak Indonesia KONVENSI HAK ANAK : SUATU FATAMORGANA BAGI ANAK INDONESIA? Endang Ekowarni PENGANTAR Anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pelanggaran HAM, karena anak adalah suatu anugerah yang diberikan oleh Allah

BAB I PENDAHULUAN. pelanggaran HAM, karena anak adalah suatu anugerah yang diberikan oleh Allah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak sebagai anggota keluarga warga negara yang sangat rentan terhadap pelanggaran HAM, karena anak adalah suatu anugerah yang diberikan oleh Allah SWT yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. salah satu specialized agency dari PBB yang merupakan organisasi

BAB I PENDAHULUAN. salah satu specialized agency dari PBB yang merupakan organisasi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) adalah salah satu specialized agency dari PBB yang merupakan organisasi internasional yang bersifat universal

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA AKSI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA INDONESIA TAHUN

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA AKSI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA INDONESIA TAHUN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA AKSI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA INDONESIA TAHUN 2011-2014 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

Bahan Masukan Laporan Alternatif Kovenan Hak Sipil dan Hak Politik (Pasal 10) PRAKTEK-PRAKTEK PENANGANAN ANAK BERKONFLIK DENGAN HUKUM DALAM KERANGKA

Bahan Masukan Laporan Alternatif Kovenan Hak Sipil dan Hak Politik (Pasal 10) PRAKTEK-PRAKTEK PENANGANAN ANAK BERKONFLIK DENGAN HUKUM DALAM KERANGKA Bahan Masukan Laporan Alternatif Kovenan Hak Sipil dan Hak Politik (Pasal 10) PRAKTEK-PRAKTEK PENANGANAN ANAK BERKONFLIK DENGAN HUKUM DALAM KERANGKA SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK (JUVENILE JUSTICE SYSTEM)

Lebih terperinci

Upaya Pemberantasan dan Pencegahan Perdagangan Orang Melalui Hukum Internasional dan Hukum Positif Indonesia

Upaya Pemberantasan dan Pencegahan Perdagangan Orang Melalui Hukum Internasional dan Hukum Positif Indonesia Jurnal AL-AZHAR INDONESIA SERI PRANATA SOSIAL, Vol. 1, No. 3, Maret 2012 163 Upaya Pemberantasan dan Pencegahan Perdagangan Orang Melalui Hukum Internasional dan Hukum Positif Indonesia Maslihati Nur Hidayati

Lebih terperinci

Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan Oleh Rumadi Peneliti Senior the WAHID Institute Disampaikan dalam Kursus HAM untuk Pengacara Angkatan XVII, oleh ELSAM ; Kelas Khusus Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Konflik bersenjata atau dalam bahasa asing disebut sebagai armed conflict

BAB I PENDAHULUAN. Konflik bersenjata atau dalam bahasa asing disebut sebagai armed conflict BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konflik bersenjata atau dalam bahasa asing disebut sebagai armed conflict merupakan suatu keadaan yang tidak asing lagi di mata dunia internasional. Dalam kurun waktu

Lebih terperinci

BAB II METODE PENELITIAN

BAB II METODE PENELITIAN BAB II METODE PENELITIAN Metode penilitian menurut Peter Mahmud Marzuki, bahwa penelitian hukum sebagai suatu proses yang menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum maupun doktrin-doktrin hukum guna

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. mengatur tetntang pengertian anak berdasarkan umur. Batasan umur seseorang

II. TINJAUAN PUSTAKA. mengatur tetntang pengertian anak berdasarkan umur. Batasan umur seseorang 21 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Anak Terdapat beberapa perundang-undangan yang berlaku di Indonesia saat ini yang mengatur tetntang pengertian anak berdasarkan umur. Batasan umur seseorang masih

Lebih terperinci

PENGECUALIAN LARANGAN ABORSI BAGI KORBAN PERKOSAAN SEBAGAI JAMINAN HAK-HAK REPRODUKSI

PENGECUALIAN LARANGAN ABORSI BAGI KORBAN PERKOSAAN SEBAGAI JAMINAN HAK-HAK REPRODUKSI PENGECUALIAN LARANGAN ABORSI BAGI KORBAN PERKOSAAN SEBAGAI JAMINAN HAK-HAK REPRODUKSI Oleh : Putu Mas Ayu Cendana Wangi Sagung Putri M.E. Purwani Program Kekhususan Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DAN/ ATAU SAKSI KORBAN TRANSNATIONAL CRIME DALAM PROSES PENEGAKAN HUKUM PIDANA

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DAN/ ATAU SAKSI KORBAN TRANSNATIONAL CRIME DALAM PROSES PENEGAKAN HUKUM PIDANA PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DAN/ ATAU SAKSI KORBAN TRANSNATIONAL CRIME DALAM PROSES PENEGAKAN HUKUM PIDANA Oleh: Ni Made Dwita Setyana Warapsari I Wayan Parsa Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK-ANAK YANG MENJADI KORBAN PENGGUNAAN SENJATA AGENT ORANGE DALAM PERANG VIETNAM

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK-ANAK YANG MENJADI KORBAN PENGGUNAAN SENJATA AGENT ORANGE DALAM PERANG VIETNAM PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK-ANAK YANG MENJADI KORBAN PENGGUNAAN SENJATA AGENT ORANGE DALAM PERANG VIETNAM Oleh : Risa Sandhi Surya I Dewa Gede Palguna I Made Budi Arsika Program Kekhususan Hukum Internasional

Lebih terperinci

Prinsip-prinsip dan Hak-hak Mendasar di Tempat kerja. Lusiani Julia Program Officer ILO Jakarta April 2017

Prinsip-prinsip dan Hak-hak Mendasar di Tempat kerja. Lusiani Julia Program Officer ILO Jakarta April 2017 Prinsip-prinsip dan Hak-hak Mendasar di Tempat kerja Lusiani Julia Program Officer ILO Jakarta April 2017 Tujuan Pembelajaran Mengenal ILO dan ILS Memahami prinsip-prinsip dan hak-hak mendasar di tempat

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA BARAT,

GUBERNUR JAWA BARAT, PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PUSAT PELAYANAN TERPADU PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN ANAK PROVINSI JAWA BARAT GUBERNUR JAWA BARAT, Menimbang a. bahwa dalam rangka mewujudkan kesetaraan

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG. A. Pengaturan Tindak Pidana Perdagangan Orang Menurut KUHP

BAB II PENGATURAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG. A. Pengaturan Tindak Pidana Perdagangan Orang Menurut KUHP BAB II PENGATURAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG A. Pengaturan Tindak Pidana Perdagangan Orang Menurut KUHP Di dalam kitab undang-undang pidana (KUHP) sebelum lahirnya undangundang no.21

Lebih terperinci

TRAINING HAK ASASI MANUSIA BAGI PENGAJAR HUKUM DAN HAM. Makassar, 3-6 Agustus 2010 MAKALAH HAK ANAK. Oleh: Mohammad Farid

TRAINING HAK ASASI MANUSIA BAGI PENGAJAR HUKUM DAN HAM. Makassar, 3-6 Agustus 2010 MAKALAH HAK ANAK. Oleh: Mohammad Farid TRAINING HAK ASASI MANUSIA BAGI PENGAJAR HUKUM DAN HAM Makassar, 3-6 Agustus 2010 MAKALAH HAK ANAK Oleh: Mohammad Farid HAK ANAK Mohammad Farid Hak Anak dlm Hukum Internasional 1. Hukum Perburuhan 2. Hukum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan masyarakat non disabilitas. Sebagai bagian dari warga negara Indoesia,

BAB I PENDAHULUAN. dengan masyarakat non disabilitas. Sebagai bagian dari warga negara Indoesia, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyandang disabilitas memiliki kedudukan, hak dan kewajiban yang sama dengan masyarakat non disabilitas. Sebagai bagian dari warga negara Indoesia, sudah sepantasnya

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2005 TENTANG KOMISI NASIONAL ANTI KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2005 TENTANG KOMISI NASIONAL ANTI KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2005 TENTANG KOMISI NASIONAL ANTI KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Undang-Undang

Lebih terperinci