BAB II TINJAUAN PUSTAKA. senada dengan Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. senada dengan Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974"

Transkripsi

1 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tentang Perkawinan 1. Pengertian Perkawinan Dalam terminologi bahasa Arab perkawinan adalah nikah, yang secara bahasa kata nikah bermakna himpunan atau kesatuan dapat pula bermakna berhimpunnya sesuatu dengan yang lainnya. Adapun kata perkawinan menurut kamus bahasa Indonesia adalah perjanjian yang diucapkan dan diberi tanda kemudian dilakukan oleh laki-laki dan perempuan yang siap menjadi suami istri, perjanjian dengan akad yang disaksikan beberapa orang dan diberi izin oleh wali perempuan. Hal ini senada dengan Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa, perkawinan ialah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga), yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 1 Yang dimaksud dengan arti Perkawinan adalah: Ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-isteri, sedangkan tujuan Perkawinan adalah: membentuk keluarga/rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 2 1 Siska Lis Sulistiani, 2015, Keududukan Hukum Anak Hasil Perkawinan Beda Agama menurut Hukum Positif dan Hukum Islam, Bandung, PT Refika Aditama, hlm.9 2 K. Wantjik Saleh, 1980, Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta, Ghalia Indonesia, hlm.14

2 8 Dengan ikatan lahir-bathin dimaksudkan bahwa Perkawinan itu tidak hanya cukup dengan adanya ikatan lahir atau ikatan bathin saja, tapi harus kedua-duanya. 3 Masalah perkawinan bukan hanya sekedar memenuhi kebutuhan biologis dan kehendak kemanusiaan tetapi lebih dari itu, yaitu suatu ikatan atau hubungan lahir bathin antara seorang pria dan seorang wanita. 4 perkawinan merupakan suatu ikatan yang sah untuk membina rumah tangga dan keluarga sejahtera bahagia di mana kedua suami isteri memikul amanah dan tanggung jawab, si isteri oleh karenanya akan mengalami suatu proses psykhologis yang berat yaitu kehamilan dan melahirkan yang meminta pengorbanan. 5 Pengertian ini juga diperkuat dalam pasal 2 Kompilasi Hukum Islam bahwa perkawinan adalah pernikahan, di mana pernikahan itu adalah akad yang sangat kuat atau mitsaqon gholiidha untuk menaati perintah Allah SWT dan melaksanakannya merupakan ibadah. 6 Perkawinan adalah perilaku makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa agar kehidupan di alam dunia berkembang biak. 7 Pengertian perkawinan dari beberapa sarjana, sebagai berikut: 8 3 Ibid 4 Djoko Prakoso, I Ketut Murtika, 1987, Azas-Azas Hukum Perkawinan di Indonesia, Jakarta, PT Bina Aksara, hlm.2 5 Ibid 6 Siska Lis Sulistiani, Loc.cit 7 Hilman Hadikususma, 1990, Hukum Perkawinan Indonesia menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama, Bandung, Penerbit Mandar Maju, hlm.1 8 Gatot Supramono, 1998, Segi-segi Hukum Hubungan Luar Nikah, Jakarta, Penerbit Djambatan

3 9 a. Prof. H. Hilman Hadikusuma, S.H. dalam bukunya Hukum Perkawinan Indonesia Menurut: Perundangan Hukum Adat Hukum Agama, mengemukaan: menurut hukum adat pada umumnya di Indonesia perkawinan itu bukan saja sebagai perikatan perdata tetapi juga merupakan perikatan adat dan sekaligus merupakan perikatan kekerabatan dan ketetanggan. Sedangkan menurut hukum agama perkawinan adalah perbuatan suci (sekramen, samskara), yaitu suatu perikatan antara dua pihak dalam memenuhi perintah dan anjuran Tuhan Yang Maha Esa, agar kehidupan berkeluarga dan berumah tangga serta berkerabat tetangga berjalan dengan baik desuai dengan ajaran agama masing-masing. b. Sayuti Thalib, S.H., dalam bukunya Hukum Kekeluargaan Indonesia memberikan pengertian pendek mengenai perkawinan yaitu: Perkawinan ialah perjanjian suci membentuk keluarga antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan. c. Prof. Dr. Hazairin, S.H., dalam bukunya hukum kekeluargaan mengatakan inti perkawinan itu adalah hubungan seksual. Menurut beliau itu tidak ada nikah (perkawinan) bilamana tidak ada hubungan seksual. Beliau mengambil tamsil bila tidak ada seksual antara suami isteri, maka tidak perlu ada tenggang waktu (iddah) untuk menikah lagi bagi bekas isteri itu dengan laki-laki lain.

4 10 d. Drs. HA. Zahry Hamid dalam bukunya pokok-pokok hukum perkawinan islam dan undang-undang perkawinan di Indonesia, memberikan pengertian perkawinan menurut hukum Islam sebagai berikut: Pernikahan atau perkawinan ialah suatu ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk hidup bersama dalam suatu rumah tangga dan untuk berketurunan, yang dilaksanakan menurut ketentuan-ketentuan Hukum Syariat Islam. Pengertian perkawinan sebagaimana dinyatakan dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 perlu dipahami benar-benar oleh masyarakat, oleh karena ia merupakan landasan pokok dari aturan hukum perkawinan lebih lanjut, baik yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 maupun dalam peraturan lainnya yang mengatur tentang perkawinan Tujuan Perkawinan Pada mula-mulanya dapat dipastikan bahwa perkawinan itu adalah suatu tindakan yang keramat yang mengesahkan hubungan seorang lelaki dan seorang perempuan, sebagai suami-isteri. Hubungan suami isteri itu mempunyai tujuan yaitu melangsungkan adanya keturunan. Di dalam kepercayaan orang Indonesia suatu perkawinan yang tiada menurunkan anak adalah suatu perkawinan yang tidak berhasil. 9 Ibid, hlm.8

5 11 Terdapat suatu kepercayaan di Jawa sini bahwa jika dari suatu perkawinan tidak dilahirkan seorang anak, maka si suami dan si isteri harus memperbaharui perkawinannya (bangun nikah) dengan harapan agar supaya dengan pemilihan hari yang lebih tepat, anak keturunan dapat dilahirkan. Suatu perkawinan yang disebut perkawinan in extremis bisa juga dilakukan. Di dalam hal ini ada perkawinan dengan orang yang telah hampir meninggal. 10 Hal ini terbukti pada kenyataan, seperti yang dikemukakan oleh Dr. R. Wirjono Prodjodikoro, SH: 11 bahwa diperbolehkan suatu perkawinan antara dua orang yang sudah sangat lanjut usianya, bahkan diperbolehkan pula suatu perkawinan dinamakan In ex tremis, yaitu pada waktu salah satu pihak sudah hampir meninggal dunia. Di dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dikatakan bahwa yang menjadi tujuan perkawinan sebagai suami isteri adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Selanjutnya dijelaskan bahwa untuk itu suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing 10 Ali Afandi, 1986, Hukum Waris Hukum Keluarga Hukum Pembuktian, Jakarta, Bina Aksara, hlm Djoko Prakoso, I Ketut Murtika, 1987, Azas-Azas Hukum Perkawinan di Indonesia, Jakarta, PT Bina Aksara, hlm.1-2

6 12 dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spritual dan material. 12 Perkawinan yang bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, dapat diartikan bahwa perkawinan itu haruslah berlangsung seumur hidup dan tidak boleh diputuskan begitu saja. 13 Tujuan perkawinan yang diinginkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, bila kita rasakan sangat ideal. Karena tujuan perkawinan itu tidak hanya melihat dari segi lahirnya saja tapi sekaligus terdapat adanya suatu pertautan bathin antara suami dan isteri yang ditunjukan untuk membina suatu keluarga atau rumah tangga yang kekal dan bahagia bagi keduanya dan yang sesuai dengan Kehendak Tuhan Yang Maha Esa. Dalam perkawinan ikatan lahir bathin dimaksud, adalah bahwa perkawinan tidak cukup dengan adanya ikatan lahir saja, atau ikatan bathin saja. Akan tetapi hal ini harus ada kedua-duanya, sehingga akan terjalin ikatan lahir dan ikatan bathin yang merupakan pondasi yang kuat dalam membentuk dan membina keluarga yang bahagia dan kekal. Selanjutnya, tujuan perkawinan adalah untuk membentuk suatu rumah tangga atau keluarga yang bahagia dan kekal. Hal ini dimaksudkan, bahwa perkawinan itu hendaklah berlangsung seumur hidup dan tidak 12 Hilman Hadikusuma, 1990, Hukum Perkawinan Indonesia menurut Perundangan Hukum Adat Hukum Agama, Bandung, Penerbit Mandar Maju, hlm K. Wantjik Saleh, 1980, Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta, Ghalia Indonesia, hlm.15

7 13 boleh berakhir begitu saja. Dan pembentukan keluarga yang bahagia dan kekal itu, haruslah berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai azas pertama dalam Pancasila. Dalam hukum perdata, hubungan antara suami dan isteri hanya melihat dari segi lahirnya saja atau dari segi hubungan perdata, artinya yaitu terlepas dari peraturan-peraturan yang diadakan oleh suatu agama tertentu. 14 Tujuan perkawinan bagi masyarakat hukum adat yang bersifat kekerabatan adalah untuk mempertahankan dan meneruskan keturunan menurut garis kebapakan atau keibuan atau keibu-bapakan, untuk kebahagiaan rumah tangga keluarga/kerabat, untuk memperoleh nilai-nilai adat budaya dan kedamaian, dan untuk mempertahankan kewarisan. 15 Dalam Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa pernikahan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawadah dan rahmah Syarat Materiil dan Syarat Formil Perkawinan Menurut R. Soetojo Prawirohamidjojo, syarat-syarat perkawinan terbaagi menjadi syarat intern (materill) dan syarat-syarat ektern (formal) Djoko Prakoso, I Ketut Murtia, Op.Cit, hlm.4 15 Hilman Hadikusuma, Op.Cit, hlm Siska Lis Sulistiani, Op.Cit, hlm R. Soetojo Prawirihamidjojo, 1988, Prularisme dalam Perundang-undangan Perkawinan di Indonesia, Jakarta, Airlangga, hlm 39

8 14 a. Syarat Materiil Syarat materill adalah syarat yang berkaitan dengan para pihak yang akan melangsungkan perkawinan. Sebelum melangsungkan perkawinan, maka calon mempelai harus memenuhi syarat-syarat perkawinan yang ditentukan oleh Undang-Undang sebagaimana diatur Pasal 6-12 Undang-undang Perkawinan, dan khusus bagi mereka yang pegawai negeri sipil masih ditambah Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun Adapun syarat-syarat pada pokoknya adalah sebagai berikut: 1) Ada persetujuan dari kedua calon mempelai Syarat yang pertama ini terdapat pada Pasal 6 ayat (1) Undang-undang Perkawinan, bahwa perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon yang akan melangsungkan perkawinan. Kedua calon itu masing-masing harus saling setuju untuk mengikat tali perkawinan dengan nya, yang dituangkan dalam bentuk tulisan. 19 Adanya persetujuan calon mempelai sebagai salah satu syarat perkawinan, dimaksudkan agar supaya setiap orang dengan bebas memilih pasangannya untuk hidup berumah tangga dalam perkawinan Gatot Supramono, 1998, Segi-segi Hukum Hubungan Luar Nikah, Jakarta, Penerbit Djambatan, hlm Ibid, hlm Ibid, hlm 15

9 15 Munculnya syarat persetujuan dalam Undang-undang Perkawinan, dapat kami hubungkan sistem perkawinan pada zaman dahulu, zaman kakek-nenek kita dan sebelumnya dimana pada waktu itu terjadi kawin paksa. Seorang anak harus patuh pada orang tuanya untuk bersedia dijodohkan dengan orang yang dianggap tepat oleh orang tuanya. 21 Untuk menanggulangi kawin paksa Undang-Undang perkawinan telah memeberikan jalan keluarnya, yaitu suami atau isteri dapat mengajukan pembatalan perkawinan dengan menunjuk Pasal 27 ayat (1) apabila paksaan untuk kawin itu dilakukan di bawah ancaman yang melanggar hukum. 2) Umur calon mempelai, untuk laki-laki sudah mencapai umur 19 tahun, sedangkan umur wanitanya sudah mencapai 16 tahun Sebagaimana di atas telah disebutkan, bahwa untuk dapat melangsungkan perkawinan maka syaratnya bagi laki-laki umurnya minimal 19 tahun dan untuk perempuan minimal 16 tahun (Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Perkawinan). 22 Mengapa disyaratkan umur minimal seperti ini, dalam Perjelasan Umum Undang-undang yang bersangkutan menyebutkan bahwa Undang-undang menganut prinsip, dengan umur tersebut calon sumi isteri itu dianggap telah masak jiwa raganya untuk melangsungkan perkawinan, dan 21 Ibid, hlm Ibid, hlm 16

10 16 dianggap telah mampu mewujudkan tujuan perkawinan secara baik serta mendapat keturunan yang baik dan sehat. 23 3) Ada izin dari kedua orang tua atau walinya bagi calon mempelai yang belum berumur 21 tahun Mengenai izin untuk melakukan perkawinan dari kedua orang tua atau walinya hanya berlaku bagi mereka yang belum berumur 21 tahun. Undang-undang tidak memberi penjelasan mengapa ditentukan batas 21 tahun ke atas tidak perlu ada izin yang demikian. Hemat kami karena umur 21 tahun dianggap telah dewasa untuk melakukan tindakan hukum perkawinan ini sehingga tidak perlu meminta izin orang tua atau walinya. 24 4) Tidak melanggar larangan perkawinan Untuk dapat melangsungkan perkawinan syarat berikutnya bahwa mempelai tidak boleh melanggar larangan perkawinan. Dalam Undang-undang Perkawinan ada 6 (enam) point larangan sebagaimana diatur dalam Pasal 8 yaitu : 25 a) Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah ataupun keatas; b) Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya.; 23 Ibid, hlm Ibid, hlm Ibid, hlm 18

11 17 c) Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri; d) Berhubungan susuan, yaitu oarng tua susuan, anak susuan dan bibi/paman susuan; e) Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang; f) Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin; 5) Berlaku asas monogami Asas ini juga menjadi salah satu syarat untuk melangsungkan perkawinan. Seorang suami hanya dapat mempunyai satu orang isteri. Oleh karena itu calon mempelai laki-laki tidak dapat melangsungkan perkawinan lebih dari satu orang sekaligus. Kalaupun nantinya si suami hendak beristeri lebih dari seorang, harus ada alasan yang sah untuk itu. 26 6) Berlaku waktu tunggu bagi janda yang hendak menikah lagi Peraturan tentang waktu tunggu ini diatur dalam Pasal 11 Undang-undang Perkawinan, khusus bagi seorang perempuan yang putus perkawinannya, baik karena kematian suaminya maupun karena perceraian, yaitu sekurang-kurangnya 90 hari bagi yang putus perkawinanya karena perceraian, 130 hari bagi 26 Ibid, hlm 19

12 18 mereka yang putus perkawinannya karena kematian suaminya. 27 b. Syarat Formil Syarat formil adalah syarat yang berhubungan dengan formalitas-formalitas yang harus dipenuhi dalam melangsungkan perkawinan. Untuk melangsungkan perkawinan harus dilaksanakan menurut undang-undang tata cara yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Apabila tidak dilakukan demikian, banyak orang yang menyebut perkawinan itu hanya di bawah tangan. Dan masih ada sebagian masyarakat yang melaksanakan seperti ini. Syarat- syarat formil yang harus dipenuhi adalah sebagai berikut: 1) Pemberitahuan Dalam Pasal 3 PP No. 9 Tahun 1975 ditetapkan, bahwa setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan hendaknya itu kepada Pegawai Pencatatan di tempat perkawinan akan dilangsungkan. 28 Bagi orang yang beragama Islam, pemberitahuannya disampaikan kepada Kantor Urusan Agama, karena berlaku Undang-undang No. 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talat, dan Rujuk. Sedangkan bagi orang yang bukan beragama 27 Ibid, hlm Ibid, hlm 21

13 19 Islam pemberitahuannya dilakukan kepada Kantor Catatan Sipil setempat. 29 2) Penelitian Setelah adanya pemberitahuan akan adanya perkawinan, selanjutnya diadakan penelitian yang dilakukan pegawai pencatat perkawinan. Sesuai dengan Pasal 6 ayat (1) PP No 9 Tahun 1975 pegawai pencatat meneliti apakah syarat-syarat perkawinan telah dipenuhi dan apakah tidak terdapat halangan menurut Undang-undang. Selain itu berdasarkan ayat (2) nya pegawai pencatat perkawinan juga diwajibkan melakukan penelitian terhadap : a) Kutipan akta kelahiran atau surat kenal lahir calon mempelai; b) Keterangan mengenai nama, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat tinggal orang tua calon mempelai; c) Izin tertulis/izin pengadilan sebagai dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), (3), (4) dan (5) Undang-undang, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya belum mencapai 21 (dua puluh satu) tahun; d) Izin pengadilan sebagaimana dimaksud Pasal 4 Undang-undang dalam hal calon mempelai adalah seorang suami yang masih mempunyai isteri; 29 Ibid, hlm 22

14 20 e) Dispensasi pengadilan/pejabat sebagaimana dimaksud Pasal 7 ayat (2) Undang-undang, yaitu dispensasi dalam hal calon mempelai tidak memenuhi syarat batas minimum umur perkawinan; f) Surat kematian isteri atau suami yang terdahulu atau dalam hal perceraian surat keterangan peceraian, bagi perkawinan untuk kedua kalinya atau lebih; g) Izin tertulis dari pejabat yang ditunjuk oleh Menteri HANKAM/PANGAB, apabila salah seoang mempelai atau keduanya anggota Angkatan Bersenjata; h) Surat kuasa otentik atau dibawah tangan yang di sahkan oleh Pegawai Pencatat, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya tidak dapat hadir sendiri karena sesuatu alasan yang penting, sehingga mewakilkan kepada orang lain ) Pengumuman Setelah dipenuhinya tata cara dan syarat-syarat pemberitahuan serta tiada suatu halangan perkawinan, maka tahap berikutnya adalah Pegawai Pencatat perkawinan menyelenggarakan pengumuman. Berdasarkan pasal 8 PP No. 9 Tahun 1975 pengumuman tentang adanya kehendak melangsungkan perkawinan. 30 Ibid, hlm 22-24

15 21 Adapun mengenai caranya, surat pengumuman tersebut ditempelkan menurut formulir yang ditetapkan pada kantor pencatat perkawinan pada suatu tempat yang sudah ditentukan dan mudah dibaca oleh umum. 31 4) Pelaksanaan 32 Sesuai ketentuan pemberitahuan akan kehendak calon mempelai untuk melangsungkan perkawinan, maka perkawinan itu dilangsungkan setelah hari kesepuluh sejak pengumuman di atas dilakukan. Mengenai bagaimana tata cara pelaksanaan perkawinan, Pasal 10 ayat (2) PP No. 9 Tahun 1975 ternyata menegaskan kembali Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Perkawinan, yaitu perkawinan dilaksanakan menurut hukum masing-masing agama dan kepecayaannya itu, supaya sah. Peraturan Pemerintah ini juga mensyaratkan bahwa selain itu perkawinan dilaksanakan dihadapan pegawai pencatat perkawinan yang bewenang dan dihadiri oleh dua orang saksi. Sesaat sesudah dilangsungkannya pekawinan sesuai Pasal 10 PP No. 9 Tahun 1975, selanjutnya kedua mempelai menandatangani akta pekawinan yang telah disiapkan oleh pegawai pencatat pekawinan. 4. Syarat Sah Perkawinan 31 Ibid, hlm Ibid, hlm 25-26

16 22 Sahnya suatu pekawinan ditinjau dari sudut keperdataan, apabila pekawinan itu sudah dicatat atau didaftarkan pada Kantor Catatan Sipil. Selama pekawinan itu belum terdaftar, maka pekawinan itu belum di anggap sah menurut ketentuan hukum, walaupun telah memenuhi prosedur dan tata cara menurut ketentuan agama. Apabila ditinjau dari segi agama, pencatatan perkawinan hanyalah sebagai perbuatan administrasi saja dalam perkawinan tersebut dan tidak menentukan sah atau tidak nya perkawinan. 33 Apabila diteliti ketentuan mengenai sahnya suatu perkawinan dalam Undang-undang Perkawinan adalah sebagai berikut: perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepecayaannya itu. Dinyatakan juga tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan perumusan tesebut berarti tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Jadi pencatatan bukan syarat yang menentukan sahnya perkawinan. 34 Sahnya suatu perkawinan itu ditentukan oleh ketentuan agama dan kepercayaan mereka yang melakukan perkawinan; berarti apabila suatu perkawinan yang dilakukan bertentangan dengan ketentuan agama dan 33 Djoko Prakoso, I Ketut Murtia, 1987, Op.Cit, hlm Ibid.hlm 20

17 23 kepercayaannya, dengan sendirinya menurut hukum perkawinan belum sah dan tidak mempunyai akibat hukum sebagai ikatan perkawinan. 35 Pasal 2 Undang-undang Perkawinan berbunyi: (1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu. (2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundangundangan yang berlaku. Dalam penjelasan pasal 2 ayat (1) dikatakan, bahwa tidak ada perkawinan diluar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang-Undang Dasar Yang dimaksud hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamnya dan kepercayaanya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam Undang-undang ini. 36 Jadi bagi mereka yang memeluk agama Islam, maka yang menentukan sah tidaknya perkawinan itu adalah ketentuan-ketentuan hukum Islamn. Hal yang sama juga terdapat pada agama Nasrani dan Hindu Bali yaitu hukum agama merupakan yang menjadi dasar dari pelaksanaan sahnya suatu perkawinan Ibid 36 Ibid, hlm Ibid, hlm 21

18 24 Prof. Dr. Hazairin, SH menjelaskan masalah tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dalam bukunya yang bejudul Tinjauan Mengenai Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah sebagai berikut: 38 jadi bagi orang Islam tidak ada kemungkinan untuk kawin dengan melanggar hukum agamanya sendiri. Dengan demikian juga bagi orang Kristen dan bagi orang Hindu Budha seperti yang dijumpai di Indonesia. Maka untuk suatu sahnya perkawinan itu, haruslah menurut ketentuan hukum agamanya dan kepercayaannya. Jelaslah suatu perkawinan yang didasarkan pada Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dengan pelaksanaan Peraturan Peraturan No. 9 Tahun 1975 adalah mutlak dilakukan menurut hukum agamanya dan kepercayaan dari masing-masing orang yang akan melaksanakan perkawinan; kalau tidak maka perkawinan itu tidak sah Akibat Adanya Perkawinan Akibat dari adanya suatu perkawinan, maka dengan sendirinya menimbulkan bermacam-macam masalah. Namun masalah yang menonjol dan juga cukup penting adalah : masalah hubungan suami isteri, hubungan antara orang tua dengan anak serta masalah harta benda. 38 Ibid, hlm Ibid

19 25 Dengan adanya perkawinan akan menimbulkan akibat hukum, baik terhadap suami dan isteri, harta kekayaan maupun anak yang dilahirkan dalam perkawinan. Akibat-akibat hukum perkawinan tersebut, adalah: 40 a. Akibat perkawinan terhadap suami isteri 1) Suami isteri memikul tanggung jawab yang luhur untuk menegakkan rumah tangga berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 30 UUP), 2) Hak dan kedudukan isteri seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan dalam pergaulan hidup bersama dalam masyarakat (Pasal 31 ayat 1 UUP), 3) Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum dan suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga. (Pasal 31 ayat [2] dan [3] UUP), 4) Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya (Pasal 34 ayat [1] UUP). b. Akibat perkawinan terhadap harta kekayaan 1) Timbulnya harta bawaan dan harta bersama, 2) Suami atau isteri masing-masing mempunyai hak sepenuhnya terhadap harta bawaan untuk melakukan perbuatan hukum apa pun, 40 Siska Lis Sulistiani, Op.Cit, hlm.13-14

20 26 3) Suami atau isteri harus selalu ada persetujuan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap harta bersama (Pasal 35 dan 36 UUP). c. Akibat perkawinan terhadap anak 1) Anak yang dilahirkan dalam perkawinan yang sah adalah anak yang sah (Pasal 42 UUP) 2) Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya saja. B. Tinjauan Tentang Anak 1. Pengertian Anak Adanya anak menunjukan adanya bapak dan ibu yang melahirkan anak itu, atau dengan kata lain; adalah hasil dari terjadinya suatu persetubuhan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan, maka lahirlah seorang anak yang mana laki-laki itu adalah bapaknya dan perempuan itu adalah ibunya. 41 Keberadaan seorang anak diatur dalam peraturan hukum positif Indonesia, baik tertulis maupun yang tidak tertulis. Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak ditegaskan bahwa anak adalah seorang yang belum berusia 18 tahun (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang kesejahteraan anak, anak adalah potensi serta penerus cita-cita bangsa yang dasar-dasarnya telah diletakkan oleh generasi sebelumnya. Hal ini 41 Djoko Prakoso, Op.Cit, hlm.122

21 27 selaras dengan pengertian anak dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang pengadilan anak dan PP Nomor 54 Tahun 2007 tentang pengangkatan anak. Ketentuan tersebut menerangkan bahwa anak yang masih dalam kandungan pun dikategorikan anak sampai dengan anak berusia 18 tahun. Dari pandangan sosial, Hadiotono berpendapat bahwa anak merupakan makhluk yang membutuhkan pemeliharaan, kasih sayang dan tempat bagi perkembangannya. Selain itu, anak merupakan bagian dari keluarga dan keluarga memberi kesempatan bagi anak untuk belajar tingkah laku yang penting untuk perkembangan yang cukup baik dalam kehidupan bersama. Dari beberapa terminologi tersebut pada prinsipnya, anak adalah pribadi yang memiliki peranan strategis dalam mengemban tanggung jawab masa depan bangsa, namun anak masih memerlukan peranan orang tua dalam memelihara, mendidik dan mengarahkan dalam mencapai kedewasaannya. 42 Pengertian anak juga diatur dalam Konvensi Anak Konvensi tersebut diratifikasi dengan Keputusan Presiden Nomor 39 Tahun Pengertian anak menurut Pasal 1 konvensi anak adalah: setiap manusia yang berusia dibawah delapan belas tahun, kecuali berdasarkan Undang-Undang yang berlaku bagi anakanak ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal. 42 Siska Lis Sulistiani, Op.Cit, hlm 15-16

22 28 Adapun secara biologis anak merupakan hasil dari pertemuan sel telur seorang perempuan yang disebut ovum dengan spermatozoa dari laki-laki yang kemudian menjadi zygot, lalu tumbuh menjadi janin. Sehingga secara biologis tidak mungkin seorang anak lahir tanpa adanya kontribusi laki-laki dan perempuan. Tetapi hal ini berbeda dari sisi yuridis, seorang anak terkadang lahir tanpa keberadaan seorang ayah, hal ini terdapat dalam Undang-Undang perkawinan, di mana suatu kelahiran tanpa disertai dengan adanya perkawinan yang sah (anak luar kawin), maka si anak hanya akan memiliki ibu sebagai orang tuanya, sedangkan KUHPerdata menganut prinsip yang lebih tegas bahwa tanpa adanya pengakuan dari kedua orang tuanya, maka si anak dapat dipastikan tidak memiliki tidak akan memiliki ayah maupun ibu secara yuridis. 43 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan mengenal 2 (dua) macam status anak yaitu anak sah dan anak luar kawin. Mengenai anak sah dan anak luar kawin dijelaskan didalam Pasal 42 dan 43 Undang-Undang Perkawinan. 2. Anak Sah Berdasarkan beberapa aturan perundang-undangan anak sah diberikan definisi antara lain, sebagai berikut: 44 a. Pasal 42 UU Perkawinan menyebutkan bahwa anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat dari perkawinan sah 43 Ibid, hlm Ibid, hlm.18-19

23 29 b. Pasal 250 KUHPerdata menyebutkan bahwa anak yang dilahirkan atau dibesarkan selama perkawinan memperoleh si suami sebagai ayahnya. c. Pasal 99 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa anak sah adalah: anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah. Hasil perbuatan suami isteri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh isteri tersebut. Sedangkan berdasarkan teori para doktrinal anak sah memiliki pengertian lain, menurut Hilman Hadikusuma yang dimaksud dengan anak sah adalah anak yang dilahirkan dari pernikahan yang sah menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. 45 Menurut Yusuf Qardhawi menyebutkan bahwa dengan adanya perkawinan setiap anak yang lahir dari tempat tidur suami mutlak menjadi anak dari suami itu tanpa memerlukan pengakuan darinya. Maka seorang anak mendapatkan kedudukan sebagi anak yang sah apabila kelahiran si anak didasarkan pada perkawinan orang tuanya yang sah atau telah didahului oleh adanya perkawinan yang sah. Menurut makna etimologi dari beberapa kategori pengertian tersebut, antara lain: 46 1) Seorang anak yang dibenihkan dalam perkawinan dan dilahirkan dalam perkawinan yang sah, 45 Hilman Hadikusuma, 1999, Hukum Waris Adat, Bandung, Citra Aditya Bakti, hlm Siska Lis Sulistiani, Op.Cit, hlm. 19

24 30 2) Seorang anak dibenihkan di luar perkawinan namun dilahirkan dalam perkawinan yang sah, 3) Seorang anak dibenihkan di dalam perkawinan yang sah namun dilahirkan di luar perkawinan 4) (Khusus Kompilasi Hukum Islam) seorang anak yang dibenihkan oleh pasangan suami isteri di luar rahim dan dilahirkan oleh isteri. 3. Anak Luar Kawin Seorang anak dikategorikan sebagai anak sah menurut Pasal 42 Undang-Undang perkawinan jika dilahirkan dalam atau sebagai akibat dari perkawinan yang sah, ada dua kategori yang dirumuskan oleh Undang- Undang untuk menunjukan keabsahan seorang anak, yaitu berdasarkan waktu kelahirannya dan sebab yang mengaitkan tumbuh nya anak di dalam rahim seorang perempuan sebagai akibat dari perkawinan yang sah. Sedangkan dalam Pasal 2 Undang-Undang perkawinan, perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Bisa dikatakan bahwa pengertian anak luar kawin menurut Undang-undang Perkawinan adalah anak yang dilahirkan bukan sebagai akibat perkawinan sah yang dimaksud dalam undang-undang tersebut. Dalam Pasal 43 Undang-Undang Perkawinan dijelaskan bahwa anak yang lahir diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan keperdataan dengan ibunya dan keluarga ibunya. Jika kita bandingkan dengan ketentuan Pasal 250 KUHPerdata yang berbunyi, tiap-tiap anak yang dilahirkan atau ditumbuhkan

25 31 sepanjang perkawinan memperoleh si suami sebagai bapaknya, maka substansi pengertian keduanya memiliki sedikit perbedaan, karena ketentuan Pasal 250 KUHPerdata lebih menekankan keabsahan anak semata-mata hanya pada hubungan kebapakan, hal ini dari kalimat terakhir yang berbunyi,...memperoleh si suami sebagai bapaknya. Disebutkan dalam Pasal 272 KUHPerdata bahwa, anak luar kawin kecuali yang dilahirkan dari perzinahan atau pernodaan darah disahkan oleh perkawinan yang menyusul dari ayah dan ibu mereka bila sebelum melakukan perkawinan mereka telah melakukan pengakuan secara sah terhadap anak itu atau bila pengakuan itu terjadi dalam akta perkawinannya sendiri. Menurut DY Witanto beberapa faktor yang melatarbelakangi kehamilan pranikah dan kelahiran anak luar kawin antara lain: 47 a. Karena usia pelaku masih dibawah batas usia yang diizinkan untuk melangsungkan perkawinan, b. Karena belum siap secara ekonomi untuk melangsungkan perkawinan, c. Karena perbedaan keyakinan dan kepercayaan (agama), d. Karena akibat tindak pidana (pemerkosaan), e. Karena tidak mendapat restu orang tua, f. Karena si laki-laki terikat perkawinan dengan wanita lain dan tidak mendapat izin untuk melakukan poligami, g. Karena pergaulan seks bebas (free sex), 47 Ibid, hlm.20-21

26 32 h. Karena prostitusi/perdagangan jasa seksual. Menurut pasal di atas anak luar kawin dikelompokan menjadi 3 golongan antara lain: 1) Anak Zina Anak zina menurut pengertian dalam Pasal 284 KUHPerdata adalah, seorang pria yang telah kawin melakukan mukah (overspel) padahal diketahuinya bahwa Pasal 27 KUHPerdata berlaku baginya dan seorang wanita yang telah kawin melakukan mukah (overspel) padahal diketahuinya Pasal 27 KUHPerdata berlaku baginya. Sehingga menurut hukum Barat seseorang anak baru dapat dikategorikan sebagai anak zina jika anak tersebut lahir dari hubungan suami isteri yang dilakukan oleh seorang laki-laki dengan seorang perempuan atau keduanya sedang terikat perkawinan dengan yang lain. Sedangkan anak zina dalam ketentuan KUHPerdata menyatakan bahwa, anak zina dan anak sumbang tidak dapat diakui oleh orang tua biologisnya, sehingga secara hukum seorang yang dilahirkan dari perzinahan tidak akan memiliki hak keperdataan apaapa dari orang tua biologis kecuali seperti yang dinyatakan dalam Pasal 867 ayat (2) KUHPerdata bahwa, sebatas hak untuk mendapatkan nafkah hidup seperlunya berdasarkan kemampuan orang biologisnya setelah memperhitungkan jumlah dan keadaan para ahli waris yang sah menurut Undang-Undang.

27 33 Anak zina merupakan jenis anak luar kawin dalam pengertian anak tidak sah. Istilah ini dalam pengertian hukum perdata Barat dipengaruhi oleh asas monogami secara mutlak yang dianut oleh KUHPerdata, di mana pada waktu yang sama seorang laki-laki atau perempuan hanya boleh terikat perkawinan dengan seorang perempuan atau seorang laki-laki saja, dan jelas hal ini berbeda dengan hukum Islam yang menerima asas poligami. 48 Anak yang lahir karena zinah adalah anak yang dilahirkan seorang perempuan atau dibenihkan seorang lelaki, sedangkan perempuan atau lelaki itu ada dalam perkawinan dengan orang lain. 49 2) Anak karena Pernodaan Darah (Sumbang) Anak sumbang (incest) atau sering disebut anak hasil dari penodaan darah yaitu anak yang lahir dari hubungan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan di mana di antara keduanya dilarang untuk melangsungkan perkawinan, baik karena terikat hubungan darah, hubungan semenda, hubungan persusuan (dalam hukum Islam) dan sebagainya. 50 Anak yang lahir dalam sumbang adalah anak yang lahir dari seorang ibu, yang dilarang kawin menurut Undang-Undang dengan seorang lelaki yang membenihkan anak itu. 51 3) Anak Alam (natuurkijk kind) 48 Ibid, hlm Ali Afandi, Op.Cit, hlm Siska Lis Sulistiani, Op.Cit, hlm Ali Afandi, Loc.Cit

28 34 Anak yang lahir diluar perkawinan menurut istilah yang dipakai atau di kenal dalam Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), dinamakan natuurkijk kind (anak alam). Anak luar kawin itu dapat diakui oleh ayah dan ibunya. Menurut sistem yang dianut BW (KUH Perdata) dengan adanya keturunan diluar perkawinan saja, belum terjad suatu hubungan keluarga antara anak dengan orang tuanya. Baru setelah ada pengkuan terbit suatu pertalian kekeluargaan dengan segala akibat-akibatnya (terutama hak mewaris) antara anak dengan orang tua yang mengakuinya, demikian menurut Prof. Subekti. Jadi, anak luar kawin tersebut berstatus sebagai anak yang diakui atau istilah hukumnya natuurkijk kind. 52 Yang dimaksud dalam pembahasan anak luar kawin lainnya adalah anak luar kawin selain anak zina dan anak sumbang. Anak luar kawin lainnya memiliki kesempatan untuk menjadi ahli waris dari orang tua biologisnya, meskipun bagian warisnya tidak sebesar ahli waris dari golongan anak sah dikarenakan mendapatkan pengakuan dari orang tua biologisnya, sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 865 KUHPerdata. Di antara kategori anak luar kawin lainnya adalah: 53 a) Anak mula nah b) Anak syubhat 52 Soerdharyo Soimin, 2002, Hukum Orang dan Keluarga, Jakarta, Sinar Grafika, hlm Siska Lis Sulistiani, Loc.Cit, hlm.22

29 35 C. Pengakuan Anak Luar Kawin Anak yang dilahirkan diluar kawin, perlu diakui oleh ayah atau ibunya supaya ada hubungan hukum. Sebab kalau tidak ada pengakuan maka tidak terdapat hubungan hukum. Jadi meskipun seorang anak itu jelas dilahirkan oleh seorang ibu, ibu itu harus dengan tegas mengakui anak itu. Kalau tidak maka tidak ada hubungan hukum antara ibu dan anak. Pengakuan ini adalah suatu hal yang lain sifat dari pengesahan. Dengan pengakuan seorang anak itu menjadi anak sah. Anak yang lahir di luar perkawinan itu, baru menjadi anak sah, jika kedua orang tuanya kemudian kawin, setelah mereka itu kedua-duanya mengakui anak itu, atau jika pengakuan itu dilakukan dalam akta perkawinan itu sendiri. 54 Menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 pasal 42, yang dimaksud anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Dengan demikian, agar supaya terhadap anak yang dilahirkan oleh ibunya mendapat pengakuan dari ayahnya maka peristiwa pengakuan anak itu sangat penting sekali. Dalam hal akta Pengakuan Anak pada prinsipnya lebih ditunjukan untuk maksud menciptakan hubungan hukum perdata antara anak yang diakui dengan si pengaku. 55 Status seorang anak sepanjang mengenai anak-anak luar kawin banyak dikupas dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Demikian pula 54 Ali Afandi, Op.Cit, hlm Victor M. Situmorang, Cormentyna Sitanggang, 1991, Aspek Hukum Akta Catatan Sipil Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 42

30 36 Undang-Undang Perkawinan menyingkap adanya kenyataan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. 56 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan membedakan kedudukan seorang anak dalam hubungannya dengan perkawinan orang tuanya, sebagaimana dikemukakan pada pasal 42: Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam suatu atau sebab perkawinan yang sah. 57 Kemudian dalam pasal 43 ayat pertama mengemukakan sebagai berikut: Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya atau keluarga ibunya. Karena secara biologis tidak mungkin seorang anak tidak mempunyai ayah, maka demi kepentingan hukum yang menyangkut segala akibatnya di bidang pewarisan, kewarganegaraan, perwalian dan lain sebagainya. Maka melalui pengakuan anak ini ditimbulkan hubungan hukum perdata baru. Biasanya dengan dilangsungkan perkawinan orang tuanya, diterbitkan akta pengakuan anak. 58 Orang membedakan pengakuan anak luar kawin dalam 2 (dua) kelompok : Pengakuan secara suka rela 56 Ibid 57 Ibid 58 Ibid, hlm J. Satrio, 2000, Hukum Keluarga tentang Kedudukan Anak dalam Undang-Undang, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm.109

31 37 Pengakuan anak secara suka rela dalam doktrin dirumuskan sebagai suatu pernyataan, yang mengandung pengakuan, bahwa yang bersangkutan adalah ayah atau ibu dari anak luar kawin yang diakui olehnya. 60 Ada 3 (tiga) cara uuntuk mengakui anak luar kawin secara suka rela, yaitu : 61 a) Di dalam akta kelahiran anak yang bersangkutan; b) Di dalam akta perkawinan; c) Di dalam akta otentik. Karena pengakuan itu baru sah, kalau diberikan di hadapan seorang Notaris atau Pegawai Catatan Sipil (bisa dalam surat lahir, akta perkawinan maupun dalam akta tersendiri), padahal keduanya adalah Pejabat Umum, yang memang diberikan kewenangan khusus untuk membuat akta-akta seperti itu, maka dapat kita katakan, bahwa pengakuan anak luar kawin harus diberikan dalam suatu akta otentik. 62 Karena tidak disyaratkan, bahwa akta otentik yang bersangkutan maksudnya yang dibuat dihadapan akta notaris, harus semata-mata memuat pengakuan anak luar kawin, maka pengakuan juga dapat diberikan didalam suatu wasiat umum, yang dibuat di hadapan seorang Notaris Ibid 61 Ibid, hlm Ibid 63 Ibid

32 38 Cara yang kedua adalah pengakuan yang diberikan dalam akta perkawinan dari ayah dan ibu si anak luar kawin. Hal itu berarti, bahwa lelaki dan perempuan yang semula mengadakan hubungan di luar nikah dan menghasilkan anak luar kawin, kemudian memutuskan untuk saling menikah secara sah, dan sekaligus mengakui anak luar kawin itu. 64 Cara yang ketiga adalah pengakuan yang dituangkan dalam suatu otentik, yang dimaksud dengan akta otentik disini adalah akta notaris. Pengakuan dalam akta otentik perlu ditindak lanjuti dengan melaporkannya kepada kantor Catatan Sipil, di mana kelahiran anak itu dulu telah didaftarkan, dan minta agar pengakuan itu dicatat dalam minit akta kelahiran yang bersangkutan Pengakuan karena terpaksa Pengakuan karena terpaksa terjadi, kalau hakim, dalam suatu perkara gugatan kedudukan anak atas dasar persangkaan, bahwa seorang laki-laki tertentu adalah ayah dari anak tertentu menetapkan, bahwa orang laki-laki itu adalah ayah dari anak yang bersangkutan. Karena didasarkan atas ketetapan pengadilan, maka pengakuan seperti itu merupakan pengakuan yang dipaksakan atau terpaksa Ibid, hlm Ibid, hlm Ibid, hlm 126

33 39 Didalam doktrin terdapat perbedaan pendapat mengenai sifat daripada pengakuan anak luar kawin, yaitu bersifat deklaratif saja, ataukah ia bersifat konstitutif. 67 Pengakuan bersifat deklaratif, mereka yang menganut pendapat, bahwa pengakuan merupakan sarana bukti saja, berangkat dari anggapan, bahwa yang mengakui anak yang bersangkutan adalah memang ayah atau ibu biologisnya. Karena ia hanya merupakan bukti keturunan, maka sifatnya hanya deklaratif saja. Akibatnya, kedudukan si anak sebagai keturunan orang yang mengakuinya memang sudah ada sejak anak itu lahir. 68 Pengakuan sebagai tindakan hukum, kalau pengakuan itu merupakan suatu tindakan hukum, dengan mana orang menerima kedudukan sebagai ayah/ibu atas nama anak yang diakuinya, maka dengan pengakuan itu baru tercipta hubungan kekeluargaan antara yang mengakui dengan yang diakui dan karenanya dikatakan bersifat konstititif. 69 : 70 Akibat daripada pengakuan adalah a. Lahirnya hubungan hukum dengan yang mengakuinya Akibat hukum dari adanya pengakuan adalah lahirnya hubungan hukum antara yang mengakui dengan yang di akui. 67 Ibid, hlm Ibid, hlm Ibid, hlm Ibid, hlm 129

34 40 Anak luar kawin tersebut dengan pengakuan itu selanjutnya mendapatkan status sebagai anak luar kawin yang diakui. 71 Adanya hubungan hukum antara anak yang bersangkutan dengan ayah dan ibu yang mengakuinya, membuat akibat yang lebih lanjut dalam hukum, seperti : 72 1) Keharusan minta izin kawin; 2) Ada kewajiban alimentasi dari anak terhadap orang tua yang mengakuinya; 3) Adanya hubungan perwalian dengan ayah atau ibu yang mengakuinya, yang terjadi demi hukum; 4) Adanya hak mewaris dari anak yang diakui dengan ayah dan ibu yang mengakuiya; 5) Adanya hak mewaris dari ayah dan ibu yang mengakui, atas harta warisan dari anak yang diakui olehnya. b. Adanya akibat hukum yang sangat terbatas dengan keluarga pihak yang mengakuinya Hubungan hukum itu terbatas sekali, hanya antara yang mengakui dan anak yang diakui. Antara anak luar kawin dengan keluarga ayah ata ibu yang mengakuinya, tidak ada hubungan hukum apa-apa. Antara mereka keadaannya sama seperti antara 2 (dua) orang lain. Konsekuensinya, kalau saudara dari ayah yang mengakuinya (atau saudara ibu yang 71 Ibid, hlm Ibid, hlm 133

35 41 mengakuinya) meninggal dunia, maka bagi anak luar kawin itu tidak ada dasar sama sekali untuk mempunyai kesempatan mewaris dari saudara ayah atau ibu itu, sekalipun si mati tidak meninggalkan keturunan. 73 D. Pengesahan Anak Luar Kawin Jika kita menyebut seorang anak itu seorang anak sah, maka anak itu dilahirkan atau dibuahkan di dalam suatu perkawinan yang sah. Demikian isi dari Pasal 42 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Adapun anak yang dilahirkan di luar perkawinan adalah tidak sah. Meskipun demikian anak yang demikian itu kemudian bisa disahkan. 74 Suatu syarat guna pengesahan ialah, bahwa pada waktu nikah dilakukan atau sebelumnya harus adanya suatu pengakuan sebagai anak (erkenning) oleh ibu dan bapak. 75 Dalam hal Akta Pengakuan Anak taupun Akta Pengesahan ini pada prinsipnya ditunjukan untuk maksud menciptakan hubungan hukum perdata antara anak yang diakui dengan si pengaku. Sedangkan Akta Pengesahan Anak adalah semacam pernyataan bahwa anak tersebut setelah di sahkan menjadi anak sah, dalam pengertian hukum perdata. Supaya terhadap anak yang dilahirkan oleh ibunya dan mendapat pengakuan dari ayahnya maka peristiwa pengakuan sangat penting sekali mendapat pengesahan dari suatu lembaga yang berwenang yang merupakan langkah lebih lanjut dari 73 Ibid, hlm Ali Afandi, Op.Cit, hlm Djoko Prakoso, I Ketut Murtia, Op.Cit, hlm.125

36 42 pengakuan kedua orang tuanya tadi. Jika anak yang diakui tersebut, telah mendapat pengesahan, maka status atau kedudukan anak tersebut menjadi sama (tidak berbeda) dengan anak sah dalam segala hal. Melalui pengesahan anak ini ditimbulkan hubungan hukum perdata baru. 76 Dari bentuk Akta Pengesahan Anak itu sendiri, sebenarnya bukan merupakan suatu akta dalam bentuk tersendiri. Pada awalnya akta kelahiran biasa, dengan adanya pengesahan anak kemudian dicantumkan data pengesahan anak, yang dikenal dengan istilah populer catatan pinggir. Disebut catatan pinggir, karena catatan tentang perubahan status anak tersebut dicatat pada bagian pinggir dari akta kelahiran semula. Catatan pinggir pada suatu Akta Catatan Sipil pada dasarnya berisi perubahan data dan informasi atas akta semula. 77 Catatan pinggir ini dapat diterapkan pada semua jenis dan macam Akta Catatan Sipil, dengan adanya catatan pinggir pada suatu akta, berarti data dan informasi lama tidak berlaku lagi, sedangkan yang dipergunakan sebagai data selanjutnya adalah tercantum dalam catatan pinggir. 78 Penerbitan akta bercatatan pinggir, biasanya dilakukan berhubung adanya peristiwa baru yang oleh undang-undang dinyatakan mempunyai kekuatan hukum baru. Misalnya terjadi karena adanya Keputusan Pengadilan Negeri karena ganti nama, perubahan dan pembetulan tanggal dan bulan serta tahun kelahiran serta pembetulan nama, juga karena perubahan 76 Victor M. Situmorang, Cormentyna Sitanggang, Op.Cit, hlm Ibid, hlm Ibid

37 43 kewarganegaraan karena proses mengikuti suami, ataupun karena pengakuan dan pengesahan anak. 79 Lembaga Catatan Sipil adalah juga lembaga yang berwenang melakukan pengesahan anak. Hal ini ditegaskan dalam Keputusan Presiden bahwa Lembaga Catatan Sipil juga berfungsi untuk Pencatatan dan Penerbitan Kutipan Akta Pengakuan dan Pengesahan Anak (Pasal 5 ayat 2 Kepres No.12 Tahun 1983). 80 Dengan demikian, maka pengesahan anak hanya dapat dilakukan dengan Surat Pengesahan (Brieven van wettingin) oleh Kepala Negara. 81 Peristiwa pengakuan atau pengesahan anak tidak dapat dilakukan secara diam-diam tetapi harus dilakukan di muka Pegawai Pencatatan Sipil, dengan pencatatan dalam akta kelahiran anak tersebut, atau dalam akta perkawinan orang tuanya (yang berakibat pengesahan ) atau dapat juga dalam suatu akta tersendiri dari Pegawai Pencatatan Sipil. 82 Pada pasal 55 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dijelaskan pula bahwa : Asal usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akte kelahiran yang authentik, yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang. 79 Ibid 80 Ibid, hlm Ibid 82 Ibid

38 44 Pengesahan merupakan sarana hukum, dengan mana seorang anak luar kawin diubah status hukumnya sehingga mendapatkan hak-hak seperti yang diberikan oleh Undang-Undang kepada seorang anak sah. 83 Unsur-unsur pengesahan : Pengakuan Tindakan pengesahan dilakukan pertama-tama, disamping pernikahan (kedua) orang tuanya dengan cara mengakui anak luar kawin yang bersangkutan. Jadi, pengakuan disamping pernikahan orang tua merupakan syarat adanya pengesahan 2. Pernikahan Syarat kedua untuk pengesahan adalah, bahwa ayah yang mengakui anak luar kawinnya, menikah dengan perempuan yang melahirkan anak tersebut. Kalau pengakuan itu diberikan dalam akta nikah, maka dengan pernikahan kedua orang tua itu, pengakuan itu langsung berubah dan mempunyai akibat sebagai suatu pengesahan. Cara melakukan pengesahan: Pengakuan dan perkawinan Cara pengesahan pertama adalah dengan pengakuan disertai dengan perkawinan dari orang tua anak luar kawin yang mengakuinya. 2. Melalui surat pengesahan 83 J Satrio, Op.Cit.,hlm Ibid., hlm Ibid., hlm

39 45 Pengesahan anak luar kawin bisa juga dilakukan melalui surat pengesahan presiden. Dari diadakannya lembaga pengesahan anak luar kawin melauli Surat Pengesahan, orang menyimpulkan, bahwa pembuat Undang-Undang hendak mengupayakan agar sebanyak mungkin anak-anak luar kawin, yang orang tuanya saling menikahi, memperoleh status anak sah. 3. Dalam hal ada kelalaian Karena undang-undang tidak menyebutkan alasan dari kelalaian orang yang akan mengesahkan anak, maka kita bisa menafsirkan nya dengan luas, baik karena sengaja ataupun kelalaian termasuk dan untuk gampangnya ketidaktahuan dari orang tua. Ini bukan alasan mengadaada, tetapi merupakan kelalaian yang ada dan bisa diduga banyak muncul dalam praktek. 4. Karena halangan Halangan yang dimaksud adalah halangan perkawinan dari ayah yang mau mengesahkan dengan ibu si anak luar kawin yang bersangkutan. 5. Peranan Presiden dan Mahkamah Agung Sudah tentu untuk anak-anak luar kawin, baik yang sudah maupun belum diakui sebelum perkawinan, harus dilampirkan bukti pengakuan itu, beserta dengan surat kawin kedua orang tua, yang mau mengesahkan anak, kalau mereka lalai untuk sekaligus mengaku dan sekaligus mengesahkan anak mereka dalam akta perkawinan. Akta kematian dari salah satu dari calon suami isteri tentunya juga perlu

40 46 disodorkan, untuk membuktikan, bahwa mereka atas dasar kematian itu, terhalang untuk melangsungkan perkawinan yang sudah direncanakan. Presiden, sebelum memberikan keputusan, akan meminta pertimbangan dari Mahkamah Agung dan Mahkamah agung, sebelum memberikan advisinya, kalau dipandang perlu dapat memanggil para keluarga sedarah dari pemohon, untuk didengar pendapat mereka tentang permohonan pengesahan yang diajukan oleh yang bersangkutan. Mahkamah agung juga bisa memerintahkan Pengadilan yang ada di bawahnya untuk mendengar pendapat dari keluarga sedarah pemohon, terutama kalau para anggota keluarga tersebut tinggal di tepat jauh dari tempat tinggal pemohon. Selanjutnya, Mahkamah Agung dapat memerintahkan, agar pemohon itu diumumkan dalam Berita Negara. Maksudnya tidak lain, agar mereka yang berkepentingan diberikan kesempatan untuk mengajukan perlawanan terhadap permohoan tersebut. Agar diingat, bahwa kita tidak tahu, apakah yang mengajukan permohonan pengesahan adalah betul ayah biologis dari anak yang bersangkutan. Kalau tidak ada yang melawan, memang tidak jadi masalah, apakah yang mau mengesahkan benar-benar ayah anak yang bersangkutan atau bukan, tetapi kalau ada orang lain yang merasa, bahwa dialah ayah dari anak itu, maka pernyataan dan keberatannya perlu diselidiki kebenaran.

BAB III IMPLIKASI HAK KEWARISAN ATAS PENGAKUAN ANAK LUAR

BAB III IMPLIKASI HAK KEWARISAN ATAS PENGAKUAN ANAK LUAR BAB III IMPLIKASI HAK KEWARISAN ATAS PENGAKUAN ANAK LUAR KAWIN DALAM HUKUM PERDATA (BURGERLIJK WETBOEK) A. Pengertian Anak Luar Kawin Menurut Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) Anak menurut bahasa adalah

Lebih terperinci

BAB II KRITERIA ANAK LUAR NIKAH DALAM KOMPILASI HUKUM ISLAM DAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA

BAB II KRITERIA ANAK LUAR NIKAH DALAM KOMPILASI HUKUM ISLAM DAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA 48 BAB II KRITERIA ANAK LUAR NIKAH DALAM KOMPILASI HUKUM ISLAM DAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA A. Kriteria Anak Luar Nikah dalam Kompilasi Hukum Islam Dalam Kompilasi Hukum Islam selain dijelaskan

Lebih terperinci

FH UNIVERSITAS BRAWIJAYA

FH UNIVERSITAS BRAWIJAYA NO PERBEDAAN BW/KUHPerdata Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 1 Arti Hukum Perkawinan suatu persekutuan/perikatan antara seorang wanita dan seorang pria yang diakui sah oleh UU/ peraturan negara yang bertujuan

Lebih terperinci

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1974 (1/1974) Tanggal: 2 JANUARI 1974 (JAKARTA)

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1974 (1/1974) Tanggal: 2 JANUARI 1974 (JAKARTA) Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 1 TAHUN 1974 (1/1974) Tanggal: 2 JANUARI 1974 (JAKARTA) Sumber: LN 1974/1; TLN NO. 3019 Tentang: PERKAWINAN Indeks: PERDATA. Perkawinan.

Lebih terperinci

BAB II KONSEP PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN sembarangan. Islam tidak melarangnya, membunuh atau mematikan nafsu

BAB II KONSEP PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN sembarangan. Islam tidak melarangnya, membunuh atau mematikan nafsu BAB II KONSEP PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 A. Pengertian Perkawinan Nafsu biologis adalah kelengkapan yang diberikan Allah kepada manusia, namun tidak berarti bahwa hal tersebut

Lebih terperinci

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 Tentang perkawinan BAB I DASAR PERKAWINAN. Pasal 1. Pasal 2

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 Tentang perkawinan BAB I DASAR PERKAWINAN. Pasal 1. Pasal 2 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 Tentang perkawinan BAB I DASAR PERKAWINAN Pasal 1 Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri

Lebih terperinci

SAHNYA PERKAWINAN MENURUT HUKUM POSITIF YANG BERLAKU DI INDONESIA. Oleh : Akhmad Munawar ABSTRAK

SAHNYA PERKAWINAN MENURUT HUKUM POSITIF YANG BERLAKU DI INDONESIA. Oleh : Akhmad Munawar ABSTRAK SAHNYA PERKAWINAN MENURUT HUKUM POSITIF YANG BERLAKU DI INDONESIA Oleh : Akhmad Munawar ABSTRAK Menurut Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pengertian perkawinan ialahikatan lahir

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS ANAK DILUAR NIKAH DALAM MENDAPATKAN WARISAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

TINJAUAN YURIDIS ANAK DILUAR NIKAH DALAM MENDAPATKAN WARISAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN 1 2 TINJAUAN YURIDIS ANAK DILUAR NIKAH DALAM MENDAPATKAN WARISAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN (Studi Penelitian di Pengadilan Agama Kota Gorontalo) Nurul Afry Djakaria

Lebih terperinci

Undang-undang Republik Indonesia. Nomor 1 Tahun Tentang. Perkawinan

Undang-undang Republik Indonesia. Nomor 1 Tahun Tentang. Perkawinan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan DENGAN RAKHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : bahwa sesuai dengan falsafah Pancasila serta cita-cita

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN 1. Pengertian Perkawinan Dalam ajaran Islam sebuah perkawinan merupakan peristiwa sakral bagi manusia, karena melangsungkan perkawinan merupakan

Lebih terperinci

BAB II PERKAWINAN DAN PUTUSNYA PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

BAB II PERKAWINAN DAN PUTUSNYA PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN BAB II PERKAWINAN DAN PUTUSNYA PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN 2.1 Pengertian Perkawinan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA. Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkawinan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA. Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkawinan BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA A. Pengertian Perkawinan Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkawinan nomor 1 Tahun 1974. Pengertian perkawinan menurut Pasal

Lebih terperinci

BAB5 PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG PERKAWINAN NOMOR 1 TAHUN 1974.

BAB5 PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG PERKAWINAN NOMOR 1 TAHUN 1974. BAB5 PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG PERKAWINAN NOMOR 1 TAHUN 1974. A. Pendahuluan Perkawinan merupakan sebuah institusi yang keberadaannya diatur dan dilindungi oleh hukum baik agama maupun negara. Ha

Lebih terperinci

BAB III AKTA NIKAH DALAM LINTAS HUKUM. A. Akta Nikah dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974

BAB III AKTA NIKAH DALAM LINTAS HUKUM. A. Akta Nikah dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 BAB III AKTA NIKAH DALAM LINTAS HUKUM A. Akta Nikah dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 Perkawinan merupakan institusi kecil yang sangat penting dalam masyarakat. Eksistensi institusi ini adalah

Lebih terperinci

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pembukaan Bab I Dasar perkawinan Bab II Syarat-syarat perkawinan Bab III Pencegahan perkawinan Bab IV Batalnya perkawinan Bab V Perjanjian

Lebih terperinci

www.pa-wonosari.net admin@pa-wonosari.net UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA Presiden Republik Indonesia, Menimbang : bahwa sesuai dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tangga dan keluarga sejahtera bahagia di mana kedua suami istri memikul

BAB I PENDAHULUAN. tangga dan keluarga sejahtera bahagia di mana kedua suami istri memikul BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan merupakan suatu ikatan yang sah untuk membina rumah tangga dan keluarga sejahtera bahagia di mana kedua suami istri memikul amanah dan tanggung jawab.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. satu dengan yang lainnya untuk dapat hidup bersama, atau secara logis

BAB I PENDAHULUAN. satu dengan yang lainnya untuk dapat hidup bersama, atau secara logis 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Dalam kehidupan manusia di dunia ini, yang berlainan jenis kelaminnya (laki-laki dan perempuan) secara alamiah mempunyai daya tarik menarik antara satu dengan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA. Presiden Republik Indonesia

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA. Presiden Republik Indonesia UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA Presiden Republik Indonesia Menimbang : bahwa sesuai dengan falsafah Pancasila serta cita-cita untuk

Lebih terperinci

BAB III PUTUSNYA PERKAWINAN KARENA MURTAD MENURUT HUKUM POSITIF. A. Putusnya Perkawinan karena Murtad dalam Hukum Positif di Indonesia

BAB III PUTUSNYA PERKAWINAN KARENA MURTAD MENURUT HUKUM POSITIF. A. Putusnya Perkawinan karena Murtad dalam Hukum Positif di Indonesia BAB III PUTUSNYA PERKAWINAN KARENA MURTAD MENURUT HUKUM POSITIF A. Putusnya Perkawinan karena Murtad dalam Hukum Positif di Indonesia Di Indonesia, secara yuridis formal, perkawinan di Indonesia diatur

Lebih terperinci

BAB III KEWARISAN ANAK DALAM KANDUNGAN MENURUT KUH PERDATA 1. A. Hak Waris Anak dalam Kandungan menurut KUH Perdata

BAB III KEWARISAN ANAK DALAM KANDUNGAN MENURUT KUH PERDATA 1. A. Hak Waris Anak dalam Kandungan menurut KUH Perdata BAB III KEWARISAN ANAK DALAM KANDUNGAN MENURUT KUH PERDATA 1 A. Hak Waris Anak dalam Kandungan menurut KUH Perdata Anak dalam kandungan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) memiliki

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1975 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1975 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1975 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN, PERJANJIAN PERKAWINAN DAN PEGAWAI PENCATAT PERKAWINAN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN, PERJANJIAN PERKAWINAN DAN PEGAWAI PENCATAT PERKAWINAN BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN, PERJANJIAN PERKAWINAN DAN PEGAWAI PENCATAT PERKAWINAN 2.1 Perkawinan 2.1.1 Pengertian perkawinan. Perkawinan merupakan suatu peristiwa sakral dalam kehidupan manusia.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN DAN PEMBATALAN PERKAWINAN. sebanyak-banyaknya dalam perumusan pengertian perkawinan. 1

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN DAN PEMBATALAN PERKAWINAN. sebanyak-banyaknya dalam perumusan pengertian perkawinan. 1 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN DAN PEMBATALAN PERKAWINAN 2.1 Pengertian Perkawinan Dan Pengaturannya Mengenai pengertian perkawinan, banyak pendapat para ahli yang berbeda-beda antara yang satu

Lebih terperinci

2002), hlm Ibid. hlm Komariah, Hukum Perdata (Malang; UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang,

2002), hlm Ibid. hlm Komariah, Hukum Perdata (Malang; UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang, Pendahuluan Perkawinan merupakan institusi yang sangat penting dalam masyarakat. Di dalam agama islam sendiri perkawinan merupakan sunnah Nabi Muhammad Saw, dimana bagi setiap umatnya dituntut untuk mengikutinya.

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS DAMPAK PERKAWINAN BAWAH TANGAN BAGI PEREMPUAN OLEH RIKA LESTARI, SH., M.HUM 1. Abstrak

TINJAUAN YURIDIS DAMPAK PERKAWINAN BAWAH TANGAN BAGI PEREMPUAN OLEH RIKA LESTARI, SH., M.HUM 1. Abstrak TINJAUAN YURIDIS DAMPAK PERKAWINAN BAWAH TANGAN BAGI PEREMPUAN OLEH RIKA LESTARI, SH., M.HUM 1 Abstrak Dalam kehidupan masyarakat di Indonesia perkawinan di bawah tangan masih sering dilakukan, meskipun

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa sesuai dengan falsafah Pancasila serta cita-cita untuk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian hukum menurut pendapat para ahli hukum : E. Utrecht, dalam bukunya pengantar dalam hukum indonesia :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian hukum menurut pendapat para ahli hukum : E. Utrecht, dalam bukunya pengantar dalam hukum indonesia : BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Hukum Pengertian hukum menurut pendapat para ahli hukum : 1 1. E. Utrecht, dalam bukunya pengantar dalam hukum indonesia : Hukum adalah himpunan petunjuk hidup yang

Lebih terperinci

KEDUDUKAN HUKUM ANAK LUAR KAWIN YANG DIAKUI. Oleh: Mulyadi, SH., MH. ( )

KEDUDUKAN HUKUM ANAK LUAR KAWIN YANG DIAKUI. Oleh: Mulyadi, SH., MH. ( ) KEDUDUKAN HUKUM ANAK LUAR KAWIN YANG DIAKUI Oleh: Mulyadi, SH., MH. (081328055755) Abstrak Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah maka kalau terjadi perkawinan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa sesuai dengan falsafah Pancasila serta cita-cita untuk

Lebih terperinci

BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP STATUS ANAK DAN HARTA BENDA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN YANG DIBATALKAN

BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP STATUS ANAK DAN HARTA BENDA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN YANG DIBATALKAN BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP STATUS ANAK DAN HARTA BENDA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN YANG DIBATALKAN 1. Akibat Hukum Terhadap Kedudukan, Hak dan Kewajiban Anak dalam Perkawinan yang Dibatalkan a. Kedudukan,

Lebih terperinci

BAB IV HUKUM KELUARGA

BAB IV HUKUM KELUARGA BAB IV HUKUM KELUARGA A. PENGERTIAN DAN TUJUAN PERKAWINAN Di Indonesia telah dibentuk Hukum Perkawinan Nasional yang berlaku bagi seluruh rakyat Indonesia, yaitu Undang-undang No. 1 Tahun 1974, dalam Lembaran

Lebih terperinci

Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. MEMUTUSKAN : BAB I DASAR PERKAWINAN. Pasal 1

Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. MEMUTUSKAN : BAB I DASAR PERKAWINAN. Pasal 1 Bentuk: Oleh: UNDANG-UNDANG (UU) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 1 TAHUN 1974 (1/1974) Tanggal: 2 JANUARI 1974 (JAKARTA) Sumber: LN 1974/1; TLN NO. 3019 Tentang: Indeks: PERKAWINAN PERDATA. Perkawinan.

Lebih terperinci

HUKUM WARIS. Hukum Keluarga dan Waris ISTILAH

HUKUM WARIS. Hukum Keluarga dan Waris ISTILAH Hukum Keluarga dan Waris HUKUM WARIS ISTILAH Didalam hukum waris dikenal istilah-istilah seperti pewaris, ahli waris, harta waris, boedel, testament, legaat, dan legitieme portie[1]. Yang dimaksud Pewaris

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. setiap orang memiliki harapan untuk membentuk sebuah keluarga dan untuk

BAB I PENDAHULUAN. setiap orang memiliki harapan untuk membentuk sebuah keluarga dan untuk BAB I PENDAHULUAN Perkawinan memiliki arti penting bagi setiap orang, didalam kehidupan setiap orang memiliki harapan untuk membentuk sebuah keluarga dan untuk membentuk sebuah keluarga itu maka setiap

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : bahwa sesuai dengan falsafah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : bahwa sesuai dengan falsafah Pancasila serta cita-cita untuk pembinaan hukum nasional, perlu

Lebih terperinci

BAB III HAK WARIS ANAK SUMBANG. A. Kedudukan Anak Menurut KUH Perdata. Perdata, penulis akan membagi status anak ke dalam beberapa golongan

BAB III HAK WARIS ANAK SUMBANG. A. Kedudukan Anak Menurut KUH Perdata. Perdata, penulis akan membagi status anak ke dalam beberapa golongan 46 BAB III HAK WARIS ANAK SUMBANG A. Kedudukan Anak Menurut KUH Perdata Sebelum penulis membahas waris anak sumbang dalam KUH Perdata, penulis akan membagi status anak ke dalam beberapa golongan yang mana

Lebih terperinci

IMPLIKASI PERKAWINAN DI BAWAH TANGAN DALAM PRESFEKTIF HUKUM ISLAM DAN UU NO. 1 TAHUN 1974

IMPLIKASI PERKAWINAN DI BAWAH TANGAN DALAM PRESFEKTIF HUKUM ISLAM DAN UU NO. 1 TAHUN 1974 IMPLIKASI PERKAWINAN DI BAWAH TANGAN DALAM PRESFEKTIF HUKUM ISLAM DAN UU NO. 1 TAHUN 1974 Samuji Sekolah Tinggi Agama Islam Ma arif Magetan E-mail: hajaromo@yahoo.co.id Abstrak Perkawinan di bawah tangan

Lebih terperinci

FUNGSI PERJANJIAN KAWIN TERHADAP PERKAWINAN MENURUT UNDANG- UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

FUNGSI PERJANJIAN KAWIN TERHADAP PERKAWINAN MENURUT UNDANG- UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN FUNGSI PERJANJIAN KAWIN TERHADAP PERKAWINAN MENURUT UNDANG- UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN Oleh : Sriono, SH, M.Kn Dosen Tetap STIH Labuhanbatu ABSTRAK Perkawinan adalah suatu ikatan lahir

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia sebagai makhluk sosial yang tidak dapat lepas dari hidup

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia sebagai makhluk sosial yang tidak dapat lepas dari hidup BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia sebagai makhluk sosial yang tidak dapat lepas dari hidup bermasyarakat, karena sebagai individu, manusia tidak dapat menjalani kehidupannya sendiri untuk mencapai

Lebih terperinci

Jurnal Ilmu Hukum Legal Opinion Edisi 4, Volume 1, Tahun 2013

Jurnal Ilmu Hukum Legal Opinion Edisi 4, Volume 1, Tahun 2013 TINJAUAN YURIDIS MENGENAI KEDUDUKAN DAN PEMBINAAN ANAK LUAR KAWIN DILIHAT DARI SEGI HUKUM PERDATA Oleh Aris Dwi Susanti / D 101 10 234 ABSTRAK Dengan adanya anak lahir di luar perkawinan itu akan menimbulkan

Lebih terperinci

HAK DAN KEDUDUKAN ANAK LUAR KAWIN PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI 1 Oleh : Dirga Insanu Lamaluta 2

HAK DAN KEDUDUKAN ANAK LUAR KAWIN PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI 1 Oleh : Dirga Insanu Lamaluta 2 HAK DAN KEDUDUKAN ANAK LUAR KAWIN PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI 1 Oleh : Dirga Insanu Lamaluta 2 Abstrak Setiap anak yang dilahirkan atau dibuahkan dalam ikatan perkawinan sah adalah anak sah. Anak

Lebih terperinci

PENTINGNYA PENCATATAN PERKAWINAN MENURUT UNDANG- UNDANG NO.1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

PENTINGNYA PENCATATAN PERKAWINAN MENURUT UNDANG- UNDANG NO.1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN PENTINGNYA PENCATATAN PERKAWINAN MENURUT UNDANG- UNDANG NO.1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN Oleh: Wahyu Ernaningsih, S.H.,M.Hum. Dosen Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya Abstrak Putusan Mahkamah Konstitusi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1975 dan Peraturan Menteri Agama Nomor 3 dan 4 Tahun 1975 bab II

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1975 dan Peraturan Menteri Agama Nomor 3 dan 4 Tahun 1975 bab II BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pencatatan perkawinan dalam pelaksanaannya diatur dengan PP No. 9 Tahun 1975 dan Peraturan Menteri Agama Nomor 3 dan 4 Tahun 1975 bab II Pasal 2 ayat (1) PP

Lebih terperinci

BAB IV. Putusan Pengadilan Agama Malang No.0758/Pdt.G/2013 Tentang Perkara. HIR, Rbg, dan KUH Perdata atau BW. Pasal 54 Undang-undang Nomor 7

BAB IV. Putusan Pengadilan Agama Malang No.0758/Pdt.G/2013 Tentang Perkara. HIR, Rbg, dan KUH Perdata atau BW. Pasal 54 Undang-undang Nomor 7 BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP PENGAKUAN SEBAGAI UPAYA PEMBUKTIAN DALAM PUTUSAN PENGADILAN AGAMA MALANG NO. 0758/PDT.G/2013 TENTANG PERKARA CERAI TALAK A. Analisis Yuridis Terhadap Pengakuan Sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan

Lebih terperinci

BAB II KEWENANGAN KURATOR VENTRIS UNTUK MEWAKILI KEPENTINGAN ANAK DALAM KANDUNGAN JANDA DARI PERNIKAHAN SIRI

BAB II KEWENANGAN KURATOR VENTRIS UNTUK MEWAKILI KEPENTINGAN ANAK DALAM KANDUNGAN JANDA DARI PERNIKAHAN SIRI 24 BAB II KEWENANGAN KURATOR VENTRIS UNTUK MEWAKILI KEPENTINGAN ANAK DALAM KANDUNGAN JANDA DARI PERNIKAHAN SIRI A. Perkawinan Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 1. Pengertian dan Syarat Sahnya Perkawinan

Lebih terperinci

Lex Privatum, Vol. IV/No. 3/Mar/2016

Lex Privatum, Vol. IV/No. 3/Mar/2016 KEDUDUKAN ANAK AKIBAT BATALNYA PERKAWINAN KARENA HUBUNGAN DARAH MENURUT HUKUM POSITIF 1 Oleh: Afrince A. Fure 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana pengaturan hukum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam kehidupannya. Apabila ada peristiwa meninggalnya seseorang yang

BAB I PENDAHULUAN. dalam kehidupannya. Apabila ada peristiwa meninggalnya seseorang yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masalah kewarisan itu sangat erat kaitannya dengan kehidupan manusia, karena setiap manusia pasti akan mengalami suatu peristiwa meninggal dunia di dalam kehidupannya.

Lebih terperinci

AKIBAT HUKUM PERKAWINAN SIRI DALAM UNDANG-UNDANG PERKAWINAN. Oleh Sukhebi Mofea*) Abstrak

AKIBAT HUKUM PERKAWINAN SIRI DALAM UNDANG-UNDANG PERKAWINAN. Oleh Sukhebi Mofea*) Abstrak AKIBAT HUKUM PERKAWINAN SIRI DALAM UNDANG-UNDANG PERKAWINAN Oleh *) Abstrak Perkawinan merupakan suatu kejadian yang sangat penting dalam kehidupan seseorang. Ikatan perkawinan ini, menimbulkan akibat

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. atau beberapa orang lain. Intinya adalah peraturan yang mengatur akibat-akibat

II. TINJAUAN PUSTAKA. atau beberapa orang lain. Intinya adalah peraturan yang mengatur akibat-akibat II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Hukum Waris Hukum waris menurut para sarjana pada pokoknya adalah peraturan yang mengatur perpindahan kekayaan seseorang yang meninggal dunia kepada satu atau beberapa

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAHREPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1975 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

PERATURAN PEMERINTAHREPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1975 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN PERATURAN PEMERINTAHREPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1975 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: Bahwa untuk kelancaran pelaksanaan

Lebih terperinci

Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 Terhadap Ketentuan Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang Perkawinan.

Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 Terhadap Ketentuan Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang Perkawinan. Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 Terhadap Ketentuan Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang Perkawinan Oleh: Pahlefi 1 Abstrak Tulisan ini bertujuan membahas dan menganalisis apakah

Lebih terperinci

Lex et Societatis, Vol. IV/No. 5/Mei/2016

Lex et Societatis, Vol. IV/No. 5/Mei/2016 SAHNYA SUATU PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN 1 Oleh : Melinda Agustina Rorong 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui apa saja yang menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan kebutuhan kodrat manusia, setiap manusia

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan kebutuhan kodrat manusia, setiap manusia BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkawinan merupakan kebutuhan kodrat manusia, setiap manusia diciptakan oleh sang kholiq untuk memiliki hasrat dan keinginan untuk melangsungkan perkawinan. Sebagaimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan yang ada di negara kita menganut asas monogami. Seorang pria

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan yang ada di negara kita menganut asas monogami. Seorang pria 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang merupakan ketentuan yang mengatur pelaksanaan perkawinan yang ada di Indonesia telah memberikan landasan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. UU Perkawinan dalam Pasal 1 berbunyi Perkawinan adalah ikatan lahir batin

II. TINJAUAN PUSTAKA. UU Perkawinan dalam Pasal 1 berbunyi Perkawinan adalah ikatan lahir batin 10 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Perkawinan 1. Pengertian Perkawinan UU Perkawinan dalam Pasal 1 berbunyi Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sunnatullah yang umumnya berlaku pada semua mahkluk-nya. Hal ini merupakan

BAB I PENDAHULUAN. sunnatullah yang umumnya berlaku pada semua mahkluk-nya. Hal ini merupakan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia secara alamiah mempunyai daya tarik antara satu dengan yang lainnya untuk membina suatu hubungan. Sebagai realisasi manusia dalam membina hubungan

Lebih terperinci

BAB IV WALI NIKAH PEREMPUAN HASIL PERNIKAHAN SIRI MENURUT UNDANG-UNDANG PERKAWINAN. Undang-undang perkawinan di Indonesia, adalah segala

BAB IV WALI NIKAH PEREMPUAN HASIL PERNIKAHAN SIRI MENURUT UNDANG-UNDANG PERKAWINAN. Undang-undang perkawinan di Indonesia, adalah segala 75 BAB IV WALI NIKAH PEREMPUAN HASIL PERNIKAHAN SIRI MENURUT UNDANG-UNDANG PERKAWINAN Undang-undang perkawinan di Indonesia, adalah segala peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perkawinan

Lebih terperinci

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 3277 K/ Pdt/ 2000 Mengenai Tidak Dipenuhinya Janji Kawin Dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. menyangkut urusan keluarga dan urusan masyarakat. 1. tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ke-tuhanan Yang Maha Esa.

BAB 1 PENDAHULUAN. menyangkut urusan keluarga dan urusan masyarakat. 1. tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ke-tuhanan Yang Maha Esa. BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan merupakan suatu peristiwa penting dalam kehidupan masyarakat Indonesia karena ia tidak saja menyangkut pribadi kedua calon suami isteri saja tetapi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 2 Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 2 Undang-Undang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan merupakan suatu hal yang terpenting di dalam realita kehidupan umat manusia. Perkawinan dikatakan sah apabila dilaksanakan menurut hukum masingmasing agama

Lebih terperinci

BAB III KEDUDUKAN ANAK DI LUAR PERKAWINAN PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO. 46/PUU-VIII/2010 DITINJAU DARI KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA

BAB III KEDUDUKAN ANAK DI LUAR PERKAWINAN PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO. 46/PUU-VIII/2010 DITINJAU DARI KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA BAB III KEDUDUKAN ANAK DI LUAR PERKAWINAN PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO. 46/PUU-VIII/2010 DITINJAU DARI KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA A. Dasar Pertimbangan Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perbuatan yang bernilai ibadah adalah perkawinan. Shahihah, dari Anas bin Malik RA, Ia berkata bahwa Rasulullah SAW

BAB I PENDAHULUAN. perbuatan yang bernilai ibadah adalah perkawinan. Shahihah, dari Anas bin Malik RA, Ia berkata bahwa Rasulullah SAW BAB I PENDAHULUAN Allah SWT menciptakan manusia terdiri dari dua jenis, pria dan wanita. dengan kodrat jasmani dan bobot kejiwaan yang relatif berbeda yang ditakdirkan untuk saling berpasangan dan saling

Lebih terperinci

MENGENAL PERKAWINAN ISLAM DI INDONESIA Oleh: Marzuki

MENGENAL PERKAWINAN ISLAM DI INDONESIA Oleh: Marzuki MENGENAL PERKAWINAN ISLAM DI INDONESIA Oleh: Marzuki Perkawinan atau pernikahan merupakan institusi yang istimewa dalam Islam. Di samping merupakan bagian dari syariah Islam, perkawinan memiliki hikmah

Lebih terperinci

commit to user BAB II TINJAUAN PUSTAKA

commit to user BAB II TINJAUAN PUSTAKA 12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum Perkawinan Perkawinan yang dalam istilah agama disebut Nikah ialah melakukan suatu perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS TENTANG STATUS PERWALIAN ANAK AKIBAT PEMBATALAN NIKAH

BAB IV ANALISIS TENTANG STATUS PERWALIAN ANAK AKIBAT PEMBATALAN NIKAH BAB IV ANALISIS TENTANG STATUS PERWALIAN ANAK AKIBAT PEMBATALAN NIKAH A. Analisis Status Perwalian Anak Akibat Pembatalan Nikah dalam Putusan Pengadilan Agama Probolinggo No. 154/Pdt.G/2015 PA.Prob Menurut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga ( Rumah Tangga ) yang bahagia

BAB I PENDAHULUAN. istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga ( Rumah Tangga ) yang bahagia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di dalam pasal 1 UU.No 1 Tahun 1974, dikatakan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan Tuhan Yang Maha Esa secara berpasangpasangan. yaitu laki-laki dan perempuan. Sebagai makhluk sosial, manusia

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan Tuhan Yang Maha Esa secara berpasangpasangan. yaitu laki-laki dan perempuan. Sebagai makhluk sosial, manusia 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Manusia diciptakan Tuhan Yang Maha Esa secara berpasangpasangan yaitu laki-laki dan perempuan. Sebagai makhluk sosial, manusia memerlukan orang lain untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia dalam hidupnya akan mengalami berbagai peristiwa hukum.

BAB I PENDAHULUAN. Manusia dalam hidupnya akan mengalami berbagai peristiwa hukum. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia dalam hidupnya akan mengalami berbagai peristiwa hukum. Peristiwa hukum yang pasti dialami oleh manusia adalah kelahiran dan kematian. Sedangkan peristiwa

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS TERHADAP PENETAPAN HAKIM PENGADILAN AGAMA. MALANG NOMOR 0038/Pdt.P/2014/PA.Mlg

BAB IV ANALISIS TERHADAP PENETAPAN HAKIM PENGADILAN AGAMA. MALANG NOMOR 0038/Pdt.P/2014/PA.Mlg BAB IV ANALISIS TERHADAP PENETAPAN HAKIM PENGADILAN AGAMA MALANG NOMOR 0038/Pdt.P/2014/PA.Mlg A. Analisis Pertimbangan dan Dasar Hukum Majelis Hakim Pengadilan Agama Malang Mengabulkan Permohonan Itsbat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN DAN PERJANJIAN KAWIN. Perkawinan merupakan institusi yang sangat penting dalam masyarakat.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN DAN PERJANJIAN KAWIN. Perkawinan merupakan institusi yang sangat penting dalam masyarakat. BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN DAN PERJANJIAN KAWIN 2.1 Tinjauan Umum Tentang Perkawinan a. Pengertian perkawinan Perkawinan merupakan institusi yang sangat penting dalam masyarakat. Eksistensi

Lebih terperinci

MEMUTUSKAN: : U N D A N G-U N D A N G T E N T A N G PER K A W I N A N BAB I. P a s a l 1

MEMUTUSKAN: : U N D A N G-U N D A N G T E N T A N G PER K A W I N A N BAB I. P a s a l 1 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA U N D A N G-U N D A N G R E P U B L IK I ND ON E S I A N O M O R I TA HU N 1 974 T E N T A N G PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, M e

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WARISAN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WARISAN BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WARISAN A. Pengertian Hukum Waris Pengertian secara umum tentang Hukum waris adalah hukum yang mengatur mengenai apa yang harus terjadi dengan harta kekayaan seseorang yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang berlaku dalam masyarakat. Dapat pula dikatakan hukum merupakan

BAB I PENDAHULUAN. yang berlaku dalam masyarakat. Dapat pula dikatakan hukum merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum sebagai kaidah atau norma sosial yang tidak terlepas dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Dapat pula dikatakan hukum merupakan pencerminan dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidup seluruh umat manusia, sejak zaman dahulu hingga kini. Perkawinan

BAB I PENDAHULUAN. hidup seluruh umat manusia, sejak zaman dahulu hingga kini. Perkawinan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan adalah perilaku makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa agar kehidupan di alam dunia berkembang biak. 1 Perkawinan merupakan kebutuhan hidup seluruh umat manusia,

Lebih terperinci

KAJIAN YURIDIS TENTANG PEMBATALAN PERKAWINAN ANAK DIBAWAH UMUR

KAJIAN YURIDIS TENTANG PEMBATALAN PERKAWINAN ANAK DIBAWAH UMUR KAJIAN YURIDIS TENTANG PEMBATALAN PERKAWINAN ANAK DIBAWAH UMUR Oleh ; Emi Zulaika, S.H. ABSTRAK Perkawinan anak dibawah umur yang masih banyak terjadi pada masyarakat pedesaan di Indonesia merupakan suatu

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG P E R K A W I N A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG P E R K A W I N A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 974 TENTANG P E R K A W I N A N Menimbang : Mengingat: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA bahwa sesuai dengan falsafah Pancasila

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang ditakdirkan untuk saling berpasangan dan saling membutuhkan 1. Hal

BAB I PENDAHULUAN. yang ditakdirkan untuk saling berpasangan dan saling membutuhkan 1. Hal BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1994), hlm 453 Lembaga perkawinan adalah lembaga yang mulia dan mempunyai kedudukan yang terhormat dalam hukum Islam dan Hukum Nasional Indonesia. Allah SWT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidupnya salah satu kebutuhan manusia adalah perkawinan. Berdasarkan Pasal 28B ayat (1) Undang Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang

BAB I PENDAHULUAN. hidupnya salah satu kebutuhan manusia adalah perkawinan. Berdasarkan Pasal 28B ayat (1) Undang Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia merupakan makhluk Allah S.W.T yang paling sempurna dibandingkan dengan makhluk hidup yang lain, namun manusia tidak bisa hidup sendiri tanpa bantuan

Lebih terperinci

b. Hutang-hutang yang timbul selama perkawinan berlangsung kecuali yang merupakan harta pribadi masing-masing suami isteri; dan

b. Hutang-hutang yang timbul selama perkawinan berlangsung kecuali yang merupakan harta pribadi masing-masing suami isteri; dan BAB I PENDAHULUAN Perkawinan merupakan suatu perbuatan hukum. Perkawinan menimbulkan hak dan kewajiban kepada para pihak yang mengikatkan diri pada suatu perkawinan. Hak dan kewajiban tersebut harus dipenuhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. etnis,suku, agama dan golongan. Sebagai salah satu negara terbesar di dunia,

BAB I PENDAHULUAN. etnis,suku, agama dan golongan. Sebagai salah satu negara terbesar di dunia, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia yang merupakan negara yang terdiri dari berbagai etnis,suku, agama dan golongan. Sebagai salah satu negara terbesar di dunia, Indonesia merupakan negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia selalu ingin bergaul (zoon politicon) 1 bersama manusia lainya

BAB I PENDAHULUAN. Manusia selalu ingin bergaul (zoon politicon) 1 bersama manusia lainya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Manusia selalu ingin bergaul (zoon politicon) 1 bersama manusia lainya dalam pergaulan hidup bermasyarakat, dari sifat tersebut manusia dikenal sebagai mahluk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan usia muda merupakan perkawinan yang terjadi oleh pihak-pihak

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan usia muda merupakan perkawinan yang terjadi oleh pihak-pihak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1960), hal Sayuti Thalib, Hukum Keluarga Indonesia, Cet. 5, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1986), hal. 48.

BAB 1 PENDAHULUAN. 1960), hal Sayuti Thalib, Hukum Keluarga Indonesia, Cet. 5, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1986), hal. 48. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Sudah menjadi kodrat alam bahwa manusia dilahirkan ke dunia selalu mempunyai kecenderungan untuk hidup bersama manusia lainnya dalam suatu pergaulan hidup. Dalam

Lebih terperinci

BAB III PERKAWINAN DI BAWAH ANCAMAN TERHADAP KORBAN KECELAKAAN LALU LINTAS

BAB III PERKAWINAN DI BAWAH ANCAMAN TERHADAP KORBAN KECELAKAAN LALU LINTAS 40 BAB III PERKAWINAN DI BAWAH ANCAMAN TERHADAP KORBAN KECELAKAAN LALU LINTAS A. Proses Terjadinya Kawin di bawah Ancaman Terhadap Korban Kecelakaan Lalu Lintas di Desa Klapayan Kecamatan Sepulu Kabupaten

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN A. PERKAWINAN 1. Pengertian dan Tujuan Perkawinan Pengertian perkawinan terdapat di dalam UUP No. 1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa : Perkawinan adalah ikatan lahir

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia dalam setiap perjalanan hidupnya, sudah pasti memiliki

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia dalam setiap perjalanan hidupnya, sudah pasti memiliki BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia dalam setiap perjalanan hidupnya, sudah pasti memiliki ketidakmampuan untuk bertahan hidup sendiri. Hal ini membuat manusia belajar untuk hidup berkelompok

Lebih terperinci

BAB II. A. Mengenai Perkawinan. 1. Perkawinan. Perkawinan sebagai perbuatan hukum menimbulkan tanggung jawab antara

BAB II. A. Mengenai Perkawinan. 1. Perkawinan. Perkawinan sebagai perbuatan hukum menimbulkan tanggung jawab antara 23 BAB II TANGGUNG JAWAB MANTAN SUAMI TERHADAP PENAFKAHAN ANAK PASCA PERCERAIAN JIKA PENGHASILANNYA KURANG CUKUP MEMENUHI KEBUTUHAN ANAK YANG TELAH DITETAPKAN PENGADILAN A. Mengenai Perkawinan 1. Perkawinan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM HUKUM PERKAWINAN MENURUT UNDANG- UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

BAB II TINJAUAN UMUM HUKUM PERKAWINAN MENURUT UNDANG- UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN BAB II TINJAUAN UMUM HUKUM PERKAWINAN MENURUT UNDANG- UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN A. Perkawinan 1. Pengertian perkawinan Perkawinan dalam bahasa Indonesia, berasal dari kata kawin, yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (hidup berkelompok) yang biasa kita kenal dengan istilah zoon politicon. 1

BAB I PENDAHULUAN. (hidup berkelompok) yang biasa kita kenal dengan istilah zoon politicon. 1 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seperti yang kita ketahui, manusia merupakan mahluk sosial. Hal ini memiliki arti bahwa manusia dalam menjalani kehidupannya, tentu akan membutuhkan bantuan dari manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bahu-membahu untuk mencapai tujuan yang diinginkan dalam hidupnya.

BAB I PENDAHULUAN. bahu-membahu untuk mencapai tujuan yang diinginkan dalam hidupnya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam dan sumber daya manusia. Dalam kehidupannya manusia memanfaatkan sumber daya alam yang ada untuk bertahan

Lebih terperinci

PERATURAN PERKAWINAN BAGI PEGAWAI DAN SUMPAH/JANJI PEGAWAI

PERATURAN PERKAWINAN BAGI PEGAWAI DAN SUMPAH/JANJI PEGAWAI 1 MODUL ADMINISTRASI KEPEGAWAIAN PERATURAN PERKAWINAN BAGI PEGAWAI DAN SUMPAH/JANJI PEGAWAI Untuk SMK/MAK Disusun oleh: AROFATUN NUR AINIAH 130412604546 UNIVERSITAS NEGERI MALANG JURUSAN MANAJEMEN PROGRAM

Lebih terperinci

ALTERNATIF HUKUM PERKAWINAN HOMOSEKSUAL

ALTERNATIF HUKUM PERKAWINAN HOMOSEKSUAL ALTERNATIF HUKUM PERKAWINAN HOMOSEKSUAL Muchamad Arif Agung Nugroho Fakultas Hukum Universitas Wahid Hasyim Semarang agungprogresif@gmail.com ABSTRAK Perkawinan heteroseksual merupakan suatu perikatan

Lebih terperinci

KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA (Burgerlijk Wetboek voor Indonesie) BUKU KESATU ORANG

KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA (Burgerlijk Wetboek voor Indonesie) BUKU KESATU ORANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA (Burgerlijk Wetboek voor Indonesie) BUKU KESATU ORANG BAB I MENIKMATI DAN KEHILANGAN HAK KEWARGAAN (Berlaku Bagi Golongan Timur Asing Bukan Tionghoa, dan Bagi Golongan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia sebagai makhluk Tuhan adalah makhluk pribadi sekaligus

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia sebagai makhluk Tuhan adalah makhluk pribadi sekaligus 11 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia sebagai makhluk Tuhan adalah makhluk pribadi sekaligus makhluk sosial, susila, dan religius. Sifat kodrati manusia sebagai makhluk pribadi, sosial, susila,

Lebih terperinci

TINJAUAN HUKUM TERHADAP HAK DAN KEWAJIBAN ANAK DAN ORANG TUA DILIHAT DARI UNDANG UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN HUKUM ISLAM

TINJAUAN HUKUM TERHADAP HAK DAN KEWAJIBAN ANAK DAN ORANG TUA DILIHAT DARI UNDANG UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN HUKUM ISLAM TINJAUAN HUKUM TERHADAP HAK DAN KEWAJIBAN ANAK DAN ORANG TUA DILIHAT DARI UNDANG UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN HUKUM ISLAM Oleh : Abdul Hariss ABSTRAK Keturunan atau Seorang anak yang masih di bawah umur

Lebih terperinci

Prosiding SNaPP2014Sosial, Ekonomi, dan Humaniora ISSN EISSN Sri Turatmiyah

Prosiding SNaPP2014Sosial, Ekonomi, dan Humaniora ISSN EISSN Sri Turatmiyah Prosiding SNaPP2014Sosial, Ekonomi, dan Humaniora ISSN 2089-3590 EISSN 2303-2472 AKIBAT HUKUM PEMBATALAN PERKAWINAN (FASAKH) DALAM PERSPEKTIF HUKUM PERLINDUNGAN ANAK DAN ISTRI DI WILAYAH HUKUM PENGADILAN

Lebih terperinci

Nikah Sirri Menurut UU RI Nomor 1 Tahun 1974 Wahyu Widodo*

Nikah Sirri Menurut UU RI Nomor 1 Tahun 1974 Wahyu Widodo* Nikah Sirri Menurut UU RI Nomor 1 Tahun 1974 Wahyu Widodo* Abstrak Nikah Sirri dalam perspektif hukum agama, dinyatakan sebagai hal yang sah. Namun dalam hukum positif, yang ditunjukkan dalam Undang -

Lebih terperinci