E-Journal Graduate Unpar Part B : Legal Science

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "E-Journal Graduate Unpar Part B : Legal Science"

Transkripsi

1 INKONSISTENSI HUKUM PEMBERIAN FASILITAS KERINGANAN PAJAK BAGI USAHA MIKRO KECIL MENENGAH (UMKM) MELALUI PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 46 TAHUN 2013 Hari Yanto Magister Ilmu Hukum Universitas Katolik Parahyangan Abstrak 12 Juni 2013, Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor: 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu (selanjutnya disingkat PP Nomor 46 Tahun 2013). Peraturan Pemerintah ini berlaku mulai 1 Juli 2013 dan dikenal kalangan masyarakat sebagai peraturan Pajak Penghasilan Final 1% untuk Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Kehadiran PP Nomor 46 Tahun 2013 ini banyak mengundang pro dan kontra dari kalangan masyarakat. Kalangan pro berasal dari Pemerintah selaku pembuat PP Nomor 46 Tahun Mereka mengklaim bahwa kemunculan PP Nomor 46 Tahun 2013 adalah untuk memberikan fasilitas perpajakan kepada pengusaha usaha Mikro Kecil, dan Menengah sedangkan kalangan kontra adalah masyarakat pada umumnya yang terkena dampak pengenaan PP Nomor 46 tahun 2013, para praktisi perpajakan, konsultan pajak dan pemerhati perpajakan. Kalangan kontra menganggap bahwa kemunculan PP Nomor 46 Tahun 2013 tidak sejalan dengan tujuannya untuk memudahkan dan memberikan fasilitas perpajakan melainkan menambah besarnya beban pajak. Melihat pada fakta yang terjadi, penulis tidak membahas mengenai prokontra kemunculan PP Nomor 46 Tahun 2013, melainkan lebih mengajak pembaca untuk memahami kedudukan hukum PP Nomor 46 Tahun 2013 dimata peraturan perundang-undangan perpajakan yang telah ada. Kata Kunci: Fasilitas pajak, Usaha Mikro, Kecil dan Menengah, Pro dan Kontra Abstract June 12, 2013, The Government issued Government Regulation Number 46 of 2013 concerning Income Tax on Income from bussines activities whose received or obtained by Taxpayers with specific turnover. (hereinafter be referred as Government Regulation Number 46 of 2013). This Government regulation enacted since July 1, 2013 and be known by the community as 1% Final Income Tax Regulation for Micro, Small, and Medium enterprises. The presence of Government Regulation Number 46 of 2013, invited a lot of pros and cons from the community. Pros group come from Government who issued Government Regulation Number 46 of They claimed that the presence of Government Regulation Number 46 of 2013 is to provide tax facilities to Micro, Small and Medium enterprises whereas cons group come from community who subject to this Government Regulation, tax practitioner, tax consultants, and observers of taxation. Cons group assume that the presence of Government Regulation Number 46 of 2013 isn't in line with its purpose, which simplify and gave tax facilities but rather enlarging tax expense. Looking at the facts that occured, the authors didn't discuss about the pros and cons which occured on the presence of Government Regulation Number 46 of 2013, but rather more to invites reader understanding the legal position of Government Regulation number 46 of 2013 toward the tax laws that already exist. Keywords: Tax facilities, Micro, Small, and Medium Enterprises, Pros and Cons 38

2 I. Latar Belakang Salah satu tujuan pajak adalah untuk menciptakan suatu masyarakat yang adil dan makmur. Pencapaian tujuan tersebut dilakukan dengan cara memindahkan sebagian kekayaan masyarakat yang berkelebihan kepada masyarakat yang berkekurangan. Agar pemindahan kekayaan tersebut tidak disamakan dengan perampokan, pencurian dan kejahatan sejenis lainnya, maka pemindahan kekayaan dilakukan dengan mendapatkan pengesahan melalui suatu Undang-Undang yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat sebagai perwakilan seluruh rakyat. Melalui Undang- Undang ini pula tujuan masyarakat yang adil dan makmur dipercepat dengan memberikan fasilitas keringanan pajak kepada golongan masyarakat tertentu atau kepada wajib pajak tertentu. Konstitusi kita, Pasal 23A Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa: Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan Negara diatur dengan Undang-Undang. Dengan dasar Konstitusi ini diaturlah berbagai Undang-Undang Perpajakan, yang salah satu diantaranya, yaitu Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang perubahan keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (selanjutnya disingkat sebagai UU PPh). Didalam UU PPh ini terdapat pula berbagai fasilitas keringanan pajak, seperti fasilitas keringanan pajak untuk wajib pajak orang pribadi berupa Penghasilan Tidak Kena Pajak yang tercantum dalam Pasal 7 UU PPh; fasilitas keringanan pajak untuk golongan usaha Mikro, Kecil, dan Menengah sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 31E UU PPh. Selain fasilitas keringanan pajak yang diatur dalam Undang-Undang, Pemerintah juga memberikan fasilitas keringanan pajak melalui Peraturan Pemerintah yang kedudukannya berada dibawah Undang-Undang. Salah satu Peraturan Pemerintah yang memberikan fasilitas keringan pajak untuk golongan usaha Mikro, Kecil, dan Menengah adalah PP Nomor 46 Tahun Fasilitas keringanan pajak yang diberikan dalam PP Nomor 46 Tahun 2013 tersirat dengan jelas dalam huruf a ketentuan menimbang PP Nomor 46 Tahun 2013 yang menyebutkan bahwa: untuk memberikan kemudahan kepada Wajib Pajak orang pribadi dan badan yang memiliki peredaran bruto tertentu, perlu memberikan perlakuan tersendiri ketentuan mengenai penghitungan, penyetoran, dan pelaporan Pajak Penghasilan yang terutang; Namun apakah terbitnya PP Nomor 46 Tahun 2013 benar-benar memberikan fasilitas keringanan pajak dan telah diterbitkan sesuai dengan kedudukannya sebagai Peraturan Pemerintah dimata peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku? Pemahaman akan asas hukum, peraturan perundang-undangan akan membantu untuk menjawab pertanyaan tersebut. II. Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) 2.1. Pengertian Usaha Mikro Kecil Menengah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (selanjutnya disingkat sebagai UU UMKM) memberikan pengertian untuk usaha Mikro, Kecil, Menengah sebagai berikut: Usaha Mikro adalah usaha produktif milik perorangan dan/atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria Usaha Mikro sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini. Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari Usaha Menengah atau Usaha Besar yang memenuhi kriteria Usaha Kecil sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini. Usaha Menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan Usaha Kecil atau Usaha Besar dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini. 39

3 Dari pengertian usaha Kecil, Mikro, dan Menengah yang diberikan oleh UU UMKM, terlihat bahwa UU tersebut memberikan kriteria tersendiri untuk masing-masing usaha. Kriteria ini kemudian disebutkan dalam Pasal 6 UU UMKM sebagai berikut: Kriteria Usaha Mikro adalah sebagai berikut: a. memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp ,00 (lima puluh juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau b. memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp ,00 (tiga ratus juta rupiah). Kriteria Usaha Kecil adalah sebagai berikut: a. memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp ,00 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp ,00 (lima ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau b. memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp ,00 (tiga ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp ,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah). Kriteria Usaha Menengah adalah sebagai berikut: a. memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp ,00 (lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp ,00 (sepuluh milyar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau b. memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp ,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp ,00 (lima puluh milyar rupiah). Penjelasan Pasal 6 UU UMKM kemudian menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan kekayaan bersih adalah hasil pengurangan total nilai kekayaan usaha (aset) dengan total nilai kewajiban, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha dan yang dimaksud dengan hasil penjualan tahunan adalah hasil penjualan bersih (netto) yang berasal dari penjualan barang dan jasa usahanya dalam satu tahun buku. Setelah mengetahui pengertian dan kriteria usaha Mikro, Kecil dan Menengah, maka selanjutnya perlu diketahui fasilitas keringanan pajak untuk usaha Mikro, Kecil dan Menengah yang diatur dalam UU PPh Fasilitas Keringanan Pajak Usaha Mikro, Kecil dan Menengah dalam UU PPh Tahun 2008 adalah tahun diterbitkannya UU UMKM dan perubahan keempat UU PPh. UU UMKM diberlakukan pada tanggal diundangkannya, yaitu 4 Juli 2008 sedangkan UU PPh diberlakukan pada 1 Januari Lantas apakah waktu penerbitan dan pemberlakukan yang berdekatan ini memberikan pengaruh yang besar terhadap UU PPh untuk mefasilitasi usaha Mikro, Kecil dan Menengah dalam membayar pajak penghasilan? Fasilitas keringanan pajak yang diberikan UU PPh diantaranya adalah sebagaimana yang tercantum dalam dibawah ini Fasilitas Keringanan Pertama UU PPh untuk Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Pasal 4 ayat 1 huruf d angka 4 UU PPh mengecualikan keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau sumbangan yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat dan badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil sebagai obyek pajak. Fasilitas keringanan pajak ini tidak diberikan secara cuma-cuma, melainkan ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi. Persyaratan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Tidak ada hubungan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang mengalihkan dan pihak-pihak yang menerima pengalihan; 2. Orang pribadi yang menjalankan usaha Mikro dan usaha Kecil yang menjalankan usaha Mikro dan usaha Kecil yang memiliki dan menjalankan usaha produktif yang memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp ,00 (lima ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp ,00 (dua miyar lima ratus juta rupiah). Dari fasilitas keringanan pertama yang diberikan oleh UU PPh berupa pengecualian sebagai obyek pajak ini, dapat disimpulkan bahwa: 1. Usaha Menengah tidak mendapatkan fasilitas keringanan pajak ini; 40

4 2. Fasilitas keringanan pajak ini hanya diperuntukan bagi usaha Mikro dan Kecil yang dilaksanakan oleh orang perorangan; sehingga bagi usaha Mikro dan Kecil yang dilakasanakan oleh badan usaha tidak mendapatkan fasilitas keringanan pajak ini Faslitas Keringan Kedua UU PPh untuk Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Pasal 4 ayat 1 huruf k UU PPh mengecualikan keuntungan karena pembebasan utang sampai dengan jumlah tertentu sebagai obyek pajak. UU PPh kemudian menetapkan bahwa jumlah besaran keuntungan karena pembebasan utang ini diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Peraturan Pemerintah Nomor 130 Tahun 2000 tentang Pengecualian sebagai Objek Pajak Atas Keuntungan karena Pembebasan Utang Debitur Kecil kemudian menentukan bahwa jumlah pembebasan utang debitur kecil yang dapat dikecualikan sebagai obyek pajak adalah tidak lebih dari Rp ,- (tiga ratus lima puluh juta rupiah) termasuk juga : a. Kredit Usaha Keluarga Prasejahtera (Kukesra), yaitu kredit lunak untuk usaha ekonomi produktif yang diberikan kepada Keluarga Prasejahtera dan Keluarga Sejahtera I (alasan ekonomi hasil pendataan KS) yang telah menjadi peserta Takesra dan tergabung dalam kegiatan kelompok Prokesra-UPPKS; b. Kredit Usaha Tani (KUT), yaitu kredit modal kerja yang diberikan oleh bank kepada koperasi primer baik sebagai pelaksana (executing) maupun penyalur (channeling) atau kepada Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) sebagai pelaksana pemberian kredit, untuk keperluan petani yang tergabung dalam kelompok tani guna membiayai usaha taninya dalam rangka intensifikasi padi, palawija dan hortikultura; c. Kredit Pemilikan Rumah Sangat Sederhana (KPRSS), yaitu kredit yang diberikan oleh bank kepada masyarakat untuk pemilikan rumah sangat sederhana (RSS); d. Kredit Usaha Kecil (KUK), yaitu kredit yang diberikan kepada nasabah usaha kecil; dan e. Kredit kecil lainnya dalam rangka kebijakan perkreditan Bank Indonesia dalam mengembangkan usaha kecil dan koperasi. Pengecualian sebagai obyek pajak ini hanya dapat dinikmati oleh debitur kecil hanya 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun pajak. Kriteria yang digunakan dalam Peraturan Pemerintah ini adalah kriteria besaran utang sehingga apabila usaha Mikro, Kecil dan Menengah menerima pembebasan utang yang tidak lebih dari Rp ,- (tiga ratus lima puluh juta rupiah) seharusnya usaha Mikro, Kecil dan Menengah dapat menikmati fasilitas yang diberikan UU PPh ini Faslitas Keringan Ketiga UU PPh untuk Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Pasal 31E UU PPh memberikan keringanan berupa pengurangan tarif sebesar 50% (lima puluh persen) kepada wajib pajak badan yang memiliki peredaran bruto sampai dengan Rp ,- (lima puluh milyar rupiah). Pengurangan tarif sebesar 50% (lima puluh persen) ini diberikan dari tarif sebagaimana Pasal 17 ayat 1 huruf b (28% [dua puluh delapan persen]) dan ayat 2a (25% [dua puluh lima persen]) yang dikenakan atas penghasilan kena pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan Rp ,- (empat milyar delapan ratus juta rupiah). Sayangnya fasilitas pengurangan tarif pajak sebesar 50% (lima puluh persen) ini hanya dapat dinikmati oleh usaha Mikro, Kecil dan Menengah yang menjalankan usahanya melalui badan usaha dan untuk orang perorangan yang menjalankan usaha Mikro, Kecil dan Menengah belum dapat menikmati fasilitas pengurangan tarif pajak ini. 2.3 Fasilitas Keringan Pajak Dalam PP Nomor 46 Tahun 2013 yang merupakan Pelaksana UU PPh Mengacu pada ketentuan menimbang PP Nomor 46 Tahun 2013, PP Nomor 46 Tahun 2013 ini adalah merupakan peraturan pelaksana dari Pasal 4 ayat 2 huruf e dan Pasal 17 ayat 7 UU PPh. PP ini diterbitkan untuk memudahkan perhitungan, penyetoran, dan pelaporan pajak bagi wajib pajak orang pribadi dan badan yang memiliki peredaran bruto tertentu. PP Nomor 46 Tahun 2013 berlaku bagi: a) (1) Wajib Pajak Orang Pribadi; (2) Wajib Pajak Badan (CV, PT, dan bentuk usaha lainnya yang termasuk ke dalam Wajib Pajak Badan) tidak termasuk bentuk usaha tetap; dan 41

5 b) Menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas, dengan peredaran bruto tidak lebih dari Rp ,- (empat milyar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) tahun pajak. Ternyata adagium hukum yang berbunyi Tiada Peraturan Tanpa Pengecualian (there s no rule without exception) berlaku pula untuk peraturan tersebut. Sebab dalam Pasal 2 ayat (3) dan (4) disebutkan bahwa peraturan tersebut tidak berlaku bagi: 1. Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha perdagangan dan/atau jasa-nya menggunakan sarana atau prasarana yang dapat dibongkar pasang, baik menetap maupun tidak menetap; 2. Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha perdagangan dan/atau jasa-nya menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan umum yang tidak diperuntukkan bagi tempat usaha atau berjualan; 3. Wajib Pajak badan yang belum beroperasi secara komersial; 4. Wajib Pajak badan yang dalam jangka waktu 1 tahun setelah beroperasi secara komersial memperoleh peredaran bruto melebihi Rp ,- (empat milyar delapan ratus juta rupiah). Setelah mengetahui siapa saja yang berhak menikmati fasilitas yang diberikan dalam PP Nomor 46 Tahun 2013, maka fasilitas yang seperti apa yang diberikan oleh PP Nomor 46 Tahun 2013? Secara singkat Fasilitas ini tercantum dalam Pasal 2 ayat 1, Pasal 3 ayat 1 dan Pasal 4 ayat 1 PP Nomor 46 Tahun Pasal 2 ayat 1 menyebutkan bahwa atas penghasilan dari usaha yang diterima oleh wajib pajak yang berhak menerima fasilitas, dikenai pajak penghasilan yang bersifat final. Kemudian Pasal 3 ayat 1 juncto Pasal 4 ayat 1 menyebutkan bahwa besarnya tarif pajak penghasilan final adalah sebesar 1% (satu persen) dikenakan dari jumlah peredaran bruto setiap bulan. Dari penjelasan singkat mengenai PP Nomor 46 Tahun 2013 tersirat bahwa Peraturan Pemerintah tersebut diperuntukan bagi usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. Usaha Mikro, Kecil dan Menengah yang memiliki peredaran bruto dalam 1 (satu) tahun pajak tidak lebih dari Rp ,- (empat milyar delapan ratus juta rupiah) dikenakan pajak penghasilan sesuai dengan Peraturan Pemerintah ini sedangkan untuk usaha Mikro, Kecil, dan Menengah yang memiliki peredaran bruto dalam 1 (satu) tahun pajak lebih dari Rp ,- (empat milyar delapan ratus juta rupiah) dikenakan pajak penghasilan berdasarkan UU PPh. III. Pembahasan Permasalahan PP Nomor 46 Tahun 2013 Sebelum terbitnya PP Nomor 46 Tahun 2013, diketahui telah ada beberapa fasilitas perpajakan untuk usaha Mikro, Kecil, Menengah yang diberikan oleh UU PPh. Dengan diterbitkannya PP Nomor 46 Tahun 2013, maka bertambah pula fasilitas perpajakan bagi usaha Mikro, Kecil, Menengah. Namun ternyata pemberlakukan PP Nomor 46 Tahun 2013 ini telah menyebabkan beberapa ketentuan dalam UU PPh menjadi tidak dapat dinikmati oleh wajib pajak tertentu. Beberapa ketentuan tersebut antara lain adalah sebagai berikut: 1. Pasal 7 UU PPh mengeni ketentuan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) yang diperuntukan bagi wajib pajak orang pribadi; 2. Pasal 25 UU PPh mengenai ketentuan angsuran pajak dalam tahun berjalan; 3. Pasal 31E UU PPh mengenai ketentuan pengurangan tarif sebesar 50% bagi wajib pajak badan PTKP yang tidak dapat Dinikmati berkaitan dengan PP Nomor 46 Tahun 2013 Pengenaan pajak final sebesar 1% (satu persen) yang dikenakan dari peredaran bruto setiap bulan berdasarkan PP Nomor 46 Tahun 2013 menandakan bahwa pengenaan pajak penghasilan berdasarkan Peraturan Pemerintah tersebut tidak memperhitungkan pengurangan PTKP dalam pengenaannya. Sebelum berlakunya PP Nomor 46 Tahun 2013, PTKP menjadi unsur pengurang untuk menghitung pajak penghasilan orang pribadi. Hak berupa pengurangan ini langsung diberikan berdasarkan UU PPh tanpa membeda-bedakan jenis usaha dari orang tersebut. Sesuai dengan asas hukum Lex Superior Derogat Legi Inferiori (jika terdapat 2 (dua) ketentuan yang saling 42

6 bertentangan, berarti ketentuan yang lebih tinggilah yang berlaku), maka PTKP harus tetap dapat menjadi pengurangan dalam menghitung pajak penghasilan orang pribadi sekalipun terhadap wajib pajak orang pribadi tersebut diberlakukan PP Nomor 46 Tahun Angsuran PPh Pasal 25 berkaitan dengan PP Nomor 46 tahun 2013 Berdasarkan Pasal 25 UU PPh setiap wajib pajak harus membayar angsuran pajak dalam tahun berjalan. Besarnya angsuran pajak setiap bulan adalah sebesar pajak penghasilan yang terutang menurut surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan tahun yang lalu dikurangi dengan pajak penghasilan yang telah dipotong berdasarkan Pasal 21, Pasal 23, pajak penghasilan yang telah dipungut berdasarkan Pasal 22 dan pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan berdasarkan Pasal 24 dibagi 12 (dua belas) atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak. Namun perhitungan angsuran pajak dalam tahun berjalan tersebut, untuk wajib pajak orang pribadi pengusaha tertentu (WPOPPT) berdasarkan pasal Pasal 25 ayat 7 UU PPh ditentukan paling tinggi sebesar 0,75 % (nol koma tujuh puluh lima persen) dari peredaran bruto. Dengan mengacu pada ketentuan Pasal 25 ayat 7 UU PPh, maka terlihat bahwa setelah terbitnya PP Nomor 46 Tahun 2013 terjadi penambahan beban pembayaran pajak penghasilan setiap bulan untuk WPOPPT sebesar 0,25% (nol koma dua puluh lima persen). Meskipun Pasal 25 ayat 7 UU PPh adalah merupakan angsuran pajak dalam tahun berjalan yang pada akhir tahun akan dilakukan perhitungan ulang dan dikenakan tarif berdasarkan Pasal 17 ayat 1a UU PPh, namun tidak berarti bahwa pengenaan pajaknya lebih tinggi jika dibandingkan dengan PP Nomor 46 Tahun 2013 yang mengenakan pajak sebesar 1% (satu persen) dan bersifat final. 3.3 Pasal 31E UU PPh VS PP Nomor 46 Tahun 2013 Sebagaimana yang telah disampaikan dalam bagian Fasilitas keringanan ketiga dalam UU PPh bahwa wajib pajak badan dengan peredaran bruto sampai dengan Rp ,- (lima puluh milyar rupiah) berhak mendapatkan Pengurangan tarif sebesar 50% (lima puluh persen) yang diberikan dari tarif sebagaimana Pasal 17 ayat 1 huruf b (28% [dua puluh delapan persen]) dan ayat 2a (25% [dua puluh lima persen]). Tarif hasil pengurangan tersebut dikenakan atas penghasilan kena pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan Rp ,- (empat milyar delapan ratus juta rupiah). Hal ini menandakan bahwa sejak 1 Juli 2013 terdapat 2 (dua) peraturan yang berlaku untuk wajib pajak badan dengan peredaran bruto sampai dengan Rp ,- (empat milyar delapan ratus juta rupiah). Peraturan tersebut adalah Pasal 31E UU PPh dan PP Nomor 46 Tahun IV. Kesimpulan 1. Bahwa dengan berlakunya PP No. 46 Tahun 2013, yaitu 1 Juli 2013 tidak seluruh usaha Mikro, Kecil dan Menengah memperoleh fasilitas kemudahan dalam penghitungan, penyetoran dan pelaporan pajak penghasilan yang terutang. Hal ini dikarena fasilitas tersebut hanya dapat dinikmati oleh usaha Mikro, Kecil, Menengah yang telah memenuhi kriteria dalam PP Nomor 46 Tahun 2013 yang salah satunya adalah memiliki peredaran bruto tidak lebih dari Rp ,- (empat milyar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) tahun pajak; 2. Bahwa PP Nomor 46 Tahun 2013 telah mengabaikan PTKP yang merupakan hak wajib pajak orang pribadi sebagaimana tercantum dalam Pasal 7 UU PPh sehingga PTKP yang semula dapat dinikmati oleh seluruh wajib pajak orang pribadi, setelah berlakunya PP Nomor 46 Tahun 2013 menjadi terbatas hanya untuk wajib pajak orang pribadi yang tidak diberlakukan PP tersebut. 3. Bahwa dengan berlakunya PP Nomor 46 Tahun 2013 telah terjadi penambahan pembayaran pajak untuk setiap bulannya bagi WPOPPT (yang mungkin juga termasuk dalam kategori usaha Mikro, Kecil, Menengah) mengingat semula sebelum berlakunya PP Nomor 46 Tahun 2013, WPOPPT diwajibkan mengangsur setiap bulan dengan tarif sebesar 0,75% dari peredaran bruto dan sejak berlakunya PP Nomor 46 Tahun 2013 menjadi sebesar 1% (satu persen) dari peredaran bruto. 4. Bahwa sejak 1 Juli 2013 terdapat 2 (dua) ketentuan yang berbeda dalam menghitung besarnya pajak penghasilan yang terutang bagi wajib pajak badan yang memiliki peredaran bruto tidak lebih dari Rp ,- (empat milyar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) tahun pajak, yaitu Pasal 31E UU PPh dan PP Nomor 46 Tahun 2013; 43

7 5. Bahwa Penerbitan PP Nomor 46 Tahun 2013 telah menimbulkan inkonsistensi hukum dalam pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana yang telah diatur dalam Undang- Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Inkonsistensi tersebut timbul karena dalam PP tersebut terdapat ketentuan-ketentuan yang menghilangkan, mempersempit hak wajib pajak yang diberikan oleh UU PPh bahkan bertentangan dengan UU PPh. Sesuai dengan Pasal 7 ayat 1 dan ayat 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 yang menyebutkan bahwa kedudukan Peraturan Pemerintah berada dibawah Undang-Undang dan kekuatan hukum Peraturan Perundang-Undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat 1. Penjelasan Pasal 7 ayat 2 kemudian menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan hierarki adalah penjenjangan setiap jenis Peraturan Perundang-Undangan yang didasarkan pada asas bahwa Peraturan Perundang- Undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang- Undangan yang lebih tinggi. V. Daftar Pustaka - Undang-Undang Dasar 1945; - Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah; - Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang perubahan keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan; - Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan; - Peraturan Pemerintah Nomor 130 Tahun 2000 tentang Pengecualian sebagai Objek Pajak Atas Keuntungan karena Pembebasan Utang Debitur Kecil; - Peraturan Pemerintah Nomor: 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu; - PPh Final 1% untuk UMKM tertentu, Edisi 15, Indonesian Tax Review, Volume VI, 2013; - Hari Yanto, Menilik Siapa yang Mendapatkan Tarif PPh Final 1%, Edisi 16, Indonesian Tax Review, Volume VI, 2013; - Update Juklak PPh Final 1%, Edisi17, Indonesia Tax Review, Volume VI,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 130 TAHUN 2000 (130/2000) TENTANG PENGECUALIAN SEBAGAI OBJEK PAJAK ATAS KEUNTUNGAN KARENA PEMBEBASAN UTANG DEBITUR KECIL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

2015, No yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 57/PMK.03/2010 tentang

2015, No yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 57/PMK.03/2010 tentang No.1747, 2015 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKEU. Piutang. Perubahan. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 207/PMK.010/2015 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN

Lebih terperinci

2013, No Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembara

2013, No Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembara LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.106, 2013 EKONOMI. Pajak. Penghasilan. Usaha. Peredaran Bruto. Tertentu. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5424) PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALIN AN

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALIN AN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALIN AN PERATURAN MENTER! KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 207 /PMK.010/2015 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN MENTER! KEUANGAN NOMOR 105/PMK.03/2009 TENTANG

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.168, 2015 EKONOMI. Pajak Penghasilan. Perjanjian Pengikatan. Pengalihan Hak. Tanah. Bangunan. Pencabutan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2016 TENTANG PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI PENGALIHAN HAK ATAS TANAH DAN/ATAU BANGUNAN, DAN PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI ATAS TANAH DAN/ATAU

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 105/PMK.03/2009 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 105/PMK.03/2009 TENTANG Menimbang : PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 105/PMK.03/2009 TENTANG PIUTANG YANG NYATA-NYATA TIDAK DAPAT DITAGIH YANG DAPAT DIKURANGKAN DARI PENGHASILAN BRUTO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidup rakyat, dan untuk memajukan bangsa. Pengeluaran-pengeluaran negara

BAB I PENDAHULUAN. hidup rakyat, dan untuk memajukan bangsa. Pengeluaran-pengeluaran negara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam suatu negara dibutuhkan adanya sumber dana untuk membiayai pengeluaran negara dalam rangka pembangunan, memperbaiki kesejahteraan hidup rakyat, dan untuk

Lebih terperinci

2017, No tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tenta

2017, No tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tenta LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.202, 2017 KEUANGAN. PPH. Penghasilan. Diperlakukan. Dianggap. Harta Bersih. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6120) PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2016 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2016 TENTANG 1 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2016 TENTANG PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI PENGALIHAN HAK ATAS TANAH DAN/ATAU BANGUNAN, DAN PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI ATAS TANAH

Lebih terperinci

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE - 42/PJ/2013 TENTANG

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE - 42/PJ/2013 TENTANG KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK 2 September 2013 A. Umum SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE - 42/PJ/2013 TENTANG PELAKSANAAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 46 TAHUN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 1996 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 1996 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 1996 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 48 TAHUN 1994 TENTANG PEMBAYARAN PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI PENGALIHAN HAK ATAS

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. menurut Rochmat Soemitro, seperti yang dikutip Waluyo (2008:3)

BAB II KAJIAN PUSTAKA. menurut Rochmat Soemitro, seperti yang dikutip Waluyo (2008:3) BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengertian Pajak Pengertian pajak memiliki dimensi atau pengertian yang berbeda-beda menurut Rochmat Soemitro, seperti yang dikutip Waluyo (2008:3) menyatakan

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN DATA

BAB III GAMBARAN DATA BAB III GAMBARAN DATA A. Pengertian Pajak Pengertian Pajak menurut Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir kali dengan Undang- Undang Republik Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pajak merupakan salah satu sumber pendanaan bagi negara dalam

BAB I PENDAHULUAN. Pajak merupakan salah satu sumber pendanaan bagi negara dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pajak merupakan salah satu sumber pendanaan bagi negara dalam menjalankan peran pemerintahan. Pajak menjadi pemegang andil terbesar dalam pembangunan di seluruh

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK SURAT EDARAN. Nomor : SE-42/PJ/2013 TENTANG

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK SURAT EDARAN. Nomor : SE-42/PJ/2013 TENTANG KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK Yth. 1. Para Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak; 2. Para Kepala Kantor Pelayanan Pajak; 3. Para Kepala Kantor Pelayanan, Penyuluhan

Lebih terperinci

PERTEMUAN 13: PPh Pasal 25 (Umum /Perhitungan)

PERTEMUAN 13: PPh Pasal 25 (Umum /Perhitungan) PERTEMUAN 13: PPh Pasal 25 (Umum /Perhitungan) A. TUJUAN PEMBELAJARAN Pada bab ini akan dijelaskan mengenai PPh Pasal 25 (Umum /Perhitungan), Anda harus mampu: 1.1 Memahami Definisi PPh Pasal 25, Subjek

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.274, 2012 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PERBANKAN. BI. Kredit. Pembiayaan. Bank Umum. Pengembangan Usaha. Mikro. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5378) PERATURAN

Lebih terperinci

2017, No Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5916); Menetapkan MEMUTUSKAN: : PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PENYETOR

2017, No Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5916); Menetapkan MEMUTUSKAN: : PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PENYETOR No.29, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKEU. PPH. Hak atas Tanah. Bangunan. Pengalihan. Perjanjian Pengikatan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 261/PMK.03/2016

Lebih terperinci

Repositori STIE Ekuitas

Repositori STIE Ekuitas Repositori STIE Ekuitas STIE Ekuitas Repository Final Assignment - Diploma 3 (D3) http://repository.ekuitas.ac.id Final Assignment of Accounting 2015-12-22 Tinjauan Atas Penerapan Peraturan Pemerintah

Lebih terperinci

Kelompok 3. Karina Elminingtias Ni Putu Ayu A.W M. Syaiful Mizan

Kelompok 3. Karina Elminingtias Ni Putu Ayu A.W M. Syaiful Mizan Kelompok 3 Karina Elminingtias Ni Putu Ayu A.W M. Syaiful Mizan Pajak penghasilan, subjek, objek pajak dan objek pajak BUT Tata cara dasar pengenaan pajak Kompensasi Kerugian PTKP, Tarif pajak dan cara

Lebih terperinci

Peraturan Menteri Keuangan 107/PMK.011/2013 tgl 30 Juli 2013

Peraturan Menteri Keuangan 107/PMK.011/2013 tgl 30 Juli 2013 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 107/PMK.011/2013 TENTANG TATA CARA PENGHITUNGAN, PENYETORAN, DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK LAMPIRAN SURAT EDARAN DREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE-02/PJ/2015 TENTANG PENEGASAN ATAS PELAKSANAAN PASAL 31E AYAT (1) UNDANG- UNDANG NOMOR

Lebih terperinci

Presiden Republik Indonesia,

Presiden Republik Indonesia, Copyright (C) 2000 BPHN PP 27/1996, PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 48 TAHUN 1994TENTANG PEMBAYARAN PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI PENGALIHAN HAK ATAS TANAH DAN/ATAU BANGUNAN *34690

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEUANGAN. PPH. Pemotongan. Dibayarkan sekaligus.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEUANGAN. PPH. Pemotongan. Dibayarkan sekaligus. No.33, 2010 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEUANGAN. PPH. Pemotongan. Dibayarkan sekaligus. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16/PMK.03/2010 TENTANG TATA CARA PEMOTONGAN

Lebih terperinci

PERANAN USAHA MIKRO KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI INDONESIA MELALUI PAJAK (PERATURAN PEMERINTAH NO. 46 TAHUN 2013)

PERANAN USAHA MIKRO KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI INDONESIA MELALUI PAJAK (PERATURAN PEMERINTAH NO. 46 TAHUN 2013) PERANAN USAHA MIKRO KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI INDONESIA MELALUI PAJAK (PERATURAN PEMERINTAH NO. 46 TAHUN 2013) Oleh: Herman 1), Nurul Hidayah 1), Liana Raharja 2) E-mail: herman_ijan@yahoo.co.id

Lebih terperinci

ASPEK PAJAK DALAM PENGADAAN TANAH UNTUK KEPENTINGAN UMUM OLEH INSTANSI PEMERINTAH

ASPEK PAJAK DALAM PENGADAAN TANAH UNTUK KEPENTINGAN UMUM OLEH INSTANSI PEMERINTAH ASPEK PAJAK DALAM PENGADAAN TANAH UNTUK KEPENTINGAN UMUM OLEH INSTANSI PEMERINTAH kreditgogo.com I. Pendahuluan Dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera, pemerintah perlu menyelenggarakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan infrastruktur, program pendidikan, kesehatan, dan lain-lain, disusun

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan infrastruktur, program pendidikan, kesehatan, dan lain-lain, disusun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Negara Indonesia, merupakan salah satu negara yang sedang berkembang. Berbagai program untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat seperti; pembangunan infrastruktur,

Lebih terperinci

REFORMASI ADMINISTRASI Volume 4, No. 2, September 2017 Jurnal Ilmiah Untuk Mewujudkan Masyarakat Madani ISSN X

REFORMASI ADMINISTRASI Volume 4, No. 2, September 2017 Jurnal Ilmiah Untuk Mewujudkan Masyarakat Madani ISSN X REFORMASI ADMINISTRASI Volume 4, No. 2, September 2017 Jurnal Ilmiah Untuk Mewujudkan Masyarakat Madani ISSN 2355-309X PENERAPAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 46 TAHUN 2013 DIBANDINGKAN PELAKSANAAN PAJAK

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.legalitas.org PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 149 TAHUN 2000 PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 ATAS PENGHASILAN BERUPA UANG PESANGON, UANG TEBUSAN PENSIUN, DAN TUNJANGAN HARI TUA

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2009

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2009 Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2009. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang- Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I No.5916 EKONOMI. Pajak Penghasilan. Perjanjian Pengikatan. Pengalihan Hak. Tanah. Bangunan. Pencabutan. (Penjelasan atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. maupun sebagai penyelaras kegiatan ekonomi pada masa-masa yang akan

BAB 1 PENDAHULUAN. maupun sebagai penyelaras kegiatan ekonomi pada masa-masa yang akan BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Negara Republik Indonesia adalah Negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjunjung tinggi hak dan kewajiban setiap orang, oleh

Lebih terperinci

Pemotongan yang bersifat final Objek pemotongan (Pasal 2, PP Nomor 68 Tahun 2009) Pemotong (Pasal 1 angka 9, PP Nomor 68 Tahun 2009)

Pemotongan yang bersifat final Objek pemotongan (Pasal 2, PP Nomor 68 Tahun 2009) Pemotong (Pasal 1 angka 9, PP Nomor 68 Tahun 2009) PENGHITUNGAN PPh PASAL 21 ATAS PENGHASILAN BERUPA UANG PESANGON, UANG MANFAAT PENSIUN, TUNJANGAN HARI TUA, DAN JAMINAN HARI TUA YANG DIBAYARKAN SEKALIGUS Pemotongan yang bersifat final Objek pemotongan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2008 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2008 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 48 TAHUN 1994 TENTANG PEMBAYARAN PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI PENGALIHAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2008 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2008 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 48 TAHUN 1994 TENTANG PEMBAYARAN PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI PENGALIHAN

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Republik

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 16/PMK.03/2010 TENTANG

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 16/PMK.03/2010 TENTANG MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 16/PMK.03/2010 TENTANG TATA CARA PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 ATAS PENGHASILAN BERUPA UANG PESANGON, UANG MANFAAT PENSIUN,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 1994 TENTANG PEMBAYARAN PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI PENGALIHAN HAK ATAS TANAH DAN/ATAU BANGUNAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pajak, baik pajak pusat maupun pajak daerah, ini terbukti pada tahun 2014

BAB I PENDAHULUAN. pajak, baik pajak pusat maupun pajak daerah, ini terbukti pada tahun 2014 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagian besar penerimaan Negara Republik Indonesia bersumber dari pajak, baik pajak pusat maupun pajak daerah, ini terbukti pada tahun 2014 pajak menyumbang Rp. 1.310.219.000.000.000

Lebih terperinci

BAB 3 GAMBARAN UMUM SEJARAH BESARAN PENGHASILAN TIDAK KENA PAJAK (TAHUN )

BAB 3 GAMBARAN UMUM SEJARAH BESARAN PENGHASILAN TIDAK KENA PAJAK (TAHUN ) BAB 3 GAMBARAN UMUM SEJARAH BESARAN PENGHASILAN TIDAK KENA PAJAK (TAHUN 1983 2008) Pajak Penghasilan merupakan suatu kewajiban yang harus dipenuhi bagi individu yang telah memiliki tambahan kemampuan ekonomis

Lebih terperinci

245/PMK.03/2008 BADAN-BADAN DAN ORANG PRIBADI YANG MENJALANKAN USAHA MIKRO DAN KECIL YANG MENERIMA H

245/PMK.03/2008 BADAN-BADAN DAN ORANG PRIBADI YANG MENJALANKAN USAHA MIKRO DAN KECIL YANG MENERIMA H 245/PMK.03/2008 BADAN-BADAN DAN ORANG PRIBADI YANG MENJALANKAN USAHA MIKRO DAN KECIL YANG MENERIMA H Contributed by Administrator Wednesday, 31 December 2008 Pusat Peraturan Pajak Online PERATURAN MENTERI

Lebih terperinci

ANALISIS KEPATUHAN WAJIB PAJAK SEBELUM DAN SESUDAH DITERAPKANNYA PERATURAN PEMERINTAH NO. 46 TAHUN 2013 DI UMKM ONYX TULUNGAGUNG RINGKASAN SKRIPSI

ANALISIS KEPATUHAN WAJIB PAJAK SEBELUM DAN SESUDAH DITERAPKANNYA PERATURAN PEMERINTAH NO. 46 TAHUN 2013 DI UMKM ONYX TULUNGAGUNG RINGKASAN SKRIPSI ANALISIS KEPATUHAN WAJIB PAJAK SEBELUM DAN SESUDAH DITERAPKANNYA PERATURAN PEMERINTAH NO. 46 TAHUN 2013 DI UMKM ONYX TULUNGAGUNG RINGKASAN SKRIPSI OLEH OKY OCKTAVIANI NIM : 11520036 JURUSAN AKUNTANSI FAKULTAS

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1994 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANGNOMOR 7 TAHUN 1991 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

UU 10/1994, PERUBAHAN ATAS UNDANG UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1991

UU 10/1994, PERUBAHAN ATAS UNDANG UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1991 Copyright 2002 BPHN UU 10/1994, PERUBAHAN ATAS UNDANG UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1991 *8679 Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU)

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Pajak Pengertian pajak menurut Adriani (2002:4) yaitu: Iuran kepada Negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh wajib pajaknya menurut peraturan-peraturan dengan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN PROBOLINGGO

PEMERINTAH KABUPATEN PROBOLINGGO PEMERINTAH KABUPATEN PROBOLINGGO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PROBOLINGGO NOMOR : 04 TAHUN 2009 TENTANG PENYERTAAN MODAL PEMERINTAH KABUPATEN PROBOLINGGO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PROBOLINGGO,

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 1994 TENTANG PEMBAYARAN PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI PENGALIHAN HAK ATAS TANAH DAN/ATAU BANGUNAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

MEMUTUSKAN : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

MEMUTUSKAN : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 1996 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 48 TAHUN 1994 TENTANG PEMBAYARAN PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN

Lebih terperinci

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 14/ 22 /PBI/2012 TENTANG

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 14/ 22 /PBI/2012 TENTANG PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 14/ 22 /PBI/2012 TENTANG PEMBERIAN KREDIT ATAU PEMBIAYAAN OLEH BANK UMUM DAN BANTUAN TEKNIS DALAM RANGKA PENGEMBANGAN USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pajak merupakan sumber pendapatan terbesar bagi Anggaran

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pajak merupakan sumber pendapatan terbesar bagi Anggaran BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pajak merupakan sumber pendapatan terbesar bagi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun 2017 penerimaan negara dari

Lebih terperinci

BAB III PERHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN UMKM PP NO 46 TAHUN Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM)

BAB III PERHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN UMKM PP NO 46 TAHUN Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) BAB III PERHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN UMKM PP NO 46 TAHUN 2013 A. Pengaturan PPh UMKM di Indonesia 1. Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) UMKM adalah unit usaha produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 1985 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN 1984 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 1985 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN 1984 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 1985 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN 1984 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk lebih memberikan kemudahan dan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. pajak. Pajak adalah suatu kewajiban kenegaraan dan pengapdiaan peran aktif

BAB II KAJIAN PUSTAKA. pajak. Pajak adalah suatu kewajiban kenegaraan dan pengapdiaan peran aktif BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengertian Pajak Sesuai dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), terlihat bahwa salah satu sumber penerimaan negara adalah bersumber dari sektor

Lebih terperinci

PENGARUH PENERAPAN PP 46/2013 TERHADAP PERHITUNGAN, PENYETORAN DAN PELAPORAN PPH PADA WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI

PENGARUH PENERAPAN PP 46/2013 TERHADAP PERHITUNGAN, PENYETORAN DAN PELAPORAN PPH PADA WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI JURNAL BISNIS DAN AKUNTANSI ISSN: 1410-9875 Vol. 17, No. 1a, November 2015 http: //www.tsm.ac.id/jba PENGARUH PENERAPAN PP 46/2013 TERHADAP PERHITUNGAN, PENYETORAN DAN PELAPORAN PPH PADA WAJIB PAJAK ORANG

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1994 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1994 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1994 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1991 DENGAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. rakyat ke kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan)

BAB II KAJIAN PUSTAKA. rakyat ke kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Umum Pajak 2.1.1 Pengertian Pajak Pengertian pajak menurut Mardiasmo (2013:1) Pajak adalah iuran rakyat ke kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan)

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Republik

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.169, 2009 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Ekonomi. Pajak Penghasilan. Pesangon. Langsung. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5082) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

TINDAK LANJUT AMNESTI PAJAK

TINDAK LANJUT AMNESTI PAJAK KETERANGAN PERS DITJEN PAJAK Terkait Penerbitan PP 36 Tahun 2017 tentang Pengenaan Pajak Penghasilan atas Penghasilan Tertentu Berupa Harta Bersih yang Diperlakukan atau Dianggap Sebagai Penghasilan TINDAK

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2013 TENTANG PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI USAHA YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH WAJIB PAJAK YANG MEMILIKI PEREDARAN BRUTO TERTENTU DENGAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 1983 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN 1984 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 1983 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN 1984 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 1983 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN 1984 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : Bahwa pelaksanaan Pasal 9 ayat (1) huruf b

Lebih terperinci

PP 46/1996, PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN BERUPA BUNGA ATAU DISKONTO OBLIGASI YANG DIJUAL DI BURSA EFEK

PP 46/1996, PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN BERUPA BUNGA ATAU DISKONTO OBLIGASI YANG DIJUAL DI BURSA EFEK PP 46/1996, PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN BERUPA BUNGA ATAU DISKONTO OBLIGASI YANG DIJUAL DI BURSA EFEK Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 46 TAHUN 1996 Tanggal: 8 JULI 1996 (JAKARTA) Tentang:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut UU Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan

BAB I PENDAHULUAN. Menurut UU Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut UU Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU Nomor 28 Tahun 2007, pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. karena hampir sebagian besar sumber penerimaan dalam Anggaran. Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) berasal dari pajak.

BAB I PENDAHULUAN. karena hampir sebagian besar sumber penerimaan dalam Anggaran. Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) berasal dari pajak. BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Saat ini pajak merupakan sumber utama dana untuk pembangunan karena hampir sebagian besar sumber penerimaan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)

Lebih terperinci

Copyright (C) 2000 BPHN

Copyright (C) 2000 BPHN Copyright (C) 2000 BPHN PP 149/2000, PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 ATAS PENGHASILAN BERUPA UANG PESANGON, UANG TEBUSAN PENSIUN, DAN TUNJANGAN HARI TUA ATAU JAMINAN HARI TUA *38440 PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

lebih pada konteks Pajak Penghasilan (PPh), karena dalam PPh ada Perampungan yang dilakukan setiap akhir tahun

lebih pada konteks Pajak Penghasilan (PPh), karena dalam PPh ada Perampungan yang dilakukan setiap akhir tahun Jenis pajak yang memiliki sifat final, dimana si pembayar pajak tidak lagi dikenai kewajiban untuk memasukkan obyek pajak dan pajak yang bersangkutan kedalam perhitungan pajak akhir tahun, karena pajak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia pada zaman orde baru mengandalkan penerimaan negara pada sektor

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia pada zaman orde baru mengandalkan penerimaan negara pada sektor BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Penelitian Indonesia pada zaman orde baru mengandalkan penerimaan negara pada sektor migas. Pendapatan ini diperoleh dengan mengekspor migas ke luar negeri. Tetapi pada

Lebih terperinci

Sistem/Cara Pemungutan Pajak ada 3, yaitu:

Sistem/Cara Pemungutan Pajak ada 3, yaitu: PERPAJAKAN ORGANISASI NIRLABA Tri Purwanto Pengantar Pajak Organisasi Nirlaba UU No 28 Th 2007 ttg KUP Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat

Lebih terperinci

MATERI PENYULUHAN PAJAK DI SMKN PENGASIH KULON PROGO

MATERI PENYULUHAN PAJAK DI SMKN PENGASIH KULON PROGO MATERI PENYULUHAN PAJAK DI SMKN PENGASIH KULON PROGO Oleh: I s r o a h, M.Si. isroah@uny.ac.id PRODI/JURUSAN PENDIDIKAN AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 2013 PAJAK PENGHASILAN UMUM

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1994 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1991 DENGAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1991 Undang-Undang No. 10 Tahun 1994 Tanggal 9 Nopember 1994 DENGAN

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 PENGERTIAN PAJAK Pengertian Pajak menurut Waluyo dan Ilyas adalah sebagai berikut : Pajak adalah iuran wajib kepada Negara (yang dapat dipaksakan) yang terhutang kepada wajib

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN DAN SARAN. 1. Perbedaan pelakuan pajak penghasilan

BAB V SIMPULAN DAN SARAN. 1. Perbedaan pelakuan pajak penghasilan BAB V SIMPULAN DAN SARAN V.1 Simpulan Dari analisa yang telah dilakukan, berikut adalah kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini: 1. Perbedaan pelakuan pajak penghasilan a. Orang pribadi yang melakukan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI 8 BAB II LANDASAN TEORI 2.1. PAJAK 2.1.1. Pengertian Menurut Prof. Dr. H. Rochmat Soemitro SH dalam Suandy (2011) mendefinisikan pajak sebagai : Iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang

Lebih terperinci

Penghasilan yang tidak termasuk sebagai objek pajak dan tidak dikenakan Pajak penghasilan, diatur dalam Psl 4 ayat (3) UU No. 36 Tahun 2008, yaitu :

Penghasilan yang tidak termasuk sebagai objek pajak dan tidak dikenakan Pajak penghasilan, diatur dalam Psl 4 ayat (3) UU No. 36 Tahun 2008, yaitu : Penghasilan yang tidak termasuk sebagai objek pajak dan tidak dikenakan Pajak penghasilan, diatur dalam Psl 4 ayat (3) UU No. 36 Tahun 2008, yaitu : 1. bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan potensi pajak yang ada dapat dipungut secara optimal. Langkah-langkah

BAB I PENDAHULUAN. dan potensi pajak yang ada dapat dipungut secara optimal. Langkah-langkah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pemerintah selalu berupaya untuk meningkatkan tax ratio secara bertahap dengan memperhatikan kondisi ekonomi Indonesia dan ekonomi dunia. Peningkatan secara

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 118/PMK.03/2016 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 118/PMK.03/2016 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 118/PMK.03/2016 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN REPUBLIK

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang - Undang dengan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang - Undang dengan BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengertian Pajak Menurut Undang-Undang KUP No. 16 Tahun 2009 Pasal 1, Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 59/PUU-XIV/2016 Pajak yang Bersifat Memaksa Menjadi Lentur atau Negotiable

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 59/PUU-XIV/2016 Pajak yang Bersifat Memaksa Menjadi Lentur atau Negotiable RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 59/PUU-XIV/2016 Pajak yang Bersifat Memaksa Menjadi Lentur atau Negotiable I. PEMOHON 1. Leni Indrawati (selanjutnya disebut sebagai Pemohon I); 2. Hariyanto (selanjutnya

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN SUKOHARJO

PEMERINTAH KABUPATEN SUKOHARJO PEMERINTAH KABUPATEN SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 8 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 22 TAHUN 2007 TENTANG PERUSAHAAN DAERAH BADAN KREDIT

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2007 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2007 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sendiri, menurut Rochmat Soemitro dalam bukunya Mardiasmo (2011 : 1) :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sendiri, menurut Rochmat Soemitro dalam bukunya Mardiasmo (2011 : 1) : BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori 2.1.1. Pajak 2.1.1.1. Definisi Pajak Membahas mengenai perpajakan tidak terlepas dari pengertian pajak itu sendiri, menurut Rochmat Soemitro dalam bukunya Mardiasmo

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace diubah: UU 10-1994 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 50, 1983 FINEK. PAJAK. Ekonomi. Uang. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2013 TENTANG PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI USAHA YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH WAJIB PAJAK YANG MEMILIKI PEREDARAN BRUTO TERTENTU DENGAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 79 TAHUN 1999 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 48 TAHUN 1994 TENTANG PEMBAYARAN PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI PENGALIHAN HAK

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NONOR 46 TAHUN 1996 (46/1996) TENTANG TENTANG PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN BERUPA BUNGA ATAU DISKONTO OBLIGASI YANG DIJUAL DI BURSA EFEK. PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 79/PMK.03/2010 TENTANG

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 79/PMK.03/2010 TENTANG MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 79/PMK.03/2010 TENTANG PEDOMAN PENGHITUNGAN PENGKREDITAN PAJAK MASUKAN BAGI PENGUSAHA KENA PAJAK YANG MELAKUKAN KEGIATAN USAHA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pembangunan merupakan suatu proses kegiatan yang dilakukan oleh

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pembangunan merupakan suatu proses kegiatan yang dilakukan oleh BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah dalam rangka mengembangkan dan mengadakan perubahan ke arah yang lebih baik. Pembangunan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2009 TENTANG TARIF PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 ATAS PENGHASILAN BERUPA UANG PESANGON, UANG MANFAAT PENSIUN, TUNJANGAN HARI TUA, DAN JAMINAN HARI TUA

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 15 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK PENGHASILAN ATAS BUNGA SIMPANAN YANG DIBAYARKAN OLEH KOPERASI KEPADA ANGGOTA KOPERASI ORANG PRIBADI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. penerimaan Negara yang dominan.reformasi perpajakan mulai berjalan dan telah

BAB 1 PENDAHULUAN. penerimaan Negara yang dominan.reformasi perpajakan mulai berjalan dan telah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam beberapa tahun terakhir ini, perpajakan telah menjadi sumber penerimaan Negara yang dominan.reformasi perpajakan mulai berjalan dan telah membuahkan hasilnya.kontribusi

Lebih terperinci

PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN 1984 Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1983 Tanggal 31 Desember Presiden Republik Indonesia,

PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN 1984 Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1983 Tanggal 31 Desember Presiden Republik Indonesia, PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN 1984 Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1983 Tanggal 31 Desember 1983 Presiden Republik Indonesia, Menimbang: Bahwa pelaksanaan Pasal 9 ayat (1) huruf b dan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.131, 2016 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA EKONOMI. Pajak. Pengampunan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5899) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2016

Lebih terperinci