PENGATURAN LARANGAN PERSEKONGKOLAN TENDER DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PENGATURAN LARANGAN PERSEKONGKOLAN TENDER DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999"

Transkripsi

1 PENGATURAN LARANGAN PERSEKONGKOLAN TENDER DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 Vovo Iswanto, SH, MH Dosen Tidak Tetap Fakultas Hukum Usahid Jakarta Konsultan Hukum Persaingan Usaha pada Kantor Hukum RIS&P, Advocates & Counselor dan mantan staf sekretariat Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia Abstract Agreements, arrangements, or collusion between firms to fix price, quantity or quality of competing products are examples of anticompetitive practices prohibited by competition law in Indonesia (Law No. 5/1999) as well as in other jurisdictions. Other practices cover abusive conducts by dominant firms. Collusive tendering is one form of practices that has substantially eliminated fair competition and therefore prohibited by the law. There are two categories of collusive tendering, vertical collusion and horizontal collusion. According to the case law (jurisprudence) as well as guidelines on, collusive tendering issued by Indonesian Competition Authority (ICA), these two types of collusion may fall within the prohibition of anticompetitive practices, so long as they met all elements as stipulated in Article 22 of Law No. 5/1999. However, there are pending matters which raise concern of related parties as to the approach employed by ICA on the application and interpretation of Article 22 Key words : Anticompetitive practices, collusive tendering, bid ringing, horizontal collusion, vertical collusion. A. PENDAHULUAN Secara umum, Hukum Persaingan Usaha merujuk kepada keseluruhan kaedah-kaedah yang mengatur mengenai perilaku, tindakan atau perbuatan termasuk perjanjian yang dilarang dilakukan oleh satu atau lebih pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya dimana pelanggaran atas kaedah tersebut dapat dikenakan sanksi, baik yang bersifat administratif maupun sanksi pidana. Hukum Persaingan Usaha (HPU) berbeda dengan Kebijakan Persaingan Usaha (KPU) dimana Kebijakan Persaingan Usaha (KPU) mencakup berbagai kaedah atau norma yang dikeluarkan tidak saja oleh pejabat penegak hukum ataupun pejabat yang berwenang membentuk hukum, tetapi juga norma yang dikeluarkan oleh pejabat pemerintah yang berkaitan dengan atau mengatur mengenai bagaimana pemerintah mengambil langkah-langkah untuk mendorong struktur & perilaku pasar yang bersaing (kompetitif) (Alison Jones & Brenda Sufrin, 2001). Terdapat beberapa pendapat yang berkembang di dunia saat ini yang menjelaskan mengenai tujuan dari Hukum Persaingan Usaha. Secara umum, tujuan hukum persaingan usaha dapat dibedakan atas tujuan yang bersifat umum (general objectives) dan tujuan yang bersifat khusus (specific objectives). Tujuan yang bersifat umum mencakup antara lain peningkatan efisiensi ekonomi (economic efficiency) dan kesejahteraan rakyat (public welfare). Sedangkan tujuan yang bersifat khusus dari hukum persaingan usaha antara lain untuk: (a) melindungi pesaing (competitor); (b) melindungi persaingan itu sendiri (to protect competition); dan (c) melindungi konsumen (consumer). Selain tujuan-tujuan yang bersifat ekonomi tersebut di atas,

2 ada pula yang berpendapat bahwa hukum persaingan usaha dapat pula memiliki tujuan yang lain (non ekonomi), misalnya untuk mencapai tujuan sosial dan politik dari suatu negara atau pemerintahan. Tujuan yang bersifat non ekonomi ini antara lain untuk melindungi atau membuka kesempatan kerja atau menjaga lingkungan hidup. Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat ( UU No. 5 tahun 1999 ) juga telah mengatur mengenai tujuan dari penerapan hukum persaingan usaha di Indonesia. Tujuan tersebut menjadi acuan bagi para pelaku usaha dan penegak hukum untuk menilai dan menyimpulkan apakah suatu tindakan atau praktek usaha dari pelaku usaha telah melanggar hukum persaingan usaha atau tidak. Pada umumya terdapat 2 (dua) pendekatan yang digunakan untuk menentukan apakah suatu tindakan atau praktek usaha melanggar hukum persaingan usaha atau tidak. Pendekatan pertama disebut atau dikenal dengan sebutan per se illegality. Dalam pendekatan ini, suatu praktek usaha tertentu dianggap dengan sendirinya selalu bersifat anti persaingan dan karenanya melanggar hukum persaingan usaha, tanpa perlu dibuktikan apakah memang benar tindakan tersebut dapat atau telah mengakibatkan dampak anti persaingan. Secara umum, kerja sama antara dua atau lebih pelaku usaha yang (seharusnya) bersaing untuk mengatur harga atau produk termasuk di dalam kategori ini. Adapun contoh dan praktek usaha yang selalu dianggap anti persaingan dan dianalisis dengan pendekatan per se illegality adalah penetapan harga antar pesaing (price fixing), alokasi pasar atau konsumen (customer/ market allocation), dan pembatasan produksi atau kuota. Pendekatan kedua yang umum digunakan dalam menganalisis atau menentukan ada tidaknya pelanggaran terhadap hukum persaingan usaha adalah rule of reason. Dalam pendekatan ini, perlu ditentukan/dibuktikan terlebih dahulu apakah suatu praktek usaha yang dilakukan oleh satu atau lebih pelaku usaha memiliki dampak anti persaingan atau merugikan konsumen. Umumnya, praktek usaha yang diduga melanggar hukum persaingan usaha yang dilakukan oleh pelaku usaha yang memiliki posisi dominan di suatu pasar bersangkutan dianalisis mengggunakan pendekatan yang kedua. Adapun contoh kasus yang menggunakan pendekatan yang kedua antara lain adalah praktek penolakan untuk bertransaksi (refusal to deal), praktek diskriminasi (discriminatory practice) dan jual rugi (predatory pricing) yang dilakukan oleh pelaku usaha dominan. Di Indonesia, ketentuan hukum yang mengatur tentang persaingan usaha pada dasarnya telah ada sejak lama sebelum diberlakukannya UU No. 5 tahun Sebagai contoh, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terdapat Pasal 382 bis tentang Persaingan Curang. Selain itu di dalam Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas juga sudah diatur mengenai tindakan penggabungan, peleburan, pengambil-alihan sahain maupun pemisahan yang wajib memperhatikan persaingan usaha yang sehat (Pasal 126 UU No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas). Namun memang, perhatian besar terhadap hukum persaingan usaha di Indonesia berkembang setelah pada tahun 2000, Pemerintah Indonesia membentuk satu lembaga pengawas pelaksanaan UU No. 5 tahun 1999 yang dikenal dengan nama Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Selama 5 tahun saja KPPU telah memeriksa lebih dari 50 (lima puluh) perkara dan menjatuhkan sanksi kepada puluhan pelaku usaha yang dinyatakan terbukti melanggar UU No. 5 tahun Di antara kasus atau perkara tersebut, kasus atau perkara dugaan persekongkolan tender merupakan kasus yang paling banyak diperiksa oleh KPPU. Berdasarkan Laporan KPPU tahun 2005, terdapat lebih kurang 46% perkara yang diperiksa oleh KPPU yang berkaitan dengan dugaan persekongkolan tender. Dari jumlah tersebut, sekitar 80% perkara diputuskan dengan

3 kesimpulan adanya bukti persekongkolan tender dan karenanya menghukum pelaku usaha yang terlibat dengan sanksi administratif berupa denda sampai dengan sanksi larangan mengikuti tender dalam jangka waktu tertentu. Berkaitan dengan hal tersebut, dalam tulisan ini akan dibahas mengenai tender dan persekongkolan tender dalam perspektif hukum persaingan usaha di Indonesia dan beberapa negara lain yang telah lama menerapkan hukum persaingan usaha. B. PEMBAHASAN Ketentuan tentang larangan persekongkolan tender diatur dalam Pasal 22 UU No. 5 tahun 1999 yang berbunyi: Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat UU No. 5 tahun 1999, khususnya dalam Penjelasan Pasal 22 mengatur bahwa yang dimaksud dengan tender adalah tawaran mengajukan harga untuk memborong suatu pekerjaan, untuk mengadakan barang-barang atau untuk menyediakan jasa. Dalam UU tersebut dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan barang adalah setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, yang dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha. Sedangkan jasa diartikan sebagai setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang diperdagangkan dalam masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha. Dalam prakteknya, KPPU menafsirkan terminologi tender yang digunakan dalam IIU No. 5 tahun 1999 untuk juga mencakup lelang yang di Indonesia memiliki pengertian yang sedikit berbeda dengan tender. Sayangnya, UU No. 5 tahun 1999 tidak secara khusus dan eksplisit menjelaskan mengenai pengertian Persekongkolan Tender (collusive tendering atau bid rigging). Namun dalam Pasal 1 angka 8 dijelaskan tentang pengertian persekongkolan atau konspirasi usaha, yaitu suatu bentuk kerjasama yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lain dengan maksud untuk menguasai pasar bersengkutan bagi kepentingan pelaku usaha yang bersekongkol. Pengertian atau definisi tersebut tidak terlalu tepat untuk diterapkan dalam kasus persekongkolan tender karena tujuan dari persekongkolan tender adalah untuk mengatur atau menentukan pemenang tender. Oleh karena itu, definisi dari persekongkolan yang diatur dalam Pasal 1 angka 8 lebih tepat diterapkan dalam kasus persekongkolan atau konspirasi di antara para pesaing (competing firms), yang dapat berupa penetapan harga bersama (price fixing), pembagian pasar (market allocation) dan lain sebagainya. Meskipun demikian, dalam prakteknya definisi tersebut seringkali tetap digunakan untuk menjelaskan maksud dari terminologi bersekongkol yang terkandung di dalam Pasal 22 UU No. 5 tahun Secara teoretis, persekongkolan tender dapat dibedakan atas 2 (dua) macam persekongkolan. Pertama adalah persekongkolan horisontal dan kedua adalah persekongkolan vertikal. Persekongkolan tender horisontal adalah persekongkolan atau konspirasi yang terjadi atau dilakukan antar peserta tender. Dalam persekongkolan ini, peserta tender secara bersamasama mengatur pemenang tender sehingga merugikan pemilik pekerjaan atau barang/jasa. Adapun bentuk dari persekongkolan tender horisontal antara lain adalah arisan tender (bid rotation), penawaran semu (sham or complementary bidding) dan lain sebagainya. Model Law on Competition (Model Hukum Persaingan) yang disusun oleh UNCTAD (United Nations

4 Conference on Trade And Development) memberikan uraian tentang bentuk-bentuk persekongkolan tender sebagai berikut: Collusive tendering may take different forms, namely: agreements to submit identical bids, agreements as to who shall submit the lowest bid, agreements for the submission of cover bids (voluntary inflated bids), agreements not to bid against each other, agreements on common norms to calculate prices or terms on bids, agreements to squeeze out outside bidders, agreements designating bid winners in advance on a rotational basis, or on a geographical or customer allocation basis. Dengan berbagai bentuk persekongkolan tersebut, peserta tender dapat mengatur harga yang akan ditawarkan sehingga dapat merugikan pemilik pekerjaan karena tidak dapat memperoleh harga yang kompetitif atau paling efisien. Sedangkan yang dimaksud dengan persekongkolan tender vertikal adalah persekongkolan atau konspirasi yang terjadi atau dilakukan antara peserta tender dan panitia tender. Contoh dari persekongkolan ini misalnya dalam bentuk peserta tender bersama-sama panitia mengatur ketentuan persyaratan, atau prosedur tender sehingga menguntungkan bagi pelaku usaha tersebut atau dalam bentuk mengatur pemenang tender. Terdapat beberapa pendapat yang berbeda mengenai apakah persekongkolan tender vertikal merupakan bagian dari hukum persaingan usaha ataukah merupakan tindakan penyalahgunaan jabatan (tindak pidana korupsi). Pendapat pertama mengatakan bahwa persekongkolan tender vertikal bukan merupakan bagian dari hukum persaingan usaha karena yang merupakan bagian ketentuan dari hukum persaingan usaha hanyalah persekongkolan tender antar peserta yang merugikan panitia atau pemilik pekerjaan atau barang/jasa sedangkan persekongkolan vertikal tidak logis (masuk akal) dilakukan oleh panitia atau pemilik pekerjaan karena tidak ada pelaku usaha yang mau merugikan dirinya sendiri, sehingga menurut pendapat pertama ini kasus persekongkolan tender vertikal lebih tepat diperlakukan sebagai tindak pidana penyalahgunaan jabatan atau korupsi. Pendapat kedua berpendapat bahwa persekongkolan tender vertikal dapat menjadi bagian ketentuan dari hukum persaingan usaha apabila panitia tender dalain hal ini bertindak sebagai pelaku usaha dan persekongkolan tersebut telah menyebabkan dampak anti persaingan (Hansen Knud, 2002: ). Dalam beberapa kasus, Panitia atau pemilik pekerjaan pada dasarnya tidak dirugikan karena, sebagai contoh, panitia atau pemilik pekerjaan tersebut merupakan perusahaan dominan yang terafiliasi dengan salah satu peserta yang akhirnya dimenangkan yang dengan persekongkolan tersebut telah (i) mencederai persaingan dan (ii) menguntungkan kedua perusahaan yang terafliasi tersebut. Dalam prakteknya, KPPU mengangggap bahwa persekongkolan tender vertikal dalam beberapa kasus juga merupakan bagian dari ketentuan hukum persaingan usaha dan terkadang menggunakan Pasal 19 huruf d UU No. 5 tahun 1999 untuk menjangkau tindakan diskriminatif yang dilakukan oleh panitia kepada satu atau beberapa peserta tender. UU No. 5 tahun 1999 telah secara khusus mengatur mengenai unsur-unsur yang harus dipenuhi untuk dapat membuktikan adanya pelanggaran terhadap larangan persekongkolan tender (collusive tendering), yaitu: 1. Unsur pelaku usaha sebagai subyek pelaku pelanggaran. Untuk membuktikan adanya persekongkolan tender, harus dibuktikan bahwa para pihak yang terlibat merupakan pelaku usaha atau dalam kapasitasnya sebagai pelaku usaha atau sedang menjalankan kegiatan usaha. UU No. 5 tahun 1999 mendefinisikan pelaku usaha sebagai setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan

5 dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi. Unsur ini penting untuk dibuktikan dalam kasus persekongkolan tender vertikal dimana harus dibuktikan apakah panitia atau pemilik pekerjaan dalam tender tersebut sedang menjalankan kegiatan usaha atau dalam kapasitas sebagai pelaku usaha. Dengan demikian, bisa saja pihak yang dalam kondisi tertentu bukan pelaku usaha tetapi pada saat melakukan tender merupakan atau memenuhi unsur pelaku usaha sebagaimana diatur dalam UU No. 5 tahun Unsur persekongkolan atau konspirasi dalam tender. Secara umum, persekongkolan mengharuskan adanya syarat kerja sama atau setidaknya komunikasi antara pihak yang bersekongkol. Tanpa adanya kerja sama atau komunikasi, maka indikasi persekongkolan sulit untuk dibuktikan. Sebagai contoh, harga yang sama atau mirip dari suatu komponen barang yang ditenderkan bukan merupakan indikasi kuat adanya persekongkolan karena bisa saja harga tersebut merupakan harga yang wajar di pasar pada saat itu sebagai hasil dari persaingan yang ketat dan semua peserta tender merupakan pelaku usaha yang memiliki tingkat efisiensi atau pengalaman yang sama. Harga yang sama bisa menjadi bukti atau indikasi adanya persekongkolan jika pelaku usaha tidak dapat menjelaskan secara wajar dan proporsional mengenai komponen dan/atau perhitungan biaya (harga) yang ditawarkannya tersebut. 3. Unsur tujuan untuk menentukan atau mengatur pemenang tender. Unsur ini merupakan unsur yang sangat penting dimana persekongkolan tender dilarang karena telah menghilangkan persaingan di antara pelaku usaha peserta tender yang seharusnya saling bersaing. Bentuk pengaturan pemenang tender tidak harus dilakukan secara eksplisit berupa arisan tender atau penawaran semu tetapi dapat pula dilakukan dengan cara, misalnya, mengatur persyaratan atau prosedur sedemikian rupa sehingga hanya satu pelaku usaha tertentu yang dapat memenangkan tender tersebut. Dengan mengatur pemenang tender, maka pada dasarnya sudah tidak ada lagi persaingan sehingga panitia atau pemilik pekerjaan tidak memperoleh hasil yang diharapkan (efisiensi biaya, value for money). 4. Unsur dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat. Unsur terakhir ini memberikan karakter tersendiri dari pengaturan larangan persekongkolan tender yang diatur di dalam UU No. 5 tahun Beberapa negara seperti Amerika Serikat mengganggap persekongkolan tender (bid rigging) sebagai bagian dari atau dapat dikategorikan sebagai tindakan kartel seperti price fixing atau market allocation yang umumnya dilarang secara per se (Lihat Model Law on Competition, disusun oleh UNCTAD tahun 2007). Dengan adanya unsur ini maka harus dibuktikan apakah dengan adanya kerja sama atau kornunikasi dalam suatu tender telah menghilangkan atau mencederai persaingan ataukah tidak. Apabila tidak, maka persekongkolan tender tersebut tidak memenuhi semua unsur yang terkandung dalam Pasal 22 UU No. 5 tahun Unsur ini dapat menjawab permasalahan mengenai persekongkolan tender (horisontal) yang tidak dilakukan oleh seluruh peserta tender. Apakah persekongkolan seperti itu tetap dianggap sebagai atau merupakan persekongkolan tender yang dilarang dan dimaksud dalam UU No. 5 tahun 1999? Dalam kasus ini, maka harus dibuktikan apakah persekongkolan tersebut bertujuan untuk menemukan atau mengatur pemenang tender dan mengakibatkan terjadinya persaingan tidak sehat ataukah tidak. Jika benar, maka persekongkolan tersebut merupakan persekongkolan dalam tender yang dilarang oleh UU No. 5 tahun 1999 dan pelaku usaha yang terlibat dapat dikenakan sanksi sedangkan pelaku usaha yang tidak terlibat dibebaskan dari segala tuntutan atau hukuman (sanksi). Hal

6 ini didasarkan kepada pendekatan analogis dimana dalam kasus penetapan harga (price fixing) misalnya, tidak mensyaratkan harus dilakukan oleh seluruh pelaku usaha yang bersaing, tetapi cukup dibuktikan bahwa tindakan tersebut dilakukan oleh beberapa pelaku usaha yang seharusnya saling bersaing (competing firms). Selanjutnya, terdapat 2 (dua) permasalahan yang penting dan menjadi perdebatan yang berkaitan dengan pengaturan larangan persekongkolan tender dalam UU No. 5 tahun Permasalahan pertama berhubungan dengan pendefinisian pasar bersangkutan dalam perkara dugaan persekongkolan tender. Secara umum, pasar bersangkutan memiliki 2 (dua) dimensi, yaitu dimensi produk yang merupakan pembatasan produk (barang atau jasa) yang dianggap saling bersaing dan bersubstitusi, dan dimensi geografis yang merupakan pembatasan wilayah dimana kondisi persaingan antara produk-produk tersebut terjadi dan memiliki kesamaan (homogen) serta yang dapat dibedakan dengan wilayah di sekitarnya yang memiliki kondisi persaingan yang berbeda. Dalam satu kompilasi makalah mengenai Pasar Pengadaan (Procurement Market) yang disusun oleh Komite Hukum & Kebijakan Persaingan OECD/Organization for Economic Co-operation and Development (DAFFE/CLP (99) 3/FINAL, Mei 1999), dikatakan bahwa The boundaries of a procurement market are essentially defined by the tender specifications itself. Penulis berpendapat bahwa pembatasan pasar pengadaan yang didasarkan pada spesifikasi tender merupakan pendefinisian pasar bersangkutan yang dilihat dari dimensi produk. Sedangkan pendefinisian pasar bersangkutan dari aspek geografis didasarkan pada wilayah dimana tender tersebut terjadi dan/atau di wilayah mana pelaku usaha yang memenuhi syarat berdomisili. Pendefinisian pasar bersangkutan sangat penting karena menyangkut penentuan berapa banyak pelaku usaha yang terkait dan bagaimana pangsa pasarnya masing-masing serta bagaimana (berapa besar) akibat terhadap ekonomi (inefisiensi) dari tindakan tersebut. Menurut sumber yang sama (kompilasi makalah OECD), terdapat beberapa ciri atau karakteristik dari suatu tender yang memiliki kecenderungan terjadinya praktek persekongkolan atau konspirasi antara lain adalah sebagai berikut: 1. Pasar dari produk yang ditenderkan adalah pasar yang terkonsentrasi. 2. Adanya hambatan masuk (entry barrier) yang tinggi. 3. Transaksi bersifat transparan atau mudah diketahui oleh pelaku usaha yang mengikuti tender (dengan demikian, mudah diketahui adanya kecurangan atau pelanggaran terhadap pengaturan pemenang tender). 4. Frekuensi terjadinya persaingan antara pelaku usaha yang cukup tinggi, sehingga dapat diidentifikasi semua pelaku usaha yang ada di pasar tersebut. Permasalahan kedua yang juga penting dan menjadi perdebatan adalah apakah tender merupakan satu-satunya proses pengadaan yang paling kompetitif dan karenanya metode lain tidak sesuai dengan prinsip persaingan usaha yang sehat dan melanggar UU No. 5 tahun 1999? Penulis bependapat bahwa tender atau pelelangan merupakan salah satu metode pengadaan barang atau jasa yang mendorong persaingan dan efisiensi dan yang umumnya digunakan oleh banyak pihak. Meskipun demikian, terdapat metode lain yang juga dapat memberikan hasil yang sebanding dengan metode tender. Dalam situasi atau kondisi tertentu, penunjukan langsung atau pemilihan langsung dapat memberikan hasil yang sama atau bahkan lebih baik daripada metode tender. Situasi atau kondisi tersebut misalnya penambahan produk (barang atau jasa). dari sumber yang sama yang dihasilkan dari tender sebelumnya, standarisasi produk agar kompatibel dengan produk yang sudah ada sebelummya, hanya ada satu atau sangat sedikit pelaku usaha yang memproduksi atau memasarkannya, atau dalam kondisi darurat.

7 C. PENUTUP Dari uraian di alas dapat disimpulkan bahwa persekongkolan tender dapat dibedakan atas 2 (dua) dimensi persekongkolan, yaitu persekongkolan tender vertikal dan persekongkolan tender horisontal. Bentuk dari persekongkolan tender antara lain adalah arisan tender (bid rotation), penawaran semu (sham or complementary bidding) dan lain sebagainya. Terdapat setidaknya 4 (empat) unsur yang harus dipenuhi untuk dapat membuktikan adanya persekongkolan tender, yaitu (i) unsur pelaku usaha; (ii) unsur persekongkolan dalam tender; (iii) unsur tujuan untuk menentukan atau mengatur pemenang tender; dan (iv) unsur dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat. Di sisi lain, pendefinisian pasar bersangkutan dan penggunaan metode selain tender merupakan 2 (dua) permasalahan yang penting dan perlu mendapatkan penilaian dan perhatian yang mendalam terkait dengan ketentuan tentang larangan persekongkolan tender sehingga pengaturan dan penerapan dari ketentuan tersebut tidak bertentangan atau menyimpang dari tujuan diundangkannya hukum persaingan usaha (UU No. 5 tahun 1999). DAFTAR PUSTAKA Jones, Alison & Brenda Sufrin, EC Competition Law: Text, Cases, And Materials, Oxford Knud, Hansen, Undang-Undang No. 5 tahun 1999: Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Jakarta, Katalis, Indonesia, Undang Undang No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. UNCTAD, Model Law on Competition, tahun 2007.

UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT [LN 1999/33, TLN 3817]

UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT [LN 1999/33, TLN 3817] UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT [LN 1999/33, TLN 3817] BAB VIII SANKSI Bagian Pertama Tindakan Administratif Pasal 47 (1) Komisi berwenang

Lebih terperinci

KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA

KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA DRAFT Pedoman Tentang Larangan Persekongkolan Dalam Tender Berdasarkan UU. No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA 2004 1 KATA

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Bab IV, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: Proses pengadaan

BAB V PENUTUP. Bab IV, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: Proses pengadaan BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan pada hal-hal yang sudah penulis paparkan dari Bab I hingga Bab IV, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: Proses pengadaan barang dan jasa di lingkungan

Lebih terperinci

Pengantar Hukum Persaingan Usaha. Oleh: Ditha Wiradiputra Pelatihan Hukum Kontrak Konstruksi 11 Juni 2007

Pengantar Hukum Persaingan Usaha. Oleh: Ditha Wiradiputra Pelatihan Hukum Kontrak Konstruksi 11 Juni 2007 Pengantar Hukum Persaingan Usaha Oleh: Ditha Wiradiputra Pelatihan Hukum Kontrak Konstruksi 11 Juni 2007 Topics to be Discussed Manfaat Persaingan Asas & Tujuan Undang-undang Persaingan Usaha Prinsip-prinsip

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Persaingan dalam dunia bisnis merupakan salah satu bentuk perbuatan yang dapat

TINJAUAN PUSTAKA. Persaingan dalam dunia bisnis merupakan salah satu bentuk perbuatan yang dapat II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Dasar Hukum Persaingan Usaha Persaingan dalam dunia bisnis merupakan salah satu bentuk perbuatan yang dapat mendatangkan keuntungan atau menimbulkan kerugian. Apabila

Lebih terperinci

Ethics in Market Competition. Mery Citra.S,SE.,MSi Business Ethics #7

Ethics in Market Competition. Mery Citra.S,SE.,MSi Business Ethics #7 Ethics in Market Competition Mery Citra.S,SE.,MSi Business Ethics #7 Monopoli Monopoli adalah suatu bentuk penguasaan atas produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau atas penggunaan jasa tertentu oleh

Lebih terperinci

JURNAL SKRIPSI KAJIAN TERHADAP PUTUSAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA (KPPU) MENGENAI PERSEKONGKOLAN DALAM TENDER

JURNAL SKRIPSI KAJIAN TERHADAP PUTUSAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA (KPPU) MENGENAI PERSEKONGKOLAN DALAM TENDER JURNAL SKRIPSI KAJIAN TERHADAP PUTUSAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA (KPPU) MENGENAI PERSEKONGKOLAN DALAM TENDER TAHUN 2011-2013 DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 DAN PERATURAN KPPU

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. saing yang tidak hanya di lingkup nasional tapi juga di lingkup global

BAB I PENDAHULUAN. saing yang tidak hanya di lingkup nasional tapi juga di lingkup global 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai salah satu faktor yang mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi, iklim persaingan antar pelaku usaha harusnya dijaga dan dipertahankan baik oleh sesama pelaku

Lebih terperinci

Pedoman Larangan Persekongkolan Dalam Tender. Berdasarkan UU No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

Pedoman Larangan Persekongkolan Dalam Tender. Berdasarkan UU No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Pedoman Larangan Persekongkolan Dalam Tender Berdasarkan UU No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Pengantar Pasal 35 huruf (f): Menyusun pedoman dan atau publikasi

Lebih terperinci

LARANGAN PERSEKONGKOLAN DALAM TENDER PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

LARANGAN PERSEKONGKOLAN DALAM TENDER PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT Persekongkolan Tender, Persaingan Usaha Tidak Sehat 56 LARANGAN PERSEKONGKOLAN DALAM TENDER PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

Lebih terperinci

Perbuatan atau Kegiatan yang Dilarang Pasal 17 24

Perbuatan atau Kegiatan yang Dilarang Pasal 17 24 Perbuatan atau Kegiatan yang Dilarang Pasal 17 24 Defenisi Praktek Monopoli: pemusatan kekuatan ekonomi (penguasaan yang nyata atas suatu pasar yang relevan) sehingga dapat menentukan harga barang dan

Lebih terperinci

HUKUM PERSAINGAN USAHA

HUKUM PERSAINGAN USAHA HUKUM PERSAINGAN USAHA Dosen Pengampu: Prof Dr Jamal Wiwoho, SH, MHum www.jamalwiwoho.com 081 2260 1681 -- Bahan Bacaan Abdulrahman: Ensiklopesi Ekonomi keuangan dan perdagangan, Jakarta, Pradnya Paramita,

Lebih terperinci

LARANGAN PERSEKONGKOLAN DALAM TENDER SESUAI DENGAN PASAL 22 UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 DAN PERATURAN KPPU NOMOR 2 TAHUN 2010

LARANGAN PERSEKONGKOLAN DALAM TENDER SESUAI DENGAN PASAL 22 UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 DAN PERATURAN KPPU NOMOR 2 TAHUN 2010 LARANGAN PERSEKONGKOLAN DALAM TENDER SESUAI DENGAN PASAL 22 UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 DAN PERATURAN KPPU NOMOR 2 TAHUN 2010 http://www.harianpilar.com I. Pendahuluan Pengadaan barang atau jasa pada

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dimana manusia cenderung untuk saling mengungguli dalam banyak hal. Dari banyaknya

I. PENDAHULUAN. dimana manusia cenderung untuk saling mengungguli dalam banyak hal. Dari banyaknya I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kondisi persaingan merupakan satu karakteristik yang melekat dengan kehidupan manusia, dimana manusia cenderung untuk saling mengungguli dalam banyak hal. Dari banyaknya

Lebih terperinci

PERSAINGAN USAHA dan JASA KONSTRUKSI

PERSAINGAN USAHA dan JASA KONSTRUKSI PERSAINGAN USAHA dan JASA KONSTRUKSI 2011 1 Cakupan Presentasi 1. Persaingan Usaha yang Sehat Dan KPPU 2. Persaingan Pasar Jasa Konstruksi 3. Masalah Umum Persaingan Usaha Dalam Sektor Jasa Konstruksi

Lebih terperinci

KEWIRAUSAHAAN, ETIKA PROFESI dan HUKUM BISNIS

KEWIRAUSAHAAN, ETIKA PROFESI dan HUKUM BISNIS KEWIRAUSAHAAN, ETIKA PROFESI dan HUKUM BISNIS Modul ke: Fakultas Fakultas Ekonomi dan Bisnis Program Studi Magisster Akuntasi www.mercubuana.ac.id Undang-undang Terkait Dengan Industri Tertentu, Undangundang

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 57 TAHUN 2010 TENTANG PENGGABUNGAN ATAU PELEBURAN BADAN USAHA DAN PENGAMBILALIHAN SAHAM PERUSAHAAN YANG DAPAT MENGAKIBATKAN TERJADINYA PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2010 TENTANG PENGGABUNGAN ATAU PELEBURAN BADAN USAHA DAN PENGAMBILALIHAN SAHAM PERUSAHAAN YANG DAPAT MENGAKIBATKAN TERJADINYA PRAKTIK MONOPOLI DAN

Lebih terperinci

KEGIATAN YANG DILARANG

KEGIATAN YANG DILARANG KEGIATAN YANG DILARANG Ditha Wiradiputra Bahan Mengajar Mata Kuliah Hukum Persaingan Usaha Fakultas Hukum Universitas indonesia 2008 Pendahuluan Perlunya pengaturan terhadap kegiatan pelaku usaha di dalam

Lebih terperinci

MERGER PERSEROAN TERBATAS DITINJAU DARI HUKUM PERSAINGAN USAHA

MERGER PERSEROAN TERBATAS DITINJAU DARI HUKUM PERSAINGAN USAHA MERGER PERSEROAN TERBATAS DITINJAU DARI HUKUM PERSAINGAN USAHA Oleh Ayu Cindy TS. Dwijayanti I Ketut Tjukup Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana Abstrak Tulisan yang berjudul Merger Perseroan

Lebih terperinci

DRAFT PEDOMAN PELAKSANAAN KETENTUAN PASAL 19 UNDANG-UNDANG NO 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

DRAFT PEDOMAN PELAKSANAAN KETENTUAN PASAL 19 UNDANG-UNDANG NO 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DRAFT PEDOMAN PELAKSANAAN KETENTUAN PASAL 19 UNDANG-UNDANG NO 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DAFTAR ISI DAFTAR ISI 1 BAB I LATAR BELAKANG. 2 BAB II TUJUAN

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman Sampul... Lembar Pengesahan... Pernyataan... Kata Pengantar... Daftar Isi... Intisari... Abstract... BAB I PENDAHULUAN...

DAFTAR ISI. Halaman Sampul... Lembar Pengesahan... Pernyataan... Kata Pengantar... Daftar Isi... Intisari... Abstract... BAB I PENDAHULUAN... iv DAFTAR ISI Halaman Sampul... Lembar Pengesahan... Pernyataan... Kata Pengantar...... Daftar Isi... Intisari...... Abstract... i iv x xi BAB I PENDAHULUAN... 1 A. Latar Belakang Permasalahan.. 1 B. Perumusan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dasar pengaturan hukum persaingan usaha adalah Undang-Undang Nomor 5

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dasar pengaturan hukum persaingan usaha adalah Undang-Undang Nomor 5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Hukum Persaingan usaha 1. Dasar Hukum Persaingan Usaha Dasar pengaturan hukum persaingan usaha adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999

UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

HUKUM MONOPOLI & PERSAINGAN USAHA

HUKUM MONOPOLI & PERSAINGAN USAHA HUKUM MONOPOLI & PERSAINGAN USAHA MONOPOLI Monopoli menggambarkan suatu keadaan dimana terdapat seseorang atau sekelompok orang yang menguasai suatu bidang tertentu secara mutlak, tanpa memberikan kesempatan

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa pembangunan bidang ekonomi harus diarahkan

Lebih terperinci

UU 5/1999, LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

UU 5/1999, LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT UU 5/1999, LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 5 TAHUN 1999 (5/1999) Tanggal: 5 MARET 1999 (JAKARTA) Tentang: LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PELAKU USAHA YANG DIRUGIKAN AKIBAT PRAKTIK PERSEKONGKOLAN DALAM PENGADAAN TENDER

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PELAKU USAHA YANG DIRUGIKAN AKIBAT PRAKTIK PERSEKONGKOLAN DALAM PENGADAAN TENDER PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PELAKU USAHA YANG DIRUGIKAN AKIBAT PRAKTIK PERSEKONGKOLAN DALAM PENGADAAN TENDER oleh Putu Nindya Krishna Prasanti Anak Agung Gede Duwira Hadi Santosa Perdata Bisnis Fakultas

Lebih terperinci

UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK PROGRAM STUDI ILMU HUKUM RENCANA KEGIATAN PROGRAM PEMBELAJARAN (RKPP) Mata Kuliah Kode SKS Semester Nama Dosen Hukum Perlindungan Konsumen & Perlindungan Usaha Deskripsi Mata Kuliah Standar Kompetensi SH HK 1201 2 V (lima) Muhammad

Lebih terperinci

MATRIKS HARMONISASI RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

MATRIKS HARMONISASI RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT Bahan Konsinyering, 06-02-17 MATRIKS HARMONISASI RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT Undang-Undang Nomor... Tahun... tentang RANCANGAN UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. permasalahan yang ada dapat disimpulkan sebagai berikut:

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. permasalahan yang ada dapat disimpulkan sebagai berikut: 104 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Sesuai Bab 4 Hasil Penelitian dan Pembahasan maka jawaban atas permasalahan yang ada dapat disimpulkan sebagai berikut: 5.1.1 Bahwa perilaku concerted action

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2010 TENTANG PENGGABUNGAN ATAU PELEBURAN BADAN USAHA DAN PENGAMBILALIHAN SAHAM PERUSAHAAN YANG DAPAT MENGAKIBATKAN TERJADINYA PRAKTIK MONOPOLI DAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 85/PUU-XIV/2016 Kewajiban Yang Harus Ditaati Oleh Pelaku Usaha Dalam Melaksanakan Kerjasama Atas Suatu Pekerjaan

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 85/PUU-XIV/2016 Kewajiban Yang Harus Ditaati Oleh Pelaku Usaha Dalam Melaksanakan Kerjasama Atas Suatu Pekerjaan RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 85/PUU-XIV/2016 Kewajiban Yang Harus Ditaati Oleh Pelaku Usaha Dalam Melaksanakan Kerjasama Atas Suatu Pekerjaan I. PEMOHON PT. Bandung Raya Indah Lestari.... selanjutnya

Lebih terperinci

Pedoman Pasal 47 Tentang. Tindakan. Administratif

Pedoman Pasal 47 Tentang. Tindakan. Administratif Pedoman Pasal 47 Tentang Tindakan Administratif KEPUTUSAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR : 252 /KPPU/Kep/VII/2008 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN KETENTUAN PASAL 47 UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT UMUM Pembangunan ekonomi pada Pembangunan Jangka Panjang Pertama telah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Proses tender merupakan persaingan antara para penyedia barang

BAB I PENDAHULUAN. Proses tender merupakan persaingan antara para penyedia barang 1 BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah Proses tender merupakan persaingan antara para penyedia barang atau jasa agar barang atau jasa dibeli oleh pihak yang melakukan penawaran tender yang bersangkutan.

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

V. KESIMPULAN DAN SARAN

V. KESIMPULAN DAN SARAN 88 V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Kriteria tender pengadaan barang dan jasa pemerintah akan berjalan

Lebih terperinci

PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG

PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG PEDOMAN PASAL 19 HURUF D (PRAKTEK DISKRIMINASI) UNDANG- UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN

Lebih terperinci

MAKALAH. Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Aspek Hukum. Dosen Pengampu : Ahmad Munir, SH., MH. Disusun oleh : Kelompok VII

MAKALAH. Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Aspek Hukum. Dosen Pengampu : Ahmad Munir, SH., MH. Disusun oleh : Kelompok VII Anti Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat MAKALAH Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Aspek Hukum Dalam Bisnis Dosen Pengampu : Ahmad Munir, SH., MH. Disusun oleh : Kelompok VII Helda Nur Afikasari

Lebih terperinci

PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 4 TAHUN tentang K A R T E L

PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 4 TAHUN tentang K A R T E L PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 4 TAHUN 2010 tentang K A R T E L copyright@kppu.2011 DILARANG MENCETAK DAN MEMPERBANYAK ISI BUKU INI TANPA SEIJIN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Komisi Pengawas Persaingan Usaha. 1. Status dan Keanggotaan Komisi Pengawas Persaingan Usaha

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Komisi Pengawas Persaingan Usaha. 1. Status dan Keanggotaan Komisi Pengawas Persaingan Usaha 19 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Komisi Pengawas Persaingan Usaha 1. Status dan Keanggotaan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Pasal 30 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 tentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Membahas isu persaingan usaha rasanya tak lengkap tanpa merger,

BAB I PENDAHULUAN. Membahas isu persaingan usaha rasanya tak lengkap tanpa merger, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Membahas isu persaingan usaha rasanya tak lengkap tanpa merger, konsolidasi dan akuisisi. Merger, konsolidasi dan akuisisi kerap berpengaruh terhadap persaingan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia, untuk tujuan memperoleh keuntungan dan atau laba (Pasal 1 Undang-Undang No. 3

TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia, untuk tujuan memperoleh keuntungan dan atau laba (Pasal 1 Undang-Undang No. 3 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Perusahaan 1. Definisi Perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang menjalankan setiap jenis usaha yang bersifat terusmenerus dan yang didirikan, bekerja serta berkedudukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Aspek-aspek dunia usaha selalu menarik untuk diamati dan diteliti karena

BAB I PENDAHULUAN. Aspek-aspek dunia usaha selalu menarik untuk diamati dan diteliti karena 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Aspek-aspek dunia usaha selalu menarik untuk diamati dan diteliti karena selalu terdapat kepentingan yang berbeda bagi pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan usaha

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA

KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA PEDOMAN PELAKSANAAN KETENTUAN PASAL 19 HURUF D UNDANG-UNDANG NO 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA Daftar Isi Daftar Isi..

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengalami banyak kemajuan yang didorong oleh kebijakan pembangunan di

BAB I PENDAHULUAN. mengalami banyak kemajuan yang didorong oleh kebijakan pembangunan di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di era globalisasi ini, pembangunan ekonomi dalam perkembangannya telah mengalami banyak kemajuan yang didorong oleh kebijakan pembangunan di berbagai sektor usaha,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. konstruksi tersebut adalah Penyedia Jasa atau sering juga disebut dengan istilah

BAB I PENDAHULUAN. konstruksi tersebut adalah Penyedia Jasa atau sering juga disebut dengan istilah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam suatu kegiatan pengadaan barang dan jasa, khususnya bidang jasa konstruksi yang dibiayai oleh Pemerintah, dimana pelaksana pekerjaan jasa konstruksi tersebut adalah

Lebih terperinci

POSISI DOMINAN. Ditha Wiradiputra. Bahan Mengajar Mata Kuliah Hukum Persaingan Usaha Fakultas Hukum Universitas indonesia 2008

POSISI DOMINAN. Ditha Wiradiputra. Bahan Mengajar Mata Kuliah Hukum Persaingan Usaha Fakultas Hukum Universitas indonesia 2008 POSISI DOMINAN Ditha Wiradiputra Bahan Mengajar Mata Kuliah Hukum Persaingan Usaha Fakultas Hukum Universitas indonesia 2008 Dominant Firm Dominant Firm (DF) adalah suatu perusahaan yg berprilaku seperti

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian dan Dasar Hukum Persaingan Usaha. unggul dari orang lain dengan tujuan yang sama (Kamus Besar Bahasa Indonesia.

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian dan Dasar Hukum Persaingan Usaha. unggul dari orang lain dengan tujuan yang sama (Kamus Besar Bahasa Indonesia. 9 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Hukum Persaingan Usaha 1. Pengertian dan Dasar Hukum Persaingan Usaha Persaingan adalah perlawanan dan atau upaya satu orang atau lebih untuk lebih unggul dari orang lain dengan

Lebih terperinci

ABSTRAK. Christine Tanuwijaya

ABSTRAK. Christine Tanuwijaya Tinjauan Yuridis Pertanggungjawaban Hukum Pidana Oknum Pegawai Negeri Dan Pelaku Usaha Yang Melakukan Persekongkolan Dalam Pengadaan Barang Dan Jasa Pemerintah Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun

Lebih terperinci

HUKUM ACARA PERSAINGAN USAHA

HUKUM ACARA PERSAINGAN USAHA HUKUM ACARA PERSAINGAN USAHA Ditha Wiradiputra Bahan Mengajar Mata Kuliah Hukum Persaingan Usaha Fakultas Hukum Universitas indonesia 2008 Agenda Pendahuluan Dasar Hukum Komisi Pengawas Persaingan Usaha

Lebih terperinci

PENGATURAN PRICE FIXING DALAM KEGIATAN USAHA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999

PENGATURAN PRICE FIXING DALAM KEGIATAN USAHA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 PENGATURAN PRICE FIXING DALAM KEGIATAN USAHA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 Oleh: Andiny Manik Sharaswaty I Gusti Agung Ayu Dike Widhiaastuti Bagian Hukum Bisnis, Fakultas Hukum, Universitas

Lebih terperinci

Kartel : Persaingan Tidak Sehat. Oleh Djoko Hanantijo Dosen PNS dpk Universitas Surakarta ABSTRAKSI

Kartel : Persaingan Tidak Sehat. Oleh Djoko Hanantijo Dosen PNS dpk Universitas Surakarta ABSTRAKSI Kartel : Persaingan Tidak Sehat Oleh Djoko Hanantijo Dosen PNS dpk Universitas Surakarta ABSTRAKSI Kartel adalah perjanjian satu pelaku usaha dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menghilangkan persaingan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. ALASAN PEMILIHAN JUDUL. Dalam dunia usaha sekarang ini sesungguhnya banyak ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. ALASAN PEMILIHAN JUDUL. Dalam dunia usaha sekarang ini sesungguhnya banyak ditemukan BAB I PENDAHULUAN A. ALASAN PEMILIHAN JUDUL Dalam dunia usaha sekarang ini sesungguhnya banyak ditemukan perjanjian-perjanjian dan kegiatan-kegiatan usaha yang mengandung unsur-unsur yang kurang adil terhadap

Lebih terperinci

NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

BPK DAN KPPU MENYEPAKATI KERJASAMA DALAM PENANGANAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

BPK DAN KPPU MENYEPAKATI KERJASAMA DALAM PENANGANAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT BPK DAN KPPU MENYEPAKATI KERJASAMA DALAM PENANGANAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT http://ekbis.sindonews.com/ Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Harry Azhar Azis menandatangani Nota Kesepahaman (Memorandum

Lebih terperinci

Terobosan Peningkatan Kapasitas Nasional dalam Industri Hulu Migas ditinjau dari Perspektif Persaingan Usaha

Terobosan Peningkatan Kapasitas Nasional dalam Industri Hulu Migas ditinjau dari Perspektif Persaingan Usaha Terobosan Peningkatan Kapasitas Nasional dalam Industri Hulu Migas ditinjau dari Perspektif Persaingan Usaha Oleh: M. Hakim Nasution HAKIMDANREKAN Konsultan Hukum Asas Persaingan Usaha UU No. 5/1999 Larangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ditawarkan kepada pembeli dengan ketentuan jumlah, jenis, kualitas, tempat dan

BAB I PENDAHULUAN. ditawarkan kepada pembeli dengan ketentuan jumlah, jenis, kualitas, tempat dan BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Proses lelang adalah proses pembelian dan penjualan barang dan atau jasa dimana penjual memberikan penawaran jenis barang dan atau jasa beserta harga yang ditawarkan

Lebih terperinci

TINJAUAN TERHADAP MEKANISME PENANGANAN PERKARA PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

TINJAUAN TERHADAP MEKANISME PENANGANAN PERKARA PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT TINJAUAN TERHADAP MEKANISME PENANGANAN PERKARA PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT Oleh : Nina Herlina, S.H., M.H. *) Abstract The mechanism of handling unhealthy competition cases is carried out by the Commission

Lebih terperinci

UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM STUDI ILMU HUKUM RENCANA KEGIATAN PROGRAM PEMBELAJARAN (RKPP) Mata Kuliah Kode SKS Semester Nama Dosen Hukum Anti Monopoli & SH PDT 1207 2 VI (Enam) Muhammad Fajar Hidayat, S.H., M.H. Persaingan Usaha Deskripsi Mata Kuliah

Lebih terperinci

TANGGUNG JAWAB HOLDING COMPANY (INDUK PERUSAHAAN) TERHADAPANAK PERUSAHAAN DALAM LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999

TANGGUNG JAWAB HOLDING COMPANY (INDUK PERUSAHAAN) TERHADAPANAK PERUSAHAAN DALAM LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TANGGUNG JAWAB HOLDING COMPANY (INDUK PERUSAHAAN) TERHADAPANAK PERUSAHAAN DALAM LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 Oleh : Ery Maha Putra I Dewa Made Suartha I Made Dedy

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menjadi langkah baru bagi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menjadi langkah baru bagi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menjadi langkah baru bagi Indonesia dalam hal menyelesaikan permasalahan di bidang ekonomi khususnya dalam persaingan usaha.

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan penulis yang telah diuraikan pada

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan penulis yang telah diuraikan pada BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan penulis yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya, penulis mengambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Sesuai dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pelindo II (Persero) yang mana PT Pelindo II (Persero) sendiri merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Pelindo II (Persero) yang mana PT Pelindo II (Persero) sendiri merupakan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang PT Pelindo II (Persero) Cabang Cirebon adalah salah satu cabang dari PT Pelindo II (Persero) yang mana PT Pelindo II (Persero) sendiri merupakan perusahaan Badan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT, PENGUASAAN PASAR DAN PERSEKONGKOLAN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT, PENGUASAAN PASAR DAN PERSEKONGKOLAN BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT, PENGUASAAN PASAR DAN PERSEKONGKOLAN A. Persaingan Usaha Secara Umum Menurut Arie Siswanto, yang dimaksud dengan hukum persaingan usaha (competition

Lebih terperinci

PENERAPAN PENDEKATAN RULES OF REASON DALAM MENENTUKAN KEGIATAN PREDATORY PRICING YANG DAPAT MENGAKIBATKAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

PENERAPAN PENDEKATAN RULES OF REASON DALAM MENENTUKAN KEGIATAN PREDATORY PRICING YANG DAPAT MENGAKIBATKAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT PENERAPAN PENDEKATAN RULES OF REASON DALAM MENENTUKAN KEGIATAN PREDATORY PRICING YANG DAPAT MENGAKIBATKAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT Oleh Ni Luh Putu Diah Rumika Dewi I Dewa Made Suartha Bagian Hukum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan bidang ekonomi harus diarahkan kepada terwujudnya kesejahteraan rakyat berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Lebih terperinci

PEMERIKSAAN PENGADAAN BARANG DAN JASA PEMERINTAH (PBJP)

PEMERIKSAAN PENGADAAN BARANG DAN JASA PEMERINTAH (PBJP) PEMERIKSAAN PENGADAAN BARANG DAN JASA PEMERINTAH (PBJP) @ciawi, 18 Oktober 2017 15 PRINSIP PENGADAAN Efisien Akuntabel Efektif Adil/Tidak Diskriminatif Prinsip pengadaan barang/jasa Transparan Bersaing

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang sedang berkembang, hal ini mendorong

1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang sedang berkembang, hal ini mendorong 1. PENDAHULUAN A. Latar belakang Indonesia merupakan negara yang sedang berkembang, hal ini mendorong timbulnya berbagai kegiatan usaha dan juga pelaku usaha yang berperan untuk memajukan kegiatan ekonomi.

Lebih terperinci

JURNAL. Diajukan oleh : Daniel Jusuf Said Sembiring. N P M : Program Studi : Ilmu Hukum Program Kekhususan : Hukum Ekonomi dan Bisnis

JURNAL. Diajukan oleh : Daniel Jusuf Said Sembiring. N P M : Program Studi : Ilmu Hukum Program Kekhususan : Hukum Ekonomi dan Bisnis JURNAL PERSEKONGKOLAN TENDER SECARA VERTIKAL DAN GABUNGAN HORIZONTAL DAN VERTIKAL DI INDONESIA DITINJAU DARI PUTUSAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA TAHUN 2013 SAMPAI TAHUN 2014 Diajukan oleh : Daniel

Lebih terperinci

ANALISIS YURIDIS MENGENAI KEISTIMEWAAN BAGI PELAKU USAHA KECIL TERKAIT DENGAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

ANALISIS YURIDIS MENGENAI KEISTIMEWAAN BAGI PELAKU USAHA KECIL TERKAIT DENGAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT ANALISIS YURIDIS MENGENAI KEISTIMEWAAN BAGI PELAKU USAHA KECIL TERKAIT DENGAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT Oleh Ngurah Manik Sidartha I Ketut Markeling Program Kekhususan Hukum Bisnis, Fakultas Hukum,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hukum Persaingan Usaha pada dasarnya mengatur mengenai perilaku,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hukum Persaingan Usaha pada dasarnya mengatur mengenai perilaku, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum Persaingan Usaha pada dasarnya mengatur mengenai perilaku, tindakan atau perbuatan termasuk perjanjian yang dilarang dilakukan oleh satu atau lebih pelaku

Lebih terperinci

Hukum Persaingan Usaha melindungi persaingan dan proses persaingan yang sehat,

Hukum Persaingan Usaha melindungi persaingan dan proses persaingan yang sehat, Bab I Latar Belakang Hukum Persaingan Usaha melindungi persaingan dan proses persaingan yang sehat, dengan mencegah dan memberikan sanksi terhadap tindakan-tindakan yang antipersaingan. Persaingan merupakan

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT UMUM Pembangunan ekonomi pada Pembangunan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

KEDUDUKAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA (KPPU) SEBAGAI LEMBAGA PENGAWAS PERSAINGAN USAHA YANG INDEPENDEN

KEDUDUKAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA (KPPU) SEBAGAI LEMBAGA PENGAWAS PERSAINGAN USAHA YANG INDEPENDEN KEDUDUKAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA (KPPU) SEBAGAI LEMBAGA PENGAWAS PERSAINGAN USAHA YANG INDEPENDEN Oleh: Dewa Ayu Reninda Suryanitya Ni Ketut Sri Utari Bagian Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

Hukum Persaingan Usaha

Hukum Persaingan Usaha Hukum Persaingan Usaha Oleh : Prof Dr Jamal Wiwoho, S.H.,M.Hum. 1 Sejarah Letter of Intent (LoI) : Pemerintah Indonesia IMF Tap MPR RI tahun 1973 Perubahan & perkembangan Hk. Bisnis (ketidakmampuan pasal

Lebih terperinci

BAB IV PENUTUP. A. Kesimpulan

BAB IV PENUTUP. A. Kesimpulan BAB IV PENUTUP Pada bagian Bab IV ini, penulis menguraikan dua hal yakni, pertama mengenai kesimpulan dari analisis mengenai bagaimana konsep penyalahgunaan posisi dominan dalam hukum persaingan usaha

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seiring dengan berkembangan zaman pada saat ini, adanya pembangunan nasional ke depan merupakan serangkaian upaya untuk memajukan perkembangan pembangunan nasional

Lebih terperinci

PEDOMAN PASAL 22. Tentang Larangan Persekongkolan dalam Tender

PEDOMAN PASAL 22. Tentang Larangan Persekongkolan dalam Tender PEDOMAN PASAL 22 Tentang Larangan Persekongkolan dalam Tender Pedoman Pasal 22 Tentang Larangan Persekongkolan Dalam Tender Berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan umum bagi seluruh rakyat Indonesia. Tujuan tersebut. diatur dalam Pasal 33 Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan umum bagi seluruh rakyat Indonesia. Tujuan tersebut. diatur dalam Pasal 33 Undang-Undang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu tujuan Negara Indonesia yang tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 adalah memajukan kesejahteraan umum bagi

Lebih terperinci

Adapun...

Adapun... PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2010 TENTANG PENGGABUNGAN ATAU PELEBURAN BADAN USAHA DAN PENGAMBILALIHAN SAHAM PERUSAHAAN YANG DAPAT MENGAKIBATKAN TERJADINYA PRAKTIK

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Tentang Hukum Persaingan Usaha di Indonesia. 1. Pengertian dan arti penting hukum persaingan usaha

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Tentang Hukum Persaingan Usaha di Indonesia. 1. Pengertian dan arti penting hukum persaingan usaha 18 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tentang Hukum Persaingan Usaha di Indonesia 1. Pengertian dan arti penting hukum persaingan usaha Hukum persaingan usaha dapat diartikan sebagai hukum yang mengatur

Lebih terperinci

BAB I LATAR BELAKANG

BAB I LATAR BELAKANG 1 BAB I LATAR BELAKANG Di dunia usaha, persaiangan usaha atau konmpetensi antar para pelaku usaha dalam merebut pasar adalah hal yang sangat wajar. Namun hal itu menjadi tidak wajar manakala persaingan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kemajuan pembangunan ekonomi. Kemajuan pembangunan ekonomi dibuktikan

I. PENDAHULUAN. kemajuan pembangunan ekonomi. Kemajuan pembangunan ekonomi dibuktikan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu indikator utama keberhasilan pembangunan nasional adalah adanya kemajuan pembangunan ekonomi. Kemajuan pembangunan ekonomi dibuktikan dengan adanya pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. 1. KPPU dalam melakukan penanganan perkara-perkara persekongkolan tender,

BAB III PENUTUP. 1. KPPU dalam melakukan penanganan perkara-perkara persekongkolan tender, 104 BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan uraian dalam bab-bab sebelumnya, maka dikemukakan kesimpulan berikut: 1. KPPU dalam melakukan penanganan perkara-perkara persekongkolan tender, harus membuktikan

Lebih terperinci

Analisa Kedudukan Hukum Panitia Tender Dalam Persekongkolan Tender Secara Vertikal (Studi Kasus Ptusan KPPU Nomor 04/KPPU-L/2013)

Analisa Kedudukan Hukum Panitia Tender Dalam Persekongkolan Tender Secara Vertikal (Studi Kasus Ptusan KPPU Nomor 04/KPPU-L/2013) Analisa Kedudukan Hukum Panitia Tender Dalam Persekongkolan Tender Secara Vertikal (Studi Kasus Ptusan KPPU Nomor 04/KPPU-L/2013) Adifyan Rahmat Asga, Ditha Wiradiputra Fakultas Hukum, Universitas Indonesia,

Lebih terperinci

Lampiran Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor Tahun 2009 Tanggal Juni 2009 BAB I LATAR BELAKANG

Lampiran Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor Tahun 2009 Tanggal Juni 2009 BAB I LATAR BELAKANG BAB I LATAR BELAKANG Lampiran Nomor 3 Tahun 2009 Tanggl 1 Juli 2009 Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) adalah lembaga independen yang memiliki tugas utama melakukan penegakan hukum persaingan sebagaimana

Lebih terperinci

DRAFT Pedoman Pelaksanaan Ketentuan Pasal 19 Undang-Undang No 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

DRAFT Pedoman Pelaksanaan Ketentuan Pasal 19 Undang-Undang No 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Pedoman Pelaksanaan Ketentuan Pasal 19 Undang-Undang No 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Daftar Isi Bab I. Latar Belakang Bab II Tujuan dan Cakupan Pedoman

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. suatu ancaman bagi para pengusaha nasional dan para pengusaha asing yang lebih

I. PENDAHULUAN. suatu ancaman bagi para pengusaha nasional dan para pengusaha asing yang lebih 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam era globalisasi ekonomi saat ini, dunia usaha merupakan salah satu kegiatan yang diminati oleh banyak orang di Indonesia. Lahirnya pengusahapengusaha baru dalam

Lebih terperinci

Sulit Berantas Kartel, KPPU Butuh Apa Lagi? Oleh: M. Nurfaik *

Sulit Berantas Kartel, KPPU Butuh Apa Lagi? Oleh: M. Nurfaik * Sulit Berantas Kartel, KPPU Butuh Apa Lagi? Oleh: M. Nurfaik * Naskah diterima: 2 November 2015; disetujui: 6 November 2015 Dalam Kamus Oxford, kartel atau cartel didefinisikan, Cartel is a group of separate

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM PERSEKONGKOLAN TENDER DAN PENDEKATAN HUKUMNYA

BAB II TINJAUAN UMUM PERSEKONGKOLAN TENDER DAN PENDEKATAN HUKUMNYA 34 BAB II TINJAUAN UMUM PERSEKONGKOLAN TENDER DAN PENDEKATAN HUKUMNYA 2.1 Pengertian Tentang Persekongkolan Tender 2.1.1 Pengertian Umum Tentang Persekongkolan Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1 The Sherman

Lebih terperinci