PENGARUH TINGKAT KEDALAMAN DAN LAMA PENGGENANGAN TERHADAP PERTUMBUHAN SEMAI Sonneratia caseolaris Engl. KHAERLITA SYAHRI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PENGARUH TINGKAT KEDALAMAN DAN LAMA PENGGENANGAN TERHADAP PERTUMBUHAN SEMAI Sonneratia caseolaris Engl. KHAERLITA SYAHRI"

Transkripsi

1 PENGARUH TINGKAT KEDALAMAN DAN LAMA PENGGENANGAN TERHADAP PERTUMBUHAN SEMAI Sonneratia caseolaris Engl. KHAERLITA SYAHRI DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

2

3 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengaruh Tingkat Kedalaman dan Lama Penggenangan terhadap Pertumbuhan Semai Sonneratia caseolaris Engl. adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Juli 2014 Khaerlita Syahri NIM E

4 ABSTRAK KHAERLITA SYAHRI. Pengaruh Tingkat Kedalaman dan Lama Penggenangan terhadap Pertumbuhan Semai Sonneratia caseolaris Engl. Dibimbing oleh CECEP KUSMANA. Tingkat penggenangan dan lama penggenangan merupakan faktor yang mempengaruhi ekosistem mangrove sebagai akibat meningkatnya muka air laut. Penelitian ini bertujuan menganalisis respon pertumbuhan semai Sonneratia caseolaris terhadap tingkat kedalaman dan lama penggenangan yang berbeda. Hasil penelitian menunjukkan tingkat kedalaman penggenangan antara ½-¾ tinggi batang memberikan respon pertumbuhan jumlah ruas pada batang lebih besar dibandingkan tingkat penggenangan lainnya. Lama penggenangan 3-6 jam memberikan respon lebih besar terhadap nisbah pucuk akar semai Sonneratia caseolaris. Interaksi antara tingkat kedalaman dan lama penggenangan memberikan pengaruh nyata terhadap pertumbuhan tinggi, diameter dan berat kering semai. Kombinasi perlakuan tingkat penggenangan antara ½-¾ tinggi batang selama 6-9 jam memberikan respon pertumbuhan tinggi, diameter dan berat kering Sonneratia caseolaris lebih besar dibandingkan kombinasi perlakuan lainnya. Persentase hidup semai menunjukkan nilai 100% selama 12 minggu pengamatan. Kata kunci: Lama penggenangan, Sonneratia caseolaris, tingkat kedalaman ABSTRACT KHAERLITA SYAHRI. The Influence of Depth and Duration Level of Overflowing to the Seedling Growth of Sonneratia caseolaris Engl. Supervised by CECEP KUSMANA. Depth and duration level of overflowing are the factors that will influence the ecosystem of mangrove as the impact of sea-water surface raising. This research was to analyze the response of seedling growth of Sonneratia caseolaris to the different depth and duration levels. The result of this research showed that depth level of overflowing between ½-¾ high of stem gives response to the growth of joint amount bigger than any other depth level of overflowing. The duration level of overflowing between 3-6 hours gives response bigger to the root-sprout ratio of Sonneratia caseolaris seedlings. The interaction between depth and duration level of overflowing gave real influence to the high growth, diameter and seedling biomass. The treatment combination of depth level of overflowing between ½-¾ tall of stem during 6-9 hours gave response to the high growth, diameter and biomass of Sonneratia caseolaris bigger than any other combination treatment. The survival percentage of the seedling showed the value of 100% during 12 weeks of observation. Key words: Depth level, duration of overflowing, Sonneratia caseolaris

5 PENGARUH TINGKAT KEDALAMAN DAN LAMA PENGGENANGAN TERHADAP PERTUMBUHAN SEMAI Sonneratia caseolaris Engl. KHAERLITA SYAHRI Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Silvikultur DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

6

7 Judul Skripsi : Pengaruh Tingkat Kedalaman dan Lama Penggenangan terhadap Pertumbuhan Semai Sonneratia caseolaris Engl. Nama : Khaerlita Syahri NIM : E Disetujui oleh Prof Dr Ir Cecep Kusmana, MS Pembimbing Diketahui oleh Prof Dr Ir Nurheni Wijayanto, MS Ketua Departemen Tanggal Lulus:

8 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta ala atas segala karunia-nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan September-Desember 2013 ini yaitu pertumbuhan mangrove, dengan judul Pengaruh Tingkat Kedalaman dan Lama Penggenangan terhadap Pertumbuhan Semai Sonneratia caseolaris Engl. Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof Dr Ir Cecep Kusmana, MS selaku pembimbing yang telah memberi bimbingan dan arahan selama penelitian hingga penulisan skripsi, serta Dr Ir Supriyanto sebagai ketua sidang dan Dr Ir Hendrayanto, M.Agr sebagai dosen penguji yang telah memberi saran dan nasihat. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada beasiswa Bidik Misi IPB yang telah membiayai pendidikan mulai dari tahun 2010 hingga empat tahun pendidikan di IPB. Disamping itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu baik materil maupun non materil dalam pelaksanaan penelitian hingga akhirnya penulis bisa menyelesaikan tugas akhir ini, staff Departemen Silvikultur serta teman-teman seperjuangan yang menimba ilmu di IPB khususnya Silvikultur 47 dan Fahutan 47. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa, motivasi, inspirasi dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi pembaca dan hasilnya dapat digunakan untuk merehabilitasi mangrove yang terdegradasi atau rusak. Bogor, Juli 2014 Khaerlita Syahri

9 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL vii DAFTAR GAMBAR vii PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Perumusan Masalah 1 Tujuan Penelitian 2 Manfaat Penelitian 2 Ruang Lingkup Penelitian 2 TINJAUAN PUSTAKA 2 METODE 5 Bahan 5 Alat 5 Prosedur Penelitian 6 HASIL DAN PEMBAHASAN 9 Hasil 9 Pembahasan 17 SIMPULAN DAN SARAN 19 Simpulan 19 Saran 19 DAFTAR PUSTAKA 20 RIWAYAT HIDUP 22

10 DAFTAR TABEL 1 Klasifikasi hidrologi 4 2 Rekapitulasi hasil sidik ragam pertumbuhan semai S. caseolaris Engl. 9 3 Hasil uji Duncan pengaruh perlakuan tingkat kedalaman penggenangan terhadap jumlah ruas pada batang semai S. caseolaris 14 4 Hasil uji Duncan pengaruh perlakuan lama penggenangan terhadap nisbah pucuk akar S. caseolaris 16 DAFTAR GAMBAR 1 Semai pada ketinggian yang berbeda 6 2 Penggenangan mangrove dalam kolam 7 3 Respon pertumbuhan tinggi terhadap pengaruh tingkat kedalaman pada lama penggenangan yang berbeda 11 4 Respon pertumbuhan diameter terhadap pengaruh tingkat kedalaman pada lama penggenangan yang berbeda 13 5 Respon berat kering total semai terhadap pengaruh tingkat kedalaman pada lama penggenangan yang berbeda 16 6 Hama penyakit pada semai S. caseolaris 19 7 Akar pasak S. caseolaris 19

11 PENDAHULUAN Latar Belakang Pemanasan global merupakan suatu fenomena alam yang diakibatkan oleh peningkatan gas-gas rumah kaca (GRK). Fenomena ini mengakibatkan suhu bumi meningkat dan menyebabkan es di kutub mencair sehingga permukaan air laut pun meningkat. Pemanasan global menimbulkan dampak tidak hanya pada manusia tetapi juga mengganggu ekosistem hutan dunia, salah satunya adalah ekosistem mangrove. Ekosistem mangrove merupakan ekosistem peralihan antara laut dan darat, oleh karena itu mangrove memiliki peranan ganda yaitu terhadap ekosistem laut dan darat serta memberikan manfaat pada aspek ekologi, ekonomi dan sosial. Ekosistem mangrove memiliki karakteristik yaitu berada di daerah pasang surut dan toleran terhadap salinitas (Kusmana et al. 2003). Mangrove dapat tumbuh dan beradaptasi dalam kondisi lingkungan yang tergenang, sirkulasi air permukaan yang terus menerus karena adanya pasang surut air laut serta tingkat sedimen yang tinggi. Tipe ekosistem mangrove yang berada di daerah peralihan menyebabkan mangrove menjadi ekosistem pertama yang terkena dampak akibat pemanasan global (Kusmana 2010). Peningkatan muka air laut akibat pemanasan global menyebabkan mangrove semakin lama dan tergenang air pasang yang semakin tinggi sehingga dapat menghambat pertumbuhan hingga menyebabkan kematian semai mangrove tersebut. Mangrove juga dapat menjadi stres akibat peningkatan permukaan air laut antara 8-9 cm/100 tahun dan dapat hilang jika kenaikannya di atas 12 cm/100 tahun (Ellison dan Stoddart 1991 dalam Saenger 2002). Lama dan tingkat penggenangan merupakan faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mangrove, sehingga dengan adanya dampak pemanasan global akan berpengaruh terhadap kemampuan adaptasi serta pertumbuhan mangrove. Sonneratia merupakan jenis mangrove yang termasuk dalam komponen mayor, yaitu komponen yang hanya ada pada lingkungan mangrove dan tidak terdapat pada komunitas daratan yang lain. Komponen ini memiliki peran yang besar dalam menyusun struktur mangrove dan membentuk tegakan murni (Kusmana et al. 2005). Sonneratia caseolaris merupakan salah satu jenis mangrove yang sering tumbuh di tepi sungai dan estuaria yang juga terkena dampak dari meningkatnya muka air laut akibat pemanasan global. Berdasarkan hal tersebut, diperlukan penelitian mengenai tingkat kedalaman dan lama penggenangan sebagai dampak meningkatnya muka air laut untuk menganalisis respon pertumbuhan S. caseolaris. Perumusan Masalah Pemanasan global menyebabkan berbagai dampak, salah satunya adalah naiknya muka air laut. Kenaikan muka air laut akan berpengaruh terhadap ekosistem hutan terutama yang berada pada daerah peralihan seperti mangrove. Hal tersebut akan mengubah lama penggenangan serta tingkat kedalaman penggenangan mangrove. Belum ada kejelasan mengenai adaptasi mangrove terkait dengan perubahan tersebut dengan kondisi mangrove yang semakin terdegradasi. Berdasarkan hal tersebut, permasalahan yang dapat dirumuskan adalah bagaimana

12 2 pengaruh tingkat kedalaman dan lama penggenangan yang berbeda terhadap pertumbuhan semai Sonneratia caseolaris Engl.? Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis respon pertumbuhan semai S. caseolaris terhadap tingkat kedalaman dan lama penggenangan yang berbeda. Hipotesis Hipotesis yang dikemukakan dalam penelitian ini adalah pertumbuhan S. caseolaris dipengaruhi oleh tingkat kedalaman dan lama penggenangan air. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk merehabilitasi mangrove yang terdegradasi atau rusak seiring dengan naiknya muka air laut akibat pemanasan global. Ruang Lingkup Penelitian Aspek yang dikaji dalam penelitian ini yaitu pengukuran pertumbuhan semai S. caseolaris yang meliputi pengukuran tinggi, diameter, dan jumlah ruas pada batang setiap minggu pengamatan, serta pengukuran berat kering total dan nisbah pucuk akar pada akhir pengamatan. Pengamatan juga dilakukan untuk menghitung persentase hidup semai S. caseolaris. TINJAUAN PUSTAKA Pemanasan global Pemanasan global merupakan kejadian meningkatnya suhu rata-rata di atmosfer, laut dan daratan bumi. Menurut Sodiq (2013) telah terjadi kenaikan suhu rata-rata 0.72 C pada negara tropis yang diakibatkan oleh bertambahnya gas rumah kaca seperti CO2, N2O, CH4, SF6, PFC5, dan HFC5. Kecenderungan terbentuknya gas tersebut diakibatkan aktivitas manusia sehingga dapat menyebabkan kenaikan suhu dan akan mengancam cairnya es di kutub yang akan menaikkan permukaan air laut (Indrawan 1995). Pemanasan global memiliki dampak positif dan negatif. Dampak positif salah satunya yaitu meningkatkan kesuburan tanah akibat sedimen yang dibawa oleh banjir sebagai salah satu dampak pemanasan global, sedangkan dampak negatif dari pemanasan global salah satunya yaitu naiknya permukaan air laut. Permukaan air laut diproyeksikan mengalami kenaikan sebesar cm dari tahun

13 yang menunjukkan rata-rata sebesar mm/tahun dan akan lebih tinggi lagi jika pencairan es di kutub berlangsung semakin cepat (Donato et al. 2012). Peningkatan muka air laut menjadi ancaman terbesar dari berbagai dampak yang ditimbulkan oleh pemanasan global (Gilman et al. 2008). Hal ini akan mempengaruhi ekosistem mangrove yang terletak didaerah peralihan daratan dan lautan sehingga akan semakin tereduksi. Beberapa aktivitas manusia seperti pembangunan di daerah pesisir, konversi hutan mangrove menjadi lahan tambak dan pemukiman juga dapat meningkatkan kerusakan mangrove. Kegiatan pemanfaatan lahan ini juga akan mempengaruhi respon mangrove terhadap kenaikan permukaan laut. 3 Hutan Mangrove dan fungsinya Hutan mangrove berada di daerah peralihan antara daratan dan lautan sehingga memiliki ekosistem yang khas dan kompleks. Ekosistem ini merupakan vegetasi pantai tropis dan subtropis yang didominasi jenis pohon mangrove yang berada pada daerah pasang surut pantai berlumpur. Karakteristik dari ekosistem mangrove yaitu memiliki vegetasi yang agak seragam, tajuk yang rata, tidak membentuk lapisan tajuk yang khas, serta selalu hijau (Irwan 1996). Mangrove juga didefinisikan sebagai suatu tingkat hutan yang berada di daerah pasang surut dengan komunitas tumbuhnya yang toleran terhadap garam (Kusmana 2005). Pasang surut air laut menyebabkan mangrove tergenang pada saat pasang naik dan bebas genangan pada saat pasang rendah atau surut. Fungsi hutan mangrove dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu fungsi fisik, ekologis dan sosial ekonomi (Kustanti 2011). Fungsi hutan mangrove secara fisik, diantaranya yaitu menjaga garis pantai dan tebing sungai dari erosi atau abrasi agar tetap stabil, melindungi daerah dibelakang mangrove dari hempasan gelombang dan angin kencang, serta dapat mempercepat perluasan lahan. Fungsi mangrove secara ekologis diantaranya yaitu tempat mencari makan, tempat memijah dan tempat berkembang biak berbagai biota laut, sebagai sumber plasma nutfah, serta sebagai salah satu hutan terkaya karbon di kawasan tropis (Donato et al. 2012). Fungsi mangrove dilihat dari aspek sosial ekonomi, diantaranya yaitu penghasil kayu, hasil hutan bukan kayu, seperti madu, obat-obatan dan bahan makanan, serta dapat dijadikan untuk objek ekowisata. Sonneratia caseolaris Engl. Sonneratia caseolaris merupakan jenis mangrove pionir yang termasuk kedalam kelompok mayor, yaitu komponen yang hanya ada pada lingkungan mangrove dan tidak terdapat pada komunitas daratan yang lain (Kustanti 2011). Nama lokal dari Sonneratia caseolaris (Engl) adalah pedada, perepat, pidada, bogem, rambai, wahat merah, posi-posi merah. S. caseolaris memiliki habitus berupa pohon dengan ketinggian mencapai 15 meter, memiliki akar napas vertikal seperti kerucut yang tingginya bisa mencapai 1 meter, banyak dan sangat kuat. Ujung cabang atau rantingnya terkulai dan berbentuk segiempat pada saat muda. Pedada memiliki tangkai daun kemerahan, lebar dan sangat pendek serta letaknya

14 4 berlawanan. Pucuk bunganya berbentuk bulat telur yang terletak diujung, daun mahkota berwarna merah dan mudah rontok, benang sari banyak dengan ujung berwarna putih dan pangkal berwarna merah serta mudah rontok. Buahnya seperti bola, ujungnya bertangkai dan bagian dasarnya terbungkus kelopak bunga (Noor et al. 1999). S. caseolaris tumbuh di bagian yang kurang asin di hutan mangrove, disepanjang sungai kecil dengan air yang mengalir pelan dan terpengaruh pasang surut serta di area yang didominasi oleh air tawar dengan salinitas kurang dari 10% (Noor et al. 1999). Jenis ini tidak toleran terhadap naungan. Penyebarannya dari Sri Lanka, seluruh Asia Tenggara, termasuk Indonesia, Malaysia, Filipina hingga Australia tropis, dan Kepulauan Solomon. Jenis pedada memiliki berbagai manfaat. Buahnya dapat dimakan, kayunya dapat dimanfaatkan untuk kayu bakar, akarnya dapat digunakan untuk mengganti gabus setelah direndam dalam air mendidih (Noor et al. 1999). Hubungan pemanasan global dengan hutan mangrove Pemanasan global disebabkan oleh gas rumah kaca. Hutan menjadi salah satu faktor yang dianggap sebagai sumber gas rumah kaca karena menghasilkan gas CO2, CH4 dan N2O pada saat penebangan dan pembakaran hutan (Indrawan 1995). Pemanasan global dapat menyebabkan perubahan iklim. Perubahan iklim yang terjadi dapat meningkatkan suhu, presipitasi, intensitas banjir, dan juga meningkatkan permukaan laut. Salah satu ekosistem yang terkena dampaknya secara langsung adalah ekosistem mangrove. Meningkatnya permukaan air laut akan berpengaruh terhadap keberadaan mangrove karena belum diketahui apakah mangrove saat ini dapat mengimbangi perubahan muka air laut tersebut. Salah satu hal yang harus diperhatikan dalam mengantisipasi dampak terhadap kenaikan muka air laut yaitu dengan mengetahui klasifikasi hidrologi jenis-jenis mangrove yang ditunjukkan pada Tabel 1. Tabel 1 Klasifikasi hidrologi (Oostewaal 2010) Inundation class Tidal regime Flooded by Elevation Cm+MSL Duration of inudation Mm per inudation 1 All high tides <0 >600 None 2 Lower medium high tides 2* Higher medium high tides 3 Normal high tides Vegetation Species Avicennia spp., Sonneratia Avicennia spp., Rhizophora spp., Bruguiera parviflora Avicennia officinalis, Rhizophora spp., Ceriops, Bruguiera

15 5 Lanjutan Tabel 1 Inundation class Tidal regime Flooded by 4 Spring high tides Elevation Cm+MSL Duration of inudation Mm per inudation Vegetation Species Lumnizera, Bruguiera, Acrosticum aureum 5 Equinoctial tides Sumber: Hills (2011) >210 <50 Ceriops spp., Phoenix paludosa Berdasarkan klasifikasi hidrologi tersebut, dapat diketahui jenis-jenis mangrove pada daerah pasang surut dengan durasi penggenangan tertentu sehingga hal ini dapat dijadikan pertimbangan untuk penanaman mangrove yang semakin terdegradasi dengan permukaan air laut yang juga berubah akibat pemanasan global. Pemanasan global akan meningkat pula seiring dengan deforestasi yang terjadi meskipun deforestasi hanya menyumbang 9% penyebab pemanasan global (Goldemberg 1989 dalam Indrawan 1995). Deforestasi yang terjadi di hutan mangrove yang disebabkan konversi lahan, pencemaran, sedimentasi dan penebangan hutan ini menyebabkan penurunan kualitas dan kuantitas ekosistem mangrove. Usaha untuk meningkatkan kembali fungsi mangrove yang telah rusak yaitu perlu dilakukan restorasi mangrove yang disesuaikan dengan kondisi lingkungan setempat (LPP-Mangrove 2005) serta penanganannya melibatkan beberapa sektor, seperti pemerintah daerah dan masyarakat agar tercipta penanganan yang terpadu dan sinergi antar sektor (Wibisana 2012). Kerjasama dengan masyarakat juga dapat menguntungkan diantaranya dapat meningkatkan persentase tumbuh tanaman rata-rata hingga 80% serta meningkatkan keamanan hingga terjalinnya koordinasi yang baik dengan pihak-pihak terkait (Suyanto 1995). METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan mulai bulan September 2013 sampai Desember Lokasi penelitian yaitu di rumah kaca, Laboratorium Ekologi Hutan, Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Alat dan Bahan Alat yang digunakan untuk penelitian ini adalah kolam berukuran 1.8 m x 1 m x 0.7 m sebanyak 3 buah, selang air, polybag berukuran 20 cm x 15 cm, meteran jahit, penggaris, kaliper, spidol permanen, kamera digital, oven, timbangan, dan tally sheet.

16 6 Bahan utama yang digunakan adalah semai Sonneratia caseolaris Engl. (pedada) yang berasal dari cabutan alam di Kawasan Mangrove Elang Laut dengan kriteria tinggi cm dan diameter cm sebanyak 45 anakan, air, dan media (campuran tanah, pasir dan kompos). Prosedur Penelitian 1. Pembuatan kolam Kolam berfungsi meletakan semai mangrove yang akan digenangi pada lama dan tingkat kedalaman penggenangan yang berbeda. 2. Pemilihan dan pengangkutan semai Sonneratia caseolaris (pedada) Semai S. caseolaris (pedada) diperoleh dari kawasan mangrove Elang Laut, Jakarta Utara. Semai yang digunakan untuk penelitian ini berasal dari cabutan alam yang dipilih berdasarkan tinggi yang sama dan memiliki fenotipe yang sehat. Semai yang telah dipilih kemudian dibawa menuju lokasi penelitian di rumah kaca Laboratorium Ekologi Hutan, Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan IPB. 3. Persiapan semai Tahapan persiapan semai sebelum diletakkan dalam kolam adalah sebagai berikut: a. Penyiapan media sapih berupa campuran tanah, pasir dan kompos dengan perbandingan 1:1:1 yang dimasukkan kedalam polybag berukuran 20 cm x 15 cm. b. Semai S. caseolaris (pedada) kemudian dipindahkan dalam media yang telah disiapkan. c. Semai kemudian diletakkan pada kolam-kolam yang berisi rak dengan ketinggian yang berbeda untuk mengetahui tingkat kedalaman penggenangan. Gambar 1 Semai pada ketinggian yang berbeda 4. Persiapan penggenangan Proses penggenangan dilakukan setelah semai tersusun dalam kolam dengan ketinggian rak yang berbeda. Penggenangan pada tingkat kedalaman dan lama penggenangan yang berbeda ini dilakukan dengan cara mengalirkan air melalui selang yang ada.

17 7 Gambar 2 Penggenangan mangrove dalam kolam 5. Pengamatan dan pengukuran Semai S. caseolaris yang digenangi akan diamati dan dilakukan pengukuran setiap minggu selama 3 bulan. Pengamatan ini dilakukan untuk melihat respon pertumbuhan semai S. caseolaris terhadap perlakuan penggenangan dengan lama dan tingkat kedalaman penggenangan yang berbeda. Adapun variabel yang diamati adalah sebagai berikut: A. Tinggi semai Tinggi semai diukur mulai dari pangkal batang yang diberi tanda hingga ujung titik tumbuh (apikal). Pengukuran dilakukan dengan menggunakan alat bantu mistar. B. Diameter semai Diameter semai diukur pada posisi dibawah ruas ketiga yang diberi tanda. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan kaliper. C. Jumlah ruas pada batang Jumlah ruas pada batang dihitung setiap minggu pengamatan. D. Persentase hidup semai Jumlah semai yang hidup dan mati dihitung untuk mengetahui persentase hidup semai S. caseolaris. Perhitungan jumlah persentase hidup semai dilakukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut jumlah semai hidup Persentase hidup semai= ( jumlah seluruh semai yang diamati ) x100% E. Berat kering total Berat kering total diukur pada akhir pengamatan dengan menjumlahkan berat kering pucuk dan berat kering akar. Berat kering total ini diukur berdasarkan sampel semai yang dianggap mewakili dari setiap perlakuan yaitu semai yang memiliki diameter tertinggi, rata-rata dan terendah. Sampel yang diambil berjumlah 27 semai yang kemudian dipisahkan antara komponen akar, batang dan daun. Sampel dikeringkan selama satu hari kemudian dilakukan pengovenan dengan suhu 105 C (Sutaryo 2009) selama 24 jam, setelah itu ditimbang berat keringnya. Penentuan berat kering total dapat dihitung melalui perhitungan persentase kadar air dan berat kering tanur. Haygreen dan Bowyer (1989) merumuskan perhitungan kadar air sebagai berikut Keterangan: %KA : persen kadar air BBc : berat basah contoh (gram) %KA= BBc-BKc x 100% BKc

18 8 BKc : berat kering contoh (gram) Selanjutnya untuk perhitungan berat kering tanur menggunakan rumus sebagai berikut BKT= BBc 1+ %KA 100 Keterangan: BKT : berat kering tanur (gram) BBc : berat kering contoh (gram) %KA : persen kadar air F. Nisbah Pucuk Akar Nisbah pucuk akar merupakan perbandingan antara berat kering pucuk dan berat kering akar. Pengukurannya dilakukan bersamaan dengan pengukuran berat kering total. Bagian pucuk merupakan bagian atas anakan yang terdiri dari batang, cabang dan daun. Perhitungan nisbah pucuk akar dengan menggunakan rumus sebagai berikut Bobot kering pucuk Nisbah pucuk akar= Bobot kering akar 6. Rancangan Percobaan Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah faktorial 3x3 dalam Rancangan Acak Lengkap (RAL). Terdapat dua faktor dalam percobaan ini, yaitu faktor lama penggenangan (A) dan faktor tingkat kedalaman penggenangan (B). Masing-masing faktor terdapat tiga taraf. Taraf pada faktor lama penggenangan, yaitu penggenangan 3-6 jam (a0), penggenangan 6-9 jam (a1), dan penggenangan jam (a2), serta taraf pada faktor tingkat kedalaman penggenangan, yaitu penggenangan sampai batas leher akar (b0), penggenangan ¼- ½ tinggi batang (b1), dan penggenangan ½-¾ tinggi batang (b2), sehingga terdapat sembilan kombinasi perlakuan, yaitu: 1. a0b0 : penggenangan selama 3-6 jam dengan tingkat kedalaman sampai batas leher akar 2. a0b1 : penggenangan selama 3-6 jam dengan tingkat kedalaman ¼-½ tinggi batang 3. a0b2 : penggenangan selama 3-6 jam dengan tingkat kedalaman ½-¾ tinggi batang 4. a1b0 : penggenangan selama 6-9 jam dengan tingkat kedalaman sampai batas leher akar 5. a1b1 : penggenangan selama 6-9 jam dengan tingkat kedalaman ¼-½ tinggi batang 6. a1b2 : penggenangan selama 6-9 dengan tingkat kedalaman ½-¾ tinggi batang 7. a2b0 : penggenangan selama jam dengan tingkat kedalaman sampai batas leher akar 8. a2b1 : penggenangan selama dengan tingkat kedalaman ¼-½ tinggi batang 9. a2b2 : penggenangan selama dengan tingkat kedalaman ½-¾ tinggi batang

19 Masing-masing kombinasi perlakuan diulang 5 kali sehingga secara keseluruhan terdapat 45 unit percobaan. Model persamaan linier dari percobaan tersarang adalah sebagai berikut (Matjik dan Sumertajaya 2006) : Model umum rancangan percobaan ini adalah Y ijk = μ + α i + β j + (αβ) ij + ԑ ijk Keterangan : Yijk : respon pertumbuhan dari semai ke-k yang dipengaruhi lama penggenangan ke-i dan tingkat kedalaman penggenangan ke-j µ : rataan umum α i : pengaruh perlakuan dari lama penggenangan ke-i : pengaruh perlakuan dari tingkat kedalaman penggenangan ke-j β j (αβ)ij : pengaruh interaksi lama penggenangan ke-i dan tingkat kedalaman penggenangan ke-j ε ij k : pengaruh galat lama penggenangan ke-i, tingkat kedalaman penggenangan ke-j dan ulangan ke-k i : 1,2,3 j : 1,2,3 k : 1,2,3,4,5 Analisis data dilakukan dengan sidik ragam (ANOVA). Apabila terdapat pengaruh yang nyata pada variabel percobaan, maka dilanjutkan dengan uji Duncan. Pengolahan data menggunakan software Microsoft Office Excel 2007 dan Statistical Analysis System (SAS) HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Perlakuan tingkat kedalaman dan lama penggenangan memberikan respon pertumbuhan semai yang berbeda. Rekapitulasi hasil sidik ragam terhadap pengukuran variabel pertumbuhan semai S. caseolaris tersaji pada Tabel 2. Tabel 2 Rekapitulasi hasil sidik ragam variabel pertumbuhan semai S. caseolaris Engl. Variabel F hitung Lama Tingkat Interaksi (AB) penggenangan (A) Kedalaman (B) Tinggi tn ** * Diameter tn * * Jumlah ruas batang tn ** tn Persentase hidup tn tn tn Berat kering tn ** * Nisbah pucuk akar * tn tn Keterangan: * = berpengaruh nyata pada selang kepercayaan 95%; ** = berpengaruh nyata pada selang kepercayaan 99%; tn = tidak berpengaruh nyata

20 10 Berdasarkan Tabel 2 dapat diketahui bahwa perlakuan lama penggenangan tidak memberikan pengaruh nyata terhadap variabel tinggi, diameter, jumlah ruas pada batang, persentase hidup dan berat kering total namun berpengaruh pada nisbah pucuk akar semai S. caseolaris. Tingkat kedalaman penggenangan mempengaruhi tinggi, diameter, jumlah ruas pada batang, dan berat kering total namun tidak berpengaruh nyata terhadap persentase hidup dan nisbah pucuk akar dari semai S. caseolaris. Interaksi antara tingkat kedalaman dan lama penggenangan memberikan pengaruh nyata terhadap variabel tinggi, diameter dan berat kering total. Tinggi semai Tinggi merupakan salah satu parameter untuk mengukur pertumbuhan semai. Berdasarkan Tabel 2, interaksi antara tingkat kedalaman dan lama penggenangan memberikan pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan tinggi semai sehingga dilakukan uji lanjut untuk menguji pengaruh-pengaruh sederhana dengan menggunakan uji Duncan. Hasil dari pengujian pengaruh-pengaruh sederhana tersebut yaitu sebagai berikut 1. Pengaruh sederhana faktor lama penggenangan (A) pada tingkat kedalaman penggenangan sampai batas leher akar (b0) terhadap tinggi semai Perlakuan a0b0 a1b0 a2b0 Rata-rata (cm) Interaksi antara faktor lama dan tingkat kedalaman penggenangan pada taraf leher akar (b0) memberikan respon yang berbeda terhadap pertumbuhan tinggi semai. Tingkat kedalaman penggenangan sampai batas leher akar selama 3-6 jam memberikan nilai rata-rata tinggi yang lebih besar dibandingkan penggenangan selama 6-9 jam dan jam pada tingkat kedalaman penggenangan sampai batas leher akar. 2. Pengaruh sederhana faktor lama penggenangan (A) pada tingkat kedalaman penggenangan ¼-½ tinggi batang (b1) terhadap tinggi semai Perlakuan a0b1 a1b1 a2b1 Rata-rata (cm) Interaksi antara faktor lama dan tingkat kedalaman penggenangan pada taraf penggenangan ¼-½ tinggi batang memberikan respon yang berbeda terhadap pertumbuhan tinggi semai. Penggenangan selama 3-6 jam pada tingkat kedalaman ¼-½ tinggi batang memberikan nilai rata-rata tinggi yang lebih besar dibandingkan dengan penggenangan selama 6-9 jam dan jam pada tingkat penggenangan yang sama. 3. Pengaruh sederhana faktor lama penggenangan (A) pada tingkat kedalaman penggenangan ½-¾ tinggi batang (b2) tehadap tinggi semai Perlakuan a0b2 a1b2 a2b2 Rata-rata (cm) Tingkat kedalaman penggenangan ½-¾ tinggi batang pada lama penggenangan 6-9 jam dan jam memberikan respon yang tidak berbeda terhadap pertumbuhan tinggi tinggi. Penggenangan selama 6-9 jam pada tingkat kedalaman tersebut memberikan nilai rata-rata tinggi lebih besar dibandingkan dengan rata-rata tinggi semai pada penggenangan 3-6 jam dan jam. 4. Pengaruh sederhana tingkat kedalaman (B) pada lama penggenangan 3-6 jam (a0) terhadap tinggi semai

21 11 Perlakuan a0b0 a0b1 a0b2 Rata-rata (cm) Tingkat kedalaman penggenangan ¼-½ tinggi batang dan ½-¾ tinggi batang selama 3-6 jam memberikan respon pertumbuhan tinggi yang tidak berbeda dengan tingkat kedalaman penggenangan ½-¾ tinggi batang selama 3-6 jam memiliki rata-rata tinggi lebih besar dibandingkan dengan rata-rata tinggi pada tingkat kedalaman penggenangan lainnya. 5. Pengaruh sederhana tingkat kedalaman (B) pada lama penggenangan 6-9 jam (a1) terhadap tinggi semai Perlakuan a1b0 a1b1 a1b2 Rata-rata (cm) Interaksi antara faktor tingkat kedalaman dengan lama penggenangan 6-9 jam memberikan pengaruh yang berbeda terhadap respon pertumbuhan tinggi semai. Tingkat kedalaman penggenangan ½-¾ tinggi batang memiliki nilai rata-rata tinggi lebih besar dibandingkan dengan penggenangan ¼-½ tinggi batang dan sampai batas leher akar selama 6-9 jam. 6. Pengaruh sederhana tingkat kedalaman (B) pada lama penggenangan jam (a2) terhadap tinggi semai Perlakuan a2b0 a2b1 a2b2 Rata-rata (cm) Interaksi antara faktor tingkat kedalaman dengan lama penggenangan jam memberikan pengaruh yang berbeda terhadap respon pertumbuhan tinggi semai. Tingkat kedalaman penggenangan ½-¾ tinggi batang memiliki nilai rata-rata tinggi lebih besar dibandingkan dengan penggenangan ¼-½ tinggi batang dan sampai batas leher akar selama jam. Hasil uji pada pengaruh sederhana faktor tingkat kedalaman pada berbagai lama penggenangan terhadap respon pertumbuhan tinggi semai S. caseolaris seperti tersaji pada Gambar 3. Respon rata-rata pertumbuhan tinggi Rata-rata tinggi semai (cm) jam 6-9 jam jam Lama penggenangan (A) leher akar ¼-½ tinggi batang ½-¾ tinggi batang Gambar 3 Respon pertumbuhan tinggi terhadap pengaruh tingkat kedalaman pada lama penggenangan yang berbeda Berdasarkan hasil pengujian berbagai pengaruh sederhana yang disajikan pada Gambar 3, dapat diketahui tingkat kedalaman penggenangan ½-¾ tinggi batang memiliki rata-rata pertumbuhan tinggi lebih besar. Tingkat kedalaman

22 12 penggenangan ½-¾ tinggi batang selama 6-9 jam menunjukkan respon pertumbuhan tinggi lebih besar dibandingkan dengan kombinasi perlakuan yang lain. Diameter Semai Berdasarkan Tabel 2, diketahui perlakuan tingkat kedalaman penggenangan serta interaksi antara tingkat kedalaman dan lama penggenangan memberikan pengaruh nyata terhadap diameter semai. Selanjutnya dilakukan uji lanjut untuk mengetahui respon pengaruh-pengaruh sederhana kedua perlakuan tersebut dengan menggunakan uji Duncan. Hasil dari pengujian tersebut adalah sebagai berikut 1. Pengaruh sederhana faktor lama penggenangan (A) pada tingkat kedalaman penggenangan sampai batas leher akar (b0) terhadap diameter semai Perlakuan a0b0 a1b0 a2b0 Rata-rata (cm) Tingkat kedalaman penggenangan sampai batas leher akar pada lama 3-6 jam, 6-9 jam dan jam memberikan respon yang tidak berbeda nyata terhadap pertumbuhan diameter semai. Tingkat kedalaman penggenangan sebatas leher akar selama 6-9 jam menunjukkan rata-rata diameter yang lebih besar dibandingkan pada penggenangan selama 3-6 jam dan jam pada tingkat kedalaman penggenangan yang sama. 2. Pengaruh sederhana faktor lama penggenangan (A) pada tingkat kedalaman penggenangan ¼-½ tinggi batang (b1) terhadap diameter semai Perlakuan a0b1 a1b1 a2b1 Rata-rata (cm) Tingkat kedalaman penggenangan ¼-½ tinggi batang selama 6-9 jam dan jam memberikan pengaruh yang tidak berbeda terhadap pertumbuhan diameter semai. Lama penggenangan 3-6 jam pada tingkat kedalaman penggenangan ¼-½ tinggi batang memberikan rata-rata diameter lebih besar dibandingkan dengan rata-rata respon pertumbuhan diameter pada lama penggenangan 6-9 jam dan jam. 3. Pengaruh sederhana faktor lama penggenangan (A) pada tingkat kedalaman ½- ¾ tinggi batang (b2) terhadap diameter semai Perlakuan a0b2 a1b2 a2b2 Rata-rata (cm) Interaksi antara faktor lama penggenangan dengan tingkat kedalaman penggenangan ½-¾ tinggi batang memberikan pengaruh yang berbeda terhadap respon pertumbuhan diameter semai. Penggenangan ½-¾ tinggi batang selama 6-9 jam memberikan rata-rata diameter lebih besar dibandingkan dengan penggenangan selama 3-6 jam dan jam. 4. Pengaruh sederhana faktor tingkat kedalaman (B) pada lama penggenangan 3-6 jam (a0) terhadap diameter semai Perlakuan a0b0 a0b2 a0b1 Rata-rata (cm) Penggenangan sampai batas leher akar dan ½-¾ tinggi batang selama 3-6 jam memberikan respon pertumbuhan diameter yang tidak berbeda. Penggenangan selama 3-6 jam pada tingkat kedalaman ¼-½ tinggi batang memiliki nilai rata-

23 rata diameter lebih besar dibandingkan dengan tingkat penggenangan sebatas leher akar dan ½-¾ tinggi batang. 5. Pengaruh sederhana faktor tingkat kedalaman (B) pada lama penggenangan 6-9 jam (a1) terhadap diameter semai Perlakuan a1b0 a1b1 a1b2 Rata-rata (cm) Tingkat kedalaman penggenangan sampai batas leher akar dan ¼-½ tinggi batang selama 6-9 jam memiliki respon terhadap pertumbuhan diameter yang tidak berbeda. Penggenangan 6-9 jam pada tingkat ½-¾ tinggi batang memiliki nilai rata-rata diameter lebih besar dibandingkan dengan penggenangan sampai batas leher akar dan ¼-½ tinggi batang. 6. Pengaruh sederhana faktor tingkat kedalaman (B) pada lama penggenangan jam (a2) terhadap diameter semai Perlakuan a2b0 a2b1 a2b2 Rata-rata (cm) Tingkat kedalaman penggenangan sampai batas leher akar dan ¼-½ tinggi batang selama jam memiliki respon terhadap pertumbuhan diameter yang tidak berbeda. Penggenangan jam pada tingkat kedalaman ½-¾ tinggi batang memiliki nilai rata-rata diameter lebih besar dibandingkan dengan penggenangan sampai batas leher akar dan ¼-½ tinggi batang. Hasil uji pada pengaruh sederhana faktor tingkat kedalaman pada berbagai lama penggenangan terhadap respon pertumbuhan diameter semai S. caseolaris seperti tersaji pada Gambar 4. Respon rata-rata pertumbuhan diameter 13 Rata-rata diameter semai (cm) jam 6-9 jam jam Lama penggenangan (A) leher akar ¼-½ tinggi batang ½-¾ tinggi batang Gambar 4 Respon pertumbuhan diameter terhadap pengaruh tingkat kedalaman pada lama penggenangan yang berbeda Berdasarkan hasil pengujian berbagai pengaruh sederhana yang disajikan pada Gambar 4, dapat diketahui tingkat kedalaman penggenangan ½-¾ tinggi batang memiliki rata-rata pertumbuhan diameter lebih besar pada lama penggenangan 6-9 jam dan jam sedangkan pada lama penggenangan 3-6 jam tingkat kedalaman penggenangan ¼-½ tinggi batang memiliki nilai rata-rata diameter lebih besar. Tingkat kedalaman penggenangan ½-¾ tinggi batang selama 6-9 jam menunjukkan respon pertumbuhan diameter lebih besar dibandingkan dengan kombinasi perlakuan lainnya.

24 14 Jumlah ruas pada batang Hasil rekapitulasi sidik ragam pada Tabel 2 menunjukkan perlakuan tingkat kedalaman penggenangan mempengaruhi jumlah ruas pada batang semai S. caseolaris sehingga dilakukan uji Duncan dan hasilnya tersaji pada Tabel 3. Tabel 3 Hasil uji Duncan pengaruh perlakuan tingkat kedalaman penggenangan terhadap jumlah ruas pada batang semai S. caseolaris Perlakuan (tingkat kedalaman penggenangan) Respon rata-rata jumlah ruas Penggenangan sampai batas leher akar (b0) 7.133c Penggenangan ¼-½ tinggi batang (b1) 10.33b Penggenangan ½-¾ tinggi batang (b2) 12.60a Keterangan : angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada selang kepercayaan 95% Hasil uji Duncan (Tabel 3) menunjukkan tingkat kedalaman penggenangan memberikan respon yang berbeda terhadap jumlah ruas pada batang semai. Penggenangan ½-¾ tinggi batang (b2) memiliki respon lebih besar terhadap jumlah ruas pada batang semai S. caseolaris dibandingkan dengan tingkat kedalaman penggenangan sampai batas leher akar dan ¼-½ tinggi batang. Berat kering total Berdasarkan Tabel 2, diketahui perlakuan tingkat kedalaman penggenangan serta interaksi antara tingkat kedalaman dan lama penggenangan memberikan pengaruh terhadap berat kering total sedangkan lama penggenangan tidak mempengaruhi berat kering total semai S. caseolaris. Selanjutnya dilakukan uji lanjut untuk mengetahui respon pengaruh-pengaruh sederhana kedua perlakuan tersebut dengan menggunakan uji Duncan. Hasil dari pengujian tersebut adalah sebagai berikut 1. Pengaruh sederhana faktor lama penggenangan (A) pada tingkat kedalaman penggenangan sampai batas leher akar (b0) terhadap berat kering total semai Perlakuan a0b0 a1b0 a2b0 Rata-rata (gram) Pengaruh faktor lama penggenangan pada tingkat kedalaman penggenangan sampai batas leher akar memberikan respon terhadap berat kering total yang berbeda. Penggenangan selama 3-6 jam pada tingkat kedalaman sampai batas leher akar memiliki nilai rata-rata berat kering total lebih tinggi dibandingkan dengan penggenangan 6-9 jam dan jam. 2. Pengaruh sederhana faktor lama penggenangan (A) pada tingkat kedalaman penggenangan ¼-½ tinggi batang (b1) terhadap berat kering total semai Perlakuan a0b1 a1b1 a2b1 Rata-rata (gram) Pengaruh faktor lama penggenangan pada tingkat kedalaman penggenangan ¼-½ tinggi batang memberikan respon yang berbeda terhadap berat kering total semai. Penggenangan selama 3-6 jam pada tingkat kedalaman ¼-½ tinggi batang memiliki nilai rata-rata berat kering total lebih tinggi dibandingkan dengan penggenangan 6-9 jam dan jam. 3. Pengaruh sederhana faktor lama penggenangan (A) pada tingkat kedalaman penggenangan ½-¾ tinggi batang (b2) terhadap berat kering total semai

25 Perlakuan a0b2 a1b2 a2b2 Rata-rata (gram) Pengaruh faktor lama penggenangan pada tingkat kedalaman penggenangan ½-¾ tinggi batang memberikan respon yang berbeda terhadap berat kering total semai. Penggenangan selama 6-9 jam pada tingkat kedalaman ½-¾ tinggi batang memiliki nilai rata-rata berat kering total lebih tinggi dibandingkan dengan penggenangan 3-6 jam dan jam. 4. Pengaruh sederhana faktor tingkat kedalaman penggenangan (B) terhadap lama penggenangan 3-6 jam (a0) terhadap berat kering total semai Perlakuan a0b0 a0b2 a0b1 Rata-rata (gram) Pengaruh faktor tingkat kedalaman penggenangan sampai batas leher akar dan ½-¾ tinggi batang selama 3-6 jam memberikan respon terhadap berat kering total yang tidak berbeda. Penggenangan selama 3-6 jam pada tingkat kedalaman ¼-½ tinggi batang memiliki rata-rata berat kering total semai lebih besar dibandingkan penggenangan dengan kedalaman batas leher akar dan ½-¾ tinggi batang. 5. Pengaruh sederhana faktor tingkat kedalaman penggenangan (B) pada lama penggenangan 6-9 jam (a1) terhadap berat kering total semai Perlakuan a1b0 a1b1 a1b2 Rata-rata (gram) Pengaruh faktor tingkat kedalaman penggenangan pada lama penggenangan 6-9 jam memberikan respon yang berbeda terhadap berat kering total semai. Penggenangan dengan tingkat kedalaman ½-¾ tinggi batang selama 6-9 jam memiliki nilai rata-rata berat kering total lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat kedalaman lainnya. 6. Pengaruh sederhana faktor tingkat kedalaman penggenangan (B) pada lama penggenangan jam (a2) terhadap berat kering total semai Perlakuan a2b0 a2b1 a2b2 Rata-rata (gram) Pengaruh faktor tingkat kedalaman penggenangan pada lama penggenangan jam memberikan respon yang berbeda terhadap berat kering total semai. Penggenangan selama jam dengan tingkat kedalaman ½-¾ tinggi batang memiliki nilai rata-rata berat kering total lebih besar dibandingkan dengan tingkat kedalaman penggenangan lainnya. Hasil uji pada pengaruh sederhana faktor tingkat kedalaman pada berbagai lama penggenangan terhadap respon berat kering total semai S. caseolaris seperti tersaji pada Gambar 5. 15

26 16 Rata-rata berat kering total (gram) Respon terhadap berat kering total semai leher akar ¼-½ tinggi batang ½-¾ tinggi batang 3-6 jam 6-9 jam jam Lama penggenangan (A) Gambar 5 Respon berat kering total semai terhadap pengaruh tingkat kedalaman pada lama penggenangan yang berbeda Berdasarkan hasil pengujian berbagai pengaruh sederhana yang disajikan pada Gambar 5, dapat diketahui tingkat kedalaman penggenangan ½-¾ tinggi batang memiliki rata-rata berat kering total lebih besar pada lama penggenangan 6-9 jam dan jam sedangkan pada lama penggenangan 3-6 jam, tingkat kedalaman penggenangan ¼-½ tinggi batang menunjukkan rata-rata berat kering total yang lebih besar. Tingkat kedalaman penggenangan ½-¾ tinggi batang selama 6-9 jam menunjukkan respon berat kering total lebih besar dibandingkan dengan kombinasi perlakuan lainnya. Nisbah pucuk akar Berdasarkan Tabel 2 diketahui perlakuan lama penggenangan memberikan pengaruh terhadap nisbah pucuk akar semai S. caseolaris sehingga dilakukan uji lanjut dengan uji Duncan. Hasil uji Duncan tersaji pada Tabel 4. Tabel 4 Hasil uji Duncan pengaruh perlakuan lama penggenangan terhadap nisbah pucuk akar S. caseolaris Perlakuan (lama penggenangan) Respon rata-rata nisbah pucuk akar Penggenangan 3-6 jam (a0) a Penggenangan 6-9 jam (a1) b Penggenangan jam (a2) ab Keterangan : angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada selang kepercayaan 95% Berdasarkan hasil uji Duncan terhadap lama penggenangan (Tabel 4) dapat diketahui bahwa faktor lama penggenangan memberikan respon yang berbeda terhadap nisbah pucuk akar semai. Lama penggenangan 3-6 jam memiliki nilai ratarata nisbah pucuk akar yang lebih tinggi. Persentase hidup semai Hasil rekapitulasi sidik ragam pada Tabel 2 menunjukkan bahwa perlakuan tingkat kedalaman dan lama penggenangan tidak berpengaruh nyata pada persen hidup semai S. caseolaris. Selama 12 minggu pengamatan, semai S. caseolaris mampu bertahan hidup dengan persentase hidup 100%.

27 17 Pembahasan Pemanasan global menyebabkan banyak dampak, salah satunya adalah meningkatnya permukaan air laut. Hal ini akan berpengaruh pada ekosistem mangrove yang berada pada daerah peralihan daratan dan lautan. Tingkat penggenangan dan lama penggenangan merupakan faktor yang akan mempengaruhi ekosistem mangrove sebagai dampak meningkatnya muka air laut. Hasil dari penelitian ini dapat berguna untuk merehabilitasi mangrove yang terdegradasi atau rusak seiring dengan naiknya muka air laut, yaitu dengan menggunakan jenis yang mampu beradaptasi dengan kondisi tersebut. Sonneratia caseolaris merupakan salah satu jenis mangrove sejati yang memiliki adaptasi terhadap lingkungan (Susanto dkk 2012) yang digunakan untuk merestorasi ekosistem mangrove. Hasil dari penelitian ini menunjukkan respon yang berbeda terhadap pertumbuhan S. caseolaris yang diberi perlakuan tingkat kedalaman dan lama penggenangan. Berdasarkan rekapitulasi hasil sidik ragam (Tabel 2), perlakuan tingkat kedalaman penggenangan mempengaruhi pertumbuhan tinggi, diameter, jumlah ruas pada batang dan berat kering total. Perlakuan tingkat kedalaman penggenangan memberikan pengaruh yang menyebabkan adanya interaksi dengan lama penggenangan yaitu pada parameter tinggi, diameter dan berat kering total. Tingkat kedalaman penggenangan mempengaruhi jumlah ruas pada batang semai S. caseolaris. Hasil uji Duncan pada jumlah ruas batang menunjukkan tingkat kedalaman penggenangan memberikan pengaruh yang berbeda terhadap pertumbuhan jumlah ruas pada batang semai. Penggenangan dengan tingkat kedalaman ½-¾ tinggi batang memberikan respon pertumbuhan jumlah ruas pada batang yang lebih besar dibandingkan dengan tingkat penggenangan sampai batas leher akar dan ¼-½ tinggi batang. Ruas pada batang merupakan tempat tumbuh daun sehingga semakin banyak jumlah ruas maka semakin banyak jumlah daun dan sumber makanan untuk pertumbuhan semakin tinggi (Sutedjo 1994). Tingkat kedalaman penggenangan tidak mempengaruhi nisbah pucuk akar dan persentase hidup semai. Hal ini menunjukkan bahwa nilai nisbah pucuk akar semai S. caseolaris tidak dipengaruhi oleh perlakuan tingkat penggenangan yang diberikan. Selain itu, semai juga mampu hidup dengan perlakuan tingkat kedalaman penggenangan yang diberikan. Berdasarkan Tabel 2 diketahui bahwa perlakuan lama penggenangan tidak mempengaruhi pertumbuhan tinggi, diameter, jumlah ruas batang, persentase hidup dan juga berat kering semai. Hal ini berarti taraf perlakuan lama penggenangan 3-6 jam, 6-9 jam dan jam tidak berpengaruh terhadap respon pertumbuhan tersebut. Namun perlakuan lama penggenangan memberikan pengaruh terhadap nisbah pucuk akar semai S. caseolaris. Hasil uji Duncan menunjukkan lama penggenangan 3-6 jam memberikan respon nisbah pucuk akar semai lebih besar dibanding lama penggenangan lainnya. Nisbah pucuk akar menggambarkan perbandingan antara kemampuan tanaman dalam menyerap air dan mineral dengan proses transpirasi dan luasan fotosintesis dari tanaman (Mestika 2007 dalam Rachmawati 2012). Interaksi antara perlakuan tingkat kedalaman dan lama penggenangan memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan tinggi, diameter dan berat kering total semai sehingga dilakukan uji terhadap pengaruh sederhana terhadap kedua faktor

28 18 tersebut. Hal ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh faktor tingkat kedalaman penggenangan terhadap taraf pada lama penggenangan dan sebaliknya. Hasil uji lanjut terhadap pengaruh sederhana faktor lama penggenangan dan tingkat kedalaman penggenangan dengan uji Duncan menunjukkan kombinasi penggenangan selama 6-9 jam dengan tingkat kedalaman ½-¾ tinggi batang (a1b2) memberikan respon pertumbuhan tinggi, diameter dan berat kering total semai S. caseolaris yang lebih besar. Lama penggenangan tersebut masih dalam interval durasi penggenangan untuk jenis Sonneratia. Menurut klasifikasi hidrologi (Oostewal 2010 dalam Hills 2011) lama penggenangan untuk jenis Sonneratia yaitu 7-10 jam. Namun untuk tingkat penggenangan memberikan respon yang berbeda dengan hasil penelitian Purnama (2012) yang menunjukkan S. caseolaris sebatas leher akar memberikan respon pertumbuhan semai yang lebih besar pada umur 2 bulan dan 4 bulan sert masih dapat tumbuh secara optimal hingga tingkat penggenangan ½ tinggi batang. Penelitian Permatasari (2011) juga menunjukkan penggenangan Bruguiera gymnorrhiza sebatas leher akar memberikan respon yang lebih besar pada kondisi naungan dan tanpa naungan. Ambaraji (2011) melaporkan penggenangan Rhizophora mucronata sampai setengah tinggi batang menghasilkan respon pertumbuhan lebih besar. Perbedaan ini dikarenakan faktor lingkungan yang juga ikut mempengaruhi pertumbuhan mangrove seperti suhu udara, arus laut, gelombang laut, tempat tumbuh, salinitas, zona pasang surut, dan subsrat lumpur (Kusmana et al. 2008). Penelitian Purnama (2012), Ambaraji (2011) dan Permatasari (2011) yang dilakukan di Kawasan Mangrove Angke Kapuk ini dapat dipengaruhi arus, kecepatan angin dan juga gelombang. Wibisono (2005) menyatakan bahwa dengan adanya gelombang ini sangat mempermudah proses kelarutan gas oksigen untuk kepentingan kehidupan, seperti proses respirasi. Perlakuan penggenangan menyebabkan tanah dalam semai mangrove menjadi jenuh air. Pada tanah yang tergenang, pori-pori tanah tertutup oleh air sehingga konsentrasi oksigen dalam tanah sangat kecil (Hogart 2007). Kondisi ini menyebabkan kandungan oksigen terlarut menjadi rendah. Oksigen terlarut sangat penting bagi pertumbuhan mangrove karena berkaitan dengan proses fotosintesis dan respirasi. Selama 12 minggu pengamatan, semai S. caseolaris mampu bertahan hidup dengan persentase hidup 100%. Saat pengamatan sering ditemui hama dan juga penyakit pada semai S. caseolaris (Gambar 6). Hama tersebut diantaranya semut hitam, serangga kecil, ulat, dan keong. Menurut Dakir (2009), beberapa faktor yang mempengaruhi keberadaan semut pada ekosistem mangrove yaitu sumber makanan, sarang dan gangguan. Sumber makanan beberapa semut pada daerah mangrove adalah cairan embun madu yang terdapat di daun atau ranting pohon (Dakir 2009). Semut juga sebagai predator yang memangsa serangga perusak pada Sonneratia, Rhizophora dan Bruguiera. Sedangkan penyakit yang pernah ditemui adalah embun jelaga dan daun menguning. Rahayu (1999) menyatakan bahwa tanaman yang terkena embun jelaga akan menyebabkan daun menguning dan kemudian rontok. Keberadaan hama penyakit ini tidak mempengaruhi pertumbuhan semai secara signifikan.

29 19 a b c Gambar 6 Hama penyakit pada semai S. caseolaris pada saat pengamatan; serangga kecil (a); ulat (b); daun menguning (c). Ekosistem mangrove salah satunya dipengaruhi oleh aktivitas pasang surut. Pasang surut memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan mangrove karena berkaitan dengan ketersediaan air payau yang juga mempengaruhi kadar salinitas pada habitat mangrove. Lama waktu penggenangan dan tingkat ketinggian saat pasang juga mempengaruhi sistem perakaran mangrove. Pada saat semai, mangrove akan kesulitan mendapatkan oksigen sehingga mengganggu proses metabolisme yang terjadi. Berdasarkan pengamatan selama 12 minggu, pada minggu ke-7 muncul akar pasak (pneumatophore) pada semai yang digenangi ½-¾ tinggi batang selama 6-9 jam. Hal ini diduga merupakan bentuk adaptasi semai untuk memperoleh oksigen. Namun, akar yang muncul pada semai belum mampu mencapai tinggi genangan. Gambar 7 Akar pasak S. caseolaris SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa tingkat kedalaman penggenangan ½-¾ tinggi batang selama 6-9 jam memberikan respon pertumbuhan semai S. caseolaris yang lebih baik dibandingkan dengan kombinasi perlakuan lainnya. Saran Penanaman semai S. caseolaris dapat dilakukan pada areal dengan tingkat kedalaman penggenangan ½-¾ tinggi batang dan lama penggenangan 6-9 jam.

RESPON PERTUMBUHAN SEMAI BAKAU (Rhizophora mucronata LAMK.) TERHADAP TINGKAT KEDALAMAN DAN LAMA PENGGENANGAN

RESPON PERTUMBUHAN SEMAI BAKAU (Rhizophora mucronata LAMK.) TERHADAP TINGKAT KEDALAMAN DAN LAMA PENGGENANGAN Jurnal Silvikultur Tropika Vol. 05 No. 3, Desember 2014, Hal 155-159 ISSN: 2086-8227 RESPON PERTUMBUHAN SEMAI BAKAU (Rhizophora mucronata LAMK.) TERHADAP TINGKAT KEDALAMAN DAN LAMA PENGGENANGAN The Growth

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian 3.2 Alat dan Bahan 3.3 Prosedur Penelitian Persiapan

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian 3.2 Alat dan Bahan 3.3 Prosedur Penelitian Persiapan BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus 2011 sampai Januari 2012. Lokasi pengambilan tailing dilakukan di PT. Antam UPBE Pongkor dan penelitian

Lebih terperinci

Jurnal Manajemen Hutan Tropika Vol. V, No. 1 : (1999)

Jurnal Manajemen Hutan Tropika Vol. V, No. 1 : (1999) Jurnal Manajemen Hutan Tropika Vol. V, No. 1 : 77-85 (1999) Artikel (Article) STUDI KEMAMPUAN TUMBUH ANAKAN MANGROVE JENIS Rhizophora mucronata, Bruguiera gimnorrhiza DAN Avicennia marina PADA BERBAGAI

Lebih terperinci

Yuda Purnama 1, Iwan Hilwan 1 dan Cecep Kusmana 1

Yuda Purnama 1, Iwan Hilwan 1 dan Cecep Kusmana 1 JURNAL SILVIKULTUR TROPIKA Vol. 03 April 2012 Pengaruh Tingkat Penggenangan terhadap Pertumbuhan Semai 1 Vol. 03 No. 01 April 2012, Hal. 1 7 ISSN: 2086-8227 Pengaruh Tingkat Penggenangan terhadap Pertumbuhan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 17 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Rekapitulasi Hasil Sidik Ragam Variabel yang diamati pada penelitian ini adalah pertumbuhan tinggi, pertumbuhan diameter batang, panjang buku, jumlah buku, jumlah daun,

Lebih terperinci

RESPON PERTUMBUHAN SEMAI BAKAU (Rhizophora mucronata Lamk.) TERHADAP TINGKAT KEDALAMAN DAN LAMA PENGGENANGAN MAULINA SEPTIARIE

RESPON PERTUMBUHAN SEMAI BAKAU (Rhizophora mucronata Lamk.) TERHADAP TINGKAT KEDALAMAN DAN LAMA PENGGENANGAN MAULINA SEPTIARIE RESPON PERTUMBUHAN SEMAI BAKAU (Rhizophora mucronata Lamk.) TERHADAP TINGKAT KEDALAMAN DAN LAMA PENGGENANGAN MAULINA SEPTIARIE DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Hutan mangrove merupakan hutan yang tumbuh pada daerah yang berair payau dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Hutan mangrove memiliki ekosistem khas karena

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 15 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di rumah kaca dan laboratorium silvikultur Institut Pertanian Bogor serta laboratorium Balai Penelitian Teknologi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan mangrove di DKI Jakarta tersebar di kawasan hutan mangrove Tegal Alur-Angke Kapuk di Pantai Utara DKI Jakarta dan di sekitar Kepulauan Seribu. Berdasarkan SK Menteri

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Menurut Tomlinson(1986), mangrove merupakan sebutan umum yang digunakan

I. PENDAHULUAN. Menurut Tomlinson(1986), mangrove merupakan sebutan umum yang digunakan I. PENDAHULUAN Mangrove adalah tumbuhan yang khas berada di air payau pada tanah lumpur di daerah pantai dan muara sungai yang dipengaruhi pasang surut air laut. Menurut Tomlinson(1986), mangrove merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atas pulau, dengan garis pantai sepanjang km. Luas laut Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. atas pulau, dengan garis pantai sepanjang km. Luas laut Indonesia BAB I PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari atas 17.508 pulau, dengan garis pantai sepanjang 81.000 km. Luas laut Indonesia sekitar 3,1

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI Perlakuan bibit pada kondisi tergenang

BAB III METODOLOGI Perlakuan bibit pada kondisi tergenang BAB III METODOLOGI 1.1 Tempat dan waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di rumah kaca Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan IPB selama 4 bulan mulai dari bulan Januari sampai dengan bulan April

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Secara keseluruhan daerah tempat penelitian ini didominasi oleh Avicennia

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Secara keseluruhan daerah tempat penelitian ini didominasi oleh Avicennia BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi umum daerah Wonorejo Kawasan mangrove di Desa Wonorejo yang tumbuh secara alami dan juga semi buatan telah diputuskan oleh pemerintah Surabaya sebagai tempat ekowisata.

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laporan hasil kajian Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) tahun 2001 mengenai perubahan iklim, yaitu perubahan nilai dari unsur-unsur iklim dunia sejak tahun

Lebih terperinci

The Growth Responses of Tancang (Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk.) Seedlings on Inundation Level in Mangrove Area of Sedyatmo Highway, North Jakarta

The Growth Responses of Tancang (Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk.) Seedlings on Inundation Level in Mangrove Area of Sedyatmo Highway, North Jakarta JURNAL SILVIKULTUR TROPIKA Vol. 02 Desember 2011 Vol. 02 No. 03 Desember 2011, Hal. 181 186 Respon Pertumbuhan Semai Tancang 181 ISSN: 2086-8227 Respon Pertumbuhan Semai Tancang (Bruguiera gymnorrhiza

Lebih terperinci

TATA CARA PENELITIAN. Penelitian dilakukan di Greenhouse Universitas Muhammadiyah

TATA CARA PENELITIAN. Penelitian dilakukan di Greenhouse Universitas Muhammadiyah III. TATA CARA PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Greenhouse Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Yogyakarta. Penelitian ini dilakukan selama bulan November 2016-Februari

Lebih terperinci

VI. SIMPULAN DAN SARAN

VI. SIMPULAN DAN SARAN 135 VI. SIMPULAN DAN SARAN A. SIMPULAN Komposisi spesies mangrove di Pulau Kaledupa, Derawa, dan Pulau Hoga Taman Nasional Wakatobi sebanyak 20 spesies mangrove sejati dan tersebar tidak merata antar pulau.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hujan Tropis Hutan adalah satu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya,

Lebih terperinci

PENDUGAAN SERAPAN KARBON DIOKSIDA PADA BLOK REHABILITASI CONOCOPHILLIPS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI PRASASTI RIRI KUNTARI

PENDUGAAN SERAPAN KARBON DIOKSIDA PADA BLOK REHABILITASI CONOCOPHILLIPS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI PRASASTI RIRI KUNTARI PENDUGAAN SERAPAN KARBON DIOKSIDA PADA BLOK REHABILITASI CONOCOPHILLIPS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI PRASASTI RIRI KUNTARI DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

TINJUAN PUSTAKA. Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal

TINJUAN PUSTAKA. Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal TINJUAN PUSTAKA Ekosistem Mangrove Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal woodland, vloedbosschen, dan hutan payau (bahasa Indonesia), selain itu, hutan mangrove oleh masyarakat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai kawasan pesisir yang cukup luas, dan sebagian besar kawasan tersebut ditumbuhi mangrove yang lebarnya dari beberapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. baik bagi pesisir/daratan maupun lautan. Selain berfungsi secara ekologis,

BAB I PENDAHULUAN. baik bagi pesisir/daratan maupun lautan. Selain berfungsi secara ekologis, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem yang sangat vital, baik bagi pesisir/daratan maupun lautan. Selain berfungsi secara ekologis, ekosistem mangrove memiliki

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 8 III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu Dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan pada bulan November 2011 sampai Januari 2012. Lokasi penelitian di lahan agroforestri di Desa Cibadak, Kecamatan Ciampea, Kabupaten

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 21 III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Kegiatan penelitian dilaksanakan selama 3 (tiga) bulan, mulai dari Januari sampai April 2010, dilakukan dengan dua tahapan, yaitu : a. pengambilan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem mangrove adalah suatu sistem yang terdiri atas berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem mangrove adalah suatu sistem yang terdiri atas berbagai BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Ekosistem mangrove adalah suatu sistem yang terdiri atas berbagai tumbuhan, hewan, dan mikrobia yang berinteraksi dengan lingkungan di habitat mangrove (Strategi Nasional

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. dalam siklus karbon global, akan tetapi hutan juga dapat menghasilkan emisi

TINJAUAN PUSTAKA. dalam siklus karbon global, akan tetapi hutan juga dapat menghasilkan emisi 16 TINJAUAN PUSTAKA Karbon Hutan Hutan merupakan penyerap karbon (sink) terbesar dan berperan penting dalam siklus karbon global, akan tetapi hutan juga dapat menghasilkan emisi karbon (source). Hutan

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di lahan percobaan Fakultas Pertanian dan

MATERI DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di lahan percobaan Fakultas Pertanian dan III. MATERI DAN METODE 3.1. Tempatdan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di lahan percobaan Fakultas Pertanian dan Peternakan Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau, JalanH.R. Soebrantas No.155

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau I. PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Indonesia memiliki hutan mangrove terluas di dunia yakni 3,2 juta ha (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau besar mulai dari Sumatera,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. wilayah perbatasan antara daratan dan laut, oleh karena itu wilayah ini

BAB I PENDAHULUAN. wilayah perbatasan antara daratan dan laut, oleh karena itu wilayah ini BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dengan jumlah pulau sekitar 17.508 pulau dan panjang pantai kurang lebih 81.000 km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat besar,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dalam 3 zona berdasarkan perbedaan rona lingkungannya. Zona 1 merupakan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dalam 3 zona berdasarkan perbedaan rona lingkungannya. Zona 1 merupakan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Deskripsi Lingkungan Penelitian Pada penelitian ini, lokasi hutan mangrove Leuweung Sancang dibagi ke dalam 3 zona berdasarkan perbedaan rona lingkungannya.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Mangrove. kemudian menjadi pelindung daratan dan gelombang laut yang besar. Sungai

TINJAUAN PUSTAKA. A. Mangrove. kemudian menjadi pelindung daratan dan gelombang laut yang besar. Sungai II. TINJAUAN PUSTAKA A. Mangrove Mangrove adalah tanaman pepohonan atau komunitas tanaman yang hidup di antara laut dan daratan yang dipengaruhi oleh pasang surut. Habitat mangrove seringkali ditemukan

Lebih terperinci

Teknologi penanaman jenis mangrove dan tumbuhan pantai pada tapak khusus

Teknologi penanaman jenis mangrove dan tumbuhan pantai pada tapak khusus Teknologi penanaman jenis mangrove dan tumbuhan pantai pada tapak khusus TEKNIK PENANAMAN MANGROVE PADA DELTA TERDEGRADASI DI SUMSEL Teknik Penanaman Mangrove Pada Delta Terdegradasi di Sumsel Teknik Penanaman

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil 1. Keragaman Vegetasi Mangrove Dari hasil pengamatan yang dilakukan pada 20 plot yang masing-masing petak ukur 5x5 m, 10x10 m dan 20x20 m diketahui bahwa vegetasi mangrove

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di laboratorium pengolahan limbah Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor dan di Laboratorium

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. kestabilan pantai, penyerap polutan, habitat burung (Bismark, 1986). Kemampuan mangrove untuk mengembangkan wilayahnya ke arah laut

TINJAUAN PUSTAKA. kestabilan pantai, penyerap polutan, habitat burung (Bismark, 1986). Kemampuan mangrove untuk mengembangkan wilayahnya ke arah laut 4 TINJAUAN PUSTAKA Deskripsi Umum Hutan Mangrove Hutan mangrove merupakan ekosistem hutan dengan faktor fisik yang ekstrim, seperti habitat tergenang air dengan salinitas tinggi di pantai dan sungai dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut. Menurut Suprihayono (2007) wilayah pesisir merupakan wilayah pertemuan antara daratan dan laut,

Lebih terperinci

Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia, April 2010, hlm ISSN

Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia, April 2010, hlm ISSN Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia, April 2010, hlm. 14-19 ISSN 0853 4217 Vol. 15 No.1 PENGARUH PEMBERIAN PUPUK NPK DAN KOMPOS TERHADAP PERTUMBUHAN SEMAI JABON (Anthocephalus cadamba Roxb Miq) PADA MEDIA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pantai sekitar Km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat potensial.

BAB I PENDAHULUAN. pantai sekitar Km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat potensial. 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Indonesia sebagai suatu negara kepulauan dengan panjang garis pantai sekitar 81.000 Km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat potensial. Salah satu ekosistem

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Metode Penelitian 9 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari 2005 sampai Pebruari 2006. Tempat penelitian di Kebun Tajur I UPT Kebun Percobaan IPB Unit Kegiatan Pusat Kajian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Setiap sumberdaya alam memiliki fungsi penting terhadap lingkungan. Sumberdaya alam berupa vegetasi pada suatu ekosistem hutan mangrove dapat berfungsi dalam menstabilkan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia

PENDAHULUAN. terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki hutan mangrove terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia dan hidup serta tumbuh berkembang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan pesisir dan laut merupakan sebuah ekosistem yang terpadu dan saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi pertukaran materi

Lebih terperinci

I. TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat Dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni 2016 Agustus 2016 yang

I. TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat Dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni 2016 Agustus 2016 yang I. TATA CARA PENELITIAN A. Tempat Dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni 2016 Agustus 2016 yang bertempat di Lapangan (Green House) dan Laboratorium Tanah Universitas Muhammadiyah

Lebih terperinci

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

Avicenia sp. ( Api-Api ) Rhizophora sp( Bakau ) Nypa sp. ( Nipah ) Bruguiera sp. ( Lacang ) Sonneratia sp. ( Pedada )

Avicenia sp. ( Api-Api ) Rhizophora sp( Bakau ) Nypa sp. ( Nipah ) Bruguiera sp. ( Lacang ) Sonneratia sp. ( Pedada ) Mangal komunitas suatu tumbuhan Hutan Mangrove adalah hutan yang tumbuh di daerah pantai, biasanya terletak didaerah teluk dan muara sungai dengan ciri : tidak dipengaruhi iklim, ada pengaruh pasang surut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan Salomon, dalam Rahayu et al. (2006), untuk mengurangi dampak perubahan

BAB I PENDAHULUAN. dan Salomon, dalam Rahayu et al. (2006), untuk mengurangi dampak perubahan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemanasan global mengakibatkan terjadinya perubahan iklim. Menurut Sedjo dan Salomon, dalam Rahayu et al. (2006), untuk mengurangi dampak perubahan iklim, upaya yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia perkiraan luas mangrove sangat beragam, dengan luas

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia perkiraan luas mangrove sangat beragam, dengan luas BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di Indonesia perkiraan luas mangrove sangat beragam, dengan luas garis pantai yang panjang + 81.000 km (Kementerian Negara Lingkungan Hidup, 2007), ada beberapa yang

Lebih terperinci

TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Green House dan Laboratorium penelitian

TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Green House dan Laboratorium penelitian III. TATA CARA PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Green House dan Laboratorium penelitian Fakultas Pertanian UMY, pada bulan Desember 2015 Maret 2016. B. Alat dan Bahan

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Tuan dengan ketinggian 25 mdpl, topografi datar dan jenis tanah alluvial.

III. BAHAN DAN METODE. Tuan dengan ketinggian 25 mdpl, topografi datar dan jenis tanah alluvial. III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di kebun Fakultas Pertanian Universitas Medan Area yang berlokasi di jalan Kolam No. 1 Medan Estate, Kecamatan Percut Sei

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kerusakan hutan mangrove di Indonesia, kini semakin merata ke berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Kerusakan hutan mangrove di Indonesia, kini semakin merata ke berbagai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kerusakan hutan mangrove di Indonesia, kini semakin merata ke berbagai wilayah di Nusantara. Kerusakan hutan mangrove ini disebabkan oleh konversi lahan menjadi areal

Lebih terperinci

Diagram pie perbandingan zona pasang tertinggi dan terendah

Diagram pie perbandingan zona pasang tertinggi dan terendah hasil stok karbon Diagram pie perbandingan zona pasang tertinggi dan terendah Biomassa Mangrove di Zona Pasang Tertinggi 0% Batang Nekromassa 16% 0% Akar seresah Biomassa Mangrove di zona Pasang Terendah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar didunia yang memiliki 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang ± 81.000 km dan luas sekitar 3,1 juta km 2.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut.

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem yang kompleks terdiri atas flora dan fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut. Ekosistem mangrove

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan yang rentan terhadap dampak perubahan iklim. Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang termasuk rawan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. garis pantai sepanjang kilometer dan pulau. Wilayah pesisir

PENDAHULUAN. garis pantai sepanjang kilometer dan pulau. Wilayah pesisir PENDAHULUAN Latar belakang Wilayah pesisir merupakan peralihan ekosistem perairan tawar dan bahari yang memiliki potensi sumberdaya alam yang cukup kaya. Indonesia mempunyai garis pantai sepanjang 81.000

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Kata mangrove diduga berasal dari bahasa Melayu manggi-manggi, yaitu

TINJAUAN PUSTAKA. Kata mangrove diduga berasal dari bahasa Melayu manggi-manggi, yaitu 6 TINJAUAN PUSTAKA Pengetian Mangrove Kata mangrove diduga berasal dari bahasa Melayu manggi-manggi, yaitu nama yang diberikan kepada mangrove merah (Rhizopora spp.). Nama Mangrove diberikan kepada jenis

Lebih terperinci

SUMBERDAYA ALAM WILAYAH PESISIR

SUMBERDAYA ALAM WILAYAH PESISIR SUMBERDAYA ALAM WILAYAH PESISIR EDI RUDI FMIPA UNIVERSITAS SYIAH KUALA Ekosistem Hutan Mangrove komunitas vegetasi pantai tropis yang didominasi oleh beberapa spesies pohon mangrove yang mampu untuk tumbuh

Lebih terperinci

Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang. berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur. Komunitas vegetasi ini

Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang. berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur. Komunitas vegetasi ini II. TINJAIJAN PliSTAKA Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa spesies pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan

BAB I PENDAHULUAN. hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan I. 1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Indonesia adalah salah satu negara yang dikenal memiliki banyak hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan tropis Indonesia adalah

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis

PENDAHULUAN. pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis PENDAHULUAN Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem yang memiliki peranan penting dalam pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis kondisi dan keberadaannya. Beberapa

Lebih terperinci

Struktur Dan Komposisi Vegetasi Mangrove Di Pulau Mantehage

Struktur Dan Komposisi Vegetasi Mangrove Di Pulau Mantehage Struktur Dan Komposisi Vegetasi Mangrove Di Pulau Mantehage Elok Swasono Putro (1), J. S. Tasirin (1), M. T. Lasut (1), M. A. Langi (1) 1 Program Studi Ilmu Kehutanan, Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas

Lebih terperinci

BAB I. penting dari kondisi geografis Indonesia sebagai wilayah kepulauan adalah

BAB I. penting dari kondisi geografis Indonesia sebagai wilayah kepulauan adalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sekitar 75% dari luas wilayah nasional berupa lautan. Salah satu bagian penting dari kondisi geografis Indonesia sebagai wilayah kepulauan adalah wilayah pantai, dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Tentang Mangrove 2.1.1. Pengertian mangrove Hutan mangrove secara umum didefinisikan sebagai hutan yang terdapat di daerah-daerah yang selalu atau secara teratur tergenang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Kata mangrove berasal dari bahasa Melayu manggi-manggi, yaitu nama

TINJAUAN PUSTAKA. Kata mangrove berasal dari bahasa Melayu manggi-manggi, yaitu nama TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Mangrove Kata mangrove berasal dari bahasa Melayu manggi-manggi, yaitu nama yang diberikan kepada mangrove merah (Rhizopora spp.). Nama mangrove diberikan kepada jenis tumbuh-tumbuhan

Lebih terperinci

I.MATERI DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2013 hingga Februari. Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau.

I.MATERI DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2013 hingga Februari. Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau. I.MATERI DAN METODE 1.1. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2013 hingga Februari 2014. Penelitian dilakukan di lahan percobaan Fakultas Pertanian dan Peternakan Universitas

Lebih terperinci

Hasil dan Pembahasan

Hasil dan Pembahasan IV. Hasil dan Pembahasan A. Hasil 1. Keanekaragaman vegetasi mangrove Berdasarkan hasil penelitian Flora Mangrove di pantai Sungai Gamta terdapat 10 jenis mangrove. Kesepuluh jenis mangrove tersebut adalah

Lebih terperinci

III. TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan di Green House, Lab.Tanah dan Lab.

III. TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan di Green House, Lab.Tanah dan Lab. III. TATA CARA PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Green House, Lab.Tanah dan Lab.Penelitian Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Penelitian ini

Lebih terperinci

PROPOSAL PENELITIAN PENYIAPAN PENYUSUNAN BAKU KERUSAKAN MANGROVE KEPULAUAN KARIMUNJAWA

PROPOSAL PENELITIAN PENYIAPAN PENYUSUNAN BAKU KERUSAKAN MANGROVE KEPULAUAN KARIMUNJAWA PROPOSAL PENELITIAN PENYIAPAN PENYUSUNAN BAKU KERUSAKAN MANGROVE KEPULAUAN KARIMUNJAWA TAHUN 2017 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia,

Lebih terperinci

2 METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian. Alat dan Bahan. Rancangan Penelitian

2 METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian. Alat dan Bahan. Rancangan Penelitian 5 2 METODE PENELITIAN Penelitian ini terdiri atas: 1) Pengaruh alelopati daun dan ranting jabon terhadap pertumbuhan, produksi rimpang dan kandungan kurkumin tanaman kunyit, 2) Pengaruh pemupukan terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. kesempatan untuk tumbuhan mangrove beradaptasi (Noor dkk, 2006). Hutan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. kesempatan untuk tumbuhan mangrove beradaptasi (Noor dkk, 2006). Hutan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kondisi lingkungan yang ekstrim seperti tanah yang tergenang akibat pasang surut laut, kadar garam yang tinggi, dan tanah yang kurang stabil memberikan kesempatan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Percobaan

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Percobaan BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2009 hingga bulan Mei 2010 di rumah kaca Kebun Percobaan IPB Cikabayan, Kampus Dramaga, Bogor dan Balai Penelitian Tanaman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Potensi wilayah pesisir dan laut Indonesia dipandang dari segi. pembangunan adalah sebagai berikut ; pertama, sumberdaya yang dapat

BAB I PENDAHULUAN. Potensi wilayah pesisir dan laut Indonesia dipandang dari segi. pembangunan adalah sebagai berikut ; pertama, sumberdaya yang dapat 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Potensi wilayah pesisir dan laut Indonesia dipandang dari segi pembangunan adalah sebagai berikut ; pertama, sumberdaya yang dapat diperbaharui seperti perikanan

Lebih terperinci

TEKNIK PEMANFAATAN ANAKAN ALAM PUSPA (Schima wallichii (DC) Korth) DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT (HPGW), SUKABUMI FITRI APRIANTI

TEKNIK PEMANFAATAN ANAKAN ALAM PUSPA (Schima wallichii (DC) Korth) DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT (HPGW), SUKABUMI FITRI APRIANTI TEKNIK PEMANFAATAN ANAKAN ALAM PUSPA (Schima wallichii (DC) Korth) DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT (HPGW), SUKABUMI FITRI APRIANTI DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. dilaksanakan di lahan percobaan dan Laboratorium. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih pakcoy (deskripsi

MATERI DAN METODE. dilaksanakan di lahan percobaan dan Laboratorium. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih pakcoy (deskripsi III. MATERI DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di lahan percobaan dan Laboratorium Agronomi Fakultas Pertanian dan Peternakan Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bantu yang mampu merangsang pembelajaran secara efektif dan efisien.

BAB I PENDAHULUAN. bantu yang mampu merangsang pembelajaran secara efektif dan efisien. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan proses yang kompleks, namun kompleksitasnya selalu seiring dengan perkembangan manusia. Melalui pendidikan pula berbagai aspek kehidupan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Data penelitian yang diperoleh pada penelitian ini berasal dari beberapa parameter pertumbuhan anakan meranti merah yang diukur selama 3 bulan. Parameter yang diukur

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Metode Penelitian 10 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Percobaan ini dilaksanakan di Kebun Percobaan IPB Cikarawang, Dramaga, Bogor. Sejarah lahan sebelumnya digunakan untuk budidaya padi konvensional, dilanjutkan dua musim

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kata mangrove dilaporkan berasal dari kata mangal yang menunjukkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kata mangrove dilaporkan berasal dari kata mangal yang menunjukkan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ekosistem Mangrove 2.1.1. Definisi. Kata mangrove dilaporkan berasal dari kata mangal yang menunjukkan komunitas suatu tumbuhan. Ada juga yang menyebutkan bahwa mangrove berasal

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS MANGROVE DI DESA MARTAJASAH KABUPATEN BANGKALAN

STRUKTUR KOMUNITAS MANGROVE DI DESA MARTAJASAH KABUPATEN BANGKALAN STRUKTUR KOMUNITAS MANGROVE DI DESA MARTAJASAH KABUPATEN BANGKALAN Supriadi, Agus Romadhon, Akhmad Farid Program Studi Ilmu Kelautan Universitas Trunojoyo Madura e-mail: akhmadfarid@trunojoyo.ac.id ABSTRAK

Lebih terperinci

TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian telah dilaksanakan di Green House Fakultas Pertanian UMY dan

TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian telah dilaksanakan di Green House Fakultas Pertanian UMY dan III. TATA CARA PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian telah dilaksanakan di Green House Fakultas Pertanian UMY dan Laboratorium Penelitian pada bulan Januari sampai April 2016. B. Bahan dan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2011 di Laboratorium Pengaruh Hutan, Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Model Genesi dalam Jurnal : Berkala Ilmiah Teknik Keairan Vol. 13. No 3 Juli 2007, ISSN 0854-4549.

BAB I PENDAHULUAN. Model Genesi dalam Jurnal : Berkala Ilmiah Teknik Keairan Vol. 13. No 3 Juli 2007, ISSN 0854-4549. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan pertemuan antara wilayah laut dan wilayah darat, dimana daerah ini merupakan daerah interaksi antara ekosistem darat dan ekosistem laut yang

Lebih terperinci

Rehabilitasi dan Restorasi Hutan Mangrove di Kalimantan Selatan. Wawan Halwany Eko Priyanto

Rehabilitasi dan Restorasi Hutan Mangrove di Kalimantan Selatan. Wawan Halwany Eko Priyanto Rehabilitasi dan Restorasi Hutan Mangrove di Kalimantan Selatan Wawan Halwany Eko Priyanto Pendahuluan mangrove : sekelompok tumbuhan yang hidup di daerah pasang surut air laut. Kriteria Mangrove Tanaman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. antara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. antara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik mempunyai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan yang secara geografis terletak di antara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik mempunyai keanekaragaman

Lebih terperinci

4 KERUSAKAN EKOSISTEM

4 KERUSAKAN EKOSISTEM 4 KERUSAKAN EKOSISTEM 4.1 Hasil Pengamatan Lapangan Ekosistem Mangrove Pulau Weh secara genetik merupakan pulau komposit yang terbentuk karena proses pengangkatan dan vulkanik. Proses pengangkatan ditandai

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang . 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan mangrove adalah hutan yang terdapat di wilayah pesisir yang selalu atau secara teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut tetapi tidak

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN 16 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Perusahaan Tambang Batubara PT KPC (Kaltim Prima Coal) khususnya Pit J Swampy bagian Reclamation Department Environmental,

Lebih terperinci

ZONASI TUMBUHAN UTAMA PENYUSUN MANGROVE BERDASARKAN TINGKAT SALINITAS AIR LAUT DI DESA TELING KECAMATAN TOMBARIRI

ZONASI TUMBUHAN UTAMA PENYUSUN MANGROVE BERDASARKAN TINGKAT SALINITAS AIR LAUT DI DESA TELING KECAMATAN TOMBARIRI ZONASI TUMBUHAN UTAMA PENYUSUN MANGROVE BERDASARKAN TINGKAT SALINITAS AIR LAUT DI DESA TELING KECAMATAN TOMBARIRI Kendy H Kolinug (1), Martina A langi (1), Semuel P Ratag (1), Wawan Nurmawan (1) 1 Program

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang km, yang merupakan

BAB I. PENDAHULUAN. pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang km, yang merupakan BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara tropis berbentuk kepulauan dengan 17.500 pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang 81.000 km, yang merupakan kawasan tempat tumbuh hutan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kerusakan fisik habitat wilayah pesisir dan lautan di Indonesia mengakibatkan penurunan kualitas ekosistem. Salah satunya terjadi pada ekosistem mangrove. Hutan mangrove

Lebih terperinci

Mangrove menurut Macnae (1968) merupakan perpaduan

Mangrove menurut Macnae (1968) merupakan perpaduan 1 2 Mangrove menurut Macnae (1968) merupakan perpaduan antara bahasa Portugis mangue dan bahasa Inggris grove. Menurut Mastaller (1997) kata mangrove berasal dari bahasa Melayu kuno mangi-mangi untuk menerangkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. batas pasang surut air disebut tumbuhan mangrove.

BAB I PENDAHULUAN. batas pasang surut air disebut tumbuhan mangrove. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kata mangrove dipakai sebagai pengganti istilah kata bakau untuk menghindari salah pengertian dengan hutan yang melulu terdiri atas Rhizophora spp., (Soeroyo.1992:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekologis yaitu untuk melakukan pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery

BAB I PENDAHULUAN. ekologis yaitu untuk melakukan pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove adalah suatu lingkungan yang memiliki ciri khusus yaitu lantai hutannya selalu digenangi air, dimana air tersebut sangat dipengaruhi oleh pasang

Lebih terperinci

V HASIL DAN PEMBAHASAN

V HASIL DAN PEMBAHASAN V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Kadar Air Kadar air merupakan berat air yang dinyatakan dalam persen air terhadap berat kering tanur (BKT). Hasil perhitungan kadar air pohon jati disajikan pada Tabel 6. Tabel

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama 4 bulan pada bulan Agustus sampai November 2011 yang berada di dua tempat yaitu, daerah hutan mangrove Wonorejo

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. dipengaruhi pasang surut air laut. Tumbuhan mangrove memiliki kemampuan

TINJAUAN PUSTAKA. dipengaruhi pasang surut air laut. Tumbuhan mangrove memiliki kemampuan TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Mangrove Mangrove didefinisikan sebagai formasi tumbuhan daerah litoral yang khas di pantai daerah tropis dan sub tropis yang terlindung, hutan yang tumbuh terutama pada tanah

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Sumatera Utara, Medan dengan ketinggian tempat ± 32 meter di atas permukaan

BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Sumatera Utara, Medan dengan ketinggian tempat ± 32 meter di atas permukaan 13 diinduksi toleransi stres dan perlindungan terhadap kerusakan oksidatif karena berbagai tekanan (Sadak dan Mona, 2014). BAHAN DAN METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Kecamatan Bangsri Kabupaten Jepara Provinsi Jawa Tengah. Ketinggian tempat

BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Kecamatan Bangsri Kabupaten Jepara Provinsi Jawa Tengah. Ketinggian tempat III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan di UPT-Kebun Bibit Dinas di Desa Krasak Kecamatan Bangsri Kabupaten Jepara Provinsi Jawa Tengah. Ketinggian tempat berada 96

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan garis pantai sepanjang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan garis pantai sepanjang BAB I PENDAHULUAN 1.1.LatarBelakang Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan garis pantai sepanjang 95.181 km terdiri dari sumber daya alam laut dan pantai yang beragam. Dengan kondisi iklim dan substrat

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI 3.1 Tempat dan waktu penelitian 3.2 Bahan dan Alat 3.3 Metode Penelitian Metode pemupukan lanjutan

BAB III METODOLOGI 3.1 Tempat dan waktu penelitian 3.2 Bahan dan Alat 3.3 Metode Penelitian Metode pemupukan lanjutan BAB III METODOLOGI 3.1 Tempat dan waktu penelitian Penelitian ini dilaksanakan di dua tempat penelitian (Kebun I dan Kebun II) di Dusun Tawakal, Jalan Cifor Kelurahan Bubulak RT 01/RW 05 selama 2 bulan

Lebih terperinci