BAB I PENDAHULUAN. BAB IX Pasal 24 dan Pasal 25 Undang-Undang Dasar Negara Republik

Transkripsi

1 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebelum perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, kekuasaan kehakiman di Indonesia didasarkan atas ketentuan BAB IX Pasal 24 dan Pasal 25 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Pasal 24 menyebutkan: ayat (1) kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang, ayat (2) susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman itu diatur dengan undang-undang. Pasal 25 mengatakan: syarat untuk menjadi dan untuk diberhentikan sebagai hakim ditetapkan dengan undang-undang. Penjelasan Pasal 24 dan 25 tersebut berbunyi: kekuasaan kehakiman ialah kekuasaan kehakiman yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Berhubungan dengan itu, harus diadakan jaminan dalam undang-undang tentang kedudukan para hakim. 1 Setelah terjadi perubahan yang ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (9 November 2001), terjadilah perubahan terhadap BAB IX tentang kekuasaan kehakiman dari semula yang hanya terdiri dari dua pasal (Pasal 24 dan 25) menjadi lima pasal yaitu Pasal 24, Pasal 24 A, Pasal 24 B, Pasal 24 C dan Pasal 25. Perubahan tersebut telah memasukkan ketentuan tentang kemerdekaan kekuasaan kehakiman yang semula hanya 1 Abdul Mukti Fadjar, 2006, Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi, Citra Media, Yogyakarta, hlm. 110.

2 2 tercantum dalam penjelasan dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 mengenai badan-badan peradilan di bawah Mahkamah Agung ke dalam Pasal 24. Perubahan Pasal 24 juga tidak lagi menempatkan Mahkamah Agung sebagai single top authority dalam kekuasaan kehakiman, karena kehadiran Mahkamah Konstitusi dengan kewenangan konstitusional yang diatur dalam Pasal 24 C. Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga baru yang dibentuk setelah amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Tahun Indonesia 1945, pembentukan ini terjadi pada Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tahun 2001, tepatnya pada amandemen ketiga. Hasil amandemen ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan tentang kekuasaan kehakiman yang di dalamnya menyinggung tentang lembaga Mahkamah Konstitusi. Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan lain yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan ketentuan Pasal 24 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 setelah perubahan, Mahkamah Konstitusi adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman di samping Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan

3 3 peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, dan lingkungan peradilan tata usaha negara. Sebagai pelaku kekuasaan kehakiman, Mahkamah Konstitusi mempunyai tugas, fungsi dan kewenangan sebagaimana telah ditentukan oleh Pasal 24 ayat (2), Pasal 24 C dan diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan ketentuan Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 juncto Pasal 2 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi kedudukan Mahkamah Konstitusi adalah: 1. Merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman; 2. Merupakan kekuasaan kehakiman yang merdeka; dan 3. Sebagai penegak hukum dan keadilan. Sedangkan tugas dan fungsi Mahkamah Konstitusi berdasarkan Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi adalah menangani perkara ketatanegaraan atau perkara konstitusi tertentu dalam rangka menjaga konstitusi agar dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi. 2 Keberadaan Mahkamah Konstitusi sekaligus untuk menjaga terselenggaranya pemerintahan negara yang stabil dan juga merupakan koreksi terhadap pengalaman kehidupan ketatanegaraan di masa lalu yang ditimbulkan oleh tafsir ganda terhadap konstitusi. 2 Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

4 4 Mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi diatur lebih lanjut dalam Pasal 24 C Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 disebutkan bahwa: 3 1. Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undangundang terhadap Undang-Undang Dasar, memutuskan kewenangan sengketa lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutuskan pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. 2. Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan /atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar. 3. Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden. 4. Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh hakim Konstitusi. 5. Hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat negara. 6. Pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara serta ketentuan lainnya tentang Mahkamah Konstitusi diatur dengan undang-undang. Dalam hal ini dapat dipahami bahwa adanya lembaga baru Mahkamah Konstitusi sebagai pelaksanaan kekuasaan kehakiman fungsinya adalah untuk melaksanakan kekuasaan peradilan dalam sistem konstitusi. Dengan perkataan lain dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, pada hakikatnya untuk menegaskan konstitusi dalam rangka mewujudkan negara hukum yang demokratis dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Pasal 24 C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dapat dipahami adanya kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk mengadili pada tingkat 3 Pasal 24 C Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

5 5 pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undangundang terhadap Undang-Undang Dasar (judicial review). Timbul pertanyaan mengapa undang-undang dapat dan perlu diuji apakah sesuai dengan konstitusi. Mengacu pendapat Mahfud MD yang ditulis oleh Abdul Latif dalam bukunya, Mahfud MD beranggapan undang-undang dapat dan perlu diuji karena undang-undang merupakan produk politik yang dibuat oleh lembaga politik yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama Presiden. 4 Kedua lembaga ini merupakan pilihan mayoritas rakyat berdasarkan prinsip (rule by majority) yang belum tentu menjamin kebenaran dan keadilan berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun Jimly Asshidiqie beranggapan kehendak rakyat seluruhnya tercermin dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sedangkan undang-undang hanya cerminan kehendak elit pemimpin yang ada yaitu Presiden dan DPR serta DPD. 5 Sifat pengujian oleh Mahkamah Konstitusi, bersifat formil dan materiil, original intent Pasal 24 C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang semula hanya materiil saja, akhirnya mencangkup pula pengujian formilnya. 6 Selain itu, juga bersifat pasif dan tidak boleh aktif seperti dalam legislative review oleh MPR berdasarkan Tap MPR 4 Abdul Latif, 2009, Fungsi Mahkamah Konstitusi (upaya mewujudkan negara hukum demokrasi), Kreasi Total Media, Yogyakarta, hlm Ibid. 6 Ibid.

6 6 No. III/MPR/2000 dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. 7 Menurut Pasal 50 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, bahwa undang-undang yang boleh diuji hanya undangundang setelah Perubahan Pertama setelah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun Oleh kalangan ahli hukum termasuk Hakim Mahkamah Konstitusi Pasal 50 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sehingga Mahkamah Konstitusi dalam prakteknya mengesampingkan pasal tersebut setiap melakukan pengujian terhadap undangundang, semua undang-undang dapat diuji asalkan diajukan permohonan oleh Pemohon atau pihak yang merasa dirugikan dengan berlakunya sebuah undang-undang. 8 Terkait pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, pada hari rabu tanggal 17 september 2014 rapat permusyawaratann hakim oleh sembilan hakim konstitusi yaitu Hamdan Zoelfa (selaku ketua merangkap anggota), Arief Hidayat, Muhammad Alim, Anwar Usman, Maria Farida Indrati, Ahmad Fadlil Sumadi, Aswanto, Wahidudin Adams dan Patrialis Akbar mengeluarkan Putusan terhadap judicial review Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013. Amar Putusan dari Putusan ini adalah: 9 1. Permohonan Pemohon III tidak dapat diterima; 7 Ibid. 8 Ibid, hlm Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013 Tentang Sumber Daya Air.

7 7 2. Mengabulkan permohonan Pemohon I, Pemohon II, Pemohon IV, Pemohon V, Pemohon VI, Pemohon VII, Pemohon VIII, Pemohon IX, Pemohon X, dan Pemohon XI untuk seluruhnya; 3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4377) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 4. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4377) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat; 5. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 Tentang Pengairan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 65, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3046) berlaku kembali; 6. Memerintahkan pemuatan putusan ini dengan menempatkannya dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Melihat Amar Putusan di atas dapat disimpulkan beberapa poin penting yaitu: semua permohonan Pemohon dikabulkan kecuali permohonan Pemohon III, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 dinyatakan bertentang dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sehingga undang-undang ini tidak memiliki kekuatan hukum, perihal terkait mengenai sumber daya air pengaturannya kembali ke Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 Tentang Pengairan. Dinyatakannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tidak memiliki kekuatan hukum dan bertentangan dengan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta kembalinya pengaturan terhadap sumber daya air ke Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 menimbulkan pertanyaan terkait legalitas pengelolaan air mineral dalam kemasan (AMDK). Dicabutnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 dikarenakan undang-undang ini dianggap mengandung unsur komersialisasi terhadap sumber daya air, sedangkan pengelolaan AMDK menggunakan

8 8 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air sebagai payung hukum, kembalinya pengaturan sumber daya air ke Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan mengakibatkan perubahan sistem pengelolaan sumber daya air khususnya AMDK. Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013 pengelolaan sumber daya air merujuk dalam Peraturan Pemerintah Nomor 121 Tahun 2015 tentang Pengusahaan Sumber Daya Air dan Peraturan Pemerintah Nomor 122 Tahun 2015 tentang Sistem Peneyediaan Air Minum. Berdasarkan kedua peraturan pemerintah diatas praktik pengelolaan sumber daya air tidak berubah seperti halnya sebelum keluarnya Putusan Mahakamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013. Menurut Radbruch, hukum sebagai gagasan kultural tidak bisa formal, tetapi harus diarahkan kepada cita-cita hukum yaitu keadilan, untuk mengisi cita-cita keadilan, harus menoleh kepada kegunaannya sebagai unsur kedua dari cita hukum, kegunaan menuntut kepastian hukum, hukum harus pasti, hubungan dari tiga unsur tersebut relatif, seberapa jauh kegunaan lebih kuat dari keadilan atau kepastian lebih penting dari kegunaan. 10 Penulis berpendapat pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013 pengelolaaan sumber daya air belum mampu memberikan sebuah kemanfaatan hukum, karena pasca putusan pengelolaan sumber daya air masih sama seperti sebelum adanya putusan tersebut, dimana masyarakat masih mengkonsumsi air dengan nilai yang mahal. Pasca Putusan Mahkamah 10 W. Friedman, Legal Theory, diterjemahkan oleh Muhammad Arifin dengan judul Teori dan Filsafat Hukum-Idealisme dan Problema Keadilan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994) hlm

9 9 Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013 pengelolaan sumber daya air belum memenuhi unsur keadilan, karena tidak adanya perubahan dalam pengelolaan sumber daya air pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU- XI/2013, pengelolaan sumber daya air masih dikuasai oleh perusahaan swasta. Berdasarkan latar belakang di atas penulis akan melakukan peninjauan lebih dalam terkait Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013 dari sisi kemanfaatan hukum dan keadilan yang akan dituangkan dalam pembahasan penulisan hukum yang berjudul Analisis Yuridis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013 Mengenai Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air Terhadap Pemenuhan Asas Kemanfaatan Hukum dan Keadilan. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimanakah perspektif politik hukum Mahkamah Konstitusi dalam mengeluarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013 Tentang Sumber Daya Air? 2. Mengapa pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013 pengelolaan sumber daya air belum mampu memenuhi asas kemanfaatan hukum dan keadilan? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Objektif Untuk menganalisis argument hukum yang digunakan oleh Mahkamah Konstitusi dalam mengeluarkan Putusan Mahkamah Konstitusi

10 10 Nomor 85/PUU-XI/2013 Tentang Sumber Daya Air ditinjau dari sisi politik hukum. Untuk menganalisis ketepatan dalam pengeluaran Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013 jika ditinjau dari asas kemanfaatan hukum dan keadilan, mengingat produk hukum tidak boleh lepas dari kedua asas tersebut. Selain itu penelitian ini juga bertujuan menjelaskan konsep ideal dalam penerapan hukum terhadap sumber daya air. 2. Tujuan Subjektif Penulisan hukum ini bertujuan untuk memenuhi salah satu syarat untuk mmendapatkan gelar Magister Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada Yogyakarta. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Penelitian hukum ini diharapkan dapat menambah dan mengembangkan pengetahuan dibidang Hukum Tata Negara terutama terkait dengan Putusan Mahkamah Konstitusi dan hukum sumber daya air, mengingat sumber daya air berkaitan dengan hajad hidup orang banyak. Penelitian ini juga diharapkan mampu memperkaya refrensi dan literature sebagai acuan untuk melaksanakan penulisan sejenisnya terutama yang terkait dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/ Manfaat Praktis

11 11 Penelitian hukum ini diharapkan menjadi bahan masukan dan rekomendasi bagi pengambilan kebijakan dalam menyempurnakan system ketatanegaraan khususnya dalam pengeluaran putusan-putusan Mahkamah Konstitusi. E. Keaslian Penelitian Berdasarkan penelusuran kepustakaan di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada dan media internet, tidak ditemukan hasil penelitian yang sama dengan usulan penelitian yang akan peneliti lakukan namun terdapat sebelumnya beberapa peneliti yang melakukan penelitian tentang Undang- Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air serta, yaitu: 1. Analisis Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi atas Judicial Review Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air (Tinjauan Tentang Ketatanegaraan), 11 skripsi yang dibuat oleh Donny Prasetya Widya Utama pada tahun 2007, adapun rumusan masalahnya sebagai berikut: a. Bagaimana pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam putusan penolakan judicial review atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air? b. Apa makna yang terkandung dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dijadikan dasar putusan Mahkamah Konstitusi tersebut? 11 Dony Prasetya Widya Utama, 2007, Analisis Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi atas Judicial Review Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air (Tinjauan Tentang Ketatanegaraan), Skripsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

12 12 Penelitian ini memfokuskan pada pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam putusan penolakan judicial review atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air, serta makana yang terkandung dalam Pasal 33 Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dijadikan dasar putusan Mahkamah Konstitusi tersebut. Penelitian ini berbeda dengan penelitian yang akan dilakukan oleh penulis karena penelitian ini dilakukan dengan cara meninjau penolakan Mahkamah Konstitusi terhadap judicial review pada saat itu. Sedangkan penulis mengkaji dimana putusan mengabulkan judicial review yang diajukan pemohon dan pembatalan terhadap Undang- Undang Nomor 7 Tahun Analisis Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Atas Judicial Review Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air (Tinjauan Yuridis Ketatanegaraan). 12 Penelitian ini dilakukan oleh Donny Prasetya Widya Utama Program Studi Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta tahun 2015, adapun rumusan masalahnya sebagai berikut: a. Bagaimana dasar pertimbangan pemohon untuk mengajukan judicial review atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air? 12 Dony Prasetya Widya Utama, 2015, Analisis Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Atas Judicial Review Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air (Tinjauan Yuridis Ketatanegaraan), Thesis Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

13 13 b. Apakah makna yang terkandung di dalam Pasal 33 Undang- Undang Dasar Tahun 1945 yang dijadikan dasar putusan Mahkamah Konstitusi atas judicial review Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air? c. Bagaimanakah implikasi yuridis putusan Mahkamah Konstitusi atas judicial review Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air? Penelitian ini memfokuskan pada dasar pertimbangan pemohon untuk mengajukan judicial review atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air, makna yang terkandung didalam pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dijadikan dasar putusan Mahkamah Konstitusi atas judicial review Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air, serta implikasi yuridis putusan Mahkamah Konstitusi atas judicial review Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air. Penelitian ini berbeda dengan penelitian yang akan dilakukan oleh penulis, sebab penelitian ini meninjau tentang pertimbangan pemohon dalam mengajukan judicial review, makna yang terkandung dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta implikasi yuridis terhadap putusan Mahkamah konstitusi. Sedangkan penulis berfokus terhadap politik hukum dari putusan,

14 14 dan mengkaji pemenuhan terhadap asas kemanfaatan hukum dan keadilan dalam penerapan putusan tersebut. 3. Konsep Penguasaan Negara Atas Sumber Daya Air dalam Prespektif Islam (analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor /PUU-II/2004 dan 008/PUU-III/2005 tentang pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air). 13 Penelitian ini dilakukan oleh Anfanul Huda guna memenuhi tugas skripsi di Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun Adapun rumusan masalahnya adalah: a. Bagaimana konsep penguasaan negara atas sumber daya air menurut Putusan Mahkammah Konstitusi tentang pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004? b. Bagaimana tinjauan fiqh siyasah terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahunan 2004 tentang Sumber Daya Air? Penelitian ini memfokoskan penafsiran Mahkamah Konstitusi terhadap Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta pandangan fiqh siyasah terhadap putusan Mahkamah Konstitusi Nomor /PUU-II/2004 dan Nomor 008/PUU-III/2005. Penelitian ini 13 Anfanul Huda, 2011, Konsep Penguasaan Negara Atas Sumber Daya Air dalam Prespektif Islam (analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor /PUU-II/2004 dan 008/PUU- III/2005 tentang pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air), Skripsi Fakultas Hukum dan Syariah Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah, Jakarta.

15 15 berbeda dengan penelitian yang akan ditulis oleh penulis, sebab penelitian ini mengkaji tentang penafsiran Mahkamah Konstitusi terhadap Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tinjauan fiqih siyasah terhadap putusan Mahkamah Konstitusi. Sedangkan penulis dalam tinjauannya menggunakan asas kemanfaatan hukum dan asas keadilan. 4. Tinjauan Hukum Islam terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013 tentang Sumber Daya Air. 14 Penelitian ini dilakukan oleh Wiwi Linda Hartati guna memenuhi tugas skripsi di Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: a. Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap konsep penguasaan negara dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU- XI/2013 tentang Sumber Daya Air? b. Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap larangan Privatisasi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013 tentang Sumber Daya Air? c. Bagaimana tinjauan hukum islam terhadap larangan komersialisasi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013 tentang Sumber Daya Air? 14 Wiwin Linda Hartati, 2015, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013 tentang Sumber Daya Air, Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

16 16 Penelitian ini berbeda dengan penelitian yang akan ditulis oleh penulis sebab penelitian ini ditinjau menggunakan hukum Islam, sedangkan penelitian yang akan dilakukan oleh penulis menggunakan peninjauan dari segi asas kemanfaatan hukum dan asas keadilan. 5. Penafsiran Mahkamah Konstitusi Terhadap Pasal 33 Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun Penelitian ini dilakukan oleh Yance Arizona guna memenuhi tugas skripsi di Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang pada tahun Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini: a. Bagaimana penafsiran Mahakamah Konstitusi terhadap Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dalam Putusan Pengujian Undang-Undang Nomor 20 tentang Ketenaga Listrikan dan dalam Putusan Pengujian Undang- Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air? b. Metode penafsiran apa yang digunakan oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Pengujian Undang-Undang Nomor 20 Tentang Ketenaga Listrikan dan dalam Putusan Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air? c. Untuk mengetahui, termasuk metode penafsiran apa, klausula Conditionally Constitutional dalam Putusan Pengujian Undang- 15 Yance Arizona, 2007, Penafsiran Mahkamah Konstitusi Terhadap Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Skripsi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang.

17 17 Undang Nomor registrasi perkara /PUU-II/2004 dan 008/PUU-III/2005 mengenai pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, dan bagaimana pengaruhnya terhadap sifat dari Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final dalam menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Penelitian ini berfokus membahas penafsiran Mahkamah Konstitusi terhadap Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam Putusan Pengujian Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang ketenaga listrikan dan Putusan pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, kemudian membahas tentang metode penafsiran yang digunakan oleh Mahkamah Konstitusi, dan penggunaan putusan yang bersifat conditionally constitutional. Penelitian ini tentunya berbeda dengan penelitian yang akan ditulis oleh penulis, faktor pembedanya adalah: penelitian ini ditulis ketika Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 belum dibatalkan, penelitian ini berfokus pada penafsiran Mahkamah Konstitusi terhadap Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, metode penafsiran Mahkamah Konstitusi dan penerapan kalusula conditionally constitutional. Sedangkan penelitian yang akan ditulis oleh peneliti adalah

18 18 penelitian terhadap putusan yang membatalkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004, meninjau tentang politik hukum putusan tersebut, pemenuhan putusan terhadap asas kemanfaatan hukum dan keadilan dan praktik pemenuhan asas kemanfaatan dan keadilan yang dilakukan oleh pemerintah.