Penentuan Kadar Genistein dan Aktivitas Hambatan Tirosinase Kedelai (Glycine max) Terfermentasi Aspergillus oryzae

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Penentuan Kadar Genistein dan Aktivitas Hambatan Tirosinase Kedelai (Glycine max) Terfermentasi Aspergillus oryzae"

Transkripsi

1 JURNAL ILMU KEFARMASIAN INDONESIA, April 2016, hlm. 1-7 ISSN Vol. 14, No. 1 Penentuan Kadar Genistein dan Aktivitas Hambatan Tirosinase Kedelai (Glycine max) Terfermentasi Aspergillus oryzae (Determination of Genistein Content and Tyrosinase Inhibition Activity of Soybean (Glycine max) Fermented with Aspergillus oryzae) ESTIKA YUNINDARWATI*, EVI UMAYAH ULFA, ENDAH PUSPITASARI, MOCHAMMAD AMRUN HIDAYAT Fakultas Farmasi, Universitas Jember, Jln. Kalimantan No.37, Jember, Jawa Tengah, Indonesia Diterima 12 Juli 2015, Disetujui 5 November 2015 Abstrak: Tujuan dari penelitian ini adalah menentukan kadar genistein dan aktivitas hambatan dari ekstrak kedelai terfermentasi dan non-fermentasi. Kedelai difermentasi oleh Aspergillus oryzae selama 4 hari dan dimonitor kadar genistein serta aktivitas hambatan tirosinase setiap hari. Kadar genistein ditentukan menggunakan densitometer-klt sedangkan aktivitas hambatan tirosinase dievaluasi menggunakan metode spektrofotometri. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar genistein meningkat pada saat fermentasi hari ke-1 sampai ke-3 (45, ,042 µg/g ekstrak) tetapi pada hari ke-4 kadarnya menurun (54,373 µg/g ekstrak). Aktivitas hambatan tirosinase juga mengalami peningkatan pada saat fermentasi hari ke-1 sampai ke-3 (dilihat pada nilai IC 50 ) dan menurun saat fermentasi hari ke-4. Disimpulkan bahwa kadar genistein berkaitan dengan aktivitas hambatan tirosinase (R2 = 0,949). Kata kunci: fermentasi, kedelai, Aspergillus oryzae, kadar genistein, aktivitas hambatan tirosinase. Abstract: The purpose of this study was to determine the genistein content and tyrosinase inhibition activity of fermented and unfermented soybean extracts. Soybean was fermented by Aspergillus oryzae for 4 days, with genistein content and tyrosinase inhibition activity were monitored each day. Genistein content was determined using TLC-densitometer, while the tyrosinase inhibition activity was evaluated using spectrophotometric assay. The result showed that the genistein content was increased during 1-3 days of fermentation ( µg/g extract), but it decreased at the 4 th day of fermentation ( µg/g extract). Similarly, inhibitor tyrosinase activity (expressed by IC 50 value) was also increased for 1-3 days of fermentation, but it decreased at the 4 th day of fermentation. It was known that genistein content was correlated with tyrosinase inhibition activity (R 2 = 0.949). Keywords: fermentation, soybean, Aspergillus oryzae, genistein content, tyrosinase inhibition activity. PENDAHULUAN ISOFLAVON merupakan golongan flavonoid yang banyak ditemukan pada tanaman kacang-kacangan terutama pada kedelai (Glycine max (L.) Merr.) (1). Kedelai memiliki kandungan total isoflavon sebesar * Penulis korespondensi, Hp amrun.farmasi@unej.ac.id 1,2-4,2 mg/g sampel kering (2). Isoflavon yang terdapat pada kedelai memiliki struktur aglikon (misal: daidzein, genistein, glisitein), glikosida (misal: daidzin, genistin, glisitin), malonil glikosida dan asetil glikosida (3). Sebagian besar isoflavon kedelai memiliki struktur glikosida (4). Meski demikian, isoflavon dengan struktur aglikon memiliki bioaktivitas yang lebih baik daripada bentuk glikosidanya (5), misalnya aktivitas hambatan tirosinase (6).

2 2 YUNINDARWATI ET AL. Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia Penghambatan tirosinase merupakan salah satu strategi untuk mencegah hiperpigmentasi kulit (7). Tirosinase merupakan enzim yang berperan dalam biosintesis melanin (8). Enzim ini mengkatalisis reaksi hidroksilasi tirosin menjadi L-3,4-dihidroksifenilalanin (L-DOPA), yang kemudian dikonversi menjadi senyawa reaktif dopakuinon. Dopakuinon akan dikonversi melalui beberapa tahap transformasi menjadi melanin (pigmen warna pada kulit) (1). Hiperpigmentasi, ditandai dengan jumlah melanin yang berlebihan, dapat direduksi dengan menghambat aktivitas tirosinase (7). Hal ini dapat menyebabkan kulit tampak menjadi tampak lebih cerah. Kulit yang cerah dan bersinar merupakan dambaan wanita Asia (9). Salah satu upaya untuk meningkatkan jumlah isoflavon aglikon dapat dilakukan melalui fermentasi (9). Fermentasi merupakan suatu proses terjadinya perubahan kimia pada suatu substrat organik melalui aktivitas enzim yang dihasilkan oleh mikroorganisme, seperti bakteri, khamir atau kapang (10). Salah satu kapang yang telah secara luas dimanfaatkan dalam proses fermentasi makanan adalah Aspergillus oryzae. Kapang ini mampu menghasilkan enzim β-glukosidase (11) yang dapat mengkonversi isoflavon glikosida menjadi aglikon melalui reaksi deglikosilasi (12). Pada berbagai studi, diketahui terjadi peningkatan isoflavon aglikon pada kedelai terfermentasi (13, 14). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh fermentasi menggunakan A. oryzae terhadap kadar genistein dan aktivitas hambatan tirosinase kedelai. Genistein merupakan isoflavon aglikon utama pada kedelai (2). Oleh karena itu, penetapan kadar genistein dapat mewakili kadar isoflavon aglikon lainnya dalam kedelai. BAHAN DAN METODE BAHAN. Kedelai varietas Baluran dipanen saat berumur 70 hari diperoleh dari Desa Pontang, Kecamatan Ambulu, Kabupaten Jember; isolat A. oryzae diperoleh dari Laboratorium Mikrobiologi Fakultas MIPA Universitas Jember; pelarut etanol, n-heksana dan metanol kualitas p.a. diperoleh dari Fluka; enzim tirosinase (Mushroom tyrosinase) dan substrat L-tirosin dari Sigma Aldrich; standar genistein kualitas p.a. dari Tocris Bioscience. Alat. Autoklaf (ALP KT-40 Series); oven (UNB 400, Memert); soxhlet; ultrasonicator (Elma S180H); alat pemusing atau centrifuger (Hermle Z206A); rotary evaporator (Heildoph); lempeng silika gel GF 254 (Merck); bejana kromatografi lapis tipis (KLT) (TLC chamber, Camag); densitometer (TLC scanner3, Camag); sumuran atau 96-microwell plate (BioOne); microplate reader (ELx800, BioTek). METODE. Pembuatan Kedelai Non-fermentasi dan Fermentasi. Sebanyak 500 g kedelai Baluran dicuci dan direndam dalam air selama 24 jam. Setelah itu, kulit ari kedelai dihilangkan, lalu disterilisasi dan dimatangkan menggunakan autoklaf suhu 121 o C selama 15 menit. Kedelai matang yang diperoleh disebut kedelai non-fermentasi. Proses pembuatan kedelai fermentasi dilakukan dengan cara menambahkan 10 ml inokulum suspensi spora A. oryzae 10 6 /ml pada kedelai matang. Kedelai yang telah dicampur dengan inokulum kemudian diinkubasi pada suhu 30 ºC selama 1, 2, 3 dan 4 hari (15). Kedelai non-fermentasi dan terfermentasi hari ke-1, 2, 3 dan 4 masing-masing dikeringkan menggunakan oven suhu 60 ºC selama 30 jam, lalu dihaluskan menjadi serbuk. Masing-masing serbuk kedelai diayak menggunakan ayakan mesh 80. Serbuk yang telah diperoleh ditimbang untuk proses selanjutnya. Ekstraksi. Sebelum diekstraksi, dilakukan proses penghilangan lemak (defatting) pada simplisia kedelai non-fermentasi dan fermentasi menggunakan pelarut n-heksana (1:5) selama 3 jam pada alat Soxhlet (16). Simplisia yang telah bebas lemak tersebut dikeringkan di oven selama 1 jam. Sebanyak 50 gram simplisia kering tersebut diekstraksi dengan cara ultrasonikasi menggunakan pelarut etanol 70% (1:6) selama 1 jam (16). Ekstrak cair selanjutnya dipisahkan dengan cara sentrifugasi kecepatan rendah (838 x G) selama 10 menit. Residu yang tersisa diekstraksi kembali sebanyak 2 kali menggunakan pelarut yang baru. Seluruh ekstrak cair dikumpulkan dan dipekatkan dirotary evaporator (17) hingga didapatkan ekstrak kental kedelai non-fermentasi (H0) dan terfermentasi hari ke-1 (H1), 2 (H2), 3 (H3) dan 4 (H4). Masingmasing ekstrak kental dilakukan perhitungan rendemen ekstrak. Preparasi Larutan Standar dan Sampel. Preparasi larutan standar genistein dilakukan dengan membuat larutan induk 400 dan 500 µg/ml (dalam metanol p.a.) kemudian diencerkan sehingga diperoleh konsentrasi larutan standar yang berada pada rentang 2-40 µg/ml. Untuk preparasi larutan sampel kedelai non-fermentasi dan terfermentasi hari ke-4 dilakukan dengan menimbang sampel sebanyak 150 mg kemudian dilarutkan dalam metanol p.a. sampai volume 5 ml sehingga didapatkan konsentrasi µg/ml. Preparasi larutan sampel kedelai terfermentasi hari ke-1 dilakukan dengan menimbang sebanyak 100 mg dan kedelai terfermentasi hari ke-2 dan ke-3 sebanyak 50 mg kemudian dilarutkan dengan metanol p.a. sampai volume 10 ml, sehingga didapatkan konsentrasi 10 dan 5 mg/ml (replikasi 3 kali) (18). Penetapan Kadar Genistein. Larutan standar dan sampel ditotolkan pada lempeng silika gel GF 254

3 Vol 14, 2016 Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia 3 sebanyak 6 dan 2 µl, kemudian dimasukkan ke dalam bejana KLT yang telah dijenuhkan dengan eluen yang terdiri dari campuran toluena, etil asetat, aseton, asam format (20:4:2:1) (19) dan dibiarkan tereluasi sampai tanda batas. Lempeng dikeringkan dan noda yang terbentuk dipindai pada panjang gelombang maksimal yang diperoleh dari hasil optimasi. Optimasi panjang gelombang dilakukan dengan memindai noda analit pada densitometer. Penentuan panjang gelombang optimum dengan melihat spektrum analit yang terbaca pada panjang gelombang maksimal pada area panjang gelombang nm (20). Pada kromatogram sampel, identitas noda genistein ditetapkan dengan noda genistein kromatogram standar menggunakan uji korelasi spektra dan uji kemurnian puncak (21). Kadar genistein dalam sampel ditentukan dengan memasukkan nilai area sampel ke dalam persamaan kurva baku standar genistein. Kadar genistein selanjutnya dinyatakan dalam µg/g ekstrak. Uji Aktivitas Hambatan Tirosinase. Uji aktivitas hambatan tirosinase berdasarkan metode yang dilakukan Batubara (22) dengan modifikasi. Modifikasi tersebut berasal dari hasil optimasi Dewi (23). Masingmasing ekstrak yang telah diperoleh ditimbang sebanyak 15 mg dan 20 mg, kemudian dilarutkan dalam 1 ml DMSO, lalu ditambah dapar fosfat ph 6,5 hingga volume 5 ml, diperoleh konsentrasi 3000 dan 4000 µg/ml. Larutan ekstrak tersebut diencerkan dengan dapar fosfat ph 6,5 hingga diperoleh larutan uji dengan konsentrasi µg/ml. Larutan standar genistein dengan konsentrasi µg/ml digunakan sebagai kontrol positif. Pada masing-masing lubang sumuran ditambahkan larutan uji sebanyak 70 µl dan ditambahkan 40 µl enzim tirosinase (250 unit/ml dalam dapar fosfat) dan diinkubasi selama 5 menit. Selanjutnya, ditambahkan substrat (L-tirosin 1 mm) sebanyak 110 µl dan diinkubasi pada suhu 26 ºC selama 90 menit. Absorbansi masing-masing larutan uji diamati pada panjang gelombang 478 nm untuk menentukan persen inhibisi dan nilai konsentrasi hambat 50% (IC 50 ). Persen inhibisi dihitung dengan cara membandingkan absorbansi sampel tanpa penambahan ekstrak dengan penambahan ekstrak pada panjang gelombang (l) 478 nm. Analisis Data. Ada atau tidaknya perbedaan yang bermakna kadar genistein dan aktivitas hambatan tirosinase pada sampel kedelai non-fermentasi dan terfermentasi hari ke-1, 2, 3 dan 4 ditetapkan dengan uji Anova satu arah dan dilanjutkan dengan uji post hoc LSD, dengan tingkat kepercayaan 95%. Selain itu, dilakukan uji korelasi menggunakan persamaan regresi untuk mengetahui hubungan antara kadar genistein dan aktivitas hambatan tirosinase. HASIL DAN PEMBAHASAN Ekstraksi. Hasil ekstraksi dari masing-masing kedelai non-fermentasi dan terfermentasi hari ke-1, 2, 3 dan 4 dapat dilihat pada Tabel 1. Jumlah kandungan senyawa dalam ekstrak yang berbeda diduga menyebabkan perbedaan rendemen ekstrak yang dihasilkan. Tabel 1. Hasil ekstraksi kedelai. Penetapan Kadar Genistein. Hasil eluasi lempeng KLT pertama dan kedua yang dilihat di bawah sinar UV 254 nm, disajikan pada Gambar 1 dan 2. Pemeriksaan lempeng KLT di bawah sinar UV bertujuan untuk mengetahui noda yang teredam. Hasil penyinaran lempeng di bawah sinar UV menunjukkan terdapat sampel yang memiliki 2 noda yang teredam. Noda genistein pada sampel adalah noda yang memiliki nilai Rf yang hampir sama dengan standar genistein, yang ditunjukkan dengan notasi huruf a pada gambar. Spektra standar genistein hasil optimasi panjang gelombang ditunjukkan pada Gambar 3. Berdasarkan spektra yang dihasilkan, dapat diketahui bahwa intensitas spektrum paling tinggi tercapai pada panjang gelombang (l) 266 nm dengan sinyal absorbansi 95 AU. Panjang gelombang tersebut selanjutnya digunakan untuk menganalisis kadar genistein dalam ekstrak. Uji kemurnian dilakukan dengan membandingkan spektra pada posisi awal, tengah dan akhir puncak menunjukkan korelasi > 0,99 (Tabel 2). Hal ini dapat dikatakan bahwa noda/puncak kromatogram adalah murni. Hasil uji identitas menunjukkan bahwa analit dalam sampel dan standar adalah identik yang ditunjukkan korelasi > 0,99 (Tabel 3) (21). Hasil penetapan kadar genistein pada ekstrak kedelai non-fermentasi dan terfermentasi hari ke-1, 2, 3 dan 4 dengan metode KLT densitometri dapat dilihat pada Tabel 4. Hasil penetapan kadar genistein menunjukkan bahwa terjadi peningkatan kadar genistein selama proses fermentasi hari ke-1 hingga ke-3, namun terjadi penurunan kadar genistein pada hari ke-4. Kadar genistein pada ekstrak kedelai non-fermentasi adalah 45,645 ± 3,333 µg/g ekstrak, sedangkan kadar genistein pada ekstrak kedelai

4 4 YUNINDARWATI ET AL. Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia Gambar 1. Hasil eluasi lempeng KLT ekstrak kedelai nonfermentasi dan terfermentasi hari ke-4 yang dilihat dengan sinar UV 254 nm (a= genistein; b= tidak diketahui). Keterangan: 1. Standar genistein l,968 ng; 2. Standar genistein 1,968 ng 3. Standar genistein 5,904 ng 4. Standar genistein 9,840 ng 5. Standar genistein 19,680 ng 6. Standar genistein 29,520 ng 7. Standar genistein 37,550 ng 8. Sampel H0 (1) 9. Sampel H0 (2) 10. Sampel H0 (3) 11. Sampel H4 (1) 12. Sampel H4 (2) 13. Sampel H4 (3) terfermentasi hari ke-1, 2, 3 dan 4 berturut-turut adalah 313,985 ± 13,453; 804,905 ± 37,850; 1256,042 ± 36,205; 54,373 ± 1,755 µg/g ekstrak. Peningkatan kadar genistein selama fermentasi hari ke-1, 2, 3 dan 4 sebesar 6,88; 17,63; 27,51; 1,19 kali jika dibandingkan kedelai non-fermentasi. Adanya perbedaan kadar genistein dari masingmasing sampel disebabkan adanya aksi dari enzim β-glukosidase yang dihasilkan oleh A. Oryzae (12). Produksi enzim β-glukosidase meningkat sejalan dengan pertumbuhan sel pada fase logaritmik karena berhubungan dengan metabolisme primer dalam sel. Selanjutnya telah terjadi penurunan aktivitas enzim β-glukosidase seiring dengan tercapainya Tabel 2. Data korelasi spektra uji kemurnian. Gambar 2. Hasil eluasi lempeng KLT ekstrak kedelai terfermentasi H1,H2 dan H3 yang dilihat dengan sinar UV 254 nm (a= genistein; b= tidak diketahui). Keterangan: 1. Standar genistein 5,904 ng 2. Standar genistein 19,68 ng 3. Standar genistein 37,55 ng 4. Standar genistein 59,04 ng 5. Standar genistein 78,72 ng 6. Sampel H1(1) 7. Sampel H1 (2) 8. Sampel H1 (3) 9. Sampel H2 (1) 10. Sampel H2 (2) 11. Sampel H2 (3) 12. Sampel H3 (1) 13. Sampel H3 (2) 14. Sampel H3 (3) fase stasioner yang sudah menunjukkan terjadinya kekurangan nutrisi yang mendukung pertumbuhan sel (24). Penyebab penurunan kadar genistein pada hari ke-4 tersebut dimungkinkan adanya penurunan aktivitas enzim β-glukosidase yang terjadi pada fase stasioner A. oryzae. Selain itu, menurut Chang (25), selama proses fermentasi A. oryzae memiliki enzim sitokrom P450 yang dapat mengkatalisis genistein menjadi hidroksi genistein. Penurunan kadar genistein pada hari fermentasi ke-4 kemungkinan dapat disebabkan juga oleh adanya konversi genistein menjadi hidroksi genistein. Menurut Nam (26), kadar genistein kedelai varietas Aga3 terfermentasi oleh A. oryzae NL5 hari ke-1 Tabel 3. Data korelasi spektra uji identitas.

5 Vol 14, 2016 Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia 5 Gambar 3. Spektra genistein (diperoleh panjang gelombang maksimal 266 nm). Gambar 4. Spektra uji kemurnian dan identitas genistein pada standar dan sampel. hingga ke-6 meningkat sebesar 1,414; 2,302; 2,414; 3,391; 3,884 dan 1,06 kali dari kedelai non-fermentasi, sedangkan pada hari ke-7 mengalami penurunan Tabel 4. Hasil penetapan kadar genistein. Keterangan: Data disajikan dalam rata-rata ± SD,n=3, notasi huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan yang bermakna antar sampel menurut LSD (p<0,05); *: data kadar genistein dari masingmasing ekstrak kedelai terfermentasi dihitung relatif terhadap non-fermentasi. sebesar 0,837 kali dari kedelai non-fermentasi. Kadar isoflavon pada kedelai bervariasi, bergantung pada beberapa faktor yakni varietas, kualitas biji, masa panen dan lokasi penanaman (4). Adanya perbedaan hasil penelitian ini dengan sebelumnya kemungkinan disebabkan oleh adanya perbedaan varietas kedelai dan varietas kapang yang digunakan akan menyebabkan perbedaan genistein yang terkandung didalamnya. Aktivitas Hambatan Tirosinase. Aktivitas hambatan tirosinase ditunjukkan dengan nilai IC 50. Data hasil pengujian aktivitas hambatan tirosinase genistein dari masing-masing ekstrak dapat dilihat pada Gambar 5. Gambar tersebut menunjukkan bahwa terjadi peningkatan aktivitas penghambatan tirosinase selama proses fermentasi. Nilai penghambatan tirosinase tertinggi dengan nilai IC 50 terendah pada sampel fermentasi hari ke-3 yakni pada konsentrasi 180,153±2,846 µg/ml. Namun pada fermentasi hari ke-4 mengalami penurunan aktivitas penghambatan tirosinase. Jika dibandingkan dengan

6 6 YUNINDARWATI ET AL. Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia Gambar 5. Hasil uji aktivitas hambatan tirosinase. Data disajikan dalam rata-rata IC50 ± SD, n=3, notasi huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan yang bermakna antar sampel menurut LSD (p<0,05). nilai IC 50 genistein sebagai kontrol positif, aktivitas penghambatan tirosinase dari masing-masing ekstrak lebih rendah. Menurut Chang (27), ekstrak metanol kedelai yang difermentasi dengan A. oryzae BCRC memiliki aktivitas hambatan tirosinase dengan nilai IC 50 sebesar 5000 µg/ml. Adanya perbedaan daya hambatan antara penelitian ini dengan Chang diduga disebabkan oleh perbedaan pelarut yang digunakan dalam ekstraksi. Adanya perbedaan pelarut dapat menyebabkan perbedaan jenis atau senyawa bioaktif yang yang terkandung dalam masing-masing ekstrak (28). Hal ini berpengaruh terhadap aktivitas hambatan tirosinase. Aktivitas hambatan tirosinase ekstrak etanol kedelai Baluran terfermentasi A. oryzae ternyata memiliki aktivitas yang lebih tinggi. Berdasarkan hal tersebut, dapat dilakukan penelitian lebih lanjut tentang senyawa bioaktif lainnya yang terdapat dalam kedelai Baluran terfermentasi A. oryzae. Korelasi antara Kadar Genistein dan Aktivitas Hambatan Tirosinase. Berdasarkan uji korelasi diketahui bahwa kadar genistein memiliki peranan penting dalam aktivitas hambatan tirosinase. Hubungan antara kadar genistein dan aktivitas hambatan tirosinase mempunyai koefisien korelasi (R2) = 0,949 (Gambar 6). Hasil ini menunjukan bahwa 94,9% aktivitas hambatan tirosinase akibat kontribusi senyawa genistein (28). Sisanya sebesar 5,1% ditentukan oleh senyawa lain. Aktivitas hambatan tirosinase tidak hanya ditentukan oleh genistein, namun dapat juga berasal dari senyawa isoflavon glikosida daidzein maupun glisitein (9). Meski demikian, genistein merupakan isoflavon yang kadarnya tertinggi dalam kedelai (2). Aglikon isoflavon umumnya memiliki aktivitas hambatan tirosinase yang lebih tinggi daripada senyawa glikosidanya (6). Oleh karenanya, peningkatan kadar genistein pada kedelai terfermentasi diikuti pula Gambar 6. Uji korelasi antara aktivitas hambatan tirosinase IC 50 (y) dan kadar genistein (x). dengan peningkatan aktivitas hambatan tirosinasenya. SIMPULAN Profil kadar genistein dan aktivitas hambatan tirosinase kedelai meningkat selama fermentasi hari ke-1-3, namun mengalami penurunan pada hari ke-4. Adanya aktivitas hambatan tirosinase dari kedelai terfermentasi A. oryzae membuktikan bahwa kedelai terfermentasi A. oryzae berpotensi dikembangkan sebagai bahan baku pemutih kulit. DAFTAR PUSTAKA 1. Chang TS. An update review of tyrosinase inhibitors. Int J Mol Sci : Wang HJ, Murphy PA. Isoflavone composition in America and Japanese soybeans in lowa: effects of variety, crop year, and location. J Agri Food Chem : Dhaubhadel S. Soybean biochemistry chemistry and physiology. Regulation of isoflavonoid biosynthesis in soybean seeds. Canada: Southern crop protection and food research center Teekachunhatean S, Hanprasertpong N, Teekachunhatean T. Factors affecting isoflavone content in soybeanseeds grown in Thailand. Int J Agronomy : Pandit NT, Patravale VB. Design and optimization of a novel method for extraction of genistein. Indian J Pharma Scie (2): Chang TS, Ding HY, Lin HC. Identifying 6,7,4 -tryhydroxyisoflavone as a potent tyrosinase inhibitor. Biosc Biotech Biochem (10): Nerya O, Musa R, Khatib S, Tamir S, Vaya J. Chalcones as potent tyrosinase inhibitors: the effect ofhydroxyl positions and numbers. Phytochem : Seo SY, Sharma VK, Sharma N. Mushroom tyrosinase: recent prospects. J Agri Food Chem : Widyaningsih D. Pengaruh atribut produk terhadap sikap konsumen muda dalam menggunakan pemutih wajah pond s white beauty [skripsi]. Yogyakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah

7 Vol 14, 2016 Yogyakarta; Suprihatin. Teknologi fermentasi. Surabaya: Penerbit UNESA; Barbesgaard P, Hheldt-Hansen H, Diderichsen B. On the safety of Aspergillus oryzae: a review. App Micro Biotech : Punjaisee C, Chaiyasut C, Chansakaow S, Tharata S, Visessanguan W, Punjaisee S. 8-hydroxygenistein formation of soybean fermented with Aspergillus oryzae BCC Afr J Agric Res (4): Lee IH, Chou CC. Distribution profiles of isoflavone isomers in black bean kojis prepared with various filamentous fungi. J Agri Food Chem (4): Lee SH, Seo MH, Oh DK. Deglycosylation of isoflavones in isoflavone-rich soy germ flour by Aspergillus oryzae KACC J Agri Food Chem (49): Lee IH, Hung YH, Chou CC. Solid-state fermentation with fungi to enhance the antioxidative activity, total phenolic, and antocyanin contents of black bean. Int J Food Micro : Hui M, Tiansheng Q, Hai Z. Methods for extracting, separating, identifying and quantifying daidzein and genistein. Chinese J App Envi Bio : Luthria DL, Biswas R,Natarajan S. Comparison of extraction solvents and techniques used for the assay of isoflavones from soybean. Food Chem : Rahman L, Warnida H, Djide N. Pengaruh fermentasi sari kedelai dengan Lactobacillus sp. terhadap kadar dan profil kromatografi lapis tipis genistein serta formulasinya dengan granul efervesen. Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia (2): Yuan D, Chen Y, Bai X, Pan Y, Kano Y. TLC and HPLC analysis of soy isoflavones in semen sojae praeparatum. Asia J Tradisional Med :3-4. Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia CAMAG. Basic equipment for modern thin-layer chromatography. Switzerland ; CAMAG. [Serial online]. 2012: diambil dari URL: com/downloads/free/brochures/camag-basicequipment-08.pdf. diakses 15 Maret Wulandari L, Retnaningtyas Y, Mustafidah D. Pengembangan dan validasi metode kromatografi lapis tipis densitometri untuk penetapan kadar teofilin dan efedrin hidroklorida secara simultas pada sediaan tablet. KTI (1): Batubara I, Darusma LK, Mitsunaga T, Rahminiwati M, Djauhari E. Indonesian medical plants as tyrosinase inhibitor and antioxidant agent. J Bio Scie (2): Dewi ENA. Pengaruh perbedaan metode ekstraksi terhadap kadar genistein dan aktivitas hambatan tirosinase edamame (Glycine max) in vitro [skripsi]. Jember: Fakultas Farmasi Universitas Jember; Setyaningsih D, Tresnawati K, Soehartono MT, Apriyantono A. Pengaruh aktivitas β-glukosidase eksternal dari kapang terhadap kadar vanilin buah vanili. J Tek Industri Pertanian (1): Chang TS. Isolation, bioactivity, and production of ortho-hydroxydaidzein and ortho-hydroxygenistein. Inter J Mol Scie : Nam DH, Kim HJ, Lim J S, Kim KH, Park CS, Kim JH, et al. Simultaneous enhacement of free isoflavone content and antioxidant potential of soybean by fermentation with Aspergillus oryzae. J Food Sci (8): Chang TS, Ding HY, Tai SSK, Wu CY. Mushroom tyrosinase inhibitor effects of isoflavone isolated from soygerm koji fermented with Aspergilus oryzae BCRC Food Chem : Ghazali M, Zamani NP, Batubara I. Potensi limbah kulit buah nyirih Xylocarpus granatum sebagai inhibitor tirosinase. Depok (3):

8 JURNAL ILMU KEFARMASIAN INDONESIA, April 2016, hlm ISSN Vol. 14, No. 1 The Effectiveness of GABA Agonist in Decreasing Expression of NR2B Subunit of N-Methyl-D-Aspartate (NMDA) Receptor in Neuropathic Mice by Partial Sciatic Nerve Ligation (PSNL) Method (Efektivitas Agonis GABA terhadap Penurunan Ekspresi Reseptor N-Methyl-D-Aspartate (NMDA) Subunit NR2B pada Mencit Neuropati dengan Metode Partial Sciatic Nerve Ligation (PSNL)) FIFTEEN APRILA FAJRIN1*, JUNAIDI KHOTIB2, IMAM SUSILO3 1Bagian Farmasi Klinik dan Komunitas, Fakultas Farmasi, Universitas Jember, Jl. Kalimantan I/2A Kampus Tegalboto Jember Jawa Timur. 2Departemen Farmasi Klinik, Fakultas Farmasi, Universitas Airlangga, Surabaya, Jawa Timur. 3Departemen Patologi Anatomi, Fakultas Kedokteran, Universitas Airlangga, Surabaya, Jawa Timur. Accepted 27 November 2015, Approved 5 Februari 2016 Abstract: Neuropathy pain is a pain that caused by nerves injury. Nowadays, treatment for neuropathic pain change to drugs that works as GABA agonist and cause reimbalance between excitatory and inhibitory neurotransmitter in central nervous system (CNS). The present study was designed to investigate the effectiveness of gabapentin and baclofen in decreasing N-Methyl-D-Aspartate (NMDA) receptor NR2B subunit activity in neuropathic pain. Fourty mice were divided into 8 groups i.e sham, negative control, gabapentin (10, 30, 100 nmol) and baclofen (1, 10, 30 nmol). Neuropathic pain was induced by ligation of sciatic nerve with Partial Sciatic Nerve Ligation (PSNL) method). Treatments were administrated intrathecally once a day for seven consecutive days, at a week after induction. On day 15 th, mice were sacrified and the spinal cord were removed quickly. The expression of NMDA receptor NR2B subunit were examined with imunohistochemistry and data were analyzed by one way anova. The result from this research was gabapentin and baclofen administration significantly decrease expression of NMDA receptor NR2B subunit in mice compared to sham group. The higher the dose, the more effective to decrease the number of neuron that express NR2B. The conclusion of this research was gabapentin and baclofen treat neuropatic pain by decreased the number of NMDA receptor NR2B subunit. Keywords: Neuropathic pain, PSNL, baclofen, gabapentin, spinal cord. Abstrak: Nyeri neuropati merupakan nyeri yang disebabkan oleh trauma atau cedera pada saraf. Saat ini, terapi untuk mengatasi nyeri neuropati beralih pada agonis GABA yang menyebabkan kembalinya keseimbangan antara neurotransmitter eksitatori dan inhibitori di sistem saraf pusat (SSP). Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan efektivitas dari gabapentin dan baclofen dalam menurunkan ekspresi dari reseptor N-Methyl-D-Aspartate (NMDA) subunit NR2B pada nyeri neuropati. Empat puluh mencit dibagi kedalam 8 kelompok yaitu: sham, kontrol negatif, gabapentin (10, 30, 100 nmol) dan baclofen (1, 10, 30 nmol). Nyeri neuropati diinduksi dengan ligasi pada saraf sciatic dengan metode Partial Sciatic Nerve Ligation (PSNL). Senyawa uji diberikan setiap hari selama tujuh hari, satu minggu setelah induksi. Pada hari ke-15, mencit dikorbankan dan diambil bagian spinal cord. Ekspresi reseptor NMDA subunit NR2B diamati dengan imunohistokimia dan data dianalisis menggunakan anova satu arah. Hasil dari penelitian ini menunjukkan gabapentin dan baclofen menurunkan ekspresi reseptor NMDA * Penulis korespondensi, Hp fiezz_15@yahoo.co.id

9 9 FAJRIN ET AL. Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia subunit NR2B (dose dependent) dibandingkan kelompok sham. Kesimpulan dari penelitian ini bahwa gabapentin dan baclofen dapat mengatasi nyeri neuropati melalui penurunan aktivitas reseptor NMDA subunit NR2B. Kata kunci: nyeri neuropati, PSNL, gabapentin, baclofen, spinal cord. INTRODUCTION INTERNATIONAL Association Study of Pain defines that pain is an unpleasant sensory and emotional experience associated with actual or potential damage (1). Many people think that pain is a simple condition, but pain without an appropriate treatment can cause a condition that is called chronic pain. Neuropathic pain, one of the condition that leads chronic pain condition, is a spontaneous pain and hypersensitivity to pain in association with damage or a lesion of a nervous system. Neuropathic pain included in chronic pain, pain with duration more than six month. Neuropathic pain, one of the condition that leads chronic pain condition, is a spontaneous pain and hypersensitivity to pain in association with damage or a lesion of a nervous system (2). Until now, pathophysiology of neuropathic pain is still not properly understood, so an appropriate treatment for this condition is still be a challenge. Treatment for neuropathic pain is so important, because adverse effect of drugs that have been used as first line treatment and in the other hand the use of morphine is still debated. Chronic pain was related to imbalance between neurotransmitter in brain. This proccess includes exitatory neurotransmitter (i.e glutamate) and Inhibitory neurotransmitter (i.e GABA). Glutamate and GABA are the important key in pathophysiology of chronic pain (3). NR2B is one of the subunit receptor of NMDA that plays essensial role in dorsal horn of spinal cord, an important key for neuropathic pain (4). Neuropathic pain always associated with increasing the expression of NMDA receptor subunit NR2B. Higher NR2B expression was reported in neuropathic condition (5). So, increasing the activation of inhibitory neurotransmitter, GABA will appropriate as an alternative management therapy. Gabapentin and Baclofen are drugs that have an action in GABA receptor. Both of them can induct the activation of GABA and then inhibit activation of NMDA subunit NR2B. Eventhough this drugs are not primary used in neuropathic pain, but hopefully because of their mechanism can give an explaination how both of them work in neuropathic patophysiology. In this research, we try to get an explanation how the action of Gabapentin and Baclofen in neuropathic especially in NMDA receptor subunit NR2B. MATERIALS AND METHOD MATERIALS. Male Balb-C mice (20-25 g) were obtained from Faculty of Pharmacy University of Airlangga Surabaya and maintained in room temperature with 12 h light/dark cycle. They had free access to food and water. Gabapentin and Baclofen were purchased from Sigma. Each of them was dissolved in 1 ml of normal saline. Gabapentin and baclofen was administration as a solution 5 µl by intrathecally. METHODS. Neuropathy induction by ligation. Mice were weighed and divided into 8 groups of each 5 animals: on day 0, each mice in group 1-7 (neuropathy group) will induce neuropathy with PSNL method. Mice were anasthetized with aether and tying 1/3-1/2 of dorsal portion of sciatic nerve on the left lumbar nerve of mice with 8-0 silk. In group 8 (Sham group), the sciatic nerve was exposed without ligation. On day 7-13, each group will receive different treatment one daily: negative control (normal saline), sham (normal saline), gabapentin groups (dose 10, 30 and 100 nmol) and baclofen groups (dose 1, 10 and 30 nmol) by intrathecal. On day 14 th, all mice will sacrifice with decapitation and spinal organ of each mice was immediatelly removed. Each spinal cord was fixed in neutral buffer formalin (NBF) 10% for 24 hours. Application of Drugs. All treatments were dissolved in normal saline. Intrathecal injection were administrated according to Hylden and Wilcox (1980). In brief, mice were restrained the left hand and the injection was performed in the right hand. Drugs were injected 5 µl into the spinal subarachinoid space between L5 and L6 using 30 gauge needle combine to 10 µl Hamilton syringe. The right placement of the drugs administration was demonstrated by a quick flicking motion of the mouse s tail upon entry of needle (6). Immunohistochemistry. Tissue section from 3 mice were used for imunohistochemistry (IHC). Mice were sacrified with dislocation method and the spinal tissue were removed quickly. The IHC method that was used in this research was labelled-streptavidin biotin II (LSAB II), fixation samples with NBF 10% with paraffin block method and sliced of 3-4 µm. These samples were then routinely processed using imunohistochemistry with mouse NMDA receptor subunit NR2B antibody (1:100).

10 Vol 14, 2016 Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia 10 Statistical Analysis. Data are described as the mean ± SEM. The comparation of the number of cell that express NMDA receptor NR2B subunit between treatment groups were tested by one-way ANOVA followed by Tukey s HSD. Differences p value of less than 0.05 were considered statistically significant. RESULTS AND DISCUSSION In neuropathy model, mice were inducted by PSNL method. According to Bridges, et al (7), PSNL was widely used because this method was analog with human condition. This method caused 60% hyperalgesia and allodynia that was usually seen by increasing the response of animal in noxious stimulus or non noxious stimulus. Neuropathy that was caused by PSNL contributed to neuronal damage, particularly at L4 and L5 of the spinal cord (8). activation of nociceptor (10). This process is followed by pain transmission by Aδ and C nerve fibers from dorsal horn of spinal cord to the brain, then induces release of excitatory neurotransmitter (i.e glutamate and substance P). Glutamate binds non NMDA receptors (i.e AMPA and kainite), whereas substance P binds to NK-1 receptors, causes depolarization. Continuous depolarization causes loss inhibition of Mg 2+ blockade on NMDA receptor channel, resulting Ca 2+ influx from extracellular to intracellular. Ion Ca 2+ binds calcium calmodulin (CaM) and stimulates activation of calcium-stimulated signaling pathways. This process involves two pathways, adenylate cyclase and protein kinase, including calcium-calmodulin dependent protein kinase II (CaMKII) and mitogenactivated protein kinase (MAPK). All of the process increases activation of NMDA receptor by higher expression of NR2B subunit (11,12). Table 1. Number of cells that express the activity of NR2B subunit on dorsal horn of spinal cord mice with neuropathic pain. Note: Different letter show significantly of average number of cell that express NR2B subunit activity in each treatment with one way anova analysis, followed by tukey HSD (p<0.05). Figure 1. Imunohistochemistry of dorsal horn of mice with magnification of 40x (A,B), 400x (C,D) and 1000x (E,F). Red arrow show activity of NMDA receptor NR2B subunit. Based on Figure 1, negative control (neuropathic group) had higher intensity of brown colour than sham group. Chronic pain induction by ligation caused higher intensity of brown colour in the cytoplasm of dorsal horn of mice. Higher intensity of brown colour indicated higher activity of NR2B subunit. According to Guo, et al (9), the increased activity of NR2B subunit was associated with tyrosine phosphorylation that was occurred in chronic pain conditions. Neuropathy causes signal transduction and followed by releasing of inflammatory mediators (such as prostaglandins, bradykinin, histamine and serotonine), results Influence of gabapentin and baclofen administration to the activity of NR2B subunit in neuropathic pain were analyzed by brown colour as positive marker of NR2B subunit activities. This action was showed at Fig 2 and 3. Figure 2 dan 3 showed that brown colour intensity decreased by the administration of gabapentin and baclofen. The number of neuron that expressed the activity of NMDA receptor NR2B subunit in dorsal horn was showed at Table 1. Gabapentin and baclofen administration decreased activity of NR2B subunit, that was characterized by decreasing the intensity of brown colour. Higher doses indicates lower activity of NR2B subunit. Neuropathy causes imbalance between inhibitory neurotransmitter (GABA) and excitatory neurotransmitter (Glutamate) and leads to neuronal

11 11 FAJRIN ET AL. Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia CONCLUSIONS Gabapentin and Baclofen decrease the activity of NMDA receptor NR2B subunit in mice with neuropathic pain. REFERENCES Fig 2. Imunohistochemistry of dorsal horn from spinal cord of mice with NR2B subunit antibody, neuropathic group (A), baclofen groups: 1 nmol (B), 10 nmol (B) and 30 nmol (C), observed at 1000 magnification. Red arrow show activity of NMDA receptor NR2B subunit. Fig 3. Imunohistochemistry of dorsal horn from spinal cord of mice with NR2B subunit antibody, neuropathic group (A), gabapentin groups: 10 nmol (B), 30 nmol (B) and 100 nmol (C), observed at 1000 magnification. Red arrow show activity of NMDA receptor NR2B subunit. damaging. Gabapentin and baclofen have been known as GABA agonist, drugs that increasing activity of GABA receptor with two different mechanism. Gabapentin binds to α 2 δ 1 subunit in Ca 2+ canal and inhibits glutamate released (13,14). The other side, baclofen is a GABA B agonist receptor that stimulates hyperpolarization by increases K + influx and decreases Ca 2+ influx and inhibit glutamate released (15,16). Higher activation of GABA leads increasing of GABA release and causes hyperpolarization. This process will inhibit release of excitatory neurotransmitter (i.e glutamate and substance P), decreases Ca 2+ influx, resulting decreases activity of NR2B subunit and lowering pain sensitization (17). By this research, dose gabapentin 100 nmol and baclofen 30 nmol give the biggest improvement in neuropathic pain. 1. International Association for the Study of Pain (IASP). IASP taxonomy. diambil dari diakses 15 Oktober, Chandra D, Korpi ER, Miralles CP, de Blas AL, Homanics GE. GABA A receptor γ2 subunit knockdown mice have enhanced anxiety-like behaviour but unaltered hypnotic response to benzodiazepines. BMC Neuroscience (30): Bowery NG, Bettler B, Froestl W, Gallagher JP, Marshall F, Raiteri M, et al. International Union of Pharmacology XXXIII. Mammalian γ-aminobutyric acid B receptors: Structure and function, Pharmacological Reviews (2): Hu J, Wang Z, Guo YY, Zhang XN, Xu ZH, Liu SB, et al. A role of periaqueductal grey NR2B-containing NMDA receptor mediating persistent inflammatory pain. Molecular Pain (5): Riley J and Boulis NM. Molecular mechanism of pain: A basis for chronic pain and therapeutic approaches based on the cell and the gene. Clinical Neurosurgery (1): Nakamura Y, Morioka N, Zhang FF, Hiasaoka- Nakashima K, Liu K, Nishibori M, et al. Neuropathic pain in rats with a partial sciatic nerve ligation is alleviated by intravenous injection of monoclonal antibody to high mobility group Box-1. PLoS One :e Bridges D, Thompson SWN, Rice ASC. Mechanisms of neuropathic pain. British Journal of Anaesthesia (1): Xie W. Assessment of pain in animals. In: Ma C and Zhang JM, editors. Animal models of pain, New York: Humana Press; Guo W, Zou S, Guan Y. Tyrosine phosphorylation of the NR2B subunit ot the NMDA receptor in spinal cord during the development and maintenance of inflammatory hyperalgesia. The Journal of Neuroscience : Woolf CJ. Pain: moving from symptom control toward mechanism-specific pharmacologic management. Annals of Internal Medicine : Petrenko AB, Yakamura T, Baba H, Shimoji K. The role of N-methyl-d-aspartate (NMDA) receptor in pain: A review. Anesthesia & Analgesia : Zhuo M, Wu G and Wu LJ. Neuronal and microglial mechanism of neurophatic pain (Review). Molecular Brain (4): Bee LA and Dickenson AH. Neuropathic pain: Multiple mechanism at multiple sites. Future Neurology (6):

12 Vol 14, Hahm TS, Ahn HJ, Bae CD, Kim HS, Lim SW, Cho HS, et al. Protective effects of gabapentin on allodynia and αδ-subunit of voltage-dependent calsium channel in spinal nerve-ligated rats. Journal of Korean Medical Science : Bettler B, Kaupmann K, Mosbacher J and Gassmann M. Molecular structure and physiological functions of GABA B rceptors. Physiological Reviews : Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia Benke D, Zemoura K and Maier PJ. Modulation of cell surface GABA B receptors by desensitization, trafficking and regulated degadration. World Journal of Biological Chemistry (4): Urban MO, Ren K, Park KT, Campbell B, Anker N, Stearns B, et al. Comparison of the antinociceptive profiles of gabapentin and 3-methylgabapentin in rats models of acute and persistent pain: Implications for mechanism of action. The Journal of Pharmacology and Experimental Theraupetics (3):

13 6 ET AL. Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia

14 Vol 13, 2015 Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia 7

15 JURNAL ILMU KEFARMASIAN INDONESIA, April 2016, hlm ISSN Vol. 14, No. 1 Activity Tests of Bioactive Material of Salung Leaf (Psychotria viridiflora Reinw. Ex. Blume) against Salmonella thypi Bacteria In Vitro And In Vivo Uji Aktivitas Bahan Bioaktif dari Daun Salung (Psychotria viridiflora Reinw. Ex. Blume) terhadap Bakteri Salmonella thypi secara In Vitro dan In Vivo SALNI *, HANIFA MARISA, HARMIDA Department of Biology, Sriwijaya University, Jln. Palembang-Prabumulih KM 32 Indralaya (OI) South Sumatera, Indonesia, Diterima 27 November 2015, Disetujui 7 Februari 2016 Abstract: Activity test of bioactive material of Salung leaf (Psychotria viridiflora Reinw. ex. Blume) against Salmonella thypi in vitro and in vivo has been carried out. Bioactive material was obtained from the maceration and followed by fractionation of liquid-liquid fractionation. Antibacterial activity test performed in vitro to determine the value of the minimum inhibitory concentration (MIC) and in vivo to determine the ability of bioactive cure diarrhea in in rats (Rattus norvegicus) infected by Salmonella typhi. Treatment of bioactive material given is 0, 10, 50 and 100 mg kg -1 of weight. The results showed that the MIC of salung leaf s bioactive material to Salmonella typhi was 250 µg ml -1. Bioactive ingredient at dose of 10 and 50 mg kg -1 were able to decrease the number of bacterial colonies to 4.14x10 6 cfu g-1 and 5.4x10 5 cfu g -1, less than 5.04x10 6 cfu g -1 as control. Bioactive material in weight of 100 mg kg -1 of weight could reduce the population of Salmonella typhi to zero after 12 days of treatment. The ability to reduce the amount of bacterial colonies of the bioactive material 100 mg kg -1 of weight is equal to the ability of positive control chloramphenicol 10 mg kg -1 of weight. Keywords: antibacterial, bioactive material, Psychotria viridiflora, Salmonella thypi, Rattus norvegicus. Abstrak: Telah dilakukan uji aktivitas bahan bioaktif dari daun Salung (Psychotria viridiflora Reinw. ex. Blume) terhadap bakteri Salmonella thypi secara in vitro dan in vivo. Bahan bioaktif diperoleh dari proses maserasi dan dilanjutkan dengan fraksinasi secara fraksinasi cair-cair (FCC), Pengujian aktivitas antibakteri dilakukan secara in vitro untuk menentuan nilai konsentrasi hambat minimum (KHM) dan pengujian secara in vivo pada tikus putih (Rattus norvegicus) untuk mengetahui kemampuan bioaktif menyembuhkan penyakit diare yang diinfeksi dengan Salmonella typhi. Perlakuan bahan bioaktif yang diberikan 0, 10, 50 dan 100 mg/kgbb. Hasil penelitian menunjukkan bahwa KHM bahan bioaktif dari daun salung terhadap bakteri Salmonella typhi yaitu 250 µg/ml. Bahan bioaktif pada dosis 10 mg/kgbb dan 50 mg/kg mampu menurunkan jumlah koloni bakteri menjadi 4,14x10 6 dan 5,4x10 5 cfu/g, lebih sedikit dibanding kontrol 5,04 x 10 6 cfu/g. Bahan bioaktif 100 mg/kgbb dapat menurunkan populasi bakteri Salmonella typhi sampai nol setelah 12 hari pengobatan. Kemampuan bahan bioaktif 100 mg/ kgbb sama dengan kontrol positif kloramfenikol 10 mg/kgbb. Kata kunci: antibakteri, bahan bioaktif, salung, Salmonella thypi, Rattus norvegicus. * Penulis korespondensi, Hp salnibasir@yahoo.com

16 14 SALNI ET AL. Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia INTRODUCTION DIARRHEA remains a global health problem, both in developed countries and developing countries. The severity of the problem is evident from the high morbidity and mortality due to diarrhea. WHO estimates that 4 billion cases of diarrhea occur in the world in 2004 and 2.2 million of them died, mostly children under the age of 5 years (1). Diarrhea can be caused by infection or noninfection. Most diarrhea occur is infectious diarrhea. Infectious diarrhea can be caused by bacteria, viruses, and parasites. Diarrhea infection of Shigella flexneri contributes 60% of diarrhea cases in developing countries. Shigella sonnei causes 77% of diarrhea cases in developed countries and 15% in developing countries. Shigella dysenteriae is usually the cause of dysentery epidemic, especially in populations that are restricted such as a place of evacuation. Salmonella typhi, one of species of the genus Salmonella cause acute gastrointestinal with diarrhea as most prominent symptom, accompanied by nausea and vomiting. Salmonella typhi also can cause typhoid fever (2). From 37 species of medicinal plant in South Sumatera that had been examined, the antibacterial activity of 33 species were confirmed, and the most active from each district were obtained from Muara Enim, namely kayu kuman (Rhinacanthus nasutus (L.) Kurz), Musi Rawas namely daun salung plant (Psychotria viridiflora Reinw. ex Blume), Musi Banyuasin namely temengo plant (Melochia umbellata [Houtt.] Stapf), Ogan Ilir namely tahi babi (Adenostemma lavenia Linn.) and Lahat namely kilinyu plant (Eupathorium Odoratum L). These plants have high potential to be developed as herbal medicine to cure the skin infection and as sources of new antibacterial compound (3). Traditionally, salung leaf (Psychotria viridiflora Reinw. Ex. Blume) has been used to treat diarrhea and skin infections. This plant has high potential as source of bioactive materials to treat diarrhea and as source of antibacterial compounds. Ethyl acetate fraction of salung leaf have strong antibacterial activity against bacteria. Ethyl acetate fraction isolated is EA1 isolate antibacterial compounds. Minimum Inhibitory Concentration (MIC) of EA1 isolate against Escherichia coli ATTC and Staphylococcus aureus ATTC was 62.5 mg ml -1. EA1 isolate is included in antibacterial compounds that have a very strong activity (4). Further test of EA1 isolate activity against Salmonella typhi and Shigella disentriae had been carried out, MIC values of EA1 isolate against Salmonella typhi and Shigella dysentriae was 62.5 mg ml -1(5). In order to determine the potential of bioactive materials (ethyl acetate fraction) salung leaf to treat diarrhea caused by the bacterium Salmonella typhi, research of activity test of leaf Salung bioactive materials (Psychotria viridiflora Reinw. Ex. Blume) against Salmonella typhi bacteria in vitro and in vivo needs to be carried out. MATERIALS AND METHOD MATERIALS. Materials used in this study includes salung leaf (Psychotria viridiflora Reinw. Ex. Blume), Salmonella typhi from Biofarma Bandung, Rattus novergicus from ITB Bandung, paper disc 6 mm, filter paper, nutrient agar (NA), medium nutrient broth (NB), n-hexane, ethyl acetate, methanol, dimethyl sulfoxide solvent and silica gel GF 254. Instruments. The equipment used includes autoclave, hot plate, incubator, thin layer chromatography, column chromatography, laminar air flow cabinet, magnetic stirrer, electric heating, water bath, the capillary pipette, serological pipette, rotary evaporator, Soxhlet and Spectronic 20- D. METHOD. Extraction. Dried Salung leaf were crushed using a blender to obtain a simplicia powder. A total of 1000 g of simplicia powder extracted by maceration with methanol. Extraction is done for ± 2 days, then filtered, with 2 repetition. Liquid methanol extract was evaporated with a rotary evaporator to obtain a thick extract. Thick extract is dried with a water bath. Fractionation. Fractionation was conducted using liquid-liquid fraction method. The extract was added with methanol and water (with ratio of 3:7). After that, n-hexane of 250 ml was added up to 4 times (4 x 250 ml). Fractions of methanol and n-hexane were separated by a separator funnel in order to obtain the fraction of n-hexane. Fraction of methanol-water is added with 250 ml of ethyl acetate up to 4 times (4x250 ml), then separated by a separator funnel to obtained fraction of ethyl acetate. N-hexane fraction, ethyl acetate and methanol-water fractions were evaporated with a rotary evaporator and water bath. From the fractionation, obtained three fractions, namely fraction of n-hexane, ethyl acetate, and methanol in the form of pasta. Ethyl acetate fraction is the bioactive material. Determination of Minimum Inhibitory Concentration (MIC). MIC determination was done by agar diffusion method using a paper disc with diameter of 6 mm. The procedure was as follows: Bioactive materials (ethyl acetate fraction) was prepared at a concentration of 4000, 2000, 1000, 500, 250, and 125 µg ml -1 using DMSO (dimethyl

17 Vol 13, 2015 Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia 15 sulfoxide). Test bacteria was inoculated into Nutrient Broth media about 1-2 ose needle, then incubated for 24 hours at 37 C. The bacterial suspension was shaken by a vortex. The transmittance on Spectronic 20-D was measured with wavelength of 580 nm. Transmittance is set at 25% by the addition of bacterial or liquid medium. The bacterial suspension of 0.1 ml was added to petri dish, then added by nutrient agar medium of 10 ml. Paper discs were inserted and solution of 10 µl bioactive materials dropped into medium containing bacteria. After incubated for 24 hours at a temperature of 37 C, diameter of inhibitory measured using vernier calipers. Activity Test of Bioactive Materials In vivo. Test of the activity of bioactive materials in vivo conducted on mice with treatment as follows: test bacteria (as control), bacteria + fraction of ethyl acetate 10 mg kg -1 of weight, bacteria + fraction ethyl acetate 50 mg kg -1 of weight, bacteria + fraction of ethyl acetate 100 mg kg -1 of weight and bacteria + antibiotics. The mice infected by Salmonella typhi bacteria on day 0, bioactive material given orally for 12 days. During the experiment, mice were given food and drink. Observation to the condition and symptoms of abnormality was carried out every day. The feces of mice were taken every 2 days. Feces were weighed 1 g then dilution performed 5 times, ranging from 10-1 to After that, the last 3 dilution series were taken, sown in SSA medium, incubated at room temperature for 24 hours. Then, the number of Salmonella typhi bacteria found in feces was calculated. The comparison antibiotics were also given daily after incubation period of 8 days, the comparison antibiotic of chloramphenicol used was 10 mg kg -1 (modification (6) ). RESULTS AND DISCUSSION Extraction and Fractionation. The extraction of 1000 g of salung leaf (Psychotria viridiflora) simplicia with methanol was performed by maceration methods. The result obtained as much as 415 g. Table 1 show the result of fractination from methanol extracts. The fractionation results of 415 g salung leaf extract obtained n-hexane fraction of 30 g (7.25%), ethyl acetate fraction of 135 g (32.50%) and 250 of methanol-water fraction (60.25%). Solvents used in the fractionation process have different abilities in attracting compounds contained in extracts. Ethyl acetate fraction (bioactive materials) activity was tested in vitro and in vivo against Salmonella typhi bacteria. Minimum Inhibitory Concentration (MIC) of Ethyl Acetate Fraction. The antibacterial activity test Table 1. Results of fractination of the methanol extract from salung leaf using different solvents. Table 2. Minimum inhibitory concentration (MIC) of ethyl acetate fraction of salung leaf extract against Salmonella typhi. Figure 1. Minimum Inhibitory Concentration(MIC) of salung leaf bioactive materials against Salmonella typhi. to the fraction of n-hexane, ethyl acetate and methanolwater showed ethyl acetate fraction have the strongest activity to the Escherichia coli and Staphylococcus aureus (4). In this study, the determination of MIC of ethyl acetate fraction to the bacteria Salmonella typhi can be seen in Table 2. Table 2 and figure 1 shows the diameter of inhibition zone formed around the paper disc which is indication of the strength of antibacteria activity from ethyl acetate fraction. The result showed that the lower concentration, the smaller diameter of the inhibition zone was formed. The largest diameter of inhibition zone of ethyl acetate fraction is mm against Salmonella typhi at a concentration 4000 µg ml -1, while the smallest diameter of inhibition zone is 7.00 mm against Salmonella typhi at a concentration of 250 µg ml -1. Based on diameter of inhibition zone, the fraction of ethyl acetate can be classified into a strong antimicrobial. This is in accordance with the opinion of (7), bactericidal ability in inhibiting the growth of bacteria by regional obstacles have a certain range. Inhibition zone of 20 mm or more is classified very strong, inhibition zone of mm

18 16 SALNI ET AL. is classified strong, inhibition zone of 5-10 mm is classified moderate, inhibition zone of 5 mm or less is classified weak. In Table 2, the smallest concentration of materials bioactive which capable to inhibit the growth of Salmonella typhi is 250 µg ml-1, this concentration is namely the MIC value of materials bioactive. The bioactive materials is classified into strong antibacterial activity because the bioactive material has MIC between µg ml -1. This is in accordance with the opinion of (8) that based on the value of the MIC, the antibacterial compounds can be divided into four: active compounds that have a MIC of less than 100 µgml -1 were classified as a compound which has a very strong antibacterial activity. This compound is very good to be used as drug compounds. Active compounds which have MIC values between µg ml -1 were classified as compounds that have antibacterial activity strong enough. Active compounds which have MIC values between µg ml -1 were classified as compounds that have weak antibacterial activity and compounds active compounds which have more than 1000 MIC µg ml -1 were classified as compounds having antibacterial activity. Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia Bioactive materials such as ethyl acetate fraction found in this study has a MIC value almost the same as antibacterial fractions derived from other plants such as the antibacterial activities of ethyl acetate fraction of methanol extract from Kalanchoe pinnata Pers. leaf both to Gram positive bacteria and Gram negative bacteria. MIC value of the fraction to Gram positive bacteria (Staphylococcus aureus, Bacillus subtilis) is 192 mg ml -1 and Gram negative bacteria which are Escherichia coli ATCC and Pseudomonas aeruginosa is 192 mg ml -1, but the MIC value to Salmonella typhi is 128 mg ml -1. TLC identification show that the fraction contains flavonoid (9). Bioactive material (ethyl acetate fraction) activity in vivo. Ethyl acetate fraction activity in vivo was indicated from the amount of colonies of S. typhi bacteria that grow on the medium SSA by the feces of mice in treatment. Feces of mice weighed 1 g was dissolved in 10 ml of sterile distilled water, dilution up to 5 times. The diluted feces of 1 ml was inserted into a petri dish, added with SSA medium, and then incubated for 24 hours. The amount of bacterial colonies growing calculated after incubation. The result number of colonies can be seen in Table 3, Figure 2 and 3. Table 3. Amount of Salmonella typhi bacterial cell in the mice feces in 12 days of treatment by ethyl acetate fraction of salung leaf and chloramphenicol. Note: A1= control (no treatment), A2=10, A3= 50, A4=100 mg kg -1 of weight (treatment with salung leaf) and A5= 10 mg kg -1 of weight (treatment with chloramphenicol). (a) (b) Figure 2. Salmonella typhi bacterial breed at 6 (a) and 12 days (b) in mice feces with the treatment by ethyl actetate fraction of salung leaf extract. A1= control (no treatment), A2=10, A3= 50, A4=100 mg kg -1 of weight (treatment with salung leaf) and A5= 10 mg kg -1 of weight (treatment with chloramphenicol).

19 Vol 13, 2015 Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia 17 Figure 3. Amount of Salmonella typhi bacterial cell in the mice feces in 12 days of treatment by ethyl acetate fraction of salung leaf and chloramphenicol. A1= control, A2=10, A3=, A4=100 mg kg -1 of weight and A5= chloramphenicol 10 mg kg -1 of weight. Amount of S. typhi bacteria cell in the feces before treatment is 0.0. After two days of treatment, the amount of S. typhi bacteria cell is at the ranges from 5.2x10 4 to 5.3x10 4. The amount of bacterial cells in control increase with the highest amount on the tenth day after the infection is x At a dose of 10 mg kg -1 of weight, amount of bacterial cells on day 12 was 4.14 x 10 6, less than the control which is 5.04 x The amount of bacterial cells in a dose of 50 mg kg-1 of weight on day 12 was 5.4 x 10 5, much less than control. The amount of bacterial cells in a dose of 100 mg kg -1 of weight after 12 days is zero. The value is equal to the amount of bacterial cells in the control treatment chloramphenicol 10 mg kg-1 of weight. The higher dose of the bioactive material given, the higher antibacterial activity and the less amount of colonies of bacterial found in feces of mice. This is caused by the increasing amount of antibacterial compounds contained in the bioactive substance. According to (6) that the activity of a fraction is related to the content of the active compound in the fraction. The more active compound content so the higher the activity of the fraction. The treatment of bioactive materials from Psychotria viridiflora leaf can be inhibit to the growth of Salmonella typhi bacteria in vivo at mice treatment. It is caused in the bioactive material contained antibacterial compounds of EA1 isolate. The EA1 isolate in vitro was active to the several bacterial such as Escherichia coli and Staphylococcus aureus ATTC with MIC value of 62.5 ug ml -1 (4). Furthermore, EA1 isolates in vitro was also active to the bacterial of Salmonella typhi and Shigella disentriae with MIC values of 62.5 ug ml -1(5). The bioactive material at a dose of 100 mg kg -1 of weight can cure diarrhea that caused by Salmonella typhi in mice after 12 days of treatment. The capacity of the bioactive ingredient 100 mg kg -1 of weight is almost the same as the positive control, chloramphenicol 10 mg kg -1 of weight. The capacity of the bioactive materials of the leaf salung better than beluntas leaf extract (Pluchea indica L). Leaf extract of beluntas need a dose of 600 mg kg -1 of weight while the bioactive materials of salung was 100 mg kg -1 of weight (10). Obtained that the activities of leaf extract beluntas in curing diarrhea in mice that induced by Salmonella typhi leaf extracts. The result obtained is beluntas have antidiarrheal effect at doses of 150 and 300 mg kg -1 of weight and at a dose of 600 mg kg -1 of weight give effect comparable with loperamide. CONCLUSIONS The conclutions of the research show that the Minimum Inhibitory Concentration (MIC) of bioactive materials (ethyl acetate fraction) of Psychotria viridiflora leaf to the Salmonella typhi is 250 µg ml -1. The bioactive materials is classified as the antibacterial materials that have a strong activity. The bioactive materials of Psychotria viridiflora leaf with 10 to 50 mg kg -1 of weight can decrease the amount of Salmonella typhi bacteria cells in vivo to the mice more than control. The bioactive materials at a dose of 100 mg kg -1 of weight can cure diarrhea that caused by Salmonella typhi after 12 days of treatment. The capability of the bioactive materials of 100 mg kg -1 of weight is equal to the positive control chloramphenicol 10 mg kg -1 of weight. ACKNOWLEDGMENT We would like to thank the Sriwijaya University and DIKTI for financial support Hibah Bersaing 2015.

20 18 SALNI ET AL. REFERENCES 1. Adisasmito, W. Faktor resiko diare pada bayi dan balita Indonesia. Jurnal Makara (1): Tambayong, J. Mikrobiologi untuk keperawatan. Widya Medika. Jakarta Salni, Marisa H. Harmida. Screening of medicinal plants of South Sumatera for antibacterial activity against bacteria from skin infection. Proceeding of International Conference on Medicinal Plants. Airlangga University. Surabaya Juli 2010: Salni, Harmida, Mardita AD. Isolasi senyawa antibakteri dari daun salung (Psychotria viridiflora Reinw. ex. Blume) dan penentuan konsentrasi hambat minimum terhadap Escherichia coli dan Staphylococcus aureus. Prosiding Seminar Keanekaragaman Hayati, Solo 9-10 November 2013: Salni, Marisa H, Harmida. Uji aktivitas antibakteri isolat EA1 dari daun salung (Psychotria viridiflora Reinw. ex. Blume). terhadap bakteri Salmonella typhi dan Shigella dysentriae. Prosiding Seminar Nasional Kimia Bahan Alam, UPI, Bandung Oktober 2014: Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia 6. Jang GC, Kang OH, Lee YS, Chae HS, Oh YC, Brice OO, Kim MS, Sohn DH, Kim HS, Park H, Shin DW, Rho JR, Kwon, YD. In vitro and in vivo antibacterial activity of Punica granatum peel eethanol extract againt Salmonella. Evidence Based Complementary and Alternative Medicine. 2011: Greenwood SR, Paul J. Medical Microbiology. ELBS. Hongkong Holetz FB, Pessini GL, Sanches NR, Cortez DAG, Nakamura CV, Filho BPD. Screening of some plants used in the Brazilian folk medicine for the treatment of infectious diseases. Journal of Bioline International (7): Nuria MC, Astuti, Sumantri, EP. Antibacterial activities of ethyl acetate fraction of methanol extract from sosor bebek leaves (Kalanchoe pinnata Pers.). Mediagro (2): Nurhalimah H, Wijayanti N, Widyaningsih TD. Efek antidiare ekstrak daun beluntas pada mencit. Jurnal Pangan dan Agroindustri (3):

21 JURNAL ILMU KEFARMASIAN INDONESIA, April 2016, hlm ISSN Vol. 14, No. 1 The Role of Fennel Infusion on Estrous Cycle and Follicles Development of White Rats (Peran Infusa Buah Adas terhadap Siklus Estrus dan Perkembangan Folikel pada Tikus Putih) HERA MAHESHWARI *, ARYANI SISMIN SATYANINGTIJAS, EVA HARLINA, UMI CAHYANINGSIH, MULYATI EFFENDI, MUHAMMAD ADIB MUSTOFA, YENI KEZIA BEKALANI Faculty of Veterinary Medicine, Bogor Agricultural University, Jl Agatis, Kampus IPB Darmaga Bogor, West Java, Indonesia, Submitted 22 Juni 2015, Accepted 5 November 2015 Abstract: This study aims to describe the estrous cycle and follicles development in female rats given infusion of fennel fruit that known to have phytoestrogen compound. Twenty five of female rats were used in this research and were divided into 5 groups. Group I was negative control group (NC), given 1 ml/100g bw of distilled water, group II was positive control group (PC), given mg/100g bw of ethinyl estradiol, groups III, IV and V were treatment groups (TI, T2 and T3), given fennel infusion at 36.5; 73 and 146 mg/100g bw respectively. All treatments were conducted every morning for 20 days by oral route. Changes of vaginal epithelium were observed through vaginal swabs previously stained with Giemsa stain. Histopathological examination of ovarian swere examined to reveal follicles development. Results showed that fennel fruit infusion extended the duration of estrous and metestrous phases, while shortened the proestrous and diestrous phases. Eventhough the longest estrous phase was found in T3 group, there was no significant effect on the lengthening of estrous cycle. Moreover, infusion of fennel fruit had no effect on the development of ovarian follicles, except tended to increase the number of corpus luteum. Keywords: phytoestrogen, fennel fruit, estrous cycle, follicles development, rat. Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji siklus estrus dan perkembangan folikel tikus betina yang diberi infusa buah adas yang diketahui memiliki kandungan fitoesrogen. Sebanyak 25 ekor tikus betina dipergunakan di dalam penelitian ini, dan dibagi menjadi 5 kelompok. Kelompok I yaitu kontrol negatif (KN) yang diberi air suling 1 ml/100g bb, kelompok II yaitu kontrol positif (KP) yang diberi etinil estradiol 0,0045 mg/100g bb, kelompok II, IV dan V adalah kelompok perlakuan (D1, D2 dan D3) yang diberi infusa adas dosis 36,5; 73 dan 146 mg/100 g bb. Pemberian infusa adas dilakukan setiap pagi hari dengan cara pencekokan selama 20 hari. Perubahan gambaran epitel vagina diamati secara mikroskopik pada preparat ulas vagina yang diwarnai dengan pewarna Giemsa. Pengamatan histopatologi ovarium dilakukan untuk mengobservasi perkembangan folikel. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian infusa memperpanjang periode fase estrus dan metestrus serta memperpendek durasi fase proestrus dan diestrus. Meskipun durasi fase estrus tampak paling panjang pada kelompok D3, tetapi tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap perpanjangan durasi siklus estrus. Lebih lanjut, infusi adas tidak berpengaruh terhadap tingkat perkembangan folikel ovarium tikus putih, kecuali kecenderungan meningkatkan jumlah korpus luteum. Kata kunci: fitoestrogen, adas, siklus estrus, perkembangan folikel, tikus. * Penulis korespondensi, Hp hera_maheshwari@yahoo.com

22 20 MAHESHWARI ET AL. Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia INTRODUCTION MENOPAUSE occurs when the ovaries are ageing and no longer give respond to the signals of gonadotropin to synthesize and secrete estrogen so that estrogen levels become decreasing. This phenomenon is due to the loss of follicle that in line with age by atresia and monthly ovulation. Loss of follicles resulting in reducing secretion of estrogen and progesterone. Decreased levels of estrogen and progesterone disrupt the axis of the hypothalamic-pituitary-ovarian and negative feedback mechanisms. Cycles halt although a small number of ovarian hormone is still secreted by the adrenal glands (1,2). Low level of estrogen has serious impact to women because it can cause a decrease in bone density, increase the risk of cardiovascular disease, dryness of skin and vaginal mucos as well as hot flashes or hot sensation throughout the body, sweating, tachycardia followed by redness of the skin. To overcome the effects caused by menopause stage, lots of women use hormone replacement therapy. However, given various negative impacts as a result of hormone replacement therapy, researchers begin to find substances that are safe forthe health as an estrogen replacement (3,4). Phytoestrogens are chemical substances found in plants and have similar effect as endogenous estrogen. It has structure that similar to 17 β estradiol, so that it can bind both estrogen receptor alpha (ERα) and estrogen receptor beta (Re β). Although it can bind estrogen receptor, effects of phytoestrogens are less active compared to natural estrogen (5). Phytoestrogens may reduce the activity of estrogen by inhibiting the activity of the receptors when estrogen levels are very high. On the contrary. when estrogen levels are low, phytoestrogens which is boundto the receptor can provide effects as natural estrogen (6). Several studies have shown the effects of phytoestrogens which slows menopause in women and reduce the symptoms. The presence of estrogenic agent in the early stages of development can spur t variety of reactions in the body of young rats. One is by stimulating the growth spurt of the reproductive organs, besides the possibility of the onset of puberty (7). Phytoestrogens have three main groups namely isoflavones, lignans and coumestane. These three groups of phytoestrogens can be found in at about 300 species of plants, especially legumes family. Soybeans, seeds, grains, legumes and vegetables are a source of phytoestrogens. Fennel fruit (Foeniculum vulgare Mill.) is known to contain trans-anetol, fenchone and estragol that assumed to be potential as phytoestrogens (8). Anethol is an active estrogen agent contained in fennel essential oils. Several other studies found that the actual pharmacologically active agent is a polymer of anethol, such dianethol and photoanethol. Fennel fruit used in this research was sweet fennel (Foeniculum vulgare, subspesies vulgare varietas dulce Mill.). Sweet fennel contains anethol (50-80%), limonen (5%), phenicon (5%), alpha-pinen (0.5%),estragol (methyl-chavicol), safrol, camphene, beta-pinen, beta-myrcenedan p-cymen (9). Fennel have pivotal role in increasing immunity, healing flu, overcoming early ejaculation, and stimulate erection. Fennel is also to have anasthetic effect, diaphoretic, stimulate central nervous system, and stimulate androgen secretion. Fennel also have role in inhibiting secretion of certain enzyme such as aldose-reductase, phosphodiesterase and lipoksiginase. Another effects of fennel are delaying of ageing, stimulating ovulation and protecting the liver from any toxins (antihepatotoksic) (10-13). Based on the previous research about the content of phytoestrogens in fennel, this research aims to study the effect of fennel infusion at various doses on the estrous cycle and ovarian follicles development of white rats (Rattus novergicus) at productive age to explore its potential for overcoming condition caused by low level of endogenous estrogen or for anti ageing agent. MATERIALS AND METHOD METHOD. Preparation of Fennel Fruit Infusion. Plant determination was conducted at Herbarium Bogoriense, Bogor. Dried simplisia of fennel fruit was grinded and filtered using mesh 8 and 24 filters. Infusion given as treatment was made everyday (fresh) by boiling 10 mg of fennel fruit in 100 ml of water at 60 0 C for 15 minutes. The solution was then filtered using mesh 30 filter, and kept in a clean bottle. Animals Housing. This research used 25 female rats strain Rattus novergicus, g of body weight (bw), aged 5 months, and have delivered offspring twice. All rats were maintained in cages containing 2-3 individuals. Prior to treatment, all animals were acclimatized for 2 weeks. Feedstuff and water were given ad libitum. After acclimatization, the animals were divided into 5 groups. Group I was negative control group (NC) given 1 ml/100 g bw of distilled water, group II was positive control group (PC) given mg/100 g bw of ethinyl estradiol, groups III, IV and V were treatment groups (T1, T2 and T3) given fennel infusion at three different doses of 36.5; 73 and 146 mg/100 g bw respectively (14). Experimental Design. Adminstration of distilled water, ethinyl estradiol and fennel infusion were completed by oral route for 20 days. Vaginal swabs

23 Vol 14, 2016 Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia 21 were taken twicea day, in the morning and in the afternoon with a period of 12 hours and stained with Giemsa. The changes of vaginal epithelium were examined to determine estrous cycle phases using a light microscope15. At the end of the treatment, the animals were ether-anaesthezied, and subjected to cervicalis dislocation before necropsy. Ovarians were then collected, kept in Buffer Neutral Formalin (BNF) 10% and prepared for histopathological examination after Hematoxylin and Eosin (HE) staining. Follicles development was evaluated by calculating the number of follicles of both right and left ovaries in various phases of its development (16). Data analysis. Data obtained were analyzed using Analysisi of Variant (ANOVA) and continued by Duncan s testwith two variables to evaluate the effect of fennel infusion and the effective dose. RESULTS AND DISCUSSION Role of Fennel Infusion to The Length of Estrous Cycle. Phases in estrous cycle in rat showed in Figure 1. In general, the length of estrous cycle in female white rats is 4-5 days. Normal duration for proestrous, estrous, metestrous and diestrous phases are 12, 12, 21 and 57 hours respectively (17,18). Determination of the stage of the phases referred to as Figure 1. Data obtained from this research showed that the total length of the estrous cycles in the positive control group (PC) and in all treating groups (T1, T2 and T3) were extended compared to the negative control group (NC) as shown in Table 1. This was assumed to be due to the activity of ethinyl estradiol in rats of positive control group, while in the treatment groups, lengthened of the cycle was possibly due to the activity of the substance similar to estrogen in the fennel. This consistent with the previous reseach, stated that the occurrence of the changes in vaginal cytology after treatment was dependent on dosages and the assumed active compound in the herb (19). Rats in NC, PC and all treatment groups had vary in its estrous cycle and this is related to the length of each phases within the cycle. In PC and treatment groups, administration of fennel infusion gave rise an extended time in the estrous phase. This condition has positive impact to the fertilization process because during this phase the female tend to receive the male thus give advantage in success breeding program. Different doses of phytoesterogen given would influence the effects, stated that the administration of phytoestrogen with high dose, could block estrogen effect. Biological response of phytoestrogens depends on factors such as species, age, gender, dose, mode of administration, and metabolism (20-22). The length of proestrus phase in PC, T1, T2 and T3 groups were significantly shorter than the period of proestrous phase in NC group. Proestrous phase in T1 group was the shortest compared to T2, T3 and PC groups. Estrous phase in T1, T2, T3 and PC groups showed an extended period than the period of estrus in NC group. Moreover, estrous phases in T2, T3 and PC were significantly longer (p<0.05) compared Figure 1. Phases in estrous cycle in rat: A. nucleated epithelium cells; B. cornified and pavement cells; C. pavement cells and leucocyte; D. leucocyte and nucleated epithelium cells. Table 1. Length of estrous cycle and its phases of female white rats (hours) after fennel infusion dmisntration (hours). Phase NC PC T1 T2 T3 Proestrus 7.68 ± 3.13 b 2.4 ± 3.39 a 0.96 ± 1.13 a 2.88 ± 3.13 a 2.88 ± 1.08 a Estrus ± 3.2 a ± c 33.6 ± 14.5 ab ± bc ± 9.08 bc Metestrus ± 4.02 a ± 6.87 a ± b ± 13.0 ab ± 8.07 ab Diestrus ± 6.7 b 5.76 ± a 7.2 ± 3.79 a 4.32 ± 4.92 a 4.8 ± 4.16 a Total length ± 8.11 a 72 ± a 72 ± a ± a ± a Note: NC= negative control group given 1 ml/100g bw of distilled water, PC= positive control groupgiven mg/100g bw of ethinyl estradiol, T1= treatment group given 36.5 mg/100g bw of fennel infusion, T2= treatment group given 73 mg/100g bw of fennel infusion, and T3= treatment group given 146 mg/100g bw of fennel infusion.

24 22 MAHESHWARI ET AL. with NC group, however,estrous phase in T1 group tended to be longer than NC (p> 0.05). Eventhough estrous phases in T1, T2 and T3 were extended, but the longest phase was found in PC that given ethinyl estradiol orally. This phenomenon may be due to the effect caused by fennel infusion was less strong compared to the synthetic estrogen. In humans and animals, the use of synthetic estrogen in birth control pills and other drugs are very potent, although the potential of phytoestrogens are known to be small (23,24). At the time before estrus, follicular de Graaf reaches its maximum size that is able to synthesize and secrete estrogen in large quantities. In the vaginal swab examination was seen high number leukocytes and the formation of nucleated cells was also found (25). Administration of ethinyl estradiol and fennel infusion caused shortened of diestrous phase compared with the negative control group. In the contrary, phases that seemed to be extended were estrous and metestrous phases. Extension of estrous period is beneficial as the extension of the estrous cycle gave important effects on reproduction because it could reduce the cumulative number of cycles and was very potential in terms of fertility (26). Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia Estrogen works in the anterior pituitary and hypothalamus to regulate feedback mechanism. The high concentration of estrogen in a long time can affect a positive feedback mechanism to secrete LH. With high phytoestrogen levels and recurrent circulation can lead to effects such as its potential to extend the estrus phase. This phenomenon is also caused by blocking of estrogen receptor by phytoestrogens so that the receptor can not be occupied by estrogen. In other words, phytoestrogens can compete and replace the function of estrogen (27). Application of phytoestrogens at appropriate dose is hoped to give advantageous effect on the hormonal balance in the body, especially in menopause patients. Phytoestrogens may play a role in stabilizing the hormonal function, by inhibiting excessive estrogen activity that can induce cancer and also can substitute when estrogen levels in the body are low (28). Role of Fennel Infusion on The Development of Ovarian Follicle in Female Rats. From the histopatological evaluation of the ovary, it was found different stages of follicle development in all group of the animals, starting from the very beginning follicle or primordial follicle, primary, secondary, tertiary Figure 2. Ovarium of rat in T2 group. FS: Secondary follicle, DG: de Graaf follicle CL: corpus luteum. HE staining, bar: 200 µm. Figure 3. Ovarium of rat in T2 group. Primordial follicle (yellow arrow), primary follicle (black arrow. HE staining, bar: 100 µm. Figure 4. Ovarium of rat in T3 group. AF: Tertiary follicle with antral folliculi. Oocyte (black arrow). HE staining, bar: 100 µm. Tabel 2. Mean of persentage of primordial follicle, primary, secondary, tertiary, de Graaf follcle, corpus luteum, and atresia follicle in female rats. Follicles Groups NC PC T1 T2 T3 Primordial 43.40±24.33 a 39.90±8.31 a 51.66±6.50 a 37.71±6.73 a 30.39±3.81 a Primary 15.19±4.80 a 28.58±8.56 a 9.01±3.90 a 10.84±2.82 a 20.41±10.86 a Secondary 7.80±5.41 a 5.99±2.64 a 6.07±0.26 a 11.26±3.00 a 3.98±2.93 a Tertiary 1.85±3.71 a 1.42±1.23 a 4.51±1.94 a 2.53±2.14 a 3.46±2.51 a De Graaf 1.47±2.94 a 1.39±2.41 a 0.00±0.00 a 1.62±1.95 a 1.76±2.48 a C. Luteum 9.03±8.31 a 11.87±7.22 a 16.64±1.43 a 19.71±7.36 a 20.20±9.41 a Atresia 21.26±16.79 a 10.86±5.23 a 12.13±0.52 a 16.33±2.42 a 19.80±6.47 a Note: Different superscript(a,b) in the same row refer to as significantly different.

25 Vol 14, 2016 and de Graaf follicles. Different stages of the follicle development could be seen in Figure 2, 3 and 4 which was taken from different groups of treatment (T2 and T3 gropus). Percentage of primordial follicle, primary, secondary, tertiary, de Graaf follicles, corpus luteum and atresia follicle found from histopathological observation presented in Table 2. In the prenatal period, oogonia proliferates during embryonic period and become the origin of primary oocytes. Each primary oocyte enveloped by a single layer of follicular cells and at this stage is referred to as primordial follicles. Primary oocytes will remain at the stage of prophase I of meiosis during embryonic life, after birth until puberty. In rat, soon after birth, the number of oocytes approximately 8,000 pieces, in a state of rest and covered by a layer of follicle cells. The number of primordial follicles may decrease with age due to atresia (follicle regression and degeneration (29). Based on the data in Table 2, the percentage of primordial follicles in all groups of rats was not significantly different. This is because the age of the rats used was the same and so that the stage of reproductive status. In addition to that, the administration of ethinyl estradiol and fennel infusion at the given dose did not affect the growth of primordial follicles, furthermore did not stimulate the occurrence of atresia.towards the puberty, primary oocytes begin to grow, while the surrounding epithelial cells changed from flat into cuboidal form, and so called called primary follicles. The transition from primordial follicles into primary follicles involves changes in the oocyte, follicular cells and stromal cells adjacent (30). The results revealed that there was no significant difference between treatment groups in terms of the percentage of primary follicles. It assumed that the dose of ethinyl estradiol and fennel infusion did not affect the development of primary follicles. GnRH from the hypothalamus induces the anterior pituitary to produce and secrete FSH that stimulate follicular development. In other words, the primary follicles develop into secondary follicles due to the stimulation of FSH (31). Secondary follicles are growing follicles, has its antrum, cumulus oophorus and corona radiata. Cumulus oophorus is a pile of granulosa cells surrounding the oocyte and support it in secondary follicles, whereas the corona radiata is formed by the granulosa cells surrounding the oocyte. This follicle consists of a fully grown oocytes and surrounded by the zona pellucida, 5-8 layers of granulosa cells, the basal lamina, theca interna and theca externa which contains a number of small blood vessels. Under the influence of FSH, the cells of secondary follicles begin to secrete estrogen (32). Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia 23 Based on the results obtained, percentage of secondary follicles was not significantly different between treatment groups. This might be because phytoestrogens in fennel infusion and ethinyl estradiol given were not sufficient to supply as estrogen so that gave positive feedback on FSH secretion from the pituitary (33). Thus, administration of ethinyl estradiol and infusion fennel could not affect the development of secondary follicles at 20 days of exposure. Tertiary follicles surrounded by two layers of tissue, the theca interna and theca externa. Theca interna is the inner layer that produces estrogen and rich in blood vessels, while the theca externa is the outer layer that will gradually merge with the ovarian stroma. Antral follicular will continue to grow in line with the development of tertiary follicles. Follicular antrum filled by a clear fluid (liquor foliculi) that is rich in protein and estrogen. The development of this follicle is under the regulation of FSH from the anterior pituitary gland (34). De Graaf follicle is follicle that will ovulate with antrum that become bigger and the size of the follicle is also greater than the other follicles. Before ovulation, the oocyte inside the follicle completes the first meiotic division, which will form a secondary oocyte and the first polar body. After the first meisosis cleavage, the oocyte undergoes the second meiotic division and stops at metaphase II stage. These follicles are formed due to an increase in FSH in the ovary. The mature de Graaf follicles has foliculi liquor containing estrogen and ready to ovulate. Estrogen suppresses FSH and stimulate secretion of LH from the anterior pituitary. LH is the hormone responsible for the maturation of follicles and the occurence of ovulation (35). The percentage of de Graff follicles was not significantly different between treatment groups. This is presumably because the dose of phytoestrogens given for 20 days of exposure had not been able to influence the pituitary gland to inhibit the release of FSH that stimulate follicular development (36). Phytoestrogens work by binding to estrogen receptors and will cause estrogenic activity. Based on statistical test, there was no significant difference of the average percentage de Graaf follicles between treatments. Immediately after ovulation, the follicle cavity filled with blood and lymphe, forming the corpus hemorrhagicum. Furthermore corpus hemorrhagicum in the form of a blood clot will develop into the corpus luteum that contain lots of lutein cells that produce progesterone. The number of corpus luteum represents the number of oocyte successfully ovulated. The increase of the estradiol level towards its peak, will further stimulate LH thus increase the intrafollicular pressure for ovulation (37).

26 24 MAHESHWARI ET AL. Based on the data, it is shown that the percentage of corpus luteum between treatment groups was not significantly different. Eventhough there was no significant difference beteween treatment group, however, in groups given ethinyl estradiol (PC) and fennel infusion (T1, T2 and T3) seemed to be higher than that of negative control group (NC). It presumably that fennel infusion would give effect in the process of ovulation, or in other words it could trigger ovulation. Phytoestrogens could increase the number of corpus luteum. High estrogen levels trigger the surge of LH so mature follicles ovulates. Previous finding also revealed that ethanolic-extracted fennel could increase blood estrogen in mouse (38). Atresia is a degenerative process that causes the ovum is not ovulate. It is estimated that approximately 99.9% of oocytes in the ovary at birth was destined to disappear by atresia at a certain stage of its development. Atresia can be influenced by several factors, such as age, season, nutrition, stage of reproductive cycle, pregnancy and lactation, hypophysectomy, unilateral ovariectomy, exogenous hormones and disruption of the blood supply in the ovaries (39). The results of this study showed that there was no significant difference in the number of follicular atresia among treatment groups. This suggests that the effects of phytoestrogens given for 20 days did not affect the exposure of the follicle to undergo atresia. Phytoestrogens could affect the development of follicles, the decrease of serum estradiol and the increase of the number of follicular atresia and corpus luteum (40). CONCLUSION In general, it can be concluded, that the administration of fennel infusion at a dose of 36.5, 73 and 146 mg/ 100 bw could prolong estrous and metestrous phases, on the contrary shortened the diestrous and proestrous phases of the estrous cycle. The longest estrous phase was found at the adminsitration of fennel infusion at a dose of 146 mg/100 bw, while the length of the cycle did not show any significant difference between treatments. In terms of follicle development, fennel infusion had no significant effect. This might be due to the low dose and the period of the time. ACKNOWLEGDMENT This research was finacially supported by DIKTI through the Reseacrh Project Hibah Bersaing PUPT year Special thank goes to all people who have worked hard to success this research. Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia REFERENCES 1. Clement PB. Female genital system. In: Mills SE, editor. Histology for pathologists. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; Albertazzy P, SteelS A, Bottazzi M. Effect of pure genistein on bone markrs and hot flushes. Climacteric : Kuo BT, Choubey R, Novaro GM. Reduced estrogen in menopause may predispose women to takotsubo cardiomyopathy. Gender Medicine (1): Speroff L, Fritz MA. Postmenopausal hormone therapy. In : Speroff L, Fritz MA, editors. Clinical Gynecologic Endocrinology and Infertility. Philadelphia: Lippincott Williams & Willkins; Ibanez C, Baulieu EE. Mechanism of action of sex steroid hormones and their analog. In: Lauritzen C, Studd, editors. Current management of the menopause. London: Taylor & Francis; Turner JV, Agatonovic-Kustrin S, Glass BD. Molecular aspects of phytoestrogen selective binding at estrogen receptors. J PharmSci (8): Winther K, Rein E, Hedman C. Femal. A herbal remedy made from pollen extracts, reduces hot flushes and improves quality of life in menopausal women: a randomized, placebo-controlled, parallel study. Climecteric : Kuhnle GGC, Aquila CD, Aspinall SM, Runswick SA, Joosen AMCP, Mulligan AA, et al.phytoestrogen content of fruits and vegetables commonly consumed in the UK based on LC MS and 13 C-labelled standards. Food Chemistry (2): Rather MA, Dar BA, Sofi SN, Bhat BA, Qurishi MA. Foeniculum vulgare: A comprehensive review of its traditional use, phytochemistry, pharmacology, and safety. Arabian J of Chemist : Moslemi L, Bekhradi R, Moghaddam GT, Gholamitabar TM. Comparative effect of fennel extract on the intensity of primary dysmenorrhea. African Journal of Pharmacy and Pharmacology (24): Javadi S, Ikhnipoun M, Heidari R, Nejati V. The effect of Foeniculum vulgare Mill (fennel) essential oil on blood glucose in rats. Plant Sci Res (3): Sadrefozalayi S, Farokhi F. Effect of the aqueous extract of Foeniculum vulgare (fennel) on the kidney in experimental POCS female rats. Avicenna J Phytomed (2): Tognolini M, Ballabeni V, Bertoni S, Barocelli E, et al. Protective effect of Foeniculum vulgare essential oil and anethole in an experimental model of thrombosis. Pharmacol Res : Maheshwari H, Effendi EM, Astuti P. Study on the estrogenic effect of ethanolic extracted adas (Foeniculum vulgare Mill) in female rats. Laporan Hasil Penelitian Hibah Fundamental. IPB Hubscher CH, Brooks DL, Johnson JR. A quantitative method for assessing stages of the rat estrous cycle. Biotech Histochem :79-87.

27 Vol 14, Gupta N, Singh G, Sing SM, Reddy KRC. Histological changes in ovaries of mice exposed to Butea monosperma: preliminary study. Int J Morphol (4): Suckow MA, Weisbroth SH, Franklin CL. The laboratory rat. California: Elseiver Inc; Goldman JM, Murr AS, Cooper RL. The rodent estrous cycle: characterization of vaginal cytology and its utilization in toxicological studies. Curr. In Urology (6): Malaivijitnond S, Chansri K, Kijkuokul P, Urasopon N, Cherdshewasart W. Using vaginal cytology to assess the estrogenic activity of phytoestrogen-rich herb. Journal of ethnopharmacology (3): Zhao E, Mu Q. Phytoestrogen biological actions on mammalian reproductive system and cancer growth. Sci Pharm (1): DangZc, Lowik C. Dose-dependent effects of phytoestrogens on bone. Trends Endocrinol.Metab (5): DangZc. Dose-dependent effects of soy phytooestrogen genistein on adipocytes: mechanisms of action. Obes Rev (3): Stefanick Ml. Estrogens and progestins: background and history, Trends in use, and guidelines and regimens approved by the Us Food And Drug Administration. The American Journal of Medicine (12): Pan X, Welti R, Wang X. Simultaneous quantification of major phytohormones and related compounds in crude plant extracts by liquid chromatographyelectrospray tandem mass. Phytochemistry (8): Skinner MK. Regulation of primordial follicle assembly and development. Hum. Reprod. Update (5): Bearden HJ, Fuquay JW, Willard ST. Applied animal reproduction. 6th ed. Mississipi State University. New Jersey: Upper Saddle River; Moutsatsou P. The spectrum of phytoestrogens in nature: our knowledge is expanding. Hormones (3): Rosario D, Cannata ML,Atteritano M, Cancellieri F, Corrado F, Baviera G, et al. Effects of the phytoestrogen genistein on hot flushes, endometrium, and vaginal epithelium in postmenopausal women: a 1-year randomized, double-blind, placebo-controlled study. Menopause (4): Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia Van der Hurk R, Zhao J. Formation of mammalian oocytes and their growth, differentiation and maturation within ovarian follicles.theriogenology (6): Hubscher CH, Brooks DL, Johnson JR. A quantitative method for assessing stages of the rat estrous cycle. Biotech Histochem : Pepling ME. From primordial germ cell to primordial follicle: mammalian female germ cell development. Genesis (12): Kreeger PK, Fernandes NN, Woodruff TK, Shea LD. Regulation of mouse follicle development by folliclestimulating hormone in a three-dimensional in vitro culture system is dependent on follicle stage and dose. Biol. of Reprod (5): Zin Sr, Omar Sz, Nla Khan, Musameh Ni, Das S,Kassim Nm. Effects of the phytoestrogen genistein on the development of the reproductive system of sprague dawley rats. Clinics (2): Young JM, mcneilly AS. Theca: the forgotten cell of the ovarian follicle. Reproduction : Rodgers RJ, Irving-RodgersHF. Formation of the ovarian follicular antrum and follicular fluid. Biol of Reprod (6): Khazaei M, Montaseri A, Khazaei Mr, Khanahmadi M. Study of Foeniculum vulgare effect on folliculogenesis in female mice. Int J FertilSteril (3): Bachelot A, Binart N. Corpus luteum development: lessons from genetic models in mice. Curr.Topics in Dev. Biol : Sadeghpour N, Khaki AA, Najafpour A, Dolatkhah H, Montaseri A. Study of Foeniculum vulgare (Fennel) seed extract effects on serum level of estrogen, progesterone and prolactin in mouse. Crescent J. of Med. And Biol. Sci (1): Rolaki A,Drakakis P, Millingos S, Loutradis D, Makrigiannakis A. Novel trends in follicular development, atresia and corpus luteum regression: a role for apoptosis. Reprod Biomed Online (1): Wang W, Wenchang Z, Jin L, Yan S, Yuchen L, Hong L, et al. Metabolomic changes in follicular fluid induced by soy isoflavones administered to rats fromweaning until sexual maturity. J Toxicol and Applied Pharmacol :280-9.

28 JURNAL ILMU KEFARMASIAN INDONESIA, April 2016, hlm ISSN Vol. 14, No. 1 Efek Antioksidan Ekstrak Etanol Biji Pepaya (Carica papaya L.) terhadap Aktivitas Enzim Superoksida Dismutase dan Kadar Malondialdehid pada Mencit Stress Oksidatif dengan Perenangan (Antioxidant Effect of Ethanol Extract from Papaya Seed (Carica papaya L.) on Superoxide Dismutase Activity and Malondialdehid Level in Stress Oxidative Mice with Swimming Stress Method) NI MADE DWI SANDHIUTAMI*, YESI DESMIATY, AFIZZA ANBAR Fakultas Farmasi Universitas Pancasila, Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta Selatan, Indonesia, Diterima 15 Februari 2016, Disetujui 12 Maret 2016 Abstrak: Biji pepaya mengandung vitamin E dan flavonoid yang diketahui memiliki aktivitas sebagai antioksidan. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui efek antioksidan ekstrak etanol biji pepaya (Carica papaya L.) terhadap aktivitas SOD sel darah merah dengan metode adenokrom dan kadar MDA plasma dengan metode TBARs pada mencit yang diberi aktivitas fisik perenangan. Mencit diberi ekstrak etanol biji pepaya selama 7 hari dan perenangan selama 65 menit pada hari ke-7. Pengujian ini menggunakan 36 ekor mencit yang dibagi 6 kelompok, yaitu kelompok I (normal), kelompok II (kontrol negatif), kelompok III (kontrol positif vitamin E), kelompok IV (dosis 0,105 g/kg bb), kelompok V (dosis 0,210 g/kg bb) dan kelompok VI (dosis 0,420 g/kg bb). Hasil penelitian kelompok I, II, III, IV, V, VI berturut-turut untuk aktivitas SOD sel darah merah adalah 89±6,4329; 47,37±3,8225; 85,56±3,9210; 46,35±10,0929; 58,89±3,8271 dan 81,59±5,7700 U/mL, kadar MDA plasma berturut-turut adalah 1,6831±0,0942; 6,3567±0,1046; 1,3697±0,2254; 4,7914±0,2139; 3,8231±0,3574 dan 1,7560±0,1215 nmol/ml. Ekstrak etanol biji pepaya dosis 0,420 g/kg bb memberikan efek antioksidan paling tinggi. Kata kunci: antioksidan, biji pepaya, SOD, MDA. Abstract: Papaya seed contains vitamin E and flavonoid that have antioxidant activity. This study was aimed to determine the antioxidant effect of ethanol extract of papaya seed (Carica papaya L.) by observing SOD activity of blood with adenochrom method and MDA plasma level with TBARs method in mice given swimming stress. Mice was given ethanol extract of papaya seed for 7 days and swimming for 65 minutes on the 7 th day. The study used 36 mice which divided into six groups, which were group I (normal), group II (negative control), group III (positive control: vitamin E), group IV (dose of 0,105 g/kg bw), group V (dose of 0,210 g/kg bw), and group VI (dose of 0,420 g/kg bw). The result showed that SOD activity of group I, II, III, IV, V, and VI was 89±6,4329 U/mL; 47,37±3,8225; 85,56±3,9210; 46,35±10,0929; 58,89±3,8271; 81,59±5,7700 U/mL, respectively, and MDA plasma level of group I, II, III, IV, V, and VI was 1,6831±0,0942; 6,3567±0,1046; 1,3697±0,2254; 4,7914±0,2139; 3,8231±0,3574 and 1,7560±0,1215 nmol/ml, respectively. This is indicated that dose of 0,420 g/kg bw of ethanol extract of papaya seed gave the highest antioxidant effect. Keywords: antioxidant, papaya seed, SOD, MDA. * Penulis korespondensi, Hp dwi_sandhiutami@yahoo.com

29 27 SANDHIUTAMI ET AL. Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia PENDAHULUAN KEBERADAAN radikal bebas dalam tubuh dapat berimplikasi pada berbagai penyakit kerusakan sel, jaringan, organ hati, ginjal, jantung serta kondisi degeneratif, seperti aging, arthritis, kanker dan lain-lain. Radikal bebas adalah atom atau molekul yang memiliki satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan di orbit teluarnya (1). Adanya elektron bebas yang tidak berpasangan mengakibatkan radikal bebas bersifat sangat reaktif dan tidak stabil. Untuk menstabilkan diri, radikal bebas cenderung bereaksi dengan senyawa lain untuk mendapatkan pasangan elektron (2). Aktivitas fisik berat dapat meningkatkan konsumsi oksigen berlebih (3) melalui rantai respirasi (4) yang akibatnya meningkatkan jumlah radikal superoksid yang terbentuk sehingga terjadi peningkatan produksi radikal bebas di dalam tubuh dan memicu stres oksidatif (3,4,5). Stres oksidatif adalah kondisi dimana radikal bebas yang diproduksi pada latihaan fisik melebihi kapasitas pertahanan antioksidan. Dalam beberapa penelitian yang dilakukan, telah dibuktikan bahwa pemberian aktivitas fisik berat berupa perenangan terhadap hewan percobaan dapat meningkatkan produksi radikal bebas yang ditandai dengan meningkatnya kadar MDA (3,4,6). Stress oksidatif dalam tubuh dapat menyebabkan terjadinya serangan oksidan terhadap asam lemak tidak jenuh yang menimbulkan reaksi rantai yang dikenal dengan peroksida lipid. Pada proses tersebut mengakibatkan terputusnya asam lemak menjadi berbagai senyawa yang toksik terhadap sel, seperti malondialdehid (MDA) (4). Konsentrasi MDA yang tinggi menunjukkan adanya proses oksidasi dalam membran sel, sehingga status antioksidan yang tinggi biasanya diikuti oleh penurunan kadar MDA (1). Secara alami, tubuh memiliki antioksidan endogen atau antioksidan enzimatis untuk melawan radikal bebas yang berpotensi menganggu keseimbangan fungsi tubuh (1). Enzim superoksida dismutase (SOD) merupakan pertahanan pertama terhadap aktivasi senyawa oksigen reaktif (ROS). Pada keadaan stress oksidatif terjadi penurunan sistem enzimatik SOD dan glutation peroksidase. Jika produksi radikal bebas melebihi kemampuan antioksidan endogen untuk menetralkannya maka kelebihan radikal bebas sangat potensial menyebabkan kerusakan sel. Oleh sebab itu tubuh memerlukan pasokan antioksidan dari luar tubuh yang lebih dikenal dengan antioksidan eksogen seperti vitamin E, vitamin C, sayur-sayuran hijau dan buah-buahan (7). Antioksidan merupakan senyawa yang dapat menghambat reaksi oksidasi dengan mengikat radikal bebas dan molekul yang sangat reaktif sehingga sel akan dihambat (1). Antioksidan eksogen banyak berasal dari bahan alam. Salah satu contoh tanaman yang berpotensi sebagai antioksidan eksogen di Indonesia adalah biji pepaya (Carica papaya L.). Hasil analisis fitokimia menunjukkan biji pepaya mengandung senyawa flavonoid, tanin, saponin, anthraquinon dan anthosianosid (8). Dalam minyak yang terdapat biji pepaya terkandung asam lemak oleat yang tinggi yaitu 71,30% dan kandungan tokoferol 74,71 mg/kg serta karotenoid 7,05 mg/kg (9). Beberapa khasiat dari biji pepaya diketahui mempunyai aktivitas sebagai antioksidan di dalam metabolit sekunder, diduga metabolit sekunder yang memiliki aktivitas sebagai antioksidan adalah senyawa fenolik yakni flavonoid. Dalam penelitian yang dilakukan Zhou et al. menyatakan bahwa ada hubungan terkait total fenolik terhadap aktivitas antioksidan dalam biji pepaya (10). Tokoferol juga merupakan metabolit sekunder yang terdapat di biji pepaya, terutama α-tokoferol telah diketahui sebagai antioksidan yang mampu mempertahankan integritas membran. Senyawa tersebut dilaporkan bekerja sebagai scavenger radikal bebas oksigen, peroksida lipid dan oksigen singlet (12). Dalam beberapa penelitian mengenai antioksidan vitamin E banyak digunakan sebagai kontrol positif atau kontrol pembanding karena vitamin E sudah terbukti sebagai antioksidan kuat (3,11). Aktivitas antioksidan ekstrak metanol biji pepaya telah dilakukan secara in vitro dengan metode 1,1-diphenyl-2-picryl hydrazyl (DPPH), diperoleh nilai IC 50 53,41 bpj (12). Berdasarkan adanya kandungan senyawa vitamin E dan flavonoid serta nilai IC 50 biji pepaya maka peneliti ingin menguji efek antioksidan ekstrak etanol 70% biji pepaya terhadap aktivitas SOD sel darah merah dan MDA plasma pada mencit stress oksidatif dengan diberi aktivitas fisik perenangan. BAHAN DAN METODE BAHAN. Simplisia biji pepaya, etanol 70%, vitamin E, eter, dapar karbonat 0,0518 M, larutan epinefrin 0,01 M, kloroform, etanol 96%, EDTA, NaCl 0,9%, asam trikloroasetat (TCA) 20%, asam tiobarbiturat (TBA) 0,67%, tetraoksipropan (MDA standar) dan air suling. Hewan percobaan yang digunakan adalah mencit putih jantan galur DDY berumur 2 bulan dengan berat badan berkisar gram. Alat. Sonde oral, alat suntik, alat sentrifuge, alatalat bedah, ph meter, timbangan analitik, timbangan hewan, mikropipet, penangas air, lemari pendingin, tabung Eppendorf, tabung reaksi, spektrofotometer UV-VIS. METODE. Pembuatan Sediaan Uji. Timbang

30 Vol 14, 2016 Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia 28 serbuk biji pepaya 500 g, kemudian ditumbuk dan diayak dengan mesh 40. Sesudah itu dimaserasi dengan pelarut etanol 70% selama 5x24 jam kemudian dipekatkan dengan rotary evaporator pada suhu 60 C sampai 1/3 volume. Hasilnya dituangkan ke dalam cawan, dipekatkan di atas water bath pada suhu tidak lebih dari 60 C sambil diaduk-aduk sampai ekstrak kental. Pelaksanaan Uji. Tiga puluh enam ekor mencit yang sehat dibagi 6 kelompok yang masing-masing terdiri atas 6 ekor yaitu kelompok normal (I) diberi suspensi Na-CMC, kelompok negatif pada hari ke-7 diberi perenangan selama 65 menit (II), kelompok kontrol positif yang diberi vitamin E dosis 0,084 g/kg bb per oral setiap hari selama 7 hari dan pada hari ke-7 diberi perenangan selama 65 menit (III), kelompok IV, V dan VI adalah kelompok yang diberi ekstrak etanol biji pepaya masing-masing dengan dosis 0,105 g/kg bb, 0,210 g/kg bb dan 0,420 g/kg bb selama 7 hari dan pada hari ke-7 diberi perenangan selama 65 menit. Mencit kemudian dibunuh dan darah diambil dari jantung menggunakan jarum suntik dan ditempatkan dalam tabung sentrifuga yang telah diberi antikoagulan EDTA. Darah yang diperoleh disentrifugasi dengan kecepatan rpm selama 10 menit. Setelah terpisah lapisan atas (plasma) yang berwarna bening kekuningan diambil untuk pengukuran kadar MDA, serta lapisan bawah (sel darah merah) ditambah NaCl 0,9% lalu disentrifugasi dan ditambahkan 1 ml air suling. Pembuatan Hemolisat Darah. Sel darah merah ditambah 0,25 ml NaCl 0,9%, kocok kemudian disentrifugasi dengan kecepatan rpm selama 10 menit, buang lapisan atasnya (supernatan). Tambahkan lagi 0,25 ml NaCl 0,9%, kocok dan disentrifugasi kembali dengan kecepatan rpm selama 10 menit, buang lapisan atasnya (supernatan). Ambil 0,25 ml sel darah merah ditambah 1 ml air suling, kocok kemudian disentrifugasi dengan kecepatan rpm selama 10 menit, setelah memisah ambil bagian beningnya, berikut adalah hemolisat sel darah merah (sampel). Pengukuran SOD. Kadar SOD diperiksa pada sel darah merah menurut metode Misra & Fridovich. Sebanyak 250 µl hemolisat sel darah merah ditambahkan 400 µl campuran kloroform-etanol 96% (3:5), kemudian di sentrifugasi pada rpm selama 10 menit. Filtrat yang berwarna kuning muda jernih di ambil 10 µl lalu ditambahkan 90 µl air suling dan ditambahkan 2775 µl dapar karbonat 0,0518 M dan 125 µl larutan epinefrin 0,01 M, dicampur homogen kemudian dimasukkan ke dalam kuvet dan diukur serapannya setelah menit ke 1, 2, 3, 4 pada λ 480 nm suhu 30 C. Dengan cara yang sama dilakukan juga untuk air suling (blanko) dengan pembacaan serapan setelah menit ke 1, 2, 3 dan 4. Rata-rata serapan per menit pada blanko lebih kurang 0,025/menit (13). Rumus pengukuran aktivitas SOD (13). % Hambatan = A- B x 100% A Aktivitas SOD (unit/ml) = % Hambatan x 1 unit/10 µl 50 % Keterangan: A = rata-rata selisih absorban/menit tanpa sampel B = rata-rata selisih absorban/menit sampel 50% = unit aktivitas SOD didefinisikan sebagai jumlah SOD diperlukan untuk menyebabkan inhibisi 50% dari oksidasi epinefrin (SOD 50 ). Pengukuran Kadar MDA. Kadar MDA plasma diukur menurut metode Wills. Sebanyak 200 µl larutan sampel (plasma) ditambahkan 1,0 ml trikloroasetat (TCA) 20% dan 2 ml asam tiobarbiturat (TBA) 0,67%. Larutan dicampur homogen dengan dipanaskan di tangas air selama 10 menit. Setelah dingin, larutan disentrifugasi pada rpm selama 10 menit. Filtrat yang berwarna merah muda diukur serapannya panjang gelombang 532 nm menggunakan spektrofotometer UV-VIS. Kadar MDA dihitung menggunakan kurva baku MDA dengan konsentrasi 0; 0,025; 0,05; 0,1; 0,2; 0,4; 0,8 dan 1,6 nmol/ml (13). Terhadap data kadar MDA dan SOD yang diperoleh, dilakukan uji statistik nonparametrik menggunakan metode analisis Kruskal-Wallis. Apabila hasil Kruskal-Wallis menunjukkan perbedaan bermakna, maka dilanjutkan dengan uji Mann-Whitney untuk melihat adanya perbedaan pada tiap kelompok. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengujian Efek Antioksidan Ekstrak Etanol Biji Pepaya terhadap Aktivitas SOD Sel Darah Merah. Hasil pengukuran SOD untuk setiap kelompok perlakuan disajikan pada Gambar1. Rata-rata aktivitas SOD pada kelompok kontrol negatif sebesar 47,37 U/mL lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata aktivitas SOD pada kelompok normal, kelompok kontrol positif dan kelompok perlakuan dosis. Secara fisiologis, tubuh manusia mempunyai beberapa macam enzim dan non-enzimatis yang berfungsi sebagai antioksidan. Antioksidan enzimatis atau antioksidan endogen terdiri dari superoksida dismutase (SOD), katalase dan glutation peroksidase (Gpx). SOD adalah enzim yang berfungsi sebagai katalisator reaksi dismutase dari anion superoksida menjadi hidrogen peroksida (H2O2) dan oksigen (O2). Reaksi tersebut adalah sebagai berikut: 2O2 + 2H + H2O2 + O2

31 29 SANDHIUTAMI ET AL. Gambar 1. Grafik rata-rata aktivitas SOD sel darah merah (U/mL) tiap kelompok. Keterangan: I: Kelompok normal yang diberi suspensi Na.CMC; II: Kelompok kontrol negatif yang hanya diberikan perenangan; III: Kelompok kontrol positif yang diberikan vitamin E dosis 0,084 g/ kg bb; IV: Kelompok perlakuan yang diberikan ekstrak etanol biji pepaya dosis 0,105 g/kg bb; V: Kelompok perlakuan yang diberikan ekstrak etanol biji pepaya dosis 0,210 g/kg bb; VI: Kelompok perlakuan yang diberikan ekstrak etanol biji pepaya dosis 0,420 g/kg bb. SOD merupakan pertahanan pertama terhadap aktivasi senyawa oksigen reaktif (ROS). SOD dalam tubuh berperan sebagai oksidan untuk mengatasi reaksi radikal bebas melalui pengikatan ion logam, penangkapan oksigen dan mengurangi toksisitas oksigen menjadi bentuk-bentuk non radikal (7). Dalam penelitian ini, hewan percobaan mencit diberikan beban aktivitas fisik maksimal berupa perenangan selama 65 menit dapat meningkatkan konsumsi oksigen sehingga produksi radikal bebas juga meningkat. Peningkatan radikal bebas akan mengakibatkan peningkatan pemakaian antioksidan endogen di dalam tubuh. Pada kelompok kontrol negatif tidak diberikan antioksidan eksogen menyebabkan tingginya penggunaan antioksidan endogen di dalam tubuh sehingga menurunkan status antioksidan endogen (14). Untuk mengukur aktivitas SOD digunakan adenochrom assay yang mudah dilaksanakan dan sensitif untuk mengukur aktivitas SOD. Pengukuran didasarkan pada kemampuan SOD menghambat autooksidasi spontan dari epinefrin. Larutan epinefrin dalam keadaan asam akan stabil, tetapi spontan akan teroksidasi dengan adanya kenaikan ph. Autooksidasi terjadi paling cepat disertai dengan terbentuknya adenokrom dengan kecepatan linier yaitu pada ph 10,2 dan suhu 30ºC (15). Rata-rata aktivitas SOD kelompok kontrol positif sebesar 85,56 U/mL lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok perlakuan dosis dan kelompok kontrol negatif. Hal ini dikarenakan pemberian vitamin E atau alfa-tokoferol secara preventif dapat mempertahankan aktivitas SOD di dalam tubuh. Mekanisme kerja vitamin E sebagai antioksidan eksogen mampu berinteraksi dengan radikal bebas pada kondisi stres dengan menjadi ion hidrogen radikal bebas sehingga molekul radikal bebas menjadi lebih stabil. Hal ini membuat SOD lebih mudah dalam mengkatalisis reaksi radikal superoksida menjadi produk lain yang lebih stabil menyebabkan jumlah unit SOD di dalam tubuh tetap terjaga. Hal ini didukung dengan penelitian yang dilakukan oleh Wresdiyati dkk. yang menyatakan kelompok yang diberikan vitamin E secara preventif mampu mempertahankan aktivitas SOD sehingga hasilnya tidak berbeda nyata dengan kelompok normal (16). Rata-rata aktivitas SOD kelompok perlakuan dosis 0,420 g/kg bb sebesar 81,59 U/mL, lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok perlakuan dosis 0,105 g/kg bb, kelompok perlakuan dosis 0,210 g/ kg bb dan kelompok negatif. Hal ini menunjukkan bahwa kelompok perlakuan dosis 0,420 g/kg bb mampu mempertahankan aktivitas SOD di dalam tubuh. Hal ini terjadi karena adanya zat aktif vitamin E dan flavonoid yang bekerja dalam mempertahankan aktivitas SOD di dalam tubuh (16,17). Tabel 1. Hasil uji statistik beda aktivitas SOD sel darah merah (U/mL) antar kelompok. Kelompok Median I II III IV V VI I 89,00 II 47,37 III 85,56 * IV 46,35 * V 58,89 * * VI 81,59 * * * Keterangan: * = ada perbedaan bermakna (α = 0,05); I: Kelompok normal yang diberi suspensi Na.CMC; II: Kelompok kontrol negatif yang hanya diberikan perenangan; III: Kelompok kontrol positif yang diberikan vitamin E dosis 0,084 g/kg bb; IV: Kelompok perlakuan yang diberikan ekstrak etanol biji pepaya dosis 0,105 g/kg bb; V: Kelompok perlakuan yang diberikan ekstrak etanol biji pepaya dosis 0,210 g/kg bb; VI: Kelompok perlakuan yang diberikan ekstrak etanol biji pepaya dosis 0,420 g/kg bb. Secara statistik (Tabel 1), rata-rata aktivitas SOD pada sel darah merah mencit antara kelompok kontrol negatif dengan kelompok kontrol positif, kelompok perlakuan 0,210 g/kg bb, dan kelompok dosis 0,420 g/kg bb menunjukkan adanya perbedaan bermakna. Sedangkan antara kelompok kontrol negatif dengan kelompok perlakuan dosis 0,105 g/kg bb tidak menunjukkan perbedaan bermakna. Kelompok perlakuan dosis 0,105 g/kg bb secara statistik menunjukkan adanya perbedaan bermakna dengan kontrol positif. Kelompok dosis ini hanya dapat meningkatkan aktivitas SOD sebesar 2,10%. Hasil rata-rata aktivitas SOD kelompok perlakuan

32 Vol 14, 2016 Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia 30 Gambar 2. Mekanisme reaksi oksidasi epinefrin (21). dosis 0,105 g/kg bb sebesar 58,89 U/mL lebih rendah dibandingkan dengan kelompok kontrol positif sebesar 85,56 U/mL yang dapat diartikan bahwa ekstrak etanol biji pepaya dosis 0,210 g/kg bb belum mampu meningkatkan aktivitas SOD sebaik vitamin E yang digunakan sebagai kontrol positif. Kelompok perlakuan dosis 0,210 g/kg bb secara statistik menunjukkan adanya perbedaan bermakna dengan kontrol positif. Kelompok dosis ini hanya dapat meningkatkan aktivitas SOD sebesar 23,68%. Hasil rata-rata aktivitas SOD kelompok perlakuan dosis 0,210 g/kg bb sebesar lebih rendah dibandingkan dengan kelompok kontrol positif sebesar 85,56 U/mL yang dapat diartikan bahwa ekstrak etanol biji pepaya dosis 0,210 g/kg bb belum mampu meningkatkan aktivitas SOD sebaik vitamin E yang digunakan sebagai kontrol positif. Kelompok perlakuan dosis 0,420 g/kg bb secara statistik menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna dengan kontrol positif. Kelompok dosis ini dapat meningkatkan aktivitas SOD sebesar 72,24%. Pada dosis ekstrak etanol biji pepaya 0,420 g/kg bb dapat mempertahankan aktivitas SOD di dalam tubuh sebaik kelompok kontrol positif. Hasil ini menunjukkan bahwa semakin tinggi dosis ekstrak etanol biji pepaya yang diberikan maka aktivitas SOD akan semakin meningkat. Adanya kandungan zat aktif vitamin E dan flavonoid yang bertindak sebagai antioksidan eksogen inilah yang mampu mempertahankan aktivitas SOD di dalam tubuh. Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian Ari Widiyantoro yang menyatakan bahwa pemberian vitamin E sebagai antioksidan eksogen mampu mempertahankan aktivitas SOD dibandingkan kelompok yang tidak diberikan vitamin E (18). Pada penelitian yang dilakukan oleh Sussi Astuti menyatakan flavonoid dapat mempertahankan aktivitas SOD di dalam tubuh sehingga status antioksidan di dalam tubuh dapat terjaga (14). Pengujian efek antioksidan ekstrak etanol biji pepaya terhadap kadar MDA plasma. Gambar 3 memperlihatkan bahwa kadar MDA plasma antara kelompok II (6,3567±0,1046) berbeda dengan Gambar 3. Grafik rata-rata kadar MDA plasma (nmol/ml) tiap kelompok Keterangan: I: Kelompok normal yang diberikan suspensi Na-CMC; II: Kelompok kontrol negatif yang hanya diberikan perenangan; III: Kelompok kontrol positif yang diberikan vitamin E dosis 0,084 g/kg bb; IV: Kelompok pelakuan yang diberikan ekstrak etanol biji pepaya dosis 0,105 g/kg bb; V: Kelompok pelakuan yang diberikan ekstrak etanol biji pepaya dosis 0,210 g/kg bb; VI: Kelompok pelakuan yang diberikan ekstrak etanol biji pepaya dosis 0,420 g/kg bb. kadar MDA plasma Kelompok III (1,3697±0,2254), kelompok IV (4,7914±0,2139), kelompok V (3,8231±0,3574) dan kelompok VI (1,7560±0,1215). Hasil pengukuran kadar MDA plasma pada kelompok kontrol negatif menunjukkan adanya peningkatan rata-rata kadar MDA plasma dibandingkan dengan kelompok normal, kelompok kontrol positif dan kelompok perlakuan dosis. Hal ini terjadi akibat peningkatan senyawa radikal bebas akibat aktivitas fisik berat pada hewan percobaan berupa perenangan selama 65 menit. Peningkatan metabolisme dan konsumsi oksigen akibat beban aktivitas fisik berat pada hewan mencit menimbulkan terbentuknya senyawa radikal bebas yang berakibat terjadinya stres oksidatif dan memicu peningkatan proses peroksidasi lipid di dalam tubuh sehingga meningkatkan kadar MDA plasma (4). Hasil penelitian ini didukung laporan I Made Jawi yang menyatakan kelompok mencit yang diberi beban aktivitas fisik berat berupa perenangan memiliki kadar MDA plasma yang lebih tinggi dibandingkan kelompok mencit normal (19). Hal yang serupa dilakukan oleh Tri Oktaviani dalam penelitiannya menyatakan bahwa mencit yang

33 31 SANDHIUTAMI ET AL. diberi beban aktivitas fisik berupa perenangan tanpa pemberian antioksidan eksogen (kelompok kontrol negatif) dapat meningkatkan kadar MDA plasma lebih tinggi dibandingkan kelompok normal dan kelompok lainnya (7). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kelompok kontrol negatif terjadi peningkatan kadar MDA akibat mencit diberikan beban aktivitas fisik perenangan. MDA adalah produk akhir yang terbentuk dari peroksida lipid, MDA inilah yang akan diukur dengan metode TBARs. Prinsip kadar MDA yang diukur dengan metode Thiobarbituric acid reactive subtance (TBARs) adalah mereaksikan MDA dengan TBA dalam suasana asam dan temperature ºC. Reaksi ini menghasilkan senyawa yang berwarna pink. Perubahan warna yang terjadi diukur dengan spektrofotometer UV-VIS pada panjang gelombang 532 nm (4). Pengukuran MDA telah digunakan sebagai indikator kerusakan oksidatif asam lemak tidak jenuh pada sel hidup yang menyebabkan perubahan struktural dan fungsi (20). Rata-rata kadar MDA plasma kelompok kontrol positif menunjukkan adanya penurunan kadar MDA plasma paling rendah dibandingkan dengan kelompok negatif dan kelompok perlakuan dosis. Hal ini menunjukkan terjadi pencegahan proses peroksidasi lipid dengan pemberian vitamin E. Vitamin E yang Gambar 4. Reaksi antara TBA dengan MDA (20). berfungsi sebagai antioksidan eksogen, dapat bereaksi dengan radikal bebas sebagai antioksidan pemutus rantai dengan cara menjadi donor ion hidrogen radikal bebas sehingga radikal bebas menjadi molekul yang lebih stabil (16). Hasil penelitian ini didukung dengan penelitian Sandhiutami NMD yang menyatakan pemberian vitamin E sebagai antioksidan eksogen dapat menurunkan kadar MDA plasma dibandingkan dengan kelompok negatif (3). Bila dilihat dari Gambar 3, rata-rata kadar MDA plasma pada kelompok perlakuan yang diberikan ekstrak etanol biji pepaya dengan dosis 0,420 g/ kg bb memiliki kadar MDA plasma lebih rendah dibandingkan dengan kelompok perlakuan dengan dosis 0,105 g/kg bb dan 0,210 g/kg bb. Kelompok perlakuan dosis 0,105 g/kg bb secara statistik menunjukkan adanya perbedaan bermakna dengan kelompok positif. Kelompok Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia dosis ini hanya dapat menurunkan kadar MDA plasma sebesar 24,62%. Hasil rata-rata kadar MDA plasma sebesar 4,7914±0,2139 nmol/ml lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol positif sebesar 1,3697±0,2254 nmol/ml yang dapat diartikan bahwa ekstrak etanol biji pepaya dosis 0,105 g/kg bb belum mampu menurunkan kadar MDA plasma sebaik vitamin E yang digunakan sebagai kontrol positif. Kelompok perlakuan dosis 0,210 g/kg bb secara statistik menunjukkan adanya perbedaan bermakna dengan kelompok positif. Kelompok dosis ini menurunkan kadar MDA plasma sebesar 39,86%. Hasil rata-rata kadar MDA plasma sebesar 3,8231±0,3574 nmol/ml lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol positif sebesar 1,3697±0,2254 nmol/ml yang dapat diartikan bahwa ekstrak etanol biji pepaya dosis 0,210 g/kg bb belum mampu menurunkan kadar MDA plasma sebaik vitamin E sebagai kontrol positif. Tabel 2. Hasil uji statistik beda kadar MDA plasma (nmol/ml) antar kelompok. Kelompok Median I II III IV V VI I 1,6831 II 6,3567 III 1,3697 * IV 4,7914 * * V 3,8231 * * * VI 1,7560 * * * * Keterangan : * (ada perbedaan bermakna) α = 0,05; I: Kelompok normal yang diberikan suspensi Na-CMC; II:: Kelompok kontrol negatif yang hanya diberikan perenangan; III: Kelompok kontrol positif yang diberikan vitamin E dosis 0,084 g/kg bb; IV: Kelompok pelakuan yang diberikan ekstrak etanol biji pepaya dosis 0,105 g/kg bb; V: Kelompok pelakuan yang diberikan ekstrak etanol biji pepaya dosis 0,210 g/kg bb; VI: Kelompok pelakuan yang diberikan ekstrak etanol biji pepaya dosis 0,420 g/kg bb. Kelompok perlakuan dosis 0,420 g/kg bb secara statistik menunjukkan adanya perbedaan bermakna dengan kelompok positif (Tabel 2). Kelompok dosis ini menurunkan kadar MDA plasma sebesar 72,38%. Hasil rata-rata kadar MDA plasma sebesar 1,7560±0,1215 nmol/ml lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol positif sebesar 1,3697±0,2254 nmol/ml yang dapat diartikan bahwa ekstrak etanol biji pepaya dosis 0,420 g/kg bb belum mampu menurunkan kadar MDA plasma sebaik vitamin E yang digunakan sebagai kontrol positif. Namun kelompok dosis ekstrak etanol biji pepaya dosis 0,420 g/kg bb dapat menurunkan kadar MDA plasma lebih besar dibandingkan kelompok dosis 0,105 g/kg bb dan 0,210 g/kg bb. Hal ini menunjukkan

34 Vol 14, 2016 semakin tinggi dosis ekstrak etanol biji pepaya yang diberikan dapat menurunkan kadar MDA plasma semakin rendah. Penurunan kadar MDA plasma pada kelompok perlakuan ini disebabkan adanya kandungan zat aktif vitamin E dan flavonoid di dalam biji pepaya yang bertindak sebagai antioksidan eksogen. Vitamin E yang berfungsi sebagai antioksidan eksogen dapat mencegah terjadinya proses peroksida lipid. Penelitian ini didukung oleh Sandhiutami NMD yang menyatakan adanya kandungan vitamin E mampu menurunkan kerusakan peroksida lipid sehingga kadar MDA plasma di dalam tubuh dapat menurun (3). Flavonoid merupakan metabolit sekunder yang dapat bertindak sebagai antioksidan eksogen secara multifungsional, sebagai pereduksi, penangkal radikal bebas, pengkelat logam dan peredam terbentuknya singlet oksigen. Penelitian ini didukung pula oleh Hairrudin yang menyatakan flavonoid yang bekerja sebagai antioksidan eksogen mampu menurunkan kadar MDA plasma (4). SIMPULAN Ekstrak etanol biji pepaya dosis 0,420 g/kg bb memberikan efek antioksidan dengan meningkatkan aktivitas SOD dan tidak ada perbedaan bermakna dengan vitamin E sebagai kontrol positif dan dapat menurunkan kadar MDA plasma secara bermakna namun tidak sekuat vitamin E sebagai kontrol positif. DAFTAR PUSTAKA 1. Murray RK, Granner D, Mayes PA, Rodwell VW. Harper s Biochemistry. 25 th Ed. Aplleton & Lange; Mandisadora O. Identifikasi dan potensi antioksidan flavonoid kulit kayu mahoni (Swietenia macrophylla King) [skripsi]. Bogor: Fakultas MIPA Institut Pertanian Bogor; Sandhiutami NMD, Ngatidjan, Kristin E. Uji aktivitas antioksidan minyak buah merah (Pandanus conoideus LAM.) secara in vitro dan in vivo pada tikus yang diberi beban aktivitas fisik maksimal. Jurnal Sains dan Teknologi Farmasi (1): Hairrudin, Helianti D. Efek protektif propolis dalam mencegah stres oksidatif akibat aktifitas fisik berat (swimming stress). Jurnal Ilmu Dasar (2): Harjanto. Stres oksidatif pada latihan olahraga. Majalah Kedokteran Indonesia (3): Oktaviani Tri. Efek rebusan daun sambaing solok (Aerva sanguinolenta (L.) Blume) terhadap kadar MDA pada mencit dan aktivitas antioksidan secara in vitro [skripsi]. Jakarta: Universitas Pancasila; Lingga Lanny. The healing power of antioxidant. Jakarta: PT. Gramedia; xii. 8. Arsyiyanti Cut. Pengaruh pemberian jus biji pepaya Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia 32 (Carica papaya L.) terhadap kadar asam urat tikus Sprague Dawley dislipidemia. Artikel penelitian Malacrida CR, Kimura M dan Jorge N. Characterization of a high oleic oil extracted from papaya (Carica papaya L.) seeds. Departement of Food Engineering and Technology. Brazil: Sao Paulo State University; Zhou K, Wang H, Mei W, Li X, Lou Y dan Dai H. Antioxidant activity of papaya seed extracts. China Latief M, Tafzi F, Saputra A. Aktivitas antioksidan ekstrak metanol beberapa bagian kayu manis (Cinnamomum burmani) asal Kabupaten Kerinci provinsi Jambi. Prosiding Semirata FMIPA, Universitas Lampung, 2013: Valentina E. Daya peredaman radikal bebas esktrak metanol biji pepaya (Carica papaya L.) dengan metode DPPH (1,1-Diphenyl-2-Picryl Hydrazyl). Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya (1): Nurhasanah Fatty. Efek antioksidan dari ekstrak biji petai cina (Leucaena leucocephala L.) pada tikus putih yang diinduksi streptozotocin [skripsi]. Jakarta: Fakultas Farmasi Universitas Pancasila; , Astuti Sussi. Isoflavon kedelai dan potensinya sebagai penangkap radikal bebas. Jurnal Teknologi Industri dan Hasil Pertanian (2):2, Nisma F, Situmorang A, Fajar M. Uji aktivitas antioksidan ekstrak etanol 70% bunga rosella (Hibiscus sabdariffa L.) berdasarkan aktivitas SOD (superoxyde dismutase) dan kadar MDA pada sel darah merah domba yang mengalami stres oksidatif secara in vitro [skripsi]. Jakarta: Fakultas Farmasi Universitas Muhammadiyah Prof.Dr.Hamka; Wresdiyati T, Astawan M, Fithriani D, Adnyane IKM, Novelina S, Aryani S. Pengaruh α-tokoferol terhadap profil superoksida dismutase dan malondialdehida pada jaringan hati tikus di bawah kondisi stres. Jurnal Veteriner Adeneye AA. The aqueous seed extract of Carica papaya Linn. prevent carbon tetrachloride induced hepatotoxicity in rats. Jurnal International of Applied Research in Natural Products (2): Widiyantoro A, Wardoyono ERP, Sayekti E. Aktivitas ekstrak buah Makassar (Brucea javanica L. Merr) terhadap radikal anion superoksida secara in vivo. Jurnal Penelitian Saintek (1): Jawi IM, Ngurah IB, Yasa IWP, Manuaba IB. Aktivitas fisik maksimal dapat meningkatkan kadar SGOT, SGPT dan menimbulkan degenerasi sel hati mencit. Jurnal Kedokteran Yarsi (3): Amelia G. Potensi rumput mutiara (Hedyotis corymbosa L.) sebagai antioksidan alami [skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor; , 14-15, Gambar mekanisme reaksi oksidasi epinefrin. Assay superoxide dismutase activity using the enzyme inhibition of the oxidation of ephinefrine. Diambil dari diakses12 Desember, 2013.

35 JURNAL ILMU KEFARMASIAN INDONESIA, April 2016, hlm ISSN Vol. 14, No.1 Synthesis and Structure Elucidation of 1,3 bis(p-hydroxyphenyl)urea (Sintesis dan Elusidasi Struktur 1,3 bis(p-hidroksifenil)urea) HARI PURNOMO 1,2, UMAR ANGGARA JENIE 2, AGUNG ENDRO NUGROHO3, HARNO DWI PRANOWO4 1Pharmacochemistry Laboratory, Faculty of Pharmacy, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Central Java, 55281, Indonesia. 2Organic Synthesis Laboratory, Faculty of Pharmacy, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Central Java, 55281, Indonesia. 3Pharmacology Deptartment, Faculty of Pharmacy, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Central Java, 55281, Indonesia. 4Chemistry Department, FMIPA, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Central Java, 55281, Indonesia. Submitted 31 Juli 2015, Accepted 24 November 2015 Abstract: Paracetamol is a well known and commonly used analgesic-antipyretical agent. However, it exhibits hepatotoxic side effect if used for the long term or using exessive dose (10-15 g for single dose). A new compound of 1.3 bis (p-hydroxyphenyl)urea (code-name as HP2009) is an analgesic agent, and it is predicted that its hepatotoxic side effect is lower than that of paracetamol. The compound HP2009 was succesfully synthesized. The result showed that by using molar ratios of p-aminophenol and urea 2:9.5, ph 1 for reaction condition, refluxing for about 1 hr and evaporating time was set up for 30 minutes, the yield of HP 2009 will be 99.49%. The crystals obtained was characterized using spectroscopic methods, and showed undoubtedly that the product was 1.3 bis(p-hydroxyphenyl)urea. Keywords: 1.3bis (p - hydroxyphenyl)urea, synthesis, IR, 1H-NMR, 13 C-NMR and mass spectroscopic analysis, paracetamol. Abstrak: Parasetamol adalah analgetika-antipiretika yang sering digunakan. Parasetamol memiliki kelemahan efek samping hepatotoksik jika dikonsumsi untuk waktu yang lama atau dosis yang berlebih (10-15 g dosis tunggal). Senyawa 1,3 bis (p-hidroksifenil)urea (selanjutnya senyawa diberi kode HP2009) merupakan analgesik yang diprediksi mempunyai efek samping hepatotoksisitas lebih rendah dibanding parasetamol. Senyawa HP2009 telah berhasil disintesis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa reaksi sempurna memerlukan waktu penguapan 30 menit; rasio mol p-aminofenol:urea = 2:9,5; pada ph 1 dan waktu refluks 1 jam mendapatkan hasil 99,49%. Kristal yang diperoleh dikarakterisasi menggunakan metode spektroskopi dan tidak diragukan lagi menunjukkan bahwa produk adalah 1,3 bis (p-hidroksifenil)urea. Kata kunci: 1,3bis (p-hidroksifenil) urea, sintesis, IR, 1H-NMR, 13 C-NMR dan analisis spektroskopi massa, parasetamol. * Penulis korespondensi, Hp hapepeha@yahoo.com

36 34 PURNOMO ET AL. Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia INTRODUCTION PARACETAMOL or acetaminophenol is a well known analgesic-antipyretics for common cold. However, its hepatotoxic side effect has made the FDA to give a warning that paracetamol can not be administered for children under 3 years old or used for more than 10 days, unless the doctor prescribed it (1). This side effect was due to paracetamol metabolite, NAPQI (N-acetyl-p-benzoquinon imine) which covalently bonded to negatively hepatic macromolecule cells. This irreversibly covalent bonding attached at the ortho position of quinone moeity (Figure-1) (2). Van de Straat (1987) stated that this covalent bond between NAPQI anf hepatic cells formed at ortho position of phenolic paracetamol (1,2,3,4). H N O O H Paracetamol CH 3 Figure 1. Hepatotoxic mechanism by NAPQI (2). Various efforts have been carried out to improve the paracetamol s analgesic effect or to eliminate the side effects, through modification of the molecule structure of this compound. The modified structures which have already been synthesized were: anycidine, phenaldine, phenacetine, lactyl phenetidyl, phenachol, criolin, p-acetoxyacetanilide, phenetsal and pertonal (4). Van de Straat et al. (1986) synthesized some 3- monoalkyl, 3.5-dialkyl paracetamol derivatives and 2.6-dimethyl-4-hydroxy-acetanilide (5), but so far these new derivatives failed to compete with paracetamol in the market. Some of paracetamol derivatives have HN OH Cyt-P450 - H. O CH H N. O H N O OH O CH 3 CH 3 S - Prot - H. GSH Prot-SH HN OH O NH OH Figure 2. Net charge of ortho-carbon atom on paracetamol (left) and HP2009 (right). N O O NAPQI Cell Death CH 3 O H 2 N NH 2 Urea 2 NH 2 OH p-aminophenol + H+ HN C O HN C O Isocyanic acid Isocyanic acid H+ H N been made to improve the analgesic effect and reduce the side effect (5, 6, 7. 8, 9). To reduce this side effect of paracetamol, a new molecule of 1.3-bis(p-hydroxyphenyl) urea was designed. This new molecule, designated as HP2009, is predicted to have less hepatotoxic side effect than that of the paracetamol, since the HP2009 has atomic charge ( ) binding to hepatic cells, less positive than the paracetamol ( ) (Figure-2). Synthesis of HP2009 could be carried out by reaction between p-aminophenol and urea, under acidic condition. Synthetic reaction was given in Figure-3. MATERIALS AND METHODS MATERIALS. p-aminophenol p.a (E. Merck), urea (E. Merck), ethanol p.a (E. Merck), TLC plate (E. Merck), chloroform p.a (E. Merck), ethyl acetate p.a (E. Merck), hydrochloric acid (HCl). Instruments. One set of glass-ware for synthesis: Round Bottom Flask (100 ml), Allinh Condenser, Heating Mantle, Beaker-glass (100 ml), ph indicator, Thermophan (Reichert Austria; Nr. 340,579), Infrared (IR) Spectrophotometer (Shimadzu FTIR PC), NMR-Spectrometer 500 MHz (HITACHI FT- NMR- R 1900), Gas-Chromatography - Mass Spectroscopy (GC-MS) (Shimadzu GC- 17A / Shimadzu QP- 5000). METHODS. Synthesis of 1,3 Bis(p- Hydroxyphenyl) Urea (HP2009). Synthesis of 1.3 bis (p-hydroxyphenyl) urea, HP 2009, was carried out using methods developed by Davis and Blancard (10). This methods, p-aminophenol and urea used as starting materials and the reaction was given in Figure-3. The p-aminophenol (2.18g, 0.02mol) on a 250 ml round bottom flask was added by solution of hydrochloric acid (3 ml, 25%) which was previously diluted by aquadest (48 ml) (keep away from sun light). Urea (4.8g, 0.08mol) was then added to the reaction mixture, followed by addition several drops (~1 ml) of hydrochloric acid solution (25%), until acidic of reaction mixture reached ph 3. + OH NH 3 O N OH H 1,3-bis(p-Hydroxyphenyl)urea Figure 3: Synthesis reaction of HP NH 3

37 Vol. 14, 2016 Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia 35 Then the reaction mixture was heated for 30 minutes on a fume cupboard, followed by refluxing on gentle-boiling condition for 1 hour (using heating mantle at scale-4 max). Cooling down the reaction mixture using water at room temperature, and put on ice-bath. Then cooled it at the freezer for 2 hours. Crystalls so obtained was separated, washed with water, and dried at the oven for one day at 50 0C. The following day, the crystall was purified by recrystallization using hot ethanol and gave a product of HP2009 in 99.49% yields as a pinkly-white crystals. The structure of the product was then elucidated by using spectroscopic methods. Structure Elucidation of The Synthetic Product: 1,3 Bis (p-hydroxyphenyl)urea (HP2009). Infrared Spectroscopic Analysis. Infrared (IR) spectroscopic analysis of the synthetic product: HP2009, was carried out on KBr pellet, and using IR-spectrophotometer (Shimadzu FTIR-8201 PC). The IR spectrum of HP2009 was recorded and wave-numbers of various vibration patterns were analyzed. 1H Nuclear Magnetic Resonance (NMR) Spectroscopic Analysis. 1H NMR spectroscopic analysis of the synthetic product: HP2009 was carried out using NMR-spectrometer 500 MHz (HITACHI FT- NMR- R 1900). Solvent used in this analysis was d6-dmso and all proton chemical shifts (δ H ) was recorded. All of the resonance peaks at the 1H NMR spectrum was then analyzed. 13 C NMR Spectroscopic Analysis. 13 C NMR spectroscopic analysis of the synthetic product: HP2009 was carried out using NMR-Spectrometer 500 MHz (HITACHI FT- NMR- R 1900). Solvent used in this analysis was d6-dmso, and all carbon-13 chemical shifts (δ C ) was recorded. All of the resonance peaks at the 13 C NMR spectrum was then analyzed. Gas Chromatographic-Mass Spectrometric (GC-MS) Analysis. GC-MS analysis of the synthetic Product: HP2009 was carried out using instrument GC-MS (Shimadzu GC- 17A / Shimadzu QP-5000). An Electron Impact Mass Spectrometer (EI-MS) was used to determine the molecular weight and structure of HP2009. RESULTS AND DISCUSSION Structure Elucidation of The Synthetic Product: 1,3 Bis(p-Hydroxyphenyl)Urea (HP2009). Analysis of all spectroscopic data of HP2009 was carried out based on standard literatures (11, 12, 13). Result of IR Spectrum Analysis of HP2009. IR Spectrum of HP 2009 shown as in Figure 4. Vibration peak at wave-number (Vmax) 3310 cm -1 derived from stretching-vibration of phenolic hydroxyl group (phenolic-oh str); where as Vmax 1639 cm -1 is due to stretching vibration of carbonyl group (C=O str) of the molecule HP Vibration at Vmax 1575 cm -1 overlaps with that of 1509 cm -1, and are due to bending vibration of two secondary amide groups: -NH bend; where as stretching vibration C=C of the aromatic ring appears at Vmax 1464 cm -1. Result of 1H NMR Spectroscopic Analysis of HP2009. The 1H NMR Spectrum of HP 2009 shown as in Figure 5. Based on its synthetic history, the molecule HP2009 is predicted as a kind of symmetrical urea derivative. 1H NMR spectrum showed four resonance-peaks, i.e., at δ H (singlet, s); (singlet, s); (doublet, d); and (doublet, d) ppm. Proton-integral ratios of these four peaks are respectively 1:0,98:2.003:2.009, Figure-4: IR Spectrum of HP 2009.

38 36 PURNOMO ET AL. these are equivalent with 2:2:4:4 protons. Therefore, total protons within the molecule of HP2009 is 12 and this is in accord with the predicted molecular structure of HP2009. Chemical shift (δ H ) at ppm is due to resonances of two amide protons. Generally, amide proton apprears at δ H ppm (11,12). However, their capability for enolization, they will appears at more down-field position. The singlet peak at δ H ppm with integration of 2 protons is due to two phenolic-protons. The doublet peaks at δ H and ppm, each with integration of four protons are undoubtedly due to eight aromatic protons of H2, H2, H3, H3 and H5, H5, H6, H6 respectively. Result of 13 C NMR Spectroscopic Analysis of HP2009. The 13 C NMR Spectrum of HP 2009 shown as in Figure-6. Two carbon chemical shifts (δ C ) at and ppm are derived from resonances of sp2 carbon binding to protons, i.e., C2, Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia C3, C5 and C6 (of the Ring-A), and C2, C3, C5 and C6 (of the Ring-B). Resonances of C5, C6, C5 and C6 appears at δ C , while C2, C3, C2 and C3 appears at δ C more down-field than the previous cluster of carbons, i.e., at δ C ppm due to anisotropic effect of the amide group. Resonances at δ C and ppm are due sp2 quartenary carbon, i.e., C1, C4 (of Ring A) and C1, C4 (of Ring-B). C1 and C1 appears at δ C due effect of amide group, while C4 and C4 appears at δ C ppm. Result of Mass Spectroscopic Analysis of HP2009. The Mass Spectrum of HP 2009 shown as in Figure-7. Mass spectrum of HP 2009 showed a molecular ion at m/z 244 and a base peak at m/z 109. The molecular ion is in accord with molecular weight of proposed molecule of HP The base peak is due to the radical-cation of p-aminophenol which appears at m/z 109. Figure 5. 1 H NMR spectrum of HP2009. Figure 6: 13 C NMR spectrum of HP2009

39 Vol. 14, 2016 Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia 37 H H H N 6 2 H H 2' 6' H A B 5 3 H H 3' 5' OH O Figure 8. Chemical structure of 1,3 bis(phydroxyphenyl)urea (HP2009). CONCLUSION All spectroscopic data undoubtedly confirmed that the molecule of HP 2009 has chemical stucture as shown in Figure-8. ACKNOWLEDGMENT The authors gave thanks and appreciation to the Faculty of Pharmacy UGM which provided Research Grants. Appreciation also given to the Research Center of Chemistry, the Indonesian Institute of Sciences (LIPI) for helping the authors to run NMR Spectra using 500 MHz NMR Spectrometer. REFERENCES OH 1. Gilman AG. Goodman and Gilman s The pharmacological basis of therapeutics. 8 th ed. vol 2. New York: MacMillan Publishing Co; Van de Straat R. Paracetamol-induced hepatotoxicity and prevention by structural modification- A molecular toxicological study [dissertation]. Amsterdam: Free University Press; N H H Figure 7. Mass spectrum of HP Van de Straat R, De Vries J, Kulkens T, et al. Paracetamol, 3-monoalkyl and 3,5 dialkyl derivates. Biochem Pharmacol : Doerge RF. Wilson and Gisvold s textbook of organic medicinal and pharmaceutical chemistry. 8 th ed. Philadelphia: J.P. Lippincott; Jerman C. Acetaminophen modification in an attempt to lessen the liver damage while retaining drug function. Cosmos: UC Davis; Garry GG, Kieran FS. Mechanisms of action of paracetamol and related analgesics. Inflammo Pharmacology (4-6): Dremza IK. Hepatotoxic effects of acetaminophen. Protective properties of tryptophan derivatives. Biochemistry (Moscow) Supplement Series B: Biomedical Chemistry (3): Vaccarino AL, Paul D, Mukherjee PK, Rodrı guez de Turco EB, Marcheselli VL, Xu L, Trudell ML, Minguez JM, Matı a MP, Sunkel C, Builla JA, Bazan NG. Synthesis and in vivo evaluation of nonhepatotoxic acetaminophen analogs. Bioorganic & Medicinal Chemistry : Pudjono, Susilowati SS, Rehana. Pemodelan senyawa turunan p-aminofenol sebagai analgetik anti-inflamasi berdasarkan hubungan struktur dan aktivitas biologisnya. Majalah Farmasi Indonesia (2): Davis TL, Blanchard KC. The urea dearrangement II organic syntheses : Silverstein RM, Bassler GC and Morrill TC. Spectrometric identification of organic compounds. 5 th ed. New York-Singapore: John Wiley and Sons, Inc Silverstein RM and Francis X, Webster FX. Spectrometric identification of organic compounds. 6 th ed. Printed in USA Williams DH and Fleming I. Spectroscopic methods in organic chemistry. 5 th ed. New York: The McGraw-Hill Companies; 1995.

40 JURNAL ILMU KEFARMASIAN INDONESIA, April 2016, hlm ISSN Vol. 14, No. 1 Isocratic High Performance Liquid Chromatographic Method for Determination of Metoprolol and Its Metabolite in Human Urine Penentuan Metoprolol dan Metabolitnya dalam Urin Manusia dengan Metode Kromatografi Cair Kinerja Tinggi secara Isokratik PRI ISWATI UTAMI 1,2, SUGIYANTO 1*, SUDIBYO MARTONO 1, LUKMAN HAKIM 1 1 Faculty of Pharmacy, Gadjah Mada University, Sekip Utara, Yogyakarta, Central Java, Indonesia. 2 Faculty of Pharmacy, University of Muhammadiyah Purwokerto, Jln. Raya Dukuhwaluh, Kembaran, Purwokerto, Central Java, Indonesia. Submitted 27 November 2015, Accepted 18 Februari 2016 Abtract: An isocratic reversed phase high performance liquid chromatographic (HPLC) method has been developed for the determination of metoprolol (MET) and α-hydroxymetoprolol (α-oh MET) in human urine. Analytes were extracted using dichloromethane. The optimized separations were performed on a Purospher STAR RP-18e LiChroCART (250 x 4.6 mm, 5µm) HPLC column within 12 min by an isocratic elution with 25 mmol/l aqueous potassium dihydrogen phosphate buffer (ph 3.0) containing 15% (v/v) acetonitrile and 15% (v/v) methanol, and UV detection at 234 nm. The method was validated for linearity, accuracy, precision and specificity. The calibration curves for both analytes were linear over the range investigated ( µg/ml) with correlation coefficients of Relative standard deviation (RSD) values were below 2%. For all of the analytes, recoveries value from 98.36±1.68 to ±1.36 % and the limits of detection for MET and α-oh MET were 0.22 and 0.14 µg/ml, respectively. The method developed has been demonstrated to be sensitive and reliable for the measurement of MET and α-oh MET simultaneously in human urine. Keywords: high performance liquid chromatography, metoprolol, metabolite, human urine. Abstrak: Metode kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) secara isokratik telah dikembangkan untuk penentuan metoprolol (MET) dan α-hidroksimetoprolol (α-oh MET) dalam urin manusia. Ekstraksi cair-cair menggunakan diklormetan setelah penambahan NaOH. Pemisahan dilakukan pada kolom Purospher STAR RP-18e LiChroCART (250 x 4,6 mm, 5µm) dengan fase gerak campuran kalium dihidrogen fosfat 25 mmol/l (ph 3,0), asetonitril dan metanol (70:15:15 v/v). Deteksi dengan detektor ultraviolet pada λ 234 nm. Validasi metode meliputi linieritas, akurasi, presisi dan spesifisitas. Kurva kalibrasi linier pada rentang 1,0-64,0 µg/ml untuk kedua analit dengan koefisien korelasi 0,999. Metode menunjukkan presisi yang baik dengan nilai relative standard deviation (RSD) <2%. Perolehan kembali pada rentang 98,36±1,68 sampai 101,32±1,36 % dengan batas deteksi MET dan α-oh MET masing-masing 0,22 dan 0,14 µg/ml. Metode KCKT yang dikembangkan menunjukkan sensitivitas dan reliabilitas yang memadai untuk penentuan MET dan α-oh MET secara simultan dalam sampel urin. Kata kunci: kromatografi cair kinerja tinggi, metoprolol, metabolit, urin. * Penulis korespondensi, Hp sugiyanto_fa@ugm.ac.id

41 44 UTAMI ET AL. Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia INTRODUCTION METOPROLOL (MET) is a β1-selective receptor antagonist. It is widely used in the treatment of cardiovascular disorders such as coronary artery disease (1), heart failure (2), hypertension (3) and arrhythmia (4). Metoprolol (Figure 1(a)) is extensively metabolized by phase I processes in the liver (5) by CYP2D (6) as a major catabolic enzyme (6). Eightyfive percent of metoprolol is metabolized with α-hydroxymetoprolol (α-oh MET, Figure 1(b)) as the main metabolite. As the CYP2D6 gene is highly polymorphic, the appearance of α-oh MET varies depending on the oxidation phenotype which have different capacity to metabolize MET to α-oh MET (7). Therefore, it is imperative to develop method for determining MET and its metabolite in biological samples either in plasma or in urine. Several methods have been reported for the quantification of both MET and α-oh MET in human urine. These assays were based on chromatographic methods using fluorescence detector (8, 9,10), diode array detection (11). Separation MET and its metabolite by HPLC with UV detection has been achieved with either gradient elution (11,12) or isocratic elution (13). Isocratic HPLC with acetonitrile: acetate buffer (ph 3.5) mixture as mobile phase gives a long analysis time (13). The purpose of the present study was to develop a simple isocratic HPLC method with UV detection for MET and α-oh MET assay in human urine and to validate it according to International Figure 1. Chemical structure of MET(a) and α-oh MET (b). Conference on Harmonisation (ICH) guidelines (14). MATERIALS AND METHOD MATERIALS. Metoprolol tartrate and Caffeine as an internal standard (IS) were purchased from Sigma Aldrich (St.Louis, MO, USA). While (a) (b) α-hydroxymetoprolol was purchased from Toronto Research Chemical. HPLC-grade acetonitrile and methanol were purchased from Merck. Potassium dihydrogen phosphate, ortho-phosphoric acid, sodium hydroxide and dichlormethane were obtained from Merck. All other chemicals were HPLC or AR-grade and were used as received. METHODS. Chromatographic Conditions. The HPLC system used was LC-10 AT VP (Shimadzu) consisted of manual injection facility with 20 µl fixed loop, Shimadzu System Controller SCL-10A and UV-Vis SPD 10A and software provided by the manufacturer. Chromatographic separation was performed isocratically on a Purospher STAR RP-18e LiChroCART (250 x 4.6 mm, 5µm) HPLC column. The mobile phase consisted of 15% (v/v) acetonitrile, 15% (v/v) methanol and 70% (v/v) 25 mm potassium dihydrogen phosphate buffer (ph 3). The UV detector was set at 234 nm. The flow rate was 1 ml/min with the injection volume of 20 μl. Validation Method. The method was validated as recommended by ICH for the parameters like specificity, precision, linearity, limit of detection, limit of quantitation and accuracy. The specificity of the method was determined by comparing the chromatograms obtained from the samples containing MET, α-oh MET and IS with those obtained from blank samples. Intra-day and inter-day precision studies were carried out by estimating the corresponding responses 6 times on the same day and on 2 different days at the concentrations of 2; 8; and 32 µg/ml of MET and OH-MET. Linearity was studied by preparing standard MET and OH-MET solutions in blank urine at different concentrations from 1.0 to 64.0 μg/ml. Curves were constructed by plotting concentrations against peak area ratio (peak area compound/peak area internal standard(is)). Linearity was determine by least-squares regression for both the analytes. Three individually prepared replicates at each concentration were analyzed. Accuracy was evaluated in triplicate, at three different concentrations (2; 8 and 32 µg/ml) by adding a known amount of MET and α-oh MET standard to a pre-analyzed sample. The accuracy was determined by calculating the recovery of MET and α-oh MET, RSD and % recovery for each concentration. System suitability tests are an integral part of chromatographic methods. The tests are used to verify reproducibility of the chromatographic system. A system suitability test was performed by injecting six injections of the reference solution at the concentration of 5 µg/ml for MET and α-oh MET, to check the reproducibility of the system. The limits of detection (LOD) and quantitation (LOQ) were calculated from

42 Vol 14, 2016 Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia 45 a separate calibration curve at low level concentration. Preparation of Standard Solution. The standard stock solutions of MET and α-oh MET were prepared by dissolving of accurately weighed 10 mg of MET and α-oh MET reference in a 10 ml of volumetric flask and made up to volume with the mobile phase to obtain a concentration of 1000 µg/ml. Application of Proposed Method to Urine Samples. To an aliquot of 500 µl urine samples from healthy subjects who had been given an oral tablet of 100 mg metoprolol was added 150 µl sodium hydroxide solution (2M), 20 µl internal standard (100µg/mL), and 1000 µl dichlormethane. The samples were vortex-mixed and centrifugated at 8000 rpm for 10 min at room temperature. Then, the organic phase was transferred into a vial and evaporated to dryness with a stream of nitrogen. The residue was dissolved in the mobile phase (1000 µl) and 20 µl of the solution was injected into the HPLC. The concentration of MET and α-oh MET in urine sample was calculated from the peak area ratio using calibration curves for each analytes. Data Analysis and Statistics. Data were given as arithmetic mean. The precision was expressed as the percentage relative standard deviation (RSD), while the accuracy was expressed as percentage of the MET and α-oh MET concentration measured in each sampel referring to the known amount of MET and α-oh MET added. RESULTS AND DISCUSSION The mobile phase consisting of KH 2 PO 4 25 mmol/l ph 3 adjusted with ortho-phosphoric acid, acetonitrile and methanol (70:15:15, v/v) with flow rate 1 ml/ min was found to be suitable for the chromatographic separation of MET, α-oh MET and IS. The optimized mobile phase gave three sharp peaks with good asymmetry factor for MET, α-oh MET and IS (Figure 2). The representative chromatograms obtained in the absence and presence of MET and α-oh MET are depicted in figure 2 which shows that under presented chromatographic conditions, the retention times for α-oh MET, IS and MET were 3.9; 5.3 and 10.9 min, resepectively. As also shown in figure 2, MET, α-oh MET and IS are well separated from the matrix components with no endogenous interfering peaks at the retention times of the compounds of interest. The effective separation of α-oh MET and MET was Figure 2. Representative chromatograms obtained during quantification of metoprolol tartrate (tr=10.9 min) and α-hydroxymetoprolol (tr=3.9 min) in human urine with caffeine (t R =5.3 min) as Internal Standard (IS). (a) Blank human urine, (b) standard solution containing MET, α-oh MET and IS, (c) urine sample collected 8 hours after oral administration of a 100 mg MET tablet.

43 46 UTAMI ET AL. achieved in less than 12 min. The retention time of MET (10.9 min) and α-oh MET (3.9 min) were quite shorter than that studied by Godbillon & Duval (13) and Baranowska & Wilczek (11) System Suitability. System suitability testing is an integral part of analytical procedures (15). The performance qualification of HPLC was determined using the system suitability to verify system performance under actual running conditions. The quality of the chromatographic method was monitored by applying the following system for the suitability tests : capacity factor, asymmetry factor and theoretical plates (Table 1). The peak asymmetry factors for MET and α-oh MET were 1.10 and 1.19, respectively. Chromatographic conditions in this study resulted in the peak asymmetry factor and theoretical plates that meets the requirements (15). The HPLC system also produces good separation results which showed with resolution > 3. Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia concentration range studied with correlation coefficient (r) value of The range of concentrations used in this study is wider than that used in previous studies (11). Precision. The precision of the assay method was studied with respect to both intra-day and inter-day precision. The method indicated very good precision. Intra-day and inter-day precisions for MET and α-oh MET are summarized in Table 3. The intra-day and inter-day precision were found to be within to 1.831% for MET and to % for α-oh MET, respectively. Intra-day and inter-day precision of the present study were comparable to previously reported method (13). Table 3. Precision data. Table 1. System suitability. Note: a: n = 6; b: n = 12. Linearity. Calibration standard of various concentrations of α-oh MET and MET in human blank urine were assayed. The linearity of the calibration curves for MET and α-oh MET in human blank urine at concentration 1-64 µg/ml were excellent (r = 0.999) over the range investigated (Table 2). The linear regression data for the calibration curves (Figure 3) indicate that the response is linear over the Sensitivity. The sensitivity was evaluated by the limits of detection (LOD) and quantitation (LOQ). LOD and LOQ were calculated from calibration curve using the formula LOD=3.3 s/s and LOQ=10 s/s, respectively, where s is the standard deviation of the response and S is the slope of the calibration curve (15). The value of LOD for MET and α-oh MET found were 0.22 and 0.14 µg/ml, respectively, while the limit of quantitation (LOQ) for MET and α-oh MET were 0.67 and 0.42 µg/ml, respectively. The present method provides the LOD and LOQ values for α-oh MET lower than that from previously reported method (11,13), while the LOD and LOQ values for MET Table 2. Linearity of α-oh MET and MET by HPLC. Figure 3. Calibration curves α-oh MET and MET in human urine.

44 Vol 14, 2016 were lower than that from Godbillon & Duval (13) and comparable to Baranowska & Wilczek (11). Accuracy. The accuracy of the method was indicated by the values of recovery. The studies were performed at three different concentration levels. The recovery studies were carried out using a spiking method of known amount of α-oh MET and MET, and found to be in the range from to % as listed in Table 4. RSD was always <2%, which indicates that the method has a high accuration level. The mean recoveries are better than those of the studied reported by Godbillon & Duval (13), Albers et al. (16) and Fang et al. (4). Precision and accuracy were adequate for analysis of MET and its metabolite in human urine. Table 4. Accuracy of the MPLC method. Assay. The validated HPLC method was used for simultaneous determination of MET and α-oh MET in human urine. The method has been applied successfully to analyse MET and α-oh MET in urine samples collected 8 hours after oral administration of a 100 mg metoprolol tablet from 90 healthy volunteers. The concentration ranges of MET and α-oh MET in urine samples were 1.44 to µg/ml for MET and 0.32 to µg/ml for α-oh MET. The proposed method provides an isocratic HPLC method with adequate precision and accuracy with standard HPLC equipment to measure MET and α-oh MET in urine samples for studying oxidation capacity of CYP2D6 in healthy volunteers. CONCLUSIONS The chromatographic method developed has been demonstrated to be sensitive and reliable for the measurements of MET and α-oh MET simultaneously in human urine. Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia 47 ACKNOWLEDGMENT We wish to thank to Instrument Laboratory Staff members of the Faculty of Pharmacy, University of Muhammadiyah Purwokerto, for the facilities given and their supports, and special thanks are devoted to the Directorate General of Higher Education of Indonesia which has given grants for this research. REFERENCES 1. Çamsari A, Arıkan S, Avan C, Kaya D, Pekdemir H, Çiçek D, et al. Metoprolol, a β-1 selective blocker, can be used safely in coronary artery disease patients with chronic obstructive pulmonary disease. Heart Vessel : Gattis WA. Metoprolol CR/XL in the treatment of chronic heart failure. Pharmacotherapy (5): McGill JB. Optimal use of β-blockers in high-risk hypertension: A guide to dosing equivalence. Vasc Healt Risk Manag : Fang J, Semple HA, Song J. Determination of metoprolol and its four metabolites in dog plasma. J Chromatogr B : Moffat AC, Osselton MD, Widdop B. Clarke s analysis of drugs and poisons in pharmaceuticals, body fluids and postmortem material. 4 th Ed. USA: Pharmaceutical Press; McGourty JC, Silas JH. Metoprolol metabolism and debrisoquine oxidation polymorphism-population and family studies. Br J Clin Pharmac : Silas H, Lennard M S, Tucker G T, Ramsay L E, Woods HF. Polymorphic metabolism of β-adrenoceptor antagonists. Br J Clin Pharmac : 11S-9S. 8. Neves DV, Lanchote VL, de Souza L, Hayashida M, Nogueira MS, de Moraes NV, et al. Metoprolol oxidation polymorphism in Brazilian elderly cardiac patients. J Pharm Pharmacol (9): Xu T, Bao S, Geng P, Luo J, Yu L, Pan P, et al. Determination of metoprolol and its two metabolites in human plasma and urine by high performance liquid chromatography with fluorescence detection and its application in pharmacokinetics. J Chromatogr B : Qin L, Rui W. Simultaneous analysis of tramadol, metoprolol and their metabolites in human plasma and urine by high performance liquid chromatography. Chin Med J (23): Baranowska I, Wilczek A. Simultaneous RP- HPLC determination of sotalol, metoprolol, α-hydroxymetoprolol, paracetamol and its glucuronide and sulfate metabolites in human urine. Anal Sci : Baranowska I, Magiera S, Baranowski J. UHPLC method for the simultaneous determination of

45 48 UTAMI ET AL. β-blockers, isoflavones and their metabolites in human urine. J Chromatogr B : Godbillon J, Duval M. Determination of two metoprolol metabolites in human urine by highperformance liquid chromatography. J Chromatogr : ICH. Q2A: Text on validation of analytical procedures. March Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia 15. ICH Harmonised Tripartite Guideline. Q2(R1): Validation of analytical procedures: text and methodology Albers S, Elshoff J P, Völker C, Richter A, Läer S. HPLC quantification of metoprolol with solid-phase extraction for the drug monitoring of pediatric patients. Biomed Chromatogr :

46 JURNAL ILMU KEFARMASIAN INDONESIA, April 2016, hlm ISSN Vol. 14, No. 1 dari Daun Macaranga hispida(blume) Mull. Arg from Leaf of Macaranga hispida(blume) Mull. Arg MEGAWATI 1,2*, MUHAMMAD HANAFI 2, ENDANG SAEPUDIN 1, SOFA FAJRIAH 2 1 Departemen Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Indonesia. 2 Pusat Penelitian Kimia LIPI, Kawasan Puspiptek, Tangerang, Banten, Indonesia, Submitted 3 Juli 2015, Accepted 12 Oktober 2015 Abstrak: Skopoletin diisolasi dari ekstrak metanol daun Macaranga hispida. Ekstrak daun diisolasi data spektroskopi dan dibandingkan dengan referensi. Uji sitotoksisitas skopoletin menggunakan metode assay MTT terhadap sel MCF-7 dan T47D menunjukkan aktivitas sitotoksik yang kuat dengan IC 50 51,5 dan 66,5 μg/ml Kata kunci: skopoletin, Macaranga hispida, uji MTT, MCF-7, T47D. Abstract: Scopoletin was isolated from the methanol extract of leaves of Macaranga hispida. leaf extract was isolated using chromatography with a solvent gradient. Determination of chemical structurebased on spectroscopic data and compared with the reference. Scopoletin cytotoxicity test using MTT assay method against MCF-7 and T47D cells showed strong cytotoxic activity with IC 50 of 51.5 and 66.5μg /ml. Keywords: scopoletin, Macaranga hispida, MTT assay, MCF-7, T47D. PENDAHULUAN MACARANGA merupakan salah satu genus dari famili Euphorbiaceae, memiliki fungsi ekologi yang unik, serta telah menjadi bagian masyarakat dalam pengobatan tradisional. Kelompok tumbuhan ini lebih dari 308 spesies dengan pola penyebaran yang relatif luas, mulai dari Afrika dan Madagaskar di bagian barat hingga ke wilayah tropik Asia, Australia utara, (1). Indonesia merupakan salah satu pusat penyebaran tumbuhan yang dikenal masyarakat lokal sebagai mahang-mahangan. Hal ini terlihat dari dapat dijumpainya tumbuhan tersebut hampir di seluruh kawasan negeri ini. Umumnya, tumbuhan Macaranga berupa semak atau pohon, yang tumbuh di tempat yang * Penulis korespondensi, Hp megarafandi@gmail.com banyak mendapat sinar matahari, khususnya di hutan sekunder atau hutan yang sudah rusak. Oleh karena itu, tumbuhan ini dikenal sebagai tumbuhan pelopor. Dilihat dari segi kegunaan, tumbuhan Macaranga telah banyak dimanfaatkan untuk berbagai keperluan seperti bahan bangunan (tiang, atap, dll.) serta beberapa pengobatan tradisional. Beberapa penggunaan tumbuhan ini untuk obat tradisional, menurut Heyne (2) antara lain digunakan sebagai obat diare, luka dan batuk. Metode yang dipakai dalam mengisolasi ekstrak metanol tumbuhan M. hispida dalam penelitian ini Penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa senyawa fenolik adalah senyawa utama tumbuhan Macaranga. Namun, belum ada publikasi yang membahas tentang M. hispida. Skopolatin adalah senyawa kimia yang umum ditemukan dalam berbagai tanaman (3,4).

47 43 39 MEGAWATI ET AL. Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia Dalam tulisan ini, akan dijelaskan struktur dan sifat senyawa fenolik, antioksidan dan sitotoksik senyawa yang diisolasi dari M. hispida. Di bawah ini ada beberapa senyawa murni yang diperoleh dari genus Macaranga Mappain M.mappa Jacobus et al H HO 1 1' 2 2' H 8' 4' 7' 5' 1" 4" 15 OH 5" HO OH O O Apigenin. M.gigantif olia A.Darmawan.,2013 Gambar 1. Struktur kimia beberapa senyawa yang terdapat dalam tumbuhan Macaranga. BAHAN DAN METODE BAHAN. Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah daun M. hispida, pelarut organik teknis (n-heksana, etil asetat, butanol dan metanol teknis), H 2 SO 4 10 % dalam metanol, lempeng silika gel G60, silika gel G60 mesh 0,040-0,063 mm. Bahan yang digunakan untuk uji antioksidan digunakan yaitu sampel uji, 1,1-diphenyl-pycryl-2-hidrazil (DPPH), metanol dan kuersetin. Sampel daun kering dari hutan Mekongga determinasi tumbuhan dilakukan oleh Herbarium Bogoriense Bidang Botani Pusat Penelitian Biologi LIPI, Bogor Alat. Peralatan yang dipakai adalah alat-alat gelas kimia yang biasa digunakan di laboratorium, alat maserasi, corong pisah, botol 100 ml, botol kecil 5 ml (vial), neraca teknis Mettler Pc 2000, neraca analitik OH Mettler Tuledo AB 204, evaporator vakum Buhcii, λ 254 nm dan λ 366 nm, hot plate, eppendorf, tabung reaksi, spektrometer LC-MS mariner biospectrometry dan spektrometer FT-NMR JEOL JNM ECA 500. METODE. Ekstraksi dan Isolasi (5). Sebanyak 2,15 kg daun kering M.hispida diekstraksi dengan pelarut metanol dengan cara maserasi selama 3x24 jam sekali-sekali diaduk dengan menggunakan pelarut 3x20 L, kemudian disaring. Ekstrak metanol yang diperoleh selanjutnya dipekatkan menggunakan rotary evaporator pada suhu 40 o C sehingga diperoleh ekstrak kental metanol berwarna coklat kehitaman sebanyak 220 g. Sebanyak 150 g ekstrak metanol selanjutnya dipartisi (fraksinasi) menggunakan n-heksana, etil asetat, butanol dan air didapatkan ekstrak sebagai berikut fraksi heksan (31,793 g), fraksi etil asetat (14,365 g), fraksi butanol (29,078 g) dan fraksi air (30,504 g). Masing masing fraksi di lakukan uji antioksidan. Terhadap 20 g fraksi butanol dilakukan pemisahan lebih lanjut menggunakan teknik silika gel 60 G dan fase gerak dengan elusi bergradien, diperoleh 10 fraksi. Selanjutnya terhadap fraksi 3 (149,8 g) dilakukan pemisahan lebih lanjut dan di menggunakan spektroskopi UV/Vis, FT-IR, LC-MS dan FT-NMR. Isolat Murni. Senyawa murni berupa kristal warna putih kehijau-hijauan. Identifikasi menggunakan spektrofotometer NMR JEOL-ECA 500, δh (500 MHz dalam CD 3 OD, μg/ml) 3,91 (s, 3H, H-6a (-OCH3)), 7,12 (s, 1H, H-5), 6,78 (s, 1H, H-8), 6,20 (d, 1H, J=9.75 Hz, H-3), 7,87 (d, 1H, J=9,75 Hz, H-4) (Gambar 2). δ C (125 MHz dalam CD 3 OD, μg/ml) 164,1 (C-2), 116,1 (C-3), 146,3 (C-4), 112,7 (C-4a), Gambar 2. Spektrum 1 H-NMR isolat murni.

48 Vol 14, 2016 Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia Gambar 3. Spektrum 13 C-NMR isolat murni. 110,0 (C-5), 147,2 (C-6), 151,5 (C-7), 104,0 (C-8), 153,0 (C-8a), 56,9 (C-6a)(Gambar 3). ESI-MS (m/z) 193,0101 [M + H] +. Uji Aktivitas Antioksidan (6). Sebanyak 4 mg sampel dilarutkan dalam 4 ml metanol (1000 μg/ml), dibuat larutan uji dengan konsentrasi 200, 100, 50 dan 10 μg/ml, dengan cara memipet 500, 250, 125 dan 25 μl larutan induk ke dalam tabung reaksi, kemudian masing-masing ditambahkan 500 μl larutan DPPH 0,5 mm dan diencerkan dengan metanol sampai 2,5 ml. Sebagai standar digunakan kuersetin dengan konsentrasi yang lebih kecil yaitu 50, 25, 10, 5 μg/ml dengan cara memipet 125, 62,5, 25 dan 12,5 μl larutan induk ke dalam tabung reaksi dan dikerjakan seperti di atas. Serapan DPPH diukur dengan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 515 nm, setelah diinkubasi sampai dengan 30 menit, pada suhu 37 o C. Nilai serapan larutan DPPH terhadap sampel tersebut dinyatakan dengan persen inhibisi (% inhibisi) dengan persamaan sebagai berikut: Keterangan: Abs kontrol = Absorbansi (serapan) kontrol setelah 30 menit Abs sampel = Absorbansi (serapan) sampel setelah 30 menit Aktivitas Anti Kanker. Aktivitas anti kanker dilakukan dengan metode MTT [3-(4,5-dimetil tiazol- 2-il)-2,5-difenil tetrazolium bromida] (7). Dengan pertumbuhan pada fase logaritma, dilarutkan dalam tabung kultur dengan jumlah sel sekitar 3 x 10 3 sel/ml dalam media RPMI Sel diinokulasikan dalam microplate 96 lubang dasar rata dan dikultivasi dalam inkubator CO 2 selama 24 jam untuk menumbuhkan sel. Selanjutnya dilakukan penambahan sampel yang dilarutkan dalam pelarut DMSO. Sampel diencerkan dengan menambahkan larutan dapar fosfat (PBS) ph (7,30 7,65). Sampel dengan konsentrasi yang beragam ditambahkan ke dalam sel dalam microplate lalu dikocok dengan microplate mixer dan disimpan kembali dalam inkubator CO 2. Sebagai kontrol negatif digunakan larutan PBS dan kontrol positif digunakan larutan PBS dan DMSO. Sel diinkubasi selama 48 jam, kemudian ditambahkan pereaksi MTT dan dikocok menggunakan microplate mixer. Inkubasi dilanjutkan selama 4 jam, kemudian ditambahkan stop solution (SDS) dan dikocok dengan baik tanpa meninggalkan busa yang mengganggu dalam pengamatan. Inkubasi dilanjutkan kembali selama 24 jam. Pengukuran rapatan optis/ optical density (OD) dilakukan dengan menggunakan microplate reader, 24 jam setelah penambahan SDS. Nilai IC 50 antara konsentrasi senyawa bahan uji (μg/ml) dan rapatan optis setelah perlakuan dengan bahan uji. IC 50 merupakan konsentrasi yang diperlukan untuk penghambatan pertumbuhan sel sebesar 50% (8). HASIL DAN PEMBAHASAN Daun kering M. hispida diekstraksi dengan metanol. Ekstrak metanol dipartisi dengan n-heksana,etil asetat dan butanol. Dari ekstrak butanol dilakukan dihasilkan isolat murni. Pergeseran kimia H (δ H, μg/ml) pada spektrum 1 H-NMR dalam CD 3 OD, 500 MHz (Gambar 2) menunjukkkan adanya 2 buah proton aromatik yang berbentuk doublet ditunjukkan oleh puncak-puncak

49 Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia MEGAWATI ET AL H Tabel 1. Data NMR data dari isolat murni (1H (500MHz) and 13C dalam CD3OD) dan skopolatin. HO O H3CO H O H H Gambar 6. Korelasi data HMQC and HMBC dari isolat murni. pada daerah δ 6,20 dan 7,87 μg/ml (J = 9,75 Hz) yang menunjukkan berada pada posisi cis, dan ada dua puncak proton yang berbentuk singlet pada pergeseran kimia δ 6,78 and 7,12 μg/ml, serta satu buah puncak tunggal dan tajam dengan intensitas tinggi dan nilai integrasi 3H yang menunjukkan adanya sebuah gugus metoksi (-OCH3) pada δh 3,90 μg/ml. Berdasarkan data spektrum 13C-NMR (Gambar 3) dapat diketahui bahwa isolat murni mempunyai 10 karbon dimana 8 puncak karbon merupakan karbon aromatik yang berada pada pergeseran kimia δ 104,0; 110,0; 112,7; 116,1; 113,0; 146,2; 147,2 dan 153,0 μg/ ml dan 1-karbon metoksi pada δ 56,9 μg/ml, dan satu puncak gugus pada δ 164,1 μg/ml. Pergeseran Gambar 4. Spektrum HMQC isolat murni. kimia karbonil yang relatif lebih rendah pada gugus lakton dibandingkan dengan pergeseran gugus karbonil pada umumnya disebabkan oleh pengaruh posisi atom karbonil yang terikat lansung dengan atom elektronegatif (O) lainnya. Berdasarkan data lakton yang mempunyai ikatan rangkap dan diduga isolat murni ini merupakan skopolatin. Spektrum HMQC (Gambar 4) menunjukkan δh 6,20 μg/ml (1H, d) yang berkorelasi dengan δc 116,1 μg/ml (H-3), δh 7,87 μg/ml (1H, d) dengan δc 146,3 μg/ml (H-4), δh 7,12 μg/ml (1H, s) dengan δc 110,0 μg/ml (H-5), δh 6,78 μg/ml (1H, s) korelasi dengan δc 104,0 μg/ml (H-8) yang menandakan H dan C kepunyaan masing-masing. Proton metoksi pada δh 3,91 μg/ml (3H, s) korelasi dengan δc 56,9 μg/ml H-9. Pada spektrum HMBC adanya korelasi antara proton dengan C yang berdekatan yang berjarak maksimal 3 ikatan dimana data korelasi dapat dilihat pada H-3 (δ 6,20 μg/ml (1H, d)) berkorelasi dengan C-3 (δ 116,1 μg/ml), C-4a (δ 112,7 μg/ml); H-4 (δ 7,87 μg/ml (1H, d) dengan C-2 (δ 164,1 μg/ml), C-4 (δ 146,3 μg/ml), C-5 (δ 110,0 μg/ml), C-8a (δ 153,0 μg/ml); H-5 (δ 7,12 μg/ml (1H, s) dengan C-4 (δ 146,3 μg/ml),c-5 (δ 110,0 μg/ml), C-7 (δ 151,50 μg/ml), C-8a (δ 153,0 μg/ml); H-8 (δ 6,78) (1H, s) korelasi dengan C-4a (δ 112,7 μg/ml), C-7 (δ 151,5 μg/ml), C-8 (δ 104,0 μg/ml) and C-8a (δ 153,0 μg/ ml). Sementara itu, proton metoksi δh 3,91 μg/ml (3H, s), δc 56,9 μg/ml) memperlihatkan korelasi dengan C-6 (δ 147,2 μg/ml). Korelasi antara HMQC dan HMBC isolat murni disajikan pada Gambar 6. Spektrum LC-ESI-MS menunjukkan bahwa isolat murni mempunyai bobot molekul (m/z) 193 [M+H]+, yang berarti bahwa bobot molekul isolat murni adalah OH H OH 8 HO 8a O 7 9 H3 CO O HO H 4a 4 3 O H H Gambar 5. Struktur kimia isolat murni. OH OH O Gambar 7. Senyawa skopolatin.

50 Vol 14, 2016 Tabel 2. Hasil uji aktivitas antioksidan dari ekstrak daun M. hispida dan isolat murni. Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia analisis spektrum NMR serta Dra.Puspa Dewi N.L, M.Eng untuk analisis spekrofotometer LC-MS dan atas diskusinya. DAFTAR PUSTAKA (m/z) 192 dan berdasarkan data NMR dan MS dari skopolatin (9) (Tabel 1). Ekstrak yang didapat diuji aktivitas antioksidannya dengan metode radical scavenger dan hasilnya dapat dilihat pada Tabel 2. Ekstrak dan fraksi memperlihatkan hasil yang mendekati dengan standar, sedangkan untuk isolat murni hasil IC 50 nya jauh dari standar pembanding yaitu kuarsetin. Hal ini disebabkan karena pada skopoletin hanya mengandung 1 gugus hidroksi (-OH), sedangkan yang lain termetilasi (-OCH 3 ). Disamping itu pada standard quersetin ada beberapa gugus hidroksi dalam keadaan bebas dan posisi orto, sehingga mampu meredam dengan baik radikal, sehingga lebih aktif dibandingkan skopoletin. Hasil publikasi lainnya menyatakan bahwa nilai IC 50 skopolatin 0,560Μm (10). Pada penelitian ini, senyawa hasil isolasi skopoletin mempunyai aktivitas terhadap selkanker payudara MCF7 dan T47D untuk Isolat murni berturut-turut mempunyai nilai IC 50 51,5 μg/ml dan 66,5 μg/ml. Hasil publikasi lainnya bahwa skopoletin yang berasal dari sintesis tidak mempunyai aktivitas sebagai antikanker terhadap sel MCF7 dengan nilai diatas 100 μg/ml (11). SIMPULAN Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa salah satu senyawa fenolik yang terkandung dalam daun tanaman M. hispida adalah skopoletin dan berpotensi sebagai antikanker. UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih kami sampaikan kepada Pusat Penelitian Kimia LIPI Serpong yang telah mendanai penelitian ini dan yang telah memfasilitasi laboratorium untuk penelitian ini dan kepada Dr. Ahmad Darmawan untuk 1. Blattner FR, Weising K, Banfer G, Maschwitz U, Fiala B. Molecular analysis of phylogenetic relationships among Myrmecophytic Macaranga species (Euphorbiaceae). Mol Phyl E : Heyne K. Tumbuhan berguna Indonesia. Jilid I. Jakarta: Yayasan Sarana Wanajaya; Bayoumi TY, Eid MH, Metwali EM. Application of physiological and biochemical indices as a screening technique for drought tolerance in wheat genotypes. Afr J Biotechnol : Simoes KJD, Pessoni RAB, Cardoso-Lopes EM, Vivanco JM, Stermitz FR, Braga MR. Ipomopsin and hymenain, two biscoumarins from seeds of Hymenaea courbaril. Phytochemistry Letter : Mizuo M, Hiroyuki K, Munekazu I, Toshiyuki T, Kiyoto G. Coumarin derivatives in Coptis trifolza. Phytochemistry (2): Megawati, Endang S, Muhammad H, Ahmad D, Macaranga hispida (Blume) Mull Arg. Makara Journal of science (3). 7. Yang J, Lin H, Mau J. Antioxidant properties of several commercial mushrooms. Food Chem : Harneti DR, Tjokronegoro A, Safari U, Supratman, Xe-Min L, Mukhtar MR, Mohamad K, Awang K and Hayashi H. Cytotoxic triterpenoid from the bark of Aglaia smithii (Meliaceae). Phytochemistry Letters : Alley MC, Scudiero DA, Monks A, Hursey ML, Czerwinski MJF, Abbot BJ, Mayo JG, Shoemaker RH, Boyd MR. Feasibility of drug screening with panels of human tumor cell lines using a microculture tetrazolium assay. Cancer Res : Darmawan A, Soleh K, Leonardus BSK, Yana MS. Scopoletin, a coumarin derivative compound isolated from Macaranga gigantifolia Merr. Journal of Applied Pharmaceutical Science (12): Aline W, Leonardo NS, Alexandre SC, Luiz DAJ, Ana CL, Patrícia RO,Silvia HC, Luiz CDS. Antioxidant and coumarin derivatives. Phytomedicine : Liu WAB, Jie HC, Jinpei ZA, Huibin ZA, Haiyang ZA, Yanhua CA, Ronald G. Synthesis and in vitro antitumor activity of novel scopoletin derivatives, Bioorganic & Medicinal Chemistry Letters :

51 JURNAL ILMU KEFARMASIAN INDONESIA, April 2016, hlm ISSN Vol. 14, No. 1 Isolasi Senyawa Depside-Depsodone dari Lichen Sumatera (Stereocaulon halei) dan Uji Aktivitas Antimikroba serta Anti Tuberkulosis (Isolation of Depside-Depsodone Compound from Sumatran Linchen (Stereocaulon halei) and Antimicrobial Activity and Anti Tuberculosis Test) FRIARDI ISMED*, SRI HARTATI, RAMA MULYADI, HANIF ERONI PUTRA, NAURA PRIMA VIDIAN, DEDDI P. PUTRA. Laboratorium Biota Sumatera, UPT. Sumber Daya Hayati, Fakultas Farmasi, Universitas Andalas, Kampus UNAND Limau Manis Padang, Sumatera barat, Indonesia Diterima 22 November 2015, Disetujui 18 Februari 2016 Abstrak: Investigasi fitokimia dari Lichen Sumatera (Stereocalon halei Lamb) yang dikoleksi di Gunung Singgalang, Sumatera Barat telah dilakukan. Depsid, atranorin dan depsidon, asam lobarat dapat diisolasi dan dipurifikasi secara singkat dari ekstrak etil asetat (15,88 g) masing-masing sebanyak 4,6 g dan 1,18 g. Penentuan struktur dari dua senyawa hasil isolasi diidentifikasi menggunakan 1H dan 13 C RMI. Kemudian dilanjutkan dengan pengujian anti mikroba dari setiap ekstrak dan isolat hasil isolasi menggunakan metode difusi agar terhadap bakteri Gram positif (S. aureus, E. faecalis) dan bakteri gram negatif (E. coli, S. thyphosa, S. typhimurium dan P. aureginosa). Pada pengujian anti tuberkulosis, masing-masing ekstrak dan senyawa hasil isolasi memperlihatkan hambatan terhadap pertumbuhan bakteri M.tuberculosis H37Rv menggunakan media Lowenstein Jensen. Asam lobarat dan atranorin memberikan aktivitas yang besar dalam menghambat bakteri S. aureus dengan konsentrasi hambat minimum (KHM) 0,0125%, sedangkan terhadap M. tuberculosis H37Rv keduanya memiliki KHM 5 µg/ ml. Kata kunci: isolasi, Lichen, Stereocaulon halei Lamb, anti tuberkulosis, antimikroba. Abstract: Phytochemical investigation of Sumatran Lichen (Stereocaulon halei Lamb) harvested in Singgalang mountain, West Sumatera, has been done. Depside, atranorin and depsidon, lobaric acid were rapidly isolated and purified from the ethyl acetate extract (15.88 g) yielded 4.6 g and 1.18 g, respectively. The structures of the two compounds were identified by 1H NMR and 13 C NMR. Further each extracts and isolated compounds were investigated for their antibacterial activity using agar diffusion method against Gram-positive bacteria (S. aureus, E. faecalis) and Gram-negative bacteria (E. coli, S. thyphosa, S. Typhimurium and P. aureginosa). Antituberculosis activity of each extracted and isolated compounds showed on growth inhibition of M. tuberculosis H37Rv by means of Lowenstein Jensen medium. Lobaric acid and atranorin showed maximum activity against S. aureus and M. tuberculosis H37Rv bacteria with MIC % and 5 µg/ ml, respectively. Keywords: isolation, Lichen, Stereocaulon halei Lamb, antimycobacterium, antimicrobial. * Penulis korespondensi, Hp friardi@gmail.com

52 50 ISMED ET AL. Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia PENDAHULUAN LICHEN atau yang lebih dikenal dengan lumut kerak merupakan tumbuhan simbiosis antara jamur (mycobionts) dan alga atau Cyanobacteria (photobionts). Tumbuhan ini banyak ditemukan di batang pohon, tanah, batuan, di atas batu cadas, di tepi pantai atau di tebing pegunungan. Sekitar spesies lichen telah ditemukan di seluruh dunia dan lebih dari 800 senyawa yang diketahui terdapat pada lichen (1). Beberapa bioaktivitas senyawa kimia dari lichen antara lain, sebagai anti viral, anti jamur, anti inflamasi, analgesik, anti piretik, anti proliferatif, anti protozoal, antidiabetes, anti TB paru, anti kanker dan antimutagen (2). Pada observasi tumbuhan tingkat rendah di Sumatera Barat, khususnya di Gunung Singgalang (2877 m dpl) ditemukan beberapa lichen genus Stereocaulon salah satunya yaitu Stereocaulon halei Lamb. Karakteristik morfologi yang dimiliki yaitu thallus S. halei Lamb berwarna keabu-abuan dengan banyak cabang. Sama seperti lichen yang berasal dari kelompok ascolichen lainnya, di atas permukaan thallus dari lichen S. halei Lamb terdapat bagian yang menonjol yang disebut apothecium yang merupakan tempat penyimpanan spora. Spora ini berfungsi untuk proses perkembangbiakan generatif dari lichen (3). Apothecia pada S. halei Lamb kecil dengan ukuran hingga 1 mm, berwarna coklat hingga kehitaman dan cabang-cabang lateral sederhana. Pseudopotedetia dari S. halei Lamb berupa cabang kecil dan tegak (4). Lichen genus Stereocaulon memiliki kandungan kimia utama dari kelompok depside-depsidone, disamping kelompok lain seperti dibenzofuran dan fenolik. Kelompok senyawa ini memiliki aktivitas yang sangat luas, salah satunya sebagai antimikroba. Melalui penelusuran literatur, genus Stereocaulon dari spesies S. alpinum Laur, S. arcticum Lynge, S. vanoyei Duvign, S. vesuvianum Pers. memiliki daya hambat yang sangat tinggi terhadap pertumbuhan beberapa bakteri S. aureus, B. subitilis, E. coli, P. aeruginosa dan C. albicans (5). Gupta et al melaporkan bahwa ekstrak etanol dari Stereocaulon foliolosum mampu menghambat pertumbuhan bakteri M. tuberculosis strain H37Rv dan H37Ra penyebab penyakit tuberkulosis (6). Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksi terbesar nomor dua penyumbang angka mortalitas dewasa yang menyebabkan sekitar 1,7 juta kematian. Di Indonesia, diperkirakan terdapat kasus baru TB per tahun. TB juga menduduki peringkat dari 10 penyebab kematian yang menyebabkan kematian setiap tahun (7). Peningkatan kasus Multi Drug Resistence Tuberculosis (MDR-TB) menjadi salah satu faktor penyebab meningkatnya kasus kematian pada penderita TB, diperkirakan ada sekitar lebih pasien Multi Drug Resistance Tuberculosis (MDR-TB) (8). Penelitian ini bertujuan untuk mencari sumber obat TB baru dari lichen S. halei Lamb. Ekstrak dan isolat yang didapat dari lichen S. halei Lamb diuji aktivitasnya dalam menghambat pertumbuhan bakteri M. tuberculosis H37Rv dengan media Lowenstein Jensen. Sampai saat ini belum ada laporan penelitian tentang aktivitas anti tuberkulosis dari depside, atranorin dan depsidon, asam lobarat. Melihat potensi antimikroba yang tinggi dari genus Stereocaulon, maka dilakukan juga uji aktivitas antimikroba dari ekstrak dan isolat S. halei Lamb terhadap beberapa bakteri Gram positif dan negatif dengan menggunakan metode difusi agar. BAHAN DAN METODE BAHAN. Stereocaulon halei Lamb kering angin, heksan destilasi, etil asetat destilasi, aseton destilasi, metanol destilasi, DCM, anisaldehid (Merck), H 2 SO 4 (Merck), toluen, asam format (Merck), silika gel (Merck µm), Sephadex LH-20 (BioChemika Fluka), plat KLT (Merck), biakan Escherichia coli ATCC 25922, Staphylococcus aureus ATCC 25923, Salmonella typhimurium ATCC 14028, Salmonella typhosa NCTC 786, Pseudomonas aeruginosa ATCC 27853, Enterococcus faecalis ATCC yang diperoleh dari Laboratorium Mikrobiologi BPOM Padang, Sumatera Barat, Medium Nutrient Agar (NA), DMSO (Merck), NaCl fisiologis, biakan Mycobacterium tuberculosis H37Rv dari Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Andalas, media Lowenstein Jensen (Merck), telur bebek, gliserol (Merck), air suling dan air untuk injeksi. Alat. Spektrofotometer UV-Vis pada Shimadzu Pharmaspec 1700, spektrofotometer FT-IR diukur pada plat KBr menggunakan Perkin Elmer FT-IR, jangka sorong, tabung Mc Cartney, mixer, Melting Point Apparatus MP-12615, 1H (500 MHz) dan 13 C-NMR (125 MHz) spektra diperoleh dengan menggunakan JEOL 500 MHz. METODE. Pengambilan Sampel. Lichen S. halei Lamb diambil pada bulan Februari 2014 di puncak Gunung Singgalang, Tanah Datar, Sumatera Barat, pada ketinggian m di atas permukaan laut. Sampel diidentifikasi di Laboratorium Mycology, Universitas de Rennes 1 dan Museum Botani Berlin dengan nomor koleksi FS 13. Ekstraksi, Fraksinasi dan Isolasi. Lichen S. halei Lamb kering-angin (1 kg) diekstraksi dengan

53 Vol 14, 2016 Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia 51 cara maserasi bertingkat dimulai dengan pelarut non polar (n-heksana), selama 2 hari dan pengulangan 4 kali dengan volume pelarut 1,2 L lalu dilanjutkan dengan pelarut semi polar (etil asetat dan aseton) dan terakhir dengan pelarut polar (metanol). Ekstrak yang didapat diuapkan pelarutnya dengan rotari in vacuo dan dilihat kandungan kimianya dengan metode kromatografi lapis tipis menggunakan eluen/ pengembang standar lichen, yaitu pengembang G (toluene:etil asetat:asam format = 70:25:5) dan pengembang C (toluen:asam asetat = 85:15), lalu divisualisasi dibawah sinar UV (254 dan 365 nm) dan ditambahkan pereaksi penampak noda anisaldehid- H2SO4 dan dipanaskan pada suhu 100 o C untuk melihat warna noda yang muncul dari berbagai senyawa (2). Ekstrak etil asetat (15,88 g) terdiri dari ekstrak kental dan endapan. Endapan dari etil asetat (5,98 g) dikristalisasi dengan n-heksan dan etil asetat sehingga didapat senyawa 1 sebanyak 4,66 g. Filtrat ekstrak kental etil asetat (10 g) dipisahkan dengan metode kromatografi kolom flash dengan fase diam silika gel (Merck µm), dielusi dengan n-heksana, etil asetat dan metanol dengan berbagai tingkat kepolaran (100:0-0:100), didapatkan subfraksi Fraksi digabung lalu dipisahkan menggunakan Sephadex LH-20 (BioChemika Fluka) dielusi dengan eluen metanol, didapatkan senyawa 2 berupa kristal putih sebanyak 1,18 g. Kedua senyawa ini dianalisis dengan kromatografi lapis tipis (KLT) dengan pengembang C dan G lalu divisualisasi dibawah sinar UV (254 dan 365 nm). Selanjutnya pada lembar plat KLT disemprotkan pereaksi penampak noda anisaldehid-h2so4 lalu dipanaskan sehingga memberikan warna jingga untuk senyawa 1 dan merah bata pada senyawa 2. Senyawa murni ini dianalisis dengan pengukuran titik leleh, spektrum IR dan UV- Vis dan dilanjutkan dengan 1H dan 13 C RMI. Uji Antimikroba dari Ekstrak dan Isolat. Pengujian dilakukan menggunakan metode difusi dengan medium Nutrient Agar (NA). Masing-masing ekstrak (ekstrak n-heksana, etil asetat, aseton dan metanol) dibuat menjadi 3 konsentrasi yakni 1,25; 2,5 dan 5% dalam DMSO, sedangkan senyawa isolat konsentrasinya 0,0125; 0,025 dan 0,05% dalam DMSO, kontrol negatif digunakan DMSO dan pembanding kloramfenikol 30 µg/ml. Media NA steril dituangkan pada cawan Petri sebanyak 15 ml untuk Petri kecil dan 30 ml untuk Petri besar. Cotton bud steril dicelupkan ke suspensi mikroba uji yang telah diukur menggunakan spektrofotometer UV- Vis hingga transmitan 20%, kemudian dioleskan ke permukaan medium sampai rata. Cakram yang telah ditetesi zat uji sebanyak 10 µl diletakkan secara aseptis ke permukaan medium. Cawan diinkubasi pada suhu 37 o C selama jam, kemudian dilakukan pengamatan dan pengukuran diameter daerah hambat yang terbentuk sekitar cakram menggunakan jangka sorong. Uji Anti Tuberkulosis dari Ekstrak dan Isolat. Metode pengujian aktivitas anti tuberkulosis adalah menggunakan metode difusi agar dengan media Lowenstein Jensen. Dibuat larutan induk untuk setiap ekstrak (n-heksana, etil asetat, aseton dan metanol) dengan menimbang sebanyak 80 mg dan dilarutkan dalam 5 ml DMSO (larutan Induk µg/ml). Dari larutan induk ini di buat 3 konsentrasi uji yaitu 1600, 800 dan 400 µg/ml di dalam 5 ml media uji (media Lowenstein Jensen dan sampel uji). Konsentrasi untuk isolat senyawa adalah 3,12; 1,56 dan 0,78 µg/ml (9). Pembanding yang digunakan adalah rifampisin 40 µg/ml, ethambutol 2 µg/ml dan isoniazid 0,2 µg/ml serta kontrol DMSO 5 µg/ml (10). Uji sterilitas media dilakukan dengan cara media uji diinkubasi pada suhu o C selama 24 jam. Jika tidak ada mikroba yang tumbuh, media bisa dipakai untuk pengujian. Suspensi bakteri dibuat dari biakan Mycobacterium tuberculosis H37Rv yang berumur 2-4 minggu. Ukur kekeruhannya hingga setara dengan standar Mc. Farland No. 1. Suspensi bakteri sebanyak 10 µl diinokulasi pada media yang berisi masing-masing ekstrak, isolat, kontrol negatif dan zat pembanding, tutup botol dengan longgar. Botol diletakkan dalam inkubator dengan kemiringan 300 pada suhu 37 0C selama 24 jam. Botol yang diinkubasi pada hari sebelumnya ditegakkan dan tutupnya dirapatkan. Inkubasi selama 4 minggu dan pengamatan dilakukan setiap minggu. Jika zat uji memiliki aktivitas anti TB, pengamatan dilanjutkan sampai minggu ke-8. Pembacaan Hasil Pengamatan. Untuk aktivitas antimikroba dilakukan pengukuran diameter zona hambat ekstrak dan isolat pada bakteri uji, sedangkan untuk pengujian anti tuberkulosis dilakukan setiap minggu selama 4-8 minggu, yang diamati adalah jumlah koloni yang tumbuh pada media, dengan pembacaan sebagai berikut: (-): tidak ada pertumbuhan; tulis jumlah koloni: 1-19 koloni; (1+): koloni; (2+): koloni; (3+): koloni (hampir konfluen/ media tertutup oleh hampir seluruh koloni) dan (4+): >500 koloni (konfluen/media tertutup seluruhnya oleh koloni) (11). Analisis data. Data yang diperoleh dibuat dalam bentuk tabel atau grafik, dianalisis dan dihitung nilai rata-rata serta standar deviasi, kemudian dideskripsikan hasilnya.

54 52 ISMED ET AL. HASIL DAN PEMBAHASAN Ekstraksi dan Fraksinasi. Dari 1 kg lichen Stereocaulon halei Lamb diperoleh ekstrak kental n-heksana 2,38 (0,23%), ekstrak etil asetat 20,07 g (2,007%), ekstrak aseton 6,25 g (0,62 %) dan ekstrak metanol 31,88 g (3,18%). Isolasi Senyawa dari Fraksi Etil Asetat S. halei Lamb. Ekstrak etil asetat terdiri dari ekstrak kental dan endapan. Sebanyak 5,98 g endapan etil asetat direkristalisasi sehingga didapatkan 4,66 g senyawa 1 dan dari 10 g ekstrak kental etil asetat S. halei Lamb yang di-sephadex didapatkan senyawa 2 sebanyak 1,18 g. Senyawa 1 berupa kristal jarum putih, titik leleh o C, Rf 0,86 dengan eluen G, λ max 269 nm dan spektrum IR 2933,07 (OH aromatik), 2360,06 (C-H) dan 1654,74 (C=O aromatik). Analisis 1H RMI menunjukan senyawa 1 memiliki 3 gugus metil (CH3-) terlihat singlet pada pergeseran kimia δ H 2,10; 2,56 dan 2,70. Pada pergeseran δ H 4,00 terlihat sinyal singlet yang merupakan sinyal gugus metoksi (-OCH3). Proton aromatik terlihat pada pergeseran kimia δ H 6,41 dan 6,52 dengan sinyal singlet. Adanya gugus aldehid terlihat pada pergeseran δ H 10,37. Pada pergeseran δ H 12,51 dan 12,56 mengindikasikan gugus hidroksil. 1 H dan 13 C NMR atranorin dibandingkan dengan literatur dapat dilihat pada Tabel 1. Dari penelurusan literatur, struktur senyawa 1 merupakan senyawa depside, atranorin (2,12). Depside terbentuk dari 2 buah asam fenil karboksilat yang dihubungkan oleh suatu ester. Senyawa 2 memiliki karakteristik kristal jarum, putih, titik leleh o C, Rf 0,44 dengan eluen G, λ max 211, 266 dan 269 nm serta spektrum IR (cm -1 ) Tabel 1. 1H dan 13 CNMR atranorin dibandingkan dengan literatur. Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia 3172,95 (OH aromatik), 2959,36 (OH fenolik), 1722,16 (C=O karbonil), 1694,27 (C=O ester), 1607,90 (C=C) dan 1567,53 (C=C). Analisis 1H RMI menunjukan senyawa 2 memiliki 2 gugus metil (CH3) terlihat multiplet pada pergeseran kimia δ H 0,95. Terlihat juga adanya rantai alifatik (CH2-CH2-) pada pergeseran kimia δ H 1,43; 1,55; 1,68; 2,88 dan 3,29. Pada pergeseran δ H 4,00 terlihat sinyal singlet yang merupakan sinyal gugus metoksi (-OCH3). Proton aromatik terlihat pada pergeseran kimia δ H 6,79 dan 7,03 dengan sinyal singlet (dapat dilihat pada Tabel 2). Dari penelurusan literatur, struktur senyawa 2 merupakan senyawa depsidon, asam lobarat (2,13). Jika 2 buah asam fenil karboksilat dihubungkan oleh ester dan eter maka senyawa tersebut disebut depsidone (14). Struktur kimia senyawa 1 dan 2 disajikan pada Gambar 1. Atranorin dan asam lobarat merupakan metabolit sekunder yang diisolasi dari beberapa lichen genus Stereocaulon lainnya seperti Stereocaulon paschale (L.) Hoffm, Stereocaulon alpinum Laur, S. austroindicum Lamb dan S. azoreum (Schaer.) Nyl (4). Atranorin juga pernah diisolasi dari lichen Cladonia uncialis, Cladina rangiferin dan Cladina kalbi (15). Beberapa studi yang menunjukkan bioaktivitas atranorin antara lain sebagai antimikroba (16), antioksidan (3), penghambat enzim tripsin (17), pengobatan alzeimer (18), antinociceptive (12), dan analgetik dengan menghambat COX-1 dan COX-2 (19), sedangkan aktivitas asam lobarat terlihat poten untuk beberapa aktivitas farmakologis seperti antidiabetes (20), antimitosis (21), inhibitor arakidonat 5-lipooksigenase (13) dan antioksidan (3). HO 5 5 " H 3 CO 4 CH 3 4 " 2 " ' CH 3 O CH C O 3' 2 ' OH 7 4 ' 1 ' OH ' 6 ' COOCH 3 CHO CH 7 ' ' Senyawa 1 3 " 6 1 " 3 O O C O O 4 ' 3 ' 2 ' OH 1 ' 5 ' 6 ' 7 ' 1 ''' 2 ''' COOH 3 ''' 4 ''' CH 3 Senyawa 2 5 ''' Gambar 1. Struktur Metabolit Sekunder dari S. halei Lamb.

55 Vol 14, 2016 Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia 53 Table 2. 1H dan 13 C RMI asam lobarat dibandingkan dengan literatur. Uji Aktivitas Antimikroba pada Ekstrak dan Isolat Senyawa. Hasil pengujian antimikroba pada fraksi n-heksana, etil asetat, aseton dan fraksi metanol dari S. halei Lamb menunjukkan aktivitas antimikroba yang besar pada bakteri uji terutama untuk bakteri Staphylococcus aureus (Tabel 3, Gambar 2(I)). Aktivitas antimikroba dikelompokkan menurut metode Davis Stout dimana diameter hambat 20 mm menunjukkan aktivitas sangat kuat, mm kuat, 5-10 mm sedang dan 5 mm lemah (22). Fraksi n-heksana S. halei Lamb menunjukkan aktivitas sedang dalam menghambat pertumbuhan bakteri Eschericia coli (5%) dan Pseudomonas aeruginosa (1,25%) dengan diameter hambat 6 mm serta aktivitas kuat pada bakteri S.aureus dengan diameter hambat 13,5 mm pada konsentrasi 5%. Fraksi n-heksana S. halei Lamb tidak menunjukkan aktivitas dalam menghambat pertumbuhan bakteri Salmonella thyphosa, S. thypimurium, Enterococcus faecalis (Tabel 3). Fraksi etil asetat S. halei Lamb aktif sebagai antimikroba karena memberikan daya hambat pada semua bakteri uji kecuali bakteri E. faecalis. Fraksi etil asetat S. halei Lamb memberikan aktivitas sedang dalam menghambat pertumbuhan bakteri E. coli, P. aeruginosa, S. thyphosa, S. thyphimurium dan aktivitas sangat kuat dalam menghambat bakteri S. aureus. Diantara semua fraksi uji, fraksi etil asetat S. halei Lamb memberikan diameter hambat paling besar pada S. aureus dengan diamater hambat 24 mm (5%) (Tabel 3). Tabel 3. Diameter hambat yang dihasilkan fraksi-fraksi ekstrak S. halei Lamb pada bakteri uji. Keterangan: K(-) = DMSO, K(+) = kloramfenikol 30 mg/ml.

56 54 ISMED ET AL. Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia Tabel 4. Diameter hambat atranorin dan asam lobarat pada bakteri uji. Keterangan: Kriteria diameter hambat 20 mm: sangat kuat, mm: kuat, 5-10 mm: sedang dan 5 mm: lemah. A K- K+ D K- B C E K+ F I II Gambar 2. Diameter hambat fraksi (I) dan isolat (II) S. halei Lamb. terhadap bakteri S. aureus. A = Fraksi n-heksana, B = fraksi etil asetat, C = fraksi aseton, D = fraksi metanol, E = isolat atranorin, F = isolat asam lobarat, K+ = kontrol positif (kloramfenikol 30 mg/ml), K- = kontrol negatif (DMSO). Fraksi aseton dan metanol S. halei Lamb memberikan aktivitas sedang dalam menghambat pertumbuhan bakteri E.coli dan P. aeruginosa. Untuk bakteri E.coli, fraksi metanol S. halei Lamb memberikan diameter hambat lebih besar dibanding fraksi S. halei Lamb lainnya yaitu 11 mm (5%) sedangkan fraksi S. halei Lamb lainnya hanya memberikan diameter hambat sekitar 6 mm- 7 mm (5%). Fraksi aseton dan metanol S. halei Lamb memberikan daya hambat yang hampir sama besar dalam menghambat pertumbuhan bakteri P. aeruginosa yaitu 6,7 mm pada fraksi aseton (5%) dan 6,5 mm pada fraksi metanol (5%) (Tabel 3). Semua fraksi dari S. halei Lamb aktif dalam menghambat pertumbuhan bakteri S. aureus, E. coli dan P. aeruginosa namun tidak ada satupun dari fraksi S. halei Lamb yang aktif dalam menghambat pertumbuhan bakteri E. faecalis. Dari hasil pengamatan uji aktivitas antimikroba juga menunjukkan fraksi etil asetat S. halei Lamb lebih aktif sebagai antimikroba, untuk itu dilakukan isolasi dan uji aktivitas isolat dari fraksi etil asetat S. halei Lamb. Atranorin dan asam lobarat yang merupakan metabolit sekunder mayor dari fraksi etil asetat S. halei Lamb memberikan aktivitas antimikroba pada semua bakteri uji kecuali atranorin tidak menunjukkan aktivitas dalam menghambat pertumbuhan E. faecalis (Tabel 4). Pada ketiga konsentrasi uji, atranorin dan asam lobarat menunjukkan aktivitas sedang dalam menghambat pertumbuhan bakteri E.coli, S. thyphosa, S. thyphimurium dan P. aeruginosa. Atranorin memberikan aktivitas kuat dalam menghambat S. aureus dengan diameter hambat 10 mm (0,05%) sedangkan asam lobarat menunjukkan aktivitas sangat kuat dengan diamater hambat 20 mm (0,05%) hampir menyamai kontrol positif dengan konsentasi 30 µg/ ml (Tabel 4 dan Gambar 2(II)). Uji Aktivitas Antituberkulosis pada Ekstrak dan Isolat S. Halei Lamb. Bakteri M. tuberculosis H37Rv mulai tumbuh pada minggu ke-2. Hasil pengujian aktivitas antituberkulosis pada fraksi etil asetat, aseton dan fraksi sisa dari S. halei Lamb menunjukkan aktivitas antituberkulosis yang besar pada bakteri uji dimana pada konsentrasi 1600 µg/ ml tidak ditumbuhi bakteri uji. Sedangkan pada konsentrasi 400 µg/ml dan 800 µg/ml ditumbuhi bakteri M. tuberculosis H37Rv, namun tidak sebanyak pada kontrol negatif. Hal ini menunjukkan bahwa pada konsentrasi 1600 µg/ml fraksi etil asetat, aseton dan metanol S. halei Lamb aktif sebagai antituberkulosis. Untuk fraksi n-heksana, pada semua konsentrasi ditumbuhi bakteri uji. Fraksi n-heksana S. halei Lamb kurang aktif dalam menghambat pertumbuhan bakteri M. tuberculosis H37Rv (Tabel 5, Gambar 3). Atranorin dan asam lobarat menunjukkan aktivitas anti TB pada konsentrasi 5 µg/ml karena pada

57 Vol 14, 2016 Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia 55 Tabel 5. Pertumbuhan bakteri M. tuberculosis H37Rv pada media yang mengandung ekstrak S. halei Lamb. A B C D E F Keterangan: Fraksi 1 = fraksi n-heksana; fraksi 2 = fraksi etil asetat; fraksi 3 = fraksi aseton; fraksi 4 = fraksi metanol; kontrol negatif = DMSO; - = tidak ada koloni yang tumbuh; 1+ = jumlah koloni (1+): koloni; (2+): koloni; (3+): koloni (hampir konfluen/ media tertutup oleh hampir seluruh koloni) dan (4+): >500 koloni (konfluen/media tertutup seluruhnya oleh koloni) (11). Tabel 6. Pertumbuhan bakteri M. tuberculosis H37Rv pada media yang mengandung isolat senyawa S. halei Lamb. G H I J Gambar 3. Pertumbuhan koloni M. tuberculosis H37Rv pada ekstrak dan isolat S. halei Lamb. A= ekstrak n-heksana 1600 mg/ml; B= ekstrak etil asetat 1600 mg/ml; C= ekstrak aseton 1600 mg/ml; D= ekstrak metanol 1600 mg/ml; E= atranorin 5 mg/ml; F= asam lobarat 5 mg/ml; G= isoniazid 0.2 mg/ml; H= rifampicin 40 mg/ml; I= etambutol 2 mg/ml; J= kontrol negatif/ DMSO. konsentrasi tersebut tidak ada pertumbuhan bakteri uji. Asam lobarat menunjukkan aktivitas antituberkulosis yang lebih besar dibandingkan atranorin yakni pada konsentrasi 1,25 dan 2,5 µg/ml atranorin menunjukkan hasil +2 sedangkan asam lobarat +1. Dari hasil pengamatan, kedua senyawa ini memberikan aktivitas yang lebih besar dalam menghambat bakteri M. tuberculosis H37Rv dibandingkan dengan isoniazid (0,2 µg/ml) dan rifampicin (40 µg/ml). Hal ini teramati pada pembanding isoniazid dan rifampicin masih ditumbuhi bakteri M. tuberculosis H37Rv sedangkan pada atranorin dan asam lobarat tidak ditumbuhi bakteri uji (Tabel 6, Gambar 3). SIMPULAN Keterangan: Kontrol negatif = DMSO; - = tidak ada koloni yang tumbuh; 1+ = jumlah koloni (1+): koloni; (2+): koloni; (3+): koloni (hampir konfluen/ media tertutup oleh hampir seluruh koloni) dan (4+): >500 koloni (konfluen/media tertutup seluruhnya oleh koloni) (11). Dari penelitian ini didapat 2 isolat yang berhasil diisolasi dari fraksi etil asetat S. halei Lamb. Dari 5,98 g endapan etil asetat didapatkan 4,6 g atranorin (1) dan dari ekstrak kental etil asetat (10 g) didapatkan asam lobarat (2) sebanyak 1,18 g. Semua fraksi memberikan aktivitas antibakteri yang besar terutama pada S. aureus namun tidak aktif dalam menghambat pertumbuhan bakteri E. faecalis. Ekstrak dari fraksi etil asetat, aseton dan metanol dari S. halei Lamb juga aktif sebagai antituberkulosis (1600 µg/ml ). Namun fraksi n-heksana kurang aktif sebagai antituberkulosis.

58 56 ISMED ET AL. Asam lobarat memiliki aktivitas antimikroba dan antituberkulosis yang lebih besar dibandingkan atranorin dimana atranorin memberikan aktivitas kuat dalam menghambat S. aureus (10 mm) sedangkan asam lobarat menunjukkan aktivitas sangat kuat (20 mm) pada konsentrasi 0,05%. Isolat atranorin dan asam lobarat memilki aktivitas yang lebih besar dalam menghambat pertumbuhan bakteri M. tuberculosis H37Rv pada konsentrasi 5 µg/ml dibandingkan dengan isoniazid (0,2 µg/ml) dan rifampicin (40 µg/ ml). UCAPAN TERIMA KASIH Penelitian ini merupakan hibah penelitian Ristek Sinas Ucapan terima kasih kepada Dr. Harrie J.M. Sipman, BGBM Berlin yang telah mengidentifikasi Lichen, Dr. Ahmad Darmawan dan Sofa Fajriah M.Si, Pusat Penelitian Kimia LIPI, Serpong yang telah membantu pengukuran 1H dan 13 C RMI. Seterusnya Kepala lab. Mikrobiologi BPOM Padang dan Lab. Mikrobiologi Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru Lubuak Aluang dan Lab. Biota Sumatera, UPT Sumber daya Hayati Universitas Andalas. DAFTAR PUSTAKA 1. Rankovic B. Lichen secondary metabolites bioactive properties and pharmaceutical potential. New York: Springer; Huneck S, I Yoshimura. Identification of lichen substances. Verlag Berlin Heidelberg. New York: Springer; Ismed F, FLL Dévéhat, O Delalande, S Sinbandhit, A Bakhtiar and J Boustie. Lobarin from the Sumatran lichen (Stereocaulon halei). Fitoterapia : Lamb MA. Conspectus of lichen genus Stereocaulon (Schreb.) Hoffm. J Hattori Bot Lab : Ingolfsdottir K, PJ Hylands and Y Solberg. Structure of vesuvianic acid from Stereocaulon species. Phytochemistry (2): Gupta VK, M Darokar, D Saikia, A Pal, A Fatima, SPS Khanuja. Antimycobacterial activity of lichens. Pharm Biol (3): Syahrini H. Tuberculosis paru resistensi ganda. Medan: USU Digitalis Library; Burhan E. Tuberkulosis multi drug resistance (TB- MDR). Majalah Kedokteran Indonesia (12). 9. Sudta P, P Jiarawapi, A Suksamrarn, P Hongmanee and S Suksamrarn. Potent activity against multidrugresistant Mycobacterium tuberculosis of α-mangostin analogs. Chemi Pharm Bull (2): Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia 10. Grange JM and NJC Snell. Activity of bromohexine and ambroxol, semi synthetic development of vacisine from the Indian shurb Adhatoda vasica against Mycobacterium tuberculosis in vitro. J Ethnopharmacol : Kementerian Kesehatan RI. Petunjuk teknis pemeriksaan biakan, identifikasi, dan uji kepekaan Mycobacterium tuberculosis pada media padat. Jakarta: Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan dan Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan; Melo MGD, AA Araujo, CP Rocha, EM Almeida, RS Siqueira, L R Bonjardim, LJ Quintans. Purification, physicochemical properties, thermal analysis and antinociceptive effect of atranorin extracted from Cladina kalbii. Biol Pharm Bull : Ingolfsdottir K, SR Gissurarson, B Muller-Jakic, W Breu and H Wagner. Inhibitory effects of the lichen metabolite lobaric acid on arachidonate metabolism in vitro. Phytomedicine (3): Hudson H. Fungal biology. England: Cambridge University; Kowalski M, G Hausner, MD Piercey. Bioactivity of secondary metabolites and thallus extracts from lichen fungi. Mycoscience : Rankovic B, M Misic, S Sukdolak. The antimicrobial activity of substances derivated from the lichen Physciaaipolia, Umbilicariapolyphylla, Parmeliacaperata and Hypogymniaphysodes. World Journal Microbial Biological : Proksa B, J Adamcova, M Sturdikova, J Fuska. Metabolites of Pseudevernia furfuracea and their inhibition potencial of proteolytic enzymes. Pharmazie : Tan J, RD Shytle, D Obregon, MM McGaw. Method of treatment using atranorin. Patent cooperation treaty WO 2008/ A Bugni TS, CD Andjelic, AR Pole, P Rai, CM Ireland, LR Barrows. Biologically active components of a papus New Guinea analgesic and anti-inflammatory lichen preparation. Fitoterapia : Yim JH, C Kim, DK Kim, SJ Han, et al. Pharmaceutical and food compositions for preventing or treating diabetes or obesity. United States Patent Application Publication US 2014/ A Morita H, T Tsuchiya, K Kishibe, S Noya, M Shiro and Y Hirasawa. Antimitotic activity of lobaric acid and a new benzofuran, sakisacaulon A from Stereocaulon sasakii. Bioorg Med Chem Lett : Harlina U, A Prajitno, E Suprayitno and H Nursyam. The identification of chemical compound and antibacterial activity test of kopasanda (Chromolaena odorata l.) leaf extract against vibriosis--causing Vibrio harveyi (MR 275 Rif) on tiger shrimp. Aquatic Science and Technology (2):15-29.

59 JURNAL ILMU KEFARMASIAN INDONESIA, April 2016, hlm ISSN Vol. 14, No. 1 Isolasi Senyawa Flavonoid dari Ekstrak Metanol Daun Katuk (Sauropus androgynus (L.) Merr), Euphorbiaceae (Isolation of Flavonoids Compounds in Methanol Extract of Katuk Leaves (Sauropus androgynus (L.) Merr), Euphorbiaceae) RATNA DJAMIL*, SARAH ZAIDAN Fakultas Farmasi Universitas Pancasila, Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta Selatan, Diterima 8 Februari 2016, Disetujui 15 Maret 2016 Abstract: Katuk (Sauropus androgyrus (L.) Merr) is one of the plants used for medicinal purposes. It has been carried out the research to isolate and to identify flavonoid compounds in the methanol extract of katuk leaves using paper chromatography and spectrophotometry ultraviolet-visible. The results demonstrated that light spectrum of uv-visible in the presence of a reagent gave an isolate NB-3 which was a compound suspected of flavonol with OH group in positions 5,7,4 and o-di OH groups in the position of the A-ring (6,7 or 7,8) whrereas NB-4 isolate was suspected as flavonoids with OH groups at 5.7 and the prenil groups in position 6, methylation or glycosylation at OH group in a position 3 and o-di OH groupsin position of the a-ring (6,7 or 7,8). Keywords: isolation, katuk leaves (Sauropus androgyrus (L.) Merr), Euphorbiaceae, flavonoids, spectrophotometry ultraviolet-visible. Abstrak: Katuk (Sauropus androgynus (L.)Merr) adalah salah satu tumbuhan yang digunakan untuk tujuan pengobatan. Telah dilakukan penelitian terhadap daun katuk meliputi isolasi dan identifikasi golongan senyawa flavonoid dari ekstrak metanol daun katuk (Sauropus androgyrus (L.)Merr) menggunakan metode kromatografi kertas dan diidentifikasi secara spektrofotometri ultraviolet-cahaya tampak. Hasil spektrum uv-cahaya tampak dengan menggunakan pereaksi geser diperoleh isolat NB-3 yang diduga merupakan senyawa flavonol dengan gugus OH pada posisi 5,7,4 serta gugus o-di OH pada cincin A (6,7 atau 7,8), dan isolat NB-4 yang diduga sebagai senyawa flavon dengan gugus OH pada 5,7, dengan gugus prenil pada posisi 6, metilasi atau glikosilasi pada gugus OH posisi 3 serta gugus o-di OH pada cincin A (6,7 atau 7,8). Kata kunci: isolasi, daun katuk (Sauropus androgyrus (L.)Merr) Euphorbiaceae, flavonoid, spektrofotometri ultraviolet-cahaya tampak. PENDAHULUAN UPAYA pengobatan tradisional telah dikenal sejak dulu dan dilaksanakan jauh sebelum pelayanan kesehatan dengan obat-obat modern. Sampai saat ini, masyarakat masih mengakui dan memanfaatkan pelayanan kesehatan dengan obat tradisional. Salah satu contoh dari sediaan obat tradisional yang banyak * Penulis korespondensi, Hp ratnadj_ffup@yahoo.co.id dikonsumsi oleh ibu-ibu menyusui adalah daun katuk (Sauropus androgyrus) (1-3). Dari data pustaka diketahui bahwa daun katuk kaya akan kandungan gizi seperti vitamin A, vitamin B6 dan vitamin C. Kandungan gizi yang kaya menyebabkan daun katuk banyak dimanfaatkan, seperti sebagai pelancar ASI bagi ibu-ibu yang baru melahirkan serta membersihkan darah kotor, juga untuk pengobatan bisul, borok, penyakit frambusia dan susah kencing, mencegah sembelit dan membantu menyembuhkan wasir, mencegah anemia, meningkatkan vitalitas

60 58 DJAMIL ET AL. Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia seksual, termasuk produksi sperma. Disamping kaya protein, lemak, vitamin dan mineral, daun katuk juga memiliki kandungan tanin, saponin, steroid dan flavonoid sehingga sangat potensial untuk dijadikan bahan pengobatan alami (4-6). Flavonoid merupakan salah satu kandungan kimia yang terdapat dalam daun katuk berupa metabolit sekunder yang menunjukkan berbagai khasiat farmakologi dan aktivitas biologi. Flavonoid juga merupakan salah satu golongan fenol alam yang terbesar dan tersebar di sebagian besar tumbuhan tingkat tinggi (Angiospermae). Flavonoid merupakan hasil metabolit sekunder dari tanaman yang mempunyai fungsi biotransportasi, pertahanan diri baik dalam keadaan buruk atau hama, maupun sebagai pigmen warna (7,8).Berdasarkan hal tersebut di atas dilakukan penelitian isolasi golongan senyawa flavonoid yang terdapat dalam daun katuk. Penelitian meliputi: penapisan fitokimia, pembuatan ekstrak, fraksinasi ekstrak, isolasi senyawa flavonoid dan identifikasi isolat menggunakan spektofotometer UV-cahaya tampak (9-12). BAHAN DAN METODE BAHAN. Simplisia daun katuk diperoleh dari UPBS Balittro, kloral hidrat, gliserol, n- heksana, etil asetat, n-butanol, metanol, amonia 25%, kloroform, pereaksi Dragendorff, asam klorida (1:10 v/v), pereaksi Mayer, serbuk magnesium, asam klorida pekat, amil alkohol, asam klorida 2N, besi (III) klorida 1%, pereaksi Stiasny, natrium asetat, natrium hidroksida 1 N, eter, asam asetat anhidrat, asam sulfat pekat, amonia 10%, metanol 95%, asam asetat glasial, HCl-fluoroglusin (3:1), kertas Whatman No.3. METODE. Penapisan Fitokimia (13). Penapisan fitokimia golongan senyawa alkaloid, flavonoid, saponin, tannin, kuinon, steroid atau triterpenoid, kumarin. Ekstraksi Senyawa Flavonoid (10,11). Pembuatan ekstrak kental metanol, dilakukan dengan cara mengekstraksi 1000 g serbuk simplisia secara maserasi dengan pelarut metanol, filtrat yang diperoleh kemudian dipekatkan dengan vakum evaporator. Ekstrak metanol dipartisi berturut-turut dengan pelarut n-heksana, etil asetat, n-butanol. Fase n-butanol diuapkan dengan rotavapor sampai diperoleh ekstrak kental n-butanol. Pemeriksaan Pendahuluan Senyawa Flavonoid (14). Pemeriksaan pendahuluan senyawa flavonoid dilakukan dengan reaksi warna dan kromatografi kertas. Reaksi warna dilakukan terhadap fase n-butanol untuk memastikan ada atau tidaknya kandungan senyawa flavonoid dalam fase tersebut meliputi reaksi Pew, Shinoda dan Wilson Taubock. Reaksi Pew. Sejumlah 1 ml larutan percobaan diuapkan sampai kering. Sisa ditambahkan 1-2 ml etanol 95%, 400 mg serbuk zinc dan 2 ml asam klorida 2 N, lalu didiamkan 1 menit, kemudian ditambahkan 0,5 ml asam klorida P. Adanya flavonoid ditunjukkan dengan terbentuknya warna merah intensif selama 2-5 menit. Reaksi Shinoda. Sejumlah 1 ml larutan percobaan diuapkan sampai kering. Sisa ditambahkan 1 ml etanol 95%, 100 mg serbuk magnesium dan 0,5 ml asam klorida. Bila terbentuk warna merah jingga sampai merah ungu menunjukkan adanya senyawa golongan flavonoid. Bila berwarna kuning jingga menunjukkan adanya senyawa flavonoid golongan flavon, khalkon, auron. Reaksi Wilson Taubock. Sejumlah 1mL larutan percobaan diuapkan sampai kering, lalu ditambahkan aseton, asam borat dan asam oksalat. Campuran diuapkan hati-hati di atas tangas air. Sisa ditambahkan 10 ml eter, kemudian diamati di bawah sinar UV dengan panjang gelombang 366 nm. Jika terlihat pendaran warna kuning intensif menunjukkan adanya senyawa flavonoid. Kromatografi Kertas. Pemeriksaan pendahuluan senyawa flavonoid dari fase n-butanol dilakukan secara kromatografi kertas menggunakan kertas Whatman No. 3 dengan fase gerak n-butanol - asam asetat glasial - air (BAA) dengan perbandingan 4:1:5. Isolasi Senyawa Flavonoid (11). Terhadap fase n-butanol yang menunjukkan profil kromatogram flavonoid, dilakukan isolasi secara kromatografi kertas preperatif dengan fase gerak n-butanol -asam asetat glasial-air (4:1:5). Diamati perubahan warna pita kromatogram sebelum dan setelah diuapi dengan amonia. Pita yang diperoleh dipotong kecil-kecil dan diekstraksi dengan metanol p.a kemudian dipisahkan kembali dengan menggunakan fase gerak kedua asam asetat 15%. Identifikasi Senyawa Flavonoid. Isolat yang diperoleh diidentifikasi penggolongan tipe flavonoidnya menggunakan metode kromatografi dengan melihat perubahan warna pita kromatogram sebelum dan sesudah diberi uap amonia. Hasil isolasi diidentifikasi golongan senyawa flavonoidnya menggunakan metode spektrofotometri ultravioletcahaya tampak. Jika spektrumnya terlihat pada rentang nm (pita II) dan nm (pita I) maka isolat mengindikasikan senyawa flavonoid. Selanjutnya dilakukan penambahan pereaksi geser seperti aluminium klorida, asam klorida, natrium

61 Vol 14, 2016 Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia 59 hidroksida, natrium asetat dan asam borat untuk mengetahui posisi gugus hidroksil flavonoid tersebut. HASIL DAN PEMBAHASAN Penapisan Fitokimia. Hasil penapisan fitokimia menunjukkan bahwa dalam daun katuk mengandung senyawa flavonoid, saponin, tanin galat, steroid dan triterpenoid. Pemeriksaan Pendahuluan Senyawa Flavonoid. Hasil identifikasi dengan reaksi warna menujukkan hasil positif pada reaksi Pew, Shinoda dan Wilson Taubock dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Hasil identifikasi senyawa flavonoid dengan reaksi warna. Gambar 1. Spektrum UV cahaya tampak dari isolat NB-3. Keterangan : : Metanol : NaOAc : AlCl 3 + HCl : NaOAc + H 3 BO 3 : NaOH : AlCl3 Tabel 2. Pergeseran panjang gelombang maksimum isolat NB-3. Isolasi dengan Kromatografi Kertas. Fase n-butanol yang telah dilarutkan dengan metanol ditotolkan berbentuk garis pada kertas whatman No.3. Kemudian dieluasi dengan fase gerak n-butanol- asam asetat glasial- air (BAA) (4:1:5). hasilnya terdiri dari 6 pita. Selanjutnya kromatogram diberi uap amonia dan diamati warna yang timbul sebelum dan sesudah diberi uap amonia, keenam pita dipotong kecil-kecil diekstraksi dengan metanol kemudian keenam isolat tersebut dieluasi kembali dengan fase gerak kedua yaitu asam asetat 15% memberikan hasil 6 pita. Identifikasi Isolat. Masing-masing isolat diidentifikasi secara spektrofotometri uv-cahaya tampak, ternyata yang memberikan panjang gelombang serapan maksimum untuk flavonoid hanya 2 pita yaitu pita berwarna ungu tua (NB-3) dan coklat ungu (NB- 4), kemudian diamati pergeseran panjang gelombang sesudah penambahan pereaksi geser yaitu aluminium klorida, asam klorida, natrium hidroksida, natrium asetat dan asam borat. Isolat NB-3. Hasil pemeriksaan pendahuluan terhadap isolat NB-3 mengarah dugaan pada flavonol yang mengandung 3-OH bebas, flavon atau khalkon, hal ini didasarkan pada warna bercak ungu tua sebelum diberi uap amonia dan tidak terjadi perubahan. Pada identifikasi secara spektrofotometri menggunakan spektrofotometri UV-cahaya tampak dalam pelarut metanol, isolat memberikan serapan maksimum pada panjang gelombang 350,0 nm untuk pita I dan 267,0 nm untuk pita II. Hasil tersebut mengarahkan bahwa isolat adalah golongan khalkon, flavonol atau golongan flavon. Pada penambahan natrium hidroksida puncak serapan pita I 401,0 nm berarti terjadi pergeseran batokromik sebesar 51,0 nm dan tanpa kenaikan kekuatan selama 5 menit. Hal ini memperkuat dugaan semula bahwa isolat termasuk golongan flavonol 4 - OH. Pada penambahan aluminium (III) klorida dan asam klorida serapan maksimum pita I menjadi 397,5 nm berarti terjadi pergeseran batokromik pita I sebesar 47,5 nm, hal ini menunjukkan adanya gugus OH pada posisi 5. Pada penambahan natrium asetat, serapan maksimum pita II 297,5 nm atau tertjadi pergeseran batokromik sebesar 12,5 nm, hal ini menunjukkan adanya posisi OH pada posisi 7. Gambar 2. Rumus bangun flavonol.

62 60 DJAMIL ET AL. Pada penambahan asam borat, serapan maksimum, pita I 353,0 nm atau terjadi pergeseran batokromik sebesar 3nm, hal ini menunjukkan adanya gugus o-di OH pada cincin A (6,7 atau 7,8). Dari data di atas dapat diduga bahwa isolat NB-3 adalah senyawa flavonol dengan gugus OH pada posisi 5,7,4 serta gugus o-di OH pada cincin A (6,7 atau 7,8), dapat dilihat pada Gambar 2. Isolat NB-4. Hasil pemeriksaan pendahuluan terhadap isolat NB-4 mengarah dugaan pada flavonol, flavon, khalkon. Hal ini didasarkan pada warna bercak coklat ungu sebelum diberi uap amonia dan tidak terjadi perubahan setelah diberi uap amonia. Pada identifikasi secara spektrofotometri menggunakan spektrofotometer UV-cahaya tampak dalam pelarut metanol isolat memberikan serapan maksimum pada panjang gelombang 348,5 nm untuk pita I dan 265,0 nm untuk pita II. Hasil tersebut mengarahkan bahwa isolat adalah golongan khalkon, flavon atau flavonol. Pada penambahan natrium hidroksida, puncak serapan pita I 330,5 nm berarti terjadi pergeseran hipsokromik sebesar 18,0 nm dan tanpa perubahan kekuatan selama 5 menit. Hal ini memperkuat dugaan semula bahwa isolat termasuk golongan flavon yaitu terjadi metilasi atau glikosilasi pada substitusi gugus hidroksil 3. Pada penambahan aluminium (III) klorida dan asam klorida serapan maksimum pita I menjadi 348,0 nm berarti tidak terjadi perubahan pada pita I, hal ini menunjukkan mungkin 5-OH dengan gugus prenil pada 6. Pada penambahan natrium asetat, serapan maksimum pita I 364,5 nm atau tertjadi subsitusi pada gugus 7-OH dilihat dari natrium asetat menghasilkan geseran pita I lebih besar dari natrium metilat. Pada penambahan asam borat,serapan maksimum, pita I 309,0 nm atau terjadi pergeseran hipsokromik pita I sebesar 39,5 nm. Hal ini menunjukkan adanya gugus o-di OH pada cincin A (6,7 atau 7,8). Dari data di atas diduga bahwa isolat NB-4 adalah senyawa flavon dengan gugus OH pada 5,7, dengan gugus prenil pada posisi 6, metilasi atau glikosilasi pada gugus OH posisi 3 serta gugus o-di OH pada cincin A (6,7 atau 7,8) dapat dilihat pada Gambar 4. Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia Gambar 3. Spektrum UV cahaya tampak dari isolat NB-4. Keterangan : : Metanol : NaOAc : AlCl 3 + HCl : NaOAc + H 3 BO 3 : NaOH : AlCl3 Tabel 3. Pergeseran panjang gelombang maksimum isolat NB-4. SIMPULAN Pada pemeriksaan penapisan fitokimia serbuk daun katuk menunjukkan adanya senyawa flavonoid, saponin, tanin galat, steroid dan triterpenoid. Berdasarkan hasil identifikasi secara spektrofotometri ultraviolet-cahaya tampak, fase n-butanol dari ekstrak metanol daun katuk pada isolat NB-3 diduga adalah senyawa flavonol yang memiliki gugus-gugus fungsional OH pada posisi 5,7,4 serta gugus o-di OH pada cincin A (6,7 atau 7,8). Isolat NB-4 diduga senyawa flavon yang memiliki gugus OH pada posisi 5,7, gugus prenil pada posisi 6, metilasi atau glikosilasi pada gugus OH posisi 3, serta gugus o-di OH pada cincin A (6,7 atau 7,8). UCAPAN TERIMA KASIH Gambar 4. Rumus bangun flavon. Terima kasih disampaikan kepada Fakultas Farmasi Universitas Pancasila dan karyawan-karyawan laboratorium yang telah memberikan fasilitas penelitian dan bantuan, sehingga penelitian ini dapat diselesaikan dengan baik.

63 Vol 14, 2016 DAFTAR PUSTAKA 1. Mursito B. Sehat di usia lanjut. Edisi I. Jakarta: Penebar swadaya; Malik A. Tinjauan fitokimia, indikasi penggunaan dan bioktivitas daun katuk dan buah trengguli.warta Tumbuhan Obat Indonesia (3): Syamsuhidayat SS, Hutapea JR. Inventaris tanaman obat Indonesia edisi I. Badan penelitian dan pengembangan kesehatan. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia; Siesmonsma JS, Piluek K, editors. Plant resources of South-East Asia No.8. Bogor, Indonesia Heyne K. Tumbuhan berguna Indonesia Edisi II. Diterjemahkan oleh Badan Litbang Kehutanan Jakarta. Jakarta: Yayasan Sarana Wanajaya; Muhlisah F. Taman obat keluarga. Penebar Swadaya; Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Materia Medika Indonesia Edisi V. Jakarta : Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan; Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia Redaksi Kartini. Daun katuk memperlancar ASI hingga meningkatkan vitalitas seksual Jakarta: Majalah kartini; : Markham KR. Cara mengidentifikasi flavonoid. Diterjemahkan oleh Padmawinata K. Bandung: ITB; Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Buku panduan teknologi ekstrak. Jakarta: Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan; Harborne JB. Metode fitokimia. Terjemahan dari Phytochemical method oleh Padmawinata K, Soediro. Edisi II. Bandung: Penerbit ITB; Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Materia medika Indonesia Edisi VI. Jakarta: Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan; Farnsworth NR. Biological and phytochemical screening of plant. J Pharm sci (3). 14. Wichtl MD. Pharmakognostich chemische analyse. Frankfurt am Main: Akademische Verlagsgesselschaft; 1971:

64 JURNAL ILMU KEFARMASIAN INDONESIA, April 2016, hlm ISSN Vol. 14, No. 1 Pemodelan Molekul, Sintesis dan Penentuan Aktivitas Antineoplastik 1-(4-Trifluorometilbenzoiloksi)Urea (Molecular Modeling, Synthesis and Antineoplastic Activity of 1-(4-Trifluoromethylbenzoyloxy)Urea) SUKO HARDJONO * Fakultas Farmasi, Universitas Airlangga, Kampus B, Jln. Dharmawangsa Dalam, Surabaya 60282, Indonesia. Diterima12 Februari 2016, Disetujui 16 Maret 2016 Abstrak: To design new drugs, physical-chemical characteristics of drug molecules can be predicted by in silico test before drugs are synthesized. Ribonucleotide reductase is the main target or receptor of antineoplastic compounds such as hydroxyurea (HU) and its derivatives like 1-(4-trifluoromethylbenzoyloxy)urea or 4-CF 3 BOU. This compound forms a complex with crystal structure of ribonucleotide reductase I enzyme, which is 2EUD. The hydrogen bond and bond energy in the form of rerank score from both complexes was calculated with Molegro program. Theoretically, compound activity is indicated by rerank score. The compound whose rerank score is small is predicted to have greater activity. The activity of 4-CF 3 BOU was found to be greater than HU. The reaction mechanism of synthesis 4-CF 3 BOU was the substitution of nucleophilic hydroxyl group from HU to carbonyl group of 4 trifluoromethylbenzoyl chloride (4-CF 3 BCl). Purity test was conducted using TLC and melting point. Structure identification was performed based on the spectra of UV-VIS, FT-IR, H/C- NMR and MS. In this study, 4-CF 3 BOU was discovered to have antineoplastic activity with the IC 50 value of µg/ml and was tested towards HeLa cells. On the other hand, HU had the IC 50 value of µg/ml. The antineoplastic activity of 4-CF 3 BOU was greater than HU.. Keywords: 1-(4-trifluoromethylbenzoyloxy)urea, in silico test, synthesis, antineoplastic activity test. Abstrak: Untuk merancang obat baru, sifat fisikokimia molekul obat dapat diprediksi sebelum disintesis dan dimurnikan melalaui uji in silico. Ribonukleotida reduktase merupakan target utama atau reseptor dari senyawa antineoplastik seperti hidroksiurea (HU) dan turunannya, yaitu 1-(4-trifluorometilbenzoiloksi) urea atau 4-CF 3 BOU. Senyawa ini membentuk kompleks dengan struktur kristal enzim ribonukleotida reduktase I yaitu 2EUD. Jumlah ikatan hidrogen dan energi ikatan berupa rerank score dari kompleks keduanya dihitung dengan program Molegro. Secara teoretis, aktivitas senyawa ditunjukkan oleh rerank score. Senyawa yang mempunyai rerank score kecil diprediksi aktivitasnya besar. Senyawa 4-CF 3 BOU diprediksi memiliki aktivitas lebih besar dibanding HU. Mekanisme reaksi sintesis 4-CF 3 BOU adalah masuknya gugus nukleofilik hidroksil dari HU pada gugus karbonil dari 4 trifluorometilbenzoil klorida (4-CF3BCl). Uji kemurnian dilakukan dengan menggunakan KLT dan penentuan titik lebur. Identifikasi struktur dilakukan berdasarkan spektra UV-VIS, FT-IR, H/C-RMI, dan MS. Dalam penelitian ini, 4-CF 3 BOU telah berhasil disintesis dan setelah diuji aktivitas antineoplastiknya terhadap sel HeLa mempunyai IC 50 sebesar 82,37 µg/ml, sedangkan HU mempunyai IC ,21 µg/ml. Aktivitas antineoplastik 4-CF 3 BOU lebih besar dibanding HU. Kata kunci: 1-(4-trifluorometilbenzoiloksi)urea, uji in silico, sintesis, uji aktivitas antineoplastik. * Penulis korespondensi, Hp suko.hardjono@yahoo.com

65 63 HARDJONO Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia PENDAHULUAN HIDROKSIUREA (HU) merupakan senyawa yang sampai saat ini masih digunakan sebagai obat antikanker karena memiliki aktivitas antineoplastik untuk menghambat eenzim ribonukleotida reduktase. Fungsi enzim ini adalah pada biosintesis DNA dengan mengkonversi ribonukleotida menjadi deoksiribonukleotida pada fase S (1). Modifikasi struktur melalui substitusi pada senyawa induk akan mengubah efek lipofilik, elektronik dan sterik (2). Beberapa derivat urea telah diteliti sebagai calon obat antikanker. Senyawa tersebut adalah feniltiourea, benzoilfenilurea, fenilurea, benzoilurea, tiourea, N.N. diarilurea, asiltiourea dan tiourea α-aminofosfonate (3). Pada penelitian ini dilakukan modifikasi struktur dari hidroksiurea (HU) menjadi 1-(4-trifluorometilbenzoiloksi)urea atau 4-CF 3 BOU. Untuk merancang obat baru, perubahan aktivitas calon obat dapat diprediksi sebelum senyawa baru disintesis, melalui uji in silico. Uji in silico merupakan uji yang dilakukan dengan melalui simulasi komputer. Uji in silico digunakan untuk mengawali penemuan senyawa obat baru dan untuk meningkatkan efisiensi dalam optimasi aktivitas senyawa induk (3,4). Hasil uji in silico antara lain adalah jumlah ikatan yang terjadi dan nilai rerank score yang merupakan energi interaksi molekul antara sel target dan ligan. Enzim ribonukleotida reduktase digunakan sebagai target utama atau reseptor dari senyawa antikanker HU dan turunannya seperti 4-CF 3 BOU. Kedua senyawa ini membentuk kompleks dengan struktur kristal enzim ribonukleotida reduktase I yaitu 2EUD (3,5). Tujuan uji in silico adalah untuk mengetahui interaksi antara 4-CF 3 BOU dengan 2EUD, dalam upaya memprediksi aktivitas antineoplastiknya. Setelah dapat diprediksi aktivitas antineoplastiknya kemudian dilakukan sintesis 4-CF 3 BOU melalui reaksi substitusi nukleofilik HU dengan 4-CF 3 BCl. Setelah terbukti bahwa senyawa hasil sintesis adalah 4-CF 3 BOU, maka dilakukan uji aktivitasnya secara in vitro dalam membunuh sel HeLa dibandingkan HU. menghitung energi ikatan antara HU dan 4-CF 3 BOU dengan 2EUD digunakan program Molegro (3,5). Sintesis 4-CF 3 BOU. Sintesis 4-CF 3 BOU dari HU dilakukan melalui reaksi substitusi nukleofilik HU terhadap 4-CF 3 BCl dalam pelarut tetrahidrofuran. Sebagai katalis digunakan trietilamin yang sekaligus untuk menangkap HCl yang dihasilkan (3,6,7). Uji Kromatografi Lapis Tipis (KLT) dan Identifikasi Struktur. Uji KLT dilakukan dengan tiga eluen dan uji jarak lebur digunakan untuk menunjukkan kemurnian senyawa hasil sintesis (3,8). Identifikasi struktur dilakukan berdasarkan spektra ultra violet (UV-vis), infra merah (FT-IR), H/C resonansi magnet inti (RMI) dan spektrometer massa (MS) (3,9). Uji Aktivitas Antineoplastik. Uji antineoplastik dilakukan dengan menentukan nilai IC 50 4-CF 3 BOU dalam membunuh sel HeLa, dibandingkan HU (3,10). HASIL DAN PEMBAHASAN Pemodelan Molekul. Pada uji in silico terhadap HU didapatkan dua ikatan hidrogen antara HU dengan 2EUD. Ikatan hidrogen terjadi antara atom O gugus hidroksil dari HU dengan asam amino sistein 428 dan sistein 218 yang terdapat pada 2EUD. Untuk lebih jelasnya bisa dilihat pada Gambar 1, sedangkan untuk 4-CF 3 BOU didapatkan lima ikatan hidrogen antara atom O pada gugus ester dengan sistein 428 dan sistein 218, antara atom N dari gugus amina dengan serin 217 dan antara atom O dari gugus benzoil dengan leusin 427 dan asparagin 426 (3,10). Untuk lebih jelasnya bisa dilihat pada Gambar 2. Gambar 1. Ikatan hidrogen antara HU dan 2EUD. BAHAN DAN METODE BAHAN. Hidroksiurea, 4-trifluorometilbenzoil klorida, tetrahidrofuran, trietilamina, etanol, DMSO, aseton, kalium bromida (KBr), media kultur DMEM, pereaksi MTT dan SDS. METODE. Uji in silico dilakukan terhadap HU dan 4-CF 3 BOU yang membentuk kompleks dengan struktur kristal dari enzim ribonukleotide reduktase I yaitu 2EUD. Untuk menggambarkan interaksi dan Gambar 2. Ikatan hidrogen antara 4-CF 3 BOU dan 2EUD.

66 Vol 14, 2016 Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia 64 Jenis spektrum Tabel 1. Hasil spektrum UV, IR, 1 HRMI, 13 CRMI dan MS dari 4-CF 3 BOU. Hasil Spektrum UV, λ maks (nm) dalam etanol 226 dan 274 Spektrum IR, ν (cm -1 ) dalam pelet KBr Spektrum 1 HRMI, δ (mg/ml) dalam DMSO-D6 Spektrum 13 CMRI, δ (mg/ml) dalam DMSO-D6 Spektrum MS (m/e) F F F (g) (f) ( e ) ( e ) (d) (d) ( c ) (b) O O N H O ( a ) NH (-NH); 3231 dan 3186 (-NH2); 1751 (-C=O ester); 1717 (-C=O amida); 1515 dan 1432 (-C=C- aromatik), 1014 (-C-O-) dan 771(-C-H aromatik). 9.89, s (H pada NH); 8.18, d (2H pada inti benzena =d); 7.88, d (2H pada inti benzena=e); 6.65, s (2H pada NH2). Atom C pada 163,9 mg/ml (b), 159,1 mg/ml (a), 132,4 mg/ml (f) 131,6 mg/ml (c), 131,4 mg/ml (d), 130,2 mg/ml (e), 125,7 mg/ml (g). HRMS (m/z): massa terhitung untuk C9H8N2O3F3 249,0487 dan massa terukur 249,0458. :O: NH 2 O C O Cl O - + NH HCl NH F F OH F F C O F F Hydroxyurea NH 2 4-trifluoromethylbenzoyl cloride 1-(4-trifluoromethylbenzoyloxy) chloride Dari perhitungan energi ikatan antara HU dan 2EUD didapatkan rerank score: - 43,3565 sedangkan antara 4-CF 3 BOU dan 2EUD didapatkan rerank score: -82,9755. Senyawa hasil sintesis 4-CF 3 BOU berupa kristal putih dengan titik leleh C. Nilai Rf: 0,92 (heksana : aseton = 2:3), 0,72 (kloroform : etil asetat = 3:7) dan 0,81 (heksana : etil asetat : metanol = 2: 3:1). Hasil spektra UV, IR, 1HRMI, 13CRMI dan MS dari 4-CF 3 BOU dapat dilihat pada Tabel 1 (3,8,10). Dari hasil uji in silico dapat diketahui bahwa jumlah ikatan hidrogen antara molekul 4-CF 3 BOU dan 2EUD lebih banyak dibanding ikatan hidrogen antara HU dan 2EUD. Dari jumlah ikatan hidrogen dapat diprediksi bahwa makin banyak ikatan hidrogen maka ikatan antar molekulnya lebih kuat. Semakin kuat ikatan ligan dengan reseptor maka diprediksi aktivitasnya juga semakin besar sehingga ikatan antar molekulnya lebih kuat. Dari jumlah ikatan hidrogen dapat diprediksi bahwa aktivitas 4-CF 3 BOU lebih besar dibanding HU. Energi ikatan yang digambarkan dengan rerank score menunjukkan bahwa energi ikatan antara 4-CF 3 BOU dan 2EUD lebih kecil dibanding energi ikatan antara HU dan 2EUD. Semakin kecil energi ikatan menunjukkan bahwa ikatan tersebut semakin stabil. Semakin stabil ikatan ligan dengan Gambar 3. Mekanisme reaksi sintesis 4-CF 3 BOU. reseptor maka dapat diprediksi aktivitasnya semakin besar. Berdasarkan besarnya energi ikatan ligan reseptor menunjukkan bahwa aktivitas 4-CF 3 BOU lebih besar dibanding HU. Hasil sintesis 4-CF 3 BOU berupa kristal putih dengan titik lebur C. Dari titik lebur yang bedanya tidak lebih dari dua derajat celsius menunjukkan bahwa kristal yang dihasilkan murni. Kemurnian juga ditunjukkan dengan adanya satu noda dari senyawa hasil reaksi pada lempeng KLT dengan tiga macam eluen. Nilai Rf dari hasil KLT adalah 0,80 (heksana : aseton = 2:3), 0,78 (kloroform : etil asetat = 3:7),dan 0,87 (heksana : etil asetat : metanol = 2:3:1). Karakterisasi struktur dilakukan dengan menganalisis spektrum UV, IR, 1 HRMI, 13 CRMI dan MS dari senyawa hasil sintesis. Dari karakterisasi tersebut dapat disimpulkan bahwa zat yang disintesis adalah 4-CF 3 BOU. Dari uji in vitro menggunakan sel HeLa dengan metoda MTT didapatkan nilai IC 50 dari 4-CF 3 BOU adalah 82,37 µg/ml dan nilai IC 50 dari HU adalah 430,21 mg/ml. Makin kecil nilai IC 50 berarti senyawa tersebut aktivitasnya semakin besar. Dari hasil uji in vitro dapat disimpulkan bahwa 4-CF 3 BOU mempunyai aktivitas lebih besar dibanding HU.

67 65 HARDJONO Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia SIMPULAN Dari hasil uji in silico dapat diprediksi bahwa 4-CF 3 BOU lebih aktif dibanding HU. Senyawa yang dihasilkan adalah 4-CF 3 BOU sesuai karakterisasi menggunakan spektra UV, IR, 1 HRMI, 13 CRMI dan MS. Aktivitas antineoplastik 4-CF 3 BOU lebih besar dibanding HU. UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi yang telah mendanai penelitian ini.terima kasih dan penghargaan disampaikan kepada Prof. Dr. Siswandono, Apt., MS. dari Fakultas Farmasi Universitas Airlangga sebagai promotor dan yang mempunyai lisensi program Molegro, Prof. Dr. Puwanto, Apt. dari Fakultas Farmasi Universitas Airlangga sebagai co-promotor, Prof. Drs. Win Darmanto, MSi., Ph.D. dari Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga sebagai co-promotor, Prof. Honda dari Hoshi University, Jepang, yang telah membantu menginterpretasi data spektrum MS, Prof. Supargiyono, DTM & H, SU., Sp.Par (K), sebagai Kepala Departemen Parasitologi Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada, yang telah mengijinkan saya untuk mempelajari dan menentukan aktivitas antineoplastik. DAFTAR PUSTAKA 1. Salim AK. 2004, Genetics and molecular biology. Sau Paulo (1). 2. Korolkovas A. Essentials of medicinal chemistry, 2 end ed. New York: John Wiley and Sons; Hardjono S, Siswandono, Purwanto, Darmanto W. Quantitative structure-cytotoxic activity relationship 1-(benzoyloxy)urea and its derivative. Curr Drug Discov Technol (2). 4. Istyastono E.P., ( 16/12/2007), Xu H, Faber C, Uchiki T, Racca J, Dealwis C. Structures of eukaryotic ribonucleotide reductase I define gemcitabine diphosphate binding and subunit assembly. PNAS (11): Clayden, Greeves, Warren, Wothers. Organic chemistry. New York: Oxford University Press; Zinner G, Staffel R. Carbamoylation of hydroxylamine. derivatives. Arc Pharm Ber Ges. 1969: Hardjono S, Modifikasi struktur 1-(benzoiloksi) urea dan hubungan kuantitatif struktur-aktivitas sitotoksiknya [disertasi]. Surabaya: Universitas Airlangga; Silverstein RM,Webster FX and Kiemle DJ. Spectrofotometric identification of organic compound. 7 th Ed. New York: John Wiley and Sons Inc; CCRC UGM, ( protokol. 20/3/2012)

68 JURNAL ILMU KEFARMASIAN INDONESIA, April 2016, hlm ISSN Vol. 14, No. 1 Hubungan Rasionalitas Pengobatan dan Self-care dengan Pengendalian Glukosa Darah pada Pasien Rawat Jalan di Rumah Sakit Bina Husada Cibinong (Correlation of Treatment Rationality and Self-care with Blood Glucose Control in Outpatients Treated at Bina Husada Cibinong Hospital) SESILIA ANDRIANI KEBAN*, ULFA AYU RAMDHANI Fakultas Farmasi Universitas Pancasila Jl. Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta Selatan * Penulis korespondensi, Hp k.sesilia@gmail.com Diterima 2 Februari 2016, Disetujui 11 Maret 2016 Abstrak: Diabetes melitus (DM) merupakan kelompok penyakit metabolik yang bila tidak terkendali dengan baik dapat menimbulkan komplikasi yang berbahaya. Pengobatan yang rasional pada penderita DM diduga dapat mengendalikan glukosa darah karena pasien menerima obat sesuai dengan kebutuhan klinisnya. Selain pengobatan yang rasional, penderita DM harus mampu melakukan self-care yang merupakan perawatan diri secara mandiri untuk meningkatkan kualitas hidup dan mencegah komplikasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara rasionalitas pengobatan dan self-care dengan pengendalian glukosa darah pasien DM tipe II di Poli Rawat Jalan Rumah Sakit (RS) Bina Husada Cibinong. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analitis dengan desain cross sectional. Pengambilan data dilakukan secara retrospektif maupun prospektif terhadap 109 pasien DM tipe 2 selama periode Maret- Mei Digunakan kuesioner Diabetes Self-Management Questionnaire untuk mengakses self-care. Hasil penelitian menunjukkan data demografi pasien DM tipe 2 adalah 57,80% wanita dan 42,20% pria dengan kisaran usia terbanyak yaitu tahun (49,54%). Persentase pengobatan yang rasional cukup tinggi yaitu 61,47%, sedangkan self care pasien sebagian besar (69,72%) berada pada kriteria baik dan sisanya (30,28%) pada kriteria cukup. Pada uji korelasi Chi-square independen ditemukan tidak adanya hubungan antara rasionalitas pengobatan dan self care dengan pengendalian glukosa darah (p > 0,05). Hal ini menunjukkan kemungkinan adanya faktor lain yang dapat mempengaruhi pengendalian glukosa darah. Kata kunci: rasionalitas pengobatan, self-care, pengendalian glukosa darah. Abstract: Diabetes mellitus (DM) is a group of metabolic diseases and if it is not properly controlled can lead to dangerous complications. A rational treatment in patients with suspected diabetes can control blood glucose for patients receiving the drugs in accordance with their clinical needs. In addition to rational treatment, people with diabetes should be able to perform self-care in order to improve quality of life and prevent complications. This study aims to determine the relationship between treatment rationality and selfcare with type II DM outpatients at Bina Husada Cibinong Hospital. This research uses descriptive analysis method with cross sectional design. Data were collected retrospectively and prospectively towards 109 type 2 diabetetic patients during period from March to May Diabetes Self-Management Questionnaire were used to access self-care. The results showed that the demographic data of type 2 diabetic patients was 57.80% women and 42.20% of men, with the highest age range is years (49.54%). The percentage of rational treatment is quite high at 61.47%, while the majority of self-care patients were on the criteria of good (69.72%) and the rest were on the criteria of enough (30.28%). Chi square correlation test showed no relationship between treatment rationality and self care with blood glucose control (p> 0.05). This suggests the possibility of other factors that can affect blood glucose control. Keywords: treatment rationality, self-care, blood glucose control.

69 67 KEBAN ET AL. Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia PENDAHULUAN DIABETES melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya (1). Penyakit ini sering disebut sebagai silent killer karena seringkali manusia tidak menyadari bila dirinya telah menyandang diabetes dan begitu mengetahuinya sudah terlambat dalam penanganannya (2). Apabila dibiarkan tidak terkendali maka penyakit ini dapat menimbulkan komplikasi lain yang membahayakan kesehatan. Menurut International Diabetes Federation (IDF) terjadi kenaikan jumlah penyandang DM dari 7,0 juta pada tahun 2009 menjadi 12,0 juta pada tahun 2030 (3). Berdasarkan Laporan dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan (RISKESDAS) tahun 2013 diinformasikan bahwa prevalensi DM terdiagnosis dokter atau gejala adalah sebesar 2,1% dimana posisi tertinggi diduduki oleh DI Yogyakarta dan DKI Jakarta, sedangkan untuk prevalensi terkecil oleh Jawa Barat (4). Rumah Sakit Bina Husada adalah rumah sakit swasta bertipe C di daerah Cibinong, Kabupaten Jawa Barat. Pada tahun 2013 jumlah pasien rawat jalan pengidap penyakit DM adalah 508 pasien, sedangkan untuk pasien rawat inap adalah sebesar 156 pasien. Diabetes melitus merupakan penyakit diperingkat ketiga penyebab kematian terbesar di RS. Bina Husada (5). Walaupun angka prevalensi untuk Jawa Barat adalah terkecil namun penganganan pasien DM dengan tepat dan efektif tetap menjadi prioritas utama guna mencegah terjadinya resiko yang dapat mengancam jiwa. Penggunaan obat secara rasional merupakan salah satu upaya yang diduga dapat memberikan pengaruh dalam mengendalikan glukosa darah pasien DM. Hal ini dikarenakan pasien menerima obat yang tepat dan efektif sesuai dengan kebutuhan klinisnya, aman serta dengan biaya yang terjangkau (6). Dalam penatalaksanaan DM walaupun pasien telah mendapatkan obat yang rasional, namun bila tidak diikuti gaya hidup yang sehat maka hasilnya tidak akan optimal. Oleh karena itu self-care sangatlah penting untuk dievaluasi pada pasien DM. Self care adalah perawatan yang dilakukan secara mandiri oleh pasien guna meningkatkan kualitas hidup, mengatur metabolisme tubuh, serta mencegah terjadinya komplikasi (7). Self-care pada penderita DM masih sangat kurang sehingga hal ini kemungkinan dapat berpengaruh pada pengendalian glukosa darah (8). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran serta hubungan antara rasionalitas pengobatan dan self-care dengan pengendalian glukosa darah pada pasien DM. BAHAN DAN METODE BAHAN. Profil pengobatan pasien, rekam medik dan pasien DM tipe II dewasa dengan atau tanpa penyakit penyerta yang sedang menjalankan pengobatan DM di Poli Penyakit Dalam RS Bina Husada Cibinong pada bulan Maret-Mei Alat. Kuesioner Diabetes Self-Management Questionnaire (DSMQ), informed consent, software pengolah data stastistik. METODE. Desain Studi. Penelitian ini memiliki desain cross sectional dengan pengambilan data secara retrospektif dan prospektif. Teknik Sampling. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode total sampling terhadap pasien yang memenuhi kriteria tertentu. Kriteria Inklusi. Pasien adalah pasien rawat jalan DM tipe II dewasa dengan atau tanpa penyakit penyerta, sedang mendapatkan pengobatan DM di poli penyakit dalam RSBH pada bulan Maret-Mei 2015, melakukan kontrol glukosa darah selama 3 bulan berturut-turut dan bersedia mengisi informed consent. Kriteria Eksklusi. Pasien rawat jalan DM tipe II dewasa dengan atau tanpa penyakit penyerta, sedang mendapatkan pengobatan DM di poli penyakit dalam RSBH pada bulan Maret-Mei 2015, melakukan kontrol glukosa darah 3 bulan berturut-turut dan bersedia mengisi informed consent namun dalam periode penelitian dinyatakan hamil dan mendapatkan perawatan di ruang rawat inap. Besar Sampel. Jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah 109 pasien. Validasi dan Penilaian Kuesioner DSMQ. Kuesioner DSMQ yang telah divalidasi (p> 0,05) dan diuji reliabilitasnya (Cronbach alfa 0,889). Self-care dalam penelitian ini diukur dengan DSMQ yang terdiri dari 16 pertanyaan dengan empat pilihan jawaban yang berskala Likert. Terdapat beberapa subdomain dalam kuesioner ini yaitu: glucose management (pertanyaan no. 1, 4, 6, 10, 12), dietary control (pertanyaan no. 2, 5, 9, 13), physical activity (pertanyaan no. 8, 11, 15), health-care use (pertanyaan no. 3, 7, 14), dan satu pertanyaan (no. 16) yang ikut memberikan penilaian secara keseluruhan (review) mengenai self-care. Hasil penilaian dari self-care selanjutnya dilakukan skoring dan dimasukkan ke dalam kategori baik (skor 32-48), cukup (skor 16-31), dan buruk (skor 0-15). Penilaian Rasionalitas. Data mengenai rasionalitas pengobatan diperoleh dari profil pengobatan pasien maupun rekam medis. Data pengobatan tersebut selanjutnya dibandingkan kesesuaiannya dengan PERKENI Penilaian terhadap rasionalitas pengobatan dilakukan berdasarkan kategori tepat indikasi, tepat obat, tepat dosis dan tepat pasien.

70 Vol 14, 2016 Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia 68 Apabila seluruh pengobatan pasien sudah tepat maka dimasukkan ke dalam kriteria pengobatan rasional, namun bila satu atau lebih tidak terpenuhi maka pasien dimasukkan dalam kriteria pengobatan tidak rasional. Analisis Data. Data yang telah terkumpul dari hasil penelitian tersebut kemudian diolah dengan software statistik. Analisis deskriptif dengan uji frekuensi dilakukan untuk melihat gambaran demografi pasien (jenis kelamin, usia, diagnosis dan penyakit penyerta/ komplikasi), rasionalitas pengobatan dan self care yang diberikan. Selain itu uji Chi-square independen juga dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara rasionalitas dan self-care dengan pengendalian glukosa darah. HASIL DAN PEMBAHASAN Demografi Pasien. Pada Tabel 1 dapat diamati data demografi 109 pasien yang terlibat dalam penelitian ini. Sebagian besar pasien berjenis kelamin perempuan (56,88%), berusia tahun (49,54%), dan memiliki diagnosis DM tipe II dengan penyakit penyerta/ komplikasi (55,96%). pria rata-rata berkisar antara 15%-20% dari berat badan total dan pada wanita sekitar 20%-25%. Jadi peningkatan kadar lipid dalam darah pada wanita adalah lebih tinggi dibandingkan pada pria, sehingga hal ini menyebabkan wanita menjadi 3-7 kali lebih rentan untuk mengalami DM dibandingkan dengan pria (10). Penderita DM yang berusia di atas 45 tahun dan memiliki pengaturan diet glukosa yang buruk akan mengalami penyusutan pada sel-sel beta pankreas. Walaupun sel beta pankreas yang tersisa umumnya masih aktif, namun sekresi insulinnya semakin berkurang (11). Tidak dapat dipungkiri bahwa penderita DM sangatlah rentan terhadap terjadinya penyakit lain. Pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa penyakit penyerta terbanyak adalah hipertensi. Dalam sebuah penelitian diinformasikan bahwa hipertensi paling banyak ditemukan pada pasien penderita DM tipe II. Hal ini dikarenakan kadar glukosa darah yang tinggi dan tidak terkendali dapat menyebabkan penyempitan dan berkurangnya elastisitas, serta pengerasan arteri yang berakibat pada terjadinya aterosklerosis. Bila tidak diatasi maka aterosklerosis dapat memicu terjadinya hipertensi, kerusakan jantung, maupun gagal ginjal (12). Jenis kelamin Usia Tabel 1 Data demografi pasien rawat jalan DM tipe II di Poli Penyakit Dalam Rumah Sakit Bina Husada Cibinong. Demografi Σ (n) % a. Perempuan 62 56,88% b. Laki-laki 47 43,12% a ,94% b ,54% c ,35% d ,26% e. > ,92% Diagnosis a. DM tipe II tanpa penyakit penyerta/komplikasi 48 44,04% b. DM tipe II dengan penyakit penyerta/komplikasi 61 55,96% Keterangan: % : Persentase dihitung terhadap jumlah total pasien Σ : Jumlah pasien DM tipe II paling banyak terjadi pada wanita dikarenakan secara fisik wanita memiliki peluang peningkatan indeks masa tubuh yang lebih besar, sindroma siklus bulanan (premenstrual syndrome), serta pasca-monopause yang membuat distribusi lemak tubuh menjadi mudah terakumulasi akibat proses hormonal tersebut (9). Jumlah lemak pada Tabel 2. Pasien rawat jalan diabetes melitus tipe 2 di poli penyakit dalam Rumah Sakit Bina Husada Cibinong periode Maret-Mei 2015 berdasarkan diagnosis penyakit penyerta. No. Diagnosis dan penyakit penyerta Jumlah pasien Persentase (%) 1. DM tipe II dengan hipertensi 28 45,90% 2. DM tipe II dengan tukak peptik 18 29,50% DM tipe II dengan hiperkolesterolemia DM tipe II dengan hipertensi + hiperkolesterolemia DM tipe II dengan hiperkolesterolemia + tukak peptik DM tipe II dengan hipertensi + tukak peptik DM tipe II dengan hipertensi + neuropati diabetes DM tipe II dengan arthritis rheumatoid 5 8,20% 4 6,56% 2 3,28% 2 3,28% 1 1,64% 1 1,64% Rasionalitas Pengobatan. Data terkait dengan rasionalitas pengobatan diambil dari profil pengobatan pasien yang terdapat dalam rekam medik. Analisis dilakukan terhadap ketepatan indikasi, penggunaan obat, dosis dan pasien. Informasi detail terkait dengan hal tersebut dapat diuraikan berikut ini. Tepat Indikasi. Tepat indikasi dapat diartikan sebagai pemberian obat yang sesuai dengan diagnosis dokter dan terbukti manfaat terapinya. Perlu diperhatikan bahwa tidak semua pasien membutuhkan

71 69 KEBAN ET AL. Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia No. Tabel 3. Data ketepatan dosis obat antidiabetik pada pasien rawat jalan DM tipe II di Poli Penyakit Dalam Rumah Sakit Bina Husada Cibinong. Jenis obat 1. Metformin 2. Glimepiride Nama dagang Dosis harian (mg) Dosis pemberian (mg) Jumlah pasien Tepat dosis Metformin % Glucophage Glumin % % Glimepiride % Amaryl 0, % Metrix % 3. Glibenklamid 2, % 4. 70% Insulin Aspart Protamin 30% Insulin Aspart 5. Gliklazid Novomix Diamicron MR 1-60 unit 3 x 10 unit % % 6. Glikuidon Glurenorm % 7. Acarbose Glucobay % 8. Insulin Glargine Lantus 9. Insulin Aspart Novorapid 10. Insulin Gluisine Apidra 2-40 unit 1-60 unit 2-40 unit 3 x 10 unit % 3 x 10 unit % 3 x 10 unit % % intervensi dalam pengobatan. Berdasarkan hasil evaluasi ditemukan bahwa seluruh pasien memiliki ketepatan indikasi (100%). Tepat Obat. Tepat obat dalam terapi DM tipe II dapat diartikan sebagai kesesuaian dalam pemilihan obat dari beberapa jenis obat yang mempunyai indikasi terhadap penyakit DM tipe II berdasarkan pedoman PERKENI, Hasil evaluasi menunjukkan bahwa 65,14% pasien memiliki pengobatan yang tepat dan 34,86% memiliki pengobatan yang tidak tepat. Hasil tersebut dihitung berdasarkan GDS pasien yang dikonversikan ke dalam nilai HbA1C kemudian disesuaikan dengan penyakit penyerta pasien dan usia pasien yang dibandingkan dengan algoritma pengobatan PERKENI, Penyebab dari ketidaktepatan pengobatan adalah karena pasien mendapatkan obat tidak sesuai dengan nilai HbA1Cnya. Tepat Dosis. Pengobatan pada DM tipe II dikatakan tepat dosis apabila, pemberian dosis obat antidiabetik sesuai dengan standar PERKENI Dalam pengobatan DM tipe II harus mempertimbangkan kondisi keadaan dari fungsi organ organ tertentu yang mengalami penurunan fungsi kerja sehingga dalam pemberian dosis terapi akan berpengaruh. Data detail mengenai ketepatan dosis dapat diamati pada Tabel 3. Berdasarkan tabel tersebut diketahui bahwa 100% pasien mendapatkan pengobatan dengan dosis yang tepat. Tepat Pasien. Dikatakan tepat pasien bila obat diberikan berdasarkan ketepatan tenaga kesehatan dalam menilai kondisi pasien dengan mempertimbangkan adanya penyakit penyerta/ komplikasi. Obat yang digunakan tidak boleh berkontraindikasi dengan pasien. Data detail mengenai ketepatan pasien dapat dilihat pada Tabel 4. Berdasarkan tabel tersebut diketahui bahwa sebagian besar obat yang digunakan oleh pasien telah sesuai dengan kondisi klinisnya. Ditemukan 3 pasien (7,32%) pasien yang tidak tepat dikarenakan adanya pasien yang hipersensitif terhadap glimepiride namun tetap diberikan obat tersebut. Self Care. Self care adalah suatu pelaksanaan kegiatan yang diprakarsai dan dilakukan oleh individu itu sendiri untuk memenuhi kebutuhan guna mempertahankan kehidupan, kesehatan dan kesejahteraannya sesuai keadaan, baik sehat maupun sakit. Penilaian self care berdasarkan 3 kategori yaitu baik, cukup dan buruk dapat dilihat pada Tabel 5. Berdasarkan taabel tersebut diketahui bahwa 69,72% pasien berada dalam kategori baik, 30,28% dalam kategori cukup dan 0% pada kategori buruk. Hal ini menggambarkan perilaku dari pasien DM yang telah melakukan perawatan terhadap diri sendiri.

72 Vol 14, 2016 Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia 70 Tabel 4. Data ketepatan dosis obat antidiabetik pada pasien rawat jalan DM tipe II di Poli Penyakit Dalam Rumah Sakit Bina Husada Cibinong. No. Jenis obat Kontra indikasi 1. Metformin 2. Glimepiride 3. Glibenklamid 4. 70% Insulin Aspart Protamin 30% Insulin Aspart Koma diabetikum, ketoasidosis, gangguan fungsi ginjal, infark miokard, alkoholisme, penyakit akut atau kronis yang berhubungan dengan hipoksia jaringan, penyakit yang berhubungan dengan asidosis laktat seperti syok, insufiensi pulmonal Diabetik ketoasidos, prekoma, atau koma diabetes, hipersensitif terhadap glimepirid, sulfonilurea lain atau sulfonamide, hamil dan laktasi Gangguan fungsi ginjal, hati, tiroid, atau adrenokortikal. Hamil dan laktasi Jumlah pasien Tepat dosis Σ (n) % % ,68% % Hipoglikemik % 5. Gliklazid Hipersensitif terhadap gliklazid dan sulfonilurea, gangguan fungsi hati dan ginjal yang parah % 6. Glikuidon Gagal ginjal berat, hamil dan laktasi % 7. Acarbose Hipersensitif, gangguan intestinal kronis berkaitan dengan absorpsi dan pencernaan, gangguan ginjal berat, kehamilan dan laktasi % 8. Insulin Glargine Hipersensitif terhadap insulin glargine % 9. Insulin Aspart Hipoglikemik % 10. Insulin Gluisine Hipoglikemik % Tabel 5. Kategori self-care pasien rawat jalan DM tipe II di Poli Penyakit Dalam Rumah Sakit Bina Husada Cibinong. Kategori Jumlah pasien Persentase (%) Baik 76 69,72% Cukup 33 30,28% Buruk 0 0 Tabel 6. Subdomain dari DSMQ pasien rawat jalan DM tipe II di Poli Penyakit Dalam Rumah Sakit Bina HusadaCibinong. Subdomain Skor Glucose management 7,72 Dietary control 5,22 Physically activity 7,58 Health care use 8,59 Self care review 6,79 Untuk mengetahui lebih spesifik mengenai perilaku self-care pasien, maka dapat diamati Tabel 6 di bawah ini. Kuesioner DSMQ dibagi menjadi beberapa subdomain, dimana skor tertinggi (maks. skor 10) terletak pada health care use (8,59) dan terendah pada dietary control (5,22). Pasien dalam penelitian ini dapat dikatakan sangat patuh dalam mengikuti saran dokter untuk rutin kontrol, walaupun Tabel 7. Pengendalian glukosa darah pasien rawat jalan DM tipe II di Poli Penyakit Dalam Rumah Sakit Bina Husada Cibinong. Kategori Jumlah pasien Persentase (%) Terkendali 22 20,18% Tidak terkendali 87 79,82% belum sepenuhnya patuh dalam mengatur pola makannya. Ketika pasien diminta untuk melakukan penilaian terhadap self-care secara keseluruhan dalam waktu 8 minggu terakhir, diketahui bahwa self-care mereka cukup baik dengan skor 6,79. Pengendalian Glukosa Darah. Glukosa darah dikatakan terkendali bila berada dalam kisaran normal yaitu <200 mg/dl untuk glukosa darah sewaktu (GDS). Nilai glukosa yang digunakan dalam penelitian ini adalah rata-rata nilai GDS selama 3 bulan berturut-turut. Pada Tabel 7 diketahui bahwa hanya 20,18% pasien DM tipe II di Poli Rawat Jalan RS Bina Husada Cibinong berada dalam kategori terkendali. Hampir 80% pasien masuk kategori tidak terkendali. Bila diamati dari data awal pasien, kejadian ini kemungkinan dapat disebabkan oleh adanya pasien yang masih belum tepat dalam menggunakan obat DM, adanya pasien yang tidak tepat untuk mendapatkan obat DM, serta self-care yang masih belum maksimal dari pasien.

73 71 KEBAN ET AL. Hubungan rasionalitas pengobatan dan self-care terhadap pengendalian glukosa darah. Rasionalitas pengobatan dan self care merupakan salah satu faktor penyebab terkendalinya glukosa darah. Hal ini dibuktikan Aryanti, 2014 bahwa pasien yang memiliki self care akan mencapai kontrol glikemik yang lebih baik (13). Donatus (1995) juga menemukan bahwa pemakaian obat yang tidak rasional menyebabkan kerugian antara lain dampak ekonomi, dampak klinik seperti penyakit tidak sembuh atau makin parah dan memicu timbulnya efek samping (14). Untuk membuktikan bahwa tidak terekendalinya glukosa darah disebabkan oleh pengobatan yang tidak rasional maupun oleh self-care, maka perlu dilakukan uji korelasi. Uji Chi-square independen telah dilakukan dan diperoleh hasil bahwa rasionalitas pengobatan maupun self-care tidak berhubungan dengan pengendalian glukosa darah (p>0,05). Hasil ini mirip dengan penelitian yang dilakukan oleh Qurratuaeni (2009) dimana asupan obat, asupan makanan dan aktivitas fisik tidak berhubungan dengan pengendalian glukosa darah (14). Walaupun secara statistik tidak terdapat hubungan, namun evaluasi terhadap variabel tersebut dapat dilakukan secara deskriptif yang dapat diamati pada Tabel 8. Tabel 8. Hasil evaluasi secara deskriptif hubungan rasionalitas pengobatan dan self-care dengan pengendalian glukosa darah pasien rawat jalan DM tipe II di Poli Penyakit Dalam Rumah Sakit Bina Husada Cibinong. Self-care Rasionalitas pengobatan Glukosa darah Jumlah pasien Persentase (%) Baik Rasional Tidak terkendali 39 35,78% Baik Tidak rasional Tidak terkendali 21 19,27% Cukup Rasional Tidak terkendali 14 12,84% Cukup Tidak rasional Tidak terkendali 13 11,93% Baik Rasional Terkendali 12 11,01% Baik Tidak rasional Terkendali 4 3,67% Cukup Tidak rasional Terkendali 4 3,67% Cukup Rasional Terkendali 2 1,83% Total pasien % Berdasarkan tabel tersebut dapat dilihat bahwa pasien yang memiliki self-care baik dan pengobatan yang rasional, ternyata glukosa darahnya tidak terkendali dengan baik (35,78%). Secara logika bila pengobatan pasien telah sesuai dan perawatan diri pasien sudah baik, maka glukosa darah juga akan terkendali dengan baik. Akan tetapi dalam penelitian ini tidak demikian. Hal ini kemungkinan karena adanya faktor lain yang dapat berpengaruh terhadap Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia pengendalian glukosa darah seperti jenis dan jumlah penyakit penyerta (15) ; perlunya intervensi apoteker dalam meningkatkan pengetahuan dan kepatuhan pasien DM (16) ; atau mungkin karena faktor usia, jenis kelamin dan bentuk sediaan obat (17). SIMPULAN Pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa rasionalitas pengobatan pasien DM tipe II di RS Bina Husada adalah sebesar 61,47%. Self-care pasien sebagian besar berada dalam kategori baik (69,72%) dan hanya 30,28% berada dalam kategori cukup. Berdasarkan hasil uji statistik diketahui bahwa tidak terdapat hubungan antara rasionalitas pengobatan dan self-care dengan pengendalian glukosa darah. Hal ini menunjukkan kemungkinan adanya faktor lain yang dapat mempengaruhi pengendalian glukosa darah seperti adanya penyakit penyerta atau komplikasi. DAFTAR PUSTAKA 1. Soegondo S. Penatalaksanaan diabetes melitus terpadu. Jakarta: Penerbit FKUI; Departemen Kesehatan RI. Pedoman pengendalian diabetes mellitus dan penyakit metabolik. Jakarta: Departemen Kesehatan RI; International Diabetes Federation. Diabetes atlas. Diambil dari: Diakses 13 November Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI. Riset kesehatan dasar Diambil dari download/general. Hasil%20 Riskesdas% pdf. Diakses pada tanggal 12 Februari Dinas Kesehatan Kabupaten Cibinong. Profil RS Bina Husada Kabupaten Cibinong tahun Cibinong : Dinas Kesehatan Kabupaten Cibinong; Lestari D, Citrakesumasari, Alharini S. Upaya penanganan dan perilaku pasien penderita diabetes melitus tipe 2 di Puskesmas Maradekaya Kota Makassar. Makassar: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin; Hadju V. Diktat ilmu gizi dasar. Makassar: Program Studi Ilmu Gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin; Schmitt A, Gahr A, Hermanns N, Kulzer B, Huber J, Haak T. The diabetes self-management questionnaire (DSMQ): development and evaluation of an instrument to assess diabetes self-activities associated with glycaemic control Irawan, Dedi. Prevalensi dan faktor risiko kejadian diabetes melitus tipe 2 di daerah urban Indonesia (Analisa data sekunder riskesdas 2007) [thesis]. Jakarta: Universitas Indonesia; Jelantik IGMG, Haryati E. Hubungan faktor risiko umur, jenis kelamin, kegemukan dan hipertensi dengan

74 Vol 14, 2016 kejadian diabetes melitus tipe 2 di wilayah kerja puskesmas. Serangan jantung dan stroke hubungannya dengan lemak dan kolesterol 2004; Dikutip dari Soeharto I, editor. Jakarta: Gramedia Pustaka; Tjay TH, Rahardja K. Antelmintika. Dalam: Obatobat penting, khasiat, penggunaan dan efek-efek sampingnya. Edisi 5. Jakarta: PT Elex Media Komputindo; National Heart, Lung and Blood Institute. The seventh report of the joint national committee on prevention, detection, evaluation, and treatment of high blood pressure. NIH Publication Kusumadewi A. Pengaruh edukasi terhadap pengetahuan dan perilaku pasien diabetes mellitus dalam upaya mengontrol kadar glukosa darah di RS Bhayangkara Brimob kota Depok [tesis]. Jakarta: Magister Farmasi Universitas Pancasila; Donatus IA. Manfaat dan Resiko Penggunaan Antidiabetika,. Jakarta: Buletin ISFI (Ed. II) h 2, Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia Qurratuaeni. Faktor-faktor yang berhubungan dengan terkendalinya kadar gula darah pada pasien diabetes mellitus di ruang poliklinik penyakit dalam RSUP Fatmawati Jakarta tahun 2009 [skripsi]. Jakarta: Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Prodi Keperawatan Universitas Islam Negri Syarif Hidayahtullah; Keban SA. Evaluasi hasil edukasi farmasis pada pasien diabetes melitus tipe 2 di rumah sakit Dr. Sardjito Yogyakarta. Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia (1): Mihardja L. Faktor yang berhubungan dengan pengendalian gula darah pada penderita diabetes mellitus di perkotaan Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta. Majalah Kedokteran Indonesia (9): 418.

75 JURNAL ILMU KEFARMASIAN INDONESIA, April 2016, hlm ISSN Vol. 14, No. 1 Identifikasi Lektin Umbi dari Typhonium flagelliforme (Lodd.) Blume (Identification of Tuber Lectin from Typhonium flagelliforme (Lodd.) Blume) MUHAMMAD ALFARABI 1,2, SISWA SETYAHADI 3, MARIA BINTANG4, MIFTAHUDIN 5, CHAIDIR 6,7 * 1Program Studi S3 Biologi Tumbuhan, Institut Pertanian Bogor. 2 Fakultas Kedokteran, Universitas Kristen Indonesia, Cawang, Jakarta, Indonesia. 3 Pusat Teknologi Industri, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Jakarta, Indonesia. 4 Departemen Biokimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor, Bogor, Jawa Barat, Indonesia. 5Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor, Bogor, Jawa Barat, Indonesia. 6 Pusat Teknologi Farmasi dan Medika, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Jakarta, Indonesia. 7 Fakultas Farmasi Universitas Pancasila, Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta Selatan, Indonesia, Diterima 19 Februari 2016, Disetujui 18 Maret 2016 Abstrak: Typhonium flagelliforme atau yang dikenal dengan keladi tikus merupakan tumbuhan perdu yang banyak tumbuh di Indonesia. Tumbuhan ini mengandung lektin pada umbinya yang memiliki aktivitas antikanker. Namun hingga saat ini, tidak ada informasi ilmiah yang mengkaji mengenai lektin yang terdapat di umbi T. flagelliforme yang tumbuh diberbagai wilayah Indonesia. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi dan mengkarakterisasi lektin umbi dari tujuh aksesi T. flagelliforme di Indonesia. Umbi yang digunakan dalam penelitian berumur 6 bulan tanam. Ekstrak protein umbi yang didapat dianalisis kandungan protein, toksisitas, dan aktivitas hemaglutinasinya. Aksesi yang memiliki aktivitas hemaglutinasi tertinggi, lektinnya dipurifikasi menggunakan kolom DEAE-Sepharose dan CM monolitic. Hasil menunjukkan bahwa protein umbi dari setiap aksesi memiliki toksisitas dan aktivitas hemaglutinasi. Aksesi Solok memiliki total protein dan aktivitas hemaglutinasi tertinggi dibanding aksesi lainnya. Aksesi ini memiliki kandungan lektin dengan bobot molekul 12,67 kda. Lektin ini stabil pada temperatur 20 hingga 40 C dan pada ph 5,0 hingga 7,2. Informasi karaktersitik ini dapat membantu dalam pengembangan obat antikanker berbasis lektin. Kata kunci: lektin, Typhonium flagelliforme, toksisitas, fraksinasi protein, identifikasi protein. Abstract: Typhonium flagelliforme (keladi tikus) is a herbaceous plant that is widely distributed in Indonesia. The plant produces tuber containing lectin protein that is considered to have anticancer activity. However, there is no sufficient information about tuber lectin of T. flagelliforme originated from Indonesia. The objective of the research was to identify and characterize tuber lectin from seven accession of T. flagelliforme from Indonesia. Tubers were harvested from 6 month-old plants of T. flagelliforme. Protein content, toxicity, and hemagglutination activities of the tuber crude protein extracts were determined. The accession with highest hemagglutination activity of tuber protein was used for tuber lectin purification using DEAE-Sepharose and CM monolitic column. The results showed that tuber protein from all accessions have hemagglutination and toxicity activities. Solok accession has * Penulis korespondensi: Hp chaidir@bppt.go.id

76 74 ALFARABI ET AL. Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia the highest total soluble tuber protein and hemagglutination activity compared than those of the other accessions. The accession contained 12,67 kda lectin protein. The Solok tuber lectin was thermally stable at 20 to 40 C, and relatively stable at ph 5.0 to 7.2. Those protein characteristics of tuber lectin will be useful to develop lectin based anticancer medicine. Keywords: lectin, Typhonium flagelliforme, toxicity, protein fractionation, protein identification. PENDAHULUAN METABOLIT tumbuhan banyak yang berguna bagi bidang farmasi, sebagian besar merupakan metabolit sekunder. Metabolit tersebut dapat berupa protein aktif seperti lektin (fitohemaglutinin). Protein ini merupakan protein non enzimatik yang memiliki aktivitas biologi dan terdapat di sebagian besar tumbuhan. Proses sintesis protein ini sama seperti sintesis protein lainnya pada tumbuhan dan dapat dipengaruhi oleh kondisi nutrien tanah. Fungsi dari lektin pada tumbuhan adalah sebagai protein simpanan, pertahanan bagi tumbuhan dan berperan dalam interaksi tumbuhan dengan lingkungan (1-2). Lektin dilaporkan memiliki aktivitas sebagai antikanker. Proses apoptosis sel kanker dapat diinduksi oleh lektin melalui mekanisme lisis mitokondria dan aktivasi reseptor kematian sel. Proses apoptosis melalui lisis mitokondria dari sel melanoma manusia A375 dapat diinduksi oleh lektin dari tanaman jack bean dengan lektin dari jenis concanavalin A (3). Oleh karenanya, proliferasi sel kanker dapat dihambat oleh lektin dari tumbuhan (4). Selain itu, lektin memiliki aktivitas sebagai antifungi, seperti lektin dari Dendrobium findleyanum dapat menghambat pertumbuhan misel Alternaria alternata (5). Beberapa fungsi lainnya dari lektin tumbuhan pada bidang biokimia dan biologi adalah sebagai alat bantu pada analisis identifikasi sel, kajian glikoprotein dan stimulasi mitogenik (6). Secara struktur, lektin memiliki sedikitnya satu domain yang dapat berikatan dan berinteraksi dengan polisakarida atau glikoprotein pada permukaan sel (7). Tujuh famili dari lektin tumbuhan telah diketahui hingga sekarang, salah satunya adalah famili monocot mannose binding lectin (8). Salah satu tanaman yang memproduksi lektin dari famili tersebut adalah Typhonium divaricatum, yang disintesis pada bagian umbi. Lektin tersebut stabil pada ph 5,6-8,6 dan temperatur C. Kandungan lektin tersebut adalah 12% dari total protein umbi dan memiliki aktivitas antiproliferasi sel kanker terhadap sel kanker Pro-01, Bre-04 dan Lu-04 (9). Secara tradisional, ekstrak dari tumbuhan T. flagelliforme telah digunakan untuk pengobatan kanker di Indonesia. Ekstrak tersebut diekstrak dari keseluruhan bagian tumbuhan atau dari bagian umbi. Ekstrak umbi diyakini memiliki kemampuan untuk mengurangi efek samping dari pengobatan kanker melalui kemoterapi. Telah diketahui bahwa ekstrak protein umbi T. flagelliforme mengandung lektin dan memiliki aktivitas antiproliferasi terhadap sel kanker MCF-7. Kadar lektin pada umbi tersebut meningkat selama masa tanam pada periode masa tanam selama 6 bulan (10). Namun hingga saat ini tidak banyak data ilmiah yang melaporkan mengenai identifikasi dan karakteristik senyawa aktif yang berperan sebagai antikanker terutama mengenai lektin umbi dari T. flagelliforme. Oleh karenanya identifikasi lektin umbi dari tumbuhan tersebut menarik untuk dikaji. Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah mengidentifikasi lektin umbi dari T. flagelliforme yang tumbuh di wilayah Indonesia. Hasil dari penelitian ini dapat bermanfaat dalam pengembangan obat antikanker berbasis lektin. BAHAN DAN METODE BAHAN. Tujuh aksesi T. flagelliforme dari beberapa wilayah Indonesia (Bogor, Singaraja, Merapi Farm, Indmira, Ogan Ilir, Matesih, and Solok) telah dikonfirmasi dan ditanam dengan kondisi yang sama pada rumah kaca di Balai Bioteknologi, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Indonesia. Umbi yang digunakan pada penelitian merupakan umbi yang dipanen setelah umur 6 bulan setelah tanam. METODE. Ekstraksi Protein Umbi. Sebanyak 25 g umbi dari setiap aksesi digunakan untuk mendapatkan ekstrak protein umbi dengan pelarut 0,15 M NaCl (perbandingan bobot umbi dengan volume pelarut adalah 1:2 b/v). Setelah direndam semalam pada 4 C, suspensi tersebut disentrifugasi pada rpm (Hettich Mikro 22R, Germany) selama 30 menit dengan temperatur 4 C. Supernatan yang didapat merupakan ekstrak kasar protein umbi (9). Pengukuran Total Protein. Protein total umbi dari setiap ekstrak yang didapat diukur menggunakan metode Bradford (11). Bovine serum albumin (BSA) digunakan sebagai larutan protein baku. Konsentrasi protein diukur pada panjang gelombang 595 nm. Pengukuran Aktivitas Hemaglutinasi. Aktivitas hemaglutinasi dari setiap ekstrak kasar protein T. flagelliforme diuji menggunakan 96-well micro titer

77 Vol 14, 2016 Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia 75 U plate. Metode ini mengikuti Oda dan Minami 1986 dengan modifikasi (12). Lima puluh mikroliter dari 2% eritrosit domba di dalam Phosphate Buffer Saline (PBS) ph 7,2 dicampur dengan ekstrak kasar protein dengan volume berseri (12,5, 25, 50, 75, 100, 125 dan 150 µl). Hasil reaksi dibaca secara manual setelah 2 jam inkubasi pada temperatur ruang. Hasil positif terjadi aglutinasi ditunjukkan dengan warna merah seragam pada sumur dan hasil negatif ditunjukkan adanya titik merah di tengah sumur. Larutan protein dengan aktivitas hemaglutinasi tertinggi adalah larutan yang memiliki hasil perbandingan volume eritrosit dengan volume ekstrak protein terbesar. Pengukuran Toksisitas. Nilai toksisitas dari setiap ekstrak kasar protein diukur dengan menggunakan metode brine shrimp lethality test (BSLT) (13). Media pertumbuhan telur udang menggunakan air laut yang dibuat dengan 38 g garam di dalam air suling. Tempat inkubasi dirancang memiliki bagian gelap dan terang terkena sinar lampu. Telur udang diinkubasi selama 24 jam dengan suhu ruang pada bagian gelap dan larva Artemia sp. yang telah menetas pada bagian terang dipindahkan ke media pertumbuhan yang baru, kemudian diinkubasi kembali selama 24 jam dengan suhu ruang dibawah sinar lampu. Sepuluh larva udang dipindahkan ke dalam tabung tes yang mengandung ekstrak protein kasar dengan konsentrasi bertingkat (5, 7.5, 10, 15, 20 mg/ml) dan diinkubasi kembali dibawah sinar lampu selama 24 jam dengansuhu ruang. Persentase kematian dari larva udang tersebut dihitung untuk menentukan nilai LC 50. Fraksinasi Protein. Ekstrak kasar protein disaring dengan 0,2 µm micro filter dan sebanyak 2 ml filtrat diisikan ke dalam kolom HiTrap DEAE-Sepharose Fast Flow (GE Healthcare Life Science, USA). Kolom tersebut telah diekuilibrasi dengan 20 mm Tris-HCl ph 8,0 sebelumnya. Larutan protein dielusi dengan 30 ml larutan gradien 0 sampai 1 M NaCl dan laju alir yang digunakan adalah 1 ml/menit. Fraksi protein aktif yang dihasilkan dilakukan perubahan larutan dapar menjadi 20 mm dapar asetat ph 4,3 dengan menggunakan kolom HiTrap Desalting (GE Healthcare Life Science, USA), kemudian diisikan ke dalam kolom CM monolithic (BIA Separations, Austria) yang telah diekuilibrasi dengan 20 mm buffer asetat ph 4,3. Larutan protein tersebut dielusi dengan 30 ml larutan gradien 0 sampai 1 M NaCl dengan laju alir 2 ml/menit. Fraksi aktif yang dihasilkan dilakukan perubahan larutan dapar menjadi PBS ph 7,2 dan selanjutnya digunakan untuk uji karakteristik protein (9). SDS-PAGE. Elektroforesis untuk pemisahan protein menggunakan elektroforesis gel poliakrilamida sodium dodesil sulfat. Gel yang digunakan terdiri dari 4% stacking and 12% separating gels. Sebanyak 17 µl sampel larutan protein di dalam loading dye (1:1) diisikan ke dalam sumur. Proses elektroforesis menggunakan mini gel elektroforesis unit dengan voltase konstan pada 165 V selama 45 menit. Pita protein yang terbentuk divisualisasi dengan coomassie brilliant blue (Biorad, USA) dan marka bobot molekul menggunakan unstained protein ladder (Fermentas, USA) (14). Karakterisasi Lektin Berdasarkan Suhu dan ph. Kestabilan lektin pada berbagai suhu dilakukan dengan menginkubasi lektin di dalam PBS ph 7,2 pada 20, 30, 40, 50, 60, 70, and 80 C selama 30 menit. Setelah itu, larutan didinginkan selama 5 menit dan dilakukan uji hemaglutinasi untuk melihat aktivitas aglutinasi dari lektin tersebut. Selanjutnya untuk mengukur kestabilan lektin pada berbagai nilai ph, lektin dilarutkan di dalam 100 mm larutan dapar dengan ph tertentu (dapar asetat ph 5 dan 6, PBS ph 7,2,dapar Tris-HCl ph 8 dan 9). Campuran tersebut diinkubasi selama 30 menit dan selanjutnya diuji uji hemaglutinasi untuk melihat aktivitas aglutinasi dari lektin tersebut (9). HASIL DAN PEMBAHASAN Protein Umbi dan Lektin dari T. flagelliforme. Ekstrak protein kasar umbi dari setiap aksesi T. flagelliforme digunakan untuk dianalisis kadar total protein, aktivitas hemaglutinasi, dan efek toksiknya (Tabel 1). Setiap ekstrak menunjukkan aktivitas hemaglutinasi sehingga ekstrak tersebut mengandung lektin. Hasil ini didukung dari penelitian sebelumnya yang melaporkan bahwa umbi dari T. divaricatum mengandung lektin (9). Ekstrak dari aksesi Solok memiliki kadar total protein dan aktivitas hemaglutinasi tertinggi dibandingkan dengan aksesi lainnya. Kadar total protein aksesi Solok sebesar 48,80 mg. Aksesi yang memiliki kadar total protein terendah adalah aksesi Matesih sebesar 36,10 mg atau 0,7 kalinya dari kadar total protein aksesi Solok. Aksesi Singaraja memiliki aktivitas hemaglutinasi terendah dibanding aksesi lainnya, dengan aktivitas sebesar 0,1 kalinya dari aktivitas hemaglutinasi aksesi Solok. Kami berasumsi dengan tingginya aktivitas hemaglutinasi dari suatu ekstrak protein umbi menunjukkan bahwa ekstrak protein umbi mengandung dan memiliki kadar lektin yang tinggi pada umbi dari T. flagelliforme. Secara umum, lektin dapat mengaglutinasi sel eritrosit sehingga uji hemaglutinasi dilakukan untuk mendeteksi keberadaan lektin pada ekstrak kasar protein umbi. Interaksi lektin dengan darah dapat terjadi dengan spesifik tipe darah. Misalnya, lektin dari

78 76 ALFARABI ET AL. Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia Tabel 1. Protein total, aktivitas hemaglutinasi, dan nilai toksisitas ekstrak kasar protein umbi dari 25 g umbi T. flagelliforme berumur 6 bulan setelah tanam. Data: rerata ± SD, n=3. lima bean, dapat mengaglutinasi darah dari tipe A dan lektin dari Lotus tetragonolobus dapat mengaglutinasi tipe darah O. Spesifisitas ini terjadi karena terdapat interaksi spesifik antara lektin dengan molekul karbohidrat dipermukaan sel yang disebabkan lektin secara struktur memiliki domain yang dapat berikatan spesifik dengan suatu molekul karbohidrat (6). Selain menganalisis aglutinasi dari ekstrak, efek toksik dari ekstrak diuji dengan menggunakan metode BSLT. Metode ini merupakan metode cepat untuk mendeteksi keberadaan molekul aktif pada suatu ekstrak tumbuhan dan untuk mengukur toksisitas dari suatu ekstrak. Hasil uji dari ekstrak setiap aksesi menunjukkan bahwa nilai LC 50 dibawah 100 mg/ mlsehingga hal tersebut membuktikan bahwa ekstrak kasar protein umbi dari setiap aksesi memiliki efek toksik terhadap larva udang. Suatu produk bahan alam yang memiliki nilai LC 50 dibawah 1000 mg/ml dapat dikatakan memiliki efek toksik sedangkan yang memiliki nilai di atas mg/ml dapat dikatakan tidak memiliki efek toksik (13). Ekstrak aksesi Bogor memiliki efek toksik tertinggi dibanding aksesi lainnya, yaitu dengan nilai LC 50 sebesar 10,65 mg/ ml, sedangkan aksesi Ogan Ilir memiliki efek toksik terendah, yaitu sebesar 16,15 mg/ml. Setiap ekstrak dari 7 aksesi yang digunakan pada penelitian ini menunjukkan perbedaan pada kadar total protein umbi, aktivitas hemaglutinasi dan efek toksik sehingga hal tersebut menunjukkan bahwa perbedaan aksesi memiliki peranan terhadap variasi karakteristik protein atau metabolit lainnya. Genus Typhonium terdiri dari 40 spesies yang tersebar luas pada wilayah tropis-subtropis Asia dan Australia (15). Di India, T. trilobatum (L.) Schott merupakan tumbuhan yang banyak ditemukan tumbuh liar. Selain itu, dapat ditemukan spesies lainnya seperti T. divaricatum (L.) Decne, T. flagelliforme (Lodd.) Bl., T. bulbiferum Dalz., T. venosum (Dryand ex Ait.) Hett. & Boyce, dan T. roxburghii Schott (16). T. trilobatum, T. roxburghii dan T. flagelliforme merupakan tumbuhan yang telah diketahui memiliki manfaat pada bidang medis. Secara kekerabatan, T. flagelliforme memiliki perbedaan dengan T. trilobatum dan T. roxburghii. T. trilobatum memiliki kesamaan sebesar 63% dengan T. roxburghii, sedangkan T. flaggelliforme memiliki kesamaan sebesar 43% dengan T. trilobatum dan T. roxburghii (17). Fraksinasi Protein. Ekstrak kasar protein umbi dari aksesi Solok memiliki aktivitas hemaglutinasi tertinggi dibanding dengan aksesi lainnya sehingga ekstrak tersebut dilakukan fraksinasi untuk mendapatkan lektin umbi terpurifikasi. Tahapan ini menggunakan kolom penukar ion, yaitu DEAE-Sepharose yang merupakan kolom penukar anion dan kolom penukar kation CM-monolitic. Uji hemaglutinasi digunakan untuk mendeteksi keberadaan lektin pada fraksi yang dihasilkan. Hasil fraksinasi dengan kolom penukar anion, didapatkan fraksi aktif A2 dan setelah dilakukan elektroforesis didapatkan 2 pita protein dengan bobot molekul 11,84 and 19,10 kda dari fraksi tersebut (Gambar 1A dan 1B). Selanjutnya fraksi A2 dilakukan fraksinasi lanjut dengan kolom penukar kation dan didapatkan fraksi aktif B2. Setelah dilakukan elektroforesis, fraksi tersebut memiliki pita tunggal dengan bobot molekul 12,67 kda (Gambar 1C dan 1D). Kadar protein total dari fraksi A2 dan B2 adalah 3,71 dan 0,17 mg. Tabel 2. Kadar protein total pada fraksinasi menggunakan kolom DEAE-Sepharose dan CM monolitic. Keterangan: a Persentase menunjukkan total protein yang dihasilkan oleh kolom DEAE-Sepharose dibandingkan dengan total protein ekstrak kasar aksesi Solok b Persentase menunjukkan total protein yang dihasilkan oleh kolom CM monolitic dibandingkan dengan total protein yang dihasilkan kolom DEAE-Sepharose Data: rerata ± SD, n=3

79 Vol 14, 2016 Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia 77 Gambar 1. Kromatogram dari fraksinasi protein dan visualisasi profil fraksi protein dengan SDS-PAGE. (A) Kromatogram protein dari kolom DEAE-Sepharose. (B) Profil fraksi protein dari kolom DEAE-Sepharose. (C) Kromatogram protein dari kolom CM-monolitic. (D) Profil fraksi protein dari kolom CM-monolitic. *) Fraksi protein aktif, protein, konsentrasi garam, konduktivitas garam. Tabel 3. Kadar protein total dan aktivitas hemaglutinasi pada proses fraksinasi. Keterangan: a Perbandingan aktivitas hemaglutinasi dengan protein total b Perbandingan aktivitas hemaglutinasi fraksi dengan aktivitas hemaglutinasi ekstrak kasar c Perbandingan aktivitas hemaglutinasi spesifik fraksi dengan aktivitas hemaglutinasi spesifik ekstrak kasar Kadar total protein fraksi A2 adalah sebesar 7,7% dari kadar total protein ekstrak kasar aksesi Solok, sedangkan fraksi B2 sebesar 4,66% dari kadar total protein fraksi B2. Oleh karenanya, lektin yang terkandung pada umbi aksesi Solok adalah sebesar 0,35% dari kadar total protein ekstrak kasar (Tabel 2). Setiap tahapan dalam purifikasi protein akan menurunkan kadar total protein dan meningkatkan aktivitas spesifik serta kelipatan kemurnian (Tabel 3). Bobot molekul lektin umbi aksesi Solok adalah 12,67 kda. Hal ini sedikit berbeda dengan bobot molekul lektin dari T. divaricatum, yaitu sebesar 12 kda. Selain itu, lektin yang terkandung dari 100 g umbi segar T. divaricatum sebesar 12% dari kadar total protein umbi (9). Perbedaan hasil ini disebabkan adanya perbedaan spesies yang digunakan, habitat, dan kuantitas umbi. Selain kekerabatan genetik, perbedaan kondisi pertumbuhan dapat menyebabkan perbedaan kandungan metabolit, khususnya pada kandungan nitrogen pada nutrisi tanah akan mempengaruhi sintesis asam amino dan protein pada tumbuhan (18). Selain itu, perbedaan habitat dan kondisi pertumbuhan dapat menyebabkan perbedaan pada pertumbuhan vegetatif dan generatif, waktu pembungaan, dan arsitektur spedix pada famili Araceae (19).

80 78 ALFARABI ET AL. Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia (A) (B) Gambar 2. Aktivitas hemaglutinasi lektin umbi aksesi Solok pada selang temperatur dan ph. (A) Aktivitas hemaglutinasi setelah diinkubasi pada temperatur 20 C sampai 80 C. (B) Aktivitas hemaglutinasi setelah diinkubasi pada ph 5,0 sampai 9,0. Data: rerata ± SD, n=3. Berdasarkan klasifikasi famili protein lektin, tumbuhan famili Araceae mengandung lektin dari famili monocot mannose binding lectin. Lektin jenis ini dapat juga ditemukan pada tumbuhan monokotil dan berinteraksi spesifik dengan manosa, yaitu gula sederhana dan merupakan epimer dari glukosa pada atom C-2 (20). Famili tumbuhan lain yang memproduksi lektin jenis ini adalah Alliaceae, Amaryllidaceae, Araceae, Bromeliaceae, Liliaceae, dan Orchidaceae. Lektin jenis ini dapat disimpan dalam jaringan pada daun, bunga, umbi, rizoma, dan akar. Famili lektin selain jenis ini yang dapat ditemukan pada tumbuhan lainnya adalah famili lektin legum dari leguminosae, chitin binding lectin, tipe 2 RIP (Ribosome Inactivating Protein), jacalin dari tumbuhan nangka dan yang terkait, amaranthin dari Amaranthus dan Cucurbitaceae phloem lectin (8). Secara umum, lektin tumbuhan memiliki potensi sebagai antikanker dan sebagian diantaranya telah menjadi obat antikanker. Tidak ada spesifisitas aktivitas antikanker dari lektin tumbuhan terhadap suatu sel kanker. Selama ini, lektin dari legum banyak dikaji dalam beberapa dekade terakhir terhadap peranannya sebagai antikanker (21). Sedangkan lektin dari jenis monocot mannose binding lectin pertama kali dipublikasikan pada tahun 1987 dari umbi snowdrop (22) dan hingga saat ini, aktivitas antikanker dari lektin ini belum banyak dikaji terutama dari genus Typhonium. Karakterisasi Lektin. Perbedaan suhu dan ph digunakan untuk menganalisis kestabilan lektin terpurifikasi. Kestabilan lektin tersebut ditunjukkan dengan reaksi hemaglutinasi. Oleh karena lektin merupakan molekul protein, maka dapat dipengaruhi oleh suhu dan ph. Suhu yang tinggi akan menyebabkan perubahan struktur lektin yang dikarenakan terputusnya ikatan-ikatan kimia pada lektin dan suhu yang sangat rendah akan menghambat aktivitas lektin yang diakibatkan kurangnya energi yang dibutuhkan untuk melakukan suatu reaksi. Selain itu, perubahan ph yang signifikan dapat mendenaturasi lektin. Oleh sebab itu, sangat penting mengetahui kondisi optimum dari lektin berdasarkan suhu dan ph. Hasil uji menunjukkan bahwa lektin stabil pada suhu C, sedikit menurun pada suhu 50 C, dan terus menurun hingga suhu 70 C. Aktivitas lektin tidak terdeteksi pada suhu 80 C sehingga dapat disimpulkan bahwa suhu maksimum bagi lektin adalah 70 C. Aktivitas lektin pada selang suh C lebih rendah 0,6 kali dari selang suhu C (Gambar 2A). Hasil uji kestabilan terhadap nilai ph menunjukkan bahwa lektin relatif stabil pada ph 5,0 sampai 7,2,dan kestabilan menurun pada ph 8,0-9,0. Aktivitas lektin meningkat 1,5 kali dari ph 5,0 ke ph 6,0 dan menurun 2 kali dari ph 7,2 ke ph 9,0. Aktivitas tertinggi lektin terdeteksi pada ph 6,0 (Gambar 2B). Berdasarkan hasil uji tersebut, kestabilan lektin aksesi Solok pada selang suhu dan ph tertentu sama dengan lektin dari T. divaricatum. Hal ini menunjukkan bahwa lektin dari aksesi Solok stabil pada selang temperatur dan ph yang luas (9). SIMPULAN Ekstrak protein umbi dari setiap aksesi T. flagelliforme menunjukkan aktivitas hemaglutinasi, efek toksisitas, dan mengandung lektin umbi. Lektin umbi dari aksesi Solok memiliki bobot molekul 12,67 kda dengan kadar sebesar 0,35 % dari total protein umbi dan stabil pada temperatur C, serta ph 5,0 sampai 7,2. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih ditujukan kepada Pusat Teknologi Farmasi dan Medika, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi yang telah memberikan bantuan dana

81 Vol 14, 2016 penelitian pada tahun serta kepada rekan kerja kami di laboratorium. DAFTAR PUSTAKA 1. Damme EJM Van, Goossens K, Smeets K, Leuven F Van, Verhaert P, Peumans WJ. Characterization and molecular cloning of the lectin from Arum maculatum L. Plant Physiol : Peumans WJ, Damme EJMV. Lectins as plant defense proteins. Plant Physiol : Liu B, Li CY, Bian HJ, Min MW, Chen LF, Bao JK. Antiproliferative activity and apoptosis-inducing mechanism of concanavalin A on human melanoma A375 cells. Arch Biochem Biophys : Liu B, Bian HJ, Bao JK. Plant lectins: potential antineoplastic drugs from bench to clinic. Cancer Lett : Sudmoon R, Sattayasai N, Bunyatratchata W, Chaveerach A, Nuchadomrong S. Thermostable mannose-binding lectin from Dendrobium findleyanum with activities dependent on sulfhydryl content. Acta Biochim Biophys Sin : Sharon N, Lis H. History of lectin: from hemagglutinins to biological recognition molecules. Glycobiol : Goldstein IJ, Hughes RC, Monsigny M, Osawa T, Sharon N. What should be called a lectin. Nature : Damme EJM Van, Peumans WJ, Barre A, Rouge P. Plant lectins: a composite of several distinct families of structurally and evolutionary related proteins with diverse biological roles. Crc Rev Plant Sci : Luo Y, Xu X, Liu J, Li J, Sun Y, Liu Z, et al. A novel mannose-binding tuber lectin from Typhonium divaricatum (L.) Decne (family Araceae) with antiviral activity against HSV-II and anti-proliferative effect on human cancer cell lines. J Biochem Mol Biol : Alfarabi M, Rosmalawati S, Bintang M, Miftahudin, Rofa ani E, Chaidir. Antiproliferation activity of tuber protein Typhonium flagelliforme (Lodd.) blume on MCF-7 cell line. Int J Biosciences : Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia Bradford MM. A rapid and sensitive method for the quantification of microgram quantities of protein utilizing the principle of protein-dye binding. Anal Biochem : Oda Y, Minami K. Isolation and characterization of a lectin from tulip bulbs, Tulipa gesneriana. Eur J Biochem : Meyer BN, Ferrigni NR, Putnam JE, Jacobsen LB, Nichols DE, McLaughlin JL. Brine shrimp: a convenient general bioassay for active plant constituents. J Med Plant Res : Laemmli UK. Cleavage of structural proteins during the assembly of the head of bacteriophage T4. Nature : Wang JC, Yang KC. The genus Typhonium (Araceae) in Taiwan. Botanical Bull Acad Sin : Acharya L, Mukherjee AK, Panda PC, Das P. Molecular characterization of five medicinally important species of Typhonium (Araceae) through random amplified polymorphic DNA (RAPD). Z Naturforsch C : Rout GR. Evaluation of genetic relationship in Typhonium species through random amplified polymorphic DNA markers. Biol Plantarum : Lambers H, Chapin FS, Pons TL. Plant physiological ecology. 2 nd ed. New York: Springer; Yadav SR. Adaptive significance of phenology and spadix architecture in Araceae of western ghats of India. Acta Bot Yunnanica : Martinez RAF, Arteaga ICT, Labra AB, Gasca TG, In: C.M. Vazquez (Ed), The role of plant lectins in cancer treatment, In New approaches in the treatment of cancer, New York: Nova Science Publisher Inc; Damodaran D, Jeyakani J, Chauhan A, Kumar N, Chandra NR, Surolia A. Cancer lectin DB: a database of lectins relevant to cancer. Glycoconjugate J : Damme EJM Van, Allen AK, Peumans WJ. Isolation and characterization of a lectin with exclusive specificity towards mannose from snowdrop (Galanthus nivalis) bulbs. FEBS Lett :

82 JURNAL ILMU KEFARMASIAN INDONESIA, April 2016, hlm ISSN Vol. 14, No. 1 Pengaruh Pengental terhadap Mutu Minyak Atsiri Kulit Buah Jeruk Purut (Citrus hystrix Dc) dalam Sediaan Deodoran (Thickening Agent Effect on The Essential Oil of Rind Lime (Citrus hystrix Dc) in Deodorant ) TATY RUSLIATI RUSLI 1*, ZULHIPRI2 1)Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara, Jln. Letjen S. Parman No. 1, Jakarta Barat, Daerah Khusus Ibukota Jakarta, ) Program Studi Kimia FMIPA Universitas Negeri Jakarta, Jalan Pemuda No.10, Rawamangun, Pulo Gadung, Jakarta Timur, Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Diterima 12 Desember 2015, Disetujui 16 Maret 2016 Abstrak: Tujuan penelitian ini adalah pemanfaatan kandungan minyak atsiri dari tanaman obat Indonesia yaitu kulit buah jeruk purut sebagai produk deodorant roll on untuk antiseptik yang berefek bakterisid. Target khususnya adalah menghasilkan formula yang stabil secara fisik dan kimia serta keamanan produk. Uji mutu minyak atsiri dilakukan dengan penetapan parameter fisik berupa identitas, organoletik dan kelarutan. Uji antiseptik dilakukan dengan mengukur diameter daya hambat (DDH) sediaan deodoran pada konsentrasi minyak atsiri 1-7 % terhadap bakteri Staphylococcus aureus dengan metode difusi agar. Hasil DDH sediaan deodoran dengan thickening agent HPC-m diperoleh sebesar 10,90-12,26 mm, sedangkan dengan thickening agent karbomer 940 tidak memiliki ativitas pada bulan ketiga, serta uji iritasi pada panelis tidak menimbulkan iritasi. Hasil uji stabilitas dipercepat suhu kamar dan 40 o C terhadap sediaan, dihasilkan organoleptik dengan warna putih kekuningan dan bau khas jeruk purut. Formula terbaik dari sediaan deodoran roll-on adalah formula III dengan konsentrasi thikening agent HPC-m sebesar 4%, yang menghasilkan tampilan fisik dan homogenitas yang baik, viskositas cps pada suhu kamar dan cps pada suhu 40 o C. Deodoran memiliki sifat alir pseudoplastis, dengan ph 4,55 pada suhu kamar dan ph 5,22 pada suhu 40 o C. Dengan thickening agent karbomer 940, deodoran memiliki kemampuan sebar yang semakin kecil sehingga dapat dikategorikan sediaan semi padat. Kata kunci: minyak atsiri, kulit buah jeruk purut, deodorant roll on, gelling agent. Abstract: The purpose of this study is the use of essential oil content of medicinal plants in Indonesia, namely rind lime as deodorant roll on for antiseptic bactericidal effect. The aim of this study was to produce a formula that is stable physically and chemically and also safe products. Essential oil quality test carried out by the determination of physical parameters such as identity, organoleptic and solubility. Antiseptic test was carried out by measuring the diameter of the inhibition zone of deodorant preparations at a concentration of 1-7% volatile oil against Staphylococcus aureus using agar diffusion method. The results showed that preparations with HPC-m as a thickening agent gave inhibition zone of mm, while carbomer 940 did not have an activity in the third month, whereas the irritation test did not display irritation. The results of an accelerated stability test at room temperature and the temperature of 40 C on the preparation resulted in organoleptic with a yellowish white color and a distinctive smell of lime. The best formula of the preparation of deodorant was the formula III with the concentration of thickening agent HPC-m of 4%, The preparation has a viscosity of 5,200 cps at room temperature and 5,940 cps at * Penulis korespondensi, Hp tatyrusliati@yahoo.co.id

83 81 RUSLI ET AL. Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia 40 C, has pseudoplastis characteristic, with ph value of 4.55 at room temperature and ph value of 5.22 at temperature of 40 o C. While carbomer 940 obtained a low ability to spread. Therefore, it can be considered as semi-solid preparations. Keywords: essential oil, rind lime, deodorant roll on, gelling agent. PENDAHULUAN PENGGUNAAN jeruk purut (Citrus hystrix DC) sebagai obat tradisional memiliki banyak indikasi yaitu untuk influenza, badan lelah, kulit kepala yang berbau, kulit bersisik dan mengelupas, serta sebagai antiseptik. Jeruk purut mengandung minyak atsiri, sitrat selain itu mengandung tannin, steroid, triterpenoid dan saponin. Minyak atsiri kulit buah jeruk purut diduga memiliki aktivitas antiseptik terhadap Staphylococcus aureus yang merupakan salah satu mikroba yang bertanggung jawab terhadap timbulnya bau badan (1,2). Untuk meningkatkan stabilitas, kemudahan dalam penggunaan dan dapat diterima oleh masyarakat, maka pada penelitian ini dibuat suatu sediaan deodorant roll on dengan bentuk cairan, pemilihan bentuk deodorant roll on dengan menggunakan dua macam thickening agent yaitu HPC-m dan karbomer 940 (3,4,5). Salah satu tanaman yang mempunyai aktivitas antiseptik yaitu buah jeruk purut (Citrus hystrix DC). Pemanfaatan bahan obat tumbuhan yang telah digunakan masyarakat di Indonesia dan belum teruji khasiatnya, mutu dan keamanan sediaan sehingga perlu dilakukan penelitian. Buah jeruk purut mengandung tannin, steroid, triterpenoid, minyak atsiri dan saponin. Minyak atsiri yang diperoleh dari kulit buah jeruk purut dengan metode penyulingan air dan uap dikembangkan sebagai produk antiseptik yang dapat menghilangkan bau badan. Deodorant roll on dipilih karena bentuknya cair yang mengandung etanol dan memberikan rasa sejuk pada kulit sehingga dapat menghilangkan bau badan. Deodorant roll-on dibuat dengan perbedaan thickening agent yaitu HPC-m dengan konsentrasi 2-4% dan karbomer 940 0,25-0,75%, kemudian pada sediaan deodorant roll-on diuji stabilitas dipercepat terhadap mutu fisik dan kimia serta antiseptik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh HPC-m dan karbomer 940 sebagai thickening agent terhadap karakteristik fisik dan kimia sediaan yang baik dan stabil serta uji antiseptik dari formula deodorant roll on. BAHAN DAN METODE BAHAN. Minyak atsiri kulit buah jeruk purut (Citrus hystrix DC), HPC-m, carbomer 940, propilenglikol, BHA, tween 80, etanol 96%, trietanolamin, air suling, Nutrient Agar (NA) dan kaldu pepton. Alat. Timbangan analitik (AND tipe GR 2000), alat alat gelas dan volumetrik (Pyrex), homogenizer (Hsiangtai), viskometer (Brookfield tipe RV), ph meter (PHM201), stirer (Eurostar), ruang LAF, alat kemampuan menyebar, autoklaf, inkubator, oven, dan korbor. METODE. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimental. Pembuatan minyak atsiri dilakukan dengan cara penyulingan dengan uap air dan pemeriksaan minyak atsiri dari kulit buah jeruk purut dengan metode kromatografi gas. Pemeriksaan minyak atsiri, bahan tambahan terdiri dari HPC-m, Carbomer 940, propilenglikol, BHA, Tween 80, Etanol 96%, Trietanolamin, air suling menurut monografi masing-masing. Uji Daya Antiseptik. Uji ini dilakukan untuk membuktikan kemampuan minyak atsiri kulit buah jeruk purut dalam menghambat aktifitas bakteri Staphylococcus aureus penyebab bau badan. Pada pengujian aktivitas antiseptik digunakan metode difusi agar dengan sumuran. Pembuatan Formula Sediaan Deodoran Roll On Minyak Atsiri Kulit Buah Jeruk Purut. Dibuat 6 formula deodoran dengan dua thickening agent HPC-m dan carbomer 940 (Tabel 1). HPC-m didispersikan dalam etanol 96% dan didiamkan selama 24 jam, karbomer 940 didispersikan dengan air suling dan dinetralkan dengan trietanolamin. Tabel 1. Formula sediaan deodoran roll on minyak atsiri kulit buah jeruk purut. Bahan Minyak atsiri kulit buah jeruk purut Formula % (b/b) I II III IV V VI HPC-m Carbomer ,25 0,5 0,75 Trietanolamin ,25 0,5 0,75 BHA 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 Propilenglikol Etanol 96% Tween 80 1,5 1,5 1,5 1,5 1,5 1,5 Air suling hingga

84 Vol 14, 2016 Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia 82 BHA dilarutkan dalam minyak atsiri. Dibuat pelarut campur air suling, etanol 96% dan propilen glikol, tween 80 diencerkan dengan air suling. Minyak atsiri dicampurkan dengan larutan tween 80 kemudian ditambahkan pelarut campur dengan thickening agent yang telah dikembangkan. Sediaan dihomogenkan dengan stirrer, kemudian dievaluasi mutu fisik, kimia dan antiseptik serta diuji stabilitas dipercepat selama 3 bulan pada suhu kamar 40 o C dan kelembapan 70%± 5%. Evaluasi Sediaan Deodoran Roll On. Evaluasi uji stabilitas dipercepat selama 3 bulan terhadap deodoran pada suhu kamar dan suhu 40 o C. Evaluasi dilakukan secara fisika, kimia dan mikrobiologi. Evaluasi secara fisika meliputi pemeriksaan homogenitas, organoletik, viskositas, sifat alir dan daya sebar untuk mengetahui adanya perbedaan pada tiap formula. Evaluasi secara kimia meliputi pengukuran ph. Evaluasi secara mikrobiologi meliputi evaluasi daya antiseptik. HASIL DAN PEMBAHASAN Data komponen utama dalam minyak atsiri dari kulit jeruk purut dengan GC-MS dapat dilihat pada Tabel 2 dimana yang paling besar adalah citronella dengan waktu retensi 8,916 dan luas area 14,18. Spektra massa Tabel 2. Komponen utama minyak atsiri dari kulit jeruk purut (Citrus hystrix DC) (6). Waktu retensi Senyawa Luas area 5,772 ß-phellandrene 4,47 6,756 Cyclohexene 10,10 8,916 Citronella 14,18 10,202 ß-citronella 8,54 12,047 Citronellyl acetat 1,9 dari fragmen kromatogram dengan waktu retensi 8,916 mempunyai berat molekul 154 yang sesuai dengan spektra massa standar Citronella yang mempunyai kemiripan senyawa 90% sesuai Library Wiley Lib. Pemeriksaan Organoleptik. Berdasarkan pemeriksaan organoleptik (Tabel 3) sediaan deodorant roll-on menunjukkan bahwa secara visual tidak terjadi perubahan warna dan bau pada formula I sampai dengan formula VI dari bulan ke-0 sampai ke-3 baik pada suhu kamar maupun pada suhu 40 o C. Hal tersebut disebabkan proses pembuatan sediaan roll on telah dioptimasi, dimana thickening agent HPC-m maupun karbomer mampu mencegah penguapan dari minyak atsiri tersebut. Evaluasi Homogenitas dan Daya Kerja Thickening Agent. Hasil evaluasi homogenitas (Tabel 4) pada formula I sampai V sediaan deodoran rollon minyak atsiri jeruk purut stabil hanya pada suhu kamar sampai bulan ke-3, sedangkan pada suhu 40 o C stabil hanya sampai pada bulan ke- 2. Sediaan yang homogen karena sebelumnya telah dioptimasi pada proses pembuatan sediaan deodoran roll-on tersebut. Pada formula V dan VI pada suhu 40 o C pada bulan ke-3 terjadi pemisahan antara basis dan minyak atsiri, hal tersebut dikarenakan adanya pengaruh panas sehingga minyak atsiri memisah dengan basis sediaan. Selanjutnya untuk melihat perbedaan daya kerja thickening agent HPC-m dan karbomer terhadap sifat fisika dan kimia dapat dilihat pada Tabel 5. Daya Sebar/Kemampuan Menyebar. Hasil evaluasi kemampuan sebar sediaan deodorant roolon minyak atsiri jeruk purut, baik pada formula I sampai dengan formula VI memiliki kemampuan menyebar antara 1275, ,97 mm 2 (Tabel 5) sehingga dapat dikatakan nilai daya sebar formula I, II sampai III dengan thickening agent HPC-m Tabel 3. Hasil pemeriksaan organoleptik sediaan deodoran roll-on minyak atsiri jeruk purut. Suhu penyimpanan Suhu kamar Formula Waktu FI FII FIII FIV FV FVI W A W A W A W A W A W B 0 Pb Bk Pb Bk Pb Bk Pb Bk Pb Bk Pb Bk 1 Pb Bk Pb Bk Pb Bk Pb Bk Pb Bk Pb Bk 2 Pb Bk Pb Bk Pb Bk Pb Bk Pb Bk Pb Bk 3 Pb Bk Pb Bk Pb Bk Pb Bk Pb Bk Pb Bk 0 Pb Bk Pb Bk Pb Bk Pb Bk Pb Bk Pb Bk 1 Pb Bk Pb Bk Pb Bk Pb Bk Pb Bk Pb Bk Suhu 40 o C 2 Pb Bk Pb Bk Pb Bk Pb Bk Pb Bk Pb Bk 3 Pb Bk Pb Bk Pb Bk Pb Bk Pb Bk Pb Bk Keterangan: W = Warna; Tb = Tidak berbau; Bk = Berbau khas; Pb = Putih bening; Pk = Putih kekuningan.

85 83 RUSLI ET AL. Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia Tabel 4. Hasil pemeriksaan homogenitas sediaan deodoran roll-on minyak atsiri jeruk purut. Waktu penyimpanan (Bulan ke-) Suhu 28 o -30 o C Suhu 40 o C FI FII FIII FIV FV FVI FI FII FIII FIV FV FVI 0 H H H H H H H H H H H H 1 H H H H H H H H H H H H 2 H H H H H H H H H H H H 3 H H H H H TH H H H H TH TH Keterangan : H = Homogen; TH = Tidak homogen. Tabel 5. Efek thickening agent (HPC-m dan Karbomer 940) terhadap daya sebar, viskositas dan ph sediaan deodoran roll-on minyak atsiri jeruk purut. Formula Suhu penyimpanan Waktu Daya sebar (Bulan) (mm 2 ) Viskositas(cps) ph I Kamar , ,33 4, , ,00 5, , ,00 5, , ,33 4,81 40 o C , ,00 5, , ,00 5, , ,33 4,81 II Kamar , ,33 4, , ,67 5, , ,33 5, , ,33 4,68 40 o C , ,67 5, , ,33 5, , ,33 4,81 III Kamar , ,33 4, , ,33 5, , ,00 5, , ,33 4,55 40 o C , ,33 6, , ,67 6, , ,33 5,22 IV Kamar , ,00 4, , ,00 5, , ,00 5, , ,00 5,10 40 o C , ,67 5, , ,00 5, , ,00 5,10 V Kamar , ,00 6, , ,00 7, , ,70 7, ,88 6,76 40 o C , ,67 6, , ,00 6, ,10 6,13 VI Kamar , ,00 6, , ,00 6, , ,70 6, , ,00 6,76 40 o C , ,67 5, , ,00 5, ,10-5,10 masih masuk kategori sediaan liquid/cairan, pada saat aplikasi sediaan masih mudah keluar dari wadah karena konsentrasi thickening agent yang digunakan mempunyai viskositas yang optimal. Formula I, II dan III daya sebar tidak mengalami prubahan baik pada suhu kamar maupun suhu 40 o C, sedangkan pada formula IV, V dan VI dengan thickening agent karbomer 940 memiliki kemampuan sebar yang semakin kecil, sehingga dapat dikatakan kategori sediaan semi padat, maka sulit diaplikasikan karena

86 Vol 14, 2016 karbomer 940 mempunyai sifat cenderung memadat. Formula IV, V dan VI daya sebar tidak mengalami perubahan baik pada suhu kamar maupun suhu 40 o C. Viskositas. Hasil evaluasi viskositas sediaan deodoran roll-on minyak atsiri jeruk purut (Tabel 5) untuk formula II dan IV mengalami ketidakstabilan pada suhu 40 o C, karena pada formula II mengalami sineresis (pengeluaran air dari sediaan), sementara pada formula IV terjadi swelling (viskositas sediaan meningkat) sehingga sulit dikeluarkan dari wadah maka penelitian tidak dilanjutkan. Pada formula V dengan thickening agent karbomer mengalami peningkatan viskositas, pada bulan ke-3 sediaan tidak dapat diukur pada viskometer Brookfield tipe RV. Hasil evaluasi sifat alir sediaan deodorant roll-on minyak atsiri jeruk purut dapat dilihat pada Tabel 5, menunjukan sifat alir pseudo-plastis. Sifat alir pseudo-plastis termasuk aliran non-newton yang tidak dipengaruhi oleh waktu. Sediaan liquid akan keluar dengan adanya gaya gesek atau rate of share. Umumnya sifat HPCM atau karbomer jika tunggal memiliki sifat alir pseudo-plastis, sehingga setelah diformulasi tidak ada perubahan/ viskositas stabil. Tabel 6. Diameter daerah hambat uji antisepik sediaan deodoran roll-on minyak atsiri jeruk purut terhadap Staphylococcus aureus. Formula Suhu Waktu Replikasi Ratarata penyimpanan (Bulan) I II III (mm) I Kamar 0 0,0 0,0 0,0 0,00 1 0,0 0,0 0,0 0,00 2 0,0 0,0 0,0 0,00 3 0,0 0,0 0,0 0,00 II Kamar 0 11,8 11,18 10,90 11, ,4 11,6 11,4 11,46 2 5,9 11, , ,2 12,2 12,4 12,26 III Kamar 0 8,4 8,4 8,6 8,46 1 9, ,4 10, ,0 11,6 10,8 10, ,0 11,8 11,4 11,40 40 o C 1 9,0 9,8 10,8 9, ,2 11,4 10,8 11, ,0 11,8 11,4 11,40 IV Kamar 0 12,0 11, , ,5 11,2 11,6 11, ,2 11,1 11,3 11, ,0 10,8 10,9 10,90 V Kamar 0 10,1 10,3 10,6 10,34 1 0,0 0,0 0,0 0,00 2 0,0 0,0 0,0 0,00 3 0,0 0,0 0,0 0,00 40 o C 1 0,0 0,0 0,0 0,00 2 0,0 0,0 0,0 0,00 3 0,0 0,0 0,0 0,00 VI Kamar 0 10,1 10,30 10,5 10,30 1 0,0 0,0 0,0 0,00 2 0,0 0,0 0,0 0,00 3 0,0 0,0 0,0 0,00 40 o C 1 0,0 0,0 0,0 0,00 2 0,0 0,0 0,0 0,00 3 0,0 0,0 0,0 0,00 Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia 84 Pemeriksaan Kimia (ph). Untuk uji stabilitas pada suhu kamar (25 35 o C) dan 40 o C selama 0 sampai 3 bulan, hasil evaluasi ph menunjukkan bahwa pada semua formula memiliki ph yang berbeda (Tabel 5), hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan konsentrasi dan jenis thickening agent dimana ph yang dimiliki HPC-m berkisar 4,55-6,25, sedangkan karbomer 940 lebih besar yaitu 6,83 karena adanya penetralan dengan trietanolamin. ph yang dihasilkan dari sediaan deodorant roll-on dengan thickening agent HPC-m mendekati ph kulit yaitu 4,5-6,5. Uji Daya Antiseptik dan Iritasi. Uji daya hambat sediaan deodoran (Tabel 6) dengan thickening agent HPC-m terhadap S. aureus sebesar 10,90-12,26 mm, sedangkan dengan thickening agent karbomer 940 tidak mempunyai daya hambat. Tidak adanya daya hambat kemungkinan disebabkan oleh viskositas sediaan yang tinggi pada bulan ke-3 sehingga menghalangi proses difusi. pada bulan ke-3. Hasil evaluasi sediaan deodoran roll-on sebagai antiseptik dengan metode uji diameter daya hambat terhadap bakteri Staphylococcus aureus sebagai penyebab bau badan menunjukkan kemampuan untuk menghambat bakteri yang berbeda-beda. Hal tersebut terjadi karena formula tersebut mengandung konsentrasi HPC-m yang berbeda sehingga diameter daya hambat yang paling besar adalah formula III karena minyak atsiri jeruk purut mampu terserap dengan baik pada konsentrasi HPC-m yang optimum, sementara HPC-m didispersikan dengan etanol sehingga minyak atsiri mudah terlarut dalam dispersi tersebut. Pada formula V dan VI dengan thickening agent karbomer 940 pada bulan ke-0 masih memiliki daya hambat, akan tetapi pada bulan ke-1 sampai ke-3 baik pada suhu kamar dan 40 o C sudah tidak memiliki daya hambat. Hal tersebut disebabkan karbomer 940 didispersikan dengan medium air sehingga minyak Tabel 7. Hasil uji iritasi sediaan deodoran roll-on minyak atsiri jeruk purut. No. Wanita Formula III Pria Keterangan: - = Tidak timbul reaksi; + = kulit memerah; ++ = kulit memerah dan gatal; +++ = kulit membengkak.

87 85 RUSLI ET AL. atsiri sulit terdispersi dalam thickening agent sehingga tidak memiliki kemampuan menghambat bakteri Staphylococcus aureus. Uji Iritasi. Uji iritasi dilakukan terhadap formula III dengan thickening agent HPC-m 3% yang merupakan hasil pemeriksaan mutu fisik yang baik dan memiliki diameter daerah hambat yang baik. Hasil uji iritasi dari 20 orang panelis wanita dan pria dewasa menunjukkan hasil negatif yang ditandai dengan tidak terjadinya reaksi alergi/iritasi yang ditimbulkan setelah pengaplikasian sediaan deodoran roll-on minyak jeruk purut pada kulit ketiak panelis (Tabel 7). Hal ini dapat dikarenakan formula III tidak mengandung ekspien/bahan penolong yang berdasarkan data fisika kimianya tidak menimbulkan iritasi. Selain itu pada kulit ketiak terdapat mantel yang mampu menetralisir bahan-bahan yang ada di dalam formula tersebut, sehingga tidak terjadi iritasi SIMPULAN Perbedaan thickening agent dan konsentrasi HPC-m dan karbomer 940 mempengaruhi mutu fisik sediaan deodoran roll-on minyak atsiri jeruk purut meliputi viskositas, daya sebar dan ph. Formula terbaik dari sediaan deodoran roll-on minyak jeruk purut adalah formula III dengan konsentrasi thickening agent (HPC-m) sebesar 3% yang menghasilkan tampilan fisik dan homogenitas yang baik, memiliki viskositas cps pada suhu kamar dan cps pada suhu 40 o C, sifat alirnya pseudoplastis, dengan ph 4,55 Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia pada suhu kamar dan ph 5,22 pada suhu 40 o C dan uji aktivitas mempunyai daya hambat 10,90-12,26 terhadap bakteri Staphylococcus aureus. UCAPAN TERIMA KASIH Peneliti mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Lembaga Penelitian dan Publikasi Ilmiah Universitas Tarumanagara yang telah memberi dana untuk kelancaran penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA 1. Darlimartha S. Altas tumbuhan obat Indonesia Jilid 2. Jakarta: TrubusAgriwidia; Tranggano RI. Buku pegangan ilmu pengetahuan kosmetik. Jakarta: Gramedia pustaka utama; Ansel HC. Pharmaceutical dosage form and drug delivery system. Edisi VIII. Lippincott Williams and Wilkins; Wade A, Weller PJ. Handbook of pharmaceutical excipient. Edisi V. Jakarta: EGC; Britis Pharmacopeia Commission. Britis Pharmacopeia London: The Stationary Office; Ginting H. Karakterisasi simplisia dan analisis komponen minyak atsiri dari kulit buah jeruk purut (Citrus hystrix DC) kering. Jurnal Penelitian Bidang Ilmu Pertanian (1). 7. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta: Direktorat Jendral Pengawas Obat dan Makanan; Jawetz E, Melnick JL, Adelberg EA. Mikrobiologi kedokteran. Edisi XX. Jakarta: EGC; 1996.

88 JURNAL ILMU KEFARMASIAN INDONESIA, April 2016, hlm ISSN Vol. 14, No. 1 Mikroenkapsulasi Controlled Release Lansoprazol dengan Kombinasi Hydroxy Propyl Methyl Cellulose Phthalate dan Natrium Alginat secara Gelasi Ionotropik (Microencapsulation of Controlled Release Lansoprazol by The Combination of Hydroxy Propyl Methyl Cellulose Phtalate and Sodium Alginate using Ionotropic Gelation Method) RICKY KURNIAWAN, DENI RAHMAT * Fakultas Farmasi Universitas Pancasila, Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta Selatan, Diterima 18 Agustus 2015, Disetujui 21 Desember 2015 Abstrak: Lansoprazol adalah obat anti ulkus peptikum golongan penghambat pompa proton yang memiliki absorpsi efektif di usus tetapi terurai oleh asam lambung sehingga perlu menggunakan sistem controlled release untuk meningkatkan ketersediaan hayatinya. Polimer yang digunakan untuk sistem controlled release yaitu natrium alginat 2% dengan penambahan kalsium laktat dalam konsentrasi 5% (Formula I), 7,5% (Formula II) dan 10% (Formula III). Mikrokapsul dibuat dengan metode gelasi ionotropik. Natrium alginat dan lansoprazol dicampur dengan rasio 3:1, kemudian diteteskan ke dalam larutan kalsium laktat dengan kecepatan pengadukan 100 putaran per menit. Mikrokapsul yang dihasilkan dicuci dengan air suling dan dikeringkan selama 4 jam pada suhu 60 o C. Hasil kemudian dikarakterisasi diantaranya organoleptik, kadar air, distribusi ukuran mikrokapsul, perolehan kembali dan penjeratan, indeks pengembangan dan pelepasan zat aktif. Mikrokapsul yang dihasilkan memiliki indeks pengembangan tertinggi pada Formula II yaitu 256,89%. Formula I memiliki rata-rata distribusi ukuran mikrokapsul terkecil sekitar µm dan terbesar pada Formula III sekitar µm. Formula III memiliki nilai perolehan kembali tertinggi yaitu 86,5%. Penjeratan zat tertinggi pada Formula III yaitu 64,46%. Persen pelepasan lansoprazol pada jam ke-8 dari Formula I, II dan II berturutturut adalah 87,89%, 68,09% dan 57,09%. Mikrokapsul menunjukkan sifat gastroresisten setelah disalut dengan larutan HPMCP 5% dan 10%. Kata kunci: HPMCP, gelasi ionotropik, mikroenkapsulasi, lansoprazol. Abstract: Lansoprazole is a proton pump inhibitor that has been used as an anti-peptic ulcer and demonstrates an effective absorption in the intestine but decomposed by stomach acid. Therefore, it was necessary to use the controlled release system to improve bioavailability. The polymers used for the system was sodium alginate (2%) by adding calcium lactate at a concentration of 5% (Formula I), 7.5% (Formula II), and 10% (Formula III). The microcapsules were prepared using ionotropic gelation method. Sodium alginate and lansoprazole were mixed with a ratio of 3:1, and then dripped into a solution of calcium lactate with a stirring speed of 100 rpm. The resulting microcapsules were washed with distilled water and dried for 4 hours at temperature of 60 C. The results were then characterized for organoleptic, water content, size distribution, recovery and loading capacity, swelling index and release of active substance. The microcapsules produced had the highest swelling index of %. Formula I has the smallest microcapsule size distribution in the range from 925 to 1000 μm whereas the largest in Formula III in the range from 1075 to 1150 μm. Formula III has the highest recovery (86.5%). * Penulis korespondensi, Hp mangnden78@yahoo.com

89 87 RAHMAT ET AL. Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia The highest entrapment eficiency (Formula III) was 64.46%. The release of lansoprazole within 8 hours of Formula I, II and II were 87.89%, 68.09% and 57.09%, respectively. The microcapsules exhibited gastroresistance after coating with 5 and 10 % HPMCP solution. Keywords: HPMCP, ionotropic gelation, microencapsulation, lansoprazol. PENDAHULUAN MIKROENKAPSULASI merupakan suatu proses dimana masing masing material atau droplet dari suatu zat padat ataupun cair dikelilingi oleh suatu lapisan film polimer sehingga membentuk kapsul dalam rentang ukuran mikrometer sampai millimeter. Ada banyak tujuan untuk dilakukan mikroenkapsulasi antara lain untuk melindungi zat aktif terhadap sinar UV, panas, proses oksidasi dan suasana asam. Contoh zat aktif yang tidak tahan terhadap suasana asam adalah obat golongan penghambat pompa proton (1,2). Penghambat pompa proton adalah senyawasenyawa substitusi benzimidazole yang secara nonreversibel menghambat enzim pompa proton sel parietal lambung, yakni K + /H + ATP ase. Obatobat ini membutuhkan aktivasi di lingkungan asam dari kanalikulis sekretorik sel parietal. Obat-obat ini adalah prodrug dan kemungkinan besar bekerja dari sisi eksternal membran. Empat penghambat pompa proton yang saat ini telah tersedia atau akan tersedia adalah omeprazol, lansoprazol, rabeprazol dan pantoprazol. Diantara semua obat golongan penghambat pompa proton, lansoprazol, merupakan obat yang mempunyai spektrum paling luas. Selain itu, lansoprazol merupakan satu-satunya obat golongan penghambat pompa proton yang dapat digunakan para pediatrik (umur 1-17 tahun). Onsetnya yang cepat dan efektivitasnya dalam mengobati berbagai kondisi pada berbagai kelompok juga menjadi keunggulan dari lansoprazol (3,4). Bahan penyalut yang digunakan dapat bermacammacam, mulai dari polimer alam seperti albumin, gelatin-kitosan, sintetik seperti poly (vinyl alkohol), poly (lactide-co-glycolide) maupun kombinasi keduanya seperti pektin-natrium CMC, alginat-pektin dan lainnya. Namun polimer alam lebih disukai dalam sistem penghantaran obat lepas lambat. Polimer alam yang digunakan pada penelitian ini adalah natrium alginat. Natrium alginat merupakan polimer alam yang banyak digunakan dalam bidang bioteknologi, juga dalam industri makanan dan minuman sebagai pengental, gelling agent, polimer lepas lambat, dan stabilizer suatu koloid (1,2). Selain alginat, bahan lain yang digunakan adalah hidroxy propyl methyl cellulose phtalate (HPMCP) dan kalsium laktat. HPMCP digunakan untuk menyalut mikrokapsul yang terbentuk agar tidak terjadi solvasi mikrokapsul dan lansoprazol tidak terurai akibat asam lambung (1). Setelah sampai di usus, HPMCP akan terlarut pada lingkungan sekitar karena mekanisme dissolving yaitu melarut pada lingkungan dengan ph tertentu yaitu ph 5 (5). Kalsium laktat digunakan sebagai bahan cross-linker dengan natrium alginat. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan formula mikrokapsul yang memiliki ukuran 0, µm dari lansoprazol dengan polimer HPMCP dan natrium alginat serta untuk mengetahui pengaruh konsentrasi kalsium laktat yang digunakan terhadap laju disolusi. Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat diperoleh konsentrasi kalsium laktat yang memberikan laju disolusi paling optimum setelah 8 jam dan konsentrasi HPMCP yang dapat menghasilkan mikrokapsul gastroresisten dan mempunyai sistem controlled release di usus sehingga dapat memberikan alternatif sediaan untuk memberikan manfaat terapi yang lebih baik dengan menggunakan bahan cross-linker kalsium laktat. BAHAN DAN METODE BAHAN. Zat aktif lansoprazol yang diperoleh dari PT. Bernofarm. Polimer natrium alginat diperoleh dari Kimica, Chile. Polimer HPMCP yang diperoleh dari Shin Etsu. Kalsium laktat yang diperoleh dari Wuhan Sanjiang, China. Baku pembanding lansoprazol yang diperoleh dari Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia, air suling, aseton, metanol, kalium dihidrogen fosfat, natrium hidroksida. METODE. Gelasi Ionotropik. Natrium alginat sebanyak 300 mg didispersikan dalam air dengan suhu 40 o C dan kalsium laktat sebanyak 5 g untuk formula I, 7,5 g untuk formula II dan 10 g untuk formula III dilarutkan dalam 100 ml air suling. Pada dispersi natrium alginat ditambahkan 100 mg lansoprazol sambil diaduk hingga homogen kemudian diteteskan ke dalam larutan kalsium laktat melalui jarum suntik dengan ukuran 22 gauze. Tetesan yang dihasilkan didiamkan selama 30 menit kemudian didekantasi dan dicuci dengan air suling lalu disaring dan dikeringkan dalam oven suhu 60 o C selama 4 jam (1). Penyalutan. Pada mikrokapsul lansoprazol dilakukan penyalutan dengan polimer HPMCP dengan konsetrasi 5% dan 10%. Sebanyak 5 g dan 10 g HPMCP dilarutkan dalam 100 ml aseton, kemudian ke dalam masing-masing konsentrasi dimasukkan 2,5

90 Vol 14, 2016 Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia 88 g mikrokapsul dengan formula terbaik lalu didiamkan selama 30 menit. Hasil kemudian didekantasi dan disaring dengan kertas saring lalu dicuci dengan air suling dan diangin-anginkan pada suhu kamar selama 45 menit. Penyalutan dilakukan sebanyak 6 kali untuk masnig-masing konsentrasi (1). Evaluasi Mikrokapsul. Pengamatan Organoleptik.Pengamatan dilakukan terhadap bentuk, warna dan bau mikrokapsul lansoprazol. Pengamatan dlakukan pada suhu kamar (28-30 o C). Pengukuran Kadar Air. Penentuan kadar air dilakukan setelah mikrokapsul dikeringkan dalam oven pada suhu 60 o C selama 4 jam menggunakan alat moisture meter Karl Fischer. Pemeriksaan ini dilakukan pada suhu kamar (28-30 o C). Pengukuran Ukuran Mikrokapsul. Pengukuran ukuran mikrokapsul dilakukan untuk mengetahui keseragaman ukuran mikrokapsul yang dihasilkan dalam formula yang dibuat serta mengetahui jumlah rentang ukuran mikrokapsul. Seratus lima puluh mikrokapsul setiap formula diukur dengan mikroskop optik dengan menggunakan perbesaran 10 x. Penetapan Nilai Perolehan Kembali Mikrokapsul. Penetapan nilai peroelehan kembali mikrokapsul dilakukan untuk mengetahui apakah metode mikroenkapsulasi yang dilakukan dapat diproduksi secara ekonomis. Penetapan dilakukan dengan cara membagi jumlah mikrokapsul yang diperoleh (gram) dengan jumlah bahan yang digunakan (gram) lalu dikalikan 100 % (1). Penetapan Efisiensi Penjeratan Zat Aktif. Penetapan efisiensi penjeratan zat aktif dilakukan untuk mengetahui jumlah zat aktif yang terjerat di dalam mikrokapsul. Jumlah zat aktif tersebut akan digunakan dalam perhitungan untuk menghitung persentase jumlah zat aktif yang terdisolusi dalam pengukuran pelepasan zat aktif secara in-vitro. Penetapan efisiensi penjeratan zat aktif dilakukan dengan cara menggerus sejumlah mikrokapsul di dalam lumpang dan ditambahkan 5 ml methanol untuk melarutkan lansoprazol, kemudian disaring dengan kertas saring, filtrat dimasukkan ke dalam Erlenmeyer 50 ml, kemudian ditambahkan larutan dapar fosfat ph 6,8 sampai garis tanda dan dikocok homogen lalu diukur pada λ max (284 nm). Efisiensi dihitung dengan cara membagi % kandungan yang diperoleh dengan % kandungan secara teoritis kemudian dikalikan 100 % (1). Pengukuran Indeks Pengembangan. Indeks pengembangan merupakan suatu indeks yang menujukkan kemampuan mikrokapsul untuk mengembang setelah kontak dengan cairan dapar fosfat ph 6,8 selama 10 menit. Kemampuan mengembang mikrokapsul mempunyai pengaruh pada banyaknya dapar yang dapat masuk ke dalam mikrokapsul dan menentukkan banyaknya zat aktif yang dapat terdisolusi. Pengukuran indeks pengembangan dilakukan dengan cara memasukkan sejumlah mikrokapsul ke dalam cawan Petri lalu ditambahkan sejumlah volume tertentu dapar fosfat ph 6,8 dan didiamkan selama 10 menit. Indeks pengembangan dihitung dengan menghitung selisih bobot mikrokapsul sebelum dan sesudah ditambahkan dapar lalu dibagi terhadap bobot awal dikalikan 100 % (1). Pengukuran Pelepasan Zat Aktif secara In-Vitro. Pengukuran pelepasan zat aktif secara in-vitro dapat menunjukkan apakah mikrokapsul yang dibuat berhasil mempunyai sistem controlled release atau tidak. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan alat uji disolusi Electrolab TDT-08 L tipe 2 (dayung) berisi 900 ml larutan dapar fosfat ph 6,8 suhu 37 o C ±0,5 o C dengan kecepatan 50 rpm dan pengambilan cuplikan dilakukan pada jam ke-1, 2, 3, 4, 6, 8 sebanyak 10 mlpada daerah pertengahan antara permukaan media disolusi dan bagian atas dari dayung (1). Evaluasi Mikrokapsul yang telah Disalut. Pengamatan Organoleptik. Pengamatan dilakukan terhadap bentuk, warna dan bau mikrokapsul lansoprazol yang telah disalut HPMCP. Pengujian Sifat Gastroresistensi. Pengujian sifat gastroresistensi dilakukan untuk mengetahui efektivitas penyalutan dengan HPMCP. Sifat gastroresistensi diperlukan untuk melindungi lansoprazol terhadap kerusakan akibat asam lambung. Pengujian sifat gastroresistensi dilakukan dengan cara memasukkan sejumlah mikrokapsul yang telah disalut ke dalam alat uji disolusi tipe 2 (dayung) yang berisi 500 ml asam klorida 0,1 N suhu 37±0,5 o C dengan kecepatan 75 rpm. Pengambilan cuplikan dilakukan pada menit ke-60 dan toleransi dalam menit 60 tidak boleh terlarut lebih dari 10% lansoprazol. Pengamatan Morfologi Mikrokapsul dengan SEM. Pengamatan morfologi mikrokapsul dengan SEM dilakukan untuk mengetahui bentuk dan kondisi permukaan mikrokapsul lansoprazol yang telah disalut. Pengamatan dilakukan menggunakan alat SEM dengan perbesaran 100, 250, 500 dan 1000x. HASIL DAN PEMBAHASAN Pada tahap awal dilakukan pemeriksaan bahan baku yang diperoleh. Berdasarkan Hasil pemeriksaan tersebut, bahan aktif lansoprazol dapat digunakan dalam penelitian pembuatan mikrokapsul controlled release. Hasil pemeriksaan bahan aktif lansoprazol dengan FT-IR disajikan pada Gambar 1a. dan 1b

91 89 RAHMAT ET AL. Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia Gambar 1a. Spektrum inframerah baku pembanding lansoprazol. Gambar 1b. Spektrum inframerah lansoprazol. Terlihat bahwa terdapat kesamaan pada bilangan gelombang 1.580,69 cm -1 untuk spektrum baku pembanding lansoprazol dengan bilangan gelombang 1589,23 cm -1 untuk spektrum bahan baku lansoprazol. Bilangan gelombang tersebut menunjukkan adanya struktur ikatan C rangkap aromatik. Adanya kesamaan tersebut menunjukkan bahan baku yang digunakan adalah benar lansoprazol (7). Hasil pemeriksaan bahan tambahan yang meliputi kalsium laktat, sodium alginat, HPMCP menunjukkan bahwa bahan-bahan tambahan ini memenuhi syarat. Hasil pengamatan organoleptik sediaan mikrokapsul formula I sampai dengan formula III menunjukkan bahwa semua formula menghasilkan mikrokapsul berbentuk bulat dan lonjong berwarna putih kecoklatan dan tidak berbau. Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan konsentrasi kalsium laktat tidak mempengaruhi sifat organoleptik yang dihasilkan. Hasil pengukuran kadar air mikrokapsul menujukkan bahwa semakin besar konsentrasi kalsium laktat menyebabkan semakin meningkat kadar air mikrokapsul. Hasil pengukuran kadar air mikrokapsul disajikan pada Tabel 1. Hal ini menunjukkan bahwa proses penguapan yang terjadi pada Formula I lebih cepat dibandingkan proses penguapan yang terjadi pada Formula II dan III. Hal ini juga menunjukkan proses penguapan dapat dipengaruhi oleh tebal tipisnya lapisan yang terbentuk dari proses cross Tabel 1. Pengukuran kadar air dalam mikrokapsul lansoprazol. Formula Kadar air I 3,00 % II 3, 13 % III 3, 17 %

92 Vol 14, 2016 linked, yang mana Formula I menggunakan larutan kalsium laktat dengan konsentrasi paling kecil sehingga tebal lapisan yang terbentuk paling tipis dibandingkan dengan Formula III yang menggunakan larutan kalsium laktat dengan konsentrasi paling besar sehingga tebal lapisan yang terbentuk paling tebal. Bila lapisan yang terbentuk cukup tebal, akan menghambat proses penguapan air dari dalam mikrokapsul, namun demikian, kadar air formula I, II dan III tidak jauh berbeda. Data untuk kadar air pada Formula I yaitu 3,00%, Formula II yaitu 3,13% dan Formula III yaitu 3,17% (8). Berdasarkan hasil pengukuran ukuran mikrokapsul, semua formula mikrokapsul lansoprazol memenuhi persyaratan ukuran mikrokapsul yaitu mempunyai rentang antara 0, µm. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa semakin besar konsentrasi kalsium laktat yang digunakan menyebabkan semakin besar ukuran mikrokapsul yang dihasilkan (8). Hasil pengukuran ukuran mikrokapsul disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Distribusi ukuran mikrokapsul lansoprazol. Kelas Nilai tengah (d) Frekuensi (n) F1 F2 F , , , , , , , , , Σn Hasil penetapan nilai perolehan kembali disajikan pada Tabel 3. Pengamatan nilai perolehan kembali dilakukan untuk mengetahui apakah metode mikroenkapsulasi dapat diproduksi secara ekonomis. Nilai perolehan kembali mikrokapsul yang dibuat adalah 83,73 % - 86,50 %. Hasil ini menunjukkan bahwa metode mikroenkapsulasi yang dilakukan dapat diproduksi secara ekonomis. Walaupun kalsium laktat tidak dapat terionisasi sempurna melainkan membentuk suatu kesetimbangan antara ion Ca+ dan Ca laktat, sehingga penggunaan kalsium laktat sebagai bahan pengeras kurang baik bila dibandingkan dengan pengeras lain seperti kalsium klorida (8). Hasil penetapan efisiensi penjeratan zat aktif menunjukkan bahwa semakin besar konsentrasi Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia 90 Tabel 3. Penetapan nilai perolehan kembali mikrokapsul lansoprazol. Formula Wo (gram) Wm (gram) Rp (%) I 10, , ,73 II 5,7624 4, ,20 III 10,0854 8, ,50 kalsium laktat, menyebabkan semakin besar zat aktif yang terjerat dalam mikrokapsul. Efisiensi penjeratan zat aktif Formula I sampai dengan Formula III berkisar antara 44-65%. Penetapan efisiensi penjeratan digunakan untuk mengukur persen zat aktif yang terlepas dari mikrokapsul saat dilakukan uji disolusi secara in vitro. Hasil penetapan efisiensi penjeratan zat aktif disajikan pada Tabel 4. Pada Formula III terdapat konsentrasi penjeratan zat aktif yang paling besar yaitu 64,458% dan pada Formula I memiliki penjeratan zat aktif paling kecil yaitu 44,3221%. Hal ini disebabkan oleh konsentrasi larutan kalsium laktat yang digunakan pada Formula III paling besar sehingga terjadi proses pengerasan mikrokapsul lebih cepat dibandingkan Formula I dan Formula II. Selain itu, proses kesetimbangan antara kalsium laktat dengan ion kalsium pada Formula III juga menghasilkan konsentrasi ion kalsium yang lebih besar sehingga juga mempercepat proses pengerasan mikrokapsul Formula III sedangkan mikrokapsul formula I mengalami proses pengerasan lebih lama. Tabel 4. Penetapan efisiensi penjeratan zat aktif. Pengulangan Penjeratan zat aktif dalam mikrokapsul Formula I (%) Formula II (%) Formula III (%) 1 44, 26 54, 99 64, ,37 54,57 64, ,33 54,77 63,40 Rata-rata 44,32 54,78 64,46 SD 0,056 0,214 0,914 Hasil pengukuran indeks pengembangan mikrokapsul Lansoprazol disajikan pada Tabel 5. Hasil pengukuran indeks pengembangan menunjukkan semakin besar konsentrasi kalsium laktat yang digunakan menyebabkan semakin besar indeks pengembangan. Indeks pengembangan mikrokapsul setelah 10 menit kontak dengan cairan dapar berkisar antara %. Uji indeks pengembangan dilakukan untuk mengetahui banyaknya air yang dapat diserap oleh mikrokapsul untuk mengembang setelah

93 91 RAHMAT ET AL. Pengulangan Tabel 5. Pengukuran indeks pengembangan. Penjeratan zat aktif dalam mikrokapsul Formula I (%) Formula II (%) Formula III (%) 1 44, 26 54, 99 64, ,37 54,57 64, ,33 54,77 63,40 Rata-rata 44,32 54,78 64,46 SD 0,056 0,214 0,914 kontak dengan larutan dapar fosfat ph 6,8 suhu 37 ±0,5 o C selama 10 menit. Formula I, dengan konsentrasi larutan kalsium laktat 5%, memiliki indeks pengembangan paling kecil yaitu 170,38% sementara Formula III, dengan konsentrasi larutan kalsium laktat 10%, memiliki indeks pengembangan paling besar yaitu 256,89%. Hal ini menunjukkan bahwa Formula I, dengan konsentrasi larutan kalsium laktat 5%, memiliki tebal lapisan paling tipis dengan kemampuan mengembang lebih kecil dibandingkan dengan Formula III, dengan konsentrasi larutan kalsium laktat 10%, yang memiliki tebal lapisan paling tebal sehingga memiliki kemampuan mengembang lebih besar. Semakin besar konsentrasi larutan Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia kalsium laktat yang digunakan menghasilkan tebal lapisan yang semakin tebal dan menyebabkan indeks pengembangan semakin besar pula. Hasil pengukuran pelepasan zat aktif secara invitro disajikan pada Tabel 6. Pengukuran pelepasan zat aktif secara in-vitro dapat menunjukkan apakah mikrokapsul yang dibuat berhasil mempunyai sistem controlled release atau tidak. Berdasarkan hasil pengukuran pelepasan zat aktif secara in-vitro, semua formula menunjukkan mikrokapsul lansoprazol yang dibuat mempunyai sistem controlled release dengan Formula I yang mempunyai profil pelepasan optimum setelah 8 jam dengan persen pelepasan terbesar yaitu 87,89%, sedangkan Formula III memiliki persen pelepasan terkecil yaitu 57,09%. Hal ini disebabkan oleh lapisan kalsium alginat yang ada pada Formula I paling tipis sehingga lebih cepat tererosi dan jumlah zat aktif yang keluar lebih banyak. Pada jam I, Formula III mempunyai persen obat terdisolusi lebih banyak dibandingkan Formula I dan II. Hal ini disebabkan oleh kemampuan Formula III mengembang lebih cepat sehingga jumlah air yang masuk ke dalam mikrokapsul lebih banyak dan menyebabkan jumlah zat aktif yang terdisolusi lebih banyak. Data uji pelepasan telah diuji, persen kumulatif pelepasan Formula I, II, dan III berturut- Tabel 6. Pengukuran pelepasan zat aktif secara in-vitro. Formula Pelepasan lansoprazol dari mikrokapsul (%) F1 No.sampel 1 jam 2 jam 3 jam 4 jam 6 jam 8 jam 1 8,87 27,07 50,56 65,60 71,10 88,11 2 9,59 29,02 50,22 64,59 71,60 87,83 3 9,23 28,66 49,78 65,59 71,90 88,05 4 9,81 28,02 49,48 64,80 71,45 87,90 5 9,16 27,21 49,69 65,16 71,24 87,61 6 9,23 27,86 49,84 64,66 71,74 87,83 Rata-rata 9,32±0,334 27,97±0,772 49,93±0,393 65,07±0,454 71,51±0,303 87,89±0,179 F2 1 9,51 27,88 42,02 51,87 56,23 68,19 2 9,34 28,11 41,73 52,45 56,53 68,60 3 9,22 28,46 42,26 52,86 55,31 68,23 4 9,57 28,64 41,92 52,45 55,95 68,12 5 9,40 29,57 41,81 53,32 56,72 67,84 6 9,28 29,34 41,34 53,43 56,95 67,55 Rata-rata 9,39±0,134 28,67±0,670 41,85±0,309 52,73±0,592 56,28±0,593 68,09±0, ,97 31,80 43,77 45,34 47,98 56, ,82 31,35 43,56 44,64 47,64 56,67 F3 3 15,22 30,56 43,15 45,33 47,09 57, ,77 30,45 43,40 44,79 47,44 57, ,92 30,01 44,04 45,04 47,99 57, ,32 29,71 44,24 44,70 47,65 57,07 Rata-rata 15,00±0,221 30,65±0,794 43,69±0,406 44,97±0,312 47,63±0,341 57,09± 0,527

94 Vol 14, 2016 turut selama 8 jam adalah 87,89%, 68,09% dan 57,09%. Mekanisme pelepasan zat aktif yang lebih dominan antara erosi dan difusi dapat ditentukan dari persamaaan Higuchi yang mana bila hasil regresi akar waktu vs % terdisolusi lebih lurus dibandingkan dengan hasil regresi waktu vs % terdisolusi, maka proses difusi lebih dominan daripada proses erosi. Dari persamaan Higuchi hasil regresi akar waktu vs % terdisolusi yang mendekati lurus untuk setiap formula menunjukkan bahwa mekanisme pelepasan zat aktif yang lebih dominan adalah proses difusi (9). HPMCP 10% membentuk lapisan penyalut pada mikrokapsul formula I yang lebih tebal, yang mana penyalut yang digunakan mempunyai warna putih sehingga warna yang dihasilkan setelah penyalutan adalah warna putih sedangkan larutan HPMCP 5% merupakan larutan penyalut yang lebih encer sehingga menghasilkan lapisan penyalut yang lebih yang tipis dan akibatnya masih terlihat adanya warna kecoklatan yang merupakan warna awal sebelum dilakukan penyalutan. Hasil pengujian sifat gastroresistensi menunjukkan bahwa mikrokapsul yang disalut dengan HPMCP Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia 92 dengan konsentrasi 5% dan 10% mempunyai sifat gastroresisten. Sifat gastroresisten diperlukan mikrokapsul lansoprazol untuk tetap stabil tidak terurai oleh asam lambung. Pengujian moroflogi mikrokapsul lansoprazol dengan SEM (Gambar 2) menunjukkan bahwa mikrokapsul berbentuk bulat dan lonjong tidak beraturan dan di bagian permukaannya menunjukkan permukaan yang tidak halus dan lapisan paling luar penyalut kurang merata di seluruh permukaan mikrokapsul. SIMPULAN Lansoprazol dapat dibuat mikrokapsul controlled release dengan metode ionotropic gelation menggunakan polimer natrium alginat. Kalsium laktat berfungsi sebagai cross-linker dalam pembentukan mikrokapsul dengan konsentrasi optimum adalah 5%. Penyalutan mikrokapsul dengan HPMCP dapat menghasilkan sifat gastroresisten. DAFTAR PUSTAKA a c e b d 1. Chaitral PP, Darekar AB, Sachin SS. Formulation and evaluation of lansoprazol microspheres for controlled release. Department of Pharmaceutics, S.M.B.T College of Pharmacy; Jyothri SS, Seethadevi A, Suria PK, Muthuprasanna P, Pavitra P. Microencapsulation: A review. International Journal of Pharma and Bio Sciences (3): Bertram GK. Farmakologi dasar dan klinik. Buku 3. Edisi 8. Jakarta: Salemba Medika David M, Mark A, Guy A, Ronald B, Allan C, Flavio H, Connie S, Stephen W. Increasing versatility of PPIs: The place of orally disintegrating lansoprazole. The Canadian Journal of Diagnosis (11): Zaniboni HC, et al. Production and characterization of enteric beads. International Journal of Pharmaceutics (1): Goeswin A. Seri farmasi industri 3. Sistem penghantaran obat pelepasan terkendali. Bandung: ITB; Choirul A, Sirojudin K, Sofjan F. Analisis gugus fungsi pada sampel uji, bensin dan spiritus menggunakan metode spektroskopi FTIR. Berkala Fisika : Heng PW, Chan LW, Wong TW. Formation of alginate microspheres produced using emulsification technique. J Microencapsul (3): Juergen S, Nicholas AP. Higuchi equation: Derivation, applications, use and misuse. International Journal of Pharmaceutic Gambar 2. Morfologi mikrokapsul lansoprazol dengan menggunakan SEM. a. Perbesaran 50x, b. perbesaran 100x, c. perbesaran 250x, d. perbesaran 500x, e. perbesaran 1000x.

95 JURNAL ILMU KEFARMASIAN INDONESIA, April 2016, hlm ISSN Vol. 14, No. 1 Antihypertensive and Diuretic Effects of The Ethanol Extract of Colocasia esculenta (L.) Schott. Leaves (Efek Antihipertensi dan Diuretik dari Ekstrak Etanol Daun Talas (Colocasia esculenta (L.) Schott.)) RINI PRASTIWI *, SISKA, ERVINA BHAKTI UTAMI, GIGIH PANGESTU WITJI Pharmacy and Science Faculty, Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka University, Islamic Center, Jalan Delima II/IV, Perumnas Klender, East Jakarta, Indonesia. Submitted18 Desember 2015, Accepted 5 Februari 2016 Abstract: Colocasia esculenta (L.) Schott (CE) is traditionally used for the treatment of various ailments such as high blood pressure, diarrhea, rheumatic pain, pulmonary congestion, etc. Hence in present study, the effect of ethanol extract of CE leaves (EECE) was evaluated for antihypertensive and diuretic activity in rats. Male Sprague dawley rats were randomly divided into five groups (n=5), and treated as follow: positive control group (hydrochlortiazide mg/ 200 g bw), negative control (NaCl 8%) and EECE (20, 40 and 80 mg/ 200 g bw) was given 14 days. The parameters systole blood pressure (SBP) and diastole blood pressure (DBP) was estimate by Kent Scientific s CODA Non-invasive Blood Pressure on the days 0, 15 and 29. Diuretic activity of EECE was studied based on the volume of urine for 6 hours and measuring the levels of sodium in urine 24 hours. The result of the study showed that EECE 40 mg/ 200 g bw/ day significant (p<0.05) decreased in SBP 16.07% and in DBP 13.67%. EECE 40 mg/ 200 g bw/day showed positive diuretic activity and significantly (p < 0.05) increased sodium levels in urine. Preliminary phytochemical evaluation revealed the presence of saponins, tannin, triterpenoid and flavonoids in EECE. Keywords : Colocasia esculenta, antihypertensive, diuretic activity, NaCl induced, flavonoids. Abstrak: Talas (Colocasia esculenta (L.) Schott) (CE) secara tradisional digunakan untuk berbagai penyakit seperti tekanan darah tinggi, diare, rematik, gangguan paru-paru dan lain sebagainya. Dalam penelitian ini diteliti aktivitas ekstrak etanol daun talas sebagai antihipertensi dan diuretik pada tikus. Tikus jantan Sprague dawley secara acak dibagi menjadi lima kelompok (n=5) dan diberi perlakuan sebagai berikut: kelompok kontrol positif (diberi hidroklorotiazida 0,2569 mg/200 g bb), kontrol negatif (diberi NaCl 8%), 3 kelompok perlakuan masing-masing diberi ekstrak etanol daun talas dengan konsentrasi 20, 40 dan 80 mg/200 g bb selama 14 hari. Parameter berupa tekanan darah sistol dan diastol diukur dengan Kent Scientific s CODA non-invasive blood pressure pada hari ke-0, 15 dan 29. Aktivitas diuretik ekstrak etanol daun talas dianalisis berdasarkan volume urin dalam waktu 6 jam dan pengukuran jumlah natrium urin dalam waktu 24 jam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak etanol daun talas dengan konsentrasi 40 mg/200 g bb/ hari secara signifikan (p<0,05) menurunkan tekanan darah sistol sebesar 16,07% dan menurunkan tekanan darah diastol sebesar 13,67%. Ekstrak etanol daun talas 40 mg/ 200 g bb/ hari positif menunjukkan aktivitas diuretik dan secara signifikan meningkatkan kadar natrium dalam urin (p <0,05). Evaluasi kandungan fitokimia yang telah dilakukan membuktikan bahwa ekstrak etanol daun talas mengandung saponin, tanin, triterpenoid dan flavonoid. Keywords : Colocasia esculenta, antihipertensi, aktivitas diuretik, induksi NaCl, flavonoid. * Penulis korespondensi, Hp khanzapras@gmail.com

96 101 PRASTIWI ET AL. Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia INTRODUCTION Hypertension is an increase in blood pressure (BP) above normal and permanent, or when systole blood pressure (SBP) is above 140 mmhg and diastole blood pressure (DBP) is above 90 mmhg (1). Pharmacological therapy for hypertension is using synthetic drugs. Hypertension drugs are use in long term lead to increase cost and side effects. Medicinal plant which is owned by Indonesia has enough potential to be utilized and developed as raw materials for herbal medicines. Herbal medicines for therapy is also no longer something new to the community. In line with the trend of back to nature that developed among the public at this time, the use of herbal as alternative medicine continues to grow bigger. One of the them which is used as an alternative medicine is taro leaves (Colocasia esculenta (L.) Schott.) (CE) (2). Taro is known as the tuber which can be used as food substitute. All parts of this plant can be used for treatment, including the petiole and leaf. The content of the active compounds in CE is polyphenols. Taro leaves have medicinal properties as diarrhea, arthritis, pulmonary edema (3). And based on previous research was showed that taro leaf aqueous extract at a dose of 400 mg/ kg bw has efficacy as an antihypertensive and diuretic activity (4). MATERIALS AND METHOD MATERIALS. The leaves of Colocasia esculenta (CE) were collected from Badan Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (BALITRO), Bogor, Indonesia. The plant specimen was authenticated and herbarium was deposited at Indonesian Institute of Science, Cibinong, Bogor, West Java, Indonesia. METHOD. Preparation of Ethanol extract of CE leaves (EECE). The leaves were dried under the shade and powdered using a grinder mixer. The powdered material (25 g) was filled in soxhlet apparatus containing 250 ml of ethanol 70%. The obtain filtrate was concentrated and stored in a desiccators till use (5). Drug and Chemical. Hydrochlorthiazide (HCT) and sodium chloride were obtained from PT. Kimia Farma (Bandung, Indonesia),sodium estimation kit (Research Lab, Indonesia), polysorbat 80, ethanol 70% and other reagents used were purchased from local vendor from Jakarta, Indonesia. Preparation of Drug Solution. EECE and HCT were powdered and suspended in 1% of polysorbat 80 in distillled water. Sodium Chloride (NaCl) was powdered and dissolved in distillated water. All solutions were prepared freshly and stored in glass bottles. Preliminary Phytochemical Evaluation of EECE. EECE was subjected for the qualitative analysis by using the standard phytochemical test to evaluate the presence of various phytoconstituens. Effect of EECE on NaCl 8% induced hypertension in rats. Male Sprague dawley rats (3-4 months old, weight between 150 and 200 g) were randomly divided into five groups (n=5) and treated as follows: negative control (NaCl 8% induced); positive control (HCT mg/ 200 g BW); EECE 20, 40, 80 mg/ 200 g bw. NaCl 8% induced given orally 3 ml/ day in rats every day for 28 days to obtain the condition of hypertension. EECE and HCT provided during the last 14 days orally once daily according to the group. Systolic blood pressure (SBP) and diastolic blood pressure (DBP) was estimated for each animal on day 0 (zero), 15 and 29. Blood pressure measurements made by the indirect method using a Kent Scientific s CODA non-invasive blood pressure. Diuretic Activity of EECE in Rats. Diuretic activity was determinate by following methods of Depkes RI (6), with minor modification. Male Sprague dawley rats (2-4 month old, weight between 150 and 250 g) were randomly divided into five groups (n=5) and treated as follows: negative control (NaCl 4.5% and tween 80 1%); positive control (HCT mg/ 200 g bw); EECE 20, 40, 80 mg/ 200 g bw. The rats were fasted overnight (18 hr) prior to the test. After that, the rats were given an oral loading NaCl 4.5% of 2 ml/ 200 g bw and the treatment according to each group. Immediately after administration, the rats were placed in metabolism cages. Urine volume was collected and calculated at 6 hr and sodium level was estimated using urine 24 hr. Statistical Analysis. The results were expressed as mean ± S.E.M (n=5). The statistical comparison was carried out by one way ANOVA followed by LSD test. The result were considered statistically significant when p < RESULTS AND DISCUSSION Preliminary Phytochemical Evaluation of EECE. Preliminary phytochemical evaluation revealed the presence of saponins, tannin, triterpenoid and flavonoids in EECE. Effect of EECE on NaCl 8% Induced Hypertension in Rats. The administration of NaCl 8% in rats for 28 days showed the increasing effect

97 Vol 13, 2015 Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia 102 in SBP and DBP (Figure 1 and 2). The treatment with EECE and HCT showed significantly (p < 0.05) decrease in SBP and DBP as compared with negative control. EECE (40 mg/ 200 g bw) showed the greatest reduction in SBP of 16.07% and DBP of 13.65% but the effect is still smaller as compared with HCT. Figure 1. Effect of EECE on systole blood pressure (SBP) in NaCl 8% induced hypertension. Value are expressed as mean ± S.E.M (n=5). Figure 2. Effect of EECE on diastole blood pressure (DBP) in NaCl 8% induced hypertension. Value are expressed as mean ± S.E.M (n=5). The administration NaCl 8% for 28 days has been managed to increase blood pressure (7). NaCl shows hypertensive action through increasing plasma volume, cardiac output and ultimately increase in BP (8). BP measurements by the indirect method using a Kent Scientific s CODA non-invasive blood pressure. This device is worksby recording systolic and diastolic blood pressure simultaneously through a transducer that is in the tail-cuff (9). In the present study, the administration of NaCl 8% for 28 day showed increase in SBP and DBP.BP was significantly decreased after the treatment with EECE 20 and 40 mg/ 200 g. Diuretic Activity of EECE in Rats. The administration of EECE and HCT showed a significant (p<0.05) increase in urine volume as compared with negative control group at 6 h (Table 1). Analysis of sodium levels with clinical photometer showed that EECE and HCT significantly (p<0.05) increased sodium content in urine 24 h. EECE 40 mg/ 200 g bw showed the greatest diuretic effect % and sodium levels but the effect is smaller than HCT. Herbal plants used as diuretic in traditional medicinal system might be useful in the treatment of hypertension. In the present study, EECE at a dose of 40 mg/ 200 g bw showed positive diuretic activity at 6 h, as evident from the diuretic percentage. Furthermore, EECE showed significant increase in sodium content of urine at 24 h but the result revealed the weak diuretic activity of EECE. The results showed that there was an increase in the activity of the first dose to the second dose. But at the third dose of the extract decreased the activity of diuretics when compared with the second dose. This is possible because the levels of the compounds that are too high, causing a decrease in affinity so that the effects produced are not in accordance with the increasing in dose (10). The preliminary phytochemical investigations in the present study revealed the presence of flavonoid, saponins, tannins and triterpenoid. The flavonoids isoquercitrin showed inhibition of ACE activity (11). Flavonoids suspected to have efficacy as a diuretic to stimulate blood flow to the kidneys and lead to the inhibition of tubular reabsorption of water and ions that cause diuretic effect (12). The result of the present study were suggested that the flavonoids presence in EECE may be responsible for the antihypertensive and weak diuretic effect. Table1. Effect of EECE on percentage urine volume 6 h and sodium levels in 24 h urine volume. Value are expressed as mean ± S.E.M (n=5).

98 101 PRASTIWI ET AL. CONCLUSION From this research, it can be conluded that the ethanolic extract of taro leaves (Colocasia esculenta (L.) Schott.) (EECE) showed anti hypertensive and diuretic effect. The greatest effect of antihypertensive and diuretic of EECE is 40 mg/ 200g bw, but the effect still lower than HCT. Futher studies are necessary to be performed for the purification, isolation and characterization of the pyhtoconstituens responsible for the anthypertensive and diuretic effect and to explore the exact mechanism of the action. REFERENCES 1. Priyanto. Farmakoterapi & terminologi medis. Depok: LESKONFI; Wasito H. Obat kekayaan Indonesia. Yogyakarta: Graha Ilmu; Departemen Kesehatan RI. Inventaris tanaman obat Indonesia (II). Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia; Vasant OK, et al. Antihypertensive and diuretic effect of the aqueous extract of Colocasia esculenta Linn. Leaves in experimental paradigms. Iranian Journal of Pharmacutical Research (2): Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia 5. Voight R. Buku pelajaran teknologi farmasi. Terjemahan : Soendani NS. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press; Depkes RI. Penapisan farmakologi, Pengujian fitokimia dan pengujian klinik. Jakarta: Depkes RI Pusat Pemeriksaan Obat dan Makanan; Lailani M, Zulkarnain E, Rahmatina BH. Gambaran Tekanan darah tikus wistar jantan dan betina setelah pemberian diet tinggi garam. Jurnal Kesehatan Andalas. 2013: Dipiro JT, et al. Pharmacotherapy principles & practice. United Stated of America: McGraw-Hill; : Kent Scientific Corporation. Buku panduan CODA TM non-invasive blood pressure. Kent Scientific Corporation. 2011: Bourne HR, Mark VZ. Basic and clinical pharmacology. Editor: Bertram GK. San Francisco: Department of Pharmacology University of California; Junior AG, et al. Antihypertensive effect of isoquercitrin and extract from Tropaeolum majus L.: Evidence for the inhibition of angiotensin converting enzym. Journal of Ethnopharmacology : Patel U, Mukul K, et al. Evaluation of diuretic activity of aqueos and methanol extracts of Lepidium sativum Garden Cress in rats. Tropical Journal of Pharmaceutical Research (3):

99 JURNAL ILMU KEFARMASIAN INDONESIA, April 2016, hlm ISSN Vol. 14, No. 1 Daya Antibakteri Ekstrak dan Fraksi-Fraksi Daun Jambu Mete (Anacardium occidentale L.) terhadap Bakteri Staphylococcus aureus Sensitif dan Multiresisten (Antibacterial Activity of Extract and Fractions of Cashew Leaves (Anacardium occidentale L.) against Sensitive and Multiresistant Staphylococcus aureus) YULIANA RIZQI DWI RATNA *, UTARI SITA ARDANI, ZAKIAH FATHIANA, ANNIE RAHMATILLAH, IKA TRISHARYANTI D. K. Fakultas Farmasi, Universitas Muhammadiyah Surakarta, Jl. Achmad Yani, Tromol, Pabelan, Kartasura, Kec. Sukoharjo, Jawa Tengah, Diterima 12 April 2015, Disetujui 20 November 2015 Abstrak: Daun jambu mete memiliki daya antibakteri terhadap bakteri Gram positif dan negatif yang sensitif dan multiresisten. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui daya antibakteri ekstrak dan fraksi-fraksi daun jabu mete dan menentukan komponen senyawa yang terkandung di dalamnya. Metode ekstraksi dilakukan dengan maserasi menggunakan etanol 96%. Fraksinasi ekstrak etanol daun jambu mete dilakukan dengan metode partisi. Ekstrak dan fraksi-fraksi diuji daya antibakterinya menggunakan metode dilusi padat untuk menentukan konsentrasi hambat minimum (KHM). Hasil KHM dilanjutkan ke pengujian berikutnya untuk menentukan konsentrasi bunuh minimum (KBM). Analisis kandungan bahan aktif dilakukan dengan metode kromatografi lapis tipis (KLT). Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak etanol, fraksi kloroform dan fraksi etil asetat memiliki daya bunuh terhadap Staphylococcus sensitif dan multiresisten, sedangkan fraksi metanol-air hingga konsentrasi 2% tidak menunjukkan daya bunuh terhadap S. aureus sensitif, dan hingga 3% terhadap S. aureus multiresiten. Hasil pengujian KLT menunjukkan bhawa ekstrak dan fraksi-fraksi daun jambu mete mengandung alkaloid, flavonoid, minyak atsiri dan fenol. Kata kunci: Anacardium occidentale L., Staphylococcus aureus, antibakteri, kromatografi lapis tipis. Abstract: Cashew leaves have antibacterial activity against Gram positive and negative bacteria that are sensitive and multiresisten. The aim of this study is to determine the antibacterial activity of extracts and fractions of cashew leaf and determine the content of its compounds. The extraction method was performed by maceration using 96% ethanol. Fractionation of ethanol extract of cashew leaves was done partitioning method. Extract and fractions were tested for antibacterial activity using solid dilution method to observed levels of minimum inhibitory concentration (MIC). The results of the MIC continued to minimum bactericidal concentration (MBC). Analysis of the active constituent was carried by thin layer chromatography (TLC). The results showed that tehanol extract, chloroform fraction and ethyl acetate fraction has the power to kill the sensitive and multiresistant.staphylococcus, whereas for methanol-water fraction up to 2% levels showed no killing power against sensitive S. aureus and levels of 3% against the multiresistant Staphylococcus. The result of TLC test showed that the extract and fractions of cashew leaf contains alkaloids, flavonoids, essential oils, and phenols. Keywords: Anacardium occidentale L., Staphylococcus aureus, antibacterial, thin layer chromatography. * Penulis korespondensi, Hp. (0271) yuliana_ratna90@yahoo.com

100 104 RATNA ET AL. Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia PENDAHULUAN PENYAKIT infeksi masih merupakan penyebab utama tingginya angka kesakitan dan angka kematian pada negara-negara berkembang seperti Indonesia (1). Penyakit infeksi disebabkan oleh bakteri dimulai saat mikroorganisme memasuki tubuh inang, kemudian bereproduksi dan bereplikasi (2). Staphylococcus aureus merupakan salah satu bakteri patogen penyebab infeksi (3). S. aureus dapat menyebabkan infeksi pada tulang, sendi (4) dan infeksi nosokomial (5). Selama ini, antibiotik adalah pilihan utama dalam pengobatan dan penanggulangan infeksi pada pelayanan kesehatan. Jumlah dan jenis antibiotik yang digunakan dalam pengobatan infeksi yang semakin banyak dapat meningkatkan terjadinya resistensi terhadap berbagai antibiotik yang beredar. Faktor yang memudahkan terjadinya resistensi di pelayanan kesehatan, seperti: penggunaan antimikroba yang sering, penggunaan antimikroba yang irasional, penggunaan antimikroba baru yang berlebihan dan penggunaan antimikroba dalam jangka waktu lama (6). Kejadian resistensi ini harus ditanggulangi dengan mencari alternatif pilihan obat yang bersumber dari tanaman yang memberikan efek yang sama atau lebih baik dibanding antibiotik sintetik dengan efek samping sekecil mungkin agar perkembangan angka kejadian penyakit infeksi dapat ditekan jumlahnya. Salah satu tanaman yang mempunyai aktivitas antimikroba adalah jambu mete (Anacardium occidentale L.) (7) yang termasuk famili Anacardiaceae (8). Daun jambu mete mempunyai khasiat antibakteri (9), antijamur (10), antiradang dan penurun gula darah (8). Skrining fitokimia menunjukkan bahwa jambu mete mengandung fenol, flavonoid, steroid, triterpen, fenolik dan minyak atsiri (11,12), asam anakardat dan tatrol (13), saponin, tanin, alkaloid (14), steroid, triterpenoid dan glikosida (15). Ekstrak aseton kulit biji jambu mete memiliki kadar hambat minimum (KHM) terhadap methicillin sensitive S. aureus (ATCC 25923) sebesar 0,00024 µg/ml, sedangkan methicillin resistant S. aureus / MRSA ATCC sebesar 0,00375 µg/ml (16). Ekstrak etanol dan ekstrak aseton menunjukkan kemampuan aktivitas antibakteri terutama terhadap bakteri patogen seperti S. aureus, Pseudomonas aeruginosa, Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, Micrococcus luteus, dan Salmonella typhi (12). Ekstrak etanol daun jambu mete mampu menghambat pertumbuhan bakteri Streptococcus mutans, Shigella sonnei (17), K. pneumoniae (18), bakteri multiresisten seperti S. aureus, E. coli (19) dan P. aeruginosa (18). Berdasarkan penelitian tentang aktivitas antibakteri yang dimiliki oleh daun jambu mete, maka dilakukan penelitian ini yang bertujuan untuk mengetahui aktivitas antibakteri yang dimiliki oleh ekstrak dan fraksi-fraksi daun jambu mete terhadap S. aureus sensitif dan multiresisten dengan menggunakan metode dilusi padat dan mengetahui golongan senyawa yang memiliki aktivitas antibakteri. BAHAN DAN METODE BAHAN. Daun jambu mete, etanol 96% p.a., kloroform, metanol, air suling, bakteri Staphylococcus aureus sensitif dan resisten metisilin, Manitol Salt Agar (MSA), Mueller Hinton Agar (MHA), Brain Heart Infusion Broth (BHIB), cakram antibiotik ampisilin, kloramfenikol, tetrasiklin, eritromisin, cat Gram A, B, C, D, CMC-Na, rotary evaporator, waterbath, inkubator, Laminar Air Flow cabinet. METODE. Ekstraksi dan Fraksinasi. Ekstrak etanol daun jambu mete dibuat dengan metode maserasi. Perbandingan antara bahan dengan pelarut yang digunakan dalam maserasi yaitu 1:7,5. Maserasi dilakukan selama 5 hari terlindung dari cahaya. Kemudian disaring menggunakan corong Buchner, maserat ditampung lalu hasil ampasnya dimaserasi lagi sebanyak 2 kali dengan jumlah penyari yang sama. Hasil maserasi yang terkumpul diuapkan dengan menggunakan rotary evaporator dan waterbath sampai diperoleh ekstrak kental etanol daun jambu mete (19). Pada tahap fraksinasi, tiap 5 g ekstrak kental etanol dilarutkan dengan 25 ml metanol:air (1:1) lalu ditambah dengan penyari n-heksana dengan perbandingan 1:1 pada corong pisah, digojog hingga terpisah menjadi dua lapisan. Fraksi n-heksana diperoleh pada lapisan atas dan fraksi metanol-air pada lapisan bawah. Fraksi n-heksana ditampung kemudian fraksi metanol-air ditambahkan kloroform. Fraksi kloroform diperoleh pada lapisan bawah dan fraksi metanol-air pada lapisan atas. Fraksi metanol-air ditambahkan penyari etil asetat, dihasilkan fraksi etil asetat pada lapisan atas dan fraksi metanol-air pada lapisan bawah. Fraksinasi dengan tiap-tiap penyari dilakukan berkali-kali sampai jernih. Fraksi metanolair yang terkumpul kemudian dipekatkan dengan rotary evaporator sampai diperoleh fraksi metanolair yang kental. Fraksi metanol-air yang diperoleh dari hasil evaporasi ditampung pada cawan porselen kemudian diuapkan di atas penangas air dengan suhu C. Fraksi kental yang diperoleh digunakan untuk uji aktivitas antibakteri. Pembuatan Media. Banyaknya media yang ditimbang untuk tiap liternya untuk media MH adalah 38 g, media BHI sebanyak 37 g sedangkan media BHI dibuat dua kalinya yaitu 74 g. Media yang telah

101 Vol 14, 2016 Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia 105 dilarutkan kemudian disterilisasi basah. Identifikasi Bakteri. Pewarnaan Bakteri. Bakteri dicat dengan cat Gram A, B, C, dan D untuk mengidentifikasi jenis Gram bakteri. Identifikasi S. aureus. Bakteri digoreskan pada media manitol salt agar (MSA) dan diinkubasi pada suhu 37 C selama jam. Uji Sensitivitas Bakteri terhadap Antibiotik. Sebanyak 200 μl suspensi bakteri dengan konsentrasi 10 8 CFU/mL diinokulasi pada cawan petri berisi media MH dan beberapa cakram antibiotik yang diletakkan di atasnya (kloramfenikol, ampisilin, tetrasiklin, dan eritromisin), selanjutnya diinkubasi pada temperatur 37 C selama jam. Diameter zona hambat pada tiap-tiap cakram diukur dan dibandingkan dengan standar sensitifitas dan resistensi bakteri terhadap masing-masing antibiotik. Pembuatan Larutan Stok dan Seri Konsentrasi Ekstrak dan Fraksi-Fraksi Ekstrak Etanol Daun Jambu Mete. Stok dibuat dengan mensuspensikan sejumlah ekstrak, fraksi-fraksi ke dalam CMC-Na 0,5%. Larutan stok dibuat seri konsentrasi untuk bakteri S. aureus sensitif dan multiresisten. Tiap konsentrasi ditambah CMC-Na 0,5% sampai 1 ml, ditambah media MH sampai 5 ml. Uji Aktivitas Antibakteri dengan Metode Dilusi Padat. Berdasarkan seri konsentrasi yang telah dibuat, dan media MH yang telah dicampur ekstrak dan fraksifraksi telah padat, sebanyak 50 µl suspensi bakteri yang setara dengan 10 6 CFU/mL diteteskan dengan Ose steril dan diinkubasi 37 C selama jam. Kemudian diamati pertumbuhan bakterinya. Kadar dimana tidak terlihat adanya pertumbuhan bakteri disebut Kadar Hambat Minimum (KHM). Pengujian aktivitas antibakteri direplikasi tiga kali. Konsentrasi yang ditetapkan sebagai KHM tersebut dikultur ulang untuk menentukan KBM. Bakteri yang tidak terlihat secara visual pada media diambil dengan Ose, lalu digoreskan pada media Mueller-Hinton tanpa penambahan mikroba uji. Semua tabung diinkubasikan pada suhu 37 C selama jam, kemudian diamati. KBM ditentukan oleh konsentrasi terkecil dimana tidak terjadi pertumbuhan koloni bakteri S. aureus sensitif dan multiresisten yang ditandai dengan media tetap terlihat jernih setelah diinkubasi. Uji Kromatografi Lapis Tipis (KLT). Kromatografi lapis tipis merupakan metode pemisahan fisikokimia. Metode ini menggunakan plat KLT silika gel GF 254. Ekstrak etanol dan fraksi-fraksi daun jambu mete ditimbang dan dilarutkan dengan etanol 96%. 2 μl sampel ditotolkan pada plat silika GF 254, ditunggu hingga totolan kering dan dielusi menggunakan fase gerak yang cocok. Bercak dideteksi dengan uap amonia serta beberapa pereaksi semprot seperti FeCl3, Dragendorff, dan anisaldehid-h2so4 (20), dan divisualisasikan di bawah sinar tampak, UV 254 nm dan UV 366 nm (21). HASIL DAN PEMBAHASAN Fraksinasi. Fraksinasi ekstrak etanol daun jambu mete dilakukan dengan metode partisi. Metode ini didasarkan pada perbedaan kelarutan tiap-tiap pelarut. Senyawa-senyawa yang terkandung di dalam ekstrak akan cenderung terdistribusi dan terpartisi ke dalam pelarut tergantung dari sifat kelarutannya (22). Metode ini relatif mudah dilakukan dan sangat efektif sebagai langkah pertama untuk memisahkan ekstrak alami. Ekstrak etanol dilarutkan dengan pelarut metanol:air (1:1), kemudian dipartisi secara berturut-turut menggunakan pelarut n-heksan, kloroform dan etil asetat. Filtrat dari ekstrak dan fraksi-fraksi dipekatkan dengan rotary evaporator. Ekstrak etanol daun jambu mete sebanyak 132 g difraksinasi dan didapatkan rendemen fraksi kloroform sebanyak 0,74%, fraksi etil asetat 14,96% dan fraksi polar sebanyak 51,36%. Identifikasi Bakteri. Pewarnaan Bakteri. Pewarnaan Gram merupakan metode identifikasi bakteri berdasarkan perbedaan komposisi dinding sel bakteri (23). Hasil pengecatan menunjukkan bakteri S. aureus merupakan bakteri Gram positif yang mengikat cat Gram pertama (cat Gram A). Bakteri ini berwarna ungu, berbentuk bulat dan bulat bergerombol (Gambar 1). Bakteri Gram positif memiliki dinding yang lebih sederhana dengan jumlah peptidogikan yang relatif lebih banyak sedangkan bakteri Gram negatif memiliki peptidoglikan lebih sedikit dan dengan struktur yang lebih kompleks (23). Gambar 1. Hasil pengecatan Gram S. aureus. Identifikasi S. aureus. S. aureus yang diidentifikasi dengan media Manitol Salt Agar (MSA) menunjukkan hasil positif (+). Hasil ini ditandai dengan perubahan warna dari merah menjadi kuning (Gambar 2). Perubahan warna pada media menunjukkan kemampuan fermentasi manitol oleh S. aureus yang menghasilkan asam (24). Uji Sensitivitas Bakteri terhadap Antibiotik. Uji sensitivitas dilakukan untuk mengetahui bakteri bersifat sensititf atau resisten terhadap beberapa

102 106 RATNA ET AL. Kontrol MSA S. aureus Gambar 2. Hasil uji Manitol Salt Agar (MSA). antibiotik. Uji sensitivitas dilakukan dengan metode difusi Kirby-Bauer. Zona hambat yang terlihat disekitar disk diukur dan dibandingkan dengan interpretasi diameter zona hambatan (25). Hasil uji sensitivitas menunjukkan S. aureus bersifat resisten terhadap ampisilin (Amp), eritromisin (E) dan tetrasiklin (TE) dengan zona hambat masing-masing sebesar 12, 13 dan 9 mm, sedangkan pada kloramfenikol (C) zona hambatnya 22 mm sehingga S. aureus bersifat sensitif terhadap kloramfenikol. Selain itu, bakteri S. aureus bersifat sensitif terhadap antibiotik kloramfenikol (C), eritromisin (E) dan tetrasiklin (TE) yang ditunjukkan dengan diameter zona hambat berturut-turut yaitu 21, 23 dan 18 mm, serta bersifat resisten terhadap antibiotik ampisilin dengan zona hambat 12 mm (Tabel 1). Bakteri S. aureus dinyatakan bersifat multiresisten jika bersifat resisten terhadap lebih dari dua antibiotik. Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia Bakteri resisten terhadap penisilin karena adanya enzim β-laktamase yang menghidrolisis cincin β-laktam dan meniadakan aktivitas antibakterinya (3). Resistensi bakteri pada eritromisin terjadi akibat mutasi pada target antibiotik (2), sedangkan pada tetrasiklin disebabkan karena perubahan permeabilitas dinding sel (3). Uji Aktivitas Antibakteri dengan Metode Dilusi Padat. Metode yang digunakan dalam uji aktivitas antibakteri adalah metode dilusi padat. Kontrol yang digunakan sebagai pembanding hasil uji aktivitas antibakteri adalah kontrol media, bakteri dan suspending agent. Kontrol media berisi media MH bertujuan untuk memastikan tidak ada kontaminasi mikroorganisme. Kontrol bakteri untuk mengetahui pertumbuhan bakteri pada media dan kontrol suspending agent untuk mengetahui ada tidaknya aktivitas antibakteri suspending agent yang digunakan (CMC-Na 0,5%). Ekstrak, fraksi koroform dan fraksi etil asetat daun jambu mete memiliki KBM terhadap bakteri S. aureus sensitif maupun multiresisten. Pada fraksi metanolair tidak dapatkan KBM terhadap S. aureus sensitif hingga 2% dan 3% terhadap S. aureus multiresisten (Tabel 6 Gambar 3). Hal ini mungkin dikarenakan kurangnya senyawa yang tersari dalam fraksi metanolair yang dapat berfungsi sebagai antibakteri. Aktivitas antibakteri ekstrak maupun fraksifraksi daun jambu mete lebih poten pada bakteri S. aureus sensitif dibandingkan dengan S. aureus Tabel 1. Hasil uji sensitivitas bakteri S. aureus sensitif dan S. aureus mutiresisten. S MR S MR S MR S MR Ekstrak etanol Fraksi kloroform Fraksi etil asetat Fraksi metanol-air Gambar 3. Hasil KBM ekstrak dan fraksi-fraksi daun jambu mete. (S = S. aureus sensitif, MR = S. aureus multiresisten).

103 Vol 14, 2016 Tabel 2. Konsentrasi bunuh minimum (KBM) ekstrak etanol daun jambu mete. Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia 107 Tabel 3. Konsentrasi bunuh minimum (KBM) fraksi kloroform daun jambu mete. Tabel 4. Konsentrasi bunuh minimum (KBM) fraksi etil asetat daun jambu mete. Tabel 5. Konsentrasi bunuh minimum (KBM) fraksi metanol-air daun jambu mete. Tabel 6. Perbandingan KBM ekstrak dan fraksi-fraksi daun jambu mete. multiresisten. Mikroba yang semula peka, dapat berubah sifat genetiknya menjadi tidak peka (resisten) atau kurang peka. Kebanyakan resistensi antibiotika terjadi akibat mutasi atau transfer horizontal gen yang membawa sifat resisten. Mutasi terjadi secara acak, spontan dan tidak tergantung dari adanya antimikroba. Mutasi terjadi bila terdapat kekeliruan dalam proses replikasi DNA yang luput untuk diperbaiki oleh sistem perbaikan DNA (26). Uji Kromatografi Lapis Tipis (KLT). Uji kromatografi lapis tipis (KLT) dilakukan untuk mengetahui kandungan senyawa yang terdapat dalam ekstrak etanol dan fraksi-fraksi daun jambu mete yang memiliki aktivitas antibakteri. Identifikasi kandungan senyawa dengan menggunakan KLT dapat dilakukan dengan pereaksi semprot, fluoresensi atau dengan radiasi menggunakan sinar UV (27). Fase diam yang digunakan dalam analisis adalah silika GF 254 nm. Fase gerak yang digunakan untuk ekstrak etanol fraksi etil asetat adalah n-heksana : etil asetat (3:2), fase gerak n-heksan-etil asetat (2:3) untuk fraksi kloroform dan fase gerak etil asetat : metanol : air (100:13,5:10) untuk

104 108 RATNA ET AL. Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia Tabel 7. Hasil KLT ekstrak etanol daun jambu monyet dengan fase gerak n-heksana : etil asetat (3:2). Keterangan : Alk = alkaloid; F = fenol; Flv = flavonoid. fraksi polar. Fase gerak tersebut merupakan fase gerak yang menunjukkan pemisahan terbaik diantara fase gerak yang telah diuji sebelumnya. Pereaksi semprot yang digunakan untuk mendeteksi kandungan senyawa pada ekstrak etanol daun jambu mete adalah anisaldehid-h 2 SO 4, FeCl 3, uap amonia, dan Dragendorff. Setelah dilakukan penyemprotan terlihat bercak pada hrf 2, 22, 58, 73, 83, 92 dan 97. Hasil analisis KLT ekstrak etanol daun jambu mete menunjukkan adanya senyawa alkaloid, flavonoid, minyak atsiri, dan fenol (Tabel 7). Pada uji KLT fraksi kloroform, nilai hrf yang didapat yaitu 30, 34, 41, 58, 80 dan 85. Senyawa yang diduga terdapat pada fraksi kloroform adalah fenol (28), flavonoid (29) dan Tabel 8. Hasil KLT fraksi kloroform ekstrak etanol daun jambu mete dengan fase gerak n-heksan-etil asetat (2:3) Keterangan C = cokelat; U = ungu; H = hijau; K = kuning; B = biru tua; M = merah. Tabel 9. Hasil KLT fraksi etil asetat ekstrak etanol daun jambu mete dengan fase gerak n-heksana-etil asetat (3:2). Keterangan : ANS = Anisaldehid; DRG = Dragendorff; LB = Lierberman-Bourchardat; U = ungu; H = hijau; Mm = merah muda; C = cokelat; P = putih; K = kuning; Bt = biru tua; O = oranye; Hm = hijau muda.

105 Vol 14, 2016 Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia 109 Tabel 10. Hasil KLT fraksi metanol-air ekstrak etanol daun jambu mete dengan fase gerak etil asetat:metanol:air (100:13,5:10). alkaloid (Tabel 8) (10). Hasil uji KLT fraksi etil asetat menggunakan deteksi UV 366 nm terlihat bercak pada hrf 0, 10, 18, 20, 40, 54, 64 dan 80. Pereaksi semprot yang digunakan antara lain Anisaldehid, Dragendroff, FeCl 3, Lieberman-Bouchardat dan Sitroborat. Kandungan senyawa yang terdapat dalan fraksi etil asetat daun jambu mete adalah tanin (polifenol) dan flavonoid (Tabel 9). Hasil analisis KLT fraksi metanol-air menunjukkan adanya fenol, flavonoid. Pada pengamatan UV 254nm terlihat empat bercak pada hrf 0, 54, 76, 90. Sedangkan pada deteksi UV 366nm nampak satu bercak berwarna merah pada hrf 90 (Tabel 10). Menurut Wagner dan Bladt (31), senyawa alkaloid ditunjukkan dengan adanya pemadaman pada UV 254 nm untuk beberapa alkaloid serta adanya fluoresensi biru, hijau biru dan kuning dari beberapa alkaloid pada UV 365 nm. Pada pereaksi Dragendorff ditandai dengan bercak yang dihasilkan berwarna coklat atau orange kecoklatan. Senyawa flavonoid pada UV 366 berflouresensi warna kuning, hijau atau biru (30). Senyawa flavonol memberikan warna kuning pucat dan dilihat pada UV berwarna kuning terang (31). Hasil deteksi dengan menggunakan pereaksi FeCl 3 menunjukkan adanya bercak berwana hitam. Bercak hitam yang timbul menunjukkan adanya kandungan fenol. Selain warna hitam, warna bercak berwarna hijau, merah, ungu, dan biru yang timbul setelah penyemprotan FeCl 3 juga merupakan penanda adanya minyak atsiri (32). Senyawa alkaloid ditunjukkan dengan pemadaman pada UV 254 nm serta adanya fluoresensi biru, hijau biru dan kuning dari beberapa alkaloid pada UV 366 nm. Senyawa alkaloid ini dapat ditunjukkan dengan pereaksi Dragendorff berwarna coklat atau orange kecoklatan. Pereaksi anisaldehid-h 2 SO4 digunakan untuk mendeteksi triterpenoid, ditandai dengan bercak berwarna biru, ungu, merah. Lieberman-Burchard untuk mendeteksi senyawa terpen dengan menunjukkan warna merah kecoklatan (30). Senyawa tanin (polifenol) dideteksi dengan FeCl3 menghasilkan visual biru, biru kehitaman, hijau dan hitam (31). SIMPULAN Ekstrak etanol, fraksi kloroform, dan fraksi etil asetat mempunyai daya bunuh terhadap S. aureus sensitif dan multiresisten, sedangkan untuk fraksi metanolair sampai kadar 2% tidak menunjukkan daya bunuh terhadap S. aureus sensitif dan kadar 3% terhadap S. aureus multiresisten. Kandungan senyawa yang terdapat dalam ekstrak dan fraksi-fraksi daun jambu mete adalah alkaloid, flavonoid, minyak atsiri dan fenol. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih ditujukan kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DITJEN DIKTI) yang telah mendanai penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA 1. Darmadi. Infeksi nosokomial problematika dan pengendaliannya. Jakarta: Penerbit Salemba Medika; Pratiwi ST. Mikrobiologi farmasi. Jakarta: Penerbit Erlangga; , Jawetz E, Melnick JL, Adelberg EA. Mikrobiologi kedokteran. Edisi XXII. Diterjemahkan oleh Bagian Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Jakarta: Penerbit Salemba Medika; , 235, 323, Dohin B, Gillet Y, Kohler R. Pediatric bone and joint infections caused by panton-valentine leukocidinpositive Staphylococcus aureus. Pediatr Infect Dis J : Naimi TS, LeDell KH, Como-Sabetti K, Borchardt SM. Comparison of community and health care associated methicillin resistant Staphylococcus aureus infection. JAMA : Setiabudy R. Farmakologi dan terapi. Edisi 5. Jakarta: UI Press; , Saidu AN, Akanya HO, Dauda BEN, Ogbadoyi EO. Antibacterial and comparative hypoglycemic effect of Anacardium occidentale leaves. International Research Journal of Biochemistry and Bioinformatics.

Penentuan Kadar Genistein dan Aktivitas Hambatan Tirosinase Kedelai (Glycine max) Terfermentasi Aspergillus oryzae

Penentuan Kadar Genistein dan Aktivitas Hambatan Tirosinase Kedelai (Glycine max) Terfermentasi Aspergillus oryzae JURNAL ILMU KEFARMASIAN INDONESIA, April 2016, hlm. 1-7 ISSN 1693-1831 Vol. 14, No. 1 Penentuan Kadar Genistein dan Aktivitas Hambatan Tirosinase Kedelai (Glycine max) Terfermentasi Aspergillus oryzae

Lebih terperinci

ABSTRAK. EFEK ANTIMIKROBA EKSTRAK ETANOL BAWANG PUTIH (Allium sativum Linn.) TERHADAP Staphylococcus aureus DAN Escherichia coli SECARA IN VITRO

ABSTRAK. EFEK ANTIMIKROBA EKSTRAK ETANOL BAWANG PUTIH (Allium sativum Linn.) TERHADAP Staphylococcus aureus DAN Escherichia coli SECARA IN VITRO ABSTRAK EFEK ANTIMIKROBA EKSTRAK ETANOL BAWANG PUTIH (Allium sativum Linn.) TERHADAP Staphylococcus aureus DAN Escherichia coli SECARA IN VITRO Maysella Suhartono Tjeng, 2011 Pembimbing: Yenni Limyati,

Lebih terperinci

PERBANDINGAN EFEK FRAKSI

PERBANDINGAN EFEK FRAKSI ABSTRAK PERBANDINGAN EFEK FRAKSI n-heksana DAN FRAKSI ETIL ASETAT Phyllanthus niruri L HERBA TERHADAP PERSENTASE EOSINOFIL PADA APUS DARAH MENCIT DENGAN DERMATITIS ALERGIKA DAN UJI KUALITATIF SENYAWA AKTIF

Lebih terperinci

ABSTRAK PENGARUH BAKTERI PROBIOTIK TERHADAP PERTUMBUHAN BAKTERI INTESTINAL SECARA IN VITRO

ABSTRAK PENGARUH BAKTERI PROBIOTIK TERHADAP PERTUMBUHAN BAKTERI INTESTINAL SECARA IN VITRO ABSTRAK PENGARUH BAKTERI PROBIOTIK TERHADAP PERTUMBUHAN BAKTERI INTESTINAL SECARA IN VITRO Mikael Aditya, 2012, Pembimbing I : Fanny Rahardja, dr., M.Si Pembimbing II : Lisawati Sadeli, dr., M.Kes Gangguan

Lebih terperinci

ABSTRAK. Christina Melissa Siswanto, Pembimbing I : Fen Tih, dr., M.Kes. Pembimbing II : Dr. Meilinah Hidayat, dr., M.Kes.

ABSTRAK. Christina Melissa Siswanto, Pembimbing I : Fen Tih, dr., M.Kes. Pembimbing II : Dr. Meilinah Hidayat, dr., M.Kes. ABSTRAK PERBANDINGAN EFEK EKSTRAK ETANOL, EKSTRAK PROTEIN BIJI KEDELAI DAN FRAKSI ETIL ASETAT TEMPE KEDELAI DETAM 1 TERHADAP KADAR KOLESTEROL TOTAL SERUM MENCIT GALUR Balb-C JANTAN Christina Melissa Siswanto,

Lebih terperinci

ABSTRAK. EFEK INHIBISI EKSTRAK ETANOL BATANG KAYU MANIS (Cinnamomum burmanni) TERHADAP PERTUMBUHAN BAKTERI Salmonella Typhi SECARA In Vitro

ABSTRAK. EFEK INHIBISI EKSTRAK ETANOL BATANG KAYU MANIS (Cinnamomum burmanni) TERHADAP PERTUMBUHAN BAKTERI Salmonella Typhi SECARA In Vitro ABSTRAK EFEK INHIBISI EKSTRAK ETANOL BATANG KAYU MANIS (Cinnamomum burmanni) TERHADAP PERTUMBUHAN BAKTERI Salmonella Typhi SECARA In Vitro Lili Oktavia. S, 2014. Pembimbing I : Johan Lucianus, dr., M.Si.

Lebih terperinci

ABSTRAK. Ivanna Susanty, 2011 Pembimbing I : Dr. Meilinah Hidayat, dr., M.Kes Pembimbing II : Fen Tih, dr., M.Kes

ABSTRAK. Ivanna Susanty, 2011 Pembimbing I : Dr. Meilinah Hidayat, dr., M.Kes Pembimbing II : Fen Tih, dr., M.Kes ABSTRAK PERBANDINGAN EFEK EKSTRAK ETANOL DAN EKSTRAK PROTEIN BIJI KEDELAI, SERTA FRAKSI ETIL ASETAT TEMPE KEDELAI Detam I TERHADAP TRIGLISERIDA SERUM MENCIT Balb/C JANTAN Ivanna Susanty, 2011 Pembimbing

Lebih terperinci

ABSTRAK. Pembimbing I : Widura, dr., MS. Pembimbing II : Yenni Limyati, dr., Sp.KFR., S.Sn., M.Kes. Selly Saiya, 2016;

ABSTRAK. Pembimbing I : Widura, dr., MS. Pembimbing II : Yenni Limyati, dr., Sp.KFR., S.Sn., M.Kes. Selly Saiya, 2016; ABSTRAK Efek Antimikroba Ekstrak Etanol Daun Miana (Coleus atropurpureus Benth.) Terhadap Staphylococcus aureus Dan Streptococcus pyogenes Secara In Vitro Selly Saiya, 2016; Pembimbing I : Widura, dr.,

Lebih terperinci

PENENTUAN AKTIVITAS ANALGESIK SENYAWA O-(3- KLOROBENZOIL) PARASETAMOL TERHADAP MENCIT (MUS MUSCULUS) DENGAN METODE PANAS (HOT PLATE)

PENENTUAN AKTIVITAS ANALGESIK SENYAWA O-(3- KLOROBENZOIL) PARASETAMOL TERHADAP MENCIT (MUS MUSCULUS) DENGAN METODE PANAS (HOT PLATE) PENENTUAN AKTIVITAS ANALGESIK SENYAWA O-(3- KLOROBENZOIL) PARASETAMOL TERHADAP MENCIT (MUS MUSCULUS) DENGAN METODE PANAS (HOT PLATE) FRISCA ANGGRAINI 2443008010 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA

Lebih terperinci

OPTIMASI KONSENTRASI PELARUT EKSTRAKSI EUGENOL. DARI RIMPANG LENGKUAS (Alpinia galanga L. Willd) TUGAS AKHIR

OPTIMASI KONSENTRASI PELARUT EKSTRAKSI EUGENOL. DARI RIMPANG LENGKUAS (Alpinia galanga L. Willd) TUGAS AKHIR OPTIMASI KONSENTRASI PELARUT EKSTRAKSI EUGENOL DARI RIMPANG LENGKUAS (Alpinia galanga L. Willd) TUGAS AKHIR Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Ahli Madya D3 Farmasi Oleh: Nur

Lebih terperinci

PENGHAMBATAN EKSTRAK BUBUK TEH HIJAU TERHADAP PERTUMBUHAN BAKTERI YOGURT DAN BAKTERI PATOGEN SKRIPSI

PENGHAMBATAN EKSTRAK BUBUK TEH HIJAU TERHADAP PERTUMBUHAN BAKTERI YOGURT DAN BAKTERI PATOGEN SKRIPSI PENGHAMBATAN EKSTRAK BUBUK TEH HIJAU TERHADAP PERTUMBUHAN BAKTERI YOGURT DAN BAKTERI PATOGEN SKRIPSI OLEH: MIRAH 6103007062 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UNIVERSITAS KATOLIK

Lebih terperinci

ABSTRAK. EFEK ANTIBAKTERI EKSTRAK ETANOL BUNGA ROSELLA (Hibiscus sabdariffa Linn) TERHADAP Staphylococcus aureus SECARA IN VITRO

ABSTRAK. EFEK ANTIBAKTERI EKSTRAK ETANOL BUNGA ROSELLA (Hibiscus sabdariffa Linn) TERHADAP Staphylococcus aureus SECARA IN VITRO ABSTRAK EFEK ANTIBAKTERI EKSTRAK ETANOL BUNGA ROSELLA (Hibiscus sabdariffa Linn) TERHADAP Staphylococcus aureus SECARA IN VITRO Gabriella, 2014 Pembimbing : Roro Wahyudianingsih, dr., SpPA Indonesia merupakan

Lebih terperinci

ABSTRAK. Mona Agustina 2012, Pembimbing I : Fanny Rahardja, dr., M.Si Pembimbing II : Rita Tjokropranoto, dr., M.Sc

ABSTRAK. Mona Agustina 2012, Pembimbing I : Fanny Rahardja, dr., M.Si Pembimbing II : Rita Tjokropranoto, dr., M.Sc ABSTRAK PERBANDINGAN EFEK ANTIBAKTERI AIR PERASAN DAUN JAMBU BIJI (Psidium guajava) DAN DAUN SIRIH (Piper betle Lynn) TERHADAP BAKTERI PENYEBAB GASTROENTERITIS AKUT (Escherichia coli) SECARA IN VITRO Mona

Lebih terperinci

ABSTRAK. PENGARUH EKSTRAK ETANOL DAUN JAMBU BIJI (Psidium guajava Linn.) TERHADAP KADAR KOLESTEROL TOTAL TIKUS Wistar JANTAN

ABSTRAK. PENGARUH EKSTRAK ETANOL DAUN JAMBU BIJI (Psidium guajava Linn.) TERHADAP KADAR KOLESTEROL TOTAL TIKUS Wistar JANTAN ABSTRAK PENGARUH EKSTRAK ETANOL DAUN JAMBU BIJI (Psidium guajava Linn.) TERHADAP KADAR KOLESTEROL TOTAL TIKUS Wistar JANTAN Dyota Sulia Mutiari, 2014 Pembimbing I : Dr. Sugiarto Puradisastra dr., M. Kes.

Lebih terperinci

EFEK EKSTRAK ETANOL ALSTONIA SCHOLARIS (KULIT KAYU PULAI) TERHADAP PENURUNAN GLUKOSA DARAH MENCIT BETINA GALUR SWISS WEBSTER YANG DIINDUKSI ALOKSAN

EFEK EKSTRAK ETANOL ALSTONIA SCHOLARIS (KULIT KAYU PULAI) TERHADAP PENURUNAN GLUKOSA DARAH MENCIT BETINA GALUR SWISS WEBSTER YANG DIINDUKSI ALOKSAN ABSTRAK EFEK EKSTRAK ETANOL ALSTONIA SCHOLARIS (KULIT KAYU PULAI) TERHADAP PENURUNAN GLUKOSA DARAH MENCIT BETINA GALUR SWISS WEBSTER YANG DIINDUKSI ALOKSAN Yovita Stevina, 2009. Pembimbing : Diana Krisanti

Lebih terperinci

STUDI FITOKIMIA DAN POTENSI ANTIOKSIDAN EKSTRAK DAN FRAKSI KAYU MANIS (CINNAMOMUM SP.) DENGAN METODE PERKOLASI YOANITA EUSTAKIA NAWU

STUDI FITOKIMIA DAN POTENSI ANTIOKSIDAN EKSTRAK DAN FRAKSI KAYU MANIS (CINNAMOMUM SP.) DENGAN METODE PERKOLASI YOANITA EUSTAKIA NAWU STUDI FITOKIMIA DAN POTENSI ANTIOKSIDAN EKSTRAK DAN FRAKSI KAYU MANIS (CINNAMOMUM SP.) DENGAN METODE PERKOLASI YOANITA EUSTAKIA NAWU 2443012090 PROGRAM STUDI S1 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA

Lebih terperinci

RINGKASAN. (Centella asiatica [L.] Urban) Terhadap Jumlah Sel Cerebrum Yang. Mengalami Apoptosis Pada Tikus Putih (Rattus norvegicus).

RINGKASAN. (Centella asiatica [L.] Urban) Terhadap Jumlah Sel Cerebrum Yang. Mengalami Apoptosis Pada Tikus Putih (Rattus norvegicus). RINGKASAN Dodik Prasetyo. Pengaruh Pemberian Ekstrak Daun Pegagan (Centella asiatica [L.] Urban) Terhadap Jumlah Sel Cerebrum Yang Mengalami Apoptosis Pada Tikus Putih (Rattus norvegicus). Di bawah bimbingan

Lebih terperinci

THE STUDY OF CAROTENOID AND ANTIOXIDANT ACTIVITY OF MELINJO PEEL (Gnetum ghemon L)

THE STUDY OF CAROTENOID AND ANTIOXIDANT ACTIVITY OF MELINJO PEEL (Gnetum ghemon L) THE STUDY OF CAROTENOID AND ANTIOXIDANT ACTIVITY OF MELINJO PEEL (Gnetum ghemon L) Melanie Cornelia )*, Tagor Siregar ), Ermiziar 3) ) Food Technology Department, Universitas Pelita Harapan, Tangerang

Lebih terperinci

ABSTRAK. Antonius Budi Santoso, Pembimbing I: Sylvia Soeng, dr. M.Kes. Pembimbing II: Sri Utami Sugeng, Dra., M.Kes.

ABSTRAK. Antonius Budi Santoso, Pembimbing I: Sylvia Soeng, dr. M.Kes. Pembimbing II: Sri Utami Sugeng, Dra., M.Kes. ABSTRAK PENGARUH PEMBERIAN TEPUNG TEMPE KEDELAI (Glycine max (L.) Merrill) SELAMA MASA PREPUBERTALTERHADAP VIABILITAS SPERMATOZOA MENCIT JANTAN GALUR SWISS WEBSTER Antonius Budi Santoso, 2007. Pembimbing

Lebih terperinci

PERBEDAAN JENIS PELARUT TERHADAP KEMAMPUAN EKSTRAK DAUN BELUNTAS

PERBEDAAN JENIS PELARUT TERHADAP KEMAMPUAN EKSTRAK DAUN BELUNTAS PERBEDAAN JENIS PELARUT TERHADAP KEMAMPUAN EKSTRAK DAUN BELUNTAS (Pluchea indica Less.) DALAM MENGHAMBAT OKSIDASI GULA DENGAN METODE DNS (asam 3,5-dinitrosalisilat) SKRIPSI OLEH: RIBKA STEFANIE WONGSO

Lebih terperinci

ABSTRAK PENGARUH KALSIUM TERHADAP KADAR KOLESTEROL DARAH TIKUS WISTAR JANTAN YANG DIBERI DIET TINGGI LEMAK

ABSTRAK PENGARUH KALSIUM TERHADAP KADAR KOLESTEROL DARAH TIKUS WISTAR JANTAN YANG DIBERI DIET TINGGI LEMAK ABSTRAK PENGARUH KALSIUM TERHADAP KADAR KOLESTEROL DARAH TIKUS WISTAR JANTAN YANG DIBERI DIET TINGGI LEMAK Andry Setiawan Lim, 2012, Pembimbing I : Dr. Meilinah Hidayat, dr., M.Kes. Pembimbing II: Sijani

Lebih terperinci

PADA RADANG KRONIS. INDUCTION OF Vitis vinifera EXTRACT AGAINST IFN-γ EXPRESSION IN CHRONIC INFLAMMATION ABSTRACT

PADA RADANG KRONIS. INDUCTION OF Vitis vinifera EXTRACT AGAINST IFN-γ EXPRESSION IN CHRONIC INFLAMMATION ABSTRACT INDUKSI EKSTRAK ANGGUR (Vitis vinifera) TERHADAP EKSPRESI IFN-γ PADA RADANG KRONIS INDUCTION OF Vitis vinifera EXTRACT AGAINST IFN-γ EXPRESSION IN CHRONIC INFLAMMATION ABSTRACT Background : Wound is a

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata kunci: HDL, ekstrak etanol, ekstrak protein, fraksi etil asetat, kedelai.

ABSTRAK. Kata kunci: HDL, ekstrak etanol, ekstrak protein, fraksi etil asetat, kedelai. ABSTRAK PERBANDINGAN EFEK EKSTRAK ETANOL, EKSTRAK PROTEIN BIJI KEDELAI DAN FRAKSI ETIL ASETAT TEMPE KEDELAI Detam 1 TERHADAP KADAR HDL SERUM MENCIT GALUR Balb/C JANTAN Allen Albert Pelapelapon, 2011. Pembimbing

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata Kunci : Streptococcus mutans, avokad, in vitro.

ABSTRAK. Kata Kunci : Streptococcus mutans, avokad, in vitro. ABSTRAK Kesehatan gigi dan mulut sangat erat hubungannya dengan penyakit penyakit infeksi. Streptococcus mutans merupakan salah satu penyebab utama infeksi di dalam rongga mulut. Berdasarkan penelitian

Lebih terperinci

ABSTRAK. EFEK ANTIMIKROBA EKSTRAK ETANOL DAUN SALAM (Syzygium polyanthum) TERHADAP Escherichia coli DAN Bacillus subtilis SECARA IN VITRO

ABSTRAK. EFEK ANTIMIKROBA EKSTRAK ETANOL DAUN SALAM (Syzygium polyanthum) TERHADAP Escherichia coli DAN Bacillus subtilis SECARA IN VITRO ABSTRAK EFEK ANTIMIKROBA EKSTRAK ETANOL DAUN SALAM (Syzygium polyanthum) TERHADAP Escherichia coli DAN Bacillus subtilis SECARA IN VITRO Vanny Setiawan, 2014; dr. Penny Setyawati Martioso, SpPK., M.Kes

Lebih terperinci

ABSTRAK. POTENSI BIJI ASAM JAWA (Tamarindus indica) SEBAGAI BAHAN BAKU ALTERNATIF BIODIESEL

ABSTRAK. POTENSI BIJI ASAM JAWA (Tamarindus indica) SEBAGAI BAHAN BAKU ALTERNATIF BIODIESEL ABSTRAK POTENSI BIJI ASAM JAWA (Tamarindus indica) SEBAGAI BAHAN BAKU ALTERNATIF BIODIESEL Produksi minyak bumi mengalami penurunan berbanding terbalik dengan penggunaannya yang semakin meningkat setiap

Lebih terperinci

PENGUJIAN DAYA ANTIBAKTERI DESTILAT CARYOPHYLLI FOLIUM TERHADAP STAPHYLOCOCCUS AUREUS DAN STREPTOCOCCUS MUTANS

PENGUJIAN DAYA ANTIBAKTERI DESTILAT CARYOPHYLLI FOLIUM TERHADAP STAPHYLOCOCCUS AUREUS DAN STREPTOCOCCUS MUTANS PENGUJIAN DAYA ANTIBAKTERI DESTILAT CARYOPHYLLI FOLIUM TERHADAP STAPHYLOCOCCUS AUREUS DAN STREPTOCOCCUS MUTANS SELVI WIDYA ASTUTI 2443005102 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA MANDALA SURABAYA

Lebih terperinci

EVALUASI AKTIVITAS ANTIOKSIDAN EKSTRAK DAGING BUAH DAN KULIT BUAH MANGGIS (Garcinia Mangostana, Linn.) PADA BERAGAM SUHU DAN WAKTU PENYIMPANAN

EVALUASI AKTIVITAS ANTIOKSIDAN EKSTRAK DAGING BUAH DAN KULIT BUAH MANGGIS (Garcinia Mangostana, Linn.) PADA BERAGAM SUHU DAN WAKTU PENYIMPANAN EVALUASI AKTIVITAS ANTIOKSIDAN EKSTRAK DAGING BUAH DAN KULIT BUAH MANGGIS (Garcinia Mangostana, Linn.) PADA BERAGAM SUHU DAN WAKTU PENYIMPANAN EVALUATION OF ANTIOXIDANT ACTIVITY FROM MANGOSTEEN PULP AND

Lebih terperinci

ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga RINGKASAN. Dwi Aprilia Anggraini. Gambaran Mikroskopis Sel Astrosit dan Sel

ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga RINGKASAN. Dwi Aprilia Anggraini. Gambaran Mikroskopis Sel Astrosit dan Sel 57 RINGKASAN Dwi Aprilia Anggraini. Gambaran Mikroskopis Sel Astrosit dan Sel Piramid Cerebrum pada Tikus Putih (Rattus novergicus) Galur Wistar Setelah Pemberian Ekstrak Etanol Daun Pegagan (Centella

Lebih terperinci

Anthony Wibowo K, 2011 Pembimbing Utama : Djusena, dr, AIF Pembimbing Pendamping : Dr. Sugiarto Puradisastra,dr, M.kes

Anthony Wibowo K, 2011 Pembimbing Utama : Djusena, dr, AIF Pembimbing Pendamping : Dr. Sugiarto Puradisastra,dr, M.kes ABSTRAK EFEK EKSTRAK ETANOL DAGING BUAH SALAK PONDOH (Salacca edulis Reinw.) SEBAGAI ANTIDIARE PADA MENCIT SWISS WEBSTER JANTAN YANG DIINDUKSI OLEUM RICINI Anthony Wibowo K, 2011 Pembimbing Utama : Djusena,

Lebih terperinci

ADLN PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA DEWI ASRI SETYANINGRUM

ADLN PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA DEWI ASRI SETYANINGRUM DEWI ASRI SETYANINGRUM PERBANDINGAN BASIL REAKSI KNOEVENAGEL PADA SINTESIS ASAM SINAMA T DAN ASAM-3,4-METILENDIOKSI SINAMA T FAKUL T AS F ARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA BAGIAN KIMIA FARMASI SURABAYA 2003

Lebih terperinci

ABSTRAK. Meigi Suwarto, 2013 : dr. Kartika Dewi, M.Kes. Sp.Ak.PA (K) : dr. Jeanny Ervie Ladi, M.Kes., PA

ABSTRAK. Meigi Suwarto, 2013 : dr. Kartika Dewi, M.Kes. Sp.Ak.PA (K) : dr. Jeanny Ervie Ladi, M.Kes., PA ABSTRAK EFEK EKSTRAK ETANOL KEDELAI DETAM I (Glycine max (L.) Merr.), DAUN JATI BELANDA (Guazuma ulmifolia Lamk) DAN KOMBINASINYA TERHADAP KADAR LDL SERUM TIKUS JANTAN GALUR WISTAR Meigi Suwarto, 2013

Lebih terperinci

OKTAVIANA FRANCISKA IMAKULADA GUSMAO

OKTAVIANA FRANCISKA IMAKULADA GUSMAO SKRINING ANTIBAKTERI KOMBINASI EKSTRAK AIR TEMULAWAK, MENIRAN, KEMUKUS DAN BELUNTAS TERHADAP STAPHYLOCOCCUS AUREUS, SALMONELLA THYPI DAN ESCHERICHIA COLI OKTAVIANA FRANCISKA IMAKULADA GUSMAO 2443011103

Lebih terperinci

OLEH: SEPTIAN HERMAWAN

OLEH: SEPTIAN HERMAWAN PENGARUH VARIASI KONSENTRASI TEPUNG KEDELAI SEBAGAI SUMBER NITROGEN ORGANIK PADA MEDIA BIJI DURIAN VARIETAS PETRUK TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI PIGMEN Monascus sp. KJR2 PROPOSAL SKRIPSI OLEH: SEPTIAN

Lebih terperinci

Kata kunci: berkumur, bakteri aerob, saliva, baking soda, lemon.

Kata kunci: berkumur, bakteri aerob, saliva, baking soda, lemon. ABSTRAK Flora normal rongga mulut yang tidak seimbang dapat mengganggu kesehatan gigi dan mulut, salah satu upaya pengendaliannya adalah berkumur dengan larutan baking soda (Sodium bicarbonate). Larutan

Lebih terperinci

INTISARI. UJI AKTIVITAS ANTIBAKTERI EKSTRAK ETANOL RIMPANG TEMU GIRING (Curcuma Heyneana Val) TERHADAP PERTUMBUHAN Shigella Dysentriae SECARA IN VITRO

INTISARI. UJI AKTIVITAS ANTIBAKTERI EKSTRAK ETANOL RIMPANG TEMU GIRING (Curcuma Heyneana Val) TERHADAP PERTUMBUHAN Shigella Dysentriae SECARA IN VITRO INTISARI UJI AKTIVITAS ANTIBAKTERI EKSTRAK ETANOL RIMPANG TEMU GIRING (Curcuma Heyneana Val) TERHADAP PERTUMBUHAN Shigella Dysentriae SECARA IN VITRO Ria Hervina Sari 1 ; Muhammad Arsyad 2 ; Erna Prihandiwati

Lebih terperinci

Jurnal Sains dan Teknologi Farmasi, Vol. 17, No. 1, 2012, halaman ISSN :

Jurnal Sains dan Teknologi Farmasi, Vol. 17, No. 1, 2012, halaman ISSN : Jurnal Sains dan Teknologi Farmasi, Vol. 17, No. 1, 2012, halaman 40-43 ISSN : 1410-0177 UJI EFEK ANTIPIRETIK EKSTRAK ETANOL, FRAKSI n-heksana DAN FRAKSI ETIL ASETAT DAUN BERINGIN (Ficus benjamina L.)

Lebih terperinci

ABSTRAK PENGARUH AIR SEDUHAN BEKATUL TERHADAP KADAR TRIGLISERIDA SERUM TIKUS WISTAR YANG DIBERI DIET TINGGI LEMAK

ABSTRAK PENGARUH AIR SEDUHAN BEKATUL TERHADAP KADAR TRIGLISERIDA SERUM TIKUS WISTAR YANG DIBERI DIET TINGGI LEMAK ABSTRAK PENGARUH AIR SEDUHAN BEKATUL TERHADAP KADAR TRIGLISERIDA SERUM TIKUS WISTAR YANG DIBERI DIET TINGGI LEMAK Ivanna Valentina, 2012; Pembimbing I : Dr. Meilinah Hidayat, dr., M. Kes. Pembimbing II

Lebih terperinci

EFEK SUBKRONIS PEMBERIAN KOMBINASI EKSTRAK ETANOL BIJI KEDELAI

EFEK SUBKRONIS PEMBERIAN KOMBINASI EKSTRAK ETANOL BIJI KEDELAI ABSTRAK EFEK SUBKRONIS PEMBERIAN KOMBINASI EKSTRAK ETANOL BIJI KEDELAI (Glycine max L.merr) VARIETAS DETAM-1 DAN DAUN JATI BELANDA (Guazuma ulmifolia) TERHADAP FUNGSI HATI DENGAN PARAMETER SGPT PADA TIKUS

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini, diantaranya: set alat destilasi,

BAB III METODOLOGI PENELITIAN Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini, diantaranya: set alat destilasi, BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Alat dan Bahan 3.1.1 Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini, diantaranya: set alat destilasi, tabung maserasi, rotary vaccum evaporator Sibata Olibath B-485, termometer,

Lebih terperinci

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN KARYA TULIS ILMIAH Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol Kulit Manggis terhadap Staphylococcus aureus, Bacillus subtilis, Escherichia coli, dan Pseudomonas aeruginosa secara In vitro Oleh : HARRY ASMAN

Lebih terperinci

EFEK PROTEKSI KOMBINASI EKSTRAK ETANOL BIJI KEDELAI

EFEK PROTEKSI KOMBINASI EKSTRAK ETANOL BIJI KEDELAI ABSTRAK EFEK PROTEKSI KOMBINASI EKSTRAK ETANOL BIJI KEDELAI (Glycine max L.merr) DETAM-1 DAN JATI BELANDA (Guazuma ulmifolia) TERHADAP UREUM DAN KREATININ TIKUS WISTAR YANG DIINDUKSI PAKAN TINGGI LEMAK

Lebih terperinci

Uji antibakteri komponen bioaktif daun lobak (Raphanus sativus L.) terhadap Escherichia coli dan profil kandungan kimianya

Uji antibakteri komponen bioaktif daun lobak (Raphanus sativus L.) terhadap Escherichia coli dan profil kandungan kimianya Uji antibakteri komponen bioaktif daun lobak (Raphanus sativus L.) terhadap Escherichia coli dan profil kandungan kimianya UNIVERSITAS SEBELAS MARET Oleh: Jenny Virganita NIM. M 0405033 BAB III METODE

Lebih terperinci

ANALISIS KLT-BIOAUTOGRAFI ANTIBAKTERI EKSTRAK ETANOL 96% DAUN MENGKUDU (Morinda citrifolia L.) TERHADAP BAKTERI Salmonella typhi

ANALISIS KLT-BIOAUTOGRAFI ANTIBAKTERI EKSTRAK ETANOL 96% DAUN MENGKUDU (Morinda citrifolia L.) TERHADAP BAKTERI Salmonella typhi ANALISIS KLT-BIOAUTOGRAFI ANTIBAKTERI EKSTRAK ETANOL 96% DAUN MENGKUDU (Morinda citrifolia L.) TERHADAP BAKTERI Salmonella typhi Doni Ardiansyah 1, Oom Komala 2, Ike Yulia Wiendarlina 3 1&3 Program Studi

Lebih terperinci

APPLICATION OF STAR ANISE

APPLICATION OF STAR ANISE ABSTRACT Angelica (03420070104) APPLICATION OF STAR ANISE (Illicium verum Hook. F) EXTRACT AS A NATURAL PRESERVATIVE FOR BEEF MEATBALL (xii + 58 pages : 8 tables, 13 pictures, 21 appendices) Star anise

Lebih terperinci

ABSTRAK EFEKTIVITAS ANTIMIKROBA EKSTRAK DAUN BINAHONG

ABSTRAK EFEKTIVITAS ANTIMIKROBA EKSTRAK DAUN BINAHONG ABSTRAK EFEKTIVITAS ANTIMIKROBA EKSTRAK DAUN BINAHONG (Anredera cordifolia(ten.) Steenis) DALAM BERBAGAI KONSENTRASI TERHADAP BAKTERI Streptococcus sanguis SECARA IN VITRO Melissa Susanto, 2014. Pembimbing

Lebih terperinci

STUDI AKTIVITAS ANTIBAKTERI DAN IDENTIFIKASI FRAKSI TERAKTIF HASIL KVC EKSTRAK ETANOL RIMPANG BENGLE ( Zingiber cassumunar Roxb.

STUDI AKTIVITAS ANTIBAKTERI DAN IDENTIFIKASI FRAKSI TERAKTIF HASIL KVC EKSTRAK ETANOL RIMPANG BENGLE ( Zingiber cassumunar Roxb. digilib.uns.ac.id i STUDI AKTIVITAS ANTIBAKTERI DAN IDENTIFIKASI FRAKSI TERAKTIF HASIL KVC EKSTRAK ETANOL RIMPANG BENGLE ( Zingiber cassumunar Roxb.) Disusun oleh : ERNA RISNAWATI M0306028 SKRIPSI Diajukan

Lebih terperinci

PENELITIAN PENDAHULUAN PEMBUATAN SEL AMOBIL STREPTOMYCES SP DENGAN MENGGUNAKAN MATRIKS KOLOID TITANIUM (IV) HIDROKSIDA DALAM AGAR

PENELITIAN PENDAHULUAN PEMBUATAN SEL AMOBIL STREPTOMYCES SP DENGAN MENGGUNAKAN MATRIKS KOLOID TITANIUM (IV) HIDROKSIDA DALAM AGAR PENELITIAN PENDAHULUAN PEMBUATAN SEL AMOBIL STREPTOMYCES SP DENGAN MENGGUNAKAN MATRIKS KOLOID TITANIUM (IV) HIDROKSIDA DALAM AGAR T 576.13 GUS ABSTRAK Telah dilakukan penelitian pendahuluan mengenai pembuatan

Lebih terperinci

ABSTRAK. EFEK ANTIMIKROBA ESKTRAK ETANOL CACING TANAH (Lumbricus rubellus) TERHADAP Salmonella typhi

ABSTRAK. EFEK ANTIMIKROBA ESKTRAK ETANOL CACING TANAH (Lumbricus rubellus) TERHADAP Salmonella typhi ABSTRAK EFEK ANTIMIKROBA ESKTRAK ETANOL CACING TANAH (Lumbricus rubellus) TERHADAP Salmonella typhi Priscilla Febriany Budiarti, 2014; Pembimbing : dr. Rita Tjokropranoto, M.Sc Salmonella typhi adalah

Lebih terperinci

ABSTRAK AKTIVITAS TEH HIJAU SEBAGAI ANTIMIKROBA PADA MIKROBA PENYEBAB LUKA ABSES TERINFEKSI SECARA IN VITRO

ABSTRAK AKTIVITAS TEH HIJAU SEBAGAI ANTIMIKROBA PADA MIKROBA PENYEBAB LUKA ABSES TERINFEKSI SECARA IN VITRO ABSTRAK AKTIVITAS TEH HIJAU SEBAGAI ANTIMIKROBA PADA MIKROBA PENYEBAB LUKA ABSES TERINFEKSI SECARA IN VITRO Agnes Setiawan, 2011. Pembimbing 1: Fanny Rahardja, dr., M.si. Pembimbing 2: Roys A. Pangayoman

Lebih terperinci

ABSTRAK. UJI SITOTOKSISITAS DAN INDUKSI APOPTOSIS FRAKSI ETIL ASETAT DAUN SIRIH (Piper betle Linn) PADA KULTUR SEL HeLa

ABSTRAK. UJI SITOTOKSISITAS DAN INDUKSI APOPTOSIS FRAKSI ETIL ASETAT DAUN SIRIH (Piper betle Linn) PADA KULTUR SEL HeLa ABSTRAK UJI SITOTOKSISITAS DAN INDUKSI APOPTOSIS FRAKSI ETIL ASETAT DAUN SIRIH (Piper betle Linn) PADA KULTUR SEL HeLa Helena,2011, Pembimbing I : Teresa Liliana W., S.Si., M.Kes., Pembimbing II : Laella

Lebih terperinci

DAYA HAMBAT DEKOKTA KULIT BUAH MANGGIS (Garcinia mangostana L.) TERHADAP BAKTERI ESCHERICHIA COLI. Muhamad Rinaldhi Tandah 1

DAYA HAMBAT DEKOKTA KULIT BUAH MANGGIS (Garcinia mangostana L.) TERHADAP BAKTERI ESCHERICHIA COLI. Muhamad Rinaldhi Tandah 1 DAYA HAMBAT DEKOKTA KULIT BUAH MANGGIS (Garcinia mangostana L.) TERHADAP BAKTERI ESCHERICHIA COLI Muhamad Rinaldhi Tandah 1 1. Laboratorium Biofarmasetika, Program Studi Farmasi, Fakultas Matematika dan

Lebih terperinci

ABSTRAK. Pembimbing II: Lusiana Darsono, dr., M.Kes

ABSTRAK. Pembimbing II: Lusiana Darsono, dr., M.Kes ABSTRAK EFEK ANTIPIRETIK INFUSA CACING TANAH (Lumbrofebrin Lumbricus terrestris) TERHADAP MENCIT JANTAN GALUR Swiss Webster YANG DIINDUKSI VAKSIN CAMPAK Daniel Saputra, 2007; Pembimbing I : Meilinah Hidayat,

Lebih terperinci

TESIS. AKTIVITAS ANTIBAKTERI EKSTRAK TEMPE TERHADAP BAKTERI Bacillus subtilis dan Staphylococcus aureus OLEH: D. ELYSA PUTRI MAMBANG NIM

TESIS. AKTIVITAS ANTIBAKTERI EKSTRAK TEMPE TERHADAP BAKTERI Bacillus subtilis dan Staphylococcus aureus OLEH: D. ELYSA PUTRI MAMBANG NIM TESIS AKTIVITAS ANTIBAKTERI EKSTRAK TEMPE TERHADAP BAKTERI Bacillus subtilis dan Staphylococcus aureus OLEH: D. ELYSA PUTRI MAMBANG NIM 077014004 PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI DAN UJI AKTIVITAS SENYAWA FLAVONOID DARI EKSTRAK DAUN TREMBESI (Albizia saman (Jacq.) Merr) SEBAGAI ANTIBAKTERI Escherichia coli SKRIPSI

IDENTIFIKASI DAN UJI AKTIVITAS SENYAWA FLAVONOID DARI EKSTRAK DAUN TREMBESI (Albizia saman (Jacq.) Merr) SEBAGAI ANTIBAKTERI Escherichia coli SKRIPSI IDENTIFIKASI DAN UJI AKTIVITAS SENYAWA FLAVONOID DARI EKSTRAK DAUN TREMBESI (Albizia saman (Jacq.) Merr) SEBAGAI ANTIBAKTERI Escherichia coli SKRIPSI Oleh : I KADEK PATER SUTEJA 1108105016 JURUSAN KIMIA

Lebih terperinci

ABSTRAK. EFEK ANALGETIK EKSTRAK ETANOL SAMBILOTO (Andrographis paniculata, (Burm f) Nees) PADA MENCIT BETINA GALUR Swiss-Webster

ABSTRAK. EFEK ANALGETIK EKSTRAK ETANOL SAMBILOTO (Andrographis paniculata, (Burm f) Nees) PADA MENCIT BETINA GALUR Swiss-Webster ABSTRAK EFEK ANALGETIK EKSTRAK ETANOL SAMBILOTO (Andrographis paniculata, (Burm f) Nees) PADA MENCIT BETINA GALUR Swiss-Webster Fitriyani Yunita, 2007, Pembimbing I Pembimbing II : Sugiarto Puradisastra,

Lebih terperinci

ANNISA RAHMAYANI TELAAH KANDUNGAN KIMIA RAMBUT JAGUNG (ZEA MAYS L.) PROGRAM STUDI SAINS DAN TEKNOLOGI FARMASI

ANNISA RAHMAYANI TELAAH KANDUNGAN KIMIA RAMBUT JAGUNG (ZEA MAYS L.) PROGRAM STUDI SAINS DAN TEKNOLOGI FARMASI ANNISA RAHMAYANI 10703024 TELAAH KANDUNGAN KIMIA RAMBUT JAGUNG (ZEA MAYS L.) PROGRAM STUDI SAINS DAN TEKNOLOGI FARMASI SEKOLAH FARMASI INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG 2 0 0 7 Pada kutipan atau saduran skripsi

Lebih terperinci

VALIDASI METODE IDENTIFIKASI DAN PENETAPAN KADAR SIBUTRAMIN HCl DALAM KAPSUL HERBAL PELANGSING SECARA KLT-DENSITOMETRI ANGELINA FAUSTINE

VALIDASI METODE IDENTIFIKASI DAN PENETAPAN KADAR SIBUTRAMIN HCl DALAM KAPSUL HERBAL PELANGSING SECARA KLT-DENSITOMETRI ANGELINA FAUSTINE VALIDASI METODE IDENTIFIKASI DAN PENETAPAN KADAR SIBUTRAMIN HCl DALAM KAPSUL HERBAL PELANGSING SECARA KLT-DENSITOMETRI ANGELINA FAUSTINE 2443010074 PROGRAM STUDI S1 FAKULTAS FARMASI UNIKA WIDYA MANDALA

Lebih terperinci

ABSTRAK. EFEK ANTIMIKROBA BERBAGAI SEDIAAN BUAH MENGKUDU DI PASARAN TERHADAP Salmonella typhi dan Candida albicans SECARA IN VITRO

ABSTRAK. EFEK ANTIMIKROBA BERBAGAI SEDIAAN BUAH MENGKUDU DI PASARAN TERHADAP Salmonella typhi dan Candida albicans SECARA IN VITRO ABSTRAK EFEK ANTIMIKROBA BERBAGAI SEDIAAN BUAH MENGKUDU DI PASARAN TERHADAP Salmonella typhi dan Candida albicans SECARA IN VITRO Anasthasia Marlene Cahyadi,2007. Pembimbing I : Philips Onggowidjaja, S.Si,

Lebih terperinci

ABSTRAK. EFEK PROPOLIS INDONESIA MEREK X DALAM MEMPERCEPAT PENYEMBUHAN LUKA PADA MENCIT JANTAN GALUR Swiss-Webster

ABSTRAK. EFEK PROPOLIS INDONESIA MEREK X DALAM MEMPERCEPAT PENYEMBUHAN LUKA PADA MENCIT JANTAN GALUR Swiss-Webster ABSTRAK EFEK PROPOLIS INDONESIA MEREK X DALAM MEMPERCEPAT PENYEMBUHAN LUKA PADA MENCIT JANTAN GALUR Swiss-Webster Kamajaya Mulyana, 2014; Pembimbing : Sri Nadya J. Saanin, dr., M.Kes Luka pada kulit sering

Lebih terperinci

OPTIMASI ANALISIS SENYAWA EUGENOL PADA EKSTRAK ETANOL LENGKUAS DENGAN KLT-DENSITOMETER

OPTIMASI ANALISIS SENYAWA EUGENOL PADA EKSTRAK ETANOL LENGKUAS DENGAN KLT-DENSITOMETER OPTIMASI ANALISIS SENYAWA EUGENOL PADA EKSTRAK ETANOL LENGKUAS DENGAN KLT-DENSITOMETER TUGAS AKHIR Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Ahli Madya D3 Farmasi Diajukan oleh :

Lebih terperinci

UJI AKTIVITAS ANTIBAKTERI DAUN PUTRI MALU (Mimosa pudica Linn.) DAN IDENTIFIKASI SENYAWA MENGGUNAKAN MS/MS

UJI AKTIVITAS ANTIBAKTERI DAUN PUTRI MALU (Mimosa pudica Linn.) DAN IDENTIFIKASI SENYAWA MENGGUNAKAN MS/MS UJI AKTIVITAS ANTIBAKTERI DAUN PUTRI MALU (Mimosa pudica Linn.) DAN IDENTIFIKASI SENYAWA MENGGUNAKAN MS/MS SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat Untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi PRASETYO HADI

Lebih terperinci

ABSTRAK. AKTIVITAS ANTIBAKTERIAL EKSTRAK ETANOL LIDAH BUAYA (Aloe vera) TERHADAP Staphylococcus aureus SECARA IN VITRO TAHUN 2014

ABSTRAK. AKTIVITAS ANTIBAKTERIAL EKSTRAK ETANOL LIDAH BUAYA (Aloe vera) TERHADAP Staphylococcus aureus SECARA IN VITRO TAHUN 2014 ABSTRAK AKTIVITAS ANTIBAKTERIAL EKSTRAK ETANOL LIDAH BUAYA (Aloe vera) TERHADAP Staphylococcus aureus SECARA IN VITRO TAHUN 2014 Josephine Widya Wijaya, 2014. Pembimbing: Roro Wahyudianingsih, dr., SpPA.

Lebih terperinci

Oleh Metta Padmalia NIM: SKRIPSI

Oleh Metta Padmalia NIM: SKRIPSI Minyak Asiri Artemisia vulgaris dari Tiga Metode Destilasi: Kemampuan Antibakteri menggunakan Metode Bioautografi dan Identifikasi (Artemisia vulgaris Essential Oil of Three Methods Distillation: The Antibacterial

Lebih terperinci

SKRIPSI OLEH : HONDY HARTANTO

SKRIPSI OLEH : HONDY HARTANTO IDENTIFIKASI POTENSI ANTIOKSIDAN MINUMAN COKELAT DARI KAKAO LINDAK (THEOBROMA CACAO L.) DENGAN BERBAGAI CARA PREPARASI: METODE RADIKAL BEBAS 1,1 DIPHENYL-2-PICRYLHYDRAZIL (DPPH) SKRIPSI OLEH : HONDY HARTANTO

Lebih terperinci

ABSTRAK. EFEKTIVITAS EKSTRAK KULIT BUAH NAGA MERAH (Hylocereus polyrhizus) TERHADAP PENURUNAN BERAT BADAN TIKUS WISTAR JANTAN

ABSTRAK. EFEKTIVITAS EKSTRAK KULIT BUAH NAGA MERAH (Hylocereus polyrhizus) TERHADAP PENURUNAN BERAT BADAN TIKUS WISTAR JANTAN ABSTRAK EFEKTIVITAS EKSTRAK KULIT BUAH NAGA MERAH (Hylocereus polyrhizus) TERHADAP PENURUNAN BERAT BADAN TIKUS WISTAR JANTAN Linda Lingas, 2016 ; Pembimbing I : Lusiana Darsono, dr., M.Kes Pembimbing II

Lebih terperinci

UJI AKTIVITAS ANTIOKSIDAN, TOKSISITAS DAN KANDUNGAN FENOLIK TOTAL DARI EKSTRAK DAUN PULAI (Alstonia scholaris (L.) R. Br.) SKRIPSI SARJANA KIMIA

UJI AKTIVITAS ANTIOKSIDAN, TOKSISITAS DAN KANDUNGAN FENOLIK TOTAL DARI EKSTRAK DAUN PULAI (Alstonia scholaris (L.) R. Br.) SKRIPSI SARJANA KIMIA UJI AKTIVITAS ANTIOKSIDAN, TOKSISITAS DAN KANDUNGAN FENOLIK TOTAL DARI EKSTRAK DAUN PULAI (Alstonia scholaris (L.) R. Br.) SKRIPSI SARJANA KIMIA Oleh ANNISA WULANDARI BP : 1310411025 JURUSAN S1 KIMIA FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN Dalam melakukan kegiatan penelitian diperlukan peralatan laboratorium, bahan serta prosedur penelitian yang akan dilakukan. Tiga hal tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:

Lebih terperinci

Fraksinasi dan uji aktivitas ekstrak akar Piper sarmentosum Roxb. ex Hunter terhadap jamur Candida albicans

Fraksinasi dan uji aktivitas ekstrak akar Piper sarmentosum Roxb. ex Hunter terhadap jamur Candida albicans Majalah Farmasi Indonesia, 15(2), 57 61, 2004 Fraksinasi dan uji aktivitas ekstrak akar Piper sarmentosum Roxb. ex Hunter terhadap jamur Candida Fractionation and activity assay of the root extract of

Lebih terperinci

EFEK EKSTRAK ETANOL BIJI KEDELAI

EFEK EKSTRAK ETANOL BIJI KEDELAI ABSTRAK EFEK EKSTRAK ETANOL BIJI KEDELAI (Glycine max L.merr) VARIETAS DETAM 1, DAUN JATI BELANDA (Guazuma ulmifolia), DAN KOMBINASINYA TERHADAP KADAR TRIGLISERIDA TIKUS WISTAR JANTAN YANG DIINDUKSI PAKAN

Lebih terperinci

ABSTRAK. EFEK ANTIMIKROBA EKSTRAK DAUN MIMBA (Azadirachta indica A. Juss) TERHADAP Enterococcus faecalis

ABSTRAK. EFEK ANTIMIKROBA EKSTRAK DAUN MIMBA (Azadirachta indica A. Juss) TERHADAP Enterococcus faecalis ABSTRAK EFEK ANTIMIKROBA EKSTRAK DAUN MIMBA (Azadirachta indica A. Juss) TERHADAP Enterococcus faecalis Hadisusanto Alie M., 2014, Pembimbing I : Ibnu Suryatmojo, drg., Sp.KG Pembimbing II : Widura, dr.,

Lebih terperinci

AKTIVITAS ANTIBAKTERI KOMBINASI GENTAMISIN DAN EKSTRAK 10 TANAMAN OBAT TERHADAP BAKTERI

AKTIVITAS ANTIBAKTERI KOMBINASI GENTAMISIN DAN EKSTRAK 10 TANAMAN OBAT TERHADAP BAKTERI AKTIVITAS ANTIBAKTERI KOMBINASI GENTAMISIN DAN EKSTRAK 10 TANAMAN OBAT TERHADAP BAKTERI Pseudomonas aeruginosa DAN Methicillin Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) SKRIPSI Oleh: NUR AFIFAH K 100120002

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental di laboratorium untuk memperoleh data.data yang dikumpulkan adalah data primer. Pengumpulan data dilakukan

Lebih terperinci

PENGARUH SUBSTITUSI PARSIAL TELUR DENGAN ISOLAT PROTEIN KEDELAI DAN KONSENTRASI EMULSIFIER TERHADAP KARAKTERISTIK CAKE BERAS SKRIPSI

PENGARUH SUBSTITUSI PARSIAL TELUR DENGAN ISOLAT PROTEIN KEDELAI DAN KONSENTRASI EMULSIFIER TERHADAP KARAKTERISTIK CAKE BERAS SKRIPSI PENGARUH SUBSTITUSI PARSIAL TELUR DENGAN ISOLAT PROTEIN KEDELAI DAN KONSENTRASI EMULSIFIER TERHADAP KARAKTERISTIK CAKE BERAS SKRIPSI OLEH: ERLINDA ANDRIANI L. 6103006067 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN

Lebih terperinci

Kata kunci : brotowali, daun pepaya, induksi termik, analgesik

Kata kunci : brotowali, daun pepaya, induksi termik, analgesik ABSTRAK EFEK ANALGESIK EKSTRAK ETANOL BATANG BROTOWALI (Tinospora crispa) DAN EKSTRAK ETANOL DAUN PEPAYA (Carica papaya L.) PADA MENCIT Swiss Webster JANTAN Arvin Manuel, 2015. Pembimbing I : Endang Evacuasiany,

Lebih terperinci

PENGARUH PENAMBAHAN UMBI GARUT

PENGARUH PENAMBAHAN UMBI GARUT PENGARUH PENAMBAHAN UMBI GARUT (Maranta arundinaceae L) DALAM BENTUK TEPUNG DAN PATI SEBAGAI PREBIOTIK PADA YOGHURT SEBAGAI PRODUK SINBIOTIK TERHADAP DAYA HAMBAT BAKTERI Escherichia coli Artikel Penelitian

Lebih terperinci

ABSTRAK. UJI AKTIVITAS ANTIBAKTERI EKSTRAK ETANOL HERBA Andrographis paniculata DAN HERBA Echinacea purpurea TERHADAP Klebsiella pneumoniae

ABSTRAK. UJI AKTIVITAS ANTIBAKTERI EKSTRAK ETANOL HERBA Andrographis paniculata DAN HERBA Echinacea purpurea TERHADAP Klebsiella pneumoniae ABSTRAK UJI AKTIVITAS ANTIBAKTERI EKSTRAK ETANOL HERBA Andrographis paniculata DAN HERBA Echinacea purpurea TERHADAP Klebsiella pneumoniae JEMMY KURNIAWAN 2443011218 Klebsiella pneumoniae merupakan salah

Lebih terperinci

ABSTRAK. Ardelia Emily, Pembimbing I: Sylvia Soeng, dr., M.Kes., PA(K) Pembimbing II: Endang Evacuasiany, Dra, Apt., MS.

ABSTRAK. Ardelia Emily, Pembimbing I: Sylvia Soeng, dr., M.Kes., PA(K) Pembimbing II: Endang Evacuasiany, Dra, Apt., MS. ABSTRAK EFEK ANALGESIK EKSTRAK ETANOL BUAH MENGKUDU (Morinda citrifolia Linn) dan EKSTRAK ETANOL DAUN SAMBILOTO (Andrographis paniculata Nees) PADA MENCIT SWISS WEBSTER JANTAN YANG DIINDUKSI RANGSANG TERMIS

Lebih terperinci

ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA SUHARSANTIRAHAYU PERBANDINGAN DAY A HAMBAT ASAM-3,4-DIHIDROKSISINAMAT DAN ASAM PIPERONIL AKRILAT TERHADAP AKTIVITAS TIROSINASE FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA BAGIAN KIMIA FARMASI SURABAYA 2003

Lebih terperinci

FRAKSINASI DAN IDENTIFIKASI SENYAWA ANTIOKSIDAN PADA EKSTRAK ETANOL DAUN SIRSAK (Annona muricata L.) SECARA KROMATOGRAFI KOLOM

FRAKSINASI DAN IDENTIFIKASI SENYAWA ANTIOKSIDAN PADA EKSTRAK ETANOL DAUN SIRSAK (Annona muricata L.) SECARA KROMATOGRAFI KOLOM FRAKSINASI DAN IDENTIFIKASI SENYAWA ANTIOKSIDAN PADA EKSTRAK ETANOL DAUN SIRSAK (Annona muricata L.) SECARA KROMATOGRAFI KOLOM DIYAN MAYA SARI 2443009118 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA MANDALA

Lebih terperinci

ISOLASI DAN IDENTIFIKASI MINYAK ATSIRI DARI SIMPLISIA BASAH DAN SIMPLISIA KERING DAUN SIRIH MERAH (Piper crocatum) Tiara Mega Kusuma, Nurul Uswatun

ISOLASI DAN IDENTIFIKASI MINYAK ATSIRI DARI SIMPLISIA BASAH DAN SIMPLISIA KERING DAUN SIRIH MERAH (Piper crocatum) Tiara Mega Kusuma, Nurul Uswatun ISOLASI DAN IDENTIFIKASI MINYAK ATSIRI DARI SIMPLISIA BASAH DAN SIMPLISIA KERING DAUN SIRIH MERAH (Piper crocatum) Tiara Mega Kusuma, Nurul Uswatun Program Studi Farmasi, Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas

Lebih terperinci

SKRIPSI. DAY A HAM BAT ASAM-l-HIDROKSISINAMAT DAN ASAM-4-HIDROKSISINAMAT TERHADAP AKTIVITAS TIROSINASE AMANDA

SKRIPSI. DAY A HAM BAT ASAM-l-HIDROKSISINAMAT DAN ASAM-4-HIDROKSISINAMAT TERHADAP AKTIVITAS TIROSINASE AMANDA Mo riov-ht ltol fv\oild()xy GEHlU't COUMA.:z.,C ACID'; AMANDA DAY A HAM BAT ASAM-l-HIDROKSISINAMAT DAN ASAM-4-HIDROKSISINAMAT TERHADAP AKTIVITAS TIROSINASE FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANOOA BAGIAN

Lebih terperinci

ABSTRAK. Pembimbing II : Dr. Savitri R. Wardhani, dr., SPKK

ABSTRAK. Pembimbing II : Dr. Savitri R. Wardhani, dr., SPKK ABSTRAK PERBANDINGAN AKTIVITAS ANTIBAKTERI EKSTRAK ETANOL KOPI ARABIKA (Coffea arabica) DAN KOPI ROBUSTA (Coffea canephora) TERHADAP PERTUMBUHAN Staphylococcus aureus IN VITRO Regitha Martha, 2012, Pembimbing

Lebih terperinci

ABSTRAK EFEK ANALGESIK EKSTRAK ETANOL KUNYIT

ABSTRAK EFEK ANALGESIK EKSTRAK ETANOL KUNYIT ABSTRAK EFEK ANALGESIK EKSTRAK ETANOL KUNYIT (Curcuma domestica Val.) DAN EKSTAK ETANOL KENCUR (Kaempferia galanga Linn.) PADA MENCIT SWISS WEBSTER JANTAN DENGAN METODE HOT PLATE Thomas Utomo, 1210023,

Lebih terperinci

PENGARUH EKSTRAK METANOL DAUN SIRSAK (ANNONA MURICATA) DALAM MENGHAMBAT PERTUMBUHAN BAKTERI SALMONELLA TYPHI SECARA IN VITRO. Putu Nanda Pramadya P.

PENGARUH EKSTRAK METANOL DAUN SIRSAK (ANNONA MURICATA) DALAM MENGHAMBAT PERTUMBUHAN BAKTERI SALMONELLA TYPHI SECARA IN VITRO. Putu Nanda Pramadya P. PENGARUH EKSTRAK METANOL DAUN SIRSAK (ANNONA MURICATA) DALAM MENGHAMBAT PERTUMBUHAN BAKTERI SALMONELLA TYPHI SECARA IN VITRO Putu Nanda Pramadya P. Fakultas Kedokteran Universitas Udayana ABSTRAK Salmonella

Lebih terperinci

KAJIAN PROPORSI SARI NANAS DAN KONSENTRASI STARTER TERHADAP SIFAT KIMIA DAN MIKROBIOLOGIS KEFIR NANAS SKRIPSI

KAJIAN PROPORSI SARI NANAS DAN KONSENTRASI STARTER TERHADAP SIFAT KIMIA DAN MIKROBIOLOGIS KEFIR NANAS SKRIPSI KAJIAN PROPORSI SARI NANAS DAN KONSENTRASI STARTER TERHADAP SIFAT KIMIA DAN MIKROBIOLOGIS KEFIR NANAS SKRIPSI OLEH: SENDY VIOLITA NRP 6103012121 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

Lebih terperinci

PENENTUAN KOMPONEN SENYAWA/MINYAK ATSIRI DAN UJI AKTIVITAS ANTIBAKTERI FRAKSI

PENENTUAN KOMPONEN SENYAWA/MINYAK ATSIRI DAN UJI AKTIVITAS ANTIBAKTERI FRAKSI PENENTUAN KOMPONEN SENYAWA/MINYAK ATSIRI DAN UJI AKTIVITAS ANTIBAKTERI FRAKSI n-heksana, ETIL ASETAT dan METANOL KULIT KAYU MANIS (Cinnamomum burmanii) SKRIPSI RICKI 070802024 PROGRAM STUDI SARJANA KIMIA

Lebih terperinci

ABSTRAK AKTIVITAS ANTIMIKROBA MADU IN VITRO TERHADAP ISOLASI BAKTERI DARI LUKA

ABSTRAK AKTIVITAS ANTIMIKROBA MADU IN VITRO TERHADAP ISOLASI BAKTERI DARI LUKA ABSTRAK AKTIVITAS ANTIMIKROBA MADU IN VITRO TERHADAP ISOLASI BAKTERI DARI LUKA Alvita Ratnasari, 2011,Pembimbing 1 : Triswaty Winata, dr., M.Kes Pembimbing 2: Roys A. Pangayoman, dr., SpB., FInaCS. Madu,

Lebih terperinci

ABSTRAK EFEK EKSTRAK ETANOL DAUN BINAHONG

ABSTRAK EFEK EKSTRAK ETANOL DAUN BINAHONG ABSTRAK EFEK EKSTRAK ETANOL DAUN BINAHONG ( Anredera cordifolia (Ten.) Steenis) TERHADAP PENYEMBUHAN LUKA INSISI PADA MENCIT BETINA GALUR SWISS WEBSTER Niken Tania Wijaya, 2014. Pembimbing I: Rita Tjokropranoto,

Lebih terperinci

Kata kunci: Infusa Siwak, Staphylococcus aureus, konsentrasi, waktu kontak.

Kata kunci: Infusa Siwak, Staphylococcus aureus, konsentrasi, waktu kontak. ABSTRAK Kebersihan mulut sangat penting dijaga, sehingga diperlukan metode perawatan kebersihan mulut yang aman, efektif, dan ekonomis. Salah satu bahan alami yang sejak dahulu hingga sekarang digunakan

Lebih terperinci

ABSTRAK. AKTIVITAS ANTIMIKROBA INFUSA DAUN ASAM JAWA (Tamarindus indica Linn.) TERHADAP Escherichia coli SECARA IN VITRO

ABSTRAK. AKTIVITAS ANTIMIKROBA INFUSA DAUN ASAM JAWA (Tamarindus indica Linn.) TERHADAP Escherichia coli SECARA IN VITRO ABSTRAK AKTIVITAS ANTIMIKROBA INFUSA DAUN ASAM JAWA (Tamarindus indica Linn.) TERHADAP Escherichia coli SECARA IN VITRO Caroline Suryadi, 1010148. Pembimbing I: dr. Djaja Rusmana, M.Si. Pembimbing II:

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. untuk mengisolasi Actinomycetes dan melihat kemampuannya dalam

BAB III METODE PENELITIAN. untuk mengisolasi Actinomycetes dan melihat kemampuannya dalam BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Mikrobiologi Jurusan Biologi untuk mengisolasi Actinomycetes dan melihat kemampuannya dalam menghasilkan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI A. BAHAN DAN ALAT C. METODE PENELITIAN

III. METODOLOGI A. BAHAN DAN ALAT C. METODE PENELITIAN III. METODOLOGI A. BAHAN DAN ALAT Bahan baku utama yang digunakan pada penelitian ini adalah rimpang jahe segar yang diperoleh dari Balai Penelitian Tanaman Aromatik dan Obat (Balitro) Bogor berumur 8

Lebih terperinci

YOVITA NOVELINA ISOLASI LIGNAN DARI BIJI LABU CUCURBITA PEPO L. PROGRAM STUDI SAINS DAN TEKNOLOGI FARMASI

YOVITA NOVELINA ISOLASI LIGNAN DARI BIJI LABU CUCURBITA PEPO L. PROGRAM STUDI SAINS DAN TEKNOLOGI FARMASI YOVITA NOVELINA 10702067 ISOLASI LIGNAN DARI BIJI LABU CUCURBITA PEPO L. PROGRAM STUDI SAINS DAN TEKNOLOGI FARMASI SEKOLAH FARMASI INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG 2007 Pada kutipan atau saduran skripsi ini

Lebih terperinci

ABSTRAK. PENGARUH GETAH PISANG (Musa paradisiaca) TERHADAP DURASI PENYEMBUHAN LUKA PADA MENCIT JANTAN GALUR SWISS WEBSTER

ABSTRAK. PENGARUH GETAH PISANG (Musa paradisiaca) TERHADAP DURASI PENYEMBUHAN LUKA PADA MENCIT JANTAN GALUR SWISS WEBSTER ABSTRAK PENGARUH GETAH PISANG (Musa paradisiaca) TERHADAP DURASI PENYEMBUHAN LUKA PADA MENCIT JANTAN GALUR SWISS WEBSTER Dimpuulina Erna M, 2011 Pembimbing I : Sri Utami Sugeng Dra., M.kes. Pembimbing

Lebih terperinci

ABSTRAK. EFEK ANALGESIK INFUSA KULIT KAYU RAPAT (Parameria laevigata (Juss.) Moldenke) PADA MENCIT JANTAN YANG DIINDUKSI RANGSANG TERMIK

ABSTRAK. EFEK ANALGESIK INFUSA KULIT KAYU RAPAT (Parameria laevigata (Juss.) Moldenke) PADA MENCIT JANTAN YANG DIINDUKSI RANGSANG TERMIK ABSTRAK EFEK ANALGESIK INFUSA KULIT KAYU RAPAT (Parameria laevigata (Juss.) Moldenke) PADA MENCIT JANTAN YANG DIINDUKSI RANGSANG TERMIK Imelda Christiana, 2012, Pembimbing I : Endang Evacuasiany, Dra.,

Lebih terperinci

THESIS Submitted to The Faculty of Agricultural Technology in partial fulfillment of the requirements for obtaining the Bachelor Degree

THESIS Submitted to The Faculty of Agricultural Technology in partial fulfillment of the requirements for obtaining the Bachelor Degree EFFECT OF SOAKING PRETREATMENTS ON THE DRYING KINETICS AND REHYDRATION CHARACTERISTICS OF PETAI BEANS (Parkia speciosa) EFEK PERLAKUAN AWAL PERENDAMAN PADA LAJU PENGERINGAN DAN KARAKTERISTIK REHIDRASI

Lebih terperinci

ABSTRAK. PENGARUH EKSTRAK ETANOL DAUN KEMANGI (Ocimum americanum) TERHADAP PERTUMBUHAN Staphylococcus aureus DAN Escherichia coli SECARA IN VITRO

ABSTRAK. PENGARUH EKSTRAK ETANOL DAUN KEMANGI (Ocimum americanum) TERHADAP PERTUMBUHAN Staphylococcus aureus DAN Escherichia coli SECARA IN VITRO ABSTRAK PENGARUH EKSTRAK ETANOL DAUN KEMANGI (Ocimum americanum) TERHADAP PERTUMBUHAN Staphylococcus aureus DAN Escherichia coli SECARA IN VITRO Gittha Ullytha 0410129, 2007 Pembimbing I : Kartika Dewi.,dr.,M.Kes

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI DAN UJI AKTIVITAS SENYAWA TRITERPEN DARI DAUN TREMBESI (Samanea saman (Jacq.) Merr) TERHADAP Escherichia coli.

IDENTIFIKASI DAN UJI AKTIVITAS SENYAWA TRITERPEN DARI DAUN TREMBESI (Samanea saman (Jacq.) Merr) TERHADAP Escherichia coli. IDENTIFIKASI DAN UJI AKTIVITAS SENYAWA TRITERPEN DARI DAUN TREMBESI (Samanea saman (Jacq.) Merr) TERHADAP Escherichia coli Skripsi OLEH : I Gede Putra Sedana NIM. 1108105033 JURUSAN KIMIA FAKULTAS MATEMATIKA

Lebih terperinci

PENGARUH EKSTRAK ETANOL HERBA PURWOCENG

PENGARUH EKSTRAK ETANOL HERBA PURWOCENG ABSTRAK PENGARUH EKSTRAK ETANOL HERBA PURWOCENG (Pimpinella alpina ) TERHADAP PERILAKU SEKSUAL MENCIT SWISS WEBSTER JANTAN Cindy Caroline, 2011; Pembimbing I : Dr. Sugiarto Puradisastra, dr., M.Kes ; Pembimbing

Lebih terperinci