ILMIAH KESEHATAN RUSTIDA DAFTAR ISI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ILMIAH KESEHATAN RUSTIDA DAFTAR ISI"

Transkripsi

1 JURNAL ISSN ILMIAH KESEHATAN RUSTIDA DAFTAR ISI JUDUL HALAMAN 1. Pengaruh Pelatihan Kuesioner Pra Skrining Perkembangan Dengan Metode Off Job Training Pada Kader Terhadap Kemampuan Kader Mendeteksi Perkembangan Balita Reni Sulistyowati, Septi Kurniawati, Haswita Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian ISPA Pada Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Kalibaru Kabupaten Banyuwangi Firdawsyi Nuzula dan Rizki Yulia P Kadar Glukosa Darah Tidak Terkontrol Dan Hipertensi Terhadap Kejadian Kaki Diabetik Pada Pasien Diabetes Mellitus Eko Prabowo, Haswita, Lina Agustiana Puspitasari Persepsi Perilaku Caring: Analisis Karakteristik Perawat Di Rumah Sakit X Kabupaten Banyuwangi Roshinta Sony Anggari, Maulida Nurfazriah Oktaviana Gambaran Karakteristik Pasien Hemodialisis Di Rumah Sakit Islam Sultan Agung Semarang Erna Melastuti, Hayatun Nafsiah, Ayi Fachrudin Uji Prebiotik Unulin Umbi Dahlia (Dahlia Pinnata CAV.) Berbunga Merah Darah pada Lactobacilus Acidophillus dan Streptococcus Termophillus Iif Hanifa Nurrosyidah

2

3 PENGARUH PELATIHAN KUESIONER PRA SKRINING PERKEMBANGAN (KPSP) DENGAN METODE OFF THE JOB TRAINING PADA KADER TERHADAP KEMAMPUAN KADER MENDETEKSI PERKEMBANGAN BALITA Reni Sulistyowati 1, Septi Kurniawati 1, Haswita 2 1 Dosen Prodi D III Kebidanan 2 Dosen Prodi D III Keperawatan Korespondensi: Reni Sulistyowati d/a Akademi Kesehatan Rustida Jln. RS. Bhakti Husada Krikilan Glenmore Banyuwangi rennysulistyowati@gmail.com Sumber Dana : Bappeda Kabupaten Banyuwangi ABSTRAK Pelatihan merupakan suatu proses belajar mengajar terhadap pengetahuan dan ketrampilan serta sikap agar kader semakin terampil dan mampu melaksanakan tanggung jawabnya dengan semakin baik. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh pelatihan Kuesioner Pra Skrining Perkembangan (KPSP) dengan metode off the job training pada kader terhadap kemampuan kader dalam mendeteksi dini perkembangan Balita di Puskesmas Tembokrejo Banyuwangi. Penelitian ini merupakan penelitian jenis Quasi Eksperimental dengan pendekatan pre-test post-test design. Teknik sampling yang digunakan purposive sampling. Sampel dalam penelitian ini 60 kader posyandu Puskesmas Tembokrejo, yang terbagi dalam 2 kelompok yaitu 30 orang kelompok eksperimen dengan metode pelatihan off the job training dan 30 orang kelompok kontrol yang diberi pelatihan dengan metode on the job training. Teknik analisis data yang digunakan uji t berpasangan wilcoxon, sedangkan untuk mengetahui pengaruh pada dua kelompok menggunakan Mann Whitney. Hasil penelitian menunjukkan ada perbedaan secara signifikan antara pengetahuan dan sikap sebelum dan sesudah intervensi pada masing-masing kelompok dengan p-value pengetahuan 0,000 kelompok eksperimen dan 0,248 kelompok kontrol, sedangkan p-value sikap 0,003 kelompok eksperimen dan 0,005 kelompok kontrol. Selanjutnya ada perbedaan secara signifikan kemampuan pada kelompok yang diintervensi menggunakan metode off the job training dan on the job training. Pelatihan dengan metode off the job training memberikan hasil yang maksimal dari segi pengetahuan, sikap dan psikomotor. Kata Kunci: Pelatihan KPSP, Kader, off the job training 487

4 PENDAHULUAN Masa balita sering disebut sebagai periode kritis karena pertumbuhan dan perkembangan pada masa ini mengalami peningkatan yang pesat Dimana masa ini merupakan masa yang sangat penting untuk memperhatikan tumbuh kembang anak secara cermat agar sedini mungkin dapat terdeteksi apabila terjadi kelainan. Selain itu, penangangan kelainan yang sesuai pada masa golden age dapat meminimalisir kelainan pertumbuhan dan perkembangan anak sehingga kelainan yang bersifat permanen dapat dicegah. Deteksi dini dan stimulasi pertumbuhan dan perkembangan anak merupakan upaya mengetahui sedini mungkin gangguan perkembangan pada anak. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia telah menyediakan sarana atau alat yaitu KPSP untuk mendeteksi dini pertumbuhan dan perkembangan anak secara sederhana dan mudah yang bisa dilakukan oleh keluarga, kader ataupun tenaga kesehatan. Melakukan deteksi dini penyimpangan tumbuh kembang artinya melakukan skrining atau melakukan deteksi dini adanya penyimpangan tumbuh kembang Balita termasuk menindak lanjuti keluhan orang tua terhadap masalah tumbuh kembang anaknya. Kegiatan stimulasi, deteksi dan intervensi dini penyimpangan tumbuh kembang anak usia dini merupakan tugas para kader posyandu di wilayah kerja masing masing. Kader kesehatan mempunyai potensi yang sangat besar karena kader sangat dekat (dari sisi geografis dan sosial) dengan masyarakat di wilayah sendiri. Tugas kader tersebut menjadi sangat penting dan komplek karena persoalan tumbuh kembang anak ternyata bukan semata terarah pada pertumbuhan dan kesehatan fisik saja, melainkan juga komprehensif pada perkembangan psikis anak balita. Oleh karena itu sangat diharapkan pemahaman dan ketrampilan setiap kader dalam teknik stimulasi tumbuh kembang Balita. Data Dinas Kesehatan Banyuwangi tentang pemantauan pertumbuhan dan perkembangan bayi dan balita tahun 2016 yang dideteksi oleh bidan baik di Posyandu maupun di Puskesmas, diketahui ada beberapa penyimpangan yaitu 55 bayi yang mengalami lingkar kepala yang tidak normal, 32 bayi balita dan anak prasekolah yang mengalami penyimpangan KPSP, 6 mengalami gangguan penglihatan dan 9 yang mengalami gangguan pendengaran serta 3 orang bayi, balita dan anak usia pra sekolah yang mengalami gangguan mental. Sedangkan, data dari Puskesmas Tembokrejo tentang pelaksanaan pemantauan tumbuh kembang sepenuhnya dilakukan oleh bidan, jumlah kader aktif ada 250 orang dan telah mengikuti workshop SDIDTK tanpa simulasi (2016) 25 orang yang dilaksanakan oleh bidan. Sampai saat ini, di wilayah Puskesmas Tembokrejo belum ada kader yang mengimplementasikan hasil workshop tersebut. Adapun, beberapa faktor yang menyebabkan tidak terlaksananya pemantauan pertumbuhan dan perkembangan Balita oleh kader adalah singkatnya waktu workshop dengan materi yang padat, kurangnya sarana prasarana bermain yang digunakan untuk stimulasi, 488

5 berbedanya latar belakang pendidikan kader, dan luasnya wilayah Puskesmas Tembokrejo dengan jumlah penduduk yang padat. Berdasarkan uraian diatas dan mengingat pentingnya deteksi dini tumbuh kembang untuk meningkatkan kualitas balita guna meningkatkan Sumber Daya Manusia yang bermutu, dengan melakukan penelitian tentang Implementasi penggunaan KPSP pada kader posyandu dalam mendeteksi dini perkembangan balita. METODE PENELITIAN Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian experimen semu (Quasi Experiment) dengan pre-test post-test design. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh kader posyandu Puskesmas Tembokrejo, Kecamatan Muncar Banyuwangi yang berjumlah 250 orang. Pengambilan sampel dilakukan dengan cara purposive sampling yaitu teknik pengambilan sampel dengan pertimbangan tertentu, dalam penelitian ini hanya kader yang belum pernah mengikuti pelatihan KPSP dari 15 posyandu, yang berjumlah 60 orang. Sampel sebanyak 60 orang dibagi 2 secara acak sehingga diperoleh sampel yang menerima pelatihan dengan metode off the job training dan sampel yang menerima pelatihan dengan metode on the job training masing-masing sebanyak 30 orang. Penghitungan statistik yang dilakukan dengan tingkat kemaknaan 100% (p=0.000). Analisis statistik yang digunakan untuk menguji perbedaan pengetahuan dan sikap sebelum dan sesudah pelatihan KPSP dengan metode off the job training dan on the job training digunakan uji Wilcoxon. Sedangkan untuk menguji pengaruh pelatihan KPSP dengan metode off the job training dan on the job training terhadap kemampuan kader dalam menggunakan KPSP untuk mendeteksi perkembangan balita digunakan uji Mann Whitney. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Pengetahuan Hasil analisis data diketahui bahwa pengetahuan kader sebelum dan sesudah pelatihan dengan metode off the job training dan on the job training adalah sebagai berikut: Tabel 1. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pengetahuan Sebelum dan Sesudah Pelatihan KPSP (kelompok tindakan) Kelompok Kelompok Off the job Off the job training (Pre) training (post) Pengetahuan F (%) F (%) Baik Cukup Kurang ,0 50,0 0, Jumlah Tabel 2. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pengetahuan Sebelum dan Sesudah Pelatihan KPSP (kelompok kontrol) Kelompok On the job training (pre) Kelompok On the job training (post) Pengetahuan F (%) F (%) Baik Cukup Kurang , ,6 13,3 0 Jumlah Berdasarkan tabel 1 diketahui responden yang mengikuti pelatihan dengan metode off the job training sebelum pelatihan memiliki pengetahuan yang baik tentang KPSP ada 15 (50%) dan setelah dilakukan 489

6 pelatihan seluruh responden berpengetahuan baik yaitu 30 (100%). Pada tabel 2 responden yang mengikuti pelatihan dengan metode on the job training, sebelum pelatihan 23 (76,6%) memiliki pengetahuan yang baik tentang KPSP dan setelah pelatihan 26 (86,6%) responden berpengetahuan baik. Sikap Hasil analisis data diketahui bahwa sikap kader sebelum dan sesudah pelatihan dengan metode off the job training dan on the job training adalah sebagai berikut: Tabel 3. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Sikap Kader Sebelum dan Sesudah Pelatihan KPSP (kelompok tindakan) Kelompok Off the job training (Pre) Kelompok Off the job training (post) Sikap F (%) F (%) Mendukung Tidak mendukung ,0 30, Jumlah Tabel 4. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Sikap Kader Sebelum dan Sesudah Pelatihan KPSP (kelompok kontrol) Kelompok On the job training (pre) Kelompok On the job training (post) Sikap F (%) F (%) Mendukung Tidak mendukung ,3 26, Jumlah Tabel 3 menunjukan responden yang mengikuti pelatihan dengan metode off the job training sebelum pelatihan memiliki sikap yang mendukung penggunaan KPSP ada 21 (70%) dan setelah dilakukan pelatihan seluruh responden mendukung penggunaan KPSP yaitu 30 (100%). Dan tabel 4 responden yang mengikuti pelatihan dengan metode on the job training, sebelum pelatihan 22 (73,3%) yang mendukung penggunaan KPSP dan setelah pelatihan 30 (100%) responden mendukung penggunaan KPSP untuk mendeteksi perkembangan balita. Kemampuan dalam menggunakan KPSP Hasil analisis data diketahui bahwa kemampuan kader dalam menggunakan KPSP setelah pelatihan dengan metode off the job training dan on the job training adalah sebagai berikut : Tabel 5. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan kemampuan Kader menggunakan KPSP Kelompok Off the job training Kelompok On the job training Kemampuan F (%) F (%) Kompeten 23 76, ,0 Tidak kompeten 7 23, ,0 Jumlah Tabel 5 menunjukan responden yang mengikuti pelatihan dengan metode off the job training memiliki kemampuan yang kompeten dalam menggunakan KPSP 23 (76,7%) dan responden yang mengikuti pelatihan dengan metode on the job training memiliki kemampuan yang kompeten dalam menggunakan KPSP ada 18 (60%) responden. Hasil analisis data Tabel 6. Analisis data penelitian ini menggunakan teknik Wilcoxon Signed Ranks Test pada kelompok eksperimen sebelum dan sesudah diberikan perlakuan. N Mean Std. deviasi Min Max Sebelum 30 Pengetahuan 25,67 1, Sikap 14,60 0, Setelah 30 Pengetahuan 26,87 1, Sikap 14,57 0,

7 Tabel 7. Test Statistic a Untuk Kelompok Eksperimen (Metode Off The Job Z Asymp.Sig. (2-tailed) Training) Pengetahuan setelah-sebelum pelatihan -3,873 b.000 Sikap setelah sebelum pelatihan b.003 a. Wilcoxon signed Ranks Test b. Based on negative Ranks Tabel 8. Test Statistic a Untuk Kelompok Kontrol (Metode On The Job Z Asymp.Sig. (2-tailed) Training) Pengetahuan setelah sebelum pelatihan b.248 Sikap setelah sebelum pelatihan b.005 a. Wilcoxon signed Ranks Test b. Based on negative Ranks Hasil analisis data perbedaan Tabel 9. Test Statistics a Untuk Pengetahuan Setelah Pelatihan Kompetensi Semua Responden Mann Whitney U Wilcoxon W Z Asymp.Sig.(2-tailed) a. Grouping variabel: kelompok Tabel 10. Tabel 5.17 Test Statistics a Untuk Sikap Setelah Pelatihan Kompetensi Semua Responden Mann Whitney U Wilcoxon W Z Asymp.Sig.(2-tailed) a. Grouping variabel: kelompok Tabel 11. Test Statistics a Untuk Kemampuan Setelah Pelatihan Kompetensi Semua Responden Mann Whitney U Wilcoxon W Z Asymp.Sig.(2-tailed) b. Grouping variabel: kelompok Pembahasan Pengetahuan Nilai signifikansi pengetahuan pada kelompok metode off the job training 0,000 < 0,05, maka Ho ditolak, yang berarti pada kelompok eksperimen terdapat perbedaan pengetahuan antara sebelum dan sesudah pelatihan. Sedangkan, signifikansi pengetahuan pada kelompok metode on the job training 0,248 < 0,05, maka Ho diterima, yang berarti pada kelompok kontrol tidak terdapat perbedaan pengetahuan antara sebelum dan sesudah pelatihan. Penelitian ini hampir sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Maddalak (2012) yang menyatakan bahwa kemampuan kader sebelum dilakukan pelatihan rata-rata memiliki kemampuan yang kurang dan setelah dilatih kemampuan menjadi lebih baik. Salah satu faktor penting yang mendukung pengetahuan adalah dimilikinya tingkat pendidikan yang lebih tinggi, karena semakin tinggi pendidikan seseorang semakin luas pula cara pandang dan pola berfikir dalam bertindak. Dalam Notoatmojo (2003) dijelaskan bahwa pendidikan kesehatan adalah semua kegiatan untuk memberikan dan meningkatkan pengetahuan, sikap, dan praktek masyarakat dalam memelihara dan meningkatkan kesehatan mereka sendiri. Teori tersebut sesuai dengan hasil penelitian yang memperlihatkan adanya peningkatan pengetahuan setelah diberikan pelatihan dengan metode off the job training. Off The Job Training adalah pelatihan yang dilaksanakan pada lokasi terpisah dengan tempat kerja. Program pelatihan ini memberikan kepada individu-individu keahlian dan pengetahuan yang mereka butuhkan untuk mengerjakan pekerjaan pada waktu yang terpisah dari waktu kerja kader. Metode off the job training lebih cenderung berfokus pada 491

8 perkembangan dan pendidikan jangka panjang. Adapun metode yang digunakan dalam off the job training pada penelitian ini adalah vestibule training, lecture, visual presentations, conferences dan discusion, role playing, dan simulation. Pelatihan ini dapat memberikan pembelajaran yang terprogram dengan tujuan untuk meningkatkan kemampuan dan keterampilan kader dimana makna kemampuan dan keterampilan meliputi aspek kemampuan dan keterampilan yang utuh. Termasuk dalam makna kemampuan adalah kecerdasan majemuk (multiple intelegencies) dan aspek-aspek psikologis lain, seperti motivasi kerja, kecerdasan sosial, kecerdasan emosional, dan sebagainya yang dapat dikembangkan melalui pelatihan, seperti pelatihan dengan metode off the job training. Pernyataan ini didukung dengan hasil analisis data yang menyatakan bahwa responden yang mengikuti pelatihan dengan metode off the job training sebelum pelatihan memiliki pengetahuan yang baik tentang KPSP ada (50%) dan setelah dilakukan pelatihan seluruh responden berpengetahuan baik yaitu (100%), sedangkan responden yang mengikuti pelatihan dengan metode on the job training, sebelum pelatihan (77,4%) memiliki pengetahuan yang baik tentang KPSP dan setelah pelatihan naik menjadi (87,1%) responden berpengetahuan baik. Hal menunjukan bahwa pelatihan dengan metode off the job training dapat meningkatkan skor pengetahuan lebih tinggi dibandingkan pelatihan dengan metode on the job training. Hal Ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Hamidah (2014) yang menyebutkan bahwa kemampuan kerja sebagai variabel moderator hubungan off the job training terhadap kinerja pegawai, karena nilai pengaruh tidak langsung lebih besar dari pengaruh langsung. Ini berarti off the job training mampu menaikkan kinerja lebih besar jika melalui peningkatan kemampuan. Sikap Nilai signifikansi sikap pada kelompok metode off the job training diketahui 0,003 < 0,05, maka Ho ditolak, yang berarti ada pengaruh pelatihan tentang KPSP dengan metode off the job training terhadap sikap kader sebelum dan sesudah kader diberikan pelatihan. Hal ini menunjukan pada kelompok eksperimen terdapat perbedaan sikap antara sebelum dan sesudah pelatihan. Sedangkan, nilai signifikansi sikap kelompok metode on the job training 0,005 < 0,05, maka Ho ditolak, yang berarti ada perbedaan sikap antara sebelum dan sesudah pelatihan. Menurut Sunaryo (2004) sikap merupakan respons tertutup seseorang terhadap suatu stimulus atau objek, baik yang bersifat intern maupun ekstern sehingga manifestasinya tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup tersebut. Menurut Baron & Byrne (1991) yang dikutip oleh Niven (2002) mengatakan bahwa sikap yang didapat dari pengalaman langsung akan lebih kuat dan sulit untuk dilupakan dibanding sikap yang dibentuk dari pengalaman orang lain. Hasil perbandingan kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol menunjukan bahwa responden yang mengikuti pelatihan dengan metode off the job training sebelum pelatihan 492

9 memiliki sikap yang mendukung penggunaan KPSP ada 21 (70%) dan setelah dilakukan pelatihan seluruh responden mendukung penggunaan KPSP yaitu 30 (100%). Sedangkan responden yang mengikuti pelatihan dengan metode on the job training, sebelum pelatihan 23 (74,2%) yang mendukung penggunaan KPSP dan setelah pelatihan 31 (100%) responden mendukung penggunaan KPSP untuk mendeteksi perkembangan balita. Dengan demikian dapat diketahui bahwa kedua metode sama-sama berpengaruh terhadap peningkatan skor sikap kader sikap kader dalam mendukung penggunaan KPSP Kemampuan dalam menggunakan KPSP Hasil analisis data pada kelompok eksperimen (pelatihan dengan menggunakan metode off the job training) didapatkan bahwa responden yang yang mengikuti pelatihan dengan menggunakan metode off the job training memiliki kemampuan yang kompeten dalam menggunakan KPSP (60%). Sehingga dapat disimpulkan bahwa metode off the job training mempunyai pengaruh dalam meningkatkan pengetahuan dan sikap kader tentang KPSP untuk mendeteksi perkembangan anak balita di Puskesmas Tembokrejo. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Hamidah (2014) yang menyebutkan bahwa kemampuan kerja sebagai variabel moderator hubungan off the job training terhadap kinerja pegawai, karena nilai pengaruh tidak langsung lebih besar dari pengaruh langsung. Ini berarti off the job training mampu menaikkan kinerja lebih besar jika melalui peningkatan kemampuan. Farantika (2014) menyebutkan kemampuan merupakan kesanggupan atau kecakapan seorang individu dalam menguasai suatu keahlian dan digunakan untuk mengerjakan berbagai tugas dalam satu suatu pekerjaan yang dikerjakannya. Sedangkan, menurut Depkes (1993) untuk mengubah komponen perilaku perlu dipilih metode yang tepat. Metode untuk mengubah pengetahuan dapat digunakan metode ceramah, tugas baca, panel dan konseling. Sedangkan untuk mengubah sikap dapat digunakan metode curah pendapat, diskusi kelompok, tanyajawab serta pameran. Metode pelatihan demonstrasi lebih tepat untuk mengubah keterampilan. Metode pelatihan dengan off the job training yang dilakukan dalam penelitian ini sudah mencakup komponen dalam merubah perilaku yang dicantumkan dalam Depkes (1993). Karena metode off the job training ini pelatihan dilakukan ditempat yang terpisah dengan tempat kerja, adanya berbagai macam informasi yang disampaikan, peserta melatih diri sendiri, adanya visual presentasi, diskusi, case studies, role playing, stimulasion. Perbedaan pelatihan metode off the training dan on job training Dengan nilai signifikansi sebesar 0,001 < 0,05, maka Ho ditolak yang berarti terdapat perbedaan kemampuan menggunakan KPSP antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Sehingga, kesimpulan akhir yang didapatkan bahwa metode off the job training mempunyai pengaruh dalam meningkatkan pengetahuan dan sikap kader tentang KPSP untuk mendeteksi 493

10 perkembangan anak balita di Puskesmas Tembokrejo. Menurut Swasto (2011) on the job training adalah suatu kegiatan pelatihan yang dilakukan ditempat kerja, dimana seorang mempelajari pekerjaan dengan melaksanakannya secara aktual dalam pekerjaan. Simamora (2006) menyatakan off the job training diselenggarakan dilokasi yang terpisah. Berdasarkan pengertian yang diungkapkan oleh para ahli diatas, maka perbedaan antara on the job training dan off the job training terdapat pada tempat penyelenggaraan dan materi yang diberikan. Metode pelatihan on the job training dilakukan ditempat kerja yang sesungguhnya dan dengan memberikan materi berupa tugas-tugas kepada karyawan untuk dikerjakan. Sedangakan metode pelatihan off the job training dilaksanakan diluar tempat kerja dan dengan memberikan materi-materi tertentu untuk diberikan kepada peserta pelatihan. Hal ini sesuai dengan teori yang dinyatakan oleh Notoatmodjo (2007). Yang menjelaskan bahwa setelah seseorang mengalami stimulus atau objek kesehatan, kemudian mengadakan penilaian atau pendapat terhadap apa yang diketahui, proses selanjutnya diharapkan dapat melaksanakan atau mempraktikkan apa yang diketahui dan disikapi Menurut Machfoed (2008), pendidikan kesehatan salah satunya dengan pelatihan merupakan proses perubahan, yang bertujuan untuk mengubah individu, kelompok dan masyarakat menuju hal-hal yang positif secara terencana melalui proses belajar. Perubahan tersebut mencakup pengetahuan, sikap dan ketrampilan melalui proses belajar. Selain itu, Farantika (2014) menyebutkan kemampuan merupakan kesanggupan atau kecakapan seorang individu dalam menguasai suatu keahlian dan digunakan untuk mengerjakan berbagai tugas dalam satu suatu pekerjaan yang dikerjakannya. KESIMPULAN 1. Berdasarkan analisis data diketahui bahwa rata rata responden berusia antara tahun (48,3%), berdasarkan pendidikan rata rata berpendidikan SD (35%), dan sebagian besar bekerja sebagai ibu rumah tangga (78,3%), dengan lama menjadi kader sebagian besar (70%) antara 1 10 tahun. 2. Ada pengaruh yang signifikan antara pengetahuan sebelum dan sesudah pelatihan Kuesioner Pra Skrining Perkembangan (p=0,000) pada kelompok dengan metode off the job training. 3. Ada pengaruh yang signifikan antara sikap sebelum dan sesudah pelatihan Kuesioner Pra Skrining Perkembangan (p=0,003) pada kelompok dengan metode off the job training dan pada kelompok dengan metode on the job training (p=0,005). 4. Ada pengaruh pelatihan terhadap kemampuan kader dalam menggunakan Kuesioner Pra Skrining Perkembangan (KPSP) baik dengan metode on the job training (24,39) maupun off the job training (37,83). 5. Ada perbedaan hasil peningkatan kemampuan dalam menggunakan Kuesioner PraSkrining Perkembangan antara kelompok metode off the job training dan metode on the job training (p=0,001). 494

11 SARAN 1. Perlunya dukungan dari desa dalam hal Anggaran Dana Desa (ADD) untuk pelaksanaan pelatihan pada kader dalam meningkatkan pengetahuan sehingga pemantauan pertumbuhan dan perkembangan bayi dan balita terlaksana dengan baik. 2. Diperlukan maintenance dan mentoring secara berkala dan berkelanjutan oleh Kepala Puskesmas, Bidan wilayah, Koordinator kader untuk membantu, mencari solusi dan keberlangsungan pendeteksian perkembangan bayi dan balita di wilayahnya. 3. Dukungan dari Dinas Kesehatan Kabupaten Banyuwangi sangat diperlukan untuk : (1) Pelaksanaan SI DEDI PENAK (Stimulasi Deteksi Dini Pertumbuhan dan Perkembangan Anak) minimal di wilayah Kecamatan Muncar dalam supervisi kegiatan secara berkala dan berkelanjutan, (2) Dilakukannya pelatihan SDIDTK dengan menggunakan metode off the job training terhadap kaderkader posyandu dan akan lebih efektif dan efisien jika dilakukan oleh Puskesmas, (3) Dalam metode off the job training pelatihan dilakukan ditempat terpisah dengan tempat kerja, menyampaikan berbagai macam informasi, peserta bisa melatih diri sendiri, visual presentasi, diskusi, case studies, role playing, dan stimulasi. DAFTAR PUSTAKA Arikunto S Statistik Untuk Penelitian. Cetakan ke-16. Alfabeta. Bandung. Kadir Stattistik Terapan: Konsep, Contoh dan Analisis Data dengan Program SPSS/lisrel Dalam Penelitian. Rajawali Pers. Jakarta. Maddalak V Pengaruh Pelatihan Kader terhadap Tingkat Pengetahuan dan Sikap Kader Tentang Tugas Kader Posyandu di Wilayah Kerja Puskesmas Desa Awu Kecamatan Luwak Kabupaten Banggai Sulawesi Tengah (skripsi). Program Studi Ilmu Keperawatan Stikes Aisiyah Yogyakarta. Yogyakarta. Niven, Neil Psikologi Kesehatan Keperawatan Pengantar untuk Perawat dan Profesional Kesehatan lain. EGC. Jakarta Notoatmodjo S Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Rineka Cipta. Jakarta. Notoatmodjo, S Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Rineka Cipta. Jakarta. Sugiyono Prosedur Penelitian Edisi Revisi Rineka cipta. Jakarta. Sunaryo Psikologi untuk Keperawatan. EGC. Jakarta. Simamora H Manajemen Sumber Daya Manusia. Cetakan kedua. STIE TKPN. Yogyakarta. 495

12 FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN ISPA PADA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS KALIBARU KABUPATEN BANYUWANGI Firdawsyi Nuzula 1, Rizki Yulia P 1 1 Prodi D III Keperawatan Akademi Kesehatan Rustida Korespondensi: Firdawsyi Nuzula, d/a Prodi D III Keperawatan Akademi Kesehatan Rustida Jln. RS. Bhakti Husada Krikilan Glenmore Banyuwangi firda_indiana@yahoo.co.id ABSTRAK Angka kesakitan dan kematian tertinggi yang menyerang balita akibat dari infeksi adalah ISPA. Sekitar dua juta anak yang meninggal setiap tahun akibat dari infeksi ini di negara-negara berkembang. Faktor-faktor yang mempengaruhi status kejadian ISPA pada balita baik faktor langsung maupun tidak langsung. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kejadian ISPA pada Balita. Metode penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif cross-sectional analitik. Dengan menggunakan Purposive Sampling didapatkan jumlah sampel penelitian 62 balita. Data dianalisis menggunakan uji chi-square dan analisis multivariat dengan regresi logistic. Hasil analisis regresi logistik ganda menunjukkan bahwa dengan CI 95% didapatkan faktor status gizi menunjukkan OR=0,803, riwayat imunisasi OR=0,725, riwayat pemberian ASI eksklusif=6,968 dan paparan asap rokok OR=0,602. Berdasarkan hasil menunjukkan bahwa hanya riwayat pemberian ASI eksklusif yang berhubungan dengan kejadian ISPA dan secara statistik signifikan. Pemberian ASI secara eksklusif dapat menurunkan resiko kejadian ISPA pada balita karena kandungan ASI memiliki kekhususan biologis yang terformulasikan secara unik di dalam tubuh ibu sesuai dengan tahapan perkembangan bayi untuk memastikan pertumbuhan, meningkatkan daya tahan tubuh dan membentuk pertumbuhan otak bayi. Kata kunci: ASI eksklusif, kejadian ISPA, Balita PENDAHULUAN Derajat kesehatan bangsa tercermin dari status kesehatan anak, karena anak merupakan generasi bangsa (Febrianto, 2015). ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) merupakan penyakit terbanyak yang dilaporkan di pusat pelayanan kesehatan masyarakat (Saputri, 2014). ISPA menjadi salah satu penyebab angka kesakitan dan kematian dari penyakit infeksi yang ada di dunia dengan angka kematian tertinggi menyerang pada anak balita (Kemenkes RI, 2009) dan salah satu penyebab kematian pada anak di negara 496

13 berkembang yang menyebabkan 4 dari 15 juta kematian anak berusia di dibawah 5 tahun setiap tahunnya (WHO, 2007) Insidens menurut kelompok umur Balita diperkirakan 0,29 episode per anak/tahun di negara berkembang dan 0,05 episode per anak/tahun di negara maju. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat 156 juta episode baru di dunia per tahun dimana 151 juta episode (96,7%) terjadi di negara berkembang. Indonesia termasuk dalam kasus 5 tertinggi di dunia dengan jumlah kasus sebesar 6 juta episode setelah India, China, Pakistan dan Bangladesh (Kemenkes RI, 2012). Angka prevalensi nasional ISPA sebanyak 25,5% dan 16 provinsi diatas angka nasional dan angka kesakitan pada bayi dengan kasus pneumonia sebesar 2.2%, balita 3% dan angka kematian pada bayi sebesar 23,8% dan balita 15,5% (Kemenkes RI, 2009). Jawa Timur merupakan provinsi dengan peringkat kelima tertinggi ISPA yaitu sebesar 28,3%. Karakteristik penduduk dengan ISPA yang tertinggi terjadi pada anak balita yaitu sebesar 25,8% (Riskesdas, 2013). Berdasarkan hasil laporan tahunan Puskesmas Kalibaru Kulon didapatkan data sebanyak 763 kasus ISPA dari balita pada tahun 2016 dan merupakan penyakit dengan angka kesakitan terbanyak sepanjang tahun (Puskesmas Kalibaru, 2016). ISPA disebabkan oleh virus, bakteri, atypikal atau substansi asing yang menyerang sistem pernafasan baik atas maupun bawah dengan gejala awal panas disertai dengan panas, nyeri tenggorokan, batuk dan pilek (Wong, 2009). Indonesia diperkirakan balita mendapatkan serangan batuk pilek sebanyak 3-6 kali dalam setahun (Kunoli, 2012). Hal ini disebabkan oleh status gizi, riwayat dan kelengkapan pemberian imunisasi, pemberian ASI eksklusif dan riwayat terpapar asap rokok. Status gizi yang kurang mengakibatkan penurunan sistem kekebalan tubuh sehingga anak akan lebih rentan untuk terserang penyakit (Febrianto, 2015). Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Hadiana (2013) bahwa zat gizi yang diperoleh dari asupan makanan memiliki efek kuat untuk reaksi kekebalan tubuh dan resistensi terhadap infeksi. Upaya untuk melindungi seseorang terhadap penyakit menular tertentu agar kebal dan terhindar dari penyakit infeksi tertentu merupakan tujuan dari imunisasi. Pentingnya imunisasi didasarkan pada pemikiran bahwa pencegahan penyakit merupakan upaya terpenting dalam pemeliharaan kesehatan anak (Suhandayani, 2007). Selain imunisasi dalam proses tumbuh kembang bayi ASI (Air Susu Ibu) memiliki peran yang sangat penting karena banyak mengandung kolostrum yang berfungsi sebagai antibodi untuk melawan infeksiinfeksi bakteri dan virus (Catiyas, 2012). Pendapat tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Damanik dkk (2014) bahwa ASI merupakan makanan terbaik bagi anak terutama pada bulan-bulan pertama karena dapat mencukupi kebutuhan gizi bayi untuk tumbuh kembang dengan normal sampai berusia 6 bulan. ASI juga kaya akan antibodi yang dapat melindungi bayi dari berbagai macam infeksi bakteri, virus, dan alergi serta mampu merangsang perkembangan sistem 497

14 kekebalan bayi. Selain ASI, asap rokok juga merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan terjadinya ISPA. Asap rokok banyak mengandung racun seperti nicotin dan monoksida yang dapat mengakibatkan kerusakan pada epitel dan lapisan mukosa saluran pernafasan (Marlina, 2014). Pendapat tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Marhamah (2013) menjelaskan keberadaan anggota keluarga yang merokok di dalam rumah menunjukkan hasil bahwa balita yang terpapar asap rokok 53.2% menderita ISPA dengan nilai p=0,026. Petugas kesehatan belum sepenuhnya menerapkan tatalaksana standar P2 ISPA yang menitik beratkan pada penanganan penyakit pneumonia pada bayi dan balita melalui MTBS, keterbatasan tenaga dan masih ada anggapan akan memakan waktu cukup lama menjadi salah satu alasan. Akibatnya banyak penderita pneumonia bayi dan balita yang lolos dari deteksi penyakit pneumonia. Terbukti dari tingginya jumlah penemuan penderita batuk bukan pneumonia pada balita sebesar kasus atau 37,22% (Dinkes Kab. Banyuwangi, 2014). Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang dapat menyebabkan kejadian ISPA pada balita sangat perlu untuk dideteksi sangat cermat. Penelitian ini berupaya untuk meneliti faktor-faktor apa yang berhubungan dengan kejadian ISPA pada balita. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan rancangan cross-sectional analitik menggunakan pendekatan kuantitatif. Populasi target dalam penelitian ini adalah seluruh anak balita yang mengalami ISPA di wilayah kerja Puskesmas Kalibaru kabupaten Banyuwangi pada bulan Maret sampai dengan Mei Sampel penelitian didapatkan dengan metode Purposive Random Sampling berdasarkan catatan buku register Puskesmas yang berdomisili di Kecamatan Kalibaru. Hasil pengukuran tersebut kemudian dijadikan sampel frame. Besar sampel dalam penelitian ini yaitu 62 balita. Pengumpulan data dimulai dengan wawancara langsung oleh bidan/perawat puskesmas untuk mendapatkan balita dengan ISPA. Instrumen penelitian yang digunakan berisi pertanyaan berkaitan dengan karakteristik sampel, status gizi, status imunisasi, riwayat pemberian ASI dan riwayat paparan asap rokok. Hasil pengumpulan data dari kuesioner selanjutnya ditabulasi dan dianalisis menggunakan uji chisquare dan analisis multivariat dengan regresi logistic. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1. Hasil perhitungan statistik dengan Chi Square Hasil menunjukkan adanya hubungan status gizi, status imunisasi, riwayat pemberian ASI dan riwayat paparan asap rokok. Tabel ini menunjukkan nilai OR pada faktor riwayat pemberian ASI sebesar 9, sedangkan pada faktor yang lain

15 Tabel 1. Analisis Chi Square Hubungan Status Gizi, Status Imunisasi, Riwayat Pemberian Asi Dan Riwayat Paparan Asap Rokok Status Gizi Faktor Dependen ISPA Kejadian ISPA Tidak ISPA Total n % n % n % Kurang 15 48, , ,5 Baik 16 51, , ,5 Total OR P 0,591 0,442 Status Imunisasi Riwayat Pemberian ASI Tidak lengkap 7 22,6 8 25, ,2 Lengkap 24 77, , ,8 Total Tidak eksklusif 16 51,6 5 16, ,9 Eksklusif 15 48, , ,2 Total ,088 0,767 9,047 0,003 Paparan Asap Rokok Terpapar 20 64, , ,1 Tidak terpapar 11 35, , ,9 Total Hasil analisis multivariat menggunakan regresi logistik ganda untuk mengetahui seberapa besar pengaruh antara 0,072 0,0788 riwayat pemberian ASI terhadap kejadian ISPA dapat dilihat dari tabel 2. Tabel 2. Analisis Regresi Logistik Ganda Hubungan Riwayat Pemberian ASI dengan Kejadian ISPA pada Responden Variabel OR CI 95% p Uji Wald Batas bawah Batas atas Status gizi 0,803 0,207 3,108 0,101 Imunisasi 0,725 0,176 2,988 0,198 Riwayat pemberian ASI 6,968 1,760 27,582 7,649 Paparan asap rokok 0,602 0,186 1,949 0,716 N observasi 62-2 log likelihood 75,779 Nagelkerke R 2 0,202% Tabel 2 menunjukkan nilai Odd Ratio variabel riwayat pemberian ASI sebesar 6,968 yang menunjukkan bahwa balita dengan riwayat pemberian ASI tidak eksklusif mempunyai kemungkinan 7 kali untuk mengalami ISPA dibandingkan dengan balita yang memiliki riwayat pemberian ASI eksklusif. Pembahasan Faktor riwayat pemberian ASI dengan kejadian ISPA pada balita secara statistik menunjukkan hubungan yang signifikan. ASI memiliki manfaat penting bagi bayi, maka para ahli menyarankan agar ibu menyusui bayinya selama 6 bulan sejak kelahiran atau disebut dengan ASI eksklusif (Mardiati, 2007). Anak dengan ASI eksklusif mengalami pertumbuhan lebih baik dibandingkan 499

16 dengan tidak ASI eksklusif (Irawati dkk, 2008). Zat antibodi untuk kekebalan tubuh bayi yang diperoleh janin semenjak dalam kandungan melalui plasenta juga terdapat dalam ASI, oleh sebab itu ASI harus diberikan sedini mungkin (Roesli, 2005). Penelitian yang dilakukan oleh Irmayanti (2015) menyatakan bahwa bayi yang mendapatkan ASI eklsklusif ternyata akan lebih sehat dan jarang mengalami kejadian ISPA dibandingkan dengan bayi yang tidak mendapatkan ASI eksklusif. Penelitian serupa yang dilakukan oleh Abbas dan Haryati (2011) di Bandung didapatkan temuan yang sama bahwa pemberian ASI eksklusif terbukti efektif dalam mencegah infeksi pada pernapasan dan pencernaan. Rendahnya pemberian ASI eksklusif terdapat pengaruh terhadap kejadian ISPA pada bayi, di mana lebih tinggi pada bayi yang diberikan susu formula dibanding dengan bayi yang diberikan ASI (Sumarni dkk, 2013). KESIMPULAN Pemberian ASI secara eksklusif dapat menurunkan resiko kejadian ISPA pada balita. Kandungan ASI memiliki kekhususan biologis yang terformulasikan secara unik di dalam tubuh ibu sesuai dengan tahapan pertumbuhan dan perkembangan bayi, meningkatkan daya tahan tubuh dan membantu pertumbuhan otak bayi. Nutrisi yang terkandung di dalam ASI sangatlah banyak, komposisi di dalam ASI penting bukan hanya bagi perkembangan daya tahan tubuh balita, akan tetapi juga untuk perkembangan otaknya. Kandungan ASI tidak sebanding dengan Susu formula dan makanan lain. ASI mengandung nutrisi yang secara khusus diperlukan untuk menunjang proses tumbuh kembang otak dan memperkuat daya tahan tubuh alami. Maka riwayat pemberian ASI secara eksklusif pada balita berkaitan erat dengan ISPA. SARAN Puskesmas perlu lebih meningkatkan promosi tentang pentingnya pemberian ASI eksklusif bagi bayi agar ibu lebih termotivasi untuk memberikan ASI eksklusif dan suami juga terdorong untuk memberikan dukungan kepada ibu dalam pemberian ASI eksklusif. DAFTAR PUSTAKA Abbas, P & Haryati, A.S Hubungan Pemberian Asi Eksklusif Dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) Pada Bayi. Majalah Ilmiah Sultan Agung, 49. Hal 123. Dinkes Kab. Banyuwangi Profil Kesehatan Kabupaten Banyuwangi Tahun Jawa Timur: Dinkes Kabupaten Banyuwangi. Donna L Wong Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik. EGC: Jakarta. Embriyowati Catiyas Faktor- Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian ISPA Pada Balita Di Wilayah Kecamatan Gombong Kabupaten Kebumen Jawa Tengah Tahun Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. 500

17 Firdaus J. Kunoli Asuhan Keperawatan Penyakit Tropis. Jakarta. CV. Trans Info Media. Irawati A, Achadi EL, Jahari AB Berat dan panjang bayi serta Z Skor Bayi dengan ASI Predominan dan Parsial berdasarkan Standar WHO 2005 dan NCHS/WHO. Jurnal Gizi Indonesia. 2008; 31(1): Irmayanti Hubungan Pemberian ASI Eksklusif Dengan Kejadian ISPA Pada Bayi Di Wilayah Kerja Puskesmas Kabaena Tengah Kabupaten Bombana Sulawesi Tengah. STIK. Makasar Kemenkes RI Pneumonia Penyebab Kematian Utama Balita. Jakarta: Depkes RI. Kemenkes RI Pedoman Pengendalian Infeksi Saluran Pernafasan Akut. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit Dan Penyehatan Lingkungan. Lenni Marlina, Sorimuda sarumpaet, Rasmaliah Faktor-Faktor Yang Berhubungan dengan Kejadiaan Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) Pada Anak Balita Di Puskesmas Panyabunganjae Kabupaten mandailing Natal tahun Faklutas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera utara. Mardiati I Asi Ekslusif Pada Ibu yang bekerja. Indrawan A, et al, editors. Bunga Rampai Masalah Kesehatan. Jakarta: Balai Penerbit FK UI, 2007; p. 37. Marhamah Faktor Yang Berhubungan dengan Kejadian ISPA Pada Anak Balita Di Desa Bontongan Kabupaten Enrekang. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanudin. Nenden Saputri Infeksi Saluran Pernafasan Akut. Puskesmas Kalibaru Laporan Tahunan ISPA Banyuwangi: Puskesmas Kalibaru Kulon. Putri E G Damanik, Mhd Arifin Siregar, Evawany Y Aritonang Hubungan Status Gizi, Pemberian ASI Eksklusif, Status Imunisasi dasar dengan Kejadian Infeksi Saluran Akut (ISPA) Pada Anak Usia Bulan Di Wilayah Kerja Puskesmas Glugur darat Kota Medan. FKM USU. Riskesdas Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Kemenkes RI. Roesli U Mengenal ASI Eksklusif. Jakarta: Trubus Agriwidya. Suhandayani, I Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian ISPA Pada Balita di Puskesmas Pati I Kabupaten Pati Tahun FIK Universitas Negeri Semarang. Suman Yus Mei Hadiana Hubungan Status Gizi Terhadap Terjadinya Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) Pada Balita Di Pukesmas Pajang Surakarta. Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta. 501

18 Sunarni, Misrina Retnowati dan Adha Dina Rahmayanti Hubungan Antara Pemberian ASI Eksklusif Dengan Kejadian ISPA Pada Bayi Usia 6-12 Bulan Di Puskesmas Purwokerto Barat Wahyu Febrianto, Ircham Mahfoedz, Mulyanti Status gizi berhubungan dengan kejadian ISPA pada balita di Wilayah Kerja Puskemas Wonosari I Kabupaten Gunungkidul Jurnal Gizi Dan Dietetik Indonesia. Vol.3.2.mei.2015 WHO Pencegahan Dan Pengendalian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) Yang Cenderung Menjadi Epidemi Dan Pandemi Di Fasilitas Pelayanan Kesehatan 502

19 503

20 KADAR GLUKOSA DARAH TIDAK TERKONTROL DAN HIPERTENSI TERHADAP KEJADIAN KAKI DIABETIK PADA PASIEN DIABETES MELLITUS Eko Prabowo 1, Haswita 1, Lina Agustiana Puspitasari 1 1 Prodi D III Keperawatan Akademi Kesehatan Rustida Korespondensi: Eko Prabowo d/a Prodi D III Keperawatan Akademi Kesehatan Rustida Jl. RSU. Bhakti Husada Krikilan Glenmore Banyuwangi, Jawa Timur prabowo_e@yahoo.com Sumber Dana : Ristekdikti ABSTRAK Populasi Diabetes Mellitus saat ini meningkat dan berdampak pada peningkatan kejadian ulkus kaki diabetik sebagai komplikasi kronis Diabetes Mellitus. Tujuan penelitian ini adalah hubungan faktor resiko terhadap kejadian kaki diabetik antara lain hipertensi dan kadar glukosa darah tidak terkontrol. Penelitian ini bersifat observasional analitik dengan desain komparasi dan pendekatan crossectional. Sampel penelitian ini terdiri dari 60 responden terbagi menjadi dua kelompok yaitu 30 orang kelompok perlakuan yaitu responden diabetes mellitus dengan ulkus kaki diabetik dan 30 orang kelompok kontrol yaitu responden dengan diabetes mellitus tanpa ulkus kaki diabetik. Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan metode consecutive sampling. Untuk menginterpretasikan hubungan diantara dua variable independen menggunakan uji uji regresi logistik dengan p value < Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh kadar glukosa darah tidak terkontrol terhadap kejadian kaki diabetik dengan nilai Sig Wald > Ada pengaruh faktor hipertensi terhadap kejadian kaki diabetic dengan nilai Sig Wald < 0,05. Kadar gula darah tidak terkontrol dengan OR 2,265 maka orang yang gula darahnya tinggi, lebih beresiko mengalami kaki diabetik sebanyak 2,265 kali lipat di bandingkan orang yang gula darahnya normal. Hipertensi dengan OR 1,780 maka orang yang mengalami hipertensi lebih beresiko mengalami kaki diabetik sebanyak 1,780 kali lipat dibandingkan orang yang tidak menderita hipertensi. Pasien Diabetes Melitus yang mengalami hipertensi harus lebih sering kontrol agar tidak terjadi kaki diabetik. Kata Kunci: Diabetes Mellitus, Kaki Diabetik, Kadar Glukosa Darah Tidak Terkontrol, Hipertensi PENDAHULUAN Diabetes Mellitus merupakan suatu penyakit yang ditandai dengan kadar glukosa darah melebihi normal. Kadar glukosa darah untuk orang normal (non diabetes) waktu puasa antara mg/dl dan dua jam 503

21 sesudah makan dibawah 140 mg/dl. Gejala bagi penderita Diabetes Mellitus adalah dengan keluhan banyak minum (polidipsi), banyak makan (poliphagia), banyak buang air kecil (poliuri), badan lemas serta penurunan berat badan yang tidak jelas penyebabnya, kadar gula darah pada waktu puasa 126 mg/dl dan kadar gula darah sewaktu 200 mg/dl (Badawi, 2009). Ulkus kaki diabetik sampai saat ini menjadi masalah kesehatan utama di seluruh dunia, karena kasus yang semakin meningkat, ulkus bersifat kronis dan sulit sembuh, mengalami infeksi dan iskemia tungkai dengan risiko amputasi bahkan mengancam jiwa, membutuhkan sumber daya kesehatan yang besar, sehingga memberi beban sosio-ekonomi bagi pasien, masyarakat, dan negara. Berbagai metode pengobatan telah dikembangkan namun sampai saat ini belum memberikan hasil yang memuaskan. Peningkatan populasi penderita diabetes mellitus (DM), berdampak pada peningkatan kejadian ulkus kaki diabetik sebagai komplikasi kronis DM, dimana sebanyak 15-25% penderita DM akan mengalami ulkus kaki diabetik didalam hidup mereka (Singh, 2005). Di Indonesia, berdasarkan laporan Riskesdas 2007 yang dikeluarkan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan, Republik Indonesia oksigen lokal pada ulkus kronis berkisar setengah dari normal sehingga terjadi gangguan replikasi fibroblast, deposisi kolagen, angiogenesis, vaskulogenesis, dan leukosit. Telah diketahui bahwa peripheral artery disease (PAD) merupakan salah satu bentuk gangguan vaskuler pada ulkus kaki diabetik sebagai sumber penyebab hipoksia jaringan, karena kebanyakan ulkus kaki diabetik berlokasi pada bagian kaki yang mengalami iskemia akibat komplikasi vaskuler dari Diabetes Mellitus kronis. Faktor risiko terjadi ulkus diabetika yang menjadi gambaran dari kaki diabetes pada penderita diabetes mellitus terdiri atas faktorfaktor risiko yang tidak dapat diubah dan faktor-faktor risiko yang dapat diubah (Tambunan) dan (Waspadji, 2006). Faktor - faktor risiko yang tidak dapat diubah antara lain umur, lama menderita diabetes mellitus 10 tahun. Sementara itu faktor-faktor risiko yang dapat diubah antara lain neurophati (sensorik, motorik, perifer), obesitas, hipertensi, Glikolisasi Hemoglobin (HbA1C) tidak terkontrol, kadar glukosa darah tidak terkontrol, kebiasaan merokok, ketidakpatuhan diet diabetes mellitus, kurangnya aktivitas fisik, pengobatan tidak teratur, perawatan kaki tidak teratur, penggunaan alas kaki tidak tepat. Dalam penelitian ini, ingin menganalisis hubungan kadar glukosa darah tidak terkontrol dan hipertensi terhadap kejadian kaki diabetik pada pasien diabetes mellitus. Dengan demikian dapat diambil satu tindakan yang tepat dalam rangka mencegah terjadinya kaki diabetik pada pasien diabetes mellitus. METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini merupakan penelitian epidemiologi yang bersifat observasional analitik dengan desain komparasi dengan pendekatan 504

22 crossectional. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan kadar glukosa darah tidak terkontrol dan hipertensi terhadap kejadian kaki diabetik pada pasien diabetes mellitus. Sampel penelitian ini terdiri dari 60 responden terbagi menjadi dua kelompok yaitu 30 orang kelompok perlakuan yaitu responden diabetes mellitus dengan ulkus kaki diabetik dan 30 orang kelompok kontrol yaitu responden dengan diabetes mellitus tanpa ulkus kaki diabetik. Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan metode consecutive sampling. Penelitian ini dilaksanakan di RSUD Genteng dan RSUD Blambangan terhitung mulai bulan Januari sampai dengan Mei Untuk menginterpretasikan hubungan diantara dua variable Tabel 1 Hasil Analisis Regresi Logistik independen menggunakan uji regresi logistik dengan p value < HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian 1. Analisis Regresi Logistik Berdasarkan data hasil penelitian yang telah dilakukan merupakan data ordinal maka data yang tersedia memenuhi syarat untuk menggunakan model regresi logistik. Analisis regresi logistik digunakan untuk mengetahui sejauh mana hubungan antara variabel bebas terhadap variabel terikat. Tabel 1 menyajikan hasil dari analisis regresi logistik. 95% C.I.for EXP(B) B S.E. Wald df Sig. Exp(B) Lower Upper Step 1 a X X Constant a. Variable(s) entered on step 1: X1, X2. Sumber: Hasil Penelitian, 2013 (Data diolah).berdasarkan tabel 1 dapat dihasilkan persamaan regresi sebagai berikut: Y = -3, ,818 X1 + 0,576 X2 + e 2. Hubungan Parsial Antara Variabel Kadar Glukosa Darah Tidak Terkontrol (X1) Dan Hipertensi (X2) Terhadap Kejadian Kaki Diabetic (Y) Uji Wald dilakukan untuk menunjukkan seberapa jauh hubungan atau pengaruh satu variabel independen secara individual dalam menerangkan variasi variabel dependen. Berdasarkan tabel 1 diketahui bahwa variabel kadar gula darah tidak terkontrol (X1) memiliki nilai p value lebih besar dari 0.05, artinya variabel X1 tidak mempunyai pengaruh parsial yang signifikan terhadap Y di dalam model. X1 mempunyai nilai Sig Wald > 0.05 sehingga Ho diterima atau yang berarti kadar gula darah tidak terkontrol tidak memberikan pengaruh parsial yang signifikan terhadap kejadian kaki diabetik. Variabel X2 atau Hipertensi mempunyai nilai Sig Wald < 0,05 sehingga menolak Ho atau yang berarti hipertensi memberikan 505

23 pengaruh parsial yang signifikan terhadap kejadian kaki diabetik. 3. Besarnya hubungan Antara Variabel Kadar Glukosa Darah Tidak Terkontrol (X1) Dan Hipertensi (X2) Terhadap Kejadian Kaki Diabetik (Y). Besarnya hubungan ditunjukkan dengan nilai EXP (B) atau disebut juga ODDS RATIO (OR). Hal ini sesuai dengan tabel 1. Variabel kadar gula darah tidak terkontrol dengan OR 2,265 maka orang yang gula darahnya tinggi (kode X1 variabel independen), lebih beresiko mengalami kaki diabetic sebanyak 2,265 kali lipat dibandingkan orang yang gula darahnya normal. Nilai B = Logaritma Natural dari 2,265 = 0,818. Oleh karena nilai B bernilai positif, maka kadar gula darah tidak terkontrol mempunyai hubungan positif dengan kejadian kaki diabetik. Variabel hipertensi dengan OR 1,780 maka orang yang mengalami hipertensi (kode X2 variabel independen), lebih beresiko mengalami kaki diabetik (kode 1 variabel dependen) sebanyak 1,780 kali lipat dibandingkan orang yang tidak menderita hipertensi. Nilai B = Logaritma Natural dari 1,780 = 0,576. Oleh karena nilai B bernilai positif, maka hipertensi mempunyai hubungan positif dengan kaki diabetik. Pembahasan 1. Hubungan kadar glukosa darah tidak terkontrol terhadap kejadian kaki diabetic pada pasien Diabetes Mellitus Berdasarkan tabel 1 diperoleh hasil uji wald diketahui bahwa variabel kadar gula darah tidak terkontrol (X1) memiliki nilai p value lebih besar dari 0.05, artinya variabel X1 tidak mempunyai pengaruh parsial yang signifikan terhadap Y di dalam model. X1 mempunyai nilai Sig Wald > 0.05 sehingga Ho diterima atau yang berarti kadar gula darah tidak terkontrol tidak memberikan pengaruh parsial yang signifikan terhadap kejadian kaki diabetik. Ulkus diabetik merupakan komplikasi kronik dari diabetes mellitus sebagai sebab utama morbiditas, mortalitas serta kecacatan penderita diabetes. Kadar LDL yang tinggi memainkan peranan penting untuk terjadinya ulkus diabetik melalui pembentukan plak atherosklerosis pada dinding pembuluh darah (Andyagreni, 2010). Pada penderita diabetes mellitus sering dijumpai adanya peningkatan kadar trigliserida dan kolesterol plasma, sedangkan konsentrasi HDL (highdensitylipoprotein) sebagai pembersih plak biasanya rendah ( 45 mg/dl). Kadar trigliserida 150 mg/dl, kolesterol total 200 mg/dl dan HDL 45 mg/dl akan mengakibatkan buruknya sirkulasi ke sebagian besar jaringan dan menyebabkan hipoksia serta cedera jaringan, merangsang reaksi peradangan dan terjadinya aterosklerosis (Tambunan, 2006; Waspadji, 2006). 506

24 Kondisi ini didukung oleh hasil penelitian yang menunjukkan bahwa hampir seluruh reponden memiliki gula darah tinggi sebanyak 50 orang (83.3%) dan 28 orang diantaranya (46.7%) mengalami kaki diabetes dan hampir setengah responden berusia tahun dan tahun masing-masing sebanyak 20 orang (33%). Faktor-faktor yang berhubungan dengan neuropati menurut (Black, J.M., & Hawks, 2009) antara lain yakni insufisiensi pembuluh darah, peningkatan glukosa darah kronis dan faktor metabolik. Teori lain menyatakan bahwa faktor resiko lain yang dapat menyebabkan neuropati diabetik menurut (Katulanda, P., Priyanga, R., Ranil, J., Gidwin, R. C., Rezvi, S., David, 2012) antara lain peningkatan umur. Dengan peningkatan umur akan semakin meningkatkan resiko terjadinya atherosclerosis dan akan meningkatkan resiko terjadinya ulkus kaki diabetik pada pasien diabetes mellitus. 2. Pengaruh faktor hipertensi terhadap kejadian kaki diabetik pada pasien Diabetes Mellitus Berdasarkan tabel 1 diperoleh hasil uji wald diketahui bahwa variabel X2 atau Hipertensi mempunyai nilai Sig Wald < 0,05 sehingga menolak Ho atau yang berarti hipertensi memberikan pengaruh parsial yang signifikan terhadap kejadian kaki diabetik. Hipertensi (TD > 130/80 mm Hg) pada penderita diabetes mellitus karena adanya viskositas darah yang tinggi akan berakibat menurunnya aliran darah sehingga terjadi defesiensi vaskuler, selain itu hipertensi yang tekanan darah lebih dari 130/80 mmhg dapat merusak atau mengakibatkan lesi pada endotel yang akan mengakibatkan terjadinya ulkus (Tambunan, 2006; Waspadji, 2006). Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa hampir seluruh responden memiliki tekanan darah tidak normal sebanyak 48 orang (80%) dan 20 orang diantaranya (33.3%) mengalami kaki diabetik. Diabetes jangka panjang memberi dampak yang parah pada sistem kardiovaskular. Komplikasi mikrovaskular terjadi akibat penebalan membran basal pembuluh kecil. Penyebab penebalan tersebut berkaitan langsung dengan tingginya kadar glukosa dalam darah. Penebalan mikrovaskular menyebabkan iskemia dan penurunan penyaluran oksigen dan zat gizi ke jaringan. Hipoksia kronis secara langsung merusak dan menghancurkan sel. Pada sistem makrovaskular di lapisan endotel arteri akibat hiperglikemia permeabilitas sel endotel meningkat sehingga molekul yang mengandung lemak masuk ke arteri. Kerusakan sel-sel endotel akan mencetuskan reaksi inflamasi sehingga akhirnya terjadi pengendapan trombosit, makrofag dan jaringan fibrosa. Penebalan dinding arteri menyebabkan hipertensi yang akan semakin merusak lapisan 507

25 endotel arteri karena menimbulkan gaya merobek sel endotel (Corwin. E. J, 2000). Peningkatan gula darah akan memicu peningkatan viskositas darah dan memicu terjadinya athero sklerosis. Kondisi tersebut akan menyebabkan iskemia pada mikrovaskuler. Selain dari pada itu hipertensi dengan tekanan darah lebih dari 130/80 mmhg akan mampu merusak atau mengakibatkan lesi pada endotel yang akan mengakibatkan terjadinya ulkus khususnya pada kaki pasien diabetes mellitus. 3. Besarnya hubungan Antara Variabel Kadar Glukosa Darah Tidak Terkontrol Dan Hipertensi Terhadap Kejadian Kaki Diabetic Variabel kadar gula darah tidak terkontrol dengan OR 2,265 maka orang yang gula darahnya tinggi (kode X1 variabel independen), lebih beresiko mengalami kaki diabetic sebanyak 2,265 kali lipat di bandingkan orang yang gula darahnya normal. Nilai B = Logaritma Natural dari 2,265 = 0,818. Oleh karena nilai B bernilai positif, maka kadar gula darah tidak terkontrol mempunyai hubungan positif dengan kejadian kaki diabetik. Variabel hipertensi dengan OR 1,780 maka orang yang mengalami hipertensi (kode X2 variabel independen), lebih beresiko mengalami kaki diabetik (kode 1 variabel dependen) sebanyak 1,780 kali lipat di bandingkan orang yang tidak menderita hipertensi. Nilai B = Logaritma Natural dari 1,780 = 0,576. Oleh karena nilai B bernilai positif, maka hipertensi mempunyai hubungan positif dengan kaki diabetik. KESIMPULAN 1. Tidak ada pengaruh kadar glukosa darah tidak terkontrol terhadap kejadian kaki diabetic pada pasien Diabetes Mellitus dengan nilai Sig Wald > Ada pengaruh faktor hipertensi terhadap kejadian kaki diabetic pada pasien Diabetes Mellitus dengan nilai Sig Wald < 0,05 3. Kadar gula darah tidak terkontrol dengan OR 2,265 maka orang yang gula darahnya tinggi, lebih beresiko mengalami kaki diabetik sebanyak 2,265 kali lipat di bandingkan orang yang gula darahnya normal. SARAN 1. Bagi Instansi Pendidikan Pada institusi pendidikan keperawatan khususnya dosen pendidik diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan dan motivasi mahasiswa calon perawat tentang pentingnya peran perawat dalam penatalaksanaan pasien dengan kaki diabetic baik dari aspek promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif, serta memahami konsep perilaku perawatan diri dan kualitas hidup pada penderita kaki diabetic, sehingga dapat meningkatkan pengetahuan, sikap dan keterampilan dalam menerapkan asuhan keperawatan 508

26 pada kaki diabetik yang lebih holistik. 2. Bagi Instansi Pelayanan Keperawatan a. Bagi Rumah Sakit Bagi rumah sakit tempat penelitian dilakukan, diharapkan dapat memberikan pendidikan kesehatan berupa penyuluhan tentang pentingnya perawatan kaki mengenai perawatan kaki. Hal yang dapat dianjurkan bagi penderita kaki diabetic pada perawatan kaki seperti memeriksa kaki setiap hari apakah ada luka ataupun lecet, mencuci dan membersihkan kaki setiap hari, dan melakukan latihan gerak kaki. b. Bagi Perawat Perawat diharapkan dapat memberikan arahan dan anjuran kepada penderita kaki diabetic yang masih sedikit melakukan aktivitas fisik seperti melakukan senam secara rutin di pelayanan kesehatan primer seperti klinik kesehatan primer ataupun klinik BPJS. Perawat diharapkan dapat memberikan arahan dan anjuran kepada penderita kaki diabetic untuk dapat melakukan pemeriksaan gula darah secara rutin dengan melakukannya secara mandiri ataupun dengan memeriksakan gula darah di pelayanan kesehatan seperti puskesmas atau fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) BPJS yang melayani kesehatan pada promotif dan preventif mengenai gula darah dimana pelayanan bersifat gratis sehingga penderita kaki diabetic dapat memonitoring gula darahnya secara teratur. 3. Bagi peneliti selanjutnya a. Bagi peneliti selanjutnya diharapkan agar dapat menggali lagi faktor-faktor yang dapat mempengaruhi perilaku perawatan diri penderita penderita kaki diabetic b. Melakukan penelitian action research yang bertujuan untuk mengembangkan intervensi keperawatan, seperti pengembangan model edukasi perilaku perawatan diri diabetes yang bermanfaat bagi peningkatan perilaku perawatan diri dan kualitas hidup penderita kaki diabetic. DAFTAR PUSTAKA Alwi Shahab Komplikasi Kronik DM Penyakit Jantung Koroner. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 3. Edisi IV. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Badawi, H Melawan Dan Mencegah Diabetes. Araska. Yogyakarta. David Diagnosis dan Klasifikasi DM Terkini, Penatalaksanaan DM Terpadu, 17-21, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. 509

27 Lemone dan Burke, 2008, Medical Surgical Nursing: Critical Thingking in Client Care, New Jersey, Pearson Prentice Hall Mutmainah Penyebab ketidak terisian diagnosis pada lembar resume medis pasien rawat inap di Rumah Sakit Khusus Bedah Islam Cawas Klaten. Karya tulis lmiah ini (Tidak Dipublikasikan). Yogyakarta: Program studi D3 Rekam Medis Fakultas MIPA Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Purwanti dan Maghfirah Faktor Risiko Komplikasi Kronis (Kaki Diabetik) Dalam Diabetes Mellitus Tipe 2, The Indonesian Journal Of Health Science, Vol. 7, No. 1, Desember 2016 Sarwono, Waspadji Komplikasi Kronik Diabetes: Mekanisme Terjadinya, Diagnosis dan Strategi Pengelolaan. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 3. Edisi IV. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Shahab, A Diabetes mellitus di Indonesia. Dalam : Aru W, dkk, editors, Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III, Edisi 4., Jakarta: FK UI. Singh dkk., Estimation of Source of Heavy Metal Contamination in Sediments of Gomti River (India) Using Principal Component Analysis, Water, Air, and Soil Polution (Springer), Vol 166, pp Suyono, Diabetes Mellitus di Indonesia. Dalam: Aru W Sudoyo dkk. (editor) Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi keempat. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Jakarta, FKUI. Subekti, 2006, Penatalaksanaan Diabetes Mellitus Terpadu, Cetakan V, Jakarta, Balai Penerbit FK UI Tambunan, M Perawatan Kaki Diabetes, Jakarta: FK UI. 510

28 PERSEPSI PERILAKU CARING: ANALISIS KARAKTERISTIK PERAWAT DI RUMAH SAKIT X KABUPATEN BANYUWANGI Roshinta Sony Anggari 1, Maulida Nurfazriah Oktaviana 1 1 Dosen Prodi D III Keperawatan Akademi Kesehatan Rustida Korespondensi: Roshinta Sony Anggari, d/a Akademi Kesehatan Rustida Jln. RS. Bhakti Husada Krikilan Glenmore Banyuwangi roshintaa@gmail.com ABSTRAK Salah satu institusi yang memegang peran penting dalam pembangunan kesehatan masyarakat tersebut adalah Rumah Sakit. Keperawatan merupakan bentuk pelayanan profesional sebagai bagian integral dari pelayanan kesehatan terutama Rumah Sakit. Keperawatan didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan mencakup biopsikososial dan spiritual yang komprehensif, ditujukan kepada individu, keluarga dan masyarakat baik sakit maupun sehat yang mencakup seluruh proses kehidupan manusia. Sebagai pemberi layanan perawat hendaknya memiliki kemampuan untuk memperhatikan orang lain, keterampilan intelektual, teknikal dan interpersonal yang tercemin dalam perilaku caring. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi persepsi perawat tentang perilaku caring di RS X Kabupaten Banyuwangi. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif kategorik dengan jumlah sampel 37 perawat yang diperoleh selama 2 minggu. Pengumpulan data menggunakan kuesioner inventaris perilaku caring yang diterjemahkan dari kuesioner CBI Wolf (1988). Hasil analisis perilaku caring perawat didapatkan skor CBI tinggi di setiap ruang rawat inap, nilai skor CBI mean tertinggi ada pada ruang rawat inap kelas 1 dan VIP dengan nilai mean 3,778. Hasil penelitian ini memberikan implikasi untuk rumah sakit agar semakin meningkatkan perilaku caring perawat tanpa melihat jenis ruang rawat inap tempat perawat bekerja. Perlu dilakukan penelitian lanjutan yang mampu menggali perilaku caring perawat dari persepsi perawat maupun pasien dengan metode observasi dan self assessment. Kata kunci: perilaku caring perawat, ruang rawat inap PENDAHULUAN Permenkes RI Nomor 56 tahun 2014, Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat. Dalam penyelenggaraannya, Rumah Sakit Umum memberikan pelayanan medik, kefarmasian, keperawatan dan kebidanan, penunjang klinik dan nonklinik serta pelayanan rawat inap. 511

29 Rutherford et al (2004) dalam Duffy (2009) menyebutkan bahwa perawat berperan penting untuk menjamin kualitas pelayanan rumah sakit. Seorang perawat haruslah memiliki kemampuan untuk memperhatikan orang lain, keterampilan intelektual, teknikal dan interpersonal yang tercemin dalam perilaku caring (Wulan dan Hastuti, 2011). Perilaku caring menampilkan adanya hubungan terapeutik perawat dengan pasien. Karakteristik perilaku caring yang dikemukakan oleh Fontaine (2003) meliputi pendekatan tanpa penghakiman, penerimaan, kehangat-an, empati, keaslian, kesesuaian, kesabaran, rasa hormat, keterbukaan dan kemampuan humor yang menyehatkan. Beberapa hasil penelitian menunjukkan hasil yang beragam tentang perilaku caring perawat. Sobirin (2002) mendapatkan penerapan perilaku caring termasuk dalam kategori rendah pada 52,5% perawat pelaksana di RSUD Unit Swadana Kabupaten Subang. Sama halnya dengan hasil penelitian Agustin (2002) yang menunjukkan bahwa hampir separuh perawat (48,5%) di RS Dr. Mohammad Hoesin Pelembang dinilai tidak caring. Banyak faktor yang mempengaruhi perawat tidak menerapkan caring pada setiap tindakan yang dilakukan. Perilaku caring dalam pelaksanaannya memang membutuhkan waktu khusus, sedangkan dalam kondisi nyata dilapangan waktu perawat habis digunakan untuk tindakan lainnya. Green (2004) melakukan penelitian menggunakan Caring Behavior Inventory (CBI) menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan secara statistik pada perilaku caring perawat yang bekerja di lingkungan yang beragam. Rumah Sakit X sebagai salah satu Rumah Sakit Umum Tipe C di wilayah Banyuwangi menunjukkan adanya peningkatan jumlah kunjungan pasien rawat inap dalam beberapa tahun terakhir. Pada tahun 2013 jumlah total kunjungan pasiennya menjadi dan pada tahun 2014 total kunjungan pasien menjadi (Rizal, 2016). Angka Bed Occupational Rate (BOR) Rumah Sakit X secara umum masih cukup ideal yaitu antara 60 85%. Hal ini menunjukkan adanya peningkatan pemanfaatan penggunaan pelayanan rawat inap oleh masyarakat. Meskipun demikian, Rumah Sakit X berkomitmen untuk terus meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan yang bermutu dengan tenaga kesehatan berkualitas, kreatif dan inovatif. Penelitian sebelumnya berupa studi kualitatif grounded theory tentang perilaku caring perawat pelaksana di sebuah rumah sakit di Bandung (Dedi, Setyowati & Afiyanti, 2008) didapatkan tujuh tema yaitu sikap peduli terhadap pemenuhan kebutuhan klien, bertanggung jawab memenuhi kebutuhan klien, ramah dalam melayani, sikap tenang dan sabar dalam melayani klien, selalu siap sedia memenuhi kebutuhan klien, memberikan motivasi kepada klien, dan sikap empati dengan klien dan keluarganya. Penelitian lainnya berupa studi diskriptif perilaku caring perawat berdasarkan ruang rawat inap telah dilakukan oleh Respati (2012) di Rumah Sakit Umum Daerah Pasar Rebo Jakarta. Hasil penelitian 512

30 tersebut menunjuk-kan bahwa skor CBI mean tertinggi ada pada ruang perawat kelas dua dengan nilai mean 3,343. Belum ada penelitian tentang perilaku caring perawat yang bekerja di lingkungan Rumah Sakit X menjadi dasar peneliti melakukan penelitian ini. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kategorik dengan rancangan cross-sectional analitik menggunakan pendekatan kuantitatif. Populasi dalam penelitian ini adalah perawat di RS X Ruang Rawat Inap Kelas 1 & VIP, Ruang Rawat Inap Kelas 2 & 3, Ruang Rawat Kebidanan dan Kandungan, dan Ruang Rawat Intensive yang bekerja saat dilakukan penelitian dan memenuhi kriteria inklusi. Populasi perawat ruang rawat inap sebanyak 61 orang. Kriteria inklusi penelitian ini antara lain: masa kerja minimal 6 bulan; bersedia menjadi responden. Kriteria eksklusi antara lain: perawat yang sedang cuti; perawat yang sedang libur; perawat yang sedang sakit. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan total sampling yaitu semua perawat di unit rawat inap yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi selama penelitian berlangsung yaitu sejumlah 37 responden. Alat pengumpulan data dalam penelitian ini, berupa instrument yang berhubungan dengan karakteristik perawat, jenis ruang rawat serta instrument persepsi perawat terhadap perilaku caring dari Caring Behaviors Inventory Wolf (1988 dalam Waston, 2008). Karakteristik perawat meliputi usia, jenis kelamin, masa kerja, tingkat pendidikan. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Statististik deskriptif responden penelitian yang berupa jenis kelamin, pendidikan terakhir dan masa kerja dianalisis secara univariat dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1. Distribusi Responden Menurut Karakteristik Perawat di Ruang Rawat Inap RS X Kabupaten Banyuwangi Karakteristik Perawat Jenis Kelamin a. Pria b. Wanita Pendidikan Terakhir a. D 3 b. S 1 Status Perkawinan a. Kawin b. Belum Kawin n Presentase (%) 21,6 78,4 94,6 5,4 70,3 29,7 Jumlah Tabel 1 menunjukkan sebagian besar responden perawat berjenis kelamin wanita dengan presentase 78,4%. Responden perawat sebagian besar berpendidikan diploma (D3) yaitu 94,6%. Sebanyak 70,3% responden perawat memiliki status sudah kawin. Hasil analisis karakteristik masa kerja dan usia perawat dapat dilihat dari tabel

31 Tabel 2. Analisis Karakteristik Masa Kerja dan Usia Perawat di Ruang Rawat Inap RS X Kabupaten Banyuwangi Karakteristik n Minimummaksimum Mean Median SD 95% CI Perawat Masa Kerja ,95 4 5,395 4,15-7,74 Usia , ,696 27,16-30,95 Tabel 2 menunjukkan bahwa berdasarkan analisis masa kerja, didapatkan perawat di RS X ratarata telah bekerja selama 5,95 tahun (95% CI: 4,15-7,75) dengan nilai minimum 1 tahun dan maksimum 21 tahun serta standar deviasi 5,395. Analisis usia perawat didapatkan bahwa responden rata-rata berusia 29,05 tahun. Usia termuda 22 tahun dan usia tertua 49 tahun. Tabel 3. Analisis Sub Skala Perilaku Caring Perawat di Ruang Rawat Inap RS X Kabupaten Banyuwangi September 2017 (n=37) Sub variabel Mean SD Minimum Maksimum Respectful deference to the other 3,4 0,5 3 4 Assurance of the human precense, 3,3 0,5 3 4 Positive connectedness 3,3 0,5 3 4 Professional knowledge and skill 3,4 0,5 3 4 Attentiveness to the other's experience 3,1 0,3 3 4 Analisis sub skala perilaku caring perawat berdasarkan tabel 3 menunjukkan bahwa Respectful deference to the other dan Professional knowledge and skill memiliki skor paling tinggi dengan mean 3,4. Sedangkan nilai skor paling rendah terdapat pada sub skala Attentiveness to the other's experience dengan nilai mean 3,1. Tabel 4 Analisis Perilaku Caring Perawat Berdasarkan Karakteristik Perawat di Ruang Rawat Inap RS X Kabupaten Banyuwangi Karakteristik Perawat n Mean SD Minimum Maksimum Jenis Kelamin a. Pria b. Wanita Status Perkawinan a. Kawin b. Belum kawin Tingkat Pendidikan a. D 3 b. S 1 Usia a b c. > 40 Masa Kerja a b c. > Tabel 4 menunjukkan bahwa berdasarkan karakteristik jenis kelamin, status perkawinan, tingkat 3,4 3,4 3,5 3,1 3,4 3,5 3,2 3,6 3,2 3,4 3,6 3,0 0,5 0,5 0,5 0,3 0,5 0,7 0,4 0,5 0,4 0,5 0,5 0, Pendidikan, usia dan masa kerja diperoleh gambaran persepsi perawat tentang perilaku caring tinggi. Hal

32 tersebutdapat dilihat dari nilai ratarata (Mean) yang lebih besar dari nilai median (Me=2,5). Perawat pria maupun wanita memiliki perilaku caring yang sama tinggi nilai mean 3,4. Perilaku caring pada perawat dengan status sudah kawin lebih besar jika dibandingkan dengan perawat yang belum kawin yaitu dengan mean 3,5. Perawat dengan latar belakang S1 maupun D3 memiliki perilaku caring yang hampir sama yaitu dengan mean 3,4 dan 3,5. Perilaku caring paling tinggi ditunjukkan pada rentang usia perawat tahun dan masa kerja tahun dengan niai mean 3,6. Pembahasan Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa persepsi perilaku caring perawat pria dan wanita tidak ada perbedaan yang signifikan bahkan cenderung sama. Sejalan dengan penelitian ini, Green (2004) mengemukakan bahwa tidak terdapat perbedaan signifikan antara perawat pria maupun wanita dalam persepsinya mengenai perilaku caring. Karakteristik responden yang berpartisipasi dalam penelitian ini sebagian besar sudah kawin dengan nilai persepsi terhadap perilaku caring lebih tinggi jika dibandingkan dengan responden yang belum kawin. Status pernikahan sejatinya meningkatkan tanggungjawab seseorang sehingga menempatkan pekerjaan sebagai suatu hal yang penting, bernilai dan sumber nafkah bagi keluarga. Tingkat pendidikan mayoritas perawat dalam penelitian ini adalah diploma, namun hasil analisis menunjukkan bahwa perawat diploma lebih rendah persepsi perilaku caringnya dibandingkan dengan perawat dengan latar belakang pendidikan sarjana. Disini terlihat bahwa semakin tinggi pendidikan formal seorang perawat akan mendukung untuk terlaksananya perilaku caring yang lebih baik. Karakteristik perawat penelitian ini memiliki usia rerata 29,05 tahun, namun persepsi tentang perilaku caring tertinggi didapatkan pada rentang usia tahun dengan masa kerja pada rentang tahun. Pada penelitian sejenis (Respati, 2012; Supriadi, 2006; Suryani 2010) juga menunjukkan bahwa sebagian besar perawat yang bekerja di rumah sakit berusia sekitar 30 tahun. Usia ini merupakan usia produktif yang akan mendukung seseorang bekerja lebih baik, lebih berpengalaman, memiliki pertimbangan, serta komitmen yang cukup baik untuk melaksanakan perilaku caring dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien. Analisis sub skala perilaku caring perawat menunjukkan bahwa persepsi perawat pada komponen perilaku caring berupa respectful deference to the other dan professional knowledge and skill memiliki skor rerata paling tinggi dibandingkan dengan 3 komponen lainnya. Meskipun belum keseluruhan perawat di rumah sakit memiliki perilaku caring tinggi pada aspek ini, namun dengan adanya hasil penelitian ini akan menjadi dasar managemen rumah sakit untuk melaksanakan program guna mendukung peningkatan perilaku caring perawat yang akan berdampak pula pada peningkatan kualitas pelayanan kesehatan. Nilai skor paling rendah terdapat pada sub skala attentiveness to the other's experience, dimana hal ini menujukkan bahwa perawat di rumah sakit belum sepenuhnya 515

33 memiliki kesadaran akan pentingnya perilaku caring dalam pemenuhan kebutuhan dasar dan spiritual pasien. Sub skala ini penting untuk dioptimalkan dalam proses pemberian asuhan keperawatan karena akan memberikan dampak pada meningkatnya kenyamanan pasien, ketenangan emosi dan jiwa yang berpengaruh baik bagi kesembuhan pasien juga akan terwujud. KESIMPULAN Perawat yang bekerja pada tempat penelitian sebagian besar pada rentang usia produktif dan merupakan sumber daya yang dapat dioptimalkan dalam memberikan asuhan keperawatan dengan selalu mengutamakan perilaku caring. Perawat yang memiliki usia pada rentang tahun, menunjukkan kecenderungan persepsi caring paling tinggi dibandingkan usia lainnya. Semakin tinggi tingkat pendidikan formal seorang perawat akan meningkatkan pula persepsi tentang pentingnya berperilaku caring pada pasien yang dirawat sebagaimana pada penelitian ini yang menunjukkan bahwa perawat dengan latar belakang sarjana memiliki persepsi caring lebih baik dibandingkan dengan perawat lulusan diploma. SARAN Pentingya manajer keperawatan untuk menjadikan perilaku caring lebih membudaya di setiap tindakan asuhan keperawatan yang dilakukan pada pasien. Peran kepala ruang dan ketua tim sebagai role model dalam pelaksanaan perilaku caring dapat lebih ditingkatkan. Perilaku caring juga dapat digunakan sebagai salah satu poin pada evaluasi penilaian kinerja perawat. Serta perlunya penghargaan bagi perawat atas usahanya melakukan perilaku caring sehingga akan memberikan motivasi pada perawat lain untuk selalu menerapkan perilaku caring dalam setian tindakannya. DAFTAR PUSTAKA Agustin. (2002). Perilaku Caring Perawat dan Hubungannya dengan Kepuasan Klien di Instalasi Rawat Inap Bedah Rumah Sakit Dokter Mohammad Hoesin. Tesis. FIK UI. Dedi, B., Setyowati, & Afiyanti, Y. (2008). Perilaku Caring Perawat Pelaksana di Rumah Sakit di Bandung: Studi Grounded Theory. Jurnal Keperawatan Indonesia, 12(1): Duffy, J. R. (2009). Quality Caring in Nursing: Applying Theory to Clinical Practices, Education, and Leadership. New York: Springer Publishing Company. Fontaine, K. L. (2003). Mental health Nursing. Fifth Edition. New Jersey: Pearson Education. Green, A. (2004). Caring Behaviors as Perceived by Nurse Practitioners. Journal of the American Academy of Nurse Practitioner, 16 (7), Permenkes Nomor 56 Tahun 2014 Tentang Klasifikasi dn Perizinan Rumah Sakit. Respati, R. D. (2012). Studi diskriptif perilaku caring perawat 516

34 berdasarkan ruang rawat inap. Universitas Indonesia. Rizal, A. S. (2016). Pengalaman Pasien dalam Memanfaatkan Kembali Pelayanan Rawat Inap di RSU Bhakti Husada Banyuwangi. Skripsi. Stikes Surya Mitra Husada. Supriadi. (2008). Hubungan Karakteriktik Pekerjaan Dengan Pelaksanaan Perilaku Caring oleh Perawat Pelaksana di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Islam Samarinda. Tesis. FIK UI. Suryani, M. (2010). Hubungan Lingkungan Kerja dengan Perilaku Caring Perawat di Rumah Sakit PGI Cikini Jakarta. Tesis. FIK UI. Watson, J. (2008). Assessing and Measuring Caring in Nursing and Health Science. Second Edition. New York: Springer Publishing Company, LLC. Wulan, K., & Hastuti, M. (2011). Pengantar Etika Keperawatan: Panduan Lengkap menjadi perawat profesional berwawasan etis. Jakarta: PT. Prestasi Pustakarya. 517

35 GAMBARAN KARAKTERISTIK PASIEN HEMODIALISIS DI RUMAH SAKIT ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG Erna Melastuti 1, Hayatun Nafsiah 1, Ayi Fachrudin 1 1 Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Islam Sultan Agung Semarang Korespondensi: Erna Melastuti, d/a Fakultas Ilmu Keperawatan Islam Sultan Agung Semarang Jln. Raya Kaligawe KM. 4 Semarang Jawa Tengah erna@unissula.ac.id ABSTRAK Hemodialisis merupakan terapi yang paling umum untuk pasien ESRD (End State Renal Disease) untuk menggantikan fungsi ginjal yang rusak. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran karaktersitik pasien hemodialisa sehingga dapat diketahui kondisi pasien untuk menentukan masa depan pengobatan mereka. Ketepatan dalam pengobatan akan mempengaruhi keberhasilan pengobatan, kesehatan secara keseluruhan dan kualitas hidup pasien yang menjalani hemodialisis Penelitian ini menggunakan desain deskriptif kuantitatif, pengumpulan data menggunakan kuesioner dan observasi langsung. Jumlah responden sebanyak 30 responden. Data yang diperoleh diolah secara statistik dengan menggunakan distribusi Frekuensi. Hasil didapatkan bahwa karakteristik responden yaitu usia terbanyak tahun sebesar (36.7%), jenis kelamin laki-laki sebesar (56.7 %), tingkat pendidikan SMA sebesar (46.7%), lama menjalani hemodialisis bulan sebesar (36.7%), pekerjaan wiraswasta sebesar (43.3%), penyulit terkait dengan dukungan sosial yaitu tidak mengalami penyulit sebesar (73,3%), komplikasi intradialisis mengalami komplikasi sebesar (100,0%), dukungan sosial dengan dukungan sosial tinggi sebesar (60,0%), kepatuhan menjalani hemodialisis dengan hasil patuh sebesar (86,7%). Kata kunci: Penyakit Ginjal Kronik, Hemodialisis, karakteristik pasien PENDAHULUAN Penyakit Ginjal Kronis (PGK) adalah penurunan bertahap Glomerular Filtration Rate (GFR) yang disebabkan oleh penghancuran sejumlah besar nefron selama tiga bulan atau lebih, dimana nilai GFR < 60 ml/menit/ 1.73m 2 (Mutevelic, et al 2015). Penyakit ginjal kronik saat ini sudah menjadi epidemik global dan prevalensinya meningkat di seluruh dunia. Prevalensi PGK di Amerika Serikat mencapai 17%, sedangkan di Indonesia mencapai 12,5% pada populasi dewasa (Sudoyo, et al 2014). Laporan Registrasi Ginjal Indonesia pada tahun 2014 menunjukkan bahwa pasien PGK yang menjalani hemodialisis sebanyak 84%, dengan jumlah pasien baru dan pasien aktif berjumlah pasien 518

36 (Indonesian Kidney Registry, 2014). Hemodialisis adalah pengobatan yang paling umum untuk pasien yang menderita ESRD (End State Renal Disease) atau irreversibel progresif gagal ginjal (Ghavidel, et al 2014). Terapi ini dilakukan biasanya tiga kali seminggu, setiap sesi berlangsung 4 jam. Hal ini sangat mempengaruhi kehidupan sehari-hari pasien, memaksakan pembatasan air dan makanan, ketergantungan pelaksanaan hemodialisis yang menjadikan kehidupan sehari-hari pasien menjadi monoton dan terbatas serta membatasi aktivitas sehari-hari (Mutevelic, et al 2015). Gambaran karaktersitik pasien adalah hal yang sangat penting dalam kelanjutan penatalaksanaan pengobatan dan program terapi pasien. Peran perawat pada pasien yang menjalani hemodialisis adalah memberikan pelayanan keperawatan terhadap pasien tentang pentingnya hemodialisis untuk kesehatannya, tetap rutin menjalani hemodialisis, memberikan perhatian dan selalu melakukan interaksi dan berkomunikasi kepada pasien (Ratnawati, 2011), selain itu peran perawat sebagai care giver yaitu dengan memberikan asuhan keperawatan yang holistik dan sikap yang baik kepada pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis (Rafil, et al 2016). Pengetahuan tentang karakteristik pasien hemodialisis yang paling penting adalah adanya kesamaan perspektif pasien dan perawat sehingga bisa memungkinkan optimalisasi pendidikan pasien pradialisis dan support untuk pengambilan keputusan yang tepat, yang dikaitkan dengan peningkatan kelangsungan hidup dan kualitas hidup (Morton L, Rachael, 2011). METODE PENELITIAN Variabel dalam penelitian ini adalah karaktersitik pasien hemodialisis. Penelitian ini menggunakan desain deskriptif kuantitatif yaitu menggambarkan jumlah dan karakteristik pasien hemodialisis di unit hemodialisis Rumah Sakit Islam Sultan Agung Semarang. Populasi pada penelitian ini adalah seluruh pasien yang menjalani hemodialisis di Unit hemodialisis Rumah Sakit Islam Sultan Agung yang berjumlah 85 orang. Sampel dalam penelitian ini adalah sebanyak 30 responden di unit hemodialisis Rumah Sakit Islam Sultan Agung Semarang. Sampel yang dipilih merupakan sampel yang tidak menyimpang dari populasinya Adapun yang termaksud kriteria inklusi dalam penelitian ini yaitu (1) Pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis di Rumah Sakit Islam Sultan Agung dengan jadwal 2-3 kali dalam seminggu, selama minimal 3 bulan. (2) Pasien dengan kondisi sadar komposmentis. (3) Pasien yang rutin menjalani hemodialisis (4) Pasien yang tidak mengalami gangguan pendengaran, penglihatan, dan verbal. (5) Pasien yang bersedia menjadi responden dengan menandatangani informed consent. Penelitian ini dilakukan di unit hemodialisis Rumah Sakit Islam Sultan Agung. Proses penelitian berlangsung dari bulan September 2015 sampai dengan Agustus Instrumen yang digunakan pada penelitian ini berupa kuesioner yang berisi data karakteristik responden meliputi 519

37 umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, penyulit terkait dengan dukungan sosial, komplikasi intradialisis, lama menjalani hemodialisis, dukungan sosial dan kepatuhan pasien. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil Gambaran Karakteristik Responden: usia, jenis kelamin, pendidikan, lama menjalani hemodialisis, pekerjaan, penyulit terkait dukungan sosial, komplikasi intradialisis, penyulit, dukungan sosial, kepatuhan di Rumah Sakit Islam Sultan Agung Semarang Tahun 2016 (n = 30) Tabel 1. Karakteristik responden berdasarkan usia, Jenis Kelamin, Pendidikan, Lama Hemodialisis, Pekerjaaan, Penyulit, Kompikasi saat Hemodialisa, Dukungan Sosial dan Kepatuhan No Karakteristik Frekuensi Persentase (%) (f) 1 Usia tahun 3 10, tahun 5 16, tahun 7 23, tahun 11 36, tahun 4 13,3 Total ,0 2 Jenis Kelamin Perempuan Laki-laki ,3 56,7 Total ,0 3 Pendidikan Tidak Sekolah SD SMP SMA Perguruan Tinggi ,7 16,7 20,0 46,7 10,0 Total ,0 4 Lama Hemodialisa 5-28 bulan bulan bulan bulan bulan bulan ,3 36,7 13,3 6,7 3,3 6,7 Total ,0 5 Pekerjaan Pelajar IRT Wiraswasta PNS ,0 26,7 43,3 20,0 Total ,0 4 Penyulit Tidak memiliki penyulit Biaya untuk transportasi Tidak ada yang mensuport Rumah yang jauh ,3 16,7 6,7 1 3,3 Total ,0 5 Komplikasi Saat Menjalani Hemodialisa Mengalami Komplikasi ,0 Total ,0 6 Dukungan Sosial Tinggi Sedang Rendah ,0 33,3 6,7 Total ,0 7 Kepatuhan Patuh Tidak Patuh ,7 13,3 Total Pembahasan 1. Umur Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa distribusi frekuensi terbesar adalah kelompok usia tahun (usia dewasa) sebesar (36,7%). Hal ini didukung oleh penelitian Syaifudin (2014) pada pasien penyakit ginjal kronik sebagian besar responden penelitan ini berada pada rentang umur tahun yaitu sebesar (53,3%). Seseorang sesudah usia 40 tahun akan terjadi penurunan 520

38 laju filtrasi glomerulus secara progresif hingga usia 70 tahun, kurang lebih 50% dari normalnya. Fungsi tubulus termasuk kemampuan re-absorbsi dan pemekatan juga berkurang, hal tersebut me-nyebabkan terjadinya penyakit gagal ginjal. Sehingga banyak pasien gagal ginjal yang berusia lebih dari 40 tahun (Novitasari, 2015). 2. Jenis Kelamin Hasil penelitian ini menunjukkan bahawa distribusi frekuensi terbesar pada pasien dengan hemodialisis berjenis kelamin laki-laki sebesar (56,7%). Hal ini didukung oleh Rostanti, et al (2016) sebagian besar responden berjenis kelamin laki-laki dengan jumlah sebesar (55,2%). Jenis kelamin berkaitan dengan peran kehidupan dan perilaku yang berbeda antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Dalam menjaga kesehatan biasanya kaum perempuan yang lebih menjaga kesehatan dibandingkan dengan laki-laki, pola makan yang tidak teratur dan sebagian besar laki-laki suka mengkonsumsi minuman beralkohol serta pada laki-laki juga memiliki kadar kreatinin yang lebih tinggi dari pada perempuan (Sumigar, et al 2015). 3. Pendidikan Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa distribusi frekuensi terbesar yaitu responden berpendidikan SMA sebesar (46.7%). Penelitian ini didukung oleh Bayhakki (2015) didapatkan pendidikan paling banyak responden dengan pendidikan akhir SMA sebesar (48,6%). Penderita gagal ginjal kronik yang memiliki pendidikan yang tinggi akan mempunyai pengetahuan yang luas. Hal ini memungkinkan penderita untuk dapat mengontrol dirinya dalam mengatasi masalah yang dihadapi, mempunyai rasa percaya diri yang tinggi, berpengalaman, dan mempunyai perkiraan yang tepat untuk mengatasi kejadian, mudah mengerti tentang apa yang dianjurkan oleh petugas kesehatan (Bayhakki, et al 2015). 4. Lama Menjalani Hemodialisis Distribusi frekuensi terlama berada pada rentang lama hemodialisis bulan sebesar 36.7%. Hal ini sejalan dengan penelitian Novitasari (2015) yang menyatakan bahwa responden paling banyak dalam lama hemodialisis pada kategori lama (>24 bulan) yaitu sebesar (63,3%). Semakin lama durasinya secara otomatis akan mempengaruhi frekuensi hemodialisis dan dapat menjadi faktor pemicu ketidakpatuhan, untuk frekuensi dalam menjalani hemodialisis yang berbeda ada yang menjalani sekali setiap minggunya pada kondisi stadium gagal ginjal awal dan minimal 2 kali seminggu pada kondisi gagal ginjal stadium akhir (Suparti & Solikhah, 2015). 5. Pekerjaan Hasil penelitian ini me-nunjukkan bahwa distribusi frekuensi terbesar yaitu responden yang memiliki pekerjaan wiraswasta sebesar (50,0%). Hal ini sejalan dengan penelitian Kartikasari (2014) menunjukkan bahwa responden bekerja sebagai 521

39 wiraswasta yaitu sebesar (37,0%). Berdasarkan hasil penelitian tersebut diketahui bahwa sebagian besar responden adalah masih aktif bekerja. Status pekerjaan yang dimiliki oleh sebagian besar responden sebagai pekerja aktif mempunyai pengaruh terhadap tingkat kepatuhan responden dalam menjalani hemodialisis. Hal tersebut dikarenakan kurangnya waktu untuk menjalankan semua terapi yang telah diberikan sehingga hal tersebut berpengaruh terhadap tingkat kepatuhan responden dalam menjalankan semua terapi yang diberikan (Budiono, 2015). 6. Penyulit Terkait dengan Dukungan Sosial Hasil penelitian ini me-nunjukkan bahwa distribusi frekuensi terbesar yaitu sebanyak 22 responden (73,3%) tidak ada penyulit. Hemodialisis juga berdampak terhadap kehidupan sosial dan ekonomi pasien. Hemodialisis umumnya dilakukan dengan frekuensi 2-3 kali dalam seminggu selama 4-5 jam sepanjang hidupnya. Untuk sekali tindakan hemodialisis memerlukan biaya yang cukup mahal. Dengan demikian hemodialisis sangat berpengaruh terhadap kehidupan sosial dan ekonomi responden dan keluarga karena harus mengeluarkan biaya ekstra yang tidak sedikit untuk memperpanjang kehidupan pasien (Farida, 2010). Pada penelitian ini didapatkan data bahwa penyulit yang dialami oleh sebagian responden saat menjalani hemodialisis seperti masalah dalam biaya untuk transportasi ke Rumah Sakit, tidak ada yang mensuport responden dalam menjalani hemodialisis, masalah kendaraan dan rumah yang jauh. 7. Komplikasi Intradialisis Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa distribusi frekuensi terbesar yaitu sebanyak 30 responden (100.0%) mengalami komplikasi intradialisis. Keluhan gastrointestinal yang sering dirasakan oleh pasien PGK yang menjalani hemodialisis berupa mual muntah atau anoreksia, serta nyeri pada ulu hati. Mual muntah yang dirasakan pasien gagal ginjal kronik dapat menyebabkan penurunan intake nutrisi (Setyaningsih, 2014). Kemudian pada penelitian ini didapatkan data bahwa responden sering mengalami komplikasi intrdialisis seperti tekanan darah rendah, kram otot, sakit kepala, mual dan muntah. 8. Dukungan Sosial pada Pasien Penyakit Ginjal Kronik yang Menjalani Hemodialisis Hasil penelitian didapatkan data sebanyak 18 responden (60,0%) mendapatkan dukungan sosial yang tinggi. Dukungan sosial adalah informasi dan umpan balik dari orang lain yang menunjukkan bahwa seseorang dicintai, diperhatikan, dihargai, dihormati, dan dilibatkan dalam jaringan komunikasi dan kewajiban yang timbal balik. Dukungan sosial berupa dukungan pada seseorang dalam menghadapi masalah seperti nasihat, kasih sayang, perhatian, petunjuk, dan dapat juga berupa barang atau jasa yang diberikan oleh keluarga maupun teman. Semakin banyak orang 522

40 memberikan dukungan sosial maka akan semakin sehat kehidupan seseorang (King, 2010). 9. Kepatuhan Pasien Penyakit Ginjal Kronik yang Menjalani Hemodialisis Hasil penelitian didapatkan data sebanyak 26 orang (86,7%) patuh menjalani hemodialisis. Kepatuhan menjalankan aturan pengobatan sangat penting untuk mencapai kesehatan secara optimal. Perilaku kepatuhan dapat berupa perilaku patuh dan tidak patuh yang dapat di ukur melalui dimensi kemudahan, lama pengobatan, mutu, jarak, dan keteraturan pengobatan. Kepatuhan tampaknya sederhana namun merupakan masalah yang sulit dan kompleks (Kadambi et al, 2012). Berbagai faktor yang mempengaruhi kepatuhan. Namun, hal itu telah dianggap sebagai hal yang paling penting pada penyakit ginjal tahap akhir atau ESRD. Penekanan pada kepatuhan menegaskan bahwa pengobatan tidak berharga jika pasien memilih untuk tidak mematuhi pengobatan dalam hemodialisis (Kalogianni, et al 2011). KESIMPULAN 1. Karakteristik responden yaitu usia terbanyak tahun yang menjalani hemodialisis sebesar (36,7%), jenis kelamin laki-laki sebesar (56,7%), tingkat pendidikan SMA sebesar (46,7%), lama menjalani hemodialisis bulan sebesar (36,7%), pekerjaan wiraswasta sebesar (43,3%), penyulit terkait dengan dukungan sosial sebesar (73,3%) tidak memiliki penyulit, komplikasi sebesar (100,0%) mengalami komplikasi intradialisis. 2. Berdasarkan hasil penelitian bahwa dari 30 responden, responden dengan dukungan sosial tinggi yaitu sebesar (60.0%), dukungan sosial sedang yaitu sebesar (33.3%), dan responden yang mendapatkan dukungan sosial rendah yaitu sebesar (6.7%). 3. Responden yang patuh dalam menjalani hemodialisis sebesar (86.7%), sedangkan responden yang tidak patuh menjalani hemodialisis sebesar (13.3%). SARAN Perlu penelitian lajutan terkait lama menjalani hemodialisa terhadap perubahan kadar laboratorium pasien. dan penelitian tentang gambaran karakteristik. Generalisasi secara luas dengan penambahan tempat penelitian, dan mem-perbanyak sampel. DAFTAR PUSTAKA Bahadori, M., Ghavidel, F., Mohammadzadeh, S., & Ravangard, R. (2014). The effects of an interventional program based on self care model on health related quality of life outcomes in hemodialysis patients, 3, Bayhakki., Utami Gamya T., Dani Rahma. (2015). Hubungan Motivasi, Harapan, dan 523

41 Dukungan Petugas Kesehatan Terhadap Kepatuhan Pasien Gagal Ginjal Kronik untuk Menjalani Hemodialisis. JOM Volume 2, Nomor 2, Oktober 2015 Budiono Aris. (2016). Analisis Faktor Dukungan Sosial Terhadap Kepatuhan Dalam Menjalani Hemodialisa Rutin pada Pasien Gagal Ginjal Kronik di Unit Hemodialisa RSUD Salatiga. Program Studi S1 Keperawatan Stikes Kusuma Husada Surakarta Farida Anna. (2010). Pengalaman Klien Hemodialisis terhadap Kualitas Hidup dalam Konteks Asuhan Keperawatan di RSUP Fatmawati Jakarta : FIK UI Indonesian, P., Registry, R., Renal, I., Indonesia, P., Kesehatan, D., Kesehatan D., Irr, L. (2014). 7 th Report of Indonesian Renal Registry 2014 Kadambi, A., Leipold, R. J., Kansal, A. R., Sorensen, S., & Getsios, D. (2012). Inclusion of Compliance and Persistence in Economic Models past, Present and Future, 10(6), Kalogianni, A. (2011). Factors Affect in Patient Adherence to Medication Rgimen, 3, Kumalasari, F. (2012). Hubungan Antara Dukungan Sosial dengan Penyesuaian Diri Remaja di Panti Asuhan, I (1) King, Laura. (2010). Psikologi Umum. Jakarta : Salemba Humanika Manzilah, T. (2011). Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Infeksi Double Lumen pada Klien Hemodialisa di Rumah Sakit Hospital Cinere Depok Tahun 2011 Maslihah Sri. (2011). Studi Tentang Hubungan Dukungan Sosial. Penyesuaian Sosial di Lingkungan Sekolah dan Prestasi Akademik Siswa SMPIT Assyfa Boarding School Subang Jawa Barat. Journal Psikologi Undip Vol 10. No. 2. Oktober 2011 Mutevelic, A., Spanja, I., Sultic-lavic, I., & Koric, A. (2015). The Impact of Vascular Access on the Adequacy of Dialysis and the Outcome of the Dialysis Treatment : One Center Experience, 27 (April), Novitasari Dwi. (2015). Hubungan Lama Hemodialisis dengan Kepatuhan Pembatasan Asupan cairan pada Klien Hemodialisis di RS PKU Muhammadiyah Unit I Yogyakarta. STIKES Aisyiyah Yogyakarta Rostanti Anggreini., Bawotong Jeavery., & Onibala Franly. (2016). Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kepatuhan Menjalani Terapi Hemodialisa pada Penyakit Ginjal Kronik di Ruang Dahlia dan Melati RSUP Prof. Dr. R. D Kandou Manado. Ejournal Keperawatan (e-kep) Volume 4 Nomor 2, Agustus Setyaningsih Tri F. E. (2014). Asuhan Keperawatan Pasien Gagal Ginjal Kronik dalam Konteks Kesehatan Masyarakat Perkotaan. Depok : FIK UI Sudoyo. Ar. W., Setyohadi B., Alwi. I. I., dkk. (2014). Buku Ajar Ilmu Penyakitt Dalam. Jilid II Edisi VI. Jakarta : Interna Publishing Sugiyono. (2013). Statistika untuk Penelitian. Bandung : Alfabeta Sumigar Geledis., Rompas Sefty., & Pondaag Linnie. (2015). Hubungan Dukungan Keluarga 524

42 dengan Kepatuhan Diet pada Pasien Gagal Ginjal Kronik di Irina C2 dan C4 RSUP Prof. Dr. R. D Kandou Manado. Ejournal Keperawatan (e-kep) Volume 3. Nomor 1. Februari 2015 Suparti Sri & Solikhah Umi. (2016). Perbedaan Kualitas Hidup Pasien gagal Ginjal Kronik Ditinjau dari Tingkat Pendidikan, Frekuensi dan Lama Hemodialisis di RSUD Goeteng Taroenadibrata Purbalingga. Medisains : Jurnal Ilmiah Ilmu-ilmu Kesehatan, Vol 14 No 2, Agustus 2016 Syaifudin., Anita Diyah C & Dewi Sufiana P. (2014). Hubungan Lama Hemodialisis dengan Kualitas Hidup Pasien Gagal Ginjal di RS PKU Muhammdiyah Unit I Yogykarta. STIKES Aisyiyah Yogyakarta Theodoriitsi, A., Aravantinou, M., Gravani, V., Vasilopoulou, C., Theofilou, P., & Poli, M. (2016). Factors Associated with the Social Support of Hemodialysis Patients, 45(10),

43 UJI PREBIOTIK UNULIN UMBI DAHLIA (DAHLIA PINNATA CAV.) BERBUNGA MERAH DARAH PADA LACTOBACILUS ACIDOPHILLUS DAN STREPTOCOCCUS TERMOPHILLUS Iif Hanifa Nurrosyidah 1 1 STIKes Rumah Sakit Anwar Medika Korespondensi: Iif Hanifa Nurrosyidah d/a STIKes Rumah Sakit Anwar Medika iifrrosyidah@yahoo.co.id ABSTRAK Prebiotik dan Probiotik merupakan dua mekanisme alternatif untuk menjaga keseimbangan mikroflora usus besar ke arah yang menguntungkan bagi kesehatan. Hasil metabolisme probiotik yang berupa asam-asam organik seperti asam laktat, asam propionat, asam butirat, dan asam asetat, akan menurunkan ph usus besar. Kondisi ph usus besar yang asam akan menghambat atau membunuh bakteri patogen. Inulin merupakan polimer dari unit fruktosa yang dihubungkan dengan ikatan β-(2-1) glikosidik. Tujuan penelitian ini adalah untuk perhitungan kecepatan pertumbuhan spesifik dan waktu generasi dengan membandingkan waktu generasi dari dua spesies bakteri yang digunakan (lactobacilus acidophillus dan streptococcus termophillus). Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan desain penelitian berupa post test-only control group design, yaitu membandingkan hasil akhir dari kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol. Perlakuan yang dilakukan adalah pemberian inulin umbi dahlia berbunga merah darah dengan konsentrasi ppm, ppm, ppm. Kelompok kontrol tanpa diberi inulin. Masingmasing pengamatan dilakukan tiga kali ulangan. Hasil uji prebiotik yang diperoleh dianalisis dengan menghitung kecepatan tumbuh spesifik dan waktu generasi (doubling time). Enumerisasi total mikroba diukur dengan menggunakan metode spektrofotometri pada panjang gelombang 625 nm. Banyaknya cahaya yang dipancarkan (optical density/od) sebanding dengan kerapatan sel bakteri dalam suspensi. Hasilnya menunjukkan kecepatan pertumbuhan tertinggi L.acidophillus diperoleh dari penambahan inulin ppm. Pertumbuhan S.thermophillus juga menunjukkan kecepatan pertumbuhan tertinggi pada penambahan inulin ppm. Peningkatan kecepatan pertumbuhan semakin meningkat seiring dengan peningkatan konsentrasi inulin yang diberikan. Maka uji prebiotik yang telah dilakukan, pemberian inulin dari umbi dahlia berbunga merah darah mampu meningkatkan pertumbuhan bakteri probiotik L. Acidophillus dan S. Termophilus.. Kata Kunci : Inulin, Dahlia pinnata Cav, L. acidophillus, S. termophillus, Prebiotik, dan Probiotik. 526

44 PENDAHULUAN Di dalam usus besar manusia terdapat sekumpulan bakteri yang diantaranya ada bakteri yang menguntungkan (Probiotik) dan bakteri yang merugikan (patogen) manusia (Lisal, 2005). Kelangsungan hidup bakteribakteri tersebut tergantung dari makanan yang kita konsumsi. Kecenderungan pola makan yang rendah serat dan terlalu sering mengkonsumsi antibiotik dapat menurunkan jumlah probiotik dalam usus besar. Sehingga diperlukan manajemen mikroflora usus besar untuk meningkatkan jumlah bakteri probiotik. Konsep prebiotik dan probiotik merupakan mekanisme alternatif untuk meningkatkan pertumbuhan mikroba selektif dalam usus besar ke arah yang menguntungkan bagi kesehatan, baik melalui pemberian prebiotik atau probiotik ke dalam makanan atau pemberian keduanya (sinbiotik) (Lisal, 205). Inulin umbi dahlia memiliki kandungan serat pangan yang tinggi sekitar 93,5%. Kadar inulin komersial dari umbi cikori adalah 90,0%. Serat pangan dapat lolos dengan utuh ke usus besar dan difermentasi oleh bakteri probiotik menghasilkan senyawa-senyawa yang baik bagi kesehatan. Seperti bile salt hidrolisa (BSH) yang mampu menurunkan kadar kolesterol jahat dalam darah karena mencegah penyerapan kolesterol di usus (Schelgel, 1994). Penelitian ini menggunakan bakteri probiotik Lactobacillus acidophillus dan S. termophillus, Prebiotik, dan Probiotik. Untuk menguji aktivitas prebiotik inulin umbi dahlia. Konsentrasi inulin umbi dahlia yang efektif digunakan sebagai prebiotik juga belum diketahui, karena suatu prebiotik dapat memacu pertumbuhan bakteri probiotik hanya pada kisaran konsentrasi tertentu. Misalnya pada penelitian Idha et al. (2006), bahwa inulin bawang merah mampu memberikan aktivitas prebiotik pada konsentrasi ppm, ppm, dan ppm. Sehingga pada penelitian ini akan dilakukan uji prebiotik inulin umbi dahlia pada beberapa konsentrasi yakni 0 ppm (sebagai kontrol negatif), ppm, pp, dan ppm. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental, yaitu suatu penelitian dengan serangkaian percobaan dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh yang timbul pada variabel terikat sebagai akibat dari adanya perlakuan tertentu dari variabel bebas (Notoatmodjo, 2012). Desain penelitian berupa posttestonly control group design, yaitu membandingkan hasil akhir dari kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol. Perlakuan yang dilakukan adalah pemberian inulin umbi dahlia berbunga merah darah dengan konsentrasi ppm, ppm, ppm. Kelompok kontrol tanpa diberi inulin. Masing-masing pengamatan dilakukan tiga kali ulangan. Variabel bebas penelitian ini adalah jenis bakteri probiotik dan konsentrasi inulin yang digunakan, variabel terikat adalah pertumbuhan bakteri probiotik (biomassa probiotik), dan variabel terkendali adalah metode isolasi inulin dari umbi 527

45 dahlia berbunga merah darah dan kondisi pembiakan probiotik. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Mikrobiologi dan Biokimia Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Jember. Inulin umbi dahlia diambil dengan cara menimbang 1 kg umbi dahlia berbunga merah darah, dibersihkan dan dicuci, dikupas kemudian dipotong dan diblender dengan penambahan air 2 L. Lalu dipanaskan pada suhu 80 0 C 90 0 C selama 30 menit, lalu disaring dan diambil filtratnya. Selanjutnya didinginkan dan ditambah etanol 30% sebanyak 40% dari volume filtrat. Larutan tersebut disimpan dalam freezer pada suhu 2 0 C selama 18 jam. Kemudian filtrat tersebut didiamkan pada suhu ruang selama 2 jam dan selanjutnya disentrifugasi dengan kecepatan rpm selama 15 menit. Endapan hasil sentrifus ini berwarna putih kecoklatan (inulin basah 1). Inulin basah 1 ini dilarutkan kembali menggunakan akuades (1:2) dan ditambahkan arak aktif 2% b/v dan dipanaskan pada suhu 60 0 C 70 0 C selama 30 menit. Filtrat didinginkan dan saring. Kemudian ditambah etanol 30% sebanyak 40% dari volume filtrat kemudian didinginkan dalam freezer pada suhu 2 0 C selama 1 jam. Kemudian disentrifugasi rpm selama 15 menit dan diperoleh endapan inulin basah 2. Endapan ini dikeringkan dengan menggunakan freeze drying hingga kering, kemudian digerus hingga menjadi serbuk (Widowati et al., 2005). Menyiapkan inokulum bakteri probiotik dari media padat ke dalam 5 ml MRS-B. Inkubasi selama 48 jam. Inokulum siap digunakan. Hasil uji prebiotik yang diperoleh dianalisis dengan menghitung kecepatan tumbuh spesifik dan waktu generasi (doubling time). Analisis deskriptif juga diterapkan untuk data perhitungan kecepatan pertumbuhan spesifik dan waktu generasi dengan membandingkan waktu generasi dari dua spesies bakteri yang digunakan. Enumerisasi total mikroba diukur dengan menggunakan metode spektrofotometri pada panjang gelombang 625 nm. Banyaknya cahaya yang dipancarkan (optical density/ OD) sebanding dengan kerapatan sel bakteri dalam suspensi. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil rendemen inulin yang diperoleh sebesar 0,689%, artinya setiap 6,89 g inulin diperoleh dari umbi segar dahlia sebanyak 1 kg. Rendemen yang diperoleh relatif kecil karena umbi yang digunakan masih berumur dua bulan. Rendemen inulin dari umbi dahlia berbunga merah darah tinggi pada saat umbi berumur tujuh bulan (Widowati et al., 2005). 528

46 Gambar 1. Endapan basah inulin umbi dahlia berbunga merah darah yang diisolasi dengan pelarut air-etanol Gambar 2. Endapan basah inulin umbi dahlia berbunga merah dara.h yang diisolasi dengan pelarut air etanol. Peningkatan biomassa dialami oleh bakteri L.Acidophillus dan S.termophillus seperti yang terlihat pada tabel 1 dan tabel 2 berikut ini. Tabel 1. Biomassa L.acidophillus (mg) Selama 30 Jam Masa Inkubasi Biomassa (mg) Yang ditambahkan Jam ke- 0 ppm ppm ppm ppm 0 0,389 0,416 0,398 0, ,416 0,520 0,495 0, ,644 0,693 0,678 0, ,650 0,751 0,805 1, ,884 0,933 1,070 1, ,976 1,180 1,240 1, ,984 1,530 1,580 1, ,190 1,550 1,670 1, ,200 1,560 1,790 1, ,190 1,360 1,470 1,710 Tabel 2. Biomassa S.termophillus (mg) Selama 30 Jam Masa Inkubasi Biomassa (mg) Yang ditambahkan Jam ke- 0 ppm ppm ppm ppm 0 0,076 0,096 0,100 0, ,097 0,194 0,393 0, ,300 0,408 0,539 0, ,358 0,525 0,686 1, ,424 0,528 0,861 1, ,448 0,562 0,918 1, ,472 0,579 0,951 1, ,498 0,650 0,981 1, ,547 0,712 1,000 1, ,532 0,703 0,996 1,640 Fase log L.acidophillus terjadi setelah 2 jam hingga 10 jam masa inkubasi. Hal ini berlaku bagi semua L.Acidophillus baik yang ditambahkan inulin umbi dahlia maupun yang tidak ditambahkan inulin umbi dahlia. Pertumbuhan L.Acidophillus dapat dilihat pada gambar 3 dan gambar 4 berikut ini: Gambar 3. Grafik Biomassa (mg) L. acidophillus pada media MRS- Broth selama 30 jam masa inkubasi 529

47 Gambar 4. Grafik Biomassa (mg) S. thermophillus pada media MRS-Broth selama 30 jam masa inkubasi. Kecepatan pertumbuhan tertinggi L.acidophillus diperoleh dari penambahan inulin ppm. Pertumbuhan S.thermophillus juga menunjukkan kecepatan pertumbuhan tertinggi pada penambahan inulin ppm. Peningkatan kecepatan pertumbuhan semakin meningkat seiring dengan peningkatan konsentrasi inulin yang diberikan. Tabel 3. Kecepatan Pertumbuhan L.acidophillus Akibat Pemberian Inulin Umbi Dahlia pada beberapa Konsentrasi Konsentrasi Inulin (ppm) Kecepatan Pertumbuhan (mg/jam) 0 ppm 0, ppm 0, ppm 0, ppm 0,2691 Tabel 4. Kecepatan Pertumbuhan Konsentrasi Inulin (ppm) S.thermophillus akibat Pemberian Inulin Umbi Dahlia pada beberapa Konsentrasi Kecepatan Pertumbuhan (mg/jam) 0 ppm 0, ppm 0, ppm 0, ppm 0,2942 Waktu generasi (doubling time) adalah waktu yang dibutuhkan oleh populasi mikroba untuk meningkat dalam jumlah kelipatan dua (Madigan et al., 1997). Tabel 5. Waktu Generasi L.acidophillus dan S.thermophillus Akibat Pemberian Inulin Bakteri Waktu Generasi Bakteri (Jam) Pada Konsentrasi Inulin Terlarut 0 ppm ppm ppm ppm L.acidophillus 6,051 6,0313 6,0313 5,4014 S.thermophillus 2,8228 2,7854 2,5752 2,3535 Pembahasan Waktu generasi yang singkat selalu dicapai ketika bakteri memiliki kecepatan pertumbuhan tinggi. Hal ini dikarenakan semakin cepat suatu populasi mikroba menggandakan jumlahnya, maka populasi ini tidak memerlukan waktu yang lama untuk menggandakan diri. Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa waktu generasi bakteri dengan penambahan inulin umbi dahlia lebih singkat dibandingkan dengan tanpa penambahan inulin umbi dahlia. Semakin besar konsentrasi inulin yang diberikan waktu generasi semakin cepat. Inulin merupakan polimer dari unit fruktosa yang dihubungkan dengan ikatan β-(2-1) glikosidik. Inulin dapat larut air tapi tidak dapat dicerna oleh enzim-enzim pencernaan 530

PENGARUH PELATIHAN KUESIONER PRA SKRINING PERKEMBANGAN (KPSP) DENGAN METODE OFF THE JOB TRAINING

PENGARUH PELATIHAN KUESIONER PRA SKRINING PERKEMBANGAN (KPSP) DENGAN METODE OFF THE JOB TRAINING PENGARUH PELATIHAN KUESIONER PRA SKRINING PERKEMBANGAN (KPSP) DENGAN METODE OFF THE JOB TRAINING PADA KADER TERHADAP KEMAMPUAN KADER MENDETEKSI PERKEMBANGAN BALITA Reni Sulistyowati 1, Septi Kurniawati

Lebih terperinci

KADAR GLUKOSA DARAH TIDAK TERKONTROL DAN HIPERTENSI TERHADAP KEJADIAN KAKI DIABETIK PADA PASIEN DIABETES MELLITUS

KADAR GLUKOSA DARAH TIDAK TERKONTROL DAN HIPERTENSI TERHADAP KEJADIAN KAKI DIABETIK PADA PASIEN DIABETES MELLITUS KADAR GLUKOSA DARAH TIDAK TERKONTROL DAN HIPERTENSI TERHADAP KEJADIAN KAKI DIABETIK PADA PASIEN DIABETES MELLITUS Eko Prabowo 1, Haswita 1, Lina Agustiana Puspitasari 1 1 Prodi D III Keperawatan Akademi

Lebih terperinci

ANALISIS TERHADAP FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB GIZI KURANG PADA BALITA DI DESA BANYUANYAR KECAMATAN KALIBARU BANYUWANGI

ANALISIS TERHADAP FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB GIZI KURANG PADA BALITA DI DESA BANYUANYAR KECAMATAN KALIBARU BANYUWANGI ANALISIS TERHADAP FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB GIZI KURANG PADA BALITA DI DESA BANYUANYAR KECAMATAN KALIBARU BANYUWANGI Firdawsyi Nuzula 1, Maulida Nurfazriah Oktaviana 1, Roshinta Sony Anggari 1 1. Prodi D

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Menurut Global Report On Diabetes yang dikeluarkan WHO pada tahun

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Menurut Global Report On Diabetes yang dikeluarkan WHO pada tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes melitus (DM) adalah suatu kondisi kronis yang terjadi ketika tubuh tidak bisa menghasilkan cukup insulin atau tidak dapat secara efektif menggunakan insulin

Lebih terperinci

Eko Heryanto Dosen Program Studi S.1 Kesehatan Masyarakat STIKES Al-Ma arif Baturaja ABSTRAK

Eko Heryanto Dosen Program Studi S.1 Kesehatan Masyarakat STIKES Al-Ma arif Baturaja ABSTRAK Volume 1, Nomor 1, Juni 2016 HUBUNGAN STATUS IMUNISASI, STATUS GIZI, DAN ASI EKSKLUSIF DENGAN KEJADIAN ISPA PADA ANAK BALITA DI BALAI PENGOBATAN UPTD PUSKESMAS SEKAR JAYA KABUPATEN OGAN KOM ERING ULU TAHUN

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Berdasarkan laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 ISPA

BAB 1 PENDAHULUAN. Berdasarkan laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 ISPA BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) adalah penyakit infeksi akut yang menyerang salah satu bagian / lebih dari saluran nafas mulai hidung alveoli termasuk adneksanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sampai dengan lima tahun. Pada usia ini otak mengalami pertumbuhan yang

BAB I PENDAHULUAN. sampai dengan lima tahun. Pada usia ini otak mengalami pertumbuhan yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak dibawah lima tahun atau balita adalah anak berada pada rentang usia nol sampai dengan lima tahun. Pada usia ini otak mengalami pertumbuhan yang sangat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Diabetes Melitus (DM) atau penyakit kencing manis telah menjadi beban besar sebagai suatu masalah kesehatan masyarakat. Hal ini disebabkan oleh karena morbiditas DM

Lebih terperinci

HUBUNGAN STATUS GIZI DAN STATUS IMUNISASI DENGAN KEJADIAN ISPA PADA BALITA

HUBUNGAN STATUS GIZI DAN STATUS IMUNISASI DENGAN KEJADIAN ISPA PADA BALITA HUBUNGAN STATUS GIZI DAN STATUS IMUNISASI DENGAN KEJADIAN ISPA PADA BALITA Erni Yuliastuti Poltekkes Kemenkes Banjarmasin Jurusan Kebidanan email : yuliastutierni @ymail.com Abstrak Latar Belakang : Infeksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mencakup 74% (115,3 juta) dari 156 juta kasus di seluruh dunia. Lebih dari. dan Indonesia (Rudan, 2008). World Health Organization

BAB I PENDAHULUAN. mencakup 74% (115,3 juta) dari 156 juta kasus di seluruh dunia. Lebih dari. dan Indonesia (Rudan, 2008). World Health Organization BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA) masih merupakan penyebab kesakitan dan kematian utama pada balita (Kartasasmita, 2010). Terdapat 15 negara dengan prediksi kasus

Lebih terperinci

HUBUNGAN PERAN ORANG TUA DALAM PENCEGAHAN PNEUMONIA DENGAN KEKAMBUHAN PNEUMONIA PADA BALITA DI PUSKESMAS SEI JINGAH BANJARMASIN

HUBUNGAN PERAN ORANG TUA DALAM PENCEGAHAN PNEUMONIA DENGAN KEKAMBUHAN PNEUMONIA PADA BALITA DI PUSKESMAS SEI JINGAH BANJARMASIN HUBUNGAN PERAN ORANG TUA DALAM PENCEGAHAN PNEUMONIA DENGAN KEKAMBUHAN PNEUMONIA PADA BALITA DI PUSKESMAS SEI JINGAH BANJARMASIN Mira Yunita 1, Adriana Palimbo 2, Rina Al-Kahfi 3 1 Mahasiswa, Prodi Ilmu

Lebih terperinci

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN TERJADINYA ISPA PADA BAYI (1-12 BULAN) DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS RAJABASA INDAH BANDAR LAMPUNG TAHUN 2013

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN TERJADINYA ISPA PADA BAYI (1-12 BULAN) DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS RAJABASA INDAH BANDAR LAMPUNG TAHUN 2013 JURNAL KEBIDANAN Vol 1, No 2, Juli 2015: 57-62 FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN TERJADINYA ISPA PADA BAYI (1-12 BULAN) DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS RAJABASA INDAH BANDAR LAMPUNG TAHUN 2013 Ana Mariza

Lebih terperinci

PENDAHULUAN atau Indonesia Sehat 2025 disebutkan bahwa perilaku. yang bersifat proaktif untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan;

PENDAHULUAN atau Indonesia Sehat 2025 disebutkan bahwa perilaku. yang bersifat proaktif untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan; BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rencana pembangunan jangka panjang bidang kesehatan RI tahun 2005 2025 atau Indonesia Sehat 2025 disebutkan bahwa perilaku masyarakat yang diharapkan dalam Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan perolehan data Internatonal Diabetes Federatiaon (IDF) tingkat

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan perolehan data Internatonal Diabetes Federatiaon (IDF) tingkat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Diabetes mellitus (DM) merupakan salah satu jenis penyakit metabolik yang selalu mengalami peningkat setiap tahun di negara-negara seluruh dunia. Berdasarkan

Lebih terperinci

Oleh : Suharno, S.Kep.,Ners ABSTRAK

Oleh : Suharno, S.Kep.,Ners ABSTRAK FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF PADA BAYI USIA 0-6 BULAN DI WILAYAH KERJA UPTD PUSKESMAS PANONGAN KABUPATEN MAJALENGKA TAHUN 2014 Oleh : Suharno, S.Kep.,Ners ABSTRAK Pemberian

Lebih terperinci

HUBUNGAN PERILAKU PASIEN DALAM PERAWATAN DIABETES MELITUS DENGAN ULKUS DIABETIKUM PADA PASIEN DIABETES MELITUS DI RUANG RINDU A1 DAN A2 RSUP H

HUBUNGAN PERILAKU PASIEN DALAM PERAWATAN DIABETES MELITUS DENGAN ULKUS DIABETIKUM PADA PASIEN DIABETES MELITUS DI RUANG RINDU A1 DAN A2 RSUP H HUBUNGAN PERILAKU PASIEN DALAM PERAWATAN DIABETES MELITUS DENGAN ULKUS DIABETIKUM PADA PASIEN DIABETES MELITUS DI RUANG RINDU A1 DAN A2 RSUP H. ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2015 Suriani Ginting, Wiwik Dwi Arianti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas di masa yang akan datang.

BAB I PENDAHULUAN. mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas di masa yang akan datang. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah bayi dan balita merupakan suatu hal yang sangat penting dan harus mendapat perhatian, karena akan sangat menentukan dalam upaya mewujudkan sumber daya manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Balita. Pneumonia menyebabkan empat juta kematian pada anak balita di dunia,

BAB I PENDAHULUAN. Balita. Pneumonia menyebabkan empat juta kematian pada anak balita di dunia, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) khususnya Pneumonia masih merupakan penyakit utama penyebab kesakitan dan kematian bayi dan Balita. Pneumonia

Lebih terperinci

Jurnal Harapan Bangsa, Vol.1 No.1 Desember 2013 ISSN

Jurnal Harapan Bangsa, Vol.1 No.1 Desember 2013 ISSN PERBEDAAN TINGKAT PENGETAHUAN ORANG TUA TENTANG PENYAKIT ISPA PADA BALITA SEBELUM DAN SETELAH DIBERIKAN PENDIDIKAN KESEHATAN DI PUSKESMAS ARIODILLAH PALEMBANG TAHUN 2012 Oleh : Amalia Dosen STIK Bina Husada

Lebih terperinci

Syntax Literate : Jurnal Ilmiah Indonesia ISSN : e-issn : Vol. 2, No 4 April 2017

Syntax Literate : Jurnal Ilmiah Indonesia ISSN : e-issn : Vol. 2, No 4 April 2017 Syntax Literate : Jurnal Ilmiah Indonesia ISSN : 2541-0849 e-issn : 2548-1398 Vol. 2, No 4 April 2017 HUBUNGAN ANTARA KEJADIAN INFEKSI SALURAN PERNAFASAN AKUT (ISPA) DENGAN PENGETAHUAN DAN POLA ASUH IBU

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lama diketahui bahwa terdapat tiga faktor yang dapat mempengaruhi

BAB I PENDAHULUAN. lama diketahui bahwa terdapat tiga faktor yang dapat mempengaruhi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Diabetes Melitus merupakan salah satu jenis penyakit kronis yang akan menimbulkan perubahan yang permanen pada kehidupan setiap individu (Stuart & Sundeen, 2005). Diabetes

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Pneumonia adalah penyakit batuk pilek disertai nafas sesak atau nafas cepat,

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Pneumonia adalah penyakit batuk pilek disertai nafas sesak atau nafas cepat, BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pneumonia adalah penyakit batuk pilek disertai nafas sesak atau nafas cepat, penyakit ini sering menyerang anak balita, namun juga dapat ditemukan pada orang dewasa,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Diabetes Melitus (DM) adalah suatu sindrom klinis kelainan metabolik

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Diabetes Melitus (DM) adalah suatu sindrom klinis kelainan metabolik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Diabetes Melitus (DM) adalah suatu sindrom klinis kelainan metabolik yang ditandai adanya hiperglikemia yang disebabkan oleh defek sekresi insulin, defek kerja insulin

Lebih terperinci

PENGARUH PELATIHAN PEMBERIAN MAKAN PADA BAYI DAN ANAK TERHADAP PENGETAHUAN KADER DI WILAYAH PUSKESMAS KLATEN TENGAH KABUPATEN KLATEN

PENGARUH PELATIHAN PEMBERIAN MAKAN PADA BAYI DAN ANAK TERHADAP PENGETAHUAN KADER DI WILAYAH PUSKESMAS KLATEN TENGAH KABUPATEN KLATEN PENGARUH PELATIHAN PEMBERIAN MAKAN PADA BAYI DAN ANAK TERHADAP PENGETAHUAN KADER DI WILAYAH PUSKESMAS KLATEN TENGAH KABUPATEN KLATEN Endang Wahyuningsih, Sri Handayani ABSTRAK Latar Belakang Penelitian,

Lebih terperinci

Jurnal Keperawatan, Volume XI, No. 2, Oktober 2015 ISSN HUBUNGAN PEMBERIAN STIMULASI IBU DENGAN PERKEMBANGAN BALITA DI POSYANDU

Jurnal Keperawatan, Volume XI, No. 2, Oktober 2015 ISSN HUBUNGAN PEMBERIAN STIMULASI IBU DENGAN PERKEMBANGAN BALITA DI POSYANDU PENELITIAN HUBUNGAN PEMBERIAN STIMULASI IBU DENGAN PERKEMBANGAN BALITA DI POSYANDU Yusari Asih* *Dosen Jurusan Kebidanan Poltekkes Tanjungkarang Yusariasih@gmail.com Masa balita adalah masa keemasan (golden

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. finansial dan pemerataan pelayanan kesehatan dalam pembangunan kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. finansial dan pemerataan pelayanan kesehatan dalam pembangunan kesehatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gizi kurang menjadi salah satu masalah gizi utama di Indonesia sehingga pemerintah menekankan Program Indonesia Sehat dengan sasaran meningkatkan derajat kesehatan dan

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Pneumonia adalah penyakit batuk pilek disertai nafas sesak atau nafas cepat,

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Pneumonia adalah penyakit batuk pilek disertai nafas sesak atau nafas cepat, BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pneumonia adalah penyakit batuk pilek disertai nafas sesak atau nafas cepat, penyakit ini sering menyerang anak balita, namun juga dapat ditemukan pada orang dewasa,

Lebih terperinci

HUBUNGAN STATUS GIZI DENGAN KEJADIAN PNEUMONIA PADA BALITA USIA 1-5 TAHUN DI PUSKESMAS CANDI LAMA KECAMATAN CANDISARI KOTA SEMARANG

HUBUNGAN STATUS GIZI DENGAN KEJADIAN PNEUMONIA PADA BALITA USIA 1-5 TAHUN DI PUSKESMAS CANDI LAMA KECAMATAN CANDISARI KOTA SEMARANG HUBUNGAN STATUS GIZI DENGAN KEJADIAN PNEUMONIA PADA BALITA USIA 1-5 TAHUN DI PUSKESMAS CANDI LAMA KECAMATAN CANDISARI KOTA SEMARANG Defi Ratnasari Ari Murdiati*) Frida Cahyaningrum*) *)Akademi kebidanan

Lebih terperinci

Kata kunci : Peran Keluarga Prasejahtera, Upaya Pencegahan ISPA pada Balita

Kata kunci : Peran Keluarga Prasejahtera, Upaya Pencegahan ISPA pada Balita PERAN KELUARGA PRASEJAHTERA DENGAN UPAYA PENCEGAHAN INFEKSI SALURAN PERNAFASAN AKUT (ISPA) PADA BALITA DI DESA DEPOK KECAMATAN KANDEMAN KABUPATEN BATANG 7 Cipto Roso ABSTRAK Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Nigeria masing-masing 6 juta episode (Kemenkes RI, 2011). (15%-30%). Berdasarkan hasil penelitian Khin, dkk tahun 2003 di Myanmar

BAB I PENDAHULUAN. Nigeria masing-masing 6 juta episode (Kemenkes RI, 2011). (15%-30%). Berdasarkan hasil penelitian Khin, dkk tahun 2003 di Myanmar BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) merupakan salah satu masalah kesehatan di dunia saat ini dan sering terjadi pada anak - anak. Insidens menurut kelompok umur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan anak di periode selanjutnya. Masa tumbuh kembang di usia ini

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan anak di periode selanjutnya. Masa tumbuh kembang di usia ini BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan kesehatan adalah bagian dari membangun manusia seutuhnya yang diawali dengan pembinaan kesehatan anak mulai sejak dini. Pembinaan kesehatan anak sejak awal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Morbiditas dan mortalitas merupakan suatu indikator yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Morbiditas dan mortalitas merupakan suatu indikator yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Morbiditas dan mortalitas merupakan suatu indikator yang menggambarkan tingkat derajat kesehatan masyarakat dalam suatu wilayah. Pada penentuan derajat kesehatan terdapat

Lebih terperinci

HUBUNGAN PELATIHAN PEMBERIAN MAKANAN PADA BAYI DAN ANAK (PMBA) DENGAN KETERAMPILAN KONSELING PADA BIDAN DI WILAYAH KAWEDANAN PEDAN TAHUN 2014

HUBUNGAN PELATIHAN PEMBERIAN MAKANAN PADA BAYI DAN ANAK (PMBA) DENGAN KETERAMPILAN KONSELING PADA BIDAN DI WILAYAH KAWEDANAN PEDAN TAHUN 2014 HUBUNGAN PELATIHAN PEMBERIAN MAKANAN PADA BAYI DAN ANAK (PMBA) DENGAN KETERAMPILAN KONSELING PADA BIDAN DI WILAYAH KAWEDANAN PEDAN TAHUN 2014 Endang Wahyuningsih Latar Belakang Penelitian, Asupan makanan

Lebih terperinci

HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN SIKAP IBU BERSALIN DENGAN PELAKSANAAN INISIASI MENYUSUI DINI DIKAMAR BERSALIN PUSKESMAS PUTRI AYU KOTA JAMBI TAHUN 2013

HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN SIKAP IBU BERSALIN DENGAN PELAKSANAAN INISIASI MENYUSUI DINI DIKAMAR BERSALIN PUSKESMAS PUTRI AYU KOTA JAMBI TAHUN 2013 HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN SIKAP IBU BERSALIN DENGAN PELAKSANAAN INISIASI MENYUSUI DINI DIKAMAR BERSALIN PUSKESMAS PUTRI AYU KOTA JAMBI TAHUN 2013 1, * Sri Mulyati 1* Akper Prima Jambi Korespondensi Penulis

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Diabetic foot merupakan salah satu komplikasi Diabetes Mellitus (DM).

BAB 1 PENDAHULUAN. Diabetic foot merupakan salah satu komplikasi Diabetes Mellitus (DM). BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Diabetic foot merupakan salah satu komplikasi Diabetes Mellitus (DM). Diabetic foot adalah infeksi, ulserasi, dan atau destruksi jaringan ikat dalam yang berhubungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. utama bagi kesehatan manusia pada abad 21. World Health. Organization (WHO) memprediksi adanya kenaikan jumlah pasien

BAB I PENDAHULUAN. utama bagi kesehatan manusia pada abad 21. World Health. Organization (WHO) memprediksi adanya kenaikan jumlah pasien BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Diabetes Mellitus (DM) merupakan salah satu ancaman utama bagi kesehatan manusia pada abad 21. World Health Organization (WHO) memprediksi adanya kenaikan jumlah pasien

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. penduduk dunia meninggal akibat diabetes mellitus. Selanjutnya pada tahun 2003

BAB 1 PENDAHULUAN. penduduk dunia meninggal akibat diabetes mellitus. Selanjutnya pada tahun 2003 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada tahun 2000, World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa dari statistik kematian didunia, 57 juta kematian terjadi setiap tahunnya disebabkan oleh penyakit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lima tahun pada setiap tahunnya, sebanyak dua per tiga kematian tersebut

BAB I PENDAHULUAN. lima tahun pada setiap tahunnya, sebanyak dua per tiga kematian tersebut BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) dikenal sebagai salah satu penyebab kematian utama pada bayi dan anak balita di negara berkembang. ISPA menyebabkan empat dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menurun dan setelah dibawa ke rumah sakit lalu di periksa kadar glukosa

BAB I PENDAHULUAN. menurun dan setelah dibawa ke rumah sakit lalu di periksa kadar glukosa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit Tidak Menular (PTM) menjadi penyebab kematian secara global. Diabetes mellitus merupakan salah satu penyakit tidak menular yang prevalensi semakin meningkat

Lebih terperinci

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Diare Pada Balita di Kelurahan Jaya Mekar Wilayah Kerja Puskesmas Baros Kota Sukabumi

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Diare Pada Balita di Kelurahan Jaya Mekar Wilayah Kerja Puskesmas Baros Kota Sukabumi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Diare Pada Balita di Kelurahan Jaya Mekar Wilayah Kerja Puskesmas Baros Kota Sukabumi Khahfie Ramadhan Al Khaidar, Sri Janatri, S.Kp., M.Kep Abstrak Penelitian

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Di Indonesia diare merupakan penyebab kematian utama pada bayi dan anak.

UKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Di Indonesia diare merupakan penyebab kematian utama pada bayi dan anak. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Di Indonesia diare merupakan penyebab kematian utama pada bayi dan anak. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar tahun 2007, didapatkan bahwa penyebab kematian

Lebih terperinci

*Korespondensi Penulis, Telp: , ABSTRAK

*Korespondensi Penulis, Telp: ,   ABSTRAK PENGARUH EFIKASI DIRI DAN DUKUNGAN KELUARGA TERHADAP PENCEGAHAN KAKI DIABETIK PADA PASIEN RAWAT JALAN DIABETES MELLITUS TIPE 2 DI RSUD Dr. H. MOCH. ANSARI SALEH BANJARMASIN Rina Al-Kahfi 1, Adriana Palimbo

Lebih terperinci

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Balita di Kelurahan Baros Wilayah Kerja Puskesmas Baros Kota Sukabumi

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Balita di Kelurahan Baros Wilayah Kerja Puskesmas Baros Kota Sukabumi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Balita di Kelurahan Baros Wilayah Kerja Puskesmas Baros Kota Sukabumi Siti Hardianti, Sri Janatri janatrisri@yahoo.co.id Abstrak Periode penting dalam tumbuh

Lebih terperinci

PENELITIAN PEMBERIAN STIMULASI OLEH IBU UNTUK PERKEMBANGAN BALITA. Nurlaila*, Nurchairina* LATAR BELAKANG

PENELITIAN PEMBERIAN STIMULASI OLEH IBU UNTUK PERKEMBANGAN BALITA. Nurlaila*, Nurchairina* LATAR BELAKANG PENELITIAN PEMBERIAN STIMULASI OLEH IBU UNTUK PERKEMBANGAN BALITA Nurlaila*, Nurchairina* Masa balita adalah Masa Keemasan (golden age) dimana peranan ibu sangat diperlukan untuk tumbuh kembang yang optimal.

Lebih terperinci

PENGARUH PELATIHAN DETEKSI DINI TUMBUH KEMBANG BALITA (DTKB) TERHADAP MOTIVASI DAN KETRAMPILAN KADER DI DUSUN SORAGAN NGESTIHARJO KASIHAN BANTUL

PENGARUH PELATIHAN DETEKSI DINI TUMBUH KEMBANG BALITA (DTKB) TERHADAP MOTIVASI DAN KETRAMPILAN KADER DI DUSUN SORAGAN NGESTIHARJO KASIHAN BANTUL PENGARUH PELATIHAN DETEKSI DINI TUMBUH KEMBANG BALITA (DTKB) TERHADAP MOTIVASI DAN KETRAMPILAN KADER DI DUSUN SORAGAN NGESTIHARJO KASIHAN BANTUL SKRIPSI Disusun oleh: Dani Agus Triana Putriningtyas 201510104379

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. DM tipe 1, hal ini disebabkan karena banyaknya faktor resiko terkait dengan DM

BAB I PENDAHULUAN. DM tipe 1, hal ini disebabkan karena banyaknya faktor resiko terkait dengan DM BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Diabetes Melitus (DM) adalah suatu kelompok kelainan metabolik dengan ciri hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi hormon insulin, kerja insulin atau kedua-duanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ISPA adalah proses infeksi akut berlangsung selama 14 hari, yang disebabkan oleh mikroorganisme dan menyerang salah satu bagian, dan atau lebih dari saluran napas, mulai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengandung zat gizi yang paling sesuai dengan kebutuhan bayi dan

BAB I PENDAHULUAN. mengandung zat gizi yang paling sesuai dengan kebutuhan bayi dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Air susu ibu (ASI) merupakan nutrisi ideal untuk bayi karena mengandung zat gizi yang paling sesuai dengan kebutuhan bayi dan mengandung seperangkat zat perlindungan

Lebih terperinci

PENGARUH PENDAMPINGAN TERHADAP KEPATUHAN DIET PADA PENDERITA DIABETES MELLITUS TIPE 2 DI WILAYAH PUSKESMAS BANYUANYAR SURAKARTA

PENGARUH PENDAMPINGAN TERHADAP KEPATUHAN DIET PADA PENDERITA DIABETES MELLITUS TIPE 2 DI WILAYAH PUSKESMAS BANYUANYAR SURAKARTA PENGARUH PENDAMPINGAN TERHADAP KEPATUHAN DIET PADA PENDERITA DIABETES MELLITUS TIPE 2 DI WILAYAH PUSKESMAS BANYUANYAR SURAKARTA Dedy Arif Abdillah 1), Happy Indri Hapsari 2), Sunardi 3) 1) Mahasiswa SI

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN. balita yang menderita ISPA adalah kelompok umur bulan yaitu

BAB V PEMBAHASAN. balita yang menderita ISPA adalah kelompok umur bulan yaitu BAB V PEMBAHASAN A. Karakteristik Responden Hasil penelitian pada tabel 4.1 menunjukkan bahwa sebagian besar balita yang menderita ISPA adalah kelompok umur 12-23 bulan yaitu sebanyak 23 balita (44,2%).

Lebih terperinci

PENGARUH PERILAKU IBU DALAM MEMBERIKAN MAKANAN PENDAMPING ASI TERHADAP STATUS GIZI BAYI USIA 7-12 BULAN. Kolifah *), Rizka Silvia Listyanti

PENGARUH PERILAKU IBU DALAM MEMBERIKAN MAKANAN PENDAMPING ASI TERHADAP STATUS GIZI BAYI USIA 7-12 BULAN. Kolifah *), Rizka Silvia Listyanti Prosiding Seminar Nasional Fakultas Ilmu Kesehatan ISSN 2460-4143 PENGARUH PERILAKU IBU DALAM MEMBERIKAN MAKANAN PENDAMPING ASI TERHADAP STATUS GIZI BAYI USIA 7-12 BULAN Kolifah *), Rizka Silvia Listyanti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan perolehan data Internatonal Diabetes Federatiaon (IDF) tingkat

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan perolehan data Internatonal Diabetes Federatiaon (IDF) tingkat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Diabetes mellitus (DM) merupakan salah satu jenis penyakit metabolik yang selalu mengalami peningkat setiap tahun di negara-negara seluruh dunia. Berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merealisasikan tercapainya Millenium Development Goals (MDGs) yang

BAB I PENDAHULUAN. merealisasikan tercapainya Millenium Development Goals (MDGs) yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia sebagai masyarakat dunia berkomitmen untuk ikut merealisasikan tercapainya Millenium Development Goals (MDGs) yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan

Lebih terperinci

PENGARUH KOMPETENSI BIDAN DI DESA DALAM MANAJEMEN KASUS GIZI BURUK ANAK BALITA TERHADAP PEMULIHAN KASUS DI KABUPATEN PEKALONGAN TAHUN 2008 ARTIKEL

PENGARUH KOMPETENSI BIDAN DI DESA DALAM MANAJEMEN KASUS GIZI BURUK ANAK BALITA TERHADAP PEMULIHAN KASUS DI KABUPATEN PEKALONGAN TAHUN 2008 ARTIKEL PENGARUH KOMPETENSI BIDAN DI DESA DALAM MANAJEMEN KASUS GIZI BURUK ANAK BALITA TERHADAP PEMULIHAN KASUS DI KABUPATEN PEKALONGAN TAHUN 2008 ARTIKEL Untuk memenuhi persyaratan mencapai derajat Sarjana S-2

Lebih terperinci

HUBUNGAN STATUS GIZI DENGAN PERKEMBANGAN MOTORIK ANAK UMUR 1 TAHUN DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PAKUAN BARU KOTA JAMBITAHUN 2013

HUBUNGAN STATUS GIZI DENGAN PERKEMBANGAN MOTORIK ANAK UMUR 1 TAHUN DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PAKUAN BARU KOTA JAMBITAHUN 2013 HUBUNGAN STATUS GIZI DENGAN PERKEMBANGAN MOTORIK ANAK UMUR 1 TAHUN 1* Marinawati, 2 Rosmeri Bukit 1 STIKes Prima Prodi D III Kebidanan 2 Akademi Kebidanan Dharma Husada Pekan Baru *Korespondensi penulis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan survei yang dilakukan World Health Organization (WHO)

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan survei yang dilakukan World Health Organization (WHO) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berdasarkan survei yang dilakukan World Health Organization (WHO) tahun 2011 jumlah penyandang diabetes melitus di dunia 200 juta jiwa, Indonesia menempati urutan keempat

Lebih terperinci

MENARA Ilmu Vol. X Jilid 2 No.70 September 2016

MENARA Ilmu Vol. X Jilid 2 No.70 September 2016 MENARA Ilmu Vol. X Jilid 2 No.70 September 2016 PEMBERDAYAAN POTENSI DAN KEMANDIRIAN MASYARAKAT DALAM RANGKA MENCAPAI DERAJAT KESEHATAN BAYI DENGAN MENGGALAKKAN ASI EKSLUSIF DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS

Lebih terperinci

*Dosen Program Studi Keperawatan STIKES Muhamamdiyah Klaten

*Dosen Program Studi Keperawatan STIKES Muhamamdiyah Klaten HUBUNGAN ANTARA LAMA MENDERITA DAN KADAR GULA DARAH DENGAN TERJADINYA ULKUS PADA PENDERITA DIABETES MELLITUS DI RSUP DR. SOERADJI TIRTONEGORO KLATEN Saifudin Zukhri* ABSTRAK Latar Belakang : Faktor-faktor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terbesar dari jumlah penderita diabetes melitus yang selanjutnya disingkat

BAB I PENDAHULUAN. terbesar dari jumlah penderita diabetes melitus yang selanjutnya disingkat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut laporan WHO, Indonesia menempati urutan ke empat terbesar dari jumlah penderita diabetes melitus yang selanjutnya disingkat DM dengan prevalensi 8,6% dari total

Lebih terperinci

HUBUNGAN PEMBERIAN MAKANAN PENDAMPING ASI (MP ASI) DINI DENGAN KEJADIAN KONSTIPASI PADA BAYI DIBAWAH UMUR 6 BULAN

HUBUNGAN PEMBERIAN MAKANAN PENDAMPING ASI (MP ASI) DINI DENGAN KEJADIAN KONSTIPASI PADA BAYI DIBAWAH UMUR 6 BULAN HUBUNGAN PEMBERIAN MAKANAN PENDAMPING ASI (MP ASI) DINI DENGAN KEJADIAN KONSTIPASI PADA BAYI DIBAWAH UMUR 6 BULAN Nitasari Wulan J & Ardiani Sulistiani Akademi Kebidanan Estu Utomo Boyolali ABSTRAK Morbiditas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terbanyak yang diderita oleh anak-anak, baik di negara berkembang maupun di

BAB I PENDAHULUAN. terbanyak yang diderita oleh anak-anak, baik di negara berkembang maupun di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah penyakit terbanyak yang diderita oleh anak-anak, baik di negara berkembang maupun di negara maju.insidens menurut

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PEMBERIAN KOLOSTRUM PADA BAYI BARU LAHIR

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PEMBERIAN KOLOSTRUM PADA BAYI BARU LAHIR ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PEMBERIAN KOLOSTRUM PADA BAYI BARU LAHIR Tri Anasari Akademi Kebidanan YLPP Purwokerto ABSTRAK Pemberian ASI secara penuh sangat dianjurkan oleh para ahli

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Diabetes melitus merupakan suatu gangguan metabolisme karbohidrat, protein dan lemak yang ditandai adanya hiperglikemia atau peningkatan kadar glukosa dalam darah

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Diabetes Melitus (DM) adalah suatu penyakit kronis yang terjadi baik ketika

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Diabetes Melitus (DM) adalah suatu penyakit kronis yang terjadi baik ketika 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes Melitus (DM) adalah suatu penyakit kronis yang terjadi baik ketika pankreas tidak menghasilkan cukup insulin ataupun tubuh tidak dapat secara efektif menggunakan

Lebih terperinci

Jurnal Ilmiah STIKES U Budiyah Vol.1, No.2, Maret 2012

Jurnal Ilmiah STIKES U Budiyah Vol.1, No.2, Maret 2012 HUBUNGAN PENGETAHUAN, STATUS IMUNISASI DAN KEBERADAAN PEROKOK DALAM RUMAH DENGAN PENYAKIT INFEKSI SALURAN PERNAFASAN AKUT PADA BALITA DI PUSKESMAS PEUKAN BADA KABUPATEN ACEH BESAR AGUSSALIM 1 1 Tenaga

Lebih terperinci

7-13% kasus berat dan memerlukan perawatan rumah sakit. (2)

7-13% kasus berat dan memerlukan perawatan rumah sakit. (2) 1 BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ISPA merupakan Penyakit infeksi akut yang menyerang salah satu bagian atau lebih dari saluran nafas mulai dari hidung (saluran atas) hingga alveoli (saluran bawah)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) merupakan masalah kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) merupakan masalah kesehatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) merupakan masalah kesehatan yang penting karena menjadi penyebab pertama kematian balita di Negara berkembang.setiap tahun ada

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. meningkatkan produktifitas anak sebagai penerus bangsa (1). Periode seribu hari,

BAB 1 : PENDAHULUAN. meningkatkan produktifitas anak sebagai penerus bangsa (1). Periode seribu hari, BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anak merupakan harapan penerus bangsa, sehingga tumbuh kembang anak sangat penting untuk diperhatikan. Tumbuh kembang ini sangat dipengaruhi oleh banyak faktor diantaranya

Lebih terperinci

PENGARUH PENDIDIKAN KESEHATAN TERHADAP TINGKAT PENGETAHUAN IBU TENTANG DIARE PADA BALITA DI WILAYAH KERJA UPTD PUSKESMAS PAHANDUT PALANGKA RAYA

PENGARUH PENDIDIKAN KESEHATAN TERHADAP TINGKAT PENGETAHUAN IBU TENTANG DIARE PADA BALITA DI WILAYAH KERJA UPTD PUSKESMAS PAHANDUT PALANGKA RAYA PENGARUH PENDIDIKAN KESEHATAN TERHADAP TINGKAT PENGETAHUAN IBU TENTANG DIARE PADA BALITA DI WILAYAH KERJA UPTD PUSKESMAS PAHANDUT PALANGKA RAYA Suryagustina*, Rimba Aprianti**, Isna Winarti*** Sekolah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. balita di dunia, lebih banyak dibandingkan dengan penyakit lain seperti

BAB I PENDAHULUAN. balita di dunia, lebih banyak dibandingkan dengan penyakit lain seperti 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) adalah pembunuh utama balita di dunia, lebih banyak dibandingkan dengan penyakit lain seperti AIDS, malaria, dan campak. Infeksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pneumonia merupakan penyakit infeksi akut saluran pernafasan yang mengenai jaringan paru-paru (alveoli). Penyakit ini merupakan infeksi serius yang dapat menyebabkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (mordibity) dan angka kematian (mortality). ( Darmadi, 2008). Di negara

BAB I PENDAHULUAN. (mordibity) dan angka kematian (mortality). ( Darmadi, 2008). Di negara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakancg Pada negara-negara berkembang seperti halnya Indonesia, penyakit infeksi masih merupakan penyebab utama tingginya angka kesakitan (mordibity) dan angka kematian (mortality).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tertinggi dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya (Prakarsa, 2013). meninggal selama atau setelah kehamilan dan persalinan.

BAB I PENDAHULUAN. tertinggi dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya (Prakarsa, 2013). meninggal selama atau setelah kehamilan dan persalinan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Angka kematian Ibu (AKI) menjadi indikator penting untuk menilai derajat kesehatan suatu negara, tercatat dalam Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun

Lebih terperinci

HUBUNGAN PEMBERIAN AIR SUSU IBU (ASI) EKSKLUSIF DENGAN KEJADIAN DIARE PADA BAYI UMUR 0-6 BULAN DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS GADANG HANYAR

HUBUNGAN PEMBERIAN AIR SUSU IBU (ASI) EKSKLUSIF DENGAN KEJADIAN DIARE PADA BAYI UMUR 0-6 BULAN DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS GADANG HANYAR HUBUNGAN PEMBERIAN AIR SUSU IBU (ASI) EKSKLUSIF DENGAN KEJADIAN DIARE PADA BAYI UMUR 0-6 BULAN DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS GADANG HANYAR Istiqamah 1, Sitti Khadijah 2, Nurul Maulida 2 1 Prodi DIV Bidan

Lebih terperinci

GLOBAL HEALTH SCIENCE, Volume 2 Issue 1, Maret 2017 ISSN

GLOBAL HEALTH SCIENCE, Volume 2 Issue 1, Maret 2017 ISSN HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN SIKAP IBU HAMIL TERHADAP PENTINGNYA PEMERIKSAAN ANTENATAL CARE DI PUSKESMAS NAMTABUNG KEC. SELARU KABUPATEN MALUKU TENGGARA BARAT Fasiha (Poltekkes Kemenkes Maluku) ABSTRAK Sistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. insulin dependent diabetes melitus atau adult onset diabetes merupakan

BAB I PENDAHULUAN. insulin dependent diabetes melitus atau adult onset diabetes merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Diabetes melitus (DM) tipe 2 yang dahulu dikenal dengan nama non insulin dependent diabetes melitus atau adult onset diabetes merupakan penyakit gangguan metabolik

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Diabetes mellitus (DM) merupakan penyakit metabolik dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Diabetes mellitus (DM) merupakan penyakit metabolik dengan BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Diabetes mellitus (DM) merupakan penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekrsi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya,

Lebih terperinci

ABSTRAK. meninggal sebanyak 49 bayi dan 9 bayi diantaranya meninggal disebabkan karena diare. 2 Masa pertumbuhan buah hati

ABSTRAK. meninggal sebanyak 49 bayi dan 9 bayi diantaranya meninggal disebabkan karena diare. 2 Masa pertumbuhan buah hati Hubungan Pengetahuan, Pendidikan Dan Pekerjaan Ibu Dengan Pemberian Makanan Pendamping ASI ( MP ASI ) Pada Bayi Di Puskesmas Bahu Kecamatan Malalayang Kota Manado Kusmiyati, 1, Syuul Adam 2, Sandra Pakaya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pencapaian tumbuh kembang bayi tidak optimal. utama kematian bayi dan balita adalah diare dan pneumonia dan lebih dari 50%

BAB 1 PENDAHULUAN. pencapaian tumbuh kembang bayi tidak optimal. utama kematian bayi dan balita adalah diare dan pneumonia dan lebih dari 50% BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sampai saat ini penyakit diare masih menjadi masalah kesehatan dunia terutama di Negara berkembang. Besarnya masalah tersebut terlihat dari tingginya angka kesakitan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Diabetes saat ini menjadi masalah besar di seluruh. dunia dengan insidensi yang diperkirakan akan meningkat

BAB I PENDAHULUAN. Diabetes saat ini menjadi masalah besar di seluruh. dunia dengan insidensi yang diperkirakan akan meningkat BAB I PENDAHULUAN I. A. Latar Belakang Diabetes saat ini menjadi masalah besar di seluruh dunia dengan insidensi yang diperkirakan akan meningkat secara signifikan menjadi lebih dari 5 juta pada tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sedangkan penyakit non infeksi (penyakit tidak menular) justru semakin

BAB I PENDAHULUAN. sedangkan penyakit non infeksi (penyakit tidak menular) justru semakin BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Di Indonesia sering terdengar kata Transisi Epidemiologi atau beban ganda penyakit. Transisi epidemiologi bermula dari suatu perubahan yang kompleks dalam pola kesehatan

Lebih terperinci

GAMBARAN TUMBUH KEMBANG ANAK USIA 6-24 BULAN YANG MENDAPAT ASI EKSKLUSIF DI DESA GASOL KECAMATAN CUGENANG KABUPATEN CIANJUR ABSTRAK

GAMBARAN TUMBUH KEMBANG ANAK USIA 6-24 BULAN YANG MENDAPAT ASI EKSKLUSIF DI DESA GASOL KECAMATAN CUGENANG KABUPATEN CIANJUR ABSTRAK GAMBARAN TUMBUH KEMBANG ANAK USIA 6-24 BULAN YANG MENDAPAT ASI EKSKLUSIF DI DESA GASOL KECAMATAN CUGENANG KABUPATEN CIANJUR Ranti Lestari 1, H. Amin Amsyari 2, Rini Pakpahan 1 1 Akademi Kebidanan Cianjur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan batuk baik kering ataupun berdahak. 2 Infeksi saluran pernapasan akut

BAB I PENDAHULUAN. dan batuk baik kering ataupun berdahak. 2 Infeksi saluran pernapasan akut 1 BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar belakang Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan infeksi yang mengenai saluran pernapasan. Istilah ini diadaptasi dari istilah bahasa inggris Acute Respiratory

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. World Health Organization (2006), merumuskan bahwa diabetes. melitus (DM) merupakan kumpulan masalah anatomi dan kimiawi dari

BAB I PENDAHULUAN. World Health Organization (2006), merumuskan bahwa diabetes. melitus (DM) merupakan kumpulan masalah anatomi dan kimiawi dari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah World Health Organization (2006), merumuskan bahwa diabetes melitus (DM) merupakan kumpulan masalah anatomi dan kimiawi dari sejumlah faktor dimana terdapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. insulin atau keduanya (American Diabetes Association [ADA] 2010). Menurut

BAB I PENDAHULUAN. insulin atau keduanya (American Diabetes Association [ADA] 2010). Menurut BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Diabetes melitus (DM) merupakan salah satu penyakit kronis yang paling banyak dialami oleh penduduk di dunia. DM ditandai dengan meningkatnya kadar glukosa dalam darah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. yang ditandai oleh kenaikan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia.

BAB 1 PENDAHULUAN. yang ditandai oleh kenaikan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Diabetes mellitus (DM) merupakan sekelompok kelainan heterogen yang ditandai oleh kenaikan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia. DM adalah suatu kumpulan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan Indonesia (SDKI) 2007 sebesar 34 per kelahiran hidup.

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan Indonesia (SDKI) 2007 sebesar 34 per kelahiran hidup. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Angka Kematian Bayi (AKB) menurut hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2007 sebesar 34 per 1.000 kelahiran hidup. Angka ini berada jauh dari yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Diabetes mellitus (DM) adalah salah satu penyakit. degenerative, akibat fungsi dan struktur jaringan ataupun organ

BAB 1 PENDAHULUAN. Diabetes mellitus (DM) adalah salah satu penyakit. degenerative, akibat fungsi dan struktur jaringan ataupun organ BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Diabetes mellitus (DM) adalah salah satu penyakit degenerative, akibat fungsi dan struktur jaringan ataupun organ tubuh secara bertahap menurun dari waktu ke waktu karena

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. mengaitkan aspek paparan (sebab) dengan efek. Pendekatan yang digunakan

BAB III METODE PENELITIAN. mengaitkan aspek paparan (sebab) dengan efek. Pendekatan yang digunakan BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini bersifat observasional analitik dengan pendekatan cross sectional. Penelitian ini bersifat analitik, karena penelitian ini akan mengaitkan aspek

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Jogja yang merupakan rumah sakit milik Kota Yogyakarta. RS Jogja terletak di

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Jogja yang merupakan rumah sakit milik Kota Yogyakarta. RS Jogja terletak di BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Deskripsi Umum Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di RSUD Kota Yogyakarta atau Rumah Sakit Jogja yang merupakan rumah sakit milik Kota

Lebih terperinci

SIKAP LANSIA DAN PELAYANAN PETUGAS KESEHATAN TERHADAP KUNJUNGAN DI POSYANDU WILAYAH PKM PATIHAN

SIKAP LANSIA DAN PELAYANAN PETUGAS KESEHATAN TERHADAP KUNJUNGAN DI POSYANDU WILAYAH PKM PATIHAN SIKAP LANSIA DAN PELAYANAN PETUGAS KESEHATAN TERHADAP KUNJUNGAN DI POSYANDU WILAYAH PKM PATIHAN Asrina Pitayanti (STIKES Bhakti HUsada Mulia) ABSTRAK Pelayanan pada lansia untuk meningkatkan derajad kesehatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang ditandai dengan meningkatnya glukosa darah sebagai akibat dari

BAB I PENDAHULUAN. yang ditandai dengan meningkatnya glukosa darah sebagai akibat dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Diabetes Mellitus (DM) merupakan penyakit gangguan metabolisme yang ditandai dengan meningkatnya glukosa darah sebagai akibat dari gangguan produksi insulin atau gangguan

Lebih terperinci

Oleh : Yuyun Wahyu Indah Indriyani ABSTRAK

Oleh : Yuyun Wahyu Indah Indriyani ABSTRAK PENGARUH PENDIDIKAN KESEHATAN TERHADAP PENGETAHUAN IBU BALITA TENTANG TUMBUH KEMBANG DI WILAYAH KERJA UPTD PUSKESMAS KASOKANDEL KABUPATEN MAJALENGKA TAHUN 2016 Oleh : Yuyun Wahyu Indah Indriyani ABSTRAK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh kelainan sekresi insulin, ketidakseimbangan antara suplai dan

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh kelainan sekresi insulin, ketidakseimbangan antara suplai dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes melitus (DM) adalah suatu penyakit gangguan metabolisme yang disebabkan oleh kelainan sekresi insulin, ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan insulin,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Diabetes melitus (DM) sebagai penyakit yang ditandai dengan terjadinya hiperglikemia dan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein yang dihubungkan

Lebih terperinci

DUKUNGAN SUAMI TENTANG PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF DI DESA KORIPAN KECAMATAN SUSUKAN

DUKUNGAN SUAMI TENTANG PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF DI DESA KORIPAN KECAMATAN SUSUKAN DUKUNGAN SUAMI TENTANG PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF DI DESA KORIPAN KECAMATAN SUSUKAN Wahyu Setya Ningsih 1), Ari Andayani 2) 1 Akademi Kebidanan Ngudi Waluyo email: wahyusetya14@yahoo.co.id 2 Akademi Kebidanan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bayi dibawah lima tahun adalah kelompok yang memiliki sistem kekebalan tubuh yang masih rentan terhadap berbagai penyakit (Probowo, 2012). Salah satu penyakit

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. peningkatan kualitas sumber daya manusia dan kualitas hidup yang lebih baik pada

BAB 1 : PENDAHULUAN. peningkatan kualitas sumber daya manusia dan kualitas hidup yang lebih baik pada BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai salah satu negara yang menanda tangani Tujuan Pembangunan Millenium Developmen Goals (MDGs) berkomitmen mewujudkan peningkatan kualitas sumber daya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. diprioritaskan dalam perencanaan dan pembangunan bangsa (Hidayat, 2008).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. diprioritaskan dalam perencanaan dan pembangunan bangsa (Hidayat, 2008). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah kesehatan anak merupakan salah satu masalah utama dalam bidang kesehatan. Derajat kesehatan anak mencerminkan derajat kesehatan suatu bangsa, sebab anak sebagai

Lebih terperinci

HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN IBU TENTANG IMUNISASI DENGAN KEPATUHAN IBU DALAM PEMBERIAN IMUNISASI DASAR PADA BAYI DIPUSKESMAS CAWAS

HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN IBU TENTANG IMUNISASI DENGAN KEPATUHAN IBU DALAM PEMBERIAN IMUNISASI DASAR PADA BAYI DIPUSKESMAS CAWAS HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN IBU TENTANG IMUNISASI DENGAN KEPATUHAN IBU DALAM PEMBERIAN IMUNISASI DASAR PADA BAYI DIPUSKESMAS CAWAS Wiwin Hindriyawati 1, Rosalina 2,Wahyuni 2 INTISARI Latar Belakang: Prevalensi

Lebih terperinci