KEKUATAN PEMBUKTIAN SAKSI MAHKOTA DALAM PERSIDANGAN TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA DENGAN PENYERTAAN (Studi Putusan Nomor 717/Pid.B/2015/PN.

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KEKUATAN PEMBUKTIAN SAKSI MAHKOTA DALAM PERSIDANGAN TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA DENGAN PENYERTAAN (Studi Putusan Nomor 717/Pid.B/2015/PN."

Transkripsi

1 KEKUATAN PEMBUKTIAN SAKSI MAHKOTA DALAM PERSIDANGAN TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA DENGAN PENYERTAAN (Studi Putusan Nomor 717/Pid.B/2015/PN.Tjk) (JURNAL) Oleh Darwin Ricardo FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG 2018

2 ABSTRAK KEKUATAN PEMBUKTIAN SAKSI MAHKOTA DALAM PERSIDANGAN TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA DENGAN PENYERTAAN (STUDI PUTUSAN NOMOR 717/PID.B/2015/PN.TJK) Oleh Darwin Ricardo, Eko Raharjo, Gunawan Jatmiko darwin9656@gmail.com Keberadaan saksi mahkota tidak dijelaskan dalam KUHAP, namun dalam praktek saksi mahkota ini sering dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum sebagai alat bukti keterangan saksi dikarenakan kekurangan alat bukti. Dalam perkara pada Putusan Nomor 717/Pid.B/PN.Tjk saksi mahkota dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum sebagai alat bukti keterangan saksi. Permasalahan dalam skripsi ini adalah bagaimanakah kedudukan saksi mahkota dalam Putusan Nomor 717/Pid.B/2015/PN.Tjk dan bagaimanakah kekuatan pembuktian saksi mahkota dalam Putusan Nomor 717/Pid.B/2015/PN.Tjk?. Pendekatan masalah yang digunakan adalah yuridis normatif dan yuridis empiris. Narasumber pada penelitian ini terdiri dari Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang, Jaksa Kejaksaan Negeri Bandar Lampung dan Akademisi Hukum Pidana pada Fakultas Hukum Universitas Lampung. Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa : a. Kedudukan saksi mahkota dalam Putusan Nomor 717/Pid.B/2015/PN.Tjk adalah sebagai alat bukti keterangan saksi serta kedudukannya sama dengan saksi-saksi yang lainnya sebagai alat bukti yang sah, karena telah memenuhi syarat-syarat diajukannya saksi dalam proses pembuktiannya berdasarkan penilaian dan pertimbangan Hakim pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang. b. Kekuatan pembuktian saksi mahkota memiliki nilai kekuatan pembuktian bebas, tidak sempurna dan tidak mengikat. Jadi, untuk menentukan apakah saksi mahkota memiliki nilai kekuatan pembuktian hakim mempunyai kebebebasan untuk menilai. Dalam Putusan Nomor 717/Pid.B/2015/PN.Tjk saksi mahkota yang dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum sah sebagai alat bukti keterangan saksi dan mempunyai kekuatan pembuktian berdasarkan pertimbangan dan penilaian hakim, karena telah memenuhi syarat formal diajukannya saksi dan memiliki relevansinya dengan alat bukti lainnya. Saran dalam penilitian ini adalah kepada Pemerintah khususnya pembentuk undang-undang diharapkan segera mengesahkan RUU KUHAP, dikarenakan memang saksi mahkota ini dalam perkara-perkara tertentu sangatlah penting. Kata Kunci : Kekuatan Pembuktian, Saksi Mahkota, Tindak Pidana Pembunuhan Berencana

3 ABSTRACT THE POWER PROOF OF CROWN WITNESSES IN THE CRIMINAL COURT OF PREMEDITATED MURDER WITH INCLUSION (A Study Case of Verdict Number 717/PID.B/2015/PN.TJK) By Darwin Ricardo, Eko Raharjo, Gunawan Jatmiko darwin9656@gmail.com The existence of crown witnesses is not describe in the Criminal Procedure Code (KUHAP), but in practice it is commonly present by the Public Prosecutor as evidence of witness testimony due to the lack of evidence. In the case of Verdict Number 717/Pid.B/PN.Tjk a crown witness is presented by the Public Prosecutor as evidence of witness testimony. The problems in this research is: how is the status of the crown witness in Verdict Number 717/Pid.B/2015/PN.Tjk and how is the power proof of crown witnesses in Verdict Number 717/ Pid.B/2015/PN.Tjk? This research apply normative and empirical approaches. The resource person on this research consists of the judge of Tanjung Karang District Court, The Prosecutor of Bandar Lampung districk and Criminal Law Academician at Law Faculty University of Lampung. The results and discussion showed that: a. The position of crown witness in Verdict Number 717/Pid.B/2015/PN.Tjk is as evidence from the witness and the position is the same as the other witnesses as valid evidence because has qualified filed witness in the process of proof based on the assessment and consideration judge of Tanjung Karang District Court. b. The power proof of crown witness has free values, imperfect and not-binding. So, to determine whether or not a crown witness has the value, the power of judge s evidence has the freedom to judge. In the Verdict Number 717/ Pid.B/2015/PN.Tjk the crown witnesses present by the Public Prosecutor is valid as evidence of witness and has power proof based on consideration and the judge s assesment, because has qualified requirement of the witness and has relevance to the other evidences. Advice on this research is to the government, especially the form it is expected to pass the bill of ratify the draft of the Criminal Procedure Code (RUU KUHAP), because a crown witness in concerning the cases of certain very important. Keywords : The Power Proof, Crown Witnesses, Premeditated Murder

4 I. PENDAHULUAN Hukum pidana merupakan bagian dari hukum publik. Hukum pidana terbagi menjadi dua bagian, yaitu hukum pidana materiil dan hukum pidana formil. Hukum pidana materiil mengatur tentang penentuan tindak pidana, pelaku tindak pidana, dan pidana (sanksi). Sedangkan hukum pidana formil mengatur tentang pelaksanaan dari hukum pidana materiil. Di Indonesia pengaturan hukum pidana materiil diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan pengaturan hukum pidana formil diatur dalam Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Hukum pidana formil atau hukum acara pidana adalah hukum yang mengatur tentang tata cara beracara dalam lingkup hukum pidana atau juga dapat diartikan sebagai seperangkat aturan-aturan tentang bagaimana caranya menegakkan atau mempertahankan hukum pidana materiil. Lebih jelasnya lagi bahwa hukum pidana formil memuat aturanaturan tentang bagaimana caranya menerapkan hukum pidana terhadap perkara-perkara pidana. Dalam hukum pidana formil diatur segala sesuatu tentang proses pemeriksaan perkara pidana pada semua tingkatan pemeriksaan di Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan. Melalui hukum acara pidana ini, maka bagi setiap individu yang melakukan penyimpangan atau pelanggaran hukum, khususnya hukum pidana, selanjutnya dapat di proses dalam suatu acara pemeriksaan di Pengadilan, karena menurut hukum acara pidana untuk membuktikan bersalah atau tidaknya seseorang terdakwa haruslah melalui pemeriksaan di depan sidang Pengadilan dan untuk membuktikan benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan diperlukan adanya suatu pembuktian. Pembuktian merupakan hal yang sangat esensial dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan khususnya dalam perkara pidana karena pembuktiannya ditujukan untuk mencari, menemukan dan menggali kebenaran materil atau kebenaran yang sesungguh-sungguhnya atau kebenaran hakiki berdasarkan fakta-fakta hukum. Proses pembuktian tersebut dari tingkat penyidikan oleh Polisi sampai ketingkat Pengadilan untuk menentukan seseorang bersalah atau tidak bersalah melalui putusan hakim yang berkekuatan hukum yang tetap. Pihak-pihak terkait, seperti Polisi, Jaksa, dan Hakim hendaknya menguasai mengenai hukum pembuktian tersebut. Pembuktian merupakan kegiatan membuktikan, dimana membuktikan artinya memperlihatkan bukti-bukti yang ada, melakukan sesusatu sebagai kebenaran, melaksanakan, menandakan, menyaksikan dan meyakinkan. Secara konkret, Adam Chazawi menyatakan, bahwa dari pemahaman tentang arti pembuktian disidang pengadilan, sesungguhnya kegiatan pembuktian dapat dibedakan menjadi 2 (dua) bagian yaitu : 1 1) Bagian kegiatan pengungkapan fakta 2) Bagian pekerjaan penganalisisan fakta yang sekaligus penganalisisan hukum. Alat-alat bukti yang sah menurut pasal 184 ayat (1) KUHAP ada lima yaitu : a) keterangan saksi, 1 Adami Chazawi, 2006, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Bandung: Alumni, hlm.21.

5 b) keterangan ahli, c) surat, d) petunjuk, dan e) keterangan terdakwa. Salah satu cara untuk membuktikan suatu perkara pidana adalah dengan meminta bantuan dari orang lain yang disebut saksi yang merupakan salah satu alat bukti dalam hukum acara pidana. Pentingnya seorang saksi berada pada semua tahap kegiatan penyidikan dan penyelidikan, sejak tindak pidana diketahui sampai proses peradilan sehingga mendapatkan Putusan Hakim di Pengadilan. Alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling utama dalam perkara pidana. Tidak ada perkara pidana yang luput dari pembuktian alat bukti keterangan saksi. Hampir semua pembuktian perkara pidana, selalu bersandar pada pemeriksaan saksi-saksi. Sekurang-kurangnya.disamping hal ini pembuktian dengan alat bukti yang lain, masih selalu diperlukan pembuktian alat bukti keterangan saksi. Agar keterangan saksi mempunyai nilai kekuatan pembuktian the degree of evidence haruslah memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai berikut : 1) Harus mengucap sumpah atau janji, 2) Keterangan saksi yang ia lihat sendiri, dengar sendiri, dan alami sendiri, serta menyebutkan alasan dari pengetahuannya itu, 3) Keterangan saksi harus diberikan dalam sidang pengadilan 4) Keterangan seorang saksi saja dianggap tidak cukup sesuai dengan asas unus testis nullus testis, 5) Keterangan saksi yang berdiri sendiri. 2 2 M Yahya Harahap, 2007, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Berpedoman kepada uraian tersebut diatas, keberadaan seorang saksi akan menjadi kunci dalam pengungkapan fakta sebuah perkara pidana. Namun, apabila suatu tindak pidana tidak ada saksi pengungkap fakta seperti yang telah dijelaskan diatas misalkan saksi yang melihat, mendengar dan yang mengalami sendiri tentang terjadinya tindak pidana, maka aparat penegak hukum akan kesulitan mengungkap kebenaran materiil dalam suatu perkara pidana. Kaitannya dengan hal tersebut diatas jika dalam suatu perkara tidak adanya saksi pengungkap fakta misalnya salah satu contoh kasusnya seperti kasus pembunuhan berencana penyertaaan yang dalam proses pembuktiannya menggunakan saksi mahkota sebagai alat bukti, yaitu kasus yang telah diputus oleh Pengadilan Negeri Tanjung Karang nomor : 717/Pid.B/2015/PN.Tjk atas nama terdakwa Yunita Amelia, A.Md., Kep. alias Nita Binti Rahmat Hidayat. Terdakwa didakwa oleh Penuntut Umum melalui dakwaan yang berbentuk alternatif subsidiaritas, yakni dakwaan pertama primair didakwa melanggar pasal 340 KUHP jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Dakwaan kedua subsidair didakwa melanggar pasal 339 KUHP pidana jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Dakwaan ketiga lebih subsidair didakwa melanggar pasal 338 KUHP jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Atas dasar dakwaan tersebut setelah melewati rangkaian proses pemeriksaan perkara di Pengadilan Negeri Tanjung Karang, kemudian Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang menjatuhkan putusan tersebut diatas yaitu menyatakan bahwa terdakwa Yunita Amelia, A. Md. Kep. alias Nita Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, Peninjauan Kembali, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, hlm

6 Binti Rahmat Hidayat telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana pembunuhan berencana yang dilakukan secara bersama-bersama sebagaimana yang didakwakan oleh Penuntut Umum dalam dakwaan pertama primair dan menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 15 (lima belas) tahun. 3 Alat bukti yang diajukan dalam persidangan oleh Jaksa Penuntut Umum meliputi keterangan saksi, keterangan ahli, surat, serta keterangan terdakwa. Terkait dengan saksi yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum, 1 (satu) dari keterangan saksi merupakan keterangan saksi mahkota yakni saksi Darwin Bin Alm. M. Sanusi yang sekaligus menjadi Terdakwa pada perkara yang sama namun dilakukan penuntutan secara terpisah (splitsing) Saksi ini mengetahui melihat sendiri peristiwa pembunuhan almarhum Suharningsih dikarenakan saksi merupakan terdakwa dalam perkara pembunuhan tersebut. Maka dapat dilihat bahwa keterangan yang diterangkan oleh saksi Darwin Bin Alm. M. Sanusi dalam persidangan merupakan keterangan saksi mahkota. Mengenai status saksi mahkota yang diterima oleh Hakim sebagai alat bukti berdasarkan pertimbangan hakim dalam putusannya,hakimmenerima keterangan saksi mahkota dalam perkara ini sebagai alat bukti keterangan saksi. Seringkali dalam berbagai sidang pembuktian perkara pidana, muncul alat bukti yang disebut dengan istilah saksi mahkota. Saksi mahkota ini merupakan tersangka ataupun terdakwa yang dijadikan saksi dalam perkara yang sama namun dilakukan pemisahan (splitsing) dikarenakan kurangnya alat bukti khususnya alat bukti keterangaan saksi yang mempunyai nilai kekuatan pembuktian 4. Pada dasarnya, istilah saksi mahkota tidak disebutkan secara tegas dalam KUHAP. Penggunaan alat bukti keterangan saksi mahkota hanya dapat dilihat dalam perkara pidana yang berbentuk penyertaan, dan terhadap perkara pidana tersebut telah dilakukan pemisahan (splitsing) sejak proses pemeriksaan pendahuluan di tingkat penyidikan. Selain itu, munculnya dan digunakannya saksi mahkota dalam perkara pidana yang dilakukan pemisahan tersebut didasarkan pada alasan karena kurangnya alat bukti yang akan diajukan oleh Penuntut Umum. Penggunaan saksi mahkota di Indonesia masih menjadi perdebatan sampai saat ini baik dikalangan praktisi maupun akademisi, dikarenakan belum adanya kepastian hukum terkait dengan penggunaan saksi mahkota ini. Sebagian pihak berpendapat bahwa penggunaan saksi mahkota dibolehkan karena bertujuan untuk tercapainya rasa keadilan publik. Namun sebagian berpendapat, bahwa penggunaan saksi mahkota tidak dibolehkan karena bertentangan dengan hak asasi dan rasa keadilan terdakwa. Bahkan perbedaan persepsi tentang penggunaan saksi mahkota ini juga muncul dalam berbagai yurisprudensi putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia. Dari uraian tersebut diatas maka Penulis tertarik untuk mengkaji dan meneliti terkait dengan saksi mahkota ini dalam bentuk skripsi sebagai syarat kelulusan dengan judul Kekuatan Pembuktian Saksi Mahkota dalam Persidangan Perkara Tindak Pidana Pembunuhan Berencana dengan Penyertaan (Studi PutusanNomor717/Pid.B/2015/PN.Tjk). 3 Lihat Putusan Nomor 717/Pid.B/2015/PN.Tjk 4 M Yahya Harahap. Op.cit. hlm. 321.

7 Berdasarkan uraian pada latar belakang terkait dengan kekuatan pembuktian saksi mahkota dalam persidangan tindak pidana pembunuhan dengan penyertaan, maka permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : a. Bagaimanakah kedudukan saksi mahkota dalam Putusan Nomor 717/Pid.B/2015/PN.Tjk? b. Bagaimanakah kekuatan pembuktian saksi mahkota dalam Putusan Nomor 717/Pid.B/2015/PN.Tjk? Dalam penulisan penelitian ini penulis menggunakan metode pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini dibedakan menjadi dua jenis data yaitu data primer dan data sekunder. Analisis pada skripsi ini dilakukan secara kualitatif yaitu dengan cara mendeskripsikan, menggambarkan serta menguraikan data, baik data primer maupun sekunder yang diperoleh pada penelitian ini, yang kemudian diambil kesimpulan secara induktif. II. PEMBAHASAN A. Kedudukan Saksi Mahkota dalam Putusan Nomor 717 /Pid.B /2015 / PN.Tjk Pentingnya kedudukan saksi dalam proses peradilan pidana, telah dimulai sejak awal proses peradilan pidana yakni dari tingkat penyidikan oleh Kepolisian. Begitu pula dalam proses selanjutnya, ditingkat Kejaksaan sampai di Pengadilan. Berdasarkan teori pembuktian dalam hukum acara pidana, keterangan yang diberikan saksi didalam persidangan dipandang sebagai alat bukti yang penting dan paling utama. Salah satu alat bukti yang sah dalam proses peradilan pidana adalah keterangan saksi yang mendengar, melihat, atau mengalami sendiri terjadinya tindak pidana dalam upaya mencari dan menemukan kejelasan tentang tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana. Penegak hukum khususnya penyidik dalam mencari dan menemukan saksi yang dapat memberikan keterangan yang ia dengar, ia lihat, dan ia alami sendiri sering mengalami kesulitan seperti dalam perkara pembunuhan berencana yang dilakukan secara bersama-sama putusan nomor 717/Pid.B/2015/PN.Tjk yang menjadi objek kajian dalam penulisan skripsi ini. Apabila ditemukan masalah seperti ini biasanya penegak hukum khususnya Jaksa Penuntut Umum akan menggunakan saksi mahkota untuk memberikan keterangan dalam proses pembuktian. Persidangan dalam Hukum Pidana adalah proses peradilan yang bertujuan untuk membuktikan dakwaan penuntut umum apakah seorang terdakwa bersalah atau tidak bersalah dengan putusan hakim bebas, lepas dipidananya seseorang. 5 Dalam perkara pembunuhan pada Putusan Nomor 717/Pid.B/2015/PN.Tjk tersebut Jaksa Penuntut Umum menghadirkan Saksi Mahkota yaitu Darwin Bin M. Sanusi dalam proses pembuktian. Keberadaan saksi mahkota ini tidak diatur secara tegas dalam KUHAP, namun KUHAP tidak melarang penggunaan saksi mahkota. Pengaturan mengenai saksi mahkota ini pada awalnya diatur di dalam pasal 168 KUHAP, yang prinsipnya menjelaskan bahwa pihak yang bersama-sama 5 Diah Gustiniati S.H., M.Hum., dan Dona Raisa Monica, S.H., M.H., 2016, Pemidanaan dan Sistem Pemasyarakatan Baru, CV. Anugrah Utama Raharja, Bandar Lampung, hlm. 1-2.

8 sebagai terdakwa tidak dapat didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi. Pasal 168 KUHAP pada dasarnya tidak melarang orang yang bersama-sama diduga melakukan tindak pidana untuk menjadi saksi dalam suatu perkara pidana. Berbeda dengan status Terdakwa yang keterangannya hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri (Pasal 189 KUHAP), penggunaan keterangan Tersangka tidak diatur secara tegas dalam KUHAP. Namun seiring perkembangan zaman, keadaan yang mana seorang saksi pula menjadi tersangka atau terdakwa dalam suatu perkara pidana, dalam praktik dimungkinkan dan sering dikenal dengan istilah saksi mahkota. 6 Saksi mahkota ini dapat dijadikan sebagai alat bukti saksi oleh Jaksa Penuntut Umum berdasarkan wewenangnya yang diatur dalam pasal 142 KUHAP dengan cara memisahkan berkas perkara (splitsing). Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa saksi yang sedang menjadi tersangka dalam suatu perkara pidana, yang lebih dikenal sebagai saksi mahkota, dimungkinkan di dalam praktik selama memenuhi syarat-syarat bahwa tindak pidana yang terjadi merupakan penyertaan, alat bukti yang ditemukan sangat minim khususnya alat bukti keterangan saksi yang ia lihat, dengar, dan alami sendiri yang dapat menceritakan kronologis perkara sehingga menghambat jalannya acara pembuktian, dan telah diadakan pemisahan berkas perkara (splitsing) antara terdakwa dengan saksi yang sedang menjadi tersangka tersebut. Keterangan saksi mahkota dapat dijadikan alat bukti dalam persidangan namun sedapat mungkin untuk 6 M Yahya Harahap. Op.cit. hlm 290 ditambahkan dengan alat bukti lainnya agar memenuhi syarat pembuktian. Dalam perkara pada putusan nomor 717/Pid.B/2015/PN.Tjk yakni pembunuhan dengan penyertaan yang dilakukan oleh beberapa orang, dengan peran masing-masing ataupun dengan adanya penyertaan sebagaimana dalam ketentuan KUHP Pasal 55, disini penuntut umum menghadirkan saksi yang notabene memberatkan (de charge) diri terdakwa. Para saksi tersebut terdiri atas saksi, saksi korban, dan saksi mahkota (saksi yang juga menjadi terdakwa dalam kasus yang sama dengan berkas splitsing). Saksi yang dihadirkan di sini berjumlah tujuh orang dan salah satunya merupakan saksi mahkota yaitu Darwin Bin M. Sanusi. Disini dihadirkannya saksi mahkota karena dalam tindak pidana pembunuhan berencana dengan penyertaan dalam Putusan Nomor 717/Pid.B/2015/PN.Tjk, karena tidak adanya saksi yang melihat, mendengar, dan mengalami sendiri pada perkara tersebut yang dapat memberikan keterangan bagaimana pembunuhan tersebut. Sehingga dihadirkanlah saksi mahkota ini, karena pada saat kejadian perkara pembunuhan tersebut tidak adanya saksi yang melihat, mendengar, dan mengalami sendiri. Saksi korbanpun telah meninggal dunia sehingga tidak dapat dihadirkan dalam persidangan untuk dijadikan alat bukti keterangan saksi. Dihadirkannya saksi mahkota Darwin Bin M. Sanusi disini tentunya memiliki sisi positif dan negatif. Dari sisi positifnya adalah penuntut umum dapat dengan mudah melakukan pembuktian memaparkan kronologis kejadian tindak pidana pembunuhan yang dilakukan secara bersama-sama, yang mana saksi mahkota Darwin Bin M.Sanusi merupakan salah satu dari

9 pelaku tindak pidana tersebut. Sedangkan sisi negatif penggunaan saksi mahkota yang notabene mempunyai hubungan dengan terdakwa, maka akan saling menutupi dalam memberikan keterangan. Ditakutkan pula apabila terjadi kesepakatan antara mereka dalam memberikan keterangan, sehingga akan semakin menyulitkan penuntut umum dalam pembuktiannya. Pada intinya kesaksian yang diberikan oleh saksi mahkota Darwin Bin M. Sanusi adalah membenarkan bahwa ia dan terdakwa telah merencanakan untuk melakukan pembunuhan secara bersama-sama. Dan keterangan saksi mahkota dalam putusan ini telah memenuhi syaratsyarat diajukannya alat bukti saksi dan memiliki relevansi dengan alat bukti saksi lainnya untuk itulah dalam putusan hakim dalam pertimbangannya menggunakan saksi mahkota ini sebagai alat bukti dan menyamakan kedudukannya dengan alat bukti saksi lainnya. 7 Terkait dengan penggunaan saksi mahkota ini Tri Joko Sucahyo 8 menjelaskan kedudukan saksi mahkota dalam pembuktian Perkara pidana dalam persidangan adalah sebagai alat bukti apabila memenuhi persyaratanpersyaratan diajukannya saksi mahkota sebagai alat bukti saksi sama dengan alat-alat bukti saksi lainnya dan tentunya hal tersebut hakimlah yang menilai dan mempertimbangkan apakah saksi mahkota tersebut dapat dijadikan sebagai alat bukti dalam persidangan pada perkara pidana atau tidak. Dalam putusan tersebut penggunaan saksi Darwin Bin alm M. Sanusi sebagai saksi mahkota telah memenuhi persyaratan-persyaratan dapat diajukannya saksi mahkota yang dijelaskan diatas dan kedudukannya sebagai alat bukti saksi sama dengan saksi-saksi yang lain dilihat dari pertimbangan hakim yakni sebagai alat bukti keterangan saksi. Selanjutnya, karena peranan saksi mahkota disamakan dengan saksi biasa, oleh karenanya sebelum saksi mahkota memberikan keterangannya maka saksi tersebut dilakukan penyumpahan sesuai aturan dari KUHAP dengan tujuan kesaksiannya nantinya dipergunakan sebagai alat bukti yang sah. Namun, karena posisi saksi mahkota ini pada saat itu juga merupakan seorang terdakwa maka biasanya hakim memberikan pemberitahuan bahwa apabila kesaksian yang diberikannya nantinya di hadapan persidangan adalah bohong atau kesaksian palsu, saksi tersebut dapat di kenakan sanksi tambahan yaitu atas kesaksian palsu yang diancam pidana dengan Pasal 242 KUHP. Kesaksian seorang terdakwa yang diangkat menjadi seorang saksi dan di dalam praktek peradilan pidana dikenal dengan istilah saksi mahkota menurut Hakim Mansur Bustami 9 dianggap sangat penting apabila sesuatu kasus tersebut memang sangat minim alat bukti seperti kasus pembunuhan berencana dengan penyertaan. Tanpa kehadiran saksi mahkota dalam proses pembuktian suatu kasus yang minim alat bukti, bisa jadi kasus tersebut tidak akan pernah terungkap karena kekurangan alat bukti dan hakim tidak dapat memutuskan perkara tersebut. 7 Lihat Putusan Nomor 717/Pid.B/2015/PN.Tjk 8 Hasil Wawancara Jaksa Kejaksaan Negeri Bandar Lampung, Tri Joko Sucahyo, Pada Tanggal 15 februari Hasil Wawancara Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang, Mansur Bustami, Pada 20 Februari 2018

10 Namun apabila dalam suatu kasus penyertaan terdapat beberapa orang saksi yang lain serta alat bukti yang lain, maka fungsi dari keterangan saksi mahkota cuma menjadi referensi bagi keyakinan hakim nantinya. Kesaksian dari saksi mahkota sendiri mempunyai bobot yang sangat tinggi dibandingkan dari keterangan saksi yang lain, hal ini disebabkan oleh karena kesaksian dari saksi mahkota ini adalah sesuatu yang dia lihat sendiri dan dia lakukan sendiri bersama rekan-rekannya. Walau kesaksiannya terasa memberatkan tersangka yang lain bahkan dia sendiri. Keterangan saksi mahkota pada dasarnya dapat diragukan, serta akan terjadi ketidakseimbangan dan saling menyudutkan antara sesama para terdakwa. Hal ini mengakibatkan ketidakfairan suatu peradilan. Namun menurut penulis dalam posisi tersebut sangat dituntut kenetralan seorang hakim memutuskan perkara yang menggunakan saksi mahkota. Mengingat posisi saksi mahkota penting di dalam mengungkap sebuah fakta hukum dalam proses persidangan, maka kinerja aparat penegak hukum dalam inisiatif penggunaan saksi mahkota ini sudah sangat tepat, walaupun ada yurisprudensi yang melarang penerapan saksi mahkota ini. Namun untuk melegalkan penerapannya maka penulis mengharapkan RUU KUHAP segera di sahkan agar penerapan saksi mahkota ini lebih mempunyai kepastian hukum dalam penerapan praktek peradilan pidana nantinya. B. Kekuatan Pembuktian Saksi Mahkota dalam Putusan Nomor 717 /Pid.B /2015 /PN.Tjk Pembuktian dalam perkara pidana ini diperlukan peraturan perundang- undangan yang dijadikan pedoman untuk menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat. Terkait tentang hukum acara pidana, yang menjadi rujukan utama para penegak hukum di Indonesia yaitu Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Penulis berpendapat proses pembuktian dalam perkara pembunuhan memang bukanlah suatu hal yang mudah, karena seperti yang diketahui perkara pembunuhan ini merupakan suatu perkara yang sangat kompleks apalagi pembunuhan berencana. Sehingga dalam proses pembuktiannya kadangkala terhambat oleh kurang alat bukti, khususnya alat bukti saksi. Sebenarnya dengan dipenuhinya minimum dua alat bukti saja Hakim sudah dapat menilai suatu perkara pembunuhan telah terjadi dengan keyakinan yang didapat dari kedua alat bukti yang sah. Hal ini juga telah memenuhi pembuktian alat bukti minimum dalam KUHAP, namun dalam proses pembuktiannya terkadang Jaksa Penuntut Umum menghadirkan saksi mahkota seperti pada perkara pembunuhan pada Putusan Nomor 717/Pid.B/2015.PN.Tjk atau biasa disebut dengan terdakwa yang bersama-sama melakukan tindak pidana kemudian dijadikan saksi dalam perkara yang telah di pisah (splitsing). Disinilah perdebatan penggunaan saksi mahkota dianggap melanggar hak-hak terdakwa yang diatur dalam KUHAP dikarenakan terdakwa tidak dibebani beban pembuktian, namun hal itu dikesampingkan dengan menjadikan terdakwa menjadi saksi hal ini sering disebut dalam istilah sebagai saksi mahkota. Apabila ditinjau dari perspektif sistem

11 peradilan pidana, perihal pembuktian merupakan hal yang sangat determinan bagi setiap pihak yang terlibat secara langsung dalam proses pemeriksaan perkara pidana, khususnya dalam hal menilai terbukti atau tidak terbuktinya kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. KUHAP telah menentukan penggunaan alat bukti yang dibenarkan untuk membuktikan kesalahan terdakwa sehingga ketua sidang, penuntut umum, terdakwa atau penasihat hukum tidak diperkenankan menggunakan alat bukti diluar ketentuan yang sudah diatur dalam pasal 184 (1) KUHAP. Yang dinilai sebagai alat bukti, dan yang dibenarkan mempunyai kekuatan pembuktian hanya terbatas pada alat-alat bukti itu saja. Adapun alat bukti yang sah menurut undang-undang sesuai dengan apa yang disebut dalam pasal 184 (1) KUHAP, adalah : a. Keterangan Saksi, b. Keterangan Ahli, c. Surat, d. Petunjuk, e. Keterangan Terdakwa Menurut Dr. Erna Dewi 10 alat bukti keterangan saksi dalam hukum acara pidana merupakan hal yang sangat penting dan diutamakan dalam membuktikan kesalahan terdakwa, maka disini hakim harus cermat dan teliti dalam menilai alat bukti keterangan saksi ini, karena dengan alat bukti keterangan saksi ini akan lebih mengungkap peristiwanya, sebab saksi adalah mereka yang mendengar, melihat dan mengalami sendiri suatu peristiwa pidana. Tidak selamanya keterangan saksi dapat sah menjadi alat bukti yang mempunyai kekuatan pembuktian dalam pemeriksaan di 10 Akademisi Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung, Dr.Erna Dewi, Hasil Wawancara Pada 25 Februari 2018 persidangan. Terkait dengan pengunaan saksi mahkota dalam perkara pembunuhan secara bersama-sama dalam putusan Nomor717/Pid.B/2015/PN.Tjk kedudukan, kekuatan pembuktiannya sama dengan saksi-saksi yang lain apabila telah memenuhi persyaratanpersyaratan yang telah disebutkan diatas. Hal ini sesuai dengan apa yang telah disampaikan Menurut Mansur Bustami 11 kekuatan pembuktian saksi mahkota dalam persidangan suatu tindak pidana sama dengan saksi-saksi yang lainnya, ketika keterangan saksi telah memiliki legalitas formal sebagai saksi seperti yang telah dijelaskan diatas. Dalam tindak pembunuhan berencana penggunaan saksi mahkota sangat penting dikarenakan dalam tindak pidana ini sangatlah sulit untuk mendapatkan saksi yang dapat menjelaskan kronologis dari suatu perkara karena korban dalam hal ini sudah meninggal dunia dan tentunya tidak dapat menjadi saksi untuk menjelaskan kronologis perkara dan saksi mahkota disini dipilih dihadirkan untuk menjelaskan kronologis perkara karena dialah yang melihat, mendengar dan mengalami sendiri pada saat kejadian perkara. Dalam kasus pembunuhan dengan penyertaan ini, kesaksian yang diberikan oleh Darwin Bin alm M. Sanusi yang notabenenya adalah saksi mahkota dalam perkara ini telah memenuhi unsur-unsur diatas. Dimana ia adalah dalang dibalik pembunuhan berencana dengan penyertaan tersebut. Di dalam persidangan, Darwin Bin alm M. Sanusi diperiksa sebagai saksi dan telah disumpah. Bahwa sesuai dengan 11 Hasil Wawancara Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang, Mansur Bustami, Pada 20 Februari 2018

12 ketentuan Pasal 185 ayat (7) KUHAP, apabila seorang saksi telah berada di bawah sumpah, maka keterangannya mempunyai kekuatan pembuktian yang sah dan dapat dipertanggungjawabkan, keterangan tersebut dinyatakan dalam pengadilan, saksi yang dihadirkan bukan hanya Darwin Bin M. Sanusi sebagai saksi namun dengan saksi-saksi yang lain berjumlah delapan orang yang telah di paparkan pada rumusan masalah pertama, dan keterangan saksi berdiri sendiri, serta keterangan para saksi yang dihadirkan dalam sidang pengadilan mempunyai saling hubungan atau keterkaitan serta saling menguatkan tentang kebenaran suatu keadaan atau kejadian dalam perkara pembunuhan yang dilakukan secara bersama-sama ini, Namun untuk menyatakan kekuatan alat bukti saksi yakni diserahkan sepenuhnya kepada keyakinan hakim akan dipergunakan dan dipertimbangkan atau tidak untuk dapat dijadikan alat bukti saksi yang memiliki kekuatan pembuktian, hal ini sesuai dengan apa yang disampaikan M Yahya Harahap 12 terkait dengan kekuatan pembuktian keterangan saksi sebagai alat bukti yang sah yaitu : mempunyai kekuatan pembuktian bebas dan nilai kekuatan pembuktiannya tergantung pada Hakim. Pada Putusan Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang dengan Nomor 717/Pid.B/2015/PN.Tjk yang mengadili tindak pidana pembunuhan secara bersama-sama yang dilakukan oleh para terdakwa, dalam pertimbangan majelis hakim pada fakta di persidangan mengakui dan menggunakan keterangan dari saksi mahkota Darwin Bin M. Sanusi sebagai alat bukti saksi hal ini telah dipaparkan pada rumusan masalah pertama. 13 Penggunaan saksi mahkota 12 M Yahya Harahap, Loc. cit. hlm Lihat Putusan Nomor 717/Pid.B/2015/PN.Tjk ini telah memenuhi syarat untuk diperiksa sebagai saksi, dintaranya Darwin Bin alm M. sanusi adalah orang yang mengetahui kejadian pembunuhan secara bersama-sama yang dilakukan dia bersama-sama dengan terdakwa, karena ia sendiri juga terlibat dan menjadi terdakwa dalam kasus yang sama. Saat penuntut umum menghadirkan Darwin Bin M. Sanusi sebagai saksi, tidak ada keberatan dari penasihat hukum dan majelis hakim serta diperkuat dalam pertimbangan pada putusan majelis hakim menggunakan keterangannya. Berdasarkan hal-hal tersebut, maka saksi mahkota ini memiliki kekuatan pembuktian sah. Dalam persidangan, saksi mahkota diambil sumpahnya terlebih dahulu sebelum ia memberikan kesaksian, sama seperti saksi yang lainnya serta memiliki relevansi keterangannya di dalam persidangan dengan alat bukti saksi yang lainnya. Berdasarkan hal tersebut keterangan yang diberikan saksi mahkota sama nilainya dengan keterangan yang saksi biasa berikan. Keterangan saksi mahkota mempunyai nilai pembuktian yang bebas, dalam artian bahwa hakim bebas menentukan kebenaran yang terkandung di dalam kesaksian tersebut dan bebas menggunakannya sebagai alat bukti. III. PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan sebagaimana diuraikan dalam bab-bab terdahulu maka dapat ditarik suatu kesimpulan sebagai berikut: 1. Kedudukan saksi mahkota dalam tindak pidana pembunuhan berencana dengan penyertaan pada Putusan Nomor 717/Pid.B/PN.Tjk adalah sebagai alat bukti saksi serta

13 kedudukannya sama dengan saksisaksi yang lain berdasarkan penilaian dan pertimbangan hakim karena telah memenuhi syaratsyarat formal diajukannya saksi dalam pembuktian perkara pidana. 2. Kekuatan pembuktian saksi mahkota dalam persidangan pembunuhan berencana dengan penyertaan adalah sebagai alat bukti yang sah dan mempunyai nilai kekuatan pembuktian dikarenakan telah memenuhi persyaratan-persyaratannya yaitu : a. Keterangan saksi yang diberikan harus diatas sumpah, hal ini diatur dalam pasal 160 ayat (3) KUHAP b. Keterangan saksi yang diberikan dipengadilan adalah apa yang saksi lihat sendiri, dengar sendiri dan dialami sendiri oleh saksi, hal ini diatur dalam pasal 1 angka 27 KUHAP c. Keterangan saksi harus diberikan disidang pengadilan, hal ini sesuai dalam pasal 185 ayat (1) KUHAP d. Keterangan seorang saksi saja dianggap tidak cukup, agar mempunyai kekuatan pembuktian maka keterangan seorang saksi harus ditambah dan dicukupi dengan alat bukti lain, hal ini sesuai dengan pasal 185 ayat (2) KUHAP e. Keterangan para saksi yang dihadirkan dalam sidang pengadilan mempunyai saling hubungan atau keterkaitan serta saling menguatkan tentang kebenaran suatu keadaan atau kejadian tertentu, hal ini sesuai dengan pasal 185 ayat 4 KUHAP Namun keterangan saksi mahkota ini tetap saja membutuhkan penilaian dan pertimbangan hakim untuk menentukan apakah saksi mahkota dapat dijadikan alat bukti saksi yang sah dan mempunyai nilai kekuatan pembuktian, karena saksi mahkota tidak mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna dan mengikat hakim, hakim mempunyai kebebasan untuk menilainya. B. Saran Saran yang berkaitan dengan penelitian ini : Saran dalam penilitian adalah kepada pemerintah khusus pembentuk undangundang diharapkan segera mengesahkan RUU KUHAP terkait dengan kepastian dan perlindungan hukum terhadap penggunaan saksi mahkota dalam pembuktian pidana, karena memang saksi mahkota dalam perkara-perkara tertentu sangatlah penting Dan kepada Aparat Penegak Hukum hendaknya jangan mudah dalam menggunakan saksi mahkota carilah alternatif lain dengan cara mencari alat bukti yang lain yang telah diatur dalam KUHAP. Diharapkan penggunaan saksi mahkota hanya pada kasus-kasus yang memang membutuhkan saksi mahkota seperti pada tindak pidana yang memang kekurangan alat bukti khususnya alat bukti keterangan saksi yang dapat memberikan keterangan sesuai dengan apa yang ia dengar, ia lihat, dan alami sendiri. DAFTAR PUSTAKA A. Literatur Alfitra Hukum Pembuktian dalam Beracara Pidana, perdata dan Korupsi di Indonesia. Jakarta : Raih Asa Sukses. Budoyo, Sapto Perlindungan Hukum Bagi Saksi dalam Proses

14 Peradilan Pidana. Universitas Diponegoro Semarang. Chazawi, Adam Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Bandung: Alumni. Gustiniati, Diah, dan Raisa Monica, Dona Pemidanaan dan Sistem Pemasyarakatan Baru. Bandar Lampung : CV. Anugrah Utama Raharja. Gustiniati, Diah. Dan Rizki, Budi Azas-azas dan Pemidanaan Hukum Pidana di Indonesia. Bandar Lampung : Justice Publisher. Hamzah, Andi Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Kedua. Jakarta :Sinar Grafika. Hamzah, Andi Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta : Ghana Indonesia. Harahap, M Yahya Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP : Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Edisi Kedua, Jakarta: Sinar Grafika. Harahap, M Yahya Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, Peninjauan Kembali, Edisi Kedua. Jakarta : Sinar Grafika. Kadir, Muhammad Abdul Hukum dan Penelitian Hukum. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. Loqman, Loebby Hukum Acara Pidana Indonesia (Suatu Ikhtisar), Cetakan Pertama. Jakarata : CV. Datacom. Mertokusumo, Sudikno Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarata: Liberty. Mulyadi, Lilik Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana : Teori, Praktik, Teknik Penyusunan dan Permasalahannya. Bandung : Citra aditya Bakti. Munir Fuady Teori Hukum Pembuktian : Pidana dan Perdata. Bandung : Citra Aditya Prodjohamidjojo, Martiman Sistem Pembuktian dan ALat-alat Bukti, Jakarta: Ghalia Indonesia. Prodjohamijojo, Martiman Komentar atas KUHAP: Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Jakarta: Pradnya Paramitha. R. Soesilo Teknik Berita Acara (Proses Verbal) Ilmu Bukti dan Laporan. Bogor : Politiea Sasangka, Hari dan Rosita, Lily Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana. Bandung: Mandar Maju. Soekanto, Soerjono Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI- Press. Subekti Hukum Pembuktian. Jakarta: Pradnya Paramitha. Sukanto, Soerjono Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Perss.

15 Sunggono, Bambang Metode Penelitian Hukum. Jakarta, Ghalia Indonesia. Sutarto, Suryono Hukum Acara Pidana Jilid I. Semarang : Badan Penerbit UNDIP. B. Perundang-undangan Undang-undang tentang Hukum Acara Pidana, Undang-Undang Nomor 8, LN Nomor 76 Tahun 1981, TLN. Nomor Undang-undang tentang Peraturan Pidana, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946, LN 1958/127, TLN Nomor C. Sumber Lain Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 2347 K/Pid.Sus/2011 Surat Edaran Kejaksaan Agung RI Nomor B-69/E/02/1997 Perihal Pembuktian dalam Perkara Pidana Putusan Nomor 717/Pid.B/2015/PN.Tjk

EKSISTENSI SAKSI MAHKOTA KAITANNYA DENGAN SPLITSING DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA

EKSISTENSI SAKSI MAHKOTA KAITANNYA DENGAN SPLITSING DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA EKSISTENSI SAKSI MAHKOTA KAITANNYA DENGAN SPLITSING DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA oleh Sang Ayu Ditapraja Adipatni I Wayan Sutarajaya I Wayan Bela Siki Layang Bagian Hukum Acara Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pidana, dan pidana (sanksi). Di Indonesia, pengaturan hukum pidana materiil

I. PENDAHULUAN. pidana, dan pidana (sanksi). Di Indonesia, pengaturan hukum pidana materiil I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum pidana merupakan bagian dari hukum publik. Hukum pidana terbagi menjadi dua bagian, yaitu hukum pidana materiil dan hukum pidana formil. Hukum pidana materiil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa.

BAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Alat bukti berupa keterangan saksi sangatlah lazim digunakan dalam penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi dimaksudkan untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kepada pemeriksaan keterangan saksi sekurang-kurangnya disamping. pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi.

BAB I PENDAHULUAN. kepada pemeriksaan keterangan saksi sekurang-kurangnya disamping. pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tidak ada suatu perkara pidana yang lepas dari pembuktian alat bukti keterangan saksi. Hampir semua pembuktian perkara pidana, selalu didasarkan kepada pemeriksaan

Lebih terperinci

ALAT BUKTI PETUNJUK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA. (Studi Kasus Di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Surakarta)

ALAT BUKTI PETUNJUK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA. (Studi Kasus Di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Surakarta) ALAT BUKTI PETUNJUK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA (Studi Kasus Di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Surakarta) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Tugas dan Syarat-syarat Guna Mencapai Derajat Sarjana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil,

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kedudukannya sebagai instrumen hukum publik yang mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil, maka Undang-Undang Nomor 8 Tahun

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. VII/No. 1 /Jan-Mar/2018. H. Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hlm. 185.

Lex Crimen Vol. VII/No. 1 /Jan-Mar/2018. H. Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hlm. 185. KEKUATAN ALAT BUKTI KETERANGAN AHLI DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA MENURUT KUHAP 1 Oleh: Sofia Biloro 2 Dosen Pembimbing: Tonny Rompis, SH, MH; Max Sepang, SH, MH ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana (kepada barangsiapa yang melanggar larangan tersebut), untuk singkatnya dinamakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum (equality

BAB I PENDAHULUAN. adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum (equality 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan bahwa Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechstaat) tidak berdasar atas

Lebih terperinci

JURNAL ILMIAH KEDUDUKAN HUKUM KESAKSIAN ANAK DI BAWAH UMUR DALAM TINDAK PIDANA KDRT. Program Studi Ilmu Hukum

JURNAL ILMIAH KEDUDUKAN HUKUM KESAKSIAN ANAK DI BAWAH UMUR DALAM TINDAK PIDANA KDRT. Program Studi Ilmu Hukum i JURNAL ILMIAH KEDUDUKAN HUKUM KESAKSIAN ANAK DI BAWAH UMUR DALAM TINDAK PIDANA KDRT Program Studi Ilmu Hukum Oleh : TITI YULIA SULAIHA D1A013378 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MATARAM MATARAM 2017 i HALAMAN

Lebih terperinci

EKSISTENSI SAKSI MAHKOTA SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PERKARA PIDANA

EKSISTENSI SAKSI MAHKOTA SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PERKARA PIDANA EKSISTENSI SAKSI MAHKOTA SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PERKARA PIDANA Oleh: SETIYONO Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta Ketua Divisi Non-Litigasi LKBH FH USAKTI Jl. Kiai Tapa Grogol, Jakarta Barat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. proses acara pidana di tingkat pengadilan negeri yang berakhir dengan pembacaan

BAB I PENDAHULUAN. proses acara pidana di tingkat pengadilan negeri yang berakhir dengan pembacaan 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Dalam persidangan kasus pembunuhan aktivis HAM Munir dengan terdakwa mantan Deputi V Badan Intelijen Negara (BIN) Muchdi Purwopranjono yang dilaksanakan di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. baik. Perilaku warga negara yang menyimpang dari tata hukum yang harus

BAB I PENDAHULUAN. baik. Perilaku warga negara yang menyimpang dari tata hukum yang harus 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara berkewajiban untuk menjamin adanya suasana aman dan tertib dalam bermasyarakat. Warga negara yang merasa dirinya tidak aman maka ia berhak meminta perlindungan

Lebih terperinci

PERAN SAKSI MAHKOTA DALAM PERKARA PIDANA KORUPSI DI PENGADILAN NEGERI MAKASSAR

PERAN SAKSI MAHKOTA DALAM PERKARA PIDANA KORUPSI DI PENGADILAN NEGERI MAKASSAR PERAN SAKSI MAHKOTA DALAM PERKARA PIDANA KORUPSI DI PENGADILAN NEGERI MAKASSAR Universitas Islam Negeri (UIN) Makassar Email: Udinktabrani@yahoo.co.id Abstract The research was carried out in the city

Lebih terperinci

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan 1 Ahmad Bustomi, 2

Lebih terperinci

BAB I LATAR BELAKANG. yang diajukan oleh warga masyarakat. Penyelesaian perkara melalui

BAB I LATAR BELAKANG. yang diajukan oleh warga masyarakat. Penyelesaian perkara melalui BAB I LATAR BELAKANG Lembaga peradilan merupakan institusi negara yang mempunyai tugas pokok untuk memeriksa, mengadili, memutuskan dan menyelesaikan perkaraperkara yang diajukan oleh warga masyarakat.

Lebih terperinci

dengan aparatnya demi tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan harkat dan martabat manusia. Sejak berlakunya Undang-undang nomor 8 tahun 1981

dengan aparatnya demi tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan harkat dan martabat manusia. Sejak berlakunya Undang-undang nomor 8 tahun 1981 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah merupakan negara hukum yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 bukan berdasarkan atas kekuasaan semata. Indonesia

Lebih terperinci

KEDUDUKAN KETERANGAN AHLI SEBAGAI ALAT BUKTI MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA 1 Oleh : Hadi Alamri 2

KEDUDUKAN KETERANGAN AHLI SEBAGAI ALAT BUKTI MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA 1 Oleh : Hadi Alamri 2 KEDUDUKAN KETERANGAN AHLI SEBAGAI ALAT BUKTI MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA 1 Oleh : Hadi Alamri 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui apa tujuan pembuktian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Globalisasi menyebabkan ilmu pengetahuan kian berkembang pesat termasuk bidang ilmu hukum, khususnya dikalangan hukum pidana. Banyak perbuatan-perbuatan baru yang

Lebih terperinci

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis)

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis) Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis) 1. Dany Try Hutama Hutabarat, S.H.,M.H, 2. Suriani, S.H.,M.H Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi

I. PENDAHULUAN. jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tindak pidana korupsi yang telah menimbulkan kerusakan dalam berbagai sendi kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara memerlukan penanganan yang luar biasa. Perkembangannya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materi terhadap perkara tersebut. Hal

I. PENDAHULUAN. adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materi terhadap perkara tersebut. Hal 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemeriksaan suatu perkara pidana dalam suatu proses peradilan pada hakekatnya adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materi terhadap perkara tersebut. Hal ini

Lebih terperinci

Lex Privatum, Vol. IV/No. 2/Feb/2016

Lex Privatum, Vol. IV/No. 2/Feb/2016 PEMECAHAN PERKARA PIDANA (SPLITSING) SEBAGAI UPAYA UNTUK MEMPERCEPAT PROSES PEMBUKTIAN 1 Oleh: Christian Rompas 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui sebuah perkara dilakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengatur bahwa dalam beracara pidana, terdapat alat bukti yang sah yakni: keterangan Saksi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penegakan hukum merupakan salah satu usaha untuk menciptakan tata tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan usaha pencegahan maupun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Selanjutnya disebut KUHP), dan secara

I. PENDAHULUAN. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Selanjutnya disebut KUHP), dan secara I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sistem peradilan pidana di Indonesia terdiri dari hukum pidana materil dan hukum pidana formil. Hukum pidana materil di Indonesia secara umum diatur di dalam Kitab

Lebih terperinci

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. dilakukan untuk mencari kebenaran dengan mengkaji dan menelaah beberapa

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. dilakukan untuk mencari kebenaran dengan mengkaji dan menelaah beberapa IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Narasumber Sebagaimana disampaikan sebelumnya bahwa penulisan skripsi ini menggunakan metode penelitian secara yuridis normatif adalah pendekatan penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3) BAB I PENDAHULAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara berdasarkan hukum. Hal ini ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3) yang berbunyi

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. sebagaimana diuraikan dalam bab sebelumnya dapat dikemukakan kesimpulan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. sebagaimana diuraikan dalam bab sebelumnya dapat dikemukakan kesimpulan BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan rumusan permasalahan serta hasil penelitian dan pembahasan sebagaimana diuraikan dalam bab sebelumnya dapat dikemukakan kesimpulan sebagai berikut:

Lebih terperinci

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil.

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil. 12 A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana adalah suatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang 1. Hukum pidana sebagai peraturan-peraturan yang bersifat abstrak merupakan

Lebih terperinci

Kata kunci: Pencabutan keterangan, terdakwa. AKIBAT HUKUM TERHADAP PENCABUTAN KETERANGAN TERDAKWA DI PENGADILAN 1 Oleh: Efraim Theo Marianus 2

Kata kunci: Pencabutan keterangan, terdakwa. AKIBAT HUKUM TERHADAP PENCABUTAN KETERANGAN TERDAKWA DI PENGADILAN 1 Oleh: Efraim Theo Marianus 2 AKIBAT HUKUM TERHADAP PENCABUTAN KETERANGAN TERDAKWA DI PENGADILAN 1 Oleh: Efraim Theo Marianus 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan bertujuan untuk mengetahui bagaimana perlindungan hukum terhadap hak-hak

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kali di dalam peraturan penguasa militer nomor Prt/PM-06/1957, sehingga korupsi

I. PENDAHULUAN. kali di dalam peraturan penguasa militer nomor Prt/PM-06/1957, sehingga korupsi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejarah kehidupan hukum pidana Indonesia menyebutkan istilah korupsi pertama kali di dalam peraturan penguasa militer nomor Prt/PM-06/1957, sehingga korupsi menjadi

Lebih terperinci

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D 101 10 523 Abstrak Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechstaat), tidak berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio.

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kejahatan pembunuhan mengalami peningkatan yang berarti dari segi kualitas dan kuantitasnya. Hal ini bisa diketahui dari banyaknya pemberitaan melalui media massa maupun

Lebih terperinci

PERANAN SAKSI YANG MENGUNTUNGKAN TERDAKWA DALAM PROSES PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA (STUDI PN PALU NOMOR 10/PID.SUS-TIPIKOR/2013/PN.

PERANAN SAKSI YANG MENGUNTUNGKAN TERDAKWA DALAM PROSES PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA (STUDI PN PALU NOMOR 10/PID.SUS-TIPIKOR/2013/PN. PERANAN SAKSI YANG MENGUNTUNGKAN TERDAKWA DALAM PROSES PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA (STUDI PN PALU NOMOR 10/PID.SUS-TIPIKOR/2013/PN.PL) JOHAR MOIDADI / D 101 10 532 ABSTRAK Penelitian ini berjudul Peranan

Lebih terperinci

JURNAL KEKUATAN PEMBUKTIAN ALAT BUKTI INFORMASI ATAU DOKUMEN ELEKTRONIK DALAM PERADILAN PERKARA PIDANA KORUPSI

JURNAL KEKUATAN PEMBUKTIAN ALAT BUKTI INFORMASI ATAU DOKUMEN ELEKTRONIK DALAM PERADILAN PERKARA PIDANA KORUPSI JURNAL KEKUATAN PEMBUKTIAN ALAT BUKTI INFORMASI ATAU DOKUMEN ELEKTRONIK DALAM PERADILAN PERKARA PIDANA KORUPSI Disusun Oleh : MICHAEL JACKSON NAKAMNANU NPM : 120510851 Program Studi : Ilmu Hukum Program

Lebih terperinci

KEDUDUKAN SAKSI A DE CHARGE PADA PROSES PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI ARTIKEL ILMIAH

KEDUDUKAN SAKSI A DE CHARGE PADA PROSES PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI ARTIKEL ILMIAH KEDUDUKAN SAKSI A DE CHARGE PADA PROSES PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI ARTIKEL ILMIAH Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Syarat-Syarat Memperoleh Gelar Kesarjanaan Dalam Ilmu Hukum Oleh: SAKTIAN NARIS

Lebih terperinci

HAK TERSANGKA UNTUK MENDAPATKAN BANTUAN HUKUM DALAM PROSES PENYIDIKAN

HAK TERSANGKA UNTUK MENDAPATKAN BANTUAN HUKUM DALAM PROSES PENYIDIKAN HAK TERSANGKA UNTUK MENDAPATKAN BANTUAN HUKUM DALAM PROSES PENYIDIKAN Oleh Maya Diah Safitri Ida Bagus Putu Sutama Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT The right to obtain legal

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Ali, Achmad, Menguak Realitas Hukum: Rampai Kolom Dan Artikel Pilihan Dalam Bidang Hukum, (Jakarta: Kencana, 2008).

DAFTAR PUSTAKA. Ali, Achmad, Menguak Realitas Hukum: Rampai Kolom Dan Artikel Pilihan Dalam Bidang Hukum, (Jakarta: Kencana, 2008). DAFTAR PUSTAKA A. BUKU-BUKU Ali, Achmad, Menguak Realitas Hukum: Rampai Kolom Dan Artikel Pilihan Dalam Bidang Hukum, (Jakarta: Kencana, 2008). Anwar, Yesmil dan Adang, System Peradilan Pidana (Konsep,

Lebih terperinci

KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA

KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA Nomor : B-69/E/02/1997 Sifat : Biasa Lampiran : - Perihal : Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana -------------------------------- Jakarta, 19 Pebruari 1997 KEPADA

Lebih terperinci

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 Lex Crimen, Vol.II/No.1/Jan-Mrt/2013 KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

Kekuatan Keterangan Saksi Anak Dibawah Umur dalam Pembuktian Perkara Pidana

Kekuatan Keterangan Saksi Anak Dibawah Umur dalam Pembuktian Perkara Pidana 1 Kekuatan Keterangan Saksi Anak Dibawah Umur dalam Pembuktian Perkara Pidana Novelina MS Hutapea Staf Pengajar Kopertis Wilayah I Dpk Fakultas Hukum USI Pematangsiantar Abstrak Adakalanya dalam pembuktian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu. mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan

I. PENDAHULUAN. Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu. mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan mempertimbangkan semua bukti-bukti yang ada.

Lebih terperinci

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017 KAJIAN YURIDIS TINDAK PIDANA DI BIDANG PAJAK BERDASARKAN KETENTUAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN PERPAJAKAN 1 Oleh: Seshylia Howan 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk

BAB I PENDAHULUAN. dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyidikan tindak pidana merupakan serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti

Lebih terperinci

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA Oleh : Sumaidi, SH.MH Abstrak Aparat penegak hukum mengalami kendala dalam proses pengumpulan alat-alat bukti yang sah

Lebih terperinci

IMPLIKASI YURIDIS PENCABUTAN KETERANGAN TERDAKWA TERHADAP KEKUATAN PEMBUKTIAN. Ridwan Fakultas Hukum Universitas Mataram. Abstract

IMPLIKASI YURIDIS PENCABUTAN KETERANGAN TERDAKWA TERHADAP KEKUATAN PEMBUKTIAN. Ridwan Fakultas Hukum Universitas Mataram. Abstract 147 IMPLIKASI YURIDIS PENCABUTAN KETERANGAN TERDAKWA TERHADAP KEKUATAN PEMBUKTIAN Ridwan Fakultas Hukum Universitas Mataram Abstract Authentication is very important in the process of resolving criminal

Lebih terperinci

Fungsi Pra Penuntutan Terhadap Keberhasilan Pelaksanaan Penuntutan Perkara Pidana Oleh Penuntut Umum. Cakra Nur Budi Hartanto *

Fungsi Pra Penuntutan Terhadap Keberhasilan Pelaksanaan Penuntutan Perkara Pidana Oleh Penuntut Umum. Cakra Nur Budi Hartanto * Fungsi Pra Penuntutan Terhadap Keberhasilan Pelaksanaan Penuntutan Perkara Pidana Oleh Penuntut Umum Cakra Nur Budi Hartanto * * Jaksa Kejaksaan Negeri Salatiga, mahasiswa Magister (S-2) Ilmu Hukum UNISSULA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtstaat) seperti

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtstaat) seperti BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtstaat) seperti yang tercantum pada pasal 1 ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Indonesia

Lebih terperinci

BAB IV PENUTUP A. Simpulan

BAB IV PENUTUP A. Simpulan BAB IV PENUTUP A. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan penjelasan yang telah diuraikan pada bab sebelumnya maka dapat ditarik simpulan seperti berikut : 1. Kesesuaian pengajuan Peninjauan Kembali

Lebih terperinci

Toddy Anggasakti dan Amanda Pati Kawa. Abstrak

Toddy Anggasakti dan Amanda Pati Kawa. Abstrak Toddy Anggasakti dan Amanda Pati Kawa Abstrak Penelitian ini mengkaji dan menjawab beberapa permasalahan hukum,pertama, apakah proses peradilan pidana konsekuensi hukum penerapan asas praduga tidak bersalah

Lebih terperinci

PERANAN KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PERKARA PIDANA PENGADILAN NEGERI

PERANAN KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PERKARA PIDANA PENGADILAN NEGERI PERANAN KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PERKARA PIDANA PENGADILAN NEGERI Oleh : Ruslan Abdul Gani ABSTRAK Keterangan saksi Ahli dalam proses perkara pidana di pengadilan negeri sangat diperlukan sekali untuk

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. terhadap saksi dan korban serta penemuan hukum oleh hakim.

BAB III PENUTUP. terhadap saksi dan korban serta penemuan hukum oleh hakim. 54 BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan di atas maka penulis menyimpulkan bahwa : 1. Kesaksian secara teleconference timbul karena beberapa faktor yakni : Tidak dimungkinkannya

Lebih terperinci

NASKAH PUBLIKASI KEKUTAN PEMBUKTIAN BUKTI ELEKTRONIK DALAM PERSIDANGAN PIDANA UMUM

NASKAH PUBLIKASI KEKUTAN PEMBUKTIAN BUKTI ELEKTRONIK DALAM PERSIDANGAN PIDANA UMUM NASKAH PUBLIKASI KEKUTAN PEMBUKTIAN BUKTI ELEKTRONIK DALAM PERSIDANGAN PIDANA UMUM Diajukan oleh: Ignatius Janitra No. Mhs. : 100510266 Program Studi Program Kehkhususan : Ilmu Hukum : Peradilan dan Penyelesaian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan norma serta

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan norma serta BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum sebagai konfigurasi peradaban manusia berjalan seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat sebagai komunitas dimana manusia tumbuh dan berkembang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk dipenuhi. Manusia dalam hidupnya dikelilingi berbagai macam bahaya. kepentingannya atau keinginannya tidak tercapai.

BAB I PENDAHULUAN. untuk dipenuhi. Manusia dalam hidupnya dikelilingi berbagai macam bahaya. kepentingannya atau keinginannya tidak tercapai. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap manusia adalah mendukung atau penyandang kepentingan, kepentingan adalah suatu tuntutan perorangan atau kelompok yang diharapkan untuk dipenuhi. Manusia dalam

Lebih terperinci

RINGKASAN SKRIPSI/ NASKAH PUBLIKASI TANGGUNG JAWAB KEJAKSAAN DALAM PRA PENUNTUTAN UNTUK MENYEMPURNAKAN BERKAS PERKARA PENYIDIKAN

RINGKASAN SKRIPSI/ NASKAH PUBLIKASI TANGGUNG JAWAB KEJAKSAAN DALAM PRA PENUNTUTAN UNTUK MENYEMPURNAKAN BERKAS PERKARA PENYIDIKAN RINGKASAN SKRIPSI/ NASKAH PUBLIKASI TANGGUNG JAWAB KEJAKSAAN DALAM PRA PENUNTUTAN UNTUK MENYEMPURNAKAN BERKAS PERKARA PENYIDIKAN Diajukan oleh: JEMIS A.G BANGUN NPM : 100510287 Program Studi Program Kekhususan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai

I. PENDAHULUAN. terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana penggelapan di Indonesia saat ini menjadi salah satu penyebab terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai kehidupan dalam

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. saling mempengaruhi satu sama lain. Hukum merupakan pelindung bagi

I. PENDAHULUAN. saling mempengaruhi satu sama lain. Hukum merupakan pelindung bagi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sistem hukum selalu terdiri dari sejumlah komponen yang saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu sama lain. Hukum merupakan pelindung bagi kepentingan individu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kehidupan manusia merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang harus dijalani oleh setiap manusia berdasarkan aturan kehidupan yang lazim disebut norma. Norma

Lebih terperinci

KONSEKUENSI HUKUM PENGINGKARAN ISI BERITA ACARA PEMERIKSAAN OLEH TERDAKWA DI PERSIDANGAN Oleh :

KONSEKUENSI HUKUM PENGINGKARAN ISI BERITA ACARA PEMERIKSAAN OLEH TERDAKWA DI PERSIDANGAN Oleh : KONSEKUENSI HUKUM PENGINGKARAN ISI BERITA ACARA PEMERIKSAAN OLEH TERDAKWA DI PERSIDANGAN Oleh : Cintya Dwi Santoso Cangi Gde Made Swardhana Bagian Hukum Peradilan, Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT

Lebih terperinci

KEABSAHAN PENETAPAN STATUS TERSANGKA DALAM PROSES PENYELIDIKAN (STUDI KASUS PENISTAAN AGAMA Ir. BASUKI TJAHAJA PURNAMA)

KEABSAHAN PENETAPAN STATUS TERSANGKA DALAM PROSES PENYELIDIKAN (STUDI KASUS PENISTAAN AGAMA Ir. BASUKI TJAHAJA PURNAMA) KEABSAHAN PENETAPAN STATUS TERSANGKA DALAM PROSES PENYELIDIKAN (STUDI KASUS PENISTAAN AGAMA Ir. BASUKI TJAHAJA PURNAMA) Oleh : Ni Made Ira Sukmaningsih Tjok Istri Putra Astiti Bagian Hukum Acara Fakultas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. karna hukum sudah ada dalam urusan manusia sebelum lahir dan masih ada

I. PENDAHULUAN. karna hukum sudah ada dalam urusan manusia sebelum lahir dan masih ada I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum tidak bisa dipisahkan dengan masyarakat sebagai kumpulan manusia, karna hukum sudah ada dalam urusan manusia sebelum lahir dan masih ada sesudah meninggal.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kaya, tua, muda, dan bahkan anak-anak. Saat ini penyalahgunaan narkotika tidak

I. PENDAHULUAN. kaya, tua, muda, dan bahkan anak-anak. Saat ini penyalahgunaan narkotika tidak 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyalahgunaan narkotika melingkupi semua lapisan masyarakat baik miskin, kaya, tua, muda, dan bahkan anak-anak. Saat ini penyalahgunaan narkotika tidak hanya terjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan yang pengaruhnya sangat luas. Perubahan-perubahan yang

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan yang pengaruhnya sangat luas. Perubahan-perubahan yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini hukum di Indonesia mengalami suatu perubahan dan perkembangan yang pengaruhnya sangat luas. Perubahan-perubahan yang direncanakan tersebut jelas

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. pidana pembunuhan berencana yang menggunakan racun, yaitu: b. Jaksa Penuntut Umum membuat surat dakwaan yang merupakan dasar

BAB III PENUTUP. pidana pembunuhan berencana yang menggunakan racun, yaitu: b. Jaksa Penuntut Umum membuat surat dakwaan yang merupakan dasar BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan serta analisis yang telah penulis lakukan pada bab-bab terdahulu, berikut penulis sampaikan kesimpulan yang merupakan jawaban terhadap

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pelaksanaannya diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

I. PENDAHULUAN. pelaksanaannya diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Praperadilan merupakan lembaga yang lahir untuk mengadakan tindakan pengawasan terhadap aparat penegak hukum agar dalam melaksanakan kewenangannya tidak menyalahgunakan

Lebih terperinci

BAB IV PENUTUP A. Simpulan

BAB IV PENUTUP A. Simpulan BAB IV PENUTUP A. Simpulan 1. Kesesuaian hasil pemeriksaan laboratorium forensik terhadap tulang kerangka untuk mengungkap identitas korban pembunuhan berencana terhadap Pasal 184 KUHAP adalah hasil pemeriksaan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sebutan Hindia Belanda (Tri Andrisman, 2009: 18). Sejarah masa lalu Indonesia

I. PENDAHULUAN. sebutan Hindia Belanda (Tri Andrisman, 2009: 18). Sejarah masa lalu Indonesia I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum Eropa, hukum Agama dan hukum Adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata maupun pidana, berbasis pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum dan tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka, negara Indonesia merupakan negara demokratis yang menjunjung

Lebih terperinci

PEMBUKTIAN DAN PUTUSAN PENGADILAN DALAM ACARA PIDANA 1 Oleh: Susanti Ante 2

PEMBUKTIAN DAN PUTUSAN PENGADILAN DALAM ACARA PIDANA 1 Oleh: Susanti Ante 2 PEMBUKTIAN DAN PUTUSAN PENGADILAN DALAM ACARA PIDANA 1 Oleh: Susanti Ante 2 ABSTRAK Sistem pembuktian adalah pengaturan tentang macam-macam alat bukti yang boleh dipergunakan. Pembuktian tentang benar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk menentukan

I. PENDAHULUAN. disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk menentukan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum acara pidana merupakan bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk menentukan perbuatan yang tidak

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. sebelumnya maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut :

BAB III PENUTUP. sebelumnya maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut : 55 BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan uraian-uraian yang telah penulis kemukakan pada bab-bab sebelumnya maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : Setiap tersangka atau terdakwa sebenarnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam konstitusi Indonesia, yaitu Pasal 28 D Ayat (1)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam konstitusi Indonesia, yaitu Pasal 28 D Ayat (1) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam konstitusi Indonesia, yaitu Pasal 28 D Ayat (1) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia terdapat ketentuan yang menegaskan bahwa Setiap orang berhak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa/

BAB I PENDAHULUAN. positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa/ BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ditinjau dari aspek yuridis maka pengertian anak dalam hukum positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa/ minderjaring, 1 orang yang di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pidana adalah kebenaran materil, yang menjadi tujuan dari hukum acara pidana itu

BAB I PENDAHULUAN. pidana adalah kebenaran materil, yang menjadi tujuan dari hukum acara pidana itu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembuktian dalam hukum acara pidana merupakan hal sangat penting dalam proses pemeriksaan perkara pidana di pengadilan. Pembuktian dipandang sangat penting dalam

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. asasi manusia dipertaruhkan. Bagaimana akibatnya jika seorang yang didakwa. yang ada disertai keyakinan Hakim, padahal tidak benar.

I. PENDAHULUAN. asasi manusia dipertaruhkan. Bagaimana akibatnya jika seorang yang didakwa. yang ada disertai keyakinan Hakim, padahal tidak benar. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan merupakan bagian yang terpenting dalam acara pidana, dimana hak asasi manusia dipertaruhkan.

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. V/No. 4/Apr-Jun/2016

Lex Crimen Vol. V/No. 4/Apr-Jun/2016 PENANGKAPAN DAN PENAHANAN SEBAGAI UPAYA PAKSA DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA 1 Oleh : Hartati S. Nusi 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana alasan penangkapan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana

TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana 1. Hakim dan Kewajibannya Hakim dapat diartikan sebagai orang yang mengadili perkara dalam pengadilan atau mahkamah.

Lebih terperinci

BAB III FILOSOFI ASAS NE BIS IN IDEM DAN PENERAPANNYA DI PERADILAN PIDANA DI INDONESIA

BAB III FILOSOFI ASAS NE BIS IN IDEM DAN PENERAPANNYA DI PERADILAN PIDANA DI INDONESIA BAB III FILOSOFI ASAS NE BIS IN IDEM DAN PENERAPANNYA DI PERADILAN PIDANA DI INDONESIA 3.1 Dasar Filosofis Asas Ne Bis In Idem Hak penuntut umum untuk melakukan penuntuttan terhadap setiap orang yang dituduh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materil. Kebenaran materil merupakan kebenaran

Lebih terperinci

BAB II KEDUDUKAN ANAK DIBAWAH UMUR SEBAGAI SAKSI DALAM HUKUM ACARA PIDANA

BAB II KEDUDUKAN ANAK DIBAWAH UMUR SEBAGAI SAKSI DALAM HUKUM ACARA PIDANA 79 BAB II KEDUDUKAN ANAK DIBAWAH UMUR SEBAGAI SAKSI DALAM HUKUM ACARA PIDANA A. Tinjauan Umum Keterangan Anak Dalam Hukum Acara Pidana 1. Pengertian Anak Dibawah Umur Dalam Hukum Indonesia Pengertian anak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kejahatan dalam kehidupan manusia merupakan gejala sosial yang akan selalu dihadapi oleh setiap manusia, masyarakat, dan bahkan negara. Kenyataan telah membuktikan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dilengkapi dengan kewenangan hukum untuk memberi pelayanan umum. bukti yang sempurna berkenaan dengan perbuatan hukum di bidang

BAB I PENDAHULUAN. dilengkapi dengan kewenangan hukum untuk memberi pelayanan umum. bukti yang sempurna berkenaan dengan perbuatan hukum di bidang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Notaris sebagai pejabat umum merupakan salah satu organ Negara yang dilengkapi dengan kewenangan hukum untuk memberi pelayanan umum kepada masyarakat, teristimewa dalam

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur menurut Undang-Undang ini.

II. TINJAUAN PUSTAKA. penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur menurut Undang-Undang ini. II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penahanan Tersangka Penahanan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 21 KUHAP adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau

Lebih terperinci

Abstrak. Kata kunci: Peninjauan Kembali, Kehkilafan /Kekeliranan Nyata, Penipuan. Abstract. Keywords:

Abstrak. Kata kunci: Peninjauan Kembali, Kehkilafan /Kekeliranan Nyata, Penipuan. Abstract. Keywords: Abstrak Penelitian hukum ini bertujuan untuk mengetahui kesesuaian alasan terpidana pelaku tindak pidana penipuan dalam mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali dengan dasar adanya suatu kehilafaan hakim

Lebih terperinci

BAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN

BAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN BAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN A. Hal-Hal Yang Menjadi Dasar Penyidik Memerlukan Keterangan Ahli Di Tingkat Penyidikan Terkait dengan bantuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Didalam proses perkara pidana terdakwa atau terpidana

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Didalam proses perkara pidana terdakwa atau terpidana BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Didalam proses perkara pidana terdakwa atau terpidana dimungkinkan untuk melakukan upaya hukum. Ada upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa. Upaya hukum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. landasan konstitusional bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. landasan konstitusional bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia adalah negara hukum, termuat dalam Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945 perubahan ke-4. Ketentuan pasal tersebut merupakan landasan konstitusional bahwa Indonesia

Lebih terperinci

Lex Privatum, Vol. IV/No. 4/Apr/2016

Lex Privatum, Vol. IV/No. 4/Apr/2016 PERANAN KETERANGAN SAKSI SEBAGAI SALAH SATU ALAT BUKTI DALAM PROSES PIDANA MENURUT KUHAP 1 Oleh : Tiovany A. Kawengian 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menegetahui bagaimana kedudukan

Lebih terperinci

JURNAL TUNTUTAN GANTI KERUGIAN AKIBAT TIDAK SAHNYA PENANGKAPAN DAN PENAHANAN MELALUI PROSES PRAPERADILAN

JURNAL TUNTUTAN GANTI KERUGIAN AKIBAT TIDAK SAHNYA PENANGKAPAN DAN PENAHANAN MELALUI PROSES PRAPERADILAN JURNAL TUNTUTAN GANTI KERUGIAN AKIBAT TIDAK SAHNYA PENANGKAPAN DAN PENAHANAN MELALUI PROSES PRAPERADILAN Diajukan Oleh: HENDRA WAGE SIANIPAR NPM : 100510247 Program Studi Program Kekhususan : Ilmu Hukum

Lebih terperinci

KEWENANGAN JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM PROSES PRA PENUNTUTAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA 1 Oleh : Richard Olongsongke 2

KEWENANGAN JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM PROSES PRA PENUNTUTAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA 1 Oleh : Richard Olongsongke 2 KEWENANGAN JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM PROSES PRA PENUNTUTAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA 1 Oleh : Richard Olongsongke 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pasal 1 ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum. 1 Hal ini berarti bahwa Republik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berlakunya Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana

BAB I PENDAHULUAN. berlakunya Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada tanggal 31 Desember 1981, Bangsa Indonesia telah memiliki Undangundang Hukum Acara Pidana karya bangsa sendiri, yaitu dengan diundangkannya Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada hakekatnya adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid) terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. semua warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan. peradilan pidana di Indonesia. Sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

BAB I PENDAHULUAN. semua warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan. peradilan pidana di Indonesia. Sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara hukum yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, yang menjunjung tinggi hak asasi manusia dan semua warga negara bersama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukum, tidak ada suatu tindak pidana tanpa sifat melanggar hukum. 1

BAB I PENDAHULUAN. hukum, tidak ada suatu tindak pidana tanpa sifat melanggar hukum. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana adalah suatu pelanggaran norma-norma yang oleh pembentuk undang-undang ditanggapi dengan suatu hukuman pidana. Maka, sifat-sifat yang ada di dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik, maka berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik, maka berdasarkan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Agar hukum dapat berjalan dengan baik, maka berdasarkan Undang-undang No. 8 tahun 1981 yang disebut dengan Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana (KUHAP), menjelaskan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan Negara hukum, hal ini telah dinyatakan dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan Negara hukum, hal ini telah dinyatakan dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan Negara hukum, hal ini telah dinyatakan dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 bahwa Negara Indonesia berdasarkan atas hukum, tidak berdasar

Lebih terperinci

BUKTI ELEKTRONIK CLOSED CIRCUIT TELEVISION (CCTV) DALAM SISTEM PEMBUKTIAN PIDANA DI INDONESIA

BUKTI ELEKTRONIK CLOSED CIRCUIT TELEVISION (CCTV) DALAM SISTEM PEMBUKTIAN PIDANA DI INDONESIA BUKTI ELEKTRONIK CLOSED CIRCUIT TELEVISION (CCTV) DALAM SISTEM PEMBUKTIAN PIDANA DI INDONESIA Oleh: Elsa Karina Br. Gultom Suhirman Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT Regulation

Lebih terperinci