Gangguan Pendengaran Pada Pasien Dengan Multidrug Resistant Tuberkulosis Oleh: I Made Sudipta SMF Ilmu Kesehatan THT-KL

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Gangguan Pendengaran Pada Pasien Dengan Multidrug Resistant Tuberkulosis Oleh: I Made Sudipta SMF Ilmu Kesehatan THT-KL"

Transkripsi

1 Gangguan Pendengaran Pada Pasien Dengan Multidrug Resistant Tuberkulosis Oleh: I Made Sudipta SMF Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar I. Pendahuluan Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit infeksi yang bertanggung jawab pada lebih dari dua juta penduduk meninggal dunia dan sekitar sembilan juta kasus baru tiap tahunnya. Multidrug Resistant Tuberculosis (MDR TB) merupakan penyakit yang berbahaya bagi kesehatan, dimana penanganan kasus MDR TB ini tergolong sulit karena membutuhkan waktu perawatan yang lama, dana yang besar dan juga efek samping pengobatan yang banyak jika dibandingkan dengan TB drug-sensitive. Menurut World Health Organization melaporkan kasus TB sebagian besar diantaranya terdapat di Asia (55%) dan Afrika (30%) sedangkan Indonesia menempati peringkat kelima di dunia setelah India, Cina, Afrika Selatan dan Nigeria pada tahun ,2 Penatalaksanaan yang tidak optimal dan infeksi tuberkulosis yang terus menyebar di masyarakat menyebabkan adanya suatu resistensi terhadap anti tuberkulosis khususnya pada MDR TB. Hal ini telah menjadi hambatan serius untuk pengendalian TB global dan masalah yang paling penting dalam perkembangannya. 2 Pengobatan pasien dengan MDR TB terdiri dari dua tahap yaitu tahap awal dan tahap lanjutan. Pengobatan pasien ini memerlukan waktu sekitar bulan, yaitu dengan waktu yang lebih lama daripada pasien TB bukan MDR. Pada tahap awal pasien akan diberikan obat anti tuberkulosis (OAT) lini kedua minimal empat jenis OAT yang masih sensitif. Salah satunya adalah OAT jenis injeksi yaitu kanamisin. Pada tahap lanjutan semua OAT lini kedua yang dipakai pada tahap awal dilanjutkan kecuali OAT injeksi. Pemberian OAT injeksi jangka panjang pada pasien dengan MDR TB akan menyebabkan adanya suatu efek ototoksisitas dan nefrotoksisitas sebagai efek sampingnya, dalam hal ini terutama golongan aminoglikosida. Obat dengan efek ototoksisitas ini akan mempunyai potensi untuk menimbulkan kerusakan pada struktur-struktur di telinga dalam yang dapat memberikan gejala berupa gangguan pendengaran, tinnitus dan gangguan keseimbangan. Pada makalah ini akan dibahas mengenai gangguan

2 II. Tinjauan Pustaka 2.1. Anatomi dan Fisiologi Mendengar Telinga terbagi menjadi tiga bagian yaitu telinga luar, tengah dan dalam. Telinga luar terdiri dari daun telinga, kanalis akustikus eksternus dan membran timpani. Kanalis akustikus eksternus dibagi menjadi dua bagian dengan sepertiga luarnya tersusun atas kartilago yang mengandung folikel rambut dan kelenjar seruminosa, sedangkan dua per tiga bagian dalam merupakan bagian tulang yang dilapisi oleh epitel. 4,5 Telinga tengah berisi tulang-tulang pendengaran yaitu malleus, incus dan stapes. Ketiga tulang pendengaran tersebut menghubungkan membran timpani dengan telinga dalam melalui oval window. Terdapat dua otot pada telinga tengah yaitu muskulus tensor timpani yang terletak pada tulang di bagian atas tuba Eustachius, dimana otot ini dipersarafi oleh cabang nervus trigeminus dan muskulus stapedius yang dipersarafi oleh nervus fasialis. Aktifitas dari kedua otot ini adalah mengencangkan kaitan tulang-tulang pendengaran, sehingga mengurangi transmisi sejumlah suara. 4

3 Gambar 1. Anatomi Telinga 6 Telinga dalam terdiri dari dua bagian yang berada pada tulang temporal yaitu organ vestibuler untuk proses keseimbangan dan koklea untuk proses pendengaran. Koklea merupakan tabung berbentuk rumah siput yang mengandung organ sensori untuk pendengaran. Koklea memiliki tiga buah kanal yang mengandung cairan yaitu skala vestibuli, skala timpani dan skala media. Skala media berada di koklea bagian tengah, dipisahkan dari skala vestibuli oleh membran vestibuli dan dari skala timpani oleh membran basalis. Skala vestibuli dan skala timpani berisi cairan perilimfa sedangkan skala media berisi cairan endolimfa. Komposisi ion pada cairan skala media serupa dengan cairan intraseluler, yaitu kaya potasium dan rendah sodium sedangkan cairan pada skala vestibuli dan skala timpani serupa dengan cairan ekstraseluler yaitu kaya sodium dan rendah potasium. Komposisi ion perilimfa penting dalam fungsi sel-sel rambut. 5,7 Cairan perilimfa pada telinga dalam berhubungan dengan cairan serebrospinal melalui akuaduktus koklearis. Membran reissner memiliki komplian yang sangat tinggi, sehingga perubahan tekanan yang sangat kecil sekalipun dapat menyebabkan perubahan volume yang besar pada ruang endolimfa. Ketidakseimbangan tekanan pada kedua sistem tersebut dapat mengakibatkan timbulnya gangguan pendengaran dan keseimbangan. 5 Organ Corti terletak pada membran basalis dan banyak mengandung sel sensori yaitu sel rambut luar maupun sel rambut dalam. Di antara barisan sel

4 pilar sel rambut luar dan sel rambut dalam. Sel rambut luar berbentuk silindris sedangkan sel rambut dalam berbentuk seperti labu. Sel rambut luar pada apeks koklea berukuran lebih panjang dibandingkan pada bagian basal. Stria vaskularis merupakan struktur penting yang berada diantara ruang perilimfa dan endolimfa disepanjang dinding koklea. Stria vaskularis banyak mengandung pembuluh darah dan mitokondria pada selnya yang mengindikasikan terlibatnya aktivitas metabolik. 5 Membran basalis berukuran panjang sekitar 150 µm di basal koklea dan lebar 450 µm di apeks, mengandung jaringan ikat dan membentuk basal skala media. Pada bagian basal, membran basalis mempunyai struktur yang lebih kaku dibandingkan apeks. Perubahan struktur secara gradual ini menyebabkan suara yang mencapai telinga menghasilkan gelombang pada membran basalis yang berjalan dari basal menuju apeks koklea. 5 Koklea diinervasi oleh serat saraf aferen auditorius, eferen dan autonomik. Koklea diperdarahi oleh arteri labirin yang berasal dari arteri serebelum anterior inferior dan berjalan mengikuti nervus vestibulokoklearis pada meatus akustikus internus. Arteri labirin merupakan arteri terminal dan hanya mengandung sedikit bahkan tidak ada pembuluh darah kolateral ke koklea. 5 Gambar 2. Penampang Koklea 5 Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun telinga dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang ke koklea. Setelah memasuki meatus akustikus eksterna, bunyi akan menggetarkan membran timpani selanjutnya dirambatkan melalui tulang pendengaran. Tulang pendengaran akan mengamplifikasi getaran melalui daya ungkit tulang pendengaran dan perkalian perbandingan luas membran timpani dan oval window.

5 menggerakkan oval window sehingga perilimfa pada skala vestibuli bergerak. Getaran diteruskan melalui membrana basalis yang mendorong endolimfa, sehingga akan menimbulkan gerak relatif antara membran basalis dan membran tektoria. 5 Proses ini merupakan rangsangan mekanik yang menyebabkan terjadinya defleksi stereosilia sel-sel rambut, sehingga kanal ion terbuka dan terjadi pelepasan ion bermuatan listrik dari badan sel. Keadaan ini akan menimbulkan depolarisasi sel rambut, sehingga melepaskan neurotransmiter ke dalam sinaps yang akan menimbulkan potensial aksi pada saraf auditorius, lalu dilanjutkan ke nukleus auditorius sampai ke korteks pendengaran (area 39-40) di lobus temporalis. 4,5, Definisi Gambar 3. Mekanisme Mendengar 8 Ototoksik didefinisikan sebagai suatu kerusakan pada sistem pendengaran atau keseimbangan yang disebabkan oleh pemakaian obat-obatan atau bahan kimia tertentu. 9 Obat ototoksik didefinisikan sebagai obat yang mempunyai potensi menimbulkan reaksi toksik pada struktur-struktur di telinga dalam seperti koklea, vestibulum, kanalis semisirkularis dan otolith. Kerusakan pada struktur-struktur tersebut dapat menimbulkan gejala berupa gangguan pendengaran, tinnitus dan gangguan keseimbangan. 3

6 2.3. Epidemiologi Secara global diperkirakan terdapat sekitar kasus multidrug resistant tuberkulosis (MDR TB). Selama tahun 2011 kasus MDR TB di Indonesia dilaporkan sejumlah 260 kasus dan diperkirakan pada tahun 2013 akan terdeteksi kasus. World Health Organization (WHO) melaporkan bahwa pada tahun 2010 Indonesia menduduki urutan ke 8 untuk kasus MDR TB. 10 Berdasarkan penelitian yang dilakukan di RS. Dr. Moewardi pada Januari 2011 sampai Juni 2013 bahwa dari 114 pasien MDR TB sekitar 59,6% mengalami gangguan pendengaran dan jenis kelamin terbanyak adalah perempuan. Pada penelitian yang dilakukan di RS. Dr. Hasan Sadikin Bandung pada periode Januari-Desember 2013 dari 86 pasien MDR TB terdapat 72 pasien dengan hasil audiometri nada murni normal sebelum terapi. Selama pengobatan MDR TB didapatkan sebanyak 15 pasien (20,8%) mengalami tinnitus ataupun penurunan pendengaran dan jenis kelamin yang tebanyak adalah laki-laki. Menurut Nizamuddin dkk. dari 84 pasien MDR TB sekitar 22,7% mengalami gangguan pendengaran dengan jenis kelamin terbanyak adalah laki-laki. 1,3, Etiologi Aminoglikosida merupakan antibiotik yang sangat penting untuk pengobatan pasien dengan MDR-TB. Obat-obatan golongan ini diantaranya adalah streptomisin, neomisin, kanamisin, amikasin, gentamisin, tobramisin, netilmisin, sisomisin dan lividomisin dimana obat-obat ini dapat berefek ototoksik. Kanamisin dan amikasin cenderung mengakibatkan kerusakan pada koklea dibandingkan sistem vestibular sedangkan streptomisin dan gentamisin lebih sering menimbulkan kerusakan pada sistem vestibular Patofisiologi Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa terapi aminoglikosida pada MDR TB berisiko untuk terjadinya gangguan pendengaran dan keseimbangan dimana hal tersebut bersifat irreversible atau permanen. Kerusakan pada koklea dapat menimbulkan penurunan pendengaran permanen. Mekanisme ototoksisitas aminoglikosida itu diperantarai oleh gangguan sintesis protein mitokondria dan formasi radikal bebas yang diikuti destruksi sel rambut koklea terutama pada lapisan luar. 2,3 Selain memiliki efek antibiotik, aminoglikosida juga dapat memberikan

7 dapat menghasilkan radikal bebas di telinga bagian dalam dengan mengaktifkan nitric oxide sintetase (NOS) yang dapat meningkatkan konsentrasi oksida nitrat membentuk radikal peroksinitrit dekstruktif yang dapat secara langsung merangsang kematian sel. Apoptosis adalah mekanisme utama kematian sel dan terutama diperantarai oleh kaskade mitokondria intrinsik. Fenomena ini menyebabkan kerusakan permanen pada sel-sel rambut koklea khususnya sel rambut luar yang akhirnya dapat berakibat pada kehilangan pendengaran yang bersifat permanen. 3,8,11 Gangguan pendengaran akibat pemberian aminoglikosida biasanya terjadi setelah 3 sampai 4 hari tetapi dapat pula terjadi segera setelah dosis pertama. Gangguan pendengaran biasanya bersifat bilateral akan tetapi ada pula penelitian yang mendapatkan adanya gangguan pendengaran bersifat unilateral. Bagian basal koklea lebih rentan mengalami kerusakan dibandingkan bagian apeks. Gradien cochleotopic ini menyebabkan gangguan pendengaran terjadi pada frekuensi tinggi dimana jika kerusakan ini terus berlanjut maka akan dapat menyebabkan kerusakan yang lebih luas. 3, Diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan fungsi pendengaran. Anamnesis meliputi riwayat pasien dengan MDR TB dan apakah ada keluhan penurunan pendengaran sebelum menjalani terapi dengan aminoglikosida atau tidak. Pemeriksaan fisik diperlukan untuk mengetahui kondisi telinga pasien untuk menyingkirkan kemungkinan gangguan pendengaran konduktif yang dapat disebabkan oleh serumen ataupun perforasi membran timpani. Pemeriksaan fungsi pendengaran dapat dilakukan dengan audiometri nada murni. 3 Pasien yang telah menjalani terapi dengan aminoglikosida ditandai dengan terjadinya ketulian pada frekuensi tinggi, dimana kondisi ini tidak disadari oleh penderita hingga akhirnya terjadi ketulian 30 db pada frekuensi sampai Hz. Pada penelitian yang dilakukan oleh Nizamuddin dkk. tahun 2015 didapatkan data pasien dengan MDR-TB yang diterapi menggunakan aminoglokosida sekitar 22,7% mengalami gangguan pendengaran pada frekuensi tinggi ( Hz) kemudian diikuti dengan penurunan pendengaran secara progresif pada frekuensi rendah (500, 1000, 2000 dan 3000 Hz) pada 10,5%. 1,9

8 TB. 3,13 Hingga saat ini belum ada terapi yang dapat menyembuhkan kerusakan 2.7. Monitoring dan Evaluasi Gangguan pendengaran atau keseimbangan yang bersifat permanen yang dapat terjadi pada pasien MDR TB yang diterapi dengan golongan aminoglikosida dapat memberikan dampak pada pasien dalam hal komunikasi, edukasi dan sosial yang serius. Seringkali pemberian terapi ini mempertimbangkan apakah keuntungan dari pemakaian obat ini lebih banyak daripada kerugiannya, sehingga selalu dilakukan pertemuan tim ahli klinis untuk penentuan terapi pasien MDR akibat obat-obatan ototoksik, akan tetapi dapat dilakukan monitoring dan evaluasi sehingga dapat meminimalkan cedera akibat obat-obatan ini. Monitoring terhadap fungsi pendengaran pada ototoksisitas memiliki dua tujuan utama yaitu mendeteksi perubahan awal ambang pendengaran yang mungkin terkait dengan obat atau pengobatan sehingga perlu dipertimbangkan dalam pemilihan obat dan intervensi audiologi ketika terjadi gangguan pendengaran terutama pada frekuensi komunikasi. Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada pasien MDR TB yaitu dengan konseling, strategi komunikasi dan pemberian alat bantu dengar. 3 Evaluasi dan monitoring fungsi pendengaran sebaiknya dilakukan tiap minggu atau 2 minggu sekali dan dapat dilanjutkan walaupun pengobatan telah dihentikan karena aminoglikosida dapat menyebabkan gangguan pendengaran yang tertunda sampai beberapa bulan setelah pengobatan. Terdapat tiga pendekatan yang dapat digunakan untuk monitoring fungsi pendengaran yaitu audiometri nada murni, audiometri frekuensi tinggi (HFA) dan emisi otoakustik (OAE). Pemeriksaan ini dapat dilakukan secara terpisah atau kombinasi. 3 Pemeriksaan audiometri nada murni dapat dilakukan untuk menilai adanya gangguan pendengaran pada pasien MDR TB yaitu dengan mengetahui hasil audiometri nada murni sebelum dan selama pemberian terapi MDR TB. Secara khusus, metode pemeriksaan dengan HFA dan OAE lebih berpotensi untuk mengetahui perubahan awal akibat penggunaan obat ototoksik. 3,14 Pemeriksaan audiometri frekuensi tinggi (HFA) terdiri dari pemeriksaan ambang dengar hantaran udara pada frekuensi lebih dari 8000 Hz, hingga khz. Manfaat dari pemeriksaan ini adalah dapat mendeteksi penggaruh aminoglokosida sebelum gangguan pendengaran terbukti terjadi pada frekuensi komunikasi. Saat ini HFA telah digunakan secara luas dalam program pemeriksaan terhadap ototoksisitas, namun belum dibakukan. Pemeriksaan HFA

9 gangguan pendengaran dalam rentang frekuensi komunikasi mungkin tidak memiliki pendengaran yang dapat diukur pada frekuensi tinggi. Riwayat gangguan pendengaran sebelumnya berpotensi membatasi kegunaan HFA, terutama dengan grafik audiogram terjadi sloping pada frekuensi tinggi. 14 Pemeriksaan Evoked Otoacustic Emission (EOAE), merupakan respon koklea yang timbul dengan adanya stimulus suara. Pemeriksaan EOAE yang paling sering digunakan adalah Transient-evoked otoacoustic emission (TEOAE), Distorsi produk otoacoustic emission (DPOAE) dan Stimulus frequency otoacustic emission (SFOAE). Pemeriksaan DPOAE dapat mendeteksi perubahan yang terjadi lebih awal dari TEOAE. DPOAE dapat diukur pada frekuensi yang lebih tinggi dari TEOAE. DPOAE dapat mengetahui adanya gangguan pendengaran sensorineural yang lebih berat dibandingkan dengan TEOAE. 14 III. Pembahasan Terapi obat golongan aminoglikosida pada pasien dengan MDR TB sangat penting dalam pengobatan akan tetapi beresiko terhadap adanya gangguan pendengaran dan keseimbangan yang bersifat permanen. Banyak literatur menjelaskan hal tersebut dan hingga kini masih menjadi masalah dalam pengobatan pasien MDR TB. Menurut Yulianti dkk. dan Vasconcelos dkk. ototoksisitas diakui sebagai efek samping dalam hubungannya dengan dosis aminoglikosida yang diberikan pada pasien MDR TB oleh karena pengobatan pada pasien tersebut membutuhkan waktu yang lebih lama yaitu sekitar bulan. 3,15 Secara epidemiologi kejadian ototoksisitas pada pasien MDR TB ini pada tiap sentra adalah berbeda jika ditinjau dari jenis kelamin. Penelitian yang dilakukan oleh Reviono dkk. jenis kelamin terbanyak yang mengalami gangguan pendengaran adalah perempuan. Hal berbeda didapatkan pada penelitian yang dilakukan oleh Yulianti dkk. dan Nizamuddin dkk. jenis kelamin laki-laki yang terbanyak mengalami gangguan pendengaran akibat penggunaan terapi amoniglikosida. 1-3 Menurut Mustikaningtyas dkk. mekanisme terjadinya gangguan pendengaran akibat ototoksik belum dapat diketahui dengan pasti. Hal tersebut diduga terjadi karena aminoglikosida dapat memberikan efek yang merugikan berupa penurunan pendengaran melalui proses biokimia yang penting yang dapat menimbulkan kerusakan pada sel rambut dan akhirnya dapat menyebabkan

10 aminoglikosida diperantarai oleh gangguan sintesis protein mitokondria dan formasi radikal bebas yang diikuti destruksi sel rambut koklea terutama pada lapisan luar. 2,3,16 Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan fungsi pendengaran. Anamnesis meliputi riwayat pasien dengan MDR TB dan keluhan lain yang dialami pasien yang ada kaitannya dengan gangguan penurunan pendengaran baik sebelum, selama ataupun sesudah menjalani terapi dengan aminoglikosida. Pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan telinga, hidung dan tenggorok. Pemeriksaan fungsi pendengaran baik dengan cara sederhana menggunakan garpu tala hingga pemeriksaan dengan audiometri nada murni untuk mengetahui jenis dan derajat gangguan pendengaran ataupun dengan EOAE untuk mengetahui fungsi koklea. Menurut Mustikaningtyas dkk. audiometri nada murni merupakan salah satu pemeriksaan gold standard untuk mengetahui fungsi pendengaran dengan cepat, tepat dan akurat. Audiometri frekuensi tinggi (HFA) dapat mendeteksi penggaruh aminoglokosida sebelum gangguan pendengaran terbukti terjadi pada frekuensi komunikasi. Menurut Petersen dkk. HFA lebih mahal dibandingkan dengan audiometri nada murni walaupun HFA ini dapat mendeteksi adanya gangguan pendengaran akibat ototoksik lebih dini. 16,17 Penatalaksaan gangguan pendengaran pada pasien MDR TB akibat aminoglikosida ini yang paling penting yaitu dengan konseling, strategi komunikasi dan pemberian alat bantu dengar. Menurut Yulianti dkk. gangguan pendengaran akibat terapi aminoglikosida pada pasien MDR TB ini memberikan dampak yang serius dalam hal komunikasi, edukasi dan sosial sehingga sangat dipertimbangkan pada manfaat yang didapat oleh pasien dengan terapi tersebut melalui pertemuan tim ahli klinis saat penentuan terapi pasien dengan MDR TB mengingat efek samping yang akan didapat oleh pasien cukup banyak. Monitoring dan evaluasi secara berkala sangat dianjurkan pada pasien MDR TB yang memperoleh terapi obat-obat golongan aminoglikosida ini. Terutama dalam hal terjadinya gangguan pendengaran dimana pada penelitian yang dilakukan oleh Yulianti dkk. evaluasi dan monitoring fungsi pendengaran sebaiknya dilakukan tiap minggu atau 2 minggu sekali dan dapat dilanjutkan walaupun pengobatan telah dihentikan karena aminoglikosida dapat menyebabkan gangguan pendengaran yang tertunda sampai beberapa bulan setelah pengobatan. 3,13 Menurut Yulianti dkk. gangguan pendengaran mulai dirasakan pasien

11 dilakukan oleh Reviono dkk. sebanyak 57,6% dari 33 pasien mengalami gangguan pendengaran dan sebanyak 54,2% dengan terapi streptomisin akan tetapi tidak ada hubungan yang signifikan antara penggunaan terapi streptomisin dengan gangguan pendengaran. Pemberian terapi aminoglikosida pada pasien MDR TB tidak dapat dihentikan oleh karena pada prinsipnya semua pasien MDR TB harus mendapatkan pengobatan dengan mempertimbangkan kondisi klinis awal. Penetapan untuk memulai pengobatan pada pasien MRD TB dengan kondisi khusus diputuskan oleh tim ahli klinis. Untuk mengurangi tingkat gangguan pendengaran akibat obat-obat golongan aminoglikosida ini terdapat beberapa strategi yang dapat dilakukan yaitu dengan melakukan tindakan monitoring terhadap fungsi pendengaran pada pasien MDR TB. 3,9,13 IV. Kesimpulan Penanganan TB yang tidak optimal dan infeksi yang terus berkembang menyebabkan adanya suatu resistensi terhadap anti tuberkulosis yang disebut dengan MDR TB. Pengobatan kasus MDR TB memerlukan waktu perawatan yang lama, dana yang besar dan juga efek samping pengobatan yang banyak jika dibandingkan dengan TB drug-sensitive. Salah satu efek samping yang ditimbulkan adalah adanya gangguan pendengaran dan sistem keseimbangan yang bersifat permanen. Hal tersebut dapat menyebabkan dampak yang serius dalam hal komunikasi, edukasi dan sosial sehingga sangat dipertimbangkan pada manfaat yang didapat oleh pasien dengan terapi tersebut melalui pertemuan tim ahli klinis. Monitoring dan evaluasi secara berkala sangat dianjurkan pada pasien MDR TB yang memperoleh terapi obat-obat golongan aminoglikosida ini untuk mengurangi tingkat gangguan pendengaran.

12 DAFTAR PUSTAKA 1. Nizamuddin S, Farhan AK, Abdur RK, Chand MK. Assesment of hearing loss in multi-drug resistant tuberculosis (MDR-TB) patients undergoing Aminoglycoside treatment. Int J Res Med Sci. 2015; 3(3): Reviono, Widayanto, Harsini, Jatu A, Yusup SS. Streptomisin dan Insidens Penurunan Pendengaran Pada Pasien Dengan Multidrug Resistant Tuberkulosis di Rumah Sakit Dr. Moewardi. J Respir Indo. 2013; 33(3): Yulianti, Sally M. Gangguan pendengaran penderita Tuberkulosis Multidrug Resistant. ORLI. 2015; 45(2): Dhingra PL. Anatomy of Ear. Dalam: Diseases of Ear, Nose and Throat. Edisi ke-3. India: Reed Elsevier India Private Limited, 2004; h Moller, A R. Hearing: Anatomy, Physiology and Disorder of Auditory System. 2 nd edition. London: Elsievier inc. 2006; h Gacek R. Richard, Mark RG. Anatomy of the Auditory and Vestibular Systems. Dalam: Ballenger s Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery. Sixteenth Edition. London: BC Decker Inc. 2003: h Bailey, BJ & Jhonson, JT. Head and Neck Surgery Otolaryngology. 4 th edition Vol. I. 2006; h Deretsky Z. Mechanism of Hearing (diakses tanggal 22 Desember 2016). Diunduh dari: 9. Rybak LP, John T. Ototoxicity. Dalam: Manual of Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery. London: BC Decker Inc. 2002; h Reviono, P. Kusnanto, Vicky E, Helena P, Dyah N. Multidrug Resistant Tuberculosis (MDR-TB): Tinjauan Epidemiologi dan Faktor Risiko Efek Samping Obat Anti Tuberkulosis. MKB. 2014; 46(4): Zafar H. Serial Audiometries Inclusion: A Dire Need To Manage MDR/CDR-TB Patients In Order To Reduce The Emergence Of Ototoxicity. ISRA Medical Journal. 2013; 5(2): Harris T, Soraya B, H Simon S, Lucretia P, Greetje DJ, Johannes JF. Aminoglycoside-induced hearing loss in HIV-positive and HIV-negative multidrug-resistant tuberculosis patients. S Afr Med J. 2012; 102(6): Kementerian Kesehatan RI. Pedoman Manajemen Terpadu Pengendalian

13 14. American Academy of Audiology Position Statement and Clinical Practice Guidlines Ototoxicity Monitoring VasconcelosKAD, Afranio LK, Antonio RN, Silviana F, Marco Antonio DMTDL. Audiometric evaluation of oatients treated for pulmonary tuberculosis. J Bras Pneumol. 2012; 38(1): Mustikaningtyas E, Nyilo P. Hearing Disorder In Multidrug-Resistant Tuberculosis Patients At The Outpatients Unit, Pulmonary Department, DR. Soetomo Hospital Surabaya. Folia Medica Indonesiana. 2013; 49(4): Petersen L, C Rogers. Aminoglycoside-induced hearing deficits-a review of cochlear ototoxicity. South African Family Practice. 2015; 57(2):77-82

14 DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN RINITIS AKIBAT KERJA Oleh : Luh Made Ratnawati Bagian/SMF Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar PENDAHULUAN Rinitis Akibat Kerja (RAK) menurut EAACI Task Force on Occupational Rhinitis 2009 adalah inflamasi hidung baik bersifat persisten atau sementara yang ditandai dengan kongesti hidung, bersin-bersin, rinore, gatal dan atau gangguan aliran udara hidung dan atau hipersekresi yang disebabkan oleh kondisi lingkungan kerja. Gejala yang ditimbulkan oleh RAK akan memberikan dampak pada kualitas hidup pekerja seperti gangguan tidur yang menyebabkan kelelahan, penurunan konsentrasi di tempat kerja, serta mengantuk saat bekerja. Keluhan tersebut dapat mempengaruhi keadaan fisik, emosi, fungsi sosial dan dapat menimbulkan stress sehingga merugikan kinerja perusahaan dan kesehatan pekerja. 1 Menurut penelitian, diperkirakan 15% pekerja di seluruh dunia menderita RAK. Pekerja industri adalah pekerja terbanyak yang menderita RAK (48%), disusul oleh pekerja administrasi (29%) dan pekerja pengolahan bahan jadi (13%). Jenis pekerjaan yang diketahui berisiko tinggi adalah pekerja laboratorium farmasi, tukang kayu, pekerja industri makanan dan pekerja kesehatan. Peningkatan konsentrasi substansi dan lamanya waktu pajanan semakin meningkatkan resiko menderita RAK. 2,3 Berbagai faktor berpengaruh dalam timbulnya penyakit atau gangguan pada saluran nafas akibat debu. Faktor tersebut adalah faktor debu yang meliputi ukuran partikel, bentuk, konsentrasi, daya larut dan sifat kimiawi, serta lama paparan. Faktor individu meliputi mekanisme pertahanan paru, anatomi dan fisiologi saluran nafas serta faktor imunologis. Penilaian paparan pada manusia perlu dipertimbangkan antara lain sumber paparan atau jenis pabrik, lamanya paparan, paparan dari sumber lain, pola aktivitas sehari-hari dan faktor penyerta yang potensial seperti umur, gender, etnis, kebiasaan merokok serta faktor alergen. 4 Menurut penelitian, bahan yang diduga menyebabkan RAK dibagi menjadi senyawa berberat molekul besar (protein) dan berberat molekul rendah. Contoh

15 enzim proteolitik, gandum dan kontaminannya, antigen serangga, gum Arabic/gum acacia, psyllium dan lateks. Sedangkan contoh senyawa berberat molekul rendah adalah diisosianat, asam anhidrida, colophony dan asam plikatik. 3,5 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi dan Fisiologi Hidung bagian luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil sepanjang tulang piramid hidung. Hidung bagian dalam terdiri dari kerangka tulang yang dilapisi mukosa respiratorius. Septum nasi membagi kavitas nasi menjadi dua sisi yang tersusun atas kartilago dan tulang yang dilapisi mukosa dan sebagian kecil terbungkus kulit. Secara aerodinamik hidung dibagi menjadi: vestibulum yang dilapisi epitel skuamus bertatah, regio ismus tempat resistensi sekitar 50% aliran pernapasan, kavitas nasi dengan konka inferior, medius dan superior yang dilapisi epitel torak berlapis semu bersilia. 6 Adanya konka nasalis menyebabkan peningkatan permukaan mukosa kavitas nasi sekitar 150 sampai 200 cm 2 yang mengatur kelembaban, regulasi suhu dan filtrasi udara inspirasi. Aliran udara hidung berubah dari laminar ke turbulen tergantung kecepatan inspirasi dan situasi anatomi. Mukosa olfaktorius berada di atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga atas septum yang mengandung sel reseptor penciuman. Pada dinding lateral hidung terdapat konka inferior, media dan superior. Celah diantara konka dan dinding lateral hidung dinamakan meatus, terdiri dari meatus superior, meatus medius dan meatus inferior. Meatus inferior terdapat muara duktus nasolakrimalis, pada meatus medius terdapat kompleks osteomeatal tempat bermuaranya sinus maksilaris, sinus etmoidalis anterior dan sinus frontalis, sedangkan sinus etmoidalis posterior dan sinus sfenoidalis mengalir melalui meatus superior. 6

16 Gambar 1. Rongga hidung. 7 Mukosa dilapisi oleh epitel toraks bertingkat bersilia, sel goblet, sel basal serta kelenjar submukosa. Sel goblet dan kelenjar submukosa menghasilkan palut lendir, imunoglobulin A, laktoferin dan lisozim yang berfungsi menyaring partikel yang terhirup, pembersihan hidung dan sebagai pertahanan terhadap infeksi. Pada epitel toraks terjadi proses metabolisme aktif yang dilengkapi mitokondria dengan konsentrasi tinggi serta beberapa enzim yang dapat mencerna mediator endogen ataupun partikel terinhalasi yang bersifat toksik. 6 Transpor mukosilia tergantung konsistensi dari mukus dan efektifitas gerakan silia dengan gerakan sekitar 1000 kali per menit yang menggerakkan lapisan gel superfisial dan debris yang terperangkap dengan kecepatan 3 hingga 25 mm per menit. Infeksi bakteri atau virus seperti juga inflamasi akibat alergi akan menurunkan bersihan mukosilia. Partikel alergen di udara akan terhirup melalui hidung. Mayoritas partikel berukuran lebih besar dari 5 mm akan terdeposit pada permukaan mukosa hidung dan kemudian ditranspor dari hidung ke faring selama menit. Selama proses tersebut, partikel dengan ukuran yang besar tidak terjadi penetrasi langsung ke mukosa hidung tetapi substansi antigen yang larut dalam air akan terurai dan terserap secara cepat melalui mukosa hidung. 6 Rongga hidung dipersarafi oleh dua struktur utama yaitu nervus olfaktorius atau CN.І yang berfungsi untuk penghidu dan nervus trigeminus atau CN.V yang

17 nervus vagus berfungsi sebagai reseptor sensasi iritasi di hipofaring dan laring. Dalam hal mengenali makanan yang melibatkan kombinasi sensasi rasa dan bau, pengenalan berbagai zat inhalan juga melibatkan rangsangan nervus olfaktorius dan nervus trigeminus. Nervus trigeminus dapat memberikan sensasi berupa rasa segar atau dingin misalnya respons terhadap mentol sampai rasa terbakar atau menyengat misalnya amonia dan klorin. Cabang terminal nervus trigeminus termasuk ion channel neuron nosiseptif diameter kecil yaitu serabut C dan Aδ yang mengandung beberapa jenis ion channel. Serabut C juga mengeluarkan neuropeptida vasoaktif yang selanjutnya dapat dilepaskan sebagai bagian dari refleks nosiseptif Definisi Rinitis menurut International Consensus Report on the Diagnosis and Management of Rhinitis tahun 1994 merupakan suatu proses inflamasi mukosa hidung yang ditandai dengan dua atau lebih gejala yaitu hidung tersumbat, rinore, bersin- bersin, gatal di hidung dan gangguan penghidu selama lebih dari 1 jam per hari. Rinitis diklasifikasikan menjadi tiga kelompok yaitu rinitis alergi, rinitis infeksi yang bersifat akut atau kronik dan kelompok lain-lain yang terdiri dari rinitis idiopatik, sindrom rinitis non alergi eosinofilik (NARES), RAK, rinitis hormonal, rinitis medikamentosa, rinitis atrofi dan rinitis yang disebabkan faktor rangsangan makanan atau emosional. 11,12 RAK adalah episode serangan bersin-bersin, hidung beringus, hidung tersumbat dan rasa gatal pada hidung yang berhubungan dengan pekerjaan. Biasanya RAK disebabkan oleh zat-zat di tempat kerja dengan berat molekul tinggi, berat molekul rendah dan iritan yang melalui mekanisme imunologi atau nonimunologi. 5,13,14 EAACI Task Force on Occupational Rhinitis 2009 mengajukan definisi RAK yang disesuaikan dengan definisi asma akibat kerja yaitu inflamasi hidung baik bersifat persisten atau sementara yang ditandai dengan kongesti hidung, bersin-bersin, rinore, gatal dan/atau gangguan aliran udara hidung dan/atau hipersekresi yang disebabkan oleh kondisi lingkungan kerja Klasifikasi EAACI Task Force on Occupational Rhinitis mengajukan pembagian rinitis di lingkungan kerja yang hampir menyerupai konsep klasifikasi asma akibat kerja atau occupational asthma yang telah dianut sebelumnya. Pembagian ini

18 lingkungan kerja dibagi menjadi: (i) RAK disebabkan oleh zat alergen atau iritan di lingkungan kerja pada pekerja yang sebelumnya tidak memiliki gejala rinitis, 11. eksaserbasi rinitis oleh pajanan lingkungan kerja: didefinisikan sebagai rinitis baik alergi maupun nonalergi yang terjadi pada pekerja yang sebelumnya sudah memiliki gejala rinitis dan bertambah berat setelah terpajan zat alergen atau iritan di lingkungan pekerjaan. 1 RAK alergi merupakan reaksi hipersensitif dengan karakteristik klinis berupa hipersensitifitas hidung oleh agen spesifik di lingkungan kerja yang muncul setelah periode laten. Reaksi alergi tidak terjadi pada pajanan pertama terhadap suatu zat. Interval terjadinya sensitisasi berlangsung dari beberapa minggu sampai beberapa tahun. 5,13-15 RAK dengan perantara IgE disebabkan oleh bahan-bahan dengan berat molekul tinggi atau high molecular weight/hmw yang berasal dari hewan atau tanaman seperti urin tikus percobaan laboratorium, wol, serangga dan tungau, debu, tepung gandum, lateks, alergen tumbuh-tumbuhan, misalnya daun tembakau, kopi, merica, enzim biologis yang digunakan pada industri pembuatan detergen, obat- obatan, protein ikan dan makanan laut. 3,5,14 RAK tanpa perantara IgE diinduksi oleh bahan-bahan dengan berat molekul rendah atau low molecular weight/lmw seperti diisosianat pada cat, anhidrides pada plastik dan cat, bahan dari debu kayu, metal, colophony yang terdapat pada pabrik elektronik, obat-obat, bahan kimia seperti tinta, katun, serat sintetik, garam persulfat yang dapat menginduksi pengeluaran IgE spesifik dengan cara berikatan dengan protein untuk membentuk ikatan hapten-protein. 1,5,14,15

19 Rinitis yang berhubungan dengan kerja Rinitis yang disebabkan oleh kerja = Rinitis Akibat Kerja (RAK) Rinitis yang tereksaserbasi oleh kerja= Rinitis Eksaserbasi Kerja 1. RAK alergi (dengan periode laten) * diperantarai oleh IgE * tidak diperantarai IgE 1. RAK non alergi (tanpa periode laten) * terpapar tunggal: RUDS * terpapar multipel:rak yang diinduksi bahan iritan * rinitis korosif RUDS: Reactive Upper Airways Dysfunction Syndrome Gambar 2. Klasifikasi RAK. 1 RAK non alergi dengan Reactive Upper Airways Dysfunction Syndrome/RUDS merupakan reaksi rinitis nonimunologi yang terjadi setelah satu kali pajanan terhadap kadar iritan yang tinggi. 1,13 RAK terinduksi iritan juga dapat dipergunakan untuk gejala rinitis yang disebabkan berbagai pajanan iritan berulang tanpa harus disertai adanya pajanan yang jelas terhadap iritan dalam konsentrasi tinggi seperti gas, kabut, uap, uap air dan debu termasuk asap rokok, nitrogen oksida, sulfur oksida, ozon, peroxyacetyl nitrite, hypochlorite, ammonia, chlorine gas, formaldehyde, glycol ethers. 1,14,15

20 Rinitis korosif merupakan RAK terinduksi iritan yang terparah ditandai dengan inflamasi persisten mukosa hidung berupa atropi, ulserasi atau perforasi mukosa hidung dan epistaksis. 1 Gejala rinitis yang memburuk karena pekerjaan dicetuskan oleh berbagai kondisi kerja seperti agen iritan yang berasal dari kimia, debu, asap, faktor fisik karena perubahan temperatur, emosi, mantan perokok, bau parfum dan lain-lain. Gambaran klinisnya serupa dengan RAK, tapi mekanisme yang mempengaruhi timbulnya rinitis sulit untuk diselidiki Epidemiologi Menurut penelitian, diperkirakan 15% pekerja di seluruh dunia menderita RAK. Pekerja industri adalah pekerja terbanyak yang menderita RAK (48%), disusul oleh pekerja administrasi (29%) dan pekerja pengolahan bahan jadi (13%). Jenis pekerjaan yang diketahui berisiko tinggi adalah pekerja laboratorium farmasi, tukang kayu, pekerja industri makanan dan pekerja kesehatan. Para pekerja yang memiliki riwayat alergi individu atau keluarga lebih rentan terhadap rinitis akibat kerja. Peningkatan konsentrasi alergen dalam lingkungan dan lamanya waktu pajanan semakin meningkatkan resiko menderita RAK. 2, Patofisiologi Inflamasi mukosa hidung pada RAK dapat disebabkan oleh dua mekanisme, yaitu: (1) mekanisme imunologi melalui sensitisasi oleh zat dengan berat molekul tinggi dengan jalur yang diperantarai IgE atau konjugasi haptenprotein oleh zat dengan berat molekul rendah, baik episodik maupun persisten, (2) mekanisme nonimunologi oleh karena inflamasi iritasi. 5,13 Menurut pembagian Allergic Rinitis and Its Impact on Asthma tahun 2008 rinitis alergi dapat digolongkan dalam 2 klasifikasi yaitu intermiten bila gejala kurang dari 4 hari per minggu atau dalam kurun waktu kurang dari 4 minggu dan persisten bila gejala ditemukan lebih dari 4 hari per minggu dan dalam kurun waktu lebih dari 4 minggu. 16 RAK merupakan reaksi alergi hipersensitifitas tipe I yang merupakan respons yang diperantarai IgE yang terdiri dari tiga fase: sensitisasi, fase cepat dan fase lambat. Selama fase sensitisasi alergen yang berasal dari lingkungan sekitar mengalami kontak dan melekat dengan mukosa epitelium dari membran hidung

21 dan mengawali terjadinya presentasi antigen terhadap sel imun. Antigen presenting cells seperti makrofag dan sel dendrit mencerna dan memecahkan alergen menjadi peptida kecil yang kemudian mempresentasikan kepada sel limfosit Th0. Limfosit Th0 mengenali peptida antigen dan mengawali diferensiasinya menjadi Th1 dan Th2 serta melepaskan produk-produk inflamasi. Rinitis alergi biasanya melibatkan sel limfosit Th2. Limfosit Th2 mengeluarkan sitokin seperti IL3, IL4, IL5, IL9, IL10 dan IL13. IL4, IL10 dan IL13 mempromosikan proliferasi limfosit B yang menghasilkan antibodi IgE. Antigen peptida dan antibodi IgE memegang peranan penting pada alergi fase cepat. IgE yang berada di sirkulasi darah melekat pada reseptor sel mastosit dan basofil yang memiliki afinitas yang tinggi, sehingga menyebabkan degranulasi. Degranulasi sel mastosit merupakan saat yang penting dalam mengawali fase cepat dan proses pelepasan histamin, prostaglandin, triptase, leukotrien dan faktor kemotaktik lainnya yang merangsang pengeluaran sel inflamasi seperti eosinofil, basofil dan neutrofil. 5 Mediator yang dilepaskan sel mastosit akan memberikan efek terhadap pembuluh darah seperti vasodilatasi, penebalan mukosa, peningkatan permeabilitas kapiler sehingga terjadi rinore. Efek pada ujung saraf vidianus akan menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin selain itu kelenjar mukosa dan sel goblet juga akan mengalami hipersekresi. Jika pajanan dihentikan, reaksi akan hilang dalam beberapa jam. Jika pajanan terjadi terus menerus, akan terjadi reaksi fase lambat yang ditandai dengan edema mukosa serta sumbatan hidung yang lebih berat. Reaksi ini dimulai 4 sampai 12 jam setelah pajanan awal dan dihubungkan dengan terbentuknya sel inflamasi seperti eosinofil, basofil dan neutrofil yang mengikuti reaksi fase akut. Reaksi fase lambat akan berakhir setelah 72 jam pajanan dihentikan. Hal ini menjelaskan mengapa tidak terjadi perbaikan gejala pada pekerja pada saat libur akhir pekan, sehingga dapat membingungkan dalam menegakkan diagnosis RAK. Cuti dengan jangka waktu yang lebih lama mungkin diperlukan agar kecurigaan adanya penyebab di tempat kerja dapat diyakini. Pada pekerja dengan alergi, biasanya bereaksi terhadap beberapa alergen di rumah, di luar rumah serta di tempat kerja. Hal ini merupakan salah satu penyebab sulitnya menegakkan RAK. 2,5

22 Gambar 3. Mekanisme imunologi pada rinitis alergi. 17 Eosinofil melepaskan mediator yang menyebabkan disfungsi epitel hidung sehingga menyebabkan sumbatan hidung, pernapasan yang berat serta gangguan tidur dan mendengkur. Inflamasi lokal akan bertambah dengan pengaruh sekresi yang terus-menerus dari sitokin yang berbeda yaitu faktor nekrosis tumor alfa atau TNF α, yang dihasilkan oleh sel mastosit, makrofag, eosinofil dan limfosit yang merangsang serabut sensoris di mukosa hidung. Perangsangan saraf ini akan menyebabkan hipereaktif dan hipersensitif dari mukosa hidung meskipun terpajan dengan rangsangan nonalergi seperti udara dingin dan asap rokok. Hal ini juga

23 menjelaskan mengapa pekerja yang menderita RAK, gejala akan muncul di luar lingkungan kerja ketika mereka terpajan dengan zat iritan Gejala Klinis Riwayat hidung tersumbat, rinore jernih, bersin, hidung gatal serta ingus di belakang hidung, dengan menitikberatkan hubungan antara gejala yang muncul di tempat kerja dengan hilangnya gejala pada saat libur atau jika pekerja menjalani cuti lebih dari tiga hari. Jika pekerja terpajan terus-menerus, gejala akan menetap sepanjang hari yang ditandai dengan sumbatan hidung yang terus menerus sebagai gejala yang dominan karena reaksi alergi fase lambat atau RAFL Diagnosis Anamnesis Anamnesis secara rinci riwayat hidung tersumbat, rinore jernih, bersin, hidung gatal serta ingus di belakang hidung, dengan menitikberatkan hubungan antara gejala yang muncul di tempat kerja dengan hilangnya gejala pada saat libur atau jika pekerja menjalani cuti lebih dari tiga hari. Jika pekerja terpajan terusmenerus, gejala akan menetap sepanjang hari yang ditandai dengan sumbatan hidung yang terus menerus sebagai gejala yang dominan karena reaksi alergi fase lambat. Riwayat menderita penyakit saluran napas pada usia anak-anak dan kemungkinan adanya atopi perlu ditanyakan. Kebiasaan individu seperti merokok, alkohol, hobi serta akivitas di waktu luang lainnya juga perlu ditelusuri. 5,10, Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik pekerja yang menderita RAK memiliki sekret hidung encer dan bening serta edema konka. Mukosa hidung biasanya terlihat pucat, berwarna merah muda atau hiperemis. Pemeriksaan rutin seperti rinoskopi atau endoskopi serat optik perlu untuk melihat rongga hidung, faring dan struktur glotis serta ada atau tidaknya polip hidung. Sekresi pus dari muara sinus, hiperplasi limfoid, neoplasma, perubahan pita suara perlu dilihat untuk membedakannya dengan RAK. Stigmata lain seperti rinokonjungtivitis alergi, kemosis atau allergic shiner perlu diperiksa. 5,10,15

24 Riwayat pekerjaan dan klinis Pemeriksaan hidung Tes imunologi (tes cukit kulit atau antibodi Ig E spesifik) Tidak tersedia Tersedia Negatif Positif Berdasarkan riwayat klinik Tes provokasi hidung di laboratorium Kemungkinan Positif Negatif Tidak dapat Rinitis Akibat dikerjakan Kerja Berdasarkan riwayat klinik Workplase assessment dari: Gejala-gejala klinik Patensi hidung Inflamasi hidung Hiperresponsif nonspesifik Rinitis Akibat Positif Negatif Kerja Bukan Rinitis Akibat Kerja Gambar 4. Algoritme diagnosis RAK. 1

25 2.7.3 Pemeriksaan Penunjang A. Uji Tusuk Kulit Salah satu metode pemeriksaan alergi yang paling sering digunakan adalah uji tusuk kulit atau skin prick test. Tujuan dari pemeriksaan ini adalah untuk membuktikan adanya IgE spesifik yang terikat pada sel mastosit di kulit. Uji tusuk kulit banyak dipakai karena sederhana, mudah, cepat dan cukup aman sehingga sering dipakai sebagai pemeriksaan penyaring. Kelebihan cara ini adalah pemeriksaan dapat dilakukan dengan beberapa jenis alergen pada waktu yang bersamaan dan hasil pemeriksaan didapatkan dalam menit. 11,19 Kekurangan teknik ini untuk mendiagnosis RAK adalah sulit mendapatkan ekstrak alergen spesifik yang dicurigai dari tempat kerja, sehingga perlu dilanjutkan dengan uji provokasi hidung dengan menggunakan alergen yang diambil langsung dari lingkungan kerja dan tidak memerlukan ekstrak yang khusus. B. Uji Provokasi Hidung Uji provokasi hidung adalah menginduksi gejala rinitis seperti bersin, hidung tersumbat, sekresi hidung dan gejala lainnya dengan cara menempatkan alergen definitif atau iritan yang dicurigai sebagai penyebab rinitis pada mukosa hidung dan reaksi yang timbul dimonitor. Beberapa penelitian terdahulu menggunakan metode uji provokasi hidung dan metode ini dianggap merupakan standar baku emas dalam menegakkan RAK. Akan tetapi kesulitan yang dihadapi adalah tidak semua zat di tempat kerja dapat digunakan pada uji provokasi, terutama zat-zat iritan. Metode uji provokasi juga berisiko untuk terjadinya reaksi yang hebat pada saluran napas atas dan bawah, karena dipajankan langsung dengan bahan yang diperkirakan sebagai penyebab penyakitnya. 11,19 C. Rinomanometri Rinomanometri merupakan metode yang sangat objektif dan akurat dalam menilai perubahan nilai tahanan hidung sebelum dan sesudah uji provokasi dengan alergen yang dicurigai. Rinomanometri yang dianggap paling fisiologis adalah rinomanometri anterior aktif, karena mengukur secara bersamaan aliran udara pada satu hidung dengan pneumotachometer dan tekanan nasofaring pada hidung kontralateral dengan manometer yang dihubungkan dengan cuping hidung kontralateral. Pemeriksaan dikatakan positif jika setelah uji provokasi dilakukan,

26 aliran udara menurun lebih dari 40% dan jika tahanan hidung meningkat lebih dari 60%. Interpretasi dilakukan dengan membandingkan gejala yang muncul setelah pemeriksaan serta mengukur kualitas serta beratnya sekresi cairan hidung sebelum, selama tes dan sesudahnya. Rinomanometri akustik merupakan pemeriksaan yang sangat bermanfaat dalam mendiagnosis RAK karena sederhana, mudah dilakukan, tidak invasif dibandingkan dengan rinomanometri anterior dan posterior. 20,21 D. Peak Nasal Inspiratory Flow Meter Peak Nasal Inspiratory Flow atau PNIF merupakan alat untuk mengukur derajat sumbatan hidung dengan mengukur kecepatan aliran udara melalui hidung pada saat inspirasi maksimal. Alat ini cukup sederhana, berukuran kecil dan ringan, mudah digunakan, interpretasi hasilnya cukup mudah. Selain itu juga mudah untuk dibawa dan sering digunakan untuk monitoring penderita rinitis. Alat ini juga memberikan informasi yang akurat terhadap sumbatan hidung dan respon terhadap pengobatan. Keterbatasan alat ini yaitu hanya dapat mengukur kecepatan aliran udara sedangkan tekanan transnasal tergantung usaha pasien pada saat inspirasi maksimal. Nilai normal pada orang Eropa yang ditetapkan dengan alat ini adalah liter per menit, dengan keakuratan 10%. 22 Pengukuran aliran udara hidung maksimum dengan PNIF meter dilakukan sebelum, selama dan sesudah pergantian kerja. 13 PNIF meter pada uji provokasi dikatakan positif bila didapatkan sedikitnya dua gejala yaitu bersin-bersin, rinore, hidung buntu dan penurunan PNIF lebih dari 20%. 19,23 E. Pemeriksaan Sitologi Mukosa Hidung Respons lain yang dapat diukur adalah penilaian jumlah eosinofil, basofil, neutrofil dan sel lainnya serta mengukur mediator-mediator lokal yang dilepaskan oleh sel mastosit yang berdegranulasi. Bahan pemeriksaan diperoleh dari usapan, kerokan, bilasan atau biopsi. Pemeriksaan sitologi ini dilakukan untuk melihat adanya eosinofil sebagai parameter rinitis alergi atau neutrofil sebagai parameter rinitis iritan. Dari penelitian sebelumnya polymononuclear neutrophils atau PMNs telah terbukti berhubungan dengan iritasi inflamasi, sedangkan eosinofil berhubungan dengan respons alergi. 24

27 F. Pemeriksaan IgE dan Bersihan Mukosilia Pemeriksaan IgE total jarang digunakan untuk skrining pada rinitis, karena nilai prediksinya yang rendah dan sebaiknya tidak digunakan sebagai alat diagnostik. Berbeda dengan IgE total, pemeriksaan IgE spesifik sangat berguna untuk menegakkan diagnosis. Adanya antibodi IgE spesifik tergantung pada tersedianya ekstrak alergen yang berhubungan untuk dilakukan uji imunologi. 12 Pemeriksaan bersihan mukosilia dapat dilakukan karena rinitis mengurangi aktivitas mukosilia yang berpengaruh terhadap pertahanan terhadap bakteri Penatalaksanaan Penatalaksanaan RAK adalah sama dengan rinitis alergi pada umumnya, yaitu dengan menghindari alergen (allergen avoidance). Pencegahan ditujukan untuk mengurangi kontak terhadap alergen penyebab terutama pada pekerja yang peka dengan alergen di tempat kerja. Pemeriksaan atau skrining prakerja untuk mengenali tanda atopi, memperbaiki lingkungan kerja serta memodifikasi teknikteknik industri seharusnya dapat mengurangi prevalensi penyakit RAK. Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) seperti masker serta topi pelindung merupakan suatu usaha yang dapat dilakukan untuk mengurangi/menghindari kontak dengan alergen. 1,14 Pengobatan medikamentosa RAK terdiri atas antihistamin, dekongestan, steroid nasal topikal, zat antikolinergik, imunoterapi dan terapi pembedahan tergantung pada penyebabnya. Antihistamin generasi kedua (non sedatif) seperti loratadine, terfenadine, cetirizine, desloratadine memiliki efek farmakokinetik, farmakodinamik dan potensi yang berbeda-beda. Antihistamin tersebut di atas merupakan obat yang direkomendasikan khususnya kepada tenaga kerja, mengingat mereka harus tetap aktif dalam pekerjaannya tanpa khawatir terganggu oleh rasa kantuk. 14,26 Dekongestan oral dapat diberikan tetapi perlu diperhatikan efek sampingnya. Pemberian steroid topikal hidung dapat diberikan pada pekerja dengan keluhan utama hidung tersumbat. Obat semprot hidung natrium kromoglikat sebagai stabilisator mastosit dapat pula diberikan tanpa efek samping. Pemberian kortikosteroid sistemik jangka panjang tidak dianjurkan mengingat efek samping yang mungkin terjadi. Ipratropium bromida sebagai obat antikolinergik diberikan pada pekerja dengan keluhan utama hidung berair. 1,14,26

28 Cara pengobatan dengan imunoterapi dilakukan pada alergi inhalan dengan gejala yang berat dan sudah berlangsung lama serta dengan pengobatan cara lain tidak memberikan hasil yang memuaskan. Tujuan dari imunoterapi adalah pembentukan IgG blocking antibody dan penurunan IgE. 16 Ada 2 metode imunoterapi yang umum dilakukan yaitu intradermal dan sublingual. Tindakan pembedahan berupa konkotomi parsial yaitu pemotongan sebagian konka inferior perlu dipikirkan bila konka inferior hipertrofi dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25% atau triklor asetat. 14, Komplikasi Komplikasi RAK umumnya sama dengan rinitis alergi lainnya, yaitu: 1. Polip hidung yang memiliki tanda patognomonis: inspisited mucous glands, akumulasi sel-sel inflamasi dalam hal ini eosinofil dan limfosit T CD4+, hiperplasia epitel, hiperplasia sel goblet dan metaplasia skuamosa. 2. Sinusitis paranasal merupakan inflamasi mukosa satu atau lebih sinus para nasal. Terjadi akibat edema ostium sinus oleh proses alergi dalam mukosa yang menyebabkan sumbatan ostium sehingga terjadi penurunan oksigenasi dan tekanan udara rongga sinus. Hal tersebut menyebabkan pertumbuhan bakteri terutama bakteri anaerob dan akan menyebabkan rusaknya fungsi barier epitel antara lain akibat dekstruksi mukosa oleh mediator protein basa yang dilepas sel eosinofil, akibatnya sinusitis akan semakin parah. 11,14,26 III. PEMBAHASAN RAK adalah suatu episode serangan bersin-bersin, hidung yang beringus dan tersumbat disertai rasa gatal yang berhubungan dengan pekerjaan. RAK biasanya disebabkan oleh zat-zat di tempat kerja dengan berat molekul tinggi, rendah dan iritan yang melalui mekanisme imunologi atau nonimunologi. Definisi RAK menurut EAACI Task Force on Occupational Rhinitis (2009) yang disesuaikan dengan definisi asma akibat kerja yaitu inflamasi hidung baik bersifat persisten atau sementara yang ditandai dengan kongesti hidung, bersin-bersin, rinore, gatal dan/atau gangguan aliran udara hidung dan/atau hipersekresi yang disebabkan oleh kondisi lingkungan kerja. Sedangkan, menurut International Consensus Report on the Diagnosis and Management of Rhinitis (1994) merupakan suatu proses inflamasi mukosa hidung yang ditandai dengan dua atau

29 lebih gejala yaitu hidung tersumbat, rinore, bersin- bersin, gatal di hidung dan gangguan penghidu selama lebih dari 1 jam per hari. 1,11,12 EAACI Task Force on Occupational Rhinitis membagi rinitis di lingkungan kerja hampir menyerupai konsep klasifikasi asma akibat kerja atau occupational asthma yang bertujuan untuk kepentingan klinis dan penelitian epidemiologi. RAK alergi merupakan reaksi hipersensitif dengan karakteristik klinis berupa hipersensitifitas hidung oleh agen spesifik di lingkungan kerja yang muncul setelah periode laten. RAK dengan perantara IgE disebabkan oleh bahanbahan dengan berat molekul tinggi atau high molecular weight/hmw, sedangkan RAK tanpa perantara IgE diinduksi oleh bahan-bahan dengan berat molekul rendah atau low molecular weight/lmw. RAK non alergi dengan Reactive Upper Airways Dysfunction Syndrome/RUDS merupakan reaksi rinitis nonimunologi yang terjadi setelah satu kali pajanan terhadap kadar iritan yang tinggi. Menurut penelitian de Bernardo dkk, diperkirakan 15% pekerja di seluruh dunia menderita RAK. Pekerja terbanyak yang menderita RAK adalah pekerja industry (48%), disusul oleh pekerja administrasi (29%) dan pekerja pengolahan bahan jadi (13%). Jenis pekerjaan yang diketahui berisiko tinggi adalah pekerja laboratorium farmasi, tukang kayu, pekerja industri makanan dan pekerja kesehatan. 2,5 Menurut pembagian Allergic Rinitis and Its Impact on Asthma (2008), rinitis alergi dapat digolongkan dalam 2 klasifikasi yaitu intermiten bila gejala kurang dari 4 hari per minggu atau dalam kurun waktu kurang dari 4 minggu dan persisten bila gejala ditemukan lebih dari 4 hari per minggu dan dalam kurun waktu lebih dari 4 minggu. Patofisiologi rinitis alergi merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I melalui aktivasi mastosit yang bergantung pada IgE. Urutan kejadian reaksi tipe I adalah sebagai berikut; fase sensitisasi yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai diikatnya oleh reseptor spesifik pada permukaan mastosit dan basofil, kemudian diikuti fase aktivasi yaitu waktu selama terjadi pemaparan ulang dengan antigen yang spesifik, mastosit melepas isinya yang berisikan granul yang menimbulkan reaksi. Berikutnya adalah fase efektor yaitu waktu terjadinya respons yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek bahan-bahan yang dilepas mastosit dengan aktivitas farmakologik. Reaksi fase lambat akan berakhir setelah 72 jam pajanan dihentikan. Menurut Arandelovic dkk, pada pekerja dengan alergi biasanya dapat bereaksi terhadap beberapa

30 alergen di rumah, di luar rumah serta di tempat kerja. Hal ini merupakan salah satu penyebab sulitnya menegakkan RAK. 2,5,16,17 Riwayat hidung tersumbat, rinore yang jernih, bersin, hidung gatal serta ingus di belakang hidung, dengan menitikberatkan hubungan antara gejala yang muncul di tempat kerja dengan hilangnya gejala pada saat libur atau jika pekerja menjalani cuti lebih dari tiga hari. Jika pekerja terpajan terus-menerus, gejala akan menetap sepanjang hari yang ditandai dengan sumbatan hidung yang terus menerus sebagai gejala yang dominan karena reaksi alergi fase lambat. Pada pemeriksaan fisik ditemukan sekret hidung yang encer dan bening serta edema konka, mukosa hidung biasanya pucat, merah muda atau hiperemis. Pemeriksaan rutin seperti rinoskopi atau endoskopi diperlukan untuk melihat rongga hidung, faring dan struktur glotis serta ada atau tidaknya polip hidung. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain: uji tusuk kulit (skin prick test), uji provokasi hidung, rinomanometri, Peak Nasal Inspiratory Flow (PNIF), pemeriksaan sitologi mukosa hidung serta pemeriksaan IgE dan bersihan mukosilia. 5,10,15,19-22,24,25 Penatalaksanaan RAK adalah sama dengan rinitis alergi pada umumnya, yaitu dengan menghindari zat alergen (allergen avoidance). Gautrin dkk, menyebutkan bahwa Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) seperti masker serta topi pelindung merupakan suatu usaha yang dapat dilakukan untuk mengurangi/menghindari kontak dengan alergen. Pengobatan medikamentosa RAK terdiri atas antihistamin, dekongestan, steroid nasal topikal, zat antikolinergik, imunoterapi dan terapi pembedahan tergantung pada penyebabnya. Cara pengobatan dengan imunoterapi dapat dilakukan dengan 2 metode yaitu intradermal dan sublingual. Tujuan dari imunoterapi adalah pembentukan IgG blocking antibody dan penurunan IgE. Tindakan pembedahan perlu dilakukan pada beberapa pasien yang mengalami komplikasi, dimana tindakan yang dilakukan tergantung komplikasi yang terjadi. 1,14,16,26 Komplikasi yang terjadi akibat RAK umumnya sama dengan rinitis alergi lainnya, yaitu: polip hidung, otitis media yang sering residif terutama pada anakanak, sinusitis paranasal yang merupakan inflamasi pada satu atau lebih mukosa sinus paranasal dan dapat terjadi karena edema ostium sinus oleh proses alergi dalam mukosa sehingga menyebabkan sumbatan ostium. 11,14,26

31 IV. KESIMPULAN RAK adalah inflamasi hidung baik bersifat persisten atau sementara yang ditandai dengan kongesti hidung, bersin-bersin, rinore, gatal dan atau gangguan aliran udara hidung dan/atau hipersekresi yang disebabkan oleh kondisi lingkungan kerja. RAK dibagi menjadi alergi dan non alergi. RAK alergi dibagi menjadi RAK yang diperantarai IgE dan yang tidak diperantarai IgE, sedangkan RAK non alergi dibagi menjadi RAK yang terpapar tunggal, multipel dan rinitis korosif. RAK merupakan reaksi alergi hipersensitifitas tipe I yang merupakan respons yang diperantarai IgE yang terdiri dari tiga fase: sensitisasi, fase cepat dan fase lambat. Diagnosis RAK ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang. Riwayat hidung tersumbat, rinore jernih, bersin, hidung gatal serta ingus di belakang hidung, dengan menitikberatkan hubungan antara gejala yang muncul di tempat kerja dengan hilangnya gejala pada saat libur atau jika pekerja menjalani cuti lebih dari tiga hari. Pada pemeriksaan fisik ditemukan sekret hidung yang encer dan bening serta edema konka, mukosa hidung biasanya pucat, merah muda atau hiperemis. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain: uji tusuk kulit (skin prick test), uji provokasi hidung, rinomanometri, Peak Nasal Inspiratory Flow (PNIF), pemeriksaan sitologi mukosa hidung serta pemeriksaan IgE dan bersihan mukosilia. Pencegahan RAK ditujukan untuk mengurangi kontak terhadap alergen penyebab terutama pada pekerja yang peka dengan alergen di tempat kerja. Pengobatan medikamentosa RAK terdiri atas antihistamin, dekongestan, steroid nasal topikal, zat antikolinergik, imunoterapi dan terapi pembedahan tergantung pada penyebabnya.

32 DAFTAR PUSTAKA 1. Moscato G, Vandenplas O, Van Wijk RG, Malo JL, Perfetti L, Quirce S, dkk. EAACI Position Paper on Occupational Rhinitis. Respiratory Research. 2009;10: DeBenardo R. Occupational rhinitis. Produced by the Occupational Health & Special Project Program, Division of Environmental Epidemiology. Occupational Airways. Connecticut. 2001;7(1): LaDou J. Current occupational and environment medicine. 3rd Ed. Boston: McGraw Hill; h Yunus F. Dampak debu industri pada paru pekerja dan pengendaliannya (tesis). Jakarta: Universitas Indonesia; Arandelovic M, Stankovic I, Jovanovic J, Borisov S, Stankovic S. Allergic rhinitis - Possible occupational disease - Criteria cuggestion. Acta Fac. Med. Naiss. 2004;21(2): Ballenger JJ. Anatomy and physiology of the nose and paranasal sinuses. Dalam: Ballenger s Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery. Edisi ke- 16. BC Decker Inc. Hamilton, Ontario; h Putz R, Pabst R. Atlas anatomi manusia: Sobotta. Dalam: Suyono JY, penyunting Bahasa Indonesia. Edisi ke-21. Jakarta: EGC; h Meggs WJ. Neurogenic inflammation and sensitivity to environmental chemical. Environmental Health Perspectives. 1993;101: Sarin S, Undem B, Sanico A, Togias A. The role of the nervous system in rhinitis. J Allergy Clin Immunol. 2006;118: Shusterman D. Toxicology of nasal irritants. Current allergy and asthma reports. Environ Health Perspect. 2003;3: Airaksinen L. Occupational rhinitis: Diagnosis and health-related quality of life (disertasi). Helsinki: University of Helsinki; Bachert C. Persistent rhinitis: Allergic or nonallergic?. Allergy. 2006;5(76): Baratawidjaya KG, Rengganis I. Rinitis alergi. Dalam: Baratawidjaya KG, Rengganis I, penyunting. Alergi Dasar. Edisi ke-1. Jakarta: Interna Publising; h Gautrin D, Desrosiers M, Castano R. Occupational rhinitis. Curr Opin Allergy Clin Immunol. 2006;6(2):77-84.

33 15. Drake-Lee A, Ruckley R, Parker A. Occupational rhinitis: A poorly diagnosed condition. J Laryngol & Otol. 2002;116(8): Bousquet J, Khaltaev N, Cruz AA, Denburg J, Fokkens WJ, Togias A, dkk. Allergic rhinitis and its impact on asthma (ARIA). Allergy. 2008;63(68): Kumar V, Abbas AK. Diseases of the immune system. Dalam: Schmitt W, Gruliow R, penyunting. Pathologic Basis of Disease. Edisi ke-8. Philadelphia: Saunders Elsevier; h Irawati N. Tes cukit: persiapan, metode dan interpretasinya. Kongres Nasional XIII Perhati-KL. Bali; Rajakulasingam K. Nasal provocation testing. Dalam: Adkinson JR, Busse WW, Bochner BS, Holgate ST, Simons ER, Lemaske RF, penyunting. Middleton s Allergy: Principle and Practice. Edisi ke-6. Philadelphia: Elsevier Inc; h Hytonen ML, Sala EL, Malmberg HO, Nordman H. Acoustic rhinometry in the diagnosis of occupational rhinitis. Am J Rhinol. 1996;10: Nathan RA, Eccles R, Howarth PH, Steinsva SK, Alkis TA. Objective monitoring of nasal patency and nasal physiology in rhinitis. J Allergy Clin Immunol. 2005;115: Starling RS, Peake HL, Salome CM, Toelle BG, Marks GB, Lean L. Repeatability of peak nasal inspiratory flow measurements and utility for assessing the severity of rhinitis. Allergy. 2005;60: Eire MA, Pineda F, Losada SV, Cuesta CG, Villalva MM. Occupational rhinitis and asthma due to cedroarana (Cedrelinga catenaeformis Ducke) wood dust allergy. J Investig Allergol Clin Immunol. 2006;16(6): Howarth PH, Persson CGA, Meltzer EO. Objective monitoring of nasal airway inflammation in rhinitis. J Allergy Clin Immunol. 2005;159: Fahrudin I. Rinitis akibat kerja dan faktor-faktor yang berhubungan. Studi pada pekerja yang terpajan debu tepung gandum di bagian pengepakan PT X tahun 2005 (tesis). Jakarta: Universitas Indonesia; Walusiak J. Occupational upper airway disease. Curr Opin Allergy Clin Immunol. 2006;6:

34 DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN KOLESTEATOMA KONGENITAL Oleh Eka Putra Setiawan Ilmu Kesehatan THT-KL FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar I PENDAHULUAN Kolesteatoma kongenital terlihat sebagai massa putih di dalam telinga tengah dengan membran timpani yang utuh (intak). Lokasi kolesteatoma kongenital paling sering ditemukan yakni kavum timpani, mastoid dan apeks petrosus dari tulang temporal. 1 Kolesteatoma kongenital merupakan kasus yang sangat jarang ditemukan, dengan persentase di seluruh dunia berkisar 2% dari seluruh kasus kolesteatoma. Studi terbaru melaporkan terjadi peningkatan persentase kasus kolesteatoma kongenital dari 3,7% menjadi 24% dari keseluruhan kasus kolesteatoma. 1 Sampai saat ini penyebab pasti terjadinya kolesteatoma kongenital masih menjadi perdebatan para ahli. Terbentuknya Kolesteatoma kongenital diduga disebabkan oleh karena kegagalan epidermoid formation didalam celah telinga tengah. Selama pembentukan mukosa telinga tengah, terjadi akumulasi epitel skuamosa yang berkeratin pada minggu ke-3 dan ke-5 usia perkembangan janin. Sel-sel skuamosa yang terperangkap pada kavum telinga tengah terus tumbuh perlahan membentuk kolesteatoma. 2 Gejala klinis kolesteatoma kongenital sangat tergantung dari letak kolesteatoma, ukuran dan komplikasi yang ditimbulkannya. Kolesteatoma yang terbatas pada kuadran anterosuperior dari membran timpani tidak menimbulkan gejala (asimptomatis). Gejala dapat muncul jika terjadi perluasan atau menyebabkan kerusakan pada daerah sekitarnya. Gejala klinis yang timbul dapat berupa gangguan pendengaran otitis media efusi, gangguan keseimbangan, kelumpuhan saraf fasialis, fistula retroaurikula, maupun gejala akibat perluasan ke intrakranial. 2 Diagnosis kolesteatoma kongenital sering ditegakkan pada saat operasi sedang berlangsung. Derlacki and Clemis menyatakan bahwa kriteria diagnosis kolesteatoma kongenital adalah jika ditemukan massa putih di belakang membran timpani yang utuh (meliputi pars flasida dan pars tensa yang normal), tidak ada riwayat otore atau perforasi membrane timpani, dan tidak ada riwayat operasi telinga sebelumnya. 2

35 Penatalaksanaan kolesteatoma kongenital melalui operasi bertujuan untuk mengangkat kolesteatoma secara komplit. Adanya sisa kolesteatoma harus dihindari karena akan menyebabkan terjadinya rekurensi. 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Telinga Telinga terdiri tiga bagian yaitu telinga luar, telinga tengah dan telinga dalam. Struktur anatomi telinga seperti diperlihatkan pada gambar 1. Telinga luar terdiri dari daun telinga (auricularis) dan liang telinga (meatus akustikus eksternus) yaitu dari meatus sampai membrane timpani. 3 Gambar 1. Anatomi telinga 3 Keterangan: 1. Bagian kartilago 2. Kelenjar parotis 3. Bagian tulang 4. Dinding lateral epitimpanum 5. Antrum mastoid. 6. Epitimpanum 7. Fosa artikulus temporomandibular 8. Nervus facialis, vestibularis, dan auditorius 9. Tuba Eustachius 10. Bone of timpanic ring. 11. Fissure of Santorini pada kanalis akustikus eksternus. Daun telinga merupakan bingkai kartilago yang simetris kanan dan kiri yang berfungsi untuk memfokuskan atau melokalisir suara. Daun telinga terdiri dari mangkuk konka, tragus di depan, antihelik di atas dan belakang serta antitragus di bawah. Helik terbentang dari krus helik sampai ke lobulus mengelilingi antihelik, konka dan antitragus. Di antara helik dan antihelik terdapat fosa skapoid. Fossa triangularis berada di antara krus superior dan krus inferior dari antihelik. Daun telinga tertanam pada kranium oleh kulit, kartilago, otot telinga dan ligamen ekstrinsik. 3.4 Kanalis akustikus eksternus memiliki panjang 24 mm dengan kapasitas volume 1-2 ml. Sepertiga lateral daripada liang telinga terbentuk dari fibrokartilago, sementara dua pertiga medial adalah tulang. Selama masa balita

36 bentuk kanalis akustikus eksternus lurus tapi kemudian berbentuk seperti huruf S saat berumur 9 tahun. 3,4 Kanalis akustikus eksternus mempunyai hubungan yang penting dengan segmen mastoid dari nervus fasialis, yang berada di belakang dari kanalis ini ketika berjalan ke bawah menuju foramen stilomastoid. Sendi temporomandibula berada di depan dari kanalis akustikus eksternus sehingga proses penyakit yang mengenai sendi temporomandibula bisa menyebabkan nyeri alih telinga. 3,4 Kanalis akustikus eksternus dilapisi oleh epitel skuamosa berlapis yang berlanjut ke kulit daun telinga dan epitel yang menutupi membran timpani. Lapisan subkutan dari liang telinga pars kartilago mengandung folikel rambut, kelenjar sebaseus dan serumenosa dengan ketebalan mencapai 1 mm. Kulit liang telinga pars oseus tidak memiliki elemen subkutan dan ketebalannya hanya 0,2 1. Epitel dari kanalis akustikus eksternus mempunyai kemampuan bermigrasi ke lateral membuat liang telinga tetap tidak tersumbat oleh debris. Tingkat migrasi dari epitel itu adalah 0,07 mm/hari dan diduga terjadi di lapisan sel basal. Kelenjar serumenosa adalah kelenjar keringat apokrin yang termodifikasi dikelilingi oleh sel mioepitel dan tersusun sebagai unit apopilosebaseus. 3,4 Telinga luar membantu transmisi suara yang efektif ke membran timpani dengan bertindak sebagai resonator fungsional. Kontribusi akustik dari telinga luar adalah memperbesar transmisi suara pada frekuensi percakapan. Kedalaman liang telinga dan lekukan liang telinga melindungi membran timpani dan struktur telinga tengah dan telinga dalam. Rambut di kanalis akustikus eksternus bagian luar mencegah masuknya kotoran, debu dan serangga, sementara kelenjar sebasea berfungsi menghasilkan serumen. Serumen adalah hasil produki kelenjar sebasea, seruminosa, epitel kulit yang terlepas dan partikel debu. Serumen menyediakan lapisan hidrofobik bagi liang telinga. Manfaat anti bakterial dari serumen telah dibuktikan secara in vitro, sedangkan efek in vivo masih belum jelas. Mungkin yang paling penting adalah ph dari serumen, yang secara normal bersifat asam dan merupakan lingkungan yang tidak disukai oleh kuman. 3 Telinga tengah bersama dengan tuba Eusthacius, aditus, antrum dan sel-sel mastoid disebut celah telinga tengah. Dilapisi oleh membran mukosa dan terisi oleh udara. Ruang antara membran timpani dan bagian yang menonjol dari labirin tulang di bagian pars petrosa tulang temporal berisi rantai tulang pendengaran dengan ototnya, apertura tuba Eustachius, dan sistem vaskular. 3,4

37 Kavum timpani dibagi menjadi epitimpanum, mesotimpanum, dan hipotimpanum. Hipotimpanum adalah bagian dari telinga tengah yang terletak lebih rendah dari apertura tuba Eustachius dan round window niche atau RWN. Bagian dari telinga tengah ini berisi berbagai trabekula tulang dan tulang yang melapisi bulbus jugularis. Mesotimpanum di bagian superior dibatasi oleh bagian horizontal dari kanalis fasialis dan di bagian inferior oleh RWN. Daerah ini berisi oval window dan round window, stapes, otot stapedius posterior, dan kanal untuk otot tensor timpani di anterior. Pada oval window, kaki stapes dilekatkan oleh ligamentum annularis. RWN membentuk cekungan yang dalam, sering ditutupi oleh konfigurasi membran mukosa yang menutupi membran round window. RWM adalah membran fibrosa yang ditutupi oleh lapisan mukosa yang berbentuk ginjal. Di mesotimpanum ada dua cekungan tulang penting secara klinis. Cekungan yang berada di lateral segmen vertikal dari kanalis fasialis disebut facial recess. Ruang di sebelah medial dari kanalis fasialis disebut sinus timpani. Ini merupakan dua cekungan yang penting secara klinis karena merupakan tempat bersarangnya infeksi kronis telinga tengah dan harus ditangani dengan pembedahan. Facial recess juga menyediakan akses ke ruang telinga tengah dan RWN dalam prosedur pembedahan dimana dinding kanal telinga dipertahankan misalnya, mastoidektomi dinding kanal utuh, implan koklea. Sebuah proyeksi tulang dari kanalis fasialis (eminensia piramidalis) berisi tendon otot stapedius sebelum masuk ke leher stapes. Bagian yang paling anterior dari ruang telinga tengah disebut protimpanum, di superior dibatasi oleh orifisium tuba Eustachius dan di anterior oleh kanalis arteri karotis internal. 3,4 Epitimpanum merupakan bagian dari telinga tengah yang dibatasi oleh atap telinga tengah di bagian superior yang disebut tegmen timpani. Tulang ini berlanjut ke posterior sebagai tegmen mastoid. Dinding medial epitimpanum dibentuk oleh tonjolan tulang kanalis semisirkularis bagian lateral dan superior. Kepala dan leher maleus beserta persendiannya dengan badan dan prosesus brevis serta sebagian prosesus longus dari inkus menempati sebagaian besar ruang dalam epitimpanum. Ruang epitimpanum dihubungkan ke posterior oleh aditus ad antrum ke kavum mastoid. 3,4 Tulang-tulang pendengaran terdiri dari maleus, inkus dan stapes. Kepala maleus dan badan inkus berfungsi sebagai unit suspensi oleh ligamentum di epitimpanum. Ujung prosesus longus inkus berartikulasi pada sudut kanan dengan kepala stapes. 5

38 Tuba Eustachius merupakan hubungan yang penting antara nasofaring dan telinga tengah, yang bertanggung jawab terhadap proses pneumatisasi telinga tengah dan mastoid serta mempertahankan tekanan normal antara telinga tengah dengan atmosfer. Kerangka tiga seperempat medial tuba Eustachius merupakan tulang rawan yang dikelilingi oleh jaringan lunak, lemak dan epitel saluran napas. 3 Di dalam telinga tengah terdapat dua otot, yaitu m. tensor timpani dan m. stapedius. Mukosa telinga tengah, aditus, antrum dan sel-sel udara mastoid merupakan kelanjutan mukosa nasofaring. Secara histologi tuba Eustachius dilapisi oleh epitel bersilia, yang pseudostratified columnar pada bagian kartilago dan yang columnar pada bagian tulang. Kavum timpani dilapisi oleh epitel kolumnar besilia di bagian anterior dan inferior sedangkan pada bagian posterior oleh epitel kuboid. Epitimpanum dilapisi oleh epitel tidak bersilia. 3,4,5 Telinga dalam merupakan organ pendengaran dan keseimbangan yang terdiri dari labirin tulang dan labirin membran. Labirin membran berisi endolimfa sedangkan labirin tulang berisi perilimfa. Labirin tulang terdiri dari vestibulum, kanalis semisirkularis dan koklea. Labirin membran terdiri dari duktus koklearis, utrikulus, sakulus, duktus semisirkularis, duktus endolinfatikus dan sakus endolinfatikus. Vestibulum adalah suatu ruangan kecil yang berbentuk oval dengan ukuran sekitar 5x3 mm, memisahkan koklea dari kanalis semisirkularis. Pada vestibulum terdapat lima muara kanalis semisirkularis, dimana kanalis superior dan posterior bersatu membentuk krus komunis sebelum memasuki vestibulum. Koklea terletak di depan vestibulum menyerupai rumah siput dengan panjang sekitar mm. Koklea membentuk dua setengah sampai dua tigaperempat kali putaran dengan modiolus sebagai sumbunya yang berisi berkas saraf dan suplai darah dari arteri koklearis. Serabut saraf ini berjalan ke lamina spiralis ossea untuk mencapai sel-sel sensori organ Corti. Koklea bagian tulang dibagi dua oleh suatu sekat. Bagian dalam sekat ini adalah lamina spiralis ossea dan bagian luarnya adalah lamina spiralis membranasea, sehingga ruang yang mengandung perilimfe terbagi dua yaitu skala vestibuli dan skala timpani. Duktus koklearis berbentuk segitiga, dihubungkan dengan labirin tulang oleh jaringan ikat penyambung periosteal dan mengandung end organ dari nervus koklearis dan organ Corti. 6,7

39 Gambar 2. Hubungan antar bagian di dalam telinga Vaskularisasi, Aliran Limfe dan Inervasi Telinga Arteri aurikularis posterior dan cabang aurikulotemporal dari arteri temporalis superfisialis berasal dari arteri karotis eksterna mengalirkan darah ke aurikula dan liang telinga lateral. Cabang aurikularis profunda dari arteri maksilaris memberi darah bagi aspek yang lebih medial dari liang telinga dan permukaan luar dari membran timpani. 5 Vaskularisasi telinga tengah dilayani oleh 6 arteri, yaitu cabang anterior a. maksilaris yang melayani membran timpani, cabang stilomastoid a. aurikularis posterior yang melayani telinga tengah dan sel-sel udara mastoid, cabang petrosal a. meningeal interna, cabang timpani superior a. meningeal interna, cabang a. pterigoid dan cabang timpani a. karotis interna. 5 Telinga dalam memperoleh vaskularisasi dari arteri labirin yang merupakan cabang antero-inferior arteri serebelaris. Vena aurikularis posterior dan temporalis superfisialis mengaliri liang telinga. Vena aurikularis posterior bersambung dengan sinus sigmoid. Telinga tengah mengalirkan darah vena melalui fleksus venosus pterigoideus dan sinus petrosus superior. Aliran darah vena telinga dalam melalui v. auditori interna, v. akuaduktus koklearis dan v. akuaduktus vestibularis. 5 Aliran limfa dari telinga tengah mengalir ke retrofaring dan kelenjar parotis, sedangkan aliran limfa tuba Eustachius ke kelompok retrofaring. 5

40 Aurikula dan kanalis akustikus eksternus disarafi oleh cabang aurikulo temporal dari divisi mandibular nervus trigeminus, nervus aurikularis mayor dari pleksus servikalis, cabang aurikula dari nervus vagus yaitu nervus Arnold serta cabang dari nervus fasialis dan glosofaringeus. Bagian lateral, medial dan posterior telinga disarafi oleh nervus aurikularis mayor. Nervus Arnold mensarafi pars oseus liang telinga bawah, pars kartilago liang telinga posterior superior dan segmen yang sesuai dari membran timpani dan simba konka. Liang telinga bagian posterior superior disarafi oleh cabang dari nervus fasialis. Kontribusi nervus trigeminus dan glosofaringeus tidak bisa digambarkan dengan baik. 5,6 Persarafan utama telinga tengah dilayani oleh pleksus timpanikus dan saraf dari Jacobson, yang menerima utama dari n. glosofaringeus. Pleksus timpanikus memberikan persarafan pada permukaan medial membran timpani, kavum timpani, sel-sel udara mastoid dan bagian tulang tuba Eustachius. Nervus korda timpani merupakan cabang n. fasialis yang memasuki telinga tengah melalui kanalikulus posterior dan berjalan ke permukaan medial membran timpani di antara lengan maleus dan prosesus longus inkus di atas perlekatan tendon tensor timpani. Korda timpani juga memberikan saraf pengecapan pada duapertiga anterior lidah dan mensuplai serat-serat sekretomotor untuk glandula saliva submaksilaris dan sublingualis. 5,6 2.3 KOLESTEATOMA Definisi Kolesteatoma adalah suatu kista epitel yang dilapisi oleh epitel skuamosa berlapis yang berisi deskuamasi keratin yang terperangkap dalam rongga timpanomastoid dan dapat juga terperangkap dimanapun diantara bagian pneumatik dari tulang temporal. 7 Istilah kolesteatoma pertama sekali dikemukakan oleh Johannes Müller pada tahun 1838 untuk menjelaskan apa yang kita sebut sebagai kista epidermal pada tulang temporal yang berpneumatisasi. Friedmann pada tahun 1959 mendefinisikan kolesteatoma sebagai suatu struktur kistik yang dilapisi oleh stratified squamous cell epithelium, terletak di atas stroma fibrous dengan ketebalan yang bervariasi, yang dapat mengandung beberapa elemen dari mukosa asalnya. 8 Schuknecht (1974) seperti yang dikutip oleh Dornelles, dkk (2005) mendefinisikan kolesteatoma sebagai akumulasi eksfoliasi keratin di dalam

41 telinga tengah atau pada area pneumatisasi tulang temporal, yang berasal dari keratinized squamous epithelium. Secara informal kolesteatoma dapat dikarakteristikkan sebagai kulit di tempat yang salah. 9 Kolesteatoma telinga tengah yang acquired (didapat) pertama sekali diterangkan oleh Curveilhier (1829) dimana karakteristiknya adalah adanya invasi keratinized squamous epithelium ke kavum timpani, yang berbeda dari columnar pseudostratified ciliated epithelium, dengan sel goblet yang terdapat pada tuba auditorius atau simple, cubic atau columnar squamous cell epithelium pada telinga tengah. Berbeda dari namanya, kolesteatoma tidak mengandung lemak atau kolesterol di dalam matriksnya Klasifikasi Kolesteatoma Kolesteatoma dapat diklasifikasikan menjadi dua yakni kolesteatoma kongenital dan kolesteatoma akuisita. Kolesteatoma akuisita kemudian dibagi lagi menjadi dua yakni pimer dan sekunder. Kolesteatoma juga dapat diklasifikasikan berdasarkan lokasinya, antara lain kolesteatoma atik yang berasal dari retraksi pars flasida dan biasanya meluas sampai aditus atau mastoid. Kolesteatoma sinus yang berasal dari retraksi di bagian posterosuperior atau perforasi pada bagian pars tensa. Kolesteatoma tensa yakni kolesteatoma yang berasal dari retraksi pada bagian pars tensa. 3 Kolesteatoma Kongenital Kolesteatoma kongenital terjadi karena perkembangan dari proses inklusi pada masa embrional atau dari sel-sel epitel embrional. Pada keadaan ini, kolesteatoma ditemukan di bagian belakang dari membran timpani yang intak, tanpa berlanjut ke saluran telinga luar, serta tanpa adanya faktor-faktor lain seperti perforasi membran timpani, adanya riwayat infeksi pada telinga, otore dan riwayat operasi telinga sebelumnya. Kolesteatoma tampak berupa kista epitel berwarna putih yang timbul di dalam telinga tengah tanpa kontak dengan telinga luar, sering pada bagian anterior mesotimpanum atau daerah sekitar tuba Eustachius (Gambar 3). 3 Pada koleostoma kongenital, teori yang sering digunakan ialah teori kegagal-an invousi. Pada teori kegagalan involusi, penebalan epitel ektodermal pada bagian proksimal ganglion genikulatum terjadi selama masa per-kembangan fetus. Involusi yang seharusnya terjadi pada waktu 33 minggu intrauterin tidak terjadi. Epitel ini berasal dari jaringan ektodermal yang terbentuk pada minggu ke

42 10 intrauterin tanpa fungsi khusus. Bila tidak diresorbsi, maka struktur ini akan tertinggal dan diperkirakan dapat membentuk kolesteatoma. 3 Gambar 3. Kolesteatoma Kongenital (tampak massa putih kecil yang terdapat di tengah-tengah membran timpani kanan) 3 Kolesteatoma akuisital Kolesteatoma akuisita (didapat) dibagi menjadi primer dan sekunder. a. Kolesteatoma akuisital primer Kolesteatoma yang terbentuk tanpa didahului oleh perforasi membrana timpani, namun timbul akibat retraksi dari membran timpani pars flaksida akibat adanya tekanan negatif di telinga tengah akibat gangguan tuba (Teori Invaginasi). 8 Kolesteatoma akuisital primer berawal dari retraksi pars flaksida di bagian medial membran timpani yang terlalu dalam sehingga mencapai epitimpanum. Saat proses ini berlanjut, dinding lateral dari epitimpanum secara perlahan terkikis, menghasilkan defek pada dinding lateral epitimpanum yang perlahan meluas. Membran timpani terus yang mengalami retraksi di bagian medial sampai melewati pangkal dari tulang-tulang pendengaran hingga ke epitimpanum posterior. Destruksi pada tulang-tulang pendengaran umum terjadi. 8 b. Kolesteatoma akuisital sekunder Merupakan kolesteatoma yang terbentuk setelah adanya perforasi membran timpani. Kolesteatom terbentuk sebagai akibat masuknya epitel kulit dari liang telinga atau dari pinggir perforasi membran tympani ke telinga tengah (Teori Invasi) atau terjadi akibat metaplasi mukosa kavum timpani karena iritasi infeksi yang berlangsung lama (Teori Implantasi). 8 Kolesteatoma merupakan media yang baik untuk tempat pertumbuhan kuman (infeksi), yang paling sering adalah Proteus dan Pseudomonas aeruginosa. Sebaliknya infeksi dapat memicu respons imun lokal yang mengakibatkan produksi berbagai mediator inflamasi dan berbagai sitokin. Sitokin yang diidentifikasi terdapat pada matriks kolesteatoma adalah interleukin-1 (IL-1), 9

43 interleukin-6 (IL-6), tumor necrosis factor-α (TNF-α), tumor growth factor (TGF). Zat-zat ini dapat menstimulasi sel-sel keratinosit matriks kolesteatoma bersifat hiperproliferatif, destruktif, dan mampu berangiogenesis. 8 Massa kolesteatoma ini akan menekan dan mendesak organ di sekitarnya serta menimbulkan nekrosis terhadap tulang. Terjadinya proses nekrosis terhadap tulang diperhebat oleh karena pembentukan reaksi asam oleh pembusukan bakteri. Proses nekrosis tulang ini mempermudah timbulnya komplikasi seperti labirintitis, meningitis, dan abses otak. 8 Terdapat empat teori yang berperan dalam etiopatogenesis dari kolesteateoma akuisital primer yakni : 1) Invaginasi membran timpani, 2) migrasi epitel melalui perforasi membrane timpani, 3) hiperplasia sel basal, dan 4) metaplasia skuamosa. Sedangkan teori terjadinya kolesteatoma akuisital sekunder ada 3 yaitu teori implantasi, teori metaplasia, dan teori invasi epitelial. 9,10 Teori Invaginasi Teori ini diterima secara luas sebagai mekanisme penyebab terjadinya kolesteatoma akuisital primer atau kolesteatoma atik. Pada teori ini dijelaskan membran timpani mengalami retraksi ke bagian medial sebagai akibat tekanan negatif pada telinga tengah yang kemungkinan disebabkan oleh disfungsi tuba eustachius, inflamasi, atropi membran timpani, dan pneumatisasi mastoid yang lemah. Sebagai akibat dari terjadinya retraksi yang progresif ke bagian dalam, terbentuk kantong retraksi (retraction pocket) atau kista epitel skuamosa dalam telinga tengah yang kemudian terbentuk lapisan deskuamasi epitel dengan kristal kolestrin mengisi kantong. Kantong retraksi ini dapat berkembang karena akumulasi debris, infeksi, inflamasi, dan akhirnya terbentuk kolesteatoma. Sehingga bila ditemukan kasus dengan kantong retraksi khususnya pada bagian atik, perlu dipertimbangkan kemungkinan terdapat kolesteatoma didalamnya. 9,10 Teori Invasi/Migrasi Epitel Teori ini menyatakan invasi epitel skuamosa dari liang telinga dan permukaan luar dari membran timpani mempunyai kemampuan bermigrasi ke telinga tengah melalui perforasi marginal atau perforasi atik. Ini didukung oleh bukti percobaan yang menunjukkan bahwa sel epitel bermigrasi sepanjang permukaan sampai ia menemukan epitel permukaan lain, dimana pada tempat tersebut mereka berhenti bermigrasi, ini dinamakan inhibisi kontak. Bila mukosa telinga tengah hancur karena infeksi, maka ini akan menyebabkan migrasi epitel dari perforasi marginal. Menyokong teori ini van Blitterswijk dkk menyatakan

44 bahwa cytokeratin (CK) 10, yang merupakan intermediate filament protein dan marker untuk epitel skuamosa, ditemukan pada epidermis liang telinga dan matriks kolesteatoma tetapi tidak ada di mukosa telinga tengah. 9,10 Teori Metaplasia Metaplasia dari lapisan epitel telinga tengah terjadi akibat infeksi atau peradangan yang kronis. Teori ini melibatkan perubahan atau transformasi dari epitel selapis kubis (cuboidal epithelium) menjadi epitel berlapis skuamosa berkeratin akibat dari otitis media kronik atau rekuren. Epitel skuamosa berkeratin telah ditemukan pada biopsi telinga tengah anak-anak dengan otitis media dan juga pada tikus percobaan yang mengalami penurunan vitamin A. Beberapa faktor lain yang dapat menyebabkan metaplasia, yaitu merokok, vitamin A, progesteron, serta variasi kadar CO2, O2. 9,10 Teori Implantasi Teori implantasi menjelaskan formasi kolesteatoma sebagai implantasi iatrogenik kulit ke dalam telinga tengah atau gendang telinga akibat dari pembedahan, benda asing atau trauma tekanan. Kolesteatoma dapat timbul sekunder dari miringitomi oleh karena pemasangan tabung ventilasi atau dari prosedur timpanoplasti. Pada teori ini kolesteatoma timbul akibat migrasi epitel atau penempatan yang salah dari miringotomi atau perubahan letak flap membran timpani ke dalam telinga tengah pada saat timpanoplasti. Kolesteatoma akuisita sekunder juga diperkirakan timbul dari perkembangan perforasi akibat otitis media akut nekrotik ketika masa kanak-kanak 9,10 (A) Gambar 4. A. Kolesteatoma akuisital primer, B Kolesteatoma akuisital sekunder 3 (B)

45 2.4 KOLESTEATOMA KONGENITAL Patogenesis Kolesteatoma Kongenital Patogenesis kolesteatoma kongenital masih merupakan perdebatan para ahli. Terdapat 4 teori tentang terbentuknya kolesteatoma kongenital yaitu teori Epithelial rest, teori Invaginasi, teori kontaminasi amnion, dan teori migrasi. Namun teori yang paling banyak dianut adalah teori Epithelial rest. 11,12 Teori Epithelial rest Teori ini didasarkan atas observasi Teed yang menemukan adanya struktur epidermoid di telinga tengah pada fetus umur 5 bulan. Sel squamousa secara umum ditemukan pada telinga tengah pada masa pertumbuhan. Epidermoid formation (EF) bergerak ke tempat asalnya pada masa awal perkembangan embriologis melalui pertumbuhan ke dalam sel ektodermal. Struktur ini berasal dari celah brachial (brachial groove) yang pertama yang kemudian bergabung ke dalam kantong pharyngeal (pharyngeal pouch). Pada fase primer tersebut ektoderem dan endoderm terletak berdekatan tanpa mengintervensi sel mesenkimal. Pada beberapa minggu kemudian epidermoid formation (EF) menjadi semakin besar dan merupakan bagian yang paling aktif, sehingga mejadi fokus dalam beberapa tahapan pada perkembangan telinga tengah dan membran timpani pada masa selanjutnya. Dari cincin timpani (Tympanic Ring) di sekitar precursor EF, lapisan tengah membran timpani diproduksi oleh konsentrasi jaringan mesenkimal. Proses osifikasi dari cincin timpani terletak pada cabang anterior dekat dengan prekursor EF dan menyebar dari titik tersebut menuju struktur yang berbentuk seperti sepatu kuda. Perkembangan berikutnya pada minggu ke 10 hingga minggu ke 33 yang pada akhirnya akan diabsorbsi. 11,12 Pada fase selanjutnya terjadi proses pembersihan dari jaringan mesenkimal primitive. Kegagalan dari proses ini memberikan alasan logis bahwa kolesteatoma kongenital merupakan hasil dari perkembangan EF yang terus menerus berlanjut pada masa fetus. Pada stadium awal telinga tengah di isi oleh jaringan mesenkimal primitive dimana jaringan ini secara perlahan lahan di absorbsi secara keseluruhan atau terkadang masih menyisakan sisa jaringan dalam jumlah sedikit. Proses pembersihan yang tidak sempurna ini sebagai awal terbentuknya kolesteatoma yang menentukan lokasi maupun arah perkembangan dari kolesteatoma di telinga tengah selanjutnya. 11,12

46 Teori Invaginasi Teori ini menyatakan bahwa terjadi migrasi dari sel epitel skuamosa normal dari eksternal kanal ke dalam cincin timpani dan telinga tengah sebagai sumber dari kolesteatoma kongenital. Teori ini berdasarkan atas terjadinya inflamasi pada membran timpani yang terletak dekat dengan malleus menyebabkan ivaginasi epitel yang akan berkembang menjadi kolestetoma. Proses ini terjadi pada masa inntra uterin atau selama masa perkembangan anak. 11,12 Teori Kontaminasi Cairan Amnion Kolesteatoma berkembang dari inokulasi telinga tengah dengan sel-sel epidermal yang ada di cairan amnion, yang memasuki anterosuperior mesotimpanum melalui tuba eustachius. 11,12 Teori Migrasi Anulus timpanikus mempunyai peranan yang penting dalam mengatur proliferasi dan migrasi dari kulit liang telinga selama masa perkembangan janin. Hilangnya jaringan ikat dari anulus timpanikus menyebabkan lapisan ektodermal bermigrasi dari liang telinga ke telinga tengah dan membentuk kolesteatoma. 11, Histopatologi Berdasarkan histopatologi, kombinasi dari material keratin dan stratified squamous epithelium merupakan hasil pemeriksaan patologi untuk kolesteatoma. Adanya epitel skuamosa di telinga tengah adalah abnormal. Pada keadaan normal telinga tengah dilapisi oleh epitel kolumnar bersilia di bagian anterior dan inferior kavum timpani serta epitel kuboidal di bagian tengah dari kavum timpani dan di atik. Tidak seperti yang terdapat pada epidermis kulit, epitel skuamosa ini tidak mempunyai struktur adneksa. Hal ini mungkin karena letaknya berbatasan dengan jaringan granulasi atau fibrosa yang mengalami inflamasi, dan juga reaksi giant cell pada material keratin. 13,14 Secara histologis kolesteatoma dapat dibagi dua yaitu matriks (epithelium) dan peri-matriks (underlying connective tissue). Matriks kolesteatoma mempunyai 4 lapisan yang berbeda yaitu basal, spinosus, granulous dan stratum korneum, seperti yang terdapat pada kulit yang tipis. Peri-matriks ditandai oleh adanya jaringan ikat longgar yang terbuat dari kolagen dan serat elastis, fibroblas and sel inflamasi. Analisis histologis dari matriks kolesteatoma memperlihatkan pola yang berbeda yaitu atrofi, akantosis, hiperplasia lapisan basal dan epithelial cones. 13,14

47 Penampang mikroskopis dari matrik kolesteatoma kongenital terdiri dari epidermis, sel basal, sel maplhigian, satu lapisan sel granular. Jika dibandingkan dengan kolesteatoma aquisitial, terdapat perbedaan yang signifikan terhadap ketebalan pada inti sel dimana sel epitel dari kolesteatoma congenital terdiri dari empat lapisan, sedangkan pada kolesteatoma aquisital terdiri dari 9 sampai dengan lima belas lapisan. Komponen sel pada koleteatoma kongenital menunjukkan ukuran inti sel yang lebih kecil dan sitoplasma tanpa nukleuolus, sedangkan pada kolesteatoma akuisitial inti sel dan sitoplasma tampak lebih besar dan nucleolus yang menonjol pada sel. Tidak seperti kolesteatoma aquisitial, pertumbuhan ke bawah dari epitel tidak pernah terlihat dari sel basal pada koleteatoma kongenital. 13,14 Gambar 5. Penampang mikroskopis kolesteatoma yang menunjukkan massa keratin di tengah-tengah (cystic content) yang dikelilingi oleh lapisan tipis epithelium skuamous berlapis (matriks) dan jarigan ikat fibrosa (perimatriks) Mekanisme Destruksi Tulang Oleh Kolesteatom Destruksi tulang pada telinga tengah dapat ditemukan intraoperatif pada pasien kolesteatoma kongenital. Kolesteatom ini dapat mendekstruksi tulang dengan beberapa cara yaitu stress mekanik (penekanan) dan sekresi enzim oleh jaringan granulasi. 16,17 Destruksi tulang oleh kolesteatoma terutama pada incus telah ditemukan pada 80% pasien dengan fistula labirin. Kasus yang terjadi pada sisi lateral kanalis semicularis ditemukan pada 10% pasien dengan kolesteatoma. Destruksi tulang oleh kolesteatoma biasa terjadi pada scutum dan ossicular chains. Beberapa penelitian mengemukakan bahwa destruksi tulang diakibatkan faktor mekanik.

48 Sebagai contoh, produksi yang berlebihan dan akumulasi dari keratin debris pada telinga tengah dan kavitas mastoid meningkatkan tekanan pada telinga tengah dan mastoid yang mengakibatkan berkurangnya suplai darah pada telinga tengah dan kavitas mastoid sihingga menyebabkan dekstruksi tulang. Beberapa factor humoral dapat menstimulasi dan memegang peranan penting pada pathogenesis dekstruksi tulang oleh kolesteatoma, seperti endotoksin yang diproduksi bakteri, EGF (epithelial growth factor) dan reseptornya serta TNFα (tumor necrosis factor α) yang disekresikan oleh sel epitel pada kolesteatoma. Inflamasi pada subepitel sering dijumpai pada pasien kolesteatoma. Sel yang mengalami inflamasi dapat memproduksi protein, asam fosfat, osteoclast activating factors dan kolagenase yang dapat meresobsi tulang. 17 Meskipun hiperproliferasi adalah kunci karakteristik pada kolesteatoma, proliferasi dari epitel kolesteatoma tidak sebesar pada sel kanker dan lebih seperti program kematian sel dan perubahan akhir sel epitel. Apoptosis yang merupakan regulasi dengan menginduksi dan faktor inhibitor. FasL, Fas dan TNF α menginduksi aktifasi apoptosis tetapi juga menghambat proses apoptosis. FasL selain menginduksi apoptosis juga menginaktifasi osteoblas, sehingga terjadilah resobsi tulang. 18,19

49 Gambar 6. Mekanisme dekstuksi tulang oleh kolesteatoma. 17 Mekanisme awal dekstruksi tulang oleh kolesteatoma diawali penekanan akibat akumulasi keratin dan produksi buangan lainnya menyebabkan stress mekanik. Stress mekanik menginduksi produksi MIF (Macrofage Migration Inhibitory Factor). 17 MIF menginduksi MMPs (Matriks Metalloproteinase). MMPs bekerja pada angiogenesis dan proliferasi sel. Degradasi matriks ekstraseluler adalah dasar untuk pembentukan kolesteatoma dan ini akibat induksi yang diaktifasi oleh MMPs. MMps berperan dalam dekstruksi tulang dan degradasi ECM. Pada waktu yang sama MIF juga meningkatkan produksi faktor pro-inflamasi termasuk sitokin dan kemokin oleh sel makrofag. Khususnya IL-1, IL-6 dan TNFα memegang peranan pada dekstruksi tulang. Selain itu osteoklas dan osteoblas diaktifasi oleh sitokin dan kemokin lewat MIF. Jadi kemungkinan MIF memegang adalah faktor peranan kunci pada mekanisme dekstruksi tulang oleh kolesteatom Staging Para penulis telah berusaha membagi tipe atau stadium dari kolesteatom kongenital yang menggambarkan lokasi, luas dari kolesteatom dan koneksi dengan jaringan sekitar. Namun belum ada satu kesepakatan tentang tipe stadium yang dimaksud. Potsic dkk, membagi kolesteatom menjadi 4 stadium yaitu; 1. Mengenai satu kuadran tidak mengenai tulang pendengaran dan mastoid. 2. Multipel kuadran tidak mengenai tulang pendengaran dan mastoid. 3. Mengenai tulang pendengaran tidak mengenai mastoid. 4. Telah mengenai mastoid. 20

50 Sedangkan Nelson dkk membagi kolesteatom kongenital menjadi 3 tipe yaitu: 1. Lesi terbatas di telinga tengah tanpa kerusakan tulang pendengaran, kecuali manubrium maleus. 2. Lesi telah mengenai tulang pendengaran, kuadran posterosuperior maupun atik. 3. Lesi telah mengenai mastoid Gejala Klinis Gejala klinis dari kolesteatoma kongenital sangat tergantung dari letak, ukuran, histologi dan komplikasi yang ditimbulkanya. Presentasi paling umum dari kolesteatoma kongenital adalah massa pada telinga tengah, berwarna putih terletak di belakang membran timpani yang intak dan sering ditemukan tanpa sengaja saat melakukan pemeriksaan otologi rutin maupun prosedur miringotmi. 22 Gejala dapat muncul jika terjadi perluasan atau menyebabkan kerusakan pada daerah sekitarnya. Gejala klinis yang timbul dapat berupa gangguan pendengaran, otitis media efusi, gangguan keseimbangan, kelumpuhan saraf fasialis, fistula retroaurikuler, meningitis, maupun gejala akibat perluasan ke intrakranial. 22 Gangguan pendengaran juga merupakan gejala yang terjadi pada kolesteatoma yang besar dan mengisi ruang telinga tengah dengan epitel deskuamasi dengan atau tanpa sekret mukopurulen, sehingga menyebabkan kerusakan osikular yang akhirnya menyebabkan terjadinya tuli konduktif yang berat. 22 Pusing dan nyeri kepala adalah gejala umum relatif pada kolesteatoma, tetapi tidak akan terjadi apabila tidak ada fistula labirin akibat erosi tulang atau jika kolesteatoma mendesak langsung pada stapes footplate. Pusing dan nyeri kepala adalah gejala yang mengkhawatirkan karena merupakan pertanda dari perkembangan komplikasi yang lebih serius. 22 Pada pemeriksaan fisik ditemukan lokasi yang paling umum dari koleteatoma kongenital adalah kuadran superior anterior membran timpani, diikuti oleh kuadran posterior-superior. Lesi ditemukan pada usia dewasa mungkin berada di posterior mesotympanum, sebagai dampak dari pertumbuhan terus kolesteatoma Kriteria Diagnosis Secara umum, kolesteatoma kongenital terjadi karena perkembangan dari proses pada masa embrional. Karena itu kolesteatoma tersebut ditemui di belakang

51 dari membran tympani yang intak, tanpa berlanjut ke saluran telinga luar dengan tidak adanya faktor-faktor yang lain seperti perforasi dari membran tympani atau adanya riwayat infeksi pada telinga maupun tindakan operasi. Beberapa pakar yang mengemukakan kriteria diagnosis kolestetoma kongenital adalah Derlacki dan Clemis seperti dikutip Mc Gill dkk yang menyatakan bahwa kriteria diagnosis kolesteatoma kongenital adalah jika ditemukan adanya massa putih di belakang membran timpani yang utuh, tidak ada riwayat otitis media, otore maupun perforasi membran timpani dan riwayat operasi telinga sebelumnya. 23 Namun definisi ini telah berubah setelah diketahui bahwa hampir 70% anak akan mengalami sekurang-kurangnya satu kali episode otitis media. Oleh karena itu Levenson, dkk (1989) membuat modifikasi definisi kolesteatoma kongenital yaitu: Terdapatnya masa putih pada membran tympani yang normal 13. Pars tensa dan flaccida yang normal 14. Tidak adanya riwayat otore ataupun perforasi sebelumnya 15. Tidak ada riwayat tindakan otologi sebelumnya 16. Riwayat otitis media sebelumnya bukan merupakan kriteria eksklusi Pemeriksaan Penunjang Kolesteatoma kongenital di daerah tulang temporal sering ditemukan secara tidak sengaja pada saat melakukan pemeriksaan CT-Scan pada daerah temporal atau setelah adanya komplikasi seperti penurunan pendengaran, kelumpuhan saraf fasialis, fistula retro aurikuler, otitis media efusi (OME) dan komplikasi meningitis. 25 Kolesteatoma di telinga tengah juga dapat terdeteksi saat melakukan otoskopi, dimana terlihat seperti mutiara dibelakang membran timpani yang utuh. Saat ini diagnosis kolesteatoma kongenital telah dapat di diagnosis lebih awal karena semakin meningkatnya kemampuan diagnosis dengan berbagai sarana penunjang dan semakin meningkatnya pemeriksaan skrining pendengaran. 25 Pemeriksaan CT-Scan diperlukan untuk memastikan lokasi dan perluasan kolesteatoma. Pemeriksaan ini tidak harus dilakukan pada semua kasus, tapi hanya untuk kasus dimana batas posterior atau superior dari kolesteatoma tidak dapat terlihat dengan otoskop. Gambaran kolesteatoma terlihat berupa gambaran

52 hipodens dengan batas yang jelas dan dapat juga disertai gambaran destruksi pada tulang.(gambar 7) 25,26 MRI digunakan apabila ada masalah sangat spesifik yang diperkirakan dapat melibatkan jaringan lunak sekitarnya, seperti keterlibatan atau invasi dural, abses epidural atau subdural, herniasi otak ke rongga mastoid, peradangan pada labirin membran atau saraf fasialis serta trombosis sinus sigmoid. 25,26 A B Gambar.7 A Kolesteatoma Kongenital (tanda panah). Tampak massa hipodens di dalam epitimpanum dibelakang membrane timpani yang intak B. Kolesteatoma Kongenital (tanda panah). Tampak erosi tulang di dalam epitimpanum anterior oleh karena kolesteatoma Penatalaksanaan Gold standar penatalaksanaan kolesteatoma kongenital adalah pembedahan (operasi) yang bertujuan untuk mengangkat kolesteatoma secara komplit. Adanya sisa kolesteatoma harus dihindari karena akan menyebabkan terjadinya rekurensi. Pemilihan jenis operasi disesuaikan dengan stadium atau tipe kolesteatoma tersebut. Operasi dapat hanya berupa timpanomastoidektomi hingga mastoidektomi radikal dinding runtuh. 27 Dalam keadaan tertentu, ahli bedah dapat membuat keputusan untuk menggunakan teknik canal wall up atau canal wall down. Jika pasien memiliki beberapa episode kekambuhan dari kolesteatoma dan keinginan untuk menghindari operasi berulang, teknik canal wall down adalah yang paling sesuai. Beberapa pasien yang tidak dapat dilakukan tindakan canal-wall down dapat dilakukan prosedur operasi dengan tertutup (canal wall-up) dengan kemungkinan bahwa mereka memahami bahwa penyakit lebih mungkin kambuh dan mereka mungkin membutuhkan beberapa serial prosedur pembedahan. Meskipun semua

53 kelebihan dan kekurangan kedua teknik operasi itu menjadi relatif di tangan ahli bedah yang berpengalaman, tiap ahli bedah telinga mempunyai alasan sendiri mengapa memilih satu teknik dari teknik yang lain. Hal yang jelas berbeda adalah bahwa timpanoplasti dinding utuh (canal wall-up) berusaha maksimal mempertahankan bentuk fisiologis liang telinga dan telinga tengah. 27,28 Prosedur Canal wall down Canal wall down adalah tindakan membuang seluruh sel-sel mastoid di rongga mastoid, meruntuhkan seluruh dinding kanalis akustikus eksternus posterior, pembersihan total sel-sel mastoid yang memiliki drainase ke kavum timpani. 2. Mastoidektomi radikal Prosedur ini membersihkan dan mengangkat semua kolesteatoma, termasuk dinding posterior liang telinga, sehingga meninggalkan kavum mastoid berhubungan langsung dengan liang telinga. Pada cara ini dilakukan pembersihan total sel-sel mastoid di sudut sinodura, di daerah segitiga Trautmann, di sekitar kanalis fasialis, di sekitar liang telinga yaitu prosesus zigomatikus, juga di prosesus mastoideus sampai ke ujung mastoid. Kemudian membuang inkus dan maleus, hanya stapes atau sisa stapes yang dipertahankan, sehingga membentuk kavitas yang merupakan gabungan rongga mastoid, kavum timpani dan liang telinga. Mukosa kavum timpani juga dibuang seluruhnya, muara tuba eustachius ditutup dengan tandur jaringan lunak. 27 Kerugian cara ini adalah kesulitan rekonstruksi membran timpani, sehingga terdapat kesulitan dalam usaha memperbaiki pendengaran penderita namun dengan teknik ini dapat dicapai suatu safe ear. Untuk kasus kolesteatoma yang lebih lanjut dengan perluasan yang hebat, mastoidektomi radikal perlu dipertimbangkan tanpa melihat kemungkinan mempertahankan fungsi pendengaran Mastoidektomi radikal modifikasi Operasi ini bertujuan untuk eradikasi penyakit sehingga epitimpani, antrum mastoid dan liang telinga menjadi satu rongga yang berhubungan langsung dengan dunia luar melalui meatus akustikus eksternus. Tindakan ini seperti mastoidektomi radikal, kecuali tetap mempertahankan osikel dan membran timpani yang ada untuk mempertahankan fungsi transformasi suara. Teknik operasi ini adalah dengan membersihkan seluruh rongga mastoid, merendahkan dinding posterior liang telinga, dan diikuti dengan tindakan timpanoplasti. Dengan

54 operasi ini fungsi pendengaran dapat dipertahankan. Indikasi utama operasi ini adalah adanya kolesteatoma di atik dan antrum dengan mesotimpanum normal dan defek hanya pada pars flaksida. 27,28 Gambar 8. Canal wall down 28

55 Prosedur Canal Wall Up Kolesteatoma dibuang dengan pendekatan kombinasi melalui mastoid dan liang telinga, tanpa menghancurkan dinding posterior liang telinga. Intact canal wall pada prinsipnya adalah mengangkat secara komplit matriks kolesteatoma tanpa merusak anatomi liang telinga luar. Pendekatan secara kombinasi transkanal dan transmastoid dapat mengeluarkan massa kolesteatoma yang menerobos facial recess. Kolesteatoma di sinus timpani sulit dikeluarkan karena lapang pandang yang terbatas pada daerah ini. Timpanoplasti dinding utuh merupakan modifikasi dari mastoidektomi radikal, bedanya adalah mukosa kavum timpani dan sisa tulang-tulang pendengaran dipertahankan setelah proses patologis dibersihkan. Tuba eustachius tetap dipertahankan dan dibersihkan agar terbuka. Kemudian kavitas operasi ditutup dengan fasia m.temporalis baik berupa free fascia graft dan dilakukan juga rekonstruksi tulang-tulang pendengaran Komplikasi Komplikasi dari kolesteatoma kongenital seperti parese nervus fasialis, tuli saraf, gangguan keseimbangan, fistel labirin, trauma pada sinus sigmoid, bulbus jugularis dan kebocoran likuor serebrospinal. Komplikasi dari tindakan operasi padamastoidektomi radikal maupun mastoidektomi dengan modifikasi dibagi berdasarkan komplikasi segera dan komplikasi lambat. Infeksi pasca-operasi dapat dimasukkan sebagai komplikasi segera. 26 Komplikasi lambat termasuk kolesteatoma rekuren, reperforasi, lateralisasi tandur, stenosis liang telinga luar, displasi atau lepasnya prostesis tulang pendengaran yang dipasang. Trauma nervus fasialis yang paling sering terjadi adalah pada pars vertikalis saat melakukan mastoidektomi, bisa juga terjadi pada pars horizontal saat manipulasi daerah di dekat stapes atau mengorek daerah bawah inkus baik dari arah mastoid ataupun dari arah kavum timpani. Trauma dapat lebih mudah terjadi bila topografi daerah sekitarnya tidak dikenali dengan baik, misalnya pada kelainan letak kongenital, jaringan parut karena operasi sebelumnya, destruksi kanalis fasialis karena kolesteatoma. 26 Trauma operasi terhadap labirin sulit diketahui dengan segera, sebab vertigo pasca-operasi dapat terjadi hanya karena iritasi selama operasi dan belum tentu karena cedera operasi. Manipulasi di daerah aditus ad antrum dan sekitarnya

56 pada lapangan operasi yang ditutupi oleh jaringan kolesteatoma dan matriks koleteatoma dapat menyebabkan fistel labirin. 26 Trauma terhadap tulang pendengaran diperkirakan akan memperburuk system konduksi telinga tengah sehingga sedapat mungkin langsung di rekonstruksi. Trauma terhadap dinding sinus dan duramater yang mengakibatkan terjadi perdarahan dan bocornya cairan cerebrospinal, bila tidak luas dapat ditungggu sebentar dan langsung ditutup dengan tandu komposit sampai kebocoran berhenti. Trauma pada sinus lateralis, sinus sigmoid, bulbus jugularis dan vena emissari dapat menyebabkan perdarahan hebat Prognosis Mengeliminasi kolesteatoma kongenital hampir selalu berhasil, namun mungkin juga memerlukan beberapa kali pembedahan. Karena pada umumnya pembedahan dilakukan dengan teknologi yang lebih modern, komplikasi dari pertumbuhan tidak terkendali dari kolesteatoma sekarang ini jarang terjadi. Radikal mastoiddektomi dinding runtuh menjanjikan tingkat kekambuhan yang sangat rendah dari kolesteatoma. Pembedahan ulang pada kolesteatoma terjadi pada 5% kasus, yang bila dibandingkan dengan tingkat kekambuhan timpanoplasti dinding utuh yang mencapai 20-40%. 21 III. LAPORAN KASUS Pasien perempuan umur 21 tahun datang ke poliklinik RSUP Sanglah Denpasar pada tanggal 7 Februari 2017 dengan keluhan telinga kanan keluar cairan berwarna putih sejak 1 bulan yang lalu. Kadang-kadang juga keluar darah dan disertai nyeri di dalam liang telinga kanan. Pendengaran pada telinga kanan dirasakan berkurang sejak kurang lebih 1 tahun yang lalu. Demam tidak ada, riwayat trauma pada telinga kanan tidak ada, riwayat keluar cairan dari telinga tidak ada, riwayat wajah mencong tidak ada, pusing berputar tidak ada, tidak ada sakit kepala hebat yang disertai mual dan muntah, riwayat operasi di telinga sebelumnya tidak ada. Pada pemeriksaan fisik, status umum didapatkan keadaan umum baik, kesadaran compos mentis. Pada status lokalis THT-KL didapatkan pada telinga kanan : daun telinga tidak ada kelainan, nyeri tekan tragus tidak ada, nyeri tarik daun telinga tidak ada, retroaurikula tidak ada kelainan, liang telinga sempit dan terdapat sekret, terdapat jaringan granulasi yang menutupi liang telinga, asal

57 jaringan granulasi sukar ditentukan, membran timpani tidak dapat dinilai. Pada telinga kiri : daun telinga tidak ada kelainan, retroaurikula tidak ada kelainan, liang telinga lapang secret tidak ada, membrane timpani intak reflex cahaya ada. Pada pemeriksaan hidung dan tenggorok dalam batas normal. Pada leher tidak ditemukan adanya pembesaran kelenjar getah bening. Pada pemeriksaan penala frekwensi 512 Hz kesan tuli konduktif telinga kanan (Tabel 1) Tabel 1. Hasil Pemeriksaan dengan garputala 512 Hz Tes Penala Telinga Kanan Telinga Kiri Rinne Negative Positif Weber Lateralisasi ke kanan Schwabach Memanjang Sesuai pemeriksa Hasil pemeriksaan rontgen mastoid posisi schuller didapatkan pada mastoid kanan tampak air cell menghilang. Tampak area lusen dengan sebagian tampak sklerotik pada periantral triangle. Kesan mastoiditis kronis desktra dengan kecurigaan adanya kolesteatoma. (Gambar 8) Gambar 9. Hasil rontgen Schuller

58 Kemudian dilakukan pemeriksaan CT Scan kepala. Dari hasil pemeriksaan tomografi komputer didapatkan air cell pada mastoid kanan menghilang kesan mastoiditis kronis dekstra. (Gambar 9) Gambar 10. Hasil CT Scan potongan axial Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pasien ini di diagnosis dengan suspek Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK) dekstra tipe berbahaya, dengan diagnosis banding kolesteatoma kongenital. Pasien direncanakan dilakukan tindakan operasi mastoidektomi radikal dengan anestesi umum. Persiapan pra-operasi, didapatkan hasil pemeriksaan darah yakni : Haemoglobin : 13,27gr%, Leukosit: 9300/mm 3, Hematokrit: 45%, Trombosit: /mm 3, ptt: 12,2, APTT: 27,6. Pemeriksaan foto thoraks : cord an pulmo tak tampak kelainan. Pada pemeriksaan fungsi keseimbangan dan saraf fasialis tidak ditemukan kelainan. Pada pemeriksaan Audiometri didapatkan telinga kanan dengan tuli konduktif derajat sedang dengan ambang dengar 51,25 db, sedangkan telinga kiri didpatkan pendengaran normal (normal hearing) dengan ambang dengar 13,5 db.

59 Gambar 11. Audiogram sebelum operasi Pada tanggal 21 April 2017 pasien dilakukan tindakan operasi. Operasi dimulai dengan pasien tidur terlentang di meja operasi dalam pengaruh anestesi umum dan teknik hipotensi. Dilakukan tindakan aseptik dan antiseptik pada lapangan operasi dan dipasang duk steril. Dilakukan evaluasi telinga kanan dengan menggunakan mikroskop, terlihat liang telinga sempit dan terdapat jaringan granulasi, membran timpani tidak dapat dinilai. Dibuat penandaan pada 3 2. dari sulkus retroaurikula dekstra dan dilakukan infiltrasi pada daerah penandaan dengan epinefrin 1: Insisis pada daerah penandaan tegak lurus terhadap kulit dan tangensial terhadap liang telinga. Dipasang retractor dan korteks mastoid dipaparkan. Dibuat garis imajiner membentuk segitiga Mc Ewen sebagai penanda dalam melakukan pengeboran pada korteks mastoid. Tampak korteks mastoid destruksi oleh kolesteatoma yang memenuhi rongga mastoid. Dinding posterior liang telinga sebagian telah mengalami destruksi. Jaringan granulasi keluar melalui dinding liang telinga yang terdestruksi ke liang telinga. Jaringan granulasi dibersihkan semaksimal mungkin. Dilakukan evaluasi kembali membran timpani, didapatkan membran timpani intak. Dilakukan timpanoplasti dinding runtuh, pembersihan kolesteatoma pada rongga mastoid dan kavum timpani, tampak osikel maleus yang masih tersisa, dinding posterior liang telinga diruntuhkan, dilakukan meatoplasti sehingga kavum mastoid dengan liang telinga luar menyatu dengan tetap mempertahankan membran timpani.

60 Gambar 12. Kolesteatoma pada kavum mastoid sampai ke kavum timpani Luka operasi dijahit lapis demi lapis dan rongga operasi diberi tampon sofratul. Dipasang perban dan dilakukan balut tekan dengan menggunakan elastomol. Operasi selesai. Lama operasi berkisar 4 jam. Jaringan yang berasal dari kavum mastoid dan kavum timpani dilakukan pemeriksaan patologi anatomi. Diagnosis pasca operasi adalah kolesteatoma kongenital post mastoidektomi radikal. Terapi post operasi diberikan ceftriaxone 2x1gram iv, deksametason 3 x5mg iv diberikan secara tapering off, tramadol drip 100mg dalam 500cc NaCl 0,9% per 8 jam (selama 1 hari). Pada follow up segera setelah operasi tidak ditemukan adanya lei saraf fasialis Pada tanggal 22 April 2017, keadaan umum baik, sadar, keluhan pusing tidak ada, wajah mencong tidak ada, demam tidak ada, kemudian dilakukan pelepasan elastomol. Pada tanggal 23 April 2017 drain dibuka, tidak terdapat darah merembes dari luka operasi, kemudian dilakukan rawat luka. Terapi dilanjutkan ceftriaxone 2x1gram iv, deksametason 3 x5mg iv diberikan secara tapering off, parasetamol 3x500mg io. Pada tanggal 24 April 2017 keadaan umum baik, keluhan tidak ada, luka operasi terawat baik, tidak ada darah merembes dari liang telinga dan pasien dipulangkan dan diberikan terapi levofloxacin 1x500 mg io, parasetamol 3x500

61 mg io. Pada tanggal 28 April 2017 pasien kontrol ke poli THT-KL, dilakukan perawatan luka, aff hecting luka operasi dan pelepasan tampon eksternal pada liang telinga kanan. Hasil pemeriksaan patologi anatomi menunjukkan gambaran kolesteatoma. Pada Tanggal 5 Mei 2017 dilakukan pelepasan tampon sofratul pada liang telinga kanan, dilanjutkan dengan pemberian ofloxacin tetes telinga 2x 6 tetes pada telinga kanan. Gambar 13. Penampang mikroskopis kolesteatoma Pada tanggal 2 Juni 2017 pasien kontrol kembali dengan kondisi liang telinga bersih dan luka paska operasi yang sudah kering. Kemudian dilakukan pemeriksaan audiometri evaluasi dengan hasil : telinga kanan dengan pendengaran normal yakni 17,5dB

62 Gambar 14. Audiogram paska operasi IV. DISKUSI Telah dilaporkan satu kasus seorang perempuan berumur 21 tahun dengan diagnosis kolesteatoma kongenital. Kolesteatoma kongenital berasal dari sisa epithelial yang terperangkap di dalam tulang temporal selama embriogenesis dan dapat ditemukan pada semua kelompok umur dari anak-anak sampai dengan dewasa. Kasus kolesteatoma kongenital merupakan kasus yang relatif jarang terjadi dimana kolesteatoma kongenital mengalami pertumbuhan yang progresif dan umumnya muncul pada usia yang lebih lanjut dengan dominan pada laki-laki. Goh, dkk 19 melaporkan hasil penelitian retrospektif dari tahun 1999 sampai dengan 2008 terdapat 5 kasus kolesteatoma kongenital atau sebesar 12,2% dengan rentang usia 5-18 tahun. Didapatkan laki-laki lebih banyak yakni 3 laki-laki dan 2 perempuan Sedangkan penelitian oleh Park Ho, dkk 29 dari tahun 1995 sampai dengan 2006 diperoleh 35 kasus kolesteatoma kongenital telinga tengah dengan rentang usia 1-13 tahun, dengan perbandingan laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan yakni 3,4:1. Kojima,dkk 30 melaporkan 48 kasus kolesteatoma kongenital dengan rentang usia 2-62 tahun dengan rata-rata 16,7 tahun. Gejala klinis pada pasien ini berupa keluar secket dari liang telinga yang kadang-kadang diserta darah dan terjadi penurunan pendengaran. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Park Ho,dkk 29 penurunan pendengaran merupakan keluhan terbanyak dan keluhan yang menyebabkan pasien datang untuk berobat.

63 Diperoleh persentase 29% untuk keluhan penurunan pendengaran, otalgia sebesar 20%, tinnitus 11,4%, dan rasa penuh ditelinga sebesar 8,5%. Penelitian oleh Kojima, dkk 30 didapatkan 60,3% pasien datang dengan keluhan utama penurunan pendengaran sementara 17,5% didapatkan pasien dengan keluhan otalgia. Steward,dkk 31 mendapatkan bahwa penurunan pendengaran dan otore merupakan keluhan terbanyak dilaporkan masing-masing 73% dan 55%. Otore terjadi akibat adanya kolesteatoma yang mendestruksi dinding posterior liang telinga sehingga terbentuk jaringan granulasi. Kolesteatoma dapat mengalami infeksi sehingga menimbulkan gejala seperti OMSK. Diagnosis sebelum operasi diduga OMSK tipe berbahaya dekstra karena dalam perjalanan penyakit terdapat jaringan granulasi pada liang telinga kanan yang mengakibatkan keluar sekret dan kadang-kadang disertai darah sejak 1 tahun yang lalu. Membran timpani sulit untuk dinilai sampai saaat operasi. Kolesteatoma kongenital sering terlambat didiagnosis karena pada awalnya sering tidak memberikan gejala (asimtomatik). Biasanya pasien datang setelah ada komplikasi yang sulit dibedakan dengan OMSK tipe berbahaya. Penelitian oleh Park Ho,dkk 29 diperoleh sebanyak 17 kasus (63%) dari 27 kasus kolesteatoma congenital, pasien didiagnosis kolesteatoma congenital setelah lesi meluas ke mastoid. Pada pasien ini hasil rontgen Schuller didapatkan gambaran aircell mastoid menghilang, tampak area lusen dengan sebagian tampak sklerotik pada periantral triangle mengesankan suatu mastoiditis kronis dengan kecurigaan adanya kolesteatoma. Hasil tomografi computer temporal terlihat gambaran air cell yang menghilang kesan mastoiditis kronis dekstra. Foto polos posisi Schuller masih digunakan untuk menilai keadaan telinga tengah dalam tulang temporal. Posisi Schuller menggambarkan penampakan lateral dari mastoid. Pada posisi ini terlihat perluasan pneumatisasi mastoid, lempeng tegmen yang membatasi sel mastoid dengan jaringan otak, dan lempeng sinus yang menandai batas sel mastoid dengan sinus lateral. Kolesteatoma ditandai dengan erosi tulang yang tampak sebagai radiolusen dibatasi oleh tulang sklerotik. Pemeriksaan penunjang CT Scan diperlukan untuk menentukan lokasi kolesteatoma serta perluasannya. Gambaran kolesteatoma akan terlihat berupa gambaran hipodens dengan batas yang jelas serta mendestruksi tulang baik berupa erosi pada tegmen maupun sinus sigmoid. 26

64 Berdasarkan temuan operasi dimana membran timpani yang masih utuh ditegakkan diagnosis kolesteatoma kongenital telinga kanan, Ini sesuai dengan kriteria Derlacki dan Clemis seperti dikutip Mc Gill, dkk 23 yang kemudian dimodifikasi oleh Levenson 24 menyatakan bahwa diagnosis kolesteatoma kongenital ditegakkan jika ditemukan kolesteatoma dengan membrane timpani utuh, tidak ada riwayat otore maupun operasi telinga sebelumnya. Pada temuan operasi didapatkan kolesteatoma memenuhi kavum mastoid dan juga kavum timpani. Berdasarkan patogenesis koesteatoma kongenital menurut teori Epithelial rest, kolesteatoma di mastoid dapat terjadi akibat sisa epitel terperangkap pada saat penutupan celah neural yang terjadi pada minggu ketiga dan keenam usia jani. Kolesteatoma kongenital di mastoid sering ditemukan pada kavum mastoid sesuai dengan kasus ini dimana usia pasien 21 tahun. 14 Gold standar penatalaksanaan kolesteatoma kongenital adalah pembedahan atau operasi yang bertujuan untuk mengangkat kolesteatoma secara sempurna. Pada pasien ini dilakukan tindakan operasi timpanoplasti dengan dinding runtuh (canal wall down) karena pada pasien ini lesi mengenai dan mendestruksi mastoid dan tulang pendengaran serta dinding posterior dari liang telinga, membran timpani utuh dan tidak dilakukan rekonstruksi tulang pendengaran. Tindakan operasi pada kasus kolesteatoma kongenital sangat variatif. Pemilihan jenis operasi disesuaikan dengan stadium, tempat dan tipe kolesteatoma. Operasi dapat berupa timpanomastoidektomi sampai dengan radikal mastoidektomi. Potsic dkk, 20 membagi kolesteatom menjadi 4 stadium dan berkaitan dengan pemilihan tindakan operasi yakni stadium 1: mengenai satu kuadran tidak mengenai tulang pendengaran dan mastoid, stadium 2: multipel kuadran tidak mengenai tulang pendengaran dan mastoid, stadium 3: mengenai tulang pendengaran tidak mengenai mastoid, dan stadium 4: telah mengenai mastoid. Tindakan operasi disesuaikan berdasarkan stadiumnya. Pada stadium 1 dan 2 dapat dilakukan timpanomastoidektomi. Stadium 3 dilakukan timpanomastoidektomi yang diperluas tapi kadang juga memerlukan timpanomastoidektomi dengan dinding utuh. Pada stadium 4 dilakukan radikal mastoidektomi dengan dinding runtuh. Park Ho, dkk 29 melakukan operasi pada 17 kasus kolesteatoma stadium 4 dengan timpanoplasti dinding utuh sebanyak 10 kasus (59%) dan timpanoplasti

65 dinding runtuh sebanyak 7 kasus (41%). Sedangkan penelitian yang dilakukan Inokuchi dkk, 32 diperoleh 23 kasus kolesteatoma kongenital. Dimana prosedur tindakan pembedahan terbanyak yakni timpanomastoidektomi. Sebanyak 57% kasus dilakukan tindakan canal wall down dan 9% kasus dilakukan prosedur canal wall up. Keuntungan canal wall down adalah angka kekambuhan maupun residu kolesteatoma lebih rendah dibandingkan canal wall up. Pemeriksaan audiometri sebelum dilakukan operasi didapatkan tuli konduktif derajat sedang (51,25 db) dengan gap hantaran udara dan hantaran tulang sebesar 26,25 db. Ini melebihi kemampuan amplifikasi membrane timpani dan tulang-tulang pendengaran yang berkisar antara db. Tuli konduktif sebesar db kemungkinan telah terdapat diskontinuitas rangkaian tulang pendengaran atau mungkin akibat adanya jaringan granulasi di liang telinga luar yang berfungsi sebagai sumbatan telinga. Pada pemeriksaan audiometri paska operasi didapatkan pendengaran normal pada telinga kanan yakni 17,5 db. Gap antara hantaran udara dan hantaran tulang didapatkan 23,75 db. Pada pasien ini didapatkan perbaikan sebesar 17,5 db. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Park Ho dkk, 29 didapatkan rata-rata gap hantaran tulang dan hantaran udara pada pasien kolesteatom kongenital stadium 4 adalah 37,5 db. Pada pemeriksaan 3 bulan pasca operasi Park Ho, dkk juga mendapatkan perbaikan gap hantaran tulang dengan hantaran udara pada stadium 4 sebesar 6,7 db. Kontrol pasien yang telah menjalani operasi mastoidektomi radikal perlu dilakukan secara berkala dalam jangka panjang. Pada masa awal paska operasi perlu diperhatikan proses epitelisasi kavitas operasi. Jaringan granulasi dapat menghambat proses epitelisasi. Pemberian antibiotik lokal dan steroid dapat menghambat terjadinya infeksi maupun pembentukan jaringan granulasi. Pada jangka panjang pasien harus rutin datang untuk membersihkan kavitas dari deskuamasi epitel maupun serumen. Disamping itu perlu diperhatikan adalah komplikasi yang muncul seperti infeksi berulang, terbentuknya kolesteatoma atau adanya sisa kolesteatoma.

66 V. KESIMPULAN Dilaporkan satu kasus perempuan berusia 21 tahun dengan diagnosis kolesteatoma kongenital. Pasien datang dengan keluhan penurunan pendengaran sejak 1 tahun yang lalu dan dari hasil rongten Shuller dan CT Scan mastoid didapatkan adanya mastoiditis kanan dan kecurigaan kolesteatoma. Dari pemeriksaan audiometri didapatkan tuli konduktif dengan derajat sedang. Dilakukan timpanoplasti dinding runtuh dengan temuan kolesteatoma memenuhi kavum mastoid dan kavum timpani dengan membrane timpani masih intak. Evaluasi paska operasi diperoleh perbaikan pendengaran paska operasi menjadi normal hearing.

67 DAFTAR PUSTAKA 1. Amanda L, dkk. Congenital Cholesteatoma. Arch Otolaryngol Head Neck Surg.2012;138: Kiltai PJ, Nelson M, Castellon et al. The natural history of cholesteatoma. Arch otolaryngol head neck surg 2002;128: Gacek RR, Gacek MR. Anatomy of the Auditory and Verstibular System. In Snow Jr. J B, Ballenger J J, editors. Ballenger s Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery. 16 th ed. Williams & Wilkins; 1996.p Moller AR. Hearing : Anatomy, Fisiology, and Disorder of the Auditory System. 2 nd ed. Texas: Elsevier; 2000.p Dhingra PL. Diseases of Ear, Nose and Throat. 4 th ed. India: Reed Elsevier India Private Limited; 2009.p.1-9, Austin DF. Anatomy and Embriology of The Ear. Dalam: Diseases of the Nose, Throat, Ear, Head and Neck. Ballenger JJ, penyunting. Edisi ke-1. Philadelphia: Lea and Febiger Company; p Mills JH, Khariwala SS, Weber PC. Anatomy and Physiology of Hearing. Dalam: Bailey BJ, editors. Head & Neck Surgery-Otolaryngology. Edisi ke- 4. Philadelphia: Lippincott Williams&Wilkins; p Roland PS. Middle Ear, Cholesteatoma. Emedicine. Available at Diakses 10 Juni Magalhaes SLB. Growth of cholesteatoma by implantation of epi-thelial tissue along the femoral bone of rats. Rev. Bras. Otorrinolaryngol. 2005;71(2): Barbara Pedruzi, Marta Mion, Comachio Fransesco. Congenital Intratympanic Cholesteatoma in an Adult Patient: A Case Report and Rivew Literature.Int Adv Otol.2016;12(1): Bennett M, Warren F, Jackson GC, Kaylie D. Kongenital Cholesteatoma: Theories, Facts, and 53 Patients. Otolaryngol Clin N Am 2006; 39: Mc Gill TJ, Kongenital cholesteatoma. In: Nadol JB, McKenna MJ, Galia RJ editors. Surgery of the ear and temporal bone. 2nd ed, Lippincott Williams & Wilkins. 2005: p Alma Maniu, dkk. Molecular Biology of Cholesteatoma. Rom J Morphol Embryol.2014;55(1): Gacek RR. Congenital Cholesteatoma. In: Ear surgery. Springer-Verlag.

68 Berlin Jermany. 2008: hal Chin Lung Kuo, dkk. Udates and Knowledge Gaps in Cholesteatoma Reasearch. Biomed Reasearch International. 2015: Anju Cauhan, dkk. Cholesteatoma congenital isolated mastid process: A Case report. Otorinolaryngology online journal. 2015;5: Kiltai PJ, Nelson M, Castellon et al. The natural history of cholesteatoma. Arch otolaryngol head neck surg 2002;128: Goh BS, Faizah AR, Saim L, Salina H, Asma A. Kongenital cholesteatoma: Delayed diagnosis and its consequences. Med j Malaysia 2010;65(3): Shen Wei Dong, dkk. Congenital Cholesteatoma of Middle Ear-A Report of 10 Cases. Journal of Otology.2007;2(2): Potsic WP, Samadi DS, Marsh RR, Wetmore RF. A Staging system for kongenital cholesteatoma. Arch otolaryngol head neck surg 2002; 128: Nelson M, dkk. Kongenital cholesteatoma. Classification, management, and outcome. Aurch otolaryngol head neck surg. 2002;128: Isaacson G. Diagnosis of pediatric cholesteatoma. Journal of Pediatric Surgery United Kingdom.2007; 120: Derlacki EL, Clemis JD. Kongenital cholesteatoma of the middle ear and mastoid. Ann OtolRhinol Laryngol 1965; 74(3): Levenson MJ, Michaels L, Parisier SC, Juarbe C. Chongenital cholesteatoma in children: an embriological correlation. Laryngoscope 1988;98: Robert Y, Carcasset S, Rocourt N, Hennequin C, Dubrulle F, Lemaitre L. Kongenital cholesteatoma of the temporal bone: MR findings and comparison with CT. AJNR Am J Neurodiol 1995;16: Zarandy M, Rutka J. Cholesteatoma and its Complications. Disease of the Inner ear. A Clinical, Radiologic and Pathologis Atlas.2010;94: Helmi. Otitis Media Supuratif Kronik Pengetahuan Daar Terapi Medik Mastoidektomi. Balai Penerbit FK UI, Jakarta Meyer TA, Strunk TL, Lambert. Cholesteatoma. Head And Neck Surgery- Otolaryngology, Lippincot Williams & Wilkins, Texas. 2009

69 29. Park Ho K, Park SN, Chang ki-h, Jung MK, Yeo SW. Congenital middle ear cholesteatoma in children: retrospective review of 35 cases. J Korean med sci.2009;24: Kojima,dkk. Congenital Middle Ear Cholesteatoma Experince in 48 cases. Nippon Jibiinkok Gakkai Kaiho.2003;106: Steward DL, Choo DI, Pensak ML. Selective indication for the management of extensive anterior epytimpanic cholesteatoma via transmastoid/middle fossa approach. Laryngoscope 2000;110: Inokuchi Go, dkk. Congenital Cholesteatoma : Posterior Lesions and the Satging System. Annals of Otology, Rhinology & Larynglogy. 2010;119(7):

70 DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN PAPILOMATOSIS LARING PADA ANAK Oleh IDG Arta Eka Putra Ilmu Kesehatan THT-KL FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar I. PENDAHULUAN Papilomatosis laring merupakan tumor jinak proliferatif yang paling sering terjadi pada saluran napas anak dan merupakan penyebab kedua terbanyak suara parau pada anak. Papilomatosis dapat muncul disepanjang traktus respiratorius dan karena kecendrungannya dapat berulang, sehingga sering disebut juga Papilomatosis Respiratorik Rekuren (PPR) / Reccurent Respiratory Papillomatosis (RRP). PPR pertama kali diperkenalkan pada akhir tahun 1800 oleh Sir Morrel Mackenzie untuk membedakan penyakit ini dari tumor laiinya. 1,2 Infeksi Human Papilloma Virus (HPV) merupakan penyebab utama terjadinya papilomatosis pada laring pertama kali dibuktikan oleh Ullman pada tahun Subtipe 6 dan 11 terdekteksi pada kasus papiloma laring menggunakan metode Polymerase Chain Reaction (PCR) pada tahun HPV 6 dan 11 merupakan tipe tersering yang ditemukan pada kasus papilomatosis respiratorik rekuren. 2,3 Papilomatosis dapat terjadi pada semua umur, tetapi lebih sering terjadi pada anak. Sebagian besar papilomatosis laring pada anak terdiagnosis pada umur antara 2-4 tahun. Tujuh puluh lima persen anak-anak telah terdiagnosis sebelum mereka berumur 5 tahun. Di Amerika didapatkan angka insiden pada anak-anak sebesar 4,3 per sedangkan pada orang dewasa sebesar 1,8 per Di Denmark didapatkan angka insiden kasus papilomatosus laring sebesar 3,84 per per tahun. Dimana pada kasus anak-anak didapatkan 3,62 per sedangkan kasus dewasa 3,94 per Kasus papilomatosis laring pada anak di Departemen THT RSCM divisi laring-faring sejak bulan Juni 2011-Mei 2013 terhitung berjumlah 11 pasien. Sebanyak 75% pasien penderita papilomatosis laring berusia kurang dari 5 tahun dan distribusi sama anatara laki-laki dan perempuan. 5 Papilomatosis laring merupakan jenis tumor yang berkembang cepat, walaupun tidak ganas. Papilomatosis laring pada anak dapat menjadi masalah yang serius bila menyumbat jalan napas, selain itu rekurensi merupakan masalah terbesar pada kasus ini karena papillomatosis laring mempunyai kemampuan

71 untuk tumbuh kembali setelah pengangkatan dan dapat meluas ke struktur trakeobronkial. Perjalanan penyakit ini bervariasi, beberapa pasien mengalami remisi spontan dan yang lainnya mengalami pertumbuhan agresif papilomatosis, yang membutuhkan prosedur pembedahan berulangkali selama bertahun-tahun. 2,3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Laring Laring merupakan bagian terbawah dari saluran napas bagian atas dan terletak setinggi vertebra servikalis IV-VI dimana pada anak-anak dan wanita letaknya relatif lebih tinggi. Bentuknya menyerupai limas segitiga, dengan bagian atas lebih besar daripada bagian bawah. Bagian atas laring adalah aditus laring, sedangkan batas bawahnya ialah batas kaudal kartilago krikoid. 6 Bangunan kerangka laring tersusun dari satu tulang yakni tulang hyoid dan beberapa tulang rawan. Tulang hyoid berbentuk seperti huruf U yang permukaan atasnya dihubungkan dengan lidah, mandibula dan tengkorak oleh tendon dan otot-otot. Tulang hyoid terdiri dari korpus, dua kornu mayor dan dua kornu minor. Perlekatan os hyoid ke mandibula dan tengkorak oleh ligamentum stilohyoid dan otot-otot digastrikus, stilohyoid, milohyoid, hyoglosus, dan geniohyoid akan mempertahankan posisi laring pada leher dan mengangkat laring selama proses menelan dan fonasi. Perlekatan m. Sternohyoid dan m. Omohyoid pada os hyoid penting untuk gerakan laring bagian inferior. Sewaktu menelan kontraksi otot-otot ini akan menyebabkan laring tertarik ke atas sedangkan bila laring dalam keadaan diam maka otot-otot ini bekerja untuk membuka mulut dan membantu menggerakkan lidah. 6

72 Gambar 1. Kartilago dan Ligamen dari laring dan Tulang Hyoid 6 Tulang rawan yang menyusun laring adalah kartilago epiglotis, kartilago tiroid, kartilago krikoid, kartilago aritenoid, kartilago kornikulata, kartilago kuneiformis dan kartilago tritiseal Kartilago Laring Kartilago Tiroid Kartilago tiroid merupakan tulang rawan hialin dan yang terbesar di laring. Terdiri dari dua ala atau sayap yang bertemu di anterior dan membentuk sudut lancip. Sudut bervariasi menurut jenis kelamin, 90 derajat pada pria dewasa dan 120 derajat pada wanita. Pada pria bagian superior sudut tersebut membentuk penonjolan subkutan disebut Adam s apple atau jakun. Bagian atas ala dipisahkan dengan lekukan yang dalam, insisura tiroid superior. Setiap ala berbentuk segi empat dan pada setiap sudut posterior terdapat penonjolan atau kornu. Kornu superior adalah perlekatan ligamentum superior tirohyoid lateral. Kornu inferior berhubungan dengan permukaan postero-lateral krikoid membentuk sendi krikotiroid. 6 Kartilago Krikoid Kartilago ini merupakan bagian terbawah dari dinding laring. Merupakan kartilago hialin yang berbentuk cincin stempel (signet ring). Bagian anterior dan lateralnya relatif lebih sempit daripada bagian posterior. Kartilago ini berhubungan dengan kartilago tiroidea tepatnya dengan kornu

73 inferior melalui membrana krikoidea (konus elastikus) dan melalui artikulasio krikoaritenoidea. Di sebelah bawah melekat dengan cincin trakea I melalui ligamentum krikotiroidea. Pada keadaan darurat dapat dilakukan tindakan trakeostomi, krikotomi atau koniotomi pada konus elastikus. Kartilago krikoidea pada dewasa terletak setinggi vertebra servikalis VI VII dan pada anak-anak setinggi vertebra servikalis III - IV. 6 Kartilago Epiglotis Bentuk kartilago epiglotis seperti bet pingpong dan membentuk dinding anterior aditus laringeus tangkainya disebut petiolus dan dihubungkan oleh ligamentum tiroepiglotika ke kartilago tiroidea di sebelah atas pita suara. Sedangkan bagian atas menjulur di belakang korpus hyoid ke dalam lumen faring sehingga membatasi basis lidah dan laring. Kartilago epiglotis mempunyai fungsi sebagai pembatas yang mendorong makanan ke sebelah laring. 6 Kartilago Aritenoid Kartilago aritenoid merupakan tulang rawan hialin yang berpasangan, berbentuk piramid, bersendian dengan tulang rawan krikoid. Permukaan sendi mendatar pada sumbu longitudinal atau sumbu panjang dan cekung. Pada sumbu horisontal atau sumbu pendek. Permukaan aritenoid mempunyai ukuran panjang dan lebar yang sama (5,8 mm pada pria dan 4,5 mm pada wanita). Ligamentum vokalis meluas dari prosesus vokalis menuju tendon komisura anterior. Di posterior, ligamentum krikoaritenoid posterior meluas dari batas superior lamina krikoid menuju permukaan medial kartilago aritenoid. Kedua ligamentum terletak pada garis yang menghubungkan kedua aritenoid pada keadaan adduksi, oleh karena itu ligamen tersebut berfungsi sebagai kawat pemandu, pada pergerakan posterolateral ke anteromedial selama adduksi. Dasar piramid mempunyai dua penonjolan. Prosesus muskularis untuk perlekatan m. krikoaritenoid mengarah ke posterolateral. Prosesus vokalis mengarah ke anterior dan berbeda dengan korpus, dibentuk oleh tulang rawan elastik. Batas posterior superior konus elastikus melekat pada prosesus vokalis. 6 Kartilago Kornikulata dan Kuneiform Kartilago Kornikulata dan kuneiform merupakan kartilago fibroelastik yang kecil. Sepasang kartilago kornikulata atau yang disebut dengan kartilago

74 Santorini melekat pada kartilago aritenoid di daerah apeks, sedangkan sepasang kartilago kuneiformis atau disebut juga kartilago Wrisberg, terdapat di dalam plika ariepiglotis, dan kartilago tritisea terletak di dalam ligamentum hiotiroid lateral Ligamentum Pada laring terdapat 2 buah sendi, yaitu artikulasi krikotiroid dan artikulasi krikoaritenoid. Ligamentum yang membentuk susunan laring adalah ligamentum seratokrikoid (anterior, lateral, dan posterior), ligamentum krikotiroid medial, ligamentum krikotiroid posterior, ligamentum kornikulofaringeal, ligamentum hiotiroid medial, ligamentum hioepiglotisa, ligamentum ventrikularis, ligamentum vokale yang menghubungkan kartilago aritenoid dengan kartilago tiroid dan ligamentum tiroepiglotisa Otot -Otot Gerakan laring dilaksanakan oleh kelompok otot-otot ekstrinsik dan otototot intrinsik. Otot-otot ekstrinsik terutama bekerja pada laring secara keseluruhan, sedangkan otot-otot intrinsik menyebabkan gerakan pada bagianbagian tertentu dari laring yang berhubungan dengan gerakan pita suara. 6 Otot-otot ekstrinsik laring ada yang terletak suprahioid dan ada yang terletak infrahioid. Otot-otot ekstrinsik suprahioid adalah muskulus digastrikus, muskulus geniohioid, muskulus stylohioid, dan muskulus milohioid. Sedangkan otot infrahioid adalah muskulus sternohioid, muskulus omohioid, dan muskulus tirohioid. Otot-otot ekstrinsik laring yang suprahioid berfungsi menarik laring ke bawah sedangkan yang infrahioid menarik laring ke atas. 6 Otot-otot intrinsik laring ialah muskulus krikoaritenoid lateral, muskulus tiroepiglotisa, muskulus vokalis, muskulus tiroaritenoid, muskulus ariepiglotisa, dan muskulus krikotiroid. Otot-otot ini terletak di bagian lateral laring. Otot-otot intrinsik laring yang terletak di bagian posterior adalah muskulus aritenioid transversum, muskulus aritenoid oblik dan muskulus krikoaritenoid posterior. Sebagian besar otot-otot intrinsik adalah otot aduktor kecuali muskulus krikoaritenoid posterior yang merupakan otot abduktor. 6 Batas atas rongga laring adalah aditus laring sedangkan batas bawahnya adalah bidang yang melalui pinggir bawah kartilago krikoid. Batas anteriornya adalah permukaan belakang epiglotis, tuberkulum epiglotis, ligamentum

75 tiroepiglotis, sudut antara kedua belah lamina kartilago tiroid dan arkus kartilago krikoid. Batas lateralnya adalah membran kuadrangularis, kartilago aritenoid, konus elastikus dan arkus kartilago krikoid, sedangkan batas posteriornya adalah muskulus aritenoid transverses dan lamina kartilago krikoid. Dengan adanya lipatan mukosa pada ligamentum vokale dan ventrikulare, maka terbentuklah plika vokalis dan plika ventrikularis. Bidang antara plika vokalis kanan dan kiri disebut rima glotis, sedangkan antara kedua plika ventrikularis disebut rima vestibuli. Plika vokalis dan plika ventrikularis membagi rongga laring menjadi 3 bagian, yakni vestibulum laring, glotis dan subglotis. Vestibulum laring ialah rongga laring yang terdapat di atas plika ventrikularis, daerah ini disebut supraglotis. Antara plika vokalis dan plika ventrikularis pada tiap sisinya disebut ventrikulus laring Morgagni. Rima glotis terdiri dari 2 bagian, yaitu bagian intermembran dan bagian interkartilago. Bagian intermembran ialah ruang antara kedua plika vokalis dan terletak di bagian anterior, sedangkan bagian interkartilago terletak di antara kedua puncak kartilago aritenoid dan terletak di bagian posterior. Daerah subglotis adalah rongga laring yang terletak di bawah plika vokalis Inervasi Laring Laring dipersarafi oleh cabang-cabang nervus vagus, yaitu nervus laringis superior dan nervus laringis inferior. Kedua saraf ini merupakan campuran saraf motorik dan sensorik. Nervus laringis superior mempersarafi muskulus krikotiroid, sehingga memberikan sensasi pada mukosa laring di bawah pita suara. Saraf ini mula-mula terletak di atas muskulus konstriktor faring medial, di sebelah medial arteri karotis interna dan eksterna, kemudian menuju kornu mayor tulang hioid dan setelah menerima hubungan dengan ganglion servikal superior, membagi diri dalam 2 cabang, yaitu ramus eksternus dan ramus internus. Ramus eksternus berjalan pada permukaan luar muskulus konstriktur faring inferior dan menuju ke muskulus krikotiroid, sedangkan ramus internus tertutup oleh muskulus tirohioid terletak di sebelah medial arteri tiroid superior, menembus membran hiotiroid dan bersama-sama dengan arteri laringis superior menuju ke mukosa laring. Nervus laringis inferior merupakan lanjutan dari nervus rekuren setelah saraf itu memberikan cabangnya menjadi ramus kardia inferior. Nervus rekuren merupakan cabang dari nervus vagus. Nervus rekuren kanan akan menyilang arteri subklavia

76 kanan di bawahnya, sedangkan nervus rekuren kiri akan menyilang arkus aorta. Nervus laringis inferior berjalan di antara cabang-cabang arteri tiroid inferior dan melalui permukaan mediodorsal kelenjar tiroid akan sampai pada permukaan medial muskulus krikofaring. Di sebelah posterior dari sendi krikoaritenoid, saraf ini bercabang dua menjadi ramus anterior dan ramus posterior. Ramus anterior akan mempersarafi otot-otot intrinsik laring bagian lateral sedangkan ramus posterior mempersarafi otot-otot intrinsik laring bagian superior dan mengadakan anastomosis dengan nervus laringis superior ramus internus Vaskularisasi Laring Pendarahan untuk laring terdiri dari 2 cabang yaitu arteri laringis superior dan arteri laringis inferior. Arteri laringis superior merupakan cabang dari arteri tiroid superior. Arteri laringis superior berjalan agak mendatar melewati bagian belakang membran tirohioid bersama-sama dengan cabang internus dari nervus laringis superior kemudian menembus membran ini untuk berjalan ke bawah di submukosa dari dinding lateral dan lantai dari sinus piriformis, untuk memperdarahi mukosa dan otot-otot laring. Arteri laringis inferior merupakan cabang dari arteri tiroid inferior dan bersama-sama dengan nervus laringis inferior berjalan ke belakang sendi krikotiroid, masuk ke laring melalui daerah pinggir bawah dari muskulus konstriktor faring inferior. Di dalam laring arteri itu bercabang-cabang, memperdarahi mukosa dan otot serta beranastomosis dengan arteri laringis superior. Pada daerah setinggi membran krikotiroid, arteri tiroid superior juga memberikan cabang yang berjalan mendatar sepanjang membran itu hingga mendekati tiroid. Vena laringis superior dan vena laringis inferior sejajar dengan arteri laringis superior dan inferior dan kemudian bergabung dengan vena tiroid superior dan inferior Aliran Limfe Pembuluh limfa untuk laring banyak jumlahnya, kecuali pada daerah lipatan vokal. Pada area ini mukosanya tipis dan melekat erat dengan ligamentum vokale. Di daerah lipatan vokal pembuluh limfa dibagi dalam golongan superior dan inferior. Pembuluh eferen dari golongan superior berjalan melalui dasar sinus piriformis dan arteri laringis superior, kemudian ke atas dan bergabung dengan kelenjar dari bagian superior rantai servikal

77 dalam. Pembuluh eferen dari golongan inferior berjalan ke bawah dengan arteri laringis inferior dan bergabung dengan kelenjar servikal dalam dan beberapa di antaranya menjalar hingga sejauh kelenjar supraklavikular. 6 Gambar 2. Vaskularisasi, aliran limfe dan Inervasi Laring PAPILOMATOSIS LARING Etiopatogenesis Papilomatosis laring pada anak merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh infeki HPV terutama HPV tipe 6 dan 11, yang ditandai dengan adanya lesi eksofitik pada saluran napas. 3 Lesi papilomatosis umumnya berwarna merah muda atau putih, berupa lesi sessile atau eksofitik, dengan dasar bertangkai atau luas, dengan proyeksi seperti daun pakis kecil. Secara histologis, papilomatosis laring terdiri dari proyeksi beberapa epitel skuamosa berlapis non-keratinisasi seperti jari yang melapisi inti vaskularisasi jaringan ikat stroma. Epitel basal dapat normal atau mengalami hiperplasia dan gambaran mitotik umumnya terbatas pada lapisan ini. Diferensiasi selular umumnya abnormal, dengan ekspresi dan produksi keratin yang bervariasi. Derajat atipia dapat menandakan kecenderungan premalignansi. 3 Papilomatosis laring memiliki predileksi letak anatomi yaitu pada sambungan antara epitel skuamosa dan epitel bersilia. Secara umum papilomatosis paling sering terjadi pada limen vestibuli, permukaan nasofaring pada palatum

78 molle, pada zona tengah dari permukaan laring epiglotis, batas atas dan bawah dari ventrikel, permukaan bawah pita suara, karina, dan bronchial spurs. 3 Gambar 3. Papilomatosis laring. 7

79 Gambar 4. Gambaran histopatologi papilomatosis laring. 7 HPV yang diduga sebagai agen penyakit ini merupakan virus DNA dengan kapsid ikosahedral yang tidak berselaput, terdiri dari double stranded asam deoksiribonukleat sirkuler dengan 7900 pasang basa. 8 Genom HPV terdiri dari 3 regio, yakni upstream regulatory region dan dua regio yang dinamakan berdasarkan fase infeksi di mana mereka terekspresi, yaitu early region (E) dan late region (L). 9 Penelitian terkini menunjukkan HPV melekat pada lapisan basal, di mana DNA virus kemudian memasuki sel dan mengelaborasi RNA untuk memproduksi protein-protein virus. Besar kemungkinan imunitas inang berperan penting dalam patogenesis lesi yang diinduksi HPV. Respon humoral dan selular mungkin terkompromais pada anak-anak dengan papilomatosis laring. Peranan sitokin, seperti interleukin-2, interleukin-4, dan interleukin-10 dan ekspresi dari antigen MHC dalam malfungsi dari respon imun termediasi sel pada anak dengan papilomatosis laring telah teridentifikasi. Papilomatosis dengan ekspresi yang rendah dari antigen-antigen ini dapat mengelabui sistem imun dan menyebabkan perjalanan penyakit menjadi lebih cepat. 3 Hingga tahun 1990, HPV telah diduga namun belum dapat dipastikan sebagai penyebab dari papilomatosis laring. Ketidakpastian ini dikarenakan ketidakmampuan peneliti dalam mengembangbiakkan virus tersebut secara in vitro dan kegagalan dalam mengidentifikasi partikel viral secara konsisten pada lesi papilomatosis dengan mikroskop elektron atau antibodi HPV. Saat ini, dengan menggunakan probe virus, DNA HPV telah dapat diidentifikasi pada hampir setiap lesi papilomatosis yang dipelajari. Tipe HPV yang paling sering teridentifikasi pada saluran napas adalah HPV 6 dan HPV

80 Gambar 5. Proses infeksi HPV. 2 Subtipe virus spesifik diduga berkorelasi dengan tingkat keparahan dan gambaran klinis penyakit. Anak-anak yang terinfeksi HPV 11 cenderung mengalami obstruksi saluran napas lebih dini pada proses perjalanan penyakitnya serta lebih banyak memerlukan tindakan trakeotomi dalam penanganannya. Hingga saat ini, sedikitnya terdapat 90 tipe HPV yang telah dapat diidentifikasi. 3 Mekanisme pasti dari transmisi HPV belum jelas hingga saat ini. Beberapa penelitian menemukan adanya hubungan antara kejadian papilomatosis laring pada anak dengan infeksi HPV pada genitalia ibu. Beberapa penelitian retrospektif dan prospektif akhir-akhir ini menemukan bahwa HPV mungkin ditransmisikan secara vertikal dari ibu kepada anaknya. Metode yang paling mungkin untuk terjadinya transmisi fetal-maternal adalah kontak langsung pada jalan lahir. 10 Beberapa peneliti juga mengemukakan bahwa lesi HPV pada genital yang baru didapat cenderung untuk melepaskan virus dibandingkan lesi lama, yang menjelaskan mengapa insidennya lebih tinggi pada anak-anak dengan ibu usia muda dengan status sosioekonomi rendah, yang juga memiliki risiko tinggi terinfeksi penyakit menular seksual seperti HPV. 3 Walaupun pada suatu penelitian HPV dapat diisolasi dari sekret nasofaring pada 30% bayi yang terpapar HPV pada jalan lahir, papilomatosis laring hanya bermanifestasi pada sebagian kecil bayi-bayi tersebut. Beberapa faktor lain yang juga 80

81 diduga berpengaruh terhadap perkembangan penyakit ini adalah imunitas pasien, lama paparan dan volume virus saat terpapar, serta trauma lokal. 3 Dengan demikian, maka diskusi antara ibu yang berisiko dengan dokter kandungannya mengenai kemungkinan transmisi HPV juga diperlukan. 10 Penelitian mengenai faktor predisposisi lainnya juga menemukan pasien anak dengan displasia bronkopulmoner yang memerlukan intubasi endotrakeal dalam jangka waktu lama diduga rentan pula terhadap munculnya papilomatosis laring Diagnosis Diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik THT-KL lengkap serta pemeriksaan penunjang lain. 11,12 Gejala yang khas pada pasien anak dengan papilomatosis laring berupa trias disfonia yang progresif, stridor, dan distress pernapasan. Walaupun suara serak pada anak sering diabaikan atau baru diperhatikan saat sudah mencapai tingkat tertentu, seorang anak dengan perubahan suara yang bersamaan dengan munculnya gejala obstruksi saluran napas wajib dilakukan laringoskopi untuk menyingkirkan adanya neoplasia. Umumnya stridor pada awalnya muncul saat inspirasi lalu menjadi bifasik. Gejala lainnya yang juga dapat muncul meliputi batuk kronis, pneumonia rekuren, gagal tumbuh dan berkembang, dispneu, dan disfagia. Pada kasus tanpa distress pernapasan, riwayat penyakit penderita harus dicermati secara seksama. Informasi mengenai onset gejala, kemungkinan trauma saluran napas termasuk riwayat intubasi terdahulu, juga karakteristik tangis anak sangatlah penting. Mekanisme struktur laring yang sangat presisi menyebabkan suara serak dapat muncul bahkan pada lesi yang kecil sekalipun dan dapat menjadi penanda awal dari perjalanan penyakit. Walaupun secara histologi sama, suara serak yang ditimbulkan akibat adanya papillomatosis laring berbeda-beda. Hal ini tergantung dari ukuran dan lokasi dari lesi. Suara lowpitched, kasar, fluttering menandakan lesi subglotis, sedangkan suara high-pitched, terputus-putus, afonia menyiratkan suatu lesi glotis. Suatu stridor high-pitched juga dapat menandakan adanya lesi glotis atau subglotis. Neonatus dengan stridor sejak lahir juga perlu dipikirkan kemungkinannya menderita papilomatosis. 3 Anak-anak dengan gejala yang mengarah pada papilomatosis laring harus menjalani pemeriksaan yang terstruktur dan menyeluruh. Laju dan derajat distress pernapasan pada anak merupakan hal pertama yang dievaluasi. Gejala takipneu, 81

82 napas cuping hidung, tarikan otot-otot bantu pernapasan, adanya sianosis dan penampakan air hunger pada anak perlu dievaluasi untuk mengetahui apakah ada risiko perburukan obtruksi jalan napas. Pulse oximetry dapat membantu analisis kuantitatif mengenai status respiratorius anak. Bila keadaan anak sudah sangat lemah maka pemeriksaan tambahan tidak boleh dilakukan di tempat selain kamar operasi, instalasi rawat darurat, atau unit terapi intensif, di mana perlengkapan resusitasi untuk intubasi saluran napas, endoskopi evaluasi, dan kemungkinan trakeotomi tersedia. Pada anak yang stabil dan teroksigenasi dengan baik, pemeriksaan penunjang dapat dilakukan sebagaimana biasanya. Dokter harus mengevaluasi secara saksama hidung, rongga mulut, leher dan dada untuk menentukan kemungkinan lokasi obstruksi. Anak dengan papilomatosis laring tidak akan menunjukkan banyak perubahan dengan perubahan posisi. 3 Pemeriksaan fisik terhadap pasien dengan papilomatosis laring dapat dikerjakan dengan pemeriksaan laringoskopi indirek dengan kaca laring atau laringoskop kaku atau laringoskop serat optik. Kebanyakan dokter menemukan bahwa visualisasi dengan laringoskop serat optik fleksibel jauh lebih baik daripada menggunakan kaca laring atau laringoskop kaku pada anak. Kerjasama pasien sangat diharapkan walaupun sudah dengan penggunaan anestesi topikal. Pasien yang berumur 1 hingga 6 tahun merupakan kelompok yang cukup sulit untuk pemeriksaan ini, sehingga butuh kesabaran dan keterampilan yang baik dari pemeriksa. Pemeriksaan seksama pada faring, hipofaring, laring, dan area subglotis menyediakan informasi yang penting dalam membuat diagnosis papilomatosis laring serta estimasi ukuran lumen, mobilitas pita suara, dan urgensi dari intervensi operatif. Pasien anak dengan papilomatosis laring perlu kontrol dan menjalani pemeriksaan endoskopi secara teratur untuk menetapkan derajat agresivitas penyakitnya. Mereka perlu disarankan untuk kembali kontrol atau menghubungi tempat pelayanan kesehatan yang terkait sesegera mungkin bila keluarga menemukan adanya tanda-tanda distress pernapasan. 3 Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan meliputi identifikasi HPV pada lesi melalui pemeriksaan imunohistokimia, isolasi DNA virus, teknik hibridisasi in situ, dan polymerase chain reaction (PCR), juga rontgen thoraks serta CT Scan leher dan dada untuk mengetahui penyebaran penyakit ke arah distal. Penyebaran penyakit 82

83 ke trakea dan paru dimanifestasikan sebagai massa padat atau kistik pada rontgen atau CT Scan. 11, Diagnosis banding Diagnosis papilomatosis laring pada anak sulit ditegakkan pada fase awal penyakit. Penyakit ini sering keliru didiagnosis sebagai laringotrakeobronkhitis, asma bronkhial, laringomalasea, paralisis pita suara, nodul pita suara atau kista laring kongenital. 3, Penatalaksanaan Hingga saat ini belum ada suatu modalitas tunggal yang secara konsisten efektif dalam mengeradikasi papilomatosis laring. Terapi papilomatosis laring saat ini meliputi pembedahan dan beberapa modalitas terapi ajuvan. 2,3,14 Karena kasus ini relatif jarang dan berkembang secara perlahan, banyak kasus yang tidak terdeteksi hingga muncul distress pernapasan karena papilloma dapat mengobstruksi jalan napas. Implikasinya adalah diperlukannya tindakan trakeotomi pada kebanyakan pasien anak. Sebagian besar peneliti menyarankan bahwa tindakan trakeotomi sebaiknya dihindari kecuali pada kasus yang sangat memerlukannya. Bila trakeotomi tidak dapat terhindarkan, maka dekanulasi harus segera dilakukan begitu penyakit ini telah dapat ditangani secara efektif dengan endoskopi. 3,14 Standar penatalaksanaan papilomatosis laring saat ini adalah pembedahan, yang bertujuan untuk membersihkan papiloma secara total dengan preservasi struktur yang normal serta mempertahankan kualitas suara seoptimal mungkin. Tujuan dari terapi pada kasus dengan penyakit yang ekstensif adalah untuk meminimalisir gangguan akibat adanya tumor, mengurangi kecepatan penyebaran penyakit, menjaga keamanan dan kepatenan saluran napas, meningkatkan kualitas suara dan menambah interval waktu antara prosedur pembedahan. Sangat dianjurkan untuk dapat mengambil sebanyak mungkin jaringan patologis dengan tetap mempertahankan bagian yang secara anatomi dan morfologi normal, serta menghindari komplikasi stenosis subglotis dan glotis, pembentukan jaringan parut dan menutupnya jalan napas. 2,3,14 Terapi pembedahan berupa ekstirpasi lesi dengan teknik mikrolaringoskopi dapat menggunakan forsep, laser CO2, phono-microsurgical, laser flash-scan, dan mikrodebrider. 3,13 83

84 Laser CO2 merupakan instrumen yang sering dipakai dalam penanganan papilomatosis yang melibatkan laring, faring, trakea, rongga hidung dan mulut. 13 Laser CO2 dapat membantu dalam mendestruksi jaringan secara tepat dan menjaga hemostasis selama operasi serta dapat memperpanjang periode bebas penyakit pada beberapa kasus. 13,16 Ketika dipasangkan dengan mikroskop operasi, laser tersebut menguapkan lesi dan menimbulkan perdarahan minimal. Ketika digunakan dengan teknik tanpa sentuhan, akan meminimalkan kerusakan pita suara dan membatasi terbentuknya jaringan parut. Laser CO2 memiliki emisi panjang gelombang sebesar nm dan mengubah energi cahaya menjadi energi thermal, yang mendestruksi jaringan secara terkontrol dengan penguapan air. Laser ini juga mengkauterisasi permukaan jaringan. Walaupun penggunaan laser CO2 menjanjikan suatu presisi dan hemostasis yang baik, namun umumnya diperlukan beberapa kali prosedur. Laringoskopi laser berinterval direkomendasikan untuk menghindari trakeotomi dan mempreservasi anatomi pita suara normal sehingga fonasi anak tetap baik. 3 Penggunaan laser CO2 pada pita suara harus sangat berhati-hati karena berpotensi membentuk jaringan parut pasca operasi akibat transfer panas yang tidak dikehendaki. Papiloma yang berada di komisura anterior perlu dibersihkan secara saksama dan hati-hati untuk mencegah aposisi antara dua permukaan mukosa yang terluka. Ahli bedah yang kurang berhati-hati dalam menggunakan laser sehingga melukai lapisan jaringan yang lebih dalam akan menghadapi konsekuensi timbulnya jaringan parut yang luas dan fungsi pita suara yang abnormal. Bahkan penggunaan laser yang agresif dapat menimbulkan perlukaan pada jaringan yang normal sehingga rentan terhadap perlekatan oleh virus. Untuk meminimalisir hal tersebut, eksisi dengan skalpel dapat dilakukan dengan prinsip phono-microsurgical, submucosal infusion, dan instrumentasi mikro tetapi pendekatan ini baru direkomendasikan pada pasien papilomatosis laring dewasa. 17,18 Kebanyakan ahli bedah saat ini melengkapi atau pada beberapa kasus mengganti laser CO2 dengan mikrodebrider endoskopik dengan tujuan debulking papilomatosis laring secara cepat. Walaupun teknik ini relatif baru, tapi dengan pengembangan shaver blades yang lebih kecil (< 2 mm) diharapkan pasien mendapatkan suatu keuntungan dalam hal jaringan parut laring yang lebih sedikit, prosedur yang lebih aman, lebih cepat dan dapat mengurangi biaya. 3 84

85 Teknik yang digunakan baik pada laser maupun mikrodebrider dapat dimodifikasi tergantung dari area yang terkena, jumlah prosedur pembedahan sebelumnya, dan derajat obstruksi saluran napas. 3 Beberapa terapi ajuvan yang diteliti dalam penanganan papilomatosis laring saat ini meliputi cidofovir, interferon-α, terapi fotodinamik, indole-3-carbinol, asiklovir, asam retinoat, dan estrogen. 2,35 Terapi ajuvan diberikan bila pasien telah menjalani operasi lebih dari 4 kali dalam setahun, terdapat penyebaran penyakit ke lokasi yang lebih distal dan/atau pertumbuhan kembali lesi yang cepat disertai dengan gangguan jalan napas. 3 Cidofovir intralesi adalah anti virus yang sering digunakan. Cidofovir merupakan suatu analog nukleotida yang memiliki aktivitas antiviral dan dapat menginduksi apoptosis pada sel yang terinfeksi HPV. Sebagai tambahan pasien anak umumnya memerlukan infiltrasi cidofovir berulang pada laring dengan anestesi umum. Hal ini meningkatkan risiko bahaya pada saluran napas dan menambah biaya serta morbiditas dari terapi ini. 3 Interferon-α merupakan suatu jenis protein yang diproduksi sel sebagai respon terhadap berbagai stimuli, termasuk suatu infeksi virus. Enzim-enzim yang terbentuk menghentikan replikasi RNA dan DNA virus dan mengubah membran sel sehingga penetrasi virus menjadi lebih sulit. Mekanisme pasti mengenai cara interferon-α menimbulkan reaksi tersebut belum dapat dipahami secara jelas. Interferon-α tampaknya memodulasi repon imun inang dengan meningkatkan produksi protein kinase dan endonuklease yang menghambat sintesis protein virus. Efek samping dari interferon-α yang umum terjadi dikelompokkan dalam dua kategori, yakni reaksi akut (demam dan gejala seperti flu, meriang, sakit kepala, mialgia, dan mual yang berkurang seiring perjalanan terapi) dan reaksi kronis (penurunan laju pertumbuhan anak, elevasi transaminase hepar, leukopenia, diplegia spastik, dan kejang demam). Timbulnya trombositopenia telah pula dilaporkan, juga bercak kemerahan pada kulit, kulit kering, alopesia, pruritus generalis, dan kelelahan. Interferon-α yang diproduksi dengan teknik DNA rekombinan menunjukkan efek samping yang lebih sedikit dan memiliki efikasi yang lebih baik daripada interferon-α yang didapat dari tuaian pada bank darah. Terapi dimulai dengan dosis 5 juta unit/m 2 luas permukaan tubuh yang diadministrasikan melalui injeksi subkutan setiap hari selama 28 hari kemudian dilanjutkan dengan 3 hari setiap minggunya selama sedikitnya 6 bulan percobaan. 85

86 Setelah 6 bulan, pada anak dengan respon yang baik, apabila efek samping yang timbul cukup parah, maka dosis dapat diturunkan menjadi 3 juta unit/m 2 3 hari dalam seminggu, dengan sapihan yang berlanjut setelahnya. 3,19 Terapi fotodinamik didasarkan pada transfer energi pada bahan yang fotosensitif. Bahan orisinal yang digunakan adalah dihematoporfirin ether (DHE), yang memiliki kecenderungan untuk terkonsentrasi dalam papiloma daripada jaringan normal di sekitarnya. Pasien umumnya diinjeksi secara intravenous dengan dosis 4,25 mg/kg BB sebelum foto aktivasi dengan argon pump dye laser. Sedikit penurunan laju pertumbuhan papilomatosis laring namun signifikan secara statistik, terutama pada pasien dengan derajat penyakit yang parah, terlihat pada penggunaan fototerapi dan DHE. Kekurangan dari terapi ini adalah pasien menjadi sangat fotosensitif dalam periode 2 sampai 8 minggu. 3 Ketertarikan saat ini telah berfokus pada indole-3-carbinol kimia murni (I3C) yakni suatu suplemen makanan yang belum disetujui FDA tapi telah menunjukkan aktivitas dalam menghambat formasi papiloma pada tikus. Zat kimia ini ditemukan dengan konsentrasi tinggi dalam sayur kol, brokoli, dan kol kembang. Sebuah penelitian kecil di RS Yahudi Long Island menunjukkan hasil yang menjanjikan walaupun terdapat perdebatan mengenai jumlah zat aktif yang sebaiknya diberikan pada pasien. 3 Obat antiviral lainnya yang juga diteliti dalam penanganan papilomatosis laring adalah asiklovir. Terdapat postulasi yang menyebutkan bahwa asiklovir mungkin efektif dalam penanganan papilomatosis laring bila ada penyakit lain yang menyertai, seperti infeksi simultan oleh virus herpes simpleks. 3 Bentuk terapi lain seperti kemoterapi dan terapi hormonal belum dapat dibuktikan tingkat keberhasilannya. 13 Usaha pencegahan penyakit papilomatosis laring juga telah dilakukan. Saat ini vaksin kuadrivalen (HPV tipe 6,11,16,18) sedang dalam studi klinis tahap ketiga. Hasil dari penelitian sebelumnya tentang vaksin HPV 16 dan 18 untuk mencegah displasia serviks pada wanita usia subur menunjukkan hasil yang cukup baik. Apabila ditemukan hasil yang serupa pada vaksin kuadrivalen ini, maka diharapkan adanya reduksi suseptibilitas neonatus terhadap virus pada ibu-ibu yang tervaksinasi. 3,,20 86

87 2.2.5 Komplikasi Walaupun merupakan suatu penyakit yang jinak, penyakit ini memiliki konsekuensi morbiditas karena mengenai saluran napas dan risikonya beralih menjadi suatu keganasan pada papilomatosis kronis yang invasif. 3 Penyebaran penyakit dapat terjadi pada lokasi dari laring ke trakea sampai paru. Kashima melaporkan penyebaran penyakit ke trakea sebanyak hingga 26% pasien dan penyebaran ke bronkopulmonalis sebanyak kurang dari 5% pasien. 21 Perkembangan papiloma menjadi karsinoma sel skuamosa dapat terjadi namun jarang. Karsinoma sel skuamosa paling sering terjadi pada penyebaran paru distal. Apakah ini merupakan transformasi dari tumor atau akibat dari metaplasia atau displasia skuamosa yang ditimbulkan oleh eksisi bedah yang berulang masih belum jelas. 3,12 Komplikasi penyakit dan prosedur bedah termasuk stenosis posterior glotis, stenosis anterior glotis (pada sekitar 20-30% kasus), stenosis subglotis, atau stenosis trakea. Komplikasi intraoperatif termasuk pneumothoraks dan terbakarnya jalan napas, yang dapat mengakibatkan cedera trakea atau cedera paru. Sebaiknya prosedur pembedahan rekonstruksi untuk memperbaiki komplikasi yang terjadi dilakukan saat penyakit telah dorman selama beberapa tahun Prognosis Pasien anak yang terdiagnosis dengan papilomatosis laring memiliki prognosis yang bervariasi. Umumnya pasien anak dengan papilomatosis laring membutuhkan eksisi bedah sesering setiap 2 hingga 4 minggu. Terkadang anak-anak menjalani sebanyak total 150 operasi, hingga kemudian penyakit tersebut menjadi dorman pada masa remaja, walaupun hal ini tidak selalu terjadi. 9 Banyak dari anak-anak dengan derajat penyakit yang berat akhirnya mendapatkan komplikasi seperti penyebaran penyakit ke trakea hingga bronkopulmonalis, transformasi tumor, serta stenosis glotis atau trakea. Papilomatosis laring pada neonatus diduga merupakan faktor prognosis yang buruk dengan tingginya mortalitas dan perlunya tindakan trakeotomi. 3 Penyakit ini harus dimonitor secara saksama untuk menentukan agresivitasnya. Beberapa ahli bedah menindaklanjuti pasien di klinik, menilai kebutuhan prosedur pembedahan berikutnya berdasarkan gejala obstruksi jalan napas pasien dan pada apa yang diamati dengan laringoskopi serat optik fleksibel. Bagi anak-anak yang 87

88 kemungkinan besar memiliki penyakit agresif, bronkoskopi rutin awal di ruang operasi dengan interval 4-6 minggu dapat digunakan untuk menilai perkembangan penyakit. Praktik ini dapat mengurangi kebutuhan pemeriksaan serat optik di klinik. 3,8,9 Angka rekurensi papilomatosis laring dapat mencapai 70%. Hingga saat ini belum diketahui secara pasti faktor-faktor yang mempengaruhi rekurensi papilomatosis laring. Diagnosis dini dan penanganan yang tepat diduga merupakan faktor yang berpengaruh terhadap rekurensi. 3 Kematian pada pasien umumnya dihubungkan dengan komplikasi akibat prosedur pembedahan yang berulang atau gagalnya sistem pernapasan karena penyebaran penyakit ke arah distal. 3 I. LAPORAN KASUS Pasien perempuan inisial SN berusia 6 tahun datang ke Poli THT-KL RSUP Sanglah Denpasar pada tanggal 7 Oktober 2016 dengan keluhan suara serak disertai sesak. Suara serak dikeluhakan oleh orang tuanya sejak umur 2 tahun dan makin lama dirasakan semakin bertambah berat dan suara semakin hilang. Keluhan sesak muncul sejak 1 bulan yang lalu. Keluhan sesak disertai dengan nafas berbunyi. Pasien tidak mengeluhkan adanya batuk lama. Tidak ada keluhan pada makan dan minum serta tidak ada penurunan berat badan. Pasien tidak memiliki riwayat adanya penyakit asma, jantung, nyeri ulu hati, tuberkulosis paru, alergi, trauma, atau operasi pada daerah leher dan dada. Pasien lahir spontan pervaginam, langsung menangis tidak biru atau sesak. Berdasarkan pernyataan ibu pasien, ibu pasien menyangkal adanya riwayat keputihan ataupun menderita kutil pada kelamin. Riwayat kebiasaan berganti pasangan disangkal. Pada pemeriksaan fisik tanggal 7 Oktober 2017 didapatkan keadaan umum pasien baik, kompos mentis, berat badan 20 kg. Pemeriksaan telinga, hidung, tenggorok dalam batas normal. Tidak didapatkan pembesaran kelenjar getah bening. Didapatkan adanya stridor, tapi tidak terdapat retraksi. Pada pemeriksaan laringoskopi tidak langsung didapatkan massa padat putih pada plika vokalis dengan pergerakan kedua plika vokalis normal. Kemudian dilanjutkan pemeriksaan 88

89 laringoskopi serat optik (gambar 6) didapatkan gambaran massa putih dengan permukaan berbenjol-benjol pada plika vokalis, plika ventrikularis, dan rima glottis. Gambar 6. Hasil pemeriksaan laringoskopi fleksibel tampak massa berbenjol-benjol pada plika vokalis, rima glotis(tanda panah) Pasien didiagnosis dengan papilloma laring dan direncanakan untuk dilakukan ekstirpasi (pengangkatan massa) papilloma laring dengan terlebih dahulu dilakukan trakeostomi sebelum tindakan pada tanggal 18/11/2016. Dilakukan pemeriksaan laboratorium dengan hasil White Blood Cell (WBC) : 5,42 x 10 3 /µl, Hemoglobin (Hb): 13,37gr/dL, Platelet (Plt): 215 x 10 3 / µl, waktu perdarahan : 2,00 detik, waktu pembekuan : PPT: 13,7 detik, aptt: 33,1 detik, INR: 1,12. Dilakukan pemeriksaan rontgen dada tidak ditemukan adanya kelainan pada jantung dan paru. Kemudian pasien dikonsulkan ke sejawat anestesi untuk kelayakan operasi. Dari teman sejawat anestesi didapatkan status fisik ASA 2. Pada tanggal 14 November 2016, pasien datang ke poli IGD dengan keluhan sesak bertambah berat disertai nafas berbunyi. Pada pemeriksaan fisik didapatkan sesak nafas dengan stridor inspirasi, tampak retraksi otot pernafasan pada suprasternal, epigastrium, dan interkostal. Penderita didiagnosis obstruksi laring stadium tiga dengan penyebab papiloma laring. Konsultasi ke bagian anestesi untuk tindakan segera trakeostomi pada pasien di ruang operasi OK IRD RSUP Sanglah. Tindakan trakeostomi dilakukan dibawah pengaruh anestesi umum dengan posisi kepala hiperekstensi, desinfeksi lapangan operasi dan lapangan operasi dipersempit dengan duk steril. Infiltrasi larutan kombinasi lidokain 1: epinefrin daerah leher dua jari diatas fosa jugularis, insisi secara vertikal mulai dari prominensia kartilago tiroid sampai dua jari di atas fosa jugularis, diperdalam secara tumpul sampai strap muscle, teridentifikasi tiroid kemudian disisihkan keatas dengan 89

90 hak, identifikasi trakea dengan aspirasi uji trakea dengan spuit berisi aquabides, positif berisi gelembung udara. Insisi trakea bentuk U kemudian dilakukan insersi kanul trakeostomi, perdarahan dirawat dan operasi selesai. Gambar 7. Foto pasien setelah menjalani trakeostomi (14 November 2016) Pada tanggal 16 November 2016 pasien dilakukan ekstirpasi massa papilloma laring dengan menggunakan laringoskopi dan cunam biopsi. Pada temuan operasi didapatkan massa putih kemerahan berbenjol-benjol di daerah plika vokalis kanan dan kiri dari anterior sampai posterior, plika ventrikularis kanan dan kiri, tampak pula massa memenuhi rima glotis. Massa diangkat hingga bersih dan jaringan dikirim ke patologi anatomi. Gambar 8. Operasi ekstirpasi massa papiloma (16 November 2016) Pasien dirawat total selama 4 hari setelah operasi trakeostomi. Selama perawatan diberikan pengobatan dengan antibiotik seftriakson 2x 500 mg (iv), analgetik parasetamol 3x Cth 1 ¾ dan dilakukan perawatan kanul trakeostomi setiap hari. Pada tanggal 18 November 2016 pasien kemudian dipulangkan dengan pengobatan oral sefiksim sirup 3x Cth ½, parasetamol sirup 3x Cth 1 ¾ dan kanul 90

91 trakeostomi dipertahankan. Pasien disarankan untuk kontrol kembali ke poli THT-KL setelah 3 hari. Paska operasi hari ke 7, pasien kontrol ke poliklinik THT-KL divisi laring faring. Keadaan pasien baik, tak tampak sesak maupun sianosis, masih terpasang kanul trakeostomi dan terawat baik. Pasien membawa hasil patologi anatomi. Hasil patologi anatomi tanggal 21 November 2016 menggambarkan epitel skuamous berlapis yang hiperplastik tanpa tanda displasia membentuk struktur papilomatik. Pada stroma sub epitel tampak sebaran sel radang limpoplasmasitik dan polimorfonuklear neutrophil. Disimpulkan sebagai suatu gambaran morfologi yang sesuai untuk papilloma skuamosa laring. Gambar 9. Hasil pemeriksaan histopatologi sesuai dengan gambaran morfologi suatu papilloma skuamosa laring Pada tanggal 14 Desember 2016 dilakukan evaluasi ulang dengan melakukan pemeriksaan laringoskopi fleksibel didapatkan masih terdapat sisa massa berwarna putih pada plika vokalis sinistra 1/3 anterior. Pasien direncanakan dilakukan operasi kembali yakni ekstirpasi massa papilloma laring (tanggal 30 Januari 2017). Gambar 10. Hasil pemeriksaan laringoskopi fleksibel setelah dilakukan operasi ekstirpasi massa papilloma laring 91

92 Pada tanggal 30 Januari 2017 dilakukan operasi kedua pengangkatan massa papilloma. Massa terlihat berwarna putih pada daerah plika vokalis kiri. Massa diangkat hingga bersih. Pasien dirawat selama satu hari setelah operasi. Pasien diperbolehkan pulang tanggal 1 Februari 2017 diberikan pengobatan sefiksim sirup 3x Cth ½, parasetamol sirup 3x Cth 1 ¾. Kanul trakeostomi tetap dipertahankan. Satu minggu paska operasi tanggal 7 Februari 2017 pasien kontrol. Suara serak masih dirasakan tapi terdapat perbaikan dibandingkan sebelum operasi. Keluhan lain tidak dirasakan pasien. Pada tanggal 21 Februari 2017 dilakukan evaluasi ulang dengan pemeriksaan laringoskopi fleksibel tidak didapatkan gambaran massa papiloma pada plika vokalis, plika ventrikularis dan rima glottis. Kemudian pasien dilakukan dekanulasi. Pasien disarankan untuk tetap kontrol setiap bulan untuk evaluasi. Apabila keluhan serak semakin bertambah atau terdapat sesak nafas, pasien diminta untuk langsung berobat. Gambar 11. Hasil pemeriksaan laringoskopi fleksibel setelah dilakukan operasi ekstirpasi kedua (21 Februari 2017) Pada tanggal 20 April 2017 pasien kontrol ke poli THT-KL keadaan umum pasien baik, tidak ada sesak. Suara serak masih ada tetapi terdapat perubahan kualitas suara dari pada sebelumnya. Keluhan lain tidak dirasakan pasien. Evaluasi laringoskop fleksibel tidak tampak gambaran massa pada plika vokalis, epiglottis, dan aritenoid. Pada tanggal 6 Juni 2017 pasien kontrol ke poli THT-KL. Keadaan pasien baik, tak tampak sesak, suara serak sudah mengalami perbaikan. Keluhan lain tidak dirasakan pasien. Evaluasi laringoskop fleksibel tidak tampak gambaran massa pada plika vokalis, epiglottis, dan aritenoid. 92

93 IV. PEMBAHASAN Dilaporkan satu kasus papilomatosis laring pada anak, perempuan berusia 5 tahun yang ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik THT-KL, termasuk pemeriksaan laringoskopi tidak langsung dan laringoskopi fleksibel (serat optik). Diagnosis pasti ditegakkan dari hasil biopsi pada saat operasi. Berdasarkan waktu terjadinya, kasus papilomatosis laring pada pasien ini merupakan papilomatosis laring tipe juvenilis (ditetapkan pada pasien yang telah terdiagnosa pada usia kurang atau sama dengan 12 tahun). Papilomatosis laring tipe juvenilis biasanya berupa lesi multipel, bersifat agresif dan mudah kambuh. Namun pailomatosis tipe ini dapat regresi secara spontan pada usia pubertas. Papilomatosis laring pada anak umumnya terdiagnosa pada umur 2 hingga 4 tahun Mayoritas dari pasien ini (75%) telah terdiagnosa pada umur kurang dari 5 tahun. Distribusi pada anak laki-laki dan perempuan cenderung berimbang. 22 Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Amstrong dkk, kasus papilomatosis respiratorik rekuren pada anak di Atlanta didapatkan sebanyak 21 kasus. Distribusi berdasarkan jenis kalamin tidak didapatkan perbedaan yang signifikan antara laki-laki dan perempuan yakni sebesar 1,1:1. Sebesar 42% kasus telah terdiagnosa sebelum umur 5 tahun. Penelitian juga dilakukan di Seattle didapatkan 14 kasus papilomatosis respiratorik rekuren pada anak dan telah terdiagnosa sebelum umur 5 tahun dengan persentase 21%. 23 Gambaran klinik dari papilomatosis laring berhubungan dengan obstruksi jalan nafas. Tanda pasti papilomatosis laring pada anak adalah adanya trias yakni suara parau yang progresif, stridor dan distress pernapasan. Suara parau pada anak cenderung diabaikan atau baru diterima ketika derajatnya sudah parah yang diikuti dengan gejala obstruksi jalan napas atas. Kebanyakan pasien terutama pada anak datang dengan dengan obstruksi jalan nafas dan sering salah diagnosis sebagai asma, bronkitis kronis atau laringotrakeobronkitis. 2 Pada kasus ini pasien datang dengan keluhan suara parau disertai sesak. Suara parau makin lama dirasakan semakin memberat dan suara semakin menghilang. Sesak kemudian dikeluhkan sejak 1 bulan yang lalu disertai suara nafas berbunyi. Berdasarkan penelitian oleh Long dan Sani, suara parau atau disfonia merupakan keluhan utama dan keluhan yang paling sering ditemukan dari papilomatosis laring yakni sebesar 90% kemudian diikuti batuk (30%), stridor(30%) dan aphonia (10%). 24 Dari penelitian oleh Poenaru dkk, gambaran klinis yang sering 93

94 ditemukan pada papilomatosis laring adalah suara serak (95,65%), batuk kronis (65,21%), stridor (56,52%) dan dipsnea (47,82%). 25 Kejadian papilomatosis laring pada anak diduga terjadi akibat transmisi HPV pada saat kelahiran. Risiko transmisi infeksi HPV dari Ibu ke Anak diperkirakan berkisar 1:80 hingga 1:500. Risiko ini meningkat pada anak pertama yang lahir pervaginam pada ibu yang menderita infeksi HPV genital. Kashima menemukan bahwa anak pertama yang lahir pervaginam pada ibu primigravida cenderung mengalami fase kala dua yang panjang sehingga mengakibatkan pajanan virus yang lebih lama dan meningkatkan risiko infeksi pada anak pertama mereka. 21 Pada kasus, pasien merupakan anak pertama yang lahir spontan secara pervaginam. Tetapi belum dapat dipastikan adanya riwayat ibu pasien menderita infeksi HPV genital seperti kondiloma. Shah dkk, memperkirakan risiko seorang anak terinfeksi penyakit ini dari ibu yang memiliki lesi kondiloma aktif dan melahirkan secara normal sebesar 1: Hal yang sama juga ditunjukkan oleh Silverberg dkk, anak-anak yang lahir dari seorang ibu yang menderita kondiloma aktif akan memiliki peningkatan risiko sebesar 231 kali terjadinya papilomatosis bila dibandingkan dengan anak yang lahir dari ibu yang sehat. 26 Gambaran papilomatosis laring terlihat sebagai massa multinodular seperti kembang kol (cauliflower) yang tumbuh eksofitik, dasar bertangkai atau luas, berwarna merah muda atau putih. 3 Pada kasus, gambaran makroskopis melalui pemeriksaan laringokopi fleksibel tampak massa berawarna putih berdungkuldungkul pada plika vokalis dekstra dan sinistra, commisura anterior, tampak massa berwarna merah muda dengan permukaan yang berdungkul-dungkul pada plika ventrikularis, dan tampak massa putih seperti kembang kol pada rima glottis. Papiloma laring memiliki predileksi yakni tempat bertemunya (junctional site) antara epitel skuamosa dan epitel silia respiratorik seperti di laring (plika vokalis, plika ventrikularis, dan epiglottis), trakea (carina). 13 Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Poenaru dkk, menunjukkan papilomatosis laring tipe juvenilis terbanyak ditemukan pada komisura anterior dan plika vokalis (78,26%), diikuti plika vokalis, commisura anterior dan posterior, plika ventrikularis dan permukaan epiglottis (13,04%), serta area subglotik (8,69%) 25 Banyak faktor telah dikemukakan sebagai factor resiko penyebab terjadinya papilloma laring, namun infeksi HPV yang diyakini merupakan penyebab utama 94

95 terjadinya penyakit ini. Melalui pemeriksaan in situ hybridization dan polymerase chain reaction (PCR), DNA HPV dapat teridentifikasi pada hampir setiap pemeriksaan lesi papilloma. Tipe yang paling sering ditemukan pada kasus papilomatosis adalah sub tipe 6 dan 11, tipe yang sama yang bertanggung jawab sebagai penyebab kondiloma genital. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Lenny dkk, dari 15 sampel jaringan papilloma, dilakukan pemeriksaan PCR dan analisis sequen DNA didapatkan 9 isolat HPV tipe 6, 4 isolat HPV tipe 11 dan 2 isolat tipe HPV lainnya. 26 Pada kasus, pasien tidak dilakukan pemeriksaan penunjang untuk identifikasi HPV dengan PCR karena keterbatasan biaya. Papilomatosis laring pada anak merupakan penyakit dengan potensi morbiditas tinggi. Papiloma laring yang tumbuh secara agresif dapat menyebabkan terjadinya obstruksi jalan napas. Pada kasus, pasien mengalami obstruksi laring derajat 3 dan dilakukan penanganan trakeostomi. Berdasarkan kiriteria Jackson, obstruksi laring dibagi menjadi 4 derajat atau stadium yakni Stadium 1 ditandai dengan sesak, stridor inspirasi ringan, retraksi suprasternal, tanpa sianosis, Stadium 2 ditandai dengan gejala sesuai Jackson 1 tetapi lebih berat disertai retraksi retraksi epigastrium, dan pasien tampak mulai gelisah, Stadium 3 ditandai dengan gejala sesuai Jackson 2 disertai retraksi intercostal dan infraklavikula, stridor terdenganr saat inspirasi dan ekspirasi, Stadium 4 ditandai gejala Jackson 3 disertai pasien sangat geliah, tampak sangat ketakutan, dan sianosis. Penanganan untuk obstruksi laring pada prinsipnya diupayakan agar jalan napas lancar kembali. Tindakan konservatif dengan pemberian anti inflamasi anti alergi, antibiotika dan oksigen dilakukan pada obstruksi laring stadium 1. Stadium 2 dan 3 diperlukan penanganan tindakan operasi dapat berupa intubasi endotrakea atau trakeostomi sedangkan stadium 4 diperlukan penanganan krikotirotomi. Tidak ada modalitas yang secara efektif ditunjukkan dalam eradikasi papilomatosis laring. Standar terapi saat ini yakni terapi pembedahan dengan tujuan mengangkat seluruh papiloma dan atau memperbaiki dan mempertahankan jalan napas. Terapi bedah harus berdasarkan prinsip pemeliharaan jaringan normal untuk mencegah penyulit seperti stenosis laring. Penatalaksanaan papilomatosis pada pasien ini yakni ekstirpasi massa papiloma dengan menggunakan laringoskopi dan cunam biopsi. Pada pasien ini dipilih teknik dengan menggunakan instrumen bedah karena teknik ini tidak merusak struktur yang lebih dalam dengan menghindari trauma panas. Penggunaan instrumen bedah dapat dipilih sebagai modalitas ideal pada lesi 95

96 papilloma di plika vokalis atau pada struktur yang tidak dapat dicapai dengan laser. Pada kasus papilloma laring yang rekuren, terapi bedah dengan dengan menggunakan laser CO2 merupakan pilihan. Keuntungan penggunaan laser CO2 adalah dapat membantu dalam mendestruksi jaringan secara cepat teapat dan menjaga hemostasis selama operasi serta dapat memperpanjang periode bebas penyakit pada beberapa kasus. Laser CO2 merupakan instrumen yang direkomendasikan karena laser dapat meminimalisir dilakukannya trakeostomi, meminimalkan kerusakan pada plika vokalis, dan membatasi skar sehingga mengizinkan anak untuk dapat mengembangkan fonasi yang baik dengan anatomi plika vokalis yang normal. 25 Pemberian terapi ajuvan seperti cidofovir, interferon-α, terapi fotodinamik, indole-3-carbinol, asiklovir, asam retinoat dan estrogen tidak diberikan pada pasien ini. Berdasarkan kepustakaan terapi ajuvan diberikan bila pasien telah menjalani operasi lebih dari 4 kali dalam setahun, terdapat penyebaran penyakit ke lokasi yang lebih distal, atau rekurensi yang cepat disertai dengan gangguan jalan napas. Pemberian terapi ajuvan sampai saat ini belum memberikan bukti ilmiah yang memadai terhadap tingkat keberhasilan dalam mengeradikasi papiloma sehingga masih terus dibutuhkan penelitian lebih lanjut mengenai terapi ajuvan untuk kasus papilloma laring. 25 Sebagaimana dalam kepustakaan disebutkan setelah operasi, pasien harus istirahat suara total dalam minggu pertama, bicara ringan pada minggu kedua dan secara bertahap menggunakan suara pada minggu-minggu berikutnya. Pada kasus ini pasien disarankan untuk kontrol ke poli THT-KL setiap bulannya untuk memonitor dan mengevaluasi perkembangan penyakit. Monitoring dan evaluasi harus dilakukan pada kasus dengan papilomatosis laring karena mengingat tingkat rekurensi yang tinggi. Merujuk pada kecenderungan rekurensi dan potensinya menimbulkan obstruksi jalan napas, maka pengawasan dan dukungan orang tua atau keluarga pasien papilomatosis laring serta edukasi sangatlah bernilai dalam keselamatan pasien anak dengan penyakit ini. 96

97 DAFTAR PUSTAKA 1. Derkay, CS, Wiatrak. Reccurent Respiratory Papillomatosis. Laringoscope.2008;118: Ridley R. Recurrent Respiratory Papillomatosis. Grand Rounds Presentation. University of Texas Dept of Otolaryngology;2008: Derkay, CS.Recurrent respiratory Papillomatosis. Dalam : Bailey BJ, Johnson JT, Newlands SD, penyunting.head and Neck Surgery-Otolaryngology.Edisi ke Lippincott Williams & Wilkins:Philadelphia,hal: Derkay CS. Task Force on Recurrent Respiratory Papillomatosis.Arch Otolaryngol Head Neck Surg.1995;121: Donne, AJ dkk. Prevalence and Management of Reccurent Respiratory Papillomatosis in the UK (cross sectional study). Clin Otolaryngol.2011;42: Deutsch ES, Yang JY, Reilly JS. Laryngoscopy. Dalam: Snow JB, Ballenger JJ, penyunting.ballenger s Otorhinolaryngology.Edisi ke bc Decker Inc:Ontario,hal: Probst R, Greven G, Iro H. Embryology, Anatomy, and Physiology of The Larynx and Trachea. Basic Otorhinolaryngology: A Step by Step Learning Guide.Edisi ke Georg Thieme Verlag:Stuttgart,hal Wiatrak BJ, Wiatrak DW, Broker TR, Lewis L. RRP: A Longitudinal Study Comparison Severity Associated with HPV types 6 and 11 and other risk factors in large pediatric population. Laringoscope.2004;114: Aaltone LM, Rihkanen H, Vaheri A. Human Papillomavirus in Larynx. Laringoscope.2002;112: Silverberg MJ, Thorsen P, Lindeberg dkk. Condyloma in Pregnancy is strongly Predictive of Juvenile Onset Resccurent Respiratory Papillomatosis.Obstet Gynecol.2003;101: Martin RHG, dkk. Laryngeal Papillomatosis Morphological Study by Light and Electron Microscopy of the HPV-6. Rev Bras Otorhinolaryngol.2008;74(4): Bastian RW.Benign Vocal Fold Mucosal Disorders. Dalam: Cummings CW, penyunting.cumming s Otolaryngology Head and Neck Surgery.Edisi ke Elsevier Mosby:Baltimore,hal:

98 12. Rebeiz EE, Shapsay SM.Benign Lesion of the Larynx.Dalam : Bailey BJ, Johnson JT, Newlands SD, penyunting.head and Neck Surgery- Otolaryngology.Edisi ke lippincott Williams & Wilkins:Philadelphia,hal: Lee JH, Smith RJ. Recurrent Respiratory Papillomatosis : Pathogenesis to Treatment. Curr Opin Otolaryngol Head Neck Surg.2005;13: Rosen CA. Benign Vocal Fold Lesion and Phonomicrosurgery. Dalam Bailey BJ, Johnson JT, Newlands SD, Penyunting Head and Neck Surgery- Otolaryngology.Edisi ke lippincot Williams&&Wilkins:philadelpia, hal: Alexander RE, Fried MP. Surgical therapy For Recurrent Respiratory Papillomatosis.ENT J.2007;86(2): Dean C, Sataloff RT, Hawkshaw M. Reccurent Vocal Fold Papilloma: Resection Using Cold Instrumets. ENT J.1998; Roy S, Vivero RJ. Reccurent Respiratory Papillomatosis. ENT J;2008;37: Pransky SM, Albright JT, Magit Ae. Long Term Follow up of RRP management with Intralesion Cidofovir. Laryngoscope.2002;113: Kristic M, dkk. Etiopathogenesis of Reccurent Laryngeal papillomatosis And Contemporary Treatment And Strategy.Acta Medica J.2014;53(4): Bishai D, Kashima H, Shah K. The cost of Juvenile Onset Reccurent Respiratory Papillomatosis. Arch Otolaryngol Head and Neck Surg. 2000;126(8): Larson DA, Derkay CS. Epidemiology of Reccurent Respiratory Papillomatosis. APMIS.2010;118: Amstrong LR,dkk. Incidence and Prevalence of Reccurent Respiratory Papillomatosis among Children in Atlanta and Seattle. Clinical Infection Disease J.2000;31: Long YT, Sani A. Reccurent Respiratory Papillomatosis.Asian Journal of Surgery.2003;26(2): Poenaru M, dkk. The use of combined treatment with CO2 laser, microsurgery and interferon alpha in Juvenile Reccurent Laringeal Papillomatosis.TMJ.2006;56(1): Mustafa M, dkk. Transmission and Prevention of Reccurent Respiratory Papillomatosis.IOSR of Journal Medical Sciences.2015;14(9);

99 TULI SENSORINEURAL MENDADAK PADA PASIEN MENINGITIS SUIS Oleh: I Made Wirandha Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas Udayana / RSUP Sanglah Denpasar Pendahuluan Tuli sensorineural mendadak didefinisikan sebagai tuli sensorineural pada satu atau kedua telinga yang berlangsung secara cepat dalam periode 72 jam dengan kriteria audiometri berupa penurunan pendengaran > 30 db sekurang-kurangnya pada 3 frekuensi audiometri berturut-turut.. 1 Sejak pertama kali diperkenalkan pada tahun 1944, kejadiannya meningkat setiap tahun. Di Amerika Serikat, kejadian tuli sensorineural mendadak ditemukan pada 5-20 per penduduk per tahun dengan 4000 kasus tiap tahunnya. Tuli sensorineural mendadak merupakan salah satu kasus kegawatdaruratan yang memerlukan penanganan segera walaupun beberapa kepustakaan menyatakan bahwa tuli sensorineural mendadak dapat pulih spontan. Angka pemulihan pasien yang tidak mendapat pengobatan adalah 28-65%, sebagian besar dalam 2 minggu setelah munculnya gejala. 2 Masalah yang umum ditemukan pada kasus tuli sensorineural mendadak adalah keterlambatan diagnosis, sehingga pengobatan tertunda yang akhirnya menyebabkan kehilangan pendengaran permanen. Oleh sebab itu, penting untuk mengenali dan mendeteksi kelainan ini sejak dini agar dapat menunjang pemulihan fungsi pendengaran dan meningkatkan kualitas hidup pasien. 3,4 Meningitis Suis adalah meningitis yang disebabkan oleh infeksi streptococcus suis yang didapat melalui paparan babi yang terkontaminasi atau daging babi yang terkontaminasi. Selama beberapa tahun terakhir, jumlah infeksi streptococcus suis dilaporkan ke manusia telah meningkat secara signifikan, dengan kebanyakan kasus berasal di Asia Tenggara, dimana kepadatan babi yang tinggi. Di Bali, konsumsi daging babi sangat tinggi karena merupakan makanan kegemaran masyarakat bali dan merupakan salah satu sarana upacara orang Bali yang mayoritas beragama Hindu. Kejadian meningitis suis dilaporkan meningkat pada beberapa bulan terakhir di Bali yang menghebohkan masyarakat Bali. Gejala meningitis suis ini umumnya sama dengan meningitis akibat bakteri dan dilaporkan hampir lebih dari 50% pasien dengan 99

100 meningitis suis megalami keluhan penurunan pendengaran. Berikut dilaporkan serial kasus tuli mendadak pada pasien meningitis suis. Tinjauan Pustaka 2.1. Anatomi telinga dan fisiologi pendengaran Telinga terbagi atas telinga luar, telinga tengah dan telinga dalam. Telinga luar terdiri dari daun telinga dan kanalis akustikus eksternus. Telinga tengah terdiri dari membran timpani, maleus, inkus, stapes, muskulus tensor timpani dan muskulus stapedius. Terdapat korda timpani yang merupakan cabang nervus fasialis berjalan melintasi kavum telinga tengah membawa serabut pengecap. Tuba Eustachius menghubungkan kavum telinga tengah dengan faring yang akan membuka oleh kontraksi muskulus tensor veli palatini. 1,7 A B Gambar 1. A. Gambar skematik telinga, B. Penampang melintang koklea 7 Telinga dalam terdiri dari koklea dan organ vestibuler yang berada pada tulang temporal. Koklea merupakan tabung yang mengandung organ sensori untuk pendengaran. Koklea memiliki tiga buah kanal yang mengandung cairan yaitu skala vestibuli, skala timpani dan skala media. Skala media berada di koklea bagian tengah, dipisahkan dari skala vestibuli oleh membran Reissner dan dari skala timpani oleh membran basilaris. Skala vestibuli dan skala timpani berisi cairan perilimfe sedangkan skala media berisi cairan endolimfe. 7 Cairan perilimfe pada telinga dalam berhubungan dengan cairan serebrospinal pada kavum kranii melalui akuaduktus koklearis, yang menghubungkan ruang perilimfe dengan ruang cairan kranial. Membran Reisnner memiliki komplians yang 100

101 sangat tinggi sehingga perubahan tekanan yang sangat kecil sekalipun dapat menyebabkan perubahan volume yang besar pada ruang endolimfe. Gangguan keseimbangan tekanan pada kedua sistem tersebut akan menyebabkan gangguan pendengaran dan keseimbangan. 1,7 Organon Corti terletak pada membran basiler dan banyak mengandung sel sensori, sel rambut luar maupun sel rambut dalam. Diantara barisan sel rambut luar dan sel rambut dalam terdapat suatu saluran Corti. Sel rambut luar berbentuk silindris sedangkan sel rambut dalam berbentuk seperti labu. Sel rambut luar pada apeks koklea memiliki ukuran lebih panjang dibandingkan pada bagian basal. Stereosilia sel rambut dalam pada basal koklea berukuran lebih pendek dibandingkan dengan apeks koklea. Stria vaskularis beradadiantara ruang perilimfe dan endolimfe di sepanjang dinding koklea. Stria vaskularis banyak mengandung pembuluh darah dan mitokondria pada selnya yang mengindikasikan terlibatnya aktivitas metabolik. 7 Membran basiler berukuran panjang sekitar 150 µm di basal koklea dan lebar 450 µm di apeks, mengandung jaringan ikat dan membentuk basal skala media. Pada bagian basal, membran basiler mempunyai struktur yang lebih kaku dibandingkan apeks. Perubahan struktur secara gradual ini menyebabkan suara yang mencapai telinga menghasilkan gelombang pada membran basiler yang berjalan dari basal menuju ke apeks koklea. 7 Koklea diinervasi oleh serat saraf aferen auditoris, eferen dan autonomik. Koklea diperdarahi oleh arteri labirintin yang berasal dari arteri serebelum anterior inferior dan berjalan mengikuti nervus kranialis VIII pada meatus akustikus internus. Arteri labirintin merupakan arteri terminal dan hanya mengandung sedikit bahkan tidak ada suplai pembuluh darah kolateral ke koklea. 7 Proses mendengar dimulai dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun telinga dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang ke koklea. Setelah memasuki meatus eksterna, bunyi akan menggetarkan membran timpani selanjutnya dirambatkan melalui osikula auditiva. Tulang pendengaran akan mengamplifikasi getaran melalui gaya ungkit tulang pendengaran dan perkalian perbandingan luas membran timpani dan tingkap lonjong. Energi getar yang telah diamplifikasi ini akan diteruskan ke stapes yang akan menggerakkan tingkap lonjong sehingga perilimfe pada skala vestibuli bergerak. Gerakan diteruskan melalui membran Reissner yang mendorong endolimfe, sehingga akan menimbulkan gerak 101

102 relatif antara membran basilaris dan membran tektorial. Proses ini merupakan rangsangan mekanik yang menyebabkan terjadinya defleksi stereosilia sel sel rambut, sehingga kanal ion terbuka dan terjadi pelepasan ion bermuatan listrik dari badan sel. Keadaan ini akan menimbulkan depolarisasi sel rambut, sehingga melepaskan neurotransmiter ke dalam sinapsis yang akan menimbulkan potensial aksi pada saraf auditorius sampai ke korteks pendengaran pada area di lobus temporalis Tuli sensorineural mendadak Definisi dan kekerapan Tuli sensorineural mendadak didefinisikan sebagai tuli sensorineural pada satu atau kedua telinga yang berlangsung secara cepat dalam periode 72 jam dengan kriteria audiometri berupa penurunan pendengaran > 30 db sekurang-kurangnya pada 3 frekuensi audiometri berturut-turut. Di Amerika Serikat kejadian tuli sensorineural mendadak ditemukan pada 5-20 tiap orang per tahun dengan 4000 kasus baru tiap tahunnya. Pada beberapa penelitian didapatkan sebanyak 7500 kasus di Amerika, Eropa dan Jepang. 8 Distribusi penderita laki-laki dan perempuan hampir sama. Tuli sensorineural mendadak dapat ditemukan pada semua kelompok usia, umumnya pada rentang usia tahun, dengan puncak insidensi pada dekade keenam.gejala vestibular didapatkan pada 28-57% pasien. 3, Etiologi dan Patogenesis Penyebab tuli sensorineural mendadak sampai saat ini belum dapat diketahui secara pasti. Dilaporkan etiologi dari ketulian mendadak hanya dapat ditegakkan pada 10 % kasus tersebut. Penyebab tuli sensorineural mendadak dapat dilihat pada tabel 1 : Koklea Retrokoklea Tabel 1. Penyebab tuli sensorineural mendadak 1 Penyebab Tuli Sensorineural Mendadak Inflamasi ( Virus, bakteri, spiroseta) Trauma Vaskular Hematologi (anemia, emboli, gangguan koagulasi Gangguan jaringan ikat(poliarteritis nodosa, sindrom cogan) Hidrop endolimfe (penyakit Meniere) Gangguan metabolic Ototoksisitas dan Meningitis 102

103 sistem saraf pusat Idiopatik Multiple sklerosis Sarkoidosis Friedreich s ataksia Amiotrofik lateral sklerosis Sindrom Vogt-Konayagi-Harada Xeroderma pigmetosum Tumor (neuroma Akustik) Beberapa teori terjadinya tuli sensorineural mendadak idiopatik adalah rusaknya nervus vestibulokoklearis oleh infeksi virus, kelainan vaskular, atau rupture membran labirin. 8,9 Dugaan penyebab ketulian mendadak idiopatik antara lain infeksi virus, imunologis, kelainan vaskuler dan ruptur membran intra koklearis namun tidak satupun diantaranya yang dapat menjelaskan dengan pasti proses patofisiologi dari ketulian mendadak idiopatik. 1,3,8,9 Infeksi virus diduga sebagai salah satu penyebab tuli sensorineural mendadak. Wilson menyajikan data dengan pemeriksaan serokonversi virus pada pasien tuli sensorineural mendadak, kebanyakan tuli sensorineural mendadak disebabkan oleh virus Herpes. Pemeriksaan serologis terhadap pasien dengan ketulian sensorineural mendadak idiopatik menunjukkan adanya peningkatan titer antibodi terhadap sejumlah virus. Pemeriksaan histopatologi tulang temporal pada pasien tuli sensorineural mendadak ini ditemukan kerusakan koklea akibat luka dari infeksi tersebut, kehilangan sel-sel rambut dan sel-sel pendukung, atropi membran tektorial, atropi stria vaskularis. 1 Teori gangguan vaskular merupakan teori yang paling banyak berkembang. Pembuluh darah koklea merupakan end artery dengan sirkulasi yang tidak kolateral dan fungsinya secara halus untuk mengubah supply darah sehingga bila terjadi gangguan pada pembuluh darah ini koklea sangat mudah mengalami kerusakan dan terjadi iskemik. Gangguan pembuluh darah ini dapat disebabkan seperti emboli, trombosis, kurangnya aliran darah, vasospasme dan hiperkoagulasi atau viskositas yang meningkat. Iskemia mengakibatkan degenerasi luas pada sel-sel ganglion stria vaskularis dan ligamen spiralis. Kemudian diikuti oleh pembentukan jaringan ikat dan penulangan. 3,8 Pada teori kerusakan membran intrakoklea dikatakan terdapat membran tipis yang memisahkan telinga dalam dari telinga tengah dan ada membran halus yang memisahkan ruang perilimfe dengan endolimfe dalam koklea. Robekan salah satu atau kedua membran tersebut secara teoritis dapat menyebabkan tuli sensorineural. Kebocoran cairan perilimfe ke dalam telinga tengah melalui tingkap bundar dan 103

104 tingkap lonjong didalilkan sebagai penyebab ketulian dengan membentuk hidrops endolimfe relatif atau menyebabkan robeknya membran intrakoklea. Robekan membran intrakoklea memungkinkan terjadinya percampuran perilimfe dan endolimfe sehingga mengubah potensial endokoklea. 1,9 Tuli sensorineural yang disebabkan oleh proses autoimun diperkenalkan oleh McCabe pada tahun Pada kondisi ini ditemukan adanya kehilangan pendengaran progresif. Adanya aktivitas imun pada koklea mendukung konsep teori ini. Gangguan pendengaran pada sindrom Cogan, SLE dan kelainan reumatik autoimun lainnya telah lama diketahui. 3 Sebagai pendukung lain teori ini, terdapat sebuah studi prospektif pada 51 pasien tuli sensorineural mendadak dan ditemukan beberapa kelainan yang berkaitan dengan sistem imun (multiple immune-mediated disorders). 3, Diagnosis Diagnosis tuli sensorineural mendadak ditegakkan berdasarkan pada anamnesis, pemeriksaan fisik dan THT, audiometri nada murni, pemeriksaan penunjang lainnya. Pada anamnesis didapatkan keluhan pasien berupa penurunan pendengaran secara tiba-tiba, dalam beberapa jam atau hari, pada satu atau dua telinga. Selain itu juga dapat disertai dengan keluhan tinitus dan vertigo tipe vestibuler perifer. Riwayat penyakit terdahulu perlu ditanyakan terutama penyakit yang dapat menjadi faktor resiko serta riwayat penggunaan obat-obatan yang bersifat ototoksik. 1,9 Pada pemeriksaan THT tidak didapatkan kelainan pada kanalis akustikus eksterna dan membran timpani. Melalui pemeriksaan tes penala didapatkan hasil Rinne positif, Weber lateralisasi ke arah telinga yang sehat dan Scwabach memendek. Pada pemeriksaan audiometri nada murni didapatkan kelainan tuli sensorineural derajat ringan sampai berat, baik pada frekuensi rendah, sedang, tinggi atau pada seluruh frekuensi. 10 Pemeriksaan penunjang perlu dikerjakan untuk dapat menyingkirkan setiap kemungkinan penyebab tuli sensorineural mendadak. Pemeriksaan laboratorium dilakukan berdasarkan riwayat penyakit dan kecurigaan diagnosis seperti contohnya pemeriksaan darah lengkap, gula darah, profil lipid, faal hemostasis, rontgen dada, dan Elektrokardiografi

105 2.2.4 Penatalaksanaan tuli sensorineural mendadak. Penatalaksanaan tuli sensorineural mendadak seharusnya berdasarkan penyebabnya, akan tetapi karena sebagian besar kasus tuli sensorineural mendadak adalah idiopatik sehingga pengobatan dilakukan secara empiris. 1,3,4 Berbagai penelitian penggunaan kortikosteroid pada pasien tuli mendadak telah dipublikasikan. Terdapat bukti laboratorium yang menunjukkan adanya cascade inflamasi kematian sel pada pasien tuli mendadak yang dimodifikasi oleh terapi steroid. Kortikosteroid yang diberikan adalah glukokortikoid sintetik oral, intravena dan/atau intratimpani, meliputi prednison, metilprednisolon, dan deksametason. Kortikosteroid diperkirakan memiliki efek antiinflamasi dan kemampuan dalam meningkatkan aliran darah koklea. Untuk hasil pengobatan yang maksimal, dosis terapi prednison oral yang direkomendasikan adalah 1 mg/kg/hari dosis tunggal dengan dosis maksimum 60 mg/hari selama hari. Dosis ekuivalen prednison 60 mg setara dengan metilprednisolon 48 mg dan deksametason 10 mg. 3 Sebuah data yang representatif menggunakan regimen pengobatan dengan dosis maksimum selama 4 hari diikuti tapering off 10 mg setiap dua hari. 3,8 Beberapa ahli THT merekomendasikan terapi kortikosteroid intratimpani sebagai pengganti terapi kortikosteroid sistemik atau salvage therapy pada pasien yang tidak mengalami perbaikan dengan kortikosteroid sistemik. 3,8 Keuntungan terapi kortikosteroid intratimpani adalah memberikan steroid konsentrasi tinggi langsung pada jaringan target (perilimfe) dengan efek samping sistemik minimal. 2-4 Hal ini didukung oleh Parnes dkk, yang mempublikasikan dan mendemonstrasikan kadar steroid yang tinggi di telinga dalam setelah aplikasi terapi steroid intratimpani. 3 Sebuah studi mengenai terapi kombinasi kortikosteroid sistemik dosis tinggi dan kortikosteroid intratimpani menunjukkan hasil perbaikan fungsi pendengaran secara signifikan. 20 Steroid intratimpani yang biasa diberikan adalah deksametason atau metilprednisolon. Konsentrasi kortikosteroid yang digunakan bervariasi, sebagian besar studi menganjurkan deksametason mg/ml dan metilprednisolon 30 mg/ml atau lebih. 1,3,20 Terapi oksigen hiperbarik sebagai terapi tambahan dalam kasus tuli mendadak. Terapi ini memberikan oksigen 100% dengan tekanan lebih dari 1 ATA (atmosphere absolute). 3 Terapi ini bertujuan untuk meningkatkan oksigenasi koklea dan perilimfe, sehingga diharapkan dapat menghantarkan oksigen dengan tekanan parsial yang lebih tinggi ke jaringan, terutama koklea yang sangat peka terhadap 105

106 keadaan iskemik. 3,21 Terapi oksigen hiperbarik diperkirakan memiliki efek yang kompleks pada imunitas tubuh, transpor oksigen dan hemodinamik, peningkatkan respons normal pejamu terhadap infeksi dan iskemia, serta mengurangi hipoksia dan edema. 1 Menurut guideline AAO-HNS, terapi oksigen hiperbarik sebaiknya dilakukan dalam 2 minggu hingga 3 bulan dari saat diagnosis tuli mendadak. Pasien usia muda memberikan respons lebih baik dibandingkan pasien yang lebih tua (usia bervariasi antara tahun). 3 Hal penting yang perlu dipertimbangkan dalam terapi oksigen hiperbarik ini adalah manfaat dan risiko efek samping. Terapi ini memiliki efek samping berupa kerusakan pada telinga, sinus dan paru akibat perubahan tekanan, miopia yang memburuk sementara, klaustrofobia, dan keracunan oksigen. 3,4 Selain infeksi virus, penyebab tuli mendadak lainnya adalah iskemia koklea akibat kelainan vaskular, seperti perdarahan, emboli, dan vasospasme. Agen vasoaktif, trombolitik, vasodilator atau antioksidan telah dicoba untuk meningkatkann aliran darah koklea, tetapi belum ada bukti keberhasilan terapi. Ekstrak Ginkgo biloba yang mengandung flavones dan terpenes dapat mencegah perkembangan radikal bebas dan berperan sebagai vasodilator. Pentoksifilin menghambat agregasi trombosit dan meningkatkan fleksibilitas eritrosit dan leukosit sehingga memperbaiki viskositas darah, terutama pembuluh kapiler. Dekstran dapat memperbaiki mikrosirkulasi karena memiliki efek antitrombotik. HES (hydroxyethylstarch) mengurangi hematokrit dan agregasi platelet. 1, Prognosis Prognosis tuli mendadak tergantung pada beberapa faktor yaitu usia,derajat gangguan pendengaran, metode pengobatan yang digunakan, saat memulai pengobatan, ada tidaknya gejala vestibular dan faktor predisposisi lainnya Usia lanjut, gangguan pendengaran sangat berat dan adanya gejala vestibular subjektif dikaitkan dengan rendahnya tingkat kesembuhan. 23 Usia lanjut, hipertensi, diabetes, dan hiperlipidemia berkaitan dengan disfungsi mikrovaskuler di koklea, yang merupakan faktor prognosis buruk. Saat mulai pengobatan lebih dini berhubungan dengan prognosis baik bagi pemulihan fungsi pendengaran. Derajat gangguan pendengaran awal mempengaruhi potensi pemulihan pendengaran. 22 Vertigo dapat digunakan sebagai indikator tingkat keparahan lesi dan berkaitan dengan prognosis yang buruk Namun 28-65% pasien tuli mendadak yang tidak diobati dapat 106

107 babi. 5 Sejak pertama kali kasus S.Suis di Denmark dilaporkan peningkatan kasus di mengalami pemulihan spontan. Pasien tuli mendadak yang telah mendapat pengobatan namun ketulian tetap bersifat permanen dan menimbulkan kecacatan, membutuhkan rehabilitasi auditorik. 2 Keberhasilan pengobatan tuli sensorineural mendadak dinilai berdasarkan rata-rata ambang pendengaran menurut Siegel yaitu a) Pulih total jika ambang dengar rata-rata < 25 db, b) Pulih sebagian jika terjadi perbaikan > 15 db dengan ambang dengar rata-rata db, c) Pulih ringan jika perbaikan > 15 db dengan ambang dengar rata-rata > 45 db, d) tidak ada pemulihan jika perbaikan < 15 db. 2.3 Meningitis Suis Definisi dan Epidemiologi Meningitis suis adalah suatu peradangan selaput otak yang mengenai lapisan piameter dan ruang subaraknoid termasuk cairan serebrospinal yang disebabkan oleh infeksi bakteri Streptococcus suis yang menyebar masuk kedalam darah dan berpindah ke cairan otak. 5 Streptococcus suis bersifat patogen pada babi kemudian dapat menyebabkan infeksi sistemik berat pada manusia. Streptococcus Suis dilaporkan pertama kali pada tahun 1954 setelah terjadi meningitis, sepsis dan artritis purulen pada anak babi oleh dokter hewan. Empat belas tahun kemudian kasus pertama pada manusia dilaporkan di Denmark dan kemudian di tempat lain juga ditemukan di Hongkong dan Eropa Utara. 5,6 Jumlah kasus pada manusia terinfeksi S. Suis terus meningkat pada tahun berikutnya. Pada review artikel yang dipublikasi tahun 2007 dilaporkan sebanyak 409 kasus terimfeksi S. Suis manusia. Dimana kebanyakan kasus didapatkan paling banyak di Asia Tenggara. Selain pada babi, S. Suis dapat pula diisolasi dari binatang lain seperti kucing, anjing, rusa dan kuda dan merupakan kuman komensal pada usus halus. Babi sehat dapat membawa multipel serotipe dari S. Suis di hidung, tonsil, saluran nafas atas, saluran genital dan saluran cerna. Dari 35 serotipe hanya beberapa yang menyebabkan infeksi pada babi yaitu serotipe 1-9 dan 17. S. Suis serotipe 2 merupakan serotipe yang paling patogen pada manusia dan beberapa negara. Dilaporkan 151 kasus meningitis Suis di Vietnam dalam periode 10 tahun. 13 Dilaporkan pula kasus infeksi sporadis dimana terjangkitnya infeksi S. Suis di provinsi Sinchuan China selama bulan Juli dan Agustus sebanyak 215 kasus dan 38 kasus menyebabkan kematian. Kasus tersebut menekankan infeksi S.Suis sebagai 107

108 penyakit zoonosis yang berbahaya. S. Suis serotipe 2 merupakan penyebab tersering pada manusia. 24 Infeksi S. Suis pada manusia banyak dilaporkan di negara yang banyak mengkonsumsi daging babi. Kejadian tertinggi terjadi pada kelompok umur tahun dan jarang terjadi pada anak-anak. Rasio kejadian pada pria dan wanita yaitu 3,5 : 1 sampai 6,5 : 1 yang mendukung terjadinya infeksi berhubungan dengan pekerjaan. Peternak dan pekerja yang berhubungan dengan babi mempunyai risiko tertinggi terkena meningitis suis dimana dilaporkan terjadi 3 kasus per populasi, risiko lebih rendah pada tukang daging dimana terjadi 1,2 kasus per populasi di negara maju. Tetapi kejadian tersebut tidak sesuai di asia tenggara dimana populasi babinya tinggi. 5,17, Patogenesis Pada penelitian di Provinsi Sinhuan, China risiko terjadinya infeksi S. Suis terjadi pada orang yang memotong dan memproses daging babi serta pada para peternak babi. Mengkonsumsi daging babi yang tidak dimasak sempurna juga merupakan faktor risiko terjangkitnya infeksi S.Suis pada manusia. Masih menjadi perdebatan bagaimana S. suis menyerang host dan bagaimana dapat melintasi sawar darah otak. Serangkaian faktor virulensi potensial dari S. Suis serotipe 2 telah diidentifikasi, termasuk polisakarida kapsul, faktor protein ekstraseluler, protein releasedmuramidase, suilysin, adhesins, hyaluronate lyase, dan antigen permukaan 1. Kecuali kapsul polisakarida, tidak satu pun faktor tersebut terbukti penting untuk virulensi dari S. Suis. 5,6 Infeksi dapat mencapai selaput otak melalui aliran darah (hematogen) karena adanya infeksi di tempat lain seperti faringitis, tonsilitis, endokarditis, pneumonia, infeksi. Meningitis S. Suis sebagian besar terjadi akibat penyebaran hematogen melalui proses bakteri melekat pada sel epitel mukosa port of entry, menembus rintangan mukosa dan memperbanyak diri dalam aliran darah serta menimbulkan bakteremi. Bakteremi dapat berlanjut masuk ke dalam cairan serebrospinal (melewati sawar darah otak) dan memperbanyak diri dalam cairan serebrospinal, menimbulkan peradangan pada selaput otak (meningen) dan otak Diagnosis Diagnosis dari meningitis suis ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksan penunjang. Pada anamnesis didapatkan keluhan meningitis berupa 108

109 demam tinggi (94%), nyeri kepala hebat, mual, muntah (82%), diare, leher kaku, penurunan kesadaran, kejang dan kelainan fokal neurologi. Serta pada meningitis suis dilaporkan lebih dari 50% kasus terjadi penurunan pendengaran tipe sensorineural. Penurunan pendengaran pada meningitis Suis adalah tipe sensorineural, pada frekuensi tinggi, dapat profound dimana penurunan pendengaran sampai lebih dari 80 db pada pemeriksaan audiometri. 5,13,14 Pada pemeriksaan fisik dapat didapatkan penurunan kesadaran yang dapat dinilai dengan Glaslow Coma Scale. Terdapat pula tanda-tanda rangsang meningeal dimana dapat diperiksa dengan beberapa parasat antara lain pemeriksaan kaku kuduk, tanda Kernig, tanda Brudzinski I dan Brudzinski II. 16, 17 Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah dengan kultur darah atau dari cairan serebrospinal melalui lumbal pungsi dengan menggunakan standar teknologi mikrobiologi dapat mengidentifikasi Streptococcus suis beserta serotipenya. Identifikasi Streptococcus Suis dapat pula dilakukan bila hasil kultur meragukan yaitu dengan teknik molekular yang spesifik dengan PCR Serotipe Suis serotipe 2. 5,6,16, Penatalaksanaan Meningitis Suis Sama seperti penatalaksanaan meningitis bakteri lainnya, pemberian antibiotik spektrum luas dapat diberikan sampai menunggu hasil kultur dan sensitivitas antibiotik. Data dari penelitian sebelumnya masih sensitif terhadap penisilin, seftriakson dan vancomysin. Antibiotik yang resisten pada eritromisin, tetrasiklin, dan kloramphenikol. 25 Penggunaan deksametason sebagai pengobatan tambahan untuk mengurangi angka kematian dan memperbaiki hasil meningitis bakteri masih kontroversial. Pada penelitian di vietnam, pemberian deksametason signifikan menurunkan risiko kematian dan kecacatan. Pada suatu analisis multivariat lainnya didapatkan hasil yang signifikan dimana terjadi kasus penurunan pendengaran yang berat pada pasien diatas 50 tahun terjadi saat tidak diberikan kortikosteroid. 15, Prognosis Prognosis dari Meningitis suis adalah baik dimana jarang dilaporkan sampai menyebabkan kematian dibandingkan dengan meningitis bakteri yang disebabkan jenis bakteri lainnya seperti Streptococcus pneumoniae. 5,15 109

110 3. LAPORAN KASUS Kasus pertama, Pasien IKS, laki-laki, usia 32 tahun, Suku Bali, alamat Karangasem Bali, pekerjaan supir hotel, pasien dikonsulkan teman sejawat Neurologi RSUP Sanglah pada tanggal 28 April 2017 dengan Meningitis suis dan dengan penurunan pendengaran secara tiba-tiba yang dirasakan sejak kemarin terutama pada telinga kanan. Pusing berputar ada, pasien belum dapat duduk lama, mendenging ada. Nyeri telinga tidak ada, mual tidak ada, muntah tidak ada. Pasien telah dirawat oleh TS Neurologi di RS Sanglah Denpasar sejak tanggal 22 April 2017 dimana pasien merupakan rujukan dari RSUD Karangasem dengan kesadaran menurun sejak + 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Pasien juga dikatakan gelisah sampai pasien membenturkan kepalanya ke tembok. Pasien juga memukul-mukul badan dan kepalanya. Riwayat demam ada sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit dan tidak turun dengan pemberian obat penurun panas. Riwayat trauma kepala tidak ada, riwayat keluar cairan dari telinga dan nyeri telinga tidak ada, riwayat gigi berlubang tidak ada, penurunan berat badan tidak ada, kelemahan separuh tubuh tidak ada, kontak dengan penderita TB tidak ada. Riwayat sosial : os bekerja sebagai driver di salah satu hotel di karangasem. Beternak babi atau ternak babi dekat tempat tinggal tidak ada. Tetapi pasien ada riwayat makan olahan babi di desanya satu hari sebelum MRS. Pada pemeriksaan fisik tanggal 28 April 2017 didapatkan keadaan umum baik, kesadaran kompos mentis, tekanan darah 110/70 mmhg, nadi 84x/mnt, respirasi 22x/mnt, temperatur aksila 36,5 0 C. Status lokalis THT-KL, pemeriksaan telinga tidak didapatkan kelainan, kanalis akustikus eksterna kanan kiri lapang, kedua membran timpani intak dan refleks cahaya kedua telinga positif. Pemeriksaan hidung dan tenggorok tidak didapatkan kelainan. Pada pemeriksaan leher tidak didapatkan adanya pembesaran kelenjar getah bening. Pada pemeriksaan tes penala menggunakan garputala 512 Hz didapatkan Rinne positif pada kedua telinga dan Weber didapatkan lateralisasi ke telinga kiri. Oleh bagian Neurologi pasien telah dilakukan CT-Scan Kepala, Thorak foto, Pemeriksaan Darah lengkap dan Kimia darah, Lumbal punksi serta kultur cairan Cerebrospinal. Hasil CT Scan kepala : sesuai gambaran meningoencephalitis, edema sereberi. Thoraks AP didapatkan dengan kardiomegali. Hasil pemeriksaan darah lengkap : WBC :37,51 ; Netrofil : 92,65 ; Hemoglobin : 14.06; dan trombosit : Laju endap darah : 77,9. Hasil kimia 110

111 darah :SGOT : 19,8; SGPT : 22,2 ; BUN : 9,6 ; Serum Kreatinin : 0,90 GDS : 134 ; Natrium : 145; Kalium : 4,4 ; CRP kualitatif 410,75. Hasil lumbal pungsi didapatkan pada pemeriksaan PCR TB :hasil negatif; Hasil pemeriksaan kultur dan uji sensitivitas antibiotika didapatkan hasil terisolasi bakteri Streptococcus suis II dari spesimen LCS penderita. Ceftriakson dapat dipertimbangkan sebagai pilihan terapi antibiotika. Pasien didiagnosis dengan suspek tuli sensorineural mendadak kanan et causa meningitis suis. Pasien diberikan Oksigen 2-4 liter per menit selama 15 menit diulang setiap 6 jam, IVFD Dextran 10% 500 cc selama 4 jam kemudian dilanjutkan dengan NaCl 0,9% 20 tetes per menit, Metilprednisolon 2x62,5 mg intravena. Untuk terapi oral diberikan Pentoksifilin 2x400 mg, Mecobalamin 3x500 µgr dan BioATP 3x1 tablet. Oleh TS neurologi di berikan Ceftriakson 2 x 2 gram; Ranitidin 2 x 50 mg, Parasetamol 3 x 500 mg dan Haloperidol 0,5 mg intramuskular kalau gelisah. Pada tanggal 3 mei 2017 pemeriksaan timpanometri dan audiometri baru dapat dikerjakan karena kondisi pasien. Pada pemeriksaan Timpanometri didapatkan tipe A pada kedua telinga. Gambar 4. Timpanogram tanggal 3 Mei 2017 Pada pasien juga dilakukan pemeriksaan Audiometri dan didapatkan hasil tuli Sensorineural sangat berat pada telinga kanan (AC=82,5dB/BC=71,25dB) dan tuli sensorineural ringan pada telinga kiri (AC=32,5dB/BC=26,25dB). 111

112 Gambar 5. Audiogram tanggal 3 Mei 2017 Pasien didiagnosis dengan tuli sensorineural mendadak dekstra dan sinistra et causa Meningitis suis. Selanjutnya pasien dikonsulkan ke bagian penyakit dalam dan kardiologi untuk kelayakan terapi hiperbarik. Dari hasil konsultasi tidak didapatkan adanya kontraindikasi untuk dilakukan terapi hiperbarik. Pasien kemudian dimulai dilakukan terapi hiperbarik selama 10 kali. Terapi oksigen hiperbarik seri I dilakukan pada tanggal 11 mei sampai dengan 17 mei 2017 dan dilakukan sebanyak 5 sesi setiap serinya. Pada tanggal 17 Mei 2017 dilakukan pemeriksaan Audiometri evaluasi setelah pasien menjalani terapi oksigen hiperbarik seri I dengan keluhan pendengarannya masih seperti dulu tetapi keluhan mendengingnya berkurang. Hasil audiometri didapatkan tuli sensorineural sangat berat pada telinga kanan (AC= 90 db/bc=80 db) dan normal hearing pada telinga kiri (AC=17,5 db/bc= 4 db). 112

113 Gambar 6. Audiogram tanggal 17 Mei 2017 Pada tanggal 18 mei 2017 pasien diperbolehkan pulang dan mendapatkan terapi oral yaitu Pentoksifilin 2x400 mg, Mecobalamin 3x500 µgr, BioATP 3x1 tablet dan Metilprednisolon 3x4 mg. Pasien disarankan untuk menjalani terapi oksigen hiperbarik seri II lewat poliklinik. Pada tanggal 26 Mei 2015 pasien telah menyelesaikan terapi oksigen hiperbarik seri II dan kontrol ke poliklinik THT-KL. Pasien mengatakan bahwa pendengarannya dirasakan tidak membaik dan keluhan mendengingnya telah hilang namun pasien masih dapat berkomunikasi dengan normal. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan audiometri evaluasi dengan hasil tuli sensorineural derajat berat telinga kanan (AC= 88,75dB/BC= 80 db) dan normal hearing pada telinga kiri (AC=17,5 db/bc= 4 db). Pasien disarankan menggunakan Alat Bantu Dengar untuk membantu pendengaran telinga kanan. 113

114 Gambar 7. Audiogram tanggal 26 Mei 2017 Kasus ke dua, Pasien EPA, perempuan 53 tahun, Alamat Jalan Ratna no 4 A Tabanan, pasien datang ke poli THTKL RS Sanglah tanggal 7 April 2017, dikonsulkan dari RSUD Tabanan dengan tuli sensorineural mendadak derajat sedang dekstra sinistra et causa Meningitis suis dan untuk dilakukan terapi hiperbarik. Pasien mengeluh pendengarannya berkurang sejak 7 hari yang lalu secara tiba-tiba. Kemudian dirawat di RSUD Tabanan selama 5 hari. Mendenging ada pusing berputar tidak ada tetapi pasien masih merasa lemas, riwayat keluar cairan tidak ada, mual tidak ada muntah tidak ada. Sebelumnya pasien riwayat dirawat dengan Meningitis suis di RSUD Tabanan dengan penurunan kesadaran. Dirawat di ICU RSUD Tabanan selama 5 hari dan di bangsal selama 1 minggu. Riwayat sosial : beternak babi tidak ada, kontak dengan pasien TB tidak ada, penurunan berat badan tidak ada. Setelah kondisi membaik pasien diperbolehkan pulang. Tetapi 3 hari setelah pulang pasien mengeluh tiba-tiba pendengarannya menurun dan kembali dirawat di RSUD Tabanan, keluhan mendenging ada, pusing berputar tidak ada. Riwayat CT Scan di RSUD Tabanan tanggal 20 Maret 2017 dengan hasil : lesi hipodens berdensitas cairan di fossa posterior suspek cisterna magna, edema serebri ringan. Thorak AP dengan hasil 3. dalam batas normal. Hasil kimia darah dalam batas normal. Hasil darah lengkap WBC :22,34 ; Netrofil : 84,23 ; Hemoglobin : 13.14; dan trombosit : 114

115 Laju endap darah : 54,3. Hasil kimia darah :SGOT : 24; SGPT : 18; BUN : 26,0 ; Serum Kreatinin : 0,90 GDS : 134 ; Natrium : 138; Kalium : 4,0. Hasil pemeriksaan kultur dan uji sensitivitas antibiotika didapatkan hasil terisolasi bakteri Streptococcus suis II dari spesimen LCS penderita. Ceftriakson dapat dipertimbangkan sebagai pilihan terapi antibiotika. Kemudian pada riwayat dirawat di RSUD Tabanan dengan tuli mendadak didapatkan hasil timpanometri tipe A/tipe A dan hasil audiometri tuli sensorineural derajat sedang telinga kanan ( AC= 46.67dB/BC= 44,5dB) dan tuli sensorineural derajat sedang telinga kiri (AC= 43,75 db/ BC= 42,5dB). Gambar 8. Audiogram tgl 3 April 2017 Riwayat pengobatan meningitis di RSUD Tabanan mendapatkan Ceftriakson 2 x 2 gram; Dexametason 4 x 10 mg; Ranitidin 2 x 50 mg, Parasetamol 3 x 500 mg. Dan riwayat pengobatan tuli sensorineural mendadak pasien diberikan Oksigen 2-4 liter per menit selama 15 menit diulang setiap 6 jam, IVFD Dextran 10% 500 cc selama 4 jam kemudian dilanjutkan dengan NaCl 0,9% 20 tetes per menit, Metylprednisolon 2x62,5 mg intravena. Untuk terapi oral diberikan Pentoksifilin 2x400 mg, Mecobalamin 3x500 µgr dan BioATP 3x1 tablet. Kemudian pasien dipulangkan dengan terapi mecobalamin dan dirujuk ke RS Sanglah Denpasar untuk terapi hiperbarik. Pasien kemudian dilakukan thorak foto, EKG, cek darah lengkap dan kimia darah. Kemudian pasien dikonsulkan ke TS Penyakit dalam dan TS Kardiologi untuk kelayakan hiperbarik. Tidak ada kontraindikasi kemudian dilakukan hiperbarik 10 seri dengan 5 seri I dan 5 seri II. 115

116 Kemudian pasien dilakukan terapi oksigen hiperbarik seri I selama 5 x dari tanggal 11 April 2017 sampai tanggal 17 April Pada tanggal 17 April 2017 pasien kontrol ke poliklinik THTKL dengan keluhan pendengaran membaik dan keluhan mendenging membaik. Kemudian dilakukan Timpanometri dan Audiometri evaluasi dengan hasil timpanometri : tipe A/tipe A dan hasil Audiometri : tuli sensorineural derajat ringan telinga kanan (AC= 37,5dB/BC=28,75dB) dan tuli sensorineural derajat ringan telinga kiri (AC= 28,75dB/ BC= 26,25dB). Gambar 9. Audiogram tanggal 17 April 2017 Kemudian pasien dilanjutkan untuk terapi oksigen hiperbarik seri II selama 5 kali dari tanggal 1 Mei sampai tanggal 5 Mei Pasien kemudian kontrol kembali poliklinik THTKL untuk evaluasi yang kedua post hiperbarik. Keluhan pendengaran sudah membaik dan pasien hanya mengeluhkan mendenging kadang-kadang saja. Hasil Audiometri Normal hearing pada telinga kanan (AC = 25 db/ BC= 18,75 db) dan normal hearing pada telinga kiri (AC=20 db/bc=18,75 db) 116

117 Gambar 7. Audiogram tanggal 5 Mei 2017 IV. PEMBAHASAN Definisi tuli sensorineural mendadak menurut De Kleyn adalah tuli sensorineural lebih dari 30 db yang terjadi secara mendadak dalam waktu kurang dari 72 jam, minimal terjadi pada tiga frekuensi yang berurutan. 1,3 Pada Meningitis suis hampir 50% terdapat keluhan penurunan pendengaran. Kebanyakan pasien Meningitis suis terjadi pada kelompok umur tahun dan jarang dilaporkan pada anak-anak. Laki-laki lebih sering daripada wanita dengan rasio 3,5 : 1. 5 Faktor risiko tersering pada pekerja atau peternak yang berhubungan langsung dengan babi dimana dilaporkan 3 kasus per populasi. Kemudian pada pemotong atau pengolah daging babi sebanyak 1,2 kasus per populasi. Dan juga mengkonsumsi daging babi yang tidak matang sempurna juga merupakan faktor risiko terjadinya Meningitis suis. 5,17 Dilaporkan ada 35 serotipe dari Streptococcus suis penyebab dari Meningitis suis namun hanya serotipe 1-9 dan 14 yang menyebabkan infeksi pada manusia. Streptococus suis serotipe 2 merupakan serotipe yang paling sering ditemukan pada kasus Meningitis suis pada manusia. 17,26 Bakteri ini dapat diidentifikasi dengan kultur menggunakan Vitek 2 Gram-Positive Identification (GPI card) dan API 20 STREP atau dengan teknik molekular dengan PCR menggunakan gen 16rRNA yang didapat dari isolasi cairan serebrospinal. 117

118 Identifikasi Streptococcus Suis sering dikelirukan dengan Streptococcus viridans, Aerococcus viridans dan Streptococcus pneumonia. 16,24 Pada pasien IKS seorang laki-laki berumur 32 tahun memiliki faktor risiko mengkonsumsi makanan bali (lawar) dan daging babi yang tidak matang sempurna karena makanan yang dimakan menggunakan darah babi yang tidak matang sempurna. Pasien IKS telah didiagosa dengan Meningitis suis berdasarkan klinis dan pemeriksaan penunjang yang mendukung untuk Meningitis suis. Di bagian mikrobiologi RS Sanglah diidentifikasi Streptococcus suis serotipe 2 dari isolasi kultur cairan cerebrospinal pasien dan diidentifikasi menggunakan Vitek 2 Grampositive Identification card. Keluhan tuli mendadak dirasakan saat pasien sedang dirawat setelah pasien sadar baik, dan mengeluh tuli pada telinga kanan. Pada pemeriksaan fisik dengan otoskop telinga normal kanan dan kiri, pemeriksaan penala, tes Rinne positif kanan dan kiri, tes Weber terdapat lateralisasi ke kanan,serta tes Scwabach memendek di kedua telinga. Pada pemeriksaan timpanometri didapatkan tipe A pada kedua telinga dan pemeriksaan audiometri didapatkan tuli sensorineural derajat berat pada telinga kanan dan tuli sensorineural derajat ringan pada telinga kiri. Pada telinga kanan bertururt-turut pada frekwensi 500, 1000, 3000, 4000 adalah 80 db, 80 db, 85 db dan 85 db. Dan pada telinga kiri berturut-turut 40 db, 30 db, 30 db, dan 30 db. Pada pasien EPA, seorang perempuan berumur 52 tahun memiliki faktor risiko mengkonsumsi olahan daging babi yang dibeli di warung. Pasien tidak memiliki riwayat kotak langsung dengan babi maupun mengolah langsung daging babi. Pasien dirawat dengan penurunan kesadaran hari setelah mengkonsumsi daging babi dan setelah dirawat TS neurologi didiagnosis dengan Meningitis Suis sesuai klinis dan pemeriksaan penunjang. Dimana hasil kultur CSF dikirim dari RS Tabanan ke RS Sanglah dengan menggunakan Vitek 2 Gram-Positive Identifiation ditemukan Streptococcus suis serotipe 2. Keluhan tuli mendadak dirasakan saat pasien telah dipulangkan 2 hari setelah perawatan meningitis, pada kedua telinga sehingga pasien segera memeriksakan ke dokter dan dirawat kembali oleh dokter THTKL. Pada pemeriksaan fisik dengan otoskop telinga normal kanan dan kiri, pemeriksaan penala, tes Rinne positif kanan dan kiri, tes Weber tidak terdapat lateralisasi, namun tes Scwabach memendek di kedua telinga. Pada pemeriksaan timpanometri didapatkan tipe A pada kedua telinga 118

119 dan pemeriksaan audiometri didapatkan tuli sensorineural derajat sedang pada kedua telinga. Pada telinga kanan bertururt-turut pada frekwensi 500, 1000, 3000, 4000 adalah 50 db, 50 db, 40 db dan 30 db. Pada telinga kiri berturut turut 50 db, 45 db, 45dB, dan 40 db. Terjadinya keluhan tuli sensorineural mendadak pada pasien dengan meningitis suis dapat terjadi bersamaan atau beberapa hari kemudian. Ini berhubungan dengan masa inkubasi dari Stretococcus suis dimana penelitian di China dilaporkan dari 3 jam sampai 14 hari. Pada penelitian lain dilaporkan masa inkubasi Streptococcus suis 60 jam sampai 1 minggu. Etiologi tuli sensorineural mendadak sebagian besar adalah idiopatik, hanya 10-15% saja yang diketahui sebagai kemungkinan penyebab terjadinya tuli sensorineural mendadak. Terdapat empat teori utama yang menyebabkan terjadinya tuli sensorineural mendadak yaitu kelainan vaskular, virus, ruptur membran koklea dan penyakit autoimun. 11,12 Patogenesis terjadinya tuli sensoriseural mendadak pada pasien Meningitis suis masih belum jelas. Penyebabnya bisa karena bakteri streptococus sendiri, eksotoksin yang dihasilkan oleh bakteri Streptococcus suis atau imun tubuh yang dihasilkan tubuh sendiri untuk melawan bakteri. Streptococous suis dipercaya masuk ke perilimpa melalui aquaductus koklea akibat lisis karena eksotoksin, kongesti kapiler atau hidrop pada koklea sehingga merusak sel-sel rambut koklea. 8 Pada pasien IKS keluhan tuli baru dirasakan setelah pasien sadar baik yaitu 9 hari setelah diperkirakan kontak dengan babi yang dicurigai sebagai penyebab meningitis. Sedangkan pada pasien EPA keluhan tuli dirasakan setelah 12 hari setelah kontak dengan daging babi. Penatalaksanaan tuli sensorineural mendadak seharusnya berdasarkan penyebabnya, akan tetapi karena sebagian besar kasus tuli sensorineural mendadak adalah idiopatik sehingga pengobatan dilakukan secara empiris. 1,3,4 Berbagai penelitian penggunaan kortikosteroid pada pasien tuli mendadak telah dipublikasikan. Terdapat bukti laboratorium yang menunjukkan adanya cascade inflamasi kematian sel pada pasien tuli mendadak yang dimodifikasi oleh terapi steroid. Kortikosteroid yang diberikan adalah glukokortikoid sintetik oral, intravena dan/atau intratimpani, meliputi prednison, metilprednisolon, dan deksametason. Kortikosteroid diperkirakan memiliki efek antiinflamasi dan kemampuan dalam meningkatkan aliran darah koklea

120 Beberapa ahli THT merekomendasikan terapi kortikosteroid intratimpani sebagai pengganti terapi kortikosteroid sistemik atau salvage therapy pada pasien yang tidak mengalami perbaikan dengan kortikosteroid sistemik. 3,8 Keuntungan terapi kortikosteroid intratimpani adalah memberikan steroid konsentrasi tinggi langsung pada jaringan target (perilimfe) dengan efek samping sistemik minimal. 2,4 Hal ini didukung oleh Parnes dkk, yang mempublikasikan dan mendemonstrasikan kadar steroid yang tinggi di telinga dalam setelah aplikasi terapi steroid intratimpani. 3 Sebuah studi mengenai terapi kombinasi kortikosteroid sistemik dosis tinggi dan kortikosteroid intratimpani menunjukkan hasil perbaikan fungsi pendengaran secara signifikan. 20 Terapi lain yang dilakukan untuk tuli mendadak adalah dengan terapi oksigen hiperbarik. Terapi ini memberikan oksigen 100% dengan tekanan lebih dari 1 ATA (atmosphere absolute). 3 Terapi ini bertujuan untuk meningkatkan oksigenasi koklea dan perilimfe, sehingga diharapkan dapat menghantarkan oksigen dengan tekanan parsial yang lebih tinggi ke jaringan, terutama koklea yang sangat peka terhadap keadaan iskemik. 3,21 Terapi oksigen hiperbarik diperkirakan memiliki efek yang kompleks pada imunitas tubuh, transpor oksigen dan hemodinamik, peningkatkan respons normal pejamu terhadap infeksi dan iskemia, serta mengurangi hipoksia dan edema. 1 Menurut guideline AAO-HNS, terapi oksigen hiperbarik sebaiknya dilakukan dalam 2 minggu hingga 3 bulan dari saat diagnosis tuli mendadak. 5 Sama seperti penatalaksanaan meningitis bakteri lainnya, pemberian antibiotik spektrum luas dapat diberikan sampai menunggu hasil kultur dan sensitivitas antibiotik. Data dari penelitian sebelumnya masih sensitif terhadap penisilin, seftriakson dan vancomysin. Antibiotik yang resisten pada eritromisin, tetrasiklin, dan kloramphenikol. 13 Penggunaan deksametason sebagai pengobatan tambahan untuk mengurangi angka kematian dan memperbaiki hasil meningitis bakteri masih kontroversial. Pada penelitian di vietnam, pemberian deksametason signifikan menurunkan risiko kematian dan kecacatan. Pada suatu analisis multivariat lainnya didapatkan hasil yang signifikan dimana terjadi kasus penurunan pendengaran yang berat pada pasien diatas 50 tahun terjadi saat tidak diberikan kortikosteroid. 13 Pada pasien ini baik pada pasien IKS dan EPA sama- sama mendapatkan modalitas terapi sesuai dengan penanganan tuli sensorineural mendadak yaitu pemberian oksigen, metilprednisolon 2 x 62,5 mg secara intravena dan ditapering Off. 120

121 Penderita juga diberikan preparat neutropik yaitu mekobalamin. Pemberian vitamin dapat menurunkan radikal bebas pada telinga dalam yang bersifat toksik terhadap organ sensorik. Hemodilusi pada penatalaksanaan tuli mendadak bertujuan untuk menurunkan viskositas darah sehingga memperbaiki aliran darah ke koklea. Pada kedua penderita diberikan pentoxifilin 2 x 400 mg intra oral. Kemudian pada kedua pasien ini juga dilakukan terapi oksigen hiperbarik 2 seri sebanyak 10 kali. Untuk penanganan Meninigitis suis oleh TS Neurologi diberikan terapi dengan antibiotik spektrum luas yang sesuai dengan hasil kutur yang sensitif dengan bakteri Streptococcus Suis. Walaupun modalitas terapi yang diberikan pada kedua pasien sama namun hasil yang didapat ternyata berbeda dimana pasien IKS tidak terdapat perbaikan pendengaran sedangkan pada pasien EPA terdapat perbaikan 20. Menurut Usher dkk seperti yang dikutip oleh Codrut melaporkan semakin berat derajat ketulian semakin buruk prognosisnya. Codrut dkk melaporkan tidak terdapat perbaikan pada 9 pasien dengan dengan tuli derajat berat. Onset pemberian terapi sangat mempengaruhi kesembuhan gejala tuli sensorineural mendadak. Tiong menyebutkan prognosis yang paling baik ditemukan pada penderita dengan perbaikan 20 db yang mendapat pengobatan kurang dari 2 minggu setelah munculnya gejala tuli. Jadi semakin cepat mendapatkan terapi setelah timbulnya gejala semakin baik prognosisnya. 11 Kasapolgu dkk melaporkan onset pasien yang diberikan terapi dalam onset kurang dari 5 hari mempunyai prognosis yang baik dibandingkan dengan onset yang lebih dari 5 samapi 15 hari. Adanya vertigo merupakan faktor prognostik yang buruk. Moskowitz dkk seperti yang dikutip oleh Codrut melaporkan hanya 14 % penderita tuli sensorineural mendadak dengan vertigo yang mengalami perbaikan pendengaran. Karena adanya vertigo menandakan kerusakan yang lebih luas. Kasapoglu F, melaporkan adanya vertigo merupakan prognosis buruk untuk perbaikan tuli sensorineural. Sedangkan untuk tinnitus dilaporkan tidak signifikan untuk perbaikan tuli sensorineural. 13 Pada pasien IKS didapatkan hasil pemeriksaan audiometri dimana pada telinga kanan didapatkan tuli sensorineural derajat berat sedangkan telinga kiri dengan tuli sensorineural derajat ringan. Sedangkan pada pasien EPA didapatkan hasil audiometri tuli sensorineural derajat sedang pada kedua telinga. Pada pasien EPA juga mendapatkan terapi penanganan tuli mendadak segera setelah ada keluhan tuli karena saat itu pasien dalam keadaan sadar. Pasien mendapatkan terapi 1 hari 121

122 setelah keluhan tuli muncul sedangkan pada pasien IKS karena kesadarannya tidak baik dan juga karena tuli unilateral sehingga terlambat mengetahui adanya ketulian. Pasien baru menyadari setelah sadar baik dan kemungkinan terlambat mendapatkan pengobatan tuli mendadak. Pada pasien IKS juga terdapat keluhan vertigo berat sedangkan pada pasien EPA hanya mengeluh tinitus. Berdasarkan penelitian Kasapoglu F dkk, berdasarkan tipe audiogram kehilangan pendengaran diklasifikasikan menjadi empat kelompok yaitu tipe asenden (pada frekuensi Hz), tipe desenden (frekuensi ), tipe flat, tipe total atau subtotal. Pada pasien IKS termasuk pada kelompok tipe desenden sedangkan pada pasien EPA termasuk pada kelompok tipe asenden. Prognosis untuk kehilangan tipe asenden memiliki prognosis yang baik dibandingkan dengan kehilangan pendengaran tipe desenden. Hal ini berdasarkan pada tingkat kerusaka yang terjadi pada vaskularisasi koklea. Tipe asenden terjadi kerusakan pada basal koklea artinya darah yang terganggu suplai aliran darah yang lebih luas. Sedangkan usia tidak mempengaruhi prognosis. 11,13 Keberhasilan pengobatan tuli sensorineural mendadak dinilai berdasarkan rata-rata ambang pendengaran menurut Siegel yaitu a) Pulih total jika ambang dengar rata-rata < 25 db, b) Pulih sebagian jika terjadi perbaikan > 15 db dengan ambang dengar rata-rata db, c) Pulih ringan jika perbaikan > 15 db dengan ambang dengar rata-rata > 45 db, d) tidak ada pemulihan jika perbaikan < 15 db. 11,13,19 Pada pasien IKS pada telinga kanan termasuk tidak ada pemulihan sedangkan pada pasien EPA termasuk pada kelompok pulih total dimana pada audiometri terakhir didapatkan ambang dengar Normal Hearing. 3. KESIMPULAN Tuli sensorineural mendadak merupakan salah satu kasus kegawatdaruratan yang memerlukan penanganan segera. Meningitis Suis adalah meningitis yang disebabkan oleh infeksi Streptococcus suis yang didapat melalui paparan babi yang terkontaminasi atau daging babi yang terkontaminasi. Dilaporkan hampir lebih dari 50% pasien dengan Meningitis suis mengalami keluhan penurunan pendengaran supaya mendapat perhatian serius dari bagian Neurologi dan THT. Karena apabila terlambat diagnosis dan penanganan akan menyebabkan ketulian permanen. Patogenesis terjadinya kehilangan pendengaran mendadak pada Meningitis suis masih belum diketahui dengan jelas. Telah dilaporkan serial kasus pasien dengan tuli 122

123 sensorineural mendadak pada meningitis suis yang diterapi dengan medikamentosa dan terapi oksien hiperbarik dengan hasil yang bervariasi dimana ditentukan dari derajat kehilangan pendengaran audiogram pertama, jenis audiogram, onset pemberian terapi dan adanya vertigo. Masyarakat tidak pelu resah karena Meningitis suis penyakit yang dapat diobati karena masih sensitif terhadap antibiotik dan prognosisnya baik. Pencegahan dapat dilakukan dengan mengurangi kontak langsung dengn babi dengan menggunakan alat pelindung diri dan mengolah daging babi dengan matang sempurna. 123

124 DAFTAR PUSTAKA 1. Hashisaki. Sudden Sensory Hearing Loss. Dalam Bailey s: Otolaryngology Head and Neck Surgery. 5th edition. Philadelphia. Lippincott Williams and Wilkins. 2014; h Hae JH, Kyoun JP et al. Streptococcus suis Meningitis with Bilateral Sensorineural Hearing Loss, Korean J Lab Med, 2011; 31: Lun ZR, Wang QP et al. Streptococcus suis : an emerging zoonotic pathogen. Lancet Infect Dis 2007; 7: Plaza G, Durio E, Herraiz C, Rivera T, Garcia-Berrocal JR. Consensus on diagnosis and treatment of sudden hearing loss. Ata Otorrinolaingol Esp. 2011;62(2): Van Wolfswinkel M, M. Lahri, Wismans PJ, Petit PLJ, Early small bowel perforation and cochleovestibler impairment as rare complications of thypoid fever. Travel Medicine and Infectious Disease 2009;7: Mai NT, Hoa NT, Nga TV, Linh le D, Chau TT, Sinh DX, et al. Streptococcus suis meningitis in adults in Vietnam. Clin Infect Dis 2008;46: Ma E, Chung PH, So T, Wong L, Choi KM, Cheung DT, et al. Streptococcus suis infection in Hong Kong: an emerging infectious disease? Epidemiol Infect 2008;136: Huang YT, Teng LJ, Ho SW, Hsueh PR. Streptococcus suis infection. J Microbiol Immunol Infect 2005;38: Clements, M.R., Hamilton, D.V., Clifton-Hadley,F.A. & O'reilly, J.F. Streptococcus suis type IIinfection. A new industrial disease? Practitioner,1982:2: Hickling P. & Cormack,F.C.V.. Meningitis caused by group R haemolytic streptococci. BritishMedical Journal, 1976; 2, Jacky M, Diagnosis dan Penatalaksanaan Tuli Mendadak, Departeen Telinga Hidung Tenggorok-kepala Leher Fakultas kedokteran Unand/RS. Dr. M. Djamil Padang Conlin AE, Parnes LS. Treatment of Sudden Sensorineural Hearing Loss. Arch Otolaryngology Head Neck Surgery. June 2007; Kasapoglu F, Tuzemen G, Hizalan I, Erisen L, Onart S, Coskun H, Ozmen A. Prognosis in Sudden Hearing Loss: Is it the Disease or the Treatment that

125 Determines the Prognosis? Department of Otorhinolarynglogy- Head and Neck Surgery, Turkey. 2009; 5(2) Halaby T, Hoitsma E, Hupperts R, Spanjaard L, Luirink M, Jacobs J. Streptococcus suis meningitis, a poacher s risk. Eur J Clin Microbiol Infect Dis 2000;19: Greenwood BM. Corticosteroids for acute bacterial meningitis. N Engl J Med 2007;357: Durand F, Perino CL, Recule C, Brion JP, Kobish M, Guerber F, et al. Bacteriological diagnosis of Streptococcus suis meningitis. Eur J Clin Microbiol Infect Dis 2001;20: Heidt MC, Mohamed W, Hain T, Vogt PR, Chakraborty T, Do-mann E. Human infective endocarditis caused by Streptococcus suis serotype 2. J Clin Microbiol 2005;43: Donsakul K, Dejthevaporn C, Witoonpanich R. Streptococcus suis infection: clinical features and diagnostic pitfalls. Southeast Asian J Trop Med Public Health 2003;34: Wisselink HJ, Joosten JJ, Smith HE. Multiplex PCR assays for simultaneous detection of six major serotypes and two virulence-associated phenotypes of Streptococcus suis in tonsillar specimens from pigs. J Clin Microbiol 2002;40: Yu H, Jing H, Chen Z, Zheng H, Zhu X, Wang H, et al. Human Streptococcus suis outbreak, Sichuan, China. Emerg Infect Dis 2006;12:

126 DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN TUMOR NEUROEKTODERMAL PRIMITIF DI REGIO SINONASAL Oleh : I Gde Ardika Nuaba Ilmu Kesehatan THT-KL FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar 1. PENDAHULUAN Tumor neuroektodermal primitif (TNEP) termasuk kelompok sarkoma Ewing. Namun, TNEP menunjukkan perilaku klinis yang lebih agresif dari sarkoma Ewing dan bermetastasis sangat cepat. Sarkoma Ewing biasanya terjadi pada tulang dan biasanya tidak berdiferensiasi, sedangkan tumor neuroektodermal cenderung terjadi pada jaringan lunak. 3,4 Angka kejadian TNEP adalah 1% dari semua sarcoma. Kejadiannya sangat jarang, dapat terjadi pada usia baru lahir sampai 20 tahun dan angka kejadiannya adalah 2,9 dari 1 juta penduduk. TNEP kebanyakan timbul di daerah torakopulmonal, pelvis, abdomen dan ekstremitas. 5 Sekitar 20% kasus tumbuh di daerah kepala dan leher, termasuk sinus paranasal, foramen jugulare, rongga mulut, maksila, mandibula, temporal, esophagus dan orbita. 1,2 Diagnosis TNEP tidak dibuat berdasarkan satu faktor, tetapi dari gabungan keadaan klinis dan ultrastruktural, imunohistokimia dengan pemeriksaan sitogenetik untuk menyingkirkan tumor sel bulat kecil yang lain. 4,6 Diagnosis banding yang termasuk dalam tumor sel bulat kecil adalah neuroblastoma, limfoma dan rabdomiosarkoma. 7 Belum ada protokol untuk pengobatan TNEP pada anak, tetapi karena karakteristik tumor yang bersifat maligna dan termasuk dalam kelompok sarkoma Ewing, maka penatalaksanaan TNEP sebaiknya mengacu pada penatalaksanaan sarkoma Ewing, yaitu reseksi dengan kombinasi radioterapi dan kemoterapi untuk mengatasi tumor yang mungkin tersisa ataupun adanya metastasis yang tidak terdeteksi. 7,8 Karena kejadiannya yang sangat jarang, maka diagnosis dan penatalaksanaannya masih merupakan suatu tantangan. Hal inilah yang mendasari dilaporkannya kasus ini.

127 1. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Hidung dan Sinus Paranasal Hidung luar berbentuk piramida yang terdiri dari enam bagian yaitu pangkal hidung, batang hidung, puncak hidung, ala nasi, kolumela dan nares anterior. Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan. Rongga hidung berbentuk terowongan dari depan ke belakang dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengah menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Septum terdiri dari tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh mukosa. 9 Pada dinding lateral terdapat konka nasi. Konka nasi inferior adalah yang terbesar dan letaknya paling bawah. Kemudian yang lebih kecil adalah konka media, lebih kecil lagi konka superior, yang terkecil adalah konka suprema. Konka suprema biasanya rudimenter. Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin etmoid sedangkan konka lainnya merupakan bagian dari labirin etmoid. Diantara konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut meatus. Meatus inferior terletak diantara konka inferior dan dasar hidung, terdapat muara dari duktus nasolakrimalis. Meatus medius terletak diantara konka inferior dan media. Pada meatus medius terdapat muara dari sinus frontalis, maksilaris dan etmoidalis anterior. Meatus superior merupakan ruang diantara konka media dan superior. Pada meatus ini bermuara sinus etmoidalis posterior dan sfenoidalis. Hidung dibatasi di bagian inferior oleh dasar rongga hidung yang dibentuk oleh os maksila dan os palatum, bagian superior oleh lamina kribriformis dan bagian posterior oleh os sfenoid. 9

128 Gambar 2.1 Anatomi dinding lateral rongga hidung. 10 Secara histologi dan fungsional, terdapat dua mukosa rongga hidung yaitu mukosa pernafasan dan penghidu. Mukosa pernafasan terdapat pada sebagian besar rongga hidung dan permukaannya dilapisi oleh epitel torak berlapis semu bersilia dan diantaranya terdapat sel goblet. Mukosa penghidu terdapat pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga atas septum. Mukosa ini dilapisi oleh epitel torak berlapis semu tidak bersilia dan dibentuk oleh tiga macam sel yaitu sel penunjang, sel basal dan sel reseptor penghidu. 9 Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala sehingga terbentuk rongga di dalam tulang. Pada orang sehat, rongga terutama berisi udara. Ada 4 pasang sinus paranasal yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus sfenoid. 9,11,12 Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga hidung dan perkembangannya dimulai pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus sfenoid dan sinus frontal. 11,12 Sinus maksila dan etmoid sudah ada saat anak lahir sedangkan sinus frontal mulai berkembang pada anak berusia 8 tahun sebagai perluasan dari sinus etmoid anterior dan sinus sfenoid mulai berkembang pada usia 8-10 tahun dari bagian postero-superior rongga hidung. 9,13,14 Sinus-sinus ini umumnya mencapai besar maksimal pada usia antara tahun. Seluruh sinus dilapisi oleh epitel saluran pernapasan yang mengalami modifikasi, bersilia dan mampu menghasilkan mukus yang disalurkan ke dalam rongga hidung. 14

129 Gambar 2.2 Anatomi sinus paranasal. 15 Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. 9,11,12 Dinding anterior sinus ialah permukaan fasial os maksila yang disebut fosa kanina, dinding posteriornya adalah permukaan infratemporal maksilaris, dinding medialnya ialah dinding lateral rongga hidung, dinding superiornya ialah dasar orbita dan dinding inferiornya ialah prosesus alveolaris dan palatum. 9 Ostium sinus maksila berada di sebelah superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui infundibulum etmoid. 7 Pada orang dewasa sinus etmoid seperti piramid dengan dasarnya di bagian posterior. 9,13 Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang bermuara di meatus medius dan sinus etmoid posterior yang bermuara di meatus superior. 13 Sel-sel sinus etmoid anterior biasanya kecil-kecil dan banyak, letaknya di bawah perlekatan konka media, sedangkan sel-sel sinus etmoid posterior biasanya lebih besar dan lebih sedikit jumlahnya dan terletak di posterosuperior dari perlekatan konka media. 9,13 Di bagian terdepan sinus etmoid anterior ada bagian yang sempit, disebut resesus frontal, yang berhubungan dengan sinus frontal. 9 Sinus sfenoid terletak dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid posterior. Sinus sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid. Batasbatasnya adalah sebelah superior terdapat fosa serebri media dan kelenjar hipofisa, sebelah inferiornya atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan dengan sinus kavernosus dan arteri karotis interna serta di sebelah posteriornya berbatasan dengan fosa serebri posterior di daerah pons. 13,14 Sinus frontal terletak pada tulang frontal mulai terbentuk sejak fetus bulan keempat yang berasal dari sel-sel resessus frontal atau dari sel-sel infundibulum etmoid. Pneumatisasi tulang frontal bagian atas dan bawah membentuk sinus frontal dimulai sejak tahun pertama kehidupan dan mulai berkembang pada usia 8 tahun dan akan mencapai ukuran maksimal sebelum usia 20 tahun. 11

130 2.2 Epidemiologi Angka kejadian TNEP adalah 1% dari semua sarkoma. 5 Kejadiannya sangat jarang, dapat terjadi pada usia baru lahir sampai 20 tahun dan puncaknya pada usia 10 dan 15 tahun, angka kejadiannya adalah 2,9 dari 1 juta penduduk. Beberapa literatur melaporkan TNEP biasanya terjadi pada usia belasan tahun, lebih sering terjadi pada laki-laki dengan perbandingan laki-laki : perempuan 1,5 : 5. 6 Angka kejadian TNEP sinonasal yang pernah dilaporkan adalah sekitar 4 17% dari semua kasus tumor jaringan lunak pada anak. TNEP kebanyakan timbul di daerah torakopulmonal, pelvis, abdomen dan ekstremitas. Sekitar 20% kasus tumbuh di daerah kepala dan leher, termasuk sinus paranasal, foramen jugulare, rongga mulut, maksila, mandibula, temporal, esophagus dan orbita. 1,2,3 2.3 Diagnosis TNEP sering memberikan gejala dan tanda yang tidak khas, sehingga sering mempersulit diagnosis dan penatalaksanaan. Tumor tumbuh pada kavum nasi dan sinus paranasal dengan gejala yang tidak spesifik seperti obstruksi hidung, rinore dan epistaksis. Oleh sebab itu tumor sudah berkembang dan meluas ke jaringan sekitar atau bahkan sudah terdapat metastasis saat penyakit terdiagnosis. Benjolan pada wajah adalah keluhan utama yang dilaporkan pada beberapa kasus pada anak. Tumor di kavum nasi sering salah didiagnosis sebagai radang sinus biasa dan diobati secara empiris. Bila pengobatan gagal dan timbul gejala yang baru, barulah akhirnya dipikirkan kemungkinan diagnosis yang lain dan dicari kelainan utama yang mendasarinya. 5 Bila ada gejala klinis seperti gangguan penglihatan, proptosis atau epistaksis berulang, diagnosis dapat lebih cepat ditegakkan dibandingkan dengan gejala yang tidak spesifik, seperti adanya sumbatan hidung atau sakit kepala. 6 Oleh karena gambaran klinis yang sering tidak khas, menyebabkan kesulitan membuat diagnosis, maka pemeriksaan imunohistokimia dan sitogenetik penting untuk dilakukan. Jadi diagnosis TNEP ditegakkan berdasarkan radiologi, histopatologi, imunohistokimia, sitogenetik dan pemeriksaan dengan mikroskop elektron. Jadi diagnosis TNEP ditegakkan berdasarkan radiologi, histopatologi, imunohistokimia, sitogenetik dan pemeriksaan ultrastruktural. 1,2,4 Gambaran TNEP pada pemeriksaan tomografi komputer biasanya menunjukkan massa yang heterogen dan pada pemeriksaan MRI tampak gambaran isointens, seperti pada gambaran neoplasma sel bulat yang lain. Hal

131 inilah yang menjelaskan kenapa masih diperlukan pemeriksaan histologi. Pemeriksaan radiologi tersebut dapat menilai perkembangan tumor dan perencanaan untuk pendekatan reseksi tumor, selain itu juga dapat menilai adanya rekurensi ataupun metastasis tumor. 7 Secara histopatologi gambaran sarkoma Ewing atau TNEP serupa, terdiri atas sel malignan kecil seragam, bulat dengan sitoplasma sedikit. Dapat dilihat adanya aktivitas mitotik dan nekrosis, tetapi sel tumor umumnya rata dan bulat, tidak memiliki spindel dan pleomorfik. Tidak dijumpai adanya roset Homer-Wright pada sarkoma Ewing. Secara sederhana, pada sarkoma Ewing terdapat glikogen dan ketiadaan bukti diferensiasi neuroektodermal. Sebaliknya, TNEP dapat membentuk roset dan mempunyai suatu kecenderungan ekspresi marker neuroendokrin yang lebih besar pada pemeriksaan imunohistokimia. 16 Pada pemeriksaan dengan mikroskop elektron, tampak gambaran neurosekretori yang berhubungan dengan mikrotubuler dan mikrofilamen, gabungan kompleksnya dan gambaran sel kecil menambah kecenderungan untuk mendiagnosis TNEP. 17 Pada pemeriksaan imunohistokimia, kesatuan nosologik sarkoma Ewing dan TNEP didukung oleh keberadaan imunoreaktivitas yang kuat terhadap CD99 (O13; HBA71; 12E7; RBF-1) dan yang paling utama adalah adanya translokasi kromosomal konsisten (11;12;q24;q12), yang menuju ke arah peleburan gen ES (ESG) di kromosom 22 ke FLI-1 atau gen ERG di kromosom 11 dan produksi suatu transkrip chimeric. Perubahan genetik ini dapat dideteksi oleh RT-PCR dengan material blok parafin atau segar. CD99 mengenali suatu protein membran sel yang belum diketahui fungsinya (P30/32 MIC 2;013), yang merupakan produk MIC2, suatu gen pseudoautosomal pada lengan pendek kromosom X dan Y. Marker lain yang telah dideteksi dalam keluarga tumor ini, beberapa menunjukkan suatu diferensiasi garis neuroepithelial yang meliputi neuronspesifik endase, synaptophysin, protein S100, PGP95, sekretogranin II, vimentin dan keratin. Reaktivitas keratin telah dideteksi pada lima kasus dan kemungkinan itu sangat luas. Translokasi 11;22, muncul hampir mendekati 90% kasus, dapat dideteksi oleh RTPCR/ chromosomal insitu suppression hybridization dan transkrip protein dapat diidentifikasi dengan antibodi anti-fli-1 yang baru-baru ini diproduksi. Pendapat bahwa tumor dengan marker neuroepitel yang mudah dideteksi mempunyai suatu tampilan klinis lebih agresif dibanding yang lainnya, belum dapat diperkuat. Lagipula, usaha untuk membagi tumor ini berdasarkan fenotipik

132 di dalam tulang lebih memperlihatkan suatu fenotip undiferensiasi (sehubungan dengan konsep sarkoma Ewing yang asli), sedangkan tumor yang terletak di jaringan lunak cenderung menunjukkan berbagai derajat diferensiasi neuroepitelial. 16 Kesepakatan diagnostik adalah jika sedikitnya satu marker neuroendokrin positif, maka didiagnosis sebagai TNEP. Akan tetapi, tumpang tindih antara histologi, imunofenotip dan translokasi kromosomal yang dilihat, membenarkan pertimbangan bahwa tumor ini saling terkait sebagai satu kesatuan Diagnosis Banding Diagnosis TNEP tidak dibuat berdasarkan satu faktor, tetapi dari gabungan keadaan klinik dan ultrastruktural, imunohistokimia dengan atau tanpa pemeriksaan sitogenetik untuk menyingkirkan neuroblastoma, serta tumor sel bulat kecil yang lain. Neuroblatoma biasanya terjadi pada kelompok usia yang lebih muda dan dapat dideteksi dengan melihat adanya peningkatan konsentrasi katekolamin dan metabolismenya di dalam urin. Pada pemeriksaan imunohistokimia dengan mikroskop, neuroblastoma menunjukkan elemen sel yang matur, seperti sel-sel ganglion dan neurofil yang tidak ditemukan pada TNEP. Diagnosis banding yang termasuk dalam tumor sel bulat kecil selain neuroblastoma ialah limfoma, rabdomiosarkoma, melanoma dan karsinoma sinonasal tidak berdiferensiasi. 4,7 2.5 Penatalaksanaan Belum ada protokol untuk pengobatan TNEP pada anak, tetapi karena karakteristik tumor yang bersifat maligna dan termasuk dalam kelompok sarkoma Ewing, maka penatalaksanaan TNEP sebaiknya mengacu pada penatalaksanaan sarkoma Ewing, yaitu reseksi dengan kombinasi radioterapi dan kemoterapi untuk mengatasi tumor yang mungkin tersisa ataupun adanya metastasis yang tidak terdeteksi. Pada beberapa kasus, radioterapi dilakukan untuk memperpanjang angka kelangsungan hidup. Harus dilakukan reseksi tumor secara total, derajat diferensiasi neural tidak mempengaruhi hasil operasi. 7,8 Beberapa pengamatan pada pasien sarkoma Ewing telah menunjukkan bahwa pasien dengan tumor yang bersisa minimal atau tanpa sisa setelah menjalani kemoterapi preoperasi, mempunyai prognosis yang lebih baik. 7 Tumor masif yang nekrosis setelah induksi dengan kemoterapi juga menunjukkan prognosis yang

133 kemoterapi seperti vinkristin, doksorubisin dan siklofosfamid yang diberi bergantian dengan ifosfamid dan etoposid. Kombinasi ifosfamid dan etoposid telah menunjukkan hasil yang baik pada sarkoma Ewing. Dan pada uji coba yang lain, menunjukkan peningkatan hasil bila ifosfamid-etoposid dipakai bergantian dengan siklofosfamid. 7,18 Protokol kemoterapi adalah pemakaian vinkristin, doksorubisin, siklofosfamid atau ifosfamid, etoposid selama 6-9 bulan dan setelah terapi, pasien harus kontrol selama beberapa tahun. Penelitian terbaru pada uji klinik dari Children s Oncology group study (Amerika serikat) dan Euro-Ewing 99 (Eropa) menunjukkan peningkatan hasil dengan pemberian kemoterapi yang intensif untuk kelompok sarkoma Ewing. 7 Radioterapi sebagai terapi tunggal diberikan pada pasien dengan kasus tumor yang tidak dapat direseksi untuk mempertahankan fungsi. Dosis radioterapi pada kelompok sarkoma Ewing yang direkomendasikan pada kasus tumor yang bersisa adalah 45 Gy ditambah 10,8 Gy booster. Untuk tumor yang bersisa minimal, disarankan 45 Gy ditambah 5,4 Gy booster. Tidak disarankan untuk melakukan radioterapi pada pasien yang tidak terbukti adanya tumor sisa setelah dilakukan reseksi Prognosis TNEP dikenal sebagai tumor yang sangat agresif dan memiliki kecenderungan untuk bermetastasis dan juga rekuren. Kecenderungan metastasis pada kelompok sarkoma Ewing adalah ke paru (50%), tulang (25%), tulang belakang (20%), kelenjar limfe dan hati. 5,18 Angka kelangsungan hidup secara umum tidak baik, angka kelangsungan hidup 5 tahun untuk pasien yang mengalami metastasis adalah 22% dan 55% pada pasien tanpa metastasis. Faktor prognostik tergantung pada letak tumor, ukuran tumor dan ada tidaknya metastasis. Pasien yang berumur kurang dari 15 tahun dan dengan tumor yang terlokalisir memiliki prognosis yang lebih baik. Karena tingginya angka rekurensi, maka pasien harus difollow up secara ketat untuk menemukan secepat mungkin adanya tanda rekurensi dan juga metastasis. Kejadian rekurensi pernah dilaporkan terjadi setelah 17 tahun bebas dari penyakit. 5,19 LAPORAN KASUS Pasien dengan inisial VDAS, perempuan, usia 18 bulan, suku Timor Leste, datang ke poliklinik THT-KL RSUP Sanglah pada tanggal 5 Nopember Pasien dikeluhkan tumbuh benjolan pada hidung sisi kiri sejak 3 bulan sebelum ke rumah sakit. Awalnya benjolan tersebut kecil lalu semakin lama semakin

134 membesar. Sejak 2 bulan sebelum ke rumah sakit benjolan meluas hingga keluar melalui lubang hidung sisi kiri serta meluar ke pipi kiri dan ke gusi rahang atas. Riwayat hidung beringus ada, keluar darah dari hidung ada. Riwayat alergi dan bersin tidak ada. Benjolan pada leher tidak ada. Riwayat kehamilan dan persalinan yaitu usia kehamilan 37 minggu, tidak ada penyakit selama hamil, persalinan normal. Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum baik, kesadaran kompos mentis, nadi 84x/menit, pernafasan 24x/menit, temperatur aksila 36,5 C. Status lokalis THT-KL, pada pemeriksaan telinga tidak didapatkan kelainan. Pemeriksaan hidung didapatkan kavum nasi kanan sempit dan pada kavum nasi kiri tampak massa penuh menonjol hingga ke nares anterior kiri, berwarna coklat kehitaman dengan ukuran 2x2 cm. Mukosa hidung kanan merah muda dengan konka dekongesti. Mukosa hidung kiri dan septum sulit dievaluasi. Pemeriksaan tenggorok tampak benjolan pada gusi rahang atas. Pada pemeriksaan leher tidak didapatkan adanya pembesaran kelenjar getah bening. Diagnosis kerja pasien saat itu adalah tumor sinonasal sinistra. Gambar 3.1 Tampak massa penuh menonjol hingga ke nares anterior kiri. Pemeriksaan penunjang yang selanjutnya dilakukan berupa CT scan fokus hidung dan sinus paranasal irisan axial coronal dengan kesan bulging solid mass pada kavum nasi kiri yang meluas ke perinasal kiri dan wajah sisi kiri serta destruksi dinding sinus maksilaris kiri.

135 Gambar 3.2 CT scan fokus hidung dan sinus paranasal irisan axial coronal Pasien kemudian direncanakan untuk tindakan ekstirpasi tumor pendekatan maksilektomi rinotomi lateralis dengan anestesi umum. Dalam rangka persiapan tindakan, dilakukan pemeriksaan laboratorium lengkap dan foto toraks PA. Pada pemeriksaan darah lengkap didapatkan hasil leukosit 10,59x10 3 /µl, hemoglobin 14,7 g/dl, hematokrit 43%, trombosit 353x10 3 /µl. Pada pemeriksaan kimia darah didapatkan SGOT 35,3 U/L, SGPT 15,80 U/L, albumin 4,4 g/dl, BUN 3 mg/dl, kreatinin 0,26 g/dl, glukosa acak 94 mg/dl, natrium 137 mmol/l, kalium 4,3 mmol/l. Pada pemeriksaan faal hemostasis didapatkan BT 3,00 menit, CT 11,00 menit, PPT 12,4 detik, APTT 24,3 detik dan INR 0,98. Foto toraks PA didapatkan hasil cor dan pulmo tak tampak kelainan. Pasien kemudian dikonsulkan ke sejawat pediatri dan anestesi untuk evaluasi sebelum dilakukan tindakan operasi. Dari hasil konsultasi tidak didapatkan adanya kontraindikasi untuk dilakukan tindakan. Pada tanggal 24 Nopember 2016 dilakukan tindakan ekstirpasi tumor dengan anestesi umum, menggunakan pendekatan rinotomi lateralis sinistra. Temuan operasi berupa massa tumor rapuh memenuhi kavum nasi sinistra, kavum sinus maksilaris sinistra, destruksi dinding sinus maksilaris sinistra sampai gusi rahang atas. Kemudian dilakukan pemasangan tampon sinus dan tampon anterior, lalu luka insisi dijahit. Pasca operasi pasien mendapat terapi medikamentosa berupa IVFD NaCl 0,9% 10 tetes/menit, Ceftriaxon 2x250 mg iv, Asam tranexamat 3 x 250 mg iv, dan drip analgetik sesuai sejawat anestesi.

136 Gambar 3.3 Ekstirpasi tumor dengan pendekatan rinotomi lateralis

137 Gambar 3.4 Massa tumor yang telah diekstirpasi Tanggal 26 Nopember 2016 dilakukan evaluasi dan aff tampon, kemudian pasien diperbolehkan pulang dari rumah sakit dan selanjutnya kontrol ke poliklinik THT. Pada tanggal 1 Desember 2016 pasien datang kontrol ke poliklinik THT. Dilakukan aff jahitan. Pasien juga membawa hasil pemeriksaan histopatologi dengan hasil berupa gambaran potongan jaringan tumor yang sebagian ditutupi oleh epitel permukaan berupa epitel respiratorius mengandung massa tumor yang terdiri dari sel-sel neoplastik yang tersusun membentuk struktur solid dipisahkan septa jaringan ikat fibrous tipis, sebagian membentuk struktur pseudo-aveolar diantara stroma jaringan ikat, sebagian tampak diskohesif. Sel-sel tersebut berukuran kecil sampai sedang, berbentuk bulat relatif uniform, sitoplasma sebagian bervakuola, inti bulat ovoid. N/C ratio tinggi, pleomorfik ringan, kromatin sebagian vesikuler sebagian hiperkromatik, anak inti discernible namun tidak prominent, membran inti ireguler, mitosis 32/10 HPF. Tampak pula apoptotic bodies, nekrosis koagulatif dan invasi perineural. Sebagian epitel permukaan mengalami ulserasi. Pada beberapa fokus tampak sel-sel neoplastik yang infiltratif diantara jaringan otot. Didiagnosis sebagai suatu malignant small round cell tumor, diagnosis banding primitive neuroectodermal tumor.

138 Gambar 3.5 Pemeriksaan patologi anatomi tampak sel-sel berukuran kecil sampai sedang, berbentuk bulat relatif uniform. Kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan imunohistokimia dengan hasil petanda mesenkimal (Vimetin) positif kuat, petanda CD 99 positif kuat, NSE positif lemah sampai sedang, S100 dan limfoblast (TDT) negatif, menyimpulkan kesan TNEP. Pasien kemudian dikonsulkan ke bagian pediatri untuk menjalani kemoterapi sebanyak 6 seri dengan regimen kemoterapi berupa Ifosfamide dan Etopuside, sedangkan radioterapi untuk pasien ini tidak dilakukan karena pertimbangan usia dan lokasi tumor yang ditakutkan akan merusak organ-organ di sekitar di daerah sinonasal. Gambar 3.6 Pasca operasi minggu pertama. Sampai kasus ini dilaporkan, pasien sudah menjalani kemoterapi sebanyak 4 kali yang dilakukan selang 3 minggu. Pemeriksaan fisik THT pada hidung tidak didapatkan benjolan pada kavum nasi kiri.

139 A Gambar 3.7 A. Pasca kemoterapi kedua, B. Pasca kemoterapi keempat. B IV. PEMBAHASAN Pada laporan kasus ini dikemukakan kasus TNEP pada sinonasal yang terjadi pada seorang perempuan berusia 18 bulan, yang datang dengan keluhan utama timbul benjolan pada hidung kiri. TNEP merupakan kasus yang sangat jarang, lebih sering terjadi pada laki-laki, dapat terjadi pada usia baru lahir sampai 20 tahun. Pada penelitian Ghosh dkk didapatkan kasus PNET lebih sering terjadi pada perempuan usia 9 tahun sampai 40 tahun. 17 Keluhan utama pasien yaitu timbul benjolan pada hidung kiri sejak sekitar 3 bulan sebelum ke rumah sakit. Awalnya benjolan tersebut kecil lalu semakin lama semakin membesar, benjolan meluas hingga keluar melalui lubang hidung sisi kiri serta meluas ke pipi kiri dan ke gusi rahang atas serta dikeluhakan rinore dan epistaksis. Penelitian Ghosh dkk pada tahun 2009 dilaporkan gejala TNEP di daerah sinonasal yang tidak spesifik seperti obstruksi hidung, rinore dan epistaksis. Benjolan pada wajah adalah keluhan utama yang dilaporkan pada beberapa kasus pada anak. Beberapa keluhan lain yang dilaporkan, yaitu neuropati, eksoftalmus, anosmia dan nyeri kepala. 17 Gambaran klinis yang didapatkan pada pasien berupa massa tumor yang memenuhi kavum nasi kiri, yang tampak menonjol hingga ke nares anterior kiri berwarna coklat kehitaman dengan ukuran 2x2 cm. Pemeriksaan dengan CT scan fokus hidung dan sinus paranasal irisan axial coronal 139

140 memberi kesan kesan bulging solid mass pada kavum nasi kiri yang meluas ke perinasal kiri dan wajah sisi kiri serta terdapat destruksi dinding sinus maksilaris kiri. Hal ini sesuai dengan literatur bahwa pemeriksaan pencitraan yang menemukan heterogenous enhancing soft tissue mass dengan atau tanpa erosi tulang dan dapat terjadi kalsifikasi intratumor. 7 Pada saat dilakukan ekstirpasi tumor, didapatkan temuan massa tumor rapuh memenuhi kavum nasi sinistra, kavum sinus maksilaris sinistra, destruksi dinding sinus maksilaris sinistra sampai gusi rahang atas. Kemudian dilakukan pemeriksaan patologi anatomi yang didiagnosis sebagai suatu malignant small round cell tumor, diagnosis banding primitive neuroectodermal tumor. Dilanjutkan dengan pemeriksaan imunohistokima dengan hasil petanda mesenkimal (Vimetin) positif kuat, petanda CD 99 positif kuat, NSE positif lemah sampai sedang, S100 dan limfoblast (TDT) negatif, menyimpulkan kesan TNEP. Hal ini sesuai dengan literatur, secara histologis, TNEP terdiri dari kumpulan sel kecil, bulat, berwarna keabuan. Meskipun demikian, ciri histologis yang didapat dengan pemeriksaan mikroskop cahaya saja tidak dapat membedakan dengan tumor sel bulat lain. Pada periksaan dengan menggunakan mikroskop elektron, menunjukkan granula neurosekretori dengan mikrotubular serta mikrofilamen. Juga terdapat tonjolan dendritik pendek diantara sel-sel TNEP; karakteristik tersebut yang tidak terdapat pada sarcoma Ewing. Rosette formation pada sel tumor tidak terdapat pada TNEP, yang mana terlihat pada tumor sel bulat lain. Profil imunohistokimia dapat membedakan TNEP dengan tumor sel bulat lain. TNEP positif untuk MIC-2, vimentin, S-100, neuron-specific enolase, desmin, CD 99, CD 75 dan protein neurofilamen. Pemeriksaan dengan mikroskop elektron dan imunohistokimia memainkan peranan penting dalam membedakan TNEP dengan tumor lain yang memiliki kemiripan histologis, seperti limfoma non-hodgkin, neuroblastoma dan rabdomyosarkoma dan lain-lain. TNEP secara tipikal positif untuk CD 75, aktin dan desmin yang tidak positif untuk limfoma. 16 Penatalaksanaan pada pasien ini adalah tindakan pembedahan berupa ekstirpasi tumor dengan anestesi umum, kemudian pasien dikonsulkan ke sejawat pediatri untuk dilakukan kemoterapi. Pasien direncanakan menjalani kemoterapi sebanyak 6 seri, untuk kemudian dievaluasi kembali. Regimen kemoterapi yang diberikan berupa Ifosfamide dan Etopuside yang diberikan selang 3 minggu. Pasien tidak menjalani radioterapi dengan pertimbangan usia dan lokasi tumor yang ditakutkan akan merusak organ-organ di sekitar di daerah sinonasal. Reseksi dengan 140

141 kombinasi radioterapi dan kemoterapi untuk mengatasi tumor yang mungkin tersisa ataupun adanya metastasis yang tidak terdeteksi. Beberapa pengamatan pada pasien sarkoma Ewing telah menunjukkan bahwa pasien dengan tumor yang bersisa minimal atau tanpa sisa setelah menjalani kemoterapi preoperasi, mempunyai prognosis yang lebih baik. Tumor masif yang nekrosis setelah induksi dengan kemoterapi juga menunjukkan prognosis yang lebih baik. Kombinasi ifosfamid dan etoposid telah menunjukkan hasil yang baik pada sarkoma Ewing. Dan pada uji coba yang lain, menunjukkan peningkatan hasil bila ifosfamid-etoposid dipakai bergantian dengan siklofosfamid. Protokol kemoterapi adalah pemakaian vinkristin, doksorubisin, siklofosfamid atau ifosfamid, etoposid selama 6-9 bulan dan setelah terapi, pasien harus kontrol selama beberapa tahun. Penelitian terbaru pada uji klinik dari Children s Oncology group study (Amerika serikat) dan Euro-Ewing 99 (Eropa) menunjukkan peningkatan hasil dengan pemberian kemoterapi yang intensif untuk kelompok sarkoma Ewing. Radioterapi sebagai terapi tunggal diberikan pada pasien dengan kasus tumor yang tidak dapat direseksi untuk mempertahankan fungsi. Tidak disarankan untuk melakukan radioterapi pada pasien yang tidak terbukti adanya tumor sisa setelah dilakukan reseksi. 7,8 2. KESIMPULAN Dilaporkan satu kasus tumor neuroektodermal primitif di regio sinonasal pada pasien perempuan berusia 18 bulan. Kasus ini merupakan kasus yang sangat jarang terjadi. Korelasi gejala klinis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan radiologi, dan histopatologi merupakan prasyarat keberhasilan penatalaksanaan pasien. Diagnosis ditegakkan dengan bantuan pemeriksaan histopatologi dan imunohistokimia. Penatalaksanaan yang direkomendasikan antara lain dengan pembedahan, kemoterapi dan terapi radiasi. 141

142 DAFTAR PUSTAKA 1. Wetmore RF, Muntz HR, McGill TJ. Soft tissue tumor in children. Dalam : Potsic WP, Healy GB, Lusk RP, eds. Pediatric otolaryngology: principles and practice pathway. New York: Thieme; h Moras K, Roy P, Albert RR. Primitive neuroectodermal tumor of the maxillacase report and review of literature. Indian J Otolaryngol Head Neck Surg 2005; 25: Brandwein M, Gesler. Sinonasal and nasopharyngeal surgical pathology. Dalam : Silverberg SG, ed. Principles and practice of surgical pathology and cytopathology. 4th ed. Philadelphia: Elsevier; h Thompson LDR. Ewing sarcoma and primitive neuroectodermal tumor. Ear Nose Throat J 2001; 21: Calvarho CM, Valette G, Nicholas G, Marianowski R. Maxillar localization of a congenital peripheral primitive neuroectodermal tumor a case report. Int J Pediatr Otolaryngol 2006; 1: Stafford EM. Primitive neuroectodermal tumors [homepage on the internet]. c Rosai. Soft tissue tumor extrasceletal Ewing sarcoma/pnet. In: Rosai, Ackerman s, eds. Surgical pathology. 9 th ed. Toronto: Mosby; h Jones JE, McGill T. Peripheral primitive neuroectodermal tumors of the head and neck. Arch Otol 1995; 121: Ballenger JJ. Anatomy and physiology of the nose and paranasal sinuses. Dalam: Snow BJ, Ballenger JJ, penyunting. Ballenger s otorhinolaryngology head and neck surgery. Edisi ke-16. Spanyol: BC Decker Inc; h Putz R, Pabst R. Sobotta. Atlas anatomi manusia jilid 1. Edisi ke-21. Jakarta: EGC; Duque CS, Casiano RR. Surgical anatomy and embryology of the frontal sinus. Dalam: Kountakis S Senior B, Draf W, penyunting. The frontal sinus. Berlin: Springer; h Leung RM, Walsh WE, Kern RC. Sinonasal anatomy and physiology. Dalam: Ferguson BJ, Ryan MW. penyunting. Bailey's head and neck surgeryotolaryngology. Edisi ke-5. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins; h

143 13. Bolger WE. Anatomy of the paranasal sinuses. Dalam: Kennedy DW, Bolger WE, Zinreich SJ, penyunting. Diseases of the sinuses diagnosis and management. Hamilton: BC Decker; h Krouse JH, Stachler RJ. Anatomy and physiology of the paranasal sinuses. Dalam: Brook I, penyunting. Sinusitis from microbiology to management. New York: Taylor and Francis; h Probst R, Grevers G, Iro H. Anatomy, physiology, and immunology of the nose, paranasal sinuses, and face. Dalam: Probst R, Grevers G, Iro H, penyunting. Basic otorhinolaryngology a step-by-step learning guide. Stuttgart: Georg Thieme Verlag; h Toda T, Atari E, Sadi AM, Kiyuna M, Kojya S. Primitive neuroctodermal tumor in sinonasal region. Aurius Nasus Larynx 1999; 26: Ghosh A, Saha S, Pal S, Saha PV, Chattopadhyay S. Peripheral primitive neuroectodermal tumor of head-neck region: our experience. Indian J Otolaryngol Head and Neck Surg. 2009;61: Iseri M, Ozturk M, Filinte D, Corapcioglu F. A peripheral primitive neuroectodermal tumor arising from the middle turbinate and transnasal endoscopic approach for its surgical treatment. Int J Pediatr Otolaryngol 2007; 7: Benoit MM, Bhattacharyya, Faquin W, Cunningham M. Cancer of the nasal cavity in the pediatric population. Pediatrics 2007; 121(1):

144 TULI SENSORINEURAL MENDADAK BILATERAL PADA EVANS SINDROM Komang Andi Dwi Saputra Bagian/SMF Ilmu Kesehatan THT KL Fakultas Kedokteran Universitas Udayana / RSUP Sanglah Denpasar 1. PENDAHULUAN Tuli mendadak atau sudden sensorineural hearing loss didefinisikan sebagai kehilangan pendengaran lebih dari 30 db dalam 3 frekuensi berturut-turut dalam onset 3 hari, sering unilateral dan bersifat idiopatik. Tuli mendadak merupakan salah satu kasus kegawatdaruratan di bidang THT yang memerlukan penanganan segera, walaupun beberapa kepustakaan menyatakan bahwa tuli mendadak dapat sembuh spontan,angka pemulihan pasien yang tidak mendapat pengobatan adalah 25-65%, sebagian besar dalam 2 minggu setelah gejala muncul. 1 Prevalensi tuli mendadak di Amerika Serikat 5-30 tiap orang penduduk per tahun. Distribusi penderita laki-laki dan perempuan hampir sama, dengan puncak usia tahun. 1 Tuli sensorineural mendadak dapat disebabkan oleh infeksi virus, neoplasma, ruptur membran koklea, autoimun, oklusi vaskuler, neurologi, psikogenik dan idiopatik. Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, penala, audiometri dan penunjang. Pengobatan tuli sensorineural mendadak masih kontroversial. Sampai saat ini keberhasilan pemberian antiinflamasi, vasodilator, antivirus maupun terapi oksigen hiperbarik masih terus diteliti. Faktor usia, onset pemberian terapi, derajat tuli sensorineural dan adanya gejala penyerta dikatakan mempengaruhi prognosis tuli sensorineural mendadak. 1,2 Evans sindrom adalah kondisi yang didefinisikan sebagai kombinasi (baik secara bersamaan atau berurutan) dari idiopatik trombositopenia purpura (ITP) dan autoimun hemolitik anemia (AIHA) dengan tes antiglobulin langsung yang positif (DAT) dan tidak adanya etiologi yang diketahui. Evans sindrom merupakan penyakit langka meskipun frekuensi pastinya tidak diketahui. Hasil penelitian di Malaysia menyatakan dari 220 pasien ITP dan 102 AIHA terdapat 12 orang mengidap Evans sindrom. Gejalanya meliputi anemia hemolitik yaitu pucat, lesu, sakit kuning, gagal jantung, dan gejala trombositopenia antara lain petechiae, memar, perdarahan mukokutan. Pemeriksaan fisik didapatkan limfadenopati, hepatomegali ataupun splenomegali. Komplikasi yang sering dijumpai adalah perdarahan dan sepsis. Namun dilaporkan juga komplikasi yang jarang yaitu gangguan pendengaran akibat Evans sindrom. Berikut dilaporkan satu kasus tuli sensorineural mandadak bilateral pada laki-laki usia 57 tahun dengan Evans sindrom. 3,4 144

145 PUSTAKA 2.1 Anatomi Telinga Telinga terbagi menjadi telinga luar, tengah dan dalam. Telinga luar terdiri dari daun telinga dan kanalis akustikus eksternus. Sepertiga luar kanalis akustikus eksternus tersusun atas kartilago yang mengandung folikel rambut dan kelenjar seruminosa. Sedangkan dua pertiga bagian dalam merupakan bagian tulang yang dilapisi epitel. 1,2 Telinga tengah terdiri dari membran timpani, maleus, inkus, stapes, otot tensor timpani dan otot stapedius. Nervus korda timpani yang merupakan cabang nervus fasialis berjalan melintasi kavum timpani membawa serabut pengecap. Tuba eustachius menghubungkan kavum timpani dengan faring yang membuka oleh kontraksi otot tensor veli palatini. 2 Telinga dalam terdiri dari organ vestibuler dan koklea yang berada pada tulang temporal. Koklea merupakan tabung berbentuk rumah siput yang mengandung organ sensori untuk pendengaran. Koklea memiliki tiga buah kanal yang mengandung cairan yaitu skala vestibuli, skala media dan skala timpani. Skala media berada di koklea bagian tengah dipisahkan dari skala vestibuli oleh membran Reissner dan dari skala timpani oleh membran basilaris. Skala vestibuli dan skala timpani berisi cairan perilimfe sedangkan skala media berisi cairan endolimfe. Komposisi ion pada cairan skala media serupa dengan intraseluler yaitu kaya kalium dan rendah natrium. Sedangkan cairan pada skala vestibuli dan skala timpani serupa dengan ekstraseluler yaitu rendah kalium dan tinggi natrium. Komposisi ion perilimfe sangat penting untuk sel-sel rambut. 5 Cairan perilimfe pada telinga dalam berhubungan dengan cairan serebrospinal pada kavum kranii melalui aquaduktus koklearis yang menghubungkan ruang perilimfe dengan ruang cairan kranial. Ruang endolimfatikus berhubungan dengan sakus endolimfe melalui duktus endolimfe. Sakus endolimfe adalah ruang diantara dua lapisan duramater. Membran Reissner memiliki komplians yang sangat tinggi sehingga perubahan tekanan yang sangat kecil sekalipun dapat menyebabkan perubahan volume yang besar pada ruang endolimfe. Gangguan keseimbangan tekanan pada kedua sistem tersebut akan menyebabkan gangguan pendengaran dan keseimbangan. 1,5 Organon korti terletak pada membran basiler dan banyak mengandung sel sensori, sel rambut luar dan sel rambut dalam. Diantara barisan sel rambut luar dan sel rambut dalam terdapat suatu saluran Corti. Sel rambut luar berbentuk silindris sedangkan sel rambut dalam berbentuk seperti labu. Sel rambut luar pada apeks koklea berukuran lebih panjang dibandingkan bagian basal. Stereosilia sel rambut dalam pada basal koklea berukuran lebih pendek dibandingkan dengan apeks koklea. Stria vaskularis berada diantara ruang perilimfe 145

146 dan endolimfe disepanjang dinding koklea. Stria vaskularis banyak mengandung pembuluh darah dan mitokondria pada selnya yang mengindikasikan terlibatnya aktivitas metabolik. 2 Membran basilar berukuran panjang sekitar 150µm di basal koklea dan lebar 450 µm di apeks. Mengandung jaringan ikat dan membentuk basal skala media. Pada bagian basal, membran basiler mempunyai struktur yang lebih kaku dibandingkan apeks. Perubahan struktur secara gradual ini menyebabkan suara yang mencapai telinga ini menghasilkan gelombang pada membran basiler yang berjalan dari basal menuju apeks koklea. 2,5 Koklea diinervasi oleh serat saraf aferen auditorius, eferen dan otonomik. Koklea diperdarahi oleh arteri labirin yang berasal dari arteri serebelum anterior inferior dan berjalan mengikuti nervus kranialis VIII pada meatus akustikus internus. Arteri labirin merupakan arteri terminal dan hanya mengandung sedikit bahkan tidak ada suplai pembuluh darah kolateral ke koklea. 2.2 Fisiologi pendengaran Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun telinga dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang ke koklea. Getar tersebut menggetarkan membran timpani kemudian diteruskan ke telinga tengah melalui rangkaian tulang pendengaran yang akan mengampiflikasi getaran melalui daya ungkit tulang pendengaran dan perkalian perbandingan luas membran timpani dan tingkap lonjong. Energi getar yang telah diampiflikasi ini diteruskan ke stapes yang menggerakan tingkap lonjong sehingga perilimfe pada skala vestibuli bergerak. Getaran diteruskan melalui membran Reissner yang mendorong endolimfe sehingga akan menimbulkan gerak relatif antara membran basilaris dan membran tektorial. Proses ini merupakan rangsang mekanik yang menyebabkan terjadinya defleksi stereosilia sel rambut sehingga kanal ion terbuka dan terjadi pelepasan ion bermuatan listrik dari badan sel. Keadaan ini akan menimbulkan proses depolarisasi sel rambut sehingga melepaskan neurotransmitter ke dalam sinaps yang akan menimbulkan potensial aksi pada saraf auditorius, dilanjutkan ke nukleus auditorius sampai ke korteks pendengaran di lobus temporal. 2 Tidak seluruh getaran di alam bisa didengar oleh manusia. Frekuensi sonik adalah frekuensi yang dapat dipersepsi manusia sebagai bunyi. Rentang frekuensi sonik antara 20Hz Hz. Frekuensi sonik yang sangat diperlukan untuk percakapan sehari-hari adalah antara 500 Hz sampai Hz. Frekuensi kurang dari 20 Hz disebut subsonik dan diatas Hz disebut supersonik. Kedua frekuensi tersebut tidak dapat didengar manusia

147 2.3 Definisi dan Kekerapan Tuli sensorineural mendadak didefinisikan sebagai tuli sensorineural pada satu atau kedua telinga yang berlangsung sangat cepat dalam periode 72 jam dengan kriteria audiometri berupa penurunan pendengaran 30 db sekurang-kurangnya pada 3 frekuensi yang berurutan. Gangguan pendengaran yang terjadi bervariasi dalam intensitas dan frekuensi. Di Amerika Serikat kejadian tuli mendadak ditemukan 5-20 kasus tiap orang pertahun dengan kasus baru tiap tahunnya. Tuli biasanya bersifat unilateral. Tuli mendadak bilateral terjadi pada 1-5% kasus. Distribusi laki-laki dan perempuan hampir sama. Tuli mendadak dapat terjadi pada semua kelompok umur. Umumnya terjadi pada rentang umur tahun. 2,5 Evans sindrom pertama kali dijelaskan pada tahun 1951 oleh Robert Evans yang mempresentasikan tentang hubungan antara anemia hemolitik yang didapat dan purpura trombositopenia primer. Evans sindrom dapat didefinisikan sebagai kombinasi dari idiopatik trombositopenia purpura (ITP) dan autoimun anemia hemolitik (AIAH) dengan tes antiglobulin langsung yang positif (DAT) dan tidak adanya etiologi yang diketahui yang mendasarinya. Kondisi ini umumnya berjalan kronis dan ditandai oleh seringnya eksaserbasi dan remisi, kadang-kadang bersama dengan trombositopenia. Evans sindrom merupakan penyakit yang langka dan frekuensi pastinya tidak diketahui. Sebuah penelitian pada pasien dewasa dengan imunositopenia yang dilakukan pada tahun ditemukan 399 kasus AIAH dan 367 kasus trombositopenia, hanya 6 dari 766 pasien tersebut tergolong Evans sindrom. 6 Tuli sensorineural mendadak merupakan komplikasi yang sangat jarang pada penyakit autoimun. Pada Evans sindrom, komplikasi ini dicurigai timbul akibat proses sistemik yang menyebabkan iskemia pada koklea. 2.4 Etiologi dan Patogenesis Penyebab tuli sensorineural mendadak masih belum diketahui secara jelas. Banyak teori dugaan penyebab yang dikemukakan oleh para ahli. Penyebab tuli sensorineural dibagi atas gangguan di koklea (inflamasi, trauma, gangguan vaskular, hematologi, gangguan jaringan ikat, hidrops endolimfe, gangguan metabolik, ototoksisitas), gangguan di retrokoklea dan sistem saraf pusat ( meningitis, multiple sclerosis, sarkoidosis dan idiopatik). 7,8 Ada empat teori utama yang mencoba menjelaskan penyebab tuli mendadak antara lain infeksi virus, kelainan vaskular, kerusakan membran intrakoklea dan kelainan imunologi. Ketulian mendadak dapat ditemukan pada infeksi virus seperti mumps, rubella dan influenza. Pada pemeriksaan serologis didapatkan peningkatan titer antibodi terhadap 147

148 sejumlah virus. Pemeriksaan histopatologi tulang temporal pasien yang mengalami tuli sensorineural mendadak menunjukkan atrofi organ korti, atrofi stria vaskularis, membran tektorial serta hilangnya sel rambut dan sel penyokong koklea. 7,8,9 Iskemia koklea diperkirakan merupakan penyebab tuli mendadak yang tersering. Keadaan ini disebabkan karena spasme, trombosis atau perdarahan arteri auditiva interna. Pembuluh darah koklea merupakan end artery sehingga bila terjadi gangguan pada pembuluh darah ini maka koklea sangat mudah mengalami kerusakan. Pada kasus emboli, trombosis, vasospasme dan hiperkoagulasi terjadi iskemia yang berakibat degenerasi luas pada sel ganglion stria vaskularis dan ligamen spiralis. Kemudian diikuti oleh pembentukan jaringan ikat dan penulangan. Kebocoran cairan perilimfe ke dalam telinga tengah melalui tingkap bundar dan tingkap lonjong didalilkan sebagai penyebab ketulian dengan membentuk hidrops endolimfe relatif atau menyebabkan robekan membran intrakoklea. Robekan membran intrakoklea memungkinkan terjadinya pencampuran perilimfe dan endolimfe sehingga terjadi perubahan potensial endokoklea. 9,11 Adanya reaksi silang antara antibodi dengan antigen telinga dalam dan terbentuknya komplek imun pada stria vaskularis, sakus dan duktus endolimfatikus menguatkan teori bahwa salah satu penyebab tuli mendadak adalah autoimun. Konsep autoimun ini pertama kali diperkenalkan oleh McCabe pada tahun ,12,13,16 Walaupun Evans sindrom muncul sebagai panyakit yang disebabkan oleh pengaturan imunitas, sampai saat ini patofisiologi yang jelas masih belum diketahui. Kebanyakan penelitian hanya mempunyai sedikit jumlah pasien dan interpretasi hasil penelitian sulit dibuat. 6,10 Pada penelitian Wang et al (1983) yang menggunakan 6 anak yang menderita penyakit ini menemukan adanya penurunan persentase dari IgG, IgM, IgA dan sel T4, serta peningkatan persentase sel T8 dan penurunan yang nyata dari rasio T4:T8 dibandingkan orang normal dan pasien dengan ITP kronis. Hal ini berhubungan dengan sitopenia pada pasien. Abnormalitas tersebut tetap ada selama di follow up 1 tahun. Penelitian Krakantza et al (2000) yang menemukan penurunan rasio CD4/CD8 pada anak umur 12 tahun dengan Evans sindrom, menariknya penurunan rasio tersebut tetap bertahan walaupun telah dilakukan splenektomi. Mereka juga menemukan kenaikan produksi interleukin 10 dan interferon ᵞ sehingga mereka mengemukakan ini disebabkan oleh aktivasi autoreaksi, produksi antibodi sel B. Bagaimanapun, abnormalitas dari imunitas selular masih belum jelas seperti yang terlihat pada keadaan autoimun dan infeksi virus dan keadaan ini tidak spesifik dengan Evans sindrom. 16,17 Sekalipun frekuensi dari hemopoesis sel spesifik autoantibodi pada pasien Evans sindrom diketahui, namun masih sedikit sekali informasi yang menyatakan tentang target 148

149 antigen. Apoptosis limfosit yang teraktivasi sangat berpengaruh pada homeostatis imunitas tubuh. Protein permukaan sel Fas (CD95) dan ligannya memainkan peranan penting dalam mengatur apoptosis limfosit. Rusaknya permukaan fas dan ligannya menyebabkan penumpukan jumlah limfosit tua dan menyebabkan penyakit autoimun pada tikus. Hasil beberapa penelitian menyatakan rusaknya fase apoptosis limfosit oleh karena mutasi gen fas yang menyebabkan sindrom autoimun limfoproliferatif berat pada manusia. Teachey et al juga menunjukkan 12 anak menggunakan menggunakan tes definitif untuk ALPS. Dan hasilnya menunjukkan bahwa 58% orang dengan Evans sindrom bisa memiliki ALPS. Pada pemeriksaan fisik biasanya menunjukkan AIHA dan ITP. Pemeriksaan bisa menunjukkan limfadenopati, hepatomegali dan atau splenomegali. Limfadenopati dan organomegali mungkin kronis atau intermiten dan pada beberapa kasus bisa tampak selama episode eksaserbasi akut. Hitung jumlah darah bisa menunjukkan sitopenia dan apusan darah mengarah ke AIHA seperti polikromasia, sferosit dan untuk membuang penyebab yang lain seperti keganasan, mikroangiopati hemolitik, kongenital hemolitik dan trombositopeni. Ciri dari hemolitik harus ditemukan termasuk peningkatan retikulosit, hiperbilirubinemia tidak terkonjugasi dan penurunan hepatoglobulin. Tes antiglobulin langsung biasanya hampir menunjukkan positif pada semua kasus. Sangat disarankan untuk mengukur serum imunoglobulin pada semua pasien, hal ini tidak hanya untuk menyingkirkan diagnosa lain seperti common variable imunodeficiency dan defisiensi IgA namun juga sebagai dasar utama utuk melakukan terapi immunomodulator. Untuk tambahan, keadaan autoimun lainnya seperti SLE harus dicari dengan antinuclear antibody (ANA), double stranded DNA, dan faktor rematoid. Dan yang paling penting adalah menyingkirkan ALPS ( autoimun limfoproliferatif sindrom) dengan menilai darah tepi sel T menggunakan flow cytometri. 12,13,16 Investigasi sumsum tulang juga bisa digunakan untuk menyingkirkan proses infiltratif pada pasien dengan pansitopenia. 2.5 Diagnosis Diagnosis tuli sensorineural mendadak ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Keluhan pasien pada umumnya berupa hilangnya pendengaran pada satu sisi telinga saat bangun tidur. Sebagian besar kasus bersifat unilateral. Hanya 1-2% kasus bersifat bilateral. Kejadian hilangnya pendengaran dapat bersifat tiba-tiba, berangsur-angsur hilang secara stabil atau terjadi secara cepat dan progresif. Kehilangan pendengaran dapat bersifat fluktuatif tetapi sebagian besar besifat stabil. Tuli sensorineural mendadak sering disertai keluhan sensasi penuh pada telinga dengan atau tanpa tinitus. Pada 28-57% kasus dapat ditemukan gangguan vestibular seperti vertigo. 11,14 149

150 Pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan otoskopi dan garpu tala. Pemeriksaan otoskopi ditemukan dalam batas normal sedangkan garpu tala didapatkan Rinne positif pada telinga yang sakit dan Weber lateralisasi ke telinga yang sehat, yang menunjukkan tuli sensorineural. Gambar 2. Tes Penala Audiogram akan menunjukkan tuli sensorineural pada frekuensi rendah, sedang, tinggi atau seluruh frekuensi. Pemeriksaan laboratorium dilakukan berdasarkan keluhan dan riwayat pasien serta kemungkinan etiologi. Pada kasus tuli sensorineural mendadak bilateral atau episode tuli sensorineural mendadak berulang maka pemeriksaan neurologi berupa antibodi antikoklea dapat dilakukan. 14 Pasien dengan AIHA dan ITP dapat muncul satu per satu ataupun bersamaan. Neutropenia terjadi lebih dari 55% pasien, atau pansitopenia (14%). Perkembangan dari sitopenia yang kedua bisa muncul setelah berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun setelah sitopenia pertama dan mengakibatkan diagnosis tertunda. Gambaran klinisnya bisa dari anemia hemolitikya seperti tampak pucat, lemas, tampak kuning, dan gagal jantung pada kasus yang berat. Atau gambaran ITP seperti petechiae, memar, dan perdarahan mukokutan. Pada pemeriksaan fisik biasanya menunjukkan AIHA dan ITP bisa menunjukkan limfadenopati, hepatomegali dan atau splenomegali. 150

151 Limfadenopati dan organomegali berlangsung kronis dan pada beberapa kasus bisa tampak selama episode eksaserbasi akut. Menurut Pui dalam A. Kabir (2010) ada tiga kriteria untuk penegakan diagnosis Evans sindrom 16,17 : adanya anemia hemolitik dengan tes coomb direk positif, trombositopenia yang timbul secara bersamaan ataupun satu per satu dan tanpa diketahui penyebabnya. 2.6 Penatalaksanaan Pada tuli sensorineural mendadak yang diketahui penyebabnya maka pengobatan ditujukan untuk mengatasi penyebabnya sedangkan penanganan tuli sensorineural mendadak idiopatik masih kontroversial dan didasarkan pada bukti empiris. Hipoksia jaringan menimbulkan reaksi inflamasi berupa dilepasnya mediator histamin dan prostaglandin. Kortikosteroid mempunyai efek antiinflamasi yang bekerja mengurangi inflamasi pada koklea dan nervus auditorius. Pemberian metilprednisolon oral dengan dosis tapering off selama hari menunjukkan perbaikan pendengaran yang bermakna dibandingkan penderita yang diberikan plasebo. Sampai saat ini belum ada keseragaman diantara para ahli dalam penanganan tuli mendadak. Sebagian ahli berpendapat tuli mendadak dapat sembuh spontan tanpa pengobatan. Sedangkan pendapat lain menyatakan walaupun penyebabnya belum diketahui, tuli mendadak adalah tetap suatu kegawatdaruratan THT yang segera, guna mempercepat proses penyembuhan dan menghindarkan cacat yang menetap. Penanganan yang paling utama pada pasien yang mengalami tuli mendadak adalah tirah baring kira-kira selama 14 hari, dengan tujuan sebagai istirahat fisik dan mental bagi pasien untuk mengurangi stress akibat keadaan yang dialaminya serta untuk memperbaiki sistem neurovaskuler. Vasodilator diberikan dengan tujuan untuk meningkatkan aliran darah ke koklea sehingga mengurangi hipoksia. Obat pilihan saat ini adalah Xantinol Nicotinat injeksi dan tablet, dengan dosis tertentu yang diturunkan secara bertahap. Dosis injeksi yaitu: 3x 900 mg selama 4 hari, 3 x 600 mg selama 4 hari dan 3 x 300 mg selama 6 hari. Dosis dalam bentuk tablet yaitu 3x2 tablet setiap hari selama 2 minggu. Berbagai penelitian penggunaan kortikosteroid pada pasien tuli mendadak telah dipublikasikan. Kortikosteroid yang diberikan adalah glukokortikoid sintetik oral, intravena, dan/atau intratimpani, meliputi prednison, metilprednisolon, dan deksametason. Kortikosteroid diperkirakan memiliki efek anti inflamasi dan kemampuan dalam meningkatkan aliran darah koklea. Untuk hasil pengobatan yang maksimal, dosis terapi prednison oral yang direkomendasikan adalah 1 mg/kg/hari dosis tunggal dengan dosis maksimum 60 mg/hari selama hari. Dosis ekuivalen prednison 60 mg setara dengan 151

152 metilprednisolon 48 mg dan deksametason 10 mg. Sebuah data yang representatif menggunakan regimen pengobatan dengan dosis maksimum selama 4 hari diikuti tapering off 10 mg setiap dua hari. Efek samping prednison meliputi insomnia, dizziness, kenaikan berat badan, berkeringat, gastritis, perubahan mood, fotosensitif, dan hiperglikemia. Efek samping lain yang cukup berat, tetapi jarang ditemukan, yakni pankreatitis, perdarahan, hipertensi, katarak, miopati, infeksi oportunistik, osteoporosis, dan osteonekrosis. Oleh sebab itu, untuk meminimalkan risiko, pasien dengan kondisi medis sistemik, seperti insulindependent diabetes mellitus (IDDM), diabetes tidak terkontrol, hipertensi tidak terkontrol, tuberkulosis, dan ulkus peptikum tidak disarankan diberi terapi kortikosteroid sistemik. Beberapa ahli THT merekomendasikan terapi kortikosteroid intratimpani sebagai pengganti terapi kortikosteroid sistemik pada pasien yang tidak mengalami perbaikan dengan kortikosteroid sistemik. Terapi kortikosteroid intratimpani dapat menjadi alternatif untuk pasien diabetes yang tidak bisa mengonsumsi kortikosteroid sistemik. Steroid diberikan dengan sebuah jarum melalui membran timpani atau ditempatkan di telinga tengah melalui tabung timpanostomi atau miringotomi yang kemudian diserap dan menyebar melalui membran tingkap bundar ke telinga dalam. Keuntungan terapi kortikosteroid intratimpani adalah memberikan steroid konsentrasi tinggi langsung pada jaringan target (perilimfe) dengan efek samping sistemik minimal. Hal ini didukung oleh Parnes dkk, yang mempublikasikan dan mendemonstrasikan kadar steroid yang tinggi di telinga dalam setelah aplikasi terapi steroid intratimpani. Sebuah studi mengenai terapi kombinasi kortikosteroid sistemik dosis tinggi dan kortikosteroid intratimpani menunjukkan hasil perbaikan fungsi pendengaran secara signifikan. Namun, studi lainnya tidak menghasilkan perbedaan pemulihan pendengaran antara terapi kombinasi kortikosteroid oral dan intratimpani dengan terapi kortikosteroid oral saja. Steroid intratimpani yang biasa diberikan adalah deksametason atau metilprednisolon. Konsentrasi kortikosteroid yang digunakan bervariasi, sebagian besar studi menganjurkan deksametason mg/ml dan metilprednisolon 30 mg/ml atau lebih. Efek samping terapi intratimpani yang haru diantisipasi adalah efek lokal, seperti otalgia, dizziness, vertigo, perforasi membran timpani, atau infeksi (otitis media). 11 Terapi oksigen hiperbarik telah diterapkan sebagai terapi tambahan dalam kasus tuli mendadak. Terapi ini memberikan oksigen 100% dengan tekanan lebih dari 1 ATA (atmosphere absolute). Terapi ini bertujuan untuk meningkatkan oksigenasi koklea dan perilimfe, sehingga diharapkan dapat menghantarkan oksigen dengan tekanan parsial yang lebih tinggi ke jaringan, terutama koklea yang sangat peka terhadap keadaan iskemik. Terapi oksigen hiperbarik diperkirakan memiliki efek yang kompleks pada imunitas tubuh, transpor oksigen dan hemodinamik, peningkatkan respons normal pejamu terhadap infeksi dan iskemia, serta mengurangi hipoksia dan edema. Menurut guideline AAO-HNS, terapi 152

153 oksigen hiperbarik sebaiknya dilakukan dalam 2 minggu hingga 3 bulan dari saat diagnosis tuli mendadak. Pasien usia muda memberikan respons lebih baik dibandingkan pasien yang lebih tua (usia bervariasi antara tahun). Hal penting yang perlu dipertimbangkan dalam terapi oksigen hiperbarik ini adalah manfaat dan risiko efek samping. Terapi ini memiliki efek samping berupa kerusakan pada telinga, sinus, dan paru akibat perubahan tekanan, myopia yang memburuk sementara, klaustrofobia, dan keracunan oksigen. Dalam sebuah studi terhadap 80 pasien yang menjalani terapi oksigen hiperbarik, 5 pasien (6,25%) mengalami barotrauma pada telinga atau sinus. 14,1 Penggunaan antivirus pada pengobatan ketulian sensorineural mendadak idiopatik, hanya pada etiologi virus. Famsiklovir dan valasiklovir merupakan obat terbaru, yang memiliki struktur dan cara kerja yang serupa dengan asiklovir dan belum dilaporkan penggunaannya pada ketulian yang mendadak. Salah satu penyebab tuli mendadak adalah inflamasi oleh infeksi virus. Mekanisme inflamasi berupa invasi virus secara langsung pada koklea atau saraf koklea, reaktivasi virus laten dalam ganglion spirale, dan infeksi yang dimediasi imun. Secara teoritis, pemberian antivirus dapat membantu pemulihan fungsi pendengaran. Beberapa percobaan yang telah dilakukan masih belum mengungkap adanya manfaat pemberian terapi antivirus. Conlin dan Parnes melakukan systematic review dan meta-analisis terhadap empat studi RCT (randomized controlled trial) yang membandingkan terapi antivirus dan steroid dengan plasebo dan steroid, tidak satu pun yang melaporkan hasil signifikan secara statistik. Selain itu, penggunaan antivirus memiliki efek samping berupa mual, muntah, fotosensitif, serta perubahan status mental, dizziness, dan kejang. Roborantia dapat diberikan vitamin B kompleks dan Vitamin C. vitamin C diberikan 2x 100 mg / hari. Vitamin B kompleks diberikan 3 x 1 tablet / hari. 2 Bila fungsi pendengaran tidak membaik dengan pengobatan tersebut maka perlu dipertimbangkan pemakaian alat bantu dengar (hearing aid) dan apabila dengan alat ini belum juga membantu pasien maka perlu dilakukan psikoterapi dengan tujuan agar pasien dapat menerima keadaan. Tatalaksana untuk Evans sindrom masih belum pasti sampai saat ini. Sindrom ini bisa berulang dan respon terhadap pengobatan masih sangat bervariasi bahkan pada individu yang sama. Indikasi pengobatan belum ditemukan pada penelitian. Pengobatan pasien secara simptomatis. 3,4,16 Pengobatan lini pertama yang paling sering digunakan yaitu kortikosteroid dan atau imunoglobulin intravena. Pada keadaan akut, transfusi darah atau platelet bisa diberikan untuk mengurangi gejala. Kortikosteroid merupakan obat lini pertama yang cukup baik. Dari beberapa penelitian banyak yang mengalami perbaikan walau tidak sampai tahap sembuh. Dosis prednisolon 153

154 yang digunakan sangat bervariasi dari 1mg/kg/hari sampai 4 mg/kg/hari. Bahkan respon yang bagus pada pemberian dosis besar metilprednisolon i.v 30 mg/kg/hari untuk 3 hari lalu 20mg/kg/hari untuk 4 hari dilanjutkan 10,5,2,1mg/kg /hari untuk tiap minggunya. Imunoglobulin intravena diberikan bila respon buruk terhadap steroid atau pasien yang tidak bisa menerima steroid dosis tinggi. Dosis yang biasa digunakan 2 g /kg dalam dosis terbagi. Pengobatan lini kedua meliputi agen imunosupresif (siklosporin, mikopenolat mofetil dan danazol), rituximab dan kemoterapi (vincristine), splenektomi juga termasuk pengobatan lini ke dua. Pemilihan obat ini tergantung dari kriteria klinis seperti umur pasien, beratnya penyakit dan riwayat pengobatan sebelumnya. Kebanyakan pasien merespon pengobatan lini pertama dan ke dua setidaknya untuk beberapa tahun ke depan. Untuk lini ketiga dapat diberikan siklopospamid, alemtuzumab dan SCT atau Stem Cell Transplantation. 2.7 Prognosis Pada umumnya makin cepat diberikan pengobatan makin besar kemungkinan untuk sembuh, bila sudah lebih dari 2 minggu kemungkinan sembuh menjadi kecil. Penyembuhan dapat sebagian atau lengkap, tetapi dapat juga tidak sembuh. Hal ini disebabkan karena faktor konstitusi seperti pada pasien yang pernah mendapat obat ototoksik yang cukup lama, kolesterol tinggi, viskositas darah yang tinggi, dan sebagainya, walaupun pengobatan diberikan pada stadium yang dini. Umur muda mempunyai angka perbaikan yang lebih besar dibandingkan usia tua, tuli sensorineural berat dan sangat berat mempunyai prognosis buruk dibandingkan dengan tuli sensorineural nada ringan dan sedang. Usia lanjut, gangguan pendengaran sangat berat, dan adanya gejala vestibular subjektif dikaitkan dengan rendahnya tingkat kesembuhan. Usia lanjut, hipertensi, diabetes, dan hiperlipidemia berkaitan dengan disfungsi mikrovaskuler di koklea, yang merupakan faktor prognosis buruk. Saat mulai pengobatan lebih dini (dalam 7 hari pertama) berhubungan dengan prognosis baik bagi pemulihan fungsi pendengaran. Derajat gangguan pendengaran awal mempengaruhi potensi pemulihan pendengaran. Pasien tuli mendadak disarankan melakukan pemeriksaan audiometri ulang dalam waktu 6 bulan setelah diagnosis, untuk menentukan keberhasilan terapi. 11,14 Filipo dkk menggunakan klasifikasi yang dibuat oleh Furuhashi untuk evaluasi perbaikan pendengaran pada tuli mendadak, terdiri atas pemulihan total, pemulihan bermakna, pemulihan minimal, dan tidak ada pemulihan. Pasien tuli mendadak yang telah mendapat pengobatan, namun ketulian tetap bersifat permanen dan menimbulkan kecacatan, membutuhkan rehabilitasi auditorik. Dengan kesembuhan spontan tuli sensorineural mendadak dilaporkan sekitar 45-65%. Pada penderita tuli sensorineural mendadak unilateral dan masih memiliki pendengaran yang baik pada telinga kontralateral 154

155 maka tidak diperlukan pemakaian alat bantu dengar. Evaluasi audiometri dilakukan secara rutin pada bulan 2, 6 dan 12 setelah onset tuli untuk mengetahui perbaikan derajat tuli atau untuk mendeteksi adanya ketulian pada telinga kontralateral. 7 Keberhasilan pengobatan tuli sensorineural mendadak dinilai berdasarkan rata-rata ambang pendengaran menurut Siegel yaitu: pulih total jika ambang dengar rata-rata < 25 db, pulih sebagian jika terjadi perbaikan > 15 db dengan ambang dengar rata-rata db, pulih ringan jika perbaikan > 15 db dengan ambang dengar rata-rata > 45 db, dan tidak ada pemulihan jika perbaikan < 15. Seperti yang telah dibahas sebelunnya, Evans sindrom dikarakteristikkan sebagai penyakit yang berulang. Pada beberapa pasien ini dapat bertahan lama dengan SCT. Pui et al dan Scaradavou dan Bussel menyatakan episode ITP lebih sering dan lebih susah dikendalikan daripada AIHA. Data dari 75 pasien yang mempunyai nilai median 3, 7, 8, 9 tahun menunjukkan angka kematian sebesar 7%, 36%, 33% dan 30 %. Penyebab kematian berhubungan dengan perdarahan dan sepsis yang berlangsung. Menurut Michel M, sebelum adanya rituximab, keseluruhan prognosis dari penyakit ini masih sangat rendah. 12 III. LAPORAN KASUS Penderita INJ, laki-laki, 57 tahun, agama Hindu, suku Bali, seorang petani, beralamat di Nyitdah, kabupaten Tabanan, merupakan rujukan RSUD Tabanan yang telah dirawat selama 2 minggu dan mendapatkan transfusi darah sebanyak 7 kantong. Pasien datang ke IGD RSUP Sanglah tanggal 20 Maret 2017 pkl WITA dengan diagnosa observasi anemia dan trombositopenia (bisitopenia) dan tuli sensorineural mendadak kanan dan kiri. Pasien merupakan konsulan dari sejawat penyakit dalam dengan keluhan tuli mendadak sejak 1 hari sebelum tiba di rumah sakit. Penderita mengeluh mengalami penurunan pendengaran sejak 1 hari sebelumnya secara mendadak setelah bangun tidur disertai telinga mendenging. Riwayat keluar cairan dari telinga, batuk, pilek dan trauma disangkal. Panas badan tidak ada, namun pasien mengeluh badan lemas sejak 1 bulan sebelumnya dan tidak membaik dengan istirahat. Pasien juga mengeluh lebam- lebam pada daerah paha dan punggung sejak 1 bulan yang lalu tanpa didahului trauma. Riwayat gusi berdarah ada. Di RSUD Tabanan pasien dirawat dan ditransfusi darah sebanyak 7 kantong sehingga menaikkan hemoglobin yang sebelumnya 4,8 gr/dl (9/3/2017) menjadi 9,7 gr/dl (14/3/017), namun menurun pada tanggal 20 Maret 2017 menjadi 8,75 gr/dl. Pasien belum mendapatkan tranfusi trombosit sehingga tetap dalam kondisi trombositopenia. Sehari sebelum dirujuk pasien mengalami penurunan pendengaran secara mendadak. Kemudian 155

156 pasien dirujuk ke RSUP Sanglah dengan observasi bisitopenia dan tuli sensorineural mendadak dekstra sinistra. Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum cukup dengan kesadaran komposmentis, tekanan darah 120/90 mmhg, nadi 78x/menit, respirasi 20x/menit dan suhu aksila 36,5 o C. Pada pemeriksaan otoskopi telinga didapatkan kanalis akustikus eksternus pada kedua telinga lapang, kedua telinga tampak membran timpani intak dan refleks cahaya kedua telinga positif. Tes penala menggunakan garputala 512 Hz didapatkan tes Rinne positif pada kedua telinga, tes Weber tidak ada lateralisasi, tes Swabach didapatkan memendek pada kedua telinga. Pemeriksaan hidung dan tenggorok tidak terdapat kelainan. Pemeriksaan audiometri nada murni dengan hasil hantaran udara dekstra 78,75 db dan hantaran tulang dekstra 71,25 db sedangkan hantaran udara sinistra 100 db dan hantaran tulang sinistra profound dengan kesimpulan tuli sensorineural derajat berat dekstra dan tuli sensorineural derajat sangat berat sinistra. Gambar 3. Audiogram tanggal 21 Maret 2017 Pada pemeriksaan darah tanggal 20 Maret 2017 didapatkan hasil leukosit 6,16 x 10 3 /µl, hemoglobin 8,75 gr/dl ( MCV 100,30 fl, MCH 31,08 pg, MCHC 30,99 gr/dl), hematokrit 25,25%, trombosit 29,91 x 10 3 /µl. Pemeriksaan darah kimia SGOT 38 U/L, SGPT 50 U/L, BUN 24,5 mg/dl, kreatinin 0,75 g/dl, albumin 3,5 g/dl, natrium 136 mmol/l, kalium 3,8 mmol/l, bilirubin total 5,47 mg/dl, bilirubin direk 0,17 mg/dl, bilirubin indirek 5,30 mg/dl. Foto torak PA didapatkan cor kesan kardiomegali dan pulmo kesan normal. EKG didapatkan gambaran irama sinus. Hasil hapusan darah tepi kesan anemia normokromik dengan trombositopenia. Hasil tes Coombs direk positif. Penderita kemudian didiagnosis dengan tuli sensorineural mendadak dekstra sinistra dan diberikan IVFD NaCl 0,9% 20 tetes/menit, O2 2 liter/menit selama 15 menit diulang tiap 6 jam, pentoksifilin 2x400 mg intraoral, metil prednisolon 3x16 mg intraoral, mekobalamin 156

157 3x500 mcg intraoral. Penderita juga disarankan untuk tirah baring sempurna. Bagian penyakit dalam, penderita didiagnosis dengan Evans sindrom dan diberikan terapi kortikosteroid sesuai sejawat THT, transfusi PRC dan TC serta diet lunak. Tanggal 30 Maret 2017, kondisi pasien membaik namun pendengaran masih tetap. Pemeriksaan laboratorium leukosit 18,05x103/µL, hemoglobin 10,05 gr/dl ( MCV 84,71 fl, MCH 25,82 pg, MCHC 30,48 gr/dl), hematokrit 31,03%, trombosit 488,00x103/µL. Pada tanggal 31 Maret 2017 pasien dipulangkan dan direncanakan terapi hiperbarik sebanyak 10 kali lewat poliklinik. Tanggal 17 April 2017 dilakukan pemeriksaan timpanometri dan audiometri nada murni sesudah terapi hiperbarik dengan hasil timpanometri tipe A/ tipe A. Pemeriksaan audiometri nada murni dengan hasil hantaran udara dekstra 58,75 db dan hantaran tulang dekstra 48,75 db sedangkan hantaran udara sinistra 100 db dan hantaran tulang sinistra profound dengan kesimpulan tuli sensorineural derajat sedang berat dekstra dan tuli sensorineural derajat sangat berat sinistra. Gambar 4. Timpanometri tanggal 17 April 2017 Gambar 5. Audiogram tanggal 17 April

158 Terapi hiperbarik tidak dilanjutkan oleh karena perubahan ambang dengar yang sedikit kearah perbaikan. Tanggal 18 April 2017 pasien disarankan memakai alat bantu dengar. IV. PEMBAHASAN Evans sindrom adalah penyakit sistemik yang merupakan kombinasi dari idiopatik trombositopenia purpura (ITP) dan autoimun anemia hemolitik (AIAH) dengan tes antiglobulin langsung positif (DAT) dan tidak adanya etiologi yang diketahui yang mendasarinya. Komplikasi Evans sindrom yang jarang terjadi adalah tuli sensorineural mendadak. Tuli mendadak dapat terjadi pada semua kelompok umur. Umumnya terjadi pada rentang usia tahun dengan distribusi antara laki-laki dan perempuan hampir sama. Prevalensi tuli sensorineural mendadak pada Evans sindrom belum diketahui. Reaksi silang antara antibodi dengan antigen telinga dalam dan terbentuknya komplek imun pada stria vaskularis, sakus dan duktus endolimfatikus. 3,4,12 Pada laporan kasus ini, penderita adalah seorang laki-laki berumur 57 tahun. Tuli sensorineural mendadak terjadi pada minggu kedua perawatan dan bersifat bilateral. Penyebab tuli sensorineural mendadak masih belum diketahui secara jelas. Ada empat teori utama yang mencoba menjelaskan penyebab tuli sensorineural mendadak yakni infeksi virus, kelainan vaskular, kerusakan membran intrakoklea dan kelainan imunologi. 13 Pada pasien ini penyebab terjadinya tuli sensorineural mendadak diduga akibat Evans sindrom. Patogenesis terjadinya tuli sensorineural pada Evans sindrom masih belum jelas. Mekanismenya diduga akibat adanya kerusakan organ korti akibat penyakit autoimun yang bersifat sistemik dan diperberat dengan kondisi anemia. Diagnosis tuli sensorineural mendadak dapat ditegakkan dengan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, audiologi dan penunjang. 14 Pada pemeriksaan penunjang audiometri nada murni didapatkan hasil hantaran udara dekstra 78,75 db dan hantaran tulang dekstra 71,25 db sedangkan hantaran udara sinistra 100 db dan hantaran tulang sinistra profound dengan kesimpulan tuli sensorineural derajat berat dekstra dan tuli sensorineural derajat sangat berat sinistra. Meskipun tuli sensorineural mendadak merupakan kasus kegawatdaruratan, namun patogenesis dan terapinya masih kontroversial sehingga modalitas terapi yang bervariasi bertujuan untuk mendapatkan efek yang sinergis. 14 Pada kasus ini diberikan oksigen intranasal 2 liter/menit selama 15 menit diulang tiap 6 jam. Pemberian oksigen pada tuli sensorineural mendadak bertujuan untuk meningkatkan oksigenasi koklea dan perilimfe. Disamping oksigen intranasal telah diperkenalkan teknik oksigen hiperbarik yaitu memberikan oksigen 100% pada tekanan 2,5 atmosfer selama 90 menit. Kortikosteroid telah digunakan secara luas sebagai terapi tuli sensorineural mendadak. Kortikosteroid yang diberikan adalah glukokortikoid sistemik oral, intravena dan atau 158

159 intratimpani meliputi prednison, metil prednisolon dan deksametason. Steroid mempunyai efek antiinflamasi dan imunosupresi, menstabilkan fungsi membran sel serta transpor natrium dan kalium sel. Pada kasus ini, penderita diberikan metil prednisolon oral 16 mg 3 kali sehari dan di-tapering off. 14,15 Penderita juga diberikan preparat neurotropik yaitu mekobalamin. Pemberian vitamin dapat menurunkan radikal bebas pada telinga dalam yang bersifat toksik terhadap organ sensorik. Hemodilusi pada penatalaksanaan tuli sensorineural mendadak bertujuan untuk menurunkan viskositas darah sehingga memperbaiki aliran darah ke koklea. Ada beberapa jenis metode pemberian hemodilusi. 15,16 Pada penderita diberikan pentoksifilin 2x400 mg intraoral. Dari bagian penyakit dalam diberikan kortikosteroid intravena sebagai lini pertama penanganan Evans sindrom. Pada keadaan akut, transfusi darah atau platelet bisa diberikan untuk mengurangi gejala. 17,18 Pada penderita diberikan kortikosteroid sesuai sejawat THT, transfusi PRC dan TC. Penilaian keberhasilan terapi dinilai dengan pemeriksaan audiometri sebelum dan sesudah pemberian terapi. Semakin berat derajat ketulian maka semakin buruk prognosisnya. Unster dkk seperti yang dikutip oleh Codrut melaporkan prognosis yang buruk pada penderita tuli sangat berat. Codrut melaporkan tidak terdapat perbaikan pendengaran pada 9 pasien dengan tuli derajat sangat berat. 15 Penderita pada kasus ini mengalami perbaikan pendengaran pada sisi dekstra dari tuli sensorineural derajat berat menjadi sedang berat. Adanya vertigo merupakan faktor prognostik yang buruk. Moskowitz dkk seperti yang dikutip oleh Codrut melaporkan bahwa hanya 14% penderita tuli sensorineural mendadak dengan vertigo yang mengalami perbaikan pendengaran. 15 Pada kasus ini, penderita hanya mengeluhkan tinitus tanpa disertai dengan vertigo. Menurut kriteria Siegel, penderita pada laporan kasus ini mengalami perbaikan pendengaran yang termasuk dalam kriteria pulih ringan pada sisi kanan yaitu ambang dengar rata-rata > 45 db dan tidak ada pemulihan pada sisi kiri. Pada audiometri awal didapatkan hasil hantaran udara dekstra 78,75 db dan hantaran tulang dekstra 71,25 db sedangkan hantaran udara sinistra 100 db dan hantaran tulang sinistra profound dengan kesimpulan tuli sensorineural derajat berat dekstra dan tuli sensorineural derajat sangat berat sinistra. Hasil audiometri setelah diberikan terapi hiperbarik dan medikamentosa adalah hantaran udara dekstra 58,75 db db dan hantaran tulang dekstra 48,75 db sedangkan hantaran udara sinistra 100 db dan hantaran tulang sinistra profound dengan kesimpulan tuli sensorineural derajat sedang berat dekstra dan tuli sensorineural derajat sangat berat sinistra. Terapi hiperbarik bertujuan untuk meningkatkan oksigenasi koklea dan perilimfe, sehingga diharapkan dapat menghantarkan oksigen dengan tekanan parsial yang 159

160 lebih tinggi ke jaringan, terutama koklea yang sangat peka terhadap keadaan iskemik. Menurut guideline AAO-HNS, terapi oksigen hiperbarik sebaiknya dilakukan dalam 2 minggu hingga 3 bulan dari saat diagnosis tuli mendadak. Pasien usia muda memberikan respons lebih baik dibandingkan pasien yang lebih tua (usia bervariasi antara tahun). 15,16 V. SIMPULAN Tuli sensorineural mendadak atau sudden sensorineural hearing loss merupakan salah satu kegawatdaruratan di bidang THT yang membutuhkan penanganan segera. Patogenesis terjadinya tuli sensorineural pada Evans sindrom masih belum diketahui secara jelas. Penatalaksanaan tuli sensorineural mendadak masih dilakukan secara empiris. Telah dilaporkan satu kasus tuli sensorineural mendadak dekstra sinistra pada Evans sindrom. Penderita berjenis kelamin laki-laki, usia 57 tahun yang mendapatkan terapi konservatif dan terapi hiperbarik mengalami perbaikan pendengaran. Berdasarkan kriteria Siegel, perbaikan pendengaran tersebut termasuk dalam kriteria pulih ringan pada sisi kanan. 160

161 DAFTAR PUSTAKA 1. Plaza G, Durio E, Herraiz C, Rivera T, Garcia-Berrocal JR. Consensus on diagnosis and treatment of sudden hearing loss. Acta Otorrinolaringol Esp. 2011;62(2): Oliver ER, Hashisaki GT. Sudden sensory hearing loss. Dalam: Johnson JT, Rosen CA, penyunting. Bailey s Head and neck Surgery-Otolaryngology. Edisi ke-5. Philadelphia: Lippincott Williams &Wilkins. 2014; h Costallat GL Evans syndrome and systemic lupus erythematosus: clinical presentation and outcome. Medical School of Sorocaba, Pontifical Catholic University of São Paulo, Brazil 4. Dave P Evan Syndromes revisited. J Assoc Physicians India Apr;60: García-Muñoz R, et al Splenic marginal zone lymphoma with Evans' syndrome, autoimmunity, and peripheral gamma/delta T cells. Ann Hematology 6. Kuhn M, Heman-Ackah SE, Shaikh JA, Roehm PC. Sudden sensorineural hearing loss: a review of diagnosis, treatment and prognosis. Trend in Amplification. 2011;15(3): Mathew P Evan Syndrome pada Medscape Reference. Diunggah tanggal 15 desember 2012 di emedicine.medscape.com 8. Weber PC, Khariwala S. Anatomy and physiology of hearing. Dalam: Johnson JT, Rosen CA, penyunting. Bailey s Head and neck Surgery-Otolaryngology. Edisi ke-5. Philadelphia: Lippincott Williams &Wilkins. 2014; h Gacek RR, Gacek MR. Anatomy of the auditory and vestibular systems. Dalam: Snow JB Jr, Ballenger JJ, penyunting. Ballenger s otorhinolaryngology head and neck surgery. Edisi ke-6. Ontario: BC Decker Inc. 2003; h Frontier for your mind. Diakses 15 Jun Diunduh dari: URL: 11. Kabir A Evan s syndrome revisited. J Medicine India 2010 November; Booth JB. Sudden and fluctuant sensorineural hearing loss [diakses 15 Jun Diunduh dari: URL: 13. Michel M, et al The spectrum of Evan Syndrome in adults : new insight into the disease based on the analysis of the 68 case. Journal of the american society of hematology. USA. 14. Norton A, Roberts I Management of Evans syndrome. Br J Haematology Paediatric haematology, St Mary s Hospital. London, UK

162 15. Tiong TS. Prognostic indicators of management of sudden sensorineural hearing loss in an Asian hospital. Singapore Med J. 2007;48(1): Enache R, Sarafoleanu C. Prognostic factors in sudden hearing loss. Journal of Medicine and Life. 2008;1(3): Wang W, et al Immunoregulatory abnormalities in Evans syndrome. Am J Hematology 18. Pegels JG, et al The Evans syndrome: characterization of the responsible autoantibodies. Br J Haematology. London, UK. 162

163 TULI MENDADAK SENSORINEURAL UNILATERAL PADA PENDERITA MUMPS Sari Wulan Dwi Sutanegara Bagian/SMF Ilmu Kesehatan THT KL Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah 1. PENDAHULUAN Tuli mendadak atau Sudden Sensorineural Hearing Loss (SSNHL) merupakan pengalaman yang menakutkan, menyebabkan pasien segera mengunjungi dokter. Di Amerika Serikat, kejadian tuli mendadak ditemukan pada 5-20 kasus tiap orang per tahun dengan 4000 kasus baru tiap tahunnya. Tuli mendadak merupakan salah kasus kegawatdaruratan yang memerlukan penanganan segera. Keterlambatan diagnosis yang menyebabkan pengobatan tertunda dapat mengakibatkan kehilangan pendengaran permanen. 1 Tuli mendadak merupakan permasalahan publik yang perlu mendapat perhatian khusus karena berkaitan dengan aspek sosial dan ekonomi. Pada anak anak dan balita gangguan pendengaran akan memperlambat perkembangan bicara serta kemajuan pendidikan. Pada penderita dewasa gangguan pendengaran menghambat berbagai fungsi sosial dan tidak jarang akan disertai dengan stigma. Selain itu gangguan pendengaran memerlukan pembiayaan untuk terapi yang relatif besar. 2 Penyebab tuli mendadak masih belum diketahui secara jelas. Dalam sebuah systematik review,diuraikan beberapa kemungkinan penyebab tuli mendadak, yaitu idiopatik, infeksi virus, penyakit telinga, trauma, vaskular dan hematologik, neoplasma, serta penyebab lainnya. Infeksi virus yang dapat mengakibatkan tuli mendadak seperti infeksi Virus Herpes Simplek, Measles, Mumps, Rubella, Varicella zoster dan Cytomegalovirus. 3 Hubungan antara infeksi virus mumps dengan tuli mendadak sensoneural telah mendapatkan perhatian cukup lama. Onset SSNHL yang berkaitan dengan infeksi mumps biasanya cepat dan bersifat unilateral. Hilangnya pendengaran biasanya profound dan permanen, namun berdasarkan studi yang dilakukan Vouri dkk. (1962) pada beberapa kasus dapat bersifat sementara. 4, 5 Pada studi populasi yang dilakukan Hashimoto dkk didapatkan kejadian SSNHL pada penderita mumps adalah 0,1 %. Jumlah kejadian ketulian yang berhubungan dengan infeksi virus mumps tidak dapat diprediksi. Karena biasanya 163

164 terjadi unilateral sehingga sering tidak disadari oleh penderita dan keluarganya terutama pada anak anak. Hal ini dapat menyebabkan ketulian yang berkaitan dengan infeksi virus mumps terlambat diketahui. Keterlambatan diagnosis yang menyebabkan pengobatan yang tertunda dapat mengakibatkan kehilangan pendengaran permanen, oleh sebab itu,penting untuk mengenali dan mendeteksi kelainan ini sejak dini agar dapat menunjang pemulihan fungsi pendengaran dan meningkatkan kualitas hidup pasien. 6 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi telinga Telinga terbagi menjadi telinga luar, tengah dan dalam. Telinga luar terdiri dari daun telinga dan kanalis akustikus eksternus. Sepertiga luar kanalis akustikus eksternus tersusun atas kartilago yang mengandung folikel rambut dan kelenjar seruminosa sedangkan dua pertiga bagian dalam merupakan bagian tulang yang dilapisi oleh epitel. 7,8 Telinga tengah terdiri dari membran timpani, maleus, inkus, stapes, otot tensor timpani dan otot stapedius. Nervus korda timpani yang merupakan cabang nervus fasialis berjalan melintasi kavum timpani membawa serabut pengecap. Tuba Eustachius menghubungkan kavum timpani dengan faring yang akan membuka oleh kontraksi otot tensor veli palatini. 7,8 Telinga dalam terdiri dari organ vestibuler dan koklea yang berada pada tulang temporal. Koklea merupakan tabung berbentuk rumah siput yang mengandung organ sensori untuk pendengaran. Koklea memiliki tiga buah kanal yang mengandung cairan yaitu skala vestibuli, skala timpani dan skala media. Skala media berada di koklea bagian tengah, dipisahkan dari skala vestibuli oleh membran Reissner dan dari skala timpani oleh membran basilaris. Skala vestibuli dan skala timpani berisi cairan perilimfe sedangkan skala media berisi cairan endolimfe. Komposisi ion pada cairan skala media serupa dengan cairan intraseluler yaitu kaya kalium dan rendah natrium sedangkan cairan pada skala vestibuli dan skala timpani serupa dengan cairan ekstraseluler yaitu kaya natrium dan rendah kalium. Komposisi ion perilimfe penting dalam fungsi sel-sel rambut. Cairan perilimfe pada telinga dalam berhubungan dengan cairan serebrospinal pada kavum kranii melalui akuaduktus koklearis yang menghubungkan ruang perilimfe dengan ruang cairan kranial. Ruang endolimfatikus berhubungan dengan 164

165 sakus endolimfe melalui duktus endolimfe. Sakus endolimfe adalah ruang diantara dua lapisan duramater. Membran Reissner memiliki komplians yang sangat tinggi sehingga perubahan tekanan yang sangat kecil sekalipun dapat menyebabkan perubahan volume yang besar pada ruang endolimfe. Gangguan keseimbangan tekanan pada kedua sistem tersebut akan menyebabkan gangguan pendengaran dan keseimbangan. 7,8 Organon korti terletak pada membran basiler dan banyak mengandung sel sensori, sel rambut luar maupun sel rambut dalam. Diantara barisan sel rambut luar dan sel rambut dalam terdapat suatu saluran Corti. Sel rambut luar berbentuk silindris sedangkan sel rambut dalam berbentuk seperti labu. Sel rambut luar pada apeks koklea berukuran lebih panjang dibandingkan pada bagian basal. Stereosilia sel rambut dalam pada basal koklea berukuran lebih pendek dibandingkan dengan apeks koklea. Stria vaskularis berada diantara ruang perilimfe dan endolimfe disepanjang dinding koklea. Stria vaskularis banyak mengandung pembuluh darah dan mitokondria pada selnya yang mengindikasikan terlibatnya aktivitas metabolik. 7,8 Membran basiler berukuran panjang sekitar 150 µm di basal koklea dan lebar 450 µm di apeks, mengandung jaringan ikat dan membentuk basal skala media. Pada bagian basal, membran basiler mempunyai struktur yang lebih kaku dibandingkan apeks. Perubahan struktur secara gradual ini menyebabkan suara yang mencapai telinga menghasilkan gelombang pada membran basiler yang berjalan dari basal menuju apeks koklea. 7,8 Koklea diinervasi oleh serat saraf aferen auditorius, eferen dan otonomik. Koklea diperdarahi oleh arteri labirin yang berasal dari arteri serebelum anterior inferior dan berjalan mengikuti nervus kranialis VIII pada meatus akustikus internus. Arteri labirin merupakan arteri terminal dan hanya mengandung sedikit bahkan tidak ada suplai pembuluh darah kolateral ke koklea. 7,8 165

166 Gambar 1. Anatomi telinga Fisiologi pendengaran Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun telinga dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang ke koklea. Getaran tersebut menggetarkan membran timpani kemudian diteruskan ke telinga tengah melalui rangkaian tulang pendengaran yang akan mengamplifikasi getaran melalui daya ungkit tulang pendengaran dan perkalian perbandingan luas membran timpani dan tingkap lonjong. Energi getar yang telah diamplifikasi ini akan diteruskan ke stapes yang menggerakkan tingkap lonjong sehingga perilimfe pada skala vestibuli bergerak. Getaran diteruskan mealui membran Reissner yang mendorong endolimfe sehingga akan menimbulkan gerak relatif antara membran basilaris dan membran tektoria. Proses ini merupakan rangsang mekanik yang 166

167 menyebabkan terjadinya defleksi stereosilia sel rambut sehingga kanal ion terbuka dan terjadi pelepasan ion bermuatan listrik dari badan sel. Keadaan ini menimbulkan proses depolarisasi sel rambut sehingga melepaskan neurotransmiter kedalam sinaps yang akan menimbulkan potensial aksi pada saraf auditorius, dilanjutkan ke nukleus auditorius sampai ke korteks pendengaran di lobus temporalis. 7,8 Tidak seluruh getaran di alam bisa didengar oleh manusia. Frekuensi sonik adalah frekuensi yang dapat dipersepsi manusia sebagai bunyi. Rentang frekuensi sonik antara 20 Hz Hz. Frekuensi sonik yang sangat diperlukan untuk komunikasi percakapan sehari-hari adalah antara 500 Hz sampai 2000 Hz. Frekuensi kurang dari 20 Hz disebut subsonik sedangkan diatas Hz disebut suprasonik atau ultrasonik. Kedua frekuensi tersebut tidak terdengar oleh manusia. 7,8 2.3 Definisi Tuli Mendadak Tuli mendadak atau sudden hearing loss (SHL) dapat diartikan sebagai tuli yang terjadi secara tiba-tiba (contohnya tuli mendadak sensorineural atau tuli mendadak konduktif). Menurut O Malley dkk, terlepas dari hal tersebut pada kebanyakan literatur yang ada, tuli mendadak lebih mengarah pada tuli mendadak sensorineural. Tuli mendadak sensorineural (sudden sensorineural hearing loss) dan sering dikenal juga sebagai tuli mendadak (sudden deafness). 10 Sudden deafness adalah tuli yang secara tiba-tiba dan ketuliannya adalah sensorineural. Para ahli otolaringologis mendefinisikan tuli mendadak sebagai penurunan pendengaran sensorineural 30 db atau lebih, paling sedikit tiga frekuensi berturut-turut pada pemeriksaan audiometri, dalam waktu kurang dari 72 jam Epidemiologi Insiden SSNHL terjadi antara 5-20 kasus tiap orang pertahunnya. Banyak kasus serupa tidak dilaporkan, oleh karena itu insiden terjadinya dapat menjadi lebih tinggi. Tuli mendadak dapat sembuh sebelum pasien dievaluasi secara medis, sehingga menjadikan pasien tidak pergi untuk mencari pengobatan. 11 Beberapa kasus sebanyak 7500 kasus di Amerika Serikat dan Eropa mengindikasikan bahwa SSNHL umumnya terjadi pada umur tahun dengan distribusi sama pada laki-laki dan perempuan

168 Mumps atau yang lebih dikenal dengan parotitis ialah penyakit virus akut yang disebabkan oleh paramyxovirus dan biasanya menyerang kelenjar ludah terutama kelenjar parotis. Menyerang pada anak dibawah usia 2-15 tahun (sekitar 85% kasus). Pada kasus lain bisa terjadi infeksi mumps yang asimptomatis. 13 Mumps dapat menyebabkan SSNHL, namun angka kejadiannya cukup kecil yaitu 0,5-5,0/ kasus. Tuli mendadak yang berkaitan dengan infeksi virus mumps jarang ditemukan terutama di negara yang menjalankan program vaksinasi mumps. 14 Pada studi populasi yang dilakukan Hashimoto dkk. dari tahun 2004 hingga tahun 2006 didapatkan 7 kasus SSNHL pada 7400 kasus dengan gejala klinis mumps, atau 0,1%. 6 Vuori dkk. melaporkan pada studi prospektifnya di tahun 1962, pada 298 anggota tentara yang menderita mumps terdapat 12 kasus gangguan pendengaran yang reversible dan 1 kasus yang permanen. 4 Saat ini kejadian SSNHL yang berkaitan dengan mumps banyak dilaporkan terjadi di Jepang, dimana vaksin mumps tidak rutin diberikan. Berdasarkan survei yang dilakukan Kawashima dkk. didapatkan 650 kasus tuli mendadak yang berkaitan dengan mumps pada tahun 2001, namun mereka tidak menghitung angka insiden. 15 Japanese reports melaporkan angka kejadian yang cukup tinggi (3 kasus SSNHL pada 551 kasus mumps, 5 kasus SSNHL dari 1470 kasus mumps) berdasarkan studi retrospektif pada daerah dengan kejadian mumps yang merebak. 16 Jumlah kejadian ketulian yang berhubungan dengan infeksi virus mumps tidak dapat diprediksi. Karena biasanya terjadi unilateral sehingga sering tidak disadari oleh penderita dan keluarganya terutama pada anak anak. Hal ini dapat menyebabkan ketulian yang berkaitan dengan infeksi virus mumps terlambat diketahui. Keterlambatan diagnosis yang menyebabkan pengobatan yang tertunda dapat mengakibatkan kehilangan pendengaran permanen, oleh sebab itu,penting untuk mengenali dan mendeteksi kelainan ini sejak dini agar dapat menunjang pemulihan fungsi pendengaran dan meningkatkan kualitas hidup pasien. 6. Tuli sensorineural mendadak merupakan komplikasi yang jarang mendapat perhatian pada kasus kasus Mumps. Morita melaporkan bahwa kejadiannya terdistribusi sama besar pada kedua gender, bersifat unilateral dan terjadi fase penyembuhan penyakit sebagai sekuele tunggal. 17 SSNHL terkait infeksi mumps sering ditemukan pada usia 5 9 tahun. Namun Ishikawa dkk. melaporkan 14 kasus 168

169 serupa dengan rentang usia 3 34 tahun sedangkan Kaguchi dkk, menemukan 12 kasus dengan rentang usia 4 39 tahun. 18, Etiologi dan Patogenesis Penyebab tuli sensorineural mendadak masih belum diketahui secara jelas. Banyak teori dugaan penyebab yang dikemukakan oleh para ahli. Penyebab tuli sensorineural mendadak dapat dilihat pada tabel 1 20 Tabel 1. Penyebab tuli sensorineural mendadak 20 Penyebab Tuli Sensorineural Mendadak Koklea Inflamasi (viral, bakteri, spiroseta) Trauma Vaskular Hematologi (anemia, emboli, gangguan koagulasi) Gangguan jaringan ikat (poliarteritis nodosa, sindrom Cogan Hidrop endolimfe (penyakit meniere) Gangguan metabolic Ototoksisitas Retrokoklea dan Meningitis sistem saraf pusat Multipel sklerosis Sarkoidosis Friedreich s ataksia Amiotrofik lateral sklerosis Sindrom Vogt-Koyanagi-Harada Xeroderma pigmentosum Tumor (neuroma akustik) Idiopatik Ada empat teori utama yang mencoba menjelaskan penyebab tuli sensorineural mendadak yakni infeksi virus, kelainan vaskular, kerusakan membran intrakoklea dan kelainan imunologi. Mumps (gondongan) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi virus (Paramyxovirus) dan menyerang jaringan kelenjar dan saraf. Penyakit ini sering menyerang anak-anak usia 5-10 tahun dengan gejala khas rasa nyeri dan bengkak pada salah satu atau kedua kelenjar leher (parotis). Seorang anak akan mendapatkan kekebalah tubuh terhadap virus Paramyxovirus dari ibunya sampai usia bulan saja. Itupun jika ibu pernah menderita gondongan atau mendapatkan imunisasi sebelumnya. 21 Virus penyebab gondongan dapat menyebar melalui kontak langsung dengan percikan ludah, bahan muntah dan urine. Virus masuk ke dalam tubuh melalui hidung 169

170 atau mulut. Virus memperbanyak diri di saluran napas atas dan menyebar ke kelenjar getah bening lokal. Masa ini dikenal dengan masa inkubasi dan berlangsung selama hari. Kemudian virus akan menyebar ke seluruh tubuh dengan lokasi yang dituju adalah kelenjar parotis, ovarium (indung telur) pada wanita atau testis (buah zakar) pada laki-laki, pankreas, tiroid, ginjal, jantung atau otak. 21 Tidak semua orang yang terinfeksi mengalami keluhan. Sebanyak 30-40% penderita tidak menunjukkan gejala sakit, tetapi tetap menjadi sumber penularan. Gejala awal penyakit gondongan berupa demam, rasa lesu, nyeri otot terutama daerah leher, nyeri kepala, nafsu makan menurun diikuti pembesaran cepat dari satu atau dua kelenjar leher (parotis). Gejala klasik yang muncul dalam 24 jam adalah anak akan mengeluh sakit telinga dan diperberat jika mengunyah makanan terutama makanan asam. Demam akan turun dalam 1-6 hari, dimana suhu tubuh akan kembali normal sebelum pembengkakan kelenjar hilang. Pembengkakan kelenjar menghilang dalam 3-7 hari. Pada anak laki-laki yang belum pubertas dapat juga muncul pembengkakan testis pada minggu pertama atau kedua. Testis yang terserang terasa nyeri, bengkak dan kulit sekitarnya berwarna merah. Jika menyerang indung telur pada wanita dapat ditemukan keluhan nyeri perut bagian bawah. Komplikasi dapat berupa infeksi otak (ensefalitis) dan ketulian namun jarang. 21 Meskipun sampai saat ini masih belum ditemukan bukti kuat, infeksi virus dianggap sebagai salah satu penyebab tuli mendadak. Sebuah studi oleh Wilson (1986) menunjukkan adanya hubungan antara infeksi virus dengan kejadian tuli mendadak. Dalam studi ini, ditemukan tingkat serokonversi untuk virus herpes secara signifikan lebih tinggi pada populasi pasien tuli mendadak. Pada studi lain, dilakukan pemeriksaan histopatologi tulang temporal dan ditemukan kerusakan pada koklea yang konsisten dengan infeksi virus. Terdapat pula temuan lain, seperti hilangnya sel rambut dan sel penyokong, atrofi membran tektoria, atrofi stria vaskularis, dan hilangnya sel neuron, yang berhubungan dengan mumps virus, maternal rubella, dan virus campak. 2 Teori utama yang menjadi dasar kajian patofisologi terjadinya SSNHL akibat infeksi virus dan ataupun reaktivasi viral adalah terjadinya inflamasi koklea dan ataupun terjadinya kerusakan pada struktur telinga dalam. Khun dkk dalam metaanalisisnya menyebutkan beberapa studi sebelumnya menekankan adanya peningkatan serum antivial antibodi, meliputi antibodi Cytomegalovirus, Herpes zoster, Herpes simplex Tipe 1, Influenza B, Mumps, Enterovirus, dan Rubella yang 170

171 diisolasi dari penderita SSNHL idiopatik. Khun juga menekankan temuan patologi anatomi pada tulang temporal penderita tersebut secara histologis mengesankan terjadinya labirinitis viral yang meliputi terjadinya atropi Organ Korti, membrane tektorial, stria vaskularis dan vestibular end organ. 20 Rute penyebaran virus ke telinga dalam belum dapat dijelaskan. Hal ini mungkin disebabkan viremia yang sering terjadi pada infeksi virus mumps. Hal ini juga mungkin karena transport menuju telinga dalam melalui tuba eustachius dan telinga tengah. Kemungkinan ketiga melalui jalur meningeal. Pemeriksaan tulang temporal pada penderita SSNHL yang berkaitan dengan mumps menunjukkan perubahan degeneratif yang luas pada membran tektorial. stria vaskularis serta organ korti. Hilangnya serat saraf juga dapat terjadi. 5,22 Otake dkk. (2006) menunjukkan dengan menggunakan MRI 3D-FLAIR, tampak sinyal yang tinggi di koklea dan vestibulum yang menandakan adanya perdarahan atau konsentrasi protein yang tinggi di telinga dalam anak yang menderita SSNHL yang diakibatkan oleh mumps. 23 Lindsay dkk, dalam studi histopatologinya pada pasien penurunan pendengaran akibat infeksi mumps melapork terjadinya degenerasi pada organ corti dan stria vaskularis. Westmore dkk, mengisolasi virus mumps pada perilimfe pasien SSNHL yang terkait infeksi mumps. Hal ini menunjukkan kemungkinan labirin merupakan lokasi lesi pada sebagian besar pasien tersebut. 2.6 Diagnosis Diagnosis penyakit Mumps ditegakkan berdasarkan gejala klinis demam disertai pembengkakan kelenjar parotis dan tidak memerlukan pemeriksaan laboratorium, kecuali gejala klinis yang muncul tidak klasik untuk parotitis. Gejala prodromal Mumps muncul berkisar 14 sampai dengan 18 hari setelah paparan virus dan sebelum parotitis muncul. Gejala prodromal yang muncul meliputi keluhan yang tidak spesifik seperti malaise, myalgia, sefalgia, demam subfebril dan anoreksia. Gejala tersebut dialami % penderita Mumps, sedangkan 2- % penderita lainnya asimtomatik. Literatur lain menyebutkan pemeriksaan titer antibodi Mumps yang meningkat dalam kondisi infeksi akut, dan dapat digunakan sebagai sarana penunjang dalam penegakan diagnosis Mumps dengan gejala klinis yang tidak spesifik. Peningkatan Titer IgM terjadi pada pada onset awal infeksi sedangkan peningkatan Titer IgG ditemui pada fase penyembuhan hingga beberapa tahun setelah terjadinya infeksi. 171

172 Diagnosis tuli sensorineural mendadak ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Keluhan pasien pada umumnya berupa hilangnya pendengaran pada satu sisi telinga saat bangun tidur. Sebagian besar kasus bersifat unilateral. Hanya 1-2% kasus bersifat bilateral. Kejadian hilangnya pendengaran dapat bersifat tiba-tiba, berangsur-angsur hilang secara stabil atau terjadi secara cepat dan progresif. Kehilangan pendengaran dapat bersifat fluktuatif tetapi sebagian besar besifat stabil. Tuli sensorineural mendadak sering disertai keluhan sensasi penuh pada telinga dengan atau tanpa tinitus. Pada 28-57% kasus dapat ditemukan gangguan vestibular seperti vertigo. 20 Pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan otoskopi dan garpu tala. Pemeriksaan otoskopi ditemukan dalam batas normal sedangkan garpu tala didapatkan Rinne positif pada telinga yang sakit dan Weber lateralisasi ke telinga yang sehat, yang menunjukkan tuli sensorineural. Pada pemeriksaan audiometri, gambaran audiogram akan menunjukkan tuli sensorineural pada frekuensi rendah, sedang, tinggi atau seluruh frekuensi. 20 Untuk menentukan derajat ketulian digunakan kriteria ISO (International Standard Organization), yaitu : a) Pendengaran normal memiliki ambang dengar 0-25 db, b) Tuli ringan memiliki ambang dengar >25-40 db, c) Tuli sedang memiliki ambang dengar >40-55 db, d) Tuli sedang berat memiliki ambang pendengaran >55-70 db, e) Tuli berat memiliki ambang dengar >70-90 db, 6. Tuli sangat berat memiliki ambang dengar >90 db. 10 Pemeriksaan laboratorium dilakukan berdasarkan keluhan dan riwayat pasien serta kemungkinan etiologi. Pada kasus tuli sensorineural mendadak bilateral atau episode tuli sensorineural mendadak berulang maka pemeriksaan neurologi berupa antibodi antikoklea dapat dilakukan. Pemeriksaan MRI dengan gadolinium dinilai memiliki sensitivitas tinggi untuk mendeteksi kelainan retrokoklea Penatalaksanaan Mumps merupakan penyakit yang dapat sembuh sendiri. Pengobatan yang diberikan hanya untuk mengurangi gejalanya saja yaitu antipiretik untuk mengurangi rasa nyeri dan menurunkan demam. Pengobatan dengan anti virus sampai saat ini masih belum terbukti dapat bermanfaat, begitu pula dengan obat imunomodulator yang bertujuan untuk meningkatkan daya tahan tubuh. Pemberian nutrisi dan cairan yang adekuat dapat membantu mempercepat penyembuhan

173 Pada tuli sensorineural mendadak yang diketahui penyebabnya maka pengobatan ditujukan untuk mengatasi penyebabnya sedangkan penanganan tuli sensorineural mendadak idiopatik masih kontroversial dan didasarkan pada bukti empiris. Hipoksia jaringan akan menimbulkan reaksi inflamasi berupa dilepasnya mediator histamin, eikosanoid dan prostaglandin. Kortikosteroid mempunyai efek antiinflamasi yang bekerja mengurangi inflamasi pada koklea dan nervus auditorius. Pemberian metilprednisolon oral dengan dosis tapering off dalam hari menunjukkan perbaikan pendengaran yang signifikan dibandingkan penderita yang diberikan plasebo. 28 Berbagai penelitian penggunaan kortikosteroid pada pasien tuli mendadak telah dipublikasikan. Terdapat bukti laboratorium yang menunjukkan adanya cascade inflamasi kematian sel pada pasien tuli mendadak, yang dimodifikasi oleh terapi steroid. Kortikosteroid yang diberikan adalah glukokortikoid sintetik oral, intravena, dan/atau intratimpani, meliputi prednison, metilprednisolon, dan deksametason. Kortikosteroid diperkirakan memiliki efek anti inflamasi dan kemampuan dalam meningkatkan aliran darah koklea. 29 Dewasa ini, standar pengobatan tuli mendadak adalah dengan tapering off kortikosteroid oral. Sebuah studi RCT (randomized controlled trial) membandingkan terapi steroid oral dengan plasebo pada 67 pasien, menunjukkan hasil perbaikan lebih signifi kan pada kelompok pasien dengan terapi steroid oral dibandingkan kelompok pasien dengan plasebo (61% vs. 32%, p <0,05). 30 Beberapa ahli THT merekomendasikan terapi kortikosteroid intratimpani sebagai pengganti terapi kortikosteroid sistemik atau salvage therapy pada pasien yang tidak mengalami perbaikan dengan kortikosteroid sistemik. Terapi kortikosteroid intratimpani dapat menjadi alternatif untuk pasien diabetes yang tidak bisa mengonsumsi kortikosteroid sistemik. Steroid diberikan dengan sebuah jarum melalui membran timpani atau ditempatkan di telinga tengah melalui tabung timpanostomi atau miringotomi yang kemudian diserap dan menyebar melalui membran tingkap bundar ke telinga dalam. 1 Vasodilator seperti histamin, papaverin, niasin digunakan untuk meningkatkan aliran darah koklea. Terapi oksigen hiperbarik bertujuan untuk meningkatkan oksigenasi koklea dan perilimfe sehingga diharapkan dapat menghantarkan oksigen 173

174 dengan tekanan parsial yang lebih tinggi ke jaringan terutama koklea yang sangat peka terhadap terhadap keadaan sistemik. 28 Pentoksifilin mempunyai efek menurunkan viskositas darah sehingga dapat meningkatkan perfusi dan pengaliran oksigen pada labirin penderita tuli sensorineural mendadak. Pemberian vitamin dapat menurunkan radikal bebas pada telinga dalam yang bersifat toksik terhadap organ sensorik. 28 Terapi oksigen hiperbarik telah diterapkan sebagai terapi tambahan dalam kasus tuli mendadak. Terapi ini memberikan oksigen 100% dengan tekanan lebih dari 1 ATA (atmosphere absolute). Terapi ini bertujuan untuk meningkatkan oksigenasi koklea dan perilimfe, sehingga diharapkan dapat menghantarkan oksigen dengan tekanan parsial yang lebih tinggi ke jaringan, terutama koklea yang sangat peka terhadap keadaan iskemik. Terapi oksigen hiperbarik diperkirakan memiliki efek yang kompleks pada imunitas tubuh, transpor oksigen dan hemodinamik, peningkatkan respons normal pejamu terhadap infeksi dan iskemia, serta mengurangi hipoksia dan edema. 1 Vitamin dapat digunakan untuk mereduksi radikal bebas yang bersifat toksik pada end organ sensoris, telinga dalam. Beberapa vitamin termasuk neurotropik dapat dikombinasi dengan terapi lain yang dapat membantu meningkatkan angka kesembuhan penderita. 31 Ozdek dkk. menyatakan SSNHL terkait infeksi mumps sering kali tidak membaik dengan terapi medikamentosa. Pada pasien yang tidak berespon dengan terapi medikamentosa ini sebaiknya diberikan alat bantu dengar, namun pada pasien SSNHL total bilateral sebaiknya dilakukan operasi cochlear implant sedini mungkin. Wang dkk melaporkan 3 kasus tuli total bilateral terkait infeksi mumps yang dilakukan operasi cochlear implant memberikan hasil yang baik. 32, Prognosis Kesembuhan spontan tuli sensorineural mendadak dilaporkan sekitar 45-65%. Faktor yang mempengaruhi prognosis tuli sensorineural mendadak adalah usia, derajat tuli sensorineural, onset pemberian terapi, gangguan mikrovaskular dan adanya vertigo. Pada penderita tuli sensorineural mendadak unilateral dan masih memiliki pendengaran yang baik pada telinga kontralateral maka tidak diperlukan pemakaian alat bantu dengar. Evaluasi audiometri dilakukan secara rutin pada bulan 2, 6 dan 12 setelah onset tuli untuk mengetahui perbaikan derajat tuli atau untuk 174

175 mendeteksi adanya ketulian pada telinga kontralateral. 20 Faktor-faktor yang mempengaruhi prognosis dari SSHL ialah: Keparahan hilangnya pendengaran. Semakin besar hilangnya pendengaran maka akan semakin buruk prognosisnya 2. Terapi onset yang tertunda (terlambat). Semakin singkat penundaan terapi makan akan semakin besar kesempatan pasien untuk sembuh. Terapi idealnya dilakukan sebelum 7 hari dan perkembangan pendengaran dapat terjadi dalam 30 hari dari onset hilangnya pendengaran. Tetapi, karena kebanyakan kesembuhan secara spontan terjadi pada beberapa hari pertama, maka terapi awal sulit dilakukan. 2. Pasien dengan diabetes, hiperkolesterolemia dan tekanan darah tinggi mempunyai prognosis yang buruk. 3. Prognosis akan bertambah buruk jika usia pasien diatas 60 tahun. Penelitian tertentu mengatakan bahwa pengaruh usia berhubungan dengan jumlah pasien dengan lesi mikrovaskular pada usia diatas 60 tahun. Namun, penelitian lain tidak menemukan hubungan antara usia dengan prognosis pasien. 4. Keluhan hilangnya pendengaran yang disertai dengan vertigo memiliki prognosis yang buruk. Onset SSNHL yang berkaitan dengan infeksi mumps biasanya cepat dan bersifat unilateral. Hilangnya pendengaran biasanya profound dan permanen, namun berdasarkan studi yang dilakukan Vouri dkk, pada beberapa kasus dapat bersifat sementara. 4, 5 Tinitus, vertigo dan rasa penuh pada telinga yang terkena dapat terjadi pada beberapa pasien. Gangguan keseimbangan dapat membaik setelah beberapa minggu. 5 Berdasarkan tipe audiogram, kehilangan pendengaran diklasifikasikan menjadi empat kelompok yaitu tipe ascenden (pada frekuensi Hz), tipe descenden (frekuensi Hz), tipe flat (perbedaan ambang dengar kurang dari 20 db pada masing masing frekuensi), tipe total atau subtotal (ketulian di atas 85 db). Kehilangan pendengaran dengan tipe asenden dan tipe flat mempunyai prognosis lebih baik dibanding audiogram tipe desenden, hal ini berdasarkan tingkat kerusakan yang terjadi pada vaskularisasi koklea. Tipe asenden terjadi kerusakan 175

176 pada apeks koklea, sedangkan tipe desenden terjadi kerusakan pada basal koklea, artinya darah yang terganggu suplai aliran darah lebih luas. 35 Keberhasilan pengobatan tuli sensorineural mendadak dinilai berdasarkan rata-rata ambang pendengaran menurut Furohashi yaitu a) Pulih total jika ambang dengar rata-rata 25 db pada 5 frekuensi, b) Pemulihan bermakna jika terjadi perbaikan > 30 db pada 5 frekuensi, c) Pemulihan minimal jika perbaikan antara db pada 5 frekuensi, d) Tidak ada pemulihan jika perbaikan < 10 db pada 5 frekuensi LAPORAN KASUS Pasien RK, laki-laki berusia 33 tahun, Hindu, Bali, bekerja sebagai karyawan sebuah art shop, beralamat di Gianyar dirujuk ke poliklinik THT-KL RSUP Sanglah Denpasar pada tanggal 2 Mei 2017 dengan sudden deafness sinistra. Pasien mengeluh pendengaran pada telinga kiri dirasakan berkurang sejak 6 hari sebelumnya. Keluhan ini dirasakan tiba-tiba saat pasien bangun tidur. Telinga kiri dirasakan berdenging sejak kejadian. Ada riwayat demam tiga hari sebelumnya, disertai bengkak pada pipi kiri dan sulit mengunyah. Pasien telah terdiagnosis mumps dan menjalani rawat inap di rumah sakit swasta selama lima hari dan mendapatkan terapi untuk mumps. Pendengaran pada telinga kiri dirasakan berkurang secara mendadak pada hari kedua perawatan disertai keluhan telinga kiri berdenging. Pasien kemudian dikonsultasikan ke dokter spesialis THT kemudian diberikan terapi inhalasi oksigen 2 liter/menit selama 15 menit diulang tiap 6 jam, metil prednisolon 3 x 16 mg intraoral, mecobalamin 3 x 500 mcg intraoral, dan pasien disarankan untuk tirah baring sempurna. Riwayat batuk, pilek, keluar cairan dari telinga, terpapar bising dan riwayat trauma kepala disangkal. Setelah lima hari perawatan, demam serta nyeri mengunyah pada pasien membaik. Pasien dirujuk ke RSUP Sanglah untuk evaluasi dan penatalaksanaan sudden deafness. Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum penderita baik dengan kesadaran kompos mentis, tekanan darah 110/80 mmhg, nadi 80 x/menit, respirasi 20 x/menit, temperatur aksila 36,5 o C. Pada pemeriksaan otoskopi telinga didapatkan kanalis akustikus eksternus pada kedua telinga lapang, membran timpani kedua telinga intak dan reflek cahaya kedua telinga positif. Tes penala menggunakan garputala 512 Hz didapatkan tes Rinne positif pada telinga kanan dan kiri, tes Weber 176

177 lateralisasi ke telinga kanan. Pemeriksaan hidung dan tenggorok tidak didapatkan kelainan. Tes timpanometri pada kedua telinga menunjukkan timpanogram tipe A. Pemeriksaan audiometri didapatkan kesan tuli sensorineural derajat sangat berat pada telinga kiri dan pendengaran normal pada telinga kanan. Gambar 2. Timpanogram tanggal 2 mei 2017 Gambar 3. Audiogram tanggal 2 mei 2017 Pada pemeriksaan darah lengkap didapatkan hasil leukosit 10,72x10 3 /µl (neutrofil 70%, limfosit 2,7%, monosit 4,83%, eosinofil 2,32%, basofil 0,31%), eritrosit 4,25x10 6 /µl, hemoglobin 15,67 g/dl, hematokrit 53,58%, trombosit 361x10 3 /µl. Pada pemeriksaan kimia darah didapatkan SGOT 46,8 U/L, SGPT 97,4 U/L, albumin 4,4 g/dl, BUN 9,4 mg/dl, kreatinin 0,91 g/dl, glukosa acak 119 mg/dl, natrium 134 mmol/l, kalium 4,5 mmol/l. Foto thorak PA didapatkan hasil cor dan pulmo kesan normal. EKG didapatkan irama sinus. Penderita kemudian didiagnosis dengan tuli sensorineural mendadak sinistra dan diberikan terapi pentoksifilin 2 x 400 mg intraoral, metil prednisolone 3 x 8 mg intraoral, mekobalamin 3 x 500 mcg intraoral serta direncanakan terapi oksigen 177

178 hiperbarik. Penderita dikonsulkan ke bagian Penyakit dalam dan Kardiologi. Dari hasil konsultasi ke bagian penyakit dalam dan bagian kardiologi dinyatakan tidak ada kelainan dibidang Penyakit dalam dan Kardiologi. Pada tuli sensorineural mendadak yang diketahui penyebabnya maka pengobatan ditujukan untuk mengatasi penyebabnya sedangkan penanganan tuli sensorineural mendadak idiopatik masih kontroversial dan didasarkan pada bukti empiris. Hipoksia jaringan akan menimbulkan reaksi inflamasi berupa dilepasnya mediator histamin, eikosanoid dan prostaglandin. Kortikosteroid mempunyai efek antiinflamasi yang bekerja mengurangi inflamasi pada koklea dan nervus auditorius. Pemberian metilprednisolon oral dengan dosis tapering off dalam hari menunjukkan perbaikan pendengaran yang signifikan dibandingkan penderita yang diberikan plasebo. 28 Kortikosteroid diperkirakan memiliki efek antiinflamasi dan kemampuan dalam meningkatkan aliran darah koklea. 29 Pada kasus ini, penderita diberikan metil prednisolon oral 8 mg 3 kali sehari dan ditapering off. Penderita juga diberikan preparat neurotropik yaitu mekobalamin. Pemberian vitamin dapat menurunkan radikal bebas pada telinga dalam yang bersifat toksik terhadap organ sensorik. Hemodilusi pada penatalaksanaan tuli sensorineural mendadak bertujuan untuk menurunkan viskositas darah sehingga memperbaiki aliran darah ke koklea. Ada beberapa jenis metode pemberian hemodilusi. Pada penderita diberikan pentoksifilin 2x400 mg intraoral. Setelah dilakukan pemberian terapi medikamentosa dan terapi oksigen hiperbarik sebanyak dua seri, dilakukan pemeriksaan audiometri ulang dengan hasil SSNHL derajat berat sinistra. Keluhan telinga berdenging dirasakan mulai berkurang. Untuk meningkatkan kemampuan mendengar, pasien diberikan alat bantu dengar. 4 PEMBAHASAN Mumps atau yang lebih dikenal dengan parotitis epidemika ialah penyakit virus akut yang disebabkan oleh Paramyxovirus dan biasanya menyerang kelenjar ludah terutama kelenjar parotis. 13 Diagnosis penyakit mumps ditegakkan berdasarkan gejala klinis demam disertai pembengkakan kelenjar parotis dan tidak memerlukan pemeriksaan laboratorium, kecuali gejala klinis yang muncul tidak khas untuk parotitis epidemika. Gejala prodromal mumps muncul berkisar 14 sampai dengan hari setelah paparan virus dan sebelum parotitis muncul. Mumps dapat menyebabkan SSNHL, namun angka kejadiannya cukup kecil yaitu 0,5-5,0/

179 kasus. Tuli mendadak yang berkaitan dengan infeksi virus mumps jarang ditemukan terutama di negara yang menjalankan program vaksinasi mumps. 14 Pada studi populasi yang dilakukan Hashimoto dkk. dari tahun 2004 hingga tahun 2006 didapatkan 7 kasus SSNHL pada 7400 kasus dengan gejala klinis mumps, atau 0,1%. 6 Onset SSNHL yang berkaitan dengan infeksi mumps biasanya cepat dan bersifat unilateral. Hilangnya pendengaran biasanya profound dan permanen, namun berdasarkan studi yang dilakukan Vouri dkk. (1962) pada beberapa kasus dapat bersifat sementara. 4, 5 Tinitus, vertigo dan rasa penuh pada telinga yang terkena dapat terjadi pada beberapa pasien. Morita melaporkan bahwa kejadiannya terdistribusi sama besar pada kedua gender. 17 SSNHL terkait infeksi mumps sering ditemukan pada usia 5 9 tahun. Namun Ishikawa dkk. melaporkan 14 kasus serupa dengan rentang usia 3 34 tahun sedangkan Kaguchi dkk, menemukan 12 kasus dengan rentang usia 4 39 tahun. 18,19 Pada laporan kasus ini, penderita adalah seorang laki-laki berumur 33 tahun. Pasien mengalami penurunan pendengaran mendadak yang terjadi pada minggu pertama penyakit. Penurunan pendengaran bersifat unilateral disertai dengan tinnitus dan terdapat riwayat infeksi mumps sebelumnya. Penyebab tuli sensorineural mendadak masih belum diketahui secara jelas. Banyak teori dugaan penyebab yang dikemukakan oleh para ahli. Ada empat teori utama yang mencoba menjelaskan penyebab tuli sensorineural mendadak yakni infeksi virus, kelainan vaskular, kerusakan membran intrakoklea dan kelainan imunologi. 21 Pada pasien ini penyebab terjadinya tuli sensorineural mendadak diduga akibat infeksi mumps. Patogenesis terjadinya tuli sensorineural pada infeksi mumps masih belum jelas. Khun et al dalam meta analisisnya menyebutkan adanya peningkatan serum antiviral antibodi, meliputi antibody Cytomegalovirus, Herpes Zoster, Heres Simplex Tipe 1, Influenza B, Mumps, Enterovirus, dan Rubeola yang diisolasi dari penderita SSNHL idiopatik. Khun juga menekankan temuan patologi anatomi pada tulang temporal penderita tersebut secara histologis mengesankan terjadinya labirinitis viral yang meliputi terjadinya atropi organ korti, membran tektorial, stria vaskularis dan vestibular end organ. 20 Otake dkk. (2006) menunjukkan dengan menggunakan MRI 3D-FLAIR, tampak sinyal yang tinggi di koklea dan vestibulum yang menandakan adanya perdarahan atau konsentrasi protein yang tinggi di telinga dalam anak yang menderita SSNHL yang diakibatkan oleh mumps. 23 Lindsay dkk, dalam studi histopatologinya pada pasien penurunan pendengaran akibat infeksi mumps melapork terjadinya degenerasi pada organ corti dan stria vaskularis. Westmore dkk, mengisolasi virus mumps pada perilimfe pasien 179

180 SSNHL yang terkait infeksi mumps. Hal ini menunjukkan kemungkinan labirin merupakan lokasi lesi pada sebagian besar pasien tersebut. Diagnosis tuli sensorineural mendadak dapat ditegakkan dengan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, audiologi dan penunjang. Pada pasien ini pemeriksaan THT, tidak didapatkan kelainan pada pasien. Pada pemeriksaan audiometri nada murni didapatkan hasil hantaran udara dekstra 15 db dan hantaran tulang dekstra 5 db sedangkan hantaran udara sinistra 91,25 db dan hantaran tulang sinistra 78,75 db. Pasien didiagnosis tuli mendadak sensorineural derajat sangat berat sinistra. Meskipun tuli sensorineural mendadak merupakan kasus kegawatdaruratan, namun patogenesis dan terapinya masih kontroversial sehingga modalitas terapi yang bervariasi bertujuan untuk mendapatkan efek yang sinergis. Pada kasus rawat diberikan oksigen intranasal 2 liter/menit selama 15 menit diulang tiap 6 jam. Pemberian oksigen pada tuli sensorineural mendadak bertujuan untuk meningkatkan oksigenasi koklea dan perilimfe. Sedangkan pada kasus ini diberikan teknik oksigen hiperbarik yaitu memberikan oksigen 100% pada tekanan 2,5 atmosfer selama 90 menit, untuk memperbaiki oksigenasi terutama pada organ pendengaran. 37 Kortikosteroid telah digunakan secara luas sebagai terapi tuli sensorineural mendadak. Kortikosteroid yang diberikan adalah glukokortikoid sistemik oral, intravena dan atau intratimpani meliputi prednison, metil prednisolon dan deksametason. Steroid mempunyai efek antiinflamasi dan imunosupresi, menstabilkan fungsi membran sel serta transpor natrium dan kalium sel. Pada kasus ini, penderita diberikan metil prednisolon oral 16 mg 3 kali sehari dan ditapering off. Penderita juga diberikan preparat neurotropik yaitu mekobalamin. Pemberian vitamin dapat menurunkan radikal bebas pada telinga dalam yang bersifat toksik terhadap organ sensorik. 28 Hemodilusi pada penatalaksanaan tuli sensorineural mendadak bertujuan untuk menurunkan viskositas darah sehingga memperbaiki aliran darah ke koklea. Ada beberapa jenis metode pemberian hemodilusi. Pada penderita diberikan pentoksifilin 2 x 400 mg intraoral. Pentoksifilin mempunyai efek menurunkan viskositas darah sehingga dapat meningkatkan perfusi dan pengaliran oksigen pada labirin penderita tuli sensorineural mendadak. 28 Terapi oksigen hiperbarik telah diterapkan sebagai terapi tambahan dalam kasus tuli mendadak. Terapi ini memberikan oksigen 100% dengan tekanan lebih dari 1 ATA (atmosphere absolute). Terapi ini bertujuan untuk meningkatkan oksigenasi 180

181 koklea dan perilimfe, sehingga diharapkan dapat menghantarkan oksigen dengan tekanan parsial yang lebih tinggi ke jaringan, terutama koklea yang sangat peka terhadap keadaan iskemik. 1 Pada pasien ini dilakukan terapi oksigen hiperbarik sebanyak dua seri. Hilangnya pendengaran pada SSNHL terkait infeksi mumps biasanya profound dan permanen. 4, 5 Pada kasus ini pemberian terapi konservatif di atas menunjukkan adanya perbaikan pendengaran pada penderita dengan kombinasi terapi oksigen hiperbarik. Menurut kriteria Furohashi pasien ini mengalami pemulihan minimal. Pada pemeriksaan audiometri nada murni setelah pemberian terapi didapatkan hasil hantaran udara dekstra 16,25 db dan hantaran tulang dekstra 6,25 db sedangkan hantaran udara sinistra 78,75 db dan hantaran tulang sinistra 72,5 db dengan kesimpulan tuli sensorineural derajat berat sinistra. Pemulihan yang minimal menunjukkan prognosis yang kurang baik pada SSNHL terkait infeksi mumps, hal ini dapat dilihat dari gambaran audiogram pertama pasien yang menunjukkan penurunan ambang pendengaran di semua frekuensi yang menunjukkan terjadinya kerusakan hingga basal koklea, artinya darah yang terganggu suplai aliran darah lebih luas

182 Gambar 4 Timpanometri pasien tanggal 23 Mei 2017 Gambar 5 Audiometri pasien tanggal 23 Mei 2017 Ozdek dkk. menyatakan SSNHL terkait infeksi mumps sering kali tidak membaik dengan terapi medikamentosa. Pada pasien yang tidak berespon dengan terapi medikamentosa ini sebaiknya diberikan alat bantu dengar, namun pada pasien SSNHL total bilateral sebaiknya dilakukan operasi cochlear implant sedini mungkin. 32,33 Pada kasus ini pasien mengalami pemulihan minimal sehingga dirasakan perlu diberikan alat bantu dengar untuk meningkatkan kemampuan mendengar. 5 KESIMPULAN Tuli sensorineural mendadak atau sudden sensorineural hearing loss (SSNHL) merupakan salah satu kegawatdaruratan di bidang THT yang membutuhkan penanganan segera. Mumps dapat menyebabkan SSNHL, namun angka kejadiannya 182

183 cukup kecil. Onset SSNHL yang berkaitan dengan infeksi mumps biasanya cepat dan bersifat unilateral. Hilangnya pendengaran biasanya profound dan permanen. Patogenesis terjadinya tuli sensorineural pada infeksi mumps masih belum diketahui secara jelas, namun inflamasi pada koklea masih menjadi kajian mendasar. Metode penanganan tuli mendadak bervariasi, namun standar pengobatan yang umumnya dipakai adalah terapi kortikosteroid, baik oral maupun intratimpani disamping terapi oksigen hiperbarik dan terapi farmakologis lainnya.. Telah dilaporkan satu kasus tuli mendadak sensorineural sinistra pada infeksi mumps. Penderita berjenis kelamin laki laki, usia 33 tahun yang mendapatkan terapi konservatif dan hiperbarik dan mengalami perbaikan pendengaran minimal. 183

184 DAFTAR PUSTAKA 1. Stachler RJ, Chandrasekhar SS, Archer SM, Rosenfeld RM, Schwartz SR BD. Clinical practice guideline sudden hearing loss: Recommendations of the American Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery. Otolaryngol Head Neck Surg. 2012;146: Wilson WR, Gulya AJ. Sudden Sensorineural Hearing Loss. Otol Med J. 1991;1: Chau JK, Lin JR, Atashband S, Irvine RA WB. Systematic review of the evidence for the etiology of adult sudden sensorineural hearing loss. Laryngoscope. 2010;120(5): Vuori M, Lahikainen EA PT. Perceptive deafness in connection with mumps : a study of 298 servicemen suffering from mumps. Acta Oto-laryng. 1962;55: Davis L. Infections of the labyinth, in: Cummings CW, Fredrickson JM, Harker LA, Krause CJ, Schuller DE (eds.),, Otolaryngol Head Neck Surgery, 2nd ed Mosby Year B Hashimoto H, Fujioka M KH. An office based prospective study of deafness in mumps. Pediatr Inf J. 2009;28: Weber PC KS. Anatomy and physiology of hearing. Dalam: Johnson JT, Rosen CA, penyunting. Bailey s Head and neck Surgery-Otolaryngology. 5th Philadelphia Lippincott Williams &Wilkins. 2014: Gacek RR GM. Anatomy of the auditory and vestibular systems. Dalam: Snow JB Jr, Ballenger JJ, penyunting. Ballenger s otorhinolaryngology head and neck surgery. Ontario BC Decker Inc. 2003:

185 9. Duthey B. Background Paper 6.21 Hearing Loss. World Heal Organ. 2013;1(February): Jenny B dan Indro S. Tuli mendadak dalam buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorokan kepala dan leher. JakartaFK UI. 2008: Arnold A. Sudden hearing loss. Ther Umsch. 2004;61(1): Adams C, George L, Lawrence R, Peter A. Embriologi, Anatomi, dan Fisiologi Telinga. Buku Ajar Penyakit THT (Boies Fundam Otolaryngol. 1997;6: Latner DR, Hickman CJ. Remembering Mumps. PLoS Pathog. 2015;11(5): doi: /journal.ppat Wilbert H. Mason Mumps. Nelson Textb Pediatr 18 th Saunders Elsevier. 2007;18: Kawashima Y, Ihara K, Nakamura M, Nakashima T, Fukuda S, Kitamura K. Epidemiological study of mumps deafness in Japan. Auris Nasus Larynx. 2005;32(2): Ishimaru Y, Nakano S, Nakano H et al. Neurological complication of mumps. Shonika shinryo. 1988;51: Morita S, Fujiwara K, Fukuda A, et al. The clinical features and prognosis of mumps-associated hearing loss: a retrospective, multi-institutional investigation in Japan. Acta Otolaryngol. 2017;0(0): Kawaguchi S, Kawano A, Kanebayashi H et al. Case reports of mumps deafness. Pract Otorhinolaryngol. 2003;96: Ishikawa T, Ichimura K. An Epidemiological Study on Deafness in Patients with Mumps. Pract Otorhinolaryngol (Basel). 2004;97(4):

186 20. Kuhn M, Heman-Ackah SE, Shaikh JA, Roehm PC. Sudden Sensorineural Hearing Loss: A Review of Diagnosis, Treatment, and Prognosis. Trends Amplif. 2011;15(3): Anggraeni M DL. Gondongan (Mumps). SMF IKA RSUP Sanglah. 2012;1(1): Craighead JE. Pathology and Pathogenesis of Human Viral Disease. Acad Pres, San Diego. 2000: Otake H, Sugiura M, Naganawa S NT. 3D-FLAIR Magnetic Resonance Imaging in the Evaluation of Mumps Deafness. Int J Ped Otolaryngol. 2006;70: Lindsay JR. Histopathology of deafness due to postnatal viral disease. Arch Otolaryngol. 1973;98: Westmore GA, Pickard BH SH. Isolation of mumps virus from the inner ear after sudden deafness. Br Med J. 1979;1: Jacobson RM. Measles, Mumps and Rubella. Clin Obs Gynecol. 2013;55(2): Galazka AM, Robertson SE, Kraigher A. Mumps and mumps vaccine: A global review. Bull World Health Organ. 1999;77(1): Oliver ER HG. Sudden sensory hearing loss. Bailey s Head neck Surg - Otolaryngology Ed ke-5 Philadelphia Lippincott Williams &Wilkins. 2014;1: Arslan N, Oguz H, Demirci M, Safak MA, Islam A, Kaytez SK et al. Combined intratympanic and systemic use of steroids for idiopathic sudden sensorineural hearing loss. Otol Neurotol. 2011;32:

187 30. Rauch SD, Halpin CF, Antonelli PJ, Babu S, Carey JP GB. Oral vs intratympanic corticosteroid therapy for idiopathic sudden sensorineural hearing loss: A randomized trial. JAMA. 2011;305(20): Westerlaken B O. The treatment of idiopathic sudden sensorineural hearing loss. Otol Neurotol. 2008;1(1): Ozdek A, Saylam G, Tatar E, Korkmaz MH. Successful cochlear implantation in a child deafened by mumps. J Int Adv Otol. 2010;6(1): Wang Y, Cao K, Yang W, Wei C ZZ. Bilateral total deafness due to mumps and the outcome of cochlear implantation. Lin Chuang Er Bi Yan Hou Ke Za Zhi. 2003;17: Levie P, Desgain, Burbure C, Germonpre P, Monnoye JP TM. Sudden hearing loss. B-ENT. 2007;3(6): Kasapoglu F, Tuzemen G, Hizalan I, Erisen L,Onart S, Coskun H OA. Prognosis in sudden hearing loss : Is it the Dissease or the treatment that determine the prognosis? Dep Otorhinolaryngol Head Neck Surg. 2009;5(2): Filipo R, Attanasio G, Russo FY, Viccaro M, Mancini P CE. Intratympanic steroid therapy in moderate sudden hearing loss: A randomized, triple-blind, placebo-controlled trial. Laryngoscope. 2013;123(3): Konstantina G, Fildissis G, Zyga S, Baltopoulos G. The Clinical Efficacy of Hyperbaric Oxygen Therapy in Idiopathic Sudden Sensorineural Hearing Loss and Tinnitus. Heal Sci J. 2016;10(1):

188 Penatalaksanaan Abses Esofagus Akibat Benda Asing di Esofagus Oleh: I Wayan Sucipta Bagian/SMF Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran UNUD/RSUP Sanglah Denpasar I. Pendahuluan Benda asing esofagus adalah semua benda, baik berupa bolus makanan atau agen korosif yang tertelan dengan sengaja atau tidak yang dapat menyebabkan sumbatan dan perlukaan esofagus. Sebagian besar (80-90%) benda asing yang masuk ke dalam saluran cerna akan lewat secara spontan, tetapi 10-20% pasien yang tertelan benda asing di saluran cerna memerlukan intervensi non-operatif dan kurang dari 1% yang membutuhkan intervensi operasi. Benda asing di esofagus lebih merupakan kondisi medis yang gawat namun tidak mengancam jiwa. 1 Oleh karena itu, pasien dengan benda asing di esofagus membutuhkan diagnosis dan terapi yang tepat. 2 Pemahaman faktor risiko untuk timbulnya komplikasi yang berhubungan dengan benda asing di esofagus akan membantu untuk mengurangi morbiditas pasien. 3 Pada masa anak-anak, benda asing yang paling sering ditemukan di esofagus adalah koin dan baterai. Pada orang dewasa, benda asing yang paling sering tertelan adalah daging dalam makanan dan tulang ikan sedangkan pada populasi lanjut usia, terutama pada pasien dengan demensia, sering terelan gigi palsu. 4 Kebanyakan penderita anak-anak biasanya berusia di bawah 3 tahun namun terjadinya kasus ini pada usia dewasa dapat berhubungan dengan adanya defisit neurologis, gangguan psikologi, penyakit tertentu ataupun adanya faktor kecerobohan. 5,6 Gejala yang muncul dapat beragam dan tidak khas, dapat berupa rasa nyeri atau kesulitan saat menelan, muntah dan adanya sensasi yang kemudian menimbulkan batuk atau rasa sesak saat bernafas terutama jika penderita mencoba makan atau menelan. Demam dan gangguan pernafasan dapat menunjukkan adanya suatu infeksi terutama bila benda asing tersangkut dalam waktu yang lama. Jika tidak memperoleh pengobatan, infeksi dapat memberat menjadi suatu abses. 5,6 Kerusakan pada struktur esofagus seperti infeksi, abses dan perforasi esofagus dapat terjadi terutama bila terdapat benda asing tajam, bahan koin atau mengandung unsur yang keras seperti tulang dan logam yang bersifat korosif seperti button 188

189 battery. 4 Begitu pula bila benda asing menimbulkan rasa nyeri, gangguan pernafasan, perdarahan dan kesulitan menelan. Benda asing tajam dapat menimbulkan perforasi dengan risiko mencapai sebesar 15-35%. Komplikasi lain dari benda asing yang dapat terjadi meliputi edema, laserasi, hematoma, jaringan granulasi, striktur, perdarahan hebat sampai kematian. 6 Modalitas utama dalam penanganan benda asing di esofagus adalah esofagoskopi. Pemberian antibiotik berspektrum luas serta anti inflamasi diperlukan pada kasus yang dicurigai dengan komplikasi terutama abses. 5,6,7 Perkembangan antibiotika menurunkan insiden dan angka kematian dari infeksi dan abses pada ruang leher dalam begitu juga dengan esofagus. Meski masih dianggap kondisi penyakit yang memerlukan penatalaksanaan secara bedah, beberapa kondisi benda asing dengan infeksi dini memberikan respon pada pemberian antibiotik saja. Meskipun demikian, perlu diwaspadai karena infeksi dan abses pada ruang leher dalam tetap membahayakan jiwa. Keterlambatan diagnosis dan pengobatan yang tidak tepat dapat mengarah pada komplikasi yang berat seperti mediastinitis yang mempunyai angka kematian sampai 40 %. Benda asing di esofagus merupakan masalah klinis yang memiliki tantangan tersendiri, terutama dengan komplikasi berupa infeksi dan abses. Penulisan laporan kasus ini bertujuan untuk memberikan informasi mengenai kondisi tersebut sehingga dapat menjadi bahan pertimbangan untuk memahami dan memberikan penatalaksanaan yang optimal pada pasien. Tinjauan pustaka 2.1.Anatomi Esofagus Esofagus merupakan bagian dari saluran pencernaan berupa suatu tabung otot vertikal yang memanjang dari hipofaring sampai lambung. Saluran ini dilalui oleh bolus makanan dari mulut menuju lambung. Pada orang dewasa panjang esofagus sekitar 25 cm, memanjang ke arah bawah mulai dari batas bawah kartilago krikoid setinggi vertebra servikal VI berjalan dalam leher, mediastinum atas dan medistinum belakang di depan vertebra servikal dan torakalis kemudian berakhir pada kardia lambung setinggi vertebra torakalis XI. 8 Esofagus umumnya dalam keadaan kolaps bila tidak terdapat makanan yang melewatinya. Bentuk lumennya mirip dengan celah, yaitu dalam keadaan istirahat, tetapi pada bagian bawah bentuk lumennya lebih menyerupai tabung. Diameter lumen esofagus bervariasi, tergantung dari ada tidaknya bolus makanan atau cairan 189

190 melaluinya. Pada keadaan istirahat, diameter lumen esofagus sekitar 20 mm dan dapat bertambah menjadi 30 mm. Pada bayi sekitar 5 mm dan pada umur mejelang 1 tahun menjadi berlipat ganda dan setelah berumur 5 tahun diameter lumen esofagus mencapai 15 milimeter. Pada area penyempitan ukuran lumen dapat berkurang sampai mm. Diameter lumen paling besar didapatkan pada muara esofagus dengan lambung. Esofagus pada bayi relatif lebih panjang dari orang dewasa, dimulai setinggi vertebra servikal IV V sampai pada batas setinggi vertebra torakalis IX, dengan panjang bervariasi antara 8 10 cm. Pertumbuhan panjang esofagus menjelang umur 1 tahun meningkat menjadi 12 cm, pada umur 5 tahun panjang esofagus menjadi 16 cm dan setelah itu pertumbuhannya menjadi lambat, sehingga pada umur 15 tahun hanya mencapai 19 cm. 5,8 Dinding esofagus terdiri dari 4 lapisan dengan urutan dari dalam keluar yaitu membran mukosa, submukosa, lapisan otot dan jaringan ikat. Membran mukosa dilapisi oleh epitel berlapis gepeng non keratinisasi yang merupakan ke lanjutan dari mukosa faring. Di bagian bawah membran basalis terdapat jaringan ikat longgar lamina propria yang berisi jaringan dari serabut serabut elastik dan nodul-nodul limfoid. Pada bagian profunda lapisan lamina propria terdapat muskularis mukosa yang menebal pada bagian sepertiga ujung esofagus, terdiri dari serabut otot longitudinal dan merupakan jenis otot polos. Submukosa berhubungan dengan membran mukosa dan lapisan otot, terdiri dari jaringan ikat padat dan serabut elastis yang kasar, berisi pembuluh darah dan pleksus Meissner dan serabut parasimpatis postganglion serta kelenjar esofageal. Kelenjar ini mensekresi mukus sebagai lubrikan atau pelumas bolus makanan yang melalui esofagus. Setiap kelenjar bermuara kedalam lumen esofagus dengan saluran menembus lapisan muskularis mukosa. Pada bagian abdominal berdekatan dengan pertautan esofagus dengan lambung ditemukan kelenjar lain yang tidak menembus lapisan muskularis mukosa dan strukturnya mirip dengan kelenjar kardia lambung sehingga disebut kalenjar kardiaesofageal. Lapisan otot esofagus disusun dari lapisan otot longitudinal sebelah superfisial dan lapisan otot sirkuler sebelah profunda. Serat otot logitudinal membungkus hampir ke seluruhan esofagus, kecuali pada ujung atas pada batas antara 3-4 cm dibawah kartilago krikoid serat menyimpang dari bidang tengah belakang dan membentuk 2 fasikulus longitudinal yang condong ke atas dan ke depan ke bagian muka esofagus 190

191 dimana berdempet dengan permukaan belakang lamina kartilago krikoid. Umumnya lapisan otot longitudinal lebih tebal daripada lapisan otot sirkuler. Lapisan serat otot sirkuler ke arah atas berkesinambungan dengan otot krikofaring dan otot konstriktor faring bawah. Ke arah bawah berkesinambungan dengan serat otot oblik lambung. Pada bagian ujung, serat otot sirkuler membentuk satu komponen dari sfingter fisiologis. Pleksus Auerbach terletak antara lapisan otot sirkuler dan lapisan otot longitudinal. Pada sepertiga bagian atas esofagus berotot lurik, sepertiga bagian medial esofagus sebagian berotot lurik, sebagian berotot polos dan pada sepertiga bagian bawah esofagus berotot polos. Lapisan fibrosa terdiri dari adventitia luar ireguler, merupakan jaringan ikat padat yang mengandung banyak serabut elastin. 5,8 Berdasarkan letak anatominya, esofagus dapat dibagi atas bagian servikal, torakalis dan abdominal. Pada orang dewasa panjang esofagus servikal 5-6 cm, mulai setinggi servikal VI sampai torakalis I. Dinding depan esofagus servikal melekat erat dengan jaringan ikat serat otot dinding trakea yang disebut tracheo-esophageal party wall atau dinding bersama trakea dan esofagus. Di bagian anterolateral, esofagus ini tertutup oleh kelenjar tiroid, sedang di sisi kiri dan kanan pada lekuk antara trakea dan esofagus berjalan nervus laringeus rekuren kiri dan kanan ke atas menuju faring setelah menyilang trunkus brachiocephalicus bagian kanan dan menyilang arkus aorta bagian kiri. Pada bagian belakang di daerah perbatasan dengan hipofaring, terdapat daerah dengan resistensi lemah yang disebut locus minoris resistencia yaitu dinding yang tidak tertutup oleh otot konstriktor faring bawah. Jackson menyebut introitus esofagus sebagai Gate of tears atau Bab el mandeb. Pada bagian lateral esofagus terdapat sarung karotis atau carotid sheath beserta isinya. 8 Panjang esofagus bagian torakalis cm, mulai setinggi vertebra torakalis I sampai torakalis IX-X. Berada di mediastinum atas antara trakea dan kolumna vertebralis, kemudian ke mediastinum belakang di belakang atrium kiri. Dinding depan tetap melekat pada dinding belakang trakea sampai setinggi torakalis V. Di mediastinum atas, esofagus berjalan ke belakang ke sisi kanan aorta desendens sampai mencapai bagian bawah mediastinum kemudian berjalan ke depan dan sedikit ke sisi kiri aorta. Di dalam rongga dada, esofagus disilang oleh arkus aorta setinggi torakalis IV dan bronkus utama kiri setinggi torakalis V. Arteri pulmonal kanan menyilang esofagus segera di bawah bifurkasio trakealis. Pada bagian ujung esofagus, 191

192 di antara dinding belakang esofagus dan permukaan ventral korpus vertebralis berjalan duktus torakalis, vena azygos, arteri-arteri dan vena-vena. 5,8 Esofagus bagian abdominal terdiri dari bagian diafragma yang disebut pars diafragmatika dan bagian esofagus yang berada dalam rongga abdomen. Pada bagian diafragma panjangnya 1-1,5 cm, dan terletak setinggi vertebra torakalis X, melewati krus kanan diafragma agak ke kiri bidang tengah disertai oleh n.vagus kiri di permukaan depannya dan n.vagus kanan di bagian belakangnya. Setelah melewati diafragma, esofagus melalui lekuk esofageal pada permukaan belakang lobus kiri hati, selanjutnya melengkung agak tajam ke kiri untuk bergabung dengan bagian kardia lambung. Pada bagian ini merupakan garis Z dan disebut taut esofaguslambung atau gastro-esophageal junction. Bagian esofagus yang berada di dalam rongga abdomen panjangnya 2 3 cm

193 Gambar 2.1 Anatomi Esofagus. Hubungan antara struktur-struktur di sekitar esofagus menyebabkan terbentuknya penyempitan pada lumen. Esofagus mempunyai beberapa penyempitan yang dapat dilihat pada saat esofagoskopi yaitu penyempitan krikofaring pada sfingter krikofaringeal yang disebabkan oleh penekanan otot krikofaring dan kartilago krikoid. Diameter transversal 23 mm dan depan belakang 17 mm berjarak kira-kira 16 cm dari gigi insisivus atas pada orang dewasa dan terletak setinggi vertebra servikal VI. Penyempitan karena adanya persilangan esofagus dengan arkus aorta. Terletak di sebelah kiri, setinggi vertebra torakalis IV, yang pada orang dewasa berjarak kira-kira 23 cm dari gigi insisivus atas. Diameter transversal 23 mm dan depan-belakang sebesar 19 mm. Di daerah ini dapat terlihat pulsasi aorta, pada persilangan esofagus dengan aorta. Juga terdapat penyempitan antara esofagus dan bronkus, persilangan ini terletak pada dinding depan kiri esofagus yang berjarak kira-kira 27 cm dari gigi insisivus atas setinggi vertebra torakalis V dengan diameter transversal 23 mm. Penyempitan diafragma terdapat pada bagian ujung yang disebut hiatus esofagus setinggi vertebra torakalis X. Disini esofagus terjepit oleh krura diafragma yang bekerja sebagai sfingter. Diameter transversal 23 mm dan depan-belakang 23 mm. 8,9 Vaskularisasi dari esofagus berasal dari beberapa cabang arteri dan vena. Arteri yang memperdarahi pada bagian servikal berjalan dari arteri tiroidea inferior (cabang trunkus tiroservikalis arteri subklavia sinistra), bagian torakal berjalan dari 193

194 aorta torakalis desendens, arteri interkostalis dan arteri cabang bronkial serta bagian abdominal berjalan dari cabang-cabang arteri gastrikus sinistra dan kadang-kadang arteri frenikus inferior yang langsung dari aorta abdominalis. Sedangkan vena yang memperdarahi bagian servikal dialirkan ke dalam vena tiroid inferior, bagian torakal dialirkan ke dalam vena azygos dan hemiazygos dan bagian abdominal dialirkan ke dalam vena gastrikus sinistra. 10 Gambar 2.2 Vaskularisasi esofagus. Persarafan esofagus terdiri dari saraf parasimpatis yang berasal dari nervus vagus yang menimbulkan vasokonstriksi, kontraksi sfingter dan relaksasi dinding muskular serta saraf simpatis dari serabut-serabut ganglia simpatis servikalis inferior, nervus torakal dan splanikus yang dapat meningkatkan sekresi kelenjar dan aktivitas peristaltik

195 Gambar 2.3 Persarafan esofagus Fisiologi Menelan Fungsi utama esofagus adalah membantu dalam proses menelan serta bertindak untuk mencegah aliran berlimpah ke dalam laring dan membawa bolus makanan dan cairan ke dalam lambung dan usaha untuk membersihkan kembali esofagus. 5,9 Gambar 2.4 Fisiologi menelan. 195

196 Dalam proses menelan secara keseluruhan akan terlibat secara berkesinambungan bagian mulut, faring, laring dan esofagus dan dibagi dalam tiga fase yaitu fase oral, faringeal dan esofageal. Pada fase oral terjadi perpindahan bolus makanan dan atau cairan dari mulut ke faring dan terjadi secara sadar. Pada fase faringeal terjadi perpindahan bolus makanan dan atau cairan dari faring ke esofagus, terjadi secara refleks dan berlangsung singkat selama 1-2 detik. Adapun fase esofageal adalah fase perpindahan bolus makanan dari esofagus ke lambung. Dalam keadaan istirahat introitus esofagus selalu tertutup. Dengan adanya rangsangan bolus makanan pada akhir fase faringeal, maka terjadi relaksasi muskulus krikofaring, sehingga introitus esofagus terbuka dan bolus makanan masuk ke dalam esofagus. Setelah bolus makanan lewat, maka sfingter akan berkontraksi lebih kuat melebihi tonus introitus esofagus pada waktu istirahat, sehingga makanan tidak akan kembali ke faring. Dengan demikian refluks dapat dihindari. Gerakan bolus makanan di esofagus bagian atas masih di pengaruhi oleh kontraksi muskulus konstriktor faring bawah pada akhir fase faringeal. Selanjutnya bolus makanan akan didorong ke ujung oleh gerakan peristaltik esofagus dan efek tambahan gravitasi bumi. Gerakan peristaltik dalam keadaan normal terdiri dari gerakan peristaltik primer dan sekunder gerakan peristaltik primer adalah kelanjutan gerakan peristaltik dari faring, sedang yang sekunder timbul akibat dari regangan esofagus oleh makanan yang tertinggal, sebagai akibat kegagalan gerakan peristaltik primer mendorong semua makanan yang sudah masuk esofagus ke dalam lambung. 5,9 Dalam keadaan istirahat sfingter esofagus bagian bawah selalu tertutup dengan tekanan rata-rata 8 mmhg lebih besar dari tekanan di dalam lambung sehingga tidak akan terjadi regurgitasi isi lambung. Pada akhir fase esofageal, sfingter ini akan terbuka secara refleks ketika dimulainya peristaltik esofagus servikal untuk mendorong bolus makanan ke ujung. Selanjutnya setelah bolus makanan lewat maka sfingter ini akan menutup kembali. Proses menelan pada fase esofageal ini berlangsung sekitar 5 10 detik. 5, Etiologi dan Patogenesis Benda asing esofagus adalah semua benda, baik berupa bolus makanan atau agen korosif yang tertelan dengan sengaja atau tidak yang dapat menyebabkan sumbatan dan 196

197 perlukaan esofagus. Jenis benda asing yang banyak tertelan pada orang dewasa berasal dari makanan, biasanya berupa potongan daging, tulang dan gigi palsu. Pada anak biasanya berupa mainan kecil dan uang logam. Sebagian besar (80-90%) benda asing yang masuk ke dalam saluran cerna akan lewat secara spontan, tetapi 10-20% pasien yang tertelan benda asing di saluran cerna memerlukan intervensi non-operatif dan kurang dari 1% yang membutuhkan intervensi operasi. Benda asing, baik tajam atau tumpul yang berukuran kecil dapat dengan mudah melewati saluran pencernaan bagian atas sampai ke lambung, kecuali pada benda asing yang berukuran lebih besar agak sulit untuk lewat, sehingga diperlukan bantuan endoskop untuk mengeluarkannya. Kadangkadang meskipun kecil tetapi relatif terbuat dari metal yang berat, seperti koin agak sulit untuk melewati lambung. Bila benda asing sudah sampai lambung diperlukan evaluasi dan observasi sampai pengeluaran alami terjadi. 5,9 Benda asing ingestan dapat tersangkut dimana saja sepanjang level esofagus, tetapi biasanya paling sering pada penyempitan fisiologis atau patologis. Tempat tersering adalah di esofagus bagian servikal tepat di bawah konstriksi krikofaringeal. Jackson (1950) menduga bahwa kelemahan struktur otot peristaltik servikalis bagian atas sebagai penyebab utama tersangkutnya benda asing. Diyakini daerah tersebut merupakan peralihan dari otot lurik menjadi otot polos. Bila terjadi inkarserata pada esofagus torakal atau pada tempat yang lebih dibawah, perlu dipikirkan adanya gangguan esofagus yang mendasari. Sebaliknya bila terjadi impaksi makanan pada esofagus bagian tengah atau bawah, hal ini mungkin disebabkan oleh adanya lesi esofageal atau adanya gangguan motorik. Berbagai kondisi yang dapat mendasari terjadi benda asing esofagus antara lain refluks esofagitis yang disertai striktur, stenosis pasca operasi, web, Schatzki rings, hiatal hernia, cardioachalasia, karsinoma, divertikula dan gangguan motorik. 9 Perubahan pada dinding esofagus cukup ringan dan berjalan lambat kecuali bila benda asingnya bersifat traumatik. Biasanya benda asing yang masuk akan mengikuti gerakan esofagus ke posisi paling mungkin untuk tidak menyebabkan trauma, misalnya peniti yang berputar dan turun ke bawah dengan posisi bagian ujung di bawah dan yang tajam mengikuti. Jika beberapa benda asing tidak turun (tertahan), setelah waktu yang lama, akan terjadi erosi dan ulserasi epitel, membentuk jaringan fibrosa di sekitar benda asing. Perforasi spontan kadang terjadi. Jika terjadi tiba-tiba akan timbul emfisema subkutis dan mediastinum tetapi dinding esofagus, meskipun 197

198 sangat tipis, mukosanya akan meregang untuk menutupi perforasi, yang merupakan pertahanan utama dari trauma. Bila benda asing dapat menyebabkan ulserasi dinding esofagus secara perlahan, lapisan jaringan di sekitarnya akan menyatu akibat proses inflamasi dan ini biasanya menghambat terjadinya sepsis untuk sementara waktu. Untuk kasus benda asing di esofagus yang tidak diterapi selama bertahun-tahun, proses supurasi yang dihasilkannya akan ke bronkus kiri lalu rongga pleura dan kemudian terbentuk fistula yang mengeluarkan cairan, namun benda asing tetap tertanam dalam esofagus. Prognosis penderita dengan benda asing esofagus yang tidak dikeluarkan, hanya dapat bertahan 5-10 tahun dan biasanya meninggal dalam waktu 1 tahun. Kematian biasanya disebabkan oleh perforasi dan komplikasi benda asing. 5,9 Bakteri kokus gram positif, basil gram negatif dan anerob merupakan mikroflora pada esofagus. 6 Adanya mukosa esofagus yang tidak rata seperti ekskoriasi maupun perforasi, dapat menyebabkan masuknya bakteri dan menimbulkan terjadinya infeksi pada jaringan. Timbul inflamasi dan bila berlanjut, maka materi infeksi inflamasi akan menumpuk pada jaringan longgar dan menimbulkan abses pada esofagus. 5, Diagnosis Penegakan diagnosis meliputi riwayat penderita, pemeriksaan fisik, radiologi dan esofagoskopi. Diagnosis dilakukan terhadap adanya benda asing serta komplikasi yang mungkin menimbulkan infeksi dan abses yang dialami pasien. Keluhan rasa cemas hampir selalu terjadi pada orang dewasa, kecuali pada penderita psikiatrik dan pemakai obat-obatan penenang, keadaan ini digambarkan dengan adanya gangguan menelan yang disertai nyeri faringoesofagus yang kadang disertai dengan batuk, tersedak, muntah dan hematemesis. Inkarserata yang disebabkan oleh benda asing memberikan sensasi nyeri yang biasanya dirasakan pada insisura jugularis bagian bawah secara konstan meluas bila ada gerakan menelan. Keluhan yang sama juga dirasakan bila bena asing mencapai lambung, setelah melewati fase faringoesofagial akibat adanya perlukaan pada esofagus. Disfagia total yang disertai sialore dapat terjadi bila terjadi obstruksi total lumen esofagus yang iasanya disebabkan oleh impaksi daging/makanan. 5,8,9 Keluhan yang dirasakan penderita tidak selamanya berhubungan dengan posisi aktual benda asing dalam esofagus, contohnya bila keluhan dirasakan pada 198

199 regio servikal sisi lateral, posisi benda asing biasanya terletak pada bagian atas krikofaring. Inervasi faringeal oleh n. vagus dan n. glosofaringeus berperan dalam menimbulkan sensasi tersebut. 5,8,9 Untuk pasien dengan hematemesis berat dengan kemungkinan adanya fistula pada pembuluh darah besar dan pada pasien dengan emfisema servikal atau mediastinum, penutupan perforasi harus segera dilakukan pada saat ekstraksi bedah. 5,8,9 Pemeriksaan fisik yang dilakukan meliputi meliputi faring dan laringoskopi indirek untuk melihat benda asing hipofaring, retensi air liur, edema pada regio aritenoid, palpasi servikal untuk mengetahui emfisema subkutan, kekenyalan regio jugular, nyeri pada waktu pergerakan laring secara aktif dan pasif, auskultasi kardiopulmoner, palpasi abdominal dan pengukuran suhu. Pasien yang datang dengan keluhan tertelan benda asing yang disertai dengan pembengkakan, eritema, perabaan lunak dan krepitasi pada leher dapat dicurigai adanya perforasi pada daerah orofaring atau esofagus bagian proksimal. 5,8,9 Foto Rontgen polos esofagus servikal dan torakal anteroposterior (AP) dan lateral, harus dibuat pada semua pasien yang diduga tertelan benda asing. Benda asing radioopak seperti uang logam, mudah diketahui lokasinya dan harus dilakukan foto ulang sesaat sebelum tindakan esofagoskopi untuk mengetahui kemungkinan benda asing sudah pindah ke bagian distal. Letak uang logam umumnya koronal, maka hasil foto Rontgen servikal atau torakal pada posisi AP akan dijumpai bayangan radioopak berbentuk bundar, sedangkan pada pasien lateral berupa garis radioopak yang sejajar dengan kolumna vertebra. Benda asing seperti kulit telur, tulang, dan lain-lain cenderung berada pada posisi koronal dalam esofagus, sehingga lebih mudah dilihat pada posisi lateral. Benda asing radiolusen seperti plastik, aluminium dan lain-lain, dapat diketahui dengan tanda inflamasi periesofagus atau hipofaring dan esofagus bagian proksimal

200 Gambar 2.5 Rontgen servikal lateral leher menunjukkan garis radioopak pada proksimal esofagus (panah merah). Tidak ada udara di jaringan lunak dan tidak ada edema jaringan lunak diidentifikasi untuk menunjukkan adanya abses retrofaring. Foto Rontgen leher posisi lateral dapat menunjukkan tanda perforasi, dengan trakea dan laring tergeser ke depan, gelembung udara di jaringan, adanya bayangan cairan atau abses bila perforasi telah berlangsung beberapa hari.9 Gambaran radiologi benda asing batu baterei menunjukkan pinggir bulat dengan gambaran densitas ganda karena bentuk bilaminer. Foto polos sering tidak menunjukkan gambaran benda asing, seperti daging dan tulang ikan, sehingga memerlukan pemeriksaan esofagus dengan kontras (esofagogram). 11 Esofagogram pada benda asing radiolusen akan memperlihatkan filling defect persistent. Pemeriksaan esofagus dengan kontras sebaiknya tidak dilakukan pada benda asing radioopak karena densitas benda asing biasanya sama dengan zat kontras, sehingga akan menyulitkan penilaian ada tidaknya benda asing. Risiko lain adalah terjadi aspirasi bahan kontras. Bahan kontras barium lebih baik daripada zat kontras yang larut dia air (water soluble contrast), seperti gastrografin, karena sifatnya kurang toksik terhadap saluran napas bila terjadi aspirasi kontras, sedangkan gastrografin bersifat mengiritasi paru. Oleh karena itu pemakaian kontras gastrografin harus dihindari terutama pada anak

201 Gambar 2.6 Gambaran esofagogram benda asing di esofagus. Suatu penelanan barium dalam jumlah besar sebaiknya tidak diberikan karena akan menutupi dinding esofagus dengan penebalan putih akibatnya sangat sulit dilakukan esofagoskopi. Lebih baik pasien menelan sedikit kapas dengan kontras medium di dalamnya. Serat kapas dapat menangkap benda asing untuk sementara atau selama penelanan, dengan demikian menampakkan adanya benda asing melalui floroskopi. Pengetahuan orientasi dari benda asing pada esofagus sangat membantu dalam merencanakan endoskopi. 11 Computerized tomography scanner (CT scan) esofagus dapat menunjukkan gambaran inflamasi jaringan lunak dan abses. Indikasi dilakukan CT scan jika kecurigaan adanya benda asing di esofagus tapi pada foto polos servikal atau toraks tidak ditemukan atau negatif, sedangkan pada esofagogram terlihat atau positif. Dapat menunjukkan adanya gambaran inflamasi jaringan lunak dan abses, juga gambaran benda asing yang tidak terlihat dengan foto rontgen. CT scan juga bisa untuk mengevaluasi ada atau tidak komplikasi setelah ekstraksi benda asing

202 Gambar 2.7 Gambaran CT scan (a.inflamasi, b. abses dan perforasi, c.cedera vaskular dalam mediastinum akibat benda asing di esofagus). Magnetic resonanse imaging (MRI) dapat menunjukkan gambaran semua keadaan patologis esofagus. Dapat menampilkan keseluruhan gambar jaringan atau massa servikotorakal dan hubungan dengan jaringan neurovaskular sekitar. MRI juga dapat menunjukkan adanya perluasan abses atau pembentukan granuloma. Tapi bukanlah pemeriksaan inisial untuk melihat adanya benda asing Penatalaksanaan Modalitas terapi yang utama untuk benda asing esofagus adalah esofagoskopi ekstraksi. Kontraindikasi absolut untuk esofagoskopi adalah adanya hematemesis berat, kemungkinan fistula pada pembuluh darah yang diakibatkan oleh benda asing yang menimbulkan perforasi serta adanya edema hebat yang dapat terlihat dari pemeriksaan radiologi. Benda asing yang tersangkut di esofagus tanpa memandang bentuknya harus diangkat dengan visualisasi langsung sesegera mungkin. Baterai arloji harus diangkat segera karena kemungkinan kebocoran bahan korosif dan menyebabkan perforasi dinding esofagus, pada benda asing tajam dapat menyebabkan perforasi. 5,7,9 202

203 Prosedur esofagoskopi harus dilakukan di rumah sakit di ruang operasi dengan fasilitas anestesi umum dan alat resusitasi. Anestesi umum dengan intubasi trakea lebih baik karena mencegah aspirasi bronkus dan keleluasaan melakukan manuver ekstraksi. Instrumen kaku lebih disukai atau dapat juga endoskopi optik, diameter dan panjang instrumen dapat dipilih sesuai lokasi dan umur pasien. 13,14 Pada penderita dengan kasus benda asing di esofagus perlu dilakukan evaluasi esofagoskopi terhadap saliva atau partikel makanan diangkat dengan menggunakan kanul suction atau forcep, benda asing divisualisasi dan dilokalisir, posisi benda asing harus diketahui letaknya terhadap esofagus, apabila benda asing besar dan menimbulkan perforasi atau terjadi perdarahan hebat, lebih dipilih untuk melakukan operasi terbuka. Bila terlihat benda asing maka dilakukan prosedur ekstraksi dengan menyentuh benda asing dengan ujung ujung instrumen, memegang bagian benda asing dengan kuat, menarik benda asing ke dalam endoskop, mempertahankan stabilitas endoskop, forsep dan benda asing, dengan gerakan yang berkelanjutan dengan mempertahankan aksi endoskop sejajar esofagus dan faring, menarik bersama-sama tanpa mengakibatkan gesekan atau impaksi benda asing. Setelah prosedur ekstraksi dilakukan, diperlukan esofagoskopi kembali untuk mengevaluasi kondisi pasien. Dengan esofagoskop optik daerah bekas tempat asing dieksplorasi untuk mengevaluasi adanya tanda-tanda laserasi. Esofagus dibawah lokasi impaksi diperiksa sampai ke lambung untuk melihat adanya kelainan-kelaian esofagus yang dapat menimbulkan impaksi. Sementara esofagus di atas lokasi inkarserasi di periksa untuk mendeteksi adanya cedera akibat manuver. 5,13,14 Esofagoskopi dilakukan dengan mempertimbangkan keadaan klinis meliputi ukuran, bentuk, jenis dan lokasi anatomis benda asing serta sudah berapa lama tertelan. Dilakukan esofagoskopi sesegera mungkin dengan persiapan optimal. Bila benda asing gagal dikeluarkan pada saat pertama kali dikerjakan, maka dapat dilakukan esofagoskopi ulang setelah 2x24 jam. 5,13,14 Tanda-tanda perforasi memerlukan tindakan ekstraksi benda asing dengan revisi bedah untuk drainase dan penutupan perforasi. Apabila benda asing dapat diekstraksi secara endoskopi tanpa menimbulkan kerusakan pada esofagus, prosedur dapat esofagoskopi ekstraksi saja tanpa revisi bedah. 5,13,14 203

204 External approach (lateral esofagotomi) digunakan apabila pengambilan menggunakan endoskopi lentur maupun kaku mengalami kegagalan. Pada prinsipnya adalah mengeluarkan benda asing lewat esofagotomi. Pembedahan torakotomi dilakukan apabila benda asing tidak didapat atau tidak mungkin diambil dengan cara diatas atau bila benda asing tidak memungkinkan untuk keluar spontan lewat tinja atau juga bila sudah ada perforasi. 14,15 Penanganan kegawatdaruratan bedah, terjadi bila ada fistula pada pembuluh darah besar, apabila benda asing menyebakan terjadinya perdarahan dan hematemesis, harus dilakukan torakotomi emergensi untuk menyelamatkan nyawa pasien. Bila adanya potongan daging pada faringoesofagial junction menyebabkan sumbatan jalan nafas maka harus dilakukan pengangkatan segera secara endoskopi. 14,15 Gambar 2.8 Esofagoskopi tampak gigi palsu dengan kawat di esofagus. Indikasi penanganan bedah adalah bila benda asing tidak dapat diangkat secara esofagoskopi tanpa menimbulkan komplikasi atau tidak dapat diangkat secara komplit, adanya tanda perforasi esofagus, sehingga membutuhkan penanganan bedah untuk penutupan perforasi dan drainase serta prosedur kegawatdaruratan bila terjadi hematemesis. 5,14,15 Pemberian obat-obatan intravena dengan antibiotik spektrum luas yang dapat membunuh bakteri aerob dan anaerob sebaiknya dimulai sesegera mungkin. Untuk lesi yang letaknya di servikal, dilakukan servikotomi di bagian kiri sepanjang dinding depan muskulus sternocleidomastoideus. Penutupan dilakukan dengan dua lapis 204

205 jahitan dan dilakukan drainase mediatinum. Untuk lesi yang terletak pada bagian atas toraks dan lesi yang mengakibatkan efusi pleura kanan, maka harus dilakukan torakotomi posterolateral kanan dengan pemasangan pipa drainase pleura yang besar. Bila ada proses inflamasi yang tidak memungkinkan penutupan perforasi, sebaiknya dipertimbangkan tindakan esofagektomi parsial, drainase dengan T-tube, rekonstruksi sekunder atau drainase transesofageal dengan pemasangan stent. 14, Komplikasi dan Prognosis Perlukaan esofagus lebih sering disebabkan oleh benda asing tajam atau terjadi sekunder nekrosis akibat penekanan terutama pada kasus-kasus yang mengalami inkarserata lama. Benda asing tulang dan tulang ikan mempunyai risiko yang paling tinggi menyebabkan perlukaan (76%) dan merupakan penyebab terbanyak terjadinya perforasi (8%). Benda asing metal yang tajam dan impaksi oleh makanan mempunyai risiko perlukaan 11% dan perforasi 2%. 7,9,11 Komplikasi utama benda asing berhubungan dengan perforasi yang terjadi baik secara primer maupun sekunder. Prognosis penderita tergantung kepada penyebab perforasi misalkan pada akut perforasi oleh benda tajam atau perforasi lambat akibat nekrosis kompresi. Perforasi akut yang diikuti dengan pasase udara, air liur atau partikel makanan ke jaringan sekitarnya disertai penyebaran mikroorganisme yang cepat akan menyebabkan terjadinya mediastinitis dan secara potensial dapat menyebabkan syok septik. Kebocoran akibat proses yang lambat akan menyebabkan reaksi inflamasi lokal untuk membatasi perluasan infeksi lebih sering menyebabkan terbentuknya abses mediastinal atau servikal. Pada perforasi sebesar lubang jarum, biasanya hanya terjadi reaksi lokal daerah perforasi. Perforasi esofagus pars torakal lebih berbahaya dibandingkan dengan esofagus pars servikal oleh karena mudah terjadi mediastinitis atau pembentukan fistula antara esofagus dengan trakea, bronkus utama, pleura, perikardium dan pembuluh darah besar. 7,9,11 Deteksi dini adanya perforasi sangat penting untuk prognosis. Adanya perforasi seharusnya dapat dideteksi dengan endoskopi segera setelah ekstraksi. Apabila perforasi tidak dapat dideteksi, timbulnya demam yang progresif, nyeri retrosternal, dan disfagia selama periode post ekstraksi dapat merupakan sinyal terjadinya perforasi. Pengamatan dengan endoskopi biasanya mudah apabila laserasi yang terjadi cukup besar. Benda asing yang terletak dalam dengan laserasi yang 205

206 meluas sampai ke lapisan otot, seringkali membuat pelaksana endoskopi kesulitan dan ragu untuk melakukan esofaguskopi ekstraksi. Pada kasus demikian dibutuhkan pemeriksaan radiografi leher dan dada untuk melihat adanya emfisema servikal atau mediastinal. 7,9,15 Penatalaksanaan perforasi harus dilakukan sebaik mungkin. Pengobatan konservatif dapat berupa pemberian cairan intravena dan antibiotik, penghentian makanan malalui mulut dan monitoring yang ketat. 7,9,15 Prognosis penderita dengan abses esofagus tergantung dari respon penderita terhadap antibiotik yang diberikan dan dapat menjadi keadaan yang mengancam jiwa jika penderita jatuh pada kondisi sepsis dan syok. Kematian biasanya disebabkan oleh perforasi dan komplikasi benda asing yang menimbulkan suatu komplikasi berupa infeksi dan abses. 7,9,15 Fistula aorta esofagus sangat jarang terjadi, tetapi ini merupakan komplikasi yang serius, dilaporkan hanya 9 dari 500 penderita dengan komplikasi ini yang dapat bertahan hidup. Secara klinis karakteristik fistula esofagus digambarkan sebagai triad Chiari yang meliputi nyeri pada dada bagian tengah, perdarahan dari arteri, adanya interval dimana pasien bebas dari keluhan. Setelah fistula terdeteksi, segera dilakukan torakotomi untuk mengeluarkan benda asing dan eksisi fistula untuk memperbaiki aorta dan esofagus. Striktur esofagus dan lesi yang menyerupai tumor merupakan komplikasi yang jarang terjadi pada orang dewasa. 7,9,15 III. Laporan Kasus Pasien dengan inisial IMS, laki-laki, usia 46 tahun, suku Bali, datang ke IGD RSUP Sanglah pada tanggal 25 Januari Dari anamnesis didapatkan pasien mengeluh adanya rasa sakit di tenggorokan setelah mengkonsumsi sup tulang babi sekitar 1 jam sebelum datang ke RS. Rasa sakit awalnya dirasakan seperti menusuk terutama saat pasien menelan, namun kemudian rasa sakit dirasakan memberat. Keluhan disertai rasa sulit untuk menelan. Pasien tidak bisa makan dan minum karena setiap makan dan minum pasien kemudian muntah. Batuk, pilek serta radang tenggorokan sebelumnya tidak ada, sesak, demam dan riwayat sakit gigi sebelumnya disangkal. Keluhan lain tidak ada. Dari pemeriksaan fisik didapatkan kondisi umum baik, dengan kesadaran kompos mentis, tekanan darah 120/80 mmhg, nadi 100x/.menit, pernapasan 24x/menit, temperatur aksila 37 0 C. Dari pemeriksaan THT-KL didapatkan kondisi 206

207 telinga dan hidung dalam batas normal. Mukosa faring merah muda tanpa adanya ekskoriasi. Tonsil T1-T1 dengan mukosa merah muda. Tidak terdapat post nasal drip. Pada pemeriksaan leher tampak kulit leher hiperemi, tidak ada nyeri tekan dan tidak ada krepitasi. Dari pemeriksaan laringoskopi indirek tidak tampak korpus alienum dan tidak terdapat tumpukan saliva. Rontgen servikal menunjukkan sangat mungkin korpus alienum di esofagus setinggi vertebra servikal ke-6. Rontgen dada menunjukkan kondisi cor dan pulmo tanpa adanya kelainan. Dilakukan pemeriksaan laboratorium dengan hasil WBC : 13,70 x 10 3, hemoglobin 13,93 g/dl, platelet 251x10 5, gula darah sewaktu 94 g/dl, serta komponen darah dan elektrolit dalam batas normal. Pada pemeriksaan fungsi hati dan ginjal dalam batas normal. Laboratorium menunjukkan adanya infeksi ditunjukkan dengan peningkatan jumlah leukosit. Gambar 3.1 Rontgen servikal menunjukkan adanya benda asing di esofagus. Pasien kemudian dipersiapakan untuk tindakan esofagoskopi. Diberikan cairan infus perenteral dengan normal saline 0,9%, dekstrose 5% dan asam amino dengan perbandingan 1:1:1 sebanyak 20 tetes/menit. Obat-obatan intravena berupa antibiotic seftriakson 1 gram, metil prednisolon 62,5 mg dan ranitidin 50 mg tiap 12 jam. Pasien kemudian dikonsulkan ke sejawat Interna dan Anestesi untuk kelayakan tindakan. Dari hasil konsultasi tidak didapatkan adanya kontraindikasi untuk dilakukan tindakan. 207

208 Pada tanggal 26 Januari 2017, dilakukan esofagoskopi pada pasien dengan temuan berupa adanya edema mukosa dan pus di sekitarnya pada daerah penyempitan krikofaring setinggi DGA 16. Esofagoskopi dihentikan karena kondisi mukosa esofagus yang masih edema. Pasien dirawat dengan abses esofagus et causa korpus alienum tulang babi di esofagus dan konsultasikan ke sejawat bedah thorax dan kardiovaskular (BTKV) serta direncanakan untuk tindakan esofagoskopi ekstraksi 4 hari kemudian. Adapun pasca operasi pasien dipuasakan dan terapi pasca operasi yang diberikan berupa antibiotik intravena seftriakson 1 gram dan metil prednisolon 62,5 mg, ranitidin 50 mg serta ketorolak tiap 12 jam dan metronidazol 500 mg tiap 8 jam serta dikonsultasikan ke sejawat gizi klinik. Sejawat BTKV menginstruksikan untuk dilakukan pemeriksan CT scan esofagus dan hasilnya yaitu tampak gambaran soft tissue swelling setinggi vertebra servikal ke-6 sampai vertebra torakal ke-1, tidak tampak gambaran air trapping, tidak tampak gambaran mediastinitis, tidak tampak jelas gambaran benda asing dan direncanakan eksplorasi esofagus untuk ekstraksi korpus alienum bila esofagoskopi gagal. Setelah perawatan selama 4 hari, dari anamnesis didapatkan pasien masih mengeluh adanya rasa sakit di tenggorokan, sedangkan demam, batuk, sesak, mual dan muntah tidak didapatkan. Pada pemeriksaan fisik THT kesan tenang dan pada pemeriksaan leher tidak didapatkan hiperemi, nyeri tekan dan krepitasi. Pasien kemudian dikonsulkan kembali ke sejawat Interna dan Anestesi untuk kelayakan tindakan. Dari hasil konsultasi tidak didapatkan adanya kontraindikasi untuk dilakukan tindakan. 208

209 Gambar 3.2 CT scan esophagus menunjukkan gambaran soft tissue swelling setinggi vertebra servikal ke-6 sampai vertebra torakal ke-1, tidak tampak gambaran air trapping, tidak tampak gambaran mediastinitis, tidak tampak jelas gambaran benda asing. Pada tanggal 30 Januari 2017 dilakukan rontgen servikal ulang menunjukkan korpus alienum di esofagus setinggi vertebra servikal ke-6. Kemudian dilakukan esofagokoskopi ekstraksi dengan temuan berupa serpihan tulang babi sepanjang kurang lebih 2 cm yang menancap pada esofagus di daerah penyempitan krikofaring setinggi DGA 16. Terdapat pus yang mengalir dari lokasi impaksi tulang dan sedikit darah serta tampak mukosa esofagus edema dan hiperemi. Dilakukan ekstraksi benda asing dan pembersihan pus serta darah dengan suction. Pasien dipasang nasogastric tube atau NGT pasca operasi. Adapun terapi pasca operasi yang diberikan berupa antibiotik intravena seftriakson 1 gr dan metil prednisolon 62,5 mg, ranitidin 50 mg serta ketorolak tiap 12 jam dan metronidazol 500 mg tiap 8 jam. Pasien diberikan diet cair via NGT. Dari sejawat BTKV menyarankan dilakukan esofagografi pada hari ke- 5 pasca operasi. 209

210 Gambar 3.3 Benda Asing Tulang Babi Pada tanggal 4 Februari 2017 dilakukan pemeriksaan esofagografi dengan hasil tidak tampak kelainan, tidak tampak ekstravasasi kontras dan tidak tampak fistula. Kondisi pasien baik dan stabil tanpa adanya keluhan. Hasil laboratorium menunjukkan adanya perbaikan dengan kadar leukosit normal yaitu sebesar 8,4x10 3. Pasien kemudian dipulangkan dengan pengobatan oral cefixime sirup 200 mg dan antasida sirup setiap 12 jam. Pasien disarankan untuk kontrol kembali ke poli THT- KL setelah 3 hari. Pada saat kontrol, keluhan sudah tidak dirasakan dan dari pemeriksaan pasien dalam kondisi normal. Gambar 3.4 Gambaran esofagogram. IV. Pembahasan Kejadian benda asing pada saluran cerna dapat terjadi pada berbagai usia. Komplikasi yang terjadi pada kasus benda asing pada saluran cerna lebih sering terjadi pada orang dewasa terutama jika benda asing berbentuk tajam seperti gigi 210

211 palsu berkawat atau serpihan tulang. Adanya trauma regional pada tempat tersangkutnya benda asing dapat menimbulkan suatu komplikasi berupa abses. 12,14 Pada pasien yang dilaporkan, terdapat benda asing yang tersangkut yang terlihat dari gambaran radiologi. Saat dilakukan esofagoskopi pada pasien ini didapatkan edema mukosa dan pus di sekitarnya pada daerah penyempitan krikofaring setinggi DGA 16. Pemeriksaan radiologi dapat mendeteksi adanya benda asing yang bersifat radioopak. 11 Pada pasien ini dilakukan pemeriksaan rontgen servikal dan terlihat adanya benda asing yang radioopak setinggi vertebra servikalis 6 dengan disertai abses di sekitarnya. Posisi tersebut sesuai dengan penyempitan esofagus di daerah krikofaring. CT scan esofagus dapat menunjukkan gambaran inflamasi jaringan lunak dan abses maupun gambaran benda asing yang tidak terlihat dengan foto rontgen. CT scan juga bisa untuk mengevaluasi ada atau tidak komplikasi setelah ekstraksi benda asing. 11 Pada pasien ini dilakukan pemeriksan CT scan dengan hasil yaitu tampak gambaran soft tissue swelling setinggi vertebra servikal ke-6 sampai vertebra torakal ke-1, tidak tampak gambaran air trapping, tidak tampak gambaran mediastinitis, tidak tampak jelas gambaran benda asing. Esofagoskopi dilakukan dengan mempertimbangkan keadaan klinis meliputi ukuran, bentuk, jenis dan lokasi anatomis benda asing serta sudah berapa lama tertelan. Bila benda asing gagal dikeluarkan pada saat pertama kali dikerjakan, maka dapat dilakukan esofagoskopi ulang setelah 2x24 jam 5,13,14 Saat dilakukan esofagoskopi pada pasien ini didapatkan edema mukosa dan pus di sekitarnya pada daerah penyempitan krikofaring setinggi DGA 16. Esofagoskopi dihentikan karena kondisi mukosa esofagus yang masih edema. Kemudian diberikan antibiotik spektrum luas dan antiinflamas serta direncanakan esofagoskopi dilakukan 4 hari kemudian dengan mempertimbangkan waktu penyembuhan mukosa esofagus. Beberapa penelitian menyebutkan abses akibat benda asing dapat muncul kurang lebih 2 hari setelah adanya benda asing yang tersangkut di esofagus. 15 Namun ada juga yang melaporkan terjadi abses setelah 4-19 hari. 14 Pada kasus ini edema masif terjadi kurang lebih 1 hari setelah adanya benda asing yang menyangkut di saluran cerna. Hal ini terjadi karena pasien melakukan berbagai manipulasi seperti memakan banyak nasi kepal dan banyak minum air sesaat setelah mengeluh nyeri 211

212 tenggorokan. Jika terdapat komplikasi yang lebih serius seperti perforasi esofagus, maka gejala dan tanda klinis akan nampak dalam 24 jam pertama. 14 Bila terdapat keluhan seperti rasa nyeri dan kesulitan untuk menelan yang ditunjang oleh riwayat tertelan benda asing disertai dengan demam dan peningkatan leukosit, maka perlu dipertimbangkan adanya komplikasi yang mungkin muncul. Pada pasien ini, terdapat leukosit yang mencapai 13,70 x10 3 yang merupakan kondisi leukositosis sebagai salah satu penanda adanya infeksi. 15 Regimen antibiotik yang diberikan pada infeksi dan abses tidak jauh berbeda. Harus dapat mengatasi bakteri aerob dan anaerob serta memiliki angka resistensi yang rendah. 6,11 Bakteri pada esofagus terdiri dari bakteri kokus gram positif, basil gram negatif dan anerob. Antibiotik spektrum luas sebaiknya digunakan untuk mengatasi berbagai jenis agen yang dapat menjadi penyebab infeksi tersebut. Beberapa peneliti menyebutkan pada penelitiannya tentang pilihan antibiotik yang biasa diberikan meliputi sefalosporin generasi kedua seperti cefuroxime atau betalactamase-resistant penisillin. Penggunaan obat-obat tersebut dibarengi dengan metronidazol. Variasi pemberian antibiotik tergantung pada respon klinis pasien dan kultur mikrobiologi serta tes sensitivitas. 5,14,15 Pemberian medikamentosa pada literatur sesuai dengan pada kasus ini, di mana penderita diberikan seftriakson intravena setiap 12 jam. Seftrikson adalah golongan sefalosporin generasi ketiga dengan sifat spektrum luas. Pemberiannya dilakukan bersamaan dengan metronidazol intravena setiap 8 jam untuk mengoptimalkan efek antibakteri terhadap bakteri aerob maupun anerob penyebab infeksi dan abses. Setelah dilakukan evaluasi kembali pada pasien pasca operasi, tidak ditemukan keluhan yang berulang. Pasien kemudian rawat poliklinis dan disarankan untuk control kembali ke poli THT-KL setelah 3 hari. Pada saat kontrol, keluhan sudah tidak dirasakan dan dari pemeriksaan pasien dalam kondisi normal. Pasien disarankan untuk kontrol bila terdapat adanya keluhan. 212

213 V. Kesimpulan Dilaporkan satu kasus abses esofagus akibat adanya benda asing berupa tulang babi yang tersangkut di esofagus pada pasien laki laki yang berusia 46 tahun. Pada kasus ini dilakukan esofagoskopi sebanyak 2 kali disebabkan pada esofagoskopi pertama didapatkan penyulit, yaitu adanya edema masif pada mukosa esofagus, kemudian dilakukan esofagoskopi kedua untuk ekstraksi benda asing dan pemberian antibiotik dengan hasil penyembuhan yang baik. 213

214 DAFTAR PUSTAKA 1. Ratcliff MK. Esophageal Foreign Bodies. American Family Physician. 1991; 4(3): h Ekim H. Management of Esophageal Foreign Bodies: A Report on 26 Patients and Literatur Review. Estern Journal of Medicine. 2010; 15: h Ashraf O. Foreign body in the esophagus: a review. Sao Paulo Med J. 2006; 124(6): h Tihan D, Trabulus D, Altunkaya A, Karaca S, Cihan A, Alis H. Esophageal perforation due to inadvertent swallowing of a dental prosthesis. Turk J Gastroenterol. 2012; 22(5): h Kolegium Ilmu Kesehatan THT-KL. Benda Asing. Dalam: Modul Esofagus. Edisi ke Yang JY, Deutsch ES, Reilly JS. Bronchoesophagology. Dalam: Snow JB, MD & Ballenger, JJ. MD. Penyunting: Ballenger s Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery. Edisi ke-16. Ontario: BC Decker Inc. 2003; h Vollweiler JF, Vaezi MF. The Esofagus Anatomy, Physiology and Diseases. Dalam: Cummings, CW. Penyunting: Otolaryngology Head & Neck Surgery. Edisi ke-4. Elsevier Mosby. Philadelphia: 2005; h L Intzenich CR. Esophageal Disorders. Dalam: Bailey, BJ. Johnson, JT. Newlands, SD. Penyunting: Head & Neck Surgery Otolaryngology. Lippincott Williams & Wilkins. Philadelphia. Edisi ke ; h Hasselt V, Andrew C. Esophageal perforation and neck abscess from ingested foreign bodies: treatment and outcomes. Ear Nose Throat Journal. 2003; 82 (10): h Snell Richard S Anatomi Klinik Edisi 6. Jakarta: EGC. 11. Rooks V. Esophageal Foreign Body Imaging. Meds Health J. 2004; 10: h American Society For Gastrointestinal Endoscopy, Guideline for the management of ingested foreign bodies. 2011; 73(6) 13. Pinto R, Pereira P, Macedo G. Endoscopic management of a delayed diagnosed foreign body esophageal perforation. J Port Gastrenterol. 2012; 18 (3): h Soin D, Garg R, Aggarwal S, Kajal KS. Foreign Body Oesofagus With Abscess. Int J Pharm Pharm Sci. 2013; 5 (1): h.1-2.

215 15. Chen WC, Lee FP, Lee CM, Chen CM. Esophageal Foreign Body: A Case Report. J Exp Clin Med. 2011; 32: h

216 PENATALAKSANAAN KELAINAN KANTUNG MATA (BLEPHAROPLASTI) Oleh Agus Rudi Astutha Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RS Sanglah Denpasar 1. PENDAHULUAN Mata merupakan komponen vital pada keseimbangan dan prioritas pada kosmetik daerah wajah yang memegang peranan sangat penting pada estetika daerah wajah. Kelainan kantung mata adalah salah satu masalah yang kerap dihadapi terutama oleh banyak wanita. Tetapi meskipun bukan termasuk masalah kesehatan yang serius, hal ini dapat menurunkan tingkat kepercayaan diri seseorang, karena wajah menjadi terlihat kuyu dan tidak kelihatan segar. Hal ini dikarenakan kerutan di kulit sekitar mata lebih cepat timbul dibandingkan kulit bagian lainnya, disebabkan oleh gerakan wajah yang terus menerus seperti tersenyum, mengedipkan mata, dan mengerutkan dahi, sehingga memberikan tekanan pada kulit yang tipis dan peka ini. Proses penuaan secara alami akan berlangsung sekitar usia tigapuluhan. Hal ini disebut proses penuaan intrinsik atau inheren yang tergantung pada warisan genetik seseorang. Hilangnya jaringan lemak merupakan penyebab penting pada proses penuaan fisik pada wajah. Proses penuaan juga tergantung pada faktor eksternal seperti sinar ultraviolet yang terik, gerakan ekspresi wajah yang berulang yang menyebabkan hilangnya jaringan lemak terutama sekitar mata, faktor gravitasi, merokok dan bahkan posisi tidur dapat berpengaruh pada perubahan wajah pada proses penuaan. 1,2,3,4 Blepharoplasti merupakan salah satu tindakan estetik yang paling sering dilakukan. Blepharoplasti adalah suatu tindakan operasi untuk memperbaiki fungsi ataupun kosmetik kelopak mata atas dan bawah. Blepharoplasti memegang peranan penting pada peremajaan daerah wajah dengan hubungan yang langsung tampak pada alis dan dagu. Istilah blepharoplasti diciptakan oleh Karl Ferdinand von Grafe pada tahun 1818 ketika teknik tersebut digunakan untuk memperbaiki deformitas yang disebabkan oleh kanker pada kelopak mata. Prosedur bedah pada kelopak mata dikatakan berasal dari Arab pada abad kesepuluh. Pada tahun 900an deformitas kelopak mata berfokus pada ptosis kelopak mata atas. Pada tahun 1844 Sichel membedakan antara 2 jenis ptosis kelopak mata berdasarkan etiologi

217 atonik atau lemak (pseudoptosis). Pada tahun 1874 Merkel mendapatkan bahwa pembengkakan lemak periorbital dikarenakan atrofi pada septum orbital. Pada tahun 1899 Schmidt-Rimpler mengemukakan istilah hernia lemak pada protusi kelenjar lemak dari kelopak mata. Pada tahun 1907 C.C. Miller pertama kali menggambarkan insisi pada kelopak mata bawah saat proses pengeluaran lipatan kulit yang menyerupai kantung. Bourquet pada tahun 1928 menggambarkan anatomi dari kelenjar lemak periorbital dan mengidentifikasi beberapa herniasi pada struktur tersebut. Bourquet yang pertama kali mendapatkan bahwa terdapat kompartemen lemak pada kelopak mata atas sebanyak dua buah dan pada kelopak mata bawah sebanyak 3 buah. Selain itu dilaporkan pula tindakan pengeluaran lemak pada kelopak mata bawah dengan pendekatan transkonjungtival. Pada tahun 1928 Madame A. (Suzanne) Noel menggambarkan elemen yang bervariasi pada proses standar insisi blepharoplasti. Tiga tahun kemudian Joseph menggambarkan variasi dari design insisi kulit pada kasus pengeluaran jaringan kelopak mata yang berlebih. 1,2,3,5 Pada bidang Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher kebanyakan tindakan yang dilakukan adalah blepharoplasti untuk kantung mata pada kelopak mata bawah. Berikut ini akan lebih banyak dibahas mengenai blepharoplasti kelopak mata bagian bawah (lower eyelid blepharoplasty). KAJIAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Kelopak Mata Anatomi Kelopak Mata Atas Muskulus oblik superior terdapat diantara prelevator dan bagian medial kompartemen lemak pada kelopak mata atas dan sangat berisiko saat proses tindakan pengeluaran yang terburu-buru dari kompartemen lemak bagian medial. Penetrasi yang kuat dan berlebih pada septum orbital bagian medial atau trauma iatrogenik saat tindakan bedah dapat merusak tendon muskulus oblik superior, selubung fasia, saraf troklea atau intratroklea yang mempersarafi kumpulan otot tersebut. Terlukanya muskulus levator atau aponeurosisnya dapat terjadi selama insisi atau eksisi pretarsal orbicularis atau ketika insisi septum orbita dan dapat menyebabkan terjadinya ptosis pada kelopak mata. Topografi anatomi kelopak mata dan alis mata digambarkan pada gambar 1 dan potongan sagital kelopak mata atas tampak pada gambar 2. Pada gambar 3, 4, 5, dan 6 digambarkan masing-masing yaitu muskulus pada periorbital, komponen orbital postseptal, 5,6

218 Gambar 1. Topografi anatomi kelopak mata dan alis mata 6 Gambar 2. Penampang sagital kelopak mata atas 6

219 Gambar 3. Muskulus periorbital 6 Gambar 4. Kompartemen orbital postseptal 6 Gambar 5. Pendekatan suspensori orbital 6

220 Gambar 6. Lipatan kelopak mata atas Anatomi Kelopak Mata Bawah Kelopak mata dapat dibagi menjadi lamela. Lamela anterior terdiri dari kulit dan otot orbikularis okuli. Kulit pada kelopak mata merupakan kulit yang paling tipis di antara kulit seluruh tubuh, dan ketebalan otot orbikularis bervariasi. Lamela posterior terdiri dari lempengan tarsal, fasia kapsulopalpebra dan konjungtiva palpebra. Fasia kapsulopalpebra merupakan bagian dari retraktor kelopak mata bagian bawah dan merupakan perpanjangan dari otot rektus inferior. Lamela medial mengacu pada septum orbital. 7 Anatomi yang relevan pada kelopak mata bawah antara lain tendon kantus lateral, sistem drainase lakrimalis, dan muskulus oblik inferior dan hubungannya dengan jaringan lemak orbital. Anatomi kelopak mata bawah tampak ada gambar 7 di bawah ini. 5 Gambar 7. Anatomi kelopak mata bawah 7

221 Muskulus oblik inferior berlokasi di antara kompartemen jaringan lemak medial dan sentral, yang dapat terluka saat pengeluaran yang agresif jaringan lemak pada area ini. Otot ini berasal dari lateral hingga muara duktus nasolakrimal dengan beberapa serat yang timbul dari fasia yang menutupi kantung lakrimal. Oblik inferior yang terletak di bagian belakang dan bergabung dengan lapisan menuju ke arah permukaan depan muskulus rectus inferior dan membentuk ligamentum suspensorium Lockwood. Muskulus oblik inferior mengelevasi dan mengabduksi bola mata, dan ketika mengalami injuri akan berakibat pandangan diplopia ke arah atas. 5 Retraktor kelopak mata bagian bawah (Fasia kapsulopalpebral dan muskulus tarsal inferior) berlokasi pada bagian posterior bantalan lemak pada kelopak mata bagian bawah. Struktur ini dapat mengalami kerusakan saat tindakan eksisi lemak yang tidak tepat. 5 Suplai perdarahan pada kelopak mata bagian bawah terdapat banyak anastomosis antara sistem arteri karotis internal dan eksterna. Arteri-arteri utama termasuk diantaranya dorsum nasi, angular, infraorbital, fasial transversus, zygomaticofasial dan palpebra medial. Untuk perspektif tindakan pembedahan, daerah antara orbital septum dan orbicularis relatif avaskular. Bagaimanapun juga, tindakan hemostatik yang teliti sangat diperlukan ketika proses diseksi anteroinferior (seperti pada transposisi lemak) atau posterior (pada prosedur rutin akses ke kantung lemak). 7 Persarafan sensorik kelopak mata bagian bawah berasal dari cabang nervus infraorbita, cabang terminal bagian maxila dari nervus trigeminal. Persarafan motorik melalui nervus oculomotorius dan nervus fasial Kompartemen Lemak Seperti yang disebutkan di atas oleh Bourquet yang menggambarkan dua kompartemen lemak yang terpisah pada kelopak mata bagian atas, satu terletak di antara ligamen medial yang melekat pada troklea ke tepi oblik superior. Kompartemen lemak bagian medial dan kompartemen kedua terletak lebih lateral dan superior yang terbentang antara troklea dan kelenjar lakrimal merupakan kompartemen lemak prelevator. Bourquet juga mengidentifikasi 3 kompartemen lemak pada kelopak mata bagian bawah dipisahkan oleh septum muskulus atau fibrus. 5

222 Baru-baru ini Niechajev dan Ljungqvist menggambarkan lemak periorbita memiliki variasi individu secara luas, dan ditemukan pada 44% dari pasien memiliki 3 kompartemen lemak yang terpisah pada kelopak mata bagian atas, dimana 56% lainnya memiliki lemak sentral yang merupakan ekspansi medial tambahan dari bantalan lemak lateral. Kompartemen lemak medial pada kelopak mata bagian atas dan bagian bawah terdiri dari lemak yang sedikit lebih padat, lebih banyak fibrus, lebih banyak vaskular dan memiliki warna lebih terang daripada lemak pada bagian kompartemen lainnya. 5 Berdasarkan deskripsi dari Bourquet, pada kelopak mata bagian bawah, kompartemen lemak bagian medial terletak pada ligamen medial dan muskulus oblik inferior. Di sebelah lateral muskulus oblik inferior, secara anatomi terdapat kantong lemak yang sangat besar yang dipisahkan menjadi kompartemen sentral dan lateral oleh ekspansi fasia. Serat arkuata yang membatasi ini terbentang dari muskulus oblik inferior atau muskulus rektus inferior hingga tepi orbital. Kompartemen yang lebih kecil di bagian lateral terdapat di antara serat arkuata dan ligamen lateral, dan merupakan sisi yang paling sering terdapat lemak yang terpotong tidak sempurna. 5 Beard and Berry percaya bahwa hanya terdapat 2 kompartemen lemak pada kelopak mata bagian bawah yaitu kantong lemak sentral dan lateral. Di sisi lain, Hugo dan Stone mengemukakan bahwa tidak ada kompartemen sejati pada lemak intraorbital, berdasarkan studi dimana injeksi zat pewarna dapat menyebar dengan cepat pada seluruh jaringan lemak. Barker mengulangi percobaan Hugo dan Stone di ruang operasi dan mendapatkan kesimpulan yang berbeda yaitu mendapatkan 5 kantong lemak yang terpisah pada kelopak mata. 5 Dari segi pembedahan, kompartemen lemak memegang peranan penting hanya jika insisi minimal dilakukan pada septum orbital. Walaupun dengan insisi yang sangat kecil, jika terdapat cukup lemak yang dibebaskan dari perlekatan septal yang berdampingan sehingga area pseudoherniasi lebih tampak jelas dengan penekanan ringan bola mata. Kebanyakan kelalaian akibat pembedahan (pseudoherniasi lemak residual) merupakan hasil dari insisi orbitoseptal yang tidak terbentang jauh dari sisi lainnya Kelainan Kelopak Mata Secara tradisional, istilah blepharokalasis dan dermatokalasis telah digunakan untuk kelainan pada kantung mata. Blepharokalasis berasal dari bahasa

223 Istilah ini diciptakan pertama kali oleh Fuchs pada tahun 1896 yang mengacu terbatas pada kondisi dimana terjadi penyakit secara rekuren karena edema nonspesifik pada kelopak mata yang menghasilkan penipisan dan kemerahan pada kulit dibawahnya. Hal ini terjadi pada orang-orang yang menderita beberapa episode pembengkakan pada kelopak mata yang kemungkinan karena angioedema, dan menunjukkan tanda penipisan pada kulit kelopak mata bagian atas, blepharoptosis, lipatan pseudoepikantal dan disinsersi dari tendon lateral. Blepharokalasis sejati sangat jarang dan terjadi pada wanita usia muda hingga pertengahan. Dupuis dan Rees mendapatkan bahwa Panneton pada tahun 1936 menghubungkan kejadian ini secara familial. Bergin dkk mengidentifikasi dua bentuk kelainan, hypertrofi dan atrofi. Hal ini digambarkan juga oleh Collin dan Jordan mengenai penanganan blepharokalasis secara pembedahan. 5 Istilah dermatokalasis diusulkan oleh Fox dan Beard untuk menjelaskan keadaaan yang secara alami disebut ptosis adiposa oleh Sichel. Istilah awalnya salah, dimana kulit yang berlebihan dan tidak berguna dimana ada atau tidak ada hubungannya dengan komponen heniasi lemak. Dermatokalasis kelopak mata menggambarkan deformitas kosmetik berupa kantong pada kelopak mata. Dermatokalasis kebanyakan terjadi pada usia pertengahan ketika elastisitas kulit berkurang sebagai akibat proses penuaan yang menyebabkan kulit kelopak mata yang berlebihan dan tidak berguna, dimana yang paling banyak terjadi pada kelopak mata atas dan dapat dikarenakan oleh ptosis dari alis yang menyebabkan kelainan letak kulit dibawahnya Epidemiologi Restorasi periorbita aging untuk menjadi lebih segar dan penampilan lebih muda menjadi salah satu tindakan peremajaan kosmetika daerah wajah yang paling banyak dilakukan. Blepharoplasty merupakan salah satu dari tindakan yang sering dilakukan yaitu sekitar kasus yang tercatat pada tahun 2014, yang menempati urutan keempat dari seluruh tindakan. Kebanyakan tindakan yang dilakukan adalah pembedahan kelopak mata bagian bawah yang berhubungan dengan lingkaran hitam disekitar mata dan tampak letih Etiologi Mata merupakan fokus utama saat kita kontak temu dengan orang lain. Perubahan kecil dapat tampak pada mata. Perubahan yang berhubungan dengan umur dapat tampak pada sekitar mata. Hilangnya elastisitas dan kekencangan kulit

224 pada kulit yang menyebabkan timbulnya jaringan yang berlebihan dan tidak berguna pada kelopak mata atas dan kelopak mata bawah. Terdapat penurunan lemak subkutan. Garis dan kerutan akan tampak pada daerah terutama bagian ujung lateral mata yang disebut crow s feet. Relaksasi dari jaringan ikat menyebabkan prolaps lemak. Hal ini bisa terjadi perenggangan yang berlebih pada septum orbita dan menyebabkan kelemahan aponeurosis levator yang mengarah ke ptosis Gejala Klinis Pada tahun 1951, Castanares mendefinisikan elemen dasar dari deformitas kantung kelopak mata antaralain ptosis alis, jaringan kulit-otot yang berlebihan dan tidak berguna, pseudoherniasi dari lemak infraorbita dan hipertrofi otot orbikularis oculi kelopak mata bagian bawah. Seorang pasien dapat memiliki satu atau lebih masalah tersebut dan dapat mengoreksinya dengan blepharoplasti. 5 Beekhuis menjelaskan beberapa abnormalitas yang tidak berespon baik dengan tindakan blepharoplasti standar antara lain garis tawa atau keriput yang terbentang dari kantus lateral keluar hingga tepi orbita, kulit keriput halus atau seperti kertas krep yang merupakan akibat sekunder dari aksi berlebihan otot orbikularis dan degenerasi aktinik, garis gelap pada kelopak mata bagian bawah yang disebabkan karena pigmentasi yang berlebihan, dan bantalan pada pipi. Beberapa hal tersebut dideteksi saat evaluasi yang berhubungan dengan tindakan pembedahan Diagnosis Gejala pasien yang menjalani tindakan blepharoplasti bervariasi. Hal ini didapatkan pada anamnesis dan pemeriksaan fisik sebelum tindakan dilakukan. Dari anamnesis pasien mengeluhkan perasaan yang berat pada kelopak matanya, terbatasnya lapangan penglihatan khususnya saat melihat ke atas, kelelahan, penekanan pada bulu mata, kadang-kadang pandangan terhalang karena bulu mata, sakit kepala yang berhubungan dengan mengangkat berulang alis mata. Pada kelopak mata bagian bawah tampak gambaran kelelahan tanpa rasa lelah, berupa kantung karena prolaps lemak, kerutan dan kulit yang longgar merupakan keluhan pasien yang menjadi alasan utama untuk mengadakan perubahan dibidang estetika. Kadang pasien mengeluh ketika mereka melihat ke arah bawah terdapat sedikit ganjalan di lapangan pandangan, tetapi sering kali pasien datang dengan 2

225 Pemeriksaan fisik yang dilakukan seharusnya terdiri dari pemeriksaan lengkap mata termasuk diantaranya pemeriksaan tajam penglihatan, lapang pandang, mobilitas dan motilitas otot okular, sensasi kornea, penutupan kelopak mata, dan Shirmer s Test untuk mengeliminir mata kering. Pada Shirmer s Test konjungtiva diberikan anestesi dengan tetes mata paracain. Alat strip Shirmer s Test diletakkan di lateral inferior mata. Basah pada strip kurang dari 10mm dalam waktu 5 menit menunjukkan kondisi mata kering. Pemeriksaan khusus untuk blepharoplasti seharusnya dilakukan dengan posisi duduk. Hal-hal yang harus didokumentasikan dengan baik antara lain adanya ptosis pada alis, ukuran celah pada kelopak mata atas, jumlah kulit yang berlebihan, herniasi lemak dan kelenjar air mata, dan adanya tumor kulit pada kelopak mata. Adanya ptosis pada kelopak mata bagian atas harus diketahui. Pada kelopak mata bagian bawah harus diperhatikan khususnya elastisitas kelopak mata dengan melakukan snap test untuk memastikan diperlukannya pengencangan secara horisontal. Tes ini dilakukan dengan menarik kelopak mata bagian bawah sejauh lebih dari 6mm dari bola mata, hal ini menggambarkan kelemahan kelopak mata bagian bawah. Perlu diukur penampakan sklera dan kelopak mata bagian bawah. Hal yang perlu diperhatikan pula vektor atau orbit yang negatif atau positif. Pada tampilan secara lateral, sebuah garis ditarik dari tepi supraorbita ke tepi infraorbita yang menyentuh kornea. Apabila kornea terdapat dibelakang garis tersebut, hal ini disebut vektor positif seperti enophtalmus. Ketika kornea terdapat di anterior garis tersebut dan tampak mata yang prominen serta terdapat kedudukan bola mata yang tidak baik, hal ini disebut vektor negatif. Diskusi dengan pasien tentang tindakan yang akan dilakukan yang berhubungan dengan hasil dan komplikasi tindakan harus dilakukan dengan detail. Sebuah foto sebelum tindakan harus dilakukan Penatalaksanaan Mata merupakan bagian penting dari estetika pada wajah yang memegang peranan penting dalam penampilan untuk tampak lebih muda. Blepharoplasti mengacu pada eksisi kulit dan otot kelopak mata yang berlebihan dengan atau tanpa eksisi dan manipulasi pada lemak orbita untuk tujuan estetika. Blepharoplasti dilakukan untuk meningkatkan penampilan pasien. Oleh karena itu, motivasi dan ekspektasi dari pasien harus dipahami lebih mendalam. 2,9

226 2.3 Blepharoplasti Tujuan utama dari tindakan blepharoplasti adalah mencapai bentuk alis sesuai level yang tepat, rapi, kelopak mata tampak tersamar dari jaringan parut yang terbatas dan tonjolan lemak yang terkoreksi tanpa menciptakan mata yang sangat lebar. 2 Adapun indikasi dari tindakan blepharoplasti antara lain : Blepharoplasti kelopak mata atas Fungsional Kosmetik Keduanya 4. Blepharoplasti kelopak mata bawah Dermatokalasis Hipertrofi orbikularis Sklera terlihat Negative vector Lower eyelid laxity Ektropion Entropion Tear through deformity Double convexity deformity Festoons Malar mounds or bags Blepharoplasti Kelopak Mata Atas Variasi dari blepharoplasti kelopak mata atas antara lain eksisi kulit saja, eksisi kulit dan eksisi parsial dari lipatan lemak yang berlebih, koreksi ptosis dengan blepharoplasti serta koreksi ptosis pada kelenjar lakrimal. 2 Adapun tahapan prosedur tindakan blepharoplasti kelopak mata atas sebagai berikut: dilakukan penandaan dengan marker pada saat pasien belum teranastesi, dan posisi pasien duduk. Pada orang Asia ditentukan dahulu apakah akan dilakukan single eyelid fold atau double eye lid fold. Pembiusan dilakukan dengan sedasi maupun anestesi umum tergantung usia, kontra indikasi untuk pembiusan dalam narkose umum atau tidak. Desinfektan dengan larutan antiseptik dan lapangan operasi di persiapkan dengan linen steril. Dilakukan infiltrasi dengan xylokain 2%, 1: epinefrin dalam spuit 1 ml dan jarum no. 27, diantara

227 penandaan dan infiltrasi sempurna dilakukan insisi sesuai penandaan dan perencanaan gambar. Lipatan supratarsal ditandai sebagai garis kurva 9-10mm di atas tepi kelopak mata pada pertengahan garis pupil. Pada tepi medial dan lateralnya seharusnya sekitar 7 mm di bawah tepi kelopak mata. Pada beberapa pasien, kadang diperlukan sedikit pengambilan dari ototnya. Eksisi lemak dilakukan pada pasien-pasien yang memiliki kelopak mata yang prolaps, yang diawali dengan mengidentifikasi orbital septum, yang berada dibawah m. orbikularis okuli dan memiliki kantong lemak medial dan sentral. Lebih baik mengangkat lemak daerah sentral dahulu diikuti daerah medial. Sebelum diangkat, lemak disuntik dahulu dengan lokal anestesi sebelum diklem menggunakan hemostat kecil, kemudian dikauter. Lemak yang diambil hanya lemak yang mudah muncul pada permukaan luka. Pengambilan lemak yang berlebihan menyebabkan retraksi kelopak mata dan tepi orbita yang overhang. Setelah diyakinkan tidak terdapat perdarahan, maka dilakukan penjahitan dangan menggunakan prolene 6-0. Luka ditutup dengan kassa dan plaster. Muskulus orbikularis seharusnya ikut serta saat menjahit kulit, membuat otot orbikularis dan kulit segaris. Celah kelopak mata atas didekatkan dengan aponeurosis levator dengan otot orbikularis dan kulit sekitar tepi tarsal bagian atas. Pada gambar 8 hingga 10 masing masing digambarkan pasien dengan kelopak mata atas yang menggantung, marking pada kelopak mata atas, pendekatan kembali otot levator yang dehiscence, dan pasien dengan blepharoplasti kelopak mata atas dengan koreksi ptosis. 2,10 (A) (B) Gambar 8. (A). Pasien dengan kelopak mata atas yg menggantung (B). Marking pada kelopak mata atas

228 Gambar 9. Pendekatan kembali otot levator yang dehiscence Gambar 10. Blepharoplasti kelopak mata atas dengan koreksi ptosis Blepharoplasti Kelopak Mata Bawah Blepharoplasti kelopak mata bawah dapat meremajakan dan mengembalikan penampilan menjadi awet muda. Prinsip dasar blepharoplasti kelopak mata bawah antara lain untuk mengurangi jumlah kulit dan jaringan lemak yang berlebihan, mengurangi kelemahan horisontal, dan seharusnya sklera pada bagian inferior tidak tampak. Blepharoplasti kelopak mata bawah dapat dilakukan dibawah lokal anestesi, tetapi kebanyakan para ahli bedah memilih anestesi umum karena injeksi anestesi lokal kedalam kelopak mata bagian bawah dapat mengaburkan anatomi dari jaringan lunak. 2 Pasien yang ideal untuk dilakukan tindakan blepharoplasti kelopak mata bawah (gambar 11 dan 12) adalah pasien yang sehat dan memiliki alasan ekspektasi yang kuat dan dengan temuan klinis yang mudah untuk dikoreksi secara pembedahan. Biasanya diawali dengan menentukan motivasi dan harapan dari pasien. Tindakan blepharoplasti kelopak mata bawah dapat mengoreksi pseudoherniasi lemak orbita, kulit dan lemak yang berlebih, mild festooning, dan deformitas saluran air mata. Apabila fokus utama pasien pada kulit pigmentasi, fine rhytids, dan kantung malar yang besar, ahli bedah harus menjelaskan bahwa

229 dermatokalasis merupakan alasan paling banyak pada pasien yang melakukan tindakan blepharoplasti kelopak mata bagian bawah. 7 Gambar 11. Blepharoplasti kelopak mata bawah Gambar 12. (A) Kandidat yang baik untuk blepharoplasti 18. Kandidat yang buruk untuk blepharoplasti Pemeriksaan kelemahan kelopak mata memerlukan perhatian khusus, apabila kelemahan kelopak mata ini luput dari pemeriksaan preoperatif maka dapat menyebabkan hasil yang tidak memuaskan pasien dan menimbulkan komplikasi post operatif. Kelemahan kelopak mata dapat dievaluasi dengan dua tes klinis yaitu snap test dan distraction test (Gambar 13). Snap test menggambarkan stabilitas kantus dan kekuatan orbikularis dan tarsal. Tes ini dilakukan dengan menarik secara lembut kelopak mata bawah terhadap tepi orbita kemudian melepaskannya. Sklera yang tampak jelas atau kembali lambat ke posisi istirahat (lebih dari satu detik) mengindikasikan jaringan pendukung kelopak mata yang buruk. Distraction test dikerjakan dengan menggenggam kelopak mata bawah dan menariknya menjauhi bola mata, bila lebih dari 10mm menunjukkan jaringan pendukung kelopak mata yang buruk. Apabila snap test dan distraction test positif, merupakan kegagalan memenuhi jaringan pendukung kelopak mata sehingga dapat menyebabkan ektropion, epifora, atau keratitis karena pajanan. 7

230 Pada prosedur tindakan pembedahan kosmetik, fotografi dan informed consent sangat penting. Fotografi standar (Gambar 14) yang dilakukan untuk tindakan pembedahan kelopak mata antara lain foto seluruh wajah dan foto jarak dekat. Foto jarak dekat seharusnya ditampilkan dari tepat di bawah alis mata hingga ke level ala nasi. Foto jarak dekat harus menampakkan dari arah frontal, frontal dalam posisi pandangan ke atas, frontal dengan mata tertutup, arah oblik bilateral, dan profil bilateral. Foto seluruh wajah arah frontal dan oblik bilateral juga diperlukan. 7 Gambar 14. Foto standar untuk tindakan blepharoplasti 7 Adapun tahapan tindakan blepharoplasti kelopak mata bawah antara lain: sayatan dengan pendekatan transkonjungtival, transkutaneus ataupun kombinasi seperti transkonjungtival untuk reposisi atau eksisi jaringan lemak, memperketat kantus lateral, dan peremajaan secara laser resurfacing atau chemical peel. 2,10 Pendekatan Transkonjungtival Blepharoplasti transkonjungtival ideal dilakukan pada pasien usia muda (15-35 tahun) tanpa adanya kelainan lamela anterior, dan pasien yang tidak ingin terlihat jaringan parut atau dengan mata berkantung, bengkak dan lingkaran hitam di bawah mata tanpa adanya kulit keriput dan pada pasien dengan hipertiroid. Tindakan ini dapat dikombinasi dengan peremajaan kulit. Pendekatan transkonjungtival (Gambar 15) dapat dibagi menjadi 2 yaitu pendekatan preseptal dan pendekatan postseptal. Pendekatan preseptal (Gambar 16) meliputi diseksi

231 inferior area avaskular diantara septum orbita dan muskulus orbikularis oculi. Pendekatan postseptal lebih langsung berhubungan dengan lemak orbita melalui konjungtiva dan retraktor kelopak mata bawah yang dekat dengan fornik konjungtiva. 2,7 Gambar 15. Sebelum dan sesudah blepharoplasti transkonjungtival. 7

232 Gambar 16. Pendekatan transkonjungtiva preseptal Gambar 17. Pendekatan transkonjungtiva postseptal Setelah pasien tersedasi, tetrakain topikal 2% diberikan pada fornik inferior kedua mata. Anestesi lokal kemudian diinjeksikan di daerah subkonjungtival pada kelopak mata bawah. Setelah anestesi terpenuhi digunakan hook dobel yang tajam untuk merenggangkan kelopak mata bawah. Kauter bipolar dapat digunakan untuk insisi untuk secara konservatif mengkauter sisi sentral konjungtiva. Sebuah insisi pada konjungtiva dibuat sepanjang 2mm di inferior tarsus. Kemudian konjungtiva dibuka ke arah lateral dan medial. Retraktor kelopak mata inferior terpotong secara tajam dengan sebuah gunting kecil. Konjungtiva dan otot retraktor inferior kemudian dijahit dengan benang 5.0 untuk menyediakan proteksi dan traksi kornea. Kemudian muskulus orbikularis okuli dipisahkan dari septum orbita inferior ke tepi orbita. Ahli bedah seharusnya mengamati lebih dekat foto preoperatif dan temuan intraoperatif untuk mengetahui lokasi yang tepat untuk insisi septum dan pendekatan ke bantalan lemak orbita. 7

233 Gambar 18. Pendekatan transkonjungtival preseptal A. Kauter bipolar digunakan untuk kauterisasi pada bidang insisi, B. Retraksi pada flap konjungtiva menyebabkan kontertraksi dan proteksi kornea, C. Pseudoherniasi lemak secara lembut diambil, dikauter dan dipotong D. Tahap akhir reseksi lemak, kulit ditarik ke arah inferior limbus Pendekatan Transkutaneus (skin-muscle flap) Pendekatan transkutaneus (Gambar 19) diindikasikan pada pasien-pasien dengan kelainan lamela anterior, dan biasanya pada orang tua dengan kulit, otot atau keduanya pada kelopak mata yang berlebihan. Para ahli bedah menghindari teknik ini karena memiliki risiko pasca bedah yang lebih tinggi yaitu terjadinya abnormalitas posisi kelopak mata. 7,10 Setelah anestesi yang tepat, infiltrasi lokal anestesi dilakukan ke dalam muskulus orbikularis okuli. Insisi kulit dilakukan dengan ukuran 2mm di inferior hingga tepi kelopak mata bawah. Insisi meluas dari tepat dibawah punktum kelopak mata bawah yang hingga posisi 6mm di lateral hingga lateral kantus (Gambar 20). Kemudian dengan gunting bengkok dilakukan untuk menyisihkan muskulus orbikularis pada sisi lateral insisi. Gunting tumpul diposisikan dibelakang muskulus pada lateral insisi, kemudian dilakukan elevasi skin-muscle flap pada septum orbita (Gambar 21). Diseksi dilakukan pada tepi orbita inferior menuju inferior kemudian superior dari insisi. Insisi subsiliar kemudian dilakukan dengan gunting secara miring untuk menjaga bagian pretarsal dari muskulus

234 orbicularis oculi sehingga pada akhirnya meminimalisir risiko postoperatif malposisi pada kelopak mata bawah. 7 Akses menuju kompartemen lemak orbita diperoleh melalui celah kecil di area septum orbita. Palpasi yang lembut pada bola mata pada herniasi lemak orbita melalui celah tersebut. Kauter bipolar digunakan untuk mengkauterisasi untuk eksisi bantalan lemak. Prosedur ini dapat dilakukan untuk kompartemen lemak lateral, tengah dan medial. 7 Ketika transposisi lemak dilakukan, insisi di daerah inferior infraorbita dilakukan dan suatu kantung dibentuk pada daerah supraperiosteal dari alur nasojugal. Celah kecil dibuat pada septum orbita untuk mencapai akses kantung lemak medial. Setelah terisolasi akan ditransposisi melalui tepi orbita pada daerah suborbikularis untuk menghapus jaringan lunak yang depresi. Lemak yang telah transposisi kemudian dijahit pada periosteum dengan menggunakan benang yang dapat diserap 6-0. (Gambar 22). 7 Pada proses penyelesaian reseksi lemak atau transposisi lemak, skin-muscle flap direposisi terlebih dahulu. Pada pasien yang teranestesi, tekanan satu jari pada bagian medial daerah melolabial untuk menciptakan efek regang yang maksimal. Jika pasien sadar, pasien diminta membuka mulut dan melihat ke atas. Kemudian insisi pada segmen inferior dilakukan langsung pada kantus lateral untuk menentukan besarnya kulit yang berlebihan yang akan dipotong. Jahitan yang kuat digunakan untuk mempertahankan posisi skin-muscle flap, jaringan kulit yang berlebihan dipotong. Sekitar 1-2mm otot direseksi untuk mencegah tumpang tindih dari otot dan jaringan yang berlebih yang berhubungan dengan insisi subsiliar. Muskulus orbikularis oculi kemudian dijahit dengan periosteum di sebelah tepi lateral orbital dengan monokril 5-0 (Gambar 23). 7

235 Gambar 19. Sebelum dan sesudah blepharoplasti skin-muscle flap Gambar 20. Blepharoplasti Skin-muscle flap A. Tanda preoperatif, B. Insisi A B Gambar 21. A. Elevasi skin-muscle flap saat blepharoplasti B. Upaya menjaga bagian pretarsal muskulus orbikularis selama skin-muscle flap blepharoplasti

236 Gambar 22. Skin-muscle flap blepharoplasti. A. Reseksi lemak. B. Transposisi lemak Gambar 23. Pendekatan skin-muscle flap. A. Penekanan dengan 1 jari pada daerah melolabial. B. Tindakan memangkas Skin flap. C. Penjahitan suspensi orbikularis. D. Mendekatkan kembali insisi eksternal Komplikasi Kebanyakan komplikasi terjadi disebabkan karena kurangnya pemeriksaan dan konseling preoperatif. Komplikasi yang disebabkan karena kurangnya pemeriksaan preoperatif antara lain ptosis alis dan blepharoptosis, prolaps kelenjar lakrimal, sklera bagian bawah yang tampak dan kelemahan kelopak mata bagian bawah. Ptosis alis seharusnya dikoreksi sebelum tindakan blepharoplasti. 2 Secara umum berdasarkan waktu terjadinya komplikasi dapat dibagi menjadi 3 (Gambar 24) yaitu komplikasi segera setelah postoperatif (minggu

237 pertama) diantaranya abrasi kornea dan perdarahan retrobulbar yang mengancam penglihatan. Yang kedua saat periode intermediate (antara minggu 1 dan minggu 4. berupa malposisi dari kelopak mata atas dan bawah, strabismus, kornea terekspos, dan epifora. Yang ketiga yaitu periode komplikasi lambat (setelah minggu ke 6) antara lain perubahan tingginya kelopak mata sehingga asimetris, terbentuknya jaringan parut dan edema yang persisten. 11 Komplikasi blepharoplasti kelopak mata atas antara lain asimetris, perdarahan, infeksi, ekimosis subkonjungtival, lagopthalmus, jaringan parut, buta, kemosis, hematoma. Komplikasi blepharoplasti kelopak bawah antara lain retroorbital hematom, mata kering, kemosis, ektropion, milia, penglihatan kabur, infeksi, preseptal hematom, epifora, asimetris. Komplikasi karena cederanya muskulus oblik internal bisa menyebabkan diplopia. Hematoma retrobulbar merupakan pembedahan emergensi yang menyebabkan kerusakan iskemik pada nervus optikus, retina dan arteri sentralis, dimana hal ini dapat menyebabkan kebutaan dan memerlukan dekompresi segera dengan melepaskan kembali jahitan khususnya pada kantus lateral atau kantotomi lateral. Manitol dan asetazolamid dapat digunakan dalam membantu dekompresi. Sklera yang tampak disebabkan karena over koreksi yang dapat mengakibatkan keratopati akibat pajanan dengan mata kering. 2,7,8,9,10 Gambar 24. Perdarahan retrobulbar menyebabkan ekimosis setelah transkutaneus blepharoplasti (kiri) Perdarahan retrobulbar pada pasien dengan hipertensi (kanan)

238 Gambar 25. Komplikasi pada blepharoplasti berdasarkan waktu PEMBAHASAN Mata merupakan fokus utama saat kita bertatap muka dengan orang lain. Mata merupakan bagian paling penting dari estetika wajah karena memegang peranan penting menentukan kemudaan. Perubahan yang kecil akan tampak pada mata. Perubahan yang berbeda-beda yang berhubungan dengan umur akan tampak pada sekitar mata. Blepharoplasti mengacu pada eksisi kulit dan otot yang berlebihan dengan atau tanpa eksisi dan manipulasi pada lemak orbita untuk kepentingan estetika. 2,9 Blepharoplasti kelopak mata bawah seringkali dianggap sebagai peremajaan wajah, dan masih sering diperdebatkan pendekatan mana yang terbaik. Dipopulerkan pada tahun 1970 oleh Rees setelah inovasi dari McIndoe, skinmuscle flap banyak dilakukan hingga tahun 1990 karena lebih mudah dilakukan, dan lebih efektif. Adapun komplikasi pada orbita jarang, atrofi pada orbicularis oculi, malposisi kelopak mata bawah dan ektropion sangat jarang. Hal ini mengarahkan kepada pendekatan transkonjungtival oleh Bourquet yang menjadi populer tahun 1990 oleh Resnik. 9

239 Blepharoplasti merupakan tindakan pembedahan yang paling sering dilakukan di dunia dan memiliki tujuan utama untuk mempertahankan keremajaan, fungsi dan kosmetik pada daerah periorbital. Dari suatu penelitian tahun 2007 hingga 2009 ini didapatkan bahwa blepharoplasti merupakan suatu prosedur dengan tingkat kepuasan yang tinggi dan dengan angka kejadian komplikasi yang rendah, dan tindakan ini disebutkan sebagai tindakan yang baik dengan indikasi yang tepat. Disebutkan pula bahwa untuk mendapatkan hasil yang baik, sangat penting dilakukan evaluasi preoperatif yang teliti, mengedukasi pasien keuntungan dan keterbatasan dari tindakan dan juga menjelaskan pendekatan mana yang dipilih sesuai dengan karakteristik masing-masing pasien. 12 Tindakan blepharoplasti kelopak mata bawah menggunakan pendekatan transkonjungtival ataupun dengan pendekatan transkutaneus dengan indikasi terbatas yang sesuai pada masing-masing pendekatan tersebut. Pada suatu studi tahun 2015 oleh Rancati dkk, pada 177 pasien yang menjalani blepharoplasti kelopak mata bawah, dimana 42% pasien menjalani pendekatan transkonjungtival dan 58% pasien menjalani pendekatan transkutaneus, didapatkan bahwa pendekatan transkonjungtival memerlukan waktu pembedahan yang lebih sedikit dibandingkan dengan pendekatan transkutaneus serta menjamin bahwa terjadinya sedikit trauma pada struktur anatomi dan memberikan akses langsung ke lapangan operasi. Rata-rata waktu pendekatan transkonjungtival sekitar 45 menit sedangkan pendekatan transkutaneus sekitar 60 menit. Pendekatan transkonjungtival dikatakan dapat menghindari penjahitan dan jaringan parut ada kulit yang dapat mengakibatkan retraksi dan ektropion, serta penyembuhan postoperatif dikatakan lebih cepat. Selain itu disebutkan pula bahwa persentase terjadinya komplikasi lebih rendah dan kepuasan pasien yang tinggi pada pasien dengan pendekatan transkonjungtival. 13 Komplikasi yang terjadi sangat jarang, dan bila terjadi biasanya komplikasi ringan dan transisional seperti perdarahan dan kemosis. Kadang kala komplikasi bisa bersifat tetap berupa kebutaan atau komplikasi lainnya yang memerlukan tindakan koreksi tambahan seperti ektropion dan ptosis kelopak mata. Sebuah penelitian oleh Patronicio dkk pada tahun 2007 hingga 2009 pada 200 orang yang menjalani blepharoplasti dengan pendekatan transcutaneus didapatkan rata-rata usia pasien 44,5 tahun (35-60 tahun), lebih banyak pada wanita sekitar 81%, dan komplikasi yang terjadi sekitar 9,5% (19 pasien) diantaranya 1 hematoma, 12 kasus kemosis, 13 pasien menjalani kantoplasti, 6 pasien dengan malposisi

240 kelopak mata bagian bawah (5 retraksi dan 1 ektropion). Komplikasi lainnya yang jarang terjadi yaitu terjadinya necrotizing fasciitis yang dilaporkan oleh Suner tahun 1999, pada wanita berusia 74 tahun dengan riwayat diabetes melitus yang menjalani tindakan blepharoplasti kedua kelopak mata atas. Dimana kejadian ini merupakan suatu infeksi yang fatal dan memerlukan deteksi dini dan terapi yang agresif. 12,14 IV. KESIMPULAN Blepharoplasti kelopak mata bagian bawah merupakan salah satu yang paling banyak dilakukan pada tindakan bedah plastik. Tidak seperti pembedahan pada kelopak mata atas, pembedahan pada kelopak mata bawah memiliki batas yang sempit untuk terjadinya kesalahan dan memiliki kemungkinan besar untuk terjadinya komplikasi. Untuk mendapatkan hasil yang baik, sangat penting dilakukan evaluasi preoperatif yang teliti, mengedukasi pasien keuntungan dan keterbatasan dari tindakan dan juga menjelaskan pendekatan mana yang dipilih sesuai dengan karakteristik masing-masing pasien.

241 DAFTAR PUSTAKA 1. Malekzadeh A, Rajabi MT, Mohammadi SZ. Lower lid blepharoplasty: comparing fat reposition with fat removal based on orbital vector in patients referred to Farabi eye hospital in Int. J. Pharm. Res. Allied Sci. 2016; 5: Subramanian N. Blephararoplasty. Indian J Plast Surg Supplement. 2008; 41: s Rizk SS, Matarasso A. Lower Eyelid Blepharoplasty: Analysis of Indication and the Treatment of 100 Patients. Plast. Reconstr. Surg. 2003; 111: Tonnard PL, Verpaele AM, Zeltzer AA. Augmentation Blepharoplasty: A Review of 500 Consecutive Patients. Aesthetic Surgery Journal. 2013; 33: Hodges PL. Blepharoplasty and Brow Lift. SRPS. 1994; 7: Sykes JM, Magill CK. Upper Eyelid Blepharoplasty. Dalam: Johnson JT, Rosen CA, penyunting. Bailey s Head & Neck Surgery Otolaryngology. China: Lippincott Williams & Wilkins. 2014; 2: Perkins SW. Prishmann J. Lower Eyelid Blepharoplasti. Dalam: Johnson JT, Rosen CA, penyunting. Bailey s Head & Neck Surgery Otolaryngology. China: Lippincott Williams & Wilkins. 2014; 2: Smith CB, Waite PD. Lower Transcutaneus Blepharoplasty. Atlas OralMaxillofacial Surg Clin N Am. 2016; 24: Kanaphaty M, Kirkpatrick N. Facial Aesthetic Surgery. Dalam: Kalaskar DM, Butler PE, Ghali S, penyunting. Textbook of Plastic & Reconstructive Surgery. London: UCL Press. 2016; Modul Plastik Rekonstruksi. Kelainan Kantung Mata (Blepharoplasti). Kolegium Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher Lelli GJ, Lisman RD. Blepharoplasty Complication. Plast. Reconstr. Surg. 2010; 125: Patrocinio TG, Loredo BA, Arevalo CE, Patrocinio LG, Patronicio JA. Complications in blepharoplasty: how to avoid and manage them. Braz J Otorhinolaryngol. 2011; 77: Rancati A, Jacovella P, Zampieri AE, Dorr J, Daniele M, Liedtke S, dkk. Lower Blepharoplasty Review, Transconjungtival vs. Transcutaneous Approach. Modern Plastic Surgery. 2015; 5: Suner IJ, Meldrum ML, Johnson TE, Tse DT. Necrotizing Fasciitis After Cosmetic Blepharoplasty. Am J Ophthalmol. 1999; 128:

242 PSEUDOANGINA LUDOVICI DENGAN KOMPLIKASI MEDIASTINITIS AKUT DAN PERIKARDITIS BAKTERIAL Oleh I Ketut Suanda Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas Udayana / RSUP Sanglah Denpasar 1. PENDAHULUAN Angina ludovici merupakan peradangan akut, selulitis pada ruang submandibular dan sublingual bilateral serta ruang submental. Angina ludovici pertama kali ditemukan oleh Wilheim Frederick Von Ludwig pada tahun Pseudoangina ludovici merupakan kelanjutan dari angina ludovici apabila terdapat fluktuasi yang dapat mengakibatkan komplikasi yang serius seperti obstruksi jalan nafas, kelumpuhan saraf kranial, mediastinitis dan kompresi hingga ruptur arteri karotis interna. Pseudoangina ludovici ini disebabkan infeksi odontogenik. 1 Komplikasi yang sering terjadi adalah sumbatan jalan nafas, penjalaran infeksi dan abses ke ruang leher dalam lain dan mediastinum serta sepsis yang menyebabkan semakin sulitnya penanganan dan bahkan dapat menyebabkan terjadinya kematian. Komplikasi yang lainnya meliputi asfiksia yang disebabkan oleh edema pada soft tissue leher, infeksi dinding karotis, ruptur arteri, tromboflebitis supuratif dari vena jugularis, mediastinitis akut, empisema, efusi pleura, osteomeilitis mandibular, perikarditis akut dan aspirasi pneumonia. 1,2 Mediastinitis akut merupakan salah satu komplikasi dari infeksi abses leher dalam yang menjadi tantangan di dunia kedokteran. Meskipun saat ini penggunaan antibiotik telah meluas, namun infeksi ini dapat menyebabkan angka kematian sampai 40%. Kesalahan penatalaksanaan cenderung mengakibatkan keparahan dan perluasan infeksi yang progresif. Pencegahan progresifitas proses infeksi ini menjadi tujuan yang utama. 3,4 Perikarditis akut adalah salah satu bentuk penyakit perikardium yang tersering. Perikarditis dapat secara mudah terjadi akibat penyebaran infeksi dari mediastinum, karena struktur perikardium yang melekat pada berbagai titik seperti sternum, diafragma, pembuluh darah besar serta mediastinum anterior sendiri. 5 Mediastinitis akut dan perikarditis akut yang purulen adalah sebuah kondisi serius dan memiliki angka mortalitas yang tinggi, dimana diagnosis dan tatalaksana cepat akan mampu menyelamatkan nyawa. 5,6 Berikut dilaporkan satu kasus pseudoangina ludovici pada laki-laki usia 23 tahun dengan komplikasi mediastinitis akut dan perikarditis bakterial.

243 KAJIAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Pada daerah leher terdapat beberapa ruang potensial yang dibatasi oleh fasia servikalis. Fasia servikalis terdiri dari lapisan jaringan ikat fibrosus yang membungkus organ, otot, saraf dan pembuluh darah serta membagi leher menjadi beberapa ruang potensial. Fasia servikalis terbagi menjadi tiga bagian yaitu fasia servikalis superfisialis, media dan fasia servikalis profunda. Ketiga fasia ini dipisahkan oleh otot platisma yang tipis dan meluas ke anterior leher. Otot platisma sebelah inferior berasal dari fasia servikalis profunda dan klavikula serta meluas ke superior untuk berinsersi di bagian inferior mandibula. 1,2, Gambar 1. Anatomi fasia dan ruang leher dalam Fasia servikalis superfisial terletak tepat di bawah kulit leher berjalan dari perlekatannya di prosesus zigomatikus pada bagian superior dan berjalan ke bawah ke arah thoraks dan aksila yang terdiri dari jaringan lemak subkutan. Ruang antara fasia servikalis superfisialis dan fasia servikalis profunda berisi kelenjar limfe superfisial, saraf dan pembuluh darah termasuk vena jugularis eksterna. 1,2 Ruang potensial leher dibagi menjadi ruang yang melibatkan seluruh leher, ruang suprahioid dan ruang infrahioid. Ruang yang melibatkan seluruh leher terdiri dari ruang retrofaring, ruang bahaya atau danger space, ruang prevertebra dan ruang vascular visceral. Di bagian posterior ruang retrofaring terdapat danger space, disebut demikian karena berisi jaringan ikat longgar sehingga resistensinya kecil terhadap penyebaran infeksi dan berjalan mulai dari dasar tengkorak hingga ke diafrgama. Ruang prevertebra terletak di antara otot-otot prevertebra dan fasia prevertebra. Infeksi di sini dapat menerobos ke lateral atau inferior ke dalam mediastinum posterior. 1,2,7 Ruang visceral vaskular adalah ruang potensial dalam carotid sheath.

244 cukup tertutup, mengandung sedikit jaringan ikat dan resisten terhadap penyebaran infeksi. Ruangan ini berada mulai dari dasar tengkorak hingga ke mediastinum dan menerima kontribusi dari seluruh tiga lapisan fasia profunda dan dapat menjadi tempat infeksi sekunder yang menyebar langsung dari ruang-ruang lain di leher. Ruang suprahioid berada di atas tulang hioid, terdiri dari ruang submandibula, ruang parafaring, ruang parotis, ruang peritonsil, ruang mastikator dan ruang temporalis. Ruang infrahioid merupakan ruang potensial yang ada di bawah tulang hioid. Area ini dibungkus oleh lapisan media dari fasia servikalis profunda dan mengandung kelenjar tiroid, esofagus dan trakea. Ruang potensial ini meliputi bagian anterior dari leher mulai dari kartilago tiroid sampai superior mediastinum setinggi vertebra ke empat dekat arkus aorta. 7 Ruang submandibula terdiri dari ruang sublingual, submaksila dan submental. Ruang submandibula terletak di anterior dari ruang parafaring, sebelah inferior berbatasan berbatasan dengan lapisan superfisial fascia servikalis profunda, meluas dari os hyoid sampai ke mandibula, bagian inferiornya berbatasan dengan korpus mandibula dan bagian superior dengan mukosa dari dasar mulut. Ruang submandibula terdiri dari ruang sublingual bagian superior dan bagian inferior ruang submaksila, yang dipisahkan oleh m. milohyoideus. 2,7 Gambar 2. Ruang-ruang potensial di daerah leher Ruang sublingual dengan ruang submental dan submaksila dipisahkan oleh m. milohyoideus. Ruang sublingual dibatasi oleh mandibula di bagian lateral dan anterior, pada bagian inferior oleh m. milohyoideus, di bagian superior oleh dasar mulut dan lidah, dan di posterior oleh tulang hioid. Di dalam ruang sublingual terdapat kelenjar liur sublingual, nervus hipoglossus beserta duktusnya (duktus Whartons). Ruang submental di anterior dibatasi oleh fasia leher dalam dan kulit

245 m.milohioid, di bagian inferior oleh garis yang melalui tulang hyoid. Di dalam ruang submental terdapat kelenjer limfa submental. 7 Gambar 3. Anatomi dari ruang submandibula Ruang maksila bagian superior dibatasi oleh m. milohioid dan m. hipoglossus. Batas inferiornya adalah lapisan anterior fasia leher dalam, kulit leher dan dagu. Batas medial adalah m.digastrikus anterior dan batas posterior adalah m.stilohioid dan m.digastrikus posterior. Di dalam ruang submaksila terdapat kelenjar liur submaksila atau submandibula beserta duktusnya. Kelenjar limfa submaksila atau submandibula beserta duktusnya berjalan ke posterior melalui tepi m.milohioid kemudian masuk ke ruang sublingual. Akibat infeksi pada ruang ini mudah meluas dari satu ruang ke ruang lainnya seperti parafaring sebanyak 38,4%, diikuti oleh angina ludovici sebanyak 12,4%, parotis sebanyak 7% dan retrofaring sebanyak 5,9%. 8,9 Di dalam ruang sublingual terdapat kelenjar liur sublingual dengan duktusnya yang bermuara di dasar mulut. Ruang submental letaknya berbatasan di sebelah anterior dengan lapisan anterior fasia leher dalam kulit dagu, sebelah lateral dengan m.digastrikus anterior, sebelah superior dengan m.milohioid dan sebelah inferior dengan tulang hioid. Didalamnya terdapat kelenjar limfe submental. Ruang submaksila letaknya berbatasan sebelah medial dengan m.digastrikus anterior, sebelah posterior dengan m.stilohioid dan m.digastrikus posterior, sebelah superior dengan m.milohioid dan m.hioglosus serta sebelah inferior dengan lapisan anterior fasia leher dalam, kulit leher dan dagu. Didalamnya terdapat kelenjar liur submaksila atau submandibula dengan duktusnya yang berjalan ke posterior, melalui tepi posterior m.milohioid masuk ke ruang sublingual. Infeksi pada ruang submandibular ini menyebar hingga bagian superior dan posterior, yang mengakibatkan peninggian dasar mulut dan lidah. Tulang hioid membatasi penyebaran ke inferior, sedangkan pembengkakan dapat menyebar hingga bagian 7

246 2.2 Definisi Pseudoangina ludovici dapat merupakan kelanjutan dari angina lodovici, dimana terdapat fluktuasi pada perabaan. Angina ludovici adalah infeksi ruang submandibula berupa selulitis yang menyebar dengan cepat, potensial menyebabkan kematian, yang mengenai ruang sublingual dan submandibular. Umumnya, infeksi dimulai dengan selulitis, kemudian berkembang menjadi fasialitis dan akhirnya berkembang menjadi abses yang menyebabkan indurasi suprahioid, pembengkakan pada dasar mulut dan elevasi serta perubahan letak lidah ke posterior. Wilheim Frederick Von Ludwig pertama kali mendeskripsikan angina ludovici ini pada tahun 1836 sebagai gangrenous cellulitis yang progresif yang berasal dari regio kelenjar submandibular. 2,7,8 2.3 Epidemiologi Pseudoangina ludovici adalah penyakit langka yang dapat berpotensi mengancam nyawa jika proses infeksinya menyebar sampai ke mediastinum. Faktor predisposisi utama adalah higiene orodental yang buruk sedangkan faktor predisposisi lainnya adalah penyakit sistemik dan penyakit imunodefisiensi karena penyakitpenyakit tersebut dapat mempermudah perkembangan bakteri serta penyebaran infeksi, seperti diabetes mellitus, neutropenia, alkoholisme, anemia aplastik, glomerulonephritis, dermatomiositis dan lupus eritematosus sistemik. 9 Angka kejadian pseudoangina ludovici paling sering pada usia 20 sampai 60 tahun, dengan dominasi laki-laki dibandingkan perempuan adalah 3 : 1. Angka kematian akibat pseudoangina ludovici sebelum dikenalnya antibiotika mencapai angka 50% dari seluruh kasus yang dilaporkan, sejalan dengan perkembangan antibiotika, perawatan bedah yang baik dan tindakan yang cepat dan tepat, maka saat ini angka kematian hanya 5%. 8,9 2.4 Etiologi Pseudoangina ludovici terjadi sebagai akibat infeksi yang berasal dari gigi geligi, tetapi dapat juga terjadi sebagai akibat proses supuratif limfatik nodi servikalis pada ruang submaksilaris. Infeksi biasanya disebabkan oleh bakteri golongan streptococcus, stafilococcus dan bakteroides. Namun, 50% kasus disebabkan oleh polimikroba baik oleh gram positif atau gram negatif, aerob ataupun anaerob. Organisme yang paling sering pada pseudoangina ludovici yaitu Streptococcus viridans dan Stafilococcus aureus. Bakteri anaerob juga sering terlibat, termasuk Bakteroides, Peptostreptococcus dan Peptococcus. Bakteri gram positif lainnya yaitu Fusobacterium nucleatum, Aerobacter aeruginosa, Spirochetes, Veillonella, Candida,

247 Eubakteria dan Clostridium species. Bakteri gram negatif yaitu Neisseria spesies, Escherichia coli, Pseudomonas species, Haemophilus influenza dan Klebsiella species. Kombinasi bakteri aerob dan anaerob memberikan efek sinergis, menyebabkan produksi endotoksin seperti kolagenase, hyaluronidase dan protease, kombinasi hal tersebut memicu perkembangan infeksi secara cepat dengan manifestasi nekrosis jaringan, tromboplebitis lokal, bau tidak sedap dan terbentuknya gas gangren. 8,10,11 Penyebab lain dari pseudoangina ludovici yaitu sialodenitis, abses peritonsil, fraktur mandibular terbuka, kista duktus tiroglosus yang terinfeksi, epiglotitis, injeksi intravena ke leher, bronkoskopi yang menyebabkan trauma, intubasi endotrakea, laserasi oral, infeksi saluran napas atas dan trauma pada dasar mulut. Jika infeksi bukan berasal dari gigi, biasanya disebabkan oleh Streptococcus. Klebsiella pneumoniae merupakan bakteri aerob gram negatif yang paling banyak ditemukan pada pasien diabetes mellitus. Lebih lanjut lagi, dikatakan bahwa flora normal mulut pada umumnya mempunyai patogenitas yang rendah. Tetapi flora mulut tersebut dapat berubah menjadi patogen pada keadaan-keadaan tertentu seperti perubahan struktur pada mukosa normal atau terjadi iskemia jaringan dan tekanan potensial oksidasi reduksi. Keadaan ini dapat memberi kesempatan pada organisme tersebut untuk memperbanyak diri secara cepat dan mengadakan invasi ke sekeliling jaringan yang sehat. Infeksi pada ruang ini dimulai dengan selulitis lokal pada jaringan ikat longgar dasar mulut, kemudian dengan cepat menyebar. Pembengkakan ini menyebabkan sumbatan pada saluran limfa, kelenjar liur submandibula dan duktusnya yang lewat pada dasar mulut. Dalam waktu singkat terjadi pembengkakan jaringan ikat longgar superfisial dasar mulut. Kemudian terjadi nekrosis jaringan dan 10,11 pembengkakan yang menghasilkan pus. 2.5 Patogenesis Penyebab abses ini yang paling sering adalah infeksi gigi. Nekrosis pulpa karena karies dalam yang tidak terawat dan periodontal pocket dalam merupakan jalan bakteri untuk mencapai jaringan periapikal. Karena jumlah bakteri yang banyak, maka infeksi yang terjadi akan meyebar ke spongiosa sampai tulang kortikal. Jika tulang ini tipis, maka infeksi akan menembus dan masuk ke jaringan lunak. Penyebaran infeksi ini tergantung dari daya tahan jaringan tubuh. Odontogen dapat menyebar melalui jaringan ikat, pembuluh darah dan pembuluh limfe. Yang paling sering terjadi adalah perkontinuitatum karena adanya celah atau ruang diantara 7,10,11

248 Perjalanan infeksi pada rahang atas dapat membentuk abses palatal, abses submukosa, abses gingiva, trombosis sinus kavernosus, abses labial dan abses fasial. Perjalanan infeksi pada rahang bawah dapat membentuk abses sublingual, submental, abses submandibular, abses submaseter dan pseudoangina ludovici. Ujung akar molar kedua dan ketiga terletak di belakang bawah linea milohioid yang terletak di aspek dalam mandibular, sehingga jika molar kedua atau ketiga terinfeksi dan membentuk abses, pusnya akan menyebar ke ruang submandibular dan dapat meluas ke ruang parafaring. 10,11 Pseudoangina ludovici yang disebabkan oleh infeksi odontogenik, berasal dari gigi molar kedua atau ketiga bawah. Gigi ini mempunyai akar yang berada di atas m.milohioid dan abses di lokasi ini dapat menyebar ke ruang submandibular. Infeksi yang menyebar di luar akar gigi yang berasal dari gigi premolar pada umumnya terletak dalam sublingual pertama sedangkan infeksi di luar akar gigi yang berasal dari gigi molar umumnya berada dalam ruang submandibular. 10 Infeksi dengan cepat menyebar dari ruang submandibular, sublingual dan submental yang menyebabkan pembengkakan dan elevasi lidah dari dasar mulut. Ruang potensial terjadinya pseudoangina ludovici adalah ruang suprahioid yang berada antara otot-otot yang melekatkan lidah pada tulang hioid dan milohioid, peradangan pada ruang ini menyebabkan pembengkakkan pada jaringan dasar mulut dan mendorong lidah ke atas dan belakang, sehingga menyebabkan obstruksi jalan napas. 11 Infeksi pada ruang submental biasanya terbatas karena adanya kesatuan yang keras dari fasia servikalis profunda dengan m.digastrikus anterior dan tulang hioid. Infeksi pada ruang submaksilar biasanya terbatas di dalam ruang itu sendiri, tetapi dapat pula menyusuri sepanjang duktus submaksilar Wartoni dan mengikuti struktur kelenjar menuju ruang sublingual atau dapat juga meluas ke bawah sepanjang m.hioglosus menuju ruang-ruang fasia leher. 12 Pada infeksi ruang sublingual, edema terdapat pada daerah terlemah di bagian superior dan posterior, sehingga mendorong supraglotik laring dan lidah ke belakang, akhirnya akan mempersempit saluran dan menghambat jalan nafas. Penyebaran infeksi berakhir di bagian anterior yaitu mandibular dan di bagian inferior yaitu m.milohioid. Proses infeksi kemudian berjalan di bagian superior dan posterior, meluas ke dasar lantai mulut dan lidah. Tulang hioid membatasi terjadinya proses ini di bagian inferior sehingga pembengkakan menyebar ke daerah depan leher yang menyebabkan perubahan bentuk dan gambaran bull neck. 12,13

249 2.6 Manifestasi klinis Gejala klinis ekstra oral meliputi eritema, pembengkakan, perabaan yang keras seperti papan, peninggian suhu leher dan disfonia atau hot potato voice akibat edema pada organ vokal. Gejala klinis intra oral meliputi pembengkakkan, nyeri dan peninggian lidah. Gejala lainnya yaitu adanya pembengkakan yang nyeri pada dasar mulut dan bagian anterior leher, demam, nyeri menelan atau odinofagia, hipersalivasi, trismus, nyeri pada gigi, suara serak, stridor, distres pernapasan dan sianosis. 1,8,9 Pada pemeriksaan fisik terdapat demam dengan karakteristik dasar mulut yang bengkak dan kemerahan. Dijumpai karies pada gigi molar bawah, indurasi dan pembengkakkan ruang submandibular yang dapat disertai dengan lidah terdorong ke atas. Trismus dapat terjadi karena adanya iritasi pada m. mastikator. Tanda-tanda penting seperti pasien tidak mampu menelan air liurnya sendiri, dispneu, takipneu, stridor inspirasi dan sianosis yang menunjukkan adanya sumbatan jalan nafas. Pada pasien dapat mengalami disfonia yang disebabkan oleh edema struktur vokalis. 9,12, Diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesa, didapatkan gejala awal berupa nyeri pada area gigi yang terinfeksi, dagu terasa tegang dan nyeri saat menggerakkan lidah. Pasien mungkin akan mengalami kesulitan membuka mulut, berbicara dan menelan, yang mengakibatkan keluarnya air liur terus-menerus serta kesulitan bernapas. 12 Pada pemeriksaan fisik terlihat dasar mulut yang kemerahan dan membengkak. Saat infeksi menyebar ke belakang mulut, peradangan pada dasar mulut akan menyebabkan lidah terdorong ke atas dan belakang sehingga menyumbat jalan napas. Jika laring ikut membengkak, saat bernafas akan terdengar bunyi stridor. Pembengkakkan pada jaringan anterior leher diatas tulang hioid sering disebut bull s neck appearance. Biasanya penderita akan mengalami dehidrasi akibat kurangnya cairan yang diminum maupun makanan yang dimakan. Demam tinggi mungkin ditemui, yang mengindikasikan adanya infeksi sistemik. Terdapat 4 tanda kardinal dari pseudoangina ludovici, yaitu keterlibatan secara bilateral atau lebih ruang leher dalam, gangren yang disertai dengan pus serosanguinous, keterlibatan jaringan ikat, fasia dan otot tetapi tidak mengenai struktur kelenjar dan penyebaran melalui ruang fasial lebih sering daripada melalui sistem limfatik. 14,15 Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan seperti laboratorium dan

250 mengidentifikasikan adanya infeksi akut. Pemeriksaan kultur dan sensitivitas dilakukan untuk menentukan jenis bakteri dan pemilihan antibiotika yang sesuai. Foto polos jaringan lunak leher anteroposterior dan lateral merupakan prosedur diagnostik yang penting. Pada pemeriksaan foto jaringan lunak leher pada kedua posisi tersebut dapat diperoleh gambaran deviasi trakea, udara di daerah subkutis, cairan di dalam jaringan lunak dan pembengkakan daerah jaringan lunak leher. Keterbatasan pemeriksaan ini adalah tidak dapat membedakan antara selulitis dan pembentukan abses. Foto thoraks digunakan untuk mendiagnosis adanya edema paru, pneumotoraks, pneumomediastinum atau pembesaran kelenjar getah bening hilus. 14 Foto panoramik rahang dapat membantu menentukan letak fokal infeksi atau abses, serta struktur tulang rahang yang terinfeksi. Pemeriksaan ultra sonography (USG) merupakan sarana penunjang diagnostik yang tidak invasif dan relatif murah. USG dapat menunjukkan lokasi dan ukuran pus serta sebagai pemandu pada saat aspirasi atau drainase abses. Pemeriksaan CT-Scan dapat membantu menggambarkan lokasi dan perluasan abses. Pada gambaran CT-Scan dapat ditemukan adanya daerah densitas rendah, peningkatan gambaran kontras pada dinding abses dan edema jaringan lunak di sekitar abses. Pemeriksaan magnetic resonance imaging (MRI) memberikan gambaran peningkatan densitas pada jaringan yang mengalami inflamasi dibandingkan dengan jaringan normal. Pemeriksaan MRI relatif mahal dan tidak setiap Rumah Sakit mempunyai alat ini, sehingga pemeriksaan MRI pada kasus abses leher dalam bukan merupakan prosedur baku. 14, Diagnosis banding Diagnosis banding dari pseudoangina ludovici adalah edema angioneurotik, karsinoma lingual, sublingual hematoma, abses kelenjar ludah, limfadenitis dan selulitis Penatalaksanaan Penilaian keadaan umum pasien penting dalam penatalaksanaan abses leher dalam. Prioritas utama adalah stabilisasi jalan nafas dan sirkulasi. Karena abses leher dalam memiliki potensi mengancam nyawa maka pasien harus dirawat di Rumah Sakit. Pada kasus pseudoangina ludovici dengan sumbatan jalan nafas diperlukan penanganan segera dengan trakeostomi yang bertujuan untuk mengamankan jalan nafas. 16,17

251 Kemudian diberikan antibiotika dosis tinggi dan spektrum luas secara intravena untuk organisme gram positif dan gram negatif serta kuman aerob dan anaerob. Antibiotik yang diberikan sesuai kultur dan hasil sensitivitas pus. Antibiotika yang digunakan adalah penisilin G dosis tinggi dan metronidazole, klindamisin, seftriakson dan amoksisilin asam klavulanat. Meskipun masih kontroversi, pemberian kortikosteroid untuk mengurangi edema dan meningkatkan penetrasi antibiotika. Anti inflamasi intravena diberikan dalam 48 jam untuk mengurangi edema dan perlindungan jalan nafas. 18 Selain itu dilakukan eksplorasi untuk tujuan dekompresi (mengurangi ketegangan) dan evakuasi pus atau jaringan nekrosis. Pembedahan dapat dilakukan melalui insisi di garis tengah secara horizontal setinggi os hyoid (3-4 jari di bawah mandibula) bertujuan mengurangi ketegangan yang terbentuk pada dasar mulut. Sebelum dilakukan insisi dan drainase, sebaiknya dilakukan persiapan terhadap kemungkinan trakeostomi karena ketidakmampuan dilakukan intubasi pada pasien. Insisi drainase diindikasikan jika terdapat infeksi supuratif dengan pemeriksaan radiologis berupa gambaran penumpukan cairan di dalam soft tissue dan krepitasi. Drainase juga diindikasikan jika tidak ada perbaikan setelah pemberian terapi antibiotika. Drainase dilakukan di muskulus milohioid ke dalam ruang sublingual. Mencabut gigi yang terinfeksi juga penting untuk proses drainase. 16 Antibiotika harus segera diberikan dalam dosis adekuat secara parenteral. Sebelum ada hasil kultur dan resistensi, diberikan antibiotika berdasarkan pengalaman/secara empiris jenis kuman yang sering ditemukan yaitu kuman aerob dan anaerob. Untuk pemberian terapi medikamentosa pada pasien dengan kecurigaan pseudoangina ludovici dapat diberikan antibiotik penisilin G unit/hari atau amoksisilin mg/kgbb/hari atau sefalosporin mg/kgbb/hari atau gentamisin mg 1-2 kali sehari atau klindamisin mg intravena setiap 8 jam atau kombinasi penisilin dan metronidazole. Metronidazole dapat diberikan intravena 3 x 500 mg/hari. Pemberian antibiotika dapat mengurangi kematian akibat dari infeksi ruang leher dalam, tetapi infeksi pada ruang yang lebih dalam dapat menimbulkan komplikasi yang fatal dan mengancam jiwa. 8,9 Bila abses sudah mengalami penjalaran ke ruang leher dalam seperti ke daerah parafaring atau retrofaring maka perlu dilakukan pemberian antibiotika sesuai kultur dan tes sensitivitas serta tindakan pembedahan. Keputusan untuk melakukan pembedahan didasarkan atas beberapa pertimbangan, yaitu jika tidak terdapat perbaikan dalam waktu 24 jam yang ditandai dengan demam, nyeri tekan,

252 pembengkakan dan leukositosis yang menetap, ancaman sumbatan jalan napas, adanya komplikasi neurovaskular yang mengancam nyawa, pus tampak lebih dari 3 cm pada CT-Scan. 2, Komplikasi Komplikasi yang paling sering terjadi adalah sumbatan jalan nafas, penjalaran infeksi dan abses ke ruang leher dalam lain dan mediastinum serta sepsis yang menyebabkan semakin sulitnya penanganan dan bahkan dapat menyebabkan terjadinya kematian. Bila terjadi penjalaran ke daerah intrakranial dapat mengakibatkan trombus sinus kavernosus, meningitis dan abses otak. 10,11,13 Komplikasi yang lainnya meliputi asfiksia yang disebabkan oleh edema pada soft tissue leher, infeksi dinding karotis, ruptur arteri, tromboflebitis supuratif dari vena jugularis, mediastinitis akut, empisema, efusi pleura, osteomeilitis mandibular, perikarditis bakterial dan aspirasi pneumonia Mediastinitis Akut sebagai Komplikasi a. Definisi dan Patogenesis Mediastinum adalah ruang ektrapleura yang dibatasi sternum di bagian anterior, kolumna vertebralis di posterior, pleura mediastinal di sisi lateral kanan dan kiri, di superior oleh thoracic inlet dan di inferior oleh diafragma. Mediastinum terdiri dari tiga area: mediastinum anterosuperior, tengah dan posterior. 3 Mediastinitis adalah penyakit yang jarang ditemukan dan cukup sulit dalam diagnosanya. Walaupun demikian, diagnosa dini sangat penting karena angka mortalitas yang tinggi. Mediastinitis terdiri dari mediastinitis akut dan kronik. 3,4 Menurut Macri dkk, meneliti 26 pasien dengan mediastinitis dan ditemukan 23% merupakan komplikasi dari infeksi orofaringael, gigi, atau abses peritonsilar, dan sisanya berasal dari infeksi esophagus. 4 Mediastinitis akut adalah proses infeksi fulminant yang menyebar sepanjang bidang permukaan mediastinum. Infeksi paling sering berasal dari esophagus, infeksi di sternum dan infeksi orofaring atau leher. Mediastinitis akut dapat dibagi menjadi supuratif (abses) dan nonsupuratif. Mediastinitis supuratif disebut juga mediastinitis flegmon. Jenis ini lebih sering didapatkan dan penyebarannya dapat terlokalisasi atau difus dengan atau tanpa pembentukan abses. 4,6 Mediastinitis fibrosis (kronis) adalah hasil dari inflamasi kronik pada mediastinum, paling sering sebagai hasil dari infeksi granulomatos seperti histoplasmosis atau tuberkulosis. 6

253 Komplikasi yang paling tinggi mortalitasnya pada abses leher dalam adalah mediastinitis. Mortalitas mediastinitis di Amerika Serikat bervariasi antar 19-47%, pasien sering mendapatkan perawatan intensif dan proses pemulihan yang lama. Mediastinitis akut dapat berkembang menjadi fulminant dan tidak berespon walau dengan terapi terbaik. Mediastinitis dapat berkembang menjadi Descending Necrotizing Mediastinitis (DNM) akibat infeksi orofaringeal yang menyebar ke mediastinum melalui ruang-ruang potensial di di leher, pada jenis ini mortalitas lebih dari 50%. Ruang potensial yang terpenting adalah retrofaringeal atau retroviseral dengan batas anterior lapisan tengah fasia leher dalam dan di posterior oleh fasia alar (lapisan dalam fasia leher), terletak di belakang hipofaring dan esophagus dari dasar tengkorak sampai dengan mediastinum superior. Ruang ini merupakan rute utama penyebaran infeksi orofaring ke mediastinum. Dinamika pernafasan mempengaruhi penyebaran infeksi melalui fasia tersebut. Fluktuasi tekanan negatif intratoraks, menarik udara, air liur dan mikroorganisme tertarik ke dalam mediastinum menyebabkan infeksi dan nekrosis, tetapi tidak seluruh infeksi mengikuti jalannya fasia leher dalam penyebarannya ke mediastinum. 3 b. Diagnosis Ketika infeksi dari sumber manapun memasuki mediastinum, penyebaran meningkat sepanjang sambungan bidang permukaan yang menghubungkan bagian mediastinum dan servikal. Tanda dan gejala klinis seperti demam, nyeri dada, disfagia, penekanan pernafasan dan krepitasi subkutan servikal dan torakal atas. Pada pemeriksaan laboratorium dapat ditemukan lekositosis dan laju endap darah yang meningkat. Pemeriksaan penunjang yang amat berperan diantaranya CT scan torak dan leher serta foto torak. Kecurigaan mediastinitis dengan foto torak PA bila didapatka pelebaran mediastinum /jaringan lunak paratrakeal, trakea dapat terdorong, gambaran udara/benda asing dalam mediastinum, abses yang menyebabkan perselubungan di daerah mediastinum. Foto torak lateral dapat menunjukkan penonjolan ke anterior dari dinding posterior trakea. Pada foto leher AP dan lateral akan didapatkan pelebaran jaringan preservikal dan retrofaringeal serta udara di jaringan lunak leher. CT scan dapat menunjukan abses dan pembengkakan jaringan lunak, pengumpulan cairan/udara di mediastinum, cairan di pleura dan perikardial. 3,4 Saat ini diagnosis mediastinitis dapat dilakukan dengan penggunaan transesofageal endosonografi (Endoscopic ultrasound/eus) dan biopsi jarum halus yang merupakan cara efektif dan noninvasive untuk mendeteksi mediastinitis, dan pengambilan materi untuk mengetahui etiologi. Penemuan abses berupa daerah hipo sampai hiperekoik

254 sesuai dengan isinya berupa cairan /padat yang inhomogen dan berbatas tegas. Hasil dari biopsi jarum halus yang dilakukan dalam keadaan steril dapat berupa pus/cairan sehingga bakteri hasil kultur dapat dianggap sebagai etiologi. 3,4,6 c. Penatalaksanaan Mediastinitis akut merupakan emergensi bedah dan pengobatan harus dilakukan segera dan harus bertujuan memperbaiki masalah utama seperti abses orofaring. Tindakan utamanya adalah drainase dan debridemen area yang terinfeksi di mediastinum, leher, pleura dan jaringan lainnya. Antibiotik, resusitasi cairan dan pembedahan merupakan management mediastinitis akut. Penatalaksanaan standar untuk mediastinitis adalah pembedahan. Dilakukan debridemen pada jaringan nekrotik pada mediastinum dan drainase yang adekuat pada pleura dan perikardia, kemudian dilanjutkan dengan terapi antibiotik dan perawatan ruang intensif. Drainase abses dilakukan dengan torakotomi atau melalui pendekatan cervicomediastinal. 4, Perikarditis Bakterial sebagai Komplikasi a. Definisi dan Patogenesis Perikarditis adalah salah satu jenis penyakit perikardium tersering dan termasuk salah satu dari sindrom perikardial. Kejadiannya dapat diakibatkan manifestasi proses primer lokal ataupun dari sebuah penyakit sistemik. Etiologinya dapat dikategorikan menjadi infeksi dan non infeksi. Kausa infeksi akibat tuberkulosis, virus, atau bakteri lain dan kausa non infeksi tersering adalah keganasan, sindrom dari penyakit sistemik dan trauma perikardium. Tiga lapisan berbeda dapat dilihat pada perikardium parietal pada pemeriksaan mikroskopik; yaitu lapisan serosa, fibrosa dan jaringan ikat epiperikardial. Sedangkan perikardium visceral hanya tersusun oleh jaringan fibrosa tipis yang melapisi miokardium Pada cedera perikardium, terdapat dua respons perikardium yaitu distensi dan reaksi inflamasi. Pada epikard yang memiliki vaskularisasi tinggi dan ditutupi sel mesotelium dari perikardium visceral sehingga akan mudah terjadi transfer cairan transudat atau eksudat ke rongga perikardium saat terjadi inflamasi, atau bahkan dapat berupa cairan hemoragik pada kasus kasus tertentu. Produksi cairan perikardium dapat sedikit maupun banyak, dan terjadi pada fase awal. Pada cairan yang berbentuk eksudat fibrin, akan memicu adhesi dari lapisan parietal dan visceral sehingga akan menimbulkan friction rub pada pemeriksaan fisik. Pada proses pembentukan fibrin berulang akan merangsang reaksi inflamasi yang lebih hebat, sehingga memicu proses pemulihan bersifat fibrogenik. 5

255 Tabel 1. Etiologi dan frekuensi insiden di berbagai area penelitian Etiologi Persentase frekuensi insiden perikarditis dari studi yang pernah dilaporkan Idiopatik 15% (Afrika), 80-90% (eropa dan Amerika) Infeksi - Virus (coxsackievirus, Epstein Barr, Mayoritas tidak diketahui (30-50% di Jerman) cytmegalovirus, HIV, parvovirus) - Bakteri (TBC) 1-4% (Italia, Spanyol, Prancis) 70% (Afrika) - Bakteri (purulen) <1% (Eropa), 2-3% (Afrika) Non infeksi - Neoplasma 5-9% hingga 35% (eropa) - Autoimun 2-24% (seluruh dunia) Perikarditis purulenta atau supurativa adalah infeksi ruang perikardium dengan adanya produksi pus yang ditemukan secara kasat mata dari kantong perikardium maupun pemeriksaan mikroskopik jaringan. Pada kebanyakan kasus, biasanya infeksi perikardium tidak terdapat efusi supuratif. Perikarditis akibat infeksi virus dan idiopatik adalah kausa perikarditis tersering, dimana keduanya jarang terdapat pus, self-limited, bila terdapat efusi biasanya bersifat asimtomatik dan menghilang dengan sendirinya. Perikarditis akibat infeksi bakteri umumnya berlawanan dengan tipe perikarditis lainnya, dimana sering menjadi infeksi purulen, mengarah ke tamponade dan konstriksi perikardium. Diagnosis cepat dan tepat penting mengingat terapi perikarditis tipe ini harus spesifik terhadap agen kausatifnya. 5 Perikarditis bakteri umumnya bukanlah infeksi primer melainkan komplikasi dari infeksi di tempat lain, kejadiannya sangat jarang dengan frekuensi <1% di Eropa. Pada era pre antibiotik, pasien pneumonia atau empyema sering mengalami komplikasi perikarditis bakteri. Etiologi bakteri tersering saat ini adalah penyebaran dari bakteremia, empyema, trauma penetrasi, sumber intrakardiak, luka operasi, ruptur esofagus dengan fistula, abses retrofaring, dan abses hepar / subdiafragma. Organisme tersering yang diasosiasikan dengan purulen perikarditis adalah stafilokokus, streptokokus, dan pneumokokokus. Pada pasien imunosupresi atau setelah operasi bedah toraks, Staphylococcus aureus (30%) dan fungal (20%) lebih sering ditemukan. Infeksi yang berasal dari penyebaran daerah orofaring dapat juga melibatkan organisme anaerob. Neisseria meningitidis dapat melibatkan perikardium melalui mediasi imun di efusi perikardium yang steril atau bahkan langsung menginfeksi dengan pembentukan efusi purulen. Pada era modern saat ini dengan meningkatkan kasus imunosupresi, biasanya organisme yang ditemukan dapat lebih bervariasi. 5,7

256 Penyebaran terjadi secara bertahap ke struktur yang terdekat seperti area submandibula, leher dan mediastinum meski dapat juga diperburuk oleh penyebaran hematogenik yang potensial terjadi. b. Gejala Klinis Pasien perikarditis akut umumnya akan merasakan nyeri tajam di retrosternal yang dapat terasa cukup berat dan menghambat aktifitas walaupun pada beberapa kasus dapat asimtomatik. Nyeri perikardium umumnya memburuk dengan inspirasi dan berbaring, serta membaik dengan duduk tegak. Nyeri perikardium dikatakan memiliki penjalaran sepanjang batas bawah skapula, karena iritasi dari nervus frenikus yang melewati perikardium. Friction rub di perikardium adalah temuan klasik yang ada pada perikarditis akut. Biasanya bernada tinggi, kasar dan dapat memiliki 1,2 atau 3 komponen. Komponen ini terjadi ketika volume jantung berubah secara cepat : yaitu saat ejeksi ventrikel, pengisian cepat ventrikel dan sistolik atrial. Pasien dengan fibrilasi atrium hanya memiliki 1 atau 2 komponen rub. Friction rub dari perikardium dibedakan dengan pleural, dimana friction rub pleura akan menghilang dengan menahan nafas. Pada onset awal dari perikarditis akut, umumnya elektrokardiogram menunjukkan ST elevasi yang difus dengan adanya depresi segmen PR. ST elevasi biasanya muncul secara global di semua sadapan, kecuali avr. Pada kasus perikarditis yang klasik biasanya berevolusi ke dalam 4 stadium. Stadium I adalah elevasi segment ST dan depresi segmen PR; stadium II adalah normalisasi segmen ST dan PR, stadium III adalah inversi gelombang T yang global; stadium IV adalah normalisasi gelombang T. Pada perikarditis uremik umumnya bisa terjadi tanpa perubahan gelombang elektrokardiogram. 5 Tanda lain yang ada umumnya adalah bukti dari sebuah proses inflamasi, seperti leukositosis, peningkatan laju endap darah, peningkatan C reactive protein. Demam yang subfebris sering terjadi, tapi temperatur diatas 38 o C umumnya mengarahkan pada kecurigaan perikarditis tipe purulen. Troponin biasanya meningkat secara minimal, dengan atau tanpa peningkatan kreatinin kinase. Ini dapat terjadi karena keterlibatan epikardium pada beberapa kasus, dimana troponin yang meningkat ini tidak berkaitan dengan prognosis. Dari ekokardiografi dapat berupa efusi perkardium minimal hingga berat. 5,7 Evaluasi awal pada pasien sebaiknya memperhitungkan tanda tanda risiko tinggi seperti efusi perikarditis berat hingga tamponade jantung. Tanda yang ditemukan dapat berupa pulsus paradoksus, Kussmaul sign dengan peningkatan tekanan vena juguler. Ekokardiografi transthorakal memiliki tempat pada pasien

257 curiga perikarditis dengan masalah hemodinamik. Tanda high risk lain dari perikarditis akut adalah demam diatas 38 0 C, onset subakut, efusi perikardium berat (jarak terbesar >20mm), respon buruk terhadap NSAID selama 1 minggu, tamponade jantung, trauma akut, kondisi imunosupresi, penggunaan oral antikoagulan, peningkatan troponin, dan perikarditis yang dicurigai berulang. 5 Pasien memiliki keluhan demam dan nyeri dada. Nyeri dada menurut deskripsi pasien terasa seperti tertusuk dan memburuk dengan inspirasi dan perubahan posisi. Hal tersebut sesuai dengan klinis nyeri dada pleuritik, walau sebenarnya hal tersebut tidak berdiri sendiri akibat adanya mediastinitis yang turut memperburuk sensasi nyeri dada yang dirasakan. Pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya perikardial rub fase sistolik diastolik. Yang khas menunjukkan keterlibatan perikardium adalah dari elektrokardiogram, dimana sangat spesifik dengan adanya elevasi ST global disertai depresi segmen PR. Penanda inflamasi didapatkan dari gejala dan penunjang laboratorium. Demam dikatakan berlangsung terus menerus dan tinggi, meningkatkan kecurigaan keterlibatan infeksi bakterial. c. Diagnosis Diagnosis sebuah perikarditis, khususnya tipe purulen idealnya harus berdasarkan kecurigaan klinis yang tinggi dari riwayat yang akurat dan pemeriksaan fisik yang menyeluruh dan dikonfirmasi dengan adanya pengecatan atau kultur yang positif dari aspirasi perikardium. Pada praktik klinis diagnosis dari perikarditis didasarkan pada kriteria nyeri dada tipikal pleuritik, perikardial rub, perubahan segmen ST global dan efusi perikardial. Sekurang kurangnya dua dari empat gejala harus terpenuhi. Bukti tentang kejadian inflamasi dengan penanda seperti C reactive protein adalah alat untuk konfirmasi terhadap kriteria klinis. Evaluasi melalui auskultasi, elektrokardiogram, ekokardiografi, penanda inflamasi dan enzim jantung, foto thorax seharusnya dikerjakan dalam proses evaluasi. Ekokardiografi adalah metode investigasi dasar dan memudahkan analisa semi kuantitatif dari efusi perikardium. Pencitraan lain dapat digunakan sebagai evaluasi fungsional dan anatomis dari perikardium, khususnya pencitraan computed tomography (CT) dan cardiac magnetic resonance (CMR). 5

258 Tabel 2. Kriteria diagnosis perikarditis dan klasifikasi berdasarkan onset Perikarditis Definisi dan kriteria diagnosis Akut Sindrom perikardial inflamasi dengan minimal 2 dari 4 kriteria 1. Nyeri dada perikarditis 2. Perikardial rub 3. Elevasi segmen ST global dan depresi PR 4. Efusi perikardial (baru atau perburukan) Temuan tambahan : 1. Peningkatan penanda inflamasi (C reactive protein, laju endap darah, leukosit) 2. Bukti inflamasi perikardial dari pencitraan (CT/ CMR) Incessant Perikarditis lebih lama dari 4-6 minggu, tapi kurang dari 3 bulan tanpa remisi Recurrent (berulang) Kronik Perikarditis berulang setelah perikarditis akut dan interval bebas gejala 4-6 minggu setelah episode pertama Perikarditis lebih dari 3 bulan Setelah mendiagnosis sebuah perikarditis, sebenarnya tidak semua kasus yang ditemukan perlu evaluasi mendalam tentang etiologi. Ini relevan pada daerah dengan prevalensi TB yang rendah, karena umumnya dihubungkan dengan perjalanan alami yang jinak dan proses investigasi mendalam dikatakan tidak begitu memberi manfaat apabila kecurigaan oleh karena virus dan tidak memiliki tanda-tanda risiko tinggi. Apabila kausa yang dicurigai adalah non virus serta memiliki karakteristik risiko tinggi, maka pendalaman etiologi memiliki manfaat dalam terapi dan pengawasan terhadap risiko komplikasi (tamponade, perikarditis berulang atau konstriktif). Presentasi klinis yang dicurigai akibat proses sistemik atau etiologi yang jelas berhubungan atau ada prediktor prognosis yang buruk, maka pasien sebaiknya di rawat inap untuk evaluasi etiologi. Sedangkan apabila pasien tidak memiliki kriteria tersebut (kecurigaan disebabkan virus, tidak ada fokus infeksi spesifik, tidak ada tanda risiko tinggi) pasien dapat dirawat jalan dan diberi antiinflamasi non steroid selama 1 minggu untuk kemudian dievaluasi responnya terhadap terapi.

259 d. Penatalaksanaan Tatalaksana dari penyakit perikardial secara garis besar adalah bersifat empiris, karena relatif kurangnya data klinis acak dibandingkan dengan penyakit kardiovaskuler yang lain. Pengobatan seharusnya menargetkan kausa seoptimal mungkin, walaupun mayoritas kecurigaan adalah idiopatik dan virus utamanya pada negara maju. Selain terapi farmakologis, tatalaksana non farmakologis juga penting diperhatikan. Rekomendasi pertama adalah dengan restriksi aktivitas fisik hingga resolusi dari gejala dan normalisasi dari nilai CRP. Diharapkan juga pasien tidak terlibat dalam aktifitas olahraga yang sifatnya kompetitif. Restriksi minimal 3 bulan disarankan dari consensus ahli utamanya pada pasien yang adalah atlet, dimana pada pasien non atlet dapat lebih singkat daripada itu. 5,7 Pilihan terapi harus didasarkan pada riwayat pasien (kontraindikasi, efikasi, efek samping), penyakit penyerta dan pengalaman dokter. Aspirin dan obat non steroid anti inflammation drug (NSAID) adalah pilihan utama. Tabel 3. Pilihan terapi anti inflamasi perikarditis, dosis dan lama pengobatan Obat Dosis Lama Tapering Monitoring standar pengobatan Asam 2-4 g / hari 2-4 minggu, 1-2 Dosis dikurangi 250 Darah lengkap CRP aseltilsalisilat minggu pada 500 mg tiap 1-2 kasus ringan minggu Ibuprofen 600mg 3 kali 2-4 minggu, 1-2 Dosis dikurangi 250 Darah lengkap CRP sehari atau minggu pada 400 mg tiap kasus ringan minggu mg / hari Indometasin 50mg 3 kali 2-4 minggu Darah lengkap CRP sehari atau mg / hari Kolkisin 0,5 mg 2 kali 3 bulan untuk 0.5mg 1 kali sehari Darah lengkap CRP sehari (0,5mg perikarditis akut pada berat badan Kreatinin kinase / hari pada 6-12 bulan >70kg Transaminase Serum pasien berat untuk 0,5 mg tiap 2 hari kreatinin <70kg) perikarditis pada pasien berat rekuren badan <70kg Prednison 0,2 0,5 mg/ 2 4 minggu Penurunan - kg berat untuk dosis disesuaikan dengan badan per terapi, beberapa dosis mulai terapi hari bulan untuk proses tapering Lama pengobatan optimal harus disesuaikan perindividu. Terapi anti inflamasi harus dipertahankan hingga resolusi dari gejala dan normalisasi nilai CRP. Penilaian mingguan terhadap nilai CRP juga disarankan. Tapering dari antiinflamasi direkomendasikan untuk mengurangi insiden rekurensi. Pengobatan dengan aspirin atau NSAID sebagai lini pertama sebaiknya dibarengi dengan pemberian obat

260 pelengkap dari aspirin atau NSAID. Kolkisin direkomendasikan pada dosis rendah dan disesuaikan dengan berat badan. Tapering dari kolkisin tidak diwajibkan, namun dapat dipertimbangkan untuk mencegah gejala menjadi menetap dan rekurensi. Kortikosteroid tidak disarankan apabila digunakan sebagai lini pertama pengobatan perikarditis akut, dan hanya dipertimbangkan apabila ada kasus dengan gagal respon atau kontraindikasi aspirin, NSAID maupun kolkisin. Namun apabila kausa perikarditis akibat infeksi spesifik sudah dieksklusi atau penyakit autoimun adalah mekanisme yang mendasarinya terjadi perikarditis, maka kortikosteroid memiliki tempat sebagai pilihan utama. Proses penurunan dosis pada terapi kortikosteroid disesuaikan dengan dosis permulaannya. Penggunaan dosis sangat tinggi sangat tidak disarankan. Prednison 25mg dikatakan ekuivalen dengan metilprednisolon 20mg, dan dapat diaplikasikan pada saat prednison tidak tersedia. Penurunan dosis steroid dilakukan bila pasien asimtomatik dan CRP normal. Suplemen kalsium oral sebaiknya diberikan bersamaan dengan asupan kalsium yang sebaiknya diperbanyak hingga mg/ hari dan suplemen vitamin D IU per hari pada pasien dengan steroid. Bifosfonat dapat diberikan pada pasien laki diatas 50 tahun atau wanita post menopause apabila steroid prednison diberikan dengan dosis mulai 5mg per hari. 5 Tabel 4. Proses penurunan dosis pengobatan dengan steroid Dosis permulaan 0,25 0,5 mg / kg Tapering berat badan per hari >50mg 10mg / hari tiap 1-2 minggu 50-25mg 5-10 mg/ hari tiap 1-2 minggu 25-15mg 2,5 mg/hari tiap 2-4 minggu <15mg 1,25-2,5 mg/ hari tiap 2-6 minggu 2.11 Prognosis Prognosis pseudoangina ludovici tergantung pada kecepatan proteksi jalan napas dan kemudian pemberian antibiotika. Pseudoangina ludovici dapat berakibat fatal karena membahayakan jiwa. Kematian pada era pre antibiotik adalah sekitar 50%. Namun dengan diagnosis dini, perlindungan jalan nafas yang segera ditangani, pemberian antibiotik intravena yang adekuat, penanganan dalam intensive care unit (ICU), penyakit ini dapat sembuh tanpa mengakibatkan komplikasi. Dengan begitu angka mortalitas juga menurun hingga kurang dari 5%..17,18 Prognosis yang cukup baik didapatkan pada penelitian mengenai penatalaksanaan abses leher dalam yang dilakukan di Departemen THT-KL RSHS Bandung periode Januari 2012-Desember 2012 yang memperlihatkan kondisi pasien saat pulang dengan perbaikan sebanyak 71%. 18

261 b. LAPORAN KASUS Pasien GPM, laki-laki berumur 23 tahun, Hindu, suku Bali, karyawan restoran, datang ke IGD RSUP Sanglah Denpasar tanggal 20 Oktober 2016 merupakan konsul dari teman sejawat kardiologi dengan diagnosis perikarditis akut dan observasi abses leher. Dari anamnesis didapatkan bahwa pasien mengeluh bengkak berwarna kemerahan di bawah dagu sisi kanan sejak 10 hari yang lalu, kemudian menyebar ke bawah dagu sisi kiri. Keluhan nyeri dan demam timbul kira-kira 4 hari sebelum masuk Rumah Sakit. Sejak saat itu pasien sulit makan terutama makanan padat, tetapi masih bisa makan makanan lunak dan cair. Pasien juga mengeluh sesak nafas saat tiba di rumah sakit, sesak dirasakan makin memberat dan tidak pernah dialami sama sekali sebelumnya. Sesak nafas dikatakan tidak membaik dengan perubahan posisi duduk atau tegak. Dada terasa nyeri, penuh dan tertusuk sejak 4 hari bersamaan dengan sesak dan makin memberat. Sekitar 11 hari sebelumnya, pasien mengatakan gigi geraham bawah kiri sempat terasa sakit dan bengkak, kemudian membawanya ke dokter gigi untuk diperiksakan. Pasien sempat mengatakan giginya dibor dan diberikan obat penahan nyeri untuk beberapa hari. Setelah itu pasien membawanya kembali untuk kontrol, namun tidak ada pengobatan lanjutan setelahnya. Pasien tidak merokok juga tidak minum alkohol. Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran komposmentis (E4V5M6) dengan tekanan darah saat masuk 110/70 mmhg, denyut jantung 120x/menit regular, pernapasan 24x/menit, suhu aksila 38,5 C, konjungtiva mata tidak tampak anemis, tidak nampak ikterus. Dari pemeriksaan telinga dan hidung tidak ada kelainan. Tenggorok sulit dievaluasi karena trismus sehingga pasien hanya bisa membuka mulut kira-kira 2 cm. Tampak dasar lidah terangkat. Oral higiene buruk. Tampak gangren radiks kiri bawah. Pada pemeriksaan region submandibula kiri tampak edema dan hiperemi, palpasi teraba hangat, fluktuasi dan terdapat nyeri tekan, permukaan kulit dada tampak kemerahan. Dilakukan aspirasi pada daerah yang paling fluktuatif dan didapatkan pus sekitar 50 cc. Pasien didiagnosis sebagai pseudoangina ludovici dan suspek mediastinitis akut dan perikarditis bakterial.

262 Gambar 4. Edema pada regio submandibula kiri Dilakukan pemeriksaan penunjang antara lain pemeriksaan laboratorium, radiologi dan mikrobiologi. Hasil pemeriksaan glukosa darah sewaktu adalah 103 mg/dl, kadar hemoglobin 14,76 g/dl, leukosit 13,620/µL, netrofil 10,390/µL dan penanda inflamasi CRP kuantitatif meningkat sebesar 337,07 mg/dl, LED 67,3 mm/jam. Pemeriksaan penunjang elektrokardiografi menunjukkan sinus takikardia 120x/menit dengan adanya perubahan segmen ST berupa elevasi cekung hampir di semua lead. Pemeriksaan foto thoraks (19/ ) menunjukkan adanya ukuran jantung yang masih normal, dengan pinggang jantung masih nampak jelas dan tidak nampak adanya infiltrat atau kongesti paru, namun tampak gambaran efusi pleura bilateral. Gambar 5. Elektrokardiogram Dilakukan dekompresi dan swab dasar luka, kemudian hasil swab dasar luka dikirim ke bagian mikrobiologi klinik untuk kultur dan uji tes sensitivitas. Pasien rawat bersama dengan sejawat Kardiologi di ruang intensif, tirah baring dalam posisi Trendelenberg. Dipasang IVFD NaCl 0,9% berbanding dekstrosa 5% dengan kecepatan 20 tetes/menit.

263 Gambar 6. Thorak Foto Antibiotika yang diberikan adalah ceftriaxon 2 x 1 gr intravena dan metronidazole 3 x 500 mg intravena, antiinflamasi metilprednisolon 2 x 62,5 mg intravena, analgetik ketorolak 3 x 30 mg intravena, anti emetik ranitidin 2 x 50 mg intravena. Dikonsulkan ke sejawat Bedah Torak dan Kardiovaskular (BTKV) untuk penanganan mediastinitis akut, sejawat Paru untuk penatalaksanaan pneumonia dan efusi pleura bilateral, serta sejawat Gigi dan Mulut untuk penanganan fokal infeksi. Gambar 7. Insisi, dilatasi dan drainase abses Oleh sejawat Kardiologi pasien mendapatkan terapi antiinflamasi ibuprofen 400mg tiap 8 jam, dilakukan ekokardiografi dan monitoring elektrokardigrafi setiap hari. Terapi dari sejawat Paru adalah pasien diberikan tambahan antibiotik levofloxacin 750 mg tiap 24 jam dan direncanakan untuk kultur darah, kultur sputum dan tes sensitivitas antibiotik, apusan gram sputum. Sejawat BTKV merencanakan untuk pemeriksaan CT scan area setinggi segmen vertebra cervicothorakal. Hasil CT scan (22/ ) menunjukkan adanya abses area submandibula kiri yang meluas ke regio coll kiri dan mediastinum superior 24

264 sisi kiri. Hasil kultur dasar luka didapatkan hasil negatif, begitu juga dengan hasil kultur darah. Gambar 8. CT scan Thorak Pada tanggal 26 Oktober 2016 didapatkan bengkak di bawah rahang sudah berkurang namun produksi pus tetap ada walaupun sudah dilakukan dilatasi dan drainase setiap hari. Dilakukan pemeriksaan laboratorium ulang hemoglobin 14,53 g/dl, terjadi peningkatan leukosit 20,750/µL dan netrofil 18,790/µL. Pasien direncanakan untuk dilakukan operasi sternotomi dan debridemen pada tanggal 27 Oktober Dari hasil operasi selama 1 jam 45 menit, telah dilakukan debridemen kavum thorak, dan pleura kanan kiri. Didapatkan total pus 300 ml di area kavum thoraks dan 100 cc dari area submandibula dan colli. Sebagian hasil pus diambil untuk dilakukan pemeriksaan mikrobiologi. Pasien dirawat dengan terpasang drain substernal, drain infrapleura bilateral, dan drain tambahan untuk irigasi.

265 Gambar 9. Dilakukan sternotomi dan debridement, tampak pus intratorakal Gambar 10. Terpasang drain dan irigasi pasca sternotomi dan debridemen Gambar 11. Thorak AP pasca sternotomi dan debridemen Pasca operasi pasien mendapat tambahan analgetik morfin 10 mcg per kg berat badan per jam serta parasetamol 1 gram tiap 8 jam, dengan terapi lainnya tetap dilanjutkan. Perawatan dilakukan hampir selama 3 minggu, dengan kondisi pasien terus mengalami perbaikan, dengan obat obatan diganti ke sediaan oral, berupa ibuprofen 400mg tiap 8jam, parasetamol 750mg tiap 8 jam, metronidazole 500mg tiap 8jam, metilprednisolon oral 16mg tiap 12 jam dam cefixime 200mg tiap 12 jam. Dari parameter laboratorium dan elektrokardiogram didapatkan hasil yang membaik. Pasien dipulangkan pada tanggal 9 November 2017, dengan lama perawatan 20 hari. Kondisi saat pulang pasien sudah tanpa keluhan sesak maupun nyeri luka operasi, mampu mobilisasi berjalan secara mandiri, dan mampu makan minum secara normal. Pasien dipulangkan dengan direncanakan pemantauan melalui poliklinik, direncanakan evaluasi ulang laboratorium lanjutan dan CT scan untuk evaluasi. IV. PEMBAHASAN Pseudoangina ludovici merupakan penyakit langka yang dapat berpotensi mengancam nyawa jika proses infeksinya menyebar sampai ke mediastinum. Pada

266 penelitian yang dilakukan Lemonick pada tahun 2002 didapatkan angka kejadian pseudoangina ludovici paling sering terjadi pada usia 20 sampai 60 tahun. Perbandingan laki-laki dan perempuan adalah 3: 1. Pasien pada laporan ini adalah laki-laki berusia 63 tahun dengan adanya sumber infeksi odontogenik. 1,2 Orodental higiene yang buruk dan adanya infeksi yang berasal dari gigi merupakan faktor predisposisi pada pasien ini. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Paolo Rizzo pada tahun di Rumah Sakit Treviso, Italia, penyebab tersering pseudoangina ludovici adalah infeksi pada gigi (42,9%). Hal ini juga sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Rana dkk, bahwa infeksi yang berasal dari gigi merupakan penyebab tersering dari abses leher dalam yaitu 48%. Sumber infeksi diketahui dari gigi maka pasien dikonsulkan pada bagian gigi. Seharusnya penatalaksanaan gigi dilakukan secepatnya, namun karena keadaan umum pasien tidak memungkinkan maka ekstraksi gigi direncanakan setelah keadaan umum pasien memungkinkan. 7,10,11 Gambaran klinis pseudoangina ludovici meliputi: a) gejala klinis ekstraoral seperti eritema, pembengkakan, pada perabaan hangat, fluktuatif dan suara seperti hot potato voice akibat edema pada organ vokal; b) gejala klinis intraoral seperti pembengkakkan, nyeri dan peninggian lidah; c) gejala lainnya yaitu adanya pembengkakan yang nyeri pada dasar mulut dan bagian anterior leher, demam, nyeri menelan atau odinofagia, hipersalivasi, trismus, nyeri pada gigi, suara serak, stridor, distress pernapasan dan sianosis. 8,9 Diagnosis pseudoangina ludovici pada kasus ini ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pada anamnesis didapatkan bahwa pasien mengeluh bengkak kemerahan di dagu sisi kiri sejak 10 hari yang lalu, kemudian menyebar ke bawah dagu sisi kiri dan terasa nyeri. Nyeri menelan dikeluhkan sejak 4 hari yang lalu namun pasien pada saat itu masih bisa makan dan minum biasa. Didapatkan nyeri dada maupun sesak nafas. Dari pemeriksaan telinga dan hidung tidak ada kelainan, tenggorok sulit dievaluasi karena trismus sehingga pasien hanya bisa membuka mulut kira-kira 2 cm. Tampak dasar lidah terangkat. Pada pemeriksaan regio submandibula kiri tampak edema dan hiperemi, palpasi teraba hangat, fluktuasi dan terdapat nyeri tekan. 12,13 Paolo Rizzo menyatakan bahwa pada pemeriksaan laboratorium dapat ditemukan leukositosis. Pada pasien ini terdapat leukositosis dengan jumlah leukosit /µL meningkat menjadi /µL dalam waktu 1 minggu perawatan. Paolo Rizzo juga menyatakan bahwa pada 37% pasien abses leher dalam terdapat

267 peningkatan jumlah leukosit di atas /µL. 16 Pemeriksaan leukosit secara serial merupakan cara yang baik untuk menilai respons terapi. Pada pasien ini jumlah leukosit mengalami peningkatan pada minggu pertama perawatan dan berangsurangsur menurun mendekati normal setelah dilakukan sternotomi dan debridemen. Perikarditis bakterial umumnya bukanlah infeksi primer melainkan komplikasi dari infeksi di tempat lain, kejadiannya sangat jarang dengan frekuensi <1% di Eropa. Berdasarkan kriteria diagnosis perikarditis dan klasifikasi berdasarkan onset maka dibedakan akut, incessant, rekuren (berulang) dan kronik. Diagnosis perikarditis akut meliputi sindrom perikardial inflamasi dengan minimal 2 dari 4 kriteria antara lain nyeri dada perikarditis,, rub pericardial, elevasi segmen ST global dan depresi PR dan efusi perikardial (baru atau perburukan) serta temuan tambahan peningkatan penanda inflamasi (C-reactive protein, laju endap darah, lekosit), bukti inflamasi perikardial dari pencitraan (CT/CMR). Kecurigaan perikarditis akut terpenuhi mengingat dari 4 kriteria, pasien memiliki 3 diantaranya, yaitu nyeri pleuritik, rub pericardial, dan manifestasi elektrokardiogram serta temuan tambahan dari penanda inflamasi yang positif dengan onset yang masih dibawah 3 bulan. Pilihan terapi harus didasarkan pada riwayat pasien (kontraindikasi, efikasi, efek samping), penyakit penyerta dan pengalaman dokter. Aspirin dan obat non steroid anti inflammation drug (NSAID) adalah pilihan utama. Pasien diberikan terapi berupa antiinflamasi ibuprofen 400mg setiap 8 jam dan antagonis reseptor histamin 2 untuk proteksi gaster. 5 Dilakukan evakuasi abses dengan anestesi lokal dimana insisi dibuat pada tempat yang paling fluktuasi. Diseksi tumpul dengan hemostat dilakukan sampai ke dalam rongga abses dan kemudian dilakukan drainase abses. Setelah itu rongga abses diirigasi dengan larutan garam fisiologis dan dipasang drain. Dilakukan dilatasi, toilet luka dan penggantian drain setiap hari pada luka insisi abses hingga bengkak di bawah rahang dan dagu hilang serta pus tidak ada lagi. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Rana dkk yang mendapatkan sebagian besar pasien abses leher dalam perlu dilakukan insisi dan drainase (78% pasien) dan hanya 22% pasien yang membaik dengan terapi medikamentosa saja. 15 Setelah hasil CT scan thorak yang menunjukkan adanya mediastinitis akut maka dilakukan sternotomi dan debridemen oleh sejawat BTKV. Antibiotik tetap diberikan secara empirik sambil menunggu hasil kultur dan uji tes sensitivitas pasca sternotomi. Idealnya antibiotik yang diberikan harus sesuai dengan hasil kultur dan tes resistensi. Karena pemeriksaan ini membutuhkan hasil yang lama, maka pemberian

268 antibiotika dapat berdasarkan empiris atau sesuai dengan pola kuman pada daerah tersebut. 12,13 Pada pasien ini telah dilakukan pemeriksaan CT-scan thorak dan leher dengan kesan abses area submandibula kiri yang meluas ke regio colli kiri dan mediastinum superior sisi kiri. Dari kepustakaan diketahui bahwa jika dicurigai adanya abses leher dalam maka idealnya harus dilakukan pemeriksaan CT-Scan, karena pemeriksaan ini dapat membedakan antara selulitis dengan abses, menentukan lokasi dan perluasan abses. 3,4,6 Ketika penyebaran infeksi memasuki mediastinum, penyebaran meningkat sepanjang mediastinum dan servikal. Tanda dan gejala klinis terdiri dari demam, nyeri dada, disfagia, sesak nafas dan krepitasi subkutan servikal dan torakal atas. Pada kasus yang lebih berat gambaran klinis dapat memburuk dengan cepat menjadi sepsis dan kematian. Pemeriksaan laboratorium ditemukan lekositosis dan laju endap darah yang meningkat. Kecurigaan mediastinitis dengan foto thorak didapatkan pelebaran mediastinum atau jaringan lunak paratrakeal, trakea terdorong, gambaran benda asing atau udara di mediastinum, abses yang menyebabkan perselubungan di daerah mediastinum. CT scan dapat menunjukkan abses dan pembengkakan jaringan lunak dan pengumpulan cairan atau udara di mediastinum, limfadenopati, high attenuation steaks di peristernal serta cairan di pleura dan perikardial. Penanganan mediastinitis dengan drainase abses melalui torakotomi. 3,4,6 Pada pasien ini ditemukan tanda dan gejala klinis yaitu demam, nyeri dada, disfagia dan sesak nafas, leukositosis dan laju endap darah yang meningkat. CT scan thorak dengan hasil abses area submandibula kiri yang meluas ke regio colli kiri dan mediastinum superior sisi kiri. Pronosis pasien pseudoangina ludovici dengan komplikasi mediastinitis sangat buruk hampir 40% mengalami kematian. 3 Namun pada pasien ini mengalami perkembangan yang baik. 5. KESIMPULAN Telah dilaporkan pasien laki-laki berusia 23 tahun dengan diagnosis pseudoangina ludovici dengan komplikasi mediastinitis akut dan perikarditis bakterial. Pseudoangina ludovici yaitu suatu peradangan akut dari ruang submandibular, sublingual bilateral serta ruang submental, terdapat daerah yang fluktuatif berisi pus. Komplikasi yang paling sering terjadi adalah sumbatan jalan nafas, penjalaran infeksi serta abses ke ruang leher dalam lain dan mediastinum serta sepsis yang menyebabkan semakin sulitnya penanganan dan bahkan dapat

269 pada kasus ini menunjukkan perbaikan setelah dilakukan penanganan yang cepat, multidisiplin dan perawatan yang cukup lama.

270 DAFTAR PUSTAKA 1. Gadre AK, Gadre KC. Infections of the deep spaces of the neck. In: Bailey BJ, Johnson JT,editors. Head & neck Surgery Otolaryngology. 4th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins;2006. p Imanto M. Evaluasi Penatalaksanaan Abses Leher Dalam Di Departemen THT-KL Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung Periode Januari 2012 Desember Juke Unila. 2015; 5(9): Brotfain E, Koyfman L, Odes LS, Borer A, Refaely Y, Klein M. Case Report : Deep Neck Infection and Descending Mediastinits as a Complication of Propionibacterim acnes Odontogenic Infection. Israel Available at: http: // dx.doi.org/ /2015/ Diamantis S, Giannakopoulos H, Chou J, Foote J. Descending necrotizing mediastinitis as a complication of odontogenic infection. International Journal of Surgery Case Reports. 2011;2(5): Imazio M, Gaita F, LeWinter M. Evaluation and Treatment of Pericarditis: A Systematic Review. Jama. 2015;314(14): Panda NK, Mann SBS, Sharma SC. Mediastinitis Following Deep Neck Infections : A Therapeutic Challenge. In : Indian Journal of Otolaryngology and Head and Neck Surgery Vol. 52 No. 4. Chandigarh, India. 2000: p Rocha FS, Batista JD, Silva CJ, Júnior RB, Raposo LHA. Considerations for the Spread of Odontogenic Infections Diagnosis and Treatment Huang SH, Yang SW, Lee MH, See LC, Chen TM, Chen TA. Deep Neck Abscess: An Analysis Of Microbial Etiology And The Effectiveness Of Antibiotics. Infection and Drug Resistance. 2008:1 : Charles W. Cummings, Lee Harker. Deep neck infection. In : Head & Neck Surgery Otolaryngology. 4th edition. Pennsylvania: Elsevier Mosby. 2007: p Furst IM, Ersil P, Caminiti M. A Rare Complication of Tooth Abscess- Ludwig s Angina and Mediastinitis. In J Can Dent Assoc. America. 2001:p Higler Boies A. Rongga Mulut dan Faring. In : Buku Ajar Penyakit THT. Jakarta: EGC; p Fachruddin D. Abses leher dalam. Dalam: Iskandar M, Soepardi AE editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok. Edisi ke 7. Jakarta: Balai Penerbit FK-UI. 2007: p Scott BA, Steinberg CM, Driscoll BP. Infection of the deep Space of the neck. In: Bailley BJ, Jhonson JT, Kohut RI et al editors. Otolaryngology Head and neck surgery. Philadelphia: JB.Lippincott Company p

271 14. Ballenger J J. Disease of the oral cavity. In: Ballenger J J, Snow Jr J B,eds. Otorhinolaryngology: Head and Neck Surgery. 15th Ed. United states of America : Williams & Walkins; p Rana K, Rathore PK, Wadhwa V, Kumar S. Deep Neck Infections: Continuing Burden in Developing World. International Journal of Phonosurgery and Laryngology. 2013;3(1): Rizzo P, Mosto MCD. Submandibular Space Infection: A Potentially Lethal Infection. International Journal of Infectious Diseases. 2009;13: Oliver ER, Gillespie MB. Deep Neck Space Infections. In: Flint PW, Haughey BH, Lund VJ, Niparko JK, Richardson MA, Robbins KT, et al., editors. 18. Cummings Otolaryngology Head and Neck Surgery. 5th ed. Philadelphia: Mosby, Inc.; p Aynehchi BB, Har El G. Deep neck Infection. In: Johnson JT & Rosen CA, eds. Bailey s Head and Neck Surgery Otolaryngology, 5th edition, Philadelphia: Lippincort William & Wilkins, 2014: p

272 PENATALAKSANAAN BENDA ASING GIGI PALSU DI ESOFAGUS DENGAN ESOFAGOTOMI SERVIKAL Oleh: Wayan Suardana Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok-Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/ RSUP Sanglah Denpasar I. PENDAHULUAN Benda asing esofagus adalah salah satu masalah umum yang sering dihadapi oleh dokter THT. Sebanyak 80-90% benda asing pada esofagus dapat mencapai lambung tanpa kesulitan, 10%-20% harus dikeluarkan dengan ekstraksi dan 1%-2% diantaranya membutuhkan tindakan pembedahan. Tujuh puluh persen dari 2394 kasus benda asing esofagus ditemukan di daerah servikal, di bawah sfingter krikofaring, 12% di daerah hipofaring, dan 7.7% di daerah esofagus torakal. Dilaporkan 48% dari kasus benda asing yang tersangkut di esofagogaster menimbulkan nekrosis tekanan dan infeksi lokal. Jenis benda asing yang tertelan pada anak dan dewasa berbeda. Pada anak biasanya berupa mainan kecil, pernakpernik kecil dan uang logam. Sedangkan pada orang dewasa, jenis yang banyak tertelan berasal dari makanan, biasanya berupa potongan daging dan tulang, serta gigi palsu. 1,2,3 Gigi palsu sebagai benda asing di esofagus merupakan suatu kasus yang tidak jarang terjadi. Peningkatan kejadian tertelan gigi palsu akhir-akhir ini terjadi seiring dengan meningkatnya pemakaian gigi palsu. Ini karena penggantian gigi yang hilang atau rusak dengan gigi palsu dapat membantu penderitanya dalam proses mengunyah makanan (mastikasi), memperjelas bicara (artikulasi), memperbaiki penampilan (estetika) serta meningkatkan harga diri penggunanya. Namun penggunaan gigi palsu juga mengakibatkan penurunan sensasi makanan dalam mulut pemakainya, lemahnya kendali motorik atau hilangnya sensasi laringofaring sehingga sering tertelan. 4,5 Gigi palsu memiliki panjang yang berbeda-beda dan sering memiliki bagian kawat yang menonjol keluar dan berpotensi untuk tertancap di sepanjang saluran cerna. Secara umum, benda asing yang runcing, tajam, dan panjang merupakan jenis benda asing yang sulit dan harus segera diekstraksi sebelum keluar dari lambung. Ini karena 15-35% kasus akan menyebabkan perforasi usus. Komplikasi lain yang dapat muncul akibat benda asing yakni ulserasi mukosa, 6

273 cara yang relatif aman dan efektif dalam mengekstraksi benda asing pada sebagian besar kasus, namun pada beberapa kasus tindakan esofagoskopi tidak dapat dilakukan atau gagal dalam mengeluarkan benda asing, sehingga diperlukan suatu tindakan pembedahan berupa esofagotomi. 4 Dalam laporan kasus ini, dilaporkan tindakan esofagotomi servikal yang dilaksanakan oleh bagian Bedah Toraks dan Kardiovaskuler RSUP Sanglah dengan pendekatan insisi paramedian pada pasien dengan benda asing gigi palsu di esofagus bagian servikal setelah gagal esofagoskopi. Laporan kasus ini bertujuan untuk menambah wawasan kita di bidang THT-KL tentang penatalaksanaan benda asing gigi palsu di esofagus servikal bila gagal esofagoskopi sehingga akhirnya diperlukan suatu tindakan bedah terbuka. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Leher terletak di antara kranium dan toraks dengan batas atas dibentuk oleh tepi bawah mandibula, angulus mandibulae, prosesus mastoideus, linea nuchae superior dan protuberantia occipitalis externa. Sedangkan batas bawah adalah manubrium sternum, klavikula dan garis yang melintang dari sendi akromioklavikula ke prosesus spinosus dari vertebra servikal VII. Rangka tulang dan tulang rawan leher terdiri atas os hioid, membran tirotiroid, kartilago krikoid dan trakea. Os hioid terletak setinggi vertebra servikal III dan badan os hioid kirakira setinggi sudut rahang. Os hioid merupakan batas yang penting untuk pembedahan. Otot eksternal laring dan beberapa otot lidah serta dasar mulut melekat pada os hioid. Membran tirotiroid berada di antara os hioid dan kartilago tiroid. Membran ini berfungsi sebagai ligamen yang menutup laring dari os hioid dan melekat pada batas posterior dari tulang dan kornu yang lebih besar. Kartilago tiroid mengandung dua lamina yang terpisah di belakang tetapi bersatu di depan membentuk proyeksi yang disebut prominentia laringeus atau Adam s Apple. Membran krikotiroid menutup ruang yang memisahkan krikoid dan kartilago tiroid. Ruang ini merupakan tempat dilakukannya trakeostomi yang paling sederhana dan paling cepat. Kartilago krikoid membentuk sebuah cincin yang mengelilingi laring di bawah kartilago tiroid. Bagian anterior yang sempit berupa sebuah lengkungan yang mudah dirasakan melalui kulit dan berada setinggi vertebra servikal VI. 6,7 Leher apabila dilihat dari lateral berbentuk persegi panjang yang oleh

274 (segitiga) anterior dan trigonum colli (segitiga) posterior. Sedangkan pada tempat otot ini berada disebut sebagai region sternomastoideus yang dimana terdapat banyak struktur yang berada di bawahnya seperti a. karotis internus, n. vagus, m. skalenus anterior dan pleksus servikalis. 6,7 Gambar 2.1 Segitiga anterior leher yang terdiri dari 1) segitiga submental, 2) segitiga digastrikus, 3) segitiga muskularis, 4) segitiga karotis. Segitiga posterior leher yang terbagi menjadi 5) segitiga oksipitalis, 6) segitiga supraklavikula 7 Segitiga anterior dibagi menjadi 4 segitiga yaitu segitiga submentalis, submandibularis atau digastrikus, muskularis dan karotis. Sedangkan segitiga posterior dibagi menjadi segitiga oksipitalis dan segitiga supraklavikula. Selain segitiga tersebut, di bagian dalam terdapat segitiga skalenoventebrate. Segitiga digastrikus disebut juga sebagai segitiga submandibular dimana struktur yang paling penting pada segitiga ini adalah kelenjar ludah submandibula. Selain itu terdapat juga kelenjar limfe, pembuluh darah fasialis, submental dan milohioid, juga mengandung saraf milohioid, hipoglosus dan glosofaringeus. Segitiga submental terletak di atas os hyoid dan dibatasi oleh m. milohioid pada bagian dasar. Segitiga ini mengandung kelenjar limfe submental dan vena jugularis anterior. Sedangkan segitiga muskularis mengandung empat otot infrahioid yaitu m. omohioid, m. sternohioid, m. sternotiroid dan m. tirohioid. Segitiga karotis bagian atas terletak pada m. sternokleidomastoideus, bagian posterior dari m. digastrikus dan bagian superior dari m. omohioid. Dinamakan segitiga karotis karena mengandung bifurkasio a. karotis dan cabang tiroid superior, faringeal asenden, lingual, fasialis dan oksipitalis. 6,7

275 Segitiga posterior dari leher sebenarnya terletak di sisi lateral leher dan mengelilingi sisi lateral leher seperti spiral. Segitiga posterior dari leher terdiri dari segitiga oksipital dan segitiga supraklavikularis. Segitiga oksipital mengandung a. oksipitalis, cabang dari pleksus servikalis dan n. asesorius. Sedangkan segitiga supraklavikularis mengandung a. subklavia bagian dari pleksus brakialis, akhir dari v. jugularis eksternus, dan pembuluh darah servikal superior dan supraskapular. 7 Gambar 2.2 Otot pada segitiga anterior leher, termasuk otot infrahioid yang terdiri dari m. omohioid, m. sternohioid, m. sternotiroid dan m. tirotiroid 7 Esofagus adalah suatu tabung muskular yang terbentang dari hipofaring sampai ke lambung dengan panjang cm pada orang dewasa. Struktur ini memanjang ke arah bawah mulai dari batas bawah kartilago krikoid setinggi vertebra servikal VI berjalan dalam leher, mediastinum atas dan medistinum belakang di depan vertebra servikal dan torakalis, kemudian berakhir pada kardia lambung setinggi vertebra torakalis XI. Esofagus umumnya dalam keadaan kolaps bila tidak terdapat makanan yang melewatinya. Esofagus terletak pada garis tengah kemudian berbelok ke kiri dan kembali ke tengah setinggi mediastinum kemudian kembali berdeviasi ke kiri ketika melewati hiatus diafragma. Lengkungan esofagus dilihat dari sisi anteroposterior mengikuti lengkungan dari vertebra torakal Dinding esofagus terdiri dari 4 lapisan dengan urutan dari dalam keluar yaitu membran mukosa, submukosa, lapisan otot dan jaringan ikat. Membran mukosa dilapisi oleh epitel berlapis gepeng non keratinisasi yang merupakan ke lanjutan dari mukosa faring. Di bagian bawah membran basalis terdapat jaringan ikat longgar lamina propria yang berisi jaringan dari serabut-serabut elastik dan

276 nodul-nodul limfoid. Pada bagian profunda lapisan lamina propria terdapat muskularis mukosa yang menebal pada bagian sepertiga ujung esofagus, terdiri dari serabut otot longitudinal dan merupakan jenis otot polos. Submukosa berhubungan dengan membran mukosa dan lapisan otot, terdiri dari jaringan ikat padat dan serabut elastis yang kasar, berisi pembuluh darah dan pleksus Meissner dan serabut parasimpatis postganglion serta kelenjar esofageal. Kelenjar ini mensekresi mukus sebagai lubrikan atau pelumas bolus makanan yang melalui esofagus. Setiap kelenjar bermuara kedalam lumen esofagus dengan saluran menembus lapisan muskularis mukosa. Pada bagian abdominal berdekatan dengan pertautan esofagus dengan lambung ditemukan kelenjar lain yang tidak menembus lapisan muskularis mukosa dan strukturnya mirip dengan kelenjar kardia lambung sehingga disebut kalenjar kardiaesofageal. 8 Lapisan otot esofagus disusun dari lapisan otot longitudinal di sebelah superfisial dan lapisan otot sirkuler di sebelah profunda. Serat otot logitudinal membungkus hampir keseluruhan esofagus, kecuali pada ujung atas pada batas antara 3-4 cm di bawah kartilago krikoid. Di sini serat menyimpang dari bidang tengah belakang dan membentuk 2 fasikulus longitudinal yang condong ke atas dan ke depan ke bagian muka esofagus dimana berhimpit dengan permukaan belakang lamina kartilago krikoid. Umumnya lapisan otot longitudinal lebih tebal daripada lapisan otot sirkuler. Lapisan serat otot sirkuler ke arah atas berkesinambungan dengan otot krikofaring dan otot konstriktor faring bawah. Ke arah bawah berkesinambungan dengan serat otot oblik lambung. Pada bagian ujung, serat otot sirkuler membentuk satu komponen dari sfingter fisiologis. Pleksus Auerbach terletak antara lapisan otot sirkuler dan lapisan otot longitudinal. Pada sepertiga bagian atas esofagus berotot lurik. Sepertiga bagian medial esofagus sebagian berotot lurik, sebagian berotot polos. Pada sepertiga bagian bawah esofagus berotot polos. Lapisan fibrosa terdiri dari adventitia luar yang ireguler, merupakan jaringan ikat padat yang mengandung banyak serabut elastin Hubungannya dengan struktur-struktur di sekitar esofagus menyebabkan terbentuknya penyempitan pada lumen. Esofagus mempunyai empat penyempitan yang penting dari segi esofagoskopi. Penyempitan pertama yaitu penyempitan krikofaring pada sfingter krikofaringeal yang disebabkan oleh penekanan otot krikofaring dan kartilago krikoid. Diameter transversal 23 mm dan anteroposterior 17 mm berjarak kira-kira 15 cm dari gigi insisivus atas pada orang

277 adanya persilangan esofagus dengan arkus aorta. Terletak di sebelah kiri, setinggi vertebra torakalis IV, yang pada orang dewasa berjarak kira-kira cm dari gigi insisivus atas. Diameter transversal 23 mm dan antero-posterior sebesar 19 JJ. Di daerah ini dapat terlihat pulsasi aorta. Penyempitan ketiga dibentuk antara esofagus dan bronkus, persilangan ini terletak pada dinding depan kiri esofagus yang berjarak kira-kira 27 cm dari gigi insisivus atas setinggi vertebra torakalis V dengan diameter transversal 23 mm. Penyempitan kempat terjadi di tempat esofagus masuk ke diafragma terdapat pada bagian ujung yang disebut hiatus esofagus setinggi vertebra torakalis X atau cm dari incisivus atas. Di sini esofagus terjepit oleh krura diafragma yang bekerja sebagai sfingter. Diameter transversal 23 mm dan antero-posterior 23 mm. 9,10 Esofagus dapat dibagi menjadi 3 bagian berdasarkan lokasi anatominya yaitu bagian servikal, torakalis dan abdominal. Esofagus servikal terletak di antara trakea dan kolumna vertebralis. Pada orang dewasa panjang esofagus servikal 5-6 cm, mulai setinggi servikal VI sampai torakalis I, atau anterior setinggi suprasternal notch. Dinding depan esofagus servikal melekat erat dengan jaringan ikat serat otot dinding trakea yang disebut tracheo-esophageal party wall atau dinding bersama trakea dan esofagus. Di bagian anterolateral, esofagus ini tertutup oleh kelenjar tiroid, sedang di sisi kiri dan kanan pada lekuk antara trakea dan esofagus berjalan nervus laringeus rekuren kiri dan kanan ke atas menuju faring setelah menyilang trunkus brachiocephalicus bagian kanan dan menyilang arkus aorta bagian kiri. Pada bagian belakang di daerah perbatasan dengan hipofaring, terdapat daerah dengan resistensi lemah yang disebut locus minoris resistencia yaitu dinding yang tidak tertutup oleh otot konstriktor faring bawah. Jackson menyebut introitus esofagus sebagai Gate of tears atau Bab el mandeb. Pada bagian lateral esofagus terdapat sarung karotis atau carotid sheath beserta isinya. 11 Esofagus bagian torakalis memiliki panjang sekitar cm, mulai setinggi vertebra torakalis I sampai torakalis IX-X. Berada di mediastinum atas antara trakea dan kolumna vertebralis, kemudian ke mediastinum belakang di belakang atrium kiri. Dinding depan tetap melekat pada dinding belakang trakea sampai setinggi torakalis V. Di mediastinum atas, esofagus berjalan ke belakang ke sisi kanan aorta desendens sampai mencapai bagian bawah mediastinum kemudian berjalan ke depan dan sedikit ke sisi kiri aorta. Di dalam rongga dada, esofagus disilang oleh arkus aorta setinggi torakalis IV dan bronkus utama kiri

278 bifurkasio trakealis. Pada bagian ujung esofagus, di antara dinding belakang esofagus dan permukaan ventral korpus vertebralis berjalan duktus torakalis, vena azygos, arteri-arteri serta vena-vena kecul lainnya Esofagus bagian abdominal terdiri dari bagian diafragma yang disebut pars diafragmatika dan bagian esofagus yang berada dalam rongga abdomen. Pada bagian diafragma panjangnya 1-1,5 cm, dan terletak setinggi vertebra torakalis X, melewati krus kanan diafragma agak ke kiri bidang tengah disertai oleh n.vagus kiri di permukaan depannya dan n.vagus kanan di bagian belakangnya. Setelah melewati diafragma, esofagus melalui lekuk esofageal pada permukaan belakang lobus kiri hati, selanjutnya melengkung agak tajam ke kiri untuk bergabung dengan bagian kardia lambung. Pada bagian ini merupakan garis Z dan disebut taut esofagus-lambung atau gastro-esophageal junction. Bagian esofagus yang berada di dalam rongga abdomen panjangnya 2 3 cm. Esofagus bagian servikal menerima perdarahan dari a. tiroid inferior, sebuah cabang dari trunkus tiroservikalis dari a.subklavia sinistra. Bagian torakal menerima perdarahan yang berasal dari aorta torakalis desendens, a.interkostalis dan a. bronkial. Sedangkan bagian abdominal diperdarahi cabang asenden dari a. gastrikus kiri dan a. frenikus inferior. Pada bagian servikal, vena esofagus berakhir di v. tiroid inferior, pada daerah torakal berakhir pada v. bronkial, v. azigos dan v. hemiazigos. Pada daerah abdomen berakhir ke v. koronaria. Esofagus bagian servikal diinervasi oleh n. laringeus rekuren dan oleh pleksus simpatetikus yang mengelilingi a. tiroid inferior. Persarafan esofagus berasal dari dua sumber utama yaitu saraf parasimpatis nervus vagus dan saraf simpatis dari serabut-serabut ganglia simpatis servikalis inferior, nervus thorakal dan splanknikus. Nervus vagus memberikan cabang-cabang n. laringeus rekuren dekstra, naik ke arah faring setelah menyilang a.subklavia dan n. laringeus rekuren sinistra ke arah faring setelah menyilang arkus aorta. Saraf ini memberikan inervasi saraf parasimpatis pada esofagus pars servikal, sfingter esofagus atas dan serabut otot esofagus pars thorakal. Sinap serabut ini dalam dinding esofagus pada ganglia pleksus sub mukosa Meissner dan pleksus myenterik Auerbach yang terletak antara lapisan otot sirkuler sebelah dalam dan lapisan otot longitudinal sebelah luar. Badan sel serabut motorik simpatis preganglionik terdapat dalam kolumna lateral medula spinalis segmen thorakal II-VI.

279 2.2 Epidemiologi Korpus alienum di esofagus adalah masalah yang cukup umum ditemui di rumah sakit. Pada umumnya lebih sering pada anak-anak usia 6 bulan 6 tahun, namun dapat juga ditemui pada orang dewasa. Kebanyakan benda asing yang tertelan pada anak-anak yaitu koin, kancing, baterai kancing dan mainan kecil. Sedangkan pada orang dewasa benda asing yang paling sering tersangkut adalah daging, tulang dan gigi palsu. 3 Shivakumar dkk melaporkan dari 152 kasus tertelan benda asing, 48 (31,57%) terjadi pada orang dewasa dan 4 (8,3%) kasus di antaranya merupakan kasus tertelan gigi palsu. 12 Sedangkan Miyazaki dkk. melaporkan bahwa dari 90 kasus tertelan benda asing di esofagus, 86% atau 77 kasus terjadi pada usia 15 tahun ke atas. Tiga belas kasus (17%) pada pasien dewasa tersebut merupakan kasus tertelan gigi palsu. 13 Abdullah dkk dan Telford dkk, seperti yang dikutip oleh Yadav dll, melaporkan kasus benda asing gigi palsu pada 11,5% dan 18,5% dari seluruh benda asing di esofagus. 3 Tertahannya benda asing di esofagus umumnya terletak pada tempattempat penyempitan baik fisiologis maupun patologis (misalnya striktur). Pada serial kasus yang dilaporkan oleh Yadav dkk, 3 dari 5 kasus tersangkut pada esofagus servikal, sedangkan sisanya pada esofagus torakal atas. 3 Miyazaki dkk. 13 juga melaporkan bahwa lokasi tersangkutnya benda asing paling banyak di servikal yakni sebesar 33,33% kasus. Diikuti oleh esofagus torakal atas (17%), esofagus torakal tengah (10%), esofagus torakal bawah (5,6%) dan esofagus abdominal (3,3%). Untuk gigi palsu sendiri, 70% kasusnya tersangkut di esofagus dan sisanya terjadi di usus halus dan usus besar. 15 Pada penelitian oleh Ekim, benda asing paling sering teridentifikasi pada esofagus servikal, biasanya tepat di bawah krikofaring (16 dari 26 pasien), 6 pasien pada esofagus bagian tengah, dan 4 pasien di esofagus distal. 14 Sedangkan Nwaorgu dkk melaporkan sebagian besar gigi palsu (63,6%) tersangkut di esofagus proksimal, di antara krikofaring dan toraks. Tatalaksana benda asing umumnya dengan menggunakan esofagoskopi, namun tindakan ini gagal pada beberapa kasus sehingga tatalaksana berikutnya adalah dengan pendekatan bedah terbuka. Shivakumar dkk melaporkan bahwa satu dari empat pasien yang tertelan gigi palsu membutuhkan operasi terbuka untuk mengeluarkannya karena tersangkut di sfingter krikofaring. 12 Dua dari 13 pasien yang tertelan gigi palsu pada penelitian yang dilakukan Miyazaki dkk harus

280 dilakukan dengan esofagoskopi. 13 Nwaorgu dkk. melaporkan 3 (13,6%) dari 22 gigi palsu di esofagus membutuhkan esofagotomi servikal untuk mengeluarkannya Diagnosis Penegakan diagnosis benda asing gigi palsu di esofagus didasarkan pada anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang. Dari anamnesis didapatkan riwayat tertelan gigi palsu dengan rasa nyeri di daerah leher atau dada, disfagia, odinofagia, hipersalivasi, rasa penuh di retrosternal, adanya regurgitasi makanan dan sulit bernapas apabila terjadi penekanan trakea oleh benda asing. Namun pada beberapa kasus didapatkan riwayat tertelan gigi palsu yang asimtomatis. 2 Bandyopadhyay dkk dalam studinya melaporkan bahwa gejala tersering yang dialami oleh pasien dengan benda asing gigi palsu di esofagus adalah odinofagia (70,2%). Diikuti oleh disfagia absolut (19,1%), rasa tidak nyaman saat menelan (6,4%), saliva berlebih (27,7%), mual atau muntah (25,5%), sulit bernapas atau sensasi tersedak (6,4%), dan asimtomatis (4,3%). 18 Pada pemeriksaan laringoskopi indirek dapat ditemukan adanya tumpukan saliva atau ekskoriasi pada faring. Pemeriksaan rongga mulut dapat digunakan untuk mengidentifikasi gigi palsu apa yang tertelan. Identifikasi gigi palsu penting dilakukan untuk memperkirakan lokasi potensial tertahannya gigi palsu, komplikasi yang mungkin terjadi, nilai suatu pemeriksaan radiologi dan modalitas terapi yang dapat dilakukan. Hal-hal yang diidentifikasi meliputi dimensi, konfigurasi, tipe (parsial atau komplit), removable atau fixed serta material gigi palsu. Kasus tertelan gigi palsu yang paling banyak terjadi adalah gigi palsu removable. Gigi palsu fixed yang tidak stabil juga berisiko tinggi untuk terlepas saat makan dan minum. Material yang umumnya digunakan dalam pembuatan gigi palsu adalah resin akrilik, porselen, emas, nickel-chrome alloy, cobalt-chrome alloy dan zirconium. Resin akrilik, poly-methyl methacrylate dan porselen adalah material radiolusen yang menyebabkan tidak tampaknya benda asing pada pemeriksaan foto rontgen bila keseluruhan gigi palsu terbuat dari bahan tersebut. Namun demikian, terperangkapnya udara di sekitar gigi palsu dan meningkatnya ketebalan jaringan lunak prevertebral akibat inflamasi dapat terdeteksi pada foto polos. Pemeriksaan CT scan dan MRI dapat mendeteksi gigi palsu radiolusen. Adanya komponen metal pada gigi palsu mempermudah dalam lokalisasi gigi palsu pada pemeriksaan foto polos. Selain itu foto polos membantu dalam

281 adanya emfisema jaringan lunak leher, abses, pneumomediastinum, pneumoperitoneum dan lainnya Penatalaksanaan Impaksi benda asing esofagus menyebabkan edema mukosa dan dinding esofagus menjadi lemah. Selain itu, gerakan peristaltik sering tidak adekuat untuk mencegah retensi benda asing. Retensi tersebut dapat menyebabkan perforasi seiring makin lamanya durasi impaksi. Dengan demikian benda asing esofagus harus diambil sesegera mungkin setelah terdiagnosis. 14 Terdapat 3 modalitas dalam manajemen pasien dengan korpus alienum gigi palsu di saluran cerna yakni observasi (tunggu dan awasi), endoskopi (baik dengan esofagoskopi kaku maupun fleksibel) dan pembedahan terbuka. 16 Observasi dilakukan hanya pada kasus dengan dimensi gigi yang kecil dan konfigurasi yang memungkinkan tidak terjadinya trauma pada saluran cerna (tidak panjang dan runcing atau tanpa pinggiran yang tajam). Esofagoskopi merupakan modality of choice karena relatif aman dengan trauma yang minimal. Pada dekade terakhir ini esofagoskop fiberoptic fleksibel banyak digunakan karena keamanannya. Selain itu esofagoskopi fleksibel lebih efisien karena dapat dilakukan pada rawat jalan tanpa bius umum. Namun bila benda asing yang akan diekstraksi adalah benda yang tajam dan menancap, esofagoskopi kaku adalah modalitas terapi yang dipilih. Esofagoskop kaku juga sama aman dan efektifnya bila dilakukan oleh dokter THT berpengalaman. Selain itu, esofagoskopi kaku memiliki lumen yang lebih luas yang mempermudah ekstraksi dengan mendilatasi esofagus proksimal dan memungkinkan ekstraksi dengan mata telanjang. Esofagoskopi kaku memungkinkan observasi langsung ke lumen esofagus, evaluasi cidera mukosa oleh benda asing serta dalam pencarian adanya benda asing multipel. Inilah mengapa banyak penulis merekomendasikan ekstraksi dengan menggunakan esofagoskopi kaku. 14 Namun demikian, ekstraksi dengan esofagoskopi tidak selalu berhasil. Gigi palsu sering memiliki struktur yang lebar dengan pinggiran yang tajam serta ujung kawat yang runcing sehingga sering tertanam di dalam mukosa yang edema. Sehingga risiko terjadinya perforasi saat esofagoskopi ekstraksi meningkat. 17 Kontraindikasi utama dilakukannya esofagoskopi pada korpus alienum gigi palsu adalah sudah adanya komplikasi atau penyulit baik primer maupun sekunder. Sehingga apabila esofagoskopi gagal

282 mengekstraksi korpus alienum gigi palsu dan terdapat komplikasi dari adanya korpus alienum, pembedahan esofagus (esofagotomi) dapat dilakukan. 16 Esofagotomi merupakan teknik operasi klasik, teknik ini pertama kali dilakukan untuk mengeluarkan benda asing di esofagus oleh Goursald tahun 1738, dan secara sistematis teknik ini pertama kali diuraikan oleh Guattani tahun Pada perkembangannya tindakan ini semakin jarang dilakukan setelah ditemukannya esofagoskop. 19 Indikasi esofagotomi pada benda asing di esofagus, menurut Savary dan Miller serta Terracol dan Sweet seperti dikutip Cahyono dkk. 4 adalah: 1). Benda asing telah tersangkut di esofagus beberapa hari sehingga menyebabkan infeksi di daerah leher, indurasi dan nyeri sepanjang selubung karotis; 2). Benda asing berukuran besar dan berbentuk tidak teratur yang telah beberapa hari berada dalam esofagus; 3). Benda asing mempunyai bagian yang tajam; 4). Pengangkatan benda asing secara esofagoskopi gagal dan 5). Benda aing menyebabkan hematemesis hebat atau ada kecurigaan telah terjadi perforasi, baik secara klinis atau radiologis. Esofagotomi dilakukan berdasarkan letak tersangkutnya benda asing, dapat berupa esofagotomi servikal, transtorakal atau transabdominal. Esofagotomi servikal dimulai dengan membuat insisi kulit setinggi kartilago krikoid pada sisi tempat benda asing lebih mudah dicapai atau daerah dengan tanda abses. Insisi dapat dibuat melintang (collar incision) atau mengikuti batas medial dari m. sternokleidomastoideus (paramedian incision). M. sternokleidomastoideus disisihkan ke lateral dan carotid sheath diidentifikasi lalu disisihkan ke lateral. Esofagus tampak berada di belakang trakea lalu esofagus diraba agar lokasi benda asing dapat dipastikan. Esofagus diinsisi secara vertikal, untuk menghindari cedera n. laringeus rekuren yang terletak di cekungan trakeoesofagus. Insisi sebaiknya dibuat lebih ke posterior, selanjutnya benda asing dikeluarkan. Pipa nasogastrik (NGT) dipasang untuk nutrisi. Luka operasi ditutup dengan perban tekan. 3 Paska operasi, pasien diberikan terapi antibiotik untuk mencegah infeksi, kortikosteroid untuk mengurangi inflamasi dan analgetik untuk menangani nyeri luka operasi. Untuk mempercepat penyembuhan luka serta mencegah terjadinya fistel, diet diberikan melalui NGT dan pasien diminta untuk tidak menelan ludah. 2 Cairan mulai diberikan intra oral pada hari ke-10, dan makanan padat mulai diperbolehkan setelah 3 minggu. Lama dirawat di rumah sakit rata-rata adalah 7±2

283 hari. 4 Untuk mengetahui ada tidaknya fistel atau perforasi paska tindakan diperlukan pemeriksaan esofagografi Komplikasi Benda asing di esofagus dapat menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang signifikan bila durasi dari impaksi memanjang. Lim dan Yeoh dkk seperti dikutip oleh Yadav dkk menyebutkan bahwa angka komplikasi meningkat dari 3.4% (pada 24 jam setelah onset impaksi) menjadi 23.5% (pada 48 jam setelah onset impaksi). Namun, pada serial kasusnya angka komplikasinya adalah 0% walaupun rata-rata durasi impaksi adalah 4.8±1.92 hari. 3 Sedangkan angka mortalitas benda asing esofagus mencapai 22% bila sudah terjadi perforasi esofagus. 14 Miyazaki dkk dalam penelitiannya melaporkan terjadi laserasi (17,78%), perforasi (5,56%), perdarahan (1,1%), dan edema faring (1,1%) sebagai komplikasi tertelannya benda asing pada 90 kasus. Pada semua pasien dengan perforasi esofagus terdapat udara bebas yang dideteksi dengan CT scan, namun hanya 20% dari kasus yang memerlukan terapi pembedahan, sisanya hanya dilakukan terapi konservatif. Empat puluh persen dari pasien dengan perforasi tersebut merupakan komplikasi pada benda asing gigi palsu. 13 Gigi palsu, sebagai prosthesis medis yang digunakan untuk memperbaiki mastikasi, artikulasi, estetika dan harga diri penggunanya, merupakan tipe benda asing yang khusus. Ukurannya sangat bervariasi, selain itu esofagoskopi dapat dipersulit dengan warna bagian gigi palsu yang senada dengan mukosa esophagus yakni merah muda serta sering terdapat bagian dengan kawat yang mencuat yang dapat menyebabkan komplikasi serta mempersulit dilakukannya ekstraksi. 16 Komplikasi benda asing gigi palsu yang pernah dilaporkan yakni nekrosis, perforasi, penetrasi ke organ di dekatnya, perdarahan dan obstruksi. Komplikasi tersering adalah perforasi, yang dapat menyebabkan komplikasi sekunder yang fatal berupa infeksi leher dalam, mediastinitis dan peritonitis. Penetrasi ke organ di dekatnya merupakan komplikasi paling jarang terjadi yang dapat menyebabkan komplikasi sekunder berupa terbentuknya fistula, seperti fistula trakeoesofageal dan fistula entero-kolik. Komplikasi lain yang jarang terjadi adalah obstruksi saluran cerna. Dan hampir semua kasus dengan obstruksi saluran cerna akibat gigi palsu yang dilaporkan adalah obstruksi esofagus. 16

284 Selain dari banda asing yang tertahan di esofagus, tindakan ekstraksi juga memiliki komplikasi baik ekstraksi dengan esofagoskop maupun pembedahan terbuka. Komplikasi esofagoskopi meliputi perdarahan faring, bronkospasme, ekstubasi, stridor, hipoksia, perforasi esofagus dan mediastinitis sehingga operator haruslah berkompeten. Selain itu anestesi endotrakea sebaiknya digunakan untuk meminimalisir kemungkinan aspirasi selama tindakan. Pemberian muscle relaxant juga dianjurkan untuk membantu relaksasi esofagus yang akan mempermudah ekstraksi benda asing. 14 Esofagotomi dapat menyebabkan berbagai komplikasi berupa perdarahan, infeksi, cedera n. laringeus rekuren dan striktura esofagus. 3 Striktur esofagus ini berisiko menyebabkan tersangkutnya benda asing di esofagus berulang. Miyazaki dkk melaporkan bahwa 13.3% kasus korpus alienum di esofagus memiliki riwayat striktur esofagus akibat esofagotomi sebelumnya. 13 Pada laporan kasus yang dilakukan oleh Toshima dkk mendapatkan bahwa dari laporan kasusnya dan 6 laporan kasus serupa, tidak didapatkan adanya komplikasi paska tindakan esofagotomi pada benda asing gigi palsu di esofagus Faktor Risiko dan Pencegahan Tertelannya gigi palsu dari sudut pandang ahli bedah merupakan suatu kasus benda asing, sedangkan dari sudut pandang dokter gigi merupakan suatu komplikasi dari penggunaan gigi palsu itu sendiri. Umumnya tertelannya gigi palsu terjadi pada pasien dengan gangguan mental dan gangguan kesadaran akut seperti trauma kraniofasial, stroke, kejang dan intoksikasi. Sedangkan pada pasien dengan kesadaran baik umumnya mengeluhkan tertelan gigi palsu pada saat terjatuh, makan, minum, tidur dan saat dibius. Kecerobohan pasien merupakan faktor yang sering dilaporkan juga sebagai penyebab tertelannya gigi palsu. Dilaporkan juga penggunaan gigi palsu yang sudah patah menjadi penyebab tertelannya gigi palsu pada laporan kasus oleh Cahyono dkk. 4,16 Diperlukan usaha untuk mencegah terjadinya kasus tertelan gigi palsu yang harus diperhatikan baik oleh penggunanya, dokter gigi, dokter UGD, psikiater serta ahli anestesi. Pasien sebaiknya berhati-hati menggunakan gigi palsu terutama bila terjadi kerusakan gigi palsu. Dokter gigi sebaiknya merekomendasikan kontrol ulang dalam waktu sebulan setelah terjadinya suatu kerusakan atau gigi palsu yang telah longgar. Penggunaan gigi palsu juga sebaiknya diperhatikan pada saat menerima pasien dengan gangguan kesadaran

285 prosedur pembiusan. Gigi palsu removable atau yang tidak stabil sebaiknya dilepas. 16 III. LAPORAN KASUS Seorang perempuan berinisial FLD, usia 32 tahun, beralamat di Waingapu, Sumba Timur, datang ke RSUP Sanglah Denpasar pada tanggal 25 Februari 2017 pukul WITA. Pasien merupakan rujukan dari RS Kristen Lindimara Waingapu (23 Februari 2017) dengan korpus alienum kawat gigi di esofagus. Dari anamnesis didapatkan pasien mengeluh tertelan gigi palsu berkawat saat makan tanggal 23 Februari 2017 pukul WIT. Gigi palsu tersebut adalah gigi palsu geraham rahang atas yang bisa dilepas dan dibuat oleh ahli gigi. Pasien telah memakai gigi palsu ini selama 1 tahun dan tidak pernah diperiksakan ke dokter gigi. Rasa mengganjal ada, rasa menusuk juga ada, namun keluhan sesak napas, muntah dan riwayat batuk mendadak yang hebat setelah tertelan disangkal. Pasien tidak bisa makan namun masih bisa minum sedikit-sedikit dan saat ini pasien merasa meriang. Sebelumnya tanggal 23 Februari 2017 pasien telah melakukan foto rontgen servikal lateral dengan hasil ekspertis tampak korpus alienum berbentuk kawat setinggi korpus vertebra C6. Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan status general dengan keadaan umum sedang, tekanan darah 130/90 mmhg, nadi 88 kali/menit, temperatur aksila 37,5 o C, respirasi 16 kali/menit. Dari hasil pemeriksaan status THT-KL telinga, hidung, dan tenggorok dalam batas normal. Pada pemeriksaan laringoskopi indirek didapatkan struktur laring dalam batas normal, tidak terdapat tumpukan saliva dan tidak tampak korpus alienum. Dilakukan rontgen servikal AP dan lateral dengan hasil tampak korpus alienum berdensitas logam berbentuk kawat terproyeksi setinggi korpus vertebra servikal 6 di esofagus dengan soft tissue swelling di sekitarnya. Dibandingkan dengan foto sebelumnya posisi benda asing masih tetap sama. Dilakukan rontgen toraks dengan hasil jantung dan paru tidak tampak kelainan.

286 Gambar 3.1 Rontgen servikal lateral tanggal di RS Kristen Lindimara Waingapu, tampak korpus alienum setinggi korpus vertebra servikal ke-6.

287 Gambar 3.2 Rontgen servikal AP/Lateral tanggal di RSUP Sanglah Denpasar, tampak korpus alienum berdensitas logam berbentuk kawat terproyeksi setinggi korpus vertebra servikal 6 di esofagus dengan soft tissue swelling di sekitarnya Pasien dirawat dengan diagnosis korpus alienum kawat gigi palsu di esofagus. Pasien diberikan infus NaCl 0,9% dan dextrose 5% 1 berbanding 1 sebanyak 20 tetes/menit. Diberikan antibiotika injeksi Ceftriaxon 1 gram tiap 12 jam intravena setelah skin test. Selain itu diberikan metil prednisolon 62,5mg tiap 12 jam intravena serta ranitidin 50mg tiap 12 jam intravena. Pasien dipuasakan dan dikonsulkan ke TS Gizi Klinik. Dilakukan pemeriksaan patologi klinik dengan hasil fungsi hati, fungsi ginjal dan hemostasis normal namun terdapat peningkatan WBC (16,43 x 10 3 /µl) dan neutrofil absolut 14,37 x 10 3 /µl selain itu terjadi penurunan kadar hemoglobin 10,84 g/dl. Dilakukan konsultasi TS Penyakit Dalam untuk toleransi operasi dan dinyatakan pasien dengan risiko ringan. Dikonsulkan juga ke TS Anestesi untuk evaluasi kelayakan operasi dan tidak didapatkan adanya kontraindikasi untuk dilakukan tindakan dengan status fisik ASA 1. Dilakukan juga konsultasi TS Bedah Toraks dan Kardiovaskuler dengan jawaban siap dilakukan pendampingan selama operasi. Pasien

288 dipersiapkan untuk dilakukan ekstraksi benda asing menggunakan esofagoskop kaku dengan persiapan esofagotomi. Tanggal 27 Februari 2017 dilakukan esofagoskopi ekstraksi menggunakan esofagoskop kaku dengan tahapan sebagai berikut: 1) Pasien tidur terlentang di meja operasi di bawah pengaruh general anesthesia dengan oro-tracheal tube, 2) Silakukan desinfeksi area operasi dan lapangan operasi dipersempit dengan duk steril, 3) Esofagoskop kaku dimasukkan sambil kepala diekstensikan, 4) Evaluasi pada DGA 15 ditemukan edema menyeluruh pada mukosa esofagus terutama arah jam 6, tampak ujung akrilik gigi palsu. Dicoba melakukan ekstraksi dengan forsep sebanyak 2 kali tetapi gigi palsu tidak bergerak maju. 6) Esofagoskop dikeluarkan. 7) Dilakukan konsultasi dan alih rawat pada TS BTKV untuk tindakan ekstraksi selanjutnya. Oleh TS BTKV, diputuskan untuk melakukan tindakan eksplorasi esofagus dengan esofagotomi servikal. Dilakukan insisi paramedian colli sinistra dan diperdalam lapis demi lapis sambil mengendalikan perdarahan. Esofagus dievaluasi sambil berhati-hati dengan n. laringeus rekuren, vena jugularis dan arteri karotis sinistra. Lokasi benda asing gigi palsu dirasakan dengan jari, setelah itu dilakukan esofagotomi dengan insisi vertikal dan tampak korpus alienum gigi palsu beserta kawatnya. Benda asing diekstraksi kemudian esofagus dan luka dijahit lapis demi lapis. Dipasang pipa nasogastrik, lapangan operasi dicuci dan dilakukan pemasangan drain. Luka ditutup dengan kassa steril dan operasi selesai.

289 Gambar 3.3 Hasil ekstraksi: gigi palsu rahang atas dengan kawat ukuran 3x2cm. Paska operasi, pasien diberikan infus NaCl 0,9% berbanding Aminofusin 1:1 sebanyak 20 tetes/menit, seftriakson 1 gram tiap 12 jam intravena, ranitidine 50mg tiap 12 jam intravena. Analgetik oleh TS Anestesi diberikan fentanyl 300mcg dalam 50 ml NaCl 0,9% drip 2,1 ml/jam serta parasetamol 500mg tiap 6 jam via NGT. Pasien diminta untuk tidak makan dan minum melalui mulut serta tidak menelan ludah selama terpasang NGT. Untuk nutrisi diberikan diet cair via NGT 1782 kkal/24jam dengan protein 59 gram. NGT dipertahankan selama 5-7 hari, dilakukan rawat luka setiap hari sambil observasi produksi drain. Pada hari kedua paska operasi analgetik yang diberikan hanya parasetamol 3x500 mg. Pada hari ke-7 pasien tidak ada keluhan, dilakukan aff drain dan NGT. Diet cair bertahap diganti diet bubur dan pasien diobsevasi 2 hari lagi. Pasien dipulangkan tanggal 8 Maret 2017 dengan obat pulang siprofloksasin 2x500mg dan parasetamol 3x500mg. Kontrol poliklinik Bedah RSUP Sanglah Denpasar tanggal 14 Maret 2017 tanpa keluhan, makan dan minum lancar, suara serak disangkal, dan luka operasi terawat baik.

BAB 1 PENDAHULUAN. diperantarai oleh lg E. Rinitis alergi dapat terjadi karena sistem

BAB 1 PENDAHULUAN. diperantarai oleh lg E. Rinitis alergi dapat terjadi karena sistem BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Definisi Rinitis Alergi (RA) menurut ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) merupakan reaksi inflamasi pada mukosa hidung akibat reaksi hipersensitivitas

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah. mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan pada mukosa hidung

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah. mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan pada mukosa hidung BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Perkembangan pariwisata di Bali yang sangat pesat membawa dampak yang positif yaitu berkembangnya industri makanan sehingga menciptakan lapangan kerja. 1 Di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. di seluruh dunia telah mendorong lahirnya era industrialisasi. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. di seluruh dunia telah mendorong lahirnya era industrialisasi. Dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan jumlah penduduk yang semakin meningkat dengan pesat di seluruh dunia telah mendorong lahirnya era industrialisasi. Dalam perkembangan industrialisasi dan

Lebih terperinci

BAB 1. PENDAHULUAN. hidung akibat reaksi hipersensitifitas tipe I yang diperantarai IgE yang ditandai

BAB 1. PENDAHULUAN. hidung akibat reaksi hipersensitifitas tipe I yang diperantarai IgE yang ditandai 1 BAB 1. PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Rinitis alergi (RA) adalah manifestasi penyakit alergi pada membran mukosa hidung akibat reaksi hipersensitifitas tipe I yang diperantarai IgE yang ditandai dengan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. patofisiologi, imunologi, dan genetik asma. Akan tetapi mekanisme yang mendasari

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. patofisiologi, imunologi, dan genetik asma. Akan tetapi mekanisme yang mendasari BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Asma Dari waktu ke waktu, definisi asma mengalami perubahan beberapa kali karena perkembangan dari ilmu pengetahuan beserta pemahaman mengenai patologi, patofisiologi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi (RA) adalah penyakit yang sering dijumpai. Gejala utamanya

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi (RA) adalah penyakit yang sering dijumpai. Gejala utamanya 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Rinitis alergi (RA) adalah penyakit yang sering dijumpai. Gejala utamanya adalah bersin, hidung beringus (rhinorrhea), dan hidung tersumbat. 1 Dapat juga disertai

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Rinitis Alergi adalah peradangan mukosa saluran hidung yang disebabkan

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Rinitis Alergi adalah peradangan mukosa saluran hidung yang disebabkan BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Rinitis Alergi Rinitis Alergi adalah peradangan mukosa saluran hidung yang disebabkan alergi terhadap partikel, antara lain: tungau debu rumah, asap, serbuk / tepung sari yang

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Secara klinis, rinitis alergi didefinisikan sebagai kelainan simtomatis pada hidung yang

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Secara klinis, rinitis alergi didefinisikan sebagai kelainan simtomatis pada hidung yang BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Rinitis alergi 2.1.1. Definisi Secara klinis, rinitis alergi didefinisikan sebagai kelainan simtomatis pada hidung yang diinduksi oleh inflamasi yang diperantarai IgE (Ig-E

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. endoskopis berupa polip atau sekret mukopurulen yang berasal dari meatus

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. endoskopis berupa polip atau sekret mukopurulen yang berasal dari meatus BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang kronik (RSK) merupakan inflamasi mukosa hidung dan sinus paranasal dengan jangka waktu gejala 12 minggu, ditandai oleh dua atau lebih gejala, salah satunya berupa hidung

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Rinitis alergi adalah gangguan fungsi hidung akibat inflamasi mukosa hidung yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Rinitis alergi adalah gangguan fungsi hidung akibat inflamasi mukosa hidung yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Rinitis alergi adalah gangguan fungsi hidung akibat inflamasi mukosa hidung yang diperantarai IgE yang terjadi setelah mukosa hidung terpapar alergen. 1,2,3 Penyakit

Lebih terperinci

Gangguan pendengaran penderita Tuberkulosis Multidrug Resistant

Gangguan pendengaran penderita Tuberkulosis Multidrug Resistant Laporan Penelitian Gangguan penan penderita Yulianti, Sally Mahdiani Departemen Telinga Hidung Tenggorok - Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Telinga Dan Mekanisme Mendengar Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun telinga dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau

Lebih terperinci

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan Sistem Immunitas Niken Andalasari Sistem Imunitas Sistem imun atau sistem kekebalan tubuh

Lebih terperinci

Pendahuluan Meniere s disease atau penyakit Meniere atau dikenali juga dengan hydrops endolimfatik. Penyakit Meniere ditandai dengan episode berulang

Pendahuluan Meniere s disease atau penyakit Meniere atau dikenali juga dengan hydrops endolimfatik. Penyakit Meniere ditandai dengan episode berulang MENIERE S DISEASE Pendahuluan Meniere s disease atau penyakit Meniere atau dikenali juga dengan hydrops endolimfatik. Penyakit Meniere ditandai dengan episode berulang dari vertigo yang berlangsung dari

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1. Atopi, atopic march dan imunoglobulin E pada penyakit alergi

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1. Atopi, atopic march dan imunoglobulin E pada penyakit alergi BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Atopi, atopic march dan imunoglobulin E pada penyakit alergi Istilah atopi berasal dari bahasa Yunani yaitu atopos yang berarti out of place atau di luar dari tempatnya, dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Rhinitis berasal dari dua kata bahasa Greek rhin rhino yang berarti hidung dan itis yang berarti radang. Demikian rhinitis berarti radang hidung atau tepatnya radang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. WHO menunjukkan jumlah perokok di Indonesia menduduki peringkat ketiga

BAB I PENDAHULUAN. WHO menunjukkan jumlah perokok di Indonesia menduduki peringkat ketiga 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kuantitas perokok di Indonesia semakin tahun semakin meningkat. Data WHO menunjukkan jumlah perokok di Indonesia menduduki peringkat ketiga dibawah Cina dan India.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Susu formula yang diberikan kepada bayi sebagai pengganti ASI, kerap kali memberikan efek samping yang mengganggu kesehatan bayi seperti alergi. Susu formula secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh reaksi alergi pada penderita yang sebelumnya sudah tersensitisasi

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh reaksi alergi pada penderita yang sebelumnya sudah tersensitisasi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rinitis Alergi (RA) merupakan salah satu penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada penderita yang sebelumnya sudah tersensitisasi alergen yang sama

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. eksternus (hidung luar) dan cavum nasi. Hidung luar menonjol pada garis tengah di

BAB II KAJIAN PUSTAKA. eksternus (hidung luar) dan cavum nasi. Hidung luar menonjol pada garis tengah di BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Anatomi dan Fisiologi Hidung Hidung merupakan organ penting yang menjadi salah satu organ pelindung tubuh terhadap lingkungan yang tidak menguntungkan. Hidung terdiri atas nasus

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Patofisiologi Kelainan Paru akibat Paparan Uap/Gas BBM Secara fisiologis sebelum masuk ke paru udara inspirasi sudah dibersihkan dari partikel debu dan asap yang memiliki diameter

Lebih terperinci

Tahun : Sistem Sensoris Pendengaran dan Keseimbangan Pertemuan 23

Tahun : Sistem Sensoris Pendengaran dan Keseimbangan Pertemuan 23 Matakuliah Tahun : 2009 : L0044/Psikologi Faal Sistem Sensoris Pendengaran dan Keseimbangan Pertemuan 23 TELINGA saraf kranial VIII (n. auditorius) terdiri dari 3 bagian : telinga luar, tengah dan dalam

Lebih terperinci

BAB 6 PEMBAHASAN. Penelitian ini mengikutsertakan 61 penderita rinitis alergi persisten derajat

BAB 6 PEMBAHASAN. Penelitian ini mengikutsertakan 61 penderita rinitis alergi persisten derajat BAB 6 PEMBAHASAN 6.1. Karakteristik subyek penelitian Penelitian ini mengikutsertakan 61 penderita rinitis alergi persisten derajat ringan, sedang-berat dengan rerata usia subyek 26,6 ± 9,2 tahun, umur

Lebih terperinci

Mengapa Kita Batuk? Mengapa Kita Batuk ~ 1

Mengapa Kita Batuk? Mengapa Kita Batuk ~ 1 Mengapa Kita Batuk? Batuk adalah refleks fisiologis. Artinya, ini adalah refleks yang normal. Sebenarnya batuk ini berfungsi untuk membersihkan tenggorokan dan saluran napas. Atau dengan kata lain refleks

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit alergi sebagai reaksi hipersensitivitas tipe I klasik dapat terjadi pada

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit alergi sebagai reaksi hipersensitivitas tipe I klasik dapat terjadi pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit alergi sebagai reaksi hipersensitivitas tipe I klasik dapat terjadi pada individu dengan kecenderungan alergi setelah adanya paparan ulang antigen atau alergen

Lebih terperinci

BAB 4 METODE PENELITIAN

BAB 4 METODE PENELITIAN 31 BAB 4 METODE PENELITIAN 4.1. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah bidang Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan leher 4.2. Rancangan Penelitian Desain penelitian

Lebih terperinci

Membahas bio-akustik berarti berusaha mengurai keterkaitan antara bunyi. gelombang bunyi, getaran dan sumber bunyi dengan kesehatan.

Membahas bio-akustik berarti berusaha mengurai keterkaitan antara bunyi. gelombang bunyi, getaran dan sumber bunyi dengan kesehatan. _Bio Akustik_01 Membahas bio-akustik berarti berusaha mengurai keterkaitan antara bunyi gelombang bunyi, getaran dan sumber bunyi dengan kesehatan. Apa sih yang dimaksud gelombang itu? dan apa hubungannya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. udara ekspirasi yang bervariasi (GINA, 2016). Proses inflamasi kronis yang

BAB 1 PENDAHULUAN. udara ekspirasi yang bervariasi (GINA, 2016). Proses inflamasi kronis yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Asma merupakan penyakit heterogen dengan karakteristik adanya inflamasi saluran napas kronis. Penyakit ini ditandai dengan riwayat gejala saluran napas berupa wheezing,

Lebih terperinci

MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS

MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS KD 3.8. Menjelaskan mekanisme pertahanan tubuh terhadap benda

Lebih terperinci

12/3/2010 YUSA HERWANTO DEPARTEMEN THT-KL FK USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN FISIOLOGI PENDENGARAN

12/3/2010 YUSA HERWANTO DEPARTEMEN THT-KL FK USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN FISIOLOGI PENDENGARAN YUSA HERWANTO DEPARTEMEN THT-KL FK USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN FISIOLOGI PENDENGARAN 1 Skala vestibuli, berisi perilimf Helikotrema Skala tympani, berisi perilimf Foramen rotundum bergetar Menggerakkan

Lebih terperinci

asuhan keperawatan Tinnitus

asuhan keperawatan Tinnitus asuhan keperawatan Tinnitus TINNITUS A. KONSEP DASAR PENYAKIT 1. DEFINISI Tinnitus adalah suatu gangguan pendengaran dengan keluhan perasaan mendengar bunyi tanpa rangsangan bunyi dari luar. Keluhannya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Asma merupakan penyakit kronis saluran pernapasan yang sering dijumpai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Asma merupakan penyakit kronis saluran pernapasan yang sering dijumpai BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Asma Asma merupakan penyakit kronis saluran pernapasan yang sering dijumpai pada masa kanak-kanak. Merupakan salah satu reaksi hipersentivitas saluran napas, baik saluran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. industrialisasi di Indonesia maka sejak awal disadari tentang kemungkinan

BAB I PENDAHULUAN. industrialisasi di Indonesia maka sejak awal disadari tentang kemungkinan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan serta keselamatan kerja merupakan masalah penting dalam setiap proses operasional di tempat kerja. Dengan berkembangnya industrialisasi di Indonesia maka

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB 3 METODE PENELITIAN 21 BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1. Jenis dan Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian intervensi atau uji klinis dengan randomized controlled trial pre- & posttest design. Studi ini mempelajari

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Telinga 2.1.1. Telinga Luar Telinga luar terdiri dari daun telinga dan liang telinga sampai membran timpani. Daun telinga terdiri dari tulang rawan elastin dan kulit.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Asma adalah suatu inflamasi kronik dari saluran nafas yang menyebabkan. aktivitas respirasi terbatas dan serangan tiba- tiba

BAB 1 PENDAHULUAN. Asma adalah suatu inflamasi kronik dari saluran nafas yang menyebabkan. aktivitas respirasi terbatas dan serangan tiba- tiba BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Asma adalah suatu inflamasi kronik dari saluran nafas yang menyebabkan aktivitas respirasi terbatas dan serangan tiba- tiba memerlukan tatalaksana segera dan kemungkinan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Asma merupakan keadaan sakit sesak nafas karena terjadinya aktivitas berlebih terhadap rangsangan tertentu sehingga menyebabkan peradangan dan penyempitan pada saluran

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 Anatomi Organ Pendengaran Telinga adalah organ yang berfungsi dalam pendengaran dan juga keseimbangan tubuh. Telinga dapat dibagi menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mengganggu aktivitas sosial (Bousquet, et.al, 2008). Sebagian besar penderita

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mengganggu aktivitas sosial (Bousquet, et.al, 2008). Sebagian besar penderita BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rinitis alergi merupakan masalah kesehatan global dengan prevalensi yang terus meningkat serta dapat berdampak pada penurunan kualitas hidup penderitanya, berkurangnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Studi yang dilakukan pada bayi baru lahir didapatkan 2-3/1000 bayi lahir

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Studi yang dilakukan pada bayi baru lahir didapatkan 2-3/1000 bayi lahir BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Studi yang dilakukan pada bayi baru lahir didapatkan 2-3/1000 bayi lahir dengan gangguan pendengaran. Gangguan pendengaran yang terjadi pada bayi baru lahir

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Anatomi dan Histologi Hidung Gambar 2.1 Anatomi Dinding Lateral Hidung (Netter, 2014) 20 Kavum nasi atau yang sering disebut sebagai rongga hidung memiliki bentuk seperti terowongan

Lebih terperinci

2.3 Patofisiologi. 2.5 Penatalaksanaan

2.3 Patofisiologi. 2.5 Penatalaksanaan 2.3 Patofisiologi Otitis media dengan efusi (OME) dapat terjadi selama resolusi otitis media akut (OMA) sekali peradangan akut telah teratasi. Di antara anak-anak yang telah memiliki sebuah episode dari

Lebih terperinci

Kaviti hidung membuka di anterior melalui lubang hidung. Posterior, kaviti ini berhubung dengan farinks melalui pembukaan hidung internal.

Kaviti hidung membuka di anterior melalui lubang hidung. Posterior, kaviti ini berhubung dengan farinks melalui pembukaan hidung internal. HIDUNG Hidung adalah indera yang kita gunakan untuk mengenali lingkungan sekitar atau sesuatu dari aroma yang dihasilkan. Kita mampu dengan mudah mengenali makanan yang sudah busuk dengan yang masih segar

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. negara di seluruh dunia (Mangunugoro, 2004 dalam Ibnu Firdaus, 2011).

BAB 1 PENDAHULUAN. negara di seluruh dunia (Mangunugoro, 2004 dalam Ibnu Firdaus, 2011). BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Asma merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius di berbagai negara di seluruh dunia (Mangunugoro, 2004 dalam Ibnu Firdaus, 2011). Asma merupakan penyakit inflamasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bahwa prevalensi alergi terus meningkat mencapai 30-40% populasi

BAB I PENDAHULUAN. bahwa prevalensi alergi terus meningkat mencapai 30-40% populasi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang World Allergy Organization (WAO) tahun 2011 mengemukakan bahwa prevalensi alergi terus meningkat mencapai 30-40% populasi dunia. 1 World Health Organization (WHO) memperkirakan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Penelitian dilakukan sampai jumlah sampel terpenuhi.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pakar yang dipublikasikan di European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal

BAB 1 PENDAHULUAN. pakar yang dipublikasikan di European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sinusitis adalah peradangan pada salah satu atau lebih mukosa sinus paranasal. Sinusitis juga dapat disebut rinosinusitis, menurut hasil beberapa diskusi pakar yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Rinosinusitis kronis merupakan inflamasi kronis. pada mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Rinosinusitis kronis merupakan inflamasi kronis. pada mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Rinosinusitis kronis merupakan inflamasi kronis pada mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung selama minimal 12 minggu berturut-turut. Rinosinusitis kronis

Lebih terperinci

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN. Telinga, Hidung, dan Tenggorok Bedah Kepala dan Leher, dan bagian. Semarang pada bulan Maret sampai Mei 2013.

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN. Telinga, Hidung, dan Tenggorok Bedah Kepala dan Leher, dan bagian. Semarang pada bulan Maret sampai Mei 2013. 28 BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini mencakup bidang Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, dan Tenggorok Bedah Kepala dan Leher, dan bagian pulmonologi Ilmu

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Papilloma sinonasal diperkenalkan oleh Ward sejak tahun 1854, hanya mewakili

BAB 1 PENDAHULUAN. Papilloma sinonasal diperkenalkan oleh Ward sejak tahun 1854, hanya mewakili 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tumor rongga hidung dan sinus paranasal atau disebut juga tumor sinonasal adalah tumor yang dimulai dari dalam rongga hidung atau sinus paranasal di sekitar hidung.

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN. Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis

BAB IV HASIL PENELITIAN. Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis BAB IV HASIL PENELITIAN Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis kronik yang berobat di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL. Selama penelitian diambil sampel sebanyak 50 pasien

Lebih terperinci

Bronkitis pada Anak Pengertian Review Anatomi Fisiologi Sistem Pernapasan

Bronkitis pada Anak Pengertian Review Anatomi Fisiologi Sistem Pernapasan Bronkitis pada Anak 1. Pengertian Secara harfiah bronkitis adalah suatu penyakit yang ditanda oleh inflamasi bronkus. Secara klinis pada ahli mengartikan bronkitis sebagai suatu penyakit atau gangguan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. imunologis, yaitu akibat induksi oleh IgE yang spesifik terhadap alergen tertentu,

BAB 1 PENDAHULUAN. imunologis, yaitu akibat induksi oleh IgE yang spesifik terhadap alergen tertentu, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Alergi adalah suatu reaksi hipersensitivitas yang diawali oleh mekanisme imunologis, yaitu akibat induksi oleh IgE yang spesifik terhadap alergen tertentu, yang berikatan

Lebih terperinci

SISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH)

SISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH) SISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH) FUNGSI SISTEM IMUN: Melindungi tubuh dari invasi penyebab penyakit; menghancurkan & menghilangkan mikroorganisme atau substansi asing (bakteri, parasit, jamur, dan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Telinga 2.1.1 Anatomi telinga luar Telinga luar terdiri dari daun telinga (aurikula), liang telinga (meatus acusticus eksterna) sampai membran timpani bagian lateral.

Lebih terperinci

Telinga Luar. Dalam kulit kanal auditorius eksterna. Glandula seminurosa. Sekresi substansi lilin. serumen. tertimbun. Kanalis eksternus.

Telinga Luar. Dalam kulit kanal auditorius eksterna. Glandula seminurosa. Sekresi substansi lilin. serumen. tertimbun. Kanalis eksternus. Gangguan pendengaran Kelainan telinga dapat menyebabkan tuli konduktif, tuli sensorineural/saraf/perseptif, atau tuli campur. 1. Tuli konduktif disebabkan kelainan di telinga luar atau telinga tengah.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan

I. PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. Penularan langsung terjadi melalui aerosol yang mengandung

Lebih terperinci

BAB II. Kepustakaan. 2.1 Anatomi telinga luar

BAB II. Kepustakaan. 2.1 Anatomi telinga luar BAB II Kepustakaan 2.1 Anatomi telinga luar Secara anatomi, telinga dibagi atas 3 yaitu telinga luar, telinga tengah dan telinga dalam. Telinga luar berfungsi mengumpulkan dan menghantarkan gelombang bunyi

Lebih terperinci

KUESIONER PENELITIAN RINITIS ALERGI

KUESIONER PENELITIAN RINITIS ALERGI 67 68 69 70 Lampiran 4 KUESIONER PENELITIAN RINITIS ALERGI Nama Jenis kelamin : L/P Pendidikan ANAMNESIS Berilah tanda silang (X) pada salah satu jawaban dari pertanyaan berikut : 1. Keluhan yang menyebabkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Otitis media supuratif kronis (OMSK) merupakan peradangan dan infeksi kronis pada telinga tengah dan rongga mastoid yang ditandai dengan adanya sekret yang keluar terus

Lebih terperinci

ABSTRAK GAMBARAN ALERGEN PASIEN RINITIS ALERGI DI POLIKLINIK THT RSUP SANGLAH DENPASAR TAHUN

ABSTRAK GAMBARAN ALERGEN PASIEN RINITIS ALERGI DI POLIKLINIK THT RSUP SANGLAH DENPASAR TAHUN ABSTRAK GAMBARAN ALERGEN PASIEN RINITIS ALERGI DI POLIKLINIK THT RSUP SANGLAH DENPASAR TAHUN 2012-2013 Rinitis alergi bukan merupakan penyakit fatal yang mengancam nyawa, namun dapat menyebabkan penurunan

Lebih terperinci

B A B I PENDAHULUAN. penyakit akibat pajanan debu tersebut antara lain asma, rhinitis alergi dan penyakit paru

B A B I PENDAHULUAN. penyakit akibat pajanan debu tersebut antara lain asma, rhinitis alergi dan penyakit paru B A B I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pajanan debu kayu yang lama dapat menyebabkan berbagai gangguan pada sistem pernafasan, pengaruh pajanan debu ini sering diabaikan sehingga dapat menimbulkan berbagai

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. Asma adalah penyakit saluran nafas kronis yang penting

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. Asma adalah penyakit saluran nafas kronis yang penting BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.1. Latar Belakang Asma adalah penyakit saluran nafas kronis yang penting dan merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius di berbagai negara diseluruh dunia. Meskipun penyakit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sampai saat ini penyakit Tuberkulosis Paru ( Tb Paru ) masih menjadi

BAB I PENDAHULUAN. Sampai saat ini penyakit Tuberkulosis Paru ( Tb Paru ) masih menjadi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Sampai saat ini penyakit Tuberkulosis Paru ( Tb Paru ) masih menjadi masalah kesehatan yang utama di dunia maupun di Indonesia. Penyakit Tuberkulosis merupakan penyebab

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Angka kejadian penyakit asma akhir-akhir ini mengalami peningkatan dan relatif sangat tinggi dengan banyaknya morbiditas dan mortalitas. WHO memperkirakan 100-150 juta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sektor kehidupan seperti gangguan sosioekonomi, dampak politik dan

BAB I PENDAHULUAN. sektor kehidupan seperti gangguan sosioekonomi, dampak politik dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebakaran hutan telah menjadi masalah bukan hanya di Indonesia tetapi juga berdampak regional di Asia Tenggara yang berpengaruh terhadap berbagai sektor kehidupan seperti

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progressif nonreversibel

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. batu kapur merupakan kegiatan yang dapat memenuhi kebutuhan material dalam

BAB I PENDAHULUAN. batu kapur merupakan kegiatan yang dapat memenuhi kebutuhan material dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pencemaran udara sering terjadi karena eksploitasi sumber daya alam, baik secara tradisional maupun modern. Penggalian atau penambangan berupa pasir, batu,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kerjanya. Potensi bahaya menunjukkan sesuatu yang potensial untuk mengakibatkan

BAB I PENDAHULUAN. kerjanya. Potensi bahaya menunjukkan sesuatu yang potensial untuk mengakibatkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tenaga kerja sebagai sumber daya manusia memegang peranan utama dalam proses pembangunan industri. Sehingga peranan sumber daya manusia perlu mendapatkan perhatian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Otitis media efusi (OME) merupakan salah satu penyakit telinga

BAB I PENDAHULUAN. Otitis media efusi (OME) merupakan salah satu penyakit telinga 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Otitis media efusi (OME) merupakan salah satu penyakit telinga tengah yang biasanya terjadi pada anak. Pada populasi anak, OME dapat timbul sebagai suatu kelainan

Lebih terperinci

Mekanisme Pertahanan Tubuh. Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang

Mekanisme Pertahanan Tubuh. Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang Mekanisme Pertahanan Tubuh Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang Imunitas atau kekebalan adalah sistem mekanisme pada organisme yang melindungi tubuh terhadap pengaruh biologis luar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pencemaran serta polusi. Pada tahun 2013 industri tekstil di Indonesia menduduki

BAB I PENDAHULUAN. pencemaran serta polusi. Pada tahun 2013 industri tekstil di Indonesia menduduki 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peningkatan pembangunan dan penggunaan teknologi di sektor industri berdampak positif terhadap peningkatan kualitas hidup dan pendapatan namun juga berdampak negatif

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Mycobacterium tuberculosis. Sumber infeksi TB kebanyakan melalui udara, yaitu

BAB 1 PENDAHULUAN. Mycobacterium tuberculosis. Sumber infeksi TB kebanyakan melalui udara, yaitu BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Sumber infeksi TB kebanyakan melalui udara, yaitu melalui inhalasi

Lebih terperinci

11/29/2013 PENGINDERAAN ADALAH ORGAN- ORGAN AKHIR YANG DIKHUSUSKAN UNTUK MENERIMA JENIS RANGSANGAN TERTENTU

11/29/2013 PENGINDERAAN ADALAH ORGAN- ORGAN AKHIR YANG DIKHUSUSKAN UNTUK MENERIMA JENIS RANGSANGAN TERTENTU ANATOMI FISIOLOGI SISTEM PENGINDERAAN PENGINDERAAN ADALAH ORGAN- ORGAN AKHIR YANG DIKHUSUSKAN UNTUK MENERIMA JENIS RANGSANGAN TERTENTU BEBERAPA KESAN TIMBUL DARI LUAR YANG MENCAKUP PENGLIHATAN, PENDENGARAN,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Definisi klinis rinitis alergi adalah penyakit. simptomatik pada hidung yang dicetuskan oleh reaksi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Definisi klinis rinitis alergi adalah penyakit. simptomatik pada hidung yang dicetuskan oleh reaksi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Definisi klinis rinitis alergi adalah penyakit simptomatik pada hidung yang dicetuskan oleh reaksi inflamasi yang dimediasi oleh immunoglobulin E (IgE)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rinitis alergi adalah salah satu penyakit manifestasi reaksi hipersensitifitas tipe I yang diperantarai oleh immunoglobulin E dengan mukosa hidung sebagai organ sasaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Mukosa rongga mulut merupakan lapisan epitel yang meliputi dan melindungi

BAB I PENDAHULUAN. Mukosa rongga mulut merupakan lapisan epitel yang meliputi dan melindungi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mukosa rongga mulut merupakan lapisan epitel yang meliputi dan melindungi rongga mulut. Lapisan ini terdiri dari epitel gepeng berlapis baik yang berkeratin maupun

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. PATOGENESIS REAKSI INFLAMASI ALERGI. Rinitis alergi merupakan penyakit inflamasi mukosa hidung yang didasari

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. PATOGENESIS REAKSI INFLAMASI ALERGI. Rinitis alergi merupakan penyakit inflamasi mukosa hidung yang didasari 6 BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. PATOGENESIS REAKSI INFLAMASI ALERGI Rinitis alergi merupakan penyakit inflamasi mukosa hidung yang didasari oleh reaksi hipersensitifitas yang diperantarai IgE, 1,2,3 yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. paranasal dengan jangka waktu gejala 12 minggu, ditandai oleh dua atau lebih

BAB I PENDAHULUAN. paranasal dengan jangka waktu gejala 12 minggu, ditandai oleh dua atau lebih BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rinosinusitis kronik (RSK) merupakan inflamasi mukosa hidung dan sinus paranasal dengan jangka waktu gejala 12 minggu, ditandai oleh dua atau lebih gejala, salah satunya

Lebih terperinci

Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan. Sistem Imunitas

Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan. Sistem Imunitas Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan Sistem Immunitas Niken Andalasari Sistem Imunitas Sistem imun atau sistem kekebalan tubuh adalah suatu sistem dalam tubuh yang terdiri dari sel-sel serta

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Farmasi dalam kaitannya dengan Pharmaceutical Care harus memastikan bahwa

I. PENDAHULUAN. Farmasi dalam kaitannya dengan Pharmaceutical Care harus memastikan bahwa I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pharmaceutical Care adalah salah satu elemen penting dalam pelayanan kesehatan dan selalu berhubungan dengan elemen lain dalam bidang kesehatan. Farmasi dalam kaitannya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dermatitis yang paling umum pada bayi dan anak. 2 Nama lain untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. dermatitis yang paling umum pada bayi dan anak. 2 Nama lain untuk BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang masalah Dermatitis atopik (DA) merupakan inflamasi kulit yang bersifat kronik berulang, disertai rasa gatal, timbul pada tempat predileksi tertentu dan didasari oleh

Lebih terperinci

M.D. : Faculty of Medicine, University of Indonesia, Pulmonologist: Faculty of Medicine, Univ. of Indonesia, 2007.

M.D. : Faculty of Medicine, University of Indonesia, Pulmonologist: Faculty of Medicine, Univ. of Indonesia, 2007. Triya Damayanti M.D. : Faculty of Medicine, University of Indonesia, 2000. Pulmonologist: Faculty of Medicine, Univ. of Indonesia, 2007. Ph.D. :Tohoku University, Japan, 2011. Current Position: - Academic

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Rhinitis alergi merupakan peradangan mukosa hidung yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Rhinitis alergi merupakan peradangan mukosa hidung yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Rhinitis alergi merupakan peradangan mukosa hidung yang disebabkan mediasi oleh reaksi hipersensitifitas atau alergi tipe 1. Rhinitis alergi dapat terjadi

Lebih terperinci

INDERA PENCIUMAN. a. Concha superior b. Concha medialis c. Concha inferior d. Septum nasi (sekat hidung)

INDERA PENCIUMAN. a. Concha superior b. Concha medialis c. Concha inferior d. Septum nasi (sekat hidung) INDERA PENCIUMAN Indera penciuman adalah indera yang kita gunakan untuk mengenali lingkungan sekitar melalui aroma yang dihasilkan. Seseorang mampu dengan mudah mengenali makanan yang sudah busuk dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dasar diagnosis rinosinusitis kronik sesuai kriteria EPOS (European

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dasar diagnosis rinosinusitis kronik sesuai kriteria EPOS (European BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dasar diagnosis rinosinusitis kronik sesuai kriteria EPOS (European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyposis) 2012 adalah inflamasi hidung dan sinus paranasal

Lebih terperinci

BAB 5 HASIL PENELITIAN

BAB 5 HASIL PENELITIAN 0 BAB 5 HASIL PENELITIAN Berdasarkan pengamatan menggunakan mikroskop dengan pembesaran 4x dan 10x terhadap 60 preparat, terlihat adanya peradangan yang diakibatkan aplikasi H 2 O 2 10%, serta perubahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang berbatas pada bagian superfisial kulit berupa bintul (wheal) yang

BAB I PENDAHULUAN. yang berbatas pada bagian superfisial kulit berupa bintul (wheal) yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Urtikaria merupakan salah satu manifestasi keluhan alergi pada kulit yang paling sering dikeluhkan oleh pasien. Urtikaria adalah suatu kelainan yang berbatas pada bagian

Lebih terperinci

Audiometri. dr. H. Yuswandi Affandi, Sp. THT-KL

Audiometri. dr. H. Yuswandi Affandi, Sp. THT-KL Audiometri dr. H. Yuswandi Affandi, Sp. THT-KL Definisi Audiogram adalah suatu catatan grafis yang diambil dari hasil tes pendengaran dengan menggunakan alat berupa audiometer, yang berisi grafik batas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. siklus sel yang khas yang menimbulkan kemampuan sel untuk tumbuh tidak

BAB I PENDAHULUAN. siklus sel yang khas yang menimbulkan kemampuan sel untuk tumbuh tidak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kanker merupakan suatu penyakit yang ditandai dengan kelainan siklus sel yang khas yang menimbulkan kemampuan sel untuk tumbuh tidak terkendali (pembelahan sel melebihi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit paling mematikan di

BAB I PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit paling mematikan di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit paling mematikan di dunia. World Health Organization (WHO) memperkirakan sepertiga dari populasi dunia telah terinfeksi

Lebih terperinci

menurut World Health Organization (WHO), sekitar 65% dari penduduk negara maju dan 80% dari penduduk negara berkembang telah menggunakan obat herbal

menurut World Health Organization (WHO), sekitar 65% dari penduduk negara maju dan 80% dari penduduk negara berkembang telah menggunakan obat herbal BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latarbelakang Penggunaan obat tradisional telah lama digunakan diseluruh dunia dan menurut World Health Organization (WHO), sekitar 65% dari penduduk negara maju dan 80% dari penduduk

Lebih terperinci

Famili : Picornaviridae Genus : Rhinovirus Spesies: Human Rhinovirus A Human Rhinovirus B

Famili : Picornaviridae Genus : Rhinovirus Spesies: Human Rhinovirus A Human Rhinovirus B RHINOVIRUS: Bila Anda sedang pilek, boleh jadi Rhinovirus penyebabnya. Rhinovirus (RV) menjadi penyebab utama dari terjadinya kasus-kasus flu (common cold) dengan presentase 30-40%. Rhinovirus merupakan

Lebih terperinci

CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI

CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI rina_susilowati@ugm.ac.id Apakah imunologi itu? Imunologi adalah ilmu yang mempelajari sistem imun. Sistem imun dipunyai oleh berbagai organisme, namun pada tulisan ini sistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dijadikan tanaman perkebunan secara besar-besaran, maka ikut berkembang pula

BAB I PENDAHULUAN. dijadikan tanaman perkebunan secara besar-besaran, maka ikut berkembang pula BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Karet alam merupakan salah satu komoditi pertanian yang penting, baik untuk lingkup internasional dan teristimewa bagi Indonesia. Di Indonesia karet merupakan salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Reaksi alergi dapat menyerang beberapa organ dan pada setiap kelompok usia.

BAB I PENDAHULUAN. Reaksi alergi dapat menyerang beberapa organ dan pada setiap kelompok usia. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyakit alergi merupakan salah satu penyakit yang perlu diwaspadai. Reaksi alergi dapat menyerang beberapa organ dan pada setiap kelompok usia. Selain itu,

Lebih terperinci

Prevalens Nasional : 5,0% 5 Kabupaten/Kota dengan prevalens tertinggi: 1.Aceh Barat 13,6% 2.Buol 13,5% 3.Pahwanto 13,0% 4.Sumba Barat 11,5% 5.

Prevalens Nasional : 5,0% 5 Kabupaten/Kota dengan prevalens tertinggi: 1.Aceh Barat 13,6% 2.Buol 13,5% 3.Pahwanto 13,0% 4.Sumba Barat 11,5% 5. L/O/G/O Buku pedoman ASMA DEFINISI : Prevalens Nasional : 5,0% 5 Kabupaten/Kota dengan prevalens tertinggi: 1.Aceh Barat 13,6% 2.Buol 13,5% 3.Pahwanto 13,0% 4.Sumba Barat 11,5% 5.Boalemo 11,0% Riskesdas

Lebih terperinci

Yani Mulyani, M.Si, Apt STFB

Yani Mulyani, M.Si, Apt STFB Yani Mulyani, M.Si, Apt STFB Kegiatan menginhalasi dan mengekshalasi udara dengan tujuan mempertukarkan oksigen dengan CO2 = bernafas/ventilasi Proses metabolisme selular dimana O2 dihirup, bahan2 dioksidasi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tuberkulosis (TB) adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis yang paling sering mengenai organ paru-paru. Tuberkulosis paru merupakan

Lebih terperinci