BAB IV ANALISIS ASTRONOMI HISAB AWAL WAKTU SALAT DALAM KITAB SYAWĀRIQ AL-ANWĀR

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB IV ANALISIS ASTRONOMI HISAB AWAL WAKTU SALAT DALAM KITAB SYAWĀRIQ AL-ANWĀR"

Transkripsi

1 BAB IV ANALISIS ASTRONOMI HISAB AWAL WAKTU SALAT DALAM KITAB SYAWĀRIQ AL-ANWĀR A. Analisis Hisab Waktu Salat Syawāriq al-anwār 1. Konsep Perhitungan Syawāriq al-anwār Gerak rotasi Bumi untuk sekali putaran membutuhkan waktu ratarata 24 jam, dengan kata lain dalam sehari semalam membutuhkan waktu 24 jam. Dikatakan rata-rata, karena waktu yang digunakan untuk mengukur itu dasarnya adalah perjalanan harian Matahari, sedangkan perjalanan Matahari tidak tetap. Maksudnya, untuk sehari-hari terkadang membutuhkan waktu lebih dari 24 jam dan terkadang kurang dari 24 jam. Sedangkan untuk mengetahui tentang lebih atau kurangnya perjalanan Matahari sehari semalam dari jumlah 24 jam, diukur dengan perjalanan Matahari hayalan yang benar-benar sehari semalam menempuh jarak waktu 24 jam (Rachim, 1983: 41). Berdasarkan penjelasan tersebut, menurut Wardan (1957: 80-81) bahwa jam Matahari terdapat dua macam, yakni ; a. Jam wasathi atau jam pertengahan atau yang biasa disebut jam umum (hal itu disebabkan waktu itulah yang umum dipakai dalam kehidupan sehari-hari). Jam wasathi merupakan jam yang dibenarkan dengan Matahari. b. Jam istiwa atau jam hakīkī. Jam istiwa merupakan jam yang dibenarkan dengan Matahari yang sebenarnya, yaitu pada waktu 76

2 77 Matahari mencapai titik kulminasi atas ditetapkan pukul Oleh karena jam istiwa didasarkan pada titik kulminasi atas (meridian pass), maka satu tempat dengan tempat yang lain waktunya berbeda. Penentuan awal waktu salat secara umum dalam kitab Syawāriq al-anwār menggunakan jam istiwa baik zawālīyah maupun gurubīyah, dimana diperlukan adanya penelitian atau pengecekan langsung terhadap posisi Matahari. Konsep perhitungan kitab Syawāriq al-anwār ini jika dianalisis, maka akan mendapatkan kesimpulan sebagai berikut: a. Zuhur Awal waktu Zuhur dalam kitab ini menjelaskan bahwa waktu Zuhur terjadi setelah Matahari mencapai titik kulminasi atas yakni ditetapkan yang terjadi pada jam 12.00, dan setiap awal waktu Zuhur ditetapkan tetap sepanjang tahun yaitu jam 12.04, terdapat waktu tambahan 4 menit, dimana hal ini merupakan tambahan waktu yang diperlukan oleh gerak Matahari sejak kulminasi sampai tergelincir. Penggunaan waktu istiwa' pada kitab ini sangat meyulitkan sekali, karena pada setiap kulminasi atas (posisi Matahari di zenit), jam harus disesuaikan yaitu dengan memutarnya pada angka 12 tepat. Penyesuaian ini dikarenakan penggunaan jam istiwa' dilandaskan pada pergerakan Matahari. Dalam pengecekannya pun setidaknya harus memakai jam

3 78 Matahari (bencet) atau tongkat istiwa'. 1 Sehingga ketika konsep kitab ini digunakan apa adanya, setiap masjid harus mempunyai jam bencet. Pengecekan ini berfungsi untuk mengetahui Matahari berada di zenit. Penggunaan jam istiwa' ini juga sangat sulit, jika terjadi mendung atau hujan dimana Matahari tidak terlihat. b. Asar Pada kitab ini, penentuan awal waktu salat sebagaimana konsep perhitungan lainnya berpatokan pada waktu Zuhurnya. Perhitungan pada kitab ini masih menggunakan logaritma dengan algoritma proses perhitungannya lebih panjang dibanding dengan perhitungan yang dipakai dalam perhitungan kontemporer metode ephemeris. Algoritma perhitungan pada kitab ini dimulai dengan mencari nilai al-gāyah, al-qāmah, irtifa' Asar, bu'du al-quthur, aṡlul muaddal, aṡlul muthlaq, tamām fadlud dā'ir, dan fadlud dā'ir. Penggunaan perhitungan mencari Asar pada kitab ini, menurut penulis kurang konsisten jika berpatokan pada penentuan awal waktu Zuhur. Ketidak konsistenannya terlihat ketika 1 Tongkat tegak lurus pada bidang datar, kemudian di tengah-tengah bidang datar tersebut dibuatkan garis lurus, yaitu garis arah utara-selatan. Selanjutnya bidang datar tersebut bisa diletakkan di luar di atas tanah yang datar, lalu pada tengah hari dapat dilihat. Jika bayangan pada ujung tongkat tersebut sudah tepat dengan garis lurus, maka pada waktu itu sudah menunjukkan jam 12. Pada saat tersebut, awal waktu Zuhur Matahari berada pada titik meridian, maka sudut waktu salat Zuhur akan menunjukkan 0º dan waktu telah menunjukkan jam 12 menurut waktu Matahari hakīkī. Menentukan secara tepat tempat jatuhnya bayang-bayang ujung tongkat tersebut merupakan suatu hal yang sangat sulit, dalam hal ini bisa disebabkan tidak kelihatan tajam pada ujung bayang-bayangnya. Namun bila mata cukup teliti, maka penentuan tinggi Matahari dengan cara yang sederhana itu dapat dilakukan dengan hasil yang cukup memuaskan. Bayang-bayang dapat berada pada arah selatan tongkat atau arah utaranya, tergantung data deklinasi dan lintang tempat. Tongkat istiwa tidak mempunyai bayang-bayang, jika Matahari berkulminasi di titik zenit yaitu jika nilai deklinasi = nilai lintang tempat (Rachim, 1983: 15).

4 79 penentuan Zuhur dengan melihat pergerakan Matahari, sedangkan asar tidak. Jika menilik hadis Nabi Saw., dari sahabat Jabir, maka penentuan waktu Asar pun bisa menggunakan bayangan Matahari, yaitu dapat juga dilakukan dengan mempergunakan tongkat istiwa. Aplikasi penentuan waktu salat dengan memakai tongkat istiwa' ketika Matahari bergerak ke arah barat dengan wujud bayang-bayang yang sama dengan benda yang berdiri tegak lurus, lalu ujung bayang-bayang tersebut bergerak perlahan-lahan ke arah timur. Selanjutnya, ukuran panjang bayang-bayang tongkat berangsur-angsur bertambah dengan sepanjang tongkat itu sendiri, bila dibandingkan dengan panjangnya waktu Matahari sedang berkulminasi. Pada saat itulah waktu Asar mulai masuk (Rachim, 1983: 24). c. Magrib Perhitungan waktu Magrib pada kitab ini juga jika dibandingkan dengan perhitungan kontemporer metode ephemeris relatif lebih panjang. Pada perhitungannya kitab ini tidak memakai irtifa' yang biasa dipkai pada metode ephemeris yaitu 1 o 13', akan tetapi kitab ini memakai daqāittamkīnīyah yang bernilai 0 o 56'. Pengecekan awal waktu Magrib yaitu saat Matahari terbenam/piringan atas telah berada di bawah ufuq atau kaki langit. Hal ini dapat dilakukan dengan mempergunakan teropong

5 80 atau mata telanjang dengan bantuan alat, melihat saat piringan atas Matahari menyentuh garis ufuk. Sebaiknya yang dijadikan ukuran ufuk adalah permukaan laut atau dataran rendah yang luas seperti padang pasir atau padang rumput. d. Isya Seperti perhitungan-perhitungan sebelumnya, proses perhitungan waktu Isya pada kitab ini lebih panjang dari metode ephemeris. Pada kitab ini pula tidak mematok ketinggian sebagaimana hisab waktu salat lainnya yang berkisar derajat untuk Indonesia. Selanjutnya pengecekan waktu Isya sangat diperlukan pengalaman yang berkali-kali sebab memperhatikan hilangnya warna merah di ufuk barat bukanlah pekerjaan yang mudah. Hilangnya warna merah di ufuk barat tidak saja disebabkan posisi Matahari sudah 18º di bawah ufuk (Djambek, t.t: 10), tetapi dapat juga karena tiba-tiba cuaca di sekitarnya menjadi mendung. Hilangnya warna merah sebagai tanda awal Isya adalah jika posisi Matahari 18º di bawah ufuk (Djambek, t.t: 10) 2, dan hal ini sulit di amati kecuali oleh orangorang yang telah berpengalaman matang. e. Subuh Seperti perhitungan-perhitungan sebelumnya, proses perhitungan waktu subuh pada kitab ini lebih panjang dari metode ephemeris. Adapun kitab ini pula tidak mematok ketinggian 2 Lihat juga dalam bukunya (Khazin, 2004: 92)

6 81 sebagaimana hisab waktu salat lainnya yang berkisar 20 derajat untuk Indonesia. Adapun pengecekan awal waktu Subuh sama sulitnya dengan pengecekan waktu Isya. Terbit fajar sebagai tanda masuk waktu Subuh sulit diamati kecuali oleh para ahli yang telah berpengalaman. Namun demikian pengecekan itu perlu juga dilakukan sebagai usaha mencapai kebenaran. Usaha yang terus-menerus dilakukan walau bagaimanapun hasilnya akan lebih baik daripada tidak pernah dilakukan sama sekali. Apabila perjalanan Matahari yang sebenarnya (jam istiwa') dibandingkan dengan perjalanan Matahari hayalan (jam wasathi), maka akan terdapat selisih waktu antara keduanya. Hal ini disebabkan perjalanan Matahari yang sebenarnya tidak tetap waktunya, maka selisih waktu antara Matahari yang sebenarnya dengan Matahari hayalan juga tidak sama besarnya. Selisih waktu antara jam istiwa (waktu hakīkī) dengan jam wasathi (waktu pertengahan) dinamakan perata waktu (equation of time), biasanya diberi lambang huruf e. Dengan demikian, perata waktu adalah selisih antara waktu hakīkī, perjalanan harian Matahari ketika mencapai meridian (kulminasi) dengan jam yang dibuat secara rata-rata dari perjalanan harian Matahari itu sendiri. Biasanya jika Matahari mencapai titik atas dalam perjalanannya disebut dengan meridian passing (MP), dan saat ini menurut jam rata-rata tersebut tidak selalu menunjukkan jam 12.00, tetapi kadang-kadang lebih dan kadang-kadang kurang.

7 82 Equation of time (e) dibutuhkan dalam penentuan waktu salat untuk saat kulminasi Matahari bagi daerah-daerah di sekitar bujur Waktu Indonesia Barat (WIB). Data equation of time juga diperlukan untuk mengkonversi waktu kulminasi Matahari dari waktu Matahari hakīkī ke waktu pertengahan setempat, atau waktu pertengahan daerah. Rumus yang dipakai adalah (MP = 12 e). Dengan demikian penggunaan data e sangat dibutuhkan jika waktu istiwa tersebut dirubah menjadi waktu pertengahan. Penentuan kedudukan suatu tempat (lintang dan bujur) diperlukan dalam menetapkan saat masuknya waktu-waktu salat secara tepat. Perbedaan bujur akan berpengaruh terhadap waktu suatu daerah. Dengan demikian, jika hendak memindahkan jam istiwa /waktu setempat (waktu untuk mengetahui satu tempat) menjadi waktu daerah, maka cara yang ditempuh dapat menggunakan rumus WD = MP + ((BD BT) : 15)). Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa waktu istiwa tidak diperlukan adanya bujur, namun jika waktu istiwa tersebut dirubah menjadi waktu daerah maka bujur sangat dibutuhkan dalam perhitungannya. Kekurangan dari kitab Syawāriq al-anwār yaitu data yang digunakan belum memperhitungkan bujur. Hal ini disebabkan penentuan waktu hakīkī dalam kitab ini tidak mengoreksi atau mengkonversi waktu kulminasi Matahari dari waktu Matahari hakīkī ke waktu pertengahan setempat, atau waktu pertengahan daerah.

8 83 Semua awal waktu salat dipengaruhi oleh lintang, kecuali awal waktu salat Zuhur. Hal ini disebabkan awal waktu salat Zuhur adalah waktu berkulminasinya Matahari. Djambek, (t.t: 21) dalam bukunya menjelaskan bahwa perbedaan bujur cukup besar pengaruhnya terhadap masuknya waktu salat dan perbedaan lintang tidak sama besar pengaruhnya sepanjang tahun. Waktu Zuhur senantiasa sama untuk semua lintang. Penentuan awal waktu Zuhur dalam kitab Syawāriq al-anwār menjelaskan bahwa waktu Zuhur terjadi setelah Matahari mencapai titik kulminasi atas yakni ditetapkan yang terjadi pada jam 12.00, namun dalam hal ini telah diketahui bahwa mengingat waktu Matahari merupakan waktu yang berdasarkan pada perputaran Bumi pada sumbunya yang sehari semalam tidak tentu 24 jam, melainkan kadang kurang dan kadang lebih. Penyebabnya antara lain karena peredaran Bumi mengelilingi Matahari yang berbentuk ellips (bulat telur). Dengan demikian, penggunaan data perata waktu atau equation of time (e) dibutuhkan dalam perhitungan waktu salat untuk saat kulminasi Matahari bagi daerah-daerah di sekitar bujur Waktu Indonesia Barat (WIB). Data e juga diperlukan untuk mengkonversi waktu kulminasi Matahari dari waktu Matahari hakīkī ke waktu pertengahan setempat, atau waktu pertengahan daerah (Khazin, 2004: 67). Jika langkah tersebut dilakukan maka (penggunaan waktu Matahari hakiki) tidak harus ada koreksi waktu dalam jam berkala.

9 84 Pada saat Matahari hakiki mencapai tempatnya di meridian, Matahari pertengahan kadang masih berada di sebelah timur meridian atau di sebelah baratnya (Rachim, 1983: 47). Dalam keadaan demikian, waktu hakīkī menunjukkan pukul dan berlaku sama untuk setiap harinya, tetapi menurut waktu pertengahan hari belum pukul misalnya pukul 11.54, maka perata waktu dapat diketahui besarnya yaitu = +6 menit. Namun jika Matahari pertengahan mendahului Matahari hakiki, waktu hakiki menunjukkan pukul dan waktu pertengahan menunjukkan pukul lebih, misalnya pukul Maka perata waktunya dapat diketahui besarnya = -6 menit. Rumus yang digunakan untuk memperoleh perata waktu adalah (Ahmad: t.t, 12): Perata waktu = waktu hakīkī waktu pertengahan Sedangkan persamaan di atas dapat dituliskan sebagai berikut : Waktu pertengahan = waktu hakīkī perata waktu Terdapat suatu hal yang menarik bahwa perata waktu berjumlah nol (0º) pada tanggal 15 April, 4 Juni, 1 September dan 25 Desember. Pada tanggal-tanggal tersebut sudut waktu Matahari pertengahan sama besarnya dengan sudut waktu Matahari hakīkī (Ahmad, t.t: 49). Dengan demikian, waktu pertengahan dengan waktu hakīkī terjadi pada waktu yang sama dan tidak ada koreksi.

10 85 Waktu pertengahan tersebut biasanya disesuaikan dengan waktu daerah, yaitu waktu-waktu yang telah ditetapkan menurut bujurnya, sehingga untuk tempat-tempat yang berada di sebelah timur bujur yang dijadikan pedoman waktu daerah disesuaikan dengan mengurangi selisih waktu sebanyak selisih bujurnya. Berdasarkan keterangan di atas dapat diketahui bahwa jika waktu hakīkī atau waktu istiwa (yang hanya dapat dijadikan sebagai acuan untuk suatu tempat saja) dijadikan waktu daerah, maka cara yang ditempuh adalah dengan terlebih dahulu menentukan bujur-bujur daerah yang akan digunakan, misalnya Waktu Indonesia Barat (WIB) = 105º, Waktu Indonesia Tengah (WITA) = 120º dan Waktu Indonesia Timur (WIT) = 135º, dan dapat menggunakan rumus WD = MP + ((BD BT) : 15 3 ). Dengan catatan, diketahui terlebih dahulu waktu pertengahan dengan rumus ( MP = 12 e ). Dengan demikian, waktu hakīkī/waktu istiwa tidak diperlukan adanya bujur, namun jika waktu istiwa tersebut dirubah menjadi waktu pertengahan atau waktu daerah maka equation of time dan bujur sangat dibutuhkan dalam perhitungannya. Oleh karena itu, untuk mempermudah dalam perhitungannya (dalam menentukan waktu yang berlaku pada satu tempat saja), data yang dibutuhkan hanya lintang tempat dan deklinasi Matahari. Adapun penentuan waktu salat selain salat Zuhur (Asar, Magrib, Isya dan Subuh) dalam Syawāriq al-anwār bahwa perhitungan untuk 3 Angka 15 tersebut merupakan kaidah yang merupakan jarak di antara meridianmeridian yang menguasai setiap daerah itu besarnya 15º. Hal itu berarti bahwa perbedaan waktu di antara dua daerah yang berbatasan besarnya 60 menit atau tepat 1 jam. Uraian selengkapnya baca (Rachim, 1983: 55).

11 86 mencari sudut waktu mempertimbangkan panjangnya busur siang 4 (niṡfunnahār) dan busur malam 5 (niṡfullail), sehingga dalam rumusrumus yang dipakai pada waktu salat sebelum terbenam (Asar dan Duha) merupakan kebalikan dari rumus yang dipakai pada waktu salat yang dilaksanakan setelah Matahari terbenam sampai terbit Matahari (Magrib, Isya, Subuh dan Terbit). Penjelasan antara panjangnya busur siang dan busur malam sebagaimana keterangan tersebut dapat dilihat pada gambar berikut ini: Gambar 4.1. Panjang busur siang (niṡfu al-qausinnahār dan busur malam (niṡfu qausillail) Niṡfu al-qausinnahār As Zh Istiwa Dh Gurub/ Mg B Is Sb T Syuruq/ Tr Niṡfu qausillail 2. Menggunakan metode ittifāq dan ikhtilāf Dalam perhitungannya menggunakan rumus ikhtilāf-ittifāq. Hal ini yang membedakan penentuan waktu salat dalam kitab ini dengan 4 Busur siang adalah busur yang ditunjukkan oleh lintasan Matahari dalam peredaran semu hariannya mulai dari titik terbit sampai titik terbenam. Dalam istilah falak disebut dengan nisf al-qaus al-nahar (Azhari, 2008: 48). 5 Busur malam adalah busur yang ditunjukkan oleh lintasan Matahari dalam peredaran semu hariannya mulai dari titik terbenam sampai titik terbit. Dalam istilah falak disebut dengan nisf al-qaus al-lail (Azhari, 2008: 48).

12 87 kitab yang lain. Rumus ikhtilāf digunakan jika ditemukan adanya perbedaan kedudukan antara lintang tempat dengan deklinasi Matahari, begitu juga sebaliknya. Adapun rumus ittifāq digunakan jika ditemukan adanya persamaan kedudukan antara lintang tempat dengan deklinasi Matahari (sama-sama bernilai negatif, ataupun sebaliknya). Adapun alasan penggunaan rumus tersebut karena pada masa dahulu masih minim penggunaan kalkulator scientific sehingga untuk mempermudah dalam perhitungan digunakan alat rubu al-mujayyab yang selalu menggunakan nilai positif sehingga nilai negatif itu ditiadakan. Akibat pemositifan yang negatif itulah maka mengakibatkan adanya rumus ikhtilāf-ittifāq tersebut. Penerapannya dalam kitab ini adalah jika terdapat nilai negatif pada lintang tempat atau deklinasi Matahari, maka perhitungannya tetap bernilai positif. Hanya saja, nilai negatif/positif tersebut dapat membedakan rumus yang digunakan dalam perhitungannya, yakni dapat menggunakan ikhtilāf atau ittifāq. 3. Jadwal Waktu Salat Syawāriq al-anwār. Untuk menganalisis jadwal salat Syawāriq al-anwār, peneliti menggunakan pedoman penentuan jadwal salat milik Kementerian Agama Republik Indonesia yang telah menggunakan data astronomis seperti The Nautical Almanac dan The American Ephemeris. Metode perhitungan awal waktu salat saat ini tentunya berbeda dengan metode perhitungan yang dalam kitab Syawāriq al-anwār. Adapun data yang diperlukan untuk menghitung awal waktu salat antara

13 88 lain: lintang dan bujur tempat, deklinasi 6, tinggi Matahari 7, saat Matahari berkulminasi (ephemeris transit) 8, sudut waktu Matahari 9, koreksi waktu daerah 10, dan ihtiyat. Setelah data di atas tersedia, kemudian dihitung Meridian Pass (Mer.Pass) dengan rumus (Khazin, 2004: 94). Mer.Pass = 12 e Sedangkan bila waktu yang dikehendaki dengan waktu daerah (Zone Time) misalnya WIB (105⁰), WITA (120⁰), WIT (135⁰), maka waktu harus dikoreksi dengan interpolasi waktu. Interpolasi Waktu = (λ-λd) : 15 λd =bujur waktu daerah Selanjutnya digunakan langkah dan rumus sebagai berikut: 1. Menghitung Sudut Waktu Matahari atau t o dengan rumus: Cos t o = -tan φ tan δ + sin h : cos φ : cos δ 2. Mengkonversi nilai sudut waktu (t o ) menjadi satuan waktu dengan cara t 0 : 15⁰ 3. Untuk awal waktu Asar, Magrib dan Isya digunakan rumus : Waktu ybs = Mer. Pass + (t o : 15) 6 Secara lengkap data deklinasi bisa dilihat pada almanac Astronomis seperti Almanak Nautika dan Ephemeris 7 Secara garis besar tinggi Matahari pada awal waktu Salat adalah : (a) Zuhur = di Meredian = hm (90⁰-/φ-δ/), (b) Asar = Ctg ha = tg Zm + 1, (c) Magrib = hm = -01⁰, (d) Isya = h = -18⁰, (e) Subuh = h = -20⁰, (f) Syuruq = -01⁰. 8 Bisa disebut Meridian Pass, diperoleh dengan cara mengurangi Waktu hakiki dengan perata waktu (Equation of Time ditulis e) data dapat dilihat pada Almanak Nautika dan American Ephemeris. 9 Dalam menghitung awal dan akhir Salat, data inilah yang akan dicari dengan modal data lintang tempat, deklinasi dan tinggi Matahari. 10 KWD = (LMT 1)/15. LMT (Lokal Mean Time/waktu standar daerah yaitu WIB = 105⁰, WITA=120⁰, WIT =135⁰). 1= Bujur daerah (markas)

14 89 4. Untuk awal waktu Imsak, Subuh, Terbit dan Duha digunakan Waktu ybs = Mer. Pass - (t o : 15) 5. Hasil di atas (no. 3 dan 4) merupakan awal waktu salat menurut waktu pertengahan setempat (LMT = Local Mean Time). Untuk merubah hasil di atas menjadi waktu daerah atau Zone Time dengan cara: Waktu Daerah = LMT Interpolasi Waktu 6. Terhadap hasil di atas (no.5) di atas, kecuali waktu Imsak dan terbit (akhir waktu Subuh), perlu penambahan ihtiyat sebesar 1 sampai 2 menit. Sedangkan untuk waktu Imsak dan Terbit dikurangi ihtiyat antara 1 sampai 2 menit. Hasil terakhir inilah sebagai kesimpulan awal waktu yang dicari. Tabel 4.1.Perhitungan awal waktu salat Jepara pada tanggal 21 Juni 2013 Data Z A M I S T Tinggi Mataha ri - Cotan h = tan ɸ Ltg Bjr Tgl Jam Dek Sd E Juni GMT 07 " " 1 50 " Kwd = ( ) : 15 = - 0 Jam 22 menit 36 detik 1. Waktu Subuh a. Menentukan sudut waktu Cos t = - tan ɸ tan + sin h : cos ɸ : cos

15 90 = - tan tan " + sin 20 0 : cos : cos " t = " b. Sudut waktu Matahari t : 15 = " : 15 = " c. Waktu Subuh Kulminasi : " Eq of time : " " t:15 : " " Kwd : " " Ikhtiyat : " + Awal Subuh " 2. Waktu Zuhur Kulminasi : " Eq of time : " " Kwd : " " Ikhtiyat : " +

16 91 Awal Zuhur! " 3. Waktu Asar a. Menentukan tinggi (h) Matahari Cotan h = tan ɸ + 1 = tan " " # + 1 = " b. Menentukan sudut waktu Cos t = - tan ɸ tan + sin h : cos ɸ : cos = - tan tan " + sin " : cos : cos " t = " c. Sudut waktu Matahari t : 15 = " : 15 = " d. Waktu Asar Kulminasi : " Eq of time : " " t:15 : " " Kwd : " " Ikhtiyat : " + Awal Asar "

17 92 4. Waktu Magrib a. Menentukan sudut waktu Cos t = - tan ɸ tan + sin h : cos ɸ : cos = - tan tan " + sin 1 0 : cos : cos " t = " b. Sudut waktu Matahari t : 15 = " : 15 = " c. Waktu Magrib Kulminasi : " Eq of time : " " t:15 : " " Kwd : " " Ikhtiyat : " + Awal Magrib $ " 5. Waktu Isya a. Menentukan sudut waktu Cos t = - tan ɸ tan + sin h : cos ɸ : cos = - tan tan " + sin 18 0 : cos : cos "

18 93 t = " b. Sudut waktu Matahari t : 15 = " : 15 = " c. Waktu Isya Kulminasi : " Eq of time : " " t:15 : " " Kwd : " " Ikhtiyat : " + Awal Isya % " B. Analisis Astronomi Hisab Awal Waktu Salat Dalam hisab awal waktu salat, data astronomi terpenting adalah posisi Matahari dalam koordinat horizon, terutama ketinggian atau jarak zenit. Fenomena yang dicari kaitannya dengan posisi Matahari adalah fajar (morning twilight), terbit, melintasi meridian, terbenam, dan senja (evening twilight). Dalam hal ini astronomi berperan menafsirkan fenomena yang disebutkan dalam dalil agama (al-qur'an dan hadis Nabi) menjadi posisi Matahari. Sebenarnya penafsiran itu belum seragam, tetapi karena masyarakat telah sepakat menerima data astronomi sebagai acuan, kriterianya relatif mudah disatukan (Djamaluddin, 2012).

19 94 Ketinggian suatu benda langit tidak lepas dari prinsip Spherichal Astronomy (sistem bola langit). Apabila kita berada di areal terbuka, maka kita akan memperoleh kesan seolah-olah langit yang melingkupi kita berbentuk suatu kubah atau dengan perkataan lain kita seolah-olah berada di suatu titik pusat setengah bola langit yang melingkupi kita. Benda-benda langit seperti Matahari, Bulan, Bintang, Planet dan lain sebagainya seolaholah menempel pada dinding bola langit yang berjarak sama dari titik keberadaan kita (Fahrurrazi, 2010: 43). Waktu salat sangat identik dengan ketinggian dan posisi Matahari. Hal ini disebabkan ketinggian atau posisi Matahari menjadi tolak ukur terjadinya fenomena-fenomena yang menandakan dimulainya waktu salat. Tinggi Matahari sendiri diukur sepanjang busur lingkaran vertikal yang melalui Matahari nyata, mulai dari horizon langit ke arah zenit (positif) atau ke arah nadir (negatif) sampai ke benda langit. Harga tinggi Matahari berkisar dari 0 sampai +90 untuk benda langit yang berada di atas horizon dan dari 0 sampai 90 untuk benda langit yang berada di bawah horizon. Tinggi Matahari adalah jarak busur sepanjang lingkaran vertikal dihitung dari ufuk sampai Matahari. Tinggi Matahari ini biasanya dinotasikan dengan ho (high of sun). Tinggi Matahari bertanda positif (+) apabila posisi Matahari berada di atas ufuk, dan bertanda negatif (-) apabila Matahari berada di bawah ufuk. Analisis ketinggian Matahari ini kemudian yang akan dijadikan parameter penulis untuk menentukan waktu-waktu salat. Akan tetapi ada yang berpendapat bahwa tidak semua waktu salat menggunakan parameter ketinggian Matahari, yaitu waktu salat Asar, karena salat Asar merupakan

20 95 waktu pertengahan antara Zuhur dan Magrib, tanpa perlu memperhitungkan jarak zenit Matahari. Untuk mempermudah dalam perhitungan waktu salat maka definisi seberapa ketinggian Matahari untuk masing-masing waktu salat ini sangat diperlukan. Berikut ini akan diuraikan beberapa kriteria ketinggian Matahari untuk menentukan tibanya waktu salat: 1. Zuhur Kedudukan Matahari pada waktu Zuhur terjadi apabila Matahari berkulminasi atas, yaitu pada saat titik pusat Matahari berkedudukan tepat di meridian. Akan tetapi jika Matahari tidak berkulminasi di zenit, bayangbayang benda yang terpancang tegak lurus di atas tanah, membujur tepat menurut arah utara- selatan. Garis poros bayang-bayang dan titik pusat Matahari membentuk suatu bidang yang berimpit dengan meridian (Jamil, 2009: 33). Waktu Zuhur sendiri menurut Noor Ahmad (t.t: 20) yaitu waktu salat yang dmulai sejak Matahari tergelincir, yaitu sesaat setelah Matahari mencapai titik kulminasi atas (al-gāyah) dalam peredaran hariannya sampai tibanya waktu Asar. Setiap hari Matahari nampak bergerak mengitari Bumi. Matahari terbit dari ufuk timur, mencapai transit 11 di altitude tertinggi. Konsep ghoyah ini sesuai dengan konsep ilmu falak modern yang menjadikan zenit bernilai 90 derajat. 90 derajat ini dipakai dalam kitab Syawāriq al-anwār sebagai kaidah. 11 Yang dimaksud dengan istilah transit disini menunjuk pada saat Matahari ketika tepat berada di garis meridian. Pada saat transit, Matahari memiliki hour angle sama dengan nol derajat.

21 96 2. Asar Setiap hari Matahari mengalami transit, yaitu ketika posisi Matahari tepat berada di meridian. Benda yang tegak lurus di permukaan Bumi belum tentu memiliki bayangan. Bayangan yang dibentuk suatu benda ketika kulminasi akan terjadi jika koordinat lintang benda tersebut (φ) berbeda dengan nilai deklinasi (δ) yang terjadi pada saat itu. Panjang bayangan saat Zuhur (transit) ini, dapat diketahui dengan cara memasukkan nilai mutlak lintang dan deklinasi pada rumus (Khazin, 2004: 88). : Tan Zm = (φ δm) Zm = Jarak antara zenit dan Matahari Φ = Lintang tempat δm = Deklinasi Matahari Awal waktu Asar dimulai ketika bayangan Matahari sama dengan benda tegaknya, artinya apabila pada saat Matahari berkulminasi akan membuat bayangan senilai 0 (tidak ada bayangan) maka awal waktu Asar dimulai sejak bayangan Matahari sama panjang dengan benda tegaknya. Apabila pada saat Matahari berkulminasi sudah mempunyai bayangan sepanjang benda tegaknya maka awal waktu Asar dimulai sejak panjang bayangan Matahari itu dua kali panjang tegaknya. Demikian juga di katakan oleh Ahmad (t.t: 20) dalam kitab Syawāriq al-anwār, bahwa waktu Asar dimulai saat panjang bayangbayang sama dengan panjang benda ditambah bayang-bayang kulminasi atas. Hal ini sesuai dengan konsep astronomi, sebagaimana dikatakan

22 97 Khafid (2012) bahwa posisi Matahari pada saat awal Asar dapat diketahui dengan menghitung tinggi Matahari dari ufuk (horizon) sepanjang lingkaran vertikal dengan melihat gambar 4.2 dapat diketahui rumusnya sebagai berikut: Gambar 4.2. Ketinggian Matahari saat Asar (Khafid, 2012) x = panjang benda yang berdiri tegak y1 = bayang-bayang benda di saat Zuhur y2 = tambahan bayang-bayang Matahari saat Asar α = tinggi Matahari saat Zuhur β = tinggi Matahari saat Asar Tan β Tan β = & & = & & untuk mazhab syafi i +1 Tan a untuk mazhab hanafi +2 Tan a 3. Magrib dan Syurūq Waktu Magrib menurut Noor Ahmad (t.t: 20) dimulai sejak Matahari terbenam, yakni apabila piringan atas (uperlimb) bersinggugan dengan kaki langit. Adapun pendapat dari 'Audah (2004: 2) bahwa waktu

23 98 salat Magrib dimulai saat Matahari terbenam (sunset), yakni ketika Matahari terbenam dimana piringan teratas Matahari terbenam di ufuk dan langit tidak langsung gelap. Hal ini disebabkan adanya atmosfer Bumi yang membiaskan cahaya Matahari, dengan demikian Matahari harus tenggelam hingga belasan derajat di bawah ufuk supaya tidak ada lagi cahaya Matahari yang dapat dibiaskan sehingga langit menjadi gelap (Anugraha, 85: 2012). Sekiranya tidak ada atmosfer yang membungkus bola Bumi ini, maka akan dialami terjadinya gelap yang tiba-tiba pada saat terbenamnya Matahari serta terang yang tiba-tiba pada saat terbitnya Matahari. Tidak beda jauh dengan suatu kamar yang mendadak terang dan gelap ketika lampu dihidupkan atau dimatikan (Simapora, 1985: 82). Begitu pula untuk syurūq/terbit, ditandai dengan piringan atas Matahari bersinggungan dengan ufuk sebelah timur (Khazin, 2004: 93). Dalam kitab Syawāriq al-anwār penambahan daqāiquttamkīnīyah semi diameter menunjukan bahwa konsep kitab ini sesuai dengan pendapat para astronom di atas. Ini juga menjadi faktor yang mempengaruhi ketinggian Matahari pada waktu Magrib dan syurūq (terbit). 4. Isya Noor Ahmad (t.t: 20) mengemukakan bahwa waktu Isya yaitu lenggang waktu yang dimulai dari habisnya cahaya merah atau terbitnya cahaya putih dibagian langit sebelah barat sampai terbitnya fajar. Dalam astronomi waktu Isya ini dimulai pada saat bintang-bintang di langit bercahaya sempurna pada saat itulah para astronom mengadakan

24 99 observasi. Itulah sebabnya saat ini disebut dengan Astronomical Twilight yaitu pada saat Matahari berkedudukan 18 di bawah kaki langit. Kriteria Astronomical Twilight yang dijadikan pedoman dalam ilmu astronomi adalah -18º, di samping itu ada pula ahli- ahli hisab yang mempergunakan -17 atau -19 selama ini kita berpedoman H Isya -18 (Ahmad, t.t: 20). Kriteria ini bisa digunkan untuk menentukan ketinggian Matahari saat Subuh dan Isya, namun beberapa negara muslim lebih memilih untuk menggunakan parameter sudut yang berbeda. Banyak badan Islam di Amerika Serikat, misalnya lebih suka menggunakan sudut 15º, di Mesir misalnya, mereka mengandalkan sudut 19,5º dan 17,5º namun belum ada penelitian menunjukkan nyata ilmiah bahwa waktu awal Fajar dan Isya datang ketika nilai sudut adalah 18º. Sudut 18 º telah diperoleh setelah melakukan studi ilmiah ('Audah, t.t: 2007). Menurut Azhari (2007: 69), Astronom muslim memiliki pendapat yang bervariasi mengenai ketinggian Matahari saat Isya. Kriteria tersebut dapat dibedakan sebagai berikut: Tabel 4.2. Ketinggian Matahari Menurut Astronom Islam Nama Abu Raihan Al-Biruni Al-Qaini Ibnu Yunus, Al-Khalili, Ibn Syatir, Tusi, Mardeni, Al- Muwaqit di Syiria, Magrib, Mesir dan Turkey Habash, Muadh, Ibn Haithim Al-Marrakushi, Tunis dan Yaman Abu Abdullah Al-Sayyid al- Moeti Abu Abdullah ibn Ibrahim ibnriqam Matahari Isya 15⁰- 18⁰ 17⁰ 19⁰ 18⁰ 20⁰ 19⁰ 19⁰

25 100 Chagmini, Barjandi, Kamili Syekh Taher Jalaluddin 15⁰ 18⁰ Selain itu adapula beberapa organisasi yang berbeda memakai ketinggian Matahari waktu Isya seperti yang terdapat pada tabel berikut ini. Tabel 4.3. Ketinggian Matahari Waktu Isya (Hambali, 2011: ) Organisasi Isya University Of Islamic 18 Science of Karachi Islamic Society of North 15 America (ISNA) Muslim World 17 League Ummul Qurra Commite 90 menit setelah Magrib (120 menit khusus Ramadhan) Egyptian General 17.5 Authority of Survey Syekh Taher Jalaluddin 18 Di Indonesia, ijtihad yang digunakan adalah posisi Matahari - 20 di bawah ufuk, dengan landasan dalil syar'i dan astronomis yang dianggap kuat. Kriteria ini yang digunakan oleh Kementerian Agama RI untuk jadwal salat yang dikeluarkan secara resmi (Djamaluddin, 2012). Jika dilihat dari pendapat para astronom dan ahli falak yang dibandingkan dengan pendapat Noor Ahmad, dapat disimpulkan bahwa kitab ini sesuai dengan astronom modern. 5. Subuh Waktu Subuh menurut Noor Ahmad (t.t: 20) yaitu tenggang waktu yang dimulai sejak terbitnya fajar sampai terbitnya Matahari. Tinggi Matahari pada saat fajar dalam ilmu falaq di tentukan -20. Ada juga ahli hisab lainnya yang mengatakan bahwa tinngi Matahari awal

26 101 Subuh adalah -18 atau 19, selama ini kita berpedoman pada H Subuh Adapun ketinggian H Subuh menurut Azhari (2007: 69) seperti tabel di bawah ini: Tabel 4.4. Kriteria Ketinggian Subuh Nama Subuh Abu Raihan Al-Biruni -16, - 18 Al-Qaini -17⁰ Ibnu Yunus, Al-Khalili, Ibn Syatir, Tusi, Mardeni, Al- -17⁰ Muwaqit di Syiria, Magrib, Mesir dan Turkey Habash, Muadh, Ibn Haithim -18⁰ Al-Marrakushi, Tunis dan -16⁰ Yaman Abu Abdullah Al-Sayyid al- -18⁰ Moeti Abu Abdullah ibn Ibrahim -19⁰ ibnriqam Chagmini, Barjandi, Kamili -15⁰ Syekh Taher Jalaluddin -20⁰ Jika dilihat dari pendapat para astronom dan ahli falak yang dibandingkan dengan pendapat Noor Ahmad, dapat disimpulkan bahwa konsep penentuan awal waktu subuh kitab ini sesuai dengan astronom modern. Menurut penulis dalam perhitungan waktu salat pada kitab Syawāriq al-anwār ada koreksi-koreksi astronom modern yang belum tercantum. Koreksi ini dibutuhkan untuk mendapatkan nilai waktu hakīkī, yaitu: a. Refraksi Refraksi atau daqāiq al- ikhtilāf adalah pembiasan sinar, yaitu perbedaan tinggi suatu benda langit yang sebenarnya dengan tinggi benda langit itu yang dilihat sebaagai akibat adanya pembiasan sinar.

27 102 Refraksi terjadi karena sinar yang datang sampai ke mata kita telah melalui lapisan-lapisan atmosfer, sehingga sinar yang datang itu mengalami pembelokan, padahal yang kita lihat adalah arah lurus pada sinar yang ditangkap mata kita (Khazin, 2004: 141). Jean Meeus (1991: 101) menggunakan istilah refraksi atmosfer (atmosferic refraction) sebagai gambaran atas pembelokan cahaya yang melintasi atmosfer Bumi (Karttunen, 1996: 26). Nilai refraksi untuk benda langit yang tepat berada di zenit adalah 0. Hal ini disebabkan karena sinar cahaya yang menuju dari benda langit itu ke arah pengamat menempuh lapisan-lapisan atmosfer yang dilaluinya dengan arah tegak lurus. Semakin rendah posisi benda langit tersebut atau semakin dekat ke horizon, maka akan semakin besar refraksinya (Rachim, 1983: 28). Untuk benda langit yang tampak sedang terbenam atau piringan atasnya bersinggungan dengan ufuk maka harga refraksinya sekitar ". Harga refraksi ini dapat diperoleh pada daftar refraksi yang sudah ada, seperti dalam Almanak Nautika, atau lampiran ephemeris Hisab rukyat (Khazin, 2004: ). Pada dasarnya refraksi ini dibutuhkan untuk semua waktu salat, dikarenakan pada konsep astronominya waktu salat terkait dengan ketinggian Matahari. Setiap ketinggian Matahari semu (yang terlihat dari Bumi) mempunyai nilai refraksi yang berbeda-beda. Refraksi ini menurut penulis sangat dibutuhkan untuk waktu Asar dan Magrib.

28 103 b. Semi diameter Matahari bentuknya seperti bola, namun yang nampak adalah bahwa Matahari itu mirip semacam piring bundar datar yang bergerak di langit. Piringan Matahari besarnya tidak selalu sama jika dilihat dari posisi pengamat. Hal itu disebabkan karena jarak Matahari dari Bumi relatif tidak selalu sama (Djambek, 1976: 17). Bilangan garis tengah (diameter) rata-rata Matahari adalah 32". Peristiwa terbenam didefinisikan sebagai keadaan bila tepi piringan Matahari bagian atas terletak tepat di garis ufuk. Berarti titik pusat piringan itu terletak di bawah garis ufuk sebanyak setengah dari diameter Matahari. Dengan demikian berarti Matahari didefinisikan terbenam jika titik pusatnya terletak pada 16" di bawah ufuk. Semi diameter ini jika dikaitkan dengan penentuan waktu salat, sangat berhubungan dengan waktu Magrib. Kebutuhan koreksi semi diameter untuk waktu Magrib yaitu untuk menghasilkan nilai piringan atas matahari telah tenggelam di ufuk. Semi diameter ini pula dapat digunakan untuk menentukan waktu terbit matahari (pada waktu terbit ini nilai piringan bawah Matahari yang dibutuhkan). c. DIP (elevasi) Setiap pengamat benda-benda langit, dalam hal ini termasuk Matahari, penglihatannya tidak tepat di permukaan Bumi maupun di permukaan air laut, melainkan ada pada ketinggian tertentu di atasnya. Faktor yang mempengaruhi pengamatan ini sering disebut dengan istilah Dip (kedalaman). Sa'aduddin Djambek (1974: 19) lebih lanjut

29 104 menerangkan bahwa untuk awal waktu Syurūq dan Magrib di daerah pegunungan harus diperhitungkan suatu koreksi khusus bagi ketinggian mata di atas daerah sekeliling. Hal itu dikarenakan persoalan terbit dan terbenam Matahari dipengaruhi oleh kedudukan ufuk mar i (visible horizon). Dip, atau kerendahan ufuk atau ikhtilaf ufuk, yaitu perbedaan kedudukan antara ufuk yang sebenarnya (hakīkī) dengan ufuk yang terlihar (mar i) oleh seorang pengamat. Dip terjadi karena ketinggian tempat pengamatan mempengaruhi ufuk (horizon). Horizon yang teramati pada ketinggian mata sama dengan ketinggian permukaan laut disebut horizon benar (true horizon) atau ufuk hissi. Ufuk ini sejajar dengan ufuk hakīkī yang melalui Bumi. Horizon yang teramati oleh mata pada ketinggian tertentu di atas permukaan laut, disebut horizon semu atau ufuk mar i (Khafid, 2012). Dip ini, menurut penulis sangat dibutuhkan untuk menentukan waktu Magrib. Hal ini dikarenakan berpengaruh terhadap keterlihatan tenggelamnya Matahari sebagai penanda waktu Magrib.

BAB IV ANALISIS METODE HISAB WAKTU SALAT DALAM PROGRAM SHOLLU VERSI 3.10

BAB IV ANALISIS METODE HISAB WAKTU SALAT DALAM PROGRAM SHOLLU VERSI 3.10 BAB IV ANALISIS METODE HISAB WAKTU SALAT DALAM PROGRAM SHOLLU VERSI 3.10 A. Analisis Metode Hisab Waktu Salat Program Shollu Versi 3.10 Karya Ebta Setiawan Sistem hisab waktu salat di Indonesia sangat

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PEDOMAN WAKTU SHALAT SEPANJANG MASA KARYA SAĀDOE DDIN DJAMBEK. A. Analisis Metode Hisab Awal Waktu Salat Saādoe ddin Djambek dalam

BAB IV ANALISIS PEDOMAN WAKTU SHALAT SEPANJANG MASA KARYA SAĀDOE DDIN DJAMBEK. A. Analisis Metode Hisab Awal Waktu Salat Saādoe ddin Djambek dalam BAB IV ANALISIS PEDOMAN WAKTU SHALAT SEPANJANG MASA KARYA SAĀDOE DDIN DJAMBEK A. Analisis Metode Hisab Awal Waktu Salat Saādoe ddin Djambek dalam Pembuatan Pedoman Waktu Shalat Sepanjang Masa Saādoe ddin

Lebih terperinci

: Jarak titik pusat benda langit, sampai dengan Equator langit, di ukur sepanjang lingkaran waktu, dinamakan Deklinasi. Jika benda langit itu

: Jarak titik pusat benda langit, sampai dengan Equator langit, di ukur sepanjang lingkaran waktu, dinamakan Deklinasi. Jika benda langit itu Al-daqaiq al-tamkiniyyah (Ar.) : Tenggang waktu yang diperlukan oleh Matahari sejak piringan atasnya menyentuh ufuk hakiki sampai terlepas dari ufuk mar i Altitude (ing) Bayang Asar Bujur tempat Deklinasi

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS KOMPARATIF METODE HISAB AWAL WAKTU SALAT AHMAD GHAZALI DALAM KITAB ANFA AL-WASÎLAH DAN NOOR AHMAD DALAM KITAB SYAWÂRIQ AL-ANWÂR

BAB IV ANALISIS KOMPARATIF METODE HISAB AWAL WAKTU SALAT AHMAD GHAZALI DALAM KITAB ANFA AL-WASÎLAH DAN NOOR AHMAD DALAM KITAB SYAWÂRIQ AL-ANWÂR BAB IV ANALISIS KOMPARATIF METODE HISAB AWAL WAKTU SALAT AHMAD GHAZALI DALAM KITAB ANFA AL-WASÎLAH DAN NOOR AHMAD DALAM KITAB SYAWÂRIQ AL-ANWÂR A. Analisis Metode Hisab Awal Waktu Salat dalam Kitab Anfa

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS METODE HISAB AWAL WAKTU SALAT AHMAD GHOZALI DALAM KITAB ṠAMARĀT AL-FIKAR

BAB IV ANALISIS METODE HISAB AWAL WAKTU SALAT AHMAD GHOZALI DALAM KITAB ṠAMARĀT AL-FIKAR BAB IV ANALISIS METODE HISAB AWAL WAKTU SALAT AHMAD GHOZALI DALAM KITAB ṠAMARĀT AL-FIKAR A. Analisis Metode Hisab Awal Waktu Salat Ahmad Ghozali dalam Kitab Ṡamarāt al-fikar 1. Hisab Waktu Salat Kitab

Lebih terperinci

PERHITUNGAN AWAL WAKTU SHALAT DATA EPHEMERIS HISAB RUKYAT Sriyatin Shadiq Al Falaky

PERHITUNGAN AWAL WAKTU SHALAT DATA EPHEMERIS HISAB RUKYAT Sriyatin Shadiq Al Falaky 2 PERHITUNGAN AWAL WAKTU SHALAT DATA EPHEMERIS HISAB RUKYAT Sriyatin Shadiq Al Falaky Contoh Perhitungan Awal Waktu Shalat dengan Data Ephemeris Hisab Rukyat (Hisabwin Version 1.0/1993 atau Winhisab Version

Lebih terperinci

JADWAL SHALAT WAKTU SHALAT DALAM PERSPEKTIF SYAR I DAN ASTRONOMI 21/05/2011 HISAB DAN DASAR PENENTUAN. Mempersembahkan : Oleh : Mutoha Arkanuddin

JADWAL SHALAT WAKTU SHALAT DALAM PERSPEKTIF SYAR I DAN ASTRONOMI 21/05/2011 HISAB DAN DASAR PENENTUAN. Mempersembahkan : Oleh : Mutoha Arkanuddin LEMBAGA PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN ILMU FALAK (LP2IF) RUKYATUL HILAL INDONESIA (RHI) Mempersembahkan : HISAB DAN DASAR PENENTUAN Oleh : Mutoha Arkanuddin WAKTU SHALAT DALAM PERSPEKTIF SYAR I DAN ASTRONOMI

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS TENTANG METODE PENENTUAN AWAL WAKTU SALAT DENGAN JAM BENCET KARYA KIAI MISHBACHUL MUNIR MAGELANG

BAB IV ANALISIS TENTANG METODE PENENTUAN AWAL WAKTU SALAT DENGAN JAM BENCET KARYA KIAI MISHBACHUL MUNIR MAGELANG BAB IV ANALISIS TENTANG METODE PENENTUAN AWAL WAKTU SALAT DENGAN JAM BENCET KARYA KIAI MISHBACHUL MUNIR MAGELANG A. Analisis Metode Penentuan Awal Waktu Salat dengan Jam Bencet Karya K. Mishbachul Munir

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PERHITUNGAN TIM HISAB DAN RUKYAT HILAL SERTA PERHITUNGAN FALAKIYAH PROVINSI JAWA TENGAH

BAB IV ANALISIS PERHITUNGAN TIM HISAB DAN RUKYAT HILAL SERTA PERHITUNGAN FALAKIYAH PROVINSI JAWA TENGAH BAB IV ANALISIS PERHITUNGAN TIM HISAB DAN RUKYAT HILAL SERTA PERHITUNGAN FALAKIYAH PROVINSI JAWA TENGAH A. Analisis Metode Perhitungan dan Penyusunan Jadwal Waktu Salat Pada jaman dahulu, penentuan waktu-waktu

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS TENTANG METODE PENENTUAN AWAL WAKTU SALAT DENGAN JAM ISTIWA DALAM KITAB SYAWARIQ AL-ANWAR

BAB IV ANALISIS TENTANG METODE PENENTUAN AWAL WAKTU SALAT DENGAN JAM ISTIWA DALAM KITAB SYAWARIQ AL-ANWAR BAB IV ANALISIS TENTANG METODE PENENTUAN AWAL WAKTU SALAT DENGAN JAM ISTIWA DALAM KITAB SYAWARIQ AL-ANWAR A. Analisis Metode Penentuan Awal Waktu Salat dengan Jam Istiwa dalam Kitab Syawariq Al-Anwar Pada

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS. A. Landasan Penyusunan Konversi Kalender Waktu Shalat Antar Wilayah. Dalam Kalender Nahdlatul Ulama Tahun 2016

BAB IV ANALISIS. A. Landasan Penyusunan Konversi Kalender Waktu Shalat Antar Wilayah. Dalam Kalender Nahdlatul Ulama Tahun 2016 BAB IV ANALISIS A. Landasan Penyusunan Konversi Kalender Waktu Shalat Antar Wilayah Dalam Kalender Nahdlatul Ulama Tahun 2016 1. Landasan Normatif Ada beberapa nash yang menjelaskan tentang waktu-waktu

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PERBANDINGAN HISAB IRTIFA HILAL MENURUT ALMANAK NAUTIKA DAN NEWCOMB

BAB IV ANALISIS PERBANDINGAN HISAB IRTIFA HILAL MENURUT ALMANAK NAUTIKA DAN NEWCOMB BAB IV ANALISIS PERBANDINGAN HISAB IRTIFA HILAL MENURUT ALMANAK NAUTIKA DAN NEWCOMB 1. Analisis Metode Hisab Irtifa Hilal Menurut Sistem Almanak Nautika Dalam hisab awal bulan Qamariyah, hasil ketinggian

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS METODE HISAB AWAL WAKTU SALAT DALAM KITAB ILMU FALAK METHODA AL-QOTRU KARYA QOTRUN NADA

BAB IV ANALISIS METODE HISAB AWAL WAKTU SALAT DALAM KITAB ILMU FALAK METHODA AL-QOTRU KARYA QOTRUN NADA BAB IV ANALISIS METODE HISAB AWAL WAKTU SALAT DALAM KITAB ILMU FALAK METHODA AL-QOTRU KARYA QOTRUN NADA A. Analisis Metode Hisab Awal Waktu Salat dalam Kitab Ilmu Falak Methoda Al- Qotru Salat adalah ibadah

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS FORMULA PENENTUAN ARAH KIBLAT DENGAN THEODOLIT DALAM BUKU EPHEMERIS HISAB RUKYAT 2013

BAB IV ANALISIS FORMULA PENENTUAN ARAH KIBLAT DENGAN THEODOLIT DALAM BUKU EPHEMERIS HISAB RUKYAT 2013 BAB IV ANALISIS FORMULA PENENTUAN ARAH KIBLAT DENGAN THEODOLIT DALAM BUKU EPHEMERIS HISAB RUKYAT 2013 A. Konsep Penentuan Arah Kiblat Dengan Theodolit Dalam Buku Ephemeris Hisab Rukyat 2013 Konsep penentuan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS METODE HISAB AWAL WAKTU SALAT AHMAD GHOZALI DALAM KITAB IRSYÂD AL-MURÎD. A. Analisis Metode Hisab Awal Waktu Salat Ahmad Ghozali dalam

BAB IV ANALISIS METODE HISAB AWAL WAKTU SALAT AHMAD GHOZALI DALAM KITAB IRSYÂD AL-MURÎD. A. Analisis Metode Hisab Awal Waktu Salat Ahmad Ghozali dalam BAB IV ANALISIS METODE HISAB AWAL WAKTU SALAT AHMAD GHOZALI DALAM KITAB IRSYÂD AL-MURÎD A. Analisis Metode Hisab Awal Waktu Salat Ahmad Ghozali dalam Kitab Irsyâd al-murîd 1. Metode hisab awal waktu salat

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HISAB WAKTU SALAT DALAM KITAB ILMU FALAK DAN HISAB KARYA K.R. MUHAMMAD WARDAN

BAB IV ANALISIS HISAB WAKTU SALAT DALAM KITAB ILMU FALAK DAN HISAB KARYA K.R. MUHAMMAD WARDAN BAB IV ANALISIS HISAB WAKTU SALAT DALAM KITAB ILMU FALAK DAN HISAB KARYA K.R. MUHAMMAD WARDAN A. Analisis Perhitungan Waktu Salat dalam Kitab Ilmu Falak dan Hisab karya K.R. Muhammad Wardan Salat adalah

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS SISTEM HISAB AWAL WAKTU SALAT PROGRAM MAWAAQIT VERSI A. Analisis Sistem Hisab Awal Waktu Salat Program Mawaaqit Versi 2001

BAB IV ANALISIS SISTEM HISAB AWAL WAKTU SALAT PROGRAM MAWAAQIT VERSI A. Analisis Sistem Hisab Awal Waktu Salat Program Mawaaqit Versi 2001 BAB IV ANALISIS SISTEM HISAB AWAL WAKTU SALAT PROGRAM MAWAAQIT VERSI 2001 A. Analisis Sistem Hisab Awal Waktu Salat Program Mawaaqit Versi 2001 Sistem hisab waktu salat di Indonesia sangat beragam dan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HISAB AWAL WAKTU SALAT DALAM PROGRAM JAM WAKTU SALAT LED. A. Algoritma penentuan awal waktu Salat dalam Program Jam Waktu

BAB IV ANALISIS HISAB AWAL WAKTU SALAT DALAM PROGRAM JAM WAKTU SALAT LED. A. Algoritma penentuan awal waktu Salat dalam Program Jam Waktu BAB IV ANALISIS HISAB AWAL WAKTU SALAT DALAM PROGRAM JAM WAKTU SALAT LED A. Algoritma penentuan awal waktu Salat dalam Program Jam Waktu Salat Duwi Arsana LED Dalam bab III telah penulis jelaskan, bahwa

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS TERHADAP HISAB RUKYAT WAKTU SALAT ASAR. A. Analisis Kedudukan Bayang-Bayang Matahari Awal Waktu Salat

BAB IV ANALISIS TERHADAP HISAB RUKYAT WAKTU SALAT ASAR. A. Analisis Kedudukan Bayang-Bayang Matahari Awal Waktu Salat 64 BAB IV ANALISIS TERHADAP HISAB RUKYAT WAKTU SALAT ASAR A. Analisis Kedudukan Bayang-Bayang Matahari Awal Waktu Salat Asar Beberapa Tempat di Kabupaten Semarang Penentuan salat lima waktu memerlukan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS UJI VERIFIKASI PERHITUNGAN AWAL WAKTU SALAT ZUBAIR UMAR AL-JAILANI DALAM KITAB AL-KHULASAH AL-WAFIYAH

BAB IV ANALISIS UJI VERIFIKASI PERHITUNGAN AWAL WAKTU SALAT ZUBAIR UMAR AL-JAILANI DALAM KITAB AL-KHULASAH AL-WAFIYAH BAB IV ANALISIS UJI VERIFIKASI PERHITUNGAN AWAL WAKTU SALAT ZUBAIR UMAR AL-JAILANI DALAM KITAB AL-KHULASAH AL-WAFIYAH A. Analisis Metode Perhitungan Awal Waktu Salat KH. Zubair Umar Al- Jailani dalam Kitab

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PENGGUNAAN DAN AKURASI BENCET DI PONDOK PESANTREN AL-MAHFUDZ SEBLAK DIWEK JOMBANG SEBAGAI PENUNJUK WAKTU SALAT

BAB IV ANALISIS PENGGUNAAN DAN AKURASI BENCET DI PONDOK PESANTREN AL-MAHFUDZ SEBLAK DIWEK JOMBANG SEBAGAI PENUNJUK WAKTU SALAT BAB IV ANALISIS PENGGUNAAN DAN AKURASI BENCET DI PONDOK PESANTREN AL-MAHFUDZ SEBLAK DIWEK JOMBANG SEBAGAI PENUNJUK WAKTU SALAT A. Analisis Bencet di Pondok Pesantren Al-Mahfudz Seblak Diwek Jombang. 1.

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS METODE HISAB AWAL WAKTU SALAT DALAM KITAB ANFA AL-WASÎLAH, IRSYÂD AL-MURÎD, DAN ṠAMARÂT AL-FIKAR KARYA AHMAD GHOZALI

BAB IV ANALISIS METODE HISAB AWAL WAKTU SALAT DALAM KITAB ANFA AL-WASÎLAH, IRSYÂD AL-MURÎD, DAN ṠAMARÂT AL-FIKAR KARYA AHMAD GHOZALI BAB IV ANALISIS METODE HISAB AWAL WAKTU SALAT DALAM KITAB ANFA AL-WASÎLAH, IRSYÂD AL-MURÎD, DAN ṠAMARÂT AL-FIKAR KARYA AHMAD GHOZALI A. Analisis Metode Hisab Awal Waktu Salat dalam Kitab Anfa al-wasîlah,

Lebih terperinci

APLIKASI SEGITIGA BOLA DALAM RUMUS-RUMUS HISAB RUKYAT

APLIKASI SEGITIGA BOLA DALAM RUMUS-RUMUS HISAB RUKYAT APLIKASI SEGITIGA BOLA DALAM RUMUS-RUMUS HISAB RUKYAT Disampaikan pada : Kegiatan Pembinaan dan Orientasi Hisab Rukyat Hisab dan Rukyat di Lingkungan PA/MA Direktorat Pranata dan Tata Laksana Perkara Perdata

Lebih terperinci

BAB IV UJI AKURASI AWAL WAKTU SHALAT SHUBUH DENGAN SKY QUALITY METER. 4.1 Hisab Awal Waktu Shalat Shubuh dengan Sky Quality Meter : Analisis

BAB IV UJI AKURASI AWAL WAKTU SHALAT SHUBUH DENGAN SKY QUALITY METER. 4.1 Hisab Awal Waktu Shalat Shubuh dengan Sky Quality Meter : Analisis 63 BAB IV UJI AKURASI AWAL WAKTU SHALAT SHUBUH DENGAN SKY QUALITY METER 4.1 Hisab Awal Waktu Shalat Shubuh dengan Sky Quality Meter : Analisis dan Interpretasi Data Pengamatan kecerlangan langit menggunakan

Lebih terperinci

JADWAL WAKTU SALAT PERHITUNGAN TIM HISAB DAN RUKYAT HILAL SERTA PERHITUNGAN FALAKIYAH PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2013

JADWAL WAKTU SALAT PERHITUNGAN TIM HISAB DAN RUKYAT HILAL SERTA PERHITUNGAN FALAKIYAH PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2013 BAB III JADWAL WAKTU SALAT PERHITUNGAN TIM HISAB DAN RUKYAT HILAL SERTA PERHITUNGAN FALAKIYAH PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2013 A. Profil Tim Hisab dan Rukyat Hilal serta Perhitungan Falakiyah Provinsi Jawa

Lebih terperinci

MENGENAL GERAK LANGIT DAN TATA KOORDINAT BENDA LANGIT BY AMBOINA ASTRONOMY CLUB

MENGENAL GERAK LANGIT DAN TATA KOORDINAT BENDA LANGIT BY AMBOINA ASTRONOMY CLUB MENGENAL GERAK LANGIT DAN TATA KOORDINAT BENDA LANGIT BY AMBOINA ASTRONOMY CLUB A. Gerak Semu Benda Langit Bumi kita berputar seperti gasing. Ketika Bumi berputar pada sumbu putarnya maka hal ini dinamakan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS SISTEM HISAB AWAL BULAN QAMARIAH DR. ING. KHAFID DALAM PROGRAM MAWAAQIT. A. Analisis terhadap Metode Hisab Awal Bulan Qamariah dalam

BAB IV ANALISIS SISTEM HISAB AWAL BULAN QAMARIAH DR. ING. KHAFID DALAM PROGRAM MAWAAQIT. A. Analisis terhadap Metode Hisab Awal Bulan Qamariah dalam 82 BAB IV ANALISIS SISTEM HISAB AWAL BULAN QAMARIAH DR. ING. KHAFID DALAM PROGRAM MAWAAQIT A. Analisis terhadap Metode Hisab Awal Bulan Qamariah dalam Program Mawaaqit Mawaaqit merupakan salah satu contoh

Lebih terperinci

TATA KOORDINAT BENDA LANGIT. Kelompok 6 : 1. Siti Nur Khotimah ( ) 2. Winda Yulia Sari ( ) 3. Yoga Pratama ( )

TATA KOORDINAT BENDA LANGIT. Kelompok 6 : 1. Siti Nur Khotimah ( ) 2. Winda Yulia Sari ( ) 3. Yoga Pratama ( ) TATA KOORDINAT BENDA LANGIT Kelompok 6 : 1. Siti Nur Khotimah (4201412051) 2. Winda Yulia Sari (4201412094) 3. Yoga Pratama (42014120) 1 bintang-bintang nampak beredar dilangit karena bumi berotasi. Jika

Lebih terperinci

BAB III PENENTUAN AWAL WAKTU SALAT DENGAN JAM ISTIWA DALAM. pada hari Kamis Kliwon, tanggal 14 Desember 1932 M/ 19 Rajab 1351 H.

BAB III PENENTUAN AWAL WAKTU SALAT DENGAN JAM ISTIWA DALAM. pada hari Kamis Kliwon, tanggal 14 Desember 1932 M/ 19 Rajab 1351 H. BAB III PENENTUAN AWAL WAKTU SALAT DENGAN JAM ISTIWA DALAM KITAB SYAWARIQ AL-ANWAR A. Biografi Intelektual KH. Noor Ahmad SS KH. Noor Ahmad SS adalah seorang ahli falak. Ia lahir di Jepara pada hari Kamis

Lebih terperinci

METODE PENENTUAN ARAH KIBLAT DENGAN TEODOLIT

METODE PENENTUAN ARAH KIBLAT DENGAN TEODOLIT METODE PENENTUAN ARAH KIBLAT DENGAN TEODOLIT (Pendekatan Sistem Koordinat Geografik dan Ellipsoid) Oleh : Akhmad Syaikhu A. PERSIAPAN Untuk melakukan pengukuran arah kiblat suatu tempat atau kota dengan

Lebih terperinci

BAHAN AJAR ILMU FALAK I. Dosen Pengampu : H. ACHMAD MULYADI, M.Ag. ajar Ilmu Falak 11

BAHAN AJAR ILMU FALAK I. Dosen Pengampu : H. ACHMAD MULYADI, M.Ag. ajar Ilmu Falak 11 BAHAN AJAR ILMU FALAK I Dosen Pengampu : H. ACHMAD MULYADI, M.Ag. didik@bahan ajar Ilmu Falak 11 SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) PAMEKASAN 2015 PENENTUAN ARAH KIBLAT A. MODEL-MODEL PENENTUAN

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PERHITUNGAN ARAH KIBLAT DENGAN MENGGUNAKAN AZIMUT PLANET. A. Algoritma Penentuan Arah Kiblat dengan Metode Azimut Planet

BAB IV ANALISIS PERHITUNGAN ARAH KIBLAT DENGAN MENGGUNAKAN AZIMUT PLANET. A. Algoritma Penentuan Arah Kiblat dengan Metode Azimut Planet BAB IV ANALISIS PERHITUNGAN ARAH KIBLAT DENGAN MENGGUNAKAN AZIMUT PLANET A. Algoritma Penentuan Arah Kiblat dengan Metode Azimut Planet Pada dasarnya azimut planet adalah busur yang diukur dari titik Utara

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS SISTEM HISAB AWAL BULAN KAMARIAH ALMANAK NAUTIKA DAN ASTRONOMICAL ALGORITHMS JEAN MEEUS

BAB IV ANALISIS SISTEM HISAB AWAL BULAN KAMARIAH ALMANAK NAUTIKA DAN ASTRONOMICAL ALGORITHMS JEAN MEEUS 150 BAB IV ANALISIS SISTEM HISAB AWAL BULAN KAMARIAH ALMANAK NAUTIKA DAN ASTRONOMICAL ALGORITHMS JEAN MEEUS Pada bab ini, penulis akan menganalisis tentang sistem hisab Almanak Nautika dan Astronomical

Lebih terperinci

AS Astronomi Bola. Suhardja D. Wiramihardja Endang Soegiartini Yayan Sugianto Program Studi Astronomi FMIPA Institut Teknologi Bandung

AS Astronomi Bola. Suhardja D. Wiramihardja Endang Soegiartini Yayan Sugianto Program Studi Astronomi FMIPA Institut Teknologi Bandung AS 2201 - Astronomi Bola Suhardja D. Wiramihardja Endang Soegiartini Yayan Sugianto Program Studi Astronomi FMIPA Institut Teknologi Bandung PENDAHULUAN Menjelaskan posisi benda langit pada bola langit.

Lebih terperinci

BAB II HAL-HAL YANG BERHUBUNGAN DENGAN ARAH KIBLAT

BAB II HAL-HAL YANG BERHUBUNGAN DENGAN ARAH KIBLAT 9 BAB II HAL-HAL YANG BERHUBUNGAN DENGAN ARAH KIBLAT A. Lingkaran Besar (Great Circle) dan Lingkaran Kecil (Small circle). Pada dasarnya bola bumi terbentuk oleh dua macam lingkaran, yaitu lingkaran besar

Lebih terperinci

BAB III PENENTUAN ARAH KIBLAT DENGAN THEODOLIT DALAM BUKU EPHEMERIS HISAB RUKYAH 2013

BAB III PENENTUAN ARAH KIBLAT DENGAN THEODOLIT DALAM BUKU EPHEMERIS HISAB RUKYAH 2013 BAB III PENENTUAN ARAH KIBLAT DENGAN THEODOLIT DALAM BUKU EPHEMERIS HISAB RUKYAH 2013 A. Ephemeris Hisab Rukyat Ephemeris Hisab Rukyat adalah sebuah buku yang berisi tabel Astronomi yaitu data Matahari

Lebih terperinci

A. Analisis Fungsi dan Kedudukan Deklinasi Bulan dan Lintang Tempat dalam menghitung Ketinggian Hilal menurut Kitab Sullam an-nayyirain

A. Analisis Fungsi dan Kedudukan Deklinasi Bulan dan Lintang Tempat dalam menghitung Ketinggian Hilal menurut Kitab Sullam an-nayyirain BAB IV ANALISIS FUNGSI DAN KEDUDUKAN DEKLINASI BULAN DAN LINTANG TEMPAT DALAM MENGHITUNG KETINGGIAN HILAL DALAM KITAB SULLAM AN-NAYYIRAIN DAN ALMANAK NAUTIKA A. Analisis Fungsi dan Kedudukan Deklinasi

Lebih terperinci

MENGENAL SISTEM WAKTU UNTUK KEPENTINGAN IBADAH

MENGENAL SISTEM WAKTU UNTUK KEPENTINGAN IBADAH MENGENAL SISTEM WAKTU UNTUK KEPENTINGAN IBADAH Misbah Khusurur Dosen Fakultas Syari ah Institut Agama Islam Imam Ghozali (IAIIG) Cilacap Jl. Kemerdekaan Barat No. 1, Kesugihan, 53274 ABSTRAK Adanya perbedaan

Lebih terperinci

METODE PENGUKURAN ARAH KIBLAT DENGAN SEGITIGA SIKU-SIKU DARI BAYANGAN MATAHARI SETIAP SAAT

METODE PENGUKURAN ARAH KIBLAT DENGAN SEGITIGA SIKU-SIKU DARI BAYANGAN MATAHARI SETIAP SAAT METODE PENGUKURAN ARAH KIBLAT DENGAN SEGITIGA SIKU-SIKU DARI BAYANGAN MATAHARI SETIAP SAAT SINOPSIS Disusun oleh: Slamet Hambali. 085112075 PROGRAM MAGISTR INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) WALISONGO

Lebih terperinci

INFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM TANGGAL 2 JUNI 2011 M PENENTU AWAL BULAN RAJAB 1432 H

INFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM TANGGAL 2 JUNI 2011 M PENENTU AWAL BULAN RAJAB 1432 H INFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM TANGGAL 2 JUNI 2011 M PENENTU AWAL BULAN RAJAB 1432 H Keteraturan peredaran Bulan dalam mengelilingi Bumi juga Bumi dan Bulan dalam mengelilingi Matahari memungkinkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. benda-benda langit saat ini sudah mengacu pada gerak nyata. Menentukan awal waktu salat dengan bantuan bayang-bayang

BAB I PENDAHULUAN. benda-benda langit saat ini sudah mengacu pada gerak nyata. Menentukan awal waktu salat dengan bantuan bayang-bayang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan ilmu falak khususnya di Indonesia sudah berkembang pesat terbukti dengan adanya para pakar baru yang bermunculan dalam bidang ilmu falak ini, perhitungan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PEMIKIRAN HISAB ARAH KIBLAT KH. NOOR AHMAD SS DALAM KITAB SYAWAARIQUL ANWAAR

BAB IV ANALISIS PEMIKIRAN HISAB ARAH KIBLAT KH. NOOR AHMAD SS DALAM KITAB SYAWAARIQUL ANWAAR BAB IV ANALISIS PEMIKIRAN HISAB ARAH KIBLAT KH. NOOR AHMAD SS DALAM KITAB SYAWAARIQUL ANWAAR A. Analisis metode hisab arah kiblat KH. Noor Ahmad SS dalam kitab Syawaariqul Anwaar. Rasa keingintahuan manusia

Lebih terperinci

Hisab Awal Bulan Syawwal 1434 H

Hisab Awal Bulan Syawwal 1434 H Hisab Awal Bulan Sistem Ephemeris 1 Hisab Awal Bulan Syawwal 1434 H Kota Penentuan Brisbane Lintang tempat (φ) = 27 28' 45 LS Bujur tempat (λ) = 153 1 ' 40 BT Tinggi tempat =... 10 meter di atas laut 0.

Lebih terperinci

BAB II KONSEP IHTIYÂTH AWAL WAKTU SALAT STUDI ANALISIS FIQIH DAN ASTRONOMI. sudah mukallaf. Kewajiban melaksanakan Salat ini dimulai dari saat nabi

BAB II KONSEP IHTIYÂTH AWAL WAKTU SALAT STUDI ANALISIS FIQIH DAN ASTRONOMI. sudah mukallaf. Kewajiban melaksanakan Salat ini dimulai dari saat nabi BAB II KONSEP IHTIYÂTH AWAL WAKTU SALAT STUDI ANALISIS FIQIH DAN ASTRONOMI A. Konsep Fiqih Waktu Salat a. Definisi Salat dan waktunya Salat adalah ibadah yang diwajibkan bagi setiap orang Islam yang sudah

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS METODE PENGUKURAN ARAH KIBLAT SLAMET HAMBALI. A. Analisis Konsep Pemikiran Slamet Hambali tentang Metode

BAB IV ANALISIS METODE PENGUKURAN ARAH KIBLAT SLAMET HAMBALI. A. Analisis Konsep Pemikiran Slamet Hambali tentang Metode BAB IV ANALISIS METODE PENGUKURAN ARAH KIBLAT SLAMET HAMBALI A. Analisis Konsep Pemikiran Slamet Hambali tentang Metode Pengukuran Arah Kiblat Sebagaimana yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa

Lebih terperinci

Meridian Greenwich. Bujur

Meridian Greenwich. Bujur 5. TATA KOORDINAT Dalam astronomi, amatlah penting untuk memetakan posisi bintang atau benda langit lainnya, dan menerapkan system koordinat untuk membakukan posisi tersebut. Prinsip dasarnya sama dengan

Lebih terperinci

KUMPULAN SOAL & PEMBAHASAN OSK OSP OSN DLL KOORDINAT BENDA LANGIT (By. Mariano N.)

KUMPULAN SOAL & PEMBAHASAN OSK OSP OSN DLL KOORDINAT BENDA LANGIT (By. Mariano N.) KUMPULAN SOAL & PEMBAHASAN OSK OSP OSN DLL KOORDINAT BENDA LANGIT (By. Mariano N.) 1. Seorang pengamat di lintang 0 0 akan mengamati sebuah bintang yang koordinatnya (α,δ) = (16h14m, 0 0 ) pada tanggal

Lebih terperinci

PENENTUAN AWAL AKHIR WAKTU SHOLAT

PENENTUAN AWAL AKHIR WAKTU SHOLAT PENENTUAN AWAL AKHIR WAKTU SHOLAT Sholat 5 waktu sehari semalam adalah kewajiban setiap muslim/at dan salah satu rukun Islam. Sholat adalah amalan yang pertama kali dihisab di hari akhir. Jika sholat seorang

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS METODE HISAB AWAL BULAN KAMARIAH QOTRUN NADA DALAM KITAB METHODA AL-QOTRU

BAB IV ANALISIS METODE HISAB AWAL BULAN KAMARIAH QOTRUN NADA DALAM KITAB METHODA AL-QOTRU BAB IV ANALISIS METODE HISAB AWAL BULAN KAMARIAH QOTRUN NADA DALAM KITAB METHODA AL-QOTRU A. Analisis Metode dan Dasar Penentuan Hisab Awal Bulan Kamariah Qotrun Nada dalam Kitab Methoda Al-Qotru Hisab

Lebih terperinci

PROGRAM APLIKASI FALAKIYAH Bagian IV : APLIKASI PERHITUNGAN UNTUK PENGGUNAAN SUNDIAL MIZWALA dengan Casio Power Graphic Fx-7400g Plus

PROGRAM APLIKASI FALAKIYAH Bagian IV : APLIKASI PERHITUNGAN UNTUK PENGGUNAAN SUNDIAL MIZWALA dengan Casio Power Graphic Fx-7400g Plus PROGRAM APLIKASI FALAKIYAH Bagian IV : APLIKASI PERHITUNGAN UNTUK PENGGUNAAN SUNDIAL MIZWALA dengan Casio Power Graphic Fx-7400g Plus Sundial Mizwala Qibla Finder Sundial adalah instrumen penunjuk waktu

Lebih terperinci

Shubuh Terlalu Dini; Bukti Empiris

Shubuh Terlalu Dini; Bukti Empiris Shubuh Terlalu Dini; Bukti Empiris Ahad, 6 Agustus 2009 diadakan kajian ilmiah dengan tema Sudahkah Kita Sholat Subuh Tepat pada Waktunya?. Acara menghadirkan pembicara Syaikh Mamduh Farhan al-buhairi

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PEMIKIRAN SAADOE DDIN DJAMBEK TENTANG PENENTUAN AWAL BULAN KAMARIAH

BAB IV ANALISIS PEMIKIRAN SAADOE DDIN DJAMBEK TENTANG PENENTUAN AWAL BULAN KAMARIAH BAB IV ANALISIS PEMIKIRAN SAADOE DDIN DJAMBEK TENTANG PENENTUAN AWAL BULAN KAMARIAH A. Analisis Algoritma Hisab Awal Bulan Kamariah Saadoe ddin Djambek Istilah algoritma 1 memang umum dikenal dalam ilmu

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS KOMPARASI ALGORITMA EQUATION OF TIME JEAN MEEUS DAN SISTEM NEWCOMB

BAB IV ANALISIS KOMPARASI ALGORITMA EQUATION OF TIME JEAN MEEUS DAN SISTEM NEWCOMB BAB IV ANALISIS KOMPARASI ALGORITMA EQUATION OF TIME JEAN MEEUS DAN SISTEM NEWCOMB A. Uji Komparasi dan Analisis Hasil Perhitungan Equation of Time Jean Meeus dan Newcomb Menggunakan Parameter Almanak

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS TERHADAP URGENSI KETINGGIAN TEMPAT DALAM FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT

BAB IV ANALISIS TERHADAP URGENSI KETINGGIAN TEMPAT DALAM FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT BAB IV ANALISIS TERHADAP URGENSI KETINGGIAN TEMPAT DALAM FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT A. Analisis Urgensi Ketinggian Tempat dalam Formulasi Penentuan Awal Waktu Shalat Dari beberapa data pada

Lebih terperinci

DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL DAFTAR LAMPIRAN DAFTAR LAMBANG DAN SINGKATAN

DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL DAFTAR LAMPIRAN DAFTAR LAMBANG DAN SINGKATAN DAFTAR ISI PRAKATA DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL DAFTAR LAMPIRAN DAFTAR LAMBANG DAN SINGKATAN INTISARI ABSTRACT vii x xii xiii xv xvii xviii xix BAB I PENDAHULUAN 1 1.1 Latar Belakang dan Permasalahan

Lebih terperinci

BAB III PENENTUAN WAKTU SHALAT PADA KALENDER NAHDATUL ULAMA TAHUN Sejarah singkat tentang NAHDATUL ULAMA

BAB III PENENTUAN WAKTU SHALAT PADA KALENDER NAHDATUL ULAMA TAHUN Sejarah singkat tentang NAHDATUL ULAMA BAB III PENENTUAN WAKTU SHALAT PADA KALENDER NAHDATUL ULAMA TAHUN 2016 A. Nahd}atul Ulama 1. Sejarah singkat tentang NAHDATUL ULAMA Nahd}atul Ulama merupakan sebuah organisasi kemasyarakatan yang berbasis

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PEMIKIRAN SLAMET HAMBALI TENTANG PENENTUAN AWAL WAKTU SALAT. A. Analisis Konsep Pemikiran Slamet Hambali dalam Penentuan Awal

BAB IV ANALISIS PEMIKIRAN SLAMET HAMBALI TENTANG PENENTUAN AWAL WAKTU SALAT. A. Analisis Konsep Pemikiran Slamet Hambali dalam Penentuan Awal BAB IV ANALISIS PEMIKIRAN SLAMET HAMBALI TENTANG PENENTUAN AWAL WAKTU SALAT A. Analisis Konsep Pemikiran Slamet Hambali dalam Penentuan Awal Waktu Salat Dalam perhitungan waktu salat, Slamet Hambali memberikan

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. beberapa kesimpulan yang akan penulis uraikan. 1. Perhitungan Awal Waktu Salat dalam Aplikasi Digital Falak

BAB V PENUTUP. beberapa kesimpulan yang akan penulis uraikan. 1. Perhitungan Awal Waktu Salat dalam Aplikasi Digital Falak BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan dan analisis yang penulis jelaskan di atas maka, penulis membuat beberapa kesimpulan sebagai jawaban dari pokok permasalahan sebelumnya, berikut ini beberapa

Lebih terperinci

BAB III SISTEM HISAB ALMANAK NAUTIKA DAN ASTRONOMICAL ALGORITHMS JEAN MEEUS. Astronomical Algortihms karya Jean Meeus. Pembahasan lebih memfokuskan

BAB III SISTEM HISAB ALMANAK NAUTIKA DAN ASTRONOMICAL ALGORITHMS JEAN MEEUS. Astronomical Algortihms karya Jean Meeus. Pembahasan lebih memfokuskan 53 BAB III SISTEM HISAB ALMANAK NAUTIKA DAN ASTRONOMICAL ALGORITHMS JEAN MEEUS Pada bab ini penulis akan membahas mengenai Almanak Nautika dan Astronomical Algortihms karya Jean Meeus. Pembahasan lebih

Lebih terperinci

5. BOLA LANGIT 5.1. KONSEP DASAR SEGITIGA BOLA

5. BOLA LANGIT 5.1. KONSEP DASAR SEGITIGA BOLA 5. BOLA LANGIT 5.1. KONSEP DASAR SEGITIGA BOLA Tata koordinat yang kita kenal umumnya adalah jenis Kartesian (Cartesius) yang memakai sumbu X dan Y. Namun dalam astronomi, koordinat ini tidak sesuai dengan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PENENTUAN ARAH KIBLAT DALAM KITAB. A. Analisis Penentuan Arah Kiblat dengan Bayang- bayang Matahari dalam

BAB IV ANALISIS PENENTUAN ARAH KIBLAT DALAM KITAB. A. Analisis Penentuan Arah Kiblat dengan Bayang- bayang Matahari dalam BAB IV ANALISIS PENENTUAN ARAH KIBLAT DALAM KITAB NATIJAT AL MIQĀT KARYA AHMAD DAHLAN Al-TARMASI A. Analisis Penentuan Arah Kiblat dengan Bayang- bayang Matahari dalam Kitab Natijat al-miqāt Manusia mempunyai

Lebih terperinci

INFORMASI ASTRONOMIS HILAL DAN MATAHARI SAAT MATAHARI TERBENAM TANGGAL 8 DAN 9 SEPTEMBER 2010 PENENTU AWAL BULAN SYAWWAL 1431 H

INFORMASI ASTRONOMIS HILAL DAN MATAHARI SAAT MATAHARI TERBENAM TANGGAL 8 DAN 9 SEPTEMBER 2010 PENENTU AWAL BULAN SYAWWAL 1431 H INFORMASI ASTRONOMIS HILAL DAN MATAHARI SAAT MATAHARI TERBENAM TANGGAL 8 DAN 9 SEPTEMBER 2010 PENENTU AWAL BULAN SYAWWAL 1431 H Keteraturan peredaran Bulan dalam mengelilingi Bumi juga Bumi dan Bulan dalam

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS AWAL WAKTU SHUBUH. A. Analisis Konsep Fajar Shadiq dalam Perspektif Fiqh dan Ketinggian. Matahari dalam Perspektif Astronomi

BAB IV ANALISIS AWAL WAKTU SHUBUH. A. Analisis Konsep Fajar Shadiq dalam Perspektif Fiqh dan Ketinggian. Matahari dalam Perspektif Astronomi BAB IV ANALISIS AWAL WAKTU SHUBUH A. Analisis Konsep Fajar Shadiq dalam Perspektif Fiqh dan Ketinggian Matahari dalam Perspektif Astronomi Dalam penetapan awal waktu shalat, data posisi matahari dalam

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PENGGUNAAN BINTANG SEBAGAI PENUNJUK ARAH KIBLAT KELOMPOK NELAYAN MINA KENCANA DESA JAMBU KECAMATAN MLONGGO KABUPATEN JEPARA

BAB IV ANALISIS PENGGUNAAN BINTANG SEBAGAI PENUNJUK ARAH KIBLAT KELOMPOK NELAYAN MINA KENCANA DESA JAMBU KECAMATAN MLONGGO KABUPATEN JEPARA BAB IV ANALISIS PENGGUNAAN BINTANG SEBAGAI PENUNJUK ARAH KIBLAT KELOMPOK NELAYAN MINA KENCANA DESA JAMBU KECAMATAN MLONGGO KABUPATEN JEPARA A. Analisis Metode Penggunaan Bintang Sebagai Penunjuk Arah Kiblat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adalah ilmu falak, karena ilmu ini berkaitan dengan hal-hal yang ada

BAB I PENDAHULUAN. adalah ilmu falak, karena ilmu ini berkaitan dengan hal-hal yang ada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu ilmu pengetahuan yang sangat penting bagi umat Islam adalah ilmu falak, karena ilmu ini berkaitan dengan hal-hal yang ada hubungannya dengan pelaksanaan ibadah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai a little mosque on the tundra oleh media Kanada, menjadi

BAB I PENDAHULUAN. sebagai a little mosque on the tundra oleh media Kanada, menjadi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berdirinya sebuah masjid di belahan kutub Utara Bumi yang disebutsebut sebagai a little mosque on the tundra oleh media Kanada, menjadi saksi tersebarnya umat Islam

Lebih terperinci

MENGENAL EQUATION OF TIME, MEAN TIME, UNIVERSAL TIME/ GREENWICH MEAN TIME DAN LOCAL MEAN TIME UNTUK KEPENTINGAN IBADAH

MENGENAL EQUATION OF TIME, MEAN TIME, UNIVERSAL TIME/ GREENWICH MEAN TIME DAN LOCAL MEAN TIME UNTUK KEPENTINGAN IBADAH MENGENAL EQUATION OF TIME, MEAN TIME, UNIVERSAL TIME/ GREENWICH MEAN TIME DAN LOCAL MEAN TIME UNTUK KEPENTINGAN IBADAH Oleh: Misbah Khusurur dan Jaenal Arifin ABSTRACT Regular cycle of day and night due

Lebih terperinci

ANALISIS KOMPARASI PERHITUNGAN WAKTU SALAT DALAM TEORI GEOSENTRIK DAN GEODETIK

ANALISIS KOMPARASI PERHITUNGAN WAKTU SALAT DALAM TEORI GEOSENTRIK DAN GEODETIK ANALISIS KOMPARASI PERHITUNGAN WAKTU SALAT DALAM TEORI GEOSENTRIK DAN GEODETIK TESIS MAGISTER Dibuat guna memenuhi salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Ilmu Falak Oleh: AHMAD FADHOLI

Lebih terperinci

INFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM TANGGAL 23 JANUARI 2012 M PENENTU AWAL BULAN RABI UL AWAL 1433 H

INFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM TANGGAL 23 JANUARI 2012 M PENENTU AWAL BULAN RABI UL AWAL 1433 H INFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM TANGGAL 23 JANUARI 2012 M PENENTU AWAL BULAN RABI UL AWAL 1433 H Keteraturan peredaran Bulan dalam mengelilingi Bumi juga Bumi dan Bulan dalam mengelilingi Matahari

Lebih terperinci

BAB III DALAM PEDOMAN WAKTU SHALAT SEPANJANG MASA. Radjo adalah salah seeorang ahli falak kelahiran Bukittinggi (29 Rabi ul Awal

BAB III DALAM PEDOMAN WAKTU SHALAT SEPANJANG MASA. Radjo adalah salah seeorang ahli falak kelahiran Bukittinggi (29 Rabi ul Awal BAB III KONSEP HISAB AWAL WAKTU SALAT SAĀDOE DDIN DJAMBEK DALAM PEDOMAN WAKTU SHALAT SEPANJANG MASA A. Biografi Intelektual Saādoe ddin Djambek Saādoe ddin Djambek atau yang dikenal dengan datuk Sampono

Lebih terperinci

)فتح الباري البن حجر - ج / 2 ص 311(

)فتح الباري البن حجر - ج / 2 ص 311( CONTOH PERHITUNGAN AWAL WAKTU SHALAT A. AYAT-AYAT AL-QUR'AN DAN HADITS TENTANG WAKTU SHALAT )النساء )13 الباري البن حجر )فتح - ج / 2 ص )311 )فتح الباري البن حجر - ج / 2 ص 311( B. PERHITUNGAN AWAL WAKTU

Lebih terperinci

BAB IV APLIKASI DAN UJI AKURASI DATA GLOBAL POSITIONING SYSTEM (GPS) DAN AZIMUTH MATAHARI PADA SMARTPHONE BERBASIS ANDROID UNTUK HISAB ARAH KIBLAT

BAB IV APLIKASI DAN UJI AKURASI DATA GLOBAL POSITIONING SYSTEM (GPS) DAN AZIMUTH MATAHARI PADA SMARTPHONE BERBASIS ANDROID UNTUK HISAB ARAH KIBLAT BAB IV APLIKASI DAN UJI AKURASI DATA GLOBAL POSITIONING SYSTEM (GPS) DAN AZIMUTH MATAHARI PADA SMARTPHONE BERBASIS ANDROID UNTUK HISAB ARAH KIBLAT Dalam tahap uji akurasi ini, analisis yang hendak penulis

Lebih terperinci

BAB II HISAB AWAL BULAN QAMARIYAH

BAB II HISAB AWAL BULAN QAMARIYAH BAB II HISAB AWAL BULAN QAMARIYAH A. Pengertian Awal Bulan Qamariyah Penanggalan adalah sistem satuan satuan ukuran waktu yang digunakan untuk mencatat peristiwa peristiwa penting, baik mengenai kehidupan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS KOMPARASI ISTIWAAINI KARYA SLAMET HAMBALI SEBAGAI PENENTU ARAH KIBLAT DENGAN THEODOLIT

BAB IV ANALISIS KOMPARASI ISTIWAAINI KARYA SLAMET HAMBALI SEBAGAI PENENTU ARAH KIBLAT DENGAN THEODOLIT BAB IV ANALISIS KOMPARASI ISTIWAAINI KARYA SLAMET HAMBALI SEBAGAI PENENTU ARAH KIBLAT DENGAN THEODOLIT A. Analisis Istiwaaini Dalam Penentuan Arah Kiblat Slamet Hambali menjelaskan bahwa Istiwaaini adalah

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. 1. Dalam hadits-hadits Nabi saw. waktu Shalat Isya dimulai pada

BAB V PENUTUP. 1. Dalam hadits-hadits Nabi saw. waktu Shalat Isya dimulai pada BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Dalam hadits-hadits Nabi saw. waktu Shalat Isya dimulai pada saat hilangnya al-syafaq. Adapun al-syafaq yang dimaksud dalam hadits tersebut menurut Imam Syafi i dalam kitabnya

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS FUNGSI DAN AKURASI JAM MATAHARI PERUMAHAN KOTABARU PARAHYANGAN PADALARANG JAWA BARAT

BAB IV ANALISIS FUNGSI DAN AKURASI JAM MATAHARI PERUMAHAN KOTABARU PARAHYANGAN PADALARANG JAWA BARAT 79 BAB IV ANALISIS FUNGSI DAN AKURASI JAM MATAHARI PERUMAHAN KOTABARU PARAHYANGAN PADALARANG JAWA BARAT A. Analisis Fungsi Jam Matahari di Perumahan Kotabaru Parahyangan Padalarang Jawa Barat Jam Matahari

Lebih terperinci

BAB III METODE PENENTUAN ARAH KIBLAT ISTIWAAINI DAN THEODOLITE. 5 Agustus 1954 di sebuah desa kecil bernama Bajangan, kecamatan

BAB III METODE PENENTUAN ARAH KIBLAT ISTIWAAINI DAN THEODOLITE. 5 Agustus 1954 di sebuah desa kecil bernama Bajangan, kecamatan BAB III METODE PENENTUAN ARAH KIBLAT ISTIWAAINI DAN THEODOLITE A. Perjalanan Ilmiah Slamet Hambali 1. Biografi Slamet Hambali Slamet Hambali adalah seorang tokoh berkaliber nasional. Ia lahir 5 Agustus

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS METODE RASHDUL KIBLAT BULAN AHMAD GHOZALI DALAM KITAB JAMI U AL-ADILLAH

BAB IV ANALISIS METODE RASHDUL KIBLAT BULAN AHMAD GHOZALI DALAM KITAB JAMI U AL-ADILLAH BAB IV ANALISIS METODE RASHDUL KIBLAT BULAN AHMAD GHOZALI DALAM KITAB JAMI U AL-ADILLAH A. Analisis Metode Rashdul Kiblat Bulan. Data adalah kunci utama untuk melihat keakuratan sebuah perhitungan, ketika

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PEMIKIRAN SAADOEDDIN DJAMBEK TENTANG ARAH KIBLAT. A. Penentuan Arah Kiblat Pemikiran Saadoeddin Djambek

BAB IV ANALISIS PEMIKIRAN SAADOEDDIN DJAMBEK TENTANG ARAH KIBLAT. A. Penentuan Arah Kiblat Pemikiran Saadoeddin Djambek BAB IV ANALISIS PEMIKIRAN SAADOEDDIN DJAMBEK TENTANG ARAH KIBLAT A. Penentuan Arah Kiblat Pemikiran Saadoeddin Djambek Sebagian ahli Falak menyatakan bahwa arah kiblat adalah jarak terdekat, berupa garis

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PENENTUAN ARAH KIBLAT DENGAN LINGKARAN JAM TANGAN ANALOG. A. Prinsip Penentuan Arah Kiblat dengan Menggunakan Lingkaran Jam

BAB IV ANALISIS PENENTUAN ARAH KIBLAT DENGAN LINGKARAN JAM TANGAN ANALOG. A. Prinsip Penentuan Arah Kiblat dengan Menggunakan Lingkaran Jam BAB IV ANALISIS PENENTUAN ARAH KIBLAT DENGAN LINGKARAN JAM TANGAN ANALOG A. Prinsip Penentuan Arah Kiblat dengan Menggunakan Lingkaran Jam Tangan Analog Sebagaimana yang telah dikemukakan pada pembahasan

Lebih terperinci

BAB IV UJI KOMPARASI DAN EVALUASI QIBLA LASER SEBAGAI ALAT PENENTU ARAH KIBLAT. A. Konsep Penentuan Arah Kiblat Dengan Qibla Laser Setiap Saat Dengan

BAB IV UJI KOMPARASI DAN EVALUASI QIBLA LASER SEBAGAI ALAT PENENTU ARAH KIBLAT. A. Konsep Penentuan Arah Kiblat Dengan Qibla Laser Setiap Saat Dengan BAB IV UJI KOMPARASI DAN EVALUASI QIBLA LASER SEBAGAI ALAT PENENTU ARAH KIBLAT A. Konsep Penentuan Arah Kiblat Dengan Qibla Laser Setiap Saat Dengan Menggunakan Matahari dan Bulan Benda langit yang paling

Lebih terperinci

BAB III SISTEM HISAB ALMANAK NAUTIKA DAN NEWCOMB. Pada bab ini kajian yang akan penulis kemukakan adalah penjelasan

BAB III SISTEM HISAB ALMANAK NAUTIKA DAN NEWCOMB. Pada bab ini kajian yang akan penulis kemukakan adalah penjelasan BAB III SISTEM HISAB ALMANAK NAUTIKA DAN NEWCOMB Pada bab ini kajian yang akan penulis kemukakan adalah penjelasan mengenai sistem hisab Almanak Nautika dan Newcomb, yang lebih terfokus pada kajian hisab

Lebih terperinci

Macam-macam Waktu. Universal Time dan Dynamical Time

Macam-macam Waktu. Universal Time dan Dynamical Time Macam-macam Waktu Waktu (time) sangat penting bagi kehidupan kita. Allah SWT berfirman dengan bersumpah wal ashri. Barangsiapa yang pandai menggunakan waktu dengan benar, ia akan beruntung. Waktu terus

Lebih terperinci

KEMENTRIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DITJEN MANAJEMEN PENDIDIKAN MENENGAH DIREKTORAT PEMBINAAN SMA

KEMENTRIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DITJEN MANAJEMEN PENDIDIKAN MENENGAH DIREKTORAT PEMBINAAN SMA KEMENTRIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DITJEN MANAJEMEN PENDIDIKAN MENENGAH DIREKTORAT PEMBINAAN SMA Olimpiade Sains Nasional Bidang Astronomi 2012 ESSAY Solusi Teori 1) [IR] Tekanan (P) untuk atmosfer planet

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Mengenai waktu pelaksanaannya Allah hanya memberikan Isyarat saja, seperti

BAB I PENDAHULUAN. Mengenai waktu pelaksanaannya Allah hanya memberikan Isyarat saja, seperti BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salat yang diwajibkan kepada kita sehari semalam ada lima waktu. Mengenai waktu pelaksanaannya Allah hanya memberikan Isyarat saja, seperti antara lain terlihat

Lebih terperinci

Ṡamarᾱt al-fikar Karya Ahmad Ghozali Muhammad Fathullah

Ṡamarᾱt al-fikar Karya Ahmad Ghozali Muhammad Fathullah BAB IV ANALISIS METODE PERHITUNGAN AWAL BULAN QAMARIAH DALAM KITAB ṠAMARᾹT AL-FIKAR KARYA AHMAD GHOZALI MUHAMMAD FATHULLAH A. Analisis Metode Perhitungan Awal Bulan Qamariah dalam Kitab Ṡamarᾱt al-fikar

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PERHITUNGAN TERJADINYA GERHANA DENGAN RUBU AL-MUAJAYYAB. A. Analisis Perhitungan terjadinya Gerhana dengan Rubu al-mujayyab

BAB IV ANALISIS PERHITUNGAN TERJADINYA GERHANA DENGAN RUBU AL-MUAJAYYAB. A. Analisis Perhitungan terjadinya Gerhana dengan Rubu al-mujayyab BAB IV ANALISIS PERHITUNGAN TERJADINYA GERHANA DENGAN RUBU AL-MUAJAYYAB A. Analisis Perhitungan terjadinya Gerhana dengan Rubu al-mujayyab Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya, rubu al-mujayyab

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS METODE PENENTUAN AWAL WAKTU SALAT DENGAN JAM ISTIWA MASJID AGUNG SURAKARTA

BAB IV ANALISIS METODE PENENTUAN AWAL WAKTU SALAT DENGAN JAM ISTIWA MASJID AGUNG SURAKARTA BAB IV ANALISIS METODE PENENTUAN AWAL WAKTU SALAT DENGAN JAM ISTIWA MASJID AGUNG SURAKARTA A. Analisis Sejarah dan Metode Penentuan Awal Waktu Salat Jam Istiwa Masjid Agung Surakarta 1. Melacak Jam Istiwa

Lebih terperinci

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 3. Mengenal Planet Bumilatihan soal 3.2

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 3. Mengenal Planet Bumilatihan soal 3.2 SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 3. Mengenal Planet Bumilatihan soal 3.2 1. Pergerakan bumi sebagai benda angkasa yang menempuh waktu 365 hari disebut. gerak presesi gerak rotasi gerak revolusi gerak

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS KELAYAKAN PANTAI KARTINI JEPARA SEBAGAI TEMPAT RUKYAT AL-HILAL A. Faktor yang Melatarbelakangi Penggunaan Pantai Kartini Jepara

BAB IV ANALISIS KELAYAKAN PANTAI KARTINI JEPARA SEBAGAI TEMPAT RUKYAT AL-HILAL A. Faktor yang Melatarbelakangi Penggunaan Pantai Kartini Jepara BAB IV ANALISIS KELAYAKAN PANTAI KARTINI JEPARA SEBAGAI TEMPAT RUKYAT AL-HILAL A. Faktor yang Melatarbelakangi Penggunaan Pantai Kartini Jepara sebagai Tempat Pengamatan Hilal (Rukyat Al-Hilal) Terdapat

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PERBANDINGAN PENENTUAN KETINGGIAN HILAL PERSPEKTIF ALMANAK NAUTIKA DAN EPHEMERIS

BAB IV ANALISIS PERBANDINGAN PENENTUAN KETINGGIAN HILAL PERSPEKTIF ALMANAK NAUTIKA DAN EPHEMERIS BAB IV ANALISIS PERBANDINGAN PENENTUAN KETINGGIAN HILAL PERSPEKTIF ALMANAK NAUTIKA DAN EPHEMERIS 1. Analisis Metode Perhitungan Irtifa al-hilal Perspektif Sistem Almanak Nautika Irtifâ al-hilâl, sesuai

Lebih terperinci

PROGRAM APLIKASI FALAKIYAH DENGAN fx-7400g PLUS

PROGRAM APLIKASI FALAKIYAH DENGAN fx-7400g PLUS PROGRAM APLIKASI FALAKIYAH DENGAN fx-7400g PLUS Bagian III : Menghitung Deklinasi Matahari dan Equation of Time A. Pendahuluan Yang disebut dengan deklinasi (declination) adalah jarak sudut antara sebuah

Lebih terperinci

JADWAL WAKTU SALAT ABADI

JADWAL WAKTU SALAT ABADI JADWAL WAKTU SALAT ABADI Oleh: Jayusman Penulis adalah Dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan Lampung ABSTRACT The all time, perpetual or all year round prayer schedule so it is called because the

Lebih terperinci

PROGRAM APLIKASI FALAKIYAH DENGAN fx-7400g PLUS

PROGRAM APLIKASI FALAKIYAH DENGAN fx-7400g PLUS PROGRAM APLIKASI FALAKIYAH DENGAN fx-7400g PLUS Bagian III : Menghitung Deklinasi Matahari dan Equation of Time A. Pendahuluan Yang disebut dengan deklinasi (declination) adalah jarak sudut antara sebuah

Lebih terperinci

MAKALAH ISLAM Waktu Praktis Penentuan Arah Kiblat

MAKALAH ISLAM Waktu Praktis Penentuan Arah Kiblat MAKALAH ISLAM Waktu Praktis Penentuan Arah Kiblat 23 Mai 2014 Makalah Islam Waktu Praktis Penentuan Arah Kiblat Disusun oleh : Dr. H. Ahmad Izzuddin, M.Ag (Kasubdit Pembinaan Syariah dan Hisab Rukyat Kemenag

Lebih terperinci

(Fenomena Matahari di Atas Ka bah) Pandapotan Harahap NIM: Abstrak

(Fenomena Matahari di Atas Ka bah) Pandapotan Harahap NIM: Abstrak MENENTUKAN ARAH KE SEBUAH KOTA DAN MENGHITUNG JARAK DUA BUAH KOTA MEAUI BAYANG-BAYANG TONGKAT OEH MATAHARI (Fenomena Matahari di Atas Ka bah) Pandapotan Harahap NIM: 765 Progran Studi Pengajaran Fisika

Lebih terperinci

BAB III PEMIKIRAN SAADOE DDIN DJAMBEK TENTANG PENENTUAN AWAL BULAN KAMARIAH. Saadoe ddin yang dikenal dengan datuk Sampono Radjo, ia memiliki

BAB III PEMIKIRAN SAADOE DDIN DJAMBEK TENTANG PENENTUAN AWAL BULAN KAMARIAH. Saadoe ddin yang dikenal dengan datuk Sampono Radjo, ia memiliki BAB III PEMIKIRAN SAADOE DDIN DJAMBEK TENTANG PENENTUAN AWAL BULAN KAMARIAH A. Biografi Saadoe ddin Djambek Saadoe ddin yang dikenal dengan datuk Sampono Radjo, ia memiliki nama lengkap H. Saadoe ddin

Lebih terperinci

TRANSFORMASI KOORDINAT BOLA LANGIT KE DALAM SEGITIGA BOLA (EQUATORIAL DAN EKLIPTIKA) DALAM PENENTUAN AWAL WAKTU SALAT

TRANSFORMASI KOORDINAT BOLA LANGIT KE DALAM SEGITIGA BOLA (EQUATORIAL DAN EKLIPTIKA) DALAM PENENTUAN AWAL WAKTU SALAT TRANSFORMASI KOORDINAT BOLA LANGIT KE DALAM SEGITIGA BOLA (EQUATORIAL DAN EKLIPTIKA) DALAM PENENTUAN AWAL WAKTU SALAT Muthmainnah Universitas Cokroaminoto Yogyakarta inna.faiz@gmail.com Abstract There

Lebih terperinci

BAB III HISAB KETINGGIAN HILAL MENURUT KITAB SULLAM AN-NAYYIRAIN DAN ALMANAK NAUTIKA

BAB III HISAB KETINGGIAN HILAL MENURUT KITAB SULLAM AN-NAYYIRAIN DAN ALMANAK NAUTIKA BAB III HISAB KETINGGIAN HILAL MENURUT KITAB SULLAM AN-NAYYIRAIN DAN ALMANAK NAUTIKA A. Penyajian Data Hisab Ketinggian Hilal Menurut Kitab Sullam an- Nayyirain 1. Penyajian Data Hisab Ketinggian Hilal

Lebih terperinci

SAATNYA MENCOCOKKAN ARAH KIBLAT. Oleh: Drs. H. Zaenal Hakim, S.H. 1. I.HUKUM MENGHADAP KIBLAT. Firman Allah dalam Surat al-baqarah ayat 144: Artinya:

SAATNYA MENCOCOKKAN ARAH KIBLAT. Oleh: Drs. H. Zaenal Hakim, S.H. 1. I.HUKUM MENGHADAP KIBLAT. Firman Allah dalam Surat al-baqarah ayat 144: Artinya: SAATNYA MENCOCOKKAN ARAH KIBLAT Oleh: Drs. H. Zaenal Hakim, S.H. 1. I.HUKUM MENGHADAP KIBLAT Firman Allah dalam Surat al-baqarah ayat 144: Artinya: Sungguh kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit[96],

Lebih terperinci