BAB II. A. Pengaturan Hukum Terhadap Tindak Pidana Pencurian Ikan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II. A. Pengaturan Hukum Terhadap Tindak Pidana Pencurian Ikan"

Transkripsi

1 22 BAB II PENGATURAN HUKUM TERHADAP PENCURIAN IKAN OLEH NELAYAN ASING DI ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 45 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN A. Pengaturan Hukum Terhadap Tindak Pidana Pencurian Ikan 1. Pengaturan Hukum Terhadap Perampasan Benda dan/atau Alat yang dipergunakan dalam dan/atau yang dihasilkan dari Tindak Pidana Pencurian Ikan. Indonesia saat ini mempunyai Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan (Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor : 154), tanggal 29 Oktober 2009, yang menggantikan Undang-Undang Nomor : 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor :118), karena pada bagian menimbang dari Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 huruf b dan c dikemukakan bahwa pemanfaatan sumber daya ikan belum memberikan peningkatan taraf hidup yang berkelanjutan dan berkeadilan melalui pengelolaan perikanan, pengawasan, dan sistem penegakan hukum yang optimal sehingga Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan belum sepenuhnya mampu mengantisipasi perkembangan teknologi dan kebutuhan hukum dalam rangka pengelolaan dan pemanfaatan potensi sumber daya ikan Lihat Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan bagian menimbang (b dan c).

2 23 Dikaitkan dengan beberapa ahli hukum tentang politik hukum khususnya, hukum itu diberlakukan dalam bentuk undang-undang yang kemudian hari dalam penerapannya banyak terdapat kendala, yang juga bersumber dari undang-undang dan politik hukum pemberlakuan undang-undang. Beberapa ahli tersebut berpendapat bahwa politik hukum itu sendiri berbeda dengan pendapat penerapan hukum oleh ahli hukum lainnya, sama halnya dengan pendapat ahli hukum tentang apa itu hukum, pastilah menemukan jawaban yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Pendapat tersebut adalah sebagai berikut, Satjipto Rahardjo mengemukakan bahwa kalau kita melihat sub sistem politik dan sub sistem hukum, maka tampak bahwa politik memiliki konsentrasi energi yang lebih besar sehingga hukum selalu berada pada posisi yang lemah, 28 itulah pendapat Satjipto Rahardjo tentang politik dan hukum, bahwa menurut Satjipto Rahardjo bahwa hukum akan lemah bila dihadapkan dengan politik, sehingga politik akan selalu menang bila dihadapkan dengan hukum. Konsekuensinya adalah bahwa apabila hukum itu adalah undang-undang, maka undang-undang yang akan dibuat oleh legislatif akan kuat aroma politiknya, dibandingkan dengan manfaat undang-undang tersebut bagi tercapainya keadilan dan kemakmuran rakyat. Rouscoe Pound menyatakan tentang law as a too of social engineering sebagai keinginan tentu wajar jika ada upaya untuk meletakkan hukum sebagai penentu arah perjalanan masyarakat karena dengan fungsi hukum untuk menjamin ketertiban dan 28 hukum, umsb.ac.id, diakses tanggal 18 Juni2013.

3 24 melindungi kepentingan masyarakat akan menjadi relevan. Pendapat Rouscoe Pound ini berbanding terbalik dengan pendapat Satjipto Rahardjo yang menyatakan bahwa hukumlah yang lebih berperan dalam gerak langkah masyarakat ke depan. Dikaitkan dengan undang-undang, maka undang-undang yang dibuat di Dewan Perwakilan Rakyat haruslah benar-banar selayaknya dapat memobilisasi masyarakat kearah yang lebih baik. Dihubungkan lagi dengan pendapat Van Savigny mengatakan bahwa hukum selalu berkembang sesuai dengan berkembangnya masyarakat, ini berarti bahwa hukum mau tidak mau menjadi dependent variable atas keadaan politiknya. Van Savigny berpendapat bahwa hukum dan politik bukan tidak bisa disatukan satu dengan yang lainnya, namun keduanya harus saling menyeimbangi satu dengan yang lainnya. 29 Pemerintah menilai Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tidak dapat lagi mencegah secara efektif tindak pidana pencurian ikan di perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia yang semakin lama semakin meningkat secara kuantitatif maupun kualitatif, serta bentuk kejahatannya yang semakin terorganisir. Secara subtansial, perubahan yang signifikan pada Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 dibandingkan dengan undang-undang yang terdahulu, adalah penekanan pada ketentuan sanksi pidana berat terhadap kapal asing yang melakukan tindak pidana pencurian ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia hukum,umsb.ac.id, diakses tanggal 18 Juni 2013.

4 25 Sejarah lahirnya Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 ini ada tersirat bahwa undang-undang ini dirubah karena terdapat kekurangan. Beberapa hal yang dapat kita cermati tentang perubahan-perubahan substansial antara undang-undang nomor 31 Tahun 2004 dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 antara lain pada: Hal Pembatasan Penangkapan Kapal penangkap ikan berbendera asing tidak diperbolehkan menangkap ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia tanpa memiliki Surat Ijin Penangkapan Ikan (SIPI) yang dikeluarkan oleh Pemerintah Indonesia. 2. Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia ( ZEEI ) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan pasal 93 tidak menyebutkan secara jelas mengenai Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia ( ZEEI ), melainkan Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia. Melalui Undang- Undang Nomor 45 Tahun 2009, penyebutan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia sudah sangat tegas dan jelas. Penegasan itu dapat dilihat pada Bab XV Ketentuan Pidana Pasal 93 ayat (2) menyatakan, Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing melakukan penangkapan ikan di ZEEI yang tidak memiliki SIPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2), dipidana dengan 30 Supriadi, Hukum Perikanan Di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika,2011), hlm.462

5 26 pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp ,- (dua puluh milyar rupiah). 3. Hal Kewenangan Penyelidikan dan Penyidikan yang di emban TNI-AL dan Pegawai Negeri Sipil Kementerian Kelautan dan Perikanan Kewenangan besar bagi TNI-AL dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kementerian Kelautan dan Perikanan yang diberikan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 untuk mencegah dan memberantas pencurian ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) perairan Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia merupakan salah satunya tugas berat yang harus dilaksanakan. Selain itu TNI-AL dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kementerian Kelautan dan Perikanan 31 juga dapat memantau, mengarahkan dan meningkatkan kapasitas masyarakat Nelayan untuk melakukan pencegahan terhadap tindak pidana pencurian ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia dengan cara memberdayakan anggota masyarakat Nelayan. TNI-AL dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kementerian Kelautan dan Perikanan diberi kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap tindak pidana pencurian ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia selama 20 hari dan dapat diperpanjang selama 10 hari. Dalam melaksanakan fungsi dan tugasnya, penyidik dan pengawas perikanan dapat 31 Lihat penjelasan Pasal 67 Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.

6 27 melakukan tindakan khusus berupa pembakaran dan atau penenggelaman kapal perikanan yang berbendera asing berdasarkan bukti permulaan yang cukup Putusan Perampasan Benda dan/atau alat yang dipergunakan dalam dan/ atau yang dihasilkan dari Tindak Pidana Pencurian Ikan. Pasal 104 ayat (2) Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan digunakan untuk menempatkan benda dan/atau alat yang dipergunakan dalam dan/atau yang dihasilkan dari tindak pidana pencurian ikan menjadi rampasan melalui putusan pengadilan. 5. Peran Serta Masyarakat Diperlukan Selain TNI-AL dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kementerian Kelautan dan Perikanan dan Penegak Hukum lainnya, Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, juga diikutsertakan masyarakat untuk berperan aktif dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencurian ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Artinya masyarakat diberi wewenang seperti penyelidik dengan cara mencari, memperoleh dan memberikan informasi yang berhubungan dengan tindak pidana pencurian ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Peran serta masyarakat yang terpayungi oleh Undang-Undang ini memberikan legitimasi bagi masyarakat untuk 32 Lihat penjelasan pasal 69 ayat (4) Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.

7 28 melakukan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencurian ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. 6. Tidak Mementingkan Unsur Kesengajaan Tindak Pidana Pencurian Ikan di perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan dalam beberapa pasal Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan dengan tidak memperdulikan unsur kesengajaan, dapat menjerat orang-orang yang memang sebenarnya tidak mempunyai niat melakukan tindak pidana pencurian ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. 7. Penggunaan Sistem Pidana Penjara Penggunaan Sistem Pidana Penjara terhadap pelaku tindak pidana pencurian ikan oleh Nelayan Asing di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia tidak diberlakukan. Penahanan pun tidak boleh dilakukan oleh penyidik. Ketika ditangkap di Tempat Kejadian Perkara, selanjutnya tersangka di bawa untuk diproses dengan membuat Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Setelah selesai diperiksa, tersangka harus secepatnya dipulangkan ke negara asalnya tanpa ditahan terlebih dahulu.

8 29 8. Persamaan Hukuman Bagi Percobaan dan Tindak Pidana Selesai Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) ada perbedaan punishment antara suatu tindak pidana selesai dengan suatu tindak pidana tidak selesai (percobaan), sedangkan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan menyamakan hukuman pidana bagi pelaku tindak pidana selesai dengan pelaku tindak pidana percobaan. Tindak Pidana Pencurian Ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI ) adalah suatu kejahatan karena perbuatan tersebut memiliki efek yang sangat besar yaitu merugikan Negara lebih kurang 30 trilyun rupiah per tahun. 33 Delik percobaan mensyaratkan suatu tindak pidana tersebut terjadi, namun tindak pidana tersebut tidak selesai, sehingga seharusnya pemidanaan antara pelaku tindak pidana percobaan dan pelaku tindak pidana selesai harus dibedakan. Dari ketentuan pidana yang diatur dalam Bab XV Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan dapat dikelompokkan dari segi bentuk perbuatannya yaitu Kejahatan dan pelanggaran. 1. Bentuk perbuatan yang dikategorikan kejahatan sebagaimana diatur dalam Pasal, 84, 85, 86, 88, 91, 92, 93, 94, dan 94A. a. Kejahatan yang menyangkut penggunaan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/ 33 Lihat Koran Harian Kompas terbit tanggal 4 Juni 2012 halaman 1.

9 30 atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia, (Pasal 84). b. Kejahatan yang menyangkut kesengajaan memiliki, menguasai, membawa, dan/atau menggunakan alat penangkap ikan dan/atau menggunakan alat bantu penangkapan ikan yang mengganggu dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan di kapal penangkap ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia, (Pasal 85) c. 1. Kejahatan yang menyangkut kesengajaan melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau kerusakan sumber daya ikan dan/atau lingkungannya di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia. 2. Kejahatan yang menyangkut kesengajaan membudidayakan ikan yang dapat membahayakan sumber daya ikan dan/atau lingkungan sumber daya ikan dan/atau kesehatan manusia di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia. 3. Kejahatan yang menyangkut kesengajaan membudidayakan ikan hasil rekayasa genetik yang dapat membahayakan sumber daya ikan dan/atau kesehatan manusia di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia. 4. Kejahatan yang menyangkut kesengajaan menggunakan obat-obatan dan pembudidayaan ikan yang dapat membahayakan sumber daya ikan dan/atau

10 31 lingkungan sumber daya ikan dan/atau kesehatan manusia di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia, (Pasal 86). d. Kejahatan yang menyangkut kesengajaan memasukkan, mengeluarkan, mengadakan, mengedarkan, dan/atau memelihara ikan yang merugikan masyarakat, pembudidayaan ikan, sumber daya ikan dan/atau ke luar Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia, ( Pasal 88). e. Kejahatan yang menyangkut kesengajaan menggunakan bahan baku, bahan tambahan makanan, bahan penolong, dan/atau alat yang membahayakan kesehatan manusia dan/atau lingkungan dalam melaksanakan penanganan dan pengolahan ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia, (Pasal 91) f. Kejahatan yang menyangkut kesengajaan melakukan usaha perikanan di bidang penangkapan, pembudayaan, pengangkutan, pengolahan, dan pemasaran ikan, yang tidak memiliki Surat Ijin Usaha Perikanan ( SIUP ) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia, (Pasal 92). g. 1. Kejahatan yang menyangkut memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera Indonesia melakukan penangkapan ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia dan/atau di laut lepas yang tidak memiliki Surat Ijin Penangkapan Ikan ( SIPI ).

11 32 2. Kejahatan yang menyangkut memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing melakukan penangkapan ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia yang tidak memiliki Surat Ijin Penangkapan Ikan. 3. Kejahatan yang menyangkut mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera Indonesia di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia yang tidak membawa Surat Ijin Penangkapan IKan ( SIPI ) asli. 4. Kejahatan yang menyangkut mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia ( ZEEI ) yang tidak membawa Surat Ijin Penangkapan Ikan ( SIPI ) asli, (Pasal 93). h. Kejahatan yang menyangkut memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia yang melakukan pengangkutan ikan atau kegiatan yang terkait yang tidak memiliki Surat Ijin Kapal Pengangkut Ikan ( SIKPI ), (Pasal 94). i. Kejahatan yang menyangkut memalsukan dan/atau menggunakan SIUP, SIPI, dan SIKPI palsu, (Pasal 94 A). 2. Bentuk perbuatan yang dikategorikan Pelanggaran sebagaimana diatur dalam Pasal, 87, 89, 90, 95, 96, 97, 98, 99, 100, 100A, 100B, 100C, dan 100D

12 33 a. 1. Pelanggaran yang menyangkut kesengajaan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia merusak plasma nutfa yang berkaitan dengan sumber daya ikan. 2. Pelanggaran yang menyangkut kelalaian di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia ( WPP-RI ) mengakibatkan rusaknya plasma nutfah yang berkaitan dengan sumber daya ikan, (Pasal 87). b. Pelanggaran yang menyangkut melakukan penanganan dan pengolahan ikan yang tidak memenuhi dan tidak menerapkan persyaratan kelayakan pengelolaan ikan, sistem jaminan mutu, dan keamanan hasil perikanan, (Pasal 89). c. Pelanggaran yang menyangkut kesengajaan melakukan pemasukan atau pengeluaran ikan dan/atau hasil perikanan dari/atau ke Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia yang tidak dilengkapi sertifikat kesehatan untuk konsumsi manusia, (Pasal 90). d. Pelanggaran yang menyangkut perbuatan membangun, mengimpor atau memodifikasi kapal perikanan yang tidak mendapat persetujuan terlebih dahulu, (Pasal 95). e. Pelanggaran yang menyangkut mengoperasikan kapal perikanan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia yang tidak mendaftarkan kapal perikanannya sebagai kapal perikanan Indonesia, (Pasal 96).

13 34 f. 1. Pelanggaran yang menyangkut mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing yang tidak memiliki izin penangkapan ikan, yang selama berada di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia tidak menyimpan alat penangkap ikan di dalam palka. 2. Pelanggaran yang menyangkut mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing yang telah memiliki izin penangkapan ikan dengan 1 (satu) jenis alat penangkapan ikan tertentu pada bagian tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia yang membawa alat penangkapan ikan lainnya. 3. Pelanggaran yang menyangkut mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing yang telah memiliki izin penangkapan ikan, yang tidak menyimpan alat penangkapan ikan di dalam palka selama berada di luar daerah penangkapan ikan yang di izinkan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia, (Pasal 97). g. Pelanggaran yang menyangkut Nakhoda kapal perikanan yang akan berlayar tidak memiliki Surat Persetujuan Berlayar (SPB) yang dikeluarkan oleh Syahbandar di pelabuhan perikanan, (Pasal 98). h. Pelanggaran yang menyangkut setiap orang asing yang melakukan penelitian perikanan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia yang tidak memiliki izin dari Pemerintah, (Pasal 99).

14 35 i. Pelanggaran yang menyangkut melakukan usaha dan/atau kegiatan pengelolaan perikanan tidak mematuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2), (Pasal 100). j. Pelanggaran yang menyangkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 A, pemalsuan persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1), dan pemalsuan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 yang melibatkan pejabat, (Pasal 100 A). Klasifikasi kejahatan dan pelanggaran dalam tindak pidana perikanan tersebut di atas sesuai rumusan hukum pidana dari Moelyatno, yang menyatakan hal-hal sebagai berikut: a. Hukum Pidana adalah bagian dari keseluruhan Hukum yang berlaku di suatu Negara. b. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana. c. Hukum pidana menentukan perbuatan mana yang dipandang sebagai perbuatan pidana. d. Barang siapa melakukan perbuatan pidana diancam dengan pidana. e. Hukum pidana mengatur tentang pertanggungjawaban hukum pidana (criminal liability atau criminal responsibility). f. Beberapa pendapat tentang pengertian hukum pidana.

15 36 g. Hal-hal yang perlu ditegaskan sehubungan pengertian kita kepada hukum pidana. 34 Berdasarkan rumusan dari Moelyatno di atas dalam tindak pidana perikanan dapat dengan jelas terlihat apakah itu berupa kejahatan ataupun pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana pencurian ikan dan pidana apa yang akan diberikan kepada pelanggar peraturan perikanan yang ada. Sinkronisasi peraturan dalam bidang perikanan dapat dilihat dari : 1. Dalam pengelolaan sumber daya ikan Pengelolaan sumber daya ikan terdapat dalam Pasal 3 butir (a) sampai butir (i) Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan yang menyatakan, pengelolaan perikanan dilaksanakan dengan tujuan. 35 (a) Meningkatkan taraf hidup Nelayan kecil dan pembudidayaan ikan. (b) Meningkatkan penerimaan dan devisa Negara. (c) Mendorong perluasan dan kesempatan kerja. (d) Meningkatkan ketersediaan dan konsumsi sumber protein ikan. (e) Mengoptimalkan pengelolaan sumber daya ikan. 34 Djoko Prakoso, Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia, ( Yogyakarta : Penerbit Liberty 1987), hal Lihat Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan yang menyatakan tentang Pengelolaan Perikanan dilaksanakan dengan tujuan.

16 37 (f) Meningkatkan produktivitas, mutu, nilai tambah, dan daya saing. (g) Meningkatkan ketersediaan bahan baku untuk industri pengelolaan ikan. (h) Mencapai pemanfaatan sumber daya ikan, lahan pembudidayaan ikan, dan lingkungan sumber daya ikan secara optimal, dan (i) Menjamin kelestarian sumber daya ikan, lahan pembudidayaan ikan, dan tata ruang. Uraian pasal di atas merupakan perwujudan dasar Pasal 33 ayat (3) Undang- Undang Dasar 1945 yang berbunyi Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Undang-Undang lain mengatur tentang pengelolaan sumber daya alam adalah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup pada Pasal 3 huruf (d) menyatakan Tujuan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup. Pelaksanaan pengelolaan Sumber Daya Ikan pada Pasal 4 angka (3) mengenai jumlah yang boleh ditangkap diatur dalam Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 473a/Kpts/Ik.250/6/1985 tentang Penetapan Jumlah Tangkapan Ikan yang diperbolehkan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia ( ZEEI ). Pasal 3 mengenai daerah dan jalur penangkapan ikan pelaksanaannya diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor

17 38 Per.05/Men/2012 tentang perubahan ke dua atas peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Per.02/Men/2011 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan dalam Pasalnya menyebutkan Jalur Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia terdiri atas : 36 a. Jalur Penangkapan Ikan I, terdiri dari : 1. Jalur penangkapan ikan I-A, meliputi perairan pantai sampai dengan 2 (dua) mil laut yang diukur dari permukaan air laut pada surut terendah. 2. Jalur penangkapan ikan I-B, meliputi perairan pantai di luar 2 ( dua ) mil laut sampai dengan 4 (empat) mil laut. b. Jalur Penangkapan Ikan II, meliputi perairan di luar jalur penangkapan ikan I sampai dengan 12 ( dua belas ) mil laut diukur dari permukaan air laut pada surut terendah. c. Jalur Penangkapan Ikan -III, meliputi Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dan perairan di luar jalur penangkapan ikan II, sampai dengan 200 (dua ratus) mil laut diukur dari permukaan air laut pada surut terendah. 2. Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Mengenai pemanfaatan Sumber Daya Ikan diatur dalam Pasal 6 sampai dengan 36 Lihat Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor Per.05/Men/2012 tentang perubahan atas perubahan ke dua atas Peraturan Menteri Kelautan dan Perikan Republik Indonesia Nomor Per.02/Men/2011 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan alat Penangkapan Ikan.

18 39 Pasal 24 Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang- Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Dalam Pasal 26 ayat (1) disebut bahwa setiap orang yang melakukan usaha perikanan di bidang penangkapan, pembudidayaan, pengangkutan, pengolahan, dan pemasaran ikan di Wilayah Pengeloaan Perikanan Republik Indonesia, wajib memiliki Surat Ijin Usaha Perikanan (SIUP). 37 Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1984 tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam Hayati di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dalam pasal 8 menyatakan Pemberian Ijin kepada orang/badan hukum Indonesia yang bergerak di bidang usaha perikanan Indonesia untuk menangkap ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dilaksanakan menurut ketentuan peraturan perundangundangan di bidang perikanan yang berlaku bagi usaha perikanan Indonesia dan terdapat juga dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor Per.12/Men/2009 tentang perubahan atas Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Per.05/Men/2008 tentang Usaha Perikanan Tangkap dalam Pasal 6 ayat (1) bahwa Setiap orang atau badan hukum Indonesia yang akan melakukan kegiatan penangkapan ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia wajib memiliki Surat Ijin Usaha Perikanan (SIUP). 38 Dalam Pasal 6 ayat (2) disebutkan Setiap orang atau badan hukum Indonesia yang menggunakan kapal untuk melakukan kegiatan penangkapan ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan 37 Lihat Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang- Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. 38 Lihat Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Per.12/Men/2008 tentang Usaha Perikanan Tangkap Pasal 6 ayat (1).

19 40 Republik Indonesia wajib melengkapi dengan Surat Ijin Penangkapan Ikan (SIPI) untuk setiap kapal yang digunakan. Pasal 9 ayat (4) disebutkan bahwa setiap kapal pengangkut ikan berbendera asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3) wajib dilengkapi dengan Surat Ijin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI). Perijinan juga diatur dalam Pasal 22 ayat (4) yang menyatakan Perusahaan perikanan atau perusahaan bukan perusahaan perikanan berbadan hukum Indonesia yang mengoperasikan kapal pengangkut ikan berbendera asing, wajib terlebih dahulu mengajukan permohonan Surat Ijin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI). Mengenai perijinan diatur juga dalam Pasal 2 yang di dalamnya diatur jenis-jenis perikanan tangkap meliputi : penangkapan ikan, penangkapan dan pengangkutan ikan dalam satuan armada penangkapan ikan, dan pengangkutan ikan. Dan perizinan usaha perikanan tangkap meliputi: Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP), Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI), dan Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI). 39 Pasal 48 ayat (1) Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan diatur mengenai Setiap orang yang memperoleh manfaat langsung dari sumber daya ikan dan lingkungannya di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia dan di luar Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia dikenakan pungutan perikanan. 39 Lihat Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Per. 12/Men/2009 tentang perubahan atas Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Per.05/Men/2008 tentang Usaha Perikanan Tangkap Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2).

20 41 2. Pertanggungjawaban Pidana dan Penerapan Sanksi PidanaTerhadap Pencurian Ikan (Illegal Fishing) di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI ) Beberapa ahli mengatakan dalam Hukum Pidana ada tiga persoalan yang mendasar. Saner, berependapat bahwa hal itu berkaitan dengan onrecht, schult, dan strafe. Sementara Packer menyebut ke tiga masalah itu berkenaan dengan crime, responsibility dan punishment. 40 Menurut Soedarto persoalan-persoalan tersebut berkaitan dengan perbuatan yang dilarang itu dan pidana yang diancamkan terhadap pelanggaran larangan itu. 41 Masalah mendasar dalam hukum pidana berhubungan dengan persoalan tindak pidana, pertanggungjawaban pidana dan pemidanaan. 42 Berbicara mengenai suatu tindak pidana yang dilakukan seseorang, maka harus diketahui apakah dapat dimintanya pertanggungjawaban pelaku atas tindak pidana yang dilakukannya, dimana ada beberapa unsur yang penting untuk dianalisis sehingga kita mengetahui secara jelas apakah orang tersebut harus diminta pertanggungjawabannya atau tidak. Adapun unsur-unsur tersebut terdiri dari unsur kesalahan, kemampuan bertanggung jawab, alasan penghapusan pidana. 40 Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, (Jakarta:Prenada Media, 2006),hlm Soedarto, Tentang Penbaharuan Hukum Pidana Indonesia, Kertas Kerja, pda symposium Pembaharuan Hukum Pidana, (Semarang, 1980) 42 Chairul Huda, Op.Cit.

21 42 1. Kesalahan Dipidananya seseorang tidaklah cukup orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Perbuatannya tersebut meskipun telah memenuhi rumusan delik dalam undang-undang dan tidak di benarkan, hal tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana. Untuk itu pemidanaan masih perlu adanya syarat, yaitu bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah ( subjective guilt ). Di sini berlaku apa yang disebut dengan TIADA PIDANA TANPA KESALAHAN ( keine strafe ohne schuld atau geen straf zonder schuld ) NULLA POENA SINE CULPA ( Culpa di sini dalam arti luas meliputi kesengajaan ). Dari apa yang telah disebutkan di atas, maka dapat dikatakan bahwa kesalahan terdiri atas beberapa unsur ialah : 1. Adanya kemampuan bertanggung jawab pada si pembuat ( Schuldfahigkeit atau Zurechnungsfahigkeit ) : artinya keadaan jiwa si pembuat harus normal. 2. Hubungan batin antara si pembuat dengan perbuatannya berupa kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa) : ini disebut bentuk-bentuk kesalahan. 3. Tidak adanya alasan yang menghapus kesalahan atau tidak ada alasan pemaaf.

22 43 Ketiga unsur ini telah terpenuhi maka orang yang bersangkutan bisa dinyatakan bersalah atau mempunyai pertanggungjawaban pidana, sehingga bisa dipidana. 43 Sekalipun kesalahan telah diterima sebagai unsur yang menentukan pertanggungjawaban pembuat tindak pidana, tetapi mengenai bagaimana memaknai kesalahan masih terjadi saling perdebatan di kalangan para ahli. Pemahaman yang berbeda mengenai makna kesalahan, dapat menyebabkan perbedaan dalam penerapannya. Pengertian tentang kesalahan dengan sendirinya menentukan ruang lingkup pertanggungjawaban pembuat tindak pidanan. Pengertian tindak pidana termasuk pertanggungjawaban pidana, tindak pidana hanya menunjuk kepada dilarang dan diancamnya perbuatan dengan suatu pidana. Orang yang melakukan tindak pidana belum tentu dijatuhi pidana sebagaimana yang diancamkan, tergantung pada apakah dalam melakukan perbuatan ini orang tersebut mempunyai kesalahan, yang merujuk kepada asas dalam pertangungjawaban dalam hukum pidana. Tidak dipidana jika tidak ada kesalahan (geen straf zonder schuld:actus non facit reum nisi mens sir rea ). Hukum pidana fisikal berbeda halnya yaitu tidak memakai kesalahan. Jadi jika orang telah melanggar ketentuan, dia diberi pidana denda atau dirampas. 43 Sudarto, Op.Cit, hlm.91.

23 44 Pertanggungjawaban tanpa adanya kesalahan dari pihak yang melanggar dinamakan leer van het materiele feit (fait materielle). 44 Lebih lanjut Moeljatno menjelaskan bahwa orang yang tidak dapat dipersalahkan melanggar sesuatu tindak pidana tidak mungkin dikenakan pidana, meskipun orang tersebut dikenal buruk perangainya, kikir, tidak suka menolong orang lain, sangat ceroboh, selama dia tidak melanggar larangan pidana. 45 Dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum, sehingga meskipun perbuatannya memenuhi rumusan delik dalam Undang-Undang dan tidak dibenarkan, namun hal tersebut belum memenuhi syarat penjatuhan pidana. Pengertian kesalahan berdasarkan pendapat-pendapat ahli hukum dapat dijabarkan sebagai berikut: 46 a. Mezger mengatakan bahwa kesalahan adalah keseluruhan syarat yang memberi dasar adanya pencelaan pribadi terhadap si pembuat tindak pidana. 44 Dahulu atas pelanggaran tapi sejak adanya arrest susu H.R Nederland ( Van Bammalen Arresten strafrecht), hal itu ditiadakan. Demikian pula bagi delik-delik jenis overtradingen, berlaku aja tanpa kesalahan, tak mungkin di pidana. 45 Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban dalam Hukum Pidana, Pidato Ilmiah. 46 Sudarto, Hukum Pidana, (Semarang: Yayasan Sudarto, 1990), hlm. 88. Kesalahan dapat ditinjau dari 3sisi yakni: a. Kesalahan dalam arti seluas-luasnya, yang dapat disamakan dengan pengertian pertanggungjawaban dalam hukum pidana di dalamnya terkandung makna dapat dicelanya si pembuat atas perbuatannya. Jadi, apabila dikatakan bahwa orang yang bersalah melakukan suatu tindak pidana, maka itu berarti bahwa ia dapat dicela atas perbuatannya. b. Kesalahan dalam arti bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan dan kealpaan. c. Kesalahan dalam arti yang sempit adalah kealpaan.

24 45 b. Simons mengartikan kesalahan sebagai dasar untuk pertanggungjawaban dalam hukum pidana maka kesalahan tersebut berupa keadaan psychis dari pembuat. Hubungannya terhadap perbuatan itu dalam arti bahwa berdasarkan keadaan psychis perbuatannya dapat dicelakan kepada si pembuat. Dengan demikian untuk adanya suatu kesalahan harus diperhatikan dua hal di samping melakukan tindak pidana, yaitu: 1. Adanya keadaan psychis (bathin) yang tertentu; dan 2. Adanya hubungan tertentu antara keadaan bathin tersebut dengan perbuatan yang dilakukan, hingga menimbulkan celaan tadi. c. Van Hamel mengatakan bahwa kesalahan pada suatu delik merupakan pengertian psychologis, hubungan antara keadaan jiwa si pembuat dan terwujudnya unsur-unsur delik karena perbuatannya. Kesalahan adalah pertanggungjawaban dalam hukum. d. Van Hattum berpendapat bahwa pengertian kesalahan yang paling luas memuat semua unsur dalam mana seseorang dipertanggungjawabkan menurut hukum pidana terhadap perbuatan yang melawan hukum, meliputi semua hal. e. Pompe mengatakan pada pelanggaran norma yang dilakukan karena kesalahannya biasanya sifat melawan hukum itu merupakan segi luarnya. Bersifat melawan hukum itu adalah perbuatannya yakni segi dalam, yang berkaitan dengan kehendak si pembuat adalah kesalahan. Lebih rinci Pompe dalam pembahasannya mengenai

25 46 kesalahan, mengatakan bahwa dilihat dari kehendak, kesalahan itu merupakan bagian dalam dari kehendak pelaku, sedangkan sifat melawan hukum (wederrechtelijkheid) merupakan bagian luar dari padanya. Artinya kesalahan merupakan kelakuan yang bertentangan dengan hukum yang seharusnya dapat dihindari, yaitu penggangguan ketertiban hukum yang seharusnya dapat dihindarkan, sedangkan sifat melawan hukum, merupakan kelakuan yang bertentangan dengan hukum, untuk kelakuan mana ia dicela. 47 Seseorang dapat dinyatakan bersalah dan dapat mempertanggungjawabkan perbuatan pidana sehingga dapat dipidana apabila telah memenuhi unsur-unsur kesalahan dalam arti luas, sekaligus sebagai unsur subjektif. Syarat pemidanaan tersebut meliputi : a. Kesengajaan Kesengajaan (dolus/opzet) adalah merupakan bagian dari kesalahan (schuld). Kesengajaan pelaku mempunyai hubungan kejiwaan yang lebih erat terhadap suatu tindakan (terlarang/keharusan) dibandingkan dengan culpa. 48 Kesengajaan ini biasanya suatu kondisi dimana melaksanakan suatu perbuatan, yang didorong oleh suatu keinginan untuk berbuat atau bertindak sesuatu S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, (Jkarta: Alumni Ahaem-Petehaem, 1986), hlm S.R. Sianturi, Op.Cit., hlm Sathocid Kartanegara, Op.Cit., hlm.292

26 47 Ada dua teori yang berkaitan dengan pengertian sengaja yaitu teori kehendak dan teori pengetahuan atau membayangkan. 50 Menurut teori pengetahuan atau teori membayangkan, manusia tidak mungkin dapat menghendaki suatu akibat karena manusia tidak mungkin dapat menghendaki suatu akibat karena manusia hanya menginginkan, mengharapkan atau membayangkan adanya suatu akibat. Adalah sengaja apabila suatu akibat yang ditimbulkan karena suatu tindakan yang bersangkutan dilakukan sesuai dengan bayangan yang terlebih dahulu telah dibuat. Teori ini menitikberatkan pada apa yang diketahui atau yang dibayangkan si pembuat, ialah apa yang akan terjadi pada waktu dia berbuat. Ada dua istilah lagi yang berkaitan dengan sengaja, yaitu niat (voorhomen) dan dengan rencana terlebih dahulu (met vooberachterade). Dalam pasal 35 ayat (1) KUHP tentang percobaan dikatakan percobaan untuk melakukan kejahatan terancam hukuman, bila maksud si pembuat sudah nyata dengan dimulainya perbuatan itu tidak sampai selesai hanyalah lantaran hal yang tidak bergantung dari kemauannya sendiri. Antara niat dan kesengajaan dapat dilihat bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan, yang membedakan hanya selesai tidaknya perbuatan itu dilakukan. Tapi dasar untuk melakukan perbuatan itu sama yakni sudah ada niat. Adapun pembagian jenis sengaja yang secara tradisional dibagi menjadi tiga jenis, yaitu: Sengaja sebagai maksud (opzet als oogemark) 50 Moeljatno, Op.Cit., hlm Sudarto, Op.Cit.,hlm

27 48 2. Sengaja dengan kesadaran tentang kepastian (opzet bewustheid van zekerheid of noodzakelijkheid). 3. Sengaja dengan kesadaran kemungkinan sekali terjadi (opzet met waarschlijkheidbewustzijn). Menurut sifatnya ada dua jenis kesengajaan. Pertama, dolus malus yaitu dalam hal seseorang melakukan suatu tindak pidana, tidak saja hanya menghendaki tindakannya itu tetapi juga mengerti bahwa tindakannya itu dilarang oleh undang-undang dan diancam dengan pidana. Kedua, kesengajaan yang tidak mempunyai sifat tertentu yaitu dalam hal seseorang melakukan suatu tindak pidana tertentu, cukuplah jika menghendaki tindakannya itu artinya ada hubungan yang erat antara kejiwaannya dengan tindakannya, tidak disyaratkan apakah ia mengerti bahwa tindakannya itu dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang. 52 Kesengajaan yang dianut oleh Hukum Pidana Indonesia adalah kesengajaan jenis kedua yaitu kesengajaan yang tidak mempunyai sifat tertentu. Undang-undang hukum pidana menentukan dapat dipidananya seseorang tidak tergantung dari pengertiannya, apakah suatu tindak pidana dilarang dan diancam dengan pidana karena hal tersebut akan memberikan beban kepada para penegak hukum terutama hakim dalam membuktikannya. Imbalan yang diberikan hanyalah tindakan tertentu (yang harus diatur dalam undang-undang) yang ditentukan sebagai kejahatan, yang oleh setiap 52 Ibid, hlm. 171.

28 49 orang yang berpendidikan normal dapat mengetahui bahwa tindakan tersebut bertentangan dengan ketertiban masyarakat atau kesusilaan. 53 Kesengajaan tanpa sifat tertentu di dalam praktik peradilan dan menurut doktrin dapat dibedakan menjadi beberapa jenis diantaranya: pertama, kesengajaan sebagai maksud (dolus directus atau opzet als oogmerk) yang berarti terjadinya suatu tindakan atau akibat tertentu adalah betul-betul sebagai perwujudan dari maksud dan tujuan dan pengetahuan si pelaku, pada delik formal diatur dalam Pasal 406 KUHP dan pada delik material diatur dalam Pasal 338 KUHP. Kedua, kesengajaan dengan sadar kepastian (opzet met zekerheidesbewustzijn), yang menjadi sandaran adalah seberapa jauh pengetahuan atau kesadaran pelaku tentang tindakan dan akibat yang merupakan salah satu unsur dari pada suatu delik yang telah terjadi. Ketiga, kesengajaan dengan sadar kemungkinan (dolus eventualis atau voorwaar delijk opzet) merupakan kesengajaan dalam tingkat yang terendah dimana yang menjadi sandaran kesengajaan ini adalah sejauh mana pengetahuan atau kesadaran si pelaku tentang tindak pidana dan akibat terlarang yang mungkin terjadi serta termasuk juga kesadaran pelaku mengenai kemungkinan terjadinya suatu tindakan dan akibat setelah melalui beberapa syarat-syarat tertentu Ibid, hlm Ibid, hlm. 172.

29 50 b. Kelalaian (culpa) Kelalaian adalah jika seseorang tidak bermaksud melanggar larangan undangundang, tetapi dia tidak mengindahkan larangan itu. Dia alpa, lalai, teledor dalam melakukan perbuatan tersebut. Jadi, dalam kelalaiannya kurang mengindahkan larangan sehingga tidak berhati-hati dalam melakukan sesuatu perbuatan yang objektif kausal menimbulkan keadaan yang dilarang. 55 Selanjutnya dengan mengutip Van Hamel, Moeljatno mengatakan kelalaian itu mengandung dua syarat, yaitu tidak mengadakan penduga-penduga sebagaimana diharuskan oleh hukum. 56 Uraian di atas sering dipandang bahwa bentuk kelalaian (culpa) terlalu ringan untuk diancam dengan pidana, cukup dicari sarana lain dari pada pidana. Pidana dianggap hanya sebagai obat terakhir (ultimatum remedium). 57 Kealpaan ditinjau dari sudut kesadaran si pembuat maka kealpaan tersebut dapat dibedakan atas dua yaitu : 1. Kealpaan yang disadari (bewuste schuld), kealpaan yang disadari terjadi apabila si pembuat dapat membayangkan atau memperkirakan kemungkinan timbulnya suatu akibat yang menyertai perbuatannya, meskipun ia telah berusaha untuk mengadakan pencegahan supaya tidak timbul akibat itu diakses tanggal 20 Mei Moeljatno. Op.Cit.hlm Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta:Rineka Cipta, 1994), hlm.128

30 51 2. Kealpaan yang tidak disadari (onbewuste schuld), kealpaan yang tidak disadari terjadi apabila si pembuat tidak membayangkan atau memperkirakan kemungkinan timbulnya suatu akibat yang menyertai perbuatannya, tetapi seharusnya ia dapat membayangkan atau memperkirakan kemungkinan suatu akibat tersebut. Adapula bentuk-bentuk kealpaan yang ditinjau dari sudut berat ringannya, yang terdiri dari : 1. Kealpaan berat (culpa lata). Kealpaan berat dalam bahasa Belanda disebut dengan merlijke schuld atau grove schuld, para ahli menyatakan bahwa kealpaan berat ini tersimpul dalam Pasal : 188, 359, 360 KUHP. 2. Kealpaan ringan dalam bahasa Belanda disebut sebagai lichte schuld, para ahli tidak menyatakan dijumpai dalam jenis kejahatan oleh karena sifatnya yang ringan, melainkan dapat terlihat dalam hal pelanggaran Buku III KUHP. 2. Kemampuan Bertanggung jawab Pertanggungjawaban pidana sudah muncul sejak zaman Revolusi Prancis, pada masa itu tidak hanya saja manusia yang dapat pertanggungjawaban pidana bahkan hewan atau benda mati lainnya dapat dipertanggungjawabkan tindak pidananya. Seseorang tidak saja mempertanggungjawabkan tindak pidana yang dilakukannya akan tetapi perbuatan orang lain juga dapat dipertanggungjawabkan karena pada masa itu hukuman tidak hanya saja terbatas pada pelaku meskipun mereka tidak melakukan tindak pidana. Hukuman yang dijatuhkan terhadap jenis-jenis perbuatan yang berbeda

31 52 didasari oleh wewenang yang mutlak dari seorang hakim untuk menentukan bentuk dan jumlah hukuman. Setelah revolusi Prancis pertanggungjawaban pidana didasarkan atas dasar falsafah kebebasan berkehendak yang disebut dengan teori tradisionalisme (mazhab taqlidi), kebebasan berkehendak dimaksud bahwa seorang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana atas dasar pengetahuan dan pilihan, menurut teori ini seseorang yang pada usia tertentu dapat memisahkan dan membedakan mana yang dikatakan perbuatan baik dan mana perbuatan yang tidak baik. 58 Pertanggungjawaban atau yang dikenal dengan konsep liability dalam segi falsafah hukum, seorang filosof besar abad ke-20, Roscoe Pound menyatakan bahwa : I use simple word liability for the situation whereby one may exact legally and other is legally subjected to the exaction. 59 Pertanggungjawaban pidana diartikan Pound adalah sebagai suatu kewajiban untuk membayar pembalasan yang akan diterima pelaku dari seorang yang telah dirugikan, 60 menurutnya bahwa pertanggungjawaban yang dilakukan tersebut tidak hanya menyangkut masalah hukum semata akan tetapi menyangkut pula masalah nilai-nilai moral ataupun kesusilaan yang ada dalam suatu masyarakat. Pertanggungjawaban pidana dalam bahasa asing disebut sebaga toerakenbaarheid, 58 pidana.html, diakses tanggal 11 Mei Roscou Pound, an introduction to the philosophy of law dalam Romli Atmasasmita, Perbandingan Hukum Pidana, (Bandung: Mandar maju, 2000), hlm Romli Atmasasmita, Ibid.

32 53 criminal responsibility, criminal liability, pertanggungjawaban pidana yang dimaksud disini untuk menentukan apakah seseorang tersebut dapat dipertanggungjawabkan atasnya pidana atau tidak terhadap tindakan yang dilakukannya itu. 61 Di dalam pertanggungjawaban pidana memerlukan syarat bahwa pembuat mampu bertanggung jawab, karenanya tidaklah mungkin seseorang dapat dipertanggungjawab kan apabila ia tidak mampu bertanggung jawab. Simons menyatakan bahwa kemampuan bertanggung jawab adalah suatu keadaan psykis, yang membenarkan adanya penerapan suatu upaya pemidanaan, baik dilihat dari sudut umum ataupun orangnya, 62 seseorang mampu bertanggung jawab jika jiwanya sehat, yakni apabila; 63 a. Mampu untuk mengerti nilai dari akibat-akibat perbuatannya sendiri b. Mampu untuk mengetahui atau menyadari bahwa perbuatannya bertentangan dengan hukum c. Mampu menentukan kehendaknya sesuai dengan kesadaran tersebut. Keadaan yang dapat menjadi alasan tidak dipertanggungjawabkannya secara negatif yakni: 64 a. Penentuan bagaimana keadaan jiwa si pembuat. Persaksian keadaan pribadi si pembuat berupa keadaan akal atau jiwa yang cacat pertumbuhannya atau 61 S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta: Alumni, 1996) hlm Romli Atmasasmita, Op.Cit, hlm Moeljatno, Asas-asa Hukum Pidana, (Jakarta: Bina Aksara, 1994), hlm Sudarto, Hukum Pidana, (Semarang: Yayasan Sudarto,1990), hlm. 95

33 54 terganggu karena penyakit. Psikiater yang akan menyelidiki keadaan jiwa si pembuat tersebut pada saat perbuatan dilakukan. b. Adanya hubungan kausal antara keadaan jiwa si pembuat dengan perbuatannya, dalam hal ini yang menentukan adanya hubungan kausal adalah hakim. Di dalam hal kemampuan bertanggung jawab bila dilihat dari keadaan batin orang yang melakukan perbuatan pidana merupakan masalah kemampuan bertanggung jawab dan menjadi dasar yang penting untuk menentukan adanya kesalahan yang mana keadaan jiwa orang yang melakukan perbuatan pidana haruslah sedemikian rupa sehingga dapat dikatakan normal, sebab karena orang yang normal, sehat inilah yang dapat mengatur tingkah lakunya sesuai dengan ukuran-ukuran yang dianggap baik oleh masyarakat. 65 Kemampuan bertanggung jawab juga dikemukakan oleh Van Hammel yang mengatakan seseorang yang mampu bertanggung jawab harus memiliki tiga syarat, yaitu: pertama, dapat mengerti makna perbuatannya dalam alam kejahatan; kedua, dapat memgerti bahwa perbuatannya dipandang tidak patut dalam pergaulan masyarakat; ketiga, mampu untuk menentukan niat atau kehendaknya terhadap perbuatan tadi Sutrisna, I Gusti Bagus, Penerapan Keterangan Ahli dalam Perkara Pidana ( Tinjauan terhadap pasal 44 KUHP), dalam Andi Hamzah, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986), hlm Sutrisna, I Gusti Bagus, Ibid. hlm.79.

34 55 Suatu perbuatan pidana memiliki konsekuensi pertanggungjawaban serta penjatuhan pidana. Setidaknya ada dua alasan mengenai hakikat kejahatan, 67 yakni pertama, pendekatan yang melihat kejahatan sebagai dosa atau perbuatan yang tidak senonoh yang dilakukan manusia lainnya. Kedua, pendekatan ini yang melihat kejahatan sebagai perwujudan dari sikap dan pribadi pelaku yang tidak normal sehingga ia berbuat jahat. 3. Alasan Penghapusan Pidana Di dalam KUHP pembicaraan mengenai alasan penghapusan pidana dimuat dalam Buku I Bab III tentang hal- hal yang mengahapus atau memberatkan pengenaan pidana. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berlaku saat ini secara umum dapat dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama yaitu bagian umum yang terdapat dalam buku ke satu (tentang peraturan umum) dan bagian khusus yang terdiri dari dua buku sebagaimana terdapat dalam buku ke dua (tentang kejahatan) dan buku ke tiga (tentang pelanggaran). Alasan penghapusan pidana di samping diatur dalam bagian umum buku ke satu KUHP ( yang berlaku secara umum ) juga pengaturannya terdapat dalam bagian khusus buku ke dua KUHP ( yang berlaku secara khusus bagi tindak pidana tertentu sebagaimana yang dirumuskan dalam pasal tersebut). Di dalam bagian pertama buku umum yang terdapat dalam buku kesatu (tentang pengaturan umum) secara keseluruhan membahas tentang adanya alasan penghapusan 67 Andi Matalatta, Santunan Bagi Korban dalam J.E. Sahetapy, Victimologi Sebuah Bunga Rampai (Jakarta:Pustaka Sinar Harapan, 1987), hlm.41-42

35 56 pidana. Ketidakmampuan bertanggung jawab sebenarnya merupakan alasan penghapusan kesalahan atau alasan pemaaf. Menentukan keadaan di mana seseorang tidak mampu bertanggung jawab sehingga ia tidak dipidana dapat dilakukan melalui metode berikut, yakni : 68 a. Metode biologis yaitu suatu cara dengan mengurai atau meninjau jiwa seseorang yang dilakukan oleh psikiater. b. Metode psikologis yaitu dengan cara menunjukkan hubungan keadaan jiwa abnormal dengan perbuatannya, yang dipentingkan dalam metode ini adalah akibat penyakit jiwa dengan perbuatannya sehingga dikatakan tidak mampu bertanggung jawab dan tidak dapat dipidana. c. Metode gabungan dari kedua cara tersebut dengan menunjukkan keadaan jiwa itu dinilai dengan perbuatannya untuk ditanyakan tidak mampu bertanggung jawab. Ilmu hukum pidana mengadakan pembedaan antara dapat dipidananya perbuatan dan dapat dipidananya pembuat, penghapusan pidana ini menyangkut perbuatan atau pembuatnya, sehingga dibedakan dalam dua jenis alasan penghapusan pidana (umum) yakni: a. Alasan Pemaaf, yakni menyangkut pribadi si pembuat dalam arti bahwa orang ini tidak dapat dicela (menurut hukum) dengan perkataan lain ia tidak bersalah atau tidak dapat dipertanggungjawabkan, meskipun perbuatannya merupakan 68 Martiman Prodjohamidjojo, Op.Cit., hlm. 36.

36 57 perbuatan pidana akan tetapi pelakunya tidak dapat dipidana. Dalam ketentuan Umum KUHP alasan penghapusan pidana ini dirumuskan dalam Buku Kesatu Bab III. Adapun alasan pemaaf yang terdapat pada KUHP adalah : 1. Pasal 44 mengenai tidak mampu bertanggung jawab karena tidak sempurna akal, jiwanya atau terganggu karena sakit. 2. Pasal 48 karena daya paksa, daya paksa maksudnya adalah tidak dapat diharapkan dari sipembuat untuk mengadakan perlawanan, maka daya paksa dapat dibedakan dalam 2 hal yakni : 69 a) Paksaan absolut, dapat disebabkan oleh kekuatan manusia atau alam, dalam hal ini kekuasaan tersebut sama sekali tidak dapat dihukum. b) Paksaan relatif, sebenarnya paksaan itu dapat ditahan tetapi dari orang yang di dalam paksaan itu tidak dapat diharapkan bahwa ia akan mengadakan perlawanan. 3. Pasal 49 ayat (2) yakni pelampauan batas pembelaan darurat yang terdiri dari beberapa syarat yaitu : 70 a. Melampaui batas pembelaan yang diperlukan b. Pembelaan dilakukan sebagai akibat yang langsung dari kegoncangan jiwa yang hebat. c. Kegoncangan jiwa yang hebat itu disebabkan oleh adanya serangan, maka harus ada hubungan kausal antara keduanya. 69 Fuad Usfa dan Togat, Pengantar Hukum Pidana, ( Malang, UMM Pers, 2004 ), hlm S.R. Sianturi, Op.Cit. hlm. 293.

37 58 4. Pasal 51 ayat (2) yakni itikad baik melaksanakan perintah jabatan yang tidak sah, namun harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : 71 a) Jika ia mengira dengan itikad baik bahwa perintah itu sah b) Perintah itu terletak dalam lingkungan wewenang dari orang yang diperintah. b. Alasan pembenar, yakni alasan yang menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan, meskipun perbuatan itu telah memenuhi rumusan delik dalam undang-undang. Alasan pembenar yang terdapat dalam KUHP adalah pada : 1) Pasal 49 ayat (1) merupakan suatu pembelaan darurat atau paksa (noodweer) yang memiliki syarat : a. Adanya serangan. Tidak pada semua serangan dapat diadakan pembelaan melainkan pada serangan yang bersifat seketika; langsung mengancam; melawan hukum; sengaja ditujukan pada badan, peri kesopanan, dan harta benda. b. Adanya pembelaan yang perlu ditujukan terhadap serangan itu, dengan syarat: pembelaan harus dan perlu diadakan; pembelaan harus menyangkut pembelaan pada badan, peri kesopanan dan harta benda. 2. Pasal 50 merupakan suatu perbuatan karena menjalankan suatu peraturan perundang-undangan. Perundang-undangan di sini maksudnya adalah tiap peraturan yang dibuat oleh pemerintah, maka kewajiban/tugas itu diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan. Ketentuan undang- 71 Ibid, hlm. 298.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN. dasar dari dapat dipidananya seseorang adalah kesalahan, yang berarti seseorang

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN. dasar dari dapat dipidananya seseorang adalah kesalahan, yang berarti seseorang BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN 2.1. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Dasar dari adanya perbuatan pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dari dapat dipidananya

Lebih terperinci

BAB II REHABILITASI BAGI PECANDU NARKOTIKA SEBAGAI ALTERNATIF PEMIDANAAN

BAB II REHABILITASI BAGI PECANDU NARKOTIKA SEBAGAI ALTERNATIF PEMIDANAAN BAB II REHABILITASI BAGI PECANDU NARKOTIKA SEBAGAI ALTERNATIF PEMIDANAAN A. Pengaturan Tindak Pidana Narkotika 1. Pengaturan Hukum Tentang Rehabilitasi Terhadap Korban Penyalahguna Narkotika Saat ini Indonesia

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA. Pertanggung Jawaban pidana dalam istilah asing tersebut juga dengan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA. Pertanggung Jawaban pidana dalam istilah asing tersebut juga dengan BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA A. Pengertian Pertanggung Jawaban Pidana Pertanggung Jawaban pidana dalam istilah asing tersebut juga dengan teorekenbaardheid atau criminal responsibility

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN [LN 2004/118, TLN 4433]

UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN [LN 2004/118, TLN 4433] UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN [LN 2004/118, TLN 4433] BAB XV KETENTUAN PIDANA Pasal 84 (1) Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 45 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN [LN 2009/154, TLN 5073]

UNDANG-UNDANG NOMOR 45 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN [LN 2009/154, TLN 5073] UNDANG-UNDANG NOMOR 45 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN [LN 2009/154, TLN 5073] 39. Ketentuan Pasal 85 diubah sehingga Pasal 85 berbunyi sebagai berikut:

Lebih terperinci

I. TINJAUAN PUSTAKA. suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis

I. TINJAUAN PUSTAKA. suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis I. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana Kekuasaan kehakiman merupakan badan yang menentukan dan kekuatan kaidahkaidah hukum positif dalam konkretisasi oleh hakim melalui

Lebih terperinci

II TINJAUAN PUSTAKA. mencari untung. Sedangkan penipuan sendiri berdasarkan Kamus Besar Bahasa

II TINJAUAN PUSTAKA. mencari untung. Sedangkan penipuan sendiri berdasarkan Kamus Besar Bahasa II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Penipuan Penipuan berasal dari kata tipu, yang berarti perbuatan atau perkataan yang tidak jujur, bohong, atau palsu dengan maksud untuk menyesatkan, mengakali,atau

Lebih terperinci

II.TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian tentang Tindak Pidana atau Strafbaar Feit. Pembentuk Undang-undang telah menggunakan kata Strafbaar Feit untuk

II.TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian tentang Tindak Pidana atau Strafbaar Feit. Pembentuk Undang-undang telah menggunakan kata Strafbaar Feit untuk II.TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian tentang Tindak Pidana atau Strafbaar Feit Pembentuk Undang-undang telah menggunakan kata Strafbaar Feit untuk menyebutkan kata Tindak Pidana di dalam KUHP. Selain itu

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana. Belanda yaitu strafbaar feit yang terdiri dari tiga kata, yakni straf

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana. Belanda yaitu strafbaar feit yang terdiri dari tiga kata, yakni straf II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana 1. Pengertian Tindak Pidana Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu strafbaar feit yang

Lebih terperinci

Marudut Hutajulu Alvi Syahrin Mahmud Mulyadi Marlina. ABSTRACT

Marudut Hutajulu Alvi Syahrin Mahmud Mulyadi Marlina. ABSTRACT ANALISIS HUKUM PIDANA TERHADAP PENCURIAN IKAN DI ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA WILAYAH PENGELOLAAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA (STUDI PUTUSAN NO: 03/PID.SUS.P/2012/PN.MDN Marudut Hutajulu Alvi Syahrin

Lebih terperinci

PSIKIATER DALAM MENENTUKAN KETIDAKMAMPUAN BERTANGGUNG JAWAB DALAM PASAL 44 KUHP. Oleh Rommy Pratama*) Abstrak

PSIKIATER DALAM MENENTUKAN KETIDAKMAMPUAN BERTANGGUNG JAWAB DALAM PASAL 44 KUHP. Oleh Rommy Pratama*) Abstrak PSIKIATER DALAM MENENTUKAN KETIDAKMAMPUAN BERTANGGUNG JAWAB DALAM PASAL 44 KUHP Oleh *) Abstrak Kondisi perekonomian Indonesia yang belum stabil, keadaan masyarakat yang jauh dari kata sejahtera (unwelfare),

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. arti yang luas dan berubah-ubah, karena istilah tersebut dapat berkonotasi dengan bidang-bidang

II. TINJAUAN PUSTAKA. arti yang luas dan berubah-ubah, karena istilah tersebut dapat berkonotasi dengan bidang-bidang II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban pidana 1. Pengertian Pidana Istilah pidana atau hukuman yang merupakan istilah umum dan konvensional dapat mempunyai arti yang luas dan berubah-ubah, karena istilah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan tindak pidana, Moeljatno merumuskan istilah perbuatan pidana, yaitu

BAB I PENDAHULUAN. dengan tindak pidana, Moeljatno merumuskan istilah perbuatan pidana, yaitu BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hukum adalah himpunan peraturan-peraturan, yang berupa perintah atau larangan yang mengharuskan untuk ditaati oleh masyarakat itu. Berkaitan dengan tindak pidana,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Tindak Pidana, Pelaku Tindak Pidana dan Tindak Pidana Pencurian

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Tindak Pidana, Pelaku Tindak Pidana dan Tindak Pidana Pencurian II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana, Pelaku Tindak Pidana dan Tindak Pidana Pencurian Tindak pidana merupakan perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dengan melakukan suatu kejahatan atau

Lebih terperinci

PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENCEMARAN NAMA BAIK (SUATU KAJIAN TERDAPAT PASAL 310 KUHP)

PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENCEMARAN NAMA BAIK (SUATU KAJIAN TERDAPAT PASAL 310 KUHP) PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENCEMARAN NAMA BAIK (SUATU KAJIAN TERDAPAT PASAL 310 KUHP) Oleh : Ketut Yoga Maradana Adinatha A.A. Ngurah Yusa Darmadi I Gusti Ngurah Parwata

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam Undang-

II. TINJAUAN PUSTAKA. tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam Undang- 13 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Pertanggungjawaban pidana memiliki makna bahwa setiap orang yang melakukan tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam

Lebih terperinci

BAB III PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PENYIDIK ANAK. hukum pidana diawali dengan kata barangsiapa sebagai kata

BAB III PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PENYIDIK ANAK. hukum pidana diawali dengan kata barangsiapa sebagai kata BAB III PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PENYIDIK ANAK 3.1 Subyek Hukum Pidana Menurut sistem KUHP Indonesia, yang dapat menjadi subjek hukum pidana ialah natuurlijke person atau manusia. Hal itu dapat

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. tindak pidana. Moeljatno menyatakan bahwa orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan

II. TINJAUAN PUSTAKA. tindak pidana. Moeljatno menyatakan bahwa orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Pertangggungjawaban pidana hanya dapat terjadi jika sebelumnya seseorang telah melakukan tindak pidana. Moeljatno menyatakan bahwa orang tidak

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. dalam penegakan hukum di Indonesia. Hal ini sesuai dengan Pasal 2 Undang-Undang

II. TINJAUAN PUSTAKA. dalam penegakan hukum di Indonesia. Hal ini sesuai dengan Pasal 2 Undang-Undang II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Penyidikan Setiap polisi harus dapat mencerminkan kewibawaan negara dan menunjukkan disiplin yang tinggi dikarenakan polisi pada hakekatnya adalah sebagai pengatur di

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana terhadap kesalahan yang dilakukannya. Dengan demikian, terjadinya

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana terhadap kesalahan yang dilakukannya. Dengan demikian, terjadinya II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban Pidana Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini menganut asas kesalahan sebagai salah satu asas disamping asas legalitas. Pertanggungjawaban

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA PELAKU PEMBAKARAN LAHAN

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA PELAKU PEMBAKARAN LAHAN BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA PELAKU PEMBAKARAN LAHAN Hukum merupakan sebuah instrumen yang dibentuk oleh pemerintah yang berwenang, yang berisikan aturan, larangan, dan sanksi yang bertujuan untuk mengatur

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2009 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2009 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 1 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG BARAT, Menimbang : a. bahwa potensi pembudidayaan perikanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana (kepada barangsiapa yang melanggar larangan tersebut), untuk singkatnya dinamakan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 118, 2004 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4433) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. umur harus dipertanggungjawabkan. Dalam hukum pidana konsep responsibility

II. TINJAUAN PUSTAKA. umur harus dipertanggungjawabkan. Dalam hukum pidana konsep responsibility II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Perbuatan cabul yang dilakukan orang dewasa kepada anak yang masih dibawah umur harus dipertanggungjawabkan. Dalam hukum pidana konsep responsibility

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 Perubahan ke-4 Undang-Undang Dasar Hal ini. tindakan yang dilakukan oleh warga negara Indonesia.

I. PENDAHULUAN. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 Perubahan ke-4 Undang-Undang Dasar Hal ini. tindakan yang dilakukan oleh warga negara Indonesia. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah Negara sebagaimana diatur dalam Penjelasan Umum Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 Perubahan ke-4 Undang-Undang Dasar 1945. Hal ini menunjukkan bahwa

Lebih terperinci

Bab XII : Pemalsuan Surat

Bab XII : Pemalsuan Surat Bab XII : Pemalsuan Surat Pasal 263 (1) Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM PIDANA DALAM TINDAK PIDANA PERPAJAKAN DI INDONESIA. dan akan mendapatkan sanksi pidana atau hukuman bila dilarang,dan sanksi

BAB II PENGATURAN HUKUM PIDANA DALAM TINDAK PIDANA PERPAJAKAN DI INDONESIA. dan akan mendapatkan sanksi pidana atau hukuman bila dilarang,dan sanksi BAB II PENGATURAN HUKUM PIDANA DALAM TINDAK PIDANA PERPAJAKAN DI INDONESIA Hukum pidana adalah suatu kumpulan aturan yang mengandung larangan dan akan mendapatkan sanksi pidana atau hukuman bila dilarang,dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. alat transportasi yang diperlukan untuk pemenuhan kebutuhan, dari berbagai

I. PENDAHULUAN. alat transportasi yang diperlukan untuk pemenuhan kebutuhan, dari berbagai 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Transportasi merupakan sarana yang digunakan masyarakat untuk melakukan aktifitasnya. Seiring dengan berkembangnya zaman, maka semakin banyak pula alat transportasi

Lebih terperinci

peradilan dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa, mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Dalam hal ini, untuk

peradilan dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa, mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Dalam hal ini, untuk BAB II JENIS- JENIS PUTUSAN YANG DIJATUHKAN PENGADILAN TERHADAP SUATU PERKARA PIDANA Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman diserahkan kepada badan- badan peradilan dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa perairan yang berada di bawah kedaulatan dan yurisdiksi

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT INTERNAL TIMUS KOMISI III DPR-RI DALAM RANGKA PEMBAHASAN RANCANGAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA --------------------------------------------------- (BIDANG HUKUM, HAM

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang terdiri dari kesengajaan (dolus atau opzet) dan kelalaian (culpa). Seperti

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang terdiri dari kesengajaan (dolus atau opzet) dan kelalaian (culpa). Seperti II. TINJAUAN PUSTAKA A. Bukti Permulaan yang Cukup Istilah kesalahan ( schuld) adalah pengertian hukum yang tidak sama dengan pengertian harfiah:fout. Kesalahan dalam hukum pidana berhubungan dengan pertanggungjawaban,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Penegakan hukum di Indonesia, pembinaan dan pengarahan, perlu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Penegakan hukum di Indonesia, pembinaan dan pengarahan, perlu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penegakan hukum di Indonesia, pembinaan dan pengarahan, perlu dilakukan supaya hukum mampu memenuhi kebutuhan sesuai dengan tingkat kemajuan masyarakat Indonesia.

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI 20 BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI A. Undang-Undang Dasar 1945 Adapun terkait hal keuangan, diatur di dalam Pasal 23 Undang-Undang Dasar 1945, sebagaimana

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REFUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REFUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REFUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa perairan yang berada di bawah kedaulatan dan yurisdiksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Meningkatnya aktivitas manusia tersebut harus didukung oleh fasilitas pendukung

BAB I PENDAHULUAN. Meningkatnya aktivitas manusia tersebut harus didukung oleh fasilitas pendukung BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Seiring dengan perkembangan dunia saat ini yang telah memasuki era globalisasi, maka aktivitas manusia di segala bidang juga semakin meningkat. Meningkatnya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Menurut Roeslan Saleh (1983:75) pengertian pertanggungjawaban pidana adalah suatu yang dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap seseorang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sejak tahun 1967, merek merupakan karya intelektual yang memiliki peranan

I. PENDAHULUAN. Sejak tahun 1967, merek merupakan karya intelektual yang memiliki peranan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejak tahun 1967, merek merupakan karya intelektual yang memiliki peranan penting bagi kelancaran dan peningkatan perdagangan barang dan jasa dalam perindustrian dan perdagangan

Lebih terperinci

I. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian pidana yang bersifat khusus ini akan menunjukan ciri-ciri dan sifatnya yang khas

I. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian pidana yang bersifat khusus ini akan menunjukan ciri-ciri dan sifatnya yang khas I. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Dan Unsur-Unsur Tindak Pidana Pidana pada umumnya sering diartikan sebagai hukuman, tetapi dalam penulisan skripsi ini perlu dibedakan pengertiannya. Hukuman adalah pengertian

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa perairan yang berada di bawah kedaulatan dan yurisdiksi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan atau perbuatan jahat dapat diartikan secara yuridis atau kriminologis.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan yang telah dilakukan, yaitu perbuatan yang tercela oleh masyarakat dan

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan yang telah dilakukan, yaitu perbuatan yang tercela oleh masyarakat dan 14 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban Pidana Pertanggungjawaban adalah sesuatu yang harus dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang telah dilakukan, yaitu perbuatan yang tercela oleh masyarakat

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban

II. TINJAUAN PUSTAKA. wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Setiap tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang pada dasarnya orang tersebut wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban pidana

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Adapun yang menjadi tujuan upaya diversi adalah : 6. a. untuk menghindari anak dari penahanan;

BAB II LANDASAN TEORI. Adapun yang menjadi tujuan upaya diversi adalah : 6. a. untuk menghindari anak dari penahanan; BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Uraian Teori 2.1.1.Diversi Diversi adalah pengalihan penanganan kasus-kasus anak yang diduga telah melakukan tindak pidana dari proses formal dengan atau tanpa syarat. Pendekatan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KESALAHAN, TINDAK PIDANA, DAN LINGKUNGAN HIDUP

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KESALAHAN, TINDAK PIDANA, DAN LINGKUNGAN HIDUP 22 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KESALAHAN, TINDAK PIDANA, DAN LINGKUNGAN HIDUP 2.1. Tinjauan Umum Tentang Kesalahan 2.1.1. Pengertian Kesalahan Kesalahan dalam arti yang seluas-luasnya, dapat disamakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Manusia didalam pergaulan sehari-hari tidak dapat terlepas dari interaksi dengan

I. PENDAHULUAN. Manusia didalam pergaulan sehari-hari tidak dapat terlepas dari interaksi dengan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Suatu pergaulan hidup di dalam masyarakat yang teratur dan maju tidak dapat berlangsung tanpa adanya jaminan akan kepastian hukum serta penegakan hukum yang baik demi terwujudnya

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG P E R I K A N A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG P E R I K A N A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG P E R I K A N A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa perairan yang berada di bawah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana Tindak pidana merupakan suatu perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai dengan hukuman pidana.

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Arief, Barda Nawawi, Kebijakan Kriminal, op.cit, hal.2

DAFTAR PUSTAKA. Arief, Barda Nawawi, Kebijakan Kriminal, op.cit, hal.2 DAFTAR PUSTAKA A. Buku Arief, Barda Nawawi, Kapita Selekta Hukum Pidana Tentang Sistem Peradilan Terpadu, Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2006. Arief, Barda Nawawi, Kebijakan Kriminal,

Lebih terperinci

*15365 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 31 TAHUN 2004 (31/2004) TENTANG PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

*15365 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 31 TAHUN 2004 (31/2004) TENTANG PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Copyright (C) 2000 BPHN UU 31/2004, PERIKANAN *15365 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 31 TAHUN 2004 (31/2004) TENTANG PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB III PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI PELAKU PELANGGARAN HAK INDIKASI GEOGRAFIS

BAB III PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI PELAKU PELANGGARAN HAK INDIKASI GEOGRAFIS BAB III PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI PELAKU PELANGGARAN HAK INDIKASI GEOGRAFIS 3.1. Konsep Pertanggungjawaban Pidana Dalam hukum pidana, syarat atau prinsip utama untuk adanya pertanggungjawaban

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana 1. Kekuasaan Kehakiman Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. dipidana jika tidak ada kesalahan ( Green Straf Zonder Schuld) merupakan dasar

II. TINJAUAN PUSTAKA. dipidana jika tidak ada kesalahan ( Green Straf Zonder Schuld) merupakan dasar II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Pertangggungjawaban pidana hanya dapat terjadi jika sebelumnya seseorang telah melakukan tindak pidana. Asas kesalahan menyatakan dengan tegas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3) BAB I PENDAHULAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara berdasarkan hukum. Hal ini ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3) yang berbunyi

Lebih terperinci

ASAS TIADA PIDANA TANPA KESALAHAN (ASAS KESALAHAN) DALAM HUBUNGANNYA DENGAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI

ASAS TIADA PIDANA TANPA KESALAHAN (ASAS KESALAHAN) DALAM HUBUNGANNYA DENGAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI ASAS TIADA PIDANA TANPA KESALAHAN (ASAS KESALAHAN) DALAM HUBUNGANNYA DENGAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI Oleh : A.A. Ngurah Wirajaya Nyoman A. Martana Program Kekhususan Hukum Pidana, Universitas

Lebih terperinci

PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG - UNDANG TENTANG PERAMPASAN ASET * Oleh : Dr. Ramelan, SH.MH

PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG - UNDANG TENTANG PERAMPASAN ASET * Oleh : Dr. Ramelan, SH.MH 1 PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG - UNDANG TENTANG PERAMPASAN ASET * I. PENDAHULUAN Oleh : Dr. Ramelan, SH.MH Hukum itu akal, tetapi juga pengalaman. Tetapi pengalaman yang diperkembangkan oleh akal, dan akal

Lebih terperinci

BAB III TINDAK PIDANA PENCURIAN IKAN (ILLEGAL FISHING) SEBAGAI TINDAK PIDANA INTERNASIONAL DI PERAIRAN ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA

BAB III TINDAK PIDANA PENCURIAN IKAN (ILLEGAL FISHING) SEBAGAI TINDAK PIDANA INTERNASIONAL DI PERAIRAN ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA BAB III TINDAK PIDANA PENCURIAN IKAN (ILLEGAL FISHING) SEBAGAI TINDAK PIDANA INTERNASIONAL DI PERAIRAN ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA A. Kasus Pencurian Ikan Di Perairan Wilayah Zona Ekonomi Eksklusif

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang

I. PENDAHULUAN. Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang siapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan

Lebih terperinci

BAB III SANKSI PIDANA ATAS PENGEDARAN MAKANAN TIDAK LAYAK KONSUMSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

BAB III SANKSI PIDANA ATAS PENGEDARAN MAKANAN TIDAK LAYAK KONSUMSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN BAB III SANKSI PIDANA ATAS PENGEDARAN MAKANAN TIDAK LAYAK KONSUMSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN A. Pengedaran Makanan Berbahaya yang Dilarang oleh Undang-Undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa perairan yang berada di bawah kedaulatan dan yurisdiksi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti Mengenai pengembalian barang bukti juga diatur dalam Pasal 46 KUHAP. Hal ini mengandung arti bahwa barang bukti selain

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang dilarang atau diharuskan dan diancam dengan pidana oleh undang-undang,

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang dilarang atau diharuskan dan diancam dengan pidana oleh undang-undang, II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana adalah suatu tindakan pada tempat, waktu dan keadaan tertentu yang dilarang atau diharuskan dan diancam dengan pidana oleh undang-undang,

Lebih terperinci

BAB III PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Dimuat

BAB III PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Dimuat BAB III PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI A. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Dimuat dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 1. Sanksi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat

Lebih terperinci

BAB V PERSAMAAN DAN PERBEDAAN HUKUM DALAM HUKUM REKAYASA FOTO DENGAN UNSUR PENCEMARAN NAMA BAIK DI FACEBOOK, INSTAGRAM, TWETTER, BBM DAN WHATSAAP

BAB V PERSAMAAN DAN PERBEDAAN HUKUM DALAM HUKUM REKAYASA FOTO DENGAN UNSUR PENCEMARAN NAMA BAIK DI FACEBOOK, INSTAGRAM, TWETTER, BBM DAN WHATSAAP 123 BAB V PERSAMAAN DAN PERBEDAAN HUKUM DALAM HUKUM REKAYASA FOTO DENGAN UNSUR PENCEMARAN NAMA BAIK DI FACEBOOK, INSTAGRAM, TWETTER, BBM DAN WHATSAAP DALAM HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM A. Persamaan hukum

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban pidana didasarkan pada asas kesalahan (culpabilitas), yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban pidana didasarkan pada asas kesalahan (culpabilitas), yang 20 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban Pidana Pertanggungjawaban pidana didasarkan pada asas kesalahan (culpabilitas), yang didasarkan pada keseimbangan monodualistik bahwa asas kesalahan yang didasarkan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian tindak pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian tindak pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Pengertian tindak pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dikenal dengan istilah stratbaar feit dan dalam kepustakaan tentang hukum pidana

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban pidana ( criminal liability) atau ( straafbaarheid),

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban pidana ( criminal liability) atau ( straafbaarheid), II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban Pidana Pertanggungjawaban pidana ( criminal liability) atau ( straafbaarheid), sesungguhnya tidak hanya menyangkut soal hukum semata-mata, melainkan juga menyangkut

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk mewujudkan upaya

Lebih terperinci

BAB II PENERAPAN KONSEP NOODWEER DALAM TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN SEBAGAI AKIBAT ADANYA TINDAK PIDANA KEHORMATAN KESUSILAAN

BAB II PENERAPAN KONSEP NOODWEER DALAM TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN SEBAGAI AKIBAT ADANYA TINDAK PIDANA KEHORMATAN KESUSILAAN BAB II PENERAPAN KONSEP NOODWEER DALAM TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN SEBAGAI AKIBAT ADANYA TINDAK PIDANA KEHORMATAN KESUSILAAN A. Tindak Pidana Penganiayaan Pengertian tindak pidana dalam Kitab Undang-undang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai

I. PENDAHULUAN. terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana penggelapan di Indonesia saat ini menjadi salah satu penyebab terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai kehidupan dalam

Lebih terperinci

BAB III PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PENCEMARAN NAMA BAIK AKIBAT TRIAL BY THE PRESS. 3.1 Pertanggungjawaban Dalam Hukum Pidana

BAB III PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PENCEMARAN NAMA BAIK AKIBAT TRIAL BY THE PRESS. 3.1 Pertanggungjawaban Dalam Hukum Pidana BAB III PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PENCEMARAN NAMA BAIK AKIBAT TRIAL BY THE PRESS 3.1 Pertanggungjawaban Dalam Hukum Pidana Seseorang disebut telah melakukan perbuatan pidana, apabila perbuatannya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini menganut asas kesalahan sebagai salah satu asas disamping asas legalitas.

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG TINDAK PIDANA PELAYARAN DI INDONESIA. A. Pengaturan Tindak Pidana Pelayaran Di Dalam KUHP

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG TINDAK PIDANA PELAYARAN DI INDONESIA. A. Pengaturan Tindak Pidana Pelayaran Di Dalam KUHP 29 BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG TINDAK PIDANA PELAYARAN DI INDONESIA A. Pengaturan Tindak Pidana Pelayaran Di Dalam KUHP Indonesia merupakan negara maritim terbesar di dunia, yang mana hal tersebut

Lebih terperinci

PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA PEMALSUAN MATA UANG DOLLAR. Suwarjo, SH., M.Hum.

PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA PEMALSUAN MATA UANG DOLLAR. Suwarjo, SH., M.Hum. PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA PEMALSUAN MATA UANG DOLLAR Suwarjo, SH., M.Hum. Abstrak Pemberantasan dollar AS palsu di Indonesia terbilang cukup sulit karena tidak terjangkau oleh hukum di Indonesia.

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. 1. Mengenai Perkembangan Penegakan Hukum Terhadap Kapal. Fishing (IUUF) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia.

BAB V PENUTUP. 1. Mengenai Perkembangan Penegakan Hukum Terhadap Kapal. Fishing (IUUF) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia. 161 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Menjawab rumusan masalah dalam Penulisan Hukum ini, Penulis memiliki kesimpulan sebagi berikut : 1. Mengenai Perkembangan Penegakan Hukum Terhadap Kapal Asing yang Melakukan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi 13 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban Pidana 1. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi a. Peranan korporasi menjadi penting dalam tindak pidana karena sebagai akibat dari perubahan yang terjadi dalam

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Mengenai Penegakan Hukum Pidana. 1. Penegak Hukum dan Penegakan Hukum Pidana

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Mengenai Penegakan Hukum Pidana. 1. Penegak Hukum dan Penegakan Hukum Pidana 14 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Mengenai Penegakan Hukum Pidana 1. Penegak Hukum dan Penegakan Hukum Pidana Penegak hukum adalah petugas badan yang berwenang dan berhubungan dengan masalah peradilan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Penegakan Hukum terhadap Pelaku Tindak Pidana Kelalaian dalam Kegiatan yang Mengumpulkan Massa dan Menimbulkan Korban Tinjauan adalah melihat dari jauh dari tempat

Lebih terperinci

PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DI LUAR PENGADILAN TERHADAP DUGAAN KEJAHATAN PASAL 359 KUHP DALAM PERKARA LALU LINTAS

PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DI LUAR PENGADILAN TERHADAP DUGAAN KEJAHATAN PASAL 359 KUHP DALAM PERKARA LALU LINTAS PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DI LUAR PENGADILAN TERHADAP DUGAAN KEJAHATAN PASAL 359 KUHP DALAM PERKARA LALU LINTAS Setio Agus Samapto STMIK AMIKOM Yogyakarta Abstraksi Didalam kecelakaan lalu - lintas yang

Lebih terperinci

PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DI LUAR PENGADILAN TERHADAP DUGAAN KEJAHATAN PASAL 359 KUHP DALAM PERKARA LALU LINTAS

PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DI LUAR PENGADILAN TERHADAP DUGAAN KEJAHATAN PASAL 359 KUHP DALAM PERKARA LALU LINTAS PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DI LUAR PENGADILAN TERHADAP DUGAAN KEJAHATAN PASAL 359 KUHP DALAM PERKARA LALU LINTAS Setio Agus Samapto STMIK AMIKOM Yogyakarta Abstraksi Didalam kecelakaan lalu - lintas yang

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG TIMUR NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PERIZINAN USAHA PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG TIMUR NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PERIZINAN USAHA PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG TIMUR NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PERIZINAN USAHA PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KABUPATEN BELITUNG TIMUR, Menimbang : a. bahwa sebagai kekayaan

Lebih terperinci

LAMPIRAN 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1997 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

LAMPIRAN 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1997 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP LAMPIRAN 392 LAMPIRAN 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1997 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP 393 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1997 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dijatuhi pidana apabila terbukti memiliki kesalahan.dengan demikian penilaian

BAB I PENDAHULUAN. dijatuhi pidana apabila terbukti memiliki kesalahan.dengan demikian penilaian 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perpektif dalam hukum pidana apabila seseorang yang dinyatakan terbukti melanggar ketentuan pidana dan tidak ada alasan penghapusan pidana, maka tetap dijatuhi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dengan alat kelamin atau bagian tubuh lainnya yang dapat merangsang nafsu

I. PENDAHULUAN. dengan alat kelamin atau bagian tubuh lainnya yang dapat merangsang nafsu 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tindak pidana pencabulan adalah suatu tindak pidana yang bertentangan dan melanggar kesopanan dan kesusilaan seseorang mengenai dan yang berhubungan dengan alat kelamin

Lebih terperinci

BAB III PENCURIAN DENGAN KEKERASAN MENURUT HUKUM POSITIF. Menyimpang itu sendiri menurut Robert M.Z. Lawang penyimpangan perilaku

BAB III PENCURIAN DENGAN KEKERASAN MENURUT HUKUM POSITIF. Menyimpang itu sendiri menurut Robert M.Z. Lawang penyimpangan perilaku BAB III PENCURIAN DENGAN KEKERASAN MENURUT HUKUM POSITIF A. Pencurian Dengan Kekerasan Dalam KUHP 1. Pengertian Pencurian Dengan Kekerasan Pencurian dengan kekerasan adalah suatu tindakan yang menyimpang.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial

I. PENDAHULUAN. dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak merupakan bagian dari generasi muda yang memiliki peranan strategis yang mempunyai ciri dan sifat khusus yang memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang, maka orang

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang, maka orang 15 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban Pidana Pertanggungjawaban pidana mengandung makna bahwa setiap orang yang melakukan tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP [LN 2009/140, TLN 5059]

UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP [LN 2009/140, TLN 5059] UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP [LN 2009/140, TLN 5059] BAB XV KETENTUAN PIDANA Pasal 97 Tindak pidana dalam undang-undang ini merupakan kejahatan.

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT TIMUS KOMISI III DPR-RI DENGAN KEPALA BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL (BPHN) DALAM RANGKA PEMBAHASAN RANCANGAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA ---------------------------------------------------

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam pengertian perbuatan pidana tidak termasuk hal. pelaku tindak pidana mempunyai kesalahan atau tidak. Apabila orang yang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam pengertian perbuatan pidana tidak termasuk hal. pelaku tindak pidana mempunyai kesalahan atau tidak. Apabila orang yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam pengertian perbuatan pidana tidak termasuk hal pertanggungjawaban. Perbuatan pidana hanya menunjuk kepada dilarangnya perbuatan. Apakah orang yang telah melakukan

Lebih terperinci

Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan

Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan I. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Jenis-Jenis Tindak Pidana 1. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan hukum, yang patut dipidana

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Istilah tindak pidana atau strafbaar feit diterjemahkan oleh pakar hukum

II. TINJAUAN PUSTAKA. Istilah tindak pidana atau strafbaar feit diterjemahkan oleh pakar hukum II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Istilah tindak pidana atau strafbaar feit diterjemahkan oleh pakar hukum pidana Indonesia dengan istilah yang berbeda-beda. Diantaranya ada yang memakai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 ditegaskan bahwa Negara

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 ditegaskan bahwa Negara BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 ditegaskan bahwa Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (Rechtstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machstaat). Ini

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS TENTANG PUTUSAN PENGADILAN MENGENAI BESARNYA UANG PENGGANTI DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI SUPRIYADI / D

TINJAUAN YURIDIS TENTANG PUTUSAN PENGADILAN MENGENAI BESARNYA UANG PENGGANTI DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI SUPRIYADI / D TINJAUAN YURIDIS TENTANG PUTUSAN PENGADILAN MENGENAI BESARNYA UANG PENGGANTI DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI SUPRIYADI / D 101 07 638 ABSTRAK Proses pembangunan dapat menimbulkan kemajuan dalam kehidupan

Lebih terperinci