Kata Pengantar. Pontianak, 14 Desember Penyusun, Ali Masykuri Haidar

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Kata Pengantar. Pontianak, 14 Desember Penyusun, Ali Masykuri Haidar"

Transkripsi

1 Kata Pengantar Puji syukur alhamdulillahi robbil alamin, penyusun ucapkan teriring selesainya tulisan ini yang disusun sejak mendapatkan laporan hasil rapat pengurus IKAHI Lingkungan PTA Kalimantan Barat tanggal 30 Oktober Penyusun merasa berat untuk menyusun makalah Bab III tentang Eksekusi dan Problematiknya yang terkait dengan putusan Basyarnas, hak tanggungan dan putusan pengadilan. Eksekusi putusan Basyarnas dan eksekusi hak tanggungan merupakan dua hal baru, sedang pengetahuan penyusun terhadap keduanya baru sebatas teori dan belum pernah memperoleh pengalaman empiris dalam pelaksanaannya. Disamping itu, judul Bab III langsung membahas eksekusi dan problematiknya tanpa di antar oleh sebuah pengertian, prosedur dan segala hal yang terkait dengan putusan pengadilan, putusan Basyarnas dan hak tanggungan, sehingga penyusun kesulitan dalam mencari dan merumuskan problematika yang mungkin terjadi. Dari kesulitan tersebut, timbul suatu gagasan untuk menyimpangi sedikit kerangka yang telah ditetapkan namun masih dalam koridor pembahasan problematika eksekusi dalam masalah putusan pengadilan, putusan Basyarnas dan hak tanggungan, sehingga menjadi kerangka berfikir ta rif ma ruf sebagai berikut : 1. Pengertian Eksekusi. 2. Pengertian Problematika. 3. Putusan Pengadilan. 4. Putusan Yang Dapat Diajukan Permohonan Eksekusi. 5. Hal-hal Yang Terkait Dengan Basyarnas. 6. Hal-hal Yang Terkait Dengan Hak Tanggungan. 7. Memproyeksi Problematika Yang Timbul Dalam Pelaksanaan Eksekusi Putusan Pengadilan, Putusan Basyarnas dan Hak Tanggungan. Makalah ini diinformasikan secara terbuka dalam rentang waktu yang cukup panjang dengan pelaksanaan deskusi yang membahas topik tersebut pada tahap ke III yang akan diselenggarakan di Pengadilan Agama Sanggau, dengan maksud : a. Keterbatasan pengetahuan penyusun dalam kaitannya dengan eksekusi, baik mengenai eksekusi putusan pengadilan, putusan Basyarnas maupun hak tanggungan perlu ditutup dengan masukan pendapat dan pemikiran dari anggota IKAHI Lingkungan khusunya dan Keluarga Besar PTA Kalimantan Barat pada umumnya. b. Mengharap sumbangan pikiran sebagai masukan untuk penyempurnaan makalah ini yang dikemas dengan sikap kritis terhadap paparan yang ada, disampaikan berdasarkan pola pikir logis yuridis dan disajikan secara sistimatis sehingga mudah difahami oleh siapapun yang membacanya. Kedua hal tersebut diatas sangat penyusun perlukan, untuk lebih memudahkan penyusun dalam mengkolaborasikan apa yang telah ada di dalam makalah ini dengan saran maupun pendapat yang pembaca sampaikan dan apalagi konon hasil deskusi berkelanjutan ini akan disusun menjadi sebuah buku yang dapat dijadikan pedoman bagi aparat peradilan agama di Kalimantan Barat. Sekian, terima kasih atas perhatiannya dan mohon maaf atas segala kekuarangannya. Pontianak, 14 Desember 2017 Penyusun, Ali Masykuri Haidar

2 1 BAB III EKSEKUSI DAN PROBLEMATIKANYA A. Putusan yang dapat diajukan permohonan eksekusi. 1. Pengertian Eksekusi. Secara sederhana, eksekusi adalah menjalankan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Sebagaimana pendapat Sudikno Mertokusumo yang dikutip oleh Drs H. Abdul Manan, SH,S.IP, M.Hum dalam bukunya berjudul Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Yayasan Al Hikmah, Jakarta, Cetakan ke II, 2001, halaman 213 memberikan definisi bahwa eksekusi pada hakekatnya tidak lain adalah realisasi dari pada kewajiban pihak yang kalah untuk memenuhi prestasi yang tercantum dalam putusan pengadilan tersebut (Amran Suaidi : 171). Yahya Harahap menjelaskan bahwa eksekusi merupakan tindakan hukum yang dilakukan oleh pengadilan kepada pihak yang kalah dalam suatu perkara merupakan aturan tata cara lanjutan dari proses pemeriksaan yang berkesinambungan dari keseluruhan proses hukum acara perdata (Yahya Harahap : 130). Lain lagi rumusan eksekusi yang disampaikan oleh R. Soepomo, yang menyatakan bahwa eksekusi adalah hukum yang mengatur cara dan syarat-syarat yang dipakai oleh alat negara guna membantu pihak yang berkepentingan untuk menjalankan putusan Hakim, apabila pihak yang kalah tidak bersedia memenuhi bunyi putusan dalam waktu yang ditentukan (Soepomo :119). Dari berbagai definisi dari ketiga pakar dan pakar-pakar hukum acara perdata yang lain dapat disimpulkan bahwa eksekusi adalah tindakan pengadilan kepada pihak yang kalah atas permohonan pihak yang menang dalam berperkara agar menjalankan putusan Hakim yang telah berkekuatan hukum tetap menurut tata cara yang telah ditentukan oleh hukum acara perdata. 2. Pengertian Problematika. Istilah problema/problematika berasal dari bahasa Inggris problematic yang artinya persoalan atau masalah. Sedangkan dalam bahasa Indonesia, problema berarti hal yang belum dapat dipecahkan, yang menimbulkan permasalahan. ( KBBI : 276). Sedangkan ahli lain menyatakan bahwa definisi problematika adalah kesenjangan antara harapan dan kenyataan yang diharapkan dapat menyelesaikan atau dapat diperlukan atau dengan kata lain dapat mengurangi kesenjangan itu (Syukir : 65). Prajudi Atmosudirjo mengatakan bahwa masalah adalah sesuatu yang menyimpang dari apa yang diharapkan, direncanakan, ditentukan untuk dicapai, sehingga merupakan rintangan menuju tercapainya tujuan (Syukir : 65). Berangkat dari beberapa pandangan diatas, dapat disimpulkan bahwa problematika eksekusi adalah peristiwa yang menyebabkan pelaksanaan eksekusi berjalan tidak sesuai dengan apa yang direncakanan sehingga berakibat hasil akhir tidak seperti yang diharapkan, oleh karena timbulnya sebab-sebab yang diluar perkiraan atau yang telah diprediksi sebelumnya, baik yang dapat diketemukan solusinya maupun yang tidak diperoleh pemecahannya.

3 2 3. Eksekusi Putusan Pengadilan. Eksekusi terhadap putusan pengadilan adalah hal menjalankan putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap. Putusan pengadilan yang dieksekusi adalah putusan pengadilan yang mengandung amar perintah kepada salah satu pihak untuk membayar sejumlah uang, atau juga pelaksanaan putusan yang memerintah pengosongan benda tetap, sedangkan pihak yang kalah tidak mau melaksanakan secara sukarela sehingga memerlukan upaya paksa dari pengadilan untuk melaksanakannya. Putusan pengadilan yang dapat dilaksanakan adalah putusan yang mempunyai kekuatan eksekutorial. Adapun yang memberikan kekuatan eksekutorial pada putusan pengadilan adalah terletak pada putusan yang memuat irah-irah yang berbunyi Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dan untuk pengadilan agama didahului lafadh Bismillahirrahmanirrahim. Disamping itu, amar putusan harus bersifat kondemnator, yaitu putusan yang menyatakan suatu penghukuman untuk melakukan sesuatu, dengan menetapkan suatu keadaan hukum dan menetapkan suatu penghukuman, misalnya penghukuman untuk membayar sejumlah uang tertentu atau penghukuman untuk menyerahkan sesuatu benda tertentu. 4. Asas-Asas Putusan Yang Dapat Dieksekusi Putusan telah berkekuatan hukum tetap : Pada asasnya, putusan yang dapat dieksekusi adalah putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap, karena dalam putusan yang telah berkekuatan hukum tetap telah terkandung wujud hubungan hukum yang tetap dan pasti antara pihak yang berperkara. Hal ini disebabkan hubungan hukum antara pihak yang berperkara sudah tetap dan pasti, yaitu hubungan hukum itu mesti ditaati dan dipenuhi oleh pihak yang dihukum (pihak tergugat), baik secara sukarela maupun secara paksa dengan bantuan kekuatan hukum (Yahya Harahap : 6). Dari uraian tersebut dapat difahami, bahwa selama putusan belum mempunyai kekuatan hukum tetap, upaya dan tindakan eksekusi belum berfungsi. Eksekusi baru berfungsi sebagai tindakan hukum yang sah dan memaksa terhitung sejak tanggal putusan memperoleh kekuatan hukum yang tetap dan pihak tergugat (yang kalah) tidak mau mentaati dan memenuhi putusan secara suka rela (Amran Suaidi : ). Ada pengecualian terhadap asas ini : a. Pelaksanaan putusan lebih dahulu (uitvoerbaar bij voorraad). Menurut Pasal 180 ayat (1) HIR dan 191 ayat (1) R.Bg, eksekusi dapat dijalankan pengadilan terhadap putusan pengadilan sekalipun putusan yang bersangkutan belum memperoleh kekuatan hukum yang tetap (Amran Suaidi : 172). Drs. H.Abdul Manan, SH, SIP, M.Hum dalam bukunya yang berjudul Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama, hlm. 88 mengingatkan kepada Hakim dalam melaksanakan putusan lebih dahulu (uitvoerbaar bij voorraad) agar sangat berhati-hati mengingat beberapa rambu-rambu yang telah digariskan oleh Mahkamah Agung, yaitu :

4 - SEMA-RI Nomor 13 Tahun 1964 tanggal 10 Juli 1964, yang intinya menginstruksikan kepada Hakim agar sedapat mungkin tidak meluluskan permohonan putusan uitvoerbaar bij voorraad. Hakim sebelum meluluskan permintaan putusan uitvoerbaar bij voorraad harus betul-betul mempertimbangkan dari berbagai segi supaya putusan yang dijatuhkan itu tidak mempunyai kesulitan di kemudian hari. - SEMA-RI Nomor 5 Tahun 1968 tanggal 2 Juni 1968, yang menegaskan bahwa ada putusan uitvoerbaar bij voorraad diajukan permohonan banding, kemudian di lain pihak diajukan permohonan untuk pelaksanaannya, maka Mahkamah Agung RI menyerahkan kepada Pengadilan Tinggi yang bersangkutan untuk memeriksa, mempertimbangkan dan memutuskan dapat atau tidaknya permintaan tersebut dikabulkan. - SEMA-RI Nomor 3 Tahun 1971 tanggal 17 Mei 1971, disamping mencabut kedua SEMA diatas, menegaskan bahwa agar para Hakim supaya berhati-hati menggunakan lembaga uitvoerbaar bij voorraad, karena apabila dalam tingkat banding atau kasasi putusan pengadilan dibatalkan, maka akan timbul kesulitan di kemudian hari dan sulit untuk mengembalikan keadaan seperti semula dan banyak pihak akan menderita rugi. - SEMA-RI Nomor 6 Tahun 1975 tanggal 1 Desember 1975, yang mengetengahkan pendapat Mahkamah Agung bahwa oleh karena Pasal 180 ayat (10) HIR dan Pasal 191 ayat (1) R.Bg hanya memberikan kewenangan diskretioner kepada para Hakim yang tidak bersifat imperatif, maka Hakim tidak menjatuhkan putusan uitvoerbaar bij voorraad meskipun syarat-syarat yang dikemukakan dalam Pasal 180 ayat (1) HIR dan Pasal 191 ayat (1) R.Bg sudah terpenuhi, lebih-lebih apabila ada sita jaminan yang cukup.. - SEMA-RI Nomor 3 Tahun 1978 tanggal 1 April 1978, menegaskan kembali kepada Ketua dan Hakim Pengadilan Negeri seluruh Indonesia agar tidak menjatuhkan putusan uitvoerbaar bij voorraad walaupun syarat-syarat sebagaimana disebutkan dalam Pasal 180 ayat (1) HIR dan Pasal 191 ayat (1) R.Bg sudah terpenuhi secara keseluruhan Putusan tidak dijalankan secara sukarela (Amran Suaidi : 173). Pada prinsipnya ada dua cara menjalankan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, yaitu : a. Menjalankan putusan secara sukarela. Pihak yang kalah (tergugat) memenuhi sendiri dengan sempurna isi putusan pengadilan. Apabila tergugat sudah memenuhi isi putusan dengan sukarela dan sempurna, berarti isi putusan telah selesai dilaksanakan, maka tidak diperlukan lagi tindakan paksa kepadanya (eksekusi). Untuk menjamin pelaksanaan isi putusan secara suka rela, hendaknya pengadilan membuat berita acara pemenuhan putusan secara suka rela dengan disaksikan oleh dua orang saksi yang dilaksanakan di tempat putusan tersebut dipenuhi dan ditanda tangani oleh jurusita pengadilan, dua orang saksi dan penggugat maupun tergugat. 3

5 Penerbitan berita acara ini bertujuan : - Agar kelak ada pembuktian yang dapat dijadikan pegangan oleh Hakim. - Dasar pengisian register perkara bahwa perkara yang bersangkutan telah benar-benar selesai dengan sempurna. b. Menjalankan putusan dengan jalan eksekusi. Menjalan putusan dengan jalan eksekusi baru terjadi apabila : 1). Pihak yang kalah tidak mau menjalankan isi putusan secara sukarela, sehingga diperlukan tindakan paksa yang disebut eksekusi agar pihak yang kalah dalam hal ini tergugat menjalankan isi putusan pengadilan. 2). Adanya permohonan oleh pihak yang menang (penggugat) kepada pengadilan agar isi putusan dipenuhi oleh pihak yang kalah (tergugat). Tidak ada istilah batas waktu (kedaluwarsa) bagi pihak yang menang (penggugat) dalam mengajukan permohonan eksekusi, kerena tidak ada aturan yang menentukan kapan pihak yang menang (penggugat) harus mengajukan permohonan eksekusi. Hal ini berangkat dari prinsip bahwa pengajuan permohonan eksekusi merupakan hak penuh bagi pihak yang menang (penggugat) meskipun akan berakibat pada tingkat penyelesaian perkara dan administrasi yustisial tidak selesai secara tuntas dan sempurna Putusan bersifat kondemnatoir. Maksud putusan bersifat kondemnatoir adalah putusan yang amar atau diktumnya mengandung unsur penghukuman, sedang putusan yang amar atau diktumnya tidak mengandung unsur penghukuman tidak dapat dieksekusi atau non eksekutabel (Amaran : 173). Seringkali terjadi, dalam perkara gugat waris, baik disengaja atas kehendak pihak-pihak berperkara, atau kelalaian serta kurangnya pengetahuan pihak penggugat dalam surat guagatannya tidak mencantumkan petitum yang memohon penghukuman agar tergugat dihukum untuk menyerahkan obyek sengketa kepada tergugat. Sehingga dengan petitum yang tidak mencantumkan penghukuman kepada pihak tergugat, akan lahir putusan hakim bersifat deklarator. Keadaan seperti hal tersebut dapat dipecahkan dengan jalan mengajukan perkara gugatan dan didaftarkan sebagai perkara baru di pengadilan agama yang sama dengan sengketa pokok permohonan agar tergugat dihukum untuk menyerahkan obyek sengketa yang telah ditetapkan hukum sebagai harta warisan. Dasar diajukannya gugatan tersebut adalah adanya putusan yang telah berkekuatan hukum tetap yang telah menetapkan kedudukan para pihak sebagai ahli waris, obyek sengketa sebagai harta waris dan besarnya bagian masing-masing sebagai ahli waris. Dengan sendirinya, hal-hal yang hukumnya telah ditetapkan dalam putusan yang lalu, tidak perlu lagi diperdebatkan atau dipermasalahkan atau dibuktikan lagi dalam persidangan perkara tersebut. Dalam hal ini pengadilan agama hanyalah akan memeriksa yang berkekanaan dengan petitum tunggal penggugat, mengenai penghukuman terhadap tergugat untuk menyerahkan obyek sengketa kepada penggugat sebagian atau seluruhnya. 4

6 Akan tetapi dalam segi yang lain, terjadinya amar dalam sengketa waris tersebut bersifat deklaratoir adalah memang disengaja oleh majelis hakim pengadilan agama tersebut, yaitu karena menurut pertimbangan majelis hakim, yang dapat dibuktikan hanyalah kedudukan para pihak saja sebagai ahli waris, sedang terhadap obyek sengketa, mungkin tidak dapat dibuktikan sebagai harta waris. Dengan sendirinya, untuk kasus seperti ini tidak mungkim dapat diajukan gugat baru yang semata-mata meminta penghukuman untuk menyerahkan obyek sengketa sebagai harta waris (Hensyah Syahlani : 16-18) Eksekusi atas perintah dan dibawah pimpinan Ketua Pengadilan Agama. Perintah eksekusi menurut Pasal 197 ayat (1) HIR dan Pasal 206 ayat (1) R.Bg dengan surat penetapan dari Ketua Pengadilan Agama, tidak diperkenankan perintah secara lisan dan ini merupakan syarat imperatif. Bentuk ini sangat sesuai dengan tujuan penegakan dan kepastian hukum serta pertanggungjawabannya. Dengan adanya surat penetapan tersebut, akan tampak jelas dan terperinci batas-batas eksekusi yang akan dijalankan oleh Panitera atau Jurusita. Disamping itu, Ketua Pengadilan Agama akan mudah melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan eksekusi tersebut (Amran Suaidi : 174). 5. Problematika Eksekusi Putusan Pengadilan. Ada beberapa perkara yang dapat dipridiksi dalam pelaksanaan putusannya akan mengalami kendala atau permasalahan, antara lain : a. Eksekusi putusan hadhonah. Dalam melaksanakan putusan hadhanah, kemungkinan ada perlawanan dari pihak terseksekusi atau kuasanya, bahwa eksekusi terhadap hadhanah tidak ada aturannya dalam HIR dan Rbg atau peraturan perundang-undangan lain yang berlaku khusus di lingkungan peradilan agama. Belum adanya hukum yang mengatur secara jelas mengenai eksekusi putusan hadhanah tidak berarti bahwa putusan hadhanah itu tidak bisa dijalankan, melainkan harus dapat dilaksanakan berdasarkan aturan hukum yang berlaku secara umum. Berangkat dari asumsi bahwa belum adanya aturan khusus yang mengatur mengenai eksekusi hadhanah di lingkungan peradilan agama, menimbulkan dua pendapat bagi para pakar hukum. Kelompok pertama berpendapat bahwa anak tidak dapat dieksekusi dengan alasan karena selama ini yusrisprudensi yang ada tentang eksekusi, semuanya hanya dalam bidang hukum benda. Kelompok kedua yang dipelopori Abdul Manan tahun 2005 mengatakan putusan hadhanah dapat dilaksanakan dengan argumentasi bahwa masalah hadhanah yang putusannya bersifat kondemnator, jika sudah berkekuatan hukum tetap, maka putusan tersebut dapat dieksekusi dan pengadilan agama memiliki wewenang untuk menempuh upaya paksa dalam melaksanakan putusan tersebut. Menurut M. Yahya Harahap, SH dalam praktek peradilan agama dikenal dua macam eksekusi, yaitu : 1). Eksekusi riil sebagaimana diatur dalam Pasal 200 ayat (1) HIR, Pasal 218 ayat (2) RBg dan Pasal 1033 Rv yang meliputi penyerahan, pengosongan, pembongkaran, pembagian dan melakukan sesuatu. 2). Eksekusi pembayaran sejumlah uang, sebagaimana tersebut dalam Pasal 200 HIR dan 215 RBg. Eksekusi kedua ini dilakukan dengan menjual lelang barang-barang debitor, atau dilakukan dalam pembagian harta 5

7 apabila pembagian in natura tidak disetujui oleh para pihak atau tidak mungkin dilakukan pembagian in natura dalam sengketa warisan atau harta bersama. Sejalan dengan kebutuhan praktek peradilan, eksekusi putusan pengadilan agama tidak hanya terbatas pada eksekusi bidang hukum perdata, akan tetapi sudah merambah dalam eksekusi hadhanah. Nampaknya eksekusi hak hadhanah dapat dikatagorikan pada jenis eksekusi bentuk pertama, yaitu eksekusi riil. Keadaan lain yang menjadi kendala dalam pelaksanaan eksekusi putusan hadhanah, adalah keberadaan anak yang disengketakan. Pada saat sebelum dilakukan eksekusi, pemohon eksekusi memberikan keterangan kepada pengadilan agama bahwa yang yang akan dieksekusi berada di rumah terseksekusi. Namun setelah panitera sampai di rumah tereksekusi, ternyata anak yang akan dieksekusi tersebut tidak berada di tempat dan menurut informasi tetangganya telah pergi meninggalkan tempat eksekusi yang telah ditetapkan oleh panitera. Hal ini akan menambah kesulitan bagi pengadilan, apabila keberadaan anak dan pihak terkesekusi tidak jelas atau ia berada di wilayah pengadilan agama lain. b. Adanya perlawanan terhadap eksekusi. Sebelum membicarakan perlawanan pihak ketiga, ada baiknya apabila diterangkan terlebih dahulu perbedaan antara gugatan dan perlawanan. Gugatan diajukan terhadap hak-hak yang dilanggar atau belum terpenuhi, namun belum ada putusan pengadilan yang memutus sengketa tersebut. Artinya dalam perkara gugatan ada suatu sengketa yang harus diselesaikan dan diputus oleh pengadilan. Sedangkan derden verzet adalah perlawanan yang diajukan oleh pihak lawan berperkara sendiri (party verzet) atau perlawanan yang diajukan oleh pihak ketiga (derden verzet). Memang pada dasarnya putusan pengadilan hanya mengikat kepada para pihak yang berperkara dan tidak mengikat pihak ketiga. Namun tidak menutup kemungkinan ada pihak ketiga yang merasa dirugikan oleh putusan pengadilan. Terhadap putusan tersebut, pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan perlawanan kepada pengadilan yang memutus perkara tersebut ( ). Pada dasarnya derden verzet hanya ditujukan terhadap eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, akan tetapi prinsip ini dikembangakan dan dilembagakan penerapannya melalui gugatan pihak ketiga terhadap suatu proses yang masih berlangsung. Dengan demikian, meskipun putusan belum berkekuatan hukum tetap dimungkinkan mengajukan derden verzet sejak proses di pengadilan tingkat pertama, banding dan kasasi. Adapun yang menjadi faktor keabsahan formal pengajuan perlawanan eksekusi adalah diajukan sebelum putusan yang dilawan belum selesai dieksekusi. Jika sudah selesai dieksekusi, upaya perlawanan dianggap melanggar tata tertib hukum acara perdata yang berlaku. Akibatnya perlawanan dinyatakan tidak dapat diterima dan tuntutan penundaan berubah menjadi tuntutan pembatalan eksekusi melalui gugatan biasa ( ). 6

8 Hukum acara perdata tidak mengatur secara jelas mengenai penundaan eksekusi, akan tetapi untuk mencegah timbulnya kekosongan hukum, maka hakim dapat menggunakan sumber hukum tidak tertulis. Indonesia memang tidak menganut asas preseden yang mewajibkan untuk mengikuti putusan hakim yang terdahulu, tetapi putusan hakim tersebut dapat dijadikan sumber hukum apabila belum ada pengaturan oleh undang-undang. Pada prinsipnya pihak ketiga dapat mengajukan perlawanan eksekusi suatu putusan berdasarkan ketentuan Pasal 195 ayat (6) HIR dan Pasal 206 ayat (6) RBg. Sedangkan satu-satunya syarat pihak lain (pihak ketiga) diterima untuk mengajukan perlawanan tersebut adalah bahwa barang yang dieksekusi adalah miliknya. Pasal 207 HIR dan Pasal 227 RBg menegaskan bahwa adanya perlawanan pihak ketiga tidak menunda eksekusi kecuali Ketua Pengadilan Agama memberi perintah agar eksksekusi ditunda sampai dijatuhkannya putusan pengadilan terhadap perlawanan tersebut. Rakornas Uldilag dengan badan peradilan agama tangal 27 sampai dengan 29 Januari 2016 memutuskan bahwa putusan yang masih ada upaya hukum peninjauan kembali hendaknya eksekusinya ditangguhkan walaupun peninjauan kembali tidak menghalangai eksekusi. Adapun syarat-syarat pengajuan derden verzet adalah : a. Diajukan sebelum eksekusi dijalankan. Jika derden verzet diajukan setelah eksekusi dilaksanakan maka satu-satunya cara adalah mengajukan gugatan baru. b. Perlawanan diajukan atas alasan hak milik (Pasal 195 ayat (6) HIR atau Pasal 2016 ayat (6) RBg). c. Barang yang akan dieksekusi telah dijaminkan kepada pelawan atau barang yang akan dieksekusi dalam jaminan pihak ketiga. Karena asas eksekusi adalah melarang eksekusi terhadap barang yang telah dijamnikan kepada pihak ketiga (Yahya Harahap : 290). Sikap pengadilan agama terhadap derden verzet : 1. Jika dalam perkara derden verzet, pelawan dinyatakan sebagai pelawan yang benar, perlawanan dikabulkan serta perkara yang dimohonkan eksekusi dibatalkan, maka pengadilan agama menunggu sampai perkara derden verzet berkekuatan hukum tetap, jika pada akhirnya pelawan sebagai pihak yang menang, maka sita eksekusi yang telah diletakkan harus segera diangkat. 2. Jika dalam perkara derden verzet pelawan tidak dapat membuktikan perlawanannya dan dinyatakan sebagai pelawan yang tidak benar dan perlawanan ditolak serta mempertahankan putusan yang dimohonkan eksekusi, maka eksekusi tetap dilaksanakan tanpa menunggu upaya hukum pelawan (Yahya Harahap : 293). Perlawanan eksekusi yang dilakukan oleh pihak tereksekusi sama seperti perlawanan yang dilakukan oleh pihak ketiga, yaitu pada dasarnya tidak menangguhkan eksekusi, kecuali jika Ketua Pengadilan Agama memerintahkan agar eksekusi tersebut ditunda dengan penetapan. Biasanya pengajuan perlawanan eksekusi oleh tereksekusi segera setelah permohonan eksekusi diajukan oleh pemohon eksekusi. Pendaftaran perlawanan oleh terseksekusi harus diabaikan dan tidak perlu didaftar sebagai 7

9 perkara, sebab jika hal ini didaftar sebagai perkara penyelesaiannya akan menjadi rumit. Perlu dimaklumi bahwa proses perkara telah berjalan begitu panjang sehingga telah mendapatkan putusan yang berkekuatan hukum tetap. Sehingga kita dapat menilai terseksekusi yang tetap mengajukan perlawanan itu, merupakan sikap yang tidak taat pada hukum. Surat perlawanan tersebut cukup dijawab dengan surat biasa (bukan penetapan) yang inti surat tersebut adalah adalah menyatakan bahwa perkara telah selesai, saat ini tinggal pelaksanaan putusan (eksekusi) dan selanjutnya tidak perlu menangguhkan eksekusi. Apabila perlawanan diajukan sebelum adanya penetapan eksekusi sebaiknya eksekusi ditangguhkan sementara dalam status quo sambil menunggu perlawanan pelawan tersebut mendapat putusan. Jika perlawanan pelawan dikabulkan, maka pengadilan agama menunggu sampai perkara derden verzet berkekuatan hukum tetap, jika pada akhirnya pelawan sebagai pihak yang menang, maka sita eksekusi yang telah diletakkan harus segera diangkat. Begitu pula sebaiknya apabila perlawanan ditolak, maka Ketua Pengadilan Agama dengan surat penetapan memerintahkan eksekusi dilanjutkan. c. Amar putusan tidak jelas. Apabila amar putusan tidak jelas, maka Ketua Pengadilan Agama harus melakukan langkah-langkah sebagai berikut : 1). Meneliti pertimbangan hukum putusan, sebab amar dan pertimbangan hukum merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. 2). Jika pertimbangan hukumnya tidak jelas maka bertanya kepada ketua majelis hakim yang menyidangkan. 3). Apabila usaha-usaha tersebut belum juga memberikan kejelasan, maka Ketua Pengadilan Agama dapat mengeluarkan penetapan non eksekutabel (tidak dapat dieksekusi). d. Pengerahan masa atau campur tangan pihak lain. Pengerahan masa yang dimobilisasi oleh termohon eksekusi atau campur tangan pihak ketiga dengan tujuan agar pelaksanaan eksekusi terhambat atau bahkan menjadi gagal, merupakan salah satu kendala yang sering dialami dalam pelaksanaan eksekusi. Untuk keselamatan petugas pengadilan, kondisi yang demikian itu dapat dijadikan alasan untuk menunda eksekusi sampai dengan waktu tepat. e. Obyek sengketa berada di wilayah pengadilan agama lain. 1). Pendelegasian eksekusi. Ada kemungkinan obyek yang dimohonkan eksekusi berada di luar wilayah yurisdiksi pengadilan agama yang memutus perkaranya. Dalam keadaan seperti ini terdapat aturan yang termuat dalam Pasal 195 HIR dan Pasal 206 RBg, yang menggariskan langkah-langkah sebagai berikut : a). Membuat surat penetapan. Setelah biaya pendelegasian eksekusi dipenuhi oleh pemohon eksekusi, maka Ketua Pengadilan Agama membuat surat penetapan yang isinya memerintahkan kepada Panitera atau Jurusita Pengadilan Agama yang memutus perkara melalui 8

10 Panitera atau Jurusita Pengadilan Agama tempat obyek yang akan dieksekusi. Dalam surat penetapan eksekusi tersebut, dirinci segala hal yang dieksekusi secara jelas. Apabila menyangkut benda tetap harus jelas ukurannya, luas dan batas-batasnya. Jika berupa barang bergerak harus jelas mereknya, jumlahnya dan hal-hal yang diperlukan. Surat penetapan tersebut beserta resi biaya eksekusi dikirim kepada Ketua Pengadilan Agama tempat obyek eksekusi berada dengan surat pengantar Ketua Pengadilan Agama atau Panitera atas nama Ketua Pengadilan Agama. b). Berita acara eksekusi. Pengadilan agama yang menerima permintaan eksekusi segera melaksanakan eksekusi sesuai dengan penetapan eksekusi pengadilan agama yang meminta pelaksanaan eksekusi. Pengadilan agama yang menerima permintaan eksekusi tidak dibenarkan menilai isi penetapan eksekusi yang dikirim oleh pengadilan agama yang meminta eksekusi. Jika eksekusi telah dilaksanakan, maka Panitera atau Jurusita Pengadilan Agama yang menerima permintaan eksekusi yang ditunjuk membuat berita acara eksekusi, kemudian Ketua Pengadilan Agama tersebut segera mengirimkannya kepada Ketua Pengadilan Agama yang meminta pelaksanaan eksekusi. c). Mengenai ketentuan biaya eksekusi. Yang menaksir biaya eksekusi adalah pengadilan agama yang meminta pelaksanaan eksekusi. Tentang berapa besar biaya eksekusi yang diperlukan adalah menurut kebutuhan di lapangan. Teknis pengirimannya kepada pengadilan agama yang diminta bantuan eksekusi, bisa dilakukan sebelum atau bersamaan dengan surat pengantar permohonan bantuan eksekusi dikirim. Apabila ternyata biaya eksekusi kurang dari kebutuhan riil dalam pelaksanaan eksekusi tersebut, pengadilan agama yang menerima permintaan eksekusi dapat meminta tambahan biaya eksekusi kepada pengadilan agama yang meminta bantuan eksekusi dengan melampirkan kebutuhan nyata yang telah dikeluarkan atau dibutuhkan. d). Perlawanan pihak ketiga (derden verzet). Berdasarkan Pasal 206 ayat (6) RBg dan Pasal 195 ayat (6) HIR dikemukakan bahwa perlawan pihak ketiga (derden verzet) atas pelaksanaan putusan hakim diajukan dan diadili oleh pengadilan agama yang melaksanakan putusan tersebut atau diajukan dan diadili oleh pengadilan agama dimana eksekusi dilaksanakan. Akan tetapi menurut ketentuan dalam Pasal 379 Rv, perlawanan pihak ketiga harus diajukan di pengadilan agama yang memutus perkaranya, bukan di pengadilan agama yang melaksanakan eksekusi. Terhadap dua pendapat tersebut, biasanya praktisi hukum mengambil jalan tengah bahwa perlawanan pihak ketiga (derden verzet) yang demikian 9

11 itu, diadili di pengadilan agama yang memutuskan perkara, sedangkan pendaftarannya melalui pengadilan agama tempat eksekusi dilaksanakan. Hal ini lebih logis, sebab pengadilan agama yang memutus perkara lebih tahu permasalahannya, lebih lengkap dokumen-dokumen perkaranya dan memiliki nomor perkara pokok (Abdul Manan : 224). Maksudnya perlawanan pihak ketiga (derden verzet) didaftar sebagai perkara dengan nomor baru, tidak memakai nomor perkara pokok/lama. Berbeda dengan perkara verzet atas putusan verstek tidak didaftar sebagai perkara baru, akan tetapi memakai perkara pokok atau perkara lama (Buku II : 1). Hasil pemeriksaan perlawanan pihak ketiga tersebut diputus oleh pengadilan agama yang memeriksa pokok perkaranya dan kemudian dikirim kepada pihak pelawan melalui pengadilan agama yang menjalankan eksekusi. Penaksir biaya derden verzet adalah pengadilan agama yang memeriksa pokok perkara dan yang membukukan dalam register perkara juga pengadilan agama yang memeriksa pokok perkara (Abdul Manan : ). 6. Putusan Basyarnas. Sejak berlakunya Undang Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, maka model Alternative Despute Resolotian (ADR) sebagai penyelesaian sengketa di luar pengadilan telah dilembagakan dalam sistem hukum Indonesia. Nonlitigasi merupakan penyelesaian masalah hukum di luar pengadilan yang bertujuan memberikan bantuan dan nasihat hukum dalam rangka mengantisipasi dan mengurangi adanya sengketa, pertentangan dan perbedaan serta mengantisipasi adanya masalah-masalah hukum yang timbul. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan merupakan upaya tawar-menawar atau kompromi untuk memperoleh jalan keluar yang saling menguntungkan. Kehadiran pihak ketiga yang netral tidak untuk memutus sengketa, melainkan para pihak sendiri yang mengambil keputusan akhir (Amran Suaidi : 174). Arbitrase adalah usaha perantara dalam meleraikan sengketa atau peradilan wasit, sedangkan orang yang disepakati oleh kedua belah pihak yang bersengketa untuk memberikan keputusan yang akan ditaati kedua belah pihak disebut arbiter (Amran Suaidi : 80). Menurut Pasal 5 ayat (1) Undang Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, obyek penyelesaian dengan arbitrase hanyalah sengketa di bidang perdagangan, dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. Adapun kegiatan di bidang perdagangan itu antara lain : perniagaan, perbankan, keuangan, penanaman modal, industri dan hak milik intelektual. Dalam Pasal 5 ayat (2) Undang Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa memberikan perumusan negatif bahwa sengketasengketa yang dianggap tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian sebagaimana diatur dalam KUHPerdata Buku III bab kedelapan belas Pasal 1851 s/d 1854 (Amran Suaidi : 80). 10

12 Lembaga arbitrase yang berperan menyelesaikan sengketa ekonomi syari ah adalah Badan Arbitrase Syari ah Nasional (Basyarnas). Menurut penjelasan Pasal 10 ayat (2) Peraturan Bank Indonesia Nomor : 7/46/PBI/2005 bahwa lembaga arbitrase yang akan dipergunakan untuk mengatasi sengketa bank syari ah adalah Basyarnas yang berdomisili paling dekat dengan kantor bank yang bersangkutan atau yang ditunjuk sesuai kesepakatan antara bank dan nasabah. Adapun tempat kantor Basyarnas menurut Pasal 4 ayat (4) Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Bamui tanggal 27 Oktober 1993 adalah berada di setiap provinsi, sedangkan Kantor Pusat Basyarnas terletak di Jakarta. Menurut Pasal 1 angka (3) Undang Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa mengatur bahwa perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausul arbitrase yang tercantum dalam perjanjian tertulis yang dibuat oleh para pihak sebelum timbul sengketa atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat oleh para pihak setelah timbul sengketa (Amran Suaidi : 82). Adapun menurut Pasal 7 Undang Undang Nomor 30 Tahun 1999 menentukan bahwa para pihak dapat menyetujui suatu sengketa yang terjadi atau akan terjadi antara mereka untuk diselesaikan melalui arbitrase. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka perjanjian arbitrasi muncul karena adanya klausul kesepakatan yang terdiri dari dua bentuk : a. Pactum de compromittendo, yaitu klausul arbitrase sebelum timbul sengketa. b. Acta compromitendo, yaitu klausul arbitrase setelah timbulnya sengketa. Berkenaan dengan kewenangan arbritase tersebut, terdapat perbedaan pendapat dalam menyikapi Pactum de compromitendo, sebagai berikut : 1. Tetap dapat diselesaikan di pengadilan, dengan alasan : a. Suatu klausul arbitrase berkaitan dengan niet van openbaar orde (bukan ketertiban umum). b. Sengketa yang timbul dari perjanjian yang memuat klausul arbitrase dapat diajukan ke pengadilan perdata. c. Pengadilan tetap berwenang, sepanjang pihak lawan tidak mengajukan eksepsi; dan d. Dengan tidak mengajukan eksepsi, pihak lawan dianggap melepaskan haknya atas klausul arbitrase. 2. Harus diselesaikan di arbitrase sesuai kesepakatan, alasannya adalah asas pacta sunt servanda secara positif terdapat dalam Pasal 1338 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa : a. Setiap perjanjian mengikat kepada para pihak. b. Kekuatan mengikatnya serupa dengan kekuatan undang-undang; dan c. Hanya dapat ditarik kembali atas persetujuan bersama para pihak. Dilihat dari bentuknya, lembaga arbitrase di Indonesia terdiri dari dua bentuk : 1). Arbitrase institusional, yaitu bersifat permanen atau melembaga, sehingga disebut pula sebagai permanent arbital body. Terdapat dua jenis arbitrase semacam ini di Indonesia, yaitu : a. Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) yang didirikan oleh Kamar Dagang dan Industri (KADIN) pada tanggal 3 Desember 1977; dan b. Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) yang didirikan oleh Majelis Ulama Indonesia pada tanggal 21 Oktober 1993 dan kemudian 11

13 pada tahun 2002 diubah namanya menjadi Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas). 2). Arbitrase at hoc, disebut juga sebagai arbitrase volunter yaitu badan arbitrase yang tidak permanen. Badan arbitrase ini bersifat sementara atau temporer saja, karena dibentuk secara khusus untuk menyelesaikan atau memutuskan perselisihan tertentu sesuai dengan kebutuhan saat itu. Ketentuan dalam Reglement Rechtvodering (Rv) dalam Pasal 615 ayat (1) menjelaskan bahwa arbitrase ad hoc adalah arbitrase yang dibentuk khusus untuk menyelesaikan sengketa tertentu atau dengan kata lain bersifat insidentil. Pasal 13 ayat (1) Undang Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa mengatur arbitrase ad hoc yang menjelaskan bahwa dalam arbitrase ad hoc bagi setiap ketidak sepakatan dalam penunjukan seorang atau beberapa arbiter, para pihak dapat mengajukan permohonan kepada ketua pengadilan untuk menunjuk seorang arbiter atau lebih dalam rangka penyelesaian sengketa para pihak. Adapun untuk mengetahui jenis arbitrase mana yang dipilih oleh para pihak dapat melihat rumusan klausul pactum de compromittendo (Amran Suaidi : 83). Adapun ciri pokok arbitrase ad hoc adalah sebagai berikut : 1. Penunjukan arbiternya secara perorangan; 2. Salah satu diantara arbiternya tetap ada yang netral yang tidak ditunjuk oleh oleh para pihak; 3. Tidak terikat dengan salah satu badan arbitrase; dan 4. Bersifat insidentil. Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) Undang Undang Nomor 30 Tahun 1999 menjelaskan bahwa sengketa yang dapat diselesaikan melalui lembaga arbitrase hanya sengketa di bidang perdata (muamalah) dan menurut hukum dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa, dan beberapa ketentuan sebagai berikut: a. Penyelesaian sengketa yang timbul dalam hubungan perdagangan, industri, keuangan, jasa dan lain-lain, dimana para pihak sepakat secara tertulis untuk menyerahkan penyelesaiaannya kepada Basyarnas. b. Memberikan suatu pendapat yang mengikat tanpa adanya suatu sengketa mengenai suatu persoalan berkenaan dengan perjanjian atas permintaan para pihak (Amran Suaidi : 84). Terkait Badan Arbitrase Syariah Nasional sebagai lembaga alternatif penyelesaian sengketa di lembaga keuangan syariah mempunyai tujuan : 1. Memberikan penyelesaian yang adil dan cepat dalam sengketasengketa muamalat/perdata yang timbul dalam bidang perdagangan, industri, keuangan, jasa dan lain-lain; dan 2. Menerima permintaan yang diajukan oleh para pihak dalam suatu perjanjian, tanpa adanya suatu sengketa untuk memberikan suatu pendapat yang mengikat mengenai suatu persoalan berkenaan dengan perjanjian tersebut. Untuk menyelesaikan perkara atau perselisihan secara damai dalam keperdataan, selain dapat dicapai melalui inisiatif sendiri dari para pihak, juga dapat dicapai melalui keterlibatan pihak ketiga sebagai wasit (mediator). 12

14 Upaya ini biasanya akan ditempuh apabila para pihak yang berperkara itu sendiri ternyata tidak mampu mencapai kesepakatan damai. Sebelum memasuki pembahasan tentang eksekusi dan pembatalan putusan Basyarnas, sangat bermanfaat apabila diketahui perjalanan dan perjuangan panjang sehingga kedua hal tersebut menjadi kewenangan peradilan agama. Perkara yang masuk ke dalam Basyarnas adalah sengketa perbankan syariah antara nasabah dan bank syariah terkait akad mudharabah dan murabahah dengan sistim profit and loss sharing. Bahkan sejak tahun 1993 sampai dengan 2006 Basyarnas baru menangani dan menyelesaikan 14 (empat belas) perkara (Hasbi Hasan : 167). Perkara yang ditangani oleh Basyarnas adalah perkara sengketa ekonomi syariah dan proses penyelesaiannya berdasar prinsip syariah, yang putusannya bersifat final dan mengikat. Akan tetapi oleh karena Basyarnas bukan merupakan lembaga yudikatif, sehingga tidak bisa melaksanakan eksekusi putusannya. Oleh karena itu, diperlukan bantuan lembaga litigasi yang diberi kewenangan oleh undang-undang untuk itu. Namun peradilan mana yang berwenang melaksanakan eksekusi putusan Basyarnas masih dualisme. Atas alasan tersebut Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Edaran Nomor 8 Tahun 2008 tentang Eksekusi Putusan Basyarnas yang memberikan kewenangan mengeksekusi dan membatalkan putusan Basyarnas adalah lembaga dalam lingkup peradilan agama. Terkait kewenangan absolut peradilan agama terhadap perkara ekonomi syariah berdasarkan surat edaran Mahkamah Agung tersebut, sayangnya masih terdapat perundang-undangan yang muncul dan kemudian menimbulkan ketidak pastian hukum dalam isi pasalnya. Perundang-undangan tersebut adalah Undang Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang dalam Pasal 59 ayat (3) menerangkan bahwa dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase (termasuk arbitrase syariah) secara sukarela, maka putusan dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa. Berdasarkan ketentuan pasal tersebut, maka secara tidak langsung mengandung makna hukum bahwa pengadilan agama tidak berwenang terhadap penyelesaian eksekusi putusan Basyarnas. Keberadaan Pasal 59 ayat (3) tersebut telah dianggap sebagai problem kewenangan, oleh karena itu Dr. Drs Dadang Muttaqin, M.Hum sempat mengajukan peninjauan kembali (judicial reviw) pasal tersebut pada tanggal 18 Februari 2010 bersamaan dengan uji materiil Pasal 55 ayat (2) Undang Undang Nomor 21 Tahun 2008 beserta penjelasannya. Akan tetapi dicabut oleh yang bersangkutan pada tanggal 10 Maret 2010 dengan alasan mengingat Undang Undang Nomor 48 Tahun 2009 tersebut masih sangat baru dan belum operasional serta belum tersosialisasi secara luas di tengah masyarakat. Sayangnya, dua bulan kemudian justru Pasal 59 ayat (3) Undang Undang Nomor 48 Tahun 2009 bergayung sambut dan dijadikan dasar dikeluarkannya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 8 Tahun 2010 yang membatalkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 8 Tahun 2008, yang isi 13

15 pokoknya menyatakan bahwa eksekusi putusan Basyarnas adalah kewenangan pengadilan negeri. Mahkamah Agung mendasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 8 Tahun 2010 pada Pasal 59 ayat (3) Undang Undang Nomor 48 Tahun 2009 yang menyatakan bahwa dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase (termasuk arbitrase syariah) secara sukarela, maka putusan dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa. Akar permasalahannya adalah bukan terletak pada Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 8 Tahun 2010, akan tetapi justru terletak pada dasar hukum yang dipergunakan dalam pengeluaran surat edaran tersebut, yakni Pasal 59 ayat (3) Undang Undang Nomor 48 Tahun Oleh karena itu, selama pasal tersebut masih eksis, maka ketentuan pelaksanaan eksekusi maupun pembatalan putusan Basyarnas akan difahami menjadi kewenangan pengadilan negeri. Sehingga hal tersebut akan menghilangkan kewenangan absolut pengadilan agama yang telah diberikan berdasarkan Pasal 49 huru (i) Undang Undang Nomor 3 Tahun Hal ini menggambarkan adanya tarik menarik kewenangan antar dua lembaga peradilan di bawah Mahkamah Agung. Selain itu, adanya ketentuan tersebut, merupakan pereduksian kewenangan bagi pengadilan agama, sehingga mendorong terbentuknya opini negatif kepada publik bahwa untuk menangani perkara ekonomi syariah, pengadilan agama belum siap dan belum mampu. Dengan fakta tersebut menunjukkan ketidak jelasan rumusan perundang-undangan sehingga menimbulkan banyak interpretasi dalam pelaksanaannya, karena seharusnya kewenangan merupakan suatu hal yang jelas dan pasti. Hal ini juga menunjukan bahwa pembentuk undang-undang (legislator) tidak konsisten dalam membentuk undang-undang yang terkait dengan penyelesaian sengketa ekonomi syariah, karena di satu sisi memberikan kewenangan secara absolut kepada pengadilan agama yang terdapat pada aturan pokok bukan pada penjelasan, yaitu Pasal 49 huruf (i) Undang Undang Nomor 3 Tahun 2006, akan tetapi di sisi yang lain memberikan kewenangan kepada pengadilan negeri dengan munculnya Pasal 59 ayat (3) Undang Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Padahal kedua lembaga peradilan (litigation) tersebut mempunyai kompetensi dengan batasan masing-masing serta penggunaan prinsip yang berbeda. Pada gilirannya perbedaan tersebut akan menimbulkan permasalahan hukum berupa kerancuan bahkan ketidak pastian hukum, baik bagi penegak hukum sendiri maupun masyarakat pencari keadilan. Pada tahun 2012 lahirlah putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012 tanggal 29 Agustus 2013 atas peninjauan kembali terhadap penjelasan Pasal 55 ayat (2) Undang Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah tidak berkekuatan hukum mengikat, sehingga putusan Mahkamah Konstitusi tersebut mempertegas kewenangan pengadilan agama sebagai satu-satunya lembaga litigasi yang berwenang menangani sengketa bank syariah. Pembahasan eksekusi putusan arbitrase (Basyarnas) belum terbahas secara tuntas, bahkan Pasal 59 ayat (3) Undang Undang Nomor 48 Tahun 2009 masih eksis sampai sekarang, sedangkan perkara yang ditangani di Basyarnas tidak hanya perbankan syariah, melainkan mencakup semua 14

16 wilayah sengketa perkara ekonomi syariah dengan keberadaan Pasal 59 ayat (3) Undang Undang Nomor 48 Tahun 2009 tersebut, maka memberikan pengaruh terhadap pengadilan agama. Kini Peraturan Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 2016 tentang Tatacara Penyelesaian Ekonomi Syariah yang dalam Pasal 13 ayat (2) dan ayat (3) telah menguatkan kedudukan dan kewenangan pengadilan agama untuk menyelesaikan perkara ekonomi syariah. Adapun bunyi kedua ayat tersebut adalah : 1. Ayat (2) : Pelaksanaan putusan arbitrase syariah dan pembatalannya dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan agama. 2. Ayat (3) : Tata cara pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengacu pada Undang Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (Saiful Annas : Mekanisme penyelesaian sengketa ekonomi syariah, selain ADR dan arbitrase (lembaga Basyarnas) dapat pula melalui jalur pengadilan agama (litigasi), yaitu melalui lembaga peradilan agama sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 49 huruf (i) Undang Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Selanjutnya, sesuai dengan peraturan yang berlaku pada Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas), maka ketentuan dan prosedur penyelesaian sengketa yang masuk ke Basyarnas, sebagai berikut : a. Permohonan pendaftaran kepada sekretaris Basyarnas dalam register yang melampirkan kesepakatan penyelesaian sengketa di Basyarnas oleh para pihak; b. Apabila kesepakatan tersebut tidak menunjuk Basyarnas, maka permohonan itu dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard). Jika menunjuk Basyarnas, maka ditetapkan atau ditunjuk arbiter yang akan memeriksa dan memutus sengketa sesuai dengan berat ringannya masalah; dan c. Arbiter yang ditunjuk memerintahkan untuk menyampaikan surat permohonan dan dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari selambatlambatnya pihak lawan harus menyampaikan jawaban atau tanggapan; d. Setelah diterima jawaban, maka dalam waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari arbiter memerintahkan para pihak menghadap di muka sidang, baik diwakili kuasa hukum atau tidak; e. Pada prinsipnya pemeriksaan secara langsung dan tertulis di persidangan, namun dibolehkan pemeriksaa secara lisan (oral hearing) dengan pemeriksaan yang persis sama dengan litigasi; f. Arbiter wajib mengupayakan perdamaian; g. Pemeriksaan dan penyelesaian perkara selambat-lambatnya adalah 6 (enam) bulan. h. Dalam putusan arbitrase harus memuat alasan-alasan atas kepatutan dan keadilan (ex aequo et bono); dan 15

17 i. Sama halnya dengan peradilan negara, putusan arbiter dilakukan Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dan untuk Basyarnas dimulai dengan kalimat Bismillahirrahmanirrahiim. Selanjutnya Pasal 10 Undang Undang Nomor 30 Tahun 1999 menyebutkan bahwa suatu perjanjian arbitrase tidak batal karena hal sebagai berikut : a. Meninggal dunia; b. Bangkrutnya salah satu pihak; c. Novasi (pembaharuan utang); d. Insolvensi salah satu pihak (keadaan tidak mampu membayar); e. Pewarisan; f. Berlakunya syarat-syarat hapusnya perikatan pokok; g. Dialihtugaskan pada pihak ketiga; dan h. Atau berakhirnya atau batalnya perjanjian pokok. Berkenaan dengan isi klausul arbitrase, adalah mengenai hal-hal yang boleh dicantumkan dan diperjanjikan, yang dimuat dalam undangundang dan konvensi, sebagai berikut : 1. Tidak melampaui perjanjian pokok; 2. Isi klausul boleh secara umum; 3. Klausula arbitrase secara terperinci; 4. Klausula binding opinion (pendapat yang mengikat). Adapun terhadap putusan arbitrase sebagaimana ketentuan Pasal 70 sampai dengan Pasal 72 Undang Undang Nomor 30 Tahun 1999, para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut : a. Surat dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu; b. Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan yang disembunyikan oleh pihak lawan; dan c. Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang diakui oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa. Prosedur permohonan pembatalan putusan arbitrasi di pengadilan agama : 1. Permohonan pembatalan diajukan secara tertulis ditujukan kepada ketua pengadilan. 2. Tenggang waktu pengajuan permohonan paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak hari penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase kepada panitera pengadilan. 3. Jika pendaftaran permohonan pembatalan diterima, maka ketua pengadilan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak permohonan pembatalan diajukan, menjatuhkan putusan pembatalan. 4. Dalam hal para pihak tidak puas atas putusan pengadilan, dapat mengajukan banding ke Mahkamah Agung yang memutus tingkat pertama dan terakhir. Mahkamah Agung hanya diberi waktu maksimal 30 (tiga puluh) hari untuk memutuskan permohonan banding tersebut. Ketentuan terhadap putusan Basyarnas : a. Putusan yang sudah ditanda tangani oleh arbiter bersifat final dan mengikat. 16

18 b. Salinan putusan yang telah ditanda tangani oleh arbiter harus diberikan kepada para pihak. c. Putusan tidak boleh diumumkan kecuali disepakati oleh para pihak. Peranan pengadilan dalam penyelenggaraan arbitrase berdasarkan Undang Undang Nomor 30 Tahun 1999 antara lain : 1. Mengenai penunjukan arbiter atau majelis arbiter dan dalam hal para pihak tidak ada kesepakatan (pasal 14 ayat (3). 2. Pelaksanaan putusan arbitrase nasional maupun internasional harus dilakukan melalui mekanisme sistem peradilan : a). Pendaftaran putusan arbitrase oleh salah satu pihak. b). Bagi arbitrase internasional mengambil tempat di di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. 3. Berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri (baca : Ketua Pengadilan Agama). Pelaksanaan putusan arbitrase nasional diatur dalam Pasal 59 s/d Pasal 64 Undang Undang Nomor 30 Tahun 1999 sebagai berikut : 1. Pada dasarnya para pihak harus melaksanakan putusan secara suka rela. 2. Dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejang tanggal diucapkan, lembar asli atau salinan otentik putusan arbitrase diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri (baca : Panitera Pengadilan Agama). 3. Penyerahan dan pendaftaran tersebut dilakukan dengan pencatatan dan penandatanganan pada bagian akhir atau di pinggir putusan oleh Panitera Pengadilan Negeri (baca : Panitera Pengadilan Agama) dan arbiter atau kuasanya yang menyerahkan, dan catatan tersebut merupakan akta pencatatan. 4. Tidak terpenuhinya salah satu ketentuan diatas berakibat putusan arbitrase tidak dapat dilaksanakan. 5. Semua biaya yang berhubungan dengan pembuatan akta pendaftaran dibebankan kepada para pihak. 6. Ketua Pengadilan Negeri (baca : Ketua Pengadilan Agama) sebelum memberikan perintah pelaksanaan, memeriksa terlebih dahulu apakah putusan arbitrase memenuhi ketentuan Pasal 4 dan Pasal 5 Undang Undang Nomor 30 Tahun Adapun bunyi Pasal 4 Undang Undang Nomor 30 Tahun 1999 : a. Ayat (1) berbunyi : dalam hal para pihak telah menyetujui bahwa sengketa di antara mereka akan diselesaikan melalui arbitrase dan para pihak telah memberikan wewenang, maka arbiter berwenang menentukan dalam putusannya mengenai hak dan kewajiban para pihak jika hal ini diatur dalam perjanjian mereka. b. Ayat (2) berbunyi : persetujuan untuk menyelesaikan melalui arbitrase sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dimuat dalam suatu dokumen yang ditanda tangani oleh para pihak. c. Ayat (3) berbunyi : dalam hal disepakati penyelesaian sengketa melalui arbitrase terjadi dalam bentuk pertukaran surat, maka pengiriman teleks, telegram, faksimili, atau dalam bentuk 17

SEKITAR EKSEKUSI. (oleh H. Sarwohadi, S.H., M.H. Hakim Tinggi PTA Bengkulu)

SEKITAR EKSEKUSI. (oleh H. Sarwohadi, S.H., M.H. Hakim Tinggi PTA Bengkulu) SEKITAR EKSEKUSI (oleh H. Sarwohadi, S.H., M.H. Hakim Tinggi PTA Bengkulu) A. Tinjauan Umum Eksekusi 1. Pengertian eksekusi Pengertian eksekusi menurut M. Yahya Harahap, adalah pelaksanaan secara paksa

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa berdasarkan peraturan perundang-undangan yang

Lebih terperinci

HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA

HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA 1 HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA I. Pengertian, asas & kompetensi peradilan TUN 1. Pengertian hukum acara TUN Beberapa istilah hukum acara TUN, antara lain: Hukum acara peradilan tata usaha pemerintahan

Lebih terperinci

EKSEKUSI PUTUSAN PERKARA PERDATA

EKSEKUSI PUTUSAN PERKARA PERDATA EKSEKUSI PUTUSAN PERKARA PERDATA Oleh : M. Luqmanul Hakim Bastary* PENGERTIAN Untuk kesamaan penggunaan istilah, maka kata Executie yang berasal dari bahasa asing, sering diterjemahkan ke dalam Bahasa

Lebih terperinci

PENYELESAIAN PERKARA GUGATAN PIHAK KETIGA /DERDEN VERZET

PENYELESAIAN PERKARA GUGATAN PIHAK KETIGA /DERDEN VERZET PENYELESAIAN PERKARA GUGATAN PIHAK KETIGA /DERDEN VERZET (Oleh H. Sarwohadi, S.H.,M.H. Hakim PTA NTB) I. Pendahuluan Dalam praktek beracara di muka Pengadilan sering kita dapati perkara gugatan derden

Lebih terperinci

UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa berdasarkan

Lebih terperinci

UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan berdirinya lembaga-lembaga perekonomian yang menerapkan

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan berdirinya lembaga-lembaga perekonomian yang menerapkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejalan dengan berdirinya lembaga-lembaga perekonomian yang menerapkan prinsip syari ah tidak mungkin dihindari akan terjadinya konflik. Ada yang berujung sengketa

Lebih terperinci

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Mediasi

Lebih terperinci

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Dasar Hukum Kompetensi Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) dan Pengadilan Agama dalam Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah 1. Dasar Hukum Kompetensi Badan

Lebih terperinci

Kecamatan yang bersangkutan.

Kecamatan yang bersangkutan. 1 PENCABUTAN PERKARA CERAI GUGAT PADA TINGKAT BANDING (Makalah Diskusi IKAHI Cabang PTA Pontianak) =========================================================== 1. Pengantar. Pencabutan perkara banding dalam

Lebih terperinci

RUANG LINGKUP EKSEKUSI PERDATA TEORI DAN PRAKTEK DI PENGADILAN AGAMA

RUANG LINGKUP EKSEKUSI PERDATA TEORI DAN PRAKTEK DI PENGADILAN AGAMA RUANG LINGKUP EKSEKUSI PERDATA TEORI DAN PRAKTEK DI PENGADILAN AGAMA OLEH DRS.H.SUHADAK,SH,MH MAKALAH DISAMPAIKAN PADA PELAKSANAAN BIMTEK CALON PANITERA PENGGANTI PENGADILAN TINGGI AGAMA MATARAM TANGGAL

Lebih terperinci

hal 0 dari 11 halaman

hal 0 dari 11 halaman hal 0 dari 11 halaman I. PENGERTIAN PENGGUNAAN LEMBAGA PUTUSAN SERTA MERTA (UITVOERBAAR BIJ VOORRAAD) OLEH Ketua Muda Perdata Mahkamah Agung RI (H. SUWARDI, SH, MH) Subekti menyebut, putusan pelaksanaan

Lebih terperinci

BAB I KETENTUAN UMUM. Pasal 1

BAB I KETENTUAN UMUM. Pasal 1 LAMPIRAN : Keputusan Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia Nomor : Kep-04/BAPMI/11.2002 Tanggal : 15 Nopember 2002 Nomor : Kep-01/BAPMI/10.2002 Tanggal : 28 Oktober 2002 PERATURAN DAN ACARA BADAN ARBITRASE

Lebih terperinci

E K S E K U S I (P E R D A T A)

E K S E K U S I (P E R D A T A) E K S E K U S I (P E R D A T A) A. Apa yang dimaksud dengan Eksekusi Eksekusi adalah melaksanakan secara paksa (upaya hukum paksa) putusan Pengadilan dengan bantuan kekuatan umum. B. AZAS-AZAS EKSEKUSI

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DUALISME AKAD PEMBIAYAAN MUD{ARABAH MUQAYYADAH DAN AKIBAT HUKUMNYA

BAB IV ANALISIS DUALISME AKAD PEMBIAYAAN MUD{ARABAH MUQAYYADAH DAN AKIBAT HUKUMNYA BAB IV ANALISIS DUALISME AKAD PEMBIAYAAN MUD{ARABAH MUQAYYADAH DAN AKIBAT HUKUMNYA A. Analisis Dualisme Akad Pembiayaan Mud{arabah Muqayyadah Keberadaaan suatu akad atau perjanjian adalah sesuatu yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Kegiatan usaha

BAB I PENDAHULUAN. serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Kegiatan usaha 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Perbankan Syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG HUKUM ACARA PERDATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG HUKUM ACARA PERDATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PERDATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

BAB IV PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS

BAB IV PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS BAB IV PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS Di dalam menjalankan suatu bisnis para pelaku usaha kadang terlibat dalam conflict of interest, kenyataan ini dapat terjadi karena bermula dari situasi dimana ada salah

Lebih terperinci

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02 TAHUN 2002 TENTANG TATA CARA PENYELENGGARAAN WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI OLEH MAHKAMAH AGUNG

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02 TAHUN 2002 TENTANG TATA CARA PENYELENGGARAAN WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI OLEH MAHKAMAH AGUNG PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02 TAHUN 2002 TENTANG TATA CARA PENYELENGGARAAN WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI OLEH MAHKAMAH AGUNG MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. Bahwa

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku,

Lebih terperinci

EKSEKUSI TERHADAP KEPUTUSAN HAKIM YANG MEMPUNYAI KEKUATAN HUKUM TETAP DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA

EKSEKUSI TERHADAP KEPUTUSAN HAKIM YANG MEMPUNYAI KEKUATAN HUKUM TETAP DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA EKSEKUSI TERHADAP KEPUTUSAN HAKIM YANG MEMPUNYAI KEKUATAN HUKUM TETAP DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Tugas dan Syarat-syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum dalam Ilmu

Lebih terperinci

UPAYA PERLAWANAN HUKUM TERHADAP EKSEKUSI PEMBAYARAN UANG DALAM PERKARA PERDATA (Studi Kasus Pengadilan Negeri Surakarta)

UPAYA PERLAWANAN HUKUM TERHADAP EKSEKUSI PEMBAYARAN UANG DALAM PERKARA PERDATA (Studi Kasus Pengadilan Negeri Surakarta) UPAYA PERLAWANAN HUKUM TERHADAP EKSEKUSI PEMBAYARAN UANG DALAM PERKARA PERDATA (Studi Kasus Pengadilan Negeri Surakarta) SKRIPSI Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas dan Syarat Guna Mencapai Derajat

Lebih terperinci

EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN DI PENGADILAN AGAMA

EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN DI PENGADILAN AGAMA 1 EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN DI PENGADILAN AGAMA Oleh : Abdul Hadi. 1 Sekedar mengenang sejarah, bukan meratapi, 2 dulu sebelum Undang-Undang No. 3 tahun 2006, jangankan untuk mempelajari eksekusi hak tanggungan,

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL III - 1 III - 2 Daftar Isi BAB I KETENTUAN UMUM III-9 BAB II TATACARA PENYELESAIAN PERSELISIHAN

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA; Menimbang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa berdasarkan peraturan perundang-undangan yang

Lebih terperinci

Makalah Peradilan Tata Usaha Negara BAB I PENDAHULUAN

Makalah Peradilan Tata Usaha Negara BAB I PENDAHULUAN Makalah Peradilan Tata Usaha Negara BAB I PENDAHULUAN Peradilan Tata Usaha Negara merupakan salah satu peradilan di Indonesia yang berwenang untuk menangani sengketa Tata Usaha Negara. Berdasarkan Undang-Undang

Lebih terperinci

A. Analisis Proses Pelaksanaan Mediasi di Pengadilan Agama Purwodadi

A. Analisis Proses Pelaksanaan Mediasi di Pengadilan Agama Purwodadi BAB IV ANALISIS A. Analisis Proses Pelaksanaan Mediasi di Pengadilan Agama Purwodadi Berdasarkan apa yang telah dipaparkan pada bab-bab sebelumnya dapat diketahui bahwa secara umum mediasi diartikan sebagai

Lebih terperinci

BAHAN KULIAH ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG Match Day 9 ARBITRASE (2)

BAHAN KULIAH ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG Match Day 9 ARBITRASE (2) BAHAN KULIAH ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG Match Day 9 ARBITRASE (2) G. Prosedur Pemeriksaan Perkara Prosedur pemeriksaan di arbitrase pada dasarnya tidak berbeda jauh dengan di pengadilan karena

Lebih terperinci

BAB II SUMBER HUKUM EKSEKUSI. mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) yang dijalankan

BAB II SUMBER HUKUM EKSEKUSI. mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) yang dijalankan BAB II SUMBER HUKUM EKSEKUSI A. Pengertian Eksekusi Eksekusi adalah merupakan pelaksanaan Putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) yang dijalankan secara paksa

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.649, 2013 KOMISI INFORMASI. Sengketa Informasi Publik. Penyelesaian. Prosedur. Pencabutan. PERATURAN KOMISI INFORMASI NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG PROSEDUR PENYELESAIAN

Lebih terperinci

BAB VII PERADILAN PAJAK

BAB VII PERADILAN PAJAK BAB VII PERADILAN PAJAK A. Peradilan Pajak 1. Pengertian Keputusan adalah suatu penetapan tertulis di bidang perpajakan yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang berdasarkan peraturan perundang-undangan

Lebih terperinci

UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA 1 of 27 27/04/2008 4:06 PM UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa hubungan industrial yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan

Lebih terperinci

BAB IV. ANALISIS TERHADAP PUTUSAN NO. 0688/Pdt.G/2011/PA.Tbn TENTANG PENCABUTAN GUGATAN TANPA PERSETUJUAN TERGUGAT DALAM PERKARA CERAI GUGAT

BAB IV. ANALISIS TERHADAP PUTUSAN NO. 0688/Pdt.G/2011/PA.Tbn TENTANG PENCABUTAN GUGATAN TANPA PERSETUJUAN TERGUGAT DALAM PERKARA CERAI GUGAT BAB IV ANALISIS TERHADAP PUTUSAN NO. 0688/Pdt.G/2011/PA.Tbn TENTANG PENCABUTAN GUGATAN TANPA PERSETUJUAN TERGUGAT DALAM PERKARA CERAI GUGAT A. Dasar Hukum Hakim dalam Penerapan Pencabutan Cerai Gugat Pengadilan

Lebih terperinci

2015, No tidaknya pembuktian sehingga untuk penyelesaian perkara sederhana memerlukan waktu yang lama; d. bahwa Rencana Pembangunan Jangka Mene

2015, No tidaknya pembuktian sehingga untuk penyelesaian perkara sederhana memerlukan waktu yang lama; d. bahwa Rencana Pembangunan Jangka Mene No.1172, 2015 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA MA. Gugatan Sederhana. Penyelesaian. PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG TATA CARA PENYELESAIAN GUGATAN SEDERHANA DENGAN

Lebih terperinci

BAB IV. ANALISIS PELAKSANAAN PUTUSAN No. 0985/Pdt.G/2011/PA.Sm. TENTANG MUT AH DAN NAFKAH IDDAH

BAB IV. ANALISIS PELAKSANAAN PUTUSAN No. 0985/Pdt.G/2011/PA.Sm. TENTANG MUT AH DAN NAFKAH IDDAH 56 BAB IV ANALISIS PELAKSANAAN PUTUSAN No. 0985/Pdt.G/2011/PA.Sm. TENTANG MUT AH DAN NAFKAH IDDAH A. Analisis Prosedur Pelaksanaan Putusan Pengadilan Agama Tentang Mut ah dan Nafkah Iddah. Tujuan pihak-pihak

Lebih terperinci

DERDEN VERZET (Oleh : Drs. H. M. Yamin Awie, SH. MH. 1 )

DERDEN VERZET (Oleh : Drs. H. M. Yamin Awie, SH. MH. 1 ) DERDEN VERZET (Oleh : Drs. H. M. Yamin Awie, SH. MH. 1 ) BAB I PENDAHULUAN Sebelum diundangkannya Undang-undang Nomor 3 tahun 2006 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 Tentang Peradilan Agama,

Lebih terperinci

dengan hukum atau yang tidak dapat dilaksanakan atau yang memuat iktidak tidak baik (Pasal 17 ayat 3).

dengan hukum atau yang tidak dapat dilaksanakan atau yang memuat iktidak tidak baik (Pasal 17 ayat 3). MAKALAH : JUDUL DISAMPAIKAN PADA : MEDIASI DAN GUGAT REKONPENSI : FORUM DISKUSI HAKIM TINGGI MAHKAMAH SYAR IYAH ACEH PADA HARI/ TANGGAL : SELASA, 7 FEBRUARI 2012 O L E H : Dra. MASDARWIATY, MA A. PENDAHULUAN

Lebih terperinci

BAB V P E N U T U P. forum penyelesaian sengketa yang pada awalnya diharapkan dapat menjadi solusi

BAB V P E N U T U P. forum penyelesaian sengketa yang pada awalnya diharapkan dapat menjadi solusi BAB V P E N U T U P A. Kesimpulan Sebagaiman telah dikemukakan di awal, bahwa lembaga arbitrase adalah forum penyelesaian sengketa yang pada awalnya diharapkan dapat menjadi solusi permasalahan dan ketidakpuasan

Lebih terperinci

BAB III. Upaya Hukum dan Pelaksanaan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara. oleh Pejabat Tata Usaha Negara

BAB III. Upaya Hukum dan Pelaksanaan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara. oleh Pejabat Tata Usaha Negara BAB III Upaya Hukum dan Pelaksanaan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara oleh Pejabat Tata Usaha Negara A. Upaya Hukum Ada kalanya dengan keluarnya suatu putusan akhir pengadilan sengketa antara Penggugat

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hubungan industrial

Lebih terperinci

PANDUAN WAWANCARA. proses mediasi terhadap perkara perceraian? b. Apa ada kesulitan dalam menerapkan model-model pendekatan agama?

PANDUAN WAWANCARA. proses mediasi terhadap perkara perceraian? b. Apa ada kesulitan dalam menerapkan model-model pendekatan agama? PANDUAN WAWANCARA Mediator: 1. Apa saja model-model Pendekatan Agama dalam proses mediasi terhadap perkara perceraian? a. Bagaimana cara menerapkan model-model pendekatan agama dalam proses mediasi terhadap

Lebih terperinci

oleh: Dr.H.M. Arsyad Mawardi, S.H.,M.Hum (Hakim Tinggi PTA Makassar) {mosimage}a. PENDAHULUAN

oleh: Dr.H.M. Arsyad Mawardi, S.H.,M.Hum (Hakim Tinggi PTA Makassar) {mosimage}a. PENDAHULUAN oleh: Dr.H.M. Arsyad Mawardi, S.H.,M.Hum (Hakim Tinggi PTA Makassar) {mosimage}a. PENDAHULUAN Eksekusi menurut Subketi(1) dan Retno Wulan(2) disebutkan dengan istilah "pelaksanaan" putusan. Putusan pengadilan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. beli, tetapi disebutkan sebagai dialihkan. Pengertian dialihkan menunjukkan

BAB I PENDAHULUAN. beli, tetapi disebutkan sebagai dialihkan. Pengertian dialihkan menunjukkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanah adalah unsur penting yang menunjang kehidupan manusia. Tanah berfungsi sebagai tempat tinggal dan beraktivitas manusia. Begitu pentingnya tanah, maka setiap

Lebih terperinci

P U T U S A N Nomor 100/Pdt.G/2013/PTA.Mks BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N Nomor 100/Pdt.G/2013/PTA.Mks BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P U T U S A N Nomor 100/Pdt.G/2013/PTA.Mks BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Tinggi Agama Makassar yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu pada

Lebih terperinci

Lex Administratum, Vol. III/No.3/Mei/2015

Lex Administratum, Vol. III/No.3/Mei/2015 PENYELESAIAN PERKARA MELALUI CARA MEDIASI DI PENGADILAN NEGERI 1 Oleh : Elty Aurelia Warankiran 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan bertuan untuk mengetahui bagaimana prosedur dan pelaksanaan mediasi perkara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. oleh pihak ketiga dalam suatu perkara perdata. Derden verzet merupakan

BAB I PENDAHULUAN. oleh pihak ketiga dalam suatu perkara perdata. Derden verzet merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Derden verzet merupakan salah satu upaya hukum luar biasa yang dilakukan oleh pihak ketiga dalam suatu perkara perdata. Derden verzet merupakan perlawanan pihak ketiga

Lebih terperinci

PROSEDUR DAN PROSES BERPERKARA DI PENGADILAN AGAMA

PROSEDUR DAN PROSES BERPERKARA DI PENGADILAN AGAMA Tempat Pendaftaran : BAGAN PROSEDUR DAN PROSES BERPERKARA Pengadilan Agama Brebes Jl. A.Yani No.92 Telp/ fax (0283) 671442 Waktu Pendaftaran : Hari Senin s.d. Jum'at Jam 08.00 s.d 14.00 wib PADA PENGADILAN

Lebih terperinci

NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa berdasarkan peraturan perundang-undangan yang

Lebih terperinci

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 01 TAHUN Tentang PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 01 TAHUN Tentang PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 01 TAHUN 2008 Tentang PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. Bahwa mediasi merupakan salah satu proses penyelesaian

Lebih terperinci

BAB III PENYELESAIAN SENGKETA BANK SYARI AH DENGAN NASABAH MELALUI PENGADILAN AGAMA MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 21 TAHUN 2008

BAB III PENYELESAIAN SENGKETA BANK SYARI AH DENGAN NASABAH MELALUI PENGADILAN AGAMA MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 21 TAHUN 2008 32 BAB III PENYELESAIAN SENGKETA BANK SYARI AH DENGAN NASABAH MELALUI PENGADILAN AGAMA MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 21 TAHUN 2008 Amandemen Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 memberikan wewenang kekuasaan pengadilan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA NOMOR : KEP 02/BAPMI/ TENTANG PERATURAN DAN ACARA BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA

KEPUTUSAN BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA NOMOR : KEP 02/BAPMI/ TENTANG PERATURAN DAN ACARA BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA KEPUTUSAN BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA NOMOR : KEP 02/BAPMI/11.2009 TENTANG PERATURAN DAN ACARA BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

EKSEKUSI TANAH TERHADAP PUTUSAN SERTA MERTA Muhammad Ilyas,SH,MH Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar

EKSEKUSI TANAH TERHADAP PUTUSAN SERTA MERTA Muhammad Ilyas,SH,MH Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar EKSEKUSI TANAH TERHADAP PUTUSAN SERTA MERTA,SH,MH Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar Abstrack Execution decision necessarily well often cause problems related to the rules that govern which SEMA

Lebih terperinci

KAPAN PUTUSAN NIET ONTVANKELIJKE VERKLAARD DAPAT DIAJUKAN ULANG?

KAPAN PUTUSAN NIET ONTVANKELIJKE VERKLAARD DAPAT DIAJUKAN ULANG? KAPAN PUTUSAN NIET ONTVANKELIJKE VERKLAARD DAPAT DIAJUKAN ULANG? Oleh: Ahmad Z. Anam (Hakim Pratama Muda Pengadilan Agama Mentok) Pendahuluan Ada dua hak bagi pihak berperkara yang perkaranya dinyatakan

Lebih terperinci

TENTANG DUDUK PERKARANYA

TENTANG DUDUK PERKARANYA P U T U S A N Nomor : 7/Pdt.G/2010/PTA Smd BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Tinggi Agama Samarinda yang mengadili perkara perdata pada tingkat banding

Lebih terperinci

P U T U S A N. Nomor : 150/PDT/2014/PT-MDN DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N. Nomor : 150/PDT/2014/PT-MDN DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P U T U S A N Nomor : 150/PDT/2014/PT-MDN DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA PENGADILAN TINGGI MEDAN, yang memeriksa dan mengadili perkara-perkara perdata dalam peradilan tingkat banding,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa berdasarkan peraturan perundang-undangan yang

Lebih terperinci

KESIMPULAN. saja Kesimpulan dapat membantu hakim dalam menjatuhkan Putusan

KESIMPULAN. saja Kesimpulan dapat membantu hakim dalam menjatuhkan Putusan KESIMPULAN Kesimpulan yg dibuat oleh para pihak ttg jalannya persidangan sebelum dijatuhkan Putusan. Kesimpulan bersifat Fakultatif, artinya boleh diajukan, boleh tidak Sebaiknya dimasukan point yg menguntungkan

Lebih terperinci

ELIZA FITRIA

ELIZA FITRIA EKSEKUSI RIIL TERHADAP PUTUSAN HAKIM YANG TELAH MEMPUNYAI KEKUATAN HUKUM TETAP DI PENGADILAN NEGERI BATUSANGKAR KLAS II (STUDI KASUS PERKARA PERDATA NO. 02/Pdt.G/2007/PN.BS) SKRIPSI DIAJUKAN GUNA MEMENUHI

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 73, 1985 (ADMINISTRASI. KEHAKIMAN. LEMBAGA NEGARA. Mahkamah Agung. Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3316) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

PUTUSAN Nomor 0930/Pdt.G/2015/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. melawan

PUTUSAN Nomor 0930/Pdt.G/2015/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. melawan PUTUSAN Nomor 0930/Pdt.G/2015/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Pasuruan yang memeriksa dan mengadili perkara perdata tertentu pada tingkat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. putusan ini, hubungan antara kedua belah pihak yang berperkara ditetapkan untuk selamalamanya,

BAB I PENDAHULUAN. putusan ini, hubungan antara kedua belah pihak yang berperkara ditetapkan untuk selamalamanya, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tujuan utama suatu proses dimuka pengadilan adalah untuk memperoleh putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap, artinya suatu putusan hakim yang tidak dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan. Kehakiman mengatur mengenai badan-badan peradilan penyelenggara

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan. Kehakiman mengatur mengenai badan-badan peradilan penyelenggara BAB I PENDAHULUAN Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman mengatur mengenai badan-badan peradilan penyelenggara kekuasaan kehakiman, asas-asas penyelengaraan kekuasaan kehakiman,

Lebih terperinci

KEWENANGAN PENGADILAN AGAMA MELAKSANAKAN EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN ( PADA BANK SYARIAH) 1. Oleh : Drs.H Insyafli, M.HI

KEWENANGAN PENGADILAN AGAMA MELAKSANAKAN EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN ( PADA BANK SYARIAH) 1. Oleh : Drs.H Insyafli, M.HI perdata. 2 Menurut pengertian yang lazim bagi aparat Pengadilan, eksekusi adalah 1 KEWENANGAN PENGADILAN AGAMA MELAKSANAKAN EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN ( PADA BANK SYARIAH) 1 Oleh : Drs.H Insyafli, M.HI (

Lebih terperinci

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 01 TAHUN 2008 Tentang PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 01 TAHUN 2008 Tentang PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 01 TAHUN 2008 Tentang PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. Bahwa mediasi merupakan salah satu proses penyelesaian

Lebih terperinci

PENEGAKAN HUKUM PENYELESAIAN SENGKETA KETENAGAKERJAAN MELALUI PERADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL. Yati Nurhayati ABSTRAK

PENEGAKAN HUKUM PENYELESAIAN SENGKETA KETENAGAKERJAAN MELALUI PERADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL. Yati Nurhayati ABSTRAK PENEGAKAN HUKUM PENYELESAIAN SENGKETA KETENAGAKERJAAN MELALUI PERADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL Yati Nurhayati ABSTRAK Permasalahan perburuhan yang terjadi antara pekerja dan pengusaha atau antara para pekerja

Lebih terperinci

Makalah Rakernas MA RI

Makalah Rakernas MA RI Makalah Rakernas MA RI 2011 1 BEBERAPA CATATAN DARI TUADA ULDILAG BAHAN RAKERNAS MARI SEPTEMBER 2011 A. Pengantar Berhubung saya dalam kondisi sakit, maka saya hanya memberi catatan-catatan yang saya anggap

Lebih terperinci

SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 5 TAHUN 1975 TENTANG SITA JAMINAN (CONSERVATOIR BESLAG)

SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 5 TAHUN 1975 TENTANG SITA JAMINAN (CONSERVATOIR BESLAG) SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG TENTANG SITA JAMINAN (CONSERVATOIR BESLAG) MAHKAMAH AGUNG Jl. Lapangan Banteng Timur No. 1 JAKARTA Jakarta, 1 Desember 1975 No Lampiran : 2 (dua) : MA./Pemb./1021/1/75 Hakim

Lebih terperinci

PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL. OLEH : Prof. Dr. H. Gunarto,SH,SE,Akt,M.Hum

PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL. OLEH : Prof. Dr. H. Gunarto,SH,SE,Akt,M.Hum PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL OLEH : Prof. Dr. H. Gunarto,SH,SE,Akt,M.Hum Sejalan dengan perkembangan zaman era globalisasi sudah barang tentu tuntutan perkembangan penyelesaian sengketa perburuhan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa gejolak moneter yang terjadi di

Lebih terperinci

MASALAH PUTUSAN SERTA MERTA DALAM PRAKTEK DI PENGADILAN NEGERI (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Surakarta)

MASALAH PUTUSAN SERTA MERTA DALAM PRAKTEK DI PENGADILAN NEGERI (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Surakarta) MASALAH PUTUSAN SERTA MERTA DALAM PRAKTEK DI PENGADILAN NEGERI (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Surakarta) SKRIPSI Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Syarat-syarat Guna Mencapai Derajat

Lebih terperinci

Perpajakan 2 Pengadilan Pajak

Perpajakan 2 Pengadilan Pajak Perpajakan 2 Pengadilan Pajak 12 April 2017 Benny Januar Tannawi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia 1 Daftar isi 1. Susunan Pengadilan Pajak 2. Kekuasaan Pengadilan Pajak 3. Hukum Acara 2 Susunan Pengadilan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memperoleh kembali hak-haknya yang dilanggar ke Pengadilan Negeri

BAB I PENDAHULUAN. memperoleh kembali hak-haknya yang dilanggar ke Pengadilan Negeri BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Banyak permasalahan yang berlatar belakang pada sengketa perdata yang disebabkan oleh karena salah satu pihak merasa dirugikan akibat hak-haknya dilanggar oleh

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN SYARIAH

BAB II PENGATURAN PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN SYARIAH BAB II PENGATURAN PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN SYARIAH A. Undang - Undang No. 30 Tahun 1990 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Arbitrase merupakan lembaga penyelesaian sengketa di

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN. Dasar pertimbangan hakim dalam mengabulkan permohonan dispensasi nikah dibawah umur di Pengadilan Agama Bantul

BAB IV PEMBAHASAN. Dasar pertimbangan hakim dalam mengabulkan permohonan dispensasi nikah dibawah umur di Pengadilan Agama Bantul BAB IV PEMBAHASAN Dasar pertimbangan hakim dalam mengabulkan permohonan dispensasi nikah dibawah umur di Pengadilan Agama Bantul Dalam Pasal 7 ayat (1) UUP disebutkan bahwa perkawinan hanya dapat diberikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang menentukan tingkah laku. Situasi yang demikian membuat kelompok itu

BAB I PENDAHULUAN. yang menentukan tingkah laku. Situasi yang demikian membuat kelompok itu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bersosialisasi dengan sesamanya merupakan kebutuhan mutlak manusia yang kemudian membentuk kelompok-kelompok tertentu dengan sesamanya tersebut. Tentulah kita

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. yang menimbulkan suatu hubungan hukum yang dikategorikan sebagai suatu

BAB 1 PENDAHULUAN. yang menimbulkan suatu hubungan hukum yang dikategorikan sebagai suatu BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Manusia dalam mencapai kebutuhan hidupnya saling berinteraksi dengan manusia lain. Masing-masing individu dalam berinteraksi adalah subjek hukum yang

Lebih terperinci

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P U T U S A N Nomor 31/Pdt.G/2015/PTA Mks. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Tinggi Agama Makassar yang memeriksa dan mengadili perkara perdata pada

Lebih terperinci

HUKUM ACARA PERDATA BAB I PENDAHULUAN

HUKUM ACARA PERDATA BAB I PENDAHULUAN HUKUM ACARA PERDATA BAB I PENDAHULUAN 1. Istilah dan pengertian - Hukum perdata materiil : hukum yang mengatur hak dan kewajiban pihak-pihak dalam hubungan perdata - Hukum perdata formil : hukum acara

Lebih terperinci

PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN. Karakteristik Pengadilan Negeri. Penyelesaian Sengketa Melalui Litigasi 11/8/2014

PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN. Karakteristik Pengadilan Negeri. Penyelesaian Sengketa Melalui Litigasi 11/8/2014 PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN Ada dua bentuk penyelesaian sengketa perdagangan yakni melalui jalur litigasi (lembaga peradilan) dan jalur non litigasi (di luar lembaga peradilan) Penyelesaian sengketa

Lebih terperinci

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Direktori Putusan M PUTUSAN Nomor 793 K/Pdt/2013 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA M A H K A M A H A G U N G memeriksa perkara perdata dalam tingkat kasasi telah memutuskan sebagai berikut

Lebih terperinci

SURAT KESEPAKATAN PERDAMAIAN TERINTEGRASI DALAM PUTUSAN PENGADILAN AGAMA

SURAT KESEPAKATAN PERDAMAIAN TERINTEGRASI DALAM PUTUSAN PENGADILAN AGAMA SURAT KESEPAKATAN PERDAMAIAN TERINTEGRASI DALAM PUTUSAN PENGADILAN AGAMA I. PENDAHULUAN Bahwa dalam beracara di Pengadilan Agama tidak mesti berakhir dengan putusan perceraian karena ada beberapa jenis

Lebih terperinci

PROSEDUR PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

PROSEDUR PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL HUKUM PERBURUHAN (PERTEMUAN XII) PROSEDUR PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL copyright by Elok Hikmawati 1 Perselisihan Hubungan Industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 26/PUU-XV/2017 Pembatalan Putusan Arbitrase

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 26/PUU-XV/2017 Pembatalan Putusan Arbitrase I. PEMOHON Zainal Abidinsyah Siregar. Kuasa Hukum: RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 26/PUU-XV/2017 Pembatalan Putusan Arbitrase Ade Kurniawan, SH., Heru Widodo, SH., MH., dkk, advokat/ penasehat hukum

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 of 24 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

2 c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Mahkamah Agung tentang Pedoman Beracar

2 c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Mahkamah Agung tentang Pedoman Beracar BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1267, 2015 MA. Penyalahgunaan Wewenang. Penilaian Unsur. Pedoman Beracara. PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN BERACARA DALAM

Lebih terperinci

BAB III UPAYA HUKUM YANG DAPAT DILAKUKAN PEKERJA KONTRAK YANG DI PHK SEBELUM MASA KONTRAK BERAKHIR

BAB III UPAYA HUKUM YANG DAPAT DILAKUKAN PEKERJA KONTRAK YANG DI PHK SEBELUM MASA KONTRAK BERAKHIR BAB III UPAYA HUKUM YANG DAPAT DILAKUKAN PEKERJA KONTRAK YANG DI PHK SEBELUM MASA KONTRAK BERAKHIR 3.1. Pemutusan Hubungan Kerja Pemutusan hubungan kerja oleh majikan adalah jenis PHK yang sering terjadi,

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP. A. Kesimpulan. Dari pemaparan di atas, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

BAB VI PENUTUP. A. Kesimpulan. Dari pemaparan di atas, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan Dari pemaparan di atas, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Eksekusi adalah pelaksanaan isi putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap dengan cara paksa dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum Proses Pemeriksaan Perkara Perdata Hukum acara perdata disebut juga hukum perdata formil, yaitu kesemuanya kaidah hukum yang menentukan dan mengatur

Lebih terperinci

DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU. Perhatikan desain-desain handphone berikut:

DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU. Perhatikan desain-desain handphone berikut: DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU Perhatikan desain-desain handphone berikut: 1 1. Pengertian Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2000 tentang SIRKUIT TERPADU (integrated

Lebih terperinci

BAB III PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA OLEH PEJABAT TATA USAHA NEGARA

BAB III PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA OLEH PEJABAT TATA USAHA NEGARA BAB III PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA OLEH PEJABAT TATA USAHA NEGARA A. Putusan PTUN Tujuan diadakannya suatu proses di pengadilan adalah untuk memperoleh putusan hakim. 62 Putusan hakim

Lebih terperinci

P U T U S A N Nomor 153/Pdt.G/2014/PA.Mtk

P U T U S A N Nomor 153/Pdt.G/2014/PA.Mtk P U T U S A N Nomor 153/Pdt.G/2014/PA.Mtk DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Mentok yang memeriksa dan mengadili perkaraperkara tertentu dalam persidangan Majelis Hakim

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Teks tidak dalam format asli. LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.6,2004 KESRA Pemerintah Pusat. Pemerintah Daerah.Tenaga Kerja. Ketenagakerjaan. Perjanjian

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA SALINAN P U T U S A N Nomor : 511/Pdt.G/2013/PA.SUB. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Sumbawa Besar yang memeriksa dan mengadili perkara perdata

Lebih terperinci

BERACARA DI PENGADILAN AGAMA DAN PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARIAH Oleh: Agus S. Primasta, SH 1

BERACARA DI PENGADILAN AGAMA DAN PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARIAH Oleh: Agus S. Primasta, SH 1 BERACARA DI PENGADILAN AGAMA DAN PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARIAH Oleh: Agus S. Primasta, SH 1 Abstraksi Berdasarkan UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, semua Pengadilan baik secara teknis

Lebih terperinci

P U T U S A N NOMOR 74/PDT/2015/PT.BDG. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N NOMOR 74/PDT/2015/PT.BDG. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P U T U S A N NOMOR 74/PDT/2015/PT.BDG. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Tinggi Bandung, yang memeriksa dan mengadili perkaraperkara perdata dalam tingkat banding, telah menjatuhkan

Lebih terperinci

PROSES PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN JURUS MENGHINDARI BIAYA PERKARA 1. Oleh: Agus S. Primasta, S.H. 2.

PROSES PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN JURUS MENGHINDARI BIAYA PERKARA 1. Oleh: Agus S. Primasta, S.H. 2. PROSES PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN JURUS MENGHINDARI BIAYA PERKARA 1 Oleh: Agus S. Primasta, S.H. 2 Abstraksi Perselisihan Hubungan Industrial yang sebelumnya diatur didalam UU No.22

Lebih terperinci