TINJAUAN PUSTAKA. A. Taksonomi dan Aktivitas Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Menurut Groves (1972), klasifikasi dari Orangutan Sumatera adalah

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "TINJAUAN PUSTAKA. A. Taksonomi dan Aktivitas Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Menurut Groves (1972), klasifikasi dari Orangutan Sumatera adalah"

Transkripsi

1 TINJAUAN PUSTAKA A. Taksonomi dan Aktivitas Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Menurut Groves (1972), klasifikasi dari Orangutan Sumatera adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia Subkingdom : Metazoa Phylum : Chordata Subphylum : Vertebrata Kelas : Mamalia Ordo : Primata Subordo : Anthropoidea Superfamili : Homoidea Famili : Pongoidea Genus : Pongo Spesies : Pongo abelii Lesson, 1827 Kera besar memiliki otak yang lebih besar daripada primata lain. Pada umumnya kera besar lebih banyak yang hidup secara terestrial namun pada Orangutan hidupnya arboreal (Rowe, 1996). Orangutan berpindah dengan menggunakan keempat anggota tubuhnya, berpindah dari cabang ke cabang lain. Daerah jelajah Orangutan adalah berkisar antara 2-10 km dengan luas wilayah jelajah hariannya berkisar antara m 2 (Supriatna dan Edy, 2000). Aktivitas Orangutan dipengaruhi oleh faktor musim berbuah dan cuaca. MacKinnon (1974) telah menjumpai saat buah sedang sulit didapat di hutan, Orangutan akan menghabiskan waktu menjelajah lebih banyak daripada waktu untuk makan. Demikian pula saat hari sedang kering (panas) Orangutan akan lebih banyak beristirahat pada siang hari. Menurut Rijksen (1978) pembagian

2 penggunaan waktu oleh Orangutan adalah pada pagi hari digunakan untuk makan, siang hari untuk menjelajah dengan diselingi waktu istirahat siang. Orangutan akan mulai istirahat malam antara pukul dengan aktivitas malam hari yang sangat sedikit. Persentase aktivitas harian Orangutan menurut Rijksen (1978) adalah 47% untuk makan, 40% untuk istirahat, 12% untuk menjelajah dan sisa waktunya untuk aktivitas sosial. Penggunaan ruang bagi aktivitas Orangutan yaitu pada lapisan antara m diatas permukaan tanah hampir 70% dari waktu aktivitas hariannya, Orangutan menggunakan 20% waktu aktivitas hariannya pada lapisan lebih dari 25 m dan pada lapisan dibawah 15 m Orangutan hanya menggunakan kurang dari 10% waktu aktivitas hariannya. Menurut Ginting (2006) Orangutan biasanya selalu membuat sarang tidur di tepi sungai pada ketinggian m diatas tanah. Populasi Orangutan Sumatera sebagian besar sebarannya terbatas pada hutan hujan dataran rendah, sebagian besar Orangutan Sumatera berada di daerah yang memiliki ketinggian di bawah 500 m dpl dan jarang menjelajah ke tempat yang lebih tinggi dari m dpl (Rijksen dan Meijaard, 1999). B. Pohon Sarang Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Orangutan membuat sarang di atas pohon sebagai tempat tidur. Fungsi lain sarang Orangutan adalah untuk digunakan sebagai tempat tidur pada siang hari, namun dalam beberapa kasus lain dijumpai sarang yang digunakan sebagai tempat bermain dan perkawinan (Van Schaik, 2006). Keberadaan Orangutan Sumatera di CA. Dolok Sibual-buali dapat diketahui dengan banyak ditemukannya sarang Orangutan di lokasi tersebut.

3 Beberapa metode inventarisasi telah diujicobakan untuk mengetahui parameter demografi populasi Orangutan liar, baik yang dilakukan secara langsung maupun berdasarkan sarang (Ancrenaz et al., 2005). Inventarisasi Orangutan secara langsung merupakan pekerjaan yang sangat sulit (Mathewson et al., 2008). Hal ini berhubungan dengan kecepatan berpindah orangutan pada saat berada di pohon. Orangutan secara alami akan menghindari manusia yang mendekat. Gerakan orangutan akan sangat sulit untuk diamati oleh pengamat karena lebatnya tajuk pohon dan keterbatasan gerak pengamat pada kondisi lokasi tertentu. Sarang adalah bukti keberadaan orangutan yang paling mudah diamati (Meijaard et al. 2001). Sarang merupakan sesuatu yang sengaja atau tidak disengaja dibangun untuk digunakan sebagai tempat berkembang biak dan atau sebagai tempat istirahat atau tidur (Alikodra, 1990). Perilaku membangun sarang pada Orangutan diindikasikan sebagai suatu perilaku yang menunjukan kecerdasan kera besar (Grzimerk, 1972). Orangutan membangun sarang harian untuk tempat tidur malam dan untuk waktu tidur tambahan di siang hari. Jumlah sarang dapat dijadikan dasar perhitungan untuk mengetahui jumlah Orangutan di habitatnya. Sekurang-kurangnya Orangutan membangun 1 sarang dalam satu hari. Pujiyani (2009) menyatakan bahwa sarang Orangutan berbentuk lingkaran yang terbuat dari rangkaian daun dan ranting yang dipatahkan atau hanya dibengkokkan sedemikian rupa, rangkaian daun dan ranting tersebut dijalin sangat kuat sehingga aman dan nyaman digunakan. Menurut MacKinnon (1974), kegiatan pembutan sarang Orangutan terdiri dari beberapa tahap yaitu :

4 1. Rimming (melingkarkan) yaitu melekukkan dahan secara horizontal sampai membentuk lingkaran sarang kemudian ditahan dengan melekukkan dahan lainnya sehingga membentuk kuncian jalinan dahan. 2. Hanging (menggantung) yaitu melekukkan dahan ke dalam lingkaran sarang sehingga membentuk kantung sarang. 3. Pillaring (menopang) yaitu melekukkan dahan ke bawah sarang sebagai penopang sarang. 4. Loose (melepaskan) yaitu memutus beberapa dahan dari pohon dan diletakkan ke dalam sarang sebagai alas atau di bagian atas sebagai atap. Pada penelitian sebelumnya tentang penentuan pohon sarang Orangutan Sumatera (Pongo abelii) ada beberapa hal yang perlu diamati, yaitu: 1. Jenis Pohon Sarang Jenis pohon sarang berdasarkan penelitian Pujiyani (2009) adalah pohon jenis Hoting termasuk dalam famili Fagaceae yang diduga merupakan jenis pohon berkayu keras. Jenis pohon Hoting lebih banyak dipilih sebagi tempat membangun sarang karena secara morfologi Orangutan merupakan primata besar yaitu dengan berat tubuh rata-rata Orangutan jantan dewasa 86,3 kg sedangkan betina dewasa 38,5 kg dan hidup secara arboreal maka dibutuhkan jenis kayu yang kuat, sehingga mampu menahan beban tubuh Orangutan dan secara naluriah Orangutan di Hutan Batang Toru memilih jenis Hoting sebagai pohon tempat bersarang. Selain itu, pohon Hoting memiliki percabangan horizontal yang relatif rapat dengan daun tidak berbulu dan tidak bergetah yang tersebar merata pada seluruh cabang pohon. Ukuran daun Hoting tidak terlalu besar, yaitu memiliki ppanjang daun antara cm. Sifat percabangan dan komposisi daun Hoting

5 tersebut akan memudahkan Orangutan dalam membangun sarang yang kuat dan nyaman. Menurut Rijksen (1978), Orangutan tidak menggunakan pohon yang sedang berbuah untuk tempat bersarang sebagai strategi untuk menghindari perjumpaan dengan satwa lain yang juga memanfaatkan pohon pakan yang sama, sehingga beresiko timbul persaingan untuk mendapatkan pakan. Berdasarkan penelitian Kuswanda dan Siregar (2010) ada beberapa jenis vegetasi pakan dan bukan pakan yang ditemukan di wilayah Bulu Mario dan Batu Satail yang dapat menjadi koridor Orangutan di Kawasan CA. Dolok Sibual-buali dengan Kawasan Hutan Lainnya dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Jenis Vegetasi yang Terdapat di Wilayah Bulu Mario dan Batu Satail No Nama Lokal Keterangan No Nama Lokal Keterangan 1 Akkarodon Pakan 47 Mayang Bukan Pakan 2 Ambogol Bukan Pakan 48 Mayang Batu Pakan 3 Andarasi Pakan 49 Mayang Bulan Pakan 4 Andayuk Bukan Pakan 50 Mayang Durian Pakan 5 Api-api Bukan Pakan 51 Medang Landit Bukan Pakan 6 Aren Pakan 52 Meranti Bukan Pakan 7 Atumbus Bukan Pakan 53 Meranti Bodat Bukan Pakan 8 Baja Bukan Pakan 54 Modang Bukan Pakan 9 Balik Angin Bukan Pakan 55 Modang Hunik Pakan 10 Bayur Pakan 56 Modang Landit Bukan Pakan 11 Bintangur Bukan Pakan 57 Modang Ngeri Bukan Pakan 12 Darodong Bukan Pakan 58 Modang Pokat Bukan Pakan 13 Dori Bukan Pakan 59 Modang Ri Bukan Pakan 14 Durian Hutan Bukan Pakan 60 Modang Sipalis Pakan 15 Gacip Gayo Bukan Pakan 61 Modang Soda Bukan Pakan 16 Golam Bukan Pakan 62 Petai Pakan 17 Goring-goring Bukan Pakan 63 Rambutan Hutan Pakan 18 Handis Pakan 64 Randuk Kambing Bukan Pakan 19 Hapas-hapas Bukan Pakan 65 Raru Bukan Pakan 20 Hase Pakan 66 Rau Bukan Pakan 21 Hatopul Bukan Pakan 67 Riman Bukan Pakan 22 Hau Aek Bukan Pakan 68 Sapot Bukan Pakan 23 Hau Dolok Bukan Pakan 69 Siak-siak Bukan Pakan 24 Hau Dolok Jambu Pakan 70 Simar Bawang Bukan Pakan 25 Hau Dolok Salam Pakan 71 Simar Eme-eme Bukan Pakan 26 Hau Hotang Bukan Pakan 72 Simarsiala Pakan 27 Hau Umbang Bukan Pakan 73 Simartolu Bukan Pakan 28 Hing Pakan 74 Sitarak Bukan Pakan 29 Hole Bukan Pakan 75 Songgak Bukan Pakan 30 Horsik Pakan 76 Suren Bukan Pakan 31 Hoteng Bukan Pakan 77 Talun Bukan Pakan 32 Hoteng Andihit Bukan Pakan 78 Tambiski Pakan 33 Hoteng Barangan Pakan 79 Teurep Bukan Pakan 34 Hoteng Batu Bukan Pakan 80 Tintin Urat Bukan Pakan 35 Hoteng Bunga Bukan Pakan 81 Tipa-tipa Bukan Pakan 36 Hoteng Maranak Bukan Pakan 82 Tulasan Bukan Pakan 37 Hoteng Turi Bukan Pakan Sumber : Kuswanda dan Siregar (2010) 38 Jeruk Hutan Bukan Pakan 39 Jungjung buit Pakan 40 Kapur Bukan Pakan 41 Karet Pakan 42 Kemenyan Bukan Pakan 43 Kulit Anjing Bukan Pakan 44 Lacat Bodat Pakan 45 Landorung Bukan Pakan 46 Losa Bukan Pakan

6 2. Tinggi Pohon Sarang Menurut Pujiyani (2009) dalam penelitian Orangutan di Hutan Batang Toru, tinggi pohon sarang dibagi 5 kelas, yaitu pohon dengan tinggi <11 m, m, m, m dan >25 m. Pohon yang tingginya lebih dari 25 meter, kurang disukai Orangutan untuk membuat sarang karena kondisinya yang tidak terlindungi dari terpaan angin. Apabila sarang berada pada ketinggian tersebut maka diperkirakan akan menyulitkan Orangutan untuk mengawasi kondisi di sekitarnya, karena dari pohon yang lebih tinggi akan sulit melihat kondisi di bawah yang tertutup tajuk pepohonan yang lebih rendah. 3. Tinggi Sarang Menurut Rijksen (1978), Orangutan pada umumnya membangun sarang pada ketinggian meter, namun hal ini bergantung pada struktur hutan tempat Orangutan tersebut berada, pemilihan tinggi tempat Orangutan membuat sarang juga sangat dipengaruhi oleh kondisi hutan seperti adanya serangan predator. Semakin tinggi sarang yang dibuat Orangutan, semakin sulit bagi predator untuk menjangkaunya. 4. Diameter Pohon Sarang Muin (2007) menyatakan bahwa diameter pohon mempunyai pengaruh yang kecil bagi Orangutan Kalimantan dalam pemilihan pohon sarang, peran faktor diameter lebih bersifat dukungan kepada faktor jumlah jenis pakan dalam mempengaruhi keberadaan sarang pada pohon tertentu. 5. Tipe Tajuk Menurut penelitian Pujiyani (2009) di kawasan hutan Batang Toru dan penelitian Rifai (2013) di kawasan hutan Bukit Lawang yang menjelaskan bahwa

7 Orangutan lebih banyak menggunakan pohon dengan bentuk tajuk bola, karena pohon dengan tajuk bola memiliki percabangan horizontal yang relatif rapat sehingga memudahkan Orangutan dalam membuat sarang. 6. Kerapatan Cabang Pujiyani (2009) menyatakan bahwa pohon dengan cabang rapat akan memudahkan Orangutan dalam membuat sarangnya. Percabangan semua jenis pohon akan terlihat serupa, namun jika diperhatikan dengan baik maka pada setiap jenis memiliki keunikan dan ciri percabangan yang berbeda. 7. Posisi Sarang Penelitian Pujiyani (2009) di hutan Batang Toru bahwa Pada posisi 1, sarang Orangutan akan lebih mudah terkena hujan dan terpaan angin, selain itu kayu pada puncak tajuk (posisi 1) merupakan kayu muda yang belum terlalu kuat, sehingga sangat beresiko bagi Orangutan untuk jatuh akibat kayu pohon sarang yang patah. Namun kelebihan sarang pada posisi 1 bagi Orangutan adalah pandangan dari posisi tersebut lebih leluasa dan memudahkan Orangutan untuk memperhatikan daerah sekelilingnya. Keawetan sarang tergantung pada teknik konstruksi, berat dan ukuran Orangutan, suasana hati saat membangun sarang, lokasi dan karakteristik pohon, cuaca serta keberadaan satwa lain yang mungkin akan merusak sarang Orangutan tersebut, dalam waktu 2,5 bulan sarang Orangutan akan tetap terlihat sebelum pada akhirnya akan hancur dan tinggal ranting-rantingnya saja (Rijksen, 1978). Sarang terdistribusi secara acak dan letaknya tergantung pada beberapa pertimbangan seperti jaraknya dengan sungai, dengan pohon buah/feeding tree,

8 keterlindungan dari matahari siang hari, angin malam hari, dan keterjangkauan pandangannya terhadap areal hutan (MacKinnon, 1974 dan Rijksen, 1978). C. Sistem Informasi Geografis (SIG) Definisi Sistem informasi geografis merupakan sebuah sistem yang terdiri dari perangkat keras (hardware), perangkat lunak (software), data, manusia (brainware) dan lembaga-lembaga yang digunakan untuk mengumpulkan, menyimpan, menganalisa dan menyebarkan data-data dan informasi-informasi mengenai daerah-daerah di permukaan bumi. SIG sebagai sistem informasi berbasis komputer memiliki empat kemampuan dasar (subsistem) (Prahasta 2002): a. Data input: subsistem ini memiliki tugas mengumpulkan dan mempersiapkan data spasial beserta atributnya dari berbagai sumber. Subsistem ini juga bertanggung jawab mengkonversi atau mentransformasikan format asli sebuah data menjadi format yang dapat digunakan dalam SIG. b. Data output: subsistem ini menampilkan atau menghasilkan seluruh atau sebagian keluaran basis data baik dalam bentuk soft copy maupun hard copy seperti tabel, grafik dan peta, c. Data management: subsistem ini mengkoordinasikan data spasial dan atributnya kedalam sebuah basis data sedemikian rupa sehingga mudah dipanggil, di-update dan diedit, d. Data manipulations dan analysis: subsistem ini menentukan informasiinformasi yang dapat dihasilkan oleh SIG. Selain itu juga melakukan

9 manipulasi dan pemodelan data untuk menghasilkan informasi yang diharapkan. Komponen SIG SIG merupakan sistem operasi yang komplek yang terintegrasi dengan lingkungan sistem komputer lain di tingkat fungsional dan jaringan. SIG dalam pengoperasiannya terdiri atas komponen (Batubara dan Hasibuan, 2000): a) Perangkat keras: Terdiri atas PC dekstop, workstation, hingga multiuser host yang dapat digunakan secara bersamaan, harddisk, dan mempunyai kapasitas memori serta RAM yang besar. b) Perangkat lunak: Software GIS menyediakan fungsi-fungsi dan alat-alat yang diperlukan untuk menyimpan, menganalisis, dan memperagakan informasi geografi. c) Data: merupakan komponen yang amat penting dalam GIS. Data geografik dan tabulasi data yang berhubungan akan dikumpulkan dalam suatu tempat khusus yang dapat dibeli dari penyedia data komersial. GIS akan menggabungkan ruang data dengan sumber-sumber data lainnya dan menggunakan Data Base Management System (DBMS) untuk mengorganisasikan dan memelihara serta mengatur data. d) Manusia: Teknologi GIS memerlukan orang untuk mengatur sistem dan membangun rencana-rencana supaya teraplikasi dalam hal yang nyata. e) Metoda: Menurut (Fata, 2011) kesuksesan GIS beroperasi tergantung pada perencanaan desain yang baik. Sumber-sumber data geospasial adalah foto udara, citra satelit, tabel statistik, dan dokumen lain yang berhubungan. Data geospasial dapat dibedakan menjadi data grafis (data geometris) dan data

10 atribut (data tematik). Data grafis terdiri atas tiga elemen yaitu: titik (node), garis (arc) dan luasan atau bidang (polygon) dalam bentuk vektor ataupun raster yang mewakili geometri topologi, ukuran, bentuk, posisi, dan arah. Aplikasi SIG Sistem Informasi Geografi (SIG) yang merupakan metode analisis untuk menyatukan beragam data dan menyajikannya dalam bentuk peta. Jenis vegetasi, sebaran hewan dan wilayah dilindungi saling ditumpangtindihkan (Scott et al., 1991). Dasar pendekatan SIG terdiri dari berbagai tahapan, termasuk menyimpan, menampilkan dan menganalisa bermacam jenis data yang tersimpan dalam data, termasuk peta jenis vegetasi, iklim, tanah, topografi, geologi, hidrologi, sebaran species, kawasan yang dilindungi, pemukiman manusia dan pola ekstraksi sumber daya alam. Pendekatan SIG dapat mengungkapkan berbagai hubungan (kolerasi) antara faktor biotik dan abiotik dari suatu bentang alam, serta membantu proses perancangan kawasan agar memiliki komunitas hayati yang ada, bahkan menampilkan kawasan-kawasan yang berpotensi untuk mencari species langkah maupun dilindungi (Turner et al., 2003). Kekuatan SIG tampak pada kemampuan menganalisis data spasial dan atribut secara bersamaan. Disinilah SIG menunjukkan kemampuannya mengolah data peta, seperti pemetaan yang terotomatisasi dengan menggunakan sistem komputer. Kemampuan analisis SIG ini antara lain proses klasifikasi lahan, operasi overlay, operasi neighbourhood dan fungsi konektivitas (Elly, 2009).

11 D. Penginderaan Jarak Jauh Penginderaan jauh berasal dari kata remote sensing memiliki pengertian bahwa penginderaan jauh merupakan suatu ilmu dan seni untuk memperoleh data dan informasi dari suatu objek dipermukaan bumi dengan menggunakan alat yang tidak berhubungan langsung dengan objek yang dikajinya. Jadi, penginderaan jauh merupakan ilmu dan seni untuk mengindera/menganalisis permukaan bumi dari jarak yang jauh, dimana perekaman dilakukan di udara atau di angkasa dengan menggunakan alat (sensor) dan wahana (Lillesand dan Kiefer, 1979). Data penginderaan jarak jauh merupakan sumber paling utama data dinamis dalam sistem informasi geografis. Beberapa contoh aplikasi yang dimungkinkan oleh data penginderaan jarak jauh adalah sebagai berikut: pemetaan tutupan lahan, analisa perubahan tutupan lahan, analisa deforestasi, ekspansi perkebunan, perkembangan kota, analisa dampak bencana, perhitungan cadangan karbon dan emisinya, perhitungan biofisik vegetasi (kerapatan tegakan, jumlah tegakan, biomassa), serta identifikasi dan analisa infrastruktur (jumlah dan panjang jalan, jumlah rumah, luasan pemukiman dan lain-lain) (Ekadinata et al., 2008). Citra adalah representasi dua dimensi dari permukaan bumi yang dilihat dari luar angkasa. Terdapat dua macam citra, yaitu: analog dan digital. Citra analog membutuhkan proses pencetakan sebelum dapat dianalisa, contoh dalam hal ini adalah foto udara. Citra digital mengandung informasi dalam format digital, contohnya adalah citra satelit. Citra digital dibangun oleh struktur dua dimensi dari elemen gambar yang disebut piksel. Setiap piksel memuat informasi

12 tentang warna, ukuran dan lokasi dari sebagian/sebuah objek (Ekadinata et al. 2008). NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) adalah perhitungan citra yang digunakan untuk mengetahui tingkat kehijauan, yang sangat baik sebagai awal dari pembagian daerah vegetasi. NDVI dapat menunjukkan parameter yang berhubungan dengan parameter vegetasi, antara lain, biomassa dedaunan hijau, daerah dedaunan hijau yang merupakan nilai yang dapat diperkirakan untuk pembagian vegetasi (Forest Watch Indonesia, 2010). Berikut adalah contoh klasifikasi kelas tutupan lahan berdasarkan indeks vegetasi menurut Forest Watch Indonesia (2010). Tabel 2. Klasifikasi Kelas Tutupan Lahan Berdasarkan NDVI (Forest Watch Indonesia, 2010) Daerah Pembagian Nilai NDVI Awan es, awan air, salju <0 Batuan dan lahan kosong 0-0,1 Padang rumput dan semak belukar 0,2-0,3 Hutan daerah hangat dan hutan hujan tropis 0,4-0,8 E. Cagar Alam Dolok Sibual-Buali Cagar Alam Dolok Sibual-buali (CADS) merupakan salah satu kawasan konservasi di Sumatera Utara yang kaya dengan keanekaragaman hayati berupa spesies tumbuhan dan satwaliar (Hasibuan, 2011). Kawasan Cagar Alam Dolok Sibual-buali (CADS) merupakan Kawasan Suaka Alam. Menurut Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Kawasan Suaka Alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan. Sedangkan Cagar Alam

13 adalah kawasan suaka alam yang karena keadaan alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa dan ekosistemnya atau ekosistem tertentu yang perlu dilindungi dan perkembangannya berlangsung secara alami. Menurut Kuswanda dan Sugiarti (2005) kawasan Cagar Alam Dolok Sibual-buali dan hutan penyangganya merupakan habitat Orangutan Sumatera (Pongo abelii Lesson) sehingga kualitas dan luasan hutan primernya harus dilestarikan. Orangutan adalah satwa langka yang dalam Red List of Threatened Species dikategorikan sebagai satwa yang kritis terancam punah secara global (critically endangered) yang sebagian besar populasinya hanya mampu hidup pada hutan primer. Adanya kawasan hutan yang terdegradasi di sekitar CADS akan semakin menyempitkan ruang jelajah Orangutan yang dapat mempercepat laju kepunahan lokal bagi Orangutan. Populasi Orangutan di dan sekitar CADS hanya tersisa sekitar 27 individu. Menurut informasi yang didapatkan dari bagian pengelola resort Cagar Alam Dolok Sibual-Buali pada tahun 2014, keberadaan pohon sarang Orangutan Sumatera (Pongo abelii) terdapat di desa Huraba, Bulu Mario, Aek Nabara, Sitandiang, Tanjung Rompa, Simaretung, Poken Arba, Sugi, Aek Sabaon, Sialaman dan Sibio-Bio. Penelitian Kuswanda dan Siregar (2010) tentang survei penutupan lahan, populasi dan komposisi vegetasi pada areal peruntukan koridor Orangutan untuk hutan Batang Toru blok barat tepatnya berada di wilayah Bulu Mario dan Batu Satail yang dapat menjadi koridor Orangutan di Kawasan CA. Dolok Sibual-buali dengan Kawasan Hutan Lainnya. Survei tutupan lahan dilakukan dengan cara tipe tutupan lahan dicatat pada setiap jarak 100 meter pada jalur pengamatan. Survei sebaran Orangutan dilakukan dengan mengamati secara langsung maupun tidak

14 langsung berdasarkan penemuan sarang pada lokasi pengamatan. Metode pengumpulan data menggunakan metode line transect. Lokasi pengamatan dibagi dalam lima blok dan pada setiap blok pengamatan dibuat dua jalur dengan panjang masing-masing jalur sejauh meter dan jarak antar jalur 400. Lebar jalur penelitian ditentukan berdasarkan nilai rata-rata jarak tegak lurus terhadap objek penelitian (individu orangutan dan/atau sarang). Survei vegetasi dilakukan dengan membuat plot analisis vegetasi menggunakan metode garis berpetak (strip transect method). Plot analisis vegetasi dibuat di setiap jalur pengamatan Orangutan. Jumlah plot analisis vegetasi pada setiap jalur pengamatan dibuat sebanyak plot (luas setiap plot 400 m 2 ). Plot analisi vegetasi diletakkan secara acak sistematik dengan jarak antar plot sekitar 100 meter. Hasil pengamatan klasifikasi lahan pada setiap blok dan jalur penelitian dapat dilihat pada Tabel 2. Hasil pengamatan sarang pada lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Kondisi Dominan Penutupan Lahan Setiap Blok Survei Blok I (Kawasan Cagar Alam Dolok Sibual-buali) II (Daerah Penyangga CADS) Jalur Kode Koordinat Jalur Dominansi Penutupan Lahan Penelitian Awal Akhir Hutan Primer Hutan Primer Dominansi hutan sekunder dan sebagian kecil hutan primer III (Lintasan jalan Bulu Mario ke Batu Satail / Lahan Masyarakat) IV (Lahan Olahan Masyarakat) V (Lahan Olahan Masyarakat) Sumber : Kuswanda dan Siregar (2010) 4 Dominansi hutan primer dan sebagian kecil hutan sekunder Dominansi kebun campur dan sebagian hutan sekunder Dominansi hutan sekunder dan sebagian kebun campur dan sawah/kolam Campuran hutan sekunder dan kebun campur Dominansi hutan sekunder dan pertanian lahan kering (kebun kopi) Campuran pertanian lahan kering kebun kopi, kebun campur dan sedikit hutan primer Hutan sekunder (Log Over Area/LOA)

15 Berdasarkan hasil pengamatan tipe tutupan lahan seperti pada Tabel 2 diperoleh informasi bahwa tipe penutupan lahan pada lokasi berpotensi sebagai koridor Orangutan cukup bervariasi. Kondisi lahan sebagian besar telah berubah menjadi areal hutan sekunder dan kebun campur. Keadaan ini tentunya telah memutus jalur jelajah bagi Orangutan. Orangutan yang berada di kawasan CA. Dolok Sibual-buali tentunya akan terisolasi dan sulit untuk berimigrasi (memperluas areal jelajah) pada kawasan hutan lainnya. Melihat kondisi lahan seperti ini, maka pembangunan koridor sangatlah penting. Tabel 4. Hasil Pengamatan Karakteristik Sarang di Lokasi Survei Jalur Jumlah Karakteristik Sarang Sarang Kelas Posisi Jarak (meter) 1 0 Kosong (tidak ditemukan sarang) 2 0 Kosong (tidak ditemukan sarang) 3 4 C 1 4 C 1 1 C 1 1 B C 1 5 B C Kosong (tidak ditemukan sarang) 7 4 D 2 3 B 2 3 C 3 10 C D C 2 5 C 1 10 C Kosong (tidak ditemukan sarang) Total 15 5,73 Sumber : Kuswanda dan Siregar (2010) Berdasarkan hasil pengamatan pada lokasi survei seperti Tabel 3 di atas ditemukan bahwa sebaran Orangutan (berdasarkan penemuan sarang) justru banyak ditemukan pada hutan sekunder dan kebun campur, seperti pada jalur 3 dan jalur 7. Pada jalur yang di buat di Kawasan CA. Dolok Sibual-buali tidak ditemukan satupun sarang Orangutan (jalur 1 dan jalur 2). Hasil ini menunjukkan

16 bahwa sebaran Orangutan pada waktu survei banyak terdistribusi di daerah penyangga dan dekat dengan olahan masyarakat. Pada penelitian Kuswanda dan Siregar (2010) diketahui bahwa jumlah sarang yang ditemukan pada areal secara keseluruhan ditemukan sebanyak 15 sarang, yang didominasi pada kelas C dengan posisi sarang 1 dan 3. Penemuan sarang pada waktu survei secara umum termasuk pada kelas C mengindikasikan Orangutan pada waktu penelitian sudah berpindah tempat. Begitu pula, banyaknya sarang yang ditemukan pada posisi 1 dan 3 menunjukkan Orangutan cenderung memilih lokasi untuk penempatan sarang. Kawasan hutan Dolok Sibual-buali merupakan kawasan hutan lindung dan baru ditetapkan sebagai cagar alam berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 215/Kpts/Um/4/1982, tanggal 8 April 1982 dengan luas kurang lebih Ha. Berdasarkan letak pada ketinggian di atas permukaan laut maka Cagar Alam Dolok Sibual-buali terletak pada ketinggian m dpl. Kemiringan lahan sebagian besar adalah curam (21-55%). Jenis tanahnya berupa tanah aluvial yang berhumus sedang dengan warna tanah coklat tua kehitaman dengan ph antara 5-6,5. Suhu maksimum 29 o C dan minimum 18 o C dengan kelembaban antara % (Balai Besar Konservasi Sumberdaya Alam, 2011).

TINJAUAN PUSTAKA. mempunyai kekhasan/keunikan jenis tumbuhan dan/atau keanekaragaman

TINJAUAN PUSTAKA. mempunyai kekhasan/keunikan jenis tumbuhan dan/atau keanekaragaman TINJAUAN PUSTAKA A. Cagar Alam Cagar Alam adalah Kawasan Suaka Alam yang karena keadaan alamnya mempunyai kekhasan/keunikan jenis tumbuhan dan/atau keanekaragaman tumbuhan beserta gejala alam dan ekosistemnya

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2014.

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2014. METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2014. Penelitian ini dilakukan di kawasan Cagar Alam Dolok Sibual-buali (Studi Kasus: Desa Bulu

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Orangutan Orangutan termasuk kera besar dari ordo Primata dan famili Pongidae (Groves, 2001). Ada dua jenis orangutan yang masih hidup, yaitu jenis dari Sumatera

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi dan Morfologi Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Klasifikasi ilmiah orangutan Sumatera menurut Groves (2001) adalah

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi dan Morfologi Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Klasifikasi ilmiah orangutan Sumatera menurut Groves (2001) adalah TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi dan Morfologi Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Klasifikasi ilmiah orangutan Sumatera menurut Groves (2001) adalah sebagai berikut : Kerajaan Filum Subfilum Kelas Bangsa Keluarga

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan,

TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, TINJAUAN PUSTAKA Cagar Alam Dolok Sibual-buali Berdasarkan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Hutan Suaka Alam ialah kawasan hutan yang karena sifatnya diperuntukkan secara khusus untuk

Lebih terperinci

BAB II PEMBAHASAN 1. Pengertian Geogrhafic Information System (GIS) 2. Sejarah GIS

BAB II PEMBAHASAN 1. Pengertian Geogrhafic Information System (GIS) 2. Sejarah GIS BAB II PEMBAHASAN 1. Pengertian Geogrhafic Information System (GIS) Sistem Informasi Geografis atau disingkat SIG dalam bahasa Inggris Geographic Information System (disingkat GIS) merupakan sistem informasi

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pulau Timor memiliki avifauna yang unik (Noske & Saleh 1996), dan tingkat endemisme burung tertinggi dibandingkan dengan beberapa pulau besar lain di Nusa Tenggara (Pulau

Lebih terperinci

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Pembentukan Taman Kupu-Kupu Gita Persada Taman Kupu-Kupu Gita Persada berlokasi di kaki Gunung Betung yang secara administratif berada di wilayah Kelurahan

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang karakteristik habitat Macaca nigra dilakukan di CA Tangkoko yang terletak di Kecamatan Bitung Utara, Kotamadya Bitung, Sulawesi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Deskripsi Area. Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) merupakan satu kesatuan

TINJAUAN PUSTAKA. Deskripsi Area. Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) merupakan satu kesatuan TINJAUAN PUSTAKA Deskripsi Area Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) merupakan satu kesatuan kawasan pelestarian alam, seluas 1.094.692 Hektar yang terletak di dua propinsi, yaitu Propinsi Nanggroe Aceh

Lebih terperinci

Kampus USU Medan 20155

Kampus USU Medan 20155 Analisis Karakteristik Pohon dan Sarang Orangutan Sumatera (Pongo abelii) di Bukit Lawang Kabupaten Langkat Analysis of the Trees and Nest Characteristics of Sumatran Orangutan (Pongo abelii) in Bukit

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Habitat merupakan lingkungan tempat tumbuhan atau satwa dapat hidup dan berkembang biak secara alami. Kondisi kualitas dan kuantitas habitat akan menentukan komposisi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan seluruh satuan lahan yang menunjang kelompok vegetasi yang didominasi oleh pohon segala ukuran, dieksploitasi maupun tidak, dapat menghasilkan kayu

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Taman Nasional Kerinci Seblat, tepatnya di Resort Batang Suliti, Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah IV, Provinsi

Lebih terperinci

TALLY SHEET PENGAMBILAN DATA SARANG ORANGUTAN. Lokasi : Aek Nabara Cuaca : Cerah mendung Habitat : Hutan Arah transek : Selatan

TALLY SHEET PENGAMBILAN DATA SARANG ORANGUTAN. Lokasi : Aek Nabara Cuaca : Cerah mendung Habitat : Hutan Arah transek : Selatan TALLY SHEET PENGAMBILAN DATA SARANG ORANGUTAN Lokasi : Aek Nabara Cuaca : Cerah mendung Habitat : Hutan Arah transek : Selatan Tanggal : 29 Mei 2014 Posisi (GPS) waypoint permulaan jalur/transek : Akhir

Lebih terperinci

DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL PEDOMAN INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS MANGROVE

DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL PEDOMAN INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS MANGROVE DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL PEDOMAN INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS MANGROVE JAKARTA, MEI 2005 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bio-ekologi Ungko (Hylobates agilis) dan Siamang (Symphalangus syndactylus) 2.1.1 Klasifikasi Ungko (Hylobates agilis) dan siamang (Symphalangus syndactylus) merupakan jenis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumatera Utara memiliki luas total sebesar 181.860,65 Km² yang terdiri dari luas daratan sebesar 71.680,68 Km² atau 3,73 % dari luas wilayah Republik Indonesia. Secara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan erat dengan upaya pemerintah dalam meningkatkan devisa negara, yang pada masa lalu didominasi

Lebih terperinci

BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU

BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU EDY HENDRAS WAHYONO Penerbitan ini didukung oleh : 2 BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU Ceritera oleh Edy Hendras Wahyono Illustrasi Indra Foto-foto Dokumen

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada Mei - Juli Lokasi penelitian adalah di kawasan

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada Mei - Juli Lokasi penelitian adalah di kawasan III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada Mei - Juli 2014. Lokasi penelitian adalah di kawasan hutan mangrove pada lahan seluas 97 ha, di Pantai Sari Ringgung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan

BAB I PENDAHULUAN. hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan I. 1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Indonesia adalah salah satu negara yang dikenal memiliki banyak hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan tropis Indonesia adalah

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Orangutan Orangutan merupakan hewan vertebrata dari kelompok kera besar yang termasuk ke dalam Kelas Mamalia, Ordo Primata, Famili Homonidae dan Genus Pongo, dengan

Lebih terperinci

Gambar 4.15 Kenampakan Satuan Dataran Aluvial. Foto menghadap selatan.

Gambar 4.15 Kenampakan Satuan Dataran Aluvial. Foto menghadap selatan. Gambar 4.15 Kenampakan Satuan Dataran Aluvial. Foto menghadap selatan. Gambar 4.16 Teras sungai pada daerah penelitian. Foto menghadap timur. 4.2 Tata Guna Lahan Tata guna lahan pada daerah penelitian

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari hingga April 2014 di Kawasan

METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari hingga April 2014 di Kawasan 23 III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari hingga April 2014 di Kawasan Hutan Lindung Batutegi Blok Kali Jernih (Gambar 3), bekerjasama dan di bawah

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian

METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2004 sampai dengan September 2005 di empat lokasi Taman Nasional (TN) Gunung Halimun-Salak, meliputi tiga lokasi

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Waktu dan Tempat BAB IV METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung yang terfokus di Desa Tompobulu dan kawasan hutan sekitarnya. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Salah satu primata arboreal pemakan daun yang di temukan di Sumatera adalah

I. PENDAHULUAN. Salah satu primata arboreal pemakan daun yang di temukan di Sumatera adalah 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu primata arboreal pemakan daun yang di temukan di Sumatera adalah cecah (Presbytis melalophos). Penyebaran cecah ini hampir di seluruh bagian pulau kecuali

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Vegetasi 5.1.1. Kondisi Habitat Daerah Aliran Sungai Analisis vegetasi dilakukan pada tiga lokasi dengan arah transek tegak lurus terhadap Hulu Sungai Plangai dengan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hutan dapat diberi batasan sesuai dengan sudut pandang masing-masing pakar. Misalnya dari sisi ekologi dan biologi, bahwa hutan adalah komunitas hidup yang terdiri dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. menyebabkan perubahan tata guna lahan dan penurunan kualitas lingkungan. Alih

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. menyebabkan perubahan tata guna lahan dan penurunan kualitas lingkungan. Alih BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tingginya kebutuhan lahan dan semakin terbatasnya sumberdaya alam menyebabkan perubahan tata guna lahan dan penurunan kualitas lingkungan. Alih guna hutan sering terjadi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya dengan

I. PENDAHULUAN. Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya dengan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya dengan sumber keanekaragaman hayati dan memilki banyak kawasan konservasi. Cagar Alam (CA) termasuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni

I. PENDAHULUAN. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni hutan tropis sumatera yang semakin terancam keberadaannya. Tekanan terhadap siamang terutama

Lebih terperinci

Karena tidak pernah ada proyek yang dimulai tanpa terlebih dahulu menanyakan: DIMANA?

Karena tidak pernah ada proyek yang dimulai tanpa terlebih dahulu menanyakan: DIMANA? PENGUKURAN KEKOTAAN Geographic Information System (1) Lecture Note: by Sri Rezki Artini, ST., M.Eng Geomatic Engineering Study Program Dept. Of Geodetic Engineering Permohonan GIS!!! Karena tidak pernah

Lebih terperinci

INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO

INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO 1 INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO (Johannes teijsmania altifrons) DI DUSUN METAH, RESORT LAHAI, TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH PROVINSI RIAU- JAMBI Yusi Indriani, Cory Wulan, Panji

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Orangutan dan Klasifikasi Istilah orangutan diambil dari bahasa Melayu, yang berarti manusia (orang) hutan. Dalam pemberian nama ini para ahli anthropologi fisik mengalami kesulitan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Ekosistem Cagar Alam (CA) Dolok Sibual Buali secara administrasi

TINJAUAN PUSTAKA. Ekosistem Cagar Alam (CA) Dolok Sibual Buali secara administrasi TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Umum Lokasi Penelitian a. Letak dan Luas Ekosistem Cagar Alam (CA) Dolok Sibual Buali secara administrasi pemerintahan terletak di 3 (tiga) wilayah kecamatan yaitu Kecamatan Sipirok,

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Bukit Lawang, Taman Nasional Gunung Leuser Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser yang membentang di wilayah 10 Kabupaten dan 2 Provinsi tentu memiliki potensi wisata alam yang

Lebih terperinci

BAB 11: GEOGRAFI SISTEM INFORMASI GEOGRAFI

BAB 11: GEOGRAFI SISTEM INFORMASI GEOGRAFI 1. Sistem Informasi Geografi merupakan Sistem informasi yang memberikan gambaran tentang berbagai gejala di atas muka bumi dari segi (1) Persebaran (2) Luas (3) Arah (4) Bentuk 2. Sarana yang paling baik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kegiatan yang mengancam eksistensi kawasan konservasi (khususnya

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kegiatan yang mengancam eksistensi kawasan konservasi (khususnya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Manusia dan kawasan konservasi memiliki korelasi yang kuat. Suatu kawasan konservasi memiliki fungsi ekologi, ekonomi, dan sosial sedangkan manusia memiliki peran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hutan di Indonesia merupakan sumber daya alam yang cukup besar

BAB I PENDAHULUAN. Hutan di Indonesia merupakan sumber daya alam yang cukup besar BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Hutan di Indonesia merupakan sumber daya alam yang cukup besar peranannya dalam Pembangunan Nasional, kurang lebih 70% dari luas daratan berupa hutan. Hutan sangat

Lebih terperinci

SISTEM INFORMASI GEOGRAFI. Data spasial direpresentasikan di dalam basis data sebagai vektor atau raster.

SISTEM INFORMASI GEOGRAFI. Data spasial direpresentasikan di dalam basis data sebagai vektor atau raster. GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 14 Sesi NGAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI A. MODEL DATA SPASIAL Data spasial direpresentasikan di dalam basis data sebagai vektor atau raster. a. Model Data Vektor

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. Pembatasan Masalah Penelitian Keanekaragaman Jenis Burung di Berbagai Tipe Daerah Tepi (Edges) Taman Hutan Raya Sultan Syarif Hasyim Propinsi Riau selama 6 bulan adalah untuk

Lebih terperinci

BAB III. METODE PENELITIAN

BAB III. METODE PENELITIAN BAB III. METODE PENELITIAN A. Tempat Penelitian Lokasi Penelitian ini dilaksanakan di Taman Nasional Gunung Merbabu (TNGMb) Jawa Tengah, difokuskan di lereng sebelah selatan Gunung Merbabu, yaitu di sekitar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kukang di Indonesia terdiri dari tiga spesies yaitu Nycticebus coucang

BAB I PENDAHULUAN. Kukang di Indonesia terdiri dari tiga spesies yaitu Nycticebus coucang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kukang di Indonesia terdiri dari tiga spesies yaitu Nycticebus coucang (tersebar di Pulau Sumatera), Nycticebus javanicus (tersebar di Pulau Jawa), dan Nycticebus

Lebih terperinci

BRIEF Volume 11 No. 05 Tahun 2017

BRIEF Volume 11 No. 05 Tahun 2017 PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SOSIAL, EKONOMI, KEBIJAKAN DAN PERUBAHAN IKLIM BADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INOVASI KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN POLICY BRIEF Volume 11 No. 05 Tahun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kawasan lahan basah Bujung Raman yang terletak di Kampung Bujung Dewa

I. PENDAHULUAN. Kawasan lahan basah Bujung Raman yang terletak di Kampung Bujung Dewa I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kawasan lahan basah Bujung Raman yang terletak di Kampung Bujung Dewa Kecamatan Pagar Dewa Kabupaten Tulang Bawang Barat Provinsi Lampung, merupakan suatu kawasan ekosistem

Lebih terperinci

Pengertian Sistem Informasi Geografis

Pengertian Sistem Informasi Geografis Pengertian Sistem Informasi Geografis Sistem Informasi Geografis (Geographic Information System/GIS) yang selanjutnya akan disebut SIG merupakan sistem informasi berbasis komputer yang digunakan untuk

Lebih terperinci

keadaan seimbang (Soerianegara dan Indrawan, 1998).

keadaan seimbang (Soerianegara dan Indrawan, 1998). II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Suksesi dan Restorasi Hutan Hutan merupakan masyarakat tumbuh-tumbuhan yang di dominasi oleh pepohonan. Masyarakat hutan merupakan masyarakat tumbuh-tumbuhan yang hidup dan tumbuh

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. lahan dengan data satelit penginderaan jauh makin tinggi akurasi hasil

TINJAUAN PUSTAKA. lahan dengan data satelit penginderaan jauh makin tinggi akurasi hasil 4 TINJAUAN PUSTAKA Makin banyak informasi yang dipergunakan dalam klasifikasi penutup lahan dengan data satelit penginderaan jauh makin tinggi akurasi hasil klasifikasinya. Menggunakan informasi multi

Lebih terperinci

WANDA KUSWANDA, S.HUT, MSC

WANDA KUSWANDA, S.HUT, MSC CURRICULUM VITAE WANDA KUSWANDA, S.HUT, MSC 1 Jabatan Peneliti Peneliti Madya 2 Kepakaran Konservasi Sumberdaya Hutan 3 E-mail wkuswan@yahoo.com 4 Riwayat Pendidikan S1 : Jurusan Konservasi Sumberdaya

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 9. Peta Orientasi Wilayah Kecamatan Beji, Kota Depok

METODE PENELITIAN. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 9. Peta Orientasi Wilayah Kecamatan Beji, Kota Depok III. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kecamatan Beji sebagai pusat Kota Depok, Jawa Barat yang berbatasan langsung dengan Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Penelitian

Lebih terperinci

Prosiding Seminar Nasional Biotik 2017 ISBN:

Prosiding Seminar Nasional Biotik 2017 ISBN: Prosiding Seminar Nasional Biotik 2017 ISBN: 978-602-60401-3-8 PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP KEBEBASAN FRAGMENTASI HABITAT ORANGUTAN SUMATERA (Pongo abelii) DI HUTAN RAWA TRIPA Wardatul Hayuni 1), Samsul

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seiring dengan perkembangan teknologi dan peningkatan kebutuhan hidup manusia, tidak dapat dipungkiri bahwa tekanan terhadap perubahan lingkungan juga akan meningkat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan,

I. PENDAHULUAN. yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Taman hutan raya merupakan kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami atau buatan, jenis asli dan atau bukan asli, yang dimanfaatkan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung merupakan satwa yang mempunyai arti penting bagi suatu ekosistem

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung merupakan satwa yang mempunyai arti penting bagi suatu ekosistem 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Burung Burung merupakan satwa yang mempunyai arti penting bagi suatu ekosistem maupun bagi kepentingan kehidupan manusia dan membantu penyebaran Tumbuhan yang ada disuatu kawasan

Lebih terperinci

SISTEM INFORMASI SUMBERDAYA LAHAN (Kuliah ke 12)

SISTEM INFORMASI SUMBERDAYA LAHAN (Kuliah ke 12) SISTEM INFORMASI SUMBERDAYA LAHAN (Kuliah ke 12) SISTEM MANAJEMEN BASIS DATA Oleh: Dr.Ir. Yuzirwan Rasyid, MS Beberapa Subsistem dari SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS 1. Subsistem INPUT 2. Subsistem MANIPULASI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. paling tinggi di dunia. Menurut World Wildlife Fund (2007), keanekaragaman

I. PENDAHULUAN. paling tinggi di dunia. Menurut World Wildlife Fund (2007), keanekaragaman 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati paling tinggi di dunia. Menurut World Wildlife Fund (2007), keanekaragaman hayati yang terkandung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan jumlah spesies burung endemik (Sujatnika, 1995). Setidaknya

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan jumlah spesies burung endemik (Sujatnika, 1995). Setidaknya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia menempati peringkat keempat sebagai negara yang memiliki kekayaan spesies burung dan menduduki peringkat pertama di dunia berdasarkan jumlah spesies burung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengelolaan praktek model agroforestri yang mempunyai fungsi ekonomi dan ekologi, akhir-akhir ini menjadi perhatian khusus. Banyak kawasan hutan yang beralih fungsi

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Pengambilan data untuk membuat model kesesuaian habitat orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus wurmbii) dilakukan di Suaka Margasatwa Sungai Lamandau.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Orangutan yang sedang beraktivitas di hutan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Orangutan yang sedang beraktivitas di hutan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taksonomi Orangutan Orangutan termasuk ke dalam Ordo Primata dan merupakan salah satu jenis dari anggota keluarga kera besar (Pongidae) yang berada di benua Asia yang masih hidup

Lebih terperinci

BAB III METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari

BAB III METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian BAB III METODELOGI PENELITIAN Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari 2017 yang berada di Resort Bandealit, SPTN Wilayah II, Taman Nasional

Lebih terperinci

Informasi singkat tentang jenis primata baru khas Sumatera. Orangutan Tapanuli. Pongo tapanuliensis. Jantan dewasa Orangutan Tapanuli Tim Laman

Informasi singkat tentang jenis primata baru khas Sumatera. Orangutan Tapanuli. Pongo tapanuliensis. Jantan dewasa Orangutan Tapanuli Tim Laman Informasi singkat tentang jenis primata baru khas Sumatera Orangutan Tapanuli Pongo tapanuliensis Jantan dewasa Orangutan Tapanuli Tim Laman Baru-baru ini Orangutan Tapanuli dinyatakan sebagai spesies

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. liar di alam, termasuk jenis primata. Antara tahun 1995 sampai dengan tahun

I. PENDAHULUAN. liar di alam, termasuk jenis primata. Antara tahun 1995 sampai dengan tahun 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konversi hutan di Pulau Sumatera merupakan ancaman terbesar bagi satwa liar di alam, termasuk jenis primata. Antara tahun 1995 sampai dengan tahun 2000, tidak kurang

Lebih terperinci

Sistem Informasi Geografis (SIG) Geographic Information System (SIG)

Sistem Informasi Geografis (SIG) Geographic Information System (SIG) Sistem Informasi Geografis (SIG) Geographic Information System (SIG) 24/09/2012 10:58 Sistem (komputer) yang mampu mengelola informasi spasial (keruangan), memiliki kemampuan memasukan (entry), menyimpan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masyarakat Kota Bandar Lampung dan Kabupaten Pesawaran. Selain itu taman

I. PENDAHULUAN. masyarakat Kota Bandar Lampung dan Kabupaten Pesawaran. Selain itu taman I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman merupakan wilayah sistem penyangga kehidupan terutama dalam pengaturan tata air, menjaga kesuburan tanah, mencegah erosi, menjaga keseimbangan

Lebih terperinci

Kesesuaian Lahan dan Geographic Information System (GIS)

Kesesuaian Lahan dan Geographic Information System (GIS) Kesesuaian Lahan dan Geographic Information System (GIS) Kompetensi Utama: Kompetensi Inti Guru: Kompetensi Dasar: Profesional Menguasai materi, struktur, konsep, dan pola pikir keilmuan yang mendukung

Lebih terperinci

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 8. SUPLEMEN PENGINDRAAN JAUH, PEMETAAN, DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (SIG)LATIHAN SOAL 8.3.

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 8. SUPLEMEN PENGINDRAAN JAUH, PEMETAAN, DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (SIG)LATIHAN SOAL 8.3. SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 8. SUPLEMEN PENGINDRAAN JAUH, PEMETAAN, DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (SIG)LATIHAN SOAL 8.3 1. Data spasial merupakan data grafis yang mengidentifikasi kenampakan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Habitat 2.2 Komunitas Burung

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Habitat 2.2 Komunitas Burung 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Habitat Habitat adalah kawasan yang terdiri dari berbagai komponen baik fisik maupun biotik yang merupakan satu kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat hidup serta berkembang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. endemik pulau Jawa yang dilindungi (Peraturan Pemerintah RI Nomor 7 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. endemik pulau Jawa yang dilindungi (Peraturan Pemerintah RI Nomor 7 Tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Owa Jawa atau Javan gibbon (Hylobates moloch) merupakan jenis primata endemik pulau Jawa yang dilindungi (Peraturan Pemerintah RI Nomor 7 Tahun 1999). Dalam daftar

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan jenis kera kecil yang masuk ke

II. TINJAUAN PUSTAKA. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan jenis kera kecil yang masuk ke II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taksonomi Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan jenis kera kecil yang masuk ke dalam keluarga Hylobatidae. Klasifikasi siamang pada Tabel 1. Tabel 1. Klasifikasi Hylobates syndactylus

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN. Waktu dan Lokasi

3 METODE PENELITIAN. Waktu dan Lokasi 12 Gymnospermae lebih efisien pada intensitas cahaya tinggi (Kramer & Kozlowski 1979). Sudomo (2007) menyatakan bahwa intensitas cahaya yang berlebihan akan menyebabkan laju transpirasi tinggi, sedangkan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi dan Morfologi Orangutan. tetapi kedua spesies ini dapat dibedakan berdasarkan warna bulunnya

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi dan Morfologi Orangutan. tetapi kedua spesies ini dapat dibedakan berdasarkan warna bulunnya TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi dan Morfologi Orangutan Secara morofologis orangutan Sumatera dan Kalimantan sangat serupa, tetapi kedua spesies ini dapat dibedakan berdasarkan warna bulunnya (Napier dan

Lebih terperinci

Mendeteksi Kebakaran Hutan Di Indonesia dari Format Data Raster

Mendeteksi Kebakaran Hutan Di Indonesia dari Format Data Raster Tugas kelompok Pengindraan jauh Mendeteksi Kebakaran Hutan Di Indonesia dari Format Data Raster Oleh Fitri Aini 0910952076 Fadilla Zennifa 0910951006 Winda Alvin 1010953048 Jurusan Teknik Elektro Fakultas

Lebih terperinci

12/29/2010. PEMODELAN SPASIAL KESESUAIAN HABITAT TAPIR (Tapirus indicus Desmarest 1819) DI RESORT BATANG SULITI- TAMAN NASIONAL KERINCI-SEBLAT

12/29/2010. PEMODELAN SPASIAL KESESUAIAN HABITAT TAPIR (Tapirus indicus Desmarest 1819) DI RESORT BATANG SULITI- TAMAN NASIONAL KERINCI-SEBLAT PEMODELAN SPASIAL KESESUAIAN HABITAT TAPIR (us indicus Desmarest 1819) DI RESORT BATANG SULITI- TAMAN NASIONAL KERINCI-SEBLAT Dieta Arbaranny Koeswara / E34050831 1. Latar Belakang Taman Nasional Kerinci

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian dilaksanakan di kawasan Tambling Wildlife Nature Conservation, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan untuk kegiatan pengamatan dan pengambilan

Lebih terperinci

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi 3.2 Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain alat tulis dan kamera digital. Dalam pengolahan data menggunakan software AutoCAD, Adobe Photoshop, dan ArcView 3.2 serta menggunakan hardware

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o o LU. (perhitungan luas menggunakan perangkat GIS).

TINJAUAN PUSTAKA. Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o o LU. (perhitungan luas menggunakan perangkat GIS). TINJAUAN PUSTAKA Daerah Aliran Sungai (DAS) Besitang Sekilas Tentang DAS Besitang Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o 45 04 o 22 44 LU dan 97 o 51 99 o 17 56 BT. Kawasan DAS Besitang melintasi

Lebih terperinci

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN PERTEMUAN 10 SUMBERDAYA LAHAN Sumberdaya Lahan Lahan dapat didefinisikan sebagai suatu ruang di permukaan bumi yang secara alamiah dibatasi oleh sifat-sifat fisik serta bentuk

Lebih terperinci

Kondisi koridor TNGHS sekarang diduga sudah kurang mendukung untuk kehidupan owa jawa. Indikasi sudah tidak mendukungnya koridor TNGHS untuk

Kondisi koridor TNGHS sekarang diduga sudah kurang mendukung untuk kehidupan owa jawa. Indikasi sudah tidak mendukungnya koridor TNGHS untuk 122 VI. PEMBAHASAN UMUM Perluasan TNGH (40.000 ha) menjadi TNGHS (113.357 ha) terjadi atas dasar perkembangan kondisi kawasan disekitar TNGH, terutama kawasan hutan lindung Gunung Salak dan Gunung Endut

Lebih terperinci

PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2014

PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2014 PEMETAAN DAERAH RAWAN KONFLIK ORANGUTAN SUMATERA (Pongo abelii) DENGAN MANUSIA MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (Studi Kasus : Desa Aek Nabara, Batu Satail, Bulu Mario, dan Sitandiang) SKRIPSI Oleh

Lebih terperinci

SISTEM IFORMASI GEOGRAFI

SISTEM IFORMASI GEOGRAFI SISTEM IFORMASI GEOGRAFI A. DEFINISI SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (SIG) Informasi permukaan bumi telah berabad-abad disajikan dalam bentuk peta. Peta yang mulai dibuat dari kulit hewan, sampai peta yang dibuat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya. Adapun yang membedakannya dengan hutan yang lainnya yaitu

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Peta Tematik untuk Pembuatan Model Spasial 5.1.1 Peta Ketinggian Ketinggian di lokasi penelitian berkisar antara 0-1351 meter dpl dengan tiga puncak gunung yaitu gunung Tangkoko,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dijumpai disetiap tempat dan mempunyai posisi penting sebagai salah satu

BAB I PENDAHULUAN. dijumpai disetiap tempat dan mempunyai posisi penting sebagai salah satu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Burung merupakan salah satu kekayaan hayati yang dimiliki oleh Indonesia. Keberadaan pakan, tempat bersarang merupakan faktor yang mempengaruhi kekayaan spesies burung

Lebih terperinci

Modul 1. Hutan Tropis dan Faktor Lingkungannya Modul 2. Biodiversitas Hutan Tropis

Modul 1. Hutan Tropis dan Faktor Lingkungannya Modul 2. Biodiversitas Hutan Tropis ix H Tinjauan Mata Kuliah utan tropis yang menjadi pusat biodiversitas dunia merupakan warisan tak ternilai untuk kehidupan manusia, namun sangat disayangkan terjadi kerusakan dengan kecepatan yang sangat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perencanaan pengembangan wilayah merupakan salah satu bentuk usaha

BAB I PENDAHULUAN. Perencanaan pengembangan wilayah merupakan salah satu bentuk usaha BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perencanaan pengembangan wilayah merupakan salah satu bentuk usaha yang memanfaatkan potensi sumberdaya lahan secara maksimal untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi ilmiah siamang berdasarkan bentuk morfologinya yaitu: (Napier and

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi ilmiah siamang berdasarkan bentuk morfologinya yaitu: (Napier and II. TINJAUAN PUSTAKA A. Bio-ekologi 1. Taksonomi Klasifikasi ilmiah siamang berdasarkan bentuk morfologinya yaitu: (Napier and Napier, 1986). Kingdom Filum Kelas Ordo Famili Genus Spesies : Animalia :

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Hutan primer (primary forest) adalah hutan yang telah mencapai umur lanjut dan ciri struktural tertentu yang sesuai dengan kematangannya serta memiliki sifat-sifat

Lebih terperinci

POTENSI DAN STRATEGI PENGEMBANGAN EKOWISATA SATWALIAR PADA HUTAN KONSERVASI (Kasus : SM. Barumun, Sumatera Utara)

POTENSI DAN STRATEGI PENGEMBANGAN EKOWISATA SATWALIAR PADA HUTAN KONSERVASI (Kasus : SM. Barumun, Sumatera Utara) POTENSI DAN STRATEGI PENGEMBANGAN EKOWISATA SATWALIAR PADA HUTAN KONSERVASI (Kasus : SM. Barumun, Sumatera Utara) BALAI PENELITIAN KEHUTANAN AEK NAULI PENDAHULUAN Ekowisata berkembang seiringin meningkatnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sokokembang bagian dari Hutan Lindung Petungkriyono yang relatif masih

BAB I PENDAHULUAN. Sokokembang bagian dari Hutan Lindung Petungkriyono yang relatif masih 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Habitat merupakan kawasan yang terdiri atas komponen biotik maupun abiotik yang dipergunakan sebagai tempat hidup dan berkembangbiak satwa liar. Setiap jenis satwa

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan 2.1.1 Pengertian Lahan Pengertian lahan tidak sama dengan tanah, tanah adalah benda alami yang heterogen dan dinamis, merupakan interaksi hasil kerja

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara tropis yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi, baik flora maupun fauna yang penyebarannya sangat luas. Hutan

Lebih terperinci

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 19 3.1 Luas dan Lokasi BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Kabupaten Humbang Hasundutan mempunyai luas wilayah seluas 2.335,33 km 2 (atau 233.533 ha). Terletak pada 2 o l'-2 o 28' Lintang Utara dan

Lebih terperinci

SISTEM INFORMASI SUMBER DAYA LAHAN

SISTEM INFORMASI SUMBER DAYA LAHAN 16/09/2012 DATA Data adalah komponen yang amat penting dalam GIS SISTEM INFORMASI SUMBER DAYA LAHAN Kelas Agrotreknologi (2 0 sks) Dwi Priyo Ariyanto Data geografik dan tabulasi data yang berhubungan akan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli-November Penelitian ini

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli-November Penelitian ini METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli-November 2012. Penelitian ini dilaksanakan di lahan sebaran agroforestri yaitu di Kecamatan Sei Bingai, Kecamatan Bahorok,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bio-ekologi Orangutan 2.1.1 Klasifikasi Orangutan merupakan satu-satunya kera besar yang hidup di benua Asia dan satu-satunya kera besar yang rambutnya berwarna coklat kemerahan.

Lebih terperinci

2016 ANALISIS KESESUAIAN LAHAN DI UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA UNTUK TANAMAN ENDEMIK JAWA BARAT MENGGUNAKAN GISARCVIEW

2016 ANALISIS KESESUAIAN LAHAN DI UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA UNTUK TANAMAN ENDEMIK JAWA BARAT MENGGUNAKAN GISARCVIEW 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan suatu negara yang strategis karena terletak di daerah khatulistiwa yang mempunyai tipe hutan hujan tropis cukup unik dengan keanekaragaman jenis

Lebih terperinci