II. TINJAUAN PUSTAKA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "II. TINJAUAN PUSTAKA"

Transkripsi

1 9 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Restorasi Ekologi Basuni (2009) menyatakan bahwa berdasarkan pengertian konservasi dalam pengertian luas, maka kegiatan restorasi tidak dapat dipisahkan dari preservasi. Lebih lanjut, Basuni (2009) membedakan kedua istilah tersebut sebagai berikut: 1) Restorasi, yaitu tindakan yang berusaha mengubah struktur obyek konservasi untuk menggambarkan keadaan terdahulu yang diketahui; contohnya, mengubah hutan tanaman Pinus (tumbuhan asing) di suatu kawasan hutan konservasi menjadi hutan tanaman Rasamala yang merupakan tumbuhan asli di kawasan hutan konservasi yang bersangkutan. 2) Preservasi, yaitu tindakan tertentu yang bertujuan untuk menjaga selama mungkin fitur-fitur kawasan hutan konservasi yang terlihat jelas seperti keadaannya semula (asli, utuh); suatu tujuan yang biasa dicapai dengan memodifikasi beberapa fitur kawasan hutan konservasi yang semula tidak terlihat. Preservasi ini dapat berupa: a. Preservasi langsung, dilakukan dengan mengubah fitur kawasan hutan konservasi; aktivitas dengan waktu terbatas (misal, menambah atau mengurangi populasi untuk mencapai populasi minimum viable; pengurangan atau penambahan populasi sampai tingkat daya dukung kawasan hutan konservasi). b. Preservasi lingkungan, dilakukan dengan mengubah lingkungan kawasan hutan konservasi atau fitur-fiturnya; aktivitas yang tidak dibatasi oleh waktu (membersihkan tumbuhan asli yang langka atau dilindungi dari lilitan tumbuhan liana asing, pengendalian predator, mencegah timbulnya wabah penyakit, pembinaan daerah penyangga). c. Preservasi informasional, bekerja dengan merekam atau meniru/ mereproduksi kawasan hutan konservasi dan atau beberapa fiturnya: foto, citra, data (atribut/spasial); membuat replika/tiruan (misalnya membangun taman plasma nutfah Taman Nasional X), tujuannya adalah untuk menyediakan informasi dan pengalaman bagi masyarakat tanpa resiko adanya gangguan pada kawasan hutan konservasi yang asli.

2 10 Restorasi ekologi berkaitan erat dengan kondisi kawasan hutan yang terdegradasi. ITTO (2002) menyatakan bahwa terminologi degradasi hutan mengacu pada penurunan kapasitas hutan untuk memproduksi barang dan jasa. Hutan yang terdegradasi menyebabkan penurunan suplai barang dan jasa serta keanekaragaman hayati yang terbatas. Hutan yang terdegradasi mengalami kehilangan struktur, fungsi, komposisi spesies, dan produktivitas normal yang diharapkan dari hutan tersebut. Berkaitan dengan pemulihan/perbaikan ekologi hutan yang terdegradasi, terdapat tiga istilah yang seringkali menimbulkan kebingungan dalam penggunaannya, yaitu reklamasi, rehabilitasi, dan restorasi. Lamb et al. (2003) membedakan ketiga istilah tersebut sebagai berikut: Reklamasi adalah pemulihan produktivitas pada area terdegradasi yang sebagian besar menggunakan pohon jenis eksotik (exotic spesies). Jenisjenis monokultur juga sering digunakan. Keanekaragaman hayati asli tidak dipulihkan, tetapi fungsi perlindungan dan fungsi jasa-jasa ekologi dipulihkan kembali. Rehabilitasi adalah pemulihan kembali produktivitas tetapi tidak keseluruhan jenis tumbuhan dan satwa asli ada. Untuk kepentingan/alasan ekologi dan ekonomi hutan yang baru dapat terdiri atas jenis yang tidak asli. Pada saatnya fungsi asli perlindungan hutan dan jasa ekologis akan kembali pulih. Restorasi ekologi adalah pemulihan kembali struktur, produktivitas, dan keanekaragaman jenis asli dari hutan yang ada. Pada saatnya proses dan fungsi ekologi akan kembali sama seperti aslinya/kondisi hutan pada awalnya. Ketiga istilah tersebut (reklamasi, rehabilitasi, dan ekologi restorasi) diilustrasikan oleh Lamb et al. (2003) seperti tersaji pada Gambar 2.

3 11 Gambar 2 Reklamasi, rehabilitasi, dan restorasi ekologi: A = kondisi hutan yang dicapai melalui restorasi ekologi, B1 = hutan yang terdegradasi, B2 = hutan yang terdegradasi lebih jauh apabila dibiarkan tanpa perlakuan, D = hutan yang kembali terdegradasi akibat adanya gangguan, E1 = kondisi hutan yang dicapai melalui reklamasi, E2 = kondisi hutan yang dicapai melalui reklamasi dengan adanya pengolahan tanah atau pemupukan, F = kondisi hutan yang dicapai melalui rehabilitasi (diadopsi dari Lamb et al., 2003) Sejalan dengan hal tersebut, Indrawan et al. (2007) menyatakan bahwa terdapat empat macam pendekatan yang sering digunakan untuk menangani ekosistem yang terdegradasi, yaitu: 1) Tanpa tindakan (no action), yaitu restorasi tidak dilakukan mengingat biaya pemulihan yang terlalu mahal, atau mungkin upaya restorasi sebelumnya gagal, ataupun berdasarkan pengalaman diperkirakan ekosistem dapat pulih kembali dengan sendirinya. 2) Rehabilitasi, yaitu ekosistem yang rusak diganti dengan ekosistem yang produktif, baik dengan menggunakan beberapa spesies maupun banyak jenis biota. 3) Restorasi parsial (sebagian), yaitu yang diperbaiki adalah sebagian fungsi ekosistem dan beberapa spesies asli yang dominan mungkin dapat dikembalikan. 4) Restorasi lengkap, yaitu restorasi suatu daerah hingga mencapai struktur dan komposisi spesies semula, maupun berbagai proses ekosistem terkait.

4 12 Restorasi ekologi didefinisikan oleh beberapa pihak sebagai berikut: Proses yang secara sengaja mengubah (keadaan lingkungan) suatu lokasi untuk membentuk kembali suatu ekosistem tertentu yang bersifat asli dan bernilai sejarah (Indrawan et al., 2007). Suatu proses untuk membantu pemulihan suatu ekosistem yang telah terdegradasi, mengalami kerusakan, atau mengalami kehancuran. Hal ini merupakan suatu kegiatan yang disengaja untuk menginisiasi atau mempercepat proses ekologi (SER IUCN, 2004). Upaya untuk mengembalikan unsur biotik (flora dan fauna) serta unsur abiotik (tanah, iklim, dan topografi) pada kawasan hutan produksi, sehingga tercapai keseimbangan hayati. Restorasi ekologi (ekosistem) ini dilakukan melalui penanaman, pengayaan, permudaan alam, dan atau pengamanan ekosistem (Dephut, 2004a). Lebih lanjut, Indrawan et al. (2007) menyatakan bahwa tujuan restorasi ekologi adalah untuk mengembalikan struktur, fungsi, keanekaragaman, serta dinamika dari ekosistem terkait. Pengetahuan tentang komposisi, struktur, dan fungsi dari hutan alami, begitu juga nilai rata-rata dan variasi kisaran, sangat diperlukan untuk menetapkan tujuan restorasi dan untuk mengevaluasi keberhasilan suatu kegiatan restorasi (Kuuluvainen et al., 2002). Oleh karena itu, maka dalam kegiatan restorasi ekologi diperlukan adanya suatu ekosistem acuan yang dapat digunakan untuk menetapkan tujuan yang ingin dicapai dari kegiatan restorasi. Tujuan restorasi ekologi dapat ditentukan hanya melalui penetapan kondisi-kondisi acuan (Kamada, 2005). SER IUCN (2004) mendefinisikan ekosistem acuan sebagai ekosistem yang sesungguhnya atau model konseptual dari suatu ekosistem yang digunakan untuk menetapkan tujuan dan perencanaan dari suatu proyek restorasi, serta evaluasinya. Kuuluvainen et al. (2002) menyatakan bahwa kegunaan restorasi ekologi dalam konservasi ekosistem hutan adalah sebagai berikut (Gambar 3): 1) Hutan konservasi seringkali jauh dari kondisi alaminya karena pengelolaan sebelumnya. Restorasi dapat digunakan untuk meningkatkan kealamian dari struktur hutan dalam rangka mempertinggi kuantitas dan kualitas bagi jenis fokal (focal species). 2) Kawasan-kawasan konservasi saat ini seringkali berukuran kecil dan terisolasi. Restorasi dapat digunakan untuk memperbesar dan melengkapi

5 13 kawasan-kawasan konservasi yang berukuran kecil dan terfragmentasi dalam rangka menciptakan unit-unit yang terhubung agar lebih besar dan lebih baik. 3) Prinsip-prinsip restorasi dapat digunakan pada hutan yang dikelola (hutan produksi) yang mengelilingi kawasan konservasi untuk menciptakan daerah penyangga (bufferzone) antara hutan produksi dengan hutan konservasi dan untuk meningkatkan fungsi konservasi dari kawasan konservasi. 4) Prinsip-prinsip restorasi dapat diterapkan pada hutan produksi alam secara keseluruhan untuk meningkatkan kualitas habitat dari matriks hutan. c) Hutan produksi mengelilingi kawasan konservasi baru a) Hutan konservasi b) Penetapan kawasan konservasi baru d) Hutan produksi alam Kawasan-kawasan konservasi terfragmentasi karena pengelolaan sebelumnya Penggabungan/perluasan kawasan konservasi Gambar 3 Ilustrasi sederhana dari kegunaan restorasi dalam konservasi ekosistem hutan (diadopsi dari Kuuluvainen et al., 2002) SER IUCN (2004) menyatakan bahwa restorasi ekologi berkontribusi dalam meningkatkan keanekaragaman hayati pada lansekap yang terdegradasi, meningkatkan populasi dan distribusi jenis yang langka dan terancam, meningkatkan konektifitas lansekap, meningkatkan ketersediaan barang dan jasa lingkungan, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Berkaitan dengan kontribusi restorasi ekologi dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat, ITTO (2002) dan Kobayashi (2004) menyatakan bahwa keberhasilan kegiatan restorasi ekologi dan rehabilitasi hutan yang terdegradasi hanya akan tercapai apabila masyarakat lokal berperan serta dalam kegiatan tersebut dan masyarakat pengguna hutan memperoleh keuntungan ekonomi jangka pendek, serta manfaat lain di masa datang. Keberhasilan restorasi menurut Walters (1997) antara lain ditandai dengan indikator sebagai berikut:

6 14 1) Restorasi dipandang oleh masyarakat lokal dapat memberikan keuntungan ekonomi bagi mereka. 2) Restorasi disusun sesuai dengan pola pemanfaatan sumberdaya dan lahan oleh masyarakat. 3) Pengetahuan lokal dan keahlian yang terkait dengan restorasi berhasil didokumentasikan oleh proyek. 4) Kelompok masyarakat/organisasi lokal secara efektif dimobilisasi untuk mendukung dan mengimplementasikan kegiatan restorasi. 5) Kebijakan yang terkait dan faktor politik mendukung upaya restorasi Jenis Eksotik (Exotic Species) dan Jenis Asli (Native Species) Indrawan et al. (2007) mendefinisikan jenis eksotik (exotic species) sebagai jenis yang terdapat di luar distribusi alaminya. Jenis eksotik tersebut seringkali berkembang biak dengan pesat di luar distribusi alaminya dan mengganggu jenis lainnya atau bersifat invasif (invasive species). Hal tersebut dikarenakan jenis eksotik seringkali dapat beradaptasi lebih cepat daripada jenis asli (native species) dan tidak adanya predator dan parasit alami mereka di habitat yang baru tersebut. Keberadaan jenis eksotik di kawasan konservasi merupakan hal yang sangat membahayakan keanekaragaman hayati di kawasan konservasi tersebut karena apabila jenis eksotik telah masuk di kawasan konservasi, maka jenis eksotik tersebut akan berkembang dalam jumlah besar, tersebar luas, dan berbaur di dalam komunitas, sehingga untuk menghilangkannya menjadi sangat sulit dan mahal. Upaya terbaik yang lebih efektif dan lebih murah agar jenis eksotik tidak menyebar luas adalah dengan melakukan pemberantasan dan pengendalian yang cepat pada saat pertama kali terlihat, agar jenis eksotik tersebut tidak sempat berkembang (Indrawan, 2007). Antonio et al. (2002) menyatakan bahwa jenis eksotik secara signifikan meningkatkan permasalahan pengelolaan di kawasan konservasi dan seringkali mempersulit proyek restorasi. Lebih lanjut, Antonio et al. (2002) menyebutkan beragam teknik yang dapat digunakan untuk memindahkan jenis eksotik dari suatu kawasan konservasi yang akan direstorasi, diantaranya yaitu: pemindahan dengan tangan/manual, pemindahan dengan mesin, penggunaan herbisida, penggunaan api, atau dilakukan secara kombinasi. Adapun teknik yang

7 15 digunakan pada lokasi yang akan direstorasi tergantung dari biologi jenis tersebut, faktor sosial ekonomi, faktor politik, dan faktor budaya. Pengetahuan terhadap jenis eksotik (exotic species) dan jenis asli (native species) tersebut sangat berguna dalam pemilihan jenis yang dapat digunakan dalam kegiatan restorasi ekologi. Penggunaan jenis asli (native species) sangat diharapkan dalam kegiatan restorasi ekologi, namun informasi mengenai jenis asli (native species) ini seringkali terbatas (Burton, et al., 2006). Setiadi (2002) menyebutkan kriteria pemilihan jenis untuk kegiatan restorasi sebagai berikut: 1) Merupakan jenis asli (native species) yang mampu beradaptasi 2) Memiliki pertumbuhan yang cepat 3) Membutuhkan cahaya dan kebutuhan nutrisi yang rendah 4) Menghasilkan serasah yang berlimpah dan terdekomposisi 5) Jenis yang dapat berfungsi sebagai katalitik (catalytic) 6) Mudah untuk diperbanyak dan dipelihara 7) Biaya yang rendah dalam penanaman dan pemeliharaan 8) Mudah untuk dikelola 2.3. Kawasan Konservasi Kategorisasi Kawasan Konservasi Kawasan konservasi merupakan suatu kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan suaka alam (cagar alam dan suaka margasatwa), kawasan pelestarian alam (taman nasional, taman wisata alam, dan taman hutan raya), dan taman buru. Ciri khas masing-masing kategori kawasan konservasi tersebut beserta jumlah dan luasannya dapat diuraikan sebagai berikut: a. Cagar alam (CA), merupakan kawasan suaka alam yang karena keadaan alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa, dan ekosistemnya atau ekosistem tertentu yang perlu dilindungi dan perkembangannya berlangsung secara alami. Jumlah cagar alam saat ini adalah sebanyak 245 unit dengan luas ,88 ha. b. Suaka margasatwa (SM), merupakan kawasan suaka alam yang mempunyai ciri khas berupa keanekaragaman dan/atau keunikan jenis satwa yang untuk kelangsungan hidupnya dapat dilakukan pembinaan terhadap habitatnya. Jumlah suaka margasatwa saat ini adalah sebanyak 77 unit dengan luas ,09 ha.

8 16 c. Taman nasional (TN), merupakan kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Jumlah taman nasional saat ini adalah sebanyak 50 unit dengan luas ,34 ha. d. Taman wisata alam (TWA), merupakan kawasan pelestarian alam yang terutama dimanfaatkan untuk pariwisata dan rekreasi alam. Jumlah taman wisata alam saat ini adalah sebanyak 123 unit dengan luas ,29 ha. e. Taman hutan raya (THR), merupakan kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan/atau satwa yang alami atau buatan, jenis asli dan atau bukan asli, yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata, dan rekreasi. Jumlah taman hutan raya saat ini adalah sebanyak 21 unit dengan luas ,91 ha. f. Taman buru (TB), merupakan kawasan hutan konservasi yang ditetapkan sebagai tempat diselenggarakannya perburuan secara teratur. Jumlah taman buru saat ini adalah sebanyak 14 unit dengan luas ,04 ha. (UU RI No. 41/1999 Pasal 7; UU RI No. 5/1990 Pasal 1; Ditjen PHPA, Dephut, 1996; Ditjen PHKA, Dephut, 2008) Fungsi dan Manfaat Kawasan Konservasi Secara umum, kawasan konservasi memiliki fungsi sebagai: (1) kawasan perlindungan sistem penyangga kehidupan, (2) kawasan pengawetan keragaman jenis tumbuhan dan satwa, dan (3) kawasan pemanfaatan secara lestari potensi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya (Ditjen PHPA, Dephut, 1996). MacKinnon et al. (1993) menyatakan bahwa kawasan konservasi dapat memberi manfaat yang berharga bagi masyarakat di wilayah tersebut melalui cara: 1) Menstabilkan fungsi hidrologi 2) Melindungi tanah 3) Menjaga stabilitas iklim 4) Pelestarian sumberdaya pulih (renewable) yang dapat dipanen 5) Perlindungan sumberdaya plasma nutfah 6) Pengawetan untuk perkembangbiakan ternak, cadangan populasi, dan keanekaragaman biologis

9 17 7) Pengembangan kepariwisataan 8) Menyediakan fasilitas rekreasi 9) Menciptakan kesempatan kerja 10) Menyediakan fasilitas bagi penelitian dan pemantauan 11) Menyediakan fasilitas pendidikan 12) Memelihara kualitas lingkungan hidup 13) Keuntungan dari perlakuan khusus 14) Pelestarian nilai budaya dan tradisional 15) Keseimbangan alam lingkungan 16) Nilai warisan dan kebanggaan regional Sejalan dengan hal tersebut, Wiratno et al. (2004) juga menyatakan bahwa banyak manfaat yang disediakan kawasan konservasi, antara lain: (1) manfaat rekreasi; (2) perlindungan daerah aliran sungai, yang meliputi pengendalian erosi, reduksi banjir setempat, pengaturan aliran sungai; (3) proses-proses ekologis, yang meliputi fiksasi dan siklus nutrisi, formasi tanah, sirkulasi dan pembersihan udara dan air, dukungan bagi kehidupan global; (4) keragaman hayati, meliputi sumber genetik, perlindungan spesies, keragaman ekosistem, proses-proses evolusioner; (5) pendidikan dan penelitian; (6) manfaat-manfaat konsumtif; (7) manfaat-manfaat nonkonsumtif, yang meliputi estetika, spiritual, kultural/sejarah, nilai keberadaan; dan (8) nilai masa depan, yang meliputi nilai guna pilihan Pengelolaan Kawasan Konservasi MacKinnon et al. (1993) menyatakan bahwa pengelolaan sumberdaya hayati di kawasan alami yang dilindungi (kawasan konservasi) meliputi seluruh proses yang berjalan dalam ekosistem. Ini memerlukan pemahaman prinsipprinsip ekologi, suatu apresiasi terhadap proses ekologi yang berjalan dalam kawasan yang dilindungi, dan penerimaan konsep bahwa pengelolaan kawasan yang dilindungi merupakan suatu bentuk khusus dari penggunaan tanah. Pengelolaan yang diperlukan akan ditentukan oleh tujuan yang ditetapkan bagi kawasan tertentu. Dalam banyak hal, suatu pengelolaan yang aktif diperlukan untuk mencapai atau memelihara tujuan tersebut. Didasarkan pada beragamnya fungsi kawasan dengan kekhasan dan keunikannya masing-masing dan total cakupan areal yang relatif luas, dalam mengelola kawasan konservasi diperlukan adanya suatu pola pengelolaan yang

10 18 jelas, bersifat komprehensif, dan dapat mengakomodasi setiap kemungkinan pengembangannya. Pola pengelolaan ini diperlukan, baik oleh pengelola maupun pihak lain yang berminat mengembangkan segala aspek yang terkandung dalam kawasan konservasi (Ditjen PHPA, Dephut, 1996). Dephut (2004b) menyatakan bahwa dalam perkembangannya telah terjadi pergeseran cara pandang (paradigm shift) pada bidang pengelolaan kawasan yang dilindungi (kawasan konservasi), antara lain: Perubahan paradigma terhadap fungsi kawasan yang dilindungi di berbagai negara, dari yang semula semata-mata kawasan perlindungan keanekaragaman hayati menjadi kawasan perlindungan keanekaragaman hayati yang memiliki fungsi sosial ekonomi jangka panjang untuk mendukung pembangunan yang berkesinambungan. Beban pembiayaan pengelolaan yang semula ditanggung pemerintah menjadi beban bersama pemerintah dan penerima manfaat (beneficiary pays principle). Penentuan kebijakan dari top-down menjadi bottom-up (participatory). Pengelolaan berbasis pemerintah (state-based management) menjadi pengelolaan berbasis multi-pihak (multi-stakeholder based management/ collaborative management) atau berbasis masyarakat lokal (local communitybased). Pelayanan pemerintah dari birokratis-normatif menjadi profesional-responsiffleksibel-netral. Tata pemerintahan dari sentralistis menjadi desentralistis serta peran pemerintah dari provider menjadi enabler dan facilitator Taman Nasional Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi (Undang-undang Republik Indonesia No. 5 Tahun 1990). Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No. P. 56/Menhut-II/2006, zonasi dalam kawasan taman nasional terdiri atas: a. Zona inti Merupakan bagian taman nasional yang mempunyai kondisi alam baik biota atau fisiknya masih asli dan tidak atau belum diganggu oleh manusia yang

11 19 mutlak dilindungi, berfungsi untuk perlindungan keterwakilan keanekaragaman hayati yang asli dan khas. b. Zona rimba, zona perlindungan bahari untuk wilayah perairan Merupakan bagian taman nasional yang karena letak, kondisi, dan potensinya mampu mendukung kepentingan pelestarian pada zona inti dan zona pemanfaatan. c. Zona pemanfaatan Merupakan bagian taman nasional yang letak, kondisi dan potensi alamnya, yang terutama dimanfaatkan untuk kepentingan pariwisata alam dan kondisi/jasa lingkungan lainnya. d. Zona lain, antara lain: 1) Zona tradisional Merupakan bagian dari taman nasional yang ditetapkan untuk kepentingan pemanfaatan tradisional oleh masyarakat yang karena kesejarahan mempunyai ketergantungan dengan sumberdaya alam. 2) Zona rehabilitasi Merupakan bagian dari taman nasional yang karena mengalami kerusakan, sehingga perlu dilakukan kegiatan pemulihan komunitas hayati dan ekosistemnya yang mengalami kerusakan. 3) Zona religi, budaya dan sejarah Merupakan bagian dari taman nasional yang di dalamnya terdapat situs religi, peninggalan warisan budaya dan atau sejarah yang dimanfaatkan untuk kegiatan keagamaan, perlindungan nilai-nilai budaya atau sejarah. 4) Zona khusus Merupakan bagian dari taman nasional karena kondisi yang tidak dapat dihindarkan telah terdapat kelompok masyarakat dan sarana penunjang kehidupannya yang tinggal sebelum wilayah tersebut ditetapkan sebagai taman nasional, antara lain sarana telekomunikasi, fasilitas transportasi, dan listrik Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.03/Menhut-II/2007, dinyatakan bahwa organisasi pelaksana teknis pengelolaan taman nasional dilaksanakan oleh unit pelaksana teknis taman nasional, yang diklasifikasikan sebagai berikut:

12 20 1) Unit Pelaksana Teknis Taman Nasional Kelas I, yang disebut dengan Balai Besar Taman Nasional, terdiri atas Balai Besar Taman Nasional Tipe A (5 Balai Besar) dan Balai Besar Taman Nasional Tipe B (3 Balai Besar). 2) Unit Pelaksana Teknis Taman Nasional Kelas II, yang disebut dengan Balai Taman Nasional, terdiri atas Balai Taman Nasional Tipe A (21 Balai) dan Balai Taman Nasional Tipe B (21 Balai). Adapun tujuan pengelolaan taman nasional adalah sebagai berikut: 1) Melindungi wilayah alami dan pemandangan indah yang memiliki nilai tinggi secara nasional atau internasional untuk tujuan spiritual, ilmu pengetahuan, pendidikan, rekreasi, dan pariwisata. 2) Melestarikan sealamiah mungkin perwakilan dari wilayah fisiografi, komunitas biotik, sumberdaya genetik dan spesies, untuk memelihara keseimbangan ekologi, dan keanekaragaman hayati. 3) Mengelola penggunaan oleh pengunjung untuk kepentingan inspiratif, pendidikan, budaya, dan rekreasi dengan tetap mempertahankan areal tersebut pada kondisi alamiah atau mendekati alamiah. 4) Menghilangkan dan mencegah eksploitasi atau okupansi yang bertentangan dengan tujuan penunjukannya. 5) Memelihara rasa menghargai terhadap ciri ekologi, geomorfologi, kekeramatan, atau estetika yang menjadi pertimbangan penunjukannya. 6) Memperdulikan kebutuhan masyarakat lokal, termasuk penggunaan sumberdaya alam secara subsisten, sepanjang tidak menimbulkan pengaruh negatif terhadap tujuan pengelolaan (Setyadi, et al., 2006). Saat ini, dari 50 taman nasional yang terdapat di Indonesia, 3 taman nasional diantaranya telah ditetapkan memiliki kawasan perluasan, yaitu: (1) Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, (2) Taman Nasional Gunung Halimun Salak, dan (3) Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Selain itu, 3 taman nasional lainnya merupakan taman nasional yang baru dibentuk, yaitu: (1) Taman Nasional Gunung Ciremai, (2) Taman Nasional Gunung Merbabu, dan (3) Taman Nasional Gunung Merapi. Kawasan perluasan ketiga taman nasional dan kawasan ketiga taman nasional yang baru dibentuk tersebut sebelumnya berada di bawah pengelolaan Perum Perhutani. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 30 Tahun 2003, Perum Perhutani diberi kewenangan mengelola seluruh hutan negara yang berupa kawasan hutan produksi dan hutan lindung yang terdapat di Propinsi Jawa Tengah, Jawa Timur,

13 21 Jawa Barat, dan Banten, kecuali kawasan hutan konservasi. Dengan adanya perluasan kawasan taman nasional dan kawasan taman nasional yang baru dibentuk, maka kawasan hutan yang menjadi kawasan taman nasional tersebut yang semula berfungsi sebagai kawasan hutan lindung, hutan produksi tetap, dan hutan produksi terbatas, kini beralih fungsi menjadi hutan konservasi. Selain itu, terjadi pula perubahan kewenangan pengelolaan kawasan hutan dari Perum Perhutani kepada Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (Ditjen PHKA), Departemen Kehutanan (Dephut). Secara resmi ketiga kawasan perluasan taman nasional dan ketiga kawasan taman nasional yang baru dibentuk tersebut telah diserahterimakan dari Perum Perhutani kepada Ditjen PHKA, Dephut pada tanggal 29 Januari 2009 (PIK, Dephut, 2009) Persepsi Persepsi adalah pandangan dan pengamatan, pengertian dan interpretasi seseorang atau individu terhadap suatu kesan obyek yang diinformasikan kepada dirinya dan lingkungan tempat ia berada sehingga dapat menentukan tindakannya (Kartini, 1984). Calhoun, et al. (1995) menyatakan bahwa persepsi memiliki tiga dimensi yang sama yang menandai konsep diri, yaitu: a. Pengetahuan: Apa yang kita ketahui (atau kita anggap tahu) tentang pribadi lain wujud lahiriah, perilaku, masa lalu, perasaan, motif, dan sebagainya. b. Pengharapan: Gagasan kita tentang orang itu menjadi apa dan mau melakukan apa dipadukan dengan gagasan kita tentang seharusnya dia menjadi apa dan melakukan apa. c. Evaluasi: Kesimpulan kita tentang seseorang, didasarkan pada bagaimana seseorang (menurut pengetahuan kita tentang mereka) memenuhi pengharapan kita tentang dia Partisipasi Partisipasi masyarakat dapat diklasifikasikan sebagai berikut : 1) Masyarakat secara sukarela memberikan kontribusi dalam program-program masyarakat tanpa adanya keterlibatan di dalam pengambilan keputusan atau pemberian isi pendapat. 2) Masyarakat secara aktif mempengaruhi tujuan dan implementasi proyek untuk meningkatkan kesejahteraan mereka dalam rangka meningkatkan

14 22 pendapatan, kebutuhan pribadi, kepercayaan diri atau nilai lain yang berharga. 3) Usaha pembangunan yang melibatkan masyarakat dalam pengambilan keputusan dan pembagian keuntungan. 4) Usaha masyarakat yang teratur untuk meningkatkan pengawasan sumberdaya dalam lingkungan (Widianto, 2000). Hiwasaki (2005) menyatakan bahwa untuk menjamin partisipasi masyarakat lokal dan stakeholders lainnya dalam pengelolaan kawasan konservasi, pengelola kawasan harus bertindak sebagai koordinator dan fasilitator dari pendekatan bottom-up untuk membuat keputusan. Adapun tahapan yang harus dijalankan untuk melakukan hal tersebut adalah sebagai berikut: 1) Mengidentifikasi berbagai stakeholders yang terlibat dalam pengelolaan kawasan konservasi dan mendefinisikan masyarakat lokal. 2) Menjelaskan peran dan tanggung jawab masing-masing stakeholder. 3) Mendukung pembangunan kesepakatan diantara stakeholders mengenai tujuan dan visi jangka panjang dari kawasan konservasi. Terdapatnya kemitraan/partisipasi masyarakat mutlak diperlukan dalam kegiatan pengelolaan sumberdaya alam di kawasan konservasi agar kegiatan tersebut dapat berlangsung secara optimal sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Hal tersebut sejalan dengan pernyataan Sharp et al. (1999) bahwa dalam mengembangkan kegiatan pengelolaan hutan harus melibatkan masyarakat lokal dalam proses pembuatan keputusan pengelolaan hutan, meningkatkan tingkat pengetahuan masyarakat lokal mengenai dampak kumulatif dari hilangnya hutan, dan memberikan kewenangan kapada masyarakat lokal untuk mengatur akses terhadap hutan. Hadad (2003) menyatakan bahwa pengelolaan kolaboratif (collaborative management) merupakan pengelolaan dengan pola kemitraan di antara berbagai pihak yang berkepentingan (multistakeholders partnership) atas dasar kesepakatan bersama untuk saling berbagi fungsi, wewenang, dan tanggung jawab dalam mengelola kawasan konservasi dan sumberdayanya secara lestari. Pengelolaan kolaboratif (collaborative management) sangat cocok untuk situasi yang sangat kompleks dimana kelompok-kelompok pengguna perlu untuk berinteraksi dengan organisasi-organisasi pemerintah yang tujuannya diputuskan oleh para politisi (Zachrisson, 2007).

15 23 Selanjutnya, Hadad (2003), menyatakan bahwa prinsip dan pola pengelolaan kolaboratif adalah sebagai berikut: 1) Pengelolaan kawasan yang berbasis masyarakat lokal dan mengikutsertakan para pihak terkait (community based and multistakeholders management). 2) Para pihak menyepakati visi, misi, dan tujuan yang ingin dicapai bersama. 3) Mengacu pada rencana pengelolaan kawasan (management plan) yang disusun dan disepakati bersama oleh semua pihak. 4) Ada aturan yang jelas dan disepakati bersama oleh para pihak yang berkolaborasi dalam hal: Pembagian peran/tugas, wewenang, dan tanggung jawab masing-masing pihak. Pembagian beban dan manfaat (cost and benefit) bagi para pihak. 5) Ada dewan perumus/penentu kebijakan (governing board) dan badan pelaksana kebijakan/pengelola kegiatan kawasan (executive management) yang memenuhi persyaratan manajemen profesional Model Model merupakan penyederhanaan dari kondisi yang sebenarnya. Tujuan penyusunan model adalah untuk: (1) pemahaman proses yang terjadi dalam sistem, (2) prediksi, dan (3) menunjang pengambilan keputusan (Hartrisari, 2007). Hartrisari (2007) menggolongkan model ke dalam dua kategori, yaitu: model fisik dan model abstrak/mental. Tipe-tipe model tersebut disajikan pada Gambar 4. Lebih lanjut, Hartrisari (2007) mendefinisikan tipe-tipe model tersebut sebagai berikut: Model fisik merupakan model miniatur replika dari keadaan sebenarnya. Model abstrak/mental merupakan model yang bukan fisik, tetapi dapat menjelaskan kinerja dari sistem. Model kuantitatif merupakan model abstrak/mental yang menggunakan perhitungan matematik dan bersifat numerik, sehingga dapat digunakan untuk keperluan prediksi. Model kualitatif merupakan model abstrak/mental yang bersifat deskriptif dan tidak menggunakan perhitungan kuantitatif.

16 24 Model induktif/empirik (statistik) merupakan model kuantitatif yang memberikan hubungan antara variabel output dan input, tetapi tidak memberikan penjelasan proses atau bagaimana mekanisme hubungan tersebut terjadi. Model deduktif/mekanistik (matematik) merupakan model kuantitatif yang memberikan hubungan antara variabel output dan input, serta menjelaskan mekanisme proses yang terjadi tersebut. Model statik merupakan model yang memiliki permasalahan yang bersifat konstan. Model dinamik merupakan model yang memiliki permasalahan yang berubah menurut waktu. Model Fisik Mental Statik Dinamik Kuantitatif Kualitatif Induktif/Empirik (Statistik) Deduktif/Mekanistik (Matematik) Statik Dinamik Statik Dinamik Gambar 4 Tipe-tipe model (diadopsi dari Hartrisari, 2007) 2.7. Kriteria dan Indikator Kriteria adalah standar untuk penilaian sesuatu (Purnomo, 2005). CIFOR (1999) menyatakan bahwa kriteria merupakan suatu titik tengah dimana informasi yang disediakan dari indikator dapat diintegrasikan dan cara penilaian yang dapat ditafsirkan menjadi semakin jelas. Indikator adalah parameter kualitatif dan atau kuantitatif yang dapat diukur dalam kaitannya dengan kriteria. Indikator merupakan komponen khusus dari suatu kriteria yang dapat diukur dan diuji keabsahannya, dimana melalui indikator dapat diketahui, apakah suatu unit manajemen telah mencapai atau tidak kriteriakriteria pengelolaan (Setyadi, et al., 2006).

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki hutan tropis terbesar di dunia. Luas kawasan hutan di Indonesia saat ini mencapai 120,35 juta ha. Tujuh belas persen

Lebih terperinci

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI Indikator Perkuliahan Menjelaskan kawasan yang dilindungi Menjelaskan klasifikasi kawasan yang dilindungi Menjelaskan pendekatan spesies Menjelaskan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU MENTERI KEHUTANAN,

Lebih terperinci

PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI

PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI Oleh Pengampu : Ja Posman Napitu : Prof. Dr.Djoko Marsono,M.Sc Program Studi : Konservasi Sumberdaya Alam Dan Lingkungan Sekolah Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada Jogjakarta,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kawasan Konservasi Kawasan konservasi dalam arti yang luas, yaitu kawasan konservasi sumber daya alam hayati dilakukan. Di dalam peraturan perundang-undangan Indonesia yang

Lebih terperinci

KRITERIA KAWASAN KONSERVASI. Fredinan Yulianda, 2010

KRITERIA KAWASAN KONSERVASI. Fredinan Yulianda, 2010 KRITERIA KAWASAN KONSERVASI Fredinan Yulianda, 2010 PENETAPAN FUNGSI KAWASAN Tiga kriteria konservasi bagi perlindungan jenis dan komunitas: Kekhasan Perlindungan, Pengawetan & Pemanfaatan Keterancaman

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.49/Menhut-II/2014 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.49/Menhut-II/2014 TENTANG PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.49/Menhut-II/2014 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN EVALUASI KESESUAIAN FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 108 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA ANI MARDIASTUTI JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR Kawasan Konservasi Indonesia UURI No 5 Tahun 1990 Konservasi

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH Nomor 68 Tahun 1998, Tentang KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH Nomor 68 Tahun 1998, Tentang KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH Nomor 68 Tahun 1998, Tentang KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam merupakan

Lebih terperinci

Ekologi Hidupan Liar HUTAN. Mengapa Mempelajari Hidupan Liar? PENGERTIAN 3/25/2014. Hidupan liar?

Ekologi Hidupan Liar HUTAN. Mengapa Mempelajari Hidupan Liar? PENGERTIAN 3/25/2014. Hidupan liar? Mengapa Mempelajari Hidupan Liar? Ekologi Hidupan Liar http://staff.unila.ac.id/janter/ 1 2 Hidupan liar? Mencakup satwa dan tumbuhan Pengelolaan hidupan liar PENGERTIAN perlindungan populasi satwa untuk

Lebih terperinci

NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM

NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM Menimbang: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kawasan Pelestarian Alam (KPA). KSA adalah kawasan dengan ciri khas

I. PENDAHULUAN. Kawasan Pelestarian Alam (KPA). KSA adalah kawasan dengan ciri khas I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya menyatakan bahwa kawasan konservasi di Indonesia dibedakan menjadi dua yaitu

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 108 TAHUN 2015 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 108 TAHUN 2015 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 108 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM MENTERI KEHUTANAN, Menimbang

Lebih terperinci

Lampiran 3. Interpretasi dari Korelasi Peraturan Perundangan dengan Nilai Konservasi Tinggi

Lampiran 3. Interpretasi dari Korelasi Peraturan Perundangan dengan Nilai Konservasi Tinggi I. Keanekaragaman hayati UU No. 5, 1990 Pasal 21 PP No. 68, 1998 UU No. 41, 1999 Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Pengawetan keanekaragaman hayati serta ekosistemnya melalui Cagar Alam

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan konservasi merupakan kawasan yang dilindungi dengan fungsi pokok konservasi biodiversitas dalam lingkungan alaminya, atau sebagai konservasi in situ, yaitu konservasi

Lebih terperinci

PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER

PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia dianugerahi oleh Tuhan Yang Maha Esa kekayaan sumber daya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia dianugerahi oleh Tuhan Yang Maha Esa kekayaan sumber daya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia dianugerahi oleh Tuhan Yang Maha Esa kekayaan sumber daya alam hayati yang melimpah. Sumber daya alam hayati di Indonesia dan ekosistemnya mempunyai

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM www.bpkp.go.id PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.330, 2015 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LINGKUNGAN HIDUP. Pengelolaan. Pelestarian. Suaka. Kawasan. Perubahan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5798) PERATURAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI TAHUN

RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI TAHUN RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI TAHUN 05-09 Prof. DR. M. Bismark, MS. LATAR BELAKANG Perlindungan biodiversitas flora, fauna dan mikroorganisme menjadi perhatian dunia untuk

Lebih terperinci

NOMOR 27 TAHUN 1999 TENTANG ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN

NOMOR 27 TAHUN 1999 TENTANG ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 1999 TENTANG ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN Menimbang: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA a. bahwa dalam rangka melaksanakan pembangunan berwawasan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keberadaan burung pemangsa (raptor) memiliki peranan yang sangat penting dalam suatu ekosistem. Posisinya sebagai pemangsa tingkat puncak (top predator) dalam ekosistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekosistemnya. Pada Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi

BAB I PENDAHULUAN. ekosistemnya. Pada Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Pada

Lebih terperinci

BAB. I. PENDAHULUAN A.

BAB. I. PENDAHULUAN A. BAB. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang terletak di antara dua benua dan dua samudera, Indonesia memiliki hutan tropis terluas ketiga setelah Brazil dan Zaire.

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang selain merupakan sumber alam yang penting artinya bagi

Lebih terperinci

2016, No Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888), sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19

2016, No Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888), sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 No. 164, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN-LHK. Taman Nasional. Zona. Pengelolaan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.76/Menlhk-Setjen/2015

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.76/Menlhk-Setjen/2015 TENTANG

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.76/Menlhk-Setjen/2015 TENTANG PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.76/Menlhk-Setjen/2015 TENTANG KRITERIA ZONA PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL DAN BLOK PENGELOLAAN CAGAR ALAM, SUAKA MARGASATWA, TAMAN

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA U M U M Bangsa Indonesia dianugerahi Tuhan Yang Maha Esa kekayaan berupa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Taman Nasional Gunung Merbabu (TNGMB) merupakan salah satu dari taman nasional baru di Indonesia, dengan dasar penunjukkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 135/MENHUT-II/2004

Lebih terperinci

Konservasi Lingkungan. Lely Riawati

Konservasi Lingkungan. Lely Riawati 1 Konservasi Lingkungan Lely Riawati 2 Dasar Hukum Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perubahan iklim (Dudley, 2008). International Union for Conservation of Nature

BAB I PENDAHULUAN. perubahan iklim (Dudley, 2008). International Union for Conservation of Nature BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan konservasi mempunyai peran yang sangat besar terhadap perlindungan keanekaragaman hayati. Kawasan konservasi juga merupakan pilar dari hampir semua strategi

Lebih terperinci

PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN

PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN Lampiran Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.16/Menhut-II/2011 Tanggal : 14 Maret 2011 PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pedoman

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.150, 2011 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. PNPM Mandiri. Pedoman. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.16/MENHUT-II/2011 TENTANG PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL

Lebih terperinci

ARAHAN PENGEMBANGAN KAWASAN TAMAN HUTAN RAYA NGARGOYOSO SEBAGAI OBYEK WISATA ALAM BERDASARKAN POTENSI DAN PRIORITAS PENGEMBANGANNYA TUGAS AKHIR

ARAHAN PENGEMBANGAN KAWASAN TAMAN HUTAN RAYA NGARGOYOSO SEBAGAI OBYEK WISATA ALAM BERDASARKAN POTENSI DAN PRIORITAS PENGEMBANGANNYA TUGAS AKHIR ARAHAN PENGEMBANGAN KAWASAN TAMAN HUTAN RAYA NGARGOYOSO SEBAGAI OBYEK WISATA ALAM BERDASARKAN POTENSI DAN PRIORITAS PENGEMBANGANNYA TUGAS AKHIR Oleh : AGUSTINA RATRI HENDROWATI L2D 097 422 JURUSAN PERENCANAAN

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.378, 2010 KEMENTERIAN KEHUTANAN. Kawasan Hutan. Fungsi. Perubahan.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.378, 2010 KEMENTERIAN KEHUTANAN. Kawasan Hutan. Fungsi. Perubahan. BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.378, 2010 KEMENTERIAN KEHUTANAN. Kawasan Hutan. Fungsi. Perubahan. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P. 34/Menhut -II/2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekowisata bagi negara-negara berkembang dipandang sebagai cara untuk mengembangkan perekonomian dengan memanfaatkan kawasan-kawasan alami secara tidak konsumtif. Untuk

Lebih terperinci

VI. PERATURAN PERUNDANGAN DALAM PELESTARIAN ELANG JAWA

VI. PERATURAN PERUNDANGAN DALAM PELESTARIAN ELANG JAWA VI. PERATURAN PERUNDANGAN DALAM PELESTARIAN ELANG JAWA Pencapaian tujuan kelestarian jenis elang Jawa, kelestarian habitatnya serta interaksi keduanya sangat ditentukan oleh adanya peraturan perundangan

Lebih terperinci

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 32 TAHUN 1990 (32/1990) Tanggal : 25 JULI 1990 (JAKARTA) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

III KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Nilai Ekonomi Taman Nasional Alam seisinya memiliki nilai ekonomi yang dapat mendatangkan manfaat bagi kesejahteraan manusia. Nilai ekonomi ini dapat diperoleh jika alam dilestarikan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Ecotouris, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi ekowisata. Ada

TINJAUAN PUSTAKA. Ecotouris, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi ekowisata. Ada TINJAUAN PUSTAKA Ekowisata Ecotouris, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi ekowisata. Ada juga yang menterjemahkan sebagai ekowisata atau wisata-ekologi. Menurut Pendit (1999) ekowisata terdiri

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dan terletak di garis khatulistiwa dengan luas daratan 1.910.931,32 km 2 dan memiliki 17.504 pulau (Badan Pusat Statistik 2012). Hal

Lebih terperinci

hakikatnya adalah bagian integral dari pembangunan nasional yang berkelanjutan sebagai pengamalan Pancasila;

hakikatnya adalah bagian integral dari pembangunan nasional yang berkelanjutan sebagai pengamalan Pancasila; Menimbang : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa sumber

Lebih terperinci

6 PERTIMBANGAN KAWASAN KARST DALAM PENYUSUNAN ZONASI TNMT

6 PERTIMBANGAN KAWASAN KARST DALAM PENYUSUNAN ZONASI TNMT 6 PERTIMBANGAN KAWASAN KARST DALAM PENYUSUNAN ZONASI TNMT 6.1 Pengelolaan Kawasan Taman Nasional Manapeu Tanahdaru Wilayah karst dapat menyediakan air sepanjang tahun. Hal ini disebabkan daerah karst memiliki

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Pengelolaan Taman Nasional di Indonesia

II. TINJAUAN PUSTAKA Pengelolaan Taman Nasional di Indonesia II. TINJAUAN PUSTAKA 2. 1. Pengelolaan Taman Nasional di Indonesia Secara fisik, karakteristik taman nasional digambarkan sebagai kawasan yang luas, relatif tidak terganggu, mempunyai nilai alam yang menonjol,

Lebih terperinci

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM PERATURAN DIREKTUR JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM NOMOR : P. 11/KSDAE/SET/KSA.0/9/2016

Lebih terperinci

2. Dinamika ekosistem kawasan terus berubah (cenderung semakin terdegradasi),

2. Dinamika ekosistem kawasan terus berubah (cenderung semakin terdegradasi), SINTESIS . Dasar kriteria dan indikator penetapan zonasi TN belum lengkap,. Dinamika ekosistem kawasan terus berubah (cenderung semakin terdegradasi), 3. Informasi dan pengembangan jasa lingkungan belum

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sumber daya yang kita miliki terkait dengan kepentingan masyarakat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sumber daya yang kita miliki terkait dengan kepentingan masyarakat BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori Pengelolaan sumber daya alam, khususnya hutan yang berkelanjutan dimasa kini telah menjadi keharusan, dimana keberadaan serta keberlangsungan fungsi sumber daya

Lebih terperinci

PRINSIP DASAR PENGELOLAAN KONSERVASI

PRINSIP DASAR PENGELOLAAN KONSERVASI PRINSIP DASAR PENGELOLAAN KONSERVASI Fredinan Yulianda, 2010 Lima prinsip dasar Pengelolaan Konservasi 1. Proses ekologis seharusnya dapat dikontrol 2. Tujuan dan sasaran hendaknya dibuat dari sistem pemahaman

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerahkan kepada bangsa Indonesia merupakan kekayaan yang wajib disyukuri, diurus, dan dimanfaatkan secara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli

I. PENDAHULUAN. Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli ` I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli dan dikelola dengan sistem zonasi. Kawasan ini dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. yang dimaksud adalah taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam

BAB I. PENDAHULUAN. yang dimaksud adalah taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wisata alam oleh Direktorat Jenderal Pariwisata (1998:3) dan Yoeti (2000) dalam Puspitasari (2011:3) disebutkan sebagai kegiatan perjalanan atau sebagian dari kegiatan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. masyarakat serta desakan otonomi daerah, menjadikan tuntutan dan akses masyarakat

I PENDAHULUAN. masyarakat serta desakan otonomi daerah, menjadikan tuntutan dan akses masyarakat I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seiring dengan laju pertumbuhan penduduk dan perubahan kondisi sosial masyarakat serta desakan otonomi daerah, menjadikan tuntutan dan akses masyarakat dalam pemanfaatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kawasan Gunung Merapi adalah sebuah kawasan yang sangat unik karena

I. PENDAHULUAN. Kawasan Gunung Merapi adalah sebuah kawasan yang sangat unik karena I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.1.1. Keunikan Kawasan Gunung Merapi Kawasan Gunung Merapi adalah sebuah kawasan yang sangat unik karena adanya interaksi yang kuat antar berbagai komponen di dalamnya,

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM MENTERI KEHUTANAN, Menimbang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Undang-Undang Konservasi No. 5 Tahun 1990, sumberdaya alam hayati adalah unsur-unsur hayati di alam yang terdiri dari sumberdaya alam nabati (tumbuhan) dan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan Tahura Wan Abdul Rachman di Propinsi Lampung adalah salah satu kawasan yang amat vital sebagai penyangga kehidupan ekonomi, sosial dan ekologis bagi masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 101111111111105 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki sumberdaya alam hayati laut yang potensial seperti sumberdaya terumbu karang. Berdasarkan

Lebih terperinci

Suhartini Jurusan Pendidikan Biologi FMIPA UNY

Suhartini Jurusan Pendidikan Biologi FMIPA UNY Suhartini Jurusan Pendidikan Biologi FMIPA UNY Sumberdaya Alam Hayati : Unsur-unsur hayati di alam yang terdiri dari sumberdaya alam nabati (tumbuhan) dan sumberdaya alam hewani (satwa) yang bersama dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu kawasan yang mempunyai berbagai macam jenis tumbuhan dan hewan yang saling berinteraksi di dalamnya. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem

Lebih terperinci

KONSEP MODERN KAWASAN DILINDUNGI

KONSEP MODERN KAWASAN DILINDUNGI KONSEP MODERN KAWASAN DILINDUNGI KONSEP MODERN KAWASAN DILINDUNGI *) PERLINDUNGAN PELESTARIAN MODERN Suatu pemeliharaan dan pemanfaatan secara bijaksana Pertama: kebutuhan untuk merencanakan SD didasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Bagi manusia, lahan sangat dibutuhkan dalam menjamin kelangsungan hidup

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Bagi manusia, lahan sangat dibutuhkan dalam menjamin kelangsungan hidup BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan merupakan salah satu sumberdaya alam yang sangat dibutuhkan. Bagi manusia, lahan sangat dibutuhkan dalam menjamin kelangsungan hidup seperti untuk membangun

Lebih terperinci

PLASMA NUTFAH. OLEH SUHARDI, S.Pt.,MP

PLASMA NUTFAH. OLEH SUHARDI, S.Pt.,MP PLASMA NUTFAH OLEH SUHARDI, S.Pt.,MP Sejak berakhirnya konvensi biodiversitas di Rio de Jenairo, Brasil, 1992, plasma nutfah atau sumber daya genetik tidak lagi merupakan kekayaan dunia di mana setiap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tentang. sumber daya alam. Pasal 2 TAP MPR No.IX Tahun 2001 menjelaskan

BAB I PENDAHULUAN. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tentang. sumber daya alam. Pasal 2 TAP MPR No.IX Tahun 2001 menjelaskan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan salah satu sumber daya alam hayati yang memiliki banyak potensi yang dapat diambil manfaatnya oleh masyarakat, Pasal 33 ayat (3) Undang- Undang Dasar 1945 menyebutkan

Lebih terperinci

Lampiran 1. Daftar taman nasional yang memiliki perencanaan zonasi

Lampiran 1. Daftar taman nasional yang memiliki perencanaan zonasi LAMPIRAN 168 Lampiran 1. Daftar taman nasional yang memiliki perencanaan zonasi No Nama dan SK Kawasan 1 Bukit Barisan Selatan SK Mentan No. 736/Mentan/X/ 1982, 14 Oktober 1982 2 Bali Barat* SK Menhut

Lebih terperinci

Oleh: Ir. Agus Dermawan, M.Si. Direktur Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan

Oleh: Ir. Agus Dermawan, M.Si. Direktur Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan Oleh: Ir. Agus Dermawan, M.Si. Direktur Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan DIREKTORAT KONSERVASI KAWASAN DAN JENIS IKAN DIREKTORAT JENDERAL KELAUTAN, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL KEMENTERIAN KELAUTAN DAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengenai hal tersebut menuai pro dan kontra. Kuswijayanti (2007) menjelaskan

BAB I PENDAHULUAN. mengenai hal tersebut menuai pro dan kontra. Kuswijayanti (2007) menjelaskan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada 2001, pembahasan mengenai penetapan Gunung Merapi sebagai kawasan taman nasional mulai digulirkan. Sejak saat itu pula perbincangan mengenai hal tersebut menuai

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P. 34/Menhut-II/2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P. 34/Menhut-II/2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN FUNGSI KAWASAN HUTAN PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P. 34/Menhut-II/2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN FUNGSI KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. individual tourism/small group tourism, dari tren sebelumnya tahun 1980-an yang

I. PENDAHULUAN. individual tourism/small group tourism, dari tren sebelumnya tahun 1980-an yang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pergeseran tren kepariwisataan di dunia saat ini lebih mengarah pada individual tourism/small group tourism, dari tren sebelumnya tahun 1980-an yang didominasi oleh mass

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dapat dimanfaatkan oleh manusia. Sumberdaya hutan yang ada bukan hanya hutan produksi, tetapi juga kawasan konservasi.

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara tropis yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi, baik flora maupun fauna yang penyebarannya sangat luas. Hutan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang wilayah negara kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

LEMBAR INFORMASI JARINGAN MASYARAKAT HUTAN KORIDOR GUNUNG SALAK-HALIMUN

LEMBAR INFORMASI JARINGAN MASYARAKAT HUTAN KORIDOR GUNUNG SALAK-HALIMUN 1 LEMBAR INFORMASI JARINGAN MASYARAKAT HUTAN KORIDOR GUNUNG SALAK-HALIMUN SEKARANG KITA BERSAMA!!!! LANGKAH AWAL UNTUK PENGELOLAAN HUTAN KORIDOR SALAK-HALIMUN YANG ADIL, SEJAHTERA, DAN LESTARI Apa itu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Taman Nasional Kerinci Seblat

BAB I PENDAHULUAN. penunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Taman Nasional Kerinci Seblat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurut Undang-Undang No. 05 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya (KSDHE), Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Cagar Biosfer Cagar biosfer adalah suatu kawasan meliputi berbagai tipe ekosistem yang ditetapkan oleh program MAB-UNESCO untuk mempromosikan konservasi keanekaragaman hayati

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Penjelasan Umum, Manfaat dan Fungsi Hutan. kesinambungan kehidupan manusia dan makhluk lainnya (Pamulardi,1994).

TINJAUAN PUSTAKA. Penjelasan Umum, Manfaat dan Fungsi Hutan. kesinambungan kehidupan manusia dan makhluk lainnya (Pamulardi,1994). TINJAUAN PUSTAKA Penjelasan Umum, Manfaat dan Fungsi Hutan Berdasarkan Undang Undang No 41 tahun 1999 Pasal 1 ayat 2 bahwa hutan adalah suatu kesatuan ekosistem yang berupa hamparan lahan berisi sumberdaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 tahun 1999, hutan adalah

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 tahun 1999, hutan adalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 tahun 1999, hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pariwisata Pariwisata merupakan semua gejala-gejala yang ditimbulkan dari adanya aktivitas perjalanan yang dilakukan oleh seseorang dari tempat tinggalnya dalam waktu sementara,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Dampak penambangan yang paling serius dan luas adalah degradasi, kualitas

I. PENDAHULUAN. Dampak penambangan yang paling serius dan luas adalah degradasi, kualitas I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peningkatan kegiatan penambangan telah meningkatkan isu kerusakan lingkungan dan konsekuensi serius terhadap lingkungan lokal maupun global. Dampak penambangan yang paling

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Menteri Kehutanan No. 134/Menhut-II/2004 tentang Perubahan fungsi

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Menteri Kehutanan No. 134/Menhut-II/2004 tentang Perubahan fungsi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Taman Nasional (TN) Gunung Merapi ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. 134/Menhut-II/2004 tentang Perubahan fungsi Kawasan Hutan Lindung, Cagar

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN KEANEKARAGAMAN HAYATI

PERLINDUNGAN KEANEKARAGAMAN HAYATI PERLINDUNGAN KEANEKARAGAMAN HAYATI PERLINDUNGAN KEANEKARAGAMAN HAYATI Penilaian perlindungan keanekaragaman hayati dalam peringkat hijau dan emas ini meliputi: 1) Konservasi insitu, meliputi metode dan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sumber

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat dilakukan secara tradisional untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat dilakukan secara tradisional untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masyarakat di sekitar hutan memiliki ketergantungan yang sangat besar dengan keberadaan hutan disekitarnya, pemanfaatan hutan dan hasil hutan oleh masyarakat dilakukan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Alam Hayati dan Ekosistemnya dijelaskan bahwa suaka margasatwa, adalah

I. PENDAHULUAN. Alam Hayati dan Ekosistemnya dijelaskan bahwa suaka margasatwa, adalah I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dijelaskan bahwa suaka margasatwa, adalah kawasan suaka alam yang mempunyai

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa keanekaragaman hayati Indonesia

Lebih terperinci

KAJIAN PROSPEK DAN ARAHAN PENGEMBANGAN ATRAKSI WISATA KEPULAUAN KARIMUNJAWA DALAM PERSPEKTIF KONSERVASI TUGAS AKHIR (TKP 481)

KAJIAN PROSPEK DAN ARAHAN PENGEMBANGAN ATRAKSI WISATA KEPULAUAN KARIMUNJAWA DALAM PERSPEKTIF KONSERVASI TUGAS AKHIR (TKP 481) KAJIAN PROSPEK DAN ARAHAN PENGEMBANGAN ATRAKSI WISATA KEPULAUAN KARIMUNJAWA DALAM PERSPEKTIF KONSERVASI TUGAS AKHIR (TKP 481) Oleh : GITA ALFA ARSYADHA L2D 097 444 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA

Lebih terperinci

SAMBUTAN MENTERI KEHUTANAN PADA ACARA FINALISASI DAN REALISASI MASTERPLAN PUSAT KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI (PPKH) Pongkor, Selasa, 23 April 2013

SAMBUTAN MENTERI KEHUTANAN PADA ACARA FINALISASI DAN REALISASI MASTERPLAN PUSAT KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI (PPKH) Pongkor, Selasa, 23 April 2013 SAMBUTAN MENTERI KEHUTANAN PADA ACARA FINALISASI DAN REALISASI MASTERPLAN PUSAT KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI (PPKH) Pongkor, Selasa, 23 April 2013 Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Yang

Lebih terperinci

ALAM. Kawasan Suaka Alam: Kawasan Pelestarian Alam : 1. Cagar Alam. 2. Suaka Margasatwa

ALAM. Kawasan Suaka Alam: Kawasan Pelestarian Alam : 1. Cagar Alam. 2. Suaka Margasatwa UPAYA DEPARTEMEN KEHUTANAN DALAM ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM DIREKTORAT JENDERAL PERLINDUNGAN HUTAN DAN KONSERVASI ALAM DEPARTEMEN KEHUTANAN FENOMENA PEMANASAN GLOBAL Planet in Peril ~ CNN Report + Kenaikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kegiatan yang mengancam eksistensi kawasan konservasi (khususnya

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kegiatan yang mengancam eksistensi kawasan konservasi (khususnya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Manusia dan kawasan konservasi memiliki korelasi yang kuat. Suatu kawasan konservasi memiliki fungsi ekologi, ekonomi, dan sosial sedangkan manusia memiliki peran

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Lahan basah merupakan sumber daya alam hayati penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem global. Salah satu tipe lahan basah adalah lahan gambut. Lahan gambut merupakan ekosistem

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.22, 2008 DEPARTEMEN KEHUTANAN. KAWASAN. Pelestarian.Suaka Alam. Pengelolaan. Pedoman.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.22, 2008 DEPARTEMEN KEHUTANAN. KAWASAN. Pelestarian.Suaka Alam. Pengelolaan. Pedoman. BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.22, 2008 DEPARTEMEN KEHUTANAN. KAWASAN. Pelestarian.Suaka Alam. Pengelolaan. Pedoman. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P.41 /Menhut-II/2008 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taman Nasional Undang-undang No. 5 Tahun 1990 menyatakan bahwa taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV

PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV xxxxxxxxxx Kurikulum 2006/2013 Geografi K e l a s XI PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan memiliki kemampuan

Lebih terperinci