BAB V PENUTUP. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, telah. teridentifikasi bahwa kuttau merupakan beladiri rumpun melayu

Transkripsi

1 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, telah teridentifikasi bahwa kuttau merupakan beladiri rumpun melayu patah (mematahkan serangan lawan dengan serangan balik, yang bisa berakibat fatal) yang berkembang di beberapa daerah di Lampung Timur, seperti di Desa Sukadana, Labuhan Ratu, dan Rantau Jaya. Kemunculan kuttau di beberapa daerah tersebut diawali atas rasa ketidakadilan yang dialami oleh Usman (Jayo Truno) ketika adiknya diambil paksa oleh Pengiran Puccak. Ketidakadilan yang dialami Usman ini membuat dia pergi dari Sukadana ke Gunung Pesagi, untuk berguru beladiri kepada seseorang yang bernama Tali. Apa yang dilakukan oleh Usman tidak hanya berhenti sebagai bentuk rasa ketidakadilan, terhadap orang yang telah mengambil paksa adiknya. Beladiri yang didapat kemudian berubah menjadi bentuk perlawanan terhadap kolonial Belanda. Hal ini ditunjukkan dengan didirikannya kuttau untuk pertama kali di Sukadana sekitar tahun 1935-an. Pasca kemerdekaan, Kuttau kemudian berkamuflase menjadi kesenian yang ditampilkan pada Hari Raya Idul Fitri dan menjadi bagian 212

2 213 dari upacara pernikahan adat lampung yang cendrung tampil pada saat arak-arakan. Kuttau dalam konteks beladiri memiliki gerak-gerak dan jurus-jurus yang berurutan dan berjenjang. Selain itu dalam pertarungan kuttau Lampung menggunakan sistem perkelahian jarak dekat. Pola jarak dekat ini sesuai dengan dasar dalam prinsip gerak kuttau dalam perkelahian yakni berapet. Secara harapiah berapet berarti mendekat dengan lawan, namun dalam istilah kuttau berarti membeli apa yang dijual lawan yang disebut dengan istilah buang sambut. Buang sambut ini memiliki tahapan tersendiri dalam mempelajari kuttau. Hal yang pertama yang harus dilakukan dalam mempelajari kuttau adalah berlatih lakkah. Mempelajari Lakkah menjadi hal yang mendasar yang harus dikuasai sebelum mempelajari jurus, gilik, sampai pada buang sambut. Secara garis besar jurus dalam beladiri kuttau terbagi dalam tujuh jurus utama. Jurus-jurus tersebut yaitu jurus pungeu kosong sateu, pungeu kosongwo, garpeu 1 wo, pisuk tunggal, tembung, cabang, dan pisuk duo. Selain ketujuh jurus tersebut terdapat beberapa jurus tambahan dan jurus yang tidak diajarkan hingga saat ini. Jurus-jurus tersebut diantaranya seperti jurus tali dan jurus gerpeu tunggal. 1 Gerpeu adalah pisau yang sangat tajam, bentuknya yang kecil membuat senjata ini sulit diambil lawan.

3 214 Dalam konteks seni pertunjukan, Tari Pedang merupakan bentuk lain dari kuttau. Bentuk Tari Pedang berdasarkan geraknya merupakan transformasi gerak yang diadaptasi dari jurus beladiri kuttau yang mengalami penambahan, pengurangan, dan perubahan ke aliran lain. Gerak Tari Pedang yang diambil dari jurus kuttau mengalami proses penghalusan (stilisasi) dan proses pengerusakan dari bentuk awalnya (distorsi). Kedua proses ini dilakukan oleh penari pedang untuk mendapatkan estetika yang diinginkan. Bentuk transformasi yang terjadi dalam tubuh kuttau meliputi transformasi bentuk yang berhubungan dengan teks, transformasi kontekstual, dan perubahan estetika. Transformasi bentuk dalam beladiri kuttau terepresentasi dengan bentuk baru yakni Tari Pedang yang mempunyai bentuk tersendiri, terutama dalam hal komposisi gerak yang berbeda dengan bentuk kuttau. Dengan demikian gerak dalam Tari Pedang tidak lagi berbentuk jurus-jurus yang berurutan, tetapi telah membentuk suatu koreografi yang menjadi kesatuan dengan estetika seni pertunjukan. Oleh karena itu gerak Tari Pedang yang mengalami proses stilisasi dan distorsi, membuat gerak Tari Pedang upo kakyo atau hanya meniru (theatrical mimicry). Transformasi kontekstual dalam Tari Pedang, lebih kepada penggunaan Tari Pedang, karena hal tersebut membuat

4 215 perubahan fungsi dan pemaknaan masyarakat terhadap Tari Pedang. Masyarakat sangat mencintai Tari Pedang dan kuttau yang dibuktikan dengan antusiasme masyarakat setiap kali ada pertunjukan Tari Pedang dan penggunaan Tari Pedang dalam berbagai kesempatan. Masyarakat selalu merasa membutuhkan Tari Pedang, yang awalnya sebagai pemenuhan kebutuhan rasa aman, sekarang berubah menjadi kebutuhan akan kesenian. Perekatan Tari Pedang dengan masyarakat itulah yang membuat masyarakat merasa memiliki hingga mengakui bahwa Tari Pedang dan kuttau sebagai milik masyarakat Lampung Pepadun Abung Siwo Mego. Perubahan estetika dalam Tari Pedang sangat terlihat, ketika menyaksikan pertunjukan Tari Pedang, karena meskipun suasana yang dibangun dibuat seolah-olah seperti pertarungan yang sebenarnya, tetapi memiliki estetika yang berbeda. Dalam sebuah tarian hal-hal yang harus ada adalah gerak-gerak beladiri distilisasi agar lebih indah. Tari Pedang adalah tarian yang menirukan sebuah pertarungan, sehingga gerak tarinya diambil dari gerak beladiri, tetapi unsur lembut, keras, dan garang hanya bentukan yang merupakan dinamika dalam Tari Pedang. Faktor penyebab terjadinya transformasi dalam beladiri kuttau adalah karena adanya pengaruh kolektif terhadap pembentukan Tari Pedang. Hal ini terkait dengan proses adaptasi

5 216 dan apropriasi yang terjadi atas campur tangan manusia. Pengaruh kolektif yang dimaksud yaitu kontribusi pelaku kuttau yang juga merupakan seniman Tari Pedang, dukungan masyarakat Lampung Pepadun Abung Siwo Mego khususnya yang ada di Desa Sukadana, dan perekatan yang terjadi antara masyarakat Lampung dan Tari Pedang yang membuat Tari Pedang diakui sebagai milik masyarakat Desa Sukadana. Tidak kalah penting pengaruh dari luar yang berkontribusi terhadap transformasi yang terjadi yaitu, relasi sosial masyarakat, industri pariwisata, dan keadaan sosial-politik nasional serta regional. Sumbangan pemikiran dari penelitian ini yang berdasarkan pada temuan yakni teridentifikasinya beberapa hal, yang pertama bahwa pada beladiri kuttau tidak mengenal gerakan-gerakan tipuan seperti pada beladiri pada umumnya. Hal ini sangat terkait dengan filosofi ulun Lappung, yang sulit menyembunyikan perasaannya baik ketika marah, bahagia, dan perasaan lainnya. Kedua Tari Pedang merupakan transformasi dari kuttau karena mengalami proses adaptasi dan apropriasi sebagai produk baru. Ketiga Tari Pedang dapat dikatakan sebagai sebuah tarian, yang ditunjukkan oleh para anggota kuttau adalah seni, yakni menari dengan membawa pedang, bukan pedang yang menari. Jadi pada dasarnya penari pedang sedang melakukan peniruan gerakan dalam sebuah pertarungan atau theatrical mimicry.

6 217 B. Saran Setelah dilakukan penelitian dan pengalaman sebagai insider participant, diidentifikasi bahwa kuttau telah melembaga dalam masyarakat Lampung Pepadun Abung Siwo Migo dan telah menjadi tradisi. Dengan demikian kuttau telah memiliki peran yang penting dalam kehidupan masyarakat Lampung khususnya Desa Sukadana Lampung Timur. Atas dasar hal tersebut sebaiknya ada perhatian dari perangkat desa terhadap perkembangan kuttau dengan memberikan ruang untuk berekspresi, sehingga kuttau dapat lebih dikenal masyarakat luas dan menjadi salah satu referensi yang dapat diajarkan di sekolah. Dalam perguruan kuttau terdiri dari anggota dengan berbagai latar belakang profesi, sehingga terkadang timbul benturan kepentingan antar anggota. Oleh karena itu, sebagai sebuah perguruan beladiri yang menyatu dengan desa adat, sebaiknya anggota kuttau harus menanamkan tali persaudaraan yang erat. Sehingga dengan tali persaudaraan yang erat diharapkan anggota dapat saling menghargai. Jarak antara senior dan junior juga sebaiknya tidak jauh agar tercipta harmonisasi dalam interen kuttau. Untuk menciptakan harmonisasi antar anggota kuttau sebaiknya frekuensi berlatih kuttau diatur, serta tidak mencampuradukkan urusan perguruan dengan urusan lain yang

7 218 dapat memecah tali persaudaraan. Sehingga dapat berdampak yang lebih jauh yakni terhambatnya sistem yang melibatkan kuttau di dalamnya seperti acara ngarak meghiyan dan sujud adat Lampung.