BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. A. Kesimpulan. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat diambil kesimpulan antara lain sebagai berikut:

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. A. Kesimpulan. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat diambil kesimpulan antara lain sebagai berikut:"

Transkripsi

1 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat diambil kesimpulan antara lain sebagai berikut: 1. Prevalensi kejadian HAP adalah 1,85% pada populasi berisiko terinfeksi dan 0,32% pada populasi seluruh pasien rawat inap. 2. Rerata masa rawat inap pasien HAP secara umum adalah 19,24 ± 14,54 hari, sedangkan rerata masa rawat inap pasien setelah terdiagnosis HAP adalah 10,49 ± 10,36 hari. 3. Hubungan antara faktor prediktor mortalitas dengan masa rawat inap setelah terdiagnosis HAP ditemukan pada faktor riwayat merokok, diabetes, anemia, dan operasi. B. Saran Hasil penelitian ini menunjukkan beberapa faktor prediktor mortalitas yang berpengaruh terhadap rerata masa rawat inap, namun tidak menunjukkan adanya hubungan yang bermakna secara statistik antara faktor prediktor mortalitas dan masa rawat inap. 49

2 48 infeksi nosokomial, seperti pada pasien yang membutuhkan perawatan intensif setelah mengalami infeksi. Dari 70 pasien yang menjadi subjek penelitian, 25 pasien mengalami perpindahan lokasi rawat inap. Delapan pasien dipindahkan ke ICU, lima pasien ke ICCU, empat pasien ke Dahlia 3, dua pasien ke Bougenvil 3, serta bangsal Bougenvil 4, Cendana 1, Cendana 2, Cendana 3, Cendana 5, dan Instalasi Rawat Inap III (VIP) masingmasing satu pasien. Hasil uji ANOVA menunjukkan bahwa hubungan perpindahan lokasi rawat inap dengan rerata masa rawat inap bermakna secara statistik dengan p value 0,012. C. Kekurangan Penelitian Kekurangan penelitian yang paling utama adalah keterbatasan sampel dikarenakan periode waktu yang diambil hanyalah tahun Keterbatasan lainnya adalah catatan yang kurang lengkap, sehingga beberapa sampel tidak bisa diambil data secara menyeluruh.

3 47 Bougenvil 3 dan IMC sebanyak lima orang. Pada ruang perawatan intensif (ICU dan ICCU) masing-masing terdapat empat pasien yang terinfeksi HAP, begitu juga dengan pasien pada bangsal Bougenvil 4, Cendana 1, serta Anggrek 1. HAP juga menginfeksi tiga pasien masing-masing pada bangsal Cendana 2 dan 3, serta Instalasi Rawat Inap 3 (VIP). Dua orang terinfeksi HAP di bangsal Bougenvil 2 serta satu orang pasien pada bangsal Bougenvil 1, Cendana 5, dan Dahlia 5. Hasil uji ANOVA ini dianggap cukup bermakna dengan p value 0,05. Menurut Evelliard (2001), perpindahan lokasi rawat inap akan memberikan risiko yang lebih besar kepada pasien untuk mengalami infeksi nosokomial dengan perbandingan sebanyak 2,5 kali lipat dibandingkan dengan pasien yang tidak mengalami perpindahan lokasi rawat inap. Perpindahan dapat menjadi sebab terjadinya infeksi nosokomial dimana pasien akan terpapar dengan berbagai mikroorganisme yang berbeda pada masing masing bangsal, kontak yang lebih banyak dengan pasien lain ataupun tenaga kesehatan yang terdapat koloni mikroorganisme tertentu. Selain itu, perpindahan juga dapat terjadi saat kondisi pasien kritis yang dimana saat itu risiko untuk mengalami infeksi nosokomial meningkat. Perpindahan juga dapat disebabkan oleh

4 46 mortalitas yang memiliki nilai p<0,2 yaitu stroke (p=0,190) dan kanker (p=0,205) Hasil analisis menunjukkan faktor prediktor mortalitas yang bermaknya secara statistik adalah riwayat merokok (p=0,037) dan operasi (p=0,077) sedangkan lima faktor prediktor mortalitas lainnya memiliki nilai p<0,1. Pada analisis ini juga didapatkan nilai R 2 sebesar 0,258 yang berarti adanya pendekatan sebesar 25,8% saat adanya faktor prediktor mortalitas terhadap masa rawat inap. Namun, koefisien konstanta yang bernilai minus dan standard error yang tinggi, menjadikan analisis ini tidak bermakna karena jumlah sampel yang terlalu sedikit. IV. Analisis lokasi rawat inap terhadap masa rawat inap Lokasi rawat inap dianalisis bivariat dengan mengunakan uji ANOVA untuk menguji rerata masa rawat inap pasien Hospital-Acquired Pneumonia (HAP). Analisis dibagi berdasarkan ruang rawat pasien di bangsal Instalasi Rawat Inap I, ruang perawatan intensif (ICU dan ICCU), Instalasi Rawat Inap III (VIP), dan ruang immediate medical care (IMC). Jumlah pasien yang terinfeksi HAP tertinggi pada bangsal Dahlia 2 yaitu sebanyak 12 pasien pada tahun Berikutnya diikuti oleh bangsal Dahlia 4 sebanyak enam pasien, kemudian

5 45 Berba et.al. (1999) mengemukakan bahwa HAP meningkatkan masa rawat inap pasien dibandingkan pasien tanpa infeksi HAP. Penelitian ini mengungkapkan bahwa setelah terdiagnosis HAP, rerata masa rawat inap adalah 10,49 ± 10,36 hari. Analisis bivariat antara faktor prediktor mortalitas dengan masa rawat inap setelah terdiagnosis HAP menunjukkan beberapa faktor prediktor mortalitas yang bermakna secara statistik terhadap masa rawat inap setelah terdiagnosis HAP, diantaranya riwayat merokok (p=0,001), diabetes (p=0,030), anemia (p=0,011), operasi (p=0,007) dan transfusi darah (p=0,007). Menurut Graves (2007) diabetes merupakan salah satu faktor komorbiditas yang berpengaruh terhadap masa rawat inap, bersama dengan faktor komorbiditas lain seperti stroke, kanker, dan anemia. Tingginya angka kejadian infeksi nosokomial pada pasien diabetes dengan kontrol kadar gula darah yang lemah menunjukkan bahwa hiperglikemi mungkin menjadi faktor risiko independen terhadap berkembangnya infeksi nosokomial (Pomposelli, 1998). Analisis multivariat dengan cara regresi linear dilakukan pada faktor prediktor mortalitas yang bermakna secara statistik (riwayat merokok, anemia, operasi, transfusi darah) dan faktor prediktor

6 44 Analisis multivariat dilakukan pada faktor prediktor mortalitas yang bermakna secara statistik (p<0,05) dan faktor prediktor lain yang memiliki nilai p<0,2 dengan metode analisis regresi linear. Hasil analisis menunjukkan bahwa hanya transfusi darah yang merupakan faktor prediktor mortalitas yang bermakna secara statistik (p=0,027). Namun, tidak adanya hubungan langsung antara intervensi transfusi darah dengan infeksi HAP makan dapat diambil kesimpulan bahwa faktor intervensi transfusi darah tidak bermakna secara klinis walaupun bermakna secara statistik. Selain itu, hasil analisis menunjukkan nilai R 2 sebesar 0,466, dimana hal ini berarti ada pendekatan sebesar 46,6% antara tiap-tiap faktor prediktor terhadap masa rawat inap secara umum. Dalam analisis ini, nilai standard error lebih tinggi daripada nilai koefisien konstanta, sehingga dapat disimpulkan bahwa analisis ini tidak bermakna karena jumlah sampel yang terlalu sedikit. III. Analisis hubungan faktor prediktor mortalitas dengan rerata masa rawat inap setelah terdiagnosis HAP Rerata masa rawat inap setelah terdiagnosis HAP didapatkan dengan mengurangi antara waktu terjadinya luaran klinis dengan waktu diagnosis HAP ditegakkan.

7 43 antara lain kanker dan anemia. Pasien kanker terpapar dengan berbagai macam infeksi dimana terjadinya immunosupresi dari malignansi, juga berbagai macam terapi seperti kemoterapi yang memperluas risiko pasien menerima infeksi (Kamboj, 2009). Sedangkan anemia sebagai faktor prediktor yang bermakna terhadap rerata masa rawat inap seperti disebutkan oleh Graves (2007). Operasi dan transfusi menjadi faktor prediktor mortalitas dalam kategori intervensi klinis yang bermakna. Graves (2007) menyatakan bahwa transfusi darah berhubungan dengan masa rawat inap pasien Hospital-Acquired Pneumonia (HAP), sedangkan Taylor (2002) menyebutkan bahwa transfusi packed red cell berhubungan dengan infeksi nosokomial dan terdapat pola peningkatan risiko infeksi terhadap jumlah komponen darah yang ditransfusikan. Operasi menjadi salah satu faktor prediktor mortalitas yang bermakna karena adanya intervensi langsung terhadap tubuh pasien, baik terbuka maupun tertutup. Thompson (2006) mengungkapkan bahwa Hospital- Acquired Pneumonia (HAP) berhubungan dengan operasi intra-abdominal dimana terjadi peningkatan masa rawat inap sebesar 55% pada pasien operasi yang terinfeksi HAP.

8 42 pasien, dan juga bergantung pada faktor komorbiditas lain. Riwayat merokok menjadi salah satu faktor umum yang bermakna karena rokok berpengaruh pada ketahanan umum tubuh pasien. Pada data penelitian ini, 21,9% subjek memiliki riwayat merokok. Menurut Huttunen (2007), pasien dengan riwayat merokok membutuhkan perawatan di ICU lebih sering daripada pasien tanpa riwayat merokok pada episode infeksi nosokomial. Sedangkan menurut Graves (2007) merokok merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi lama rawat inap pada pasien Hospital-Acquired Pneumonia. Pasien dengan riwayat merokok memiliki risiko yang lebih besar untuk mengalami infeksi nosokomial dan perawatan di ICU (Delgado-Rodriguez, 2003). Onset infeksi menjadi salah satu faktor prediktor mortalitas yang bermakna karena merupakan variabel epidemiologis penting yang berhubungan dengan jenis patogen penginfeksi dan outcome pasien. Early-onset HAP memiliki prognosis yang lebih baik (Lynch, 2001) sedangkan late-onset HAP sangat berkaitan dengan morbiditas dan mortalitas pasien (Moine, 2002). Pada kategori faktor prediktor mortalitas kedua, yaitu komorbiditas, terdapat dua faktor yang bermakna,

9 41 rerata masa rawat inap pada masing-masing faktor prediktor. Pada kategori faktor umum, terdapat tiga faktor prediktor yang dianalisis, yaitu kelompok usia lebih dari 60 tahun, jenis kelamin, pasien rujukan dari rumah sakit lain, pasien rawat darurat saat sebelum dirawat di rumah sakit, perpindahan lokasi rawat inap selama di rumah sakit, onset infeksi, dan riwayat merokok. Dari ketujuh faktor prediktor tersebut, yang memiliki p value kurang dari 0,05 adalah perpindahan lokasi rawat inap, onset infeksi, dan merokok. Perpindahan lokasi rawat inap yang terjadi pada 25 dari 70 subjek menjadi bermakna dimungkinkan terjadi karena adanya perubahan keadaan lingkungan pasien, sehingga paparan mikroorganisme terhadap pasien pun menjadi lebih banyak. Menurut Garner (1996) salah satu kunci dalam pengendalian infeksi di rumah sakit adalah pembatasan perpindahan pasien, karena akan mengurangi adanya transmisi mikroorganisme di rumah sakit. Namun, keadaan pasien tertentu, misalnya pasien yang harus dipindahkan ke ICU karena keadaan kritis pun juga berpengaruh, karena kondisi ketahanan tubuh pasien dalam melawan mikroorganisme berbeda pada masing-masing

10 Lokasi Rawat Anggrek 1 Bougenvil 1 Bougenvil 2 Bougenvil 3 Bougenvil4 Cendana 1 Cendana 2 Cendana 3 Cendana 5 Dahlia 2 Dahlia 3 Dahlia 4 Dahlia 5 Unit Stroke VIP ICU ICCU IMC Gambar 4. Frekuensi infeksi HAP pada tiap lokasi rawat inap II. Analisis hubungan faktor prediktor mortalitas dengan rerata masa rawat inap umum Terdapat 19 variabel faktor prediktor mortalitas yang bisa dikategorikan menjadi tiga, yaitu faktor umum, komorbiditas, dan intervensi klinis. Uji T digunakan sebagai analisis bivariat untuk menguji

11 39 sedangkan rerata masa rawat inap pada pasien yang telah terdiagnosis HAP adalah 10,49 ± 10,36 hari. Tabel 7. Analisis bivariat antara lokasi rawat inap dengan masa rawat inap secara umum Lokasi rawat N Rerata + SD P* Anggrek , ,30 0,05 Bougenvil ,00 Bougenvil ,00 + 0,00 Bougenvil ,20 + 5,81 Bougenvil , ,28 Cendana , ,62 Cendana , ,64 Cendana ,00 + 8,66 Cendana ,00 Dahlia ,42 + 9,14 Dahlia , ,82 Dahlia , ,65 Dahlia Unit stroke 4 14, ,760 VIP 3 11,67 + 5,13 ICU 4 16,50 + 7,60 ICCU 4 16,75 + 8,81 IMC 5 21, ,55 *uji ANOVA Tabel 8. Hasil analisis bivariat antara lokasi rawat inap kedua dengan masa rawat inap pasien secara umum Lokasi rawat N Rerata + SD P* Bougenvil ,50 + 2,12 0,01 Bougenvil ,00 Cendana ,00 Cendana ,00 Cendana ,00 Cendana ,00 Dahlia ,75 + 9,605 VIP 1 13,00 ICU 8 29, ,46 ICCU 5 18, ,45 *uji ANOVA

12 38 sampel, 25 pasien mengalami perpindahan lokasi rawat yang dapat diasosiasikan dengan masa rawat inap umum yang bermakna secara statistik (p=0,01). Pada sampel yang mengalami perpindahan lokasi rawat inap, jumlah terbanyak adalah pada ICU (N=8) diikuti dengan ICCU (N=5). Analisis bivariat antara lokasi rawat inap pertama maupun kedua dengan masa rawat inap setelah terdiagnosis HAP tidak memunculan hubungan yang bermakna secara statistik (p>0,05) sehingga tidak dibahas pada hasil penelitian ini. I. Ikhtisar data B. Pembahasan Pada tahun 2012 di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta terdapat 70 kasus Hospital-Acquired Pneumonia (HAP)yang termasuk dalam kriteria inklusi penelitian ini. Rerata usia pasien adalah 55,18 tahun. 51,43% pasien merupakan pasien laki-laki, sedangkan sisanya 49,57% adalah pasien perempuan. Berdasarkan kelompok usia, 38,57% dari total pasien merupakan pasien lanjut usia ( 60 tahun) serta 61,43% pasien berusia di bawah 60 tahun. Rerata masa rawat inap umum pada pasien Hospital- Acquired Pneumonia (HAP) adalah 19, ,54 hari,

13 37 faktor riwayat merokok yang bermakna secara statistik (p=0,037) dan operasi (p=0,077). Lokasi rawat inap dan usaha pengendalian infeksi merupakan salah satu faktor penting untuk mencegah terjadinya infeksi nosokomial, dalam hal ini adalah Hospital-Acquired Pneumonia (HAP). RSUP Dr. Sardjito memiliki beberapa instalasi rawat inap dan bangsal perawatan yang berbeda. Instalasi Rawat Inap I memiliki 15 bangsal dengan tiap-tiap bangsal memiliki pengelompokkan pasien dengan kasus-kasus tertentu. Selain itu juga terdapat Instalasi Rawat Inap VIP dan ruang perawatan intensif seperti Intensive Care Unit (ICU) dan Intensive Cardiac Care Unit (ICCU). Pada Instalasi Rawat Darurat, terdapat ruang IMC untuk pasien yang membutuhkan observasi lanjutan dibawah pengawasan IRD. Hasil analisis bivariat antara lokasi rawat inap pasien dengan masa rawat inap umum mengungkapkan hubungan yang bermakna secara statistik (p=0,05). Pada uji ini didapatkan pula bahwa angka kejadian HAP tertinggi berada pada bangsal Dahlia 2 (N=12) dan diikuti bangsal Dahlia 4 (N=6). Pada tabel 3 dinyatakan bahwa asosiasi antara perpindahan lokasi rawat dengan masa rawat inap umum bermakna secara statistik (p=0,008). Pada jumlah

14 36 beberapa faktor prediktor mortalitas memiliki nilai p<0,05 sehingga asosiasinya dengan masa rawat inap dapat dianggap bermakna secara statistik. Faktor prediktor mortalitas tersebut antara lain riwayat merokok (p=0,001), diabetes (p=0,030), anemia (p=0,011), tindakan operasi (p=0,007), serta transfusi darah (p=0,007). Bersama dengan faktor prediktor mortalitas lain dengan nilai p<0,2 yaitu stroke (p=0,190), analisis dilanjutkan dengan analisis multivariat dengan metode regresi linear. Tabel 6. Analisis multivariat* antara faktor prediktor mortalitas dengan masa rawat inap setelah terdiagnosis HAP Koefisien Std Variabel t P R B Error (Constant) -1,037 10,755-0,096 0,923 0,258 Riwayat merokok -6,454 2,933-2,200 0,032 Diabetes 5,774 3,564 1,620 0,110 Stroke 0,356 3,208 0,111 0,912 Kanker 0,154 2,625 0,059 0,953 Anemia -1,721 3,205-0,537 0,593 Operasi 4,963 2,755 1,801 0,077 Transfusi darah 3,748 2,600 1,441 0,155 *regresi linear dengan enter method, 90% CI Analisis multivariat yang dilakukan antara faktor prediktor mortalitas dengan masa rawat inap umum pasien HAP menunjukkan bahwa hanya faktor transfusi darah saja yang bermakna secara statistik (p=0,027), sedangkan analisis multivariat faktor prediktor mortalitas dengan masa rawat inap setelah terdiagnosis HAP memunculkan

15 35 Seperti yang ditunjukkan pada tabel 3, hasil analisis bivariat pada faktor prediktor mortalitas dengan masa rawat inap umum menunjukkan bahwa terdapat asosiasi yang bermakna (p<0,05) antara beberapa faktor prediktor mortalitas, seperti perpindahan lokasi rawat (p=0,007), onset (p=0,038), riwayat merokok (p=0,018), kanker (p=0,007), anemia (p=0,019), tindakan operasi (p=0,002), dan transfusi darah (p=0,000). Bersama dengan faktor prediktor lain dengan nilai p<0,2, faktor prediktor mortalitas yang bermakna dilanjutkan dengan analisis multivariat dengan metode regresi linear. Tabel 5. Analisis multivariat* antara faktor prediktor mortalitas dengan masa rawat inap umum Koefisien Std Variabel t P R B error (Constant) 10,641 17,484 0,609 0,545 0,466 Rawat darurat -5,650 4,880-1,158 0,252 Perpindahan 5,978 3,741 1,598 0,116 lokasi rawat Onset 5,166 3,613 1,430 0,158 Riwayat merokok -5,662 3,765-1,504 0,138 Stroke 2,756 4,995 0,552 0,583 Kanker -4,723 3,795-1,245 0,218 Penyakit jantung 2,224 3,052 0,729 0,469 Anemia 0,414 4,046 0,102 0,919 Nasogastric tube 4,359 3,676 1,186 0,241 Kateter urin 2,429 3,083 0,788 0,434 Operasi 5,348 3,737 1,431 0,158 Transfusi darah 7,418 3,262 2,274 0,027 *regresi linear dengan enter method, 90% CI Sedangkan hasil analisis bivariat antara faktor prediktor mortalitas dengan masa rawat inap setelah terdiagnosis HAP yang diungkapkan oleh tabel 4,

16 34 *uji T Tabel 4. Analisis bivariat antara faktor prediktor mortalitas dengan masa rawat inap setelah terdiagnosis HAP Variabel N Mean (days) P* Faktor umum Usia >60 tahun 27 10,07 0,794 <60 tahun 43 10,74 Jenis kelamin Laki-laki 36 10,33 0,900 Perempuan 34 10,65 Rujukan 40 11,55 0, ,07 Rawat darurat 63 10,08 0, ,14 Perpindahan lokasi rawat ,44 9,40 0,233 Onset Early-onset 17 9,88 0,785 Late-onset 53 10,68 Riwayat merokok 14 4,43 0, ,00 Komorbiditas Diabetes 9 6,11 0, ,13 Stroke 13 7,08 0, ,26 Kanker 23 12,74 0, ,38 Penyakit jantung 30 10,30 0, ,63 Penyakit saluran 41 10,95 0,658 kemih 29 9,83 Fraktur 6 11,67 0,855 Anemia Intervensi klinis Nasogastric tube Kateter urin Trakeostomi Operasi Transfusi darah ,38 12,10 6,16 10,11 11,16 11,71 9,51 2,00 10,61 15,22 8,17 14,32 7,44 0,011 0,688 0,382 0,413 0,007 0,007

17 33 *uji T Tabel 3. Analisis bivariat antara faktor prediktor mortalitas dengan masa rawat inap umum Variabel N Mean (days) P* Faktor umum Usia >60 tahun 27 19,56 0,898 <60 tahun 43 19,09 Jenis kelamin Laki-laki 36 18,17 0,516 Perempuan 34 20,44 Rujukan 40 19,85 0, ,50 Rawat darurat 63 18,25 0, ,43 Perpindahan lokasi rawat ,40 15,78 0,007 Onset Early onset 17 12,94 0,038 Late onset 53 21,30 Riwayat merokok 14 13, ,73 0,018 Komorbiditas Diabetes 9 13,67 0, ,10 Stroke 13 13,00 0, ,70 Kanker 23 25,87 0, ,04 Penyakit jantung 30 16,13 0, ,63 Penyakit saluran 41 20,78 0,304 kemih 29 17,14 Fraktur 6 24,67 0,344 Anemia Intervensi klinis Nasogastric tube Kateter urin Trakeostomi Operasi Transfusi darah ,77 21,73 12,68 23,40 16,98 22,39 16,79 3,00 19,51 27,91 15,04 26,35 13,64 0,019 0,076 0,110 0,262 0,002 <0,0001

18 32 penggunaan nasogastric tube, kateter urin, tindakan trakeostomi, operasi, dan transfusi darah. Tabel 2. Analisis univariat pada faktor prediktor mortalitas Variabel N Persentase Faktor umum Usia 60 tahun <60 tahun ,6 61,4 Jenis kelamin Laki-laki Perempuan ,4 48,6 Rujukan ,1 42,9 Rawat darurat ,0 10,0 Perpindahan lokasi rawat ,7 64,3 Onset Early-onset Late-onset ,3 75,7 Riwayat merokok ,0 80,0 Komorbiditas Diabetes ,9 87,1 Stroke ,6 81,4 Kanker ,9 67,1 Penyakit jantung ,9 57,1 Penyakit saluran kemih ,6 41,4 Fraktur 6 8,6 Anemia Intervensi klinis Nasogastric tube Kateter urin Trakeostomi Operasi Transfusi darah ,4 72,9 27,1 35,7 64,3 44,3 55,7 1,4 98,6 32,9 67,1 55,7 44,3

19 31 adalah 19, ,54 sedangkan masa rawat inap setelah terdiagnosis HAP adalah 10,49 ± 10,36 hari. Gambar 3 menyatakan bahwa luaran klinis yang terjadi adalah 62,9% meninggal dunia dan 37,1% pulang, baik dalam keadaan sembuh ataupun atas permintaan sendiri. Tabel 1. Analisis univariat variabel tergantung Variabel Mean (days) Range (days) Masa rawat inap total 19,24 ± 14, Masa rawat inap setelah terdiagnosis HAP 10,49 ± 10, Hidup; 37,10% Meninggal; 62,90% Gambar 3. Luaran klinis pada subjek penelitian Secara umum, faktor prediktor mortalitas dapat dibagi menjadi 3 kategori, yaitu faktor umum, komorbiditas, dan intervensi klinis. Faktor umum yang dianalisis adalah kelompok usia, jenis kelamin, rujukan, rawat darurat, perpindahan lokasi rawat, onset, dan riwayat merokok. Faktor komorbiditas yang dianalisis adalah diabetes, stroke, kanker, penyakit jantung, penyakit saluran kemih, fraktur, dan anemia. Sedangkan intervensi klinis yang dianalisis adalah

20 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Berdasarkan data yang diambil dari Panitia Pengendali Infeksi RSUP Dr. Sardjito tahun 2012, terdapat 70 kasus Hospital-Acquired Pneumonia (HAP) dari populasi berisiko terinfeksi sebanyak orang (prevalensi 1,85%) dan orang total pasien rawat inap di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta (0,32%). Populasi berisiko terinfeksi adalah pasien dengan usia lanjut, masa tirah baring lama, pemakaian instrument terkait saluran nafas, penggunaan nasogastric tube, kondisi paru abnormal, dan obesitas. Terdapat 2 jenis infeksi Hospital-Acquired Pneumonia (HAP) berdasarkan onset, antara lain earlyonset dan late-onset. Dalam analisis ini, masa rawat inap umum pasien Hospital-Acquired Pneumonia (HAP) dihitung dari waktu terjadinya luaran klinis dikurangi waktu masuk perawatan, sedangkan masa rawat inap setelah terdiagnosis HAP dihitung dari waktu terjadinya luaran klinis dikurangi dengan waktu pasien terdiagnosis HAP. Tabel 1 menungkapkan rerata masa rawat inap umum pada pasien HAP di RSUP Dr. Sardjito 30

21 H. Analisis Hasil Analisis hasil yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Uji T digunakan untuk menganalisis uji beda rerata masa rawat inap menurut kelompok faktor prediktor. 2. Uji ANOVA digunakan untuk menganalis uji beda rerata masa rawat inap menurut lokasi rawat inap. 3. Uji regresi linear digunakan untuk menganalisis hubungan antara faktor prediktor mortalitas dengan masa rawat inap. 29

22 28 17 Trakeostomi Pasien yang mengalami trakeostomi selama perawatan 18 Operasi Pasien yang menjalani operasi terbuka maupun tertutup selama perawatan 19 Transfusi darah Pasien yang mengalami transfusi darah selama perawatan 20 Masa rawat inap Masa rawat inap dihitung dengan mengurangi tanggal keluar dengan tanggal masuk Catatan Catatan Catatan Catatan Baca catatan Baca catatan Baca catatan Baca catatan Hari Nominal Nominal Nominal Numerik

23 27 8 Diabetes Pasien dengan riwayat penyakit diabetes 9 Stroke Pasien yang dirawat karena stroke atau mempunyai riwayat stroke 10 Kanker Pasien yang didiagnosis mengalami kanker 11 Penyakit jantung Pasien yang dirawat karena penyakit jantung atau mempunyai riwayat penyakit jantung 12 Penyakit saluran kemih Pasien yang dirawat karena penyakit saluran kemih atau mempunyai riwayat 13 Fraktur Pasien yang dirawat karena fraktur 14 Anemia Pasien dengan tingkat HB <13g/dL pada laki-laki dan <12g/dL pada perempuan 15 Nasogastric tube Pasien yang menggunakan NGT selama perawatan 16 Kateter urin Pasien yang menggunakan kateter urin selama perawatan Catatan Catatan Catatan Catatan Catatan Catatan Catatan Catatan Catatan Baca catatan Baca catatan Baca catatan Baca catatan Baca catatan Baca catatan Baca catatan Baca catatan Baca catatan Nominal Nominal Nominal Nominal Nominal Nominal Nominal Nominal Nominal

24 26 G. Definisi Operasional dan Skala Pengukuran No Variabel Pengertian Alat ukur Cara ukur Parameter Skala 1 Usia Usia pasien lebih dari 60 tahun Catatan 2 Jenis kelamin Jenis kelamin pasien Catatan 3 Rujukan Pasien yang dirujuk dari rumah sakit lain 4 Rawat darurat Pasien yang masuk ke IRD sebelum dirawat di bangsal rumah sakit 5 Perpindahan lokasi rawat Pasien yang mengalami perpindahan lokasi rawat selama di rumah sakit Catatan Catatan Catatan 6 Onset Onset infeksi Catatan 7 Riwayat merokok Pasien dengan riwayat merokok Catatan Baca catatan Baca catatan Baca catatan Baca catatan Baca catatan Baca catatan Baca catatan 60 tahun < 60 tahun Laki-laki Perempuan Early-onset Late-onset Nominal Nominal Nominal Nominal Nominal Nominal Nominal

25 25 rumah sakit sampai pasien keluar dari rumah sakit, baik hidup maupun meninggal dunia. Variabel tergantung kedua dalam penelitian ini adalah masa rawat inap pada pasien setelah terdiagnosis HAP. Masa rawat inap setelah terdiagnosis HAP ini dihitung sejak pasien terdiagnosis HAP sampai dengan pasien keluar dari rumah sakit, baik dalam luaran klinis meninggal dunia maupun hidup, sembuh atau atas permintaan sendiri.

26 24 i. stroke j. kanker k. penyakit jantung l. penyakit saluran kemih m. fraktur n. anemia o. nasogastric tube p. kateter urin q. trakeostomi r. operasi s. transfusi darah Variabel-variabel bebas dijelaskan dalam definisi operasional pada halaman 25. Penderita HAP didefinisikan sebagai seseorang yang mengalami pneumonia setelah > 48 jam mulai menjalani rawat inap di rumah sakit dan bukan pada masa inkubasi bakteri saat memulai perawatan di rumah sakit dan bukan disebabkan oleh pemasangan ventilator mekanik. II. Variabel tergantung Variabel tergantung pertama dalam penelitian ini adalah masa rawat inap pada pasien yang terdiagnosis HAP secara umum. Masa rawat inap didefinisikan sebagai lama pasien dirawat sejak mulai menjalani rawat inap di

27 23 I. Catatan E. Instrumen Penelitian II. Cara penelitian Penelitian dilakukan dengan metode observasi catatan pasien rawat inap di RSUP Dr. Sardjito yang memenuhi kriteria inklusi. Kemudian data pasien akan dikelompokkan berdasarkan penyakit yang mendasari saat perawatan HAP kemudian dihubungkan dengan masa rawat inap. F. Variabel Penelitian I. Variabel bebas Variabel bebas dalam penelitian ini adalah faktor prediktor luaran klinis pada penderita HAP, antara lain: a. usia b. jenis kelamin c. rujukan d. rawat darurat e. perpindahan lokasi rawat f. onset g. riwayat merokok h. diabetes

28 pasien rawat inap di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta tahun pasien rawat inap berisiko terinfeksi 70 pasien HAP dewasa memenuhi kriteria inklusi subjek penelitian 70 pasien dianalisis hubungan faktor prediktor mortalitasnya dengan masa rawat inap pasien Gambar 2. Alur penentuan subjek penelitian II. Metode Sampling Metode sampling yang digunakan adalah total sampling dari semua catatan pasien rawat inap dengan kode ICD-10 J16.8 dan dengan diagnosis Hospitalacquired Pneumonia (HAP) di RSUP Dr. Sardjito pada tahun Kriteria inklusi : pasien dewasa dengan catatan cukup lengkap, yaitu catatan yang memiliki data demografis dan klinis dasar lengkap (usia, jenis kelamin, penyakit dasar, intervensi klinis).

29 21 C. Waktu dan Tempat Pelaksanaan Penelitian Penelitian dilaksanakan selama bulan Februari 2013 di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta dengan menggunakan data sekunder dari catatan pasien rawat inap yang terdiagnosis HAP. D. Populasi Penelitian I. Populasi a. populasi target Populasi target adalah pasien dengan diagnosis Hospital-Acquired Pneumonia (HAP). b. populasi terjangkau Populasi target adalah pasien rawat inap terdiagnosis HAP dengan kode ICD-10 J16.8 di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta pada tahun c. eligible subject Eligible subject adalah pasien HAP dewasa dengan kode ICD-10 J16.8 di RSUP Dr. Sardjito yang memenuhi kriteria inklusi.

30 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Desain penelitian dilakukan dengan rancangan penelitian observasional analitik dengan metode retrospective cohort study. Hospital- Acquired Pneumonia Faktor Prediktor Mortalitas (+) Faktor Prediktor Mortalitas (-) retrospektif Masa Rawat Inap penelitian dimulai Gambar 1. Desain penelitian B. Subjek Penelitian Subjek penelitian adalah pasien rawat inap dengan diagnosis Hospital-Acquired Pneumonia (HAP) pada tahun 2012 di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. 20

31 19 G. Kerangka Konsep Variabel Prediktor Luaran Klinis Demografik Rujukan Rawat darurat Perpindahan Riwayat merokok Diabetes Stroke Kanker Penyakit jantung Penyakit saluran kemih Fraktur Anemia Intervensi klinis Faktor Risiko HAP Luaran klinis Early onset Late onset Masa rawat inap Meninggal Hidup H. Hipotesis Terdapat hubungan antara faktor prediktor mortalitas dengan masa rawat inap pada pasien Hospital-acquired Pneumonia (HAP) di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta pada tahun 2012.

32 18 masker, gaun, kacamata, maupun pelindung lainnya akan mengurangi risiko transmisi mikroorganisme dari pasien ke tenaga kesehatan. F. Kerangka Teori Faktor risiko internal: Penggunaan antibiotik yang irasional Tingkat keparahan penyakit utama Status nutrisi HAP Early onset Patogen penyebab H influenza S pneumoniae Methicillin susceptible S. aureus Hidup Meninggal P P I Faktor risiko eksternal: Masa rawat inap Intervensi klinis Perpindahan pasien Penempatan pasien Patogen penyebab P aeruginosa Acitenobacter Methicillin resistant S. aureus Late onset Faktor Prediktor Mortalitas Riwayat penyakit yang mendasari Komorbiditas Keadaan immunocompromized Implementasi PPI pada HAP Intervensi klinis Masa rawat inap sebelum terdiagnosis HAP Masa rawat inap setelah terdiagnosis HAP

33 17 (clinical governance). Pada tingkat rumah sakit, terdapat Panitia Pengendali Infeksi yang terdiri dari berbagai macam satuan, seperti administrasi, ahli penyakit infeksi, ahli bedah, ahli mikrobiologi, farmasi, kesehatan dan keselamatan kerja, dan lain lain. Fungsi utama Panitia Pengendalian Infeksi adalah membentuk peraturan-peraturan-peraturan dan prosedur mengenai pencegahan infeksi di rumah sakit tersebut (Murphy et.al.,2001). Garner (1996) menyatakan bahwa ada beberapa dasar penting dalam pengendalian infeksi di rumah sakit. Pertama, cuci tangan adalah langkah paling penting untuk mengurangi risiko transmisi mikroorganisme dari seeorang ke orang lainnya atau ke tempat yang berbeda pada orang yang sama. Mencuci tangan dilakukan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien maupun darah atau cairan tubuh lainnya. Kedua, penempatan pasien. Penempatan pasien pada ruang rawat pribadi dapat mengurangi transmisi mikroorganisme dibandingkan dengan ruang rawat bersama. Ketiga, perpindahan pasien yang terinfeksi. Pembatasan perpindahan atau pergerakan pasien yang terinfeksi akan mengurangi adanya kesempatan transmisi mikroorganisme di rumah sakit. Selain itu, penggunaan alat pelindung diri seperti

34 16 Johnston (2011) pada 69 pasien HAP di Kanada, rata-rata masa rawat inap adalah 53,3 hari perawatan. Penelitian lain dari Graves et.al. (2007) menyebutkan bahwa 27 pasien HAP di Australia memiliki rata-rata masa rawat inap selama 15,19 hari. Sementara itu, penelitian Berba et.al. (1999) mengemukakan bahwa HAP meningkatkan masa rawat inap sebanyak hampir dua kali lipat, dari ratarata 15,1 hari perawatan pada 456 pasien non-hap menjadi rata-rata 29,7 hari perawatan pada pasien HAP di rumah sakit di Filipina Namun, faktor lain seperti keinginan pasien untuk tinggal lebih lama di rumah sakit akan meningkatkan risiko terjadinya HAP, sehingga dapat mempengaruhi korelasi langsung antara HAP dan masa rawat inap (Glance et.al., 2009). E. Pengendalian Infeksi di Rumah Sakit Healthcare-associated infection (HCAI) adalah infeksi yang terjadi pada pasien atau tenaga kesehatan sebagai hasil dari intervensi perawatan kesehatan. Menurut Hawker et.al. (2005), pengendalian infeksi dapat menurunkan tingkat infeksi nosokomial hingga 32% di Amerika Serikat dan 10-15% di Inggris. Pengendalian infeksi adalah bagian penting dari tata kelola klinis

35 15 D. Masa Rawat Inap Masa Rawat Inap atau Length of Stay (LOS) dapat didefinisikan sebagai lamanya hari perawatan pasien di rumah sakit. Secara umum dapat dihitung dari awal pasien masuk ke rumah sakit (admission) sampai dengan pasien keluar (discharge) atau meninggal dunia. Masa rawat inap yang terlalu panjang dapat mencerminkan ketidakefisiensian pada perawatan pasien, sedangkan masa rawat inap yang terlalu pendek dapat berpengaruh pada outcome pasien, seperti tingkat pemulihan maupun kenyamanan pasien (OECD, 2011). Pasien dengan kondisi HAP akan mengalami peningkatan masa rawat inap di intensive care unit (ICU), peningkatan lama perawatan di rumah sakit, serta biaya perawatan pun juga akan bertambah (Connelly, 2009). Menurut Kollef et.al. (2005) pada 835 pasien HAP di Amerika Serikat, rata-rata masa rawat inap adalah 15,2 hari. Sedangkan menurut penelitian Rosenthal et.al. (2003) pada rumah sakit di Argentina, 307 pasien dengan HAP (exposed) mengalami rata-rata masa rawat inap di ICU sebanyak 19,68 hari dibandingkan dengan 307 pasien kontrol (unexposed) yang mengalami masa rawat inap di ICU sebanyak hari. Hal ini berarti adanya perbedaan rata-rata sebanyak 8,95 hari. Menurut

36 14 mereka yang dirawat pada bangsal geriatri. Selain itu, juga terdapat faktor adverse event saat dirawat di rumah sakit, seperti jatuh, deep vein thrombosis, reaksi anafilaktik, dan lain lain. Intervensi klinis pun mempengaruhi pula, seperti penggunaan kateter, nasogastric tube, terapi obat anti inflamasi nonsteroid, terapi obat anti-koagulan, dan lain-lain. Penyakit atau faktor risiko penyerta, seperti obesitas, riwayat stroke, keganasan, jejas spinal, infeksi, serta anemia saat perawatan. Penyakit pada system saraf pusat menjadi salah satu faktor prediktor mortalitas yang signifikan, karena pada kondisi ini, dapat terjadinya penurunan refleks batuk, melemahkan mekanisme menelan, dan perubahan pada pola pernafasan. Keadaan-keadaan tersebut akan memudahkan masuknya mikroorganisme patogen penginfeksi HAP ke dalam saluran pernafasan bawah (Fortaleza et. al., 2009). Selain komorbiditas dan intervensi klinis, faktor demografi seperti usia lebih dari 60 tahun juga menjadi salah satu faktor prediktor mortalitas yang bermakna (Connelly, 2009).

37 13 adalah Streptococcus alpha (33,3%), Staphylococcus aureus (33,3%), E coli (11,1%), dan K pneumoniae (22,2%). C. Faktor Prediktor Mortalitas Menurut Kollef et.al. (2005), pada 835 pasien HAP yang dirawat di Amerika Serikat tahun , terdapat berbagai macam faktor prediktor mortalitas seperti riwayat kanker (23,6%), keadaan metastasis (4,7%), terapi immunosupresan (19,0%), riwayat peripheral vascular disease (13,8%), diabetes (28,6%), riwayat penyakit liver kronis (3,2%), riwayat penyakit paru-paru kronis (51,6%), riwayat penyakit ginjal kronis (14,4%), penyakit kardiovaskular (47,4%), keadaan immunocompromized (2,9%), HIV positif (0,6%), riwayat stroke (15,6%), riwayat amputasi (4,9%), riwayat CABG (9,9%), CHF (27,8%), riwayat PTCA (6,8%), terapi insulin (10,4%), riwayat TIA (5,3%), riwayat respiratory distress syndrome (0,2%), serta riwayat AICD (0,6%). Penelitian Graves et.al. (2007) menyebutkan terdapat banyak faktor yang mempengaruhi dalam masa rawat inap, seperti kondisi kegawatan pasien saat dirujuk dari rumah sakit lain, riwayat merokok, atau

38 12 B. Klasifikasi HAP Berdasarkan Onset Onset infeksi merupakan variabel epidemiologis yang penting, karena merupakan faktor risiko patogen spesifik dan outcome pasien yang terinfeksi. Earlyonset HAP didefinisikan sebagai infeksi yang terjadi pada 4 hari pertama perawatan, biasanya memiliki prognosis yang lebih baik, dan kebanyakan disebabkan oleh bakteri yang sensitif terhadap antibiotik. Sedangkan late-onset HAP merupakan infeksi yang terjadi pada hari ke-5 perawatan atau seterusnya, kebanyakan disebabkan oleh bakteri yang resisten (multi-drug ressistant), dan diasosiasikan dengan dengan peningkatan morbiditas maupun mortalitas pasien. Bakteri patogen yang menyerang pada early onset adalah Haemophyllus influenza, Streptococcus pneumonia, dan Methicillin-susceptible Staphylococcus aureus (Lynch, 2001). Late-onset HAP kebanyakan disebabkan oleh bakteri gram negatif seperti P aeruginosa, Enterobactericeae, Acitenobacter, atau Methicillinressistant Staphylocccus aureus (MRSA). Menurut Hisyam dan Suseno (1998) pada kejadian HAP di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta dari tahun 1990 sampai dengan 1994, bakteri tipikal terbanyak adalah Klabsiella pneumoniae (100%), sedangkan bakteri campuran terbanyak

39 11 Staphylococcus aureus menyebabkan 20% kasus HAP dan 13% bakteremia (Richards et. al., 1999). Terdapat beberapa faktor risiko lain dalam terjadinya infeksi nosokomial, termasuk HAP, dimana menurut Eveillard (2001) transfer pasien baik intrahospital (antar bangsal perawatan) maupun interhospital menjadi salah satu faktor risiko terjadinya infeksi nosokomial. Hal ini terjadi karena pasien dapat terpapar berbagai macam mikroorganisme yang berbeda di tiap bangsal, dan juga kontak dengan lebih banyak tenaga maupun pasien lain yang mungkin terkolonisasi oleh mikroorganisme tertentu atau bahkan terinfeksi. Diagnosis klinis HAP ditentukan sebagai berikut: Pasien dengan temuan positif pada kultur bakteri dari saluran pernafasan lebih setelah lebih dari 2 hari setelah hari pertama dirawat di rumah sakit (Kollef et.al., 2005). Selain itu, juga adanya temuan klinis seperti demam dengan suhu >38.8 C, leukositosis (jumlah leukosit >10.000/mm 3 ) atau leukopenia (jumlah leukosit <4.000/mm 3 ), sekresi purulen pada trakea, dan temuan infiltrat yang baru atau persisten pada rontgen thorax.

40 10 Pseudomonas aeruginosa, Enterobacter sp, Acinetobacter sp terdapat pada 55-85% kasus, sedangkan kokus gram negatif seperti Staphylococcus aureus terjadi pada 20-30% kasus, dan 40% kasus adalah polimikrobial (Lynch, 2001). Faktor risiko lain seperti tingkat keparahan penyakit utama, pemakaian alat bantu pernapasan mekanik (ventilator), durasi perawatan di rumah sakit, dan terapi antibiotik yang tidak adekuat atau rasional akan mempengaruhi bakteri penginfeksi HAP. Resistensi antimikrobial (microbial resistance) juga salah satu faktor yang berpengaruh terhadap jenis bakteri penginfeksi HAP. Menurut The National Nosocomial Infection Surveillance System yang dikutip Lynch (2001), di rumah sakit dan fasilitas kesehatan lainnya di Amerika Serikat, dalam data sejak tahun 1970, disimpulkan bahwa beberapa patogen merupakan penginfeksi oportunistik pada pasien Intensive Care Unit (ICU), antara lain Acitenobacter sp, Methicillinresistant Staphylococcus aureus (MRSA), dan Enterobacter sp, sementara bakteri lain seperti Klabsiella pneumoniae dan Pseudomonas aeruginosa memiliki angka prevalensi yang menurun. Sebuah analisis di 97 rumah sakit di Amerika Serikat menyebutkan bahwa

41 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hospital-Acquired Pneumonia (HAP) Menurut ATS (2005), hospital-acquired pneumonia adalah infeksi nosokomial dengan jumlah kasus terbanyak kedua di Amerika Serikat. Dalam 1000 orang yang dirawat di rumah sakit, diperkirakan terdapat 5-15 kasus HAP, dengan tingkat insidensi yang meningkat 6 sampai dengan 20 kali lipat pada pasien dengan alat bantu pernapasan mekanik (ventilator). Angka mortalitas HAP berkisar antara 30% sampai dengan 70%, namun kebanyakan pasien kritis yang terinfeksi HAP meninggal karena penyakit utamanya, bukan disebabkan langsung oleh infeksi HAP. Kematian yang berhubungan dengan HAP diperkirakan sebesar 33% sampai dengan 50% (ATS, 2004). Namun, angka mortalitas pasien yang mendapatkan terapi antibiotik yang adekuat lebih rendah 13% daripada pasien yang diterapi dengan antibiotik empirik yang setelah pemeriksaan kultur, ditemukan bahwa patogen tersebut resisten dengan antibiotik tersebut (Uvizl et al, 2011). Bakteri patogen yang menyebabkan infeksi HAP ada berbagai macam. Bakteri gram positif, seperti 9

42 8 2. Berba, et.al. prospective cohort, 635 pasien 179 HAP 456 non-hap 3. Rosenthal, et.al. prospective cohort, 614 pasien 307 HAP 307 non-hap Anemic during hospital stay 2,63 hari (2,25-3,06) Emergency admission 2,23 hari (1,90-2,61 hari) Interhospital transfer Admitted to geriatric unit Diagnosis HAP Diagnosis HAP Catatan Catatan Masa rawat inap Masa rawat inap Catatan Catatan 2,57 hari (2,13-3,10 hari) 0,97 hari (0,78-1,22 hari) Pasien dengan HAP mean masa rawat inap 29,7 hari Pasien tanpa HAP mean masa rawat inap 15,1 hari p value <0,001 Pasien dengan HAP mean masa rawat inap 19,68 hari Pasien tanpa HAP mean masa rawat inap 10,73 hari p value <0.000

43 7 No. Penulis, Tahun 1. Graves et.al.,2007 Desain, Besar Sampel prospective cohort, pasien 37 HAP 27 pasien termasuk inklusi masa rawat inap <40 hari E. Keaslian Penelitian Variabel Bebas Any adverse event during hospital stay Cara Pengukuran Catatan Variabel Tergantung Masa rawat inap Cara Pengukuran Catatan Hasil 2,90 hari (2,43-3,48 hari ) Deep vein thrombosis 2,81 hari (1,78-4,42 hari ) Gastrointestinal bleeding 1,36 hari (1,09-1,70 hari) NSAID therapy 1,98 hari (1,72-2,29 hari) Anti-coagulant therapy 2,45 hari (2,08-2,89 hari) History of stroke 2,24 hari (1,82-2,75 hari) Malignancy 2,03 hari (1,72-2,39 hari) Coronary artery disease Obesity Diabetes Dyspnea during hospital stay Admitted with fracture/dislocation 1,49 hari (1,27-1,75 hari) 1,74 hari(1,50-2,02 hari) 1,98 hari(1,68-2,34 hari) 2,06 hari (1,78-2,38 hari) 2,66 hari (2,10-3,38 hari)

44 6 III. Bagi peneliti, dapat memberikan gambaran lebih jelas mengenai hubungan faktor prediktor mortalitas dan masa rawat inap pada pasien HAP, dan juga dapat menjadi dasar untuk penelitian lebih lanjut.

45 5 C. Tujuan Penelitian I. Tujuan umum adalah untuk mengetahui hubungan antara faktor prediktor mortalitas dengan masa rawat inap pada pasien HAP di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta pada tahun II. Tujuan khusus adalah sebagai berikut: a. Mengevaluasi prevalensi HAP di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta tahun b. Mengevaluasi masa rawat inap pada pasien HAP di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta tahun c. Menilai hubungan antara faktor prediktor mortalitas dengan masa rawat inap pada pasien HAP di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta tahun D. Manfaat Penelitian I. Bagi pasien, dapat meningkatkan awareness terhadap faktor risiko HAP dan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi, seperti masa perawatan di rumah sakit serta hubungannya dengan biaya perawatan. II. Bagi rumah sakit, dapat menjadi bahan evaluasi mengenai masa rawat inap kasus HAP yang dalam hal ini akan berpengaruh pada tingkat perputaran tempat tidur (bed turn over) rumah sakit dan kapasitas perawatan.

46 4 komorbiditas terjadinya HAP yang bermakna, antara lain adalah penyakit pada sistem saraf pusat dan ginjal. Sedangkan menurut Kollef et.al. (2005), penyakit kardiovaskular dan immunocompromized juga menjadi faktor komorbiditas yang signifikan. Infeksi nosokomial, dalam hal ini HAP, berpengaruh pada length of stay atau masa rawat inap pasien dan pada akhirnya berhubungan dengan biaya perawatan pasien. Penelitian Glance et.al. (2011) menyebutkan bahwa infeksi nosokomial, termasuk HAP, berpengaruh secara signifikan dengan masa rawat inap dan biaya yang dikeluarkan pasien untuk perawatan. Selain itu, tingginya prevalensi HAP dan dampak signifikan pada masa rawat inap dan terapi menjadikan HAP salah satu kunci dalam penentuan total biaya perawatan (Baker et.al, 2000). B. Perumusan Masalah Dari uraian mengenai latar belakang penelitian di atas, maka dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut: Bagaimana hubungan faktor prediktor mortalitas dan masa rawat inap pada pasien Hospital- Acquired Pneumonia (HAP) di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta?

47 3 HAP merupakan infeksi nosokomial dengan jumlah tertinggi kedua di Amerika Serikat, dan berhubungan langsung dengan peningkatan angka mortalitas, morbiditas, serta kenaikan biaya perawatan. Insidensi cukup tinggi, antara lain antara 5 sampai dengan 15 kasus per pasien, ditambah jumlah yang meningkat 6-20 kali pada pasien yang dirawat di layanan Intensive Care Unit (ICU) dan menggunakan ventilator. Beberapa studi juga menunjukkan bahwa HAP menyebabkan lama perawatan pasien di rumah sakit bertambah rata-rata 7-9 hari (ATS, 2005) Namun, Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (2003) menyebutkan, angka kejadian infeksi HAP yang sebenarnya terjadi di Indonesia tidak diketahui, karena balum ada studi komprehensif secara nasional, dan hanya terdapat studi-studi yang dilakukan oleh beberapa rumah sakit pemerintah dan swasta. Tingkat mortalitas infeksi HAP adalah sekitar 30-70%, namun pada pasien kritis, kebanyakan kematian disebabkan oleh penyakit dasar kronis daripada infeksi tersebut. Penyakit dasar tersebut merupakan faktor komorbiditas HAP, seperti chronic heart disease, cerebrovascular disease, neoplastic disease, serta keadaan umum yang lemah (Miyashita, 2012). Menurut Fortaleza et.al. (2009) terdapat beberapa faktor

48 2 lebih dari jam setelah pemasangan ventilator (ATS, 2005). Kasus NVHAP terjadi pada instalasi rawat inap dan terjadi pada pasien yang tidak menggunakan ventilator, ataupun ditemukan positif bakteri pada pasien dengan ventilator selama kurang dari 48 jam setelah pemasangan (Connelly, 2009). Patogen yang menyebabkan HAP berbeda dengan patogen yang menyebabkan infeksi CAP. Hal ini dipengaruhi oleh penggunaan antibotik berlebih dan tidak rasional, serta penggunaan terapi immunomodulator yang mulai berkembang (Lynch, 2001). ATS (2005) menyebutkan bahwa onset infeksi HAP adalah variabel epidemiologis penting dan merupakan faktor risiko untuk patogen spesifik, serta berpengaruh pada prognosis pasien. Early-onset HAP merupakan infeksi yang terjadi pada 4 hari pertama perawatan, biasanya memiliki prognosis yang lebih baik dan kebanyakan disebabkan oleh bakteri yang sensitif terhadap antibiotik. Late-onset HAP adalah infeksi yang terjadi pada hari ke-5 perawatan dan seterusnya, kebanyakan disebabkan oleh bakteri multi-drug resistant (MDR) yang meningkatkan angka morbiditas dan mortalitas pasien.

49 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pneumonia adalah penyakit infeksi yang menyerang parenkim paru-paru. Menurut Kollef et.al. (2005), selain community-acquired pneumonia (CAP) yang disebabkan oleh patogen umum seperti Streptococcus pneumoniae, Mycoplasma pneumoniae, Haemophillus influenza, dan lain lain, terdapat kategori Health-care associated pneumonia (HCAP) dan Hospital-acquired pneumonia (HAP). Health-care associated pneumonia (HCAP) adalah infeksi yang dimana pada pasien ditemukan kultur positif bakteri pernafasan selama 2 hari setelah perawatan di pelayanan kesehatan, hemodialisis jangka panjang, atau perawatan di rumah sakit 30 hari sebelumnya tanpa penggunaan ventilator. Sedangkan Hospital-acquired pneumonia (HAP) dapat dibagi lagi menjadi dua subtipe, yaitu Ventilator-associated pneumonia (VAP) dan Non-ventilator associated pneumonia (NVHAP). VAP adalah kasus infeksi pneumonia yang berhubungan langsung dengan intubasi endotrakeal yang dihubungkan dengan ventilator mekanik untuk membantu proses pernapasan pasien, dan ditemukan positif bakteri

50 ABSTRACT Background : Hospital-Acquired Pneumonia (HAP) is the second-most nosocomial infection in the United States which directly associated to the increase of mortality, morbidity, and hospital costs. HAP is associated to patients length of stay (LOS) in hospital and could be one of the evaluations of infection control in hospital. Objectives : The research was done to evaluate the prevalence of HAP, LOS, and the relationship between predicting factors of mortality and LOS in Dr. Sardjito General Hospital in Methods : The research was a retrospective cohort study. The research subjects were the inpatients diagnosed with HAP in Dr. Sardjito General Hospital in The variables that were assessed could be divided into 3 groups, general factors, comorbidity, and clinical intervention. The variables then analyzed with univariate, bivariate, and multivariate analysis. Results : The prevalence of HAP in Dr. Sardjito General Hospital were 0,32% among all the hospitalized patients and 1,85% of the high risk population. The mean of patients entire LOS were 19,24 Å 14,54 days and the mean of patients LOS after diagnosed with HAP were 10,49 Å 10,36 days. Bivariate analysis showed the relationship between predicting factors of mortality and entire LOS were the intrahospital transfer, onset, smoking history, cancer, anemia, and surgical procedure, meanwhile the relationship between predicting factors of mortality and LOS after diagnosed with HAP were smoking history, diabetes, cancer, anemia, and surgical procedure. Multivariate analysis showed no significant relationship between predicting factors of mortality and LOS. Conclusion : There were the relationship between the predicting factors of mortality and LOS Keywords : Hospital-Acquired Pneumonia (HAP), nosocomial infection, length of stay, predicting factors of mortality. xii

51 INTISARI LATAR BELAKANG : Hospital-Acquired Pneumonia (HAP) merupakan infeksi nosokomial dengan jumlah tertinggi kedua di Amerika Serikat dan berhubungan langsung dengan peningkatan mortalitas, morbiditas, serta kenaikan biaya perawatan. HAP berpengaruh pada masa rawat inap pasien dan dapat menjadi evaluasi program pengendalian infeksi pada rumah sakit. TUJUAN PENELITIAN :Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi prevalensi HAP dan masa rawat inap pada pasien HAP, menilai hubungan antara faktor prediktor mortalitas dengan masa rawat inap pada pasien HAP di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta tahun METODE PENELITIAN : Penelitian ini dilakukan dengan rancangan kohort retrospektif. Subjek penelitian adalah pasien HAP di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta pada tahun Variabel yang diamati antara lain faktor demografis dan umum, komorbiditas, dan intervensi klinis. Data kemudian dianalisis univariat, bivariat, dan multivariat. HASIL PENELITIAN : Prevalensi HAP di RSUP Dr. Sardjito adalah 1,85% dari populasi berisiko dan 0,32% dari total pasien rawat inap. Rerata masa rawat inap umum pasien HAP adalah 19,24 Å 14,54 hari, sedangkan rerata masa rawat inap pasien setelah terdiagnosis HAP adalah 10,49 Å 10,36 hari. Analisis bivariat menunjukkan asosiasi faktor prediktor mortalitas dengan masa rawat inap umum yaitu perpindahan lokasi rawat, onset, riwayat merokok, kanker, anemia, operasi, dan transfusi darah. Sedangkan pada masa rawat inap setelah terdiagnosis HAP ditemukan hubungan dengan faktor riwayat merokok, anemia, operasi, dan transfusi darah. Analisis multivariat menunjukkan hubungan yang tidak bermakna antara faktor prediktor mortalitas dengan masa rawat inap. KESIMPULAN : Terdapat hubungan antara faktor prediktor mortalitas dengan masa rawat inap pada pasien HAP di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. KATA KUNCI : Hospital-acquired pneumonia (HAP), infeksi nosokomial, masa rawat inap, faktor prediktor mortalitas. xi

52 DAFTAR GAMBAR Gambar 1.20 Gambar 2.22 Gambar 3.31 Gambar 4.40 x

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Pneumonia adalah penyakit infeksi yang menyerang. parenkim paru-paru. Menurut Kollef et.al.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Pneumonia adalah penyakit infeksi yang menyerang. parenkim paru-paru. Menurut Kollef et.al. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pneumonia adalah penyakit infeksi yang menyerang parenkim paru-paru. Menurut Kollef et.al. (2005), selain community-acquired pneumonia (CAP) yang disebabkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Angka morbiditas dan mortalitas pneumonia di seluruh dunia sangat

BAB I PENDAHULUAN. Angka morbiditas dan mortalitas pneumonia di seluruh dunia sangat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Angka morbiditas dan mortalitas pneumonia di seluruh dunia sangat tinggi. Pneumonia merupakan penyakit radang akut paru yang disebabkan oleh mikroorganisme yang mengakibatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. salah satu aspek yang penting dan banyak digunakan bagi perawatan pasien yang

BAB I PENDAHULUAN. salah satu aspek yang penting dan banyak digunakan bagi perawatan pasien yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Ventilator mekanik merupakan alat yang digunakan untuk membantu fungsi pernapasan. Penggunaannya diindikasikan untuk pasien dengan hipoksemia, hiperkapnia berat dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN UKDW. mikroorganisme yang didapat dari orang lain (cross infection) atau disebabkan oleh

BAB I PENDAHULUAN UKDW. mikroorganisme yang didapat dari orang lain (cross infection) atau disebabkan oleh BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Infeksi Nosokomial menjadi masalah yang cukup berdampak di negara berkembang seperti Indonesia. Infeksi nosokomial ini dapat disebabkan oleh mikroorganisme yang didapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. paru. Bila fungsi paru untuk melakukan pembebasan CO 2 atau pengambilan O 2 dari atmosfir

BAB I PENDAHULUAN. paru. Bila fungsi paru untuk melakukan pembebasan CO 2 atau pengambilan O 2 dari atmosfir BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Ventilator adalah suatu sistem alat bantu hidup yang dirancang untuk menggantikan atau menunjang fungsi pernapasan yang normal. Ventilator dapat juga berfungsi untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang. Infeksi nosokomial atau Hospital-Acquired Infection. (HAI) memiliki kontribusi yang besar terhadap tingkat

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang. Infeksi nosokomial atau Hospital-Acquired Infection. (HAI) memiliki kontribusi yang besar terhadap tingkat BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Infeksi nosokomial atau Hospital-Acquired Infection (HAI) memiliki kontribusi yang besar terhadap tingkat mortalitas di dunia. Infeksi nosokomial menempati urutan keempat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang merupakan salah satu masalah kesehatan. anak yang penting di dunia karena tingginya angka

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang merupakan salah satu masalah kesehatan. anak yang penting di dunia karena tingginya angka BAB I PENDAHULUAN Pneumonia 1.1 Latar Belakang merupakan salah satu masalah kesehatan anak yang penting di dunia karena tingginya angka kesakitan dan angka kematiannya, terutama pada anak berumur kurang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ventilator Associated Pneumonia (VAP) merupakan suatu peradangan pada paru (Pneumonia)

BAB I PENDAHULUAN. Ventilator Associated Pneumonia (VAP) merupakan suatu peradangan pada paru (Pneumonia) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ventilator Associated Pneumonia (VAP) merupakan suatu peradangan pada paru (Pneumonia) yang disebabkan oleh pemakaian ventilator dalam jangka waktu yang lama pada pasien

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. jamur, dan parasit (Kemenkes RI, 2012; PDPI, 2014). Sedangkan infeksi yang

BAB 1 PENDAHULUAN. jamur, dan parasit (Kemenkes RI, 2012; PDPI, 2014). Sedangkan infeksi yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pneumonia merupakan penyakit infeksi saluran napas bawah akut pada parenkim paru. Pneumonia disebabkan oleh mikroorganisme seperti bakteri, virus, jamur, dan parasit

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. seseorang selama di rumah sakit (Darmadi, 2008). Infeksi nosokomial merupakan

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. seseorang selama di rumah sakit (Darmadi, 2008). Infeksi nosokomial merupakan BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Infeksi nosokomial dapat diartikan sebagai infeksi yang diperoleh seseorang selama di rumah sakit (Darmadi, 2008). Infeksi nosokomial merupakan salah satu penyebab utama

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian ini mencakup bidang Ilmu Penyakit Saraf.

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian ini mencakup bidang Ilmu Penyakit Saraf. BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini mencakup bidang Ilmu Penyakit Saraf. 4.2 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Bagian Rekam Medik RSUP Dr. Kariadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sindrom klinik ini terjadi karena adanya respon tubuh terhadap infeksi, dimana

BAB I PENDAHULUAN. Sindrom klinik ini terjadi karena adanya respon tubuh terhadap infeksi, dimana BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Sepsis merupakan suatu sindrom kompleks dan multifaktorial, yang insidensi, morbiditas, dan mortalitasnya sedang meningkat di seluruh belahan dunia. 1 Sindrom klinik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang Masalah. Staphylococcus adalah bakteri gram positif. berbentuk kokus. Hampir semua spesies Staphylococcus

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang Masalah. Staphylococcus adalah bakteri gram positif. berbentuk kokus. Hampir semua spesies Staphylococcus BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Staphylococcus adalah bakteri gram positif berbentuk kokus. Hampir semua spesies Staphylococcus merupakan bakteri koagulase negatif, kecuali Staphylococcus aureus

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Infeksi Nosokomial Infeksi nosokomial adalah infeksi yang berkenaan atau berasal dari rumah sakit, digunakan untuk infeksi yang tidak ada atau mengalami masa inkubasi sebelum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang. Kolonisasi bakteri merupakan keadaan ditemukannya. koloni atau sekumpulan bakteri pada diri seseorang.

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang. Kolonisasi bakteri merupakan keadaan ditemukannya. koloni atau sekumpulan bakteri pada diri seseorang. 1 BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Kolonisasi bakteri merupakan keadaan ditemukannya koloni atau sekumpulan bakteri pada diri seseorang. Kolonisasi tidak menimbulkan gejala klinis hingga infeksi dari

Lebih terperinci

POLA KEPEKAAN BAKTERI PENYEBAB VENTILATOR-ASSOCIATED PNEUMONIA (VAP) DI ICU RSUP H. ADAM MALIK PERIODE JULI-DESEMBER Oleh :

POLA KEPEKAAN BAKTERI PENYEBAB VENTILATOR-ASSOCIATED PNEUMONIA (VAP) DI ICU RSUP H. ADAM MALIK PERIODE JULI-DESEMBER Oleh : POLA KEPEKAAN BAKTERI PENYEBAB VENTILATOR-ASSOCIATED PNEUMONIA (VAP) DI ICU RSUP H. ADAM MALIK PERIODE JULI-DESEMBER 2014 Oleh : DASTA SENORITA GINTING 120100251 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi nosokomial adalah infeksi yang di dapat setelah pasien dirawat di rumah

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi nosokomial adalah infeksi yang di dapat setelah pasien dirawat di rumah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Infeksi nosokomial adalah infeksi yang di dapat setelah pasien dirawat di rumah sakit. Infeksi nosokomial merupakan konstributor penting pada morbiditas dan mortalitas.

Lebih terperinci

ABSTRAK PERBANDINGAN POLA RESISTENSI KUMAN PADA PENDERITA PNEUMONIA DI RUANGAN ICU DAN NON ICU RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG TAHUN 2012

ABSTRAK PERBANDINGAN POLA RESISTENSI KUMAN PADA PENDERITA PNEUMONIA DI RUANGAN ICU DAN NON ICU RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG TAHUN 2012 ABSTRAK PERBANDINGAN POLA RESISTENSI KUMAN PADA PENDERITA PNEUMONIA DI RUANGAN ICU DAN NON ICU RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG TAHUN 2012 Maria F. Delong, 2013, Pembimbing I : DR. J. Teguh Widjaja, dr., SpP.,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. konsolidasi paru yang terkena dan pengisian alveoli oleh eksudat, sel radang dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. konsolidasi paru yang terkena dan pengisian alveoli oleh eksudat, sel radang dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah merupakan peradangan yang mengenai parenkim paru, distal dari bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius, yang menimbulkan konsolidasi paru

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi saluran napas bawah masih tetap menjadi masalah utama dalam

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi saluran napas bawah masih tetap menjadi masalah utama dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi saluran napas bawah masih tetap menjadi masalah utama dalam bidang kesehatan, baik di negara berkembang maupun negara maju. 1 Infeksi ini merupakan penyebab

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengisian alveoli oleh eksudat, sel radang dan fibrin. Pneumonia masih

BAB I PENDAHULUAN. pengisian alveoli oleh eksudat, sel radang dan fibrin. Pneumonia masih BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru, distal dari bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius. Pneumonia ditandai dengan konsolidasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kelompok penyakit yang berhubungan dengan infeksi. Penyakit ini banyak ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. kelompok penyakit yang berhubungan dengan infeksi. Penyakit ini banyak ditemukan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pneumonia komunitas merupakan salah satu penyebab kematian utama pada kelompok penyakit yang berhubungan dengan infeksi. Penyakit ini banyak ditemukan dan dapat menimbulkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Penelitian. baru atau berulang. Kira-kira merupakan serangan pertama dan

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Penelitian. baru atau berulang. Kira-kira merupakan serangan pertama dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Stroke adalah penyebab kematian terbanyak ketiga di seluruh dunia setelah penyakit jantung dan kanker dan setiap tahunnya 700.000 orang mengalami stroke baru

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. satu penyebab kematian utama di dunia. Berdasarkan. kematian tertinggi di dunia. Menurut WHO 2002,

BAB I PENDAHULUAN. satu penyebab kematian utama di dunia. Berdasarkan. kematian tertinggi di dunia. Menurut WHO 2002, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi adalah invasi dan multiplikasi mikroorganisme atau parasit dalam jaringan tubuh (1). Infeksi tidak hanya menjadi masalah kesehatan bagi Indonesia bahkan di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Stroke adalah salah satu penyakit yang sampai saat ini masih menjadi masalah serius di dunia kesehatan. Stroke merupakan penyakit pembunuh nomor dua di dunia,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit infeksi adalah penyakit yang disebabkan oleh masuk dan berkembang biaknya

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit infeksi adalah penyakit yang disebabkan oleh masuk dan berkembang biaknya BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit infeksi adalah penyakit yang disebabkan oleh masuk dan berkembang biaknya mikroorganisme yaitu bakteri, virus, jamur, prion dan protozoa ke dalam tubuh sehingga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. infeksi bakteri. Resistensi antibiotik terjadi ketika bakteri berubah dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. infeksi bakteri. Resistensi antibiotik terjadi ketika bakteri berubah dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Antibiotik adalah obat yang digunakan untuk mencegah dan mengobati infeksi bakteri. Resistensi antibiotik terjadi ketika bakteri berubah dalam merespon pemberian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. pelayanan kesehatan umum seperti rumah sakit dan panti jompo. Multidrugs

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. pelayanan kesehatan umum seperti rumah sakit dan panti jompo. Multidrugs BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Resistensi antibiotik memiliki pengaruh besar terhadap kesehatan manusia, setidaknya 2 juta orang terinfeksi oleh bakteri yang resisten terhadap antibiotik

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Ruang lingkup keilmuan pada penelitian ini mencakup bidang Ilmu Penyakit

BAB III METODE PENELITIAN. Ruang lingkup keilmuan pada penelitian ini mencakup bidang Ilmu Penyakit BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Ruang lingkup penelitian Ruang lingkup keilmuan pada penelitian ini mencakup bidang Ilmu Penyakit Dalam. 3.2 Tempat dan waktu penelitian Penelitian ini telah dilakukan di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang. Staphylococcus aureus merupakan salah satu. penyebab utama infeksi di rumah sakit dan komunitas,

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang. Staphylococcus aureus merupakan salah satu. penyebab utama infeksi di rumah sakit dan komunitas, BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Staphylococcus aureus merupakan salah satu penyebab utama infeksi di rumah sakit dan komunitas, baik di negara maju maupun negara berkembang. Sebagian besar virulensi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) adalah bakteri. Staphylococcus aureus yang mengalami kekebalan terhadap antibiotik

I. PENDAHULUAN. Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) adalah bakteri. Staphylococcus aureus yang mengalami kekebalan terhadap antibiotik I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) adalah bakteri Staphylococcus aureus yang mengalami kekebalan terhadap antibiotik jenis metisilin. MRSA mengalami resistensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ratusan juta pasien terkena dampak Health care-associated infections di

BAB I PENDAHULUAN. Ratusan juta pasien terkena dampak Health care-associated infections di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut World Health Organization (WHO), health care-associated infections (HAIs) atau infeksi dapatan di pelayanan kesehatan adalah efek samping yang paling sering

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bervariasi. Insidensi stroke hampir mencapai 17 juta kasus per tahun di seluruh dunia. 1 Di

BAB I PENDAHULUAN. bervariasi. Insidensi stroke hampir mencapai 17 juta kasus per tahun di seluruh dunia. 1 Di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Stroke masih menjadi pusat perhatian dalam bidang kesehatan dan kedokteran oleh karena kejadian stroke yang semakin meningkat dengan berbagai penyebab yang semakin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN UKDW. fisik, mental, sosial dan ekonomi bagi penderitanya (Satyanegara et al, 2009)

BAB I PENDAHULUAN UKDW. fisik, mental, sosial dan ekonomi bagi penderitanya (Satyanegara et al, 2009) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Stroke merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan yang cukup besar di dunia. Stroke adalah gangguan fungsi otak fokal maupun secara menyeluruh yang terjadi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Mikroorganisme penyebab penyakit infeksi disebut juga patogen

BAB 1 PENDAHULUAN. Mikroorganisme penyebab penyakit infeksi disebut juga patogen BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit infeksi adalah penyakit yang disebabkan oleh masuk dan berkembang biaknya mikroorganisme yaitu bakteri, virus, jamur, prion dan protozoa ke dalam tubuh sehingga

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. pneumonia, mendapatkan terapi antibiotik, dan dirawat inap). Data yang. memenuhi kriteria inklusi adalah 32 rekam medik.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. pneumonia, mendapatkan terapi antibiotik, dan dirawat inap). Data yang. memenuhi kriteria inklusi adalah 32 rekam medik. BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini mengevaluasi tentang penggunaan antibiotik pada pasien pneumonia di RSU PKU Muhammadiyah Bantul. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan terdapat 79 rekam

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. kejadian VAP di Indonesia, namun berdasarkan kepustakaan luar negeri

PENDAHULUAN. kejadian VAP di Indonesia, namun berdasarkan kepustakaan luar negeri BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ventilator associated pneumonia (VAP) adalah bentuk infeksi nosokomial yang paling sering ditemui di unit perawatan intensif (UPI), khususnya pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Infeksi saluran pernafasan adalah penyebab utama morbiditas dan mortalitas penyakit menular di dunia. Hampir empat juta orang meninggal akibat infeksi saluran nafas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Infeksi saluran napas bawah masih tetap merupakan masalah utama dalam bidang kesehatan, baik di negara yang sedang berkembang maupun yang sudah maju. Data

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. bawah 5 tahun dibanding penyakit lainnya di setiap negara di dunia. Pada tahun

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. bawah 5 tahun dibanding penyakit lainnya di setiap negara di dunia. Pada tahun BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pneumonia merupakan penyakit yang banyak membunuh anak usia di bawah 5 tahun dibanding penyakit lainnya di setiap negara di dunia. Pada tahun 2004, sekitar

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN. Ruang lingkup keilmuan dalam penelitian ini adalah bidang Ilmu. Mikrobiologi Klinik dan ilmu penyakit infeksi.

BAB IV METODE PENELITIAN. Ruang lingkup keilmuan dalam penelitian ini adalah bidang Ilmu. Mikrobiologi Klinik dan ilmu penyakit infeksi. BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Ruang Lingkup Penelitian 4.1.1 Ruang lingkup keilmuan Ruang lingkup keilmuan dalam penelitian ini adalah bidang Ilmu Mikrobiologi Klinik dan ilmu penyakit infeksi. 4.1.2 Ruang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pneumonia merupakan salah satu penyakit infeksi. menular pada saluran napas bawah, tepatnya menginfeksi

BAB I PENDAHULUAN. Pneumonia merupakan salah satu penyakit infeksi. menular pada saluran napas bawah, tepatnya menginfeksi 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Pneumonia merupakan salah satu penyakit infeksi menular pada saluran napas bawah, tepatnya menginfeksi parenkim paru (Mandell Wunderink, 2012). Prevalensi pneumonia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ruang rawat intensif atau Intensive Care Unit (ICU) adalah unit perawatan di rumah sakit yang dilengkapi peralatan khusus dan perawat yang terampil merawat pasien sakit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi neonatal merupakan penyebab penting morbiditas, lamanya tinggal di rumah sakit, dan kematian pada bayi. 1 Pola penyakit penyebab kematian menunjukkan bahwa

Lebih terperinci

BAB 4 METODE PENELITIAN. Ruang lingkup keilmuan meliputi Anestesiologi dan Terapi Intensif.

BAB 4 METODE PENELITIAN. Ruang lingkup keilmuan meliputi Anestesiologi dan Terapi Intensif. BAB 4 METODE PENELITIAN 4.1 Ruang lingkup penelitian Ruang lingkup keilmuan meliputi Anestesiologi dan Terapi Intensif. 4.2 Tempat dan waktu penelitian 4.2.1 Tempat penelitian Penelitian ini dilaksanakan

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA DAFTAR ISI Halaman Halaman Sampul Dalam... i Pernyataan Orisinalitas... ii Persetujuan Skripsi... iii Halaman Pengesahan Tim Penguji Skripsi... iv Motto dan Dedikasi... v Kata Pengantar... vi Abstract...

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sumber: Kemenkes, 2014

BAB I PENDAHULUAN. Sumber: Kemenkes, 2014 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang merupakan penyebab dari timbulnya Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS), masih menjadi masalah kesehatan utama secara

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian di sub bagian Pulmologi, bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUP Dr Kariadi 4.2 Tempat dan Waktu Penelitian 4.2.1 Tempat

Lebih terperinci

Hubungan Albumin Serum Awal Perawatan dengan Perbaikan Klinis Infeksi Ulkus Kaki Diabetik di Rumah Sakit di Jakarta

Hubungan Albumin Serum Awal Perawatan dengan Perbaikan Klinis Infeksi Ulkus Kaki Diabetik di Rumah Sakit di Jakarta LAPORAN PENELITIAN Hubungan Albumin Serum Awal Perawatan dengan Perbaikan Klinis Infeksi Ulkus Kaki Diabetik di Rumah Sakit di Jakarta Hendra Dwi Kurniawan 1, Em Yunir 2, Pringgodigdo Nugroho 3 1 Departemen

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. perubahan. Masalah kesehatan utama masyarakat telah bergeser dari penyakit infeksi ke

BAB 1 : PENDAHULUAN. perubahan. Masalah kesehatan utama masyarakat telah bergeser dari penyakit infeksi ke BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring dengan perubahan pola hidup masyarakat maka pola penyakit pun mengalami perubahan. Masalah kesehatan utama masyarakat telah bergeser dari penyakit infeksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Di Rumah Sakit di Australia, sekitar 1 % dari seluruh pasien mengalami adverse

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Di Rumah Sakit di Australia, sekitar 1 % dari seluruh pasien mengalami adverse BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Medication error merupakan masalah yang cukup pelik dalam pelayanan kesehatan. Di Amerika Serikat, medication error diperkirakan membahayakan 1,5 juta pasien

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. yang resisten terhadap minimal 3 kelas antibiotik. 1 Dari penelitian yang

BAB 1 PENDAHULUAN. yang resisten terhadap minimal 3 kelas antibiotik. 1 Dari penelitian yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Organisme Multidrug-Resistant (MDR) didefinisikan sebagai organisme yang resisten terhadap minimal 3 kelas antibiotik. 1 Dari penelitian yang dilakukan di Paris, didapatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Antibiotik merupakan golongan obat yang paling banyak digunakan di dunia terkait dengan banyaknya kejadian infeksi bakteri. Sekitar 10-40% anggaran kesehatan di dunia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan kepada masyarakat memiliki peran yang sangat penting dalam meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan kepada masyarakat memiliki peran yang sangat penting dalam meningkatkan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Rumah sakit sebagai salah satu sarana kesehatan yang memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat memiliki peran yang sangat penting dalam meningkatkan derajat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pneumonia merupakan infeksi akut di parenkim paru-paru dan sering

BAB I PENDAHULUAN. Pneumonia merupakan infeksi akut di parenkim paru-paru dan sering BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pneumonia merupakan infeksi akut di parenkim paru-paru dan sering mengganggu pertukaran gas. Bronkopneumonia melibatkan jalan nafas distal dan alveoli, pneumonia lobular

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Stroke merupakan salah satu sumber penyebab gangguan otak pada. usia masa puncak produktif dan menempati urutan kedua penyebab

BAB I PENDAHULUAN. Stroke merupakan salah satu sumber penyebab gangguan otak pada. usia masa puncak produktif dan menempati urutan kedua penyebab BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Stroke merupakan salah satu sumber penyebab gangguan otak pada usia masa puncak produktif dan menempati urutan kedua penyebab kematian sesudah penyakit jantung pada

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar belakang. Diabetes melitus (DM) terutama DM tipe 2 merupakan masalah kesehatan

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar belakang. Diabetes melitus (DM) terutama DM tipe 2 merupakan masalah kesehatan BAB I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Diabetes melitus (DM) terutama DM tipe 2 merupakan masalah kesehatan global. International Diabetes Federation (IDF) memprediksi jumlah orang dengan DM akan meningkat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit infeksi merupakan salah satu masalah. kesehatan yang terus berkembang di dunia. Peningkatan

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit infeksi merupakan salah satu masalah. kesehatan yang terus berkembang di dunia. Peningkatan BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penyakit infeksi merupakan salah satu masalah kesehatan yang terus berkembang di dunia. Peningkatan penyakit infeksi ini dapat memberikan pengaruh terhadap penggunaan

Lebih terperinci

POLA KLINIS PNEUMONIA KOMUNITAS DEWASA DI RSUP DR. KARIADI SEMARANG LAPORAN HASIL PENELITIAN KARYA TULIS ILMIAH

POLA KLINIS PNEUMONIA KOMUNITAS DEWASA DI RSUP DR. KARIADI SEMARANG LAPORAN HASIL PENELITIAN KARYA TULIS ILMIAH i POLA KLINIS PNEUMONIA KOMUNITAS DEWASA DI RSUP DR. KARIADI SEMARANG LAPORAN HASIL PENELITIAN KARYA TULIS ILMIAH Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan guna mencapai derajat sarjana strata-1 kedokteran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kejadian gagal jantung di Amerika Serikat mempunyai insidensi yang besar dan tetap stabil selama beberapa dekade terakhir, yaitu >650.000 kasus baru didiagnosis setiap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. jantung yang prevalensinya paling tinggi dalam masyarakat umum dan. berperan besar terhadap mortalitas dan morbiditas.

BAB I PENDAHULUAN. jantung yang prevalensinya paling tinggi dalam masyarakat umum dan. berperan besar terhadap mortalitas dan morbiditas. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perubahan pola hidup menyebabkan berubahnya pola penyakit infeksi dan penyakit rawan gizi ke penyakit degeneratif kronik seperti penyakit jantung yang prevalensinya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. oleh infeksi saluran napas disusul oleh infeksi saluran cerna. 1. Menurut World Health Organization (WHO) 2014, demam tifoid

BAB I PENDAHULUAN. oleh infeksi saluran napas disusul oleh infeksi saluran cerna. 1. Menurut World Health Organization (WHO) 2014, demam tifoid BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Penyakit infeksi merupakan salah satu masalah kesehatan terbesar tidak saja di Indonesia, tetapi juga di seluruh dunia. Selain virus sebagai penyebabnya,

Lebih terperinci

BAB 4 METODE PENELITIAN. Ruang lingkup penelitian ini adalah ICU RSUP dr. Kariadi Semarang.

BAB 4 METODE PENELITIAN. Ruang lingkup penelitian ini adalah ICU RSUP dr. Kariadi Semarang. 25 BAB 4 METODE PENELITIAN 4.1 Ruang lingkup penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah ICU RSUP dr. Kariadi Semarang. 4.2 Tempat dan waktu penelitian Penelitian ini dilakukan di Instalasi Rekam Medik,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. infeksi yang didapat pada pasien di Pediatric Intensive Care Unit (PICU).

BAB 1 PENDAHULUAN. infeksi yang didapat pada pasien di Pediatric Intensive Care Unit (PICU). BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang penelitian Infeksi merupakan penyebab utama dari kesakitan dan kematian pasien termasuk pada anak. Infeksi melalui aliran darah merupakan penyebab utama infeksi yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Infeksi bakteri yang berkembang menjadi sepsis, merupakan suatu respons

BAB 1 PENDAHULUAN. Infeksi bakteri yang berkembang menjadi sepsis, merupakan suatu respons BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi bakteri yang berkembang menjadi sepsis, merupakan suatu respons tubuh terhadap invasi mikroorganisme, bakteremia atau pelepasan sitokin akibat pelepasan endotoksin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Infeksi saluran napas bawah masih tetap merupakan masalah utama dalam bidang kesehatan, baik di negara yang sedang berkembang maupun yang sudah maju. Penyebab

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. secara global, termasuk Indonesia. Pada tahun 2001, World Health Organization

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. secara global, termasuk Indonesia. Pada tahun 2001, World Health Organization BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit jantung dan pembuluh darah merupakan penyebab utama kematian secara global, termasuk Indonesia. Pada tahun 2001, World Health Organization (WHO) melaporkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Infeksi nosokomial terjadi di seluruh dunia, dan menjadi masalah utama bagi keselamatan pasien. Infeksi nosokomial merupakan penyebab utama kematian dan peningkatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menggambarkan kolonisasi kuman penyebab infeksi dalam urin dan. ureter, kandung kemih dan uretra merupakan organ-organ yang

BAB I PENDAHULUAN. menggambarkan kolonisasi kuman penyebab infeksi dalam urin dan. ureter, kandung kemih dan uretra merupakan organ-organ yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Infeksi saluran kemih (ISK) adalah istilah umum untuk menggambarkan kolonisasi kuman penyebab infeksi dalam urin dan pada struktur traktus urinarius. (1) Saluran

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Kateter uretra merupakan alat yang digunakan untuk. keperawatan dengan cara memasukkan kateter ke dalam kandung kemih melalui

BAB 1 PENDAHULUAN. Kateter uretra merupakan alat yang digunakan untuk. keperawatan dengan cara memasukkan kateter ke dalam kandung kemih melalui BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kateter uretra merupakan alat yang digunakan untuk tindakan keperawatan dengan cara memasukkan kateter ke dalam kandung kemih melalui uretra yang bertujuan untuk membantu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kanker paru merupakan penyebab kematian terbanyak di dunia akibat kanker, baik pada pria maupun wanita di dunia. Di seluruh dunia, kematian akibat kanker paru sendiri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tubuh yang berlebihan terhadap infeksi. Sepsis sering terjadi di rumah sakit

BAB I PENDAHULUAN. tubuh yang berlebihan terhadap infeksi. Sepsis sering terjadi di rumah sakit BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sepsis adalah penyakit mengancam jiwa yang disebabkan oleh reaksi tubuh yang berlebihan terhadap infeksi. Sepsis sering terjadi di rumah sakit misalnya pada pasien

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. infeksi tersebut. Menurut definisi World Health Organization. (WHO, 2009), Healthcare Associated Infections (HAIs)

BAB I PENDAHULUAN. infeksi tersebut. Menurut definisi World Health Organization. (WHO, 2009), Healthcare Associated Infections (HAIs) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Healthcare Associated Infections (HAIs) atau sering disebut dengan istilah infeksi nosokomial adalah merupakan masalah penting di seluruh dunia dan menjadi

Lebih terperinci

POLA PENGGUNAAN OBAT ANTIHIPERTENSI DAN KESESUAIANNYA PADA PASIEN GERIATRI RAWAT JALAN DI RSUD ULIN BANJARMASIN PERIODE APRIL

POLA PENGGUNAAN OBAT ANTIHIPERTENSI DAN KESESUAIANNYA PADA PASIEN GERIATRI RAWAT JALAN DI RSUD ULIN BANJARMASIN PERIODE APRIL POLA PENGGUNAAN OBAT ANTIHIPERTENSI DAN KESESUAIANNYA PADA PASIEN GERIATRI RAWAT JALAN DI RSUD ULIN BANJARMASIN PERIODE APRIL 2015 purnamirahmawati@gmail.com riza_alfian89@yahoo.com lis_tyas@yahoo.com

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang. Bakteri dari genus Staphylococcus adalah bakteri. gram positif kokus yang secara mikroskopis dapat diamati

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang. Bakteri dari genus Staphylococcus adalah bakteri. gram positif kokus yang secara mikroskopis dapat diamati BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Bakteri dari genus Staphylococcus adalah bakteri gram positif kokus yang secara mikroskopis dapat diamati sebagai organisme individu, berpasangan, dan ireguler serta

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian di bagian Ilmu Penyakit Dalam, sub

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian di bagian Ilmu Penyakit Dalam, sub BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian di bagian Ilmu Penyakit Dalam, sub bagian Penyakit Tropik Infeksi di RSUP Dokter Kariadi Semarang 4.2 Tempat dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Stroke adalah salah satu penyakit epidemik global. yang mengancam kehidupan, kesehatan, dan kualitas hidup

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Stroke adalah salah satu penyakit epidemik global. yang mengancam kehidupan, kesehatan, dan kualitas hidup BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Stroke adalah salah satu penyakit epidemik global yang mengancam kehidupan, kesehatan, dan kualitas hidup seseorang. Tiap tahunnya terdapat 795.000 orang yang terserang

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN. Penyakit Dalam sub bagian Infeksi Tropis. Bagian /SMF Ilmu Penyakit Dalam RSUP Dr. Kariadi Semarang mulai 1

BAB IV METODE PENELITIAN. Penyakit Dalam sub bagian Infeksi Tropis. Bagian /SMF Ilmu Penyakit Dalam RSUP Dr. Kariadi Semarang mulai 1 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Ruang lingkup penelitian Disiplin ilmu yang terkait dengan penelitian ini adalah Ilmu Penyakit Dalam sub bagian Infeksi Tropis 4.2 Tempat dan waktu penelitian Penelitian ini

Lebih terperinci

BAB 6 PEMBAHASAN. pneumonia yang terjadi pada pasien dengan bantuan ventilasi mekanik setelah 48

BAB 6 PEMBAHASAN. pneumonia yang terjadi pada pasien dengan bantuan ventilasi mekanik setelah 48 BAB 6 PEMBAHASAN VAP (ventilatory acquired pneumonia) adalah infeksi nosokomial pneumonia yang terjadi pada pasien dengan bantuan ventilasi mekanik setelah 48 jam. 4,8,11 Insiden VAP bervariasi antara

Lebih terperinci

BAB III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan uji klinis dengan metode Quasi Experimental dan

BAB III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan uji klinis dengan metode Quasi Experimental dan BAB III. METODE PENELITIAN A. RANCANGAN PENELITIAN Penelitian ini merupakan uji klinis dengan metode Quasi Experimental dan menggunakan Pretest and posttest design pada kelompok intervensi dan kontrol.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. untuk pasien yang membutuhkan perawatan akut atau mendesak. (Queensland

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. untuk pasien yang membutuhkan perawatan akut atau mendesak. (Queensland BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Instalasi Gawat Darurat (IGD) adalah area di dalam sebuah rumah sakit yang dirancang dan digunakan untuk memberikan standar perawatan gawat darurat untuk pasien yang

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Tempat penelitian ini dilakukan adalah RSUP Dr. Kariadi Semarang.

BAB III METODE PENELITIAN. Tempat penelitian ini dilakukan adalah RSUP Dr. Kariadi Semarang. 18 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Ruang Lingkup Penelitian respirologi. Ruang lingkup penelitian ini adalah ilmu kesehatan anak, sub ilmu 3.2 Tempat dan Waktu Penelitian Tempat penelitian ini dilakukan

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Pseudomonas aeruginosa (P. aeruginosa) merupakan bakteri penyebab tersering infeksi

BAB I. PENDAHULUAN. Pseudomonas aeruginosa (P. aeruginosa) merupakan bakteri penyebab tersering infeksi BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pseudomonas aeruginosa (P. aeruginosa) merupakan bakteri penyebab tersering infeksi di lingkungan Rumah Sakit. P. aeruginosa merupakan bakteri Gram negatif

Lebih terperinci

BAB 1. Infeksi terkait dengan perawatan kesehatan melalui pemasangan alat-alat medis

BAB 1. Infeksi terkait dengan perawatan kesehatan melalui pemasangan alat-alat medis BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Infeksi terkait dengan perawatan kesehatan melalui pemasangan alat-alat medis yang invasif di Instalasi Perawatan Intensif merupakan salah satu faktor penting yang

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Ruang Lingkup Penelitian 4.1.1 Ruang lingkup keilmuan Ruang lingkup keilmuan dalam penelitian ini adalah bidang ilmu Mikrobiologi Klinik dan ilmu penyakit infeksi. 4.1.2 Ruang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 2014). Pneumonia pada geriatri sulit terdiagnosis karena sering. pneumonia bakterial yang didapat dari masyarakat (PDPI, 2014).

BAB 1 PENDAHULUAN. 2014). Pneumonia pada geriatri sulit terdiagnosis karena sering. pneumonia bakterial yang didapat dari masyarakat (PDPI, 2014). BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pneumonia merupakan penyakit infeksi saluran napas bawah akut pada parenkim paru. Pneumonia disebabkan oleh mikroorganisme seperti bakteri, virus, jamur, dan parasit.

Lebih terperinci

UKDW. % dan kelahiran 23% (asfiksia) (WHO, 2013). oleh lembaga kesehatan dunia yaitu WHO serta Centers for Disease

UKDW. % dan kelahiran 23% (asfiksia) (WHO, 2013). oleh lembaga kesehatan dunia yaitu WHO serta Centers for Disease BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Secara global, sepsis masih merupakan salah satu penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada neonatorum, yaitu 40 % dari kematian balita di dunia dengan kematian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) termasuk ke dalam penyakit

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) termasuk ke dalam penyakit BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) termasuk ke dalam penyakit pernapasan kronis yang merupakan bagian dari noncommunicable disease (NCD). Kematian akibat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit infeksi merupakan salah satu masalah kesehatan di seluruh dunia, terlebih lagi di negara berkembang seperti Indonesia. Penyakit infeksi didapatkan dengan

Lebih terperinci

BAB I. Pendahuluan. I.1 Latar Belakang. Angina adalah tipe nyeri dada yang disebabkan oleh. berkurangnya aliran darah ke otot jantung.

BAB I. Pendahuluan. I.1 Latar Belakang. Angina adalah tipe nyeri dada yang disebabkan oleh. berkurangnya aliran darah ke otot jantung. BAB I Pendahuluan I.1 Latar Belakang Angina adalah tipe nyeri dada yang disebabkan oleh berkurangnya aliran darah ke otot jantung. Angina seringkali digambarkan sebagai remasan, tekanan, rasa berat, rasa

Lebih terperinci

Pseudomonas aeruginosa adalah kuman patogen oportunistik yang dapat

Pseudomonas aeruginosa adalah kuman patogen oportunistik yang dapat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pseudomonas aeruginosa adalah kuman patogen oportunistik yang dapat menyebabkan keadaan yang invasif pada pasien dengan penyakit kritis maupun pasien yang memiliki

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. HIV merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi Human

BAB 1 PENDAHULUAN. HIV merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi Human BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang HIV merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi Human Immunodeficiency Virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh. Infeksi HIV dapat menyebabkan penderita

Lebih terperinci

ABSTRAK PASIEN USIA LANJUT DI RUANG RAWAT INTENSIF RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG PERIODE 1 AGUSTUS JANUARI 2010

ABSTRAK PASIEN USIA LANJUT DI RUANG RAWAT INTENSIF RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG PERIODE 1 AGUSTUS JANUARI 2010 ABSTRAK PASIEN USIA LANJUT DI RUANG RAWAT INTENSIF RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG PERIODE 1 AGUSTUS 2009-31 JANUARI 2010 Yuvens, 2010. Pembimbing I : Vera, dr.,sp.pd. Pembimbing II : dra. Endang Evacuasiany,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit infeksi di Indonesia masih termasuk dalam sepuluh penyakit

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit infeksi di Indonesia masih termasuk dalam sepuluh penyakit BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyakit infeksi di Indonesia masih termasuk dalam sepuluh penyakit terbanyak. Peresepan antibiotik di Indonesia yang cukup tinggi dan kurang bijak akan meningkatkan

Lebih terperinci

PERBEDAAN LAMA RAWAT INAP PASIEN DENGAN DAN TANPA KOMORBID INFEKSI SALURAN KEMIH Studi pada Pasien Rawat Inap di RSUP Dr.

PERBEDAAN LAMA RAWAT INAP PASIEN DENGAN DAN TANPA KOMORBID INFEKSI SALURAN KEMIH Studi pada Pasien Rawat Inap di RSUP Dr. PERBEDAAN LAMA RAWAT INAP PASIEN DENGAN DAN TANPA KOMORBID INFEKSI SALURAN KEMIH Studi pada Pasien Rawat Inap di RSUP Dr. Kariadi Semarang HASIL PENELITIAN KARYA TULIS ILMIAH Diajukan sebagai syarat untuk

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. negara berkembang disebabkan oleh bakteri terutama Streptococcus pneumoniae,

BAB 1 PENDAHULUAN. negara berkembang disebabkan oleh bakteri terutama Streptococcus pneumoniae, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pneumonia merupakan penyakit inflamasi yang mengenai parenkim paru. 1 Penyakit ini sebagian besar disebabkan oleh suatu mikroorganisme (virus/bakteri) dan sebagian

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Gagal ginjal kronik (Chronic Kidney Disease) merupakan salah satu penyakit

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Gagal ginjal kronik (Chronic Kidney Disease) merupakan salah satu penyakit BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gagal ginjal kronik (Chronic Kidney Disease) merupakan salah satu penyakit tidak menular (non-communicable disease) yang perlu mendapatkan perhatian karena telah

Lebih terperinci

INTISARI. Lisa Ariani 1 ; Erna Prihandiwati 2 ; Rachmawati 3

INTISARI. Lisa Ariani 1 ; Erna Prihandiwati 2 ; Rachmawati 3 INTISARI PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN PNEUMONIA DAN PNEUMONIA SERTA TB PARU STUDI DESKRIPTIF PADA PASIEN RAWAT INAP DI RUANG DAHLIA (PARU) DI RSUD ULIN BANJARMASIN TAHUN 2013 Lisa Ariani 1 ; Erna

Lebih terperinci

Ventilator Associated Pneumonia

Ventilator Associated Pneumonia Ventilator Associated Pneumonia Area Kategori Indikator Perspektif Sasaran Strategis Dimensi Mutu Tujuan Klinis Tindakan pengendalian infeksi RS Proses Bisnis Internal Terwujudnya penyelenggaraan sistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. invasif secara umum dikenal sebagai infeksi daerah operasi (IDO). 1. dari Centers for Disease Control and Prevention (CDC)

BAB I PENDAHULUAN. invasif secara umum dikenal sebagai infeksi daerah operasi (IDO). 1. dari Centers for Disease Control and Prevention (CDC) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Infeksi yang terjadi pada luka yang ditimbulkan oleh prosedur operasi invasif secara umum dikenal sebagai infeksi daerah operasi (IDO). 1 IDO merupakan komplikasi pembedahan

Lebih terperinci